Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah
-
Upload
dian-oktavia -
Category
Law
-
view
459 -
download
4
Transcript of Makalah Fiqh Ibadah Tajhizul Janazah
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tajhizul Janazah” ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan salam
senantiasa tercurah kepada baginda tercinta Nabi Muhammad SAW.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak
Dr.H. Mujar Ibnu Syarif M.Ag. sebagai dosen pengampu mata kuliah Fiqh Ibadah
yang telah membimbing penulis dalam menyusun tugas ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan sebagai bahan
pelengkap nilai semester tiga program studi ilmu hukum untuk mata kuliah Fiqh
Ibadah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam Jakarta.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai tata cara
mengurus jenazah atau mayat, yaitu mulai dari memandikan, mengafani hingga
menguburkan.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat kepada
para pembaca dan penulis sendiri.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun supaya penulis dapat menyempurnakan makalah selanjutnya.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan................................................................................................................3
1.4 Manfaat .............................................................................................................4
Bab II Pembahasan ..................................................................................................5
2.1 Memandikan Jenazah ........................................................................................5
2.2 Mengafani Jenazah ..........................................................................................11
2.3 Shalat Jenazah .................................................................................................13
Bab III Penutup......................................................................................................17
3.1 Kesimpulan......................................................................................................17
3.2 Saran.................................................................................................................18
Daftar Pustaka........................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Islam menganjurkan umatnya agar selalu ingat akan kematian1. Ibnu
Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits:
“Rasul Saw. berkata kepada sahabatnya: Malulah kamu kepada Allah, mereka
menjawab: Sesungguhnya kami malu kepada-Nya ya Nabi Allah dan segala puji
baginya. Rasulullah Saw. Bersabda: Bukan begitu, tetapi, Barangsiapa yang
benar-benar malu kepada Allah, hendaklah ia memelihara kepalanya dengan
segala isinya, hendaklah ia memelihara perutnya dengan segala yang terkandung
di dalamnya, dan hendaklah ia mengingat maut dan bala. Dan Barangsiapa yang
menginginkan akhirat, tentulah ia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa
yang berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah malu terhadap Allah dengan
sebenar-benarnya.”
Orang yang sakit hendaklah bersikap sabar, namun, ia disunnahkan
berobat2, sesuai dengan hadits:
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan tiap-tiap
penyakit ada obatnya. Oleh karena itu, berobatlah kamu, tetapi, janganlah
berobat dengan yang haram.”
Dalam pada itu hendaklah ia senantiasa berbaik sangka kepada Allah SWT
karena Nabi Saw. bersabda:
“Jangan seseorang kamu mati, kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada
Allah.”
1 Lahmuddin Nasution, Fiqh 1 (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), hlm. 129.
2 Ibid, hlm. 130
Tajhizul Janazah 1
Islam juga menganjurkan umatnya mengunjungi orang yang sedang sakit
(‘iyadat al-maridh), menghibur, dan mendoakannya. Bila tampak tanda-tanda
bahwa orang itu akan segera meninggal dunia3, maka disunahkan melakukan hal-
hal berikut:
1. Mengajarinya (talqin) mengucapkan kalimat tauhid. Nabi Saw. bersabda:
“Ajarilah orang-orang (yang akan) mati diantara kamu, Laa ilaaha illa
Allah.”
2. Membacakan surat Yasin di dekatnya.
3. Menghadapkan wajahnya ke kiblat dan membaringkannya pada lambung
kanan; bila ini tidak mungkin ia ditelentangkan, dengan kaki ke arah kiblat
dan kepalanya ditinggikan agar menghadap kibat pula.
Apabila orang itu telah meninggal dunia, hendaklah seorang dari
mahramnya yang paling mencintainya dan sama jenis kelamin dengannya4
melakukan hal-hal berikut:
1. Menutupkan kedua matanya,
2. Mengikat sehelai kain lebar dari dagu ke kepalanya,
3. Melemaskan persendian-persendiannya,
4. Menanggalkan pakaiannya,
5. Menutupi seluruh badannya dengan kain tipis,
6. Meletakkan sesuatu yang agak berat di atas perutnya,
7. Menghadapkannya ke kiblat,
8. Membayar hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya.
Setelah hal-hal ini ada empat kewajiban (fardhu kifayah) yang harus
dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengafani, menshalatkan, dan
menguburkannya.
