legal protection for the parties against free hold for land sale ...
Transcript of legal protection for the parties against free hold for land sale ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia
sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah
yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai
hal seperti keterbatasan tanah baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda
ekonomi yang sangat penting serta telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi, di lain pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.1
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menentukan bahwa:
1. Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial;
2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain;
Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan hak milik atas tanah saat
ini yaitu dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli adalah salah satu
cara untuk memperoleh dan memiliki hak milik atas tanah. Dalam melakukan proses
transaksi jual beli hak milik atas tanah, sebelum terpenuhinya syarat terang dan
1Andrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 1
2
lunasnya suatu pembayaran terhadap pembelian suatu objek hak milik atas tanah,
maka para pihak dalam hal ini pihak penjual dan pihak pembeli melakukan suatu
perbuatan hukum dengan membuat suatu perjanjian jual beli hak milik atas tanah
dihadapan Notaris. Dengan dibuat dihadapan Notaris, maka para pihak dalam
membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal
yang akan diperjanjikan.
Perbuatan hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan dengan
perjanjian jual beli di hadapan Notaris yang kemudian apabila syarat terang dan
tunainya terpenuhi maka dilanjutkan dengan penandatanganan akta jual beli yang
dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sekaligus
juga merupakan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli. Dalam
kaitannya dengan ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah,
jual beli hak milik atas tanah dan penyerahan hak milik atas tanah dari penjual kepada
pembeli harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696), yang menyatakan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumh susun melalui jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, peralihan hak milik atas
tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memenuhi persyaratan yang telah
3
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan hukum jual
beli selesai atau tuntas pada saat penjual menerima pembayaran dan bersamaan
dengan itu menyerahkan suatu barang yang dijualnya kepada pembeli. Jual beli yang
dilakukan dengan nyata atau konkret dikenal dengan istilah “terang dan tunai”,
namun apabila diperhatikan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli diartikan sebagai berikut: “Jual beli
adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.”2 Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka.3
Dalam hukum pertanahan Indonesia dikenal bahwa jual beli tanah dilakukan
secara terang dan tunai dalam artian penyerahan dan pembayaran jual beli hak milik
atas tanah dilakukan pada saat bersamaan (tunai) dihadapan seorang PPAT (terang).4
Penambahan terang dan tunai dalam jual beli hak milik atas tanah disebabkan karena
hukum tanah Indonesia mengadopsi aturan-aturan hukum adat. Pandangan hukum
adat menyatakan bahwa jual beli atas bidang tanah telah terjadi antara penjual dan
pembeli bila diketahui oleh kepala kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh dua
2R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 366 3Florianus SP Sangsun, 1998, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi
Media, Jakarta, h. 18 4Gunawan Widjaya dan Kartini Mulyadi, 2003, Jual Beli, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 87
4
orang saksi.5 Dengan membuat suatu perjanjian jual beli, para pihak bermaksud untuk
membuat suatu perjanjian pendahuluan dalam rangka proses peralihan hak milik atas
tanah. Dalam perjanjian jual beli para pihak mengutarakan keinginannya serta
memuat janji-janji untuk melakukan transaksi jual beli hak milik atas tanah.
Dalam suatu perjanjian pada umumnya salah satu asas yang dikenal adalah
asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
menentukan sendiri hal-hal yang disepakati dalam perjanjian namun tetap tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan norma-norma yang berlaku. Dalam
perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut didasarkan pada suatu perjanjian
dimana untuk sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata
mengandung empat syarat yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3. Suatu hal tertentu ;
4. Suatu sebab yang halal ;
Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak
antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan
ini dapat dicapai dengan berbagai cara, yaitu dengan cara tertulis maupun tidak
tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi
dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan
5Sahat Sinaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan, Pustaka
Sutra, Jakarta, h. 17-21
5
menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan.
Sementara itu, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum (dalam hal ini perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan
dicapainya umur 21 tahun dan/atau telah menikah dengan usianya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini
menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas, misalnya dalam suatu
perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka obyek atas tanah dan harga harus
dimasukkan ke dalam perjanjian jual beli tersebut dengan jelas. Jika tidak jelas, maka
perjanjian tidak sah. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek yang
tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu (tidak tertentu) dengan harga
seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu tidak menunjukkan hal tertentu, tetapi hal
yang tidak tentu. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga
merupakan syarat tentang isi perjanjian. Isi perjanjian yang dimaksudkan disini
adalah bahwa tersebut tidak dapat bertentangan dengan Undang-undang kesusilaan
dan ketertiban umum hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Apabila keempat syarat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut telah
terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta
sunservanda). Pasal 1338 KUHPerdata ini, maksudnya adalah setiap orang bebas
6
mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa
perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja)
dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya sebagai undang-undang.
Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan
yang diinginkan oleh para pihak. Dalam kondisi-kondisi tertentu dapat ditemukan
terjadinya berbagai hal yang berakibat suatu perjanjian mengalami pembatalan, baik
dibatalkan oleh para pihak maupun berdasarkan putusan pengadilan. Dari sisi ini
pelaksanaan perjanjian jual beli hak milik atas tanah untuk dapat dikaji lebih lanjut
mengingat perjanjian jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang mendahului
proses peralihan hak milik atas tanah.
Terdapat dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian yaitu yang pertama,
pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat membuat gugatan perdata
wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat dan memohon kepada hakim agar
perjanjian jual beli tersebut dibatalkan. Kedua adalah dengan menunggu sampai ia
digugat atau sebagai tergugat melalui gugatan Pengadilan Negeri setempat,
berdasarkan bukti-bukti surat maupun kwitansi, fakta-fakta persidangan dan
keterangan-keterangan saksi selama menjalani proses persidangan maka hakim
membuat dasar pertimbangan untuk dapat memutus perkara perdata terhadap
pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut. Dalam rumusan Pasal
1266 KUHPerdata ditentukan tiga hal yang harus diperhatikan sebagai syarat
pembatalan suatu perjanjian, yaitu :
7
a. Perjanjian harus bersifat timbal balik, dimana para pihak saling
memperjanjikan memberikan prestasi yang terkait satu sama lain, tidak
terpenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan
pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. Dasar pembenaran dari syarat batal
adalah kepatutan karena terutama dalam perjanjian timbal balik adanya prestasi
yang satu dikaitkan dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Oleh
karena itu, jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, pihak lawan
mempunyai hak untuk minta agar perjanjian dibatalkan. Namun, pihak lawan
tersebut tidak berhak mengajukan pembatalan jika ia sendiri telah wanprestasi.
b. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lawan, syarat batal dicantumkan dalam
perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Pembatalan harus dilakukan melalui putusan Pengadilan Negeri, gugatan
perdata wanprestasi terhadap salah satu pihak harus dituntutkan
pembatalannya. Kata harus dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata
ditafsirkan sebagai aturan yang memaksa dan karenanya tidak boleh
disimpangi para pihak melalui perjanjian yang melalui perjanjian mereka.
Hakim juga memiliki kewenangan lain, seperti menolak tuntutan pembatalan
apabila wanprestasi yang dilakukan relatif kecil dibandingkan dengan prestasi
yang sesungguhnya.6
Oleh karena terdapat kekosongan norma terkait dengan perlindungan hukum
para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, maka Jika
dikemudian hari timbul gugatan atau ada pihak yang menyangkal isi perjanjian yang
telah dibuat, diharapkan bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, namun apabila
tidak mencapai kesepakatan demi keadilan dapat mengajukan gugatan perdata
wanprestasi ke Pengadilan Negeri setempat.
Sesuai ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, dengan dipenuhinya syarat batal,
maka perjanjian jual beli tanah dapat dibatalkan dan keadaan harus dikembalikan
pada kondisi semula pada saat timbulnya perjanjian tersebut. Setelah perjanjian
dibatalkan, maka para pihak mengembalikan segala sesuatunya pada keadaan semula,
6Ibid, h. 30
8
pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak
diwajibkan, dan harus dikembalikan.
Dapat dikemukakan bahwa akibat hukum terhadap terjadinya pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut menyebabkan para pihak harus
memenuhi kewajibannya terlebih dahulu seperti apa yang telah diperjanjikan
sebelumnya, seperti yang telah disebutkan diatas dengan mengembalikan pembayaran
yang telah diterima, denda dan ketentuan lainnya yang telah diperjanjikan. Perjanjian
jual beli yang merupakan suatu akta otentik akan dapat memberikan suatu
perlindungan serta adanya kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Seperti kasus yang diangkat dalam pembahasan tesis ini yaitu dengan
dimohonkannya pembatalan atas Perjanjian Jual Beli (PJB) No. 5 tertanggal 2 Mei
2005 yang dibuat dihadapan Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan., SH., dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) dan kepastian hukum melalui putusan
Pengadilan Tinggi Denpasar No. 138/Pdt.2010/PT.Dps tertanggal 6 Januari 2011.
Dibatalkannya perjanjian ini dikarenakan ketidakmampuan dari pihak pembeli dalam
hal ini yaitu Rizaldy Deciderus Watruty untuk melunasi harga jual beli atas 9
(sembilan) bidang tanah yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak penjual yaitu
Reinta Sortaria Situmorang. Ketidakmampuan pelunasan inilah yang kemudian
dijadikan dasar atau alasan bagi pihak pembeli untuk membatalkan jual beli 9
(sembilan) bidang tanah yang tercatat atas nama dari Penjual. Pembatalan jual beli
hak milik atas tanah tersebut didaftarkan pada Notaris T. Fransisca Teresa Panjaitan,
SH dengan Akta No. 24 tanggal 13 Pebruari 2008.
9
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, hal ini menarik untuk
diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul:
“Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak
Milik Atas Tanah Di Denpasar (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps).” Untuk menunjukkan kebaharuan penelitian ini, akan
dipaparkan beberapa tesis yang berkaitan dengan masalah perjanjian jual beli.
Beberapa tesis yang dimaksudkan diteliti oleh Lubnah Aljufri dan Setu Santoso.
Pertama, tesis dari Lubnah Aljufri, NIM 0906652785, alumni Program
Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Indonesia Depok Tahun 2012 dengan
judul tesis adalah Kekuatan Hukum Pembuktian Perjanjian Pengikatan Jual beli
(Analisa Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang
pertama mengenai bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli dan
yang kedua yaitu mengenai bagaimanakah kekuatan hukum Akta Jual beli yang telah
dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat II dan mengapa Pengadilan Negeri
Depok menyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual beli antara Tergugat II dengan
Tergugat I adalah sah (Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor
120/Pdt.G/2009/PN.Dpk).
Kedua, Tesis dari Setu Santoso, NIM B4B 001 189, alumni Program Studi
Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang Tahun 2008
dengan judul tesis adalah Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Pengikatan Jual
beli Hak Atas Tanah Dan Bangunan Objek Jaminan Kredit Pemilikan Rumah Di PT.
10
Bank Tabungan Negara (Persero) Kantor Cabang Ciputat Tangerang. Adapun yang
menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu yang pertama mengenai
bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak terhadap jual beli objek jaminan
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank, dan yang kedua yaitu
bagaimana akibat hukum dari peralihan jual beli objek jaminan Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) tanpa sepengetahuan bank dengan dibuat akta pengikatan jual beli dan
kuasa serta akta surat kuasa.
Dari kedua tesis yang telah diuraikan diatas, maka terdapat perbedaan yang
spesifik yaitu tentang pembatalan terhadap perjanjian jual beli serta perlindungan
hukumnya, sedangkan kedua judul tesis pembanding lebih menekankan pada
kekuatan hukum pembuktian perjanjian jual beli dan perlindungan hukum para pihak
dalam pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan objek jaminan kredit pemilikan
rumah. Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan
seperti yang dijelaskan tersebut diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul
Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik
Atas Tanah (Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps) dan
permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang
membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
keorisinalannya atau keasliannya.
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap
perjanjian jual beli hak milik atas tanah?
2. Apakah dengan dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah para
pihak mendapatkan perlindungan hukum?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya mengenai hukum perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya dalam bidang Hukum Perjanjian dengan keterkaitannya dengan Hukum
Kenotariatan mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
b. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penyusunan tesis ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari adanya pembatalan
Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
12
2. Untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum bagi para pihak dalam
pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas tanah.
1.4 Manfaat penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum perjanjian. Demikian
juga hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Perjanjian dan
Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk
kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan
perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak
milik hak atas tanah, yang ternyata dalam KUHPerdata tidak diatur secara
jelas mengenai perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
positif kepada para pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli hak milik
atas tanah, baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi
penulis sendiri, serta bagi pembuat kebijakan.
13
1.5 Landasan Teoritis
Dalam menganalisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini akan digunakan beberapa teori. “Kata teoritik atau teoritis atau
theoretical berarti berdasarkan pada teori, mengenai atau menurut teori7.”Oleh
Soetandyo Wignjosoebroto, teori dikatakan ”Sebagai suatu konstruksi di alam cita atau
ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif
fenomena yang dijumpai di alam pengalaman8.”
Berdasarkan uraian konsep diatas, adapun teori-teori yang dapat dipergunakan
untuk membahas permasalahan dalam tesis ini yaitu:
1. Teori Tujuan Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum seperti apa yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam teori gabungan etis dan utility yang
konsep hukumnya adalah hukum bertujuan untuk keadilan, kegunaan dan
kepastian.9 Teori tujuan hukum menurut Radbruch dalam Theo Huijbers adalah
Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab
kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif
selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai
dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan
7Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum - Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, h. 156. 8Soetandyo Wignyosoebroto, 2006, Hukum-Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya, Eksam dan Huma, Jakarta, h. 179. 9H. Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, h. 19
14
antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu
nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan10
Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka tujuan dari hukum yaitu
keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya
peraturan itu sendiri. ”Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai
kegunaan bagi masyarakat, adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum11
.”
Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, peran Notaris
yang independen dan tidak memihak sangat diperlukan dalam membuat
perjanjian jual beli untuk dapat tercapainya tujuan hukum hukum yaitu keadilan
di dalam perjanjian tersebut, bermanfaat pula bagi pihak pembeli dalam hal
pelunasan jual beli hak milik atas tanah kepada pihak penjual serta adanya
kepastian hukum agar para pihak terlindungi secara hukum sebagai akibat dari
perjanjian jual beli, maka di dalam perjanjian jual beli harus memperhatikan
ketiga tujuan hukum menurut skala prioritas agar dikemudian hari tidak
menimbulkan keberatan maupun gugatan dari para pihak atas perjanjian jual beli
tersebut. Teori tujuan hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk
menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian
Jual beli Hak Milik atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
10
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, h. 163 11
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 19.
15
Denpasar No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk
menjawab permasalahan pertama.
2. Teori Perjanjian
Mengenai perjanjian dalam bahasa Belandanya diistilahkan dengan
“overeenkomst dan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan contract diatur
dalam Pasal 1313 KUHPerdata”12
. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313
KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pendapat lain
dikemukakan oleh Schoordijk bahwa kekuatan mengikat perjanjian harus dicari
dalam kepercayaan yang dimunculkan atau dibangkitkan pada pihak lawan.
Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu.13
Dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio menjadi KUHPerdata menentukan mengenai hukum perjanjian
diatur dalam Buku III tentang Perikatan, yang mengatur dan memuat hak dan
kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak tertentu.14
Pengertian
perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa kelemahan,
maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian salah
satunya Handri Raharjo yang menyatakan terdapat kata sepakat antara subjek
12
Tan Tong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 402. 13
Elly Erawati dan Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang
Kebatalan Perjanjian, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h. 68 14
Subekti dan Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 323.
16
hukum, dan saling mengikatkan diri sehingga subjek yang satu berhak atas
prestasi dan subjek hukum yang satu berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai “kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta
menimbulkan akibat hukum.”15
Van Dunne sebagai pencetus teori baru
mengartikan perjanjian sebagai berikut:
Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum‟. Teori baru tersebut tidak hanya melihat
perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau
yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori
hukum baru, yaitu:
1. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak,
3. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian16
Menurut Salim H.S. unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai
berikut:
1. Adanya perbuatan hukum,
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,
5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung
satu sama lain,
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau
timbal balik, dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-
undangan.17
15
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, h. 42. 16
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak,
Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. I) h. 26. 17
Ibid, h. 25.
17
Syarat sahnya perjanjian salah satunya adalah sepakat untuk mengikatkan diri,
seperti tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dengan dipenuhinya empat syarat
sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara
hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18
Namun tidak setiap pernyataan dapat
menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang
menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar
dikehendaki19
.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya,
dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya
kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
Dengan kepercayaan, para pihak mengikatkan dirinya dan perjanjian tersebut
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, berlaku asas
Pacta Sunt servanda yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Sehingga
jelas bahwa dapat dibuat perjanjian yang berisikan apa saja asalkan tidak melanggar
ketentuan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan atau lebih dikenal dengan
18
R. Subekti I, Op.Cit, h. 1. 19
Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, (selanjutnya disebut Salim H.S. II) h. 168
18
asas kebebasan berkontrak. Dilihat dari syarat sahnya perjanjian dan asas kebebasan
berkontrak, Asser membedakan bagian isi perjanjian, bagian inti (wesenlijk oordeel)
yaitu unsur essensialia dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel) yaitu
unsur naturalia dan unsur aksidentalia.20
Unsur essensialia merupakan unsur-unsur yang biasanya dijumpai dalam
perjanjian tertentu, namun tanpa pencantuman syarat yang dimaksud itu pun, suatu
perjanjian tetap sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali dinyatakan
sebaliknya, sebagai contoh dalam jual beli tidak diperjanjikan mengenai siapa yang
berkewajiban membayar biaya balik nama, maka ketentuan undang-undang yang
berlaku yaitu Pasal 1466 KUHPerdata. Unsur aksidentalia merupakan suatu syarat
yang tidak harus ada, tetapi dicantumkan juga oleh para pihak untuk keperluan
tertentu dengan maksud khusus sebagai penegasan dan sebagai suatu kepastian. Suatu
perjanjian hendaklah memenuhi rasa kepercayaan dan keadilan yang
berkeseimbangan bagi para pihak, dimana perjanjian tersebut memenuhi asas
persamaan hukum dan asas keseimbangan.
Teori Perjanjian dalam penelitian tesis ini digunakan untuk menganalisis
Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik
atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps). Teori ini sebagai pisau analisis untuk menjawab
permasalahan kedua.
20
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan
Dengan Penjelasannya, cet. 2, Bandung, h. 99
19
3. Konsep Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon mengemukakan perlindungan hukum dalam kepustakaan
hukum bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming van de
burgers”21
. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda, yakni “rechsbescherming”. Pengertian kata
perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang
dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan
perjanjian wujud perlindungan para pihak dalam hal ini pihak penjual maupun
pembeli tertuang dalam perjanjian jual beli. Perjanjian yang dibuat antara penjual
dengan pembeli berisi hak dan kewajiban masing-masing para pihak, dimana para
pihak harus menjalankan atau mentaati isi perjanjian yang sudah disepakati.
Perjanjian jual beli merupakan salah satu cara yang paling umum dilakukan dalam
memperoleh atau mengalihkan hak atas tanah ataupun rumah, baik yang dimiliki oleh
subyek hukum orang maupun yang berupa badan hukum. Yang dimaksud dengan hak
atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk
mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki-nya.22
Namun
tidak jarang terjadi pada masyarakat sebelum dilakukan jual beli tersebut, terlebih
dahulu dilakukan suatu perjanjian yang mengikat antara para pihak yang membuatnya
atau sering disebut Perjanjian Jual beli. Hal tersebut dilakukan oleh karena adanya
21
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan hukum bagi Rakyat Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya, h. 1. 22
Urip Santoso, 2007, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Kencana
Prenada Media, Jakarta, h. 10
20
satu dan lain hal yang menyebabkan jual beli atas tanah tidak dapat dilakukan pada
saat itu juga.
Suatu perjanjian dapat dikatakan sah menurut hukum apabila memenuhi
syarat sah perjanjian, yaitu adanya itikad baik, sepakat, kecakapan, hal tertentu dan
sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dua syarat
pertama merupakan syarat subyektif, yaitu dengan melihat subyek dari para pihak
pembuat perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya merupakan syarat obyektif yaitu
dengan melihat obyek yang diperjanjikan oleh para pihak. Dalam hal tidak
dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalannya pada Hakim (voidalble), sedangkan dengan tidak terpenuhinya syarat
obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) atau perjanjian
tersebut selalu diancam bahaya pembatalan.23
Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum.
Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang
bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan
penguasa yang melanggar undang-undang maupun peraturan formal yang berlaku
telah melanggar kepentingan dalam masyarakat yang harus diperhatikannya.
Ada dua macam perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon yaitu
perlindungan yang bersifat preventif dan represif. Preventif artinya perlindungan
yang diberikan sebelum terjadinya sengketa, artinya perlindungan hukum ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan
23
R.Subekti I, Op.cit, h. 20
21
hukum represif bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang muncul apabila terjadi
suatu pelanggaran terhadap norma-norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan. Terhadap perlindungan hukum represif disebutkan dalam Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2007 tentang
petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan.
Konsep Perlidungan Hukum dalam penelitian tesis ini digunakan untuk
melengkapi teori dalam menganalisis Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap
Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah. Konsep ini sebagai bahan
yang melengkapi dalam menganalisis untuk menjawab permasalahan kedua.
