LAPORAN PENDAHULUAN K3.doc
-
Upload
mutiarahmah30 -
Category
Documents
-
view
315 -
download
35
Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN K3.doc
LAPORAN PENDAHULUAN
KESELAMATAN & KESEHATAN KERJA (K3)
Definisi
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja,
bahan & proses pengolahannya, landasan tempat kerja & lingkungannya serta cara-cara
melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi distribusi baik
barang maupun jasa.
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tak terduga & tidak diharapkan yang terjadi pada
waktu bekerja pada perusahaan. Tak terduga, oleh karena dibelakang peristiwa itu tidak
terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan.
Perawat yang bekerja di perusahaan selain mempunyai pengetahuan dasar keperawatan, ia
juga mempunyai aspek-aspek khusus dalam tugas mereka. Karena itu dikembangkan
spesialisasi perawatan yang disebut dengan perawatan kesehatan kerja (occupational health
nursing).
Perawatan yang bekerja di perusahaan selain harus mahir dalam perawatan, ia juga harus
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit-penyakit akibat kerja, mengetahui
caracara pencegahan, diagnosis dini dan usaha-usaha lain dalam memberantas penyakit
akibat kerja. ia juga harus mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan hubungan kerja yang
kurang baik, berkurangnya gairah kerja, serta hal-hal lain.
Tugas utama atau pekerjaan utama seorang perawat di perusahaan adalah melakukan promosi
kesehatan dan keselamatan kerja. Berikut ini akan dibahas mengenai peranan keperawatan
kesehatan kerja.
Prof. Iman Soepomo dalam bukunya “Pengantar Hukum Perburuhan” membagi hukum
perburuhan menjadi lima bidang sebagai berikut:
1. Bidang pengerahan dan penempatan tenaga kerja.
2. Bidang hubungan kerja.
3. Bidang kesehatan kerja.
4. Bidang keselamatan/keamanan kerja.
5. Bidang jaminan sosial.
Kelima bidang yang dikenal sebagai sistematika pancawarna tersebut didasarkan pada
pembagian materi perundang-undangan yang mengatur mengenai perburuhan. Bidang
kesehatan dan keselamatan kerja dapat dikatakan sebagai bidang yang menjadi awal
munculnya hukum perburuhan. Hal ini disebabkan oleh tujuan kedua bidang tersebut, yaitu
untuk melindungi buruh sebagai pihak ekonomi lemah dari eksploitasi yang cenderung
dilakukan oleh majikan sebagai pihak pemilik modal. Perlindungan pada bidang-bidang
inilah yang pertama kali diberikan oleh negara dalam bentuk regulasi bagi para buruh.
Dahulu, bidang kesehatan kerja disebut dengan istilah “perlindungan buruh”, namun istilah
itu tidak lagi dianggap tepat digunakan untuk kondisi saat ini. Menurut Prof. Iman Soepomo,
di Indonesia saat ini, semua bidang dalam hukum perburuhan bertujuan melindungi buruh
dari pihak ekonomi kuat. Dengan demikian, kesehatan kerja bukanlah satu-satunya bidang
yang berbicara mengenai perlindungan buruh, karena sesungguhnya perlindungan tersebut
merupakan hakikat dari hukum perburuhan secara keseluruhan. Sementara itu, bidang
keselamatan kerja, dahulu lebih ditujukan untuk menyelamatkan kepentingan ekonomis
perusahaan karena kecelakaan, untuk selanjutnya menyelamatkan para pekerja di tempat
kerja.
Prof. Iman Soepomo berpendapat bahwa istilah keamanan kerja lebih tepat daripada
keselamatan kerja karena tujuannya kini adalah mencegah terjadinya kecelakaan dengan
menciptakan keamanan di tempat kerja, bukan lagi sekadar menyelamatkan.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau K3 adalah suatu sistem program yang dibuat bagi
pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja
dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal
yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan
tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian.
Tujuan dari dibuatnya sistem ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul
kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja. Namun, patut disayangkan tidak semua
perusahaan memahami arti pentingnya K3 dan bagaimana implementasinya dalam
lingkungan perusahaan.