1.2 RUMUSAN MASALAH3 Ibid.
4 Ibid, hlm.131
Tajhizul Janazah 2
Dengan mengetahui uraian singkat di atas, maka rumusan masalahnya:
1.2.1 Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memandikan jenazah?
1.2.2 Bagaimana tata cara memandikan jenazah?
1.2.3. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengafani jenazah?
1.2.4. Bagaimana tata cara mengafani jenazah?
1.2.5 Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan shalat
jenazah?
1.2.6 Apa sajakah rukun shalat jenazah?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memandikan jenazah.
1.3.2 Mengetahui tata cara memandikan jenazah.
1.3.3 Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengafani jenazah.
1.3.4 Mengetahui tata cara mengafani jenazah.
1.3.5 Mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan shalat
jenazah.
1.3.6 Mengetahui rukun shalat jenazah.
1.4 MANFAAT
Tajhizul Janazah 3
Makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca sebagai
suatu rujukan atau referensi untuk mengetahui tuntunan dalam mengurus jenazah
mulai dari memandikan, mengafani hingga menshalatkan jenazah.
BAB II
Tajhizul Janazah 4
PEMBAHASAN
2.1 MEMANDIKAN JENAZAH
Jenazah orang Muslim wajib dimandikan, kecuali orang yang mati syahid,
yakni yang terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir.5
Dasar wajibnya memandikan jenazah ialah hadits Nabi Saw, berkenaan
dengan seseorang yang meninggal karena jatuh dari untanya:
“Mandikanlah ia dengan air dan sidrin (daun bidara).”
Sedangkan, pengecualian orang yang mati syahid didasarkan pada hadits
tentang para korban perang Uhud:
“Bahwasanya Nabi Saw memberi perintah sehubungan dengan para
korban yang terbunuh pada perang Uhud, mereka dikuburkan dengan pakaiannya
dan tidak disembahyangkan.”
Jabir r.a. berkata, “Rasulullah Saw, bersabda, ‘Kuburkanlah mereka
dengan kondisi berdarah’(para syuhada perang uhud) dan mereka pun tidak
memandikannya.”
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Aku adalah saksi bagi mereka,
kafanilah dalam kondisi berdarah. Sesungguhnya, seseorang yang luka berdarah
(dijalan Allah) kecuali kelak datang dihari kiamat dengan luka darahnya berbau
misk (parfum).” (HR. Imam Bukhari, Abu Daud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Al-Bayhaqi dari Ibnu Jabir r.a) .
Annas Bin Malik r.a. berkata, “Sesungguhnya, para syuhada dalam
perang Uhud tidak ada yang dimandikan, dan mereka dikuburkan dengan
5 Ibid.
Tajhizul Janazah 5
lumuran darahnya serta tidak ada yang dishalati (kecuali Hamzah).” (HR. Abu
Daud, Al-Hakim, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, dan Ahmad).
Sekurang-kurangnya memandikan jenazah itu ialah dengan mengalirkan
air ke seluruh tubuhnya. Untuk lebih sempurna, memandikan dilakukan dengan
mengindahkan hal-hal berikut:
1. Di tempat yang sunyi, yaitu di tempat yang hanya terdapat orang yang
memandikan dan pembantunya, serta wali jenazah itu sendiri.
2. Jenazah diletakkan di tempat yang agak tinggi, dipan misalnya agar air
bebas mengalir dan tidak menggenangi tubuhnya.
3. Jenazah dimandikan dalam pakaian gamis, atau ditutupi dengan kain.
A’isyah berkata:
“Rasulullah Saw dimandikan dengan mengenakan gamis. Mereka
menuangkan air dan menggosoknya dari atas gamis tersebut.”
4. Hendaklah menggunakan air dingin, sebab air dingin menguatkan
badannya. Lalu air tersebut dicampur dengan daun bidara atau yang
serupa seperti sabun dan yang lainnya.6
5. Memandikan tiga kali lebih, sesuai yang dibutuhkan atau yang dilihat
perlu oleh orang-orang yang memandikannya dan hendaklah
memandikan dengan hitungan ganjil (3 kali, 5 kali, atau 7 kali, dan
seterusnya).7
6. Melepaskan gulungan dan kepangan rambut, mencucinya dengan baik,
dan menguraikan rambutnya.8
7. Bagi wanita dibuat tiga kepang rambutnya kemudian diletakkan di
belakang.9
6 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah. (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), hlm.61.7 Ibid.8 Ibid.9 Ibid, hlm. 62
