Lukman Hadi Dharma-libre
description
Transcript of Lukman Hadi Dharma-libre
-
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014 73
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 -Telp (0341)567886
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kota Probolinggo merupakan salah satu kota di Indonesia yang pernah menjadi daerah pemerintahan kolonial
Belanda. Kolonial Belanda merupakan pihak yang berperan penting pada terbentuknya identitas pusat Kota
Probolinggo. Tata ruang pusat kota Probolinggo saat ini merupakan peninggalan pemerintahan kolonial
Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pusat Kota Probolinggo pada masa kolonial,
perubahan fisik yang terjadi pada kawasan bersejarah di pusat Kota Probolinggo serta memberikan arahan
pelestarian kawasan bersejarah di pusat Kota Probolinggo. Karakteristik suatu kawasan dicerminkan melalui
guna lahan, gaya bangunan serta letak geografis kawasan tersebut. Seiring berjalannya waktu, karakteristik
perkotaan mengalami perubahan. Perubahan tersebut akan mengancam kearifan lokal suatu kawasan,
sehingga perlu dilakukan tindakan pelestarian agar tidak menghilangkan peninggalan sejarah. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik pusat Kota
Probolinggo, analisis figure ground untuk mengetahui kepadatan masa bangunan, dan analisis sinkronik-
diakronik untuk mengetahui perubahan simultan kawasan. Hasil penelitian ini adalah adanya pelestarian citra
kawasan pada elemen substansi, hirarki, dan landmark yang mendukung dalam penguatan karakter suatu
kawasan.
Kata Kunci : pelestarian, kawasan bersejarah
ABSTRACT
Probolinggo is one of the cities in Indonesia was the Dutch colonial administration. Dutch Colonial is an
important role on forming the urban Probolinggo identity. Probolinggo downtown spatial was heritage of Dutch
colonial administration. The purpose of this study is to identify the characteristics of urban Probolinggo on the
colonial era, the physical changes that occur in the urban Probolinggo, well as provide environmental
conservation. An area characteristics reflected through land use, sytle building, and geographical location of the
district. Over time, characteristic of city have changes. That changes will threaten local wisdom of district, so
that need preservation to prevent heritage lost. The method used in this study is a descriptive analysis method
to determine the characteristics of urban Probolinggo, figure ground analysis to know the density of the
building mass, and synchronic-diachronic analysis to assess simultan changes in the region. The results of this
study is the presence of environmental conservation on substantive elements, hierarchy, and landmark which
support strengthening the character of district.
Keywords: preservation, historical district
PENDAHULUAN
Kota Probolinggo mulai dikenal setelah
pada kependudukan kolonial Belanda pada
tahun 1743. Letak Probolinggo yang strategis
menjadi daya tarik Belanda untuk menduduki
Probolinggi. Terletak diantara pesisir dan
dataran tinggi yang subur, Probolinggo memiliki
sumber daya alam yang melimpah. Pada masa
kolonial, pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu
pemerintahan kolonial dan pemerintahan
pribumi. Pemerintahan kolonial berpusat di
rumah karesidenan, sedangkan pemerintahan
pribumi berada di pendopo kabupaten di selatan
alun-alun.
Pada masa kolonial pusat Kota
Probolinggo mengalami empat tahap
(Handinoto, 2010). Pada tahap-tahap inilah
terbentuk 5 elemen citra kawasan yang
mencerminkan identitas kawasan yaitu
boundary, pattern, substance, hierarchy, dan
landmarks (Clerici, 1997). Pusat Kota
Probolinggo pada masa kolonial merupakan
pusat pemerintahan dan permukiman orang
Belanda dan Eropa. Hal tersebut dapat dilihat
dengan banyak terdapat bangunan bergaya
-
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
74 Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
Eropa yang terdapat pada pusat Kota
Probolinggo. Pada masa sekarang berdasarkan
RTRW Kota Probolinggo tahun 2009-2028 pusat
Kota probolinggo merupakan kawasan yang
memiliki fungsi pemerintahan, perkantoran,
perdagangan dan jasa. Terjadi banyak
perubahan karakteristik fisik pada kawasan
pusat Kota Probolinggo seperti perubahan fungsi
bangunan menjadi perkantoran dan perdangan
jasa sehingga memacu perubahan fungsi
kawasan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik Kota Probolinggo pada masa
pemerintahan kolonial Belanda; mengetahui
perubahan fisik yang terjadi pada kawasan kuno
bersejarah akibat perkembangan kawasan pusat
Kota Probolinggo; dan memberikan arahan
pelestarian kawasan kuno bersejarah di pusat
Kota Probolinggo.
METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan sumber data primer
(observasi lapangan, dokumentasi, dan
wawancara pihak terkait) dan sekunder (peta,
foto, dokumen pemerintahan terkait sejarah
kawasan dan literatur mengenai gaya bangunan
kuno).
Populasi bangunan kuno berjumlah 41
bangunan yang berdasarkan undang-undang no.
11tahun 2010 tentang cagar budaya yaitu:
- Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
dan
- Mewakili masa gaya paling singkat berusia
50 tahun.
Untuk menentukan sampel masyarakat
menggunakan rumus Slovin sehingga dapat
diketahui 99 responden non pemilik bangunan
kuno dan ditambah dengan 41 responden
pemilik bangunan kuno (Gambar 1).
Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif, evaluatif
dan development. Metode deskriptif digunakan
untuk mengetahui karakteristik kawasan kuno
bersejarah antara lain sejarah kawasan pusat
kota, karakter elemen citra kawasan. Analisis
sejarah perkembangan kota berdasarkan proses
terbentuknya, perkembangan dan fungsi kota.
Menggunakan bahan-bahan dari studi literatur
mengenai sejarah Kota Probolinggo. Digunakan
untuk mengetahui peranan dan fungsi kota
terhadap terbentuknya Kota Probolinggo serta
proses perkembangannya. Analisis citra kawasan
bertujuan untuk mengetahui karakteristik citra
kawasan seperti boundary, pattern, substance,
hierarchy dan landmark pada wilayah studi.
Metode evaluatif digunakan untuk
mengetahui perubahan kawasan yaitu dengan
menggunakan analisis sinkronik-diakronik untuk
perubahan kawasan kuno bersejarah. Perubahan
kawasan dapat diketahui dengan menggunakan
analisis yang mencakup analisis guna lahan dan
citra kawasan. Analisis guna lahan digunakan
untuk mengetahui perubahan terkait fungsi guna
lahan bangunan kuno bersejarah pada pusat
Kota Probolinggo, sehingga didapatkan arahan
guna lahan pada lokasi studi. Analisis perubahan
elemen citra kawasan terdiri atas kajian
terhadap perubahan dan perkembangnan
elemen citra kawasan dengan menggunakan
analisis sinkronik diakronik. Anaslisis sinkronik
merupaka metode analisis yang digunakan untuk
melihat peristiwa simultan terhadap perubahan
yang terjadi dalam perkembangannya. Peristiwa
simultan yang dimaksud antara lain peristiwa
yang disebabkan oleh aspek ekonomi, sosial-
budaya, politik dan peristiwa yang terjadi
bersamaan. Analisis diakronik merupakan
metode analisis yang digunakan untuk melihat
perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu, dan
dalam analisis ini dilakukan identifikasi
perkembangan berupa identifikasi
perkembangan kawasan tata ruang kota yang
mengakibatkan perubahan pada suatu waktu.
Suprijanto (2001: 109) juga
mengungkapkan bahwa metode sinkronik
diakronik merupakan suatu pendekatan yang
dinilai baik jika digunakan untuk mengkaji
perkembangan (arsitektur dan kota), mengingat
pada analisis tersebut mengkaji keterkaitan akan
perubahan ruang terhadap waktu, serta
peristiwa yang berpengaruh.
Kondisi before mewakili masa kolonial
antara tahun 1743 1945-an, dan kondisi after mewakili setelah masa kolonialisme hingga
sekarang, yakni antara tahun 1945-an 2012. Elemen yang dianalisis meliputi elemen fisik citra
kawasan dengan menilai jenis citra kawasan
yang ada, bentuk dari citra kawasan yang
terdapat di lokasi studi, lokasi elemen citra
kawasan yang divisualisasikan pada gambar, dan
lingkup elemen citra kawasan terhadap wilayah
sekitarnya.
