LAPORAN AKHIR PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS …
Transcript of LAPORAN AKHIR PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERSITAS …
LAPORAN AKHIR PENELITIAN PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
PEMODELAN DAN ANALISIS DINAMIK
BENTANGAN SILINDER KONTINU MELENGKUNG
UNTUK APLIKASI SUBMERGED FLOATING TUNNEL BRIDGE (SFTB)
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
Scanned by TapScanner
ABSTRAK
Sebagai negara kepulauan, salah satu permasalahan di Indonesia adalah sistem
transportasi darat yang belum terintegrasi antara satu pulau dengan pulau lainnya.
Permasalahannya adalah pada selat yang relatif lebar dengan tingkat kedalaman yang tinggi tidak
dimungkinkan untuk dibuat jembatan. Pada kondisi seperti ini, terowongan terbenam-
mengambang (submerged floating tube bridge/SFTB) akan menjadi pilihan yang efektif. SFTB
adalah jalur transportasi terowongan dalam laut, mengambang antara dasar laut dan permukaan.
Dikenal juga dengan istilah “Jembatan Archimedes”, prinsip kerjanya adalah memanfaatkan
gaya apung yang bekerja pada tabung sedangkan kestabilan struktur diperoleh melalui tegangan
tali yang ditambat ke dasar laut.
Dari penelusuran literatur yang dilakukan, penelitian tentang SFTB masih berupa konsep
dan gagasan teoritik. Untuk mewujudkannya diperlukan penelitian pengembangan terhadap
berbagai sub-topik yang mendukung. Penelitian ini merupakan sub-topik dari sebuah roadmap
yang disusun secara bertahap dan berkesinambungan. Tujuan penelitian adalah membangun
persamaan dasar untuk mengekspresikan respon dinamik bentang silinder melengkung, yang
merupakan struktur utama dari SFTB. Peramaan dibangun dengan metode Elemen Hingga yang
didasarkan kepada Euler-Bernoully Theory. Saat proposal ini diajukan, telah berhasil dibuat
Persamaan gerak dengan menggunakan metode superposisi mode (MSM) dan secara numerik
menggunakan metode elemen hingga (FEM). Pekerjaan selanjutnya adalah membuat program
komputasi untuk mendapatkan solusinya. Selanjutnya solusi yang didapat akan divalidasi dengan
data-data eeksperimental.
Luaran yang telah dicapai adalah:
No Judul Jurnal Target Status
1 Hydrodynamic Forces on Submerged
Floating Tube: Effect of Curvature
Radius and Depth Level
Journal of Engineering
and Technological Science
(Q3)
Submitted
2 Overview Of Submerged Floating
Tunnel Bridge (SFTB): Status Report
And Evaluation Of Technology
Readiness Level (TRL)
Suranaree Journal Science
Technology
(Q4)
Submitted
3 Analisis Dinamik Tabung Kontinu
Dengan Metode Beda Hingga
Jurnal MECHANICAL-
UNILA
(SINTA 4)
In-press
4 Alat Uji Media Gelombang Model
5 Thesis Magister Approved
Kata Kunci: Infrastruktur, terowongan, SFTB, Transportasi, kemaritiman
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyeberangan antar pulau menjadi salah satu isu besar di negara-negara
kepulauan, termasuk Indonesia. Berbagai macam gagasan dan ide telah diajukan
sebagai sarana penyeberangan antar pulau, di antaranya adalah jembatan dan
terowongan bawah laut. Tetapi tidak semua lokasi memungkinkan untuk dibangun
jembatan dan terowongan bawah laut, jarak penyeberangan dan kedalaman laut
menjadi faktor yang dipertimbangkan untuk merealisasikannya. Meningkatnya
jarak dan kedalaman berbanding lurus dengan meningkatnya risiko keamanan dan
biaya konstruksi.
Sebuah konsep baru penyeberangan antar pulau yang menjadi perhatian
para peneliti adalah terowongan layang bawah air atau submerged floating tunnel
(SFT). SFT adalah terowongan berbentuk struktur tabung terapung yang
ditempatkan di bawah permukaan air dan posisinya dipertahankan oleh tali tambat,
ponton, atau tiang pancang. SFT dapat digunakan untuk menyeberangi laut, selat,
sungai atau danau. Dibandingkan dengan jembatan dan terowongan konvensional,
SFT memiliki banyak keuntungan, di antaranya biaya konstruksi yang rendah,
waktu konstruksi yang cepat, ramah lingkungan, dapat dipindahkan dan digunakan
kembali (Budiman, 2017). Selain dapat digunakan untuk transportasi orang, SFT
juga dapat digunakan sebagai transportasi barang, seperti pipa penyalur minyak,
2
gas, kabel elektrik dan kabel komunikasi (Budiman et al., 2016). Dengan berbagai
kelebihannya, SFT dapat dijadikan sebagai alternatif Jembatan penyeberangan.
Ide tentang SFT pertama kali diajukan oleh Sir James Reed di Inggris pada
tahun 1886 dan selanjutnya oleh Trygve Olsen Dale di Norwegia pada tahun 1924
(Østlid, 2010). Hingga saat ini penelitian SFT terus berkembang di beberapa negara
seperti Norwegia, Korea, China, Jepang dan Italia. Namun pembangunan SFT
masih menjadi sebuah tantangan, karena sampai saat ini belum dapat terealisasi.
Meskipun menghadirkan banyak keunggulan, minimnya data tentang
respon dinamik SFT masih membuat ragu banyak pihak terhadap teknologi ini. Di
Indonesia, terdapat beberapa tempat yang potensial untuk dibangun SFT, seperti di
Selat Sunda, Selat Bali dan Selat Bangka. Sayangnya dengan banyaknya lokasi
yang potensial, belum banyak penelitian SFT yang sudah dilakukan (Budiman,
2017).
Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian tentang respon dinamik SFT
telah dilakukan. Penelitian dilakukan secara analitik, numerik dan eksperimental.
Secara eksperimental, telah dilakukan penelitian karakteristik gaya ombak yang
bekerja pada SFT. Disimpulkan bahwa gaya ombak pada silinder besar dapat
dihitung dengan teori difraksi, sedangkan pada silinder kecil dapat dihitung
menggunakan persamaan Morison (Kunisu, 2010). Selain SFT dengan penampang
lingkaran, penelitian SFT berpenampang persegi telah dilakukan untuk mengetahui
pengaruh gaya ombak dan respon dinamik. Persamaan Morison yang sudah
dimodifikasi dapat digunakan untuk menghitung gaya horizontal SFT
berpenampang persegi (Drost, 2019).
3
Berdasarkan Studi eksperimental pada prototipe SFT di Danau Qiandao,
China, menunjukkan hasil bahwa efek pergerakan seismik lebih signifikan
dibandingkan dengan efek getaran yang seragam (Hong & Ge, 2010). Sehingga
diperlukan desain SFT yang memenuhi kelayakan dan keamanan terhadap beban
seismik. Kemampuan SFT untuk menahan beban eksternal, salah satunya
dipengaruhi oleh konfigurasi tali tambat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SFT
dengan kombinasi tali tambat miring menunjukkan performa yang lebih baik dalam
menahan beban hidrodinamik dibanding tali tambat vertikal (Mazzolani et al.,
2008).
Selain secara eksperimental, penelitian SFT yang dilakukan secara numerik
juga banyak ditemukan, terutama yang menggunakan metode elemen hingga.
Dengan menggunakan elemen beam 3 dimensi, diperoleh hasil bahwa gaya
gelombang maksimum berkurang secara drastis seiring dengan peningkatan
kedalaman SFT (Paik et al., 2004). Pengaruh kemiringan tali tambat terhadap
respon dinamik SFT dapat diketahui menggunakan metode elemen hingga.
Diperoleh hasil bahwa kemiringan tali tambat sangat berpengaruh terhadap getaran
SFT dan direkomendasikan kemiringan tali tambat sebesar 45o (Chen et al., 2018).
Selain dari gaya hidrodinamik, SFT juga memperoleh beban dari pergerakan
kendaraan atau beban bergerak yang melintasinya. Pengaruh beban bergerak
terhadap SFT dapat diketahui dengan penyederhanaan SFT menjadi model beam
sederhana dengan pegas dan peredam di kedua ujungnya (Yuan et al., 2016).
Interaksi antara fluida-struktur-kendaraan telah diteliti oleh Lin menggunakan
metode superposisi mode dan elemen hingga. Diperoleh hasil bahwa, kedua metode
menunjukkan hasil yang baik, BWR (Buoyant Weight Ratio) dan kemiringan tali
4
tambat berpengaruh signifikan terhadap karakteristik getaran SFT (Lin et al., 2018,
2019). Pengaruh interaksi antara fluida-struktur-kendaraan terhadap faktor
kenyamanan telah diteliti oleh La Zara menggunakan solver ode45 pada
MATLAB®. Disimpulkan bahwa respon yang didominasi frekuensi rendah menjadi
penyebab mabuk perjalanan, sedangkan amplitudo dan akselerasi yang rendah
dapat menghindari mabuk perjalanan (La Zara, 2019).
Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan secara analitik, namun tidak
sebanyak numerik. Sato menganalogikan SFT sebagai beam pada fondasi elastis
(Sato et al., 2007, 2008). Dengan memodelkan SFT sebagai beam pada fondasi
elastis, solusi eigen dapat diperoleh dengan mudah. Fenomena beban bergerak pada
SFT dianalisis menggunakan teori beam Euler-Bernoulli. Disimpulkan bahwa
dengan meningkatkan kekakuan, dapat mengurangi faktor pembesaran dinamik
akibat efek beban bergerak (Tariverdilo et al., 2011). Parth menghitung beban
hidrodinamik menggunakan persamaan Morison dan Ogilvie (2015). Kedua
persamaan tersebut menunjukkan hasil yang semakin konvergen pada kedalaman
laut yang semakin dalam. Selain itu, dilakukan analisis dinamik menggunakan
metode superposisi mode dan metode kekakuan dinamik. Kedua metode tersebut
menghasilkan hasil yang sesuai (Parth, 2015). Penelitian SFT tidak hanya dilakukan
pada struktur lurus. Pada struktur lengkung persamaan gerak SFT diformulasikan
menggunakan prinsip Hamilton (Dong et al., 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ditelusuri, belum ditemukan
penelitian tentang pengaruh kelengkungan SFT terhadap respon dinamik, sehingga
dinilai perlu dilakukan kajian yang komprehensif. Perlu diketahui juga apakah
pengaruh parameter desain seperti kedalaman, diameter dan konfigurasi tali tambat
pada SFT struktur lurus juga memberikan pengaruh yang sama pada SFT struktur
lengkung. Selain parameter desain, metode penyelesaian yang efisien untuk
permasalahan dinamik struktur kontinu SFT juga perlu diketahui. Model kajian
berfokus pada SFT dengan penyangga tali tambat yang dinilai cocok sebagai sarana
penyeberangan. Sebagai studi kasus digunakan model prototipe SFT yang terletak
di Danau Qiandao, China. Penelitian ini memiliki urgensi sebagai analisis dinamik
dan perhitungan awal desain SFT, sehingga dapat mendukung realisasi SFT di
Indonesia.
1.2. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka ditentukan tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh kelengkungan struktur silinder terhadap gaya
hidrodinamik yang diterima.
2. Mengetahui pengaruh parameter desain SFT struktur lurus seperti diameter,
kedalaman dan konfigurasi tali tambat terhadap struktur lengkung.
3. Mengetahui metode yang dapat menyelesaikan permasalahan dinamik struktur
kontinu SFT secara efisien.
1.3. Batasan Masalah
Untuk memperoleh solusi dari permasalahan, dibutuhkan batasan dan
asumsi yang diterapkan pada penelitian ini, yaitu:
• Ombak diformulasikan menggunakan teori ombak linier (Airy’s theory).
• Arah ombak selalu tegak lurus terhadap struktur silinder SFT.
• Kedalaman dasar laut diasumsikan seragam sepanjang SFT.
6
• Gaya ombak diformulasikan menggunakan teori Morison.
• Gaya akibat ombak pada tali tambat diabaikan.
• Gaya berat tali tambat diabaikan.
• Persamaan gerak SFT diformulasikan menggunakan teori Euler-Bernoulli
beam.
1.4. Sistematika Penulisan
Bab I berisikan pemaparan latar belakang SFT sebagai sarana
penyeberangan, hasil penelitian sebelumnya, tujuan penelitian, batasan masalah
dan asumsi. Bab II berisikan penjelasan struktur SFT, teori ombak, beban
hidrodinamik dan dinamika struktur dan solusi numerik. Pada Bab 3 dijelaskan
tentang bahan dan alat yang diperlukan, parameter, prosedur pengujian dan
simulasi numerik. Hasil eksperimen, simulasi numerik dan pembahasan disajikan
pada Bab 4. Pada bab ini membahas tentang studi parametrik segmen tabung dan
struktur kontinu. Komparasi metode FEM dan MSM dibahas pada Bab 4.
Kesimpulan dan saran yang didapat pada penelitian ini disajikan pada Bab 5.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur SFT
SFT merupakan struktur tabung yang ditempatkan di bawah permukaan air
dan berfungsi sebagai sarana penyeberangan laut, sungai atau danau. Penampang
SFT pada umumnya berbentuk lingkaran, dapat juga berbentuk poligon atau persegi
panjang seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Karena lokasinya yang terletak di
bawah permukaan air, kapal penyeberangan memungkinkan untuk melintas di sisi
atas SFT. Keunikan dari SFT adalah terdapat gaya apung yang membuatnya seolah-
olah melayang di dalam air. SFT dilengkapi oleh struktur penyangga (support) yang
berguna untuk mempertahankan posisinya dari pengaruh ombak, arus, gempa bumi
dan pengaruh lingkungan lainnya.
Gambar 1. Bentuk penampang SFT, (a) Lingkaran, (b) Poligon, (c) Segi empat,
(d) Lingkaran dengan frame (Zhang, 2019).
8
2.1.1. Struktur Penyangga
SFT memiliki 4 tipe struktur penyangga, yaitu tali tambat, tiang penyangga,
ponton dan penyangga bebas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Dari
keempat penyangga, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pemilihan jenis penyangga didasarkan oleh faktor beban dan kondisi lingkungan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Struktur penyangga, (a) Tali tambat, (b) Tiang penyangga, (c) Ponton,
(d) Penyangga bebas (Østlid, 2010).
SFT yang ditunjukkan pada Gambar 2(a) disangga oleh tali tambat dengan
konfigurasi vertikal, miring atau kombinasi keduanya. Tipe ini memiliki rasio gaya
apung terhadap berat (BWR) > 1, sehingga gaya angkat sisa diseimbangkan dengan
tali tambat, akibatnya tali tambat mengalami tegangan awal. Kekakuan SFT
diperoleh dari kekakuan bending tunnel dan tali tambat. Akibat berbagai macam
beban lingkungan, dimungkinkan terjadinya fenomena kelendutan (slack). Hal ini
harus dihindari karena fenomena kelendutan yang berulang dapat menyebabkan
9
kegagalan fatigue. SFT jenis ini memiliki keunggulan dapat diterapkan pada
kondisi laut dengan kedalaman > 600 m dan jarak bentang > 4000 m (Østlid, 2010).
