Makalah agroforestry

36
I. Pengertian Agroforesty Menurut Arifin Arief bahwa agroforestry atau wanatani atau agrohutani merupakan istilah kolektif untuk beberapa raktek penggunaan lahan, di mana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan atau ternak, baik dalam bentuk tatana spesial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Arifin Arief (2001) juga mengatakan bahwa agroforesty merupakan sistem dari berbagai ilmu atau multidisipliner, seperti agronomi, sosial, kehutanan, dan ekonomi. Rancangan dan pengelolaan agroforesty merupakan sistem berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis. Sistem agroforesty sementara ini ditunjukan kepada pendekatan: 1. Adanya introduksi tanaman semusim ke dalam sistem tanaman kehutanan yang bertujuan untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan mengendalikan erosi, terutama memelihara ternak dan penambahan pendapatan. 2. Adanya kegiatan konservasi lahan berhutan menjadi sistem agroforesty sebagai upaya peningkatan produksi komoditas komersial. Menurut Arifin Arief (2001), peranan pohon yaitu: 1. Peranan protektif 2. Rejuvenatif 3. Produktif Sedangkan menurut Conway (1987) yang dikutip Karwan A. Salikin, Agroforesty merupakan pola tuanam tumpang sari antara tanaman tahunan, khususnya tanaman hutan, dan tanaman semusim, misalnya tanaman pangan atau obat-obatan dimana tanaman tahunan mampu menyimpan banyak air dan menghasilkan humus serasah dedaunan, serta memberikan 1

Transcript of Makalah agroforestry

Page 1: Makalah agroforestry

I. Pengertian Agroforesty

Menurut Arifin Arief bahwa agroforestry atau wanatani atau agrohutani merupakan istilah kolektif untuk beberapa raktek penggunaan lahan, di mana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan atau ternak, baik dalam bentuk tatana spesial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial.

Arifin Arief (2001) juga mengatakan bahwa agroforesty merupakan sistem dari berbagai ilmu atau multidisipliner, seperti agronomi, sosial, kehutanan, dan ekonomi. Rancangan dan pengelolaan agroforesty merupakan sistem berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis. Sistem agroforesty sementara ini ditunjukan kepada pendekatan:

1. Adanya introduksi tanaman semusim ke dalam sistem tanaman kehutanan yang bertujuan untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan mengendalikan erosi, terutama memelihara ternak dan penambahan pendapatan.

2. Adanya kegiatan konservasi lahan berhutan menjadi sistem agroforesty sebagai upaya peningkatan produksi komoditas komersial.

Menurut Arifin Arief (2001), peranan pohon yaitu:

1. Peranan protektif2. Rejuvenatif3. Produktif

Sedangkan menurut Conway (1987) yang dikutip Karwan A. Salikin, Agroforesty merupakan pola tuanam tumpang sari antara tanaman tahunan, khususnya tanaman hutan, dan tanaman semusim, misalnya tanaman pangan atau obat-obatan dimana tanaman tahunan mampu menyimpan banyak air dan menghasilkan humus serasah dedaunan, serta memberikan naungan bagi tanaman semusim, sebaliknya tanaman semusim mampu menahan laju erosi permukaan tanah.

Agroforestry adalah praktek tradisional menanam pohon di lahan pertanian untuk kepentingan keluarga pertanian. Ini telah digunakan selama setidaknya 1300 tahun menurut catatan serbuk sari [Brookfield andPadoch, 1994], meskipun pohon domestica-tion mungkin dimulai jauh lebih awal [Simmonds, 1985]. Agroforestry dibawa dari alam pengetahuan asli ke garis depan penelitian pertanian yang kurang dari dua dekade lalu, dan dipromosikan secara luas sebagai praktek pertanian keberlanjutan-meningkatkan dan menggabungkan atribut terbaik dari kehutanan dan pertanian [Bene et al, 1977.; Steppler dan Nair, 1987]. Tumbuh pohon bersama dengan tanaman dan ternak yang dipostulatkan untuk meningkatkan hasil panen, konservasi tanah dan mendaur ulang nutrisi sambil menghasilkan kayu bakar, pakan ternak, buah dan kayu (P A. SANCHEZ ).

1

Page 2: Makalah agroforestry

Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang telah banyak dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk tersebut juga dijumpai di daerah-daerah rendah (low land) maupun di daerah-daerah pertanian yang lain. Para ahli menyusun definisi dengan formulasi yang berbeda-beda mengenai “agroforestry” ini, sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. (smno.psdl.ppsub)

King dan Chandler (1978) mendefinisikan “agroforestry” sebagai suatu “sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dengan tanaman hutan dan /atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada suatu unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat “. (smno.psdl.ppsub)

Agroforestry sudah cukup lama dilaksanakan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah berupa “teknologi usahatani” yang dilaksanakan dengan menanam pohon bersama-sama dengan tanaman pertanian dan hewan ternak di atas sebidang lahan yang sama. Sebagai suatu sistem penggunaan lahan, agroforestry menyiratkan pengertian bahwa pemanfaatan lahan harus dilakukan seoptimal mungkin dengan mengusahakan pelestariannya. Tekanan pada konservasi lingkungan fisik tersebut sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep agroforestry, yang dirintis oleh tim dari Canadian InternationaI Development Centre. Dalam surveinya di beberapa negara berkembang, tim tersebut menemukan praktek-praktek pengelolaan lahan yang salah, yang mengarah pada perusakan lingkungan. Dalam laporannya, mereka merekomendasikan perlunya pencegahan perusakan lingkungan secara sungguh-sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan , papan dan sandang bagi manusia.

2

Page 3: Makalah agroforestry

II. Tujuan Agroforestry

Tujuan akhir program agroforestri adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat (Anonim 1992).

Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya. Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:

1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis (monokultur).

3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur

4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.

3

Page 4: Makalah agroforestry

Gambar 2. Pola tanam agroforestri di Hanjuang. BKPH Lengkong, KPH Sukabumi dengan tanaman pokok damar/agathis, Luas 25 Ha.

4

Page 5: Makalah agroforestry

III. Mengapa Agroforest Perlu Mendapat Perhatian

Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam kerangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar-besaran. Berikut ini diuraikan secara ringkas manfaat penerapan sistem agroforestri bagi beberapa pihak/sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4) kehutanan.

3.1 Sudut Pandang Pertanian

Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satusatunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya.

Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan, daripada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada. Agroforest pada umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.

3.2 Sudut Pandang Petani

Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi

5

Page 6: Makalah agroforestry

dan fungsi lain yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani. Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain–lain. Selain itu, agroforest juga dapat membantu menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan (Gambar 1), cengkeh, pala, dan lain-lain.

Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali. Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.

Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja, hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.

Gambar 3. Durian: Salah satu hasil tambahan (Foto: De Foresta)

Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari hutan alam menjadi langka.

6

Page 7: Makalah agroforestry

Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder, agroforest menyediakan kebutuhan sehari-hari petani. Agroforest juga berperan sebagai "kebun dapur" yang memasok bahan makanan pelengkap (sayuran, buah, rempah, bumbu). Melalui keaneka-ragaman tumbuhan, agroforest dapat menggantikan peran hutan alam dalam menyediakan hasil-hasil yang akhir-akhir ini semakin langka dan mahal seperti kayu bahan bangunan, rotan, bahan atap, tanaman obat, dan binatang buruan.

3.3 Sudut Pandang Peladang

Kebutuhan tenaga kerja rendah

Agroforest merupakan model peralihan dari perladangan berpindah ke pertanian menetapyang berhasil, murah, menguntungkan, dan lestari. Selain manfaat-manfaat langsung yang dihasilkan agroforest kepada petani kecil, agroforest juga menarik bagi peladang berpindah karena dua hal. Meskipun menurut standar konvensional produktivitas agroforest dianggap rendah, bila ditinjau dari sisi alokasi tenaga kerja yang dibutuhkan agroforest lebih menguntungkan daripada sistem pertanian monokultur. Penilaian bahwa produktivitas agroforest yang rendah juga disebabkan kesalahpahaman terhadap sistem yang dikembangkan petani, karena umumnya hanya tanaman utama yang diperhitungkan sementara hasil-hasil dan fungsi ekonomi lain diabaikan. Pembuatan dan pengelolaan agroforest hanya membutuhkan nilai investasi dan alokasi tenaga kerja yang kecil. Hal ini sangat penting terutama untuk daerah-daerah yang ketersediaan tenaga kerja dan uang tunai jauh lebih terbatas dari pada ketersediaan lahan, seperti yang umum terjadi di wilayah-wilayah perladangan berpindah di daerah beriklim tropika basah.

Tidak memerlukan teknik canggih

Selain manfaat ekonomi, perlu juga dijelaskan beberapa ciri penting lain yang membantu pemahaman terhadap hubungan positif antara peladang berpindah dan agroforest. Pembentukan agroforest berhubungan langsung dengan kegiatan perladangan berpindah. Bentuk ladang berpindah mengalami perkembangan dengan adanya penanaman pohon yang oleh penduduk setempat dikenal bernilai ekonomi tinggi. Tindakan yang sangat sederhana ini dapat dilakukan oleh peladang berpindah di semua daerah tropika basah. Agroforest ini dapat dikelola tanpa teknologi yang canggih tetapi bertumpu sepenuhnya pada pengetahuan tradisional peladang mengenai lingkungan hutan mereka. Hasilnya, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara sistem agroforest yang lebih menetap dengan sistem peladangan berpindah yang biasanya melibatkan pemberaan dan membuka lahan pertanian baru di tempat lain. Ladang-ladang yang diberakan untuk sementara waktu, selanjutnya ditanami kembali dengan pepohonan untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kedudukan komersil tanaman pohon dan nilai ekonomisnya sebagai modal dan harta warisan dapat mencegah terjadinya pembukaan ladang-ladang baru, dengan demikian lahan tersebut menjadi terbebas dari ancaman perladangan berpindah lainnya.

3.4 Sudut Pandang Kehutanan

7

Page 8: Makalah agroforestry

3.4.1 Mekanisme sederhana untuk mengelola keanekaragaman

Seperti halnya pada semua lahan pertanian, sebagian terbesar agroforest tercipta melalui tindakan penebangan dan pembakaran hutan. Perbedaan agroforest dengan budidaya pertanian pada umunya terletak pada tindakan yang dilakukan pada tumbuhan pioner yang berasal dari hutan. Pada budidaya pertanian, keberadaan tumbuhan perintis alami dianggap sebagai gulma yang mengancam produksi tanaman pokok. Pada sistem agroforest, petani tidak melakukan pembabatan hutan kembali, karena mereka menggunakan ladang sebagai lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan. Proses pembentukan agroforest seperti ini masih dapat dijumpai di Sumatra antara lain di Pesisir Krui (Propinsi Lampung) untuk agroforest damar, di Jambi untuk agroforest karet. Oleh karena pada sistem agroforest tidak melibatkan penyiangan intensif, maka kembalinya spesies-spesies pionir dapat mempertahankan sebagian spesies-spesies asli hutan.

