Laporan Perjalanan

20
NAMA KEGIATAN Kuliah Kerja Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia 2010 PENYELENGGARA KEGIATAN Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia TUJUAN KEGIATAN Memahami, mengetahui dan menganalisis secara langsung situs dan cagar budaya bersejarah TEMPAT DAN TANGGAL KEGIATAN Kampung Pulo, Garut, 16 Juni 2010 Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, 16 Juni 2010

description

KKM mahasiswa Ilmu Sejarah ke Candi Cangkuang, Kampung Naga, Astana Gede Kawali dan Bumi Panjalu

Transcript of Laporan Perjalanan

Page 1: Laporan Perjalanan

NAMA KEGIATAN

Kuliah Kerja Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan

dan Budaya Universitas Indonesia 2010

PENYELENGGARA KEGIATAN

Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan dan

Budaya Universitas Indonesia

TUJUAN KEGIATAN

Memahami, mengetahui dan menganalisis secara langsung situs

dan cagar budaya bersejarah

TEMPAT DAN TANGGAL KEGIATAN

Kampung Pulo, Garut, 16 Juni 2010

Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, 16 Juni 2010

Astana Gede Kawali, Ciamis, 17 Juni 2010

Bumi Alit dan Situ Panjalu, Ciamis, 17 Juni 2010

Page 2: Laporan Perjalanan

LAPORAN PERJALANAN

Pada Rabu tanggal 16 Juni 2010, merupakan hari keberangkatan kami untuk

melaksanakan KKM (Kuliah Kerja Mahasiswa) ke beberapa daerah di Jawa Barat

yaitu Garut, Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Sebelumnya menurut jadwal

acara, mahasiswa diharapkan telah berkumpul pukul 06.00 di FIB untuk langsung

berangkat, tetapi karena berbagai hal tekhnis keberangkatan baru dilakukan sekitar

pukul 06.30.

Cagar Budaya yang pertama kali dikunjungi adalah Situs Candi Cangkuang

di Kampung Pulo, Garut. Kami berangkat sekitar pukul 12.45 setelah makan siang

sebelumnya di daerah Nagrek.

Situs Candi Cangkuang, Garut (16 Juni 2010, 14.00 WIB)

Tempat yang pertama kali kami kunjungi adalah Situs Cagar Budaya Candi

Cangkuang di Kampung Pulo, Garut. Setibanya disana kami tidak langsung dapat

melihat candinya, karena letak candi yang berada di Kampung Pulo itu adalah pulau

kecil di tengah-tengah danau. Kami harus menaiki perahu rakit untuk dapat

mencapai pulau tersebut. Setelah berada di Kampung Pulo, kami langsung dapat

melihat satu bangunan candi yang ada disana. Candi Cangkuang ditemukan pada 9

Desember 1966 oleh arkeolog Drs. Uka Tjandrasasmita. Informasi ini diberitahukan

oleh penjaga tempat tersebut yang selanjutnya akan terus memberikan informasi

tentang tempat ini.

Saat pertama kali menemukan puing-puing candi ini, Bapak Drs. Uka

Tjandrasasmita juga menemukan sebuah Arca Siwa dan makam kuno di sekitar

puing candi. Beliau melakukan penelitian penggalian dari tahun 1967 – 1968 dan

menyimpulkan bahwa candi ini di bangun sekitar abad ke – 8. Kesimpulan ini

didasari oleh penelitian terhadap pelapukan batuannya dan melihat bentuknya yang

masih sederhana. Nama Cangkuang yang digunakan diambil dari nama daerah

tempat candi ini ditemukan. Cangkuang sendiri adalah nama sejenis pohon palem

Page 3: Laporan Perjalanan

yang banyak tumbuh di daerah ini, buah dan daunnya biasa digunakan oleh

penduduk sekitar untuk membuat obat anti oksidan, tikar maupun pembungkus gula

aren. Dari sini lah nama Cangkuang awalnya berasal.

Sekitar tahun 1967 – 1968 puing-puing candi yang hanya tersisa 40% terus

diteliti sebelum akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, dipugar atau dibangun

kembali menjadi satu candi yang utuh dengan gambaran 40% sisa candi ini.

