LAPORAN TAHUNAN/AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM …
Transcript of LAPORAN TAHUNAN/AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM …
1
LAPORAN TAHUNAN/AKHIR
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
Tahun ke I dari rencana I tahun
TIM PENGUSUL
Gede Kamajaya, S.Pd, M.Si (Ketua)
NIDN: 9908419706
Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si (Anggota)
NIDN: 0005015713
Dr. Drs. GPB Suka Arjawa, M.Si (Anggota)
NIDN:0008076403
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
AGUSTUS 2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Faktor Sosial yang Mendorong Upaya Bunuh Diri di
Kabupaten Bangli
Peneliti / Pelaksana
Nama Lengkap : Gede kamajaya, S.Pd.,M.Si
NIDN : 9908419706
Jabatan Fungsional : -
Program Studi : Sosiologi
Nomor HP :081915686249
Alamat Surel (e-mail) : [email protected]
Anggota (1) :
Nama Lengkap : Dr. Drs. IGPB.Suka Arjawa, M.Si
NIDN : 0008076403
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Anggota (2) :
Nama Lengkap : Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si
NIDN : 0005015713
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Anggota (ke n) : …..……………………………………………………
Nama Lengkap :…………………………………………………………
NIDN : ………………………………………………………..
Perguruan Tinggi : ………………………………………………………..
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra : ………………………………………………………..
Alamat : ………………………………………………………..
Penanggung Jawab : ………………………………………………………...
TahunPelaksanaan : Tahun ke I dari rencana I tahun
Biaya Tahun Berjalan : Rp.25.000.000
Biaya Keseluruhan : Rp.25.000.000
Denpasar, .....Novermber 2015
Mengetahui, Ketua Peneliti,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Cap dan tandatangan Tandatangan
(Dr. Drs. IGPB. Suka Arjawa, M.Si) (Gede Kamajaya, S.Pd.,M.Si)
NIP: 196407081992031003 NIP:1987030720130812001
Mengetahui
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Udayana
Cap dan tandatangan
(Prof. Dr.Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.)
NIP. 19640807 199203 1 002
3
PRAKATA
Atas Asung Wara Nugraha Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maa
Esa) penelitian ini dapat berjalan sebagaimana yang ditargetkan, meskipun dalam
praktek dilapangan ada banyak kendala terutama dalam menggali informasi dari
informan karena ibarat membuka luka lama ketika kami tim peneliti
mewawancarai informan (keluarga korban/korban selamat) karena berbagai alasan
salah satu adalah trauma psikis yang dirasa korban dan keluarga korban sangat
besar sehingga dibutuhkan kehati-hatian terkait hal tersebut. Namun sekali lagi
bagi kami hal tersebut adalah riak-riak kecil yang menjadikan kami semakin sadar
bahwa kesulitan dalam penelitian semacam ini adalah seni dalam menggali
informasi.
Harapan besar kami dari penelitian ini tidak hanya menjadi penghias rak-
rak buku di instansi terkait tetapi juga mampu memberikan solusi atas masalah
yang sedang dihadapi karena bagi kami angka bunuh diri di Kabupaten Bangli
cukup mencengengangkan. melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan
akar permasalahan yang mendorong upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli
sehingga dengan demikian bisa dirumuskan langkah apa kiranya yang tepat
dilakukan untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir kondisi tersebut.
Ucapan trimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapakan kepada para
paihak yang telah membantu selama penelitian ini berlangsung:
1. Pemerintah Kabupaten Bangli
2. Managemen RSUD Bangli
3. Kapolres Bangli
4. Masyarakat Kabupaten Bangli
5. Seluruh informan yang bersedia meluangkan waktu untuk
diwawancarai
6. Seluruh pihak yang tidak bisa di sebutkan satu persatu
4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tulisan Terdahulu.............................................................................. 4
II.2 Teori................................................................................................... 5
II.3 Penjelasan Konsep............................................................................. 7
II.4 Outcome Penelitian............................................................................ 8
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
III.I Tujuan Penelitian................................................................................ 9
III.2 Manfaat Penelitian.............................................................................. 9
BAB IV METODE PENELITIAN
IV.1 Jenis Penelitian.................................................................................. 10
IV.2 Metode Penentuan Informan............................................................ 11
IV.3 Unit Analisis....................................................................................... 12
IV.4 Sumber Data..................................................................................... 12
IV.5 Teknik Pengumpulan Data................................................................. 12
IV.6 Teknik Analisis data......................................................................... 14
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Latar Belakang Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli................. 15
V.2 Solusi Atas Tingginya Angka Bunuh Diri di Kabupaten Bangli...... 24
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA 27
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 28
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar 01: Wawancara dengan Kepala Puskesmas Desa Songan
Gambar 02: Wawancara dengan Kepala Desa Songan
6
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 01: Pencatatan dan Pemaknaan Realitas
1. Dalam kasus bunuh diri yang terjadi di Desa Bunutin realitas yang
ditemukan dilapangan bahwa korban meninggal masih berumur 19
tahun. Korban tergolong pemuda yang suka menyendiri dan jarang
cerita kepada siapapun jika mempunyai masalah bahkan kepada orang
tuanya sekalipun. Dalam kasus ini realitas dilapangan dapat dimaknai
bahwa korban mengalami beban yang terlalu berat dan menyalahkan
diri sendiri ketika mengalami kegagalan. Penyesalan yang terus
menerus pada keadaan menjadikan korban kemudian depresi berat
terlebih sikap koran sangat tertutup. Pemaknaan atas realitas ini bisa
dilihat dengan teori bunuh diri Durckheim yang disebabkan oleh lemah
atau kuatnya integrasi sosial dan dapat dimaknai bahwa individu yang
melakukan tindakan bunuh diri karena ada dalam tekanan hidup tidak
memiliki dimensi resiliensi dalam dirinya.
7
Contoh Pencatatan dan Pemaknaan Realitas Dalam Mengumpulkan Data
Dan Analisis Data
Realitas di Lapangan Makna Tindak lanjut /
Kesimpulan
1). Masyarakat
menyukai judi. Dalam
satu minggu, paling
tidak ada dua gelaran
judi
-Masyarakat yang kurang mampu
mendorong pembaruan dan
kemajuan dirinya.
-Berorientasi untung-untungan
dalam hidup.
-Kurang luwes bergaul.
-Berpotensi menguras penghasilan
-Potensial sebagai
penyebab kemiskinan
-Perlu arahan dari
pemerintah atau tokoh.
-Jika pelaku kalah,
berpotensi frustrasi.
2). Masyarakat sering
melakukan upacara
ritual dengan biaya
yang besar.
-Masyarakat yang suka kumpul-
kumpul.
-Memamerkan kekayaan melalui
ritual
-Berpotensi mengurangi
kepemilikan.
-Anggota masyarakat
yang tidak mampu
mengikuti, akan
kecewa.
3). Masyarakat banyak
yang merantau. Rumah
perantauan megah,
sedangkan yang tidak
merantau rumahnya
kotor.
-Ada kesenjangan sosial Berpotensi
menimbulklan
kecemburuan sosial.
8
4). Keluarga
menyendiri, jarak antar
rumah dengan rumah
lainnya sangat jauh.
-Geografis dan medan berat. -Terganggu dan
terhambatnya
komunikasi sosial.
5). Pemuda sering
kumpul-kumpul dengan
pemuda dari banjar lain.
-Pergaulann luas. -Potensi untuk maju
ada.
6). Sering terjadi
pertengkaran suami-
istri, konflik keluarga.
-Takut menghadapi kemiskinan.
-Tidak ada kesepakatan keluarga
dalam hal memakai basis pekerjaan.
-Diperlukan intervensi
pemerintah dan tokoh.
7). Pemuda suka
berhias daan bersedia
kerja jarak jauh.
-Etos kerja tinggi. Kemauan untuk
maju ada.
-Rajin bekerja.
-Potensi pencegahan
kemiskinan
-Pemerintah harus turun
tangan
8). Pemuda suka
menyimpan masalah
sendiri, suka
menyendiri dan kurang
bergaul
suka menyendiri, beban terlalu berat,
tuntutan lingkungan pada dirinya
terlalu besar
9). Dan sebagainya
2. Pedoman wawancara
1. Berapa angka bunuh diri di Kabupaten Bangli pertahun?
2. Berapa korban yang berhasil selamat dan meninggal?
3. Daerah mana di kabupaten Bangli yang korban bunuh dirinya paling
besar?