3.4.2 Pengembangan hasil hutan non kayu

Sejak tahun 1960-an bentuk pengelolaan hutan yang dikembangkan terpaku pada pengusahaan kayu gelondongan. Kayu gelondongan merupakan unsur dominan hutan yang relatif sulit diperbaharui. Eksploitasinya mengakibatkan degradasi drastis seluruh ekosistem hutan. Hal ini memunculkan suatu usulan agar pihak-pihak kehutanan dalam arti luas mengalihkan perhatiannya pada hasil hutan non kayu (disebut juga hasil hutan minor) misalnya damar, karet remah dan lateks, buah-buahan, biji-bijian, kayu-kayu harum, zat pewarna, pestisida alam, dan bahan kimia untuk industri obat. Ilustrasi yang disajikan pada Gambar 7 adalah pemanenan hasil hutan non-kayu berupa getah damar selain produksi kayu yang cukup menarik petani di daerah Krui, Lampung Barat. Pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumberdaya yang dapat mendukung konservasi hutan karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu.

Gambar 7. Pemanenen getah damar (Michon dan de Foresta, 2000).

Agroforest di Indonesia, yang bertumpu pada hasil hutan non kayu, merupakan salah satu alternatif menarik terhadap domestikasi monokultur yang lazim dikerjakan. Pengelolaan agroforest tidak ekslusif pada satu sumber daya yang terpilih saja, tetapi memungkinkan kehadiran sumber daya lain. Selain itu agroforest merupakan strategi

8

Page 9: Makalah agroforestry

masyarakat sekitar hutan untuk memiliki kembali sumber daya hutan yang pernah hilang atau terlarang bagi mereka.

Agroforest memungkinkan adanya pelestarian wewenang dan tanggung jawab masyarakat setempat atas seluruh sumber daya hutan. Hal ini merupakan sifat utama agroforest, namun sifat tersebut mungkin menjadi kendala utama pengembangan sistem agroforest oleh badan-badan pembangunan resmi terutama kalangan kehutanan, yang merasa khawatir akan kehilangan kewenangan menguasai sumber daya yang selama ini dianggap sebagai domain ekslusif mereka.

3.4.3 Model Alternatif Produksi Kayu

Agroforest berbasis pepohonan khusus penghasil kayu di Indonesia masih belum ada. Namun karena berciri pembangunan kembali hutan, agroforest merupakan sumber pasokan kayu berharga yang sangat potensial yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat.

Sejauh ini kayu-kayu yang dihasilkan dalam agroforest masih diabaikan dalam perdagangan nasional. Pohon yang ditanam di agroforest (buah-buahan, karet dll) sering pula memasok kayu bermutu tinggi dalam jumlah besar, sehingga ada pasokan kayu gergajian dan kayu kupas yang selalu siap digunakan. Di daerah Krui (Lampung), pohon damar yang termasuk golongan meranti sangat mendominasi kebun damar, dengan kepadatan yang beragam.

Dalam setiap hektar agroforest terdapat antara 150 sampai 250 pohon yang dapat dimanfaatkan. Kayu-kayu itu biasanya dianggap sebagai produk sampingan yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bukan karena teknologi yang rendah, tetapi karena belum dikenali pasar.

Kalangan kehutanan mengelompokkan kayu berdasarkan kelas keawetan dan kekuatan. Klasifikasi asli tersebut banyak mengalami revisi, karena semakin langkanya hutan yang mengandung jenis pohon yang menguntungkan. Karena kelas I sudah dieksploitasi berlebihan dan menjadi langka, maka kelas II menjadi kelas I dan seterusnya. Pohon meranti misalnya, belakangan ini merupakan jenis kayu kelas utama di Asia Tenggara, padahal pada tahun 1930-an hampir tidak memiliki nilai komersil. Contoh yang lebih mutakhir adalah kayu karet, hingga tahun 1970-an masih dianggap tidak berharga, tetapi dewasa ini menduduki tempat penting dalam pasar kayu Asia.

Sejalan dengan perkembangan teknologi transformasi dan pemanfaatan kayu, ciri-ciri kayu bahan baku semakin tidak penting. Untuk memenuhi permintaan besar di tingkat regional, beberapa tahun belakangan ini berkembang budidaya pohon kayu, terutama surian, bayur, dan musang dalam agroforest di sekeliling danau Maninjau, Sumatera Barat. Di daerah Krui, Lampung, terjadi pemaduan sungkai di kebun damar. Jenis pohon perintis ini yang sebelumnya tidak bernilai, baru sejak 1990-an mulai ditanam di kebun. Dengan meningkatnya permintaan kayu sungkai untuk bangunan pada tingkat nasional, pohon sungkai kini ditanam dan dirawat dengan baik oleh petani.

9

Page 10: Makalah agroforestry

Kajian-kajian kuantitatif lebih lanjut tentu saja masih dibutuhkan untuk menentukan potensi pepohonan dan pengelolaan yang optimal dalam agroforest, dengan tetap memperhitungkan hasil-hasil lain. Dampak sampingan penjualan kayu perlu juga dikaji dari segi sosial, ekonomi dan ekologi. Dengan memenuhi persyaratan ketersediaan pasokan yang besar dan lestari, agroforest merupakan salah satu sumberdaya kayu tropika di masa depan.