Rencana ini mulai dijalankan pada tahun 1974 – 1976 dengan biaya dari anggaran

APBN setempat. Bapak Drs. Uka Tjandrasasmita sebagai pemimpin dari tim ahli

arkeologi di bantu oleh Bapak Hartoyo, secara langsung memantau pemugaran

candi dengan ukuran 4.5 m x 8.5 m ini.

Sayangnya para peneliti tidak dapat menemukan secara pasti kerajaan mana

yang dulunya pernah membangun candi ini, namun mereka meyakini bahwa candi

ini sezaman dengan raja dari Kerajaan Galuh yang pertama. Hal menarik yang ada

di sekitar candi adalah makam yang ada di dekat puing-pung candi saat ditemukan.

Itu adalah makam dari Arif Muhammad atau warga setempat biasa menyebutnya

Mbah Dalem Arif Muhammad. Beliau merupakan panglima perang dari Kerajaan

Mataram yang saat itu ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang tentara

VOC di Batavia. Dalam penyerangan tersebut pasukan beliau mengalami kekalahan

dan akhirnya harus mundur, tetapi beliau sendiri tidak memiliki keberanian untuk

kembali lagi ke Mataram karena membayangkan tentang kemarahan Sultan Agung

yang bisa membunuhnya dan rasa malu yang sangat besar terhadap rakyat Mataram.

Akhirnya dia memutuskan untuk mengasingkan diri dan bersembunyi

sampai akhirnya tiba di Cangkuang ini. Pada awal kedatangannya penduduk di

daerah ini menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan Hindu. Beliau lah yang

menyebarkan Islam pertama kali di kampung ini dengan metode akulturasi

kebudayaan setempat dengan Islam. Karena hal inilah maka sampai sekarang

penduduk kampung ini beragama Islam tetapi tetap memiliki tradisi-tradisi lama

kepercayaannya dulu yang penuh dengan mitos, seperti misalnya ritual

memandikan benda-benda pusaka pada awal atau akhir bulan.

Page 4: Laporan Perjalanan

Tradisi lama yang masih terlihat di kampung ini sampai sekarang adalah

bangunan pokok yang berjumlah 7 buah, terdiri dari 1 mushala dan 6 rumah yang

menurut tradisi pula harus ditempati oleh keturunan Mbah Dalem Arif Muhammad

yang perempuan. Bila keluarganya tidak memiliki anak perempuan maka

digantikan oleh kerabat dekat keluarga yang juga harus perempuan. Terhitung dari

datangnya Mbah Dalem, keluarga-keluarga yang menempati rumah ini sekarang

adalah generasi ke -7 dan ke – 8. Adat tradisi yang lain adalah pantangan untuk

melakukan ziarah ke makam setiap hari Rabu. Selain itu ada hal yang sangat unik

lainnya di kampung ini, yaitu patokan waktu di kampung ini berbeda dari daerah

manapun di Indonesia, yaitu apabila hari ini adalah Rabu dan waktunya awal shalat

ashar maka di Kampung Pulo telah memasuki hari Kamis, tidak jelas bagaimana

awal mulanya tetapi perhitungan waktunya memang seperti ini. Berarti rombongan

kami saat itu telah berada di Kampung Pulo selama 2 hari waktu setempat karena

kami datang sekitar pukul 14.00 dan meninggalkan tempat itu pada 16.00.

Terdapat pula tradisi lain yang berupa pantangan seperti dilarang menambah

bangunan pokok dan memelihara hewan berkaki empat seperti sapi,kerbau,kambing

dan semacamnya, karena Mbah Dalem memiliki ketakutan kalau nantinya

diperbolehkan memelihara binatang-binatang ini penduduk akan menganggap suci

atau menyembahnya seperti tradisi Hindu di India, karena bagaimanapun juga

kebudayaan-kebudayaan sebelum Islam masih tetap melekat pada diri setiap

masyarakatnya.

Mbah Dalem Arif Muhammad yang sepanjang hayatnya tinggal di kampung

ini akhirnya dimakamkan didekat candi. Yang menarik, batu nisan beliau tidak

seperti posisi batu nisan seperti umumnya melainkan agak dicondongkan ke dalam

dengan merujuk pada ilmu padi yang semakin berisi semain merunduk.

Selain candi, arca dan makam, di kampung ini juga terdapat sebuah balai

khusus yang menyimpan benda-benda pusaka dan peninggalan dari Mbah Dalem

Arif Muhammad, seperti kulit-kulit kayu yang berisikan tentang Al-Quran, Hadis

dan Tauhid dalam huruf Jawa Kuno.