SFT yang ditunjukkan pada Gambar 2(b) memiliki bentuk seperti jembatan
bawah laut. SFT jenis ini memiliki nilai BWR ≤ 1, sehingga tiang penyangga
mengalami tegangan tekan. SFT tipe ini mendapatkan tambahan kekakuan dari
tiang penyangganya. Penggunaannya dibatasi oleh kedalaman laut, karena
konstruksi tiang penyangga tidak dapat menjangkau laut dalam.
SFT yang ditunjukkan pada Gambar 2(c) memiliki nilai BWR < 1 atau
dengan kata lain gaya berat lebih besar dari gaya apung sehingga membutuhkan
ponton sebagai penyeimbang. Kelebihan SFT ini adalah tidak terpengaruh terhadap
kedalaman air. Tipe ini sensitif terhadap beban angin, ombak, arus dan risiko
ponton tertabrak oleh kapal.
SFT yang ditunjukkan pada Gambar 2(d) adalah bentuk yang paling
sederhana, karena tidak memiliki tambahan penyangga pada strukturnya. Dengan
nilai BWR = 1 membuatnya netral terhadap gaya angkat maupun berat. Kekakuan
SFT tipe ini hanya berasal dari kekakuan bending tunnel sehingga memiliki jarak
bentang yang rendah, < 300 m (Østlid, 2010). Tipe ini digunakan untuk kebutuhan
pejalan kaki atau lalu lintas intensitas rendah.
2.1.2. Material Konstruksi
Salah satu keunggulan dari SFT adalah biaya konstruksinya yang lebih
murah dibandingkan dengan jembatan gantung (G. Martire et al., 2010). Hal ini
dipengaruhi oleh kuantitas dan jenis material yang digunakan. Untuk jarak
penyeberangan yang panjang, biaya konstruksi SFT jauh lebih murah dibandingkan
10
dengan jembatan gantung. Perbandingan pengaruh jarak penyeberangan terhadap
biaya konstruksi ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan biaya antara SFT dan jembatan gantung (G. Martire et
al., 2010).
Pemilihan material yang tepat harus diperhatikan agar kegagalan struktur
dapat dihindari. Pemilihan material dilakukan berdasarkan performa struktural dan
fungsional yang ingin dicapai. Selain itu, perlu diperhatikan beberapa faktor seperti
ketahanan terhadap kondisi lingkungan, fabrikasi, metode konstruksi, perawatan,
waktu penyediaan dan biaya material dan konstruksi (Giulio Martire, 2010).
Struktur lepas pantai umumnya dibangun menggunakan beton dan baja
karena sudah teruji dan tersedia banyak data-data pengujian material tersebut.
Berikut ini adalah beberapa material yang umum digunakan atau masih tahap
penelitian yang dapat digunakan sebagai material SFT (Faggiano et al., 2005).
• Beton
• Baja
• Material komposit
• Paduan aluminium
11
Optimalisasi performa struktural, dapat dicapai dengan kombinasi
penggunaan material yang berbeda. Setiap material ditujukan untuk memenuhi
fungsinya masing-masing, sehingga secara keseluruhan diperoleh manfaat dari
setiap material dan kekurangannya dapat saling ditutupi.
Baja memiliki beberapa kelebihan yang membuatnya cocok digunakan
sebagai material konstruksi SFT, seperti sifat mekanik yang baik, tahan abrasi,
tahan terhadap fatigue dan mampu dilas (weld ability). Selain kelebihan, baja juga
memiliki kekurangan, seperti tidak tahan korosi dan rentan terhadap beban fatigue
pada daerah sambungan.
Dari sisi biaya, penggunaan baja sebagai material keseluruhan struktur
tabung SFT kuranglah tepat, karena dapat menghabiskan biaya yang besar.
Kombinasi dengan beton merupakan pilihan yang tepat, karena beton termasuk
material berbiaya rendah. Selain bersifat tahan api, beton juga berfungsi sebagai
penyedia gaya berat untuk menyeimbangkan gaya apung. Penggunaan beton yang
diperkuat oleh lapisan baja membuatnya menjadi pilihan material yang layak dan
cocok karena menyediakan kekuatan dan kekakuan struktur. Kombinasi beton dan
lapisan baja menjadikan komposit baja-beton telah luas digunakan dan sukses pada
pembangunan terowongan terbenam (immersed tunnel) (Saveur, 1997).
Untuk menutupi kekurangan baja yang rentan korosi, sebagai pelapis anti
korosi dapat digunakan paduan aluminium di bagian luar SFT (Faggiano et al.,
2005). Konsep material komposit baja-beton-aluminium telah digunakan pada
pembuatan prototipe SFT di Danau Qiandao, China, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4 (Mazzolani et al., 2008). Sebagai alternatif pencegah korosi, material
busa karet dapat dijadikan alternatif. Busa karet adalah material berongga yang
12
terbuat dari karet sehingga dapat digunakan sebagai pelapis anti korosi. Karena
memiliki struktur berongga, busa karet dapat dijadikan peredam dari gaya impak.
Material ini sudah dipertimbangkan untuk digunakan pada SFT (Grantz, 2003).
Gambar 4. Tampilan penampang dan material prototipe SFT (Mazzolani et al.,
2008).
2.1.3. Beban Permanen
Beban permanen adalah beban yang tetap ada pada SFT tanpa adanya pembebanan
eksternal. Beban permanen terdiri dari berat struktur 𝐺𝑠, gaya apung 𝐹𝑏 dan tekanan
hidrostatis 𝑃ℎ. Berat struktur yang merupakan fungsi dari ketebalan dinding SFT
dinyatakan dengan persamaan (1). Di mana 𝐷𝑒𝑥, 𝐷𝑖𝑛, 𝑡, 𝐿 dan 𝜌𝑠 masing-masing
adalah diameter eksternal, internal, ketebalan dinding, panjang dan massa jenis
SFT.
𝐺𝑠 = 𝜌𝑠𝑔𝜋𝐷𝑒𝑥
2 − 𝐷𝑖𝑛2
4 𝐿 (1)
𝐷𝑒𝑥 = 𝐷𝑖𝑛 + 2𝑡 (2)
Salah satu ciri khas dari SFT adalah memiliki gaya apung, hal ini sesuai
dengan prinsip Archimedes. Besarnya gaya apung sama dengan berat air yang
13
terpindahkan oleh volume SFT. Gaya apung dinyatakan dengan persamaan (3). Di
mana 𝜌𝑤 dan 𝑔 adalah massa jenis air dan percepatan gravitasi.
𝐹𝑏 = 𝜌𝑤𝑔𝜋𝐷𝑒𝑥
2
4𝐿 (3)
Tekanan hidrostatis termasuk ke dalam beban permanen SFT. Tekanan
hidrostatis merupakan tekanan yang besarnya bergantung pada kedalaman.
Semakin dalam lokasi SFT dipasang, tekanan hidrostatisnya semakin besar.
Sehingga pada struktur SFT yang diletakkan pada kedalaman tertentu, tekanan
hidrostatis harus dipertimbangkan. Tekanan hidrostatis dinyatakan dengan
persamaan (4). Di mana 𝑧 adalah kedalaman dari permukaan air.
𝑃ℎ = 𝜌𝑤𝑔𝑧 (4)
2.1.4. Beban Fungsional
Beban fungsional adalah beban yang besarnya bergantung pada fungsi atau
kegunaan dari SFT. Beban fungsional dapat berupa jalur kendaraan, rel kereta, jalur
sepeda atau area pejalan kaki. Pergerakan kendaraan, lalu lintas dan pejalan kaki
juga termasuk ke dalam beban fungsional.
2.1.5. Kebutuhan Desain Awal
Guna memenuhi fungsi SFT sebagai sarana penyeberangan, dibutuhkan
desain awal agar SFT dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Berikut ini beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan untuk mendesain SFT:
1) Diameter internal perlu ditentukan sesuai kebutuhan ruang di dalam SFT.
Semakin banyak jalur transportasi yang diakomodasi oleh SFT, tentunya
14
kebutuhan ruang semakin besar. Misalnya jalur lalu-lintas kendaraan, rel
kereta, jalur pejalan kaki, sistem perpipaan dan kelistrikan.
2) Ketebalan dinding SFT perlu ditentukan untuk memenuhi kekakuan,
kekuatan dan elastisitas SFT, sehingga performa struktural yang diinginkan
dapat terpenuhi. Penggunaan material berlapis seperti komposit perlu
dipertimbangkan untuk meningkatkan performa struktural.
3) BWR adalah rasio gaya angkat terhadap gaya berat, di mana nilai BWR
dapat dinyatakan dengan persamaan (5). Sebagaimana diketahui nilai gaya
apung SFT harus lebih besar dari gaya beratnya, maka nilai BWR > 1. Untuk
menghindari fenomena lendutan atau kendurnya tali tambat, batas bawah
BWR perlu ditentukan. Sebagaimana batas bawah, batas atas BWR juga
perlu diperhatikan untuk menghindari berlebihnya tegangan awal tali
tambat. Nilai BWR dipengaruhi oleh diameter eksternal, bentuk
penampang, jenis material dan beban hidup.
𝐵𝑊𝑅 =𝐹𝑏
𝐺𝑠 + 𝐺𝑏 + 𝑃𝑙 (5)
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, nilai BWR berpengaruh
terhadap frekuensi alami. Beberapa penelitian menyatakan nilai BWR di sekitar 1,5
dapat meminimalkan momen bending akibat beban bergerak dan meningkatkan
nilai BWR dari 1,25 menjadi 1,4 dapat meningkatkan performa struktural pada
kondisi laut ekstrem (Brancaleoni et al., 1989; Lin et al., 2018).
2.2. Teori Ombak
SFT termasuk ke dalam struktur lepas pantai (offshore structure), beban
lingkungan pada SFT berasal dari ombak, arus, pasang surut air laut, angin dan
15
gempa bumi. Beban lingkungan yang dominan terjadi pada SFT disebabkan oleh
ombak. Untuk mengetahui perilaku dinamik SFT, teori ombak perlu dipahami.
Terdapat banyak teori ombak yang menjelaskan tentang kinematika partikel dan
profil ombak. Semua teori yang ada merupakan pendekatan terhadap fenomena
ombak sesungguhnya. Teori ombak yang banyak digunakan adalah teori ombak
linier atau dikenal sebagai teori Airy. Teori ini banyak digunakan karena asumsi
yang digunakan sederhana. Selain teori Airy, terdapat beberapa teori lain, seperti
teori gelombang Stokes, Cnoidal dan Solitary. Perbandingan profil dari beberapa
teori ombak tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Profil permukaan ombak (Wilson, 1963).
Teori Airy merupakan teori Stokes orde pertama. Dengan mengabaikan
orde yang lebih tinggi dari persamaan yang digunakan pada teori Stokes, maka teori
Airy valid untuk ketinggian ombak yang relatif kecil dibandingkan panjang ombak.
Ciri khas dari teori Airy adalah ombak yang direpresentasikan berbentuk sinusoidal.
16
Untuk merepresentasikan kondisi ombak yang lebih mendekati kondisi
nyata, dapat digunakan teori Stokes orde tinggi. Teori Stokes mengasumsikan
kecepatan potensial sebagai deret kuadrat dari parameter gangguan dan solusi
diperoleh jika kondisi ombak tidak terlalu curam dan kedalaman laut tidak terlalu
rendah (Sarpkaya, 2010).
Pada kondisi laut yang dangkal, dapat digunakan teori Cnoidal. Teori ini
dapat merepresentasikan ombak yang curam dengan puncak ombak yang lancip dan
lembah ombak yang datar. Keterbatasan teori Cnoidal adalah tidak valid pada
kondisi panjang ombak yang sangat panjang atau tidak terhingga. Pada kondisi ini
teori Solitary dapat digunakan.
Gambar 6. Klasifikasi penerapan teori ombak (Le Méhauté, 1976).
Pemilihan teori ombak harus berdasarkan parameter ombak yaitu periode,
ketinggian dan kedalaman. Setiap teori ombak hanya valid diterapkan pada kondisi
17
tertentu. Pembagian wilayah penerapan teori ombak berdasarkan periode,
ketinggian dan kedalaman dapat dilihat pada Gambar 6.
2.2.1. Teori Ombak Linier
Teori ombak linier atau sering disebut teori ombak Airy sering digunakan
untuk memprediksi pergerakan ombak laut. Ciri khas dari teori ombak Airy adalah
tinggi ombak relatif kecil dibandingkan dengan panjangnya. Ada beberapa asumsi
yang digunakan, yaitu:
• Fluida tak mampat.
• Gradien temperatur diabaikan.
• Tegangan permukaan diabaikan.
• Gaya geser diabaikan.
• Dasar laut bersifat rigid dan horizontal.
Profil ombak laut dideskripsikan melalui beberapa parameter yang ditunjukkan
pada Gambar 7.
Gambar 7. Parameter dan profil ombak.
18
Berdasarkan Gambar 7 terdapat beberapa parameter yaitu panjang ombak
𝐿, tinggi ombak 𝐻, periode ombak 𝑇, kecepatan ombak 𝑐 dan kedalaman laut 𝑑.
Kecepatan ombak dinyatakan dengan persamaan (6).
𝑐 =𝜔
𝑘 (6)
Frekuensi 𝜔 dan bilangan ombak 𝑘 masing-masing dinyatakan dengan persamaan
(7) dan (8).
𝜔 =2𝜋
𝑇 (7)
𝑘 =2𝜋
𝐿 (8)
Untuk menentukan gerakan partikel air pada bidang aliran dibutuhkan
kecepatan potensial 𝜙 yang memenuhi persamaan Laplace. Pada persamaan (9),
sumbu vertikal dinyatakan oleh 𝑧 dan sumbu horizontal dinyatakan oleh 𝑥.
𝜕2𝜙
𝜕𝑥2+𝜕2𝜙
𝜕𝑧2= 0 (9)
Dengan kondisi batas di dasar laut 𝜕𝜙/𝜕𝑧 = 0 pada 𝑧 = −𝑑. Solusi dari persamaan
(9) didapatkan dengan mengasumsikan ketinggian ombak 𝐻 relatif kecil
dibandingkan dengan panjang ombak 𝐿 dan kedalaman laut 𝑑 (Sarpkaya, 2010).
Solusi dari persamaan (9) adalah persamaan kecepatan potensial 𝜙 yang didapat
dengan menyelesaikannya menggunakan metode pemisahan variabel. Persamaan
kecepatan potensial adalah sebagai berikut.
𝜙 =𝜋𝐻
𝑘𝑇
cosh[𝑘(𝑧 + 𝑑)]
sinh(𝑘𝑑)sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (10)
Selanjutnya diperoleh hubungan penyebaran sebagai berikut.
19
𝑐2 =𝜔2
𝑘2=𝑔
𝑘tanh(𝑘𝑑) (11)
Berdasarkan hubungan penyebaran, diketahui kecepatan perambatan
gelombang merupakan hubungan antara frekuensi dan bilangan ombak. Dari
persamaan (11) dapat diperoleh persamaan untuk mencari kecepatan perambatan
dan panjang ombak yang masing-masing dinyatakan dengan persamaan (12) dan
persamaan (13).
