Majalah ETNONESIA edisi 2
description
Transcript of Majalah ETNONESIA edisi 2
Ancaman Siring Pinang Oleh A.R. Williams
Wanita-wani ta muda mangkal di sepanjang jalan di Taiwan menjual satu suguhan ber-bahaya yag makin digemari, buah pinanga. Pembeli mengolesi buah pinang dengan kapur mati, membungkusnya dengan daun sirih (yang member sebutan ramuan ini sirih pinang) memasukannya ke mulut, lalu mengunyahnya. Dan bisa menyebabkan ketagihan. Seperti sejumput tembakau, kunyahan ini memberikan pengunyah rang-sangan, meredakan rasa lapar, dan mengusrir capek. Tapi juga jorok: ia merangsang kelenjar ludah dan menyebabkan ludah berwarna merah terang. Secara tradisional disuguhkan sebagai tanda keramah-tamahan, sirih pinang memiliki berbagai pen-nyajian sesuai wilayahnya. Suku-suku di dataran tinggi Thailand dan Kamboja misal-nya, menambahkan cengkeh dan kayu manis. Di beberapa wilayah di India, kapulaga, selai buah, atau parutan kelapa serta gula bisa ditambahkan. Seringkali tembakau juga disertakan sebagai perangsang tambahan. Penelitian barumenunjukkan bahwa mengunyah sirih pinang berlebihan dapat menyebabkan kanker mulut dan menaikan risiko terkena sakit jantung, diabetes, asma, dan gagal hati. Selama bertahun-tahun, tembakau dituding sebagai penyebabnya. Kini jelas pinang juga karsinogen, memba-hayakan kesehatan beberapa juta pengunyah di seluruh Asia Selatan, Pasifik Selatn, dan komunitas imigran di seluruh dunia.
Di Ujung Semawa Oleh Ahmad Zaenudin
Siang telah menerjang, tak terasa perjalanan ±2 jam
perjalanan dari Jakarta telah dilalui. Bandara Internasional
Lombok menjadi awal dalam melihat indahnya bentangan
Indonesia yang tak terekam dari Jakarta. Setelah itu, per-
jalanan laut masih harus ditempuh untuk mencapai titik
yang saya kehendaki, tepatnya di Sumbawa Nusa Tenggara
Barat.
Sore, itulah waktu yang yag akhirnya mempertemukan saya
dengan bentangan alam indah Sumbawa. Terlihat, bapak tua
yang melakukan aktifitas dikala usia pension. Jelas bukan pen-
sion dari pekerjaan formalnya, melainkan pekerjaannya men-
jadi seorang petani di desa Kakian, Moyo Hilir Sumbawa. Ia
lebih asyik menatap laut yang berpadu dengan gunung di be-
lakang yang membuat pemandangan begitu indah.
Sumbawa memang indah. Itulah gambaran pertama saya
melangkahkan kaki disini. Tak bisa dipungkiri memang, saat
saya berputar 3600 terlihat bentangan alam antara paduan
bukit, gunung serta hamparan lautan yang luas. Tentu, pen-
duduk asli daerah ini akan sangat dimanjagan dengan peman-
dangan yang sedemikian indahnya.
Semawa atau jauh lebih dikenal dengan Sumbawa adalah
nama suku asli yang mendiami daerah Sumbawa Nusa Teng-
gara Barat. dalam kesehariannya, mereka menggunakan baha-
sa Semawa dengan berbagai dialek yang menyertainya seperti
Semawa Taliwang, Semawa Baturotok, Batulante, Ropan SUri,
Selesek, Lebah, Dodo, Jeluar, Tanganam, Geranta, dan Jeruk-
weh.
Orang Semawa bermata pencaharian dengan bercocok
tanam, namun mereka juga biasa menangkap ikan yang me-
mang tersedia melimpah dengan hantaran laut yang luas. Tak
jarang mereka pun melakukan perburuan binatang-binatang
buruan sebagai kegiatan mereka. Hal ini bisa terjadi lantaran
alam yang masih asri masih bisa dirasakan di wilayah Sumba-
wa. Savana-savana yang luas di wilayah NTB juga melakukan
faktor pendukung dari alam yang membuat mereka terbiasa
berburu.
