lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../02/Dr.-Drs-YUNI-PRATIWI-M.Pd_artikel.docx · Web viewFILM ANIMASI...
-
Upload
vuongkhanh -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../02/Dr.-Drs-YUNI-PRATIWI-M.Pd_artikel.docx · Web viewFILM ANIMASI...
1
FILM ANIMASI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN KEKERITISAN PENALARAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN KARATERPADA MASYARAKAT MULTIBUDAYA DI INDONESIA
Oleh: Yuni Pratiwi
Universitas Negeri Malang. Alamat Jln. Semarang 5 Malang 65145Alamat rumah: Jln. Terusan Ambarawa 59, Malang 65145. Telepon 0341-570317
E-mail: y un i . p r a ti w i . f s @ u m .ac. i d atau [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengembangkan film animasi cerita anak sebagai media pembelajaran penalaran kritis bagi anak usia Sekolah Dasar dalam konteks pendidikan karakter pada masyarakat multibudaya di Indonesia. Wilayah negara Indonesia terdiri atas 17.504 pulau, dihuni oleh 11.28 kelompok etnik (suku bangsa), dan jumlah penduduk 237.641.326 jiwa (data resmi sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik). Salah satu konsekuensi yang juga harus ditanggung anak-anak yakni sejak usia dini mereka hidup dalam konteks masyarakat multicultural. Film animasi ini memberikan menyediakan pajanan budaya yang merepresentasikan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat multicultural. Dialog, monolog, sikap, mood, dan perilaku tokoh dalam menghadapi berbagai peristiwa sebagai media belajar untuk menanamkan kemampuan berpikir kritis terhadap berbagai fenomena budaya dan sekaligus memperoleh pengalaman reflektif untuk mendukung pemerolehan nilai-nilai karakter diintegrasikan. Anak dilibatkan dalam beragam aktivitas pembelajaran secara optimal dalam suasana yang menyenangkan. Keterlibatan anak dalam menonton film ini dipandu dengan booktalk yang menyertai produksi film ini.
Kata kunci: film animasi, kekritisan, budaya lokal, multikultural
Dewasa ini, keberadaan film animasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan anak-
anak. Film cerita, khususnya film animasi cerita anak (selanjutnya disebut film animasi), hadir
dalam kehidupan peserta didik dalam bentuk kisah-kisah yang dikemas dalam cerita kehidupan
binatang (fabel), kisah para pahlawan (sage), cerita tentang para putri yang cantik dan pangeran
baik hati (dongeng), asal-usul suatu kawasan wilayah (mitos), dan para tokoh yang hebat dalam
kehidupan (legenda). Film animasi dapat menarik perhatian anak karena kisah kehidupan tokoh
2
membawa peserta didik menelusuri berbagai pengalaman kehidupan baru dalam imajinasi yang
menakjubkan dan menyenangkan.
Para pendidik dan orang tua menyadari film animasi memiliki dua fungsi utama dalam
kehidupan anak, yakni mendidik dan menghibur. Film cerita dapat digunakan sebagai sumber
belajar untuk mendidik anak dengan beberapa alasan. Pertama, dalam film animasi terdapat
pajanan bahasa (exposure elemen-elemen linguistik dalam berbagai variasi penggunaannya)
yang dapat digunakan sebagai input bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan
bahasanya. Kedua, dalam film animasi terdapat pajanan budaya yang dapat dimanfaatkan oleh
anak untuk memperluas wawasan kehidupan dan budaya masyarakat yang dikisahkannya.
Ketiga, dalam film animasi terdapat pengalaman kehidupan yang dijalin dalam struktur cerita
dengan melibatkan tokoh pada konflik yang menarik. Konflik dalam film animasi mengajak anak
memikirkan secara aktif masalah yang dihadapi para tokoh dengan beragam karakternya, seakan-
akan masalah itu juga tengah dialaminya. Penyelesaian konflik yang dipilih pengarang
mengantarkan peserta didik pada suatu pengalaman reflektif yang berguna. Pengalaman reflektif
berupa tema atau pesan-pesan moral yang menjadi landasan dalam pendidikan karakter
Pada sisi yang lain film animasi juga berfungsi untuk memberikan hiburan. Peristiwa
yang dikembangkan pengarang dengan sejumlah pengalaman fantasi yang unik mendatangkan
kegembiraan pada anak-anak. Tokoh cerita yang unik, perilaku tokoh yang lucu, kemampuan
beripikir tokoh yang sangat cerdas, tindakan tokoh yang konyol, dan bahkan peristiwa fantastis
yang dialami tokoh menarik perhatian dan menghibur anak-anak.
Salah satu unsur penting dalam film animasi berupa nilai-nilai karakter yang dikemas
dalam budaya masyarakat. Realitas kehidupan sehari-hari menjadi sumber inspirasi bagi
pengarang untuk mengidentifikasi dan memilih nilai karaketr yang dipandang patut untuk
disampaikan, dipelajari, bahkan diwariskan melalui film animasi. Pada gilirannya, film animasi
dapat menjadi bahan pemikiran kritis dan reflektif bagi peserta didik agar dapat menjadi lebih
jujur, bijak, santun, suka menolong, bersahaja, penyayang, dan suka bekerja keras. Dalam
konteks ini, sekolah dapat diposisikan sebagai laboratorium budaya untuk menyiapkan generasi
masa depan yang lebih baik dan bermartabat (Joyce, 1992:1).
Aktivitas apresiasi film animasi dapat diarahkan untuk mengembangkan kekeritisan
penalaran anak usia sekolah dasar dalam konteks pendidikan karater pada masyarakat
multibudaya. Kekritisan penalaran menjadi jembatan bagi anak-anak untuk (1) meningkatan
3
wawasan pengetahuan tentang kehidupan manusia yang bersifat dinamis, (2) memahami
berbagai sikap dan perilaku manusia dari berbagai kelompok etnik dan dalam berbagai konteks
peristiwa, (3) mendorong siswa untuk memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, (4) memberikan
kesempatan pada peserta didik untuk menyampaikan respon-respon terhadap unsur-unsur estetik
(unsur yang menimbulkan kesan menyenangkan yang mendalam) dan unsur cerita yang lebih
serius, (5) memberi kesempatan untuk menyatakan pemikiran dan sikap kritis misalnya dengan
menyatakan persetujuan, penolakan, serta simpati dengan alas an-alasan yang jelas dan logis,
dan (6) mampu menyumbangkan pemikiran kritis untuk memecahkan yang dihadapi tokoh.
