Leptospirosis
-
Upload
lela-laelatu-r -
Category
Documents
-
view
16 -
download
8
description
Transcript of Leptospirosis
MAKALAH ASUHAN KEFARMASIAN
“LEPTOSPIROSIS“
Disusun oleh :
Ageng Hasna Fauziyah 1111102000088
Aditya Ramadhan 1111102000093
Lela Laelatu R. 1111102000099
Putri Nur Handayani 1111102000104
Ahmad Fauzi 1111102000105
Hestiawati 1111102000110
Khairul Bahtiar Azhari 1111102000117
Kelompok 9
Semester/Kelas : VII/D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
A. PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang
berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen, menyerang hewan dan manusia. Definisi
penyakit zoonotik adalah penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan
vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Ada kurang lebih 150 penyakit zoonotik, tetapi yang
terdapat di Indonesia lebih dari 50 zoonosis antara lain, rabies, pes, antraks , taeniasis/
cysticercosis, Japanese encephalitis, leptospirosis, toxoplasmosis, schistosomiasis dan lain
sebagainya.
Manifestasi klinis dari leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari hanya seperti flu biasa
sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai kegagalan bernapas. Gejala klinis
lepstospirosis juga menyerupai beberapa penyakit lainnya, seperti penyakit demam dengue,
thypus, malaria, influensa, dan sebagainya. Penyakit ini pada manusia beragam, mulai
subklinis, dengan gejala akut sampai yang mematikan. Gejala klinisnya sangat beragam dan
nonspesifik. Gejala yang umum adalah demam, sakit kepala, mual-mual, nyeri otot, dan
muntah. Kadang terjadi konjungtivitis, ikterus, anemia, dan gagal ginjal.
Penegakan diagnosis leptospirosis dilakukan secara laboratoris dengan menggunakan
berbagai uji yaitu berupa rapid test seperti Lateral Flow Test (LFT) Dri dot Test, dan yang
saat ini merupakan Gold Standard Testleptospira adalah Microscopic Agglutination Test
(MAT). Menurut aspek cara transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonoses
(host to hosttransmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja.
Penyakit ini bisa berkembang di alam di antara hewan baik liar maupun domestik dan
manusia merupakan infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit tersebut termasuk golongan
anthropozoonoses karena manusia merupakan “dead end” infeksi.
Siklus penularan leptospirosis digambarkan akibat kontak secara langsung atau tidak
langsung dengan urin hewan yang terinfeksi. Leptospira masuk ke dalarn tubuh melalui kulit
yang terluka atau membran mukosa. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang
meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host danincidental
host. Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk studi epidemiologi leptospirosis pada
setiap daerah.
Pekerjaan merupakan faktor risiko yang penting pada manusia. Kelompok yang berisiko
adalah petani atau pekerja di sawah, perkebunan tebu, tambang, rumah potong hewan,
perawat hewan, dokter hewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan, lumpur
dan hewan baik hewan peliharaan ataupun satwa liar.
Faktor-faktor risiko kejadian leptospirosis antara lain adalah faktor perilaku faktor
pelayanan kesehatan, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan faktor demografi.
Hubungan perilaku dengan kejadian leptospirosis berkaitan dengan pemakaian alat pelindung
diri untuk mencegah masuknya leptospira ke tubuh, kegiatan mandi dan mencuci di sungai
yang mengandung leptospira. Penjagaan sanitasi rumah dan pengelolaan sampah yang
menjadikan tempat disenangi tikus dan merupakan determinan kasus leptospirosis. Perilaku
menjaga hewan peliharaan di rumah juga merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.
Pada anak-anak terjadinya penularan leptospirosis karena mereka belum memiliki
pengetahuan dan kesadaran untuk menghindarkan dari pajanan bakteri leptospira saat
bermain.