Dalam menentukan arahan pelestarian
menggunakan metode development. Arahan
pelestarian kawasan dapat diketahui dari elemen
citra kawasan. Citra kawasan merupakan elemen
-
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014 75
dalam pembentukan sebuah identitas kawasan.
Boundary, pattern, substance, hierarchy dan
landmark merupakan elemen citra kawasan yang
perlu diperhatikan dalam pelestarian kawasan.
Gambar 1. Peta Wilayah Studi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pusat Kota Probolinggo
Karakteristik pusat Kota Probolinggo meliputi
sejarah kawasan, karakteristik kawasan, dan
karakteristik bangunan kuno.
1. Sejarah Probolinggo
Pusat Kota Probolinggo terbentuk sejak
masih dalam masa pemerintahan
karesidenan Pasuruan dan berkembang pesat
setelah dipegang oleh pemerintahan Belanda.
Pada masa kolonial pusat Kota Probolinggo
mengalami 4 tahap, yaitu :
a) Tahap I (sebelum tahun 1743)
Pada awal pemerintahannya, Belanda
hanya menempatkan banteng di daerah
pesisir yang digunakan sebagai pos
dagang. Struktur kota masih menganut
struktur perkotaan Jawa yaitu berpusat di
alun-alun dan dikelilingi oleh masjid,
penjara dan pendopo kabupaten.
b) Tahap II (1743 1850) Pada tahap kedua, pemerintah Belanda
mengambil penuh kekuasaan terhadap
Probolinggo. Selain itu didudkung dengan
kerja paksa pembuatan Jalan Raya Pos
(jalan dari Anyer hingga Panarukan) yang
pada masa ini sampai di Probolinggo.
Pemerintah Belanda membuat pusat
pemerintahan sendiri dengan mambangun
rumah residen (sekarang KODIM) dengan
gaya Indische Empire Stijl di Jalan Raya
Pos. Pada tahun 1830-an mulai terbentuk
jalan antara pos dagang alun-alun rumah residen dan berkembang dengan
dibuat dua jalan yang mengapit di sisi
timur dan barat.
c) Tahap III (1851 1880-an) Perkembangan pesat terjadi pada tahap
ketiga yaitu dengan penambahan blok-
blok permukiman di sisi timur sebagai
kawasan pecinan, di sisi selatan sebagai
blok pembatas untuk pribumi, dan di sisi
barat sebagai pemukiman Arab dan
Melayu. Pada masa ini terbentuk pola
morfologi kota yang baku yaitu pola grid
yang simetris.
d) Tahap IV (1880-an - 1945)
Pada masa ini struktur pusat kota tidak
mengalami perubahan yang signifikan.
Praktis hanya penambahan blok
permukiman di sisi timur yang
dimaksudkan sebagai batas peredam dan
keamanan bagi masyarakat colonial, serta
pembangunan rel kereta api yang
diteruskan dari Pasuruan menuju daerah
selatan Probolinggo seperti Lumajang,
Situbondo dan Jember.
2. Sejarah pusat kota
Pada abda ke-18, pusat kota kolonial terbagi
menjadi dua, yaitu pusat pemerintahan
pribumi yang terletak di alun-alun kabupaten
dan pusat pemerintahan kolonial dengan
gedung residen atau asisten residen yang
terletak di jalan raya pos. Pembagian pusat
pemerintahan seperti ini disebut dengan
konsep Kota Hindia Belanda Lama. Probolinggo
merupakan Kota Hindia baru yang kawasan
pusat pemerintahan pribumi dan kolonial
diharuskan menjadi satu. Setelah berlakunya
undang-undang desentralisasi pada tahun
1905, maka pemerintahan suatu kota menjadi
terpusat, yaitu dipimpin oleh hanya satu
walikota. Hal ini menyebabkan kebanyakan
kotamadya memindahkan pusat pemerintahan
dari sekitar alun-alun ke sebuah townhall
sebagai rumah karesidenan yang jauh dari
alun-alun. Dalam hal ini pemerintahan Belanda
ingin memperlihatkan kekuasannya dengan
-
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
76 Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
membangun rumah karesidenan tersebut
dengan gaya arsitektur kolonial modern
(Gambar 2).