Dalam konteks pembelajaran, film animasi dapat dimanfaatkan sebagai media untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan moral sebagai landasan dari
pendidikan nilai karakter. Pertumbuhan dan perkembangan moral dirancang dengan memilih
sejumlah film animasi yang dipandang memiliki muatan isi nilai moral yang relevan dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Aktivitas menonton film animasi cerita anak menjadi titian terciptanya interaksi peserta
didik dengan teks dan menjadi pintu pertama dan utama bagi peserta didik untuk memasuki
ranah pajanan budaya multikultural dalam film. Situasi ini dapat dimanfaatkan pendidik untuk
merancang serangkaian aktivitas pembelajaran untuk membangun pengalaman belajar tidak
hanya menghasilkan serangkaian hasil analisis unsur-unsur cerita dalam film animasi, tetapi juga
pengalaman belajar tentang nilai karakter yang bersumber dari nilai moral kebangsaan.
Pengalaman terakhir ini memberikan sumbangan bermakna bagi perkembangan karakter peserta
didik karena telah terjadi proses interaksi dan internalisasi makna teks dengan ranah kognitif dan
afeksi peserta didik.
Film animasi dapat digunakan sebagai sumber maupun media pembelajaran di Sekolah
Dasar (SD) sejak peserta didik berada pada jenjang kelas awal hingga kelas tinggi. Pada kelas
awal, kompetensi apresiasi dimaksudkan untuk mengenalkan peserta didik pada beragam unsur
budaya dalam cerita misalnya, nama-nama tokoh, pekerjaan, tempat tinggal, tarian, keyakinan,
dan permainan. Pada kelas tinggi, peserta didik diarahkan untuk mengenal serta memahami
unsur-unsur budaya dalam film animasi film animasi melalui serangkaian proses analisis dengan
cukup kritis dan detil. Pemaknaan terhadap substansi isi dapat diperluas dan diperdalam dengan
mengembangkan kompetensi penalaran kritis tentang nilai karakter dan sikap budaya yang
sangat diperlukan dalam relasi multibudaya.
4
Film yang dikembangkan dengan setting alam pedesaan sebagai pusat kegiatan.
Pemilihan setting alam pedesaan ini bertujuan menanamkan pemahaman bahwa sebagain besar
wilayah Negara berupa pedesaan. Pedesaan dapat menjadi pusat pendidikan dan pusat ekonomi
yang berbasis alam. Dalam konteks ini, desa dihuni oleh penduduk dan anak-anak dari berbagai
etnik yang dapat menjalin hubungan sosial yang cerdas, dinamis, kreatif, dan produktif.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menghasilkan film animasi bermuatan pendidikan kekritisan penalaran dan kearifan
karakter budaya local dalam relasi multikultural anak usia sd di Indonesia. Film ini
memanfaatkan cerita pendek anak yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya sebagai sumber
atau inspirasi pengembangan cerita. Pada setiap film yang dikembangkan dilengkapi dengan
serangkaian pertanyaan kritis yang dimaksudkan untuk membimbing anak agar dapat
menemukan nilai-nilai dalam film secara kritis, baik mandiri maupun dengan bimbingan
orangtua/ guru dalam kemasan book talk..
Metode pengembangan didasarkan pada model R2D2 (recursive, reflective, design, and
development) yang dikemukakan oleh Wills (1995) dengan sejumlah modifikasi yang
disesuaikan dengan kebutuhan. Tahap recursif dilakukan melalui serangkaian penelitian
sebelumnya dan pada akhirnya menghasilkan 48 judul cerita anak berbasis kekritisan.
Berdasarkan cerita yang yang telah dikembangkan selanjutnya direfleksikan sejumlah cerita yang
dapat digunakan sebagai sumber inspirasi pengembangan cerita. Berdasarkan cerita terpilih,
ditetapkan enam tema yang digunakan sebagai dasar pengembangan satu rangkaian cerita berseri
dan sekaligus sebagai dasar pengembangan kekritisan penalaran anak usia SD. Tahap desain
dilakukan dengan penulisan sinopsis, pemilihan karakter, desain visual karakter, dan script film
cerita animasi.
Proses dan hasil kegiatan penelitian pada tahun pertama dapat dilaporkan dalam dua
tahapan, yakni tahap persiapan dan tahap pengembangan film. Tahap persiapan mencakup empat
kegiatan. Pertama, kegiatan diawali dengan pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD)
penentuan cerita. Materi yang dibahas meliputi memilih cerpen yang akan difilmkan, dengan
aspek kekritisan penalaran, pendidikan nilai karakter, dan relasi multikultural yang bermanfaat
anak usia SD. Kedua, kegiatan difokuskan pada workshop penulisan sinopsis cerita untuk film
cerita anak berbais kekritisan penalaran siswa usia SD. Materi workshop meliputi (1)
5
mengembangkan enam tema dan menetukan keterkaitan antarcerita dalam tujuh seri cerita, (2)
menentukan nama tokoh dan karakterisasi, (3) menentukan setting cerita, (4) menentukan alur
cerita untuk 7 seri, dan (6) menulis sinopsis cerita untuk 7 seri film. Ketiga, kegiatan dilaksankan
dalam bentuk workshop penulisan shooting script film cerita anak berbasis kekritisan penalaran.
Materi yang dibahas mencakup (1) penentuan model shooting script, (2) penulisan shooting
script, dan (3) pembahasan shooting script. Keempat, dilaksanakan kegiatan FGD dengan materi
(1) pembahasan dan penentuan akhir untuk nama tokoh animasi dan visualisasi tokoh, (2)
pembahasan dan penentuan visualisasi setting cerita (pewarnaan), dan (3) penentuan dan
pembahasan ruang lingkup nilai moral dan tingkat kekritisan yang terkandung dalam cerita serta
tokoh terpilih untuk menyampaikannya. Ketiga, bertolak dari kegiatan persiapan tersebut
selanjutnya dikembangkan film animasi dengan bekerjasama dengan para animator.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Enam film yang dihasilkan dalam penelitian ini berjudul (1) Persabatan dalam
Keragaman, (2) Loper Susu, (3) Pasukan Kebersihan Sekolah, (4) Hadiah Terindah buat Ayah,
(5) Senyum untuk Ulli, dan (6) Batik Versus Blue Jeans. Film Persahabatan dalam Keragaman
mengisahkan sekelompok peserta didik dari suatu jenjang kelas yang terdiri atas berbagai
kelompok etnik di Indonesia. Mereka tinggal di kawasan pertanian/perkebunan di pedesaaan.
Mereka berusaha keras menjalin persabahabatan meskipun seringkali juga terjadai konflik, baik
antarpribadi maupun kelompok. Film kedua, Loper Susu mengisahkan seorang anak, Satria yang
beretnik Jawa, pekerja keras. Ia memutuskan membantu ayahnya mengantar susu. Ketika ia,
Satria, tergoda ajakan kawan-kawannya untuk bermain bola ternyata salah satu botol susu yang
belum diantarkan dan dibawa bermain bola hilang. Pada film ketiga, Pasukan Kebersihan
Sekolah mengisahkan kekecewaan seorang gadis kecil, Ulli yang berasal dari Batak, ketika ia
tidak terpilih sebagai ketua persiapan lomba kebersihan kelas di sekolahnya. Akibatnya, ia justru
berusaha menggagalkan usaha teman-temannya untuk meraih juara. Pada film keempat, Hadiah
Terindah Buat Ayah dikisahkan usaha gigih Yosephine, seorang gadis Papua yang ingin belajar
menari Jawa. Respon negatif teman-temannya justru menjadi motivasi bagi Yosephine untuk
belajar menari. Yosephine belajar menari dibantu oleh salah satu teamnnya yang beretnik Bali.
Akhirnya, Yosephine menari pada sebuah pementasan tepat pada hari ulang tahun ayahnya. Film
6
kelima, Senyum untuk Ulli mengisahkan upaya teman-teman dari berbagai etnik untuk untuk
meringankan beban orang tua Ulli yang kehilangan pekerjaan karena rombong bakpao karena
terkena razia dan dibawa satpol PP. Ulli yang nakal dan sering mengganggu temannya berbagai
kelompok etnik akhirnya sadar bahwa teman-temannya sangat menyayanginya. Ulli pun
berusaha untuk mengubah sikapnya. Pada film keenam, dikisahkan persaingan orientasi budaya
dalam kelas akan tampil dalam panggung kesenian. Sebagian anggota kelas memilih tampil
dengan blue jeans sebagai simbol modernitas dan sebagian lain memilih tampil dengan batik
sebagai simbol identitas nasional. Pada akhirnya, mereka tampil dengan paduan busana blue
jeans yang dipadu dengan batik.
Karakteristik enam judul film yang telah dihasilkan yakni, (1) memiliki visi pendidikan
nilai karakter (moral) yang jelas sehingga memiliki sumbangan terhadap pemerolehan
pengalaman yang mendudkung tumbuhnya karakter yang positif, (2) visi moral sesuai budaya
bangsa dan bahkan dapat memberi sumbangan pada pembanguna relasi multicultural dalam
konteks kebangsaan sehingga mendudkung pemertahanan budaya bangsa, (3) mendorong anak
berpikir kritis melalui pertanyaan latihan yang dikembangkan secara berjenjang sesuai dengan
perkembangan kognitif anak, (4) melatih anak menggunakan argumentasi atas setiap opini
jawaban yang disampaikannya melalui pertanyaan dan diskusi sesudah menonton film, (dan 5)
memperluas pengetahuan bahasa yang santun dalam berinteraksi.
Respon yang disampaikan siswa di beberapa sekolah yang dipilih sebagai kelompok uji
coba menunjukkan, pada diri siswa tumbuh sikap empati terhadap perilaku para tokoh dalam
film, baik secara individu maupun kelompok. Pada umumnya, siswa memberikan pujian pada
sikap dan perilaku tokoh yang gigih mengatasi kesulitan, jujur, suka menolong orang lain,
bekerja keras meraih cita-cita, ramah, dan memiliki toleransi. Sebaliknya, siswa menunjukkan
penolakan pada sikap suka mengganggu, malas, curang, menyepelekan, menekan kawan
sepermainan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap-sikapa yang positif penting ditanamkan pada
setiap individu tanpa mempedulikan kelompok etniknya. Sikap-sikap posoitif tersebut menjadi
landasan yang kokoh dalam membangun relasi multicultural. Siakp yang ditanamkan pada masa
anak-anak akan menjadi fondasi tumbuhnya karakter positif dalam konteks masyarakat
multietnik sebab ia sudah terbiasa membangun kebersamaan meski memiliki latar budaya etnik
yang beragam.
7
Pembahasan
Pembahasan terhadap produk film animasi yang telah dihasilkan dilakukan dengan
menggunakan empat sudut pandang, yakni pesan moral dalam film, struktur cerita, dialog dan
acting, visualisasi cerita, dan implementasi dalam pembelajaran.
Pendidikan Kekritisan Penalaran
Pendidikan kekritisan penalaran ditanamkan melalui aktivitas diskusi stelah menonton
film dengan pandauan book talk. Book talk dikembangkan untuk memandu dua tahapan diskusi,
yakni (1) diskusi yang diarahkan untuk mengapresiasi aspek estetik yang dimaksudkan untuk
menggali kembali kesan-kesan terhadap hal-hal yang indah dan menyenangkan dalam film dan
(2) diskusi yang difokuskan pada unsur cerita untuk latihan kekritisan. Pertanyaan untuk latihan
kekritisan diarahkan pada latihan mengidentifikasi fakta, menglasifikasi fakta, menghubungkan
antarfakta, membandingkan fakta, menjelaskan urutan peristiwa, menunjukkan hubungan sebab
—akibat antar perisita, merumuskan sintesis, dan menyampaikan tanggapan kritis. Hal ini selaras
dengan pandangan Beach dan Marshall (1991:521) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran
melalui film aktivitas yang dapat dikembangkan antara lain menemukan isu atau tema, karakter
(tokoh), potensi naratif, konflik, dan juga-tugas-tugas menulis paragraph berdasrkan film yang
ditonton.
Pada uji lapangan, siswa berusaha terlibat dalam diskusi secara aktif, sebab pertanyaan
dalam book talk dikembangkan dengan menghubungkan masalah tokoh dalam film dengan
maslah anak dalam kehidupan sehar-hari. Ketika anak-anak berusaha menjawab pertanyaan,
jawaban digali dari pengetahuan awal, pengalaman, perasaan, dan harapan-harapan mereka.
Dengan demikian, kekritisan pelaran dikembangan dari data dalam film dan dihubungkan dengan
kompetensi anak.
8
Pendidikan Nilai Karakter
Cerita atau kisah yang dikembangkan dalam film animasi merupakan gabungan antara
fakta dan imajinasi.Kisah dalam film dikembangkan dengan sumber inspirasi dari fakta atau
realitas kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai karakter yang ditampilan dalam film berguna sebagai
alat untuk mengenalkan dan memahamkan nilai-nilai karakter yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat sebagai landasan moral kebangsaan. Nilai-nilai tersebut pada gilirannya
berfungsi sebagai identitas karakter yang mendukung tumbuh kembang seorang anak. Gagasan
ini sesuai dengan pendapat Michael Novak (Lickona, 1991: 50) juga menyatakan bahwa unsur
pembentuk sikap bisa dilacak dari tradisi keagamaan, cerita sastra, nasihat kebijakan (sage), dan
pandangan hidup tokoh yang mengalir secara turun-temurun secara historis.
Produk enam film yang telah dihasilkan dalam penelitian ini mengandung enam pesan
utama seperti berikut.
NO. JUDUL FILM PESAN MORAL
1. Persahabatan dalam Keragaman Persahabatan yang tulus dapat dijalin olehantaranak Indonesia dari berbagai kelompok etnik.
2. Loper Susu Setiap anak harus memiliki kesanggupan untukberlatih bertanggungjawab dan kerja keras.
3. Pasukan Kebersihan Sekolah Lingkungan sekolah yang bersih dapat diwujudkandengan keikhlasan, kedisiplinan, dan kerja keras.
4. Hadiah Terindahuntuk Ayah Sikap tekun, kerja keras, dan semangat sangatdiperlukan untuk mewujudkan cita-cita yang mulia.
5. Senyum untuk Ulli Kasih sayang dan ketulusan sangat diperlukanuntuk menjalin persabatan yang baik.
6. Batik Versus Blue Jeans Setiap anak Indonesia harus cinta dan banggadengan produk budaya bangsa.
Pesan moral dalam film tersebut diharapkan memberikan sumbangan positif pada usia
tumbuh kembang anak. Hal ini selaras dengan riset yang dilakukan Laporta (1957) yang
9
menunjukkan bahwa film dapat sangat mempengaruhi anak dan pengaruh bisa diperoleh dari
tokoh atau karakter maupun isi film tersebut. Film anak juga dapat memberikan kontribusi
positif dalam pembentukan mental, intelektual/akademik, sosial, dan estetik. (Meylan, 1953;
Sebastian, 2010).
Tema Moral dalam Relasi Multikultural
Tema yang dikembangkan selaras dengan pesan nilai karakter yang hendak disampaikan
dalam film animasi. Tema menjadi tumpuan utama dalam pengembangan unsur film yang lain
misalnya, dalam hal pemilihan tokoh dan alur cerita. Oleh karena itu, tema yang dipilih harus
dapat memberikan pengalaman untuk (a) mengembangkan daya imajinasi; (2) memahami diri
sendiri dan orang lain; (3) membangkitkan pemahaman tentang benda atau kenyataan di sekitar
kehidupan anak; dan (4) membangkitkan kesadaran tentang kesehatan, kebersihan, bersikap pada
orang lain dengan acuan-acuan yang bersifat konkret maupun abstrak. Tema dipilih dari
kehidupan anak-anak dan membantu anak untuk meningkatkan kualitas dirinya. Hal ini didasari
pendapat Cullinan (1989) yang menjelaskan anak usia 7—9 tahun sudah mulai bisa memahami
cerita secara episodik karena anak sudah bisa membuat akumulasi satuan cerita, menyusun
rangkaian cerita, menentukan ciri hubungan pelaku yang satu dan yang lain, serta memahami
hubungan pelaku dengan latar belakang cerita yang berupa tempat maupun waktu. Adapun anak
anak usia 9—12 tahun secara aktif sudah mampu menghubungkan gambaran pelaku dengan
keberadaan dirinya sendiri dihubungkan dengan posisinya dalam kehi-dupan. Anak juga sudah
mampu menghubungkan isu-isu dalam kehidupan dengan peristiwa yang tergambarkan dalam
film. Pusat perhatian terhadap cerita juga sudah bersifat ganda sehingga anak sudah mampu
memahami cerita dalam bentuk novel dengan plot ganda. Kegandaan perhatian juga ditunjukkan
1
oleh kemampuan anak dalam menonton film sekaligus sambil menggambarkan apa yang dibaca
apabila dihubungkan dengan kehidupan secara konkret.
Tokoh Anak dan Orang-orang di Sekitar Kehidupan Anak
Tokoh-tokoh yang dipilih dalam film animasi adalah anak-anak dan orang-orang yang
berada dalam lingkungan kehidupan anak, misalnya teman, orang tua, saudara kandung, dan
guru. Tokoh diposisikan hidup dan berkembang sebagaimana anak-anak pada umumnya yang
hidup dan berkembang di tengah keluarganya, di antara teman sepermainan, dan guru-guru di
sekolah yang membimbingnya untuk belajar. Tokoh diposisikan sebagai tokoh utama dan tokoh
pembantu dengan sikap sebagai tokoh protagonist dengan watak yang baik dan antagonis yang
berfungsi menghalangi tokoh protagonis mencapai tujuan hidup yang mulia. Meskipun tokoh
dalam film animasi menghadapi konflik, konflik harus diselesaikan pada akhir cerita dan dengan
perasaan bahagia. Oleh karena itu, kecenderungannya, semua tokoh akan berbagaia pada akhir
cerita, atau tokoh antagonis menyadari kesalahan-kesalahannya. Hal itni sesuai dengan pendapat
Sutherland, Monson, dan Arbuthnot (1981: 43--44) yang menyarankan bahwa tokoh (karakter)
baik realistic atau fantastic dalam cerita anak adalah tokoh harus baik wataknya, konsisten dalam
sikapnya, dan meyakinkan.
Plot Cerita
Secara umum, plot cerita dalam film animasi yang dikembangkan terdiri atas lima
tahapan cerita, yakni eksposisi (pengenalan identitas tokoh, setting cerita, masalah yang dihadapi
tokoh), konflik (masalah yang dihadapai tokoh), penanjakan laku atau rising action (konflik yang
dihadapi tokoh menjadi semakin kompleks), klimaks (puncak konflik, tokoh utama
menjadapatkan pemecahan masalah yang dihadapinya), penurunan konflik, dan penyelesaian.
Interaksi dinamis anak-dengan film animasi diwujudkan dengan mempertimbangakan skemata
1
awal siswa mencukupi untuk memahmi film yang akan ditonotonnya dan mengupayakan
terjadinya proses asimilasi antara skemata awal dengan alur cerita film yang ditotonnya. Dengan
demikian, setiap tahapan plot akan menjadi masukan bagi siswa untuk mengembangkan
kemampuan penalaran kritis maupun dan secara tidak langsung melibatkan siswa berlatih
berpikir dengan logika sebab-akibat. Hal ini merupakan salah satu dasar yang sangat penting
untuk pengembangan kemampuan berpikir eksplanatif. Gagasan ini sesuai dengan pendapat
Sutherland, Monson, dan Arbuthnot (1981:44) yang menjelaskan bahwa anak-anak selalu
memfokuskan perhatiannya pada peristiwa apa yang dialami para tokoh. Plot merupakan
serangkaian peristiwa yang berkembang secara berhubungan dan logis.
Pengembangan Dialog dan Akting
Dialog dan akting tokoh merupakan dua unsur dasar dalam pengembangan film animasi.
Dialog dapat dikatakan sebagai alat utama pengembangan alaur cerita. Dialog dan akting tokoh
harus mampu menjadi jembatan bagi anak dalam pemahaman isi cerita sekaligus mendorong rasa
ingin tahu anak untuk hal-hal yang bersifat eksplisit maupun implisit.
Dialog tokoh dikembangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang selaras dengan
perkembangan bahasa anak usia sekolah dasar dan kesantuan berbahasa. Dialog tokoh dalam
film animasi berperan sebagai pajanan bagi anak untuk memperoleh input baik berupa kosa kata,
kalimat, dan aspek pragmatis lainnya yang terkait dengan fungsi tuturan. Adapun akting tokoh
dikembangkan dengan mempertimbangkan ekspresi wajah, gesture, gerak-gerik tubuh, gerak
kaki, dan posisi-posisi yang sesuai dengan kesantunan, keamanan, dan sehat bagi anak. Hal ini
selaras dengan pengalaman maestro anime Hayao Miyazaki yang selalu mengolaborasikan
antara
1
etika dan estetika dalam film animasi melalui tokoh-tokoh fantasi yang diciptakannya, termasuk
melalui dialog dan aktingnya.
Visualisasi Cerita
Visualisasi meruapakan hal sangat penting dalam film animasi. Pekerjaan terberat bagi
animator adalah memindahkan kisah dalam script ke sajian visual yang sangat kompleks. Untuk
itu, dalam film seri Satria Sang Juara dilakukan diskusi intensif untuk setiap elemen film yang
dikembangkan. Beberapa pertimabngan utama yang digunakan dalam hal ini yakni (1) film
dikembangkan dengan tema moral yang digali dari budaya Indonesia, (2) film mendorong siswa
memahami dan merespon film dengan kekritisan penalaran, (3) film dikembangkan dengan
konteks budaya Indonesia, (3) film memberikan kesempatan kepada anak untuk mendapatkan
pajanan positif bagi perkembangan intelektual, sikap, dan perilakunya. Hal ini selaras dengan
pernyataan Meylan (1956) yang menyetakan bahwa film animasi dapat memberikan sebuah
pemahaman secara visual dan auditori dibandingkan dengan pembelajaran melalui litetatur.
Anak-anak menganggap film sebagai sebuah realitas kehidupan nyata sehingga menjadikan film
tersebut sebagai sebuah pembelajaran. Film tersebut memberikan ide yang dapat menjadi
kebiasaan baik atau buruk.
Implementasi dalam Pembelajaran
Ruang lingkup materi pembelajaran film animasi cerita anak di SD difokuskan pada tiga
aspek, yakni memahami isi film animasi cerita anak, menganalisis unsur film animasi cerita
anak, dan memberikan komentar secara kritis. Pendidik dapat melihat peluang untuk
mengintegrasikan pengembangan kompetensi berbahasa, berpikir kritis, dan sikap moral yang
kritis melalui peluang-peluang yang dikreasikan, misalnya ketika pendidik menjabarkan
indikator pembelajaran sejak awal telah memiliki visi kekeritisan dan moral yang akan
ditanamkan pada peserta didik. Pendidik memilih film animasi cerita anak yang dengan kisah
yang menarik siswa dan sarat dengan pesan moral yang bermanfaat. Pengalaman belajar
1
dirancang agar peserta didik aktif berpikir dan responsif terhadap berbagai peristiwa dan pesan
moral dalam teks dan mengantarkannya pada pengalaman reflektif. Dengan demikian,
pembelajaran film animasi cerita anak tidak hanya pada ruang lingkup kognitif, melainkan
menjangkau penting lainnya yakni ranah afektif dan tindakan (aksi).
