laporan-kasus-Pterigium

31
BAB I LAPORAN KASUS II.1. Identifikasi Nama : Ny. M Umur : 63 tahun Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Bangsa : Indonesia Pekerjaan : IRT Alamat : Cakung,Jakarta MRS : 5 Mei 2015 II.2. Anamnesis (Autoanamnesis, ) Keluhan Utama: Penglihatan mata kanan kabur ± 1 tahun yang lalu Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien datang dengan keluhan mata kanan kabur dan terasa mengganjal saat berkedip, keluhan ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, ketika bercermin pasien melihatsepertiadasesuatu yang tumbuhpadabagianputihmatakanan daging tumbuh, perih (-), nyeri (-), mata berair(-) merah (-) 1

description

NNN

Transcript of laporan-kasus-Pterigium

BAB ILAPORAN KASUS

II.1.IdentifikasiNama : Ny. MUmur : 63 tahun Jenis kelamin: PerempuanAgama : IslamBangsa : IndonesiaPekerjaan : IRTAlamat : Cakung,JakartaMRS : 5 Mei 2015

II.2.Anamnesis (Autoanamnesis, )Keluhan Utama:Penglihatan mata kanan kabur 1 tahun yang laluRiwayat Perjalanan Penyakit:Pasien datang dengan keluhan mata kanan kabur dan terasa mengganjal saat berkedip, keluhan ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, ketika bercermin pasien melihatsepertiadasesuatu yang tumbuhpadabagianputihmatakanan daging tumbuh, perih (-), nyeri (-), mata berair(-) merah (-) gatal (+),pasienmengatakan mata sering terkena debu kemudian mata kanan sering di kucek. Awalnya daging tumbuh tersebut kecil yanglama kelamaan menjalarmakin mendekati bagian hitam mata pasien. Riwayat trauma disangkalRiwayat Penyakit Dahulu: Riwayat memakai kacamata (-) Riwayat hipertensi (+) Riwayat diabetes melitus (+) Riwayat stroke (+)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga: Riwayat pterigium pada keluarga disangkal

Status Gizi : Berat Badan : 45 kg Tinggi Badan : 150 cm

Status Ekonomi: CukupII.3.Pemeriksaan FisikStatus GeneralisKeadaan umum: tampak sakit ringanKeadaan sakit: sakit ringanKesadaran: compos mentisTekanan Darah: 150/90 mmHgNadi: 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukupPernafasan: 20 x/menitSuhu: 36,7oC

Status Oftalmologikus

ODOSVisus6/9PH : 6/6 6/12PH : tidakmaju

Kedudukan Bola MataOrthoforia

Gerakan Bola Mata

Segmen AnteriorsiliaPalpebra superiorPalpebra inferiorKonjungtiva tarsus superiorKonjungtiva tarsus inferiorKonjungtiva bulbiKornea

Bilik Mata DepanIrisPupil Lensa

Trichiasis (-)Hiperemis (-) edema (-)Hiperemis (-) edema (-)Papil (-) folikel (-)Papil (-) folikel (-)Injeksi (-)Terdapatjaringanfibrovaskulardaritepilimbushinggatepikornea infiltrat (-)

Sedang, jernihKripta iris normalBulat, RC (+)Jernih

Trichiasis (-)Hiperemis (-) edema (-)Hiperemis (-) edema (-)Papil (-) folikel (-)Papil (-) folikel (-)Injeksi (-)Sedang,jernihInfiltrat (-)\

Sedangkripta iris normalbulat, RC (+)jernih

PemeriksaanslitlampCiliaKonjungtivaKornea

CoaIris

LensaTidakadakelainanInjeksi (-)TerdapatjaringanfibrovaskularpadatepikorneaDarah (-) pus (-)Warnacoklat,kripta iris normalJernihTidakadakelainanInjeksi (-)Jernih

Darah (-) pus (-)Warnacoklat,kripta iris normal

jernih

PemeriksaanTonometri : TidakdilakukanPemeriksaanGonioskopi: tidakdilakukanII. 4 RESUMEPerempuan 63 tahun datang dengan keluhan Pasien datang dengan keluhan mata kanan kabur dan terasa mengganjal saat berkedip, keluhan ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, ketika bercermin pasien melihatsepertiadasesuatu yang tumbuhpadabagianputihmatakanan daging tumbuhgatal (+),pasien mengatakan mata sering terkena debu kemudian mata kanan sering di kucek. Pemeriksaan diddapatkan mata kanan terdapat jaringan fibrovaskular yang membentuk jaringan segitiga ke arah kornea tidak lebih dari 2 mm.II.4 Diagnosis KerjaPterigium OD grade IIII.5Penatalaksanaan Pemberianantibiotik Pemberiananalgetik Edukasi pada pasienuntuktindakanoperasiII.6PrognosisQuo ad vitam: bonamQuo ad functionam: bonam

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. PTERIGIUMPterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif daninvasif.Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yangmenunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke korneadengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yangartinya wing atau sayap.1,6

Gambar 1. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga dengan puncak di kornea Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3,7a. Radiasi UltravioletPaparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,7b. Faktor GenetikBerdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7c. Faktor lainIritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.6,7Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor genepada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.7,8Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi terhadap TGF- (transforming growth factor-) berbeda dengan jaringan konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF- (tumor necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs (Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif, karakteristik dari E-cadherin, penumpukan -catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada -SMA/ vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam patogenesis pterigium. -catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal. -catenin berperan penting dalam patogenesis pterigium.10,11

2. DIAGNOSIS PTERIGIUM1. AnamnesisIdentitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3

2. Pemeriksaan FisikTajam penglihatan dapat normal atau menurun.Pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:a. Berdasarkan perjalanan penyakit1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.b. Berdasarkan luas pterigium1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan8

Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil.

c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan pseudopterigium.

Pembeda PterigiumPinguekulaPseudopterigium

DefinisiJaringan fibrovaskular konjungtiva bulbi berbentuk segitigaBenjolan pada konjungtiva bulbiPerlengketan konjungtiba bulbi dengan kornea yang cacat

WarnaPutih kekuninganPutih-kuning keabu-abuanPutih kekuningan

LetakCelah kelopak bagian nasal atau temporal yang meluas ke arah korneaCelah kelopak mata terutama bagian nasalPada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya

6: > = =

ProgresifSedangTidakTidak

Reaksi kerusakan permukaan kornea sebelumnyaTidak adaTidak adaAda

Pembuluh darah konjungtivaLebih menonjolMenonjolNormal

SondeTidak dapat diselipkanTidak dapat diselipkanDapat diselipkan di bawah lesi karena tidak melekat pada limbus

PuncakAda pulau-pulau Funchs (bercak kelabu)Tidak adaTidak ada (tidak ada head, cap, body)

HistopatologiEpitel ireguler dan degenerasi hialin dalam stromanyaDegenerasi hialin jaringan submukosa konjungtivaPerlengketan

Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)

3. Penatalaksanaan PterigiumPrinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.6,8Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.12Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baiksecara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10

Indikasi Operasipterigium1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

Teknik PembedahanTantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringanparut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.11. Teknik Bare ScleraMelibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.12. Teknik Autograft KonjungtivaMemiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persenpada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisipterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva danpenerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untukeksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknikini.13. Cangkok Membran AmnionMencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhanpterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untukkekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap kebawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untukmembantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

Terapi TambahanTingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untukmenghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidakmerekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6minggu.2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.3. Sinar Beta.4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6

Gambar 4.Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,(b).Pterygium removed,(c).Leaving bare area,(d).Graft outlined,(e).Graft sutured into place (diambil dariwww.baysideeyes.com.au diakses 21 Mei 2010)

4. KomplikasiPterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu: Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada sklera dan kornea Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion graft. Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di atas pterigium.11

5. Prognosis Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11

BAB IIIPEMBAHASAN

Pasien dating kePoliklinik Mata RSIJ PONDOK KOPI dengan keluhan utama pandangan kabur pada mata kanan 1 tahun yang lalu penderita mengeluh penglihatan mata kanan kabur dan terasa mengganjal, terlihat adanya jaringan fibrovaskular pada mata sebelah kanan, perih (-), berair (-),mata merah (-) silau saat melihat (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran jaringan seperti lemak yang menutupi mata sebelah kanan. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien ini ddiagnosis sebagai suatu pterigiumpterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesiamemiliki risiko tinggi terkena pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang diterima oleh mata.Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi pterigium dengan pinguekula dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium. Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.

DAFTAR PUSTAKA1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12): 13411346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto. 6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-177. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405 8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher. 2007. p: 443-45710. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-5811. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup12. Pterygium and Pingueculum available at: http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm1