LAPORAN PENDAHULUAN
description
Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN
1
LAPORAN PENDAHULUAN
ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI)
I. KONSEP DASAR
A. DEFINISI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara
permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di
pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim
jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah
koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot
jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati. Menurut Ramrakha (2006),
pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat ditentukan dari
perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan gambaran EKG.
Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
2
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
dan I dan aVL
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di
I dan aVL
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.
Dikutip dari Ramrakha, 2006
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai
elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard
yang terkena. Bagi pria us ia≥40 tahun, S TEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen
ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010).
ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu
(Antman, 2005).
3
B. ETIOLOGI
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi, obesitas dan
hiperlipidemia.
1. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang
perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000
kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006).
Menurut Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard
infark akut prematur di daerah Asia Selatan.
2. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan
resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja
jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan
pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard
berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan
rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
3. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit
jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa
tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan
IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di
abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti
peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).
4. Hiperlipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia.
Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas
normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan kolesterol
LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The Coronary Primary
4
Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga
menurunkan mortalitas akibat infark miokard (Brown, 2006).
C. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum,bisa
menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan kanan dan pada
lengan.Penderita melukiskan seperti tertekan,terhimpit, diremas-remas atau kadang hanya
sebagai rasa tidak enak di dada. Walau sifatnya dapat ringan ,tapi rasa sakit itu biasanya
berlangsung lebih dari setengah jam.Jarang ada hubungannya dengan aktifitas serta tidak
hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan
lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin.
Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi
kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun
atau normal selama beberapa jam atau beberapa hari. Dalam waktu beberapa minggu,
tekanan darah kembali normal.Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara
jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung.
Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung
dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
(Antman, 2005).
D. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi
dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
5
menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous
cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai
endokardium sampai epikardium,disebut infark transmural, namun bisa juga hanya
mengenai daerah subendokardial,disebut infark subendokardial.Setelah 20 menit
terjadinya sumbatan,infark sudah dapat terjadi pada subendokardiumdan bila berlanjut
terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural.Kerusakan miokard ini dari
endokardium ke epikardium menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam.Meskipun
nekrosis miokard sudah komplit,proses remodeling miokard yang mengalami injury terus
berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah
non infark mengalami dilatasi.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit di daerah prekordial,retrosternal
dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke belakang interskapuler. Rasa nyeri
seperti dicekam,diremas-remas,tertindih benda padat,tertusuk pisau atau seperti
terbakar.Kadang-kadang rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya mengeluh
lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi, dan perasaan akan mati.
2. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan darah bisa
tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah
paradoksal,irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang tampak
atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
3. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut,
EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen
ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi
gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI
inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.
6
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan
cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot
skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien
dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan
tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali
nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis
dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
c. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-
8 jam.
d. Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
e. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
f. Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung
pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th
percentile kelompok control tanpa STEMI.
g. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-
7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
7
F. PENATALAKSANAAN
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,
NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus
berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk
mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada
EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada
pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
c. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang
perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi
tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%.
Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau
blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya
dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
d. Aspirin
8
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
e. Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap
2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan
darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan
dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
f. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30
menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi
luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas
jangka pendek dan jangka panjang. Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko
relative kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset
gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna
menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan mendapat
manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang, terapi masih tetap
bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat
nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen
9
ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang belum menunjukkkan gelombang Q
yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis
secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam
pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien ke
pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam
antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.
Perawatan
a. Istirahat tergantung payah jantungnya.
b. Posisi tidur fowler.
c. Menjaga kebersihan mulut.
d. Defekasi di usahakan teratur setiap hari.
e. Pembatasan aktifitas fisik, aktifitas di batasi tapi jangan dilarang sama sekali
karena akan mempengaruhi psikologik.
f. Pengawasan in take - out put.
g. Pembinaan psikologis
G. KOMPLIKASI
1. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodeling ventricular dan umumnya mendahuluai berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. SEgera setetlah infark
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al:
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona
nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung
secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan
hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk
Progresivitas dilatasi dan knsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot
10
ACE dan vasodilator lain. PAda pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada
tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE harus diberikan
III.DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard.
c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan , iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria
d. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan
perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik,
penurunan protein plasma.
e. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler (atelektasis,
kolaps jalan nafas/ alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif).
f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrosis jaringan miokard ditandai dengan
gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia,
kelemahan umum.
11
IV.RENCANAAN KEPERAWATAN
a. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri
Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
No Intervensi Rasional
1 Beri O2 sesuai terapi Pemberian O2 dapat menambah supplay O2
miokard dengan tujuan mengurangi nyeri karena
hipoksia yang disebabkan oleh kuranngnya O2.
