LAPORAN HASIL PENELITIANopac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/353ec-penceg...laporan...
Transcript of LAPORAN HASIL PENELITIANopac.lib.idu.ac.id/unhan-ebook/assets/uploads/files/353ec-penceg...laporan...
LAPORAN HASIL PENELITIAN
D-LPPN Nomor 031
PENCEGAHAN KONFLIK MELALUI PEMBERDAYAAN
KETAHANAN MASYARAKAT – FOKUS KABUPATEN
KETAPANG KALIMANTAN BARAT
PENELITI:
DR. I GEDE SUMERTHA KY, PSC, M.SC
DR. ICHSAN MALIK, M.Sc
NINGSIH SUSILAWATI, S.Sos, M.Si (Han)
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS PERTAHANAN
BOGOR,
SEPTEMBER 2016
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 ii
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS PERTAHANAN
LAPORAN HASIL PENELITIAN
1. Judul : Pencegahan Konflik Melalui Pemberdayaan
Ketahanan Masyarakat – Fokus Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat.
2. Bidang Keilmuan : Pertahanan 3. Peneliti : 1. Dr. I Gede Sumertha, KY, PSc., M.Sc
2. Dr. Ichsan Malik, M.Sc
3. Ningsih Susilowati., S.Sos., M.Si (Han)
4. Jumlah Peneliti : 3 (tiga) orang
5. Lokasi Kegiatan : Provinsi Kalimantan Barat
Mengetahui:
Ketua LPPM Unhan,
Dr. Drs. Sutrimo, M.M., M.Si Pembina Utama Madya IV/d
Bogor, September 2016
Kapuslit Strahan,
Ir. Sapto Ongko Putro, AH., M.MSI Kolonel Laut (KH) NRP. 2823/P
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-
Nya tim peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Pencegahan
Konflik Melalui Pemberdayaan Ketahanan Masyarakat – Fokus Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat”.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjalankan program penelitian dari
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) dalam bidang Ilmu
Pertahanan dari Universitas Pertahanan. Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, tidak mudah bagi tim peneliti
untuk menyelesaikan penelitian ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan YME berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, serta
mewujudkan perdamaian dunia.
Bogor, September 2016
Tim Peneliti
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 iv
ABSTRAK
Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki potensi
kekayaan multietnis, multikultur, dan multi agama yang merupakan potensi
untuk membangun negara multikultur yang besar. Kemajemukan terkadang
membawa berbagai persoalan dan potensi konflik yang berujung pada
perpecahan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk mempersatukan
suatu keragaman tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat multikultural.
Konflik etnis pernah terjadi di wilayah Kalimantan Barat pada Desember 1996 –
April 1997 dan tahun 1999. Berkaitan dengan hal tersebut, di Kalimantan Barat
tepatnya Kabupaten Ketapang merupakan wilayah yang dapat dikatakan
memiliki resiliensi yang kuat dikarenakan tidak mudahnya terpengaruh dengan
konflik yang terjadi pada tahun 1997 dan 1999 di Provinsi Kalimantan Barat.
Kerangka teoritis dan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik dan Teori
Resilience. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif yang kemudian didukung dengan data primer dan data
sekunder.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan
tingginya ketahanan Kab. Ketapang merupakan wilayah dengan masyarakat
yang heterogen dan masyarakatnya relatif lebih terbuka secara geografis.
Selain itu, Di Kabupaten Ketapang, Tokoh Adat/Agama/Masyarakat sangat
berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat di Ketapang. Hubungan yang
erat antara individu dengan komunitas inilah yang kemudian mempengaruhi
kuatnya ketahanan/resiliensi masyarakat Kab. Ketapang setempat. Kemudian,
hubungan yang baik antara kelompok fungsional, yaitu stakeholders setempat
dengan kelompok fungsional, yaitu Tokoh Adat/Agama/Masyarakat juga
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kuatnya ketahanan masyarakat
Kab. Ketapang.
Kata Kunci : Ketapang, Konflik, Ketahanan, Masyarakat.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 v
ABSTRACT
As a plural and heterogeneous country, Indonesia has the potential riches
of multiethnic, multicultural, multi-religious which is the potential to build a great
multicultural country. Pluralism bring problems and potential conflicts that led to
the split, sometimes. This shows that is not easy to unite a diversity without the
support of multicultural awareness. Ethnic conflicts have occurred in West
Kalimantan in December 1996 - April 1997 and 1999. In this regard, in West
Kalimantan, Ketapang Regency exactly are with a strong resilience because is
not affected by the conflict in 1997 and 1999 in the West Kalimantan Province.
The theoretical and conceptual framework used in this study is a dynamic
framework Prevention and Conflict Resolution and Resilience theory. The
method used is qualitative method with descriptive approach which is further
supported by primary data and secondary data.
The results of this study indicate that the factors causing the high resilience
of Ketapang is a region with a heterogeneous society and relatively more open
society geographically. In addition, in this region, traditional figure / Religion /
Society is very influential in society life in Ketapang. A close relationship
between the individual and the community then affect the strength of the
resistance / resilience of the society. Then, a good relationship between
functional groups, namely local stakeholders with functional groups, namely the
traditional figure / Religion / Society has also become one of the factors that
affect the strength of community resilience in Ketapang Regency.
Keywords: Ketapang, Conflict, Security, Society.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 vi
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................ iii
ABSTRAK................................................................................................ iv
ABSTRACT.............................................................................................. v
DAFTAR ISI.............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL...................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian................................................................ 7
1.4 Manfaat Penelitian............................................................. 7
BAB II KERANGKA TEORI..................................................................... 8
2.1 Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik....... 8
2.2 Kerangka Dinamis .............................................................. 10
2.3 Teori Resilience.................................................................. 13
BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 17
3.1 Jenis Penelitian.................................................................... 17
3.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data............................... 17
3.3 Teknik Analisis Data............................................................. 20
BAB IV DATA PENELITIAN DAN ANALISIS DATA.................................. 22
4.1 Gambaran Sebaran Data/Subjek Penelitian.......................... 22
4.1.1 Geografis dan Demografis Kab. Ketapang................. 22
4.1.2 Sosial Masyarakat Kab. Ketapang............................. 23
4.1.3 Visi dan Misi Kota...................................................... 24
4.2 Analisis Data dan Interpretasi Hasil..................................... 27
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 vii
4.3 Pembahasan...................................................................... 32
4.3.1 Ketahanan Masyarakat........................................... 32
4.3.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Ketahanan Masyarakat (Community Resilience) Etnis............ 36 BAB V KESIMPULAN............................................................................ 41 5.1 Simpulan........................................................................... 41 5.2 Saran................................................................................ 42 5.2.1 Saran Teoritis......................................................... 42 5.2.2 Saran Praktis......................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 44
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.4.1 Jumlah Penduduk berdasarkan Agama Kabupaten
Ketapang pada Tahun 2009............................................. 23 Tabel 3.4.2 Jumlah Rumah Ibadah di Kabupaten Ketapang
pada Tahun 2009.............................................................. 24
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik........ 9 Gambar 2.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Individual
Resilience............................................................................. 14
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kontrak Kerja........................................................ 46 Lampiran 2 Sprin Peneliti........................................................ 47
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beranekaragam bangsa,
hal ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang kompleks
dan luas. Sebagai negara yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki potensi
kekayaan multietnis, multikultur, dan multi agama yang merupakan potensi
untuk membangun negara multikultur yang besar. Akan tetapi, disisi lain kondisi
masyarakat yang multikultural juga berpotensi untuk memicu munculnya konflik
dan perpecahan. Nasikun (2007:33) menyatakan bahwa kemajemukan
masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik,
pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-
kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta
perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh
adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah
yang cukup tajam.
Kemajemukan terkadang membawa berbagai persoalan dan potensi
konflik yang berujung pada perpecahan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
mudah untuk mempersatukan suatu keragaman tanpa didukung oleh kesadaran
masyarakat multikultural. Berkaitan dengan hal tersebut, Geertz (dalam
Hardiman, 2002: 4) mengemukakan bahwa Indonesia merupakan negara yang
sangat kompleks sehingga sulit untuk melukiskan anatominya. Negera ini bukan
hanya multietnis yang terdiri dari suku Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali,
dan lainnya melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental dari India,
Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam,
Kristen, Kapitalis, dan seterusnya.
Dengan demikian, hal tersebut menjadi dilematis tersendiri bagi
Indonesia karena selain menjadikan Indonesia sebagai multicultural nation-
state, namun juga dapat menjadi ancaman bagi negara. Hal ini dikarenakan
perbedaan tersebut dapat memotivasi timbulnya konflik antarkelompok, etnis,
agama, dan suku bangsa. Salah satu indikasinya yaitu mulai tumbuh suburnya
berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, agama, dan organisasi atau
golongan yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompok yang
mengarah pada konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 2
Beberapa konflik yang terjadi di Indonesia yang bersifat SARA kerap
terjadi, salah satunya adalah konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, yaitu
konflik etnis antara suku Dayak dan suku Madura di di Sanggau dan menyebar
hingga ke wilayah Pontianak tahun 1996-1997, serta konflik antara etnis Melayu
dan Madura di Kabupaten Sambas pada tahun 1999. Hal ini dikarenakan
keragaman etnis yang cukup tinggi di Kalimantan Barat. Populasi etnis di
wilayah ini sangat beragam, terdiri dari etnis Dayak, Melayu, Madura, Jawa,
Bugis, Batak, dan Cina. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Pusat
Statistik (2003), jumlah persentase etnis Dayak sekitar 33.75%; Melayu 34.43%;
Cina 10.01%; Madura 5.51%; Bugis 3.29%, Sunda 1.21%, Batak 0.56%,
dan lain-lain 1.85%. Persentase penduduk di atas menunjukkan bahwa
kelompok etnis paling besar di Kalimantan Barat adalah etnis Dayak dan
Melayu. Namun demikian, etnis Cina dan Madura yang penduduknya tidak
terlalu banyak memiliki andil yang cukup besar dalam proses kategorisasi
berdasarkan etnis di Kalimantan Barat.
Kondisi masyarakat yang multietnis seperti di Kalimantan Barat ini sangat
rawan terjadi gesekan apabila tidak dikendalikan dengan baik. etnisitas dapat
menjelma menjadi konflik kekerasan dan lebih parahnya lagi dapat
menyebabkan ethnic cleansing atau pembantaian terhadap suatu etnis seperti
yang terjadi di Rwanda. Potensi konflik yang sangat tinggi ini dikarenakan
persaingan dan saling membandingkan antar kelompok etnis timbul di
permukaan, seperti yang dinyatakan oleh Horowitz (1985), “Ethnic groups have
a natural tendency to cleave to each other, and to compare and compete with
each other.”
Konflik etnis pernah terjadi di wilayah Kalimantan Barat pada Desember
1996 – April 1997 antara suku Dayak dan Madura, di Sanggau dan menyebar
hingga ke wilayah Pontianak. Korban mayoritas berasal dari etnis Madura. Dari
kasus tersebut diperkirakan 500 hingga 1700 orang meninggal dunia (Davidson
dalam Achwan, et al., 2015) dan 20.000 orang Madura harus mengungsi
(Human Rights Watch: 1997). Konflik semakin mengekskalasi ketika suku
Dayak melakukan ritual yang merupakan bentuk deklarasi perang terhadap
suku Madura di wilayah tersebut dengan melakukan pemenggalan kepala dan
organ tubuh suku Madura untuk dikonsumsi.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 3
Pasca insiden tersebut, konflik kembali muncul pada tahun 1999 antara
suku Melayu dan Madura di Kabupaten Sambas. Hal ini berawal dari
dibentuknya organisasi Forum Komunikasi Pemuda Melayu (FKPM) oleh para
pemuda Melayu. Akan tetapi, organisasi ini dihimpun oleh pemuda Melayu yang
mayoritasnya merupakan Preman dari suku tersebut sehingga menyebabkan
terjadinya tindak kekerasan yang terpusat dan terencana dari organisasi
tersebut. Tindakan kekerasan semakin meningkat ketika suku Dayak
menyatakan untuk turut bergabung dengan organisasi ini dan bertujuan untuk
melawan suku Madura. Aksi kekeran tersebut menyebabkan suku Madura
harus mengungsi dari tempat mereka tinggal di Sambas. Pontianak menjadi
salah satu kota yang dipilh untuk menampung 68.934 IDPs (internally displace
person) suku Madura dengan kondisi penampungan tanpa listrik ataupun
fasilitas lainnya (Sukamdi. et al., 2002). Di sisi lain, sekitar 10,000 suku Madura
memilih untuk pindah ke daerah asal mereka di Jawa Timur (Achwan, et al.,
2005).
