Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat...

46
Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi Selatan Prof. Dr. Syafiuddin Saleh, dkk 1.1. Pendahuluan Rumput laut merupakan salah satu potensi Indonesia yang merupakan negara maritim. Tahun 2011 produksi rumput laut Indonesia sekitar 4.3 juta ton. Data menunjukkan produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah penyumbang terbesar hasil produksi rumput laut Indonesia. Tahun 2014 produksi produksi rumput laut Sulawesi Selatan 2,88 juta ton terdiri dari Cottoni 1,93 juta ton, Grasilaria 0,83 juta ton dan spinosum sekitar 0,12 juta ton. Pada ke empat daerah yang diteliti, produksi rumput laut Kabupaten Takalar 810.820,4 ton, Maros 15,5 ton, Pangkep 152,234,6 ton dan Barru 798 ton (BPS, 2014). Rumput laut produksi Sulawesi Selatan sebagian besar di ekspor ke Philipina, China, Thaiwan, dan Hongkong. Pada tahun 2014 nilai produksi rumput laut Sulsel mencapai Rp 3, 198 triliyun. Besarnya potensi rumput laut sangat perlu dikembangkan sebagai sumber pendapatan masyarakat pesisir. Tidak hanya penting bagi pendapatan dan perekonomian daerah, rumput laut juga dapat menjadi sektor penghidupan masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, budidaya rumput laut menjadi sumber pendapatan utama selain dari menangkap ikan. Dari sisi kepastian, budidaya rumput laut lebih baik dibandingkan dari hasil tangkapan ikan/melaut. Namun demikian, usaha budidaya rumput laut oleh masyarakat masih menemui banyak kendala. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, mengingat padatnya aktivitas di wilayah pesisir

Transcript of Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat...

Page 1: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Laporan Penelitian

Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di

Sulawesi Selatan

Prof. Dr. Syafiuddin Saleh, dkk

1.1. Pendahuluan

Rumput laut merupakan salah satu potensi Indonesia yang merupakan negara

maritim. Tahun 2011 produksi rumput laut Indonesia sekitar 4.3 juta ton. Data

menunjukkan produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah penyumbang terbesar

hasil produksi rumput laut Indonesia. Tahun 2014 produksi produksi rumput laut

Sulawesi Selatan 2,88 juta ton terdiri dari Cottoni 1,93 juta ton, Grasilaria 0,83 juta

ton dan spinosum sekitar 0,12 juta ton. Pada ke empat daerah yang diteliti, produksi

rumput laut Kabupaten Takalar 810.820,4 ton, Maros 15,5 ton, Pangkep 152,234,6

ton dan Barru 798 ton (BPS, 2014). Rumput laut produksi Sulawesi Selatan sebagian

besar di ekspor ke Philipina, China, Thaiwan, dan Hongkong. Pada tahun 2014 nilai

produksi rumput laut Sulsel mencapai Rp 3, 198 triliyun.

Besarnya potensi rumput laut sangat perlu dikembangkan sebagai sumber

pendapatan masyarakat pesisir. Tidak hanya penting bagi pendapatan dan

perekonomian daerah, rumput laut juga dapat menjadi sektor penghidupan

masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir, budidaya rumput laut menjadi sumber

pendapatan utama selain dari menangkap ikan. Dari sisi kepastian, budidaya rumput

laut lebih baik dibandingkan dari hasil tangkapan ikan/melaut.

Namun demikian, usaha budidaya rumput laut oleh masyarakat masih

menemui banyak kendala. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir sangat rentan

terhadap perubahan lingkungan, mengingat padatnya aktivitas di wilayah pesisir

Page 2: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas

lingkungan. Kondisi ini dengan sendirinya akan memengaruhi usaha baik di bidang

perikanan tangkap maupun budi daya, termasuk rumput laut yang pada akhirnya

juga berdampak pada ekonomi masyarakat pesisir.

Persoalan lain yang muncul adalah hingga hari ini pembangunan sektor

perikanan masih belum ada hubungan fungsional diantara tingkatan dan pelaku

usaha. Pelaku pemasaran (sektor hilir) cenderung mementingkan diri sendiri dan

bersifat eksploitatif. Jaringan pasar hanya diikat dan dikoordinasi oleh mekanisme

pasar. Terdapat tiga masalah utama pada sisi pasar yaitu (1) rendahnya diversifikasi

komoditi baik bahan baku maupun bahan olahan; (2) rendahnya penguasaan

terhadap pasar yang disebabkan oleh kurangnya intelegensi, strategi dan promosi

pasar; (3) distorsi pasar yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme pasar dan

mendongkrak ongkos produksi. Distorsi pasar juga mengakibatkan harga komoditi

di bawah harga yang semestinya (under value), margin produksi jauh lebih kecil dari

margin pasar sehingga terjadi kecenderungan orang hanya berusaha di sektor

perdagangan.

Pemahaman atas rantai nilai (value chain) menjadi salah satu aspek penting

dimiliki semua pihak terutama petani rumput laut untuk menghadapi persoalan

pasar. Value chain merupakan semua kegiatan yang dilakukan dalam mengubah

bahan baku menjadi produk yang dijual dan dikonsumsi. Ini mencakup pengertian

bahwa ada nilai tambah pada setiap titik dalam rantai. Untuk itu perlu dilakukan

upaya analisis value chain untuk menilai semua kegiatan dan stakeholders serta

hubungannya dalam rantai pasok, dengan tujuan membantu untuk menengahi in-

efisiensi seperti variabilitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas

untuk beradaptasi dengan perubahan.

Berdasarkan deskripsi permasalahan di atas maka suatu kajian value chain

untuk melihat hubungan antara pelaku pemasaran rumput laut perlu untuk

dilakukan. Dengan tersedianya gambaran yang jelas maka dapat dilakukan beberapa

upaya untuk memperbaiki sistem pemasaran sehingga dapat terjadi distribusi nilai

tambah yang lebih adil dalam pemasaran rumput laut bagi kelompok perempuan.

Page 3: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya nilai tambah, distribusi

serta mengetahui pelaku usaha dan perannya di sepanjang rantai nilai.

Adanya kajian rantai nilai ini pada akhirnya dapat dijadikan alat intervensi

kebijakan pengembangan rantai nilai pada setiap aktor rantai nilai rumput laut.

Selain itu hasil kajian ini juga dapat dijadikan pijakan bagi intervensi di level

kelompok. Dengan demikian kelompok petani rumput mampu berkembang dan

mendapat manfaat yang besar.

1.2. Persoalan Penelitian

1. Bagaimana peta rantai nilai komoditi rumput laut di lokasi terpilih?

2. Bagaimana distribusi margin pemasaran dan daya tawar aktor-aktor dalam

rantai nilai komoditi rumput laut?

3. Bagaimana peluang upgrading/capacity building pada nelayan rumput laut?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peta rantai nilai komoditi rumput laut.

2. Mengetahui distribusi margin pemasaran dan daya tawar yang diterima oleh

aktor-aktor rantai nilai komoditi rumput laut.

3. Mengetahui peluang upgrading/capacity building pada kelompok petani rumput

laut.

1.4. Output Kajian

Output dari kajian ini adalah:

1. Peta rantai komoditi rumput laut di lokasi kajian dan distribusi margin

pemasaran dan daya tawar dari masing-masing aktor-aktor rumput laut dengan

pendekatan/perspektif relasi kuasa (gender).

2. Rekomendasi strategi dan alternatif intervensi pengembangan kapasitas

kelompok perempuan tani rumput laut.

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan mendiskripsikan profil rantai nilai rumput laut, kajian ini diharapkan

mampu memberikan masukan kepada para aktor rantai nilai tentang margin

Page 4: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

keuntungan yang diterima dan daya tawar yang dimilikinya. Selain itu untuk

mengetahui aktor-aktor mana yang paling lemah dalam rantai nilai rumput laut,

yang dapat dilihat dari margin 4keuntungan yang diterima dibandingkan dengan

fungsinya. Manfaat lainnya adalah untuk memberikan informasi kepada Pemerintah

dan pihak-pihak yang terlibat dalam analisis rantai nilai rumput laut, agar kebijakan-

kebijakannya dapat meningkatkan kesejahteraan aktor rantai nilai khususnya aktor

nelayan rumput laut, sehingga ada keseimbangan margin keuntungan yang diterima

masing-masing aktor rantai nilai komoditi rumput laut. Kajian ini juga dapat

dijadikan panduan dalam upaya penataan produksi sekaligus peningkatan kapasitas

kelompok tani rumput laut.

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana masalah peta

rantai komoditi dan distribusi margin pemasaran dan daya tawar dari masing-

masing aktor-aktor rumput laut dengan pendekatan/perspektif relasi kuasa

(gender), baik yang terlibat dalam pembuatan kebijakan maupun pelaksanaan di

lapangan. Dengan pendekatan demikian diharapkan secara induktif akan terbentuk

interprestasi dan pemahaman makna rantai nilai rumput laut dan masalah yang

terkait di dalam rantai nilai tersebut. Untuk maksud itu pula, penelitian ini bertipikal

deskriptif: menggambarkan dan menjelaskan secara analitis mengapa dan

bagaimana pola-pola masalah terjadi.

1.6.2. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari Maret sampai April di lokasi

kajian yang merupakan lokasi di mana Oxfam berkegiatan dengan kelompok

perempuan petani rumput laut, yaitu Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru.

1.6.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Data primer dari hasil wawancara dan Focus Group

Page 5: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Discusstion (FGD) dengan stakeholders rumput laut di lokasi kegiatan. Data sekunder

diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perkebunan, Badan Pusat Statistik Tingkat

Kabupaten dan tingkat Provinsi serta dari lembaga/ instansi lainnya. Selain itu data

sekunder juga diperoleh dari buku, jurnal serta publikasi terkait.

1.6.4. Metode Pengumpulan Data dan Pemilihan Responden/narasumber

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa

yaitu:

1) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung

terhadap latar dan objek penelitian.

2) Wawancara mendalam (In-depth interview), yaitu teknik dalam penelitian yang

dilakukan melalui wawancara mendalam kepada narasumber terpilih atau para

stakeholders usaha rumput laut di masing-masing lokasi.

3) Focus Group Discusstion (FGD) dengan stakeholders rumput laut di masing-

masing lokasi, maupun stakeholders rumput laut di tingkat propinsi.

4) Metode dokumentasi merupakan proses pengabadian pola perilaku subjek dan

objek tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu yang diteliti

dengan bantuan peralatan mekanik seperti kamera dan foto.

5) Studi Pustaka yaitu dengan cara mempelajari literatur-literatur yang

berhubungan dengan topik penelitian, antara lain buku, jurnal, laporan dari

lembaga-lembaga yang terkait dan bahan lainya yang berhubungan dengan

penelitian ini.

Penentuan narasumber dalam penelitian ini berdasar purposeful sampling, di

mana pemilihan sampel dilakukan berdasarkan jenis informasi atau pertimbangan

yang sudah ada/ditetapkan sebelumnya dan adanya identifikasi atas

kelompok/orang yang memiliki kekhususan tertentu (terkait jabatan,

kepakaran/expert sampling, dan pengalaman dalam usaha rumput laut).

Namun di lapangan, sebagai bagian dari purposeful sampling dimungkinkan

dan bahkan didorong untuk pengembangan kategori/subjek narasumber lain

Page 6: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

berdasarkan teknik snowbolling (berdasarkan keterkaitan informasi, rekomendasi

nama, dan seterusnya). Bertolak dari teknik tersebut, narasumber yang

diwawancarai merupakan stakeholders rumput laut yang terkait langsung dengan

rantai nilai rumput laut di masing-masing lokasi yakni petani, pedagang pengumpul

tingkat desa/kecamatan, pedagang besar, penyedia sarana produksi, penyuluh serta

Dinas Pertanian dan Perkebunan, Bappeda, BPS, dan lain-lain, baik tingkat

kabupaten maupun tingkat propinsi.

1.6.5. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni dengan metode

analisis rantai nilai perspektif relasi kuasa (gender). Porter (2001), mendefinisikan

Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis) sebagai alat untuk memahami rantai nilai

yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari aktifitas-aktifitas yang

dilakukan, mulai dari bahan baku dari pemasok hingga produk akhir sampai ke

tangan konsumen, termasuk juga pelayanan purna jual.

Tujuan dari analisis rantai nilai adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap

rantai nilai dimana pelaku rantai nilai dapat meningkatkan nilai produk untuk

konsumen atau menurunkan biaya dan mengefisienkan kerja. Penurunan biaya atau

peningkatan nilai tambah (value added) dapat membuat suatu usaha atau industri

lebih kompetitif. Dalam analisa rantai nilai, terdapat dua aktivitas bisnis, yakni

aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities).

Aktivitas utama adalah semua aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan

penambahan nilai terhadap masukan-masukan dan mentransformasikannya menjadi

produk yang dibutuhkan oleh pelanggan.

Teori Porter ini akan diintegrasikan dengan pendekatan relasi kuasa (gender)

pada setiap tahapan dan variablenya sehingga menghasilkan analisis yang dapat

mengetahui aspek pemberdayaan, partisipasi, akses dan dampaknya terhadap relasi

kuasa (gender) tersebut.

Pada penelitian ini juga dapat dilakukan SWOT analysis untuk mengetahui

peluang upgrading/capacity building pada kelompok petani rumput laut. Menurut

Wikipedia, analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris dari kekuatan/strengths,

Page 7: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

kelemahan/weaknesses, kesempatan/opportunities, dan ancaman/threats) adalah

metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman dalam suatu proyek. Proses ini melibatkan

penentuan tujuan yang spesifik dan mengidentifikasikan faktor internal dan

eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan analisis rantai

nilai rumput laut.

II. Aktivitas antar Pelaku pada Proses Budidaya dan

Pemasaran Rumput laut

2.1 Kondisi Umum di Tingkat Petani Rumput Laut

2.1.1 Kabupaten Takalar

1) Aspek Budidaya

Budidaya rumput laut di Takalar berpusat di Kecamatan Mangarabombang (Marbo).

Ada empat desa yang diobservasi antara lain; Desa Cikoang, Desa Pattoppakkang,

Desa Punaga dan Desa Laikang. Dari empat desa tersebut, rupanya hanya desa

Punaga dan Desa Laikang yang masyarakatnya memang secara massif bekerja

sebagai petani rumput laut. Sementara Desa Pattoppakang dan Desa Laikang, tidak

ditemui adanya petani budidaya rumput laut.

Informasi dari warga di Cekoang, alasan utama mereka tidak melakukan

budidaya karena kondisi pesisir pantai yang tidak cocok untuk budidaya. Meskipun

demikian, Desa Cekoang menjadi pusat penjualan alat-alat yang dibutuhkan petani

seperti tali, dan lain-lain. Hal berbeda dapat terlihat di desa Pattoppakkang. Jarak

pemukiman warga dengan garis pantai yang berjauhan membuat warga

Pattoppakkang tidak bisa secara penuh terlibat dalam budidaya. Meski demikian,

ada sejumlah warga Pattoppakkang yang juga bertani rumput laut, tetapi memakai

lokasi Desa Laikang.

Perkembangan rumput laut memang hanya berkembang massif di dua desa

yakni Desa Punaga dan Desa Laikang. Di Desa Laikang dan Punaga, mayoritas

warga-nya bekerja sebagai petani rumput laut. Umumnya, petani (produsen)

rumput laut di Laikang membudidayakan dua jenis bibit yakni Katonik (e-cottoni)

Page 8: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

dan SP (e-spinosum). Umumnya petani di Laikang dan di Punaga membudidaya dua

jenis bibit sekaligus dalam satu periode tanam. Skalanya bervariasi, ada yang lebih

banyak menanam Katonik, begitu pun sebaliknya. Cai Daeng Sarro (38), misalnya

membudidaya SP dan Katonik sekaligus, walau ia mengaku lebih banyak

bentangannya jenis Katonik. Alasannya, karena harganya yang lebih mahal, lagi pula

tersedia bibit yang ia hasilkan sendiri. Cai Daeng Sarro mengaku membudidaya SP

lebih banyak hanya saat musim panas, karena pada masa kemarau, bibit jenis

Katonik harus ia Beli dari Bantaeng atau Jeneponto.

Namun, tidak jarang ada petani yang khusus menanam jenis Spinosum.

Kebanyakan petani yang menanam jenis Spinosum adalah petani yang sudah

bergelut puluhan tahun, seperti pengakuan Daeng Mutta (55 tahun), seorang petani

di Punaga. Selain karena alasan terbiasa menanam jenis itu sejak lama, alasan

lainnya adalah perawatannya yang relatif lebih mudah, serta ketersediaan bibit

yang mudah.

Menurut Daeng Mutta, walau harga Spinosum lebih murah, namun ia hanya

membudidaya jenis ini saja karena ia tidak perlu lagi mengeluarkan modal untuk

bibit. Sebagaimana pengakuan Cai Daeng Sarro, faktor cuaca memang menjadi

variabel utama yang mempengaruhi pilihan petani dalam menentukan bibit. Daeng

Taba (30) petani di Laikang, mengaku menanam jenis SP bila musim kemarau, dan

menanam Katonik di musim hujan. Pengakuan yang sama juga dikatakan petani

lainnya seperti Sudirman (24) di Puntondo maupun Ical Daeng Roa (29) di Punaga.

2) Ketersediaan bibit.

Umumnya bibit tersedia, terutama pada musim hujan. Namun, tidak semua petani

dapat menghasilkan bibit sendiri. Daeng Taba di Laikang misalnya mengaku masih

membeli bibit khususnya jenis Katonik. Hal yang sama dikatakan petani di Laikang

bernama Daeng Sitaba (48). Daeng Sitaba mengaku kadang-kadang membibit, tapi

bila tidak berhasil maka terpaksa ia harus membeli di petani sekitar Punaga dan

Laikang.

Sementara Daeng Lewa (40) petani di Malelaya Punaga mengaku mengolah

pembibitan sendiri. Ia mengaku hanya membeli bibit 7 tahun lalu di Puntondo,

Page 9: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

setelah itu ia membibit sendiri karena jumlah bentangannya yang cukup banyak

yakni sekitar 700 bentangan. Hal yang sama dilakukan Cai Daeng Sarro di Laikang

yang mengaku sudah menghasilkan bibit sendiri untuk budidayanya sekitar 500-an

bentangan. Ada kecenderungan, petani dengan bentangan yang banyak relatif

melakukan pembibitan sendiri, sementara petani dengan bentangan sedikit masih

harus membeli bibit.

Prinsipnya, bila musim kemarau bibit di Punaga dan Laikang terbatas,

sehingga harus membeli bibit. Harga bibit di Punaga dan Laikang antara Rp.3000

hingga Rp.3500 per kg. Harga bibit di Laikang sedikit lebih mahal berdasarkan

pengakuan Cai Daeng Sarro, Daeng Taba, Daeng Boko maupun Daeng Sitaba yakni

Rp.3500 per kg. Sementara Petani di Punaga hanya membeli bibit seharga Rp. 3000

per kg (sebagaimana pengakuan Daeng Ta’le, Ical Daeng Roa, Sampara, maupun

Daeng Mutta). Mengenai jumlah bentangan petani, umumnya di dua desa (Punaga

dan Laikang), mempunyai jumlah bentangan yang cukup banyak yakni rata-rata

antara 300 sampai 1000 bentangan. Setiap bentangan rata-rata memakai bibit

antara 5 kg sampai 10 kg, dengan panjang bentangan yang bervariasi antara 20

meter hingga 30 meter.

3) Permodalan

Umumnya, petani rumput laut di Punaga dan Laikang menggunakan modal

pinjaman. Dari semua responden yang sempat ditemui, hanya ada beberapa orang

saja yang mengaku memakai modal sendiri antara lain; Daeng Sitaba di Laikang

yang memakai modal sendiri. Sebagai catatan, Daeng Sitaba hanya memiliki sekitar

200 bentangan. Dan ia mengaku berbudidaya rumput laut sekedar sebagai

pekerjaan sambilan dan tambahan pendapatan saja, sebab pekerjaan sebenarnya

adalah seorang PNS alias guru di sebuah Sekolah Dasar di laikang.

Pengakuan lainnya dari Ical Daeng Roa dan Sampara Daeng Nai di Desa

Punaga. Keduanya menggunakan modal sendiri. Ical Daeng Roa misalnya mengaku

memiliki modal sendiri dari hasil keringatnya bertahun-tahun menjadi TKI di

Malaysia. Sementara Sampara Daeng Nai, memiliki modal dari keuletannya

bertahun-tahun menjadi petani rumput laut. Sampara Daeng Nai adalah salah satu

Page 10: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

dari beberapa orang yang jumlah lahan dan bentangannya paling luas di Punaga.

Secara umum, rata-rata petani di Punaga dan Laikang menggunakan modal

pinjaman yang berasal dari pedagang pengumpul (istilah petani: BOSS-nya). Hanya

ada sedikit saja petani yang menggunakan modal sendiri (berdasarkan pengakuan

semua responden di Punaga dan Laikang).

Pinjaman sangat dibutuhkan petani untuk modal peralatan budidaya

maupun upah pekerja. Berdasarkan pengakuan semua responden, pinjaman yang

didapatkan dari pedagang pengumpul tersebut tidak berbunga. Jadi, berapa pun

yang dipinjam, maka sebanyak itupula yang dikembalikan. Hanya saja ada aturan

khusus yang diberlakukan secara informal atau melalui konsensus lisan saja yakni

petani yang meminjam harus menjual produksinya ke pedagang bersangkutan.

Selisih harga pasar di lokasi biasanya sekitar Rp.1000 per kg. Namun,

pedagang (sebagaimana pengakuan H. Siriwa di Laikang dan H. Nasir di Punaga)

tidak pernah menekan harga. Jadi, kalau harga naik, otomatis dinaikkan pula

harganya di petani, namun tetap dengan selisih sekitar Rp. 1000 per kg. Sebagai

catatan, selain meminjam dari pedagang pengumpul, ada pula petani yang

meminjam uang dari Bank utamanya mereka yang jumlah bentangannya banyak

(sebagaimana pengakuan Cai Daeng Sarro).

4) Tenaga dan Lahan

Hampir semua petani di Punaga dan Laikang menggunakan tenaga kerja

paling banyak pada saat pembibitan. Rata-rata pekerjanya adalah kaum perempuan.

Sementara pada periode penanaman, pemeliharaan, dan masa panen, hanya

dilakukan oleh laki-laki. Perempuan akan dilibatkan kembali pada saat pasca penen

yakni saat penjemuran. Pekerja mereka diambil dari keluarga sendiri. Upah rata-

rata pekerja bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 20.000 hingga

Rp.50.000. Kalau khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan

pekerja digaji antara Rp. 1000 hingga Rp. 1500 per bentangan.

Mengenai lahan budidaya, semua petani di Punaga dan Laikang memakai

lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya bentangan bervariasi, tapi bila

dirata-ratakan antara 300-1000 bentangan. Pola penentuan lokasi atau lahan

Page 11: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa mengklaim lokasi sepanjang tidak ada

orang yang menggarap sebelumnya. Walau begitu, konflik lahan dengan skala kecil

sering terjadi namun dengan intensitas rendah. Menurut Daeng Taba di Laikang,

konflik lahan jarang terjadi tapi sejauh pengalamannya, kejadian ribut-ribut

memang pernah terjadi. Tapi, bisa diselesaikan oleh warga sendiri. Pengalaman

yang sama dikatakan Daeng Sitaba, menurutnya konflik yang terjadi tidak besar dan

biasanya hanya diselesaikan di tingkat desa. Jadi, belum pernah ada konflik yang

sampai ke tingkat polisi.

Hal berbeda dikatakan Ical Daeng Roa dan Sampara Daeng Nai di Punaga,

menurutnya, di sekitar wilayahnya belum pernah ada ribut-ribut masalah lahan.

Alasannya, hampir semua petani di sekitar wilayahnya masih ada hubungan

keluarga dekat. Jadi, tidak ada yang berani saling mengganggu satu sama lain.

5) Alat-alat budidaya dan pemeliharaan

Alat-alat yang digunakan para petani umumnya sama antara lain; tali ris, plampung,

sampan, para-para, rang. Waring, tenda, linggis, bambu, dll. Bila akan membeli tali

dengan jumlah yang banyak, maka petani di Punaga dan Laikang membelinya di

Makassar atau di Kota Takalar. Namun, bila membeli tali yang jumlahnya sedikit,

mereka membelinya di Cekoang saja atau beberapa penjual di desa masing-masing.

Perbedaan harga tali bila beli di Makassar atau di Takalar Kota sekitar

Rp.3000 sampai 5000 per roll. Untuk 1 roll tali biasanya dapat antara 3 sampai 7

bentangan tergantung panjang bentangannya. Umumnya bentangan bisa dipakai

bertahun-tahun bahkan antara 5 sampai 10 tahunan. Rata-rata petani hanya

mengeluhkan plampung, karena setiap saat harus menggantinya. Apalagi kalau arus

gelombang laut tinggi. Untuk investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1

hingga 2 kali panen untuk mengembalikan modalnya.

