Makalah dEMOKRASI
-
Upload
budi-usmanto -
Category
Documents
-
view
134 -
download
0
Transcript of Makalah dEMOKRASI
KEWARGANEGARAAN
“DEMOKRASI”
DISUSUN OLEH :
AYU NARULITA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
(STIKes) MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2013
A. BENTUK-BENTUK DEMOKRASI
a. Dilihat dari cara penyaluran kehendak rakyat
1) Demokrasi langsung
Demokrasi langsung ialah demokrasi dimana rakyat secara langsung
mengemukakan kehendaknya dalam suatu rapat yang dihadiri seluruh rakyatnya.
Demokrasi langsung pernah dijalankan di negara-negara kota pada jaman yunani
kuno.
2) Demokrasi tidak langsung(demokrasi perwakilan)
Demokrasi perwakilan yaitu Demokrasi dimana rakyat menyampaikan
kehendakannya melalui dewan perwakilan rakyat. Demokrasi perwakilan di
jalankan oleh negara-negara pada jaman modern.
b. Dilihat dari titik berat paham yang dianut
1) Demokrasi barat(demokrasi liberal)
Demokrasi barat lebih menitikberatkan pada kebebasan bergerak,berpikir dan
mengeluarkan pendapat
-menjunjung tinggi persamaan hak pada bidang politik
Kelemahan demokrasi liberal :
- adanya kesenjanagan yang lebar antara golongan ekonomi kuat dan golongan
ekonomi lemah
- golongan ekonomi kuat dapat membeli suara rakyat dan suara DPR
2) Demokrasi timur atau komunis
Demokrasi timur lebih menitik beratkan pada paham kesamaan yg menghapuskan
perbedaan kelas diantara sesama rakyat.
Kelebihan demokrasi timur :
- kesenjangan ekonomi kecil,
- menjunjung tinggi persamaan dalam bidabg ekonomi.
Kelemahan demokrasi timur
- persamaan hak bidang politik kurang diperhatikan.
- Tidak adanya kompetisi dan tidak diakuinya hak milik pribadi menyebabkan
etos kerjanya kurang baik.
3) Demokrasi gabungan
Demokrasi yg berprinsip mengambil kebaikan dan membuang kelemahan dari
demokrasi barat ke timur.
Dalam demokrasi gabungan :
- hak milik pribadi diakui,namun hak milik pribadi juga berfungsi sosial
-upaya menyejahterahkan rakyat jangan sampai menghilangkan drajat dan HAM
c. Sistem demokrasi modern
1) Demokrasi dengan sistem parlementer
- kekuasaan legislatif (DPR) di atas eksekutif pemerintah
- presiden atau raja hanya sebagai kepala negara y6g kedudukannya sebagai
lambang
Kebaikan demokrasi dengan sistem parlementer
- pengaruh rakyat terhadap politik yg dijalankan pemerintah besar sekali
- kontrol rakyat terhadap pemerintah baik
Kelemahan demokrasi dalam sistem parlementer
- Sering timbul krisis kabinet
- tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota DPR
2) Demokrasi Dengan Pemisahan kekuasaan
Sistem ini menganut ajaran montesquieu
- kekuasaan legislatif :kekuasaan untuk membuat undang-undang
- kekuasan eksekutif : kekuasaan untuk melaksanakan UU
- kekuasaan yudikatif : kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan UU
Ciri-ciri sistem pemisahan kekuasaan
- kepala negara merupakan penguasa eksekutif yang nyata
- kekuasaan yudikatif tidak dapat di campuri kekuasaan lain
Keuntungan sistem pemisahan kekuasaan
- pemerintah setabil karana presiden dan mentri tidak dapat dijatuhkan oleh DPR
- pemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya
Kelemahan sistem pemisahan kekuasaan :
- pengawasan pemerintahan kurang berpengaruh
- pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapatkan
perhatian.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PELAKSANAAN DEMOKRASI
DI INDONESIA
1. Sejarah Demokrasi di Indonesia
Demokrasi berasal dari kata Demos dan Kratos, demos berarti Rakyat dan kratos
yang berarti kekuasaan. Jika diartikan menurut bahasa Yunani, Demokrasi adalah
kekuasaan rakyat. Sedangkan menurut mantan presiden US Abraham Lincoln,
Demokrasi berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sejarah Demokrasi menurut WIKIPEDIA: Sebelum istilah demokrasi ditemukan
oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak
4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara
kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali
berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil
berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem
pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala
itu terdiri dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota
tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki,
monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota
yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi
langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM
menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat
perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh
Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada
perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri
dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar
150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan
menyuarakan pendapat.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27
SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana
terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat
biasa di Majelis.[4]
2. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintah suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang
menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran. Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang
sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara
ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam
suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan
kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi
sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat
kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut
pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya
kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk
gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan
aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap
lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada
mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan
mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut. Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945,
UUD 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara
demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung
jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat.
Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan
negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia
sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama
kalinya diselenggarakan pemilu bebas di Indonesia, sampai kemudian Presiden
Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan.
Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila. Selama 25 Tahun berdiri Republik
Indonesia ternyata bahwa masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana,
dalam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat
kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang
demokratis. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia
dapat dibagi dalam tiga masa yaitu :
1. Masa republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi yang menonjolkan
peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan
demokrasi parlementer.
2. Masa republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam
banyak aspek telah menimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
fomil merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi
rakyat.
Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan
demokrasi yang menonjolkan sistem Presidensil.
C. HUBUNGAN ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASI
Islam dan Demokrasi: Suatu Nisbah
Sebelum meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu disampaikan
terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus diperhatikan.
Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dalam level yang
setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan
mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi cult, creed, code,
community. Demokrasi tidak memiliki elemen-elemen seperti itu sehingga tidak
seimbanglah kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini,
demokrasi hanyalah bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam Islam, kemudian,
demokrasi sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama. Kalau
demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib dipakai sebagai
penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi. Demokrasi tidak dapat
menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam definisi maupun
dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi
pengertian, memberi isi kepada apa yang disebut demokrasi sesuai dengan
kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam. Dengan demikian, Islam juga
berhadapan dengan instansi lain yang juga memiliki kans untuk memberi
penafsiran atas demokrasi.
Kedua catatan ini cukup penting titik tolak untuk melihat sifat relasi antara Islam
dan demokrasi. Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas yang dapat
dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap ‘satu blok’. Di satu sisi,
dapat dikatakan demokrasi itu compatible dengan Islam, tetapi, di lain sisi, harus
diberi catatan bahwa kecocokan itu ada dalam batas-batas tertentu. Islam tetap
memiliki aspek yang dapat memberi kesan ketidaksesuaian demokrasi.
Islam Vs Demokrasi
Berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat
dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui adanya pola
hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan subordinatif ini
menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan negara menjadi relatif.
Di hadapan negara Islam bersifat mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi
ekspresi nilai-nilai perenial Islam.
Dari pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi
rujukan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun pentingnya sarana
itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti penyelenggaraan
negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan bahwa Islam pun bersifat
mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas
dan kelengkapan (setidak-tidaknya menurut klaim agama) sistem gagasannya.
Dengan klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup
yang lebih menyeluruh daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan
menempatkan demokrasi di hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain,
demokrasi dihadapkan pada teologi Islam.
Relasi antara demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip
tauhid) juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam menjadi otoritas
tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri dengan “jiwa dari
hukum yang diwahyukan”.” Kalau demikian, memang harus diakui bahwa antara
Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai
hasil olah pikir manusia membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh
masyarakat dan dapat saja perubahan ini justru merongrong nilai abadi dalam
Islam.”
Kiranya di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu
ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan gagasan
demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan transendental). Kasus
Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk
berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa
institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki sistem kepercayaan yang dapat
bertentangan dengan gagasan demokrasi.
Demokrasi Islamiah
Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak memiliki arti secara
tepat yang disetujui bersama, dapat dikatakan bahwa demokrasi compatible
dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi Islam
untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna kepada
demokrasi berarti menginklusikan demokrasi dalam Islam atau lebih tepatnya
memberi warna islamiah pada demokrasi. Di sini dapat dipahami bahwa syari’ah
demokratis menjadi deep driving force yang menentukan pola tingkah laku
manusia.
Demokrasi tidak dipandang sebagai satu ‘budaya’ luar (Barat misalnya) tetapi
memang secara internal ada dalam Islam sehingga harus diekstemalisasikan
menurut syari’ah Islam. Dengan demikian, mungkin akan tampak bahwa
demokrasi diberi atribut Islam: demokrasi islamiah.
Dalam hal ini, demokrasi tidak lagi menjadi kutub yang dihadapi Islam sehingga
tidak ada konflik antara keduanya. Kalau ada konflik, hal itu hanya akan
memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan politik
lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam pergumulan Islam dengan kekuatan
militer di Indonesia.” Demokrasi menjadi medium pergulatan interpretasi antara
aspek- aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan politik yang lain. Kedua
kekuatan politik ini memang memiliki hak untuk menginterpretasikan demokrasi
dan dengan interpretasi itulah keduanya dapat bersitegang.
Dengan demikian, letak konflik bukan antara Islam dan demokrasi, melainkan
antara Islam dan kekuatan politik lain. Islam dan demokrasi, biara bagaimanapun,
dalam batas catatan kedua tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa
Islam compatible dengan demokrasi dan sebaliknya. Syari’ah demokratis
memberi legitimasi pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang
islamiah. Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang
menunjukkan ciri-dri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas
dasar achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang
sama/ pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis menunjukkan
keunggulan Islam sebagai kekuatan politik yang luar biasa pada masanya.