4. Apakah Bapak tahu tentang anak yang melakukan bunuh diri itu?
5. Apakah Bapak tahu tentang Si...... yang berasal dari desa ini?
6. Bagaimana aktivitas remaja disini?
7. Apa pekerjaan ibu/bapak selama ini?
8. Bagaimana tingkat pendidikan warga disni?
9. Adakah korban bunuh diri di desa ini?
10. Apa pekerjaan rata-rata masyarakat disni?
11. Apa dampak masuknya teknologi di desa ini menurut anda?
12. Apa yang menyebabkan korban melakukan bunuh diri ?
13. Bagaimana kepribadian korban?
14. Bagaimana hubungan korban dengan keluarga dan lingkungan sekitar?
9
15. Apa yang mendorong anda melakukan upaya bunuh diri?
10
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
11
Fenomena bunuh diri semakin marak saja di Bali. Media massa, terutama
media massa lokal, semakin sering memberitakan adanya peristiwa tersebut.
Dilihat dari segi umur, pelakunya berentang dari usai muda sampai dengan tua.
Dan jika dilihat dari motifnya juga beragam, mulai dari masalah ekonomi, sakit
yang tidak tersembuhkan. Latar belakang seperti ini banyak dilakukan oleh
mereka yang sudah dewasa bahkan berusia lanjut. Namun tidak jarang ditemui
motif yang bisa dibilang sepele terutama mereka yang tergolong remaja-muda
melakukannya dengan alasan asmara (putus cinta) atau gagal mencari pekerjaan
yang diharapkan. Peristiwa seperti ini jelas merupakan contoh tidak bagus bagi
masyarakat. Pemuatan berita demikian di media massa, akan mampu memberi
dorongan kepada anggota masyarakat lain untuk melakukan tindakan yang sama
manakala menemui persoalan (mengakhiri masalah dengan cara bunuh diri
menjadi tren). Di tengah kemajuan ekonomi dan perubahan sosial yang demikian
deras di Bali, peristiwa-peristiwa seperti harus cepat-cepat diwaspadai dan dicari
solusinya. Romi Sudhita (t.t,) pernah mencatat bahwa antara pertengahan tahun
2006 sampai dengan 2009, telah terjadi 227 kasus bunuh diri di Bali.
Meskipun demikian, peristiwa yang terjadi di Kabupaten Bangli cukup
mengejutkan. Menurut catatan kepolisian Bangli (Polres Bangli), angka bunuh
diri di kabupaten tersebut mencapai 14 orang pada tahun 2013. Akan tetapi yang
paling mengejutkan, adalah catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli
tahun 2014 tentang upaya-upaya bunuh diri yang terjadi pada rentang tahun 2012
dan 2015. Menurut catatan Rumah Sakit Umum Bangli, pada rentang dua tahun
tersebut, terjadi 56 upaya bunuh diri, Meskipun beberapa dari korban bisa
diselamatkan, akan tetapi catatan angka 56 orang yang mencoba melakukan
tindakan bunuh diri tersebut, merupakan jumlah yang mengkhawatirkan. Ini
menandakan ada ketidakberesan di masyarakat, yang kemungkinan disebabkan
oleh faktor-faktor berkaitan dengan perubahan sosial atau faktor lainnya yang
harus segera terpecahkan.
Bangli merupakan kabupaten yang paling sejuk di Bali. Dipilihnya
kabupaten ini sebagai lokasi rumah sakit jiwa, membuktikan bahwa daerah inilah
yang paling sejuk dan memungkinkan bagi orang sakit jiwa secara perlahan bisa
12
disembuhkan. Akan tetapi, jumlah angka pecobaan bunuh diri dengan jumlah
sampai 56 orang dalam rentang wajtu 3 tahun, merupakan angka mengejutkan.
Padahal jika dilihat dari sisi perubahan sosial, dibandingkan dengan Denpasar
atau Badung, kabupaten ini tidak mengalami perubahan drastis seperti di pusat
pariwisata tersebut.
Dalam beberapa wawancara awal yang dilakukan dengan beberapa
pegawai rumah sakit, pihak kepolisian maupun pegawai negeri yang telah
dijumpai di kabupaten tersebut, banyak yang tidak mengetahui tentang demikian
tingginya angka upaya bunuh diri tersebut.
Tulisan ini mencoba mencari latar belakang tingginya angka upaya
bunuh diri tersebut dengan melakukan tinjauan kualitatif, yaitu sebuah tinjauan
langsung pada daerah asal pelaku upaya bunuh diri itu, berinteraksi dengan
lingkungan, mencatat segala fenomena sosial yang ada di lingkungan tersebut,
mewawancara pelaku-pelaku percobaan bunuh diri tersebut jika memungkinakan
atau jika tidak memungkinkan kelurga korban bunuh diri tidak menutup
kemungkinan untuk diwawancarai karena dianggap ckup mewakili , kemudian
mengkaitkannya dengan fenomena sosial lain yang ada di Bangli. Dari upaya
inilah dicoba ditemukan latar belakangnya sehingga kemudian memudahkan
untuk memberikan masukan-masukan, agar pemerintah dan masyarakat pada
umumnya di Kabupaten Bangli mampu menekan angka bunuh diri tersebut.
Dalam penelitian ini akan coba digali informasi dari korban selamat maupun dari
keluarga korban meninggal sehingga dapat diketahui faktor terbesar yang
mengakibatkan angka bunuh diri di Kabupaten bangli demikian besar. Mengingat
tidak mudah mendapatkan informan dari korban selamat karena ibarat membuka
luka lama akibat trauma psikis yang diderita jika korban menceritakan kembali
peristiwa yang sempat dialami.
I.2 Perumusan Masalah
1) Apa yang menjadi latar belakang upaya bunuh diri dari anggota masyarakat
tersebut?
2) Bagaimana solusi atas masalah tersebut?
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tulisan Terdahulu
Romi Sudhita (t.t) dalam Perilaku Bunuh Diri di Kalangan Pelajar,
menyebutkan bahwa kasus bunuh diri yang terjadi antara tahun 2006 sampai
14
2009, mencapai 227 kasus. Data ini didapatkan dari berita yang dimuat media
Balipost. Analisis deskriptif yang dilakukannya, mendapatkan beberapa
kesimpulan diantaranya bahwa pelajar SMP dan SMA termasuk SMK
mendominasi banyaknya angka bunuh diri antara rentang tahun itu. Kesimpulan
yang didapatkan, bahwa penyebab dari bunuh diri ini ada beberapa macam seperti
merasa tertekan dengan perilaku orang tua, dilarang berpacaran, faktor
kemiskinan serta terlambat membayar uang sekolah. Tetapi dalam penelitian itu
juga disebutkan bahwa temuan paling besar berupa tidak diketahui penyebabnya.
Ini merupakan hasil terbesar dari temuan ini dalam penelitian tersebut.
Dalam sarannya, Romi Sudita menyebutkan bahwa sangat diperlukan
diajarkan keterampilan bagi anak-anak sejak dini untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi, pendekatan spiritual, serta media tidak melakukan pemberitaan secara
detail.
Penelitian yang dilakukan Sudita berbeda dengan penelitian penulis yang
rencananya dilakukan di Kabupaten Bangli. Ini mempunyai perbedaan cukup
besar karena secara geografis, lebih spesifik tempatnya yaitu di Kabupaten Bangli,
antara tahun 2012 dengan 2013. Cara pendekatan dan wawancara secara langsung
tersebut akan memungkinkan mendapatkan gambaran penyebab yang lebih rinci
sehingga solusi dan saran yang didapatkan juga lebih representative.
Sujana (2013) dalam tulisannya menyebutkan bahwa fenomena bunuh diri
tersebut dipengaruhi oleh perubahan sosial. Disini disebutkan bahwa perubahan
sosial yang demikian deras terjadi di Bali, terutama yang didorong oleh industry
pariwisata, memberikan dampak kompleks kepada masyarakat. Beberapa anggota
masyarakat tidak mampu mengikuti arus deras perkembangan ekonomi itu
sehingga merasa tertinggal. Inilah yang mendorong munculnya fenomena bunuh
diri.
Seperti juga Romi Sudhita, tulisan Sujana ini lebih mengupas secara
umum tentang fenomena bunh diri yang ada di Bali, tidak spesifik di daerah
tertentu. Disamping menekankan pada faktor pemicunya, tulisan Sujana juga
mengungkap soal kecemburuan sosial yang mampu mendorong munculnya bunuh
diri. Sedangkan penelitian yang hendak dilakukan ini, akan dilaksanakan di
15
Kabupaten Bangli yang berupaya melihat, disamping penyebabnya juga struktur
sosial pelakukunya, wilayah daerah paling banyak dari upaya-upaya bunuh diri
tersebut.
