legal protection for the parties against free hold for land sale ...

149
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. 1 Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa: 1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial; 2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain; Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan 1 Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1

Transcript of legal protection for the parties against free hold for land sale ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia

sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah

yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai

hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan

kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda

ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek

spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya

kesejahteraan rakyat.1

Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa:

1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial;

2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain;

Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat

ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu

cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses

transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan

1Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 1

2

lunasnya suatu pembayaran terhadap pembelian suatu objek hak milik atas tanah,

maka para pihak dalam hal ini pihak penjual dan pihak pembeli melakukan suatu

perbuatan hukum dengan membuat suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah

dihadapan Notaris. Dengan dibuat dihadapan Notaris, maka para pihak dalam

membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal

yang akan diperjanjikan.

Perbuatan hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan dengan

perjanjian jual beli di hadapan Notaris yang kemudian apabila syarat terang dan

tunainya terpenuhi maka dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli yang

dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sekaligus

juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli. Dalam

kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah,

jual beli hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada

pembeli harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696), yang menyatakan bahwa:

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumh susun melalui jual beli,

tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat

didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang

berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, peralihan hak milik atas

tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah

3

ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan hukum jual

beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan

dengan itu menyerahkan suatu barang yang dijualnya kepada pembeli. Jual beli yang

dilakukan dengan nyata atau konkret dikenal dengan istilah “terang dan tunai”,

namun apabila diperhatikan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli diartikan sebagai berikut: “Jual beli

adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan.”2 Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,

terjangkau, mutakhir dan terbuka.3

Dalam hukum pertanahan Indonesia dikenal bahwa jual beli tanah dilakukan

secara terang dan tunai dalam artian penyerahan dan pembayaran jual beli hak milik

atas tanah dilakukan pada saat bersamaan (tunai) dihadapan seorang PPAT (terang).4

Penambahan terang dan tunai dalam jual beli hak milik atas tanah disebabkan karena

hukum tanah Indonesia mengadopsi aturan-aturan hukum adat. Pandangan hukum

adat menyatakan bahwa jual beli atas bidang tanah telah terjadi antara penjual dan

pembeli bila diketahui oleh kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua

2R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 366 3Florianus SP Sangsun, 1998, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi

Media, Jakarta, h. 18 4Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, 2003, Jual Beli, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, h. 87

4

orang saksi.5 Dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk

membuat suatu perjanjian pendahuluan dalam rangka proses peralihan hak milik atas

tanah. Dalam perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta

memuat janji-janji untuk melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah.

Dalam suatu perjanjian pada umumnya salah satu asas yang dikenal adalah

asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

menentukan sendiri hal-hal yang disepakati dalam perjanjian namun tetap tidak

bertentangan dengan kepentingan umum dan norma-norma yang berlaku. Dalam

perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut didasarkan pada suatu perjanjian

dimana untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata

mengandung empat syarat yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

3. Suatu hal tertentu ;

4. Suatu sebab yang halal ;

Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak

antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan

ini dapat dicapai dengan berbagai cara, yaitu dengan cara tertulis maupun tidak

tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi

dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan

5Sahat Sinaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan, Pustaka

Sutra, Jakarta, h. 17-21

5

menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.

Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan

perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan

dicapainya umur 21 tahun dan/atau telah menikah dengan usianya yang belum

mencapai umur 21 tahun.

Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini

menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas, misalnya dalam suatu

perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka obyek atas tanah dan harga harus

dimasukkan ke dalam perjanjian jual beli tersebut dengan jelas. Jika tidak jelas, maka

perjanjian tidak sah. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang

tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu (tidak tertentu) dengan harga

seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu tidak menunjukkan hal tertentu, tetapi hal

yang tidak tentu. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga

merupakan syarat tentang isi perjanjian. Isi perjanjian yang dimaksudkan disini

adalah bahwa tersebut tidak dapat bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan

dan ketertiban umum hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

Apabila keempat syarat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut telah

terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-

undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta

sunservanda). Pasal 1338 KUHPerdata ini, maksudnya adalah setiap orang bebas

6

mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa

perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat

diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja)

dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya sebagai undang-undang.

Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan

yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi-kondisi tertentu dapat ditemukan

terjadinya berbagai hal yang berakibat suatu perjanjian mengalami pembatalan, baik

dibatalkan oleh para pihak maupun berdasarkan putusan pengadilan. Dari sisi ini

pelaksanaan perjanjian jual beli hak milik atas tanah untuk dapat dikaji lebih lanjut

mengingat perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mendahului

proses peralihan hak milik atas tanah.

Terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian yaitu yang pertama,

pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat membuat gugatan perdata

wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat dan memohon kepada hakim agar

perjanjian jual beli tersebut dibatalkan. Kedua adalah dengan menunggu sampai ia

digugat atau sebagai tergugat melalui gugatan Pengadilan Negeri setempat,

berdasarkan bukti-bukti surat maupun kwitansi, fakta-fakta persidangan dan

keterangan-keterangan saksi selama menjalani proses persidangan maka hakim

membuat dasar pertimbangan untuk dapat memutus perkara perdata terhadap

pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut. Dalam rumusan Pasal

1266 KUHPerdata ditentukan tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat

pembatalan suatu perjanjian, yaitu :

7

a. Perjanjian harus bersifat timbal balik, dimana para pihak saling

memperjanjikan memberikan prestasi yang terkait satu sama lain, tidak

terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan

pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. Dasar pembenaran dari syarat batal

adalah kepatutan karena terutama dalam perjanjian timbal balik adanya prestasi

yang satu dikaitkan dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Oleh

karena itu, jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, pihak lawan

mempunyai hak untuk minta agar perjanjian dibatalkan. Namun, pihak lawan

tersebut tidak berhak mengajukan pembatalan jika ia sendiri telah wanprestasi.

b. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lawan, syarat batal dicantumkan dalam

perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi

kewajibannya (Pasal 1266 KUHPerdata).

c. Pembatalan harus dilakukan melalui putusan Pengadilan Negeri, gugatan

perdata wanprestasi terhadap salah satu pihak harus dituntutkan

pembatalannya. Kata harus dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata

ditafsirkan sebagai aturan yang memaksa dan karenanya tidak boleh

disimpangi para pihak melalui perjanjian yang melalui perjanjian mereka.

Hakim juga memiliki kewenangan lain, seperti menolak tuntutan pembatalan

apabila wanprestasi yang dilakukan relatif kecil dibandingkan dengan prestasi

yang sesungguhnya.6

Oleh karena terdapat kekosongan norma terkait dengan perlindungan hukum

para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka Jika

dikemudian hari timbul gugatan atau ada pihak yang menyangkal isi perjanjian yang

telah dibuat, diharapkan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, namun apabila

tidak mencapai kesepakatan demi keadilan dapat mengajukan gugatan perdata

wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat.

Sesuai ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, dengan dipenuhinya syarat batal,

maka perjanjian jual beli tanah dapat dibatalkan dan keadaan harus dikembalikan

pada kondisi semula pada saat timbulnya perjanjian tersebut. Setelah perjanjian

dibatalkan, maka para pihak mengembalikan segala sesuatunya pada keadaan semula,

6Ibid, h. 30

8

pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak

diwajibkan, dan harus dikembalikan.

Dapat dikemukakan bahwa akibat hukum terhadap terjadinya pembatalan

perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut menyebabkan para pihak harus

memenuhi kewajibannya terlebih dahulu seperti apa yang telah diperjanjikan

sebelumnya, seperti yang telah disebutkan diatas dengan mengembalikan pembayaran

yang telah diterima, denda dan ketentuan lainnya yang telah diperjanjikan. Perjanjian

jual beli yang merupakan suatu akta otentik akan dapat memberikan suatu

perlindungan serta adanya kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Seperti kasus yang diangkat dalam pembahasan tesis ini yaitu dengan

dimohonkannya pembatalan atas Perjanjian Jual Beli (PJB) No. 5 tertanggal 2 Mei

2005 yang dibuat dihadapan Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan., SH., dan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) dan kepastian hukum melalui putusan

Pengadilan Tinggi Denpasar No. 138/Pdt.2010/PT.Dps tertanggal 6 Januari 2011.

Dibatalkannya perjanjian ini dikarenakan ketidakmampuan dari pihak pembeli dalam

hal ini yaitu Rizaldy Deciderus Watruty untuk melunasi harga jual beli atas 9

(sembilan) bidang tanah yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak penjual yaitu

Reinta Sortaria Situmorang. Ketidakmampuan pelunasan inilah yang kemudian

dijadikan dasar atau alasan bagi pihak pembeli untuk membatalkan jual beli 9

(sembilan) bidang tanah yang tercatat atas nama dari Penjual. Pembatalan jual beli

hak milik atas tanah tersebut didaftarkan pada Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan,

SH dengan Akta No. 24 tanggal 13 Pebruari 2008.

9

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, hal ini menarik untuk

diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul:

“Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak

Milik Atas Tanah Di Denpasar (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar

No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps).” Untuk menunjukkan kebaharuan penelitian ini, akan

dipaparkan beberapa tesis yang berkaitan dengan masalah perjanjian jual beli.

Beberapa tesis yang dimaksudkan diteliti oleh Lubnah Aljufri dan Setu Santoso.

Pertama, tesis dari Lubnah Aljufri, NIM 0906652785, alumni Program

Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Indonesia Depok Tahun 2012 dengan

judul tesis adalah Kekuatan Hukum Pembuktian Perjanjian Pengikatan Jual beli

(Analisa Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang

pertama mengenai bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli dan

yang kedua yaitu mengenai bagaimanakah kekuatan hukum Akta Jual beli yang telah

dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat II dan mengapa Pengadilan Negeri

Depok menyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual beli antara Tergugat II dengan

Tergugat I adalah sah (Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor

120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).

Kedua, Tesis dari Setu Santoso, NIM B4B 001 189, alumni Program Studi

Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 2008

dengan judul tesis adalah Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Pengikatan Jual

beli Hak Atas Tanah Dan Bangunan Objek Jaminan Kredit Pemilikan Rumah Di PT.

10

Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Ciputat Tangerang. Adapun yang

menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai

bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak terhadap jual beli objek jaminan

Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank, dan yang kedua yaitu

bagaimana akibat hukum dari peralihan jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan

Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank dengan dibuat akta pengikatan jual beli dan

kuasa serta akta surat kuasa.

Dari kedua tesis yang telah diuraikan diatas, maka terdapat perbedaan yang

spesifik yaitu tentang pembatalan terhadap perjanjian jual beli serta perlindungan

hukumnya, sedangkan kedua judul tesis pembanding lebih menekankan pada

kekuatan hukum pembuktian perjanjian jual beli dan perlindungan hukum para pihak

dalam pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan objek jaminan kredit pemilikan

rumah. Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan

seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik

Atas Tanah (Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps) dan

permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang

membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

keorisinalannya atau keasliannya.

11

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap

perjanjian jual beli hak milik atas tanah?

2. Apakah dengan dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah para

pihak mendapatkan perlindungan hukum?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan ilmu hukum,

khususnya mengenai hukum perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,

khususnya dalam bidang Hukum Perjanjian dengan keterkaitannya dengan Hukum

Kenotariatan mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan

perjanjian jual beli hak milik atas tanah.

b. Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penyusunan tesis ini dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

mengenai hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari adanya pembatalan

Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.

12

2. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak dalam

pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.

1.4 Manfaat penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum perjanjian. Demikian

juga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun

praktis, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah

pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Perjanjian dan

Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk

kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan

perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak

milik hak atas tanah, yang ternyata dalam KUHPerdata tidak diatur secara

jelas mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan

perjanjian jual beli hak milik atas tanah.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat

positif kepada para pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli hak milik

atas tanah, baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi

penulis sendiri, serta bagi pembuat kebijakan.

13

1.5 Landasan Teoritis

Dalam menganalisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam

penelitian ini akan digunakan beberapa teori. “Kata teoritik atau teoritis atau

theoretical berarti berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori7.”Oleh

Soetandyo Wignjosoebroto, teori dikatakan ”Sebagai suatu konstruksi di alam cita atau

ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif

fenomena yang dijumpai di alam pengalaman8.”

Berdasarkan uraian konsep diatas, adapun teori-teori yang dapat dipergunakan

untuk membahas permasalahan dalam tesis ini yaitu:

1. Teori Tujuan Hukum

Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang

dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang

konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan

kepastian.9 Teori tujuan hukum menurut Radbruch dalam Theo Huijbers adalah

Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab

kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif

selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai

dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan

7Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum - Sebuah Pengantar,

Liberty, Yogyakarta, h. 156. 8Soetandyo Wignyosoebroto, 2006, Hukum-Paradigma, Metode dan

Dinamika Masalahnya, Eksam dan Huma, Jakarta, h. 179. 9H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, h. 19

14

antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu

nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan10

Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu

keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya

peraturan itu sendiri. ”Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai

kegunaan bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum11

.”

Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, peran Notaris

yang independen dan tidak memihak sangat diperlukan dalam membuat

perjanjian jual beli untuk dapat tercapainya tujuan hukum hukum yaitu keadilan

di dalam perjanjian tersebut, bermanfaat pula bagi pihak pembeli dalam hal

pelunasan jual beli hak milik atas tanah kepada pihak penjual serta adanya

kepastian hukum agar para pihak terlindungi secara hukum sebagai akibat dari

perjanjian jual beli, maka di dalam perjanjian jual beli harus memperhatikan

ketiga tujuan hukum menurut skala prioritas agar dikemudian hari tidak

menimbulkan keberatan maupun gugatan dari para pihak atas perjanjian jual beli

tersebut. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk

menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian

Jual beli Hak Milik atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

10

Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,

Yogyakarta, h. 163 11

Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 19.

15

Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk

menjawab permasalahan pertama.

2. Teori Perjanjian

Mengenai perjanjian dalam bahasa Belandanya diistilahkan dengan

“overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur

dalam Pasal 1313 KUHPerdata”12

. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313

KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pendapat lain

dikemukakan oleh Schoordijk bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari

dalam kepercayaan yang dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak lawan.

Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu.13

Dalam

Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.

Tjitrosudibio menjadi KUHPerdata menentukan mengenai hukum perjanjian

diatur dalam Buku III tentang Perikatan, yang mengatur dan memuat hak dan

kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak tertentu.14

Pengertian

perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan,

maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian salah

satunya Handri Raharjo yang menyatakan terdapat kata sepakat antara subjek

12

Tan Tong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.

Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 402. 13

Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang

Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h. 68 14

Subekti dan Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 323.

16

hukum, dan saling mengikatkan diri sehingga subjek yang satu berhak atas

prestasi dan subjek hukum yang satu berkewajiban untuk melaksanakan

prestasinya sesuai “kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta

menimbulkan akibat hukum.”15

Van Dunne sebagai pencetus teori baru

mengartikan perjanjian sebagai berikut:

Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan akibat hukum‟. Teori baru tersebut tidak hanya melihat

perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau

yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori

hukum baru, yaitu:

1. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,

2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara

para pihak,

3. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian16

Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai

berikut:

1. Adanya perbuatan hukum,

2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,

3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,

4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,

5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung

satu sama lain,

6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,

7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau

timbal balik, dan

8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-

undangan.17

15

Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta, h. 42. 16

Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak,

Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. I) h. 26. 17

Ibid, h. 25.

17

Syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah sepakat untuk mengikatkan diri,

seperti tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dengan dipenuhinya empat syarat

sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara

hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa

dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18

Namun tidak setiap pernyataan dapat

menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang

menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar

dikehendaki19

.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan

kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya,

dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya

kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Dengan kepercayaan, para pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian tersebut

mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, berlaku asas

Pacta Sunt servanda yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Sehingga

jelas bahwa dapat dibuat perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar

ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau lebih dikenal dengan

18

R. Subekti I, Op.Cit, h. 1. 19

Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. II) h. 168

18

asas kebebasan berkontrak. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian dan asas kebebasan

berkontrak, Asser membedakan bagian isi perjanjian, bagian inti (wesenlijk oordeel)

yaitu unsur essensialia dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel) yaitu

unsur naturalia dan unsur aksidentalia.20

Unsur essensialia merupakan unsur-unsur yang biasanya dijumpai dalam

perjanjian tertentu, namun tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itu pun, suatu

perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali dinyatakan

sebaliknya, sebagai contoh dalam jual beli tidak diperjanjikan mengenai siapa yang

berkewajiban membayar biaya balik nama, maka ketentuan undang-undang yang

berlaku yaitu Pasal 1466 KUHPerdata. Unsur aksidentalia merupakan suatu syarat

yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan

tertentu dengan maksud khusus sebagai penegasan dan sebagai suatu kepastian. Suatu

perjanjian hendaklah memenuhi rasa kepercayaan dan keadilan yang

berkeseimbangan bagi para pihak, dimana perjanjian tersebut memenuhi asas

persamaan hukum dan asas keseimbangan.

Teori Perjanjian dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis

Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik

atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.

05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab

permasalahan kedua.

20

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan

Dengan Penjelasannya, cet. 2, Bandung, h. 99

19

3. Konsep Perlindungan Hukum

Philipus M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan

hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de

burgers”21

. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan

terjemahan dari bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata

perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang

dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan

perjanjian wujud perlindungan para pihak dalam hal ini pihak penjual maupun

pembeli tertuang dalam perjanjian jual beli. Perjanjian yang dibuat antara penjual

dengan pembeli berisi hak dan kewajiban masing-masing para pihak, dimana para

pihak harus menjalankan atau mentaati isi perjanjian yang sudah disepakati.

Perjanjian jual beli merupakan salah satu cara yang paling umum dilakukan dalam

memperoleh atau mengalihkan hak atas tanah ataupun rumah, baik yang dimiliki oleh

subyek hukum orang maupun yang berupa badan hukum. Yang dimaksud dengan hak

atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk

mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki-nya.22

Namun

tidak jarang terjadi pada masyarakat sebelum dilakukan jual beli tersebut, terlebih

dahulu dilakukan suatu perjanjian yang mengikat antara para pihak yang membuatnya

atau sering disebut Perjanjian Jual beli. Hal tersebut dilakukan oleh karena adanya

21

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia,

Bina Ilmu, Surabaya, h. 1. 22

Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana

Prenada Media, Jakarta, h. 10

20

satu dan lain hal yang menyebabkan jual beli atas tanah tidak dapat dilakukan pada

saat itu juga.

Suatu perjanjian dapat dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi

syarat sah perjanjian, yaitu adanya itikad baik, sepakat, kecakapan, hal tertentu dan

sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dua syarat

pertama merupakan syarat subyektif, yaitu dengan melihat subyek dari para pihak

pembuat perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yaitu

dengan melihat obyek yang diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hal tidak

dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dimintakan

pembatalannya pada Hakim (voidalble), sedangkan dengan tidak terpenuhinya syarat

obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) atau perjanjian

tersebut selalu diancam bahaya pembatalan.23

Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum.

Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang

bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan

penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku

telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus diperhatikannya.

Ada dua macam perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon yaitu

perlindungan yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan

yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini

bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan

23

R.Subekti I, Op.cit, h. 20

21

hukum represif bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi

suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-

undangan. Terhadap perlindungan hukum represif disebutkan dalam Keputusan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007 tentang

petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan.

Konsep Perlidungan Hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk

melengkapi teori dalam menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap

Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah. Konsep ini sebagai bahan

yang melengkapi dalam menganalisis untuk menjawab permasalahan kedua.