Keadaan ini menjadi salah satu gambaran bagaimana Islam mewujudkan
demokrasi dengan ciri-ciri demokratis yang dimilikmya. Aspek historis yang
menjadi tradisi pada masa awal perkembangan Islam itu menunjukkan peluang
adanya Islam demokratis.
Islam Demokratis: Suatu Antisipasi
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dilihat bahwa sebenamya potensi
pertentangan antara Islam dan demokrasi terletak pada bagaimana kedua substansi
itu ditafsirkan. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa menyebut Islam berarti
menunjukkan unsur teologis, sedangkan menyebut demokrasi (sebagai istilah
umum tanpa atribut Barat atau pun Islam) berarti mengacu pada sistem gagasan
‘sekular’ yang tanpa gagasan teologis pun dapat bertahan. Jika salah satu, apalagi
keduanya, substansi itu dibatasi secara kaku, terjadilah kontradiksi antara Islam
dan demokrasi.
Demokrasi memang menimbulkan banyak pertanyaan rilosons untuk menentukan
batasan-batasannya. Kerumitan titik pijak diskusi demokrasi ini memberi kesan
bahwa demokrasi memang tidak dapat diidentikkan dengan atribut-atribut
tertentu. Dalam hal ini, demokrasi memang kiranya tidak perlu diidentikkan
dengan demokrasi liberal Barat (walaupun dalam banyak kesempatan diklaim
bahwa peradaban yang mutakhir dewasa ini adalah demokrasi lib- eral Barat).
Kembali ke awal tulisan ini, sebagai prinsip dasar cukuplah diandaikan bahwa
demokrasi adalah perimbangan politik.
Dalam pelaksanaannya, variasi akan terjadi di mana-mana sehingga memang tidak
dapat ditentukan model negara demokrasi yang akurat. Dengan demikian, Islam
dapat berinteraksi dengan demokrasi. Akan tetapi, interaksi itu pun akan
mengalami stagnasi kalau Islam ditafsirkan secara kaku atau tradisional. Dengan
kata lain, dialog Islam dan demokrasi akan mengalami kebuntuan kalau teologi
Islam sendiri tidak mengalami transformasi. Kebuntuan ini disebabkan bukan oleh
sifat statisnya demokrasi, melainkan oleh kemacetan Islam dalam merumuskan
kembali identitasnya, yang dalam hal ini teologinya.
Masa depan Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh bagaimana teologi Islam
dapat memberi makna pada arus kemajuan. Untuk itulah Islam tidak dapat tidak
mengupayakan suatu teologi transformatif sehingga Islam memberikan ruang
kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi perkembangan zaman . Di sini/
Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan terhadap misalnya sekularisasi,
martabat manusia, solidaritas, kerja sama antar agama mengingat adanya
pluralitas agama.
Termasuk di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka untuk memegang
syari’ah secara wajar. Artinya, sumber-sumber syari’ah itu perlu dilihat secara
proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek historis. Dengan demikian,
dapatlah ditemukan mana vang sungguh-sungguh perenial dan mana yang bersifat
spasial dan temporal. Jadi, dapat dibedakan antara yang mutlak dan relatif
sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang cenderung menimbulkan
ciri ideologis dalam Islam).
Usaha ini akan menghindarkan Islam dari bahaya stagnasi dan arogansi
sebagaimana pemah dialami oleh institusi Gereja. Sebut saja salah satu gagasan
teologisnya yang seringkali dijadikan contoh landasan kemandegan Katolik, yaitu
gagasan extra ecclesiam nullasa us. Aksioma teologis semacam ini memandulkan
Gereja sebelum Konsili Vatikan II secara resmi memberi angin segar keterbukaan.
Gereja lambat laun memperbaharui diri menggumuli hidup bermasyarakat,
berbangsa, bernegara. Keadaan kondusif itu memerlukan suatu reinterpretasi
terhadap gagasan-gagasan dasar teologis maupun gagasan-gagasan dasar
sekularisasi dunia.
Usaha reinterpretasi terhadap Islam atau membuat semacam teologi transformatif
itu juga akan memantapkan kekuatan politis Islam baik dalam tataran teori
maupun dalam implementasinya. Secara teoritis dapatlah disimpulkan bahwa
Islam tetap memandang demokrasi sebagai bagian penting peradaban manusia.
Dalam ungkapan yang lebih lugas bahkan dapat dikatakan Islam dan demokrasi
tidak dapat dipisahkan (meskipun tentu saja dapat dibedakan), sebagaimana
doktrin Islam menunjuk adanya keterkaitan yang begitu kuat antara Islam dan
negara. Karena itu, secara teoritis hubungan Islam dan demokrasi tidak pemah
dicemaskan. Relasi antara Islam dan demokrasi juga lebih bersifat positif.