Permasalahan pengungsian yang tidak ditangani secara maksimal
kemudian memicu timbulnya konflik pada tahun 2001 di Pontianak. Masyarakat
lokal yang beretnis melayu meminta pemerintah daerah untuk menutup area
pengungsian dan memberikan ultimatum agar pengungsi Madura meninggalkan
wilayahnya dalam waktu lima hari. Akan tetapi, suku Madura menolak dan
melakukan penyerangan terhadap beberapa pemuda dari suku Melayu yang
kemudian menjadi pemicu serangan balik dari suku Melayu dan tindak
kekerasan.
Beberapa konflik yang telah terjadi tersebut menunjukkan bahwa wilayah
Kalimantan Barat rentan akan terjadinya konflik etnis mengingat wilayah ini
terdiri dari beberapa etnis dengan salah satu etnis sebagai etnis mayoritas dan
etnis minoritas. Alqadrie (2013: 6) mendukung hak tersebut dengan menyatakan
bahwa Kalimantan Barat memiliki potensi konflik yang besar, apabila tidak
ditangani dan dikelola dengan baik maka eskalasi konflik dapat kembali terjadi.
Permasalahan kecil seperti kesalahpahaman antar dua kelompok maupun lebih
dapat menimbulkan bentrokan massa seperti yang terjadi pada Maret 2012
antara massa FPI (Front Pembela Islam) dengan mahasiswa suku Dayak.
Bentrokan massa yang terjadi selama dua hari tersebut menyebabkan aktivitas
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 4
ekonomi di kota Pontianak terganggu karena masyarakat khawatir akan terjadi
konflik besar seperti yang terjadi pada tahun 1999 (Kompas.com). Perkelahian
antar kelompok di Kalimantan Barat ini masih selalu dikaitkan dengan
perbedaan suku dan dikhawatirkan penanganan konflik yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah masih sangat minimal.
Upaya pemerintah daerah dalam menangani konflik di Kalimantan Barat
ini dilakukan antara lain dengan mengevakuasi korban pengungsi, menangkap
oknum yang terlibat tindak kekerasan, menyelenggarakan dialog perdamaian di
tingkat kabupaten maupun kecamatan.
Penanganan konflik oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan diKal-
Bar ini dapat dikatakan responsif. Mereka membantu evakuasi korban
penngungsi, menangkap pelaku kejahatan dari semua etnis yang terlibat,
mengadakan dialog perdamaian di wilayah Kabupaten maupun Kecamatan.
Sementara itu NGO (Non-Government Organization) memberikan bantuan
kemanusiaan seperti konseling untuk korban trauma hingga pada mengelola
proses rekonsiliasi antar etnis yang terlibat (Achwan, et al., 2005).
Akan tetapi, program Peace-building yang dilakukan oleh pemerintah
tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini dikarenakan antara lain, misalnya upacara
‘ikrar perdamaian’ yang isinya mengajak semua kelompok etnis untuk
menumbuhkan kembali semangat persatuan dan kesatuan. Isi dari perjanjian ini
sama sekali tidak menyinggung penyelesaian akar konflik, selain itu perjanjian
ini dipersiapkan dan disusun oleh pihak militer dan sama sekali tidak
mengikutsertakan pihak yang terlibat konflik (Achwan, et al., 2015).
Sementara itu, etnis Melayu tidak pernah termotivasi untuk
menandatangani perjanjian perdamaian dengan alasan bahwa etnis Madura
tidak dapat mematuhi norma-norma yang terdapat pada budaya lokal. Dengan
adanya persepsi tersebut, maka upaya perdamaian yang dilakukan untuk
mengembalikan pengungsi Madura ke tempat tinggal dan pekerjaan mereka di
Sambas gagal.
Dengan demikian, upaya perdamaian di wilayah tersebut masih termasuk
kedalam kategori negative peace. Seperti yang dinyatakan Galtung (1995)
bahwa damai positif adalah kondisi tanpa kekerasan dengan terciptanya rasa
keadilan sosial di masyarakat, sedangkan damai negatif berarti konflik sudah
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 5
tidak terjadi namun potensi konflik masih ada. Untuk mencapai damai yang
positif maka diperlukan pencegahan konflik berbasis resilience
(ketahanan). Masyarakat Kalimantan Barat yang hidup dalam kondisi damai
negatif memerlukan resilience untuk membantu mereka dalam mengkatalisasi
dan mengelola adanya potensi konflik menjadi damai yang positif. Hal ini
diperkuat oleh Lederach (1997) dalam Carpenter (2011) bahwa, “The greatest
potential for conflict prevention lies in fostering the strength and resilience of
local social and political networks and institutions that indentify and mobilise
constructive responses to tensions and stress factors”.
Sementara itu, konsep ketahanan dalam hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Carpenter (2011, dalam USAID : 2013) merupakan
kemampuan komunitas dalam memprediksi, mengelola, mengatasi, dan bangkit
kembali pada saat dan setelah goncangan atau gangguan terjadi. individu atau
komunitas yang memiliki ketahanan yang kuat akan dapat menahan kondisi
yang dapat menyebabkan konflik dengan mengelola dan menyelesaikan
ketegangan, atau dengan upaya musyawarah ataupun dengan adanya faktor
kepemimpinan yang kuat di wilayah tersebut.
Selain itu, masyarakat yang tinggal di daerah rentan akan terjadinya
konflik memiliki berbagai macam tingkat ketahanan. Hal ini dikarenakan
terdapat sebagian masyarakat yang memiliki ketahanan yang tinggi dengan
tidak terpengaruh pada kondisi buruk yang terjadi dalam lingkungannya,
sementara itu terdapat sebagian masyarakat yang memiliki ketahanan yang
rendah dengan hidup dalam ketakutan hingga pada level ekstrim dikarenakan
konflik, dan juga terdapat masyarakat dengan tingkat ketahanan yang
terpengaruh namun dapat beradaptasi dan keluar dari konflik (Justino, 2012: 2).
Justino menambahkan bahwa tingkat ketahanan masyarakat terhadap konflik
dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
“Levels of resilience depend on a series of factors both within and outside of the
control of those affected by conflict. These factors can be grouped into: (i) the
magnitude and duration of the effects of violence; (ii) the type of coping
strategies that people are able (or allowed) to access; and (iii) the effectiveness
of the strategies adopted to cope with the effects of conflict and violence”.
Berkaitan dengan hal tersebut, di Kalimantan Barat tepatnya Kabupaten
Ketapang terdapat wilayah yang dapat dikatakan memiliki resiliensi yang kuat
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 6
dikarenakan tidak mudahnya terpengaruh dengan konflik yang terjadi pada
tahun 1997 dan 1999 di Provinsi Kalimantan Barat. Namun, jika ditilik lebih
dalam, Kabupaten Ketapang merupakan wilayah yang mayoritas
masyarakatnya merupakan suku Dayak dan Madura (Davidson: 2002). Akan
tetapi, hal tersebut tidak menjadi tolak ukur tidak terjadinya ketegangan antara
kedua suku tersebut, namun hanya saja tidak mengekskalasi seperti konflik di
Sambas dan Pontianak. Achwan, et al., (2015) menyatakan bahwa hal ini
dikarenakan adanya proses pencegahan melalui mediasi yang dilakukan oleh
ketua adat Dayak dengan menggunakan hukum adat
Peranan masyarakat dan adat setempat sangat relevan dalam proses
pembangunan ataupun dalam proses rekonstruksi sosial di lingkungan rawan
konflik, yang justru biasanya pemerintah atau institusi keamanan terkait
dianggap absen dalam proses ini. Untuk itu maka masyarakat harus memiliki
ketahanan terhadap konflik sehingga dapat mengabsorpsi guncangan dan
bangkit kembali dari kesulitan yang disebabkan oleh konflik.
Menurut Yohanes Bahari yang merupakan anggota Penasihat Dewan
Adat Dayak Kalbar dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan
Universitas Tanjungpura, akar konflik etnis di Kal-Bar belum sepenuhnya
diselesaikan dan kesepakatan damai pada tingkat elit ternyata tidak sampai
pada akar rumputnya (Kompas.com). Permasalahan ini membuat potensi konflik
etnis untuk terjadi kembali di Kal-Bar sangat tinggi, oleh sebab itu konsep
ketahanan terhadap konflik dirasakan perlu untuk diteliti dalam pencegahan dan
resolusi konflik sehingga dapat menjamin masyarakat untuk hidup
berdampingan dengan damai yang positif.
1.2 Rumusan Masalah
Konflik antar etnis di Kalimantan Barat masih menunjukkan kemungkinan
untuk terulang kembali. Sedikit percikan api terhadap bara konflik yang masih
menyala ini dapat menyebabkan kerusuhan yang berujung pada konflik
kekerasan. Peace-building dan pencegahan konflik dengan kesepakatan damai
masih belum menyentuh akar konflik dan tidak menyentuh secara langsung
terhadap generasi muda. Selain itu fenomena lainnya menunjukkan bahwa
terdapat wilayah di Kal-Bar yang sama sekali tidak terpengaruh dengan konflik
etnis yang terjadi, dalam arti tidak terjadi konflik besar seperti di daerah lain. Hal
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 7
ini akan dihubungkan dengan konsep penting dalam pencegahan konflik dan
keberhasilan peace building yang mengacu pada ketahanan masyarakat
terhadap konflik (community resilience to conflict).
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang diajukan
adalah:
1.Bagaimana ketahanan masyarakat (community resilience) dalam hal ini adalah
etnis Dayak, Melayu, dan Madura dalam pencegahan konflik di Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat?
2.Apa yang menjadi Faktor Penghambat dan Pendorong tingginya ketahanan
masyarakat di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui faktor yang mempengaruhi ketahanan masyarakat
khususnya generasi muda etnis Dayak, Madura, Melayu, dan Cina terhadap
kemungkinan terjadinya eskalasi konflik di Kalimantan Barat.
1.3.2 Mengetahui strategi coping yang terbaik dalam meningkatkan ketahanan
msayarakat sehingga dapat memperkuat proses pencegahan konflik di
Kalimantan Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Mendapatkan masukan dalam pencegahan konflik agar tidak berulang
kembali dengan mengetahui strategi coping apa yang seharusnya dimiliki
masyarakat dalam menghadapi konflik sehingga mempengaruhi tingkat
ketahanan masyarakat di Kalimantan Barat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Membantu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam upaya
pencegahan konflik berulang kembali dengan menyentuh langsung pada akar
permasalahan yakni kondisi ketahanan masyarakat di wilayah itu sendiri. Selain
itu juga sebagai masukan positif maupun negatif dalam memperkuat program
peace building di Kalimantan Barat.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 8
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik
Kerangka dinamis pencegahan dan resolusi konflik ini muncul dari
pemahaman bahwa situasi konflik dan pascakonflik merupakan situasi yang
sangat kompleks dan tidak linear. Sejak berakhirnya perang dunia ke II, kita
banyak menyaksikan jenis baru dari konflik, konflik menjadi lebih kompleks,
namun seringkali dikonseptualisasikan melalui pendekatan yang sederhana.
Sehingga kompleksitas dan cara berpikir sistemik diabaikan. Alhasil, tidak
jarang analisis yang diberikan membawa hasil yang keliru (Gallo, 2012).
Selanjutnya, Gallo (2012), dalam artikelnya Conflict Theory, Complexity and
System Approach, mengambil dua contoh kasus, yaitu Perang Irak dan
Operasi Peace For Galilee untuk menggambarkan pemikiran linear dan
mekanistik dalam menyelesaikan konflik. Namun sebaliknya, menurut Gallo,
konflik merupakan sistem yang sangat kompleks, dengan struktur yang adaptif
dan mekanisme yang dapat berubah.
