LAPORAN PROGRAM ACADEMIC LEADERSHIPS...
Transcript of LAPORAN PROGRAM ACADEMIC LEADERSHIPS...
LAPORAN
PROGRAM ACADEMIC LEADERSHIPS GRANT
(PROGRAM 1-1-6)
Formulasi Senyawa Antibakteri Dari Sarang Semut
Sebagai Alternatif Obat Alami Penyakit Gigi dan Mulut
Prof. Dr. Mieke H. Satari, drg.,MS
Dr. Hendra Dian A. Dharsono, drg.,Sp.KG
Dr. Yetty Herdiyati.S,drg. Sp. KGA (K)
Dr. drg. Denny Nurdin, MKes
Dr. Dikdik Kurnia, M.Sc
Meirina Gartika, drg., Sp KGA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Januari, 2017
RINGKASAN
Penderita penyakit infeksi gigi di Indonesia mencapai 90. Penyakit yang paling
banyak diderita yaitu karies gigi dan periodontitis. Penyebab utama terjadinya
karies dan periodontitis disebabkan adanya enzim dan toksin yang dihasilkan oleh
bakteri diantaranya Streptotococcus mutans, Enterococcus faecalis,
Porphyromonas ginggivalis dan Streptococcus sanguis. Saat ini pengobatan
menggunakan obat yang ada terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri belum maksimal, ditambah dengan semakin berkembangnya bakteri yang
mengalami resistensi terhadap beberapa antibiotic. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian yang mengarah pada penemuan obat yang poten. Dengan adanya faktor
resistensi bakteri membuat pengembangan molekul target dan mekanisme kerja
antibakteri semakin meingkat. Salah satu upaya mengatasi bakteri patogen dengan
cara pembuatan enkapsulasi senyawa aktif agar senyawa aktif bisa masuk ke bagian
terdalam gigi. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa mikrokapsul dapat
mengontrol dan memperpanjang waktu release dari obat sodium diklofenak yang
dienkapsulasinya serta dapat meningkatkan efisiensi obat hingga 72,99%. Sumber
untuk mendapatkan molekul aktif bisa didapatkan dari tumbuhan medisinal.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman hayati yang melimpah. Hal
ini merupakan sumber potensi untuk menemukan senyawa alami yang mempunyai
aktivitas fitofarmaka yang dapat digunakan sebagai sumber obat. Penelitian ini
bertujuan mengisolasi dan menguji aktivitas suatu senyawa dari tumbuhan
Myrmecodia sp atau lebih dikenal dengan nama “sarang semut”. Penelitian ini
dibagi menjadi empat tahap yaitu isolasi dan karekterisasi senyawa dari sarang
semut, pengujian senyawa terhadap bakteri patogen, pengujian senyawa terhadap
pembentukan biofilm dan pembentukan enkapsulasi senyawa aktif tersebut. Dari
penelitian ini didapatkan dua senyawa flavonoid dan dua terpenoid yang memiliki
aktivitas antibakteri.
Kata kunci: Myrmecodia pendens, Antibakteri, Enkapsulasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia sangat buruk, hal ini
disampaikan oleh Sukmono dkk (2011). Dalam surveinya, Sukmono dkk (2011)
memperoleh data 90% dari penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan
mulut. Hal ini disebabkan karena perilaku masyarakat Indonesia masih
memiliki persepsi yang buruk terhadap kesehatan gigi dan mulut. Penyakit yang
paling banyak diderita yaitu karies gigi dan periodontitis.
Menurut Samrayanake (2006) dan didukung oleh Marsh dan Martin
(2009), penyebab utama terjadinya karies dan periodontitis disebabkan adanya
enzim dan toksin yang dihasilkan oleh bakteri diantaranya Streptotococcus
mutans (penyebab karies), Enterococcus faecalis (penyebab kegagalan
perawatan endodontik), Porphyromonas ginggivalis (penyebab penyakit
periodontitis) dan Streptococcus sanguis (penyebab terbentuknya biofilm).
Virulensi bakteri dapat menyebabkan tingkat keparahan suatu penyakit.
Dalam upaya mengatasi sifat virulensi bakteri, salah satu cara menghambat
pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut melalui pengobatan terhadap penyakit
karies dan periodontitis. Pengobatan yang dilakukan untuk menghambat proses
pertumbuhan bakteri ini banyak menggunakan obat-obatan produk sintesis
seperti pemberian antibiotik dan antiseptik. Namun saat ini, antibiotik dan
antiseptik tersebut sudah banyak yang mengalami resistensi terhadap bakteri
penyebab penyakit gigi dan mulut. Oleh karena itu, diperlukan suatu zat yang
bisa menjadi alternatif pengobatan.
Bahan alam merupakan sumber agen antimikroba baru, namun belum
banyak pengetahuan mengenai potensi metabolit sekunder terhadap patogen
oral (Ambrosio, 2008). Salah satunya adalah umbi sarang semut (Myrmecodia
pendens merr& perry) yang banyak digunakan oleh masyarakat di papua barat
sebagai ramuan berkhasiat untuk terapi berbagai penyakit. Tanaman ini
berpotensi untuk dikembangkan dalam obat-obatan herbal modern karena
mereka bisa kemampuannya tumbuh dengan baik sebagai tanaman epifit. Oleh
karena itu eksploitasi pada tumbuhan ini tidak akan membahayakan lingkungan
(Hertiani dkk., 2010). Saat ini belum ditemukan senyawa aktif tunggal umbi
sarang semut yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap S.
mutans, S. sanguis, E. Faecalis, dan P. gingivalis. Pada penelitian terdahulu
diketahui bahwa fraksi umbi sarang semut mengandung senyawa flavonoid,
alkaloid, fenolik dan terpenoid (Hamsar & Mizaton, 2012).
Penelitian terdahulu melaporkan kemampuan flavonoid bekerja sebagai
antimikroba terhadap Staphylococcus aureus, S. epidermidis, E. coli, S.
typhimurium dan Stenotrophomonas maltophilia (Chusnie, 2005). Selain itu
flavonoid juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antithrombogenik,
antivirus, dapat menurunkan kadar kolesterol darah, antiangiogenesis, dan
menghambat proliferasi sel. (Akiyama et al., 2002).
Bioaktivitas terpenoid juga telah banyak diteliti dalam bidang kedokteran,
antara lain sebagai bahan antikanker, anti-HIV, antijamur, antiparasit dan
antibakteri (Zwenger & Basu, 2008). Terpenoid mampu merusak dinding sel
bakteri dengan cara merusak struktur lemak dan menurunkan tegangan
permukaan dinding sel sehingga menyebabkan kandungan intrasel bakteri
bocor keluar dinding sel, dan akhirnya sel mengalami lisis.
Sampai saat ini, penggunaan obat saluran akar belum mampu menembus
lapisan tubuli dentin. Oleh karena itu, karakteristik antibakteri/obat yang
digunakan sebagai alternatif pengobatan infeksi gigi ini harus mampu
menembus lapisan tubuli dentin agar dapat mengatasi kegagalan perawatan
endodontik akibat adanya resistensi E. faecalis. Salah satu cara agar zat obat
saluran akar ini mampu berpenetrasi ke tubuli dentin maka diperlukan suatu
cara yaitu melalui transport bahan obat melalui mikrokapsul. Pembuatan
mikrokapsul ini juga diharapkan dapat dimasukkan ke dalam sulkus gusi untuk
mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang hidupnya di dalam sulkus
gusi.
Salah satu syarat yang harus dimiliki obat saluran akar dan obat sulkus
gusi adalah obat tersebut harus stabil dalam larutan dan aktif meskipun terdapat
darah, serum dan derivat protein jaringan (Grossman, 1995). Berdasarkan
alasan tersebut, diperlukan upaya melindungi obat saluran akar dan sulkus gusi
dari pengaruh lingkungannya dengan cara mengenkapsulasinya. Konsep dari
enkapsulasi ini adalah pembungkusan suatu senyawa oleh senyawa lainnya atau
proses pembungkusan droplet cairan, partikel padat atau gas dalam kulit yang
bersifat inert yang akan mengisolasi dan memproteksi droplet tersebut dari
lingkungan luar. Material inti yang biasa dipakai adalah dalam bentuk cairan.
(Ghosh, 2006).
Mikrokapsul merupakan produk enkapsulasi dan telah diaplikasikan
dalam bidang medis seperti drug delivery. Salah satu fungsi dari mikrokapsul
ini adalah sebagai controlled release. Menurut Volgeson (2001), teknologi
mikroenkapsulasi yang dikembangkan selama dekade terakhir telah terbukti
efektif dalam meningkatkan spesifitas obat terhadap target organ, menurunkan
toksisitas obat secara sistemik, memperbaiki tingkat penyerapan obat dan
melindungi obat terhadap degradasi biokimia. Penelitian yang dilakukan
Shivalingam et al. (2010), membuktikan bahwa mikrokapsul dapat mengontrol
dan memperpanjang waktu release dari obat sodium diklofenak yang
dienkapsulasinya serta dapat meningkatkan efisiensi obat hingga 72,99%.
Penghantaran obat dengan controlled release telah terbukti dapat
meningkatkan kemampuan terapeutik obat. Polimer merupakan bahan yang
penting dalam teknologi controlled release, karena sifat kimia dan fisiknya
mudah dikontrol. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mikrokapsul untuk
tujuan controlled release obat saluran akar gigi harus bersifat biocompatible
dan biodegradable. Salah satu bahan yang memiliki kedua sifat tersebut adalah
sodium alginat. Bahan ini umumnya digunakan sebagai zat pesuspensi,
disintegran untuk tablet dan kapsul, pengikat untuk tablet dan zat peningkat
viskositas. Bahan ini juga telah digunakan untuk mikroenkapsulasi beberapa
senyawa obat.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan
mikroenkapsulasi obat saluran akar menggunakan penyalut sodium alginat dan
kitosan untuk medicament infeksi saluran akar gigi. Selain itu, dari penelitian
ini juga akan dibuat obat kumur maupun gel sebagai obat untuk mengatasi
infeksi gigi.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai
berikut.
1. Apakah dapat dibuat mikrokapsul sodium alginate beberapa senyawa
tunggal dan kombinasi hasil isolasi umbi sarang semut.
2. Apakah mikrokapsul sodium alginate beberapa senyawa tunggal dan
kombinasi hasil isolasi umbi sarang semut dapat menurunkan jumlah S.
mutans, S. sanguis, E. faecalis dan P ginggivalis.
3. Apakah terdapat efektivitas antibakteri dari senyawa tunggal dan kombinasi
hasil isolasi sarang semut
1.3 Tujuan Penelitian
1. Dapat dibuat mikrokapsul sodium alginate beberapa senyawa tunggal dan
kombinasi hasil isolai umbi sarang semut.
2. Mengukur penurunan jumlah S mutans, S sanguis, E. faecalis dan P.
gingivalis
3. Mengukur efektivitas antibakteri senyawa tunggal dan kombinasi hasil
isolasi umbi sarang semut.
1.4 Urgensi Penelitian
Keutamaan penelitian ini nampak jelas pada kondisi masyarakat Indonesia
yang masih banyak menderita berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme khususnya bakteri sehingga memiliki kondisi yang tidak
sesuai dengan standar keamanan dan kesehatan. Proses penyembuhan dengan
menggunakan berbagai antibiotik yang sudah tidak sesuai lagi, bukan saja
menjadikan penyakit tidak teratasi, akan tetapi akan memperparah penyakit
yang diakibatkan oleh meningkatnya resistensi bakteri tershadap obat tersebut.
Di lain pihak, tumbuhan umbi Sarang Semut mempunyai potensi besar sebagai
sumber alternatif bahan alami karena telah lama digunakan secara tardisonal
untuk pengobatan tradisional. Dengan selesainya riset ini, diharapkan tumbuhan
umbi Sarang Semut yang selama ini belum memiliki nilai ekonomi tinggi,
digunakan sebagai bahan baku obat alami menggantikan obat antibiotik yang
ada. Selain itu terungkapnya potensi kandungan senyawa-seyawa antibakteri
baru akan membuka wawasan penelitian senyawa alami medisinal potensial
disamping untuk pengembangan potensi budidaya tumbuhan umbi Sarang
Semut.
Rancangan tahapan penelitian dan rencana penelitian (road map) ini dapat
dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1 Road Map Penelitian Tahun ke- 1-5
1.5 Luaran yang akan dicapai
Hasil penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
dalam bidang di bidang kedokteran Gigi khususnya tentang mekanisme
kerja dari beberapa sen yawa tunggal hasil isolasi umbi sarang semut
sebagai upaya meningkatkan keberhasilan perawatan gigi.
2. Diharapkan dapat menjadi ajuan penggunaan berupa obat kumur, gel, serta
mikrokapsul enkapsulasi untuk meningkatkan efektivitas penggunaan obat.
Tahun ke- 1 & 2 Tahun ke- 3 Tahun ke- 4 & 5
Isolasi dan Penentuan Struktur Lead Compunds
Uji Bioaktifitas Lead Compunds
Formulasi & Persiapan Uji Pra-Klinik dan Uji Klinik
Data Ethnobotani & Ethnofarmakologi
(Skripsi S1)
Isolasi Senyawa Terpenoid Antibakteri
(Thesis S2 & Disertasi S3)
Studi Struktur & Uji Bioaktifitas Antibakteri
(Thesis S2 & Disertasi S3)
Studi Formulasi Antibakteri, Antioksidan
& osteoathritis (Thesis S2 & Disertasi S3)
Persiapan Uji Pra-klinik & Klinik
(Thesis S2 & Disertasi S3)
Kandidat Obat Baru
Antibakteri Analisis Fitokimia
(Skripsi S1)
Isolasi Senyawa Flavonoid Antibakteri
(Thesis S2 & Disertasi S3)
Isolasi Senyawa Flavonoid Antioksidan
(Thesis S2 & Disertasi S3)
Sum
be
rday
a H
ayat
i SA
RA
NG
SEM
UT
Program ALG 2015-2019 Academic Leadership Grant
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan
di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan
sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh tumbuhan (Robinson,
1991). Pada tubuh manusia flavanoid berfungsi sebagai antioksidan, antiinflamasi,
antibakteri, antivirus dan banyak digunakan dalam pengobatan kanker. Flavanoid
memiliki efek antibakteri yang bekerja dengan menghambat sinteis dinding sel,
menghambat fungsi membran, sitoplasmik serta menghambat sintesis protein
(Edewor, 2013). Hal ini didukung oleh Chusnie dan Lamb pada tahun 2005
menemukan mekanisme galangin yang merupakan flavonoid sebagai antibakteri
terhadap MRSA yang merupakan bakteri Gram positif adalah menginduksi
kerusakan membran sitoplasma pada bakteri yang diketahui melalui pengukuran
kebocoran ion logam kalium (K+).
2.2 Terpenoid
Terpenoid tersusun dari senyawa-senyawa yang mengandung suatu
gabungan kepala ke ekor dan mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua
atau lebih unit C-5 yang disebut unit isopren. Unit C-5 ini dinamakan demikian
karena kerangka karbonnya sama seperti senyawa isopren (Lenny, 2006).
Bioaktivitas terpenoid telah banyak diteliti dalam bidang kedokteran.
Beberapa diantaranya adalah sebagai bahan antikanker, anti-inflamasi, anti-HIV,
antijamur, antiparasit, antibakteri dan masih banyak lagi penelitian bioaktivitas
terpenoid. Monoterpen dan diterpen diketahui memiliki aktivitas antibakteri yang
sangat kuat (Zwenger & Basu, 2008). Penggunaan terpenoid sebagai senyawa aktif
juga meningkat di bidang makanan sebagai essence dan pewangi (Robinson, 1991).
2.3 Bakteri
2.3.1 Streptococcus mutans
Streptococcus mutans merupakan bakteri Gram-positif termasuk kelompok
dari Streptococcus viridians, ciri khas organisme ini adalah sifat α-hemolitik tetapi
dapat juga non-hemolitik. Salah satu bakteri yang dianggap sangat berperan dalam
mekanisme pembentukan plak gigi dan peningkatan kolonisasi bakteri penyebab
karies adalah S.mutans. S.mutans terdapat didalam plak sebagai bakteri penghasil
asam yang kuat serta sangat resisten terhadap asam. Bakteri S.mutans mampu
tumbuh dalam keadaan asam dan dapat menempel pada permukaan gigi karena
kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel. Polisakarida ini terdiri dari
polimer glukosa yang menyebabkan matriks plak mempunyai konsistensi seperti
gelatin, akibatnya bakteri terbantu untuk melekat pada gigi serta saling melekat satu
sama lain. Plak makin lama makin tebal, sehingga akan menghambat fungsi saliva
sebagai antibakteri dan terjadilah karies gigi (Kidd & Bechal, 1991).
2.3.2 Enterococcus faecalis
Enterococcus faecalis termasuk genus bakteri kokoid anaerob fakultatif
Gram-positif, berbentuk ovoid dalam bentuk tunggal, berpasangan, atau bentuk
rantai pendek. (Johnson et al., 2009). Pada periodontitis apikalis persisten, E.
faecalis merupakan bakteri predominan yang diisolasi dari saluran akar yang telah
dilakukan perawatan endodontik (Haapsalo et al., 2003). E. faecalis dapat berinvasi
ke dalam tubuli dentin, berkoloni di dalam saluran akar dan mampu bertahan hidup
tanpa dukungan bakteri-bakteri lainnya. E. faecalis resisten terhadap efek
antibakteri dari kalsium hidroksida dan resisten terhadap sebagian besar antibiotika.
Penggunaan antibiotika akan merubah flora normal dalam saluran akar yang
memberikan kondisi yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup E. faecalis (De
Paz, 2006).
Pada patogenisitas penyakit periodontitis apikalis, E. faecalis dalam tubuli
dentin dan saluran akar dilepaskan ke daerah periradikuler yang kemudian menarik
leukosit atau menstimulasi leukosit untuk memproduksi mediator inflamasi atau
enzim lisis. (De Paz, 2004).