Setidak-tidaknya, syari’ah demokratis lebih menonjol jika dibandingkan dengan
syari’ah non-demokratis. Hal inilah yang seharusnya dikembangkan oleh
masyarakat Islam secara umum.
Praktik Islam Demokratis
Lain halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi ditilik dari sisi politik
praktis. Kadang kala yang terjadi justru syari’ah yang nondemokratis lebih
menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syari’ah itu tidak sesuai dengan
semangat demokrasi. Kalau sudah pada taraf implementasi, biasanya
pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan. Usaha teoritis untuk secara
murni menghayati Islam dapat saja direduksi sebagai suatu kegiatan politik
belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik
sebenamya menjadi manifestasi Islam sebagai gejala teologis.
Dalam hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi Islam tersebut memang tidak
dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa Islam
di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat
disederhanakan sebagai Islam cultural dan Islam skriptural. Lepas dari polemik
penyederhanaan itu, dapat dikatakan di sini bahwa praktik yang dilakukan oleh
Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Tentu saja/ pertama-tama karena Islam memiliki basis masa yang sangat besar.
Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada
solidaritas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun (karena
sebagai angkatan bersenjata secara teoritis tidak memiliki legitimasi untuk suatu
demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam. Kalau demikian/ tidak dapat
tidak Islam harus menjadi promoter bagi perjuangan demokrasi. Akan tetapi,
peran ini tidak akan efektif selama Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan
politik lainnya. Karena itu, Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.
Dalam praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semua di
kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh kelompok besar
Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu tidak terjadi dalam
percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa di tingkat elitlah Islam
mengalami kemacetan. Elit Islam tidak perlu dibatasi pada pimpinan di
pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini para kaum terpelajar,
pers, maupun tokoh (pemimpin) umat local. Dengan mengandaikan bahwa budaya
politik demokratis (bukan sekedar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan
juga soal institusi) lahir dari atas, kiranya dapatlah ditegaskan perlunya
konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya eUt Islam
ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat dicapai. Pada
kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu dilakukan justru dengan membangun
jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antar agama.
Dialog itu tidak cukup dilakukan dalam tataran teologis (sehingga yang berdialog
hanyalah para teolog) tetapi juga perlu mencakup tingkat politis. Dalam hal ini,
diperlukan semacam koalisi yang dapat menunjang penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia sebagai Negara yang mau tidak mau dikategorikan sebagai negara
Dunia Ketiga. Dengan strategi ini, Islam tetap memiliki peluang untuk
mewujudkan syari’ah demokratis, sambil sendiri mengembangkan Islam yang
demokratis. Dengan demikian, semakin berterimalah bahwa jalan menuju
demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah jalan yang sangat panjang, yang tidak
mungkin ditempuh dengan semangat eksklusif. Karena itu, wanted. Islam inklusif,
Islam demokratis.
D. MENDESKRIPSIKAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM
KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Perilaku budaya demokrasi harus terus dikembangkan dalam kehidupan
demokrasi, baik dalam suprastruktur maupun infrastruktur. Perilaku budaya
demokrasi yang dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara akan menghasilkan demokrasi yang berbudaya dan peradaban. Kondisi
demikian merupakan iklim yang cukup mendukung terwujudnya masyarakat
madani.
Untuk membentuk suatu negara yang demokratis, maka negara tersebut harus
melaksanakan prinsip demokrasi yang didukung oleh warga negara.
Membiasakan diri melaksanakan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari
dapat dilakukan di lingkungan keluarga ,maupun lingkungan sekolah, di
organisasi masyarakat (ormas) dan partai politik (parpol), serta di DPR sebagai
lembaga pembuat Undang-Undang.
1. Di Lingkungan Keluarga
Dalam kehidupan keluarga, budaya demokrasi juga memegang peranan penting.
Setiap anggota keluarga mempunyai kebebasan yang sama. Kebebasan ini
hendaknya dihormati oleh masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu,
tindakan sesuka hati sendiri hendaknya dihindari. Mereka hendaknya saling
bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan dan masalah yang ada. Dengan
demikian, semua anggota keluarga akan merasa betah di rumah.
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan keluarga dapat diwujudkan dalam
bentuk sebagai berikut:
· Kesediaan untuk menerima kehadiran sanak saudara;
· Menghargai pendapat anggota keluarga lainya;
· Senantiasa musyawarah untuk pembagian kerja;
· Terbuka terhadap suatu masalah yang dihadapi bersama.
· Membiasakan diri untuk menempatkan anggota keluarga sesuai dengan
kedudukannya.
· Membiasakan mengatasi dan memecahkan masalah dengan jalan musyawarah
mufakat.
· Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
2. Di Lingkungan Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, sangat diperlukan kerjasama untuk menciptakan
kesejahteraan bersama. Untuk itu, sikap saling menghormati sangat diperlukan.