Dalam rumusan Pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual beli

adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan”. Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa jual

beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan

untuk memberikan sesuatu (perjanjian timbal balik), yang dalam hal ini terwujud

dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Teori dari perjanjian

timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral. Perjanjian timbal balik adalah

perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada

kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu

dengan yang lainnya. Pengertian yang dimaksud dengan “mempunyai antara yang

satu dengan yang lainnya” adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari

perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain sebagai pihak

22

yang memikul tanggung jawab. Pembagian di sini berdasarkan atas perikatan yang

muncul dari perjanjian tersebut, apakah mengikat satu pihak saja ataukah mengikat

kedua belah pihak.24

Jadi dalam perjanjian jual beli, yang dijanjikan oleh pihak yang

satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas suatu barang

yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang

telah disetujuinya.25

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian tersebut sudah

dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan

hukum) pada saat tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-

unsur yang pokok (essentialia) yang barang dan harga, walaupun jual beli itu

mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam

Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua

belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga,

meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”

Jadi jual beli melibatkan eksistensi dan sekurang-kurangnya dua perikatan

(untuk memberikan sesuatu) secara timbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara

tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 1320 KUHPerdata menimbulkan prestasi dan pertanggungjawaban

secara bertimbal balik pada kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut, yaitu

24

J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

Cet. 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 43-44 25

R. Subekti 2002, Hukum Perjanjian, Cet. XVI., PT. Intermasa, Jakarta,

(selanjutnya disebut R.Subekti I),h. 79

23

penjual dan pembeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup

tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan

diserahkan miliknya kepada si pembeli.26

Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut KUHPerdata, adalah

perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya menurut KUHPerdata, jual beli

itu belum memindahkan hak milik, perjanjian jual beli baru memberikan hak dan

meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli

untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.27

Apa yang

dikemukakan mengenai sifat jual beli diatas, Nampak jelas diterangkan dalam Pasal

1459 KUHPerdata, yang menyatakan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah

berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut

Pasal 612, 613 dan 616.”

Berhubung dengan sifat jual beli tersebut, maka tidak mudah untuk dapat

dimengerti yang dimaksud dalam Pasal 1471 KUHPerdata yang menyatakan: “Jual

beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk ganti rugi, jika

si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” Apabila jual

beli itu hanya bersifat obligatoir saja, yang berarti belum memindahkan hak milik,

tentulah tidak keberatan apabila seorang menjual sesuatu barang belum

kepunyaannya, asal nanti pada waktu diserahkan barang tersebut, benar-benar

menjadi hak milik si pembeli. Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana dengan Pasal

26

R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cet. X, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung,(selanjutnya disebut R.Subekti II), h. 2 27

R. Subekti I, Op. cit, h. 80

24

1471, tanpa disadari bahwa pasal tersebut dalam KUHPerdata yang menentukan saat

pemindahan hak milik pada saat dilakukannya penyerahan, tidaklah tepat. Dalam

Pasal 1460 KUHPerdata terdapat keganjilan, dan tepat sekali oleh para sarjana dan

yuriprudensi dibatasi keberlakuannya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja.

Artinya barang tertentu adalah, suatu barang yang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh

kedua belah pihak.28

Si penjual mempunyai dua kewajiban utama yaitu, menyerahkan barangnya

dan menanggungnya. Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu

menjadi milik si pembeli. Jadi penyerahan itu suatu perbuatan hukum yang harus

dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu orang ke orang lain, dari si penjual

kepada si pembeli. Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya

pengambilan harus dipikul oleh oleh si pembeli, jika tidak diperjanjikan sebaliknya

(Pasal 1476 KUHPerdata).

Dari ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal

1235 KUHPerdata), dan ketentuan jual beli terhadap penjual memiliki 2 (dua)

kewajiban pokok, mulai dari sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458

KUHPerdata, kewajiban tersebut adalah:

1) Kewajiban menyerahkan hak milik

Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut

hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual

belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUHPerdata

28

Op.cit, h. 82-83

25

mengenal tiga macam barang yaitu, barang bergerak, barang tetap dan barang

tak bertubuh, maka menurut KUHPerdata juga ada 3 (tiga) macam penyerahan

hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing barang itu,

yaitu:

a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan barang

tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 612 KUHPerdata yang

menyatakan:

Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan

dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama

pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana

kebendaan itu berada.

Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus

diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang

hendak menerimanya.

Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat adanya kemungkinan

menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang

berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan

kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada

dalam kekuasaan si pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu

pernyataan saja. Cara yang terakhir ini dikenal dengan nama“tradition

brevi manu”, yang berarti “penyerahan dengan tangan pendek”.

b. Untuk barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan

balik nama dimuka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai

Balik Nama atau Pegawai Penyimpan Hipotik, yaitu menurut Pasal 616

KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata. Dalam pada

26

itu segala sesuatu yang mengenai Tanah, dengan mencabut semua

ketentuan yang termuat dalam Buku II KUHPerdata tersebut, sudah diatur

dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Nomor 1960-104, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2043, selanjutnya disebut UUPA). Selanjutnya

Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang merupakan peraturan

pelaksana dari undang-undang tersebut, dalam Pasal 19 menentukan

bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat

oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan menurut

maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat

dibuatnya akta di hadapan pejabat tersebut.

c. Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”,

sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Sebagaimana

diketahui KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu

hanya obligatoir saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan

hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak, yaitu

meletakkan kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang

yang dijualnya, sekaligus memberikan hak kepadanya untuk menuntut

pembayaran harga yang telah disepakati dan di sisi lain meletakkan

kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai

imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang

dibelinya. Dengan perkataan lain, perjanjian jual beli menurut

27

KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru

berpindah dengan dilakukan penyerahan, yang caranya ada tiga macam

tergantung dari macamnya barang.

2) Kewajiban menanggung tenteram atas barang tersebut dan menanggung

terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.

3) Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi

daripada jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang

akan dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang

bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut

menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian

kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga,

dengan putusan Hakim dihukum untuk menyerahkan barang telah dibelinya

kepada pihak ketiga tersebut. Atau juga si pembeli, sewaktu digugat di muka

Pengadilan oleh pihak ketiga dapatlah ia meminta kepada Hakim agar supaya

si penjual diikutsertakan di dalam proses yang akan datang atau sedang

berjalan. Hukum perjanjian adalah hukum pelengkap, kedua belah pihak

diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas atau mengurangi

kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-undang, bahkan

mereka diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan

diwajibkan menanggung suatu apapun, tetapi ada batasannya. Jika dijanjikan

penanggungan, atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian, si pembeli

28

berhak, dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang

akan dibelinya kepada orang lain, menuntut kembali kepada si penjual:

1. Pengembalian uang harga pembelian;

2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu

kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;

3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk

ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat

asal.

4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan

penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.

Jika pada waktu dijatuhkannya hukuman untuk menyerahkan barangnya

kepada seorang lain, barang itu telah merosot harganya, maka si penjual tetap

diwajibkan mengembalikan harga seutuhnya. Sebaliknya jika barangnya pada waktu

dijatuhkan putusan untuk menyerahkan kepada orang lain, telah bertambah harganya

meskipun tanpa suatu perbuatan dari si pembeli, si penjual diwajibkan membayar

kepada si pembeli apa yang melebihi harga pembelian itu juga. Selanjutnya si penjual

diwajibkan mengembalikan kepada si pembeli segala biaya yang telah dikeluarkan

untuk pembetulan dan perbaikan yang perlu pada barangnya.

Kewajiban utama pihak pembeli adalah membayar harga pembelian pada

waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut

berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu pasal

undang-undang, namun sudah dengan sendirinya terdapat dalam pengertian jual beli,

29

karena jika tidak, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar menukar”,

atau kalau harga itu sudah berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian

kerja. Dalam pengertian jual beli sudah terdapat pengertian bahwa disatu pihak ada

barang dan dilain pihak ada uang. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua pihak,

namun adalah diperkenankan untuk memperkirakan atau penentuan orang pihak

ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak

mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu

pembelian (Pasal 1465 KUHPerdata). Hal ini berarti bahwa perjanjian jual beli yang

harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adalah suatu

perjanjian dengan suatu „syarat tangguh‟, karena perjanjiannya baru akan jadi kalau

harga itu sudah ditetapkan oleh orang ketiga tersebut. Jika pada waktu membuat

perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli

harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus

dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata).

Ini berarti dalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk

memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak

berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan

menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik maupun tidak)

diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian jelaslah

bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang menjadi obyek perjanjian, prestasi,

atau kewajiban maupun utang tidak pernah ada.

30

Dalam rumusan Pasal 1446 KUHPerdata, menyatakan bahwa selama dan

sepanjang ketidakcakapan tidak dikuatkan, maka perjanjian yang dibuat oleh mereka

yang cakap tersebut tidak memiliki tanggung jawab sama sekali, dan karenanya pula

tidak memberikan hak menuntut harta kekayaan pada salah satu pihak terhadap siapa

mereka telah membuat perjanjian. Bunyi Pasal 1446 KUHPerdata tersebut adalah:

Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang, anak yang belum dewasa, atau

orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan

atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harusnya dinyatakan

batal semata-mata atas dasar kebelum dewasaan dan pengampuannya.

Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan dan orang-orang

belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang

dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut

melampaui kekuasaan mereka.

Dengan demikian berarti, setiap pihak yang cakap bertindak dalam hukum,

yang membuat perjanjian jual beli dengan orang yang tidak cakap yang telah

melaksanakan kewajibannya menurut jual beli yang telah disepakati, atas tuntutannya

terhadap salah satu pihak yang tidak cakap tersebut, senantiasa diancam dengan

pembatalan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1454 ayat (2) KUHPerdata dengan

konsekuensi bahwa menurut ketentuan Pasal 1451 KUHPerdata bahwa pembatalan

sebagai akibat ketidakcakapan membawa akibat bahwa segala apa yang telah

diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat

pelaksanaan jual beli tersebut, hanya dapat dituntut kembali sekedar barang yang

bersangkutan masih berada di tangan orang tak berkuasa tersebut, atau sekedar

ternyata bahwa orang ini telah mendapat manfaat dari apa yang telah diberikan atau

31

dibayarkan itu atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi

kepentingannya.29

Dalam konteks demikian, tidaklah berarti kebendaan yang

diserahkan kepada seorang yang tidak cakap untuk bertindak dalam hukum tidak

memperoleh penggantian.

Sifat konsensual dari jual beli adalah terjadinya kesepakatan dari para pihak.

Dengan demikian dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan tercapai

suatu kesesuaian kehendak artinya, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga

dikehendaki pihak lain. Dalam perjanjian jual beli, asas konsensualisme tersebut

dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang

syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang

dalam pasal tersebut dinyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang

sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua

perjanjian dibuat secara sah”, yang artinya dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah

disebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.30

Hukum perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap, kedua belah

pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-

kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan kedua belah pihak

diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan

menanggung suatu apapun. Namun hal ini ada batasannya, yaitu sebagai berikut:31

Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung sesuatu

29

Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Op.cit. H. 36 30

R.Subekti II, Op.cit. h. 4 31

R.Subekti I, Op.cit. h. 84

32

apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang suatu akibat dari suatu perbuatan

yang telah dilakukan olehnya. Segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini

adalah batal seperti yang disebutkan dalam Pasal 1494 KUHPerdata.

Si penjual, dalam hal adanya janji sama, jika terjadi suatu penghukuman

terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, diwajibkan

mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si pembeli pada waktu dilakukan,

mengetahui adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu

atau jika ia telah membeli barang tadi dengan pernyataan akan memikul sendiri

untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).

Dengan demikian maka yang menjadi alat ukur tentang tercapainya

persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan

oleh kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli. Pernyataan timbal balik dalam

perjanjian jual beli oleh kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak

dan kewajiban diantara mereka. Undang-undang berpangkal pada asas

konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapainya konsensus harus

mengacu pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak,

dan ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Kemudian, jika terjadi

perselisihan tentang apakah terjadi konsensus atau tidak, apakah telah dilahirkan

suatu perjanjian atau tidak, maka Pengadilan melalui putusan Majelis Hakim lah yang

akan menetapkannya.

Dalam perjanjian jual beli atau yang disebut juga dengan perjanjian timbal

balik, hanya berlaku Pasal 1266 KUHPerdata, yang berbunyi: “Syarat batal selalu

33

dipersangkakan ada dalam perjanjian timbal balik, dalam hal salah satu pihak tidak

memenuhi kewajibannya.” Berdasarkan ketentuan pasal ini maka perjanjian yang

ditutup adalah perjanjian timbal balik, dan salah satu pihaknya tidak memenuhi

kewajiban perikatan sebagaimana mestinya, maka pihak yang lawan janjinya berhak

menuntut pembatalan perjanjian yang mereka tutup, seakan-akan para pihak memang

menutup perjanjian tersebut dengan syarat seperti itu. Masalah ini juga sehubungan

dengan adanya tangkisan, bahwa pihak lawan janjipun tidak memenuhi kewajiban

perikatan (exception adempleti contractus).32

Para pihak bersikap rasional dalam menyelesaikan permasalahan dalam

perjanjian jual beli merupakan anggapan dari resiko para pihak.Persoalan terpenting

bagi para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi maupun

mencegah kemungkinan terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli. Oleh

karena itu para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (“dispute

settlement clause” atau “midnight clause”) dalam perjanjian perjanjian jual beli. Jika

pada akhirnya permasalahan berkembang menjadi lebih rumit, maka upaya

penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak adalah pada dua

opsi, yaitu:

a. Penyelesaian melalui jalur litigasi

b. Penyelesaian melalui jalur nonlitigasi

Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi

proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak, dan status kekuasaan. Para

32

J. Satrio, Op. Cit. h. 46-47

34

pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan

status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, serta dipertahankan33

.

1.6. Metode Penelitian

Metode penulisan hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah

satunya ditandai dengan penggunaan metode. Jenis-jenis penulisan yang digunakan

dalam penulisan ini adalah penulisan hukum, penulisan hukum yang memiliki sifat

akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan masukan yang berharga bagi

perkembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum Perjanjian jual beli hak milik

atas tanah. Sebagai penulisan hukum dalam bidang akademis, dimaksudkan untuk

membedakan dengan penulisan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang

bersifat praktis, apabila dicermati substansi penulisannya, menurut Rony Hanitjo

Soemitro penulisan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni ”penulisan yang

bersifat normatif dan doktrinal.34

1.6.1 Jenis Penelitian

Ada dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan:

... penelitian hukum digunakan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau

konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi,

sehingga jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right,

appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan

33

Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas

Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 307-308

34

Ibid, h.26.

35

bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung

nilai35

.

Menurut Bagir Manan dalam bukunya penelitian bidang hukum, jenis

penelitian hukum normatif yaitu “penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta

kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat

atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum36

.” Dengan kata lain

penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah

penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya

“bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu

kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti37

.” Menurut

Abdulkadir Muhammad "penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang

dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat38

.”

Dalam kaitannya dengan lingkupan dari penelitian hukum normatif, dikatakan

penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari

berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan

komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal,

35

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, h.33. 36

Bagir Manan, 1999, Penelitian Bidang Hukum, Jurnal hukum,

Puslitbangkum Unpad, Perdana, Januari, Bandung, h. 4 37

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, Jakarta,

h. 52. 38

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 51.

36

formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang

digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya39

.

Jenis penelitian dalam penelitian ini sebagai penelitian hukum normatif, yaitu

“penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder belaka.40

” Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap

sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah

hukum dan penelitian perbandingan hukum.41

Hal ini senada dengan pendapat Morris

L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research

menyatakan bahwa:“legal research is an essential component of legal practice. It is

the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or

analyze that law”42

yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah

perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara

praktek. Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum kemudian dikonsepkan

sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan

perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu dapat berupa norma hukum

positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-Undang Dasar,

Kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya), dan norma

hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum

39

Ibid, h. 101-102. 40

Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 41

Soerjono Soekanto, Op.cit. h. 51 42

Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,

ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1

37

tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, dan

rancangannya).43

Penelitian hukum normatif dalam tesis ini berangkat dari

kekosongan norma yang mengatur mengenai perlindungan hukum para pihak

terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk

mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk

melakukan analisis. Dalam penulisan tesis ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah,

serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini dibahas

dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach)

dalam KUHPerdata terkait perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan

perjanjian jual beli hak milik atas tanah serta menggunakan produk legislatif dan

regulasi, yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan

oleh pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan khusus 44

. Pendekatan konsep

(conseptual approach) dalam ilmu hukum khususnya terkait dengan perjanjian jual

beli digunakan sebagai titik tolak bagi analisis penelitian hukum sehingga akan

muncul konsep sebagai suatu akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian jual beli

hak milik atas tanah. Pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk dapat

mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum

43

Abdulkadir Muhammad, Op.cit, h.52. 44

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media

Group, Jakarta, h. 97.

38

terkait dengan perlindungan para pihak terhadap pembatalan jual beli hak milik atas

tanah.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam sumber

bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu terdiri dari:

bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. bahan hukum

sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

Sumber bahan hukum ketiga yaitu bahan hukum tersier, adalah bahan yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder45

.

Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini diperoleh dari

hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).46

Adapun bahan

hukum yang dimaksudkan terdiri dari:

1). Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum

dalam penulisan tesis ini antara lain adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

45

Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Loc.cit. 46

Ronny Hanitijo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 24.

39

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1997

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696.

6. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak

Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

2). Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi buku-buku teks, kamus-

kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan. Bahan-

bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum ini harus relevan dengan topik

penelitian. Dalam kaitan itu, maka bahan hukum sekunder dari penelitian ini

bersumber dari literatur di bidang Hukum Perdata, Hukum Agraia beserta berbagai

artikel terkait.

3). Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier merupakan bahan yang dapat memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

40

ensiklopedi dan seterusnya.47

Adapun kamus yang dimaksudkan seperti Kamus Bahasa

Indonesia, Kamus Hukum, serta ensiklopedi bidang hukum terkait.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan pertama-tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara

mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik

langsung maupun tidak langsung.48

Bahan hukum yang relevan dikumpulkan

menggunakan teknik sistim kartu (card system),49

yaitu menelaah peraturan-peraturan

yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan

hasilnya dicatat dengan sistem kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik, bukan

berdasarkan nama pengarang, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam

penguraian, menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep yang ada. Studi

kepustakaan bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-

pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok

permasalahan.

47

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 23 48

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian

Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 58. 49

Winarno Surakhmad, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar-Dasar

Metode & Teknik,Tarsito, Bandung, h. 257.

41

1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan secara kualitatif,

kemudian dianalisa dengan teori-teori yang relevan, disimpulkan untuk menjawab

permasalahan dan disajikan secara deskriptif analistis yaitu terhadap bahan-bahan

hukum yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Deskripsi meliputi "isi maupun

struktur hukum positif50

”. Maksud dan tujuannya adalah melakukan pemahaman untuk

menentukan makna aturan hukum.

Mengenai tehnik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian ini

diawali dengan pengumpulan dan sistematisir bahan-bahan hukum yang diperoleh

untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah

(deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-

bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi

tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada

penelitian ini.

50

Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif),

dalam Yuridika,Nomor 6, tahun IX, Nopember-Desember. Tanpa halaman.

42

BAB II

KONSEP TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI

Dalam Bab II ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep tentang perjanjian

jual beli. Adapun yang akan dibahas pada sub bab nya yaitu tentang, konsep

mengenai perjanjian yang pada sub sub babnya membahas mengenai syarat lahirnya

suatu perjanjian, kemudian perjanjian menurut KUHPerdata dan penyebab hapusnya

suatu perjanjian. Pada sub bab kedua dibahas mengenai konsep mengenai perjanjian

jual beli yang pada sub sub bab nya membahas mengenai perjanjian jual beli dalam

KUHPerdata, hal-hal yang perlu dicantumkan dalam perjanjian jual beli dan bentuk

perjanjian jual beli, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

2.1 Konsep Mengenai Perjanjian

Istilah perjanjian atau kontrak di dalam praktiknya terkadang masih dipahami

secara rancu. Sebagian masyarakat dan pelaku bisnis mencampur adukkan kedua

istilah tersebut seolah-olah merupakan pengertian yang berbeda. Untuk pengertian

yang sama Burgerlijk Wetboek (BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract.

“Hal tersebut secara jelas dapat disimak dari judul buku III titel kedua tentang

perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian yang dapat kita baca dalam

bahasa Belandanya, yaitu: Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst

geboren worden51

.” Pengertian tersebut juga banyak didukung oleh pendapat di

kalangan sarjana, yang juga menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam

51

Agus Yudha Hernoko, Op.cit, h. 13.

43

pengertian yang sama, “antara lain: Jacob Hans Niewenhuis,52

J. Satrio,53

Soetojo

Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,54

Mariam Darus Badrulzaman,55

Purwahid

Patrik,56

dan Tirtodiningrat57

.”