2.3.3 Streptococcus sangunis
Streptococcus sanguinis adalah Gram-positif spesies bakteri kokus anerobik
fakultatif dan anggota kelompok Streptococcus viridans. S. sanguinis merupakan
penghuni normal dari mulut manusia yang sehat di mana ia ditemukan dalam plak
gigi. S. sanguinis diperkirakan dapat masuk kealiran darah ketika dilakukan
(pembersihan gigi dan operasi) akan menjajah katup jantung, terutama katup mitral
dan aorta, di mana hal tersebut merupakan penyebab paling umum dari sub akut
bakteri endokarditis (White & Niven, 1946).
2.3.4 Porphyromonas gingivalis
Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri anaerob Gram-negatif yang
tidak berspora (non-spore forming) dan tak punya alat gerak (non motile) (Leslie et
al.,1998). Porphyromonas gingivalis terlibat dalam patogenesis periodontitis, suatu
penyakit inflamasi menghancurkan jaringan pada gigi yang dapat menyebabkan
kehilangan gigi. (Bodet et al., 2007).
Kemampuan P.gingivalis sebagai penyebab penyakit periodontitis
ditentukan dari faktor virulen. Pembentukan biofilm dan aktivitas bakteri dipeptidal
peptidase IV (DPPIV) berkontribusi dalam patogenik yang disebabkan oleh
P.gingivalis. Selanjutnya, pembentukan biofilm mempertinggi virulensi
P.gingivalis sehingga meningkatkan aktivitas DPPIV (Clais et al., 2014).
Sebuah penelitian yang dilakukan Noril et al (1997) mengatakan bahwa
P.gingivalis merusak jaringan dengan interaksi langsung antara bakteri dan sel
inang. Faktor-faktor virulensi yang terlibat dalam kolonisasi jaringan akan dapat
mengubah pertahanan jaringan host (Imamura, 2003). P.gingivalis adalah
stimulator poten dari mediator inflamasi seperti Interleukin-1 (IL-1) dan
prostaglandin E2 yang dapat menyebabkan resorbsi tulang (Cutler et al., 1995).
2.4 Tinjauan Umum Myrmecodia pendens
Tanaman sarang semut merupakan tanaman yang termasuk dalam suku
Rubiaceae dan terdiri dari 5 kelompok marga. Akan tetapi, hanya 2 marga tanaman
sarang semut, yakni Myrmecodia dan Hydnophytum yang memiliki asosiasi paling
dekat terkait simbiosisnya dengan kelompok jenis semut yang sama yaitu
Ochetellus sp. (Jebb, 2009; Plummer, 2000). Secara empiris rebusan air dari umbi
sarang semut dapat mengobati berbagai macam penyakit seperti mencegah penyakit
tumor, kanker, jantung, wasir, TBC, rematik, gangguan asam urat, stroke, maag,
gangguan fungsi ginjal dan prostat (Subroto & Saputro, 2006).
2.4.1 Taksonomi Myrmecodia sp
Taksonomi umbi sarang semut (M. pendans) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Lamiidae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Myrmecodia
Spesies : Myrmecodia pendans Merr. & L.M. Perry
Nama lokal : Sarang semut (Papua-Indonesia)
(Kusmoro, 2013).
2.4.2 Morfologi Myrmecodia sp
Tumbuhan sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon di pinggir
pantai hingga ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Sarang semut banyak
ditemukan menempel di beberapa pohon, umumnya di pohon kayu putih
(Melaleuca), cemara gunung (Casuarina), Kaha (Castanopsis), dan pohon beech
(Nothofagus).
Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah bagian daging
umbi/hipokotil (caudex) yang dapat berbentuk bulat, memanjang bahkan tidak
beraturan. Umbi sarang semut rata-rata berdiameter 25 cm dan tinggi 45 cm dengan
permukaan bertekstur untuk melindunginya dari herbivora. Dalam umbi sarang
semut terdapat labirin yang dihuni oleh semut dan cendawan. Dalam jangka waktu
yang lama terjadi reaksi kimiawi secara alami antara senyawa yang dikeluarkan
semut dengan zat yang terkandung dalam tanaman sarang semut. Perpaduan inilah
yang diduga membuat sarang semut memiliki kemampuan mengatasi berbagai jenis
penyakit (Subroto & Saputro, 2006).
Gambar 2.3 Daun (A), buah (bagian luar) (B), buah (bagian dalam) (C) dan batang
(menempel pada tanaman lain) (D) M. pendans.
Tanaman sarang semut pada umumnya hanya memiliki satu batang yang jarang
bercabang serta mempuyai ruas yang tebal dan pendek. Batang bagian bawahnya
secara progresif menggelembung membentuk umbi atau hipokotil (caudex)
(Huxley, 1978).
2.4.3 Senyawa Kimia Pada Myrmecodia sp
Berdasarkan hasil uji penapisan kimia dari tumbuhan obat sarang semut yang
dilakukan oleh Subroto dan Hendro (2006) menunjukkan bahwa tumbuhan ini
mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Flavonoid
merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak
merupakan pigmen tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder yang berhasil
ditemukan pada tumbuhan sarang semut masih sangat terbatas. Subroto dan Saputro
(2008) menemukan alfa tokoferol pada umbi sarang semut. Disamping itu, senyawa
golongan glikosida berhasil ditemukan dari fraksi air M. pendans (Bustanussalam,
2010).
O
HO
(1)
O
O
(2)
HO
OH OH
OH OH OH
CH3
OH
Gambar 2.4 Senyawa dari M. pendans: α-tocoferol (1) dan glukosida (2)
(A) (C) (D) (B)
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan dalam empat tahun. Tahun pertama
terdiri dari isolasi senyawa tunggal dan uji aktivitas antibakterinya (zona hambat,
MIC, MBC). Tahun kedua terdiri dari pembuatan matriks kombinasi senyawa dan
uji aktivitas antibakteri. Tahun ketiga terdiri dari pembuatan matriks kombinasi
senyawa dan uji aktivitas biofilm. Tahun ketiga terdiri dari pembuatan
mikroenkapsulasi obat saluran akar.
3.1 Prosedur Penelitian Tahun I
Penelitian ini terdiri dari lima tahap, yaitu: ekstraksi sampel umbi tumbuhan
M. pendans, isolasi dan karakterisasi senyawa murni, dan pengujian antibakteri.
3.1.1 Ekstraksi Sampel
Sampel berupa umbi sarang semut, dipotong-potong kemudian diekstraksi
dengan cara sokletasi dengan menggunakan pelarut etilasetat. Ekstrak etil asetat
yang dihasilkan, diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator dengan
tekanan dari vakum pada suhu ± 40°C sehingga diperoleh ekstrak pekat etil asetat.
3.1.2 Pemisahan dan Pemurnian Senyawa
Fraksi etil asetat yang mengandung senyawa aktif diuapkan pelarutnya
hingga didapatkan ekstrak fraksi yang pekat, kemudian fraksi ini dimurnikan
dengan metode kromatografi dan fasa diam silika gel 60 (70–230 mesh) dan ODS
dengan berbagai kombinasi pelarut yaitu n-heksana, etil asetat dan metanol.
3.1.3 Karakterisasi Isolat Murni
Isolat murni yang diperoleh dari hasil pemurnian senyawa, selanjutnya
dikarakterisasi dengan menggunakan metode spektroskopi yang meliputi,
spektrofotometri ultraviolet, inframerah, 1H-NMR (hidrogen-nuclear magnetic
resonance), 13C-NMR (karbon-nuclear magnetic resonance), DEPT 135°,1H–1H
COSY, HMQC, HMBC dan MS.
3.1.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri
a. Persiapan Biakan Bakteri Uji
Bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri S. mutans, S.
sanguinis, E. faecalis dan P. ginggivalis. Sebelum digunakan dalam pengujian
terhadap isolat senyawa murni dari sarang semut dan antibiotika standar, terlebih
dahulu dilakukan peremajaan dengan memperbanyak bakteri yang akan diuji dalam
medium nutrisi sehingga bakteri dapat tetap hidup subur. Adapun masing-masing
biakan bakteri diambil sebanyak satu ose dan dimasukkan kedalam medium yang
telah disterilisasi dengan cara menggores biakan bakteri pada permukaan media,
kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
Kapas lidi dicelupkan dalam suspensi bakteri lalu dioleskan pada
permukaan media padat hingga merata, selanjutnya sebanyak 15 µL sampel,
kontrol positif (antibiotik), dan kontrol negatif (metanol) diteteskan pada kertas
samir (disk) kemudian diletakkan diatas media padat, diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam. Setelah 24 jam, diameter zona bening disekitar disk diamati dan
diukur menggunakan jangka sorong.
b. Penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
Metode yang digunakan dalam penentuan MIC ini adalah pengenceran
tabung. Uji MIC dalam penelitian ini untuk menentukan konsentrasi minimum
suatu ekstrak sarang semut dan senyawa aktif yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri. Dengan demikian uji sensitivitas dilakukan dari konsentrasi
terkecil isolat murni. Uji dilakukan dengan mempergunakan beberapa tabung reaksi
dan isolat murni dengan konsentrasi berbeda yang dilarutkan dalam metanol.
Pengenceran isolat murni dimulai dari konsentrasi 10000 hingga 0,1 mg/100 ml
metanol (pengenceran 10–0,0001 %). Secara aseptik dimasukkan 0,5 ml medium
bulyon cair yang telah disterilkan dalam otoklaf dan 0,5 ml isolat sarang semut ke
dalam tabung-tabung steril. Suspensi bakteri yang setara dengan larutan Mac
Farland 1 (3x108 sel/ml sampel) sebanyak satu ose dimasukkan ke dalam tabung
berisi medium dan isolat sarang semut, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam. Sebagai pembanding kekeruhan dibuat tabung kontrol yang tidak
diberi ekstrak uji. Konsentrasi terendah ekstrak uji dalam tabung yang
menunjukkan kejernihan yang sama dengan tabung kontrol dinyatakan dengan
MIC.
- dipotong kecil-kecil
Ekstrak etil asetat pekat
- dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40°C
- diekstraksi dengan etil asetat
Fraksi target
- dipisahkan dangan berbagai teknik kromatografi secara gradien dan
isokratik disertai dengan analisis kromatografi lapis tipis yang dipandu
dengan lampu UV λ254 dan λ365 nm serta pereaksi penampak noda
alumunium(III)klorida 5% dalam etanol dan H2SO4 10% dalam etanol
Isolat murni
Tumbuhan M. pendans
- dianalisis kandungan flavonoid dan terpenoid secara kuantitatif
- dikarakterisasi dengan metode spektroskopi UV, IR, NMR dan MS
Struktur senyawa terpenoid dan flavonoid
Senyawa dan aktivitas antibakterinya
- diuji aktivitas antibakteri dengan metode Kirby-Bauer dan MIC &
MBC
Gambar 3.1 Bagan alir penelitian: proses isolasi senyawa, karakterisasi
senyawa dan uji aktivitas antibakteri isolate murni dengan
metode Kirby-Bauer dan MIC & MBC
dimurnikan dengan metode kromatografi fasa terbalik dengan pelarut isokratik
(3:7, v/v) (metanol-H2O
Isolat 1 (10 mg)
- dikarakterisasi dengan spektroskopi UV, IR, NMR dan massa
dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dengan pelarut
bergradien 10% (v/v) (n-heksan & etil asetat)
Ekstrak etil asetat (30 g)
F8 F1-F7 F9 F10-F11
dimurnikan dengan metode kromatografi kolom dengan pelarut bergradien 5% (v/v)
(n-heksan & etil asetat)
Isolat 3 (15 mg)
F8-5
Umbi sarang semut (M. pendans) 3000 g
F9-6
- disokletasi dengan etil asetat
- diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu ± 40°C.
BAB IV
HASIL YANG DICAPAI
Pada penelitian ini telah didapatkan dua senyawa flavonoid dengan
kerangka bifalvonoid dari Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendans.). Kedua
senyawa ini dujikan terhadap E. faecalis. Berikut capaian hasil penelitian yang
telah dilakukan. Bagan alir isolasi senyawa terpenoid ditunjukkan pada gambar
4.1.
Gambar 4.1 Bagan alir isolasi senyawa 1 dan 2 dari Umbi Sarang Semut
Sebanyak 3 kg bubuk kering diekstraksi dengan cara sokletasi dengan
menggunaan pelarut etil asetat redest selama 6 jam pada suhu 40°C. Untuk
keseluruhan sampel dilakukan sokletasi sebanyak 10 kali rotasi (0,3 kg).
Struktur senyawa 1 dan 2
Penggunaan etil asetat sebagai pelarut pengekstrak karena etil asetat dapat
mengambil senyawa flavonoid dalam sampel disbanding pelarut yang lain
(Apriyanti, 2015). Ekstraksi dilakukan dengan cara sokletasi dikarenakan metode
tersebut merupakan metode dengan hasil yang didapatkan maksimal. Hal ini
didasarkan atas beberapa kali pengulangan atau recovery dalam isolasi senyawa
target dan senyawa tidak mengalami kerusakan akibat pemanasan pada sokletasi.
Pemilihan metode sokletasi sebagai metode ekstraksi dikarenakan operasionalnya
yang relatif cepat dan pelarut yang digunakan lebih sedikit bila dibandingkan
dengan metode maserasi. Penggunaan pelarut etil asetat ini didasarkan pada hasil
penelitian sebelumnya (Dharsono, 2013; Yudha 2014).
Gambar 4.2 Bagan alir isolasi terpenoid A dan B dari Umbi Sarang Semut
Selanjutnya filtrat hasil sokletasi disaring, kemudian dipekatkan
menggunakan rotary evaporator pada tekanan rendah dan suhu ± 40°C. Ekstrak
pekat etil asetat yang diperoleh sebanyak 30,0 g. Teknik penguapan pelarut tersebut
dilakukan untuk mendapatkan ekstrak pekat etil asetat dengan cepat dan efektif.
Penguapan dilakukan pada suhu ± 40°C bertujuan untuk mencegah dekomposisi
senyawa yang terkandung di dalamnya. Evaporator dilengkapi pompa vakum atau
aspirator, sehingga tekanan dalam sistem menjadi rendah. Pada tekanan yang
rendah, titik didih suatu senyawa menjadi lebih rendah, sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk menguapkan pelarut menjadi lebih cepat.
4.1 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Flavonoid
Ekstrak pekat etil asetat (30 g) dipisahkan komponen senyawa kimia
penyusunnya menggunakan metode kromatografi cair kolom terbuka dengan fasa
diam silika gel G60 (70-230 mesh), dan fase geraknya adalah n-heksana dan etil
asetat, sistem pelarut bergradien dan kenaikan kepolaran sebesar 10% (v/v).
Komposisi pelarut dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Komposisi pelarut kromatografi kolom ekstrak etil asetat
Untuk melihat hasil pemisahan, dilakukan analisis kromatografi lapis tipis
(KLT) dengan fasa diam silika gel G 60 F254. Fraksi 8 dan 9 terlihat mengandung
flavonoid karena berwarna kuning setelah diberi pereaksi penampak noda AlCl3
(Gambar 4.2).
Fraksi Volume pelarut (mL)
n-Heksana Etil asetat
1 500 0
2 450 50
3 400 100
4 350 150
5 300 200
6 250 250
7 200 300
8 150 350
9 100 400
10 50 450
11 0 500
Gambar 4.2 Kromatogram fraksi 1-11 dengan pelarut n-heksana-etil asetat (3:7,
v/v): dilihat di bawah sinar UV 254 nm (a), dilihat di bawah sinar UV
365 nm (b) dan setelah disemprot dengan larutan penampak noda
AlCl3 10% dalam etanol (c).
Selanjutnya fraksi 8 dimurnikan lebih lanjut menghasilkan isolat 1,
sedangkan dari fraksi 9 didapatkan isolate 2. Untuk mengetahui kemurnian, ketiga
isolat ini dianalisis KLT dengan dua kondisi, KLT fasa normal dan terbalik.
Gambar 4.3 Kromatogram KLT isolat 1: fasa normal dengan pelarut n-heksana-etil
asetat (3:7) dan fasa terbalik dengan pelarut metanol-air (1:1)
Heksana-EtOAc (3:7)
A B C A B C
MeOH-Air (5:5)
Gambar 4.4 Kromatogram KLT isolat 2: fasa normal dengan pelarut n-heksana-
etil asetat (2:3) dan fasa terbalik dengan pelarut metanol-air (1:4)
4.2 Karakterisasi Senyawa
Senyawa 1 berwujud padatan kuning yang larut dalam metanol. Spektrum
ultraviolet senyawa 1 memberikan empat puncak (Gambar 4.17). Puncak 1 (393
nm, ɛ 1105) adalah pita I flavonoid, menunjukan adanya gugus sinamoil.
Sedangkan puncak 2 (273 nm, ɛ 801) dan 3 (258 nm, ɛ 765) merupakan pita II yang
biasa dimiliki flavonoid. Pita ini adalah khas gugus benzena yang berasal dari
transisi dari orbital π ke π*. Transisi elektronik ini berasal dari ikatan rangkap
terkonjugasi pada benzena (pita B). Puncak 4 (208 nm) memberikan informasi
bahwa senyawa 1 memiliki gugus hidroksi (OH) dan karbonil (C=O) yang
merupakan hasil transisi dari orbital n ke π* dari elektron tidak berpasangan pada
atom oksigen (pita R). Gugus fungsi ini diperkuat dengan interpretasi dari spektrum
IR. Pada spektrum IR senyawa 1 terdapat regang OH pada 3483 cm-1 dan karbonil
pada 1597 cm-1 (Gambar 4.6).
A B C A B C
Heksana-EtOAc (2:3) MeOH-Air (1:4)
Gambar 4.5 Spektrum ultraviolet senyawa 1 (10 ppm dalam metanol)
Gambar 4.6 Spektrum infra merah senyawa 1
Selanjutnya senyawa 1 diukur menggunakan spektrometer NMR (nuclear
magnetic resonance) untuk mengetahui jumlah, jenis dan lingkungan proton dan
untuk mengetahui jumlah, jenis serta pemecahan sinyal karbon yang tergantung
dari jumlah proton yang terikat (metin, metilen, metil dan karbon kuarterner). Data
spektrum 13C-NMR pada Gambar 4.7, memperlihatkan adanya 30 sinyal karbon.
