Laporan Penelitiankip.bandaacehkota.go.id/wp-content/.../Riset-Tingkat-Melek-Politik... · Fakta...
Transcript of Laporan Penelitiankip.bandaacehkota.go.id/wp-content/.../Riset-Tingkat-Melek-Politik... · Fakta...
0
Tingkat Melek Politik (Political Literacy)
Warga Kota Banda Aceh
Laporan Penelitian
Kerjasama antara:
KIP Kota Banda Aceh
1
KIP Kota Banda Aceh Bekerjasama dengan
Jaringan Survey Inisiatif
© July 2015 by JSI All rights reserved Printed in the Indonesia
Tim Riset
1. Aryos Nivada
2. Elly Sufriadi
3. Al Faraby
4. Bisma Yadhi Putra
5. Firdaus Mirza
2
Melek politik atau disebut juga political literacy merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
kualitas pemilu di suatu Negara. Melek politk bukan hanya sebuah keharusan bagi warga Negara
(pemilih), tetapi juga bagi semua stake holder pemilu. Ada suatu pandangan yang masih perlu
dibuktikan secara empirik bahwa perilaku kontestan pemilu yang memiliki pemahaman politik yang
rendah akan menyebabkan melemahnya integritas pemilih. Sebagai contoh, prilaku money politik yang
dilakukan oleh kontestan pemilu akan menyebabkan pemilih menjadi pragamatis dan cenderung
meninggalkan nilai-nilai jurdil dari sebuah pemilu. Civic education dan sosialisasi pemilu yang gencar
dilakukan penyelenggara pemilu menjadi tidak bermakna ketika kontestan pemilu melakukan cara-cara
yang tidak sehat dalam meraih kemenangan. Namun demikian pandangan ini masih perlu diuji
validitasnya.
Berbagai teori mengatakan bahwa tingkat kesadaran politik warga negara yang baik akan
meningkatkan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya, termasuk memilih untuk
tidak memilih karena latar belakang kontestan yang berkompetisi dianggap tidak layak menurut
perspektif pemilih tersebut. Fakta ini terlihat di Negara-negara maju, yang notabene kesadaran politik
warga negaranya sudah baik namun tingkat partisipasi di pemilu justru tergolong rendah.
Di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebenarnya baik secara formal maupun non
formal pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan politik sudah banyak dilakukan. Namun kualitas
pemilu kita masih belum maksimal, terutama dalam hal penentuan pilihan-pilhan dari pemilih.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, salah satu faktor penyebabnya adalah belum semua stake
holder pemilu menyadari arti pentingnya kualitas pemilu terhadap kemajuan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Padahal kualitas pemilu merupakan indikator yang penting untuk mendapatkan aktor-aktor
politik yang baik dan berkualitas, termasuk pemimpin di berbagai tingkatan.
Selain itu perilaku berdemokrasi juga merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai pemilu
yang baik dan berkualitas, termasuk dalam hal kesadaran terhadap menerima perbedaan, baik dalam
konteks pilihan politik maupun dalam konteks yang lebih luas seperti etnis, agama dan entitas politik
lainnya.
Pendahuluan
3
Berdasarkan permasalahan di atas perlu dilakukan kajian yang lebih dalam terhadap pengaruh-
pengaruh melek politik terhadap kedewasaan perilaku berdemokrasi yang secara lebih jauh berdampak
terhadap kualitas demokrasi khususnya di Kota Banda Aceh.
BATASAN PENELITAN
Agar penelitian ini lebih fokus dan bermakna, batasan-batasan yang perlu dirumuskan dalam penelitian
ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang:
Seberapa tinggi melek politik pemilih di Kota Banda Aceh;
Bagaimana cara yang efektif untuk meningkatkan melek politik warga;
Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap peningkatan melek politik masyarakat; dan
Kebijakan apa saja yang perlu dirumuskan untuk peningkatan melek politik masyarakat
4
Di penelitian ini memfokuskan kepada melek politik (political literacy) dari masyarakat Banda Aceh
yang sudah memiliki hak politik. Guna memahami, menjawab, dan menganalisis terhadap fokus
penelitian sangat diperlukan kerangka teori yang menjadi landasan dalam melakukan penelitian. Dalam
memahami melek politik masyarakat Banda Aceh harus dilihat juga pada partisipasi politiknya. Ketika
partisipasi pemilih terjadi, maka kesadaran politik masyarakat yang terlibat dalam setiap momentum
Pemilu bisa dilihat pada perilakunya. Untuk itu sangat penting dimasukan teori yang berhubungan
dengan perilaku pemilih. Kemudian masuk ke konsep/pemahaman dari political literacy guna sebagai
rambu-rambu menganalisis dan mengupas hasil penelitian. Ketiga kerangka teori yang dijadikan
landasan dijabarkan satu persatu. Berikut ini penjelasannya.
Dalam hal kajian pemilihan umum banyak pemikiran dan teori yang membahas pemilih. Hampir
sebagian besar pemilih mengatakan sebagai objek yang diikutsertakan dalam kegiatan kepemiluan.
Pemilih menurut pandangan umum masih terkotak pada definisi pihak yang diikutsertakan dalam
keseluruhan rangkaian kepemiluan. Kehadiran dan partisipasi Pemilih sangatlah penting dalam tatanan
demokrasi. Sejalan dengan pemikiran dari Ardial mengatakan asumsi yang mendasari Pemilih terlibat
di demokrasi adalah bahwa setiap orang mengetahui diri dan dunianya secara lebih baik daripada
orang lain termasuk para ahli elite politik yang membuat keputusan1.
Keberhasilan pelaksanaan Pemilu sangat di lihat dari partisipasi Pemilih. Milbrath dan Goel
membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori. Pertama, apatis, artinya orang yang tidak
berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator, artinya orang yang setidak-
tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator, artinya mereka yang secara
aktif ikut terlibat dalam proses politik, yaitu komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka,
aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktifis masyarakat2.
Partisipasi politik menurut Rosseau terdiri atas dua jenis. Pertama, para pengamat yang
memperhatikan politik tidak hanya selama pemilihan umum, melainkan diantara pemilihan umum yang
satu dengan pemilihan umum yang lain. Kedua, partisipasi aktif adalah khalayak yang bukan saja
1 Ardial, Komunikasi Politik, (Jakarta: Indeks, 2010) hal. 64 2 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal. 372.
Kerangka Teoritis
5
mengamati, tetapi giat melakukan komunikasi dengan para pemimpin politik atau politikus, baik di
pemerintahan maupun di parlemen atau di luar parlemen3.
Menurut penerapan theory of reasoned action pada bidang politik, keinginan untuk memilih partai politik
secara signifakan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap
partai politik dan norma subjektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap partai politik signifikan karena
orang mengidentifikasinya dirinya dengan partai, bukan pemimpinnya. Pengaruh sikap terhadap partai
politik secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut partai seperti visi/misi/program atau isu. Pemilih lebih
menekankan pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu partai politik dalam memilih.
Political Literacy
Dalam skala waktu tertentu setelah terjadi perubahan politik di suatu wilayah, katakanlah misalnya 5
atau 10 tahun setelah perubahan itu terjadi, para analis atau peneliti biasanya tertarik untuk
memetakan tingkat pemahaman praktis tentang politik pada masyarakat di wilayah tersebut. Tentu saja
dalam hal ini perubahan politik yang dimaksud adalah perubahan dari sistem politik yang represif
menuju sistem politik yang demokratis, yang mengupayakan tumbuhnya kesadaran dan kecerdasan
politik rakyat. Sistem demokrasi selalu mengagendakan pemberantasan terhadap “buta huruf politik”
(political illiteracy).
Bernard Crick melihat literasi politik menyangkut dengan pemahaman tentang konsep-konsep, even-
even, serta hak-hak politik yang berlangsung di dalam kehidupan sehari-hari.4 Melek politik diukur dari
seberapa peka dan pedulinya warga terhadap kejadian-kejadian dan bahasa-bahasa politik yang
muncul di lingkungannya. Maka, pemberantasa buta politik merupakan upaya untuk membuat warga
memahami seputar isu utama politik.
Beberapa ahli ilmu politik kemudian melihat secara lebih luas bahwa literasi politik tidak cukup dengan
mengupayakan adanya pemahaman, tetapi yang lebih penting adalah tindakan atau aksi-aksi kreatif
warga dalam menuntut hak-haknya, seperti kesempatan untuk memberikan suara, kesejahteraan,
harga barang-barang konsumsi murah, dan sebagainya. Jadi tingkat melek politik diukur dari “dorongan
untuk menjadi aktif” di ruang publik.5
3 rdial, Komunikasi………. Hal. 66 4 Setyaningsih, “Politik dan Literasi”, Jawa Pos, 25/6/2014. 5 Henry Maithles, “Teaching Political Literacy”, Education-Line, September 18-20 1997.
6
Dorongan aktif itu dapat berupa mencari informasi tentang kebijakan publik di media massa, dokumen
anggaran daerah, hingga profil mendalam dari calon yang maju dalam pemilu. Literasi politik dalam
konteks pemilu dipahami sebagai kemampuan masyarakat untuk mendefinisikan kebutuhan mereka
akan substansi politik terutama perihal pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa, dan
mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat
yang akan mewakili mereka nantinya.6
Namun tentu saja tidak sebatas itu, karena pada dasarnya orang-orang harus juga mengetahui tentang
pemilu baik dalam hal penyelenggaranya, teknis penyelenggaraan, atau sistem secara menyeluruh.7
Secara konseptual, tingkat melek politik yang tinggi ditandai dari pemahaman umum dalam mengetahui
sistem-sistem pemilu yang cuku beragam.8
Pengetahuan tentang pemilu cukup penting dipahami sebelum orang memahami kandidat-kandidat.
Tanpa memahami sistem pemilu akan menghasilkan kesalahan dalam pemberian hingga pengawasan
terhadap suara yang terkumpul.9
Untuk itulah diperlukan satu pengukuran terkait tingkat melek politik warga di tiap-tiap wilayah agar
penyelenggara pemilu mengetahui masalah yang ada di lingkungan pemilih sehingga kebijakan yang
diambil efektif dalam menyelesaikan persoalan. Pengukuran ini penting untuk meningkatkan partisipasi
pemilih.
