luqathah
Transcript of luqathah
BAB I
PENDAHULUAN
Luqathah secara bahasa bisa disebutkan dengan 4 sebutan menurut Ibnu Malik,
seorang ahli ilmu nahwu (grammar bahasa arab).
Pertama : (لقاطة) Luqaathah, yaitu dengan memanjangkan huruf qaaf.
Kedua, (لقطة) Luqthah, yaitu dengan mendhammahkan huruf laam dan
mensukunkan huruf qaaf.
Ketiga, (لقطة) Luqathah, sebagaimana yang akan kita pakai dalam kuliah ini.
Keempat, [لقط] Laqath.
Secara bahasa adalah sesuatu yang ditemukan. Sebagaimana disebutkan di
dalam Al-Quran :
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh
dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. (QS. Al-Qashash : 8)
Sedangkan secara syar'i di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj disebutkan
adalah : segala benda yang ditemukan di tempat yang tidak dikuasai seseorang,
baik berbentuk harta mapun barang, yang hilang dari pemiliknya, karena lengah
atau terjatuh, dimana barang itu bukan milik kafir harbi, sedangkan orang yang
menemukannya tidak mengenal siapa pemiliknya".
Dengan definisi di atas, maka bila suatu benda ditemukan di dalam area
dimiliki oleh seseorang, bukan termasuk luqathah.
Bisa dikatakan bahwa Luqathah adalah harta yang hilang dari pemiliknya
dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari
1
pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan / sikap yang harus
dilakukan.
Secara lugas dalam hadis diterangkan bahwa barang temuan adalah milik
seseorang yang terpisah dari orang tersebut. Barang temuan dalam bahasa Arab
(Bahasa Fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah
sesuatu yang ditemikan atau didapat.
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa al-Luqathah ialah nama untuk
barang yang ditemukan.
a. Sedangkan menurut istilah (etimologi) yang dimaksud dengan al-Luqathah
sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama sebagai berikut:
Muhamad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa al-Luqathah ialah:
“Sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang
menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.
b. Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah berpendapat, bahwa
yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah:
“Sesuatu dari harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan di
daerah harby, tidak terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang
menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut”.
c. Al-Imam Taqiy al-Din Abii Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-Luqathah
menurut syara’ ialah:
Pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau
dimilikinya setelah diumumkan”
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2
A. Hukum Pengambilan Barang Temuan
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada
kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengmbilan barang temuan
antara lain sebagai berikut:
a. Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila
orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-
benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan
berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil
oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
b. Sunnat, sunnat mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang
tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda
temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun
barang –barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia.
c. Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian kemudian
masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memelira benda-benda tersebut.
d. Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia
mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul
bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang tersebut.
B. Rukun-rukun Al-Luqathah
Rukun-rukun dalam al-Luqathah ada dua, yaitu orang yang mengambil
(yang menemukan) dan benda-benda atau barang-barang yang diambil.
C. Macam-macam benda yang diperoleh
Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia,
macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut:
1. Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam
waktu yang lama.
2. Benda-benda yang tidak tahan lama, yaitu benda-benda yang tidak dapat
disimpan dalam waktu yang lama.
3
3. Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan
dan lain-lain.
4. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak.
D. Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan
jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya
dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya
mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus)
mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak,
maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin
Ka’ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus
Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini),
kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia,
ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya
datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama
setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak
menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk
ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya,
dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka
serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan.
Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia berkata,
“Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun atau satu tahun.”
Dari ‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa
mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau
dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula)
menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang
lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah
yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
Ketentuan dalam hadis memberikan arahan kepada penemu barang/
sesuatu yang bukan miliknya untuk melakukan hal berikut:
4
1. Ketika menemukan sesuatu yanng bukan milik sendiri, maka penemu,
untuk sementara wajib memelihara dan menyimpannya, sampai batas
waktu tertentu atau sampai pemiliknya datang untuk mengambilnya.
2. Penemu wajib memberitahukan atau mengumumkan bahwa ada barang
yang ditemukannya. Caranya: yang pertama adalah mengenali atau
mengamati tanda-tanda yang membedakan dengan barang lain dan
mengamati jenis dan ukurannya. Setelah itu, dengan mengumumkan
kemasan (tempat) dan pengikatnya. Dengan hanya memberi tahu kemasan
atau tempatnya saja, orang yang mengaku pemilik dapat dimintai
keterangannya mengenai barangnya yang hilang. Hal ini mungkin untuk
menjaga jatuhnya barang tersebut kepada yang bukan pemiliknya.
3. Apabila pemiliknya datang dan ia dapat menyebutkan tanda atau ciri-ciri
barang tersebut dengan pas dan sesuai dengan yang ditemukan, maka
penemu harus menyerahkannya kepada orang tersebut.
4. Jika pemiliknya tidakk datang juga, waktu maksimal untuk
mengumumkannya selama satu tahun. Setelah satu tahun tidak ada yang
mengaku sebagai pemilik, maka penemu dapat memanfaatkannya untuk
dirinya atau orang lain.
E. Dhallah Berupa Kambing dan Unta
Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka
hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka
hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah
ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka
tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya
(tersesat).
Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang Arab badwi
datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya.
Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah
bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu)
seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah
ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia
5
bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang temuan berupa kambing?”
Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia
bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang temua berupa unta?” Maka raut wajah
Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta?
Ada bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan
memakan rerumputan.”
F. Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang Yang Sepele
Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh
dimakan, dan barang siapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan
erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan,
lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu
termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.”
G. (Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak
boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak
hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah
melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah
lainnya; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi
seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku;
dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh
dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari
binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya
kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.”
H. Al-Ja’alah
6
Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga menurut
pendapatnya, tentu akan berupaya (berusaha) menemukan kembali benda-
bendanya yan hilang, salah satu cara mencari benda-benda yang hilang dan boleh
menurut para ulama adalah dengan pengumuman, baik melalui media cetak
maupun elektronik, pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan
(diberikan imbalan) bagi penemunya sebagai perangsang atau daya tarik.
Arti ja’alah menurut logat, ialah nama bagi pemberian kepada seseorang
karena mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Arti ja’alah menurut istilah, ialah pemberian upah tertentu bagi orang
yang mengembalikan barang yang hilang.
Al-Ja’alah dapat diartikan juga sebagai sesuatu yang mesti diberikan
sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun
jaminan itu tidak dinyatakan, al-Ja’alah dapat diartikan pula sebagai upah mencari
benda-benda yang hilang.
Syarat-syarat al-Ja’alah
Secara esensial pada al-Ja’alah disyaratkan supaya nyata (jelas), maka
syarat-syarat jelasnya al-Ja’alah adalah sebagai berikut:
a. Kalimat atau lafazh yang menunjukkan izin pekerjaan, yang merupakan
syarat atau tuntutan dengan tukaran tertentu. Bila seseorang mengerjakan
perbuatan, tetapi tanpa seizin orang yang menyuruh (yang punya barang),
maka baginya tidak ada (tidak memperoleh) suatu apapun, jika barang itu
ditemukan.
b. Keadaan al-Ja’alah itu hendaklah ditentukan, uang atau barang, sebelum
seseorang mengerjakan pekerjaan itu.
BAB III
7
PEMBAHASAN
A. Yang Harus Dilakukan Bila Menemukan Barang Hilang
1. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang itu
bilang barang itu diyakini akan aman bila ditangan anda untuk nantinya
diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka sebaiknya
tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk dimiliki
sendiri, maka hukumnya haram.
2. Al-Malikiyah mengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka
berkhianat atas hata oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk
menyimpannya.
3. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah,
maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada
pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari
kehilangan.
4. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama
adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya.