Pemikiran yang juga memperkuat pemahaman dinamis tentang konflik
juga disampaikan oleh Druckman (2005), ia melihat bahwa konflik merupakan
situasi yang sangat dinamis, cepat berubah dan tidak statis. Oleh karena itu,
sangat penting untuk memiliki cara berpikir yang dinamis, mendalam dan
holistik untuk memahami konflik. Para analis konflik serta para mediator
rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian hendaknya dapat memahami situasi
dan kondisi dinamis ini sehingga analisinya menjadi lebih tepat serta intervensi
yang dilakukan dapat berhasil. Lebih jauh dalam konteks konflik, kesalahan
analisa awal dapat berakibat fatal bagi intervensi yang akan dilakukan.
Akibat situasi dinamis ini bagi para peneliti adalah adanya kebutuhan
untuk penggunaan metodologi yang tepat dalam penelitian atau kajiannya.
Druckman (2005) menyatakan bahwa para analis atau peneliti konflik pada
dasarnya harus memutuskan secara cerdas bahwa dalam menghadapi situasi
yang dinamis, abstrak, cepat berubah, serta situasi yang spesifik dan unik maka
basis analisis atau risetnya haruslah lebih konstruktif, reflektif, kontekstual, seta
menggunakan cara berpikir yang lebih divergen.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 9
Meskipun situasi dan kondisi konflik sangat komoleks dan cepat sekali
berubah, namun fenomena konflik tetap dapat dideteksi sejak dini, sehingga
dapat direspon secara tepat. Galtung (1996) menyarankan untuk memahami
konflik secara menyeluruh sehingga dapat dianggap sebagai suatu penyakit.
Untuk dapat menentukan penyakit yang sebenarnya, kita harus dapat
membedakan mana yang sekedar gejala dan mana yang menjadi sumber
penyakitnya. Untuk itu, perlu dilakukan diagnosis terlebih dahulu terhadap
penyakit tersebut, lalu dapat ditentukan treatment yang tepat tahap demi tahap.
Dalam memahami kompleksitas dari sebuah konflik, Ichsan Malik (2014)
memperkenalkan pendekatan kerangka dinamis pencegahan dan resolusi
konflik yang bertumpu pada pengalaman empirik sebagai upaya untuk
mencegah dan menyelesaikan konflik di Indonesia. Kerangka dinamis
pencegahan dan resolusi konflik ini memiliki lima komponen utama yaitu,
eskalasi dan deeskalasi, komponen faktor konflik, komponen aktor konfli,
komponen pemangku kepentingan (stakeholder) dan komponen kemauan
politik (political will).
Gambar 2.1
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 10
2.2 Kerangka Dinamis Pencegahan dan Resolusi Konflik
Dalam hal ciri dinamis dari kerangka ini lahir karena meliputi dua hal
mendasar: pertama, analisis situasi dan kondisi konflik dan pascakonflik
haruslah analisis yang bersifat dinamis sebagaimana yang diraikan pada awal
kerangka teori; kedua, melalui pengalaman empiris Ichsan Malik menjadi
mediator konflik, konflik dapat muncul dari kelima komponen tersebut. konflik
dapat muncul dari eskalasi konflik yag dibiarkan terus meningkat, namun juga
dapat muncul dari dari faktor pemicu konflik yang telah mumpuni, atau juga
dapat muncul akibat dari efektifnya provokator konflik yang memengaruhi
kelompok rentan menjadi agresif dan mudah dimobolisasi. Oleh karena iu
perspektif yang digunakan dalam melihat kondisi dan situasi konflik harus
holistic dan terintegrasi dalam melihat kelima komponen yang ada dalam
kaerangka ini, karena semua omponen tersebut semuanya salingkait-
mengait, saling berkontribusi dan saling memberikan pengaruh dalam terjadinya
kondisi konfil dan juga peramaian.
Komponen pertama adalah tingkat eskalasi dan de-eskalasi. Tingkat
eskalasi akan memberikan kontribusi bagi konflik dan perdamaian. Jika eskalasi
konflik meningkat dalam bentuk ketegangan dan mobilisasi massa, kemudia
diikuti terjadinya krisis pada seluruh pihak yang berkepentingan untuk
menyelesaikan konflik, hingga berlanjut dalam bentuk aksi kekerasan baik yang
bersifat terbatas atau massal yang menyebabkan korban, maka eskalasi
tersebut akan memberikan pengaruh terhadap terjadinya pembangunan konflik.
Begitu juga sebaliknya, jika eskalasi telah dapat dideteksi dan dikendalikan,
dilakukan musyawarah atau pertemuan untuk menyelesaikan konflik sehingga
ketegangan dan krisis dapat diredam. Maka kondisi yang disebut de-
eskalasi konflik dapat mendorong terjadinya pembangunan perdamaian. Akan
tetapi, menurunnya eskalasi tidak serta merta akan menjadikan permasalahan
suatu konflik selesai. Masih ada beberapa komponen lainnya yang dapat
mendorong terjadinya konflik.
Komponen kedua disebut faktor konflik. ada tiga elemen dalam factor
konflik yaitu: 1) Elemen pemicu konflik adalah faktor yang muncul tiba-tibadalam
kejadian konflik, bisa pembunuhan, perkelahian, ataupun tidak kekerasan.
Elemen pemicu ini dapat dianalogikan sebagai api yang menyambar dan dapat
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 11
langsung membakar rumput yang kering. 2) Elemen akselerator konflik
adalah reaksi-reaksi yang muncul sebagai akibat dari terjadinya konflik, reaksi
ini apabila dibiarkan akan terus meluas dan semakin mendalam. Akselerator
adalah katalisatir yang dapat menyebarkan konflik ke segala arah. Hal ini dapat
dianalogikan dengan angin panas yang menyebarkan api sehingga kebakaran
semakin meluas. 3) Elemen akar konflik. Penyebab struktural adalah sumber
konflik yang sebenarnya paling mendasar berkaitan dengan kebijakan negara
maupun kebijakan global dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya yang
menyangkut kehidupan. Adanya diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil.
Kekacauan suatu pemerintah dalam pengelolaan masyarakat dan sumber daya.
Ataupun terjadinya kejahatan kemanusiaan dan korupsi. Hal ini dapat
dianalogikan sebagai hamparan rumput kering yang mudah terbakar. Ketiga
elemen ini akan menjadi prakondisi yang mendorong meningkatnya eskalasi
konflik.
Komponen ketiga adalah aktor konflik, suatu komponen yang
berkontribusi sangat besar untuk meningkatkan eskalasi konflik. ada tiga
kategori dari aktor-aktor konflik yang perlu diperhatikan dalam pencegahan dan
penyelesaian konflik yaitu: kategori pertama adalah aktor provokator,
yaitu aktor-aktor utama yang terlibat dalam konflik. aktor ini kadang kala
memiliki logika yang abnormal tentang peristiwa yang terjadi atau faktor-
faktordalam konflik. logikanya yang abnormal ini biasa disebarkan dalam bentuk
informasi yang distortif. Logika yang abnormal tentang situasi yang disebarkan
bulat- bulat oleh provokator biasanya diterima secara bulat-bulatoleh kelompok
rentan yang merupakan aktor dalam kategori kedua. Persepsi dari kelompok
rentan dan pernyataan dari provokator akan menyebabkan semakin
meningkatnya eskalasi konflik. kategori ketiga dari aktor-aktor konflik adalah
kelompok fungsional, yaitu kelompol yang tanggung jawab utamanya adalah
menghentikan kekerasan dan mencegah meluasnya konflik.
berdasarkan undang-undang, aktor fungsional untuk pencegahan dan
penyelesaian konflik adalah polisi dan pemerintah daerah atau pusat. Biaanya
aktor fungsional gagal memotong pengaruh dari provokator kepadakelompok-
kelompok rentan, dan terlambat atau tidak mampu berkoordinasi dengan pihak-
pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk menghentikan konflik.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 12
Pemangku kepentingan (stakeholders) merupakan komponen keempat
dari kerangka dinamis pencegahan dan resolusi konflik. pemangku kepenttingan
adalah elemen-elemen yang berkepentngan untuk menghentikan konflik serta
mencegah meluasnya konflik. Elemen pemangku kepentingan terdiri dari;
kelompok polisi, militer, kelompok tooh masyarakat (Tomas), tokoh agama
(Toga) dan tokoh adat (Toda), kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
kelompok peneliti, serta kelompok media massa. Oleh kelompok fungsional,
komponen pemangku kepentingan ini diharapkan untuk dapat berkomunikasi,
member kontribusi, bekerja sama, dan saling berkoordinasi dengan mereka
untuk mencegah terjadinya konflik dan menghentikan konflik jika sudah terjadi.
Selain itu, kelompok pemangku kepentingan ini diharapkan dapat
menjadi pihak-pihak yang proaktif dalam pencegahan dan penyelesaian konflik;
jemput bola, tidak hanya menunggu bola; menjadi bagian dari solusi, bukan
menjadi bagian dari masalah.
Komponen kelima adalah kemauan politik dari penguasa. Kemauan
politik ini terrefleksi dalam dua hal. Pertama terlihat dari inisiatif dan
kepemimpinan dari para penguasa untuk menyelesaikan konflik-konflik yang
terjadi secara tuntas. Tidak membiarkan konflik terus membara dan bahkan
menyebar ke segala arah. Kedua adalah adanya produk-produk hukum atau
kebijakan yang dapat mencegah dan menyelesaikan konflik. pada konteks
Indonesia, secara normatif telah ada Undang-Undang Penanganan Konflik
Sosial No. 7 Tahun 2012, serta adanya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2014
tentang penanganan gangguan keamanan dalam negeri, serta berbagai
keputusan menteri terkait dengan pengelolaan dan penyelamatan sumber daya.
Namun persoalannya adalah bagaimana UU dan peraturan ini diinterpretasikan
dan ditegakkan agar dapat digunakan untuk mencegah dan menyelesaikan
konflik.
Kelima komponen utama kerangka dinamis pencegahan dan resolusi
konflik ini akan saling berpengaruh, berinteraksi, dan saling memberikan
kontribusi untuk mencegah konflik. untuk itu, kunci utama dalam mencegah dan
menangani konflik terletak pada kecermatan dalam mendeteksi eskalasi konflik
kemudiann melakukan upaya untuk deeskalasi konflik. Selanjutnya dibutuhkan
adanya ketajaman analisis dari faktor penyebab konflik untuk dilanjutkan
dengan kemampuan untuk memperkuat aktor fungsional, meredam
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 13
provokatorm dan mengontrol kelompok-kelompok rentan. Hal berikutnya adalah
kemampuan di dalam menjalin koordinasi yang efektif dengan seluruh elemen
pemangku kepentingan supaya konflik dapat dihentikan. Pada akhirnya adalah
bagaimana berdasarkan regulasi yang ada para pemimpin mampu melakukan
manuver, inisiatif dan melakukan suatu keputusan untuk menghentikan konflik
dan mencegah konflik secara menyeluruh.
2.3. Teori Resilience
Resilience yang berasal dari bahasa latin ‘resilio’ merupakan subjek
multidisiplin dan banyak digunakan dalam berbagai permasalahan yang
berhubungan dalam isu sosial dan sistem ekologi, seperti manajemen bencana,
ekonomi, community planning, urban renewal, dan pembangunan. Awalnya
resilience populer digunakan di disiplin ilmu yang berbeda seperti, engineering,
material science, ekologi, dan psikologi, biasanya setiap bidang memiliki konsep
yang berbeda, sehingga memiliki definisi dan pemahaman yang beragam.
Namun definisi tersebut memiliki kunci pokok yang dapat membantu dalam
membangun teori resilience terhadap konflik.
Pada bidang material science, “resilience refers to a property of materials
to resume their original size and shape after experiencing stress. In engineering,
resilience is the maximum energy per volume that can be elastically
stored” (Carpenter: 2015). Dari kedua definisi diatas dapat dikonotasikan bahwa
resilience memiliki hubungan dengan kerapuhan, maka fleksibilitas merupakan
kunci dari resilience (Milliken : 2013).
