Lima Laknat Malam Kliwon
-
Upload
koncekbareben -
Category
Documents
-
view
277 -
download
11
Transcript of Lima Laknat Malam Kliwon
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
1/96
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
2/96
BASTIAN TITO
TTIIGGAA DDAALLAAMM
SSAATTUU
Sumber: Bastian TitoEBook: Fujidenkikagawa
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
3/96
WIRO SABLENG
MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN
UKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng
yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto
Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan
bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto
Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana
Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan
kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja
sendiri yaltu Pangeran Jingga.
Tugas ke tiga orang itu dalam membantu me-nyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak
dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain
Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan
Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek
Kelabang Merah (mati).
Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa
pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantukaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden
Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan
Turonggo Wesi(Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati).
Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau
mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan
sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga
rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telagarahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng
ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".
B
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
4/96
Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati
melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu
mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan
dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212
terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu
ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama
digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak
pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam
sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang
bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau
mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang
murid?
Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya
merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata
pada sang guru.
"Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada
guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada
muridnya!"Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada
sang murid dengan wajah merah dan membentak.
"Apa maksudmu anak sableng?"
"Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik
sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan
tubuh kelabang sakti!"
"Hemm... begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orangitu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu
sekarang, anak sableng...?"
"Dua... dua puluh satu Eyang!"
"Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh
sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mengapa begitu, Eyang?""Selama sepasang matamu masih terpikat pada
keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
5/96
melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus
mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang
terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal
dapat menguasal ilmu itu!"
Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro
Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang
guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya.
"Ah... nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka
melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha
putih. Ha... ha ha.... Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu!
Ha... ha... ha!"
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
6/96
WIRO SABLENG
DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD
IRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya
telah menggelincir jauh ke barat.Sebentar lagi sang mentari ini akan segera
tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah
merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat
itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro
hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara
gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasahaus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya
suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro
hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran
bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu
tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di
sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro
melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatapke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu.
"Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu
senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Jangan-
jangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan
dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik
sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir
begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng danmenegur.
"Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata
nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem-
W
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
7/96
bersihkan diri dengan air pancuran?"
"Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa
yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandi-
mandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata
melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah
pancuran.
Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata.
"Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu
dan pakaianmu tidak bau pesing!"
"Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam
hati?!"
Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau.
"Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam
hati!"
Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak
berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini.
Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada
ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kaumendadak berubah pikiran?"
"Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana
yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi
setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto
Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja
menatap ke arah pancuran bambu.
"Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empatpuluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua
jalur sinar biru itu sekarang juga...."
"Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku
di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah
melihat aku berubah pikiran?!"
"Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih
senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi per-timbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah.
Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
8/96
rimba persilatan semakin besar. Hingga...."
"Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu
dua larik sinar biru itu! Begitu?!"
"Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar.
Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala
si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot
digembungkan.
"Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai
aku menggebukmu karena muak!"
"Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu
marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak
untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa
perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu
itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong
sesama.... "
Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa
mengekeh.
"Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agarhatiku bisa terenyuh! Hik... hik... hik! Sekalipun angin sejuk
atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto
Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan
mengganggu diriku lebih lama!"
Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak
Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku
memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lamaberada di tempat ini...."
"Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani
melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air
pancuran.
"Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar
sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma
punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling sukamenggeragot benda jelek dan bau-bau!"
"Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
9/96
bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku!
Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau
memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng
gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid.
Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat.
Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal
Eyang.... " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon
bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di
belakangnya terdengar si nenek berseru.
"Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!"
Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar
berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan
ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu
memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti
emas...." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat
gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap
menatap ke arah pancuran bambu.
"Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kausampaikan padaku?"
"Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan
pertanyaan.
Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga
si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata
malah mengajukan pertanyaan aneh.
"Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmumendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto
Gendeng membentak.
Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari
ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum'at...."
"Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan
nanti malam Jum'at! Yang aku ingin tanya malam nanti
malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atauKliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun
masih saja konyol dan geblek!"
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
10/96
Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia
berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali
malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon, Nek...."
Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya
dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan
bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek
menghardik.
Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada
perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit
pembalut tulang itu. "Aku... aku yakin malam nanti adalah
malam Jum'at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi.
"Kau yakin?!"
"Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa
heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia
memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek
berubah.
"Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum'at
Kliwon ya sudah! Pergi sana....""Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek?
Jadi sekarang aku pergi saja?"
"Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng.
"Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa
kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro.
"Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!"
jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arahpancuran bambu.
Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum
Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau
sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya
sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang
berganti malam. Kegelapan mulai merayap pekat.
Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan duatangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk.
Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
11/96
gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam
mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik.
Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya
"Mereka sudah datang..." kata si nenek dalam hati.
"Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima
Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada
yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku
mau lihat apa benar begitu! Hik... hik... hik."
***
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
12/96
WIRO SABLENG
DENDAM DELAPAN TAHUN
INTO GENDENG!" satu suara membentak
dalam kegelapan. Orangnya tegak mendekam di sebelah kanan si nenek. "Delapan
tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran
kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir!
Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan
padamu untuk bertobat minta ampun!"
Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu
terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahansaja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang
dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka
menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang
lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada
yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menem-
pelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan.
"Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah danpertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi
ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan
berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir
di pinggir comberan liang kubur!
Hik... hik... hik!"
Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang
mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun merekamasih bisa mengendalikan diri.
"Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa
Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti
S
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
13/96
pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya.
"Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata
mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat
senjata sendiri?!"
"Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata
orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika
kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih
mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha...
ha... ha!
"Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau
hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa
hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud
lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar
kalau kubunuh kalian satu
persatu aku tidak penasaran lagi! Hik... hik... hik!" Sinto
Gendeng balas tertawa.
Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus
marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak olehsi nenek sambil jentikkan tangan kanannya.
"Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!"
"Wuuussss!"
Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin
yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang
yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat
bersurut dan tegak diam di tempatnya."Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan
awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!"
"Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah
kanan berucap datar.
"Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemana-
mana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik...
hik!""Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan
nyawa dan darahmu!"
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
14/96
"Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang
majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!"
Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat
temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu
mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana
berbahayanya Sinto Gendeng.
"Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka
barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng
geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik
empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan
juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing.
"Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang
rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto
Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa
yang kami bawa!"
"Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia
berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja
menjalani hidup dengan menutup muka! Hik... hik... hik.Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan
menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut
hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang
menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual
nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" .
"Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak
perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelahkanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala
pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah
hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai
saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran
bambu.
"Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget
ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi diatas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong.
Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
15/96
cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan
sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa
molos! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan!" '
Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai
Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama
menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan
serta merta menghantam.
"Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang.
"Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada
mental berantakan.
"Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di
hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung
tenaga dalam tinggi.
"Hik... hik... hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di
sini!"
Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang.
Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di
belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulanyang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahu-
tahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air
pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan
susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah
terkempot-kempot!
"Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan
jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orangbertopeng berteriak marah.
Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke
udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya
kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan
laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto
Gendeng!
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
16/96
WIRO SABLENG
LAKNAT BERNASIB MALANG
ARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin
yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau
lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa
dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau
berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah
lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri
ditendangkan ke depan.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
"Dukkkk!"
Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu
bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak
jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah.
Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si
nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari
lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambilmengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah,
menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia
cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri
kembali dan bergabung dengan empat temannya.
Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin
hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan
sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus dimuka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan
di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu
D
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
17/96
benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu
waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima
pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur
terkempot-kempot dan termonyong-monyong.
Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat
Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto
Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti
Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera,
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih.
Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurus-
jurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang,
Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung
Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan.
Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti
Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan
Angin Puyuh.
Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali
mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan sajamampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan
ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri
masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak
lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak
bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng.
Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk
mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari limapengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan
jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir
serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto
Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung
seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan
dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang
disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus inimempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh
lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
18/96
bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang!
"Braaakkk!"
Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada
lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya
juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto
Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di
tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah
topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon
menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik
pada kawan di sebelahnya.
"Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya
menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini
sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawan-
kawan, agar segera tinggalkan tempat ini!"
"Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan
bertanya.
"Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat
keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kitamenghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal
kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar.
Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan
Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang
dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!"
"Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu
ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar diamemiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh
itu!"
"Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus
lebih dulu silahkan tinggal di sini!"
Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia
berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera
berkelebat melarikan diri.Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah.
Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
19/96
itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya
lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawan-
kawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada
kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon!
Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di
malam Kliwon ini! Hik... hik... hik!"
Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak
di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak
mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan
darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya.
Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus
hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng
tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya
tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara
seruan tertahan dan tersurut dua langkah.
"Kau!"
***
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
20/96
WIRO SABLENG
BAHALA DARI TELUK AKHIRAT
RANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara
mengerang. Darah semakin banyak keluar darimulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto
Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek
berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta
dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih
kelihatan gagah.
"Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak
salah melihat? Benar kau...?!" Sepasang mata si nenekmelotot tak berkesip.
Si kakek kedipkan matanya satu kali.
"Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku... Suro
Ageng...."
Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping
kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak
bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini...? Ah! Kalau akutahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan
tangan jahat...."
"Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima
akibat! Itu nasib diriku!"
