living hadis
Transcript of living hadis
LIVING HADIS: STUDI ATAS FENOMENA TRADISI
FIDYAH SALAT DAN PUASA BAGI ORANG
MENINGGAL DI INDRAMAYU
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh
Nurkholis Sofwan
NIM: 21150340100014
PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
LIVING HADIS: STUDI ATAS FENOMENA TRADISI
FIDYAH SALAT DAN PUASA BAGI ORANG
MENINGGAL DI INDRAMAYU
Tesis
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh
Nurkholis Sofwan
NIM: 21150340100014
Pembimbing II
Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag
NIP. 19700112 199603 2 001
PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Nurkholis Sofwan
Living Hadis: Studi Atas Fenomena Tradisi Fidyah Salat dan Puasa Bagi
Orang Meninggal di Indramayu.
Kata Kunci: Living Hadis, Tradisi Fidyah Salat dan Puasa, Indramayu.
Penelitian ini untuk mendeskripsikan fenomena tradisi fidyah salat dan
puasa bagi orang meninggal di Indramayu sebagai fenomena living hadis. Secara
umum, fidyah salat yang dilakukan masyarakat masih menimbulkan kontroversi
yang cukup sengit, baik dari segi pemahaman maupun praktiknya. Berbeda
dengan fidyah puasa yang disepakati oleh seluruh masyarakat Muslim. Meski
demikian, masyarakat Indramayu tetap melaksanakan tradisi fidyah yang mereka
anggap sesuai dengan petunjuk hadis dan pendapat para ulama fiqh dalam ‘kitab-
kitab kuning’. Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting dan menarik untuk
diteliti lebih dalam. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pendapat ulama
tentang fidyah salat dan puasa bagi orang meninggal, 2) mengetahui sejarah
terbentuknya tradisi fidyah di Indramayu, 3) mengetahui pemahaman dan beragam
praktik tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu sebagai pemaknaan
terhadap hadis fidyah salat dan puasa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif-deskriptif.
Adapun pendekatan dalam penelitian ini yaitu pendekatan fenomenologi,
etnografi dan studi kasus. Pendekatan fenomenologi dilakukan dengan meneliti
fakta religius yang bersifat subjektif dari masyarakat Indramayu tentang
pelaksanaan tradisi fidyah. Sementara pendekatan etnografi dilakukan untuk
mendeskripsikan keadaan masyarakat Indramayu yang dilihat dari beberapa
aspek, terutama aspek sosial dan agama. Adapun pendekatan studi kasus dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengungkap pola-pola tradisi fidyah salat dan
puasa di Indramayu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan
wawancara mendalam (deep interview) kepada masyarakat Indramayu sebagai
sumber primer penelitian dan menganalisa buku-buku yang mendukung tema
penelitian sebagai sumber data sekunder. Penelitian ini dilakukan di Desa Tenajar
Lor (Kec. Kertasemaya), Desa Sliyeg Lor (Kec. Sliyeg), dan Desa Segeran Kidul
(Kec.Juntinyuat), Kabupaten Indramayu.
Dari penelitian tersebut, disimpulkan bahwa sebagian ulama tidak sepakat
terhadap fidyah salat dan puasa bagi orang meninggal, dan sebagian yang lain
menyepakatinya. Tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu telah ada
sejak awal tahun 1900-an. Doktrin fidyah salat dan puasa berawal dari studi
masyarakat Indramayu di berbagai pesantren di Pulau Jawa, kemudian
ditransmisikan kepada masyarakat luas melalui pengajian-pengajian di pesantren,
masjid dan musala hingga menjadi tradisi yang kokoh. Masyarakat Indramayu
memaknai hadis fidyah salat dan puasa sebagai iḥtiyaṭ (kehati-hatian) terhadap
kekurangan atau utang salat dan puasa si mayyit. Dalam hal ini ada tiga (3) model
tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu: 1) fidyah dengan cara
membolak-balikkan beras atau uang (tradisi Geong) pada hari tertentu, 2) fidyah
dibagikan langsung kepada fakir miskin sebelum jenazah disalatkan, dan 3) beras
fidyah dibagikan pada saat tahlilan. Pada umumnya, masyarakat Indramayu
melakukan tradisi fidyah pada hari ketujuh kematian seseorang.
ii
ABSTRACT
Nurkholis Sofwan
Living Hadith: Studies On the Phenomena of Fidyah Prayer and Fasting
Tradition For People Died in Indramayu.
Keywords: Living Hadith, Tradition of fidyah Prayer and Fasting, Indramayu.
This research to describe the phenomenon of fidyah prayer and fasting
tradition for people died in Indramayu as a phenomenon of living hadith.
Generally, fidyah prayer which is performed by the society still raises a quite
cruel controversy, both in terms of understanding and practice. It is different from
the fidyah fasting which has been agreed upon the whole muslim society.
However, people still carry the tradition Indramayu fidyah as they see fit with
hints hadith and the opinion of the fiqh scholars in ‘kitab-kitab kuning’.
Therefore, this research is very important and interesting to be studied more
deeply. This research aims to: 1) know the opinion of ulama about fidyah prayer
and fasting for the dead, 2) understand the formation history of fidyah tradition in
Indramayu, 3) to know the understanding and the various practices of fidyah
tradition performed by Indramayu community as the meaning of the hadith fidyah
prayer and fasting.
The method used in this research is qualitative descriptive. The approach
in this research are phenomenology, ethnography and case studies.
Phenomenological approach is done by examining the religious fact that the
subjective nature of Indramayu on the implementation of fidyah tradition. While
the ethnographic approach for describing the state of Indramayu community seen
from several aspects, especially social and religious aspects. The case study
approach in this study performed by revealing patterns of fidyah prayer and
fasting tradition in Indramayu. The data collection is done by observation and in-
depth interviews to the Indramayu community as the primary source research and
analyze books that support the theme of the research as a secondary data source.
From the research, it is concluded that some scholars disagree on fidyah
prayer and fasting for the dead, and some others agree on it. The fidyah tradition
was performed that tradition carried fidyah Indramayu community has existed
since the early 1900s. The doctrine of fidyah prayer and fasting originated from
Indramayu community study in various pesantren, then transmitted to the public
through in study at mosques and musala to become a solid tradition. Indramayu
community interpret the fidyah prayer and fasting tradition as iḥtiyaṭ (prudence)
to the deficiencies or the debt mayyit prayer and fasting. In this case there are
three (3) models fidyah tradition in Indramayu, i.e. : 1) fidyah in a way of rotating
back and forth the rice or money (Geong tradition) on the certain days, 2) the
fidyah which is given to needy people (fakir miskin) before a corpse is prayed,
and 3) and the fidyah post-tahlilan. Generally, fidyah tradition performed by
Indramayu community on the seventh day of the death of a person.
iii
الملخص
نورخالص صفوان .إندرامايو في تيللم والصيام الصلاة فدية ليداظاهرة تق على دراسةال :الحديث ةي يح
.إندرامايو ،الصيامو الصلاة فدية ليداتق ،الحديثةي يح :البحث كلمات
من كظاىرة إندرامايو فيتيللمالصياموفديةالصلاة ليداتقظاىرةالبحثىذاصفو من سواء جدا، اعنيف جدلا يزال لاصلاةال فديةالمجتمعيقيمأداء كان عام، بشكل .الحديثةي حي
ذلك، ومع .كلو الاسلامي المجتمع من عليها المتفق مياالص فديةمن بخلافو .تطبيقوال الفهم حيثو الحديث تلميحات مع مناسبا تراه الذيالتييرونهافديةال ليداتقب القيامإندرامايو تمعمجيزال لا
بشكل لدراستها للاىتمام ومثنة جدا مهم البحث ىذا لذلك، ".الكتبالدينية"في ءاالفقهرأي (۲ للموتى, والصيامفديةالصلاةعنالعلماءأراءمعرفة (۱ : إلى البحثىذا هدفيو .أعمقالفديةليداتقمنمختلفةوممارساتفهملمعرفة(۳ ،إندرامايو في الفدية ليداتق طبيقت تاريخ فهم.للموتىوالصيامالصلاةفديةعنمسألةالحديثمعنىيفهمونكماإندرامايومجتمعقامبهاالتي
الظواىر، البحث ىذا في النهج .النوعية الوصفي البحث ىذا في المستخدمة الطرق للمجتمع الشخصية طبيعة أن الديني الواقع دراسة خلال من الظواىر .الحالة ودراسات والاثنوغرافيا
ينظر إندرامايو مجتمع حالة لوصف الإثنوغرافية نهج أن حن في .الفدية ليداتق تنفيذ على إندرامايو التي الدراسة ىذه في الحالة دراسة نهج .والدينية الاجتماعية الجوانب وخاصة جوانب، عدة من إليها
جمع ويتم .إندرامايو في الفدية ليداتق والصيام الصلاة من أنماط عن الكشف خلال من أجريت الرئيسي المصدر باعتبارىا إندرامايو المجتمع إلى المتعمقة والمقابلات الملاحظة طريق عن البياناتقريةفيالبحثأجري.ثانوي بيانات كمصدر الدراسة موضوع تدعم التي الكتب وتحليل البحوثمنطقة)كيدولسيغنانوقرية،(سليغمنطقة)لورسليغقرية،(كرتاسيمايامنطقة)لورتيناجار
.إندرامايومنريجنسي،(جونتينيوات
والبعض،يتللمالصياموصلاةالفديةعلىيختلفونالعلماءبعضأناستنتجالبحث،من .0011sأوائلمنذموجودةكانتإندرامايومجتمعأجراىاالتيالفديةتقاليد.عليويتفقالآخر
إلى تنتقل ثم ،عهدالم مختلف في إندرامايو مجتمع دراسة من نشأتالصيامو الصلاةفدية عقيدةالونيفهم إندرامايو تمعالمج .الصلبة ليداتق لتصبح المصلىو المساجد في الدراسة في خلال من الجمهور
iv
في .الميتوصومالصلاةدينأوعدم(ضدالحكمة (إحتيطكما الصياموالصلاةفديةالحديث أو الأرزمقلوب الفدية(۱ : إندرامايومجتمع جعل الفدية ليداتق نماذج)۳ (ثلاثة ىناك الحالة ىذه
توزيعبديةفال(۳ و ،أنتصلىالميتقبلالفقراءإلىالأرزبتوزيعالفدية(۲ ،(Geong) فلوسالوفاةمن السابع يوم فيالفديةتقاليدإندرامايومجتمعأجري عام، بشكل.تهليلوقتفيالأرز
.الشخص
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan hidayah, rahmat dan ilmu-Nya kepada penulis, serta berkat-Nya lah
penulisan Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga
senantiasa terlimpahcurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah membina
umat manusia menuju jalan yang diriḍai Allah Swt, dan semoga kita menjadi
salah satu umat yang mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak. Amiin
Dalam menyelesaikan Tesis yang berjudul “LIVING HADIS: STUDI
ATAS FENOMENA TRADISI FIDYAH SALAT DAN PUASA BAGI ORANG
MENINGGAL DI INDRAMAYU” ini tentunya banyak melibatkan berbagai
pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
sekaligus Pembimbing Tesis I penulis, beserta Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok,
M.Si, Dr. Bustamin, M.Si, dan Dr. M.Suryadinata, M.Ag., selaku para
Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag, selaku Ketua Program Magister Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin, sekaligus Pembimbing Tesis II penulis, dan Maulana,
MA, selaku Sekretaris Program Magister Tafsir Hadis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Fuad Thohari, MA dan Dr. Ahmad Fudhaili, MA, selaku dosen penguji
yang telah memberi ilmu, kritik dan saran kepada penulis untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini.
5. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, yang telah memberikan dukungan,
nasehat, dan motivasi kepada penulis selama menempuh studi S2 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Segenap dosen civitas akademika Program Magister Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Program Magister Tafsir Hadis
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas ilmu dan motivasi yang
telah diberikan selama penulis menempuh studi di kampus kebanggaan ini.
7. Kedua orang tua penulis (Sofwan dan Umi Kulsum), atas didikan,
bimbingan, motivasi, dukungan, semangat dan do’a restunya kepada penulis
selama ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan rahmat, kesehatan
dan keselamatan kepada keduanya di dunia dan akhirat. Amiin. Selanjutnya
kepada istri tercinta penulis (Khaerun Nisa) atas bantuan, dukungan, dan
do’anya untuk penulis.
8. Masyarakat Desa Tenajar Lor (Kec.Kertasemaya), Desa Sliyeg Lor
(Kec.Sliyeg), Desa Segeran Kidul (Kec.Juntinyuat), baik ulama desa, tokoh
masyarakat, maupun masyarakat umum, khususnya para informan yang
vi
telah membatu memberikan data dan informasinya kepada penulis selama
penelitian.
9. Kawan-kawan Program Magister Tafsir Hadis angkatan 2015, atas
perjuangan dan semangatnya selama di kampus tercinta ini.
Penulis mengharapkan ridha Allah Swt, semoga pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Tesis ini dinilai sebagai amal ibadah yang terus
mengalir sepanjang hayat. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para
pembaca sekalian, dan manjadi bahan evaluasi bagi penulis pada penelitian
selanjutnya. Selamat membaca!
Ciputat, 17 Desember 2017
Nurkholis Sofwan
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............. 11
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 13
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 13
E. Tinjauan Pustaka ................................................................. 14
F. Metodologi Penelitian ......................................................... 17
G. Sistematika Penulisan .......................................................... 23
BAB II DISKURSUS FIDYAH SALAT DAN PUASA DALAM
KAJIAN HADIS
A. Fidyah Salat: Doktrin Kontroversial dalam Islam ............... 26
1. Definisi Fidyah Salat .................................................... 29
2. Hadis Fidyah Salat ....................................................... 34
a. Teks Hadis Fidyah Salat ......................................... 34
b. Makna Hadis Fidyah Salat ..................................... 39
c. Sunnah: Tradisi Fidyah Salat di Kalangan Ulama . 42
3. Ruang Lingkup Fidyah Salat ........................................ 44
a. Fidyah Salat Bagi Orang Meninggal ...................... 44
b. Fidyah Salat Bagi Orang Miskin? .......................... 46
B. Fidyah Puasa ....................................................................... 48
1. Definisi Fidyah Puasa .................................................. 49
2. Hadis Fidyah Puasa ...................................................... 51
a. Teks Hadis Fidyah Puasa ....................................... 51
b. Makna Hadis Fidyah Puasa .................................... 55
viii
3. Ruang Lingkup Fidyah Puasa ...................................... 58
a. Fidyah Puasa Bagi Orang yang Lanjut Usia .......... 58
b. Fidyah Bagi Orang Hamil dan Menyusui .............. 60
c. Utang Puasa Orang yang Meninggal: Qaḍā’ atau
Fidyah? ................................................................... 62
BAB III SEJARAH DAN KONTROVERSI TRADISI FIDYAH
DI INDRAMAYU
A. Penyebaran Islam di Indramayu: Potret Sejarah Singkat .... 68
B. Mengenal Religiusitas dan Pendidikan Islam di Indramayu 73
a. Pesantren: Sumber Religiusitas Masyarakat Muslim
Indramayu ...................................................................... 74
b. Pendidikan Islam dan Tuntutan Modernitas .................. 77
C. Kontinuitas Tradisi Keagamaan di Indramayu .................... 81
D. Tradisi Fidyah di Indramayu: Sebuah Tinjauan Historis .... 89
1. Latar Belakang Munculnya Tradisi Fidyah .................. 90
2. Kyai dan Pesantren: Proses Transmisi Tradisi Fidyah . 93
E. Kontroversi Tradisi Fidyah di Indramayu ........................... 98
BAB IV TRADISI FIDYAH DAN IMPLIKASINYA DALAM
KEHIDUPAN MASYARAKAT INDRAMAYU
A. Living Hadis: Aktualisasi Tradisi Fidyah di Indramayu ..... 104
1. Pemahaman Masyarakat Atas Hadis Fidyah Salat
dan Puasa ....................................................................... 106
2. Model-Model Tradisi Fidyah di Indramayu .................. 111
a. Tradisi Geong .......................................................... 111
b. Fidyah Pra-Salat Jenazah ........................................ 117
c. Fidyah Pasca-Tahlilan ............................................. 121
B. Respons Masyarakat Atas Tradisi Fidyah di Indramayu .... 126
1. Respons Masyarakat yang Melaksanakan Tradisi
Fidyah ........................................................................... 126
2. Respons Masyarakat yang Tidak Melaksanakan Tradisi
Fidyah ........................................................................... 130
ix
C. Implikasi Tradisi Fidyah di Indramayu ............................... 134
D. Argumentasi Pelestarian Tradisi Fidyah di Indramayu ....... 139
E. Kritik terhadap Tradisi Fidyah di Indramayu ...................... 146
1. Terjadi Perbedaan dalam Mekanisme Penghitungan
Fidyah ........................................................................... 146
2. Ketidaktepatan pada Orang yang Menerima Fidyah ..... 149
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 153
B. Rekomendasi ....................................................................... 154
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 157
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................
IDENTITAS PENULIS ............................................................................
x
PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN
Tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin sebagai berikut:
A. Padanan Aksara
No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا 1
b be ب 2
t te ت 3
ts te dengan es ث 4
j je ج 5
ḥ ha dengan titik di bawah ح 6
kh ka dengan ha خ 7
d de د 8
dz de dengan zet ذ 9
r er ر 10
z zet ز 11
s es س 12
sy es dengan ye ش 13
ṣ es dengan titik di bawah ص 14
ḍ de dengan titik di bawah ض 15
ṭ te dengan titik di bawah ط 16
zh zet dengan ha ظ 17
‘ ع 18koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dengan ha غ 19
f ef ؼ 20
q ki ؽ 21
k ka ؾ 22
xi
l el ؿ 23
m em ـ 24
n en ف 25
w we ك 26
h ha ق 27
apostrof ’ ء 28
y ye ي 29
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Adapun ketentuan vokal
panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan
huruf.
1. Vokal Tunggal (Monoftong)
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
1 ______ a fatḥah
2 ______ i kasrah
3 ______ u ḍammah
2. Vokal Rangkap (Diftong)
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
ي_ _ 1 ai a dengan i
ك_ _ 2 au a dengan u
3. Vokal Panjang (Madd)
No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan
ā a dengan garis di atas اػ 1
ī i dengan garis di atas يػ 2
ū u dengan garis di atas ك ـ 3
xii
C. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan اؿ
ditransliterasikan menjadi -al- baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun huruf
qamariyyah. Misalnya الفيل (al-fīl) dan الشمس (al-syams bukan asy-syams), al-
rijāl bukan ar-rijāl, al-ḍiwān bukan aḍ-ḍiwān.
D. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ___ (, dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضركرة tidak
ditulis aḍ-ḍarūrah, melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.
E. Ta Marbūṭah
Berkaitan dengan transliterasi ini, jika huruf ta marbūṭah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut ditransliterasikan menjadi huruf - h -
(lihat contoh no.1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūṭah
tersebut diikuti oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh no.2). Namun, jika huruf ta
marbūṭah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut ditransliterasikan
menjadi huruf - t – (lihat contoh no.3).
Contoh:
No. Kata Arab Transliterasi
ṭarīqah طريقة 1
al-jāmiʻah al-Islāmiyyah الجامعة الإسلامية 2
waḥdat al-wujūd كحدة الوجود 3
xiii
F. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam
transliterasi ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Ḥamid al-Gazālī,
bukan Abū Ḥamid Al-Gazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Namun berdasarkan buku panduan Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2010/2011 bahwa untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri tidak ditransliterasikan, meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Abdussamad al-Palimabani, tidak ʻAbd al-Ṣamad al-
Palimbanī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam tatanan sosial agama, masyarakat muslim menginginkan kehidupan
beragama yang ideal dengan mengikuti sunnah-sunnah Nabi Saw.1 Meskipun
Nabi Saw telah wafat, sunnah Nabi Saw tetap merupakan sesuatu yang ideal, yang
diikuti generasi muslim setelahnya dengan menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan
mereka yang dinamis. Penafsiran yang kontinu dan progresif ini, menurut M.
Alfatih Suryadilaga, disebut sebagai living sunnah atau “sunnah yang hidup,”
sebagaimana yang terjadi di daerah Madinah (Hijaz), Kuffah (Iraq), dan Mesir.2
Definisi ini mengacu pada pengertian living sunnah dalam pandangan Fazlur
Rahman, yaitu tradisi Nabi Saw yang diaktualisasi, dimodifikasi dan dielaborasi
generasi setelahnya sampai pada masa pra-kodifikasi dengan berbagai interpretasi
untuk dipraktikkan pada komunitas masyarakat tertentu.3
Tradisi yang berkembang pada masa Nabi Saw (sunnah) berasal dari kata
sanna, yang berarti menciptakan sesuatu dan mewujudkannya menjadi suatu
1 Dalam memaknai sunnah dan hadis, Ṣubḥi Ṣāliḥ mengemukakan perbedaan pendapat
antara ulama Mutaqaddimīn dan ulama Muta’akhkhirīn. Menurut ulama Mutaqaddimīn, hadis
ialah segala perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw
pasca kenabian, sementara sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi Saw tanpa
membatasi waktu. Sedangkan ulama Muta’akhkhirīn berpendapat bahwa hadis dan sunnah
memiliki pengertian yang sama, yaitu segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi Saw. Lihat:
Ṣubḥi Ṣāliḥ, Ulūm al-Ḥadīts wa Musṭalaḥuhu (Bairūt: Dār al-„Ilm li al-Malāyīn, 1988), h. 3-5.
Lihat Pula: Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dalam Metodologi Penelitian Living
Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2007), h. 89. Namun menurut Imam al-Nawāwī, hadis
dalam makna yang luas tidak hanya mencakup perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang di-
marfuʻ-kan kepada Nabi Saw, melainkan juga disandarkan kepada sahabat (hadis mawqūf) dan
tabi‟in (hadis maqṭuʻ). Lihat: Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syarf al-Nawāwī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim,
(Bairūt: Dār al-Fikr, T.Th.), Juz 1, h. 29-30 2 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. 193, Lihat Pula: M. Khoiril Anwar, “Living Hadis”
dalam Jurnal Farabi Volume 12, Nomor 1 (Juni 2015), h. 73 3
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher & Distributors,
1994), h. 32
2
model. Kata ini, menurut Aḥmad al-Naʻīm, dapat diterapkan untuk
memperagakan suatu tingkah laku. Adapun tingkah laku yang dijadikan model
atau contoh ini dapat diambil dengan cara meniru praktik nenek moyang suatu
suku atau komunitas tertentu.4 Sedangkan Ignaz Goldziher memaknai sunnah
sebagai tradisi dan kebiasaan yang ada di masyarakat, baik setelah Islam datang
maupun sebelumnya, diikuti secara terus menerus dan dianggap sebagai
peninggalan berharga yang mesti diikuti.5 Berbeda dengan Ignaz, Alfatih
berpendapat bahwa sunnah sebenarnya relatif identik dengan ijma’ (sesuatu yang
disepakati bersama) kaum muslimin, dan di dalamnya termasuk pula ijtihad para
ulama generasi awal yang ahli dan tokoh-tokoh politik di dalam aktivitasnya. Oleh
karena itu, “tradisi yang hidup” menurut Alfatih ialah sunnah Nabi Saw yang
secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan
situasi yang mereka hadapi.6
Seiring perkembangan zaman, living sunnah kemudian berkembang menjadi
living hadis.7 Hal ini dapat dilihat dari adanya penelitian-penelitian sarjana Barat,
seperti Barbara D. Metcalf yang meneliti living hadis di dalam komunitas Jamaah
4 „Abd Allah Aḥmad al-Naʻīm, Dekonstruksi Syariah, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan
Amirudin al-Rany (Yogyakarta: LKis, 2004), h. 35 5 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Penerjemah: S.M. Stern & C.R. Barber (London:
George Allen & Unwin, 1971), h. 17-26 6 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Penelitian Hadis, h. 193, dan M. Alfatih
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis: Dari Teks ke Konteks (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 178.
Lihat pula: M. Khoiril Anwar, “Living Hadis”, h. 73-74, Dalam konteks Indonesia, penulis lebih
cenderung kepada pendapat Alfatih, karena mayoritas penududuk muslim di Indonesia memahami
dan mengikuti tradisi keislaman melalui kitab-kitab fiqh klasik yang berisi ijmaʻ dan ijtihad para
ulama generasi awal. 7 Alfatih mengartikan living hadis sebagai gejala yang nampak di tengah masyarakat
berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Saw atau respons masyarakat sebagai
pemaknaan terhadap hadis Nabi Saw. Lihat: M. Alfatih Suryadilaga, Implementasi Pendekatan
Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis, dalam Islamic Studies; Paradigma Integrasi-
interkoneksi (Sebuah Antologi) (Yogyakarta: UIN Suka Press, 2007), h. 170; Lihat pula: Suryadi
dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: TH-Press dan
Teras, 2009), h. 192-193
3
Tabligh di wilayah Asia.8 Di Indonesia sendiri, kajian living hadis mulai
digandrungi para pengkaji setelah diadakan sebuah seminar di UIN Sunan
Kalijaga oleh FKMTHI (Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir-Hadis se-
Indonesia) dengan mengambil tema “Living Qur’an: Al-Qur‟an Sebagai
Fenomena Sosial-Budaya” pada 13-15 Maret 2005.9
Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, banyak
ditemukan fenomena living hadis di berbagai wilayah dengan beragam tradisi
yang berlandaskan hadis-hadis Nabi Saw, di antaranya, „tradisi fidyah salat dan
puasa.‟ Tradisi tersebut hanya dilakukan masyarakat muslim Indonesia di
beberapa wilayah tertentu. Hal ini disebabkan karena muncul perdebatan di
kalangan para ulama setempat mengenai legitimasi fidyah salat dan puasa.10
Menurut Imam al-Syibrāmalisī (w.1676 M./1087 H.) sebagaimana dikutip
oleh Imam „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī dalam kitab Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād
al-Mubtadi’īn, bahwa seseorang yang meninggal dunia yang tidak melakukan
salat atau iʻtikaf, maka tidak diwajibkan untuk melakukan hal-hal serupa (salat
dan i‟tikaf) oleh walinya, dan tidak ada hukum untuk membayar fidyah baginya.
Dalam hal ini, al-Syibrāmalisī menyatakan bahwa membayar fidyah untuk
melunasi utang salat orang yang telah meninggal tidak memiliki dalil (landasan)
yang jelas. Al-Syibrāmalisī hanya menganggap fidyah yang terjadi di masyarakat
8 Barbara D. Metcalf, “Living Hadith in the Tablīghī Jama‟āt,” dalam The Journal of
Asian Studies, Vol. 52, No. 3 (Agustus, 1993), h. 584-608 9 M. Khoiril Anwar, “Living Hadis” h. 73, Lihat pula: Suryadi dan Muhammad Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, h. 192-193 10
Perdebatan ulama tersebut berorientasi pada sah atau tidaknya fidyah salat dan puasa.
Sebagian ulama menganggap bahwa salat tidak dapat digantikan dengan apapun, sedangkan
sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa salat hanya dapat digantikan dengan salat pula
(qaḍā’) atau dengan membayar fidyah layaknya puasa ramadhan. Perdebatan tersebut banyak
dijumpai dalam kitab-kitab fiqh di bab fidyah puasa. Salah satunya adalah kitab yang ditulis oleh
Imam Nawawī al-Bantanī yang berjudul Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn.
4
sebagai sunnah.11
Berbeda dengan al-Syibrāmalisī, sebagian ulama klasik seperti
Ibn Abī „Iṣrūn (w.1189 M./585 H.), Ibn Daqīq al-„Aīd (w.1286 M./685 H.) dan
Imam al-Subkī (w.1623 M./1032 H.), mereka berpendapat bahwa wali
berkewajiban untuk mengganti salat kerabatnya yang meninggal dunia. Imam al-
Subkī sendiri telah mempraktikan dengan meng-qaḍā’ salat untuk kerabatnya.12
Imam Nawawī al-Bantanī juga mengkomparasikan pendapat di atas dengan
pendapat Ibn Burhān (w.1124 M./518 H.) yang sejalan dengan qaul qadim Imam
al-Syāfiʻī, bahwa wali ditetapkan agar mengganti salat kerabatnya yang telah
meninggal dengan membayar fidyah sebanyak satu mud13
setiap hari dari salat
yang ditinggalkan, seperti halnya puasa ramadhan.14
Wali dapat menghitung
jumlah salat yang ditinggalkan seseorang dari sejak ia sakit hingga meninggal
dunia. Namun menurut al-Sayyid „Alwī dalam kitabnya, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn,
kadar utang salat seseorang dapat dihitung seumur hidup apabila si mayyit
berwasiat. Adapun cara yang digunakan untuk meringankan fidyah yang
dibayarkan, al-Sayyid „Alwī menggunakan metode bolak balik dengan hitungan
11
Maksud sunnah di sini yaitu tradisi masyarakat yang dilakukan secara terus menerus
dan berkesinambungan. Sebagaimana dinyatakan oleh Aḥmad al-Naʻīm, bahwa asal kata sanna
(sunnah) dapat diterapkan untuk memperagakan suatu tingkah laku yang diambil dengan cara
meniru praktik nenek moyang suatu suku atau komunitas tertentu. Lihat: „Abd Allah Aḥmad al-
Naʻīm, Dekonstruksi Syariah, h. 35 12
Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-
Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn (T.Tp: Syarikah al-Nūr Asiā, T.Th), h. 192-193 13
Menurut Muḥammad ibn Abī al-Fatḥ al-Ba‟lī, sebagaimana dikutip oleh Fuad Thohari,
bahwa mud merupakan jenis takaran, yang menurut ulama Ḥijāz sebanyak 1,3 ritl. Sementara
menurut ulama Iraq, satu mud sama dengan dua ritl. Menurut al-Jawharī, satu mud sama dengan ¼
ṣa’. Lihat: Muḥammad ibn Abī al-Fatḥ al-Ba‟lī, al-Maṭli’ ‘ala Abwāb al-Fiqh, (Bairūt: al-Maktab
al-Islāmī, 1981), h. 8. Sedangkan menurut ulama fiqh, seperti Imām Abū Ḥanīfah, Imām Mālik,
dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, satu mud setara dengan 9,22 cm3 atau 0.766 liter. Jika ditimbang,
satu mud gandum (ḥinṭah), menurut Imām al-Nawāwī al-Dimasyqī beratnya 456,54 gram, dan satu
mud beras putih itu beratnya 679,79 gram. Lihat: Fuad Thohari, “Mengungkap Istilah-istilah
Khusus dalam Tiga Rumpun Kitab Fikih Syāfi„iyyah,” dalam Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 1,
(Januari 2013), h. 128 14
Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār
al-Fikr, T.Th), h. 24
5
setengah Ṣa’15
dari setiap salat yang ditinggalkan. Hitungan seumur hidup ini
dikurangi masa baligh, yaitu bagi laki-laki paling sedikit 12 tahun, sementara bagi
perempuan paling sedikit sembilan tahun.16
Pendapat tentang adanya fidyah salat tersebut didukung oleh sebagian besar
Aṣḥāb al-Syāfi’ī (ulama mazhab Imam al-Syāfi‟ī), yang menyatakan bahwa wali
diperintahkan untuk memberikan makanan satu mud setiap hari dari salat yang
ditinggalkan oleh kerabatnya yang meninggal dunia. Hal ini juga tidak berbeda
dengan al-Ḥanafiyyah, hanya saja mereka menambahkan bahwa jika fidyah salat
dibayarkan ketika seseorang masih dalam keadaan sakit, maka fidyahnya tidak
sah.17
Legitimasi adanya fidyah salat tersebut di-qiyas-kan dengan fidyah puasa
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184 berikut:
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
15
Fuad Thohari menyatakan bahwa menurut Imām Abū Ḥanīfah, Imām Mālik, dan Imām
Aḥmad ibn Ḥanbal, satu ṣa’ setara dengan 14,65 cm3 atau sama dengan 3,45 liter. Satu ṣa’
gandum (ḥinṭah) menurut Imām al-Nawāwī al-Dimasyqī sama dengan 1862,18 gram dan satu ṣa’
beras putih sama dengan 2.719,19 gram. Dengan demikian, zakat fitrah berupa makanan pokok
beras putih bila diukur dengan ṣa’, beratnya 2.719,19 gram. Hanya saja, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) punya ukuran sendiri tentang satu ṣa’ ini. Satu ṣa’ sama dengan empat mud. Satu mud
setara dengan 576 gram. Dengan demikian, satu ṣa’ beras yang dikeluarkan dalam zakat fitrah,
beratnya setara dengan 2.304 gram (hasil dari 576 gram X 4 = 2.304 gram) dan kemudian
dibulatkan menjadi 2.500 gram beras (dua kilo setengah). Lihat: Fuad Thohari, “Mengungkap
Istilah-istilah Khusus dalam Tiga Rumpun Kitab Fikih Syāfi„iyyah,” h. 128 16
Al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad al-Saqāf, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, (Bairūt: Dār al-
Fikr, T.Th.), h. 143 17
„Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn, h. 193
6
Maka itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Peng-qiyas-an ini dapat dilihat dari adanya hadis yang menyandingkan
antara fidyah salat dan puasa, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-
Nasā‟ī (w.303 H) berikut:
ينث د حالىقلع دال ب نعدب م مأبن أ قي رنزب وهدوي زا حنث د حالع اللقوح ل اجاج اأنث د ح عناحبربأنب اءطعن ىعسو نموبب ي ا ب نعب اس،قال:ليصليأحدعن
أحد،ولك كلأحد،وليصومأحدعن يط عمعن همكان حن طةن امن .18ي و ممد
“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās, ia
berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan darinya
setiap hari sebanyak satu mud dari gandum.” (HR. Al-Nasā‟ī)
Secara eksplisit, hadis tersebut seakan memberi pemahaman bahwa salat
dan puasa dapat diganti dengan membayar fidyah. Inilah yang menjadi pegangan
para ulama dalam melakukan fidyah salat dan puasa. Legitimasi fidyah salat di-
qiyas-kan dengan fidyah puasa, yaitu seseorang memberi makanan sebanyak satu
18
Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb bin „Alī ibn Sinān bin Bahr al-
Khurasānī al-Qādī, Sunan al-Nasa’ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār Sulaymān al-Bandārī,
Juz 2 (Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991 M/1411 H), No. Hadis: 2918, h. 175. Menurut Ibn
Abī al-„Izz al-Ḥanafī, meskipun mawqūf, hadis tersebut memiliki sanad yang ṣaḥīḥ. Lihat: Ibn Abī
al-„Izz al-Ḥanafī, Syarḥ al-‘Aqīqah al-Ṭaḥāwiyyah (Riyāḍ: Dār „Alam al-Kutub, 1997 M./1418
H.), h. 664-676. Adapun berdasarkan penelitian penulis, sanad pada hadis tersebut terdapat perawi
dari kalangan tabi‟in bernama „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ yang dinilai tsiqah oleh sebagian para ulama
hadis, namun dalam periwayatannya banyak yang mursal dan keliru dalam periwayatan. Lihat:
Abū Saʻīd bin Khalīl bin Kaykaldī Abū Saʻīd al-„Alā‟ī, Jāmiʻ al-Taḥṣīl fī Aḥkām al-Marāsīl,
Muḥaqqiq: Ḥamidī „Abd al-Majīd al-Salafī (Bairūt: „Ālim al-Kutub, 1986), Juz 1, h. 237. Dalam
hal ini al-Dzahabī menyatakan bahwa riwayat mursal tersebut adalah dari Nabi Saw, Abū Bakar
al-Ṣiddīq, Attāb bin Asīd, „Utsmān bin „Affān, al-Faḍl bin „Abbās, dan Ṭā‟ifah. Lihat: Syamsuddin
Abu „Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabī, Siyar Aʻlām al-Nubalā, Muḥaqqiq: Syuʻaīb
al-Arnā‟ūṭ (Bairut: Mu‟assasah al-Risalah, 1982), Juz 9, h. 86. Oleh karena itu, periwayatan dalam
hadis ini tidak mursal, karena al-Dzahabī tidak menyebutkan „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ memursalkan
hadis yang diriwayatkan Ibn „Abbās. Sementara dari sisi kebersambungan sanad, hadis ini dapat
dikatakan muttaṣil, karena terjadi hubungan guru dan murid antar sanad, pernah hidup dalam kota
yang sama, dan selisih tahun wafat yang tidak terlalu jauh.
7
mud gandum atau makanan pokok lain (beras) kepada fakir miskin untuk satu hari
salat atau puasa yang ia tinggalkan semasa hidupnya.
Dari beberapa dalil di atas, fidyah puasa telah disepakati oleh mayoritas
ulama meskipun terdapat banyak perdebatan di dalamnya. Di antara perdebatan
tersebut, sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang telah meninggal dan
tidak mengerjakan puasa, maka puasanya wajib di-qaḍā oleh walinya.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī (w.256 H) berikut:
ث نامم دب ارثحد روب نال عم ث ناأبعن حد ث نامم دب نموسىب نأع ي نخالدحد عر وة عن ثه حد ب نجع فر مم د أن أبجع فر ب ن الل ه عب ي د عن عائشة رضىالله-عن
رسو-عنها أن الل ه وسلم-ل صقال -صلىاللهعليه وعلي ه مات عن همن صام يام 19.ولي ه
“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Khālid, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad bin Mūsā bin Aʻyan, telah
menceritakan kepada kami Ayahku, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari „Ubaid
Allah bin Abī Jaʻfar, bahwa Muḥammad bin Jaʻfar telah menceritakan
kepadanya dari „Urwah dari „Āisyah ra., bahwa Rasulullah Saw bersabda:
„Barang siapa meninggal dunia dan atasnya (diwajibkan) berpuasa, maka
(diwajibkan) berpuasa untuknya oleh walinya.” (HR. al-Bukhārī)
Sementara sebagian ulama yang lain menganggap bahwa orang yang berat
untuk berpuasa dan kemudian meninggal, maka ia cukup membayar fidyah,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur‟an di atas. Hal ini juga tidak berbeda
dengan fidyah salat. Ada hadis yang dijadikan sebagai dalil dalam penolakan
adanya fidyah salat, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Abū Dāwud
(w.275 H) berikut:
19
Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-Bukhārī
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) (Bairut: Dār al-Fikr. T.th.), Juz 7, h. 270, No. Hadis 1952
8
ث ناوكيععن حد ن باري ث نامم دب نسلي مانال ال معلمحد حسي مانعن إب راهيمب نطه ب ري دة اب ن علي هعن صل ىالل ه الن ب فسأل ت الن اصور ب كان قال حصي ب ن ران عم عن
ل ف قاعدافإن تطع تس ل ف علىجن وسل مف قالصلقائمافإن تطع 20.تس “Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Sulaimān al-Anbārī,
telah menceritakan kepada kami Wakīʻ dari Ibrāhim bin Ṭahmān dari
Ḥusaīn al-Muʻallim dari Ibn Buraidah dari „Imrān bin Ḥushaīn dia berkata;
"Aku menderita penyakit wasir, lalu aku tanyakan hal itu kepada Nabi Saw,
maka beliau bersabda: "Salatlah dengan berdiri, dan apabila kamu tidak
mampu, maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan berbaring.”
(HR. Abū Dāwud)
Dari hadis tersebut, dapat terlihat bahwa salat adalah ibadah yang harus
dilaksanakan tanpa ada kompensasi untuk meninggalkannya. Sayyid Sabiq
menyatakan bahwa jika seseorang tidak dapat melakukan salat dengan berdiri
karena sakit, maka dapat dilakukan dengan cara duduk, berbaring, atau bahkan
dengan isyarat sekalipun.21
Hal ini menjadi sebuah keyakinan bagi sebagian orang
bahwa tidak ada yang dapat menggantikan kewajiban salat, termasuk fidyah.
Bahkan, pemahaman hadis tentang adanya fidyah salat justru dapat berimplikasi
negatif bagi masyarakat dari berbagai kalangan, jika dipahami secara literal. Bagi
sebagian orang yang memiliki harta banyak, misalnya, mereka dapat mengabaikan
kewajiban salat dengan dalih dapat dibayar dengan fidyah. Sedangkan bagi
mereka yang memiliki sedikit harta, fidyah salat tentu akan menjadi beban baru
bagi mereka.
Berangkat dari persoalan tersebut, penelitian ini berusaha mengungkap
fenomena tradisi fidyah salat dan puasa yang dipraktikkan masyarakat muslim,
khususnya Nahdliyyīn (NU), di Kabupaten Indramayu – Jawa Barat. Tradisi
fidyah salat dan puasa ini diklaim ulama setempat bersumber dari hadis Nabi Saw
20
Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairut: Dār al-
Fikr, 1994), Juz 3, h. 142, No. Hadis: 815 21
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I (Bairūt: Dār al-Fikr, 1983), h. 234
9
dan kitab-kitab fiqh. Di sebagian wilayah di Indramayu, tradisi fidyah tersebut
dikenal dengan sebutan “Geong.” Kata Geong, dalam bahasa Indramayu berarti
“ayun atau mengayun.” Dalam hal ini, tradisi Geong berarti tradisi “Geong beras”
atau mengayun beras.22
Selain ritual Geong, praktik fidyah di beberapa wilayah di Indramayu juga
ada yang dilakukan tanpa ritual khusus, contohnya beras fidyah diberikan kepada
orang-orang yang mengikuti tradisi tujuh hari kematian seseorang (tahlilan).
Adapula tradisi fidyah yang dilakukan dengan memberikan beras kepada fakir
miskin sebelum jenazah disalatkan dan dikuburkan. Semua ritual tersebut
merupakan fidyah salat atau puasa bagi orang yang telah meninggal dunia karena
memiliki tanggungan (utang) salat atau puasa. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa tradisi fidyah telah dilestarikan masyarakat Indramayu secara turun
temurun sebagai pengganti salat dan puasa orang yang telah meninggal dunia.
Tradisi ini hidup dan tumbuh di tengah masyarakat, dan mengalami elaborasi serta
modifikasi, yang semula fidyah dibayarkan dengan makanan/beras satu mud,
namun dewasa ini di sebagian wilayah di Indramayu telah diganti dengan uang.23
Masyarakat Indramayu yang tergolong ke dalam jamaah Nahdliyyīn telah
lama melestarikan tradisi fidyah sebagai pemaknaan hadis fidyah salat dan puasa
di lingkungan mereka. Karena mereka memandang bahwa fidyah salat dan puasa
dalam tradisi fidyah memiliki dalil yang kuat, baik dari al-Qur‟an, hadis, maupun
dari kitab-kitab fiqh dan menganggapnya sebagai suatu yang mesti dilakukan
dengan cara yang telah disepakati bersama. Sedangkan sebagian masyarakat yang
22
Hasil observasi awal dan wawancara dengan salah satu warga Desa Tenajar Lor,
Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu pada Juli 2016. 23
Hasil observasi awal dan wawancara dengan salah satu warga Desa Tenajar Lor,
Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu pada Juli 2016.
10
lain, tidak banyak dalam mempertahankan tradisi tersebut. Karena sebagian dari
mereka menganggap bahwa fidyah salat dan puasa untuk orang yang telah
meninggal tidak memiliki dalil yang kuat (al-Qur‟an dan hadis) dan dianggap
memberatkan keluarga yang ditinggalkan, sehingga mereka meyakini tidak ada
fidyah salat dan puasa bagi orang yang telah meninggal. Meski demikian, tidak
dapat dipungkiri, sebagian masyarakat yang menolak adanya fidyah salat dan
puasa tersebut, mereka tetap mengikuti tradisi tersebut di lingkungannya sebagai
penghormatan.24
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Indramayu
terbagi ke dalam dua golongan, yaitu golongan yang melaksanakan tradisi fidyah,
dan golongan yang tidak melaksanakan. Di beberapa wilayah di Indonesia,
khususnya Indramayu, yang kental dengan tradisi fidyah salat dan puasa, apabila
ada sebagian masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi tersebut, boleh jadi
mereka akan dikucilkan oleh masyarakat di lingkungannya. Hal ini wajar terjadi
apabila masyarakat yang memahami hadis fidyah salat dan puasa menjadikan
tradisi tersebut sebagai sesuatu kewajiban.
Salah satu hal yang menarik perhatian penulis adalah cara penghitungan
fidyah salat orang yang telah meninggal di salah satu desa di Indramayu, yaitu
Desa Tenajar Lor, Kecamatan Kertasemaya. Masyarakat desa tersebut
menghitung utang salat dan puasa seseorang mulai dari ia baligh hingga
meninggal dunia (seumur hidup). Penghitungan fidyah ini berlaku bagi laki-laki
dan perempuan, namun khusus bagi perempuan dikurangi masa haid, nifas dan
24
Hasil observasi awal di Desa Tenajar Lor, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten
Indramayu pada Juli 2016.
11
wiladah.25
Sebagai contoh, seorang laki-laki meninggal dunia pada umur 50
tahun, maka fidyah yang harus dibayar adalah 38 tahun, karena dikurangi masa
baligh, yaitu 12 tahun. Adapun cara membayar fidyahnya yaitu dengan cara bolak
balik dari wali kepada orang yang menerima fidyah, yaitu fakir miskin. Kemudian
dari fakir miskin diberikan lagi kepada wali, dan seterusnya hingga mencapai
kadar fidyah untuk 38 tahun. Oleh karena itu, fenomena ini menjadi sangat
penting untuk diteliti lebih dalam agar diketahui bagaimana pemahaman
masyarakat terhadap pemaknaan hadis tersebut?, siapa yang pertama kali
mengajarkan tradisi tersebut di kalangan masyarakat Indramayu?, bagaimana
respons masyarakat terhadap orang yang tidak melaksanakan tradisi tersebut di
lingkungannya?, bagaimana dampak sosial dari pelaksanaan tradisi tersebut?, dan
lain sebagainya. Semua pertanyaan tersebut dirangkum dalam penelitian tesis
dengan judul “Living Hadis: Studi Atas Fenomena Tradisi Fidyah Salat dan Puasa
Bagi Orang Meninggal di Indramayu.”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Tradisi fidyah merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Indramayu
secara turun temurun yang diklaim ulama setempat berlandaskan hadis Nabi Saw
dan kitab-kitab fiqh. Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
masalahnya dengan beberapa pernyataan berikut:
a. Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik dan kontemporer
terhadap fidyah salat dan puasa bagi orang yang telah meninggal.
25
Hasil observasi awal dan wawancara dengan salah satu warga Desa Tenajar Lor,
Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu pada Juli 2016.
12
b. Masyarakat Indramayu memiliki pemahaman yang berbeda terkait fidyah
salat dan puasa yang berkembang di lingkungan mereka.
c. Masyarakat Indramayu, khususnya Nahḍiyyīn, memahami tradisi fidyah
sebagai pengamalan terhadap hadis fidyah salat dan puasa.
d. Tradisi fidyah di Indramayu belum diketahui asal usul terbentuknya, dan
belum diketahui pula siapa yang membawa dan memulai ajaran fidyah salat
dan puasa kepada masyarakat Indramayu.
e. Praktik dalam tradisi fidyah salat dan puasa, yang semula fidyah dibayar
dengan makanan satu mud menurut pemahaman hadis, namun yang terjadi
di Indramayu telah diganti dengan uang.
f. Dampak sosial yang terjadi dari pelaksanaan tradisi fidyah bagi masyarakat
miskin di Indramayu.
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa poin yang telah disebutkan pada identifikasi masalah di atas,
pembatasan masalah dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Pandangan ulama hadis terhadap fidyah salat dan puasa.
2. Sejarah terbentuknya tradisi fidyah di Indramayu dan perkembangannya,
serta respons ulama/tokoh agama dan masyarakat dari pelaksanaan tradisi
tersebut.
3. Tradisi fidyah sebagai pemaknaan terhadap hadis fidyah salat dan puasa
yang dilakukan masyarakat Indramayu.
13
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, tesis ini akan
menjawab pertanyaan:
1. Bagaimana pandangan ulama hadis tentang fidyah salat dan puasa?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tradisi fidyah salat dan puasa di
Indramayu?
3. Bagaimana pemahaman dan praktik tradisi fidyah sebagai pemaknaan
terhadap hadis fidyah salat dan puasa oleh masyarakat Indramayu?
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian
ini memiliki tujuan untuk :
1. Menganalisa pandangan ulama hadis tentang fidyah salat dan puasa.
2. Mendeskripsikan sejarah perkembangan tradisi fidyah salat dan puasa di
Indramayu.
3. Menganalisa pemahaman dan praktik tradisi fidyah sebagai pemaknaan
terhadap hadis fidyah salat dan puasa oleh masyarakat Indramayu.
D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki manfaat yang
dapat diambil, di antaranya adalah:
1. Bagi masyarakat Indramayu, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan
dan rujukan ilmiah terkait tentang sejarah terbentuknya tradisi fidyah
sebagai pemaknaan terhadap hadis fidyah salat dan puasa di Indramayu.
14
2. Bagi ulama di Indramayu, penelitian ini dapat membantu menguatkan
landasan doktrin dan jalan tengah terhadap pelaksanaan tradisi fidyah di
Indramayu.
3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dan
pemahaman tentang hadis fidyah salat dan puasa dalam tradisi fidyah di
Indramayu, sekaligus juga dapat menjadi rujukan bagi penelitian lain dalam
bidang yang berbeda.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian living hadis dewasa ini telah banyak dilakukan oleh para sarjana
Muslim, baik dalam bentuk jurnal, skripsi, tesis, maupun buku. Salah satu jurnal
yang meneliti tentang living hadis dilakukan oleh Barbara D. Metcalf, pada tahun
1993 dengan judul Living Hadith in the Tablīghī Jama’āt. Dalam penelitiannya
tersebut, ia menganalisa living hadis yang berkembang dalam organisasi Jamaah
tabligh dalam berdakwah di daerah Asia. Metode dakwah yang dilakukan oleh
Jamaah Tabligh tersebut merupakan tradisi dakwah Nabi Saw yang terhimpun
dalam hadis-hadis, yang kemudian ditiru oleh komunitas tersebut.26
Selanjutnya penelitian living hadis dalam bentuk tesis pernah diteliti oleh M.
Rofiq Junaedi pada tahun 2012 dengan judul Hadis dalam Tradisi: Studi Analisis
terhadap Peziarah Makam KH. Abdurrahman Wahid. Dalam penelitiannya
tersebut, ia menganalisa kebiasaan-kebiasaan masyarakat Muslim berziarah ke
makam ulama yang dianggap ‘alim, seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Tradisi yang dilakukan peziarah tersebut menurut M. Rofiq bersumber dari hadis
26
Barbara D. Metcalf, “Living Hadith in the Tablīghī Jama‟āt,” dalam The Journal of
Asian Studies, Vol. 52, No. 3 (Agustus, 1993), h. 584-608
15
Nabi Saw yang menyeru umat Muslim untuk berziarah ke kuburan guna
mengingat kematian. Hadis tersebut telah menjadi tradisi yang melekat dalam
keyakinan masyarakat Muslim terhadap keberkahan dalam berziarah ke makam
ulama-ulama besar, khususnya Gus Dur.27
Penelitian living hadis juga pernah ditulis oleh Adrika Fithrotul Aini dengan
judul Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-
Mustofa dalam jurnal Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies pada
tahun 2014. Penelitiannya tersebut mengkaji tentang tradisi shalawat diba‟ Majelis
bil Musthafa Yogyakarta. Ia memfokuskan kajiannya pada pemaknaan shalawat
dalam komunitas tersebut. Dalam penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa tradisi
yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat Krapyak (Yogyakarta),
merupakan fenomena living hadis. Karena di dalamnya ia menemukan beberapa
landasan hadis yang dijadikan prinsip dalam kegiatan tersebut. Di samping itu,
terdapat makna penting dari adanya majelis tersebut, yakni praktek ibadah
spiritual yang tidak bisa hilang dalam kehidupan masyarakat.28
Sementara penelitian lapangan tentang tradisi fidyah puasa dilakukan oleh
Irham pada 2011 dalam skripsinya yang berjudul Pelaksanaan Fidyah Puasa oleh
Ahli Waris untuk Keluarga yang Meninggal Dunia Ditinjau Menurut Hukum
Islam (Studi Di Kepenghuluan Bagan Punak Pesisir Kecamatan Bangko
Kabupaten Rokan Hilir). Dalam skripsi tersebut, ia hanya memfokuskan
penelitiannya pada praktik dan status hukum tradisi fidyah puasa di daerah
tersebut. Adapun kesimpulannya, ia menyatakan bahwa pelaksanaan fidyah puasa
27
M. Rofiq Junaedi, “Hadis dalam Tradisi: Studi Analisis terhadap Peziarah Makam KH.
Abdurrahman Wahid” (Tesis S2 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012). 28 Adrika Fithrotul Aini, “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat
Diba‟ Bil-Mustofa,” dalam Jurnal Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 2,
No.1, (Juni 2014), h. 221
16
oleh keluarga atau ahli waris untuk keluarganya yang meninggal dunia dilakukan
dengan dua cara; (1) Dengan menghitung usia akhir seseorang dan usia tersebut
menentukan besarnya fidyah puasa yang harus dibayar. Apabila seseorang
meninggal di usia 50 tahun ke atas, maka fidyah puasa yang harus dibayar ±100
Kg. Namun apabila kurang dari 50 tahun, maka fidyah puasa yang harus dibayar
±50 Kg., (2) Dengan menghitung rentang waktu kewajiban berpuasa, selanjutnya
dibagi dua, sebagian dianggap berpuasa dan sebagian lainnya dianggap
meninggalkan puasa. Sementara motivasi keluarga atau ahli waris untuk
melaksanakan tradisi fidyah puasa ialah; (1) Kewajiban yang telah disyari‟atkan,
(2) Wasiat si mayyit kepada keluarga, dan (3) Tradisi di masyarakat. Adapun
hukum tradisi fidyah puasa tersebut adalah haram, apabila tidak didasarkan pada
al-Qur‟an, hadis, dan sumber hukum Islam lainnya.29
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian living hadis yang
mengungkap berbagai fenomena tradisi masyarakat semakin berkembang di
berbagai wilayah di Indonesia. Dalam hal ini belum ada penelitian terkait
pelaksanaan tradisi fidyah salat sekaligus puasa sebagai pemaknaan dari hadis
Nabi Saw di Indramayu. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sangat penting
untuk dikaji lebih dalam agar ditemukan pemahaman yang komprehensif atas
pemaknaan hadis tersebut. Penelitian ini juga sekaligus menjadi jalan tengah atas
perbedaan pemahaman di antara masyarakat Indramayu, serta menjadi landasan
ilmiah dalam pelaksanaan tradisi tersebut guna mencapai keharmonisan
masyarakat muslim di Indramayu.
29
Irham, “Pelaksanaan Fidyah Puasa oleh Ahli Waris untuk Keluarga yang Meninggal
Dunia Ditinjau Menurut Hukum Islam (Studi Di Kepenghuluan Bagan Punak Pesisir Kecamatan
Bangko Kabupaten Rokan Hilir),” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif
Kasim Riau, 2011).
17
F. Metode Penelitian
1. Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan metode kualitatif,
yaitu penelitian yang dinyatakan dalam bentuk kata atau kalimat.30
Penelitian
kualitatif menurut Creswell adalah penelitian yang menghasilkan data yang
bersifat deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto,
rekaman video, dan sebagainya. Dalam hal ini Creswell menawarkan 4 (empat)
pendekatan dalam melakukan penelitian kualitatif, di antaranya: naratif,
fenomonologi, etnografi, grounded theory dan studi kasus.31
Pada penelitian ini, penulis menggabungkan antara pendekatan
fenomenologi32
, etnografi33
sekaligus studi kasus. Model pendekatan
fenomenologi dilakukan dengan meneliti fakta religius yang bersifat subjektif dari
masyarakat Indramayu tentang pelaksanaan fidyah salat dan puasa. Sementara
pendekatan etnografi dilakukan untuk mendeskripsikan keadaan masyarakat
Indramayu yang dilihat dari beberapa aspek, terutama aspek sosial dan agama.
Adapun model pendekatan studi kasus dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengungkap pola-pola tradisi fidyah salat dan puasa di Indramayu.
30
Amirul Hadi & H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), h. 126. 31
Jhon W. Creswell, Research Design: Qualitative & Quantitative Aproach (California:
Sage Publication Inc, 1994), h. 18 32
Fenomenologi adalah suatu pendekatan dalam penelitian ilmiah guna meneliti fakta
religius yang bersifat subjektif (meliputi pikiran, perasaan, ide-ide, emosi, pengalaman, dan
sebagainya) dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar, seperti perkataan dan
perbuatan. Lihat: Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung:
Rosdakarya, 2003), h. 103 33
Etnografi adalah penelitian yang disusun untuk mendeskripsikan keadaan suatu
masyarakat atau komunitas tertentu. Pendekatan ini merupakan panduan yang khas agar penelitian
kualitatif di lapangan dapat berjalan secara sistematis, terarah dan efektif. Lebih lengkapnya,
Lihat: James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah: Misbah Zulfah Elizabeth (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1997), h.xxi
18
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu dari
data lapangan (field research) sebagai sumber primer dan data kepustakaan
(library research) sebagai data sekunder. Sumber data kepustakaan menurut
Hadari Nawawi dapat diambil dari buku-buku, dokumen, maupun artikel.34
Sedangkan sumber data lapangan dalam penelitian ini diambil dari masyarakat
Indramayu. Adapun teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara
observasi dan wawancara kepada masyarakat Indramayu, di antaranya yaitu
masyarakat umum, tokoh masyarakat, dan ulama desa yang dianggap memiliki
pengetahuan yang mumpuni dan dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai sumber
data penelitian. Adapun teknik observasi dan wawancara tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Observasi
Teknik di lapangan yang pertama dalam penelitian ini adalah observasi atau
pengamatan. Jalaludin Rahmat memberikan pemahaman bahwa observasi dapat
dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis terhadap
fenomena-fenomena yang diselidiki.35
Oleh karena itu, observasi dalam penelitian
ini dilakukan dengan cara mengamati pola tradisi fidyah yang dilakukan
masyarakat Indramayu, mulai dari awal hingga akhir.
b. Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini merujuk pada metode wawancara
dalam buku Metode-Metode Penelitian Masyarakat karya Koentjaraningrat.
34
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada
Universy Press, 1991), h. 95.
35
Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999), h. 83
19
Adapun susunan pertanyaan dalam teknik wawancara ini meliputi pertanyaan
fakta konkret mengenai diri pribadi informan, kemudian mengenai sikap,
pendapat, dan perasaan si informan terhadap suatu peristiwa dan keadaan
masyarakat, kemudian pertanyaan informasi mengenai gejala dan keadaan sosial
yang nyata, dan pertanyaan yang mencoba mengukur persepsi dari si informan
terhadap dirinya dalam hubungan dengan orang lain.36
Sedangkan alat yang
digunakan dalam proses wawancara ini yakni berupa alat tulis atau pencatatan
langsung dan alat perekam suara (voice recorder).
c. Dokumentasi
Teknik penelitian di lapangan yang terakhir yakni dengan menggunakan
dokumentasi. Dalam hal ini peneliti akan mendokumentasikan hasil penelitian,
baik dalam bentuk gambar, rekaman suara, buku panduan, maupun catatan-catatan
di lapangan sebagai data pendukung lainnya yang berkaitan dalam penelitian.
3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 90 hari atau tiga bulan, terhitung sejak
Januari hingga Maret 2017. Adapun wilayah penelitian ini akan dilakukan di
wilayah Indramayu bagian timur, yaitu meliputi Kecamatan Kertasemaya di Desa
Tenajar Lor, Kecamatan Juntinyuat di Desa Segeran Kidul, dan Kecamatan Sliyeg
di Desa Sliyeg Lor.
Argumentasi pemilihan Desa Tenajar Lor adalah bahwa desa tersebut
merupakan desa yang paling unik dan berbeda dalam pelaksanaan tradisi fidyah
salat dan puasa, dan meskipun mayoritas merupakan masyarakat Nahdliyyin,
36 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia,
1977), h. 178
20
namun ada sebagian kecil yang bukan merupakan warga Nahdliyyin. Pemilihan
Desa Sliyeg Lor dilakukan karena mayoritas penduduk desa tersebut merupakan
kalangan Nahdliyyin dan sebagian kecil Muhammadiyah, bahkan pernah terjadi
„gesekan‟ antara keduanya terkait tradisi-tradisi keagamaan di desa tersebut.
Sementara pemilihan di Desa Segeran Kidul ditetapkan karena di desa tersebut
memiliki banyak ormas yang berbeda, mulai dari Muhammadiyah, NU, Persis,
Syahadatain, dan PUI, sehingga pandangan-pandangan berbeda terkait tradisi
keagamaan di lingkungan mereka menjadi sangat menarik untuk diteliti,
khususnya tentang tradisi fidyah salat dan puasa bagi orang yang meninggal.
4. Teknik Pemilihan Informan
Pada teknik pemilihan informan ini, penulis menggunakan teknik purposive
sampling. Menurut Sutopo yang mengutip pendapatnya Goetez dan Le Compte,
purposive sampling adalah teknik yang dapat menentukan sampel dengan
pertimbangan tertentu, seperti memilih informan yang dianggap dapat
memberikan data penelitian secara maksimal.37
Suharismi juga dalam hal ini
memberikan penjelasan bahwa purposive sampling dapat dilakukan dengan cara
mengambil subjek dengan dasar tujuan tertentu.38
Dalam penelitian ini, penulis memilih informan yang dianggap mengetahui
tentang hadis fidyah salat dan puasa dan tradisi fidyah di Indramayu, serta dapat
dipercaya untuk dijadikan sebagai sumber data penelitian. Adapun yang akan
diwawancarai ialah tiga ulama desa, yaitu Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar
Lor), Ust.Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul), dan Ust. Abdurrahman (Ulama
37
Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1988),
h. 22 38
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 2002), h. 117
21
Desa Sliyeg Lor). Ketiga ulama tersebut seluruhnya merupakan warga Nahdliyyin.
Pemilihan tiga ulama Nahdliyyin tersebut karena dalam Bahtsul Masail NU
diperbolehkan melakukan fidyah salat dan puasa bagi orang meninggal. Informan
selanjutnya yaitu tiga tokoh masyarakat, yaitu Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa
Tenajar Lor), H.Zainuddin (Tokoh Masyarakat Desa Sliyeg Lor), dan H.Abbas
Abdul Jalil (Tokoh Masyarakat Desa Segeran Kidul). Pemilihan ketiga tokoh
masyarakat tersebut karena mereka dinilai sebagai orang yang ditokohkan di
lingkungannya. Informan selanjutnya yaitu enam orang masyarakat umum yang
terdiri dari warga Muhammadiyah, Nahdliyyin, dan PUI. Di antaranya yaitu
Akhid, Abdul Aziz, H.Sayyidi, Widodo, Yusroh, dan H.Zakariya. Selain itu,
peneliti juga mewawancarai Mahya Hasan, selaku Kasi PD. Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu, untuk mengetahui
perkembangan dan pengaruh pendidikan Islam, khususnya pesantren di
Indramayu. Seluruh informan tersebut dinilai berkompeten untuk dijadikan
sebagai sumber data penelitian. Jumlah informan yang dipilih tersebut dianggap
cukup untuk memuat data-data penelitian, karena menurut Andi Prastowo,
penelitian kualitatif hanya memerlukan sampel yang kecil dalam memilih subjek
penelitiannya.39
4. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis. Menurut Lexy, deskriptif analitis adalah sebuah alur penelitian yang
menghasilkan data-data deskriptif, baik tertulis maupun tidak tertulis dari objek
39 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
Cet. I (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 44
22
yang diamati.40
Penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang didapat
dari sumber pengumpulan data, yakni dari hasil observasi, wawancara dan
dokumentasi sebagai proses reduksi data. Kemudian dianalisis secara rinci hingga
menghasilkan interperetasi data, dan terakhir ditarik sebuah kesimpulan. Adapun
proses analisa data ini meliputi tiga tahap, yakni sebagai berikut:
a. Induktif, metode ini berangkat dari nilai-nilai khusus yang bersifat
partikular, untuk selanjutnya diturunkan pada sejumlah kasus umum
(universal). Dalam hal ini, peneliti menganalisa hadis fidyah salat dan puasa
dengan pendapat ulama dari kitab atau buku yang berkaitan dengan
penelitian, dan menyimpulkan bahwa tradisi yang dilakukan masyarakat
Indramayu bersumber dari hadis-hadis Nabi Saw.
b. Deduktif, yaitu metode berpikir dengan bahasan yang bersifat umum ke
dalam bahasan yang bersifat khusus. Metode ini digunakan untuk
menganalisa tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu sebagai
implementasi dari hadis-hadis Nabi Saw dan kitab-kitab fiqh yang mereka
pahami.
c. Komparatif, yaitu suatu pola pikir dengan membandingkan beberapa
pendapat, fakta maupun peristiwa yang telah diketahui dengan kaidah-
kaidah yang dijadikan sebagai landasan berpijak.41
Dalam hal ini, peneliti
membandingkan pendapat para ulama di Indramayu tentang hadis fidyah
salat dan puasa, serta kitab-kitab fiqh yang dijadikan sebagai landasan
doktrin masyarakat Indramayu dalam melaksanakan tradisi fidyah.
40
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
h.3. 41 Tatan Maupun Amirin, Metodologi Riset (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat UIJ, 1979), h. 4
23
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan tesis ini mengacu pada buku Pedoman Akademik
Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012. Sedangkan transliterasi pada tesis ini menggunakan Pedoman Transliterasi
Arab-Latin keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543b/u/1987.
G. Sistematika Penulisan
Berdasarkan metodologi yang digunakan tersebut, maka untuk mencapai
pembahasan yang terarah dan sistematis diperlukan adanya langkah-langkah
penulisan dalam penelitian. Adapun sistematika penulisan tesis ini dibagi menjadi
lima (5) bab, dan setiap bab meliputi sub-sub bab sebagai garis pokok
pembahasan. Pembagian bab tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat seluk beluk penelitian
ini, dengan uraian mengenai latar belakang masalah sebagai tolok ukur
pentingnya penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah sebagai fokus penelitian, setelah itu
membahas tentang tujuan penelitian, kemudian manfaat penelitian, dilanjutkan
dengan pembahasan mengenai tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai
perbandingan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang. Setelah
itu, kemudian dilanjutkan dengan metodologi penelitian dan terakhir adalah
sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang Diskursus Fidyah Salat dan Puasa dalam
Kajian Hadis. Dalam bab ini akan dibagi menjadi dua sub-bab, yakni sub-bab
fidyah salat dan fidyah puasa. Dalam sub-bab fidyah salat akan dipaparkan
24
pengertian fidyah salat dan hadis-hadis yang dijadikan sebagai landasan dalam
pelaksanaan fidyah salat oleh masyarakat muslim. Pembahasan selanjutnya
tentang ruang lingkup fidyah salat. Adapun sub-bab selanjutnya akan dibahas
mengenai fidyah puasa, yang meliputi pengertian fidyah puasa, hadis-hadis fidyah
puasa, dan dilanjutkan dengan ruang lingkup fidyah puasa.
Bab ketiga membahas Sejarah dan Kontroversi Tradisi Fidyah di
Indramayu. Dalam bab ini, penulis mengawalinya dengan mendeskripsikan
sejarah singkat penyebaran Islam di Indramayu, dilanjutkan dengan religiusitas
masyarakat Indramayu. Dengan mengetahui religiusitas masyarakat Indramayu
dan pendidikan Islam di daerah tersebut, dapat pula diprediksi kesalehan sosial
masyarakat Indramayu. Bahkan dapat juga mendeskripsikan kontinuitas tradisi
keagamaan di Indramayu, yang salah satunya adalah tradisi fidyah. Pembahasan
selanjutnya adalah tentang historisitas tradisi fidyah di Indramayu, di antaranya
meliputi para tokoh yang pertama kali mengajarkan tradisi fidyah kepada
masyarakat Indramayu. Kemudian juga dibahas mengenai media transmisi tradisi
fidyah di Indramayu, yang dalam hal ini adalah pesantren. Kemudian sub-bab
selanjutnya akan dibahas Kemudian akan dipaparkan pendapat masyarakat
Indramayu tentang fidyah salat dan puasa. Hal ini penting untuk diketahui sebagai
konfirmasi atas pelaksanaan tradisi fidyah di Indramayu.
Bab keempat akan membahas tentang Tradisi Fidyah dan Implikasinya
dalam Kehidupan Masyarakat Indramayu. Dalam bab ini akan diuraikan sub-bab
tentang Living Hadis: Aktualisasi Tradisi Fidyah yang memuat pemahaman dan
praktik masyarakat Indramayu terkait fidyah salat dan puasa dalam tradisi fidyah.
Dalam hal ini, penulis mendeskripsikan penerapan hadis fidyah salat dan puasa
25
dalam kehidupan masyarakat Indramayu. Kemudian selanjutnya, penulis akan
menguraikan respons masyarakat atas perkembangan tradisi fidyah di Indramayu.
Dalam hal ini menjelaskan respons masyarakat yang melaksanakan fidyah
terhadap masyarakat yang tidak melaksanakan, dan sebaliknya. Kemudian
pembahasan selanjutnya terkait tentang implikasi fidyah salat dan puasa terhadap
kehidupan masyarakat Indramayu. Pembahasan ini berkenaan dengan urgensi
pelaksanaan fidyah yang diberikan kepada masyarakat miskin lingkungan
sekitarnya. Sedangkan sub-bab selanjutnya membahas terkait argumentasi
pelestarian tradisi fidyah. Dalam sub-bab ini akan dijelaskan terkait alasan
masyarakat Indramayu tentang tradisi fidyah sebagai tradisi yang harus
dipertahankan dan dilestarikan dalam kehidupan mereka. Terakhir, pembahasan
pada bab ini akan diisi dengan pembahasan kritik terhadap tradisi fidyah di
Indramayu. Bahasan in bertujuan untuk menemukan „benang merah‟ antara teks
hadis dengan pemahaman masyarakat Indramayu.
Bab kelima adalah penutup. Bab ini meliputi kesimpulan dan rekomendasi.
Dalam bab ini akan diuraikan tentang jawaban atas perumusan masalah yang
diajukan pada bab pertama. Selanjutnya penulis akan menguraikan poin-poin
rekomendasi penelitian sebagai saran penulis selama penelitian, baik untuk
masyarakat Indramayu, Program Magister Tafsir Hadis, maupun untuk
mengembangkan penelitian lain yang akan datang.
26
BAB II
DISKURSUS FIDYAH SALAT DAN PUASA DALAM KAJIAN HADIS
A. Fidyah Salat: Doktrin Kontroversial dalam Islam
Fidyah dikenal dalam dunia Islam sebagai pengganti atau penebusan atas
ibadah yang telah ditinggalkan, dan/ atau tidak dapat dilakukan seorang mukallaf
karena alasan tertentu. Fidyah pada umumnya hanya berlaku bagi orang yang
meninggalkan puasa. Namun dalam beberapa literatur klasik1, menunjukkan
bahwa fidyah juga berlaku bagi orang yang meninggalkan salat. Fidyah salat ini
berlaku bagi orang yang telah meninggal dunia dalam keadaan memiliki
tangggungan (utang) salat.2 Pemberlakuan adanya fidyah salat bagi orang yang
meninggal ini dikenal minoritas di kalangan umat Islam, bahkan tidak luput dari
perbedaan pendapat (khilafiyah).
Perdebatan ulama terhadap kajian fidyah salat telah berlangsung sejak lama
dan melibatkan tiga pendapat yang berbeda. Pendapat Pertama yaitu mereka yang
kontra terhadap fidyah salat dan qaḍā’ salat. Pendapat ini dipelopori oleh Imam
al-Syāfiʻī (w.204 H) dan diikuti oleh Imam al-Syibrāmalisī (w.1676 M./1087 H).
Pendapat Kedua yaitu mereka yang kontra terhadap fidyah salat, namun pro
terhadap adanya qaḍā’ salat. Pendapat kedua ini diikuti oleh Ibn Abī „Iṣrūn
(w.1189 M./585 H.), Ibn Daqīq al-„Aīd (w.1286 M./685 H.) dan Imam al-Subkī
(w.1623 M./1032 H.). Adapun Pendapat Ketiga yaitu mereka yang pro terhadap
1 Literatur klasik yang dimaksud adalah kitab-kitab fiqh klasik yang memuat tentang
penjelasan fidyah salat, seperti kitab Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn karya Imam al-
Nawawi Banten, kitab Iʻānah al-Ṭālibīn karya Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, kitab Tarsīḥ al-
Mustafīdīn karya Aḥmad Alwi, dan lain sebagainya. 2 Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār al-
Fikr, T.Th), h. 24
27
adanya fidyah salat. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Burhan, para pengikut
mazhab al-Syāfiʻī dan pengikut mazhab Ḥanafī.3
Imam Nawawi juga menyatakan dalam Nihāyah al-Zaīn bahwa barang siapa
yang meninggal dalam keadaan memiliki tanggungan salat, maka tidak ada qaḍā’
dan tidak ada pula fidyah baginya.4 Penolakan terhadap qaḍā’ salat untuk orang
yang telah meninggal merujuk pada ilmu fiqh, bahwa hukum salat dapat di-qiyas-
kan dengan hukum puasa.5 Artinya, salat dan puasa merupakan ibadah badaniyah
(fisik) yang tidak dapat diwakilkan oleh orang lain, termasuk meng-qaḍā’ salat
atau puasa untuk orang yang meninggal. Al-Qurṭūbi menjelaskan penyebab kedua
bentuk ibadah ini tidak dapat diwakilkan oleh orang lain, yaitu karena keduanya
tidak berkaitan dengan harta.6 Berbeda dengan ibadah haji yang berkaitan dengan
harta, ibadah ini menurut Ibn Ḥajar al-„Asqallānī (w.852 H) dapat diwakilkan oleh
orang lain apabila mukallaf yang akan melaksanakan haji meninggal dunia
sebelum waktu pelaksanaan tiba, atau karena halangan tertentu sehingga ia tidak
dapat melaksanakannya.7
Sementara argumentasi pendapat kedua menunjukkan bahwa orang yang
meninggal dalam keadaan memiliki tanggungan salat, maka walinya diwajibkan
untuk mengqaḍā’ salatnya. Qaḍā’ salat untuk orang yang meninggal dunia di-
3 Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-
Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn (T.Tp: Syarikah al-Nūr Asiā, T.Th), h. 192-193 4 „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn, h.
193 5 Peng-qiyas-an ini menurut Ibn Qayyim dikenal dengan sebutan qiyas jaliy (qiyas yang
kuat), karena seseorang tidak dapat melakukan ibadah untuk menggantikan orang lain. Lihat: Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, al-Rūḥ (Bairūt: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1975 M./1395 H), h. 124-125 6 Abu „Abd Allah bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Qurṭubīy, al-
Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Damaskus: al-Majmu‟ al-Ilmi al-„Arabi, 1952), Jilid 2, h. 286 7 Ibn Ḥajar al-„Asqallānī, Fatḥ al-Bārī, Penerjemah: Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), h. 372 dan 378. Lihat pula: Syaikh Imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī,
Penerjemah: Fathurrohman dan Ahmad Hotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 2, h. 654
28
qiyas-kan dengan qaḍā’ puasa. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan al-Bukhārī (w.256 H) berikut:
ث نا أب عن عمرو بن الارث د بن موسى بن أعي حد ث نا مم د بن خالد حد ث نا مم حدد بن ثو عن عروة عن عب يد اللو بن أب جعفر أن مم رضى الله -عن عائشة جعفر حد
يام صام عنو من مات وعليو ص قال -صلى الله عليو وسلم -ل اللو أن رسو -عنها 8.وليو
“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Khālid, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad bin Mūsā bin Aʻyan, telah
menceritakan kepada kami Ayahku, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari „Ubaid
Allah bin Abī Jaʻfar, bahwa Muḥammad bin Jaʻfar telah menceritakan
kepadanya dari „Urwah dari „Āisyah ra., bahwa Rasulullah Saw bersabda:
„Barang siapa meninggal dunia dan atasnya (diwajibkan) berpuasa, maka
(diwajibkan) berpuasa untuknya oleh walinya.” (HR. al-Bukhārī)
Dari hadis tersebut, Imam al-Subkī (w.1623 M./1032 H.) meng-qaḍā’ salat
kerabatnya yang telah meninggal. Hal ini menunjukkan bahwa qaḍā’ salat bagi
orang yang meninggal dianalogikan (qiyas) dengan qaḍā’ puasa bagi orang yang
meninggal. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Abū al-Ḥasan al-Maqdisī dalam
kitab al-Qiyās fī al-‘Ibādāt, bahwa barang siapa seorang Muslim meninggal dan
diwajibkan baginya salat atau i‟tikaf, maka dibolehkan untuk mengganti salatnya.
Statemen ini di-qiyas-kan dengan kebolehan berpuasa untuk orang lain. Namun
hal ini tidak berlaku bagi orang yang meninggalkan salat atau puasa dengan
sengaja tanpa ‘udzur.9
Pendapat ketiga diperkuat dengan adanya hadis yang mendeskripsikan
bahwa salat dan puasa tidak dapat dilakukan seseorang untuk mewakili orang lain,
namun dapat menggantinya dengan memberikan makanan kepada fakir miskin
8 Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-Bukhārī
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) (Bairūt: Dār al-Fikr. T.th.), Juz 7, h. 270, No. Hadis 1952 9 Syaīkh Rāmī bin Muḥammad Jibraīn Salhab Abū al-Ḥasan al-Maqdisī, al-Qiyās fī al-
‘Ibādāt wa Taṭbīqātuhu fī al-Mazhab al-Syāfiʻī (Bairūt: Dār Ibn Ḥazm, 2010 M./1431 H.), h. 235
29
(fidyah).10
Karena itu, sebagian ulama sepakat bahwa utang salat dan puasa dapat
digantikan dengan fidyah, namun tentunya dengan beberapa kriteria tertentu. Pada
bagian ini penulis akan memaparkan fidyah salat terlebih dahulu dengan beberapa
dalil yang dijadikan landasan umat muslim melaksanakan fidyah salat di
kehidupan mereka dan ketentuan-ketentuan khusus di dalamnya.
1. Definisi Fidyah Salat
Secara etimologi, fidyah ( (فدية berasal dari bahasa Arab yang berarti
„tebusan.‟ Sementara dalam kitab-kitab fiqh, istilah fidyah juga dikenal dengan
istilah iṭʻām م (ا) إطع yang berarti „memberi makan.‟11
Berdasarkan keterangan dari
beberapa literatur fiqh klasik atau „kitab kuning,‟ disebutkan bahwa orang yang
meninggal dalam keadaan memiliki utang salat, walinya dianjurkan untuk
membayar fidyah sebanyak satu mud setiap hari dari salat yang ditinggalkan si
mayyit. Pendapat ini mayoritas datang dari mazhab al-Syāfiʻī. Sementara fidyah
salat menurut mazhab al-Ḥanafī, ukuran fidyahnya ialah setengah ṣa’, jika si
mayyit berwasiat untuk membayar fidyah.12
Terkait ukuran fidyah, Fuad Thohari mengutip pendapat Muḥammad ibn
Abī al-Fatḥ al-Ba‟lī, bahwa satu mud menurut ulama Ḥijāz setara dengan 1,3 ritl.
Sementara menurut ulama Iraq, satu mud sama dengan dua ritl. Menurut al-
Jawharī, satu mud sama dengan ¼ ṣa’. Sedangkan menurut ulama fiqh, seperti
Imām Abū Ḥanīfah (w.150 H), Imām Mālik (w.179 H), dan Imām Aḥmad bin
10
Lihat Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb bin „Alī bin Sinān bin Bahr al-
Khurasānī al-Qādī, Sunan al-Nasā’ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār Sulaymān al-Bandārī,
(Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991 M/1411 H), No. Hadis: 2918, Juz 2, h. 175 11 Imam Muḥammad al-Razī, Mukhtar al-Ṣiḥah, (Libanon: Maktabah Lubnan, 1989), h.
435 12
Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-
Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn (T.Tp: Syarikah al-Nūr Asiā, T.Th), h. 192-193,
Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār al-Fikr,
T.Th), h. 24, dan al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad al-Saqāf, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, (Bairūt:
Dār al-Fikr, T.Th.), h. 143
30
Ḥanbal (w.241 H), satu mud setara dengan 9,22 cm3 atau 0.766 liter. Pendapat lain
menyatakan bahwa takaran mud menurut salah satu mazhab Hanafi ialah 1.072
Gram (± 1,072 Kg). Mazhab Hanafi membolehkan mengganti mud beras dengan
qimah (konversi uang yang senilai dengan harga beras). Oleh karena itu, apabila
harga beras 1 Kg adalah Rp.10.000,- maka jumlah fidyah yang harus dibayar per-
mud-nya ialah minimal Rp.10.720,-. Namun apabila nilai harga tersebut
dilebihkan, maka akan lebih baik. Dengan demikian, apabila umat Muslim ingin
membayar fidyah dalam bentuk uang, maka ia harus mengikuti takaran mud
mazhab Hanafi tersebut, agar terhindar dari talfiq (hanya mencari yang gampang
dan tidak satu qaḍiyah). Sementara Imām al-Nawāwī al-Dimasyqī berpendapat
bahwa satu mud gandum (ḥinṭah) beratnya 456,54 gram, dan satu mud beras putih
beratnya 679,79 gram.13
Sedangkan ukuran ṣa’, Fuad Thohari mengutip pendapat Imām Abū
Ḥanīfah, Imām Mālik, dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, bahwa satu ṣa’ setara
dengan 14,65 cm3 atau sama dengan 3,45 liter. Sementara satu ṣa’ gandum
(ḥinṭah) menurut Imām al-Nawāwī al-Dimasyqī yaitu sama dengan 1862,18 gram,
namun satu ṣa’ beras putih, ukurannya sama dengan 2.719,19 gram. Berbeda
dengan pendapat tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa
satu ṣa’ sama dengan empat mud. Sementara satu mud setara dengan 576 gram.14
Ukuran inilah yang dijadikan MUI sebagai standar ukuran fidyah di wilayah
Indonesia.
13
Fuad Thohari, “Mengungkap Istilah-istilah Khusus dalam Tiga Rumpun Kitab Fikih
Syāfi„iyyah,” dalam Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 1, (Januari 2013), h. 128, Lihat pula: Muḥammad ibn Abī al-Fatḥ al-Ba‟lī, al-Maṭli’ ‘ala Abwāb al-Fiqh, (Bairūt: al-Maktab al-Islāmī,
1981), h. 8 14
Fuad Thohari, “Mengungkap Istilah-istilah Khusus dalam Tiga Rumpun Kitab Fikih
Syāfi„iyyah,” h. 128
31
Dalam hal ini, fidyah salat hanya berlaku bagi orang yang telah meninggal
dalam keadaan memiliki utang salat. Adapun orang yang masih hidup, ia tetap
diwajibkan melaksanakan kewajiban salat sebagaimana syariat Islam yang
berlaku. Dalam hadis Nabi Saw, dijelaskan bahwa apabila seseorang
meninggalkan salat karena lupa atau tertidur, ia diwajibkan meng-qaḍā’ salatnya
pada saat ia ingat (sadar). Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī (w.256 H) dan
Muslim (w.261 H) dari Anas bin Mālik:
ث نا عبد الأعلى د بن المث ن حد ث نا مم ث نا سعيد عن ق تادة وحد عن أنس بن مالك قال حدارت ها أن يصلي ها فكف ها إذا قال نب اللو صلى اللو عليو وسلم من نسي صلة أو نام عن
15.ذكرىا“Dan telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-Mutsannā, telah
menceritakan kepada kami „Abd al-Aʻlā, telah menceritakan kepada kami
Saʻīd dari Qatādah dari Anas bin Mālik, ia berkata; Nabi Saw bersabda:
"Barangsiapa lupa salat atau ketiduran karenanya, maka kaffarat-nya adalah
ia menunaikan salat di saat mengingatnya.” (HR. Muslim)
Hadis Muslim di atas diriwayatkan dari Muḥammad bin al-Mutsannā, dari
„Abd al-Aʻlā, dari Saʻīd, dari Qatādah, dari Anas bin Mālik. Derajat hadis ini
dinilai saḥīḥ. Hadis ini juga dikuatkan dengan hadis riwayat al-Ṭabrānī, al-
Dāruquṭnī, dan al-Baihaqī dari Abū Hurairah secara marfu’. Adapun hadis yang
setema dengan hadis tersebut adalah hadis riwayat sahabat Ḥafiṣ bin Abī al-„Aṭaf,
namun dalam hal ini terjadi perselisihan. Al-Bukhārī dan Abū Ḥatim menilai
bahwa hadis riwayat Ḥafiṣ tersebut adalah munkar al-ḥadīts, karena ada Yaḥyā
bin Yaḥyā yang dinilai sebagai kadzab (pembohong).16
15
Abū Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairūt: Dar al-Jail, T.Th),
Juz 2, h. 142 16
Zain al-Din Abī al-Faraj „Abd al-Raḥman bin Ahmad al-Baghdadi (Ibn Rajab al-
Hanbali), Syarah ‘Alal al-Tirmidzī li Ibn Rajab, Muhaqqiq: Nur al-Din „Itr dan Hamām „Abd al-
Rahim Sa‟id, (Riyadh: Maktabah al-Rasyad, 2001), Juz 1, h. 291
32
Hadis riwayat Muslim di atas menunjukkan bahwa seseorang yang
meninggalkan salat karena lupa atau tertidur, ia tetap diwajibkan meng-qaḍā’
salat yang ditinggalkannya, dan disunnahkan untuk menyegerakan qaḍā’-nya. Hal
tersebut merupakan kaffarat bagi orang yang masih hidup apabila meninggalkan
salat karena alasan apapun. Ia tetap diwajibkan meng-qaḍā’ salatnya saat ia ingat
dan tidak ada fidyah salat baginya. Ibn Rajab dalam Syarḥ ‘Alal al-Tirmidzī
menyebutkan bahwa perintah qaḍā’ salat dalam hal ini yaitu bagi seseorang yang
tertidur seperti biasa, bukan karena pingsan atau tidak sadarkan diri dalam waktu
yang lama. Apabila seseorang dalam keadaan pingsan atau tidur dalam waktu
yang lama, maka tidak ada qaḍā’ baginya. Dengan kata lain, apabila seseorang
tertidur dan melewatkan satu hingga lima waktu salat atau lebih, maka tidak ada
qaḍā’ baginya. Jumhur ulama berpendapat berdasarkan keumumam hadis bahwa
seseorang tertidur atau lupa maka hendaknya ia meng-qaḍā’ salatnya apabila ia
telah sadar (ingat). Imam Abū Ḥanīfah (w.150 H), Imam Mālik (w.179 H) dan
Imam Aḥmad (w.241 H) menegaskan bahwa tidak ada kaffarat (denda) bagi orang
yeng meninggalkan salat selain meng-qaḍā’-nya.17
Sementara pada kasus orang meninggal yang memiliki utang salat, dalam
kitab Nihāyah al-Zaīn dijelaskan bahwa apabila seseorang meninggal dunia dan ia
memiliki utang salat, menurut Ibn Burhān (w.1124 M./518 H.) dan para pengikut
mazhab al-Syāfiʻī, walinya dianjurkan agar membayar fidyah sebanyak satu mud
dari setiap salat yang ditinggalkan. Senada dengan pendapat tersebut, mazhab al-
Ḥanafī menambahkan jika fidyah salat dibayarkan ketika seseorang masih dalam
17
Zain al-Dīn Abī al-Faraj „Abd al-Raḥman Ibn Syihāb al-Dīn al-Baghdadī (Ibn Rajab),
Fatḥ al-Bārī li Ibn Rajab, Muhaqqiq: Abū Mu‟adz Ṭarīq ibn „Awḍ Allāh bin Muḥamad (Arab
Saudi: Dār Ibn al-Jauzī, 1422 H), Juz 3, h. 351. Lihat pula: Ibn Rajab al-Ḥanbali, Syarḥ ‘Alal al-
Tirmidzī li Ibn Rajab, Juz 1, h. 291
33
keadaan sakit (masih hidup), maka fidyahnya tersebut tidak sah. Bahkan jika si
mayyit berwasiat, ukuran fidyahnya ialah setengah ṣa’.18
Adapun cara fidyahnya
yaitu dengan memberikan makanan kepada fakir miskin sebanyak satu mud atau
setengah ṣa’ untuk satu waktu salat yang ditinggalkan si mayyit.
Masjfuk Zuhdi dalam hal ini menilai bahwa ulama telah sepakat jika orang
yang meninggal dan memiliki utang salat, maka wali/keluarganya tidak wajib
menggantikan salatnya. Namun Zuhdi sendiri tidak menyebutkan bahwa salat
yang ditinggalkan si mayyit dapat digantikan dengan fidyah atau tidak. Ia hanya
menegaskan pendapat Sayyid Sabiq bahwa salat yang ditinggalkan si mayit tidak
perlu di-qaḍā’ oleh walinya.19
Pendapat ini juga didukung oleh Muhammad Bagir
al-Habsyi. Ia menyatakan bahwa para ulama telah menyepakati apabila orang
meninggal yang pada masa hidupnya pernah meninggalkan beberapa di antara
salat farḍu, maka salatnya tidak dapat digantikan oleh walinya atau orang lain.20
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa fidyah salat berkaitan erat
dengan utang salat orang yang telah meninggal. Sebagian ulama seperti Ibn
Burhan dan sebagian pengikut mazhab al-Syāfiʻī serta al-Ḥanafī telah sepakat jika
orang yang meninggal dan ia memiliki utang salat farḍu, maka utang salatnya
tersebut tidak perlu digantikan oleh keluarganya atau orang lain, namun cukup
diganti dengan fidyah, yaitu dengan memberikan makanan kepada fakir miskin
sebanyak satu mud dari setiap salat yang ditinggalkan. Sementara itu, tidak ada
fidyah salat bagi orang yang masih hidup, sebagaimana pendapat Mazhab al-
Ḥanafī di atas. Seseorang yang masih hidup dan mampu (secara fisik) tetap
18
„Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn, h. 193 19
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid II (Jakarta: Rajawali, 1992), h. 62 20
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut al-Qur’an, al-Sunnah, dan
Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan, 1999), h. 365
34
diwajibkan melaksanakan salat tanpa terkecuali, sesuai dengan syariat Islam yang
berlaku.
2. Hadis Fidyah Salat
Dalil-dalil yang dijadikan landasan umat Muslim untuk melaksanakan
fidyah salat didasarkan pada beberapa hadis dan pendapat ulama. Menurut Imam
al-Nawāwī, hadis dalam makna yang luas tidak hanya mencakup perkataan,
perbuatan, dan ketetapan yang di-marfuʻ-kan kepada Nabi Saw, melainkan pada
perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada sahabat dan tabi‟in
juga. Hadis yang disandarkan kepada sahabat disebut dengan hadis mawqūf,
sementara hadis yang disandarkan kepada tabi‟in disebut dengan hadis maqṭuʻ.21
Meskipun hadis-hadis yang mengisyaratkan adanya fidyah salat terbilang sedikit,
bahkan terbilang mawqūf, namun keyakinan umat muslim untuk melaksanakan
ajaran Islam tetap kuat dengan didukung oleh pendapat-pendapat para ulama
dalam kitab fiqh klasik. Pada bagian ini diawali dengan teks hadis fidyah salat,
makna hadisnya, dan penelusuran fidyah salat di kalangan ulama hadis.
a. Teks Hadis Fidyah Salat
Berdasarkan penelusuran penulis, hadis tentang fidyah salat berkaitan erat
dengan fidyah puasa. Hadis tersebut hanya ditemukan di dua tempat, yaitu dalam
Kitab Sunan al-Kubrā al-Nasā’ī dan Kitab Musykil al-Ātsar li al-Ṭaḥāwī. Hadis
yang terdapat dalam dua kitab tersebut merujuk pada seorang sahabat, yaitu Ibn
„Abbās (w.68 H). Adapun hadis yang diriwayatkan dalam Sunan al-Kubrā al-
Nasā’ī adalah sebagai berikut:
21 Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syarf al-Nawāwī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, (Bairūt: Dār al-Fikr,
T.Th.), Juz 1, h. 29-30. Lihat pula: Fatchur Rahman, Ikhtisār Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts (Bandung:
PT. Al-Ma‟arif, 1974), h. 27
35
ال ل ق و ح لأ اج ا ج ا ح ن ث د ح ال ع ق ي ر ن ز ب و ى د و ي ز ا ي ن ث د ح ال ى ق ل ع د الأ ب ن ع د ب م م أ ب ن أ بن عباس ، قال : ل يصلي أحد عن عن اح ب ر ب أ ن ب اء ط ع ن ى ع س و ن م وب ب ي ا أ ن ث د ح
ا من حنطة كل ن يطعم عنو مكان أحد ، ول يصوم أحد عن أحد ، ولك .22ي وم مد
“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās, ia
berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan darinya
setiap hari sebanyak satu mud dari gandum.” (HR. Al-Nasā‟ī)
Hadis tersebut diriwayatkan al-Nasā‟ī (w.303 H) dari Muḥammad bin „Abd
al-Aʻlā, dari Yazīd bin Zuraīʻ, dari Ḥajjāj al-Aḥwal, dari Ayyūb bin Mūsā, dari
„Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ, dari Ibn „Abbās. Menurut Ibn Abī al-„Izz al-Ḥanafī, hadis
tersebut memiliki sanad yang ṣaḥīḥ.23
Adapun berdasarkan penelitian penulis,
sanad pada hadis tersebut terdapat perawi dari kalangan tabiʻīn bernama „Aṭā‟ bin
Abī Rabāḥ yang dinilai tsiqah oleh sebagian para ulama hadis, namun dalam
periwayatannya banyak yang mursal dan keliru dalam periwayatan.24
Dalam hal
ini al-Dzahabī menyatakan bahwa riwayat mursal tersebut adalah dari Nabi Saw,
Abū Bakar al-Ṣiddīq, Attāb bin Asīd, „Utsmān bin „Affān, al-Faḍl bin „Abbās, dan
Ṭā‟ifah.25
Oleh karena itu, periwayatan dalam hadis ini tidak mursal, karena al-
Dzahabī tidak menyebut „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ me-mursal-kan hadis yang
diriwayatkan Ibn „Abbās. Maka dapat dikatakan bahwa seluruh perawi pada hadis
di atas adalah sahih (saḥīḥ al-isnād).
22
Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb bin „Alī ibn Sinān bin Bahr al-
Khurasānī al-Qādī, Sunan al-Nasa’ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār Sulaymān al-Bandārī,
Juz 2 (Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991 M/1411 H), No. Hadis: 2918, h. 175. 23
Ibn Abī al-„Izz al-Ḥanafī, Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah (Riyāḍ: Dār „Alam al-
Kutub, 1997 M./1418 H.), h. 664-676. 24
Abū Saʻīd bin Khalīl bin Kaykaldī Abū Saʻīd al-„Alā‟ī, Jāmiʻ al-Taḥṣīl fī Aḥkām al-
Marāsīl, Muḥaqqiq: Ḥamidī „Abd al-Majīd al-Salafī (Bairūt: „Ālim al-Kutub, 1986), Juz 1, h. 237. 25
Syams al-Dīn Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Aḥmad al-Dzahabī, Siyar Aʻlām al-
Nubalā, Muḥaqqiq: Syuʻaīb al-Arnā‟ūṭ (Bairūt: Mu‟assasah al-Risalah, 1982), Juz 9, h. 86.
36
Sedangkan hadis yang diriwayatkan al-Ṭaḥāwī dalam Musykil al-Ātsar li al-
Ṭaḥāwī ialah sebagai berikut:
ث نا ث نا يي بن عثمان بن صالح قال: حد ث نا يزيد بن حد سوار بن عبد الله العنبي قال: حد، ق اج الباىلي اج بن الج اج الأحول قال أبو جعفر: وىو الج ث نا الج د زريع قال: حد
ث عنو يزيد، وإب راىيم بن طهمان، ث نا أي حد وب بن وىو مقبول الرواية عند أىلها قال: حدهما قال: ل يصلي أحد عن أحد، ول يصوم موسى، عن عطاء، عن ابن عباس رضي الله عن
26.أحد عن أحد، ولكن يطعم عنو مكان كل ي وم مد حنطة
“Telah menceritakan kepada kami Yaḥyā bin „Utsmān bin Ṣāliḥ, ia berkata;
telah menceritakan kepada kami Sawwār bin „Abd Allāh al-„Anbarī, ia
berkata; telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami al-Ḥajjāj al-Aḥwal, -Abū Jafar berkata: ia adalah
al-Ḥajjāj bin al-Ḥajjāj al-Bahilī, yang telah meriwayatkan darinya yaitu
Yazīd dan Ibrahim bin Ṭahmān, riwayatnya maqbūl di sisi golongannya-; ia
berkata; telah menceritakan kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟, dari
„Ibn „Abbās, ia berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak
ada puasa seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan
darinya setiap hari sebanyak satu mud gandum.” (HR. Al-Ṭaḥāwī)
Abū Jaʻfar Aḥmad bin Muḥammad al-Ṭaḥāwī meriwayatkan hadis tersebut
dari Yaḥyā bin „Utsmān bin Ṣāliḥ, dari Sawwār bin „Abd Allāh al-„Anbarī, dari
Yazīd bin Zuraīʻ, dari Ḥajjāj al-Aḥwal, dari Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī
Rabāḥ, dari Ibn „Abbās. Jika dilihat dari sanad-nya, hadis ini masih satu jalur
dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasa‟ī di atas, karena Muḥammad bin
„Abd al-Aʻlā (guru al-Nasa‟ī) dan Sawwār bin „Abd Allāh al-„Anbarī sama-sama
bertemu dengan satu guru, yaitu Yazīd bin Zuraīʻ. Berdasarkan penelitian penulis,
sanad hadis ini juga dinilai saḥīḥ (saḥīḥ al-isnād).
26
Abū Jaʻfar Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah bin „Abd al-Malik bin Salamah al-
Azdī al-Ḥujrī al-Miṣrī al-Maʻrūf bi al-Ṭaḥāwī, Musykil al-ātsār li al-Ṭaḥāwī (T.Tp: T.P, T.Th),
No. Hadis 1986, Juz 5, h. 370
37
Dari segi penyandaran, hadis-hadis fidyah salat di atas ada yang
menganggapnya marfu’,27
namun ada pula yang menganggapnya mawquf. Dalam
Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah disebutkan bahwa hadis tersebut sampai kepada
Nabi Saw (marfu’). Namun dalam kitab Sunan al-Kubra al-Nasā’ī tidak
disebutkan nama Nabi Saw, dan hanya sampai kepada Ibn „Abbās (mawquf).
Pendapat ini menurut Ibn Abī al-„Izz al-Ḥanafī datang dari al-Ḥāfizh al-Zayla‟ī
dalam Naṣb al-Rāyah.28
Sementara hadis yang setema dengan hadis di atas adalah
hadis dari Ibn „Umar, yang juga diketahui berstatus mawquf. Hadis riwayat Ibn
„Umar tersebut juga disetujui oleh Imam Mālik (w.179 H) dalam al-Muwaṭṭa’
yang menyatakan bahwa sanadnya sahih dari Ibn „Umar. Dengan demikian, hadis
tentang fidyah tersebut tidak diketahui ke-marfu’an-nya.29
Ali Mustafa Yaqub menganggap bahwa bahwa hadis tersebut bukan
merupakan kreasi ijtihad Ibn „Abbās sendiri. Hal ini atas pertimbangan bahwa
tidak mungkin Ibn „Abbās mengetahui sampai atau tidaknya pahala fidyah
seseorang untuk orang yang telah meninggal.30
Pendapat ini didukung oleh
pernyataan Hasjim Abbas, yang mengungkapkan bahwa pemberitaan tentang
pengalaman kegamaan sahabat, baik individu maupun kolektif, sepanjang masih
berikatan dengan nuansa otoritas nubuwwah atau terkesan berlangsung pada masa
kenabian, maka dalam ilmu hadis pemberitaan tersebut diberikan status marfuʻ,
27
Beberapa mufassir mengutip hadis dari Ibn „Abbās yang diriwayatkan al-Nasā‟i secara
marfu’, yaitu sampai kepada Nabi Saw. Di antaranya yaitu al-Qurṭubī dan Wahbah al-Zuḥailī.
Lihat: Abū „Abd Allah bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Qurṭubīy, al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an, Jilid 2, h. 285, dan Wahbah bin Muṣtafā al-Zuḥailī, Tafsir al-Munīr (Bairūt:
Dār al-Fikr, 1418 H), Juz 2, h. 145 28
Lihat: „Abd Alllah bin Yūsuf Abū Muḥammad al-Ḥanafī al-Zayla‟ī, Naṣb al-Rāyah,
(T.Tp. T.Th.), Juz 2, h. 463 29
Ṣadr al-Dīn Muḥammad bin „Alā‟u al-Dīn bin Muḥammad bin Abī al-„Izz al-Ḥanafī,
Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah. Taḥqīq: Aḥmad Syākir (Riyāḍ: Dār „Alam al-Kutub, 1997
M./1418 H.), h. 459 30
Ali Mustafa Yaqub, “Fidyah Shalat untuk Orang Meninggal,” di akses dari
http://tebuireng.online/fidyah-shalat-untuk-orang-meninggal/ pada 9 Juni 2017.
38
dan disebut marfuʻ ḥukmīy atau marfu’ secara hukum. Lebih jauh, Hasjim Abbas
mengungkapkan bahwa indikator ke-marfu’-an suatu hadis tidak harus
mencantumkan nama Nabi Saw, namun dianggap cukup memadai apabila materi
berita dalam matan mengisyaratkan adanya ikatan waktu dengan periode
kehidupan Nabi Saw, mencerminkan implementasi bimbingan keagamaan oleh
Nabi Saw, dan penjelasan sahabat yang substansinya diyakini bukan merupakan
kreasi ijtihad dan transformasi kejadian-kejadian yang dialami sahabat pada masa
lalu.31
Sebagai contoh, Hasjim Abbas mencantumkan hadis dengan redaksi matan
yang tidak mengekplisitkan Nabi Saw. Salah satunya yaitu hadis yang
diriwayatkan al-Bukhārī (w.256 H), sebagai berikut:
ث نا مروان بن ش ث نا أحد بن منيع حد ثن السي حد ث نا سال الأفطس عن سعيد حد جاع حدفاء ف ثلثة شربة عسل وشرطة مجم هما قال الش بن جب ي عن ابن عباس رضي اللو عن
ت عن الكي ي عن ليث عن ماىد عن ابن عباس رفع الديث ورواه ا .وكية نار وأن هى أم لقم 32.لم ف العسل والجمعن النب صلى اللو عليو وس
“Telah menceritakan kepadaku al-Ḥusaīn; telah menceritakan kepada kami
Aḥmad bin Manīʻ; telah menceritakan kepada kami Marwān bin Syujāʻ;
telah menceritakan kepada kami Sālim al-Afṭas, dari Saʻīd bin Jubaīr, dari
Ibn „Abbās ra, ia berkata: kesembuhan dari penyakit terletak pada tiga (3)
hal: minum madu, upaya mengeluarkan darah oleh orang yang berbekam,
dan dengan sentuhan besi yang dipanaskan; dan aku melarang umatku dari
cara penyembuhan dengan besi panas.” (HR. Al-Bukhārī)
Menurut Hasjim Abbas, matan hadis tersebut dinyatakan berstatus marfu’
ḥukmīy. Ke-marfu’-an hadis tersebut dinilai al-Bukhārī (w.256 H) sehubungan
dengan statemen Ibn „Abbās (w.68 H) yang melarang umat Islam berbuat sesuatu
31
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha (Yogyakarta: Teras,
2004), h. 67-68 32
Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-Bukhārī
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī), Muḥaqqiq: Muḥammad bin Zuhaīr bin Nāṣir al- Nāṣir, (Bairūt: Dār Ṭūq al-
Najāh, 1422 H.), Juz 14, h. 301, No. Hadis 5680
39
demi kesembuhan dari penyakit, tidak mungkin sejatinya mengatasnamakan
dirinya sebagai „Abd Allāh bin „Abbās. Statemen tersebut secara implisit
mempertanggungjawabkan sumbernya kepada Nabi Saw sebagai pemegang
kewenangan tasyri’ atau legislator.33
Dari penjelasan di atas, penulis menilai bahwa hadis fidyah salat di atas
merupakan hadis yang marfu’ secara hukum. Meskipun banyak pihak yang tidak
setuju, pendapat Hasjim Abbas di atas perlu dipertimbangkan secara serius dalam
kajian ilmu hadis. Status marfu’ hukmiy pada hadis yang tidak menyebutkan nama
Nabi dapat dijadikan rujukan yang sah apabila ada bukti-bukti kuat yang
mendukung statemen para sahabat. Bahkan apabila ada pihak yang menolak
statemen para sahabat sebagai penyaduran dari Nabi, maka hal tersebut akan
menyebabkan hadis-hadis dari sahabat menjadi batal, dan menimpa pada sebagian
besar hadis-hadis sahih.34
b. Makna Hadis Fidyah Salat
Fidyah salat berkaitan erat dengan adanya larangan seseorang untuk
mewakili salat dan puasa orang lain. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa salat dan puasa merupakan ibadah fisik yang tidak dapat
diwakili oleh orang lain. Ibn Ḥajar al-„Asqallānī (w.852 H) dalam hal ini
menyatakan bahwa pendapat tentang seseorang tidak dapat mewakili salat orang
lain didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ibn „Umar dan Ibn „Abbās.35
Sebagaimana dinyatakan Imam Mālik (w.179 H) dalam kitabnya, al-Muwaṭṭā’,
bahwa Ibn „Umar berkata:
33
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha, h. 68-69 34
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha, h. 68 35
Ibn Ḥajar al-„Asqallānī, Fatḥ al-Bārī, h. 372-373
40
عن أحد أخب رنا مالك أنو ب لغو أن عبد اللو بن عمر ، قال ، فذكره ، قال مالك : ول أسع هم أ هم بالمدينة أن أحدا من حابة ، ول من التابعي رضي اللو عن مر أحدا يصوم عن من الص
ا ي فعلو كل أحد لن فسو ، ول ي عملو أحد عن أحد 36أحد ، ول يصلي عن أحد ، وإن
“Telah mengabarkan kepada kami Mālik, bahwa ia telah menyampaikan
bahwa „Abd Allāh bin „Umar, ia berkata: maka ia menyebutkannya, yaitu
Mālik berkata: dan aku tidak mendengar dari seseorang di kalangan sahabat,
dan tidak pula dari tabi‟in ra. di Madinah bahwa seseorang di antara mereka
telah memerintahkan seseorang berpuasa untuk orang lain, dan tidak pula
memerintahkan salat untuk orang lain, dan sesungguhnya apa yang yang
dilakukan setiap orang adalah untuk dirinya sendiri, dan tidak ada amal
seseorang untuk orang lain.” (HR. Mālik)
Sementara hadis yang diriwayatkan al-Nasā‟ī (w. 303 H) dalam Sunan al-
Kubra, bahwa Ibn „Abbās (w.68 H) berkata:
ال ل ق و ح لأ اج ا ج ا ح ن ث د ح ال ع ق ي ر ن ز ب و ى د و ي ز ا ي ن ث د ح ال ى ق ل ع د الأ ب ن ع د ب م م أ ب ن أ بن عباس ، قال : ل يصلي أحد عن عن اح ب ر ب أ ن ب اء ط ع ن ى ع س و ن م وب ب ي ا أ ن ث د ح
.37ل يصوم أحد عن أحد أحد ، و
“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās, ia
berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain.” (HR. Al-Nasā‟ī)
Meski demikian, pendapat di atas tidak berlaku apabila seseorang yang
meninggal memiliki nadzar salat. Orang meninggal yang memiliki utang nadzar
salat dapat diwakilkan nadzar salatnya oleh walinya. Hal ini sebagaimana riwayat
yang disebutkan al-„Asqallānī bahwa Ibn „Umar pernah menyuruh seorang wanita
yang ibunya telah meninggal dan memiliki nadzar salat di Quba‟, dan ia berkata:
“Salatlah engkau atas namanya!.” Pendapat Ibn „Umar ini juga sejalan dengan
36
„Abd Allāh bin Yūsuf Abū Muḥammad al-Ḥanafī al-Zaylaʻī, Naṣb al-Rāyah fī Takhrīj
Aḥādīts al-Hidāyah (T.Tp: T.P, T.Th), Juz 4, h. 456-459 37
Abū „Abd al-Raḥmān, Sunan al-Nasa’ī al-Kubrā, Juz 2, No. Hadis: 2917, h. 175.