Selain itu dalam bidang engineering menyatakan bahwa keragaman dan
redundansi merupakan sumber dari resilience, maka terbentuklah gagasan
bahwa komunitas akan lebih resilience disaat beragam aktor dapat memprediksi
fungsi kritis dan menangani persoalan spesifik dari suatu kondisi (dalam hal ini
konflik). Sedangkan pengertian resilience dalam bidang ekologi adalah “the
capacity of a system to absorb disturbance and reorganize while undergoing
change so as to still retain essentially the same function, structure, identity, and
feedbacks” (Carpenter: 2014).
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 14
Dalam ilmu psikologi, resilience adalah kemampuan seseorang untuk
beradaptasi dan bangkit kembali dari kesulitan, resilience dalam ilmu psikologi
dapat diidentifikasi dengan beberapa karakter personal seperti misalnya sistem
kepercayaan, percaya diri yang tinggi, kognitif yang baik, dan kemampuan
memecahkan masalah (Connor & Davidson, 2003; Coutu, 2002; Dumond &
Provost, 1999). Individual Resilience pertama kali di dipelajari untuk
mengetahui perkembangan anak yang tumbuh dalam situasi atau lingkungan
yang sulit, cara yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi risk
factorsdan protective factors. Menurut Hermann, et al. (2011) Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi individual resilience yaitu personal factors; biological
factors; dan environmental factors yang terdiri dari dua yaitu, tingkat mikro
seperti hubungan dengan keluarga, dan tingkat makro yaitu hubungannya
dengan komunitas. Faktor-faktor tersebut menjadi indikasi yang dapat
meningkatkan atau merendahkan kemampuan resilience individu (bagan 2.2).
Walaupun resilience memiliki banyak pengertian yang berbeda karena
disesuaikan pada penerapan di bidang tertentu, namun sebenarnya memiliki
beberapa karakteristik yang sama yaitu, kemampuan untuk menanggapi dan
bangkit kembali dari kesulitan; siap dalam menghadapi ancaman; kemampuan
dan bersedia untuk beradaptasi terhadap perubahan; komitmen untuk bertahan;
Gambar 2.2 Faktor-Faktor yang memepengaruhi Individual Resilience Sumber: Herman, et al, 2011, hal 261.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 15
kerelaan dari komunitas dan organisasi untuk bersatu dengan adanya
kesamaan nilai (McAslan: 2011).
“Thus resilience is the ability of something or someone to cope in the face
of adversity—to recover and return to normality after confronting an abnormal,
alarming, and often unexpected threat. It embraces the concepts of awareness,
detection, communication, reaction (and if possible avoidance) and recovery.
These are essential features of the daily struggle for life and are founded in our
basic instinct of survival. Resilience also suggests an ability and willingness to
adapt over time to a changing and potentially threatening
environment” (Carpenter: 2014).
Maka berdasarkan fondasi konseptual resilience dari berbagai disiplin
ilmu yang telah dijelaskan diatas, conflict resilience mengacu pada mekanisme
dan kapasitas yang diperlukan untuk mencegah konflik. Lebih lanjut Ryan
(2012) menjelaskan bahwa resilience terhadap konflik adalah “capacities to
foster greater social and political cohesion and to address the causes of
fragility”. Kerentanan (fragility) yang dimaksud adalah gagalnya pemerintah
dalam melaksanakan fungsi dasar yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
dan ekspektasi rakyatnya. Fungsi dasar ini misalnya akses terhadap layanan
umum, keamanan, legitimasi, ataupun kebutuhan sosial seperti kohesi
masyarakat.
Untuk itu, suatu wilayah memerlukan sistem yang kuat agar dapat
memenuhi fungsi dasar yang disebutkan diatas sehingga tercipta damai yang
positif. Carpenter (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa,
“Conflict resilience is the ability of a social system to absorb disturbance while
retaining its basic identity, structure, and function, in this case ethnic
composition, pre-existing relations, and basic functions”.
Kapasitas sistem untuk mengatasi gangguan bergantung pada adaptive
capacity yang terdiri dari: social capital, economic development, community
competence, dan information and communication (Carpenter: 2014).
“Adaptive capacity is a function of the ability of individuals and groups to
imagine the future, to plan forward, to act collectively, learn, and incorporate
new knowledge, and to resolve conflicts” (Holling & Walker, 2003).
Sedangkan Longstaff (2010) menambahkan bentuk lain, banyaknya
sumber daya (resources) yang tersedia menjadi faktor yang harus dianalisa
untuk menentukan tingkat resilience masyarakat selain adaptive capacity.
Sumber daya disini adalah objek, kondisi, karakteristik, dan energi yang dinilai
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 16
berharga dalam suatu masyarakat tersebut. Objek dan kondisi dapat berupa
ketersediaan sekolah, rumah sakit, makanan, persediaan air, kohesi sosial, dan
tingkat ekonomi. Sedangkan karakteristik dan energi dapat berupa
kepemimpinan, tingkat pendidikan, dan etika sosial.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 17
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan adalah deskripif dengan
pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007) Metode
kualitatif ialah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupakata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. David Williams (Moleong, 2007). Strategi penelitian kualitatif yang
digunakan adalah studi kasus. Stake (1995) menjelaskan bahwa strategi ini
merupakan strategi dimana peneliti mengeksplorasi program, kegiatan, aktifitas,
proses dari individu atau kelompok.
3.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi
pustaka dan wawancara mendalam (In-Depth Interview). Studi pustaka
dilakukan dengan cara membandingkan dokumen yang ada, yaitu berupa
sumber kepustakaan, untuk mendapatkan data yang teoritis mengenai
fenomena konflik di Kalimantan Barat, resilience dan pencegahan konflik.
literatur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, penelitian
ilmiah lain, laporan, dan press release dari lembaga-lembaga yang kompeten.
Selanjutnya wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang
tidak didapatkan melalui studi pustaka. Dalam penelitian ini teknik wawancara
yang digunakan adalah wawancara secara mendalam dan diharapkan melalui
teknik ini peneliti mendapatkan pendapat dan pengalaman yang dapat dijadikan
dasar data yang akan dianalisis. Wawancara ini dilakukan dengan mengacu
pada protokol wawancara yang telah dibuat dan dilakukan secara lansung atau
tattap muka maupun melalui media elektronik.
Berdasarkan framework untuk menganalisa conflict resilience dari
USAID, sumber dan pengumpulan data dibagi menjadi tiga sesuai dengan
tahapan analisa. Pada tahap pertama yaitu contextual analysis, peneliti harus
mengetahui bagaimana keadaan wilayah yang akan diteliti, seperti sejarah
wilayah tersebut, keadaan politik, ekonomi, serta kondisi pembangunan pada
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 18
saat ini. Data akan dikumpulkan berdasarkan literatur dan interview terhadap
sumber ahli.
Tahap kedua adalah factor analysis untuk mengetahui “the effectiveness
and legitimacy of institutions, the availability, performance, diversity, and
redundancy of its resources, and the networks, behaviors, norms and values, as
well as innovation, and institutional learning in its adaptive facilitators.” Teknik
pengumpulan data pada tahapan ini adalah dengan semi- structured
interview, yaitu wawancara yang daftar pertanyaannya sudah dikonsepkan
sebelum turun lapangan, namun bisa disesuaikan dan dikembangkan pada saat
wawancara berlangsung.
Tahap terakhir adalah analisa resilience yang merupakan sintesis antara
contextual analysis dan factor analysis. Analisa pada tahap ini adalah untuk
melihat dan mengevaluasi seberapa kuatnya komunitas atau masyarakat
terpapar konflik dan bagaimana mereka menghadapi konflik tersebut.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 19
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 20
Analisa ini diharapkan untuk memberikan masukan kepada pemerintah
daerah maupun institusi terkait lainnya dalam mengetahui faktor apa saja yang
mempengaruhi tingkat resilience masyarakat. Selain itu dapat mengetahui sub-
sistem mana saja yang resilience nya rendah. Terakhir adalah untuk membantu
proses pencegahan konflik lebih spesifik terhadap sumber atau akar konflik,
dilihat dari faktor resilience yang dipakai dalam penelitian ini (resources,
adaptive capacity, institution).
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data menggunakan produk dari USAID “A Framework for
Analyzing Resilience in Fragile dan Conflict-Affected Situations”. Dalam
menganalisa resilience mereka menggunakan tiga tahapan yaitu contextual
analysis, factor analysis, dan resilience analysis. Untuk lebih jelas mengenai
pengambilan data, pengolahan data, dan analisa data dari tiga langkah tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 21
Pada tahap contextual analysis, peneliti akan mengambil data dengan
studi pustaka dan wawancara mendalam terhadap sumber untuk mengetahui
keadaan wilayah ynag akan diteliti dan bagaimana fenomena konflik yang
sebenarnya. Analisa ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat
lokal di Ketapang terpapar dengan konflik dan penyebab konflik yang sudah
lama ada seperti ethnic stereotype, marjinalisai, dan pembatasan terhadap
kebijakan wilayah dan politik.
Tahap kedua adalah mempersiapkan daftar pertanyaan untuk masing-
masing sub-sistem sesuai dengan faktor terhadap reilience yang telah
dijelaskan sebelumnya. Kemudian pengambilan data dilakukan dengan
wawancara dan data yang didapat akan diolah dan dianalisa. Terakhir adalah
analisa resilience dengan meihat sintesis atau gabungan dari dua tahap
sebelumnya sehingga menjadi satu kesatuan yang menjelaskan tingkat
resilience pada tiap sub-sistem.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 22
BAB 4
DATA PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
4.1 Gambaran Sebaran Data/Subjek Penelitian
4.1.1 Geografis dan Demografis Kab. Ketapang
A. Letak dan Luas Wilayah
Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas dari 14 kabupaten/
kota di Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah sebesar 31.588 km2
atau 21,28 persen terhadap total luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang
sebesar 146.807 km2. Secara geografis, Kabupaten Ketapang berada pada
posisi 00 19’ 26,51’’ Lintang Selatan sampai dengan 30 4’16,59’’ Lintang
Selatan dan 1090 47’36,55’’ Bujur Timur sampai dengan 1110 21’37,36’’ Bujur
Timur, dan berada pada posisi sebelah selatan provinsi Kalimantan Barat.
B. Administratif
Secara administratif Kabupaten Ketapang terdiri dari 20 Kecamatan, 240 Desa dan 9 Kelurahan dengan batas wilayah sebagai berikut :
Utara : berbatasan dengan Kabupaten Pontianak, Sanggau,
Sekadau dan Sintang.
Selatan : berbatasan dengan Laut Jawa.
Barat : berbatasan dengan Kabupaten Kayong Utara dan
Laut Natuna.
Timur : berbatasan dengan Kabupaten Melawi dan Provinsi
Kalimantan Tengah.
pesisir, yaitu wilayah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya berbatasan
langsung dengan laut. Kecamatan Kendawangan adalah kecamatan terluas
dengan luas wilayah 5.859 Km2 atau 18,55 persen terhadap total luas wilayah
Kabupaten Ketapang, sedangakan kecamatan terkecil wilayahnya adalah
Kecamatan Delta Pawan. Terdapat 45 pulau‐pulau kecil di wilayah Kabupaten
Ketapang yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kendawangan (36
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 23
pulau), Kecamatan Delta Pawan (4 pulau) dan Kecamatan Matan Hilir Selatan
(5 pulau). Terdapat 3 pulau dari 36 pulau di Kecamatan Kendawangan yang
berpenghuni. Secara geografis, Kabupaten Ketapang berada disisi Selatan
Propinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0019’26,51” Lintang Selatan
sampai dengan 304’16,59” Lintang Selatan dan 109047’36,55” Bujur Timur
sampai 111021’37,36” Bujur Timur dengan luas wilayah mencapai 31.588 km2
dan merupakan Kabupaten terluas di Propinsi Kalimantan Barat.
4.1.2 Sosial Masyarakat Kab. Ketapang
Pembangunan bidang agama merupakan bagian integral pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan Kabupaten Ketapang yang damai,
adil, demokratis dan sejahtera. Pembangunan bidang agama adalah upaya
untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yang dijamin oleh konstitusi.
Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan atas hak
semua warganya untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya
serta memberikan fasilitasi dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga
tersebut. Jumlah penduduk berdasarkan agama di Kabupaten Ketapang per 17
September 2010 sebagaimana tabel berikut:
Tabel 3.4.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Kab. Ketapang Tahun 2009
No
Agama/Kepercayaan
Jumlah (Jiwa)
1
Islam
276.416
2
Katolik
109.345
3
Protestan
33.012
4
Hindu
802
5
Budha
5.645
6
Konghucu
1.050
7
Lainnya
4.976
Jumlah
431.246
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, 2010
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 24
Banyaknya rumah ibadah di Kabupaten Ketapang sebagaimana tabel
berikut.
Tabel 3.4.2
Jumlah Rumah Ibadah di Kabupaten KetapangTahun 2009
No
Uraian
Jumlah
1
Mesjid
275
2
Surau
397
3
Katolik
66
4
Kapel
174
5
Gereja Protestan
70
6 6
Pura
5
77
Vvihara
9
Sumber : Ketapang Dalam Angka (KDA), 2009
4.1.3 Visi Dan Misi Kota A. Visi Kota
Bertitik tolak dari kondisi pada saat ini, analisis kekuatan-kelemahan-
peluang dan tantangan dalam lima tahun kedepan, tahapan dalam rencana
pembangunan jangka panjang, dan aspek-aspek potensial yang berkembang
selama ini serta mempertimbangkan isu strategis dan perkembangan global
yang pesat perlu diwujudkan suatu kondisi dinamis masyarakat yang maju.
Sehubungan dengan hal tersebut maka visi pembangunan Kabupaten Ketapang
yang ingin dicapai selama lima tahun mendatang adalah sebagai berikut:
“Terwujudnya Kabupaten Ketapang Yang Aman, Damai, Adil dan Sejahtera,
Didukung Masyarakat Yang Cerdas, Sehat dan Beriman, Serta Aparatur
Pemerintah Daerah Yang Bersih dan Berwibawa”.
Dengan penjelasan sebagai berikut, aman mengandung makna bebas dari
bahaya, dari ancaman dan gangguan terutama yang datang dari dalam. Aman
juga mencerminkan rasa tenteram,tidak ada rasa takut dan
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 25
khawatir.Damai mengandung arti tidak terjadinya konflik, tidak adanya
kerusuhan, tidak terjadi permusuhan, dan hidup rukun dalam
bermasyarakat. Adil mengandung makna imbang, tidak berat sebelah, atau
tidak memihak, persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi
semua warga masyarakat. Sejahtera mengandung makna terpenuhinya segala
aspek dan kebutuhan hidup, serta meningkatnya taraf hidup dan pendapatan
masyarakat melalui pemerataan hasil-hasil pembangunan.
B. Misi Kota
Untuk mewujudkan visi tersebut ditempuh melalui enam misi
pembangunan daerah sebagai berikut:
Mewujudkan Kabupaten Ketapang yang Aman dan Damai.
Membangun dan meningkatkan kualitas prasarana transportasi strategis, jalan
Produksi pertanian, irigasi persawahan, serta infrastruktur lainnya dengan
memperhatikan skala prioritas dan berkeadilan.
Mewujudkan pembangunan perekonomian masyarakat Kabupaten Ketapang
yang berbasis Agraris, Perikanan dan Kelautan, Peternakan
dan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi.
Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Ketapang Yang Cerdas, Sehat dan
Beriman.
Mewujudkan Aparatur Pemerintah Daerah yang profesional, bersih dan
berwibawa
Meningkatkan Kelestarian Lingkungan Hidup dan Penaggulangan Bencana.
Meningkatkan Pendapatan Daerah.
C. Tujuan Kota
Mengacu kepada visi yang telah ditetapkan, maka tujuan yang hendak
dicapai atau dihasilkan dalam kurun waktu 5 tahun adalah, sebagai berikut:
Mewujudkan keamanan dan kedamaian di Kabupaten Ketapang.
Mengoptimalkan fungsi prasarana dan sarana secara merata di seluruh
wilayah Kabupaten Ketapang.
Mewujudkan masyarakat Kabupaten Ketapang yang sejahtera
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 26
Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan beriman.
Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dan penanggulangan bencana
Mengoptimalkan pendapatan daerah dalam rangka kesejahteraan masyarakat
Ketapang
D. Tata Ruang Wilayah
Penataan ruang dan wilayah Kabupaten Ketapang mencakup
pertimbangan eksternal dan internal, serta potensi dan masalah kabupaten
ketapang. Konsep pengembangan tata ruang wilayah adalah sebagai berikut :
1. pengembangan kawasan budidaya berupa zona-zona kegiatan budidaya
utama yang didasarkan pada potensi dan permasalahan wilayah guna
selanjutnya menjadi dasar untuk memberikan arahan spesialisasi pada setiap
subwilayah di Kabupaten Ketapang.
Daerah hulu bagian utara di kembangkan dengan sektor unggulan
perkebunan, kehutanan dan pertnian tanaman palawija.
Daerah bagian selatan dikembangkan dengan sektor unggulan perkebunan,
pertanian tanaman palawija, pertambangan dan peternakan kecil.
Daerah hilir bagian selatan dikembangkan dengan sektor unggulan
pertambangan, perikanan, pertanian tanaman padi dan hortikultura, dan
peternakan
Daerah hilir bagian utara dikembangkan dengan sektor unggulan pariwisata,
perikanan, pertanian tanaman padi dan hortikultura serta peternakan.
Pengembangan kawasan pusat pengembangan.
Pengembangan kawasan ini ditujukan untuk memacu pertumbuhan
wilayah kabupaten ketapang secara keseluruhan di samping menciptakan
pengaruh positif dari kawasan pusat pengembangan ke wilayah sekitarnya
dengan jangkauan yang lebih luas. Kegiatan yang dikembangkan di kawasan ini
adalah perdagangan dan jasa komersial atau sosial. Sebagai pusat
pengembangan wilayah kabupaten ketapang adalah kota ketapang, sukadana,
sandai dan tumbang titi. Pusat pengembangan ini diharapkan dapat memacu
pertumbuhan wilayah belakngnya(wilayah yang dilayaninya) secara menyeluruh
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 27
dengan meningkatkan aksesibilitas guna meningkatkan produktifitas dan
memperlancar pemasaran untuk setiap kegiatan usaha yang telah diarahkan
perkembangannya.
4.2 Analisis Data dan Interpretasi Hasil
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Intelijen Daerah
(22/08/2016), Kab. Ketapang merupakan wilayah yang terdiri dari masyarakat
yang heterogen dan masyarakatnya relatif lebih terbuka dari sisi geografis
karena berbatasan dengan laut yang menghubungkannya dengan wilayah lain.
Wilayah ini juga merupakan kota yang tergolong maju dan bagus. Dari sisi
keamanan, Ketapang dapat dikategorikan sebagai wilayah yang aman,
meskipun menurutnya “aman” merupakan situasi yang diciptakan. Hal ini
dikarenakan nilai adat yang masih diusung oleh masyarakat setempat.
Misalnya, pada insiden tahun 1998, meskipun wilayah sekitarnya bentrok
dengan masyarakat yang beretnis Madura, namun masyarakat Kab. Ketapang
tidak terpancing untuk melakukan hal yang sama. Akan tetapi, menurutnya, ke
depan yang akan menjadi potensi konflik di Kab. Ketapang adalah
permasalahan Sumber Daya Alam (SDA).
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Dr. Syarief Ibrahim Al-Qadrie,M.Sc,
Ketua Al-Qadrie Center Pontianak (23/08/2016) bahwa pada waktu tersebut
para tokoh adat di Ketapang langsung bergerak cepat dan memberikan
pengertian kepada masyarakat untuk tidak ikut terpancing konflik tersebut.
Menurutnya, di wilayah Ketapang para tokoh adat sangat dihormati, seperti para
habib, dan para tokoh adat lainnya.
Prof. Dr. Syarief Ibrahim Al-Qadrie juga membahas mengenai tipologi
Kawasan Kalimantan-Barat yang terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu kawasana
pedalama dekat (interior vallet area), kawasan pedalaman jauh (interior upland
area), dan kawasan peralihan/transisi. Menurutnya, tipologi ini akan
mempengaruhi kondisi dan karakteristik suatu wilayah. Ketapang dalam hal ini
masuk ke dalam kategori kawasana peralihan/transisi, di mana daerah yang
tercakup ke dalam kawasan ini merupakan wilayah yang relatif stabil. Faktor lain
yang menjadikan Kab. Ketapang daerah hijau antara lain adalah terdapatnya
kearifan lokal Kepatang yang terkenal dengan wilayah kepemimpinan adat yang
kuat/kehabiban. Menurutnya, masyarakat di wilayah tersebut sangat
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 28
menghormati para tokoh adat, sehingga hal inilah yang menyebabkan peran
besar seorang tokoh adat/masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa terdapat 5
(lima) klausul yang dapat menjadi potensi konflik ke depan di wilayah Kab.
Ketapang, yaitu tidak adanya koordinasi yang baik antar aparat daerah,
penekanan dari pemerintah pusat bahwa NKRI harga mati, perebutan
kedudukan oleh elit politik/politik etnisitas, todat/tomasy menggerakkan
kelompoknya untuk kepentingan pribadi, dan multikultural. Hal yang kemudian
dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap potensi tersebut adalah
melakukan perubahan sikap dan secara perlahan menambah rekonstruksi
idealitas.
Kepala Kesbangpol Provinsi Kalimantan Barat Pontianak menambahkan
mengenai kondisi sosial politik masyarakat di Kalimantan Barat, khususnya Kab.
Ketapang (Wawancara : 23/8/2016). Menurutnya yang menjadi isu aktual di
Kab. Ketapang adalah konflik pengelolaan perkebunan dan pertambangan.
Banyaknya perusahaan yang datang dan berinvestasi di wilayah tersebut
menimbulkan sengketa dengan masyarakat setempat terkait kepemilikan lahan.
Selain itu, menurutnya hal-hal yang menjadi potensi di Kab.Ketapang, yaitu
permasalahan perusahaan asing yang datang dan melakukan investasi,
kedatangan TKA Tiongkok yang kemudian menikah dengan penduduk
setempat, dan permasalahan tapal batas yang dikarenakan Perda/PP
pemekeran wilayah bagi wilayah yang belum siap. Sementara itu, hal yang
menjadi faktor pendorong stabilnya wilayah Kab.Ketapang adalah masyarakat
yang heterogen, pembauran antar suku, kawin campur antar suku, dan kuatnya
peran tokoh adat/masyarakat/agama bagi masyarakat setempat. Menurutnya
solusi untuk pencegahan adalah wawasan nusantara dengan memperkuat
NKRI.
Dandim 1203/Ketapang beserta Letnan Yulianto dan Kapten Mardiyanto
(Wawancara, 24/8/2016). Menurutnya, keadaan di kabupaten iniaman-
aman saja selama kebutuhan masyarakat terpenuhi, misalnya selalu
tersedianya kebutuhan sandang dan pangan, meskipun harga sandang dan
pangan tersebut meningkat. Komposisi masyarakat di wilayah ini menurutnya
terbagi menjadi empat, di wilayah kota mayoritas dihuni oleh etnis Cina, wilayah
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 29
pesisir mayoritas dihuni oleh etnis melayu, wilayah barat mayoritas oleh etnis
Madura, dan wilayah hulu mayoritas oleh etnis Dayak. Dandim menambahkan
bahwa pencegahan dini di wilayah Kab. Ketapang ini dilakukan dengan turun
langsungnya aparat ke lapangan dan koordinasi antar aparat yang baik. Tokoh
adat/Masyarakat/Agama berpengaruh besar di wilayah ini, dan bahkan kegiatan
keadatan antar suku sering dilakukan setiap tahunnya, seperti kegiatan di
Kerajaan Matun Tanjung Pura dengan dilaksanakannya pentas seni, tarian, dan
lomba sampan.
Sementara itu, Dewan Adat Dayak dan Seniman Dayak Melanoe, Bapak
Fransuma (wawancara 25/9/2016) menyatakan bahwa hal yang menjadi
pendorong mengapa Kab. Ketapang merupakan wilayah yang aman terutama
pada saat peristiwa Tahun 1998, adalah peran tokoh adat/masyarakat/agama
yang mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa “api jika bertemu dengan
kayu maka akan menjadi abu”, yang berarti bahwa dari konflik tersebut
masyarakat dari etnis manapun tidak akan mendapatkan keuntungan apapun.
