kasus sirhep bari new kurang follow up dan cover laporan daftar isis dan pengantar.docx
Laporan Kasus BARI
-
Upload
muhammad-aldiansyah-januario -
Category
Documents
-
view
53 -
download
0
Transcript of Laporan Kasus BARI
Laporan Kasus
DEMAM TIFOID
Oleh:
Kiki Amelia 04114705000
M. Aldiansyah Januario 04114708045
Pembimbing:
Dr. Halimah, Sp.A
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul
DEMAM TIFOID
Dipresentasikan oleh:
Kiki Amelia 04114705000
M. Aldiansyah Januario 04114708045
Pembimbing:
Dr. Halimah, Sp.A
Telah dipresentasikan dan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Sriwijaya/RSMH Palembang
Palembang, Januari 2013
Pembimbing,
Dr. Halimah, Sp.A
BAB I
REKAM MEDIS
A. IDENTIFIKASI
Nama : Anak D
Umur : 12 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama ayah : Tn. M
Nama ibu : Ny. N
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Dusun II Kel. Pegayut Kec. Pemulutan
MRS : 26 Januari 2013
B. ANAMNESIS
Tanggal : 26 Januari 2013
Diberikan oleh: Alloanamnesis oleh Ibu Pasien.
1. Keluhan Utama : Demam
2. Keluhan Tambahan : Nyeri Ulu Ati
3. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sekitar 8 hari sebelum masuk Rumah Sakit, anak tampak lesu, sering
mengeluh pusing dan terlihat tidak bersemangat. Sejak 4 hari sebelum
masuk Rumah Sakit, anak mulai panas, tidak mendadak, muncul perlahan
dan tidak terlalu tinggi, namun berangsur-angsur meningkat setiap harinya.
Oleh ibunya, anak diberi obat penurun panas, panas turun beberapa saat
setelah minum obat, namun kemudian naik lagi. Panas terus-menerus
sepanjang hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu
panas pada pagi dan siang hari. Pada waktu malam hari penderita tekadang
mengigau, tidak berkeringat dan tidak ada kejang. Kurang lebih 3 hari
sebelum masuk Rumah Sakit, anak mengeluh nyeri di daerah ulu hati, anak
juga mengalami mual dan muntah, serta tidak ada buang air besar hingga
masuk Rumah Sakit. Muntah sering, dengan frekuensi 2 hingga 4 kali
dalam sehari. Isi muntahan berupa air yang diminum, dan terkadang berisi
apa yang dimakan. Nafsu makan anak menurun sejak terjadinya demam,
namun minum masih kuat. Buang air kecil normal seperti biasa, berwarna
kuning muda, dan tidak ada sakit waktu buang air kecil. Anak tidak ada
mengeluh nyeri otot atau nyeri pinggang, serta tidak ada riwayat bepergian
ke luar kota.
Riwayat Penyakit Dahulu
Campak Diare Sesak / manggah
Batuk rejan Kuning Eksim
TBC Cacing Urtikaria / liman
Difteri Kejang Sakit tenggorokan
Tetanus Demam tifoid tidak pernah masuk RS
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
(-)
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
- GPA : G3P2A0
- Masa kehamilan : aterm
- Partus : spontan
- Penolong : bidan
- Berat badan lahir : 2600 gr
- Panjang badan : -
- Keadaan lahir : langsung menangis
Riwayat Makanan
- ASI : 0 bulan - 6 bulan
- Bubur tim : 6 bulan – 1 tahun
Riwayat Vaksinasi
- BCG : (+)
- Hepatitis B : (+) Empat kali
- DPT : (+) Tiga kali
- Polio : (+) Empat kali
- Campak : (+)
- Kesan : Lengkap
Riwayat Perkembangan Fisik
- Tengkurap : 3 bulan
- Duduk : 7 bulan
- Merangkak : -
- Berjalan : 9 bulan
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah anak ketiga dari 3 bersaudara. Ayah penderita seorang karyawan
swasta dan ibu penderita seorang wiraswasta.