Dalam hal pemeliharaan, hampir semua petani di Punaga dan Laikang hanya

mengeluhkan plampung. Ada hama biasanya, sebagian warga menyebutnya “nana

putih” (rumput laut hancur putih). Hama seperti ini umumnya menyerang di musim

panas. Selain itu, petani juga banyak mengeluhkan kotoran seperti lumut yang

kadang menempel di rumput laut.

Page 12: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Pengalaman menarik diutarakan Daeng Lewa, Ical Daeng Roa, dan Sampara

Daeng Nai di Desa Punaga—mereka mengeluhkan adanya penyelam di sekitar

lokasi budidaya yang menggunakan bius berzat kimia. Menurut mereka, bius

penyelam tersebut dapat menghancurkan budidaya mereka. Oleh sebab itu, warga

di Punaga selalu berjaga-jaga dari penyelam ilegal yang katanya bukan warga

setempat. Warga mengaku seringkali mengusir paksa para penyelam tersebut.

Dalam hal pemeliharaan rumput laut, perempuan belum dilibatkan sama sekali.

6) Panen, Pasca Panen, Produksi dan Harga Jual

Dalam hal budidaya, petani di Laikang dan Punaga umumnya menggunakan

waktu sekitar 40-45 hari. Pada saat panen, petani dengan jumlah bentangan di atas

500-an biasanya menggunakan 1 tambahan tenaga kerja laki-laki, untuk

mengangkat rumput laut ke lokasi penjemuran.Dari observasi di dua desa, belum

seluruhnya petani menggunakan para-para dalam penjemuran. Sebagian besar

masih menggunakan rang, kecuali petani yang ada di Dusun Puntondo Laikang yang

sudah ramai memakai para-para.

Proses penjemuran berlangsung selama 3 hari bila panas terik, namun bila

cuaca mendung bisa sampai 7 hari. Tidak semua petani melakukan pensortiran saat

penjemuran. Rata-rata menjemur begitu saja. Soal kotoran yang menempel, masih

ada petani yang tidak membersihkannya. Daeng Lewa dan Daeng Ta’le di Desa

Punaga mengaku tidak membersihkan rumput lautnya. Alasannya karena produk

mau kotor atau bersih tetap juga dibeli oleh pedagang pengumpul.

Meski demikian, beberapa petani utamanya di Laikang sangat

memperhatikan kebersihan produknya. Hal ini dikatakan oleh Cai Daeng Sarro,

Daeng Taba, Daeng Sitaba, maupun Daeng Boko—mereka mengaku membersihkan

rumput laut dari kotoran, bahkan seringkali menyewa lagi tenaga kerja untuk

pembersihan. Alasanya, agar produk disukai oleh pedagang karena kualitasnya

terjaga.

Pengalaman bertani rumput laut yang sudah puluhan tahun membuat petani

di Laikang dan Punaga, rata-rata sudah memahami soal kadar air bagaimana

Page 13: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

rumput laut yang bersih. Pengetahuan itu, selain karena pengalaman juga karena

informasi dari pedagang pengumpul.

Pada setiap panen jumlah produksi petani bervariasi tergantung jumlah

bentangannya. Sudirman di Laikang misalnya untuk 400 bentangan, ia bisa

memproduksi sekitar 1 ton, tapi bila pertumbuhan sedikit gagal, paling tidak sudah

bisa menghasilkan sekitar 500 kg kering. Daeng Boko di Laikang misalnya bisa

memproduksi hingga 1.5 ton untuk 700 bentangan.

Setiap kali panen, petani umumnya tidak menjual sekaligus produksinya.

Seringkali mereka menyimpan. Namun, bila kondisi keuangan mereka kurang bagus,

berapa pun harganya (sekali pun murah), petani tetap menjual produknya. Apalagi

kalau sudah harus membayar utang atau ada kebutuhan mendadak.

Semua petani di Laikang dan Punaga tidak memiliki pengalaman menjual

langsung produksinya ke parbrik atau eksportir. Agaknya, mereka memang tidak

memiliki minset untuk hal itu. Semua petani akan menjual produknya ke pedagang

yang memodalinya, walau dengan konsekuensi harga yang lebih murah dengan

selisih Rp 1000 per kg.

Meski jumlah rumput laut yang begitu massif di Laikang dan Punaga, warga

belum memiliki minat untuk pengolahan rumput laut untuk jadi bahan makanan.

Belum adanya pelatihan khusus menjadi penyebabnya. Sebagian Warga mengaku

memang pernah membuat keripik rumput laut karena diajari oleh mahasiswa KKN,

tapi itu tidak berlanjut. Umumnya, petani tidak atau belum berpikir ke arah sana—

mereka benar-benar fokus pada budidaya saja.

7) Masalah yang dihadapi.

Umumnya, petani mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan

tidak stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak.

Namun, petani tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak

memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.

2.1.2 Kabupaten Maros

1) Aspek Budidaya

Page 14: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Berbeda halnya dengan kondisi petani di Takalar, di Maros budidaya rumput

laut masih tergolong baru yakni sekitar 2 tahunan. Lokasi penelitian di Dusun

Sampara Desa Ampekale. Awalnya, warga di sana berasumsi bahwa rumput laut di

lokasinya tidak bisa dikembangkan. Jadi, petani lebih fokus pada hasil laut lainnya

terutama kepiting.

Namun masuknya Oxfam yang memberi pemahaman mendorong warga

untuk mencobanya. Adalah seorang yang bernama Rusman yang mempelopori

budidaya rumput laut di Sangkara. Berkat kerja kerasnya, di awal penanamannya,

Rusman cukup sukses mendapatkan keuntungan. Walhasil, ada sejumlah warga

yang mengikutinya. Di lokasi terdapat sekitar sepuluh rumah tangga yang mecob

membudidayakan rumput laut namum semikian sebagian diantara mereka masih

dalam jumlah kecil.

2) Ketersediaan Bibit

Pada awal budidaya, warga membeli bibit dari Takalar. Lalu, tahun kedua

dari Bone, dan sekarang sudah melakukan pembibitan sendiri. Pada saat membeli

bibit, harganya sekitar Rp. 3000 per kg. Karena tergolong masih baru, petani di

Dusun Sampara Maros rata-rata masih menggunakan bibit yang lebih sedikit dari

Takalar. Rusman misalnya sebagai pelopor dan petani yang paling banyak

bentangannya, masih menggunakan bibit sekitar 600 kg untuk 250 bentangan.

Dalam hal pembibitan, pihak perempuan paling banyak terlibat di Maros

bahkan sudah pernah dibuatkan kelompoknya. Dalam satu bentangan, pekerja

perempuan mendapatkan sekitar Rp. 3500 per bentangan. Walau masih baru,

ketersediaan bibit di Sangkara mulai stabil, bahkan ada keinginan masyarakat untuk

fokus melakukan pembibitan karena bisa mendapatkan hasil secara cepat, dan

tanpa ada proses yang memakan tenaga dan modal besar. Rusman misalnya sudah

melakukan kontrak dengan Dinas Perikanan setempat untuk proyek pembibitan.

3) Permodalan dan tenaga Kerja

Menariknya, rata-rata petani rumput laut di Maros yang jumlahnya memang

masih sekitar 20-an orang, menggunakan modal sendiri. Belum ada yang meminjam

Page 15: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

atau tersandera oleh pedagang tertentu. Oleh sebab itu, para petani di Maros bebas

menjual produknya kemana pun. Belum ada pedagang di tingkat desa. Para petani

langsung menjual produknya ke Pangkep. Untuk tenaga kerja, petani di Maros

banyak menggunakan tenaga perempuan dalam pembibitan.

Dalam satu periode dibutuhkan sekitar 7 orang dalam pembibitan, dan

masing-masing 1 orang pada periode penanaman, pemeliharaan dan panen. Pada

pasca panen, petani biasanya menggunakan tenaga kerja untuk penjemuran. Semua

tenaga kerja yang ikut berpartisipasi berasal dari keluarga mereka sendiri.

4) Lahan dan alat-alat budidaya

Yang sangat menarik di Maros adalah karena masih tersedianya lahan yang

cukup luas untuk budidaya. Hal ini disebabkan oleh belum terlampau banyaknya

warga yang berbudidaya. Jadi, warga masih bebas memilih lahan mana yang akan

dipakainya bila ingin memulai. Karena itu pula, di Dusun Sangkara belum pernah

sekalipun terjadi ribut atau konflik antar petani. Warga dengan luas lahan paling

banyak adalah Rusman, warga lainnya rata-rata masih 50 hingga 200 bentangan

saja.

Soal peralatan, petani memakai alat-alat yang umumnya digunakan seperti

tali ris, plampung, sampan, para-para, waring dll. Petani membeli tali di Makassar

atau di Pangkep bila untuk jumlah besar. Sedangkan untuk jumlah sedikit, petani

hanya membeli di lokasi dengan selisih harga yang cukup besar sekitar Rp. 10.000

per roll. Untuk 1 roll bisa untuk 7 bentangan yang panjangnya sekitar 25 meter. Tali

digunakan cukup lama sampai tahunan. Alat yang paling sering diganti adalah

plampung dan cincin yang dipakai ditali. Untuk investasi alat, modal petani sudah

bisa kembali dalam satu kali panen saja.

5) Pemeliharaan, panen dan pasca panen

Yang paling diperhatikan saat pemeliharaan adalah kotoran yang menempel.

Untuk pemeliharaan, petani masih menggunakan tenaga kerja laki-laki. Soal

penyakit atau hama, sejauh ini petani di Maros belum pernah mengeluhkannya.

Page 16: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Untuk mengantisipasi banyaknya kotoran yang menempel, petani

membiasakan melakukan pengecekan berkala. Dalam hal pemeliharaan tersebut,

perempuan belum pernah dilibatkan. Pemeliharaan rumput laut menggunakan

waktu sekitar 40 hari. Pada saat panen biasanya menggunakan tenaga kerja

tambahan dalam hal penjemuran. Proses penjemuran sendiri berlangsung selama 3

hari. Pada saat penjemuran, rumput laut disortir terlebih dahulu. Lalu diambil

kotoran yang menempel. Petani mengetahui cara produksi rumput laut tersebut

dari penyuluhan oleh Oxfam.

6) Produksi, harga jual

Pada setiap panen Rusman misalnya memproduksi sekitar 500 kg untuk 250

bentangan. Kondisinya kering patah kadar 35. Yang menarik di Maros adalah semua

petani tidak pernah menyimpan hasil produksinya setiap kali periode penanaman,

jadi begitu selesai produksi langsung dijual tanpa peduli harga naik atau turun.

Adanya penyuluhan dari Oxfam sangat membantu petani dalam hal produksi

rumput laut. Harga jual untuk Katonik Rp. 8500 per kg dan langsung dijual ke

Pedagang besar di Pangkep. Selain itu, ibu-ibu di Pangkep sudah memahami cara

pengolahan rumput laut menjadi dodol, sirup, gula-gula bahkan bakso rumput laut.

Hanya saja pengolahan rumput laut di Maros belum dikembangkan, karena warga

sekitar masih fokus pada pengolahan kepiting yang dibawah dampingan Oxfam.

7) Masalah yang dihadapi

Mengenai harga, menurut petani belum terlalu masalah karena masih baru.

tapi, mereka berharap harganya bisa naik. Namun, bila dibandingkan dengan di

Takalar, petani di Maros masih lebih beruntung bisa menjual produknya dengan

harga yang lebih mahal, mungkin karena belum ada rantai pasar yang bertingkat.

2.1.3 Kabupaten Pangkep

1) Budidaya

Page 17: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Aktifitas terkait rumput laut di Kabupaten Pangkep dapat dilihat dari

beberapa tahap yaitu pra produksi, produksi, distribusi, pengolahan dan konsumen

akhir. Pada tahap pra produksi, komoditas rumput laut di Kabupaten Pangkep

memerlukan benih dan saprokan untuk membantu produksi rumput laut. Benih

rumput laut berasal dari dari Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru, kabupaten

Bone, Kabupaten Bantaeng dan Takalar. Sarana produksi rumput laut (Saprokan)

didapatkan pembudidaya dari Kecamatan Mandalle, Kecamatan Ma’rang dan

Makassar. Saprokan tersebut diantaranya tali tambang dan tali ris untuk mengikat

rumput laut.

Pembudidaya rumput laut yang ada di Kabupaten Pangkep tersebar di

Kecamatan Ma’rang, dan Kecamatan Mandalle dengan rata-rata luas lahan yang

dimiliki 0,5-1 Ha. Budidaya rumput laut yang dilakukan di Kabupaten Pangkep ini

menggunakan teknologi longline yaitu pembudidayaan rumput laut di kolom air

(eupotik) dekat permukaan perairan laut dengan menggunakan tali yang

dibentangkan dari satu titik ke titik lain dengan panjang 25 – 30 m, dalam bentuk

terangkai berbentuk segi empat dengan bantuan pelampung dan jangkar.