𝑐 =𝑔
𝜔tanh(𝑘𝑑) (12)
𝐿 =𝑔𝑇2
2𝜋tanh (
2𝜋𝑑
𝐿) (13)
2.2.2. Kinematika Partikel Air
Besarnya gaya yang ditimbulkan oleh ombak pada struktur SFT sangat
bergantung pada kinematika partikel air. Kecepatan partikel air pada arah horizontal
dan vertikal diperoleh dengan menurunkan persamaan (10) terhadap arah 𝑥 dan 𝑧.
Kecepatan partikel air pada arah horizontal dan vertikal masing-masing dinyatakan
dengan persamaan (14) dan (15).
𝑣𝑥 =𝜋𝐻
𝑇
cosh[𝑘(𝑧 + 𝑑)]
sinh(𝑘𝑑)cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (14)
𝑣𝑧 =𝜕𝜙
𝜕𝑧=𝜋𝐻
𝑇
sinh[𝑘(𝑧 + 𝑑)]
sinh(𝑘𝑑)sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (15)
Pada setiap kedalaman z, kecepatan partikel air bersifat harmonik seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 8. Fungsi sinus dan cosinus hiperbolik
menyebabkan pengurangan kecepatan secara eksponensial dari permukaan air
sampai dasar laut.
20
Gambar 8. Variasi kecepatan partikel air terhadap kedalaman (V. Sundar, 2016).
Percepatan partikel air dapat diketahui dengan menurunkan kecepatan
partikel air terhadap waktu. Percepatan partikel air pada arah horizontal dan vertikal
masing-masing dinyatakan dengan persamaan (16) dan (17).
�̇�𝑥 =2𝜋2𝐻
𝑇2cosh[𝑘(𝑧 + 𝑑)]
sinh(𝑘𝑑)sin(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (16)
�̇�𝑧 = −2𝜋2𝐻
𝑇2sinh[𝑘(𝑧 + 𝑑)]
sinh(𝑘𝑑)cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (17)
Gerakan partikel air yang membentuk lintasan elips ditunjukkan pada
Gambar 9. Pergerakan partikel air bergantung terhadap kedalaman dasar laut.
Semakin dalam dasar laut, maka ketinggian ombak semakin kecil sehingga lintasan
elips semakin tipis dan kecil. Berdasarkan kedalamannya, laut dibagi menjadi tiga
macam, yaitu laut dangkal (𝑑/𝐿 < 1/20), laut menengah (1/20 < 𝑑/𝐿 < 1/2)
dan laut dalam (𝑑/𝐿 > 1/2). Profil lintasan partikel air untuk ketiga macam
kedalaman laut, ditunjukkan pada Gambar 9. Di mana 𝑣 adalah kecepatan dan 𝑤
adalah displacement.
21
(a)
(b)
(c)
Gambar 9. Variasi lintasan partikel air, (a) Laut dangkal, (b) Laut menengah, (c)
Laut dalam (Sarpkaya, 2010).
2.2.3. Distribusi Tekanan
Percepatan partikel air yang telah dijelaskan sebelumnya terjadi akibat
adanya gaya yang bekerja pada partikel tersebut. Gaya tersebut muncul karena
terdapat gradien tekanan pada fluida. Besarnya tekanan yang terjadi diperoleh
dengan disubstitusikannya persamaan kecepatan potensial (10) ke dalam persamaan
Bernoulli yang dinyatakan dengan persamaan (18).
22
−𝜕𝜙
𝜕𝑡+𝑃
𝜌+ 𝑔𝑧 = 0 (18)
Kalikan persamaan (18) dengan massa jenis fluida 𝜌, sehingga tekanan 𝑃
dinyatakan dengan persamaan (19).
𝑃 = −𝜌𝑔𝑧 + 𝜌𝜕𝜙
𝜕𝑡 (19)
Persamaan (19) disubstitusikan ke persamaan (10) sehingga diperoleh tekanan total
dinyatakan dengan persamaan (20).
𝑃 = −𝜌𝑔𝑧 + 1
2𝜌𝑔𝐻
cosh[𝑘(𝑧 + 𝑑)]
cosh(𝑘𝑑)cos(𝑘𝑥 − 𝜔𝑡) (20)
Tekanan
hidrostatis
Tekanan dinamik
Suku pertama sisi kanan persamaan (20) merupakan tekanan hidrostatis dan
suku kedua merupakan tekanan dinamik akibat ombak. Besarnya tekanan
hidrostatis bersifat linier dari permukaan air sampai dasar laut, sedangkan besarnya
tekanan dinamik tergantung pada kecepatan partikel air. Persamaan (20) hanya
valid untuk ombak dengan amplitudo kecil dari teori ombak linier. Gambaran
distribusi tekanan hidrostatis dan dinamik, ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Distribusi tekanan hidrostatis dan dinamik (Holthuijsen, 2007).
23
2.3. Beban Hidrodinamik
Pada struktur lepas pantai, penting untuk mengetahui besarnya beban yang
diakibatkan oleh pergerakan fluida atau beban hidrodinamik. Cara paling sederhana
dan paling banyak digunakan untuk menghitung beban hidrodinamik adalah dengan
menggunakan persamaan Morison. Persamaan ini mendefinisikan total gaya yang
diterima oleh silinder adalah jumlah dari gaya seret dan inersia (Morison et al.,
1950). Gaya inersia terdiri dari gaya Froude-Krylov dan gaya massa hidrodinamik
(massa tambah). Karena persamaan Morison mengabaikan efek difraksi, maka
hanya berlaku pada silinder kecil. Persamaan Morison dinyatakan dengan
persamaan (21).
𝑓 =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷𝑣|𝑣| + 𝜌𝐴�̇� + 𝜌𝐴𝐶𝑀�̇� (21)
Gaya seret Gaya
Froude-
Krylov
Gaya massa
hidrodinamik
Gaya hidrodinamik pada silinder besar (𝐷/𝐿 > 0,2), efek difraksi harus
dihitung menggunakan teori difraksi (MacCamy & Fuchs, 1954). Pada umumnya
desain SFT adalah struktur silinder kecil memanjang, dengan rasio diameter
terhadap panjang silinder relatif kecil. Oleh karena itu, pada subbab ini dijelaskan
lebih rinci perhitungan gaya hidrodinamik menggunakan persamaan Morison.
2.3.1. Gaya Seret
Gaya seret timbul akibat dari pemisahan aliran air yang melewati silinder.
Aliran air terbagi dua sehingga menimbulkan efek tekanan 𝑃 dan tegangan geser 𝜏
pada permukaan silinder (Sumer & Fredsøe, 2006), seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 11.
24
Gambar 11. Aliran air melewati silinder (Sumer & Fredsøe, 2006).
Gaya seret 𝑓𝑑 merupakan jumlah dari komponen horizontal yang
ditimbulkan oleh gaya akibat tekanan 𝑃 dan tegangan geser 𝜏. Besarnya gaya seret
dinyatakan dengan persamaan (22). Di mana 𝜌, 𝐷, 𝐶𝐷 dan 𝑣 masing-masing adalah
massa jenis fluida, diameter silinder, koefisien seret dan kecepatan aliran.
𝑓𝑑 =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷𝑣
2 (22)
Besarnya koefisien seret 𝐶𝐷 tergantung pada bilangan Reynold yang
dinyatakan dengan persamaan (23). Di mana ν adalah viskositas kinematik fluida.
𝑅𝑒 =𝑣𝐷
ν (23)
Diketahui bahwa bilangan Reynold adalah parameter untuk menentukan jenis aliran
di sekitar silinder, sehingga nilai 𝐶𝐷 di setiap aliran laminar maupun turbulen
berbeda-beda. Banyak eksperimen yang telah dilakukan untuk mengetahui
pengaruh bilangan Reynold terhadap koefisien seret. Gambar 12 menunjukkan
grafik pengaruh bilangan Reynold terhadap koefisien seret.
25
Gambar 12. Nilai koefisien seret silinder halus terhadap bilangan Reynold
(Schlichting & Gersten, 2016).
Pada kasus aliran air yang terosilasi, untuk memastikan arah gaya seret
sesuai dengan arah kecepatan aliran, maka 𝑣2 pada persamaan (22) ditulis menjadi
𝑣|𝑣|. Gaya seret pada aliran terosilasi dinyatakan dengan persamaan (24).
𝑓𝑑 =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷𝑣|𝑣| (24)
Pada SFT dengan penyangga tali tambat, ketika aliran air melewati struktur,
maka struktur ikut bergerak dengan kecepatan �̇� mengikuti arah aliran fluida. Pada
kondisi ini terjadi kecepatan relatif antara struktur dan aliran fluida, sehingga gaya
seret pada SFT dinyatakan dengan persamaan (25).
𝑓𝑑 =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷(𝑣 − �̇�)|𝑣 − �̇�| (25)
2.3.2. Gaya Inersia
Gaya inersia pada struktur silinder merupakan jumlah dari gaya Froude-
Krylov dan gaya massa hidrodinamik (massa tambah). Karena diberi beban ombak,
26
struktur bergerak relatif terhadap aliran fluida. Percepatan fluida pada daerah aliran
terluar menciptakan gradien tekanan yang menyebabkan gaya Froude-Krylov.
Besarnya gaya Froude-Krylov 𝑓𝑓𝑘 dinyatakan dengan persamaan (26).
𝑓𝑓𝑘 = 𝜌𝐴�̇� (26)
Gaya massa hidrodinamik tergantung pada besarnya massa hidrodinamik.
Massa hidrodinamik atau sering disebut juga massa tambah adalah massa fluida di
sekitar struktur yang mengalami percepatan ketika struktur bergerak. Massa fluida
ini memberikan efek massa tambah pada struktur. Untuk menggerakkan struktur,
dibutuhkan gaya inersia tambahan akibat keberadaan massa hidrodinamik. Gaya
tambahan inilah yang disebut gaya massa hidrodinamik. Besarnya gaya massa
hidrodinamik 𝑓𝑚ℎ dinyatakan dengan persamaan (27).
𝑓𝑚ℎ = 𝜌𝐴𝐶𝑀�̇� (27)
Setiap struktur memiliki koefisien massa hidrodinamik 𝐶𝑀 yang berbeda-
beda, nilainya tergantung pada bentuk struktur tersebut. Nilai 𝐶𝑀 merupakan nilai
empirik yang diperoleh dari hasil eksperimen. Koefisien massa hidrodinamik dari
beberapa macam bentuk penampang ditunjukkan pada Tabel 1
Persamaan (27) berlaku apabila struktur dalam kondisi diam (fixed),
sehingga kurang tepat diterapkan pada SFT. Karena SFT bergerak secara fleksibel
terhadap ombak, sehingga terjadi kecepatan relatif struktur dan aliran fluida. Untuk
menghitung gaya massa hidrodinamik SFT, persamaan (27) dapat dimodifikasi
menjadi persamaan (28).
𝑓𝑚ℎ = 𝜌𝐴𝐶𝑀(�̇� − �̈�) (28)
27
Tabel 1. Koefisien Massa Hidrodinamik (Sumer & Fredsøe, 2006)
Bentuk
Penampang
Arah Gerakan
Struktur
𝒂
𝒃 𝑪𝑴 𝑨
Vertikal - 1,0 𝜋𝑎2
Vertikal - 1,0 𝜋𝑎2
Vertikal - 1,0 𝜋𝑎2
Vertikal - 1,0 𝜋𝑎2
Vertikal
∞ 1,00 𝜋𝑎2
10,0 1,14 𝜋𝑎2
5,0 1,21 𝜋𝑎2
2,0 1,36 𝜋𝑎2
1,0 1,51 𝜋𝑎2
0,5 1,70 𝜋𝑎2
0,2 1,98 𝜋𝑎2
0,1 2,23 𝜋𝑎2
Sebelumnya telah diketahui bahwa gaya inersia total adalah penjumlahan
antara gaya Froude-Krylov dan gaya massa hidrodinamik. Dengan mendefinisikan
koefisien inersia 𝐶𝐼 sesuai dengan persamaan (29),
𝐶𝐼 = 𝐶𝑀 + 1 (29)
gaya inersia total dapat diformulasikan sebagai berikut.
𝑓𝑖 = 𝜌𝐴𝐶𝐼�̇� (30)
2.3.3. Bilangan KC
Dari persamaan (14) dan (16) diketahui bahwa kecepatan dan percepatan air
memiliki beda fase sebesar 90o. Karena gaya seret dan inersia bergantung pada
28
kecepatan dan percepatan air, maka gaya maksimum seret dan inersia memiliki
beda fase sebesar 90o seperti ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Variasi gaya seret dan inersia (Sumer & Fredsøe, 2006).
Untuk menyatakan perbandingan gaya inersia dan gaya seret, digunakan bilangan
KC (Keulegan-Carpenter). Bilangan KC dinyatakan dengan persamaan (31). Di
mana 𝑣𝑚𝑎𝑥 dan 𝑇 masing-masing adalah kecepatan maksimum ombak dan periode
ombak.
𝐾𝐶 =𝑣𝑚𝑎𝑥𝑇
𝐷 (31)
Bilangan KC adalah perbandingan gerakan ombak (𝑣𝑚𝑎𝑥𝑇) terhadap
diameter silinder (𝐷). Pada bilangan KC yang kecil, dapat dikatakan bahwa gerakan
partikel air di sekitar silinder relatif kecil dibandingkan dengan diameter silinder.
Dapat diartikan bahwa pada bilangan KC yang kecil tidak terjadi pemisahan aliran
fluida, sehingga gaya inersia lebih dominan terhadap gaya seret. Pada bilangan KC
yang besar, gerakan partikel air relatif besar dibandingkan diameter silinder,
sehingga terjadi pemisahan aliran bahkan pelepasan pusaran air (vortex). Pada
29
kondisi ini gaya seret lebih dominan. Wilayah penerapan gaya yang dominan
berdasarkan bilangan KC dan parameter penyebaran (𝑘𝑎 = 𝜋𝐷/𝐿) ditunjukkan
pada Gambar 14.
Gambar 14. Wilayah penerapan gaya inersia dan seret (Sundar, 2017).
Beberapa eksperimen menyimpulkan bahwa, pada aliran terosilasi koefisien
seret 𝐶𝐷 dan inersia 𝐶𝐼 bergantung pada bilangan Reynold dan KC. Gambar 15
menunjukkan variasi koefisien seret dan inersia terhadap bilangan Reynold dan KC.
30
(a)
(b)
Gambar 15. Koefisien seret dan inersia sebagai fungsi bilangan Re dan KC, (a)
Koefisien seret, (b) Koefisien inersia (Sarpkaya, 1976).
2.4. Dinamika Struktur
Untuk mengetahui respon dinamik SFT akibat beban dinamik, diperlukan
penyederhanaan struktur SFT menjadi model segmen tabung dan struktur kontinu.
Persamaan gerak model segmen tabung diperoleh menggunakan persamaan getaran
satu derajat kebebasan. Pada struktur kontinu, persamaan gerak diperoleh melalui
teori beam Euler-Bernoulli. Solusi dari persamaan gerak diperoleh secara analitik
dan numerik.