Kesan : sosioekonomi menengah ke atas.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal p emeriksaan : 26 januari 2013
Keadaan Umum
Kesadaran : Kompos mentis
Nadi : 140 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 39,4 oC
Berat Badan : 37 kg
Tinggi Badan : 146 cm
Anemis : tidak ada
Ikterik : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Edema : tidak ada
Status Gizi
- BB/U : 37/40x100% = 92.5%
- TB/U : 146/149x100% = 97,9%
- BB/TB : 37/37x100% = 100%
Keadaan Spesifik
Kulit :Anemis (-) pasca transfusi, ikterik (+). Berwarna kehitaman.
Kepala
Bentuk : Normocephali
UUB : Tidak menonjol, sutura tidak melebar.
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata :Pupil bulat isokor ø 2mm, reflek cahaya (+/+), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung : simetris, sekret (-), napas cuping hidung (-/-).
Telinga : Sekret (-).
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, retraksi (-).
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri.
Auskultasi : Vesikuler normal, wheezing (-/-), ronkhi (-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis dan pulsasi tidak terlihat.
Palpasi : Thrill tidak teraba.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, irama reguler, murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Datar dan simetris.
Palpasi : Lemas, shifting dullness (-), hepar/liet ttb
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : Bising usus normal.
Genitalia : Tidak ada kelainan.
Lipat paha : Pembesaran kelenjar getah bening (-).
Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema pretibia (-/-)
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 2 6 januari 2013
Hb : 12.7 gr/dl
Ht : 39 vol% (N: 40-48)
Leukosit : 3300/mm3
Trombosit : 97000/mm3 ( N: 150000-400000)
Hitung Jenis : 0/0/1/71/20/8
O H
Typhus :1/320 1/320
Paratypus A :1/320 1/160
Paratypus B :1/320 1/320
Paeatypus C :1/320 1/160
E. RESUME
Sekitar 8 hari sebelum masuk Rumah Sakit, anak tampak lesu, sering
mengeluh pusing dan terlihat tidak bersemangat. Sejak 4 hari sebelum
masuk Rumah Sakit, anak mulai panas, tidak mendadak, muncul
perlahan dan tidak terlalu tinggi, namun berangsur-angsur meningkat
setiap harinya. Oleh ibunya, anak diberi obat penurun panas, panas
turun beberapa saat setelah minum obat, namun kemudian naik lagi.
Panas terus-menerus sepanjang hari, meningkat terutama pada malam
hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang hari. Pada waktu malam
hari penderita tekadang mengigau, tidak berkeringat dan tidak ada
kejang. Kurang lebih 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, anak
mengeluh nyeri di daerah ulu hati, anak juga mengalami mual dan
muntah, serta tidak ada buang air besar hingga masuk Rumah Sakit.
Muntah sering, dengan frekuensi 2 hingga 4 kali dalam sehari. Isi
muntahan berupa air yang diminum, dan terkadang berisi apa yang
dimakan. Nafsu makan anak menurun sejak terjadinya demam, namun
minum masih kuat. Buang air kecil normal seperti biasa, berwarna
kuning muda, dan tidak ada sakit waktu buang air kecil. Anak tidak ada
mengeluh nyeri otot atau nyeri pinggang, serta tidak ada riwayat
bepergian ke luar kota.
