Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
-
Upload
muhammad-ragil -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
1/11
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
2/11
2
Maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Agama Islam.
Tujuan dari penyusunan makalah ini ada yaitu :
1. Mengetahui apa definisi euthanasia dan apa saja jenisnya
2. Mengetahui pandangan tentang euthanasia dari berbagai pendapat yang diajukan.
3. Mengetahui hukum euthanasia dilihat dari perspektif islam.
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
3/11
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengerttian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti baik, dan
thanatos , yang berarti kematian (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut . Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti
tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal
diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145). Dalam praktik kedokteran,
dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif
adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke
dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah
tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan
dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
B. Jenis Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang)
adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke
dalam tubuh pasien tersebut. (Utomo, 2003:176).Adapun euthanasia pasif, taisir al-maut
(memudahkan kematian) adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
4/11
4
C. Pandangan Tentang Euthanasia
Masalah Euthanasia menimbulkan pro dan kontara. Dalam hal ini tampak ada
batasan karena ada suatu yang mutlak berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dan batasan
karena hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu
kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Karena masih banyak pertentangan mengenai
definisi euthanasia, berbagai pendapat diajukan di antaranya sebagai berikut :
1) Volutary Euthanasia
Permohonan diajuka pasien karena, misalnya gangguan penyakit jasmani yang dapat
mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa
yang tidak menjunjung
2) Involuntary Euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat di kerjakan karena, misalnya
seseorang yang menderita sindroma Tay Sach. Keputusan atau keinginana untuk mati
berada pada pihak orangtua atau yang bertanggung jawab.
3) Assisted Suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangka
rasa putus asa dengan bunuh diri.
4) Tindakan langsung menginduksi kematianAlasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak
yang punya hak untuk mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi dalam
pengertian yang agak berbeda karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.
D. Contoh Kasus
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
5/11
5
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan
yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain
yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak
diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun
dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantumeringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
E. Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1) Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
6/11
6
keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri
sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-Anaam : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.Dokter yang
melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut
hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS
Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS Al-
Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki,
1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau
12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki,
1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu
kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
7/11
7
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek
lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian
pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR
Bukhari dan Muslim).
2) Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter
bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati
atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yangmewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak
wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu
bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara
hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat.
Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
8/11
8
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani,
1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits
itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah
yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat
wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata ,Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku! Nabi SAW berkata ,Jika kamu mau, kamu bersabar
dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu. Perempuan itu berkata ,Baiklah aku akan bersabar, lalu dia berkata
lagi ,Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah
kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.
Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas menunjukkan
bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa
perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul
Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si
pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya
sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa
berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-
organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
9/11
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
10/11
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Euthanasia merupakan suatu hal yang menyimpang dari moral kemanusiaan. Hal
ini karena menyangkut terhadap hak hidup atau nyawa seseorang. Meskipun dalam kode
etik kedokteran euthanasia itu sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang fatal, namun
kode etik tidak bisa menjamin akan tidak terlaksananya sebuah tindakan euthanasia.
Apalagi dibeberapa Negara telah melegalkan euthanasia dengan syarat-syarat yang telah di
tentukan.Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan tersendiri akan hal
ini. Dari sudut pandang hkum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif atau posiif adalah
haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi perdebatan, antara
boleh dan tidak boleh. Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis
menemukan sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya
euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak tertolong
lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban yang ditanggung
dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis masih bisa diselamatkan,
maka wajib diteruskan pengobatan.
-
7/28/2019 Makalah Euthanasia Dalam Syariah Islam
11/11
11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta : Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syari fi Al-Istinsakh, Naql Adha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul Inasy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut.
Beirut : Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, PenggunaanOrgan Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung