Laporan Kasus Keloid
-
Upload
ranggit-oktanita -
Category
Documents
-
view
452 -
download
12
Transcript of Laporan Kasus Keloid
LAPORAN KASUS
Keloid
Oleh:
Luthfan Adiputra
Pembimbing:
dr. Dwi Rini Marganingsih. M.Kes, Sp.KK
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN
KLINIK BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kegiatan Koassistensi di Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati Bantul
Telah dipresentasikan dan disahkan pada September 2013
Disusun Oleh :
Luthfan Adiputra
20080310008
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Dwi Rini Marganingsih. M.Kes, Sp.KK
ii
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Sdri. R
Usia : 5 tahun 1bl
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bantul
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 27-8-2013
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Benjolan pada leher sejak 8 bulan SMRS
Keluhan Tambahan
Awalnya suatu bekas luka cacar air pada leher, kemudian saat penyembuhan menjadi suatu
benjolan besar ukuran p1.5xl0.75xt0.5 cm
Riwayat penyakit sekarang
Delapan bulan SMRS, pasien menderita cacar air, kemudian pasien diberi pengobatan untuk
cacar air oleh dokter anak, setelah seminggu diberi pengobatan, respon penyembuhan terjadi,
dan membaik. Namun ada satu luka yang tak membaik dan beubah menjadi benjolan pada
leher pasien. Pasien mengaku benjolan tersebut tak nyeri dan tak gatal.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Hipertensi, DM disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi, DM disangkal
1
2
Riwayat Alergi
Alergi makanan dan obat disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Status Generalis
Kepala : t. a. k.
Leher : t. a. k.
Thorax : t. a. k.
Abdomen : t. a. k.
Ekstremitas : t. a. k.
Genital : t. a. k.
3
Status Dermatologis
1. Regio cervical
Lesi tumor tunggal, berukuran plakat, susunan soliter, bentuk oval, batas
sirkumskripta.
Efloresensi nodular, sikatrik hipertrofik (keloid).
RESUME
Perempuan 5 tahun 1 bulan tahun datang dengan benjolan pada leher sejak 8 bulan
yang lalu. Benjolan berawal dari luka bekar cacar air. Nyeri (-) pruritus (-). Benjolan
bertambah luas melewati tepi luka.
Status dermatologis ditemukan lesi pada region cervical, Lesi tumor tunggal,
berukuran plakat (p 1.5 x l 0.75x t 0.5 cm), susunan soliter, bentuk oval, batas sirkumskripta.
Efloresensi nodular, sikatrik hipertrofik (keloid).
DIAGNOSA KERJA
Keloid ad regio cervical,
4
DIAGNOSA BANDING
Hypertrophic scarring, Dermatofibroma
USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Tidak diterapi sementara, diterapi bila sangat menganggu atau.sudah lebih dewasa.
Non-medikamentosa
- Jangan menggaruk lesi.
- Jangan melakukan tindikan (body piercing).
- Usahakan proteksi tubuh agar tidak terjadi luka.
- Hindari prosedur-prosedur medis invasif yang bersifat elektif yang dapat menimbulkan
luka.
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
5
KELOID
1. DEFINISI
Keloid adalah pembentukan jaringan parut berlebihan (pertumbuhan
proliferatif) yang muncul di atas kulit yang mengalami trauma atau di atas luka operasi
dan tidak sesuai dengan beratnya trauma, tidak dapat sembuh secara spontan serta dapat
berulang setelah dilakukan eksisi (Thompson, 2001). Keloid juga dapat didefinisikan
sebagai pertumbuhan jinak dari jaringan fibrosa padat, yang berkembang dari respon
abnormal terhadap penyembuhan cedera kulit, yang meluas keluar dari perbatasan asli
luka atau respon inflamasi.
Secara klinis, keloid berbentuk nodul, berwarna ato hypopigmentasi, atau
bersifat eritematosa sekunder untuk telangiectasias. Keloid terjadi paling umum pada
bagian dada, bahu, punggung atas, belakang leher dan telinga (Roblez, 2007).