41
pendapat Ibn „Abbās.38
Adapun Ibn „Abbās menceritakan bahwa Sa‟ad bin
„Ubadah al-Anshari pernah meminta fatwa kepada Nabi Saw tentang nadzar
ibunya yang telah meninggal, namun belum ditunaikannya. Kemudian Nabi Saw
memerintahkan agar ia menunaikan nadzar ibunya tersebut, lalu nadzar tersebut
berubah menjadi sunnah. Dengan demikian, seseorang dapat mengganti salat
orang lain yang telah meninggal apabila orang yang meninggal tersebut memiliki
nazdar salat.39
Pada dasarnya, makna hadis tentang fidyah salat di atas masih sangat
general. Makna salat di atas dapat bermakna salat farḍu atau bisa juga bermakna
salat nadzar. Namun para ulama telah mengklasifikasikan bahwa salat yang tidak
dapat diwakilkan oleh orang lain adalah salat farḍu, sementara salat yang dapat
diwakilkan oleh orang lain adalah salat nadzar. Apabila seseorang memiliki utang
salat farḍu, dapat diganti dengan memberikan makanan (fidyah) kepada orang
miskin sebanyak satu mud dari setiap salat yang ditinggalkan. Namun apabila
seseorang memiliki utang nadzar salat, maka walinya disunnahkan untuk
mewakili salat nadzarnya tersebut.
Secara literal, dalam teks hadis fidyah salat dikatakan bahwa fidyah
dibayarkan dengan memberikan makanan sebanyak satu mud gandum/ beras
untuk satu hari salat atau puasa yang ditinggalkan. Artinya, satu mud gandum/
beras bukan untuk satu waktu salat, tetapi untuk satu hari (lima waktu salat).
Namun para ulama fiqh berijma‟ bahwa salat merupakan ibadah yang dilakukan
sebanyak lima kali dalam sehari, karena itu satu hari salat tidak sama dengan satu
hari puasa. Pendapat ini datang dari al-Zaylaʻī dalam kitab Naṣb al-Rāyah. Ia
38
Ibn Ḥajar al-„Asqallānī, Fatḥ al-Bārī, h. 370-371 39
Ibn Ḥajar al-„Asqallānī, Fatḥ al-Bārī, h. 371
42
menyatakan bahwa para ulama menganggap setiap waktu salat sama dengan satu
hari puasa.40
Dengan demikian, jika utang salat si mayyit dalam satu hari sebanyak
lima kali, maka fidyah salat yang harus dibayarkan setiap harinya adalah sebanyak
lima mud. Namun pendapat ini masih dalam perdebatan, karena bertentangan
dengan petunjuk hadis di atas. Dalam hal ini, hadis menduduki tingkat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ijma’ dan qiyas. Oleh karena itu, pendapat bahwa
fidyah sebanyak satu mud untuk satu hari salat (lima waktu salat) adalah pendapat
yang perlu diutamakan. Meski demikian, pendapat ini tidak sampai menyalahkan
pendapat dari ijma’ para ulama tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa utang salat yang dapat diganti dengan fidyah
adalah utang salatnya orang yang telah meninggal dunia. Adapun bagi orang yang
masih hidup dan mampu melaksanakan salat, ia tetap diwajibkan untuk meng-
qaḍā’ salat yang ditinggalkannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggal
dan ia memiliki utang salat, maka wali/keluarganya tidak perlu meng-qaḍā’
salatnya, namun cukup menggantinya dengan membayar fidyah.41
c. Sunnah: Tradisi Fidyah Salat di Kalangan Ulama
Setelah Nabi Saw (w.11 H.) wafat, banyak peristiwa dan kejadian baru yang
memerlukan petunjuk syara’ para sahabat. Para sahabat dikenal banyak mengerti
tentang ilmu fiqh dan sumber-sumber hukum Islam,42
terutama hadis-hadis Nabi
Saw sebagai rujukan para sahabat dalam berfatwa setelah al-Qur‟an. Para sahabat
merupakan generasi yang belajar langsung kepada Nabi Saw tentang segala
40 „Abd Allāh bin Yūsuf Abū Muḥammad al-Ḥanafī al-Zaylaʻī, Naṣb al-Rāyah fī Takhrīj
Aḥādīts al-Hidāyah, Juz 4, h. 456 41
Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn, h. 24 42
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya
(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 64.
43
macam bentuk ilmu keislaman. Hadis bersumber dan berkembang dari tradisi
Nabi Saw yang menyebar secara luas seiring dengan penyebaran Islam, termasuk
juga tradisi fidyah. Tradisi kenabian selanjutnya menjadi teladan yang diikuti dan
diaktualisasikan para sahabat dan tabi‟in dalam keseharian mereka. Tradisi
kenabian ini kemudian dijadikan model oleh ulama setelahnya.43
Oleh karena itu,
tradisi fidyah salat merupakan salah satu tradisi yang dilakukan ulama-ulama
terdahulu berdasarkan petunjuk hadis, dan mengabadikannya dalam kitab-kitab
fiqh klasik dengan beragam pendapat dan perdebatannya. Hal ini tercantum dalam
kitab Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn karya Imam Nawawi Banten, kitab
Iʻānah al-Ṭālibīn karya Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, dan kitab Tarsyīḥ al-
Mustafīdīn karya Aḥmad Alwi.
Setelah Nabi Saw wafat tahun 11 H./623 M., terjadi perubahan yang
signifikan. Hadis-hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama, tetapi dari
sumber kedua dan seterusnya yang mempunyai posisi jauh berbeda dengan
sumber pertama.44
Oleh karena itu, penyampaian matan hadis yang bersumber
dari Nabi Saw dapat terjadi perbedaan pemahaman oleh sebagian sahabat,
termasuk pemahaman hadis yang disampaikan oleh Ibn „Abbās (w.68 H) tentang
fidyah salat. Sebagian tabi‟in tidak setuju dengan pendapat Ibn „Abbās yang
membolehkan adanya fidyah salat untuk orang meninggal. Karena itu, tidak
semua tabi‟in menjadikan hadis yang diriwayatkannya sebagai model atau ḥujjah
karena alasan tertentu.45
Dengan demikian, wajar jika pada generasi para
43
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis: Dari Teks ke Konteks (Yogyakarta:
Teras, 2009), h. 176-177 44
Mustafa al-Sibaʻī, Al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī al-Islāmī, (Bairūt: Dār al-
Warraq, 1998), h. 129 45
Argumentasi para tabi‟in yang menggunakan qaul sahabat sebagai hujjah adalah karena
para sahabat diridhai Allah sebagaimana dalam Q.S. al-Taubah ayat 100, terdapat hadis Nabi Saw
44
muḥaddis dan imam mazhab fiqh seperti Imam Mālik (w.179 H), Imam Ḥanafi
(w.150 H), Imam al-Syāfi‟ī (w.204 H), dan Imam Aḥmad bin Ḥanbal (w.241 H),
berbeda pendapat mengenai fidyah salat yang disampaikan sahabat Ibn „Abbās
tersebut.
Hasbi Ash Shiddieqy dengan mengutip pendapat Fakhr al-Islām al-Bazdāwī,
menunjukkan bahwa Abū Ḥanīfah (w.150 H) tidak menyalahi sahabat dalam
perkara-perkara yang tidak dapat diijtihadkan, seperti tentang sampainya amalan
orang yang masih hidup untuk orang yang meninggal, khususnya fidyah salat.
Sementara al-Sarakhsī menegaskan bahwa sahabat harus diikuti dalam segala
keadaan, apabila tidak ada naṣ yang menentangnya.46
Imam Mālik (w.179 H) juga
menegaskan bahwa seorang mufti harus mengambil fatwa sahabat. Karena Imam
Mālik menganggap bahwa sesuatu yang diamalkan para sahabat, disebut sebagai
sunnah. Hal ini juga disampaikan al-Karakhī bahwa mengambil pendapat sahabat
berarti mengambil sunnah.47
Oleh karena itu, al-Syibrāmalisī (w.1676 M./1087 H.)
menegaskan bahwa membayar fidyah salat untuk orang yang telah meninggal
tidak lain hanyalah sunnah.48
3. Ruang Lingkup Fidyah Salat
a. Fidyah Salat Bagi Orang Meninggal
Fidyah salat pada umumnya hanya berlaku bagi orang yang telah meninggal
dunia, dan tidak berlaku bagi orang yang masih hidup. Hal ini karena kewajiban
yang menunjukkan ketinggian martabat sahabat dan kebasahan mengikutinya, dan fatwa-fatwa
sahabat tidak keluar dari sunnah Nabi Saw. Sedangkan para tabi‟in yang tidak menggunakan
ijtihad sahabat sebagai hujjah mereka di antaranya adalah karena sahabat tidak ma’shum, tidak
dapat terhindar dari kesalahan, sering terjadi kekeliruan pendapat antar sahabat, dan lain
sebagainya. Lihat: Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, h. 65-69 46
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 161 47
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 206-207 48
„Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn, h. 193
45
salat atas setiap muslim tidak dapat diganggu gugat. Meskipun sedang sakit, salat
tetap harus dikerjakan. Sebagaimana yang dicontohkan Ibn „Abbās (w.68 H)
ketika ia sakit mata, yaitu dari matanya selalu keluar air. Seorang Ṭabīb yang
datang kepadanya berkata, “izinkanlah saya mengobati matamu, selama lima hari
hendaknya engkau tidak bersujud di atas tanah, tetapi harus di atas kayu yang
ditinggikan.” Ibn „Abbās menjawab, “Sekali-kali tidak akan aku lakukan. Demi
Allah, satu rakaat pun aku tidak akan mengerjakan salat seperti ini. Aku teringat
sabda Rasulullah Saw, “orang yang sengaja meninggalkan satu salat saja, maka
ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.”49
Begitu wajibnya salat untuk dikerjakan oleh setiap muslim, sehingga di waktu
sakitpun kewajiban untuk salat tetap tidak berubah. Hanya saja, ketika sakit
mendapatkan rukhṣah (keringanan), seperti mengerjakan salat dengan posisi
duduk atau berbaring jika tidak mampu untuk berdiri, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan Imam Abū Dāwud (w.275 H) berikut:
ث نا وكيع عن إب راىيم ب د بن سليمان الأن باري حد ث نا مم ن طهمان عن حسي المعلم حدعن عمران بن حصي قال كان ب الناصور فسألت النب صلى اللو عليو عن ابن ب ريدة
50.ف على جنب وسلم ف قال صل قائما فإن ل تستطع ف قاعدا فإن ل تستطع “Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Sulaimān al-Anbārī,
telah menceritakan kepada kami Wakīʻ dari Ibrāhim bin Ṭahmān dari
Ḥusaīn al-Muʻallim dari Ibn Buraidah dari „Imrān bin Ḥushaīn dia berkata;
"Aku menderita penyakit wasir, lalu aku tanyakan hal itu kepada Nabi Saw,
maka beliau bersabda: "Salatlah dengan berdiri, dan apabila kamu tidak
mampu, maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan berbaring.”
(HR. Abū Dāwud)
49
Maulana Mauhammad Zakariya al-Kandhalawi, Kitab Talim: Himpunan Kitab
Fadhilah Amal, Penerjemah: Maulana Ahmad Syaifudin, dkk (Bandung: Pustaka Zaadul Ma‟aad,
T.Th), h. 471 50
Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairūt: Dār al-
Fikr, 1994), Juz 3, h. 142, No. Hadis: 815
46
Demikianlah aturan yang dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Saw tentang
kewajiban salat bagi mukallaf. Adapun ketika seseorang yang sedang sakit namun
ia tidak melaksanakan salat hingga akhirnya ia meninggal, maka ia memiliki
utang salat yang harus dibayarkan dengan fidyah. Dengan demikian, dapat
ditegaskan bahwa fidyah salat hanya berlaku bagi orang yang telah meninggal
dunia.
Dalam hal pembayaran utang salat, mayoritas ulama al-Syāfiʻīyyah sepakat
bahwa pembayaran fidyah salat hanya dihitung dari salat farḍu yang ditinggalkan
saja. Namun ulama al-Ḥanafiyyah menambahkan bahwa di samping salat farḍu,
pembayaran fidyah juga dihitung merangkap dengan salat sunnah, yaitu salat
witir. Dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-10 di
Pekalongan, disebutkan bahwa orang meninggal yang memiliki utang salat
sebanyak delapan (8) hari diwajibkan membayar fidyah sebanyak empat puluh
(40) mud. Karena delapan hari dikali lima waktu, dan tiap-tiap waktu satu mud.
Pendapat kalangan ulama Nahdliyyin ini didasarkan pada kitab Iʻānah al-
Ṭālibīn.51
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa ulama NU lebih cenderung
kepada pendapat ulama al-Syāfiʻīyyah.
b. Fidyah Salat Bagi Orang Miskin?
Secara umum, orang yang berhak menerima fidyah, baik fidyah salat
maupun puasa, adalah orang-orang yang miskin. Dalam al-Qur‟an dijelaskan
bahwa fidyah adalah memberikan makanan kepada orang miskin, sebagaimana
dideskripsikan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 184 berikut:
51
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu (1926) s.d. Ketigapuluh (2000), Jilid I (Jakarta: QultumMedia, 2004), h.
92-93
47
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.
Dalam hal ini juga muncul pertanyaan apakah orang miskin yang
meninggal, dan ia memiliki utang salat diwajibkan membayar fidyah? Para ulama
berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang
miskin tidak wajib membayar fidyah, sedangkan sebagian ulama lain tetap
mewajibkan membayar fidyah. Latar belakang perdebatan ini dipaparkan Ibn
Rusyd dalam kitabnya, Bidāyah al-Mujtahid, bahwa suatu ketentuan yang tidak
dijelaskan hukumnya boleh jadi dapat disamakan dengan masalah utang. Orang
yang memiliki tanggungan utang, wajib membayar pada saat ia mampu. Namun
boleh juga dikatakan bahwa seandainya wajib dilaksanakan, Nabi Saw pasti
langsung menjelaskan hal tersebut.52
Dalam hal ini, karena statusnya tidak jelas
atau diperselisihkan, maka jumhur ulama menyatakan tidak wajib membayar
fidyah, namun wajib di-qaḍā’ oleh walinya.53
52
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, Penerjemah: Beni Sarbeni, dkk. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), h. 629 53
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 630
48
Tabel 1 :
Analisa Pendapat Ulama tentang Fidyah Salat Bagi Orang Meninggal
No. Ulama Pendapat Keterangan
1
- Imam al-Syāfiʻī
- Imam al-Syibrāmalisī
Tidak wajib qaḍā’
salat dan tidak wajib
fidyah oleh walinya
2 - Imam Ḥanafī
Tidak wajib qaḍā’
salat dan tidak wajib
fidyah oleh walinya
Kecuali jika yang
meninggal
berwasiat
3
- Ibn Abī „Iṣrūn
- Ibn Daqīq al-„Aīd
- Imam al-Subkī
Wajib qaḍā’ salat
dan tidak wajib
fidyah oleh walinya
4
- Ibn Burhān
- Aṣḥāb al-Syāfiʻī
- Al-Ḥanafiyyah
Tidak wajib qaḍā’
salat, namun wajib
fidyah oleh walinya
B. Fidyah Puasa
Dalam Kamus Induk Ibadah disebutkan bahwa fidyah puasa berarti tebusan
yang harus dibayarkan seorang mukallaf yang tidak mampu menjalankan ibadah
puasa ramadhan.54
Fidyah puasa pada umumnya telah disepakati oleh para ulama,
karena baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, kedua sumber hukum Islam tersebut
membolehkan seorang muslim untuk tidak berpuasa pada bulan ramadhan karena
54
Ibnu Abi Nashir, Kamus Induk Ibadah Terlengkap dari A-Z (Yogyakarta: Citra Risalah,
2012), h. 37
49
alasan tertentu, namun diwajibkan baginya untuk membayar fidyah, yaitu
memberikan makanan kepada fakir miskin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
al-Qur‟an surat al-Baqarah [2] ayat 184. Fidyah pada masa awal perkembangan
Islam berlaku bagi siapapun yang merasa tidak mampu untuk melaksanakan
puasa, tanpa ada ketentuan khusus. Akibatnya, banyak muslim yang lebih
memilih untuk membayar fidyah daripada melaksanakan puasa. Kemudian turun
ayat al-Qur‟an selanjutnya (ayat 185) yang menegaskan kewajiban puasa bagi
setiap muslim. Dari hal tersebut muncul kriteria tertentu atas kebolehan seseorang
mengganti puasa yang ditinggalkan dengan fidyah.55
Pada bagian ini akan dipaparkan lebih dalam terkait kasus fidyah puasa pada
masa awal Islam berikut hadis-hadis yang menguatkannya. Dalam hadis-hadis
tersebut juga ditegaskan kriteria tertentu terkait kebolehan seseorang untuk
meninggalkan puasa karena tidak mampu atau karena hal-hal lain dan
menggantinya dengan fidyah.
1. Definisi Fidyah Puasa
Menurut Zurinal, fidyah puasa adalah memberi makanan kepada orang
miskin sebagai pengganti puasa ramadhan yang telah ditinggalkan seseorang.
Adapun ukuran fidyah yang harus dibayarkan terjadi perbedaan pendapat di
kalangan Ulama. Dalam hal ini Zurinal mengutip pendapat Ibrahim Muhammad
yang mengemukakan perbedaan pendapat dari empat Imam Mazhab fiqh.
Pertama, Mazhab Mālikī berpendapat bahwa fidyah yang harus diberikan kepada
fakir miskin adalah satu mud makanan pokok, dan tidak sah apabila diberikan
55
Lihat: Abū ʻĪsā Muḥammad bin ʻĪsā bin Sawrah Ibn Mūsā al-Tirmidzī, Sunan al-
Tirmidzī. Muḥaqqiq: Aḥmad Muḥammad Syākir, dkk. (Bairūt: Dār Iḥyā‟ al-Turāts al-„Arabī,
T.Th.), Juz 3, h. 162, No. Hadis: 728
50
kepada orang yang menjadi tanggungannya. Kedua, Mazhab al-Ḥanafī
berpendapat bahwa fidyah yang harus dibayarkan adalah setengah Ṣāʻ gandum
atau yang seharga dengannya. Artinya, Mazhab al-Ḥanafī membolehkan
pembayaran fidyah kepada fakir miskin dengan uang. Senada dengan Mazhab
Mālikī, Mazhab al-Ḥanafī juga berpendapat tidak sah apabila diberikan kepada
orang yang wajib dinafkahinya.56
Ketiga, Mazhab al-Syāfiʻī berpendapat bahwa fidyah yang harus dibayarkan
untuk menebus puasa yang ditinggalkan adalah satu mud atau 0,6875 liter setiap
harinya. Mazhab al-Syāfiʻī juga berpendapat tidak sah apabila diberikan kepada
orang yang menjadi tanggungannya. Keempat, Mazhab Ḥanbalī berpendapat
bahwa fidyah yang harus dibayarkan adalah satu mud gandum atau boleh juga
dibayarkan dengan setengah Ṣāʻ tamar atau anggur kering, atau keju. Mazhab
Ḥanbalī menegaskan tidak sah apabila fidyah dibayarkan dengan selain makanan
tersebut. Artinya, Mazhab Ḥanbalī tidak membolehkan membayar fidyah dengan
uang.57
Perbincangan tentang ukuran fidyah puasa juga menjadi perhatian penting di
kalangan mufassir, salah satunya adalah al-Qurṭubī. Dalam kitab tafsirnya, al-
Qurṭubī menjelaskan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ukuran
fidyah puasa. Menurutnya, sahabat Abū Hurairah, al-Qāsim bin Muḥammad,
Mālik (w.179 H), dan al-Syāfiʻī (w.204 H), berpendapat bahwa ukuran fidyah
untuk mengganti puasa yang telah ditinggalkan setiap harinya adalah satu mud,
56
Zurinal Z. dan Aminuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2008), h. 151-
152 57
Zurinal Z. dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, h. 152
51
sementara al-Tsaurī berpendapat bahwa ukuran fidyah untuk pengganti puasa
setiap harinya adalah satu ṣāʻ (satu gantang).”58
2. Hadis Fidyah Puasa
Hadis-hadis fidyah puasa banyak ditemukan sebagai penafsiran atas surat al-
Baqarah ayat 184. Para sahabat yang sering menjelaskan terkait fidyah puasa di
antaranya adalah Ibn „Abbās dan Ibn „Umar. Sementara sahabat Salamah bin al-
Akwa‟ justru menganggap bahwa ayat fidyah puasa telah dihapus oleh ayat
setelahnya secara hukum, sehingga puasa adalah kewajiban atas setiap muslim
yang tidak boleh ditinggalkan. Berikut ini akan dipaparkan hadis-hadis fidyah
puasa beserta maknanya.
a. Teks Hadis Fidyah Puasa
Fidyah puasa pada dasarnya telah disepakati oleh para ulama karena adanya
nash dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah [2] ayat 184. Namun sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa awal perkembangan Islam, ayat fidyah
puasa dipahami telah di-mansukh (dihapus) secara hukum. Artinya, puasa tetap
menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim tanpa terkecuali.
Hal ini disebabkan karena umat muslim pada masa awal lebih memilih
membatalkan puasa dengan alasan tidak mampu dan menggantinya dengan
fidyah.59
Kejadian tersebut terrekam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
(w.261 H), al-Tirmidzī (w.279 H), al-Nasā‟ī (w.303 H) dan al-Dārimī (w.255 H)
dari Salamah bin al-Akwa‟ dan diriwayatkan oleh Abū Dāwud (w. 275 H) dari Ibn
„Abbās. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu:
58
Abu „Abd Allah bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Qurṭubīy, al-
Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Damaskus: al-Majmu‟ al-Ilmi al-„Arabi, 1945), Jilid 2, h. 285 59
Sulaimān Muḥammad al-Lahīmīd, I’ānah al-Muslim fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Arab
Saudi: al-Rufaḥa‟, T.Th.), Juz 1, h. 46
52
ث نا بكر ث نا ق ت يبة بن سعيد حد عن عمرو بن الارث عن بكي عن -ي عن ابن مضر -حدا ن زلت ىذه الية يزيد مول سلمة وعلى الذين (عن سلمة بن الأكوع رضي اللو عنو قال لم
كان من أراد أن ي فطر وي فتدي حت ن زلت الية الت ب عدىا )يطيقونو فدية طعام مسكي ها 60ف نسخت
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Saʻīd, telah menceritakan
kepada kami Bakr –yaitu Ibn Muḍar-, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari Bukaīr,
dari Yazīd Maulā Salamah, dari Salamah bin al-Akwaʻ, ia berkata; Ketika
turun ayat; "…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin…". (QS. Albaqarah 184), banyak orang yang menginginkan untuk
tetap makan (tidak berpuasa) dan hanya membayar fidyah, sampai turun
ayat setelahnya dan me-nasakh-nya.” (HR. Muslim)
Muslim (w.261 H) meriwayatkan hadis di atas dari Qutaibah bin Saʻīd, dari
Bakr bin Muḍar, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari Bukaīr dari Yazīd Maulā Salamah,
dari Salamah bin al-Akwa‟. Dari segi penyandaran, riwayat hadis ini merupakan
hadis mawquf, namun tidak diragukan lagi keabsahannya.
Sementara hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, yaitu:
ث نا بكر بن مضر عن عمرو بن الارث عن بكي بن عبد اللو بن ا ث نا ق ت يبة حد لأشج عن حدا ن زلت عن سلمة بن الأ يزيد مول سلمة بن الأكوع وعلى الذين يطيقونو فدية ( كوع قال لم
ها )م مسكي طعا كان من أراد منا أن ي فطر وي فتدي حت ن زلت الية الت ب عدىا ف نسخت قال أبو عيسى ىذا حديث حسن صحيح غريب ويزيد ىو ابن أب عب يد مول سلمة بن
61الأكوع “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada
kami Bakr bin Muḍar, dari „Amr bin al-Ḥārits dari Bukaīr bin „Abd Allāh
bin al-Asyaj, dari Yazīd mantan budak Salamah bin al-Akwaʻ, dari Salamah
bin al-Akwaʻ berkata; "Ketika turun ayat: 'Dan barangsiapa yang tidak
mampu untuk berpuasa maka hendaknya dia membayar fidyah dengan
memberi makan orang miskin', Siapapun di antara kami boleh memilih
60
Abū Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairūt: Dar al-Jail, T.Th),
Juz 3, h. 154, No. 1931 61
Abū ʻĪsā Muḥammad bin ʻĪsā bin Sawrah Ibn Mūsā al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī.
Muḥaqqiq: Aḥmad Muḥammad Syākir, dkk. (Bairūt: Dār Iḥyā‟ al-Turāts al-„Arabī, T.Th.), Juz 3,
h. 162, No. Hadis: 728
53
untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah hingga turun ayat yang
sesudahnya menghapus hukumnya." Abu „Īsā berkata; "Ini merupakan
hadits ḥasan ṣaḥīḥ gharīb dan Yazīd bernama: Ibn Abū „Ubaīd mantan
budak Salamah bin al-Akwaʻ.” (HR. Al-Tirmidzī)
Al-Tirmidzī (w.279 H) meriwayatkan hadis tersebut dari Qutaibah, dari
Bakr bin Muḍar, dari „Amr bin al-Ḥārits dari Bukaīr bin „Abd Allāh bin al-Asyaj
dari Yazīd mantan budak Salamah bin al-Akwaʻ, dari Salamah bin al-Akwaʻ. Al-
Tirmidzī menyatakan dalam hadisnya bahwa kualitas hadis tersebut adalah ḥasan
ṣaḥīḥ gharīb.
Hadis yang diriwayatkan al-Nasā‟ī yaitu:
ق ت يبة قال أن بأنا بكر وىو ابن مضر عن عمرو بن الارث عن بكي عن يزيد مول أخب رناا ن زلت ىذه الية }وعلى الذين يطيقونو سلمة بن الأكوع عن سلمة بن الأكوع قال لم
طعام مسكي{ كان من أراد منا أن ي فطر وي فتدي حت ن زلت الية الت ب عدىا فدية ها 62ف نسخت
“Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata; telah memberitakan
kepada kami Bakr, yaitu Ibn Muḍar, dari „Amr bin al-Ḥārits dari Bukaīr dari
Yazīd -budak Salamah bin al-Akwaʻ- dari Salamah bin al-Akwa', ia berkata;
"Ketika ayat ini turun "Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin " di antara kami ada yang ingin berbuka
dan membayar fidyah, hingga turun ayat selanjutnya, lalu ayat tersebut
menghapusnya." (HR. Al-Nasā‟ī)
Al-Nasā‟ī (w.303 H) meriwayatkan hadis tersebut masih pada jalur sanad
yang sama, yaitu dari Qutaibah, dari Bakr bin Muḍar dari „Amr bin al-Ḥārits dari
Bukaīr dari Yazīd -budak Salamah bin al-Akwaʻ- dari Salamah bin al-Akwaʻ.
Hadis yang diriwayatkan al-Nasā‟ī di atas juga merupakan hadis yang Ṣaḥīḥ.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh al-Dārimī yaitu:
62
Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin ibn Syuʻaīb al-Nasā‟ī, Sunan al-Nasā’ī bi Syarḥ al-
Suyūṭī wa ḥāsyiyah al-Sanadī (Bairūt: Dār al-Ma‟rifah, 1420 H), Juz 4, h. 503, No. Hadis: 2315
54
ثن بكر ىو ابن مضر عن بكي ىو ابن الأشج عن عمرو أخب رنا عبد اللو بن صالح قال حدا ن زلت ىذه الية بن الارث عن يزيد مول سلمة وعلى (عن سلمة بن الأكوع أنو قال لم
قال كان من أراد أن ي فطر وي فتدي ف عل حت ن زلت )الذين يطيقونو فدية طعام مسكي ها 63الية الت ب عدىا ف نسخت
“Telah mengabarkan kepada kami „Abd Allāh bin Ṣāliḥ, ia berkata; telah
menceritakan kepadaku Bakr -yaitu Ibn Muḍar- dari Bukair, yaitu Ibn al-
Asyaj, dari „Amr bin al-Ḥārits dari Yazīd mantan budak Salamah bin al-
Akwa', dari Salamah bin Al Akwa', bahwa ia berkata ketika turun ayat ini:
'(Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) ' (QS.
Al-Baqarah: 184).) Salamah berkata, "Dahulu orang yang hendak berbuka
dan membayar fidyah maka boleh ia melakukannya, hingga turunlah ayat
yang setelahnya dan menghapus hukum ayat tersebut.” (HR. Al-Dārimī)
Hadis di atas, al-Dārimī (w.255 H) meriwayatkannya dari „Abd Allāh bin
Ṣāliḥ dari Bakr -yaitu Ibn Muḍar- dari Bukair, yaitu Ibn al-Asyaj, dari „Amr bin
al-Ḥārits dari Yazīd mantan budak Salamah bin al-Akwa', dari Salamah bin al-
Akwa'. Hadis di atas dinilai sebagai hadis ḥasan, karena beberapa kritikus hadis
menilai „Abd Allāh bin Ṣāliḥ sebagai orang yang Ṣadūq dan lā ba’tsa bih.
Sedangkan hadis yang diriwayatkan dari Abū Dāwud yaitu:
ث نا بكر ي عن ابن مضر عن عمرو بن الارث عن بكي عن يز ث نا ق ت يبة بن سعيد حد يد حدا ن زلت ىذه الية سلمة بن الأكوع قال مول سلمة عن طعام وعلى الذين يطيقونو فدية ( لم
كان من أراد منا أن ي فطر وي فتدي ف عل حت ن زلت ىذه الية الت ب عدىا ) مسكي ها 64ف نسخت
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Saʻīd, telah menceritakan
kepada kami Bakr –yaitu Ibn Muḍar-, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari Bukaīr,
dari Yazīd Maulā Salamah, dari Salamah bin al-Akwaʻ, ia berkata; Ketika
turun ayat; "…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
63
Abū Muḥammad „Abd Allāh bin „Abd al-Raḥmān bin al-Faḍl bin al-Bahrām al-Dārimī,
Sunan al-Dārimī, (Kairo: Dār al-Fikr, 1978 M./1398 H.), Juz 5, h. 262, No. Hadis 1671 64
Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairūt: Dār al-
Kitāb al-„Arabī, T.Th), Juz 2, h. 265, No.Hadis 2317
55
miskin…". (QS. Albaqarah 184), banyak orang yang menginginkan untuk
tetap makan (tidak berpuasa) dan hanya membayar fidyah, sampai turun
ayat setelahnya dan me-nasakh-nya.” (HR. Abū Dāwud)
Abū Dāwud (w.275 H) meriwayatkan hadis tersebut dari Qutaibah, dari Bakr
bin Muḍar, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari Bukaīr, dari Yazīd mantan budak
Salamah bin al-Akwaʻ, dari Salamah bin al-Akwaʻ. Berdasarkan penelitian
penulis, hadis ini dinilai sebagai hadis yang ṣaḥīḥ.
b. Makna Hadis Fidyah Puasa
Hadis fidyah puasa merupakan hadis mawqūf karena disandarkan kepada
sahabat Nabi Saw, yaitu Ibn „Abbās. Menurut penulis, bahasa yang digunakan Ibn
„Abbās dalam hadis tersebut merupakan penjelas dan penegasan adanya fidyah
puasa sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah [2] ayat
184. Pengertian ini menunjukkan bahwa apabila seseorang berat melaksanakan
puasa, karena telah lanjut usia atau yang lainnya, maka diwajibkan baginya untuk
membayar fidyah, yaitu memberi makanan kepada fakir miskin. Fidyah puasa
juga berlaku bagi orang yang telah meninggal dunia, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan al-Baihaqī dari Ibn „Abbās, yaitu:
ث نا أبو العباس وقد أخب رنا أبو بكر بن السن القاضى وأبو سعيد بن أب عمرو قال حداب بن عطاء أخب رنا سعيد عن روح بن د بن إسحاق أخب رنا عبد الوى ث نا مم الأصم حد
عن ابن عباس : ف امرأة ت وف يت أو رجل القاسم عن على بن الكم عن ميمون بن مهران نو وعليو رمضان ونذر شهر ف قال ابن عباس : يطعم عنو مكان كل ي وم مسكينا أو يصوم ع
65.وليو لنذره “Dan telah mengabarkan kepada kami Abū Bakr bin al-Ḥasan al-Qāḍī, dan
Abū Saʻīd bin Abī „Amr, keduanya berkata; telah menceritakan kepada Abū
al-„Abbās al-Aṣam, telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Isḥāq,
telah mengabarkan kepada kami „Abd al-Wahhāb bin „Aṭā‟, telah
65
Abū Bakar Aḥmad bin al-Ḥusain bin „Alī al-Bayhaqī, Sunan al-Kubrā (India: Majlis
Dairah al-Ma‟arifah, 1344 H), Juz 4, h. 245
56
memberitakan kepada kami Saʻīd, dari Rawḥ bin al-Qāsim, dari „Alī bin al-
Ḥakam, dari Maimūn bin Mihrān, dari Ibn „Abbās : Ketika ada seorang
perempuan meninggal ataupun laki-laki dan atasnya diwajibkan berpuasa
pada bulan ramadhan dan nadzar selama satu bulan, maka Ibn „Abbās
berkata: Berikan makanan atasnya setiap hari kepada orang miskin atau
berpuasa oleh walinya untuk nadzarnya.” (HR. Al-Baihaqī)
Dari hadis di atas, dapat dipahami bahwa orang yang tidak mampu
melaksanakan puasa ramadhan atau orang meninggal yang memiliki utang puasa,
maka ia dapat menggantinya dengan fidyah. Namun apabila seseorang yang
meninggal dan memiliki utang nadzar puasa, maka puasa nadzarnya dapat
digantikan oleh walinya. Meski demikian, dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan fuqahā’. Sebagaimana ada pengecualian dari Imam Mālik,
yaitu apabila orang yang meninggal tersebut pada dasarnya mampu untuk men-
qaḍā’ puasa ramadhan atau menunaikan puasa nadzar-nya, maka wali tidak
diperbolehkan berpuasa untuknya. Karena pada dasarnya, tidak ada puasa yang
dapat diwakilkan untuk orang lain. Mazhab Imam Mālik berpendapat bahwa
memberikan makanan (membayar fidyah) untuk orang meninggal adalah suatu
kewajiban, termasuk kewajiban wali melaksanakan wasiat mayyit.66
Sementara
„Abd al-Bar mengutip pendapat Imam al-Syāfi‟ī (w.204 H) yang menyatakan
bahwa apabila orang meninggal yang memiliki tanggungan puasa, maka
diperbolehkan untuk membayar fidyah, dan tidak perlu untuk meng-qaḍā’-nya.67
Dengan demikian, wali diperbolehkan untuk meng-qaḍā’ puasa wajib
(ramadhan) yang ditinggalkan oleh mayyit. Wali yang dimaksud adalah setiap
orang yang dekat, khususnya ahli waris, atau golongannya. Namun dalam hal ini
66
Abū „Amr Yūsuf bin „Abd Allah bin Muḥammad bin „Abd al-Bar bin „Āṣim al-Namirī
al-Qurṭubī, Al-Tamhīd limā fi al-Muwaṭṭa’ min al-Ma’ānī wa al-Asānīd, Muḥaqqiq: Muṣtafā bin
Aḥmad al-„Alawī dan Muḥammad „Abd al-Kabīr al-Bakrī (T.Tp: Muassasah al-Qurṭubih, T.Th),
Juz 9, h. 27 67
Abū „Amr Yūsuf bin „Abd Allah bin Muḥammad bin „Abd al-Bar bin „Āṣim al-Namirī
al-Qurṭubī, Al-Istidzkār al-Jāmi’ li Madzāhib Fuqahā al-Amṣār, Muḥaqqiq: Sālim Muḥammad
„Aṭā (Bairūt: Dār al-Kitāb al-„Ilmiyyah, 2000), Juz 3, h. 340
57
terjadi perbedaan pendapat. Para ahli hadis, Abū Tsaūr, dan golongannya,
menyatakan bahwa wali diperbolehkan berpuasa untuk mayyit karena hadisnya
dinilai sahih. Sementara Imam Mālik (w. 179 H) dan Abū Ḥanīfah (w.150 H)
berpendapat bahwa tidak ada puasa untuk mayyit, namun wali hanya diwajibkan
untuk membayar kaffarat (denda) berupa fidyah, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan al-Tirmidzī (w.279 H) dari jalur Ibn „Umar secara marfu’(?).68
ث نا عبث ر بن القاسم عن أشعث عن ث نا ق ت يبة حد د عن نافع عن ابن عمر عن النب حد مممن مات وعليو صيام شهر ف ليطعم عنو مكان كل ي وم » قال -صلى الله عليو وسلم-
ىذا الوجو والصحيح قال أبو عيسى حديث ابن عمر ل ن عرفو مرفوعا إل من «. مسكينا عن ابن عمر موقوف ق ولو. واخت لف أىل العلم ف ىذا الباب ف قال ب عضهم يصام عن
نو وإذا كان الميت. وبو ي قول أحد وإسحاق قال إذا كان على الميت نذر صيام يصوم ع افعى ل يصوم أحد عن أحد. قال عليو قضاء رمضان أطعم عنو. وقال مالك وسفيان والش
لى د ىو عندى ابن عبد الرحن بن أب لي 69.وأشعث ىو ابن سوار. ومم“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada
kami „Abtsar bin al-Qāsim, dari Asyʻats dari Muḥammad, dari Nāfiʻ, dari
Ibn „Umar dari Nabi Saw. ia bersabda: " Barang siapa yang meninggal dan
masih memiliki tanggungan puasa hendaknya ia memberi makan seorang
miskin untuk setiap harinya sebagai gantinya". Abu „Īsā berkata, kami tidak
mengetahui hadits Ibn „Umar ini diriwayatkan secara marfuʻ kecuali melalui
sanad ini dan yang benar adalah hadis ini mawqūf sampai kepada Ibn
„Umar. Para ahli ilmu berbeda pendapat, sebagian mereka yaitu Aḥmad dan
Isḥāq berpendapat jika si mayyit bernadzar puasa, maka boleh diwakilkan.
Namun jika dia memiliki kewajiban meng-qaḍā‟ puasa Ramadlan, maka
sebagai gantinya hendaknya ia memberi makan orang miskin. Mālik, Sufyān
dan al-Syāfiʻī berpendapat, seseorang tidak boleh mewakili puasanya orang
lain. Asyʻats ialah Ibn Sawwar dan menurutku Muḥammad disebut juga
dengan Ibn „Abd al-Raḥman bin Abū Lailā.” (HR. Al-Tirmidzī)
68
Muḥammad bin Ismaʻīl al-Amīr al-Kaḥlānī al-Ṣanʻānī, Subul al-Salām (T.Tp:
Maktabah Muṣtafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1960 M./ 1379 H), h. 165 69
Abū ʻĪsā Muḥammad bin ʻĪsā bin Sawrah Ibn Mūsā al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī.
Muḥaqqiq: Aḥmad Muḥammad Syākir, dkk. (Bairūt: Dār Iḥyā‟ al-Turāts al-„Arabī, T.Th.), Juz 3,
h. 221 No. Hadis 722
58
Al-Tirmidzī (w.279 H) menjelaskan bahwa riwayat hadis tersebut yang
sahih adalah mawquf, yaitu hanya sampai kepada Ibn „Umar. Karena hadis
tersebut tidak diketahui ke-marfu’an-nya. Adapun pada sanad Asy‟ats, yaitu Ibn
Siwār, menurut Yaḥyā bin Ma‟īn tidak ada suatu masalah pada jalur sanadnya.
Bahkan dikatakan bahwa riwayat hadis tersebut dinilai tsiqah.70
Sementara dalam konteks matan hadis, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ahli ilmu (hadis) tentang fidyah dan qaḍā’ puasa oleh wali orang yang
meninggal. Sebagian mereka menganggap bahwa jika puasa yang ditinggalkannya
adalah puasa nadzar, maka wali dibolehkan mewakili puasa nadzar-nya tersebut.
Sedangkan apabila puasa yang ditinggalkannya merupakan puasa ramadhan, maka
walinya cukup menggantinya dengan membayar fidyah. Pendapat ini datang dari
Imam Aḥmad dan Isḥāq. Sementara menurut Imam Mālik (w.179 H), Sufyān dan
Imam al-Syāfi‟ī (w.204 H), menyatakan bahwa seseorang tidak boleh mewakili
puasa orang lain. Adapun penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan
meninggalkan puasa ramadhan dan menggantinya dengan fidyah, akan penulis
jelaskan pada bahasan ruang lingkup fidyah puasa.
3. Ruang Lingkup Fidyah Puasa
a. Fidyah Puasa Bagi Orang yang Lanjut Usia
Orang yang telah lanjut usia dan tidak mampu untuk berpuasa, maka ia
boleh meninggalkan puasa ramadhan dan tidak wajib meng-qaḍā’-nya di hari
yang lain, sepanjang puasa terasa amat memberatkan baginya sepanjang tahun.
70
Imam Abī Muḥammad „Alī bin Zakariyā al-Manbajī, Al-Lubāb fi al-Jam’i Baina al-
Sunnah wa al-Kitāb, Tahqīq: Muḥammad Faḍl „Abd al-„Azīz al-Murād (Damaskus: Dār Qalam,
1994 M./1414 H.), Juz 1, h. 402
59
Sebagai gantinya, ia diwajibkan membayar fidyah. Hal ini sebagaimana hadis
dalam riwayat al-Bukhārī berikut:
ث نا عمرو بن دينار ث نا زكرياء بن إسحاق حد ثن إسحاق أخب رنا روح حد ع حد عن عطاء سقال ابن عباس )فدية طعام مسكي (طيقونو ابن عباس ي قرأ وعلى الذين يطوقونو فل ي
يخ الكبي والمرأة الكبية ل يستطيعان أن يصوما ف يطعمان م كان ليست بنسوخة ىو الش .71كل ي وم مسكينا
“Telah menceritakan kepadaku Isḥāq, telah mengabarkan kepada kami
Rawḥ, telah menceritakan kepada kami Zakariyā‟ bin Isḥāq, telah
menceritakan kepada kami „Amr bin Dīnār, dari „Aṭā‟, ia mendengar Ibn
„Abbās membaca ayat; "Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya
maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin, "(QS. Al-
Baqarah 184), Ibn „Abbās berkata; Ayat ini tidak dimanshukh, namun ayat
ini hanya untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak
mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap
hari kepada orang miskin.” (HR. al-Bukhārī)
Dalam hal ini, Wahbah al-Zuḥailī mengutip pendapat Ibn „Abbās (w.68 H)
bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, ia diwajibkan untuk membayar
fidyah. Apabila ia juga tidak mampu untuk membayar fidyah, maka ia tidak
berkewajiban apapun, baik meng-qaḍā’ atau membayar fidyah. Namun hendaknya
ia memohon ampunan kepada Allah Swt.72
Adapun Orang yang berat
menjalankan puasa juga termasuk orang yang memiliki penyakit menahun dan
sulit untuk diharapkan kesembuhannya. Hal ini dijelaskan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh al-Nasā‟ī (w.303 H), adapun hadisnya yaitu:
ث نا يزيد قال أن بأنا ورقاء عن عمرو ب د بن إساعيل بن إب راىيم قال حد ن دينار عن أخب رنا مميطيقونو )وعلى الذين يطيقونو فدية طعام مسكي (عن ابن عباس ف ق ولو عز وجل عطاء
را (يكلفونو فدية طعام مسكي واحد طعام مسكي آخر ليست بنسوخة )فمن تطوع خي
71
Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-Bukhārī
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) (Bairūt: Dār al-Fikr. T.Th.), Juz 13, h. 444, No. Hadis 4145 72 Wahbah al-Zuḥailī, Puasa dan Itikaf: Kajian Berbagai Mazhab, Penerjemah: Agus
Efendi dan Bahruddin Fannany (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 283
60
ر لكم ( ر لو وأن تصوموا خي يام أو )ف هو خي ص ف ىذا إل للذي ل يطيق الص ل ي رخ 73مريض ل يشفى
“Telah mengabarkan kepada kami Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm, ia
berkata; telah menceritakan kepada kami Yazīd, ia berkata; telah
memberitakan kepada kami Warqā‟, dari Ibn „Amr bin Dīnār, dari „Aṭā‟,
dari Ibn „Abbās tentang firman Allah Azza wa Jallā: "Dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin." Berat menjalankannya
artinya: dibebani membayar fidyah, memberi makan satu orang
miskin."Barangsiapa yang dengan kerelaan mengerjakan kebajikan."
Memberi makan seorang miskin yang lain, bukanlah ayat yang mansukh,
"tapi itulah yang baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu" dalam hal
ini tidak diberikan keringanan kecuali bagi orang yang tidak mampu
berpuasa atau sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya." (HR. al-
Nasā‟ī)
Menurut Muhammad Bagir al-Habsyi, kewajiban membayar fidyah ini
hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Adapun bagi mereka yang tidak mampu,
maka tidak diwajibkan atas mereka untuk membayar fidyah sampai mereka
mampu.74
Dengan demikian, kewajiban membayar fidyah tetap berlaku
kepadanya.
b. Fidyah Bagi Perempuan Hamil dan Menyusui
Pada kasus perempuan yang sedang hamil atau menyusui berdasarkan hadis,
mereka dibolehkan untuk berbuka (tidak berpuasa) di bulan ramadhan, namun
diwajibkan untuk membayar fidyah. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abū
Dāwud, yaitu:
73
Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb ibn „Alī ibn Sinān ibn Bahr al-
Khurasānī al-Qāḍī, Sunan al-Nasā’ī al-Kubrā (Bairūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1411 H), Juz 2,
h. 112, No. Hadis: 2626 74
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis, h. 351-352
61
ث نا ابن أب عدي عن سعيد عن ق تادة عن عزرة عن سعيد بن جب ي ث نا ابن المث ن حد حديخ الكبي )وعلى الذين يطيقونو فدية طعام مسكي (عن ابن عباس قال كانت رخصة للش
يام أن ي فطرا ويطعما مكان كل ي وم مسكينا والب لى والمرأة الكبية وها يطيقان الص 75والمرضع إذا خاف تا قال أبو داود ي عن على أولدها أفطرتا وأطعمتا
“Telah menceritakan kepada kami Ibn al-Mutsannā, telah menceritakan
kepada kami Ibn Abī „Adī dari Saʻīd dari Qatādah, dari „Azrah, dari Saʻīd
bin Jubaīr, dari Ibn „Abbās: wa 'alalladzii yuthiiquunahu fidyatun tha'aamu
miskiin (dan bagi orang yang berat menjalankanya, wajib membayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang miskin), ia berkata; hal tersebut merupakan
keringanan bagi laki-laki tua dan wanita tua, dan mereka -sementara kedua
mampu melakukan puasa- agar berbuka dan memberi makan setiap hari satu
orang miskin, dan keringanan bagi orang yang hamil dan menyusui apabila
merasa khawatir. Abū Dāwud berkata; yaitu khawatir kepada anak mereka
berdua, maka mereka berbuka dan memberi makan.” (HR. Abū Dāwud)
Dalam hal ini al-Qurṭubī berpendapat bahwa Ḥasan al-Baṣrī, „Aṭā‟ bin Abī
Rabaḥ, al-Ḍaḥāk, al-Nakhā‟ī, al-Zuhrī, Rabi‟ah, al-Auzā‟ī, dan pengikut mazhab
Imam Ḥanafi membolehkan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa
serta tidak perlu untuk memberi makan kepada orang miskin (membayar fidyah).
Sementara Imam Mālik (w.179 H) hanya menyetujui wanita hamil saja, adapun
wanita yang menyusui yang meninggalkan puasa, maka ia diwajibkan untuk
meng-qaḍā’-nya. Berbeda pula dengan pendapat al-Syāfi‟ī (w.204 H) dan Aḥmad
(w.241 H), bahwa wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa
ramadhan, maka mereka wajib meng-qaḍā’ puasanya dan juga harus memberi
makan orang miskin sesuai dengan jumlah hari yang mereka tinggalkan.76
Berbeda dengan pendapat dia atas, Wahbah al-Zuḥailī memberi alasan
bahwa kebolehan wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa, namun cukup hanya
75
Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairūt: Dār al-
Fikr, 1994), Juz 6, h. 253, No. Hadis: 1974 76
Syaikh Imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī, Penerjemah: Fathurrohman dan Ahmad
Hotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 2, h. 662
62
membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan yaitu karena demi seseorang yang
lemah dan orang yang masih berada dalam proses pembentukan. Oleh karena itu,
keduanya wajib membayar fidyah, begitu halnya dengan orang tua yang sudah
renta.77
c. Utang Puasa Orang yang Meninggal: Qaḍā’ atau Fidyah?
Pada kasus orang yang telah meninggal dan ia memiliki utang puasa, terjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Salah satu hadis yang mendeskripsikan
perbedaan pendapat di antara para ulama tersebut terrekam dalam hadis yang
diriwayatkan al-Tirmidzī (w.279 H), yaitu:
ث نا عبث ر بن القاسم عن أشعث عن م ث نا ق ت يبة حد د عن نافع حد عن ابن عمر عن النب ممن مات وعليو صيام شهر ف ليطعم عنو مكان كل ي وم » قال -صلى الله عليو وسلم-
ذا الوجو والصحيح قال أبو عيسى حديث ابن عمر ل ن عرفو مرفوعا إل من ى «. مسكينا عن ابن عمر موقوف ق ولو. واخت لف أىل العلم ف ىذا الباب ف قال ب عضهم يصام عن
و وإذا كان الميت. وبو ي قول أحد وإسحاق قال إذا كان على الميت نذر صيام يصوم عن افعى ل يصوم أحد عن أحد. قال عليو قضاء رمضان أطعم عنو. وقال مالك وسفيان والش
لى. د ىو عندى ابن عبد الرحن بن أب لي 78وأشعث ىو ابن سوار. ومم“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada
kami „Abtsar bin al-Qāsim, dari Asyʻats dari Muḥammad, dari Nāfiʻ, dari
Ibn „Umar dari Nabi Saw, ia bersabda: "Barang siapa yang meninggal dan
masih memiliki tanggungan puasa hendaknya ia memberi makan seorang
miskin untuk setiap harinya sebagai gantinya". Abū „Īsā berkata, kami
tidak mengetahui hadits Ibn „Umar ini diriwayatkan secara marfu' kecuali
melalui sanad ini dan yang benar adalah hadits ini mawqūf sampai kepada
Ibn „Umar. Para ahli ilmu berbeda pendapat, sebagian mereka yaitu
Aḥmad dan Isḥaq berpendapat jika si mayyit bernadzar puasa, maka boleh
diwakilkan. Namun jika dia memiliki kewajiban mengqaḍā’ puasa
Ramaḍan, maka sebagai gantinya hendaknya ia memberi makan orang
77
Wahbah al-Zuḥailī, Puasa dan Itikaf, h. 285 78
Abū ʻĪsā Muḥammad bin ʻĪsā bin Sawrah Ibn Mūsā al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī.
Muḥaqqiq: Aḥmad Muḥammad Syākir, dkk. (Bairūt: Dār Iḥyā‟ al-Turāts al-„Arabī, T.Th.), Juz 3,
h. 221 No. Hadis 722
63
miskin. Mālik, Sufyān dan al-Syāfiʻī berpendapat, seseorang tidak boleh
mewakili puasanya orang lain. Asy'ats ialah Ibn Sawwār dan menurutku
Muḥammad disebut juga dengan Ibn „Abd al-Raḥman bin Abī Lailā.
Dalam kasus ini, Ibn Rusyd juga menjelaskan perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang
tidak dapat menanggung puasa orang lain. Kedua, sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa walinya wajib melaksanakan puasa sejumlah hari yang
ditinggalkan si mayyit.79
Menurut al-Qurṭubī, di antara ulama yang berpegang
pada pendapat pertama adalah Imam Mālik (w.179 H), Imam al-Syāfiʻī (w.204
H), dan al-Tsaurī, sementara ulama yang berpegang pada pendapat kedua adalah
Imam Aḥmad (w.241 H), Isḥak, Abū Tsaūr, al-Laīts, dan pengikut Mazhab
Zhāhirī.80
Pendapat pertama didasarkan pada hadis yang diriwayatkan olah al-Nasā‟ī
(w.303 H) dari Ibn „Abbās, yaitu:
ال ل ق و ح لأ اج ا ج ا ح ن ث د ح ال ع ق ي ر ن ز ب و ى د و ي ز ا ي ن ث د ح ال ى ق ل ع د الأ ب ن ع د ب م م أ ب ن أ بن عباس ، قال : ل يصلي أحد عن عن اح ب ر ب أ ن ب اء ط ع ن ى ع س و ن م وب ب ي ا أ ن ث د ح
ا من حنطة كل ن يطعم عنو مكان أحد ، ول يصوم أحد عن أحد ، ولك .81ي وم مد
“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās, ia
berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan darinya
setiap hari sebanyak satu mud dari gandum.” (HR. Al-Nasā‟ī)
79
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, Penerjemah: Beni Sarbeni, dkk. (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), h. 616 80
Abū „Abd Allāh bin Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr bin Farḥ al-Qurṭubī, al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, Jilid 2, h. 285 81
Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb bin „Alī ibn Sinān bin Bahr al-
Khurasānī al-Qādī, Sunan al-Nasa’ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār Sulaymān al-Bandārī,
Juz 2 (Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991 M/1411 H), No. Hadis: 2918, h. 175.