Gambar 2. Alun-Alun Pada Tahun 1905an
Alun-alun dan rumah karesidenan terhubung
oleh sebuah jalan yang menjadi sumbu utama
kota yaitu Jalan Suroyo. Jalan ini juga digunakan
sebagai ruang publik kota. Bila ada sebuah arak-
arakan, berkumpul dan berawal dari alun-alun,
diarak melalui Jalan Suroyo dan berakhir di
halaman rumah karesidenan sebagai simbol
penguasa. Pohon asem yang rindang terdapat di
kanan dan kiri Jalan Suroyo sehingga menambah
estetika (Gambar 3). Sepanjang Jalan Suroyo
juga berdiri bangunan dan gedung
pemerintahan, sehingga memperjelas kekuasaan
kolonial pada saat itu.
Gambar 3. Kondisi Jalan Suroyo (Heerenstraat)
Pada Tahun 1920-an
Pada tahun 1805an morfologi Kota
Probolinggo sudah terbentuk, yaitu dengan
poros Jl. Suroyo, dan diapit dua jalan simetris di
sebelah barat dan timurnya. Di sebelah barat
adalah Jl. Dr. M. Saleh yang didominasi oleh
permukiman pendatang dari etnis Arab. Di
sebelah timur adalah Jl. Dr. Sutomo merupakan
batas kawasan permukiman Belanda dengan
kawasan permukiman pecinan. Pusat kota
merupakan kawasan yang memiliki bangunan
atau fungsi penting yang menjadi pokok
perkembangan sebuah kota.
TK-SDK Mater Dei Pada tahun 1927 suster-suster pionir dari
Belanda, dibawah naungan yayasan pendidikan
Santa Perawan Maria (SPM) mendirikan sebuah
sekolah katolik pertama dengan nama ELS
(Europese Lagere School) yang setara dengan
SD, yang dikhususkan untuk anak-anak
keturunan Belanda dan Cina. Bangunan yang
terletak di Jl. Suroyo 36 ini pada awal berdirinya
terdiri hanya 3 kelas dasar. Kemudian stelah
mendapat status lembaga hukum pada Maret
1927, maka sekolah ini dikembangkan dan pada
akhir tahun 1927 telah memiliki 6 kelas lengkap
dengan pavilion untuk para suster serta Taman
Kanak-kanak. Kemudian mulai tahun 1950,
sekolah-sekolah di bawah naungan yayasan SPM
dirubah nama menjadi TKK Mater Dei dan SDK
Mater Dei. Namun pada masa penjajahan Jepang
sekitar tahun 1942, sekolah dan asrama ditutup
dan dinonanktifkan. Dan kembali aktif lagi
setelah keadaan politik dan keamanan sudah
mulai kondusif pada tahun 1947 (Gambar 4).
Gambar 4. ELS (Europese Lagere School)
Gereja Merah Gereja GPIB Immanuel yang terletak di Jl.
Suroyo 32 ini dibangun oleh Pendeta Pati
Rajawane pada tahun 1862, di bawah
kepemimpinan Bupati Meijer, bupati pertama
Probolinggo. Gereja Katolik Protestan ini
mendapat sebutan sebagai gereja merah karena
seluruh ornamen bangunan tersebut berwarna
merah. Berdasarkan cerita dari pendeta gereja,
sejarah warna merah adalah karena cat anti
karat. Seluruh dinding luar gereja ini merupakan
besi seng. Karena dikhawatirkan akan
mengalami korosi, maka dinding seng harus
dilapisi dengan cat anti korosi yang pada masa
itu cat anti korosi hanya memiliki satu warna,
yaitu merah. Karena sudah terkenal dengan
sebutan Gereja Merah, maka hingga sekarang
gereja tersebut selalu dicat dengan warna
-
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014 77
merah, tidak dengan warna yang lain. Gereja
dengan gaya Ghotic seperti ini hanya terdapat 2
buah di dunia. Satu terdapat di Belanda,
sedangkan satu yang lain terdapat di
Probolinggo. Gereja ini masih berfungsi hingga
sekarang terutama pada saat hari besar umat
kristiani seperti perayaan Hari Raya Natal
(Gambar 5).
