LAPORAN AKHIR PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN …
Transcript of LAPORAN AKHIR PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN …
Bidang Ilmu* :521/LINGUISTIK
Bidang Fokus : Ekolinguistik
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI (PDUPT)
REKONSTRUKSI DAN REVITALISASI CERITA RAKYAT SEBAGAI
PEWARIS BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL DENGAN PENDEKATAN
SITUS MITOS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
(Kajian Ekolinguistik tentang Pelestarian Ekosistem Danau Toba)
Tahun ke-1 dari Rencana 3 Tahun
TIM PENGUSUL
1.Dr. Charles Butar-butar, M.Pd. (Ketua)
(NIDN: 0022116605)
2. Dra. Syamsuyurnita, M.Pd. (Anggota 1)
(NIDN: 00040667001)
3. Dr. Mhm. Isman, M.Hum (Anggota 2)
(NIDN: 0023116502)
Dibiayai oleh:
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Sesuai dengan Kontrak Penelitian
Nomor: 313/II.3-AU/UMSU-LP2M/C/2018
Rp 136.500.000,- (Seratus Tiga Puluh Enam Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2018
i
HALAMAN PENGESAHAN H
ii
RINGKASAN Pemulihan kondisi Danau Toba sudah banyak dilakukan dan dikampanyekan, tetapi
keadaannya tidak berubah masih tetap rusak. Sesuai dengan RIP UMSU, Pembangunan
peradaban bangsa dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sumber daya
manusia dengan skala prioritas tahap pertama tahun 2016 – tahun 2021 isu-isu lokal daerah
pemberdayaan kualitas masyarakat, pengembangan budaya, dan komunikasi sosial
pembangunan. Oleh karena itu, penelitian ini menawarkan solusi kebijakan terhadap keadaan
tersebut, yaitu dengan pemanfaatan kearifan lokal dan budaya masyarakatnya sebagai
instrument natural. Masyarakat Batak Toba secara umum masih patuh terhadap norma budaya
yang diwariskan oleh leluhurnya misalnya pantangan perkawinan semarga dan pantangan
lainnya. Norma ini biasanya diwariskan dalam bentuk lisan dan cerita rakyat. Penelitian ini
menggali kearifan lokal yang diwariskan lewat cerita rakyat yang memiliki setting dan amanat
mitos. Tujuan penelitian ini untuk medeskripsikan hasil investigasi, dan merekonstruksi, serta
menganalisis cerita rakyat yang terdapat di lingkungan Danau Toba. Hasil analisis dapat
pembuktian motif dan kontribusi cerita rakyat sebagai kearifan lokal dapat melestarikan
ekosistem daerahnya.
Penelitian ini dilakukan di seputaran Pulau Samosir termasuk lingkar luarnya. Responden yang
terpilih adalah penduduk setempat, yaitu orang-orang yang masih mengetahui cerita tentang
situs yang sudah terindentifikasi. Pemilihan responden ini didasari teknik bola salju, yaitu
penentuan respondennya adalah hasil rekomendasi responden yang sudah ada sebelumnya.
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu data berupa verbal bersifat
naturalistik. Teknik alisis yang digunakan adalah teknik interpretatif, yaitu pemaknaan sesuai
dengan teori yang sudah dirujuk.
Hasil penelitian ini adalah menemukan 80 situs mitos dan sudah direkonstruksi pada tahun
pertama penelitian ini. Temuannya setiap situs mitos memiliki cerita rakyat sehingga dibuat
menjadi motif terjadinya situs tersebut. Setelah dilakukan FGD, Cerita rakyat tersebut dapat
dikategorikan kedalam 1. Cerita tentang harmoniasasi air; 2. Cerita tentang harmonisasi pohon
atau tumbuh-tuhan; 3. Cerita tentang harmonisasi tanah; 4. Cerita tentang harmonisasi batu.
Kata Kunci: Ekolinguistik, Kearifan Lokal, Budaya
iii
PRAKATA
Penelitian ini dilakukan berdasarkan kontrak PPK Kopertis Wilayah I dengan Universitas
Muhammdiyah Sumatera Utara No. 205/K1.1/LT.1/2018 dan Kontrak penelitian Dasar (PD)
Tahun Anggaran 2018 No. 313/II.3-AU/UMSU-LP2M/C/2018. Tujuan penelitiantahun I ini
merekonstruksi, tahun II memaknai pesan cerita sebagai pewaris budaya dan kearifan lokal;
tahun III direncanakan merevitalisasi cerita rakyat bahasa Batak Toba yang bermuatan mitos
tentang pelestarian ekosistem.
Cerita rakyat tidak begitu saja lahir atau serta merta timbul melainkan suatu cara masyarakat
setempat untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Upaya adaptasi ini diwariskan lewat
cerita rakyat dengan berbagai mitos-mitos. Fenomena muatan cerita rakyat ini dipandang
perlu membangkitkan atau menggiatkan kembali yang dikenal dengan istilah revitalisasi
dalam penelitian ini.
Terima kasih disampaiakan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan kesempatan kepada
peneliti untuk meneliti kajian ekolinguistik ini semoga bermanfaat bagi nusa dan bangsa
khususnya kepada masyarakat Batak Toba yang tinggal di persekitaran Danau Toba.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. .................. i
RINGKASAN ……………………………………………………………....... ii
PRAKATA .................................................................................. .................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ..... iv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... .... v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………....... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………........ 6
2.1 Ekolinguistik .............................................................................. ..... 6
2.2 Mitos …………………………………………………................... 8
2.3 Hata Tona, Poda, Umpama sebagai Implementasi Mitos …….... 8
2.4 Ekosistem ............................................................................................ 9
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN............................................... 10
3.1 Tujuan Khusus Penelitian ........................................................................ 10
3.2 Urgensi Penelitian ................................................................................... 10
BAB IV METODOLOGI…………………………………………………........ 12
4.1 Lokasi Penelitan....................................................................................... 12
4.2 Pendekatan dan Jenis Penelitian............................................................... 12
4.3 Alur/ Roadmap Penelitian ……………………………………….......... 13
4.4 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 14
4.5 Analisis Data ............................................................................................ 14
4.6 Alur Penelitian ........................................................................................ 15
4.7 Pengecekan Keabsahan Temuan ............................................................. 15
BAB V HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ............................................ 16
5.1 Situs Mitos yang Berkaitan dengan Pelestarian Lingkungan......... ...... 20
5.2 Hasil Rekonstruksi Cerita Rakyat yang Mengandung
Pelestarian Ekosistem ............................................................................. 35
5.3 Luaran Penelitian (Draff Artikel) ............................................................ 70
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ......................................... 88
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 90
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Luaran Berupa Artikel................................................................... 98
Lampiran 2: Kontrak Penelitian ……………………………..................... 115
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang di lingkungan Danau Toba bergantung pada
eksistensi danau tersebut. Namun, faktanya keberadaan danau tersebut semakin lama
semakin parah kerusakannya. Kerusakan hutan dan lingkungan Danau Toba sudah pada
tingkat mengkhawatirkan dan mengancam eksistensi kehidupan semua makhluk hidup
yang berada di persekitarannya juga yang ada di luar Danau Toba. Hal ini disebabkan
kesadaran masyarakat yang rendah dan perilakunya cenderung mengabaikan prinsip-
prinsip kelestarian. Sebagai ujud keprihatinan, pernah dilaksanakan workshop
“Peningkatan kesadasaran Masyarakat Atas Fungsi Ekosistem Hutan” oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Simalungun dengan ITTO PD 396/04 Rev. 1 (F), di Prapat, 27-28
Maret 2009. Dalam acara tersebut, dibahas perencanaan skenario (scenario planning)
yang berkaitan erat dengan kondisi Danau Toba pada tingkat kesadaran masyarakat.
Perencanaan skenario workshop tersebut fokus di bidang kerusakan Danau Toba karena
tingkat kesadaran masyarakat rendah. Skenario ini dinamakan sebagai sebuah “neraka”
sehingga diperlukan upaya dan kerja keras untuk menghindari predikat neraka bagi
kondisi Danau Toba. Tanda-tanda sebagai “neraka” Danau Toba adalah pencemaran
limbah, kotor, banyak sampah, pendangkalan akibat sedimentasi dan erosi, banyak eceng
gondok, PH tinggi, hutan gundul, tata-ruang tidak sesuai peruntukan, lahan kritis semakin
luas, stabilitas permukaan air fluktuatif dan populasi ikan berkurang.
Regulasi penyelamatan Danau Toba sudah banyak digulirkan baik di tingkat tujuh pemkab
(Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo,
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi/Papak
barat) yang berada di sekitar lingkungan Danau Toba, dan tingkat Provinsi Sumatera Utara
bahkan di tingkat pusat. Bentuk-bentuk penyelamatan sudah banyak ditawarkan yang
disajikan dalam bentuk workshop, seminar, maupun tindakan ilmiah lainnya. Namun,
usaha-usaha tersebut tidak berhasil karena fakta menunjukkan semakin hari kondisi danau
2
tersebut semakin memprihatinkan. Tuntutan workshop Kabupaten Simalungun, yaitu
menumbuhkan kesadaran manusia yang tinggal di sekitar Danau Toba untuk menjaga
keseimbangan ekosistem di sana maka tindakan ilmiah tidaklah cukup.
Pemanfaatan dan pemberdayaan potensi kekuatan diri masyarakat yang diwariskan secara
turun-temurun, yaitu dalam bentuk tradisi-tradisi perlu direvitalisasi. Tradisi bersahabat
dengan lingkungan merupakan jiwa masyarakat diasumsikan sudah mulai pudar. Upaya
menumbuhkembangkan kesadaran warga sesuai dengan Rencana Induk Penenlitian yang
sudah ditetapkan pihak UMSU, yaitu prioritas I kurun waktu 2016 – 2020 isu lokal/daerah
pemberdayaan masyarakat, pengembangan budaya, komunikasi sosial pembangunan. Oleh
karena itu, peneliti berkeiginan menggali tradisi yang disampaikan dalam bentuk lisan,
yaitu cerita rakyat yang dibalut dengan kepercayaan mitos sebagai media uapaya adaptasi
manusia dengan lingkungannya.
Bahasa komunitas etnik terbentuk dan dipengaruhi oleh hasil interaksi, interelasi, dan
inter-dependensi para leluhur dengan lingkungan. Kebutuhan manusia sebagai makhluk
sosial sebagaian besar terpenuhi dengan bahasa. Oleh karena itu, bahasa dapat
mencerminkan perilaku dan lingkungannya. Sebaliknya perilaku dan lingkungannya dapat
tercermin dari bahasa.
Proses leksikalisasi, gramatikalisasi, metaforik, dan kulturalisasi merupakan rekaman
simbolik verbal yang dimiliki komunitas pemakai bahasa. Hal ini dapat diwariskan secara
utuh jika terjadi harmonisasi. Harmonisasi relasi manusia dengan lingkungan yang
terekam dalam verbal adalah pilar kultural yang menjamin kehidupan bahasa, budaya, dan
komunitas etnik. Implikasi relasi ini menjamin keberlangsungan ekologi yang harmonis.
Artinya, selama bahasa etnik hidup dan tetap digunakan dalam konteks kelokalan, niscaya
pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian sumber daya alam dan budaya tetap
terkendali, terjamin, serta berkelanjutan. Sebaliknya, jika perubahan ekologi kebahasaan
dan dinamika lingkungan, bahasa-bahasa etnik tidak berfungsi lagi maka pengetahuan
dan tradisi lokal dalam merawat lingkungan pudar dan punah seiring dengan hilangnya
keanekaragaman hayati dalam kemasan verbal bahasa-bahasa lokal. Bahasa dengan
lingkungan pemakai adalah aspek yang tidak terpisahkan. Bahasa ada karena ada
3
pemakainya dan sebaliknya. Di sisi lain, kelangsungan hidup manusia sebagai makhluk
hidup sangat tergantung pada keberadaan lingkungannya.
Kerusakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan ragawi lingkungan. Tekanan
terhadap lingkungan terus terjadi, salah satu di antara perubahan yang paling dirasakan
adalah terjadinya pergeseran nilai, norma, dan kultur masyarakat. Lebih spefesifik, terjadi
berbagai perubahan pada bahasa.
Sikap bersahabat dengan alam harus direvitalisasi dan digagas sehingga menjadi sebuah
paradigma baru di kawasan Danau Toba. Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar
wacana-wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Ia menjadi sesuatu “conditio sine
qua non” jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam dan
lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia
menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap egosentrisme dan
antroposentrisme.
Sikap dikotomis yang melihat sumberdaya alam semata sebuah objek yang harus
dieksploitasi harus ditinggalkan. Kesadaran menjinakkan bola liar penebangan hutan di
kawasan Danau Toba patut dimulai dari sebuah gerakan masyarakat ekonomi hijau (green
economy). Pembangunan industri kertas dan perkebunan yang berkelanjutan harus
menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya.
Persepsi ini merupakan faktor dalam yang mempengaruhi perilaku (attitude) individu
maupun kelompok sosial (Suparwa, 2007-xii). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa
hubungan manusia dengan alam baik secara sosial, ideologikal maupun secara
organisasional perlu mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dalam menyusun
strategi pengelolaan sumber daya alam.
Keberadaan cerita rakyat kedanauan dapat berperan menjaga kelestarian keseimbangan
ekosistem Danau Toba. Hal ini disebabkan bahasa adalah sumber daya makna, termasuk
makna dan pemaknaan alam serta makna budaya. Lingkungan kebahasaan dan
penggunaan bahasa (bahasa lingkungan), yakni ekspressi verbal manusia dalam
memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya lingkungan, baik alam sebagai
matra kesejagatan yang makrokosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber daya
4
sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos (jagat sempit), merupakan objek
formal dan objek material kajian ekolinguistik.
Penelitian terdahulu yang memberikan inspirasi dan dorongan terhadap penelitian ini
adalah sebagai berikut. Golar (2006) tentang adaptasi sosiokultural komunitas Adat Taro
dalam mempertahankan kelestarian hutan. Masyarakat tradisional Taro memiliki sikap
rela berkorban bagi konservasi karena mereka mempunyai falsafah hidup “Mhin Auwu
mampanimpu katuwua toiboli topeboi" „melindungi dengan memelihara bersama-sama
lingkungan hidup kita, seperti yang dianugrahkan Sang Pencipta‟. Shohibuddin (2003)
tentang artikulasi kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai proses
reproduksi budaya. Penelitian ini menemukan hal yang sama dengan temuan Golar dalam
konservasi, yaitu falsafah hidup sebagai landasan pelestarian. Butar-butar (2017)
mengatakan “This folklore gives advice to people not to perform the following bad things,
such as, any action or behavior deviating from traditional norms, any magical acts, and
willing to have someone else's property by shifting parik. Those who break all these will
face difficulties in their life.”
Aspek sosial-ekologis sangat memengaruhi keterpeliharaan, keseimbangan, dan
keterwarisan lingkungan bagi generasi mendatang. Ekolinguistik, atau ekologi bahasa,
berusaha mewujudkan lingkungan yang sehat, dengan memasukkan kearifan-kearifan
ekologis lokal ke dalam bahasa tersebut (Mühlhäusler, 1995). Unsur-unsur bahasa yang
dimaksud adalah eko-fonologi, eko-morfologi, eko-sintaksis, dan eko-semantik, yang
menjadi bagian dari wacana lingkungan.
Kearifan-kearifan ekologis lokal ini perlu diturut-sertakan dalam wacana lingkungan yang
sehat dan hijau (greenspeak), mengingat jiwa (konsep-konsep ideologis, filosofis, sosio-
ekologis) masyarakat setempat tercermin dalam kearifan-kearifan lokal tersebut.
Upaya manusia sebagai makhluk yang berakal budi untuk menjaga keseimbangan alam
atau ekosistem terekam pada ekspresi verbalnya. Keengganan dalam berbuat merusak
lingkungan yang dicerminkan lewat perbendaharaan kata.
marparik „benteng perkampungan terbuat dari dari tanah‟
baringin „beringin‟
mangase taon „pola tanam mengikut siklus alam‟
hariara paraut-autan ni namartua pangingan ni huta „penanaman kayu pengganti
rumah para dewa yang terusik karena pembukaan hunian baru‟
5
Butar-butar (2014) menemukan upaya adaptasi manusia dengan lingkungannya
“Hubungan bahasa dengan ekosistem Danau Toba terlihat hubungan yang saling
ketergantungan. Hal ini disampaikan dengan ide atau pesan lewat bahasa yang dibalut
dalam mitos cerita rakyat atau wacana kedanauan.” Misalnya, tatacara penangkapan dan
alat tangkap ikan, keajiban menanam pohon di lingkaran luar perkampungan agar para
dewa memiliki rumah. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat sejauh mana peran cerita
rakyat dalam mengamanatkan pelestarian ekosistem di sekitar Danau Toba, yang
dirumuskan dalam judul Rekonstruksi dan Revitalisasi Cerita Rakyat Berdasarkan
Situs Mitos sebagai Pewaris Budaya dan Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba
(Kajian Ekolinguistik tentang Pelestarian Ekosistem Danau Toba).
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian ini berfokus pada:
1. Bagaimana bentuk cerita rakyat yang mencerminkan upaya meujudkan
harmonisasi ekosistem Danau Toba (2018)?
2. Bagaimana hubungan mitos dalam cerita rakyat dengan harmonisasi eksistem
Danau Toba (2019)?
3. Bagaimana model revitalisasi cerita rakyat mengandung mitos norma
persahabatan manusia dengan ekosistem di Danau Toba (2020)?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekolinguistik
Kajian ini dikenal dengan istilah ekologi bahasa. Sebetulnya ada empat istilah yang
merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic ecology, ecological linguistics, the ecology of
language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 5)
Crystal (2008: 161-162) menjelaskan bahwa …
ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis – reflecting the notion of ecology in
biological studies – in which the interaction between language and the cultural
environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological
linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the
value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community
linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language
variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.
ekolinguistik (nomina) dalam linguistik, sebuah perhatian– merefleksikan sifat ekologi
dalam studi biologis-interaksi antara bahasa dan lingkungan kultural dilihat sebagai inti:
disebut pula dengan ekologi bahasa, ekologi linguistik dan kadang-kadang linguistik hijau.
Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak
linguistik dari individu dan komunitas, peranan sikap, kesadaran, variasi, dan perubahan
bahasa dalam mengembangkan sebuah budaya perdamaian yang komunikatif. Sementara
itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang berarti house, man’s immediate
surroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi “Ecology is the study of plants
and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in
relation to their environments-the physical, chemical, and biological characteristics of
their surroundings”
Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan
sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam
kaitannya dengan lingkungannya-fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya.
Definisi lain dikemukakan oleh Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2)
7
“By ecology,” he wrote, “we mean the body of knowledge concerning the economy
of nature – the investigation of the total relations of the animal both to its organic
and to its inorganic environment; including above all, its friendly and inimcal
relation with those animals and plants with ehich it come directly or indirectly in
contact – in a word, ecology is the study of all the complex interrelations referred to
by Darwin as the conditions of the struggle for existence.”
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan
bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia
dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah
lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah
masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa.
Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa
secara psikologis dalam penggunaan bahasanya.
Kajian ini ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang
bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa
(ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut
karena pencakupan yang luas di dalamnya karena para pakar bahasa dapat berkerjasama
dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugen
dalam Fill& Mühlhäusler, 2001:57).
Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan, yakni ekspresi
verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya
lingkungan, baik alam sebagai matra kesejagatan yang makrokosnos, maupun manusia
(dengan tatanan dan sumber daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos
(jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa
adalah sumber daya makna, termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya
dalam kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya, baik
khazanah leksikon maupun gramatikanya, sumber daya tekstual yang kontekstual masa
lalu dan masa kini, secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah
ekspresi verbal manusia yang alami, semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan
ketergantungan manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya.
8
2.2 Mitos
Mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari
masyarakat yang berorientasi dari masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis,
kekal. Mitos dalam pengertian lama identik dengan sejarah/historis, bentukan masyarakat
pada masanya. Di sisi lain mitos (Roland Barthes) diartikan sebagai tuturan mitologis
bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan yang dapat berbentuk tulisan, fotografi,
film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Pada dasarnya mitos adalah
modus representasi dan mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara
langsung, misal untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan
interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses
signifikasi sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapatdikatakan
hanya sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus
signifikasi.
2.3 Hata Tona, Poda, Umpama sebagai Implementasi Mitos
Mitos dalam tradisi, adat dan budaya Batak selalu disampaikan lewat hata tona dohot
poda" (kata amanah dan nasihat), umpasa dohot umpama (pantun dan
peribahasa), berisikan tentang bagaimana membangun sistem “moral” yang “kini”
senantiasa diajarkan oleh agama-agama modern di seluruh dunia.