64
Sementara pendapat yang kedua didasarkan pada hadis Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh al-Bukhārī (w.256 H) dari „Aisyah, yaitu:
ث نا أب عن عمرو بن الارث د بن موسى بن أعي حد ث نا مم د بن خالد حد ث نا مم حدثو عن عروة عن عب يد اللو بن أب د بن جعفر حد رضى الله -عن عائشة جعفر أن مم
يام صام عنو من مات وعليو ص قال -صلى الله عليو وسلم -ل اللو أن رسو -عنها 82.وليو
“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Khālid, telah
menceritakan kepada kami Muḥammad bin Mūsā bin Aʻyan, telah
menceritakan kepada kami Ayahku, dari „Amr bin al-Ḥārits, dari „Ubaid
Allah bin Abī Jaʻfar, bahwa Muḥammad bin Jaʻfar telah menceritakan
kepadanya dari „Urwah dari „Āisyah ra., bahwa Rasulullah Saw bersabda:
„Barang siapa meninggal dunia dan atasnya (diwajibkan) berpuasa, maka
(diwajibkan) berpuasa untuknya oleh walinya.” (HR. al-Bukhārī)
Menanggapi perbedaan pendapat tersebut, ulama yang berpegang pada
pendapat pertama di atas menganggap bahwa hadis yang diriwayatkan al-Bukhārī
tersebut bertentangan dengan hukum asal, seperti seseorang tidak dapat
melakukan salat untuk mewakili orang lain, tidak dapat berwuḍu untuk mewakili
orang lain, maka puasa pun tidak dapat diwakili.83
Namun Aḥmad bin Ḥanbal
(w.241 H) menyatakan bahwa qaḍā’ puasa hanya berlaku untuk puasa nadzar,
adapun puasa yang farḍu (ramadhan) tidak perlu di-qaḍā’ untuk orang yang
meninggal, melainkan cukup dengan menyedekahkan dari harta yang
ditinggalkannya sebanyak setengah Ṣāʻ untuk setiap hari yang telah
ditinggalkannya (membayar fidyah).84
Hal ini diperkuat oleh hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim (w.261 H) dan Abū Dāwud (w.275 H). Penjelasan dari
Muslim yaitu dalam hadis berkut:
82 Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-Bukhārī
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) (Bairūt: Dār al-Fikr. T.th.), Juz 7, h. 270, No. Hadis 1952 83
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 617 84
Syaikh „Abd al-„Azīz bin „Abd Allāh bin Bāz, Fatwa-fatwa Terkini, Penerjemah:
Musthofa Aini, dkk. (Jakart: Darul Haq, 2003), h. 331
65
يعا عن زكرياء بن عدى ث نا إسحاق بن منصور وابن أب خلف وعبد بن حيد ج -وحدثن زكرياء بن عدى زيد بن أب أن يسة أخب رنا عب يد اللو بن عمرو عن -قال عبد حد
ث نا الكم بن عت يبة عن سعيد بن جب ي قال -رضى الله عنهما -عن ابن عباس حدى ماتت -صلى الله عليو وسلم-جاءت امرأة إل رسول اللو ف قالت يا رسول اللو إن أم
ها قال ها صوم نذر أفأصوم عن ى » وعلي ك دين ف قضيتيو أكان ي ؤد أرأيت لو كان على أمها ك » قالت ن عم. قال «. ذلك عن 85«.فصومى عن أم
“Dan telah menceritakan kepada kami Isḥāq bin Manṣūr, Ibn Abī Khalaf,
dan „Abd bin Ḥumaīd, semuanya dari Zakariyā‟ bin „Adī – ia berkata; telah
menceritakan kepadaku Zakariyā‟ bin „Adī – telah mengabarkan kepada
kami „Ubaīd Allāh bin „Amr, dari Zaīd bin Abī Unaisah, telah menceritakan
kepada kami al-Ḥakam bin „Utaibah, dari Saʻīd bin Jubaīr, dari Ibn „Abbās
ra., ia berkata; Seorang wanita mendatangi Rasulullah Saw. seraya berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ibuku telah meninggal, sedangkan beliau
masih memiliki utang puasa Nadzar, bolehkah aku membayarnya?" beliau
menjawab: "Bagaimana menurutmu, jika ibumu memiliki utang, lalu kamu
membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?" wanita itu
menjawab, "Ya." Beliau bersabda: "Kalau begitu, berpuasalah untuknya."
(HR. Muslim)
Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud yaitu:
ث نا ابن وىب أخب رن عمرو بن الارث عن عب يد اللو بن أب ث نا أحد بن صالح حد حدد بن جعفر بن الزب ي عن عروة -صلى الله عليو وسلم-عائشة أن النب عن جعفر عن مم
قال أبو داود ىذا ف النذر وىو ق ول أحد «. من مات وعليو صيام صام عنو وليو » قال
86.بن حنبل
“Telah menceritakan kepada kami Aḥmad bin Ṣāliḥ, telah menceritakan
kepada kami Ibn Wahb, telah mengabarkan kepadaku „Amr bin al-Ḥārits
dari „Ubaīd Allāh bin Abī Jaʻfar, dari Muḥammad bin Jaʻfar bin al-Zubaīr
dari „Urwah, dari „Āisyah bahwa Nabi Saw berkata: "Barangsiapa yang
meninggal dalam keadaan berkewajiban melakukan puasa, maka walinya
berpuasa untuknya." Abū Dāwud berkata; hal ini mengenai puasa nadzar,
dan hal tersebut adalah pendapat Aḥmad bin Ḥanbal.” (HR. Abū Dāwud)
85
Abū Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairūt: Dār al-Jaīl, T.Th),
Juz 3, h.156, No. Hadis 2752 86
Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairūt: Dār al-
Kitāb al-„Arabī), Juz 2, h. 289, No.Hadis 2402
66
Sedangkan menurut „Abd Allāh bin Bāz, mayoritas imam mazhab
berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara nadzar dan farḍu. Keduanya boleh
di-qaḍā’-kan untuk orang yang telah meninggal dunia.87
Sedangkan menurut
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa Abū Ḥanīfah (w.150 H), Mālik (w.179 H) dan
pendapat yang masyhur dari al-Syāfiʻī (w.204 H) , telah sepakat bahwa wali tidak
dapat menggantikan puasa orang yang telah meninggal, namun ia wajib
membayar fidyah setiap hari sebanyak satu mud beras atau bahan makanan pokok
lainnya.88
Sementara menurut Ibn Rusyd, Mālik dan Abu Ḥanīfah tidak
sependapat dengan al-Syāfiʻī mengenai masalah ini. Karena Mālik berpendapat
bahwa wali tidak wajib menggantikan puasa si mayyit, dan tidak wajib pula
membayarkan fidyah, kecuali jika ada wasiat. Sedangkan Abū Ḥanīfah
berpendapat bahwa walinya wajib menggantikan puasa si mayyit jika ia mampu,
namun jika walinya tidak mampu berpuasa, ia diwajibkan membayar fidyah.89
Wahbah al-Zuḥailī menambahkan bahwa orang sakit yang tidak berpuasa
kemudian meninggal, ia tidak berkewajiban membayar fidyah. Karena apabila
fidyah diwajibkan kepadanya, berarti sama seperti membebani orang meninggal
dengan kewajiban. Namun apabila orang tersebut sebelum kematiannya memiliki
kemampuan untuk berpuasa, tetapi ia tidak berpuasa sampai akhir hayatnya, maka
ia diwajibkan untuk membayar fidyah.90
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian ulama
menganggap jika seseorang meninggal dan ia memiliki utang nadzar puasa, maka
wali berkewajiban mengganti puasa nadzar-nya tersebut dengan puasa (meng-
87
„Abd Allāh bin Bāz, Fatwa-fatwa Terkini, h. 331 88
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, h. 62-63. 89
Ibn Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 617 90
Wahbah al-Zuḥailī, Puasa dan Itikaf, h. 283
67
qaḍā’). Sedangkan apabila puasa yang ditinggalkannya merupakan puasa
ramadhan (farḍu), maka walinya cukup menggantinya dengan membayar fidyah.
Meski demikian, mayoritas imam mazhab menilai bahwa tidak ada perbedaan
antara nadzar dan farḍu, sehingga keduanya dapat diganti dengan qaḍā’. Hanya
saja, utang nadzar puasa tidak dapat diganti dengan fidyah, sementara utang puasa
ramadhan dapat diganti dengan fidyah.
Tabel 2 :
Analisa Pendapat Ulama tentang Fidyah Puasa Bagi Orang Meninggal
No Ulama Pendapat Keterangan
1 Imam Mālik
Tidak wajib qaḍā’ puasa,
dan tidak wajib fidyah oleh
walinya
Kecuali jika ada
wasiat
2 Imam Abū Ḥanīfah
Wajib qaḍā’ puasa atau
fidyah oleh walinya
Jika orang yang
meninggal mampu
berpuasa, qaḍā’.
Namun jika tidak
mampu, fidyah.
3 Imam al-Syāfiʻī
Tidak wajib qaḍā’ puasa,
namun wajib fidyah oleh
walinya
-
4
Imam Aḥmad bin
Ḥanbal
Tidak wajib qaḍā’ puasa,
namun wajib fidyah oleh
walinya
Wajib qaḍā’ puasa
jika si mayyit
bernadzar
68
BAB III
SEJARAH DAN KONTROVERSI TRADISI FIDYAH DI INDRAMAYU
A. Penyebaran Islam di Indramayu: Potret Sejarah Singkat
Indramayu1 merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Barat
bagian Utara. Indramayu berbatasan dengan Kabupaten Subang di sebelah Barat,
berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan
Kabupaten Cirebon di sebelah Timur, dan berbatasan dengan Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Sumedang di sebelah Selatan.2 Kabupaten
Indramayu dikenal sebagai daerah yang memiliki penduduk muslim mayoritas.
Banyaknya pemeluk muslim di Indramayu tidak lepas dari sejarah masuknya
Islam yang melatarbelakanginya. Sejarah Indramayu yang tercatat dalam
manuskrip Babad Dermayu mendeskripsikan asal-usul terbentuknya daerah
Indramayu dan menguraikan hubungan antara penduduk dengan pemerintah
Indramayu, etnis Tionghoa, Kesultanan Cirebon, dan Belanda hingga awal abad
ke-19. Dalam hal ini, Nur Hata menilai cerita dalam Babad Dermayu lebih
kontradiktif daripada dialogis, karena ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya kerenggangan sosial politik pada masa itu,3 salah satunya adalah
penyebaran agama Islam di wilayah Indramayu.
1 Kata “Indramayu” diambil dari nama tokoh pendiri Kabupaten Indramayu, yaitu Nyai
Endang Dharma Ayu. Dalam kisahnya, Nyi Endang Dharma Ayu melawan Raden Wiralodra yang
hendak menikahinya. Namun Nyi Endang Dharma Ayu menolaknya, dan meminta agar
Pedukuhan Cimanuk diberi nama Dharma Ayu, sesuai namanya. Sementara pemerintahan kolonial
Belanda menyebut Dharma Ayu dengan in Dharma Ayu. Kata ini kemudian berubah menjadi
Indramayu. 2 Nuhrison M. Nuh, “Dinamika Perkembangan Keagamaan Komunitas Dayak Hindu-
Budha Bumi Segandu di Indramayu Jawa Barat” dalam Ahmad Syafii Mufod (Ed.), Dinamika
Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2012), h. 122 3 Nur Hata, “Babad Darmayu: Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu terhadap
Kolonialisme pada Awal Abad ke-19” dalam Jurnal Manuskripta, Vol. 2, No. 1, (2012), h. 140
69
Bermula dari sejarah masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada
abad ke-13 Masehi melalui daerah-daerah pedesaan, khususnya di daerah pesisir
utara pulau Jawa.4 Daerah pesisir tersebut di antaranya adalah pelabuhan-
pelabuhan di Banten, Kalapa (Sunda Kelapa), Indramayu (Cimanuk), Cirebon
(Muhara Jati), Tuban, Gresik, dan Jepara.5 Dalam hal ini, Pelabuhan Cimanuk
Indramayu dikenal sebagai salah satu wilayah yang terletak di pesisir utara Jawa
atau pantai utara Jawa (Pantura) yang cukup strategis.6 Penyebaran Islam secara
luas di Indramayu dilakukan dengan damai dan mengakui kekuasaan Cirebon
pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan
Sunan Gunung Jati (1479-1568).7
Tome Pires, sebagaimana dikutip Apipudin, menyatakan bahwa pada tahun
1513 sebagian masyarakat Jawa Barat, seperti penduduk kota pelabuhan Cirebon
dan sebagian penduduk Cimanuk (Indramayu) telah beragama Islam.8 Pada masa
itu, Pelabuhan Cimanuk merupakan batas kekuasaan Cirebon yang dipimpin
Syekh Syarif Hidayatullah, dengan kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran (Sunda).9
Penyebaran Islam oleh Syarif Hidayatullah kemudian menuju Banten pada 1525
hingga 1526, dan mendirikan kerajaan Islam di sana. Di daerah pesisir pulau Jawa
4 Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia (Jakarta:
eLSAS, 2004), h. 109 5 Pelabuhan-pelabuhan tersebut merupakan tempat perdagangan para pedagang muslim
yang cukup ramai, dan banyak yang menetap di sana atas izin khusus dari penguasa setempat. Para
pedagang muslim tersebut hidup kaya di tengah masyarakat yang umumnya belum banyak
mengenal agama Islam. Lihat: Apipudin, Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan
Abad ke17 (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 108 6 Dini Nurlelasari, “Mencari Jejak Wiralodra di Indramayu”, dalam Buletin Al-Turas:
Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1, (Januari 2017), h. 2 7 Apipudin, Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke17, h. 140
8 Apipudin, Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke17, h. 106
9 Nur Hata, “Babad Darmayu: Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu terhadap
Kolonialisme pada Awal Abad ke-19”, h. 140
70
ini, Islam di terima oleh masyarakat dan tersebar kitab-kitab agama Islam
berbahasa Arab yang kemudian membentuk sebuah pesantren.10
Pada awalnya, penyebaran Islam di pesisir utara pulau Jawa pertama kali
dilakukan oleh tokoh yang bernama Syekh Nurjati atau yang juga dikenal dengan
nama Syekh Datuk Kahpi, Syekh Idofi, dan Syekh Nuruljati. Ia adalah seorang
ulama yang datang dari Parsi atas perintah Raja Parsi bersama 12 orang
pengikutnya pada sekitar abad ke-14. Syekh Nurjati menetap dan bermukim di
Pasambangan (bukit Amparan Jati) yang dekat dengan Pelabuhan Muhara Jati
(Cirebon), sekaligus mendirikan sebuah pesantren yang terus tumbuh dan
berkembang di sana.11
Pesantren tersebut mampu bertahan dan berdialog dengan
zamannya di tengah masyarakat, sehingga dapat berkembang pesat seiring arus
perdagangan yang terus meningkat hingga paruh abad ke-19 Masehi.12
Menurut
M. C. Ricklefs, ada dua proses yang terjadi pada Islamisasi di Pulau Jawa secara
bersamaan, yaitu kaum Muslim asing yang menetap di suatu tempat dan menjadi
orang Jawa, dan masyarakat lokal Jawa memeluk Islam dan menjadi orang
Muslim. Penyebaran Islam di Pulau Jawa ini dilangsungkan oleh wali sanga, yaitu
kelompok yang pertama kali membawa Islam ke Jawa13
, salah satunya adalah
Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Cirebon merupakan pusat
aktivitas penyebaran Islam di Pulau Jawa bagian Barat, sekaligus sebagai pusat
10
Embrio lahirnya pesantren sebenarnya bisa dilacak sejak periode walisongo melalui
proses Islamisasi di Bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Namun keberadaan
lembaga ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada abad ke-18 dan ke-19 Masehi.
Lihat: Abd. Muin M., dkk, Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat (Jakarta: CV.Prasasti,
2007), h. 16-17 11
Apipudin, Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke17, h. 111 12
Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, h. 109-114 13
M. C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan
Perkembangannya dari 1930 sampai sekarang, Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 30
71
peradaban Islam. Hal ini ditandai dengan adanya masjid-masjid dan makam-
makam yang dibangun dengan batu bata dan seni hias yang sangat indah dengan
pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pendopo Jawa untuk keperluan ritual Islam,
serta tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon,
Indramayu, Karawang, Majalengka dan Kuningan.14
Banyaknya pesantren di
pesisir utara pulau Jawa berimplikasi pada antusiasme masyarakat muslim
Indramayu yang belajar keislaman di berbagai pesantren, dan menduduki tingkat
masyoritas hingga saat ini.
Selain membentuk pesantren, Syekh Syarif Hidayatullah dan tokoh wali
songo lainnya juga menanamkan nilai-nilai Islami pada tradisi-tradisi Hindu-
Budha yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Diawali dengan melakukan
aktifitas sosial di tengah masyarakat, melakukan hubungan kekerabatan melalui
jalur pernikahan, dan menanamkan pengetahuan Islam kepada masyarakat.
Dengan cara persuasif tersebut, Islam dengan sendirinya akan diterima dan
dikenal masyarakat sebagai agama yang membawa nilai-nilai baru pada tradisi-
tradisi lokal terdahulu.15
Oleh karena itu, tidak heran jika Islam menjadi agama
yang mayoritas dipeluk masyarakat di Jawa Barat, khususnya di wilayah
Indramayu dan sekitarnya.
Berdasarkan data dari Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian
Agama Kabupaten Indramayu, total jumlah pemeluk agama di Indramayu pada
tahun 2016 adalah sebanyak 2.406.658 orang. Dari jumlah tersebut, masyarakat
muslim menduduki pada tingkat mayoritas, yaitu sebanyak 2.396.719 orang.
14
Apipudin, Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke17, h. 323-324 15
Khaerul Umam, “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal pada Masyarakat Agraris
(Pengalaman Petani Klutuk di Kabupaten Indramayu),” dalam Jurnal Universum Vol. 9, No. 2
(Juli 2015), h. 221-222
72
Adapun penganut agama lainnya, yaitu sebanyak 2.043 orang menganut Kristen,
6.917 orang menganut Katolik, 132 orang manganut Hindu, 383 orang menganut
Budha dan 14 orang menganut Konghucu sebagai keyakinan mereka.16
Sementra
perkembangan tempat peribadatan di Kabupaten Indramayu pada tahun 2016 di
antaranya yaitu Masjid sebanyak 823, Langgar (masjid kecil) sebanyak 946,
Mushalla sebanyak 3.602, Gereja sebanyak 14, dan Vihara sebanyak 2 buah. Dari
data tersebut, pemeluk agama Islam di Indramayu merupakan penduduk
mayoritas.17
Mahya Hasan, seorang Kasi PD Diniyah dan Pondok Pesantren
Kementerian Agama Kabupaten Indramayu, menyatakan bahwa pada awalnya,
masyarakat muslim Indramayu banyak yang belajar ilmu keislaman di pesantren-
pesantren di luar Kabupaten Indramayu, terutama pesantren salaf (tradisional).
Dengan belajar di pesantren salaf tersebut, kemudian para santri mengembangkan
dan mempraktikkan ilmunya di kehidupan sehari-hari mereka serta
mengajarkannya kepada masyarakat di lingkungan sekitar. Dari penjelasannya
tersebut, Mahya Hasan menyimpulkan bahwa Islam berkembang dan membentuk
sikap keberagamaan (religiusitas) masyarakat Indramayu dari hasil pembelajaran
mereka di berbagai pesantren.18
Oleh karena itu, Islam di Indramayu berkembang
pesat hingga menjadi agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat di daerah
tersebut.
16
Data Sebaran Jumlah Umat Per-Kabupaten Tahun 2016, Bimbingan Masyarakat
(Bimas) Islam Kementerian Agama Kabupaten Indramayu. 17
Lihat: Statistik Kependudukan, Pemeluk Agama, dan Tempat Peribadatan,
Kementerian Agama Kabupaten Indramayu Tahun 2016. 18
Hasil wawancara dengan Mahya Hasan (Kepala Seksi PD Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama Kab. Indramayu), pada Kamis, 2 Maret 2017.
73
B. Mengenal Religiusitas dan Pendidikan Islam di Indramayu
Religiusitas masyarakat Indramayu ditunjukkan dengan cara mereka
mengabdikan diri kepada Tuhan dan saling peduli terhadap orang lain, seperti
menolong tetangga saat mereka membutuhkan, menjenguknya ketika sakit,
mengiring jenazahnya ketika ia meninggal dunia, dan lain sebagainya.19
Religiusitas ini menurut Zainul Milal Bizawie, berkaitan erat dengan kerangka
pemahaman dan interpretasi masyarakat terhadap teks-teks ajaran kitab suci.
Interpretasi masyarakat tersebut sangat berpengaruh besar terhadap aspek-aspek
kebudayaan dan pengetahuan keagamaan mereka,20
sehingga nilai-nilai Islam
yang terkonstruk dalam religiusitas masyarakat Indramayu dapat mengubah
kehidupan mereka menjadi lebih Islami.
Terbentuknya religiusitas masyarakat Indramayu ini tidak terlepas dari
peran pesantren, majelis ta’lim di masjid atau mushalla, sekolah-sekolah dan
pengajian-pengajian umum yang diselenggarakan masyarakat Indramayu.
Beberapa instrumen tersebut menurut Djohan Effendi merupakan elemen-elemen
kunci Islam tradisional. Ia menilai bahwa kunci Islam tradisional di antaranya
adalah masjid, mushalla (langgar), pesantren, dan lembaga pendidikan tradisional
19
Nurkholis Sofwan, “Implementasi Hadis Hak dan Kewajiban Bertetangga di Desa
Tenajar Lor – Indramayu,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014), h.53-67. Bandingkan dengan penelitian yang dilakukan A.G. Muhaimin di Cirebon.
Religiusitas masyarakat Indramayu memiliki kesamaan dengan religiusitas masyarakat Cirebon, di
antaranya adalah tradisi menjenguk orang yang sakit dengan membawa makanan, seperti buah-
buahan atau yang lainnya, dan tradisi pada saat kematian seseorang. Lihat: A.G.Muhaimin, The
Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims (Jakarta: Religious
Research and Development, and Training, 2004), h. 206 20
Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham
Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740)
(Yogyakarta: SAMHA, 2002), h. 31-32
74
Islam serupa.21
Dengan demikian, pendidikan agama merupakan komponen utama
untuk membentuk sikap keberagamaaan (religiusitas) masyarakat, baik melalui
pendidikan di pesantren maupun di tempat pendidikan keagamaan lainnya.
Berikut ini, penulis akan memaparkan penjelasan terkait pesantren sebagai
sumber religiusitas masyarakat Indramayu dan menganalisa perkembangan
pendidikan Islam, khususnya pesantren di Indramayu, dalam menghadapi
tantangan zaman.
1. Pesantren: Sumber Religiusitas Masyarakat Muslim Indramayu
Mahya Hasan menyatakan bahwa religiusitas masyarakat Muslim
Indramayu pada awalnya berasal dari peradaban masyarakat yang menimba ilmu
di berbagai pesantren, khususnya pesantren salaf (tradisional). Beberapa pesantren
tersebut di antaranya yaitu pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), Kaliwungu
(Kendal, Jawa Tengah), Sarang (Rembang, Jawa Tengah), Kempek (Cirebon,
Jawa Barat), Babakan (Cirebon), Arjawinangun (Cirebon), dan lain sebagainya.22
Pesantren-pesantren tersebut merupakan tempat menimba ilmu keislaman
masyarakat Indramayu, khususnya masyoritas masyarakat di Kecamatan
Kertasemaya, Kecamatan Sliyeg, dan Kecamatan Juntinyuat.
Sebagian masyarakat Indramayu yang telah lulus dari pesantren mendirikan
pesantren sendiri di daerahnya masing-masing. Hal ini sejalan dengan ungkapan
Zamakhsari, sebagaimana dikutip Woodward, bahwa salah satu misi pesantren di
pulau Jawa seperti Pesantren Tebuireng yaitu mempersiapkan para alumninya
21
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di
Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gusdur (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2010), h. 39 22
Hasil wawancara dengan Mahya Hasan (Kepala Seksi PD Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama Kab. Indramayu), pada Kamis, 2 Maret 2017.
75
untuk mendirikan pesantren sendiri. Misi ini merupakan upaya KH. Hasyim
Asy‟ari untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu keislaman yang moderat sebagai ciri
khas NU, baik dalam hal pemikiran maupun tradisi keislaman.23
Adapun pesantren-pesantren di Indramayu yang didirikan para alumnus
pesantren digunakan masyarakat umum untuk belajar mengaji al-Qur‟an, fiqh dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya. Namun ada pula sebagian masyarakat lulusan
pesantren yang hanya menjadi guru ngaji di rumahnya sendiri karena tidak
memiliki tempat khusus, namun dipercaya oleh masyarakat sekitarnya untuk
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Ini menunjukkan bahwa ilmu keislaman
pesantren tersebar dan teraplikasikan dalam kehidupan mereka. Bahkan,
antusiasme masyarakat Indramayu dalam belajar keislaman juga terlihat pada
pengajian-pengajian mingguan di setiap masjid dan mushalla lingkungan mereka.
Rutinitas pengajian tersebut dikenal dengan istilah ngaji kuping.24
Pesantren, masjid, dan mushalla di Indramayu pada umumnya menjadi
sarana ibadah untuk mengabdi kepada Tuhan serta mengembangkan ilmu-ilmu
keislaman. Hal ini sebagaimana pengakuan dari beberapa ulama desa yang setiap
harinya selalu mengisi pengajian di pesantren, masjid, dan mushalla, seperti Kyai
Badrudin, salah seorang ulama Desa Tenajar Lor Kecamatan Kertasemaya dan
Kyai Shofwan, salah seorang ulama di Desa Segeran Kidul Kecamatan
23
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Penerjemah:
Hairus Salim HS (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), h. 167-168 24
Ngaji kuping di Indramayu biasanya dilakukan di masjid atau mushalla dengan
mendengarkan Kyai atau Ustadz yang membacakan dan menjelaskan kitab-kitab tafsir dan kitab-
kitab fiqh klasik seperti kitab Tafsir al-Iklīl, Tafsir al-Ibrīz, Irsyād al-‘Ibād, Naṣa’iḥ al-‘Ibād,
Jawāhir al-Tauḥīd, Tanbīh al-Gāfilīn, Sulām Taufiq, Safīnah al-Najah, Hidāyat al-Sibyān, dan
Hidāyat al-Hidāyah, dan lain sebagainya. Lihat: Nurkholis Sofwan, “Implementasi Hadis Hak dan
Kewajiban Bertetangga di Desa Tenajar Lor – Indramayu,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 38-39
76
Juntinyuat.25
Dengan demikian, pesantren sebagai media pencetak religiusitas
masyarakat memiliki peran yang sangat penting untuk mengembangkan nilai-nilai
dan wawasan keislaman. Nilai-nilai dan wawasan keislaman tersebut dapat
dibuktikan dengan cara masyarakat mengabdikan diri kepada Tuhan (beribadah)
dan melakukan kebajikan terhadap sesama manusia.
Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), Kaliwungu (Kendal, Jawa
Tengah), Sarang (Rembang, Jawa Tengah), Kempek (Cirebon, Jawa Barat),
Babakan (Cirebon), Arjawinangun (Cirebon), dan lain sebagainya, merupakan
pesantren yang kental dengan pengajaran „Kitab Kuning‟. Melalui persantren
tersebut, masyarakat Indramayu menimba ilmu-ilmu keislaman seperti al-Qur‟an,
hadis, fiqh, bahasa, dan lain sebagainya. Menurut Woodward, hasil pendidikan
pesantren dapat ditunjukkan dengan adanya produksi teks dan hafalan. Para santri
yang kemudian menjadi ulama menggunakan teks-teks tersebut di dalam kelas-
kelas mereka, sementara yang lain memakainya sebagai dasar dalam khutbah
Jum‟at dan pengajaran dasar agama yang disampaikan di masjid. Karena selain
pesantren, masjid juga merupakan pusat komunitas dan berperan sebagai lokus
kegiatan ibadah dan pengajaran keagamaan awal.26
Woodward mengungkapkan dalam karyanya bahwa masjid adalah tempat
anak-anak pertama kali diperkenalkan dengan unsur-unsur ibadah tradisi santri.
Mulai dari usia lima atau enam tahun, mereka diajarkan cara melakukan salat,
membaca al-Qur‟an, dan teks-teks Arab lainnya yang berisi dasar-dasar teologi
dan hukum (fiqh). Pengajian-pengajian di masjid juga biasanya berbentuk
25
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017, dan Kyai Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Jum‟at, 29 April 2017. 26
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, h. 181
77
ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh kalangan santri senior (kyai).27
Dengan demikian, pesantren yang meliputi masjid, mushala, merupakan sumber
religiusitas masyarakat Indramayu.
2. Pendidikan Islam dan Tuntutan Modernitas
Dalam hal pendidikan, Pemerintah Kabupaten Indramayu termasuk salah
satu yang mengutamakan pendidikan keagamaan. Pemerintah Kabupaten dengan
visi andalannya, yaitu terwujudnya masyarakat Indramayu yang Religius, Maju,
Mandiri, dan Sejahtera (REMAJA),28
membuat program-program yang
mengutamakan pendidikan keagamaan, salah satu di antaranya adalah pemberian
beasiswa bagi masyarakat Indramayu yang sedang menuntut ilmu keislaman di
pesantren. Pendidikan berbasis keagamaan di Indramayu juga dikenal sangat
banyak, baik negeri maupun swasta, mulai dari pendidikan Raudhah al-Athfal
(RA), Diniyyah Takmiliyyah Awwaliyah (DTA), Madrasah Ibtida‟iyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), hingga Perguruan Tinggi
yang berbasis keislaman, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan upaya
pemerintah dan masyarakat untuk memajukan pendidikan keagamaan di
Indramayu.29
27
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, h. 174 28
Nuhrison M. Nuh, “Dinamika Perkembangan Keagamaan Komunitas Dayak Hindu-
Budha Bumi Segandu di Indramayu Jawa Barat”, h. 122 29
Secara umum, perkembangan pendidikan di Kabupaten Indramayu berdasarkan data
dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indaramayu pada tahun ajaran 2007/2008
tercatat jumlah SD sebanyak 880 buah, dengan jumlah murid 193.959 orang dan 1.247 orang guru.
Kemudian Tingkat SLTP jumlah sekolah tercatat sebanyak 148 buah, dengan umlah murid 63.301
orang dan 3.385 orang guru. Sedangkan di tingkat SLTA jumlah sekolah sebanyak 52 buah,
dengan jumlah murid 16.528 orang dan 1.378 orang guru. Dan untuk Sekolah Kejuruan tercatat
memiliki sekolah sebanyak 45 sekolah, murid 15.645 orang danguru 1.144 orang. Lihat: Nuhrison
M. Nuh, “Dinamika Perkembangan Keagamaan Komunitas Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu di
Indramayu Jawa Barat”, h. 123
78
Pesantren di Indramayu juga berperan penting dalam membangun
religiusitas masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan data dari PD Diniyah dan
Pontren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu, jumlah total pesantren di
Indramayu tercatat sebanyak 183 pesantren. Kajian-kajian ilmu al-Qur‟an, tafsir,
hadis, fiqh, bahasa, dan ilmu-ilmu lainnya menjadi basic dari pesantren-pesantren
itu sendiri. Dalam hal ini, pesantren di Indramayu terbagi menjadi dua model,
yaitu pesantren salaf (tradisional) dan khalaf (modern). Pesantren salaf dikenal
lebih mengutamakan kajian-kajian fiqh dalam „kitab kuning‟, sementara pesantren
khalaf dikenal lebih mengutamakan lughah (bahasa), dan diseimbangkan dengan
pendidikan umum.30
Mahya Hasan mengungkapkan bahwa pesantren di Indramayu mayoritas
tergolong ke dalam pesantren modern (khalaf). Dalam hal ini, modernitas
pesantren menjadi suatu hal yang diutamakan oleh sebagian masyarakat
Indramayu, sementara pesantren tradisional menurutnya mulai ditinggalkan.
Artinya, keseimbangan antara pendidikan Islam pesantren dan pendidikan umum
sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, mayoritas pengurus yayasan pesantren
mendirikan sekolah umum untuk mencapai kebutuhan masyarakat Indramayu
tersebut, bahkan beberapa di antaranya mendirikan boarding school atau asrama
untuk para santri dan siswa, seperti pesantren Al-Zaitun, Pesantren As-Sakienah,
dan Pesantren Al-Ishlah Tajug.31
Pendidikan Islam dan tuntutan modernitas di zaman global ini merupakan
penunjang kebutuhan masyarakat Indramayu yang semakin kompleks. Kebutuhan
30
Lihat Sistem Informasi (EMIS) Data Lembaga Pontren-Umum Ganjil TP 2016-2017,
PD Diniyah dan Pontren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu. 31
Hasil wawancara dengan Mahya Hasan (Kepala Seksi PD Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama Kab. Indramayu), pada Kamis, 2 Maret 2017.
79
masyarakat akan pentingnya memahami al-Qur‟an, hadis, dan kitab-kitab fiqh
dapat diterapkan di pesantren tradisional (salaf). Model pesantren ini mampu
menciptakan generasi yang mampu membaca dan memahami ilmu-ilmu
keislaman yang menjadi andalan pesantren, seperti tafsir, tahfidz al-Qur‟an,
fiqh/ushul fiqh, nahwu/sharaf, tasawuf, ilmu hisab/falak, aqidah/tauhid, dan lain
sebagainya.32
Pesantren model salaf ini dapat ditemui di beberapa wilayah di Indramayu,
seperti Pesantren Assalafiyah di Desa Tamansari Kec. Lelea, Pesantren Assalam
di Desa Bulak Kec. Jatibarang, Pesantren Dar Ihya Al Turats Al Islamy di Desa
Tulungagung Kec. Kertasemaya, dan lain sebagainya. Sementara pesantren
modern tidak kalah penting untuk menunjang kebutuhan masyarakat. Hal ini
karena selain memberikan pengajaran kajian kitab dan bahasa (Arab dan Inggris)
yang mumpuni, pesantren modern juga memberikan pendidikan yang lebih
fleksibel berupa sekolah umum bagi santri. Segala kebutuhan masyarakat terhadap
pendidikan keislaman yang modern dapat ditemui di beberapa wilayah di
Indramayu, seperti pesantren Al-Zaitun di Desa Mekarjaya Kecamatan Gantar,
Pesantren As-Sakienah dan Pesantren Al-Ishlah Tajug di Desa Tugu Lor
Kecamatan Sliyeg, Pesantren Cadangpinggan di Desa Cadangpinggan Kecamatan
Sukagumiwang, dan lain sebagainya.33
Ali Masykur Musa menilai bahwa pada dasarnya pesantren tidak
mendikotomikan antara ilmu-ilmu dunia dengan ilmu-ilmu akhirat atau ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum. Alasannya karena para ulama pada masa
32
Lihat Sistem Informasi (EMIS) Data Lembaga Pontren-Umum Ganjil TP 2016-2017,
PD Diniyah dan Pontren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu. 33
Lebih lengkap lihat: Sistem Informasi (EMIS) Data Lembaga Pontren-Umum Ganjil
TP 2016-2017, PD Diniyah dan Pontren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu.
80
keemasan Islam tidak mendikotomikan kedua ilmu tersebut. Para ulama terdahulu
ahli di seluruh bidang, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat, di antaranya seperti
Ibn Sina, al-Khawarizmi, Ibn Khaldun, al-Farabi dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, pesantren merupakan pewaris autentik dari khazanah keilmuan para ulama
yang menghasilkan berjilid-jilid kitab dan buku yang meliputi ilmu keislaman,
filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan umum.34
Hal ini juga telah banyak dilakukan oleh beberapa pesantren di Indramayu.
Di antaranya adalah Pesantren Mamba‟ul Huda dan Pesantren Baitul Muta‟alimin
di Kec. Haurgeulis, yang mengajarkan tentang ilmu kemaritiman dan perikanan
sebagai bidang keunggulan pesantren. Adapula Pesantren Darul Hikam dan
Pesantren Al-Qur‟aniyah di Kec. Krangkeng yang mengajarkan tentang ilmu
pertanian, agribisnis, dan perkebunan sebagai kegiatan unggulan pesantren.
Bahkan adapula pesantren yang mengajarkan ilmu di bidang teknologi, seperti
Pesantren Daarul Qur‟an Ash-Shobuniyyah di Desa Loyang Kec. Cikedung.
Sementara ilmu-ilmu umum yang diajarkan di pesantren Indramayu lainnya yaitu
tentang ilmu seni budaya, pusat kesehatan pesantren (puskestren), vokasional, dan
lain sebagainya.35
Sementara Djohan Effendi menyatakan bahwa perkembangan pesantren-
pesantren tersebut bergantung pada perkembangan yang terjadi di dalam dan luar
pesantren, terutama perkembangan dalam hal sistem pendidikan yang menuntut
pengambilan sistem madrasah atau sekolah. Perubahan ini ditanggapi dan dijawab
oleh para kyai dengan menggunakan sistem sekolah, namun tidak meremehkan
34
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-isu
Aktual (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 204), h. 275 35
Lihat Sistem Informasi (EMIS) Data Lembaga Pontren-Umum Ganjil TP 2016-2017,
PD Diniyah dan Pontren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu.
81
studi kitab-kitab Islam klasik yang menjadi keutamaan pesantren. Fleksibilitas
pesantren untuk berkembang tanpa menghilangkan identitas dan ciri dasarnya
membuat pesantren menjadi lebih hidup dan terus berkembang di Indonesia.36
Oleh karena itu, pendidikan Islam di pesantren dan tuntutan modernitas dapat
berjalan secara bersamaan untuk kelangsungan hidup masyarakat Indramayu yang
lebih modern.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa religiusitas masyarakat
Muslim Indramayu terkonstruk oleh tradisi pesantren yang dipraktikkan di
kehidupan bermasyarakat. Pendidikan Islam dan pendidikan umum juga
merupakan pendukung utama masyarakat Indramayu untuk mengembangkan
kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan dapat tercapai cita-cita
pemerintah kabupaten Indramayu untuk mewujudkan masyarakat yang religius,
maju, mandiri dan sejahtera. Hal ini bukan tidak mungkin, karena ilmu-ilmu
keislaman dan ilmu-ilmu pengetahuan umum adalah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan sebagaimana terjadi pada masa keemasan Islam. Bahkan,
modernitas telah menjadi suatu keharusan atau tuntutan demi kemajuan suatu
daerah dan masyarakatnya.
C. Kontinuitas Tradisi Keagamaan di Indramayu
Menurut M. Darori Amin, setiap tradisi37
yang dilakukan masyarakat
memiliki makna dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Karena
itu, secara otomatis masyarakat akan terdorong untuk terus melakukan tradisi
tersebut dan menaati tatanan sosial yang berlaku. Dengan demikian, dapat
36
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 43 37
Kata “tradisi” dalam Kamus Ilmiah Populer adalah kebiasaan yang turun temurun.
Lihat: Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
1994), h. 756
82
dikatakan bahwa tradisi memberikan motivasi dan nilai-nilai kepada masyarakat
pada tingkat yang paling dalam.38
Menurut Rendra, tradisi yang dilakukan
masyarakat akan terus dilakukan secara kontinu, karena tradisi merupakan suatu
alat yang hidup dalam kehidupan masyarakat.39
Adapun salah satu tradisi yang
berkembang di tengah masyarakat Indramayu adalah tradisi keagamaan. Tradisi
keagamaan ini dapat dikatakan sangat „kental‟, terutama tradisi pada orang yang
telah meninggal dunia. Tradisi tersebut dapat berupa tahlilan, haul, attaqa
(pembacaan surat al-Ikhlas sebanyak seratus ribu kali untuk orang yang telah
meninggal dunia), dan tradisi fidyah salat dan puasa untuk orang yang telah
meninggal dunia.40
Tradisi-tradisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indramayu
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang lain di lingkungan mereka.
Ketika masyarakat mendengar kabar orang meninggal, secara otomatis mereka
mendatangi rumah duka dan membantu keluarga orang yang meninggal tersebut.
Bahkan, masyarakat yang datang untuk membantu dan menghibur keluarga duka
(layat), sering membawa beras untuk keluarga duka, khususnya kaum hawa. Hal
ini telah menjadi tradisi yang kental di tengah masyarakat Indramayu.
Menurut Kyai Badrudin, beras yang dibawa masyarakat untuk keluarga
duka tersebut merupakan beras untuk membayar fidyah. Tradisi ini telah terbentuk
dan kokoh di masyarakat sejak dulu. Kemudian tradisi pada malam pertama
setelah kematian seseorang biasanya dilakukan ritual tahlil hingga malam ketujuh
(mitung dina) di rumah duka. Sehingga beras yang didapat dari masyarakat saat
38
M. Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media 2002),
h. 122 39
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 3 40
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya), pada
Selasa, 31 Januari 2017.
83
layat/ takziyah digunakan untuk membuat brekat (nasi bungkus yang lengkap
dengan lauk-pauk). Brekat dibagikan kepada masyarakat setelah ritual tahlil
selesai dilaksanakan. Tradisi pembuatan brekat ini menurut pengakuan Kyai
Badrudin adalah suatu kekeliruan. Ia mengakui bahwa sebenarnya Islam
mangajarkan agar masyarakat yang harus membawa makanan untuk keluarga
duka, bukan sebaliknya. Namun pembagian brekat setelah tahlil tersebut telah
menjadi tradisi yang melekat, sehingga tradisi ini tidak sampai dipermasalahkan
atau memberatkan bagi masyarakat.41
Tradisi keagamaan seperti tahlil dilakukan masyarakat Indramayu secara
kontinu, yaitu dari hari pertama hingga hari ketujuh setelah kematian seseorang
(mitung dina), kemudian dilanjutkan pada hari keempat puluh (matang puluh
dina), seratus hari (ngatus), dan terakhir adalah mendak (1000 hari kematian
seseorang) atau juga bisa disebut haul. Tradisi ini juga mirip dengan tradisi
keagamaan di Cirebon, sebagaimana penelitian yang dilakukan Muhaimin A.G.
terkait tradisi pasca kematian seseorang (tahlil) di Cirebon. Tradisi keagamaan ini
disebut Muhaimin sebagai salah satu tradisi slametan.42
Kemiripan tradisi ini
dapat dikatakan wajar, karena Indramayu dan Cirebon merupakan wilayah yang
serumpun, yaitu daerah kekuasaan Sunan Gunung Jati, yang pada awal
perkembangan Islam di wilayah tersebut melahirkan banyak persantren.
Menurut Mohd Roslan Mohd Nor dan Cecep Miftahul Hasani, istilah tradisi
nelung dina (tiga hari), mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh
hari), ngatus dina (seratus hari) dan mendak (seribu hari) merupakan tradisi Hindu
dan Budha. Kemudian diislamisasikan oleh Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan
41
Kyai Badrudin, Wawancara: Senin, 30 Januari 2017. 42
A.G.Muhaimin, The Islamic Traditions of Cirebon, h. 208
84
Gunung Jati) dengan membaca al-Qur‟an, dzikir, tahlil, tasbih, tahmid dan
membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Syekh Syarif
Hidayatullah membudayakan tradisi Islam dengan memperingati Maulid Nabi
Saw, Nuzul al-Qur’an, Isra Mi’raj, dan tradisi Islam lainnya di pesantren. Hingga
saat ini, tradisi-tradisi keislaman tersebut masih berkembang subur di Indramayu,
bahkan seluruh wilayah di Indonesia pada umumnya.43
Tradisi-tradisi Islam dari kalangan pesantren di atas dinilai sangat penting
bagi masyarakat Indramayu, khususnya kalangan masyarakat Nahdliyyin.
Menurut mereka, tradisi-tradisi tersebut merupakan tradisi yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai Islam. Menurut Zainul Milal Bizawie, al-Qur‟an dan hadis
merupakan inti Islam-normatif yang telah membentuk tradisi-tradisi sebagai
bagian dari ritual-ritual keislaman. Seseorang dapat dikatakan telah mencapai
kesalehan normatif jika telah melakukan seperangkat tingkah laku yang telah
digambarkan Allah melalui utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw yang kini
telah terverbalkan dalam bentuk hadis. Kesalehan normatif ini dibuktikan dengan
ketaatan dan ketundukan seseorang atas segala tingkah laku agama, dan hal ini
dianggap sangat penting baginya.44
Begitu pula tradisi-tradisi keagamaan yang
dilakukan masyarakat Indramayu. Segala bentuk ritual keislaman yang menjadi
tradisi di masyarakat dinilai sebagai salah satu bentuk kesalehan yang ideal.
Artinya, apabila seseorang melakukan suatu tradisi keagamaan tersebut, maka ia
dianggap telah melaksanakan ajaran Islam.
43
Mohd Roslan Mohd Nor dan Cecep Miftahul Hasani, “Sumbangan Syarif Hidayatullah
dalam Penyebaran Pendidikan Agama Islam di Jawa Barat”, dalam Jurnal At-Ta’dib, Vol. 12, No.
1, (Juni 2017), h. 179 44
Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, h. 31-32
85
Selain tahlilan, tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat santri
terdahulu ialah attaqa atau pembacaan surat qulhu (al-Ikhlas) sebanyak seratus
ribu kali untuk orang yang telah meninggal. Pembacaan surat al-Ikhlas diyakini
masyarakat dapat membebaskan mereka dari api neraka setelah mereka meninggal
dunia. Tradisi ini diyakini berasal dari hadis-hadis faḍā’il al-aʻmāl yang sering
„mengobral‟ pahala. Dengan keyakinan mereka tersebut, tradisi attaqa menjadi
laris di tengah masyarakat kalangan santri. Tradisi ini bahkan menjadi suatu hal
yang wajib dilakukan apabila sebelum meniggal, seseorang berwasiat untuk
dibacakan surat al-Ikhlas sebanyak jumlah yang diinginkan setelah ia meninggal.
Pembacaan surat al-Ikhlas tersebut dapat dilakukan oleh para ulama atau kyai atas
permintaan keluarga orang yang meninggal, atau bahkan kepada keluarganya
sendiri. Sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga yang meninggal memberikan
imbalan berupa uang kepada orang-orang yang ikut berpartisipasi membaca surat
al-Ikhlas untuk anggota keluarganya yang meninggal.45
Pada dasarnya, tradisi-tradisi keagamaan tersebut merupakan interpretasi
masyarakat atas teks-teks agama, yang salah satunya adalah hadis. Menurut Ignaz
Goldziher dan Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Woodward, bahwa bukti kuat
menujukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktik-praktik sosial
dan keagamaan komunitas muslim awal, dan beberapa di antaranya dapat dilacak
langsung sampai kepada Nabi Saw.46
Oleh karena itu, hadis menjadi suatu praktik
yang hidup di masyarakat (living hadis). Adapun tradisi-tradisi keagamaan di
Indramayu mayoritas dilakukan masyarakat kalangan Nahdliyyin (NU) secara
45
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya ), pada
Selasa, 31 Januari 2017. 46
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, h. 76
86
terus menerus dari generasi ke generasi. Ini menunjukkan suatu kontinuitas tradisi
keagamaan yang menjadi basis integrasi masyarakat Nahdliyyin di Indramayu.
Kontinuitas tradisi keagamaan ini diakui masyarakat Indramayu, khususnya
kalangan Nahdliyyin, sebagai upaya untuk menjalankan ajaran keislaman yang
berasal dari tradisi pesantren. Dengan kata lain, munculnya tradisi-tradisi
keagamaan seperti muludan/ maulidan, haul, tahlil, hingga fidyah bagi orang yang
meninggal, merupakan tradisi pesantren yang diajarkan dan dipraktikkan
masyarakat Indramayu. Bahkan, adapula tradisi masyarakat kalangan pesantren
yang mengqaḍā’ salat orang yang telah meninggal. Sebagaimana yang dinyatakan
Ust.Shofwan, seorang ulama Desa Segeran Kidul, bahwa ada temannya yang
meninggal dan memiliki tanggungan (utang) salat, kemudian utang salatnya
tersebut di-qaḍā’ oleh keluarganya selama bertahun-tahun. Setiap kali waktu
salat, keluarganya selalu melakukan salat dua kali. Satu salat untuk dirinya dan
satu salat lagi untuk men-qaḍā’ salat anggota keluarganya yang telah meninggal.47
Meng-qaḍā’ salat untuk membayar utang salat orang yang meninggal juga
dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Desa Sliyeg Lor. Hal ini sebagaimana
yang dinyatakan oleh H.Sayyidi, bahwa ada sebagian kecil masyarakat yang
hanya men-qaḍā’ salat kerabatnya yang meninggal tanpa membayar fidyah.
Namum sebagian masyarakat lainnya mayoritas mengganti utang salat orang yang
meninggal dengan membayar fidyah. H.Sayyidi mengakui bahwa amalan
membayar fidyah untuk melunasi utang salat orang yang meninggal dilakukan
oleh para ulama dan masyarakat kalangan santri terdahulu. Amalan ini telah
47
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB.
87
dilakukan sejak dulu secara turun temurun dan menjadi tradisi yang terus
dilestarikan.48
Selain itu, tradisi pada saat ada orang meninggal yang masih konsisten
dilakukan masyarakat Indramayu, khususnya masyarakat di Desa Sliyeg Lor dan
Segeran Kidul, adalah tradisi tarahum. Kata tarahum dimaknai sebagai „ngarem-
arem’ atau menenangkan. Dari makna tersebut, tradisi ini bertujuan untuk
memberikan ketenangan kepada mayyit selama di kuburan pada malam pertama
kematian, atau pada saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari malaikat yang
bertugas menanyakan pertanggungjawaban manusia di alam kubur (Malaikat
Munkar dan Nakir). Tradisi tarahum dilakukan dengan salat (sunnah) dan do‟a
oleh para kyai atau ulama pada saat setelah salat maghrib di malam pertama
kematian seseorang. Para kyai atau ulama yang melakukan salat sunnah tarahum
tersebut diberi uang sebagai ucapan terimakasih dari keluarga orang yang
meninggal. Bahkan ketika menyalatkan jenazah pun, pihak keluarga yang
meninggal biasanya menyiapkan amplop (uang) untuk masyarakat yang ikut
menyalatkan jenazah. Uang tersebut sering disebut sebagai duit solawat (uang
shalawat).49
Menurut Mahya Hasan, kontinuitas tradisi keagamaan ini juga ditunjukkan
dengan adanya pengajian-pengajian di setiap masjid dan mushalla, baik di
lingkungan perkotaan maupun pedesaan, yang tidak lain merupakan tradisi
pesantren. Dalam hal pengajian, Mahya Hasan menjelaskan bahwa pengajian-
pengajian yang dilakukan masyarakat Indramayu di lingkungan pedesaan dan
48
Hasil wawancara dengan H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu,
26 April 2017, Pukul 15.00 WIB 49
Hasil wawancara dengan Ust. Abdurrahman (Ulama Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg),
pada Rabu, 26 April 2017, Pukul 17.00 WIB, dan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec.
Juntinyuat), pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB.
88
perkotaan pun berbeda. Pengajian di lingkungan pedesaan mayoritas
menggunakan metode „kitab kuning‟, sementara pengajian di perkotaan
menggunakan metode tematik, seperti ceramah dan sebagainya.50
Menurut Eickelman, sebagaimana dikutip Woodward, bahwa pola-pola
tradisi (kebudayaan) dan keagamaan masyarakat yang dikaitkan dengan
konfigurasi sosial ekonomi lokal, dapat mempengaruhi cara interpretasi
masyarakat terhadap teks-teks universal, seperti al-Qur‟an, hadis, dan kitab-kitab
fiqh. Woodward juga berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan “Islam yang
diterima”, yaitu tubuh teks dan bentuk tindakan ritual ada pada titik yang
didukung oleh waktu dan tempat, yang pada akhirnya menjadi sistem keagamaan
dan sosial.51
Hal ini menguatkan pernyataan bahwa interpretasi teks-teks agama
dapat menjadi sebuah tradisi keagamaan yang kokoh dan berkelanjutan (kontinu)
di masyarakat.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa perkembangan Islam di
Indramayu melalui pembelajaran-pembelajaran keislaman di pesantren terjadi
begitu cepat dan berkelanjutan. Banyak tradisi-tradisi keislaman yang dibawa
masyarakat ke dalam kehidupan mereka. Bahkan masyarakat Muslim di
Indramayu tidak sepenuhnya melarang adanya tradisi-tradisi lokal peninggalan
tradisi hindu dan animisme yang masih dipraktikkan masyarakat Indramayu,
seperti pemberian sajen berisi nasi, telur, bawang merah, cabai dan lain-lain di
setiap pojok rumah pada saat akan melaksanakan hajatan, baik khitanan maupun
pernikahan. Sajen yang diletakkan di setiap pojok rumah dipercaya dapat
menghindari hal-hal gaib yang dapat mengganggu kelancaran acara hajatan
50
Hasil wawancara dengan Mahya Hasan (Kepala Seksi PD Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama Kab. Indramayu), pada Kamis, 2 Maret 2017. 51
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, h. 86
89
masyarakat. Bagi mereka, tradisi lokal tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan
syirik, namun hanya sebatas tradisi orang tua terdahulu. Tradisi tersebut mulai
terkikis seiring perkembangan zaman karena dinilai tidak memiliki manfaat.
Hingga saat ini, hanya sebagian kecil masyarakat yang masih mempraktikkan
tradisi-tradisi keagamaan lokal tersebut. Fleksibilitas Islam dalam menerima
tradisi lokal dan menggantinya dengan tradisi keislaman lain seperti tahlilan,
membuat tradisi keislaman semakin menjamur di masyarakat.52
D. Tradisi Fidyah di Indramayu: Sebuah Tinjauan Historis
Tradisi fidyah di beberapa wilayah di Indramayu memiliki nama yang
berbeda, yaitu fidyah, geong, dan ngabal. Di Desa Tenajar Lor misalnya, tradisi
fidyah dikenal dengan nama geong, yang berarti „ayun atau mengayun‟. Dalam
hal ini yang diayun adalah beras yang akan dijadikan fidyah. Adapun nama
ngabal berasal dari qabal yang diartikan „menerima‟. Nama ini menunjukkan
bahwa tradisi tersebut dilakukan dengan cara memberi dan menerima. Dari kedua
nama tersebut, tradisi fidyah dideskripsikan sebagai ritual yang dilakukan dengan
cara memberi dan menerima secara bergantian.53
Sebagaimana akan dijelaskan
pada bab selanjutnya, tradisi fidyah ini memiliki cara yang beragam. Tradisi
fidyah di Indramayu tidak serta merta muncul dengan sendirinya, akan tetapi ada
beberapa alasan tertentu yang menyebabkan tradisi fidyah „gemar‟ dilakukan oleh
masyarakat Indramayu. Karena itu, pada pembahasan ini peneliti akan
memaparkan latar belakang munculnya tradisi fidyah dan peran kyai dan
pesantren dalam penyebaran tradisi fidyah di Indramayu.
52
Hasil observasi di beberapa wilayah di Kecamatan Kertasemaya, Kecamatan Sliyeg,
dan Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu pada awal hingga pertengahan tahun 2017. 53
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017, Pukul 15.00 WIB.
90
1. Latar Belakang Munculnya Tradisi Fidyah
Dalam menelusuri latar belakang munculnya tradisi fidyah di Indramayu,
peneliti sedikit kesulitan untuk mencari informasi atau data yang komprehensif.