Bersama dengan aparat, tokoh adat/masyarakat/agama membangun Tugu
Perdamaian yang diprakarsai oleh Pastor Yuli untuk perjanjian antar suku yang
mendeklarasikan bahwa masyarakat Kab. Ketapang adalah saudara dan satu
untuk Indonesia. Menurutnya, sebagai suku asli di Ketapang, masyarakat
pendatang seperti Madura harus disambut dengan baik karena sesuai dengan
falsafah adat Dayak yang menyatakan bahwa “Tamu diberi makan, melayu
diberi beras”, bagi masyarakat yang melanggar maka dianggap sebagai
pelanggaran terhadap adat.
Tokoh Masyarakat Melayu, Abah Uti juga menjelaskan bahwa setiap
harinya masyarakat setempat yang beragama islam memiliki kegiatan rutin
suling atau subuh keliling ke masjid-masjid setempat (wawancara 25/9/2016).
Dalam kegiatan suling ini Abah uti sebagai tokoh masyarakat mengadakan
kegiatan ceramah kemasyarakatan yang biasanya dapat diisi oleh tokoh
agama/masyarakat/adat atau bahkan aparat setempat. Para pejabat seperti
Kapolres, Wakapolres, Wakil Bupati, dan aparat lainnya kerap hadir, dengan
kata lain kegitan ini juga menjadi agenda sosialisasi oleh pemerintah untuk
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 30
masyarakat setempat. Terkait kasus Gafatar beberapa waktu lalu, abah uti
selaku tokoh masyarakat beserta dengan pihak pemerintah memberikan
pengertian kepada masyarakat untuk tidak ikut terpengaruh kelompok tersebut
sehingga tidak ada masyarakat yang ikut bergabung dengan kelompok Gafatar
tersebut. Selain itu, masyarakat juga kerap mengadakan kegiatan solat
berjamaah setiap bulan purnama. Menurut Abah Uti, kegiatan ini biasa dihadiri
oleh 700 orang masyarakat setempat yang muslim termasuk pemerintah
setempat. kegiatan-kegiatan keagamaan ini merupakan wadah sosialisasi yang
dapat dikatakan berhasil untuk masyarakat setempat tanpa adanya unsur-
unsur politis.
Wakapolres Kab. Ketapang, Bapak Syahroni dalam kesempatan
wawancara bersama tim Unhan (25/9/2016) menjelaskan bahwa situasi di
Ketapang kondusif hingga saat ini, karena yang terpenting bagi masyarakat
adalah kebutuhan sehari-hari agar selalu terpenuhi meskipun harga yang
didapatkan cenderung mahal. Sementara itu untuk tingkat kriminal sendiri di
wilayah ini dapat dikategorikan minim karena hanya terjadi kurang lebih 2 kali
tindakan kriminal setiap bulannya. Untuk hal-hal yang menjadi potensi konflik di
wilayah ini ke depannya adalah permasalahan lahan antara perusahaan dengan
masyarakat setempat dengan semakin meningkatknya perusahaan yang
melaksanakan investasi di wilayah ini dan permasalahan TKA yang datang di
Kabupaten ini. Namun demikian, sebagai aparat keamanan, Polres Ketapang
selalu bertindak melakukan pengamanan dan pengawasan. Ia juga
menambahkan bahwa untuk langkah pencegahan dini, Polres sendiri bersama
dengan aparat dan pemda rutin mengadakan pertemuan dengan mengundang
tokoh adat/masyarakat/agama setempat.
Tokoh Adat Madura sekaligus Ketua Dewan Adat Madura, dan
Bendahara Dewan Adat Madura mendukung pernyataan di atas dengan
menjelaskan bahwa meskipun masyarakat Madura merupakan masyarakat
pendatang namun mereka selalu menanamkan rasa kepemilikan bahwa Kab.
Ketapang adalah tempat tinggal yang harus dijaga, dengan demikian
masyarakat harus meminimalisir dan mencegah hal-hal yang dapat
menyebabkan timbulnya konflik. Aparat setempatpun kerap mengadakan
Muspida yang mengundang tokoh adat/masyarakat/melayu setempat.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 31
Hubungan antar etnis pun berjalan dengan baik, misalnya dalam kegiatan adat
kerajaan Tanjungpura yang diadakan setiap tahunnya, dalam kegiatan
ini masing-masing etnis menampilkan kesenian/pertunjukan adatmasing-
masing. Dari hasil diskusi didapatkan bahwa potensi konflik SARA tetap ada
meskipun kecil, misalnya dalam kasus kriminal perkelahian antar pemuda dan
kasus tabrak lari, masyarakat setempat menduga bahwa pelaku merupakan
etnis Madura sedangkan realita di lapangan, pelaku bukan berasal dari etnis
Madura. Namun menanggapi hal ini, tokoh adat Madura segera menghimbau
kepada masyarakat agar tidak mudah terpancing dan terpengaruh.
Kepala Perdinasan Kesbangpol Kab. Ketapang di Kantor Bupati Ketapang.
Dalam audiensi ini Tim Dosen unhan bersama dengan pihak Kesbangpol
Ketapang berdiskusi mengenai kondisi sosial politik Kab. Ketapang.
Menurutnya, kondisi di wilayah ini kondusif selama kebutuhan masyarakat dapat
terpenuhi. Hanya saja untuk masalah keamanaan yang menjadi problem adalah
permasalahan kriminal yang pelakunya bukan merupakan penduduk asli Kab.
Ketapang, permasalahan lahan antara perusahaan dengan masyarakat, dan
permasalahan kawin campur antara TKA dengan penduduk asli setempat.
Sebagai bentuk pencegahan terhadappotensi-potensi konflik tersebut maka
Kesbangpol bersama dengan Pemda dan aparat setempat mewadahi
dibentuknya organisasi-organisasiPaguyuban dari masing-masing etnis dan
kerap mengundang perwakilanmasing-masing tokoh adat.
Masyarakat Kabupaten Ketapang yang terdiri dari berbagai etnik/multietnik
seperti Suku Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, Jawa, Arab, Padang,
Batak, Bali, Sunda, dan NTT dapat hidup berdampingan secara harmonis
dikarenakan adanya perasaan kekeluargaan, cinta damai, anti kekerasan.
Mereka juga diikat dengan ikrar perdamaian yang dibacakaan bersama oleh
sembilan tokoh etnik pada acara adat tolak bala pasca kerusuhan antara etnis
Dayak dan Madura di Kalimantan. Ikrar perdamaian menjadi konsensus dalam
membangun Ketapang dan pelanggaran terhadap konsensus tersebut akan
dikenakan sanksi berdasarkanhukum adat dan hukum positif. Terdapat
persamaan persepsi pada komunitas etnik Dayak, Melayu dan Madura
mengenai integrasi sosial di Kabupaten Ketapang, yaitukomponen-
komponen masyarakat yang bervariasi disatukan atas dasar sikap
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 32
kekeluargaan, dan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya mempunyai
status yang sama sebagai warga Ketapang.
Proses integrasi sosial masyarakat Kabupaten Ketapang dilakukan melalui
perkawinan antar etnik, acara kematian, lingkungan pendidikan, upacara adat,
kegiatan keagamaan, olahraga, seni, kerjasama dalam bidang ekonomi,
kesempatan yang sama dalam partai politik dan pemerintahan. Dengan
demikian, nilai yang tumbuh dan berkembang dalam persepsi masyarakat
Ketapang berupa nilai kepedulian, kebersamaan dan kerjasama. Oleh karena
itu, faktor pengendali konflik dan harmonisasi hidup bermasyarakat antara lain
adalah nilai komitmen dan kepatuhan terhadap konsensus yang telah disepakati
oleh tokoh etnik di Kabupaten Ketapang.
Dalam hal ini, pelanggaran terhadap konsensus di Kab. Ketapang
dikenakan sanksi yang setimpal sesuai nilai normatif berdasarkan musyawarah
dan jalur hukum. Peranan seorang pemimpin baik formal maupun nonformal
sangat penting dalam mempengaruhi warga masyarakat yang dicerminkan
dalam nilai kerukunan untuk menghindari dan mengatasi konflik sosial.
Pembinaan, pengawasan dan koordinasi antartokoh etnik menjadi efektif
diwujudkan dengan nilai persatuan dalam mempertahankan integrasi sosial dan
harmonisasi hidup bermasyarakat di Kabupaten Ketapang.
Dalam hal ini, keikutsertaan seluruh komponen masyarakat dalam
peringatan hari-hari besar nasional dieksplorasi melalui nilai kebersamaan,
partisipatif yang menjadi sarana mempertahankan integrasi sosial dan
harmonisasi hidup bermasyarakat di Kabupaten Ketapang. Wadah yang
dijadikan untuk memfasilitasi penyelesaian konflik masih bersifat resmi.
Peningkatan pelaksanaan tata tertib yang tercermin dalam nilai disiplin pada
peserta didik menjadi tanggung jawab bersama ketiga lembaga pendidikan,
yakni formal, nonformal dan informal.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Ketahanan Masyarakat (Community Resilience) Etnis Dayak,
Melayu, Dan Madura Dalam Pencegahan Konflik Di Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 33
Kabupaten Ketapang merupakan wilayah yang stabil, namun masih
terdapat kemungkinan bahwa konflik di Kalimantan Barat dapat kembali
terulang. Diprediksi pada tahun 2020 akan kembali terjadi konflik antar
kelompok etnik. Hasil tersebut berdasarkan hipotesis Alqadrie (2008)
berdasarkan fakta sejarah, yaitu ”Konflik yang terjadi di Kalbar, periode pertama
tahun 1900, kedua 1930, ketiga 1960 dan keempat 1990-an,” yang disampaikan
dalam seminar politik bertemakan Penguatan Forum Komunikasi Antar Etnik di
Kalbar Dalam Merekonsiliasi Antar Etnik Guna Mencegah Terjadinya Konflik
tahun 2008. Menurut Alqadrie (2008) terdapat empat faktor utama penyebab
terjadinya konflik. Pertama, dikarenakan pemerintah pusat tidak memperhatikan
Kalbar. Kedua, pemerintah Provinsi, pemerintah kabupaten/kota hanya fokus
pada kepentingan elite tanpa memperhatikan kepentingan rakyat. Ketiga, para
elit politik dan ekonomi, tokoh kelompok, dan etnik, serta pemimpin masyarakat
hanya bekerja mengejar kepentingan pribadi dan kelompok tetapi
mengesampingkan kepentingan masyarakat kecil di daerah yang semakin
termarjinalkan. Keempat, para tokoh etnik dan pemimpin masyarakat tidak
memiliki karakter dan sikap multikultural atau tidak mensosialisasikannya
kepada anggota kelompok mereka sehingga masyarakat multikultural sulit
berkembang.
Konflik memang tidak dapat dihindari dari proses interaksi sosial dalam
kehidupan masyarakat baik antar individu, individu dengan kelompok dan antar
kelompok masyarakat, akan tetapi konflik dapat dihindari bahkan melalui konflik
dapat menciptakan integrasi. Orang-orang yang terlibat dalam interaksi sosial
cenderung menekankan orientasi subyektif. Kabupaten Ketapang termasuk
daerah yang multietnik sehingga proses disintegrasi juga sangat rentan terjadi
seperti juga di kabupaten/kota lain yang berada dalam kawasan Provinsi
Kalimantan Barat. Pertikaian antar etnik di Kabupaten Ketapang tetap ada,
baikdalam konteks individu, individu dengan kelompok, maupun antar
kelompok,akan tetapi cepat terselesaikan sehingga tidak meluas ke mana-
mana.