Pasalnya, alasan tidak memilih pada setiap orang berbeda-beda. Maka penting dalam pengukuran
tersebut menanyakan apa alasan yang bersangkutan tidak menggunakan hak pilihnya ketika pemilu.10
Selanjutnya, apabila tida.k terdaftar di daftar pemilih tetap, apakah orang tersebut memiliki melek politik
dengan berinisiatif mendatangi petugas untuk melaporkan. Termasuk yang paling penting adalah
apakah pemilih merasa optimis penggunaan hak suaranya dapat mengubah negara atau nasib bangsa
atau tidak.11
6 Setyaningsih, “Politik dan Literasi”... 7 Larissa Huda, “Literasi dan Kesadaran Politik: larissahuda.blogspot.com/2014/06/literasi-dan-kesadaran-politik.html. Diakses pada: 15 Juni 2015. 8 Yudi Latif, “Basis Literasi Politik”, Republika, 12/2/2014. 9 Carol A. Cassel dan Cella C. Lo, “Theories of Political Literacy”, Political Behavior, Vol. 19, No. 4, 1997. 10Ahmad Sirulhaq, “Bahasa dan Kekausaan: Refleksi Kritis Atas Narasi Politik Pilpres 2014”: http://medialiterasi.com/bahasa-dan-kekuasaan-refleksi-kritis-atas-narasi-politik-pilpres-2014/ 11 Gun Gun Heryanto, Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi, Tangerang Selatan: Churia Press, 2012.
7
Pendekatan yang digunakan dalam survei ini adalah kuantitatif dan kualitatif dengan melihat faktor-
faktor yang seperti yang tertuang pada batasan penelitian. Sumber data yang diperlukan dalam survei
ini adalah data yang dapat menggambarkan permasalahan yang ada, sehingga diperoleh gambaran
mengenai objek yang diteliti. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu:
a) Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek yang akan diteliti. Data ini
berupa hasil survey kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan dalam bentuk FGD dan wawancara
mendalam.
b) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung (buku-buku laporan-laporan,
dokumen-dokumen dan literatur lainnya yang diperlukan dalam survei ini).
Teknik pengumpulan data dalam survei ini sebagai berikut:
a) Data primer yang berasal dari survey kuantitatif berupa kuesioner dilakukan dengan metode
wawancara kepada responden. Basis populasi adalah penduduk Kota Banda Aceh yang
masuk dalam kategori pemilih (yang sudah memiliki hak pilih);
b) Data primer yang berasal dari survey kualitatif (FGD), berupa catatan dan rumusan yang
diperoleh dari hasil FGD dengan nara sumber (responden) yang berasal dari berbagai elemen
stake holder pemilu, seperti penyelenggara, tokoh masyarakat, representasi pemilih, aktifis
LSM yang bergerak di bidang demokrasi, pengurus parpol dan anggota parlemen;
c) Data sekunder dilakukan dengan cara dokumentasi (studi kepustakaan), yaitu peneliti
mengumpulkan data dengan mencari data yang diperlukan dari dokumen atau dan literatur
yang meliputi arsip, buku, jurnal, penelitian terdahulu yang terkait dengan survei ini.
Populasi dalam survei kuantitatif, yaitu masyarakat umum Kota Banda Aceh yang mempunyai hak pilih
dengan jumlah 156.808 jiwa (berdasarkan data DPT/K pada Pilpres 2014,
http://data.kpu.go.id/ss89.php, diakses 05/02/2015). Pemilihan sampel menggunakan Probabilty
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur
atau anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik yang digunakan pada penelitian ini
adalah sample random sampling (sampel acak sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari
Metodologi Survey
8
populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada pada populasi tersebut.
Pengambilan sampel ini menggunakan rumus Slovin dengan nilai presisi 95% (sampling error sebesar
0,05), maka didapatkan hasil jumlah sampel sebesar 398 yang dibulatkan menjadi 400 sampel.
Jumlah sampel ini akan terbagi secara proporsional dengan jumlah penduduk/populasi pada 9
kecamatan di Kota Banda Aceh. Proporsi populasi masing-masing kecamatan, yaitu 14.1%
Baiturrahman, 9.4% Banda Raya, 9.7% Jaya Baru, 19.2% Kuta Alam, 5.0% Kutaraja, 10.5% Lueng
Bata, 7.3% Meuraxa, 14.7% Syiah Kuala, dan 10.0% Ulee Kareng. Pembagian ke-400 sampel akan
mengikuti persentase tersebut. Selain itu, pembagian sampel ini juga memperhatikan proporsi dari laki-
laki dan perempuan di masing-masing kecamatan. Sampel pada masing-masing kecamatan sebagai
berikut:
Tabel 1. Distribusi jumlah sampel per kecamatan di Kota Banda Aceh
No. Kecamatan Jumlah Laki-laki Perempuan
1 Baiturrahman 56 27 29
2 Banda Raya 38 18 20
3 Jaya Baru 39 19 20
4 Kuta Alam 77 39 38
5 Kutaraja 20 11 9
6 Lueng Bata 42 21 21
7 Meuraxa 29 15 14
8 Syiah Kuala 59 30 29
9 Ulee Kareng 40 20 20
Total 400 200 200
9
Alur Kegiatan Survey
Time Line Kerja Survey
Jadwal pelaksanaan survey melek politik warga Kota Banda Aceh mengacu kepada term of reference
(TOR) yang dikeluarkan oleh KPU Pusat. Secara nasional penelitian dilaksanakan dalam rentang
waktu dari Bulan Juni sampai dengan Juli 2015. Untuk kasus Kota Banda Aceh dilaksanakan mulai dari
tanggal 26 Juni 2015 sampai dengan 27 Juli 2015
HASIL YANG DICAPAI AKTIVITAS SURVEI KEGIATAN
Peneliti dan
Asisten Peneliti
Kegiatan
Lapangan
Tim mengumpulkan Data
Sekunder, seperti: kajian
pustaka, dokumentasi
media, jurnal, referensi
penelitian, dll
Tim mengumpulkan Data
Primer, yaitu survei ke
lokasi dan wawancara
dengan responden
AKTIVITAS 1
Olah Data
Analisis kuantitatif
AKTIVITAS 2
AKTIVITAS 3
Penulisan Laporan Penelitian
Laporan Tentatif AKTIVITAS 4
Konferensi Pers
Hasil Survei
AKTIVITAS 5
Hadir Undangan Publik
10
Tabel 2. Jadwal kegiatan survey
No. Kegiatan Jadwal
1 Rapat tim 10 Juni 2015
2 Turun lapangan 11 Juni – 15 Juni 2015
3 Olah data 15 – 20 Juni 2015
4 Pembuatan laporan 21 – 25 Juni 2015
5 Konferensi pers hasil survei 26 Juni 2015
Gambaran Profil Kota Banda Aceh
Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05 16' 15" - 05 36' 16" Lintang Utara
dan 95 16' 15" - 95 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut. Kota
Banda Aceh terdiri dari 9 Kecamatan dan 90 Desa. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh
sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut :
Tabel 3. Batas wilayah Kota Banda Aceh
Utara Selat Malaka
Selatan Kecamatan Darul Imarah Dan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar
Timur Kecamatan Barona Jaya Dan Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar
Barat Kecamaan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar
Tabel 4. Luas Wilayah Menurut Kecamatan :
No. Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Persentase (%)
1. Meuraxa 7.26 11,83 2. Jaya Baru 3.78 6,16 3. Banda Raya 4.79 7,81 4. Baiturrahman 4.54 7,40 5. Lueng Bata 5.34 8,70 6. Kuta Alam 10.05 16,38 7. Kuta Raja 5.21 8,49 8. Syiah Kuala 14.24 23.21 9. Ulee Kareng 6.15 10,02 Jumlah
Tahun 2011
61.36 100,00
Sumber : Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2012
11
Berdasarkan hasil Sensus penduduk (SP-2010) yang dilakukan oleh BPS Republik Indonesia,
penduduk Kota Banda Aceh Tahun 2010 sebesar 223.446 jiwa, terdiri dari 115.098 orang laki-laki dan
108.348 orang perempuan. Kecamatan Kuta Alam adalah kecamatan dengan jumlah penduduk
terbanyak (42.217 jiwa) dan Kecamatan Kuta Raja merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk
paling sedikit (10.433 jiwa). Jumlah penduduk terpadat berada di Kecamatan Baiturrahman dengan
kepadatan penduduk 6.691 jiwa per Km2. Sedangkan jumlah penduduk terjarang berada di Kecamatan
Kuta Raja dengan kepadatan penduduk sebesar 2.003 jiwa per Km2.
Tabel 5. Jumlah Penduduk, Rata-Rata Kepadatan Penduduk per Desa dan Rata-rata Kepadatan Penduduk Per Km2 Kota Banda Aceh Tahun 2010
No. Kecamatan Jumlah Penduduk Rata-Rata Kepadatan Penduduk
Per Desa Per Km2
1. Meuraxa 16.484 1.832 2.271
2. Jaya Baru 22.031 2.448 5.828
3. Banda Raya 20.891 2.321 4.361
4. Baiturrahman 30.377 3.375 6.691
5. Lueng Bata 23.592 2.621 4.418
6. Kuta Alam 42.217 4.691 4.201
7. Kuta Raja 10.433 1.159 2.003
8. Syiah Kuala 38.850 3.872 2.447
9. Ulee Kareng 22.571 2.508 4.670
Jumlah
2010
2009
2008
223.446
212.241
217.918
2.795
2.358
2.421
3,642
3.459
3.551
Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio pada Tahun 2010
No. Kecamatan Jenis Kelamin Sex Rasio
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Meuraxa 8.927 7.557 16.484 118.13
2. Jaya Baru 11.195 10.836 22.031 103.31
3. Banda Raya 10.559 10.332 20.891 102.20
4. Baiturrahman 15.618 14.759 30.377 105.82
5. Lueng Bata 12.096 11.496 23.592 105.22
6. Kuta Alam 22.094 20.123 42.217 109.79
7. Kuta Raja 5.544 4.889 40.433 113.40
8. Syiah Kuala 17.469 17.381 34.850 100.51
9. Ulee Kareng 11.596 10.975 22.571 105.66
Jumlah 2010 115.098
108.348 223.446 106.23
Sumber : Banda Aceh Dalam Angka Tahun 2011 (BPS Kota Banda Aceh)
12
48.62% 51.38%
Gambar 1. Profil responden berdasarkan gender
17-20 2%
21-30 41%
31-40 30%
41-50 16%
51-60 9%
>60 2%
Profil Responden
Salah satu informasi penting yang perlu dilakukan dalam Penelitian Tingkat Melek Politik Warga Kota
Banda Aceh adalah profil responden. Beberapa variable yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1)
Gender; (2) Usia responden; (3) Tingkat pendidikan responden; dan (4) Pekerjaan utama responden.