Gambar 5. Gereja Merah
Museum Probolinggo Gedung tua yang terletak di Jl. Suroyo nomor
17 Kota Probolinggo ini mempunyai arti yang
cukup penting bagi perjalanan sejarah Kota
Probolinggo. Ballroom merupakan nama
pertama gedung ini pada saat dibangun oleh
pemerintahan kolonial Belanda pada tahun
1940-an, kemudian berubah menjadi Gedung
Panti Budaya. Tapi sekitar tahun 1980-an
namanya berubah menjadi Gedung Graha Bina
Harja. Pada masa kolonial gedung ini digunakan
untuk aktifitas orang-orang Belanda, di
antaranya sebagai tempat pesta atau ruang
dansa, juga sebagai tempat menggelar kesenian
budaya. Pada tahun 1980-2010 gedung ini
digunakan sebagai gedung serba guna, misalnya
untuk pernikahan, pesta, pameran, seminar, dan
lain-lain (Gambar 6).
Gambar 6. Perubahan Yang Sempat Dilakukan
Pada Muka Bangunan Museum
Pada tahun 2011 gedung ini berubah fungsi
menjadi museum peninggalan benda-benda
bersejarah Kota Probolinggo. Beberapa tampilan
bangunan mengalami perubahan, yaitu bongkar
pasang joglo yang ada di bagian depan
bangunan, serta tiang penyangga atap di bagian
depan yang pada awal dibangun merupakan besi
sekarang diganti dengan pilar tembok dengan
gaya Indische Empire Stijl dan bagian lainnya
dikembalikan pada gaya arsitektur asli.
Stasiun Kota Probolinggo Bangunan yang terletak di Jl. KH. Mansyur 48
Probolinggo ini, didirikan kurang lebih pada
tahun 1820-1830. Hingga saat ini, bangunan
telah berusia 182 tahun dengan kondisi fisik
bangunan yang masih terjaga dengan baik.
Ditinjau dari fisik bangunan, terdapat beberapa
perubahan bentuk fisik bangunan sejak awal
didirikan. Terdapat beberapa sekat berupa
dinding tembok membentuk ruang yang
berfungsi sebagai ruangan penjualan tiket kereta
api. Selain itu juga terdapat konstruksi bangunan
yang ditutup dengan dinding tembok sebagai
sekat untuk membagi satu ruang dengan
ruangan lain. Gaya Yunani yang diterapkan pada
gevel dan bentuk lengkung pada ornamen
jendela yang merupakan ciri khas gaya Baroque-
Rococo serta bentuk lengkung gaya Neoclassical
pada ornamen pintu (Gambar 7).
Gambar 7. Stasiun
Kodim 0820 Bangunan yang terletak di Jl. Panglima
Sudirman dibangun pada tahun 1819. Pada masa
itu bangunan ini merupakan rumah karesidenan
Probolinggo. Baru pada tahun 1953 bangunan ini
berubah fungsi menjadi kantor Komando Distrik
Militer 0820 Kota Probolinggo. Meskipun sudah
berganti fungsi bangunan, tetapi secara fisik
tidak ada perubahan. Bangunan bergaya
Indische Empire Stijl ini masih terlihat megah di
tengah komplek ruko dan perkantoran dengan
gaya bangunan modern (Gambar 8).
-
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
78 Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
Gambar 8. KODIM 0820 Pada Awalnya
Merupakan Rumah Karesidenan Probolinggo
3. Intensitas guna lahan
Guna lahan pada kawasan pusat Kota
Probolinggo merupakan kawasan yang
heterogen. Persentase terbesar adalah tata
guna lahan perumahan, yaitu sebesar 32,85
%, diikuti dengan guna lahan perdagangan
dan jasa sebesar 17,50 %. Persentasi
terkecil adalah guna lahan kesehatan yang
hanya 0,28 % dari total keseluruhan luas
wilayah pusat Kota Probolinggo.