"Suro...." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek
hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa
kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?""Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku
dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan
kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan
O
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
21/96
memberikan obat penawar!"
"Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan
Lima Laknat Malam Kliwon itu?"
"Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk
menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau
selalu balk-baik Sinto?"
Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah
yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek
tampak berkaca-kaca.
"Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu
terhadapku seperti di masa muda dulu.... "
"Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi
kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan
gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin.
"Ah, kau masih galak seperti dulu saja..." kata Suro
Ageng menyeringai lalu mengerang kesakitan.
Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si
kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuhdan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek
meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng
gelengkan kepala dan berkata.
"Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu
pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya
Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku
agaknya sudah remuk....""Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!"
kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul
kepalanya sendiri.
Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku
merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal
menemui ajal di sampingmu...." Darah mengucur lagi dari
mulut si kakek."Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau
pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
22/96
pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat
ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa
yang dilakukan Sinto Gendeng.
Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan
bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong
dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau
busuknya binatang hutan.
"Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam
dirimu..." kata Suro Ageng.
"Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku
hendak menolongmu!"
"Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama
Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu
orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng
dan Suro Ageng.
Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping
mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang
menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Duamatanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam.
Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama
terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat
berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah
mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan.
Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian
darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dariTeluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto...."
"Aku ingat. Siapa takut...!"
"Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan
menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu
jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa
saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan
tidak berbau!""Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi
monyet tangan panjang ini!"
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
23/96
Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan
ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok
orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan
dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas
tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek
sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua
tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang.
"Plaakkk!"
"Plaakkk!"
Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar
memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat
gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke
atas. Si nenek tercekat!
Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu
kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan
sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar
merah memandang membersitkan maut pada Sinto
Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigiruncing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar
raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang
yang memegangnya.
"Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil"
Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah
alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba duakelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto
Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam
mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan
angin kencang.
"Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto!
Lekas menyingkir!"
Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetapsaja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan
pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
24/96
semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa
beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek
berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi
membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka
karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau
itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke
dua orang itu megap-megap roboh ke tanah.
"Plaakk!"
"Plaakk!"
Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang
yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai
pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta
lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa
bergelak dia tinggalkan tempat itu.
***
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
25/96
WIRO SABLENG
PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT
I SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya.
Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang
membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat
akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si
nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti
biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu
malam apa.
Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihatempat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan
semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu
tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh
silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro.
"Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka
setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari
rombongan di dalam gelap berkata.Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah
hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa
gerangan orang-orang ini..." pikir Wiro. Lalu didengarnya
salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan
kawannya tadi.
"Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar
riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yangmenghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai
terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting."
"Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi
D
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
26/96
menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui.
Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah
timur dan lenyap dalam kegelapan.
Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil
usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke
empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya
mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang
disebutsetan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?"
Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro
memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan
Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui
sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan
tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan
lanjutkan perjalanan.
Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me
nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka
dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia
meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapakejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak
di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut
mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang
kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari
mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya
kelihatan nyalang.
"Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkankepala si nenek di atas pangkuannya.
Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit.
"Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah
sapu tangan hitam dalam saku pakaianku...."
"Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro
memotong ucapan orang.
"Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendengdalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa
kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
27/96
tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih,
dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut
Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai
terlambat!"
Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera
lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan
pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai
sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada
empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua
berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang
dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke
dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto
Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati
tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke
dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan
keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul
asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan
menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi."Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat
obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya
siap hendak menggebuk batok kepala si kakek.
"Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu
menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah
bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting
Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian.Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan
denyutan nadi tanda dia masih hidup...."
Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto
Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada
denyutan pada urat besar si nenek.
"Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi.
Dan kau sendiri siapa?""Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku
meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
28/96
tahu.... Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari
kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke
bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satu-
satunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah
mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh
menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada
saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil
mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan
dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari
kelumpuhan...."
"Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang
katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan
malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?"
"Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar
Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia
menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa
Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari
kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidakkelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih
berat dari udara maka hawa beracun ini selalu
mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang
bisa lolos dari kematian...."
"Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung
Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia
keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai!Kau belum menerangkan siapa dirimu!"
"Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa
muda.... Aku...."
"Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong....
Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada
Eyang Sinto Gendeng?"
"Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untukgurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi
berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
29/96
memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku
sendiri sudah pasrah menghadapi maut...."
"Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya
memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur
topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas
ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya
sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si
kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah
hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang
Sinto Gendeng jadi curiga.
"Kek, sebelumnya aku melihat empat orang me-
ngenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau
kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan
mereka...?"
"Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat
Malam Kliwon?"
"Pernah..." jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya
guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankahmalam ini malam Jum'at Kliwon? Berarti...!" Sepasang mata
sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah
satu dari mereka!"