Dalam rumusan Pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual beli
adalah “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan”. Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat bahwa jual
beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan
untuk memberikan sesuatu (perjanjian timbal balik), yang dalam hal ini terwujud
dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Teori dari perjanjian
timbal balik seringkali juga disebut perjanjian bilateral. Perjanjian timbal balik adalah
perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada
kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu
dengan yang lainnya. Pengertian yang dimaksud dengan “mempunyai antara yang
satu dengan yang lainnya” adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari
perjanjian tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain sebagai pihak
22
yang memikul tanggung jawab. Pembagian di sini berdasarkan atas perikatan yang
muncul dari perjanjian tersebut, apakah mengikat satu pihak saja ataukah mengikat
kedua belah pihak.24
Jadi dalam perjanjian jual beli, yang dijanjikan oleh pihak yang
satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas suatu barang
yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak lain, membayar harga yang
telah disetujuinya.25
Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian tersebut sudah
dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan
hukum) pada saat tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-
unsur yang pokok (essentialia) yang barang dan harga, walaupun jual beli itu
mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam
Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua
belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”
Jadi jual beli melibatkan eksistensi dan sekurang-kurangnya dua perikatan
(untuk memberikan sesuatu) secara timbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara
tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata menimbulkan prestasi dan pertanggungjawaban
secara bertimbal balik pada kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut, yaitu
24
J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Cet. 2. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 43-44 25
R. Subekti 2002, Hukum Perjanjian, Cet. XVI., PT. Intermasa, Jakarta,
(selanjutnya disebut R.Subekti I),h. 79
23
penjual dan pembeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup
tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan
diserahkan miliknya kepada si pembeli.26
Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut KUHPerdata, adalah
perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, artinya menurut KUHPerdata, jual beli
itu belum memindahkan hak milik, perjanjian jual beli baru memberikan hak dan
meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli
untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.27
Apa yang
dikemukakan mengenai sifat jual beli diatas, Nampak jelas diterangkan dalam Pasal
1459 KUHPerdata, yang menyatakan: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah
berpindah tangan kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut
Pasal 612, 613 dan 616.”
Berhubung dengan sifat jual beli tersebut, maka tidak mudah untuk dapat
dimengerti yang dimaksud dalam Pasal 1471 KUHPerdata yang menyatakan: “Jual
beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk ganti rugi, jika
si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” Apabila jual
beli itu hanya bersifat obligatoir saja, yang berarti belum memindahkan hak milik,
tentulah tidak keberatan apabila seorang menjual sesuatu barang belum
kepunyaannya, asal nanti pada waktu diserahkan barang tersebut, benar-benar
menjadi hak milik si pembeli. Pasal 1460 KUHPerdata sebagaimana dengan Pasal
26
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, cet. X, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung,(selanjutnya disebut R.Subekti II), h. 2 27
R. Subekti I, Op. cit, h. 80
24
1471, tanpa disadari bahwa pasal tersebut dalam KUHPerdata yang menentukan saat
pemindahan hak milik pada saat dilakukannya penyerahan, tidaklah tepat. Dalam
Pasal 1460 KUHPerdata terdapat keganjilan, dan tepat sekali oleh para sarjana dan
yuriprudensi dibatasi keberlakuannya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja.
Artinya barang tertentu adalah, suatu barang yang sudah ditunjuk dan ditentukan oleh
kedua belah pihak.28
Si penjual mempunyai dua kewajiban utama yaitu, menyerahkan barangnya
dan menanggungnya. Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu
menjadi milik si pembeli. Jadi penyerahan itu suatu perbuatan hukum yang harus
dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu orang ke orang lain, dari si penjual
kepada si pembeli. Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya
pengambilan harus dipikul oleh oleh si pembeli, jika tidak diperjanjikan sebaliknya
(Pasal 1476 KUHPerdata).
Dari ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal
1235 KUHPerdata), dan ketentuan jual beli terhadap penjual memiliki 2 (dua)
kewajiban pokok, mulai dari sejak jual beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458
KUHPerdata, kewajiban tersebut adalah:
1) Kewajiban menyerahkan hak milik
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut
hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual
belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUHPerdata
28
Op.cit, h. 82-83
25
mengenal tiga macam barang yaitu, barang bergerak, barang tetap dan barang
tak bertubuh, maka menurut KUHPerdata juga ada 3 (tiga) macam penyerahan
hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing barang itu,
yaitu:
a. Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan barang
tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 612 KUHPerdata yang
menyatakan:
Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada.
Penyerahan tidak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus
diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang
hendak menerimanya.
Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat adanya kemungkinan
menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang
berada dalam suatu gudang, hal mana merupakan suatu penyerahan
kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada
dalam kekuasaan si pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu
pernyataan saja. Cara yang terakhir ini dikenal dengan nama“tradition
brevi manu”, yang berarti “penyerahan dengan tangan pendek”.
b. Untuk barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan
balik nama dimuka Pegawai Kadaster yang juga dinamakan Pegawai
Balik Nama atau Pegawai Penyimpan Hipotik, yaitu menurut Pasal 616
KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 620 KUHPerdata. Dalam pada
26
itu segala sesuatu yang mengenai Tanah, dengan mencabut semua
ketentuan yang termuat dalam Buku II KUHPerdata tersebut, sudah diatur
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Nomor 1960-104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043, selanjutnya disebut UUPA). Selanjutnya
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang merupakan peraturan
pelaksana dari undang-undang tersebut, dalam Pasal 19 menentukan
bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat
oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan menurut
maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat
dibuatnya akta di hadapan pejabat tersebut.
c. Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Sebagaimana
diketahui KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli itu
hanya obligatoir saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan
hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak, yaitu
meletakkan kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang
yang dijualnya, sekaligus memberikan hak kepadanya untuk menuntut
pembayaran harga yang telah disepakati dan di sisi lain meletakkan
kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai
imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang
dibelinya. Dengan perkataan lain, perjanjian jual beli menurut
27
KUHPerdata itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru
berpindah dengan dilakukan penyerahan, yang caranya ada tiga macam
tergantung dari macamnya barang.
2) Kewajiban menanggung tenteram atas barang tersebut dan menanggung
terhadap cacad-cacad yang tersembunyi.
3) Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuensi
daripada jaminan oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang
akan dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang
bebas dari suatu beban atau tuntutan dari suatu pihak. Kewajiban tersebut
menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian
kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga,
dengan putusan Hakim dihukum untuk menyerahkan barang telah dibelinya
kepada pihak ketiga tersebut. Atau juga si pembeli, sewaktu digugat di muka
Pengadilan oleh pihak ketiga dapatlah ia meminta kepada Hakim agar supaya
si penjual diikutsertakan di dalam proses yang akan datang atau sedang
berjalan. Hukum perjanjian adalah hukum pelengkap, kedua belah pihak
diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas atau mengurangi
kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-undang, bahkan
mereka diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan
diwajibkan menanggung suatu apapun, tetapi ada batasannya. Jika dijanjikan
penanggungan, atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian, si pembeli
28
berhak, dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang
akan dibelinya kepada orang lain, menuntut kembali kepada si penjual:
1. Pengembalian uang harga pembelian;
2. Pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu
kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;
3. Biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pembeli untuk
ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat
asal.
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan
penyerahannya, sekedar itu telah dibayar oleh si pembeli.
Jika pada waktu dijatuhkannya hukuman untuk menyerahkan barangnya
kepada seorang lain, barang itu telah merosot harganya, maka si penjual tetap
diwajibkan mengembalikan harga seutuhnya. Sebaliknya jika barangnya pada waktu
dijatuhkan putusan untuk menyerahkan kepada orang lain, telah bertambah harganya
meskipun tanpa suatu perbuatan dari si pembeli, si penjual diwajibkan membayar
kepada si pembeli apa yang melebihi harga pembelian itu juga. Selanjutnya si penjual
diwajibkan mengembalikan kepada si pembeli segala biaya yang telah dikeluarkan
untuk pembetulan dan perbaikan yang perlu pada barangnya.
Kewajiban utama pihak pembeli adalah membayar harga pembelian pada
waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Harga tersebut
berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu pasal
undang-undang, namun sudah dengan sendirinya terdapat dalam pengertian jual beli,
29
karena jika tidak, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar menukar”,
atau kalau harga itu sudah berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian
kerja. Dalam pengertian jual beli sudah terdapat pengertian bahwa disatu pihak ada
barang dan dilain pihak ada uang. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua pihak,
namun adalah diperkenankan untuk memperkirakan atau penentuan orang pihak
ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak
mampu membuat perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu
pembelian (Pasal 1465 KUHPerdata). Hal ini berarti bahwa perjanjian jual beli yang
harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adalah suatu
perjanjian dengan suatu „syarat tangguh‟, karena perjanjiannya baru akan jadi kalau
harga itu sudah ditetapkan oleh orang ketiga tersebut. Jika pada waktu membuat
perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli
harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus
dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata).
Ini berarti dalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk
memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan
menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik maupun tidak)
diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian jelaslah
bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang menjadi obyek perjanjian, prestasi,
atau kewajiban maupun utang tidak pernah ada.
30
Dalam rumusan Pasal 1446 KUHPerdata, menyatakan bahwa selama dan
sepanjang ketidakcakapan tidak dikuatkan, maka perjanjian yang dibuat oleh mereka
yang cakap tersebut tidak memiliki tanggung jawab sama sekali, dan karenanya pula
tidak memberikan hak menuntut harta kekayaan pada salah satu pihak terhadap siapa
mereka telah membuat perjanjian. Bunyi Pasal 1446 KUHPerdata tersebut adalah:
Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang, anak yang belum dewasa, atau
orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan
atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harusnya dinyatakan
batal semata-mata atas dasar kebelum dewasaan dan pengampuannya.
Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan dan orang-orang
belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang
dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut
melampaui kekuasaan mereka.
Dengan demikian berarti, setiap pihak yang cakap bertindak dalam hukum,
yang membuat perjanjian jual beli dengan orang yang tidak cakap yang telah
melaksanakan kewajibannya menurut jual beli yang telah disepakati, atas tuntutannya
terhadap salah satu pihak yang tidak cakap tersebut, senantiasa diancam dengan
pembatalan perjanjian menurut ketentuan Pasal 1454 ayat (2) KUHPerdata dengan
konsekuensi bahwa menurut ketentuan Pasal 1451 KUHPerdata bahwa pembatalan
sebagai akibat ketidakcakapan membawa akibat bahwa segala apa yang telah
diberikan atau dibayarkan kepada orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat
pelaksanaan jual beli tersebut, hanya dapat dituntut kembali sekedar barang yang
bersangkutan masih berada di tangan orang tak berkuasa tersebut, atau sekedar
ternyata bahwa orang ini telah mendapat manfaat dari apa yang telah diberikan atau
31
dibayarkan itu atau bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi
kepentingannya.29
Dalam konteks demikian, tidaklah berarti kebendaan yang
diserahkan kepada seorang yang tidak cakap untuk bertindak dalam hukum tidak
memperoleh penggantian.
Sifat konsensual dari jual beli adalah terjadinya kesepakatan dari para pihak.
Dengan demikian dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan tercapai
suatu kesesuaian kehendak artinya, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah juga
dikehendaki pihak lain. Dalam perjanjian jual beli, asas konsensualisme tersebut
dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang
dalam pasal tersebut dinyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang
sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada “semua
perjanjian dibuat secara sah”, yang artinya dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah
disebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.30
Hukum perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap, kedua belah
pihak diperbolehkan dengan janji khusus, memperluas atau mengurangi kewajiban-
kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan kedua belah pihak
diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan
menanggung suatu apapun. Namun hal ini ada batasannya, yaitu sebagai berikut:31
Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung sesuatu
29
Gunawan Widjaja dan Kartini Mulyadi, Op.cit. H. 36 30
R.Subekti II, Op.cit. h. 4 31
R.Subekti I, Op.cit. h. 84
32
apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang suatu akibat dari suatu perbuatan
yang telah dilakukan olehnya. Segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini
adalah batal seperti yang disebutkan dalam Pasal 1494 KUHPerdata.
Si penjual, dalam hal adanya janji sama, jika terjadi suatu penghukuman
terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, diwajibkan
mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si pembeli pada waktu dilakukan,
mengetahui adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu
atau jika ia telah membeli barang tadi dengan pernyataan akan memikul sendiri
untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).
Dengan demikian maka yang menjadi alat ukur tentang tercapainya
persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan
oleh kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli. Pernyataan timbal balik dalam
perjanjian jual beli oleh kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak
dan kewajiban diantara mereka. Undang-undang berpangkal pada asas
konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapainya konsensus harus
mengacu pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak,
dan ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Kemudian, jika terjadi
perselisihan tentang apakah terjadi konsensus atau tidak, apakah telah dilahirkan
suatu perjanjian atau tidak, maka Pengadilan melalui putusan Majelis Hakim lah yang
akan menetapkannya.
Dalam perjanjian jual beli atau yang disebut juga dengan perjanjian timbal
balik, hanya berlaku Pasal 1266 KUHPerdata, yang berbunyi: “Syarat batal selalu
33
dipersangkakan ada dalam perjanjian timbal balik, dalam hal salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya.” Berdasarkan ketentuan pasal ini maka perjanjian yang
ditutup adalah perjanjian timbal balik, dan salah satu pihaknya tidak memenuhi
kewajiban perikatan sebagaimana mestinya, maka pihak yang lawan janjinya berhak
menuntut pembatalan perjanjian yang mereka tutup, seakan-akan para pihak memang
menutup perjanjian tersebut dengan syarat seperti itu. Masalah ini juga sehubungan
dengan adanya tangkisan, bahwa pihak lawan janjipun tidak memenuhi kewajiban
perikatan (exception adempleti contractus).32
Para pihak bersikap rasional dalam menyelesaikan permasalahan dalam
perjanjian jual beli merupakan anggapan dari resiko para pihak.Persoalan terpenting
bagi para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi maupun
mencegah kemungkinan terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual beli. Oleh
karena itu para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa (“dispute
settlement clause” atau “midnight clause”) dalam perjanjian perjanjian jual beli. Jika
pada akhirnya permasalahan berkembang menjadi lebih rumit, maka upaya
penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak adalah pada dua
opsi, yaitu:
a. Penyelesaian melalui jalur litigasi
b. Penyelesaian melalui jalur nonlitigasi
Menurut Fisher dan Ury, terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak, dan status kekuasaan. Para
32
J. Satrio, Op. Cit. h. 46-47
34
pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan
status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, serta dipertahankan33
.
1.6. Metode Penelitian
Metode penulisan hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah
satunya ditandai dengan penggunaan metode. Jenis-jenis penulisan yang digunakan
dalam penulisan ini adalah penulisan hukum, penulisan hukum yang memiliki sifat
akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan masukan yang berharga bagi
perkembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum Perjanjian jual beli hak milik
atas tanah. Sebagai penulisan hukum dalam bidang akademis, dimaksudkan untuk
membedakan dengan penulisan hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang
bersifat praktis, apabila dicermati substansi penulisannya, menurut Rony Hanitjo
Soemitro penulisan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni ”penulisan yang
bersifat normatif dan doktrinal.34
”
1.6.1 Jenis Penelitian
Ada dua jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki mengemukakan:
... penelitian hukum digunakan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi,
sehingga jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right,
appropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat dikatakan
33
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 307-308
34
Ibid, h.26.
35
bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung
nilai35
.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya penelitian bidang hukum, jenis
penelitian hukum normatif yaitu “penelitian terhadap peraturan yang berlaku serta
kaedah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum adat
atau hukum tidak tertulis lainnya) dan asas-asas hukum36
.” Dengan kata lain
penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah
penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier untuk selanjutnya
“bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti37
.” Menurut
Abdulkadir Muhammad "penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat38
.”
Dalam kaitannya dengan lingkupan dari penelitian hukum normatif, dikatakan
penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari
berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal,
35
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.33. 36
Bagir Manan, 1999, Penelitian Bidang Hukum, Jurnal hukum,
Puslitbangkum Unpad, Perdana, Januari, Bandung, h. 4 37
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press, Jakarta,
h. 52. 38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 51.
36
formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa hukum yang
digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya39
.
Jenis penelitian dalam penelitian ini sebagai penelitian hukum normatif, yaitu
“penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.40
” Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum dan penelitian perbandingan hukum.41
Hal ini senada dengan pendapat Morris
L. Cohen and Kent C. Olson dalam bukunya yang berjudul Legal Research
menyatakan bahwa:“legal research is an essential component of legal practice. It is
the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or
analyze that law”42
yang artinya bahwa penelitian hukum yang berdasarkan kaidah
perundang-undangan sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan hukum secara
praktek. Penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum kemudian dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan
perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu dapat berupa norma hukum
positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-Undang Dasar,
Kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya), dan norma
hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum
39
Ibid, h. 101-102. 40
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 41
Soerjono Soekanto, Op.cit. h. 51 42
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,
ST. Paul Minn, Printed in the United States of America, page 1
37
tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, dan
rancangannya).43
Penelitian hukum normatif dalam tesis ini berangkat dari
kekosongan norma yang mengatur mengenai perlindungan hukum para pihak
terhadap pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan adalah bahan untuk
mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti untuk
melakukan analisis. Dalam penulisan tesis ini, agar mendapatkan hasil yang ilmiah,
serta dapat dipertahankan secara ilmiah, maka masalah dalam penelitian ini dibahas
dengan menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dalam KUHPerdata terkait perlindungan hukum para pihak terhadap pembatalan
perjanjian jual beli hak milik atas tanah serta menggunakan produk legislatif dan
regulasi, yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu putusan yang diterbitkan
oleh pejabat administrasi yang bersifat konkrit dan khusus 44
. Pendekatan konsep
(conseptual approach) dalam ilmu hukum khususnya terkait dengan perjanjian jual
beli digunakan sebagai titik tolak bagi analisis penelitian hukum sehingga akan
muncul konsep sebagai suatu akibat hukum terhadap pembatalan perjanjian jual beli
hak milik atas tanah. Pendekatan kasus (case approach) dipergunakan untuk dapat
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum
43
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, h.52. 44
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenata Media
Group, Jakarta, h. 97.
38
terkait dengan perlindungan para pihak terhadap pembatalan jual beli hak milik atas
tanah.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam sumber
bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu terdiri dari:
bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. bahan hukum
sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Sumber bahan hukum ketiga yaitu bahan hukum tersier, adalah bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder45
.
Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini diperoleh dari
hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).46
Adapun bahan
hukum yang dimaksudkan terdiri dari:
1). Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum
dalam penulisan tesis ini antara lain adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
45
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Loc.cit. 46
Ronny Hanitijo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 24.
39
3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1997
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696.
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
2). Bahan Hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi buku-buku teks, kamus-
kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan. Bahan-
bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum ini harus relevan dengan topik
penelitian. Dalam kaitan itu, maka bahan hukum sekunder dari penelitian ini
bersumber dari literatur di bidang Hukum Perdata, Hukum Agraia beserta berbagai
artikel terkait.
3). Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier merupakan bahan yang dapat memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
40
ensiklopedi dan seterusnya.47
Adapun kamus yang dimaksudkan seperti Kamus Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum, serta ensiklopedi bidang hukum terkait.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan pertama-tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara
mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik
langsung maupun tidak langsung.48
Bahan hukum yang relevan dikumpulkan
menggunakan teknik sistim kartu (card system),49
yaitu menelaah peraturan-peraturan
yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan
hasilnya dicatat dengan sistem kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik, bukan
berdasarkan nama pengarang, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam
penguraian, menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep yang ada. Studi
kepustakaan bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-
pendapat ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok
permasalahan.
47
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 23 48
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 58. 49
Winarno Surakhmad, 1973, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar-Dasar
Metode & Teknik,Tarsito, Bandung, h. 257.
41
1.6.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan secara kualitatif,
kemudian dianalisa dengan teori-teori yang relevan, disimpulkan untuk menjawab
permasalahan dan disajikan secara deskriptif analistis yaitu terhadap bahan-bahan
hukum yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Deskripsi meliputi "isi maupun
struktur hukum positif50
”. Maksud dan tujuannya adalah melakukan pemahaman untuk
menentukan makna aturan hukum.
Mengenai tehnik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian ini
diawali dengan pengumpulan dan sistematisir bahan-bahan hukum yang diperoleh
untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi masalah
(deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-
bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi
tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada
penelitian ini.
50
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif),
dalam Yuridika,Nomor 6, tahun IX, Nopember-Desember. Tanpa halaman.
42
BAB II
KONSEP TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI
Dalam Bab II ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep tentang perjanjian
jual beli. Adapun yang akan dibahas pada sub bab nya yaitu tentang, konsep
mengenai perjanjian yang pada sub sub babnya membahas mengenai syarat lahirnya
suatu perjanjian, kemudian perjanjian menurut KUHPerdata dan penyebab hapusnya
suatu perjanjian. Pada sub bab kedua dibahas mengenai konsep mengenai perjanjian
jual beli yang pada sub sub bab nya membahas mengenai perjanjian jual beli dalam
KUHPerdata, hal-hal yang perlu dicantumkan dalam perjanjian jual beli dan bentuk
perjanjian jual beli, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
2.1 Konsep Mengenai Perjanjian
Istilah perjanjian atau kontrak di dalam praktiknya terkadang masih dipahami
secara rancu. Sebagian masyarakat dan pelaku bisnis mencampur adukkan kedua
istilah tersebut seolah-olah merupakan pengertian yang berbeda. Untuk pengertian
yang sama Burgerlijk Wetboek (BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract.
