LEGENDA SULTAN DOMAS.docx
-
Upload
bagus-prasetyo -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of LEGENDA SULTAN DOMAS.docx
LEGENDA SULTAN DOMAS
Pada zaman dahulu kala di Lampung terdapat sebuah dusun yang cukup ramai di
pinggir sebuah sungai yang mengalir ke Laut Jawa. Dusun atau kampung itu kini
terletak di kota tua Sukadana, Lampung Timur. Pada waktu itu, belum ada jalan
raya, apalagi mobil, sepeda motor, atau kendaraan lain. Pohon-pohon yang lebat,
Hutan dan jalanan berbatu yang menghiasi kampung tersebut. Rakyat hidup
sederhana. Rumah-rumah masih jarang. Mata pencaharian masyarakat kampung
masih berladang dan berkebun. Di kampung itu hidup seorang pemuda bernama
Domas. Ibu dan ayahnya sudah meninggal dunia. Karena miskin dan tidak punya
harta, Domas sering dihina penduduk kampung sehingga ia jarang keluar dari
gubuk peninggalan orang tuanya. Setiap kali keluar tidak hanya cibiran penduduk
yang Domas dapatkan, jika sedang sial Domas kerap kali menjadi pelampiasan
orang-orang jahat kampung. Tiap hari, kerja Domas ialah memancing ikan di
sungai yang tidak jauh dari gubuknya demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ibu
Domas sering berpesan kepada Domas untuk tidak membalas kejahatan dengan
kejahatan. Oleh karena itu, Domas yang miskin dan yatim piatu itu tidak mau
membenci penduduk kampung meski mereka suka menghina dirinya.
Seperti hari-hari biasanya, pagi ini Domas pun bersiap untuk mencari ikan di
sungai, walau cuaca pada pagi ini agak mendung lain dari biasanya. Setapak demi
setapak ia lalui hutan dengan was-was, kalau-kalau ada binatang buas yang siap
memangsa dirinya. Tetapi dalam hati Domas, ada yang lebih menakutkan
dibanding dari binatang buas itu sendiri yaitu ia lebih khawatir jika ada orang-
orang yang mencoba berbuat jahat pada Domas namun sebelumnya ia menipu
dengan berpura-pura bersikap baik padanya. Ya, manusia seperti itu lebih
menakutkan daripada hewan buas sekalipun. Seburuk-buruk hewan buas, ia tak
pernah berbohong. Namun, manusia yang menikam dari belakang itu lebih buruk
dari hewan buas. Setibanya di tepi sungai, Domas langsung bersiap dengan
tombak yang ia bawa. Agak sulit kali ini Domas mendapatkan ikan, mengingat
cuaca yang tak bersahabat yang sedari pagi hari tadi antara mau hujan dan tidak
hujan. Akhirnya, setelah sekian lama dan lewat perjuangan yang lumayan sulit
Domas pun mendapatkan ikan. Hasilnya tak seperti yang diharapkan Domas.
“Setidaknya ini lebih baik daripada aku tidak makan untuk hari ini”, ucap Domas
dalam hati. Langsung ia taruh ikan tersebut ke dalam ember besar yang ia bawa.
Sembari mencari tempat untuk rehat, sambil menggendong kotak berisi ikan yang
ia tangkap tadi ia mengumpulkan kayu bakar untuk digunakannya memanggang
ikan. Tibalah ia pada suatu gubuk kecil. Gubuk itu telah hampir dimakan usia.
Warnanya pudar, hampir tak beratap, hampir tidak jelas mana bagian dalam gubuk
itu dengan bagian luarnya mengingat sama banyaknya dari batu-batu yang
berserakan pada gubuk tersebut. “Aku sudah terbiasa hidup sendiri, mengapa aku
harus takut pada gubuk itu toh tak ada bedanya dengan rumah sendiri, biarlah aku
coba beristirahat sejenak pada gubuk itu”, ucap Domas. Ia letakkan kotak ikan
yang ia gendong ke tanah. Pelan-pelan ia rebahkan tubuhnya ke lantai. Sambil
merenungi nasibnya yang tidak beruntung itu Domas memanggang ikan itu.
“Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah, mengapalah nasibku seperti ini, hidup
sebatang kara, sanak saudara tidak ada, tiada pula yang menyayangi dan
mengasihi aku,” keluh Domas sambil menunggu ikanya matang. Tak hanya sekali
dua kali Domas mengeluh seperti itu, hampir setiap malam ia mengadukan
nasibnya kepada Tuhan. Ia berfikir, hanya Tuhanlah sandaran satu-satunya tempat
ia berkeluh-kesah tentang nasibnya itu. Waktu kecil, ibunya sering menasehati
Domas agar ia tidak melupakan Tuhannya. “Sekuat apapun usaha manusia jika
tidak disertai dengan keridhoan Tuhan itu tidak berarti apa-apa Domas”.
Demikianlah bunyi nasihat yang terlintas pada pikiran Domas. Selagi pikiran
Domas terhanyut oleh pikirannya sendiri, dari tempat ia memanggang ikan tadi
tercium bau aroma yang mengundang selera. Aroma ikan bakar ditambah bumbu
masak yang Domas kumpulkan tadi ternyata mengundang sesosok manusia tua
dari dalam gubuk itu keluar. Rambut putih dan jenggot putih panjang terurai,
disertai berjalan dengan menggunakan tongkat tapi yang menandakan ciri khas
dari kakek ini adalah meskipun sudah tua ia dari paras wajahnya masih nampak
kharisma yang kuat, seolah apa yang Domas temui ini seperti bukan kakek-kakek.
Domas tidak sadar bahwa di dalam gubuk itu ada seseorang. Ia kira gubuk ini
merupakan gubuk tua biasa yang tidak mungkin ditinggali oleh manusia apalagi
oleh seorang kakek tua. “Hai, anak muda,” sapa kakek itu kepada Domas. Domas
pun menjawab sapaan kakek tersebut dengan sopan. “Apakah ada yang bisa saya
bantu kakek,” tanya Domas pada kakek itu. “Boleh aku minta makananmu, nak,”
jawab kakek. Sudah beberapa hari ini kakek belum makan sedikitpun. Tegas si
kakek. Permintaan dari si kakek membuat Domas berfikir dua kali untuk berbagi
makanan dengan si kakek. Jika pada hari biasa mungkin dia akan dengan senang
hati berbagi makanan tetapi hari ini makanan yang dia dapat sangat sedikit
ditambah dia pun dari pagi hari belum makan sedikitpun. Melihat kakek itu
membuat hati Domas luluh. “Ah, biarlah makanan ini aku berikan pada kakek itu
saja toh aku masih bisa menahan lapar untuk hari ini,” ucap Domas dalam hati.
Domas pun menawarkan ikan bakar yang baru selesai ia masak kepada kakek tua
yang baru ia kenal itu. “Terima kasih, nak,” jawab kakek itu kepada Domas.
“Wahai kakek, apa yang kamu lakukan di gubuk ini sendirian,” tanya Domas
sambil basa-basi kepada si kakek. Itulah hal yang membuat penasaran Domas.