31
2.4.1. Model Satu Derajat Kebebasan
Respon dinamik segmen tabung diperoleh dengan memodelkannya sebagai
sistem satu derajat kebebasan. Sistem satu derajat kebebasan dapat digambarkan
dengan mekanisme massa-pegas atau pendulum, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 16.
(a) (b)
Gambar 16. Sistem satu derajat kebebasan, (a) Mekanisme massa-pegas, (b)
Mekanisme pendulum.
Gambar 16(a) menunjukkan mekanisme massa-pegas dengan 𝑀 adalah
massa, 𝐾 adalah kekakuan pegas, 𝐶 adalah redaman viskos dan diberikan gaya
eksternal 𝐹(𝑡) yang bergantung terhadap waktu. Sistem tersebut mendeskripsikan
gerakan arah horizontal 𝑥(𝑡) terhadap waktu. Persamaan gerak sistem satu derajat
kebebasan dapat diformulasikan menggunakan hukum kedua Newton. Persamaan
gerak untuk mekanisme massa-pegas dinyatakan dengan persamaan (32).
𝑀�̈� + 𝐶�̇� + 𝐾𝑥 = 𝐹(𝑡) (32)
Pada Gambar 16(b) menunjukkan komponen mekanisme pendulum terdiri
dari massa pendulum 𝑀, panjang lengan 𝑙 dan redaman rotasi 𝐶𝑟 yang diberikan
beban eksternal berupa momen 𝑀𝑏(t). Sistem tersebut mendeskripsikan gerakan
32
arah rotasi 𝜃(𝑡) terhadap waktu. Persamaan gerak mekanisme pendulum
dinyatakan dengan persamaan (33). Persamaan (32) dan (33) merupakan persamaan
diferensial biasa orde kedua. Solusi persamaan ini dapat diperoleh secara analitik
maupun numerik. Solusi analitik berupa penjumlahan dari solusi homogen dan
solusi partikular.
𝑀𝑙2�̈� + 𝐶𝑟�̇� + 𝑀𝑔𝑙𝜃 = 𝑀(𝑡) (33)
2.4.2. Getaran Bebas
Jika suatu sistem satu derajat kebebasan tidak memiliki gaya eksternal 𝐹(𝑡),
maka persamaan (32) berubah bentuk menjadi persamaan diferensial dengan bentuk
seperti persamaan (34).
𝑀�̈� + 𝐶�̇� + 𝐾𝑥 = 0 (34)
Solusi umum dari persamaan (34) dinyatakan dengan persamaan (35).
𝑥(𝑡) = 𝐶1𝑒(−ζ+√ζ2−1)𝜔𝑛𝑡 + 𝐶2𝑒
(−ζ−√ζ2−1)𝜔𝑛𝑡 (35)
Solusi khusus dari persamaan (35) bergantung pada nilai rasio redaman ζ. Jika nilai
ζ < 1, maka termasuk getaran di bawah redaman kritis. Apabila nilai ζ = 1, maka
termasuk getaran teredam kritis dan jika ζ > 1, maka termasuk getaran di atas
redaman kritis.
Pada struktur SFT yang dimodelkan sebagai segmen tabung, karena
kehadiran fluida di sekitar tabung, maka redaman 𝐶 tidak dapat diabaikan. Nilai 𝐶
dapat diperoleh salah satunya dengan melakukan eksperimen. Jika getaran teredam
pada segmen tabung diasumsikan sebagai getaran di bawah redaman kritis ζ < 1,
maka amplitudo mengecil secara bertahap seperti yang ditunjukkan pada Gambar
17.
33
Gambar 17. Respon gerakan pada getaran di bawah redaman kritis (S.S. Rao,
2017).
Dengan melakukan eksperimen getaran bebas, nilai rasio redaman ζ dapat
diperoleh melalui penurunan logaritmik 𝛿 seperti yang dinyatakan dengan
persamaan (36) dan (37).
𝛿 = 𝑙𝑛𝑥1𝑥2
(36)
ζ =𝛿
2𝜋 (37)
Jika rasio redaman suatu sistem sudah diketahui, maka nilai redaman 𝐶 didapat
menggunakan persamaan (38).
𝐶 = 2ζ𝑚𝜔𝑛 (38)
2.4.3. Model Beam Euler-Bernoulli
Model paling sederhana SFT adalah SFT dengan penyangga bebas, dengan
nilai 𝐵𝑊𝑅 = 1 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(d). Jenis SFT ini hanya
ditumpu oleh tumpuan sederhana (pinned) atau tumpuan tetap (fixed) pada kedua
ujungnya. Kekakuan SFT hanya diperoleh dari kekakuan bending (flexural
34
rigidity). Jenis SFT ini, secara teori dapat diformulasikan menggunakan teori beam
Euler-Bernoulli, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar 18. Deformasi beam akibat bending (S.S. Rao, 2017).
Dengan teori beam Euler-Bernoulli diasumsikan bahwa panjang SFT jauh
lebih besar dibandingkan ukuran penampang, displacement tidak terlalu besar,
mengabaikan inersia putar dan mengabaikan deformasi geser (S.S. Rao, 2019).
Persamaan diferensial parsial yang digunakan untuk memformulasikan persamaan
gerak dari SFT dinyatakan dengan persamaan (39) (S.S. Rao, 2017).
𝐸𝐼∂4𝑤
𝜕𝑥4(𝑥, 𝑡) + 𝜌𝐴
∂2𝑤
∂𝑡2(𝑥, 𝑡) = 𝑓(𝑥, 𝑡)
(39)
Pada persamaan (39), 𝑤 adalah displacement, 𝐸𝐼 adalah kekakuan bending,
𝜌𝐴 adalah massa per satuan panjang dan 𝑓 adalah gaya eksternal per satuan
panjang. Struktur SFT yang digetarkan secara paksa oleh beban dinamik cenderung
bergetar sesuai mode getar yang frekuensi alaminya dekat dengan frekuensi beban.
Persamaan (39) dapat diselesaikan secara analitik menggunakan metode pemisahan
variabel. Selain secara analitik, solusi dari persamaan (39) dapat diperoleh secara
numerik.
35
Untuk memahami perilaku dinamik dan stabilitas struktur, diperlukan
frekuensi alami dan mode getar dari SFT. Pada SFT tumpuan sederhana dengan
kondisi batas tidak ada defleksi (𝑤 = 0) dan momen bending (𝐸𝐼 ∂2𝑤/𝜕𝑥2 = 0)
pada kedua ujungnya, frekuensi alami 𝜔𝑛 dan mode getar 𝑊 masing-masing
dinyatakan dengan persamaan (40) dan (41).
𝜔𝑛 = √(𝑛𝜋
𝐿)4 𝐸𝐼
𝐴
(40)
𝑊(𝑥) = 𝐶𝑛 sin𝑛𝜋𝑥
𝐿
(41)
2.4.4. Kekakuan Tali Tambat
Pada subbab sebelumnya, telah dijelaskan pemodelan SFT secara matematis
menggunakan teori beam Euler-Bernoulli. Pemodelan ini hanya berlaku pada SFT
pada kondisi netral, yaitu besarnya gaya apung sama dengan gaya berat atau
𝐵𝑊𝑅 = 1. Pada SFT dengan penyangga tali tambat dengan 𝐵𝑊𝑅 > 1, diperlukan
tali tambat untuk mempertahankan posisi SFT, seperti ditunjukkan pada Gambar
19. Konfigurasi tali tambat tergantung pada kekakuan yang diperlukan. Karena
terdapat selisih gaya apung dan gaya berat, maka pada tali tambat terjadi tegangan
awal 𝑇𝑜.
36
Gambar 19. SFT dengan tali tambat.
Karena kehadiran tali tambat, maka kekakuan SFT arah horizontal dan
vertikal akan bertambah. Kekakuan yang dihasilkan oleh tali tambat dipengaruhi
oleh kemiringan dari sumbu vertikal 𝜃, tegangan awal 𝑇𝑜, panjang tali tambat 𝐿𝑡,
modulus elastisitas 𝐸 dan luas penampang tali tambat 𝐴. Berdasarkan parameter
yang sudah disebutkan sebelumnya, dapat diformulasikan kekakuan akibat tali
tambat. Pada tali tambat vertikal (𝜃 = 0), besarnya kekakuan horizontal dan
vertikal masing-masing dinyatakan dengan persamaan (42) dan (43).
𝐾ℎ =2𝑇𝑜𝐿𝑡
(42)
𝐾𝑣 =2𝐸𝐴
𝐿𝑡 (43)
Pada tali tambat miring, besarnya kekakuan arah horizontal dan vertikal dinyatakan
dengan persamaan (44) dan (45). Penjelasan lebih lengkap perhitungan kekakuan
tali tambat dapat dilihat pada LAMPIRAN A.
𝐾ℎ =2𝐸𝐴
𝐿𝑡sin2 𝜃
(44)
37
𝐾𝑣 =2𝐸𝐴
𝐿𝑡cos2 𝜃 (45)
Kekakuan akibat tali tambat yang telah diperoleh dapat digunakan untuk
memformulasikan persamaan gerak SFT. SFT dengan tali tambat merupakan model
beam pada tumpuan elastis (BOES). Akan tetapi frekuensi alami model BOES
secara analitik tidak dapat diperoleh, oleh karena itu pemodelan dianalogikan
sebagai model beam pada fondasi elastis (BOEF). Beam pada fondasi elastis
menganggap kekakuan tersebar merata di sepanjang beam. Model SFT sebagai
BOES dan BOEF ditunjukkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Analogi struktur SFT sebagai BOEF, (a) Struktur SFT, (b) Model
BOES, (c) Model BOEF (Giulio Martire, 2010).
Analogi model BOES sebagai BOEF untuk analisis statis dan dinamik pada
SFT telah diverifikasi oleh Sato (2007, 2008). Hasil studi menunjukkan bahwa
frekuensi alami dan mode getar dari BOES dan BOEF sesuai jika 𝐾𝑣 ≤ 0,05 dan
38
masih mendekati jika 𝐾𝑣 ≤ 0,5, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 21. Di
mana 𝐾𝑣 adalah konstanta kekakuan relatif.
(a)
(b)
Gambar 21. Perbandingan BOES dan BOEF, (a) Frekuensi alami, (b) Mode getar
(Sato et al., 2008).
BOES dapat dianalogikan sebagai BOEF apabila nilai 𝐾𝑣 ≤ 0,05. Kekakuan relatif
𝐾𝑣 diformulasikan sebagai berikut.
𝐾𝑣 =�̃�ℎ3
24𝐸𝐼 (46)
Dengan ℎ adalah jarak tali tambat dan �̃� adalah modulus kekakuan. Nilai �̃�
dinyatakan dengan persamaan (47).
39
�̃� =𝐾
ℎ (47)
Dengan diperolehnya nilai kekakuan per satuan panjang, maka persamaan
gerak struktur dinyatakan dengan persamaan (48).
𝐸𝐼∂4𝑤
𝜕𝑥4(𝑥, 𝑡) + 𝜌𝐴
∂2𝑤
∂𝑡2(𝑥, 𝑡) + �̃�𝑤(𝑥, 𝑡) = 𝑓(𝑥, 𝑡) (48)
Bentuk persamaan (48) merupakan modifikasi dari persamaan (39) dengan
menambahkan kekakuan per satuan panjang �̃�. Solusi dari persamaan (48) dapat
diperoleh secara analitik maupun numerik. Karena persamaan gerak telah berubah,
maka frekuensi alami SFT yang disertai oleh tali tambat dinyatakan dengan
persamaan (49).
𝜔𝑛 = √(𝑛𝜋
𝐿)4 𝐸𝐼
𝜌𝐴+�̃�
𝜌𝐴 (49)
Persamaan (49) menyatakan frekuensi alami untuk SFT yang memiliki kondisi
batas tumpuan sederhana. Jika dibandingkan dengan persamaan (40), persamaan
(49) menghasilkan frekuensi alami yang lebih besar. Hal ini terjadi karena
kehadiran tali tambat meningkatkan kekakuan, yang secara langsung meningkatkan
frekuensi alami.
2.4.5. Interaksi Fluida-Struktur
Lokasi SFT yang terletak di bawah permukaan air menyebabkan terjadinya
interaksi antara fluida dan juga struktur SFT. Interaksi dari fluida dapat berupa gaya
hidrodinamik atau biasa dikenal sebagai gaya Morison yang dilambangkan dengan
𝑓(𝑥, 𝑡). Gaya Morison merupakan gaya terdistribusi sepanjang struktur SFT
40
sehingga memilik besaran gaya per satuan panjang. Gaya morison dinyatakan
dengan persamaan (50).
𝑓(𝑥, 𝑡) =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷(𝑣 − �̇�)|𝑣 − �̇�| + 𝜌𝐴�̇� + 𝜌𝐴𝐶𝑀(�̇� − �̈�) (50)
Gaya seret Gaya
Froude-
Krylov
Gaya massa
hidrodinamik
Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab 2.3, gaya hidrodinamik terdiri
dari gaya seret dan gaya inersia (jumlah dari gaya Froude-Krylov dan gaya massa
hidrodinamik). Dari persamaan (50), dapat dilihat pada komponen gaya seret
merupakan fungsi non-linier dari kecepatan partikel air. Dengan asumsi kecepatan
partikel air jauh lebih besar dibandingkan kecepatan struktur, maka gaya seret dapat
dinyatakan dengan persamaan (51) (Thinh et al., 1998).
𝑓𝑑 =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷(𝑣 − �̇�)|𝑣 − �̇�|
=1
2𝜌𝐷𝐶𝐷γ(𝑣 − �̇�) (51)
Pada persamaan (51), koefisien linierisasi γ ditemukan melalui kriteria
optimal. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan kriteria MSE (Mean Squere
Error) paling umum dan sering digunakan (Thinh et al., 1998). Koefisien linierisasi
dinyatakan dengan persamaan (52).
γ = √8
𝜋𝜎 (52)
Di mana 𝜎 adalah standar deviasi dari kecepatan partikel air 𝑣. Merujuk dari
beberapa artikel, metode linierisasi seperti ini secara umum sudah banyak
digunakan dan sering disebut sebagai linierisasi Borgman (Borgman, 1967;
41
Wolfram, 1999). Beberapa metode alternatif linierisasi gaya seret, diformulasikan
oleh Housseine (2015) dan Siow (2014) dengan memodifikasi linierisasi Borgman.
Dengan menggantikan komponen gaya seret menggunakan persamaan (51),
persamaan (50) dapat dimodifikasi menjadi persamaan (53).
𝑓(𝑥, 𝑡) =1
2𝜌𝐷𝐶𝐷γ(𝑣 − �̇�) + 𝜌𝐴�̇� + 𝜌𝐴𝐶𝑀(�̇� − �̈�)
(53)
Substitusikan persamaan (53) ke persamaan (48), sehingga diperoleh persamaan
interaksi fluida dan struktur dinyatakan dengan persamaan (54).