D. DIAGNOSIS BANDING
DBD gr1
Demam Tifoid
E. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
F. TATALAKSANA
- IVFD D5% ½ NS gtt xviii/m
- Drip ceftriaxon 1x2mg dalam 100cc D5%
- PCT tan 3x250mg
- Diet bubur saring
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Follow Up 28 januari 2013
S: kel: demam (-), nyeri ulu ati (+)
O:
KU: tampak sakit ringan
Sens: CM
TD: 90/60 mmHg
HR: 90 x/m i/s cukup
RR: 26 x/mn
T: 36.5oC
KS: kepala: NCH (-), CA (-), SI (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax: Simetris, Retraksi (-)
Pulmo: ves (+) N, rh (-), wh (-)
Cor: bj I & II N reguler, m(-), g(-)
Abd: datar, lemas, H/L ttb
Eks: akral hangat CRT < 3
A: Demam tifoid
P: IVFD D5% ½ NS gtt xviii/m
Ceftriaxon 1x2mg (drip D5% 100cc)
PCT tab 3x250mg
Diet bubur saring
Follow Up 29 januari 2013
S: kel: demam (-), nyeri ulu ati (+)
O:
KU: tampak sakit ringan
Sens: CM
TD: 90/60 mmHg
HR: 84 x/m i/s cukup
RR: 24 x/mn
T: 36.9oC
KS: kepala: NCH (-), CA (-), SI (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax: Simetris, Retraksi (-)
Pulmo: ves (+) N, rh (-), wh (-)
Cor: bj I & II N reguler, m(-), g(-)
Abd: datar, lemas, H/L ttb
Eks: akral hangat CRT < 3
A: Demam tifoid
P: IVFD D5% ½ NS gtt xviii/m
Ceftriaxon 1x2mg (drip D5% 100cc)
PCT tab 3x250mg
Diet bubur saring
Follow Up 30 januari 2013
S: kel: demam (-), nyeri ulu ati (+)
O:
KU: tampak sakit ringan
Sens: CM
TD: 90/60 mmHg
HR: 86 x/m i/s cukup
RR: 22 x/mn
T: 36.7oC
KS: kepala: NCH (-), CA (-), SI (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax: Simetris, Retraksi (-)
Pulmo: ves (+) N, rh (-), wh (-)
Cor: bj I & II N reguler, m(-), g(-)
Abd: datar, lemas, H/L ttb
Eks: akral hangat CRT < 3
A: Demam tifoid
P: IVFD D5% ½ NS gtt xviii/m
Ceftriaxon 1x2mg (drip D5% 100cc) ganti oral cefixim 2x150mg
PCT tab 3x250mg(k/p)
Diet bubur saring
Follow Up 31 januari 2013
S: kel: demam (-), nyeri ulu ati (+)
O:
KU: tampak sakit ringan
Sens: CM
TD: 90/60 mmHg
HR: 72 x/m i/s cukup
RR: 24 x/mn
T: 36.5oC
KS: kepala: NCH (-), CA (-), SI (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax: Simetris, Retraksi (-)
Pulmo: ves (+) N, rh (-), wh (-)
Cor: bj I & II N reguler, m(-), g(-)
Abd: datar, lemas, H/L ttb
Eks: akral hangat CRT < 3
A: Demam tifoid
P: Cefixim 2x150mg
PCT tab 3x250mg(k/p)
Diet bubur saring
Follow Up 1 februari 2013
S: kel: demam (-), nyeri ulu ati (+)
O:
KU: tampak sakit ringan
Sens: CM
TD: 90/60 mmHg
HR: 88 x/m i/s cukup
RR: 24 x/mn
T: 36.5oC
KS: kepala: NCH (-), CA (-), SI (-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thorax: Simetris, Retraksi (-)
Pulmo: ves (+) N, rh (-), wh (-)
Cor: bj I & II N reguler, m(-), g(-)
Abd: datar, lemas, H/L ttb
Eks: akral hangat CRT < 3
A: Demam tifoid
P: Rencana OS pulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Demam Tifoid
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .
2.2. Infectious Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram
negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati
dengan pemanasan (suhu 60 C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1.Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2.Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3.Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.
2.3. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika disbanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa
ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.5. Epidemiologi Demam Tifoid
2.5.1. Distribusi dan Frekwensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang
nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan.
Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun
10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %.
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat
terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi
pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk.
Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam
tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110
per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun,
di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000
penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya
penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar
oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar
bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case
control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan
tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak
mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7
lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
(OR=2,7).
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang
dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi
yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak
memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang
mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan
penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan
yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan
desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang,
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang
tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid
dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform
(OR=6,4).
2.6. Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke
manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau
urin dari penderita tifoid.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
2.6.1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang
menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa
penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di
dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2.6.2. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2
– 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin.
Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu
dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi
medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk
menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan
tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain,
seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas,
tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai
sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus
hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh
dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan
hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B
dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup
lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
2.7. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.7.1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda
perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2.7.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
2.8. Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
2.8.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer
dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid,
yaitu:
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,
sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun
0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan
interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu,
bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil
dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi
pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik,
orang Yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat
dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan
higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat
dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan,
pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2.8.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara
dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis
demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk
mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu:
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan
pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan
karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan
kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam
minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika,
dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-
sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip.
Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin
meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4.
Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90%
penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella
typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
c.1. Uji Wida
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum
penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan
pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah
di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin
(aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal
adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit
selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun.
Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin
pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H
yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies
Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat
lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi
belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya
uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini
tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi Deteksi antigen spesifik dari
Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis
dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam
spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha
surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid, dengan gambaran
klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang
ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring
dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan
dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila
penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid
dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang
cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan
protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera
diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi
pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah
jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan
karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita
hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus
prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang
paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
2.8.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga
dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid
yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk
mengetahui kuman masih ada atau tidak.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogipenatalaksanaan yang
meliputi : istirahat dan perawatan, diet danterapi penunjang (baik simptomatik
maupun suportif), serta pemberianantimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana
komplikasi demamtifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal
I. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepatpenyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan dilakukan sepenuhnyadi tempat seperti makan, minum, mandi, dan
BAB/BAK. Posisi pasiendiawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia
orthostatik sertahigiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
II. Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpagejala
meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita denganmeteorismus. Hal
ini dilakukan untuk menghindari komplikasiperdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Gizi penderita jugadiperhatikan agar meningkatkan keadaan
umum dan mempercepatproses penyembuhan
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dandiare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejalamual muntah
dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapatdihentikan kapan saja
penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
III. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukantatalaksana tifoid
adalah:
1. Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah
chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat
diberikansecara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7
hari bebaspanas. Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit
ribosom darikuman salmonella, menghambat pertumbuhannya
denganmenghambat sintesis protein. Chloramphenicol memiliki
spectrumgram negative dan positif. Efek samping penggunaan
klorampenikoladalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian
penggunaanklorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-
7%),penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali
menyebabkantimbulnya karier.
2. Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama
dengankloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun
padahari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti
kemungkinanterjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
dengankloramfenikol.
3. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan
demamlebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-
150mg/kgBB selama 2 minggu.
4. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat digunakan
secaraoral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP
ditambah800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
5. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-4
gramdalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali
sehari,diberikan selama 3-5 hari.
6. Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin). Secara
relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat ditoleransi
dengan baik,dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan lini pertama
sebelumnya(klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan trimethoprim-
sulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan
untukmenembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S.
Thypiyang berada dalam stadium statis dalam monosit/makrophag
dandapat mencapai level obat yang lebih tinggi dalam
gallbladerdibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampumemberikan respon terapeutik yang cepat, seperti
menurunkankeluhan panas dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari.
Penggunaan obatgolongan fluriquinolon juga dapat menurunkan
kemungkinan kejadiankarier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentuseperti toksik
tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Padawanita hamil, kloramfenikol
tidak dianjurkan pada trimester ke-3karena menyebabkan partus prematur, kematian
fetus intrauterin, dangrey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan
padatrimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yangdianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
BAB III
ANALISIS KASUS
Demam tifoid adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Salmonella
typhi, kuman gram negatif berbentuk batang yang hanya ditemukan pada manusia.7
Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae yang memiliki lebih dari 2300
serotipe. Salmonella typhi merupakan salah satu Salmonellae yang termasuk dalam
jenis gram negatif, memiliki flagel, tidak berkapsul, tidak bersporulasi, termasuk
dalam basil anaerobik fakultatif dalam fermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi
nitrit.8
Penularan penyakit demam tifoid adalah secara “faeco-oral”, dan banyak
terdapat di masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik. Kuman
Salmonella typhi masuk ke tubuh melalui mulut bersama dengan makan atau
minuman yang tercemar. Sesudah melewati asam lambung, kuman menembus
mukosa usus dan masuk peredaran darah melalui aliran limfe. Selanjutnya, kuman
menyebar ke seluruh tubuh. Dalam sistem retikuloendotelial (hati, limpa, dll), kuman
berkembangbiak dan masuk ke dalam peredaran darah kembali (bakteriemia kedua).