Pemeriksaan laboratorium spesifik diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari: pemeriksaan langsung dan pemeriksaan tidak langsung. Penegakan
diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu : a) Suspek, bila ada gejala
klinis tanpa dukungan laboratorium, b) probable, bila ada gejala klinis sesuai leptospirosis
dan hasil serologi penyaring yaitu dipstick, lateralflow atau dri dot positi, c) definitif, bila
hasil pemeriksaan laboratorium langsung positif atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis
dan hasil tes MAT/ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4
kali atau lebih.
B. Problem Medik Umum
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini berlaku pula bagi
mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai seperti berenang.
Urmimala Sarkar (2002) mendapatkan bahwa jenis pekerjaan tukang selokan air
mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=2,25 CI 1,89-7,04). Tempat
tinggal yang dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=5,15 CI 1,80-14,74). Adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4
kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=4,49 CI 1,57-12,83). Leptospirosis juga dapat
menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah atau saat air konsumsi tercemar oleh
urin hewan. Kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=3,36 CI 1,69-7,25); kontak dengan air banjir mempunyai risiko 3 kali lebih
tinggi terkena leptospirosis (OR=3,03 CI 1,44-6,39); kontak dengan lumpur mempunyai
risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=3,08 CI 1,32-5,87)
Soeharyo (1996) melakukan studi di Semarang tentang faktor-faktor yang berkaitan
dengan kejadian leptospirosis. Hasil analisis multivarian menunjukkan bahwa faktor risiko
kejadian leptospirosis yaitu higiene perorangan (kebiasaan mandi OR=2,48, riwayat adanya
luka OR=5,71, perawatan luka OR=2,68), keadaan sanitasi lingkungan (adanya sistem
pembuangan air limbah OR= 2,30 dan aliran air selokan yang tidak baik OR= 3,00).
Sedangkan dari hasil analisis multivariat oleh Didik Wiharyadi (2004) studi tentang
faktor-faktor risiko leptospirosis berat di kota Semarang menunjukkan bahwa faktor risiko
riwayat adanya luka mempunyai risiko 44 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis,
aktivitas di tempat berair mempunyai risiko 18 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis,
adanya genangan air mempunyai risiko 13 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis dan
higiene perorangan jelek mempunyai risiko 11 kali lebih besar untuk terkena leptospirosis.
Angka kematian (mortalitas) leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi 2,5-16,45% 3.
Faktor lingkungan seperti genangan air dan sanitasi lingkungan yang buruk berpengaruh pada
kejadian leptospirosis.
Kota Semarang daerah endemis leptospirosis dengan insiden 1,2/100.000 dan mortalitas
16,7%. Kondisi kota Semarang yang sering mengalami banjir saat musim penghujan,
sehingga ada banyak genangan air di beberapa tempat. Ada juga daerah yang mempunyai
kondisi pemukiman yang kumuh, sungai, sampah menumpuk dan selokan mengenang,.
Sampah yang menumpuk menjadi tempat berkembang biak tikus. Adanya jumlah kasus
leptopsirosis yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, juga belum dilakukannya
intervensi faktor lingkungan dalam upaya pemberantasan penyakit leptospirosis dan sistem
surveilans epidemiologi juga belum dilaksanakan maka perlu studi untuk mengetahui apakah
faktor risiko lingkungan berpengaruh pada kejadian leptospirosis berat.
Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini diperkirakan
mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Karena itu jika ditemukan satu
kasus leptospirosis berat maka diperkirakan sedikitnya ada 10 kasus leptospirosis anikterik
atau ringan.
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang
umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat,
mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot
terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan
creatinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat
nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah
dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis Limpadenopati, splenomegali,
hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa
uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak
spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri
leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri
ini menghilang setelah munculnya antibodi (fase imun).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya
bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self - limited)
dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran
kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan
demam, leptospirosisanikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya,
apalagi yang di daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of
unknown origindi beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia.
Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi
virus seperti influenza, HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis
virus,infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid,
bruselosis, riketsiosis dan malaria.