Subekti berpendapat lain mengenai istilah perjanjian atau persetujuan dengan

kontrak, menurutnya istilah “kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena

ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis58

. Sedangkan pendapat

sarjana lain, Pothier dalam bukunya Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan

tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan

antara pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu

perjanjian di mana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau

mengubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang

mengharapkan terlaksananya perikatan.59

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian yang telah diuraikan oleh

para sarjana di atas, dalam penulisan tesis ini sependapat dengan beberapa sarjana yang

memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus

kajian tesis ini sebagian berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), di

52

Agus Yudha Hernoko, Op.cit, h. 13. 53

J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19. 54

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan,

Bina Ilmu, Surabaya, h. 84. 55

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 89. 56

Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,

Bandung, h. 45. 57

R. M. Suryodiningrat, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung,

h. 72. 58

R. Subekti, Op.cit, h. 1. 59

Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Loc. Cit.

44

mana terdapat pengertian yang sama antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst)

dengan kontrak (Contract). Dalam tesis ini kedua istilah tersebut akan digunakan istilah

perjanjian, hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman terhadap rangkaian

kalimat yang disusun.

Pengaturan perjanjian terdapat di dalam Bab II Buku III KUHPerdata mulai

dari Pasal 1313 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata tentang

perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian

merupakan perbuatan atau rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau

kesanggupan yang ditulis atau diucapkan seseorang kepada seorang lainnya untuk

berjanji melaksanakan sesuatu hal. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1313

KUHPerdata merumuskan pengertian perjanjian bahwa: “Suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih60

.” Adapun tujuan dari dibuatnya suatu perjanjian menurut

pendapat Sucitthra Vasu menyatakan bahwa The purpose of setting down the terms of

contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in

the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the

defaulting party so that the dispute can be resolved.61

60Subekti dan Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.Cet. XL, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 338.

61Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,

Singapore, page. 1

45

2.1.1 Syarat Lahirnya Suatu Perjanjian

Perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang,

hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata.

Sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian, terutama perjanjian obligatoir

yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang

perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.”

Semua tindakan, baik perikatan yang terjadi karena undang-undang maupun

perjanjian merupakan fakta hukum. Fakta hukum adalah kejadian-kejadian, perbuatan

atau tindakan, atau keadaan yang menimbulkan, beralihnya, berubahnya atau

berakhirnya suatu hak. Singkatnya, fakta hukum adalah fakta ang menimbulkan

akibat hukum. Fakta ini dapat berupa perbuatan atau tindakan, juga dapat berupa

fakta lainnya, seperti fakta hukum apa adanya, misalnya, kelahiran, kematian,

kedewasaan atau keadaan belum dewasa, hubungan kekerabatan, ataupun lewatnya

waktu atau daluarsa.62

Menurut azas konsensualisme, suatu perjanjian dilahirkan pada detik

tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang

pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian

paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak

yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak

sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

62

Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan

Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1

46

Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian

dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai

sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.

Apabila sudah tercapai kata sepakat antara para pihak yang membuat

perjanjian, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau

berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun ada

perjanjian-perjanjian yang lahirnya tidak cukup hanya dengan adanya sepakat saja,

tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata,63

dan perjanjian-perjanjian "formal" atau perjanjian-perjanjian riil, itu adalah

pengecualian. Selain kesepakatan untuk lahirnya perjanjian juga haruslah dipegang

teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila

kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Jadi

kesepakatan berarti persesuaian kehendak.64

Kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang

disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak

mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.

Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan, ia dapat

dicapai pula dengan memberikan tanda apa saja yang dapat menterjemahkan

kehendak itu baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan

maupun oleh pihak yang menerima penawaran.

63

R.Subekti I, Op.cit, h. 4 64

R.Subekti I , Op.cit, h. 26

47

Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan

akibat hukum. Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan pula unsur bahwa akibat

hukum tersebut adalah untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain

atau bersifat timbal balik. Perlu diperhatikan, akibat hukum perjanjian hanya

mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, dan tentunya tidak dapat

membawa kerugian bagi pihak ketiga. Hal ini merupakan asas umum dari hukum

kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata jo Pasal 1340

KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-

pihak yang membuatnya.65

Mengenai proses membuat perjanjian menurut pendapat Ros Macdonald dan

Denise McGrill sebagai berikut ”just a drafting is the process of converting the

underlying intention of the party or parties into a written document, construction is

the process od derinving the tru intention of the party or parties from the

document.”66

yang artinya membuat kontrak merupakan proses konversi niat yang

mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi dokumen tertulis

konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak ke dokumen yang

dibuat.

Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang

menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya.

Setidak-tidaknya dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa

65

Herlien Budiono, Op.cit, h. 10 66

Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition,

LexixNexis Butterworths, Australia, page 3

48

yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.67

Bentuk perjanjian pada

umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun undang-undang menetapkan bahwa

beberapa perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian

oleh undang-undang mengenai bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta

menjadi syarat mutlak bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut. Menurut pendapat

Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya

penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara

umum.68

Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan hukum perjanjian yaitu

sebagai berikut:

a) Teori Kehendak (wilstheorie)

Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan.

Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki

otonomi, tidak akan memecahkan masalah apapun. Menurut teori kehendak,

faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Meskipun

demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan

pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun

apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka

tidak terbentuk suatu perjanjian. Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul

67

C.S.T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,

Jakarta, Sinar Grafika, h. 194. 68

Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,

Yuridika, Jakarta, h. 196

49

kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan.

Karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang

dinyatakan oleh orang lain.69

b) Teori Pernyataan (verklaringstheorie)

Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah

kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa

yang sebenarnya terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu

kehendak yang tidak dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar

dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi

perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang

menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa

yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori ini, jika

ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan

menghalangi terbentukanya perjanjian. Teori pernyataan lahir sebagai

jawaban terhadap kelemahan teori kehendak. Namun teori ini juga memiliki

kelemahan karena teori pernyataan hanya berfokus pada pernyataan dan

tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi

kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan

pernyataan.70

69

Herlien Budiono, Op.cit, h. 77-79 70

Herlien Budiono, Op.cit, h. 80

50

c) Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori

pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat disebut sebagai teori

pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan

melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian

apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku didalam

masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang

benar dikehendaki. Dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan

sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian.

Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian tergantung pada

kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat

dari pernyataan yang diungkapkan.71

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa yang akan menjadi alat

pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-

pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal

pada azas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus ini

adalah hal yang penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat

laksana suatu undang-undang, para pihak terpaksa berpijak pada pernyataan-

pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan pernyataan itu

sebaiknya dibuat dalam tulisan untuk mendapatan kepastian hukum dalam

pembuktiannya. Perjanjian juga didasarkan pada suatu kepercayaan, sebagaimana

71

Herlien Budiono, Op.cit, h. 80

51

untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam tesis ini maka teori perjanjian

dapat digunakan untuk mengkaji kasus mengenai pembatalan perjanjian jual beli

yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar.

2.1.2 Perjanjian Menurut KUHPerdata

Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar

dua pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak

melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.72

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terjadi

hubungan hukum antara dua pihak yang berjanji untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu.

Mengenai dasar hukum dari perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III

KUHPerdata tentang Perikatan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata

menyatakan bahwa : “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Berdasarkan definisi

pasal ini diketahui bahwa dalam perjanjian ada pihak yang mengikatkan dirinya

terhadap pihak lain. Definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya

disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak

saja dan disisi lain terlalu luas karena dapat mengenai hal-hal yang berhubungan

72

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung,

Bandung, h. 19

52

dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum

keluarga.73

Pengertian perjanjian yang termuat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata

masih terdapat beberapa kelemahan yang harus dikoreksi, diantaranya yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja

b. Tidak mengandung suatu konsensus

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

d. Tanpa menyebut tujuan.

Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata

menurut para sarjana kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-

kelemahan dan terlalu luas pengertiannya karena istilah perbuatan yang dipakai dapat

mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang

dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.74

Pengertian perjanjian dalam Pasal

1313 KUHPerdata hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari

rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,

tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”,

jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

Dalam pengertian : ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan

kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad)

tidak mengandung suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah

73

R.Subekti I, Op.cit, h. 1 74

R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta,

h. 49.

53

perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga

kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam

lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke III KUHPerdata

sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat

kepribadian (personal). Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.75

Untuk melengkapi kekurangan mengenai rumusan perjanjian yang tercantum

dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Subekti memberikan pendapat mengenai pengertian

perjanjian yaitu “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau

dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji

untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan

perikatan.”76

Rutten sebagaimana dikutip oleh Purwahid Patrik yang menyatakan

bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas

dan peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih

orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah

75

Abdulkadir Muhamad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 80 76

Subekti, Op.cit, h. 2.

54

satu pihak atas beban lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal

balik.77

Berdasarkan definisi yang telah diberikan diatas mengenai perjanjian maka

dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji atau kesanggupan oleh para pihak, baik secara lisan maupun

tertulis untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat hukum.

Perjanjian dalam lingkup hubungan bisnis lazimnya disebut dengan kontrak.

Menurut pendapat Robert Duxbury memberikan pengertian mengenai kontrak

sebagai berikut : “a contracts may be defined as an agreement between two or more

parties that is binding in law.”78

Kemudian pendapat lain mengenai kontrak

sebagaimana diungkapkan oleh Gordon W. Brown and Paula A. Sukys menyatakan

bahwa : “ a contracts is an agreement between two or more competent parties, based

on mutual poses, to do or to refrain from doing some particular thing that is reither

illegal not impossible, the agreement result in abligation or a duty that can be

enforead in accourt law.”79

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa kontrak disamakan

dengan perjanjian dimana keduanya dilakukan diantara dua orang atau lebih dan

mereka yang mengadakan perjanjian tersebut terikat pada hukum, artinya apabila ada

77

Purwahid Patrik, 1998, Hukum Perdata II, Jilid I, Mandar Maju, Bandung,

h. 1-3. 78

Robert Duxbury, 2006, Contract Law, Seventeen edition, Thomson Sweet

& Maxweel, London, England, p. 1 79

Gordon W. Brown and Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC

Applications, 10th

Edition,Glencoe Mc. Grow-Hill, New York America, p. 95

55

pihak yang melanggar isi perjanjian yang telah disepakati itu maka terhadap pihak

yang melanggar tersebut dapat dituntut secara hukum dimuka pengadilan. Secara

yuridis, pengadilan dapat memaksakan untuk berlakunya suatu perjanjian dan

pengadilan juga dapat menjatuhkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar apa

yang telah disepakati dalam kontrak tersebut.

Dalam suatu perjanjian haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut

memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Sah atau tidaknya suatu perjanjian dapat

dipastikan dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai syarat sahnya suatu

Perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa : “untuk

sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana dicantumkan dalam Pasal

1320 KUHPerdata ini menurut penulis berlaku untuk setiap perjanjian yang dibuat

oleh para pihak yang tunduk sesuai dengan hukum di Indonesia. Sehingga setiap

perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik secara otentik maupun dibawah tangan

harus memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini.

56

Selain mengeni syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal

1320 KUHPerdata, terdapat juga syarat sah nya perjanjian diluar ketentuan dari Pasal

1320 KUHPerdata tersebut diantaranya yaitu:

- Harus dilakukan dengan iktikad baik

- Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan

- Harus berdasarkan atas asas kepatutan atau kepantasan

- Harus tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum.80

Terdapat juga perjanjian-perjanjian tertentu yang untuk sahnya perjanjian tersebut

harus memenuhi ketentuan tertentu, misalnya harus dibuat secara notariil (dibuat oleh

atau dihadapan Notaris), contohnya perjanjian fidusia, perjanjian dalam pendirian

Perseroan Terbatas, perjanjian dalam pendirian Yayasan, perjanjian dalam pendirian

Koperasi, dan lain sebagainya. Perjanjian tersebut harus hanya dilakukan dihadapan

pejabat tertentu saja, misalnya : perbuatan hukum “hibah atas obyek bidang tanah

tertentu,” harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

berwenang. Pendirian Koperasi harus dilakukan dihadapan Notaris yang berwenang

membuat Akta Koperasi. Demikian juga ada perjanjian atau kontrak-kontrak tertentu

yang harus mendapat ijin dari Pejabat yang berwenang.81

Menurut hemat penulis syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mereka yang

mengikatkan diri yang merupakan syarat mutlak adanya sebuah perjanjian, dimana

kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai

80

Mulyoto, 2012, Perjanjian (Tehnik, Cara Membuat dan Hukum Perjanjian

Yang Harus Dikuasai), Cakrawala Media, Yogjakarta, h. 34-35 81

Ibid

57

hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/ diadakan itu, dan apabila

mereka tidak sepakat maka tidak ada perjanjian. Kesepakatan yang dibuat

menunjukkan bahwa mereka (orang-orang) yang melakukan perjanjian, sebagai

subyek hukum tersebut mempunyai kesepakatan (kebebasan) yang bebas dalam

membuat isi perjanjian serta tidak boleh adanya unsur paksaan. Sepakat tersebut tidak

saja mencakup pengertian “sepakat” untuk mengikatkan diri tetapi juga “sepakat‟

untuk mendapatkan prestasi.

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai

kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian

sepihak yang memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan atau

memberikan prestasi, tetap mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah

pihak.82

Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jika terdapat

paksaan tercantum dalam Pasal 1323 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan yang

dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk

batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga,

untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut telah tidak dibuat. ”Batalnya perjanjian

juga tercantum dalam Pasal 1325 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan

mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah

satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan

terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun kebawah.”

82

Herlien Budiono, Op.cit, h. 73-74

58

Mengenai syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung

makna bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian/ perikatan tersebut merupakan

orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh atau

menurut hukum, sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum

pula. Dalam KUHPerdata hanya diterangkan tentang mereka/ pihak-pihak yang oleh

hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga pihak di

luar yang tidak cakap tersebut dianggap cakap untuk melakukan perbutan hukum. Hal

ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi : setiap orang

adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak

dinyatakan tidak cakap.

Mengenai syarat selanjutnya yaitu suatu hal tertentu pada persyaratan sahnya

suatu perjanjian adalah obyek dari pada perjanjian. Dalam KUHPerdata ditentukan

bahwa objek perjanjian tersebut haruslah merupakan barang-barang yang dapat

ditentukan nilainya atau dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi : "Suatu perjanjian harus mempunyai

pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi

halangan bahwa jumlah itu barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat

ditentukan atau dihitung.

Syarat terakhir untuk sahnya perjanjian yaitu suatu sebab yang halal. Menurut

ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa : "Suatu perjanjian tanpa

sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan." Sedangkan Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa: “jika

59

tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun ada

sesuatu sebab lain dari pada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah

sah. ”Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu bahwa isi dari perjanjian tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang, norma-norma, kesusilaan, dan ketertiban

umum. Misalnya seseorang mengadakan transaksi jual beli senjata api tanpa

dilindungi oleh surat-surat yang sah dalam hal pemilikan senjata api, maka perjanjian

yang dilakukan adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat mengenai

suatu sebab yang halal yaitu prestasi yang dilakukan telah melanggar undang-undang

tentang pemilikan senjata api.

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau

dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap

tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan

kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena

mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua

syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat

obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif tidak

terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan

dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal

demi hukum.

60

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas-asas yang berlaku yaitu

sebagai berikut:

a. Asas konsensualisme

b. Asas kebebasan berkontrak

c. Asas Pacta Sunt Servanda

d. Asas Iktikad Baik

Menurut hemat penulis, asas konsensualisme tercermin dalam ketentuan Pasal

1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sah nya perjanjian yaitu

dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Maksudnya adalah bahwa

perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya

kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan

maupun tertulis sebagai alat bukti. Asas konsensualisme disini maksudnya adalah

bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para

pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan sudah sah dan mempunyai akibat hukum

sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Hal ini

dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan dari para pihak, yang dengan demikian

otomatis tidak adanya unsur penipuan, kekhilafan maupun unsur paksaan.

Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam artian bahwa setiap orang bebas

untuk melaksanakan perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini tercermin dari

ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan berkontrakpun

menurut hemat penulis dibatasi oleh beberapa hal yaitu tidak dilarang oleh undang-

undang; tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan tidak bertentangan dengan

61

ketertiban umum. Selain itu asas kebebasan berkontrak juga terkait dengan kebebasan

dari para pihak untuk : membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan

perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan

persyaratannya; menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari asas

ini adalah setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa

saja, baik itu bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dengan

demikian pada prinsipnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas dari segi bentuk,

isi, sepanjang perjanjian yang telah dibuat tersebut mengikat bagi mereka yang

membuatnya seperti halnya undang-undang. Meskipun setiap orang bebas untuk

mengadakan perjanjian, namun bukan berarti tidak ada batasannya. Perjanjian yang

dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban

umum.

Asas lain yang berlaku dalam perjanjian yaitu dikenal dengan asas Pacta Sunt

Servanda, asas ini juga tercermin dalam ketentuan yang tercantum pada Pasal 1338

KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini

berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Maksud dari asas ini dalam suatu

perjanjian tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi mereka yang

membuatnya dan tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang diatur dalam

undang-undang.

62

Selain ketiga asas yang telah diuraikan diatas, dikenal juga asas iktikad baik.

Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Pemahaman

substansi iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara

gramatikal, bahwa iktikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan

kontrak. Iktikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya

iktikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual,

kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi iktikad baik dalam

Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses

kontrak tersebut.83

Terdapat juga asas-asas lain yang harus diperhatikan dalam suatu perjanjian

yaitu asas nemoplus yuris yang artinya bahwa orang atau badan hukum hanya

dibenarkan menjalankan hak nya sebatas hak yang orang atau badan hukum tersebut

miliki. Asas personalitas atau yang biasa disebut asas kepribadian yang artinya bahwa

pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya

sendiri dan suatu perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya. Di dalam suatu perjanjian pada hakekatnya adalah pertukaran antara

hak dan kewajiban secara adil atau secara seimbang yang biasa disebut dengan asas

proporsionalitas. Dalam suatu perjanjian menganut juga asas yang dikenal dengan

asas force majeure yang artinya debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar

83

Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas

Dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, h. 139

63

ganti rugi, akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa.

Keadaan memaksa yang dimaksud adalah keadaan dimana debitur memang tidak

dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan

tersebut.84

Berdasarkan uraian mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian sebagaimana

disebutkan diatas maka dapat diketahui bahwa suatu perjanjian terjadi dengan adanya

kata sepakat antara kedua belah pihak untuk saling mengikatkan dirinya, setiap orang

bebas untuk membuat perjanjian atas apa yang telah disepakati sebelumnya asalkan

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan

dan peraturan yang berlaku umum. Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga perjanjian

tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik oleh kedua belah pihak.

Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan

dengan berbagai segi hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan hukum dagang, asas-

asas perjanjian berlaku dalam kaitannya dengan proses jual beli, sehingga dalam

suatu proses jual beli terjadi kesepakatan perjanjian. Dalam kaitannya dengan hukum

pemerintahan, dalam hal pengadaan barang dan jasa misalnya pemerintah

mengadakan perjanjian dengan pihak swasta dimana kesepakatan tersebut dituangkan

dalam suatu perjanjian tertulis. Asas-asas dari perjanjian bersentuhan dengan segala

jenis hukum yang ada. Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari

84

Mulyoto, Op.cit, h. 36-37

64

adanya suatu perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian juga memberikan perlindungan

hukum bagi para pihak yang terikat didalamnya.

Selain mengenai asas-asas dalam hukum perjanjian, dikenal juga unsur-unsur

yang tercantum dalam suatu perjanjian adapun unsur-unsur tersebut yaitu:

a. Unsur esensialia

b. Unsur naturalia

c. Unsur aksidentalia

Mengenai unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian karena

tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak akan ada perjanjian.

Sebagai contoh yaitu dalam perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai

barang dan harga yang disepakati, karena tanpa adanya kesepakatan barang dan harga

dalam perjanjian jual beli, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak ada

hal tertentu yang diperjanjikan.

Mengenai unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-

undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian, undang-

undang yang mengaturnya, sehingga dapat diketahui bahwa unsur naturalia ini

merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian. Sebagai contohnya

yaitu, jika daam suatu perjanjian tidak diatur secara tegas mengenai cacat yang

tersembunyi, maka secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata yang harus

menanggung cacat tersembunyi tersebut.

Unsur terakhir yaitu unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau

mengikat para pihak apabila para pihak memperjanjikan. Sebagai contohnya yaitu

65

dalam perjanjian jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur

lalai membayar utangnya, dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) perbulan

keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut,

barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui

pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam

suatu perjanjian yang bukan merupakan unsur esensialia dalam perjanjian.