Karena sebagian besar informan yang diwawancarai, tidak mengetahui secara
pasti kapan tradisi tersebut ada di lingkungan mereka. Mereka hanya
mengungkapkan bahwa tradisi tersebut telah ada sejak orang tua bahkan ketika
kakek-nenek mereka masih hidup. Namun ada salah seorang informan dari Desa
Tenajar Lor, yaitu Rokhmat, seorang tokoh masyarakat desa setempat, yang
sedikit memberi gambaran bahwa tradisi fidyah di lingkungannya telah ada sejak
zaman dulu. Ia memperkirakan bahwa tradisi fidyah ini telah ada sejak zaman
sebelum kemerdekaan Indonesia, tepatnya sekitar awal tahun 1900-an. Rokhmat
mengungkapkan bahwa awal tradisi fidyah ini muncul pada masa hidupnya
KH.Hasbullah, seorang ulama da’i di Desa Babadan (nama desa tempo dulu
sebelum terjadi pemekaran menjadi Desa Tenajar Lor, Desa Tenajar, dan Desa
Tenajar Kidul).54
Rokhmat mendeskripsikan bahwa pada masa tersebut, tradisi fidyah atau
yang dikenal dengan sebutan geong, dilakukan masyarakat Desa Babadan hanya
untuk sekedar menjalankan iḥtiyāṭ (kehati-hatian). Sementara terkait fiqh,
Rokhmat mengakui bahwa mazhab yang dianut masyarakat Indonesia pada
umumnya adalah mazhab Imam al-Syāfiʻī, termasuk juga masyarakat Indramayu
dan Cirebon. Dalam kitab Nihāyah al-Zaīn, Imam Nawawī al-Bantanī mengutip
54
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB.
91
pendapat Imam al-Syafi‟i, bahwa apabila seseorang meninggal dan ia memiliki
utang salat, maka tidak ada qaḍā’ dan tidak ada pula fidyah baginya.55
Dalam perkara ini, Imam al-Syāfiʻī hanya menyetujui adanya fidyah puasa.
Berbeda dengan Imam Abū Ḥanifah, yang menganggap bahwa salat merupakan
ibadah yang sangat penting, sehingga ada 2 (dua) alasan utang salat harus dibayar
dengan fidyah: Pertama, fidyah salat adalah suatu syariat yang wajib dilakukan
apabila si mayyit pada masa hidupnya pernah mengeluarkan wasiat (untuk
membayar fidyah). Kedua, apabila si mayyit tidak mengeluarkan wasiat untuk
fidyah, maka fidyah salat hanya merupakan iḥtiyāṭ dari pihak keluarga/walinya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tradisi fidyah ini muncul dan
berkembang sebagai upaya penebusan atas salat atau puasa yang pernah
ditinggalkan seseorang. Rokhmat menegaskan bahwa salah satu motif utamanya
adalah karena setiap manusia pasti memiliki kesalahan, terutama dalam hal salat.
Oleh karena itu, meskipun mayyit tidak berwasiat untuk membayar fidyah, tetapi
masyarakat tetap menunjukkan kepedulian mereka terhadap mayyit, yaitu
menunjukkan sikap birr al-walidain (berbuat baik kepada orang tua), sehingga
masyarakat Desa Babadan tetap melaksanakan tradisi fidyah di lingkungan
mereka sebagai iḥtiyāṭ.56
Desa Babadan Indramayu, dikenal sebagai desa santri. Hal ini bukan tanpa
alasan, karena di desa tersebut mayoritas masyarakatnya berlatar belakang santri
dan kyai (ulama). Adapun tokoh awal yang berperan dalam penyebaran tradisi
55
Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-
Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn (T.Tp: Syarikah al-Nūr Asiā, T.Th), h. 192-193 56
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB.
92
fidyah di desa tersebut adalah Ki Qamus, yaitu ayah kandung Rokhmat.57
Ki
Qamus merupakan tokoh ulama yang mengajarkan tradisi fidyah di Desa
Babadan, dan banyak santri yang belajar agama kepadanya. Ia pernah menimba
ilmu keislaman (mondok) di Plered (Cirebon) dan Bangkalan (Madura). Menurut
pengakuan Rokhmat, Ki Qamus (ayahnya) dikenal berteman akrab dengan Kyai
Syatori (Arjawinangun), kyai-kyai sepuh Babakan (Cirebon), Kyai Hasyim
As‟ariy, Mbah Sofa (Kaliwungu), dan Ki Soleh (Demak).58
Hal ini sejalan dengan
pernyataan Zamakhsari, bahwa seluruh kyai pada abad ke-19 dan awal abad ke-20
merupakan murid-murid dari, atau dipengaruhi oleh seorang guru terkemuka,
yaitu KH. Hasyim Asy‟ari.59
Para tokoh agama tersebut dikenal merupakan para tokoh pendiri pondok
pesantren di berbagai wilayah di Indonesia. Pengakuan Rokhmat terkait Ki
Qamus yang berteman akrab dengan para ulama pesantren tersebut dapat
dikatakan wajar, karena masyarakat Indramayu, khususnya desa Babadan, dikenal
banyak masyarakat yang nyantri di pondok-pondok pesantren di luar wilayah
Indramayu, seperti pesantren di Babakan Ciwaringin (Cirebon), Arjawinangun
(Cirebon), Kempek (Cirebon), Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), Kaliwungu (Kendal,
Jawa Tengah), Sarang (Rembang, Jawa Tengah), Bangkalan (Madura), dan lain
sebagainya. Hal ini juga berlaku pada awal munculnya tradisi fidyah di Desa
57
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya ), pada
Selasa, 31 Januari 2017, pukul 19.30 WIB. 58
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB. 59
KH. Hasyim Asy‟ari dikenal sebagai pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Ia dilahirkan
pada 1871 dari keluarga seorang kyai. Pada usia 13 tahun, ia mulai mengajar di pesantren ayahnya.
Ia juga belajar kepada beberapa kyai dan pergi ke Makkah untuk belajar ilmu-ilmu keislaman.
Pada tahun 1899, KH. Hasyim Asy‟ari kembali ke Jawa dan mengajar di pesantren kakak laki-
lakinya sebelum mendirkan Pesantren Tebuireng di Cukir, Jawa Timur. Dalam sepuluh tahun,
pesantren ini merupakan penyedia guru terbesar untuk pesantren lainnya, dan kurikulumnya pun
menjadi model bagi pesantren-pesantren tersebut. Lihat: Mark R. Woodward, Islam Jawa:
Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, h. 167
93
Sliyeg Lor dan Desa Segeran Kidul. Dari hasil wawancara dengan masyarakat
kedua desa tersebut, didapatkan informasi bahwa tradisi fidyah merupakan ajaran
dari para santri yang pernah belajar di berbagai pesantren.60
Oleh karena itu, dapat
ditarik benang merah bahwa tokoh yang menyebarkan adanya fidyah salat dan
puasa di tengah masyarakat Indramayu adalah para tokoh ulama yang pernah
nyantri di berbagai pesantren. Untuk membuktikan hal tersebut, peneliti akan
menguraikannya pada bahasan setelah ini.
2. Kyai dan Pesantren: Proses Transmisi Tradisi Fidyah
Salah satu doktrin Islam yang sampai saat ini menjadi sebuah tradisi di
tengah masyarakat Indramayu ialah tradisi fidyah bagi orang yang meninggal
dunia. Tradisi ini dilakukan sebagai konsekuensi atas salat atau puasa yang pernah
ditinggalkan seseorang semasa hidupnya. Tradisi fidyah tersebut pada dasarnya
merupakan hasil interpretasi masyarakat atas doktrin-doktrin Islam terhadap al-
Qur‟an, hadis dan kitab-kitab fiqh. Oleh karena itu, penyebaran tradisi fidyah ini
tidak terlepas dari peran para kyai dan pesantren sebagai wadah pembelajaran
keislaman di masyarakat. Keduanya merupakan sumber utama dalam penyebaran
tradisi fidyah, khususnya di wilayah Indramayu.
Berdasarkan hasil wawancara, para tokoh penyebar tradisi fidyah ini adalah
masyarakat Indramayu yang menimba ilmu di berbagai pesantren, seperti di
Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), Kaliwungu (Kendal, Jawa Tengah), Sarang
(Rembang, Jawa Tengah), Pesantren Kempek (Cirebon, Jawa Barat), Pesantren
Babakan Ciwaringin (Cirebon), dan lain sebagainya. Setelah lulus dari pesantren-
60
Hasil wawancara dengan H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu,
26 April 2017, Pukul 15.00 WIB, dan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB.
94
pesantren tersebut, para santri kemudian mengajarkan ilmunya kepada masyarakat
dengan mengadakan pengajian „kitab-kitab kuning‟ (literatur fiqh klasik), tafsir,
hadis, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat menokohkan santri tersebut
sebagai „kyai‟ atau orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang
mendalam.61
Namun Djohan Effendi menyatakan bahwa sosok ulama atau kyai
tidak hanya sekedar seorang ahli agama, melainkan juga sebagai pemimpin umat.
Hal ini karena peran kyai tidak hanya sekedar membimbing masyarakat dalam
urusan agama, melainkan juga tempat konsultasi masyarakat untuk memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi.62
Pelabelan status „kyai‟ kepada seseorang oleh masyarakat Indramayu
disebabkan karena tingginya ilmu agama yang dikuasai, khususnya mereka yang
menguasai ilmu nahwu, sharaf, „kitab-kitab kuning‟, tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu
agama lainnya. Dengan demikian, masyarakat Indramayu pada dasarnya
menokohkan sosok kyai di lingkungan sekitar mereka, dan mengikuti ajaran-
ajarannya, termasuk ajaran fidyah salat dan puasa. Dari wawancara yang
dilakukan, Kyai Badrudin mengakui bahwa pelaksanaan tradisi fidyah ini telah
dilakukan secara turun temurun. Ia tidak mengetahui secara pasti tahun
terbentuknya tradisi tersebut di desanya. Hanya saja, ia berkeyakinan bahwa
tradisi ini disebarkan oleh para santri yang mempelajari kitab-kitab hadis dan fiqh.
Hal ini ia buktikan dengan menunjukkan beberapa kitab yang dijadikan rujukan
dalam tradisi fidyah, di antaranya ialah kitab Tarsyīḥ al-Mustafīdīn dan kitab
61
Hasil wawancara dengan Mahya Hasan (Kepala Seksi PD Diniyah dan Pondok
Pesantren Kementerian Agama Kab. Indramayu), pada Kamis, 2 Maret 2017. 62
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 39-40
95
Iʻānah al-Ṭālibīn.63
Kitab-kitab tersebut menjadi rujukan untuk mengisi kajian-
kajian keislaman di beberapa tempat seperti pesantren, masjid, dan mushalla di
desanya.64
Hal senada juga datang dari Ust.Shofwan, seorang ulama Desa Segeran
Kidul. Ia menyatakan bahwa tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat merupakan
ajaran Islam. Dari penelusuran peneliti, ia juga tidak mengetahui secara pasti
tahun masuknya tradisi fidyah di lingkungannya. Ia lebih cenderung menyatakan
bahwa tradisi tersebut telah dilakukan oleh masyarakat sejak dulu karena
ketentuan agama. Ust.Shofwan menyebutkan beberapa kitab yang dijadikan
pedoman dalam pelaksanaan tradis fidyah di lingkungannya, di antaranya kitab
Fath al-Mu’in, al-Bajuri, dan lain-lain. Ia mengakui bahwa kitab-kitab tersebut
hanya didapatkan di lingkungan pesantren salaf. Selain kitab-kitab tersebut,
Ust.Shofwan juga menguatkan pendapatnya dengan menyebutkan hadis fidyah
salat dan puasa65
, dan hadis yang mendeskripsikan wajibnya melunasi utang orang
yang meninggal.66
Oleh karena itu, ia berkeyakinan bahwa tradisi tersebut sudah
63
Kitab Iʻānah al-Ṭālibīn karya Abū Bakr al-Sayyid dinilai oleh Martin van Bruinessen
sebagai kitab yang memberikan banyak gagasan tentang kesejahteraan umat yang harus dijaga,
seperti kebutuhan pangan, papan, dan kesehatan untuk seluruh anggota masyarakat. Hal ini
dibahas dalam bab al-jihad. Lihat: Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 125. Selain itu, upaya Abū Bakr al-
Sayyid untuk mensejahterakan umat juga terlihat dalam penjelasan fidyah salat dan puasa.
Meskipun fidyah salat masih mengalami pro-kontra, pada akhirnya pembahasan fidyah salat
dikuatkan dengan pendapat-pendapat dari para ulama mujtahidīn. Lihat: Abī Bakr Ibn al-Sayyid
Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār al-Fikr, T.Th), h. 24 64
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017, Pukul 15.00 WIB. 65
Lihat: Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb bin „Alī ibn Sinān bin Bahr
al-Khurasānī al-Qādī, Sunan al-Nasa’ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār Sulaymān al-
Bandārī, Juz 2 (Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991 M/1411 H), No. Hadis: 2918, h. 175.
Adapun redaksi hadisnya yaitu:
كل بنعباس،قال:ليصليأحدعنأحد،وليصومعن امنحنطةأحدعنأحد،ولكنيطعمعنهمكان ي وممد66
Lihat: Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-
Bukhārī (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) (Bairut: Dār al-Fikr. T.th.), No. Hadis: 2127
96
ada sejak masyarakat Indramayu nyantri di pondok pesantren salaf, seperti di
Lirboyo, Kempek, Babakan, dan lain sebaginya.67
Di tempat yang berbeda, H. Zainuddin, seorang tokoh masyarakat Desa
Sliyeg Lor, Kecamatan Sliyeg, menyatakan bahwa tradisi fidyah di lingkungannya
merupakan warisan dari para kyai yang telah meninggal di desanya. Ia juga
menyatakan bahwa para kyai tersebut mayoritas merupakan santri di Pesantren
Babakan Ciwaringin Cirebon, dan Kaliwungu. Namun ia tidak mengetahui persis
kapan tradisi fidyah tersebut muncul di desanya. Ia hanya mengikuti tradisi kyai
dan orang tua yang telah turun temurun melestarikan tradisi tersebut.68
Dari
beberapa pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa masyarakat mengetahui dan
mengamalkan tradisi fidyah melalui pembelajaran para santri di berbagai
pesantren.
Pesantren sebagai suatu tempat pembelajaran keislaman memiliki peran
penting dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam. Di antara beberapa ajaran
keislaman yang disebarluaskan di pesantren adalah literatur-literatur hadis dan
fiqh klasik (kitab kuning) yang memuat hukum-hukum Islam (doktrin).69
Mark R.
Woodward, seorang etnolog, menyatakan bahwa meskipun hadis bersifat pendek
dan langsung, ia tetap memerlukan sebuah interpretasi (penafsiran). Woodward
memiliki perhatian khusus tentang bagaimana teks-teks hadis diinterpretasikan
dan dipahami oleh kalangan santri tradisional (salaf) di pesantren. Perhatian
67
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 68
Hasil wawancara dengan Ust. Abdurrhaman (Ulama Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg),
pada Rabu, 26 April 2017 Pukul 17.00 WIB. 69
Hukum Islam sendiri menurut Mark R. Woodward merupakan penafiran dari al-Qur‟an
dan hadis Nabi Saw. Ia menegaskan bahwa formulasi doktrin pada dasarnya telah dimulai tidak
lama setelah Nabi Saw wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syariat semikanonik. Lihat:
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, , h. 76
97
Woodward tersebut sangat relevan dengan interpretasi dan pemaknaan para santri
terhadap kitab-kitab fiqh klasik, sebagai salah satu kitab pendukung dalam
memahami hadis. Dalam hal ini, interpretasi dan pemaknaan para santri terhadap
hadis memiliki peranan yang sangat penting. Interpretasi tersebut dapat digunakan
untuk membuat berbagai pernyataan tentang kondisi-kondisi sosial, politik,
maupun masalah-masalah keagamaan murni yang muncul di tengah masyarakat.70
Salah satu masalah keagamaan yang muncul di tengah masyarakat
Indramayu ialah perihal utang salat dan puasa orang yang telah meninggal.
Masyarakat menanyakan hal tersebut kepada para santri yang telah belajar
keislamanan di pesantren. Maka secara otomatis, para santri memberikan
ketentuan tentang adanya fidyah salat dan puasa bagi orang yang meninggal
dengan menginterpretasikan berbagai landasan, baik melalui al-Qur‟an, hadis,
maupun kitab-kitab fiqh yang telah mereka pelajari di pesantren. Sebagaimana
dinyatakan oleh Kyai Badrudin, bahwa pengajian-pengajian keislaman yang ia
sampaikan kepada masyarakat di pesantren, masjid dan musala, merupakan kajian
fiqh yang berasal dari kitab-kitab yang telah ia pelajari sebelumnya di pesantren.
Begitu pula ketika ada pertanyaan yang datang dari masyarakat terkait masalah
utang salat dan puasa bagi orang yang telah meninggal. Ia memberikan ketentuan
adanya fidyah berdasarkan hasil pembacaannya melalui kajian al-Qur‟an, hadis,
dan kitab-kitab fiqh seperti Nihāyah al-Zaīn, Iʻānah al-Ṭālibīn, Tarsyīḥ al-
Mustafīdīn, dan lain sebagainya.71
Transmisi tradisi fidyah yang dilakukan para kyai dan santri melalui
pesantren dan majelis ta’lim di masyarakat juga diakui oleh H.Sayyidi. Ia
70
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, h. 111 71
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017, Pukul 15.00 WIB.
98
menyatakan bahwa masyarakat ‘awam melakukan pembelajaran keislaman hanya
melalui majelis-majelis ta’lim yang dipimpin oleh orang-orang yang berlatar
belakang santri. Karena ketidaktahuan mereka tersebut, masyarakat hanya
mengikuti tradisi atau ajaran-ajaran Islam yang disampaikan para kyai yang
pernah nyantri.72
Tradisi fidyah ini pada tahap selanjunya menyebar seiring
bertambahnya para santri Indramayu yang menerapkan ajaran-ajaran keislaman
dari pesantren di lingkungan mereka.
E. Kontroversi Tradisi Fidyah di Indramayu
Adanya praktik fidyah salat dan puasa di tengah masyarakat Indramayu
pada dasarnya diilhami oleh hadis-hadis Nabi Saw dan dikuatkan oleh pendapat
para fuqaha yang diabadikan dalam „kitab-kitab kuning‟. Dari hasil wawancara
yang dilakukan, seluruh masyarakat menyepakati adanya fidyah puasa,
sebagaimana yang telah dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur‟an surat al-
Baqarah ayat 184. Namun hal yang menarik perhatian peneliti di lapangan adalah
terjadinya perbedaan pendapat tentang fidyah salat. Sebagian masyarakat ada yang
menerima adanya fidyah salat dan ada pula yang menolaknya. Perbedaan pendapat
ini terjadi akibat hasil pembacaan masyarakat terhadap literatur keislaman yang
berbeda.
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian masyarakat yang menolak adanya
fidyah salat menyatakan bahwa kewajiban salat tidak dapat diganti dengan
apapun. Dalil yang digunakan adalah hadis Nabi Saw tentang rukhṣah
(keringanan) salat bagi orang yang sedang sakit, yaitu apabila salat tidak mampu
dilakukan dengan berdiri, maka dapat dilakukan dengan duduk, apabila duduk
72
Hasil wawancara dengan H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu, 26
April 2017, Pukul 15.00 WIB.
99
juga tidak mampu, maka dapat dilakukan dengan berbaring.73
Hal tersebut
menurut Akhid, salah seorang warga Desa Tenajar Lor, menunjukkan betapa
wajibnya salat bagi kalangan umat Muslim, sehingga yang sedang sakit pun tetap
diwajibkan melaksanakan salat. Akhid juga memberikan alasan lain bahwa salat
tidak dapat diganti dengan fidyah karena secara syariat, salat memiliki waktu yang
telah ditetapkan, sehingga tidak dapat ditinggalkan.
“Menurut syariat, sebenarnya fidyah salat itu tidak ada, yang ada hanya
fidyah puasa........”74
Secara praktik, pelaksanaan tradisi fidyah dengan cara diputar-putar dan
bolak balik (geong) dianggap tidak memiliki landasan yang jelas oleh Akhid. Ia
menilai bahwa tradisi fidyah yang diputar-putar tersebut hanya merupakan
„buatan‟ para ulama. Jika tradisi fidyah tersebut tetap dilakukan, menurut Akhid,
hendaknya beras fidyah langsung diberikan kepada yang berhak menerimanya
(fakir miskin), tanpa melalui proses ritual geong terlebih dahulu.
Senada dengan pendapat tersebut, Widodo, salah seorang warga Desa Sliyeg
Lor, juga menyatakan bahwa fidyah salat tidak memiliki dalil syariat. Widodo
menegaskan bahwa fidyah salat tidak lain hanyalah sebatas tradisi yang dilakukan
73
Lihat: Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairut: Dār
al-Fikr, 1994), Juz 3, h. 142, No. Hadis: 815. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abū Dāud dari
„Imrān bin Ḥuṣaīn, dengan redaksi sebagai berikut:
الم ث ناوكيععنإب راهيمبنطهمانعنحسي ث ناممدبنسليمانالن باري حد عنابنب ريدةعلمحدكانبالناصورفسألتالنبصلىاللهعليهوسلمف قالصل قال عنعمرانبنحصي قاماافن
تستطعف علىجنب. افن تستطعف قاعدا“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Sulaimān al-Anbārī, telah menceritakan
kepada kami Wakīʻ dari Ibrāhim bin Ṭahmān dari Ḥusaīn al-Muʻallim dari Ibn Buraidah
dari „Imrān bin Ḥushaīn dia berkata; "Aku menderita penyakit wasir, lalu aku tanyakan hal
itu kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda: "Salatlah dengan berdiri, dan apabila kamu
tidak mampu, maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan berbaring.” (HR. Abū
Dāwud) 74
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya ), pada
Selasa, 31 Januari 2017, pukul 19.30 WIB.
100
para „orang tua‟75
secara turun temurun. Karena menurutnya, masyarakat di
lingkungannya lebih mementingkan adat (tradisi) dibandingkan dengan agama.
Ketika „orang tua‟ menyatakan agar membayar fidyah salat, karena sudah
menjadi adat terdahulu, maka masyarakat pun melakukannya.
“Fidyah salat itu hanya tradisi dari orang tua yang dilakukan secara turun
temurun. Karena di lingkungan sini masih mementingkan adat (tradisi)
dibandingkan dengan agama. Sehingga menurut saya, fidyah salat itu tidak
ada (dalilnya). Kecuali fidyah puasa, itu memang ada (dalilnya).”76
Di tempat lain, H. Zakariya, salah seorang warga di Desa Segeran Kidul,
juga menolak adanya fidyah salat. Ia hanya meyakini bahwa fidyah hanya berlaku
untuk mengganti puasa, sebagaimana dalil qaṭʻī yang telah disebutkan dalam al-
Qur‟an. Menurutnya, selagi akal masih ada, kewajiban salat tetap harus
dilaksanakan. Apabila ada sebagian masyarakat yang meng-qiyas-kan fidyah salat
dengan fidyah puasa, ia tetap menghormati hal tersebut. Namun pada prinsipnya,
dalil qaṭʻī yang menjelaskan tentang fidyah hanyalah fidyah puasa, baik fidyahnya
karena sakit menahun, maupun karena sudah tua renta, dan tidak dapat
melaksanakan puasa.77
Adapun masyarakat yang menerima adanya fidyah salat menyatakan bahwa
fidyah salat merupakan ajaran Islam yang mesti diamalkan. Berdasarkan hasil
wawancara, di antara landasan dalam pelaksaan tradisi fidyah salat ialah hadis-
hadis Nabi Saw dan pendapat para ulama dalam kitab-kitab yang muʻtabarah,
seperti Iʻānah al-Ṭālibīn, Nihāyah al-Zaīn, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, dan lain
sebagainya. Meskipun masyarakat tidak seluruhnya mengetahui dalil-dalil fidyah,
75
Peneliti menggunakan kata „orang tua‟ sebagai istilah bagi masyarakat yang dituakan,
atau orang ‘alim yang memiliki pengaruh di lingkungannya (Kyai). 76
Hasil wawancara dengan Widodo (Warga Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg), pada Sabtu, 4
Maret 2017, pukul 16.00 WIB. 77
Hasil wawancara dengan H. Zakariya (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 16.00 WIB.
101
tetapi mereka berkeyakinan bahwa fidyah salat yang mereka lakukan adalah suatu
kebajikan dan bentuk kepedulian kepada orang tua (yang telah meninggal).78
Oleh
karena itu, tradisi ini terus menerus dilakukan dari generasi ke generasi oleh
sebagian masyarakat Indramayu.
Rokhmat, salah seorang tokoh masyarakat di Desa Tenajar Lor,
mengungkapkan bahwa fidyah salat merupakan sebuah iḥtiyāṭ (kehati-hatian).
Argumentasi adanya fidyah salat ini menurut Rokhmat, tergambar dalam berbagai
kitab seperti Iʻānah al-Ṭālibīn, Nihāyah al-Zaīn, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, dan
Muzairamī. Kitab-kitab tersebut merupakan ijtihad para ulama terdahulu dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw. Oleh karena itu, fidyah salat
memiliki dalil yang kuat, baik dari al-Qur‟an, hadis, maupun dari kitab-kitab fiqh.
“(Fidyah salat dan puasa) ini dibahas dalam kitab Nihāyah al-Zaīn dan
Iʻānah al-Ṭālibīn. Adapun penjelasan tentang masalah iḥtiyāṭ (kehati-
hatian) dalam fidyah salat itu ada dalam kitab Tarsyīḥ al-Mustafīdīn.
Dengan demikian, ajaran fidyah (salat) itu asalnya ada yang wajib karena
wasiat, dan ada pula yang iḥtiyāṭ dari kelurga mayit. Kitab Muzairamī juga
dibahas (tentang permasalahan ini).”79
Ungkap Rokhmat.
Senada dengan pendapat tersebut di atas, H. Sayyidi, salah seorang warga
Desa Sliyeg Lor, menyatakan bahwa fidyah salat adalah suatu kewajiban.
Argumentasi yang ia kemukakan adalah karena salat adalah ibadah wajib, maka
fidyah salat pun dihukumi wajib. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang
meninggal dan ia memiliki utang salat, maka ia diwajibkan untuk membayar
fidyah oleh walinya, sekalipun mereka dalam keadaan miskin.80
Pendapat ini juga
dikuatkan oleh Kyai Badrudin, ia menegaskan bahwa pendapat ulama yang
78
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017, Pukul 15.00 WIB. 79
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB. 80
Hasil wawancara dengan H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu, 26
April 2017, Pukul 15.00 WIB.
102
menyatakan utang salat orang yang meninggal harus dibayar dengan fidyah adalah
pendapat yang kuat.81
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Ust. Abdurrahman menyatakan
bahwa masalah fidyah salat terjadi perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan
ulama. Sebagian ulama menolak dan sebagian lainnya menerima adanya fidyah
salat. Hal ini menurut Ust. Abdurrahman, ketika ada sebagian masyarakat yang
melaksanakan fidyah salat, maka ia diperbolehkan karena memang ada ulama
yang melakukan hal tersebut. Adapun ketika ada sebagian masyarakat yang tidak
melaksanakan fidyah, maka hal itu pun tidak masalah. Adanya khilafiyah ini
menurut Ust. Abdurrahman telah dijelaskan dalam kitab Aḥkām al-Fuqahā’.82
Dari penjabaran di atas, dapat dipahami bahwa masyarakat Indramayu
memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang fidyah salat. Perbedaan
pemahaman ini terjadi karena masyarakat memiliki tingkat pengetahuan agama
yang berbeda, cara pandang terhadap teks-teks agama yang berbeda, dan
keyakinan mereka terhadap teks-teks agama yang telah dipelajari pun berbeda.
Sementara pada wilayah fidyah puasa, tidak ada satu pun dari masyarakat
Indramayu yang tidak menyepakatinya. Hal ini dianggap wajar, karena fidyah
puasa telah jelas nash-nya dalam al-Qur‟an.
Pada dasarnya, tradisi fidyah salat dan puasa merupakan hasil pembacaan
masyarakat dari berbagai literatur keislaman. Baik melalui al-Qur‟an, hadis,
maupun dari kitab-kitab fiqh. Tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat tersebut
diyakini dan dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi sehingga
81
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017, Pukul 15.00 WIB. 82
Hasil wawancara dengan Ust. Abdurrahman (Ulama Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada
Rabu, 26 April 2017, Pukul 17.00 WIB.
103
menjadi sebuah tradisi keagamaan yang kokoh. Doktrin Islam dan tradisi berbagi
makanan pada hari ke tujuh orang yang meninggal juga merupakan tradisi lokal
yang tidak dapat terelakkan dari kebiasaan masyarakat Indramayu, khususnya
mereka yang termasuk kalangan Nahdliyyin (NU). Di tengah kontroversi doktrin
terkait tradisi fidyah, tradisi ini tetap kokoh dilakukan oleh sebagian kalangan
masyarakat Nahdliyyin di Indramayu. Adapun pemahaman hadis dan praktik
fidyah yang dilakukan masyarakat beserta respons terhadap pelaksanaan tradisi
tersebut akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
104
BAB IV
TRADISI FIDYAH DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT INDRAMAYU
A. Living Hadis: Aktualisasi Tradisi Fidyah di Indramayu
M. Alfatih Suryadilaga dalam bukunya, menyatakan bahwa hadis bersumber
dan berkembang dari tradisi Nabi Saw yang menyebar secara luas seiring dengan
penyebaran Islam. Tradisi ini menjadi teladan yang diikuti dan diaktualisasikan
para sahabat dan tabi‟in dalam keseharian mereka. Mereka melakukan aktualisasi
dan modifikasi terhadap tradisi Nabi Saw dan kemudian dijadikan model bagi
ulama sesudahnya.1 Salah satu di antaranya adalah hadis tentang fidyah salat dan
puasa bagi orang yang meninggal. Hadis ini dinilai bukan merupakan ijtihad
sahabat, karena seorang sahabat tidak mungkin mengetahui sampainya amal
perbuatan seseorang yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal kecuali
atas bimbingan Nabi Saw.
Hadis fidyah salat dan puasa diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi
Saw, yaitu Ibn „Abbas, yang kemudian ditiru dan diaktualisasikan oleh ulama-
ulama klasik sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawī al-Bantanī, yaitu seperti
Ibn Burhān, mayoritas kalangan mazhab al-Syafi‟ī dan sebagian mazhab al-
Ḥanafī, kendati muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut.2 Mark R.
Woodward dalam karyanya menilai bahwa hadis dipahami sebagai standar ideal
untuk mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan keagamaan dan sosial
1 M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis: Dari Teks ke Konteks (Yogyakarta:
Teras, 2009), h. 176-177 2 Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-
Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi‟īn (T.Tp: Syarikah al-Nūr Asiā, T.Th), h. 192-193
105
kontemporer.3 Ini menunjukkan bahwa Woodward mengakui adanya hadis yang
dijadikan model di tengah masyarakat dengan berbagai pertimbangan dalam
memahami kehidupan sosial dan agama, di antaranya yaitu tentang masalah fiqh.
Dalam keterkaitannya dengan fiqh, Asep Nahrul Musadad menyatakan
bahwa ilmu hadis merupakan disiplin ilmu yang paling banyak berkolaborasi
dengan ilmu fiqh. Hal ini mengingat bahwa pada hakikatnya produk fiqih
merupakan hasil refleksi kreatif dari al-Qur‟an dan hadis melalui beberapa
perangkat khusus yang diakomodasi dalam tradisi ijtihad.4 Dengan demikian,
hadis dan fiqh sangat berkaitan erat dalam khazanah keilmuan Islam yang
termaktub dalam kitab-kitab klasik. Begitupula kaitannya dengan fidyah salat dan
puasa, dalam hal ini telah disebutkan dalam hadis dan kitab-kitab fiqh bahwa
orang yang meninggal dunia dan memiliki utang salat dan puasa, maka hendaknya
ia dibayarkan fidyahnya oleh keluarganya.5 Inilah yang menjadi pegangan
masyarakat Indramayu dalam melaksanakan tradisi fidyah di lingkungan mereka.
Terkait dengan keinginan masyarakat untuk melaksanakan ajaran Islam,
khususnya hadis, maka hadis menjadi suatu yang hidup di masyarakat (living
hadis). Berikut ini penulis akan paparkan pemahaman masyarakat Indramayu
terhadap hadis fidyah dan praktiknya.
3 Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Penerjemah:
Hairus Salim HS (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), h. 111 4 Asep Nahrul Musadad, “Menyoal Fikih Islam dan Studi Hadis: Dari Relasi Historis-
Organik ke Segregasi Epistemologis”, dalam Epistemé, Vol. 10, No. 1, (Juni 2015), h. 31 5 Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār al-
Fikr, T.Th), h. 24
106
1. Pemahaman Masyarakat Atas Hadis Fidyah Salat dan Puasa
Hadis fidyah salat dan puasa diriwayatkan oleh al-Nasā‟ī (w.303 H) dari Ibn
„Abbās (w.68 H) dalam kitab Sunan al-Nasa‟ī al-Kubrā, adapun hadisnya yaitu
sebagai berikut:
ينث د حالىقلع دال ب نعدب م مأبن أ قي رنزب وىدوي زا حنث د حالع اللقوح ل اجاج اأنث د ح عناحبربأنب اءطعن ىعسو نموبب ي ا ب نعب اس،قال:ليصليأحدعن
أحد،ولك يط عمعن ومكانأحد،وليصومأحدعن حن طةكلن امن .6ي و ممد
“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās, ia
berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan darinya
setiap hari sebanyak satu mud dari gandum.” (HR. Al-Nasā‟ī)
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan kepada
masyarakat Indramayu, mereka memahami hadis fidyah salat dan puasa sebagai
suatu iḥṭiyāṭ (kehati-hatian). Menurut mereka, salat dan puasa merupakan ibadah
farḍu yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan. Mengingat begitu pentingnya
salat, mereka berusaha untuk menutupi kekurangan ibadah salat kerabatnya yang
meninggal dengan fidyah. Menurut Rokhmat, salah seorang tokoh masyarakat
Desa Tenajar Lor, hal ini berkaitan erat dengan sikap peduli dan sikap iḥṭiyāṭ
keluarga untuk menutupi salat yang ditinggalkan si mayyit.7 Meski demikian, ada
sebagian masyarakat yang tidak mengetahui secara persis teks hadis tentang
fidyah salat dan puasa. Pengetahuan mereka tentang pelaksanaan fidyah salat dan
6 Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb bin „Alī ibn Sinān bin Bahr al-
Khurasānī al-Qādī, Sunan al-Nasa‟ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār Sulaymān al-Bandārī,
Juz 2 (Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991 M/1411 H), No. Hadis: 2918, h. 175. 7 Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017. Pukul 11.00 WIB.
107
puasa terbatas pada nasihat dan anjuran para Kyai atau tokoh masyarakat setempat
bahwa orang yang telah meninggal, dianjurkan untuk membayar fidyah salat dan
puasa dari harta yang ditinggalkan atau dari pihak keluarga si mayyit.8
Selain sebagai penebus utang salat dan puasa, hadis fidyah salat dan puasa
juga dipahami masyarakat sebagai sedekah si mayyit untuk orang-orang yang
kurang mampu. Menurut Abdul Aziz, salah seorang warga Desa Tenajar Lor yang
belum lama melaksanakan tradisi fidyah untuk ayahnya, menyatakan bahwa
esensi hadis fidyah salat dan puasa adalah berbagi untuk sesama. Aziz juga
menguatkan adanya fidyah salat dan puasa yang dilakukannya tersebut didasarkan
pada iḥṭiyāṭ untuk menutupi utang atau kekurangan salat dan puasa ayahnya yang
telah meninggal.9
Senada dengan pendapat tersebut, Kyai Badrudin, salah seorang ulama di
Desa Tenajar Lor, menyatakan bahwa utang salat dan puasa orang yang telah
meninggal harus dilunasi oleh pihak keluarganya. Salat dan puasa merupakan
bentuk ibadah kepada Allah, maka utang kepada Allah lebih berhak untuk
ditunaikan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi Saw.10
Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Muslim (w.261 H) dari Ibn „Abbās (w.68 H), yaitu:
لم مس عن سلي مان عن زائدة عن على ب ن حسي ث نا حد ال وكيعى عمر ب ن أح د ثن وحد سعيدب نجب ي عناب نعب اس يال بط -قالجاءرجلإلالن ب-رضىاللهعنهما-عن
ر-صلىاللهعليووسلم مشه هاصو وعلي أمىماتت هاف قاليارسولالل وإن أفأق ضيوعن
8 Hasil wawancara dengan Yusroh (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada
Jum‟at, 28 April 2017. Pukul 14.00 WIB. 9 Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB. 10
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017. Pukul 15.00 WIB.
108
هاف قال عن قاضيو أكن ت دي ن أمك على كان قاللو ن عم . قال . أن أحق الل و فدي ن 11ي ق ضى.
“Dan telah menceritakan kepadaku Aḥmad bin „Umar al-Wakīʻī, telah
menceritakan kepada kami Ḥusaīn bin „Alī, dari Zāidah, dari Sulaimān, dari
Muslim al-Baṭīn, dari Saʻīd bin Jubaīr dari Ibn „Abbās ra, ia berkata;
Seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw dan berkata, "Sesungguhnya ibuku
telah meninggal, padahal ia memiliki utang puasa selama satu bulan.
Apakah saya harus membayarkan untuknya?" beliau menjawab: "Sekiranya
ibumu memiliki hutang uang, apakah kamu harus membayarnya?" laki-laki
itu menjawab, "Ya, tentu." Beliau bersabda: "Kalau begitu, maka hutang
kepada Allah adalah lebih berhak untuk dilunasi." (HR. Muslim)
Hadis di atas dipahami sebagai anjuran untuk melunasi utang orang yang
telah meninggal oleh pihak keluarganya, terlebih utang dalam beribadah kepada
Allah Swt. Utang ibadah kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang lebih berhak
untuk ditunaikan atau dilunasi, seperti puasa, haji, dan termasuk juga salat.
Pendapat ini juga dipahami Rahmat, ia menganalogikan sebagai berikut:
Manusia diberi „modal‟ hidup selama lima puluh tahun, maka selama itulah
seseorang diberikan utang untuk beribadah kepada Allah Swt. Apabila
seseorang tidak melunasi utangnya, maka Allah Swt akan menuntutnya di
akhirat kelak.12
Pemahaman senada datang dari H.Sayyidi, salah seorang warga Desa
Sliyeg Lor, bahwa utang salat dan puasa orang yang telah meninggal wajib diganti
dengan fidyah menggunakan takaran mud berdasarkan nash yang ada. Ia
menegaskan bahwa salat dan puasa adalah ibadah yang wajib, maka melunasi
utang salat dan puasa pun hukumnya juga wajib, yaitu dengan fidyah.13
Sementara
Ust.Shofwan, seorang ulama Desa Segeran Kidul, juga memahami hadis fidyah
11
Abū Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qusyairī, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairut: Dar al-Jīl, T.th),
Juz 3, h.155, No. Hadis 2750 12
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017. Pukul 11.00 WIB. 13
Hasil wawancara dengan H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu,
26 April 2017 Pukul 15.00 WIB.
109
sebagai penebus utang salat dan puasa seseorang yang meninggal. Ia menilai
bahwa fidyah tersebut merupakan ikhtiyar masyarakat untuk menyempurnakan
salat dan puasa anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Menurutnya, hal
ini dilakukan agar si mayyit tidak memiliki beban yang berkaitan dengan
kehidupan di dunia.14
Dengan demikian, keyakinan masyarakat terhadap utang salat dan puasa
orang yang telah meninggal dapat diganti dengan fidyah boleh dikatakan sangat
kuat. Karena masyarakat Indramayu pada umumnya meyakini akan sampainya
amalan fidyah mereka untuk si mayyit. Di antara kitab dan dalil yang mereka
gunakan untuk menegaskan bahwa amalan fidyah mereka bermanfaat bagi si
mayit adalah kitab Iʻānah al-Ṭālibīn15
dan al-Qur‟an surat al-Ḥasyr ayat 10,
sebagai berikut:
10. dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara
Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang."
Ayat di atas menunjukkan adanya kebolehan seseorang yang masih hidup
untuk mendo‟akan orang yang telah meninggal, dan do‟a tersebut diyakini akan
14
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 15
Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār
al-Fikr, T.Th), h. 24
110
sampai kepada orang yang telah meninggal. Hal ini juga didukung salah satu
hadis yang mendeskripsikan bahwa Nabi Saw mendo‟akan orang yang telah
meninggal, dengan menancapkan pelepah kurma yang masih basah di atas
kuburan seseorang untuk meringankan siksa kuburnya. Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī (w.256 H) dari Ibn „Abbas (w.68 H), yaitu:
ماىد من صورعن ب رناعبي دةب نحي دأبوعب دالر ح نعن ث نااب نسلمأخ اب نعب اسحد عن علي و الل و صل ى الن ب خرج قال إن سان ي صو ت فسمع ال مدينة حيطان ب ع ض من وسل م
ي ل أحدها كان لكبي وإن و كبي ف بان ي عذ وما بان ي عذ ف قال بانفق بورها ي عذ من س خري شيبالن رةفال ب و لوكانال كس فجعل ثن ي أو رت ي ميمةث دعابريدةفكسرىابكس
ي ي بسا همامال رةفق ب ىذاف قاللعل ويف فعن .16ق ب ىذاوكس “Telah menceritakan kepada kami Ibn Salām, telah mengabarkan kepada
kami „Abīdah bin Ḥumaīd Abū „Abd al-Raḥman, dari Manṣūr, dari
Mujāhid, dari Ibn „Abbās, ia berkata; Nabi Saw pernah keluar dari salah
satu kebun yang ada di Madinah, lalu ia mendengar suara dua orang yang
sedang di siksa di kuburnya, setelah itu Nabi Saw bersabda: "Tidaklah
keduanya di siksa karena dosa besar namun hal itu adalah perkara yang
besar, salah satu darinya adalah tidak bersuci dari kencingnya sedangkan
yang lain selalu mengadu domba." Kemudian ia meminta sepotong pelepah
kurma yang masih basah. Ia membelahnya menjadi dua, sepotong
ditancapkan di kuburan yang satu dan sepotong di kuburan yang lain.
kemudian Nabi Saw bersabda: 'Semoga ini bisa meringankan siksa
keduanya selagi belum kering'.” (HR. Al-Bukhārī)
Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa perbuatan dan do‟a Nabi Saw
tersebut diyakini dapat bermanfaat untuk mayit dan akan mengurangi siksa
kuburnya. Hal ini juga diyakini Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Ia menegaskan
bahwa do‟a dan perbuatan baik yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal,
pahalanya akan sampai kepadanya.17
Oleh karena itu, tidak heran jika tradisi-
tradisi keagamaan seperti tahlilan, haul, attaqa, termasuk fidyah salat dan puasa
16
Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, al-Jāmiʻ al-Bukhārī
(Ṣaḥīḥ al-Bukhārī) (T.Tp: Dār Ṭūq al-Najāḥ, 1422 H), h. 259, No. Hadis: 5595 17
Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), Jil. 24, h. 306
111
untuk orang meninggal, menjadi kebiasaan masyarakat Indramayu yang
senantiasa dilestarikan, khususnya di kalangan masyarakat Nahdliyyin.
2. Model-Model Tradisi Fidyah Salat dan Puasa di Indramayu
Tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat Indramayu tetap berjalan
meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat, termasuk tradisi
fidyah salat dan puasa. Perbedaan pendapat tersebut meliputi ukuran fidyah,
waktu, tatacara (model), maupun dalil hukumnya. Perbedaan pendapat ini
terindikasi muncul dari pemahaman mereka terhadap pembacaan hadis dan „kitab-
kitab kuning.‟ Dari hasil observasi dan wawancara kepada masyarakat Indramayu,
pemaknaan terhadap hadis dan „kitab kuning‟ tersebut menimbulkan beberapa
model dalam tradisi fidyah. Dalam hal ini ada tiga model tradisi fidyah salat dan
puasa di Indramayu, yaitu fidyah dalam Ritual Geong (diputar bolak-balik), fidyah
pra-salat jenazah, dan fidyah pasca-tahlilan.
a. Tradisi Geong
Salah satu model membayar fidyah salat dan puasa untuk orang yang telah
meninggal adalah dengan cara dibolak-balik dan diputar atau di-geong. Tujuan
fidyah dengan cara diputar ini yaitu untuk memenuhi target waktu yang
diinginkan pihak pembayar fidyah agar terlunasi utang salat kerabatnya yang
meninggal tersebut dengan harta yang dimiliki. Fidyah dengan cara diputar ini
merupakan iḥṭiyāṭ seseorang untuk melunasi utang salat dalam kurun waktu
seumur hidup dengan harta seadanya. Minimnya beras atau uang yang dimiliki
untuk membayar fidyah seumur hidup dapat diinisiasi dengan cara diputar hingga
mencapai umur orang yang meninggal tersebut. Artinya, meskipun harta yang
112
dimiliki terbilang sedikit, namun ia tetap dapat membayar fidyah untuk menebus
utang salat selama seumur hidup.18
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Kyai Badrudin, bahwa praktik dengan
cara diputar (daur) merupakan cara iḥṭiyāṭ seseorang untuk menghitung fidyah
orang yang telah meninggal selama seumur hidupnya. Praktik ini dilakukan
dengan alasan bahwa pihak keluarga yang ditinggalkan tidak mampu untuk
membayar fidyah orang tuanya yang meninggal selama seumur hidup, maka
solusinya adalah dengan cara diputar. Misalnya, pihak keluarga hanya mampu
membayar fidyah sebanyak sepuluh kwintal, sementara fidyah yang harus dibayar
selama seumur hidup yaitu 45 tahun. Maka sepuluh kwintal yang sebenarnya
hanya cukup untuk fidyah selama dua tahun dapat diputar dari ahli waris kepada
wali, kemudian dari wali kepada fakir miskin, dan dari fakir miskin diberikan lagi
kepada wali, dan seterusnya hingga mencapai 45 tahun.19
Model fidyah seperti ini dapat ditemui di Desa Tenajar Lor Kecamatan
Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Memang tidak ada dalil, baik dari al-Qur‟an
maupun hadis, yang mendeskripsikan pembayaran fidyah dilakukan dengan cara
diputar-putar. Masyarakat memahami model fidyah tersebut dari pendapat para
ulama yang ada dalam kitab-kitab fiqh klasik. Salah satu kitab yang dijadikan
pedoman dalam model fidyah ini adalah kitab Iʻānah al-Ṭālibīn dan Tarsyīḥ al-
Mustafīdīn. Dalam kedua kitab tersebut, dijelaskan bahwa tatacara fidyah dapat
dilakukan dengan cara dibolak-balik (daur) untuk memenuhi target umur yang
18
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017. Pukul 11.00 WIB. 19
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017. Pukul 15.00 WIB.
113
harus dibayarkan fidyahnya.20
Secara umum, model fidyah dengan cara dibolak-
balik (geong) ini tergolong sangat langka dan unik. Karena tradisi fidyah salat dan
puasa yang dihitung seumur hidup sebagai iḥṭiyāṭ ini memiliki ketentuan apabila
perempuan, dikurangi masa haid, nifas, dan masa baligh, sedangkan apabila laki-
laki hanya dikurangi masa baligh.21
Terkait dengan pembayaran fidyah, di Indonesia pada umunya
menggunakan bahan makanan pokok berupa beras/gandum sesuai dengan
petunjuk hadis. Pada pelaksanaanya, beras fidyah ditumpuk dan diangkat
menggunakan tambang dengan menggantungkannya di atap rumah. Kemudian
dengan posisi berhadapan, Ahli Waris menyerahkannya kepada Wali dengan
mengayun atau mendorong beras tersebut. Kemudian beras dari Wali diayun
kembali kepada fakir miskin yang telah berhadapan dengannya. Proses ini
dilakukan berkali-kali sesuai dengan jumlah waktu yang telah ditentukan. Dari
ritual tersebut, tradisi ini disebut dengan istilah Geong.22
Namun dalam perkembangannya, sebagian masyarakat Desa Tenajar Lor
saat ini telah banyak yang menggunakan uang untuk membayar fidyah sebagai
pengganti beras. Penggantian ini dilakukan masyarakat sejak tahun 1985 dengan
alasan efektifitas dan keringanan dalam proses pelaksanaan ritual fidyah. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Aziz, bahwa keadaan dan situasi zaman terus
berubah dan berkembang, sehingga telah banyak ulama yang berpikiran moderat.
Ketika ada hadis yang menunjukkan fidyah dengan mud berupa beras, tetapi para
20
Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā al-Dimyāṭī, Iʻānah al-Ṭālibīn (Bairūt: Dār
al-Fikr, T.Th), h. 24, Lihat Pula: Al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad al-Saqāf, Tarsyīḥ al-
Mustafīdīn, (Bairūt: Dār al-Fikr, T.Th.), h. 143 21
Al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad al-Saqāf, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, h. 143 22
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017. Pukul 15.00 WIB.
114
ulama ada yang berpendapat tidak harus mutlak dengan beras, melainkan boleh
dengan uang seharga beras (qimah).23
Kebolehan penggantian beras menjadi uang
ini didasarkan pada pendapat ulama dalam kitab-kitab klasik yang mereka
pelajari. Rokhmat mengungkapkan bahwa ulama yang membolehkan pembayaran
fidyah menggunakan uang seharga beras (qimah) adalah Imam Abu Hanifah
(w.150 H).
“Jadi karena kita pakai cara (fidyah)-nya Abu Hanifah, maka boleh dengan
qimah (pembayaran fidyah dengan uang yang sesuai dengan harga
makanan pokok/beras). Misalnya orang bayar fidyah 6 kwintal untuk 2
bulan, tapi dia merasa berat (secara beban benda) untuk di Geong
(diputar), maka menurut Abu Hanifah, pembayaran dengan qimah ini lebih
diutamakan. Karena lebih ringan. Karena itu, di sini kita pakai caranya
Abu Hanifah. Tapi ada pula yang masih pakai beras, biasanya mereka
pakai cara (fidyah)-nya Imam al-Syafi‟i,”24
ucap Rokhmat.
Pada kesempatan ini, Aziz menceritakan pengalamannya saat melaksanakan
tradisi fidyah (geong) pada hari ketujuh pasca kematian ayahnya. Tradisi tersebut
dihadiri oleh sekitar 30 orang. Saat itu Aziz dan keluarganya menyiapkan uang
sejumlah Rp.2.400.000,00 untuk membayar fidyah utang salat dan puasa ayahnya
selama tiga (3) bulan. Tradisi fidyah tersebut dilakukan pada pukul 20.00 WIB
hingga 23.30 WIB. Tradisi fidyah dimulai dengan penjelasan wali atau pihak
keluarga terkait hukum tradisi fidyah dalam kitab-kitab kuning, seperti I‟ānah al-
Ṭālibīn, dan sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan uang fidyah
dari pihak keluarga kepada wali, kemudian dari wali diserah-terimakan kepada
23
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
Wawancara: Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB. 24
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017. Pukul 11.00 WIB.
115
masyarakat yang hadir secara berulang hingga mencapai waktu yang diinginkan.
Kemudian uang tersebut dikembalikan kepada wali.25
Setelah proses geong selesai, Aziz membagikan uang tersebut kepada warga
yang hadir, masing-masing orang mendapatkan Rp.50.000,00 atau lebih,
sementara untuk wali Rp.100.000.00. Adapun sisanya dibagikan kepada tetangga
seperti anak yatim, janda, dan warga kurang mampu yang tidak hadir pada saat
tradisi tersebut berlangsung. Aziz sadar bahwa yang hadir pada tradisi fidyah
tersebut tidak semua orang yang miskin, melainkan ada yang mampu juga. Oleh
karena itu, Aziz berinisiatif untuk menambahkan uang untuk menutupi hal
tersebut. Selain itu, kriteria masyarakat yang diundang untuk mengikuti tradisi
fidyah tersebut juga harus orang yang lancar untuk mengucapkan ijab qabul pada
prosesi acara berlangsung. Hal ini dilakukan agar proses geong tidak „memakan‟
waktu yang lama.26
Serah-terima fidyah salat misalnya, diucapkan dengan kalimat: “trimaen
yatra kula kanggo fidyahi salate Bapak Apud zaman limalas dina limalas wengi
salat farḍu sewitire” (terimalah uang saya untuk membayar fidyahnya Bapak
Apud selama lima belas hari lima belas malam salat farḍu beserta witirnya).
Kemudian orang yang menerimanya menjawab: “kula terima” (saya terima), dan
dilanjutkan dengan mengucapkan kalimat serah-terima yang serupa, seraya
menyerahkan uang yang diterimanya tersebut. Proses ini berulang sebanyak 22
kali untuk satu orang, sementara orang yang hadir adalah sejumlah 30 orang.
Pengucapan kalimat serah-terima dilakukan dengan cepat dan lancar untuk
25
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB. 26
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB.
116
mengefisienkan waktu. Meski demikian, proses tradisi fidyah tersebut berjalan
selama 3 jam lebih.27
Kitab Rujukan Masyarakat dan Pelaksanaan Tradisi Fidyah dengan
Cara Diputar Bolak-balik (Geong):
27
Hasil observasi proses tradisi fidyah (geong) di rumah Abdul Aziz (warga Desa Tenajar
Lor) pada malam ketujuh pasca kematian ayahnya (Jum‟at, 3 Februari 2017).
117
Sumber: Dokumentasi Pribadi
b. Fidyah Pra-Salat Jenazah
Fidyah sebagai penebus utang salat atau puasa orang yang telah meninggal
memiliki waktu tersendiri dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan fidyah pada waktu
tertentu memiliki motif tersendiri. Sebagaimana di Desa Segeran Kidul,
Kecamatan Juntinyuat, fidyah dilaksanakan sebelum jenazah yang memiliki utang
salat dan puasa disalatkan. Keluarga orang yang meninggal menyiapkan beras
fidyah untuk dibagikan kepada fakir miskin di lingkungan sekitarnya. Menurut
Ust.Shofwan, salah seorang ulama Desa Segeran Kidul, menyebutkan bahwa
motif dari pelaksanaan fidyah sebelum menyalatkan jenazah adalah hadis Nabi
Saw yang mendeskripsikan bahwa Nabi Saw tidak berkenan menyalatkan jenazah
118
orang yang memiliki tanggungan utang sampai ada orang yang melunasinya.28
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī (w.256 H) dari Salamah bin al-Akwaʻ:
ث نايزيدب نأبع ب نإب راىيمحد ث ناال مكي وعرضيالل وعن وقالحد ك سلمةب نال ب ي دعن هاف قال علي ف قالواصل أتبنازة صل ىالل وعلي ووسل مإذ علي وكن اجلوساعن دالن ب ىل
ت ركشي ئاق رىف قالوايارسولالل ودي نقالوالقالف هل الوالفصل ىعلي وث أتبنازةأخ ت ركشي ئاقالواثلثةدنانيفصل ىعل قالف هل علي ودي نقيلن عم هاقالىل هاث صلعلي ي
علي ودي نقالواثلثةدنانيأتبالث الثةف قا ت ركشي ئاقالوالقالف هل هاقالىل لواصلعلي دي نوفصل ىعلي و 29.قالصل واعلىصاحبكم قالأبوق ادةصلعلي ويارسولالل ووعلي
“Telah menceritakan kepada kami al-Makkī bin Ibrāhīm, telah menceritakan
kepada kami Yazīd bin Abī „Ubaid, dari Salamah bin al-Akwaʻ ra berkata:
"Kami pernah duduk bermajelis dengan Nabi Saw ketika dihadirkan
kepadanya satu jenazah, kemudian orang-orang berkata: "Salatkanlah
jenazah ini". Maka Nabi Saw bertanya: "Apakah orang ini punya utang?"
