Leptospirosis

25
MAKALAH ASUHAN KEFARMASIAN “LEPTOSPIROSIS“ Disusun oleh : Ageng Hasna Fauziyah 1111102000088 Aditya Ramadhan 1111102000093 Lela Laelatu R. 1111102000099 Putri Nur Handayani 1111102000104 Ahmad Fauzi 1111102000105 Hestiawati 1111102000110 Khairul Bahtiar Azhari 1111102000117 Kelompok 9 Semester/Kelas : VII/D PROGRAM STUDI FARMASI

description

Pharmaceutical care of Leptospirocyst

Transcript of Leptospirosis

Page 1: Leptospirosis

MAKALAH ASUHAN KEFARMASIAN

“LEPTOSPIROSIS“

Disusun oleh :

Ageng Hasna Fauziyah 1111102000088

Aditya Ramadhan 1111102000093

Lela Laelatu R. 1111102000099

Putri Nur Handayani 1111102000104

Ahmad Fauzi 1111102000105

Hestiawati 1111102000110

Khairul Bahtiar Azhari 1111102000117

Kelompok 9

Semester/Kelas : VII/D

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

Page 2: Leptospirosis

A. PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang

berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen, menyerang hewan dan manusia. Definisi

penyakit zoonotik adalah penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan

vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Ada kurang lebih 150 penyakit zoonotik, tetapi yang

terdapat di Indonesia lebih dari 50 zoonosis antara lain, rabies, pes, antraks , taeniasis/

cysticercosis, Japanese encephalitis, leptospirosis, toxoplasmosis, schistosomiasis dan lain

sebagainya.

Manifestasi klinis dari leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari hanya seperti flu biasa

sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai kegagalan bernapas. Gejala klinis

lepstospirosis juga menyerupai beberapa penyakit lainnya, seperti penyakit demam dengue,

thypus, malaria, influensa, dan sebagainya. Penyakit ini pada manusia beragam, mulai

subklinis, dengan gejala akut sampai yang mematikan. Gejala klinisnya sangat beragam dan

nonspesifik. Gejala yang umum adalah demam, sakit kepala, mual-mual, nyeri otot, dan

muntah. Kadang terjadi konjungtivitis, ikterus, anemia, dan gagal ginjal.

Penegakan diagnosis leptospirosis dilakukan secara laboratoris dengan menggunakan

berbagai uji yaitu berupa rapid test seperti Lateral Flow Test (LFT) Dri dot Test, dan yang

saat ini merupakan Gold Standard Testleptospira adalah Microscopic Agglutination Test

(MAT). Menurut aspek cara transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonoses

(host to hosttransmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja.

Penyakit ini bisa berkembang di alam di antara hewan baik liar maupun domestik dan

manusia merupakan infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit tersebut termasuk golongan

anthropozoonoses karena manusia merupakan “dead end” infeksi.

Siklus penularan leptospirosis digambarkan akibat kontak secara langsung atau tidak

langsung dengan urin hewan yang terinfeksi. Leptospira masuk ke dalarn tubuh melalui kulit

yang terluka atau membran mukosa. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang

meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host danincidental

host. Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk studi epidemiologi leptospirosis pada

setiap daerah.

Pekerjaan merupakan faktor risiko yang penting pada manusia. Kelompok yang berisiko

adalah petani atau pekerja di sawah, perkebunan tebu, tambang, rumah potong hewan,

Page 3: Leptospirosis

perawat hewan, dokter hewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan, lumpur

dan hewan baik hewan peliharaan ataupun satwa liar.

Faktor-faktor risiko kejadian leptospirosis antara lain adalah faktor perilaku faktor

pelayanan kesehatan, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan faktor demografi.

Hubungan perilaku dengan kejadian leptospirosis berkaitan dengan pemakaian alat pelindung

diri untuk mencegah masuknya leptospira ke tubuh, kegiatan mandi dan mencuci di sungai

yang mengandung leptospira. Penjagaan sanitasi rumah dan pengelolaan sampah yang

menjadikan tempat disenangi tikus dan merupakan determinan kasus leptospirosis. Perilaku

menjaga hewan peliharaan di rumah juga merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.