Leptospirosis ikterik. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis
berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi
tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga
dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status
imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis
adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
Dalam periode 1979 - 1982, penyebab kematian leptospirosis berat di RSUP Dr.
Kariadi adalah koma uremikum, syok septik, gagal kardiorespirasi dan syok hemorhagik.
Angka kematian pasien leptospirosis ikterik ini adalah 5- 15%, sedang di RSUP Dr Kariadi
Semarang antara 30-50% meskipun telah mendapatkan terapi. Faktor-faktor prognostik yang
berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria (terutama renal),
hiperkalemia, hipotensi, ronkhi basah paru, dispnea, lekositosis > 12.900 / mm dan kelainan
EKG (repolarisasi) serta adanya infiltrat pada foto radiologik dada.
Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta
gangguan kesadaran akibat uremia) dapat menunjukan gambaran klinik yang mirip dengan
malaria falciparum berat (demam, ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta
kesadaran menurun akibat malaria serebral), haemorrhagic fever with syndrome atau HFRS
yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal manifestasi
perdarahan, subconjunctival injection dan kadang-kadang ikterik serta peningkatan
transaminase) dan demam tifoid berat dengan komplikasi ganda (sindrom sepsis, ikterik,
azotemia, bleeding tendency, soporocomateus).
C. Drug Related Problem (DRPs)
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup
pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care
Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi
terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan
yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)
mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network
Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat
yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah
pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapiindikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak
sesuai, kontraindikasi dengan obatyang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi
yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih
kecil daripada yang dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat
sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.
5. Interaksi obat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau
potensial.
6. Masalah lainnya (Others)
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yangkurang
mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi lebih
lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahuipenyebabnya, perlu pemeriksaan
laboratorium.
Drug Related Problem : Doxycycline
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki / ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Reaksi alergi : gatal-gatal; kesulitan bernapas; pembengkakan wajah Anda, bibir,
lidah, atau tenggorokan.
Obat-obatan antibiotik dapat menyebabkan diare, yang mungkin merupakan tanda
dari infeksi baru.
Pada wanita hamil : obat ini bisa membahayakan bayi yang belum lahir, termasuk
perubahan warna permanen pada gigi di kemudian hari.
Pada wanita menyusui : Doxycycline masuk ke dalam ASI dan dapat
mempengaruhi tulang dan gigi pembangunan di bayi menyusui.
Pada anak berusia lebih muda dari 8 tahun : bisa menyebabkan menguning
permanen atau abu-warna abu-abu pada gigi, dan hal itu dapat mempengaruhi
pertumbuhan anak.
Efek samping yang harus diwaspadai : sakit kepala parah, pusing, penglihatan
kabur, demam, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu, pelepuhan parah, mengupas,
dan ruam kulit merah; kencing lebih sedikit dari biasanya atau tidak sama sekali;
kulit pucat atau menguning, urin berwarna gelap, demam, kebingungan atau
melemah, sakit parah di perut bagian atas menyebar ke punggung, mual dan
muntah, detak jantung yang cepat; kehilangan nafsu makan, sakit kuning
(menguningnya kulit atau mata), atau mudah memar atau perdarahan, kelemahan
yang tidak biasa.
Efek samping kurang yang serius mungkin termasuk: bengkak lidah, kesulitan
menelan, mual ringan, muntah, diare atau masalah perut, bercak putih atau luka di
dalam mulut atau bibir, koreng atau bengkak dalam rektal atau daerah genital,
vagina terasa gatal atau berair.
2. Interaksi obat
Antasida,
Mineral : zat besi, seng, kalsium, magnesium,
Suplemen over-the-counter,
Vitamin,
Obat penurun kolesterol seperti cholestyramine atau colestipol,
Isotretinoin dan tretinoin,
Produk yang berisi subsalisilat,
Warfarin,
Antibiotik penisilin seperti amoksisilin, penisilin, dicloxacillin, oksasilin
(Bactocill), dan lain-lain.