II.2 Teori
Penelitian yang hendak dilaksanakan ini memakai pendekatan kualitatif.
Dalam penelitian yang memakai pendekatan kualitatif, peran teori tidak terlalu
dominan. Penelitian seperti ini seperti ini lebih banyak menggali informasi
langsung dari masyarakat (ground research) untuk mencari penyebab munculnya
sebuah peristiwa. Dalam hal ini adalah penyebab munculnya upaya bunuh diri
tersebut.
Akan tetapi, peran teori tidak mesti hilang sama sekali. Ia bisa menjadi
pembimbing dalam pelaksanaan penelitian. Dalam artian, peneliti akan mencoba
mengarahkan penelitiannya berdasarkan pada pemahaman-pemahaman yang ada
pada suatu teori. Namun, jalannya sebuah penelitian tidak harus sesuai dengan
teori tersebut. Garis-garis besar teori itulah yang dipakai patokan dalam
melangkah. Penelitian bisa saja menyimpang dari penjelasan teori tersebut
apabila diketemukan sebuah fenomena baru yang berbeda dari teori tadi. Atau,
dalam keadaan demikian, temuan-temuan di lapangan akan memungkinkan
mendatangkan perspektif baru yang berbeda dari teori tadi, atau justru menambah
pembaruan dari teori-teori yang sudah ada. Atau bisa juga memunculkan teori
baru yang didasarkan dari penelitian tersebut.
Kalau dilihat dari grand theorinya, tekanan-tekanan sosial yang terjadi
pada masyarakat itu bisa disebabkan oleh perubahan sosial. Karena itu,
pemahaman dan teori tentang perubahan sosial juga akan dipakai sebagai
pembimbing, penentu arah dalam penelitian ini.
Sztompka (2007: 5), mengutip beberapa pendapat sarjana tentang
pengertian dari perubahan sosial tersebut.
1) Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam
pola berfikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu (Macionis, 1987: 638).
16
2) Perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian
masyarakat (Persell, 1987:586).
3) Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok,
organsiasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer et. Al, 1987:
560).
4) Perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga
dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley, 1990:626).
Dalam melihat fenomena upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli,
pengertian perubahan sosial diatas cukup relevan dipakai. Bangli sebagai sebuah
kabupaten, relatif tidak jauh dari Gianyar, daerah tujuan pariwisata yang padat di
Bali. Disamping itu, transportasi menuju Bangli, baik dari Denpasar maupun
Gianyar telah dihubungkan dengan sarana jalan yang bagus sehingga berbagai
perkembangan sosial yang ada di Denpasar dan Badung ikut mempengaruhi dan
perkembangan masyarakat yang ada di Bangli.
Kartono (2005:272) menyebutkan bahwa modernisasi, pesatnya
pembangunan dan industri menyebabkan banyaknya terjadi gangguan-gangguan
pada masyarakat dan masalah-masalah di kota besar. Semakin banyak masyarakat
tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan besar
tersebut. Mereka banyak mengalami frustrasi, konflik eksternal-internal,
ketegangan batin dan menderita gangguan mental. Tidak semua masyarakat
mampu menerima perubahan. Masyarakat yang mempunyai struktur sosial yang
kaku, dan otoriter, tidak akan mampu menerima perubahan-perubahan yang
terjadi. Disini diperlukan penguasa atau pemerintah memerlukan instrumen
pemaksa untuk melakukan inovasi (Sarwono, 2007:78)
Kartono juga menyebutkan bahwa gangguan mental itu biasa berupa
konflik batin dimana orang merasa tidak aman, nyaman hingga merasa cemas dan
takut yang bisa membuat orang bunuh diri. Mental disorder atau kekalutan mental
bisa membuat keterputusan komunikasi sosial. Orang seperti ini bisa mempunyai
sifat iri hati, curiga, berupaya melakukan perusakan dan juga bunuh diri
(Kartono:2005:271).
17
Disamping mental disorder (gangguan mental itu), perubahan sosial juga
bisa menyebabkan apa yang secara sosial disebut dengan alienasi. Artinya adalah
ketersaingan dari lingkungan. Keterasingan dari lingkungan membuat kontak
sosial menjadi hilang dan membuat manusia tidak mampu melakukan penilaian
terhadap lingkungan.
Teori-teori inilah yang akan dipakai sebagai pembimbing atau pemandu
arah dalam melakukan penelitian yang sifatnya kualitatif di Kabupaten Bangli.
Bukan tidak mungkin temuan-temuan di lapangan akaan mampu memperkaya
atau malah menemukan teori baru sehingga memperkaya upaya pencegahan
terhadap upaya bunuh diri dan memperkaya kasanah ilmiah, khususnya tentang
upaya pencegahan bunuh diri tersebut.
Selain teori tersebut di atas akan dipakai juga teori bunuh diri Durckheim
untuk menjelaskan apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan bunuh diri
selain karena faktor perubahan sosial sebagaimana disebutkan di atas. Durckheim
membagi bunuh diri ke dalam empat kategori berdasarkan derajat tinggi
rendahnya solidaritas sosial: bunuh diri egoistik, bunuh diri altruistik, bunuh diri
fatalistik, bunuh diri anomic. Tidak menutup kemungkinan pendekatan psikologi
juga akan menjadi pisau analisis untuk membedah peristiwa tersebut untuk
mendapatkan penjelasan secara personal apa yang melatarbelakangi seseorang
melakukan upaya bunuh diri.
II.3 Penjelasan Konsep
Pengertian bunuh diri sebagaimana dikemukakan Dokter Cokorda Bagus
Jaya Lesmana (2006:2), yaitu berkait erat dengan “(1) Kegawatdaruratan dalam
bidang Psikiatri, (2) Tindakan pengakhiran hidup yang dilakukan secara sengaja
dan sadar, (3) Bukanlah merupakan tindakan yang acak maupun tidak bertujuan,
dan (4) Erat kaitannya dengan keinginan yang dihalangi ataupun tidak terpenuhi,
rasa tidak berdaya dan tidak berguna, adanya konflik ambivalensi, dihadapkan
pada pilihan yang semakin sempit, dan adanya keinginan untuk lari dari masalah
(Romi Sudhita, tt, 27.)
18
II.4 Outcome dari Penelitian
Oucome atau luaran dari penelitian ini adalah berupa laporan hasil
penelitian, yang bisa dilanjutkan dengan publikasi dalam bentuk jurnal dari hasil
penelitian tersebut.
Secara garis besar, luaran ini akan memuat tentang berbagai faktor yang
menjadi penyebab dari begitu banyaknya upaya bunuh di di Kabupaten Bangli.
Faktor ini bisa berupa lingkungan, hubungan sosial, perubahan sosial yang ada,
baik pada tingkat keluarga maupun pada tingkat masyarakat. Faktor tersebut akan
dibagi menjadi dua, yakni hal yang menjadi penyebab munculnya upaya bunuh
diri tersebut dan hal yang memicu munculnya upaya itu. Penyebab adalah situasi
yang harus ada sehingga membuat upaya bunuh diri itu terjadi.
Hubungan dengan segala kebijakan pemerintah daerah, serta faktor dari
pihak swasta (non-pemerintah) juga akan dimuat dalam laporan hasil penelitian
ini. Yang tidak ditinggalkan adalah saran-saran kepada pemerintah dan
masyarakat agar mampu menekan dan menghilangkan angka upaya bunuh diri
tersebut.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
III. 1 Tujuan Penelitian
19
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang dari munculnya upaya bunuh diri pada
amasyarakat di Bangli.
2. Mendeskripsikan upaya-upaya untuk menekan dan menghapus upaya
bunuh diri tersebut.
III.2 Manfaat Penelitian
1. Manfaat utama dari penelitian ini adalah memberikan informasi dan
pengetahuan kepada masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak lainnya
terhadap munculnya upaya bunuh diri di wilayah Kabupaten Bangli.
2. Memberikan pengetahuan dan infromasi kepada masyarakat tentang
upaya untuk menghindari upaya tersebut dan mampu berbuat positif untuk
melihat segala persoalan sosial yang ada.
3. Memberikan inpirasi kepada khalayak agar mampu menginformasikan
temuan ini melalui jaringan dan hubungan sosial, demi mencegah
munculnya upaya bunuh diri.
4. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bahaya dari
kemunculan perubahan sosial.