2.1.3 Penyebab Hapusnya Suatu Perjanjian

Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1381 KUHPerdata

menyatakan bahwa perikatan-perikatan hapus :

a. Karena Pembayaran

Pembayaran merupakan bentuk pelunasan dan suatu perjanjian, atau perjanjian

berakhir dengan adanya pembayaran sejumlah uang, atau penyerahan benda.

Dengan dilakukannya pembayaran, pada umumnva perikatan/ perjanjian menjadi

hapus akan tetapi ada kalanya bahwa perikatannya tetap ada dan pihak ketiga

menggantikan kreditur semula. Pembayaran dalam hal ini harus dilakukan oleh si

berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga

kepada seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau undang-undang untuk

menerima pembayaran bagi si berpiutang.

b. Karena Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Oleh Penyimpanan Atau Penitipan

Barang

Ini merupakan salah satu cara jika si berpiutang tidak ingin dibayar secara tunai

terhadap piutang yang dimilikinya. Dengan sistem ini barang yang hendak

66

dibayarkan itu diantarkan kepada si berpiutang. Selanjutnya penawaran tersebut

harus dilakukan secara resmi, misalnya dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan

Negeri. Maksudnya adalah agar si berpiutang dianggap telah dibayar secara sah

atau si berutang telah membayar secara sah. Supaya pembayaran itu sah maka

diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;

2) Dilakukan oleh debitur yang berwenang membayar;

3) Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan;

4) Waktu yang ditetapkan telah tiba;

5) Syarat yang mana hutang dibuat telah dipenuhi;

6) Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau

ditempat yang telah disetujui;

7) Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau juru sita,disertai oleh 2

orang saksi.85

c. Karena pembaharuan Utang

Pembaharuan hutang, adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya

suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang

ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula, maksudnya bahwa

pembaharuan hutang ini terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan

hutang baru, debitur lama dengan debitur baru atau kreditur lama dengan

kreditur baru. Pembaharuan utang ada tiga macam yaitu :

85

Surajiman, 2001, Perjanjian Bernama, Pusbakum, Jakarta, h. 22

67

1) Pembaharuan hutang yang obyektif, yaitu mengganti atau merubah isi dari

pada perikatan. Penggantian perikatan ini terjadi jika kewajiban debitur

atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain.

2) Pembaharuan hutang yang subyektif pasif, yaitu mengubah sebab dari

pada perikatan. Misalnya ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum.

3) Pembaharuan hutang yang subyektif aktif, yaitu selalu merupakan

persetujuan segitiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan

kreditur baru.

d. Karena Perjumpaan Utang

Perjumpaan utang ada, apabila utang piutang debitur dan kreditur secara timbal

balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan ini utang piutang lama

berakhir. Adapun syarat suatu utang supaya dapat diperjumpakan yaitu :

1) Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis

kualitas yang sama;

2) Hutang itu harus sudah dapat ditagih;

3) Hutang iu ditaksir dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya.

Menurut ketentuan Pasal 1425 KUHPerdata diterangkan, "Jika kedua

orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka

suatu perjumpaan, dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut,

dihapuskan”.

68

e. Karena Percampuran Utang

Menurut Pasal 1436 KUHPerdata percampuran hutang terjadi apabila kedudukan

seorang yang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) itu

menjadi satu, maka menurut hukum terjadilah percampuran hutang. Dengan

adanya percampuran itu, maka segala hutang piutang tersebut dihapuskan.

Misalnva si debitur kawin dengan krediturnva dalam suatu persatuan harta

kawin, maka dapat terjadi percampuran di antara mereka.

f. Karena Pembebasan Hutang

Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana si kreditur melepaskan

haknya untuk menagih piutangnya dari si debitur. Pembebasan hutang ini dapat

terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi

dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan

perjanjian, dengan pembebasan ini perjanjian menjadi berakhir. Pasal 1439

KUHPerdata menyatakan bahwa “jika si berpiutang dengan sukarela

membebaskan segala hutang-hutangnya si berhutang. Dengan adanya suatu

pembebasan maka hal ini tidak dapat dipindah alihkan kepada hak milik”.

g. Karena Musnahnya Barang Yang Terhutang

Bila obyek yang diperjanjikan adalah merupakan barang tertentu dan barang

tersebut musnah, maka tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sama sekali,

maka apa yang telah diperjanjikan adalah hapus/ berakhir.

69

h. Karena Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan

disini semuanya adalah batal demi hukum karena kekurangan syarat subyektif

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1) Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim;

2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk

memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya

perjanjian itu.86

Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan diatas undang-

undang mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun, yang mana

penjelasan ini tercantum dalam Pasal 1454 KUHPerdata, sedangkan untuk

pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu. Penuntutan

pembatalan tidak akan diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada

"Penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah

menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya,

dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.

i. Karena Berlakunya Suatu Syarat Batal

Syarat batal dalam Pasal 1265 KUHPerdata adalah suatu syarat yang apabila

dipenuhi menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu, kembali pada

keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Dengan

86

Subekti I, Op.cit, h. 75-76

70

demikian apabila peristiwa itu benar-benar terjadi, maka si berhutang wajib

mengembalikan apa yang diterimanya.

j. Karena Lewat Waktu atau Kadaluwarsa

Lewat waktu atau kadaluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata diartikan

sebagai suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu

perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang

ditentukan oleh undang-undang. Mengenai lewatnya waktu untuk dapat

dikatakan kadaluwarsa, juga dapat dilihat pada Pasal 1967 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa, “segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan,

maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena kadaluarsa dengan lewatnya

waktu tiga puluh tahun”.

2.2 Konsep Mengenai Perjanjian Jual Beli (PJB)

2.2.1 Perjanjian Jual beli dalam KUHPerdata dan Pendapat Para Sarjana

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena

mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur

esensialia dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Perjanjian jual beli pada

umumnya dikatakan merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual

beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk

tertulis yang merupakan akta otentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.

Dalam suatu proses jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum

kebendaan dan hukum perikatan. Dikatakan sebagai hukum kebendaan karena dalam

hal jual beli melahirkan hak pada masing-masing pihak atas tagihan (penjual dan

71

pembeli), yang berupa penjual menerima penyerahan pembayaran harga jual dari

pihak pembeli sedangkan pembeli menerima penyerahan hak atas kebendaan.

Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli melahirkan kewajiban kepada masing-

masing pihak. Dimana penjual wajib menyerahkan hak atas kebendaan yang dijual

kepada pembeli sedangkan pembeli wajib membayar harga atas barang yang dibeli

tersebut.87

Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa : “jual beli

adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah diperjanjikan”. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa jual beli

merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk

memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan

kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada

penjual. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang

berbunyi :“Jual beli dianggap telah terjadi kedua belah pihak sewaktu mereka telah

mencapai sepakat tentang barang dan harga meskipun barang itu belum diserahkan

maupun harganya belum dibayàr”.

Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem KUHPerdata,

adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “Obligatoir” saja, artinya jual beli itu

belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada kedua

belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya

87

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.cit, h. 7

72

hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459

KUHPerdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah

berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut

ketentuan-ketentuan yang bersangkutan.88

Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada

hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan

hukum yang merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat

merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat

yaitu :

1. Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada

saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.

2. Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek perbuatan hukum.

3. Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan hak

tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti

dilakukan perbuatan hukum tersebut.89

Untuk mengetahui pengertian dari Perjanjian Jual beli dapat dilihat dengan

memisahkan antara pengertian perjanjian dengan perjanjian jual beli. Mengenai

perjanjian seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya yaitu suatu

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

88

R.Subekti I, Op.cit, h. 80 89

Boedi I, Op.cit, h. 317

73

menimbulkan akibat hukum. Pengertian perjanjian jual beli menurut pendapat R.

Subekti adalah “perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum

dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk

jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses,

dan belum terjadinya pelunasan harga.”90

Pendapat lain dikemukakan oleh Herlien Budiono yang menyatakan bahwa

“perjanjian jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum

dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya”.91

Berdasarkan uraian

yang telah dikemukakan diatas maka dapat diketahui bahwa perjanjian jual beli

adalah sebuah perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya

perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Adapun yang menjadi fungsi dari

perjanjian jual beli dalam kedudukannya sebagai perjanjian pendahuluan yaitu untuk

mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama atau perjanjian pokok

yang akan dilakukan, karena perjanjian jual beli merupakan awal untuk lahirnya

perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono yang

menyatakan bahwa perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk

mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan

suatu hubungan hukum.”92

90

R.Subekti I, Op.cit, h. 75 91

Herlien Budiono, 2004, Pengikat Jual Beli dan Kuasa Mutlak, Majalah

Renvoi, edisi tahun I, No. 10, Bulan Maret, h. 57 92

Ibid, h. 56-57

74

2.2.2 Hal-Hal Yang Perlu Dicantumkan Dalam Perjanjian Jual beli

Dalam suatu perjanjian jual beli yang merupakan suatu perjanjian

pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/ utama biasanya mencantumkan janji-

janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang

disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utama. Sebagai contoh yaitu dalam

perjanjian jual beli hak milik atas tanah, dalam perjanjian jual belinya biasanya berisi

mengenai janji-janji baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli hak atas tanah

tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian

utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditanda tangani di hadapan

PPAT seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli

dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan

pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di

tandatangani di hadapan PPAT. Selain mencantumkan mengenai janji-janji biasanya

dalam suatu perjanjian jual beli juga mencantumkan mengenai hak memberikan

kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk

hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT, baik karena

lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa

tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak

milik atas tanah di PPAT telah terpenuhi.

Dalam suatu perjanjian jual beli tidak ditentukan oleh para pihak dimana

seharusnya barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan, penyerahan harus

dilakukan ditempat dimana barang itu berada pada saat perjanjian jual beli dilakukan.

75

Adapun cara-cara penyerahan benda yang diperjual belikan tersebut berbeda

berdasarkan kualifikasi barang yang diperjual belikan, yaitu sebagai berikut:

a. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari

tangan penjual atau atas nama penjual ke pembeli, akan tetapi penyerahan

secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang

tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin

diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol

tertentu, misalnya penyerahan kunci gudang sebagai simbol penyerahan

barang yang ada dalam gedung tersebut.

b. Barang tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya ada

dengan melalui akta dibawah tangan atau akta otentik. Akan tetapi, agar

penyerahan piutang atas nama mengikat bagi si berutang, penyerahan

tersebut diberitahukan kepada si berutang, atau disetujui secara tertulis oleh

si berutang.

c. Benda tidak bergerak atas tanah cara penyerahannya adalah melalui

pendaftaran atau balik nama.

2.2.3 Bentuk Perjanjian Jual beli

Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tidak begitu banyak

menimbulkan permasalahan, apalagi barang yang dijadikan objek jual beli tersebut

merupakan barang nyata, terdiri dari satu macam barang, barang tersebut dapat

dinikmati secara langsung dan pembayarannya dilakukan secara tunai menggunakan

uang.

76

Sebagaimana disebutkan diatas menurut pendapat Herlien Budiono yang

menyatakan bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi

sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, maka sebagai perjanjian yang

lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan

perundang-undangan maka perjanjian jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal

ini tentunya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum

perjanjian di Indonesia.

Dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah ada 2 (dua) hal yang harus

diperhatikan, yaitu subyek dan obyek. Menurut hemat penulis subyek disini adalah

menyangkut pihak penjual dan pembeli. Pihak penjual dan pembeli harus memiliki

itikad baik untuk melakukan jual beli hak atas tanah yang akan dijual tersebut, artinya

apakah pihak penjual berhak untuk menjual tanah tersebut dan apakah pihak pembeli

berhak untuk membeli hak atas tanah tersebut. Jika penjual dan pembeli berhak untuk

melakukan perjanjian jual beli tersebut, dan diantara mereka sudah terjadi

kesepakatan mengenai tanah yang akan dijual beserta harga dari tanah tersebut, para

pihak juga tidak menggunakan kuasa, maka para pihak datang menghadap Notaris

menyampaikan maksud mereka untuk mengadakan perjanjian jual beli dengan

dilengkapi persyaratan yang telah ditentukan oleh peraturan yang berlaku, yaitu

menyangkut identitas yang jelas dari masing-masing pihak. Selain identitas juga

diperlukan berkas-berkas atau surat-surat seperti bukti-bukti kepemilikan atas tanah

tersebut, identitas tanah, identitas dan keweangan penjual dan pembeli, serta dengan

dihadiri oleh dua orang saksi.

77

Setelah semua syarat yang diperlukan diatas dilengkapi, kemudian Notaris

membuatkan perjanjian jual beli hak milik atas tanah sebagai perjanjian pendahuluan

dalam jual beli hak milik atas tanah tersebut dalam rangkap dua, dan kedua rangkap

itu ditandatangani oleh pihak penjual, pembeli, saksi-saksi dan Notaris. Kesepakatan

atas besaran harga tanah yang disetujui oleh para pihak menentukan besarnya pajak

penjualan yang harus dibayarkan. Kemudian diadakan pendaftaran jual beli itu sendiri

yang meliputi pencoretan nama pemegang hak lama (penjual) dan pencantuman nama

pemegang hak baru (pembeli) dalam buku tanah, dan di sertipikat hak milik atas

tanah yang dijual, dengan mencatat dalam kedua dokumen itu dengan menuliskan

tanggal dan nomor serta nama PPAT yang membuatnya. Setelah akta jual beli dan

sertifikat hak milik atas tanah didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk dilakukannya

proses peralihan hak milik dan selanjutnya dapat dilakukan penyerahan sertipikat

kepada pihak pembeli.

78

BAB III

PENYEBAB PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS

TANAH

Dalam bab III ini akan diuraikan mengenai penyebab terjadinya pembatalan

terhadap perjanjian jual beli Hak Milik atas tanah. Adapun yang akan dibahas pada

sub bab nya yaitu bagaimana proses terjadinya peralihan Hak Milik atas tanah dengan

dibuatnya perjanjian jual beli hak milik atas tanah kemudian akan membahas pula

unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual

beli hak milik atas tanah, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

3.1 Proses Peralihan Hak Milik Atas Tanah Dengan Dibuatnya Perjanjian Jual

beli Hak Milik atas Tanah

Perkembangan masyarakat yang dinamis memunculkan berbagai kebutuhan

terutama yang berkaitan dengan kebutuhan atas tanah seiring dengan pertumbuhan

ekonomi yang semakin berkembang di wilayah pemukiman, pusat bisnis,

pemerintahan dan industri, menjadikan tanah sebagai komoditas yang sangat berharga

dan memiliki nilai investasi tinggi. Hal ini berdampak makin tingginya kebutuhan

masyarakat akan tersedianya lahan atau tanah, sehingga transaksi tanah merupakan

suatu perbuatan hukum yang sering dilakukan masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan tersebut.

Kendala yang dihadapi adalah pertumbuhan penduduk terus meningkat,

sedangkan ketersediaan tanah yang sangat terbatas. Karena terbatasnya tanah yang

tersedia dan kebutuhan akan tanah semakin bertambah, dengan sendirinya akan

79

menimbulkan benturan-benturan kepentingan akan tanah, yang berakibat akan

menimbulkan permasalahan atas tanah, karenanya oleh pemerintah kebikan mengenai

tanah ini diatur dalam berbagai ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam penjajahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet, Agrarissvhe Besluit dan

sebagainya mengenai tanah untuk kepentingan penjajah antara lain perkebunan-

perkebunan yang berada di Wilayah Indonesia di berikan kepada perusahaan-

perusahaan Belanda.

Demikian juga perlindungan terhadap hak-hak atas tanah diberikan kepada

kaum penjajah seperti hak eigendom adalah hak milik yang mutlak pada umumnya

diberikan kepada kaum penjajah serta diberikan kepastian hukumnya dengan

mendaftar hak-hak terebut dalam suatu daftar, kemudian diberikan tanda bukti atas

tanah tersebut. Sedangkan kepada penduduk pribumi/ rakyat Indonesia yang tunduk

kepada hukum adat tidak diberikan bukti hak atas tanah dan kalaupun ada hanya

berupa bukti pembayaran pajak saja, seperti girik, pipil, kekitir dan lain sebagainya.

Tidak semua kalangan masyarakat tahu apa saja bukti kepemilikan, lebih-lebih

mendapatkan hak atas tanah dan bangunan yang sah menurut hukum. Kepemilikan

tanah yang sah harus sudah terdaftar di BPN, sehingga setelah mengantongi bukti

yang sah baru kita bisa mendapatkan nomor setoran Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB).

Setelah Indonesia merdeka, keadaan semacam itu dirasakan tidak adil dan

tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, sehingga setelah melewati waktu yang

lama untuk mempersiapkannya, baru pada tahun 1960 Indonesia berhasil membentuk

80

peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dalam bentuk undang – undang

yang disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24

September 1960.

Mengenai hak atas tanah di Indonesia, adapun tata cara permohonan peralihan

hak atas tanah adalah sebagai berikut:

1. Hak Milik

Adapun tata cara permohonan hak milik menurut ketentuan sebagaimana

diatur dalam peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, permohonan

hak milik tersebut oleh pemohonan diajukan secara tertulis Kepada Menteri Negara

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (sekarang Kepala Badan Pertanahan

Nasional) melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota tempat letak tanah

yang bersangkutan. Permohonan hak milik tersebut memuat:

Keterangan mengenai pemohon:

a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan

pekerjaan serta keterangan mengenai istri/ suami dan anaknya yang masih

menjadi tanggungannya.

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan akta atau peraturan

pendiriannya, tanggal dan Nomor Surat Keputusan Perusahaan oleh

pejabat yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum

yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan ketentuan peraturan

perundang – undangan yang berlaku.

81

Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik

a) Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa girik, surat kavling,

surat-surat bukti atas tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan

pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak dan surat-surat bukti perolehan

tanah lainnya.

b) Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasi).

c) Jenis tanah (pertanian/non pertanian).

d) Rencana penggunaan tanah.

e) Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara).

Keterangan lain-lain

a). Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah yang dimiliki

oleh pemohon, termasuk bidang tanah yag dimohon;

b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

2. Hak Guna Usaha

Adapun prosedur yang dapat dilakukan untuk permohonan Hak Guna Usaha

adalah sebagai berikut :

1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis kepada Menteri

(sekarang Kepala Badan Pertanahan nasional) melalui Kepala Kantor Wilayah

Badan Pertahanan Nasional setempat dengan tembusanya disampaikan kepada

Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten /Kota daerah letak tanahnya (Pasal 18

jo. Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun

1999).

82

2) Permohonan tersebut memuat mengenai identitas pemohon, keterangan

mengenai data fisik dan yuridis dari tanahnya, serta keterangan lain yang

dianggap perlu.

3) Permohonan dimaksud juga harus dilampiri dengan (Pasal 19 Peraturan

Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 tahun 1999)

a) Foto copy identitas pemohon atau akta pendirian perusahaan yang telah

memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum ;

b) Rencana perusahaan tanah jangka waktu pendek atau jangka waktu

panjang;

c) Ijin lokasi atau surat persetujuan pengguna tanah atau surat ijin

pencadangan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah ;

d) Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan

hutan dari instansi yang berwenang , akta pelepasan bekas tanah milik

adat atau wenang surat surat bukti perolehan tanah lainya.

e) Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman

Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi penanaman

modal asing tertentu.

83

3. Hak Guna Bangunan

Dalam tata cara permohonan Hak Guna Bangunan sesuai dengan Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No . 3 tahun 1993

adalah sebagai berikut:

a) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari

2.000 M2 dan semuanya pemberian hak guna bangunan atas tanah hak

pengelola , kewenangan untuk memberikan keputusan ada pada Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota.

b) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luas lebih dari 2.000 M2

tapi tidak lebih dari 150.000 M2 kewenangan memberi keputusan ada pada

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.

c) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya lebih dari 150.000

M2, kewenangan memberi keputusan ada pada Kepala Badan Pertanahan

Nasional.