Mereka berkata: "Tidak". Kemudian Nabi Saw bertanya kembali: "Apakah
dia meninggalkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Tidak". Akhirnya Nabi
Saw menyalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain
kepadanya, lalu orang-orang berkata: "Wahai Rasulullah Saw, salatkanlah
jenazah ini". Maka Nabi Saw bertanya: "Apakah orang ini punya utang?"
Dijawab: "Ya". Kemudian Nabi Saw bertanya kembali: "Apakah dia
meninggalkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Ada, sebanyak tiga dinar".
Maka Nabi Saw bersabda: "Salatkanlah saudaramu ini". Berkata, Abu
Qatadah: "Salatkanlah wahai Rasulullah, nanti utangnya aku yang
menanggungnya". Maka Nabi Saw menyalatkan jenazah itu.” (HR. Al-
Bukhārī)
Hadis di atas menunjukkan bahwa utang merupakan mu‟amalah yang wajib
dilunasi oleh orang yang berutang, karena ia akan dipertanggungjawabkan di
akhirat. Ust.Shofwan menegaskan bahwa sebelum seseorang menghadap Allah
Swt, ia diajurkan untuk melunasi semua utang-utangnya di dunia. Karena itu,
apabila orang yang berutang tersebut meninggal dunia, maka disunnahkan bagi
pihak keluarganya untuk melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut
28
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 29
Lihat: Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī, No. Hadis: 2127
119
sebelum ia disalatkan, termasuk melunasi utang salat dan puasa. Ust.Shofwan
berkeyakinan bahwa utang salat dan puasa dapat diganti dengan fidyah sebanyak
satu mud untuk satu waktu salat yang telah ditinggalkan, dan satu mud untuk satu
hari puasa yang telah ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an,
hadis, dan pendapat para ulama fiqh. Menurut Ust.Shofwan, tradisi yang telah
diyakini masyarakat kalangan Nahdliyyin di Desa Segeran Kidul sebagai ajaran
Islam, membuat hampir setiap rumah di desa tersebut melaksanakan tradisi
fidyah.30
Berdasarkan hadis di atas, sebagian masyarakat Desa Segeran Kidul juga
berkeyakinan bahwa pembayaran fidyah sebagai pengganti utang salat dan puasa
orang yang meninggal harus dilunasi sebelum jenazahnya disalatkan. Hal ini
sebagaimana disampaikan Yusroh, salah satu warga Desa Segeran Kidul, bahwa
ia mempercayakan pengurusan fidyah untuk menebus utang salat dan puasa
suaminya yang meninggal kepada ulama setempat, yakni Ust.Shofwan. Adapun
salah satu sunnah yang diyakini ulama setempat berdasakan hadis Nabi Saw di
atas adalah membayar utang sebelum jenazah disalatkan. Karena itu, Yusroh pun
memberikan beras fidyah salat dan puasa kepada tetangganya yang berhak (fakir
miskin) sebelum jenazah suaminya disalatkan. Yusroh menceritakan bahwa utang
salat almarhum suaminya sekitar 15-20 harian, namun ia menggenapkan untuk
membayar fidyahnya sebanyak 30 hari sebagai kehati-hatian.31
Menurut H.Abbas Abdul Jalil, salah seorang tokoh masyarakat Desa
Segaran Kidul, menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Desa Segeran,
30
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 31
Hasil wawancara dengan Yusroh (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada
Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 14.00 WIB.
120
khususnya kalangan Nahdliyyin melaksanakan tradisi fidyah. Masyarakat Desa
Segeran Kidul memang terbagi ke dalam dua jamaah, yaitu Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah. Meski berbeda, masyarakat yang tergolong ke dalam
dua jamaah ini tetap harmonis. Dalam hal ini, tidak ada perdebatan atau
perselesihan dalam kehidupan sosial agama di lingkungannya. Mereka dapat
hidup berdampingan dengan saling menghormati satu sama lain.32
Hal ini juga
diakui oleh H. Zakariya, salah seorang warga Muhammadiyah di Desa Segeran
Kidul, bahwa warga Muhmmadiyah tetap menghormati tetangga yang mengikuti
amalan-amalan NU. Seperti halnya fidyah salat, jamaah Muhammadiyah tidak
mengakui hal tersebut, sementara NU sebaliknya, tetapi masing-masing jamaah
tetap menghormati satu sama lain. Jamaah Muhammadiyah membiarkan warga
Nahdliyyin melakukan amalannya sendiri, seperti fidyah, tahlilan, haul, dan lain
sebagainya, dan jamaah NU pun membiarkan jamaah Muhammadiyah melakukan
amalannya sendiri tanpa saling menyalahkan satu sama lain.33
Tradisi fidyah di Desa Segeran Kidul memiliki dua model, yaitu fidyah yang
dibagikan kepada fakir miskin pada saat sebelum jenazah disalatkan atau dikubur,
dan fidyah yang dibagikan kepada masyarakat miskin pada saat hari ketujuh pasca
kematian seseorang yang bersamaan dengan tradisi tahlilan. Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh H.Abbas bahwa selain model fidyah yang dibagikan sebelum
jenazah disalatkan, ada pula pelaksanaan fidyah di lingkungannya yang dilakukan
pada saat setelah tahlilan. Model fidyah ini akan dijelaskan lebih detail pada
bahasan selanjutnya. Menurutnya, praktik fidyah yang bersamaan dengan tahlil
32
Hasil wawancara dengan H. Abbas Abdul Jalil (Tokoh Masyarakat Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat), pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 19.00 WIB. 33
Hasil wawancara dengan H. Zakariya (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 16.00 WIB.
121
dilaksanakan pada hari ketiga (nelungdina), ketujuh (mitungdina), keempatpuluh
(matangpuluh dina), keseratus (ngatus) atau bahkan hingga keseribu (mendak)
setelah kematian seseorang.34
Pembagian Beras Fidyah Kepada Fakir Miskin Pra-Menyalatkan Jenazah
Sumber:
Dokumentasi
Pribadi
c. Fidyah Pasca-Tahlilan
Tahlilan merupakan tradisi keagamaan yang melekat pada masyarakat
kalangan Nahdliyyin untuk mendo‟akan orang yang telah meninggal. Di Desa
Sliyeg Lor Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu, tahlilan biasanya didampingi
dengan tradisi fidyah salat dan puasa. Model fidyah pasca-tahlilan ini biasanya
dilakukan pada hari ke-7 setelah kematian seseorang. Setiap orang yang diundang
untuk mengikuti tahlilan, diberikan makanan dan beras sebagai penebusan atas
salat dan puasa yang telah ditinggalkan si mayyit. H. Zainuddin, salah seorang
tokoh masyarakat Desa Sliyeg Lor, menyatakan bahwa tradisi membagikan beras
34
Hasil wawancara dengan H. Abbas Abdul Jalil (Tokoh Masyarakat Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat), pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 19.00 WIB.
122
pada saat tahlilan selesai dilaksanakan telah terjadi secara turun temurun di
lingkungannya. Pembagian beras ini diniatkan oleh shahib al-bayt untuk
membayar fidyah salat dan puasa keluarganya yang meninggal dunia.35
Berdasarkan hasil wawancara, tidak semua warga mengetahui asal muasal
munculnya tradisi fidyah dan dalil-dalil yang melandasinya. Sebagian masyarakat
desa tersebut hanya mengikuti tradisi orang tua terdahulu yang mengajarkan untuk
melaksanakan fidyah salat dan puasa setelah kematian seseorang demi
kesempurnaan ibadahnya. Namun sebagian masyarakat yang lain meyakini bahwa
tradisi fidyah tersebut merupakan warisan dari para kyai-kyai setempat yang
pernah belajar ilmu-ilmu keislaman di pesantren, baik al-Qur‟an, hadis, mapun
kitab-kitab fiqh. Tradisi ini kemudian diikuti oleh masyarakat setempat dan
menjadi kebiasaan mereka dalam melaksanakan ritual keagamaan bagi keluarga
orang yang telah meninggal.36
Masyarakat Desa Sliyeg Lor memang dikenal dengan jamiyyah rutinnya.
Jamiyyah rutin yang dilakukan masyarakat desa tersebut hampir setiap hari
dilakukan di rumah-rumah warga secara bergiliran. Hal ini sebagaimana diakui
oleh Ust. Abdurrahman, salah seorang tokoh agama yang sering memimpin
kegiatan jamiyyah di desa tersebut. Ia menuturkan bahwa jam‟iyyah yang
dipimpinnya hanya sekedar jam‟iyyah membaca al-Qur‟an tanpa membedah
makna dari al-Qur‟an itu sendiri. Sehingga pengetahuan warga terhadap ilmu
keislaman yang meliputi aspek al-Qur‟an, hadis, dan fiqh masih dikatakan sangat
35
Hasil wawancara dengan H. Zainuddin (Tokoh Masyarakat Desa Sliyeg Lor, Kec.
Sliyeg), pada Rabu, 26 April 2017. Pukul 14.00 WIB. 36
Hasil wawancara dengan H. Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg), pada Rabu,
26 April 2017. Pukul 15.00 WIB.
123
minim.37
Dengan demikian, menjadi sangat wajar jika pemahaman sebagain
masyarakat tentang fidyah salat dan puasa pun hanya meneruskan tradisi orang tua
terdahulu tanpa mengetahui dalil-dalilnya.
Terkait tentang dalil hukum, Ust. Abdurrahman sendiri menyatakan bahwa
al-Syafi‟i tidak menyebutkan adanya qadha dan fidyah salat bagi orang yang telah
meninggal. Namun karena ada banyak ulama terdahulu yang melaksanakan fidyah
untuk orang yang meninggal, maka hal tersebut menjadi sebuah tradisi (sunnah).
Adapun ukuran fidyah yang harus dibayarkan adalah sebanyak satu mud untuk
satu waktu salat yang ditinggalkan. Pendapat Ust. Abdurrahman tersebut didapat
dari hasil pembacaannya terhadap beberapa kitab fiqh klasik.38
Meski demikian,
Ust. Abdurrahman menganggap bahwa fidyah yang dilakukan pasca-tahlilan di
lingkungannya tersebut dinilai kurang tepat sasaran, karena setiap orang yang
datang dalam kegiatan tahlilan tidak semuanya orang miskin. Ia lebih
menyarankan agar fidyah diberikan langsung kepada fakir miskin, sesuai dengan
perintah al-Qur‟an.39
Pada umumnya, sebagian masyarakat desa tersebut tidak semuanya setuju
dengan adanya fidyah salat, namun tetap menyetujui adanya fidyah puasa, karena
secara qath‟i landasan hukumnya telah dijelaskan dalam al-Qur‟an. Hal ini
sebagaimana disampaikan Widodo, salah seorang warga Desa Sliyeg Lor, bahwa
fidyah salat tidak memiliki landasan hukum, baik dalam al-Qur‟an maupun hadis.
Ia menegaskan bahwa al-Qur‟an dan hadis hanya menyebutkan tentang fidyah
37
Hasil wawancara dengan Ust. Abdurrahman (Tokoh Agama Desa Sliyeg Lor, Kec.
Sliyeg), pada Rabu, 26 April 2017, Pukul 16.30 WIB. 38
Kitab fiqh klasik tersebut di antaranya adalah Nihayah al-Zain: fi Irsyad al-Mubtadi‟in,
I‟anah al-Thalibin, dan Ahkam al-Fuqaha. 39
Hasil wawancara dengan Ust. Abdurrahman (Tokoh Agama Desa Sliyeg Lor, Kec.
Sliyeg), pada Rabu, 26 April 2017, Pukul 16.30 WIB.
124
puasa. Kendati demikian, Widodo tetap menghormati masyarakat setempat
dengan ikut melaksanakan fidyah salat meskipun secara batin menolaknya.40
Hal
ini menjadi wajar karena Widodo merupakan salah satu warga Muhammadiyah
yang tinggal dengan mayoritas masyarakat Nahdliyyin di desa tersebut.
Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah dalam Putusan Tarjihnya tidak
mengakui adanya fidyah salat. Dalam Putusan Tarjih tersebut, dijelaskan bahwa
bila seseorang meninggal dunia, maka semua amalnya telah terputus. Artinya,
kewajiban salat baginya telah berakhir dengan kematiannya tersebut, dan ia tidak
dapat mengganti salat yang pernah ia tinggalkan semasa hidupnya.41
Berbeda
dengan pendapat tersebut, melalui Bahtsul Masail, kalangan Nahdliyyin
membolehkan adanya fidyah salat bagi orang meninggal yang memiliki utang
salat. Dalam Bahtsul Masail disebutkan bahwa orang meninggal yang memiliki
utang salat sebanyak delapan (8) hari diwajibkan membayar fidyah sebanyak
empat puluh (40) mud. Karena delapan hari dikali lima waktu, dan tiap-tiap waktu
satu mud. Pendapat kalangan ulama Nahdliyyin ini didasarkan pada kitab Iʻānah
al-Ṭālibīn.42
Pada praktiknya, masyarakat Desa Sliyeg Lor juga melakukan penghitungan
yang sama, yaitu satu mud untuk satu waktu salat, dan satu mud untuk satu hari
puasa. Berbeda dengan fidyah dalam ritual geong, fidyah salat dan puasa di desa
Desa Sliyeg Lor dihitung dari salat dan puasa yang diketahui ditinggalkan saja.
Dengan kata lain, fidyah salat dan puasanya tidak dihitung seumur hidup. Hanya
40
Hasil wawancara dengan Widodo (Warga Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg), pada Sabtu, 4
Maret 2017. Pukul 16.30 WIB. 41
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab
Agama III (T. Tp.: Suara Muhammadiyah, 2004), h. 59 42
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu (1926) s.d. Ketigapuluh (2000), Jilid I (Jakarta: QultumMedia, 2004), h.
92-93
125
saja, mereka membagikan beras fidyah salat dan puasa tersebut kepada orang-
orang yang mengikuti tahlilan setelah kegiatan tahlilan tersebut usai dilaksanakan.
Proses Pelaksanaan Tahlil dan Fidyah Pasca-Tahlil
Sumber: Dokumentasi Pribadi
126
B. Respons Masyarakat Atas Tradisi Fidyah di Indramayu
Pada pembahasan ini, penulis menelusuri respons masyarakat atas
pelaksanaan tradisi fidyah salat dan puasa di lingkungan mereka. Respons
masyarakat terhadap tradisi fidyah terbagi ke dalam dua golongan, yaitu golongan
yang melaksanakan dan golongan yang tidak melaksanakan tradisi fidyah. Dari
hasil wawancara yang dilakukan kepada kedua golongan tersebut, sebagian
masyarakat ada yang merasa telah menunjukkan sikap ta‟abbud kepada Tuhan,
ada yang merasa biasa-biasa saja, dan bahkan adapula yang merasa terbebani
ketika melaksanakan tradisi fidyah.
1. Respons Masyarakat yang Melaksanakan Tradisi Fidyah
Masyarakat Indramayu yang melaksanakan tradisi fidyah salat dan puasa
untuk anggota keluarga atau kerabatnya yang telah meninggal memiliki
pengalaman yang berbeda-beda. Menurut Rokhmat, fidyah yang ia laksanakan
semata-mata sebagai bukti ia peduli kepada orang tuanya (birr al-walidain) dan
merupakan ibadah (ta‟abbud) kepada Allah Swt. Ia menganggap bahwa salat
seseorang tidak selalu benar, ada yang „bolong-bolong‟, dan lain sebagainya.43
Karena salat merupakan ibadah wajib (farḍu), maka utang salat menurut Rokhmat
harus dibayarkan dengan fidyah. Bahkan dengan keadaan tidak punya beras atau
uang sekalipun, ia tetap menyarankan untuk membayar fidyah. Dalam hal ini,
Rokhmat memberi solusi dengan kebijakan para ulama atau orang yang memiliki
harta lebih untuk memberikan pinjaman uang. Pada saat setelah pelaksanaan
fidyah selesai, uang hasil utang tersebut dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
Dengan kata lain, uang hasil utang tersebut hanya bertujuan untuk menutup utang
43
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB.
127
salat si mayyit, dan tidak sampai memberikan uang hasil utang tersebut kepada
fakir miskin dengan alasan keluarga mayyit adalah orang miskin. Sehingga uang
pinjaman tersebut dapat dikembalikan lagi kepada orang yang meminjamkan.44
Namun Abdul Aziz menegaskan bahwa tradisi fidyah ini pada dasarnya
tidak untuk memberatkan umat Muslim. Ia menceritakan ketika ada tokoh
masyarakat yang menanyakan fidyah si mayyit, sementara keluarga si mayyit
merupakan keluarga yang kurang mampu, maka pertanyaan tersebut tidak
ditanggapi oleh masyarakat. Karena masyarakat lebih mengetahui kondisi
ekonomi keluarga si mayyit dari pada tokoh masyarakat tersebut. Aziz menilai
bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak mempersulit. Karena itu,
apabila ada seseorang yang meninggal dan memiliki utang salat, sementara
keluarganya termasuk keluarga yang kurang mampu, maka masyarakat akan
memaklumi apabila keluarga mayyit tidak melaksanakan tradisi fidyah.45
Dalam hal ini, Aziz dan keluarganya tidak merasa keberatan untuk
membayar fidyah, bahkan berinisiatif untuk menambahkan uang fidyah apabila
terjadi kekurangan. Karena pada umumnya, apabila keluarga mayyit tidak
memiliki beras atau uang, biasanya mereka melaksanakan tradisi fidyah ketika
telah memiliki harta yang cukup untuk melaksanakan tradisi tersebut. Artinya,
tradisi tersebut dapat dilaksanakan kapan saja dan tidak terikat oleh waktu,
sehingga tidak memberatkan bagi mereka yang ingin membayar fidyah. Aziz
sendiri tidak merasa keberatan atau terbebani ketika ia dan keluarganya membayar
fidyah untuk ayahnya yang meninggal. Selain untuk menutupi kekurangan salat
44
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB. 45
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB.
128
dan puasa, tradisi fidyah juga sekaligus Aziz anggap sebagai tradisi sedekah orang
meninggal. Setelah melaksanaan tradisi fidyah, Aziz merasa biasa-biasa saja dan
tidak memilki perasaan apapun.46
Meski demikian, ada juga masyarakat yang merasa „lega‟ setelah
melaksanakan tradisi fidyah. Hal ini karena tradisi fidyah dianggap sebagai
tuntutan, atau suatu tradisi yang harus dilaksanakan oleh masyarakat. Di samping
itu, masyarakat juga merasa tenang dan mengharapkan agar tradisi fidyah yang
dilakukannya diterima oleh Allah Swt sebagai penebusan atas utang salat dan
puasa anggota keluarganya yang meninggal. Perasaan ini yang dialami Yusroh,
salah seorang warga Desa Segeran Kidul. Ia merasa tenang dan lega setelah
melaksanakan tradisi fidyah yang ia serahkan kepada ulama setempat. Dengan
harta yang dimilikinya, ia mengaku tidak keberatan untuk membayar fidyah utang
salat dan puasa suaminya meskipun beras atau harta yang ia miliki terbilang
sedikit.47
Hal senada juga dinyatakan oleh Ust.Shofwan. Ia menegaskan bahwa
membayar fidyah bukanlah suatu hal yang memberatkan. Karena fidyah
merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim karena memiliki
tanggungan utang salat dan puasa. Dengan kata lain, kewajiban fidyah sebanding
dengan kewajiban salat dan puasa, karena fidyah merupakan penebus utang salat
dan puasa. Namun apabila orang yang meninggal merupakan keluarga yang
kurang mampu (miskin), maka ia menyarankan anak atau cucunya yang mampu
agar membayarkan fidyah untuknya. Sehingga Ust.Shofwan menyimpulkan dalam
46
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB. 47
Hasil wawancara dengan Yusroh (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada
Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 14.00 WIB.
129
pelaksanaan tradisi fidyah ini tidak ada unsur yang memberatkan, melainkan suatu
ibadah wajib yang harus dilunasi.48
Pendapat tersebut juga sejalan dengan pernyataan H.Sayyidi. Ia menyatakan
bahwa bagi orang yang mengerti hukum utang, hendaknya wajib untuk dilunasi.
Menurutnya, salat dan puasa adalah suatu kewajiban, maka utang salat dan puasa
juga merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Bahkan, apabila utang
salat dan puasa tidak mampu untuk dibayar dengan fidyah, maka utang ibadah
tersebut dapat dilakukan dengan mengqadhanya. H.Sayyidi menyimpulkan bahwa
hal ini merupakan fleksibiltas Islam dalam memberi solusi terhadap orang
meninggal yang memiliki utang salat dan puasa.49
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa tradisi fidyah merupakan utang yang wajib dilunasi apabila
orang atau keluarga yang berutang telah mampu untuk membayar utang, dan hal
ini dianggap sebagai ibadah. Namun jika ia belum mampu untuk membayar
fidyah, maka kewajiban membayar fidyahnya tersebut dapat ditunda sampai ia
mampu membayarnya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa masyarakat yang
telah terbiasa melaksanakan tradisi fidyah tidak merasa keberatan atau terbebani.
Hal ini karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi keyakinan masyarakat
terhadap tradisi tersebut, yaitu keyakinan bahwa tradisi tersebut adalah ajaran
Islam yang dapat menebus utang salat dan puasa orang yang telah meninggal, dan
bermanfaat bagi masyarakat miskin. Meskipun keluarga si mayyit dalam keadaan
tidak ada biaya untuk melaksanakan tradisi fidyah, masyarakat tetap berniat untuk
48
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat)
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 49
Hasil wawancara dengan H. Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg) pada Rabu,
26 April 2017. Pukul 15.00 WIB.
130
melaksanakannya pada saat mereka telah memiliki uang. Hal ini karena keyakinan
mereka yang begitu kuat terhadap tradisi fidyah.
2. Respons Masyarakat yang Tidak Melaksanakan Tradisi Fidyah
Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat Indramayu tidak semuanya setuju
dengan adanya fidyah salat, terlebih terhadap model fidyah dengan cara diputar
bolak-balik (geong) dan fidyah yang dibagikan pada saat tahlilan. Mereka
menganggap bahwa praktik tersebut terlalu dibuat-buat. Masyarakat Indramayu
pada umumnya hanya menyepakati adanya fidyah puasa. Ketidaksetujuan mereka
terhadap fidyah salat bukan tanpa alasan, karena: Pertama, fidyah dengan model
diputar (geong) tidak memiliki dalil yang kuat, melainkan hanya sekedar tradisi
lokal. Kedua, pada praktiknya, tidak semua yang diundang untuk mengikuti
tradisi fidyah tersebut merupakan orang miskin, melainkan mereka yang sudah
terbiasa mengikuti tradisi dan lancar melafadzkan ijab qabul (akad) dalam fidyah
tersebut. Bahkan ada pula masyarakat yang mampu (aghniyā) yang ikut dalam
pelaksanaan tradisi fidyah. Hal ini menyebabkan fidyah yang seharusnya menjadi
hak orang miskin, menjadi kurang tepat sasaran. Oleh karena itu, mereka lebih
menyetujui jika praktik fidyah tersebut langsung diberikan kepada yang
membutuhkan agar lebih tepat sasaran.50
Hal ini sebagaimana diungkapkan Akhid, bahwa fidyah salat tidak diajarkan
dalam al-Qur‟an dan hadis. Akhid hanya mengakui adanya fidyah puasa,
sebagaimana dicantumkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 184. Menurutnya,
meskipun ada hadis tentang fidyah salat maka hadis itu harus diteliti ulang
50
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya) pada
Selasa, 31 Januari 2017, pukul 20.00 WIB dan Ust. Abdurrahman (Tokoh Agama Desa Sliyeg Lor,
Kec. Sliyeg) pada Rabu, 26 April 2017, Pukul 16.30 WIB.
131
kesahihannya, dan harus diketahui maksud dan tujuan atau asbab al-wurud hadis
tersebut. Karena dosa meninggalkan salat merupakan dosa yang tidak dapat
dihapus dengan fidyah. Ia juga mengira bahwa boleh jadi hadis tersebut terkait
tentang politik atau semacamnya, sehingga hadis itu diragukannya. Ia
berpendirian bahwa salat adalah ibadah yang tidak dapat diganti dengan apapun,
salat wajib dilaksanakan meskipun dalam keadaan sakit, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam hadis Nabi Saw.51
Dengan pendiriannya tersebut, Akhid tidak ingin melaksanakan tradisi
fidyah (Geong) meskipun ada tokoh masyarakat yang menyarankannya. Kendati
demikian, Akhid tidak sepenuhnya menolak tradisi fidyah yang sudah
berkembang sejak dahulu di lingkungannya. Ia tetap menghormati masyarakat
yang melaksanakan tradisi tersebut, dan datang setiap kali diundang untuk
mengikuti tradisi tersebut dengan alasan sosial. Di sisi lain, ia juga meyakini
bahwa tradisi fidyah ini semakin lama akan semakin ditinggalkan oleh
masyarakat.52
Senada dengan pendapat di atas, Widodo juga menganggap bahwa fidyah
salat tidak memiliki dalil, berbeda dengan fidyah puasa yang memiliki dalil kuat
51
Hadis tersebut diriwayatkan dari „Imrān bin Ḥuṣaīn, dengan redaksi sebagai berikut:
ن ث نامم دب نسلي مانال اب نب ري دةحد ال معلمعن حسي مانعن إب راىيمب نطه ث ناوكيععن باري حد كانبالن اصورفسأل تالن ب صل ىالل وعلي ووسل مف قالصل قال رانب نحصي عم ل عن قائمافن
ف علىجن ب. طع تس ل ف قاعدافن طع تس “Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Sulaimān al-Anbārī, telah menceritakan
kepada kami Wakīʻ dari Ibrāhim bin Ṭahmān dari Ḥusaīn al-Muʻallim dari Ibn Buraidah
dari „Imrān bin Ḥushaīn dia berkata; "Aku menderita penyakit wasir, lalu aku tanyakan hal
itu kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda: "Salatlah dengan berdiri, dan apabila kamu
tidak mampu, maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan berbaring.” (HR. Abū
Dāwud) 52
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya) pada
Selasa, 31 Januari 2017, pukul 20.00 WIB
132
dalam al-Qur‟an. Sebagai orang yang hidup di tengah masyarakat yang mayoritas
melaksanakan tradisi fidyah salat dan puasa, Widodo tetap membaur dengan
masyarakat dengan mengikuti tradisi-tradisi keagamaan di lingkungannya. Begitu
pula dengan tradisi fidyah, ia disarankan untuk melaksanakan fidyah salat dan
puasa sebagaimana yang dilakukan „orang tua‟53
terdahulu di lingkungannya.
Secara ekonomi, Widodo merasa terbebani dengan aturan fidyah tersebut karena
harus mengeluarkan ratusan liter beras. Meski demikian, ia tetap mengikuti aturan
„orang tua‟ tersebut dengan alasan sosial, dan fidyah tersebut ia niatkan sebagai
sedekah.54
Bagi sebagian masyarakat yang tidak mempercayai bahwa tradisi fidyah
dapat melunasi utang, khususnya utang salat, mereka merasa terbebani dengan
pelaksanaan tradisi tersebut. Mereka hanya mempercayai adanya fidyah puasa
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur‟an. Perasaan terbebani tersebut
karena setiap waktu salat yang ditinggalkan begitu banyak, sehingga beras yang
harus mereka keluarkan untuk melunasi utang salat pun harus banyak pula.
Sementara pembayaran fidyah telah menjadi tradisi masyarakat terdahulu yang
harus dilaksanakan, sehingga sebagian masyarakat yang tidak mempercayai
tradisi fidyah salat merasa keberatan untuk mengeluarkan beras, apalagi ketika
mereka sedang tidak memiliki biaya untuk melaksanakannya.
Di Indramayu, sebagian besar masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi
fidyah adalah warga Muhammadiyah. Mereka hidup berdampingan dengan warga
Nahdliyyin (NU) yang mayoritas melaksanakan tradisi fidyah. Meski demikian,
53
Peneliti menggunakan kata „orang tua‟ sebagai istilah bagi masyarakat yang dituakan,
atau orang „alim yang memiliki pengaruh di lingkungannya (Kyai). 54
Hasil wawancara dengan Widodo (Warga Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg) pada Sabtu, 4
Maret 2017. Pukul 16.30 WIB.
133
mereka dapat hidup harmonis dan saling menghormati satu sama lain. hal ini
sebagaimana yang disampaikan H.Abbas Abdul Jalil, salah seorang tokoh
masyarakat Desa Segeran Kidul. Ia menyatakan bahwa mayoritas masyarakat
Desa Segeran Kidul, khususnya kalangan Nahdliyyin melaksanakan tradisi fidyah.
Menurutnya, masyarakat Desa Segeran Kidul memang terbagi ke dalam dua
jamaah, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Meski berbeda,
masyarakat yang tergolong ke dalam dua jamaah ini tetap harmonis. Dalam hal
ini, tidak ada perdebatan atau perselesihan dalam kehidupan sosial agama di
lingkungannya, termasuk dalam hal tradisi fidyah. Mereka dapat hidup
berdampingan dengan saling menghormati satu sama lain.55
Hal ini juga diakui oleh H.Zakariya, salah seorang warga Desa Segeran
Kidul, bahwa warga Muhmmadiyah di lingkungannya tetap menghormati
tetangga yang mengikuti amalan-amalan NU. Seperti halnya fidyah salat, warga
Muhammadiyah tidak mengakui hal tersebut, sementara warga NU sebaliknya.
Tetapi masing-masing dari mereka tetap menghormati satu sama lain dengan
membiarkan warga Nahdliyyin melakukan amalannya sendiri dan membiarkan
warga Muhammadiyah pun melakukan amalannya sendiri, tanpa saling
menyalahkan satu sama lain.56
“Kalau ada masyarakat yang melakukan tahlilan, fidyah salat, ya biarkan
saja. Karena bagi kami, fidyah salat itu tidak ada dalilnya, kita hanya
melakukan fidyah puasa sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur‟an.”57
55
Hasil wawancara dengan H. Abbas Abdul Jalil (Tokoh Masyarakat Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat), pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 19.00 WIB. 56
Hasil wawancara dengan H.Zakariya (Salah seorang warga Desa Segeran Kidul,
Kecamatan Juntinyuat) pada Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 16.00 WIB. 57
Hasil wawancara dengan H.Zakariya (Salah seorang warga Desa Segeran Kidul,
Kecamatan Juntinyuat) pada Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 16.00 WIB.
134
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masyarakat yang
berkeyakinan bahwa tradisi fidyah, baik fidyah salat maupun puasa, bermanfaat
bagi si mayyit dan masyarakat miskin, mereka tidak merasa keberatan atau
terbebani dengan melaksanakan tradisi fidyah. Sementara bagi masyarakat yang
berkeyakinan bahwa tradisi fidyah, khsusunya fidyah salat, tidak bermanfaat bagi
si mayyit, mereka merasa keberatan dengan pelaksanaan tradisi tersebut. Namun
respons masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi fidyah, khususnya fidyah
salat, tidak menjadi masalah yang besar di tengah masyarakat yang melaksanakan
fidyah. Mereka dapat saling menghargai keyakinan terhadap pemahaman agama
mereka masing-masing. Artinya, bagi masyarakat yang melaksanakan tradisi
fidyah, mereka tidak sampai membenci atau mengkritik masyarakat lain yang
tidak melaksanakan tradisi tersebut. Sebaliknya, bagi masyarakat yang tidak
melaksanakan tradisi fidyah, mereka tetap menghormati keyakinan masyarakat
terhadap pelaksanaan tradisi fidyah. Hal ini merupakan upaya masyarakat untuk
menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
C. Implikasi Tradisi Fidyah
Tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu dapat dikatakan
sebagai bentuk pengabdian mereka kepada Tuhan. Karena substansi dari tradisi
ini ialah penebusan atas utang salat dan puasa seseorang yang telah meninggal
dengan cara memberikan makanan kepada orang miskin. Dengan mengutip ayat
al-Qur‟an, Rokhmat menegaskan bahwa manusia diciptakan Tuhan tidak lain
hanya untuk beribadah. Karena itu, salat dan puasa merupakan ibadah wajib yang
harus dilaksanakan setiap muslim. Apabila seseorang meninggal dan ia memiliki
utang salat dan puasa, maka sesuai dengan pentunjuk al-Qur‟an, hadis, dan kitab-
135
kitab fiqh, utangnya tersebut dapat diganti dengan membayar fidyah.58
Dengan
demikian, tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu berimplikasi pada
tiga (3) hal yang substantif: Pertama, keyakinan masyarakat terhadap fidyah
sebagai penebusan utang salat dan puasa orang yang meninggal. Kedua, tradisi
fidyah dijadikan sebagai momentum untuk berbagi kepada sesama. Ketiga, tradisi
fidyah dapat meningkatkan kerukunan dan keharmonisan antar masyarakat.
Implikasi yang pertama menunjukkan bahwa utang salat dan puasa orang
yang telah meninggal dapat diganti dengan fidyah. Meski demikian, dengan
adanya tradisi fidyah bukan berarti seseorang boleh meninggalkan salat dan puasa,
dan menggantinya dengan fidyah setelah ia meninggal. Pelaksanaan tradisi fidyah
tersebut atas dasar bahwa setiap manusia dipastikan pernah melakukan kesalahan
dalam hal ibadah, khususnya ibadah salat dan puasa. Oleh karena itu, masyarakat
lebih memilih untuk berhati-hati (iḥtiyaṭ ) apabila ada kesalahan dalam salat dan
puasa yang mereka lakukan semasa hidupnya, terlebih meninggalkan ibadah
tersebut dengan alasan tertentu. Adapun salah satu cara yang dilakukan untuk
menyempurnakan kekurangan salat dan puasa orang yang telah meninggal ialah
dengan membayar fidyah. Amalan tradisi fidyah tersebut, menurut penjelasan
kitab I‟anah al-Thalibin diyakini sebagian besar masyarakat akan sampai kepada
si mayyit.59
Namun sebagian masyarakat yang lain juga mengakui bahwa mereka tidak
mengetahui secara pasti diterima atau tidaknya praktik fidyah yang mereka
lakukan. Mereka hanya bisa berharap agar tradisi fidyah tersebut dapat diterima,
58
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB. 59
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB.
136
dan segala kekurangan salat dan puasa kerabat mereka yang meninggal dapat
dimaafkan dan diampuni Allah Swt.60
Adapun tradisi fidyah yang dilakukan
masyarakat hanya merupakan usaha dan ikhtiyar untuk mendapatkan
kesempurnaan beribadah yang diridhai Tuhan. Sehingga dari beberapa dalil yang
mereka gunakan, baik al-Qur‟an, hadis, maupun kitab-kitab fiqh, menunjukkan
ta‟abbud (pengabdian) mereka kepada Allah Swt secara lahir dan batin dengan
melaksanakan tradisi fidyah.61
Pendapat yang berbeda datang dari Akhid, bahwa dosa meninggalkan salat
tidak dapat dihilangan dengan membayar fidyah, sementara meninggalkan puasa
boleh digantikan dengan fidyah. Kebolehan meninggalkan puasa karena alasan
tertentu dan menggantinya dengan fidyah telah jelas diajarkan dalam al-Qur‟an.
Adapun terkait salat, tidak ada dalil yang membolehkan meninggalkannya karena
alasan apapun. Dengan mengutip pendapat Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkār
dan pendapat ulama tafsir, Akhid lebih cenderung menyatakan bahwa yang dapat
menutupi kekurangan salat seseorang adalah sedekah, bukan fidyah. Namun
sedekah tersebut tidak dapat menghapus dosa meninggalkan salat. Sedekah
menurutnya hanya sekedar membantu menyempurnakan kekurangan salat
seseorang, dan dosa meninggalkan salat tetap ditanggung oleh seseorang yang
meninggalkannya. Apabila ada ulama yang menyatakan bahwa salat dapat diganti
dengan fidyah, maka pernyataan tersebut menurut Akhid „sangat membahayakan‟
dan bahkan „menyesatkan‟. Karena pada prinsipnya salat tidak dapat diganti
60
Hasil wawancara dengan Yusroh (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada
Jum‟at, 28 April 2017, Pukul 14.00 WIB, dan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB. 61
Hasil wawancara dengan Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 30 Januari 2017. Pukul 15.00 WIB.
137
dengan apapun. Salat adalah ibadah wajib yang mesti dilakukan setiap muslim
tanpa alasan apapun.62
Dalam masalah terlunasinya utang salat dan puasa orang yang telah
meninggal, pada dasarnya masih terjadi perdebatan di kalangan masyarakat
Indramayu. Namun sebagian besar masyarakat Indramayu yang meyakini
pendapat ulama klasik dalam kitab-kitab fiqh, seperti I‟ānah al-Ṭālibīn, Nihāyah
al-Zaīn, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, dan sebagainya yang menyatakan bahwa pahala
amalan tradisi fidyah dapat sampai kepada si mayyit. Dengan kata lain, utang salat
dan puasa orang yang meninggal dapat terlunasi dengan membayar fidyah.
Mereka juga meyakini bahwa salat adalah bentuk pengabdian hamba kepada
Tuhannya yang wajib dilaksanakan. Sementara tradisi fidyah salat dan puasa
dilakukan hanya sekedar iḥtiyaṭ apabila ada kekurangan atau kekhilafan dalam
melakukan ibadah farḍu tersebut.
Adapun implikasi fidyah yang kedua menunjukkan kepedulian masyarakat
kepada tetangganya yang kurang mampu (miskin). Tradisi ini dipercaya dapat
membantu masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomi. Meskipun fidyah
yang dibagikan kepada masyarakat miskin tidak terlalu besar, namun dengan
fidyah ini setidaknya dapat meringankan kebutuhan ekonomi keseharian mereka.
Banyaknya warga yang diundang untuk mengikuti tradisi fidyah merupakan
alasan masyarakat membagikan beras atau uang fidyah menjadi tidak banyak,
karena harus dibagi sesuai dengan tingkat ekonomi masyarakat yang hadir.63
62
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya), pada
Selasa, 31 Januari 2017. Pukul 20.00 WIB. 63
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB.
138
Ust.Shofwan menilai bahwa tradisi fidyah memiliki manfaat sosial yang
cukup signifikan. Masyarakat dapat membantu masyarakat lain yang kurang
mampu, misalnya mereka yang tidak memiliki beras akan mendapatkan beras
dengan adanya fidyah. Menurutnya, dengan tradisi fidyah ini tentunya masyarakat
miskin akan merasa terbantu. Bahkan saat ini banyak masyarakat Indramayu yang
bekerja di luar negeri, seperti TKI atau TKW di Arab, Taiwan, Korea, dan
sebagainya, sehingga dengan adanya tradisi ini akan membantu masyarakat
kurang mampu yang ada di sekitarnya.64
Senada dengan pendapat tersebut, Akhid juga menyetujui bahwa tradisi
fidyah dapat membantu masyarakat miskin. Setelah seseorang meninggal,
keluarganya membagikan beras kepada tetangga-tetangga yang kurang mampu.
Tradisi ini dinilai sangat bermanfaat bagi sesama manusia, dan Islam memang
mengajarkan hal demikian. Meski pada praktiknya kurang disetujui karena
diputar-putar dan bolak-balik (geong), Akhid tetap mengapresiasi masyarakat
yang memberikan makanan (membayar fidyah) kepada tetangganya selepas
prosesi pemakaman seseorang dilaksanakan dan disempurnakan dengan tradisi
geong.65
Tradisi ini terus berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat Indramayu
dengan berbagai cara yang diyakininya. Perbedaan cara tersebut didasarkan pada
perbedaan pemahaman masyarakat terhadap teks-teks keislaman dalam al-Qur‟an,
hadis dan kitab-kitab fiqh. Tradisi fidyah dengan memberikan makanan kepada
64
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 65
Hasil wawancara dengan Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya), pada
Selasa, 31 Januari 2017. Pukul 20.00 WIB.
139
fakir miskin dinilai sebagai suatu kebajikan yang dapat menutupi utang salat dan
puasa yang ditinggalkan si mayyit.
Implikasi yang ketiga menunjukkan bahwa tradisi fidyah dapat mempererat
hubungan masyarakat. Melalui tradisi ini, masyarakat dapat berkumpul untuk
saling membantu dan mendo‟akan orang yang meninggal dan keluarganya.
Dengan memberikan makanan, beras, ataupun uang kepada tetangga yang miskin,
menjadikan hubungan mereka semakin erat dan peduli terhadap sesama.66
Hal ini
menurut penulis merupakan hal positif yang harus dipertahankan. Kepedulian
masyarakat terhadap tetangganya patut untuk diapresiasi, karena dengan
membantu tetangga, maka tetangga pun akan membantu mereka pula. Inilah yang
disebut sebagai keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
D. Argumentasi Pelestarian Tradisi Fidyah di Indramayu
Masyarakat Indramayu, khususnya kalangan Nahdliyyin, menyatakan ke-
setujuan mereka terhadap pelestarian tradisi fidyah di lingkungannya. Hal ini
mengingat begitu pentingnya salat sebagai ibadah yang sama sekali tidak boleh
diabaikan. Beberapa argumentasi yang disebutkan atas wawancara dengan
masyarakat Indramayu di antaranya yaitu; melaksanakan wasiat mayyit untuk
membayar fidyah; iḥtiyaṭ (kehati-hatian) masyarakat terhadap ibadah -khususnya
salat dan puasa; menjalankan syariat Islam; menunjukkan sikap birrul walidayn;
dan membantu masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi (fakir miskin).
Dalam penelitian ini, penulis uraikan argumentasi masyarakat untuk melestarikan
tradisi fidyah di lingkungannya.
66
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB.
140
Argumentasi pertama, melaksanakan wasiat mayyit untuk membayar fidyah.
Masyarakat Indramayu yang meyakini adanya fidyah salat dan puasa bagi orang
yang meninggal tidak menutup kemungkinan berwasiat kepada keluarganya untuk
membayar fidyah setelah ia meninggal. Dalam hal ini, wasiat untuk membayar
fidyah memiliki aturan tersendiri dalam kitab Nihayah al-Zaīn dan kitab-kitab
rujukan pelaksanaan fidyah lainnya. Dalam kitab tersebut, dijelaskan bahwa
mazhab Hanafi (al-Ḥanafiyyah) mewajibkan keluarga orang yang meninggal
(wali) apabila mayyit telah berwasiat untuk membayar fidyah dengan ketentuan
membayar beras sebanyak setengah sha‟ untuk setiap waktu salat atau puasa yang
pernah ditinggalkannya. Ulama al-Ḥanafiyyah juga menegaskan bahwa
pelaksanaan fidyah dengan wasiat tidak akan sah apabila orang yang berwasiat
masih dalam keadaan sakit.67
Pandangan ini diyakini masyarakat, khususnya
masyarakat Desa Tenajar Lor, sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan.
Sementara pemahaman masyarakat terhadap karya Al-Sayyid „Alwī yang
mengutip Syarḥ Dar al-Mukhtar, menyebutkan bahwa wasiat membayar fidyah
hanya membayar utang salat yang diketahui ditinggalkan saja. Adapun jumlah
fidyah yang harus dibayar karena wasiat sejalan dengan pendapat ulama al-
Ḥanafiyyah, yaitu sebanyak setengah sha‟ dengan cara bolak-balik sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.68
Dalam hal ini, Rokhmat menyatakan bahwa
sebagian masyarakat di lingkungannya terkadang masih keliru dalam takaran
membayar fidyah karena wasiat, yaitu ada yang tetap dengan takaran satu mud
sesuai petunjuk hadis, dan adapula sebagian masyarakat yang menggunakan
takaran setengah ṣa‟. Menurut Rokhmat, perbedaan pendapat ini terjadi akibat
67
Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī al-
Tāwidī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi‟īn (T.Tp: Syarikah al-Nūr Asiā, T.Th), h. 192-193 68
Al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad al-Saqāf, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, h. 143
141
pemahaman para ulama setempat terhadap hadis dan kitab-kitab fiqh yang kurang
komprehensif. Oleh karena itu, berdasarkan petunjuk kitab-kitab fiqh klasik yang
ia pelajari, fidyah yang harus dibayar karena wasiat adalah sebanyak setengah
ṣa‟.69
Al-Sayyid „Alwī juga menegaskan bahwa ulama atau kyai dilarang untuk
memerintahkan seorang ahli waris yang tidak mengerti untuk membayar fidyah
kecuali mayyit telah berwasiat.70
Oleh karen itu, para ulama dan kyai di
Indramayu dilarang memerintahkan orang yang tidak mengerti („awam) agar
membayar fidyah, kecuali fidyah tersebut merupakan wasiat si mayyit atau iḥtiyaṭ
keluarga si mayyit sendiri. Namun pelaksanaan tradisi fidyah karena wasiat telah
disepakati sebagian besar masyarakat Indramayu sebagai suatu hal yang wajib
dilaksanakan.
Argumentasi kedua, iḥtiyaṭ masyarakat untuk menyempurnakan ibadah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Indramayu
melaksanakan tradisi fidyah sebagai iḥtiyaṭ (kehati-hatian) terhadap kesempurnaan
ibadah salat. Seluruh ulama telah sepakat bahwa salat adalah ibadah farḍu yang
wajib dilaksanakan setiap Muslim. Karena begitu utamanya salat, Rasulullah Saw
tetap mewajibkan bagi orang yang sedang sakit. Hal ini sebagaimana terverbalkan
dalam hadis yang diriwayatkan Imam Abū Dāwud (w.275 H) berikut:
69
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya), pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB. 70
Al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad al-Saqāf, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn, h. 143
142
ال م حسي مانعن إب راىيمب نطه ث ناوكيععن حد ن باري ث نامم دب نسلي مانال علمحد ب ري دة اب ن علي وعن صل ىالل و الن ب فسأل ت الن اصور ب كان قال حصي ب ن ران عم عن
ف علىجن ب طع تس ل ف قاعدافن طع تس ل 71.وسل مف قالصلقائمافن “Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Sulaimān al-Anbārī,
telah menceritakan kepada kami Wakīʻ dari Ibrāhim bin Ṭahmān dari
Ḥusaīn al-Muʻallim dari Ibn Buraidah dari „Imrān bin Ḥushaīn dia berkata;
"Aku menderita penyakit wasir, lalu aku tanyakan hal itu kepada Nabi Saw,
maka beliau bersabda: "Salatlah dengan berdiri, dan apabila kamu tidak
mampu, maka dengan duduk, jika tidak mampu, maka dengan berbaring.”
(HR. Abū Dāwud)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa salat tetap wajib dilaksanakan meskipun
sedang sakit, dengan kompensasi yang didasarkan pada tingkat keparahan
sakitnya. Meski demikian, masyarakat Indramayu menilai bahwa setiap orang
pasti pernah memiliki kesalahan dan kekurangan dalam hal salat. Untuk itu
mereka berusaha menyempurnakan kekurangan ibadah mereka, seperti salat dan
puasa, dengan fidyah sebagai iḥtiyaṭ. Pelaksanaan fidyah tersebut dilakukan
setelah seseorang meninggal dunia. Sikap iḥtiyaṭ ini dilakukan masyarakat
berdasarkan hasil pembacaan mereka terhadap teks-teks keagamaan, seperti al-
Qur‟an, hadis dan kitab-kitab fiqh.72
Argumentasi ketiga, menjalankan syariat Islam. Menurut Ahmad Zaki
Yamani, syariat Islam mencakup seluruh bidang hukum yang telah disusun secara
teratur oleh para fuqaha dalam pendapat-pendapat fiqh mereka tentang berbagai
persoalan di masanya, atau persoalan yang mereka perkirakan akan terjadi di masa
depan, dengan mengambil langsung dalil-dalil dari al-Qur‟an dan hadis, atau
71
Abū Dāwud Sulaymān bin al-Asyʻats al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud (Bairūt: Dār al-
Fikr, 1994), Juz 3, h. 142, No. Hadis: 815 72
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya) pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB, dan Ust. Shofwan (Ulama Desa
Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB.
143
sumber pengambilan hukum seperti ijma‟, qiyās, istiḥsan, istiṣḥab, dan maslaḥah
mursalah.73
Syariat Islam tersebut termasuk persoalan tentang fidyah salat dan
puasa, sebagaimana yang dilakukan masyarakat Indramayu.
Masyarakat Indramayu menganggap bahwa fidyah merupakan salah satu
syariat Islam yang mesti dilakukan bagi orang yang mengerti tentang
ketentuannya. Bahkan, fidyah sebagai penebus salat dan puasa yang pernah
ditinggalkan seseorang dinilai wajib dilaksanakan.74
Meski demikian, sebagian
masyarakat juga ada yang berpendapat bahwa tradisi fidyah bukan suatu
kewajiban apabila keluarga si mayyit merupakan keluarga miskin. Namun pada
umumnya masyarakat menilai bahwa salat dan puasa merupakan ibadah wajib
yang tidak bisa ditawar-tawar, karena telah menjadi ketentuan syariat Islam.
Begitu juga dengan fidyah yang dianggap sebagai pengganti salat atau puasa
apabila telah ditinggalkan seseorang, yaitu harus dilaksanakan apabila keluarga si
mayyit termasuk ke dalam masyarakat mampu. Bahkan, bagi masyarakat miskin
juga tetap dianjurkan untuk membayar fidyah apabila mereka telah mampu. Hal
ini dinilai sebagai pelaksanaan syariat yang diajarkan dalam Islam.75
Pelaksanaan tradisi fidyah tidak lain adalah bukti pengabdian masyarakat
kepada Tuhan. Pengabdian hamba kepada Tuhannya tentu dilakukan melalui
berbagai bentuk syariat yang telah ditentukan dalam Islam. Di antaranya adalah
ibadah salat dan puasa, termasuk pengganti keduanya, yaitu fidyah. Mereka
meyakini bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, sehingga segala bentuk
73
Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini (Jakarta:
Intermasa, 1977), h. 14 74
Hasil wawancara dengan H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), Wawancara:
Rabu, 26 April 2017, Pukul 15.00 WIB. 75
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
Wawancara: Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB.
144
ibadah mestinya dilakukan oleh setiap manusia, termasuk melakasanakan fidyah.
Upaya manusia untuk menyempurnakan ibadah kepada Tuhan dilakukan
berdasarkan petunjuk al-Qur‟an, hadis dan kitab-kitab fiqh yang mu‟tabarah,
termasuk pendapat-pendapat para ulama terdahulu.76
Komitmen masyarakat di atas menunjukkan bahwa pemahaman mereka
terhadap agama dapat dikatakan mendalam. Interaksi manusia dengan Tuhannya
merupakan pokok suatu agama, sebagaimana yang dinyatakan Macmillan
Comendum dalam World Religion. Dengan mengutip pendapat William Temple,
ia menyatakan bahwa pokok agama bukan dilihat dari pengetahuan manusia
tentang Tuhan, melainkan dilihat dari proses manusia berinteraksi dengan
Tuhannya.77
Seperti halnya dalam Islam, salah satu bentuk interaksi manusia
dengan Tuhannya ialah salat dan puasa. Bahkan ketika ibadah puasa tidak dapat
dilakukan karena alasan tertentu, Islam memberikan kompensasi dengan cukup
membayar fidyah, yaitu memberikan makanan kepada fakir miskin.
Argumentasi keempat, menunjukkan sikap birr al-walidaīn. Umar Hasyim
menyatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua ialah berbuat ihsan dengan
melaksanakan kewajiban seorang anak kepada orang tuanya, baik dari segi moril
maupun spiritual, yang sesuai dengan ajaran Islam.78
Bahkan, M.Quraish Shihab
mengungkapkan bahwa berbuat baik kepada orang tua dinilai lebih disukai Allah
daripada melakukan jihad yang lain.79
Adapun bentuk bakti anak kepada orang tua
dapat berupa melakukan perintah orang tua atau mendo‟akan orang tua yang telah
76
Hasil wawancara dengan Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec.
Kertasemaya) pada Kamis, 2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB 77 Macmillan Comendum, World Religion (New York: Simon and Scheuster Macmillan,
1987), h. 929 78
Umar Hasyim, Anak Saleh (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1995), h. 14-15 79
M.Quraish Shihab, Birrul Walidain: Wawasan al-Qur‟an tentang Bakti Kepada Ibu
Bapak (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 84
145
meninggal. Oleh karena itu, salah satu sikap yang ditunjukkan masyarakat
Indramayu kepada orang tuanya yang telah meninggal yaitu melaksanakan tradisi
fidyah. Tradisi ini bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan (utang) salat dan
puasa orang tuanya yang telah meninggal.
Tradisi fidyah di Indramayu telah dilakukan masyarakat secara turun
temurun, khususnya masyarakat Nahdliyyin kalangan santri. Orang tua mereka
dari sejak dulu telah melaksanakan tradisi fidyah, sehingga masyarakat kalangan
santri mengajarkan ketentuan tradisi fidyah kepada anak-anak mereka dengan
berbagai landasan dari kitab-kitab yang pernah mereka pelajari di pesantren.
Bahkan mereka mengajarkan ketentuan tradisi fidyah kepada masyarakat secara
umum melalui pengajian-pengajian umum di masjid-masjid dan mushalla-
mushalla. Oleh karena itu, dengan doktrin Islam yang telah melekat menujukkan
sikap birr al-walidain, masyarakat terus melaksanakan dan melestarikan tradisi
fidyah di kehidupan mereka.80
Argumentasi kelima, tradisi fidyah perlu untuk dilestarikan adalah karena
bermanfaat bagi masyarakat miskin. Dari wawancara yang dilakukan, tradisi
fidyah merupakan suatu kebajikan yang mesti dipertahankan. Tradisi ini dinilai
dapat meningkatkan kebersamaan dan menjaga keharmonisan masyarakat dengan
saling mambantu satu sama lain. Islam mengajarkan untuk saling berbagi meski
dalam keadaan sulit.81
Beberapa argumentasi masyarakat di atas menunjukkan bahwa fidyah yang
mereka lakukan memiliki manfaat positif bagi lingkungan. Masyarakat Indramayu
80
Hasil wawancara dengan Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 20.00 WIB. 81
Hasil wawancara dengan Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya),
pada Senin, 1 Mei 2017. Pukul 23.00 WIB.