Pada anak-anak terjadinya penularan leptospirosis karena mereka belum memiliki

pengetahuan dan kesadaran untuk menghindarkan dari pajanan bakteri leptospira saat

bermain.

Pemeriksaan laboratorium spesifik diperlukan untuk memastikan diagnosa

leptospirosis, terdiri dari: pemeriksaan langsung dan pemeriksaan tidak langsung. Penegakan

diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu : a) Suspek, bila ada gejala

klinis tanpa dukungan laboratorium, b) probable, bila ada gejala klinis sesuai leptospirosis

dan hasil serologi penyaring yaitu dipstick, lateralflow atau dri dot positi, c) definitif, bila

hasil pemeriksaan laboratorium langsung positif atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis

dan hasil tes MAT/ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4

kali atau lebih.

B. Problem Medik Umum

Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja

tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini berlaku pula bagi

mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai seperti berenang.

Urmimala Sarkar (2002) mendapatkan bahwa jenis pekerjaan tukang selokan air

mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=2,25 CI 1,89-7,04). Tempat

tinggal yang dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena

leptospirosis (OR=5,15 CI 1,80-14,74). Adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4

kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=4,49 CI 1,57-12,83). Leptospirosis juga dapat

menyerang manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah atau saat air konsumsi tercemar oleh

urin hewan. Kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena

leptospirosis (OR=3,36 CI 1,69-7,25); kontak dengan air banjir mempunyai risiko 3 kali lebih

Page 4: Leptospirosis

tinggi terkena leptospirosis (OR=3,03 CI 1,44-6,39); kontak dengan lumpur mempunyai

risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=3,08 CI 1,32-5,87)

Soeharyo (1996) melakukan studi di Semarang tentang faktor-faktor yang berkaitan

dengan kejadian leptospirosis. Hasil analisis multivarian menunjukkan bahwa faktor risiko

kejadian leptospirosis yaitu higiene perorangan (kebiasaan mandi OR=2,48, riwayat adanya

luka OR=5,71, perawatan luka OR=2,68), keadaan sanitasi lingkungan (adanya sistem

pembuangan air limbah OR= 2,30 dan aliran air selokan yang tidak baik OR= 3,00).

Sedangkan dari hasil analisis multivariat oleh Didik Wiharyadi (2004) studi tentang

faktor-faktor risiko leptospirosis berat di kota Semarang menunjukkan bahwa faktor risiko

riwayat adanya luka mempunyai risiko 44 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis,

aktivitas di tempat berair mempunyai risiko 18 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis,

adanya genangan air mempunyai risiko 13 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis dan

higiene perorangan jelek mempunyai risiko 11 kali lebih besar untuk terkena leptospirosis.

Angka kematian (mortalitas) leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi 2,5-16,45% 3.

Faktor lingkungan seperti genangan air dan sanitasi lingkungan yang buruk berpengaruh pada

kejadian leptospirosis.

Kota Semarang daerah endemis leptospirosis dengan insiden 1,2/100.000 dan mortalitas

16,7%. Kondisi kota Semarang yang sering mengalami banjir saat musim penghujan,

sehingga ada banyak genangan air di beberapa tempat. Ada juga daerah yang mempunyai

kondisi pemukiman yang kumuh, sungai, sampah menumpuk dan selokan mengenang,.

Sampah yang menumpuk menjadi tempat berkembang biak tikus. Adanya jumlah kasus

leptopsirosis yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, juga belum dilakukannya

intervensi faktor lingkungan dalam upaya pemberantasan penyakit leptospirosis dan sistem

surveilans epidemiologi juga belum dilaksanakan maka perlu studi untuk mengetahui apakah

faktor risiko lingkungan berpengaruh pada kejadian leptospirosis berat.

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan ini diperkirakan

mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Karena itu jika ditemukan satu

kasus leptospirosis berat maka diperkirakan sedikitnya ada 10 kasus leptospirosis anikterik

atau ringan.

Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang

umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat,

mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot

terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga

creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan

Page 5: Leptospirosis

creatinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat

nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah

dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah

conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis Limpadenopati, splenomegali,

hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa

uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.

Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak

spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri

leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri

ini menghilang setelah munculnya antibodi (fase imun).

Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya

bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self - limited)

dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran

kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan

demam, leptospirosisanikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya,

apalagi yang di daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of

unknown origindi beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia.

Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi

virus seperti influenza, HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis

virus,infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid,

bruselosis, riketsiosis dan malaria.

Leptospirosis ikterik. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis

berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas

penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi

tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga

dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status

imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis

adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

Page 6: Leptospirosis

Dalam periode 1979 - 1982, penyebab kematian leptospirosis berat di RSUP Dr.

Kariadi adalah koma uremikum, syok septik, gagal kardiorespirasi dan syok hemorhagik.

Angka kematian pasien leptospirosis ikterik ini adalah 5- 15%, sedang di RSUP Dr Kariadi

Semarang antara 30-50% meskipun telah mendapatkan terapi. Faktor-faktor prognostik yang

berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria (terutama renal),

hiperkalemia, hipotensi, ronkhi basah paru, dispnea, lekositosis > 12.900 / mm dan kelainan

EKG (repolarisasi) serta adanya infiltrat pada foto radiologik dada.

Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta

gangguan kesadaran akibat uremia) dapat menunjukan gambaran klinik yang mirip dengan

malaria falciparum berat (demam, ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta

kesadaran menurun akibat malaria serebral), haemorrhagic fever with syndrome atau HFRS

yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal manifestasi

perdarahan, subconjunctival injection dan kadang-kadang ikterik serta peningkatan

transaminase) dan demam tifoid berat dengan komplikasi ganda (sindrom sepsis, ikterik,

azotemia, bleeding tendency, soporocomateus).

C. Drug Related Problem (DRPs)

Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup

pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care

Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi

Page 7: Leptospirosis

terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan

yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).

Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)

mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network

Europe., 2006) :

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.

2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)

Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat

yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah

pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapiindikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak

sesuai, kontraindikasi dengan obatyang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi

yang jelas.

3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)

Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih

kecil daripada yang dibutuhkannya.

4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak menggunakan obat

sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.

5. Interaksi obat (Interaction)

Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau

potensial.

6. Masalah lainnya (Others)

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yangkurang

mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi lebih

lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahuipenyebabnya, perlu pemeriksaan

laboratorium.

Drug Related Problem : Doxycycline

1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki / ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)

Reaksi alergi : gatal-gatal; kesulitan bernapas; pembengkakan wajah Anda, bibir,

lidah, atau tenggorokan.

Obat-obatan antibiotik dapat menyebabkan diare, yang mungkin merupakan tanda

dari infeksi baru.

Page 8: Leptospirosis

Pada wanita hamil : obat ini bisa membahayakan bayi yang belum lahir, termasuk

perubahan warna permanen pada gigi di kemudian hari.

Pada wanita menyusui : Doxycycline masuk ke dalam ASI dan dapat

mempengaruhi tulang dan gigi pembangunan di bayi menyusui.

Pada anak berusia lebih muda dari 8 tahun : bisa menyebabkan menguning

permanen atau abu-warna abu-abu pada gigi, dan hal itu dapat mempengaruhi

pertumbuhan anak.

Efek samping yang harus diwaspadai : sakit kepala parah, pusing, penglihatan

kabur, demam, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu, pelepuhan parah, mengupas,

dan ruam kulit merah; kencing lebih sedikit dari biasanya atau tidak sama sekali;

kulit pucat atau menguning, urin berwarna gelap, demam, kebingungan atau

melemah, sakit parah di perut bagian atas menyebar ke punggung, mual dan

muntah, detak jantung yang cepat; kehilangan nafsu makan, sakit kuning

(menguningnya kulit atau mata), atau mudah memar atau perdarahan, kelemahan

yang tidak biasa.

Efek samping kurang yang serius mungkin termasuk: bengkak lidah, kesulitan

menelan, mual ringan, muntah, diare atau masalah perut, bercak putih atau luka di

dalam mulut atau bibir, koreng atau bengkak dalam rektal atau daerah genital,

vagina terasa gatal atau berair.