Membangun Situasi Pembelajaran untuk Mendorong Siswa Menyampaikan ResponEstetik, Kritis, dan Arif
Apabila belajar dari sejarah perkembangan bangsa-bangsa, pertanyaan penting yang perlu
direnungkan jawabannya, yakni mengapa Indonesia yang dahulu nenek moyangnya dikenal
sebagai orang-orang yang santun, ramah, dan berbudi luhur saat ini menghadapi konflik-konflik
kehidupan sosial dengan kasus-kasus korupsi yang demikian arah? Jawaban atas pertanyaan ini
penting untuk dicari dan direnungkan sebagai pendorong bagi setiap orang, khususnya para
pendidik untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Salah satu pihak yang
perlu bekerja keras dan menjadi tumpuan masyarakat untuk memecahkan masalah ini yakni para
pendidik dan sekolah. Sekolah dipandang sebagai laboratorium budaya yang sangat efektif untuk
melakukan perubahan dan menyiapkan generasi masa depan bangsa yang lebih cerdas, arif, dan
bermartabat.
Dalam konteks pendidikan moral (baca karakter) pendidik sudah seharusnya merasa
lebih khawatir jika peserta didik tidak jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki
rasa empati serta hormat pada orang lain, tidak menjunjung tinggi nilai etika (sopan santun), dan
tidak mengedepankan nilai moral; jika dibandingkan dengan tidak bisa membaca, menulis, dan
berhitung. Guru-guru tersebut harus merasa sangat prihatin jika peserta didik mereka memiliki
perilaku moral yang kurang baik. Perbaikan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau
prestasi akademik lainnya membutuhkan waktu yang relatif singkat dan strategi yang lebih
mudah jika dibandingkan dengan perbaikan moral. Pelatihan yang intensif selama beberapa
bulan dapat meningkatkan kemampuan membaca, menulis, maupun menghitung. Akan tetapi,
untuk mendidik moral seorang anak diperlukan waktu tidak kurang dari 15 tahun. Pembelajaran
membaca menulis dan berhitung dapat diajarkan kapan saja, bahkan saat seseorang sudah
dewasa dan tua sekalipun. Pembelajaran moral membutuhkan rentang waktu yang sangat
panjang, yakni sejak anak dilahirkan hingga saat berakhirnya masa kuliah atau masa dewasa.
Moral dibentuk melalui pemaksaan, pembiasaan, pelibatan jangka panjang, dan akhirnya terukir
1
menjadi karakter (watak) yang dikendalikan oleh pola-pola pengetahuan, perasaan, dan perilaku
yang diyakini sebagai kebenaran.
Dalam pembelajaran dengan sumber atau media film animasi, pendidik harus berusaha
mengubah indoktrinasi nilai moral yang sangat membosankan dan memperlakukan peserta didik
sebagai objek penanaman nilai moral dengan pola-pola pemikiran orang dewasa; menjadi
aktivitas apresiasi untuk memahami secara kritis berbagai pemikiran, sikap, perasaan, dan
perilaku manusia dalam film animasi. Pendidik mengembangkan pola-pola penalaran kritis yang
dapat digunakan siswa untuk menyampaikan respon terhadap teks film animasi yang dibacanya.
Pola penalaran kritis kritis tersebut, misalnya dikembangkan dengan cara (1) memilih film
animasi dengan muatan cerita yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
membaca dengan perasaan gembira, (2) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menyampaikan respon-respon estetik (respon terhadap hal-hal yang membuat peserta didik
merasa gembira) dalam proses berpikir yang benar, (2) mengembangkan strategi-strategi
pemecahan masalah yang dihadapi tokoh dalam film animasi sehingga strategi tersebut dapat
diadopsi, diadaptasi, atau dikreasikan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis , (3)
menyajikan sejumlah pengetahuan baru melalui berbagai peristiwa yang dihadapi tokoh untuk
meningkatkan gambaran mental anak, (4) menyajikan beragam informasi baru memperluas
landasan pengetahuan anak, dan (5)menunjukkan harapan-harapan tokoh untuk meraih
kehidupan yang lebih baik untuk memotivasi anak untuk selalu menggunakan keterampilan
berpikir yang telah dipelajarinya (Andajani, 2009, 2010, 2011).
Visi moral seorang pendidik menjadi tulang punggung pembelajaran apresiasi film
animasi untuk menanamkan penalaran kritis dan sikap moral peserta didik. Visi moral antara lain
dapat digali dari nilai agama, kearifan local (local wisdom), nilai sosial-kemanusiaan, bahkan
nilai universal. Visi moral dibangun dengan mempertimbangkan karakter yang hendak
dikembangkan pada peserta didik.
Elemen-Elemen Kekeritisan dan Nilai Kearifan Lokal dalam Film Animasi
Film animasi cerita anak menduduki posisi sentral dalam pembelajaran yang menekankan
kekritisan dan penenaman nilai moral. Elemen-elemen kekritisan dalam film animasi antara lain
berupa elemen cerita yang dapat diposisikan sebagai data untuk latihan berpikir deskriptif,
naratif, dan argumentatif. Latihan berpikir deskriptif dikembangkan melalui pelatihan untuk
1
mengidentifikasi dan menglasifikasi data-data yang terdapat dalam film cerita. Kemampuan
berpikir naratif dikembangkan melalui kemampuan mengurutkan data-data dengan logika
eksplanatif. Selanjutnya, kemampuan berpikir argumentatif dapat dikembangkan melalui
kegiatan analisis terhadapfilm yang ditontonnya dan bermuara pada kegiatan berpikir sintesis
dan kreatif.
Elemen-elemen moral yang dapat digali dari film animasi mencakup pengetahuan tentang
moral (moral knowing), perasaan yang peka terhadap nilai moral (moral feeling), dan tindakan
yang didasarkan pada nilai moral (moral action). Pengetahuan tentang moral dapat diperoleh dari
kegiatan atau pelatihan apresiasi yang mendorong siswa untuk memahami isi cerita dalam film
dan memberikan respon kritis terhadap monolog serta dialog tokoh, respon tokoh, sikap tokoh
dalam menghadapi masalah, dan perilaku tokoh yang berisi nilai-nilai moral secara eksplisit
maupun implisit. Perasaan yang peka terhadap nilai moral dalam film animasi diperoleh dengan
pelatihan untuk menyatakan sikap peserta didik terhadap berbagai peristiwa yang dialami tokoh,
jalan pikiran tokoh, keputusan tokoh. Siswa dihadapkan pada berbagai karakter manusia dan
dibimbing untuk bersikap berdasarkan nilai moral. Adapun tindakan bermoral dapat dilatihkan
misalnya dengan membuat rencana pribadi, respon, memilih tindakan yang akan dilakukan, dan
menulis buku harian, dan menulis jurnal penilaian diri sendiri. Pelatihan yang dilakukan secara
terus-menerus akan menghasilkan perubahan-perubahan yang dapat dipantau perkembangannya.