5. Secara akademis memberikan pengetahuan dan memperbaharui
pengetahuan, khsusnya tentang faktor yang memicu munculnya upaya
bunuh diri serta memperbaharui teori atau pemahaman tentang
penanggulangannya.
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1 Jenis Penelitian
20
Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif. Artinya peneliti akan terjun
langsung ke lapangan, melihat gerak dinamika masyarakat di lokasi penelitian,
mewawancara, ikut terlibat dalam dinamika sosial tersebut (Bryman, 2004: 267).
Tujuannya untuk memahami fenomena secara langsung di lapangan sehingga
mampu merekam secara piskologis (terlibat) dan kemudian mampu menjelaskan
bagaimana fenomena bunuh diri itu sampai terjadi. Peneliti akan ikut aktivitas,
mendekatkan diri dengan aktivitas lingkungan sosial yang ada, sambil mencata
segala apersitiwa yang berkaitan dengan kemungkinan perilaku ingin bunuh diri
tersebut.
Dengan cara partisipatif seperti itu, penelitian akan mampu memberikan
gambaran hasil yang lebih dekat, langsung dari lapangan sehingga keadaan
lingkungan, pola pergaulan atau apapaun yang ada di wilayah itu akan mampu
memberikan masukan dan gambaran tentang upaya bunuh diri yang terjadi di
wilayah bersangkutan.
Penelitian ini direncanakan berlangsung sekitar 7 bulan, yaitu mulai bulan
April 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015.
IV.1.1. Keuntungan Pemakaian Metode Kualitatif dalam Penelitian ini
Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini karena penelitian ini
lebih menekankan pendekatan secara langsung kepada pelakunya untuk bertanya.
Dengan berbagai teknik wawancara yang ada, wawancara secara langsung akan
lebih mamlu menggali alasan dan informasi tentang alasan upaya bunuh diri,
faktor pendorong maupun f aktor pemicu dari upaya ini.
Keterlibatan peneliti di masyarakat secara langsung, memungkinkan bagi
peneliti untuk melihat pola perilaku, hubungan sosial, lingkungan, perubahan
sosial dan berbagai kaitan dari faktor tersebut yang mungkin menjadi pendorong
atau penyebab munculnya upaya bunuh diri tersebut.
IV.I.2. Lokasi Penelitian dan Alasan Memilih Lokasi
Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Bangli di wilayah dimana
terjadi upaya bunuh diri tersebut. Kabupaten Bangli dikenal sebagai daerah yang
21
mempunyai udara sejuk, dengan penghasilan masyarakat dari bertani jeruk dan
industri pariwisata. Wilayah ini terkenal dengan jeruk Kintamani, Danau Batur,
serta pemandangan indahnya di Kintamani. Terpilihnya Kabupaten Bangli sebagai
lokasi berdirinya rumah sakit jiwa menandakan bahwa di masa lalu, daerah ini
dipandang sebagai wilayah sejuk yang mampu mengondisikan suasana tenang
kepada seseorang.
Akan tetapi, bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswa
Universitas Udayana pada bulan Februari 2014 lalu, mulai menguak fenomena
yang ada pada kabupaten ini. Survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Bangli pada tanggal 5 Maret 2014 yang lalu, memberikan gambaran mengejutkan.
Bahwa rentang waktu 2012 sampai 2015, terjadi 56 kali upaya bunuh diri yang
dilakukan oleh warga Bangli. Meski sebagian orang berhasil diselamatkan, angka
inilah yang mendorong pemilihan tempat di Kabupaten Bangli untuk melakukan
penelitian. Dilihat dari alamatnya, peristiwa bunuh diri tersebar di berbagai
wilayah di Bangli seperti Bayung Gede, Busung Biu, Batur, Songan, Br. Kawan,
sukawana, dan daerah-daerah terpencil lainnya.
IV.2. Metode Penentuan Informan
Pemilihan informan pada penelitian ini dilakukan dengan melihat realitas
munculmya upaya-upaya bunuh diri tersebut. Dalam penelitian kualitatif, jumlah
informan tidak ditentukan secara pasti akan tetapi ditarik berdasarkan informan
yang ada. Secara umum, pemilihan informan dalam penelitian kualitatif dilakukan
secara purposif, yakni informan yang sudah ditentukan. Melalui survei awal yang
sudah dilakukan di Rumah Sakit Umum Bangli. Informan yang dipilih tidak
hanya mereka yang berhasil selamat dari percobaan bunuh diri namun juga
keluarga korban meninggal karena bisa jadi akan sangat sulit mendapatkan
keterangan dari informan yang masih hidup karena mungkin masih trauma dan
ibarat membuka luka lama jika dipaksa diwawancarai.
IV.3. Unit Analisis
22
Unit analisisnya adalah keluarga, dengan individu yang melakukan upaya
bunuh diri atau keluarga dari korban yang melakukan bunuh diri tersebut.
Individu yang melakukan upaya bunuh diri dan saksi hidup (keluarga/orang
terdekat) ini merupakan sumber yang paling mampu memberikan jawaban tentang
berbagai faktor yang mendorong mereka melakukan upaya tersebut. Akan tetapi,
untuk lebih merepresentasikan hasil penelitian, lingkungan sekitar dari keluarga
tersebut juga akan dianalisis melalui pendekatan kualitatif, termasuk juga relasi-
relasi sosial yang pernah dilakukan oleh subyek yang melakukan upaya tersebut.
IV.4. Sumber Data
Data yang didapatkan pada penelitian ini berasal dari sumber data primer
dan sekunder. Data primer dilakukan dengan melakukan wawancara pada
informan, yaitu pada individu yang melakukan upaya bunuh diri, keluarga serta
berbagai kerabat yang ada di lingkungan tempat tinggal tersebut. Disamping itu,
lingkungan yang menjadi wilayah penelitian juga disurvei secara langsung
sehingga mampu memberikan gambaran yang lebih konkrit dalam penelitian ini.
Sedangkan data sekunder diambil dari data-data di lingkungan seperti kemiskinan
yang ada di wilayah lokasi penelitian, baik yang ada di kantor kepala desa,
maupun di Kabupaten Bangli, pembangunan. Termasuk juga data sekunder adalah
berupa berbagai bacaan dan data yang ada, baik di buku-buku psikologi, catatan-
catatan di rumah sakit, catatan kriminal di pantor kepolisian dan berbagai catatan
terkait yang ada di kantor desa, camat maupun kabupaten.
IV.5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, wawancara dan observasi merupakan teknik utama
yang dipakai. Wawancara dilakukan kepada informan dan subyek penelitian, yaitu
anggota keluarga yang melakukan upaya bunuh diri tersebut dan orang yang
melakukan upaya bunuh diri tersebut. Melaksanakan wawancara dengan pelaku,
merupakan tindakan yang sulit. Akan tetapi, melalui teknik tertentu, seperti
tersenyum, mengajak ngobrol masalah lain, akan mampu menggali secara
perlahan motivasi yang dilakukannya.
23
Sedangkan observasi dilakukan untk mengetahui kondisi lingkungan
keluarga maupun lingkungan unit penelitian, secara langsung oleh peneliti.
Observasi ini sangat diperlukan untuk mendukung analisis tentang budaya dan
lingkungan yang memungkinkan menjadi faktor penyebab atau pendorong dari
upaya kemiskinan tersebut. Bunuh diri tersebut.
Wawancara dilakukan dengan wawancara mendalam. Dalam penelitian
kualitatif, wawancara mendalam sangat diperlukan untuk mengetahui keadaan
yang sesungguhnya dari subyek penelitian. Daftar pertanyaan juga dibuat, akan
tetapi sangat dimungkinkan diperdalam lagi saat melakukan penelitian. Daftar
pertanyaan ini hanya memuat hal-hal yang pokok saja.
IV.5.1. Pencatatan Realitas Sosial
Yang dimaksudkan dengan pencatatan realitas sosial ini adalah mencatat,
baik dalam bentuk catatan tertulis maupun merekam gambar-gambar realitas
sosial yang ada di wilayah tersebut. Hasil pencatatan dan rekaman ini akan
ditafsirkan dan dimaknai dalam kaitannya dengan munculnya upaya-upaya bunuh
diri tersebut.