Page 5: Laporan Perjalanan

Setelah mendengar panjang lebar informasi tentang Cagar Budaya ini dan

melihat langsung foto-foto lama tentang candi dan beberapa benda pusaka lainnya

serta berkeliling melihat bangunan pokok di kampung ini, kami segera melanjutkan

perjalanan berikutnya ke Kampung Naga.

Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya (16 Juni 2010, 17.00 WIB)

Hanya butuh waktu sekitar 30 menit dari Candi Cangkuang ke Kampung

Naga yang berada di Kabupaten Tasikmalaya. Dari tempat parkir kami langsung

bisa melihat sebuah tugu yang cukup besar dengan kujang, senjata khas Jawa Barat,

menghias di bagian puncaknya. Terdapat pula aksara Sunda yang turut menghiasi

tugu ini sebagai tanda bahwa kami telah berada di Kampung Naga.

Untuk mencapai rumah-rumah penduduk di Kampung Naga, kami harus

menuruni tangga curam yang sangat panjang. Selama perjalanan kecil ini kami

disuguhi pemandangan nan asri khas pedesaan dengan petak-petak sawah dan

sungai yang berada di sepanjang pemukiman penduduk setempat.

Setelah beberapa menit menyusuri tangga curam, kami akhirnya dapat

melihat rumah-rumah yang seragam dengan atap-atap hitamnya, rumah penduduk

Kampung Naga. Kami langsung memasuki sebuah bale kampung untuk

mendengarkan informasi tentang Kampung Naga.

Mang Nana, nara sumber kami mengatakan bahwa kampung yang berada di

Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya ini memiliki luas

tanah 1.5 ha dengan batas-batas sebelah timur; Sungai Ciwulan, barat; bukit dan

sebelah utara dan selatan; parit kecil. Dalam kampung ini terdapat 113 bangunan,

yang terdiri dari 110 tempat tinggal dan 3 bale-bale pertemuan, selain itu ada pula

masjid dan leuit yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi umum. Kampung

dengan jumlah penduduk dalam sekitar 314 kepala ini, sebagian besar memilih

bertani sebagai mata pencahariannya, sebagian yang lain dengan membuat

kerajinan tangan ataupun makanan ringan.

Page 6: Laporan Perjalanan

Perlu diketahui bahwa 90% penduduknya bermukim di luar Kampung Naga

dan 100% penduduknya beragama Islam. Dalam hal pendidikan, karena terkendala

biaya, mayoritas penduduknya hanya lulusan SD, tetapi dari tahun 2007 – 2010

tercatat ada 10 orang yang lulusan SMP dengan 7 orangnya dibiayai secara pribadi

oleh orang Belanda.

Dalam bidang pemerintahan terdapat dua institusi yang dijalankan disini,

yaitu institusi non formal dan formal. Dalam institusi non formal dikenal 3

tetua,yaitu Kuncen yang dijabat oleh Bapak Ade S. yang fungsinya adalah sebagai

pemangku adat dan memimpin upacara-upacara adat yang biasa diadakan 6x setiap

tahunnya. Punduh, dijabat oleh Bapak Mahmud yang berfungsi sebagai pengayom

warga dan yang terakhir adalah Lembe, dijabat oleh Bapak Ateng J. yang berfungsi

sebagai pengurus jenazah dari dimandikan sampai dimakamkan. Ketiga tetua ini

mendapatkan jabatannya secara turun temurun.

Pada institus formal ada pemerintahan yang lebih modern, seperti Rukun

Tetangga yang di jabat oleh Mang Nana, Rukun Warga yang dijabat oleh Bapak

Okin dan Kepala Dusun yang dijabat oleh Bapak Suharyo. Berbeda dengan non

formal yang di dapat secara turun temurun, dalam institisi formal pemilihan

perangkat desanya dipilih dengan jalan demokratis.

Sayangnya waktu kunjungan kami ini bertepatan dengan waktu yang

dianggap pamali untuk membicarakan tentang tradisi, adat istiadat maupun hal-hal

yang berhubungan dengan ritual, sehingga kunjungan kali ini tidak terlalu

memuaskan. Tapi kami juga mendapat hal menarik lainnya, kami diajak melihat-

lihat bagian dalam dari rumah penduduk setempat, ternyata dalam satu rumah hanya

terdapat ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur. Tatanan yang seperti ini juga

ditemukan di rumah-rumah lain yang ada di Kampung Naga. Antara rumah satu dan

rumah lainnya pun berhimpitan. Ada yang mengatakan bahwa tatanan yang seperti

ini baik untuk menjaga kebersamaan diantara tetangga.