Hata tona dohot poda dapat disampaikan dalam bentuk umpasa dan umpama. Bahkan
segala pesan yang disampaikan dalam bentuk umpasa dan umpama "tertentu" bukan
hanya sekedar kata-kata bijak yang indah dan baik (hata na uli jala na denggan) tetapi
merupakan "ucapan berkat (pasu-pasu) dan doa (tangiang)" dari yang menyampaikan
kepada yang menerimanya. (Butar-butar, 2017).
9
Hata Tona dan Poda:
1. Hata Tona
Kata-kata yang berisi: amanah, pesan atau anjuran
Misal: Ingkon di toru do tangan na mangido
Artinya: "Harus di bawah posisi tangan meminta", maksudnya jika mengharapkan
atau memohon sesuatu hendaklah dengan kerendahan hati.
2. Hata Poda:
Kata-kata nasihat.
Misal : "Pantun do hangoluan, tois do hamagoan"
Artinya: Sopan santun sumber kehidupan, tetapi congkak alamat celaka.
2.4 Ekosistem
Ekosistem merupakan asosiasi berbagai jenis makhluk hidup (komunitas) dan lingkungan
fisiknya yang dihubungkan oleh aliran energi dan daur materi. Ekosistem danau terbagi
atas daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya
matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus
cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan
temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas
dengan daerah dingin di dasar.
10
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menawarkan salah satu model pelestarian ekosistem lewat
bahasa yang di dalamnya terdapat kearifan lokal yang masih atau pernah dipercaya.
Sedangkan Tujuan khususnya adalah sebagai berikut:
1. Menggali dan menginventarisasi serta merekonstruksi cerita rakyat sebagai
pewaris budaya dan kearifan lokal yang mencerminkan harmonisasi ekosistem
Danau Toba (Capaian tahun 2018).
2. Memaknai cerita rakyat sebagai pewaris budaya dan kearifan lokal yang
menjaga harmonisasi ekosistem disesuaikan dengan situs sebagai settingnya
(Capaian tahun 2019).
3. Merevitalisasi cerita rakyat mengandung mitos norma dalam mewujdkan
harmonisasi manusia dengan ekosistem di Danau Toba (Capaian tahun 2010).
3.2 Urgensi (Keutamaan) Penelitian
Penelitian ini secara teoretis maupun secara praktis bermanfaat bagi masyarakat di
sekitar Danau Toba, Sumatera umumnnya . Manfaat dan dampak penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, social
humaniora, dan seni budaya
a. Dengan tersedianya buku yang memuat cerita rakyat dijadikan sebagai media
pewarisan budaya melestarikan ekosistem, misalnya menanam pohon dan
memeliharanya, menjaga keberlangsungan kehidupan ikan sebagai sumber
nabati bagi kehidupan manusia, dan bercocok tanam dengan adaptasi alam.
b. Penelitian ini menghasilkan produk berupa artikel sebagai sebagai konsep
dasar pelestarian ekosistem lewat bahasa.
11
2. Penelitian ini bermanfaat bagi pemecahan masalah pembagunan
a. Membantu pemerintah untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan bangsa
karena lewat pemahaman cerita rakyat ini dapat teratasi sifat egosentris
manusia dalam menguasai tanah dan hutan.
b. Penelitian ini juga bermanfaat menyadarkan masyarakat terhadap sikap
memelihara lingkungannya.
3. Penelitian ini juga bermanfaat bagi pengendalian moral masyarakat sekitarnya.
a. Hasil penelitian ini mampu menggali kearifan lokal menjadi pedoman atau
norma nilai-nilai luhur dikandungnya dalam rangka mengeksploitasi alam.
b. Bagi pemerintah maupun masyarakat menjadi pedoman dalam rangka
membagun ekosistem Danau Toba berabasis bahasa dan budaya lokal.
12
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi Penelitian
Danau Toba terletak di pusat suatu puncak topografi dengan panjang 300 km dengan beda
tinggi berkisar antara 100-1000 m dimuat dalam peta topografi Sumatra Utara. Luas badan
air Danau Toba 1.103 km2 yang menempati 3 area, Pulau Samosir di dalam danau
mempunyai luas daratan 647 km2
dan suatu Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas
area 7 km2. Panjang danau adalah 87 km, dengan ukuran panjang keliling danau 294 km.
Area cekungan danau dikelilingi oleh batuan vulkanik, dengan tinggian yang berkisar
antara 400 hingga 1200 m di atas muka air danau. Danau ini terletak pada garis lintang
dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT‟; 2040′ LS.
4.2 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif . Pendekatan
kualitatif suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi
yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini,
peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari
pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15).
Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini diawali
oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada peta alir penelitian
berikut ini:
13
4.3 Alur Penelitian/Roadmap Penelitian
PETA ALIR PENELITIAN
Pengembangan Bahan Ajar
Bhs. Indonesia Berdasar-
kan Analisis Kontrastif
(Tesis S-2)
Bahasa dan Manusia Bahasa dan Ekosistem
Pengaruh Tingkat Sosial Ekonomi Orang Tua terhadap Kemempuan Memahami Wacana (Skripsi S-1)
Bahasa Kedanauan (Kajian Ekolinguistik tentang Pe-lestarian Ekosistem) (Disertasi S-3)
Model Pembelajaran
Membaca Berdasarkan
Anakon
(Dosen Pemula)
Model Peningkatan Kemampuan Membaca Melalui Metode Umpan Balik (Dosen Pemula)
Analisis Nilai Wacana Kedanuan sebagai Model Pelesterian Eosistem (Hibah Bersaing)
Analisis Makna Re-gister Bahasa sebagai Model Pelacakan Fe-nomena Perilaku Sosial (Produk Terapan)
Analysis of Value and
Revitalization of Lakeness
Discourse in Batak Toba as A
Model for Ecosystem
Reservation – an
Antropolinguistic Study
Related to Lake Toba
Reservation
(Prosiding Internasional)
Transfer Budaya dalam Tindak Tutur (Bahtera) Preservation of Lake
Toba Ecosystem through
Batak Toba Folklore:
Ecolinguistic Study
Received 01 Jan, 2017;
Accepted 21 Jan, 2017©
The author(s) 2017.
Published with open
access at
www.questjournals.org
Tindak Tutur
“Speech Act”
(Bahtera)
Rekonstruksi Dan Revitalisasi Cerita Rakyat Sebagai Pewaris Budaya dan
Kearifan Lokal Dengan Pendekatan Situs Mitos Pada Masyarakat Batak Toba
(Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem Danau Toba)
(Usulan Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi Tahun I)
Harmonisasi Bahasa, Manusia, Ekosistem
(Wilayah Penelitian Lanjutan)
Lingkungan dalam Perspektif Bahasa (Jala Bahasa Solo)
Modalitas dan Evidensial Bahasa Batak Toba (Bahtera)
Keterhubungan Usalan Peneli-
tian dengan Matakuliah
Semantik mengkaji makna
bahasa ditentukan oleh
Konteks
Sosiolinguistik: Bahasa dan
Pemakainya
14
4.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas:
1. Situs yang dianggap memiliki mitos
2. Penggalian legenda yang melekat pada situs .
Penetapan informan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan bola salju.
Oleh karena itu, penentuan informan selanjutnya direkomendasikan oleh
informan awal.
2. Observasi
Observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian
atau peristiwa, waktu, dan perasaan masyarakat penutur sekitarnya
4. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya
dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan memastikan keakurasian data
cerita yang sudah diperoleh.
2 Pengujian Data
Data wacana yang sudah terkumpul kemudian dilanjutkan dengan pengujian data
dengan triangulasi. Teknik digunakan untuk memastikan apakah legenda itu
masih ada atau pernah ada.
4.5 Analisis Data
Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis
transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti
dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan pengerjaan, pengorganisasian,
pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola apa yang dilaporkan.
15
4.6 Alur Penelitian
4.7 Pengecekan Keabsahan Temuan
Bagian ini memuat uraian tentang usaha-usaha peneliti untuk memperoleh keabsahan
temuan cerita rakyat. Oleh karena itu, temuan ini perlu diteliti kredibilitasnya dengan
mengunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang
diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori),
pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan pengecekan
anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat-tidaknya ditransfer ke latar lain
(transferrability), ketergantungan pada konteksnya (dependability), dan dapat-tidaknya
dikonfirmasikan kepada sumbernya (confirmability) .
16
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Situs Mitos yang Berkaitan dengan Pelestarian Lingkungan
Situs-situs sebagai tanda atau simbol bermakna atau dimaknai oleh masyarakat sekitarnya
mengandung mitos terdata peneliti adalah sebagai berikut:
1. Batu Parbiusan
ujudnya Batu berlapis sehingga membentuk altar
Lokasi: Aek Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
2. Harbangan
Ujudnya: Tembok Batu
Lokasi: Aek Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
3. Batu Palangka
Ujudnya: Batu Berbentuk Mangkuk
Lokasi: Aek Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
4. Batu Anduhur
Ujudnya: Batu berbentuk burung perkutut
Lokasi: Aek Baringin, Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
17
5. Batu Sopo
Ujud: Batu berbetuk rumah atau sopo
Lokasi: Lereng Gunung Buhit
Kec.: Sianju Mula-mula
6. Batu Kursi
Ujud: Batu menyerupai kursi
Lokasi: Sianjur Mula-mula
7. Batu Lage/Tikar
Ujud: Batu mirip tikar
Lokasi: Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
8. Batu Ijuk
Ujud: Batu yang ditumbuhi tanaman mirip ijuk
Lokasi: Aek Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
9. Batu Tangga-tangga
Ujud: Batu mirip tangga menuju Pussuk Buhit
Lokasi: Sarimarihit
Kec.: Sianjur Mula-mula
10. Aek Baringin
Ujud: Mata air dari selah-selah batu
Lokasi: Aek Baringin/Sipitudai
Kec. Sianjur Mula-mula
18
11. Batu Gordang
Ujud: Batu yang ditopang akar-akar
Lokasi: Aek Baringin
Kec. Sianjur Mula-mula
12. Batu Hoda
Ujud: Batu
Lokasi: Boho
Kec.: Sianjur Mula-mula
13. Batu Hobon
Ujud: Batu berlapis atau bertindih-tindih
Lokasi: Sari Marihit
Kec.: Sianjur Mula-mula
14. Batu Pangasean
Ujud: Batu dan lapangan di atas bukit, yang diyakini sebagai tempat pemujaan
dahulu
Lokasi: Boho
Kec.: Sianjur Mula-mula
15. Harangan Rura Onan Aek Sitio-tio
Ujud: Hutan, batu, mata air
Lokasi: Boho
Kec.: Sianjur Mula-mula
16. Sijambur
Ujud: Mata air dan perkampuangn
Lokasi: Sijambur; Kec.: Pangururan
19
17. Harangan Nabolak
Ujud: Hutan lebat, yang diyakini kalau masuk ke hutan ini akan sesat tidak bisa
pulang
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
18. Harangan Etek-etek
Ujud: Hutan
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
19. Harangan Sihumonong (Pertapaan si Raja Batak)
Ujud: Hutan yang ditumbuhi dengan pohon-pohon tua dan langka serta berlumut
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
20. Tala-tala
Ujud: Rawa berair diperkirakan 5000 m persegi, yang diyakini tempat bidadari
nenek moyang orang Batak mandi/maarpangir
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
21. Batu Opputa Raja Isombaon
Ujud: Batu bulat, yang diyakini ujud Raja Isombaon
Lokasi: Sianjur Mula-mula
20
22. Batu ni Oppu Parimbulu Bosi
Ujud: Batu yang berujud unik, diyakini batu perubahan ujud Guru Parimbulu Bosi
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
23. Aek Sitapangi
Ujud: Rawa berair diperkirakan 5000 m persegi, diyakini sebagai tempat para
bidadari nenek moyang orang Batak
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
24. Batu Parpadanan
Ujud: Batu Bulat di tengahnya ada gua. Tempat Guru Tatea Bulan
menyembunyikan pakaian salah satu bidadari (Siboru Sakti). Mereka berjanji
menjadi suami istri
Lokasi: Sianjur Mula-mula
25. Batu Sopo
Ujud: Batu berbentuk rumah kecil, yang diyakini sebagai rumah pertama Guru
Tatea Bulan dengan Siboru Sakti.
Lokasi: Sianjur Mula-mula
26. Batu Naga
Ujud: Batu berujud mulut seekor naga, diyakini sebagai naga peliharaan Tatea
Bulan dan Siboru Sakti
Lokasi: Sianjur Mula-mula
21
27. Batu Gajah
Ujud: Batu menyerupai ujud gajah, diyakini gajah peliharaan Tatea Bulan berubah
menjadi Batu
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
28. Batu Parrapotan Siraja Batak
Ujud: Batu seperti mimbar tempat berkumpul
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
29. Aek Malum
Ujud: Mata Air yang sangat jernih dan dikelilingi oleh pohon-pohon, diyakini
sebagai bekas tancapan tongkst Guru Tatea Bulan dan disakralkan dapat
menyembuhkan berbagai penyakit.
Lokasi: Huta Ginjang
Kec.: Sianjur Mula-mula
30. Simangarambang
Ujud: Bukit yang ditumbuhi jabi-jabi, diyakini lokasi dapat mendeteksi niat baik
dan niat jahat. Kalau ada niat jahat disimpannya akan mati dengan sendirinya.
Lokasi: Aek Sipitudai
Kec.: Sianjur Mula-mula
22
31. Batu Rumah Bolon
Ujud: Batu yang menyerupai rumah adat batak yang berukir. Lokasi ini diyakini
sebagai persinggahan Mula Jadi Nabolon menuju Pussuk Buhit ketika menciptakan
Raja Geleng Gumeleng
Lokasi: Simarrihit
Kec.: Sianjur Mula-mula
32. Liang Sakti
Ujud: Gua Batu yang diyakini sebagai tempat penyempurnaan Raja Uti menjadi
manusia seutuhnya dan memiliki ilmu yang sangat sakti
Lokasi: Sarimarrihit
Kec.: Sianjut Mula-mula
33. Aek Bona-bona
Ujud: Air danau dan batu, diyakini sebagai tempat persinggahan si Raja Batak
sebelum menuju daerah Bonan Dolok, disakralkan, tumbuhannya jabi-jabi.
Lokasi: Tulas
Kec. Sianjur Mula-mula
34. Binanga Sitapigagan
Ujud: Air terjun dan Sungai berbatu, diyakini sebagai tempat berbasuh dan
manguras (mensucikan diri) Oppung Paribulu Bosi, disakralkan dan dikeramatkan.
Lokasi: Bonan Dolok
Kec.: Sianjur Mula-mula
23
35. Binanga Sitapigagan/Aek Sibontar
Ujud: Air Terjun dan Suangai Berbatu, diyakini bisa berubah warnanya tujuh kali
dalam sehari.
Lokasi: Bonan Dolok
Kec. Sianjur Mula-mula
36. Pulau Tulas
Ujud: Pulau di tengah Danau Toba tidak berpenghuni, diyakini sebagai bagaian
dari Gunung Pussuk Buhit (Kepala Gunung Pussit Buhit) yang kalah perang
dengan Gunung Dsianbung di Tanah Karo akhirnya jatuh ke tangah Danau Toba.
Lokasi: Tulas, Siboro
Kec.: Sianjur Mula-mula
37. Sianjur Mula-mula
Ujud: Perkampungan dan gua, diyakini sebagai pemukiman pertama orang Batak
(Si Raja Batak). Si Raja Batak membangun rumah pertama sekali di daerah ini,
terbuat dari batu. Ada juga gua sebagai tempat berbasuh dan sumber air minum.
Lokasi: Urat
Kec.: Sianjur Mula-mula
38. Inganan Partonggoan
Ujud: Batu berbentuk meja, diyakini sebagai wadah Si Raja Batak berdoa.
Lokasi: Urat
Kec.: Sianjur Mula-mula
24
39. Mual Siboru Pareme
Ujud: Sumur, diyakini sebagai tempat si Boru Pareme mengambil air
Lokasi: Sarimarrihit
Kec.: Sianjur Mula-mula
40. Batu Parhusipan
Ujud: Batu, diyakini situs pertemuan Sariburaja dengan Siboru Pareme dan
melakukan perjinahan
Lokasi: Sarri Marrihit
Kec.K Sianjur Mula-mula
41. Dolok Sibagot-bagot
Ujud: Dua bukit berbentuk buah dada, diyakini sebagai karya kesaktian Gunung
Pussuk Buhit
Lokasi: Desa Siarsam
Kec.: Sianjur Mula-mula
42. Mual Sitonggi-tonggi
Ujud: Pancuran Air, diyakakini sebagai air persinggahan Siboru Pareme dan Raja
Lontung menuju ke Banua Raja. Rasanya segar untuk pelepas dahaga dan bisa
saja berubah rasanya apabila pengunjungnya tidak sopan atau berbohong
Lokasi: Huta Lumban Tonga-tonga
Kec.: Sitio-tio
43. Huta ni Oppu Mosa
Ujud: Lesung, diyakini sebagai wadah menumbuk ramuan obat berhasiat berlipat
ganda.
Lokasi: Sabulan; Kec.: Sitio-tio
25
44. Mual ni Siboru Pareme
Ujud: Mata Air, diyakini sebagai tempat permandian Siboru Pareme. Mata air ini
dihormati penduduk setempat terutama ketrunan Raja Lontung berkhasiat dapat
menyembuhkan penyakit dan dapat membuat awet muda. Pada umumnya
penduduk menghormatinya dan memberikan sesajen dan memohon ingin
mendapat rezeki, serta tidak boleh berbicara tidak sopan.
Lokasi: Sabulan
Kec.: Sitio-tio
45. Mual ni Boru Saronding
Ujud: Mata Air, Monumen, diyakini sebagai tempat marpangir (mandi dengan
menggunakan jeruk purut). Sampai sekarang banyak orang mengunjungi untuk
tujuan menyucikan diri dan untuk meminta permohonan khusus.
Lokasi: Sabulan
Kec.: Sitio-sitio
46. Pantai Boru Sarunding
Ujud: Pantai, diyakini adalah lokasi tenggelamnya perahu Boru Sarinding karena
ingkar janji terhadap Raja Sudungdangon, suaminya. Daerah ini dianggap sakral,
para pendatang untum memujanya harus mengenakan kain sarung, sopan, tidak
boleh meludah
Lokasi: Rassang Bossi; Kec.: Sitio-tio
47. Mual Tamba Tua
Ujud: Mata Air, tempat pertemuan Tamba tua dengan Guru Sudungdangon
(Manusia Jadi-jadian) sebagai penguasa daerah Tamba. Mereka berjanji agar Guru
Sudungdangon pindah ke Bukit imbalannya Tamba Tua berkewajiban memberikan
26
sesajen setiap tahun. Perjanjian ini harus dilaksanakan kalau terlupakan akan
terjadi musim penyakit, tanaman tidak bagus.
Lokasi: Tamba Dolok
Kec.: Sitio-tio
48. Mual Datu Parmongongo
Ujud: Mata Air, diyakini tempat ini persembunyian Datu Parngongo ketika mau
dibunuh anak-anaknya. Khasiat air ini dapat menyembuhkan berbagai penyakit
dan kecantikan. Pengunjung tidak diperbolehkan membuang sampah sembarang
dan berkata tidak sopan.
Lokasi: Tamba Nagodang
Kec.: Sitio-tio
49. Mual Si Sopak ni Musu
Ujud: Mata air yang sudah tidak terurus, diyakini sebagai penjaga perkampungan
Tamba sihingga tidak bisa dimasuki pencuri, pendengki.
Lokasi: Tamba
Kec.: Sitio-tio
50. Sampuran Bala
Ujud: Mata Air, diyakini Mual Bala iini dihuni seekor ular besar, ekornya berada
di bawah gunung dan kepalanya berada di atas gunung Nabolak dinamai dengan
Sibaganding Tua. Di area Sampuaran Bala ini tumbuh Pokki dan Jabi-jabi. Dahan
pohon ini tidak boleh ditebang lalu dibawa pulang. Jika ada orang yang bersikeras
maka ranting tadi akan berubah menjadi ular.
Lokasi: Dolok Raja
Kec. Harian
27
51. Mual Silimbat
Ujud: Mata Air, diyakini tempat pemberian pesugihan dengan sesajen. Seandainya
permohonan pengunjung terkabulkan maka akan datang ikan lele/limbat yang
berasal dari rongga batu. Sebaliknya jika permohonan itu tidak dikabulkan maka
iakan limbat itu tidak akan timbul. Tempat ini sangat sakral bersih.