𝐸𝐼∂4𝑤
𝜕𝑥4(𝑥, 𝑡) + (𝜌𝐴 + 𝜌𝐴𝐶𝑀)
∂2𝑤
∂𝑡2(𝑥, 𝑡) +
1
2𝜌𝐷𝐶𝐷γ
∂𝑤
∂𝑡+ �̃�𝑤(𝑥, 𝑡)
=1
2𝜌𝐷𝐶𝐷γ𝑣 + 𝜌𝐴𝐶𝐼�̇�
(54)
Pada persamaan (54) digunakan koefisien inersia sebagai jumlah dari
koefisien massa hidrodinamik dan gaya Froude-Krylov, di mana 𝐶𝐼 = 𝐶𝑀 + 1.
Nilai 𝜌𝐴𝐶𝑀 merupakan massa tambah pada struktur SFT akibat keberadaan fluida
di sekitar silinder. Terdapat juga suku 1
2𝜌𝐷𝐶𝐷γ yang merupakan redaman viskos
akibat gaya seret.
2.4.6. Persamaan Gerak Struktur Kontinu
Persamaan gerak SFT diformulasikan berdasarkan teori beam Euler-
Bernoulli. Dengan menggunakan prinsip Hamilton, persamaan gerak SFT
dinyatakan dengan persamaan (55).
𝐸𝐼𝜕4𝑤
𝜕𝑥2+𝑚
𝜕2𝑤
𝜕𝑡2+ 𝑐
𝜕𝑤
𝜕𝑡+ 𝑘𝑤 = 𝑓(𝑡) (55)
42
Di mana 𝑤 adalah displacement, 𝐸𝐼 adalah kekakuan bending, 𝑚 adalah jumlah
dari massa struktur (𝜌𝐴) dan massa tambah (𝜌𝐴𝐶𝑀), 𝑐 adalah redaman viscous
(1
2𝜌𝐷𝐶𝐷γ), 𝑘 adalah kekakuan tali tambat dan 𝑓(𝑡) adalah gaya Morison.
Solusi dari persamaan (55) dapat diperoleh menggunakan perhitungan
analitik atau numerik. Perhitungan analitik dapat dilakukan tetapi dari beberapa
artikel penelitian, tidak banyak ditemukan penggunaan perhitungan analitik karena
cukup rumit dalam penyelesaiannya. Sehingga penggunaan metode numerik dinilai
tepat untuk memperoleh solusi dengan memperhatikan nilai eror. Beberapa metode
numerik yang umum digunakan adalah metode elemen hingga (FEM) dan metode
superposisi mode (MSM). Penjelasan mengenai kedua metode numerik tersebut
dijelaskan pada subbab berikutnya.
2.5. Solusi Numerik
Terdapat berbagai macam penyelesaian secara numerik dari persamaan
gerak struktur kontinu SFT. Pada subbab ini dijelaskan dua metode yang banyak
digunakan, yaitu metode FEM dan MSM.
2.5.1. Metode Superposisi Mode (MSM)
Solusi dari persamaan (55) dapat diperoleh menggunakan metode MSM
dengan cara mengekspresikan respon dinamik SFT sebagai superposisi dari mode
getar (S.S. Rao, 2017, pp. 751–753). Melalui metode MSM, displacement SFT
dinyatakan dengan persamaan (56).
𝑤(𝑥, 𝑡) = ∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑞𝑛(𝑡) (56)
43
𝑊𝑛(𝑥) = sin (𝑛𝜋𝑥
𝐿) (57)
Di mana 𝑊𝑛(𝑥) adalah fungsi mode getar ke-n dan 𝑞𝑛(𝑡) adalah fungsi
waktu. Fungsi mode getar 𝑊𝑛(𝑥) sangat bergantung pada jenis kondisi batas. Pada
studi ini digunakan SFT dengan kondisi batas tumpuan sederhana (pinned-pinned)
pada kedua ujungnya. Sehingga mode getar dinyatakan dengan persamaan (57).
Substitusikan persamaan (56) ke persamaan (55), sehingga diperoleh persamaan
(58).
𝐸𝐼∑𝑑4𝑊𝑛(𝑥)
𝑑𝑥4
∞
𝑛=1
𝑞𝑛(𝑡) + 𝑚∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑑2𝑞𝑛(𝑡)
𝑑𝑡2+ 𝑐∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑑𝑞𝑛(𝑡)
𝑑𝑡
+ 𝑘∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑞𝑛(𝑡) = 𝑓(𝑡)
(58)
Dari persamaan getaran bebas harmonik, diperoleh persamaan (59).
𝐸𝐼𝑑4𝑊(𝑥)
𝑑𝑥4= 𝑚𝜔2𝑊(𝑥) (59)
Dengan mode getar 𝑊𝑛(𝑥) memenuhi persamaan (59), persamaan (58) dapat ditulis
menjadi persamaan (60).
𝑚∑𝜔𝑛2
∞
𝑛=1
𝑊𝑛(𝑥)𝑞𝑛(𝑡) + 𝑚∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑑2𝑞𝑛(𝑡)
𝑑𝑡2+ 𝑐∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑑𝑞𝑛(𝑡)
𝑑𝑡
+ 𝑘∑𝑊𝑛
∞
𝑛=1
(𝑥)𝑞𝑛(𝑡) = 𝑓(𝑡)
(60)
Kalikan persamaan (60) dengan 𝑊𝑛(𝑥) dan diintegralkan dari 0 sampai 𝑙, lalu
terapkan kondisi ortogonalitas, yang menyatakan bahwa
∫ 𝑚𝑙
0
𝑊𝑛2(𝑥) 𝑑𝑥 = 1 (61)
maka persamaan (60) berubah menjadi persamaan (62).
44
𝑑2𝑞𝑛(𝑡)
𝑑𝑡2+𝑐
𝑚
𝑑𝑞𝑛(𝑡)
𝑑𝑡+ (
𝑘
𝑚+ 𝜔𝑛
2) 𝑞𝑛(𝑡) = 𝑄𝑛(𝑡) (62)
𝑄𝑛(𝑡) = ∫ 𝑊𝑛
𝑙
0
(𝑥)𝑓(𝑡) 𝑑𝑥 (63)
Dari persamaan (62), 𝜔𝑛 merupakan frekuensi alami pada tunnel SFT dan
√𝑘/𝑚 adalah frekuensi alami akibat keberadaan tali tambat. Pada SFT dengan
tumpuan sederhana, frekuensi alaminya dinyatakan dengan persamaan (64).
𝜔𝑛 = (𝑛𝜋
𝑙)2
√𝐸𝐼
𝑚+ √
𝑘
𝑚 (64)
Persamaan (62) merupakan persamaan diferensial biasa, sehingga dapat
diselesaikan secara numerik. Pada studi ini digunakan metode Newmark dengan
parameter 𝛼 = 1/6 dan 𝛽 = 1/2 untuk memperoleh solusi 𝑞𝑛(𝑡). Selanjutnya
untuk memperoleh solusi displacement, substitusikan nilai 𝑞𝑛(𝑡) ke persamaan
(56). Jika solusi displacement telah diperoleh, momen bending dapat diperoleh
menggunakan persamaan (65).
𝑀(𝑥, 𝑡) = 𝐸𝐼𝜕2𝑤(𝑥, 𝑡)
𝜕𝑥2 (65)
2.5.2. Metode Elemen Hingga (FEM)
Metode elemen hingga (FEM) adalah sebuah metode numerik yang dapat
digunakan untuk mencari solusi permasalahan statis atau dinamik pada struktur
yang kompleks. Metode ini membagi struktur menjadi beberapa bagian yang
disebut elemen. Di setiap ujung atau sisi elemen terdapat node yang memiliki nilai
(displacement, temperatur, kecepatan dan lain-lain). Pada analisis solid mekanik
nilai masing-masing node adalah displacement. Solusi dari model SFT sebagai
beam Euler-Bernoulli dapat diperoleh menggunakan metode FEM. Secara teknis,
45
metode FEM mengubah persamaan gerak SFT (55) yang merupakan persamaan
diferensial parsial menjadi persamaan diferensial biasa (66).
[𝑀]�̈⃗�𝑛(𝑡) + [𝐶]�̇⃗�𝑛(𝑡) + [𝐾]�⃗�𝑛(𝑡) = �⃗�(𝑡) (66)
Di mana [𝑀], [𝐶] dan [𝐾] masing-masing adalah matriks massa, redaman dan
kekakuan. �̈⃗�𝑛, �̇⃗�𝑛 dan �⃗�𝑛 masing-masing adalah vektor percepatan, kecepatan dan
displacement. �⃗� merupakan vektor gaya node.
Melalui metode FEM, SFT dibagi menjadi 𝑛 segmen elemen beam seperti
ditunjukkan pada Gambar 22. Setiap elemen memiliki panjang 𝑙 = 𝐿/𝑛 dan
memiliki dua node, setiap node memiliki dua arah derajat kebebasan yaitu arah
translasi dan arah rotasi. Bentuk elemen beam ditunjukkan pada Gambar 23.
𝑞1, 𝑞2, 𝑞3 dan 𝑞4 merupakan displacement node.
Gambar 22. Pemodelan elemen hingga struktur SFT (Lin et al., 2018).
Gambar 23. Elemen beam dengan derajat kebebasan (Singiresu S. Rao, 2017).
46
Secara analitik, mode getar pada beam tersusun dari penjumlahan fungsi
sinusoidal, seperti yang sudah dibahas pada metode MSM. Melalui metode FEM
dilakukan pendekatan menggunakan persamaan polinomial, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 24. Solusi diasumsikan sebagai bentuk polinomial yang
tersusun dari 4 suku seperti yang dinyatakan dengan persamaan (67).
Gambar 24. Pendekatan polinomial, (a) Pendekatan linier, (b) Pendekatan kuadrat
(Singiresu S. Rao, 2017).
𝑤(𝑥, 𝑡) = 𝑎0 + 𝑎1𝑥 + 𝑎2𝑥2 + 𝑎3𝑥
3 (67)
Dikarenakan elemen beam memiliki 4 derajat kebebasan, maka jumlah suku
pada persamaan (67) berjumlah 4. 𝑎0, 𝑎1, 𝑎2, 𝑎3 adalah konstanta yang dinyatakan
dalam bentuk displacement node. Diketahui kondisi batas pada beam tumpuan
sederhana dinyatakan dengan persamaan (68).
{
𝑤(0, 𝑡) = 𝑞1(𝑡)𝜕𝑤
𝜕𝑥(0, 𝑡) = 𝑞2(𝑡)
𝑤(𝑙, 𝑡) = 𝑞3(𝑡)𝜕𝑤
𝜕𝑥(𝑙, 𝑡) = 𝑞4(𝑡)
(68)
Substitusikan kondisi batas pada persamaan (68) ke (67) sehingga diperoleh nilai
konstanta 𝑎0, 𝑎1, 𝑎2, 𝑎3 seperti yang dinyatakan dengan persamaan (69).
47
{
𝑎0 = 𝑞1(𝑡)
𝑎1 = 𝑞2(𝑡)
𝑎2 =1
𝑙2(−3𝑞1(𝑡) − 2𝑞2(𝑡)𝑙 + 3𝑞3(𝑡) − 𝑞4(𝑡)𝑙)
𝑎3 =1
𝑙3(2𝑞1(𝑡) + 𝑞2(𝑡)𝑙 − 2𝑞3(𝑡) + 𝑞4(𝑡)𝑙)
(69)
Jika nilai konstanta sudah diperoleh, selanjutnya substitusikan persamaan
(69) ke persamaan (67) dan kumpulkan koefisien 𝑞(𝑡), sehingga diperoleh
persamaan (70).
𝑤(𝑥, 𝑡) = 𝑁1(𝑥)𝑞1(𝑡) + 𝑁2(𝑥)𝑞2(𝑡) + 𝑁3(𝑥)𝑞3(𝑡) + 𝑁4(𝑥)𝑞4(𝑡) (70)
Persamaan (70) dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti yang dinyatakan dengan
persamaan (71).
𝑤(𝑥, 𝑡) = [𝑁1(𝑥) 𝑁2(𝑥) 𝑁3(𝑥) 𝑁4(𝑥)]
{
𝑞1(𝑡)
𝑞2(𝑡)
𝑞3(𝑡)
𝑞4(𝑡)}
= [𝑁(𝑥)] �⃗�(𝑡) (71)
Di mana �⃗�(𝑡) menyatakan vektor displacement node dari setiap elemen dan [𝑁(𝑥)]
adalah matriks fungsi bentuk (shape function). Nilai dari elemen matriks fungsi
bentuk adalah sebagai berikut.
{
𝑁1(𝑥) = 1 − 3 (
𝑥
𝑙)2
+ 2(𝑥
𝑙)3
𝑁2(𝑥) = 𝑥 − 2𝑙 (𝑥
𝑙)2
+ 𝑙 (𝑥
𝑙)3
𝑁3(𝑥) = 3 (𝑥
𝑙)2
− 2(𝑥
𝑙)3
𝑁4(𝑥) = −𝑙 (𝑥
𝑙)2
+ 𝑙 (𝑥
𝑙)3
(72)
Matriks fungsi bentuk (shape function) digunakan untuk menemukan
matriks massa, kekakuan dan redaman. Metode energi digunakan untuk
mendapatkan ketiga matriks tersebut. Matriks massa didapatkan dengan
48
mempertimbangkan energi kinetik dari elemen beam dengan panjang 𝑙. Energi
kinetik dinyatakan dengan persamaan (73).
𝑇 =1
2�̃�∫ (�̇�)2𝑑𝑥
𝑙
0
=1
2�̃�∫ �̇⃗�(𝑡)𝑇 [𝑁(𝑥)]𝑇 [𝑁(𝑥)] �̇⃗�(𝑡)𝑑𝑥
𝑙
0
=1
2�̇⃗�(𝑡)𝑇�̃�∫ [𝑁(𝑥)]𝑇 [𝑁(𝑥)] 𝑑𝑥
𝑙
0
�̇⃗�(𝑡)
=1
2 �̇⃗�(𝑡)𝑇[𝑀] �̇⃗�(𝑡) (73)
Dari persamaan (73) diperoleh matriks massa sebagai berikut.
[𝑀] = �̃�∫ [𝑁(𝑥)]𝑇 [𝑁(𝑥)] 𝑑𝑥𝑙
0
(74)
Dengan disubstitusikannya matriks fungsi bentuk [𝑁(𝑥)] ke persamaan (74),
didapat elemen matriks massa sebagai berikut.
[𝑀] =�̃�𝑙
420[
156 22𝑙22𝑙 4𝑙2
54 −13𝑙13𝑙 −3𝑙2
54 13𝑙−13𝑙 −3𝑙2
156 −22𝑙−22𝑙 4𝑙2
] (75)
Kekakuan dari struktur SFT dihasilkan oleh tabung dan tali tambat. Karena
SFT dianalogikan sebagai BOEF, matriks kekakuan didapatkan dengan
mengombinasikan matriks kekakuan bending dan kekakuan tali tambat (Frydrýšek
et al., 2013; Tiwari & Kuppa, 2014). Matriks kekakuan bending diperoleh dengan
mempertimbangkan energi regangan (strain energy) pada elemen beam. Energi
regangan dinyatakan dengan persamaan (76).