Page 7: Laporan Perjalanan

Kunjungan di Kampung Naga ini berakhir selepas maghrib dan rombongan

kami pun langsung menuju penginapan untuk beristirahat dan bersiap untuk

kunjungan keesokan harinya

Diskusi Malam, Penginapan (16 Juni 2010, 21.00 WIB)

Setibanya kami di penginapan, sekitar pukul 20.30, kami langsung bergegas

untuk makan malam dan beristirahat sebentar sebelum diskusi malam pukul 21.00.

Diskusi malam dengan tema Sejarah Lokal/daerah wilayah Jawa Barat ini

disampaikan dalam 2 sesi, yang pertama oleh Ibu Wardiningsih dengan judul

presentasi “Pendekatan dalam Menulis Sejarah Lokal” dan Mas Iskandar dengan

judul “Garut Jadi Pangirut, Sukapura Ngadaun Ngora: Dua Kota dalam Sejarah

Lokal”. Diskusi yang memaparkan tentang bagaimana cara menulis sejarah lokal,

sumber-sumber apa saja yang diperlukan dan contoh langsung tentang sejarah lokal

itu sendiri berakhir sekitar pukul 23.00.

Astana Gede Kawali, Ciamis (17 Juni 2010, 09.00)

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam, kami akhirnya tiba di Astana

Gede Kawali. Ada yang unik ditempat ini, yaitu di kompleks Astana Gede Kawali

ini dikelilingi oleh banyak sekali kalelawar yang beterbangan kesana kemari dan

hanya ada di atas tempat ini dan tidak menyebar ke pemukiman penduduk yang ada

disekitarnya. Ditempat ini kami diterima oleh juru kunci yang akan banyak

menceritakan kepada kami tentang Astana Gede Kawali.

Astana Gede Kawali ini dipercaya sebagai tempat dimana Kerajaan

Pajajaran berdiri. Dulu tempat ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat

tetapi setelah datangnya tim arkeologi dan menemukan banyak prasasti dan makam-

makam disini, tempat ini mulai dibuka sebagai salah satu cagar budaya. Ditempat

ini kita dapat menemukan banyak prasasti peninggalan Kerajaan Pajajaran, juga

terdapat makam-makam raja dan makam-makam penyebar islam yang pernah

menetap di tempat ini.

Page 8: Laporan Perjalanan

Prasasti yang ditemukan menggunakan aksara Sunda dan isinya merupakan

pesan-pesan moral. Seperti yang dijelaskan juru kunci, salah satu ungkapan dalam

prasasti ini dijadikan moto juang Kabupaten Ciamis yaitu, Pake Nagara Rahayu

Pake Bebel Jaya Dilabuhan, yang maksudnya adalah kita harus meningkatkan

kejujuran dan keadilan agar berjaya di dunia, karena jika kita meningkatkan

kejujuran dan keadilan ini insya Allah tidak akan ada tantangan.

Selain menjelaskan tentang isi prasasti ini, juru kunci juga menceritakan

sedikit tentang Kerajaan Pajajaran dan peristiwa Perang Bubat yang terkenal.

Perang Bubat ini berawal dari sumpah Patih Gajah Mada yang berjanji tidak akan

memakan buah palapa sampai semua wilayah Nusantara dipersatukan di bawah

Kerajaan Majapahit, saat itu Kerajaan Pajajaran belum tunduk dibawah

kepemimpinan Majapahit. Disaat yang hampir bersamaan, Raja Hayam Wuruk

ingin meminang Diah Pitaloka dari Pajajaran sebagai calon permaisurinya.

Diadakanlah perjalanan dari Pajajaran ke Majapahit, ini merupakan iring-iringan

seserahan yang akan bertemu Hayam Wuruk dan segera melaksanakan pernikahan,

rombongan ini berjumlah 300 orang.

Saat tiba di wilayah Majapahit, rombongan bukan diterima di keraton

melainkan di Lapangan Bubat di daerah Trowulan atau saat ini merupakan daerah

Mojokerto. Menurut cerita, Patih Gajah Mada berbicara lain kepada rombongan

Pajajaran, tidak seperti yang dikatakan Hayam Wuruk. Ia mengatakan bahwa

rombongan Pajajaran akan diterima di keraton apabila bersedia tunduk di bawah

kekuasaan Majapahit dan menyerahkan Diah Pitaloka sebagai upeti. Rombongan

yang mendengar hal ini merasa telah dibohong serta di injak-injak harga dirinya dan

memutuskan untuk perang saat itu juga. Karena kalah jumlah dan tidak ada

persiapan, rombongan Pajajaran kalah di bawah tentara Hayam Wuruk.

Dalam keadaan terpukul ini dan kehilangan para pembesarnya dalam perang

tersebut, Pajajaran memulai pemerintahan baru dibawah Prabu Astukancana yang

saat itu masih berusia 7 tahun, karena itu pemerintahannya diwakilkan oleh

pamannya sampai ia dewasa. Prabu Astukancana memerintah Pajajaran selama 104

tahun dan ia dikenal sebagai pemimpin yang arif bijaksana dan dibawah

Page 9: Laporan Perjalanan

kepemimpinannya ini ia telah menyuburkan 10 desa di Pajajaran, hal ini tertulis

pada prasasti pertama, seperti yang diceritakan juru kunci. Setelah beliau wafat,

Pajajaran menjadi tidak stabil dan akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan yaitu

Kerajaan Sunda Galuh dari wilayah Sungai Citarum ke timur dan Kerajaan Pakuan

Pajajaran dari Sungai Citarum ke barat dan utara. Prabu Siliwangi lah yang

dipercaya dilahirkan dan dibesarkan ditempat ini yang akhirnya menyatukan

kembali dua kerajaan tersebut dan menetapkan Bogor sebagai pusat kerajaannya.

Dengan desakan dari Kesultanan Islam di Banten dan banyaknya pengaruh Islam

dari Cirebon maka ditempat ini sebagian besar di isi oleh makam-makam pembawa

Islam dari Cirebon.

Dengan berakhirnya cerita yang di tuturkan juru kunci ini maka berakhir

pula kunjungan kami di Astana Gede Kawali.

Bumi Alit dan Situs Panjalu, Ciamis (17 Juni 2010, 11.06 WIB)

Tempat terakhir dalam kunjungan kami ini adalah Situs Panjalu atau Bumi

Alit yang merupakan bekas istana dan makam keluarga Kerajaan Sunda Galuh.

Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, di Bumi Alit pun kami ditemani

juru kunci yang akan menceritakan kisah tentang Bumi Alit yang berkaitan rat

dengan Kerajaan Panjalu. Awalnya Kerajaan Panjalu dipimpin oleh seorang wanita

yang bernama Sang Hyang Ratu Permana Dewi, hal ini lah yang menyebabkan

kerajaan ini dinamakan Panjalu dalam bahasa Sunda yang artinya adalah wanita.

Sekitar tahun 600, menurut yang diceritakan juru kunci, Sang Hyang

Borosngora,yang nantinya menjadi pembawa Islam pertama di Kerajaan Panjalu,

pergi untuk mencari ilmu yang lebih tinggi untuk menyelesaikan tantangan yang

diberikan oleh ayahnya, Prabu Tjakradewa, tantangannya cukup sederhana yaitu

bagaimana caranya mempertahankan air di dalam suatu gelas yang bagian

bawahnya telah dilubangi. Ia terus melakukan pencarian sampai ke Asia Timur dan

Asia Barat. Saat tiba di Arafah, Arab, ia memutuskan untuk melakukan semedi, saat

itulah ia bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang lantas mengajaknya

untuk pergi ke Mekkah. Ditempat itu Khalifah Ali mengajarkannya lafadz

Page 10: Laporan Perjalanan

Syahadat, mengajarkannya tentang Rukun Iman dan Rukun Islam serta

memberikannya pedang Ali bin Abi Thalib untuk dibawa ke Bumi Alit. Khalifah

Ali juga memberinya air zam-zam sebagai jawaban dari tantangan yang diberikan

ayahnya.

Setelah peristiwa tersebut, Sang Hyang Borosngora segera kembali ke

Panjalu dan menceritakan peristiwa tersebut kepada ayahnya, ternyata benar saja,

air zam-zam yang di berikan Khalifah Ali tidak tumpah sama sekali saat di

tuangkan dalam gelas berlubang tersebut. Juru kunci dan penduduk setempat

percaya bahwa Situ Lengkong yang mengelilingi Panjalu merupakan campuran dari

air zam-zam tersebut. Gambaran tentang kisah ini pun diabadikan disepanjang

dinding di daerah Situs Panjalu.

Bumi Alit memang bukan pusat dari Kerajaan Panjalu tetapi di tempat inilah

benda-benda pusaka seperti pedang Khalifah Ali, tombak dan pusaka-pusaka

peninggalan kerajaan lainnya disimpan. Terdapat ritual-ritual tertentu yang

dilakukan penduduk setempat setiap Maulid Nabi pada bulan Rabbiulawal, yaitu

upacara memandikan benda-benda pusaka tersebut dengan air dari Situ Lengkong.

Situs Panjalu, Ciamis (17 Juni 2010, 13.00 WIB)

Dari Bumi alit, setelah sebentar beristirahal shalat dzuhur, kami melanjutkan

perjalanan ke Situs Panjalu yang kira-kira hanya 15-30 menit dari Bumi Alit ini.

Jika di Bumi Alit merupakan tempat menyimpan benda-benda pusaka, Situs Panjalu

merupakan tempat makam-makam keluarga Kerajaan Galuh. Sama seperti di Situs

Cagar Budaya Candi Cangkuang, Situs Panjalu ini merupakan pulau kecil ditengah-

tengah danau yang disebut Situ Lengkong, kami juga harus menaiki kapal motor

untuk mencapai Panjalu.

Tetapi berbeda dari tempat-tempat sebelumnya, di tempat ini kami tidak

ditemani oleh kuncen atau juru kunci, kami hanya berkeliling sendiri mencari tahu

tentang tempat ini. Tidak ada yang akan mengira tempat ini sering dikunjungi orang

jika tidak ada banyak perahu motor dan gerbang cukup besar dengan patung dua

ular di atasnya. Secara umum Panjalu merupakan pulau dengan pepohonan rimbun

Page 11: Laporan Perjalanan

yang sangat banyak, orang-orang yang ada disini umumnya hanya peziarah atau

juru kunci yang memandu mereka. Kebetulan saat kami datang bertepatan dengan

rombongan yang akan melakukan ziarah, mereka berkumpul di satu-satunya aula

yang ada di Panjalu ini. Setelah melewati gerbang utama kami harus menaiki tangga

yang cukup tinggi, sampai diatas hanya ada makam di sebelah kanan dan kiri serta

satu ruang aula.

Selebihnya kawasan ini dikelilingi oleh peohonan besar. Tetapi ada satu

jalan setapak yang saya lihat dan lantas langsung menelusurinya, di ujung jalan

tersebut terdapat sebuah gazebo yang dikelilingi pagar batu, di dalamnya terdapat

sebuah prasasti yang bertuliskan aksara Sunda dan prasasti tersebut dibungkus oleh

kain. Kami tidak dapat mengetahui digunakan untuk apakah tempat tersebut dan

apa arti tulisan pada prasasti itu tetapi menurut perkiraan kami tempat itu mungkin

saja digunakan sebagai tempat ziarah atau semacamnya.

Kunjungan ke Situs Panjalu ini mengakhiri perjalanan KKM kami.

Page 12: Laporan Perjalanan

Catatan

Serangkaian kunjungan dalam rangka memenuhi kegiatan Kuliah Kerja

Mahasiswa ini telah dijalankan dengan baik sehingga melancarkan pembuatan

laporan perjalanan ini. Semua informasi dan kisah yang dituliskan diatas didapatkan

secara langsung melalui para juru kunci ataupun kuncen dalam tempat-tempat

kunjungan serta pengamatan secara langsung penulis. Apabila terdapat kesalahan

nama, sebutan atau ungkapan mohon dimaklumi karena kesalahan tekhnis dan

keterbatasan sumber.

Page 13: Laporan Perjalanan

LAPORAN PERJALANAN

KULIAH KERJA MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH 2009

16 JUNI 2010 – 17 JUNI 2010

PENULIS

FIRDHA WIDYANTARI

0906635904

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN DAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2010

Page 14: Laporan Perjalanan