2. Interaksi obat

Antasida,

Mineral : zat besi, seng, kalsium, magnesium,

Suplemen over-the-counter,

Vitamin,

Obat penurun kolesterol seperti cholestyramine atau colestipol,

Isotretinoin dan tretinoin,

Produk yang berisi subsalisilat,

Warfarin,

Antibiotik penisilin seperti amoksisilin, penisilin, dicloxacillin, oksasilin

(Bactocill), dan lain-lain.

Drug Related Problem : Amoxicilin

Page 9: Leptospirosis

1. Interaksi obat :

Allopurinol: Dapat meningkatkan potensi reaksi alergi atau hipersensitivitas

terhadap Amoksisilin. Risiko C: Terapi memantau

Asamfusidic: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:

Pertimbangkan modifikasi terapi

Metotreksat: Penisilin dapat menurunkan ekskresi Methotrexate. Risiko C: Terapi

Memantau

Derivatiftetrasiklin: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:

Pertimbangkan modifikasi terapi.

Vaksintifoid: Antibiotik dapat mengurangi efek terapeutik Vaksin Tifus. Hanya

hidup yang dilemahkan Ty21 dipengaruhi. Risiko D: Pertimbangkan modifikasi

terapi.

Agen urikosurik: Dapat menurunkan ekskresi Penisilin. Risiko C: Terapi

Memantau.

2. Efek samping

Sistem saraf pusat: Hiperaktif, agitasi, kegelisahan, insomnia, kebingungan,

kejang, perubahan perilaku, dan pusing

Dermatologi: pustulosis akut exanthematous, eritematosa ruam makulopapular,

eritema multiforme, mucocutaneous candidiasis, sindrom Stevens-Johnson,

dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, hipersensitivitas vaskulitis, dan

urtikaria

Gastrointestinal: lidah berbulu hitam, mual, diare, hemorrhagic colitis, kolitis

pseudomembran, dan perubahan warna gigi (coklat, kuning, atau abu-abu, jarang),

muntah

Hematologi: Anemia, anemia hemolitik, trombositopenia, trombositopenia

purpura, eosinofilia, leukopenia, dan agranulositosis

Hati: AST dan ALT meningkat, ikterus kolestatik, kolestasis hati, dan hepatitis

akut cytolytic

Ginjal: kristaluria.

Drug Related Problem : Amphisilin

Page 10: Leptospirosis

1. Efek samping

Sistem saraf pusat: Demam, ensefalopati, dan kejang

Dermatologi: Eritema multiforme, dermatitis eksfoliatif, ruam, dan urtikaria

Catatan: Penampilan ruam harus hati-hati dievaluasi untuk membedakan (jika

mungkin) ampisilin non allergic ruam dari reaksi hipersensitivitas. Insiden lebih

tinggi pada pasien dengan infeksi virus, infeksi Salmonella, leukemia limfositik,

atau pasien yang memiliki hyperuricemia.

Gastrointestinal: Diare, enterokolitis, glositis, mual, kandidiasis oral, kolitis

pseudomembran, mulut atau lidah sakit, stomatitis, dan muntah.

Hematologi: Agranulositosis, anemia, anemia hemolitik, eosinofilia, leukopenia,

trombositopenia purpura.

Hati: AST meningkat

Ginjal: Nefritis interstisial (jarang)

Miscellaneous: Anafilaksis dan serum sickness

2. Interaksiobat

Allopurinol: Dapat meningkatkan potensi reaksi alergi atau hipersensitivitas

terhadap Ampisilin. Risiko C: Terapi memantau.

Atenolol: Ampisilin dapat menurunkan bioavailabilitas atenolol. Risiko C: Terapi

Memantau.

Asamfusidic: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:

Pertimbangkan modifikasi terapi.

Metotreksat: Penisilin dapat menurunkan ekskresi Methotrexate. Risiko C: Terapi

Memantau.

Derivatif tetrasiklin: Dapat mengurangi efek terapeutik Penisilin. Risiko D:

Pertimbangkan modifikasi terapi.

Vaksintifoid: Antibiotik dapat mengurangi efek terapeutik Vaksin Tifus. Hanya

hidup yang dilemahkan Ty21 dipengaruhi. Risiko D: Pertimbangkan modifikasi

terapi.

Agen urikosurik: Dapat menurunkan ekskresi Penisilin. Risiko C: Terapi

Memantau.