Dengan mudah sumber daya ini dapat diperkaya dengan jenis-jenis pohon bernilai tinggi, sebab kantung-kantung ekologi agroforest yang beragam merupakan lingkungan ideal bagi pohon berharga yang membutuhkan kondisi yang mirip dengan hutan alam. Selain itu tidak seperti dugaan umum, sasaran utama agroforest di Indonesia bukan cuma untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tetapi untuk menghasilkan uang. Dengan orientasi pasar, agroforest mampu dengan cepat memadukan pola budidaya baru, asalkan hasilnya menguntungkan pemiliknya.

Mungkinkah agroforest penghasil kayu dikembangkan?

Pengembangan agroforestri komplek sebagai sumber kayu tropika bernilai tinggi tampaknya tidak akan memenuhi hambatan yang berarti, jika dilakukan reorientasi pasar yang memberikan peluang bagi kayu asal agroforest untuk memasuki pasar nasional. Keputusan reorientasi terkait erat dengan kondisi nyata pemanfaatan hutan alam di tiap negara tropika, dan karenanya tergantung pada tujuan/kemauan politik. Perwujudan kemauan politik semacam ini diharapkan terjadi secepatnya, karena sangat dibutuhkan dalam rangka menghadapi (a) produksi kayu tropika (kayu pertukangan dan kayu bulat) pada masa transisi dari sistim penebangan hutan alam menuju sistim budidaya menetap untuk wilayah pedesaan, (b) pelestarian alam yang akan muncul akibat masuknya kayu hasil agroforest ke pasar.

Menyertai usaha pencegahan perusakan hutan dalam jangka panjang, integrasi pengelolaan pepohonan penghasil kayu ke dalam agroforest akan mengurangi tekanan terhadap hilangnya/perusakan hutan alam yang masih tersisa. Selain meringankan kesulitan dalam mendapatkan kayu bangunan akibat penurunan sumber kayu dari hutan alam, perluasan pangsa pasar ke jenis kayu asal agroforest tersebut akan memacu terjadinya peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi agroforest ini dan adanya integrasi pengelolaan kayu komersil diharapkan dapat merangsang perluasan areal agroforest, yang akan mendorong pelestarian lahan dan keanekaragaman hayati di luar hutan alam.

3.4.4 Struktur Agroforest Dan Pelestarian Sumber Daya Hutan

Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan ketika hutan alam sudah hampir lenyap

10

Page 11: Makalah agroforestry

sekalipun, warisan hutan masih mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut.

Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan dirawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi ancaman langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan dikuras tanpa kendali. Berbeda dengan kebun agroforest, bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumberdayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber daya hutan di dalam agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam.

Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan. Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam kepunahan. Pada gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih?

Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam

Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam, maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya dengan memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah tropika merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etno-botani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan oleh para pengelola hutan.

11

Page 12: Makalah agroforestry

IV. Kelebihan Agroforesty

4.1 Kelebihan-kelebihan Agroforesty menurut sumber link http://www1.montpellier.inra.agroforestryfr/safe/english/.php

Agroforesty menyediakan pilihan penggunaan lahan yang berbeda, dibandingkan dengan garapan dan sistem kehutanan tradisional. Dapat membuat penggunaan komplementaritas antara pohon-pohon dan tanaman, sehingga sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara lebih efektif. Hal ini merupakam adalah kegiatan yang menjaga lingkungan dan memiliki manfaat lanskap yang jelas . Versi modern efisiensi agroforestry telah dikembangkan, yang telah disesuaikan dengan berbagai kendala dengan mekanisasi. Lahan agroforesty tetap produktif bagi para petani dan menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan, yang tidak terjadi ketika lahan pertanian secara eksklusif dihutankan kembali. Agroforestry juga memungkinkan untuk diversifikasi pertanian dan membuat sumber daya lingkungan dapat lebih maksimal untuk dimanfaatkan. Agroforesty memiliki kelebihan yang menarik dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu:

A. Dari perspektif nilai kesuburan tanahDiversifikasi kegiatan petani garapan, dengan memanfaatkan warisan

tanaman-tanaman berharga yang telah ada, tanpa mengganggu pendapatan dari plot lahan yang telah ditanam. Perlindungan tanaman tumpang sari dan hewan oleh pohon-pohon, yang memiliki efek penahan angin, memberikan perlindungan dari matahari, dari hujan, dari angin, menahan tanah, dan merangsang mikrofauna tanah dan mikroflora.

Pemulihan beberapa nutrisi yang telah tercuci atau habis oleh pepohonan, pengayaan bahan organik tanah oleh kompos dari pohon dan oleh akar pohon yang telah mati. Kemungkinan remunerasi bagi petani garapan untuk menjaga pohon-pohon yang telah ada di hutan.

Sebuah cara alternatif untuk reboisasi lahan yang subur. Komponen pohon dapat dibalik, plot tetap " bersih " (bebas dari scrub) dan mudah untuk destump ketika pohon-pohon yang ditebang bersih (tunggul berada di garis dan sedikit jumlahnya). Dalam plot silvopastoral, unit pakan dapat tersedia pada tanggal yang berbeda dibandingkan dengan plot dipotong penuh, memperpanjang masa ternak untuk merumput .

B. Dari perspektif kehutananPercepatan pertumbuhan diameter pohon dengan jarak lebar (+80% lebih dari 6

tahun di sebagian besar perkebunan percobaan). Pengurangan biaya modal perkebunan, dengan mengurangi jumlah pohon yang ditanam tanpa masa depan komersial. Penurunan besar dalam biaya pemeliharaan perkebunan, karena kehadiran tanaman tumbapng sari.