𝑈 =1
2𝐸𝐼 ∫ (𝑤′′)2
𝑙
0
𝑑𝑥
=1
2𝐸𝐼 ∫ �⃗�(𝑡)𝑇 [𝑁(𝑥)]′′
𝑇 [𝑁(𝑥)]′′ �⃗�(𝑡)
𝑙
0
𝑑𝑥
49
=1
2�⃗�(𝑡)𝑇 𝐸𝐼 ∫ [𝑁(𝑥)]′′
𝑇 [𝑁(𝑥)]′′ 𝑑𝑥
𝑙
0
�⃗�(𝑡)
=1
2�⃗�(𝑡)𝑇 [𝐾𝑏] �⃗�(𝑡) (76)
Dari persamaan (76) diperoleh matriks kekakuan bending sebagai berikut.
[𝐾𝑏] = 𝐸𝐼 ∫ [𝑁(𝑥)]′′𝑇 [𝑁(𝑥)]′′ 𝑑𝑥
𝑙
0
(77)
Dengan disubstitusikannya matriks fungsi bentuk [𝑁(𝑥)] ke (77), didapat elemen
matriks kekakuan bending sebagai berikut.
[𝐾𝑏] = 𝐸𝐼
𝑙3[
12 6𝑙6𝑙 4𝑙2
−12 6𝑙−6𝑙 2𝑙2
−12 −6𝑙6𝑙 2𝑙2
12 −6𝑙−6𝑙 4𝑙2
] (78)
Matriks kekakuan tali tambat juga diperoleh dengan mempertimbangkan energi
regangan yang dinyatakan dengan persamaan (79).
𝑈 =1
2�̃� ∫ (𝑤′′)2
𝑙
0
𝑑𝑥
=1
2�̃� ∫ �⃗�(𝑡)𝑇 [𝑁(𝑥)]′′
𝑇 [𝑁(𝑥)]′′ �⃗�(𝑡)
𝑙
0
𝑑𝑥
=1
2�⃗�(𝑡)𝑇 �̃� ∫ [𝑁(𝑥)]′′
𝑇 [𝑁(𝑥)]′′ 𝑑𝑥
𝑙
0
�⃗�(𝑡)
=1
2�⃗�(𝑡)𝑇 [𝐾𝑡] �⃗�(𝑡) (79)
Dengan disubstitusikannya matriks fungsi bentuk [𝑁(𝑥)] ke (79), didapat elemen
matriks kekakuan tali tambat sebagai berikut.
50
[𝐾𝑡] =
[ 13𝑙�̃�
35⁄11𝑙2�̃�
210⁄
11𝑙2�̃�210⁄ 𝑙3�̃�
105⁄
9𝑙�̃�70⁄ −13𝑙
2�̃�420⁄
13𝑙2�̃�420⁄ − 𝑙
3�̃�140⁄
9𝑙�̃�70⁄
13𝑙2�̃�420⁄
−13𝑙2�̃�
420⁄ − 𝑙3�̃�
140⁄
13𝑙�̃�35⁄ −11𝑙
2�̃�210⁄
−11𝑙2�̃�
210⁄ 𝑙3�̃�105⁄ ]
(80)
Matriks kekakuan struktur SFT [𝐾] didapatkan dengan menjumlahkan [𝐾𝑏] dan
[𝐾𝑡].
[𝐾] = [𝐾𝑏] + [𝐾𝑡] (81)
Dikarenakan SFT merupakan struktur bawah laut, maka kehadiran fluida di
sekitar SFT perlu diperhitungkan. Fluida di sekitar SFT menimbulkan efek redaman
viscous. Karena keterbatasan untuk mengukur redaman viscous pada SFT, maka
berdasarkan hasil penelitian digunakan redaman struktural yang berasal dari
material struktur SFT. Redaman dapat bersumber dari gesekan antar lapisan beton
dan baja atau bahkan dari beton itu sendiri. Material Struktur SFT yang terbuat dari
beton memiliki rasio redaman sebesar 0,8 % (Schack, 2017). Beberapa penelitian
mengasumsikan rasio redaman sebesar 0,25 % (Long et al., 2009; Muhammad et
al., 2017). Metode yang digunakan untuk mencari matriks redaman adalah metode
redaman Rayleigh. Metode ini menghitung redaman struktural sebagai kombinasi
antara redaman proporsional massa dan kekakuan. Redaman Rayleigh di
dinyatakan dengan persamaan (82). Hubungan antara redaman Rayleigh terhadap
rasio redaman ditunjukkan pada Gambar 25.
[𝐶] = 𝛼[𝑀] + 𝛽[𝐾] (82)
Berdasarkan Gambar 25, redaman Rayleigh ditentukan berdasarkan dua
mode getar yang berbeda. Masing-masing mode getar memiliki frekuensi alami
(𝜔1, 𝜔2) dan rasio redaman (ζ1, ζ2) yang berbeda. Rasio redaman untuk setiap mode
51
dari SFT tidak tersedia. Tapi diketahui bahwa rasio redaman untuk mode pertama
dan kedua hampir sama, sehingga pada perhitungan ini nilai ζ1 ≈ ζ2 = 0,8%. Nilai
koefisien redaman 𝛼 dan 𝛽 dinyatakan dengan persamaan (83) (Muhammad et al.,
2017).
Gambar 25. Pembagian daerah redaman Rayleigh (Cook, 1995).
𝛼 = ζ2𝜔𝑖𝜔𝑗
𝜔𝑖+𝜔𝑗 , 𝛽 = ζ
2
𝜔𝑖+𝜔𝑗 (83)
Gaya akibat massa, redaman, dan kekakuan telah diubah menjadi persamaan
diferensial biasa. Gaya hidrodinamik yang terdistribusi sepanjang SFT perlu diubah
menjadi persamaan diferensial biasa dengan cara mengalikan dengan matriks fungsi
bentuk dan diintegralkan sepanjang 𝑙. Vektor gaya node dinyatakan pada
persamaan berikut.
�⃗�(𝑡) = ∫ [𝑁(𝑥)]𝑇 𝑓(𝑥, 𝑡) 𝑑𝑥𝑙
0
(84)
Jika semua matriks elemen dan vektor gaya node pada persamaan (66)
sudah diketahui, solusi numerik diperoleh dengan melakukan integrasi secara
langsung menggunakan metode Newmark atau Runge Kutta orde ke-4.
III. METODE PENELITIAN
Pengujian eksperimental dan simulasi numerik dilakukan untuk
mendapatkan respon dinamik struktur SFT akibat gaya ombak. Pada bab ini dibahas
mengenai tempat, waktu penelitian, alat, bahan, parameter, prosedur pengujian dan
simulasi. Pengaturan eksperimen pada percobaan, metode numerik dan tahapan
pemrograman untuk mendapatkan solusi numerik dijelaskan pada bab ini.
Secara garis besar, penelitian dibagi ke dalam dua bidang pengamatan.
Pengamatan pertama dilakukan untuk mengetahui pengaruh gaya hidrodinamik
pada segmen tabung lurus dan lengkung yang dilakukan secara eksperimental dan
simulasi numerik. Pengamatan kedua dilakukan untuk mengetahui respon dinamik
struktur kontinu SFT yang disimulasikan menggunakan program komputer.
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian berupa eksperimen dan simulasi numerik dilaksanakan
di Laboratorium Mekanika Struktur, Jurusan Teknik Mesin, Universitas Lampung.
Total rentang waktu penelitian dilaksanakan selama 7 bulan dimulai dari September
2020 hingga April 2021. Timeline penelitian ditunjukkan pada Gambar 26.
54
3.2. Bahan dan Alat
Berdasarkan kegiatan penelitian yang dilakukan, pada penelitian ini
dilakukan eksperimen dan simulasi numerik. Berikut ini adalah bahan dan alat yang
digunakan.
3.2.1. Spesimen Uji
Spesimen uji berupa segmen tabung lurus dan lengkung terbuat dari bahan
pipa PVC seperti yang ditunjukkan pada Gambar 27. Keempat silinder memiliki
diameter 2 inci dan panjang 50 cm. Terdapat tiga segmen tabung lengkung yang
masing-masing memiliki jari-jari kelengkungan sebesar 400, 800 dan 1200 mm.
Gambar 27. Segmen tabung lurus dan lengkung
55
3.2.2. Kolam Pembangkit Ombak
Kolam pembangkit ombak ditunjukkan pada Gambar 28. Kolam
pembangkit ombak berfungsi untuk menghasilkan ombak dengan frekuensi dan
amplitudo sesuai kebutuhan. Kolam tersebut memiliki dimensi panjang 200 cm,
lebar 60 cm, tinggi 80 cm dan kedalaman 44 cm. Terdapat pembangkit ombak yang
terdiri dari motor listrik, gearbox, sistem transmisi, poros, bearing dan pendulum
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 28. Untuk mengatur posisi dan kedalaman
spesimen, kolam pembangkit ombak dilengkapi dengan sebuah holder seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 29.
Gambar 28. Kolam pembangkit ombak.
Gambar 29. Holder penjepit segmen tabung.
56
3.2.3. Alat Ukur dan Perangkat Akuisisi Data
Perangkat akuisisi data berfungsi untuk mengubah data keluaran dari alat
ukur gaya yang berupa beda potensial menjadi data digital sehingga dapat
dianalisis. Perangkat akuisisi data terdiri dari load cell, amplifier, microcontroller
dan komputer yang terangkai seperti ditunjukkan pada Gambar 30. Load cell
berfungsi untuk mengukur gaya ombak. Amplifier berfungsi sebagai penguat sinyal
dari load cell agar terbaca oleh microcontroller. Selanjutnya data beda potensial
diubah menjadi data digital oleh microcontroller. Komputer digunakan sebagai
pengolahan dan visualisasi data digital.
Gambar 30. Rangkaian akuisisi data.
3.2.4. Software Simulasi Numerik
Simulasi numerik dilakukan dengan menggunakan bantuan software
ANSYS 2020 R2 Fluent dan Matlab. ANSYS digunakan untuk melakukan simulasi
segmen tabung yang kondisinya dirupakan seperti kondisi eksperimen. Matlab
digunakan untuk membuat program FEM dan MSM guna memperoleh solusi
numerik struktur kontinu SFT. Perintah program Matlab dapat dilihat pada
LAMPIRAN B.
57
3.3. Parameter
Terdapat empat kategori parameter, yaitu parameter ombak, parameter
koefisien gaya hidrodinamik, parameter segmen tabung dan parameter struktur
kontinu. Nilai dari tiap parameter dijelaskan melalui subbab berikut ini.
3.3.1. Parameter Ombak
Terdapat empat parameter ombak yang dibutuhkan untuk menganalisis gaya
hidrodinamik, yaitu tinggi ombak, periode ombak, panjang ombak dan kedalaman
air. Definisi keempat parameter tersebut dijelaskan pada subbab 2.2.1. Parameter
ombak skala laboratorium diketahui melalui pengukuran pada kolam pembangkit
ombak. Sedangkan parameter ombak mengacu pada kondisi ombak di Danau
Qiandao, China (Mazzolani et al., 2008; Muhammad et al., 2017). Tabel 2 berisikan
informasi nilai dari parameter ombak pada penelitian ini.
Pada Tabel 2 nilai parameter ombak dibedakan menjadi dua macam, yaitu
skala laboratorium dan kondisi di lapangan. Parameter ombak skala laboratorium
digunakan untuk pengujian eksperimen segmen tabung. Sedangkan parameter
ombak di Danau Qiandao, China digunakan untuk simulasi numerik struktur
kontinu SFT.
Tabel 2. Parameter Ombak
Parameter Skala
Laboratorium
Danau Qiandao,
China Satuan
Tinggi ombak 0,023 1 m
Periode ombak 0,59 2,3 s
Panjang ombak 0,558 6,28 m
Kedalaman 0,6 30 m
(a)
(b)
Gambar 15. (a) Geometry, mesh, and boundary condition (b) Top view of model
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.Kinematika Partikel Air
Pada riset ini karakteristik gelombang diasumsikan sesuai dengan teori Airy. Teori ini dibuat
dengan gerakan ombak yang diasumsikan yang cukup kecil sehingga kondisi free surface-nya
dapat dilinearisasi. Profil dari gelombang Airy dapat ditentukan dengan menggunakan
Persamaan (1) [26], dimana adalah … dan H adalah tinggi gelombang, sebagaimana yang
terlihat pada Gambar 16.
(53)
Gambar 16. Variabel Gelombang dan Spesimen.
Kinematika partikel fluida pada posisi dekat dengan permukaan air, memiliki kecepatan
dan percepatan aliran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan posisi yang lebih dalam,
seperti yang dinyatakan pada persamaan Error! Reference source not found., ((7) dan
konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya [27] . Pada setiap kedalaman z, kecepatan
partikel air bersifat harmonik seperti yang ditunjukkan pada Gambar Fungsi hiperbolik
menyebabkan pengurangan kecepatan secara eksponensial dari permukaan air sampai dasar
laut.
(a) (b)
Gambar 17. Kinematika partikel fluida terhadap kedalaman (a) Velocity and (b)
Acceleration)
Gambar 18 Variasi kecepatan partikel air terhadap kedalaman [28].
4.2. Gaya Gelombang dan Verifikasi metode pada silinder lurus
Gambar 191 menunjukkan perbandingan gaya hidrodinamik pada segmen tabung
lurus yang diperoleh secara eksperimen, simulasi dan perhitungan analitik. Pembandingan
dilakukan untuk memastikan pengaturan eksperimen dan simulasi sudah tepat dan hasilnya
mendekati solusi analitik. Pengujian dilakukan pada segmen tabung lurus berdiameter 2 inci,
dengan variasi kedalaman H1, H2 dan H3 yang masing-masing berlokasi 100 mm, 200 mm
dan 300 mm di bawah permukaan air. Sedangkan perhitungan analitik diperoleh dengan
menerapkan persamaan Morison Error! Reference source not found..
(a)
(b)
(c)
Gambar 191. Perbandingan gaya hidrodinamik secara eksperimental dan analitik, (a)
kedalaman H1, (b) kedalaman H2, (c) kedalaman H3
Gaya hidrodinamik pada kedalaman H1 yang ditampilkan Gambar 191(a)
memperlihatkan bahwa hasil uji eksperimen memiliki gaya yang lebih besar dibandingkan
dengan perhitungan analitik dan simulasi . Hal ini terjadi karena tingkat keakuratan sensor
dan beberapa gangguan (noise) saat dilakukan pengujian seperti getaran motor listrik yang
ikut terbaca oleh load cell. Hal serupa juga ditunjukkan Gambar 191(b) yang menampilkan
Gaya hidrodinamik pada kedalaman H2. Berdasarkan hasil yang ditampilkan, perbedaan nilai
gaya dan sudut fase (phase angle) dari kedalaman H1 dan H2 tidak signifikan.