Gambar. Keloid
Harus dibedakan antara istilah keloid dan parut hipertropik. Pada parut
hipertropik, besar parut masih sesuai dengan lukanya, tidak pernah melewati batas tepi
luka dan pada suatu saat akan mengalami fase maturasi. Parut hipertropik juga dapat
sembuh secara spontan dalam 12-18 bulan meskipun tidak komplit. Sedangkan pada
keloid, parut melampaui batas tepi luka tetapi jarang meluas sampai ke jaringan
subkutan, aktif dan menunjukkan tanda-tanda radang seperti kemerahan, gatal dan nyeri
ringan. Jika keloid bersifat multipel atau berulang maka disebut keloidosis (Gauglitz,
2011).
6
2. EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan orang tidak pernah memiliki keloid. Untuk alasan yang tidak
diketahui, keloid terjadi lebih sering di antara kulit hitam, Hispanik dan Asia dan jarang
di Kaukasia . Dilaporkan sekitar 16% orang afrika hitam menderita keloid, sedangkan
orang kulit putih dan albino sangat sedikit yang menderita keloid (Cohly, 2002). Keloid
juga dilaporkan lebih banyak pada wanita muda dibandingkan pria muda. Namun, tanpa
menggolongkan umur, prevalensi keloid antara pria dan wanita adalah sama. Menurut
umur, keloid sering terjadi pada kelompok umur 10-30 ahun (dewasa muda) dan jarang
terjadi pada usia tua (Cohly, 2002). Keloid juga sering timbul pada penderita yang
mengalami luka bakar parah dan di lokasi vaksinasi.
3. ETIOLOGI
Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang diidentifikasi sebagai
penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun peningkatan prevalensi keloid
berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit yang menunjukkan adanya pengaruh
genetik. Keloid dihubungkan secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-Bw16,
HLA-Bw35, HLA-DR5, HLA-DQw3, dan golongan darah A. Transmisi dilaporkan
secara autosom dominan dan autosom resesif. Keloid dapat disebabkan oleh insisi
bedah, luka, penyuntikan vaksinasi (BCG), luka bakar, bekas jerawat, setelah cacar,
gigitan serangga, pemakaian anting (Wolfram, 2009).
4. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15%
berat bada. Kulit merupakan organ yang paling esensial dan vital serta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangan kompleks, elastis dan sensitif,
bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung pada lokasi tubuh
(Gauglitz, 2011).
7
Gambar 2. Anatomi Kulit
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri ata: stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua jenis sel :
sel-sel kolumner dan sel pembentuk melanin).
b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi menjadi dua
bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.
c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian
atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).
Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus
yang di subkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini
pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat
saluran getah bening.
Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera fisik,
kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi (faal
perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini, Meisner,
Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis), pengaturan suhu tubuh (termoregulasi
akibat adanya jaringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak subkutan, dan
kelenjar keringat), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.
8
5. GAMBARAN HISTOLOGI KELOID
Pada pemeriksaan histologis keloid, ditemukan kolagen dengan jumlah yang
meningkat dan deposisi glikosaminoglikan, kedua komponen utama matriks
ekstraselular. Kolagen pada keloid terdiri dari penebalan whorls dari bundel kolagen
hyalinized dalam array yang serampangan, yang dikenal sebagai kolagen keloidal
(Roblez, 2007). Hal ini berbeda untuk bekas luka normal di mana berkas-berkas
kolagen sejajar berorientasi pada permukaan kulit.
6. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Patogenesis keloid secara jelas masih belum diketahui, tetapi merupakan
peristiwa yang kompleks dan melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Kondisi
inflamasi kulit seperti akne vulgaris, folikulitis, infeksi varicella, atau vaksinasi
(terutama vaksinasi BCG) dapat menyebabkan pembentukan keloid. Keloid paling
sering terjadi dalam pengaturan penyembuhan luka bedah atau non-bedah (misalnya,
laserasi dan penusukan daun telinga). Keloid berkembang dalam beberapa bulan setelah
luka atau proses inflamasi, dan dapat berkembang lebih pesat, keluar dari batas luka
setahun kemudian. Ekspresi menyimpang dari berbagai faktor pertumbuhan dan
reseptor diperlihatkan melalui fibroblas. Misalnya, fibroblas keloidal ditunjukkan untuk
lebih mengekspresikan faktor pertumbuhan: VEGF, TGF-β1, TGF-β2, CTGF, serta
PDGF-α reseptor. Pada sebuah penelitian didapatkan bahwa TGF-β1 berperan sebagai
patogenesis jaringan parut abnormal dan banyak penelitian difokuskan pada jalur ini.