Apakah kakek memang tinggal digubuk ini, apakah ia seorang pengembara yang
kebetulan singgah di gubuk ini sama seperti dia. Jika kakek tua itu memang
seorang pengembara, Domas ingin bertanya pada kakek itu. Ia penasaran dengan
dunia luar selain dari kampung itu. Maklum, karena sedari kecil Domas belum
melalah buana kedunia luar. Ayahnya sudah meninggal waktu ia masih bayi. Juga
ibunya tidak menceritakan tentang dunia luar dari kampung atau desa tempat
Domas tinggal. “Hahaha, aku memang sudah lama tinggal di gubuk ini, Nak,”
jawab kakek sambil tertawa. Serentak, jawaban si kakek membuat hati Domas
agak sedikit kecewa. Melihat perubahan muka pada pemuda yang telah
menolongnya itu membuat kakek tua menyadari bahwa kiranya anak muda yang
berada di depanya ini mengaharapkan jawaban yang berbeda. Langsung kakek tua
itu mengganti jawaban yang ia ungkapkan. “Aku memang sudah lama tinggal di
sini tetapi aku bukan pemilik gubuk ini, “ jawab kakek kembali. Kiranya diketahui
bahwasanya dahulu, kakek tua itu seorang pengembara yang telah berkelana ke
berbagai tempat di pelosok negeri. Karena sudah tidak tahu lagi tempat mana yang
ingin ia kunjungi ia menemukan gubuk ini dan dijadikannya lah gubuk ini sebagai
tempat tinggalnya. Mengetahui hal itu membuat hati Domas senang sekaligus
kagum pada kakek tua itu. “Hai anak muda, ada hal apa yang membuatmu
bersedih,” tanya kakek tua itu kepada Domas. Sebenernya sudah seelum dari
Domas menginjakkan kaki di gubuk kecil ini, kakek itu sudah lama
memperhatikan Domas. Hanya ia tak berani bertanya pada anak muda itu. Melihat
raut wajah anak muda yang telah menolongnya ini agak terlihat sedih sewaktu
memasuki gubuk tadi kakek tua itu ingin mencoba menghiburnya sebagai rasa
terima kasihnya karena telah diberi makanan oleh anak muda yang telah
diketahuinya bernama Domas itu. “Tidak ada masalah apa-apa kakek, aku hanya
merenungi nasibku yang tidak beruntung ini”, jawab Domas kepada sang kakek.
Telah diketahui sebelumnya bahwa Domas hidup sebatang kara. Tak hanya itu
yang membuat Domas bersedih hati. Berbagai ejekan, hinaan, cercaan yang
dilontarkan oleh orang-orang kepada Domas. Siksaan berupa fisik pun kerap kali
Domas dapatkan. “Wah, malang benar nasibmu cucu.” Kata kakek mencoba
menghibur Domas. Mulai hari ini kamu akan kakek anggap sebagai cucu kakek
sendiri Domas. Lagipula kamu sudah tidak punya orang tua maupun keluarga lagi.
Mungkin sudah takdir dari langit kamu kita dipertemukan di gubuk ini. Baiklah,
Domas aku akan coba mengajarimu sebuah jurus yang bisa kamu pakai nanti jika
ada orang yang berani menyakitimu. Siapa yang menyakitimu berarti menyakiti
aku juga. Sebenarnya kakek yang ditemui Domas itu merupakan seorang yang
sakti mandraguna yang telah berkeliling hampir ke semua pelosok negeri.
Sewaktu mudanya dulu ia sering menguji kesaktianya dengan berbagai lawan di
setiap negeri yang ia kunjungi. Kamu beruntung Domas, aku tak terlalu suka
mengangkat orang sebagai muridku. Tapi setelah bertemu kamu, melihat kebaikan
hatimu dan kemalangan nasibmu aku tak hanya mengangkatmu sebagai murid tapi
aku akan memperlakukanmu sebagai cucuku sendiri. “Sini, anak baik aku ajari
kau jurus untuk melindungi diri,” perintah kakek tua itu. Domas pun diajari
beberapa jurus oleh kakek itu. Memang dasar sifat Domas yang tidak ingin
mengecewakan orang yang telah berbuat baik padanya. Maka ia pun dengan
sepenuh hati menerima ajaran dari si kakek. “Terima kasih, kek hari sudah sore
aku mau pamit pulang dulu kek besok atau lusa aku akan kemari lagi
mengunjungi kakek,” ucap Domas kepada kakek. Domas tidak ingin
meninggalkan rumah atau gubuknya itu terlalu lama karena di dalam gubuk
peninggalan orang tuanya itu masih tersimpan kenangan Domas bersama ibunya.