Secara lebih rinci, informasi masing-masing variable terlihat pada penjelasan di bawah ini.
Gender, studi yang dilakukan menampilkan
hubungan antar variabel, misalnya hubungan
antara jenis kelamin dengan tingkat
pemahaman terhadap pemilu. Untuk itu
sebelumnya perlu dilihat rasio antara
responden laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan hasil interprestasi data,
diperoleh informasi bahwa rasio antara laki-
laki dan perempuan masing-masing adalah
51,38% dan 48,62% sebagaimana terlihat pada gambar 1.
Usia Responden, penelitian ini membagi usia responden menjadi lima kelompok, yaitu 17-20 tahun,
21-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun dan lebih besar dari 60 tahun. Berdasarkan hasil
studi diperoleh bahwa jumlah responden
yang berusia 17-20 tahun (2%), 21-30 tahun
(41%), 31-40 tahun (30%), 41-50 tahun
(16%), 51-60 tahun (9%) dan lebih besar dari
60 tahun (2%). Penelitian ini tidak secara
spesifik membagi secara rata jumlah
responden untuk masing-masing kelompok
usia, namun responden yang terambil secara
acak dan tak sengaja didominasi kelompok
usia 21-40 tahun (71%). Temuan khusus
Hasil Penelitian
Gambar 2. Komposisi kelompok usia responden
13
SD 3%
SMP/MTs 6%
SMA/SMK/MA
47%
D3/D4 12%
S1 28%
S2 4%
Petani 1%
Nelayan 1%
Pedagang 8%
PNS 15%
Karyawan 17% IRT
20%
Wiraswasta 21%
Siswa 0.25%
Mahasiswa 12%
Lain-lain 5%
terjadi pada kelompok usia 17-20 tahun. Persentase yang bersedia menjadi responden sangat rendah,
karena mereka merasa tidak cukup mampu memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga
cenderung meminta orang tuanya atau kakak untuk menjadi responden.
Tingkat Pendidikan, secara umum tingkat pendidikan warga Kota Banda Aceh yang terambil tersebar
mulai dari sekolah dasar sampai master (S2) dengan komposisi yang bervariasi. Berdasarkan hasil
studi diperoleh bahwa komposisi tingkat pendidikan SD (3%), SMP/MTs (6%), SMA/MA/SMK (47%),
D3/D4 (12%), S1 (28%), dan
S2 (4%). Sementara itu, tidak
ada satupun yang
berpendidikan S3 (doctor).
Dari temuan ini tergambar
bahwa mayoritas responden
atau mewakili seluruh warga
Kota Banda Aceh
berpendidikan SMA/SMK ke
atas, yaitu mencapai 91%,
hanya 9% yang berpendidikan
sekolah dasar sampai SMP/MTs sebagaimana terlihat pada gambar 3.
Pekerjaan Utama Responden,
pekerjaan responden bervariasi dengan
komposisi yang hampir berimbang,
kecuali petani, nelayan, siswa dan lain-
lain. Secara lebih rinci terlihat bahwa
komposisi tertinggi bekerja sebagai
wiraswasta (21%), ibu rumah tangga
(20%), karyawan (17%), PNS (15%),
mahasiswa (12%), pedagang (8%),
lain-lain (5%), petani dan nelayan masing-masing 1%.
Informasi profil responden ini dapat dihubungkan dengan beberapa variabel penting dalam penelitian
ini, seperti pemahaman terhadap jenis-jenis pemilu, alasan sesorang memilih anggota legislatif dan
kandidat dalam pilkada berdasarkan masing-masing perbedaan variabel profil responden.
Gambar 3. Komposisi tingkat pendidikan responden
Gambar 4. Komposisi jenis pekerjaan responden
14
0 20 40 60 80 100
2010
2011
2012
2013
Persentase penduduk (%)
T
a
h
u
n
Angka Melek Huruf Usia 15+ TahunIndeks Pembangunan Manusia -
Ya 55%
Tidak 45%
Bila kita bandingkan temuan-temuan dalam studi ini dengan data kependudukan yang dikeluarkan BPS
untuk beberapa variable memiliki korelasi yang cukup kuat. Misalnya dalam hal rasio jumlah penduduk
laki-laki dan perempuan, terlihat bahwa laki-laki 51,51% dan perempuan 48,49%. Dari tingkat
pendidikan dapat dibandingkan
dengan indeks pembangunan
manusia (IPM) dan angka melek
huruf umur 15+ penduduk Kota
Banda Aceh. Berdasarkan data
BPS terlihat sebagaimana
gambar 5 disamping. Dengan
demikian hasil studi terkait
dengan profil responden dapat
diproyeksikan menjadi informasi
yang linear dengan profil warga
Kota Banda Aceh.
Informasi Umum
Bagian ini memberikan informasi
tentang latar belakang responden,
terutama yang menyangkut
dengan asal daerah, tempat lahir,
asal orang tua dan apakah
termasuk pendatang atau tidak.
Informasi dianggap penting untuk
mengukur hubungan antara lama
domisili di Banda Aceh dengan
tingkat pemahaman terhadap
pemilu dan civic education. Dari beberapa parameter yang diukur diperoleh hasil sebagai berikut: (1)
55% responden lahir di Banda Aceh, dan 45% lahir di luar Kota Banda Aceh; (2) Diantara responden
yang lahir di Banda Aceh ternyata yang keberadaan orang tuanya memang di Banda Aceh sebesar
92%, sisanya (8%) berdomisili di daerah lain; (3) Lama tinggal responden di Banda Aceh, baik yang
orang tuanya tinggal di Banda Aceh maupun yang berasal dari daerah lain ternyata 47% menyatakan
Gambar 5. Trend IPM dan Melek Huruf Tahun 2010-2013
Gambar 6. Komposisi tempat lahir responden
15
Ya 92%
Tidak 8%
telah tinggal di Banda Aceh selama
lebih dari 21 tahun, lebih kecil dari 5
tahun sebanyak 18%, 6-10 tahun
sebanyak 17%; 11-15 tahun
sebanyak 12%, 16-20 tahun
sebanyak 6%. Dari data ini terungkap
bahwa sebagian besar responden
telah tinggal di Banda Aceh selama
lebih dari 15 tahun sebanyak 53%.
Data ini akan membantu pembaca
untuk menelusuri hubungan antara
keragaman informasi yang diperoleh, karena Banda Aceh adalah basis perkotaan dengan
pengetahuan seseorang tentang hal-hal yang terkait dengan politik dan pemilu. Data di atas dapat
diperkuat dengan melihat hubungan lama tinggal di Banda Aceh dengan pemahaman terhadap pemilu
(gambar 8).
Bila dilihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemahaman tentang Pemilu, ternyata tidak
serta merta tingkat pendidikan berpengaruh langsung terhadap pemahaman Pemilu. Pengetahuan
pemilih ternyata lebih dipengaruhi oleh sumber informasi seputar pemilu yang di dapat (gambar 9).
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa informasi dari surat kabar, internet dan televisi
sangat dominan berpengaruh terhadap informasi tentang Pemilu (gambar 10). Hasil ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Silverblatt (2005) yang menyatakan bahwa kemampuan mengamalkan
(karakter) media literasi seseorang dapat memandang secara kritis semua yang dia lihat dan dengar
Gambar 7. Komposisi responden yang orang tua lahir di Banda Aceh
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
0-5tahun
6-10tahun
11-15tahun
16-20tahun
>21tahun
Satu Dua Tiga Empat
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
120.0%
0-5tahun
6-10tahun
11-15tahun
16-20tahun
>21tahun
Ya Tidak
Gambar 8. Hubungan antara lama tinggal di Banda Aceh dengan (A) mengetahui tentang Pemilu, dan (B) Mengetahui ada berapa jenis Pemilu saat ini
16
dalam media komunikasi baik itu suratkabar, majalah, televisi, film hingga konten media siber. Selain
itu juga termasuk kemampuan dalam mengkomunikasikan pesan dengan berbagai media komunikasi
dengan bijak.
Mempelajari melek politik (political literacy) masyarakat Kota Banda Aceh snagat diperlukan guna
mendapatkan informasi ilmiah serta memperbaiki sistem tata kelola kepemiluan ke depannya. Ketika
Selain itu, ketika lebih dalam ditanya apakah responden bisa menyebutkan jenis-jenis pemilu yang
diketahui, ditemukan bahwa responden yang mendapatkan informasi melalui surat kabar, internet dan
televisi secara dominan menjawab dengan benar, selanjutnya diikuti oleh sosialisasi KIP. Sedangkan
yang mendapatkan informasi dari sumber lain masih tidak terlalu besar persentasenya (gambar 11).
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
Surat Kabar,internet dan
televisi
Sosialisasi KIP danSpanduk/Baliho
Sekolah Parpol/Caleg/TimKampanye
Lain-lain
Satu Dua Tiga Empat
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
Satu Dua Tiga Empat
3.8% 2.1% 1.8% 6.3%
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
120.0%
Ya Tidak
Gambar 9. Hubungan antara lama tingkat pendidikan dengan (A) mengetahui tentang Pemilu, dan (B) Mengetahui ada berapa jenis Pemilu saat ini
Gambar 10. Hubungan antara sumber informasi Pemilu dengan pengetahuan tentang ada berapa jenis Pemilu yang berlaku saat ini
17
Pemilu dan Sumber Informasi
Pada penelitian ini diperoleh bahwa 98% responden mengetahui apa itu Pemilu. Hanya 2% yang
menjawab tidak mengetahui. Setelah ditelusuri lebih lanjut, bahwa yang tidak mengetahui apakah
berasal dari kalangan berpendidikan atau tidak mendapatkan pendidikan yang cukup. Ternyata mereka
berasal dari kalangan berpendidkan (1,8% dari kalangan berpendidikan S1 dan 6,3% dari lulusan S2).
Dalam hal ini dianggap outlier, karena secara normal tidak ada alasan yang kuat bahwa lulusan S1 dan
S2 tidak mengetahu sama sekali tentang Pemilu.
Menurut Hanta Yuda (2014)12, dalam data hasil survei yang merangkum fakta pada bulan Oktober
2013, (74%) menyatakan bahwa media mempengaruhi pilihan politik mereka, sementara sisanya, (8%)
menyatakan tidak berpengaruh, dan (18%) menyatakan tidak tahu/tidak menjawab. Pada periode
survei kedua, yakni bulan Desember 2013, data hasil survei menunjukan peningkatan pengaruh media
terhadap pilihan politik masyarakat. Sebanyak (75%) responden menyatakan berpengaruh, sementara
12 Potret Geliat Pemberitaan Partai Politik Sepanjang 2013, Pol-Tracking Institute, 2014
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
100.0%
Surat Kabar, internet dantelevisi
Sosialisasi KIP danSpanduk/Baliho
Sekolah Parpol/Caleg/TimKampanye
Lain-lain
Pemilu LegislatifPilpresPemilihan Gub/Wagub, Bup/Wabup, Walkot/WawalkotPemilu Legislatif dan PilpresPemilu legislatif dan Pemilihan Gub/Wagub, Bup/Wabup, Walkot/WawalkotPilpres dan Pemilu legislatif dan Pemilihan Gub/Wagub, Bup/Wabup, Walkot/WawalkotMenjawab semua jenis pemilu
Gambar 11. Hubungan antara sumber informasi Pemilu dengan pengetahuan tentang jenis-jenis , Pemilu yang berlaku saat ini
18
Satu 3% Dua
10%
Tiga 57%
Empat 30%
Gambar 13 Komposisi responden yang menjawab jumlah Pemilu yang berlaku di Indonesia saat ini
Surat Kabar, internet dan
televisi 64%
Sosialisasi KIP dan
Spanduk/Baliho 19%
Sekolah 2%
Parpol/Caleg/Tim Kampanye
7%
Lain-lain 8%
(8%) menyatakan tidak berpengaruh, dan (17%) tidak tahu/tidak menjawab. Menelisik fakta lain, data
hasil survei ini juga menunjukan, media juga memegang peranan sebagai sumber informasi publik
terhadap Parpol. Sedangkan data hasil survey periode Oktober 2013, menunjukan fakta bahwa,
sebanyak (46,91%) responden menyatakan, menjadikan pemberitaan media massa sebagai sumber
informasi mereka akan Parpol. Sementara (23,01%) menyatakan, iklan Parpol di media massa menjadi
sumber informasi lain bagi masyarakat. Sementara itu, Sosialisasi tatap muka Parpol hanya menempati
urutan kelima dengan
(2,77%) suara responden,
diikuti dengan ketokohan
Parpol di peringkat enam
dengan (1,78%) suara
responden.
Mengacu kepada hasil
penelitian Pol-Tracking
Institute, pada studi tingkat
melek politik warga Kota
Banda Aceh ini ditemukan bahwa pada Pemilu terakhir, Tahun 2014, sumber informasi yang paling
dominan diperoleh oleh warga adalah dari surat kabar, internet dan televisi yang mencapai 64%,
kemudian dari sosialisasi KIP/baliho sebesar 19%, lain-lain 8%, dari parpol/caleg/tim kampanye
sebesar 7%
Berdasarkan hasil studi yang
telah dilakukan, diperoleh hasil
bahwa ada 57% responden
mengetahui ada tiga jenis Pemilu
yang berlaku saat ini, dan 30%
menyatakan ada empat jenis
Pemilu. Kecenderungan berbeda
dalam memberikan jumlah
Pemilu dapat dipahami bahwa
sebagian responden memi-
sahkan antara Pemilihan Kepala
Daerah tingkat provinsi dengan
tingkat kabupaten.kota. Sedangkan jawaban yang paling tepat adalah tiga, yaitu: (1) Pemilu Legislatif;
Gambar 12. Komposisi sumber informasi Pemilu
19
Sangat tidak layak 2%
Tidak layak 7%
Sedang 30%
Layak 59%
Sangat layak 2%
Gambar 14. Bagaimana penilaian terhadap informasi tentang Pemilu yang diterima
(2) Pemilihan Presiden/Wakil Presiden; dan (3) Pemilihan Kepala Daerah, Gubernur/Wakil Gubernur,
serta Pemilihan Bupati/Wakil Bupati, dan Pemilihan Walikota/Wakil Walikota. Bila kedua jawaban ini
dianggap mendekati benar, maka 87% warga Kota Banda Aceh yang sudah berhak memilih
mengetahui ada berapa jenis Pemilu (gambar 13). Ketika ditelisik lebih dalam, dari 57% yang
mengetahui dengan tepat jumlah Pemilu, 89% diantaranya mengenal dengan baik nama-nama pemilu
tersebut.
Untuk menguji apakah informasi yang
diterima dianggap layak atau tidak,
dengan menggunakan skala likert,
apakah seluruh sumber informasi
pemilu yang diterima dianggap sangat
layak, layak, sedang, tidak layak dan
sangat tidak layak. Ternyata dari hasil
studi ini diperoleh bahwa yang
mengatakan sangat layak hanya 2%,
layak 59%, sedang 30%, tidak layak
7% dan sangat tidak layak hanya 2%.
Hal yang unik dari hasil studi ini adalah 98% responden yang diwawancarai menyatakan pernah
memberikan hak suara pada Pemilu. Namun setelah ditanya lebih lanjut, narasumber menyatakan
bahwa sejak Pemilu era reformasi tahun 1999, tidak semua pemilu termasuk Pemilihan Kepala Daerah
pernah diikuti. Hal ini memberikan sebuah informasi berharga bahwa walapun sebagian besar warga
Kota Banda Aceh memiliki kesadaran politik yang tinggi, namun kondisi ini tidak linear dengan tingkat
partisipasi pemilih (Voter turn out). Berdasarkan laporan KIP Kota Banda Aceh, tingkat partisipasi
pemilih di Banda Aceh sangat fluktuatif sejak Pemilu Tahun 1999. Kasus yang terakhir terlihat pada
Pilpres 2014, hanya 53,26% dari DPT yang menggunakan hak pilihnya atau berpartisipasi dalam
Pemilu, sedangkan 47% memilih Golput. Hasil ini menurun sebanyak 10% dibandingkan Pemilu
Legislatif di 2014, dimana tingkat partisipasi pemilih sebesar 63%. Demikian juga yang terjadi pada
pemilu-pemilu sebelumnya.
Pada bagian selanjutnya juga dilihat apakah ada pengaruh informasi yang diterima terhadap partisipasi
mereka dalam Pemilu, ternyata 53% menyatakan tidak memberi pengaruh, dan 47% yang menyatakan
berpengaruh. Temuan menarik ini bisa dijadikan argumen terhadap rendahnya partisipasi warga Kota
20
Ya 47%
Tidak 53%
Gambar 15. Pengaruh informasi Pemilu terhadap partisipasi dalam Pemilu
Banda Aceh dalam Pemilu
(gambar 15). Di Negara-
negara maju seperti Amerika
Serikat, melek politik (political
literacy) warga Negaranya
juga sangat tinggi, namun
dalam kurun waktu yang
sangat panjang, partisipasi
pemilih relatif rendah. Apabila
dilihat dari segi jumlahnya,
partisipasi politik melalui
pemilihan suara di Amerika Serikat memang sedikit jumlahnya. Akan tetapi, pemilihan suara memang
bukan satu-satunya bentuk dari partisipasi politik. Masih banyak bentuk partisipasi politik yang
berjalan secara kontinu dan tidak terbatas. Aktifnya partisipasi politik warga negara Amerika Serikat di
luar bentuk partisipasi pemilihan suara dapat dilihat dalam aktifnya mereka untuk mencari
pemecahan bermacam-macam masalah masyarakat dan lingkungannya melalui kegiatan lainnya
(Calvin Mackanzie, 1986:47-52)13
Publik sudah memahami karakteristik dari masyarakat Banda Aceh sangat heterogen (beragam) yang
membedakan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Aceh. Keunikan heterogenitas dari pemilih di
Banda Aceh sangat menarik, ketika melihat melek politik warganya (pemilihnya). Bahkan beberapa
responden (narasumber)14 menyebutkan karakteristik pemilih di Banda Aceh sangat dipengaruhi oleh
informasi yang cepat karena akses informasi mudah, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Hal ini perlu
telusuri apakah berhubungan dengan melek politik untuk warga Banda Aceh.
Berdasarkan serangkaian wawancara dengan narasumber, mendapatkan informasi bahwa masyarakat
Kota Banda Aceh sangat memahami Pemilu, namun hanya sebatas tata caranya bukan pada subtansi
nilai-nilai kepemiluan itu sendiri. Seharusnya mampu membangun pemahaman bahwa tujuan Pemilu
bukan sekedar seremonial tetapi mewujudkan kesejahteraan bagi warga/masyarakat. Kondisi itu tidak
ditemukan pada saat wawancara mendalam dengan narasumber.
T. Hendra Keumala Alamsyah (22) masyarakat di Ie Masen Kaye Adang. Dirinya tidak memahami akan
13
Halissa Haqqi, Analisa partisipasi politik di Amerika Serikat, Transformasi, Vol XIV No. 22 Tahun 2012 14 Diskusi dengan narasumber dari kalangan: wartawan, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. 05/07/2015.