Sebuah studi terbaru oleh Capaner dkk. melaporkan bahwa ekspresi lebih dari TGF-β1
merupakan komponen penting dalam pembentukan keloid. Tetapi bukan merupakan
faktor utama atau independen, karena keloid juga merupakan adalah proses
multifaktorial. Dalam sebuah penelitian, fibroblas keloidal ditemukan memiliki tingkat
yang lebih rendah dari apoptosis, diduga terkait dengan peraturan turun-apoptosis gen
terkait. Dibandingkan dengan fibroblas dermal yang normal, fibroblas pada keloid
menunjukkan peningkatan produksi kolagen dan matriks metalloproteinase (Roblez,
2007).
Saat proses penyembuhan luka harus ada keseimbangan antara produksi kolagen
yang meningkat dan kerusakan jaringan yang difasilitasi oleh metaloproteinase matriks.
Bekas luka yang normal memiliki mekanisme umpan balik negatif, dimana fibroblas
berfungsi untuk memperbaiki cacat kulit tetapi aktivitas mereka juga dihambat untuk
mencegah perbaikan yang berlebihan. Dalam hal ini, fibroblas berasal dari bekas luka
9
matang mampu menekan proliferasi in-vitro yang dapat menyebabkan jaringan parut
patologis. Hal ini menunjukkan mekanisme umpan balik negatif fibroblas keloidal yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan parut yang mempunyai kecenderungan
untuk kambuh.
Sampai saat ini, tidak ada gen tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan
keloid. Sebagian besar kasus terjadi secara sporadis, meskipun temuan dari sejarah
keluarga yang positif adalah hal yang biasa. Marneros dan rekannya mempelajari empat
belas keluarga dengan anggota yang terkena dampak ganda dan berasal sebuah
autosomal dominan dengan pola warisan penetrasi tidak lengkap berdasarkan analisis
mereka. Berbagai polimorfisme gen encoding TGF-β1, β2 β3 serta reseptor TGFβ telah
dievaluasi, tetapi tidak ada asosiasi signifikan secara statistik dengan keloid telah
diidentifikasi. Kemungkinan bahwa beberapa gen memberikan kerentanan terhadap
perkembangan keloid, dengan gen yang berbeda memberikan kontribusi bagi
pembentukan keloid dalam keluarga yang berbeda. Hal ini akan membuat identifikasi
gen tertentu bermasalah. Satish dkk. melaporkan data yang membandingkan profil
ekspresi gen dari sejumlah kecil sampel jaringan keloid dan kulit normal. Didapatkan
hasil bahwa terdapat peningkatan ekspresi kedua fibronektin dan rantai α-1 tipe 1 protein
kolagen yang umumnya terkait dengan penyembuhan luka yang abnormal. Selain itu,
isoform aktin beberapa orang atas disajikan dalam fibroblast keloid. Menariknya, ada
beberapa gen terkait apoptosis yang menunjukkan ekspresi yang meningkat pada
fibroblast keloid. Hal ini mendukung gagasan bahwa disregulasi apoptosis dapat
menyebabkan pembentukan keloid. Dari data yang ada juga diketahui bahwa beberapa
tumor yang berhubungan dengan gen yang ditemukan dalam fibroblast keloid, terdapat
peningkatan jumlah pada Protein Ribosomal 18 (RPS18) yang merupakan protein
penting untuk pertumbuhan sel Stat-3, lain onkogen yang terlibat dalam proliferasi sel,
juga telah dihubungkan dengan patogenesis keloid.
Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu
luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih 6-8
minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih 30-40%
dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar), kekuatan
meregang dari skar juga bertambah sebagai akibat pertautan yang progresif dari serat
kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak hiperemis dan mungkin menebal, tepi
penebalan ini akan berkurang secara bertahap selama beberapa bulan sampai menjadi
datar, putih, lemas, dapat diregangkan sebagai suatu skar yang matur. Jika terjadi
10
ketidakseimbangan antara fase anabolik dan katabolik dari proses penyembuhan, lebih
banyak kolagen yang diproduksi dari yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh dari segala
arah. Skar sampai diatas permukaan kulit dan menjadi hiperemis. Skar yang meluas ini
akan timbul sebagai keloid dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: semua
rangsang fibroplasia yang berkelanjutan (infeksi kronik, benda asing dalam luka, tidak
ada regangan setempat waktu penyembuhan, regangan berlebihan pada pertautan luka),
usia pertumbuhan, bakat, ras dan lokasi (Gauglitz, 2011).
7. DIAGNOSIS
Diagnosis keloid dibuat berdasarkan gambaran klinis (penampakan kulit atau
jaringan parut):
a. Konsistensi keloid yang bervariasi dari lunak, seperti karet sampai keras.
b. Lesi awal biasanya kemerahan.
c. Lesi menjadi merah kecoklatan atau seperti warna daging.
d. Lesi biasanya tidak mengandung folikel rambut ataupun kelenjar adneksa lainnya)
Keloid memberikan gambaran klinik yang bervariasi. Kebanyakan lesi tumbuh
selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi ada pula yang tumbuh dalam
beberapa tahun. Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi kadang-kadang melebar secara
cepat, menjadi 3 kali lebih lebar dalam beberapa bulan. Ada pula keloid yang berhenti
tumbuh, keloid tidak selalu memberikan gejala dan menjadi stabil. Keloid tumbuh
berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung
kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
Keloid pada telinga, leher, dan abdomen biasanya bertangkai. Keloid pada daerah
tengah dada dan ekstremitas biasanya datar, dimana dasarnya lebih luas dari puncaknya.
Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau persegi panjang dengan tepi
reguler, tetapi ada pula yang berbentuk seperti bekas cakaran dengan tepi yang
irreguler. Kebanyakan pasien datang dengan 1-2 keloid, tetapi ada juga dengan banyak
keloid seperti pada pasien yang keloid muncul akibat jerawat atau bekas cacar.
Keloid pada sendi dapat mengganggu pergerakan akibat kontraktur. Keloid tidak
pernah berubah menjadi keganasan dan hanya menimbulkan masalah kosmetik saja.
Frekuensi lokasi keloid pada orang Asia biasanya pada cuping telinga, ekstremitas atas,
leher, payudara, bahu, sternum, pinggang, dan wajah.
11
Perbedaan antara keloid dan parut hipertrofik:
Keloid Parut hipertrofik
Permulaan Mungkin timbul setelah
beberapa bulan, atau
satu-dua tahun
Timbul dalam waktu beberapa
minggu
Invasi Meluas ke daerah
kerusakan epitel
Terbatas pada kerusakan
Penyembuhan Tak ada regresi Hilang sendiri
Predileksi Strenum, bahu, pipi,
telinga, pinggang
Dapat timbul dimana pun
Ras/bangsa Terutama ras kulit gelap
atau hitam
Lebih banyak dari bangsa kulit
putih
Luka bakar Mungkin Sering
Gatal Jarang hebat Biasanya mengganggu
8. PENATALAKSANAAN
Berbagai macam terapi yang ada untuk keloid, dengan modalitas yang paling umum
digunakan ini, injeksi steroid intralesi, eksisi bedah, cryotherapy, terapi laser, terapi
radiasi dan penerapan lembaran gel silikon. Pengobatan lain yang telah digunakan
dengan tingkat keberhasilan variabel meliputi, Imiquimod, 5-FU, bleomycin, retinoid,
calcium channel blockers, mitomycin C dan interferon-α 2b (Roblez, 2007).
a. Konservatif
- Injeksi steroid
Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan kortikosteroid
intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek yang diinginkan tercapai
(Espana, 2011). Secara keseluruhan, modalitas ini memiliki tingkat tinggi toleransi
serta efektivitas dalam mengurangi gejala. Triamcinolone acetonide (Kenalog,
Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ) biasanya digunakan pada konsentrasi 10
sampai 40mg/ml, tergantung pada ukuran dan lokasi lesi. Untuk lesi pada batang atau
ekstremitas terapi biasanya dimulai di 40mg/ml dan kemudian dititrasi sesuai pada
kunjungan berikutnya. Beberapa suntikan pada interval bulanan umumnya
12
dibutuhkan untuk keloid yang lebih besar. Suntikan steroid intralesi membantu
melembutkan dan mengurangi gejala pruritus dan nyeri tekan.