D. Pharmaceutical Care Leptospirosis

Page 11: Leptospirosis

Apoteker mempunyai tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam program pengawasan

infeksi pada sistem kesehatan. Tanggung jawab ini muncul dari pengetahuan yang dimiliki

Apoteker tentang infeksi dan antibiotika serta perannya dalam mempengaruhi penulisan resep

antibiotika. Tanggung jawab ini dijabarkan lebih lanjut, yaitu :

1. Mengurangi penyebaran infeksi.

Tanggung jawab ini dilaksanakan antara lain dengan:

Berpartisipasi dalam Komite Pengendali Infeksi di rumah sakit

Memberikan saran tentang pemilihan antiseptik, desinfektan.

Menyusun prosedur, kebijakan untuk mencegah terkontaminasinya produk obat

yang diracik di instalasi farmasi/apotek.

Menyusun rekomendasi tentang penggantian, pemilihan alat-alat kesehatan

injeksi, infus alat kesehatan yang digunakan untuk tujuan baik invasive maupun

non-invasif, serta alat kesehatan balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang

tindakan, ICU.

2. Promosi penggunaan antibiotika secara rasional.

Merupakan tanggung jawab yang penting dalam memastikan penggunaan antibiotika

secara rasional dalam sistem kesehatan. Tanggung jawab ini dilaksanakan tidak hanya

bagi Apoteker yang bekerja di rumah sakit juga bagi Apoteker yang bekerja di apotek.

Tanggung jawab dilaksanakan antara lain dengan:

Bekerja dalam struktur Komite Farmasi dan Terapi menentukan jumlah dan tipe

antibiotika yang beredar cukup untuk mengatasi infeksi sesuai dengan populasi

pasien yang dilayani. Prioritas diberikan untuk menyusun kebijakan tentang

penggunaan antibiotika yang akan berdampak pada outcome terapi yang optimal

di samping meminimalkan penyebaran strain mikroorganisme yang resisten.

Menghimbau kerjasama multidisiplin dalam sistem kesehatan untuk memastikan

bahwa penggunaan antibiotika untuk tujuan profilaksis, terapi empirik, maupun

terapi definitif menghasilkan outcome yang optimal.

3. Mendidik tenaga professional, pasien maupun masyarakat tentang infeksi dan

antibiotika. Tanggung jawab ini dilaksanakan dengan antara lain:

Menyiapkan bulletin, surat kabar, presentasi tentang seputar antibiotika dan

penggunaannya yang rasional bagi petugas kesehatan.

Page 12: Leptospirosis

Memberikan edukasi dan konseling kepada pasien tentang penggunaan

antibiotika.

Berpartisipasi dalam program pendidikan kesehatan masyarakat yang bertujuan

membatasi penyebaran penyakit infeksi.

1. Mempersiapkan Praktek Pharmaceutical Care

Untuk memulai persiapan praktek Pharmaceutical Care diperlukan pengetahuan

Apoteker yang jelas tentang pelayanan yang akan diberikan kepada penderita. Apoteker

seyogyanya menjadikan orientasi penderita sebagai bagian yang terinternalisasi dalam

pikiran dan tindak apoteker itu sendiri. Apoteker perlu betul menyadari bahwa pelayanan

kepada penderita berarti bukan penyediaan produk semata, melainkan memberikan

pelayanan kefarmasian yang berorientasi terhadap kualitas hidup penderita, dan bukan

sekedar sembuh dari penyakitnya. Bukan berarti bahwa dengan menfokuskan perhatian

kepada penderita, lalu penyediaan produk menjadi nomor dua, namun keduanya berjalan

seiring. Konsep tersebut perlu disosialisasikan bahkan perlu dilatihkan kepada semua

petugas yang ada di Apotek, sehingga memiliki pemahaman dan sikap yang sama dalam

pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien. Pada saat memulai berhubungan

dengan pasien, perlu diwujudkan pertama kali dengan menjelaskan, bahwa Apoteker atau

petugas apotek yang mewakili mulai menyediakan pelayanan kefarmasian/

Pharmaceutical Care. Perlu penjelasan bahwa selama ini Apoteker atau Apotek lebih

banyak melayani penjualan/penyediaan produk ketimbang memberikan pelayanan.

Pengertian ini perlu ditanamkan kepada penderita yang datang. Misalnya dengan

memberikan penjelasan kepada penderita, bahwa Apoteker/Apotek menyediakan

pelayanan informasi dan bersedia menjadi Pengawas minum obat bagi penderita

leptospirosis.

2. Pelaksanaan Monitoring dan Penyampaian Rekomendasi Pelayanan

Monitoring terapi obat di rumah sakit dilaksanakan dengan pemantauan kondisi klinik

pasien secara langsung, tanda vital, maupun parameter lab. Sedangkan di apotek,

monitoring dilaksanakan dengan cara memantau kondisi klinik, tanda vital atau parameter

lab yang mungkin melalui telpon. Untuk efek samping obat potensial, pasien dapat

diminta untuk melaporkan kepada apotek bila terjadi. Rekomendasi pelayanan dapat

disampaikan secara berhadapan langsung, tulisan, presentasi atau melalui telpon.

Page 13: Leptospirosis

3. Menjadikan penderita sebagai Pusat Perhatian

Menemukan kebutuhan dan permasalahan terapi obat pada penderita merupakan pintu

gerbang untuk dapat masuk untuk memahami keadaan penderita dan membuat penderita

tertarik dan berminat untuk memperoleh pelayanan kefarmasian. Perlu disampaikan

bahwa pelayanan kefarmasian bagi penderita leptospirosis adalah untuk menyediakan

pelayanan yang terbaik agar penderita memperoleh obat dan informasi yang baik dan

benar, sehingga dapat memberikan bantuan unuk penyembuhan, dan bahkan memperoleh

kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup penderita. Dengan demikian fokus kepada

penderita leptospirosis, bagi Apoteker adalah memahami pengetahuan penderita tentang

leptospirosis, pengobatan dan obatnya, bagaimana memakai obat yang baik dan benar,

dan kemungkinan interaksi dan efek samping dari obat leptospirosis yang akan diminum.

Cara paling ampuh dalam menilai pemahaman penderita adalah dengan cara memperoleh

umpan balik, antara lain dengan three prime question. Dengan berbekal tentang

pemahaman penderita, dan melaksanakan identifikasi masalah terapi obat dan kepatuhan

penderita, maka dapat dibina hubungan yang erat antara penderita dengan Apoteker, serta

akhirnya dapat secara dapat mencapai tujuan terapi.

4. Memperhatikan sumber daya manusia

Pelayanan yang baik sangat tergantung dari mutu pelayanan itu sendiri. Mutu sangat

dipengaruhi oleh kompetensi Apotekernya dan staf Apotek yang terlibat dalam

menjalankan pelayanan kefarmasian. Disamping itu, diperlukan kesamaan persepsi

praktek diantara staf yang ada, seperti layaknya semua pemainan dalam sebuah konser

musik, haruslah harmonis sehingga dihasilkan pelayanan yang bermutu. Peran dan Fungsi

Apoteker perlu dijelaskan kepada petugas lainnya, begitu juga sebaliknya, peran apa yang

dapat dilaksanakan oleh Asisten Apoteker. Salah satu contoh ialah pada saat pemberian

antibiotic dan asupan nutrisi lainnya pada pasien leptospirosis, apakah terjadi interakasi

obat yang signifikan atau tidak.

5. Menciptakan praktek yang tepat

Menciptakan praktek yang baik dan benar, disamping melaksanakan pelayanan, juga

memperhatikan semua sumber daya dapat disediakan untuk mendukung pelayanan.

Kepuasan penderita ataupun tenaga kesehatan lain merupakan ukuran dari pelaksanaan

Page 14: Leptospirosis

praktek yang tepat. Artinya menyediakan pelayanan atau praktek yang tepat berarti

memperhatikan aspek aspek yang menjadi ukuran dalam kepuasan penderita.

Misalnya penderita melihat :

Kelengkapan persediaan obat antibiotic untuk leptospirosis

Kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan Apotek

Kecepatan pelayanan dan keramahan Apoteker dan stafnya.

Pemenuhan kebutuhan penderita, seperti harga yang murah, informasi yang tepat dan

sesuai, dsb.