B. Kewajiban Bagi Orang Yang Menemukan Barang Hilang
Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk
mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku
selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW ,”Umumkanlah
selama masa waktu setahun”.
Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW dilakukan di pintu-pintu masjid
dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang seperti pasar, tempat resepsi dan
sebagainya.
8
C. Bila Tidak Ada Yang Mengakui
Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang
mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bolehlah
bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha mengumumkan
barang temua itu selama setahun lamanya dan tidak ada seorangpun yang
mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin ataupun kaya.
Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra. dan
Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan
hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan
saja.
Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti
kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Bila
harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya.
Namun para ulama juga mengatakan bila barang tersebut adala barang
yang tidak bernilai, maka tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya, apalagi
bila untuk mengembalikan atau mengumumkannya membutuhkan biaya yang jauh
lebih mahal.
Misalnya yang hilang adalah peniti, jarum atau sikat gigi. Barang-barang
itu secara umum termasuk kategori haqir, yaitu sesuatu yang tidak ada nilainya,
asal tidak terbuat dari emas murni 24 karat dan beratnya mencapai 1/2 Kg.
D. Hikmah dalam Luqathah (Barang Temuan)
Hikmah dalam barang temuan merujuk kepada pahala besar dari Allah di
hari yang mana harta dan anak tidak memberikan manfaat apa pun, kecuali
orangyang datang kepada Allah dengan hati yang baik yang didapatkan oleh orang
yang memungut barang temuan itu. Ditambah lagi hal itu akan mengingatkan
9
sesc-orang untuk bersyukur atas perbuatan baik dan memegang teguh amanah
sampai pada batas waktu yang ditentukan oleh syara.
Macam luqathah ada dua, luqathah yang berupa harta yang terjatuh dan
tidak diketahui pemiliknya, dan luqathah yang berupa hewan seperti onta, sapi,
dan kambing. Apabila seseorang memungut atau mengambil luqathah, maka yang
wajib dilakukannya adalah menyiarkan atau mengumumkannya. Sebagaimana
yang diriwayatkan dari Rasulullah bahwa ketika ditanya mengenai luqathah,
beliau bersabda, "Siarkanlah selama satu tahun."
Batas waktu penyiaran berbeda dengan berbedanya barang yang
ditemukan. Apabila suatu barang nilainya mencapai sepuluh dirham lcbih, maka
penyiarannya selama satu tahun. Apabila suatu barang nilainya kurang dari itu,
maka disiarkan beberapa hari sebagaimana layaknya.
Hasan bin Ziad meriwayatkan dari Abu Hanifah r.a. bahwa ia berkata,
"Penyiaran adalab berdasarkan jumlah atau risiko dari harta. Apabila seratus dan
sepadannya, maka menyiarkannya selama satu tahun. Apabila sepuluh atau
sepadannya, maka menyiarkannya selama satu bulan. Apabila tiga dan
sepadannya, maka menyiarkannya selama seminggu atau sepuluh hari. Apabila
satu dirham atau sepadannya, maka menyiarkannya selama satu hari. Apabila
berupa buah-buahan atau barang pecah-belah, maka hendaknya
menyedekahkannya. Dan, adanya penyempur-naan masa penyiaran apabila barang
tersebut tidak mudah rusak. Namun, apabila takut akan terjadinya kerusakan,
maka masa penyiaran tidak usah disempurnakan dan barang tersebut
disedekabkan saja."
Apabila luqathah atau barang yang ditemukan itu berupa hewan dan
memerlukan nafkah untuk merawatnya, maka apabila penafkahan terhadap
binatang tersebut atas perintah seorang hakim, maka hal itu dianggap sebagai
utang bagi pemiliknya. Apabila penafkahan tersebut bukan atas perintah dari
hakim, maka hal itu menjadi amalan suka rela. Dan, yang lebih baik adalah
melimpahkan masalah tersebut kepada hakim.