Pemberian hak atas tanah merupakan penetapan pemerintah yang memberikan

sesuatu hak atas tanah negara, termasuk perpanjangan jangka waktu hak, pembaruan

hak, perubahan hak, juga pemberian hak di atas tanah hak pengelola. Permohonan

untuk memperoleh hak guna bangunan diajukan oleh pemohon kepada pejabat yang

berwenang sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan

Pertahanan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, secara tertulis dengan

84

menggunakan formulir permohonan dengan melampirkan keterangan- keterangan

mengenai :

A. keterangan mengenai pemohon :

1) perorangan

Nama, umur , kewarganegaraan, tempat tinggal , pekerjaan ,serta keterangan

mengenai istri / suami serta anak yang masih menjadi tanggungan ;

2) badan hukum

Nama badan hukum, tenpat kedudukan akta atau akta pendirian badan hukum

tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

B. keterangan mengenai tanahnya :

1) status tanah (tanah hak atau tanah Negara)

2) letak, batas dan luasnya (surat ukur / gambar situasi)

3) jenis tanah (tanah pertanian / non pertanian)

4) Rencana penggunaan tanah

5) daftar pengusaha atau alas haknya (dapat berupa sertifikat, girik, surat kavling,

surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah / tanah yang telah

dibeli dari pemerintah ,putusan pengadilan ,akta PPAT,akta pelepasan hak dan lain-

lain)

C. lain-lain

1) keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan setatus tanah yang sudah di miliki

pemohon.

2) keterangan lain yang dianggap perlu.

85

Dalam hal keputusan pemberian hak guna bangunan tidak dilimpahkan

kepada kepala kantor pertanahan, maka kepala kantur pertanahan yang bersangkutan

menyampaikan kepada kepala kantor wilayah propinsi disertai dengan

pertimbangannya Pasal 37 ayat (6) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala BPN

No. 9 tahun 1999. Kepala Kantor Wilayah, mencatat dan meneliti berkas permohonan

dan menerbitkan kuputusan pemberian hak atau keputusan penolakan apabila hal itu

merupakan kewenanganya.

Dalam hal kewenangan ,menerbitkan keputusan pemberian hak ada pada

Kepala Badan Pertanahan Nasional, maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk mencatat dan meneliti data

kelengkapan data yuridis dan data fisik. Apabila berkas permohonan sudah lengkap,

maka dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional serta yang berlaku, Kepala Badan

Pertahanan Nasional menerbitkan keputusan pemberian hak guna bangunan atau

keputusan penolakan.

Peralihan hak atas tanah sering menimbulkan sengketa dikemudian hari, hal

ini akan menimbulkan konflik antar pihak yang besengketa. Walaupun di Indonesia

memberikan ruang untuk setiap orang mencari keadilan melalui pengadilan, namun

sistem peradilan di Indonesia dianggap masih rumit. Hal inilah mengapa banyak

masyarakat enggan untuk melakukan proses hukum ke Pengadilan untuk mencari

keadilan dan untuk mempertahankan haknya.

86

Pengertian lain tentang peralihan hak atas tanah, adalah beralihnya atau

berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari

pemilk semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum

tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas

tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya

memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).93

Perbuatan hukum dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan

oleh subyek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Menurut CST Kansil, bahwa

“Segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk

menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya membuat surat wasiat,

membuat persetujuan-persetujuan dinamakan perbuatan hukum”. Perbuatan hukum

itu terdiri dari:

a. Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu

pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula,

misalnya pembuatan surat wasiat, dan pemberian hadiah sesuatu (benda).

b. Perbuatan hukum dua pihak, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh

dua pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak (timbal

balik) misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.94

93

Irene Eka Sihombing, 2005, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Universitas Trisaksi, Jakarta, h. 56 94

CST. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, h. 119

87

Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan

perbuatan hukum pemindahan hak, yakni akan kami terangkan sebagai berikut:

a. Pewarisan tanpa wasiat

menurut hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal,

maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.

b. Pemindahan hak

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang

terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam

perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja

dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa :

a) Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek kepada

cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak kepada adiknya

dan lain sebagainya.

b) Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain.

c) Jual beli tanah tersebut dijual kepada pihak lain. Acara jual beli banyak

tergantung dari status subyek yang ingin menguasai tanah dan status

tanah yang tersedia misalnya apabila yang memerlukan tanah suatu

Badan Hukum Indonesia sedangkan tanah yang tersedia berstatus Hak

Milik maka dengan cara Jual beli tidak bisa di laksanakan karena akan

mengakibatkan jual belinya , karena Badan Hukum Indonesia tidak dapat

menguasai tanah Hak Milik. Namun kenyataannya dalam praktek cara

peralihan hak dengan jual beli adalah yang paling banyak ditempuh.

88

d) Tukar menukar antar bidang tanah yang satu dengan bidang tanah yang

lain, dalam tukar menukar ini bisa ada unsur uang dengan suatu

pembayaran yang merupakan kompensasi kelebihan atas nilai/ harga

tanah yang satu dengan yang lainnya, bisa juga tanpa ada unsur uang

karena nilai tanah yang satu dengan yang lainnya sama.

e) Pembagian hak bersama bisa terjadi karena hak yang ada terdaftar atas

nama beberapa nama sehingga untuk lebih memperoleh kepastian hukum

para pihak melakukan pembagian atas bidang tanah yang mereka miliki

bersama-sama.

f) Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya

berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut

menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan tersebut.

g) Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan

menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau

pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak

atas tanah yang akan dialihkan tersebut, sebagai contoh tanah yang akan

dilalihkan kepada suatu Badan Hukum Indonesia adalah tanah dengan

status hak milik, ini tidak bisa dilakukan karena Badan Hukum Indonesia

bukanlah Subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah

dengan status hak milik.

89

h) Lelang, umumnya dilakukan jika tanah yang akan dialihkan tersebut

susah untuk menemukan calon pembeli atau tanah tersebut merupakan

jaminan pada bank yang sudah di eksekusi lalu mau dijual.

i) Peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan yang

menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset

perseroan yang diambil alih tersebut.

Jual Beli, tukar menukar, hibah dan pemasukan dalam perusahaan, demikian

juga pelakasanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT, yang

bertugas membuat aktanya. Dengan demikian perbuatan hukum yang bersangkutan

dihadapan PPAT dipenuhi. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih

luas daya pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada kantor

pertanahan setempat letak tanah tersebut berada, dengan tujuan :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak yang terdaftar haknya, agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah tertentu dan Satuan Rumah Susun yang terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli tanah harus

dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang. Hal ini sesuai dengan ketentuan

90

yang tercantum dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik

atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam

perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak

melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh

PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Namun dalam prakteknya, terdapat juga sebelum pembuatan akta jual beli

tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yang berwenang terlebih dahulu oleh

para pihak dibuat suatu perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Jual beli.

Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah dibuat sebagai perjanjian pendahuluan

dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah yang dibuat dalam bentuk akta Notaris

sebagai suatu kebutuhan hukum dari masyarakat yang dalam kesehariannya telah

banyak dipraktekan di kantor Notaris.

Menurut hemat penulis berdasarkan penelusuran dari beberapa literatur maka

dapat diketahui beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat PJB antara lain:

1. Uraian obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain ukuran luas tanah

dan bangunan (jika perlu disertai peta bidang tanah dan arsitektur bangunan),

sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan yang melekat pada

obyek tanah dan bangunan tersebut.

91

2. Harga tanah per-meter dan harga total keseluruhan serta cara pembayarannya.

Pembayaran harga tanah dapat juga ditentukan secara bertahap yang

pelunasannya dilakukan pada saat penandatanganan Akta Jual beli.

3. Syarat batal tertentu, misalnya jika ternyata pembangunan rumahnya tidak

selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan developer, maka calon

pembeli berhak membatalkannya dan menerima kembali uang muka. Atau

jika pembangunan itu telah selesai sesuai waktunya tapi calon pembeli

membatalkannya secara sepihak, maka calon pembeli akan kehilangan uang

mukanya.

4. Penegasan pembayaran pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak

dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah

dan biaya Notaris /PPAT.

5. Jika perlu dapat dimasukan klausul pernyataan dan jaminan dari calon

penjual, yaitu bahwa tanah dan bangunan tidak sedang berada dalam jaminan

hutang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa hukum. Jika ternyata

pernyataan dan jaminan calon penjual itu tidak benar, maka calon penjual

akan membebaskan calon pembeli dari tuntutan pihak lain manapun.

Adapun faktor yang menjadi alasan dibuatnya Perjanjian pendahuluan

terhadap Jual beli hak milik atas tanah oleh dan dihadapan Notaris yaitu:

1. Obyek tanah yang diperjual belikan belum memiliki sertipikat yang

merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang sah. Dalam prakteknya

tanah yang dijual tersebut masih berstatuskan tanah yasan yang diwarisi

92

secara turun temurun dan belum pernah didaftarakan menurut ketentuan yang

berlaku tentang pendaftaran tanah. Alat bukti atas tanah tersebut masih berupa

girik yang tercatat dalam buku C tanah di kelurahan;

2. Tanah yang akan dijual telah didaftarkan dan proses pembuatan sertipikat

tanah masih berlangsung di kantor pertanahan;

3. Pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjualbelikan belum dilakukan

secara lunas oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pembayaran dilakukan secara

bertahap berdasarkan kesepakatan pihak penjual dan pembeli;

4. Pihak Penjual atau pembeli belum memiliki uang untuk membayar Pajak

Penghasilan atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah, apabila jual beli dibuat

dalam suatu akta PPAT;

5. Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan dijual hampir habis jangka

waktunya dan sedang dilakukan proses permohonan perpanjangan hak di

kantor pertanahan;

6. Dan atau masih terdapat kekurangan-kekurangan dokumen yang diperlukan

untuk pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, dokumen mana ternyata

masih dalam proses pengurusan.

Dari beberapa sebab tersebut diatas, maka dibuatnya perjanjian jual beli

berdasar pada 3 (tiga) alasan yaitu:

1. Pembayaran oleh pihak pembeli kepada pihak penjual telah lunas, tetapi

syarat-syarat formal belum lengkap, misalnya sertifikat masih dalam proses

penerbitan atas nama pihak penjual.

93

2. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran, tetapi syarat-

syarat formal sudah lengkap.

3. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran karena syarat

formal belum terpenuhi.

Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan

kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak

diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu

pegangan atau pedoman. Hal inilah yang membedakan penjualan yang dilakukan

dengan membuat suatu akta notariil Perjanjian Jual beli dengan suatu sistem

penjualan menurut hukum tanah Nasional. Dimana jual beli menurut hukum tanah

nasional yang bersumber pada hukum adat mengandung asas tunai, terang dan riil

atau nyata, sedangkan jual beli yang dimaksudkan dalam perjanjian jual beli itu hanya

obligatoir saja.

3.2 Unsur-Unsur Yang Melatarbelakangi Pembatalan Perjanjian Jual beli

Hak Milik Atas Tanah

Perjanjian jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya

beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan

jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi

dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan

perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para

pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari

undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual beli (AJB) dapat

94

di tandatangani. Para pihak yang akan melakukan jual beli hak milik atas tanah harus

memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual beli hak milik atas

tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan

diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang

dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak

tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak

lain, dan sebagainya. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah

persyaratan yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan melakukan perjanjian

jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli

menginginkan adanya sertifikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak

atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertifikat, dan dilain sisi, misalnya

pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua biaya hak atas tanah secara

lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.

Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah sebagai perjanjian pendahuluan

dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah dalam prakteknya sering dibuat dalam

bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris yang mengakibatkan Perjanjian

Jual beli menjadi akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna

sehingga para pihak yang terikat didalamnya mendapatkan perlindungan dan

kepastian hukum. Peranan seorang Notaris dalam membuat suatu akta harus bersikap

netral, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif, dengan

bantuan Notaris para pihak yang membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan

bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.

95

Notaris dalam pembuatan Perjanjian Jual beli (PJB) hak milik atas tanah dapat

memberikan pemahaman hukum yang benar tentang kedudukan masing-masing pihak

baik pihak penjual maupun pembeli sehingga dapat membantu menyelesaikan dalam

memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual

beli sesuai dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang peralihan

hak milik atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat

dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas

tanah.

Posisi Perjanjian Jual beli (PJB) yang merupakan sebuah perjanjian

pendahuluan dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah diharapkan dapat

memberikan bantuan terhadap pemahaman hukum yang benar kepada pihak penjual

maupun pihak pembeli terkait peraturan perundang-undangan yang menyangkut

tentang peralihan hak milik atas tanah, sedangkan yang dapat diketahui bahwa semua

perbuatan hukum yang dilakukan menyangkut tanah harus mengikuti peraturan

perundang-undangan yang menyangkut tentang hak milik atas tanah.

Dalam pembuatan Perjanjian Jual beli, Notaris harus memperhatikan beberapa

hal yang merupakan kewenangannya, yaitu:

1) Kedudukan atau status penjual adalah merupakan pihak yang berhak menjual

tanah. Bila di dalam sertipikat terdapat lebih dari satu nama penjual (tanah

tersebut dimiliki secara bersama-sama), maka tanah tersebut dilarang dijual oleh

satu orang, yang berhak menjualnya adalah semua pihak yang namanya

tercantum dalam sertipikat tersebut. Kepemilikan bersama atas hak milik

96

biasanya bisa terjadi karena hibah, kewarisan atau membeli secara patungan

atau bersama-sama.

2) Penjual adalah pihak yang berwenang untuk menjual tanah yang bersangkutan.

Untuk dapat bertindak sebagai penjual, maka harus memenuhi beberapa syarat,

yaitu sebagai berikut:

a. Sebidang tanah dalam sertipikat atas nama istrinya, sedangkan tanah tersebut

merupakan harta bersama dengan suaminya, maka si istri tidak berwenang

menjual sendiri tanah tersebut, namun harus menjual bersama-sama dengan

suaminya atau suaminya memberikan persetujuan tertulis kepada istrinya

untuk melakukan perjanjian jual beli. Demikian juga sebaliknya, bila suatu

tanah tercatat atas nama suami, istri juga harus memberi persetujuan tertulis

dari suami untuk menjual.

b. Apabila tanah tersebut tercatat atas nama seseorang yang tunduk pada

KUHPerdata dan sedang berada di bawah pengampuan, maka yang

berwenang menjual tanah tersebut adalah pengampu dari orang yang

bersangkutan dan harus ada penetapan dari Pengadilan Negeri setempat.

c. Anak yang berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun tidak berwenang

melakukan jual beli, walaupun nama anak tersebut tercatat pada sertipikat.

Jual beli dapat terlaksana jika ayah dari anak tersebut bertindak sebagai

orang yang melakukan kekuasaan orang tua.

3) Pembeli adalah pihak yang diperkenankan untuk membeli tanah dari penjual.

Untuk dapat membeli tanah dengan status hak milik, maka tidak semua pembeli

97

dapat melakukannya. Perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,

Perseroan Komanditer serta Warga Negara Asing tidak dapat memiliki Hak

Milik.

Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan

yang diinginkan oleh para pihak. Dalam suatu keadaan tertentu dapat ditemukan

terjadinya berbagai hal, yang mengakibatkan perjanjian tersebut mengalami

pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun atas perintah pengadilan.

Sebagai suatu bentuk perikatan, perjanjian jual beli hak milik atas tanah mengandung

hak dan kewajiban dari para pihak yang membuatnya, sehingga apabila hal-hal yang

telah disepakati dalam perjanjian jual beli dilanggar atau bahkan tidak dipenuhi oleh

para pihak yang terikat di dalamnya maka dapat disebut telah terjadi wanprestasi.

Perjanjian jual beli dimungkinkan untuk dapat dibatalkan secara sepihak oleh

salah satu pihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan perjanjian jual beli

tersebut dapat pula dimohonkan pembatalannya berdasarkan putusan Pengadilan

Negeri setempat melalui gugatan perdata. Tentunya dengan dibatalkannya suatu

perjanjian jual beli hak milik atas tanah yang telah dibuat secara otentik dihadapan

Notaris akan membawa konsekuensi yuridis tertentu.

Salah satu syarat yang penting di dalam perjanjian timbal balik adalah ingkar

janji. Seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan

bahwa ; “ingkar janji adalah syarat batal.” Syarat batal dianggap selalu ada dalam

perjanjian timbal-balik. Jika syarat batal itu terjadi, perjanjian tidak batal dari segi

hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus

98

dilakukan walaupun ingkar janji sebagai syarat batal dicantumkan di dalam

perjanjian. Perjanjian jual beli juga terkait perjanjian dengan ketetapan waktu. Karena

perjanjian dengan ketetapan waktu adalah suatu perjanjian yang tidak menangguhkan

perjanjian, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Ketetapan waktu yang

dapat menangguhkan atau mengakhiri perjanjian.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan

disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena

kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim;

2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk

memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian

itu.

Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan di atas Undang-Undang

mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun, yang mana penjelasan ini

tercantum dalam Pasal 1454 KUHPerdata, sedangkan untuk pembatalan sebagai

pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu. Penuntutan pembatalan tidak akan

diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada "Penerimaan baik dari pihak yang

dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu

perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk

meminta pembatalan.

99

Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat

perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu

pihak biasanya terjadi karena:

1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam

jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.

2. Pihak pertama selaku penjual melihat adanya kemungkinan pihak kedua

selaku pembeli mengalami kebangkrutan atau secara finansial tidak dapat

memenuhi kewajibannya.

3. Terkait resolusi atau perintah Pengadilan.

4. Terlibat hukum.

5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksanakan

perjanjian.

Pembatalan Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu:

1. Pembatalan mutlak; dan

2. Pembatalan relatif.

Pembatalan mutlak, adalah suatu pembatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas.

Pembatalan mutlak terjadi karena:

(1) Cacat bentuknya;

(2) Perjanjian itu dilarang undang-undang;

(3) Bertentangan dengan kesusilaan, dan

(4) Bertentangan dengan ketertiban umum.

100

Contoh pembatalan mutlak:

1. Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk itu tidak

dipenuhi.

2. Perjanjian Kawin yang dibuat di bawah tangan oleh para pihak, namun

seharusnya Perjanjian perkawinan dibuat dengan akta Notaris (Pasal 147

KUHPerdata).

Pembatalan relatif adalah suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan biasanya

diajukan oleh salah satu pihak. Misalnya: wakil dari orang yang tidak berwenang

melakukan perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan kekerasan atau

penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan.

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai

perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Hal ini dapat diartikan bahwa

perjanjian jual beli merupakan permulaan atau perjanjian obligatoir atau pelengkap.

Namun perjanjian obligatoir lebih dahulu lahir sebelum perjanjian pokoknya ada, hal

ini tidak sebagaimana perjanjian obligatoir lazimnya seperti perjanjian pembebanan

hak tanggungan, gadai atau fidusia yang lahir setelah didahului dengan perjanjian

utang piutang terlebih dahulu.

Oleh karena perjanjian jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka

biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang

mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli yang

sebenarnya belum terpenuhi. Tentu saja para pihak setelah syarat untuk jual beli telah

terpenuhi dapat bertemu kembali (untuk kewajiban jual beli dihadapan pejabat umum

101

yang berwenangan untuk melaksanakan jual beli). Dalam Perjanjian Jual beli hak

milik atas tanah dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian dengan mana kedua belah

pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan jual beli, apabila hal-hal yang belum

dapat dipenuhi pada saat perjanjian jual beli tersebut dilakukan, biasanya menyangkut

harga yang belum lunas atau surat-surat tanah yang belum ada.

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1253 KUHPerdata dapat

diketahui bahwa perjanjian jual beli hak milik atas tanah dapat digolongkan ke dalam

perjanjian bersyarat. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata

menentukan:

Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih

akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan

perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak

terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan

murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat.

Suatu syarat harus tegas dicantumkan dalam perikatan. Undang-undang

menentukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan dalam suatu perikatan, yaitu:

1. Bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan;

2. Bertentangan dengan kesusilaan;

3. Dilarang Undang-undang;

4. Pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang terikat.

102

Agar suatu perjanjian jual beli dapat memberikan perlindungan hukum dan

kepastian hukum bagi para pihak, maka adapun hal-hal yang harus dicantumkan

dalam suatu perjanjian jual beli sebagai perjanjian pendahuluan yaitu:

1. Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya untuk menjual kepada pihak pembeli

yang berjanji dan mengikat dirinya untuk membeli dari pihak penjual sebidang

tanah tertentu;

2. Pihak penjual mengakui bahwa uang harga penjualan tanah yang akan dijual oleh

pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut senilai yang telah disepakati dan

telah dibayar oleh pembeli kepada pihak penjual pada saat penandatanganan

perjanjian dan perjanjian jual beli berlaku pula sebagai tanda penerimaan atau

kwitansinya yang sah, tanpa mengurangi dikeluarkannya kwitansi tersendiri/

khusus.