Realitas sosial, baik yang bersifat budaya, seni, konflik, hubungan sosial,
pola pergaulan dan sebagainya akan dicatat sebagai sebuah upaya untuk pencarian
data demi melengkapi hasil analisis dari penelitian kualitatif. Termasuk pula
misalnya apabila ada pendapat atau komentar yang mengungkap tentang berbagai
faktor penyebab dan faktor pemicu bunuh diri yang berasal dari komentar wilayah
lain. Komentar ini akan berupaya dicari buktinya di tempat penelitian. (Contoh
ada pada Lampiran)
IV.6. Teknik Analisis Data
24
Data yang telah terkumpul berdasarkan wawancara dan observasi tersebut,
dikelompokkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada. Jawaban dari
responden dan informan diklasifikasikan dan dikelompokkan ke dalam jenis
pertanyaan yang ada. Dimana pertanyaan-pertanyaan ini merupakan turunan atau
pengembangan dari perumusan masalah yang ada. Data-data tersebut diintisarikan
dan diinterpretasikan serta dikaitkan dengan fakta-fakta yang ada sehingga
mampu memberikan penguatan. Atau juga memberikan sebuah gambaran tentang
fenomena baru yang ditemukan di lapangan, sesuai dengan perumusan masalah
dan judul penelitian.
IV.6.1. Mencari Pemaknaan
Dalam penelitian kualitatif, segala kalimat yang ada, baik kalimat verbal
maupun gestur tubuh akan dicatat. Karena itu disamping menggunakan alat
perekam, peneliti juga mencatat segala gerak-grik tubuh yang ada saat melakukan
wawancara. Makna berbicara sambil tertawa, bisa jadi memaknakan akan
kekurangseriusan dari jawaban. Sebaliknya menjawab sambil berbisik, adalah
sebuah fenomena serius yang bisa menggambarkan suasana yang sesungguhnya.
Demikian pula dengan upaya memberikan jawaban di tempat yang sepi,
mengindikasikan adanya upaya serius terhadap masalah yang hendak
diungkapkan. (Contoh ada pada Lampiran)
BAB V
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Latar Belakang Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli
1. Masalah yang tidak terlalu penting
Fenomena bunuh diri kini semakin marak terjadi di Bali. Media massa,
terutama media massa lokal, semakin sering memberitakan kejadian-kejadian
semacam itu. Dilihat dari segi umur, pelakunya berentang dari usai muda hingga
tua sedangkan jika dilihat dari motifnya juga beragam, mulai dari maslah
ekonomi, hingga sakit yang tidak tersembuhkan, tidak jarang pula ditemui motif
yang bisa dibilang sepele seperti putus cinta atau gagal mencari pekerjaan yang
diharapkan hal ini terjadi terutama dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh
remaja.
Peristiwa bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Bangli cukup mengejutkan.
Menurut catatan kepolisian Bangli (Polres Bangli), angka bunuh diri di kabupaten
tersebut mencapai 14 orang pada tahun 2013. Akan tetapi yang paling
mengejutkan, adalah catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli tahun 2012
sampai 2015 tentang upaya-upaya bunuh diri yang terjadi pada rentang tahun
Menurut catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli, pada rentang tahun
tersebut, terjadi tidak kurang dari 56 upaya bunuh diri, meskipun beberapa dari
korban bisa diselamatkan karena pertolongan di rumah sakit, akan tetapi catatan
angka 56 orang yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri tersebut,
merupakan jumlah yang mengkhawatirkan. Ini menandakan ada ketidakberesan di
masyarakat, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor berkaitan dengan
perubahan sosial atau faktor-faktor lain.
Mencari informan yang bersedia diwawancarai dalam penelitian ini cukup
sulit. Mencari informasi tentang segala hal yang bersangkutan dengan bunuh diri
kepada keluarga korban ataupun korban selamat ibarat membuka luka lama yang
tidak setiap orang punya ketegaran untuk kembali menceritakan penderitaan yang
dialami atau pengalaman yang sempat menimpanya bahkan tidak jarang dijumpai
trauma psikis yang amat besar yang masih dialami oleh keluarga korban maupun
pelaku yang berhasil selamat sehingga seringkali wawancara terpaksa dihentikan
ditengah jalan bahkan gagal.
26
Korban pertama yang berhasil diperoleh datanya dalam penelitian ini
berlokasi di Desa Bunutin, Kecamatan Bangli. Korban meninggal berusia 19
tahun. Kejadian ini terjadi pada bulan Juni 2015 berdasarkan hasil wawancara
dengan orang tua korban dapat dijelaskan faktor utama yang mendorong pelaku
melalukan bunuh diri adalah kegagalan mencari pekerjaan yang dicita-citakan
sejak kecil. Sikap korban yang suka menyendiri dan tertutup turut andil dalam
kejadian tersebut. Semenjak kegagalan tersebut korban sering mengurung diri di
kamar dan linglung. Dalam kondisi seperti ini korban merasa demikian pesimis
pada hidupnya. Dalam ranah psikologi sosial sikap semacam ini dapat disebut
dengan kecemasan sosial. Kecemasan sosial adalah perasaan tidak nyaman
dengan kehadiran orang lain, yang disertai oleh perasaan malu dan kecendrungan
untuk menghindari interaksi sosial (Dayakisni, Hudaniyah, 2009: 125).
KT (50 tahun) menjelaskan sebagai berikut:
“ anak tiang (saya) dari kecil memang anaknya pendiam, jarang cerita
apalagi sama kami apalagi sama orang lain. Kalau punya masalah jak
pedidine ngabe (dibawa sendiri). Kami sangat syok kami kena musibah ini,
anak tiang (saya) sejak kecil bercita-cita jadi polisi, tes waktu niki (ini)
gagal, habis itu anak saya sai dikamar (suka mentendiri dikamar)”
Sosiolog pertama yang berbicara banyak tentang bunuh diri adalah
Durckheim (Ritzer & Smart, 2012: 160) ia mengkategorikan bunuh diri kedalam
berbagai tipe. Menurutnya perilaku seseorang yang melakukan bunuh diri bisa
dilihat sejauhmana integrasi yang terjadi ditengah masyarakat terutama integrasi
yang dialami oleh pelaku. Berdasarkan kondisi dan sikap pelaku bunuh diri di atas
dapat dikategorikan kedalam tipe bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik adalah
tipe bunuh diri yang terjadi karena integrasi masyarakat dengan individu sangat
lemah (Ritzer, 2012: 160). lemahnya integrasi menyebabkan perasaan individu
bukan bagian dari unit sosial yang lebih besar (masyarakat). Lebih lanjut
dijelaskan Durckheim bahwa, jika integrasi individu dan masyarakat kuat maka
akan timbul dukungan moral amat kuat yang memampukan seseorang
menghadapi kekecewaan-kekecewaan, frustasi dan tekanan-tekanan hidup.
Integrasi yang tidak kuat bisa dilihat dari sikap pelaku yang suka
menyendiri, tertutup dan memisahkan diri dari komunitasnya. (jauh dari unit
27
sosial yang lebih luas/masyarakat). Ketika korban mengalami tekanan-tekanan
hidup sebagaimana penjelasan diatas, maka tidak ada dukungan moral dari unit
sosial yang lebih luas yang mampu mendorong pelaku keluar dari tekanan
tersebut hingga akhirnya memilih jalan bunuh diri untuk mengatasi masalah yang
sedang dihadapi dan seolah tak memiliki kuasa atas hidupnya. Tidak dapat
disangkal bahwa sedikit tidaknya dukungan sosial dari lingkungan sekitar pelaku
merupakan dimensi penting paling tidak sebagai pelepas kekalutan dengan
berbagi cerita dan mendapatkan solusi atasnya.
Korban tersebut diatas dapat dikategorikan dalam usia remaja jika merujuk
pada batasan umur sebagaimana penjelasan Sarwono yang memberi batasan usia
remaja dengan rentang umur 11-24 tahun (Sarwono, 2013: 18). Dalam ranah
psikologi perkembangan sebagaimana dijelaskan Monk (Nugroho, 2012: 32).
Remaja yang memiliki kecendrungan memisahkan diri dari orang tua, berkumpul
dengan teman sebayanya dan ada pada masa pencarian jati diri sering kali
menjadikan seseorang secara psikologis amat labil dan rapuh secara kejiwaan
sehingga tidak memiliki daya juang yang cukup tinggi untuk keluar dari tekanan
hidup berikut pemaknaan atasnya. Maka tidak salah jika dimensi kelabilan ini
menjadi salah satu faktor pendorong angka bunuh diri dikalangan anak muda terus
meningkat. Dalam fase psikologis ini, remaja tidak mempunyai kemampuan
resiliensi yang memadai. Hal ini dapat kita lihat dari cara penyelesaian masalah
dengan sengaja mengakhiri hidup yang sejatinya disebabkan oleh hal-hal sepele
semisal putus cinta atau gagal mencari pekerjaan.
