LAPORAN PENDAHULUAN GBS

30
1. Definisi Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2002). Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Parry dalam Japardi, 2002). Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).

description

lp

Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN GBS

1. Definisi

Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan

difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di

mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf

perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya

yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita

mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda –

tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika

tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa

hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan

mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada

kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap

(Japardi, 2002).

Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati

yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu

setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang

ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan

proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis

(Parry dalam Japardi, 2002).

Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya

tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang

mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan

degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).

Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah

suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu

polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut.

Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan

segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian

bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik juga

(Sylvia A. Price, 2006).

Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga

merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat

diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi

diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah

kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke

atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan.

Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga

bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan

Fisioterapi Indonesia, 2007).

Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara

1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih

belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak

di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah

penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan

dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung

menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata

23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada

usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang

juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS

menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3

bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi

penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei

di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi, 2002)

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan

bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang

terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah

saraf perifer dan nervus kranialis.

2. Klasifikasi

Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS)

adalah sebagai berikut :

a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan

perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan

dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah

degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan

sedikir demielinisasi.

b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody

gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki

gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan

asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi

elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy

menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik.

Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1

tahun.

c. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus

GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia

terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi

ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi

dalam hitungan minggu atau bulan.

d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan

gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik

lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

e. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.

Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan

terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,

anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

3. Etiologi

Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat

diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut

sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune

response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan

gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat

disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak

kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula

spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).

Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada

hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :

a. Infeksi virus atau bakteri

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.

Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -

80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi

saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang

berhubungan dengan GBS :

b. Vaksinasi

c. Pembedahan, anestesi

d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus,

tiroiditis, dan penyakit Addison

e. Kehamilan atau dalam masa nifas

f. Gangguan endokrin

4. Manifestasi Klinis

a. Masa laten

Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya

dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara

satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala

klinis yang timbul.

b. Gejala Klinis

1) Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe

lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang

juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua

ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan,

anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat

anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan

saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh

hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian

proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya,

atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.

2) Gangguan sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga

bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya

minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung

tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas

proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu

aktifitas fisik.

3) Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-

otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi

bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf

kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat

terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan

gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat

menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.

4) Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan

tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi

merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi,

hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau

inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang

menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5) Kegagalan pernafasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat

fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan

oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang

dijumpai pada 10-33 persen penderita.

6) Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui

dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot

yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi

cairan otak berkurang.

5. Patofisiologi

Etiologi

Proses autoimun (merangsang reaksi kekebalan sekunder

pada saraf tepi / aktivasi limfosit T dan makrofag)

Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epinural

Makrofag mensekresi protease

Penimbunan komplek antigen, antibodi pada pembuluh darah saraf tepi

Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson

Proses demyelinasi akut syaraf perifer

Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf

Gangguan fungsi syaraf perifer dan kranial Ansietas

Guillain Barre Syndrome (GBS) Prognosis penyakit kurang baik

Gangguan fungsi Gangguan syaraf perifer dan neuromuskular Disfungsi otonom

Syaraf kranial :

N III, IV, VI N VII, IX, XI Parastesia (kesemutan) dan Paralise lengkap, otot perna- Kurang beraksinya sistem

kelemahan otot kaki, yang nafasan terkena mengakibat- syaraf simpatis dan parasimpatis

Diplopia Gg. Refleks gag/ dapat berkembang ke kan insufisiensi pernafasan perubahan sensori

Menelan ekstremitas atas, batang

Gg. Penglihatan tubuh, dan otot wajah Penurunan kemampuan batuk Hipotensi Kerusakan

Intake nutrisi kurang peningkatan sekresi mukus /hipertensi rangsang

Risiko jatuh / Kelemahan fisik umum, berkemih

cidera Gg. Nutrisi Kurang paralisis otot wajah Ketidakefektifan Takikardi/

dari Kebutuhan Pola Nafas Bradikardi Retensi Urin

Tubuh Penurunan tonus otot Ketidakefektifan Kerusakan

seluruh tubuh, perubahan Bersihan Jalan Nafas rangsang defekasi

estetika wajah

Hipoksemia Sekresi mukus Gg. Eliminasi Fekal

Hambatan Mobilitas Fisik, masuk lebih ke (Kontipasi/diare)

Defisit Perawatan Diri Asidosis bawah jalan napas

respiratorik

resiko tinggi infeksi saluran Pneumonia

Kematian Koma Gagal nafas napas bawah dan parenkim paru

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot

yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau

bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan

adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang

meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan.

Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar

protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian

jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.

Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2

dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu.

Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada

sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein

dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul

hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH

(Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS

adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal

motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,

menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di

samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis

juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan

potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih

lama dan tidak sembuh sempurna.

d. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein

( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh

Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan

cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan

hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu

pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan

menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic

dissociation).

e. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika

dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan

memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini

dapat terlihat pada 95% kasus SGB.

1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.

2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.

Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

7. Penatalaksanaan

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri.

Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa

penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang

cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga

pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi

beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas

(imunoterapi) (Japardi, 2002).

a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis

dan pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)

1) Pengaturan jalan napas

Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital

dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan

pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka

penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan

buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan

ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama

atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas

spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas

vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas

penyakit.

2) Pemantauan EKG dan tekanan darah

Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat

penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan

timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan

irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi,

sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek

(short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,

propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya

membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang

(supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode

brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang

diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung

derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis

Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi

antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada

serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk

pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3

minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang

dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14

hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau

plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi

yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma

pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium

karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi

disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.

5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut

sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.

b. Perawatan umum

1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan

posisi tidur.

2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada

secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru.

Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka

fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan

otot.

3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota

gerak yang lumpuh,

4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada

kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.

5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring

dan trakhea.

6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

c. Pengobatan

1) Kortikosteroid

Seperti : azathioprine, cyclophosphamid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat

steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi

intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi

respon dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous

dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg

setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping

dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)

Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara

subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned

LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens

terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang

merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas.

DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true

gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-

thromboembolic disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:

a) Imunoglobulin IV

Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian

immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang

parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti

halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan

perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin

intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis

karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya

mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari

dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15

hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) :

dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari

GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari

(total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4

minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap

regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada

interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd

kehamilan.

b) Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6

merkaptopurin (6-MP).

8. Komplikasi

a. Paralysis yang persisten

b. Kegagalan pernafasan

c. Hipotensi atau hipertensi

d. Tromboembolisme

e. Pneumonia

f. Aritmia kardial

g. Aspirasi

h. Retensi urinae

i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).

9. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1) Aktivitas/Istirahat

Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang

biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang

dengan cepat ke arah atas, hilangnya kontrol motorik halus tangan.

Tanda : kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan tidak

mantap.

2) Sirkulasi

Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia,

takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.

3) Integritas Ego

Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah

yang dihadapi. Tanda : tampak takut dan bingung.

4) Eliminasi

Gejala : adanya perubahan pola eliminasi. Tanda : kelemahan pada

otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan

refleks sfingter.

5) Makanan/cairan

Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Tanda : gangguan

pada refleks menelan atau refleks gag.

6) Neurosensori

Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus

naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri,

sensasi suhu, perubahan dalam ketajaman penglihatan. Tanda :

hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam, hilangnya tonus otot,

adanya masalah dengan keseimbangan, adanya kelemahan pada otot-

otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata, kehilangan kemampuan untuk

berbicara.

7) Nyeri/kenyamanan

Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri

(terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong).

Hiposensitif terhadap sentuhan.

8) Pernafasan

Gejala : kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut,

menggunakan otot bantu nafas, apnea, penurunan bunyi nafas,

menurunnya kapasitas vital paru, pucat/sianosis, gangaun refleks

gag/menelan/batuk.

9) Keamanan

Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu

sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes

zoster, sitomegalovirus. Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi,

penurunan kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.

b. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa

Keperawatan

Tujuan dan Kriteria

Hasil

Intervensi Rasional

1. Ketidakefektifan

pola nafas

berhubungan

dengan

kelemahan/

paralisis otot

pernafasan

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 3x24 jam

diharapkan pola nafas

klien adekuat dengan

kriteria hasil :

Tidak ada distress

pernafasan

RR klien normal

(16-24 x/menit)

Mandiri :

1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan

kesimetrisan pernafasan. Catat kerja nafas

dan observasi warna kulit dan membran

mukosa.

2. Catat adanya kelemahan pernapasan selama

berbicara

3. Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler)

4. Evaluasi refleks batuk, refleks gag/menelan

secara periodik

Kolaborasi

5. Lakukan pemeriksaan laboratorium

6. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi (nasal

kanul, masker oksigen, atau ventilator

1. Peningkatan distress pernapasan

menandakan adanya kelelahan pada otot

pernapasan.

2. Indikator yang baik terhadap gangguan

fungsi nafas/ menurunnya kapasitas vital

paru

3. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha

batuk, menurunkan kerja pernapasan

4. Evaluasi dilakukan untuk mencegah

aspirasi, infeksi pulmonia, dan gagal

napas

5. Menentukan keefektifan dari ventilasi

sekarang dan kebutuhan klien

6. Mengatasi hipoksia

mekanik)

7. Siapkan untuk mempertahankan inkubasi

ventilator mekanik sesuai kebutuhan

8. Lakukan perawatan trakheostomi

7. 10-20% klien yang mengalami gangguan

pernapasan berarti memerlukan

monitoring terus –menerus

8. Mengcegah infeksi

2. Hambatan

mobilitas fisik

berhubungan

dengan

kerusakan

neuromuskular

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 3x24 jam

diharapkan klien

mampu

mempertahankan

mobilitas fisik tanpa

ada komplikasi dengan

kriteria hasil :

Tidak ada laporan

kontraktur,

dekubitus

Meningkatkan

kekuatan oto dan

fungsi bagian yang

Mandiri

1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan

skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur

2. Berikan posisi yang memberikan kenyamanan

pada klien dan lakukan perubahan posisi

dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan

individu

3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan

bantal/papan kaki

4. Lakukan latihan gerak positif. Hindari

latihanaktif selama fase akut

5. Berikan waktu istirahat saat latihan gerak

1. Menentukan perkembangan/ intervensi

selanjutnya

2. Menurunkan kelelahan, meningkatkan

relaksasi, menurunkan resiko terjadinya

iskemia/ kerusakan pada kulit

3. Mempertahankan ekstremitas dalam

posisi fisiologis, mencegah kontraktur, dan

kehilangan fungsi sendi

4. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan

tonus otot, dan meningkatkan mobilisasi

sendi

5. Penggunaan otot secara berlebihan dapat

meningkatkan waktu yang diperlukan

sakit

Mendemonstrasikan

teknik/perilaku yang

diinginkan sesuai

kemampuannya

6. Anjurkan untuk melatih gerak secara bertahap

7. Berikan lubrikasi/minyak artifisial sesuai

kebutuhan

Kolaborasi

8. Konfirmasikan dengan bagian terapi

fisik/fisioterapi

untuk remielinisasi karena dapat

memperpanjang waktu penyembuhan

6. Meningkatkan fungsi organ normal dan

memiliki efek psikologis positif

7. Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh

yang halus

8. Bermanffat dalam menciptakan kekuatan

otot

3. Ketidakseim-

bangan nutrisi

kurang dari

kebutuhan tubuh

Setelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 5x24 jam

diharapkan tidak terjadi

perubahan nutrisi

kurang dari kebutuhan

dengan kriteria hasil :

BB klien stabil

Hasil laboratorium

normal

Mandiri

1. Kaji kemampuan mengunyah, menelan, batuk,

pada keadaan yang teratur

2. Auskultasi bising usung, evaluasi adanya

distensi abdomen

3. Catat masukan kalori tiap hari

4. Catat makanan yang disukai atau tidak disukai

pasien dan termasuk pilihan diet yang

1. Kelemahan otot dan refleks

hipoaktif/hiperaktif dapat mengindikasikan

kebutuhan makan klien seperti melaui

selang NG dsb

2. Perubahan fungsi lambung sering terjadi

akibat dari paralisis/imobilisasi

3. Mengidentifikasi kekurangan makanan

dan kebutuhannya

4. Meningkatkan rasa kontrol dan usaha

Tidak ada tanda

malnutrisi (mata

cekung, konjungtiva

anemis, kurus,

tulang dada

menonjol

dikehendaki

5. Berikan makanan setengah pada/cair

6. Berikan bantuan saat makan jika diperlukan

7. Timbang berat badan setiap hari

Kolaborasi

8. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang diet yang

tepat untuk klien

9. Pasang/pertahankan selang NG, berikan

makanan enteral/parenteral

untuk makan

5. Makanan lunak/setengah padat

menurunkan risiko terjadinya aspirasi

6. Derajat hilangnya kontrol motorik

mempengaruhi untuk dapat makan sendiri

7. Mengkaji kefektifan aturan diet

8. Makanan suplementasi dapat

meningkatkan pemasukan nutrisi

9. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu

untuk menelan, untuk pemasukan kalori,

elektrolit dan mineral

Daftar Pustaka

1. Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman

untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3.

Jakarta: EGC.

2. Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain

Barre. Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.

3. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran

Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.

4. Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre

Syndrome. Jakarta : Ikatan Fisioterapi Indonesia.

5. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy.

Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-

overview. [diakses tanggal 3 Juni 2014]. Last update ; 2009.

6. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

7. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner

& Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.

LAPORAN PENDAHULUAN

“ GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)”

Oleh :

ANGGI YUWITA

105070203111003

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014