Untuk mengetahui informasi tentang multiplisitas sinyal dari setiap karbon,
dapat dilakukan pengukuran 13C-NMR dengan teknik DEPT 135° atau dengan
pengukuran dua dimensi HMQC. Spektrum DEPT 135° memperlihatkan sinyal
karbon metil dan metin ke atas, sinyal karbon metilen ke bawah dan untuk karbon
kuratrener tidak muncul. Untuk membedakan karbon metil dan karbon metin dilihat
dari jumlah hidrogen atau hidrogen yang terikat pada spektrum HMQC.
Intepretasi spektrum NMR dua dimensi HMQC memberikan data korelasi atau
hubungan antara suatu proton dengan suatu karbon sebanyak satu ikatan. Spektrum
ini untuk menentukan dugaan suatu karbon tertentu yang terikat dengan proton dan
berapa jumlah proton yang terikat pada karbon tersebut. Dengan kata lain, dari
spektrum HMQC menegaskan data pada spketrum DEPT terutama untuk
menentukan jenis karbon metin dan metil. Spektrum HMQC juga bisa
menunjukkan jumlah karbon dalam satu sinyal karbon. Hal ini dikarenakan HMQC
memuat informasi hubungan antara suatu proton dengan suatu karbon sebanyak
satu ikatan. Dengan membandingkan data spektrum 13C-NMR, DEPT dan HMQC
diketahui senyawa 1 memiliki lima belas karbon quarterner, empat belas metin dan
satu metilen. Berdasarkan rentang pergeseran kimia yang muncul, diduga bahwa
senyawa 1 merupakan biflavon (senyawa yang dibentuk oleh dua kerangka
flavonoid).
Gambar 4.7 Spektrum 13C-NMR dan DEPT senyawa 1 (125 MHz dalam CD3OD).
Spektrum 1H-NMR menginformasikan jumlah, jenis dan lingkungan dari setiap
proton-proton yang terdapat pada suatu senyawa. Pada Gambar 4.9 dan 4.10 dapat
diilihat jumlah dan jenis hidrogen yang terdapat pada senyawa 1. Data spektrum
1H-NMR senyawa 1 pada Gambar 4.9 memperlihatkan tiga sinyal proton alifatik
yaitu δH 5,32 (1H; dd; J = 2,6 & 13 Hz), 3,00 (1H; dd; J = 16,85 & 13 Hz) dan 2,70
(1H; dd; J = 2,6 & 16,85 Hz). Dua proton δH 3,00 dan 2,70 merupakan proton
germinal, ini terbukti dengan adanya nilai J = 16,85 Hz (rentang penjodohan proton
geminal 16-20 Hz). Selain berjodoh terhadap sesamanya, ternyata proton tersebut
berjodoh dengan proton teroksigenasi pada δH 5,32. Nilai J yang dimiliki proton ini
(J = 2,6 & 13 Hz) dimiliki juga oleh kedua proton geminal tersebut.
Gambar 4.8 Spektrum HMQC senyawa 1 (500 MHz, dalam CD3OD).
Gambar 4.9 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 MHz dalam CD3OD).
Tiga belas sinyal proton aromatik senyawa 1 ditunjukkan pada Gambar 5.10
Sinyal proton ini terdiri dari 4 buah sistem penjodohan ABX dan satu sinyal proton
singlet. Salah satu sistem penjodohan ABX ditunjukkan pada 7,56 (1H; d; 8,45 Hz);
6,49 (1H; dd; 8,45 & 1,3 Hz) dan 6,35 (1H; d; 1,95Hz). Multiplisitas dari sinyal
ketiga proton tersebut merupakan ciri adanya sistem ABX aromatik. Proton pada
δH 7,56 dan 6,49 mempunyai coupling constant sebesar 8,45 Hz menunjukkan
keduanya berposisi orto (nilai Jorto = 8-10 Hz). Sedangkan nilai J = 1,95 Hz pada
δH 6,35 dan J = 1,3 Hz pada δH 6,49 ppm menunjukkan bahwa proton tersebut
saling berposisi meta (nilai Jmeta = 1-3 Hz). Dengan kata lain proton pada δH 6,49
berposisi orto terhadap δH 7,56 dan berposisi meta terhadap proton δH 6,35 ppm.
Gambar 4.10 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 (500 MHz dalam CD3OD).
Spektrum HMBC (Heteronuclear Multiple Bond Connectivity) dapat
digunakan untuk menentukan korelasi antara proton dan karbon yang jaraknya dua
sampai tiga ikatan (2J dan 3J). Spektrum HMBC 1 senyawa 1 menunjukkan korelasi
H-30 (proton metilen) terhadap C-1 yang merupakan karbonil dan C-29 berupa
metin teroksigenasi (Gambar 4.11). Korelasi ini membentuk suatu fragmen struktur
khas cincin C flavanon (Markam, 1982). Selanjutnya cincin C ini terhubung dengan
cincin A, terbukti dengan adanya korelasi H-23 terhadap C-29 (Gambar 5.12). Dua
korelasi proton terhadap karbon lainnya menunjukkan korelasi yang terjadi pada
cincin B.
Gambar 4.11 Spektrum HMBC 1 senyawa 1
Gambar 4.12 Spektrum HMBC 2 senyawa 1
Potongan struktur cincin A dan C pada kerangka flavonoid yang lain ditunjukkan
pada Gambar 4.13 dan 4.14. Dua proton aromatik H-15 dan H-18 dari cincin A
berhubungan dengan karbon yang berada pada cincin C yaitu C-8 dan C-24. Selain
itu, H-24 berkorelasi dengan C-2 yang merupakan karbonil (tampak pada Gambar
4.15). Berdasarkan data HMBC ini, didapatkan potongan stuktur flavon. Dugaan
sementara struktur senyawa 1 adalah kerangka biflavon yang terdiri dari flavon dan
flavanon.
A
C
Gambar 4.13 Spektrum HMBC 3 senyawa 1
Gambar 4.14 Spektrum HMBC 4 senyawa 1
A
C
A
C
Gambar 4.15 Spektrum HMBC 5 senyawa 1
Gambar 4.16 Spektrum HMBC 6 senyawa 1
Kerangka flavon semakin lengkap dengan adanya hubungan H-14 terhadap C-2.
Hal ini menunjukkan adanya korelasi proton cincin B terhadap karbonil yang
C B
C B
C B
terletak di cincin C (tampak pada Gambar 4.16). Selain itu juga kerangka flavanon
semakin mendekati struktur utuh dengan adanya korelasi H-12 terhadap C-1. Dua
spektrum HMBC lain (Gambar 4.17 dan 4.18) memperkuat dugaan struktur dengan
menunjukkan korelasi proton ke karbon yang terjadi di cincin A (baik cincin A
flavon dan flavanon).
Gambar 4.17 Spektrum HMBC 7 senyawa 1
C
A
Gambar 4.18 Spektrum HMBC 8 senyawa 1
Korelasi yang menjadi kunci terhubungnya kerangka flavon dan flavanon
diperlihatkan pada Gambar 4.19. Pada spektrum ini tampak hubungan H-19 (proton
cincin C dari kerangka flavon) dengan C-7 (karbon cincin C dari kerangka
flavanon).
Selain spektrum HMBC, spektrum 1H-1H-COSY juga dapat memberikan
informasi penting untuk membentuk struktur utuh dengan cara memperlihatkan
korelasi proton-poton yang terjadi dengan jarak tiga ikatan. Hubungan proton-
proton visinal dari H-29 dan H-30 yang sudah dijelaskan pada spektrum HMBC
(Gambar 5.11) diperkuat dengan spektrum 1H-1H-COSY (Gambar 4.20). Korelasi
lain juga tampak untuk proton-proton aromatik dari cincin C flavon (H-15 & H-19).
Gambar 4.19 Spektrum HMBC 9 senyawa 1
Gambar 4.20 Spektrum 1H-1H-COSY 1 senyawa 1
Gambar 4.21 Spektrum 1H-1H-COSY 2 senyawa 1
Berdasarkan data 1 dan 2D-NMR didapatkan potongan-potongan struktur yang
mengerucut membentuk kerangka flavon dan flavanon seperti yang terlihat pada
Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Fragmen-fragmen struktur senyawa 1
O
O
O
OHHO
HOO
O
OH
Gambar 4.23 Dugaan struktur senyawa 1
Tabel 4.2 Data pergeseran kimia 1H-, 13C- dan 2D-NMR Senyawa 1
No.