Lokasi: Sampuran Toba
Kec.: Harian
52. Makam Sipisisomalim
Ujud: Makam, diyakini tempat pemakaman Sipisosomalim setelah kalah adu
kesaktian. Rumput dan pohonan yang tumbuh di sekitarnya tidak boleh dimakan
hewan. Siapa yang menentangnya akan mati.
Lokasi: Saomauli Hatoguan
Kec.: Palipi
53. Jabi-jabi Sihis?Sisangapan
Ujud: Pohon, diyakini pohon sebagai tanda persaudaraan Situmorang
Lokai: Urat
Kec.: Palipi
54. Batu Ratte
Ujud: Batu, diyakini dapat bergerak sehingga dirantai supaya tidak bergerak.
Lokasi: Mogang Pelabuhan
Kec.: Palipi
55. Hariara Siduatali (Hariara Maranak)
Ujud: Pohon Hariara, diyakini di bawah pohon ini adalah wadah rapat yang
menghasilkan keputusan penting dan damai. Keturunan Lontung sangat
28
menghormatinya dan memiliharannya dengan baik. Situasi sekitarnya sangat
gersang.
Lokasi: Urat
Kec.: Palipi
56. Namartua Limang
Ujud: Batu seperti cawan, diyakini sebagai tanda keturunan Pandiangan yang
mengeluh karena banyak rezeki panen yang tumpah ruah didapatnya sihingga
kewalahan mengangkatnya dan meyimpanya ke lumbung.
Lokasi: Urat
Kec.: Palipi
57. Binanga Bolon
Ujud: Sungai dengan Batu-batu kecil, diyakini sebagai tempat sakral. Masyarakat
sekitarnya mengakui pernah ada upaya untuk menimbun pertemuan dua sungai
dengan batu-batu besar, tetapi kenyataannya batu itu hancur berkeping-keping.
Serpihan batu tersebut tidak boleh dibawa pulang
58. Sampuran Pangaribuan
Ujud: Air terjun, diyakini sebagai tempat asal marga sinaga. Air terjun ini
dianggap sakral oleh keturunan marga sinaga sehingga mereka menjaga kebersihan
dan pohon-pohonnya.
Lokasi: Palipi
29
59. Parbatu Palhang
Ujud: Batu, sumur, pohon, diyakini sebagai makam salah satu marga siringo-ringo
yang terbunuh oleh saudaranya sendiri.
Lokasi: Parsaoran
Kec. Nainggolan.
60. Batu Guru
Ujud: Pantai dan Batu yang ditumbuhi beringin kecil dan rumput-rumput, diyakini
sebagai tempat Datu Parulas dan Datu Parultop mengadu kesaktian dalam
mempertahankan struktur batu yang mau terguling.
Lokasi: Pangaloan
Kec.: Nainggolan
61. Mual ni Raja Sonang
Ujud: Lima Mata Air yang berdekatan, diyakini sebagai makan Raja Sonang,
disekitarnya ditumbuhi bambu, nira, dan jabi-jabi. Tempat ini dianggap sakral
sehingga orang tidak boleh sembarangan di daerah tersebut.
Lokasi: Rianiate
Kec.: Onan Runggu
30
62. Hariara Nabolon
Ujud: Pohon Hariara, diyakini sebagai pohon tambatan kerbau ketika adat
kematian Raja Ampangarandang.
Lokasi: Sosor Pea
Kec.: Onan Runggu
63. Batu Ugan
Ujud: Batu berbentuk Oval terdiri dari 4 buah batu yang tidak boleh dipindah-
pindahkan. Batu ini diyakini sebagai peninggalan Raja Lontung ketika membuka
perkampungan di daerah tersebut. Masyarakat setempat menganggap lokasi
tersebut sakral dan tidak boleh dipindah-pindahkan.
Lokasi: Sosor Dame
Kec.: Simanindo
64. Aek Natonang
Ujud: Waduk berawa, diyakini sebagai tempat permandian Raja Lontung,
dilanjutkan dengan Ompu Palti sebagai jelmaan dari Raja Uti. Tempat ini
disakralkan dan dipuja.
Lokasi: Sosor Dame
Kec.: Simanindo
65. Batu Marhosa
Ujud: Batu ditumbuhi Dapdap, Sampilpil, Tanggiang, diyakini sebagai tempat
persembunyian Si Boru Langgatan Situmorang karena tidak mau kawin paksa.
Masyarakat meletakkan sirih dan rokok sebagai syarat mengujunginya.
Lokasi: Sigarantung
Kec.: Simanindo
31
66. Mual Si Boru Langgatan
Ujud: Mata Air, diyakini sebagai tempat menyampaikan permohonan dan biasanya
terkabul. Bentuk sesajen biasanya sirih diletakkan di atas batu altar.
67. Batu Suga
Ujud: Batu berbentuk mahkota, diyakini sebagai jelmaan dari keluarga menjadi
batu.
Lokasi: Sigarantung
Kec.: Simanindo
68. Bulu Turak Nan Tinjo
Ujud: Bambu di bawahnya tumbuh sanggar atau pingping, diyakini sebagai alat
tenun Nan Tinjo yang karam di tengah danau. Kisahnya dimulai dari adanya
syarat lamaran yang tidak mungkin disanggupi manusia, yaitu tujuh perahu emas.
Hal ini diajukan karena ayah dari Nan Tinjo dan Nan Tinjo sendiri menyadari
bahwa dia bukan wanita normal melainkan manuasia biseks (wanita, yang kelaki-
lakian). Raja Silalahi ternyata menyanggupi syarat itu sehingga dengan terpaksa
pihak Nan Tinjo menerimanya. Di Tengah Danau Nan Tinjo bermohon kepada
penguasa laut supaya dikutuk dan ditenggelamkan perahunya. Oleh karena itu,
penguasa mengabulakannya dan menenggelamkan perahu Silalahi dan Nan Tinjo.
Lokasi: Huta Malau
Kec.: Simanindo
69. Na Martua Sioma
Ujud: Pantai, diyakini sebagai kisah dua orang bersaudara kembar, yang lama
kelamaan timbul rasa saling memiliki. Orang tua dan huta keberatan melihat
kenyataan ini sehingga mereka menancakan potongan bambu di sepanjang pantai
32
yang bertindak sebagai ranjau. Tujuannya adalah agar perilaku mandi bersama
kedua bersaudara tersebut berhenti sehingga tidak ada lagi rasa saling mencintai.
Namun, mereka tetap melompat ke danau untuk mandi sehingga keduanya
tertancap ranjau tadi. Daerah ini sangat disakralkan.
Lokasi: Silima Lombu; Kec.: Simanindo
70. Bontean
Ujud: Batu, diyakini sebagai tempat tambatan/kaitan perahu raja-raja kalau
berlabuh.
Lokasi: Pagar Batu
Kec.: Simanindo
71. Parik Debata
Ujud:Benteng Batu, diyakini sebagai tempat permandian/paranggiran Si Boru
Nagojong. Masyarakat setempat menghormatinya, tidak boleh bicara tidak sopan
dan harus menjaga kebersihannya.
Lokasi: Huta Pagar Batu
Kec.: Simanindo
72. Pagar Batu
Ujud: Benteng Perkampungan, diyakini sebagai tempat yang sangat mistis
Lokasi: Huta Pagar Batu
Kec.: Simanindo
33
73. Aek Siguti-guti
Ujud: Waduk, diyakini sebagai sisa air perebusan manusia yang dijadikan menjadu
suruhan gaib/magis.
Lokasi: Huta Salaon
Kec.: Ronggur ni Huta
74. Aek Porohan
Ujud: Waduk, diyakini masih berhubungan dengan Aek Sidihoni. Hal ini
dibuktikan dengan jika Aek Sidihoni kering maka Aek Porohan penuh dan
sebaliknya. Legendanya, waduk ini disahkan sebagai tempat tenggelamnya
seorang laki-laki yang menyukai saudara kembarnya.
Lokasi: Salaon
Kec.: Ronggur ni Huta
75. Gua Simaliting
Ujud: Gua, diyakini sebagai istana seekor ular besar. Tempat ini disakralkan
masyarakat setempat.
Lokasi: Tanjungan
Kec.: Ronggur ni Huta
76. Aek Sihalisung
Ujud: Waduk, diyakini sebagai tempat tenggelamnya Mangait boru Simbolon yang
dipaksa menikah, tetapi lebih memilih mati tenggelam terbawa pusaran air.
Lokasi: Lumban Dugul
Kec.: Ronggur ni Huta
34
77. Sipaleonggang
Ujud: Liang, diyakini masyarakat sebagai tempat yang sakral
Lokasi: Huta Simanampang
Kec.: Ronggur ni Huta
78. Jeani Tano
Ujud: Lubang/Liang yang ditumbuhi Arsam, Pinus, sanggar. Tempat ini diyakini
sebagai penangkal niat jahat dan pemberi rejeki apabila diberi sesajen.
Lokasi: Huta Sitonggi-tonggi
Kec.: Ronggur ni Huta
79. Danau Sidihoni
Ujud: Danau, diyakini dapat memberikan tanda-tanda sosial di masyarakat
sekitarnya sehingga disakralkan.
Lokasi: Ronggur ni Huta
Kec.: Ronggur ni Huta
80. Mula ni Si Boru Na Etang (Naibaho)
Ujud: Pantai dan Pohon Beringin, diyakini sebagai tempat ditenggelamkannya si
Boru Naitang karena kawin sedarah dengan saudara kembarnya.
Lokasi: Tajur
Kec.: Pangururan.
35
5.2 Hasil Rekonstruksi Cerita Rakyat yang Mengandung Pelestarian
Ekosistem
Narasi yang dapat digali dan direkonstruksi dari situs mitos adalah sebagai
berikut:
Hasil Rekonstruksi Cerita Rakyat
PARIK NI HUTA
Narasumber: Simanjorang
Umur: 66 Tahun
Alamat: Desa Hasinggahan Kec. Limbong Mulana Kab. Samosir
Definisi: Parik merupakan bangunan pagar perkampuangan yang terbuat dari timbunan
tanahnatau batu yang tersusun dengan rapi.
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Parik manang lindung ni huta manang na di
hauma dibahen sian batu manang sian tano.
Di toru ni parik i suha ma goarna.Unang
dilatei, unang dibaen nasoadat na so uhum,
dibaen naso aji, unang dipaborhat begu
ganjang ido on nambahen parik on. Unang
ditahi di au artana, pantang manolbak parik,
parik ni juma naso boidiunsat on. Manang
na ise namangolat parik ingkon hassit
ngoluna. Batu sondi nasoboi gargaran on.
Manang na ise mangumpat parikna ingkon
hansit ngoluna alana hona uhum ni
Namulajadi Nabolon, ima poda ni natua-
tua. Bolo dituntun lomo na, di pudian ni ari
sungkun-sungkun ma rohana. Tona tu
pangaranto dang diboan tano alai marjabu
be do hamu. Idia do dosakku, burju do
omppuku happe nunga mardengkuki.
Parik atau perlindungan perkampungan atau
di sawah terbuat dari batu atau timbunan
batu. Di bawah parik ada irigasi namanya
suha. Jangan dengki jangan dilakukan di
luar adat dan norma, jangan melakukan
magis, jangan diberangkatkan “begu
ganjang”sehingga didirikanlah Parik.
Jangan menginginkan harta orang lain,
pantang meratakan atau menghancurkan
perbatasan/pagar. Parik/batas ladang/sawah
jangan digeser-geser. Barang siapa yang
menggeser-geser/melewati Parik/batas
dengan tujuan menguasai akan susah
hidupnya di kemudian hari. Kalau
bersikukuh maka di kemudian hari akan
terkutuk hidupnya. Oleh karena itu,
kadang-kadang setelah di kemudian hari
bertanya-tanya dalam hati. Apa dosaku,
36
Sonari on dipasahat tu naposo,
“Unang suda hosa alana ni tano tarlumobi
tu namarhahamaranggi. Parik balok
nasotupa tolbakkon.”
Disuan bulu di atas ni parik asa las huta.
Jala asa unang hona sitaban (martaban)
manangko jolma. Laho digadis.Ahu ma raja
di huta on martaban ma jo hamu borngin
on. Bolo Huta Dolok di ginjang di parik
ingkon suannon do bulu lao pagar ni huta.
Ai najolo asa lao jolma tu dolok-dolok
alana masa do sitaban jolma.
ayah/ibu, kakekku baik padahal tanpa
sepengetahuannya sudah melakukan
kecurangan. Sekarang dinasihatkan kepada
generasi muda, “Jangan sampai meregang
nyawa karena persoalan tanah, khususnya
kepada orang yang berkakak adik Parik
batas jangan sampai dirusak.”
Bambu ditanam di atas Parik supaya
hangat perkampungan. Selain itu, terhindar
dari penculikan manusia. Tetapi bagi
masyarakat Dolok tanaman bambu
merupakan pagar perkampungan.
AEK SITAPIGAGAN
SIMANJORANG HELA NI RAJA SAGALA
Narasumber: Dapot Simanjorang
Umur: 56 Tahun
Alamat: Desa Hasinggahan Kec. Limbong Mulana Kab. Samosir
Simanjorang adalah salah satu Marga Batak dari Puak Marga Sinaga
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Hatiha i mandonghon ompung nami
Simanjorang sian Pangaribuan.
Pangalahona jukat ido dibahen ma
goarna Simanjurang. Pitu ma halahon
namarhaha maranggi, Simanjorang ma
siampudan. Leleng diparlelengan
tolpusma tu son tu hasundutan manang
Sinaga Hasundutan. Si Manjorang si
Pardandi Parhasundutan. Ro ma
marlange Simanjorang sahat tu Bonan
Cerita itu/alkisah mengatakan moyang kami
Simanjorang bersal dari Pangaribuan.
Kelakuannya jahat/bandal sehingga diberi
nama Siamnjurang. Tujuh orang mereka ini
bersaudara, Simanjorang adalah anak yang
paling bungsu. Lama kelamaan
menyeberanglah ke Hasinggahan atau arah
Barat maka disebutlah dia Sinaga
Parhasundutan. Si Manjorang yang manja
suka merengek Parhasundutan. Simanjorang
37
Dolok Aek Sitapigagan binanga
nabolon ima binanga ni si Sagala.
Dungi jadi hatoban ni Raja Sagala ma
ompu on sidegeon ma ompu on laho tu
ginjang dohot tu toru ni rumah.
Partangisan manang na udean Raja
Sagala maruba-uba ukuranna olo balga
olo gelleng. Ompungna ta najolo
gelarna Ompu Bonan Dolok na hurang
alo on si Bolak mumbal-mumbal
omputa si unangbela ibana manampul
asu ibana i sulangi deba. Di hatiha i
mandonghon jadi ma porang mangalo
parbariba. Marporang manangko
mambuat jolma laho mambahen
hatoban. Bolo Nadihasomalhon di Aek
Sitapigagan batu dohot hau holan
marga Sagala do naboi mambuat hau i
(hayu tualang), ipe ingkon marsantabe
ingkon hohom unang margait-gait
pangalaho dohot pangkatai on.Bolo
dituntun lomo na laho tusi boi
gadamom manang gatal-gatal on.
Unang dibuat hau laho parhau. Di
tingki Simanjorang dibaen jadi
hatobanna bolo borngin dang diboan tu
jabu dibaen ma gabe sidege-dege on tu
ginjang dohot tu toru ni jabu. Ditingki
sadari di bereng Simanjorang ma Ompu
Bonan Dolok holan natalu di
parporangan. Hape di nalaho
marporang Ompu Raja Bonan Dolok tu
menyeberang dari sebelah dengan berenang
sampai di Bonan Dolok Sungai Sitapigagan,
yaitu Sungai Si Sagala. Setelah itu Raja
Simanjorang menjadi budak Raja Sagala,
fungsinya sebagai pijakan kaki kalau naik
turun rumah.
Kuburan Raja Sagala dapat berubah-ubah
ukurannya kadang besar dan kadang kecil.
Raja Sagala gelarnya Ompu Bonan Dolok
yang tidak bisa ditaklukkan . Cerita itu
mengatakan terjadilah perang antara
kekuasaan Sagala dengan negeri Seberang.
Peperangan bertujuan untuk menyandera
manusia/orang sebagai target perang, yang
akan dijadikan sebagai budak.
Kebiasaan yang diwariskan di Sungai
Sitapigagan batu dan kayu hanya marga
Sagala yang bisa menebang/mengambilnya.
Hal itupun terjadi harus disertai etika/ permisi
dan santun. Jangan menganggap remeh
perbuatan maupun perkataan. Jika aturan
yang dipercaya ini dilanggar bisa saja kena
gadam atau gatal-gatal yang kronis. Jangan
diambil kayu/pohon untuk dijadikan kayu
bakar.
Ketika Raja Simanjorang masih diberlakukan
sebagai budak dan fungsinya sebagai anak
tangga ke atas rumah dan turun ke bawah,
Ompu Bonan Dolok mengalami kekalahan
dalam perang. Sementara Raja Simanjorang
yang ditinggalkan di kampung juga
membunuh para pria kampungnya. Suatu
38
huta na asing, Raja Simanjorang
mamorangi (marbajo) angka jolma
natinggal di huta. Ditingki sahali raja
Bonan Dolok mulak tu huta, angka
jolma nadi huta sarita tu Raja Bonan
Dolok taringot tu pangalaho ni Raja
Simanjorang bolo ditinggalhon di huta.
Alani i Raja Bonan Dolok
marsangkapma mamboan Raja
Simanjorang tu parporangan.
“Oh Simanjorang olo do ho dohot tu
parporangan?” dialusi si Manjorang ma
“Boasa dang olo raja nami!
“Holan Paimahon hata ni Raja i do
nasaleleng on.”
“Bolo boti marsogot rap ma hita tu luat
parporangan.”.Dungi dialusi Raja
Simanjorang ma Raja Bonan Dolok,
“Raja nami! Unang pola dohot hamu,
holan au pe mangalo musuh ta i.”
“Bah...songon na teal ma ho tu au!”
“Daong songoni maksud hu Raja nami
asa unang hona mara do raja i.” Dungi
talu ma musu i jala monang ma sida.
Dung mulak manasida tu huta, marhata
ma Raja Bonan Dolok mangkatai ma
dohot inanta soripada, “Boha bolo hita
baen Simanjorang on gabe helanta asa
adong dongan mangalo
musunta?”“Denggan mai asa adong
mangurupi ho Rajanami!” alusni inanta
soripada.Disada tingki dijou Raja
ketika Raja Bonan Dolok pulang dari
peperangan membawa kekalahan, para
penduduk di kampung cerita tentang perilaku
Simanjorang kepada Raja Bonan Dolok
selama ditinggalkan. Oleh karenan itu, Raja
Bonan Dolok berencana membawa
Simajorang ke peperangan.
“Oh Simanjorang maukah Engkau ke
peperangan?” Dijawab si Manjorang,
“Kenapa tidak mau Raja kami!”
“Selama ini aku menunggu perintah, Raja!”
“Kalau begitu besok kita berangkat sama ke
area peperangan besok.” Kemudian
Simanjorang menjawab Raja Bonan Dolok,
“Raja kami! Biarkan aku sendiri yang
menghadapi musuh kita itu.”
“Bah...seperti sombong Kau sama aku!”
“Tidak Raja kami bukan begitu maksudku,
aku berharap Raja kami jangan kena celaka.”
Setelah berperang, mereka membawa
kemenangan dan mereka pulang. Raja Bonan
Dolok berunding dengan sang istri perihal
Simanjorang.
“Bagaimana kalau Simanjorang ini kita
jadikan menjadi menantu kita biar ada
membantu kita melawan musuh?” “Baik
Raja! biar ada yang membantu Raja melawan
musuh.” jawab istrinya. Suatu ketika Raja
Bonan Dolok memanggil Simanjorang lalu
ditanya,
“Simanjorang! Maukah menjadi menantuku
di rumah ini?”
39
Bonan Dolok ma Simanjorang jala
disungkun ma Simanjorang, “Si
Manjorang! Olo do ho jadi helakku
dongan di jabu on?” “Olo Raja nami!”
Dungi dipatudu Raja Bonan Dolok ma
napitu boruna on. “Pillit ma na dia do
diho?” Boru ni Raja Bonan Dolok on
uli-uli do holan sada do na humurang.
“Bolo diloas Raja i do ahu mamilih
boru ni Raja i, bolo boi suru raja i ma
angka boru ni raja i marsogot mardalan
tu Aek Sitapigagan an!” “Boasa
songoni hatam?”
“Daong Raja nami, ingkon songoni
tona ni dainang.”