4. Citra kawasan
Perkotaan dibagi menjadi 4 komponen
(Clerici, 1997), yaitu boundary, pattern,
substance, dan hierarchy. Selain itu juga
didukung dengan landmark yang menjadi
salah satu identitas suatu kawasan. Berikut
penjelasan lebih detail mengenai citra
kawasan :
A. Boundary
Boundary merupakan sebuah batas dari
sebuah wilayah atau kawasan. Batas dalam
hal ini bias berupa fisik seperti jalan, rel
kereta api, sungai dan sebagainya. Dalam
penelitian ini batas wilayah studi ditentukan
dengan bangunan terluar di Jalan Dr. Saleh,
PB. Sudirman, Dr. Sutomo, dan KH. Mansyur.
B. Pattern
Pattern adalah tata letak jalur atau jalan
dari sebuah komponen kawasan. Dalam
penelitian ini pattern ditunjukkan dengan
sebuah pola morfologi pusat Kota
Probolinggo, yaitu sebuah pola grid yang
simetris. Pola ini terbentuk pada masa
kolonial yang berawal dari jalan poros yang
terbentuk dari banteng/pos dagang alun-alun rumah asisten residen.
C. Substance
Susbtansi merupakan elemen fisik yang
menjadi komposisi sebuah kawasan.
Substansi dari wilayah studi dalam
penenlitian ini adalah berbagai fungsi guna
lahan yang ditunjukkan dengan analisis figure
ground dan guna lahan. Konfigurasi ruang
pada pusat Kota Probolinggo berbentuk
ground yang figuratif dengan kawasan
kepadatan tinggi yang didominasi elemen
solid dan elemen void sebagai sisa. Kawasan
pusat Kota Probolinggo didominasi guna
lahan perumahan 32,85 %, perdagangan jas
17,5 %, perkantoran 11,01 %. Hal ini
menyebabkan wilayah studi memiliki KDB 91-
100 % sebanyak 88,3 % dan KLB 71-100 %
sebesar 81 % (Gambar 9).
D. Hierarchy
Boundary, pattern, dan substance
mengintepretasikan sebuah hirarki dalam
sebuah kawasan. Hirarki tersebut
memberikan identitas dalam sebuah tata
ruang. Kombinasi antara pola dan substansi
dari sebuah kawasan akan
mengintepretasikan hirarki melalui lebar
jalan, ketinggian bangunan, gaya arsitektural,
atau lansekap. Sedangkan boundary
memberikan sebuah batas antara karakter
sebuah kawasan dengan kawasan yang lain
(Gambar 10).
E. Landmark
Boundary, pattern dan substance hanya
mengintepretasikan fisik dari sebuah
kawasan. Dalam hal ini landmark berfungsi
sebagai pembangkit imajinasi masyarakat
terhadap sebuah nilai dan makna sebuah
bangunan atau kawasan. Landmark pada
wilayah studi dapat ditunjukkan pada
bangunan Gereja Merah, Museum
Probolinggo, dan KODIM 0820 dengan gaya
bangunan Eropa yang memiliki nilai sejarah
dan budaya sehingga bias menunjukkan
identitas kawasan pusat Kota Probolinggo
(Gambar 11).
B. Perubahan Kawasan Kuno Bersejarah
Perubahan kawasan pada wilayah studi dapat
diketahui dengan analisis sinkronik-diakronik
terhadap elemen citra kawasan (Gambar 12).
Analisis sinkronik-diakronik merupakan metode
analisis yang digunakan untuk melihat peristiwa
simultan terhadap perubahan yang terjadi dalam
perkembangannya. Peristiwa simultan yang
dimaksud antara lain peristiwa yang disebabkan
oleh aspek ekonomi, sosial-budaya, politik dan
peristiwa yang terjadi bersamaan. Berdasarkan
analisis sinkronik-diakronik elemen boundary
dan pattern tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Batas pusat kota masih dibatasi oleh
Jalan Dr. Saleh, Suroyo, dan Dr. Sutomo. Pola
morfologi pusat kota masih tetap menggunakan
pola grid simetris.