Perhatikan adegan berikut.
Dalam proses pembelajaran, setelah siswa peserta didik menonton adegan film tersebut
tersebut ia mendapatkan empat input penting bagi perkembangan moralnya. Pertama, peserta
didik mengenali manusia dengan watak yang melekat dalam dirinya. Misalnya, pada film
animasi Pasukan Kebersihan Sekolah, peserta didik dikenalkan pada tokoh Ully dengan watak
yang sombong dan jorok; dan pada sisi yang juga dikenalkan dengan sosok Joshua yang sabar,
bersahaja, penyayang, dan peduli. Kedua, peserta didik juga dikenalkan pada jalan pikiran
seseorang dalam menyikapi kehidupan jika tidak taat pada nilai moral. Ketiga, sikap hidup yang
keliru karena mengingkari nilai moral dan sikap hidup yang baik karena sangat peduli pada
kebutuhan kebersihan. Input nilai moral dapat diperrluas dan diperdalam dengan mengajak
mereka mengikuti kisah yang lebih kompleks yang dihadapi oleh para tokoh.
Salah satu contoh kegiatan yang dapat dikembangkan yakni, peserta didik dapat diajak
berdiskusi untuk menemukan jalan pikiran, sikap, dan perilaku dari tokoh Ullyn yang buruk dan
1
Joshua yang mulia. Siswa dibimbing pada pemikiran bahwa untuk menjalani hidup manusia
harus bekerja keras untuk mendapatkan dan hidup di lingkungan yang bersih. Kebersihan adalah
kebutuhan hidup bersama yang harus diupayakan secara bersama-sama pula. Peserta didik diajak
untuk memahami contoh bahwa seseorang yang berwatak buruk karena mengingkari nilai-nilai
moral tidak memiliki ketenangan dalam hidup. Sebaliknya, seseorang yang memilih hidup
dengan bersahaja, peduli, dan penyayang akan mendapatkan ketenangan.
Diskusi elemen-elemen cerita dan moral dalam karya film animasi diarahkan pada
kesimpulan bahwa seseorang harus berusaha keras untuk taat pada nilai-nilai moral sepanjang
hidupnya. Pengingkaran akan berakibat buruk dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, seseorang yang mengingkari nilai moral tidak mendapatkan ketenangan
hidup karena memandang orang lain sebagai musuh yang dapat ditipu, ditekan, dihina, dan
dilecehkan. Pada akhirnya dalam jangka penjang seseorang akan menghadapi masalah yang
kompleks rumit, dan bahkan terpuruk pada kegagalan hidup. Sebaliknya, seseorang yang
berusaha dengan sabar dan sungguh-sungguh menaati nilai moral akan hidup dengan tenang
dan diterima pihak lain dengan baik.
Dalam proses pembelajaran, adegan-adegan dalam film animasi dapat mengantar siswa
pada kesimpulan pada nilai-nilai moral yang melekat pada diri seseorang (nilai moral pribadi)
menjadi titik tolak untuk membangun relasi sosial. Seseorang yang pengetahuan, sikap dan
perilakunya mengingkari nilai moral akan terpuruk pada kehidupan yang keliru dan gagal
membangun relasi sosial dengan benar. Sebaliknya, seseorang yang sabar dan bersungguh-
sungguh dalam menaati nilai moral akan dikenal sebagai seseorang yang mulai dan berhasil
membangun relasi sosial.
Mengembangkan Aktivitas Belajar Peserta Didik untuk Mengembangkan KekritisanPenalaran Terintegradi dengan Pendidikan Moral
Suasana pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan sangat diperlukan dalam
pembelajaran (Wena, 2009: 160-161). Pembelajaran apresiasi film animasi cerita anak
dirancang dengan pemikiran bahwa film animasi dapat melibatkan siswa pada aktivitas belajar
yang kreatif, menyenangkan, menumbuhkan motivasi yang tinggi untuk terlibat, dan mendorong
kepekaan dan kekritisan untuk memahami nilai moral. Sejumlah aktivitas yang dapat
1
dikembangkan dalam pembelajaran apresiasi film animasi cerita anak agar dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan moral peserta didik antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut.
Menceritakan Kembali Film Animasi yang Ditonton untuk Membangun KeterampilanBerpikir Deskriptif--Naratif
Aktivitas utama pembelajaran dikemas melalui pembacaan teks film animasi dengan
teknik menonton dan menceritakan kembali isi cerita. Beberapa hal yang penting mendapatkan
perhatian guru yakni beberapa hal berikut.
(1) Pilihlah naskah film animasi yang mengandung pesan moral yang jelas, tokoh dengan
kontradiksi moral yang nyata, dan plot cerita dengan konflik yang menarik.
(2) Petakan komptensi awal peserta didik dan siapkan pengetahuan prasyarat secara memadai
agar tidak timbul kesulitan dalam memahami isi cerita, khususnya dari segi bahasa.
(3) Kemukakan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali respon-respon estetik; misalnya dengan
menanyakan persitiwa yang paling berkesan, tokoh yang dikagumi, persamaan pengalaman
pribadi dengan pengalaman tokoh, hal-hal yang ingin ditiru, dan pengalaman yang ditolak.
(4) Lakukan refleksi bersama untuk mendeskripsikan jalan pikiran, sikap, dan perilaku tokoh
yang mulia serta tokoh yang tercela.
(5) Tugasi peserta didik berdiskusi kelompok untuk membuat diagram alir yang berisi urutan
persitiwa yang terjadi dengan urutan berpikir sebab-akibat.
(5) Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk menceritakan kembali isi cerita di dalam
kelompok untuk membangun keterampilan berpikir naratif berdasarkan diagram alir yang
telah disusunnya.