Jika masing-masing oranghanya menonjolkan kepentingan, urusan, dan kehiduoan
pribadinya, niscaya upaya pencapaian tersebut akan terhambat.
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan masyarakat dapat diwujudkan dalam
bentuk sebagai berikut:
· Bersedia mengakui kesalahan yang telah dibuatnya;
· Kesediaan hidup bersama dengan warga masyarakat tanpa diskriminasi;
· Menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya;
· Menyelesaikan masalah dengan mengutamakan kompromi;
· Tidak terasa benar atau menang sendiri dalam berbicara dengan warga lain.
· Bersama-sama menjaga kedamaian masyarakat.
· Berusaha mengatasi masalah yang timbul dengan pemikiran yang jernih.
· Mengikuti kegiatan rembug desa.
· Mengikuti kegiatan kerja bakti.
· Bersama-sama memberikan usulan demi kemajuan masyarakat.
3. Di Lingkungan Sekolah
Penerapan demokrasi di sekolah hendaknya mengutamakan musyawarah dalam
menyelesaikan persoalan bersama. Hal ini bertujuan, untuk membentuk rasa
solidartas bersama.
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan sekolah dapat diwujudkan dalam
bentuk sebagai berikut:
· Bersedia bergaul dengan teman sekolah tanpa membeda-bedakan cantik
jeleknya seseorang;
· Menerima teman-teman yang berbeda latar belakang budaya, ras dan agama;
· Menghargai pendapat teman meskipun pendapat itu berbeda dengan kita;
· Mengutamakan musyawarah, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan
masalah;
Sikap anti kekerasan.
· Ikut serta dalam kegiatan politik di sekolah seperti pemilihan ketua OSIS,
ketua kelas, maupun kegiatan yang lain yang relevan.
· Berani mengajukan petisi (saran/usul).
· Berani menulis artikel, pendapat, opini di majalah dinding.
· Selalu mengikuti jenis pertemuan yang diselenggarakan OSIS.
· Berani mengadakan kegiatan yang merupakan realisasi dari program OSIS.
4. Di Lingkungan Kehidupan Bernegara
Penerapan Budaya demokrasi di lingkungan kehidupan bernegara dapat
diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut:
· Besedia menerima kesalahan atau kekalahan secara dewasa dan ikhlas;
· Kesediaan para pemimpin untuk senantiasa mendengar dan menghargai
pendapat warganya;
· Memiliki kejujuran dan integritas;
· Memiliki rasa malu dan bertanggung jawab kepada publik;
· Menghargai hak-hak kaum minoritas;
· Menghargai perbedaan yang ada pada rakyat;
· Mengutamakan musyawarah untuk kesepakatan bersama untuk
menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan.
E. MENJELASKAN HAKIKAT DEMOKRASI DAN UNSUR-UNSUR
TEGAKNYA DEMOKRASI
1. Hakikat Demokrasi
Secara etimologis “demokrasi” terdiri atas dua kata “demos” yang berarti rakyat
atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan,
kedaulatan atau pemerintahan. Gabungan dari kedua kata tersebut memiliki arti
suatu keadaan Negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada
di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.
Rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Sedangkan pengertian demokrasi secara istilah atau terminologi adalah seperti
yang di nyatakan oleh para ahli sebagai berikut :
Ø Joseph A. Schmeter mengatakan demokrasi suatu perencanaan yang
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu – individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara
rakyat.
Ø Sidney Hook mengatakan demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana
keputusan – keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
langsung di dasarkan kepada mayoritas yang di berikan secara bebas dari rakyat
dewasa.
Ø Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai
suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas
tindakan – tindakan mereka di wilayah publik oleh warga Negara, yang bertindak
secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama poara wakil mereka yang
telah terpilih.
Ø Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai suatu sistem yang menunjukan
bahwa kebijakan umum di tentukan atas dasar mayoritas oleh wakil – wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan – pemilihan berkala yang di
dasari prinsip kesamaan politik dan di selenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik.
Sedikit berbeda denan para ahli di dunia, pakar politik Indonesia, Affan Gaffar
memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu :
Ø Normatif ( Demokrasi Normatif ) Adalah demokrasi yang secara ideal di
lakukan oleh sebuah Negara.
Ø Empirik ( Demokrasi Empirik ) Adalah demokrasi yang dalam perwujudannya
pada dunia politik praktis.
Terdapat titik temu dari berbagai pengertian di atas yaitu bahwa sebagai landasan
hidup bermasyarakat dan bernegara, demokrasi meletakan rakyat sebagai
komponen penting dalam proses dan praktik – praktik berdemokrasi. Rakyatlah
yang memiliki hak dan kewajiban untuk melibatkan dan untuk tidak melibatkan
diri dalam semua urusan sosial dan politik, termasuk di antaranya menilai
kebijakan Negara.
Dengan demikian Negara yang meganut sistem demokrasi adalah Negara yang di
selenggarakan bedasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Jika di lihat dari sudut
pandang organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang di lakukan
oleh Rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di
tangan rakyat.
Tiga faktor yang merupakan tolak ukur umum dari suatu pemerintahan yang
demokrasi adalah :
Ø Pemerintahan dari rakyat.
Ø Pemerintahan oleh rakyat.
Ø Pemerintahan untuk rakyat.
2. UNSUR –UNSUR BUDAYA DEMOKRASI
1. KEBEBASAN
Kebebasan adalah keleluasan untuk membuat pilihan terhadap beragam pilihan
atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan bersama atas kehendak
sendiri, tanpa tekanan dari pihak manapun. Namun, kebebasan bukan keleluasan
untuk melakukan segala hal tanpa batas. Kebebasan harus digunakan untuk hal-
hal yang bermanfaat bagi masyarakat,dan dengan cara yang tidak melanggar tata
aturan yang sudah disepakati bersama.
Sebagai nilai, kebebasan merupakan pedoman prilaku rakyat berdaulat. Nilai ini
tercermin dalam kemampuan menghargai kebebasan orang lain dan
memanfaatkan kebebasan diri sendiri secara bertanggung jawab. Nilai ini juga
tercermin dalam tanggung jawab pribadi dan kesedian menerima tanggung jawab
bagi dirinya sendiri serta konsekuensi dari tindakan- tindakannya.
2. PERSAMAAN
Tuhan menciptakan setiap manusia sebagai pribadi yang unik. namun, demokrasi
berpandangan bahwa manusia yang berbeda-beda itu hakikatnya sama sederajat.
demokrasi tidak berpendirian bahwa manusia itu semuanya sama, melainkan
berbeda satu sama lain. Tetapi disamping perbedaanya, manusia itu sesungguhnya
sama derajat di depan Allah, sama derajat dalam nilainya dan harga keluhurannya
sebagai manusia (dignity of man as human being) dalam masyarakat,sama
kedudukan di dalam hukum, politik, dan sebagainya. Dalam demokrasi, diakui
kesamaan kesempatan rakyat untuk menggembangkan kepribadian masing-
masing,dan untuk menduduki jabatan pemerintah. Jadi, persamaan itu berarti
tiadanya keistimewaan bagi siapa pun dan pemberian kesempatan yang sama
kepada setiap dan semua orang.
Sebagai nilai, persamaan menjadi pedoman perilaku rakyat berdaulat sehingga
mereka mampu menghargai harkat dan martabat sesamanya, selain itu, memiliki
kesediaan untuk berkompromi dan menerima kenyataan bahwa nilai-nilai dan
prinsip-prinsip kadang kala saling bertentanggan.
3. SOLIDARITAS
Soridaritas atau kesetiakawanan adalah kesediaan untuk memperhatikan
kepentingan dan bekerja sama dengan orang lain. Nilai solidaritas mengikat
manusia yang sama-sama memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan
kepentingan pihak lain. Dalam kehidupan demokratis di kenal ‘agree to disagree’
yang berarti ’setuju untuk tidak setuju’. Ungkapan itu menunjukan adanya prinsip
solidaritas ; sebab, walau berbeda pandangan atau kepentingan, para pihak tetap
sepakat untuk mempertahankan kesatuan/ikatan bersama. Solidaritas ini
merupakan perekat bagi para pendukung demokrasi agar tidak jatuh ke dalam
perpecahan akibat terlalu menggutakan kebebasan pribadi tanpa menggian adanya
persamaan hak maupun semangat kebersamaan.
Sebagai nilai, solidaritas ini dapat menumbuhkan sikap batin dan kehendak untuk
menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi, mengasihi sesame
dan murah hati terhadap sesame warga masyarakat.
4. TOLERANSI
Toleransi adalah sikap atau sifat toleran.Bersikap toleran artinya bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya)yang bertentangan
atau berbeda dengan pendirian sendiri.toleransi dengan semikian menunjukan
tingkat tingkat penerimaan kita terhadap sesuatu yang tidak kita setujui,karena
kebutuhan untuk bertoleransi akan muncul jiks ada penolakan satu pihak terhadap
pihak lain.Didalam konsep toleransi terkandung baik penolakan maupun
kesabaran.
Dalam masyarakat demokratis seseorang berhak memiliki pandangan nya sendiri ,
tetapi,ia akan memenganng teguh pendiriannya itu dengan cara yang toleran
terhadap pandangan orang lain yang berbeda atau balikan bertentangan dengan
pendirian nya.
Toleransi berbeda dengan sikap permisif,yaitu sikap serba membolehkan sesuatu.