Drug Related Problem : Amoxicilin
1. Interaksi obat :
Allopurinol: Dapat meningkatkan potensi reaksi alergi atau hipersensitivitas
terhadap Amoksisilin. Risiko C: Terapi memantau
Asamfusidic: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:
Pertimbangkan modifikasi terapi
Metotreksat: Penisilin dapat menurunkan ekskresi Methotrexate. Risiko C: Terapi
Memantau
Derivatiftetrasiklin: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:
Pertimbangkan modifikasi terapi.
Vaksintifoid: Antibiotik dapat mengurangi efek terapeutik Vaksin Tifus. Hanya
hidup yang dilemahkan Ty21 dipengaruhi. Risiko D: Pertimbangkan modifikasi
terapi.
Agen urikosurik: Dapat menurunkan ekskresi Penisilin. Risiko C: Terapi
Memantau.
2. Efek samping
Sistem saraf pusat: Hiperaktif, agitasi, kegelisahan, insomnia, kebingungan,
kejang, perubahan perilaku, dan pusing
Dermatologi: pustulosis akut exanthematous, eritematosa ruam makulopapular,
eritema multiforme, mucocutaneous candidiasis, sindrom Stevens-Johnson,
dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, hipersensitivitas vaskulitis, dan
urtikaria
Gastrointestinal: lidah berbulu hitam, mual, diare, hemorrhagic colitis, kolitis
pseudomembran, dan perubahan warna gigi (coklat, kuning, atau abu-abu, jarang),
muntah
Hematologi: Anemia, anemia hemolitik, trombositopenia, trombositopenia
purpura, eosinofilia, leukopenia, dan agranulositosis
Hati: AST dan ALT meningkat, ikterus kolestatik, kolestasis hati, dan hepatitis
akut cytolytic
Ginjal: kristaluria.
Drug Related Problem : Amphisilin
1. Efek samping
Sistem saraf pusat: Demam, ensefalopati, dan kejang
Dermatologi: Eritema multiforme, dermatitis eksfoliatif, ruam, dan urtikaria
Catatan: Penampilan ruam harus hati-hati dievaluasi untuk membedakan (jika
mungkin) ampisilin non allergic ruam dari reaksi hipersensitivitas. Insiden lebih
tinggi pada pasien dengan infeksi virus, infeksi Salmonella, leukemia limfositik,
atau pasien yang memiliki hyperuricemia.
Gastrointestinal: Diare, enterokolitis, glositis, mual, kandidiasis oral, kolitis
pseudomembran, mulut atau lidah sakit, stomatitis, dan muntah.
Hematologi: Agranulositosis, anemia, anemia hemolitik, eosinofilia, leukopenia,
trombositopenia purpura.
Hati: AST meningkat
Ginjal: Nefritis interstisial (jarang)
Miscellaneous: Anafilaksis dan serum sickness
2. Interaksiobat
Allopurinol: Dapat meningkatkan potensi reaksi alergi atau hipersensitivitas
terhadap Ampisilin. Risiko C: Terapi memantau.
Atenolol: Ampisilin dapat menurunkan bioavailabilitas atenolol. Risiko C: Terapi
Memantau.
Asamfusidic: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:
Pertimbangkan modifikasi terapi.
Metotreksat: Penisilin dapat menurunkan ekskresi Methotrexate. Risiko C: Terapi
Memantau.
Derivatif tetrasiklin: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:
Pertimbangkan modifikasi terapi.
Vaksintifoid: Antibiotik dapat mengurangi efek terapeutik Vaksin Tifus. Hanya
hidup yang dilemahkan Ty21 dipengaruhi. Risiko D: Pertimbangkan modifikasi
terapi.
Agen urikosurik: Dapat menurunkan ekskresi Penisilin. Risiko C: Terapi
Memantau.