Berkaitan dengan implementasi K3 dalam lingkungan perusahaan, upaya yang dilakukan
pihak pemerintah sebagai
pembentuk regulasi adalah mewujudkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Kepesertaan program Jamsostek bagi pekerja/buruh bersifat wajib sekaligus merupakan hak
yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja bagi para pekerjanya. Komponen yang termasuk
dalam program ini terdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK),
Jaminan Hari Tua (JHT), serta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Dalam praktiknya,
meski program Jamsostek dicanangkan sejak 1992, ternyata masih banyak perusahaan dan
pekerja/buruh yang belum terdaftar sebagai peserta program ini sesuai ketentuan yang
berlaku. Hal ini bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak atas
Jamsostek yang wajib dilakukan oleh setiap perusahaan dan pelanggaran atas ketentuan ini
akan dikenakan sanksi.
Sementara masih banyak perusahaan belum melaksanakan program Jamsostek, tenaga kerja
yang bekerja di sektor informal/luar hubungan kerja, mulai digarap untuk menjadi peserta
program Jamso tek berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) beserta peraturan pelaksanaannya, Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Program Jamsostek bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja,
yang jumlahnyasangat besar dan memerlukan perlindungan Sosial (social security).
Dasar Hukum Keselamatan & Kesehatan Kerja
1. UU no.13/2003 Pasal 86
a. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
Keselamatan & kesehatan kerja
Moral & kesusilaan
Perlakuan yang sesuai dengan harkat & martabat manusia
Untuk melindungi keselamatan kerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya K3.
b. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) & ayat (2) dilaksanakn sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. UU no.14/1969 Pasal 9 dan 10
a. Pasal 9
Tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas:
Keselamatan
Kesehatan
Kesusilaan
Pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat
manusia & moral agama
b. Pasal 10
Pemerintah membina norma perlindungan tenaga kerja yang meliputi:
Norma keselamatan kerja
Norma kesehatan kerja
Norma kerja
Pemberian ganti kerugian, perawatan & rehabilitasi dalam hal kecelakaan
kerja
3. UU no.1/1970
a. Agar pekerja & setiap orang lainnya yang berada ditempat kerja selalu berada
dalam keadaan sehat & selamat.
b. Agar sumber-sumber produksi dapat dipakai & digunakan secara aman & efisien.
c. Agar proses produksi berjalan secara lancar tanpa hambatan.
4. UU no.3/1992
a. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan
kerja termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula
kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat
kerja & pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
b. Jaminan kecelakaan kerja
Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan
kecelakaan kerja meliputi:
Biaya pengangkutan.
Biaya pemeriksaan pengobatan dan/atau perawatan.
Biaya rehabilitasi.
Santunan berupa uang meliputi: santunan sementara tidak mampu bekerja,
santunan cacat sebagian untuk selamanya, santunan cacat total untuk
selamanya baik fisik maupun mental, dan santunan kematian.
Tujuan Keselamatan Kerja
Tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk
kesejahteraan hidup & meningkatan produksi & produktivitas nasional.
2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.
3. Sumber produksi dipelihara & dipergunakan secara aman & efisien.
Kerugian-Kerugian yang disebabkan Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan menyebabkan lima jenis kerugian, antara lain:
1. Kerusakan: Kerusakan karena kecelakaan kerja antara lain bagian mesin, pesawat alat
kerja, bahan, proses, tempat, & lingkungan kerja.
2. Kekacauan Organisasi: Dari kerusakan kecelakaan itu, terjadilah kekacauan dai dalam
organisasi dalam proses produksi.
3. Keluhan & Kesedihan: Orang yang tertimpa kecelakaan itu akan mengeluh &
menderita, sedangkan kelurga & kawan-kawan sekerja akan bersedih.
4. Kelainan & Cacat: Selain akan mengakibatkan kesedihan hati, kecelakaan juga akan
mengakibatkan luka-luka, kelainan tubuh bahkan cacat.
5. Kematian: Kecelakaan juga akan sangat mungkin merenggut nyawa orang &
berakibat kematian.
Kerugian-kerugian tersebut dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan bagi
terjadinya kecelakaan. Biaya tersebut dibagi menjadi biaya langsung & biaya tersembunyi.
Biaya langsung adalah biaya pemberian pertolongan pertama kecelakaan, pengobatan,
perawatan, biaya rumah sakit, biaya angkutan, upah selama tak mampu bekerja, kompensasi
cacat & biaya perbaikan alat-alat mesin serta biaya atas kerusakan bahan-bahan.
Sedangkan biaya tersembunyi meliputi segala sesuatu yang tidak terlihat pada waktu atau
beberapa waktu setelah kecelakaan terjadi.
Sebab-Sebab Kecelakaan Kerja
Kecelakaan disebabkan oleh dua golongan penyebab antara lain:
1. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human acts).
2. Keadaan-keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe conditions).
Pencegahan Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan:
1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai
kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, kontruksi, perwatan &
pemeliharaan, pengwasan, pengujian, & cara kerja peralatan industri, tugas-tugas
pengusaha & buruh, latihan, supervisi medis, PPPK, & pemeriksaan kesehatan.
2. Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah mati atau tak resmi
mengenai misalnya kontruksi yang memnuhi syarat-syarat keselamatan jenis-jenis
peralatan industri tertentu, praktek-praktek keselamatan & hygiene umum, atau alat-
alat perlindungan diri.
3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang diwajibkan.
4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat & ciri-ciri bahan-bahan yang berbahaya,
penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat perlindungan diri,
penelitian tentang pencegahan peledakan gas & debu, atau penelaahan tentang bahan-
bahan & desain paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat & peralatan
pengangkat lainnya.
5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis &
patologis faktor-faktor lingkungan & teknologis, & keadaan-keadaan fisik yang
mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Pengaturan mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang yang bekerja dalam lingkungan
perusahaan, terutama yang secara khusus bergerak di bidang produksi, untuk dapat
memahami arti pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja dalam bekerja kesehariannya.
Hal ini memiliki urgensi yang besar, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun karena
aturan perusahaan yang meminta untuk menjaga hal-hal tersebut dalam rangka meningkatkan
kinerja dan mencegah potensi kerugian bagi perusahaan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting perusahaan berkewajiban
menjalankan prinsip kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di lingkungan perusahaannya.
Patut diketahui pula bahwa ide tentang K3 telah ada sejak dua puluh tahun yang lalu, namun
hingga saat ini, masih ada pekerja dan perusahaan yang belum memahami korelasi antara K3
dengan peningkatan kinerja perusahaan, bahkan tidak mengetahui eksistensi aturan tersebut.
Akibatnya, seringkali mereka melihat fasilitas K3 sebagai sesuatu yang mahal dan seakan-
akan mengganggu proses bekerja. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami
terlebih dahulu landasan filosofis pengaturan K3 yang telah ditetapkan pemerintah dalam
undang-undang.
Tujuan Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yaitu:
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
2. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran.
3. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
4. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
5. Memberikan pertolongan pada kecelakaan.
6. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.
7. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran.
8. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun
psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
9. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
10. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik.
11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
12. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.
13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya.
14. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau
barang.
15. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
16. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan
penyimpanan barang.
17. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
18. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang berbahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
Dari tujuan pemerintah tersebut terlihat bahwa esensi dibuatnya aturan penyelenggaraan K3
pada hakekatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan,
pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan peralatan dalam bekerja, serta pengaturan dalam penyimpanan bahan, barang,
produk tehnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya
kecelakaan. Dengan adanya aturan tersebut, potensi bahaya kecelakaan kerja dapat
dieliminasi atau setidaknya direduksi. Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan
dalam penyelenggaraan K3, yaitu:
1. Seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
2. Pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak
melaksanakan K3 serta keterlibatan berupa dukungan serikat pekerja dalam
pelaksanaan program K3 di tempat kerja.
3. Kualitas program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.
Hal lain yang juga diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya program K3 adalah
adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai efektivitas dan efisiensi program serta
melaksanakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk dan atas nama pekerja yang
terkena musibah kecelakaan kerja. Apabila terjadi peristiwa demikian, maka hal-hal yang
harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan Kerja terjadinya kecelakaan.
2. Pelatihan, Instruksi, Informasi dan Pengawasan kecelakaan kerja.
3. Kemungkinan resiko yang timbul dari kecelakaan kerja.
4. Perawatan bagi korban kecelakaan kerja dan perawatan peralatan sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja yang telah dilakukan.
5. Perlindungan bagi pekerja lain sebagai tindakan preventif.
6. Aturan bila terjadi pelanggaran (sanksi).
7. Pemeriksaan atas kecelakaan yang timbul di area kerja.
8. Pengaturan pekerja setelah terjadi kecelakaan kerja.
9. Memeriksa proses investigasi dan membuat laporan kecelakaan kepada pihak yang
berwenang.
10. Membuat satuan kerja yang terdiri atas orang yang berkompeten dalam penanganan
kecelakaan di area terjadi kecelakaan kerja.