146
tetap mempertahankan tradisi fidyah karena banyak hikmah yang dapat diambil
dari pelaksanaan tradisi tersebut. Terlepas dari perdebatan masyarakat tentang
fidyah yang dapat menebus utang salat dan puasa orang yang meninggal,
masyarakat tetap saling menghormati satu sama lain. Dengan tetap
mempertahankan tradisi tersebut, masyarakat dapat saling membantu tetangga
mereka yang miskin. Hal ini tentu dapat membuat hubungan sosial masyarakat
tetap rukun dan harmonis.
E. Kritik terhadap Tradisi Fidyah di Indramayu
Dalam pembahasan mengenai kritik terhadap tradisi fidyah ini, penulis
berusaha mencari „benang merah‟ antara petunjuk hadis dan pelaksanaan tradisi
fidyah oleh masyarakat Indramayu. Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa
kritik terhadap tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu, di antaranya
yaitu; 1) terjadi perbedaan dalam mekanisme penghitungan fidyah, 2)
ketidaktepatan pada orang yang menerima fidyah.
1. Terjadi Perbedaan dalam Mekanisme Penghitungan Fidyah
Tradisi fidyah di Indramayu merupakan tradisi yang melekat di tengah
masyarakat secara turun temurun. Salah satu landasan tradisi fidyah adalah hadis
fidyah salat dan puasa yang diriwayatkan al-Nasā‟ī (w.303 H) berikut:
ينث د حالىقلع دال ب نعدب م مأبن أ قي رنزب وىدوي زا حنث د حالع اللقوح ل اجاج اأنث د ح عناحبربأنب اءطعن ىعسو نموبب ي ا ب نعب اس،قال:ليصليأحدعن
أحد،ولك يط عمعن ومكانأحد،وليصومأحدعن حن طةكلن امن .82ي و ممد
“Telah memberitakan Muḥammad bin „Abd al-Aʻlā, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yazīd yaitu Ibn Zuraīʻ, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Ḥajjāj al-Aḥwal, ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ayyūb bin Mūsā, dari „Aṭā‟ bin Abī Rabāḥ dari „Ibn „Abbās, ia
82
Abū „Abd al-Raḥmān, Sunan al-Nasa‟ī al-Kubrā, Juz 2, h. 175, No. Hadis: 2918
147
berkata: Tidak ada salat seseorang dari orang lain, dan tidak ada puasa
seseorang dari orang lain, tetapi hendaknya memberikan makanan darinya
setiap hari sebanyak satu mud dari gandum.” (HR. Al-Nasā‟ī)
Berdasarkan hadis tersebut, masyarakat Indramayu melaksanakan tradisi
fidyah untuk menutupi kekurangan (utang) salat dan puasa anggota keluarganya
yang telah meninggal. Secara literal, dalam hadis tersebut dikatakan bahwa fidyah
dibayarkan dengan memberikan makanan sebanyak satu mud gandum/ beras
untuk satu hari salat atau puasa yang ditinggalkan. Namun dalam pelaksanaannya,
masyarakat Indramayu membayar fidyah, khususnya salat, satu mud untuk satu
waktu salat yang ditinggalkan, bukan satu mud untuk satu hari salat yang
ditinggalkan. Oleh karena itu, dalam hal ini terjadi perbedaan antara petunjuk
hadis dan pelaksanaan fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu.
Namun berdasarkan informasi yang didapatkan dari wawancara dengan
masyarakat Indramayu, landasan penghitungan satu mud untuk satu waktu salat
yang ditinggalkan tersebut adalah ijma‟ para ulama dalam kitab Iʻānah al-Ṭālibīn
dan Nihāyah al-Zaīn.83
Dengan demikian, masyarakat Indramayu lebih cenderung
mengikuti pendapat para ulama, seperti Ibn Burhān, mazhab al-Syāfiʻī, dan
mazhab al-Ḥanafī, dibandingkan dengan petunjuk hadis fidyah salat dan puasa di
atas dengan alasan iḥtiyaṭ (kehati-hatian). Hal ini juga dikuatkan oleh hasil
Bahtsul Masail di kalangan warga Nahdliyyin, yang dinyatakan bahwa orang
meninggal yang memiliki utang salat sebanyak delapan (8) hari diwajibkan
membayar fidyah sebanyak empat puluh (40) mud. Karena delapan hari dikali
lima waktu, dan tiap-tiap waktu satu mud.84
83
„Alī Nawawī al-Jāwī al-Bantanī, Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi‟īn, h. 192-193 84
Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan, h. 92-93
148
Penghitungan fidyah satu mud untuk satu waktu salat yang ditinggalkan
tersebut juga dikuatkan oleh pendapat al-Zaylaʻī dalam kitab Naṣb al-Rāyah. Ia
menyatakan bahwa para gurunya menganggap setiap waktu salat sama dengan
satu hari puasa.85
Oleh karena itu, jika utang salat si mayyit dalam satu hari
sebanyak lima kali, maka fidyah salat yang harus dibayarkan setiap harinya adalah
sebanyak lima mud.86
Berbeda dengan puasa yang waktunya hanya satu kali
dalam sehari, maka fidyahnya pun hanya satu mud untuk satu hari puasa yang
ditinggalkan si mayyit. Meski demikian, penulis menilai bahwa penghitungan
fidyah salat oleh masyarakat Indramayu dengan cara membayar satu mud beras
untuk satu waktu salat yang ditinggalkan adalah pendapat yang perlu dikaji ulang.
Hal ini mengingat para ulama fiqh yang berpendapat demikian berijtihad dengan
iḥtiyaṭ (kehati-hatian) untuk menutupi kekurangan salat yang ditinggalkan si
mayyit bertentangan dengan petunjuk hadis fidyah di atas.
Dalam Islam, pengambilan sumber hukum pada tingkat pertama adalah al-
Qur‟an, disusul dengan hadis, selanjutnya adalah ijma‟ dan qiyas. Apabila
merujuk pada tingkatan sumber hukum di atas, hadis merupakan tingkat yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ijma‟ dan qiyas. Oleh karena itu, pemahaman
hadis yang menyatakan bahwa jumlah fidyah sebanyak satu mud untuk satu hari
salat atau satu hari puasa merupakan pemahaman yang perlu diutamakan. Artinya,
penghitungan fidyah salat selama satu hari ialah satu mud, bukan lima mud
menurut mazhab al-Syāfiʻī atau bahkan enam mud menurut mazhab al-Ḥanafī.
85 „Abd Allāh bin Yūsuf Abū Muḥammad al-Ḥanafī al-Zaylaʻī, Naṣb al-Rāyah fī Takhrīj
Aḥādīts al-Hidāyah (T.Tp: T.P, T.Th), Juz 4, h. 456 86
Fidyah salat yang mengikuti cara mazhab Hanafi membayar fidyah salat sebanyak
enam mud untuk satu hari salat yang ditinggalkan. Karena mazhab Hanafi menghitung salat witir
sebagai salah satu salat yang juga wajib dibayarkan fidyahnya.
149
Menurut penulis, penghitungan fidyah dengan cara ini juga dapat meringankan
beban masyarakat yang tidak mampu untuk membayar fidyah yang terlalu besar.
Selain itu, tradisi fidyah yang dilakukan dengan cara diputar bolak-balik
(tradisi Geong) juga merupakan cara yang dinilai kurang etis. Karena fidyah
dengan cara tersebut seakan memberi kesan „membohongi‟ Tuhan. Pembayaran
fidyah untuk menutupi kekurangan salat atau puasa yang ditinggalkan seseorang
selama seumur hidup tentu sangat memberatkan bagi keluarga si mayyit. Oleh
karena itu, menurut penulis penghitungannya tidak perlu seumur hidup, namun
cukup dihitung dari salat atau puasa yang diketahui ditinggalkan si mayyit saja.
Hal ini tentu tidak akan memberatkan pihak keluarga si mayyit. Bahkan apabila
pihak keluarga berkenan, jumlah beras atau uang fidyah dapat ditambahkan sesuai
dengan kemampuan pihak keluarga untuk kehati-hatian (iḥtiyaṭ).
Meski demikian, tradisi fidyah ini menurut penulis cukup bermanfaat, baik
bagi orang yang melaksanakan fidyah maupun fakir miskin yang menerima beras
atau uang fidyah. Namun apabila keluarga orang yang meninggal tersebut adalah
keluarga yang kurang mampu (miskin), maka tidak ada kewajiban bagi mereka
untuk melaksanakan fidyah, kecuali mereka telah mampu untuk membayar fidyah.
2. Ketidaktepatan pada Orang yang Menerima Fidyah
Dalam al-Qur‟an dijelaskan bahwa orang yang menerima fidyah ialah orang
miskin, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 184 berikut:
150
184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.
Adapun hadis yang dinyatakan bahwa orang yang menerima fidyah adalah
orang miskin yaitu hadis yang diriwayatkan al-Baihaqī dari Ibn „Abbās, yaitu:
قال رو عم أب ب ن سعيد ال قاضىوأبو سن ال ب ن ر بك أبو ب رنا أخ ال عب اسوقد أبو ث نا حد ب ن رو ح عن سعيد ب رنا أخ عطاء ب ن ال وى اب عب د ب رنا أخ حاق إس ب ن مم د ث نا حد الصم
ران مي مونب نمه كمعن ب نال على رال قاسمعن رجلعناب نعب اس:فام أو أةت وف يت يصومع كيناأو كلي و ممس رف قالاب نعب اس:يط عمعن ومكان رشه ن ووعلي ورمضانونذ
ره 87.ولي ولنذ “Dan telah mengabarkan kepada kami Abū Bakr bin al-Ḥasan al-Qāḍī, dan
Abū Saʻīd bin Abī „Amr, keduanya berkata; telah menceritakan kepada Abū
al-„Abbās al-Aṣam, telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Isḥāq,
telah mengabarkan kepada kami „Abd al-Wahhāb bin „Aṭā‟, telah
memberitakan kepada kami Saʻīd, dari Rawḥ bin al-Qāsim, dari „Alī bin al-
Ḥakam, dari Maimūn bin Mihrān, dari Ibn „Abbās : Ketika ada seorang
perempuan meninggal ataupun laki-laki dan atasnya diwajibkan berpuasa
pada bulan ramadhan dan nadzar selama satu bulan, maka Ibn „Abbās
berkata: Berikan makanan atasnya setiap hari kepada orang miskin atau
berpuasa oleh walinya untuk nadzarnya.” (HR. Al-Baihaqī)
Menurut penulis, tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu
memiliki kekurangan. Salah satunya ialah terkait tentang ketidaktepatan pada
orang yang menerima fidyah. Dalam tradisi Geong (fidyah yang dibolak balik) di
Desa Tenajar Lor, menurut penulis ada sebagian masyarakat yang dinilai mampu,
namun tetap diundang untuk melaksanakan tradisi Geong. Hal ini karena orang
yang mengikuti tradisi tersebut diharuskan oleh orang yang lancar mengucapkan
87
Abū Bakar Aḥmad bin al-Ḥusain bin „Alī al-Bayhaqī, Sunan al-Kubrā (India: Majlis
Dairah al-Ma‟arifah, 1344 H), Juz 4, h. 245
151
ijab-qabul (serah-terima) fidyah, meskipun ia termasuk ke dalam golongan orang
yang mampu. Oleh karena itu, serah-terima fidyah kepada sebagian orang yang
dinilai mampu tersebut menurut penulis adalah kurang tepat sasaran dan tidak
menggugurkan utang salat atau puasa orang yang meninggal. Karena menurut al-
Qur‟an dan hadis di atas, kriteria orang yang menerima fidyah adalah orang yang
miskin, tanpa ada syarat pengucapan yang lancar dalam ritual serah-terima fidyah.
Selain tradisi Geong, tradisi fidyah pasca-tahlilan juga dinilai kurang tepat
sasaran. Karena biasanya masyarakat yang diundang dalam tradisi tahlilan adalah
masyarakat umum, baik yang mampu maupun miskin. Tradisi pembagian beras
fidyah pasca-tahlilan, khususnya di Desa Sliyeg Lor dan Segeran Kidul tidak
membeda-bedakan antara orang yang mampu dan orang yang miskin. Beras
fidyah dibagi rata kepada semua warga yang mengikuti tradisi tersebut. Oleh
karena itu, hal yang perlu diperhatikan ialah jumlah fidyah yang wajib dibayarkan
untuk menutupi utang salat atau puasa orang yang telah meninggal. Apabila beras
fidyah dibagikan pasca-tahlilan, maka jumlah beras yang disiapkan harus
dilebihkan agar beras fidyah tersebut tepat sasaran. Hal ini dapat dilakukan
apabila pihak keluarga yang membayar fidyah tidak merasa keberatan. Namun
apabila merasa keberatan, pembagian beras fidyah kepada fakir miskin dapat
dilakukan pada waktu yang lain.
Berbeda dengan tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat pada saat sebelum
jenazah disalatkan atau dikuburkan. Pada tradisi fidyah tersebut, pihak keluarga
menyiapkan dan membagikan beras fidyah langsung kepada fakir miskin. Hal ini
menurut penulis dapat dikatakan tepat sasaran. Namun apabila fidyah tidak
memungkinkan untuk dilakukan pada saat sebelum jenazah disalatkan, maka
152
pembagian fidyah untuk orang miskin dapat dilakukan pada waktu yang lain
hingga pihak keluarga telah siap melaksanakannya.[]
153
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:
1. Ada tiga pandangan ulama tentang fidyah salat dan puasa bagi orang
meninggal. Pada fidyah salat bagi orang meninggal, ada tiga pendapat; 1)
Imam al-Syāfiʻī dan Imam al-Syibrāmalisī, mereka menyatakan bahwa tidak
ada fidyah dan qaḍā’ salat bagi orang meninggal. 2) Ibn Abī ‘Iṣrūn, Ibn
Daqīq al-‘Aīd, dan Imam al-Subkī, mereka menyatakan bahwa tidak wajib
fidyah, namun wajib qaḍā’ salat untuk orang yang meninggal. 3) Ibn
Burhān, Aṣḥāb al-Syāfiʻī, dan al-Ḥanafiyyah, mereka menyatakan bahwa
tidak wajib qaḍā’ salat, namun wajib fidyah. Adapun pada fidyah puasa bagi
orang meninggal, ada empat pendapat; 1) Imam Mālik menyatakan bahwa
tidak wajib qaḍā’ puasa, dan tidak wajib fidyah oleh walinya, kecuali ada
wasiat, 2) Imam Abū Ḥanīfah menyatakan bahwa wajib qaḍā’ puasa atau
fidyah oleh walinya, 3) Imam al-Syāfiʻī dan Imam Aḥmad bin Ḥanbal,
mereka menyatakan bahwa tidak wajib qaḍā’ puasa, namun wajib fidyah
oleh walinya.
2. Tradisi fidyah muncul dan berkembang di Indramayu pada awal abad ke-19
melalui para santri yang menimba ilmu di berbagai pesantren di Pulau Jawa.
Tradisi ini dilakukan masyarakat Indramayu secara turun temurun dan
ditransmisikan kepada masyarakat luas melalui pengajian-pengajian rutin di
pesantren, masjid dan musala. Tradisi fidyah juga dinilai kokoh karena terus
dilestarikan para orang tua dan dilanjutkan oleh anak-anaknya.
154
3. Masyarakat Indramayu memahami hadis fidyah salat dan puasa sebagai
iḥtiyaṭ (kehati-hatian) untuk menebus utang salat dan puasa orang yang
telah meninggal. Pemaknaan masyarakat terhadap literatur keagamaan,
khususnya hadis, ditemukan tiga (3) fenomena living hadis fidyah, yaitu; 1)
fidyah dengan cara membolak balik beras atau uang (Geong), 2) fidyah
dengan membagikan beras kepada fakir miskin sebelum jenazah disalatkan
dan dimakamkan, dan 3) fidyah dengan membagikan beras pasca tahlilan.
Pelaksanaan tradisi fidyah di Indramayu pada umumnya dilakukan pada
malam ke-7 kematian seseorang.
B. Rekomendasi
Dari penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan banyak khazanah
tradisi keislaman yang dilakukan masyarakat Indramayu. Tradisi-tradisi keislaman
tersebut merupakan tradisi yang mesti dilestarikan dengan catatan harus sesuai
dengan petunjuk hadis. Penulis meyakini bahwa Islam diterima, menyatu dan
melekat melalui tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat Indramayu.
Penelitian ini masih dapat dikembangkan melalui berbagai metode dan objek
kajian yang diamati. Oleh karena itu, peneliti memberikan rekomendasi sebagai
berikut:
1. Bagi masyarakat Indramayu, khususnya ulama atau masyarakat kalangan
santri yang akan melaksanakan tradisi fidyah, hendaknya memberikan
penjabaran atau wawasan kepada masyarakat umum tentang landasan tradisi
fidyah dalam Islam sebelum pelaksanaan tradisi fidyah dimulai dengan
catatan sebagai berikut:
155
a) Hadis fidyah salat dan puasa merupakan hadis yang sahih. Dalam Islam,
sumber hukum dari hadis lebih utama dibandingkan dengan ijma’ dan
qiyas. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi fidyah hendaknya sesuai
dengan petunjuk hadis fidyah salat dan puasa.
b) Menurut petunjuk hadis, ketentuan fidyah yaitu satu mud untuk satu hari
salat atau puasa yang ditinggalkan si mayyit, bukan satu mud untuk satu
waktu salat yang ditinggalkan si mayyit. Hal ini juga akan meringankan
beban bagi pihak yang membayar fidyah apabila mereka tidak mampu
membayar fidyah dalam jumlah yang banyak.
c) Apabila pelaksanaan fidyah menggunakan qimah (beras yang
dikonversikan dengan uang yang senilai beras), maka takaran mud yang
digunakan ialah mud-nya mazhab Hanafi, yaitu 1.072 Gram (± 1 Kg).
Karena mazhab yang membolehkan membayar fidyah dengan uang ialah
madzhab Hanafi. Hal ini dilakukan sebagai iḥtiyaṭ (kehati-hatian) agar
tidak jatuh pada talfiq (hanya mencari yang gampang dan tidak satu
qaḍiyah). Oleh karena itu, apabila harga beras 1 Kg adalah Rp.10.000,-
maka jumlah fidyah yang harus dibayar per-mud-nya ialah minimal
Rp.10.720,-. Namun apabila nilai harga tersebut dilebihkan, maka akan
lebih baik.
d) Salat dan puasa pada dasarnya merupakan ibadah yang tidak boleh
ditinggalkan oleh seluruh umat Muslim. Seseorang diharamkan
meninggalkan salat atau puasa dengan niat dapat diganti dengan fidyah
setelah ia meninggal.
156
2. Bagi para peneliti kajian ilmiah yang melakukan penelitian di lapangan
terkait tradisi keislaman, hendaknya mengembangkan kajian yang diamati
secara komprehensif dan efisien.
3. Bagi Fakultas Ushuluddin, kajian keislaman yang melibatkan tradisi di
masyarakat sebagai fenomena living hadis hendaknya diadakan sebagai
salah satu mata kuliah untuk menguatkan pengalaman dan pendalaman
wawasan ilmu akademik mahasiswa pada Program Magister Tafsir Hadis
UIN Jakarta.
157
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadis: Versi Muhaddisin dan Fuqaha. Yogyakarta:
Teras, 2004.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya.
Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Aini, Adrika Fithrotul “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis
Shalawat Diba‟ Bil-Mustofa,” dalam Jurnal Ar-Raniry: International
Journal of Islamic Studies Vol. 2, No.1, Juni 2014.
Al-„Alā‟ī, Abū Saʻīd bin Khalīl bin Kaykaldī Abū Saʻīd. Jāmiʻ al-Taḥṣīl fī Aḥkām
al-Marāsīl, Muḥaqqiq: Ḥamidī „Abd al-Majīd al-Salafī. Bairūt: „Ālim al-
Kutub, 1986.
Amin, M. Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
2002.
Amirin, Tatan Maupun. Metodologi Riset. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat UIJ, 1979.
Anwar, M. Khoiril. “Living Hadis” dalam Jurnal Farabi Volume 12, Nomor 1,
Juni 2015.
Apipudin, Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke-17.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010.
Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi. Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Al-Asqallānī, Ibn Ḥajar. Fatḥ al-Bārī, Penerjemah: Amir Hamzah. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Al-Baghdadi, Zain al-Din Abī al-Faraj „Abd al-Raḥman bin Ahmad (Ibn Rajab al-
Hanbali), Syarah ‘Alal al-Tirmidzī li Ibn Rajab, Juz 1. Muhaqqiq: Nur al-
Din „Itr dan Hamām „Abd al-Rahim Sa‟id. Riyadh: Maktabah al-Rasyad,
2001.
Al-Baghdadi, Zain al-Din Abī al-Faraj „Abd al-Raḥman Ibn Syihab al-Din (Ibn
Rajab), Fath al-Bari li Ibn Rajab, Juz 3. Muhaqqiq: Abu Mu‟adz Thariq
ibn „Awdh Allah bin Muhamad. Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzi, 1422 H.
Al-Ba‟lī, Muḥammad ibn Abī al-Fatḥ. al-Maṭli’ ‘ala Abwāb al-Fiqh. Bairūt: al-
Maktab al-Islāmī, 1981.
158
Al-Bayhaqī, Abū Bakar Aḥmad bin al-Ḥusain bin „Alī. Sunan al-Kubrā, Juz 4.
India: Majlis Dairah al-Ma‟arifah, 1344 H.
Bāz, Syaikh „Abd al-„Azīz bin „Abd Allāh bin. Fatwa-fatwa Terkini, Penerjemah:
Musthofa Aini, dkk. Jakarta: Darul Haq, 2003.
Bizawie, Zainul Milal. Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan
Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan
Islam dan Tradisi (1645-1740). Yogyakarta: SAMHA, 2002.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999.
Al-Bukhārī, Abū „Abd Allāh Muḥammad bin Ismāʻīl bin Ibrāhīm. Al-Jāmiʻ al-
Bukhārī (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī). Bairūt: Dār al-Fikr. T.th.
Comendum, Macmillan. World Religion. New York: Simon and Scheuster
Macmillan, 1987.
Creswell, Jhon W. Research Design: Qualitative & Quantitative Aproach.
California: Sage Publication Inc, 1994.
Al-Dārimī, Abū Muḥammad „Abd Allāh bin „Abd al-Raḥmān bin al-Faḍal bin al-
Bahrām. Sunan al-Dārimī, Juz 5. Kairo: Dār al-Fikr, 1978 M./1398 H.
Al-Tirmidzī, Abū ʻĪsā Muḥammad bin ʻĪsā bin Sawrah Ibn Mūsā. Sunan al-
Tirmidzī. Juz 3. Muḥaqqiq: Aḥmad Muḥammad Syākir, dkk. Bairūt: Dār
Iḥyā‟ al-Turāts al-„Arabī, T.Th.
Data Sebaran Jumlah Umat Per-Kabupaten Tahun 2016, Bimbingan Masyarakat
(Bimas) Islam Kementerian Agama Kabupaten Indramayu.
Al-Dimyāṭī, Abī Bakr Ibn al-Sayyid Muḥammad Syaṭā. Iʻānah al-Ṭālibīn. Bairūt:
Dār al-Fikr, T.Th.
Al-Dzahabī, Syamsuddin Abu „Abd Allah Muhammad bin Ahmad. Siyar Aʻlām
al-Nubalā, Muḥaqqiq: Syuʻaīb al-Arnā‟ūṭ. Bairūt: Mu‟assasah al-Risalah,
1982.
Effendi, Djohan. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan
di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gusdur. Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
Goldziher, Ignaz. Muslim Studies, Translater: S.M. Stern & C.R. Barber. London:
George Allen & Unwin, 1971.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis: Menurut al-Qur’an, al-Sunnah, dan
Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999.
159
Hadi, Amirul & H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia, 1998.
Al-Ḥanafī, Ibn Abī al-„Izz. Syarḥ al-‘Aqīqah al-Ṭaḥāwiyyah. Riyāḍ: Dār „Alam
al-Kutub, 1997 M./1418 H.
Al-Ḥanafī, Ṣadr al-Dīn Muḥammad bin „Alā‟u al-Dīn bin Muḥammad bin Abī al-
„Izz. Syarḥ al-‘Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah. Taḥqīq: Aḥmad Syākir. Riyāḍ: Dār
„Alam al-Kutub, 1997 M./1418 H.
Hasyim, Umar. Anak Saleh. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1995.
Hata, Nur. “Babad Darmayu: Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu
terhadap Kolonialisme pada Awal Abad ke-19” dalam Jurnal Manuskripta,
Vol. 2, No. 1, 2012.
Irham, “Pelaksanaan Fidyah Puasa oleh Ahli Waris untuk Keluarga yang
Meninggal Dunia Ditinjau Menurut Hukum Islam (Studi Di Kepenghuluan
Bagan Punak Pesisir Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir),” Skripsi
S1 Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau,
2011.
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Al-Rūḥ. Bairūt: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1975
M./1395 H.
Junaedi, M. Rofiq. “Hadis dalam Tradisi: Studi Analisis terhadap Peziarah
Makam KH. Abdurrahman Wahid.” Tesis S2 Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012.
Al-Kandhalawi, Maulana Mauhammad Zakariya. Kitab Talim: Himpunan Kitab
Fadhilah Amal, Penerjemah: Maulana Ahmad Syaifudin, dkk. Bandung:
Pustaka Zaadul Ma‟aad, T.Th.
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia,
1977.
Al-Lahīmīd, Sulaimān Muḥammad. I’ānah al-Muslim fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Juz
1. Arab Saudi: al-Rufaḥa‟, T.Th.
M.Abd. Muin. dkk, Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat. Jakarta:
CV.Prasasti, 2007.
Al-Manbajī, Imam Abī Muḥammad „Alī bin Zakariyā. Al-Lubāb fi al-Jam’i Baina
al-Sunnah wa al-Kitāb, Juz 1. Tahqīq: Muḥammad Faḍl „Abd al-„Azīz al-
Murād. Damaskus: Dār Qalam, 1994 M./1414 H.
Al-Maqdisī, Syaīkh Rāmī bin Muḥammad Jibraīn Salhab Abū al-Ḥasan. al-Qiyās
fī al-‘Ibādāt wa Taṭbīqātuhu fī al-Madzhab al-Syāfiʻī. Bairūt: Dār Ibn
Ḥazm, 2010 M./1431 H.
160
Masyhuri, Abdul Aziz. Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama Kesatu (1926) s.d. Ketigapuluh (2000), Jilid I. Jakarta:
QultumMedia, 2004.
Metcalf, Barbara D. “Living Hadith in the Tablīghī Jama‟āt,” dalam The Journal
of Asian Studies, Vol. 52, No. 3, Agustus 1993.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Muhaimin, A.G. The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among
Javanese Muslims. Jakarta: Religious Research and Development, and
Training, 2004.
Muhammadiyah, Hilmy dan Fatoni, Sulthan. NU: Identitas Islam Indonesia.
Jakarta: eLSAS, 2004.
Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam terhadap Isu-
isu Aktual. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Musadad, Asep Nahrul. “Menyoal Fikih Islam dan Studi Hadis: Dari Relasi
Historis-Organik ke Segregasi Epistemologis”, dalam Epistemé, Vol. 10,
No. 1, Juni 2015.
Al-Naʻīm, „Abd Allah Aḥmad. Dekonstruksi Syariah, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan Amirudin al-Rany. Yogyakarta: LKis, 2004.
Al-Nasā‟ī, Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin ibn Syuʻaīb. Sunan al-Nasā’ī bi
Syarḥ al-Suyūṭī wa ḥāsyiyah al-Sanadī. Juz 4. Bairūt: Dār al-Ma‟rifah,
1420 H.
Nashir, Ibnu Abi. Kamus Induk Ibadah Terlengkap dari A-Z. Yogyakarta: Citra
Risalah, 2012.
Al-Nawāwī, Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syarf. Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 1. Bairūt:
Dār al-Fikr, T.Th.
Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
Universy Press, 1991.
Nor, Mohd Roslan Mohd dan Hasani, Cecep Miftahul. “Sumbangan Syarif
Hidayatullah dalam Penyebaran Pendidikan Agama Islam di Jawa Barat”,
dalam Jurnal At-Ta’dib, Vol. 12, No. 1, Juni 2017.
Nuh, Nuhrison M. “Dinamika Perkembangan Keagamaan Komunitas Dayak
Hindu-Budha Bumi Segandu di Indramayu Jawa Barat” dalam Ahmad
Syafii Mufod (Ed.), Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal
di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012.
161
Nurlelasari, Dini. “Mencari Jejak Wiralodra di Indramayu”, dalam Buletin Al-
Turas: Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama - Vol. XXIII No.1,
Januari 2017.
O‟dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: Rajadrafindo Persada, 1995.
Partanto, Pius A. dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 1994.
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian, Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Al-Qādī, Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb ibn „Alī ibn Sinān ibn
Bahr al-Khurasānī. Sunan al-Nasa’ī al-Kubrā, Muḥaqqiq: „Abd al-Ghaffār
Sulaymān al-Bandārī, Juz 2. Bairūt: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1991
M/1411 H.
Al-Qāḍī, Abū „Abd al-Raḥmān Aḥmad bin „Alī ibn Syuʻaīb ibn „Alī ibn Sinān ibn
Bahr al-Khurasānī. Sunan al-Nasā’ī. Juz 8. Bairūt: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1411 H.
Al-Qurṭubī, Abū „Amr Yūsuf bin „Abd Allah bin Muḥammad bin „Abd al-Bar bin
„Āṣim al-Namirī. Al-Tamhīd limā fi al-Muwaṭṭa’ min al-Ma’ānī wa al-
Asānīd, Juz 9. Muḥaqqiq: Muṣtafā bin Aḥmad al-„Alawī dan Muḥammad
„Abd al-Kabīr al-Bakrī. T.Tp: Muassasah al-Qurṭubih, T.Th.
Al-Qurṭubī, Abū „Amr Yūsuf bin „Abd Allah bin Muḥammad bin „Abd al-Bar bin
„Āṣim al-Namirī. Al-Istidzkār al-Jāmi’ li Madzāhib Fuqahā al-Amṣār, Juz
3. Muḥaqqiq: Sālim Muḥammad „Aṭā. Bairūt: Dār al-Kitāb al-„Ilmiyyah,
2000.
Al-Qurṭubī, Abū „Abd Allah bin Muḥammad bin Aḥmad bin Abi Bakr bin Farh.
Tafsir al-Qurṭubī, Jilid 2. Penerjemah: Fathurrohman dan Ahmad Hotib.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Al-Qurṭubīy, Abū „Abd Allah bin Muḥammad bin Aḥmad bin Abi Bakr bin Farh.
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Damaskus: al-Majmu‟ al-Ilmi al-„Arabi,
1952.
Al-Qusyairī, Abū Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 2. Bairūt: Dar
al-Jail, T.Th.
Rahman, Fatchur. Ikhtisār Muṣṭalaḥ al-Ḥadīts. Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1974.
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1994.
Rahmat, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999.
162
Al-Razī, Imam Muḥammad. Mukhtar al-Ṣiḥah. Libanon: Maktabah Lubnan,
1989.
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia, 1983.
Ricklefs, M. C. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan
Perkembangannya dari 1930 sampai sekarang, Penerjemah: FX Dono
Sunardi dan Satrio Wahono. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013.
Rusyd, Ibn. Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah: Beni Sarbeni, dkk. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006.
Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah, Juz I. Bairūt: Dār al-Fikr, 1983.
Ṣāliḥ, Ṣubḥi. Ulūm al-Ḥadīts wa Musṭalaḥuhu. Bairūt: Dār al-„Ilm li al-Malāyīn,
1988.
Al-Ṣanʻānī, Muḥammad bin Ismaʻīl al-Amīr al-Kaḥlānī. Subul al-Salām. T.Tp:
Maktabah Muṣtafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1960 M./ 1379 H.
Al-Saqāf, Al-Sayyid „Alwī Ibn al-Sayyid Aḥmad. Tarsyīḥ al-Mustafīdīn. Bairūt:
Dār al-Fikr, T.Th.
Shihab, M.Quraish. Birrul Walidain: Wawasan al-Qur’an tentang Bakti Kepada
Ibu Bapak. Tangerang: Lentera Hati, 2014.
Al-Sibaʻī, Mustafa. Al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī al-Islāmī, Bairūt: Dār
al-Warraq, 1998.
Al-Sijistānī, Abū Dawūd Sulaymān bin al-Asyʻats. Sunan Abī Dawūd. Bairūt: Dār
al-Kitāb al-„Arabī, T.Th.
Sistem Informasi (EMIS) Data Lembaga Pontren-Umum Ganjil TP 2016-2017,
PD Diniyah dan Pontren Kementerian Agama Kabupaten Indramayu.
Sofwan, Nurkholis. “Implementasi Hadis Hak dan Kewajiban Bertetangga di
Desa Tenajar Lor – Indramayu,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Spradley, James P. Metode Etnografi, Penerjemah: Misbah Zulfah Elizabeth.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Statistik Kependudukan, Pemeluk Agama, dan Tempat Peribadatan, Kementerian
Agama Kabupaten Indramayu Tahun 2016.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung:
Rosdakarya, 2003.
Suryadi dan Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Metodologi Penelitian Hadis.
Yogyakarta: TH-Press dan Teras, 2009.
163
Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dalam Metodologi Penelitian
Living Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2007.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Suryadilaga, M. Alfatih. Aplikasi Penelitian Hadis: Dari Teks ke Konteks.
Yogyakarta: Teras, 2009
Suryadilaga, M. Alfatih. Implementasi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis, dalam Islamic Studies; Paradigma Integrasi-interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: UIN Suka Press, 2007.
Sutopo. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret,
1988.
Al-Ṭaḥāwī, Abū Jaʻfar Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah bin „Abd al-Malik
bin Salamah al-Azdī al-Ḥujrī al-Miṣrī al-Maʻrūf bi. Musykil al-ātsār li al-
Ṭaḥāwī. Juz 5. T.Tp: T.P, T.Th.
Taimiyah, Ibn. Majmu’ al-Fatawa. Jilid 24. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978.
Al-Tāwidī, Ibn „Abd al-Muʻṭā Muḥammad bin „Umar bin „Alī Nawawī al-Jāwī al-
Bantanī. Nihāyah al-Zaīn: fī Irsyād al-Mubtadi’īn. T.Tp: Syarikah al-Nūr
Asiā, T.Th.
Thohari, Fuad “Mengungkap Istilah-istilah Khusus dalam Tiga Rumpun Kitab
Fikih Syāfi„iyyah,” dalam Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya
Jawab Agama III. T.Tp.: Suara Muhammadiyah, 2004.
Umam, Khaerul. “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal pada Masyarakat Agraris
(Pengalaman Petani Klutuk di Kabupaten Indramayu),” dalam Jurnal
Universum Vol. 9, No. 2. Juli 2015.
Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
Penerjemah: Hairus Salim HS. Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Yamani, Ahmad Zaki. Syariat Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini.
Jakarta: Intermasa, 1977.
Yaqub, Ali Mustafa. “Fidyah Shalat untuk Orang Meninggal,” di akses dari
http://tebuireng.online/fidyah-shalat-untuk-orang-meninggal/ pada 9 Juni
2017.
Al-Zaylaʻī, „Abd Allāh bin Yūsuf Abū Muḥammad al-Ḥanafī. Naṣb al-Rāyah fī
Takhrīj Aḥādīts al-Hidāyah. Juz 4 dan 2. T.Tp: T.P, T.Th.
Al-Zuḥailī, Wahbah bin Muṣtafā. Tafsir al-Munīr. Juz 2. Bairūt: Dār al-Fikr, 1418
H.
164
Al-Zuḥailī, Wahbah. Puasa dan Itikaf: Kajian Berbagai Mazhab, Penerjemah:
Agus Efendi dan Bahruddin Fannany. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam, Jilid II. Jakarta: Rajawali, 1992.
Zurinal Z. dan Aminuddin, Fiqih Ibadah. Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2008.
WAWANCARA
Abdul Aziz (Warga Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya), pada Senin, 1 Mei
2017. Pukul 23.00 WIB.
Akhid (Warga Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya), pada Selasa, 31 Januari
2017.
H.Abbas Abdul Jalil (Tokoh Masyarakat Desa Segeran Kidul Kec. Juntinyuat),
pada Kamis, 27 April 2017, Pukul 19.00 WIB.
H.Zainuddin (Tokoh Masyarakat Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg), pada Rabu, 26
April 2017. Pukul 14.00 WIB.
H.Zakariya (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada Jum‟at, 28 April
2017, Pukul 16.00 WIB.
H.Sayyidi (Warga Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu, 26 April 2017, Pukul
15.00 WIB
Kyai Badrudin (Ulama Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya), pada Senin, 30
Januari 2017, Pukul 15.00 WIB.
Mahya Hasan (Kepala Seksi PD Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian
Agama Kab. Indramayu), pada Kamis, 2 Maret 2017.
Rokhmat (Tokoh Masyarakat Desa Tenajar Lor, Kec. Kertasemaya), pada Kamis,
2 Februari 2017, Pukul 15.00 WIB.
Ust. Abdurrahman (Ulama Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg), pada Rabu, 26 April
2017, Pukul 17.00 WIB
Ust. Shofwan (Ulama Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada Kamis, 27
April 2017, Pukul 20.00 WIB.
Widodo (Warga Desa Sliyeg Lor, Kec. Sliyeg), pada Sabtu, 4 Maret 2017, pukul
16.00 WIB.
Yusroh (Warga Desa Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat), pada Jum‟at, 28 April
2017. Pukul 14.00 WIB.
HASIL WAWANCARA
A. Identitas Informan
Nama : Rokhmat (Tokoh Masyarakat)
Umur : 55 Tahun
Alamat : Desa Tenajar Lor Kec. Kertasemaya
Waktu Wawancara : Kamis, 2 Februari 2017
B. Pertanyaan
1. Kitab apa yang Anda jadikan pedoman dalam pelaksanaan fidyah shalat
dan puasa bagi orang yang telah meninggal?
JAWAB: Di kitab Nihayah al-Zain ada, atau I’anah al-Thalibin juga
ada, kalau tentang masalah ihtiyath (kehati-hatian) dalam fidyah shalat
itu ada di kitab Tarsikh al-Mustafidin. Jadi ajaran fidyah (shalat) itu
asalnya ada yang wajib karena wasiat, dan ada pula yang ihtiyath dari
kelurga mayit. Kitab Muzairomi juga ada, dibahas.
2. Bagaimana Anda memahami Geong di kitab tersebut?
JAWAB: Pada zaman-zaman awal tradisi Geong itu, pada zamannya Ki
Hasbullah, tradisi Geong itu hanya sekedar menjalankan ihtiyat (kehati-
hatian). Karena madzhab yang kita anut, khususnya orang Indonesia,
khusunya lagi orang Cirebon, Indramayu di sini tidak ada orang shalat
yang shalatnya dengan cara Imam Hanafi. Cara yang digunakan adalah
cara shalatnya Imam al-Syafi’i. Karena cara (shalat)nya Imam al-Syafi’i,
maka perkara Geong ini tidak diperintahkan, yang ada hanya fidyah
(puasa). Kalau dengan cara Imam al-Syafi’i, jika orang itu meninggal ya
meninggal saja, karena Imam al-Syafi’i berkata: man mata wa ‘alaihi
shalatu fardhin lam tuqdha wa lam tufid. Contohnya apabila ada
seseorang meninggal dunia memiliki tanggungan shalat, ya sudah, tidak
usah di qadha dan tidak usah difidyah. Tapi jika mengikuti cara Abu
Hanifah, karena saking pentingnya shalat itu ada dua faktor: Faktor
pertama, menunjukkan sikap wajib bayar fidyah apabila si mayyit saat
masih hidup mengeluarkan wasiat untuk fidyah. Faktor kedua, jika si
mayyit tidak mengeluarkan wasiat berarti ihtiyat (dari pihak
keluarga/wali).
3. Di mana Anda mempelajari kitab tersebut?
JAWAB: Ya di Pesantren.
4. Apakah masyarakat di lingkungan Anda yang telah belajar di pesantren
melakukan praktik fidyah shalat dan puasa? Apa alasannya?
JAWAB: Awalnya ini datang dari ta’lim-ta’lim para orang yang
mengerti tentang kitab. Kemudian mereka mengajarkannya kepada
masyarakat. Fidyah shalat ini datang dari hal-hal yang ihtiyat (kehati-
hatian).
5. Kapan ajaran fidyah shalat dan puasa pertama kali masuk dan menyebar
di lingkungan Anda?, dan siapa tokoh yang menyebarkannya?
JAWAB: Dari dulu di sini sudah melaksanakan Geong, sebelum
Indonesia merdeka. Namun tahun pastinya tidak tahu. Bapak saya (Ki
Kamus) yang mengajarkan tradisi ini di sini. Orang-orang dulu belajar ke
sini. Bapak saya itu ngaji di sini, di Plered Cirebon, Madura. Teman-
teman ayah saya itu seperti Kyai Syatori (Arjawinangun), Kyai-Kyai
sepuh Babakan (Cirebon), ya bareng dengan Kyai Hasyim As’ariy, juga
Mbah Sofa (Kaliwungu), Ki Soleh (Demak), itu semua teman-teman
Bapak saya. Bapak saya memang jika di Babadan (Tenajar Lor) tidak
ikut organisasi apapun, tapi dia kumpulnya di luar. Karena di Indramayu
dulu antar kyai saling banyak-banyakan santri dan lain-lain.
6. Mengapa praktik fidyah shalat dan puasa menjadi sebuah tradisi di
lingkungan Anda?
JAWAB: Karena setiap manusia itu pasti memiliki kesalahan dalam hal
shalat, atau kadang ketinggalan shalatnya, atau kadang shalat semaunya
sendiri. Karena itu, kita di sini meskipun mayit tidak berwasiat untuk
fidyah tapi kita tetap menunjukkan kepedulian kita terhadap mayit,
menunjukkan birr al-walidain, jadi kita berusaha untuk mengihtiyathi
fidyah, dengan menggunakan takaran satu mud.
7. Menurut Anda, apakah hadis fidyah shalat dan puasa yang statusnya
mawquf (disandarkan kepada sahabat Nabi Saw) dapat dijadikan hujjah?
Apa alasannya?
JAWAB: Jadi imam Hanafi menggunakan hadis itu sebagai qiyas antara
fidyah shalat dan fidyah puasa. Jika fidyah puasa hanya satu waktu,
sedangkan fidyah shalat menurut Imam hanafi 6 waktu (shalat fardhu dan
witir). Sementara madzhab al-Syafi’i mewajibkan membayar fidyah yang
shalat 5 waktu (shalat fardhu) saja.
8. Bagaimana tatacara melakukan fidyah shalat dan puasa di lingkungan
Anda?
JAWAB: Jadi praktik Geong di sini banyak versinya. Namun rata-rata
praktik Geong di sini didaur (diputar/bolak balik) sebagai tanda serah
terima, ini versi Imam Hanafi. Karena tidak semua yang melakukan
Geong ini orang yang mampu (kaya). Sedangkan menurut Imam al-
Syafi’i, fidyah itu ya hanya sekali pakai (akad), tidak bisa diputar-putar.
Misalnya orang tidak shalat satu bulan, maka ia langsung dihitung satu
waktunya satu mud dikali lima waktu (satu hari) kemudian dikali 30 (satu
bulan). Kalau memang tidak kuat ya sudah, tidak usah diqadha dan tidak
usah difidyah.
9. Menurut Anda, apakah benar fidyah shalat/puasa harus dihitung seumur
hidup? Apa alasannya? Bukankah yang dibayarkan fidyahnya hanya
shalat/puasa yang ditinggalkan saja?
JAWAB: Ini mengingat akan pentingnya shalat yang tidak bisa ditawar-
tawar, maka Tuhan akan menuntut modal (hidup) yang telah diberikan
kepada manusia. Misalnya kita diberi modal (hidup) 50 tahun, ya sudah
tinggal dihitung saja seharinya berapa waktu, maka sejumlah waktu itu
yang akan dituntut oleh Tuhan. Namun nanti dikurangi masa baligh, dan
khusus bagi perempuan dikurangi masa haid, nifas dan wiladah. Jadi
yang wajib dibayarkan fidyahnya hanya umur bersihnya saja ( umur yang
diwajibkan untuk shalat).
10. Berapa besaran fidyah shalat/puasa yang harus dibayar setiap harinya?
JAWAB: Jumlah takaran dalam tradisi Geong berbeda-beda. Karena
pengetahuan masyarakat kadang hanya satu sisi, yaitu hanya tahu dari
segi wasiatnya saja. Karena wasiat ini wajib, maka Imam Abu Hanifah
ini mengatur (tentang fidyah). Sementara dalam ihtiyath rata-rata orang
tidak tahu dasar hukumnya, tahunya yang wasiat saja. Jadi takarannya
berbeda-beda. Ada yang bilang satu mud, ada yang bilang nishfu sha’.
Masyarakat di sini biasanya kalau untuk fidyah ihtiyath menggunakan
mud sedangkan untuk wasiat menggunakan takaran sha’.
11. Fidyah dalam bentuk apa yang sering digunakan di lingkungan Anda?
Apakah dengan beras atau uang?
JAWAB: Jadi karena kita pakai caranya Abu Hanifah, maka boleh
dengan cara qimah (pembayaran fidyah dengan uang yang sesuai dengan
harga makanan pokok). Misalnya orang bayar fidyah 6 kwintal untuk 2
bulan, tapi dia merasa berat (secara beban benda) untuk di Geong, maka
menurut Abu Hanifah, pembayaran dengan qimah ini lebih diutamakan.
Karena lebih ringan. Karena itu, di sini kita pakai caranya Abu Hanifah.
Tapi ada pula yang masih pakai beras, biasanya mereka pakai caranya
Imam al-Syafi’i.
12. Kepada siapa Anda memberikan fidyah tersebut?
JAWAB: Ya fakir miskin. Namanya Geong ya sasarannya fakir miskin.
Tetapi karena kadang kita punya tetangga yang mampu (kaya), kalau
tidak diundang ya tidak enak, kalau diundang ya tidak wajib. Jadi kita
tetap undang meskipun mereka kaya, biasanya jaman sekarang meskipun
kaya juga tetep mau dengan fidyah ini. Tapi nanti pada pelaksanaannya
akan dijelaskan bahwa fidyah ini untuk fakir miskin. Karena itu, mereka
(tetangga yang kaya) tidak boleh ikut Ngabal (proses pemutaran uang
fidyah dari wali kepada orang yang menerima fidyah). Misalnya ada 25
orang, dan yang orang kaya ada 3, maka yang dihitung adalah 22 orang.
Meskipun begitu, orang kaya tersebut tetap dapat bagian meskipun dia
tidak ikut Ngabal. Karena Ngabal itu urusannya untuk pembayaran
fidyah orang yang telah mati, yang sasaran fidyahnya hanya orang
miskin.
13. Bagaimana jika tetangga Anda yang miskin meninggal dan memiliki
hutang shalat dan puasa? Apakah ia tetap wajib membayar fidyah?
JAWAB: Islam itu bijaksana, yang mengerti pasti peduli. Karena itu,
Nabi Saw bersabda: khiyaru ummati ‘ulama’uha, wa khairu ‘ulama’uha,
ruhama’uha. Nabi bersabda begitu, sebaik-baik umat pilihanku adalah
ulamanya, sebaik-baik ulamanya ummat adalah ulama yang peduli
terhadap umatnya. Ketika ada orang yang terjatuh, maka ulamanya harus
bijaksana. Caranya yaitu jika orangnya memiliki tanggungan hutang
(shalat), maka ulama itu memberi hutang (uang/beras) dulu untuk
menggugurkan shalat si mayit. Ketika sudah dilaksanakan Geong,
uangnya kembali lagi ke wali (keluarga mayit), maka dia bilang saja
bahwa uang ini dapat hutang, maka dapat dikembalikan lagi hutangnya
kepada ulama tadi. Tapi jika orangnya mampu, trus menggunakan cara
seperti itu, maka dia tidak benar, dan tidak akan memperoleh suatu
kebajikan, jika dia tidak mau melepas hal yang disenangi. Bahkan
fidyahnya itu tidak akan bermanfaat.
14. Menurut Anda, bagaimana dengan hadis yang mengajarkan agar wali
(keluarga) mengqadha shalat kerabatnya yang telah meninggal?
Bukankah shalat merupakan ibadah mahdhah yang tidak dapat diganti
dengan apapun?
JAWAB: Betul, kalau imam al-Syafi’i itu jika sudah meninggalkan
shalat ya sudah, tidak perlu diqadha. Ini saking ketatnya Imam al-Syafi’i
(tentang kewajban shalat). Jika sudah kelewat waktu shalat ya sudah,
salah siapa melewatkan shalat?
15. Apakah ada masyarakat sekitar yang tidak sepakat dengan praktik fidyah
shalat dan puasa di lingkungan Anda?
JAWAB: Ada, itu Nyi Rukha, dia bilang tidak melaksanakan Geong,
karena hal itu tidak ada (ajarannya), meskipun terdengar ada di kitab-
kitab, tetapi dia tidak melaksanakannya.
16. Bagaimana perasaan Anda ketika telah melaksanakan Geong?
JAWAB: Ini merupakan perkara ibadah yang harus dilakukan oleh
seorang hamba. Kita punya kewajiban shalat, zakat, puasa, bahkan haji,
itu dalam rangka melaksanakan kewajiban sebagai sikap ta’abbud. Jadi
ini tidak ada kaitannya dengan kepuasan batin, karena kepuasan batin itu
urusan duniawi. Namun ini merupakan perwujudan bakti kepada Tuhan.
Wa maa khalqtul jinna wal insa Illa liya’budun.
17. Menurut Anda, apa manfaat fidyah shalat dan puasa bagi lingkungan
Anda?
JAWAB: Manfaat dan hikmah Geong ya luar biasa. Tidak bisa diukur
dengan duniawi. Karena jika Allah menerima, maka manfaatnya dapat
menggugurkan kewajiban shalatnya orang yang telah meninggal. Jika
kewajiban shalatnya gugur, maka akan mendapatkan ampunan, jika
sudah dapat ampunan, akan mendapatkan surga, dan surga tidak dapat
diukur dengan duniawi. Artinya, tidak bisa diungkapkan dengan kata-
kata. Begitu juga bagi orang yang ikut melaksanakan Geong, pahalanya
juga sama dengan pahala Geong. Jadi tidak sekedar dapat bagian fidyah
saja.
18. Apakah tradisi fidyah shalat dan puasa (geong) harus tetap dilestarikan di
lingkungan Anda? Apa alasannya?
JAWAB: Sangat perlu dilestarikan, karena ini mengingat pentingnya
shalat maka perlu ada Geong. Geong merupakan kepedulian ahli waris
kepada si mayit. Misalnya, orang-orang di Babadan (Nama wilayah Desa
Tenajar Lor) waktu puasa ya puasa semua, waktu shalat ya shalat semua,
tapi ketika di Jakarta, ada aja yang sering tidak puasa atau tidak shalat.
Karena itu, meskipun tidak ada wasiat, pihak keluarga memiliki
kepedulian kepada si mayit, khawatir terjadi hal-hal yang seperti itu. Tapi
meskipun tradisi Geong sangat perlu dilestarikan, orang tidak boleh
seenaknya menyepelehkan shalat. Kalau orang menyepelehkan shalat, ini
yang salah kaprah. Mentang-mentang ada Geong, shalat malah diabaikan.
Orang yang seperti itu, nanti diakhirat tidak akan selamat, karena iman
Islamnya tidak terbawa. Kalau iman Islamnya tidak terbawa, maka
Geongnya pun tidak akan bermanfaat.
HASIL WAWANCARA
A. Identitas Informan
Nama : Yusroh (Warga)
Umur : 55 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul Kec. Juntinyuat
Waktu Wawancara : Jum’at, 28 April 2017. Pukul 14.00 WIB.
B. Pertanyaan
1. Apakah Anda pernah melakukan Tradisi Fidyah untuk keluarga yang
telah meninggal?
JAWAB: Ya, Pernah.
2. Apa landasan Anda melakukan tradisi keagamaan tersebut?
JAWAB: Ya saya mah ikut Uwa Wang (Ust.Shofwan, ulama setempat)
aja, yang lebih ngerti Wa Wang.
3. Bagaimana tatacara melakukan fidyah shalat dan puasa di lingkungan
Anda?
JAWAB: Kalau saya mah hanya ngikutin Wa Wang aja. Saya siapin
beras dan uang, terus saya panggil Wa Wang untuk melaksanakan tradisi
fidyah dan tarahum. Terus Wa Wang yang membagi-bagi beras dan uang
yang saya siapkan tadi. Saya kan tidak bisa, jadi harus dengan petunjuk
Kyai aja. Karena saya pengen bisa melaksanakan fidyah, pengen niat
melaksanakan fidyah, jadi harus bertanya kepada Kyai.
4. Kapan Anda melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Ya umumnya sih, ada yang tiga hari, ada yang tujuh hari. Tapi
pas Bapak meninggal, saya langsung nyiapin beras untuk dibagikan
kepada tetangga yang membutuhkan.
5. Apakah Anda yakin tradisi tersebut akan sampai kepada yang meniggal?
JAWAB: Ya saya mah hanya niat, ya kalau masalah sampai atau tidak
mah saya tidak tahu. Yang penting sudah niat. Tapi ya mudah-mudahan
sih diterima.
6. Apakah Anda merasa keberatan untuk melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Ya tidak berat tidak apa, kan saya sudah niat. Kalau sudah niat
mah tidak inget beras tidak inget apa, lillahi ta’ala aja. Bahkan dari pada
kurang, ya saya lebihkan aja bayar fidyahnya.
7. Apa yang Anda rasakan setelah melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Ya tidak merasa apa-apa, lega aja sudah tidak kepikiran apa-
apa, karena sudah beres.
8. Selain membayar fidyah, apakah Anda juga melaksanakan shalat Qadha
untuk anggota keluarga yang meninggal?
JAWAB: Iya, kata Wa Wang sih, setiap shalatnya dilebihkan aja, jadi
dua kali shalat. Shalat yang satunya diniatkan untuk meng-qadha
shalatnya Bapak, khawatir kalau ada yang kurang.
9. Berapa lama anggota keluarga yang meninggal tersebut meninggalkan
shalat atau puasa?
JAWAB: Sebenernya sih, pas sebelum meninggalnya itu tidak shalat
selama setengah bulan, tapi saya niatkan agar dilebihkan, sebulan atau
berapa, khawatir sebelum-sebelumnya ada shalat yang ditinggal. Ya
meskipun Wa Wang bilang kalau sudah pikun mah tidak wajib shalat,
tapi tetep saya niatkan agar dibayar fidyahnya.