“Bolo songoni, sogot pagi rade ma
nasida.”Manogot ni ari ditatap si
Manjorang ma na pitu boru ni Raja
Bonan Dolok i. Lima halak boru nai
mardalan di aek Sitapigagan i huhut
manintak paheanna tu ginjang asa
unang maraek, alai adong do sada boru
na i dang mangangkat paheanna
mardalan di aek i ima boruna
nahumurang rupana ima boruna si
nomor lima. Jala boru na humurang uli
on do dipillit Simanjorang alana nangpe
hurang uli rupana alai rohana tung
mansai uli do alana tarida do sian
pangalahona ima taringot tu marpahean
i na pantun. Alana dihasubanghon do
manait paheanna di tonga
“Mau Raja!” Kemudian Raja Bonan Dolok
menunjukkan ketujuh anak gadisnya.
“Pilihlah samamu?” Anak gadis Raja Bonan
Dolok cantik-cantik, tetapi ada seorang yang
agak kurang rupanya.
“Kalau Raja mempekenan aku memilih anak
gadisnya, kalau bisa tolong disuruh anak
gadisnya besok pagi berjalan di Sungai
Sitapigagan!”
“Kenapa seperti itu bicaramu?”
“Tidak Raja, Ibuku telah menasihatkan
seperti itu kepada kami.”
“Kalau begitu, mereka bersedia besok pagi.”
Pada pagi hari Simanjorang melihat pintu
Raja Bonan Dolok. Anak pertama, kedua,
ketiga, keempat, dan kelima anak gadisnya
keluar berjalan ke sungai Sitapigagan sambil
mengangkat kain sarungnya, tetapi anak
gadisnya yang kelima tidak mengangkat kain
sarungnya ketika berjalan, yaitu anak
gadisnya yang tidak begitu cantik rupanya.
Kemudian Simanjorang memilih anak gadis
yang kurang cantik itu karena walaupun
kurang parasnya tapi perilakunya baik karena
hal itu terlihat dari cara berpakaiannya. Anak
gadis Raja Sagala yang lain berwajah cantik
tetapi ketika melewati air mengangkat
bajunya supaya jangan basah. Hal ini
merupakan pantangan bagi kebiasaan
masyarakat Batak. Perilaku ini dapat
mencerminkan tinggi hati. “Bekerjalah
engkau menantuku!” kata Raja Bonan Dolok
40
mangajana.“Mangula ma hamu, Amang
Hela!” ninna Raja Bonan Dolok tu Si
Manjorang.
“Nion horbo, hoda, mas, ringgit!”
“Dang olo ahu Raja nami!” alus ni
Simanjorang.
“Jadi aha leanon tu ho Simanjorang?”
tanya Raja Sagala, lalu dia berpikir,
“Tano do haroha lehononhu tu ho”
ninna Raja Bonan Dolok.
“Ido Raja nami!” alus ni Simanjorang.
“Lehonon hu tu ho tano!” “Nauli Raja
Nami!” jawab Simanjorang. Dilehon
ma tano mulai sianSijagar-jagar ma
huleon tu ho sahat tuSimargantuk-
gantukSilalahi, ido turi-turian asa dapat
tano Simanjorang di Hasinggahan on.
Jala ima pardapotna leleng ni lelengna
dilean ma tanona. Pendek ceritana,
martubu-tubuan ma ibana manggora
pamoro, dilehon ma tano on. Alai bolo
Simanjorang parhutaan na di Dolok, di
san pe ibana dang boi berengon ni
jolma, alana na jolo maralo do angka
jolma na humaliangsa. Bolo dang togu
hadatuonna ingkon talu ma ibana tu
musu na. Dibaen ibana di dolok an
inganan asa bolo rope jolma alonagabe
boi ma dibaen songon tao dibereng
ibana hutaon asa dang boi jolma taripar
hutaon, di si ma ibana.
Alana najolo dang boi sembarangan
kepada Simanjorang.
“Ini kerbau, kuda, mas, ringgit!”
“Aku tidak mau, Raja!” jawab Simanjorang.
“Tidak katanya, jadi apa yang bisa kami
kasih?”
“Kemungkinan Perkampungan yang perlu?”
kata Raja Bonan Dolok.
“Ya Raja!” jawab Simanjorang. Raja Bonan
Dolok memberikan perkampungan mulai dari
Sijagar-jagar sampai ke Simargantuk-gantuk
Silalahi. Demikianlah kisah Simanjorang
memiliki tanah ulayat perkampungan di
Hasinggahan. Singkat cerita Raja
berketurunan dan sudah berregenerasi
mendiami sepanjang Hasinggahan sampai ke
Silalahi. Namun, Raja Simanjorang memilih
tinggal di Pegunungan agar dia tidak bisa
sembarang dilihat. Kekuatan ilmunya
membuat mata para musuhnya mejadi seperti
melihat lautan kalau ingin menyerangnya.
Simanjorang mendirikan rumahnya di
perbukitan, kalau datang musuh jadi seperti
lautan sehingga tidak bisa berhadapan
langsung dengan dia.
Dahulu kala manusia tidak sembarang
melewati perkampungan orang, harus sopan
dan beretika datang bisa ditangkap tidak
diizinkan pulang. Dipenjarakan dan diberi
makan dan diberitahukan kepada pihak
keluarganya supaya ditebus. Namun, kalau
tidak ditebus bisa-bisa dimakan karena pada
masa itu masih berlaku memakan daging
41
taripar jolma, ingkon pantun do jolma
ro tu huta on, olo gabe ditangkup dison
dang boi mulak.Dihurung jala dilean
mangan, jadi memang disuru paboahon,
bolo dang boi ditobus songon dia dang
diboto dibaen be on, ala na na jolo masa
do dialang ni jolma.
Tona ni Raja Bonan Dolok tu
pinomparna dohot tu jolma humalingsa.
“Bolo adong do jolma mambuat aek on
ingkon marsantabitu marga Sagala
dang boi marga na asing.”
“Molo naeng mambuat aekna ingkon
boanon ma siluana.”
Siluana i lapatannasipanganon, boi do
napuran, manuk dipalua di si, hambing
adong di palua deba adong di potong i
si.
Bolo manaon bubu marimbar do di si,
contohnya ta taon bubu di si ingkon tu
taruoan sunggapana molo biasa, molo
di si ingkon tu dolok. Alai boi
sunggapan dibahen tu toruan holan
sahali jala gok do annon isi ni bubu i.
Alai unang dipadua hali, bolo
diulangkon ingkon dapotna ma ihan
nahona tutungan dungi jolma nai gabe
gila ma annon i.
“Bolo manghail hamu tu aek i boi do,
alai bolo nung dapot sada sotung
diulahi!”
“ Bolo diulahi ingkon tagamonna ma
manusia yang dianggap musuh.
Pesan Raja Bonan Dolok kepada generasinya
dan kepada semua manusia sekitarnya yang
berkunjung ke daerah itu.
“Kalau ada orang mengambil air ini, harus
permisi dengan marga Sagala tidak bisa
marga lain.”
“Kalau mau mengambil airnya harus
membawa sesajen.”
Persembahannya berupa makanan, bisa sirih,
ayam dilepaskan, kambing dilepaskan
sebagian bisa dipotong.
Kalau meletakkan perangkap ikan di Sungai
Sitapigagan berbeda dengan kebiasaan di
tempat lain. Contohnya biasanya arah
perangkap diletakkan sehadapan dengan hilir,
tetapi di Sungai Sitapigagan harus diletakkan
ke arah hulu. Namun, bisa saja diarahkan ke
hilir dan kemungkinan besar dapat ikan yang
banyak, tetapi jangan sekali-sekali diulangi
bisa saja dia mendapat ikan yang sudah
dibakar sehabis itu jadi gilalah orangnya.
“Kalau kamu memancing ke sungai
Sitapigagan bisa, tetapi kalau sudah dapat satu
jangan diulangi lagi!”
“Kalau diulangi bisa jadi gila di situ.”
Kalau memuja/menyampaikan sesajen ke
daerah itu dibawa kambing dilepas tapi ada
dipotong di situ, bisa juga ayam dilepas di situ
kalau itu permintaan arwah yang datang,
kalau potong katanya hurus dipotong. Ada
ikan batak yang besar-besar di sungai itu
42
rintik.”
Bolo martonggo tu luat i diboan ma
hambing laho dipalua alai adong diseat
di si, boi do manuk dipalua disi molo
didonghon naro ai, “Potong!
Ina.Ingkon potongna do. Palua! ina
palua do.”Adong do ihan i aek i jala
balga alai dang boi itangkupon i. Bolo
tu toruan annon sunggapan ni bubu olo
gok do anon bubu i isina ihan, alai so
tung unang diulahi padualion gabe
rintik be. Memang rodi sonari godang
na masa songoni di si. Jala molo i
ulangkonpe imana ma mardabu-dabu
bolo adong namasa tu ibana. Bolo
manghail di si olo do dapot ihan na
honatutungan, olo matutung sambola,
sambola tata.
Boido godang dapot ihan bolo diantusi.
“Ingkon lehononna parsantabian dohot
mangido denggan tu sumangat ni Ompu
i Bonan Dolok.”
Tona ni Ompu adong sada nai,
“Hau tualang na adong tubu di aek
sotung ditaba manang dirantingi hamu!
Alana tanda-tandaku tu pinompar hu.”
Aek Sitapigagan mamolus mulai sian
aek Ronuan torus taripar tu Bonan
Dolok.Sian Ronuan marsirang ma aek
Bonan Dolok dohot aek Silalahi
aekSiringo
Holan ihan batak adong do disi dang
tetapi tidak bisa sembarang ditangkap sampai
sekarang. Hal ini disebabkan nasihat-nasihat
dan pesan orang tua terus diturunkan.
Menurut informasi dari kampung itu petaka
akan terjadi kalau melanggar aturan yang
sudah diwariskan. Kalau niat untuk
menangkap sebanyak-banyaknya diteruskan,
pada akhirnya akan dapat ikan bakar sebelah.
Artinya akan terjadi malapetaka.
Tetapi bisa saja dapat ikan yang banyak
apabila terlebih dahulu minta izin dan
memberikan persembahan kepada roh-roh
Ompu Bonan Dolok.
Pesan Ompu Bonan Dolok satu lagi,
“Kayu tualang yang tumbu di Sungai
Sitapigagan jangan ditebang atau dipotong
rantingnya! Karena sebagai tanda
pekuburanku itu kepada generasiku.”
Sungai Sitapigagan mengalir dari Ronuan
sampai ke Bonan Dolok. Ronuan adalah
daerah perpisahan sungai Sitapigagan dengan
Sungai Silalhi dan Sungai Si Ringo. Sungai
Sitapigagan ke Bonan Dolok.
Ikan yang ada di sekitar Sunngai itu adalah
jenis ikan batak. Ukuran ikan tersebut sekitar
satu kilogram satu ekor atau lebih. Hal
disebabkan jarang orang ke sana memancing
karena pesan warisan dari orang tua-orang
tua. Dahulu kala masa penajajahan Belanda
beberapa kali Belanda ingin mengeksplorasi
ke daerah tersebut tetapi tidak pernah sampai
ke sana. Hanya daerah ini yang keramat yang
43
adong ihan na lain. Ihan batak i sonari
adong do sakilo sada manang lobi.
Alana dang piga jolma na olo mangkail
tu tu si alani poda-poda ni natua-tua.
Hatiha i masa ni penjajahan Bolanda
mandonghon piga hali Bolanda
ronaeng mangarajai on alai dang hea
boi sahat. Holan on do keramat na so
boi di taluhon Bolanda. Sadangkon
pusuk buhit nunga lopus Bolanda tu
dolok nai, alai bolo tu binanga
Sitapigagan dang boi manang na ise pe
ro tusi. Adong do dua aek i, sada mai
aek na bidang jala sada nai aek na
memet. Hatiha i mandonghon aek
namemet on do lebih sakti sian aek na
bolon i. Godang do rittik jolma di
Bonan Dolok alana margait-gait
manang salpu di tona manang na poda
i.
tidak bisa dikuasai Belanda. Sedangkan
Gunung Punsit Buhit sudah sampai ke
puncaknya mereka jalani, tetapi kalau Sungai
Sitapigagan tidak bisa didatangi siapa pun.
Ada dua sungai itu, satu yang besar satu lagi
yang kecil. Cerita yang diwariskan
mengatakan sungai yang kecil lebih keramat
dibandinkan dengan sungai yang besar.
Banyak jadi orang gila di Bonan Dolok
karena menganggap remeh atau tidak
menghiraukan pesan leluhurnya.
44
BATU HOBOL
Narasumber : Apa Rusda Galingging
Umur: 56 Tahun
Alamat: Desa Parbaba Kec. Pangururan Kab. Samosir
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Batu Hobol on parjabuan ni si Raja Batak
na jolo i. Ompu si Raja Batak Najolo mar
huta mamopar Raja Uti, limbong, sagala
raja saribu raja, malau. Saribu raja naung
marporhas tu si Boru pareme. Marjuma ma
si boru pareme dohot si Saribu. Dungi
jumpa ma tingki mamuro di juma, lao ma si
boru pareme manaruhon si panganon ni si
Saribu Raja di Balian dohot ibotona si Boru
pareme pahimpu on angka batu-batuma di
balian. Ujungna maroha-roha jala dos ma
rohana dohot ibotona si Boru Pareme.
Dungi muruk ma haha angina ditahi nasida
ma mambunuh Saribu Raja. Marningot i si
Saribu Raja lintun ma jala sude arta mas ni
nasida ditanom ma di toru ni batu i. Jala
ditonahon do tu pinomparna so tung
diumpat manang dihusor batu i.
Batu Hobol ini merupakan perkampungan
Si Raja Batak pada masa lampau. Ompu Si
Raja Batak beranak Uti, Limbong, Sagala
Raja, Sari Raja, Raja Malau. Saribu Raja
sudah terlajur saling menyayangi walaupun
masih sedarah (marporhas). Suatu ketika
Saribu Raja sedang di ladang lalu si Boru
Pareme mengantarkan bekalnya ke ladang.
Saribu Raja mengumpulkan batu-batu di
ladang. Pada akhirnya mereka kawin
sedarah dengan saudaranya Boru Pareme.
Oleh karena itu, saudara-saudara Saribu
Raja marah dan mereka sepakat untuk
membunuh Saribu Raja. Saribu Raja
mendengar rencana saudara-saudaranya
maka larilah dia. Harta pusaka keluarga Si
Raja Batak ditanam Saribu Raja di bawah
batu. Dan dipesankan kepada generasinysa
biar jangan digeser-geser batu itu.
45
IKAN PORA-PORA (GUDALAP) SIPANGKAR
MARTUA PARLOMBUAN
Narasumber: Sihaloho
Umur: 65 tahun
Pekerjaan: Bertani
Alamat: Desa Parbaba Kec. Pangururan Kab. Samosir
BAHASA BATAK TOBA BAHASA INDONESIA
Ihan pora-pora (Gudalap) i Martua
Parlombuan marga Sipangkar. Rupana na
nahona hunikan, hona tutung. Inganan on
marguru sarune na Martua Parlombuan.
Bolo mangkail dang boi pitu ari padodot.
Bolo mangkail pitu ari padodot ingkon
dapotna ma ihan si tolu rupa, ima. Bolo dung
dapat i ingkon tagamon na ma ro namasa tu
ibana alana sada tanda do i jala dang
tarambatan.
Sombaon maringanan di luat i tubu do bulu
bolon, jala aek dang hea marsik di si. Dang
boi sembarang mambuat parhau di si. Jala
adong di si ihan batak alai dang boi dibuat
on.
Ihan pora-pora (Gudalap) i Martua
Parlombuan marga Sipangkar.
Warnanya kuning, seperti kena bakar.
Tempat inidigunakan untuk bersemedi
kalau ingin pintar memainkan
sarune/jenis seruling Martua
Parlombuan. Kalau memancing di
sungai itu tidak boleh tujuh hari
berturut-turut. Kalau memancing tujuh
hari berturut-turut akan dapatnya ikan
tiga rupa. Kalau sudah dapat ikan jenis
ini maka akan terjadi marabahaya
kepada orang yang memancing tersebut
hal ini tidak terelakan lagi.
Penunggu daerah itu tinggal di rumpun
bambu dan pohon yang tumbuh di
sekitar itu. Air sungai ini tidak pernah
kering. Tidak bisa sembarang
mengambil kayu dari daerah itu. Ikan
Batak pun ada di situ tapi tidak bisa
diambil
46
Hau Jior Ni Situmorang
Nara Sumber: AP. Pardi Situmorang
Umur: 65 Tahun
Pekerjaan: Mantan Kepala Desa
Desa Parbaba
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Mulani jior tingki mamuka huta ingkon
suanon do sada hau boi da jabi-jabi, boi
hariara boi jior asa adong pareat-eatan ni
Situan gading habonaran, boru namora
panginganan ni huta. Jala ingkon boanon
do tusi itak nabontar, rondang, pusuk
pandan, dohot bane-bane. Jala dohonon do
di tinggki manuan hau i tu Situan Gading
Boru Namora Huta i, “Dihamu Boru
Namora dohot Habonaran ni Huta Situan
Gading Habonaran ni huta on, husuan ma
hau on asa adong pareat-eatan muna asa
adong inganan muna, alana hamu do
jumolo sorang dohot jumolo tandang tu
jaean tu juluan tu tampahan ni huta on asa
gabe parorot hamu tu hami namangingani
huta on.”
Jala bolo sangap do binahen tu Boru
Namora dohot Habonaran ni Huta i ingkon
dang pola male jolma di huta i. Balikna
bolo dikotori do hau i ingkon hansitma
ngoluna.
Rupani i na somal boru-boru do jala
marbaju nabontar. Bolo peleon hau ingkon
hambing nabontar dohot pargonci manang
gondang.
Asal mula pohon jior Situmorang di desa
Parbaba, menurut cerita yang diwariskan
ketika merintis perkampungan di setiap
desa harus menanam pohon bisa jabi-jabi,
bisa beringin tujuan sebagai tempat ber-
gelantungan para dewa yang tinggal di
perkampungan itu. Saat mananam pohon
ini, para pengetua warga kampung harus
membawa itak (sagun putih), emping,
pucuk pandan, dengan bane-bane. Para
tetuah mengatakan kepada Situan Gading
Boru Namoran Huta (Sebutan untuk para
Dewa yang mendiami perkampungan)‟
“Boru Namora bersama Habonaran ni Huta
Situan Gading Habonaran ni huta, pohon ini
kami tanam agar tersedia tempat/rumah
bergelantungan, karena para dewa yang
pertama lahir dan lebih dahulu menguasai
perkampungan ini agar para dewa yang
menjadi pelindung dan pertahanan kami di
perkampungan ini.”
Kalau kita hormat kepada Boru Namora dan
kepada Habonaran ni Huta biasanya tidak
pernah kelaparan atau menderita
kemiskinan warga perkampuangan.
Sebaliknya kalau tidak dihormati atau
47
Tona ni Ompu Sijolo-jolo tubu tu hami
pinomparna,
“Tung naso jadi parhau on ranting na pe
bolo madabu.”
Situmumorang jonok ni hau i nung sintua
martahi ma manaba hau i alana nunga
maralo dohot haporsea onna. Dang sadia
leleng pintor rumpakma dangkana ditipa ma
bagasna sampai bola dua. Olat ni i dang
olo be ibana mangunjuni i.
dirusak/dinistai pohon tersebut pasti
hidupnya akan menderita.
Wujud para dewa dewi perkampungan ini
biasanya wanita yang mengenakan baju
putih. Jika ingin memberikan sesajen
kepada para penghuni pohon Jior harus
memotong kaming putih diiringi dengan
musik, yaitu Gondang (Gonci).
Pesan (tona) nenek moyang Situmorang
yang mendiami perkampuangan itu,
“Ranting dan pohonnya yang jatuh tidak
bisa dijadikan menjadi kayu bakar.”
Marga Situmorang yang tinggal dekat
pohon tersebut setelah penjadi
penatua/pengurus gereja ada berencana
menebang pohon tersebut karena dia merasa
tidak sejalan lgi dengan kepercayaannya.
Namun, tidak berapa lama pohon tersebut
tumbang cabangnya dan menimpa
rumahnya sampai pecah. Setelah itu dia
tidak mau lagi mencoba-cobanya.
Jabi-Jabi
S. Siregar
Umur: 61 tahun
Alamat: Desa Muara Kab. Tapanuli Utara
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Najolo bolo pature huta ingkon suanon do
pagar ni huta asa adong pareat-eatan ni
namarhuta pangianginan ni huta.
Tona ni Ompu i najolo sahat tu sonari,
Dahlu kala awal warga perkampuangan
membuka perkampuangan, mereka harus
menanam pagar perkampuangan sebagai
wadah/hunian bergelantungan penghuni
48
“Dang boi dangkaan manang rantingan
manang ni ise mandangkaan ingkon ro do
mara tu ibana!”