Sistem kekerabatan yang terjalin dalam keluarga Semawa
adalah Patrilineal. Garis keturunan ditarik dari ayah yang bi-
asanya dalam keluarga inti terbatas membentuk suatau kelom-
pok untuk berdiam diri di suatu tempat membentuk kesatuan
virilokal. Juga, sebagian yang lain ada pula yang membentuk
neolokal. Dalam keluarga Semawa masa lalu, dikenal istilah
Uma Panggu, yakni sebuah rumah panggung yang besar yang
menjadi tempat tinggal keluarga inti yang besar, tentu dengan
turunan-turunannya hingga rumah panggung besar tersebut
penuh oleh kehadiran keturunan tersebut. Keluarga Semawa
masa lalu adalah keluarga yang menarik garis keturunan han-
ya dengan tiga tingkatan. Artinya, keluarga yang diluar tiga
tingkatan tersebut bisa dinikahi oleh keluarganya sendiri dan
membentuk suatu keluarga baru.
Suatu desa Semawa, mengenal adanya beberapa istilah
kepeminpinan dalam suatu desa, yakni kepasa kampong, loka
karang, malar, mandur, penghulu, modon, ketib, marbot, rura.
Empat yang saya sebutkan diawal adalah mereka-mereka yang
secara administrative men jalankan suatu desa, sementara si-
sanya yang saya sebutkan kemudian adalah mereka yang men-
jalankan hukum di suatu desa termasuk hukum perkawinan
antara pemuda dan gadis Semawa.
Orang Semawa sebagian besar beragama Islam, tak meng-
herankan jika pusat orientasi suatu desa di Sumbawa adalah
sebuah masjid yang disebut Masiget. Namun, mereka pun ma-
sih sebagian kecil yang percaya pada kepercayaan leluhur dan
mempercayai dukun sebagai penolong mereka. Dukun yang
biasa mereka Sanro bertugas sebagai layaknya seorang Kyai
dalam ajaran Islam. Selan itu, dalam suatu masyarkat Semawa,
dikenal pula startifikasi sosial masyarakatnya yakni golongan
bangsawan yang bergelar Datu atau Dea, golongan merdeka
yang disebut Tan Sanak, serta golongan hamba sahaya yang
dipanggila Lindin.
Semawa dan Sumbawa merupakan suatu perpaduan
yang unik dan indah. Bentang alam yang memanjakan mata
ditambah budaya yang unik dari masyarakatnya membuat
Sumbawa layak menjadi pesaing berat Bali. Kita nantikan.
Demi Ucok, Demi Batak! Oleh Mahendra Laksono
“Kawin, lupa mimpi, and live boringly ever after”
Itulah inti dari Glo tokoh utama dalam film Demi Ucok. Ia
merupakan seorang pembuat film yag ingin mengejar mimp-
inya membuat film yang berkualitas. Namun apa dikata, sang
ibu Mak Gondut ingin sesegera mungkin melihat anaknya
tersebut menikah. Inilah putaran kisah dalam film Demi Ucok,
film yang mengangkat budaya Batak sebagai latar kehidupan
mereka. Kehidupan yang tentunya menyentuh logika-logika
kita saat berinteraksi dengan Batak.
Konflik, lebih tepatnya antara ibu dan akan menjadi men-
arik lantara Batak yang sering diinterpretasi masyarakat umum
di Indonesia diterjemahkan dengan cara yang berbeda. Hu-
moris. Tentunya bukan sekedar humor yang garing, melainkan
humor yang menyentuh logika-logika kita sebagai masyarakat
non- Batak melihat masyarakat Batak. Dialog-dialog menggu-
nakan bahasa Batak, lagu-lagu Batak dan berbagai pelengkap
lainnya hadir disini untuk mengisi kekosongan jatidiri yang
sering absen dalam kebanyakan film Indonesia lainnya.
Syarak Mak Gondut sang ibunda Glo yang mengingink-
an anaknya menikah dengan pria Batak menjadi layak untuk
dicermati. Dalam kebudayaan Batak, mereka tentunya lebih
ikhlas jika menikah dengan sesamanya (tentunya buka den-
gan satu marga). Hal ini bisa jadi pengingat bagaimana non-
Batak jika hendak atau berjodoh dengan orang Batak ada is-
tilah membeli marga. Inilah lika-liku Glo dalam film tersebut.
pertentangan demi pertentangan yang dihadirkan segar tersaji
dalam film ini.
Satu hal yang patut diapresiasi dalam film ini selain penca-
paian mereka merain penghargaan (Film terbaik versi Tempo
2012, Mak Gondut menjadi peran pembantu terbaik FFI, dan
masuk 7 nominasi dalam FFI) adalah film ini begitu hidup. Art-
inya ia begitu dekat dengan keseharian kita dan uniknya kita
tertawa saat menonton film ini. Sungguh, banyak penafsiran
apakah film ini mencerminkan kita? Ataukah kita memang
layak untuk ditertawakan?