D. Pharmaceutical Care Leptospirosis
Apoteker mempunyai tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam program pengawasan
infeksi pada sistem kesehatan. Tanggung jawab ini muncul dari pengetahuan yang dimiliki
Apoteker tentang infeksi dan antibiotika serta perannya dalam mempengaruhi penulisan resep
antibiotika. Tanggung jawab ini dijabarkan lebih lanjut, yaitu :
1. Mengurangi penyebaran infeksi.
Tanggung jawab ini dilaksanakan antara lain dengan:
Berpartisipasi dalam Komite Pengendali Infeksi di rumah sakit
Memberikan saran tentang pemilihan antiseptik, desinfektan.
Menyusun prosedur, kebijakan untuk mencegah terkontaminasinya produk obat
yang diracik di instalasi farmasi/apotek.
Menyusun rekomendasi tentang penggantian, pemilihan alat-alat kesehatan
injeksi, infus alat kesehatan yang digunakan untuk tujuan baik invasive maupun
non-invasif, serta alat kesehatan balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang
tindakan, ICU.
2. Promosi penggunaan antibiotika secara rasional.
Merupakan tanggung jawab yang penting dalam memastikan penggunaan antibiotika
secara rasional dalam sistem kesehatan. Tanggung jawab ini dilaksanakan tidak hanya
bagi Apoteker yang bekerja di rumah sakit juga bagi Apoteker yang bekerja di apotek.
Tanggung jawab dilaksanakan antara lain dengan:
Bekerja dalam struktur Komite Farmasi dan Terapi menentukan jumlah dan tipe
antibiotika yang beredar cukup untuk mengatasi infeksi sesuai dengan populasi
pasien yang dilayani. Prioritas diberikan untuk menyusun kebijakan tentang
penggunaan antibiotika yang akan berdampak pada outcome terapi yang optimal
di samping meminimalkan penyebaran strain mikroorganisme yang resisten.
Menghimbau kerjasama multidisiplin dalam sistem kesehatan untuk memastikan
bahwa penggunaan antibiotika untuk tujuan profilaksis, terapi empirik, maupun
terapi definitif menghasilkan outcome yang optimal.
3. Mendidik tenaga professional, pasien maupun masyarakat tentang infeksi dan
antibiotika. Tanggung jawab ini dilaksanakan dengan antara lain:
Menyiapkan bulletin, surat kabar, presentasi tentang seputar antibiotika dan
penggunaannya yang rasional bagi petugas kesehatan.
Memberikan edukasi dan konseling kepada pasien tentang penggunaan
antibiotika.
Berpartisipasi dalam program pendidikan kesehatan masyarakat yang bertujuan
membatasi penyebaran penyakit infeksi.
1. Mempersiapkan Praktek Pharmaceutical Care
Untuk memulai persiapan praktek Pharmaceutical Care diperlukan pengetahuan
Apoteker yang jelas tentang pelayanan yang akan diberikan kepada penderita. Apoteker
seyogyanya menjadikan orientasi penderita sebagai bagian yang terinternalisasi dalam
pikiran dan tindak apoteker itu sendiri. Apoteker perlu betul menyadari bahwa pelayanan
kepada penderita berarti bukan penyediaan produk semata, melainkan memberikan
pelayanan kefarmasian yang berorientasi terhadap kualitas hidup penderita, dan bukan
sekedar sembuh dari penyakitnya. Bukan berarti bahwa dengan menfokuskan perhatian
kepada penderita, lalu penyediaan produk menjadi nomor dua, namun keduanya berjalan
seiring. Konsep tersebut perlu disosialisasikan bahkan perlu dilatihkan kepada semua
petugas yang ada di Apotek, sehingga memiliki pemahaman dan sikap yang sama dalam
pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien. Pada saat memulai berhubungan
dengan pasien, perlu diwujudkan pertama kali dengan menjelaskan, bahwa Apoteker atau
petugas apotek yang mewakili mulai menyediakan pelayanan kefarmasian/
Pharmaceutical Care. Perlu penjelasan bahwa selama ini Apoteker atau Apotek lebih
banyak melayani penjualan/penyediaan produk ketimbang memberikan pelayanan.