Perkembangan rumput laut memang hanya berkembang pesat di tiga desa

yaitu Desa Pitusunggu Kecamatan Ma’rang, Desa Tamarrupa serta desa Boddie

Kecamatan Mandalle. Di desa Pitusunggu mayoritas warga-nya bekerja sebagai

petani rumput laut. Umumnya, petani (produsen) rumput laut di kabupaten

Pangkep membudidayakan satu jenis bibit yakni ( Eucheuma cottoni).

2) Ketersediaan bibit

Semua petani rumput laut membudidayakan Echeuma cottonii, karena petani

yang diketahui cara budidayanya adalah Cottonii masa, sehingga di Januari –

Pebruari bibit susah didapat karena ombak yang besar, menurut Tadarrus Dg Niga

(40 Tahun) desa Pitusunggu. Sedangkan menurut Hamid (40 tahun) bibit susah

didapat, karena ombak yang besar pada bulan Nopember - Pebruari di desa

Tamangapa, lain halnya dengan desa Tamarrupa dan Boddie Mading (43 tahun)

dan Anwar (44 tahun) bibit susah karena ombak yang besar pada bulan Maret –

April.

Page 18: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Umumnya bibit tersedia, pada musim tertentu sesuai kondisi daerahnya.

Awalnya petani membeli bibit untuk dijadikan bibit kembali. Hj. Hapsa (45) petani

di Pitusunggu mengaku mengolah pembibitan sendiri. Ia mengaku hanya membeli

bibit waktu awal mulai budidaya rumput laut di Wajo, setelah itu ia membibit

sendiri karena jumlah bentangannya yang cukup banyak yakni sekitar 700

bentangan. Sama halnya dengan Daeng Limpa (40 tahun) di Tamanggapa yang

mengaku menyediakan bibit sendiri untuk budidayanya sekitar 700 bentangan. Ada

kecenderungan, petani dengan bentangan yang banyak relatif melakukan

pembibitan sendiri, sementara petani dengan bentangan sedikit masih harus

membeli bibit.

Pada prinsipnya, bibit di Pitusunggu, Tamanggapa, Tamarrupa dan Boddie

terbatas di waktu tertentu atau di musim sesuai kondisi daerahnya masing-masing,

sehingga harus membeli bibit. Harga bibit di Pitusunggu, Tamarrupa, Tamanggapa

dan Boddie antara Rp.3.000 hingga Rp.4.000 per kg. Sedangkan mengenai

bentangan, petani umumnya di desa Pitusunggu mempunyai jumlah bentangan

yang cukup banyak yakni rata-rata antara 500 sampai 1.200 bentangan. Setiap

bentangan rata-rata memakai bibit antara 5 kg sampai 7 kg, dengan panjang

bentangan yang bervariasi antara 20 meter hingga 25 meter. Sedangkan di desa

Tamanggapa petani umumnya mempunyai jumlah bentangan agak kurang yakni

rata-rata 200 – 600 bentangan, dengan bibit setiap bentangan antara 4 – 7 kg,

panjang bentangan 15 – 25 meter. Desa Tamarrupa dan Boddie mempunyai

bentangan rata-rata 300 – 1000, dengan panjang bentangan 20 – 25 meter.

3) Permodalan

Umumnya, petani rumput laut di empat Desa dan menggunakan modal

pinjaman. Dari semua responden yang sempat ditemui, hanya ada beberapa orang

saja yang mengaku memakai modal sendiri antara lain; Halwiah di Pitusunggu yang

memakai modal sendiri. Hamid (40 tahun) desa Tamangapa, Hamza (38 Tahun)

desa Tamarrupa, Hamka dan Nurdin keduanya dari desa Boddie menggunakan

modal sendiri. Rata –rata memulai usaha budidaya rumput laut dengan bentangan

Page 19: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

yang sedikit sehingga modal yang digunakan juga sedikit, dan sekarang sudah

berkembang usahanya.

Secara umum, rata-rata petani di empat desa menggunakan modal pinjaman

yang berasal dari pedagang pengumpul. Hanya ada sebagian saja petani yang

menggunakan modal sendiri (berdasarkan pengakuan semua informan di empat

desa).

Pinjaman sangat dibutuhkan petani untuk modal peralatan budidaya

maupun upah pekerja. Berdasarkan pengakuan semua responden, pinjaman yang

didapatkan dari pedagang pengumpul tersebut tidak berbunga. Jadi, berapa pun

yang dipinjam, maka sebanyak itupula yang dikembalikan. Hanya saja ada aturan

khusus yang diberlakukan secara informal atau melalui konsensus lisan saja yakni

petani yang meminjam harus menjual produksinya ke pedagang bersangkutan.

Selisih harga pasar di lokasi tidak ada perbedaan.

4) Tenaga Kerja dan Lahan

Hampir semua petani di empat desa menggunakan tenaga kerja paling

banyak pada saat pembibitan. Rata-rata pekerjanya adalah kaum perempuan.

Sementara pada periode penanaman, pemeliharaan, dan masa panen, hanya

dilakukan oleh laki-laki. Perempuan akan dilibatkan kembali pada saat pasca penen

yakni saat penjemuran. Pekerja mereka diambil dari keluarga sendiri. Upah rata-

rata pekerja bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 30.000 hingga

Rp.50.000. Kalau khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan

pekerja digaji antara Rp. 2.500 hingga Rp. 3.000 per bentangan.

Mengenai lahan budidaya, semua petani di Pitusunggu, Tamanggapa,

Tamarrupa dan Boddie memakai lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya

bentangan bervariasi, tapi bila dirata-ratakan antara 250-1.200 bentangan. Pola

penentuan lokasi atau lahan sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa mengklaim

lokasi sepanjang tidak ada orang yang menggarap sebelumnya. Walau begitu,

konflik lahan dengan skala kecil sering terjadi namun dengan intensitas rendah.

Menurut petani kejadian ribut-ribut memang pernah terjadi. Tapi, bisa diselesaikan

Page 20: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

oleh warga sendiri, menurutnya konflik yang terjadi biasanya hanya diselesaikan di

tingkat desa. Jadi, belum pernah ada konflik yang sampai ke tingkat polisi.

5) Alat-alat budidaya dan pemeliharaan

Alat-alat yang digunakan para petani umumnya sama antara lain; tali ris,

pelampung, sampan (perahu), para-para, rang. Waring, tenda, linggis, bambu, dll.

Bila akan membeli tali dengan jumlah yang banyak, maka petani membelinya di kota

Kecamatan. Perbedaan harga tali bila beli di Makassar sekitar Rp.5.000 – 10.000 per

roll. Untuk 1 roll tali biasanya dapat antara 3 sampai 7 bentangan tergantung

panjang bentangannya. Umumnya bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan

antara 5 sampai 10 tahunan.

Rata-rata petani hanya mengeluhkan plampung, dan tali pengikat karena

setiap saat harus menggantinya. Apalagi kalau arus gelombang laut tinggi. Untuk

investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1 hingga 3 kali panen untuk

mengembalikan modalnya.

Dalam hal pemeliharaan, hampir semua petani di empat desa hanya

mengeluhkan pelampung. Masalah hama biasanya, sebagian warga menyebutnya

“putih” (rumput laut hancur putih) dan ikan baronang yang memakan pucuk

rumput laut. Selain itu, petani juga banyak mengeluhkan kotoran seperti lumut,

tiram dan lumpur yang kadang menempel di rumput laut dan tali rumput laut.

Dalam hal pemeliharaan rumput laut, perempuan belum dilibatkan sama sekali.

6) Panen, Pasca Panen, Produksi dan Harga Jual

Dalam hal budidaya, petani di empat desa umumnya menggunakan waktu

sekitar 40-45 hari. Pada saat panen, petani dengan jumlah bentangan di atas 700-an

biasanya menggunakan 1 - 2 tambahan tenaga kerja laki-laki, untuk mengangkat

rumput laut ke lokasi penjemuran. Dari observasi di empat desa, belum seluruhnya

petani menggunakan para-para dalam penjemuran. Sebagian besar masih

Page 21: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

menggunakan rang, kecuali petani yang ada di Desa Pitusunggu yang sudah ramai

memakai para-para.

Proses penjemuran berlangsung selama 3 hari bila panas terik, namun bila

cuaca mendung bisa sampai 7 hari. Tidak semua petani melakukan pensortiran saat

penjemuran. Rata-rata menjemur begitu saja. Soal kotoran yang menempel, masih

ada petani yang tidak membersihkannya. Petani mengaku tidak membersihkan

rumput lautnya. Alasannya karena pada saat rumput laut kering kotorannya

terpisah. Akan tetapi, beberapa petani utamanya Pitusunggu sangat memperhatikan

kebersihan produknya. Hal ini dikatakan oleh Limpa, Tadarrus Daeng Niga, Hj.

Hapsa, mereka mengaku membersihkan rumput laut dari kotoran, untuk menjaga

kualitas rumput lautnya. Pengalaman bertani rumput laut yang sudah puluhan

tahun membuat petani di empat desa, rata-rata sudah memahami soal tingkat

kering dan rumput laut yang bersih. Pengetahuan itu, selain karena pengalaman

juga karena informasi dari pedagang pengumpul.

Pada setiap panen jumlah produksi petani bervariasi tergantung jumlah

bentangannya. Hj. Hapsa di Pitusunggu misalnya untuk 200 bentangan, ia bisa

memproduksi sekitar 560 Kg kering, tapi bila pertumbuhan sedikit gagal, paling

tidak sudah bisa menghasilkan sekitar 300 kg kering. Lain halnya dengan Tadarrus

Daeng Niga dengan 1.000 bentangan, dia dapat 3 ton rumput laut kering. Setiap kali

panen, petani umumnya menjual sekaligus produksinya, berapa pun harganya

(sekali pun murah), petani tetap menjual produknya. Apalagi kalau sudah harus

membayar utang atau ada kebutuhan mendadak.

Semua petani di empat desa tidak memiliki pengalaman menjual langsung

produksinya ke parbrik atau eksportir.. Semua petani akan menjual produknya ke

pedagang yang memodalinya. Pengolahan rumput laut untuk jadi bahan makanan

biasa dilakukan oleh Ibu sesuai penuturan Ibu Kepala Desa pitusunggu, tapi

produknya masih di konsumsi sendiri belum di pasarkan secara meluas. Produk

yang biasa dihasilkan seperti Dodol, stik, kerupuk, serta sirup rumput laut. Kendala

yang dihadapi adalah kemasan serta pemasarannya.

7) Masalah yang dihadapi

Page 22: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Umumnya, petani mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan tidak

stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak.

Namun, petani tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak

memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.

2.1.4 Kabupaten Barru

1) Aspek Budidaya

Kawasan pesisir dan laut Kabupaten Barru secara administrasi mencakup 5

(lima) kecamatan masing-masing Kecamatan Mallusetasi, Kecamatan Soppeng Riaja,

Kecamatan Balusu, Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Rilau. Bentuk

morfologi kawasan pesisir yang memiliki garis pantai sepanjang 78 km secara

umum tergolong homogen yakni datar dan landai. Terdapat sekitar 5 (lima) pulau

yang secara administrasi berada dalam wilayah kewenangan Kabupaten Barru,

yaitu Pulau Puteanging, Pulau Pannikiang, Pulau Dutungeng, Pulau Bakki dan Pulau

Batukalasi.

Aktifitas masyarakat pada daerah pesisir tentunya akan mempengaruhi

kualitas air laut, akan tetapi di Kabupaten Barru aktifitas tersebut masih sebatas

tambak ikan dan udang, industri hatchery skala menengah dan industri

pengalengan hasil laut. Kegiatan budidaya rumput laut agak berkembang di

kecamatan Tanete Rilau yang terdiri dari dua Desa yakni Desa Lasitae dan Desa

Pancana, budidaya rumput laut sudah lama di lakukan oleh petani di desa tersebut

yang di beri bantuan serta di bina oleh Dinas Kelautan Perikanan Barru.

Namun demikian masuknya Oxfam yang memberi pembinaan dan bantuan

peralatan dalam budidaya rumput laut mendorong warga untuk mengembangkan

usahanya. Semua petani rumput laut membudidayakan Echeuma cottonii, karena

petani yang diketahui cara budidayanya adalah Cottonii, sehingga di bulan

september november bibit susah didapat karena musim kemarau salinitas air laut

yang tinggi, menurut Diana (23 Tahun) desa Pancana. Sedangkan menurut Randi

Kasim (43 tahun), Saharuddin (43 tahun) bibit susah didapat karena musim

kemarau di desa Lasitae

Page 23: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

2) Ketersediaan bibit.

Umumnya bibit tersedia, pada musim tertentu sesuai kondisi daerahnya.

Awalnya petani membeli bibit untuk dijadikan bibit kembali. Randi kasim (43

tahun) petani di desa Lasitae mengaku mengolah pembibitan sendiri. Ia mengaku

hanya membeli bibit waktu awal mulai budidaya rumput laut dari Takalar dan

Bantaeng, setelah itu ia membibit sendiri karena jumlah bentangannya yang cukup

banyak yakni sekitar 500 bentangan. Sama halnya dengan Diana (23 tahun),

Saharuddin (43 tahun) di Pancana yang mengaku menyediakan bibit sendiri untuk

budidayanya sekitar 250 - 600 bentangan. Ada kecenderungan, petani dengan

bentangan yang banyak relatif melakukan pembibitan sendiri, sementara petani

dengan bentangan sedikit masih harus membeli bibit.

Pada prinsipnya, bibit di dua desa terbatas di waktu tertentu atau di musim

sesuai kondisi daerahnya, sehingga harus membeli bibit. Harga bibit di Pancana,

dan Lasitae antara Rp.2.500 hingga Rp.3.500 per kg. Sedangkan mengenai

bentangan, petani umumnya mempunyai jumlah bentangan yang cukup banyak

yakni rata-rata antara 250 sampai 600 bentangan. Setiap bentangan rata-rata

memakai bibit antara 5 kg sampai 7 kg, dengan panjang bentangan yang bervariasi

antara 20 meter hingga 25 meter.

Permodalan

Umumnya, petani rumput laut di Desa Pancana dan Lasitae menggunakan

modal sendiri. Dari semua responden yang sempat ditemui, hanya ada beberapa

orang saja yang mengaku memakai modal pinjaman antara lain; Randi Kasim di desa

Lasitae yang memakai modal pinjaman. Secara umum, rata-rata petani di dua desa

menggunakan modal sendiri, hanya ada sebagian saja petani yang menggunakan

modal pinjaman (berdasarkan pengakuan semua responden di dua desa). Pinjaman

sangat dibutuhkan petani untuk modal peralatan budidaya maupun upah pekerja.

Berdasarkan pengakuan responden, pinjaman yang didapatkan dari keluarga

tersebut tidak berbunga. Jadi, berapa pun yang dipinjam, maka sebanyak itupula

yang dikembalikan. Bahkan ada petani yang meminjam dari Bank yang.

Page 24: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

3) Tenaga Kerja dan Lahan.

Hampir semua petani di dua desa menggunakan tenaga kerja paling banyak

pada saat pembibitan. Rata-rata pekerjanya adalah kaum perempuan. Sementara

pada periode penanaman, pemeliharaan, dan masa panen, hanya dilakukan oleh

laki-laki. Perempuan akan dilibatkan kembali pada saat pasca penen yakni saat

penjemuran. Pekerja mereka diambil dari keluarga sendiri. Upah rata-rata pekerja

bila dihitung per hari cukup bervariasi antara Rp. 30.000 hingga Rp.40.000. Kalau

khusus pembibitan atau pemasangan bibit ditali bentangan pekerja digaji antara Rp.

3.500 hingga Rp. 4.000 per bentangan. Mengenai lahan budidaya, semua petani di

Pancana, dan Lasitae memakai lahan milik sendiri. Luas wilayah dan banyaknya

bentangan bervariasi, tapi bila dirata-ratakan antara 250 - 600 bentangan.

Pola penentuan lokasi atau lahan sifatnya konsensus saja. Jadi, siapa saja bisa

mengklaim lokasi sepanjang tidak ada orang yang menggarap sebelumnya. Walau

begitu, konflik lahan dengan skala kecil sering terjadi namun dengan intensitas

rendah. Menurut petani kejadian ribut-ribut memang pernah terjadi. Tapi, bisa

diselesaikan oleh warga sendiri, menurutnya konflik yang terjadi biasanya hanya

diselesaikan di tingkat desa. Jadi, belum pernah ada konflik yang sampai ke tingkat

polisi.

4) Alat-alat budidaya dan pemeliharaan

Alat-alat yang digunakan para petani umumnya sama antara lain; tali ris,

plampung, sampan (perahu), para-para, rang. Waring, tenda, linggis, bambu, dll. Bila

akan membeli tali dengan jumlah yang banyak, maka petani membelinya di kota

Kecamatan. Perbedaan harga tali bila beli di Makassar sekitar Rp.5.000 – 10.000 per

roll. Untuk 1 roll tali biasanya dapat antara 3 sampai 7 bentangan tergantung

panjang bentangannya. Umumnya bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan

antara 5 sampai 10 tahunan. Rata-rata petani hanya mengeluhkan plampung, dan

tali pengikat karena setiap saat harus menggantinya. Apalagi kalau arus gelombang

laut tinggi. Untuk investasi alat, petani membutuhkan waktu antara 1 hingga 3 kali

panen untuk mengembalikan modalnya.

Page 25: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Dalam hal pemeliharaan, hampir semua petani di empat desa hanya

mengeluhkan plampung. Masalah hama biasanya, sebagian warga menyebutnya

“putih” (rumput laut hancur putih) dan ikan baronang yang memakan pucuk

rumput laut. Selain itu, petani juga banyak mengeluhkan kotoran seperti lumut,

tiram dan lumpur yang kadang menempel di rumput laut dan tali rumput laut.

Dalam hal pemeliharaan rumput laut, perempuan belum dilibatkan sama sekali.

5) Panen, Pasca Panen, Produksi dan Harga Jual

Dalam hal budidaya, petani di empat desa umumnya menggunakan waktu

sekitar 40-45 hari. Pada saat panen, petani dengan jumlah bentangan di atas 500-an

biasanya menggunakan 1 - 2 tambahan tenaga kerja laki-laki, untuk mengangkat

rumput laut ke lokasi penjemuran.

Dari observasi di empat desa, belum seluruhnya petani menggunakan para-

para dalam penjemuran. Sebagian besar masih menggunakan waring. Proses

penjemuran berlangsung selama 3 hari bila panas terik, namun bila cuaca mendung

bisa sampai 7 hari. Tidak semua petani melakukan pensortiran saat penjemuran.

Rata-rata menjemur begitu saja. Soal kotoran yang menempel, masih ada petani

yang tidak membersihkannya. Petani mengaku tidak membersihkan rumput

lautnya. Alasannya karena pada saat rumput laut kering kotorannya terpisah.

Pengalaman bertani rumput laut yang sudah tahunan membuat petani di

dua desa, rata-rata sudah memahami soal tingkat kering dan rumput laut yang

bersih. Pengetahuan itu, selain karena pengalaman juga karena informasi dari

pedagang pengumpul. Pada setiap panen jumlah produksi petani bervariasi

tergantung jumlah bentangannya. Diana di Pancana misalnya untuk 250

bentangan, ia bisa memproduksi sekitar 750 Kg kering, tapi bila pertumbuhan

sedikit gagal, paling tidak sudah bisa menghasilkan sekitar 400 kg kering. Lain

halnya dengan Saharuddin dengan 100 bentangan, dia dapat 400 Kg rumput laut

kering.

Setiap kali panen, petani umumnya menjual sekaligus produksinya, berapa

pun harganya (sekali pun murah), petani tetap menjual produknya. Apalagi kalau

sudah harus membayar utang atau ada kebutuhan mendadak. Semua petani di dua

Page 26: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

desa tidak memiliki pengalaman menjual langsung produksinya ke pabrik atau

eksportir.

Pengolahan rumput laut untuk jadi bahan makanan biasa dilakukan oleh Ibu-

ibu sesuai penuturan Diana Desa Pancana, tapi produknya masih di konsumsi

sendiri belum di pasarkan secara meluas. Produk yang biasa dihasilkan seperti

Dodol, stik, kerupuk, serta sirup rumput laut. Kendala yang dihadapi adalah

kemasan serta pemasarannya.

6) Masalah yang dihadapi

Umumnya, petani mengeluhkan aspek pemasaran. Harga yang rendah dan

tidak stabil menjadi persoalan, sementara kebutuhan pokok lainnya terus melonjak.

Namun, petani tetap saja bekerja di bidang ini karena mayoritas mengaku tidak

memiliki pekerjaan lain. Mereka berharap ke depan, harganya kembali normal.

Kendala lainnya adalah di saat musim kemarau bulan september sampai november

rumput laut susah tumbuh dengan baik, petani di dua desa ini biasanya pada bulan

tersebut budidayanya di pindahkan ke dekat muara sungai pancana akan tetapi

masyarakat di sekitar lokasi tersebut tidak mengizinkan lagi yang bagi budidaya

rumput laut karena mata pencaharian masyarakat disekitar lokasi tersebut adalah

nelayan, masalah ini sudah di komunikasikan dengan kepala Desa setempat.

2.2 Kondisi Umum Pedagang Pengumpul Desa, Kecamatan dan Pedagang

besar

2.2.1 Kabupaten Takalar

Dalam observasi yang saya lakukan, pedagang di Takalar memiliki beberapa

tingkatan. Dari pedagang pengumpul terkecil paling bawah yang biasanya memodali

keluarga terdekatnya sendiri, lalu pedagang pengumpul di atasnya yang

memberinya modal, lalu pedagang besar yang tidak hanya memodali petani dan

pengumpul tetapi juga memiliki sumber daya lebih besar dalam hal infrastruktur

bisnis seperti gudang, modal lebih besar, maupun kendaraan pengangkut.

Page 27: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Pedagang pengumpul kecil langsung membeli rumput laut ke petani,

terutama pada petani yang dimodalinya. Thalib Daeng Sibali (45), pedagang kecil di

Punaga misalnya membeli produk petani seharga Rp. 7.000 untuk Katonik dan Rp.

5.000 untuk SP/spinosum. Barang yang ia kumpul kemudian ia jual kembali ke

pedagang besar seharga Rp. 8 500 untuk Katonik dan Rp. 6 000 untuk SP. Thalib

Daeng Sibali hanya menggunakan modal sendiri, ia mengaku hanya memodali 3

petani saja. Rumput laut yang dibelinya dijemur kembali sebelum dijual ke

pedagang besar. Setiap hari Thalib hanya menjemur sekitar 10-20 kg perhari, dan

setiap periode penjualan sekitar 500 kg. Selama berdagang, Thalib belum pernah

sekalipun menjual barangnya langsung ke pabrik atau eksportir besar.

Secara garis besarnya, pedagang besar di Punaga dikuasai oleh dua orang

yakni H. Nasir Daeng Tujuh dengan Ibu Mawar (istri Kepala Desa Punaga).

Keduanya, memiliki gudang besar dan petani binaan. H. Nasir misalnya memiliki 40

lebih petani yang dimodalinya, dan beberapa pedagang pengumpul. Menurut

pengakuan H. Nasir, ia membeli produk dengan harga yang berbeda antara petani

dan pedagang pengumpul. Ada selisih harga sekitar Rp. 500 bila beli dari pedagang,

dan Rp. 1000 bila dari petani. Walau begitu, ia mengaku tidak pernah menekan

harga sekalipun kepada petani.

H. Nasir melakukan prosesing kembali produk yang dibelinya dengan cara

penjemuran kembali untuk memenuhi standar permintaan eksportir. Dalam setiap

1 karung sekitar 100 kg, terjadi penyusutan sekitar 20 kg setelah penjemuran. H.

Nasir menjual produknya ke Pelita, di PT Giwang dan di Palleko. Harga jualnya kalau

Katonik Rp. 11.000 dan SP seharga Rp.7500 per kg dengan kadar 33.

Pembeli (pedagang rumput laut) di Takalar secara umum dapat dilihat dalam

struktur jaringan bertingkat-tingkat. Pedagang yang memiliki basis modal besar,

menguasai begitu banyak jaringan pengumpul kecil, memiliki infrastruktur

pergudangan, kendaraan untuk pengiriman, bisa dikategorikan sebagai Pedagang

besar.

Page 28: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Selain memiliki jaringan pengumpul, pedagang besar juga memiliki akses

langsung ke petani. Hajji Nasir (Punaga) dan Hajji Siriwa (Laikang) serta Daeng

Tuju (Pattoppakkang), Hj Mawar Ibu Desa (Punaga) adalah beberapa di antara

pedagang besar yang ada di Takalar. Mereka memiliki jaringan khusus dengan

pengumpul dibawahnya dan juga sejumlah petani yang dimodalinya.

Pedagang pengumpul di bawah pedagang besar adalah mereka yang

difasilitasi modal oleh pedagang besar. Dengan syarat harus menjual dagangannya

ke pemberi modal. Kalau dilihat tipologinya, pedagang pengumpul kecil membawahi

petani dengan kapasitas modal ekonomi kecil. Sementara petani dengan jumlah

bentangan besar relatif membangun akses langsung dengan pedagang besar.

Namun, ada hal yang menarik di Takalar yakni adanya sejumlah pedagang kecil

yang tidak dibawahi oleh pedagang besar tertentu (karena mereka menggunakan

modal sendiri), hanya saja secara tidak langsung mereka juga menjadi bagian dari

pedagang besar, karena hasil pembeliannya juga dijual ke pedagang besar. Saya

mewawancarai Pedagang kecil yang dengan modal sendiri seperti Thalib Daeng

Sibali (Punaga) dan Daeng Rate (Laikang), mereka kerapkali menjual produknya ke

pedagang besar di tingkat lokal. Pengakuan ini dipertegas oleh pernyataan H. Siriwa,

bahwa ia menerima produk dari pengumpul binaan maupun pedagang lainnya yang

tidak ada ikatan modal dengannya.

Pembelian produk oleh pedagang besar (H. Nasir) dengan dua varian harga

antara lain; (1) untuk pedagang pengumpul ia membeli seharga Rp.7000 (Katonik)

sementara yang dibeli langsung dari petani dibeli seharga Rp. 6500. Standar harga,

akan dinaikkan oleh pedagang besar apabila harga pasar global juga naik. Pedagang

besar tidak pernah mempermainkan harga.

Di tingkat pedagang besar, rumput laut diproses kembali melalui pensortiran

dan pengeringan. Dalam setiap karung seberat 100 kg yang dibeli dari petani,

dikeringkan kembali sehingga mengalami penyusutan sekitar 20 kg, sehingga

menjadi Rp. 80 kg kering. Dapat dihitung sebagai berikut, untuk 100 kg

menghabiskan modal sekitar Rp. 77.000 (belum termasuk biaya karung dan gaji

Page 29: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

pengeringan). Lalu, menjadi 80 kg setelah dijemur dan dijual ke eksportir sekitar

Rp. 11.000 per kg (kadar 33,34)= Rp. 88.000, ada selisih sekitar Rp. 11.000

keuntungan kotor (sebab belum termasuk biaya karung, pengeringan dan

pengiriman). Kalau dikalkulasi maka, setiap 1 kg rumput laut yang dibeli, pedagang

besar hanya untung sekitar Rp. 1000—keuntungan ini agaknya beda tipis dengan

keuntungan yang didapatkan pengumpul di bawahnya.

2.2.2 Kabupaten Maros Pangkep dan Barru

Aktifitas terkait rumput laut di Kabupaten Pangkep dan Barru dapat dilihat

dari beberapa tahap yaitu pra produksi, produksi, distribusi, pengolahan dan

konsumen akhir. Pada tahap pra produksi, komoditas rumput laut memerlukan

biaya sehingga menjadi peluang bagi pemilik modal untuk membantu sekaligus

bisnis usaha rumput laut untuk membantu produksi rumput laut.

Perkembangan rumput laut salah satunya ditopang oleh bantuan yang ada,

khususnya pada pedagang pengumpul yang memberi bantuan modal ke petani

rumput laut sehingga usaha budidayanya dapat berjalan dengan baik.

Semua petani rumput laut membudidayakan Echeuma cottonii, karena petani

yang diketahui cara budidayanya dan harganya masih relatif baik, menurut Daming

(46 Tahun) desa Pitusunggu, yang membina petani rumput laut lebih 1.000 tersebar

di Desa Pitusunggu, Tamanggapa, Tamarrupa, Bo’die, Maccini Baji, Berarue Desa

Lasitae dan Pancana. Sedangkan Bahar (47 tahun) Kelurahan Mandalle (Staf

Teknisi Budidaya di Politani Negeri Pangkep) yang membina petani rumput laut

lebih 200 tersebar di Kelurahan Mandalle, Pancana, Lasitae, Bo’die, Tamarrupa,

kelurahan Bone, Sigeri, Kecamatan Ma’rang dan Pulau Salemo.

Umumnya rumput laut di beli di daerah sekitarnya. Daming (46 Tahun)

pedagang di Pitusunggu mengaku membeli langsung ke petani rumput laut di

daerah yang dekat seperti Pitusunggu, Tamanggapa, sedangkan daerah yang agak

jauh menggunakan pengumpul seperti Maccini Baji, Berarue Desa Lasitae, Pancana.

Page 30: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Sama halnya dengan Bahar (47 Tahun) pedagang pengumpul di Kelurahan Mandalle

dengan membeli langsung ke petani di daerah seperti Tamarrupa, Mandalle dan

Sigeri, sedangkan daerah yang agak jauh seperti Salemo, Ma’rang, Bo’die, Lasitae

dan Pekkae menggunakan pengumpul.

Pada prinsipnya, harga rumput laut tergantung waktu tertentu atau di musim

sesuai kondisi daerahnya masing-masing. Harga rumput laut yang dibelikan di

petani Rp 9.000 – 9.500/Kg, sedangkan di pengumpul di belikan dengan harga

selisih antara Rp 200 – 500/Kg menurut Daming. Bahar pedagang di Kelurahan

Mandalle membeli di petani dengan harga Rp. 9.500 dan di pengumpul Rp

10.000/Kg Sedangkan mengenai ongkos angkut menurut Daming biaya Rp

141,7/Kg, sedangkan menurut Bahar biaya digunakan satu kali pengiriman ke

Makassar Rp 500.000 dengan menggunakan mobil sendiri.

Modal yang digunakan dalam usaha jual beli rumput laut menggunakan

modal sendiri. Daming (46 tahun) desa Pitusunggu, yang memberi modal bantuan

kepada petani lebih 1.000 berupa uang, dengan pengembalian dengan cara menjual

rumput lautnya kepada pemberi modal dan dari hasil penjualan rumput laut

tersebut di potong utang pinjamannya secara bertahap. Sedangkan menurut Bahar

(47 tahun) kelurahan Mandalle, memodali petani kurang lebih 200 dengan model

pengembalian yang sama.

Hampir semua melakukan penyortiran dan pengeringan sebentar tergantung

kalau di beli langsung dari petani sedangkan kalau di beli dipengumpul biasanya

Cuma di kemas dengan cara mengganti karung dan di press manual dengan jumlah

yang di proses sekali rata-rata 150 karung dengan 4 kali proses setiap minggunya

menurut Daming. Sedangkan Bahar yang di proses yang di beli di petani saja

sedangkan di pengumpul sudah langsung di angkut dan dikirim ke Makassar

sehingga keuntungan pengumpul itu bisa 50 % dari selisih harga, dengan jumlah

satu kali proses antara 2.000 – 2.400 Kg, dengan 4 kali pengiriman setiap

minggunya. Biaya yang digunakan saat proses adalah Rp 200 – 250/kg yang

pekerjanya semua laki-laki.

Jumlah yang dijual dan harga jual. Daming (46 Tahun) pedagang pengumpul

di Desa Pitusunggu menjual dengan jumlah 150 Karung atau sekitar 12.000 Kg

Page 31: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

dengan harga Rp 10.800 di PT.Pelita, PT. Rapid Niaga Internasional, PT. Padeha,

harga Rp 10.400 – 11.000 di Robin dan Ibu kris dengan 4 kali pengiriman ke

Makassar setiap minggu. Sedangkan Bahar (47 Tahun) pedagang pengumpul di

Kelurahan Mandalle menjual dengan jumlah 2.000 – 2.400 Kg dengan harga Rp

10.300 – 10.500 di PT Bahari Indonesia dengan 4 kali pengiriman setiap minggunya.

2.2.3 Eksport dan Industri (Pengolahan ) Rumput Laut

1) Ekspor dan Pengolahan pada Industri Besar

Aktifitas ekspor dan pengolahan rumput laut di Sulawesi Selatan selama ini

dikelola oleh perusahaan bersar seperti PT Bantimurung indah yang berlokasi di

Maros, PT Giwang Citra Lestari yang berlokasi di Takalar, PT Cahaya Cemerlang dan

PT Wahyu yang berlokasi di Makassar. Perusahaan tersebut selain melakukan

ekspor rumput laut kering juga melakukan ekspor rumput laut olahan berupa SRC.

ATC dan Chip. Guna memahami lebih mendalam mengenai ekspor dan pengolahan

rumput laut disajikan kasus PT Giwang di Takalar.

PT Giwang Citra Lestari di dirikan pada tahun 2002 oleh seorang pengusaha

lokal (etnis Tionghoa). Mulai beroperasi pada tahun 2005 dan dipusatkan di Palleko

Kabupaten Takallar. PT Giwang merupakan salah satu eksportir rumput laut

terbesar di Indonesia Timur. Dalam hal memperoleh bahan baku, PT Giwang

membeli dari berbagai daerah seperti dari Sulsel, Sulbar, Sultra, bahkan NTT. Model

pembeliannya adalah dengan menerima di tempat. PT Giwang belum pernah

sekalipun melakukan pembelian langsung ke Petani atau melakukan share modal

dengan pedagang tertentu.

Sebagai eksportir besar, PT Giwang mengaku bahwa harga rumput laut di

pasar global sangat tidak menentu. Jadi, tidak ada patokan reguler mengenai harga.

Tapi di level pedagang, PT Giwang biasanya membeli produk rumput laut secara

Page 32: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

selektif berdasarkan kualitas. Apabila kualitasnya memang memenuhi standar

perusahaan, otomatis akan dihargai lebih baik. Harga terbaru dengan kualitas

standar di kisaran Rp. 11.000 hingga 12.000 untuk jenis Katonik.

Semua bahan baku yang masuk ke perusahaan akan melewati proses dengan

standar pabrik. Prosesnya sebagai berikut; (1) perendaman/pencucian (2)

pemasakan (3) pencucian III (netralisasi) (4) pencucian II (netralisasi) (5) pencucian

I (netralisasi), (6) pemotongan (7) pengeringan (8) penggilingan (9) pengemasan.

Proses ini akan berlangsung selama sehari, yang kemudian menghasilkan dua

produk antara lain; (1) Alkali Treated Chips (ATC) dan Semi Refined Carregenan

(SRC).

Produk yang sudah berbentuk serbuk Refined diolah dalam beberapa varian

berdasarkan tingkat kehalusannya (ada max 40, 60, 80, 100, 180). PT Giwang

biasanya memproduksi berdasarkan permintaan pasar. Sebagai catatan bahwa

sebelum pengiriman produk, perusahaan terlebih dahulu mengirimkan sampel ke

buyer Eropa untuk memastikan standar yang diinginkan. Produk rumput laut yang

mirip tepung dikemas dalam bentuk Sak semen, dimana setiap sak-nya sekitar 25

kg. PT Giwang memproses rumput laut setiap hari dengan jumlah bahan baku

paling sedikit 6 Ton. Kalau permintaan buyer banyak, maka produksi bisa di atas 10

ton setiap hari. PT Giwang mempekerjakan tenaga kerja yang terdiri dari 44 orang

(pekerja tetap), 13 orang (pekerja kontrak), dan 20 orang (borongan). Pegawai

kontrak dan borongan biasanya dipanggil bekerja saat ada over produksi. Bila

produksi normal saja, maka perusahaan hanya memakai pekerja tetap. Mayoritas

pekerja di perusahaan ini adalah laki-laki, hanya ada sekitar 15 % tenaga

perempuan.

Semua hasil produksi langsung diekspor, kecuali bila ada buyer yang tiba-tiba

menyetop pembelian. Produk terpaksa disimpan, dan dalam keadaan begini

perusahaan kadang mengalami kerugian. Lama penyimpanan tidak pernah

berbulan-bulan, karena segera harus dilepas untuk memenuhi siklus produksi dan

keseimbangan keuangan perusahaan.

Page 33: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Dalam sekali pengiriman ke Eropa, PT Giwang mengirim sekitar 1 sampai 2

kontainer (dalam bentuk tepung). Setiap kontainer sekitar 20 Ton (rumput laut

berbentuk tepung). Setiap bulannya, PT Giwang hanya mengirim sekitar 2 kali ke

buyer Eropa.

Harga ekspor per kg untuk rumput laut yang berbentuk tepung seharga 6

Dollar AS atau sekitar Rp. 70.000, sementara untuk produk chip dijual seharga 5

Dollar AS, atau sekitar 60.000. Hitungan produksinya sebagai berikut; setiap 1 kg

produk dalam bentuk chip atau tepung membutuhkan bahan baku sekitar 4 sampai

4.5 kg rumput laut kering. Kalau harga rumput laut kering sekitar 11.000 maka,

modal dasarnya=44.000, jumlah ini belum termasuk biaya produksi, infrastruktur

pabrik, pengemasan, pengiriman, dokumen ekspor dll. Dalam hitungan bisnisnya,

selisih yang diperoleh perusahaan sebenarnya tidak terlalu besar, hanya dikisaran

10.000 per kg.

Mengenai harga, menurut Pak Ronny, rumput laut adalah satu-satunya hasil

bumi yang harganya sulit diprediksi. Dan tidak pernah ada harga permanen yang

bisa dijadikan rujukan dalam kurun waktu tertentu. Harganya terus berubah, tidak

ada kejelasan kapan naik dan kapan turun. Mengapa demikian? Karena penentu

harga adalah buyer di Eropa. Logika harga juga menggunakan pendekatan teori

ekonomi suplay and demand, jadi kalau permintaan buyer besar maka harga juga

kadang naik. Tapi, kalau permintaan pasar global sedikit, maka harga domestik

biasanya turun. Masalahnya adalah perubahan harga di tingkat buyer bersifat

unprediktible karena tergantung pada kebutuhan rumput laut pasar global.

Semua produk PT Giwang dijual ke Eropa. Sebagai catatan bahwa pasar

global sangat selektif dalam menentukan produk. Kendala utama eksportir di

Indonesia, kata Ronny adalah kualitas rumput laut. Kualitas kita di bawah rata-rata

sehingga seringkali ditolak dan dihargai lebih rendah, menurut Ronny, variabel ini

boleh jadi salah satu pemicu menurunnya harga rumput laut kita. Sebagai eksportir,

PT Giwang sudah sangat berpengalaman dalam melihat kualitas produk dari petani.

Page 34: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Sebagian besar produk petani dalam kualitas dibawah standar, tidak bersih, dan

tidak cukup umur.

Di tingkat pedagang (tengkulak), tidak sedikit yang melakukan praktik

kecurangan dengan melakukan berbagai macam cara agar produk menjadi berat

saat ditimbang. PT Giwang sangat selektif dan tidak pernah mentolerir adanya

praktik seperti itu. Problemnya adalah pasar rumput laut (di level pedagang besar)

khususnya di Sulsel, tidak pernah kompak dalam hal menjaga kualitas. “Jadi

meskipun produk-nya buruk, tetap saja ada pedagang besar yang membelinya

padahal mestinya ada komitmen bersama untuk menolak demi menjaga kualitas

sekaligus mengedukasi produsen (petani). Kelemahan pada level ini menurut Pak

Ronny disebabkan oleh lemahnya peran Asosiasi Rumput laut yang ada.

2) Pengolahan di Tingkat Rumah tangga

Pengolahan rumput di tingkat rumah tangga sudah mulai dilakoni

perempuan tani di beberapa lokasi. Aktifitas pengolahan yang dilakukan seperti

membuat dodol, kripik, permen, selei dan lain-lain. Gambaran penggunaan input

dan hasil produksi dari produk olahan tersebut digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1 Penggunaan bahan baku dan nilai produksi olahan rumput laut.

dodol Banyaknya Satuan Harga Satuan Jumlah

Bahan :

1. Rumput Laut 1 Kg 9.500

9.500

2. Beras Ketan 3 Kg 12.500

37.500

3. Santan Secukupnya 5.000

5.000

4. Gula Merah 3 Kg 15.000

45.000

Jumlah 97.000

Hasil Produksi

Dodol Rumput laut 30

bungkus

8.000

240.000

Page 35: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Keuntungan kotor 143.000

Keterangan : Produksi 1 Kg/hari

Keripik Ubi unggu rumput laut

Bahan :

1. Ubi 1 Kg 8.000

8.000

2. Tepung 1 Kg 7.500

7.500

3. Rumput laut 1 Kg 9.500

9.500

Jumlah 25.000

Hasil Produksi

Keripik 1 Kg 40.000

40.000

Keuntungan kotor 15.000

keterangan : Produksi 100 Kg/bulan

Permen RL

Bahan :

1. Rumput Laut 1 Kg 9.500

9.500

2. Gula Pasir 1 Kg 11.500

11.500

Jumlah 21.000

Hasil Produksi

Permen RL 15 bungkus

5.000

75.000

Keuntungan kotor 54.000

Keterangan : Produksi 50 Kg/bulan

Selai RL

Bahan :

1. Rumput laut 1 Kg 9.500

9.500

2. Gula merah 1 Kg 15.000

15.000

Jumlah 24.500

hasil produksi

Page 36: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

selai RL 4 botol 15.000

60.000

Keuntungan kotor 35.500

Keterangan : Produksi 10 Kg/bulan

Sirup Rumput Laut, Mie

Kendala peralatan dan kemasan

Bahan baku rumput laut masih membeli dari lokasi tersebut

III. RANTAI NILAI DAN RELASI ANTAR PELAKU

DALAM PRESPEKTIF GENDER

Pemetaan rantai nilai (value chain) pada dasarnya bertujuan membangun

pemahaman mengenai struktur pasar pada tingkat pembudidaya dan pelaku usaha

lainnya baik dalam pengolahan maupun pemasaran. Peta vaue chain menunjukkan

arus produk, pelaku usaha kunci dan proses penambahan nilai (value added) dalam

rantai, untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang terlewatkan. Rantai nilai

aktifitas pelaku pada komoditas rumput laut dapat dilihat pada beberapa tahap

seperti tahap pra produksi, produksi, distribusi, pengolahan dan pemasaran. Pada

tahap pra produksi petani melakukan penyediaan alat budidaya, penyediaan bibit;

dilajutkan kegiatan produksi yang terdiri dari proses budidaya mulai dari

merangkai bibit, memindahkan kelaut, pemeliharaan, panen sampai pasca panen.

Selanjutnya distribusi melewati proses memindahkan rumput laut dari petani

produsen ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses ini melewati beberapa pelaku

seperti pengumpul kecil, biasanya pada prakteknya disebut tengkulak, pengumpul

besar, pedagang besar, dan ekportir. Sedangkan pada pengolahan terdiri dari

industri besar dan pengolahan tingkat rumah tangga. Kegiatan pemasaran rumput

laut dilanjutkan oleh perusahaan besar baik dengan memasarkan ke luar negeri

dalam bentuk rumput laut kering maupun dalam bentuk hasil olahan berupa

ATC/chip dan SRC ke negara tujuan seperti China, Jepang dan Eropa.

Page 37: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Data terakhir tentang produksi komoditi unggulan Sulawesi Selatan, rumput

laut adalah salah satu diantaranya. Data produksi tersebut pada ke empat daerah

yang diteliti Kabupaten Takalar merupakan daerah yang memiliki produksi

terbesar dengan tiga jenis rumput laut yang dihasilkan setiap tahun. Hasil produksi

tahun 2014 di daerah ini terdiri dari rumput laut cottoni sekitar 629.728,0

grasilaria 76.848,4 ton serta spinosum 110 252 ton. Ke tiga daerah berikutnya

Pangkep merupakan daerah yang potensinya relatif lebih besar yakni dengan

produksi cottoni sekitar 148.652 ton grasilaria 76.848,4 ton dan tidak

memproduksi spinosum, demikian pula maros masih dengan produksi yang sangat

sedikit yakni 15, 5 ton sedangkan Barru hanya memproduksi 798 ton cottoni.

Rincian hasil produksi di empat daerah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 Produksi Rumput laut di Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru Tahun 2014.

No Kapubaten Jenis Rumput Laut

(ton) Jumlah (ton)

Cottoni Grasilaria Spinosum

1 2 3 4

Takalar Maros Pangkep Barru

623.370,0 8,3

148.652,0 798,0

76.848,4 7,2

3582,6 -

110.252 - - -

810.820,4 15,5

152.234,6 798,0

Tabel 2 menunjukkan bahwa dua daerah yakni kabupaten Takalar dan Pangkep

merupakan daerah potensial penghasil rumput laut di Sulawesi Selatan,

dibandingkan dua daerah lain dan selanjutnya nilai produksi rumput laut pada ke

empat daerah tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Produksi Rumput laut Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep, dan Barru (dalam jutaan rupiah)

No Kapubaten Jenis Rumput Laut

(Rp) Jumlah

(Rp) Cottoni Grasilaria Spinosum

1 2 3 4

Takalar Maros Pangkep Barru

935.580.000,0 12.450,0

222.978.000,0 1.197.000,0

76.848.4000,0 7.200,0

3.582.600,0 -

165.378.000,- - - -

1.117.860.400,0 19.650,0

226.560.600,0 1.197.000,0

Page 38: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Di empat daerah yang menjadi cakupan penelitian ini pada kegiatan pra

produksi petani/pembudidaya rumput laut menyediakan alat budidaya seperti tali

ris, plampung, sampan, para-para, waring, tenda, linggis, bambu, dll. Bahan utama

yang dibutuhkan petani adalah tali dan plampung. Bila akan membeli tali dengan

jumlah yang banyak, maka petani/pembudidaya membelinya di Makassar atau kota

kabupaten seperti petani rumput laut di Punaga dan Laikang yang umumnya

membeli di Makasar atau kota Takalar. Namun, bila membeli tali yang jumlahnya

sedikit, mereka membelinya di Cikoang saja atau beberapa penjual di desa masing-

masing. Pembudidaya Maros-Pangkep misalnya membeli Tali di Makassar atau di

kota Pangkajene demikian pula halnya di Barru. Selisih harga dilokasi petani di

empat daerah tesebut sekitar Rp 5. 000 sampai Rp 10.000 per roll. Untuk 1 roll tali

biasanya antara 3 sampai 7 bentangan tergantung panjang bentangannya.

Umumnya setiap bentangan bisa dipakai bertahun-tahun bahkan antara 5 sampai

10 tahunan. Untuk kegiatan pembukaan lahan baru atau penggantian tali kadang-

kadang petani membutuhkan 300 bentangan atau sekitar 60 roll. Kalau saja tali

tersebut dibeli di Makasar maka perbedaan nilai yang diperoleh sekitar Rp. 400.000

- Rp. 600.000, Keadaannya tidak berbeda beberapa peralatan lain. Hanya plampung

yang hampir setiap saat di ganti untuk jumlah tertentu. Untuk investasi alat, petani

membutuhkan waktu antara 1 hingga 2 kali panen untuk mengembalikan modalnya.

Jenis rumput laut yang dibudidayakan di empat daerah umumnya adalah e-

Cottoni atau atau dengan nama lain Kappapicus alfarezi, petani umumnya

menyebutnya katonik. Akan tetapi di Kabupaten Takalar jenis rumput laut yang

dibudidayakan lebih bevariasi, selain cottoni juga terdapat jenis rumput laut jenis

eucheumma lain seperti e-spinosum (SP) dan e-edule. Dua jenis rumput laut ini

dihargai dipasar dengan harga yang lebih rendah dibanding dengan katonik.

Misalnya di Takalar bila katonik ditingkat petani dijual dengan harga Rp 7.000/kg

kering maka jenis SP dan edule dengan harga Rp 6.000/kg. Namun demikian di

Takalar untuk Desa Punaga dan Laikang sebagian petani senang atau menyukai

membudidayakan jenis ini karena lebih tahan terhadap perubahan musim, dan

bibitnya mudah diperoleh.

Page 39: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Rumput laut ramai dibudidayakan pada saat musim hujan. Hampir semua

petani pada saat awal, membeli bibit ditempat lain dengan harga Rp 3000 – 3500

per kg basah. Setiap bentangan membutuhkan sekitar 5- 7 kg bibit. Untuk setiap

100 kg dapat digunakan untuk sekitar 15 bentangan. Pada beberapa lokasi upaya

pembibitan sendiri sudah ada yang melakukan baik secara individu maupun secara

kelompok. Bahkan di Pangkep dan Barru sudah ada upaya pembibitan yang

melibatkan kelompok perempuan. Tetapi ketersediaan bibit pada musim tertentu

mengalami kekurangan, sehingga petani mendatangkan bibit dari lokasi/daerah

lain seperti Jeneponto, Bantaeng. Peta Produksi, distribusi, pengolahan pemasaran

Rumput Laut dapat dilihat pada Gambar 1.

Takalar

Pengumpul Desa

Ampekale Bontoa

Laikang Pattopakkang

Punaga Cikoang

Barru

Pengumpul desa

Pemasok bibit

Pangkep

Pengumpul desa

Pedagang besar

Distribusi/pengumpul

Eksportir/ industri/pengolahan skala besar

Tamarupa

Madello- Malusu

Boddia

Pittusunggu

Tammangapa

Pangkep/Barru

• H. Daming • H. Bahar • H. Anwar

Takalar

• H. Nasir • Hj Mawar • H. Siriwa • Daeng Tuju

Makassar/Maros

• PT Bantimurung indah (Maros)

• PT Giwang (Takalar) • PT Pelita (makasar) • PT Cahaya Cemerlang

(makasar) • PT Bahari Indonesia

(Makassar) • PT Wahyu (Makassar) • PT Rapid Niaga Int • PT Padeha • Kospermindo

Bantaeng

Jeneponto

Produsen

Barru

• Pengolahan Tradisonal

• Bu Suwarsih

Harga bibit Rp 3000-3 250

Katonik 7000, SP 6000

Katonik 8000, SP 7000

Kotonik 10.400-10 800

Rp 11.000Rp 12.000

Kotonik Rp 10.000- Rp 10.800

Kotonik Rp 9.000

kotonik 8000

Page 40: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

Gambar 1. Peta Produksi, Distribusi, pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut di Takalar, Maros, Pangkep dan Barru.

Untuk setiap petani yang memiliki 300 bentangan, mereka membutuhkan

tambahan biaya sekitar Rp 900.000.per musim budidaya. Nilai ini merupakan nilai

tambah yang diperoleh petani jika melakukan pembibitan sendiri untuk menjaga

keberlanjutan produksi. Upaya menggalakkan kegiatan pembibitan sangat mungkin

dilakukan terutama pada wilayah yang jarak pemukiman relatif dekat dengan lokasi

budidaya seperti di Takalar dan Barru.

Rumput laut di tanam atau di dibudidayakan di laut setelah bentangan siap

dengan bibit yang sudah terangkut. Pekerjaan menyangkutkan bibit ini umumnya

dilakukan perempuan. Setiap bentangan di hargai dengan upah kerja yang

bervariasi. Di desa Lasitae dan Pancana kabupaten Barru setiap bentangan pekerja

perempuan mendapat upah Rp 3000-Rp 4000. Sedangkan di Pangkep dan Maros Rp

2 500 – Rp 3000 per bentangan, sedangkan di Takalar lebih rendah antara Rp 1000

– Rp 1500 perbentangan. Proses budidaya berlangsung selama 40 -45 hari, dalam

proses ini petani umumnya hanya menunggu sampai panen. Pemeliharan hanya

dilakukan sewaktu-waktu yakni dengan mengamati timbulnya penyakit pada

rumput laut peliharaannya. Di empat lokasi penelitian umumnya pekerja pada

proses budidaya (penanaman sampai panen) adalah laki-laki.

Pasca panen berlangsung setelah rumput laut diangkut dengan sampan ke

daratan. Pekerjaaan ini dilakukan oleh laki laki dibantu perempuan terutama pada

saat pengeringan sampai penyimpanan. Hampir semua petani melakukan

pengeringan selama 2-3 hari tergantung cuaca. Sebahagian besar petani mulai

memahami mengenai tingkat kekeringan rumput laut berdasarkan informasi dari

Pancana-Tanete

Lasitae- Tanete

Page 41: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

pedagang pengumpul walaupun sebagian lagi, kadang-kadang tidak

mempertimbangan tingkat kekeringan sesuai standar yakni 32 %.

Rumput laut ditingkat petani langsung dikarungkan dan jarang dilakukan

penyortiran dan langsung dijual, tetapi untuk beberapa petani di desa Pitunggu

Pangkep sangat memperhatikan kegiatan sortir sebelum dijual. Berdasarkan

pengakuan petani untuk 400 bentangan memproduksi rata-rata 1 ton lebih rumput

laut kering, tapi jika pertumbuhan kurang baik hanya menghasilkan 500 kg, ada

diantara petani menghasilkan 1,5 ton rumput laut kering untuk 700 bentangan.

Sehingga dapat disimpulkan setiap petani menghasilkan 3-5 kg rumput laut kering

setiap bentangan. Setelah dikeringkan rumput laut akan langsung diambil oleh

pedagang pengumpul atau dibeli oleh tengkulak dengan harga yang bervariasi. Di

Takalar harga Kontonik sekitar Rp 7000 dan SP atau spinosum seharga Rp 6000.

Sedangan di Pangkep yang umumnya menghasilkan kotonik harga lebih tinggi yakni

sekitar Rp 8.000 – Rp 9000. Melalui proses tersebut petani mendapat nilai tambah

sekitar Rp 2.500 dengan rata-rata keuntungan sekitar Rp 5 500.

Bagi mereka yang pernah dimodali oleh salah satu pedagang maka mereka

berkewajiban menjual ke pedagang tersebut. Seperti di Takalar ada petani dibawah

binaan H. Nasir dan Hj. Mawar, Walaupun harganya lebih rendah Rp 1000 dari

harga umum. Kedua pedagang tersebut memilki gudang besar untuk menampung

rumput laut. Sedangkan di Pangkep, Maros dan Barru sebagian di bawah binaan H.

Daming dan sebahagian lagi di bawah binaan H. Bahar. Jarang diantara petani yang

mampu membawa sendiri rumput lautnya ke Ekportir, kendatipun mereka

memodalinya sendiri.

Pada tingkat pedagang besar umumnya menerima rumput laut dari

pengumpul dengan kualitas yang beragam, tetapi umumnya pedagang besar

membeli rumput laut dari pengumpul berbeda jika membeli langsung ke petani.

Selisihnya sekitar Rp 200 sampai Rp. 500 tetapi umumnya harga ditingkat

pedagang pengumpul berkisar Rp 7700 – 9 500. Nilai tambah bisa diperoleh

pengumpul sekitar Rp 750 dengan kemungkinan susut 10 % dan di antara mereka

dengan naik turunnya harga tetap mendapat taksiran keuntungan sekitar Rp 1000.

Setelah dilakukan pengeringan, penyortiran dan penggantian karung selanjutnya

Page 42: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

pedagang besar menyalurkan ke ekportir atau ke Pabrik dengan harga Rp 10. 400

– 11.000. Pada tingkat pedagang besar rumput laut kembali diproses melalui

pengeringan dan penyortiran, nilai tambah yang bisa diperoleh sekitar Rp 140

dengan rendemen 80 %. Penyaluran rumput laut berikutnya adalah ke eksportir

atau industri rumput laut. Di Sulawesi Selatan ada beberapa ekportir atau industri

antara lain PT Bantimurung indah (Maros), PT Giwang (Takalar) , PT Pelita , PT

Cahaya Cemerlang , PT Bahari Indonesia , PT Wahyu, PT Rapid Niaga Internasional

PT Padeha masing-masing di Makassar dan salah satu Koperasi adalah

Kospermindo. Menurut salah satu eksportir harga terbaru sekarang dipasar Global

adalah Rp 12.000 untuk jenis cottoni tetapi harga tersebut berfluktuasi dan

cenderung tidak pasti. Sehingga Eksportir/industri umumnya melakukan

pengolahan produk tersebut menjadi ATC, SRC atau Chip. Pada pekerjaan ini

umumnya dilakukan laki-laki hanya 15 % perempuan. ATC di ekspor dengan harga

rata-rata $ 5 dan SRC sekitar $ 6 . Pada pekerjaan ini umumnya dilakukan laki-laki

hanya 15 % perempuan

Di Tingkat petani pengolahan juga dilakukan teratama dalam skala rumah

tangga berupa dodol, keripik, permen, sirup rumput laut. Untuk menjadi produk

dodol, untuk bahan baku 1 kg rumput laut diperlukan bahan tambahan berupa

beras ketan 3 kg, gula merah 3 kg dan santan kelapa secukupnya.

Tabel 4 Peta rantai nilai Rumput Laut di Takalar, Maros, Pangkep dan Barru

Pembibita

n Petani/ pembudidaya

Pengumpul Pedagang besar

Pengolahan Skala rumah tangga

Eksportir/ industri pengolahan besar

Kegiatan Melakukan pembibitan, baik kelompok maupun individu

Aktifitas budidaya, pengeringan sortir sampai tersedia rumput laut kering

Mengumpul kan dari petani dan menyalurkan ke pedagang besar

Pengeringan, sortiran, menyalurkan ke eksportir dan Pabrik

Mengolah menjadi dodol, aneka kue, sirup dll

Mengekpor rumput laut kering, Mengolah menjadi ATC. SRC

Rata-rata Harga produk

3250 7 500 8500 10.500 9500 12.000

Page 43: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

rumput laut kering (Rp/kg) Nilai tambah (Rp/kg)

2660 2 500 750 140 Bervariasi

Bervariasi

Keuntungan (Rp/kg)

2500

5 500

820

1200

Bervariasi

Bervariasi

Pelaku utama

Laki-laki /sebhgn prempuan

Perempuan (merangkai bibit) Laki-laki (budidaya)

Laki-laki Umum Laki-laki

Umumnya perempuan

Umumnya Laki-laki

Aktifitas pembuatan dodol dapat menghasilkan 30 bungkus rumput laut

seharga Rp 8000 per bungkus. Keuntungan diperoleh sekitar Rp 140.000. Untuk

pengolahan rumput laut menjadi kripik dengan untuk 1 kg rumput laut diperlukan

bahan tambahan berupa ubi kayu 1 kg, dan tepung 1 kg dan hasilnya menjadi 1 kg

kripik dengan harga Rp 40.000. Dan keuntungan sekitar Rp 15.000. Permen rumput

laut untuk 1 kg bahan baku rumput laut kering hanya dibutuhkan bahan tambahan

gula pasir 1 kg dapat menghasilkan 15 bungkus permen a Rp 5000, dengan taksiran

keuntungan Rp 54 000. Sedangkan sirup selain menggunakan 1 kg rumput laut

kering, juga menggunakan bahan tambahan 1 kg gula merah menghasilkan 4 botol

bahan pembuatan sirup seharga Rp 15.000 perbotol dengan keuntungan kotor

sekitar Rp 35.000. Kegiatan skala rumah tangga ini secara komersial baru dilakukan

ibu rumah tangga di Barru sedangkan di daerah lain pernah dipekenalkan baik oleh

Mahasiswa KKN maupun oleh relawan oxfam tetapi belum dilirik untuk dijual.

Page 44: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Simpulan

Aktifitas utama pada pengelolaan rumput laut di awali oleh pra produksi berupa

penyediaan alat budidaya dan pembibitan, yang dilanjutkan dengan aktifitas

produksi (merangkai bibit, penanaman, pemeliharaan, panen, pengeringan

penyortiran). Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh petani sendiri yang

umumnya laki-laki, kecuali pada saat merangkai bibit yang dilakukan perempuan.

Pada rantai ini terdapat kemungkinan petani meperoleh nilai tambah dari

kegiatannya seperti dengan menyediakan alat dengan berupaya membeli di

Makassar, dan melakukan pembibitan sendiri baik secara induvidual maupun

kolektif. Distribusi rumput laut sampai di pasaran selanjutnya dilakukan oleh

pedagang pengumpul dilanjutkan ke pedagang besar dan ke eksportir. Pada pelaku-

pelaku tersebut kendatipun memperoleh nilai tambah yang lebih kecil tetapi

pengelolaannya menggunakan waktu yang relatif singkat dan jumlah rumput laut

kering dalam jumlah besar, sehingga nilai tambah yang diperoleh relatif menjadi

lebih besar. Aktifitas pengolahan skala rumah tangga yang dikelola perempuan

secara komersial sudah mulai berkembang, tetapi memerlukan waktu agar

terbentuk sebagai kegiatan usaha mandiri dan menguntungkan serta mendapat

nilai tambah dalam skala besar.

4.2. Rekomendasi

Page 45: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi

1. Dalam perpektif Gender aktifitas perempuan dibidang pengolahan perlu diberi

suport terutama pada pengolahan skala rumah tangga yang mengubah baku

rumput laut kering menjadi dodol atau makanan lain, tetapi dapat pula

diperkenalkan aktifitas pengolahan ATC atau Chip skala rumah tangga karena

memiliki nilai tambah yang besar, walaupun harus disertai kontrol kualitas yang

kontinyu. Untuk beberapa lokasi perempuan perlu dirangsang motivasi dan di

buka wawasannya sehingga mampu melakukan kegiatan yang lebih inovatif,

dengan membawa mereka melakukan kunjungan ke daerah lain yang lebih maju.

2. Pembinaan kapasitas petani dalam pemasaran rumput laut, terutama bagi petani

yang tidak terikat dengan modal pihak lain dengan fokus kegiatan diarahkan

pada peningkatan kualitas dan perubahan pola pikir. Hampir setiap daerah

sentra rumput laut yang diteliti terdapat beberapa petani muda yang dapat di

berdayakan untuk kegiatan tersebut. Pada kegiatan ini petani dapat

diperkenalkan teknologi pasca panen yang lebih baik sehingga produk yang

dihasilkan sesuai dengan permintaan di tingkat ekpotir/pasar internasional.

3. Pembibitan yang dilakukan secara individu maupun kelompok perlu

dikembangkan sebagai alternatif menjamin ketersediaan bibit secara

berkesinambungan. Upaya ini sangat membantu petani karena kegiatan tersebut

dapat memberi nilai tambah yang lebih besar guna menambah total pendapatnya.

Page 46: Laporan Penelitian Value Chain Rumput Laut pada Empat ...perkumpulankatalis.org/.../2018/04/Value-Chain-Rumput-Laut-di-Empat... · Value Chain Rumput Laut pada Empat Daerah di Sulawesi