Meskipun melalui peredaran darah kuman menyebar ke semua sistem tubuh dan
menimbulkan berbagai gejala, proses utama ialah di ileum terminalis. Bila berat,
seluruh ileum dapat terkena dan mungkin terjadi perforasi atau perdarahan. Kuman
melepaskan endotoksin yang merangsang terbentuknya pirogen endogen. Zat ini
mempengeruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus dan menimbulkan gejala
demam. Walaupun dapat difagositosis, kuman dapat berkembang biak di dalam
makrofag karena adanya hambatan metabolisme oksidatif. Kuman dapat menetap
atau bersembunyi pada satu tempat dalam tubuh penderita, dan hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya relaps atau pengidap (pembawa).2
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis, yaitu anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Klinis didapatkan adanya demam, lidah tifoid, meteorismus, dan
hepatomegali serta roseola. Diagnosis ini disokong oleh hasil pemeriksaan serologis,
yaitu titer Widal O positif dengan kenaikan titer 4 kali atau pemeriksaan
bakteriologis didapatkan adanya kuman Salmonella typhi pada biakan darah.3,5,9
Pasien sejak 8 hari sebelum masuk Rumah Sakit tampak lesu, mengeluh pusing,
dan terlihat tidak bersemangat. Gejala ini diduga merupakan gejala prodromal pada
masa inkubasi Salmonella typhi, yakni perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat.5
Empat hari kemudian, pada pasien ini didapatkan demam, tidak mendadak,
muncul perlahan, tidak terlalu tinggi, dan pada sore hingga malam hari demam lebih
tinggi dibandingkan pada pagi dan siang hari, dan berangsur-angsur meningkat setiap
harinya. Tipe demam demikian sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat infeksi
Salmonella typhi.7
Pada malam hari, pasien sering mengigau dalam tidurnya, tidak berkeringat. Hal
ini dimungkinkan adanya gangguan kesadaran yang merupakan salah satu gejala dari
demam tifoid.5
Selain demam, pasien juga mengalami mual dan muntah, di mana muntah
terjadi dari 2 hingga 4 kali dalam sehari, isi muntahan berupa air dan kadang-kadang
berupa apa yang dimakan, dan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien tidak
ada buang air besar disertai menurunnya nafsu makan. Pada demam tifoid, dalam
minggu pertama perjalanan penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya, yakni demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan
epistaksis. Dan pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.1
Jika perjalanan penyakit demam tifoid pasien terus dimonitor, maka biasanya
pada minggu kedua didapatkan gejala-gejala yang lebih jelas. Gejala yang timbul
pada minggu kedua berupa demam, bradikardi relarif, lidah yang khas (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia.1
Oleh karena dari gejala yang diperoleh pada pasien ini belum terlalu jelas, maka
ada beberapa penyakit infeksi akut lain yang dapat dijadikan sebagai diagnosa
banding, yaitu :
1. Campak
Terdapat gejala demam, batuk, pilek, mata merah (konjungtivitis), anoreksia,
malaise, dan gejala khasnya adalah timbulnya enamtem di mukosa bukal
(bercak koplik) yang merupakan tanda patognomonis untuk campak.2,6 Dari
pasien hanya ditemukan gejala demam, anoreksia dan malaise, tetapi gejala
khas campak tidak ditemukan.
2. Demam berdarah dengue derajat I
Pada minggu pertama penyakit ini biasanya tidak ditemukan gejala umum yang
khas, hanya terdapat demam antara 2 hingga 7 hari tanpa adanya manifestasi
perdarahan. Akan tetapi, pada uji tourniquet didapatkan hasil yang positif.2
3. Meningitis
Penyakit ini mempunyai gejala untuk anak berumur lebih dari 2 tahun adalah
panas, menggigil, muntah, dan nyeri kepala. Selain itu juga adanya kejang,
gangguan kesadaran, serta positifnya tanda-tanda rangsang meningeal seperti
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig.5 Pada pasien tidak didapatkan
adanya tanda-tanda perangsangan meningeal.
4. Tuberkulose paru
Pada anak kebanyakan penderita penyakit ini adalah asimptomatik. Keluhan
dapat berupa demam yang sering (sub febril), anoreksia, berat badan menurun,
keringat malam, hemoptoe jarang sekali. Yang terpenting adalah adanya sumber
penularan atau kontak di lingkungan pasien.6,9 Pasien pada kasus ini memiliki
status gizi yang normal dan tidak ada keringat malam ataupun hemoptoe.
5. Malaria
Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil,
diare, muntah, dan terkadang kejang merupakan beberapa gejala penyakit
malaria.13 Akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan menggigil serta tidak
adanya riwayat keluar kota atau ke hutan.
6. Infeksi saluran kemih
Penyakit ini memiliki beberapa gejala seperti demam tanpa diketahui sebabnya,
nyeri perut atau pinggang, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria,
enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.9 Pada pasien ini tidak ditemukan
nyeri perut atau pinggang, serta tidak adanya kelainan dalam buang air kecil.
Agar semua diagnosa banding tersebut di atas dapat disingkirkan, maka perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang guna membuktikan pemeriksaan yang tidak
didapatkan pada anamnesa maupun pemeriksaan fisik.
Biakan darah, pemeriksaan darah rutin, dan tes serologis Widal dilakukan guna
menegakkan diagnosis demam tifoid, pemeriksaan serologis IgM untuk mendeteksi
kemungkinan adanya infeksi campak, tes tourniquet untuk melihat adanya
manifestasi perdarahan pada penderita demam berdarah dengue. Biakan liquor
serebrospinal diharapkan dapat mengetahui ada tidaknya infeksi pada selaput
meningeal. Tes Mantoux digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya infeksi
tuberkulose. Pemeriksaan darah rutin dan hapusan darah tepi berfungsi untuk
mendeteksi adanya kemungkinan terinfeksi malaria.
Dari keseluruhan diagnosa banding yang ada, diagnosa klinis adalah suspect
demam tifoid. Di mana pada periksaan penunjang berupa biakan darah, pemeriksaan
darah rutin dan tes serologis Widal diharapkan dapat menegakkan diagnosa klinis
pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Juwono R. Penyakit tropik dan menular : Demam tifoid. Dalam: Noer MS, Waspadji S, Rachman AM, et al, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996. h. 435-442.
2. Kaspan MF, Soejoso DA, Soegijanto S, et al. Penyakit tropik dan menular: Demam tifoid. Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, penunting. Pedoman diagnosis dan terapi lab/UPF ilmu kesehatan anak. Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. 1994. h. 187-189.
3. Sumarno, Nathin MA, Ismael S. Tumbelaka WAFJ. Masalah Demam Tifoid pada Anak. Medika 1980; 20.
4. Rampenan TH, Laurentz. Demam tifoid. Dalam: Rampenan TH, penyunting. Infeksi tropik pada anak:. Jakarta: EGC. 1995. h. 53-71.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tifus abdominalis. Dalam: Hasan R, Alatas H, Latief A, et al, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid 2. Jakarta: Infomedika. 1985. h. 593-598.
6. Gunawan G. Infeksi: Demam tifoid. Dalam: Yunanto A, Gunawan G dan Muhyi R, penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi bagian/SMF ilmu kesehatan anak. Edisi I. Banjarmasin: Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. 2000. h. 16-17
7. Wheeler DT. typhoid fever. Department of ophthalmology, Oregon health scienses university; 2001 (online). Available from: URL: http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm.
8. Corales R. Typhoid fever. Department of infectious disease and tropical medicine, Birmingham heartlands hospital; 2004 (online). Available from: URL: http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm
9. Jonggu MCH. Demam Tifoid dengan Renjatan Septik. MKUH volume 7. 1986: 16-18.