Suro Ageng mengangguk perlahan.
Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika
Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti
ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangankalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!"
"Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak
kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal...."
"Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak
perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!"
Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk
batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidakbergerak, berkedippun tidak seolah pasrah.
Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
30/96
"Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku
dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!"
"Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak
bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri
ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.
Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak
merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai
pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai
pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya
melayang sudah.
***
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
31/96
WIRO SABLENG
SINTO GENDENG LUMPUH
OSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar
erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanyaWiro yang duduk memangku kepala gurunya.
"Kepalaku berat.... Mataku sulit dibuka. Tapi aku
mendengar suaramu. Anak setan.... Apa yang terjadi
dengan diriku. Aku... aku tidak mampu menggerakkan dua
kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk...."
"Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak
bicara....""Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak
Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut
tulang kelihatan pucat.
"Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku
ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan...."
"Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak
sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya SintoGendeng pula.
"Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa
Kematian...."
Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit,
makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang
mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan
tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkandua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng
hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa
pasrah.
S
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
32/96
"Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat.... Dia
yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat
puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung.
Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker.
"Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh
benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan
memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi
terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari
dan membunuhnya...."
"Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan
segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan
bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek
bernama Suro Ageng itu...."
"Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu
setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek
berputar.
"Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu.
Mati akibat Seribu Hawa Kematian."Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan
kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di
sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si
kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya
sesenggukan. "Suro.... Kalau saja dulu aku menerima
lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan
mengalami nasib seperti ini. Ah...."Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru.
Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek
ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda...?"
Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanya-
tanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si
nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu
banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya takpernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti
itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru.
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
33/96
Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat
beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan.
"Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja me-
ngorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku!
Suro.... Sungguh tinggi budimu...."
"Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu
menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa
menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari
yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada
saat gerhana matahari...."
Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit.
"Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan
obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang
lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau
mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat!
Anak setan! Apakah kau sudah siap?!"
"Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran.
"Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat!Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!"
"Eyang.... Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau.... Kau
tak bisa berjalan sendiri...."
"Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa
lagi onta tunggangan!" jawab si nenek.
"Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang
cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yangharus kita lakukan...."
"Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan
kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!"
Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia
hendak membantu si nenek berdiri pandangannya
membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki
Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya."Benda apa itu...?" Sinto Gendeng bertanya.
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
34/96
Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro
menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari
perak. Rantainya sudah putus...."
"Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek.
"Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari
komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya
makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu.... "
"Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan
pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon
serta Kelelawar Pemancung Roh!"
Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan
kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya.
"Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata
Sinto Gendeng.
"Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi
pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama
Suro Ageng In!?""Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi
kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang
untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah.
Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh
dari sini!"
"Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!"
ujar Wiro pula."Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek
seraya menyeringai.
"Memangnya kau bisa terbang, Nek?"
"Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!"
Wiro keheranan tak mengerti.
"Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa,
berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik... hik... hik....""Nek! Kau...."
"Jangan berani membantah perintah seorang guru!"
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
35/96
"Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja
kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di
atas bahu!"
"Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung
bayi di depan dada? Hik... hik... hik!"
"Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu..."
kata Wiro pula.
"Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma
mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo
tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!"
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar!
Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur
badannya bau pesirfg begini rupa!"
"Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu
anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau
tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus
hubungan kita sebagai murid dan guru!"Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia
memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya
lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya
kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air
kencing yang menempeli kain panjang butut yang
dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212
menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak.Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan
badannya seperti anak kacil keenakan.
"Uh.... Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum
melangkah.
"Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal
tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak
rambut gondrong muridnya.
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
36/96
"Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat
mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa
muda!" jawab Pendekar 212 pula.
Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro
lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan.
"Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku
seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita,
weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan
tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto
Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri
Wiro. "Ayo jalan!"
"Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku
segera jalan!" teriak Wiro kesakitan.
"Nah bagus kalau begitu! Hik... hik... hik...."
Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi
telinga kiri Wiro.
"Nek...!"
"Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidakbodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana.
Mengapa kau menuju ke arah timur?"
"Anu Nek.... Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek
Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa
tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana
caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat...."
"Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambutgondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah
kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang
beberapa lama...." Sinto Gendeng rangkapkan dua
tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat
kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan.
"Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia
enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara akusengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau
sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
37/96
pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas,
yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing
tubuh dan kain panjang butut si nenek!
TAMAT
Segera terbit:SERIBU HAWA KEMATIAN
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
38/96
ARIO BLEDEK
KI SURO GUSTI BENDORO
ARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sangsurya berada di titik tertinggi. Tidak seperti
biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali
tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari
yang tidak terhalang menebar terik mulai dari puncak
sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak
sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan
kesunyian mencekam hampir di setiap penjuru.Ketika serombongan burung pipit melayang di langit
sebelah utara, sayup-sayup dari arah lereng gunung
sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai
suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah
bergetar seolah ada sesuatu menjalar melewatinya
sepanjang lereng.
Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suaraberkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras.
Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara
kerapatan pepohonan kelihatan seorang kakek berjubah
putih berlari laksana angin menuju puncak Gunung
Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang
melambai-lambai. Wajahnya yang lanjut dimakan usia
walau penuh keriput namun tampak jernih,membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan
kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning.
Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar
H
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
39/96
yang bergesek dengan udara itulah sumber suara yang
terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak
berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau
tidak menyaksikan sendirl.
Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur
ratusan ular berbagai bentuk dan warna. Binatang ini
meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya si orang
tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada
hentinya mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh
mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara
menggemuruh di tanah. Sesekali kakek ini berpaling ke
belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatang-binatang
itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya
berkata. "Tuhan memberi akal pikiran dan perasaan hati
pada manusia. Yang membuatnya lebih agung dan
membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang
binatang memiliki alam pikiran dan hati sanubari yang
lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu, merekamenunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia
memilikinya...."
Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang
pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari
tambah membakar. Di mana-mana kini tampak
berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran.
Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengarsuara langkah-langkah kaki kuda, bergerak ke arah orang
tua berjubah putih yang sementara mendaki ke jurusan
berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan
menatap ke depan.
"Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak
gunung. Apa lagi gunung tinggi seperti Mahameru ini.
Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kudasembarangan. Mungkin sekali kuda yang biasa
dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
40/96
masih sangat kacau. Bukan mustahil.... "
Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor
kuda besar, satu berwarna coklat, satunya hitam berkilat
muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki kuda yang tebal
dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang
sengaja diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak
gunung atau kawasan berbatu-batu.
Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh
besar, berkulit sangat hitam. Dari pakaian dan bentuk
gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas dia
adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini
memegang sebuah obor besar di tangan kirinya sementara
tangan kanan menahan tali kekang kuda tunggangannya.
Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang
kelihatan garang duduk gagah seorang kakek berjubah
kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan mahal. Di
tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada
ujung tombak terikat sebuah bendera berbentuk segi tigaberwarna kuning.
Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular
mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu
angkat tangan kanannya. Binatang-binatang yang tadi
kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang
bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan
tidak berkesip. Binatang-binatang yang dalam perasaandan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah
mencium sesuatu akan terjadi.
Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang
tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik
kernunculan mereka. Walau hatinya merasa tidak enak
sambil tersenyum orang tua ini menegur.
"Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman,ini sungguh satu pertemuan yang tidak disangka-sangka.
Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
41/96
aneh dan ingin bertanya. Gerangan apakah sebabnya
hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah
terang benderangnya sinar matahari?" Orang tua berjubah
putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia sudah
tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi
diri dari ratusan ular jika binatang-binatang itu menyerang.
Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman
melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata.
"Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena
kitalah yang akan mengajukan banyak pertanyaan
padanya!"
Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya
naik sesaat. Lalu kembali dia tersenyum. "Kalau sampeyan
mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya
sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa
sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri
menemuiku di lereng Mahameru ini?"
"Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketikaKerajaan dilanda kekacauan. Padahal kau adalah salah
seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan kehadirannya.
Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa
menemuimu di sini!" Yang berkata adalah Perwira Kerajaan
bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu.
"Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku
memang penasihat Kerajaan. Tapi hanya sampai saat akudibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan
diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih
lama di Demak. Keluarga dan turunan Sultan saling
membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri
apa yang terjadi sejak Sultan Trenggono mangkat.
Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya
menjadi Raja menggantikan kakaknya mati dibunuh orang.Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap
hendak dinobatkan sebagai Sultan Demak dibantai habis
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
42/96
bersama seluruh keluarganya secara keji oleh Arya
Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku
sendiri tidak lagi ingin terlibat dengan segala urusan dunia
dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku untuk
mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini
Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah
menyusun kekuatan untuk melakukan pembersihan.
Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya.
Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan
kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini
hidup menderita bisa kembali menikmati hidup
tenteram...."
Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang
memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu
seolah satu filsafat yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam
dari dasar samudera. Namun kami berdua tahu kau berada
di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat
dengan segala urusan dunia, melainkan karena ada satuhal lain...."
"Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti
Bendoro pula. "Aku sengaja naik ke puncak Mahameru ini
karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti Allah
melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun
menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau
akhir perjalanan hidupku....""Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti
Bendoro. Sampai-sampai tahu dimana dan kapan akan
menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati
hidupnya manusia hanya Tuhan yang mengetahui...."
"Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku
dengan sampeyan Ki Dalem Sleman...."
"Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukanuntuk bicara berpanjang lebar. Kami mengetahui kau
meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
43/96
milik Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu
sebabnya kami mengejarmu sampai ke sini. Kau harus
menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!"
Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar kata-
kata Ki Dalem Sleman itu. "Ki Dalem Sleman, aku yakin
sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka.
Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh
mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku
membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?"
"Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka
itu!" kata Perwira Brajanala dengan suara keras dan
tampang garang.
"Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku
tidak pernah mencuri. Apa lagi sampai mencuri Pusaka
Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan berdua
pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang
memfitnah...."
"Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yangmemfitnah...."
"Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan
menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan
suara tetap tenang.
"Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah
menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat
rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kamike tempat kau menyembunyikan Bendera itu!"
Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata.
"Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak
mencuri Bendera Pusaka itu...."
"Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera
Pusaka itu dengan kau punya nyawa!" ujar Brajanala pula.
Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya.Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari.
Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
44/96
ini melangkah maju mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang
tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah tidak berubah
sama sekali.
***
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
45/96
ARIO BLEDEK
SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI
EGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ularyang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta
merta mendesis keras dan serentak melesat ke
depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil
angkat dua kaki depan masing-masing.
Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor
besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi
puluhan lainnya tetap melesat ke depan. Ki Dalem Slemangerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap
menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan
satu senjata mustika yang bisa menebas batang pohon
dan menghancurkan batu besar.
Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah
putih, Ki Suro segera angkat tangannya dan berkata.
"Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu dibelakangku...."
Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan
si orang tua, ratusan ular itu bersurut ke belakang.
Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki
Suro! Apa kau lebih suka mati dengan kepala terbelah dari
pada memberi tahu dimana kau sembunyikan Bendera
Pusaka itu?!""Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak
memilikinya. Soal kematian aku hanya berserah diri pada
Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia
B
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
46/96
setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap
Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju
pintu akhirat. Sampeyan hendak membunuhku, aku sangat
berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa
sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke
Kiblat...."
Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar
tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam.
Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala
kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam
gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu
berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke
bawah. Sasarannya adalah batok kepala kakek berjubah
putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk, pasrah
menunggu ajal.
Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala,
mendesis keras tapi tak ada yang berani bergerak.
"Traanggg!"Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana
menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu
patah dua begitu membentur batok kepala Ki Suro Gusti
Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming
bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang
sehelaipun! Di atas kuda coklat Brajanala terhuyung-
huyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh ketanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api.
Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas
itu akan segera terjadi kalau kakek berjubah putih tidak
lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup, padamlah
kobaran api.
Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang
pedang namun kemudian senjata yang telah patah ituterpaksa dilepaskannya karena tangannya terasa panas
dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
47/96
Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah
terkelupas melepuh!
Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya.
Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang
padanya dengan mata membeliak dan rahang
menggembung.
Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut.
"Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku
tidak berada di tangan sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal
manusia tidak berada di tangan manusia lainnya kecuali
dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti
Allah mengampuni kesalahan sampeyan...."
Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua
tangannya terkepal, matanya mendelik tak berkesip dan
gerahamnya bergemeletakan.
"Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti
Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem Sleman membuka mulut. "Aku
mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak KiaiSepuh Plered milikku ini!"
Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung
tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil
kuning berbentuk segitiga ke leher Ki Suro Gusti Bendoro.
"Desss!"
Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah
menyembur lalu membasahi leher, dada dan jubah putihyang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan
tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak.
Ki Dalem Sleman tertawa bergelak.
"Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup
menghadapi tombak saktiku! Ha... ha... ha! Kau harus
berterima kasih padaku karena telah menolongmu
menemui kematian lebih cepat!"Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak
berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
48/96
bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin
tidak terperhatikan oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa
dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari leher Ki Suro.
Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira
begitu tombak dicabut, Ki Suro akan segera roboh ke tanah
walau tangan kanannya masih bersitopang pada tongkat
bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak
tak bergerak di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar
biasa. Darah yang mengucur dari luka tembusan tombak
sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada
serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk
kembali ke dalam lobang luka. Lalu luka itu menutup
dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang
tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap
sama sekali. Jubah itu kembali putih bersih seperti se-
belumnya! Selain itu noda darah yang membasahi tombak
dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas!
Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala."Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro
berkata sambil mengulas senyum. "Ternyata Tuhan juga
tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...."
Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka.
Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu
menghambur lenyap ke arah lereng timur Gunung
Mahameru.Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap.
"Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu.
Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah
perbuat."
Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan
ular tegakkan kepala. Orang tua ini tersenyum yang dibalas
oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki Suromemutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju
puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
49/96
mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah
menimbulkan suara bergemuruh.
Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya
seolah membakar puncak Mahameru. Ki Suro terus
melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu
tempat di mana terdapat dua batu besar membentuk celah
kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut berherti.
Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek
menangkap satu suara. Telapak kakinya terasa bergetar.
Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di
depannya.
Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan
batu-batu besar di tempat itu bergetar. Sesaat kemudian
muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya yang
hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan.
Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi
besar dan taring-taring runcing serta lidah merah haus
darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah. Kepalaperlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara
penguasa puncak Mahameru ini siap menerkam.
Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras.
Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau
gunung itu tetap berdiri tenang. Malah diwajahnya
menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di
dada. Lalu orang tua ini membungkuk sedikit. Darimulutnya keluar ucapan.
"Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak
sepantasnya memiliki hati dan rasa ingin menguasai. Apa
lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan
pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak
mengganggu. Engkau berjalan di jalanmu tidak mengusik
tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu yangagung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena
dorongan yang datang dari dalam diri sendiri serta tekanan
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
50/96
yang datang dari luar. Aku ingin bersahabat tetapi jika
nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu,
aku akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun
aku menunggu kematian yang tak kunjung datang.
Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan
kehendak Yang Maha Kuasa apa yang akan terjadi,
terjadilah...."
Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya
diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan
di ujung lutut. "Harimau raja rimba belantara. Jika kau
datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku ikhlas
menerima karena aku memang sudah menunggu.
Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...."
Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua
itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah
belakang, ratusan ular yang telah rnengangkat kepala siap
melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang tua
berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkatalembut.
"Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu
kekuatanpun bisa menghalang. Tetaplah berada di tempat
kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh tua
dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...."
Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap
mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkankepala, menatap tak berkesip ke depan.
Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke
atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu
menyergap si kakek, langsung mengarah kepala. Namun
masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya, dari
tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan
dahsyat. Harimau besar terpental ke udara. Meraungkeras. Jatuh terbanting dan terguling-guling.
Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi.
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
51/96
Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri.
"Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud
mencelakai dirimu. Aku lupa kalau dalam diriku masih
tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda.
Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku
menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan
tubuhku...."
Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya
berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini
kembali menyerang mangsanya. Kali ini mulutnya langsung
menerkam kepala si kakek.
"Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!"
Harimau besar itu seperti menggigit batu besar.
Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang
runcing-runcing jangankan melukai, menggores kepala
orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya
menyambar ke depan.
"Breettt... breettt!"Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua
tempat di bagian dada. Namun kulit tubuhnya tidak
tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau
itu mengaum keras. Kibaskan ekornya lalu melompat lagi
ke batu besar sebelah kiri. Dari sini binatang ini melompat
lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi
melenyapkan diri.Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih
duduk bersila di tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri,
berpaling ke belakang menatap ratusan ular yang masih
ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu
kuningnya di depan dada orang tua ini berkata.
"Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian
mengantarku. Bagaimanapun setiap perjalanan adaakhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus
lima puluh tahun aku menjalani kehidupan. Lima puluh
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
52/96
tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba juga.
Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturut-
turut. Aku akan segera meninggalkan dunia fana ini. Walau
aku manusia dan kalian binatang tapi karena kita sama-
sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha
Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan
berjumpa lagi dalam ujud yang tidak kita ketahui. Selamat
tinggal sahabat-sahabatku...."
Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan
suara mendesis halus seolah sedih dan serentak
rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah
memberi penghormatan terakhir. Mata mereka yang
biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu
teteskan air mata!
Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkuk-
kan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih
rasa berat di dalam hatinya dia memutar tubuh. Sekali
berkelebat dia telah berada beberapa tombak di atas sana.Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak
kelihatan lagi.
***
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
53/96
ARIO BLEDEK
TUJUH PETIR DARI LANGIT
ANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar,matahari yang seolah mau melelehkan batok
kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat
menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu
kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga
mengeluarkan suara bergetar keras.
Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi
ini dan melakukan perjalanan dalam mencari akhirkehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling
matanya membentur sebuah batu besar yang salah satu
sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan.
Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya
dalam hati. "Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi." Dia
menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai membungkuk
laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telahduduk bersila di atas batu, sengaja menghadap ke arah
matahari tenggelam.
Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan
sinarnya yang sangat terik. Batu besar yang diduduki si
kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua ini
duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat
yang sejuk dan nyaman. Kepalanya didongakkan ke ataslangit. Tongkat bambu kuning diletakkan di atas pangkuan
sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut.
Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua
T
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
54/96
matanya lalu dengan suara perlahan dan bergetar dia
berkata.
"Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.
PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah
hamba temui. Mohon kiranya masa penantian selama lima
puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah.
Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk
datang menghadapMu dengan segala kerendahan. Petir
pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang
Kuasa, aku siap menerima deramu!"
Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu
besar tiba-tiba bertiup angin aneh yang mengeluarkan
suara seperti puluhan puput ditiup secara bersamaan.
Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara
berkiblat satu sinar terang menyilaukan. Bersamaan
dengan itu terdengar suara menggelegar seolah hendak
meruntuh langit mengoyak bumi.
Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi,menghantam ke arah batu besar di mana orang tua
berjubah putih duduk bersila.
Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang
duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari
mulutnya keluar jeritan setinggi langit. Ketika tubuhnya
melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung, tangan
kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petiryang menghantam dari langit membabat putus dan hangus
tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh
dekat sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh
menjadi seonggok bubuk pasir berwarna hitam dan
mengepulkan asap panas!
Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak.
Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus.Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit.
Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
55/96
dia duduk bersimpuh di tanah lalu berkata.
"Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri
petunjuk agar hamba segera mendapatkan petir ke dua
dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti Bendoro
sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang
telah berubah menjadi pasir besi hitam dan panas.
Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan
kiri orang tua berjubah putih itu melangkah meneruskan
perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus
mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang
buntung disambar petir dan sakit luar biasa seolah tidak
dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini hentikan
langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua
buah lobang sebesar kepalan.
"Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua
berusia 150 tahun ini. Dia cucukkan tongkat bambu di
tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus
tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara danturun di atas batu bertanda dua buah lobang sebesar
kepalan.
Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu
besar yang amat panas itu. Karena tangan kanannya
sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan
di atas lipatan lutut.
Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap."Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima
deramu. Datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang
Kuasa!"
Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara
angin menyerupai bunyi puput. Untuk ke dua kalinya
kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan
menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkanpuncak Gunung Mahameru.
Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
56/96
berkeping-keping. Sosok si kakek mencelat tinggi ke udara
dibarengi jeritannya yang keras luar biasa. Sosoknya
kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu
hitam. Dari mulutnya keluar suara mengerang. Darah
mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua kakinya
melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi
memiliki tangan kiri. Seperti tangan kanan, tangan kirinya
juga telah buntung hangus dihantam petir yang menyam-
bar dahsyat dari langit!
Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki
Suro Gusti Bendoro yang tercampak di tanah perlahan-
lahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai
pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap.
Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya
menggapai-gapai. Dengan bersandar ke salah satu batu di
dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat bambu kuningnya
masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas
batu. Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu.Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali
mendaki menuju puncak gunung.
Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya.
Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan
menatap ke langit. Di satu pendakian kakinya tersandung.
Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia
memandang ke depan dia melihat tiga buah lubang padabatu itu.
"Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya
membesar. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke bawah
lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang dan
tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu
perlahan-lahan dia dudukkan diri bersila.
"Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siapmenerima deramu!"
Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
57/96
langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan
menyambar panas dan ganas untuk ke tiga kalinya. Kali ini
kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal paha,
mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang
kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang
gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna
hitam.
Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah
terpendam di tanah. Orang lain dalam keadaan buntung
tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah
menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa.
Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah.
Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia
melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung
sebelah atas. Setiap jatuh dia berusaha bangkit lalu
melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti
kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu
berbentuk pilar. Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujurtubuhnya terutama yang putus dihantam petir sakit dan
panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari
hidung serta telinganya, malah kini juga dari mulut.
Tongkat bambu kuning yang masih digigit
dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah.
"Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia
memandang berkeliling, mencari-cari. Akhirnya dia melihatempat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam
langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrak-
jingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro
atur jalan nafas. Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu
begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah tubuhnya melesat
ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di
ujung batu berbentuk pilar!"Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro
siap menunggu!" Si kakek berteriak tapi suara teriakannya
-
7/30/2019 Lima Laknat Malam Kliwon
58/96
tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya kini dipenuhi
darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang
digigitnya.
Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput
menggema di seputar pilar batu. Lalu.
"Blaaarrr!"
Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke
puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat
nyawa serasa terbang. Sebelum petir ke empat
menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan.
Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di
sebuah batu. Dari mulut Ki Suro sendiri kemudian keluar
jeritan setinggi langit serta semburan darah. Tubuhnya
terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat
itu keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya
telah putus dan hangus dibabat hantaman petir. Kutungan
kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah menjadi
bubuk pasir berwarna hitam mengepul.Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu
terkapar tak bergerak. Lalu ada erangan halus. Kepala
yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang mata
bergerak-gerak.
"Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam
menanggung sakit yang amat sangat Ki Suro Gusti Bendoro
mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan kakibagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak
tahu kalau batu di mana dia terkapar saat itu justru adalah
batu kelima karena di salah