Kabupaten Ketapang termasuk daerah yang dapat mengendalikan
masyarakat dari ancaman konflik antaretnik. Bahkan pada saat terjadinya
konflik Sambas di Kalbar dan konflik Sampit di Kalteng, semua etnik melalui
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 34
pemuka suku yang hidup di bumi Kabupaten Ketapang, berikrar untuk menjauhi
perselisihan, pertengkaran, saling curiga, permusuhan, penipuan dan perbuatan
yang membangkitkan kemarahan, perkelahian serta pembunuhan. Sebaliknya,
masyarakat Kabupaten Ketapang mendeklarasikan “kami mau
mengembangkan budi bahasa yang sopan dan halus, ramah dan bersahabat,
bertekad menumbuhkan kejujuran dan kebenaran, tingkah laku yang sopan dan
terpuji” yang merupakan Ikrar perdamaian dan dibacakan pada hari Rabu, 21
Maret 2001. Kemudian pada hari Sabtu, 6 September 2003 dibacakan lagi ikrar
dan pernyataan pemuka suku-suku yang bermukim di Kabupaten Ketapang
dengan sedikit penambahan redaksi yakni apabila ada perselisihan individu,
tidak akan dibawa ke dalam kelompok suku, dan diselesaikan berdasarkan
hukum yang berlaku.
Mereka juga berjanji takkan terprovokasi untuk melakukan pertikaian
antaretnik seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah. Ikrar itu diucapkan wakil
sembilan etnik dalam acara adat Tolak Bala yang dipimpin Raja Ulu Ae'k,
Petrus Singa Bansa, yang ditandatangani oleh pemuka suku Madura, Melayu,
Tionghoa, Jawa, Bugis, Padang, Batak, NTT dan Dayakserta Lourensius
Madjun selaku ketua panitia dan Morkes Effendi sebagai Bupati Ketapang.
Bila motivasi dan nilai yang ingin dicapai berkaitan dengan sumber daya
alam dan berorientasi material, maka akan menimbulkan masalah ekonomi.
Menjadi rasional, jika masyarakat Ketapang terdiri dari berbagai etnik, suku dan
agama karena banyak orang yang melakukan migrasi dari daerah luar karena
memiliki daya tarik dan pendorong. Daya tarik bahwa penduduk setempat (asli)
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 35
menerima siapa saja yang datang ke Ketapang, sedangkan pendorongnya
berupa keinginan dari pendatang untuk memperbaiki taraf kehidupan yang lebih
baik dari daerah asalnya. Namun, bila rasa persaudaraan dan sikap toleransi
kurang diperhatikan, maka bukan hal yang mustahil akan terjadi konflik antara
pendatang dengan penduduk asal.
Menurut Hermann, et al. (2011) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi individual resilience yaitu personal factors; biological factors;
dan environmental factors yang terdiri dari dua yaitu, tingkat mikro seperti
hubungan dengan keluarga, dan tingkat makro yaitu hubungannya dengan
komunitas. Faktor-faktor tersebut menjadi indikasi yang dapat meningkatkan
atau merendahkan kemampuan resilience individu (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 faktor-faktor yang mempengaruhi Individual Resilience
Sumber: Herman, et al, 2011, hal 261.
Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa masyarakat Ketapang
memiliki ketahanan yang kuat karena dipengaruhi oleh hubungan yang kuat
antara individu dengan komunitas. Masyarakat di Kabupaten Ketapang
menyadari bahwa dengan terpeliharanya nilai-nilai hidup damai, rukun, saling
menghormati, menghargai, serta meningkatkan tali persaudaraan sejati antara
satu dengan lainnya akan terjalin keharmonisan hidup bermasyarakat
antaretnik. Harmonisasi hidup bermasyarakat akan tercipta bila setiap
anggotanya memiliki sikap toleransi. Meskipun tingkat keragaman
masyarakatnya cukup tinggi, namun toleransi kehidupan masyarakat yang
berbeda agama maupun suku bangsa cukup terpelihara denganbaik. Konflik
sosial yang pernah terjadi antara tahun 1999-2002 hanya melibatkan suku
tertentu yang bermula dari masalah pribadi berdampak pada kelompok atau
suku dan belum pernah melibatkan seluruh suku bangsa yang mengarah pada
konflik berlatar belakangSuku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
Ketahanan merupakan kemampuan untuk menanggapi dan bangkit
kembali dari kesulitan; siap dalam menghadapi ancaman; kemampuan dan
bersedia untuk beradaptasi terhadap perubahan; komitmen untuk bertahan;
kerelaan dari komunitas dan organisasi untuk bersatu dengan adanya
kesamaan nilai (McAslan: 2011). Misalnya, kegiatan keadatan antar suku sering
dilakukan setiap tahunnya, seperti kegiatan di Kerajaan Matun Tanjung Pura
dengan dilaksanakannya pentas seni, tarian, dan lomba sampan. Keberadaan
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 36
berbagai etnik di Ketapang mempunyai maksud dan tujuan yang bervariasi. Ada
yang ingin memperbaiki kesejahteraan hidup, ada yang ingin berdagang.
Terdapat juga beberapa alasan lainseperti perkawinan dan bencana alam di
daerah asal warga pendatang. Meskipun tingkat keragaman masyarakatnya
cukup tinggi, namun toleransi kehidupan masyarakat yang berbeda agama
maupun suku bangsa cukup terpelihara dengan baik. Konflik sosial yang pernah
terjadi antara tahun 1999-2002 hanya melibatkan suku tertentu yang bermula
dari masalah pribadi berdampak pada kelompok atau suku dan belum pernah
melibatkan seluruh suku bangsa yang mengarah pada konflik berlatar belakang
Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Keberadaan berbagai etnik di
Ketapang mempunyai maksud dan tujuan yang bervariasi. Ada yang ingin
memperbaiki kesejahteraan hidup, ada yang ingin berdagang. Terdapat juga
beberapa alasan lainseperti perkawinan dan bencana alam di daerah asal
warga pendatang. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Longstaff
(2010) bahwa banyaknya sumber daya (resources) yang tersedia menjadi faktor
yang harus dianalisa untuk menentukan tingkat resilience masyarakat selain
adaptive capacity. Sumber daya disini adalah objek, kondisi, karakteristik, dan
energi yang dinilai berharga dalam suatu masyarakat tersebut. Objek dan
kondisi dapat berupa ketersediaan sekolah, rumah sakit, makanan, persediaan
air, kohesi sosial, dan tingkat ekonomi. Sedangkan karakteristik dan energi
dapat berupa kepemimpinan, tingkat pendidikan, dan etika sosial.
4.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Masyarakat
(Community Resilience) Etnis Dayak, Melayu, Dan Madura Dalam
Pencegahan Konflik Di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
De-ekskalasi Konflik
Malik (2014) menyatakan bahwa jika eskalasi telah dapat dideteksi dan
dikendalikan, dilakukan musyawarah atau pertemuan untuk menyelesaikan
konflik sehingga ketegangan dan krisis dapat diredam. Maka kondisi yang
disebut de-eskalasi konflik dapat mendorong terjadinya pembangunan
perdamaian. Dalam kaitannya dengan wilayah Ketapang, Kepala Badan
Intelijen Daerah (22/08/2016), Kab. Ketapang bahwa pada saat terjadi kasus
kericuhan tahun 1998 ketika wilayah sekitarnya bentrok dengan masyarakat
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 37
yang beretnis Madura, namun berbeda dengan masyarakat Kab. Ketapang tidak
terpancing untuk melakukan hal yang sama. Prof. Dr. Syarief Ibrahim Al-
Qadrie, M.Sc, Ketua Al-Qadrie Center Pontianak (23/08/2016) menambahkan
bahwa kericuhan dapat diantisipasi pada waktu tersebut karena para tokoh
adat/agama/masyarakat beserta stakeholders setempat di Ketapang langsung
bergerak cepat dan menyampaikan pengertian kepada masyarakat untuk tidak
ikut terpancing dan terlibat dalam konflik tersebut. Dikarenakan di wilayah
Ketapang para tokoh adat sangat dihormati, seperti para habib, dan para tokoh
adat lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi pendorong stabilnya wilayah
Kab. Ketapang dari kericuhan yang sama pada tahun 1998 dan 1999. Hal
tersebut menunjukkan bahwa para tokoh adat/agama/masyarakat bersama
dengan stakeholders Kab. Ketapang mampu melakukan de-ekslakasi di
wilayahnya pada saat konflik di wilayah sekitarnya sedang mengekskalasi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Malik (2014) bahwa de-eskskalasi adalah
situasi dimana suatu ketegangan dapat diredam ekskalasinya.
Dewan Adat Dayak dan Seniman Dayak Melanoe, Bapak Fransuma
(wawancara 25/9/2016) menyatakan bahwa adanya upaya de-ekskalasi oleh
tokoh adat/agama/masyarakat setempat bersama dengan aparat dan seluruh
masyarakat Kab. Ketapang untuk membangun Tugu Perdamaian yang
diprakarsai oleh Pastor Yuli untuk perjanjian antar suku yang mendeklarasikan
bahwa masyarakat Kab. Ketapang adalah saudara dan satu untuk Indonesia.
Menurutnya, sebagai suku asli di Ketapang, masyarakat pendatang seperti
Madura harus disambut dengan baik karena sesuai dengan falsafah adat Dayak
yang menyatakan bahwa “Tamu diberi makan, melayu diberi beras”, bagi
masyarakat yang melanggar maka dianggap sebagai pelanggaran terhadap
adat.
Hubungan yang baik antara Tokoh adat/Masyarakat/Agama dengan
masyarakat dapat dilihat dalam kegiatan keadatan antar suku sering dilakukan
setiap tahunnya, seperti kegiatan di Kerajaan Matun Tanjung Pura dengan
dilaksanakannya pentas seni, tarian, dan lomba sampan (Letnan Yulianto,
Wawancara, 24/8/2016). Hal inilah yang kemudian menjadi faktorde-ekskalasi di
Kab.Ketapang.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 38
Kelompok Fungsional
Malik (2014) menyatakan bahwa kelompok fungsional adalah kelompok
yang memiliki tanggung jawab untuk menghentikan kekerasan dan mencegah
meluasnya konflik. berdasarkan undang-undang, aktor fungsional untuk
pencegahan dan penyelesaian konflik adalah polisi dan pemerintah daerah atau
pusat. Aktor fungsional diharapkan dapat memotong pengaruh dari provokator
kepada kelompok-kelompok rentan, serta mampu berkoordinasi dengan pihak-
pihak yang berkepentingan (stakeholder) untuk menghentikan konflik. Dalam hal
ini, di Ketapang menurut Abah Uti (wawancara 25/9/2016)
para stakeholders seperti polisi dan babinsa setempat saling berkoordinasi
dengan baik, misalnya dalam kegiatan ceramah kemasyarakatan yang biasanya
dapat diisi oleh tokoh agama/masyarakat/adat atau bahkan aparat setempat,
para pejabat seperti Kapolres, Wakapolres, Wakil Bupati, dan aparat lainnya
kerap hadir, dengan kata lain kegitan ini juga menjadi agenda sosialisasi oleh
pemerintah untuk masyarakat setempat. Terkait kasus Gafatar beberapa waktu
lalu, abah uti selaku tokoh masyarakat beserta dengan pihak pemerintah
memberikan pengertian kepada masyarakat untuk tidak ikut terpengaruh
kelompok tersebut sehingga tidak ada masyarakat yang ikut bergabung dengan
kelompok Gafatar tersebut. Selain itu, masyarakat juga kerap mengadakan
kegiatan solat berjamaah setiap bulan purnama. Menurut Abah Uti, kegiatan ini
biasa dihadiri oleh 700 orang masyarakat setempat yang muslim termasuk
pemerintah setempat. kegiatan-kegiatan keagamaan ini merupakan wadah
sosialisasi yang dapat dikatakan berhasil untuk masyarakat setempat tanpa
adanya unsur-unsur politis.
Wakapolres Kab. Ketapang, Bapak Syahroni (Wawancara, 25/9/2016)
menambahkan bahwa Polres Ketapang selalu bertindak melakukan
pengamanan dan pengawasan. Ia juga menambahkan bahwa untuk langkah
pencegahan dini, Polres sendiri bersama dengan aparat dan pemda rutin
mengadakan pertemuan dengan mengundang tokoh adat/masyarakat/agama
setempat.
Hal senada juga dinyatakan oleh Kadis Kesbangpol Ketapang
(Wawancara, 25/9/2016) bahwa sebagai bentuk pencegahan terhadap potensi-
potensi konflik tersebut maka Kesbangpol bersama dengan Pemda dan aparat
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 39
setempat mewadahi dibentuknya organisasi-organisasi Paguyuban dari masing-
masing etnis dan kerap mengundang perwakilan masing-masing tokoh adat.