Keandalan dan manfaat dari obat yang diberikan

Kemudahan dihubungi jika memerlukan informasi atau konsultasi

Kemudahan dalam pengembalian / klaim obat.

Jika praktek dilaksanakan dengan tepat, kemudian penderita menjadi puas, maka hal ini

akan menjadi investasi pemasaran yang baik, disamping peningkatan loyalitas penderita

ke Apotek, juga dapat menjadi sarana pemasaran dari mulut ke mulut dalam bentuk

rekomendasi bagi penderita lainnya.

6. Mengupayakan pembiayaan

Sudah pasti, bahwa dalam pelayanan profesional, Apoteker memahami bahwa ada

implikasi keuangan dari pelayanan yang akan diberikan. Tentunya pada saat pertama

menjalankan Pharmaceutical Care akan terfikir untuk membandingkan biaya yang harus

dikeluarkan jika tetap menjalankan dispensing seperti biasa.

Memang demikian, pada tahap awal memerlukan biaya untuk persiapan dan menjalankan

Pharmaceutical Care, seperti pengadaan sumber informasi, meningkatkan kemampuan

Apoteker dan stafnya, penyediaan waktu dan energy yang lebih banyak, dlsb. Dalam

jangka pendek, penyediaan biaya ini tentunya tidak akan dapat dibebankan begitu saja

sebagai fee for service dalam pembayaran penderita. Namun dalam jangka yang tidak

terlalu lama, dengan Pharmaceutical Care, berdasarkan pengalaman banyak Apoteker

diluar negeri maupun di Indonesia, adanya peningkatan kepercayaan dan kunjungan

penderita dengan kehadiran dan pelayanan oleh Apoteker. Dengan demikian, biaya, yang

dapat disebut sebagai investasi ini memerlukan modal awal, untuk nanti dapat diperoleh

kembali pada saatnya penderita telah mencari Apoteker.

Pencegahan

• Melakukan vaksinasi hewan ternak ataupun hewan peliharaan

Page 15: Leptospirosis

• Pengobatan menggunakan antibiotic Penicillin dan turunannya (Amoxylline),

Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.

• Diperlukan adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi

terinfeksi Leptospira untuk meningkatkan pemahaman mengenai leptospirosis agar

dapat melakukan tindakan pencegahan penularannya .

E. Kesimpulan

Leptospirosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang

berbentuk spiral dari genus leptospira yang patogen, menyerang hewan dan manusia.

Manifestasi klinis dari leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari hanya seperti flu biasa

sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai kegagalan bernapas.

Penyakit ini pada manusia beragam, mulai subklinis, dengan gejala akut sampai yang

mematikan. Gejala klinisnya sangat beragam dan nonspesifik. Gejala yang umum adalah

demam, sakit kepala, mual-mual, nyeri otot, dan muntah. Kadang terjadi konjungtivitis,

ikterus, anemia, dan gagal ginjal.

Faktor-faktor risiko kejadian leptospirosis antara lain adalah faktor perilaku faktor

pelayanan kesehatan, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan faktor demografi.

Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja

tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer.

Page 16: Leptospirosis

DAFAR PUSTAKA

American Pharmacists Association. 2008. Drug Information Handbook 17th edition.

Anonim. 2009. Interim Statements on the Role of Antibiotic Chemoprophylaxis in

Leptospirosis. Philippine Society for Microbiology and Infectious Diseases, Inc.

Depkes RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium

Leptospirosis di Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat

Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.

Gasem M. H. 2002. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.. Badan

Penerbit Universitas Diponegoro.

Kusmiyati. Susan M. Noor Dan Supar. Leptospirosis Pada Hewan Dan Manusia Di

Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. 2006. PCNE Classification for Drug

Related Problems. V5.01 (revised 01-05-06vm).

Sanford J.P. 1994. Leptospirosis, Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 13. Mc

Graw-Hill, p: 740-743. New York.

Sarkar Urmimala et al. 2002. Population-Based Case-Control Invertigation of Risk Factors

for Leptospirosis during an Urban Epidemic. American Journal Tropical Medicine and

Hygiene, p: 605-610.

Wiharyadi D. 2004. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota Semarang. Tesis,

Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip. Semarang..