“Hal tersebut secara jelas dapat disimak dari judul buku III titel kedua tentang
perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian yang dapat kita baca dalam
bahasa Belandanya, yaitu: Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst
geboren worden51
.” Pengertian tersebut juga banyak didukung oleh pendapat di
kalangan sarjana, yang juga menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam
51
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, h. 13.
43
pengertian yang sama, “antara lain: Jacob Hans Niewenhuis,52
J. Satrio,53
Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,54
Mariam Darus Badrulzaman,55
Purwahid
Patrik,56
dan Tirtodiningrat57
.”
Subekti berpendapat lain mengenai istilah perjanjian atau persetujuan dengan
kontrak, menurutnya istilah “kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis58
. Sedangkan pendapat
sarjana lain, Pothier dalam bukunya Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan
tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan
antara pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu
perjanjian di mana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau
mengubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang
mengharapkan terlaksananya perikatan.59
Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian yang telah diuraikan oleh
para sarjana di atas, dalam penulisan tesis ini sependapat dengan beberapa sarjana yang
memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus
kajian tesis ini sebagian berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), di
52
Agus Yudha Hernoko, Op.cit, h. 13. 53
J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19. 54
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan,
Bina Ilmu, Surabaya, h. 84. 55
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, h. 89. 56
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,
Bandung, h. 45. 57
R. M. Suryodiningrat, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung,
h. 72. 58
R. Subekti, Op.cit, h. 1. 59
Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, Loc. Cit.
44
mana terdapat pengertian yang sama antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst)
dengan kontrak (Contract). Dalam tesis ini kedua istilah tersebut akan digunakan istilah
perjanjian, hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman terhadap rangkaian
kalimat yang disusun.
Pengaturan perjanjian terdapat di dalam Bab II Buku III KUHPerdata mulai
dari Pasal 1313 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian
merupakan perbuatan atau rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau
kesanggupan yang ditulis atau diucapkan seseorang kepada seorang lainnya untuk
berjanji melaksanakan sesuatu hal. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1313
KUHPerdata merumuskan pengertian perjanjian bahwa: “Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih60
.” Adapun tujuan dari dibuatnya suatu perjanjian menurut
pendapat Sucitthra Vasu menyatakan bahwa The purpose of setting down the terms of
contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in
the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the
defaulting party so that the dispute can be resolved.61
60Subekti dan Tjitrosudibio, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.Cet. XL, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 338.
61Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,
Singapore, page. 1
45
2.1.1 Syarat Lahirnya Suatu Perjanjian
Perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang,
hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata.
Sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian, terutama perjanjian obligatoir
yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.”
Semua tindakan, baik perikatan yang terjadi karena undang-undang maupun
perjanjian merupakan fakta hukum. Fakta hukum adalah kejadian-kejadian, perbuatan
atau tindakan, atau keadaan yang menimbulkan, beralihnya, berubahnya atau
berakhirnya suatu hak. Singkatnya, fakta hukum adalah fakta ang menimbulkan
akibat hukum. Fakta ini dapat berupa perbuatan atau tindakan, juga dapat berupa
fakta lainnya, seperti fakta hukum apa adanya, misalnya, kelahiran, kematian,
kedewasaan atau keadaan belum dewasa, hubungan kekerabatan, ataupun lewatnya
waktu atau daluarsa.62
Menurut azas konsensualisme, suatu perjanjian dilahirkan pada detik
tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang
pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian
paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak
sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
62
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan
Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1
46
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian
dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai
sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Apabila sudah tercapai kata sepakat antara para pihak yang membuat
perjanjian, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau
berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun ada
perjanjian-perjanjian yang lahirnya tidak cukup hanya dengan adanya sepakat saja,
tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata,63
dan perjanjian-perjanjian "formal" atau perjanjian-perjanjian riil, itu adalah
pengecualian. Selain kesepakatan untuk lahirnya perjanjian juga haruslah dipegang
teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila
kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Jadi
kesepakatan berarti persesuaian kehendak.64
Kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang
disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak
mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.
Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan, ia dapat
dicapai pula dengan memberikan tanda apa saja yang dapat menterjemahkan
kehendak itu baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan
maupun oleh pihak yang menerima penawaran.
63
R.Subekti I, Op.cit, h. 4 64
R.Subekti I , Op.cit, h. 26
47
Keinginan atau kemauan para pihak saja tidaklah cukup untuk memunculkan
akibat hukum. Untuk terbentuknya perjanjian diperlukan pula unsur bahwa akibat
hukum tersebut adalah untuk kepentingan pihak yang satu atas beban pihak yang lain
atau bersifat timbal balik. Perlu diperhatikan, akibat hukum perjanjian hanya
mengikat para pihak dan tidak dapat mengikat pihak ketiga, dan tentunya tidak dapat
membawa kerugian bagi pihak ketiga. Hal ini merupakan asas umum dari hukum
kontrak dan juga termuat di dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata jo Pasal 1340
KUHPerdata yang menetapkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-
pihak yang membuatnya.65
Mengenai proses membuat perjanjian menurut pendapat Ros Macdonald dan
Denise McGrill sebagai berikut ”just a drafting is the process of converting the
underlying intention of the party or parties into a written document, construction is
the process od derinving the tru intention of the party or parties from the
document.”66
yang artinya membuat kontrak merupakan proses konversi niat yang
mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi dokumen tertulis
konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak ke dokumen yang
dibuat.
Setiap perjanjian harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian. Jika yang
menjadi objek adalah barang, maka harus jelas apa jenisnya, jumlahnya, harganya.
Setidak-tidaknya dan keterangan objek yang diperjanjikan harus dapat ditetapkan apa
65
Herlien Budiono, Op.cit, h. 10 66
Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition,
LexixNexis Butterworths, Australia, page 3
48
yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing.67
Bentuk perjanjian pada
umumnya bebas ditentukan para pihak. Namun undang-undang menetapkan bahwa
beberapa perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu. Penetapan demikian
oleh undang-undang mengenai bentuk yang diwajibkan mengakibatkan bahwa akta
menjadi syarat mutlak bagi terjadinya perbuatan hukum tersebut. Menurut pendapat
Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai kontrak sebenarnya
penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum secara
umum.68
Terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan hukum perjanjian yaitu
sebagai berikut:
a) Teori Kehendak (wilstheorie)
Kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan.
Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki
otonomi, tidak akan memecahkan masalah apapun. Menurut teori kehendak,
faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Meskipun
demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan
pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun
apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka
tidak terbentuk suatu perjanjian. Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul
67
C.S.T. Kansil, 1992, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika, h. 194. 68
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,
Yuridika, Jakarta, h. 196
49
kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan.
Karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang
dinyatakan oleh orang lain.69
b) Teori Pernyataan (verklaringstheorie)
Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah
kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa
yang sebenarnya terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu
kehendak yang tidak dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar
dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi
perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang
menjadi dasar terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa
yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori ini, jika
ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan
menghalangi terbentukanya perjanjian. Teori pernyataan lahir sebagai
jawaban terhadap kelemahan teori kehendak. Namun teori ini juga memiliki
kelemahan karena teori pernyataan hanya berfokus pada pernyataan dan
tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi
kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan
pernyataan.70
69
Herlien Budiono, Op.cit, h. 77-79 70
Herlien Budiono, Op.cit, h. 80
50
c) Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori
pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat disebut sebagai teori
pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan
melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian
apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku didalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang
benar dikehendaki. Dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan
sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian.
Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian tergantung pada
kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat
dari pernyataan yang diungkapkan.71
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa yang akan menjadi alat
pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-
pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal
pada azas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus ini
adalah hal yang penting karena merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat
laksana suatu undang-undang, para pihak terpaksa berpijak pada pernyataan-
pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak, dan pernyataan itu
sebaiknya dibuat dalam tulisan untuk mendapatan kepastian hukum dalam
pembuktiannya. Perjanjian juga didasarkan pada suatu kepercayaan, sebagaimana
71
Herlien Budiono, Op.cit, h. 80
51
untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam tesis ini maka teori perjanjian
dapat digunakan untuk mengkaji kasus mengenai pembatalan perjanjian jual beli
yang terjadi di Pengadilan Negeri Denpasar.
2.1.2 Perjanjian Menurut KUHPerdata
Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar
dua pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak
melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.72
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terjadi
hubungan hukum antara dua pihak yang berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
Mengenai dasar hukum dari perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III
KUHPerdata tentang Perikatan. Menurut ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata
menyatakan bahwa : “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Berdasarkan definisi
pasal ini diketahui bahwa dalam perjanjian ada pihak yang mengikatkan dirinya
terhadap pihak lain. Definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya
disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya menekankan pada perjanjian sepihak
saja dan disisi lain terlalu luas karena dapat mengenai hal-hal yang berhubungan
72
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung,
Bandung, h. 19
52
dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum
keluarga.73
Pengertian perjanjian yang termuat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
masih terdapat beberapa kelemahan yang harus dikoreksi, diantaranya yaitu:
a. Hanya menyangkut sepihak saja
b. Tidak mengandung suatu konsensus
c. Pengertian perjanjian terlalu luas
d. Tanpa menyebut tujuan.
Pengertian perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata
menurut para sarjana kurang lengkap karena banyak mengandung kelemahan-
kelemahan dan terlalu luas pengertiannya karena istilah perbuatan yang dipakai dapat
mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang
dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.74
Pengertian perjanjian dalam Pasal
1313 KUHPerdata hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari
rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”,
jadi ada konsensus antara dua pihak. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam pengertian : ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan
kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad)
tidak mengandung suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah
73
R.Subekti I, Op.cit, h. 1 74
R. Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta,
h. 49.
53
perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.
Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga
kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam
lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke III KUHPerdata
sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat
kepribadian (personal). Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.75
Untuk melengkapi kekurangan mengenai rumusan perjanjian yang tercantum
dalam Pasal 1313 KUHPerdata, Subekti memberikan pendapat mengenai pengertian
perjanjian yaitu “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau
dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan
perikatan.”76
Rutten sebagaimana dikutip oleh Purwahid Patrik yang menyatakan
bahwa perjanjian adalah perbuatan yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas
dan peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih
orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah
75
Abdulkadir Muhamad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 80 76
Subekti, Op.cit, h. 2.
54
satu pihak atas beban lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal
balik.77
Berdasarkan definisi yang telah diberikan diatas mengenai perjanjian maka
dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji atau kesanggupan oleh para pihak, baik secara lisan maupun
tertulis untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian dalam lingkup hubungan bisnis lazimnya disebut dengan kontrak.
Menurut pendapat Robert Duxbury memberikan pengertian mengenai kontrak
sebagai berikut : “a contracts may be defined as an agreement between two or more
parties that is binding in law.”78
Kemudian pendapat lain mengenai kontrak
sebagaimana diungkapkan oleh Gordon W. Brown and Paula A. Sukys menyatakan
bahwa : “ a contracts is an agreement between two or more competent parties, based
on mutual poses, to do or to refrain from doing some particular thing that is reither
illegal not impossible, the agreement result in abligation or a duty that can be
enforead in accourt law.”79
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa kontrak disamakan
dengan perjanjian dimana keduanya dilakukan diantara dua orang atau lebih dan
mereka yang mengadakan perjanjian tersebut terikat pada hukum, artinya apabila ada
77
Purwahid Patrik, 1998, Hukum Perdata II, Jilid I, Mandar Maju, Bandung,
h. 1-3. 78
Robert Duxbury, 2006, Contract Law, Seventeen edition, Thomson Sweet
& Maxweel, London, England, p. 1 79
Gordon W. Brown and Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC
Applications, 10th
Edition,Glencoe Mc. Grow-Hill, New York America, p. 95
55
pihak yang melanggar isi perjanjian yang telah disepakati itu maka terhadap pihak
yang melanggar tersebut dapat dituntut secara hukum dimuka pengadilan. Secara
yuridis, pengadilan dapat memaksakan untuk berlakunya suatu perjanjian dan
pengadilan juga dapat menjatuhkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar apa
yang telah disepakati dalam kontrak tersebut.
Dalam suatu perjanjian haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut
memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Sah atau tidaknya suatu perjanjian dapat
dipastikan dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai syarat sahnya suatu
Perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa : “untuk
sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana dicantumkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata ini menurut penulis berlaku untuk setiap perjanjian yang dibuat
oleh para pihak yang tunduk sesuai dengan hukum di Indonesia. Sehingga setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik secara otentik maupun dibawah tangan
harus memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini.
56
Selain mengeni syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal
1320 KUHPerdata, terdapat juga syarat sah nya perjanjian diluar ketentuan dari Pasal
1320 KUHPerdata tersebut diantaranya yaitu:
- Harus dilakukan dengan iktikad baik
- Harus tidak bertentangan dengan kebiasaan
- Harus berdasarkan atas asas kepatutan atau kepantasan
- Harus tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan ketertiban umum.80
Terdapat juga perjanjian-perjanjian tertentu yang untuk sahnya perjanjian tersebut
harus memenuhi ketentuan tertentu, misalnya harus dibuat secara notariil (dibuat oleh
atau dihadapan Notaris), contohnya perjanjian fidusia, perjanjian dalam pendirian
Perseroan Terbatas, perjanjian dalam pendirian Yayasan, perjanjian dalam pendirian
Koperasi, dan lain sebagainya. Perjanjian tersebut harus hanya dilakukan dihadapan
pejabat tertentu saja, misalnya : perbuatan hukum “hibah atas obyek bidang tanah
tertentu,” harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
berwenang. Pendirian Koperasi harus dilakukan dihadapan Notaris yang berwenang
membuat Akta Koperasi. Demikian juga ada perjanjian atau kontrak-kontrak tertentu
yang harus mendapat ijin dari Pejabat yang berwenang.81
Menurut hemat penulis syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan diri yang merupakan syarat mutlak adanya sebuah perjanjian, dimana
kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai
80
Mulyoto, 2012, Perjanjian (Tehnik, Cara Membuat dan Hukum Perjanjian
Yang Harus Dikuasai), Cakrawala Media, Yogjakarta, h. 34-35 81
Ibid
57
hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/ diadakan itu, dan apabila
mereka tidak sepakat maka tidak ada perjanjian. Kesepakatan yang dibuat
menunjukkan bahwa mereka (orang-orang) yang melakukan perjanjian, sebagai
subyek hukum tersebut mempunyai kesepakatan (kebebasan) yang bebas dalam
membuat isi perjanjian serta tidak boleh adanya unsur paksaan. Sepakat tersebut tidak
saja mencakup pengertian “sepakat” untuk mengikatkan diri tetapi juga “sepakat‟
untuk mendapatkan prestasi.
Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak tidak saja mempunyai
kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Suatu perjanjian
sepihak yang memuat hak atau kewajiban satu pihak untuk mendapatkan atau
memberikan prestasi, tetap mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah
pihak.82
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jika terdapat
paksaan tercantum dalam Pasal 1323 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan yang
dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk
batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga,
untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut telah tidak dibuat. ”Batalnya perjanjian
juga tercantum dalam Pasal 1325 KUHPerdata yang menyatakan : “paksaan
mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah
satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan
terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun kebawah.”
82
Herlien Budiono, Op.cit, h. 73-74
58
Mengenai syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung
makna bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian/ perikatan tersebut merupakan
orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh atau
menurut hukum, sehingga perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai hukum
pula. Dalam KUHPerdata hanya diterangkan tentang mereka/ pihak-pihak yang oleh
hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga pihak di
luar yang tidak cakap tersebut dianggap cakap untuk melakukan perbutan hukum. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi : setiap orang
adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap.
Mengenai syarat selanjutnya yaitu suatu hal tertentu pada persyaratan sahnya
suatu perjanjian adalah obyek dari pada perjanjian. Dalam KUHPerdata ditentukan
bahwa objek perjanjian tersebut haruslah merupakan barang-barang yang dapat
ditentukan nilainya atau dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi : "Suatu perjanjian harus mempunyai
pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah itu barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat
ditentukan atau dihitung.
Syarat terakhir untuk sahnya perjanjian yaitu suatu sebab yang halal. Menurut
ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa : "Suatu perjanjian tanpa
sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan." Sedangkan Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa: “jika
59
tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun ada
sesuatu sebab lain dari pada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah
sah. ”Pengertian dari suatu sebab yang halal yaitu bahwa isi dari perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, norma-norma, kesusilaan, dan ketertiban
umum. Misalnya seseorang mengadakan transaksi jual beli senjata api tanpa
dilindungi oleh surat-surat yang sah dalam hal pemilikan senjata api, maka perjanjian
yang dilakukan adalah batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat mengenai
suatu sebab yang halal yaitu prestasi yang dilakukan telah melanggar undang-undang
tentang pemilikan senjata api.
Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau
dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap
tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan
kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena
mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua
syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat
obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat subyektif tidak
terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan
dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum.
60
Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas-asas yang berlaku yaitu
sebagai berikut:
a. Asas konsensualisme
b. Asas kebebasan berkontrak
c. Asas Pacta Sunt Servanda
d. Asas Iktikad Baik
Menurut hemat penulis, asas konsensualisme tercermin dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sah nya perjanjian yaitu
dengan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Maksudnya adalah bahwa
perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan
maupun tertulis sebagai alat bukti. Asas konsensualisme disini maksudnya adalah
bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para
pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan sudah sah dan mempunyai akibat hukum
sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan dari para pihak, yang dengan demikian
otomatis tidak adanya unsur penipuan, kekhilafan maupun unsur paksaan.
Mengenai asas kebebasan berkontrak dalam artian bahwa setiap orang bebas
untuk melaksanakan perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini tercermin dari
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan berkontrakpun
menurut hemat penulis dibatasi oleh beberapa hal yaitu tidak dilarang oleh undang-
undang; tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan tidak bertentangan dengan
61
ketertiban umum. Selain itu asas kebebasan berkontrak juga terkait dengan kebebasan
dari para pihak untuk : membuat atau tidak membuat perjanjian; mengadakan
perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya; menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari asas
ini adalah setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa
saja, baik itu bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dengan
demikian pada prinsipnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas dari segi bentuk,
isi, sepanjang perjanjian yang telah dibuat tersebut mengikat bagi mereka yang
membuatnya seperti halnya undang-undang. Meskipun setiap orang bebas untuk
mengadakan perjanjian, namun bukan berarti tidak ada batasannya. Perjanjian yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Asas lain yang berlaku dalam perjanjian yaitu dikenal dengan asas Pacta Sunt
Servanda, asas ini juga tercermin dalam ketentuan yang tercantum pada Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini
berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Maksud dari asas ini dalam suatu
perjanjian tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi mereka yang
membuatnya dan tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang diatur dalam
undang-undang.
62
Selain ketiga asas yang telah diuraikan diatas, dikenal juga asas iktikad baik.
Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Pemahaman
substansi iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara
gramatikal, bahwa iktikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan
kontrak. Iktikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya
iktikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual,
kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi iktikad baik dalam
Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses
kontrak tersebut.83
Terdapat juga asas-asas lain yang harus diperhatikan dalam suatu perjanjian
yaitu asas nemoplus yuris yang artinya bahwa orang atau badan hukum hanya
dibenarkan menjalankan hak nya sebatas hak yang orang atau badan hukum tersebut
miliki. Asas personalitas atau yang biasa disebut asas kepribadian yang artinya bahwa
pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya
sendiri dan suatu perjanjian yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya. Di dalam suatu perjanjian pada hakekatnya adalah pertukaran antara
hak dan kewajiban secara adil atau secara seimbang yang biasa disebut dengan asas
proporsionalitas. Dalam suatu perjanjian menganut juga asas yang dikenal dengan
asas force majeure yang artinya debitur dibebaskan dari kewajiban untuk membayar
83
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, h. 139
63
ganti rugi, akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa.
Keadaan memaksa yang dimaksud adalah keadaan dimana debitur memang tidak
dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan
tersebut.84
Berdasarkan uraian mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian sebagaimana
disebutkan diatas maka dapat diketahui bahwa suatu perjanjian terjadi dengan adanya
kata sepakat antara kedua belah pihak untuk saling mengikatkan dirinya, setiap orang
bebas untuk membuat perjanjian atas apa yang telah disepakati sebelumnya asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan
dan peraturan yang berlaku umum. Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga perjanjian
tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik oleh kedua belah pihak.
Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan
dengan berbagai segi hukum yang ada. Dalam kaitannya dengan hukum dagang, asas-
asas perjanjian berlaku dalam kaitannya dengan proses jual beli, sehingga dalam
suatu proses jual beli terjadi kesepakatan perjanjian. Dalam kaitannya dengan hukum
pemerintahan, dalam hal pengadaan barang dan jasa misalnya pemerintah
mengadakan perjanjian dengan pihak swasta dimana kesepakatan tersebut dituangkan
dalam suatu perjanjian tertulis. Asas-asas dari perjanjian bersentuhan dengan segala
jenis hukum yang ada. Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari
84
Mulyoto, Op.cit, h. 36-37
64
adanya suatu perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian juga memberikan perlindungan
hukum bagi para pihak yang terikat didalamnya.