Pemangku Kepentingan (Stakeholders)
Malik (2014) menjabarkan bahwa elemen pemangku kepentingan terdiri
dari; kelompok polisi, militer, kelompok tokoh masyarakat (Tomas), tokoh agama
(Toga) dan tokoh adat (Toda), kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
kelompok peneliti, serta kelompok media massa. Oleh kelompok fungsional,
komponen pemangku kepentingan ini diharapkan untuk dapat berkomunikasi,
member kontribusi, bekerja sama, dan saling berkoordinasi dengan mereka
untuk mencegah terjadinya konflik dan menghentikan konflik jika sudah terjadi.
Selain itu, kelompok pemangku kepentingan ini diharapkan dapat
menjadi pihak-pihak yang proaktif dalam pencegahan dan penyelesaian konflik
dan menjadi bagian dari solusi.
Di Kabupaten Ketapang Para Tokoh adat/agama/masyarakat sangat
dihormati seperti diungkapkan oleh Prof. Dr. Syarief Ibrahim Al-Qadrie
(23/08/2016) bahwa di wilayah Ketapang para tokoh adat sangat dihormati,
seperti para habib, dan para tokoh adat lainnya. Kepala Kesbangpol Kalimantan
Barat juga membenarkan hal tersebut bahwa para Tokoh
adat/agama/masyarakat sangat berperan kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Misalnya, dalam kasus kriminal perkelahian antar pemuda dan kasus
tabrak lari, masyarakat setempat menduga bahwa pelaku merupakan etnis
Madura sedangkan realita di lapangan, pelaku bukan berasal dari etnis Madura.
Namun menanggapi hal ini, tokoh adat Madura segera menghimbau kepada
masyarakat agar tidak mudah terpancing dan terpengaruh (Wawancara Ketua
Dewan Adat Madura : 25/9/2016).
Para Tokoh adat/agama/masyarakat ini juga memiliki hubungan
koordinasi yang baik dengan stakeholders dan masyarakat setempat seperti
yang dijelaskan oleh Ketua Dewan Adat Madura (Wawancara, 25/9/2016)
bahwa aparat setempatpun kerap mengadakan Muspida yang mengundang
tokoh adat/masyarakat/melayu setempat. Hubungan antar etnis pun berjalan
dengan baik, misalnya dalam kegiatan adat kerajaan Tanjungpura yang
diadakan setiap tahunnya, dalam kegiatan ini masing-masing etnis
menampilkan kesenian/pertunjukan adat masing-masing.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 40
Kemauan Politik Penguasa
Kemauan politik ini terrefleksi dalam dua hal. Pertama terlihat dari
inisiatif dan kepemimpinan dari para penguasa untuk menyelesaikan konflik-
konflik yang terjadi secara tuntas dan idak membiarkan konflik terus membara
dan bahkan menyebar ke segala arah. Kedua adalah adanya produk-
produkhukum atau kebijakan yang dapat mencegah dan menyelesaikan konflik.
pada konteks Indonesia, secara normatif telah ada Undang-
UndangPenanganan Konflik Sosial No. 7 Tahun 2012, serta adanya Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 2014 tentang penanganan gangguan keamanan dalam
negeri, serta berbagai keputusan menteri terkait dengan pengelolaan dan
penyelamatan sumber daya. Namun persoalannya adalah bagaimana UU dan
peraturan ini diinterpretasikan dan ditegakkan agar dapat digunakan untuk
mencegah dan menyelesaikan konflik.
Di Kab. Ketapang, Bupatinya sendiri yang merupakan Suku Dayak
beserta dengan wakil Bupati membentuk organisasi-organisasi paguyuban dari
masing-masing suku, seperti Dewan Adat Dayak, Persatuan Adat Madura,
Persatuan Adat Melayu. Pemda sendiri bersamaan dengan stakeholderskerap
mengadakan Muspida dengan mengundang setiap instansi di daerah dan tokoh
masyarakat (Tomas), tokoh agama (Toga) dan tokoh adat (Toda) setempat.
Letnan Yulianto dan Kapten Mardiyanto (Wawancara, 24/8/2016)
menyatakan bahwa Pemimpin Kab. Ketapang melalui pemda memiliki inisiatif
dan kebijakan yang baik, misalnya dalam kasus kebakaran hutan yang terjadi
setiap tahunnya, Pemerintah daerah setempat menginstruksikan segera kepada
para aparat untuk turun menangani kasus tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan
berkurangnya kebakaran hutan pada tahun 2016 dibandingkan dengan tahun
2015 lalu.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 41
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Simpulan
Kabupaten Ketapang merupakan wilayah dengan masyarakat yang
heterogen dan masyarakatnya relatif lebih terbuka secara geografis karena
berbatasan dengan laut yang menghubungkannya dengan wilayah lain. Wilayah
ini juga merupakan kota yang tergolong maju dan bagus. Dari sisi keamanan,
Ketapang dapat dikategorikan sebagai wilayah yang aman dan stabil. Misalnya,
pada saat terjadi kerusuhan konflik Sambas di Kalbar dan konflik Sampit di
Kalteng masyarakat Kab. Ketapang tidak terpancing untuk melakukan hal yang
sama. Pada waktu tersebut, seluruh etnik melalui pemuka suku/adat masing-
masing menyatakan ikrar perdamaian untuk menjauhi perselisihan,
pertengkaran, saling curiga, permusuhan, penipuan dan perbuatan yang
membangkitkan kemarahan, perkelahian serta pembunuhan pada hari Rabu, 21
Maret 2001.
Di Kabupaten Ketapang, Tokoh Adat/Agama/Masyarakat sangat
berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat di Ketapang. Dalam kasus
tersebut misalnya, para tokoh adat di Ketapang langsung bergerak cepat dan
memberikan pengertian kepada masyarakat untuk tidak ikut terpancing konflik
tersebut. Pengaruh dari peran Tokoh Adat/Agama/Masyarakat ini mampu
menciptakan de-ekskalasi di wilayah Kab. Ketapang sehingga dapat dapat
membentuk pembangunan perdamaian.
Hubungan yang erat antara individu dengan komunitas inilah yang
kemudian mempengaruhi kuatnya ketahanan/resiliensi masyarakat Kab.
Ketapang setempat. Sebagaimana dinyatakan oleh Hermann, et al. (2011)
bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individual
resilienceyaitu personal factors; biological factors; dan environmental
factors yang terdiri dari dua yaitu, tingkat mikro seperti hubungan dengan
keluarga, dan tingkat makro yaitu hubungannya dengan komunitas. Faktor-
faktor tersebut menjadi indikasi yang dapat meningkatkan atau merendahkan
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 42
kemampuanresilience individu. Dengan demikian, kuatnya ketahanan
masyarakat Kab. Ketapang dikarenakan hubungan masyarakat yang kuat dalam
komunitasnya, serta tingginya toleransi antar masyarakat meskipun merupakan
masyarakat yang hererogen.
Kemudian, hubungan yang baik antara kelompok fungsional,
yaitustakeholders setempat dengan kelompok fungsional, yaitu Tokoh
Adat/Agama/Masyarakat juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
kuatnya ketahanan masyarakat Kab. Ketapang. Kegiatan bersama yang kerap
dilaksanakan, seperti Muspida yang selalu melibatkan Tokoh
Adat/Agama/Masyarakat dan kegiatan keadatan yang juga sering dihadiri
oleh stakeholders menjadi wadah untuk berkomunikasi sehingga meningkatkan
koordinasi antar kedua belah pihak.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang akan menjadi potensi
konflik di Kab. Ketapang pada masa yang akan datang, yatu permasalahan
Sumber Daya Alam (SDA). Hal yang menjadi isu aktual di Kab. Ketapang
adalah konflik pengelolaan perkebunan dan pertambangan. Banyaknya
perusahaan yang datang dan berinvestasi di wilayah tersebut menimbulkan
sengketa dengan masyarakat setempat terkait kepemilikan lahan. Selain itu,
beberapa hal-hal yang menjadi potensi di Kab.Ketapang, yaitu permasalahan
perusahaan asing yang datang dan melakukan investasi, kedatangan TKA
Tiongkok yang kemudian menikah dengan penduduk setempat, dan
permasalahan tapal batas yang dikarenakan Perda/PP pemekaran wilayah bagi
wilayah yang belum siap.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
Saran teoritis pada penelitian ini berupa perlu adanya
pengembanganpenelitian-penelitian untuk menganalisis lebih lanjut mengenai
Potensi konflik ke depan yang kemungkinan akan terjadi, seperti konflik Sumber
Daya Alam, konflik lahan antara warga setempat dengan perusahaan asing, dan
permasalahan TKA asing yang menikah dengan warga setempat, serta
banyaknya warga asing yang menjadi TKA di perusahaan di wilayaha tersebut.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 43
5.2.2 Saran Praktis
Terdapat beberapa saran praktis yang dapat dikaitkan pada penelitian ini,
yaitu:
1. Pemerintah Daerah bersama dengan stakeholders terkait agar dapat
lebih meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar lembaga dan dengan
kelompok fungsional dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat
setempat.
2. Pemerintah Daerah agar terus mendukung kegiatan yang dapat
mewadahiorganisasi-organisasi paguyuban di Kab. Ketapang dan turut
berpartisipasi di dalamnya sebagai salah satu upaya pencegahan konflik ke
dapan.
3. Beberapa potensi konflik seperti konflik lahan antara warga setempat
dengan perusahaan asing, dan permasalahan TKA asing yang menikah dengan
warga setempat, serta banyaknya warga asing yang menjadi TKA di
perusahaan di wilayah Ketapang agar cepat dilakukan pencegahan konflik
supaya tidak menjadi permasalahan yang dapat mengganggu ketahanan
masyarakat Kab.Ketapang ke depannya.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 44
DAFTAR PUSTAKA
Carpenter, Ami C. (2014). Community Resilience to Sectarian Violence in Baghdad. New
York: Springer.
Ganson, B., and A. Wennmann. (2013). Operationalising conflict prevention as strong,
resilient systems: approaches, evidence, action points. Working paper No. 3.
Retrieved from http://www.gpplatform.
Herrman, et al. (2011). What is Resilience?. Canadian Journal of Psychiatry, vol.56, no.5,
hal.258. Proquest Research Library.
Holling, C.S., and B. Walker. (2003). Resilience defined. Entry prepared for the Internet
encyclopedia of ecological economics.
Horowitz, Donald L. (1985). Ethnic Groups in conflict. Berkeley: University of California
Press.
Human Rights Watch. (1997). Indonesia: Communal Violence in West Kalimantan. Vol. 9,
No. 10 (C). New York: Human Rights Watch.
Longstaff, et al. (2010). Building Resilient Communities: A Preliminary Framework for
Assessment. Homeland Security Affairs, vol. VI, no. 3.
Menkhaus, K. (2013). Making Sense of Resilience in Peacebuilding Contexts:
Approaches, Applications, Implications. Geneva Peacebuilding Platform Paper 6.
Retrieved from http://www.gp platform.
Milliken, J. (2013). Resilience: From metaphor to an action plan for use in the
peacebuilding field. Platform paper 7. Geneva peacebuilding platform. Retrieved
from http://www.gpplatf orm (emphasis mine).
Peluso, Nancy Lee. (2006). Passing the Red Bowl: Creating Community Identity Through
Violence in West Kalimantan, 1967-1997 Pp. 106-128 in Charles A. Coppel,
eds., Violent Conflict in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution. London &
New York: Routledge.
Ryan, J. (2012). Infrastructures for peace as a path to resilience societies: a institutional
perspective. Journal of Peacebuilding and Development 7(2).
Stanes, Paul B, and Vessey, John W. (2011). Partners in preventive action: The United
States and International Institutions. Council on Foreign Relations.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 45
Universitas Pertahanan 45
Tanasaldy, T. (2009). Ethnic Geography in Conflicts: The Case of West Kalimantan,
Indonesia. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol.43, no. 2, pp. 105- 30.
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 46
LAMPIRAN KONTRAK KERJA
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 47
LAMPIRAN SPRIN PENELITI
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 48
Laporan Hasil Penelitian LPPM Unhan 2016 49