Dari aspek individu prilaku bunuh diri dapat kita lihat dengan pendekatan
atribusi sosial. Atribusi sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari
penyebab dari prilaku orang lain (Rahman, 2013: 102). Prilaku-prilaku yang
didasari oleh faktor emosi bisa diatribusikan sebagai perilaku yang tidak terencana
karena pelaku tidak memiliki kontrol atas tindakannya. Jika saja pelaku bunuh diri
memiliki kontrol atas tindakannya (memaknai hidup dan menjadikan setiap
masalah sebagai sumbu ledak vitalitas) tentu prilaku bunuh diri sebagai cara
keluar dari masalah tidak akan dipilih.
28
Lain lagi dengan korban kedua yang berhasil di peroleh datanya adalah
seorang remaja asal Bayung Gede_WK umur 19 tahun laki-laki meninggal dengan
cara meminum pestisida terjadi pada 2013 silam. Kerabat korban yang berhasil
ditemui menuturkan bahwa:
“perkiraan tiange (saya) WK meninggal karena uyut (ribut) dengan
tunangane, adanae nak trune jek keweh bene (namanya anak muda sulit
kita jelaskankan)” (S 40 tahun)
Kuat dugaan korban meninggal karena putus cinta sebagaimana dijelaskan
kerabat korban di atas. Hal ini terungkap karena malam sebelum kejadian korban
sempat berkeluh kesah dengan teman sebayanya tentang peraasaanya. Remaja
yang berada pada fase tanggung_antara anak-anak dan dewasa menjadikan remaja
sangat rapuh dan kebingungan akan identitas diri disatu sisi merasa sudah dewasa
dan layak mengambil keputusan disisi lain belum bisa memikul tanggung jawab
yang terlalu besar. Kondisi ini menjadikan remaja mudah putus asa dan bingung
ketika menghadapi masalah. Seringkali hal semacam ini memaksa remaja memilih
tindakan nekat untuk mengatasi masalah salah satunya adalah dengan sengaja
mengakhiri hidup untuk lari dari masalah.
Kajian psikologi perkembangan remaja Blos (1962) menjelaskan remaja
pada tahapan madya sering berada dalam kondisi kebingungan karena sering kali
tidak tahu harus memilih peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis
atau pesimis (Sarwono, 2013: 30). Kondisi-kondisi semacam inilah yang
menjadikan remaja tidak bisa keluar dari tekanan ketika sedang dalam himpitan
masalah sebagaimana yang dialami korban di atas.
2. Kemiskinan
Kemiskinan sebagai sebuah fenomena ekonomi menjadikan rendahnya
tingkat pendapatan dan dan mata pencaharian sebagai tolak ukur utamanya. secara
sederhana kemiskinan menyangkut probabilitas orang atau keluarga miskin untuk
melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya (Suyanto,
2013: 2). Dalam kasus bunuh diri di Kabupaten Bangli motif semacam ini banyak
29
dijumpai pada pelaku yang berusia tua hal ini diakibatkan oleh kebutuhan orang
tua kian hari kian beragam dan kompleks.
Friedman menjadikan basis kekuasaan sosial sebagai tolak ukur dalam
definisi kemiskinan_kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi
basis sosial. Lebih jauh dijelaskn Friedman basis sosial melingkupi beberapa
aspek: Pertama: modal produktif atas aset; Kedua: sumber keuangan; Ketiga:
organisasi sosial dan politik untuk mencapai kepentingan bersama semisal
koprasi; Keempat: jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan; Kelima: informasi
yang berguna untuk kehidupan. (Suyanto, 2013: 4-5).
Ada beberapa ciri mendasar dalam kemiskinan menurut Suyanto mulai
dari tidak memiliki faktor produksi sendiri, tidak adanya kemungkinan untuk
mendapatkan faktor produksi karena pendapatan yang tidak memadai,tingkat
pendidikan yang rendah, bekerja musiman, dan tidak memiliki skill (2013:6).
Desa Siakin, Kecamatan Kintamani_ dalam kurun waktu dua tahun ada
tiga orang yang melakukan bunuh diri. Dua orang meninggal dunia dan satu orang
berhasil selamat. Satu orang bernama WY 40 tahun meninggal dengan cara
meminum racun pestisida dan turut pula memberikan racun itu kepada anaknya
yang masih berumur 5 tahun. Korban telah ditinggalkan istrinya sehingga hidup
menduda dengan satu anak. Latar belakang prilaku bunuh diri yang terjadi di desa
ini diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan sakit menahun yang tidak kunjung
sembuh. Sebagai gambaran, hampir 95 % masyarakat Desa Siakin bekerja sebagai
petani.
Korban sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dengan penghasialan yang
tidak menentu_terlilit keemiskinan absolut sebuah keadaan dimana tingkat
pendapatan absolut dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (Suyanto, 2013: 3). Mereka yang terkategori miskin bisa dilihat dari ciri
yang paling mudah diantaranya tidak memiliki faktor produksi (tanah), modal dan
keterampilan. Kondisi ini melekat pada korban WY.
Desa siakin berada ditengah hutan Sukawana dengan jalan yang cukup
terjal, dari kota kecamatan Desa Siakin bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu
jam. Jarak antara sebagian besar jarak pemukiman satu dengan lainnya sangatlah
30
jauh. Hanya ada satu lokasi tempat dimana masyarakat biasanya berkumpul dan
bercengkarama. Lokasi itu berada di pusat desa. Kondisi ini mengakibatkan
sosialisasi antar warga menjadi terkendala jarak dan medan. Meskipun jarak antar
satu pemukiman dengan pemukiman lainnya sangat jauh namun bukan faktor
lemahnya solidaritas yang mendorong seseorang melakukan upaya bunuh diri di
Desa ini. Berdasarkan hasil observasi masyarakat Desa Siakin sangatlah guyub,
ciri khas masyarakat desa sebagaimana dijelaskan Durckheim dengan solidaritas
mekaniknya.
Keluarga korban dan tokoh desa yang berhasil ditemui menjelaskan
bahwa:
“ korban masih tergolong keluarga jauh saya. Dia meninggal setahun lalu
dengan cara meminum racun. Dugaan saya dia melakukan itu karena
masalah ekonomi. Menjadi petani hasilnya tidak seberapa harus
menanggung beban ekonomi dengan harga makin mahal, bahkan makan
saja dia kadang hanya ubi”. (NR, 57 tahun).
Penjelasan keluarga korban diperkuat oleh salah satu tokoh di desa tersebut:
“ dugaan saya dia bunuh diri karena masalah ekonomi, kalau dilihat dari
tempat tinggalnya sudah tidak layak huni, dan tinggal agak terpencil.
Hidup sendiri hanya dengan anaknya yang masih kecil” (PC 54 tahun).
Himpitan ekonomi sebagai akibat dari lonjakan harga kebutuhan pokok,
tuntutan hidup yang kian hari kian meningkat mengakibatkan seseorang
mengalami tekanan terlebih korban hanya bekerja sebagai buruh tani dengan
penghasilan tidak tetap. Kondisi ini dalam istilah Kartono disebut dengan
gangguan mental. Gangguan mental ini sebagai efek samping dari modernisasi
(2005:271). pesatnya pembangunan dan industri menyebabkan banyaknya terjadi
gangguan-gangguan pada masyarakat. Semakin banyak masyarakat tidak mampu
melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan besar tersebut sebagai
akibat dari kebutuhan yang kian variatif. Mereka banyak mengalami frustrasi,
konflik eksternal-internal, ketegangan batin dan menderita gangguan mental.
Tidak semua masyarakat mampu menerima perubahan. Sebagaimana yang
menimpa korban tersebut diatas, korban mengalami tekanan mental sangat berat
31
akibat himpitan ekonomi menghidupi anak yang masih kecil tanpa istri dan
pekerjaan yang tetap dengan biaya hidup yang terus meningkat.
Korban kedua yang berhasil diperoleh datanya adalah seorang laki-laki
asal Desa Mungguh bernama KA 46 Tahun mengakhiri hidup dengan cara
meminum pestisida. Korban sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dilahan orang
lain. Panen yang hanya semusim sekali menjadikan kondisi ekonomi korban
makin parah karena korban hanya mengandalkan hasil panen itupun hasil dibagi
dengan pemilik tanah dan hanya mendapatkan bagian beberapa persen saja.