Komplikasi dari penggunaan steroid intralesi meliputi, atrofi kulit, hipo-atau
hiperpigmentasi, dan pengembangan telangiectasias. Karena pasien biasanya
membutuhkan beberapa jarum suntik, terutama untuk lesi yang lebih besar, beberapa
penulis menganjurkan pra-perawatan dengan lidokain topikal atau penambahan
lidokain di suntik untuk membantu mengurangi rasa sakit pada daerah yang akan
disuntik. Triamcinolone acetonide telah ditunjukkan untuk menghambat sintesis
kolagen dan pertumbuhan fibroblast in vitro. Telah dilaporkan bahwa perlakuan
fibroblas dengan hasil asetonid triamsinolon dalam pengurangan TGF-β ekspresi dan
peningkatan produksi bFGF. Injeksi steroid intralesi mungkin tidak praktis untuk
keloid yang sangat besar atau beberapa, karena rasa sakit injeksi mungkin cukup
besar dan ada kekhawatiran tambahan karena dosis besar kortikosteroid.
- Pengobatan Imiquimod
Imiquimod adalah imunomodulator topikal yang disetujui FDA untuk pengobatan
kutil genital dan perianal eksternal dan yang terbaru, untuk pengobatan actinic
keratosis. Obat ini bekerja melalui reseptor sitokin pro-inflamasi, termasuk TNF-α
yang diketahui mengurangi produksi kolagen dalam fibroblast. Setelah eksisi bedah,
topikal krim Imiquimod 5 persen diterapkan setiap malam ke garis jahitan dan
sekitarnya dengan total 8 minggu. Gatal, terbakar, sakit dan lecet adalah efek
samping yang dilaporkan. Meskipun tidak ada rekurensi yang dicatat, tindak lanjut
dibatasi sampai 24 minggu. Dalam studi lain kecil dan tidak terkontrol, terapi
imiquimod setelah eksisi keloid delapan daun telinga mengakibatkan kekambuhan
25 persen. Mengingat jumlah kecil diobati dan kurangnya tindak lanjut jangka
panjang, manfaat klinis Imiquimod masih belum jelas.
- 5-Fluorourasil
5-Fluorourasil (5-FU) adalah analog pirimidin yang diubah secara intraseluler pada
substrat yang menyebabkan penghambatan sintesis DNA dengan bersaing dengan
penggabungan urasil. Tingkat peningkatan proliferasi fibroblas terlihat pada
keloidal menunjukkan bahwa 5-FU mungkin efektif dalam membatasi pertumbuhan
keloid. Namun, beberapa penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa
keberhasilan secara keseluruhan tidak lebih baik dari modalitas lain dan efek
samping yang signifikan seperti ulserasi dan hiperpigmentasi membuat topikal 5-FU
kurang menarik. Penghambat utama sistemik 5-FU adalah hubungannya dengan
13
anemia, leukopenia dan trombositopenia. Jadi, bahkan intralesi 5-FU harus dihindari
pada wanita hamil dan menyusui dan pasien dengan infeksi bersamaan atau
penekanan sumsum tulang.
- Bleomycin
Bleomycin, sebuah agen kemoterapi digunakan pada kanker banyak, juga telah
menggunakan beberapa dermatologi. Bleomycin memiliki efek luas pada tingkat
sel, termasuk menghalangi siklus sel, DNA dan RNA merendahkan, dan
menghasilkan spesies oksigen reaktif. Hipopigmentasi dan telangiectasia adalah
komplikasi yang paling umum dari cryotherapy kombinasi dan triamcinolone.
Dalam tiga bulan masa tindak lanjut dilaporkan, tidak ada rekurensi [78]. Namun,
seperti yang dinyatakan sebelumnya, tindak lanjut ini pendek mengingat bahwa
keloid bisa kambuh tahun setelah pengobatan. Studi-studi kecil menunjukkan
bleomycin mungkin memiliki potensi terapi dalam mengobati keloid, namun ada
kebutuhan untuk percobaan yang lebih besar yang mempekerjakan lebih metodologi
ketat.
b. Pembedahan
- Eksisi bedah
Eksisi bedah dari keloid harus dilakukan dengan perhatian khusus karena tingkat
kekambuhan tinggi. Eksisi bedah mungkin memuaskan, memberikan koreksi
kosmetik segera. Namun, eksisi yang sering menyebabkan bekas luka lama dan
potensi untuk keloid lebih besar pada saat terjadi kekambuhan. Terapi adjuvant
seperti pasca-Excisional injeksi steroid harus dipertimbangkan. Beberapa laporan
awal menunjukkan Imiquimod topikal sebagai berikut eksisi tambahan, tetapi
jangka panjang data tindak lanjut masih kurang. Ada juga data yang menunjukkan
manfaat dari C Mitomycin topikal sebagai tambahan untuk eksisi bedah, namun ini
juga penelitian kecil dengan jangka pendek tindak lanjut. Serangkaian kasus kecil
dari empat pasien melaporkan hasil yang lebih unggul ketika kolagen
glikosaminoglikan kopolimer neodermis (Integra) ditempatkan pada saat eksisi dan
cangkok kulit ditunda selama beberapa minggu.
Hasil bedah terbaik dilihat dengan penutupan tepi luka yang sangat baik,
menggabungkan ketegangan minimal dengan eversi maksimal dan memastikan
sayatan dibuat sepanjang garis ketegangan kulit santai. Pasien dengan riwayat
14
pembentukan parut keloid atau hipertropik sebaiknya menghindari prosedur elektif
operasi atau kosmetik untuk menghindari risiko keloid masa depan.
- Cryotherapy
Cryotherapy telah digunakan untuk lesi yang lebih kecil, namun penggunaannya
dibatasi oleh rasa sakit dan kadang-kadang lama pengobatan penyembuhan berikut .
Karena banyak perawatan sering diperlukan, risiko untuk hipopigmentasi dalam
berkulit gelap pasien adalah kelemahan signifikan. Cryotherapy telah dilaporkan
untuk mengubah sintesis kolagen dan menginduksi diferensiasi fibroblas keloidal
menuju fenotip yang lebih normal. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan
cryotherapy hanya sebelum injeksi steroid untuk menginduksi edema dan dengan
demikian memfasilitasi injeksi streroid. Digunakan nitroge liquid yang
mempengaruhi mikrovaskularisasi dan menyebabkan kerusakan sel melalui kristal
intrasel yang mengakibatkan anoksia sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas
tanpa modalitas terapi yang lain menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada 51-
74% pasien setelah 30 bulan observasi (Kelly, 2004).
c. Radioterapi
Beberapa studi menggunakan terapi radiasi sebagai tambahan untuk eksisi bedah
telah dilaporkan, tetapi kurangnya rejimen standar membuat perbandingan antara
studi sulit. Berbagai teknik dapat ditemukan dalam literatur, termasuk dangkal x-ray,
berkas elektron, dan tingkat rendah atau dosis tinggi brachytherapy. Pasca Excisional
radioterapi biasanya digunakan segera setelah eksisi bedah. Ketika dikombinasikan
dengan eksisi, tingkat keberhasilan lebih tinggi, antara 65 sampai 99 persen. Efek
samping dari terapi radiasi termasuk eritema sementara dan hiperpigmentasi. Risiko
karsinogenesis dari terapi radiasi keloid kemungkinan menjadi sangat rendah,
terutama dengan teknik modern.
d. Laser
Penggunaan laser untuk ablasi keloid dianggap kurang bermanfaat. Penggunaan
karbon dioksida dan argon laser mempunyai tingkat kekambuhan 90 persen.
Flashlamp pulsed-dye laser dikaitkan dengan penurunan TGF-β1 dan up-regulasi dari
metaloproteinase MMP-13, penekanan proliferasi fibroblast keloidal serta induksi
apoptosis. Penggunaan Nd: YAG laser sebagai monoterapi atau dalam hubungannya
dengan injeksi triamcinolone intralesi telah menunjukkan beberapa hasil menjanjikan
dengan persentase yang besar dari pasien keloid.
15
e. Silicone Gel Dressing
Silicone gel dressing adalah modalitas pengobatan non-invasif dan relatif murah
tambahan untuk keloid. Baru-baru ini, sebuah panel ahli internasional
direkomendasikan silikon terapi gel sheet sebagai profilaksis baris pertama setelah
eksisi bedah. Ketika digunakan setelah eksisi bedah, 70-80 persen dari keloid dan
bekas luka hipertrofik tidak muncul kembali. Lembaran gel memberikan penghalang
oklusif dan tampaknya melunakkan bekas luka dengan meningkatkan hidrasi dan
memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengurangi eritema, nyeri dan gatal-gatal .
Setelah eksisi bedah lembaran silikon gel diterapkan segera setelah kembali epitelisasi
dicapai dan dipakai paling sedikit 12 jam per hari. Lembar digunakan sekitar 10-12
hari dan dapat dicuci dan digunakan kembali.
9. KOMPLIKASI
a. Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang infeksi
bakteri.
b. Rekurensi
c. Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.
10. PENCEGAHAN
Pasien dengan keloid sebelumnya atau riwayat keluarga keloid mempunyai peningkatan
risiko untuk mengembangkan bekas luka yang abnormal. Pasien-pasien ini harus diberi
konseling terhadap tindakan menindik tubuh dan harus menghindari prosedur kosmetik
elektif dengan risiko untuk jaringan parut. Sebagaimana dibahas di atas, luka harus
ditutup dengan ketegangan minimal dan penggunaan tindakan-tindakan adjunctive
setelah eksisi bedah termasuk penggunaan lembaran gel silikon dapat mengurangi
kekambuhan.
PEMBAHASAN
Kasus keloid pada anak merupakan tantangan tertentu bagi bidang spesialis kulit dan
kelamin, karena anak tidak sekooperatif orang dewasa dalam tingkah lakunya. Pada kasus
keloid, diperlukan terapi injeksi Triamsinolone Acetate intralesi 1 mg (0,1 mL) per 2 minggu
pada lesi sampai lesi terjadi atrofi. Dan mendapat terapi bebat agar mendapatkan hasil yang
meksimal, banyak terdapat kontroversi dalam terapi keloid, karena setiap individu memiliki
reaksi yang berbeda.
Namun pada kasus kali ini adalah seorang anak berumur 5 tahun 1 bulan, kami
melilih untuk teidak menterapi pasien sementara, dikarenakan injeksi Triamsinolone Acetate
memerlukan tindakan khusus dan tidak boleh terkena suatu trauma, karena akan
mengkaibatkan keloid pecah, Triamsinolone Acetate keluar dari lesi, dan tidak bekerja
efeketif dalam mengatrofikan lesi sebagaimana harapan awal pada kasus ini. Dimana kami
beranggapan bahwa anak adalah suatu keadaan yang masih sangat impulsive dan mudah
melakukan suatu garukan yang tak disadari ataupun terkena suatu benturan atau trauma yang
tidak disengaja, membuat kami berpikir untuk menunda terapi pada anak ini hingga keadaan
dirinya sudah mungkin untuk menahan diri dan dapat mengkontrol tingkah lakunya.
Walaupun dapat saja setelah injeksi ditutup bebat, dan ini akan dapat mengurangi
kekhawatiran dari pihak tenaga medis, namun kami khawatir dan tidak menutup
kemungkinan bebat, dapat terlepas kapan saja, kemudian lesi dapat pecah, dan pada lesi yang
cukup dalam, akan menimbulkan keloid yang lain. Hal ini akan menyulitkan terapi pada
pasien kedepeannya, karena keloid makin memburuk dan terapi akan memakan waktu yang
semakin lama. Oleh karena pertimbangan hal tersebut kami memutuskan untuk menunda
terapi hingga keadaan sikap anak lebih stabil dan lebih terkontrol.
Terapi keloid membutuhkan perlakuan khusus dan telaten, tindakan tenaga kesehatan
yang professional dan kekooperatifan pasien akan meberikan hasil yang baik.