10. Apa harapan ibu setelah membayar fidyah?
JAWAB: Ya harapannya sih, mudah-mudahan keluarga saya banyak
rejeki, bisa mengurus anak yatim.
HASIL WAWANCARA
A. Identitas Informan
Nama : H.Zakariya (Warga)
Umur : 56 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul Kec. Juntinyuat
Waktu Wawancara : Jum’at, 28 April 2017. Pukul 16.00 WIB.
B. Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Anda tentang tradisi fidyah?
JAWAB: Kalau menurut saya sih, fidyah itu landasannya jelas qath’i
yaitu dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 184, dan juga ditunjang
dengan keterangan dari beberapa hadis. Tapi itu hanya fidyah puasa,
kalaupun ada pendapat yang bilang fidyah shalat diqiyaskan dengan
fidyah puasa ya silahkan aja, tapi kalau menurut saya sih prinsipnya
selagi akal masih ada, shalat tetep harus dilaksanakan dalam kondisi
apapun.
2. Apakah ada warga Muhammadiyah di lingkungan Anda yang ikut
melaksanakan tradisi fidyah shalat?
JAWAB: Sepertinya sih tidak ada. Tapi kalau masalah fidyah puasa,
bagi mereka yang tidak melaksanakan puasa karena sakit yang tidak ada
kesembuhan, dianjurkan begitu (membayar fidyah), atau memang dalam
keadaan tua renta, karena kondisi yang tidak memungkinkan.
3. Bagaimana jika ada tetangga di lingkungan Anda yang melaksanakan
tradisi fidyah shalat?
JAWAB: Ya kalau saya sih saling menghormati aja. Tradisi fidyah
shalat di sini memang ada, silahkan saja dilakukan untuk menjaga
ukhuwwah islamiyyah. Tapi kalau masalah khilafiyah ya sebagai rahmat.
Karena khilafiyah saya artika sebagai kasih sayang Allah. Saling
melengkapi, saling menunjang. Begitu prinsipnya. Tidak ada istilahnya
yang saling kritik mengkritik di lingkungan sini.
4. Menurut Anda, apakah tradisi fidyah shalat itu bermanfaat?
JAWAB: ya kalau menurut saya sih tidak manfaat, artinya sia-sia gitu.
Karena tradisi fidyah shalat itu tidak ada sumber rujukannya dalam
agama, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Karena tidak ada rujukannya,
maka amalnya tersebut akan tertolak. Itu pendapat saya. Kalau ada
pendapat yang menyatakan bermanfaat bagi mayyit ya silahkan-silahkan
saja.
5. Bagaimana tradisi fidyah di lingkungan Muhammadiyah?
JAWAB: Ya kalau di lingkungan saya sih adanya fidyah puasa. Kalau
ada ibu menyusui, atau sedang hamil, atau orang yang sakit menahun,
hingga tidak ada harapan untuk sembuh, maka diperbolehkan untuk
membayar fidyah.
6. Menurut Anda, bagaimana jika ada seseorang yang sakit, tidak bisa
melaksanakan shalat, kemudian meninggal?
JAWAB: Kalau dari beberapa kajian sih, jika orang meninggal yang
meninggalkan shalat itu di gantikan shalatnya (di-qadha) oleh
keluarganya atau kerabatnya yang dekat. Ada juga sebagian yang
memakai fidyah shalat. Tapi menurut saya, tetap kita harus bimbing
ketika dia sedang sakitnya itu, apapun bentuknya kita tetap disuruh untuk
melaksanakan shalat. Adapun shalatnya ya sesuai kemampuan, apakah
berbaring, duduk atau apa. Yang penting kalau akal masih normal, yang
tetap harus dibimbing untuk shalat. Kalau orang yang tidak shalatnya
berpuluh-puluh tahun, itu bagaimana keluarganya akan membayar
fidyah? pasti akan memberatkan. Sedangkan dalam Islam, tidak ada
ibadah yang memberatkan. Allah tidak menghendaki kesulitan bagi
hambanya, namun Allah mengendaki kemudahan. Tapi kalau ada
pendapat orang lain yang berbeda ya saya hargai, silahkan saja.
7. Bagaimana tatacara fidyah puasa di lingkungan Anda?
JAWAB: ya kalau di sini fidyahnya langsung dibagikan kepada fakir
miskin, dan ukurannya pun bukan satu kati (mud), tapi ya memberikan
makanan selama satu hari itu. Bahkan tidak hanya sekedar kebutuhan
makannya, tetapi semua kebutuhan untuk satu hari tersebut. Boleh dalam
bentuk uang, atau makanan, berupa nasi yang lengkap dengan lauk pauk.
8. Apa saja manfaat dari pelaksanaan tradisi fidyah?
JAWAB: Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, fidyah itu ya untuk
orang miskin. Dalam hadis dijelaskan bahwa ada seorang sahabat
melakukan jima’ dengan istri pada siang hari di bulan ramadhan,
kemudian dia mengadu kepada Rasul, dan beliau memerintahkan untuk
memerdekakan budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut turut,
atau dengan memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin, tapi
semua itu tidak sanggup dilakukan oleh sahabat, akhirnya Rasul
mengambil sekeranjang kurma untuk dibagikan kepada fakir miskin,
namun pada saat itu tidak ada fakir miskin selain sahabt itu, maka
sekeranjang kurma itu untuk sahabat itu sendiri. Jadi pada dasarnya
fidyah itu untuk membantu orang miskin. Itulah Islam, sesuai dengan
kondisi, dan tidak mempersulit.
9. Bagaimana hubungan warga Muhammadiyah dan Nahdliyyin dalam
pengajian agama di lingkungan Anda?
JAWAB: Ya kalau dalam pengajian rutin sih umum, tidak ada yang
fanatik di sini, bareng-bareng.
10. Apa saja kajian yang dibahas dalam pengajian tersebut?
JAWAB: Tafsir al-Qur’an, kemudian kajian-kajiam keislaman sehari-
hari. Baik dari kitab kuning, atau yang lainnya. Kalau tingkat anak-anak
sih ya dimulai dari bacaan-bacaan kitabnya, kemudian baru ke hadis-
hadisnya, seperti bulughul maram, subulus salam, shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, dan lain-lain. Kajian-
kajian dalam kitab hadis ini untuk mengetahui hukum-hukum, supaya
diperbandingkan.
11. Apa harapan Anda dari pengajian tersebut?
JAWAB: Ya kalau kita pelajari tujuh ahli hadis, supaya wawasan kita
luas, banyak pendapat.
12. Kapan saja pengajian tersebut dilaksanakan?
JAWAB: ya seperti biasa, tapi kalau yang penuh sih pas bulan puasa.
HASIL WAWANCARA
A. Identitas Informan
Nama : H.Abbas Abdul Jalil (Tokoh Masyarakat)
Umur : 60 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul Kec. Juntinyuat
Waktu Wawancara : Kamis, 27 April 2017, Pukul 19.00 WIB.
B. Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Anda tentang tradisi fidyah di lingkungan Anda?
JAWAB: Di lingkungan masyarakat segeran sih, kalau ada seseorang
yang sedang najah (Sakaratul Maut) atau tidak bisa melakukan apa-apa,
ia mulai dihitung waktu shalat yang ia tinggalkan, berapa waktu, berapa
hari, untuk nanti dibayar fidyah. Pembayaran fidyahnya itu bersamaan
dengan pembagian nasi berkat tahlilan. Tapi kekurangannya, pihak
keluarga yang melaksanakan pembayaran fidyah tersebut tidak
menyampaikan bahwa beras tersebut ialah beras fidyah. Mereka tidak
menyampaikan hal tersebut karena masyarakat sini sudah mafhum
(paham). Berarti kalau berkat ada bungkusan berasnya, berarti itu beras
fidyah.
2. Kapan pelaksanaan tradisi tahlilan dan fidyah tersebut?
JAWAB: Kalau di sini ada yang tiga hari, ada yang tujuh hari, ada yang
empat puluh hari, atau yang ketiga-tiganya juga ada, karena saking
banyaknya shalat yang ditinggalkan. Kadang najah-nya itu tidak selesai
selama satu minggu, di sini maha banyak yang najahnya tidak selesai-
selesai, sampai kasihan. Sehingga saya sering saya berdo’a kepada Allah,
kalau hendak disembuhkan ya sembuhkanlah, kalau sudah waktunya
(meninggal) ya segeralah, saya do’anya itu. Oleh karena itu, masyarakat
segeran kidul banyak yang melaksanakan tradisi fidyah. Sebagian kecil
masyarakat tidak melaksanakan tradisi tersebut, karena menurut mereka
shalat itu tidak ada fidyahnya dan tidak ada qadha. Yang ada qadha itu
hanya puasa. Kalau shalat sudah ketinggalan ya sudah. Masyarakat yang
melaksanakan fidyah itu mereka yang menganggap bahwa shalat ada
qadha.
3. Apakah ada masyarakat yang meng-qadha shalat untuk orang yang
meninggal dunia?
JAWAB: Ada, itu biasanya mereka yang tidak ada uang tidak ada beras.
Jadi sekeluarga dibagi, anak-anaknya, ada yang melaksakan shalat
maghrib dua kali, tiga kali, shalat isya dua kali, yang satunya itu untuk
menggantikan shalat bapaknya yang meninggal.
4. Sejak kapan tradisi qadha dan fidyah muncul di lingkungan Anda?
JAWAB: Itu sudah ada sejak nenek moyang kita, meskipun secara
edukatif standarnya masih belum jelas, tapi tetap kita biarkan. Jadi tradisi
fidyah di lingkungan sini hanya mengikuti tradisi orang terdahulu aja.
Khususnya bagi masyarakat yang memiliki anggapan bahwa shalat itu
ada qadha-nya. Sebagian masyarakat yang meyakini adanya fidyah dan
qadha itu biasanya dari ustadz-ustadz atau kyai yang memegang pendapat
dari ijma’ dan qiyas. Kajian-kajian kitab kuning itu ya sudah ada sejak
zamannya Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Saya aja
sudah 60 puluh tahun, berarti ya sudah lama sekali. Karena di daerah sini
Islamnya dari Syekh Syarif Hidayatullah. Penyebarannya dari pesantren-
pesantren salaf melalui kitab-kitab kuning.
5. Siapa yang memulai adanya tradisi fidyah dan qadha shalat?
JAWAB: Ya para kyai itu yang tahu tentang hukum ijma’ dan qiyas. Di
sini, kalau seseorang ketinggalan shalat shubuh, ya tetep dilaksnakan
shalat subuh, meskipun shalatnya jam tujuh pagi. Di sini disebutnya
sebagai qadha. Kalau kyai yang tidak memakai ijma’dan qiyas, ya
mereka tidak melaksanakan tradisi itu.
6. Apakah ada kajian-kajian fiqh terkait fidyah dan qadha shalat atau puasa
kepada masyarakat?
JAWAB: Oo.. Ya ada, kajiannya itu dari kitab fathul qarib, ada yang dari
kitab bulughul maram, dan lain sebagainya. Kajian-kajian itu
disampaikan kepada masyarakat yang ikut majelis ta’lim. Maka ustadz
dan kyai yang melaksnakan tradisi itu, dicarikan dasarnya, dijelaskan.
Ada sebagian yang menganggap bahwa dasarnya itu lemah, tapi ada yang
bilang dasarnya kuat.
7. Bagaimana pandangan Anda tentang kajian-kajian tersebut?
JAWAB: Kalau saya sih bukan ahli kitab kuning. Tapi saya meyakini
bahwa dasar Islam itu selain ada al-Qur’an dan hadis, juga meyakini
adanya ijma’ dan qiyas. Kajian-kajian fidyah itu kalau dalam undang-
undang seperti pasal karet. Artinya pasal tersebut masih terus
dimusyawarahkan.
8. Apa motivasi masyarakat melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Motivasinya itu karena ihtiyat (kehati-hatian). Supaya ibadah
shalatnya itu bisa diterima.
9. Apakah ada perdebatan internal antar Kyai di lingkungan Anda?
JAWAB: Ya banyak. Ada yang meyakini ijma’ dan qiyas, dan ada pula
yang tidak meyakininya. Mereka hanya meyakini sumber hukumnya itu
dari al-Qur’an dan hadis aja. Adapun pendapat ulama mereka anggap itu
tidak sah.
10. Siapa saja yang meyakini adanya fidyah shalat dan puasa?
JAWAB: Biasanya mereka yang termasuk ke dalam jamaah Nahdlatul
Ulama, Syahadatain.
11. Bagaimana dengan jamaah Muhammadiyah?
JAWAB: Kalau jamaah Muhammadiyah ya mereka tidak mengakui
adanya fidyah shalat. Karena mereka tidak menggunakan ijma’ dan
qiyas.
12. Bagaimana respons masyarakat kalau ada yang tidak melaksanakan
tradisi fidyah? Apakah ada yang mencibir?
JAWAB: ya tidak ada, yang melaksanakan tradisi fidyah juga tidak ada
yang mencibirnya. Mereka melaksanakan keyakinannya masing-masing,
bagi yang tidak melaksanakan fidyah ya melaksanakan, bagi yang tidak
ya tidak melaksanakan.
13. Apakah jamaah Muhammadiyah juga ikut melaksanakan tardisi tahlilan?
JAWAB: Iya, kalau jamaahnya sih pada ikut tahlilan, tapi kalau
pimpinannya sih tidak. Kalau jamaah masyarakat itu menyesuaikan aja.
Kalau ada tetangganya diundang tahlilan ya ikut tahlilan. Mereka tetap
menghormati undangan. Mereka datang bukan karena tahlilnya,
melainkan karena undangannya. Jadi tidak ada yang bertengkar di sini,
kecuali pada masa Belanda, yang membedakan antar pendidikan agama
dengan pendidikan umum.
14. Apakah ada warga Muhammadiyah yang ikut-ikutan melaksanakan
tradisi fiyah?
JAWAB: Ya ada aja, meskipun tidak ada intruksi dari pimpinannya.
Mereka saling menghormati.
15. Apa manfaat dari tradisi fidyah itu sendiri?
JAWAB: Bagi yang melaksanakan ya merasa puas, berarti bapak saya
ini hutang shalatnya sudah terbayar. Bagi masyarakat yang menerima
fidyah, ya mereka terbantu. Karena masyarakat sini kan di bawah
standar. Apalagi kalau berasnya satu kilo. Jadi ada manfaat sosialnya.
Urusan diterima atau tidak amalan fidyahnya ya tidak tahu. Tapi usaha
kita itu dalam rangka memuliakan orang tua, sehingga kita melaksanakan
tradisi fidyah shalat dan puasa. Tapi bagi mereka yang tidak ada uang
atau beras, mereka mengganti shalat dan puasa bapaknya yang
meninggal. Kalau puasa ramadhan yang seharusnya sebulan, mereka
puasanya dua bulan. Untuk menggan puasa yang satu bulannya. Oleh
karena itu, bagi kita yang memakai kitab kuning, ya pasti melaksanakan
tradisi fidyah.
16. Tradisi keagamaan apa saja yang ada di lingkungan Anda?
JAWAB: Ya banyak sekali, hari-hari besar Islam juga pada ikut
melaksanakan, seperti muludan, muharram, tahlilan, attaqa, yasinan.
17. Apakah anda meyakini tradisi-tradisi itu akan diterima?
JAWAB: Ya kalau masyarakat sini melaksanakan tradisi keagamaan itu
niatnya pengen diterima, walaupun kita sudah shalat sendiri aja belum
tentu diterima, tapi kita ingin membantu orang tua, meringankan orang
tua, maka kita bersedekah, membayar fidyah.
HASIL WAWANCARA
A. Identitas Informan
Nama : H.Sayyidi (Warga)
Umur : 44 Tahun
Alamat : Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg
Waktu Wawancara : Rabu, 26 April 2017, Pukul 15.00 WIB
B. Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Anda tentang tradisi fidyah di lingkungan Anda?
JAWAB: Ya karena masyarakat awam, jadi ya apa kata Kyai aja. Karena
faktanya tradisi fidyah itu memang ada. Masyarakat mengetahui tradisi
fidyah ya dari Kyai.
2. Bagaimana praktik fidyah di lingkungan anda?
JAWAB: Ya langsung dibagikan saja, setelah tahlilan hari ketujuh.
Bersamaan dengan pembagian nasi brekat.
3. Sejak kapan tradisi fidyah dilaksanakan?
JAWAB: Ya sejak dulu sekali, turun temurun. Saya mah apa kata kyai
aja. Karena saya tidak tahu hukum aslinya. Tapi karena pada umumnya
masyarakat melaksanakan tradisi fidyah pada hari ketujuh pas tahlilan.
Ya sudah, saya ikut umum aja.
4. Siapa saja yang melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Semua masyarakat. Baik dari kalangan santri maupun
masyarakat awam.
5. Praktik keagamaan apa saja yang ada di lingkungan Anda?
JAWAB: Ya pengajian, jamiyyahan, baca al-Qur’an, tahlilan, yasinan.
Tapi kalau bahas kajian-kajian ilmu agama itu tidak ada. Kyainya sudah
pada meninggal.
6. Apa motivasi Anda melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Kalau di sini ya rata-rata karena ihtiyath. Kalau motivasi
karena aturan agama atau yang lainya sih saya kurang paham. Ya
khawatir kalau shalatnya clang cling (kadang shalat kadang tidak) waktu
dulunya yang tidak diketahui. Ada yang di qadha, dan ada juga yang di
fidyah. Dari pada berasnya kebuang, ya mending diniati aja untuk fidyah.
Begitu kata kyainya. Satu waktu satu kati (mud). Namanya juga orang
awam.
7. Apakah ada masyarakat miskin yang hanya meng-qadha shalat orang
yang meninggal karena tidak ada beras untuk fidyah?
JAWAB: Ya mungkin ada aja, saya tidak terlalu paham. Sebenernya kan
qadha shalat itu tidak ada, tapi ya kalau masyarakat mungkin aja ada
yang begitu.
8. Apakah fidyah di sini hanya memakai beras?
JAWAB: Iya, di sini fidyahnya pakai beras terus.
9. Menurut Anda, apakah orang miskin diwajibkan membayar fidyah?
JAWAB: Ya secara hukum mah ya wajib. Misalnya orang yang tidak
shalat atau puasa, ya wajib membayar fidyah. Karena shalat dan puasa
kan ibadah wajib, jadi fidyahnya juga wajib. Tapi ya saya tidak tahu
kalau mereka bayar fidyah atau tidak.
10. Menurut Anda apakah tradisi fidyah itu akan diterima amalnya?
JAWAB: Menurut saya, tradisi fidyah di Sliyeg sih tidak tahu diterima
atau tidaknya.
HASIL WAWANCARA
A. Identitas Informan
Nama : Widodo (Warga)
Umur : 38 Tahun
Alamat : Desa Sliyeg Lor Kec. Sliyeg
Waktu Wawancara : Sabtu, 4 Maret 2017, pukul 16.00 WIB.
B. Pertanyaan
1. Bagaimana pendapat Anda tentang Tradisi fidyah?
JAWAB: Kalau menurut saya sih fidyah shalat itu tidak ada, kecuali
fidyah puasa. Tapi kalau orang tua sudah meyakini fidyah shalat ya
gimana lagi. Ya masuknya tradisi warisan.
2. Mengapa Anda melakukan tradisi fidyah tersebut?
JAWAB: Ya sebenarnya fidyah shalat kan memang tidak ada secara
hukum, tapi ya tadi, berbenturan dengan adat atau tradisi orang tua di
sini. Jadi saya hanya ngikutin tradisi tersebut karena alasan sosial, tidak
enak dengan tetangga pada umumnya. Saya ngebungkusin seratus liter
beras aja. Tapi ya, saya niatkan sebagai sedekah aja. Karena shalat kan
memang tidak ada penggantinya. Kalau sudah meninggal ya sudah, putus
amalnya. Tapi ada sih teman yang menyarankan agar dihitung waktu
shalat yang ditinggalkan berapa bulan atau berapa tahun, tapi ya menurut
saya itu tidak perlu, karena shalat tidak bisa diganti dengan apapun.
3. Dalam hal fidyah shalat dan puasa bagi orang yang telah meninggal,
kitab apa yang Anda jadikan pedoman?
JAWAB: Kalau fidyah puasa kan memang sudah jelas dalam al-Qur’an,
tapi kalau fidyah shalat sih saya tidak ada, tapi ya mungkin banyak
versinya. Kalau dari hadisnya saya yakin tidak ada. Tapi ya mungkin
saya baca litarturnya kurang.
4. Apakah Anda pernah diundang untuk melaksanakan tradisi tahlilan dan
fidyah?
JAWAB: Ya pernah, kalau di undang ya hadir, karena alasan sosial tadi.
Pas seratus hari di tetangga depan itu. Ya sebenernya sih adat tiga hari
tujuh hari kan ajarannya orang hindu. Tapi saya juga hadir itu pas kalau
lagi senggang aja, kalu saya bisa hadir ya hadir, kalau tidak bisa ya tidak
hadir. Lihat kondisi aja sih.
5. Siapa yang mengajarkan Anda tentang fidyah shalat dan puasa?
JAWAB: Ya orang tua, karena orang tua nyuruh begitu ya kita lakukan.
Meskipun berbenturan dengan pemahaman saya.
6. Kapan ajaran fidyah shalat dan puasa pertama kali masuk dan menyebar
di lingkungan Anda?, dan siapa tokoh yang menyebarkannya?
JAWAB: Kalau itu saya kurang paham, tapi itu kan memang adat. Di
Desa ini memang adat lebih dipentingkan daripada agama, ya khususnya
di daerah sini. Sebenernya sih adat fidyah ini sudah turun temurun. Kalau
orang tua suruh ini, ya kita harus ini.
7. Bagaimana tatacara melakukan fidyah shalat dan puasa di lingkungan
Anda?
JAWAB: Ya dibungkusin aja berasnya sebanyak seratus liter, trus
dibagikan pas acara tahlilan.
8. Kapan biasanya pelaksanaan fidyah shalat dan puasa di lingkungan
Anda?
JAWAB: Biasanya sih tiga hari setelah orang meninggal. Tapi kalau
tidak hari ketiga ya hari ketujuh. Berbarengan dengan tahlilan, tapi saya
nyebutnya bukan tahlilan tapi do’a bersama. Ya ikut adat sini.
9. Bagaimana perasaan anda saat melakukan tradisi fidyah tersebut?
JAWAB: Ya sebenernya sih beban, karena saya tidak meyakini hal itu.
Tapi ya saya niatkan untuk sedekah aja, dengan alasan sosial tadi.
10. Berapa besaran fidyah shalat/puasa yang harus dibayar setiap harinya?
JAWAB: Ya sekemampuannya aja, kadang ada yang pakai mie aja 2
bungkus. Tapi umumnya pakai beras.
11. Fidyah dalam bentuk apa yang sering digunakan di lingkungan Anda?
Apakah dengan beras atau uang?
JAWAB: Kalau saya sih untuk fidyah puasa pakai uang, yang penting
nilainya tidak mengurangi besaran fidyah.
12. Menurut Anda, apakah jamaah Muhammadiyah masih berhubungan baik
dengan warga Nahdliyyin di lingkungan Anda?
JAWAB: Ya dulu sih Muhammadiyah dianggap sebagai agama baru di
wilayah sini, tapi sekarang sudah tidak seekstrim itu. Mungkin orang-
orang kolot aja yang masih fanatik begitu.
13. Bagaimana jika ada masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi fidyah?
JAWAB: Ya sebenernya sih ada aja, tapi ya tadi, benturannya sama
tradisi turunan. Kalau tidak melaksanakan ya bisa jadi dikucilkan. Ya
seperti itu hukum sosialnya, karena sudah menjadi tradisi umum. Tapi
bagi orang yang moderat sih tidak sampai begitu.
14. Bagaimana pendapat anda tentang tradisi fidyah ke depan?
JAWAB: Ya bisa aja dihilangkan tradisi ini, tapi sedikit-sedikit. Karena
tradisi ini sudah menjadi tradisi turunan. Kalau bagi orang yang
meninggalnya banyak harta ya mungkin aja bisa dilaksanakan, tapi kalau
orangnya tidak punya harta ya kadang sampai utang-utang. Jadi kan
kasihan. Padahal kan secara agama tidak ada aturannya. Jadi mestinya
dihilangkan. Apalagi tradisi ini setiap kali shalat jenazah, pihak keluarga
yang menyiapkan uang untuk transport untuk jamaah yang ikut
menyalatkan jenazah. Soalnya di sini ada kelompok yang bertugas
menyalatkan jenazah. Biasanya kalau orang yang meninggal orang kaya,
isi ampolpnya berisi 30 ribu, kadang 50 ribu, kalau orangnya kurang
mampu ya kadang 10 ribu. Saya sih ikut menyalatkan, tapi saya menolak
pemberian amplop itu. Meski begitu, kadang ada juga yang sinis dan
bilang belagu banget, tidak menerima amplop. Kan saya juga jadi tidak
enak. Ya seperti itulah adat di sini.
DOKUMENTASI WAWANCARA
Nama : Abdul Aziz (Warga)
Umur : 36 Tahun
Alamat : Desa Tenajar Lor
Kec. Kertasemaya
Nama : Akhid (Warga)
Umur : 43 Tahun
Alamat : Desa Tenajar Lor
Kec. Kertasemaya
Nama : Rokhmat (Tokoh
Masyarakat)
Umur : 55 Tahun
Alamat : Desa Tenajar Lor
Kec. Kertasemaya
Nama : Kyai Badrudin
(Ulama Desa)
Umur : 54 Tahun
Alamat : Desa Tenajar Lor
Kec. Kertasemaya
Nama : Ust. Abdurrahman
(Ulama Desa)
Umur : 38 Tahun
Alamat : Desa Sliyeg Lor
Kec. Sliyeg
Nama : H.Zainudin
(Tokoh Masyarakat)
Umur : 62 Tahun
Alamat : Desa Sliyeg Lor
Kec. Sliyeg
Nama : H.Sayyidi (Warga)
Umur : 44 Tahun
Alamat : Desa Sliyeg Lor
Kec. Sliyeg
Nama : Widodo (Warga)
Umur : 38 Tahun
Alamat : Desa Sliyeg Lor
Kec. Sliyeg
Nama : H.Abbas Abdul Jalil
(Tokoh Masyarakat)
Umur : 60 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat
Nama : Ust. Shofwan
(Ulama Desa)
Umur : 55 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat
Nama : Yusroh (Warga)
Umur : 55 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat
Nama : H.Zakariya (Warga)
Umur : 56 Tahun
Alamat : Desa Segeran Kidul
Kec. Juntinyuat
nspp namapp tipe alamat telp prop kab kec
510032120001 Al-Zaytun 2 Jalan Raya Gantar Al-Zaytun Desa Mekarjaya 0234742815 Jawa Barat Indramayu Gantar Mekarjaya 45264
510032120002 Mambaul Huda 1 Ds. Sukajati, Haurgeulis Jawa Barat Indramayu Haurgeulis Sukajati 45264
510032120003 Baitul Muta'Alimin 1 Ds. Cipancuh. Haurgeulis Jawa Barat Indramayu Haurgeulis Cipancuh 45264
510032120004 Bustanul Muta'allimien Wal Muta'allimat 2 Jl. PU Sumbon 081324030420 Jawa Barat Indramayu Kroya Sumbon 45265
510032120005 Miftahul Ulum 2 Jl. Sumurwatu Desa Rajasinga Kec. Terisi Kab. Indramayu 085295931787 Jawa Barat Indramayu Terisi Rajasinga 45262
510032120006 Darul Ulum 1 Jl. Pu Barat, Kec. Gabuswetan Jawa Barat Indramayu Gabuswetan Kedokangabus 45263
510032120007 Ashidiqiyah 1 Ds. Cikedung Lor, Kec. Cikedung Jawa Barat Indramayu Cikedung Cikedung Lor 45262
510032120008 Nurur Rohman 1 Jl. Kemujing Ds. Segeran 082116118663 Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Segeran 45282
510032120009 Raudlatul Ulum 1 Ds. Kendayakan, Kec. Terisi Jawa Barat Indramayu Terisi Kendayakan 45262
510032120010 Hid. Mubtadi'In 2 Jl.Raya Manggungan, Kec. Terisi 0234506482 Jawa Barat Indramayu Terisi Manggungan 45262
510032120011 Arribathul Musthofa 1 Jl. Raya Rajasinga, Kec. Terisi 02349141819 Jawa Barat Indramayu Terisi Rajasinga 45262
510032120012 Nurul Muttaqin 1 Ds. Rajasinga, Kec. Terisi Jawa Barat Indramayu Terisi Rajasinga 45262
510032120013 Al Hikmah 1 Jl. Dodog Sendang 087717577006 Jawa Barat Indramayu Karangampel Sendang 45283
510032120014 Tahfidz Al Hidayah 1 Ds. Jatimulya Jawa Barat Indramayu Terisi Jatimulya 45262
510032120015 Ziadatul Mubtadiin 1 Ds. Tunggulpayung 085320589703 Jawa Barat Indramayu Lelea Tunggulpayung 45261
510032120016 Ya 'Abidi 2 Jl. Raya Sukadana, Kec. Bangodua Jawa Barat Indramayu Bangodua Sukadana 45272
510032120017 Miftahul Mubtadiin 1 Jl. Kh. Sanusi Raso Desa Wanasari 082126469548 Jawa Barat Indramayu Bangodua Wanasari 45272
510032120018 Salaf Al-Ma`arif 2 Jl. Ketapang Blok Langgar RT. 03 RW. 02 Desa Segeran Kidul 081947328177 Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Segeran Kidul 45282
510032120019 Bayt Tamyiz 2 Jl. Raya Sukaperna Timur 081281070115 Jawa Barat Indramayu Tukdana Sukaperna 45272
510032120020 Al Makmuriyah 1 Jl. Raya Widasari-Jatitujuh Jawa Barat Indramayu Tukdana Jatitujuh 45272
510032120021 Al - Fudhola 1 Jl. Raya By Pass Ujungaris, Kec Widasari Jawa Barat Indramayu Widasari Ujungaris 45271
510032120022 Al - Ma'Sumy 1 Ds/Kec. Widasari Jawa Barat Indramayu Widasari Widasari 45271
510032120023 Cadang Pinggan 2 By Pass Cadangpinggan, Sukagumiwang 0234353135 Jawa Barat Indramayu Sukagumiwang Cadangpinggan 45274
510032120024 Al Hidayah 1 Ds.Gunung Sari Sukagumiwang Jawa Barat Indramayu Sukagumiwang Gunung Sari 45274
510032120025 Darul Ulum 1 Ds. Lemahayu, Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Lemahayu 45274
510032120026 Tarbiyatul Aulad 2 Jl Raya Tenajarlor, Kec. Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tenajar Lor 45274
510032120027 Al - Mustofa 1 Desa Tenajar Lor Rt/Rw 05/02 082121081014 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tenajar Lor 45274
510032120028 Sirojut Tholibin 1 By Pass Tulungagung, Kertasemaya 0234356173 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tulungagung 45274
510032120029 Al - Qohariyah 2 Jl. Raya Tukdana, Lajer, 085224636161 Jawa Barat Indramayu Tukdana Lajer 45272
510032120030 Al - Ianah 1 Ds. Tulungagung,Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tulungagung 45274
510032120031 Mambaul Ulum 2 Ds. Lemahayu, Kertasemaya 081320615183 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Lemahayu 45274
510032120032 Al Marfu'Iyah 1 Ds. Tenajar Lor, Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tenajar Lor 45274
510032120033 Darul Falah 2 JL. By Pass Kertasemaya KM.35 Blok Rengaspayung Rt.09/05 081324493435 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Kertasemaya 45274
510032120034 Al Fatah 1 Dusun Janggar Ds. Ujunggebang 081320253527 Jawa Barat Indramayu Sukra Ujunggebang 45257
510032120035 Darul Qur'an 1 Jl. Raya By Pass Pantura Kertawinangun Eretan Kulon 081312243243 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Eretan Kulon 45254
510032120036 Tarbiyatul Banat 1 Jl.K.H. Hasbullah Desa Tenajar Lor 087828536606 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tenajar Lor 45274
510032120037 Yasinniyah 1 Ds.Tulungagung Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tulungagung 45274
510032120038 Al -Syarifiyah 1 Ds.Bondan Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Bondan 45274
510032120039 Al Komariyah 1 Ds. Tenajar Lor Kertasemaya Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tenajar Lor 45274
510032120040 Darul Hikam 1 Dukuhjati-Krangkeng-Inramayu 085222950495 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120041 Al qur'aniyah 2 Jl. Sumurpondok no 38 desa Dukuhjati-krangkeng-Indramayu 081324988264 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120042 Al - Huda 1 Desa Kedungwungu Kec. Krangkeng Jawa Barat Indramayu Krangkeng Kedungwungu 45284
510032120044 Islamiyah Al islahiyah 2 Srengsng Krangkeng Indramayu 082320022604 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Srengseng 45284
510032120045 Al Hidayah 1 Desa Kedungwungu Kec. Krangkeng Jawa Barat Indramayu Krangkeng Kedungwungu 45284
510032120046 Putri Alhalimu 1 Ds.Dukuh Jati Blk Margunah Krangkeng Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120047 Murottilil Qur'An 1 Ds. Kedungwungu Kec. Krangkeng Jawa Barat Indramayu Krangkeng Kedungwungu 45284
510032120048 Darul Ihsan Putri 1 Dukuhjati Krangkeng Indramayu Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120049 Al Halimu 1 Ds. Dukuh Jati Krangkeng Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuh Jati 45284
510032120050 Assafi'iyah 2 Kedungwungu Krangkeng indramayu Jawa Barat Indramayu Krangkeng Kedungwungu 45284
510032120052 Al Falah 2 Dukuhjati-Krangkeng-Inramayu 081320583100 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120053 An Nuroniyah 1 Kalianyar-krangkeng-indramayu 081946886692 Jawa Barat indramayu Krangkeng Kalianyar 45284
510032120054 Darussa'Adah 1 Desa Kedokanbunder Wetan 081324464680 Jawa Barat Indramayu Kedokan Bunder Kedokanbunder Wetan 45283
510032120056 Attarbiyah Islamiyah 1 Ds. Dukuh Jeruk, Karangampel Jawa Barat Indramayu Karangampel Dukuh Jeruk 45283
510032120057 Al Qur'An Al Falahal 1 Ds.Karangampelgang 6 Krpl. Jawa Barat Indramayu Karangampel Karangampel 45283
510032120058 Tarbiyatul Mubtadiin 1 Ds.Cangkring Karangampel Jawa Barat Indramayu Karangampel Tanjungsari 45283
510032120060 Mambaul Hisyan 1 Jl. Raya Kaplongan Kec. Karangampel Jawa Barat Indramayu Karangampel Kaplongan 45283
510032120061 Raudlatul Hidayah 1 Ds. Sukamanah, Kec. Karangampel Jawa Barat Indramayu Karangampel Sukamanah 45283
510032120062 Raud Muta'Alimin 1 Ds. Kedokan Agung Pipisan Karangampel Jawa Barat Indramayu Karangampel Kedokanagung 45283
510032120063 Nurul Fajar Al-Ma`sum 2 Jl. Raya Segeran RT. 06 RW. 03 Desa Segeran 081324515708 Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Segeran 45282
510032120064 Darul Quranil Karim 1 Ds. Segeran Kidul Kec. Juntinyuat 0234484926 Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Segeran Kidul 45282
510032120065 Al - Ikhlas 1 Ds. Segeran Kidul, Kec. Juntinyuat 0234485195 Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Segeran Kidul 45282
510032120066 Miftahul Huda 2 Jl. KH. Hasyim Asy`ari No. 1 Segeran Kidul 0234485176 Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Segeran Kidul 45282
510032120068 Darussalam 1 Jl. Raya Tugu, Kec. Sliyeg Jawa Barat Indramayu Sliyeg Tugu 45281
510032120069 Darussalam 1 Ds.Tambi Kec. Sliyeg Jawa Barat Indramayu Sliyeg Tambi 45281
510032120070 Al-Hikmah 1 Jl.Siliwangi No.2 Sliyeg Jawa Barat Indramayu Sliyeg Sliyeg 45281
510032120071 Darussalam 1 Ds. Sukalila, Jatibarang Jawa Barat Indramayu Jatibarang Sukalila 45273
510032120072 Hidayatusshibyan 1 Jl. Raya Srengseng 082315592690 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Srengseng 45284
510032120073 Al Ishlah Tajug 2 Ds. Sudimampir Kec. Balongan 089648438359 Jawa Barat Indramayu Balongan Sudimampir 45285
510032120074 Al - Hidayah 1 Ds. Lemahmekar, Kec. Indramayu Jawa Barat Indramayu Indramayu Lemahmekar 45212
510032120075 Raudlatul Ulum 1 Ds. Paoman, Kec. Indramayu Jawa Barat Indramayu Indramayu Paoman 45211
510032120076 Darun Nahwi 2 Ds. Singajaya, Kec. Indramayu 0234275249 Jawa Barat Indramayu Indramayu Singajaya 45218
510032120077 Raudlatut Tholibien 1 Jl. Ir. H. Juanda No. 33 Rt.05 Rw.02 Desa Singajaya 0234275818 Jawa Barat Indramayu Indramayu Singajaya 45218
510032120078 Al - Fatah 1 Ds. Wotbogor, Kec. Indramayu 0234275245 Jawa Barat Indramayu Indramayu Wotbogor 45218
510032120079 Raud. Muta'Alimin 1 Ds. Singaraja, Kec. Indramayu 0234428166 Jawa Barat Indramayu Indramayu Singaraja 45218
510032120080 I'Anatul Mubtadiin 2 Ds.Dukuh Indramayu Jawa Barat Indramayu Indramayu Dukuh 45215
510032120081 Mahad Imam Mujadid As-Safii 1 Kel. Bojongsari Jawa Barat Indramayu Indramayu Bojongsari 45214
510032120082 Al - Washliyah 2 Jl. P Darmakusuma Kec. Sindang Jawa Barat Indramayu Sindang Sindang 45222
510032120083 Al Urwatul Wutsqo 2 Jl. Sempurna No. 32, Desa Terusan 081224880855 Jawa Barat Indramayu Sindang Terusan 45222
510032120084 Darussa'Adah 1 Ds. Dermayu, Kec. Sindang Jawa Barat Indramayu Sindang Dermayu 45223
510032120085 Nurul Iman 1 Ds. Penganjang, Kec Sindang Jawa Barat Indramayu Sindang Penganjang 45221
510032120086 Ribath Arrohmah Annabawiyyah 1 Ds. Sindang Jawa Barat Indramayu Sindang Sindang 45222
510032120087 Tathmainul Qulub 1 Ds. Panyindangan Wetan Sindang Jawa Barat Indramayu Sindang Panyindangan Wetan 45225
510032120088 Nadwatul Ummah 1 Ds. Cantigi Wetan Kec. Cantigi 081320426941 Jawa Barat Indramayu Cantigi Cantigi 45258
510032120089 Nurul Qur'An 1 Ds. Legok, Kec.Lohbener Jawa Barat Indramayu Lohbener Legok 45252
510032120090 Nurul Huda 1 Jl Ponpes. Nurul Huda, Kec. Lohbener Jawa Barat Indramayu Lohbener Lohbener 45252
510032120091 Al - Mu'Minien 2 Jl.Gapura Hijau Jongkara No.17-222 Lohbener Indramayu Jawa Barat 081324520585 Jawa Barat Indramayu Lohbener Lohbener 45252
510032120092 Al - Ma'Unah 1 Jl. Karangmalang Ds. Pamayahan, Lohbener Jawa Barat Indramayu Lohbener Pamayahan 45252
510032120093 Darul Ma'Arif 1 Jl. Surya Negara Lohbener 08122432913 Jawa Barat Indramayu Lohbener Lohbener 45252
510032120094 Fatahillah 2 Ds/Kec. Lohbener Jawa Barat Indramayu Lohbener Lohbener 45252
510032120095 Hidayatul Ma'Arif 1 Jl. Raya Langut Lohbener 02347010147 Jawa Barat Indramayu Lohbener Langut 45252
510032120097 Attarbiyah Wata'Lim 1 Jl Raya Cidempet Kec. Arahan Jawa Barat Indramayu Arahan Cidempet 45365
Kab./Kota Kecamatan Desa/Kelurahan Kode PosNSPP Nama Pondok Pesantren Tipe Alamat Telepon Provinsi
510032120098 Mambaul Falah 1 Ds. Pranggong Arahan Jawa Barat Indramayu Arahan Pranggong 45365
510032120099 Darul Istiqomah 1 Ds. Pangkalan, Kec. Losarang Jawa Barat Indramayu Losarang Pangkalan 45253
510032120100 Darul Hikmah 2 Jl. Raya Pangkalan, Kec. Losarang 0234505104 Jawa Barat Indramayu Losarang Pangkalan 45253
510032120101 Darul Hikmah Mq 1 Desa Jumbleng 085224532657 Jawa Barat Indramayu Losarang Jumbleng 45253
510032120102 Roud. Mutaalimin 1 Ds. Losarang, Losarang Jawa Barat Indramayu Losarang Losarang 45253
510032120103 Syarif Hidayatullah 1 By Pass Karangsinom, Kec. Kandanghaur Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Karangsinom 45254
510032120104 Al-Mukhlashun 1 Jl. Irigasi, Wirakanan Kec. Kandanghaur 08121479541 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Wirakanan 45254
510032120105 Asy Syahid 1 Ds. Wirapanjunan Kec. Kandanghaur Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Wirapanjunan 45254
510032120106 Al-Amin 2 Jl. PU Kemped 085323529599 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Wirakanan 45254
510032120107 Nurul Muthma'Inah 1 Desa Ilir Kec. Kandanghaur Kab. Indramayu 02345508941 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Ilir 45254
510032120108 At Taufiq 1 Ds. Eretan Kulon Kec. Kandanghaur 0234507969 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Eretan Kulon 45254
510032120109 Darussalam 2 Ds. Eretan, Kandanghaur 0234507233 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Eretan 45254
510032120111 Walisanga 1 Blok Kanem Desa Cipedang 085220000718 Jawa Barat Indramayu Bongas Cipedang 45255
510032120112 Daarul Sa'Adah 1 Jalan Raya Kertamulya No. 313 0234612551 Jawa Barat Indramayu Bongas Kertamulya 45255
510032120113 Aisyah Al Ma'Sumiyah 1 Gang H. Sholeh Blok Kibuyut Rt.002/Rw.001Desa Kertajaya 085221626003 Jawa Barat Indramayu Bongas Kertajaya 45255
510032120114 Darul Hikmah 1 Desa Bugistua Rt. 07/03 Dusun Bedengsatu 081232505979 Jawa Barat Indramayu Anjatan Bugistua 45256
510032120115 Miftahul Huda 1 Jl. Irigasi Timur, Lempuyang Kec. Anjatan Jawa Barat Indramayu Anjatan Lempuyang 45256
510032120116 Nurul Iman 1 Jl. Irigasi Barat, Lempuyang Kec. Anjatan Jawa Barat Indramayu Anjatan Lempuyang 45256
510032120117 Tarbiyah Asyafi'Iyah 1 Ds. Salam Darma, Kec. Anjatan Jawa Barat Indramayu Anjatan Salamdarma 45256
510032120118 Darussalam 1 Jl.Irigasi Timur Desa Lempuyang Rt/Rw 03/03 082128303951 Jawa Barat Indramayu Anjatan Lempuyang 45256
510032120119 Darul Hikmah Attarbawi 1 Ds. Kongsijaya, Anjatan Jawa Barat Indramayu Anjatan Kongsijaya 45256
510032120120 Hidayatul Mubtadi'En 1 Desa Bugistua Dusun Salamdarma Rt. 05/02 081321082716 Jawa Barat Indramayu Anjatan Salamdarma 45256
510032120121 Nur Ala Darbi 1 Ds. Salam Darma Kec. Anjatan Jawa Barat Indramayu Anjatan Salamdarma 45256
510032120122 Mambaul Hikam 1 Jl. Raya Patrol 085321202121 Jawa Barat Indramayu Patrol Patrol 45257
510032120123 Sunan Gunung Jati 1 Blok Bunder, Sukra 0234610182 Jawa Barat Indramayu Sukra Sukra 45257
510032120124 Hidayaturrahman 2 Jl. Raya Sukra No. 11 - 12 081318486095 Jawa Barat Indramayu Sukra Sukra 45257
510032120125 Raudlotussalafiyah 1 By Pass Sumuradem Rt.02/02 082121702698 Jawa Barat Indramayu Sukra Sumuradem 45257
510032120126 Assalam 1 By Pass Sumuradem Rt. 004/003 085353186944 Jawa Barat Indramayu Sukra Sumuradem 45257
510032120127 Riyadul Jannah 1 Ds. Sumuradem, Sukra Jawa Barat Indramayu Sukra Sumuradem 45257
510032120128 Al - Islah 1 By Pass Sumuradem 082128818867 Jawa Barat Indramayu Sukra Sumuradem 45257
510032120129 Darussalam 1 Desa Sumuradem Timur Rt.05/04 085724123997 Jawa Barat Indramayu Sukra Sumuradem 45257
510032120130 Mambaul Ilmi 1 Ds. Ujunggebang, Sukra Jawa Barat Indramayu Sukra Ujunggebang 45257
510032120131 Asyarifiyyah 1 Desa Patrol Bunder, Gg. Kh. Syarif 081222180755 Jawa Barat Indramayu Patrol Patrol 45257
510032120132 Madinatun Najah 1 Ds. Sukra 08122133357 Jawa Barat Indramayu Sukra Sukra 45257
510032120133 Amanah 1 Jl. Dampu Awang No. 90 Jawa Barat Indramayu Karangampel Karangampel 45283
510032120134 Nahdlatul Bahriyah 2 Jl. Raya Cantigi 082126544653 Jawa Barat Indramayu Cantigi Cantigi Kulon 45251
510032120136 Tahfidzul Qur'an 1 Jl. Raya Kaplongan Lor Rt.03/01 081324219990 Jawa Barat Indramayu Karangampel Kaplongan Lor 45283
510032120137 Nahdatut Thulab 1 Ds. Tulungagung,Kertasemaya 0813241933 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tulungagung 45274
510032120138 Hidayaturrohman 2 Ds.Lemahayu No.153Rt.05Rw.02Ksmy 0813242422742 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Lemahayu 45274
510032120139 Ummul Qurro 2 Ds.Lemahayu Rt 06 Rw.03 Kertasemaya 08122209906 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Lemahayu 45274
510032120140 Assalafiyah 2 Kalianyar-krangkeng-indramayu 08112404048 Jawa Barat Indramayu Krangkeng kalianyar 45284
510032120141 Nurul Qur'an 2 Kapringan-Krangkeng-Indramayu 082121343775 Jawa Barat indramayu Krangkeng Kapringan 45284
510032120142 Majmaul Ummah 1 Jl.Satria No.3 Rt/Rw. 07/02 Cemeti Kedokanbunder Wetan. 082127674488 Jawa Barat Indramayu Kedokan Bunder Kedokanbunder Wetan 45283
510032120143 Al Mu'Amilin Mu'Amilat 1 Ds. Tanjung Sari Karangampel 0234486805 Jawa Barat Indramayu Karangampel Tanjungsari 45283
510032120144 Roudlatul Banin 1 Jl. Pancoran Mas No. 20 Lobener Jtb. 0234353586 Jawa Barat Indramayu Jatibarang Pancoran Mas 45273
510032120145 Darussalam 1 Ds. Linggajati Kec. Arahan Jawa Barat Indramayu Arahan Linggajati 45365
510032120146 As - Sakienah 2 Jl. Raya Pu Tugu, Kec. Sliyeg 0234353064 Jawa Barat Indramayu Sliyeg Tugu 45281
510032120147 Darul Falah Bongas 2 Jl. Tundagan Desa Margamulya 0234611155 Jawa Barat Indramayu Bongas Margamulya 45255
510032120148 Anak Yatim Al-Barkah 1 Ds. Anjatan Utara Jawa Barat Indramayu Anjatan Anjatan Utara 45256
510032120149 Darul Fikri 1 Blok Karangpalu- Bongas Pentil 085200300400 Jawa Barat Indramayu Bongas Bongas Pentil 45255
510032120150 Al-Karimiyyah 1 Jl. Pu Simpang Tiga Blok Ii Ds. Kedokangabus Jawa Barat Indramayu Gabuswetan Kedokangabus 45263
510032120151 Hidayatul Muchsinin 1 Ds. Sanca Rt./Rw. 04/01 082318509375 Jawa Barat Indramayu Gantar Sanca 45264
510032120152 Darussurur 1 Kel. Bojongsari Jawa Barat Indramayu Indramayu Bojongsari 45214
510032120153 Nurul Islam 2 Jl. Raya Tinumpuk Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu Jawa Barat Indramayu Juntinyuat Tinumpuk 45282
510032120154 Hasanudin 2 Ds. Eretan Kulon, Jl. Kud Minabahari 081320607526 Jawa Barat Indramayu Kandanghaur Eretan Kulon 45254
510032120155 Nurul Huda 1 Ds. Tanjungsari Blok Karangmoncol Jawa Barat Indramayu Karangampel Tanjungsari 45283
510032120156 Darul Ma'Arif 1 Ds. Karangampel Jawa Barat Indramayu Karangampel Karangampel 45283
510032120157 Darul Qur'An 2 Jl. Habib Keling Underan Ds. Pringgacala Jawa Barat Indramayu Karangampel Pringgacala 45283
510032120158 Raudlatus Salafiyah 1 Ds. Kedungwungu Rt. 11 Rw. 03 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Kedungwungu 45284
510032120159 Hidayatul Muta'Alimin 1 Jl. Kh. Syarkowi No. 06 Tegalmulya Jawa Barat Indramayu Krangkeng Tegalmulya 45284
510032120160 Assafi'Iyah 1 Jl. Siliwangi No. 10 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Krangkeng 45284
510032120161 Nurul Anshor 1 Jl. Ki Daya Lautan No. 09 Ds. Kapringan 085295838878 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Kapringan 45284
510032120162 Al ittihad 2 Dukuhjati-Krangkeng-Inramayu 081324354219 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120163 Al amin 1 Dukuhjati-Krangkeng-Inramayu 085223046078 Jawa Barat Indramayu Krangkeng Dukuhjati 45284
510032120164 Tarbiyatul Athfal 2 Desa Temiyangsari Blok Bangong 085224998633 Jawa Barat Indramayu Kroya Temiyangsari 45265
510032120165 Roudhotul Ma'Arif 1 Ds. Sliyeg Blok Mangir Jawa Barat Indramayu Sliyeg Sliyeg 45281
510032120166 Al-Muta'Allimin 1 Ds. Sukagumiwang Jawa Barat Indramayu Sukagumiwang Sukagumiwang 45274
510032120167 Bina Prestasi Insani 1 Ds. Sumuradem, No. 42 08122133357 Jawa Barat Indramayu Sukra Sumuradem 45257
510032120168 Nurul Qur'An 1 Ds. Jatimulya 081324631172 Jawa Barat Indramayu Terisi Jatimulya 45262
510032120169 Nurul Amien 1 Jl. Ry. Sukadana No. 2008 Sukadana Jawa Barat Indramayu Tukdana Sukadana 45272
510032120170 As Sattari 1 Jl. Raya Tukdana Rt. 06/03 Jawa Barat Indramayu Tukdana Tukdana 45272
510032120171 Baburroyyan 1 Jl. Brawijaya 081324224624 Jawa Barat Indramayu Pasekan Brondong 45219
510032120172 Baiturrohim 1 Terisi Jawa Barat Indramayu Terisi Terisi
510032120173 Nurul Hikmah 1 Jl. Raya Tanjungsari No. 30 Karangampel 085295789999 Jawa Barat Indramayu Karangampel Tanjungsari 45283
510032120174 Quantum Qur'ani 2 Jl. Olah Raga No 20 - 21 087717723885 Jawa Barat Indramayu Indramayu Karanganyar 45213
510032120175 Assalam 1 Jl. Raya Bulak Blok Roma 0234356121 Jawa Barat Indramayu Jatibarang Bulak 45273
510032120176 Dar Ihya Al Turats Al Islamy 1 Tulungagung 081324279018 Jawa Barat Indramayu Kertasemaya Tulungagung 45274
510032120177 Manba'ul Ulum 1 Ds. Pranggong RT/RW. 16/03 Blok Waled 087727713745 Jawa Barat Indramayu Arahan Arahan 45365
510032120178 Islamic Boarding School Al Hikmah 2 Blok Balong Adem RT/RW 11/04 Wanguk 081222110748 Jawa Barat Indramayu Anjatan Wanguk 45256
510032120179 Hidayatut Tolibin 2 Jl. Patimura 081392000628 Jawa Barat Indramayu Pasekan Karanganyar 45219
510032120043 Assalafiyah 1 Desa Tamansari Blok Tegal Bedug 081283972229 Jawa Barat Indramayu Lelea Tamansari 45261
510032120051 Al-Falah 2 Blok Balai Desa, Telagasari 081912993931 Jawa Barat Indramayu Lelea Telagasari 45261
510032120181 Ibnu Abbas 2 Jl. Raya Sukra No. 34 081223381490 Jawa Barat Indramayu Sukra Sukra 45257
510032120183 Hasymbaick Ummul Quro 2 Jl. Kyai Machfudz No. 01 Lungmalang 085721355738 Jawa Barat Indramayu Anjatan Bugis 45256
510032120180 Daarul Qur'an Ash-Shobuniyyah 2 Desa Loyang RT/RW. 04/01 085216037349 Jawa Barat Indramayu Cikedung Loyang 45262
BIOGRAFI PENULIS
NURKHOLIS SOFWAN lahir di Indramayu pada 3 Oktober 1992 dari pasangan SOFWAN dan UMI KULSUM. Pendidikan dasarnya di-mulai di SDN Tenajar Lor II (1998-2004), kemudian melanjutkan ke SMP NU Tenajar Kidul (2004-2007), dan MA PUI Tenajar Lor (2007-2010). Pendidikan Sarjana (S1) dan
Program Magister (S2) ia tempuh di Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2010-2014 dan 2015-2018.
Ia aktif di berbagai organisasi, seperti menjadi Sekretaris Umum di organisasi Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jabodetabek pada 2012-2014, Ketua Bidang Partisipasi Pemberdayaan Daerah di organisasi Persatuan Mahasiswa Indramayu (Permai -Ayu) DKI Jakarta pada 2011-2012, Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2012. Ia juga aktif di Lembaga Pendidikan pada Yayasan Anak-Anak Kreatif Indonesia (YAAKIN) sejak 2014 hingga Sekarang.