3. Manakala pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam jangka

waktu yang telah ditentukan, kelalaian mana telah terjadi dan terbukti dengan

lewatnya waktu saja, maka pihak pembeli dikenakan denda yang besarnya telah

disepakati dari jumlah yang harus dibayar pembeli kepada penjual, untuk tiap-

tiap hari keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan

sekaligus.

4. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut setelah lewatnya waktu

tersebut di atas, Pihak Pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka

Perjanjian jual beli dianggap berakhir dan sepanjang perlu kedua belah pihak

melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267

103

KUHPerdata, dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah

dibayarkan oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual

tanah dan bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh

Pihak Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada

Pihak Penjual. Pengembalian uang oleh Pihak Penjual kepada Pihak Pembeli

dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah

disepakati, misalnya 7 (tujuh) hari setelah tanah dan bangunan tersebut terjual

kepada pihak lain.

5. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh pihak penjual

kepada pihak pembeli tersebut menjadi milik pihak pembeli, dan segala

keuntungan yang diperoleh dari dan segala kerugian yang diderita dengannya

mulai hari tersebut menjadi milik atau dipikul oleh pihak pembeli.

6. Pihak Penjual menjamin bahwa tanah dan bangunan tersebut milik Pihak Penjual,

tidak dijaminkan secara bagaimanapun juga kepada pihak lain, tidak dibebani

dengan beban-beban apapun juga dan pula bebas dari sita jaminan, sehingga

pihak pembeli tidak akan mendapat gangguan dan atau rintangan dari pihak lain

rnengenai hal itu.

7. Selanjutnya perjanjian jual beli yang akan dilaksanakan tersebut dilakukan

dengan syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang lazim untuk sesuatu jual beli

hak milik atas tanah, syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian tersebut telah

diketahui oleh pihak-pihak.

104

8. Pihak penjual memberikan kuasa kepada pihak pembeli dan baik bersama-sama

maupun masing-masing untuk dan atas nama pihak penjual melaksanakan

penjualan tanah dan bangunan tersebut di atas kepada pihak pembeli dengan

harga dan perjanjian-perjanjian sebagaimana tersebut di atas dan berhubung

dengan itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah, membuat menyuruh dan menandatangani akta jual beli

yang bersangkutan dan surat-surat lainnya yang diperlukan, menyerahkan segala

sesuatu yang dijual tersebut kepada pihak kedua dan selanjutnya melakukan apa

saja yang baik dan berguna untuk mencapai maksud tersebut tidak ada tindakan

yang dikecualikan.

9. Pihak Penjual selanjutnya dengan ini memberi kuasa kepada pihak pembeli untuk

selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan atas nama Pihak Pembeli

melakukan dan menjalankan segala hak, kepentingan dan kekuasaan pihak

penjual mengenai tanah dan bangunan tersebut dan untuk keperluan itu

melakukan segala tindakan hukum baik tindakan pengurusan maupun tindakan

pemilikan.

10. Pihak Penjual berjanji dan mengikat dirinya selama penjualan tersebut di atas

belum dilaksanakan tidak akan menggadaikan ataupun menjaminkan secara

bagaimanapun juga, menjual atau dengan cara lain melepaskan tanah dan

bangunan tersebut kepada pihak lain.

11. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam akta ini tidak dapat ditarik kembali dan

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini, yang tanpa

105

kuasa-kuasa tersebut tidak akan dibuat dan kuasa-kuasa itu pun diberikan dengan

melepaskan semua peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang

mengatur segala sebab dan dasar yang mengakhirkan suatu kuasa. Kuasa-kuasa

tersebut di atas baru sepenuhnya berlaku apabila Pihak Pembeli telah memenuhi

seluruh kewajibannya kepada Pihak Penjual.

12. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah tidak akan berakhir karena salah satu

pihak meninggal dunia, akan tetapi bersifat turun temurun, dan harus dipenuhi

oleh ahli waris atau penerima hak masing-masing.

13. Segala pajak yang berhubungan dengan tanah dan bangunan tersebut sampai hari

penjualan dipikul oleh pihak penjual dan mulai hari tersebut dipikul oleh pihak

pembeli.

14. Ongkos-ongkos yang berhubungan dengan pemindahan nama tanah dan

bangunan tersebut kepada pihak pembeli dipikul oleh pihak pembeli.

15. Klausula Domisili, yaitu pihak-pihak memilih tempat tinggal tetap dan umum

mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Panitera Pengadilan

Negeri setempat.

Penyerahan dalam jual beli itu ialah suatu pemindahan barang yang telah

dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan (bezit) pembeli. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Jika benda yang dijual itu

berupa suatu barang tertentu, apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang

ini sejak saat pembelian itu terjadi merupakan tanggungan pembeli, walaupun

penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat (berhak untuk) menuntut

106

harganya.” Dalam suatu proses jual beli tentunya baik penjual maupun pembeli sama-

sama mempunyai hak dan kewajiban. Adapun yang menjadi kewajiban (utama) dari

pihak penjual terhadap pembeli, yaitu :

- menyerahkan barang/benda yang bersangkutan;

- menanggung/menjamin (vrijwaren)penguasaan benda yang dijual itu secara

aman dan tenteram (rustig en vreedzaam);

- cacad-cacad yang tersembunyi (verborgen gebreken) dari benda yang

bersangkutan atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan

pembatalan jual beli itu.

Pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga dari apa yang

dibelinya itu, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan/

perjanjian yang bersangkutan dengan aturan tambahan bahwa jika para pihak tidak

menentukannya, pembayaran itu harus dilakukan di tempat pada waktu penyerahan

benda itu. Jika pembeli tidak membayar harga benda yang dibelinya itu, maka penjual

dapat menuntut dibatalkannya jual beli yang bersangkutan. Suatu perjanjian tidak

senantiasa berjalan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya,

terdapatnya kondisi-kondisi tertentu yang berakibat suatu perjanjian harus berakhir

tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Adapun unsur-unsur yang berpotensi

mengakibatkan terjadinya pembatalan perjanjian jual beli tersebut, yaitu:

1. Harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli tidak dilunasi

oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;

107

2. Dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak

milik atas tanah (jual beli hak milik atas tanah dihadapan PPAT) belum

selesai sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;

3. Subyek hukum yang bertindak selaku penjual ternyata dikemudian hari

bukanlah subyek hukum yang berhak melakukan peralihan;

4. Obyek jual beli ternyata di kemudian hari dalam keadaan sengketa;

5. Para pihak tidak melunasi kewajibannya dalam membayar pajak;

6. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut dibatalkan oleh para pihak.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan

perjanjian jual beli lalu kemudian terjadi hal-hal seperti tersebut diatas dapat

berakibat pada pembatalan dari perjanjian jual beli tersebut apabila diantara para

pihak tidak menemui kata sepakat untuk menyelesaikan permasalahan secara

musyawarah, maka para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian

jual beli tersebut kepada Pengadilan. Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri (PN)

yang menyatakan jual beli dibatalkan, maka perjanjian jual beli dianggap tidak

pernah ada dan tidak memiliki akibat hukum sejak dari awalnya. Apabila putusan PN

tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka terhadap putusan tersebut baru dapat

dilakukan eksekusi. Dengan demikian, semua kewajiban seperti pembayaran haruslah

dikembalikan seutuhnya untuk mengembalikan ke keadaan semula seperti tidak

pernah ada jual beli. Untuk itu, uang pembeli sudah seharusnya dikembalikan

sejumlah yang pembeli bayarkan.

108

Apabila uang yang menjadi hak Pembeli tidak dikembalikan, sedangkan telah

ada putusan dari PN bahwa jual beli itu telah dibatalkan, maka segala bentuk

kewajiban (pembayaran) yang telah terjadi juga dibatalkan dan harus

dikembalikan.Setelah putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, langkah yang

dapat Pembeli lakukan adalah dengan mengajukan permohonan eksekusi ke PN yang

memutus perkara tersebut.

Mengenai eksekusi putusan perkara perdata ini diatur dalam Pasal

196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menyebutkan bahwa:

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan

itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik

dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang

tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua

menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya

ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang

selama-lamanya delapan hari.

Apabila terhadap putusan tersebut belum juga dilakukan eksekusi, maka

Pembeli dapat melaporkan penjual polisi berdasarkan Pasal 216 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang

dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi

sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi

kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang

siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan

tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah

seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat

bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pejabat yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu dalam Pasal 92

KUHP yang salah satunya adalah hakim. Dengan demikian, dikarenakan putusan

109

tersebut adalah putusan hakim, apabila ada pihak-pihak yang tidak menuruti dan

melaksanakan putusan tersebut maka dapat dipidana dengan berdasarkan Pasal 216

ayat (1) KUHP. Jadi, Pembeli dapat mengajukan tuntutan pidana terhadap penjual

apabila penjual tetap tidak menjalankan putusan tersebut setelah mengajukan

permohonan eksekusi ke PN yang memutus perkara tersebut.

110

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM DENGAN DIBATALKANNYA PERJANJIAN

JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH

Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai perlindungan hukum dengan

dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Adapun yang akan dibahas

pada sub bab nya yaitu akibat hukum dari pembatalan perjanjian jual beli hak milik

atas tanah, kemudian akan membahas pula perlindungan hukum yang dapat diberikan

dalam pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, yang diuraikan lebih

lanjut sebagai berikut:

4.1 Akibat Hukum Dari Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas

Tanah

Suatu perbuatan hukum untuk menyatakan batalnya, maka dikenal istilah-

istilah “batal demi hukum”, “membatalkannya” sesuai dengan Pasal 1449

KUHPerdata, “menuntut pembatalan” sesuai dengan Pasal 1450 KUHPerdata,

“pernyataan batal” sesuai dengan Pasal 1451-1452 KUHPerdata, “gugur” sesuai

dengan Pasal 1545 KUHPerdata, “gugur demi hukum” sesuai dengan Pasal 1553

KUHPerdata. Ajaran kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum baik perbuatan

hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak.

Dengan menyatakan suatu perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena

adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak

berlaku. Akibat kebatalan berlaku pula terhadap beding yang batal, keputusan yang

batal atau wasiat yang batal. Pada perbuatan hukum dapat mengandung cacat yang

111

sifat cacat tersebut dapat berbeda-beda. Dengan adanya cacat yang berbeda

menimbulkan sanksi yang berbeda pula. Perbedaan utama mengenai kebatalan adalah

batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar).

Dalam suatu keadaan tertentu dengan adanya cacat tertentu dalam suatu

perjanjian maka diberi sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum tersebut oleh

undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum

tersebut. Perbuatan hukum yang mengandung cacat namun penentuan apakah

perbuatan hukum tersebut menjadi sah atau batal tergantung pada keinginan orang

tertentu menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.

Pengertian pembatalan ini mengandung dua macam kemungkinan alasan yaitu

pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dan pembatalan karena adanya

wanprestasi dari debitur. Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni :

1. Perjanjian harus bersifat timbal balik

2. Harus ada wanprestasi

3. Harus ada putusan hakim.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian mengenai

pembatalan yaitu “suatu proses, cara, perbuatan membatalkan, atau suatu pernyataan

batal”. Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat

untuk dapat dijadikan bukti bahwa ada suatu peristiwa dan ditandatangani.

Pembatalan akta Notaris dalam hal ini perjanjian jual beli dengan Putusan

Pengadilan Negeri dimulai dengan proses pemeriksaan perkara di Pengadilan yang

telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Ketua Majelis Hakim

112

yang ditunjuk dalam menangani perkara gugatan perdata pembatalan perjanjian jual

beli hak milik atas tanah akan menentukan hari dan jam perkara untuk diperiksa di

depan persidangan. Semua perkara persidangan ialah termasuk kekuasaan atau

wewenang hakim yang memutuskannya. Hakim serta pengadilan merupakan alat

perlengkapan dalam suatu negara hukum yang ditugaskan menetapkan hubungan

hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau

persengketaan.

Hak dan kewajiban hukum yang dilahirkan dari perbuatan hukum yang

disebut dalam akta Notaris, hanya mengikat pihak-pihak dalam akta itu, dan apabila

terjadi sengketa mengenai isi perjanjian, maka Notaris tidak terlibat dalam

pelaksanaan kewajiban dan dalam menuntut hak, karena Notaris berada diluar

perbuatan hukum pihak-pihak tersebut. Akta Notaris sebagai akta otentik yang

memiliki kekuatan bukti lengkap dan telah mencukupi batas minimal alat bukti yang

sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa hukum perdata dapat

mengalami degradasi kekuatan bukti dari kekuatan bukti lengkap menjadi permulaan

pembuktian dan dapat memiliki cacat yuridis yang menyebabkan kebatalan atau

ketidak absahannya. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan kewenangan

untuk menuangkan semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang dikehendaki oleh

para pihak atau pihak-pihak yang sengaja datang menghadap kepada Notaris untuk

mengkonstantir keterangan itu dalam suatu akta otentik dan agar akta yang dibuatnya

memiliki kekuatan bukti yang sempurna.

113

Seorang Notaris memiliki kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan yang

terkandung dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan peraturan

perundang-undangan lainnya. Menjadi sangat penting untuk seorang Notaris

mengetahui dan memahami syarat-syarat otentitas, keabsahan dan sebab-sebab

kebatalan suatu akta Notaris, sangat penting untuk menghindari secara preventif

adanya cacat yuridis dalam suatu akta yang dibuatnya yang dapat mengakibatkan

hilangnya otentitas hingga batalnya akta Notaris tersebut.

Suatu akta Notaris yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih

berfungsi sebagai akta dibawah tangan, apabila akta tersebut ditandatangani oleh para

pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan

tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak dapat dituntut,

sekalipun Notaris yang bersangkutan menjadi kehilangan nama baiknya. Berdasarkan

uraian diatas menurut hemat penulis dapat diketahui bahwa suatu akta yang disebut

sebagai akta otentik adalah alat bukti yang mengikat, dan alat bukti yang sempurna

dalam arti bahwa hal-hal yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dapat dianggap

benar oleh hakim sepanjang ketidakbenaran atas akta tersebut tidak dapat dibuktikan.

Adapun pembatalan perjanjian jual beli membawa akibat hukum sebagai

berikut:

1. Perjanjian berakhir dan sepanjang diperlukan kedua belah pihak melepaskan

diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata,

dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan

oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan

114

bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Pihak

Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada Pihak

Penjual. Pengembalian uang oleh Pihak Penjual kepada Pihak Pembeli

dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah

disepakati, misalnya 21 (dua puluh satu hari) hari setelah tanah dan bangunan

tersebut terjual kepada pihak lain.

2. Para pihak dapat dikenakan denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah

yang harus dibayar pembeli kepada penjual atau pembeli, untuk tiap-tiap hari

keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan sekaligus.

Tanggung jawab seseorang atas apa yang dibuatnya tentunya merupakan

kewajiban masing-masing individu tersebut. Akibat hukum dari putusan yang

dijatuhkan oleh pengadilan dalam hal ini Notaris tidak bertanggungjawab atas

kerugian yang diderita oleh pihak yang kalah dalam perkara ini, dan Notaris tidak

dapat dituntut atas kerugian biaya pembuatan akta yang telah dibuatnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, salah satu kasus

pembatalan PJB yang dibahas dalam tesis ini yaitu dengan menganalisa Putusan

Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps. tertanggal 13 Agustus 2007

dengan Penggungat yaitu pihak pembeli dalam hal ini RIZALDY DECIDERUS

WATRUTY, umur 39 Tahun, pekerjaan swasta, beralamat di Jalan Kerta Rahayu No.

57 Suwung, Denpasar, Bali, yang selanjutnya disebut PENGGUGAT. Melawan

penjual dalam hal ini yaitu : REINTA SORTARIA ARIA SITOMORANG, umur 56

115

Tahun, pekerjaan swasta, beralamat Banjar Seseh, Kelurahan Desa Cemagi,

Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

TENTANG DUDUKNYA PERKARA:

Menimbang:

1. Bahwa pada bulan April 2005, Penggugat bertemu dengan Tergugat dan

Tergugat menceritakan bahwa Tergugat mempunyai beberapa bidang tanah

seluas 2,8 Hektar yang terletak di Kecamatan Mengwi, Desa Munggu,

Kabupaten Badung dan Tergugat berniat untuk menjual tanah tersebut dengan

harga Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) per 100 m2.

2. Bahwa setelah Penggugat melihat lokasi tanah tersebut mempunyai prospek

yang bagus untuk membangun usaha villa, maka Penggugat berniat untuk

membeli tanah tersebut dan setelah mengadakan pertemuan dengan Tergugat

maka disepakati harga jual tanah tersebut sebesar Rp. 85.000.000,- (delapan

puluh lima juta rupiah) per 100 m2 dengan pembayaran secara bertahap selama

4 kali dalam waktu 6 bulan dengan total pembayaran sebesar Rp.

23.406.000.000,- (dua puluh tiga milyar empat ratus enam juta rupiah).

3. Bahwa pada tanggal 2 Mei 2005, Penggugat dan Tergugat melakukan Perikatan

Jual beli di Notaris Fransisca Theresa Nilawati, SH yang beralamat di Jalan

Patimura No. 7 Denpasar terhadap tanah-tanah milik Tergugat yaitu:

a. Tanah Hak Milik No. 985/Desa Buduk seluas 5100 m2.

b. Tanah Hak Milik No. 430/Desa Buduk, seluas 1.900 m2.

c. Tanah Hak MilikNo. 431/Desa Buduk, seluas 2.050 m2

116

d. Tanah Hak MilikNo. 464/Desa Buduk, seluas 5.600 m2

e. Tanah Hak MilikNo. 465/Desa Buduk, seluas 1.450 m2

f. Tanah Hak Milik No. 495/Desa Buduk, seluas 1350 m2

g. Tanah Hak Milik No. 496/Desa Buduk, seluas 2650 m2

h. Tanah Hak Milik No. 497/Desa Buduk, seluas 2.650 m2

i. Tanah Hak MilikNo. 498/Desa Buduk, seluas 4.600 m2

Dan pada tanggal seperti tersebut diatas juga telah dilakukan pembayaran uang

muka sebesar Rp. 1.365.000.000,- (satu milyar tiga ratus enam puluh lima juta

rupiah);

4. Bahwa setelah ikatan jual beli yang dilakukan di Notaris pada tanggal 2 Mei

2005, Penggugat melakukan pembayaran tahap pertama pada tanggal 8 Juni

2005 sebesar Rp. 9.262.500.000,- (sembilan milyar dua ratus enam puluh dua

juta lima ratus ribu rupiah);

5. Bahwa pada tanggal 30 Agustus 2005, Penggugat melakukan pembayaran tahap

kedua sebesar Rp. 4.631.250.000,- (empat milyar enam ratus tiga puluh satu

juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian pada tanggal 19 Oktober

2005, Penggugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 2. 431.250.000 (dua

milyar empat ratus tiga puluh satu ribu dua ratus lima puluh ribu rupiah),

kemudian pada tanggal 30 Oktober 2005, Penggugat melakukan pembayaran

sebesar Rp. 2.200.000.000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah), selanjutnya pada

tanggal 21 Desember 2005 kembali Penggugat melakukan pembayaran sebesar

Rp. 1.852.500.000,- (satu milyar delapan ratus lima puluh dua juta lima ratus

117

ribu rupiah). Bahwa pada tanggal 2 Februari 2006, Penggugat melakukan

pembayaran sebesar Rp. 3.051.476.025,- (tiga milyar lima puluh satu juta

empatratus tujuh puluh enam ribu dua puluh lima rupiah). Dan terakhir

Penggugat melakukan pembayaran pada tanggal 5 Mei 2006 sebesar Rp.

2.628.112.500,- (dua milyar enam ratus dua puluh delapan juta seratus dua belas

ribu lima ratus rupiah). Sehingga total pembayaran yang telah dilakukan

Penggugat adalah sebesar Rp. 27.422.088.525 (dua puluh tujuh milyar empat

ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima

rupiah).

6. Bahwa keterlambatan yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat seperti

yang diatur dalam Perjanjian Jual beli tidak sesuai, namun hal tersebut telah

disetujui dan disepakati oleh Tergugat terbukti dengan diterimanya pembayaran

oleh Tergugat.

7. Bahwa terhadap keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat,

Penggugat mendapat pinalty terhadap keterlambatan sebesar Rp.