Pada Gambar 191(c) ditampilkan gaya hidrodinamik pada kedalaman H3. Berbeda
dengan kedalaman H1 dan H2, pada kedalaman H3 gaya hasil uji eksperimen lebih kecil
dibandingkan dengan hasil simulasi dan perhitungan analitik. Hal ini dikarenakan pengombak
menghasilkan gaya yang kecil pada kedalaman H3. Secara kasat mata, dapat dilihat bahwa
bentuk gelombang hasil uji eksperimen pada Gambar 191(c) mengalami deformasi, tidak
seperti pada Gambar 191(a) dan (b) yang gelombang eksperimen dan analitik terlihat
seragam.
Dari ketiga pengujian, hasil simulasi menampilkan nilai yang hampir sama dengan
perhitungan analitik. Hal ini terjadi karena, ANSYS menjalankan simulasi berdasarkan
metode finite volume yang merupakan pendekatan dari persamaan analitik. Sedangkan uji
eksperimen menunjukkan hasil yang konsisten dan cukup baik pada kedalaman H1 dan H2.
Hal ini dikarenakan pada kedalaman air yang dekat dengan permukaan air, pembangkit
ombak menghasilkan ombak cukup baik. Pada kedalaman H3 pembangkit ombak
menghasilkan ombak yang kurang konsisten.
Berdasarkan hasil pengujian dan simulasi segmen tabung lurus dengan variasi
kedalaman yang dibandingkan dengan hasil perhitungan analitik, dapat dinyatakan bahwa
pengaturan eksperimen dan simulasi sudah benar. Selanjutnya untuk menguji segmen tabung
lengkung, dapat digunakan pengaturan eksperimen dan simulasi dari pengujian segmen
tabung lurus.
4.3 Pengaruh Radius Kelengkungan terhadap Gaya
Gambar menunjukkan grafik pengaruh diameter kelengkungan terhadap gaya
hidrodinamik maksimal yang diperoleh secara eksperimen dan simulasi. Dilakukan
eksperimen dan simulasi pada kedalaman 100 mm, 200 mm dan 300 mm di bawah
permukaan air. Segmen tabung yang digunakan berdiameter 2 inci dengan 3 variasi
kelengkungan pada uji eksperimen dan 5 variasi kelengkungan pada simulasi.
(a) (b)
(c)
Gambar 20. Pengaruh radius kelengkungan terhadap gaya, (a) kedalaman 100 mm, (b)
kedalaman 200 mm, (c) kedalaman 300 mm
Gambar (a) dan (b) menampilkan pengaruh radius kelengkungan pada kedalaman 100
mm dan 200 mm. Pada kedua kedalaman tersebut, terlihat bahwa semakin kecil radius
kelengkungan atau semakin melengkung suatu segmen tabung, gaya yang diterima semakin
kecil. Kecenderungan ini selaras dengan hasil eksperimen maupun simulasi. Pada Gambar (a)
terlihat hasil eksperimen memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan hasil simulasi.
Perbedaan ini disebabkan oleh ketidaksesuaian pemodelan pada tahap simulasi dengan
kondisi kolam pembangkit ombak. Hal ini seperti yang ditampilkan Gambar 191(a) pada
pengujian pipa lurus dengan kedalaman yang sama menunjukkan gaya hidrodinamik hasil
eksperimen lebih besar dibandingkan hasil simulasi.
Gambar (c) menampilkan pengaruh radius kelengkungan pada kedalaman 300 mm.
Hasil uji eksperimen menampilkan kecenderungan yang selaras dengan Gambar (a) dan (b) di
mana semakin kecil radius kelengkungan, gaya yang diterima semakin kecil. Sedangkan pada
hasil simulasi menunjukkan kecenderungan yang konstan. Hal ini disebabkan karena
ketidaksesuaian pemodelan pada tahap simulasi, sehingga tidak dapat merepresentasikan
kondisi ombak pada kedalaman 300 mm. Di mana besarnya ombak pada kedalaman 300 mm
berbeda signifikan dengan ombak kedalaman 100 mm.
Berdasarkan hasil eksperimen dan simulasi yang ditampilkan Gambar , dapat
dinyatakan bahwa radius kelengkungan segmen tabung berbanding lurus terhadap gaya
hidrodinamik. Sehingga dalam penerapan konstruksi struktur silinder bawah laut, perlu
mempertimbangkan faktor kelengkungan.
4.4. Pengaruh Kedalaman terhadap Gaya
Gambar menampilkan grafik pengaruh kedalaman terhadap gaya hidrodinamik
maksimal yang diperoleh secara eksperimen dan simulasi. Eksperimen dan simulasi
dilakukan pada segmen tabung berdiameter 2 inci dengan radius kelengkungan 400 mm, 800
m , 1200 mm dan segmen tabung lurus. Eksperimen dan simulasi dilakukan pada variasi
kedalaman 100 mm, 200 mm dan 300 mm di bawah permukaan air.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 21. Pengaruh kedalaman terhadap gaya, (a) radius 400 mm, (b) radius 800 mm, (c)
radius 1200 mm, (d) segmen tabung lurus
Gambar (a) – (d) menampilkan pengaruh kedalaman terhadap gaya hidrodinamik pada
segmen tabung dengan radius kelengkungan 400 mm, 800 mm, 1200 mm dan segmen tabung
lurus. Dari keempat gambar menunjukkan hasil yang selaras di mana semakin dalam suatu
segmen tabung diletakkan, maka gaya hidrodinamik yang diterima semakin kecil. Hal ini
dapat dilihat pada kecenderungan keempat grafik baik pada segmen tabung lurus dan
lengkung. Dari keempat grafik, hasil pengujian eksperimen dan simulasi pada kedalaman 200
mm dan 300 mm menunjukkan hasil yang dekat. Sementara itu pengujian eksperimen pada
kedalaman 100 mm menunjukkan perbedaan yang lebih besar dibandingkan dengan dua
kedalaman lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena ketidaksesuaian profil pembangkit
ombak dengan teori ombak linier atau ketidaksesuaian pemodelan pada tahap simulasi.
Pengaruh kedalaman yang dihasilkan baik secara eksperimen maupun simulasi sesuai
dengan persamaan gaya morison Error! Reference source not found., di mana besarnya
gaya hidrodinamik berbanding lurus terhadap kecepatan dan percepatan partikel air. Pada
persamaan kinematika partikel air Error! Reference source not found. - Error! Reference
source not found. menyatakan bahwa semakin dalam semakin rendah kedalaman suatu
silinder, maka kecepatan dan percepatan partikel air semakin kecil. Sehingga kedalaman
suatu segmen tabung di bawah permukaan air berbanding terbalik dengan gaya hidrodinamik
yang diterimanya, sesuai seperti yang ditampilkan pada Gambar .
4.5. Pengaruh Diameter terhadap Gaya
Gambar 22. Pengaruh diameter terhadap gaya
Gambar menampilkan grafik pengaruh diameter segmen tabung terhadap gaya
hidrodinamik maksimal yang diperoleh secara simulasi. Simulasi dilakukan pada segmen
tabung berdiameter 1 - 3 inci dengan radius kelengkungan 400 mm, 600 mm, 800 m , 1000
mm,1200 mm dan tabung lurus.
Pada Gambar terlihat bahwa setiap kelengkungan menunjukkan kecenderungan yang
sama. Besarnya diameter tabung berbanding lurus dengan gaya hidrodinamik yang diterima
segmen tabung. Hubungan ini sesuai dengan persamaan gaya morison Error! Reference
source not found., di mana semakin besar diameter atau semakin luas penampang segmen
tabung, maka gaya seret dan inersia yang diterima semakin besar. Semakin besar diameter,
dihasilkan luas permukaan yang semakin besar, sehingga gaya dorongan gelombang yang
bekerja pada silinder semakin besar.
Berdasarkan Gambar , dapat dilihat bahwa meskipun semakin besar diameter
menghasilkan gaya yang semakin besar, silinder lengkung memiliki keunggulan
dibandingkan silinder lurus, di mana gaya yang diterimanya lebih kecil. Hal ini sesuai dengan
pembahasan subbab 4.3. Dapat dinyatakan bahwa semakin kecil diameter dan kelengkungan
suatu segmen tabung maka semakin kecil gaya hidrodinamik yang diperoleh.
4. 6. Numerical Example
Gambar 23. Rancangan SFT
Pada studi ini digunakan model prototipe SFT yang terdapat di Danau Qiandao, China
yang merujuk dari penelitian Mazzolani (2008) dan Muhammad (2017) sebagai studi kasus
Gambar 23). Dilakukan sedikit perubahan pada konfigurasi tali tambat, pada dua penelitian
sebelumnya, digunakan tali tambat lurus dan kombinasai antara tali tambat lurus dan miring,
pada penelitian ini digunakan tali tambat miring sepanjang SFT. Hal ini dilakukan karena
belum digunakan pada dua penelitian sebelumnya. Skema tunnel dan konfigurasi tali tambat
ditampilkan pada Gambar .
Gambar 24 Konfigurasi Tali Tambat
Terdapat beberapa parameter vital yang mempengaruhi respon dinamik SFT, yaitu
parameter tunnel, tali tambat dan ombak. Pada studi ini dilakukan variasi kedalaman SFT dari
permukaan laut, sudut kemiringan dan kerapatan tali tambat seperti yang ditunjukkan pada
tabel Tabel 1 - Tabel 3
Tabel 1. Parameter Tunnel
Parameter Sa
tuan Nilai
Panjang 100 Luas area 5,1
Momen inersia
12,3
Massa jenis 2451
Modulus elastisitas
Tabel 2. Parameter Tali Tambat
Parameter Satuan
Nilai
Diameter 0,06 Masa jenis 7850
Momen Inersia
Modulus elastisitas
Sudut tali tambat
0
15
30
45
Jarak tali tambat
15
20
25
30
Tabel 3. Parameter Ombak
Parameter Sa
tuan N
ilai
Tinggi ombak 1
Periode 2
,3
Kedalaman 3
0
Massa jenis 1
050
Koefisien seret 1 Koefisien inersia 2
Jarak SFT ke permukaan
2
5
10
4.6. Modal Analysis
Karakteristik getaran, seperti mode getar dan frekuensi alami SFT dapat diperoleh
melalui analisis modal, baik dengan metode MSM maupun FEM. Gambar 22 menunjukkan
perbandingan empat mode getar pertama yang diperoleh dari metode MSM dan FEM. Mode
getar yang dihasilkan dari kedua metode relatif sama pada mode getar rendah, namun
semakin berbeda pada mode getar tinggi. Metode MSM dapat digunakan sampai mode getar
tak terhingga karena merupakan solusi analitik, sedangkan metode FEM valid pada modus
getar rendah. Frekuensi alami di antara kedua metode dapat dilihat pada Gambar 23 dan
perbedaan untuk setiap mode dapat dilihat pada Tabel 4.
Gambar 22. Perbandingan mode getar pertama metode FEM dan MSM
Gambar 23. Perbandingan frekuensi alami metode FEM dan MSM
Tabel 4. Frekuensi Alami pada 20 Mode Pertama
Mode
MSM (Hz)
FEM (Hz)
Mode
MSM (Hz)
FEM (Hz)
Error (5)
1 0.82 0.62 11 69.28 74.98
2 2.53 2.30 12 82.40 91.40
3 5.38 5.14 13 96.66 110.64
4 9.38 9.15 14 112.06
133.08
5 14.51 14.32 15 128.61
159.16
6 20.79 20.70 16 146.29
189.01
7 28.20 28.35 17 165.12
221.79
8 36.76 37.35 18 185.09
254.39
9 46.46 47.77 19 206.19
280.11
10 57.30 63.32 20 228.44
290.17
4.7. Displacement
Gambar menunjukkan hasil perbandingan displacement antara metode FEM dan MSM.
Gambar (a) & (b) menampilkan kontur displacement kedua metode. Kedu metode dapat
mengambarkan displacement secara keseluruhan, tetapi hasil dari metode MSM lebih baik
karena menghasilkan kontur yang lebih halus sepanjang arah longitudinal. Hal ini disebabkan
bahwa solusi domain ruang (space domain) yang merepresentasikan arah longitudinal pada
metode MSM diselesaikan secara analitik, sedanagkan pada metode FEM diselesaikan secara
pendekatan numerik yang keakuratannya bergantung pada banyaknya node yang dipakai.
(a)
(b)
(c)
Gambar 27. Displacement (a) Kontur displacement MSM, (b) Kontur displacement FEM, (c)
Perbandingan Midspan displacement
Gambar (c) menunjukkan perbandingan displacement SFT pada posisi midspan arah
horizontal antara metode FEM dan MSM. Ditampilkan displacement selama 30 detik selama
proses pembebanan berlangsung. Dengan meninjau 10 nilai puncak (peak) displacement
pertama, perbedaannya dapat dilihat pada Tabel 5. Pada puncak ke-6 dan ke-7 terdapat
perbedaan diatas 5% sedangkan lainnya dibawah 5%. Hal ini menunjukkan bahwa antara
metode FEM dan MSM memiliki hasil yang tidak berbeda secara signifikan. Displacement
maksimum metode FEM adalah 0,0488 m dan metode MSM adalah 0,0489 m, hal ini tidak
berbeda jauh dengan yang dihasilkan tidak berbeda jauh dengan displacement maksimum
hasil penelitian Muhammad (dengan model tunnel yang sama) adalah 0,046 m (2017).
Tabel 5. Perbedaan Nilai Puncak Displacement
Puncak
FEM (m)
MSM (m) Perbedaan
(%)
1 0.0488 0.0489 0.17
2 0.0475 0.0465 2.19
3 0.0436 0.0424 2.83
4 0.0385 0.0383 0.66
5 0.0340 0.0356 4.60
6 0.0325 0.0353 7.96
7 0.0342 0.0362 5.72
8 0.0361 0.0371 2.68 9 0.0371 0.0374 0.96
10 0.0371 0.0374 0.74
Jika diperhatikan pada Gambar , terllihat amplitudo getaran mengalami penurunan
selama 10 detik pertama. Setelah 10 detik, amplitudo terlihat konstan sampai akhir. Hal ini
disebabkan oleh rasio redaman yang digunakan pada analisis ini sebesar 0,8 %. Dapat
dikatakan bahwa kehadiran redaman viscous akibat fluida dan redaman struktural pada beton
dapat memberikan keuntungan karena mengurangi amplitudo getaran walaupun tidak
signifikan.
4.8. Gaya Hidrodinamik
Gaya ombak dikalkulasikan menggunakan persamaan Morison dengan metode FEM.
Gaya didistribusikan ke setip nodal menggunakan persamaan Error! Reference source not
found., dengan demikian gaya yang bekerja ekivalen terhadap gaya terdistribusi. Gambar
menunjukkan gaya hidrodinamik yang bekerja pada SFT, yang didominasi oleh gaya inersia,
dengan gaya seret maksimum terhadap inersia maksimum ( )
) adalah 0.0055.
Dominasi gaya inersia disebabkan karena perbandingan diameter SFT dan panjang ombak
( ) adalah 0,69 dimana jika maka komponen gaya inersia lebih dominan dan
efek difraksi diabaikan (Sundar, 2016, p. 156). Pada kondisi ini dinilai sudah tepat untuk
menggunakan persamaan Morison untuk menghitung gaya hidrodinamik karena wilayah
ombak yang dominan inersia dan mengabaikkan efek difraksi.