Sebaga nilai, toleransi dapat mendorong tumbuh nya sikap toleran terhadap
keanekaragaman, sikap saling percaya dan kesediaan untuk bekerja sama antar
pihak yang berbeda – beda keyakinan, prinsip, pandangan dan kepentingan nya
5. MENGHORMATI KEJUJURAN
Kejujuran adalah keterbukaan untuk menyatakan kebenaran.Kejujuran diperlukan
agar hubungan antar pihak berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan benih –
benih konflik di masa depan.Kejujuran dalam komunikasi antar warga negara
amat diperlukan bagi terbangunnya solidaritas yang kokoh antar sesama
pendukung masyarakat demokratis.
Pemerintah juga harus jujur dan terbuka kepada rakyat . Pemerintah harus terbuka
kepada rakyat tentang bagaimana semua keputusan pemerintah dibuat,dan atas
pertimbangan apa sebuah kebijakan dipilih di antara sejumlah alternatif kebijakan
yang ada . Walaupun demi alasan keamanan dan memang ada hal – hal yang tidak
perlu dinnyatakan kepada rakyat ,namun hal itu harus dianggap sebagai sebuah
pengecualian.Sebab,pada prinsipnnya rakyat mempunyai hak untuk mengetehui
apa yang dikerjakan pemerintah dan bagaimana pemerintah mengerjakan
tugasnya.
Sebagai nilai,penghormatan terhadap kejujuran akan menumbuhkan integritas
diri,sikap disiplin diri ,dan kesetiaan pada aturan – aturan. Sikap – sikap ini
diperlukan untuk memelihara pemerintah demokratis.
6. MENGHORMATI PENALARAN
Penalaran adalah penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan
tertentu,membela tindakan tertentu,dan menuntut hal serupa dari orang
lain.kebiasaan memberi penalaran akan membutuhkan kesadaran bahwa ada
banyak alternatif sumber informasi dan ada banyak kemungkinan cara untuk
mencapai tujuan. Sama seperti kejujuran,penalaran juga amat di perlukan bagi
terbangun nya solidaritas yang kokoh antarsesama pendukung masyarakat
demokratis.
Pemberian penalaran oleh pemerintah terhadap kebijakan yang ditetapkan nya
tidak akan melemahkan wibawa pemerintah. Sebaliknya,jika pemerintah menolak
memberi penalaran terhadap kebijakannya,hal itu justru akan mendorong sikap
pasif atau pemberontakan rakyat.
Sebagai nilai,penghormatan pada penalaran dapat mendorong tumbuhnya
keterbukaan pikiran,termasuk sikap skepatis yang sehat dan pengakuan terhadap
sifat ambiguitas (kemenduaartian) kenyataan sosial dan politik.
7. KEADABAN
Keadaban adalah ketinggian tingkat kecerdasan lahiir – batin atau kebaikan budi
pekerti.Perilaku yang beradab adalah prilaku yang mencerminakan penghormatan
terhadap dan mempertimbangkan kehadiran pihak lain sebagaimana dicerminkan
oleh sopan santun dalam bertindak,termasuk penggunaan bahasa tubuh dan
berbicara yang beradap.
Sebagai nilai,keadaban akan menjadi pedoman prilaku warga negara demokrasi
yang serba santun,mengutamakan musyawarah untuk mencapai
mufakat,menghindari kekerasan seminimal mungkin dalam menyelesaikan
persoalan bersama,dan kepatuhan dalam norma-norma yang berlaku dalam
kehidupan bersama.
Bertolak dari nilai-nilai dasar itulah masyarakat pendukung demokrasi
mengembangkan budaya politiknya.Nilai-nilai dasar itu kemudian dijabarkan
lebih rinci dan oprasional dalam kehidupan demokrasi.Menurut Hendry B Mayo
(Budiardjo; 1980),ada sejumlah nilai operasional yang menjadi landasan
pelaksanaan demokrasi,yaitu:
a.Menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga.dalam kehidupan
masyarakat wajar jika terdapat perselisihan pendapat dan kepentingan.Yang
penting bahwa dalam alam demokrasi perselisihan – perselisihan itu harus di
selesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka agar tercapai
kompromi,konsensus atau mufakat.
b.Menjamin terselanggaranya perubahan masyarakat secara damai.kehidupan
masyarakat selalu berubah; oleh karena itu,pemerintah harus dapat menyesuaikan
kebijakan publik nya dengan perubahan – perubahan itu.Pemerintah itu juga perlu
menjaga agar perubahan – perunbahan dalam masyarakat tetap terkendali .
c.Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.cara – cara pergantian
pimpinan memalalui kekerasan,penunjukan diri sendiri,atau pewarisan tidak
sesuai dengan demokrasi.
d. Membatasi penggunaa Kekerasan seminimal mungkin. Demokrasi
mengutamakan konsensus atau mufakat dalam menyelesaikan perbedaan
kepentingan warga negara. Oleh karena itu, penggunaan kekerasan sejauh
mungkin harus dihindarkan.
e. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat,
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, keanekaragaman kepentingan
dan tingkah laku. Walaupun demikian, keanekaragaman itu perlu dijaga agar tidak
melampaui batas karena demokrasi juga memerlukan kesatuan dan integrasi.
f. Menjamin tegaknya keadilan. Keadilan menjadi penting dalm demokarasi
karena adanya mayoritas dan minoritas dalam pengambilan keputusan secara
demokrasi. Hubungan antar mayoritas dan minoritas harus dijaga sedemikian rupa
agar demokrasi tidak berubah menjadi tirani mayoritas.