4.016.088.525,- (Empat milyar enam belas juta delapan puluh delapan ribu lima

ratus dua puluh lima rupiah).

8. Bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan pelunasan pembayaran

seharusnya tergugat menyerahkan sertifikat tanah-tanah tersebut diatas kepada

Penggugat, namun sampai saat ini sertifikat-sertifikat tanah tersebut belum

diserahkan kepada Penggugat, yang mana Sertifikat tersebut masih di Notaris

Francisca Theresa Nilawati, SH.,

118

9. Bahwa penggugat sudah berusaha mencari Tergugat sesuai dengan alamat yang

tercantum di Perjanjian Jual beli, namun sampai saat ini keberadaan Tergugat

belum diketahui

10. Bahwa penggugat sudah berusaha untuk menghubungi Tergugat, namun sampai

sekarang belum memperoleh informasi dimana keberadaan tergugat;

11. Bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan pembayaran lunas, maka sudah

sepantasnya sertifikat tanah-tanah tersebut diatas diserahkan oleh Tergugat

kepada Penggugat melalui Notaris Francisca dan juga dibuatkan akta Jual

belinya.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Penggugat memohon kepada Ketua

Pengadilan Negeri Denpasar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi

sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan hukum bahwa Perjanjian Jual beli antara Penggugat dan Tergugat

yang dilakukan di Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH adalah lunas dan

sah;

3. Menyatakan hukum agar Tergugat menyerahkan Sertifikat Tanah Hak Milik

yaitu: Tanah Hak Milik No. 985 seluas 5100 m2, Tanah Hak Milik No. 430

seluas 1900 m2, Tanah Hak Milik No. 431 seluas 2050 m2, Tanah Hak Milik

No. 464 seluas 5600 m2, Tanah Hak Milik No. 465 seluas 1450 m2, Tanah

Hak Milik No. 495 seluas 3500 m2, Tanah Hak Milik No. 496 seluas 1350 m2,

119

Tanah Hak Milik No. 497 seluas 2650 m2, Tanah Hak Milik No. 498 seluas

4600 m2 kepada Penggugat melalui Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH;

4. Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (Dwangsom) kepada

Penggugat sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap hari

keterlambatannya menyerahkan sertifikat-sertifikat diatas;

5. Menyatakan hukum bahwa putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut dapat

dilaksanakan terlebih dahulu meskipun Tergugat mengajukan Verset, Banding,

Kasasi ataupun mengajukan Peninjauan Kembali;

6. Menghukum Tergugat untuk membayar semua biaya perkara yang timbul

dalam perkara ini;

Menimbang, bahwa pada sidang yang telah ditetapkan pihak Penggugat

datang menghadap kuasa hukumnya dipersidangan, sedangkan pihak Tergugat tidak

pernah hadir dipersidangan padahal sudah diumumkan melalui Sekretaris Kabupaten

Badung sesuai surat pengumuman panggilan masing-masing tanggal 26 Januari 2007,

tanggal 6 Februari 2007 dan tanggal 22 Februari 2007, Nomor :

05/Pdt.G/2007/PN.Dps.

Menimbang bahwa oleh karena Tergugat telah dipanggil secara patut tetapi

tidak pernah hadir dipersidangan tanpa alasan yang sah, sehingga Tergugat dianggap

tidak menggunakan hak nya untuk itu, maka sidang tetap dilanjutkan tanpa hadirnya

pihak Tergugat.

120

Menimbang bahwa selanjutnya pemeriksaan dimulai dengan pembacaan surat

gugatan Penggugat, yang atas pertanyaan Hakim Ketua, Kuasa Hukum Penggugat

menyatakan tetap pada gugatannya tersebut.

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA:

Atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan setelah memeriksa bukti-

bukti dan saksi-saksi dalam persidangan, maka :

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah dipertimbangkan

tersebut diatas maka telah terbukti fakta-fakta hukum sebagaimana yang didalilkan

Penggugat dalam gugatannya sehingga dapat menguatkan dalil-dalil gugatan

Penggugat dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gugatan Penggugat beralasan

hukum sehingga gugatan Penggugat dalam petitum No. 1 dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa mengenai gugatan Penggugat dalam petitum No. 2 oleh

karena dalam petitumnya Penggugat juga mohon putusan seadil-adilnya maka

petitum No. 2 tersebut dikabulkan dengan perbaikan redaksi seperlunya sebagaimana

termuat dalam amar putusan ini;

Menimbang, bahwa mengenai petitum No. 4 tentang Dwangsom Majelis akan

mempertimbangkan sebagai berikut ini :

- Bahwa sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat bahwa sertifikat-

sertifikat tanah sengketa sekarang ini ada di simpan di Notaris T. Francisca

Teresa Nilawati, SH., yaitu di Notaris ditempat dibuatnya Perjanjian Jual beli

antara Penggugat dan Tergugat dan begitu pula sesuai dengan bukti yaitu

Surat Keterangan dari Notaris T. Francisca Teresa Nilawati, SH., yang

121

menerangkan bahwa benar asli dari Sertifikat tersebut masih tersimpan di

tempat Notaris tersebut;

- Bahwa oleh karena itu gugatan Penggugat dalam petitum No. 4 tersebut tidak

relevan untuk dikabulkan sehingga harus dinyatakan ditolak;

- Menimbang bahwa mengenai petitum gugatan No. 5 yaitu agar putusan ini

dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sesuai dengan fakta-fakta hukum yang

terungkap dalam persidangan dan berdasarkan ketentuan Pasal 180 HIR/191

Rbg begitu pula untuk prinsip kehati-hatian, maka Majelis memandang

tuntutan agar putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu tidak beralasan

untuk dikabulkan

- Bahwa oleh karena itu gugatan penggugat dalam petitum No. 5 dinyatakan

ditolak.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas

maka gugatan penggugat dikabulkan sebagain, sehingga biaya perkara harus

dibebankan kepada Tergugat;

Mengingat dan memperhatikan segala ketentuan dan peraturan Per undang-

undangan yang bersangkutan:

MENGADILI:

1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut, tidak hadir tanpa alasan

yang sah;

2. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dengan Verstek;

122

3. Menyatakan hukum bahwa Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 15 Mei 2005

antara Penggugat dan Tergugat yang dilakukan di Notaris Francisca Teresa

Nilawati, SH adalah LUNAS DAN SAH;

4. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang menguasai Sertifikat-Sertifikat

tanah hak milik yaitu: Tanah Hak Milik No. 985 seluas 5100 m2, Tanah Hak

Milik No. 430 seluas 1900 m2, Tanah Hak Milik No. 431 seluas 2050 m2,

Tanah Hak Milik No. 464 seluas 5600 m2, Tanah Hak Milik No. 465 seluas

1450 m2, Tanah Hak Milik No. 495 seluas 3500 m2, Tanah Hak Milik No.

496 seluas 1350 m2, Tanah Hak Milik No. 497 seluas 2650 m2, Tanah Hak

Milik No. 498 seluas 4600 m2, untuk menyerahkan sertifikat-sertifikat

tersebut kepada Penggugat;

5. Menghukum pula kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 289.000,- (dua ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah);

6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

Berdasarkan uraian mengenai Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.

05/Pdt.G/2007/PN.Dps tertanggal 13 Agustus 2007 tersebut dapat diketahui bahwa

pembeli dalam hal ini Rizaldy Deciderus Watruty menuntut agar segera Perjanjian

Perjanjian Jual beli yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak Penjual yaitu Reinta

Sortaria Situmorang tersebut dibuatkan Akta Jual beli karena Rizaldy menyatakan

telah membayar Lunas dan Sah atas tanah-tanah yang diperjual belikan tersebut.

Putusan pengadilan ini dikabulkan sebagian dengan verstek. Atas putusan pengadilan

ini, maka pihak penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang mengajukan perlawanan

123

dengan menggugat pihak Rizaldy Deciderus Watruty sebagaimana yang diputuskan

oleh Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps

tertanggal 9 Agustus 2010, dengan Reinta Sortaria Situmorang sebagai Pelawan dan

Rizaldy Deciderus Watruty sebagai Terlawan. Dalam putusan ini dapat diketahui

bahwa :

TENTANG DUDUKNYA PERKARA:

Menimbang, bahwa Pelawan sebagai dasar perlawanannya itu telah

mengemukakan sebagai berikut:

- Bahwa amar putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar Nomor

05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agutus 2007 diputus dengan tidak

hadirnya Pelawan (Tergugat Asal).

- Bahwa berdasarkan Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) terdapat 3

(tiga) klasifikasi tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (Verzet)

terhadap putusan verstek, yaitu :

1) Dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan;

2) Sampai hari kedelapan sesudah peringatan (Aanmaning);

3) Sampai hari kedelapan sesudah dijalankannya eksekusi;

Lebih lengkap Pasal 153 ayat 2 Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) berbunyi sebagai

berikut:

“(2) jika pemberitahuan putusan itu telah diterima oleh orang yang dikalahkan

itu sendiri, maka perlawanan dapat dilakukan dengan tenggang waktu empat

belas hari setelah pemberitahuan itu. Bila surat keputusan itu disampaikan

124

tidak kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat

diajukan sampai dengan hari kedelapan setelah diperingatkan menurut Pasal

207, atau bila ia tidak datang menghadap untuk diberitahu meskipun telah

dipanggil dengan sepatutnya, terhitung sampai dengan hari kedelapan setelah

perintah tertulis seperti tersebut dalam Pasal 208 dilaksanakan.”

- Bahwa pelawan (Tergugat Asal) tidak pernah menerima dan mengetahui baik

tentang adanya Surat Penggilan Sidang dalam pemeriksaan perkara maupun

menerima pemberitahuan putusan secara langsung dari Pengadilan Negeri

Denpasar karena Pelawan (Tergugat Asal) telah tidak tinggal tetap pada

alamat di Bali sebagaimana disebut dalam gugatan dan putusan akan tetapi

bertempat tinggal di Tangerang, Banten, sehingga berdasarkan Pasal 153 ayat

(2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) tersebut Pelawan (Tergugat Asal) masih

memiliki hak hukum untuk mengajukan keberatan berupa perlawanan (verzet)

terhadap putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut;

- Bahwa pelawan (Tergugat asal) telah menghadiri sidang Tegoran/Aanmaning

pada tanggal 26 November 2009 di Pengadilan Negeri Denpasar, oleh

karenanya perlawanan (verset) ini diajukan masih dalam tenggang waktu 8

(delapan) hari sejak peringatan (Aanmaning) diberikan sebagaimana

disyaratkan dalam Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) sehingga

perlawanan (verzet) ini berdasar hukum dan patut untuk diterima.

- Bahwa perlawanan (verzet) ini diajukan berdasarkan alasan-alasan hukum

sebagai berikut:

125

I. TANGGAPAN / KEBERATAN TERHADAP GUGATAN PENGGUGAT

1. Pelawan (Tergugat Asal) menolak tegas seluruh dalil-dalil gugatan Terlawan

(Penggugat Asal) terkecuali yang secara tegas diakui kebenarannya.

2. Bahwa benar antara Pelawan (Tergugat Asal) dengan Terlawan (Penggugat

Asal) telah menandatangani Perjanjian Jual beli atas 9 (sembilan) bidang

tanah sebagaimana diterangkan dalam Sertifikat-Sertifikat Hak Milik sesuai

dengan Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor 5 yang dibuat oleh dan

dihadapan T. Francisca Theresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar

sebagaimana disebut Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 3 posita

gugatannya.

3. Bahwa terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dan dengan sengaja

menyembunyikan fakta tentang harga jual beli atas tanah tersebut karena

khusus mengenai harga jual beli, Terlawan (Penggugat Asal) dan Pelawan

(Tergugat Asal) telah membuat kesepakatan lain yang secara nyata dipatuhi

yaitu Surat Perjanjian Tertanggal 30 Mei 2005 yang diwarmeking/didaftarkan

pada Evi Susanti, SH., Notaris di Kabupaten Badung di Kuta;

4. Bahwa harga jual beli berdasarkan Perjanjian Jual beli Nomor 5 tanggal 2 Mei

2005, sebagaimana yang didalilkan dan dijadikan dasar gugatan Terlawan

(Penggugat Asal) adalah sebesar Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua Milyar

enam juta rupiah) sedangkan harga sebenarnya disepakati sesuai Surat

Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga

puluh enam Milyar enam ratus enam puluh juta rupiah).

126

5. Bahwa yang secara nyata dipatuhi oleh Terlawan (Penggugat Asal) dan

Pelawan (Tergugat Asal) dalam melakukan pembayaran adalah Surat

Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 dimana Terlawan (Penggugat Asal) telah

melakukan pembayaran hingga Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar

tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah)

sehingga tidak benar dan merupakan dalil penjebakan pernyataan Terlawan

(Penggugat Asal) bahwa dengan pembayaran sebesar Rp. 27.422.088.525,-

(dua puluh tujuh milyar empat ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan

ribu lima ratus dua puluh lima rupiah) berikut pinalty sebagaimana disebut

pada poin 5 dan 7 posita gugatannya jual beli telah lunas.

6. Bahwa oleh karena harga jual beli adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga

puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah) dimana Terlawan

(Penggugat Asal) baru membayar sebesar Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh

tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu

rupiah) sehingga kewajiban masih tersisa sebesar Rp. 3.316.716.000,- (tiga

milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas rupiah) belum

termasuk pinalty 5% per bulan yang sampai gugatan Terlawan (Penggugat

Asal) diperiksa dan diputus pengadilan hingga kemudian Perjanjian Jual beli

dibatalkan sisa pembayaran tersebut belum dilunasi dan penalty atas

keterlambatan sama sekali tidak pernah dibayar maka secara hukum

Perjanjian Jual beli hak milik atas tanah belum bisa ditandatangani karena

127

Surat Kuasa Menjual yang diterima Terlawan (Penggugat Asal) belum dapat

diberlakukan sertifikat tidak berdasar hukum pula untuk dilakukan.

7. Bahwa dengan jumlah pembayaran yang telah dilakukan Terlawan

(Penggugat Asal) hingga Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga

ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah) maka

terbukti kesepakatan Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor 5 telah

tidak berlaku dan dengan demikian pula nyata dan terbukti bahwa Terlawan

(Penggugat Asal) telah dengan sengaja menyembunyikan fakta tentang Surat

Perjanjian tanggal 30 Mei 2009 tentang kesepakatan harga yang secara nyata

dipatuhi oleh kedua belah pihak.

8. Bahwa mengenai belum lunasnya pembayaran telah pula diakui oleh

Terlawan (Penggugat Asal) dengan menyatakan tidak mampu membayar yang

kemudian dijadikan alasan untuk membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5

tanggal 2 Mei 2005 jauh setelah putusan dalam perkara ini dijatuhkan

Pengadilan Negeri Denpasar sebagaimana ternyata dalam Akta Pembatalan

Nomor : 24 (dua puluh empat) tanggal 13 Februari 2008 yang dibuat oleh dan

dihadapan T. Francisca Teresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar.

9. Bahwa oleh karena harga jual beli atas tanah berdasarkan Surat Perjanjian

tanggal 30 Mei 2005 dan sebagaimana juga terbaca dalam poin 11 dokumen

Perjanjian Memiliki Properti Dengan Kepercayaan dan Jaminan Mengganti

Kerugian antara Terlawan (Penggugat Asal) dengan Nicholas Jhon Hyam

yang dilampirkan dalam permohonan eksekusi adalah sebesar Rp.

128

36.660.000.000,- tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah)

yang belum lunas pembayarannya maka tidak benar dan haruslah ditolak dalil

posita Terlawan (Penggugat Asal) mendapat pinalty pembayaran atas

keterlambatan sebesar Rp. 4.016.088.525 (empat milyar enam belas juta

delapan puluh delapan ribu lima ratus dua uluh lima rupiah).

10. Bahwa oleh karena pembayaran harga jual atas tanah ternyata belum lunas

maka tidak beralasan hukum dan karenanya haruslah ditolak dalil Terlawan

(Penggugat Asal) pada poin 8 posita jo poin 2 petitum yang mendalilkan dan

meminta pernyataan lunas dan sah Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei

2005 yang selanjutnya meminta penyerahan sertifikat dan pembuat Akta Jual

beli sebagaimana disebut pada poin 11 posita jo poin 3 petitum.

11. Bahwa sekiranya pembayaran dianggap telah lunas – quod non – maka tidak

seharusnya Terlawan (Penggugat Asal) mengajukan gugatan sebagaimana

dalam perkara ini akan tetapi cukup melaksanakan saja Surat Kuasa Khusus

Menjual yang telah diberikan kepadanya sebagaimana yang disebutkan dalam

Pasal 4 dan 5 Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005.

12. Bahwa dengan tidak dilaksanakannya Surat Kuasa Khusus Menjual yang telah

diberikan kepada Terlawan (Penggugat Asal) maka cukup membuktikan

bahwa jual beli atas tanah belum lunas pembayarannya sehingga patut

dipertanyakan itikad Terlawan (Penggugat Asal) dalam mengajukan

gugatannya.

129

13. Bahwa disamping itu Terlawan (Penggugat Asal) juga telah mengingkari

sendiri dalil gugatannya dengan telah melakukan pembatalan terhadap

Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor : 5, sebagaimana ternyata

dengan Akta Pembatalan Nomor : 24 (dua puluh empat) tanggal 13 Februari

2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa Nilawati, SH.,

Notaris di Denpasar, sehingga secara hukum telah terjadi kontradiksi atau

saling bertentangan antara dalil gugatan dengan kenyataan yang dilakukan.

14. Bahwa satu-satunya alasan Terlawan (Penggugat Asal) untuk melakukan

pembatalan terhadap Perjanjian Perikatan Jual beli tersebut adalah karena

Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak sanggup untuk melunasi harga

pembelian sesuai harga yang disepakati berdasarkan Surat Perjanjian

tertanggal 30 Agustus 2005 dan pembatalan mana yang dibenarkan

berdasarkan Pasal 1 Perjanjian Jual beli Nomor 5 tanggal 2 Mei 2005,

sehingga dengan demikian jelas terbukti bahwa Terlawan (Penggugat Asal)

telah mengakui belum melunasi pembayaran.

15. Bahwa petitum gugatan Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 4 dan 5 tentang

uang paksa (dwangsom) dan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu

haruslah ditolak oleh karena disamping tidak berdasar hukum juga karena

tuntutan tersebut tidak didukung oleh dasar dan alasan hukum dalam uraian

posita.

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, terbukti Terlawan (Penggugat Asal) telah

tidak terbuka dalam mengajukan fakta yang sebenarnya dalam gugatannya dimana

130

dengan sengaja telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang bukti yang

menunjukkan bahwa harga jual beli atas tanah belum lunas, juga adanya kontradiksi

atau saling bertentangan antara dalil gugatan dengan kenyataan yang dilakukan

dimana Perjanjian Jual beli yang dijadikan dasar gugatan telah dibatalkan sendiri oleh

Terlawan (Penggugat Asal), sehingga gugatan Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak

berdasar hukum oleh karenanya sepatutnya gugatan Terlawan (Penggugat Asal)

ditolak untuk seluruhnya.

II. KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN

1. Bahwa Pelawan (Tergugat Asal) sangat keberatan terhadap putusan verstek

Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps tanggal 13 Agutus

2007, atas dasar dan alasan hukum sebagai berikut;

2. Bahwa oleh karena putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No.

05/Pdt.G/2007/PN.Dps tanggal 13 Agustus 2007 didasarkan kepada

gugatan yang tidak berdasar hukum maka secara hukum putusan atas

gugatan tersebut otomatis haruslah dibatalkan;

3. Bahwa disamping itu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar

yang mengadili dan memutus perkara telah memberikan putusan melebihi

yang dimohonkan oleh Penggugat oleh karenanya bertentangan dengan

Pasal 189 (3) Rbg (Pasal 178 ayat (3) HIR);

4. Bahwa Majelis Hakim telah meresahkan bukti yang tidak ada kaitannya

dengan perkara sehingga putusan tersebut tidak mengikat dan tidak dapat

dilaksanakan;

131

III. EKSEKUSI PUTUSAN TIDAK BERDASAR HUKUM UNTUK DILANJUTKAN

Bahwa dengan adanya Perlawanan (verzet) ini maka sesuai hukum acara

perdata pemeriksaan atas perkara akan dilakukan kembali secara keseluruhan

sehingga eksekusi terhadap putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No.