Selain mengenai asas-asas dalam hukum perjanjian, dikenal juga unsur-unsur
yang tercantum dalam suatu perjanjian adapun unsur-unsur tersebut yaitu:
a. Unsur esensialia
b. Unsur naturalia
c. Unsur aksidentalia
Mengenai unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian karena
tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak akan ada perjanjian.
Sebagai contoh yaitu dalam perjanjian jual beli harus ada kesepakatan mengenai
barang dan harga yang disepakati, karena tanpa adanya kesepakatan barang dan harga
dalam perjanjian jual beli, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak ada
hal tertentu yang diperjanjikan.
Mengenai unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-
undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian, undang-
undang yang mengaturnya, sehingga dapat diketahui bahwa unsur naturalia ini
merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian. Sebagai contohnya
yaitu, jika daam suatu perjanjian tidak diatur secara tegas mengenai cacat yang
tersembunyi, maka secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata yang harus
menanggung cacat tersembunyi tersebut.
Unsur terakhir yaitu unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau
mengikat para pihak apabila para pihak memperjanjikan. Sebagai contohnya yaitu
65
dalam perjanjian jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur
lalai membayar utangnya, dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) perbulan
keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut,
barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui
pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam
suatu perjanjian yang bukan merupakan unsur esensialia dalam perjanjian.
2.1.3 Penyebab Hapusnya Suatu Perjanjian
Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1381 KUHPerdata
menyatakan bahwa perikatan-perikatan hapus :
a. Karena Pembayaran
Pembayaran merupakan bentuk pelunasan dan suatu perjanjian, atau perjanjian
berakhir dengan adanya pembayaran sejumlah uang, atau penyerahan benda.
Dengan dilakukannya pembayaran, pada umumnva perikatan/ perjanjian menjadi
hapus akan tetapi ada kalanya bahwa perikatannya tetap ada dan pihak ketiga
menggantikan kreditur semula. Pembayaran dalam hal ini harus dilakukan oleh si
berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga
kepada seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau undang-undang untuk
menerima pembayaran bagi si berpiutang.
b. Karena Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Oleh Penyimpanan Atau Penitipan
Barang
Ini merupakan salah satu cara jika si berpiutang tidak ingin dibayar secara tunai
terhadap piutang yang dimilikinya. Dengan sistem ini barang yang hendak
66
dibayarkan itu diantarkan kepada si berpiutang. Selanjutnya penawaran tersebut
harus dilakukan secara resmi, misalnya dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri. Maksudnya adalah agar si berpiutang dianggap telah dibayar secara sah
atau si berutang telah membayar secara sah. Supaya pembayaran itu sah maka
diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
2) Dilakukan oleh debitur yang berwenang membayar;
3) Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan;
4) Waktu yang ditetapkan telah tiba;
5) Syarat yang mana hutang dibuat telah dipenuhi;
6) Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau
ditempat yang telah disetujui;
7) Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau juru sita,disertai oleh 2
orang saksi.85
c. Karena pembaharuan Utang
Pembaharuan hutang, adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya
suatu perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula, maksudnya bahwa
pembaharuan hutang ini terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan
hutang baru, debitur lama dengan debitur baru atau kreditur lama dengan
kreditur baru. Pembaharuan utang ada tiga macam yaitu :
85
Surajiman, 2001, Perjanjian Bernama, Pusbakum, Jakarta, h. 22
67
1) Pembaharuan hutang yang obyektif, yaitu mengganti atau merubah isi dari
pada perikatan. Penggantian perikatan ini terjadi jika kewajiban debitur
atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain.
2) Pembaharuan hutang yang subyektif pasif, yaitu mengubah sebab dari
pada perikatan. Misalnya ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum.
3) Pembaharuan hutang yang subyektif aktif, yaitu selalu merupakan
persetujuan segitiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan
kreditur baru.
d. Karena Perjumpaan Utang
Perjumpaan utang ada, apabila utang piutang debitur dan kreditur secara timbal
balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan ini utang piutang lama
berakhir. Adapun syarat suatu utang supaya dapat diperjumpakan yaitu :
1) Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis
kualitas yang sama;
2) Hutang itu harus sudah dapat ditagih;
3) Hutang iu ditaksir dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya.
Menurut ketentuan Pasal 1425 KUHPerdata diterangkan, "Jika kedua
orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka
suatu perjumpaan, dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut,
dihapuskan”.
68
e. Karena Percampuran Utang
Menurut Pasal 1436 KUHPerdata percampuran hutang terjadi apabila kedudukan
seorang yang berpiutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) itu
menjadi satu, maka menurut hukum terjadilah percampuran hutang. Dengan
adanya percampuran itu, maka segala hutang piutang tersebut dihapuskan.
Misalnva si debitur kawin dengan krediturnva dalam suatu persatuan harta
kawin, maka dapat terjadi percampuran di antara mereka.
f. Karena Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum dimana si kreditur melepaskan
haknya untuk menagih piutangnya dari si debitur. Pembebasan hutang ini dapat
terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi
dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perjanjian, dengan pembebasan ini perjanjian menjadi berakhir. Pasal 1439
KUHPerdata menyatakan bahwa “jika si berpiutang dengan sukarela
membebaskan segala hutang-hutangnya si berhutang. Dengan adanya suatu
pembebasan maka hal ini tidak dapat dipindah alihkan kepada hak milik”.
g. Karena Musnahnya Barang Yang Terhutang
Bila obyek yang diperjanjikan adalah merupakan barang tertentu dan barang
tersebut musnah, maka tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang sama sekali,
maka apa yang telah diperjanjikan adalah hapus/ berakhir.
69
h. Karena Kebatalan dan Pembatalan Perjanjian
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan
disini semuanya adalah batal demi hukum karena kekurangan syarat subyektif
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1) Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim;
2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya
perjanjian itu.86
Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan diatas undang-
undang mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun, yang mana
penjelasan ini tercantum dalam Pasal 1454 KUHPerdata, sedangkan untuk
pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu. Penuntutan
pembatalan tidak akan diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada
"Penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah
menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya,
dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
i. Karena Berlakunya Suatu Syarat Batal
Syarat batal dalam Pasal 1265 KUHPerdata adalah suatu syarat yang apabila
dipenuhi menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu, kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Dengan
86
Subekti I, Op.cit, h. 75-76
70
demikian apabila peristiwa itu benar-benar terjadi, maka si berhutang wajib
mengembalikan apa yang diterimanya.
j. Karena Lewat Waktu atau Kadaluwarsa
Lewat waktu atau kadaluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata diartikan
sebagai suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Mengenai lewatnya waktu untuk dapat
dikatakan kadaluwarsa, juga dapat dilihat pada Pasal 1967 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa, “segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan,
maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena kadaluarsa dengan lewatnya
waktu tiga puluh tahun”.
2.2 Konsep Mengenai Perjanjian Jual Beli (PJB)
2.2.1 Perjanjian Jual beli dalam KUHPerdata dan Pendapat Para Sarjana
Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena
mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur
esensialia dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Perjanjian jual beli pada
umumnya dikatakan merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual
beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk
tertulis yang merupakan akta otentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak.
Dalam suatu proses jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum
kebendaan dan hukum perikatan. Dikatakan sebagai hukum kebendaan karena dalam
hal jual beli melahirkan hak pada masing-masing pihak atas tagihan (penjual dan
71
pembeli), yang berupa penjual menerima penyerahan pembayaran harga jual dari
pihak pembeli sedangkan pembeli menerima penyerahan hak atas kebendaan.
Sedangkan dari sisi hukum perikatan, jual beli melahirkan kewajiban kepada masing-
masing pihak. Dimana penjual wajib menyerahkan hak atas kebendaan yang dijual
kepada pembeli sedangkan pembeli wajib membayar harga atas barang yang dibeli
tersebut.87
Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa : “jual beli
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah diperjanjikan”. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa jual beli
merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk
memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan
kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada
penjual. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang
berbunyi :“Jual beli dianggap telah terjadi kedua belah pihak sewaktu mereka telah
mencapai sepakat tentang barang dan harga meskipun barang itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayàr”.
Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem KUHPerdata,
adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “Obligatoir” saja, artinya jual beli itu
belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada kedua
belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya
87
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op.cit, h. 7
72
hak milik atas barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459
KUHPerdata, yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah
berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut
ketentuan-ketentuan yang bersangkutan.88
Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada
hukum adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan
hukum yang merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat
merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat
yaitu :
1. Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada
saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
2. Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek perbuatan hukum.
3. Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan hak
tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti
dilakukan perbuatan hukum tersebut.89
Untuk mengetahui pengertian dari Perjanjian Jual beli dapat dilihat dengan
memisahkan antara pengertian perjanjian dengan perjanjian jual beli. Mengenai
perjanjian seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya yaitu suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
88
R.Subekti I, Op.cit, h. 80 89
Boedi I, Op.cit, h. 317
73
menimbulkan akibat hukum. Pengertian perjanjian jual beli menurut pendapat R.
Subekti adalah “perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk
jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses,
dan belum terjadinya pelunasan harga.”90
Pendapat lain dikemukakan oleh Herlien Budiono yang menyatakan bahwa
“perjanjian jual beli merupakan sebuah perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum
dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya”.91
Berdasarkan uraian
yang telah dikemukakan diatas maka dapat diketahui bahwa perjanjian jual beli
adalah sebuah perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya
perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Adapun yang menjadi fungsi dari
perjanjian jual beli dalam kedudukannya sebagai perjanjian pendahuluan yaitu untuk
mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama atau perjanjian pokok
yang akan dilakukan, karena perjanjian jual beli merupakan awal untuk lahirnya
perjanjian pokoknya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Herlien Budiono yang
menyatakan bahwa perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan
suatu hubungan hukum.”92
90
R.Subekti I, Op.cit, h. 75 91
Herlien Budiono, 2004, Pengikat Jual Beli dan Kuasa Mutlak, Majalah
Renvoi, edisi tahun I, No. 10, Bulan Maret, h. 57 92
Ibid, h. 56-57
74
2.2.2 Hal-Hal Yang Perlu Dicantumkan Dalam Perjanjian Jual beli
Dalam suatu perjanjian jual beli yang merupakan suatu perjanjian
pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/ utama biasanya mencantumkan janji-
janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang
disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utama. Sebagai contoh yaitu dalam
perjanjian jual beli hak milik atas tanah, dalam perjanjian jual belinya biasanya berisi
mengenai janji-janji baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli hak atas tanah
tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian
utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditanda tangani di hadapan
PPAT seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli
dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan
pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di
tandatangani di hadapan PPAT. Selain mencantumkan mengenai janji-janji biasanya
dalam suatu perjanjian jual beli juga mencantumkan mengenai hak memberikan
kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk
hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli di hadapan PPAT, baik karena
lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa
tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak
milik atas tanah di PPAT telah terpenuhi.
Dalam suatu perjanjian jual beli tidak ditentukan oleh para pihak dimana
seharusnya barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan, penyerahan harus
dilakukan ditempat dimana barang itu berada pada saat perjanjian jual beli dilakukan.
75
Adapun cara-cara penyerahan benda yang diperjual belikan tersebut berbeda
berdasarkan kualifikasi barang yang diperjual belikan, yaitu sebagai berikut:
a. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari
tangan penjual atau atas nama penjual ke pembeli, akan tetapi penyerahan
secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang
tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin
diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol
tertentu, misalnya penyerahan kunci gudang sebagai simbol penyerahan
barang yang ada dalam gedung tersebut.
b. Barang tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya ada
dengan melalui akta dibawah tangan atau akta otentik. Akan tetapi, agar
penyerahan piutang atas nama mengikat bagi si berutang, penyerahan
tersebut diberitahukan kepada si berutang, atau disetujui secara tertulis oleh
si berutang.
c. Benda tidak bergerak atas tanah cara penyerahannya adalah melalui
pendaftaran atau balik nama.
2.2.3 Bentuk Perjanjian Jual beli
Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tidak begitu banyak
menimbulkan permasalahan, apalagi barang yang dijadikan objek jual beli tersebut
merupakan barang nyata, terdiri dari satu macam barang, barang tersebut dapat
dinikmati secara langsung dan pembayarannya dilakukan secara tunai menggunakan
uang.
76
Sebagaimana disebutkan diatas menurut pendapat Herlien Budiono yang
menyatakan bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi
sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, maka sebagai perjanjian yang
lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan
perundang-undangan maka perjanjian jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal
ini tentunya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum
perjanjian di Indonesia.
Dalam perjanjian jual beli hak milik atas tanah ada 2 (dua) hal yang harus
diperhatikan, yaitu subyek dan obyek. Menurut hemat penulis subyek disini adalah
menyangkut pihak penjual dan pembeli. Pihak penjual dan pembeli harus memiliki
itikad baik untuk melakukan jual beli hak atas tanah yang akan dijual tersebut, artinya
apakah pihak penjual berhak untuk menjual tanah tersebut dan apakah pihak pembeli
berhak untuk membeli hak atas tanah tersebut. Jika penjual dan pembeli berhak untuk
melakukan perjanjian jual beli tersebut, dan diantara mereka sudah terjadi
kesepakatan mengenai tanah yang akan dijual beserta harga dari tanah tersebut, para
pihak juga tidak menggunakan kuasa, maka para pihak datang menghadap Notaris
menyampaikan maksud mereka untuk mengadakan perjanjian jual beli dengan
dilengkapi persyaratan yang telah ditentukan oleh peraturan yang berlaku, yaitu
menyangkut identitas yang jelas dari masing-masing pihak. Selain identitas juga
diperlukan berkas-berkas atau surat-surat seperti bukti-bukti kepemilikan atas tanah
tersebut, identitas tanah, identitas dan keweangan penjual dan pembeli, serta dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.
77
Setelah semua syarat yang diperlukan diatas dilengkapi, kemudian Notaris
membuatkan perjanjian jual beli hak milik atas tanah sebagai perjanjian pendahuluan
dalam jual beli hak milik atas tanah tersebut dalam rangkap dua, dan kedua rangkap
itu ditandatangani oleh pihak penjual, pembeli, saksi-saksi dan Notaris. Kesepakatan
atas besaran harga tanah yang disetujui oleh para pihak menentukan besarnya pajak
penjualan yang harus dibayarkan. Kemudian diadakan pendaftaran jual beli itu sendiri
yang meliputi pencoretan nama pemegang hak lama (penjual) dan pencantuman nama
pemegang hak baru (pembeli) dalam buku tanah, dan di sertipikat hak milik atas
tanah yang dijual, dengan mencatat dalam kedua dokumen itu dengan menuliskan
tanggal dan nomor serta nama PPAT yang membuatnya. Setelah akta jual beli dan
sertifikat hak milik atas tanah didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk dilakukannya
proses peralihan hak milik dan selanjutnya dapat dilakukan penyerahan sertipikat
kepada pihak pembeli.
78
BAB III
PENYEBAB PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS
TANAH
Dalam bab III ini akan diuraikan mengenai penyebab terjadinya pembatalan
terhadap perjanjian jual beli Hak Milik atas tanah. Adapun yang akan dibahas pada
sub bab nya yaitu bagaimana proses terjadinya peralihan Hak Milik atas tanah dengan
dibuatnya perjanjian jual beli hak milik atas tanah kemudian akan membahas pula
unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya pembatalan terhadap perjanjian jual
beli hak milik atas tanah, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
3.1 Proses Peralihan Hak Milik Atas Tanah Dengan Dibuatnya Perjanjian Jual
beli Hak Milik atas Tanah
Perkembangan masyarakat yang dinamis memunculkan berbagai kebutuhan
terutama yang berkaitan dengan kebutuhan atas tanah seiring dengan pertumbuhan
ekonomi yang semakin berkembang di wilayah pemukiman, pusat bisnis,
pemerintahan dan industri, menjadikan tanah sebagai komoditas yang sangat berharga
dan memiliki nilai investasi tinggi. Hal ini berdampak makin tingginya kebutuhan
masyarakat akan tersedianya lahan atau tanah, sehingga transaksi tanah merupakan
suatu perbuatan hukum yang sering dilakukan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Kendala yang dihadapi adalah pertumbuhan penduduk terus meningkat,
sedangkan ketersediaan tanah yang sangat terbatas. Karena terbatasnya tanah yang
tersedia dan kebutuhan akan tanah semakin bertambah, dengan sendirinya akan
79
menimbulkan benturan-benturan kepentingan akan tanah, yang berakibat akan
menimbulkan permasalahan atas tanah, karenanya oleh pemerintah kebikan mengenai
tanah ini diatur dalam berbagai ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penjajahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet, Agrarissvhe Besluit dan
sebagainya mengenai tanah untuk kepentingan penjajah antara lain perkebunan-
perkebunan yang berada di Wilayah Indonesia di berikan kepada perusahaan-
perusahaan Belanda.
Demikian juga perlindungan terhadap hak-hak atas tanah diberikan kepada
kaum penjajah seperti hak eigendom adalah hak milik yang mutlak pada umumnya
diberikan kepada kaum penjajah serta diberikan kepastian hukumnya dengan
mendaftar hak-hak terebut dalam suatu daftar, kemudian diberikan tanda bukti atas
tanah tersebut. Sedangkan kepada penduduk pribumi/ rakyat Indonesia yang tunduk
kepada hukum adat tidak diberikan bukti hak atas tanah dan kalaupun ada hanya
berupa bukti pembayaran pajak saja, seperti girik, pipil, kekitir dan lain sebagainya.
Tidak semua kalangan masyarakat tahu apa saja bukti kepemilikan, lebih-lebih
mendapatkan hak atas tanah dan bangunan yang sah menurut hukum. Kepemilikan
tanah yang sah harus sudah terdaftar di BPN, sehingga setelah mengantongi bukti
yang sah baru kita bisa mendapatkan nomor setoran Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).
Setelah Indonesia merdeka, keadaan semacam itu dirasakan tidak adil dan
tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, sehingga setelah melewati waktu yang
lama untuk mempersiapkannya, baru pada tahun 1960 Indonesia berhasil membentuk
80
peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan dalam bentuk undang – undang
yang disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24
September 1960.
Mengenai hak atas tanah di Indonesia, adapun tata cara permohonan peralihan
hak atas tanah adalah sebagai berikut:
1. Hak Milik
Adapun tata cara permohonan hak milik menurut ketentuan sebagaimana
diatur dalam peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 9 Tahun 1999, permohonan
hak milik tersebut oleh pemohonan diajukan secara tertulis Kepada Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (sekarang Kepala Badan Pertanahan
Nasional) melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /Kota tempat letak tanah
yang bersangkutan. Permohonan hak milik tersebut memuat:
Keterangan mengenai pemohon:
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan serta keterangan mengenai istri/ suami dan anaknya yang masih
menjadi tanggungannya.
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan akta atau peraturan
pendiriannya, tanggal dan Nomor Surat Keputusan Perusahaan oleh
pejabat yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan ketentuan peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
81
Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik
a) Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa girik, surat kavling,
surat-surat bukti atas tanah yang telah dibeli dari pemerintah, putusan
pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak dan surat-surat bukti perolehan
tanah lainnya.
b) Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasi).
c) Jenis tanah (pertanian/non pertanian).
d) Rencana penggunaan tanah.
e) Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara).
Keterangan lain-lain
a). Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah yang dimiliki
oleh pemohon, termasuk bidang tanah yag dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.
2. Hak Guna Usaha
Adapun prosedur yang dapat dilakukan untuk permohonan Hak Guna Usaha
adalah sebagai berikut :
1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis kepada Menteri
(sekarang Kepala Badan Pertanahan nasional) melalui Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertahanan Nasional setempat dengan tembusanya disampaikan kepada
Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten /Kota daerah letak tanahnya (Pasal 18
jo. Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 Tahun
1999).
82
2) Permohonan tersebut memuat mengenai identitas pemohon, keterangan
mengenai data fisik dan yuridis dari tanahnya, serta keterangan lain yang
dianggap perlu.
3) Permohonan dimaksud juga harus dilampiri dengan (Pasal 19 Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No. 9 tahun 1999)
a) Foto copy identitas pemohon atau akta pendirian perusahaan yang telah
memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum ;
b) Rencana perusahaan tanah jangka waktu pendek atau jangka waktu
panjang;
c) Ijin lokasi atau surat persetujuan pengguna tanah atau surat ijin
pencadangan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah ;
d) Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan
hutan dari instansi yang berwenang , akta pelepasan bekas tanah milik
adat atau wenang surat surat bukti perolehan tanah lainya.
e) Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman
Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi penanaman
modal asing tertentu.