Tajhizul Janazah 6
8. Memulai memandikannya dari sebelah kanan dan anggota badan yang
biasa dibasuh ketika berwudhu.10
9. Membersihkannya (memandikannya) dengan menggunakan kain
pembersih atau yang semisalnya.11
10. Aurat jenazah haram dilihat, sedangkan bagian tubuh lainnya tidak.
Namun dianjurkan agar orang yang memandikan itu tidak melihatnya
lebih dari batas yang diperlukan.12
Nabi Saw. bersabda kepada Ali RA.:
Janganlah engkau memandang kepada paha orang yang baik yang
hidup maupun yang mati.
11. Orang yang memandikan itu hendaknya adalah orang yang amin, yaitu
dapat menyimpan rahasia. Bila ia melihat hal-hal yang baik pada
jenazah, ia disunnahkan menyebutkannya, tetapi hal-hal yang buruk
haram diungkapkannya.13
Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata:
Janganlah ada yang memandikan jenazah kamu kecuali orang yang
terpercaya.
12. Pada akhir memandikannya hendaklah mencampuri airnya dengan
parfum, kapur barus, dan sebagainya. Tetapi, pengecualian bagi orang
yang meninggal dalam keadaan berpakaian ihram, maka ketika
dimandikan airnya tidak boleh dicampur dengan aroma apapun.14
13. Jumhur ulama sepakat bahwa hendaklah yang memandikan mayat laki-
laki adalah orang laki-laki dan yang memandikan mayat perempuan
adalah orang perempuan. Pengecualian bagi suami istri diperbolehkan
memandikan yang lain. Misalnya, jika istri meninggal, maka suami 10 Ibid.11 Ibid.12 Nasution, Op. Cit., hlm. 132
13 Ibid, hlm. 13314 Al-Albani, Op. Cit., hlm. 61-63
Tajhizul Janazah 7
boleh memandikannya, dan sebaliknya. Tetapi, Imam Abu Hanifah
mengemukakan pendapat yang berbeda karena beliau memandang
kematian sama dengan talaq, yakni bahwa suami tidak dibenarkan
memandikan istrinya.15 Dalam hal ini, jumhur ulama mendasarkan
pendapat mereka kepada dua dalil:
a. Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Kalau aku berniat mengerjakan sesuatu
pastilah tidak akan mundur, dan tidak ada yang berhak memandikan
beliau kecuali istri-istrinya.”
b. Aisyah r.a., berkata, “Suatu hari Rasulullah Saw. kembali dari Baqi’, dan
didapatinya aku sedang sakit kepala dan berkata, “Aduh kepalaku.” Lalu
beliau bersabda, Bahkan aku juga, hai A’isyah, aduh kepalaku.”
Kemudian beliau bersabda lagi, “Apa yang membuatmu susah? Kalau
engkau mati sebelumku, aku akan memandikanmu, mengafanimu,
menshalatkanmu, dan menguburkanmu.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu
Majah, Ibnu Hisyam Ad-Daraquthni, dan Al-Baihaqi).
14. Orang yang mengurusi proses memandikan mayat hendaklah orang-
orang yang paling mengetahui sunnahnya, khususnya dari kalangan
kerabat.16 Hal ini seperti yang dilakukan orang-orang dahulu ketika
memandikan Rasulullah Saw., Ali r.a. berkata, “Aku telah
memandikan Rasulullah Saw, lalu aku perhatikan mayat itu seolah aku
tidak dapati sesuatu. Beliau sangat baik (jasadnya) ketika hidupnya
juga saat matinya.” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
15. Bagi orang yang memandikan mayat disediakan pahala yang besar,
namun dengan dua syarat yang perlu diperhatikan17:
Pertama, hendaklah merahasiakan apa yang telah dilihatnya dari sang
mayat hal-hal yang mungkin kurang disenangi.
15 Nasution, Op. Cit., hlm. 13416 Al-Albani, Op. Cit., hlm. 6417 Ibid.
Tajhizul Janazah 8
Kedua, hendaknya seseorang dalam melakukannya (memandikannya)
hanya semata-mata mencari ridha Allah SWT., tidak mengharapkan
balasan apapun dari segala urusan dunia. Hal ini mengingatkan
ketetapan Allah yang disyariatkan-Nya bahwa Allah tidak mau
menerima segala peribadahan kecuali yang benar-benar murni
ditujukan bagi-Nya. Dalil tentang hal ini sangat banyak, baik dari Al-
Qur’an maupun As-Sunnah. Misalnya, dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 10.
16. Bagi orang yang telah memandikan mayat, lebih disukai untuk mandi.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa yang selesai
memandikan mayat, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud,
At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ath-Thayalusi, dan Ahmad lewat beberapa
jalur sanad yang semuanya dari Abu Hurairah r.a.)
Adapun tata cara memandikannya, mula-mula jenazah didudukkan secara
lemah lembut, dengan posisi miring ke belakang. Orang yang memandikan
meletakkan tangan kanan di bahu dengan ibu jarinya pada lekukan tengkuk dan
lututnya menahan punggung jenazah. Lalu, perut jenazah diurut dengan tangan
kiri untuk mengeluarkan kotoran yang mungkin keluar. Kemudian, jenazah
ditelentangkan dan kedua kemaluannya dibersihkan dengan tangan kiri yang
dibalut dengan perca. Setelah perca pembalut tangan diganti, gigi dan lubang
hidungnya dibersihkan pula.
Berikutnya, jenazah diwhudu’kan seperti wudhu’ orang hidup. Setelah itu
kepalanya, kemudian janggutnya, dibasuh dengan menggunakan sidrin (daun
bidara), dan dirapikan dengan sisir kasar, dengan memperhatikan agar rambut
yang gugur dikembalikan. Kemudian dibasuh bagian kanan, setelah itu bagian kiri
badannya, lalu tubuhnya dibaringkan ke kiri dan dibasuh bagian belakang badan
sebelah kanan, kemudian tubuhnya dibaringkan ke kanan dan dibasuh pula bagian
badan belakang sebelah kiri. Semua ini menggunakan air bercampur sidrin (daun
bidara). Setelah itu bekas sidrin (daun bidara) tadi dihilangkan dengan
Tajhizul Janazah 9
menyiraminya secara merata dengan air bersih. Kemudian sekali lagi disiram
dengan air bercampur sedikit kapur.
Dengan melakukan rangkaian tata cara memandikan jenazah ini, berarti
telah selesai satu kali mandi, namun masih disunnahkan melakukan hal seperti itu
sampai tiga kali.
Nabi Saw bersabda kepada para wanita yang memandikan putrinya,
Ummu Kulsum:
“Kamu mandikanlah dia tiga kali atau lima atau lebih jika kamu pandang
hal itu perlu, dengan air dan sidrin (daun bidara); dan taruhlah kapur, atau
sedikit kapur, pada yang terakhir. Mulailah dengan bagian sebelah kanan dan
tempat-tempat wudhu’nya.” (HR. Bukhari)
Apabila ternyata setelah selesai dimandikan masih ada najis yang keluar,
maka najis itu wajib dibersihkan.
Dalam hal ini ada pendapat yang mengatakan bahwa istri lebih berhak
memandikan jenazah suaminya dari pada kerabatnya dengan alasan istri boleh
melihat bagian-bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh mereka.
Dari kelompok kerabat yang paling berhak memandikan jenazah seorang
laki-laki ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian para ‘asabahnya secara
berurutan, yaitu anak, cucu, saudara, anak saudara, paman, dan anak paman.
Urutan ini berlaku pula pada kerabat perempuan dalam memandikan jenazah
perempuan.
Jadi, untuk memandikan jenazah perempuan didahulukan kerabat
perempuannya yang masih berhubungan mahram, kemudian kerabat yang bukan
mahram, bila tidak ada, maka kerabat laki-laki yang mahram. Kedudukan suami
dalam hal memandikan istrinya sama dengan kedudukan istri dalam hal
memandikan suaminya. Ada pendapat yang mendahulukannya atas para kerabat
perempuan.
Apabila di tempat jenazah laki-laki hanya ada perempuan Ajnabiyah
(bukan mahram) atau pada jenazah perempuan hanya ada laki-laki Ajnabi, maka
jenazah itu tidak dimandikan, melainkan hanya ditayamumkan saja.
Tajhizul Janazah 10
Bagi orang yang telah memandikan mayat lebih disukai untuk mandi. Ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW.,” Barang siapa yang selesai memandikan
mayat maka hendaklah ia berwudhu”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban,
Ath-Thayalusi, dan Ahmad lewat beberapa jalur sanad yang semuanya dari Abu
Hurairah r.a.)