Pendidikan terakhir korban hanya sebatas Sekolah Dasar itupun tidak sampai
selesai. Singkatnya modal pendidikan dan sosial yang dimiliki korban makin
memperburuk kondisi ekonominya. Sebagaimana dijelaskan Suyanto bahwa
tingkat pendidikan yang rendah, penghasilan yang tidak menenntu, dan tidak
punya faktor produksi menjadikan seseorang tak berdaya menghadapi tekanan
ekonomi.
Soedjatmoko menjelaskan bahwa petani yang tidak memiliki tanah dengan
penghasilan yang tidak menentu termasuk kedalam golongan yang menderita
kemiskinan struktural_mereka yang miskin akan hidup dengan kemiskinannya.
Struktur sosial yang berlaku melahirkan rintangan bagi seseorang untuk
mengalami mobilitas sosial vertikal. Sebagai misal lemahnya kondisi ekonomi
seseorang tidak memungkinakan mereka untuk memperleh pendidikan yang ayak
dan berimbas pada sektor pekerjaan yang akan dipilihnya nanti (1981: 46).
Kondisi inilah yang dialami korban KA hingga akhirnya memilih mengakhiri
hidup dengan cara meminum racun.
Data bunuh diri sebagai akibat kemiskinan berikutnya di peroleh dari
kerabat korban ML 50 tahun laki-laki karena meminum pestisida pada tahun
2013. Korban berhasil selamat setelah dilarikan ke RSUD Bangli. Kondisi
ekonomi korban tidak jauh berbeda dengan sebelumnya _KA. Hanya
mengandalkan penghasilan musiman sebagai petani penggarap dengan pendidikan
hanya sebatas Sekolah Dasar. Berdasarkan hasil observasi korban tinggal di
pondok lahan garapannya, kondisinya bisa dibilang jauh dari kata layak. Korban
menjelaskan apa yang melatarbelakanginya melakukan upaya bunuh diri:
32
“tiang sube med sajan keweh, makan gen keweh, panak sube pade kelih
bek ne perluange sedangkan keadaan tiang kene, ngandelang nyakap
amen maan medagang nem bulan cepok” (saya sudah bosan hidup susah,
makan saja susah, anak sudah besar banyak kebutuhan yang diperlukan
sedangkan keadaan saya seperti ini, hanya mengandalkan hasil panen 6
bulan sekali).
Kondisi ekonomi yang melilit korban mengakibatkan korban putus asa
mejalani hidup dan memilih mengakhiri hidupnya. Harga kebutuhan pokok yang
terus merokoket pad akhirnya tidak bisa dijangkau oleh masyarakat miskin.
Ukuran khas kemiskinan di Indonesis menjadikan sembilan bahan pokok sebagai
tolak ukur keluarga miskin. Jika dalam sebuah rumah tangga secara terus menerus
tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok hidup tersebut maka rumah tangga
tersebut dapat di anggap miskin (Suyanto, 2013:4). Dengan kondisi yang serba
pas-pasan rumahtangga korban tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok
tersebut bahkan tidak jarang mereka hanya makan nasi dan sayur dari hasil petik
dikebunnya tanpa daging. Kemiskinan yang dialami korban bisa dikategorikan
kedalam kemiskinan kultural sebagaimana dijelaskan Agusta bahwa kemiskinan
yang diakibatkan karena tidak memiliki barang-barang dasar (2014:58).
3. Sakit yang tidak kunjung sembuh
Undang- Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menjelaskan
bahwa kondisi sehat adalah kondisi dimana keadaan sehat secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan seseorang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Aspek ekonomi terwujud apabila seseorang dikatakan
mampu secara produktif _mempunyai kegiatan yang menghasilakn sesuatu yang
dapat menopang kehidupan sendiri atau keluarga secara finansial. Sejalan dengan
penjelasan di atas, WHO memberikan batasan kesehatan dalam tiga aspek yaitu
fisik, mental dan sosial (Edelman & Mandle, 1994 dalam Sunaryo: 2014: 242).
Berkebalikan dengan itu kondisi sakit menurut UU No.23 Tahun 2009
menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit
menahun (kronis) atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja
atau kegiatannya terganggu.
33
Pelaku bunuh diri karena sakit yang tak kunjung sembuh berariatif mulai
dari usia remaja hingga tua. Sakit yang diderita korban kebanyakan adalah sakit
kronis yang sulit disembuhkan semisal keterbelakangan mental, hingga struk.
Data korban bunuh diri dengan motif sakit yang tak kunjung sembuh diperoleh
dari KK 20 Tahun asal Songan seorang perempuan yang mengalami
keterbelakangan mental. Keluarga korban menuturkan bahwa korban mengalami
keterbelakangan mental sejak baru lahir. Korban mengakhiri hidup dengan cara
gantung diri.
“ anak saya meninggal gantung diri tahun 2013, dia mengalami gangguan
mental sejak kecil”. Kami tidak tahu harus mengobatinya dengan cara apa
dan kami juga tidak punya uang yang cukup.
Sebagaimana orang yang mengalami gangguan mental korban sering
melakukan hal-hal di luar kebiasaan orang normal, suka menangis sendiri, teriak
sendiri tanpa sebab yang jelas dan mengalami keterlambatan dalam merespons
timulus karena mengalami gangguan pada perkembangan fungsi otaknya.
Kepala Desa Songan membenarkan bahwa tahun 2013 silam warga atas
nama KK melakukan bunhuh diri kuat dugaan korban melakukan bunuh diri
karena sakit yang di derita. Penjelasan lebih lengkap disampikan oleh pegawai
Puskesmas korban sakit sudah lama kemungkinan terbesar korban mengakhiri
hidup karena depresi. Korban sempat di bawa ke Puskemas Songan untuk
dilakukan pemeriksaan setelah dipastikan korban murni bunuh diri korban
akhirnya dimakamkan keluarganya. Sejalan dengan definisi sakit sebagaimana
dijelaskan UU No 23. Tahun 2009 seseorang dikatakan sakit apabila aktivitas
berkegiatan atau lainnya tergangganggu akibat ketidak mampuan fisik dan mental.
AT 16 tahun asal Desa Susut juga melakukan bunuh diri karena
mengalami keterbelakangan mental tahun 2013. Korban sering linglung dan
perkembangan otaknya agak terganggu sehingga sering kali melakukan tindakan-
tindakan membahayakan dirinya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan korban ke
dua JS 71 tahun bunuh diri dengan cara meminum pestisida. Korban mengalami
struk sejak beberapa tahun. Keluarga korban menjelaskan sebagai berikut:
34
“Bapak saya sudah struk sejak 5 tahun lalu, sehari-hari hanya ditempat
tidur sudah tidak bisa beraktivitas. Bisa jalan Cuma beberapa langkah
harus diam lagi” (KA, 23 Tahun).
Secara fisik korban sudah tidak bisa melakukan aktivitas bekerja dan
hanya terbaring lemas di tempat tidur hanya sesekali berjalan keluar dari tempat
tidur beberapa langkah. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya semisal makan atau
MCK korban harus membutuhkan orang lain karena fisiknya tidak berfungsi
normal. Kondisi ini menjadikan korban depresi berat bahkan kadang menangis
dihadapan anak-anaknya. Kondisi inilah yang di duga menjadi latar belakang
korban akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara menenggak pestisida.
Korban meninggal bunuh diri berikutnya adalah seorang perempuan asal
Desa Songan ML 50 tahun kejadian ini berlangsung tahun 2013 silam. Korban
menderita struk kurang lebih setahun. Ketidakmampuan keluarga untuk
melakukan pengobatan secara rutin menjadikan kondisi fisik korban kian hari kina
memburuk. Kerbat kroban menjelaskan sebagi berikut:
“awalnya ML hanya menderita struk ringan, hanya tangan kiri dan kaki
kiri yang agak tidak berfungsi dan bicaranya sudah tidak jelas, tapi karena
tidak berobat rutin kondisinya jadi makin memburuk” (WY 30 tahun)
Dengan ketidakmampuan fisiknya sebagai akibat dari sakit yang di derita
korban mengalami depresi dan mengakhiri hidupnya dengan meminum
pestisida.berdasarkan batasan sakit dari WHO yang memberikan batasan
kesehatan dalam tiga aspek yaitu fisik, mental dan sosial (Edelman & Mandle,
1994 dalam Sunaryo: 2014: 242) maka korban tidak terbantahkan mengalami
sakit fisik dan mental. Sakit mental sebagai akibat dari depresi pada kondisi diri
yang tidak berdaya beraktivitas paling mendasar.