Jala hea do dipelehon hambing putih dohot
lombu putih jala margondang. Adong do
hea manjangkit i hape madabu jala pintor
mate.
Partanda naboi dilapatan i jolma na
humaliangsa adong soara boringinnai sian
hau i. Bolo marsoara panginganan gabe
sada tanda doi. Bolo tio suara i tanda
pangulaan denggan doi. Alai bolo suarana
hurang denggan manang marporo,
paboahon naeng adong namasa nahurang
denggan di huta. Bolo mangkuling pintor
marpungu ma sude angka natua-tua laho
mambege dohot mangalapati suara ni
pangingan ni jabi-jabi i. Bolo ditabai, bolo
didangkai ingkon tagamonna nahurang
denggan.
Bolo pagar ni huta adong di suan ganup
huta ima hau hariara manang na jabi-jabi.
Mual Singkoru
Galungan
Di mual adong do sibahut nasa harpe
manang nasa anduri dohot guria nasa balga
ni ulu ni hoda.
magic perkampungan.
Pesan para leluhur dahulu kala sampai
sekarang,
“Pohon itu tidak bisa dirantingi atau
ditebang, barang siapa yang berani
menebang akan dapat azab, petaka!”
Pohon ini diberikan sesajen dengan seekor
kambing putih dan lembu putih dan diiringi
gondang/gonci.
Pada suatu ketika ada warga pernah
memanjat pohon tersebut lalu tiba-tiba
jatuh dan meninggal.
Tanda-tanda yang bisa dimaknai dari pohon
itu adalah suara yang berasal dari pohon
tersebut. Jika suara penghuni pohon
tersebut jernih dimaknai penghasilan dari
sawah, ladang, dan ternak akan membaik.
Akan tetapi kalau suara tersebut tidak bagus
atau agak serak pertanda ada bakal kejadian
yang menyedihkan di perkampungan
tersebut. Jika warga mendengar suara yang
tidak baik ini, para tokoh-tokoh warga
berkumpul dan memaknai suara yang
berasal dari jabi-jabi tersebut. Kalau pohon
itu ditabang atau cabangnya dipotong akan
ditimpa celakalah dia. Pohon yang
dianggap pagar perkampungan jenisnya
beringin atau jabi-jabi dan ditanam di setiap
kampung.
Mual Singkoru Galungan
Di dalam air ini ada ikan lele sebesar tampi
49
Dang boi di si panangko, dang boi
mambolongkon sembarang sampah. Jala
dang boi mambunuh sagala pinahan na
adong di si.
Sarita na Simarmata marbada i
namarhahamaranggi. Anak ni Sigalingging
Raja. Sahata ma nasida naeng mambunuh
anggina si Balige raja. Jala diungsihon ma
angginanon tu huta na lain. Ima tu
parhutaan ini.
beras dan kepiting sebesar kepala kuda.
Warga tidak bisa mencuri, tidak bisa
sembarang membuang sampah. Dan tidak
bisa membunuh segala jenis hewan yang
ada di situ.
Ceritanya, Marga Simarmata berkakelahi
bersaudara atau kakak adik. Putra
Sigalingging sepakat ingin membunuh
saudaranya Si Balige Raja sehingga
mengungsilah dia ke perkampuangan
tersebut.
BORU SARODING
(Diceritakan oleh: Suhunan Situmorang).
Pangururan
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Sada Tikki, di parnangkok ni mataniari,
laho do manussi pahean huhut naeng
maridi Boru Saroding tu tao Toba. Huta ni
natorasna di holang-holang ni Palipi-
Mogang do, marbariba ma tu Rassang Bosi
dengan Dolok Martahan. Nauli do rupani
boru Saroding on. Imana ma inna na
umbagak sian boru Pandiangan uju i. Tung
mansai bahat do ro baoa manopot ibana,
sian huta na dao dohot bariba ni tao pe ro
do naeng patuduhon holong tu ibana. Alai
dang adong manang sada naboi mambuat
rohana; namora manang najogi, mulak
balging do sude.
Alai dang adong lahi-lahi i namarhansit
roha dibahen ibana, tungpe dang dioloi
ibana hata ni akka panopot i. Natorasna,
Guru Solandason, tung mansai longang do
mamereng boruna nasasada on. Parsip do
Suatu masa, saat terbit matahari, Boru
Sarunding pergi ke Tao Toba untuk
mencuci pakaian. Perkampungan orang
tuanya di antara Palipi dan Mogang,
bersebelahan dengan Rassang Bosi dengan
Dolok Martahan. Boru Sarunding berparas
cantik. Dia, gadis boru Pandiangan yang
tercantik pada masa itu. Banyak pemuda
tampan dan kaya yang melamar dia yang
berasal dari berbagai daerah termasuk
daerah seberang Tao. Namun, tak satu
orang pun yang berkenan di hati Boru
Sarunding teradap para lelaki tampan dan
kaya tersebut. Oleh karena itu, semua para
lelaki yang mendekati Boru Sarunding
pulang tidak berhasil mempersuntingnya.
Namun, para lelaki itu tidak ada yang sakit
hati atas perlakukannya, walaupun tidak
50
boru saroding on, malo martonun, ringgas
mangula ulaon, ba sandok tahe tung mansai
las do rohani natorasna mangida
pangalahona. Naburju do ibana
marnaatoras songonni nang mardongan,
jala somba marhula-hula. Bah, tung si
pilliton ma nian ibana gabe parsonduk
bolon nang gabe parumaen.
Tikki martapian Boru Saroding huhut
manganggiri obukna na ganjang jala
mansai godang i di topi ni tao i, ro ma sada
solu manjonohi ibana. Pangisi ni solu on
sahalak baoa, jongjong di solu na. Tung
mansai tongam, jogi, jala marpitonggam do
rumangni baoa parsolu on. Mamereng
rumangna dohot paheanna ulos Batak
namansai bagak, hira na so partoba do
ulaonna; nasomal jala jotjot marhumaliang
di tao i. Lam jonok, lam mallobok ma
tarottok ni boru Saroding. Ai ise do nuaeng
baoa on, sukkun-sukkun ma rohana. Solu i
pe lam jonok ma attong tu paridianna.
Dipahatop boru Saroding pasidungkon
partapiananna, ala maila ibana adong sada
baoa naposo mamereng-mereng ibana.
Hatopma boru Saroding mangalakka tu
jabuna, alai pintor dipangkulingi baoa par
solu i ma ibana: “Boru nirajanami, ai boasa
hamu humibu-hibu mulak?”.
Songgot ma rohani boru Saroding, dipaso
ibana ma lakkana, huhut ditailihon tu lahi-
lahi namanjou i. Bah, tung mansai jogi jala
tongamma baoa on, inna rohana. Didok
ibana ma sidalianna nanaeng godang dope
siulaon na di jabu, ido umbahen hatop
ibana mulak. Marsitandaan ma nasida,
dipaboa lahi-lahi ima asalna sian dolok ni
Rassang Bosi-Sabulan namargoar “Ulu
Darat”. Disi do inna ibana maringanan.
Dipatorang baoa ima aha do sakkapna
mandapothon boru Saroding, jala
dipangido ibana ma asa dipantadahon tu
natua-tuani boru Saroding. Ala pintor lomo
rohani boru Saroding marnida baoa i, las
ma tutu rohana; rap mardalan ma halahi tu
disepakati kehendak para lelaki yang
melamarnya. Orang tuanya, Guru
Solandason sangat heran melihat anak
gadisnya yang satu ini. Boru Sarunding
memiliki sifat pendiam, pintar bertenun,
rajin bekerja sehingga orang tuanya senang
melihat karakter anak gadisnya. Dia sangat
baik terhadap orang tua dan terhadap
sahabat, serta tunduk marhula-hula. Oleh
karena itu, banyak orang berkehendak
menjadikan menantunya.
Saat Boru Sarunding mandi sambil
mencuci rambutnya yang panjang dan lebat
di tepian Danau, datanglah sampan
medekat kepadanya. Penumpangnya
seorang pria sedang berdiri. Pria itu
tampan, tegap, dan berwibawa parasnya.
Boru Sarunding melihat wajah dan ulos
yang dikenakanakan pemuda tersebut lalu
berpikir bahwasanya pemuda itu bukan
berasal sekitar Toba seperti biasa yang
beraktivitas di Danau tersebut. Semakin
dekat semakin gugup dan bergdegup
perasaaan Boru Sarunding. Siapa gerangan
laki-laki ini, hatinya bertanya-tanya.
Perahu itu semakin mendekat ke arah Boru
Sarunding. Oleh karena itu, Boru
Sarunding tergesa-gesa menyelesaikan
mandinya karena malu dilihat seorang pria
sedang mandi.
Boru Sarunding cepat-cepat melangah mau
pulang, tetapi pemilik perahu itu
menyapanya dengan lembut.
“Boru ni Raja nami, kenapa buru-buru
pulang?”
Boru Sarunding terkejut, langkahnya
terhenti lalu dilihatnya pria yang
menyapanya. Pria tampan dan berwibawa
bisiknya dalam hatinya. Banyak pekerjaan
akan harus dikerjakan di rumahnya
sehingga harus cepat-cepat pulang ke
rumah, dia memberi alasan. Mereka
berkenalan, pria itu memberitahukan
asalnya dari daerah Rassang Bosi-Sabulan
yang dikenal dengan “Ulu Darat”. Pria itu
mengungkapkan tujuannya menemui Boru
51
hutana. Hurang tibu nian didok rohana
sahat tu huta, asa pintor dipatandahon baoa
i tu natorasna.
Longang ma natoras dohot akka iboto nang
anggina ala ro sian tao boru Saroding
mardongan sada baoa. Sude do halahi
pintor tarhatotong mamereng bohi dohot
pangkataionni lahi-lahi i. Songon na hona
dorma do halahi mamereng bagak ni
rumang ni lahi-lahi i. Pamatang na pe
mansai togap. Jeppet ni hata, dihatahon
lahi-lahi ima sakkap na, naeng
pangidoonna boru Saroding naeng gabe
parsonduk bolon na. Ala nungnga lomo
rohani boruna, pittor dioloi jala dipaboa
Guru Solandason ma tu akka dongan
tubuna. Dang sadia leleng, dipasaut ma
parbogason ni boru Saroding dohot lahi-
lahi i.
Dung sidung ulaon parbogason, borhat ma
boru Saroding mangihuthon lahi-lahi naung
gabe tunggane doli na, marluga solu tu
Ransang Bosi. Tung longang do boru
Saroding alana mansai hatop do halahi
sahat. Lam longang ma ibana ala di dok
tunggane doli nai hutana di ginjang ni
dolok, di tonga ni tombak Ulu Darat. Las
dope rohani boru Saroding, mardomu muse
tikki namardalan halahi manganangkohi
dolok natimbo i, ditogu-togu tunggane doli
na i, tung mansai hatop jala niang do
lakkana. Dang loja ibana namandalani
dolok na rais i, songoni nang lahi-lahina,
tung so hir do hodok ni halahi.
Tung mansai golap do tombak siboluson ni
halahi, alai dang maol didalani halahi
nadua. Sahat ma halahi tu undung-undung
ni lahi-lahi i, ba rupani maradian ma boru
Saroding, tarpodom ma halahi sahat tu
manogot na. Tikki dungo ibana di
manogotnai, dang dibereng ibana tunggani
dolina. Dibereng ibana tu pudi nang tu jolo,
dang di si amantanai. Tarsonggot ma ibana
ala dibereng ibana manginsir sada ulok
namansai bolon di tonga-tonga ni hau di
Sarunding sehingga dia memohon agar
diperkenalkan dengan orang tua gadis
tersebut. Boru Sarunding langsung
menyukai perilaku pria tersebut dan
menyetujui sehingga mereka berjalan
bersama menuju perkampungan Boru
Sarunding. Boru Sarunding merasa kurang
cepat perjalanan mereka menuju rumah
agar langsung memperkenalkan pria
tersebut dengan orang tuanya.
Orang tuanya, Saudara laki-lakinya, serta
adiknya merasa heran karena Boru
Sarunding pulang dari permandian di
tepian Danau Toba disertai dengan seorang
pria. Semua pria sekampungnya terkesima
dan terkejut melihat rupa dan tata cara
berbicara pria tersebut. Pendek kata, pria
tampan itu mengungkapkan isi hatinya,
yaitu melamar Boru Sarunding menjadi
istrinya. Berita ini diberitahukan Guru
Solandason, orang tua Boru Sarunding
kepada dongan tubu/abang-adiknya. Tak
berapa lama upacara perkawinan
dilaksanakan.
Setelah acara adat pernikahan selesai, Boru
Sarunding berangkat bersama pria yang
sudah menjadi suaminya naik perahu
menuju Rassang Bosi. Boru Sarunding
heran dan terkejut karena sangat cepat
mereka sampai ke tujuan. Boru Sarunding
semakin heran karena suaminya
mununjukkan perkampuangan di atas
gunung, di tengah hutan Ulu Darat.
Namun, Boru Sarunding masih merasa
senang karena suaminya masih memapah
dan menggendongnya serta jalannya sangat
cepat. Mereka tidak merasa kelelahan
dalam perjalanannya.
Hutan yang dilaluinya sangat lebat dan
gelap, tetapi mereka berdua tidak kesulitan
menjalaninya. Mereka tiba di pondoknya
lalu Boru Sarunding istirahat tertidur
samapai pagi. Boru Sarunding terbangun
paginya tetapi tidak dilihatnya suaminya di
sampingnya. Dia mencari ke belakang dan
ke depan pondoknya tetapi suaminya tidak
52
joloni alamanni jabu i. Mabiar ma boru
Saroding, pintor ditutuphon ibana ma pittu
ni jabu i. Dang hea dope dibereng ibana
songoni balga na ulok, alai uluna dang
songon bohi ni ulok. Ngongong ma ibana
di tonga nijabu.
Dang sadia leleng dibege ibana ma
tunggane dolina manjou goarna, asa
dibukka pittu ni jabu. Hinsat ma boru
Saroding mambuka pittu jala pittor
dihatahon ibana ma tu tunggane dolina i na
adong sada ulok na mansai bolon di jolo ni
jabu i. “Dang pola boha i, ulok na burju
doi,” inna tunggani doli na mangalusi.
Tung mansai naburju do tunggane doli nai
marnioli, dipasonang do roha ni boru
Saroding di si ganup ari. Dang dipaloas loja
mula ulaon, ai pintor sikkop do sude akka
naniporluhon ni hasida nadua. Malo do
lahi-lahi nai mambahen si parengkelon,
diharingkothon do mangalului akka boras
ni hau dohot suan-suanon naboi mambahen
boru Saroding tontong uli.
Alai sai sukkun-sukkun jala longang do
boru Saroding marnida somal-somal ni
tunggane doli nai di siapari. Sada tikki
tarbereng simalolongna ma lahi-lahi nai di
para-para ni jabu marganti pamatang gabe
ulok na bolon. Mansai bolon, songon ulok
na hea diberengsa di jolo ni jabu i. Alai
paula so diboto ibana ma ala mabiar ibana
muruk annon ulok i. Manginsir ma ulok na
bolon i haruar sian jabu manuju tombak,
tading ma boru Saroding di jabu. Tung
mansai biar jala manolsoli ma dirina
napintor olo manjalo hata ni baoa i dang
jolo manat dirimangi, ai dang jolma biasa
hape.
Botari nai mulak ma tunggane doli nai
mamboan akka nalaho sipanganon ni
halahi, boras ni hau, suan-suaonon, nang
akka jagal, tarsongon ursa, aili, pidong,
dohot akka na asing. Dung sidung
mangaloppa dohott mangan halahi,
ada. Boru Sarunding sangat terkejut
melihat seekor ular besar lewat dari selah-
selah pohon halaman rumahnya. Dia
langsung menutup rumahnya dengan
ketakutan karena tidak pernah melihat ular
sebesar itu dan kepalanya bukan seperti
ular biasanya. Dia terdiam dan hening di
tengah-tengah rumah itu.
Tidak berapa lama, suaminya memanggil
namanya agar dibukakan pintu rumahnya.
Boru Sarunding beranjak dari duduknya
lalu membukakan pintu untuk suaminya.
Setelah itu, dia menjelaskan tentang ular
besar yang dilihatnya di halaman
rumahnya. “Tidak apa-apa itu, ular yang
baik itu,” jawabnya sama Boru Sarunding.
Perilaku suaminya sangat baik dan
berusaha membahagian istrinya Boru
Sarunding setiap hari. Dia tidak
mengijinkan istrinya bekerja dan
memanjakannya, selalu disiapkannya
pekerjaannya dengan cepat-cepat.
Suaminya sangat pintar bercanda dan
berusaha mencari bekal sehari-hari dan
menyediakan tumbuhan sebagai perawatan
kecantikan Boru Sarunding sehingga tetap
cantik.
Namun, Boru Sarunding selalu bertanya-
tanya dalam hatinya tentang kebiasaan-
kebiasaan suaminya setiap hari. Suatu
ketika dia tidak sengaja melihat suaminya
di plafon belakang rumahnya bergantu ujud
menjadi sesekor ular besar. Sangat besar,
seperti ular yang pernah di lihatnya
melintas dari depan rumahnya. Namun, dia
pura-pura tidak melihanya karena takut
ularnya bisa marah. Ular itu keluar dari
rumahnya menuju hutan, tinggallah Boru
Sarunding di rumah sendirian. Dia sangat
ketakutan dan menyesal menerima lamaran
suaminya padahal belum diteliti siapa
sebenarnya pria yang dihadapinya.
Sore harinya, suaminya pulang membawa
bekal berupa buah-buahan, sayur-sayuran,
daging rusa, daging babi utan, burung, dan
yang lain-lain. Setelah mereka selesai
makan, suaminya berbicara kepada Boru
53
manghatai ma tunggane doli nai tu boru
Saroding. Dipaboa ibana ma ise do dirina,
ima sombaon ni Ulu Darat, na sipata gabe
ulok sipata gabe jolma. Dang pola
dipataridahon Boru Saroding songgot ni
rohana, mengkel suping sambing do ibana
tu lahi-lahi nai patudu holongna, tung pe di
bagas rohana nungnga mansai biar jala
manolsoli. Las ma tutu roha ni lahi-lahi i
mamereng boru Saroding.
Sada tikki ro ma duatsa akka iboto ni boru
Saroding mangebati halahi tu dolok ni Ulu
Darat. Ai sai masihol do inna halahi
marnida iboto hasian ni halahi. Las hian ma
rohani boru Saroding didalani akka hula-
hulana harangan di dolok na timbo jala
ikkon mangalosi tombak namansai jorbut.
Dilehon do akka sipanganon natabo tu akka
iboto nai, sombu jala puas do halahi
namaribot manghata-hatai dohot
marsipanganon. Mandapothon bot ni ari,
diboto boru Saroding do parroni tunggane
doli na sian tombak langa-langa. Mabiar
ma ibana molo tarboto tu lahi-lahi na
sombaon i na ro akka iboto na
mandapothon halahi marsihol-sihol, alana
diboto ibana do siallang jolma do ibana
molo tikki gabe ulok.
Sian nadao pe nunga diboto ibana soara ni
ulok i, mardisir-disir do soarana.
Humalaput ma boru Saroding manabunihon
ibotona natolu i tu ginjang ni para-para,
martabuni di toru ni bukkulan ni jabu, asa
unang dibereng tunggane doli na i. Sahat
ma tu jabu amanta na i, alai pintor songon
na asing ma panganggona. “Ai songon na
adong uap ni pamatang ni manisia
huanggo?” inna ibana manukkun boru
Saroding.
Busisaon ma boru Saroding, humalaput ma
ibana mambahen sipanganon ni lahi-lahi
nai. Dung sidung marsipanganon, modom
ma halahi. Alai anggo mata dohot igung ni
tunggane doli nai sai maos do momar jala
dipasittak-sittak ala adong inna uap ni
Sarunding. Dia berterus terang siapa
dirinya, yaitu penguasa Ulu Darat, yang
terkadang berujud ular dan berujud
manusia. Boru Sarunding tidak
menunjukkan rasa keterkejutannya. Dia
hanya tersenyum kepada laki-laki yang
sudah dipilihnya menjadi suaminya.
Padahal di dalam hatinya sangat ketakutan
dan sangat menyesal. Melihat senyum
Boru Sarunding, Suaminya senang dan
merasa lega karena dia berpikir istrinya
dapat menerimanya dengan apa adanya.