KESIMPULAN
Perkembangan penyembuhan luka menjadi keloid adalah suatu hal yang membuat
frustasi pada pasien dan tenaga kesehatan. Dikarenakan kesulitan dalan penerapiannya, dan
hasil dari terapi mendapat respons yang berbeda pada setiap individu. Tidak ada terapi yang
paling optimal, eksisi bedah, topical imiquimod dan penutupan lesi mengginakan silicone
adalah terapi yang paling efektif dan tersedia saat ini. Komunikasi tenaga ahli kesehatan
dengan pasien sangat diperlukan, edukasi dan informed consent karena kejadian rekurensi
yang tinggi dan keterbatasan terapi menjadi masalah pada kasus ini.
Perkembangan penyembuhan luka telah diteliti berdekade-dekade yang lalu hingga
sekarang, namun patofisiolgi penyembuhan luka yang menyimpang belum dapat dipahami
lebih lanjut, dan terapi ataupun intervensi pada kasus ini memberikan hasil yang tidak
konsisten dan berbeda tiap individu. Harapannya investigasi lebih lanjut pada kasus keloid
akan membantu terapi dan pencegahan kasus keloid lebih baik lagi dalam penyembuhan luka.
DAFTAR PUSTAKA
Alphonso, Marline. 2010. Hypertrophic scarring. Diakses dari
www.buzzle.com/articles/hypertrophic-scarring.html
Arinudh. 2011. Hypertrophyc Scar-Causes, Treatment and Removal. Diakses dari
www.primehealthchannel.com
Berman, Brian. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari www.medscape-
medline.com
Chiu,HY., Tsai TF., 2011. Keloidal Morphea. The New England Journal of Medicine 364;14
edisi 28
Espana. A,. et al. 2001. Bleomycin in the Treatment of Keloid an Hypertrophic Scars by
Multiple needle Punctures. Dermatol Surg. pp. 23 – 27
Gauglitz, Gerd, et al. 2011. Hypertrophic Scarring and Keloids: Pathomechanisms and
Current and Emerging Treatment Strategies. Mol Med. Pp. 113 – 126
Ishihara,H., Yoshimoto H., Fujiko M., Murakami, R., Hirano A., Fujii T., Ohtsuru A. Namba
H., Yamashita S. 2000. Keloid Fibroblasts Resist Ceramide-Induced Apoptosis by
Overexpression of Insulin-Like Growth Factor I Receptor. Department of Plastic and
Reconstructive Surgery Medicine, Japan. Pp: 1065-1070
Kokoska, Mimi. 2010. Keloid and Hypertrophic Scar. Diakses dari www.medscape-
medline.com
Kelly. A,. 2004. Medical and surgical therapies for keloids. Dermatologic Therapy. Pp. 212 –
218
Patel R., Papaspyros SC., Javangula kC., Nair U., 2010. Presentation and management of
keloid scarring following median sternotomy: a case study. Journal of Cardiothoracic
Surgery 2010, 5:122
19
Robles, DT., Moore, E., Draznin M., Berg D. 2007. Keloids : Pathopysiology and
Management. Dermatology Online Journal 13 (3):9
Studdiford J., Stonehouse A., Altshuler A., Rinzler E. 2008. The Management of Keloids:
Hands-On Versus Hands-Off. Journal American Board Family Medicine 21:149 –152
Thielitz A., Vetter RW., Schultze B., Wrenger S, Simeoni L, Ansorge L,Neubert K, Faust J,
Lindenlaub P, Gollnick HPM., Reinhold D. 2008. Inhibitors of Dipeptidyl Peptidase
IV-Like Activity Mediate Antifibrotic Effects in Normal and Keloid-Derived Skin
Fibroblasts. Journal of Investigative Dermatology 128, 855–866
Thompson. Lester,. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.
Vincent AS., Phan TT.,,Mukhopadhyay A., Lim HY., Halliwell B., Wong KP. 2008. Human
Skin Keloid Fibroblasts Display Bioenergetics of Cancer Cells Jurnal of Investigative
Dermatology.Volume 128
Wolfram. Dolores, 2009. Hypertrophic Scars and Keloids - A Review of Their
Pathophysiology, Risk Factors, and Therapeutic Management. American Society for
Dermatologic Surgery. pp. 171 – 181