C
Posisi
C
δC
(ppm)
δH (ppm)
(∑H; multiplisitas; J (Hz))
HMBC COSY
2J 3J
1 4'' 193,6 - H-30 H-13 -
2 4 184,1 - H-24 H-14 -
3 7 171,6 - - H-14 -
4 7'' 170,3 - H-28 - -
5 8a' 167,2 - - H-13 -
6 8a 165,6 - H-27 - -
7 4''' 149,3 - - H-19 -
8 2 148,2 - H-24 H-18, H-15 -
9 3''' 146,9 - H-23 - -
10 4' 146,8 - H-19 H-18 -
11 3' 146,6 - H-18 H-19 -
12 1''' 132,1 - - H-17 -
13 5'' 129,9 7,72 (1H; d; 8,4 Hz) - - -
14 5 126,8 7,56 (1H; d; 8,45 Hz) - - -
15 6''' 126,3 7,22 (1H; d; 8,45 Hz) H-19 H-18, H-24 H-19
16 1' 125,8 - - H-19 -
17 5''' 119,3 6,79 (1H; s) - H-23 -
18 2' 118,9 7,52 (1H; s) H-24 - -
19 5' 116,7 6,83 (1H; d; 8,4 Hz) - - H-15
20 6' 116,3 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) - H-28 -
21 6'' 115,5 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) - H-17 -
22 4a 114,9 - - H-26, H-27 -
23 2''' 114,8 6,93 (1H; s) - - -
24 3 114,0 6,64 (1H; s) - H-18 -
25 4a'' 113,6 - - H-20, H-28 -
26 6 111,9 6,49 (1H; dd; 1,3; 8,45 Hz) - H-27 -
27 8 103,9 6,35 (1H; d; 1,95 Hz) - H-26 -
28 8'' 99,7 6,60 (1H; s) - H-20 -
29 2'' 81,1 5,32 (1H; dd; 2,6; 13 Hz) H-30 H-23 H-30
30 3'' 45,1 3,00( 1H; dd; 13; 16,85 Hz)
- - H-30b, H-29
2,70 (1H; dd; 2,6; 16,85 Hz) - - H-30a, H-29
Penegasan dugaan strutur senyawa 1, didukung dengan data spektroskopi massa.
Spektrum massa yang digunakan adalah spektrum massa ion positif, yang artinya
bobot molekul yang muncul pada spektrum adalah hasil penambahan 1 nilai dari
bobot molekul sebenarnya. Berdasarkan spektrum massa (Gambar 5.24), senyawa
1 memiliki berat molekul 525,2507. Bobot molekul ini sesuai dengan perhitungan
bobot molekul dari dugaan jumlah atom senyawa 1 yang terdiri 30 atom karbon, 20
atom hidrogen dan 9 atom oksigen dengan rumus molekul C30H20O9.
Gambar 4.24 Spektrum ES+ MS senyawa 1
Dengan mengetahui dugaan rumus molekul tersebut, maka dapat diperoleh
dugaan nilai atau harga (double bond equivalen) DBE dari senyawa 1 dengan rumus
sebagai berikut:
DBE = Σ atom C – 𝛴 atom H
2−
𝛴 Halogen
2+
𝛴 𝑎𝑡𝑜𝑚 N
2+ 1
Berdasarkan perhitungan rumus DBE tersebut, diperoleh harga DBE senyawa 1
yaitu 21, artinya senyawa 1 diduga memiliki 4 buah cincin benzena, 2 buah
karbonil, 1 ikatan rangkap dan 2 buah siklik. Nilai DBE ini sesuai dengan dugaan
struktur yang diusulkan pada gambar 4.23. Adapun senyawa yang memiliki
kemiripan dengan struktur senyawa 1 adalah 2'',3'' dihidrohinoflavon (Marcia et al.,
2002) yang memiliki struktur berikut ini:
Gambar 4.25 Struktur 2'',3'' dihidrohinoflavon
Perbedaan struktur senyawa 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon terletak pada empat
hal yaitu C-5, C-5'', C-3''' dan posisi penggabungan dua kerangka flavonoid ini.
Pada senyawa 1 tidak terdapat gugus hidroksi pada C-5 dan C-5'' sehingga
menyebabkan pergeseran kimia C-5 dan C-5'' pada senyawa 1 lebih kecil
dibandingkan dengan pergeseran kimia C-5 dan C-5'' pada 2'',3'' dihidrohinoflavon.
Selain itu, pada senyawa 1 terdapat gugus hidroksi pada C-3''' mengakibatkan
pergeseran kimianya lebih besar dibandingkan dengan C-3''' pada 2'',3''
dihidrohinoflavon. Posisi penggabungan dua kerangka biflavon ini juga berbeda,
pada senyawa 1 penggabungan terjadi antara C-4' dengan C-4''' sedangkan pada
2'',3'' dihidrohinoflavon penggabungan terjadi antara C-3' dengan C-4'''. Keempat
hal ini mengakibatkan perbedaan pergeseran kimia karbon dan proton lainnya.
Pergeseran kimia karbon dan proton senyawa 1 dengan 2'',3'' dihidrohinoflavon
ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data pergeseran kimia 1H-& 13C-NMR Senyawa 1 dan 2'',3''
dihidrohinoflavon*
* Marcia et al., 2002
Posisi
C
δC (ppm) δH (ppm) (Int.; Multip.; J)
1 Ref. 1 Ref.
Kerangka flavanone
2 148,2 163,9 5,32 (1H; dd; 2,6; 13 Hz) 5,39 (1H; dd; 6,0; 12,7 Hz)
3 114,0 103,9 3,00( 1H; dd; 13; 16,85 Hz)
2,70 (1H; dd; 2,6; 16,85 Hz)
3,11( 1H; dd; 12,7; 16,6 Hz)
2,66 (1H; d; 16,6 Hz)
4 184,1 182,2 - -
4a 114,9 104,2 - -
5 126,8 161,8 7,56 (1H; d; 8,45 Hz) -
6 111,9 99,5 6,49 (1H; dd; 1,3; 8,45 Hz) 6,11 (1H; dd; 2,0 Hz)
7 171,6 164,6 - -
8 103,9 94,6 6,35 (1H; d; 1,95 Hz) 6,37 (1H; dd; 2,0 Hz)
8a 165,6 157,8 - -
1' 125,8 122,7 - -
2' 118,9 121,2 7,52 (1H; s) 7,62 (1H; d; 7,8 Hz)
3' 146,6 142,8 - -
4' 146,8 153,8 - -
5' 116,7 118,4 6,83 (1H; d; 8,4 Hz) 7,06 (1H; d; 7,0 Hz)
6' 116,3 125,3 6,62 (1H; d; 9,2 Hz) 7,71 (1H; dd; 7,8; 2,0 Hz)
Kerangka flavon
2'' 81,1 78,6 - .
3'' 45,1 42,3 6,64 (1H; s) 6,62 (1H; s)
4'' 193,6 196,5 - -
4a'' 113,6 102,3 - -
5'' 129,9 163,4 7,72 (1H; d; 8,4) -
6'' 115,5 96,6 6,62 (1H; d; 9,2) 5,81 (1H; d; 2,0 Hz)
7'' 170,3 167,1 - -
8'' 99,7 95,6 6,60 (1H; s) 5,82 (1H; d; 2,0 Hz)
8a'' 167,2 163,3 - -
1''' 132,1 132,8 - -
2''' 114,8 128,8 6,93 (1H; s) 7,36 (1H; d; 7,8 Hz)
3''' 146,9 116,3 - 6,83 (1H; d; 7,8 Hz)
4''' 149,3 158,4 - -
5''' 119,3 116,3 6,79 (1H; s) 6,83 (1H; d; 7,8 Hz)
6''' 126,3 128,8 7,22 (1H; d; 8,45 Hz) 7,36 (1H; d; 7,8 Hz)
O
O
HO
OH
O
OH
O OH
OHO
O
O
O
OHHO
HOO
O
OH
5
4'
4'
3'
3'
5
4'''
3'''4'''
5''
5''
2'',3'' dihidrohinoflavon Flavonoid 1
Gambar 4.26 Perbedaan struktur flavonoid 1 dan 2'',3'' dihidrohinoflavon
Pengukuran spektroskopi yang sama dilakukan juga terhadap flavonoid 2,
sehingga didapatkan struktur flavonoid 2 sebagai berikut:
Gambar 4.27 Struktur flavonoid 2
Hal yang sama dilakukan penentuan struktur terhadap kedua senyawa
terpenoid. Kedua isolate terpenoid yang berhasil diisolasi memiliki dugaan
struktur sebagai berikut.
HOCOOH
OH
COOHHO
Terpenoid BTerpenoid A
Gambar 4.27 Dugaan struktur terpenoid A dan B
5.3 Pengujian Aktivitas Antibakteri Flavonoid (1 & 2) dan terpenoid (A & B)
terhadap E. faecalis
5.3.1 Pengujian sensitivitas senyawa terhadap bakteri E. facaelis
Pengujian ini dilakukan dengan metode Kirby-Bauer, dimana yang menjadi
parameter penentuan aktivitas antibakterinya dilihat dari zona hambat pertumbuhan
bakteri yang terjadi. Bakteri yang sudah ditumbuhkan pada media padat diberi
larutan senyawa uji dengan konsentrasi 5000 dan 1000 ppm pada paper disk.
Klorheksidin digunakan sebagai kontrol positif dan pelarut digunakan sebagai
kontrol negatif.
Setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37°C, zona bening disekitar
daerah paper disk yang sudah diberi larutan uji (senyawa uji, kontrol positif dan
kontrol negatif) diamati dan diukur menggunakan jangka sorong. Zona bening ini
menunjukkan zona hambat pertumbuhan bakteri yang dilakukan oleh senyawa uji.
Pada tabel 5.4 ditunjukkan nilai zona hambat dari keempat senyawa terhadap
pertumbuhan bakteri. Pada konsentrasi 5000 dan 1000 ppm, keempat senyawa
memiliki zona hambat pertumbuhan bakteri yang hampir sama sekitar 7-8 mm.
Oleh karena itu diperlukan penentuan nilai KHM dan KBM dari setiap senyawa ini.
5.3.2 Nilai Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum
senyawa terhadap pertumbuhan bakteri E. faecalis.
Penentuan nilai KHM dan KBM dilakukan dengan metode mikro dilusi. Media
cair untuk pertumbuhan bakteri dimasukkan ke dalam sumur-sumur microplate.
Microplate yang dugunakan memiliki jumlah sumur 12x8 (8 sumur/baris dan 12
sumur/kolom, Lay Out microplate terdapat pada Gambar 3.1). Kemudian ke dalam
sumur kolom pertama pada baris kelompok A (1&2) dan C (5&6) ditambahkan
larutan senyawa uji, sedangkan pelarut ditambahkan ke dalam sumur pada baris
kelompok B (3&4) dan kelompok D (7&8). Selanjutnya pada sumur kolom pertama
baris 5-8 ditambahkan bakteri yang telah ditumbuhkan pada media cair. Dari setiap
sumur kolom pertama diambil 100 µL dan dimasukkan ke dalam sumur kolom 2,
selanjutnya dilakukan hal yang sama sampai kolom 12. Konsentrasi senyawa uji
yang digunakan adalah 20000 ppm. Sehingga setelah dilakukan pengenceran
didapat konsentrasi senyawa uji pada sumur dari kolom ke 1-12 berturut-turut
10000; 5000; 2500; 1250; 625; 312,5; 156,2; 78,1; 39; 19,5; 9,7; 4,8 ppm.
Sedangkan untuk klorheksidin menggunakan konsentrasi awal 2000 ppm sehingga
didapatkan konsentrasi 1000; 500; 250; 125; 6,25; 3,12; 1,56; 0,78; 0,39; 0,19; 0,97;
0,48 ppm. Hal ini dikarenakan nilai zona hambat klorheksidin terhadap
pertumbuhan E. faecalis lebih besar dibandingkan senyawa uji. Setelah semua
larutan bercampur dengan baik, microplate ditutup dan diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam. Kemudian dilakukan pengukuran menggunakan spektrofotometer
pada alat ELISA reader. Hasilnya berupa nilai absorbansi yang menunjukkan
tingkat kekeruhan larutan pada setiap sumur. Sumur semua kolom pada setiap baris
harus memiliki nilai absorbansi yang relatif sama kecuali sumur pada baris
kelompok B yang berisi media, bakteri dan senyawa uji. Hal ini menunjukkan tidak
adanya kontaminasi selama pengujian dilakukan.
Tabel 5.4 Nilai zona penghambatan, KHM dan KBM flavonoid (1 & 2) dan
terpenoid (A & B) terhadap pertumbuhan E. faecalis
Senyawa
Zona hambat (mm) pada konsentrasi (ppm) KHM
(ppm)
KBM
(ppm) 5000 1000
Ke-1 Ke-2 Rata-rata Ke-1 Ke-2 Rata-rata
1 8,65 8,60 8,62 7,80 8,50 8,15 625 625
2 8,70 8,40 8,55 8,10 8,00 8,05 625 2500
A 13,5 13,7 13,6 0 0 0 39
B 0 0 0 0 0 0 1250
klorheksidin* td td td 12,9 12,9 12,9 1,95 31,25
*) kontrol positif
td) tidak diujikan
Penentuan nilai KHM dilihat dari perbandingan nilai absorbansi pada baris C
(media, senyawa uji dan bakteri) dengan baris D (media, pelarut dan bakteri),
contohnya penentuan nilai KHM klorheksidin ditunjukkan pada Gambar 5.28. Nilai
absorbansi larutan pada sumur yang ditandai dengan garis warna kuning
menunjukkan nilai yang relatif sama. Hal ini menunjukkan jumlah bakteri yang
tumbuh pada baris C dan D sama. Sedangkan nilai absorbansi larutan pada sumur
yang ditandai dengan garis warna merah terdapat perbedaan yang mengindikasikan
adanya perbedaan jumlah bakteri yang tumbuh pada C dan D. Sehingga nilai KHM
untuk setiap senyawa uji adalah konsentrasi pengujian yang dilingkari dengan
warna merah.
Penentuan nilai KBM diambil dengan cara melihat pada konsentrasi terendah
senyawa uji tersebut dapat membunuh bakteri. Contohnya nilai KBM klorheksidin
adalah 31,2 ppm karena pada media dengan konsentrasi senyawa uji lebih telah
menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Penentuan nilai KHM dan KBM
senyawa uji lain dilakukan hal yang sama seperti penentuan nilai KHM dan KBM
pada klorheksidin. Pada penentuan nilai KBM senyawa 1 terdapat kontaminasi
dengan tumbuhnya jamur (Tabel 5.7), hal ini disebabkan adanya kurang aseptiknya
pada saat pengujian. Oleh karena itu dilakukan perhitungan %kematian bakteri
untuk menentukan nilai KBM. Perhitungan terlampir pada lampiran.
Sumur Konsentrasi (ppm)
1000 500 250 125 62,5 31,25 15,63 7,81 3,91 1,95 0,98 0,49
M + S 0.231 0.245 0.155 0.104 0.07 0.055 0.05 0.049 0.05 0.048 0.047 0.046
0.236 0.257 0.16 0.104 0.07 0.055 0.05 0.049 0.047 0.047 0.048 0.047
M + P 0.046 0.047 0.044 0.045 0.046 0.047 0.044 0.045 0.045 0.044 0.046 0.046
0.045 0.044 0.046 0.045 0.042 0.046 0.045 0.045 0.046 0.046 0.045 0.046
M + S + B 0.265 0.259 0.164 0.107 0.074 0.057 0.05 0.048 0.048 0.095 0.136 0.132
0.266 0.258 0.16 0.103 0.072 0.054 0.049 0.049 0.048 0.099 0.143 0.14
M + P + B 0.137 0.147 0.149 0.148 0.149 0.14 0.14 0.146 0.136 0.143 0.142 0.145
0.15 0.148 0.143 0.146 0.15 0.14 0.139 0.143 0.142 0.144 0.145 0.148
A
C
B
D
Gambar 4.28 Penentuan nilai KHM klorheksidin terhadap E. faecalis
Tabel 4.5 Penentuan nilai KBM klorheksidin terhadap E. faecalis
Konsentrasi (ppm) Ulangan ke-
1 2
125
D
B
C
A
62,5
31,2
15,7
7,8
3,9
A
C
B
D
A
C B
D
Gambar 4.29 Penentuan nilai KHM senyawa 1 terhadap E. faecalis
Tabel 4.6 Penentuan nilai KBM senyawa 1 terhadap E. faecalis
Konsentrasi (ppm) Ulangan ke-
Sumur Konsentrasi (ppm)
10.000 5.000 2.500 1.250 625 312,5 156,3 78,13 39,06 19,53 9,77 4,88
M + S 1,434 1,331 1,184 0,634 0,337 0,203 0,132 0,095 0,080 0,068 0,060 0,054
1,190 1,423 1,111 0,592 0,323 0,193 0,127 0,092 0,075 0,066 0,060 0,054
M + P 0,056 0,047 0,048 0,048 0,047 0,047 0,046 0,046 0,046 0,046 0,046 0,046
0,053 0,047 0,049 0,047 0,047 0,046 0,047 0,046 0,046 0,047 0,046 0,047
M + S + B 1,656 1,677 1,091 0,573 0,327 0,222 0,156 0,162 0,158 0,139 0,134 0,120
1,586 1,694 1,109 0,573 0,323 0,219 0,156 0,155 0,158 0,149 0,135 0,131
M + P + B 0,058 0,061 0,073 0,104 0,110 0,119 0,114 0,116 0,117 0,113 0,113 0,107
0,055 0,059 0,071 0,101 0,110 0,118 0,119 0,116 0,109 0,111 0,112 0,109
Rata-rata 10.000 5.000 2.500 1.250 625 312,5 156,3 78,13 39,06 19,53 9,77 4,88
M + S 1.312 1.377 1.148 0.613 0.33 0.198 0.13 0.094 0.078 0.067 0.06 0.054
M + P 0.055 0.047 0.049 0.048 0.047 0.047 0.047 0.046 0.046 0.047 0.046 0.047
M + S + B 1.621 1.686 1.1 0.573 0.325 0.221 0.156 0.159 0.158 0.144 0.135 0.126
M + P + B 0.057 0.06 0.072 0.103 0.11 0.119 0.117 0.116 0.113 0.112 0.113 0.108
%
Kematian
bakteri
15450 2373 -202 -72.7 -7.94 31.25 37.86 92.86 120.1 117.6 112 116.3
C
D
B
A
1 2
10000
5000
2500
1250
625
312,5
156,2
Sumur Konsentrasi (ppm)
5000 2500 1250 625 312,5 156,3 78,13 39,06 19,53 9,77 4,88 2,44
M + S 0.106 0.088 0.077 0.065 0.055 0.051 0.05 0.048 0.047 0.045 0.045 0.045
0.106 0.078 0.075 0.062 0.054 0.051 0.049 0.047 0.045 0.045 0.045 0.044
M + P 0.043 0.043 0.043 0.044 0.043 0.043 0.044 0.043 0.043 0.043 0.043 0.042
0.043 0.043 0.043 0.042 0.043 0.043 0.043 0.043 0.043 0.044 0.043 0.049
M + S + B 0.103 0.083 0.079 0.107 0.144 0.155 0.154 0.144 0.169 0.165 0.157 0.159
0.098 0.083 0.078 0.105 0.143 0.156 0.144 0.15 0.16 0.161 0.165 0.168
M + P + B 0.046 0.045 0.049 0.087 0.132 0.16 0.145 0.152 0.157 0.15 0.159 0.164
0.045 0.048 0.048 0.089 0.135 0.158 0.155 0.157 0.158 0.162 0.159 0.169
Gambar 4.30 Penentuan nilai KHM senyawa 2 terhadap E. faecalis
Tabel 4.7 Penentuan nilai KBM senyawa 2 terhadap E. faecalis
Konsentrasi (ppm) Ulangan ke-
1 2
A
C
B
D
A
C
B
D
5000
2500
1250
BAB V
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Pada penelitian selanjutnya akan dilakukan pengujian aktivitas antibiofilm
kedua flavonoid dan terpenoid yang telah diisolasi dari sarang semut.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Pada tumbuhan sarang semut terdapat flavonoid yang beraktivitas antibakteri
terhadap E. faecalis yaitu biflavonoid (1, KHM 625 ppm) dan 3''-metoksi-
epikatekin-3-O-epikatekin (2, KHM 625 ppm), terpenoid A (KHM 39 ppm), dan
terpenoid B (KHM 1250 ppm). Aktivitas antibakteri dari keempat senyawa ini
merupakan informasi yang baru diketahui.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan pencarian flavonoid lain dari M. pendans yang beraktivitas
antibakteri terhadap E. Faecalis.