Inti dari terlaksananya K3 dalam perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa
kombinasi aturan, sanksi, dan keuntungan dilaksanakannya K3 oleh perusahaan bagi pekerja
dan perusahaan, atau dengan kata lain adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan
pedoman bagi pekerja dan pengusaha.
Penerapan K3 dalam perusahaan akan selalu terkait dengan landasan hukum penerapan K3
itu sendiri. Landasan hukum tersebut memberikan pijakan yang jelas mengenai aturan yang
menentukan bagaimana K3 harus diterapkan. Di Indonesia, sumber-sumber hukum yang
menjadi dasar penerapan K3 adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang “Keselamatan Kerja”.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang” Jaminan Sosial Tenaga Kerja”.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang “Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja”.
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang “Penyakit yang Timbul karena
Hubungan Kerja”.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang “Petunjuk Teknis
Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja”.
Semua produk perundang-undangan pada dasarnya mengatur tentang hak dan kewajiban
tenaga kerja terhadap keselamatan kerja untuk:
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan/atau ahli
keselamatan kerja.
2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
3. Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan.
4. Meminta pada pengurus agar melaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan
kerja yang diwajibkan.
5. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan
kesehatan kerja serta alatalat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya
kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-
batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Jamsostek
Sebagai perwujudan program K3 yang diharapkan menjadi program perlindungan khusus
bagi tenaga kerja, maka dibuatlah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yaitu suatu
program perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.
Jauh sebelum tahun 1992, ketika program Jamsostek dicanangkan, pemerintah telah
mengeluarkan sebuah regulasi mengenai jaminan sosial yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Program-program
yang menjadi ruang lingkup aturan ini adalah:
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
2. Tabungan Hari Tua.
3. Jaminan Kematian (JK).
Setiap program tersebut dilaksanakan dengan mekanisme asuransi yang dikelola oleh sebuah
badan penyelenggara, yaitu PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1947, yang juga merupakan salah satu dasar hukum pembentukan Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, menyebutkan
dalam Pasal 36 bahwa perusahaan yang diwajibkan membayar tunjangan diwajibkan pula
membayar iuran guna mendirikan suatu dana. Artinya, undang-undang tersebut menentukan
bahwa kewajiban membayar ganti kerugian bagi buruh yang tertimpa kecelakaan kerja harus
dilaksanakan sendiri oleh pihak majikan yang bersangkutan.
Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga
Kerja mengalihkan kewajiban pembayaran ganti rugi tersebut dari pihak pengusaha atau
pemberi majikan kepada badan penyelenggara, yaitu PT Astek. Iuran untuk pembayaran
jaminan kecelakaan kerja ini seluruhnya ditanggung oleh perusahaan yang mengikutsertakan
diri dalam program tersebut.
Sementara itu, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) pertama kali diatur dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan
undangundang ini, pemeliharaan kesehatan diartikan sebagai upaya penanggulangan dan
pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan,
termasuk pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.Yangberhak memperoleh
pemeliharaan jaminan kesehatan adalah tenaga kerja, suami atau istri, dan anak.17 Ruang
lingkup jaminan pemeliharaan kesehatan dalam undang-undang ini meliputi:
1. Rawat jalan tingkat pertama;
2. Rawat jalan tingkat lanjutan;
3. Rawat inap;
4. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
5. Penunjang diagnostik;
6. Pelayanan khusus; dan
7. Pelayanan gawat darurat.
Semua pengelolaan program tersebut di atas dilaksanakan dengan mekanisme asuransi oleh
sebuah badan penyelenggara, yaitu PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang berdiri
dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995.
Pelaksanaan K3 dan Jamsostek di Indonesia
Dalam praktik di lapangan, pelaksanaan program Jamsostek belum berjalan sebagaimana
mestinya. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya tuntutan dan protes yang datang dari
kalangan serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota lembaga legislatif,
serta elemen masyarakat lainnya yang dialamatkan kepada pengusaha, PT Jamsostek,
maupun instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan. Secara luas, berita-berita mengenai
fakta tersebut dapat dengan mudah diakses melalui media cetak dan media elektronik, baik
nasional maupun daerah, namun nampaknya belum juga ada perubahan signifikan yang
menjadikan penyelenggaraan Jamsostek lebih baik.
Daftar Pustaka
1. Poerwanto, Helena dan Syaifullah. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja. Jakarta: BadanPenerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2005.
2. Suryandono, Widodo. Jaminan Sosial. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.