83
3. Hak Guna Bangunan
Dalam tata cara permohonan Hak Guna Bangunan sesuai dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No . 3 tahun 1993
adalah sebagai berikut:
a) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000 M2 dan semuanya pemberian hak guna bangunan atas tanah hak
pengelola , kewenangan untuk memberikan keputusan ada pada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota.
b) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luas lebih dari 2.000 M2
tapi tidak lebih dari 150.000 M2 kewenangan memberi keputusan ada pada
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
c) Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya lebih dari 150.000
M2, kewenangan memberi keputusan ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Pemberian hak atas tanah merupakan penetapan pemerintah yang memberikan
sesuatu hak atas tanah negara, termasuk perpanjangan jangka waktu hak, pembaruan
hak, perubahan hak, juga pemberian hak di atas tanah hak pengelola. Permohonan
untuk memperoleh hak guna bangunan diajukan oleh pemohon kepada pejabat yang
berwenang sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan
Pertahanan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, secara tertulis dengan
84
menggunakan formulir permohonan dengan melampirkan keterangan- keterangan
mengenai :
A. keterangan mengenai pemohon :
1) perorangan
Nama, umur , kewarganegaraan, tempat tinggal , pekerjaan ,serta keterangan
mengenai istri / suami serta anak yang masih menjadi tanggungan ;
2) badan hukum
Nama badan hukum, tenpat kedudukan akta atau akta pendirian badan hukum
tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B. keterangan mengenai tanahnya :
1) status tanah (tanah hak atau tanah Negara)
2) letak, batas dan luasnya (surat ukur / gambar situasi)
3) jenis tanah (tanah pertanian / non pertanian)
4) Rencana penggunaan tanah
5) daftar pengusaha atau alas haknya (dapat berupa sertifikat, girik, surat kavling,
surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah / tanah yang telah
dibeli dari pemerintah ,putusan pengadilan ,akta PPAT,akta pelepasan hak dan lain-
lain)
C. lain-lain
1) keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan setatus tanah yang sudah di miliki
pemohon.
2) keterangan lain yang dianggap perlu.
85
Dalam hal keputusan pemberian hak guna bangunan tidak dilimpahkan
kepada kepala kantor pertanahan, maka kepala kantur pertanahan yang bersangkutan
menyampaikan kepada kepala kantor wilayah propinsi disertai dengan
pertimbangannya Pasal 37 ayat (6) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala BPN
No. 9 tahun 1999. Kepala Kantor Wilayah, mencatat dan meneliti berkas permohonan
dan menerbitkan kuputusan pemberian hak atau keputusan penolakan apabila hal itu
merupakan kewenanganya.
Dalam hal kewenangan ,menerbitkan keputusan pemberian hak ada pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional, maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk mencatat dan meneliti data
kelengkapan data yuridis dan data fisik. Apabila berkas permohonan sudah lengkap,
maka dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional serta yang berlaku, Kepala Badan
Pertahanan Nasional menerbitkan keputusan pemberian hak guna bangunan atau
keputusan penolakan.
Peralihan hak atas tanah sering menimbulkan sengketa dikemudian hari, hal
ini akan menimbulkan konflik antar pihak yang besengketa. Walaupun di Indonesia
memberikan ruang untuk setiap orang mencari keadilan melalui pengadilan, namun
sistem peradilan di Indonesia dianggap masih rumit. Hal inilah mengapa banyak
masyarakat enggan untuk melakukan proses hukum ke Pengadilan untuk mencari
keadilan dan untuk mempertahankan haknya.
86
Pengertian lain tentang peralihan hak atas tanah, adalah beralihnya atau
berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari
pemilk semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum
tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas
tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).93
Perbuatan hukum dapat diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan
oleh subyek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Menurut CST Kansil, bahwa
“Segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk
menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya membuat surat wasiat,
membuat persetujuan-persetujuan dinamakan perbuatan hukum”. Perbuatan hukum
itu terdiri dari:
a. Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula,
misalnya pembuatan surat wasiat, dan pemberian hadiah sesuatu (benda).
b. Perbuatan hukum dua pihak, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
dua pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak (timbal
balik) misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.94
93
Irene Eka Sihombing, 2005, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Universitas Trisaksi, Jakarta, h. 56 94
CST. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, h. 119
87
Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan
perbuatan hukum pemindahan hak, yakni akan kami terangkan sebagai berikut:
a. Pewarisan tanpa wasiat
menurut hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal,
maka hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya.
b. Pemindahan hak
Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang
terjadi karena peristiwa hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam
perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja
dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa :
a) Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak atau dari kakek-nenek kepada
cucu atau dari adik kepada kakak atau sebaliknya kakak kepada adiknya
dan lain sebagainya.
b) Hibah yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain.
c) Jual beli tanah tersebut dijual kepada pihak lain. Acara jual beli banyak
tergantung dari status subyek yang ingin menguasai tanah dan status
tanah yang tersedia misalnya apabila yang memerlukan tanah suatu
Badan Hukum Indonesia sedangkan tanah yang tersedia berstatus Hak
Milik maka dengan cara Jual beli tidak bisa di laksanakan karena akan
mengakibatkan jual belinya , karena Badan Hukum Indonesia tidak dapat
menguasai tanah Hak Milik. Namun kenyataannya dalam praktek cara
peralihan hak dengan jual beli adalah yang paling banyak ditempuh.
88
d) Tukar menukar antar bidang tanah yang satu dengan bidang tanah yang
lain, dalam tukar menukar ini bisa ada unsur uang dengan suatu
pembayaran yang merupakan kompensasi kelebihan atas nilai/ harga
tanah yang satu dengan yang lainnya, bisa juga tanpa ada unsur uang
karena nilai tanah yang satu dengan yang lainnya sama.
e) Pembagian hak bersama bisa terjadi karena hak yang ada terdaftar atas
nama beberapa nama sehingga untuk lebih memperoleh kepastian hukum
para pihak melakukan pembagian atas bidang tanah yang mereka miliki
bersama-sama.
f) Pemasukan dalam perseroan yang menyebabkan hak atas tanahnya
berubah menjadi atas nama perseroan dimana seseorang tersebut
menyerahkan tanahnya sebagai setoran modal dalam perseroan tersebut.
g) Pelepasan hak, dilakukan karena calon pemegang hak yang akan
menerima peralihan hak atas tanah tersebut adalah bukan orang atau
pihak yang merupakan subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak
atas tanah yang akan dialihkan tersebut, sebagai contoh tanah yang akan
dilalihkan kepada suatu Badan Hukum Indonesia adalah tanah dengan
status hak milik, ini tidak bisa dilakukan karena Badan Hukum Indonesia
bukanlah Subjek hukum yang dapat menerima peralihan hak atas tanah
dengan status hak milik.
89
h) Lelang, umumnya dilakukan jika tanah yang akan dialihkan tersebut
susah untuk menemukan calon pembeli atau tanah tersebut merupakan
jaminan pada bank yang sudah di eksekusi lalu mau dijual.
i) Peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan yang
menyebabkan ikut beralihnya hak atas tanah yang merupakan asset
perseroan yang diambil alih tersebut.
Jual Beli, tukar menukar, hibah dan pemasukan dalam perusahaan, demikian
juga pelakasanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT, yang
bertugas membuat aktanya. Dengan demikian perbuatan hukum yang bersangkutan
dihadapan PPAT dipenuhi. Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih
luas daya pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada kantor
pertanahan setempat letak tanah tersebut berada, dengan tujuan :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak yang terdaftar haknya, agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah tertentu dan Satuan Rumah Susun yang terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli tanah harus
dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang. Hal ini sesuai dengan ketentuan
90
yang tercantum dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik
atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Namun dalam prakteknya, terdapat juga sebelum pembuatan akta jual beli
tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yang berwenang terlebih dahulu oleh
para pihak dibuat suatu perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Jual beli.
Perjanjian Jual beli Hak Milik atas Tanah dibuat sebagai perjanjian pendahuluan
dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah yang dibuat dalam bentuk akta Notaris
sebagai suatu kebutuhan hukum dari masyarakat yang dalam kesehariannya telah
banyak dipraktekan di kantor Notaris.
Menurut hemat penulis berdasarkan penelusuran dari beberapa literatur maka
dapat diketahui beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat PJB antara lain:
1. Uraian obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain ukuran luas tanah
dan bangunan (jika perlu disertai peta bidang tanah dan arsitektur bangunan),
sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan yang melekat pada
obyek tanah dan bangunan tersebut.
91
2. Harga tanah per-meter dan harga total keseluruhan serta cara pembayarannya.
Pembayaran harga tanah dapat juga ditentukan secara bertahap yang
pelunasannya dilakukan pada saat penandatanganan Akta Jual beli.
3. Syarat batal tertentu, misalnya jika ternyata pembangunan rumahnya tidak
selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan developer, maka calon
pembeli berhak membatalkannya dan menerima kembali uang muka. Atau
jika pembangunan itu telah selesai sesuai waktunya tapi calon pembeli
membatalkannya secara sepihak, maka calon pembeli akan kehilangan uang
mukanya.
4. Penegasan pembayaran pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak
dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah
dan biaya Notaris /PPAT.
5. Jika perlu dapat dimasukan klausul pernyataan dan jaminan dari calon
penjual, yaitu bahwa tanah dan bangunan tidak sedang berada dalam jaminan
hutang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa hukum. Jika ternyata
pernyataan dan jaminan calon penjual itu tidak benar, maka calon penjual
akan membebaskan calon pembeli dari tuntutan pihak lain manapun.
Adapun faktor yang menjadi alasan dibuatnya Perjanjian pendahuluan
terhadap Jual beli hak milik atas tanah oleh dan dihadapan Notaris yaitu:
1. Obyek tanah yang diperjual belikan belum memiliki sertipikat yang
merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang sah. Dalam prakteknya
tanah yang dijual tersebut masih berstatuskan tanah yasan yang diwarisi
92
secara turun temurun dan belum pernah didaftarakan menurut ketentuan yang
berlaku tentang pendaftaran tanah. Alat bukti atas tanah tersebut masih berupa
girik yang tercatat dalam buku C tanah di kelurahan;
2. Tanah yang akan dijual telah didaftarkan dan proses pembuatan sertipikat
tanah masih berlangsung di kantor pertanahan;
3. Pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjualbelikan belum dilakukan
secara lunas oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pembayaran dilakukan secara
bertahap berdasarkan kesepakatan pihak penjual dan pembeli;
4. Pihak Penjual atau pembeli belum memiliki uang untuk membayar Pajak
Penghasilan atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah, apabila jual beli dibuat
dalam suatu akta PPAT;
5. Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan dijual hampir habis jangka
waktunya dan sedang dilakukan proses permohonan perpanjangan hak di
kantor pertanahan;
6. Dan atau masih terdapat kekurangan-kekurangan dokumen yang diperlukan
untuk pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, dokumen mana ternyata
masih dalam proses pengurusan.
Dari beberapa sebab tersebut diatas, maka dibuatnya perjanjian jual beli
berdasar pada 3 (tiga) alasan yaitu:
1. Pembayaran oleh pihak pembeli kepada pihak penjual telah lunas, tetapi
syarat-syarat formal belum lengkap, misalnya sertifikat masih dalam proses
penerbitan atas nama pihak penjual.
93
2. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran, tetapi syarat-
syarat formal sudah lengkap.
3. Pembayaran atas obyek jual beli dilakukan dengan angsuran karena syarat
formal belum terpenuhi.
Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan
kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu
pegangan atau pedoman. Hal inilah yang membedakan penjualan yang dilakukan
dengan membuat suatu akta notariil Perjanjian Jual beli dengan suatu sistem
penjualan menurut hukum tanah Nasional. Dimana jual beli menurut hukum tanah
nasional yang bersumber pada hukum adat mengandung asas tunai, terang dan riil
atau nyata, sedangkan jual beli yang dimaksudkan dalam perjanjian jual beli itu hanya
obligatoir saja.
3.2 Unsur-Unsur Yang Melatarbelakangi Pembatalan Perjanjian Jual beli
Hak Milik Atas Tanah
Perjanjian jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya
beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan
jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi
dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan
perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para
pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari
undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual beli (AJB) dapat
94
di tandatangani. Para pihak yang akan melakukan jual beli hak milik atas tanah harus
memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual beli hak milik atas
tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan
diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang
dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak
tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak
lain, dan sebagainya. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah
persyaratan yang lahir dari kesepakatan para pihak yang akan melakukan perjanjian
jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli
menginginkan adanya sertifikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak
atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertifikat, dan dilain sisi, misalnya
pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua biaya hak atas tanah secara
lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.
Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah sebagai perjanjian pendahuluan
dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah dalam prakteknya sering dibuat dalam
bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris yang mengakibatkan Perjanjian
Jual beli menjadi akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna
sehingga para pihak yang terikat didalamnya mendapatkan perlindungan dan
kepastian hukum. Peranan seorang Notaris dalam membuat suatu akta harus bersikap
netral, tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif, dengan
bantuan Notaris para pihak yang membuat perjanjian jual beli akan mendapatkan
bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.
95
Notaris dalam pembuatan Perjanjian Jual beli (PJB) hak milik atas tanah dapat
memberikan pemahaman hukum yang benar tentang kedudukan masing-masing pihak
baik pihak penjual maupun pembeli sehingga dapat membantu menyelesaikan dalam
memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual
beli sesuai dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang peralihan
hak milik atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat
dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas
tanah.
Posisi Perjanjian Jual beli (PJB) yang merupakan sebuah perjanjian
pendahuluan dalam transaksi jual beli hak milik atas tanah diharapkan dapat
memberikan bantuan terhadap pemahaman hukum yang benar kepada pihak penjual
maupun pihak pembeli terkait peraturan perundang-undangan yang menyangkut
tentang peralihan hak milik atas tanah, sedangkan yang dapat diketahui bahwa semua
perbuatan hukum yang dilakukan menyangkut tanah harus mengikuti peraturan
perundang-undangan yang menyangkut tentang hak milik atas tanah.
Dalam pembuatan Perjanjian Jual beli, Notaris harus memperhatikan beberapa
hal yang merupakan kewenangannya, yaitu:
1) Kedudukan atau status penjual adalah merupakan pihak yang berhak menjual
tanah. Bila di dalam sertipikat terdapat lebih dari satu nama penjual (tanah
tersebut dimiliki secara bersama-sama), maka tanah tersebut dilarang dijual oleh
satu orang, yang berhak menjualnya adalah semua pihak yang namanya
tercantum dalam sertipikat tersebut. Kepemilikan bersama atas hak milik
96
biasanya bisa terjadi karena hibah, kewarisan atau membeli secara patungan
atau bersama-sama.
2) Penjual adalah pihak yang berwenang untuk menjual tanah yang bersangkutan.
Untuk dapat bertindak sebagai penjual, maka harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu sebagai berikut:
a. Sebidang tanah dalam sertipikat atas nama istrinya, sedangkan tanah tersebut
merupakan harta bersama dengan suaminya, maka si istri tidak berwenang
menjual sendiri tanah tersebut, namun harus menjual bersama-sama dengan
suaminya atau suaminya memberikan persetujuan tertulis kepada istrinya
untuk melakukan perjanjian jual beli. Demikian juga sebaliknya, bila suatu
tanah tercatat atas nama suami, istri juga harus memberi persetujuan tertulis
dari suami untuk menjual.
b. Apabila tanah tersebut tercatat atas nama seseorang yang tunduk pada
KUHPerdata dan sedang berada di bawah pengampuan, maka yang
berwenang menjual tanah tersebut adalah pengampu dari orang yang
bersangkutan dan harus ada penetapan dari Pengadilan Negeri setempat.
c. Anak yang berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun tidak berwenang
melakukan jual beli, walaupun nama anak tersebut tercatat pada sertipikat.
Jual beli dapat terlaksana jika ayah dari anak tersebut bertindak sebagai
orang yang melakukan kekuasaan orang tua.
3) Pembeli adalah pihak yang diperkenankan untuk membeli tanah dari penjual.
Untuk dapat membeli tanah dengan status hak milik, maka tidak semua pembeli
97
dapat melakukannya. Perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas,
Perseroan Komanditer serta Warga Negara Asing tidak dapat memiliki Hak
Milik.
Suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan
yang diinginkan oleh para pihak. Dalam suatu keadaan tertentu dapat ditemukan
terjadinya berbagai hal, yang mengakibatkan perjanjian tersebut mengalami
pembatalan, baik dibatalkan oleh para pihak maupun atas perintah pengadilan.
Sebagai suatu bentuk perikatan, perjanjian jual beli hak milik atas tanah mengandung
hak dan kewajiban dari para pihak yang membuatnya, sehingga apabila hal-hal yang
telah disepakati dalam perjanjian jual beli dilanggar atau bahkan tidak dipenuhi oleh
para pihak yang terikat di dalamnya maka dapat disebut telah terjadi wanprestasi.
Perjanjian jual beli dimungkinkan untuk dapat dibatalkan secara sepihak oleh
salah satu pihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan perjanjian jual beli
tersebut dapat pula dimohonkan pembatalannya berdasarkan putusan Pengadilan
Negeri setempat melalui gugatan perdata. Tentunya dengan dibatalkannya suatu
perjanjian jual beli hak milik atas tanah yang telah dibuat secara otentik dihadapan
Notaris akan membawa konsekuensi yuridis tertentu.
Salah satu syarat yang penting di dalam perjanjian timbal balik adalah ingkar
janji. Seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan
bahwa ; “ingkar janji adalah syarat batal.” Syarat batal dianggap selalu ada dalam
perjanjian timbal-balik. Jika syarat batal itu terjadi, perjanjian tidak batal dari segi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus
98
dilakukan walaupun ingkar janji sebagai syarat batal dicantumkan di dalam
perjanjian. Perjanjian jual beli juga terkait perjanjian dengan ketetapan waktu. Karena
perjanjian dengan ketetapan waktu adalah suatu perjanjian yang tidak menangguhkan
perjanjian, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Ketetapan waktu yang
dapat menangguhkan atau mengakhiri perjanjian.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan
disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena
kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim;
2) Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian
itu.
Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana disebutkan di atas Undang-Undang
mengadakan suatu batas waktu yaitu 5 (lima) tahun, yang mana penjelasan ini
tercantum dalam Pasal 1454 KUHPerdata, sedangkan untuk pembatalan sebagai
pembelaan tidak diadakan pembatalan waktu itu. Penuntutan pembatalan tidak akan
diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada "Penerimaan baik dari pihak yang
dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu
perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk
meminta pembatalan.
99
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat
perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu
pihak biasanya terjadi karena:
1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam
jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama selaku penjual melihat adanya kemungkinan pihak kedua
selaku pembeli mengalami kebangkrutan atau secara finansial tidak dapat
memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah Pengadilan.
4. Terlibat hukum.
5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksanakan
perjanjian.
Pembatalan Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Pembatalan mutlak; dan
2. Pembatalan relatif.
Pembatalan mutlak, adalah suatu pembatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas.
Pembatalan mutlak terjadi karena:
(1) Cacat bentuknya;
(2) Perjanjian itu dilarang undang-undang;
(3) Bertentangan dengan kesusilaan, dan
(4) Bertentangan dengan ketertiban umum.
100
Contoh pembatalan mutlak:
1. Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk itu tidak
dipenuhi.
2. Perjanjian Kawin yang dibuat di bawah tangan oleh para pihak, namun
seharusnya Perjanjian perkawinan dibuat dengan akta Notaris (Pasal 147
KUHPerdata).
Pembatalan relatif adalah suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan biasanya
diajukan oleh salah satu pihak. Misalnya: wakil dari orang yang tidak berwenang
melakukan perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan kekerasan atau
penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan.
Perjanjian jual beli merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Hal ini dapat diartikan bahwa
perjanjian jual beli merupakan permulaan atau perjanjian obligatoir atau pelengkap.
Namun perjanjian obligatoir lebih dahulu lahir sebelum perjanjian pokoknya ada, hal
ini tidak sebagaimana perjanjian obligatoir lazimnya seperti perjanjian pembebanan
hak tanggungan, gadai atau fidusia yang lahir setelah didahului dengan perjanjian
utang piutang terlebih dahulu.
Oleh karena perjanjian jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka
biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang
mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli yang
sebenarnya belum terpenuhi. Tentu saja para pihak setelah syarat untuk jual beli telah
terpenuhi dapat bertemu kembali (untuk kewajiban jual beli dihadapan pejabat umum
101
yang berwenangan untuk melaksanakan jual beli). Dalam Perjanjian Jual beli hak
milik atas tanah dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan jual beli, apabila hal-hal yang belum
dapat dipenuhi pada saat perjanjian jual beli tersebut dilakukan, biasanya menyangkut
harga yang belum lunas atau surat-surat tanah yang belum ada.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1253 KUHPerdata dapat
diketahui bahwa perjanjian jual beli hak milik atas tanah dapat digolongkan ke dalam
perjanjian bersyarat. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata
menentukan:
Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih
akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan
perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan
murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat.
Suatu syarat harus tegas dicantumkan dalam perikatan. Undang-undang
menentukan syarat-syarat yang tidak boleh dicantumkan dalam suatu perikatan, yaitu:
1. Bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan;
2. Bertentangan dengan kesusilaan;
3. Dilarang Undang-undang;
4. Pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang terikat.
102
Agar suatu perjanjian jual beli dapat memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum bagi para pihak, maka adapun hal-hal yang harus dicantumkan
dalam suatu perjanjian jual beli sebagai perjanjian pendahuluan yaitu:
1. Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya untuk menjual kepada pihak pembeli
yang berjanji dan mengikat dirinya untuk membeli dari pihak penjual sebidang
tanah tertentu;
2. Pihak penjual mengakui bahwa uang harga penjualan tanah yang akan dijual oleh
pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut senilai yang telah disepakati dan
telah dibayar oleh pembeli kepada pihak penjual pada saat penandatanganan
perjanjian dan perjanjian jual beli berlaku pula sebagai tanda penerimaan atau
kwitansinya yang sah, tanpa mengurangi dikeluarkannya kwitansi tersendiri/
khusus.