Gambar 28. Gaya hidrodinamik
4.9. Momen Bending
Gambar 24. Perbandingan momen bending statik dan dinamik
Momen bending pada struktur SFT dapat diperoleh melalui persamaan Error!
Reference source not found. dan ditampilkan pada Gambar 24 dan Tabel 6. Berdasarkan
prinsip Euler Bernoulli beam, dihasilkan momen bending positif dan negatif akibat
pembebanan dinamik. Jika dibandingkan dengan pembebanan statik, momen bending
dinamik lebih besar jika tidak menyertakan redaman, hal ini disebabkan oleh efek dari
inersia. Apabila menyertakan redaman, momen bending dinamik lebih kecil dibandingkan
statik. Dengan rasio redaman sebesar 0.8%, hal ini memberikan keuntungan karena
mengurangi momen bending dinamik. Walaupun momen bending dinamik berkurang dengan
pengaruh redaman, tetapi akibat perulangan yang terus menerus dapat menyebabkan
tegangan yang bergantian (alternate stress) pada kedua sisi SFT. Dengan adanya sedikit
keretakkan, dapat mengurangi kekuatan material, kebocoran bahkan kegagalan fatig.
Tabel 6. Perbandingan Momen Statik dan Dinamik
Statik
(kNm)
Dinamik (kNm)
Teredam Tanpa
redaman
Max
Min
-
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Muhammad, momen bending maksimum
adalah sedangkan pada studi ini dihasilkan (Muhammad
et al., 2017). Hal ini menunjukkan bahwa dengan memodelkan SFT sebagai beam pada
fondasi elastis yang dilakukan pada studi ini, memberikan hasil yang mendekati dengan SFT
yang dimodelkan sebagai beam pada struktur elatis atau sistim diskrit pada studi yang
dilakuakn oleh Muhammad.
Pada bagian ini akan dibahas terkait dengan efek parameter yang berpengaruh
terhadap SFT diantaranya adalah, kedalaman instalasi, kemiringan tali tambat dan kerapatan
tali tambat.
4.11. Efek Kedalaman
Gambar 5. Pengaruh efek kedalaman terhadap midspan displacement
Kedalaman instalasi SFT menentukan bagaimana SFT menerima beban, metode
konstruksi dan keamanan. Ketiga aspek tersebut erat kaitanyya dengan displacement SFT.
Efek kedalaman instalasi SFT terhadap displacement dapat dilihat pada Gambar 5.
Ditampilkan displacement pada kedalaman 2 m, 5 m dan 10 m di bawah permukaan air.
Terlihat bahwa perbedaan kedalaman memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
displacement. Diketahui bahwa SFT yang paling dekat dengan permukaan memiliki
displacement yang paling besar. Hal ini disebabkan oleh kinematika partikel fluida pada
posisi dekat dengan permukaan air, memiliki kecepatan dan percepatan aliran yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan posisi yang lebih dalam, seperti yang dinyatakan pada persamaan
Error! Reference source not found., ((7) dan konsisten dengan hasil penelitian dari Chen
(2018b) dan Paik (2004a).
Gambar 6. Variasi kinematika paertikel fluida terhadap kedalaman
Variasai kecepatan dan percepatan partikel fluida terhadap kedalaman ditunjukkan
pada Gambar . Kecepatan dan percepatan partikel fluida berpengaruh langsung terhadap gaya
eksternal yang bekerja pada SFT seperti dinyatakan persamaan Morison, sehingga semakin
besar gaya eksternal yang diterima, semakin besar displacement yang terjadi pada SFT. Dari
variasi displacement terhadap kedalaman yang diketahui maka dapat dikatakan bahwa
instalasi SFT harus mempertimbangkan kedalaman dengan menghindari posisi yang dekat
dengan permukaan air dan perlu diperhatikan faktor keamanan serta tekanan hidrostatis pada
pemasangan yang cukup dalam.
4.12. Efek Kemiringan Tali Tambat
(a) (b)
Gambar 7. Pengaruh kemiringan tali tambat terhadap midspan displacement
Kemiringan tali tambat merupakan parameter struktural yang berpengaruh terhadap
stabilitas struktur SFT. Pada studi ini divariasikan kemiringan tali tambat dari sampai .
Gambar 7(a) menunjukkan efek kemiringan tali tambat terhadap displacement selama 30
detik pembebanan. Dari gambar terlihat bahwa SFT tanpa kemiringan tali tambat atau
memiliki displacement yang paling besar. Sedangkan SFT dengan kemiringan tali tambat
memiliki displacement yang paling besar. Dapat dikatakan bahwa semakin besar kemiringan
tali tambat maka displacement yang dihasilkan semakin kecil, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 7(b). Hal ini disebabkan karena kemiringan tali tambat menentukan seberapa besar
kekakuan tali tambat, seperti yang dinyatakan pada persamaan ((21). Sehingga semakin kaku
tali tambat maka displacement semakin kecil. Hal ini selaras dengan hasil beberapa penelitian
yang dilakukan oleh Chen (2018b), Long (2009) dan Lin (2018b).
Dari variasi tali tambat yang ditunjukkan Gambar 7 maka dapat dikatakan bahwa
kemiringan tali tambat yang semakin besar dapat mengurangi displacement horizontal.
Dalam konstruksi SFT semakin besar kemiringan tali tambat maka semakin panjang tali
tambat yang dibutuhkan, hal ini akan meningkatkan terhadap biaya konstruksi apalagi pada
kondisi perairan yang cukup dalam. Sehingga penentuan kemiringan tali tambat pada SFT
perlu mempertimbangkan biaya dan kondisi perairan.
4.13. Efek Kerapatan Tali Tambat
(a) (b)
Gambar 8. Pengaruh jarak tali tambat terhadap midspan displacement
Pengaruh kerapatan tali tambat terhadap midspan displacement ditunjukkan pada
Gambar 8. Pada studi ini divariasikan dengan jarak tali tambat sebesar 15 m, 20 m, 25 m dan
30 m. Dari Gambar 8 terlihat bahwa semakin rapat tali tambat pada SFT, displacement yang
dihasilkan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena kerapatan tali tambat mempengaruhi
kekakuan tali tambat, seperti yang dinyatakan pada persamaan ((12). Sehingga semakin kecil
jarak tali tambat maka semakin besar kekakuan yang dihasilkan. Dalam konstruksi SFT
jumlah tali tambat selain menentukan stabilitas respon dinamik SFT, biaya konstruksi juga
dipengaruhi oleh kerapatan tali tambat. Semakin rapat tali tambat, tentu jumlah tali tambat
semakin banyak dan meningkatkan biaya konstruksi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, yaitu:
a. Kelengkungan bentang silinder mempengaruhi gaya yang bekerja pada
silinder ketika silinder menerima gangguan gelombang. Semakin kecil radius
kelengkungan maka gaya akan semakin kecil.
b. Diameter pada silinder melengkung berpengaruh pada luas permukaan silinder
yang menerima gangguan gelombang. Dengan begitu gaya akan semakin besar
apabila diameter semakin besar.
c. Kedalaman posisi silinder melengkung mempengaruhi besar gaya yang
bekerja pada silinder. Semaikin dalam posisi silinder maka gangguan
gelombang akan semakin kecil maka gaya akan semakin kecil.
d. Beda besar gaya yang datang dari sisi cembung dan cekung silinder paling
besar di kedalaman h1.
5.2. Saran
Untuk pengembangan penelitian selanjutnya, perlu dilakukan variasi variable
yang lebih konfrehensif dan pengembangan metode penelitian yang dilengkapi
dengan alat ukur yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Akgün, M. A. (1993). A new family of mode-superposition methods for response
calculations. Journal of Sound and Vibration, 167(2), 289–302.
Bathe, K.-J. (2014). Finite Element Procedures (2nd ed). Prentice-Hall.
Budiman, E. (2017). Construction challenge of submerged floating tunnel in indonesia. Jurnal
Teknologi Sipil, 1(2), 1–7.
Chen, Z., Xiang, Y., Lin, H., & Yang, Y. (2018a). Coupled vibration analysis of submerged
floating tunnel system in wave and current. Applied Sciences, 8(8), 1311.
https://doi.org/10.3390/app8081311
Chen, Z., Xiang, Y., Lin, H., & Yang, Y. (2018b). Coupled vibration analysis of submerged
floating tunnel system in wave and current. Applied Sciences, 8(8), 1311.
https://doi.org/10.3390/app8081311
Frydrýšek, K., Jančo, R., & Gondek, H. (2013). Solutions of beams, frames and 3D structures
on elastic foundation using FEM. International Journal of Mechanics, 7, 362–369.
Ge, F., Lu, W., Wu, X., & Hong, Y. (2010). Fluid-structure interaction of submerged floating
tunnel in wave field. Procedia Engineering, 4, 263–271.
https://doi.org/10.1016/j.proeng.2010.08.030
Hong, Y., & Ge, F. (2010). Dynamic response and structural integrity of submerged floating
tunnel due to hydrodynamic load and accidental load. ISAB-2010, 4, 35–50.
https://doi.org/10.1016/j.proeng.2010.08.006
Jin, C., & Kim, M.-H. (2018). Time-Domain Hydro-Elastic Analysis of a SFT (Submerged
Floating Tunnel) with Mooring Lines under Extreme Wave and Seismic Excitations.
Applied Sciences, 8(12), 2386. https://doi.org/10.3390/app8122386
Kunisu, H. (2010). Evaluation of wave force acting on submerged floating tunnels. Procedia
Engineering, 4, 99–105. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2010.08.012
Lin, H., Xiang, Y., & Yang, Y. (2019). Vehicle-tunnel coupled vibration analysis of
submerged floating tunnel due to tether parametric excitation. Marine Structures, 67,
102646. https://doi.org/10.1016/j.marstruc.2019.102646
Lin, H., Xiang, Y., Yang, Y., & Chen, Z. (2018a). Dynamic response analysis for submerged
floating tunnel due to fluid-vehicle-tunnel interaction. Ocean Engineering, 166, 290–
301. https://doi.org/10.1016/j.oceaneng.2018.08.023
Lin, H., Xiang, Y., Yang, Y., & Chen, Z. (2018b). Dynamic response analysis for submerged
floating tunnel due to fluid-vehicle-tunnel interaction. Ocean Engineering, 166, 290–
301. https://doi.org/10.1016/j.oceaneng.2018.08.023
Long, X., Ge, F., Wang, L., & Hong, Y. (2009). Effects of fundamental structure parameters
on dynamic responses of submerged floating tunnel under hydrodynamic loads. Acta
Mechanica Sinica, 25(3), 335–344. https://doi.org/10.1007/s10409-009-0233-y
Martinelli, L., Barbella, G., & Feriani, A. (2011). A numerical procedure for simulating the
multi-support seismic response of submerged floating tunnels anchored by cables.
Engineering Structures, 33(10), 2850–2860.
https://doi.org/10.1016/j.engstruct.2011.06.009
Mazzolani, F. M., Landolfo, R., Faggiano, B., Esposto, M., Perotti, F., & Barbella, G. (2008).
Structural Analyses of the Submerged Floating Tunnel Prototype in Qiandao Lake
(PR of China). Advances in Structural Engineering, 11(4), 439–454.
https://doi.org/10.1260/136943308785836862
Morison, J., Johnson, J., Schaaf, S., & others. (1950). The force exerted by surface waves on
piles. Journal of Petroleum Technology, 2(05), 149–154.
Muhammad, N., Ullah, Z., & Choi, D.-H. (2017). Performance evaluation of submerged
floating tunnel subjected to hydrodynamic and seismic excitations. Applied Sciences,
7(11), 1122. https://doi.org/10.3390/app7111122
Østlid, H. (2010). When is SFT competitive? Procedia Engineering, 4, 3–11.
https://doi.org/10.1016/j.proeng.2010.08.003
Paik, I. Y., Oh, C. K., Kwon, J. S., & Chang, S. P. (2004a). Analysis of wave force induced
dynamic response of submerged floating tunnel. KSCE Journal of Civil Engineering,
8(5), 543–550.
Paik, I. Y., Oh, C. K., Kwon, J. S., & Chang, S. P. (2004b). Analysis of wave force induced
dynamic response of submerged floating tunnel. KSCE Journal of Civil Engineering,
8(5), 543–550. https://doi.org/10.1007/BF02899580
Parth, A. (2015). Submerged Floating Tunnels for Aquatourism [Texas A&M University].
http://oatd.org/oatd/record?record=handle\:1969.1\%2F156280&q=parth
Rao, S. S. (2017a). Mechanical Vibrations. Pearson Education, Incorporated.
Rao, S. S. (2017b). The finite element method in engineering (6th edition). Elsevier.
Remseth, S., Leira, B. J., Okstad, K. M., Mathisen, K. M., & Hauk\aas, T. (1999). Dynamic
response and fluid/structure interaction of submerged floating tunnels. Computers &
Structures, 72(4–5), 659–685.
Sarpkaya, T. (2010). Wave forces on offshore structures. Cambridge university press.
Sato, M., Kanie, S., & Mikami, T. (2007). Structural modeling of beams on elastic
foundations with elasticity couplings. Mechanics Research Communications, 34(5–6),
451–459. https://doi.org/10.1016/j.mechrescom.2007.04.001
Sato, M., Kanie, S., & Mikami, T. (2008a). Mathematical analogy of a beam on elastic
supports as a beam on elastic foundation. Applied Mathematical Modelling, 32(5),
688–699. https://doi.org/10.1016/j.apm.2007.02.002
Sato, M., Kanie, S., & Mikami, T. (2008b). Mathematical analogy of a beam on elastic
supports as a beam on elastic foundation. Applied Mathematical Modelling, 32(5),
688–699. https://doi.org/10.1016/j.apm.2007.02.002
Schack, M. H. von. (2017). Dynamic Load Effects on a Submerged Floating Tube Bridge
with emphasis on Vortex-induced Vibrations. NTNU.
Seo, S., Mun, H., Lee, J., & Kim, J. (2015). Simplified analysis for estimation of the behavior
of a submerged floating tunnel in waves and experimental verification. Marine
Structures, 44, 142–158.
Sundar, V. (2016). Ocean Wave Mechanics: Applications in Marine Structures. John Wiley
& Sons Ltd.
Tariverdilo, S., Mirzapour, J., Shahmardani, M., Shabani, R., & Gheyretmand, C. (2011).
Vibration of submerged floating tunnels due to moving loads. Applied Mathematical
Modelling, 35(11), 5413–5425. https://doi.org/10.1016/j.apm.2011.04.038
Thomson, W. T. (2018). Theory of vibration with applications. CrC Press.
Tiwari, K., & Kuppa, R. (2014). Overview of methods of analysis of beams on elastic
foundation. IOSR Journal of Mechanical and Civil Engineering, 11(5), 22–29.
Yuan, Z., Man-sheng, D., Hao, D., & Long-chang, Y. (2016). Displacement response of
submerged floating tunnel tube due to single moving load. Proceedings of
International Symposium on Submerged Floating Tunnels and Underwater Tunnel
Structures (SUFTUS-2016), 166, 143–151.
https://doi.org/10.1016/j.proeng.2016.11.577