Pengertian ini perlu ditanamkan kepada penderita yang datang. Misalnya dengan
memberikan penjelasan kepada penderita, bahwa Apoteker/Apotek menyediakan
pelayanan informasi dan bersedia menjadi Pengawas minum obat bagi penderita
leptospirosis.
2. Pelaksanaan Monitoring dan Penyampaian Rekomendasi Pelayanan
Monitoring terapi obat di rumah sakit dilaksanakan dengan pemantauan kondisi klinik
pasien secara langsung, tanda vital, maupun parameter lab. Sedangkan di apotek,
monitoring dilaksanakan dengan cara memantau kondisi klinik, tanda vital atau parameter
lab yang mungkin melalui telpon. Untuk efek samping obat potensial, pasien dapat
diminta untuk melaporkan kepada apotek bila terjadi. Rekomendasi pelayanan dapat
disampaikan secara berhadapan langsung, tulisan, presentasi atau melalui telpon.
3. Menjadikan penderita sebagai Pusat Perhatian
Menemukan kebutuhan dan permasalahan terapi obat pada penderita merupakan pintu
gerbang untuk dapat masuk untuk memahami keadaan penderita dan membuat penderita
tertarik dan berminat untuk memperoleh pelayanan kefarmasian. Perlu disampaikan
bahwa pelayanan kefarmasian bagi penderita leptospirosis adalah untuk menyediakan
pelayanan yang terbaik agar penderita memperoleh obat dan informasi yang baik dan
benar, sehingga dapat memberikan bantuan unuk penyembuhan, dan bahkan memperoleh
kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup penderita. Dengan demikian fokus kepada
penderita leptospirosis, bagi Apoteker adalah memahami pengetahuan penderita tentang
leptospirosis, pengobatan dan obatnya, bagaimana memakai obat yang baik dan benar,
dan kemungkinan interaksi dan efek samping dari obat leptospirosis yang akan diminum.
Cara paling ampuh dalam menilai pemahaman penderita adalah dengan cara memperoleh
umpan balik, antara lain dengan three prime question. Dengan berbekal tentang
pemahaman penderita, dan melaksanakan identifikasi masalah terapi obat dan kepatuhan
penderita, maka dapat dibina hubungan yang erat antara penderita dengan Apoteker, serta
akhirnya dapat secara dapat mencapai tujuan terapi.
4. Memperhatikan sumber daya manusia
Pelayanan yang baik sangat tergantung dari mutu pelayanan itu sendiri. Mutu sangat
dipengaruhi oleh kompetensi Apotekernya dan staf Apotek yang terlibat dalam
menjalankan pelayanan kefarmasian. Disamping itu, diperlukan kesamaan persepsi
praktek diantara staf yang ada, seperti layaknya semua pemainan dalam sebuah konser
musik, haruslah harmonis sehingga dihasilkan pelayanan yang bermutu. Peran dan Fungsi
Apoteker perlu dijelaskan kepada petugas lainnya, begitu juga sebaliknya, peran apa yang
dapat dilaksanakan oleh Asisten Apoteker. Salah satu contoh ialah pada saat pemberian
antibiotic dan asupan nutrisi lainnya pada pasien leptospirosis, apakah terjadi interakasi
obat yang signifikan atau tidak.
5. Menciptakan praktek yang tepat
Menciptakan praktek yang baik dan benar, disamping melaksanakan pelayanan, juga
memperhatikan semua sumber daya dapat disediakan untuk mendukung pelayanan.
Kepuasan penderita ataupun tenaga kesehatan lain merupakan ukuran dari pelaksanaan
praktek yang tepat. Artinya menyediakan pelayanan atau praktek yang tepat berarti
memperhatikan aspek aspek yang menjadi ukuran dalam kepuasan penderita.
Misalnya penderita melihat :
Kelengkapan persediaan obat antibiotic untuk leptospirosis
Kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan Apotek
Kecepatan pelayanan dan keramahan Apoteker dan stafnya.