12

Page 13: Makalah agroforestry

Peningkatan kualitas kayu yang diproduksi (cincin biasa lebar, cocok untuk kebutuhan industri), karena pohon-pohon tidak mengalami siklus kompetisi dan penjarangan.Menjamin tindak lanjut dan perawatan pohon akibat adanya aktifitas tumpangsari subur. Secara khusus, perlindungan terhadap resiko kebakaran di daerah rentan, dengan pastoralism atau dengan tumpang sari seperti pohon anggur atau pada musim dingin enanam tanaman sereal.

Perkebunan agroforestry pada lahan pertanian memungkinkan pengembangan sumber daya kayu berkualitas yang dapat saling melengkapi, ketimbang dengan produk dari hutan tradisional yang secara sengaja dieksploitasi. Hal ini sangat penting untuk menghasilkan kayu yang dapat menggantikan kayu gergajian tropis, yang akan segera menurun dalam ketersediaan dan kualitas. Daerah yang bersangkutan akan tetap kecil dalam hal nilai absolut mereka, tetapi produksi kayu dari mereka bisa menjadi masukan penting bagi jaringan pasokan kayu Eropa. Jenis pohon yang sedikit digunakan di bidang kehutanan, tetapi bernilai tinggi, bisa ditanam dalam sistem agroforesty: pohon layanan, pohon pir, Sorbs umum, pohon-pohon kenari, pohon cherry liar, pohon maple, pohon tulip, paulownias, dan lain-lain.

D. Dari perspektif lingkunganPeningkatan pengembangan sumber daya alam: total kayu dan produksi

garapan dari plot agroforestry lebih besar dari produksi yang terpisah diperoleh pola tanam yang terpisah garapan - hutan di daerah yang sama dari tanah. Efek ini hasil dari stimulasi saling melengkapi antara pohon-pohon dan tanaman di plot agroforestry. Dengan demikian , gulma , yang secara spontan hadir di perkebunan kehutanan muda diganti dengan tanaman dipanen atau padang rumput, pemeliharaan lebih murah dan lingkungan sumber daya yang digunakan lebih baik.

Kontrol yang lebih baik dari daerah dibudidayakan tanah: dengan menggantikan plot pertanian, plot agroforestry memberikan kontribusi untuk mengurangi areal yang ditanami tanah. Intensifikasi pemanfaatan sumber daya lingkungan dengan sistem agroforesty tidak menghasilkan produk tanaman yang lebih.

Penciptaan pemandangan asli yang menarik, terbuka dan mendukung kegiatan rekreasi. Plot agroforestry memiliki potensi lansekap benar-benar inovatif, dan akan meningkatkan citra publik dari petani untuk masyarakat. Ini akan menjadi terutama terjadi di daerah yang sangat jarang berhutan, di mana plot dikembangkan dengan menanam tanah yang subur, dan di daerah yang sangat berhutan lebat, di mana plot dikembangkan oleh penipisan hutan yang ada.

Menangkal efek rumah kaca: konstitusi sistem yang efektif untuk penyerapan karbon , dengan menggabungkan pemeliharaan persediaan bahan organik dalam tanah (kasus terutama dengan padang rumput ), dan superimposisi dari memperbaiki jaring berhutan lapisan.

Perlindungan tanah dan air, khususnya di daerah-daerah sensitif. Peningkatan keanekaragaman hayati, khususnya oleh kelimpahan "efek tepi". Hal

13

Page 14: Makalah agroforestry

ini khususnya, memungkinkan peningkatan sinergis, dengan mendukung habitat permainan. Perlindungan terpadu tanaman oleh asosiasi mereka dengan pohon-pohon, dipilih untuk merangsang hyperparasite (parasit parasit) populasi tanaman, adalah cara ke depan yang menjanjikan.

Karakteristik yang menguntungkan adalah sebagai koheren dengan berbagai tujuan dari hukum membimbing pertanian dan kehutanan, seperti mereka dengan prinsip-prinsip mengarahkan Kebijakan Pertanian Bersama.

4.2 Produktivitas Sistem Agroforestry menurut smno.psdl.ppsub dalam Pengelolaan Suberdaya Hutan Berbasis Pertanian.

Indikator “produktivitas” suatu ekosistem pertanian biasanya mampu mencerminkan berbagai bentuk output yang dapat diukur, kuantitatif, dan bermakna penting, misalnya hasil tanaman. Berbagai bentuk produk dari sistem agroforestry dikonsumsi langsung, tidak memasuki sistem “pasar”, demikian juga beberapa bentuk hasil agroforestry bersifat “non-moneter”, dan bersifat sebagai “jasa”.

a. Land Equivalent Ratio

Dua macam indikator produktivitas yang lazim dibunakan adalah Lend Equivalent Ratio (LER) dan Harvest Index (HI). Konsep LER semula digunakan untuk menganalisis keragaan relatif suatu komponen dari kombinasi pertanaman dibandingkan dengan pertanaman tunggalnya (IRRI, 1974). LER merupakan jumlah dari hasil relatif spesies-spesies yang menjadi komponen sistem, yaitu:

m

LER = yi / yii

I =1

dimana yi adalah hasil tanaman ke “I” dari suatu unit luasan intercropping ; yii adalah hasil dari tanaman “I” yang ditanam secara monokultur pada area yang sama; dan yi/yii hasil relatif dari tanaman ke “I”.