3. Manakala pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, kelalaian mana telah terjadi dan terbukti dengan
lewatnya waktu saja, maka pihak pembeli dikenakan denda yang besarnya telah
disepakati dari jumlah yang harus dibayar pembeli kepada penjual, untuk tiap-
tiap hari keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan
sekaligus.
4. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut setelah lewatnya waktu
tersebut di atas, Pihak Pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka
Perjanjian jual beli dianggap berakhir dan sepanjang perlu kedua belah pihak
melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267
103
KUHPerdata, dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah
dibayarkan oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual
tanah dan bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh
Pihak Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada
Pihak Penjual. Pengembalian uang oleh Pihak Penjual kepada Pihak Pembeli
dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, misalnya 7 (tujuh) hari setelah tanah dan bangunan tersebut terjual
kepada pihak lain.
5. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh pihak penjual
kepada pihak pembeli tersebut menjadi milik pihak pembeli, dan segala
keuntungan yang diperoleh dari dan segala kerugian yang diderita dengannya
mulai hari tersebut menjadi milik atau dipikul oleh pihak pembeli.
6. Pihak Penjual menjamin bahwa tanah dan bangunan tersebut milik Pihak Penjual,
tidak dijaminkan secara bagaimanapun juga kepada pihak lain, tidak dibebani
dengan beban-beban apapun juga dan pula bebas dari sita jaminan, sehingga
pihak pembeli tidak akan mendapat gangguan dan atau rintangan dari pihak lain
rnengenai hal itu.
7. Selanjutnya perjanjian jual beli yang akan dilaksanakan tersebut dilakukan
dengan syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang lazim untuk sesuatu jual beli
hak milik atas tanah, syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian tersebut telah
diketahui oleh pihak-pihak.
104
8. Pihak penjual memberikan kuasa kepada pihak pembeli dan baik bersama-sama
maupun masing-masing untuk dan atas nama pihak penjual melaksanakan
penjualan tanah dan bangunan tersebut di atas kepada pihak pembeli dengan
harga dan perjanjian-perjanjian sebagaimana tersebut di atas dan berhubung
dengan itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, membuat menyuruh dan menandatangani akta jual beli
yang bersangkutan dan surat-surat lainnya yang diperlukan, menyerahkan segala
sesuatu yang dijual tersebut kepada pihak kedua dan selanjutnya melakukan apa
saja yang baik dan berguna untuk mencapai maksud tersebut tidak ada tindakan
yang dikecualikan.
9. Pihak Penjual selanjutnya dengan ini memberi kuasa kepada pihak pembeli untuk
selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan atas nama Pihak Pembeli
melakukan dan menjalankan segala hak, kepentingan dan kekuasaan pihak
penjual mengenai tanah dan bangunan tersebut dan untuk keperluan itu
melakukan segala tindakan hukum baik tindakan pengurusan maupun tindakan
pemilikan.
10. Pihak Penjual berjanji dan mengikat dirinya selama penjualan tersebut di atas
belum dilaksanakan tidak akan menggadaikan ataupun menjaminkan secara
bagaimanapun juga, menjual atau dengan cara lain melepaskan tanah dan
bangunan tersebut kepada pihak lain.
11. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam akta ini tidak dapat ditarik kembali dan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini, yang tanpa
105
kuasa-kuasa tersebut tidak akan dibuat dan kuasa-kuasa itu pun diberikan dengan
melepaskan semua peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang
mengatur segala sebab dan dasar yang mengakhirkan suatu kuasa. Kuasa-kuasa
tersebut di atas baru sepenuhnya berlaku apabila Pihak Pembeli telah memenuhi
seluruh kewajibannya kepada Pihak Penjual.
12. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah tidak akan berakhir karena salah satu
pihak meninggal dunia, akan tetapi bersifat turun temurun, dan harus dipenuhi
oleh ahli waris atau penerima hak masing-masing.
13. Segala pajak yang berhubungan dengan tanah dan bangunan tersebut sampai hari
penjualan dipikul oleh pihak penjual dan mulai hari tersebut dipikul oleh pihak
pembeli.
14. Ongkos-ongkos yang berhubungan dengan pemindahan nama tanah dan
bangunan tersebut kepada pihak pembeli dipikul oleh pihak pembeli.
15. Klausula Domisili, yaitu pihak-pihak memilih tempat tinggal tetap dan umum
mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Panitera Pengadilan
Negeri setempat.
Penyerahan dalam jual beli itu ialah suatu pemindahan barang yang telah
dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan (bezit) pembeli. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Jika benda yang dijual itu
berupa suatu barang tertentu, apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang
ini sejak saat pembelian itu terjadi merupakan tanggungan pembeli, walaupun
penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat (berhak untuk) menuntut
106
harganya.” Dalam suatu proses jual beli tentunya baik penjual maupun pembeli sama-
sama mempunyai hak dan kewajiban. Adapun yang menjadi kewajiban (utama) dari
pihak penjual terhadap pembeli, yaitu :
- menyerahkan barang/benda yang bersangkutan;
- menanggung/menjamin (vrijwaren)penguasaan benda yang dijual itu secara
aman dan tenteram (rustig en vreedzaam);
- cacad-cacad yang tersembunyi (verborgen gebreken) dari benda yang
bersangkutan atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan
pembatalan jual beli itu.
Pembeli mempunyai kewajiban utama untuk membayar harga dari apa yang
dibelinya itu, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan/
perjanjian yang bersangkutan dengan aturan tambahan bahwa jika para pihak tidak
menentukannya, pembayaran itu harus dilakukan di tempat pada waktu penyerahan
benda itu. Jika pembeli tidak membayar harga benda yang dibelinya itu, maka penjual
dapat menuntut dibatalkannya jual beli yang bersangkutan. Suatu perjanjian tidak
senantiasa berjalan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya,
terdapatnya kondisi-kondisi tertentu yang berakibat suatu perjanjian harus berakhir
tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Adapun unsur-unsur yang berpotensi
mengakibatkan terjadinya pembatalan perjanjian jual beli tersebut, yaitu:
1. Harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli tidak dilunasi
oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;
107
2. Dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak
milik atas tanah (jual beli hak milik atas tanah dihadapan PPAT) belum
selesai sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;
3. Subyek hukum yang bertindak selaku penjual ternyata dikemudian hari
bukanlah subyek hukum yang berhak melakukan peralihan;
4. Obyek jual beli ternyata di kemudian hari dalam keadaan sengketa;
5. Para pihak tidak melunasi kewajibannya dalam membayar pajak;
6. Perjanjian jual beli hak milik atas tanah tersebut dibatalkan oleh para pihak.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan
perjanjian jual beli lalu kemudian terjadi hal-hal seperti tersebut diatas dapat
berakibat pada pembatalan dari perjanjian jual beli tersebut apabila diantara para
pihak tidak menemui kata sepakat untuk menyelesaikan permasalahan secara
musyawarah, maka para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian
jual beli tersebut kepada Pengadilan. Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri (PN)
yang menyatakan jual beli dibatalkan, maka perjanjian jual beli dianggap tidak
pernah ada dan tidak memiliki akibat hukum sejak dari awalnya. Apabila putusan PN
tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka terhadap putusan tersebut baru dapat
dilakukan eksekusi. Dengan demikian, semua kewajiban seperti pembayaran haruslah
dikembalikan seutuhnya untuk mengembalikan ke keadaan semula seperti tidak
pernah ada jual beli. Untuk itu, uang pembeli sudah seharusnya dikembalikan
sejumlah yang pembeli bayarkan.
108
Apabila uang yang menjadi hak Pembeli tidak dikembalikan, sedangkan telah
ada putusan dari PN bahwa jual beli itu telah dibatalkan, maka segala bentuk
kewajiban (pembayaran) yang telah terjadi juga dibatalkan dan harus
dikembalikan.Setelah putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, langkah yang
dapat Pembeli lakukan adalah dengan mengajukan permohonan eksekusi ke PN yang
memutus perkara tersebut.
Mengenai eksekusi putusan perkara perdata ini diatur dalam Pasal
196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menyebutkan bahwa:
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan
itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik
dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang
tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua
menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya
ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang
selama-lamanya delapan hari.
Apabila terhadap putusan tersebut belum juga dilakukan eksekusi, maka
Pembeli dapat melaporkan penjual polisi berdasarkan Pasal 216 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi
sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang
siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah
seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Pejabat yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu dalam Pasal 92
KUHP yang salah satunya adalah hakim. Dengan demikian, dikarenakan putusan
109
tersebut adalah putusan hakim, apabila ada pihak-pihak yang tidak menuruti dan
melaksanakan putusan tersebut maka dapat dipidana dengan berdasarkan Pasal 216
ayat (1) KUHP. Jadi, Pembeli dapat mengajukan tuntutan pidana terhadap penjual
apabila penjual tetap tidak menjalankan putusan tersebut setelah mengajukan
permohonan eksekusi ke PN yang memutus perkara tersebut.
110
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM DENGAN DIBATALKANNYA PERJANJIAN
JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH
Dalam bab IV ini akan diuraikan mengenai perlindungan hukum dengan
dibatalkannya perjanjian jual beli hak milik atas tanah. Adapun yang akan dibahas
pada sub bab nya yaitu akibat hukum dari pembatalan perjanjian jual beli hak milik
atas tanah, kemudian akan membahas pula perlindungan hukum yang dapat diberikan
dalam pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, yang diuraikan lebih
lanjut sebagai berikut:
4.1 Akibat Hukum Dari Pembatalan Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas
Tanah
Suatu perbuatan hukum untuk menyatakan batalnya, maka dikenal istilah-
istilah “batal demi hukum”, “membatalkannya” sesuai dengan Pasal 1449
KUHPerdata, “menuntut pembatalan” sesuai dengan Pasal 1450 KUHPerdata,
“pernyataan batal” sesuai dengan Pasal 1451-1452 KUHPerdata, “gugur” sesuai
dengan Pasal 1545 KUHPerdata, “gugur demi hukum” sesuai dengan Pasal 1553
KUHPerdata. Ajaran kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum baik perbuatan
hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak.
Dengan menyatakan suatu perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena
adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak
berlaku. Akibat kebatalan berlaku pula terhadap beding yang batal, keputusan yang
batal atau wasiat yang batal. Pada perbuatan hukum dapat mengandung cacat yang
111
sifat cacat tersebut dapat berbeda-beda. Dengan adanya cacat yang berbeda
menimbulkan sanksi yang berbeda pula. Perbedaan utama mengenai kebatalan adalah
batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Dalam suatu keadaan tertentu dengan adanya cacat tertentu dalam suatu
perjanjian maka diberi sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum tersebut oleh
undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum
tersebut. Perbuatan hukum yang mengandung cacat namun penentuan apakah
perbuatan hukum tersebut menjadi sah atau batal tergantung pada keinginan orang
tertentu menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.
Pengertian pembatalan ini mengandung dua macam kemungkinan alasan yaitu
pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif dan pembatalan karena adanya
wanprestasi dari debitur. Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni :
1. Perjanjian harus bersifat timbal balik
2. Harus ada wanprestasi
3. Harus ada putusan hakim.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian mengenai
pembatalan yaitu “suatu proses, cara, perbuatan membatalkan, atau suatu pernyataan
batal”. Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dapat dijadikan bukti bahwa ada suatu peristiwa dan ditandatangani.
Pembatalan akta Notaris dalam hal ini perjanjian jual beli dengan Putusan
Pengadilan Negeri dimulai dengan proses pemeriksaan perkara di Pengadilan yang
telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Ketua Majelis Hakim
112
yang ditunjuk dalam menangani perkara gugatan perdata pembatalan perjanjian jual
beli hak milik atas tanah akan menentukan hari dan jam perkara untuk diperiksa di
depan persidangan. Semua perkara persidangan ialah termasuk kekuasaan atau
wewenang hakim yang memutuskannya. Hakim serta pengadilan merupakan alat
perlengkapan dalam suatu negara hukum yang ditugaskan menetapkan hubungan
hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau
persengketaan.
Hak dan kewajiban hukum yang dilahirkan dari perbuatan hukum yang
disebut dalam akta Notaris, hanya mengikat pihak-pihak dalam akta itu, dan apabila
terjadi sengketa mengenai isi perjanjian, maka Notaris tidak terlibat dalam
pelaksanaan kewajiban dan dalam menuntut hak, karena Notaris berada diluar
perbuatan hukum pihak-pihak tersebut. Akta Notaris sebagai akta otentik yang
memiliki kekuatan bukti lengkap dan telah mencukupi batas minimal alat bukti yang
sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa hukum perdata dapat
mengalami degradasi kekuatan bukti dari kekuatan bukti lengkap menjadi permulaan
pembuktian dan dapat memiliki cacat yuridis yang menyebabkan kebatalan atau
ketidak absahannya. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan kewenangan
untuk menuangkan semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang dikehendaki oleh
para pihak atau pihak-pihak yang sengaja datang menghadap kepada Notaris untuk
mengkonstantir keterangan itu dalam suatu akta otentik dan agar akta yang dibuatnya
memiliki kekuatan bukti yang sempurna.
113
Seorang Notaris memiliki kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan yang
terkandung dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Menjadi sangat penting untuk seorang Notaris
mengetahui dan memahami syarat-syarat otentitas, keabsahan dan sebab-sebab
kebatalan suatu akta Notaris, sangat penting untuk menghindari secara preventif
adanya cacat yuridis dalam suatu akta yang dibuatnya yang dapat mengakibatkan
hilangnya otentitas hingga batalnya akta Notaris tersebut.
Suatu akta Notaris yang batal sebagai akta otentik, maka akta tersebut masih
berfungsi sebagai akta dibawah tangan, apabila akta tersebut ditandatangani oleh para
pihak, sepanjang berubahnya status dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan
tersebut tidak mendatangkan kerugian, maka Notaris tersebut tidak dapat dituntut,
sekalipun Notaris yang bersangkutan menjadi kehilangan nama baiknya. Berdasarkan
uraian diatas menurut hemat penulis dapat diketahui bahwa suatu akta yang disebut
sebagai akta otentik adalah alat bukti yang mengikat, dan alat bukti yang sempurna
dalam arti bahwa hal-hal yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dapat dianggap
benar oleh hakim sepanjang ketidakbenaran atas akta tersebut tidak dapat dibuktikan.
Adapun pembatalan perjanjian jual beli membawa akibat hukum sebagai
berikut:
1. Perjanjian berakhir dan sepanjang diperlukan kedua belah pihak melepaskan
diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata,
dan Pihak Penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan
oleh Pihak Pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan
114
bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh Pihak
Penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh Pihak Pembeli kepada Pihak
Penjual. Pengembalian uang oleh Pihak Penjual kepada Pihak Pembeli
dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, misalnya 21 (dua puluh satu hari) hari setelah tanah dan bangunan
tersebut terjual kepada pihak lain.
2. Para pihak dapat dikenakan denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah
yang harus dibayar pembeli kepada penjual atau pembeli, untuk tiap-tiap hari
keterlambatan. Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan sekaligus.
Tanggung jawab seseorang atas apa yang dibuatnya tentunya merupakan
kewajiban masing-masing individu tersebut. Akibat hukum dari putusan yang
dijatuhkan oleh pengadilan dalam hal ini Notaris tidak bertanggungjawab atas
kerugian yang diderita oleh pihak yang kalah dalam perkara ini, dan Notaris tidak
dapat dituntut atas kerugian biaya pembuatan akta yang telah dibuatnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, salah satu kasus
pembatalan PJB yang dibahas dalam tesis ini yaitu dengan menganalisa Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps. tertanggal 13 Agustus 2007
dengan Penggungat yaitu pihak pembeli dalam hal ini RIZALDY DECIDERUS
WATRUTY, umur 39 Tahun, pekerjaan swasta, beralamat di Jalan Kerta Rahayu No.
57 Suwung, Denpasar, Bali, yang selanjutnya disebut PENGGUGAT. Melawan
penjual dalam hal ini yaitu : REINTA SORTARIA ARIA SITOMORANG, umur 56
115
Tahun, pekerjaan swasta, beralamat Banjar Seseh, Kelurahan Desa Cemagi,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
TENTANG DUDUKNYA PERKARA:
Menimbang:
1. Bahwa pada bulan April 2005, Penggugat bertemu dengan Tergugat dan
Tergugat menceritakan bahwa Tergugat mempunyai beberapa bidang tanah
seluas 2,8 Hektar yang terletak di Kecamatan Mengwi, Desa Munggu,
Kabupaten Badung dan Tergugat berniat untuk menjual tanah tersebut dengan
harga Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) per 100 m2.
2. Bahwa setelah Penggugat melihat lokasi tanah tersebut mempunyai prospek
yang bagus untuk membangun usaha villa, maka Penggugat berniat untuk
membeli tanah tersebut dan setelah mengadakan pertemuan dengan Tergugat
maka disepakati harga jual tanah tersebut sebesar Rp. 85.000.000,- (delapan
puluh lima juta rupiah) per 100 m2 dengan pembayaran secara bertahap selama
4 kali dalam waktu 6 bulan dengan total pembayaran sebesar Rp.
23.406.000.000,- (dua puluh tiga milyar empat ratus enam juta rupiah).
3. Bahwa pada tanggal 2 Mei 2005, Penggugat dan Tergugat melakukan Perikatan
Jual beli di Notaris Fransisca Theresa Nilawati, SH yang beralamat di Jalan
Patimura No. 7 Denpasar terhadap tanah-tanah milik Tergugat yaitu:
a. Tanah Hak Milik No. 985/Desa Buduk seluas 5100 m2.
b. Tanah Hak Milik No. 430/Desa Buduk, seluas 1.900 m2.
c. Tanah Hak MilikNo. 431/Desa Buduk, seluas 2.050 m2
116
d. Tanah Hak MilikNo. 464/Desa Buduk, seluas 5.600 m2
e. Tanah Hak MilikNo. 465/Desa Buduk, seluas 1.450 m2
f. Tanah Hak Milik No. 495/Desa Buduk, seluas 1350 m2
g. Tanah Hak Milik No. 496/Desa Buduk, seluas 2650 m2
h. Tanah Hak Milik No. 497/Desa Buduk, seluas 2.650 m2
i. Tanah Hak MilikNo. 498/Desa Buduk, seluas 4.600 m2
Dan pada tanggal seperti tersebut diatas juga telah dilakukan pembayaran uang
muka sebesar Rp. 1.365.000.000,- (satu milyar tiga ratus enam puluh lima juta
rupiah);
4. Bahwa setelah ikatan jual beli yang dilakukan di Notaris pada tanggal 2 Mei
2005, Penggugat melakukan pembayaran tahap pertama pada tanggal 8 Juni
2005 sebesar Rp. 9.262.500.000,- (sembilan milyar dua ratus enam puluh dua
juta lima ratus ribu rupiah);
5. Bahwa pada tanggal 30 Agustus 2005, Penggugat melakukan pembayaran tahap
kedua sebesar Rp. 4.631.250.000,- (empat milyar enam ratus tiga puluh satu
juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian pada tanggal 19 Oktober
2005, Penggugat melakukan pembayaran sebesar Rp. 2. 431.250.000 (dua
milyar empat ratus tiga puluh satu ribu dua ratus lima puluh ribu rupiah),
kemudian pada tanggal 30 Oktober 2005, Penggugat melakukan pembayaran
sebesar Rp. 2.200.000.000,- (dua milyar dua ratus juta rupiah), selanjutnya pada
tanggal 21 Desember 2005 kembali Penggugat melakukan pembayaran sebesar
Rp. 1.852.500.000,- (satu milyar delapan ratus lima puluh dua juta lima ratus
117
ribu rupiah). Bahwa pada tanggal 2 Februari 2006, Penggugat melakukan
pembayaran sebesar Rp. 3.051.476.025,- (tiga milyar lima puluh satu juta
empatratus tujuh puluh enam ribu dua puluh lima rupiah). Dan terakhir
Penggugat melakukan pembayaran pada tanggal 5 Mei 2006 sebesar Rp.
2.628.112.500,- (dua milyar enam ratus dua puluh delapan juta seratus dua belas
ribu lima ratus rupiah). Sehingga total pembayaran yang telah dilakukan
Penggugat adalah sebesar Rp. 27.422.088.525 (dua puluh tujuh milyar empat
ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh lima
rupiah).
6. Bahwa keterlambatan yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat seperti
yang diatur dalam Perjanjian Jual beli tidak sesuai, namun hal tersebut telah
disetujui dan disepakati oleh Tergugat terbukti dengan diterimanya pembayaran
oleh Tergugat.
7. Bahwa terhadap keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat,
Penggugat mendapat pinalty terhadap keterlambatan sebesar Rp.
4.016.088.525,- (Empat milyar enam belas juta delapan puluh delapan ribu lima
ratus dua puluh lima rupiah).
8. Bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan pelunasan pembayaran
seharusnya tergugat menyerahkan sertifikat tanah-tanah tersebut diatas kepada
Penggugat, namun sampai saat ini sertifikat-sertifikat tanah tersebut belum
diserahkan kepada Penggugat, yang mana Sertifikat tersebut masih di Notaris
Francisca Theresa Nilawati, SH.,
118
9. Bahwa penggugat sudah berusaha mencari Tergugat sesuai dengan alamat yang
tercantum di Perjanjian Jual beli, namun sampai saat ini keberadaan Tergugat
belum diketahui
10. Bahwa penggugat sudah berusaha untuk menghubungi Tergugat, namun sampai
sekarang belum memperoleh informasi dimana keberadaan tergugat;
11. Bahwa oleh karena Penggugat telah melakukan pembayaran lunas, maka sudah
sepantasnya sertifikat tanah-tanah tersebut diatas diserahkan oleh Tergugat
kepada Penggugat melalui Notaris Francisca dan juga dibuatkan akta Jual
belinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Penggugat memohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri Denpasar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan hukum bahwa Perjanjian Jual beli antara Penggugat dan Tergugat
yang dilakukan di Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH adalah lunas dan
sah;
3. Menyatakan hukum agar Tergugat menyerahkan Sertifikat Tanah Hak Milik
yaitu: Tanah Hak Milik No. 985 seluas 5100 m2, Tanah Hak Milik No. 430
seluas 1900 m2, Tanah Hak Milik No. 431 seluas 2050 m2, Tanah Hak Milik
No. 464 seluas 5600 m2, Tanah Hak Milik No. 465 seluas 1450 m2, Tanah
Hak Milik No. 495 seluas 3500 m2, Tanah Hak Milik No. 496 seluas 1350 m2,
119
Tanah Hak Milik No. 497 seluas 2650 m2, Tanah Hak Milik No. 498 seluas
4600 m2 kepada Penggugat melalui Notaris Francisca Theresa Nilawati, SH;
4. Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (Dwangsom) kepada
Penggugat sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap hari
keterlambatannya menyerahkan sertifikat-sertifikat diatas;
5. Menyatakan hukum bahwa putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut dapat
dilaksanakan terlebih dahulu meskipun Tergugat mengajukan Verset, Banding,
Kasasi ataupun mengajukan Peninjauan Kembali;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar semua biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa pada sidang yang telah ditetapkan pihak Penggugat
datang menghadap kuasa hukumnya dipersidangan, sedangkan pihak Tergugat tidak
pernah hadir dipersidangan padahal sudah diumumkan melalui Sekretaris Kabupaten
Badung sesuai surat pengumuman panggilan masing-masing tanggal 26 Januari 2007,
tanggal 6 Februari 2007 dan tanggal 22 Februari 2007, Nomor :
05/Pdt.G/2007/PN.Dps.
Menimbang bahwa oleh karena Tergugat telah dipanggil secara patut tetapi
tidak pernah hadir dipersidangan tanpa alasan yang sah, sehingga Tergugat dianggap
tidak menggunakan hak nya untuk itu, maka sidang tetap dilanjutkan tanpa hadirnya
pihak Tergugat.
120
Menimbang bahwa selanjutnya pemeriksaan dimulai dengan pembacaan surat
gugatan Penggugat, yang atas pertanyaan Hakim Ketua, Kuasa Hukum Penggugat
menyatakan tetap pada gugatannya tersebut.
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA:
Atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan setelah memeriksa bukti-
bukti dan saksi-saksi dalam persidangan, maka :
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah dipertimbangkan
tersebut diatas maka telah terbukti fakta-fakta hukum sebagaimana yang didalilkan
Penggugat dalam gugatannya sehingga dapat menguatkan dalil-dalil gugatan
Penggugat dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gugatan Penggugat beralasan
hukum sehingga gugatan Penggugat dalam petitum No. 1 dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa mengenai gugatan Penggugat dalam petitum No. 2 oleh
karena dalam petitumnya Penggugat juga mohon putusan seadil-adilnya maka
petitum No. 2 tersebut dikabulkan dengan perbaikan redaksi seperlunya sebagaimana
termuat dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa mengenai petitum No. 4 tentang Dwangsom Majelis akan
mempertimbangkan sebagai berikut ini :
- Bahwa sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat bahwa sertifikat-
sertifikat tanah sengketa sekarang ini ada di simpan di Notaris T. Francisca
Teresa Nilawati, SH., yaitu di Notaris ditempat dibuatnya Perjanjian Jual beli
antara Penggugat dan Tergugat dan begitu pula sesuai dengan bukti yaitu
Surat Keterangan dari Notaris T. Francisca Teresa Nilawati, SH., yang
121
menerangkan bahwa benar asli dari Sertifikat tersebut masih tersimpan di
tempat Notaris tersebut;
- Bahwa oleh karena itu gugatan Penggugat dalam petitum No. 4 tersebut tidak
relevan untuk dikabulkan sehingga harus dinyatakan ditolak;
- Menimbang bahwa mengenai petitum gugatan No. 5 yaitu agar putusan ini
dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sesuai dengan fakta-fakta hukum yang
terungkap dalam persidangan dan berdasarkan ketentuan Pasal 180 HIR/191
Rbg begitu pula untuk prinsip kehati-hatian, maka Majelis memandang
tuntutan agar putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu tidak beralasan
untuk dikabulkan
- Bahwa oleh karena itu gugatan penggugat dalam petitum No. 5 dinyatakan
ditolak.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas
maka gugatan penggugat dikabulkan sebagain, sehingga biaya perkara harus
dibebankan kepada Tergugat;
Mengingat dan memperhatikan segala ketentuan dan peraturan Per undang-
undangan yang bersangkutan:
MENGADILI:
1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara patut, tidak hadir tanpa alasan
yang sah;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dengan Verstek;
122
3. Menyatakan hukum bahwa Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 15 Mei 2005
antara Penggugat dan Tergugat yang dilakukan di Notaris Francisca Teresa
Nilawati, SH adalah LUNAS DAN SAH;
4. Menghukum Tergugat atau siapa saja yang menguasai Sertifikat-Sertifikat
tanah hak milik yaitu: Tanah Hak Milik No. 985 seluas 5100 m2, Tanah Hak
Milik No. 430 seluas 1900 m2, Tanah Hak Milik No. 431 seluas 2050 m2,
Tanah Hak Milik No. 464 seluas 5600 m2, Tanah Hak Milik No. 465 seluas
1450 m2, Tanah Hak Milik No. 495 seluas 3500 m2, Tanah Hak Milik No.
496 seluas 1350 m2, Tanah Hak Milik No. 497 seluas 2650 m2, Tanah Hak
Milik No. 498 seluas 4600 m2, untuk menyerahkan sertifikat-sertifikat
tersebut kepada Penggugat;
5. Menghukum pula kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 289.000,- (dua ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Berdasarkan uraian mengenai Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.G/2007/PN.Dps tertanggal 13 Agustus 2007 tersebut dapat diketahui bahwa
pembeli dalam hal ini Rizaldy Deciderus Watruty menuntut agar segera Perjanjian
Perjanjian Jual beli yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak Penjual yaitu Reinta
Sortaria Situmorang tersebut dibuatkan Akta Jual beli karena Rizaldy menyatakan
telah membayar Lunas dan Sah atas tanah-tanah yang diperjual belikan tersebut.
Putusan pengadilan ini dikabulkan sebagian dengan verstek. Atas putusan pengadilan
ini, maka pihak penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang mengajukan perlawanan
123
dengan menggugat pihak Rizaldy Deciderus Watruty sebagaimana yang diputuskan
oleh Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan No. 05/Pdt.Plw/2007/PN.Dps
tertanggal 9 Agustus 2010, dengan Reinta Sortaria Situmorang sebagai Pelawan dan
Rizaldy Deciderus Watruty sebagai Terlawan. Dalam putusan ini dapat diketahui
bahwa :
TENTANG DUDUKNYA PERKARA:
Menimbang, bahwa Pelawan sebagai dasar perlawanannya itu telah
mengemukakan sebagai berikut:
- Bahwa amar putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agutus 2007 diputus dengan tidak
hadirnya Pelawan (Tergugat Asal).
- Bahwa berdasarkan Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) terdapat 3
(tiga) klasifikasi tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (Verzet)
terhadap putusan verstek, yaitu :
1) Dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan;
2) Sampai hari kedelapan sesudah peringatan (Aanmaning);
3) Sampai hari kedelapan sesudah dijalankannya eksekusi;
Lebih lengkap Pasal 153 ayat 2 Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) berbunyi sebagai
berikut:
“(2) jika pemberitahuan putusan itu telah diterima oleh orang yang dikalahkan
itu sendiri, maka perlawanan dapat dilakukan dengan tenggang waktu empat
belas hari setelah pemberitahuan itu. Bila surat keputusan itu disampaikan
124
tidak kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat
diajukan sampai dengan hari kedelapan setelah diperingatkan menurut Pasal
207, atau bila ia tidak datang menghadap untuk diberitahu meskipun telah
dipanggil dengan sepatutnya, terhitung sampai dengan hari kedelapan setelah
perintah tertulis seperti tersebut dalam Pasal 208 dilaksanakan.”
- Bahwa pelawan (Tergugat Asal) tidak pernah menerima dan mengetahui baik
tentang adanya Surat Penggilan Sidang dalam pemeriksaan perkara maupun
menerima pemberitahuan putusan secara langsung dari Pengadilan Negeri
Denpasar karena Pelawan (Tergugat Asal) telah tidak tinggal tetap pada
alamat di Bali sebagaimana disebut dalam gugatan dan putusan akan tetapi
bertempat tinggal di Tangerang, Banten, sehingga berdasarkan Pasal 153 ayat
(2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) tersebut Pelawan (Tergugat Asal) masih
memiliki hak hukum untuk mengajukan keberatan berupa perlawanan (verzet)
terhadap putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut;
- Bahwa pelawan (Tergugat asal) telah menghadiri sidang Tegoran/Aanmaning
pada tanggal 26 November 2009 di Pengadilan Negeri Denpasar, oleh
karenanya perlawanan (verset) ini diajukan masih dalam tenggang waktu 8
(delapan) hari sejak peringatan (Aanmaning) diberikan sebagaimana
disyaratkan dalam Pasal 153 ayat (2) Rbg (Pasal 129 ayat 2 HIR) sehingga
perlawanan (verzet) ini berdasar hukum dan patut untuk diterima.
- Bahwa perlawanan (verzet) ini diajukan berdasarkan alasan-alasan hukum
sebagai berikut:
125
I. TANGGAPAN / KEBERATAN TERHADAP GUGATAN PENGGUGAT
1. Pelawan (Tergugat Asal) menolak tegas seluruh dalil-dalil gugatan Terlawan
(Penggugat Asal) terkecuali yang secara tegas diakui kebenarannya.
2. Bahwa benar antara Pelawan (Tergugat Asal) dengan Terlawan (Penggugat
Asal) telah menandatangani Perjanjian Jual beli atas 9 (sembilan) bidang
tanah sebagaimana diterangkan dalam Sertifikat-Sertifikat Hak Milik sesuai
dengan Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor 5 yang dibuat oleh dan
dihadapan T. Francisca Theresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar
sebagaimana disebut Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 3 posita
gugatannya.
3. Bahwa terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dan dengan sengaja
menyembunyikan fakta tentang harga jual beli atas tanah tersebut karena
khusus mengenai harga jual beli, Terlawan (Penggugat Asal) dan Pelawan
(Tergugat Asal) telah membuat kesepakatan lain yang secara nyata dipatuhi
yaitu Surat Perjanjian Tertanggal 30 Mei 2005 yang diwarmeking/didaftarkan
pada Evi Susanti, SH., Notaris di Kabupaten Badung di Kuta;
4. Bahwa harga jual beli berdasarkan Perjanjian Jual beli Nomor 5 tanggal 2 Mei
2005, sebagaimana yang didalilkan dan dijadikan dasar gugatan Terlawan
(Penggugat Asal) adalah sebesar Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua Milyar
enam juta rupiah) sedangkan harga sebenarnya disepakati sesuai Surat
Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga
puluh enam Milyar enam ratus enam puluh juta rupiah).
126
5. Bahwa yang secara nyata dipatuhi oleh Terlawan (Penggugat Asal) dan
Pelawan (Tergugat Asal) dalam melakukan pembayaran adalah Surat
Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 dimana Terlawan (Penggugat Asal) telah
melakukan pembayaran hingga Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar
tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah)
sehingga tidak benar dan merupakan dalil penjebakan pernyataan Terlawan
(Penggugat Asal) bahwa dengan pembayaran sebesar Rp. 27.422.088.525,-
(dua puluh tujuh milyar empat ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan
ribu lima ratus dua puluh lima rupiah) berikut pinalty sebagaimana disebut
pada poin 5 dan 7 posita gugatannya jual beli telah lunas.
6. Bahwa oleh karena harga jual beli adalah sebesar Rp. 36.660.000.000,- (tiga
puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah) dimana Terlawan
(Penggugat Asal) baru membayar sebesar Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh
tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu
rupiah) sehingga kewajiban masih tersisa sebesar Rp. 3.316.716.000,- (tiga
milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas rupiah) belum
termasuk pinalty 5% per bulan yang sampai gugatan Terlawan (Penggugat
Asal) diperiksa dan diputus pengadilan hingga kemudian Perjanjian Jual beli
dibatalkan sisa pembayaran tersebut belum dilunasi dan penalty atas
keterlambatan sama sekali tidak pernah dibayar maka secara hukum
Perjanjian Jual beli hak milik atas tanah belum bisa ditandatangani karena
127
Surat Kuasa Menjual yang diterima Terlawan (Penggugat Asal) belum dapat
diberlakukan sertifikat tidak berdasar hukum pula untuk dilakukan.
7. Bahwa dengan jumlah pembayaran yang telah dilakukan Terlawan
(Penggugat Asal) hingga Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga
ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah) maka
terbukti kesepakatan Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor 5 telah
tidak berlaku dan dengan demikian pula nyata dan terbukti bahwa Terlawan
(Penggugat Asal) telah dengan sengaja menyembunyikan fakta tentang Surat
Perjanjian tanggal 30 Mei 2009 tentang kesepakatan harga yang secara nyata
dipatuhi oleh kedua belah pihak.
8. Bahwa mengenai belum lunasnya pembayaran telah pula diakui oleh
Terlawan (Penggugat Asal) dengan menyatakan tidak mampu membayar yang
kemudian dijadikan alasan untuk membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5
tanggal 2 Mei 2005 jauh setelah putusan dalam perkara ini dijatuhkan
Pengadilan Negeri Denpasar sebagaimana ternyata dalam Akta Pembatalan
Nomor : 24 (dua puluh empat) tanggal 13 Februari 2008 yang dibuat oleh dan
dihadapan T. Francisca Teresa Nilawati, SH., Notaris di Denpasar.
9. Bahwa oleh karena harga jual beli atas tanah berdasarkan Surat Perjanjian
tanggal 30 Mei 2005 dan sebagaimana juga terbaca dalam poin 11 dokumen
Perjanjian Memiliki Properti Dengan Kepercayaan dan Jaminan Mengganti
Kerugian antara Terlawan (Penggugat Asal) dengan Nicholas Jhon Hyam
yang dilampirkan dalam permohonan eksekusi adalah sebesar Rp.
128
36.660.000.000,- tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta rupiah)
yang belum lunas pembayarannya maka tidak benar dan haruslah ditolak dalil
posita Terlawan (Penggugat Asal) mendapat pinalty pembayaran atas
keterlambatan sebesar Rp. 4.016.088.525 (empat milyar enam belas juta
delapan puluh delapan ribu lima ratus dua uluh lima rupiah).
10. Bahwa oleh karena pembayaran harga jual atas tanah ternyata belum lunas
maka tidak beralasan hukum dan karenanya haruslah ditolak dalil Terlawan
(Penggugat Asal) pada poin 8 posita jo poin 2 petitum yang mendalilkan dan
meminta pernyataan lunas dan sah Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei
2005 yang selanjutnya meminta penyerahan sertifikat dan pembuat Akta Jual
beli sebagaimana disebut pada poin 11 posita jo poin 3 petitum.
11. Bahwa sekiranya pembayaran dianggap telah lunas – quod non – maka tidak
seharusnya Terlawan (Penggugat Asal) mengajukan gugatan sebagaimana
dalam perkara ini akan tetapi cukup melaksanakan saja Surat Kuasa Khusus
Menjual yang telah diberikan kepadanya sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 4 dan 5 Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005.
12. Bahwa dengan tidak dilaksanakannya Surat Kuasa Khusus Menjual yang telah
diberikan kepada Terlawan (Penggugat Asal) maka cukup membuktikan
bahwa jual beli atas tanah belum lunas pembayarannya sehingga patut
dipertanyakan itikad Terlawan (Penggugat Asal) dalam mengajukan
gugatannya.
129
13. Bahwa disamping itu Terlawan (Penggugat Asal) juga telah mengingkari
sendiri dalil gugatannya dengan telah melakukan pembatalan terhadap
Perjanjian Jual beli tanggal 2 Mei 2005 Nomor : 5, sebagaimana ternyata
dengan Akta Pembatalan Nomor : 24 (dua puluh empat) tanggal 13 Februari
2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa Nilawati, SH.,
Notaris di Denpasar, sehingga secara hukum telah terjadi kontradiksi atau
saling bertentangan antara dalil gugatan dengan kenyataan yang dilakukan.
14. Bahwa satu-satunya alasan Terlawan (Penggugat Asal) untuk melakukan
pembatalan terhadap Perjanjian Perikatan Jual beli tersebut adalah karena
Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak sanggup untuk melunasi harga
pembelian sesuai harga yang disepakati berdasarkan Surat Perjanjian
tertanggal 30 Agustus 2005 dan pembatalan mana yang dibenarkan
berdasarkan Pasal 1 Perjanjian Jual beli Nomor 5 tanggal 2 Mei 2005,
sehingga dengan demikian jelas terbukti bahwa Terlawan (Penggugat Asal)
telah mengakui belum melunasi pembayaran.
15. Bahwa petitum gugatan Terlawan (Penggugat Asal) pada poin 4 dan 5 tentang
uang paksa (dwangsom) dan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu
haruslah ditolak oleh karena disamping tidak berdasar hukum juga karena
tuntutan tersebut tidak didukung oleh dasar dan alasan hukum dalam uraian
posita.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, terbukti Terlawan (Penggugat Asal) telah
tidak terbuka dalam mengajukan fakta yang sebenarnya dalam gugatannya dimana
130
dengan sengaja telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang bukti yang
menunjukkan bahwa harga jual beli atas tanah belum lunas, juga adanya kontradiksi
atau saling bertentangan antara dalil gugatan dengan kenyataan yang dilakukan
dimana Perjanjian Jual beli yang dijadikan dasar gugatan telah dibatalkan sendiri oleh
Terlawan (Penggugat Asal), sehingga gugatan Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak
berdasar hukum oleh karenanya sepatutnya gugatan Terlawan (Penggugat Asal)
ditolak untuk seluruhnya.
II. KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN
1. Bahwa Pelawan (Tergugat Asal) sangat keberatan terhadap putusan verstek
Pengadilan Negeri Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps tanggal 13 Agutus
2007, atas dasar dan alasan hukum sebagai berikut;
2. Bahwa oleh karena putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.G/2007/PN.Dps tanggal 13 Agustus 2007 didasarkan kepada
gugatan yang tidak berdasar hukum maka secara hukum putusan atas
gugatan tersebut otomatis haruslah dibatalkan;
3. Bahwa disamping itu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar
yang mengadili dan memutus perkara telah memberikan putusan melebihi
yang dimohonkan oleh Penggugat oleh karenanya bertentangan dengan
Pasal 189 (3) Rbg (Pasal 178 ayat (3) HIR);
4. Bahwa Majelis Hakim telah meresahkan bukti yang tidak ada kaitannya
dengan perkara sehingga putusan tersebut tidak mengikat dan tidak dapat
dilaksanakan;
131
III. EKSEKUSI PUTUSAN TIDAK BERDASAR HUKUM UNTUK DILANJUTKAN
Bahwa dengan adanya Perlawanan (verzet) ini maka sesuai hukum acara
perdata pemeriksaan atas perkara akan dilakukan kembali secara keseluruhan
sehingga eksekusi terhadap putusan verstek Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.G/2007/PN.DPs., tanggal 13 Agutus 2007 tidak mempunyai dasar hukum
untuk dilanjutkan;
Berdasarkan hal-hal tersebut, mohon dengan hormat Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Denpasar yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai
berikut:
1. Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar;
2. Mengabulkan Perlawanan (Verzet) Pelawan untuk seluruhnya;
3. Menolak gugatan Terlawan (Penggugat Asal) untuk seluruhnya;
4. Membatalkan Putusan Verstek Pengadilan Negeri Denpasar Nomor ;
05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agutus 2007 sehingga eksekusi atas putusan
tersebut tidak dapat dilanjutkan;
5. Menghukum Terlawan (Penggugat Asal) untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini;
Atau:
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono).
Menimbang bahwa Majelis Hakim telah memberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak untuk berdamai, dengan menunjuk : H. Puji Harian, SH., M.Hum.,
132
sebagai mediator, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 akan
tetapi tidak berhasil, oleh karena itu pemeriksaan terhadap perkara ini dilanjutkan
dengan pembacaan perlawanan,-- dst
TENTANG HUKUMNYA:
Menimbang bahwa maksud dan tujuan perlawanan ini adalah seperti terurai
tersebut terdahulu;
Menimbang, bahwa perlawanan ini dimajukan dalam tenggang waktu dan
menurut Undang-undang, sehingga dengan demikian dapat diterima;
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perlawanan ini agar gugatan
Penggugat Asal (Terlawan) ditolak karena:
1. Terlawan (Penggugat Asal) telah tidak terbuka dengan sengaja telah
menyembunyikan tentang fakta harga jual beli atas 9 bidang tanah tersebut
yang secara nyata dipatuhi oleh kedua belah pihak yaitu Surat Perjanjian
tanggal 30 Mei 2005 yang telah diwarmeking/didaftarkan pada Evi Susanti
Panjaitan, SH., Notaris di Kabupaten Badung;
2. Terlawan (Penggugat Asal) mendalilkan dalam gugatannya jual beli seharga
Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua milyar enam juta rupiah), berdasarkan
Perjanjian Jual beli tanggal 5 Mei 2005 sedangkan harga yang sebenarnya
disepakati berdasarkan Surat Perjanjian tanggal 30 Mei 2005 adalah sebesar
Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar enam ratus enam puluh juta
rupiah);
133
3. Terlawan (Penggugat Asal) telah secara nyata mematuhi perjanjian tanggal
30 Mei 2005, dan telah melakukan pembayaran sebanyak Rp.
33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga juta dua
ratus delapan puluh empat ribu rupiah), sehingga tidak benar Terlawan telah
melakukan pembayaran Rp. 27.422.088.525,- (dua puluh tujuh milyar empat
ratus dua puluh dua juta delapan puluh delapan ribu lima ratus dua puluh
lima rupiah);
4. Karena Terlawan (Penggugat Asal) baru melakukan pembayaran sebesar
Rp. 33.343.284.000,- (tiga puluh tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga
ratus empat puluh tiga juta dua ratus delapan puluh empat ribu rupiah),
sedangkan harga jual beli tanah Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam
milyar enam ratus enam puluh juta rupiah), sehingga Terlawan masih
mempunyai kewajiban yang belum terbayar sebesar Rp. 3.316.716.000,-
(Tiga milyar tiga ratus enam belas juta tujuh ratus enam belas ribu rupiah),
belum termasuk pinalty atas keterlambatan pembayaran sebesar 5 % per
bulan yang belum dibayar sampai sekarang, sehingga Akta Jual beli belum
bisa ditandatangani dan surat kuasa menjual yang diterima Terlawan
(Penggugat Asal) belum dapat dilakukan, sehingga penyerahan sertifikat
belum bisa dilaksanakan;
5. Belum lunasnya pembayaran tersebut diakui oleh Terlawan dengan
menyatakan tidak mampu membayar dan kemudian dijadikan alasan untuk
membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005, jauh setelah
134
putusan dalam perkara ini dikabulkan Pengadilan Negeri Denpasar
sebagaimana ternyata dengan akta Pembatalan No. 24 tanggal 13 Februari
2008 yang dibuat oleh dan dihadapan T. Francisca Teresa, SH., Notaris di
Denpasar.
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil perlawananya, Pelawan
(Tergugat Asal) telah mengajukan bukti-bukti surat, kedua belah pihak tidak ada
mengajukan saksi-saksi.
Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pelawan
tersebut, Majelis mempertimbangkan sebagai berikut:
- Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perlawanan Pelawan adalah bahwa
tidak benar harga jual beli 9 (sembilan) bidang tanah antara Pelawan dengan
Terlawan itu seharga Rp. 22.006.000.000,- (dua puluh dua milyar enam juta
rupiah sebagaimana perjanjian jual beli tanggal 2 Mei 2005 No. 5, akan tetapi
yang benar adalah seharga Rp. 36.660.000.000,- (tiga puluh enam milyar
enam ratus enam puluh juta rupiah) sebagaimana perjanjian tanggal 30 Mei
2005 dan Terlawan telah membayar sejumlahRp. 33.343.284.000,- (tiga puluh
tiga milyar tiga ratus empat puluh tiga ratus empat puluh tiga juta dua ratus
delapan puluh empat ribu rupiah), sehingga dengan demikian Terlawan masih
mempunyai kewajiban sebesar Rp. 3.316.716.000,- (Tiga milyar tiga ratus
enam belas juta tujuh ratus enam belas ribu rupiah), karena Terlawan tidak
mampu membayar lalu kemudian Terlawan membatalkan Perjanjian Jual beli
No. 5 tanggal 2 Mei 2005 tersebut, jauh setelah Pengadilan Negeri Denpasar
135
menjatuhkan putusan verstek, pembatalan mana dilakukan dihadapan Notaris
T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar Bali.
- Menimbang, bahwa karena Pelawan (Tergugat Asal) telah menyangkal
gugatan Terlawan (Penggugat Asal) maka berdasarkan Pasal 283 Rbg kepada
Terlawan (Penggugat Asal) dibebani untuk membuktikan dalil-dalilnya.
- Menimbang, bahwa yang perlu dibuktikan oleh Terlawan (Penggugat Asal)
adalah apakah benar antara Terlawan dengan Pelawan telah terjadi perjanjian
jual beli tanah dan Terlawan telah membayar lunas kepada Pelawan.
- Menimbang…, dst
Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut terbuktilah bahwa Terlawan
(Penggugat Asal) tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, dan Pelawan (Tergugat
Asal) telah dapat membuktikan dalil gugatannya, sehingga dengan demikian
perlawanan Pelawan (Tergugat Asal) adalah tepat dan beralasan.
Menimbang bahwa Pelawan telah dapat membuktikan dalil perlawanannya,
maka pelawan (Tergugat Asal) adalah Pelawan yang benar, sementara itu Terlawan
(Peenggugat Asal) karena tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, dimana
Terlawan (Penggugat Asal) belum melunasi harga atas 9 bidang tanah, serta telah
membatalkan perjanjian jual beli tersebut, maka putusan Verstek Pengadilan Negeri
Denpasar No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps., tanggal 13 Agustus 2007 haruslah dibatalkan
serta gugatan Terlawan (Penggugat Asal) haruslah dinyatakan ditolak.
136
Menimbang, bahwa karena Terlawan (Penggugat Asal) adalah pihak yang
kalah, maka terhadap biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini haruslah dibebankan
kepada Terlawan (Penggugat Asal).
Mengingat Pasal 153 ayat (2) RBg, serta ketentuan-ketentuan hukum lainnya
yang berkaitan.
MENGADILI
1. Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar;
2. Mengabulkan perlawanan Pelawan untuk seluruhnya;
3. Menolak gugatan Terlawan (Penggugat Asal) untuk seluruhnya;
4. Membatalkan Putusan Verstek Pengadilan Negeri Denpasar No.
05/Pdt.G/2007/PN.Dps, tanggal 13 Agustus 2007;
5. Menghukum Terlawan (Penggugat Asal) untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 466.000,- (empat ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Denpasar pada hari Selasa Tanggal 03 Agustus 2010.
Berdasarkan paparan kasus diatas dapat diketahui bahwa dalam hal ini
Rizaldy Deciderus Watruty yang pada awalnya telah menuntut untuk penyerahan ke 9
sertifikat atas tanah yang telah dilakukan perjanjian jual beli karena mengklaim telah
membayar lunas atas 9 bidang tanah tersebut, dan Pengadilan Negeri memutus
Verstek dengan Putusan No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps bahwa Perjanjian Jual beli
tersebut telah lunas dan sah dibayar oleh pihak Pembeli. Namun atas putusan verstek
tersebut pihak Penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang mengajukan Verzet, yang
137
dalam Verzet ini diketahui bahwa pihak pembeli yaitu Rizaldy Deciderus Watruty
telah membatalkan Perjanjian Jual beli No. 5 tanggal 2 Mei 2005 tersebut, jauh
setelah Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan putusan verstek, pembatalan mana
dilakukan dihadapan Notaris T. Francisca Teresa, SH., Notaris di Denpasar Bali
tersebut dengan alasan tidak sanggup lagi untuk membayar atas sisa pelusanasan dari
harga yang telah disepakati sebelumnya bersama pihak penjual. Dalam putusan
Verzet ini pihak Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan perlawanan dari pihak
penjual yaitu Reinta Sortaria Situmorang dan membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Putusan No. 05/Pdt.G/2007/PN.Dps. sehingga dalam kasus ini diketahui
bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dilakukan oleh salah satu pihak, dalam
hal ini yang mengajukan pembatalan adalah pihak pembeli dengan alasan tidak
sanggup lagi untuk melunasi pembayaran atas sembilan bidang tanah tersebut.
Mengenai ajaran atas kebatalan berlaku atas semua perbuatan hukum, baik
perbuatan hukum berganda maupun tindakan hukum sepihak. Dengan menyatakan
suatu perbuatan hukum batal, berarti karena adanya cacat hukum mengakibatkan
tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku. Perbedaan utama mengenai
kebatalan adalah batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Pada keadaan tertentu
dengan adanya cacat tertentu diberi sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum
tersebut oleh undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya
perbuatan hukum tersebut. Dengan batalnya suatu perbuatan hukum, maka perbuatan
hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Pembatalan ini dapat berakibat
138
terhadap siapapun, dapat pula hanya berlaku terhadap orang tertentu, serta dapat pula
hanya batal sebagian.
4.2 Perlindungan Hukum Yang Dapat Diberikan Terhadap Pembatalan
Perjanjian Jual beli Hak Milik Atas Tanah
Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak
yang membuatnya maka perjanjian jual beli dibuat dalam suatu akta otentik yang
dibuat oleh dan dihadapan Notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna. Notaris dalam membuat suatu akta tidak berpihak dan menjaga
kepentingan para pihak secara obyektif. Para pihak yang membuat perjanjian jual beli
akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan mereka
perjanjikan.
Keotentikkan dari suatu akta Notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.” Sehingga
akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta
otentik bukan karena undang-undang menyatakan demikian namun karena akta
tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum sesuai dengan yang termuat dalam
Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “suatu akta otentik ialah suatu
akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya.”
139
Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata maka dapat diketahui bahwa
terdapat 2 macam bentuk akta yaitu akta yang dibuat oleh Notaris dan akta yang
dibuat dihadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta relaas atau
menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang
dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sebagai pejabat umum.
Akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi, karena perbuatan
yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau
diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan Notaris dan memberikan
keterangan itu atau melakukan perbuatan itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau
perbuatan itu di konstatir oleh Notaris di dalam suatu akta otentik. Akta ini disebut
pula akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris.
Perbedaan antara kedua akta diatas dapat dilihat dari bentuk akta tersebut.
Dalam akta partij, dengan diancam akan kehilangan otentitasnya atau dikenakan
denda, harus ditandatangani oleh para pihak atau para pihak yang bersangkutan,
misalnya para pihak atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain
sebagainya, keterangan tersebut harus dicantumkan oleh Notaris dalam akta dan
keterangan tersebut dalam hal ini berlaku sebagai pengganti tanda tangan. Dapat
diketahui bahwa dalam akta partij penandatanganan oleh para pihak merupakan suatu
keharusan. Untuk akta relaas tidak menjadi permasalahan apakah para pihak yang
hadir menolak atau menandatangai akta tersebut. Seperti contohnya dalam pembuatan
berita acara rapat para pemegang saham dalam PT orang-orang yang hadir telah
140
meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup Notaris
menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta dan dalam hal ini akta itu tetap
merupakan akta otentik.
Dalam suatu akta partij sebagai akta otentik memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap para pihak termuat dalam bagian dari akta yang terdiri dari
1. Tanggal akta
2. Tanda tangan-tanda tangan yang tercantum dalam akta tersebut
3. Identitas dari para pihak yang hadir (comparanten)
4. Bahwa apa yang tercantum dalam akta tersebut adalah sesuai dengan apa
yang diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan
dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan tersebut
hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.
Pada umumnya suatu akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya
sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik, dalam suatu akta terdiri
dari tiga bagian yaitu:
a. Komparisi
Dalam komparisi memuat mengenai hari dan tanggal akta, nama Notaris, dan
tempat kedudukannya, identitas para penghadap, beserta keterangannya
bertidak untuk diri sendiri atau sebagai wakil/kuasa dari orang lain, yang
harus disebutkan juga jabatan dan tempat tinggalnya beserta atas kekuatan
apa ia bertindak sebagai wakil atau kuasa.
141
b. Badan Akta
Dalam badan akta memuat mengenai isi dari apa yang ditetapkan sebagai
ketentuan-ketentuan yang bersifat otentik, misalnya perjanjian, ketentuan-
ketentuan mengenai kehendak terakhir (wasiat) dan lain-lain.
c. Penutup
Bagian penutup akta merupakan suatu bentuk yang tetap, yang memuat pula
tempat dimana akta itu dibuat dan nama-nama, jabatan serta tempat tinggal
saksi-saksi instrumenter. Selanjutnya pada bagian penutup ini juga
disebutkan bahwa akta itu dibacakan kepada para penghadap dan saksi-saksi,
dan sesudah itu ditandatangani oleh para penghadap, para saksi dan Notaris.
Tentang kekuatan pembuktian dari akta Notaris dapat dikatakan bahwa tiap-
tiap akta Notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut:
1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht), ialah syarat-syarat
formal yang diperlukan agar supaya akta Notaris dapat berlaku sebagai akta
otentik.
2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa
suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris
atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap.
3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht), ialah kepastian
bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan
berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya(tegenbenvijs).
142
Mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada para pihak yang
terikat dalam suatu akta, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perlindungan
hukum tersebut. Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu perlindungan
yang berarti hal atau perbuatan melindungi. Dan hukum yang berarti suatu aturan
untuk menjaga kepentingan semua pihak. Pendapat mengenai perlindungan hukum
juga dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa perlindungan
hukum adalah suatu upaya perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum,
tentang apa-apa yang dapat dilakukannya untuk mempertahankan atau melindungi
kepentingan dan hak subjek hukum tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat
diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala kegiatan atau perbuatan yang
dapat memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak dan memberikan kepastian
hukum terhadap semua subjek hukum sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli maka perlindungan hukum yang
dapat diberikan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi maka tergantung
pada kedudukan dari perjanjian jual beli yang telah dibuat sebelumnya. Adapun
wanprestasi atau keadaan dimana salah satu pihak ingkar janji atau tidak memenuhi
perikatan, dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1. Debitor sama sekali tidak memenuhi perikatan;
2. Debitor terlambat memenuhi perikatan
3. Debitor keliru atau tidak memenuhi perikatan.
143
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa seseorang dapat dikatakan
wanprestasi apabila melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut. Begitupula dalam
perjanjian jual beli terhadap hak milik atas tanah. Wanprestasi bisa saja dilakukan
oleh salah satu pihak karena tidak selamanya setiap orang yang membuat kesepakatan
mampu untuk melaksanakan semua kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.
Karena dilanggarnya kesepakatan tersebut maka persyaratan sahnya suatu perjanjian
menurut Pasal 1320 KUHPerdata menjadi kekurangan syarat sehingga perjanjian jual
beli ini dapat dimintakan pembatalan pada Pengadilan Negeri setempat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1446 KUHPerdata bahwa ketentuan-ketentuan
disini semuanya mengenai pembatalan meminta pembatalan perjanjian karena
kekurangan syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim;
2. Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya
perjanjian itu.
Perlindungan hukum yang dapat diberikan dengan diajukannya pembatalan
oleh salah satu pihak atas perjanjian jual beli yang telah disepakati sebelumnya maka
dapat diberikan dalam bentuk akta yang dibuat secara otentik dihadapan Notaris
sebagai pejabat umum. Perlindungan hukum yang diberikan dalam perjanjian jual beli
sangat kuat karena sifat pembuktian dari perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan
pejabat umum dalam hal ini Notaris mempunyai pembuktian yang sangat kuat sesuai
dengan pembuktian dari akta otentik. Selain itu perlindungan lain yang diberikan
144
adalah perlindungan hukum yang dibuat berdasarkan dari kesepakatan yang di buat
oleh para pihak yang terkait dengan perjanjian jual beli yang jika kita kaitkan dengan
peraturan tentang perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :
semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Ada beberapa perlindungan yang dapat diberikan jika salah satu pihak
melakukan wanprestasi dalam perjanjian jual beli :
1. Perlindungan terhadap penjual
Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada penjual biasanya adalah
berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh calon penjual itu
sendiri. Misalnya ada beberapa penjual yang di dalam perjanjian jual beli
yang dibuatnya memintakan kepada pihak pembeli agar melakukan
pembayaran uang pembeli dengan jangka waktu tertentu yang disertai dengan
syarat batal, misalnya apabila pembeli tidak memenuhi pembayaran
sebagaimana telah dimintakan dan disepakati maka perjanjian jual beli hak
milik atas tanah yang telah dibuat dan disepakati menjadi batal dan biasanya
pihak penjual tidak akan mengambalikan uang yang telah dibayarkan kecuali
pihak pembeli meminta pengecualian.
2. Perlindungan terhadap pembeli
Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan terhadap
pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan
permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya
145
adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat
menuntut dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur
dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli
untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau
tanda hak milik atas tanah tersebut di pegang oleh pihak ketiga yang biasanya
adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama oleh
penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan perjanjian
pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat
ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk melakukan
jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak walaupun
pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang
dapat diberikan terhadap pemenuhan hak semua pihak dalam jual beli selain sesuai
perlindungan hukum yang diberikan oleh kekuatan akta otentik juga dapat
berlandaskan Pasal 1338 KUHPerdata, serta niat baik dari para pihak untuk
memenuhi kesepakatan yang telah dibuat.
Perlindungan hukum bagi para pihak dengan dibatalkannya perjanjian jual
beli yaitu Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan kepada si
penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh
penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap penjual perlindungan
terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan
permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya adalah
146
apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat menuntut dan
dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian
jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh pembeli untuk perlindungannya
adalah dengan memintakan supaya sertifikat atau tanda hak milik atas tanah tersebut
di titipkan kepada pihak ketiga yang biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang
ditunjuk dan disepakati bersama oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan
lain adalah dengan perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak
pembeli yang tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi
untuk melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak
walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya.
Sedangkan perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum yang
diberikan apabila telah terjadi sengketa adalah pihak yang dirugikan dalam perjanjian
jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan
perdata untuk pembatalan perjanjian jual beli hak milik atas tanah ke Pengadilan
Negeri setempat sehingga diharapkan mendapat putusan yang seadil-adilnya.
147
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka yang dapat
disimpulkan dari permasalahan dalam tesis ini yaitu sebagai berikut:
1. Unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap Perjanjian
Jual beli hak milik atas tanah yaitu:
a. Harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli hak milik
atas tanah tidak dilunasi oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang
telah diperjanjikan;
b. Dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak
milik atas tanah (akta jual beli tanah dihadapan PPAT) belum selesai
sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan;
2. Perlindungan hukum bagi para pihak dengan dibatalkannya perjanjian jual
beli yaitu Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan kepada
si penjual biasanya adalah berupa persyaratan yang biasanya dimintakan
sendiri oleh penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap
penjual perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan
persyaratan juga diikuti dengan permintaaan pemberian kuasa dari pihak
penjual kepada pihak pembeli yang tidak dapat ditarik kembali. Tujuannya
adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya maka pihak pembeli dapat
menuntut dan dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang
148
diatur dalam perjanjian jual beli. Persyaratan yang biasanya dimintakan oleh
pembeli untuk perlindungannya adalah dengan memintakan supaya sertifikat
atau tanda hak milik atas tanah tersebut di titipkan kepada pihak ketiga yang
biasanya adalah Notaris atau pihak lain yang ditunjuk dan disepakati bersama
oleh penjual dan pembeli. Selain itu perlindungan lain adalah dengan
perjanjian pemberian kuasa oleh pihak penjual kepada pihak pembeli yang
tidak dapat ditarik kembali apabila semua persyaratan telah terpenuhi untuk
melakukan jual beli, maka pihak pembeli dapat melakukan pemindahan hak
walaupun pihak penjual tidak hadir dalam penandatanganan akta jual belinya.
Sedangkan perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum
yang diberikan apabila telah terjadi sengketa adalah pihak yang dirugikan
dalam perjanjian jual beli tersebut secara aktif melakukan upaya hukum
dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk
membatalkan perjanjian jual beli hak milik atas tanah, sehingga diharapkan
nantinya mendapat putusan yang seadil-adilnya.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan tesis ini yaitu sebagai
berikut:
1. Kepada Notaris untuk menghindari terjadinya pembatalan atas perjanjian jual
beli hak milik atas tanah, Notaris diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam
menyusun klausula yang akan dituangkan dalam perjanjian jual beli tersebut,
149
hal ini juga untuk menghindari adanya keinginan buruk dari pihak yang
nantinya dapat merugikan pihak yang satunya.
2. Kepada pembuat Undang-undang (Pemerintah dan DPR), disarankan untuk
melakukan revisi terhadap KUHPerdata dengan melakukan suatu rekontruksi
hukum terhadap pengaturan yang tidak jelas mengenai pembatalan perjanjian
jual beli, karena perjanjian jual beli banyak digunakan dalam proses jual beli
hak milik atas tanah di masyarakat.