Suatu ketika, kedua asudara Boru
Sarunding datang berkunjung ke Bukit Ulu
Darat. Mereka sangat merindukan saudara
perempuan satu-satunya yang mereka
sayangi. Boru Sarunding sangat senang
dikunjungi oleh saudara laki-lakinya
walaupun harus melewati hutan belantara
yang sangat angker, bukit yang tinggi.
Mereka sangat senang karena bisa bertemu
dan makan bersama serta bercengkrama
dengan saudara perempuannya. Senja hari
sudah mulai tiba, Boru Sarunding sudah
mengetahui suaminya akan pulang dari
hutan belantara. Dia ketakutan jika
suaminya yang bukan manusia
sembarangan mengetahui saudaranya
datang berkunjung karena suaminya adalah
pemangsa manusia kalau berubah menjadi
ular.
Dari kejauhan, Boru Sarunding sudah
mengetahui keberadaan suaminya karena
ular itu mengeluarkan suaru yang berdesir-
desir. Dengan tergopoh-gopoh, Boru
Sarunding menyembunyikan ketiga saudara
laki-lakinya ke atas perapian di bawah
bubungan rumahnya sehingga tidak dilihat
oleh suaminya. Setelah suaminya sampai
ke rumah, Penciuman suaminya terasa
ganjil. “Seperti ada bau manusia aku
cium?” katanya kepada Boru Sarunding.
Boru Sarunding gelisah dikemasinya
hidangan makan malam suaminya dengan
tergesa-gesa supaya tertutupi maksudnya.
Setelah selesai makan, mereka tidurlah.
54
jolma di jabu i. “Dang adong halak na
asing di jabutta on,” inna Boru Saroding,
“Modom ma hita, nungnga mansai bagas
be borngin!” Alai sai lulu do tunggane nai
di uap ni manisia i.Ba ujung na rupani,
mardongan biar dipaboa boru Saroding ma
naro do hula-hula ni halahi sian Samosir
ala masihol mamereng halahi nadua.
“Sombakku ma tunggane doli!” inna ibana
mangelek, “Paloas ma akka ibotokki
mandulo hita. Ai holan alani namasihol do
hula-hulattai asa ro halahi tu tu dolok Ulu
Darat on.”
Ujung na rupani didok baoa i ma asa dijou
tolutsa iboto ni boru Saroding i asa tuat tu
bagas ni jabu sian partabunion nasida di
toru ni tarup. Marsijalangan ma hasida, jala
borngin i gabe holan namanghata-hatai ma
sahat tu manogot. Dung binsar mataniari
marsakkap ma borhat akka Pandiangan
natolu i mulak tu Samosir.
“Ai aha do lehononmu na lae tu hami
songon boan-boan nami tandani naung
niebatan huta muna boru nami?” inna
sahalak Pandiangan iboto ni boru
Saronding i. “Nauli ma Raja nami!” inna
baoa i mangalusi. Dilehon ibana ma sada-
sada be gajut nagelleng naung marrahut tu
akka hula-hula nai. Alai didok ibana ma,
“Holan on do pe naboi tarpatu au raja nami,
alai unang pintor bukka hamu gajut on di
dalan manang dung sahat hamu tu huta
muna. Dung pitu ari pe asa boi ungkapon
muna gajut on.” diundukhon akka iboto ni
Boru Saroding ma hatani lae nai. Mulak ma
halahi tuat sian dolok Ulu Darat, marsolu
ma muse sahat tu Samosir. Dung sahat
halahi di huta nasida, dipatorang ma rupani
tu inanta na be pardalananni nasida jala
dipatuduhon ma boan-boan na nilehon ni
lae nasida.
Songon na marungut-ungut ma sada
Pandiangan on alana holan gajut nagelleng
naso diboto isi na do di lehon lae nai tu
hasida, hape nungnga loja halahi mangebati
Namun, mata dan hidung suaminya masih
mencari-cari sumber bau manusia itu.
“Tidak ada manusia asing di rumah kita
ini,” kata Boru Sarunding, “Tidurlah kita
sudah larut malam!” tetapi suaminya tetap
mencari-cari sumber bau manusia itu.
Akhirnya, Boru Sarunding memberita-
hukan kedatangan saudara laki-lakinya
(hula-hula) dengan rasa ketakutan karena
rindu untuk melihat mereka berdua.
“Ampun suamiku!” katanya dengan
memelas, “Ijinkanlah dan perkenankanlah
saudara laki-lakiku (hula-hula) berkunjung
ke rumah kita ini. Kedatangan mereka
(hula-hula) ke Dolok Ulu Darat didorong
rasa rindu.”
Akhirnya, Boru Sarunding memanggil
ketiga saudaran supaya turun ke bawah dari
persembunyiannya. Mereka bersalaman
dan sepanjang malam mereka berbincang-
bincang samapai pagi hari. Setelah
matahari terbit, ketiga Pandiangan
berkeingan pulang ke Samosir.
“Apa yang bisa Abang ipar berikan oleh-
oleh yang akan kami bawa sebagai tanda
kami sudah sampai di perkampungan
saudara perempuan (boru) kami?” kata
salah satu Pandiangan saudara Boru
Sarunding. “Baiklah Rajaku!”
katasuaminya. Dia memberikan masing-
masing Pandiangan satu sumpit kecil yang
terikat. Lalu dia berkata, “Hanya ini bisa
kuberikan kepada raja hula-hula, tetapi
sumpit ini jangan langsung dibuka di
tengah jalan atau setelah sampai ke rumah
kalian. Setelah tujuh hari baru bisa dibuka
sumpit ini.” Diamini saudara Boru
Sarunding perkataan iparnya. Mereka
pulang turun dari bukit Ulu Darat, naik
perahu menyeberang sampai ke Samosir.
Setelah samapi mereka di
perkampungannya, mereka mejelaskan
perjalanan mereka kepada istrinya masing-
masing lalu ditunjukkan oleh-oleh yang
dibawanya.
Salah satu dari Pandingan bersungut-sungut
karena oleh-oleh yang diberikan iparnya
55
tu dolok Ulu Darat. Jeppet ma sarito, sada
Pandiangan on dang sabar paimahon pitu
ari songon natinonahon ni lae nai.
Marsogot nai pintor di suru ma inanta be
mambukka gajut i asa tarboto manang aha
do isana. Alai molo anggina siampudan
(molo so sala), sabar do paimahon pitu ari,
jai dang dibukka ibana gajut na ditiopna.
Tek ma rupani, holan dibukka ibotoni Boru
Saroding gajutiholan tano, hotang, hunik,
dohot akka gulok-gulok do isina. Muruk
ma ibana, diburai ma tunggane doli ni
ibotonai jolma nasomaradat. “Ba hea do lak
songon on ma lehonon na tu hula-hula na?”
inna halahi mardongan rimas. Dibolokkon
ma gajut i. Sai dijujui ma asa anggina na
sada nai mambukka gajut i, sarupa do isina
manang dang. Alai martahan do anggina i
dang mambukka gajut i sampe pitu ari.
Di ari papituhon, dibukka ma gajut i di
alaman ni huta. Pintor haruar ma godang
akka gulok-gulok, alai dang sadia leleng
gabe horbo dohot lombu ma gulok-gulokhi.
Tung mansai godang do horbo dohot lombu
i, sampe do ponjot alamani ni huta i. Hunik
nasian gajut i pe gabe mas, markilo-kilo
godangna, jala gabe godang ma tubu
hotang di pudi dohot panimpisan ni jabu.
Dang pola leleng, gabe mamora jong attong
iboto ni boru Saroding nasasada on. Sinur
nang pinahan, gabe naniulana, jala godang
mas nang hotangna. Hata ni legenda, sahat
tu sadari on, pinompar ni Pandiangan on
ma nahasea jala akka namora.
Dung hira-hira piga bintang (najolo, dang
bulan di dok, bintang do. Jadi sabintang,
sarupa mai sabulan di saonari), dipangido
Boru Saroding ma tu tunggane na asa
dipaloas ibana mandulo huta ni natorasna,
ala tung mansai masihol ibana inna. “Hatop
pe au mulak!” inna ibana do mangelek, asa
dipaloas tunggani doli na. Songon na borat
do diundukhon lahi-lahi nai pangidoanni
boru Saroding. “Adong gorakhu dang na
laho mulak be ho tu Ulu darat on,” inna
tunggani doli nai. Sai dielek-elek Boru
hanya sumpit kecil yang belum tahu apa
isinya, padahal mereka sudah lelah
menempuh jalan ke Bukit Ulu Darat.
Pendek cerita, salah satu dari Pandiangan
tidak sabar menunggu samapai tujuh hari
seperti pesan iparnya. Besoknya, dia
menyuruh istrinya membuka sumpit supaya
mereka tahu apa sebenarnya isinya.
Namun, adiknya yang paling bungsu tidak
mau memebuka sumpit miliknya. Setelah
sumpitnya dibuka, Rupanya sumpit
tersebut hanya berisi tanah, rotan, kunyit,
serta ulat (larva). Mereka marah lalu
mengutuki suami Boru Sarunding tidak
beradat. “Lho kok seperti ini diberikan
kepada pihak hula-hula?” kata mereka
dengan marah lalu sumpit itu dibuang.
Mereka membujuk adiknya yang paling
bungsu membuka sumpit bagiannya,
apakah sama isinya atau tidak. Namun,
adiknya tidak mau membukanya sampai
hari ketujuh seperti yang sudah dipesankan.
Pada hari ketujuh, sumpit si bungsu di buka
di halaman rumahnya. Tiba-tiba banyak
ulat keluar, tetapi tidak seberapa lama
berubah menjadi kerbau dan lembu, sampai
berdesak-desakan karena banyaknya.
Kunyit berubah menjadi emas berkilogram
beratnya, serta rotan yang dicampakkan ke
pekarangannya menjadi tumbuh dengan
subur. Tidak berapa lama, Pandiangan si
bungsu menjadi seorang yang kaya raya,
Panennya berlimpah ruah, ternaknya
berkembang biak, serta rotannya banyak.
Menurut cerita , keturunan Pandiangan
yang satu ini selalu berhasil dan kaya.
Sesudah beberapa bintang (kira-kira
beberapa bulan), Boru Sarunding minta ijin
kepada suaminya untuk berkunjung ke
rumah orang tuanya karena sudah rasa
rindunya ke kampung halamannya. “Aku
aku cepat pulang!” katanya membujuk agar
diijinkan suaminya. Suaminya sangat
keberatan mengijinkan kepergian Boru
Sarunding. “Firasatku, kau tidak akan
56
Saroding ma lahi-lahi nai, marjanji do
ibana dang leleng di huta ni natorasna.
“Sombakku ma raja nami, palias ma i.
Hodo tungganekku, dipasonang-sonang ho
do ahu saleleng on, dung parsonduk
bolonmu au. Pintor mulak pe au,” inna
boru Saroding mangelek. Ala nungnga sai
torus dipangido jala dielek boru Saroding,
ba dipaborhat lahi-lahi nai ma ibana sahat
tu topi tao ni Ransang Bosi.
Sada bulung do inna dibuat lahi-lahi nai
dibahen gabe solu nalaho dalan ni boru
Saroding. Alai didok ma hata na parpudi,
“Boru Saroding nauli!Boru ni raja do ho.
Jadi porsea do au di hatam namandok tung
mansai holong do roham tu au. Jai porsea
do au ikkon hatop do ho mulak sian huta ni
natorasmu. Jai ikkon marpadan do hita
diparborhathon songon mangarahut holong
ni roham tu au.” Diundukhon boru
Saroding ma, jala didok songon on, “Dok
ma padan i tunggane dolikku naburju!”
Dungi didok lahi-lahi nai ma padan songon
paborhathon boru Saroding naung hundul
di solu: “Dekke ni Sabulan tu tonggina tu
tabona, manang ise si ose padan tu ripurna
tumagona.”
Borhat ma boru Saroding, dilugahon ibana
ma solunana sian bulung-bulung i. Tung
mansai tonang do Tao Toba, dang adong
umbak jala alogo pe mansai lambok, langit
pe mansai tiar. Tading ma lahi-lahi nai
manatap sian topi ni tao, bohina tung
lungun do ditadinghon parsonduk bolon na
mansai dihaholongi rohana. Dang pola
sadia dao dope boru Saroding marluga,
manaili ma ibana tu pudi, didok ibana ma
songon on: “Peh…! Bursik maho, ai dang
jolma ho hape. Sombaon do ho! Ulok
nabolon! Unang dirippu ho nalaho mulak
be au tu ho! Palias mai!. Ai so jolma ho…”
Holan sae didok boru Saroding hatana,
pintor ro ma alogo halisunsung dohot udan
na marimpot-impot. Tao ipe pintor timbo
galumbangna. Mabiar jala songgot ma
rohani boru Saroding. Sai dilugai ibana
pulang lagi ke Ulu Darat on,” kata
suaminya. Boru Sarunding tetap
membujuk rayu suaminya dan berjanji
tidak akan berapa lama tinggal di rumah
orang tuanya. “Ampun Raja, aku
pantangkan itu, Kaulah suaminku, kau
bahagiakan selama ini selama menjadi
istrimu. Aku akan cepat pulang,” kata Boru
Sarunding membujuk. Oleh karena bujuk
rayu Boru Sarunding yang sudah merengek
suaminya mengiyakan dan memberangkat-
kan istrinya samapai ke Danau Rassang
Bosi.
Suaminya mengubah daun-daunan menjadi
sebuah perahu untuk ditumpangi istrinya
Boru Sarunding. Kata terakhir dari
suaminya, “Boru Sarunding nauli! Kau
adalah boru raja yang terhormat. Aku akan
mempercayai perkataanmu yang
mengatakan mencintai diriku. Aku percaya
kau akan cepat pelang dari rumah orang
tuamu. Sebelum berangkat, kita harus
berjanji/marpadan sebagai pengikat
kasihmu kepadaku.” Boru Sarunddding
menganggukkannya pertanda setuju.
“Katakanlah janji/padan itu suamiku yang
baik!” Setelah itu, suaminya mengucapkan
padan/perjanjian sebagai kata
pemberanhkatan istrinya. “Dekke ni
Sabulan tu tonggina tu tabona, manang ise
si ose padan tu ripurna tumagona.”
„Ikan dari Sabulan sangat enak dan manis,
barang siapa ingkar janji akan petakalah
nasibnya di kemudian hari‟
Boru Sarunding berangkat
lalumengayuhkan perahu yang terbuat dari
daun-daunan itu. Danau Toba sangat
tenang, tidak ada ombak, angin sangat
tenag, langit pun cerah. Laki-laki itu
tinggal berdiri di tepi pantai menatapi
kepergian istrinya. Wajahnya
menunjukkan kesedihan karena
ditinggalkan istrinya yang dikasihinya.
Tidak berapa lama Boru Sarunding yang
berlayar, dia menatap suaminya ke
belakang lalu dia berkata, “Peh...! Ternyata
Kau bukan manusia, Hantu kau rupanya!
57
solu nai alai dang tolap mangalo umbaki.
Dang sadia leleng pintor balik ma solu na,
manongnong ma ibana jala gabe dohot ma
ibana sombaon pangisi ni tao i.
Sahat tu sadari on dihaporseai sabagian
pangisini Rassang Bosi, Dolok Martahan,
Sabulan, Palipi, Mogang, Hatoguan, Janji
Raja, Tamba, Simbolon, dituri-
turianhondohot nagabe boru Saroding
pangisini tao i. Sai manat-manat do halak
molo mangalewati tao i, dang boi
marsitijur, dang boi mambolokhon akka na
kotor tu taoi, jala unang tuit-tuit molo pas
marsolu, markapal, manang marbot. Jala
lahi-lahi ni boru Saroding gabe dijouhon do
i “Amangboru Saroding.” Alani holong na
tu boru Saroding, sipata tuat do inna ibana
sian Ulu Darat tu tao i. Bahat do inna halak
naung hea mamerengulok na saganjang hau
ni harambir/kalapa do inna marlange-lange
di tao i.
Di Sabulan pe, apala di topi ni dolok Ulu
Darat i, di huta Pandiangan, adong do sada
inganan namargoar “Parpangiran ni
Namboru Boru Saroding.” Buni do inganan
on, godang hian dope hau songon tombak.
Alana sian na met-met nunga manusia na
sok ingin tahu au, nungnga hudalani
inganan on, hutogihon akka ito, namboru,
inangudakku, alana au sandiri pe mabiar do
mardalan sandiri tusi. Adong do sada hau
nabolon di ginjang ni mual na diyakini
akka jolma (akka pangula ni huria) songon
inganan parpangiran ni boru Saroding.
Percaya tidak percaya, di ranting ni hau i
tubu utte pangir (jeruk purut), semacam
tanaman benalu, alai dang boi buaton i.
Tokka do inna molo dibuat, olo ro
parmaraan. Alai molo maruntung do naro
tu si, pintor dabu do annon anggir i, diboan
ma i tu jabuna be.
Ujudmu ular! Kupantangkan! Kau bukan
manusia rupanya...” Setelah Boru
Sarunding berkata, tiba-tiba angin
berhembus topan dan hujan turun sangat
lebat. Danau itu menjadi hiruk pikuk
omabak besar. Boru Sarunding terkejut
lalu ketakutan. Dia berupaya
mengayuhkan perahunya, tetapi tak
berdaya. Tak berapa lama , perahunya
tenggelam dan karam sehingga menjadi
penunggu Danau Toba.
Sampai hari ini, masyarakat Rassang Bosi,
Dolok Maratahan, Sabulan, Palipi,
Mogang, Hatagoan, Janji Raja, Tamba,
Simbolon, masih dikisahkan bahwa Si Boru
Sarunding adalah salah satu penghuni
Danau itu. Masyarakat tersebut di atas
sangat hati-hati jika melintasi Danau itu.
Mereka sangat berhati-hati melintasi danau
tersebut dan menjauhi atau memantangkan
memantangkan meludah, tidak bisa
membuang sampah semabarangan, serta
jangan berlaku genit-genit kalau di atas
kapal. Sebutan kepada suami Boru
Sarunding selalu oleh masyarakat sekitar
adalah “Amangboru Sarunding.” Oleh
karena, Kasih sayangnya kepada Boru
Sarunding, Ular itu terkadang turun dari
Ulu Darat ke danau. Menurut cerita,
banyak orang menyaksikannya besarnya
seukuran kelapa berenang di danau.
Di perkampungan Sabulan, di Tepi Bukir
Ulu Datar, ada tempat yang dinamai
“Permandian Namboru Boru Sarunding.”
Tempatnya tersebunyi, masih ditutupi
banyak pohon besar sehingga seperti hutan.
Sejak kecil, saya sudah memiliki sifat ingin
tahu sehingga tempat ini sudah pernah saya
jalani, kuajak namboruku (saudara
perempuan ayah), istri adik bapakku (inang
uda) karena kalalu aku sendiri ke sana
mungkin takut. Ada satu pohon, di atasnya
tumbuh pohon jeruk purut (seperti
benalu/penumpang) tetapi dipantangkan
untuk diambil kalau diambik bisa saja
terjadi malapetaka. Namun, kalau
58
pengunung itu orang beruntung maka
buahnya akan jatuh sendiri lalu bisa dikutip
dan dibawa ke rumah.
BATU PARBIUSAN
Wujudnya: Batu Berbentuk Altar , Mata Air , Pohon, Waduk
Lokasi: Aek Sipitu Dai Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: A. Sagala
Umur : 60 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Di hatiha mandonghon, bolo naeng manomba
ompu mulajadi na bolon ingkon boanon ma ulu
ni horbo, itak, napuran, dohot haminjon dohot
sijagaron. Jala di ginjang di Batu na gabe sapa
ni namulajadi nabolon bahehonon. Unang
disegai hamu mual i, jala ingkon ias do bahenon
muna asa mangurasi Mulajadi Na Bolon tu
sasude.
Alkisah itu bercerita, jika ingin menyembah
Tuhan harus dibawa kepala kerbau, sagun, sirih,
serta kemenyaan dan sijagaron. Persembahan
itu diletakkan di atas Batu, yang menjadi
pinggan. Jangan dirusak, serta harus
dibersihkan sehingga dewa-dewa memberkati
kita semua.
HARBANGAN
Wujudnya: Batu, mata air, Pohon, Waduk
Lokasi: Aek Sipitu Dai Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: A. Sagala
Umur: 60 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Harbangan laho tu Pussuk Buhit, di si jonjong
ma angka ulu balang ni Ompu i, tolu mai i
sabola hambirang, jala opat mai sabola siamun.