05/Pdt.G/2007/PN.DPs., tanggal 13 Agutus 2007 tidak mempunyai dasar hukum

untuk dilanjutkan;

Berdasarkan hal-hal tersebut, mohon dengan hormat Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Denpasar yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai

berikut:

1. Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar;

2. Mengabulkan Perlawanan (Verzet) Pelawan untuk seluruhnya;

3. Menolak gugatan Terlawan (Penggugat Asal) untuk seluruhnya;

4. Membatalkan Putusan Verstek Pengadilan Negeri Denpasar Nomor ;

05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agutus 2007 sehingga eksekusi atas putusan

tersebut tidak dapat dilanjutkan;

5. Menghukum Terlawan (Penggugat Asal) untuk membayar biaya yang timbul

dalam perkara ini;

Atau:

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya

(ex aequo et bono).

Menimbang bahwa Majelis Hakim telah memberikan kesempatan kepada

kedua belah pihak untuk berdamai, dengan menunjuk : H. Puji Harian, SH., M.Hum.,

132

sebagai mediator, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 akan

tetapi tidak berhasil, oleh karena itu pemeriksaan terhadap perkara ini dilanjutkan

dengan pembacaan perlawanan,-- dst

TENTANG HUKUMNYA:

Menimbang bahwa maksud dan tujuan perlawanan ini adalah seperti terurai

tersebut terdahulu;

Menimbang, bahwa perlawanan ini dimajukan dalam tenggang waktu dan

menurut Undang-undang, sehingga dengan demikian dapat diterima;

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perlawanan ini agar gugatan

Penggugat Asal (Terlawan) ditolak karena:

1. Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dengan sengaja telah

menyembunyikan tentang fakta harga jual beli atas 9 bidang tanah tersebut

yang secara nyata dipatuhi oleh kedua belah pihak yaitu Surat Perjanjian

tanggal 30 Mei 2005 yang telah diwarmeking/didaftarkan pada Evi Susanti

Panjaitan, SH., Notaris di Kabupaten Badung;

2. Terlawan (Penggugat Asal) mendalilkan dalam gugatannya jual beli seharga

Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua milyar enam juta rupiah), berdasarkan

Perjanjian Jual beli tanggal 5 Mei 2005 sedangkan harga yang sebenarnya

disepakati berdasarkan Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 adalah sebesar

Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta

rupiah);

133

3. Terlawan (Penggugat Asal) telah secara nyata mematuhi perjanjian tanggal

30 Mei 2005, dan telah melakukan pembayaran sebanyak Rp.

33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua

ratus delapan puluh empat ribu rupiah), sehingga tidak benar Terlawan telah

melakukan pembayaran Rp. 27.422.088.525,- (dua puluh tujuh milyar empat

ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh

lima rupiah);

4. Karena Terlawan (Penggugat Asal) baru melakukan pembayaran sebesar

Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga

ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah),

sedangkan harga jual beli tanah Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam

milyar enam ratus enam puluh juta rupiah), sehingga Terlawan masih

mempunyai kewajiban yang belum terbayar sebesar Rp. 3.316.716.000,-

(Tiga milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas ribu rupiah),

belum termasuk pinalty atas keterlambatan pembayaran sebesar 5 % per

bulan yang belum dibayar sampai sekarang, sehingga Akta Jual beli belum

bisa ditandatangani dan surat kuasa menjual yang diterima Terlawan

(Penggugat Asal) belum dapat dilakukan, sehingga penyerahan sertifikat

belum bisa dilaksanakan;

5. Belum lunasnya pembayaran tersebut diakui oleh Terlawan dengan

menyatakan tidak mampu membayar dan kemudian dijadikan alasan untuk

membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005, jauh setelah

134

putusan dalam perkara ini dikabulkan Pengadilan Negeri Denpasar

sebagaimana ternyata dengan akta Pembatalan No. 24 tanggal 13 Februari

2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa, SH., Notaris di

Denpasar.

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil perlawananya, Pelawan

(Tergugat Asal) telah mengajukan bukti-bukti surat, kedua belah pihak tidak ada

mengajukan saksi-saksi.

Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pelawan

tersebut, Majelis mempertimbangkan sebagai berikut:

- Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perlawanan Pelawan adalah bahwa

tidak benar harga jual beli 9 (sembilan) bidang tanah antara Pelawan dengan

Terlawan itu seharga Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua milyar enam juta

rupiah sebagaimana perjanjian jual beli tanggal 2 Mei 2005 No. 5, akan tetapi

yang benar adalah seharga Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar

enam ratus enam puluh juta rupiah) sebagaimana perjanjian tanggal 30 Mei

2005 dan Terlawan telah membayar sejumlahRp. 33.343.284.000,- (tiga puluh

tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus

delapan puluh empat ribu rupiah), sehingga dengan demikian Terlawan masih

mempunyai kewajiban sebesar Rp. 3.316.716.000,- (Tiga milyar tiga ratus

enam belas juta tujuh ratus enam belas ribu rupiah), karena Terlawan tidak

mampu membayar lalu kemudian Terlawan membatalkan Perjanjian Jual beli

No. 5 tanggal 2 Mei 2005 tersebut, jauh setelah Pengadilan Negeri Denpasar

135

menjatuhkan putusan verstek, pembatalan mana dilakukan dihadapan Notaris

T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar Bali.

- Menimbang, bahwa karena Pelawan (Tergugat Asal) telah menyangkal

gugatan Terlawan (Penggugat Asal) maka berdasarkan Pasal 283 Rbg kepada

Terlawan (Penggugat Asal) dibebani untuk membuktikan dalil-dalilnya.

- Menimbang, bahwa yang perlu dibuktikan oleh Terlawan (Penggugat Asal)

adalah apakah benar antara Terlawan dengan Pelawan telah terjadi perjanjian

jual beli tanah dan Terlawan telah membayar lunas kepada Pelawan.

- Menimbang…, dst

Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut terbuktilah bahwa Terlawan

(Penggugat Asal) tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, dan Pelawan (Tergugat

Asal) telah dapat membuktikan dalil gugatannya, sehingga dengan demikian

perlawanan Pelawan (Tergugat Asal) adalah tepat dan beralasan.

Menimbang bahwa Pelawan telah dapat membuktikan dalil perlawanannya,

maka pelawan (Tergugat Asal) adalah Pelawan yang benar, sementara itu Terlawan

(Peenggugat Asal) karena tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, dimana

Terlawan (Penggugat Asal) belum melunasi harga atas 9 bidang tanah, serta telah

membatalkan perjanjian jual beli tersebut, maka putusan Verstek Pengadilan Negeri

Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agustus 2007 haruslah dibatalkan

serta gugatan Terlawan (Penggugat Asal) haruslah dinyatakan ditolak.

136

Menimbang, bahwa karena Terlawan (Penggugat Asal) adalah pihak yang

kalah, maka terhadap biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini haruslah dibebankan

kepada Terlawan (Penggugat Asal).

Mengingat Pasal 153 ayat (2) RBg, serta ketentuan-ketentuan hukum lainnya

yang berkaitan.

MENGADILI

1. Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar;

2. Mengabulkan perlawanan Pelawan untuk seluruhnya;

3. Menolak gugatan Terlawan (Penggugat Asal) untuk seluruhnya;

4. Membatalkan Putusan Verstek Pengadilan Negeri Denpasar No.

05/Pdt.G/2007/PN.Dps, tanggal 13 Agustus 2007;

5. Menghukum Terlawan (Penggugat Asal) untuk membayar biaya perkara ini

sebesar Rp. 466.000,- (empat ratus enam puluh enam ribu rupiah).

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Denpasar pada hari Selasa Tanggal 03 Agustus 2010.

Berdasarkan paparan kasus diatas dapat diketahui bahwa dalam hal ini

Rizaldy Deciderus Watruty yang pada awalnya telah menuntut untuk penyerahan ke 9

sertifikat atas tanah yang telah dilakukan perjanjian jual beli karena mengklaim telah

membayar lunas atas 9 bidang tanah tersebut, dan Pengadilan Negeri memutus

Verstek dengan Putusan No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps bahwa Perjanjian Jual beli

tersebut telah lunas dan sah dibayar oleh pihak Pembeli. Namun atas putusan verstek

tersebut pihak Penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang mengajukan Verzet, yang

137

dalam Verzet ini diketahui bahwa pihak pembeli yaitu Rizaldy Deciderus Watruty

telah membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005 tersebut, jauh

setelah Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan putusan verstek, pembatalan mana

dilakukan dihadapan Notaris T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar Bali

tersebut dengan alasan tidak sanggup lagi untuk membayar atas sisa pelusanasan dari

harga yang telah disepakati sebelumnya bersama pihak penjual. Dalam putusan

Verzet ini pihak Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan perlawanan dari pihak

penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang dan membatalkan putusan Pengadilan

Negeri Putusan No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps. sehingga dalam kasus ini diketahui

bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dilakukan oleh salah satu pihak, dalam

hal ini yang mengajukan pembatalan adalah pihak pembeli dengan alasan tidak

sanggup lagi untuk melunasi pembayaran atas sembilan bidang tanah tersebut.

Mengenai ajaran atas kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum, baik

perbuatan hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak. Dengan menyatakan

suatu perbuatan hukum batal, berarti karena adanya cacat hukum mengakibatkan

tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku. Perbedaan utama mengenai

kebatalan adalah batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Pada keadaan tertentu

dengan adanya cacat tertentu diberi sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum

tersebut oleh undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya

perbuatan hukum tersebut. Dengan batalnya suatu perbuatan hukum, maka perbuatan

hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Pembatalan ini dapat berakibat

138

terhadap siapapun, dapat pula hanya berlaku terhadap orang tertentu, serta dapat pula

hanya batal sebagian.

4.2 Perlindungan Hukum Yang Dapat Diberikan Terhadap Pembatalan

Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah

Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak

yang membuatnya maka perjanjian jual beli dibuat dalam suatu akta otentik yang

dibuat oleh dan dihadapan Notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna. Notaris dalam membuat suatu akta tidak berpihak dan menjaga

kepentingan para pihak secara obyektif. Para pihak yang membuat perjanjian jual beli

akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan mereka

perjanjikan.

Keotentikkan dari suatu akta Notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa :

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.” Sehingga

akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta

otentik bukan karena undang-undang menyatakan demikian namun karena akta

tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum sesuai dengan yang termuat dalam

Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “suatu akta otentik ialah suatu

akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau

dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta

dibuatnya.”

139

Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata maka dapat diketahui bahwa

terdapat 2 macam bentuk akta yaitu akta yang dibuat oleh Notaris dan akta yang

dibuat dihadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta relaas atau

menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang

dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sebagai pejabat umum.

Akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi, karena perbuatan

yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau

diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk

keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan Notaris dan memberikan

keterangan itu atau melakukan perbuatan itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau

perbuatan itu di konstatir oleh Notaris di dalam suatu akta otentik. Akta ini disebut

pula akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris.

Perbedaan antara kedua akta diatas dapat dilihat dari bentuk akta tersebut.

Dalam akta partij, dengan diancam akan kehilangan otentitasnya atau dikenakan

denda, harus ditandatangani oleh para pihak atau para pihak yang bersangkutan,

misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain

sebagainya, keterangan tersebut harus dicantumkan oleh Notaris dalam akta dan

keterangan tersebut dalam hal ini berlaku sebagai pengganti tanda tangan. Dapat

diketahui bahwa dalam akta partij penandatanganan oleh para pihak merupakan suatu

keharusan. Untuk akta relaas tidak menjadi permasalahan apakah para pihak yang

hadir menolak atau menandatangai akta tersebut. Seperti contohnya dalam pembuatan

berita acara rapat para pemegang saham dalam PT orang-orang yang hadir telah

140

meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup Notaris

menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham yang hadir telah

meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta dan dalam hal ini akta itu tetap

merupakan akta otentik.

Dalam suatu akta partij sebagai akta otentik memberikan jaminan kepastian

hukum terhadap para pihak termuat dalam bagian dari akta yang terdiri dari

1. Tanggal akta

2. Tanda tangan-tanda tangan yang tercantum dalam akta tersebut

3. Identitas dari para pihak yang hadir (comparanten)

4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta tersebut adalah sesuai dengan apa

yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan

dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan tersebut

hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.

Pada umumnya suatu akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya

sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik, dalam suatu akta terdiri

dari tiga bagian yaitu:

a. Komparisi

Dalam komparisi memuat mengenai hari dan tanggal akta, nama Notaris, dan

tempat kedudukannya, identitas para penghadap, beserta keterangannya

bertidak untuk diri sendiri atau sebagai wakil/kuasa dari orang lain, yang

harus disebutkan juga jabatan dan tempat tinggalnya beserta atas kekuatan

apa ia bertindak sebagai wakil atau kuasa.

141

b. Badan Akta

Dalam badan akta memuat mengenai isi dari apa yang ditetapkan sebagai

ketentuan-ketentuan yang bersifat otentik, misalnya perjanjian, ketentuan-

ketentuan mengenai kehendak terakhir (wasiat) dan lain-lain.

c. Penutup

Bagian penutup akta merupakan suatu bentuk yang tetap, yang memuat pula

tempat dimana akta itu dibuat dan nama-nama, jabatan serta tempat tinggal

saksi-saksi instrumenter. Selanjutnya pada bagian penutup ini juga

disebutkan bahwa akta itu dibacakan kepada para penghadap dan saksi-saksi,

dan sesudah itu ditandatangani oleh para penghadap, para saksi dan Notaris.

Tentang kekuatan pembuktian dari akta Notaris dapat dikatakan bahwa tiap-

tiap akta Notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut:

1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht), ialah syarat-syarat

formal yang diperlukan agar supaya akta Notaris dapat berlaku sebagai akta

otentik.

2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa

suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris

atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap.

3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian

bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah

terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan

berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya(tegenbenvijs).

142

Mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada para pihak yang

terikat dalam suatu akta, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perlindungan

hukum tersebut. Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu perlindungan

yang berarti hal atau perbuatan melindungi. Dan hukum yang berarti suatu aturan

untuk menjaga kepentingan semua pihak. Pendapat mengenai perlindungan hukum

juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa perlindungan

hukum adalah suatu upaya perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum,

tentang apa-apa yang dapat dilakukannya untuk mempertahankan atau melindungi

kepentingan dan hak subjek hukum tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat

diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala kegiatan atau perbuatan yang

dapat memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak dan memberikan kepastian

hukum terhadap semua subjek hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli maka perlindungan hukum yang

dapat diberikan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi maka tergantung

pada kedudukan dari perjanjian jual beli yang telah dibuat sebelumnya. Adapun

wanprestasi atau keadaan dimana salah satu pihak ingkar janji atau tidak memenuhi

perikatan, dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Debitor sama sekali tidak memenuhi perikatan;

2. Debitor terlambat memenuhi perikatan

3. Debitor keliru atau tidak memenuhi perikatan.

143

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seseorang dapat dikatakan

wanprestasi apabila melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut. Begitupula dalam

perjanjian jual beli terhadap hak milik atas tanah. Wanprestasi bisa saja dilakukan

oleh salah satu pihak karena tidak selamanya setiap orang yang membuat kesepakatan

mampu untuk melaksanakan semua kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.

Karena dilanggarnya kesepakatan tersebut maka persyaratan sahnya suatu perjanjian

menurut Pasal 1320 KUHPerdata menjadi kekurangan syarat sehingga perjanjian jual

beli ini dapat dimintakan pembatalan pada Pengadilan Negeri setempat.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan

disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena

kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim;

2. Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk

memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya

perjanjian itu.

Perlindungan hukum yang dapat diberikan dengan diajukannya pembatalan

oleh salah satu pihak atas perjanjian jual beli yang telah disepakati sebelumnya maka

dapat diberikan dalam bentuk akta yang dibuat secara otentik dihadapan Notaris

sebagai pejabat umum. Perlindungan hukum yang diberikan dalam perjanjian jual beli

sangat kuat karena sifat pembuktian dari perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan

pejabat umum dalam hal ini Notaris mempunyai pembuktian yang sangat kuat sesuai

dengan pembuktian dari akta otentik. Selain itu perlindungan lain yang diberikan

144

adalah perlindungan hukum yang dibuat berdasarkan dari kesepakatan yang di buat

oleh para pihak yang terkait dengan perjanjian jual beli yang jika kita kaitkan dengan

peraturan tentang perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :

semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

Ada beberapa perlindungan yang dapat diberikan jika salah satu pihak

melakukan wanprestasi dalam perjanjian jual beli :

1. Perlindungan terhadap penjual

Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada penjual biasanya adalah

berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh calon penjual itu

sendiri. Misalnya ada beberapa penjual yang di dalam perjanjian jual beli

yang dibuatnya memintakan kepada pihak pembeli agar melakukan

pembayaran uang pembeli dengan jangka waktu tertentu yang disertai dengan

syarat batal, misalnya apabila pembeli tidak memenuhi pembayaran

sebagaimana telah dimintakan dan disepakati maka perjanjian jual beli hak

milik atas tanah yang telah dibuat dan disepakati menjadi batal dan biasanya

pihak penjual tidak akan mengambalikan uang yang telah dibayarkan kecuali

pihak pembeli meminta pengecualian.

2. Perlindungan terhadap pembeli

Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan terhadap

pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan

permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya

145

adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat

menuntut dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur

dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli

untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau

tanda hak milik atas tanah tersebut di pegang oleh pihak ketiga yang biasanya

adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama oleh

penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan perjanjian

pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat

ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk melakukan

jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak walaupun

pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang

dapat diberikan terhadap pemenuhan hak semua pihak dalam jual beli selain sesuai

perlindungan hukum yang diberikan oleh kekuatan akta otentik juga dapat

berlandaskan Pasal 1338 KUHPerdata, serta niat baik dari para pihak untuk

memenuhi kesepakatan yang telah dibuat.

Perlindungan hukum bagi para pihak dengan dibatalkannya perjanjian jual

beli yaitu Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan kepada si

penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh

penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan

terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan

permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya adalah

146

apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat menuntut dan

dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian

jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli untuk perlindungannya

adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau tanda hak milik atas tanah tersebut

di titipkan kepada pihak ketiga yang biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang

ditunjuk dan disepakati bersama oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan

lain adalah dengan perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak

pembeli yang tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi

untuk melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak

walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya.

Sedangkan perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum yang

diberikan apabila telah terjadi sengketa adalah pihak yang dirugikan dalam perjanjian

jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan

perdata untuk pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah ke Pengadilan

Negeri setempat sehingga diharapkan mendapat putusan yang seadil-adilnya.

147

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka yang dapat

disimpulkan dari permasalahan dalam tesis ini yaitu sebagai berikut:

1. Unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap Perjanjian

Jual beli hak milik atas tanah yaitu:

a. Harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli hak milik

atas tanah tidak dilunasi oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang

telah diperjanjikan;

b. Dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak

milik atas tanah (akta jual beli tanah dihadapan PPAT) belum selesai

sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;

2. Perlindungan hukum bagi para pihak dengan dibatalkannya perjanjian jual

beli yaitu Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan kepada

si penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan

sendiri oleh penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap

penjual perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan

persyaratan juga diikuti dengan permintaaan pemberian kuasa dari pihak

penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya

adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat

menuntut dan dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang

148

diatur dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh

pembeli untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat

atau tanda hak milik atas tanah tersebut di titipkan kepada pihak ketiga yang

biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama

oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan

perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang

tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk

melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak

walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya.

Sedangkan perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum

yang diberikan apabila telah terjadi sengketa adalah pihak yang dirugikan

dalam perjanjian jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum

dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk

membatalkan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, sehingga diharapkan

nantinya mendapat putusan yang seadil-adilnya.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan tesis ini yaitu sebagai

berikut:

1. Kepada Notaris untuk menghindari terjadinya pembatalan atas perjanjian jual

beli hak milik atas tanah, Notaris diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam

menyusun klausula yang akan dituangkan dalam perjanjian jual beli tersebut,

149

hal ini juga untuk menghindari adanya keinginan buruk dari pihak yang

nantinya dapat merugikan pihak yang satunya.

2. Kepada pembuat Undang-undang (Pemerintah dan DPR), disarankan untuk

melakukan revisi terhadap KUHPerdata dengan melakukan suatu rekontruksi

hukum terhadap pengaturan yang tidak jelas mengenai pembatalan perjanjian

jual beli, karena perjanjian jual beli banyak digunakan dalam proses jual beli

hak milik atas tanah di masyarakat.