Dalam sistem agroforestry yang sederhana, menurut Rao dan Coe (1992), LER dapat diabstraksikan sbb:

LER = Ci / Cs + Ti / Ts

dimana Ci adalah hasil tanaman sela intercropping, Cs adalah hasil tanaman (sela) yang ditanam monokulktur, Ti adalah hasil tegakan dalam sistem intercropping, dan Ts adalah hasil tegakan pohon yang ditanam monokultur. Kalau nilai LER = 1, berarti tidak ada tambahan manfaat produksi dari pertanaman campuran; kalau LER < 1, berarti ada kerugian ; sedangkan kalau LER > 1, berarti ada keuntungan tambahan dari sitem pertanaman campuran.

14

Page 15: Makalah agroforestry

Jika LER diukur pada kondisi kepadatan populasi yang sama dengan populasi pada sistem monokultur dan campuran, maka LER sama dengan Relative Yield Total (RYT). Akan tetapi pada kenyataannya dalam berbagai sistem agroforestry, populasi tanaman sela tidak sama dengan populasi monokultur, sehingga nilai LER beragam sesuai dengan nilai kepadatan populasi ini. Konsep LER mensyaratkan bahwa pertanaman tunggal yang digunakan dalam perhitungan ditanam pada kepadatan optimum. Kalau keragaan tanaman sela pada suatu kepadatan populasi harus dibandingkan dengan keragaan pada kepadatan optimumnya, maka perlu digunakan “keragaan tanaman sela” yang diukur pada kepadatan optimumnya. Biasanya LER (RYT) kepadatan konstan digunakan kalau tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kombinasi tanaman yang menguntungkan (Nair, 1979).

Kesulitan lainnya dalam menerapkan LER untuk sistem agroforestry ialah bahwa LER tidak mencerminkan keberlanjutan sistem. LER biasanya merupakan jumlah hasil-hasil relatif tanaman komponen selama satu musim tanam, tidak mencerminkan produktivitas jangka panjang dari sistem. Satu cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah mengamati perubahan LER dari tahun ke tahun selama periode waktu yang lama dan kemudian menggunakan informasi ini sebagai landasan untuk menyusun indeks keberlanjutan. Pengukuran LER juga dianggap kurang relavan kalau tanaman sela semusim dikombinasikan dengan tanaman tahunan pada saat masih muda. Petani produsen tidak berminat untuk memaksimumkan dua komoditi secara simultan (memaksimumkan LER), tetapi lebih berminat untuk memaksimumkan hasil tanaman sela dengan tidak mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman tahunan secara siginifikan.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengkaji produktivitas adalah Income Equivalent Ratio (IER) dengan mempertimbangkan income masing-masing tanaman komponen sistem agroforestry.

b. Indeks Panen (Harvest Index, HI)

HI lazimnya digunakan untuk menyatakan fraksi hasil ekonomis dari suatu tanaman terhadap total produktivitasnya:

HI = (Produktivitas ekonomis) / (Produktivitas Biologis)

Indikator Hi ini sulit diterapkan dalam sistem agroforestry karena beberapa alasan, yaitu:

1. Dalam perhitungan HI hanya digunakan bahan kering bagian tanaman di atas tanah, padahal produksi bahan kering bagian tanaman di bawah tanah (perakaran tanaman) sangat penting , terutama dalam kaitannya dengan dinamika bahan organik tanah.

2. Bahan kering tanaman lazimnya tidak mencerminkan nilai ekonomi produk.3. Perhitungan HI biasanya dilakukan atas dasar data satu musim pertumbuhan.4. Perhitungan HI belum mampu mencerminkan faktor sustainabilitas.

15

Page 16: Makalah agroforestry

4.3 Kelemahan dan Tantangan Agroforest menurut Kurniatun Hairiah, Widianto dan Sunaryo

4.3.1 Kelemahan Agroforestry Kesulitan visual

Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan bentang hamparan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta resmi diklasifikasikansebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh karena itu biasanya disatukan kedalam kelompok lahan yang menjadi target rehabilitasi lahan dan hutan.

Kesulitan mengukur produktivitasAhli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman

dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial. Mereka juga biasanya tidak memiliki latarbelakang yang cukup untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.

Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian.Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan

masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani akan adanya interaksi antar tanaman.

2.3.2 Ancaman KeberlanjutanDe Foresta et al. (2000) mengemukakan bahwa keberlanjutan dari agroforest ini

menghadapi beberapa ancaman antara lain sebagai berikut: Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan

Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian sederhana dan keaslian hutan alam masih sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usahatani yang produktif. Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)

Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan sosial ekonomi, dan perkembangan pasar.

16

Page 17: Makalah agroforestry

Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang, pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru. Kepadatan penduduk

Pengembangan agroforest membutuhkan ketersediaan luasan lahan, karenanya agroforest sulit berkembang di daerah-daerah yang sangat padat penduduknya. Ada kecenderungan bahwa peningkatan penduduk menyebabkan konversi lahan agroforest ke bentuk penggunaan lain yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek. Penguasaan lahan

Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistim pengelolaan yang sekarang sudah mereka bangun. Ketiadaan data akurat

Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya, belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur (cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).

17

Page 18: Makalah agroforestry

V. Pengelolaan Lahan

Agroforestry atau WANATANI atau AGROHUTANI merupakan suatu istilah kolektif untuk beberapa praktek penggunan lahan dimana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan/atau ternak, baik dalam bentuk tatanan spasial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Berbagai macam kombinasi pohon, tanaman semusim, pasture, dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforesty. Dalam kebanyakan sistem agroforesty ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan produktif, tetapi kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat beragam di antara sistem-sistem yang berbeda. Oleh karena itu agroforesty tidak boleh dipandang sebagai suatu "obat mujarap" bagi kebanyakan problem penggunaan lahan, tetapi arahan dan praktek-praktek khusus harus dikembangkan untuk sistem-sistem agroforesty secara terpisah.