Adong do hau lao pasioan ni angka ulu balang i,
jala di toru i adong mual pa lua uas ni angka ulu
balang i. Tona ni ompu i unang dirantingi hau
i, jala mual i ingkon urasonmu. Bolo ro tu luat i,
Gerbang menuju ke gunung Pussuk Buhit, di
sisinya dipercayai i ada berdiri dewa penjaga
Mulajadi Nabolon. Terdiri dari tiga berdiri di
sebelah kiri dan empat di sebelah kanan. Ada
pohon yang menjadi tempat berlindung para
penjaga, serta ada mata air yang berfungsi
sebagai pelepas dahaga para penjaga. Pesan
59
unang margabus jala unang adong tahi-tahi na
jat.
para dewa, jangan ditebangi pohon itu, mata air
tersebut harus dipelihara. Jika datang ke daerah
itu, jangan berbohong serta jangan ada niat-niat
yang jahat.
BATU LAGE-LAGE
Wujud: Batu, Mata Air, Pohon
Lokasi: Aek Sipitu Dai Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber: Mariston Sihole
Umur: 55 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Parhundulan ni Namartua Pussuk Buhit, bolo
dipalu gondang. Diginjang batu lage marlampis
lage tiar ma ompui Namartua Pussuk Buhit.
Dungi diparade ma angka silua na songon
napuran tiar, parbue sakti, miak-miak (tolor),
sawan dohot utte di bagasan . Tuturni si lua i
songononma parbue opat tangkar, napuran tiar
tolu tampuk, ringgit suhi ni ampang na opat,
sada namarmiak-miak manang tolor, jala sada
unte pangurasna. Ditonggohon ma tu Mulajadi
Na Bolon Na Tumumpa langit dohot tano. Bolo
ro tu luat on ingkon dibagasan hahomion jala
ingkon ias do roha dohot pardagingon.
Kursi tempat duduk Dewa Pussuk Buhit ketika
gondang dibunyikan. Di atas Batu Lage/Batu
tikar duduk dewa Pussuk Buhit. Lalu di
persembahkanlah sesajen berupa sirih, beras,
telur, cawan, jeruk purut didalammnya.
Uraiannya sesajen tersebut terdiri dari empat
muk beras, sirih tiga daun, uang koin empat,
telur satu, serta satu jeruk yang berfungsi
sebagai pemerciknya . Lalu diberikan lewat doa
(tonggo-tonggo) kepada Dewa pencipta langit
dan bumi. Kalau berkunjung ke mari harus
berniat baik jasmani dan rohani.
60
Batu Tangga/Batu Martinggi-tinggi
Wujud: Batu yang tersusun rapi seperti tangga menuju Gunung Pussuk
Buhit
Lokasi: Desa Simarrihit Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: Julius Sihole
Umur: 61 tahun
Penduduk: Sinta Dame Kec. Sianjur Mula-mula
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Batu hasahatan ni Ompu i Si Anjur Mula-mula,
mula ni Batak sian langit ni parlangitan na
marhit-hite ombun, laho mangalap Ompu Siraja
Geleng Gumeleng naeng diboan Ompu Mula
Jadi Nabolon tu Pussu Buhit laos di si ma
ditompa hasaktion ni Ompu Siraja Geleng
Gumeleng. Jala di Batu Tangga i ma tinjang
simanjojak ni Ompu Mula Jadi Nabolon marhite
ombun. Jala ditonahon ompu i do asa diuras
tangga dohot ingananna rasa sadarion.
Batu Hasahatan adalah tempat pertama asal
muasal Si Anjur Mula-mula, yang diyakini
nenek moyang pertama suku Batak toba yang
diturunkan dari langit lewat media embun.
Pada saat itulah Si Anjur Mula-mula
menjemput Si Raja Geleng-gumeleng yang
cacat tidak bisa berdiri menuju ke puncak
Gunung Pussuk Buhit. Dan di batu ini lah
diberikan Si Anjur Mula-mula memberikan
kesaktian Si Raja Geleng-gumeleng sehingga
bisa mencapai puncak. Pesan Si Anjur Mula-
mula agar dipelihara tangga batu tersebut dan
masih diyakini dan dilaksanakan sampai
sekarang.
AEK BARINGIN
Wujud: Mata air yang bersumber dari sela-sela batu-batu dan dua
kali dalam setiap tahun, yaitu bulan Agustus dan Oktober
air tidak mengalir.
Lokasi: Desa Aek Baringin Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: Apa Lusin Sagala
Umur: 62 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Laho margondang Dudu, hundulma
pargossi ni Ompu Namartua Pussuk Buhit,
Namartua Simanuk-manuk mandompakkon
Pergi mengadakan gondang Dudu,
Tukang musik gondang, Dewa Pussuk
Buhit, Penguasa si Manuk-manuk duduk
61
batu gondang, huhut tubu do Bintatar, Jabi-
jabi, baringin, Tudak-tudak, Sona. Jala di si
ma humaliang angka Raja Parbaringin.
Laos di si ma mangido sigabe naniula sai
sinur pinahan. Jala ala ni i do asa
ditonahon Raja Parbaringin sada siingoton
ni angka pinomparna, namargoar Aek
Baringin. Dibagasan sataon tolu bulan
marsik. Jala di baringin ma diborothon
hoda Debata ditingki margondang. Jala
huling-huling ni hoda debatai dibahen gabe
ragin. Sahat tu sadari on dipahatutu jolma
dope i jala torus do diuras.
menghadap batu gondang, yang
ditumbuhi pohon Bintatar, Jabi-jabi,
Baringin, Tudak-tudak, Sona. Para Raja
Baringin juga hadir berkeliling pada saat
upacara. Pada saat itu, permintaan peserta
upaca adalah panen melimpah, ternak
sehat-sehat dan beranak pinak. Oleh
karena itu, Raja Parbaringin berpesan
kepada generasinya supaya menghormati
air, yang namanya Aek Baringin. Pada
masa satu tahun air ini tiga bulan kering.
Pohon beringin berfungsi sebagai wadah
mengikat kuda debata pada saat
mengadakan gondang. Kulit kuda
deabata dibuat menjadi patung kuda yang
lama kelamaan menjadi batu. Sampai
sekarang masih disakralkan dan
dipelihara.
BATU GORDANG
Wujud: Batu-batu besar ditopang akar-akar pohon, menurut cerita
batu tersebut dapat mengeluarkan bunyi seperti Gordang dan
mempunyai stik/alat pemukul. Dipercayai kalu batu
tersebut dibuang ke lain tempat akan kembali dengan sendirinya.
Lokasi: Desa Sipitu Dai Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: Op. Gokma Sihole
Umur: 70 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Batu on do gabe taganing dipakke pargossi no
Ompung Namartua Pusssuk Buhit bolo masa:
1. Mangkalang Gordang
Diborothon ma di sangkalan babi
siroppur dibahen bane-bane na
Baringin. Laos ima ditortori
Batu ini menjadi taganing dipakai para
pemusik/Pargondang Dewa Pussuk Buhit kalau
ada acara:
1. Mangkalang Gordang
Babi Siroppur diikatkan di
Sangkalan/tempat pemotongan serta
62
parbaringin laho pasahatton tu Ompu
Namartua Pussuk Buhit.
2. Mangalahat Horbo Bius
Diborothon ma di borotan horbo bius
dibahen bane-banena baringin. Laos
ima ditortori raja bius laho pasahatton
tu Ompu Namartua Pussuk Buhit.
Dung i dipature ulian ni Ompu i ima
ulu na jala dipasahat ma di batu
parbiusan.
3. Mangalahat Hoda Debata
Diborothon ma di borotan hoda debata
dibanen ma bane-bane na baringin, laos
ima ditortori jala ditonggohon Raja
Parbaringin laho pasahaton tu Ompu
Namartua Pussuk Buhit, dungi dipauli
ma ulian ni Ompu i, ima ulu na dibahen
ma gabe sipitu dai dohot huling-huling
na dibahen ma gabe ragin. Di masa
sonari on bolo mangkuling batu
gondang di rondang ni bulan ingkon
adong ma natua-tua na marujung ngolu,
jala bolo mangkuling batu gordang
dohot manjoai (manggora) pargotsi di
rondang ni bulan ingkon adong ma
natua-tua raja sipitu tali (parbaringin).
Tona ni ompu tu ganup manusia asa
gabe tanda mai batu gordang i jala
ingkon urason doi.
rangting dan dedaunan beringin menjadi
bane-bane/penghiasnya. Setelah itu
para pengikut Parbaringin menari-nari
untuk mempersembahkannya kepada
Dewa Pussuk Buhit.
2. Mangalahat Horbo Bius
Kerbau persembahan diikat ke
tambatannya dihasi ranting dan
dedaunan beringin. Mereka manari-nari
ketika ingin menyampaiakan
persembahan kepada Dewa Pussuk
Buhit. Setelah itu, kepala kerbau
disisihkan menjadi bagian dari para
Dewa dan diletakkan di atas batu
parbiusan
3. Mangalahat Hoda Debata
Hoda Debata/kuda diikat di tambatan
dan dihiasi dengan ranting dan
dedaunan baringin sambil menari-nari
dan didoakan dalam bentuk mantra-
mantra ketika menyampaiakan
persembahan kepada Dewa Pussuk
Buhit. Setelah itu, disediakan bagian
kepala kuda sebagai bentuk
persembahan kepada dewa dan kulit
dibuat menjadi patung. Pada masa
sekarang, kalau batu gondang berbuyi
itu pertanda ada orang tua akan
meninggal. Dan ketika berbunyi pada
malam bulan terang langsung ada
melakukan mantra raja parbaringin.
Pesan Oppu itu setiap masyarkat
sekitarnya agar dijadikan batu itu
sebagai tanda dan harus dijaga
kesuciannya.
63
BATU PARHUSIP
Ujud: Batu, yang diyakini tempat si Boru Pareme dengan
Saribu Raja bercengkrama
Lokasi: Desa Siarsam Sarri Marihit Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: Op. Bintang Sihole
Umur: 70 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Saribu Raja mandapot hasaktian songon dorma
sijunde dungi dipahe ibana ma hasaktian alana
nunga leleng dang marhasohotan ibana jala tung
mansai bakkol do pajumpa dohot namarbaju uju
i. Dorma nai dibahen ma tu si Boru Pareme ima
ibotona satubu di Paret Sabungan. Dungi
maroha-roha manasida namariboto satubu.
Mambege barita i muruk ma angka haha
anggina namargoar Sagala Raja, Silau Raja,
Limbong Mulana. Martahi halami natolu laho
mamusa dohot pamatehon Saribu Raja. Alai
tahi ni nasida nunga diboto Saribu Raja jala lari
ma ibana tu Batu Nanggar jala si Boru Parema
tinggal di Batu Parhusipan. Alani i rasa tu
sadari on godang ro jolma mamereng i alai dang
boi hurma-hurma.
Saribu Raja berhasil memperoleh kesaktian
pelaris lalu dipakainya karena dia belum kawin.
Pada masa itu sulit menemukan gadis karena
masih terbatas manusia. Saribu Raja
menggunkan pelarisnya kepada si Boru Pareme
adik kandungnya sehingga mereka melakukan
perkawinan terlarang. Sagala Raja, Silau Raja,
Limbong Mulana saudara kandung laki-lakinya
marah mendengar berita ini. Mereka bertiga
berencana membunuh Saribu Raja. Namun,
informasi terlanjur sudah diketahui oleh Saribu
Raja maka larilah dia ke Batu Nanggar dan si
Boru Pareme tingga di batu Parhusipan. Oleh
karena itu, banyak orang berjiarah ke tempat ini
sampai sekarang tetapi tidak boleh
sembarangan.
64
MUAL SITONGGI-TONGGI
Wujud: Pancuran Air, Jabi-jabi dan Aren
Lokasi: Huta Lumban Tonga-tonga, Sabulan,
Kec.: Sitio-tio
Sumber Data: S. Pandiangan
Umur: 65 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Dung Sabulan si Boru Pareme dohot Raja
Lontung di Batu Bolon Sitapi-tapi, dungi
martahi ma nasida manorusson pardalanan na tu
Ulu Darat mangihut-ihut rura. Dungi mauas ma
nasida jala maradi di sada mual namargoar
Sitonggi-tonggi. Dung diinum si Raja Pareme
dohot Raja Lontung mual i sombu ma uasna
dungi ditoruson ma pardalanan na marhite
Sipaltugan sahat tu Banua Raja. Rasa tu ari
sadari on sai hatindakkon jolma do mual palua
uas dohot sihol. Dai ni aekna muba jadi asom
bolo dang suman pangalaho ni na ro i.
Setelah sebulan si Boru Pareme dan Si Raja
Lontung di Batu Bolon Sitapi-tapi, mereka
berencana melanjutkan perjalanannya ke Ulu
Darat melalui tebing-tebing gunung. Mereka
haus dan istirahat minum air yang bersumber
dari mata air namanya Sitongi-tonggi. Setelah
mereka minum lepaslah dahaga dan segar
kembali lalu dilanjutkan perjalanannya lewat
Sipaltugan menuju Banua Raja. Sampai
sekarang, orang masih meyakini kesaktian air
tersebut dapat sebagai pelas dahaga dan
kerinduan. Oleh karena itu, Banyak orang
mengunjungi untuk mengambil airnya. Rasa
airnya akan berubah menjadi asam kalau ada
pengunjung berniat tidak baik.
BATU BOLON SITAPI-TAPI
Wujud: Batu
Lokasi: Sabulan
Sumber Data: J. Situmorang
Umur: 70 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Hatiha madonghon, dungi marsuru ma inong ni
Raja Lontung namargoar si Boru Pareme asa
laho tu jabu ni tulang na laho mambuat boru ni
tulangna. Ditunahon si Boru Parema ma tu Raja
Lontung asa ditodo ibana boru ni tulang na i na
Saran Ibunda Raja Lontung agar pergi ke rumah
pamannya untuk mempersunting anak gadisnya.
Boru Pareme berpesan agar memilih anak
gadisnya pamannya yang rupanya mirip dengan
waja, dan rambutnya. Boru pareme
65
suman tu inongna Si Boru Pareme. Asa unang
salah todo dilehon Si Boru Pareme ma tintin tu
anakna Si Raja Lontung. “Manang na ise sian
boru tulang mi na boi mamahe tintin on, ima
todo nalaho parsonduk bolonmu!” ninna Si
Boru Pareme tu anakkonna Si Raja Lontung.
Dungi sahat ma Si Raja Lontung tu Limbong
Mulana, tumpu pajumpang ibana tu sada
namarbaju apa suman tu inong na Si Boru
Pareme. Dijou si Raja Lontung ma namarbaju i
jala dielek asa dipahe ibana tintin nadileon ni
inongna Si Boru Pareme tupet dos ukuranna
laos digogothon si Raja Lontung ma asa gabe
parsonduk bolonna. Diboan Si Raja Lontung
ma borua nagabe parsonduk bolonna i sian
Limbong laho tu Ulu Urat. Dungi diboan Si
Raja Lontung ma borua nagabe parsonduk
bolanna i marhite Sabulan dang be mangalewati
huta hatubanna alana dipangidohon borua
parsonduk bolon nai do songoni. Sahat ma
nasida nadua tu Sabulan ima Batu Bolon Sitapi-
tapi. Dang sadia leleng, holsoanma borua i,
bohama i bolo diboto Si Raja Lotung parsonduk
bolonna i si Boru Pareme do ima inong
pangitubuna. Dungi ditogihon Si Boru Pareme
ma Si Raja Lontung tu jampalan laho
marpadan, songonon ma padanna
“Batu na bolon, batu na gilling parsoburan ni si
Tapi-tapi; mate na bolon mate nagilling na so
adong si ombus api, ise si ose janji” udutna
“Dengke ni Sabulan tu tinggina tu tabona;
manang na ise si ose padan ,tu ripurna tu
magona.” Las sian i ma mulana batu i didokma
batu parpadanan natogu jala na soboi umpaton.
memberikan cincin kepada anaknya Raja
Lontong agar dipakaikan nantinya kepada anak
gadis pamannya sehingga tidak salah pilih.
Setelah sampai si Raja Lontung di Limbong
Mulana, beliau bertemu dengan seorang gadis
(si Boru Pareme/ibu kandungnya) yang mirip
dengan ibunya lalu dia memohon supaya si
gadis tersebut mecoba memakaikan cicin yang
diberikan ibunya ternyata ukurannya sama
dengan jari ibunya.
Si Raja Lontung membawa perempuan itu dari
Limbong ke Ulu Urat. Namun, lintasan
perjalan mereka bukanlah dari perkampungan
orang tuanya melainkan lewat Sabulan sesuai
dengan permintaan perempuan yang dibawanya.
Mereka tiba di Sabulan di Batu Bolon Sitapi-
tapi. Setelah beberapa lama, perempuan itu
gelisah ketakutan, bagaimana kalau si Raja
Lontung bahwa yang diperistri itu adalah Si
Boru Pareme yang sekaligus ibu kandungnya.
Si Boru Pareme pun mengajak si Raja Lontung
berjanji dan bersumpah, yang diucapkan seperti
berikut ini:
“Batu na bolon, batu nagilling parsoburan ni si
tapi-tapi; mate na bolon mate nagilling, na so
adong si ombus api, ise si ose janji” dan
dilanjutkan lagi “Dengke ni Sabulan, tu
tonggina tu tabon; manang na ise si ose padan,
tu ripurna tu magona.”
“Batu yang besar, batu yang kecil tempat air
minum burung si tapi-tapi; mati dewasa mate
masa kanak, dan tak kan adalagi yang
menghidupkan api, jika janji diingkari”;
„Ikan daerah Sabulan enak dan manis; barang
siapa yang ingkar janji akan punah sampai
66
keturunannya.
Artinya barang siapa yang ingkar janji akan
bernasib punah keturunannya. Demikianlah
batu itu disakralkan sebagai tempat si Raja
Lontung dan si Boru Pareme mengucapkan janji
dan sumpah sambil meletakkan sirih di atas
batu itu sehingga menjadi suami istri yang
langgeng dan bahagia. Mulai dari kisah itulah
dijadikan nama batu parpadanan atau batu
perjanjian yang teguh yang tidah bisa
diruntuhkan.
AEK SITAPANGI Wujud: Rawa berair, yang diyakini sebagai tempat para
bidadari sebagai cikal bakal orang Batak
Lokasi: Desa Huta Ginjang Kec. Sianjur Mula-mula
Sumber Data: Tio br. Limbong
Umur: 70 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Mual Mulajadi natigos ni Opputa Mulajadi
Nabolon nalaho parangir-anggiran ni Boru
Tatan Debata. Di hatiha i mandokkon dang
marhasohotan dope Oppu Tatean Bulan. Laho
mangalangka Oppui tu aek. Di Aek Sitapangi
on ma di ida Oppu Tatean Bulan Boru Tantan
Debata. Dungi tubu ma roha na naeng mambuat
pahean ni Boru Tantan Debata, pola sampe tolu
hali diintip-intip jala monjap-monjap Tate
Bulan laho mamereng Boru Tatean Bulan sian
na dao. Ari paopatton ditabunihon ma sada
pahean sian napitu Boru Tantan Debata i.
Pahean nanibuat ni Oppu Guru Tatean Bulan i
topet pahean ni boru siampudan ni Guru Tantan
Debata ima nargoar Si Boru Sakti. Jala digoari
ma museng di pudian ni ari Si Baso Bolon. Jala
hatana Parhole-holehon bulung sungkit,
parluga-luga bulung sihala, na malo manuturi
jala namar sahala. Alanii ditonahon ompu ido
asa unang disegai jala diuras aek.
Asal muasal air yang turunkan oleh Tuhan
pencipta asal dari segalanya untuk permandian
Boru Tatan Debata. Yang punya cerita
mengisahkan pada saat itu Oppu Tatean Bulan
belum kawin. Oppu itu berjalan ke sungai,
yang dinamakan Aek Sitapangi. Di sungai ini,
Oppu Tatean Bulan melihat sekumpulan gadis-
gadis anak Tatan Debata. Setelah itu, Oppu
Tatean Bulan berkeingin untuk mengambil
pakaian gadis Tatan Bulan Debata. Sudah
sampai tiga kali Boru Tanta Debata diam-diam
diintip-intip oleh Tatean Bulan dari kejauhan.
Pada hari keempat Tatean Bulan mengambil
salah satu pakaian Boru Tatanta Debata.
Pakaian, yang diambilnya ketepatan pakaian
gadis bungsu Tantan Debata, namanya Si Boru
Sakti. Pada kemudian hari akhirnya diberi nama
Si Baso Bolon. Dia digelari berdayungkan
sungkit, berperahukan daun sihala, yang pintar
dan pemberi nasihat serta sakti. Oleh karena itu
jangan dirusak dan harus dipelihara mata air itu.