Itulah sebabnya walau Domas ingin pulang meskipun tak ada yang menunggu
kepulangannya di rumah. Setelah pamit kepada kakek itu Domas pun
meninggalkan gubuk tua itu. Perjalanan pulang Domas terbilang agak panjang
karena harus menelusuri sungai tempat ia biasa menangkap ikan lalu melewati
hutan yang lebat. Dengan was-was, khawatir kalau ada binatang buas Domas pun
melewati hutan. Sesampainya tengah hutan ia mengulangi lagi pelajaran yang
telah diajarkan kakek tadi. Ia tarik nafas, lalu dengan satu dua gerakan ia ayunkan
tangannya. Serentak tak sengaja pukulannya mengenai burung yang kebetulan
lewat. Burung itu langsung terkapar tak berdaya. Beberapa saat kemudian burung
itu mati. Domas tidak menyadari bahwa kakek tadi telah membuka aliran tenaga
dalam saat mengajari Domas. Kaget sekaligus senang ketika Domas menyadari
itu. Dengan begini mungkin akan lebih mudah saat aku menari ikan nanti,
gumamnya. Melihat burung yang mati karena pukulannya membuat perut Domas
berbunyi. Ya, memang dia sampai detik ini belum makan sesuap pun. Ikan hasil
tangkapanya ia berikan kepada kakek tua yang tidak sengaja ia temui tadi.
Akhirnya, Domas pun membawa burung itu untuk ia masak begitu sampai
rumahnya nanti. Begitu tiba di rumahnya ia langsung memasak burung yang
tersebut. Rumah domas tak terlalu berbeda dengan gubuk yang ia temui hari ini.
Yang membedakan hanya di dalam rumah Domas masih bersih dan tertata rapi
walaupun dari luar sama-sama terlihat seperti gubuk tua yang sudah usang. Usai
makan Domas langsung terlelap tidur dengan ditemani nyamuk yang senantiasa
mengigitnya.
Esok harinya, Domas pun ingin mengunjungi kakek itu lagi untuk menepati
janjinya. Dengan lebih dulu menangkap ikan untuk diberikan kepada kakek tua
yang sudah ia anggap sebagai kakek sendiri. Tetapi, kali ini dengan berbekal
ajaran yang telah diberikan oleh si kakek tua itu ia berhasil mendapatkan banyak
ikan. Tentu kali ini ia dan kakek itu tidak akan merasakan kelaparan sama seperti
kemarin dimana ia rela memberikan seluruh makananya pada si kakek. Memang
begitulah sifat Domas yang baik hatinya itu. “Haha Cucu, kamu menepati janjimu
menengok aku kembali,” tawa kakek senang dikunjungi oleh Domas kembali.
Seperti kemarin, kali ini pun Domas diajari kembali oleh kakek itu. Kali ini
Domas harus pulang lebih awal dari kemarin mengingat perjalanan pulang sangat
jauh ditambah hari ini dia harus menacari kayu bakar karena persediaan kayu
bakar di rumahnya telah habis. Hari ini entah lain dari biasanya, Domas merasa
tidak enak jika meninggalkan rumah terlalu lama. Setelah usia ia mencari kayu
bakar ia buru-buru pulang. Dan benar ketika domas selesai dari mencari kayu
bakar di hutan, ia kaget mendapatkan gubuknya sudah dibakar orang. Perasaan
Domas yang hidup sebatang kara itu hancur lebur.. “Siapa, siapa yang telah
membakar gubukku. Sungguh tega sekali ia padaku” ucap Domas sambil
menangis tersedu-sedu. Ya, memang dari semenjak awal warga di kampung
Domas memang sudah tidak suka terhadap Domas. Mereka senang melihat
Domas susah. Karena kemaren Domas terlihat bahagia karena bertemu dengan
kakek tua itu tak sengaja dilihat oleh orang kampung Domas. Ia merasa curiga
mengapa Domas terlihat begitu bahagia lalu ia pun membuntuti Domas. Melihat
Domas yang telah menjatuhkan burung dengan sekali pukul orang itu merasa
khawatir kalau-kalau Domas akan balas dendam kepadanya. Dengan penuh
dengki, akhirnya orang itu ingin agar Domas pergi dari kampung ini dengan cara
membakar rumahnya. Ia tahu kebiasaan Domas bahwa padi pagi hari Domas pasti
akan mengambil ikan di sungai yang jaraknya cukup jauh. Ketika Domas
berangkat pagiharinya, orang itu beserta komplotannya bersiap untuk membakar
rumah Domas. Melihat penampakan Domas sudah tak terlihat badan sedikitpun
dan merasa yakin bahwa Domas tak akan kembali untuk mengambil barang yang
tertinggal mereka lalu membakar rumah Domas. Kali ini, perasaan Domas hancur.