Apabila dapat dikelola dengan tepat, sistem agroforesty secara biofisik, ekonomis dan budaya cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi, geologi, hidrologi, dan situasi tanah. Di daerah-daerah yang sumberdaya lahannya relatif langka, tumbuhan pohon dan perennial berkayu lainnya dapat dibudidayakan di lahan pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya, tanaman pohon dapat dimasukkan ke dalam sistem pertanaman semusim pada lembah dataran rendah yang subur yang sangat cocok bagi pertanian intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk menjadi pagar hidup guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan (misalnya di India). Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)" melintang lereng di antara padi gogo dan jagung pada lahan-lahan curam untuk menyediakan mulsa, kompos, kayubakar, dan timber kecil-kecil dan untuk mereduksi kehilangan tanah dengan jalan perkembangan terras secara bertahap dari hasil penangkapan sedimen pada barisan pepohonan. Sistem seperti ini yelah menjadi sistem yang sustainable di Cebu, Filipina.

Teladan-teladan lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman semusim adalah berbagai tipe sistem pekarangan multistory dimana berbagai perennial dan kadangkala sedikit tanaman semusim bersama dengan pohon. Di daerah-daerah dimana densitas populasi penduduk masih relatif rendah dan lahan relatif banyak, maka sistem agroforesty temporer dengan suatu rotasi pohon dan tanaman semusim dapat dilakukan.

Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan bagi pengembangan agroforesty. Pendekatan pertama terdiri atas introduksi pohon ke dalam sistem tanaman semusim atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama untuk memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak sesuai. Pendekatan yang ke dua terdiri atas kegiatan konversi lahan berhutan menjadi sistem agroforesty sebagai upaya untuk meningkatkan produksi komoditi komersial atau produk-produk subsisten.

18

Page 19: Makalah agroforestry

Pengadopsian sistem agroforesty sebagai suatu tipe penggunaan lahan biasanya akan diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna lahan, berdasarkan atas kelayakan sosial dan strategi minimisasi resiko atau perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian sistem agroforesty harus dirancang secara khusus berdasarkan kondisi daerah setempat, dengan memperhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara lokal, kebutuhan masyarakat akan pa- ngan, kayu bakar, timber, dan produk lainnya; serta preferensi masyarakat setempat. Di masa lalu, pemerintah jarang yang berminat pada agroforesty, kecuali dalam sistem taungya yang dihubungkan dengan awal fase perkembangan pekebunan-perkebunan besar.

Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata kendala biofisik yang berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rejim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencana land-use. Secara ideal, faktor terakhir ini harus dipertimbangkan secara seksama dalam setiap sistem agroforesty. Introduksi atau retensi pohon dalam sistem pertanian semusim tidak boleh dipandang sebagai suatu "safety net" yang general untuk melawan degradasi sumberdaya lahan. Individu pohon atau kelompok pohon tidak dapat diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan seperti ekosistem hutan yang masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum, 1984). Kunci bagi kebaikan kualitas air dan konservasi tanah tidak terletak pada pohon itu sendiri, melainkan pada praktek pengelolan yang dilakukan dengan baik.

5.1 Seleksi dan pengembangan lokasi

Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka hanya dimungkinkan untuk melakukan genera lisasi secara umum tentang kesesuaian lahannya. Kalau sistem agroforestry dikembangkan dengan jalan introduksi ternak, tanaman semusim, atau tanaman pohon ke dalam daerah yang berhutan, maka arahan untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang Pilih" harus dipertimbangkan untuk mengidenti-fikasikan daerah yang harus dikonversi dan yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk konversi lahan hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan menjadi pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui relevansinya bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi secara umum perkembangan agroforestry akan dimulai bukan dengan mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon naungan dalam sistem pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao).

Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada lahan yang kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%, agroforestry umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam hubungannya dengan rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan pengolahan tanah secara teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara pohon-pohonan, maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%. Pepohonan

19

Page 20: Makalah agroforestry

dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur.

Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus berhasil secara ekonomis maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas tanah yang memadai. Kelompok kerja internasional mempertimbangkan bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun sistem agroforestrydapat diimplementasikan pada loaksi yang telah mengalami degradasi sehingga solum tanahnya dangkal, manfaat terutama akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan perbaikan produksi tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari tanaman pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek.

5.2 Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim

Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem agroforestry adalah pemilihan spesies pohon dan tanaman semusim. Wiersum (1981) mengemukakan lima faktor utama yang harus diperhatikan dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer (1985) mengemukakan 23 kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan spesies pohon. Preferensi tanaman pangan lokal dan kondisi agroklimat umumnya akan menentukan jenis tanaman pangan yang ditanam, sedang kan pemilihan jenis tanaman pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam semua kasus ternyata kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya juga sangat penting.

Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas, sustainabilitas, efektivitas konser vasi tanah, dan daya menejerial. Arahan khusus akan meliputi hal-hal berikut ini:

1. Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk maksimisasi stabilisasi tanah

2. Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan menyediakan pupuk hijau

3. Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari konservasi tanah dan produksi

4. Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak 20 cm di dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter atau lebih di antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting, maka pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan terras- terras dalam periode tiga tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di sebelah atasnya. Jarak yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid, dan laju perkembangan terras akan lebih lambat di daerah iklim kering.

5. Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang lebih lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin diperlukan untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering. Jarak tanam sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin

20

Page 21: Makalah agroforestry

akan sesuai, tergantung pada apakah kayubakar merupakan produk yang diutamakan.

6. Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau jenis-jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan spesies pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar lagi.

5.3 Pengelolaan sistem Wanatani-Agroforestry

Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik yang bersifat negatif meliputi:

1. Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus dipertahankan sepanjang tahun di area tanaman semusim di antara pohon pohon atau barisan pohon untuk melindungi permukaan tanah daripukulan air hujan, pemadatan, limpasan permukaan, dan erosi. Tanaman pohon sendiri tidak akan menyediakan perlindungan ini secara otomatis; pada kenyataannya bahkan mereka dapat meningkatkan efek erosi percik pada tanah yang kosong di bawah tajuk pohon.

2. Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk hijau dan mulsa untuk menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta memperbaiki laju infiltrasi tanah

3. Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi pada produk-produk yang dapat dijual saja. Residu tanaman dan pemangkasan harus digunakan sebagai mulsa atau pupuk hijau.

4. Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah kehilangan unsur hara melalui drainase dan untuk memelihara da memperbaiki struktur tanah. Misalkan, hindarilah pengrusakan akar pohon pada saat kultivasi tanaman semusim dan minimalkan pemadatan topsoil akibat lalulintas manusia dan ternak. Penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang dan mulsa akan memperbaiki kandungan hara dan air pada topsoil, dan memacu perkembangan akar.

5. Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi kehilangan hara.

6. Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan penggunaan pestisida harus diminimumkan untuk menghindari kepunahan musuh-musuh alami yang bermanfaat. Penggunaan bahan agrokimia dan pengelolaan bahan-bahan limbah secara hati-hati.

7. Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka ketersediaan hijauan pakan di musim kemarau harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis ternak dan stocking-rate, kecuali kalau tersedia sumber pakan alternatif. Overgrazing dan pemadatan tanah yang berlebihan harus dihindarkan.

21

Page 22: Makalah agroforestry

8. Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus dihindarkan , terutama tanaman timber.

9. Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan meng gunakan barier vegetatif atau penghalang lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak langsung menuruni lereng cukup panjang atau langsung ke saluran air.

5.4 Pemilihan Spesies dan Disain Sistem

Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan spesies pohon adalah (Wiersum, 1981):

a) Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempatb) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang

dipertimbangkan adalah: Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu,hijauan Waktu tenggang antara saat tanam dan panen Umur dan keteraturan produksi manfaat Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap distribusi

tenaga kerja Popularitas lokal dengan spesies Ketersediaan pasar produk.c) Kesesuaian spesies dalam campuran tanamand) Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi tanah,

siklus hara)e) Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan penyimpanan

produk).

Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk agroforestry meliputi:

1. Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan hasil per hektar lebih banyak,

2. Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara, 3. Bersifat multiguna, 4. Produk pohon ada pasarnya, 5. Ketersediaan bahan bibit yang memadai, 6. Mempunyai sifat self-pruning, 7. Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu lebar tajuk harus

relatif kecil dibandingkan dengan diameter), 8. Toleran terhadap naungan dari sisi, 9. Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari ke permukaan

tanah, 10. Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman semusim (terutama

dalam hubungannya dengan semi dan gugur daun), 11. Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi,

22

Page 23: Makalah agroforestry

12. Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir lapisan tanah yang berbeda dengan tanaman pertanian yang mendampinginya,

13. Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya interaksi alelopati dan interaksi positif)

Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut ini diperlukan untuk persyaratan tambahan, yaitu

1. Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya, spesies sekunder dengan batang lurus, kuat, kayu berbutir halus, dan karakteristik mesinnya bagus,

2. pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi, regenerasinya mudah dengan anakan atau bibit kecambah, cepat mengering, mudah dipanen dan diangkut,

3. Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan terhadap korosi oleh paku dan kawat,

4. Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis, dan harus digunakan kombinasi pohon yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan gizi,

5. Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu tumbuh cepat, memfiksasi nitrogen, dan mempunyai kemampuan belukar yang hebat

Kendala menurut Arifin Arief

1. Dari segi ekonomi masih jauh dari harapan karena adanya kendala penentuan lahan, jenis, dan tanaman.

2. Seringkali gagal panen karena erosi lahan dan hasil panen yang tidak sebanding dengan pembiayaan.

3. Kendala biofisik yang berhubungan dengan kapasitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rezim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencanan land-use.

VI. Penutup

Demikian makalah ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi saya dan orang banyak. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini saya mohon maaf dan saya terima kritikan dan saran. Terima kasih. Wassalam.

23

Page 24: Makalah agroforestry

Daftar Pustaka

Arifin Arief, 2001, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Jakarta

Karwan A. Salikin, 2003, Sistem Pertanian Berkelanjutan, Kanisius, Jakarta

Coen Reijntjes, Bertus Haverkort dan Waters-Bayer, 1999, Pertanian Masa Depan, Kanisius, Jakarta.

http://www1.montpellier.inra. agroforestry fr/safe/english/.phpsmno.psdl.ppsub, Pengelolaan Suberdaya Hutan Berbasis Pertanian.

De Foresta H, Michon G and Kusworo A, 2000. Complex Agroforests. Lecture note 1. ICRAF SE Asia.

Hairiah K, Widianto, Utami SR, Suprayogo D, Sunaryo, Sitompul SM, Lusiana B, Mulia R,van Noordwijk M dan Cardisch G, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi: Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor.

24