2.2 MENGAFANI JENAZAH
Setelah dimandikan jenazah itu wajib pula dikafani berdasarkan hadist
Nabi Saw., tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya itu:
“Kamu kafanilah dia dengan kedua pakaian yang dipakainya ketika
meninggal itu.”
Juga ada Hadist yang bersala dari Layla binti Qa’if Al-Saqafiyyah :
“Saya termasuk diantara mereka yang memandikan Ummu Kulsum, putri
Rasulullah Saw. Yang pertama kali diberikan kepadaku oleh Rasulullah Saw.,
ialah al-Haqw (sarung), kemudian al-Dir’(gamis), lalu milhafah (selimut).
Setelah itu, jenazah dimasukan kedalam kain yang lain. Layla berkata
selanjutnya: Dalam pada itu Rasulullah Saw., duduk dekat pintu, pada beliau
terdapat kafan yang diberikannya kepada kami satu demi satu.”
Selain itu, diriwayatkan bahwa Nabi Saw. dikafani dengan tiga helai kain
putih, tidak pakai gamis dan tidak pula serban.18
Sekurang-kurang kafan ialah sehelai kain, baik bagi perempuan maupun
laki-laki, sesuai dengan kisah mus’ab ibn Umar yang ketika meninggalnya, kain
yang ada ternyata tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya; bila ditutupkan
ke kepalanya, terbuka kakinya dan bila ditutupkan kekaki kepalanya terbuka. Pada
waktu itu, Rasulullah Saw. bersabda :
“Tutupilah kepalanya dengan kain itu, dan taruh izkhir (sejenis tumbuhan
berbau harum) di kakinya.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Sebaik-baiknya, laki-laki dikafani dengan tiga helai kain putih, tanpa
gamis dan serban. Satu helai sebagai sarung (izar). Sehelai lagi menutupi badan 18 Nasution, Op. Cit., hlm. 136
Tajhizul Janazah 11
dari leher hingga mata kaki, dan yang terakhir menutupi seluruh tubuhnya. Untuk
jenazah perempuan, sebaiknya digunakan lima helai, sarung, kerudung, dan gamis
ditambah lagi dengan dua helai lain yang dapat membalut seluruh tubuhnya.
Pada dasarnya, semua bahan yang boleh dipakainya pada waktu hidup
boleh dijadikan sebagai kafannya. Sebaiknya dipilih bahan yang baik. Sabda Nabi
Saw. dalam riwayat Jabir :
“Bila seseorang kamu mengkafani saudaranya, hendaklah ia membaikkan
kafannya.”
Akan tetapi, makruh menggunakan bahan yang mewah, sebabAli ra.
Meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda :
“Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam hal kafan.”
Biaya untuk pengadaan kafan, diambil dari harta peninggalan si jenazah
sendiri dan keperluan ini didahulukan atas pembayaran hutang-hutangnya. Jika
yang meninggal itu perempuan yang bersuami, maka biaya untuk kafannya
dibebankan kepada suami yang wajib membelanjainya, bila mampu, seperti
pakaiannya sewaktu hidup. Bila jenazah tidak meninggalkan harta maka
kafannyadibebankkan kepada orang yang berkewajiban membelanjainya jika ia
hidup. Jika orang itu tidak ada, maka kafannya diambil dari Bait-al Maal.
Untuk mengenakan kafan itu mula-mula lembaran kafan yang paling baik
dan paling lebar dihamparkan, kemudian diatasnya dihamparkan lembaran-
lembaran yang lainnya, dan masing-masing ditaburi dengan hanut. Kemudian
jenazah ditelentangkan diatasnya, ditaburi dengan hanut, dan ditaruh kapas yang
telah diberi hanut pada mulut, hidungnya, telinga dan kedua kemaluannya, serta
diikat kedua pangkal pahanya (ilyah) dengan perca. Setelah itu kain kafan
dibalutkan satu persatu, dan diikat agar tidak terlepas ketika mengangkutnya,
tetapi ikatan itu dibuka kembali setelah ia berada didalam kuburnya.
Untuk jenazah yang meninggal ketika melaksanakan ihram, maka ia tidak
diberi harum-haruman dan kepalanya tidak ditutup karena Nabi Saw. bersabda
tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya ketika ihram :
Tajhizul Janazah 12
“Kamu kafanilah ia dengan kedua pakaian yang dipakainya ketika
meninggal itu, dan jangan dekatkan kepadanya wangi-wangian, sebab nanti ia
akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”
Jenazah hendaknya diangkut oleh orang laki-laki yang cukup kuat dengan
hati-hati dan penuh hormat demikian pula ketika memasukannya ke dalam kubur.
Mereka yang mengangkut jenazah hendaknya berjalan dengan agak cepat.
Menurut Syafi’i, Maliki, dan para ulama Madinah, sebaiknya orang-orang
yang mengiringkan jenazah berjalan dekat di depannya, sesuai dengan praktik
Nabi Saw., Abu Bakr dan Umar r.a, tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa
mereka lebih baik berjalan dibelakangnya seperti yang dilakukan oleh Ali r.a.
Sambil berjalan mengiringkan jenazah disunnahkan berdiam diri sambil
berpikir tentang kematian dan hal-hal yang akan dihadapi sesudahnya dan tentang
fananya dunia ini.
2.3 SHALAT JENAZAH
Jenazah orang muslim wajib dishalatkan, kecuali yang mati syahid dalam
peperangan melawan orang kafir.19 Dasar hukum wajibnya shalat jenazah ialah
Hadist Nabi Saw. :
“Lakukanlah shalat dibelakang (berimam kepada) orang yang
mengucapkan la ilaaha illa Allah,dan (shalat jenazah) atas orang yang
mengucapkan Laa ilaha illa Allah.”
Shalat jenazah itu wajib dilakukan sebelum penguburan karena hukumnya
fardhu kifayah, ia cukup dilakukan satu orang saja, tetapi disunnahkan
melakukannya dengan berjama’ah berdasarkan hadist Nabi Saw. :
“Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu jenazahnya
disembahyangkan oleh empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan
19 Ibid, hlm. 139
Tajhizul Janazah 13
Allah dengan sesuatu apapun, kecuali mereka dijadikan Allah sebagai pemberi
syafa’at baginya.” (HR. Muslim)
Seperti halnya memandikan, yang paling berhak untuk memimpin sahalat
jenazah seseorang ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian para
‘ashabahnya secara berurutan, yaitu anak, cucu, saudara anak saudara, paman, dan
anak paman dengan alas an merekalah yang paling berduka atas kematian itu, dan
diaharapkan lebih mustajab, kemudian yang lebih baik qiraat dan lebih faqih
karena dia lebih mulia dan shalatnya lebih sempurna.
Bila jenazah itu laki-laki, maka sebaiknya ia berdiri setentang dengan
kepalanya, tetapi bagi jenazah perempuan imam berdiri setentang pinggangnya.
Dalam satu riwayat tersebut, Annas bin Malik r.a., dalam melakukan
shalat atas jenazah laki-laki ia berdiri setentang dengan kepalanya tetapi ketika
shalat atas jenazah perempuan ia berdiri setentang pinggangnya, lalu Ala’ ibn
Ziyad bertanya, “ Begitukah cara shalat Rasulullah Saw., shalat atas perempuan
setentang pinggang dan atas laki-laki setentang kepalanya?”, Annas menjawab
“ya”.
Sebaiknya untuk tiap-tiap jenazah dilakukan shalat tersendiri, tetapi
boleh juga dilakukan sekaligus satu shalat untuk lebih merka diletakan dari satu
jenazah.20 Dalam hal ini, maka yang paling mulia (afdal) diantara mereka
diletakan paling dekat dengan imam. Bila ada laki-laki dewasa, anak laki-laki,
perempuan, dan khunsa, maka yang diletakan paling dekat pada imam ialah yang
laki-laki, kemudian berturut-turut, anak-anak, khunsa dan perempuan.
Adapun rukun shalat jenazah dilakukan seperti shalat lainnya. Pada shalat
jenazah juga disyaratkan thaharah, menutup aurat, dan menghadap kiblat. Rukun
shalat jenazah ada tujuh, yaitu:
1. Niat atas mayit, seperti shalat lainnya.
20 Ibid, hlm. 140
Tajhizul Janazah 14
2. Berdiri bila mampu.
3. Takbir empat kali, ini dasarkan pada hadist Abu Hurairah r.a. :
“Bahwasannya Nabi Saw. memberi tahu kematian al-Najasi pada hari
kematiannya; beliau ke mushala, kemudian membariskan orang-orang dan takbir
empat kali.”
Selanjutnya setiap kali shalat jenazah, Nabi Saw. selalu bertakbir empat
kali.