Pemenuhan kebutuhan penderita, seperti harga yang murah, informasi yang tepat dan
sesuai, dsb.
Keandalan dan manfaat dari obat yang diberikan
Kemudahan dihubungi jika memerlukan informasi atau konsultasi
Kemudahan dalam pengembalian / klaim obat.
Jika praktek dilaksanakan dengan tepat, kemudian penderita menjadi puas, maka hal ini
akan menjadi investasi pemasaran yang baik, disamping peningkatan loyalitas penderita
ke Apotek, juga dapat menjadi sarana pemasaran dari mulut ke mulut dalam bentuk
rekomendasi bagi penderita lainnya.
6. Mengupayakan pembiayaan
Sudah pasti, bahwa dalam pelayanan profesional, Apoteker memahami bahwa ada
implikasi keuangan dari pelayanan yang akan diberikan. Tentunya pada saat pertama
menjalankan Pharmaceutical Care akan terfikir untuk membandingkan biaya yang harus
dikeluarkan jika tetap menjalankan dispensing seperti biasa.
Memang demikian, pada tahap awal memerlukan biaya untuk persiapan dan menjalankan
Pharmaceutical Care, seperti pengadaan sumber informasi, meningkatkan kemampuan
Apoteker dan stafnya, penyediaan waktu dan energy yang lebih banyak, dlsb. Dalam
jangka pendek, penyediaan biaya ini tentunya tidak akan dapat dibebankan begitu saja
sebagai fee for service dalam pembayaran penderita. Namun dalam jangka yang tidak
terlalu lama, dengan Pharmaceutical Care, berdasarkan pengalaman banyak Apoteker
diluar negeri maupun di Indonesia, adanya peningkatan kepercayaan dan kunjungan
penderita dengan kehadiran dan pelayanan oleh Apoteker. Dengan demikian, biaya, yang
dapat disebut sebagai investasi ini memerlukan modal awal, untuk nanti dapat diperoleh
kembali pada saatnya penderita telah mencari Apoteker.
Pencegahan
• Melakukan vaksinasi hewan ternak ataupun hewan peliharaan
• Pengobatan menggunakan antibiotic Penicillin dan turunannya (Amoxylline),
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
• Diperlukan adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi
terinfeksi Leptospira untuk meningkatkan pemahaman mengenai leptospirosis agar
dapat melakukan tindakan pencegahan penularannya .
E. Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang
berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen, menyerang hewan dan manusia.
Manifestasi klinis dari leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari hanya seperti flu biasa
sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai kegagalan bernapas.
Penyakit ini pada manusia beragam, mulai subklinis, dengan gejala akut sampai yang
mematikan. Gejala klinisnya sangat beragam dan nonspesifik. Gejala yang umum adalah
demam, sakit kepala, mual-mual, nyeri otot, dan muntah. Kadang terjadi konjungtivitis,
ikterus, anemia, dan gagal ginjal.
Faktor-faktor risiko kejadian leptospirosis antara lain adalah faktor perilaku faktor
pelayanan kesehatan, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan faktor demografi.
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer.
DAFAR PUSTAKA
American Pharmacists Association. 2008. Drug Information Handbook 17th edition.
Anonim. 2009. Interim Statements on the Role of Antibiotic Chemoprophylaxis in
Leptospirosis. Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, Inc.
Depkes RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Gasem M. H. 2002. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Kusmiyati. Susan M. Noor Dan Supar. Leptospirosis Pada Hewan Dan Manusia Di
Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. 2006. PCNE Classification for Drug
Related Problems. V5.01 (revised 01-05-06vm).
Sanford J.P. 1994. Leptospirosis, Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 13. Mc
Graw-Hill, p: 740-743. New York.
Sarkar Urmimala et al. 2002. Population-Based Case-Control Invertigation of Risk Factors
for Leptospirosis during an Urban Epidemic. American Journal Tropical Medicine and
Hygiene, p: 605-610.
Wiharyadi D. 2004. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota Semarang. Tesis,
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip. Semarang..