Kesedihan ia tak tertahankan. Ia sangat sedih karena tak bisa menjaga satu-
satunya peninggalan orang tuanya yang sangat ia cintai itu. Tak ada yang bisa
menghibur Domas malam ini. Sambil menangis ia berlari menuju hutan yang
lebat. “Oh, Tuhan mengapa nasibku malang begini. Hidup hanya untuk dihina,
bahkan aku tak bisa menjaga pemberian orang tuaku. “ keras-keras Domas
ucapkan. Di tengah hutan ia merenungi nasibnya yang malang itu dan ingin bunuh
diri. Domas sudah tidak tahu lagi arah tujuan hidupnya. Ia sekarang tahu bahwa
kebencian dan kedengkian warga kampungnya begitu dalam pada Domas. Tak
mungkin ia kembali ke kampung itu lagi. Antara hidup segan mati pun tak mau
Domas menjalani malam yang terasa amat panjang Baginya. Ibu Domas tidak
pernah mengajarkan Domas untuk lari dari masalah. Ia mengajarkan kepada
Domas bahwa hidup itu adalah suatu perjuangan maka dari itu dirinya tak boleh
berputus asa. Domas yang sudah tidak punya rumah dan dan malam tinggal di
bawah atap daun pisang yang ia buat, bermimpi didatangi seorang kakek tua
berjanggut putih panjang terurai. Kakek itu berpesan kepada Domas agar pergi ke
arah Selatan. “Apabila cucu bertemu sebuah sungai besar yang dikelilingi banyak
pohon besar, menetaplah di sana. Jangan lupa membuka ladang untuk ditanami
sayur-sayuran dan buah-buahan sebagai bekal sehari-hari, “kata kakek dalam
mimpi itu. Setelah mendengar pesan itu, Domas terbangun. Ia mencari kakek tua
itu, tetapi tidak ada. Domas teringat pada kakek tua yang tempo hari ia temui. Pagi
harinya Domas pun mengunjungi gubuk tempat tinggal kakek itu, tatapi kali ini
Domas tidak melihat siapapun yang berada di dalamnya. Ia berpendapat kakek itu
sudah pergi berkelana melanjutkan perjalananya. Kali ini Domas memang benar-
benar sendirian. Kakek yang Domas anggap sebagai keluarga telah meninggalkan
gubuk itu. Domas pun teringat mimpinya semalam, “Aha, boleh jadi kakek itu
memang menyuruh aku untuk pergi berkelana. Ia tahu bahwa aku sudah tidak
mungkin tinggal di kampung ini lagi. Dengan berbekal ajaran dari si kakek
Domas pun mengikuti pesan dalam mimpi itu untuk pergi berkelana
meninggalkan kampung halamanya ini, tekad ia sudah bulat.