10
Apabila luqathah tersebut berupa hewan yang dapat diman-faatkan dengan
jalan menyewakannya, maka diperintahkan agar menyewakannya dan hasil
sewanya dijadikan sebagai biaya penafkahan. Namun, apabila luqathah tersebut
berupa hewan yang tidak dapat dimanfaatkan dengan jalan disewakan, dan
khawatir apabila memberikan nafkah kepadanya akan memerlukan biaya yang
sebanding dengan harganya, maka agar menjual-nya kemudian menyimpan
uangnya.
Dan, bagi orang yang memungut agar menjaga luqathah dengan
memberikan nafkah sebagaimana seorang penjual {luqathah) menjaga harganya.
Apabila terdapat halangan atas pem-berian nafkah, maka hakim supaya
menjualnya dan mcngganti biaya penafkahan. Demikianlah, dan mengenai
permasalahan hukum selebihnya telah disebutkan dalam cabang fiqih, maka
lihatlah kembali jika menginginkan tambahan.
11
BAB IV
PENUTUP
Hamba yang shalih jika menemukan barang milik orang lain, maka dia akan
berpegang kepada hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan masalah ini. Di
antaranya adalah:
1. Mengumumkan, Jika Menemukan Anak yang Hilang
Sebab, jika hal ini tidak dilakukan, bisa-bisa orang yang menemukan
anak kecil itu kemudian mengklaim bahwa anak itu adalah budaknya.
2. Tidak Menggunakan Barang Temuan, Sebelum Memenuhi Syarat-Syarat
Pengumuman Barang Tersebut dan Kepemilikannya
Imam Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, bahwa
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa melindungi (menyimpan) barang temuan, maka dia adalah
sesat, selama dia tidak mengenalkan (mengumumkan) barang tersebut”.
Disebutkan pula dalam riwayat yang sama, bahwa pernah ada
seseorang yang datang menghadap Nabi SAW untuk menanyakan kepada
Beliau perihal barang temuan (luqathah). Beliau kemudian bersabda,
"Umumkan wadah dan isinya dan juga tali yang dipakai untuk mengikatnya.
Umumkan selama satu tahun. Jika kemudian pemiliknya datang kepadamu
(untuk memintanya), maka berikanlah kepadanya. Namun jika pemiliknya
tidak juga datang, maka silakan saja engkau ambil barang tersebut."
3. Tidak Menyembunyikan Barang Temuan dari Pemiliknya, Setelah Dia
Mengetahui
Kedua hal di atas adalah haram. Sebab, memanfaatkan barang temuan
sebelum diumumkan kepada khalayak umum dan menyembunyikannya dari
pemiliknya setelah tahu siapa pemiliknya, adalah bagian dari tindakan makan
harta manusia dengan cara yang batil.
12
4. Tidak Memerah Susu Ternak, Tanpa Izin Pemiliknya180
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar 2$£, bahwa Rasulullah
bersabda,
"Janganlah salah seorang di antara kalian memerah binatang ternak orang
lain, kecuali dengan izin darinya. Adakah salah seorang di antara kalian
ingin jika kamar makannya didatangi, kemudian lemari makannya
dipecahkan (dibuka), lalu makanannya diambil? Sesungguhnya ambing
(kelenjar berbentuk kantong yang berputing dua atau lebih-ed) susu pada
binatang ternak mereka itu menyimpan makanan untuk mereka. Maka,
janganlah salah seorang di antara kalian memerah susu binatang ternak
orang lain tanpa izin dari pemiliknya."
13
DAFTAR PUSTAKA
Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi. Indahnya Syariat Islam. 2006. Jakarta : Gema Insani.
Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Muamalat. 2009. Jakarta : Grasindo.
Salman Nashif Ad-Dahduh. Buku Pintar Muslim : Panduan Kesempurnaan dan Kesuksesan Hidup. 2004. Jakarta : Gramedia.
http://tempatilmu.blogspot.com/2010/10/pengertian-luqathah.html
14