4. Membaca Al-Fatihah, setelah takbir yang pertama, sesuai dengan riwayat dari
Talhah ibn Abdilah ibn Awf :
“Saya melakukan shalat jenazah bersama Ibn Abbas ra. Maka ia
membaca al-fatihah, kemudian berkata : Hendaklah kamu ketahui bahwa itulah
sunnah.”
5. Membaca shalawat atas Nabi Saw., sesudah takbir yang kedua.
6. Doa untuk jenazah tersebut, sesudah takbir yang ketiga.
7. Salam, seperti pada shalat lainnya.
Selain itu, dianjurkan pula untuk memperbanyak shaf shalat jenazah.
Dalilnya seperti berikut.
Rasulullah Saw. Bersabda, “Tidaklah seorang muslim laki-laki meninggal
dunia lalu empat puluh laki-laki berdiri menshalati jenazahnya, yang tidak
menyekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan Allah memberi syafa’at kepada
mereka padanya.”21
21 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar Jenazah, terj. Muhammad Iqbal Ghazali, (Jakarta: Darul Haq, 2006) hlm. 101
Tajhizul Janazah 15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam Islam, terdapat empat kewajiban (fardhu kifayah) yang harus
dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengafani, menshalatkan, dan
menguburkannya.
Tajhizul Janazah 16
Jenazah orang Muslim wajib dimandikan, kecuali orang yang mati syahid,
yakni yang terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir. Terdapat beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam memandikan jenazah, diantaranya
memandikannya tempat yang sunyi, jenazah diletakkan di tempat yang agak
tinggi, jenazah dimandikan dalam pakaian gamis, atau ditutupi dengan kain,
hendaklah menggunakan air dingin, sebab air dingin menguatkan badannya lalu
air tersebut dicampur dengan daun bidara atau yang serupa seperti sabun dan yang
lainnya, memandikan tiga kali lebih, sesuai yang dibutuhkan atau yang dilihat
perlu oleh orang-orang yang memandikannya dan hendaklah memandikan dengan
hitungan ganjil (3 kali, 5 kali, atau 7 kali, dan seterusnya), dan sebagainya.
Setelah dimandikan, jenazah wajib pula dikafani, yaitu dengan tiga helai
kain putih, tidak pakai gamis dan tidak pula serbann dan sekurang-kurang kafan
ialah sehelai kain, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Pada dasarnya, semua
bahan yang boleh dipakainya pada waktu hidup boleh dijadikan sebagai kafannya.
Tetapi, makruh menggunakan bahan yang mewah. Biaya untuk pengadaan kafan,
diambil dari harta peninggalan si jenazah sendiri dan keperluan ini didahulukan
atas pembayaran hutang-hutangnya.
Jenazah orang muslim wajib dishalatkan, kecuali yang mati syahid dalam
peperangan melawan orang kafir. Shalat jenazah wajib dilakukan sebelum
penguburan karena hukumnya fardhu kifayah, ia cukup dilakukan satu orang saja,
tetapi disunnahkan melakukannya dengan berjama’ah. Seperti halnya
memandikan, yang paling berhak untuk memimpin sahalat jenazah seseorang
ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian para ‘ashabahnya secara berurutan.
Bila jenazah laki-laki, maka sebaiknya ia berdiri setentang dengan kepalanya,
tetapi bagi jenazah perempuan, imam berdiri setentang pinggangnya. Adapun
rukun shalat jenazah ada tujuh, yaitu niat atas mayit, berdiri bila mampu, takbir
Tajhizul Janazah 17
empat kali, membaca Al-Fatihah setelah takbir yang pertama, membaca shalawat
atas Nabi Saw sesudah takbir yang kedua, doa untuk jenazah tersebut, sesudah
takbir yang ketiga, dan salam.
3.2 Saran
Setelah menyelesaikan tugas makalah Fiqh Ibadah ini, banyak hal yang
dapat kita pelajari mengenai tajhizul janazah. Semoga dengan membaca makalah
ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai tuntunan dalam
mengurus jenazah supaya dapat dipraktikkan di kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Lahmuddin. Fiqh 1. Jakarta : Bulan Bintang. 1987
Tajhizul Janazah 18
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah.
Jakarta : Gema Insani Press. 1999
Muhammad, Syaikh bin Shalih Al-Utsaimin. Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar
Jenazah. Jakarta : Darul Haq. 2006
Tajhizul Janazah 19