2. Perlu dilakukan pengujian flavonoid terhadap bakteri patogen gigi yang
lain untuk melihat potensi flavonoid yang telah diisolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama K, Matsuoka H, Hayashi H. Isolation and identification of a phosphate
deficiency-induced C-glycosylflavonoid that stimulates arbuscular
mycorrhiza formation in melon roots. Mol Plant Microbe Interact. 2002; 15:
334-40.
Ambrosio, S.R., Furtado, N.A.J.C., de Oliviera, D.C.R., da Costa, F.B., Martins,
C.H.G., de Carvalho, T.C., Porto, T.S. Veneziani, R.C.S. 2008.
Antimicrobial Activity of Kaurane Diterpenes against Oral Pathogens. Z.
Naturforsch. 63c, 326-330.
Bodet, C., F. Chandad, and D. Grenier. (2007). “Pathogenic potential of
Porphyromonas gingivalis, Treponema denticola and Tannerella forsythia,
the red bacterial complex associated with periodontitis,” Pathologie
Biologie. 55(3-4), pp. 154–162.
Bustanussalam. (2010). Penentuan Struktur Molekul dari Fraksi Air Tumbuhan
Sarang Semut (Myrmecodia pendens Merr & Perry) yang Beraktivitas
Sitotoksik dan Sebagai Antioksidan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Clais, S., G. Boulet, and M. Kerstens. (2014). “Importance of biofilm formation
and dipeptidyl peptidase IV for the pathogenicity of clinical Porphyromonas
gingivalis isolates,” Pathogens and Disease.
Cushnie, T.P.T., and A.J. Lamb. 2005. Antimicrobial activity of flavonoids.
International Journal of Antimicrobial Agents. 26: 343–356.
Cutler, C. W., J.R. Kalmar, and C.A. Genco. (1995). Pathogenic Strategies of Oral
Anaerob Porphyromonas ginggivalis. Trends Microbiol. 3:45. 4556-4567.
De paz, C. (2004). Gram-positive organism in endodontic infection. Endo topics.
Denmark. Blackwell Munksgaard, p.79-96.
Edewor, K. T. (2013). A Review on Antimicrobial and Other Beneficial Effects of
Flavonoids. Int J Pharm Sci. 21(1):20–33.
Ghosh, S.K. 2006. Fungtionals Coatings and Microencapsulation: A General
Perspective. Wiley_VCH Verlay Gmbh & Co.
Grossman, Laisn, I., Oliet & Del Rio, C.E. 1995. Endodontic Practice 11th Edition:
lea & Febijer. 263-285.
Hamsar, M.N. & Mizaton, H.H. 2012. Potential of Ant-Nest Plants as an alternative
cancer treatment. Journal of Pharmacy Research, 5 (6): 3063-3066.
Haapsalo, M., Udnaes, T., Endal, U. (2003). Persistent, recurrent, and acquired
infection of the root canal system post-treatment. Endo topics. Denmark.
Blackwell Munksgaard, p.29-56.
Hertiani, T., Sasmito, E., Sumardi & Ulfah, M. 2010. Preliminary Study on
Immunomodulatory Effect of Sarang-Semut Tubers Myrmecodia tuberosa
and Myrmecodia pendens. Journal of Biological Science. 10 (3), 136-141.
Huxley, C. R. (1978). Ant-Plant Myrmecodia and Hydnophytum (Rubiaceae), and
Relationships Between Their Morphology, Ant-Accupants, Physiology and
Ecology, New Phytologist. 80(1): 231.
Imamura, T. (2003). In novel gingipain of periodontal disease pathogenic. J
Periodontol. 74: 111-8.
Jebb, M. (2009). A Revision of The Ant-plant Genus Hydnophytum
(Rubiaceae).iNationaliBotaniciGardenIIreland.http://www.botanicgardens.i
e/herb/research/hydnophytum.html.
Jhonson, W.T., Noblet, W.C. (2009). Cleaning and Shaping. Dalam: Torabinejad
M, Walton RE, editor. Endodontic Principles and Practice.St.Louis.
Saunders Elsevier, p.262-264.
Kayouglu, G. & Østarvik D. (2004). Virulance factor of enterococcus faecalis:
relationship to endodontic disease. Crit Rev Oral Bio Med., 15(5); p.308-
320.
Kidd, E.A.M. dan S. J. Bechal. (1991). Dasar-Dasar Karies, Penyakit Dan
Penanggulangannya, Cetakan I. EGC, Jakarta.
Kusmoro, J. (2013). Lembar Identifikasi Tumbuhan. Laboratorium Taksonomi
Tumbuhan, Jurusan Biologi UNPAD. Jatinangor.
Lenny, S. (2006). Senyawa Terpenoida dan Steorida. F-MIPA Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Leslie, C., et al., (1998). Topley Wilson’s Microbiology and microbial infection:
Systematic bacteriology 9th ed.Oxford University Press, Inc., New York.
Noril, Y., Ozaki, K., Nakae, H., Matsuo, T., Ebisu, S. (1997). Imunohistochemistry
experimental study of localized Porphyromonas gingivalis, Campylobacter
rectus, and Viscisus actinomyces in periodontal pocket. J
Periodontol.32:598-607.
Plumer, N. (2000). Cultivation of The Epiphytic Ant-Plants Hydnophytum and
Myrmecodia. Cactus and Succulent Journal. 72, 142-147.
Marsh, P.D & Martin, M.V. 2009. Oral Microbiology, 5th edition. Edinburgh:
Churchill Living stone.
Robbinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung.
Samaranayake, L.P. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. Churchill
Livingstone, Churchill.
Shivalingam, M.R., Kumaran, K.S.G.A., Jeslin, D., Reddy, Y.V.K., Tejaswini, M.,
Rao, Ch.M., Tejopavan, V. 2010. Cassia Roxburghii Seed Galactomannan-
A Potential Binding Agent in The Tablet Formulation. Journal Biomedical
Science and research, Vol 2 (1), 18-22.
Subroto, M.A dan Saputro, H. (2006). Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Vogelson, C.T. 2001. Advances in Drug Delivery System.
White, J. C., and C. F. Niven, Jr. (1946). Streptococcus S.B.E.: a streptococcus
associated with subacute bacterial endocarditis. J. Bacteriol. 51:717-722.
Yosephine, A.D., Wulanjati, M.P., Saifullah, T.N., and Astuti, P. 2013.
Mounthwash formulation of Basil oil (Ocimum basilium L.) and invitro
antibacterial and antibiofilm activities agains Streptococcus mutans. Trad.
Med.J, 18 (2): 95-102.
Zwenger, S. & Basu, C. 2008. Plant Terpenoids: Application and Future Potensials.
Biotechnology and Molecular Biology Review. 3(1): 1-7.