Nilai-nilai itulah yang dijadikan pedoman bertindak baik oleh para pejabat
pemerintah dan lembaga negara, maupun juga seluruh warga negara yang
bersangkutan. Dengan demikian, akan terwujud budaya demokratis dalam
kehidupan masyarakat negara yang bersangkutan.
Nilai-nilai itu berlawanan dengan nilai-nilai yang melandasi masyarakat komunis.
Menurut Budiardjo (1980), nilai-nilai yang terkandung dalam komunisme antara
lain adalah :
1) Monisme, yaitu pandangan yang menolak adanya golongan-golongan
keanekaragaman dalam masyarakat .
2) Kekerasan merupakan alat yang sah untuk mencapai tujuan negara, yaitu
terwujudnya masayarakat tanpa kelas,
3) Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme sehingga semua alat
negara (polisi, tentara, kejaksaan, dan sebagainya) digunakan untuk mewujudkan
komunisme.
Tantangan terberat bagi sebuah bangsa yang hendak membangun demokrasi
adalah bagaimana mengembangkan budaya demokrasi dalam kehiduoan bangsa
yang bersangkutan. Dalam pembangunan demokrasi paling tidak ada empat
bidang yang harus mendapat perhatian.
Pertama, lembaga-lembaga negara termasuk birokrasi pemerintah didalamnya.
Lembaga-lembaga negara harus dibangun agar menjadi lembaga pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Cara pengisian jabatan lembaga – lembaga negara harus
demokratis,melalui pemilu atau pemilihan oleh wakil rakyat. Semua pejabat
negara harus mempertanggung jawabkan penggunaan kekuasaannya kepada
rakyat. Aparat birokrasi harus mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Mereka harus menerapkan asas keterbukaan atau transparan,akuntabel / fapat
dipertanggung jawabkan partisipatif. Lebih daripda itu birokrasi pemerintah harus
mampu bekerja secara efektif dan efisien.
Termasuk dalam pembangunan lembaga-lembaga negara ini adalah pembangunan
aparat penegak hukum. Mental dan keahlian aparat penegak hukum harus
dibangun sehingga benar-benar mampu menerapkan prinsip rule of law yang
sangat dibutuhkan dalam negara demokrasi. Jika pada pemeritahan otoriter hukum
dibuat dan ditegakan untuk mengabdi kepentingan pemnguasa, dalam proses
demokratisasi hukum harus dikembalikan ke fungsi dasarnya sebagai pelindung
dan pengayom rakyat, dan sarana mewujudkan dan kedamaian dalam kehidupan
bersama.
Kedua, partai-partai politik. Partai-partai harus dibangun agar benar-benar mampu
berperan sebagai perumus dan pemadu aspirasi rakyat untuk kemudian
memperjuangkan melalui wakil-wakil rakyat di lembaga pemerintah. Partaipolitik
pun harus mampu melakukan kaderisasi sehingga mampu memasok calo-calon
memimpin bangsa yang benar-benar mewujudkan aspirasi rakyat berdaulat.
Ketiga, pelaku ekonomi. Para pelaku ekonomi harus juga mambangun dirinya
agar mampu melakukan kegiatan ekonomi dalam suasana kehidupan demokrasi.
Perilaku ekonomi yang merusak, seperti suap, korupsi, kolusi, dan nepotisme
harus dihindari agar kegiatan ekonomi benar-benar menyejahterakan rakyat
banyak, bukan hanya segelintir konglomerat dan para penguasa negara.
Keempat, civil society / masyarakat madani. Kehidupan masyarakat juga harus
dibangun agar mampu menjadi kekuatan pengontrol terhadap penyelenggara
negara. Jika di masa pemerintaha otoriter rakyat sama seklai takut menghadapi
penguasa, sehingga penguasa tidak terkontrol sama sekali, maka dalam proses
demokratisasi masyarakat jalannya pemerintahan negara kesadarannya untuk
selalu mengawasssi jalannya pemerintahan negara melalui civil soiety.
Mmbangun masyarakat madani merupakan bagian dari upaya melewati masa
transisi menuju demokrasi melalui pengembangan budaya politik demokratis. Jika
budaya demokratis mengakar pada sanubari setiap warga negara, ita-cita akan
adanya civil society yang kuat dan efektif dapat diwujudkan.