21
hak-hak politik yang melekat di dirinya sendiri. Menurutnya yang diketahui sebatas memilih Caleg dan
partai politik, kepala daerah, dan presiden. Jawaban sama dikatakan para responden lainnya terdiri
dari; Yulia Mirna (24), Fitri (26), Dara Shinny (23), Rahmat Saputra 26), dan lain-lain. Mereka yakni
“masyarakat Banda Aceh” terjebak pada seremonial prosedur yang rutin dilakukan pemerintah melalui
Pemilu. Kelemahan pemahaman akan hak-hak politik mereka lebih menitikberatkan kepada kegiatan
sosialisasi dan pendampingan yang masih kurang intensif dilakukan oleh pemerintah maupun badan
penyelenggara.
Dampak dirasakan jika sosialisasi dari badan penyelenggara Pemilu masih kurang masif maka
partisipasi pemilih semakin berkurang. Terbukti pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2014 yakni
pemilihan legislatif 9 April 2014 mencapai 63 persen dari 161 ribu lebih jumlah pemilih. Sedangkan
partisipasi di pemilihan presiden hanya 53 persen dari 161 ribu lebih jumlah pemilih. Jadi mengalami
penurunan sebesar 6 persen, bahkan bisa disimpulkan bahwa partisipasi pemilih di Banda Aceh masih
sangat rendah dari target awal Komisi Pemilihan Umum sebesar 75 persen (sumber KIP Kota Banda
Aceh, 2015).
Berbicara partisipasi dalam Pemilu hampir bisa dikatakan seluruh masyarakat Kota Banda Aceh
pernah mengikuti pesta demokrasi melalui Pemilu (Pilkada, Pileg, dan Pilpres). Sangat minim
menjawab dari seluruh responden menjawab tidak pernah. Sejalan dengan hasil Fokus Grup Diskusi
yang dilakukan Komisi Independent Pemilihan Kota Banda Aceh bekerjasama dengan Jaringan Survey
Inisiatif15, hampir sangat kecil didapatkan warga Banda Aceh yang tidak berpartisipasi memberikan hak
pemilih.
Temuan lainnya tentang penyerapan informasi sehubungan jenis Pemilu masih tidak seragam
menjawabnya. Selaras temuan survey dari Jaringan Survey Inisiatif16 kuantitatif hanya 2% yang tidak
mengetahui tentang Pemilu, selebihnya 98% mengetahui tentang Pemilu. Faktor menyebabkan
ketidakikutsertaan (partisipasi) warga Banda Aceh di Pemilu, menurut Ketua KIP Banda Aceh
Munawarsyah17 disebabkan tidak terdata sebagai Pemilih karena tidak memiliki KTP, apatis dengan
sistem Pemilu yang berlaku di Indonesia, dan tidak peduli dengan Pemilu karena kesibukan rutinitas
kerja.
15 Tanggal 11/07/2015 pelaksanaan Fokus Grup Diskusi, Media Center KIP Banda Aceh, Pukul 15.00-18.30. 16 Survey dilakukan dari bulan Juni – Juli 2015. Sampel 400 responden, metode sampling, margen error 2 %, wilayah survey Kota Banda Aceh. 17 Wawancara tanggal 11/07/2015, media center KIP Banda Aceh.
22
Mengatasi masalah tersebut sangat diperlukan pendidikan politik bagi mereka yang tidak peduli
dengan keterlibatan di Pemilu18. Faktanya berdasarkan hasil survey Jaringan Survey Inisiatif19 dengan
pertanyaan peran partai politik dalam menyebarkan informasi dan pendidikan politik hanya
mendapatkan sebesar 7%. Ini dapat disimpulkan bahwa peran-peran pendidikan politik yang
seharusnya menjadi tanggung jawab partai kepada konstituennya tidak berjalan. Dengan demikian
pengelolaan manajemen kepartaian kurang peduli terhadap urusan pendidikan politik bagi
konstituennya.
Memberikan penyadaran agar warga Banda Aceh melek politik perlu dimaksimalkan keberadaan
warung kopi di Banda Aceh selain sosialisasi yang dilakukan KIP Banda Aceh dan Pemerintah Kota
Banda Aceh20. Walaupun warga Banda Aceh lebih berpengaruh penyebaran informasi kepemiluan dan
pendidikan politik melalui penggunaan surat kabar, internet, dan televisi begitulah hasil survey Jaringan
Survey Inisiatif. Akan tetapi memiliki korelasi keberadaan warung kopi dan internet. Menurut sejumlah
responden yang ditanyakan di warung kopi mengatakan mereka menyerap informasi dari internet
ketika penyediaan akses internet diberikan oleh pemilik warung kopi.
Pendidikan Politik dan Partai Politik
Memahami peran organisasi masyarakat sipil (OMS) agar warga/masyarakat Kota Banda Aceh melek
politik perlu dimaksimalkan. Lagi-lagi pemaksimalan peran OMS terbentur dengan ketersediaan logistik
(finansial) sehingga ruang gerak sangat terbatas dalam berperan. Bagi sebagian peserta FGD di media
center pada tanggal 11 Juli 2015 mengatakan sangat tergantung komitmen dan konsistensi OMS
berperan memberikan penyadaran warga Banda Aceh agar melek politik. Tanpa uang pun bisa
dilakukan asal dengan syarat dimaksimalkan akses media cetak/online serta media sosial yang tidak
memerlukan uang,
Dalam konteks peran aktif dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Hasil dari FGD memberikan
rekomendasi untuk dapat memberdayakan struktur pemerintah yang sudah terbentuk dari jenjang
kepala desa hingga kecamatan. Tujuannya untuk memberikan sosialisasi kepemiluan dan hak-hak
politik dengan target penyadaran melek politik warga Banda Aceh.
18 Wawancara Ramli Rasyid,M.Si, M.Pd, Badan Kesbang,Pol dan Linmas Kota Banda Aceh, 11/07/2015, media center KIP Banda Aceh. 19 Survey dilakukan dari bulan Juni – Juli 2015. Sampel 400 responden, metode sampling, margen error 2 %, wilayah survey Kota Banda Aceh. 20 Hasil fokus grup diskusi, 11/07/2015, media center KIP Banda Aceh.
23
Parpol/Caleg bersih 48%
Ideologi/Figur Parpol
9%
Parpol pemenang Pemilu
5%
Parpol/Caleg yang bagus Programnya
26%
Parpol /Caleg yang ada hubungan
famili 7%
Parpol/Caleg yang memberikan uang
dll 5%
Gambar 16. Alasan responden memilih Caleg pada Pemilu
55.0%
40.2%
8.4% 10.1%
1.0%
9.0%
31.9%
20.6%
3.7%
11.1% 9.0%
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
Perempuan Laki-laki
Parpol/Caleg bersih Ideologi/Figur Parpol
Parpol pemenang Pemilu Parpol/Caleg yang bagus Programnya
Parpol /Caleg yang ada hubungan famili Parpol/Caleg yang memberikan uang dll
Gambar 17. Alasan memilih caleg berdasarkan faktor gender
Hasil temuan dari FGD serta wawancara mendalam melek politik tidak menjamin partisipasi dalam
Pemilu meningkat. Hal lainnya melek politik warga di Banda Aceh sangat bagus, akan tetapi partisipasi
warganya tidak tinggi.
Terkait dengan alasan
kenapa responden memilih
caleg dalam Pemilu legislatif
mayoritas responden memilih
Parpol/Caleg yang bersih
(48%), Parpol/Caleg yang
bagus programnya (26%),
berdasarkan ideologi parpol
(9%), Parpol/Caleg yang ada
hubungan family (7%) dan
karena alasan Parpol/Caleg yang memberikan uang (5%) (gambar 16). Secara umum temuan ini
menunjukkan kecenderungan posiitif karena memberi sebuah harapan untuk perbaikan kualitas pemilu
di masa yang akan dating. Namun hasil penulusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa ternyata
kalangan perempuan tidak terpengaruh dengan faktor hubungan family dan money politic (gambar 17).
24
Bagus rekam jejaknya
48% Bagus Visi/Misinya
38%
Saudara/Famili/Teman
7%
Memberikan Uang dll
7%
Gambar 18. Alasan memilih kandidat dalam pemilihan kepala daerah
Dari informasi yang terlihat pada gambar 17, ternyata dalam hal memilih, kalangan perempuan lebih
menonjolkan sisi kualitas parpol/caleg dibandingkan dengan sisi hubungan antar manusia dan sisi
kebutuhan dasar. Data ini diperkuat dengan temuan tentang kecenderungan alasan memilih kandidat
dalam pemilihan kepala daerah. Terlihat adanya gejala yang sama, dimana perempuan cenderung
lebih punya pendirian dalam menentukan pilihan dibandingkan laki-laki.
Secara umum mayoritas pemilih di
Kota Banda Aceh mengandalkan
faktor latar belakang si kandidat atau
yang memiliki rekam jejak yang baik,
yaitu mencapai 48%, selanjutnya
disusul dengan kandidat yang bagus
visi/misinya sebesar 38%. Ternyata
faktor hubungan family dan faktor
menerima uang dari kandidat
masing-masing hanya sebesar 7%
(gambar 18). Ketika dipelajari lebih
jauh, ternyata nilai 7% karena adanya hubungan kekerabatan dan money politik yang berpengaruh
terhadap pilihan lagi-lagi hanya terjadi pada kalangan pemilih laki-laki (gambar 19).