Domas pun meninggalkan kampung halamanya menuju tempat yang disebutkan
kakek tua dalam mimpi itu. Ia terus berjalan ke arah Selatan. Masuk kampung
keluar kampung, masuk hutan keluar hutan. Berhari-hari ia melakukan perjalanan
dan sering menghadapi berbagai gangguan. Kadang-kadang ia bertemu dengan
binatang buas seperti harimau, buaya, dan ular. Akan tetapi, ia sudah bertekad
meninggalkan kampungnya. Dengan ajaran ilmu dari kakek itu ia dengan mudah
mengatasi binatang-binatang buas selama perjalanan. Beruntung ia sering melatih
apa yang diajarkan kakek itu selama perjalanan. Gangguan seperti binatang buas
sudah tidak berarti baginya. Bahkan ada beberapa hewan buas yang menjadi
kawannya karena sifat welas asih Domas yang tak tega membunuh hewan
tersebut. Setelah berjalan berbulan-bulan, akhirnya sampailah Domas di sebuah
hutan lebat. Di hutan itu ada sebuah sungai besar, airnya sangat jernih, iaknya
banyak. Domas tercengang! Tiba-tiba ia ingat pesan kakek tua dalam mimpinya
dulu. Tanpa berpikir lama, Domas memutuskan untuk tinggal di tepi sungai yang
sekarang bernama way sekampung. Berhari-hari ia mengumpulkan kayu untuk
membuat gubuk. Setelah itu, ia pun menebang pohon untuk dibuat ladang. Hati
Domas semakin tenteram. Di sungai itu banyak terdapat ikan yang bisa didapat
dengan mudah. Karena tidak ada pekerjaan lain, Domas sering melakukan semedi
atau bertapa. Waktu pun berlalu dengan cepat. Pada suatu hari, saat bertapa selesai
bertapa ia melihat seorang kakek yang kelihatan tidak asing baginya. Dan benar
saja setelah Domas perhatikan baik-baik kakek itu ialah kakek yang Domas temui
sekitar sepuluh tahun silam. Domas tidak sadar bahwa dalam perjalananya itu ia
telah menghabiskan banyak bulan bahkan tahun yang ia lalui. Ia sangat gembira
melihat kakek tua yang ia anggap sebagai kakek sendiri ternyata masih hidup.
Kakek itupun sangat senang bertemu dengan Domas. “Domas cucuku, baik-
baikkah engkau di sini,” tanya kakek dengan gembira. “Aku sangat baik kek, aku
sudah mencari kakek sejauh ini. Akhirnya kita dipertemukan juga di sini kakek, “.
Domas pun meneritakan kejadian yang ia alami waktu gubuk tempat tinggalnya
dibakar sampai perjalanan ia sampai ke sini. Kakek tua itu mendengarkan dengan
penuh perhatian. Melihat kesabaran dan keluruhan Domas kakek tua itu merasa
kagum terhadap Domas. Sungguh pemuda seperti Domas sudah jarang ada di
dunia ini. Banyak pemuda yang diberi cobaan dan kebanyakan dari mereka tak
tahan dengan cobaan yang dialami. Banyak juga pemuda yang diberi ilmu yang
tinggi tapi ia menjadi angkuh. Lain dengan Domas, ia diberi cobaan yang besar,
hidup sendirian tetapi ia tidak menyerah. Ia memiliki ilmu yang kuajarkan walau
Cuma sedikit tapi ia mempergunakannya ke jalan yang benar. Ia tidak menyakiti
yang lemah malah sebaliknya ia menolong yang lemah dan memaafkan musuh
yang memusuhinya. Sifat kepribadian Domas membuat sang kakek ingin
memberikan semua ilmu yang ia punya kepada Domas. Akhirnya, Domas diberi
sebuah buku berisi ilmu kesaktian yang dibuat kakek itu selama perjalanan
hidupnya sebagai warisannya kelak untuk muridnya. Beruntung ia memiliki murid
seperti Domas, ia pun dengan senang hati memberinya. Domas juga diberi sebilah
pedang dan tongkat kayu berbentuk ular oleh kakek tua itu. Dengan mengucapkan
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Domas menerima semua pemberian itu
dan akan menggunakannya dengan baik untuk membantu orang yang memerlukan
pertolongan dan orang yang tertimpa musibah.
Sejak menerima pemberian itu, Domas diberi tambahan nama dengan sebutan
Sultan, dan nama lengkapnya menjadi Sultan Domas. Karena perkembangan
zaman, sekitar tempat Sultan Domas bertempat tinggal sering dikunjungi orang.