2. Solusi Atas Tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli
Dari berbagai faktor yang menjadi penyebab tingginya angka bunuh diri di
Bangli hal utama yang harus dibangun adalah menumbuhkan dimensi resiliensi
dalam diri setiap individu. Secara sederhana resiliensi dapat diartikan sebagai
kemampuan individu untuk beradaptasi dengan penderitaan yang dialami, untuk
kemudian bangkit dan melawan mengatasinya (Nugroho, 2012). Jika seseorang
35
ada dalam tekanan hidup yang demikian besar dan kemudian mampu memberikan
makna atasnya, maka tidak menutup kemungkinan masalah yang dihadapi justru
menjadi sumber vitalitas dalam menjalani hidup. Usaha-usaha semacam inilah
yang bisa melahirkan individu-individu resilien. Pemaknaan atas hidup dan segala
tantangannya menjadi penting manakala remaja dihadapakan pada situasi sulit
seperti di atas.
Sebagaimana ungkap Dr. Maddi (dalam Scott, 2009: 2), hal pertama yang
dapat dilakukan guna meningkatkan dimensi resiliensi pada diri adalah dengan
mempelajarinya. Refleksi diri atau yang secara sederhana dapat diterjemahkan
sebagai “pemahaman mendalam atas diri”, merupakan proses belajar yang
berlangsung secara terus-menerus dalam upaya pembentukan dimensi resiliensi
pada diri individu. Terkait hal tersebut, Michael Polanyi dalam The Study of Man
(2001: 18) mengatakan bahwa sering kali manusia jauh tak mengenal dirinya
ketimbang lingkungannya. Prihal mengalami kekecewaan, kegagalan, terkucilkan dan
malu sesungguhnya adalah ajang individu melakukan refleksi atas diri. Dalam kacamata
resiliensi, refleksi diri berfungsi sebagai sarana pengatur emosi, pengendali impuls,
“pemeka” analisis sebab-akibat, serta pendobrak pemaknaan individu (Nugroho, 2012)
Solusi atas kasus bunuh diri bermotifkan kemiskinan haruslah dicari akar
penyebab kemiskinan terlebih dahulu sehingga dengan demikian solusi yang
ditawarkan akan lebih tepat guna. Secara teoritik penyebab kemiskinan dapat di
pilah menjadi dua: Pertama: kemiskinan alamiah yakini kemiskinan yang timbul
sebagai akibat dari sumberdaya yang langka jumlahnya dan atau tingkat
perkembangan teknologi yang rendah sehingga dengan demikian dibutuhkan
prananta-pranata traditional seperti hubungan patron-clien, jiwa gotong royong
yang fungsional untuk meredam kemungkinan terjadinya solidaritas yang
renggang dalam masyarakat. Kedua: kemiskinan buatan yakni kemiskinan yang
terjadi karena strruktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok
masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata.
Pendeknya kemiskinan buatan bersumber dari struktur sosial. Struktur sosial yang
berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun
temurun_terdapat perbedaan yang tajam antara yang kaya dan miskin (Suyanto,
36
2013: 10). Struktur sosial yang berlaku melahirkan rintangan bagi seseorang
untuk mengalami mobilitas sosial vertikal. Sebagai misal lemahnya kondisi
ekonomi seseorang tidak memungkinakan mereka untuk memperleh pendidikan
yang ayak dan berimbas pada sektor pekerjaan yang akan dipilihnya nanti (1981:
46). Dengan demikian solusi atas tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli
karena faktor ekonomi bisa dipecahkan dengan cara mengurangi jurang pemisah
yang terlalu jauh antara yang kaya dan miskin.
Konsep lain yang tidak kalah penting harus direalisasikan adalah
pemberdayaan masyarakat_sebuah upaya untuk memberikan daya atau penguatan
kepada masyarakat (Mardikanto, Soebiato, 2013: 26). Sejalan dengan itu
pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat
miskin, marjinal) untuk menyampaikan pendapat dan atau kebutuhannya untuk
mempengaruhi mengelola kelembagaan masyarakat demi perbaikan
kehidupannya. Pemerintah atau dinas terkait bisa memberikan teknologi tepat
guna atau pelatihan-pelatihan kewirausahaan sebagai usaha tambahan untuk
income rumah tangga miskin. Dengan demikian masyarakat mendapatkan cara
agar rakyat, komunitas dan organisasi diarahkan agar mampu menguasai dan
berkuasa atas kehidupannya.
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
37
Rencana tahapan berikutnya sesudah penelitian ini selesai dilakukan dan
mendapatkan temuan atas latar belakang tingginya angka bunuh diri di Kabupaten
Bangli adalah menyerahkan hasil penelitian kepada dinas terkait di Kabupaten
Bangli untuk selanjutnya melakukan diskusi dan memberikan masukan serta
solusi atas masalahtersebut. Jika dibutuhkan peneliti bisa saja mendampingi
masyarakat atau dinas terkait untuk menerapkan solusi-solusi yang akan
direalisasikan.
BABVII
KESIMPULAN DAN SARAN
38
7.1 Kesimpulan
Laterbelakang upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya: pertama; masalah yang tidak terlalu penting, kedua;
kemiskinan, ketiga: sakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi ini tentu
membutuhkan solusi cepat dan tepat baik secara regulatif maupun dari
individunya. Pemberdayaan masyarakat menjadi penting sebagi solisi atas
kemiskinan yang melilit masyarakat. sedangkan secara pribadi seseorang
hendaknya menumbuhkan dimensi resilien dalam dirinya sehingga mampu
bangkit dari setiap masalah yang sedang menimpa.
7.2 Saran
Angka bunuh diri di Kabupaten Bangli membutuhkan penanganan serius
dari berbagai pihak untuk itu berikut beberapa saranyang bisa disampikan kepada
beberapa pihak:
1. Kepada Pemerintah Kabupaten Bangli: penyuluhan, pembekalan dan
road show ekonomi kreatif bisa dilakukan lebih intens pada rumah
tangga miskin agar mereka mempunyai skill dan pemasukan finansial
tambahan sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan
terbebas dari lilitan kemiskinan.
2. Kepada Pemerintah Tingkat Desa Kabupaten Bangli: pendataan
keluarga miskin harus dilakukan dengan sangat cermat dan merata
sehingga secara administratif mereka tercatat sebagai KK miskin dan
mendapatkan bantuan dari pemerintah baik materi maupun pelatihan-
pelatihan untuk menambah income rumah tangga
3. Kepada masyarakat Kabupaten Bangli: solidaritas sosial harus tetap
dipertahankan dan meningkatkan fungsi keluarga sebagai tempat setiap
anggota keluarga bisa berbagai
4. Kepada remaja Kabupaten Bangli: untuk bisa keluar dari setiap
tekanan ketika mengalami masalah dan kegagalan bisa dilakukan
dengan menggali makna hidup dari keluarga, orang-orang terdekat dan
39
agama dan mengisi hari dengan kesibukan yang positif seperti aktif di
Banjar atau Desa Pakraman sebagai truna desa tidak kalah penting
melakukan refleksi diri dan memaknai setiap kegagalan hidup sebagai
tantangan.
40
Daftar Pustaka
Abdul, Rahman Agus. 2014. Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Agusta, Ivanovich. 2014. Diskursus, Kekuasaan, dan Praktik Kemiskinan di
Pedesaan. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia
Bryman, Alan. 2004. Social Research Methods, Great Britain, Oxford University
Press
Dayakisni, Tri, Hudiniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Pres
Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
_____________.2011.Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat.1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Mardikanto, Totok, Soebiato, Poerwoko. 2013. Pemberdayaan Masyarakat dalam
Perspektif Kebijakan Publik. Bndung: Alfabeta
Reuter, Thomas A. 2003. Inequality, Crisis and Social Change in Indonesia: The
Muted Worlds of Bali. London: Routledge Curzon.
Ritzer & Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakata: Nusa Media
Romi Sudhita, I Wayan, t.t, Perilaku Bunuh Diri di Kalangan Pelajar: Analisis
Deskriptif Pemberitaan Balipost Tahun 2006-2009
Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan
Pengetahuan Emperik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sarwono, Solita. 2007. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta
Aplikasinya. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
_____________.2013. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sherraden, Michael, Abbas, Sirojudin (terj.). 2006. Aset untuk Orang Miskin:
Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Suyanto, bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penangannya. Malang:
Intrans Publising
41
Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Pranada Media Grup.
Zan Pieter, Herri, Lumongga Lubis, Namora. 2010. Pengantar Psikologi dalam
Keperawatan. Jakarta: Prenada Media Group.