Kecenderungan yang sama terjadi pada kelompok pemilih pemula, ternyata kelompok usia sangat
muda (17-20 tahun), alasan memilih kandidat calon kepala daerah hanya disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu kandidat yang bagus visi misinya (85,7%) dan kandidat yang bagus rekam jejaknya (14,3)
(gambar 19. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendrastomo dkk (2014)
menunjukkan bahwa beberapa hal yang mempengaruhi sosialisasi politik bagi pemilih pemula adalah
kebiasaan, aktivitas sosial, lingkungan sosial, relasi sosial, media sosial. Pandangan pemilih terhadap
partai politik melihat pada pentingnya identitas kepartaian partai politik sebagai dasar pertimbangan
pemilihan, melemahnya kepercayaan terhadap partai politik menjadi sebuah indikasi bahwa partai tidak
lagi memiliki kekuasaan mengikat orientasi politik masyarakat, strategi money politic dalam sosialisasi
partai menjadi hal yang mempengaruhi pemilih pemula untuk tidak memilih partai tersebut. Dasar
pertimbangan pemilih menentukan pilihan berdasarkan sosok caleg disebabkan oleh beberapa hal
yakni ideologi, prestasi, track record atau latar belakang caleg, metode sosialisasi. Alasan pemilih lebih
memilih sosok calon anggota legislatif daripada partai politik menempatkan rasionalitas pemilih pemula
25
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
Perempuan Laki-laki
Bagus rekam jejaknya Bagus Visi/Misinya
Saudara/Famili/Teman Memberikan Uang dll
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
17-20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60
Bagus rekam jejaknya Bagus Visi/Misinya
Saudara/Famili/Teman Memberikan Uang dll
Gambar 19. Alasan memilih caleg berdasarkan perbedaan gender (A) dan Kelompok Usia (B) terhadap Alasan memilih kandidat kepala daerah
yang lebih melihat pada track record calon pemimpin dan melemahnya kepercayaan terhadap partai
politik, dan tidak disepakatinya sistem money politic21.
Sama seperti yang terjadi pada kelompok perempuan, pada pemilu legislatif, kecenderungan pemilih
pemula dalam menentukan pilihannya juga didasarkan kepada alasan-alasan yang rasional dan positif,
dimana 57,1% memilih parpol/caleg yang bagus programnya, 42,9% memilih karena alasan
parpol/caleg yang bersih (gambar 20).
Pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang-orang tua pada umumnya. Pemilih
pemula cenderung kritis, mandiri, independen serta tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan
sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam
pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Misalnya
karena integritas tokoh yang dicalonkan partai politik, track record atau program kerja yang ditawarkan.
Karena belum punya pengalaman memilih dalam pemilu, pemilih pemula perlu mengetahui dan
memahami berbagai hal yang terkait dengan pemilu. Misalnya untuk apa pemilu diselenggarakan, apa
saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam pemilu, bagaimana tata cara
menggunakan hak pilih dalam pemilu dan sebagainya22.
21 Demokrasi dan Orientasi Politik Pemuda (Studi Pemilih Pemula Pada Pemilihan Umum 2014) 22
Preferensi Politik Pemilih Pemula pada Pemilu Legislatif, Thesis USU, Tahun 2014
26
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
17-20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60
Parpol/Caleg bersih Ideologi/Figur Parpol
Parpol pemenang Pemilu Parpol/Caleg yang bagus Programnya
Parpol /Caleg yang ada hubungan famili Parpol/Caleg yang memberikan uang dll
Gambar 20. Preferensi pemilih pemula pada pemilu legislatif
Menurut Nasriya (2014), pengetahuan politik pemilih pemula sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kelompok pemilih lainnya. Perilaku pemilih masih erat dengan faktor sosiologis dan psikologis dalam
menjatuhkan pilihan politiknya jika ditinjau dari studi voting behaviors. Namun yang membedakan
pemilih pemula dan kelompok lainnya adalah soal pengalaman politik dalam menghadapi pemilu.
Preferensi yang dijadikan sandaran dalam melakukan pemilihan cenderung tidak stabil atau mudah
berubah-rubah sesuai dengan informasi atau preferensi yang melingkarinya. Faktor yang sangat
penting adalah bagaimana pemilih pemula tak menjatuhkan pilihan politiknya karena faktor popularitas
belaka. Kecenderungan pemilih pemula akan menaruh simpati kepada kandidat atau caleg dari
kalangan selebriti dibandingkan dengan kandidat/caleg non selebriti. Oleh karena itu, segenap
komponen atau orang
yang memiliki otoritas
wajib meliterasi (politik)
pemilih pemula supaya
menjadi pemilih yang
kritis dan rasional
(critical and rational
voters). Artinya dalam
menjatuhkan pilihannya
bukan karena faktor
popularitas, kesamaan
etnis dan kedekatan
emosional, namun
karena faktor rekam jejak, visi misi, kredibilitas dan pengalaman birokrasi. Upaya tersebut adalah
bagian dari political empowerment bagi warga negara terutama perilaku pemilih pemula dan karena
melihat potensi suara pemilih pemula yang signifikan pada Pemilu 2014.
Partisipasi Pemilih (Voter Turnout)
Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dengan tujuan untuk memepengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan
pemerintah. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalm kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau
tidak langsung ,mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) (Budiarjo: 1982).
27
Merasa tidak ada calon yang layak
34%
Penyelenggara tidak fair
3%
Keterbatasan fisik 7%
Tidak terdaftar sebagai pemilih
5%
Sibuk dan tidak ada waktu ke
TPS 20%
Tidak mau memilih (tanpa
alasan) 3%
Siapapun terpilih tidak berpengaruh
terhadap saya 28%
Gambar 21. Alasan responden tidak berpartisipasi dalam Pemilu
Kegiatan tersebut mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri
rapat umum,menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan
(contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Menurut Samuel P.
Huntington & Joan M Nelson, Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan mantap atau sporadik, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Huntington: 1994).
Berdasarkan hasil interpretasi data penelitian Tingkat Melek Politik Warga Kota Banda Aceh ditemukan
bahwa secara psikologis masyarakat memiliki animo yang tinggi untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hal
ini terlihat dari respon responden
ketika ditanya apakah Saudara
pernah memilih. 97%
menyatakan pernah, namun
ketika dilakukan wawancara
lebih jauh, partisipasi mereka
dalam pemilu tidak berlangsung
secara kontinyu dan konsisten.
Artinya ada kalanya mereka
berpartisipasi ada kalanya tidak.
Ketika ditanya alasannya
jawaban yang dominan
disebabkan karena merasa tidak ada calon yang layak (34%), selanjutnya siapapun terpilih tidak
berpengaruh terhadap saya (28%), dan karena sibuk dan tidak ada waktu ke TPS (20%). Data lengkap
terlihat pada gambar 21. Fenomena ini memberikan gambaran ada 3 hal pokok yang menjadi salah
satu penyebab menurunnya persentase partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu sejak Tahun 1999:
a. Ada sebuah harapan besar warga Negara Indonesia ketika Pemilu reformasi dilakukan Tahun
1999. Pada saat itu rakyat Indonesia menginginkan lahirnya anggota parlemen yang memiliki
komitmen yang kuat dalam membangun Indonesa di berbagai tingkatan, mulai dari DPRK
sampai DPRRI. Namun yang terjadi justru sebaliknya, rakyat hanya menjadi objek politik
ketika tidak ada perubahan yang signifikan yang dirasakan. Gejala ini kemudian menimbukan
apatisme yang semakin lama semakin dalam bagi rakyat, sehingga berimbas ke semangat
dalam memberikan suaranya dalam pemilu;
28
b. Terjadinya sebuah persepsi permanen bahwa sejauh ini baik secara individu maupun kolektif
belum ada yang mampu mendorong lahirnya dampak langsung terhadap proses pemilu,
apalagi ditambah dengan terbukanya peluang yang besar bagi kontestan dan penyelenggara
untuk melakukan kecurangan yang mencederai nilai-nilai demokrasi tanpa pernah ada
sebuah penegakan hukum yang setimpal dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan;
c. Belum ada regulasi permanen yang memberikan ruang bagi pemilih untuk dapat menyalurkan
hak pilihnya secara lebih mudah dan sederhana, bahkan bagi kalangan tertentu yang memiliki
rutinitas yang padat tidak ada satupun media yang dapat membantu mereka agar tetap dapat
berpartisipasi;
Fakta ini dapat dilihat pada juga didukung oleh tingkat partisipasi pemilih pada pemilu tahun 1995
seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Angka partisipasi pemilih Indonesia
No Pemilu OPP Partiisipasi politik (%)
Golput (%)
1. 1955 118 91,4 8,6
2. 1971 10 96,6 3,4
3. 1977 3 96,5 3,5
4. 1982 3 96,5 3,5
5. 1987 3 96,4 3,6
6. 1992 3 95,1 4,9
7. 1997 3 93,6 6,4
8. 1999 48 92,6 7,3
9. Pileg 2004 24 84,1 15,9
10. Pilpres I 78,2 21,8
11. Pilpres II 76,6 23,4
Sumber: PPs UNIS Tangerang 2008, diolah dari KPU dan BPS
Dalam konteks ini terlihat seolah-olah ada hubungan yang linear antara peningkatan wawasan dan
pendidikan suatu bangsa dengan penurunan partisipasi pemilih dalam pemilu. Beberapa potensi yang
mungkin terjadi dengan peningkatan kesadaran politik warga adalah meningkatnya daya kritis dan
penolakan terhadap prilaku-prilaku yang lari dari nilai-nilai kebenaran. Kehadiran media massa yang
lebih massif dalam menghadirkan informasi seputar pemimpin, anggota parlemen, prilaku anggota
dewan saat sidang di parlemen akan semakin memperjelas kinerja dan aspek moral dari orang-orang
yang sebelumnya dipercaya mengemban amanah. Asumsi ini dudukung oleh temuan dalam penelitian
ini yang melihat apakah informasi tentang pemilu berpengaruh terhadap partisipasi di pemilu
29
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
Sangat tidaklayak
Tidak layak Sedang Layak Sangat layak
Berpatisipasi Tidak berpartisipasi
Gambar 22. Hubungan antara responden yang menilai kelayakan informasi dengan partisipasi pemilih
46.0%
48.0%
50.0%
52.0%
54.0%
56.0%
58.0%
60.0%
62.0%
64.0%
66.0%
Pilkada2006
Pileg2009
Pilpres2009
Pilkada2012
Pileg2014
Pilpres2014
Gambar 23. Tingkat partisipasi pemilih Kota Banda Aceh sejak Tahun 2006
Sumber: Diolah dari data KIP Kota Banda Aceh Tahun 2014
sebagaimana yang sudah dijelaskan
pada bagian sebelumnya. Ternyata
53% menyatakan tidak memberi
pengaruh, dan 47% yang menyatakan
berpengaruh (gambar 15). Kemudian
kita bisa melihat lebih dalam lagi
hubungan antara penilaian terhadap
kelayakan sumber informasi pemilu
dengan pengaruh terhadap partisipasi,
sebagaimana terlihat pada gambar 22.
Kondisi ini diperkuat dengan data
tingkat partisipasi pemilih di Kota
Banda Aceh sejak Pilkada 2006 yang terus menerus mengalami fluktuasi. Secara umum tingkat
partisipasi pemilih masih berada di bawah 65% (dibawah partisipasi terendah rata-rata nasional
sebesar 76,6% pada Pilpres 2014) sebagaimana terlihat pada gambar 23. Sejauh ini belum ada suatu
formula bagi KIP Kota Banda Aceh yang dianggap tepat untuk memperbaiki tingkat partisipasi pemilih,
walaupun berbagai upaya telah dilakukan oleh KIP Kota Banda Aceh, seperti sosialisasi yang lebih
gencar, perbaikan data DPT, dan upaya-upaya lain yang dilakukan dengan mekanisme kerjasama baik
dengan Pemerintah Kota Banda Aceh maupun dengan elemen masyarakat sipil lainnya.
Secara nasional KPU Pusat sangat
kuatir dengan kondisi penurunan
angka partisipasi pemilih dari
pemilu ke pemilu sejak tahun 1999,
bahkan riset tentang pengukuran
Tingkat Melek Politik Warga Kota
Banda Aceh ini pun merupakan
bagian dari program KPU Pusat
dalam rangka peningkatan
partisipasi pemilih. Menilik kondisi
yang menjadi gambaran pada studi
ini, sepertinya Pemerintah dalam
hal ini harus melakukan upaya menyeluruh untuk memperbaiki Pemilu di Indonesia, seperti kerangka
hukum pemilu, mekanisme rekruitmen caleg dalam partai, sistem pemilu yang lebih baik, termasuk
30
menjamin suara pemilih tidak mendapatkan perlakuan curang dari penyelenggara. Muara akhir dari
semua upaya ini adalah mendapatkan anggota parlemen dan kepala daerah yang sangat berkualitas.
Dasar pemikiran dari asumsi ini adalah terjadinya peningkatan tingkat melek politik warga negara yang
sangat cepat namun tidak diimbangi dengan outcome pemilu yang lebih baik. Sikap kritis pemilih yang
tidak mampu menjangkau untuk memperbaiki keadaan yang akhirnya memperbesar kelompok rakyat
yang apatis terhadap pemilu.
Pendidikan Pemilih (Voter Education)
Dalam setiap pemilu, pemilih dan pendidikan merupakan hal yang diperlukan untuk memastikan bahwa
semua pemilih baik laki-laki dan perempuan sama-sama memahami hak-hak mereka, sistem politik
mereka, kontestan yang akan mereka pilih, dan mekanisme pemilihan yang ditetapkan. Agar pemilu
berlangsung sukses dan demokratis, pemilih harus memahami hak dan tanggung jawab mereka, dan
harus cukup memahami informasi tatacara pemberian suara yang sah secara hukum yang berlaku. Hal
ini menjadi salah satu media untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Di wilayah-wilayah pasca konflik
seperti Aceh, pendidikan pemilih dan pendidikan kewarganegaraan bahkan lebih penting, di mana
situasi politik yang belum terlalu stabil agar terbuka peluang yang lebih besar untuk kemajuan wilayah
tersebut.
Pendidikan pemilih Istilah umumnya digunakan untuk menggambarkan penyebaran informasi, bahan
dan program yang dirancang untuk menginformasikan kepada pemilih tentang perihal spesifik dan
mekanisme proses pemungutan suara untuk pemilihan tertentu. Pendidikan pemilih juga melibatkan
pemberian informasi tentang siapa yang berhak untuk memilih dan dipilih; di mana dan bagaimana
cara mendaftar; bagaimana pemilih dapat mengakses daftar pemilih untuk memastikan mereka telah
terdaftar; dan bagaimana mengajukan keluhan.
Pada penelitian ini beberapa variabel yang ingin dilihat diharapkan mampu menjadi gambaran tentang
pemilih apakah mereka mendapatkan pendidikan dan informasi yang cukup tidak hanya terkait pemilu
tetapi juga yang menyangkut tentang informasi penting lainnya sebagai warga negara. Misalnya
apakah sebagai warga Negara mengetahui siapa presiden dan wakil presiden saat ini. Dalam konteks
ini 99,2% tau siapa presiden Indonesia saat ini, hanya 0,8% yang tidak tau. Demikian juga untuk wakil
presiden. Uniknya ketika ditanya apakah responden tahu pada pemilu tahun berapa pasangan
presiden dan wakil presiden ini terpilih. Secara lebih dalam pemahaman pemilih diuji dengan
pertanyaan apakah mereka mengetahu berapa jumlah parpol nasional yang mengikuti Pemilu 2014,
31
8 3% 10
32%
12 65% Tahu
61%
Tidak tahu 39%
Tahu 60.15%
Tidak Tahu 39.85%
Gambar 25. Komposisi responden yang mengetahui jumlah parpol lokal
61% responden mengetahui jumlah parnas dan 39% yang tidak mengetahui. Selanjutnya responden
yang menjawab mengetahui jumlah parpol nasional, ditindaklanjuti dengan pertanyaan, nama-nama
parpol nasional tersebut untuk memastikan pemahaman responden, 65% diantaranya menjawab
dengan benar ada 12 parpol nasional, 32% menjawab 10, dan hanya 3% yang menjawab 8.
Responden yang menjawab 10 parpol nasional dapat diasumsikan bahwa mereka mengingat ada 3
parpol lokal yang ikut berkompetisi dengan nomor urut 11, 12, dan 13. Sehingga mereka beranggapan
bahwa semua parpol local berada pada nomor terakhir. Hal ini diperkuat dengan argumen bahwa partai
PKPI dan PBB disahkan sebagai peserta pemilu pada waktu yang tidak bersamaan dengan parpol
nasional lainnya. Informasi tentang komposisi jawaban responden terlihat pada gambar 24. .
Selanjutnya pertanyaan yang sama diajukan tentang parpol lokal. Pemahaman responden juga sangat
tinggi. Sebanyak 60,15% responden mengetahui jumlah parpol lokal yang mengikuti Pemilu 2014, dan
39,85% tidak mengetahui (gambar 25). Ketika ditanya nama-nama parpol lokal tersebut, 99,17%
responden menjawab dengan benar 3 parpol lokal, dan hanya 0,83% yang tidak mengetahuinya. Hal
ini menggambarkan bahwa warga Kota
Banda Aceh sangat mengenal parpol lokal
yang saat ini terlibat dalam pemerintahan di
Aceh, walaupun salah satu parpol lokal
tersebut tidak mendapatkan kursi di parlemen
Kota Banda Aceh, seperti Partai Nasional
Aceh (PNA). Informasi ini menggambarkan
bahwa walaupun responden tidak
berpartisipasi pada saat pencoblosan, namun
informasi yang didapat sebelum dan sesudah pemilu sangat berkesan bagi warga kota Banda Aceh.
Gambar 24. Tingkat pemahaman responden terhadap (A) Mengetahui atau tidak jumlah parpol nasional yang mengikuti Pemilu 2014 dan (B) Jumlah parpol nasional
32
Ya 11%
Tidak 89%
Gambar 27. Pernyataan responden apakah sudah memberikan pendidikan politik
Jika ingin dilihat diantara responden laki-laki dan perempuan yang mengetahui dengan jelas jumlah
parpol nasional dan parpol lokal, ternyata persentase responden perempuan lebih besar dibandingkan
laki-laki yang menjawab dengan benar jumlah parpol nasional. Kondisi sebaliknya terjadi pada
pertanyaan tentang jumlah parpol lokal, responden laki-laki memiliki persentase yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Hal ini merupakan informasi yang unik tentang tingkat melek politik warga
kota Banda Aceh, karena ada perbedaan pemahaman terhadap parpol nasional dan parpol lokal
berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gambar 26).
hampir di semua negara di dunia, dalam sistem Peran Partai Politik dalam Pendidikan Politik,
ketatanegaraan peran parpol dituntut untuk berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi warga
negara. Bahkan Indonesia memberikan alokasi dana tertentu bagi parpol untuk melakukan pendidikan
politik bagi warga negara yang sudah berhak memilih, termasuk pemilih pemula. Namun sejauh ini
peran itu belum dijalankan dengan baik oleh parpol. Indikasi sederhana yang memperkuat pernyataan
tersebut diantaranya adalah pihak parpol
belum berhasil menunjukkan korelasi
antara jumlah kartu anggota parpol dengan
perolehan suara pada saat pemilu. Selain
itu setiap parpol berkewajiban memastikan
konstituennya terdaftar sebagai pemilih
yang dibuktikan dengan nama yang
tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap
(DPT). Padahal persoalan DPT termasuk
salah satu faktor penentu sukses tidaknya suatu pemilu. Munculnya dugaan penggelembungan suara
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
120.0%
Perempuan Laki-laki
Dua Tiga
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
100.0%
Perempuan Laki-laki
8 10 12
Gambar 26. Komposisi responden yang menjawab jumlah (A) Parpol Nasional dan (B) Parpol Lokal, berdasarkan perbedaan jenis kelamin
33
Ya 64%
Tidak 36%
Gambar 28. Responden mengetahui atau tidak bahwa parpol bertanggungjawab terhadap pendidikan politik
0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
100.00%
120.00%
Perempuan Laki-laki
Ya Tidak
Gambar 29. Perbedaan pengaruh intimidasi terhadap pilihan
yang disinyalir oleh parpol/kandidat terjadi karena tidak adanya fungsi kontrol parpol terhadap DPT
yang dikeluarkan oleh pihak penyelenggara pemilu. Asumsi ini diperkuat dengan temuan dalam
penelitian bahwa 89% responden menyatakan parpol belum menjalankan perannya dalam pendidikan
politik, hanya 11% responden yang menyatakan parpol sudah melakukan pendidikan politik (gambar
27). Selain itu, sebagian responden (36,3%) juga tidak mengetahui bahwa parpol punya
tanggungjawab dalam memberikan pendidikan politik bagi warga negara. Menariknya ada 63,7% yang
mengetahui bahwa parpol ikut bertanggungjawab terhadap pendidikan politik (gambar 28). Dengan
informasi ini tergambarkan bahwa pemilih khususnya di Kota Banda Aceh berada pada posisi
menunggu sikap pro aktif dari parpol untuk
meningkatkan melek politik warga,
termasuk dalam hal ini adalah untuk
meningkatkan partisipasi pemilih. Dengan
Undang-undang Parpol yang terbaru yaitu
UU No 8 Tahun 2015, maka setiap parpol
akan diaudit penggunaan dana subsidi
pemerintah untuk tujuan pendidikan politik
digunakan dengan seharusnya atau tidak.
walaupun faktor penentu Faktor eksternal pemilih yang berperan dalam penentuan pilihan politik,
utama dalam menentukan sikap politik pemilih murni ditentukan oleh pemilih sendiri, namu
kenyataannya masih banyak pemilih yang memberikan suaranya disebabkan oleh faktor dorongan dari
luar dirinya. Beberapa jenis faktor pendorong tersebut diantaranya adalah faktor intimidasi dan juga
faktor money politic. Pada peneliitian ini juga ingin dijajaki adanya kemungkinan pemilih terpengaruh
dengan dua hal utama yang berperan dalam pemberian suara, khususnya di Aceh sebagai wilayah
pasca konflik. Khusus di Kota
Banda Aceh, 92,2% responden
menyatakan belum pernah
mengalami intimidasi dalam
pemberian suara. Ditemukan
sebesar 7,8% yang menyatakan
pernah diintimidasi. Namun bagi
yang pernah mengalami
intimidasi ditanyakan apakah
intimidasi tersebut berpengaruh terhadap pilihan, ternyata 83,9% tidak berpengaruh terhadap pilihan
34
Ya 54%
Tidak 46%
Gambar 30. Persepsi responden tentang pengaruh pilihan politik terhadap nasib bangsa
politik. Demikian juga pada saat dilihat apakah faktor gender berpengaruh terhadap daya tahan dalam
terhadap intimidasi, ternyata 100% perempuan menyatakan tida memberi pengaruh yang berarti
terhadap pilihan, sedangkan laki-laki terdapat 81,5% yang tidak terpengaruh terhadap intimidasi
(gambar 29).
Keyakinan pilihan politik terhadap perubahan bangsa pada bagian terakhir dari penelitian ini ingin ,
dilihat persepsi responden terhadap pengaruh pilhan politik terhadap perubahan bangsa. Ternyata
hanya 54% yang memiliki keyakinan bahwa pilihan politik akan mampu mewarnai perjalan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sedangkan 46% masih pesimis bahwa pilhan suara yang diberikan tidak
memberi dampak apapun (gambar 30). Bila dirunut ke variabel tentang partisipasi, terdapat
kecenderungan dan hubungan yang linear dengan tingkat keyakinan pemilih terhadap hasil pemilu
dengan perubahan nasib bangsa. Hal ini tentunya menjadi informasi yang menarik untuk menjadi
bahan refleksi terhadap perjalanan sejarah
pemilu yang terjadi Indonesia. Karena
tingkat keyakinan pemilih boleh jadi akan
memberi andil yang besar terhadap tingkat
partisipasi pemlih dalam pemilu. Bila
asumsi ini benar, tentunya menjadi
pekerjaan rumah yang berat bagi semua
pihak yang terlibat dalam pemilu untuk
membangun pemilu yang lebih baik dan
berkualitas yang menhasilkan pemimpin-pemimpin terbaik, agar menjadi rujukan bagi generasi
mendatang dalam rangka memperbaiki perspektif mereka terhadap pemilu di berbagai tingkatan.
Pengukuran Intensitas Melek Politik
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, belum pernah dilakukan proses pengukuran intensitas melek politik
(political literacy) warga negara. Namun dengan adanya fakta yang terus berlanjut tentang menurunnya
partisipasi pemilih, menyebabkan KPU menggagas studi untuk mencari benang merah antara berbagai
permasalahan seputar pemilu dengan partisipasi pemilih. Khusus untuk penelitian Tingkat Melek Politik
Warga Kota Banda Aceh ini, dicoba diformulasikan suatu indeks yang diharapkan mendekati
kebenaran dalam hal pengukuran intensitas melek politik. Tentu saja formula ini asih perlu dikaji lebih
lanjut apakah memang dapat dijadikan sebagai alat untuk pengukuran intensitas melek politik.
35
Meskipun penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu kuantitatif dan kualitatif, namun pada alat
ukur penelitian yang bersifat kuantitatif di berikan suatu skala pengukuran dalam bentuk label Melek
Politik Tinggi (MT), Melek Politik Sedang (MS) dan Melek Politik Rendah (MR) berdasarkan pilihan
jawaban dari responden. Dari keseluruhan pertanyaan yang diajukan (36) pertanyaan, selanjutnya
masing-masing kategori MT, MS, dan MR diakumulasikan per masing-masing bagian.
Pada bagian pertama: Informasi umum diberi bobot yang paling rendah, yaitu 20% dari skor total,
bagian kedua: Pemilu dan sumber informasi diberi bobot 35% dari skor total, dan pada bagian ketiga:
Pendidikan politik dan partai politik diberi bobot paling tinggi, yaitu 45%. Selanjutnya nilai masing-
masing kategori dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini:
dimana:
n = frequensi hasil observasi
At = Pertanyaan kelompok A yang masuk kategori tinggi
As = Pertanyaan kelompok A yang masuk kategori sedang
Ar = Pertanyaan kelompok A yang masuk kategori rendah
Bt = Pertanyaan kelompok B yang masuk kategori tinggi
Bs = Pertanyaan kelompok B yang masuk kategori sedang
Br = Pertanyaan kelompok B yang masuk kategori rendah
Ct = Pertanyaan kelompok C yang masuk kategori tinggi
Cs = Pertanyaan kelompok C yang masuk kategori sedang
Ct = Pertanyaan kelompok C yang masuk kategori rendah
IMPT = indeks melek politik kategori tinggi
IMPS = indeks melek politik kategori sedang
IMPR = indeks melek politik kategori rendah
Selanjutnya dibandingkan antara nilai akhir masing-masing kategori, MT: MS: MR. Bila MT lebih besar
dari MS dan MR maka secara umum dinyatakan sebagai melek politik berkategori tinggi; bila MS lebih
tinggi dibandingkan dengan MT dan MR maka secara umum dinyatakan sebagai melek politik
berkategori sedang; dan bila MR lebih tinggi dibandingkan dengan MT dan MS maka secara umum
dinyatakan sebagai melek politik berkategori rendah.
36
Berdasarkan hasil pengukuran untuk studi di Kota Banda Aceh diperoleh hasil sebagai berikut:
Skor MT = 1008, 73; skor MS = 212,90; dan skor MR = 108,68. Dengan demikian warga Kota Banda
Aceh dinyakan berada pada tingkatan melek politik tinggi. Hasil ini juga dapat ditunjukkan dalam
bentuk kurva simulasi yang menunjukkan posisi garis dari kurva yang terbentuk. Dari kurva akan
terlihat garis yang dominan dari setiap pertanyaan pada questioner. Kurva hasil simulasi terlihat pada
gambar 31 di bawah ini.
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Nomor urut pertanyaan
FALSE
MR
MS
MT
Gambar 31. Hasil simulasi pengukuran intensitas melek politik warga Kota Banda Aceh
37
Kesimpulan dan Saran Tingkat melek politik (political literacy) warga Kota Banda Aceh tergolong tinggi, dibuktikan
dengan beberapa indikator, seperti kesadaran politik terhadap penentuan pilihan parpol/caleg dan kandidat yang bersaing dalam pemilu;
Tingkat pendidikan warga tidak terlalu signifikan berpengaruh terhadap tingkat melek politik warga Kota Banda Aceh, namun yang lebih dominan berpengaruh terhadap tingkat melek politik adalah media yang digunakan untuk mendesiminasi informasi yang terkait dengan Pemilu;
Jenis media yang paling berpengaruh terhadap peningkatan political literacy adalah surat kabar, internet dan televisi, sedangkan parpol dan tim kampanye kandidat belum mampu menjalankan peran dengan baik dalam melakukan pendidikan politik bagi masyarakat, khususnya pemilih;
Tingginya tingkat melek politik warga Kota Banda Aceh ternyata tidak menjadi faktor pendorong bagi peningkatan partisipasi politik warga, terbukti tingkat partisipasi pemilih Kota Banda Aceh paling rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain di Aceh;
Perempuan dan pemilih pemula di Kota Banda Aceh lebih rasional dalam penentuan pilihan parpol/caleg atau kandidat kepala daerah dalam pemilu, dimana yang menjadi alasan utama dalam memilih adalah disebabkan oleh faktor program kerja caleg atau visi misi kandidat kepala daerah serta faktor rekam jejak partpol/caleg dan kandidat
Rekomendasi dan saran dari penelitian ini adalah: Tingat melek politik warga Kota Banda Aceh yang sudah baik ini perlu terus dipelihara dan
ditingkatkan melalui peningkatan frekuensi diseminasi informasi pemilu melalui media surat kabar, internet dan televisi dengan program-program yang inovatif;
Diperlukan upaya serius dari seluruh stake holder pemilu, khususnya kontestan yang bersaing dalam pemilu untuk mengeksplorasi metode-metode yang dapat meningkatkan partisipasi pemilih;
Peran parpol sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam memberikan pendidikan politik bagi warga Negara harus sangat maksimal, apalagi Negara sudah memberikan kompensasi kepada parpol untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara.
38
Daftar Pustaka
Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widya Sarana, Jakarta. Mar’at, 1992, Perubahan serta Pengukurannya, Gramedia Widya Sarana, Jakarta. Sastraatmadjo, Sudijono,1995, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, Semarang. Budiarjo, Miriam, 1982, Partisipasi dan Partai Politik, PT. Gramedia, Jakarta. Huntington, Samuel, 1994, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta. Marbun, B.N, 2007,Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Asfar, M, 2004, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Pustaka Utama,fu
39
LAMPIRAN I
Quisioner Kualitatif
40
41
42
LAMPIRAN II
Tabel Simulasi Perhitungan Intensitas
Melek Politik