Ada yang mencari kayu bahan bangunan rumah, ada yang mencari ikan di sungai,
ada pula yang mencari rotan dan mereka semua denga Sultan Domas di tengah
hutan. Pada mulanya mereka merasa takut dengan Sultan Domas. Akan tetapi,
lama kelamaan mereka tahu bahwa orang yang berada sendirian di tengah hutan
itu orang baik. Berkali-kali para pencari ikan ditolong oleh Sultan Domas ketika
mereka diserang oleh buaya-buaya penunggu sungai. Orang yang diganggu
binatang buas dalam hutan pun ditolong oleh Sultan Domas tanpa imbalan jasa.
Meskipun demikian, tidak semua orang yang ditolong Sultan Domas mau
menerima pertolongan itu dengan ikhlas. Di antara mereka ada yang berniat jahat,
walaupun pernah dibantu Sultan Domas. Apalagi mereka tahu bahwa Sultan
Domas mempunyai ilmu yang sakti serta sebilah pedang dan tongkat kayu yang
sangat bagus. Pada suatu hari, ketika Sultan Domas mencari ikan di hulu Sungai
Way Sekampung, datanglah lima orang berwajah seram ke pondoknya. Ternyata,
mereka sudah lama mengintip dan menunggu Sultan Domas pergi dari pondok.
Semua barang milik Sultan Domas diambil, termasuk sebilah pedang dan tongkat
kayu. Setelah mendapatkan semua yang diinginkan, mereka bermaksud
meninggalkan pondok Sultan Domas dan membakar pondok. Akan tetapi, setiap
kali mereka akan membakar pondok, api tidak bisa hidup. Akhirnya, niat untuk
membakar pondok dibatalkan. Mereka segera pergi, tetapi di depan pintu pondok
mereka terhenti karena ada seekor ular besar yang mengeluarkan semburan
berhawa panas. Mereka panik dan membuka dinding bagian belakang pondok.
Akan tetapi, di sana juga ada seekor buaya besar yang siap menerkam. Dengan
perasaan takut, kelima orang itu terkepung di dalam pondok sampai Sultan Domas
pulang. Sultan Domas tidak terkejut ketika melihat orang-orang jahat itu di dalam
pondok. Bahkan, dengan ramah ia menyapa kelima orang yang sedang ketakutan
itu. Mereka tidak bisa berbicara, mulut serasa terkunci. Sultan Domas memberi
salam satu per satu kepada kelima orang itu. Aneh bin ajaib, kelima orang yang
bermaksud jahat itu bisa membuka mulut. Sultan Domas hanya tersenyum dan
mengajak mereka bermalam di pondoknya. Karena hari sudah menjelang malam
dan karena takut, mereka menerima tawaran itu. Malam itu baru Sultan Domas
tahu kalau di sekitar hutan tempat tinggalnya ada perkampungan yang bisa dicapai
dengan berjalan kaki selama satu hari. Setelah kelima orang itu pulang,
tersebarlah di seluruh daerah bahwa di pinggir sungai dalam hutan Way
Sekampung ada orang sakti yang amat baik sifatnya. Menurut cerita orang tua,
banyak orang ingin membuka ladang di sekitar tempat tinggal Sultan Domas
dahulu. Lama kelamaan, tempat itu menjadi perkampungan. Sultan Domas pun
diangkat menjadi pemimpin. Sampai sekarang legenda Sultan Domas masih
dikenal masyarakat. Bahkan, makam Sultan Domas yang ada di pinggir sungai
Way Sekampung dianggap keramat. Banyak orang melakukan semedi meminta
petunjuk lewat makam Sultan Domas, yang terletak di Desa Sidomukti,
Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Tengah. Sungai dipinggir makam
itu sering banjir. Anehnya jika Sungai Way Sekampung banjir besar, makam itu
tidak pernah tenggelam sementara tempat-tempat disekitarnya digenangi air
sungai.