2 Beri posisi semifowler Posisi semifowler dapat meningkatkan ekspansi
dada sehingga mengirangi sesak napas dan
sirkulasi darah meningkat. dengan lancarnya
sirkulasi akan membantu pengantaran oksigen
ke seluruh tubuh serta mengurangi kerja jantung
dan paru.
3 Berikan terapi tirah baring (bedrest)
selama 24 jam pertama post
serangan.
Tirah baring dapat mengurangi konsumsi O2
miokard sehingga membantu jantung tidak
bekerja lebih keras.
4 Berikan obat sesuai indikasi, contoh
a. Antiangina, contoh
nitrogliserin
b. Penyekat β, contoh atenolol
(Tenormin), pindolol
(visken), propanolol
(inderal)
a. Nitrat berguna untuk kontrol nyeri dengan
efek vasodilatasi koroner yang
meningkatkan aliran darah koroner dan
perfusi miokardia.
b. Agen penting kedua untuk mengontrol nyeri
melalui efek hambatan rangsang simpatis
dengan begitu menurunkan FJ, TD sistolik
dan kebutuhan oksigen miokard.
5 Anjurkan dan bimbing pasien untuk
tarik nafas dalam (teknik relaksasi),
telnik distraksi, dan bimbingan
imajinasi.
Teknik relaksasi dibutuhkan untuk
meminimalkan konsumsi O2 miokard dan
meningkatkan supply O2 jaringan , teknik
distribusi dan imajinasi membantu mengalihkan
fokus perhatian dari rasa nyeri.
6 Lakukan pemeriksaan ECG tiap Pemeriksaan ECG tiap hari dan saat nyeri dada
12
No Intervensi Rasional
hari dan saat nyeri dada timbul. timbul berguna untuk mendiagnosa luasnya
infark.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard.
Tujuan : Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan
No Intervensi Rasional
1 Kaji adanya bunyi tambahan pada
Auskultasi.
Bunyi S3 biasanya dihubungkan dengan
kelebihan kerja ventrikel kiri dan S4
berhubungan dengan ischemik miokard.
Murmur menunjukkan gangguan aliran darah
normal pada jantung.
2 Auskultasi bunyi nafas Krekles menunjukkan kongesti paru akibat
penurunan fungsi miokard.
3 Berikan oksigen tambahan sesuai
indikasi
Meningkatkan jumlah sediaan oksigen untuk
kebutuhan miokard, menurunkan iskemia dan
disritmia lanjut.
4 Pertahankan cara masuk IV
/heparin-lok sesuai indikasi.
Jalur yang paten penting untuk pemberian obat
darurat pada adanya disritmia atau nyeri dada.
5 Ukur dan catat tanda vital tiap jam. Penurunan curah jantung dapat
dimanifestasikan dengan peningkatan nadi, TD,
HR.
6 Pantau frekuensi dan irama jantung
dan catat adanya irama disritmia
melalui monitor (bedside monitor
ECG).
Adanya nekrose/ kematian otot jantung dapat
menyebabkan gangguan sistim konduksi dan
penurunan curah jantung.
7 Observasi perfusi jaringan :Acral,
kelembaban kulit dan perubahan
warna kulit dan ujung-ujung jari
Penurunan cardiac output dapat mempengaruhi
sirkulasi darah (perifer).
13
No Intervensi Rasional
dan nilai Capilary RefillTime
(SPO2).
8 Pantau data laboratorium contoh
enzim jantung, GDA, elektrolit.
Enzim memantau perbaikan/perluasan infark.
c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
Tujuan : Gangguan perfusi jaringan berkurang / tidak meluas selama dilakukan tindakan
perawataN
No Intervensi Rasional
1 Pantau perubahan tiba-tiba tau
gangguan mental kontinu contoh
cemas, bingung, letargi, pingsan
Perfusi serebral secara langsung sehubungan
dengan curah jantung dan juga dipengaruhi oleh
elektrolit/variasi asam basa, hipoksia, atau
emboli sistemik.
2 Pantau pernapasan, catat kerja
pernapasan
Pompa jantung gagal dapat mencetuskan distres
pernapasan.
3 Pantau data laboratorium contoh GDA,
BUN, Kreatinin, elektrolit
Indikator perfusi/fungsi organ.
4 Berikan obat sesuai indikasi :
a. Heparin/natrium warfarin
(Coumadin)
b. Simetidin , ranitidin, antasida
a. Dosis rendah heparin mungkin diberikan
secara profilaksis pada pasien risiko tinggi
dapat menurunkan risiko tromboflebitis atau
pembekuan trombus mural.
b. Menurunkan atau menetralkan asam
lambung, mencegah ketidaknyamanan dan
iritasi gaster, khususnya adanya penurunan
sirkulasi mukosa.
5 Lihat pucat, sianosis, belang, kulit
dingin/lembab. Catat kekuatan nadi
perifer.
Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh
penurunan curah jantung mungkin dibuktikan
oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan
14
nadi.
d. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan penurunan perfusi
ginjal, peningkatan natrium / retensi air , peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan protein
plasma.
Tujuan : Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan
keperawatan di RS
No Intervensi Rasional
1 Auskultasi bunyi napas untuk adanya
krekels
Dapat mengindikasikan edema paru sekunder
akibat dekompensasi jantung.
2 Pertahankan masukan total cairan
2000 ml/24 jam dalam toleransi
kardiovaskuler
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa
tetapi memerlukan pembatasan pada adanya
dekompensasi jantung.
3 Kolaborasi : pemberian diet rendah
natrium, berikan diuretik.
Natrium meningkatkan retensi cairan dan harus
dibatasi.
4 Ukur masukan / haluaran, catat
penurunan , pengeluaran, sifat
konsentrasi, hitung keseimbangan
cairan
Penurunan curah jantung mengakibatkan
gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan
penurunan haluaran urine.
5 Timbang BB tiap hari Perubahan tiba-tiba pada berat badan
menunjukkan gangguan keseimbangan cairan.
e. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau
kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ( atelektasis , kolaps jalan nafas/
alveolar edema paru/efusi, sekresi berlebihan / perdarahan aktif ).
Tujuan : Pertukaran gas adekuat
No Intervensi
1 Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
2 Lakukan tindakan untuk memperbaiki / mempertahankan jalan nafas misalnya ,
batuk, penghisapan lendir dll.
15
3 Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan adanya
bunyi tambahan misal krakles, ronki dll.
4 Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan
5 Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan/ kelelahan selama kerja atau
tanda vital berubah.
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard
dan kebutuhan, adanya iskemik/ nekrosis jaringan miokard ditandai dengan gangguan
frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia, kelemahan umum.
Tujuan : Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan
No Intervensi Rasional
1 Beri penjelasan pentingnya tirah
baring (bedrest).
Menambah pengetahuan pasien,bahwa tirah baring
dapat mengurangi konsumsi oksigen miocard
sehingga pasien dapat kooperatif selama perawatan.
2 Hentikan aktivitas saat pasien
mengeluh nyeri dada, sesak,sakit
kepala, pusing, keringat dingin.
Istirahat dibutuhkan untuk mengurangi kebutuhan
oksigen miokard.
3 Bantu pasien dalam memenuhi
ADL.
Kebutuhan ADL pasien dapat terpenuhi dengan
bantuan perawat untuk mengurangi beban jantung
pasien.
4 Evaluasi respon pasien saat setelah
aktivitas terhadap nyeridada,
sesak, sakit kepala,pusing, keringat
dingin.
Adanya tanda-tanda tersebut merupakan tanda
adanya ketidakseimbangan supply dan kebutuhan
oksigen miokard.
5 Jelaskan akibat jika pasien banyak
beraktivitas selama 24 jam
pertama post serangan.
Pada fase akut supply oksigen menurun oleh karena
adanya sumbatan pada miokard, aktivitasdapat
memperburuk hemodinamik.
16
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E.J. (2009). Handbook of pathophysiology. Alih bahasa: Pendit,BU. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan:Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :EGC.
Hazinski Mary Fran (2004), Handbook of Emergency Cardiovaskuler Care for Healthcare Providers, AHA, USA.
Herdman, T. H. (2012). NANDA internasional. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. alih bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Estu Tiar, editor bahasa Indonesia Monica Ester. Jakarta : EGC.
Joewono Budi Prasetyo (2003), Ilmu Penyakit Jantung, Airlangga University Press, Surabaya
Joyce Levefer (1997), Buku Saku Pemeriksaan Labotatorium dan Diagnostik dengan Implikasi. Keperawatan, EGC, Jakarta
Kalim Harmani, dkk (2004), Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST Elevasi, PERKI
Rokhaeni, H. (2003). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler edisi pertama. Jakarta: Bidang Diklat Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita.
Smeltzer. C.S & Bare.B (2006). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.
Sudoyo Aru W , Setiyohadi B dkk, (2006).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke Empat-Jilid III. Universitas Indonesia.Jakarta
Suyono, S et al. (2003). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Tambayong. J.(2007). Patofisiologi Keperawatan editor Monica Ester, S.Kep. Jakarta: EGC.