-
Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014 79
Gambar 9. Peta tata guna lahan Gambar 10. Peta Hierarchy.
(a) (b) (c)
Gambar 11. Landmark pusat Kota Probolinggo.
Keterangan:
(a) Gereja Merah
(b) Musem Probolinggo
(c) KODIM 0820
Perubahan banyak terjadi pada substance
kawasan, yaitu perubahan massa bangunan,
gaya bangunan, serta KDB-KLB bangunan.
Perubahan fungsi dan gaya bangunan sangat
berpengaruh terhadap hirarki sebuah kawasan.
Dominasi fungsi bangunan pada perkantoran
dan perdagangan jasa membuat kawasan pusat
kota Probolinggo sedikit kehilangan karaktersitik
sejarahnya. Tetapi landmark pada kawasan ini
berupa Gereja Merah, Museum Probolinggo, dan
KODIM 0820 masih kokoh berdiri sebagai
pembangkit imajinasi masyarakat terhadap nilai
sejarah Kota Probolinggo.
C. Arahan Pelestarian Kawasan Kuno
Bersejarah
Batas wilayah dan pola morfologi Kota
Probolinggo tidak mengalami perubahan
signifikan dikarenakan sudah tidak bisa
dikembangkan. Yang perlu mendapat perhatian
khusus dalam pelestarian kawasan adalah
substance, hierarchy dan landmark kawasan.
Perkembangan jaman akan mempengaruhi masa
bangunan, gaya bangunan serta guna lahan.
Perubahan guna lahan akan mempengaruhi gaya
bangunan kolonial menjadi gaya bangunan yang
lebih modern serta masa bangunan yang lebih
padat. Landmark kawasan juga harus dijaga dan
dilestarikan agar tetap menunjukkan nilai
sejarah dan budya. Oleh karena itu harus ada
perhatian khusus terhadap substance, hierarchy
dan landmark kawasan demi menjaga identitas
kawasan (Gambar 13).
Lukman Hadi Dharma Arief Wiyatno, Antariksa, Eddi Basuki Kurniawan
-
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH PUSAT KOTA PROBOLINGGO
80 Planning for Urban Region and Environment Volume 3, Nomor 3, Juli 2014
Gambar 12. Tahapan perkembangan Kota Probolinggo
Gambar 13. Arahan pelestarian kawasan
KESIMPULAN
Kota Probolinggo merupakan kota yang
dibentuk dengan rencana yang matang, bukan
terbentuk secara tidak sengaja. Pola grid simetris
sengaja dibentuk oleh pemerintah Belanda
dengan tujuan untuk kepentingan ekonomi
karena letak Probolinggo yang strategis.
Penataan blok permukiman bagi orang Eropa,
kampung Arab, kampung Melayu, pecinan dan
pribumi membentuk sebuah hirarki kota yang
tertata. Pusat kota memiliki identitas tersendiri
dengan karakter masa bangunan yang kurang
dari 70% dan gaya bangunan Eropa. Selain itu
pusat Kota Probolinggo merupakan pusat
aktivitas dengan (Heerenstraat) Jalan Suroyo
sebagai porosnya. Pada masa sekarang banyak
perubahan yang terjadi pada kawasan pusat
Kota Probolinggo. Perubahan kawasan dapat
dilihat pada perubahan substansi kawasan, yaitu
perubahan masa bangunan dan guna lahan. Hal
ini disebabkan karena pusat kota secara tidak
langsung menjadi lahan yang rentan terhadap
kepentingan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan.
Bandung. Alumni.
Catanese, Anthony J. dan Snyder, James C. 1979.
Pengantar Perencanaan Kota.
Jakarta. Erlangga.
Handinoto. 2010. Arsitektur Dan Kota-kota di
Jawa Pada Masa Kolonial.
Yogyakarta. Graha Ilmu.
Clerici, Anthony and Mironowicz, Izabela .
Landmarks And Urban Change .
http://www.cityfutures2009.com/PD
F/69_Clerici_Anthon.pdf. (diakses
pada 23 April 2012)
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara
Terpadu. Yogyakarta. Kanisius.