Menulis Surat Pribadi Kepada Tokoh untuk Argumentatif
Menulis surat pribadi kepada tokoh dalam cerita dapat menghimpun beberapa hasil
belajar kekritisan dan apresiasi nilai moral dalam film animasi cerita anak. Dalam surat yang
ditulisnya peserta didik dapat mengungkapkan persepsi, saran kritis, dan harapan pada seorang
tokoh setelah membaca. Upaya ini sekaligus sebagai penguatan terhadap nilai-nilai moral yang
telah diperolehnya setelah melakukan aktivitas menonton, menganalisis, menyimpulkan, bahkan
menilai tokoh dalam film animasi. Guru membimbing siswa memilih tokoh, informasi atau
harapan yang ingin disamapikan pada tokoh, dan lebih luas dari itu peserta didik juga dapat
menyatakan sikapnya.
1
Membuat Representasi Visual untuk Membangun Kemampuan Berpikir Argumentatif
Hasil apresiasi siswa terhadap nilai moral dalam film animasi dapat dinyatakan secara
visual dalam bentuk gambar/simbol, grafik, peta, dan warna. Misalnya, setelah menonton fil
Hadiah Terindah peseta didik dibimbing memilih gambar/simbol Josephin dengan memilih
gmbar bunga. Misalnya, siswa dapat memilih bunga melati untuk menggambar tokoh Josephin
yang lembut, penyayang, dan tekun. Pemilihan gambar ini hanyalah sebagai titian, hal yang
lebih penting dari itu adalah peserta didik dapat menyampaikan alasan-alasan
pemilihan gambar/simbol tersebut. Dengan demikian, kesadaran moral dibangun dari pernyataan
yang dipilih sebagai alasan yang rasional. Demikian pula grafik dapat dimanfaatkan untuk
menunjukkan perkembangan emosi tokoh terkait dengan wataknya, peta dimanfaatkan untuk
memilihkan tempat tinggal yang sesuai agar seseorang mengalami perubahan dari jahat menjadi
baik, dan warna dimanfaatkan untuk menunjukkan kompleksitas watak manusia sehingga peserta
didik dapat mengetahui watak yang paling dominan dari seseorang sehingga ia dapat hadir atau
tamapil sebagai sosok yng mulai atau hina.
Memilih Sahabat Evaluatif
Aktivitas sahabat dilakukan pada awal dan akhir pelajaran. Pada awal pelajaran guru
menyebutkan sejumlah nama tokoh pada film animasi yang akan dibacakan. Siswa kemudian
dipersilakan untuk memilih salah satu sebagai calon sahabat. Selanjutnya, pendidik
menayangkan film dan peserta didik menonton dengan seksama. Peserta didik kemudian
mendiskusikan nama-nama, jalan pikiran, sikap, dan perilaku tokoh. Pada akhir kegiatan
pembelajaran, siswa dipersilakan apakah mereka tetap pada sahabat pilihan pada awal pelajaran
ataukah akan memilih tokoh yang lain. Siswa menyampaikan alas an atas setiap keputusan yang
dimabilnya.
Bermain Peran Kreatif
Bermain peran dapat dilakukan dengan bermacam cara, misalnya (1) monolog dengan
cara berbicara seperti tokoh film animasi dan (2) pementasan fragmen secara berkelompok
berdasarkan peristiwa dalam film animasi. Aktivitas monolog dimaksudkan untuk menguatkan
nilai-nilai moral yang disampaikan dengan cara peserta didik secara perseorangan memberikan
1
nasihat atau mengajak pada tokoh dalam film animasi yang berwatak buruk. Peserta didik diberi
kebebasan untuk memilih tokoh yang akan dinasihatinya. Pementasan fragmen dilakukan secara
berkelompok. Siswa diberi kebebasan untuk menggubah kisah secara kreatif dengan penekanan
untuk menyampaikan cara berpikir memecahkan masalah secara kritis dan pesan-pesan moral
yang sesuai perekembangan mental dan spiritual mereka.
SIMPULAN
Film animasi cerita anak dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran dalam upaya
pengembangan kekritisan dan moral siswa. Elemen kekritisan yang dikembangkan mencakup
kemampuan deskriptif, naratif, dan argumentative. Adpun elemen kekritisan mencakup
pengetahuan, sikap, dan tindakan (perilaku) yang didasarkan pada nilai moral. Hal utama yang
ditanamkan yakni pengingkaran terhadap nilai moral akan membawa seseorang pada watak dan
kehidupan yang hina, sebaliknya ketaatan pada nilai moral dapat mengantarkan seseorang hadir
sebagai sosok dengan watak dan kehidupan yang mulia.Aktivitas pembelajaran yang dapat
dikembangkan antara lain menonton film animasi, bermain peran, menulis surat pribadi,
membuat representasi visual, dan memilih sahabat. Setiap aktivitas belajar harus mampu
mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatifu untuk menemukan dan menghayati nilai
moral.
RUJUKAN
Beach, Ricahard , Marshall, James. 1991. Teching Literature in The Secondary school. SanDiego: Harcourt Brace Javanovich Publisher.
Laporta, Raffaelo. Cinema ed eta evolutiva. The cinema and the age of development. Florence, La Nuova Italia, 1957, 188 p. "Educatori Antichi e Moderni" series, 153.
Lickona, T. 1991, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect andResponsibility. New York: Bantam Books.
Meylan, Luis M . Le cinema et 1' Education morale. The cinema and moral education. Actes du Congres international sur la presse periodique , cinematographie et radio pour enfants, Milan, 19-23 March 1952, Milan, A. Giuffre, 1953, p. 169-175.
2
Meylan, Louis M. Le film, moyen de culture. The film as a cultural medium In: Cahiers de pedagogie de Universite de Liege, 15 (l), March 1956.
Sebastian, T, Wilson. 2010. A Study to Impact of Computer Animation on Children in Three Cities of Kerala (Calicut, Cochin, & TVM). Thesis submitted to the University of Calicut for the Degree of Doctor of Philosopy in Journalism and Mass Communication.
Sutherland, Zena, Monson, Dianne L., Arbuthno, May Hill. 1981. Children & Book. Illinois: Scott Foresman and Company.
Wena, Made.2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.
Willis, J. A. 1995. Recursive, Reflective Instructional Design Model Based on Contructivist—Interpretivist Theory. . Educational Technology. November—December 1995: 5-23.