67
MUAL NI DATU PARNGONGO Wujud: Mata Air di bawah pohon rampa
Lokasi: Desa Tamba Nagodang Cinta Maju Kec. Sitio-tio
Sumber Data: A. Tamba
Umur: 71 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Mual mata sipargogo na dipaturre ni Datu
Parngongo jonok tu binanga na digoari ma i
Binanga Bolon. Tio aekna, duhut, batu dohot
rihit ni tano boi pamalum sahit. Hatiha i
mandonghon adong roha-roha ni na pitu
anakhon ni Datu Parngongo naeng mamuni
ibana. Alana pangalaho ni Datu Parngongo
maradopothon anakna na marimbar.
Gumodang rohana tu anakna parumaenna sian
si Marhatuulubalan. Roha mamunu among na
on dang ditolopi Raja Marhatiulubalang, alai di
rapot dang dipatudu ibana rohana i tu hahana i.
Jumpa ma ari na tinodo nalaho mamunu
natorasna i, marsuru ma Marhati ulubalang tu
angka hahana asa borhat tu dolok asa boi halaki
mamereng Marhatiulubalang manggulangkong
natorasna. Alai diparhaseang
siMarhatiulubalang ma tikki i laho manggali
rura asa adong dalan taripar ni natorasnai asa
unang jadi dipamate. Dungi sai diehai imana
ma amongna jala dipaboa ma tahi na angka
hahana i. Olat ni i martabuni ma nasida asa
malua sian pangujunan i. Mual parninongtan
mai jala mual palua sian hamatean. Alani i
sotung disegai hamu mata ni mual hi.
Mata air bertuah yang diyakini dibuat oleh Datu
Parngongo pada lereng bukit terjal di bawahnya
terdapat sungai yang disebut dengan Binanga
Bolon. Airnya jernih, rumput, batu bahkan
pasir/tanah yang diambil dari sekitar itu
diyakini dapat menyembuhkan penyakit.
Alkisah cerita dimulai adanya rencana ketujuh
anak Datu Paronggo untuk membunuhnya. Hal
ini disebabkan perlakuan Datu Paronggo tidak
adil menurut anak-anaknya. Parasaan anak-
anaknya, Datu Paronggu lebih sayang kepada
menantunya yang paling kecil (si bungsu), istri
dari Marhatiulubalan. Rencana pembunuhan
ayah mereka tidak disetujui oleh
Marhatiulubalang, tetapi dalam rapat dia pura-
pura setuju karena takut dibunuh saudara-
saudaranya. Rencana pembunuhan ayah
mereka tiba, Marhatiulubalang menyuruh
keenam saudaranya ke seberang bukit supaya
dapat menyaksikan Marhatiulubalang
menggulingkan ayah mereka ke dalam gua yang
sudah dipersiapkan selama saudaranya pergi
menyeberangi jurang. Diam-diam dihampirinya
bapaknya lalu diberitahukan niat saudara-
saudaranya. Sejak itu, mereka bersembunyi
sehingga terhindar dari cobaan. Mata air
simbol pelepasan dari kematian. Oleh karena
itu, kamu jangan merusaknya.
DANAU SIDOHONI
Wujud: Danau di atas Perbukitan Pulau Samosir
Lokasi: Ronggur ni Huta Kec. Ronggor Ni Huta
Sumber Data: S. Silalahi
Umur: 73 tahun
Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
Tao Sidohoni ima tao di ginjang ni Tao Toba.
Aekna boi di muba-muba jala godang do angka
halongangan na adong di si. Bolo mahiang aek
ni Tao i laho paboahan na naeng masa ma di
luat i angka barita na hurang denggan. Hatiha
mandokkon mulana Oppung Simalango
marburu dohot marmahaman di parjampalan.
Danau Sidohoni, sebuah danau di Palau
Samosir di atas Danau Toba. Warna airnya
diyakini masyarakat setempat dapat berubah-
ubah dan kering pertanda akan terjadi sesuatu
(biasanya pertanda malapetaka besar). Alkisah
ceritanya, Oppung leluhur Simalango bekerja
sebagai pemburu dan menggembalakan ternak
di parjampalan.
68
JABI-JABI SIHIS/SISANGAPAN
Wujud: Pohon Jabi-jabi
Lokasi: Desa Urat, Kec. Palipi
Sumber Data: L. Situmorang
Umur: 65 tahun
Bahasa Batak Bahasa Indonesia
Hau jabi-jabi di Pomparan ni Situmorang Si
Pitu Ama ima hau parningotan do. Alana di toru
ni hau on do Situmorang pasahat on poda tu
pinomparna na pitu i, ima: Raja pande, Tuan
Ringo, Darimangambil (Sitohang Uruk), Raja
Itubungna ( Sitohang Tonga), Ompu Bana ni
Onan (Sitohang Toruan). Podana asa ma
siamin-aminan jala nasobai marsibuatan.
“Sisada lulu anak ma hamu, si sada lulu boru,
naso jadi marsolian”.
Tona i ditariashon Situmorang tu pinomparna
asa marsitoguan na marhaha maranggi alana
amongni na pahompuna pitu (Ompu Ambalas,
Ompu Parkujaban, dohot Raja Babiat) nunga
monding. Ompung ni halahi pe (Pamoparaja
dohot Parkujabun) nunga monding. Tuan
Situmorang padot do pabalga-balgahon nasida.
Dipasahat Tuan Situmorang do di tonga
mangajana poda jala disuan ma sa jabi-jabi asa
adong parningotan ni pinomparna. Manang na
ise si olo i poda dapotan tua ma ibana rodi
pinomparna. Alai manang na ise si laosi poda
sihisma ibana. Alani i sonari dipajonjong
pinomperna i ma tugu di luat i.
Jabi-jabi ini sangat disakralkan keturunan
Situmorang Si Pitu Ama. Di tempat ini
Situmorang menyampaikan “Poda” (Pesan)
kepada cucunya yang berjumlah tujuh orang,
yaitu: Raja Pande, Raja Nahor, Tuan
Suhutnihuta, Tuan Ringo, Darimangambil
(Sitohang Uruk), Raja Itubungna (Sitohang
Tonga), Ompu Bana ni Onan (Sitohang
Toruan). Isi Pesannya agar keturunan ketujuh
cucunya saling mendukung dan tidak boleh
saling mengawini. Dalam bahasa Bataknya
“Sisada lulu anak ma hamu, si sada lulu boru,
naso jadi marsiolian.”
“Tona” (pesan) itu disampaikan Tuan
Situmorang kepada ketujuh keturunannya agar
mereka saling menguatkan dalam persaudaraan
karena ayah ketujuh cucunya (Ompu Ambalas,
Ompu Parkujabun, dan Raja babiat) sudah
meninggal. Kakek mereka pun, Pamoparaja
dan Ompu Pangaribuan sudah meninggal.
Dengan penuh tanggung jawab dan kasih
sayang, Tuan Situmorang menyampaikan poda
itu, lalu menanam pohon jabi-jabi sebagai
tanda. Bagi mereka yang menuruti poda, pohon
itu akan memberi martabat dan kemuliaan. Dan
apabila mereka melanggar poda, pohon itu akan
membawa sial dan kehidupan terhina (Sihis).
Untuk menghormati dan mengukuhkan poda
tersebut, keturunan si Pitu sada Ama juga
mendirikan tugu di daerah itu.
HARIARA SIDUA TALI (HARIARA MARANAK)
Wujud: Pohon Beringin
Lokasi: Desa Parsaoran, Urat Kec. Palipi
Sumber Data: H. Situmorang
Umur: 70 tahun
Bahasa Batak Bahasa Indonesia
Hariara bolon tubu sasada ibana dang adong na
tubuh bona ni hau manang dohot di
humaliangsa alana tung mansai tungil do tano
di si. Hariara on badia di huta humaliangsa
tarlumobi tu pinompar ni Situmorang dohot
Sinaga. Inganan ni Raja Bius do hariara i. Na
somal sadia godang pe raja na ro tu si laho
Pohon Hariara/Beringin ini tumbuh tersendiri
dan tidak ada tumbuhan lain yang ada di
sekitarnya karena tanahnya gersang. Hariara ini
sangat sakral bagi penduduk setempat terutama
bagi keturunan Situmorang dan marga Sinaga.
Lebih kurang sepuluh generasi yang lalu,
Bius/kumpulan perkampungan mengadakan
rapat atau pertemuan selalu diadakan di bawah
69
horja sai na siat do.
Hau hariara on boi do mangaleon tanda- tanda.
Umpana bolo godang marpungu lali songgop tu
hau i ima boa-boa dang sadia leleng nai ingkon
adong natua-tua monding. Alai bolo soara ni
lali i mingor/gaor ima boa-boa na naeng adong
na monding dakdaknak manang naposo.
Dangka ni hariara dang lobi sian ualu alai olo
do maranak hariara on di luat na asing na adong
pinompar ni Lontung. Bolo aong rapot bius
ingkon ingotonna do tona on asa sada jala asa
rim tahi laho mangulahon angka ula on na be.
pohon ini. Biasanya sebarapa banyak pun
peserta rapat bius tempat tidak pernah
kekurangan di bawah Hariara ini.
Pohon Hariara diyakini masyarakat setempat
dapat memberikan tanda-tanda. Misalnya
burung Elang berkumpul banyak dan
bercengkrama itu pertanda ada orang tua akan
meninggal. Sebaliknya kalau suara burung
elang itu ribut pertanda akan ada meninggal dari
daerah itu seseorang anak, remaja yang
meninggal.
Pohon hariara ini memiliki cabang dari bawah
tidak lebih dari delapan cabang, dan disebut
hariara maranak karena diyakini hariara ini
beranak tumbuh di darah lain di mana
keturunan Lontung berada. Dalam mengambil
keputusan rapat bius pun, mereka terhindar dari
perdebatan yang mengarah kepada perselisihan
antar bersaudara.
SIPALEONGGANG
Wujud: Waduk dan Gua
Lokasi: Desa Simanampang Kec. Ronggor ni Huta
Sumber Data: M. Sitanggang
Umur: 75 tahun
Bahasa Batak Bahasa Indonesia
Sipaleongang songon londut di toruna, di
Timur, di Barat, di Selatan adong Lubang na
balga.
Sipaleonggang merupakan suatu bentuk
kubangan besar di bawahnya, di sebelah Timur,
di sebelah Barat, dan di sebelah Selatan terdapat
satu lubang besar. Pada saat-saat tertentu area
ini dipenuhi air yang sangat banyak, tetapi
terkadang walaupun hujan deras sebentar saja
airnya langsung hilang tidak ada tahu ke mana
airnya mengalir.
70
5.2 Luaran Penelitian (Artikel)
MITOS PODA DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
SEBAGAI PEMBENTUK BUDAYA EKOLOGIS
(Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem)
Dr. Charles Butar-butar, M.Pd.
Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk medeskripsikan hasil hasil investigasi, merekonstruksi, serta
menganalisis poda atau amanat yang terdapat dalam cerita rakyat yang terdapat di
lingkungan Danau Toba. Setelah itu, hasil analisis kontribusi poda dalam cerita rakyat
tersebut sebagai kearifan lokal dapat melestarikan ekosistem daerahnya. Kajian penelitian
ini adalah ekolinguistik, yaitu pembuktian sejauhmana cerita rakyat yang hidup atau yang
pernah hidup dapat menjaga keseimbangan alam. Teori mitos untuk memecahkan masalah
model pelestarian ekosistem dalam poda cerita rakyat di Danau Toba.
Penelitian ini dilakukan di seputaran Pulau Samosir termasuk lingkar luarnya. Responden
yang terpilih adalah penduduk setempat, yaitu orang-orang yang masih mengetahui cerita
tentang situs yang sudah terindentifikasi. Pemilihan responden ini didasari teknik bola
salju, yaitu penentuan respondennya adalah hasil rekomendasi responden yang sudah ada
sebelumnya. Data yang sudah terekam diuji keabsahannya dengan teknik pengujian
kredibiliatas, tranferabilitas, dependabilitas, konfirmabilitas.
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu data berupa verbal bersifat
naturalistik. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik interpratatif, yaitu pemaknaan
sesuai dengan teori yang sudah dirujuk.
Hasil penelitian ini adalah adanya upaya yang diwariskan poda dalam cerita rakyat untuk
menjaga keharmonisan tataguna ruang dengan istilah huta, parik, suha, partangisan,
jampalan; tataguna penangkapan ikan berupa norma, area, penempatan alat tangkap ikan,
dan tala ripe-ripe.
Bab I Pendahuluan
2.1 Latar Belakang Masalah
Makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang bergantung pada eksistensi ekosistemnya.
Namun, faktanya keberadaan danau tersebut semakin lama semakin parah kerusakannya.
Kerusakan hutan dan lingkungan Danau Toba sudah pada tingkat mengkhawatirkan dan
mengancam eksistensi kehidupan semua makhluk hidup yang berada di persekitarannya
juga yang ada di luar Danau Toba. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat yang rendah
dan perilakunya cenderung mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian.
Regulasi penyelamatan Danau Toba sudah banyak digulirkan baik di tingkat tujuh pemkab
(Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo,
71
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi/Papak
barat) yang berada di sekitar lingkungan Danau Toba, dan tingkat Provinsi Sumatera Utara
bahkan di tingkat pusat. Bentuk-bentuk penyelamatan sudah banyak ditawarkan yang
disajikan dalam bentuk workshop, seminar, maupun tindakan ilmiah lainnya. Namun,
usaha-usaha tersebut tidak berhasil karena fakta menunjukkan semakin hari kondisi danau
tersebut semakin memprihatinkan.
Pemanfaatan dan pemberdayaan potensi kekuatan diri masyarakat yang diwariskan secara
turun-temurun, yaitu dalam bentuk tradisi-tradisi perlu direvitalisasi. Tradisi bersahabat
dengan lingkungan merupakan jiwa masyarakat diasumsikan sudah mulai pudar. Upaya
menumbuhkembangkan kesadaran warga sesuai dengan Rencana Induk Penenlitian yang
sudah ditetapkan pihak UMSU, yaitu prioritas I kurun waktu 2016 – 2020 isu lokal/daerah
pemberdayaan masyarakat, pengembangan budaya, komunikasi sosial pembangunan. Oleh
karena itu, peneliti berkeiginan menggali tradisi yang disampaikan dalam bentuk lisan,
yaitu cerita rakyat yang dibalut dengan kepercayaan mitos sebagai media uapaya adaptasi
manusia dengan lingkungannya.
Sikap bersahabat dengan alam harus direvitalisasi dan digagas sehingga menjadi sebuah
paradigma baru di kawasan Danau Toba. Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar
wacana-wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Ia menjadi sesuatu “conditio sine
qua non” jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam dan
lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia
menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap e Aspek sosial-ekologis sangat
memengaruhi keterpeliharaan, keseimbangan, dan keterwarisan lingkungan bagi generasi
mendatang. Ekolinguistik, atau ekologi bahasa, berusaha mewujudkan lingkungan yang
sehat, dengan memasukkan kearifan-kearifan ekologis lokal ke dalam bahasa tersebut
(Mühlhäusler, 1995). Unsur-unsur bahasa yang dimaksud adalah eko-fonologi, eko-
morfologi, eko-sintaksis, dan eko-semantik, yang menjadi bagian dari wacana lingkungan.
Kearifan-kearifan ekologis lokal ini perlu diturut-sertakan dalam wacana lingkungan yang
sehat dan hijau (greenspeak), mengingat jiwa (konsep-konsep ideologis, filosofis, sosio-
ekologis) masyarakat setempat tercermin dalam kearifan-kearifan lokal tersebut.
gosentrisme dan antroposentrisme. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji keterkaitan
antara mitos poda dengan pembentukkan karakter budaya harmonisasi hidup dengan
ekosistem.
72
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah keterhubungan mitos poda dalam
cerita rakyat bahasa Batak Toba yang pernah dan sedang tumbuh di sekitar Danau Toba
dengan pelesatarian ekosistem di wilayah Danau Toba?
Bab II Tinjauan Pustaka
2. 1 Ekolinguistik Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua
penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi
seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000),
mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut. Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all
approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology‟.
Demikian pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the
University, menyebutkan Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters
we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective
one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they
constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages
require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many
languages in recent times (p.2)
Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition,
menjelaskan bahwa ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology
in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is
seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green
linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the
importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes,
language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of
communicative peace.
Hal ini berimplikasi bahwa ada ungkapn-ungkapan yang digunakan untuk selalu menjunjung
tinggi prinsip perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan pengembangan secara lestari terhadap
sumber daya alam dan seni budaya, dalam pelestarian lingkungan di kampus konservasi ini.
Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran Haugenian bahwa
upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu
dasawarsa (Fill 2001:44). Alasan perlunya upaya penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar
(2010:70) bahwa “banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk
73
“hidup,” bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah.
Belum lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional dan
nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete (2009:2), “dalam
perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang
hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-
teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi,
sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) mdalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa
ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan
dengan ekologi. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan Muhlhausler
(2001:67) menjelaskan bahwa ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan,
konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill dan Muhlhausler 2001:43).
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial (Sapir dalam Fill
dan Muhlhausler, 2001:14). Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik:
topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas
curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber-sumber
mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk
pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan
seni.
Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik memiliki
parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan), environmentm (lingkungan
ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill
dan Muhlhausler 2001:1). Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa
ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu: (1) linguistik historis komparatif;
(2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6)nfilologi; (7)
linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik
kultural (cultural linguistics); dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Berdasarkan
pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan
linguistik preskriptif (leksikografi).
Menurut Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2), perubahan pada bahasa itu tampak jelas
teramati pada tataran leksikon. Kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian
besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya.
Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan
Bundegaard, 2000: 10-11), yakni (a) dimensi ideologis, (b) dimensi sosiologis, (c) dimensi
biologis.
74
2.2 Hata Tona dan Poda
Pada tradisi, adat dan budaya Batak Hata tona dohot poda" (kata amanah dan
nasihat), umpasa dohot umpama (pantun dan peribahasa), berisikan tentang bagaimana
membangun sistem “moral” yang “kini” senantiasa diajarkan oleh agama-agama
modern di seluruh dunia.
Hata tona dohot poda dapat disampaikan dalam bentuk umpasa dan umpama. Bahkan
segala pesan yang disampaikan dalam bentuk umpasa dan umpama "tertentu" bukan
hanya sekedar kata-kata bijak yang indah dan baik (hata na uli jala na denggan) tetapi
merupakan "ucapan berkat (pasu-pasu) dan doa (tangiang)" dari yang menyampaikan
kepada yang menerimanya.
1. Hata Tona
Kata-kata yang berisi: amanah, pesan atau anjuran
Misal: Ingkon di toru do tangan na mangido
Artinya: "Harus di bawah posisi tangan meminta", maksudnya jika mengharapkan
atau memohon sesuatu hendaklah dengan kerendahan hati.
2. Hata Poda:
Kata-kata nasihat.
Misal : "Pantun do hangoluan, tois do hamagoan"
Artinya: Sopan santun sumber kehidupan, tetapi congkak alamat celaka.
2.3 Mitos
Mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari
masyarakat yang berorientasi dari masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal.
Mitos dalam pengertian lama identik dengan sejarah / historis, bentukan masyarakat pada
masanya. Di sisi lain mitos (Roland Barthes) diartikan sebagai tuturan mitologis bukan saja
berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan yang dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah,
olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan, pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus
representasi dan mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung,
misal untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan inter pertasi. Tuturan
mitologis dibuat untuk komunikasi dan mem punyai suatu proses signifikasi sehingga dapat
75
diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep,
atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Manusia dalam masyarakat dan
lingkungan sebagai pen dukung mitos berada dalam lingkup sosial budaya. Mereka senantiasa
berusaha untuk memahami diri dan kedudukan nya dalam alam semesta, sebelum mereka
menentukan sikap dan tindakan untuk mengembangkan kehidupannya dalam suatu masyarakat.
Dengan seluruh ke mampuan akalnya, manusia berusaha memahami setiap gejala yang tampak
maupun yang tidak tampak. Dampaknya setiap masyarakat berusaha mengem bangkan cara-cara
yang bersifat komunikatif untuk menjelaskan berbagai perasaan yang mem punyai arti bagi
kehidupannya. Kendatipun manusia sebagai mahluk yang mampu mengguna kan akal dan
mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada mahluk lainnya, namun ia tidak mampu
menjelaskan semua fenomena yang ada disekitarnya. Senyampang untuk dapat me nguasai
fenomena tersebut, di perlukan pemahaman terhadap kehidupan dengan cara me ngembangkan
simbol-simbol yang penuh makna. Simbol-simbol tersebut berfungsi untuk men jelaskan
fenomena lingkungan yang mereka hadapi, terutama fenomena yang tidak tampak tetapi dapat
dirasakan kehadiran nya. Secara kasat mata, manusia melambangkan legenda/ dongeng-dongeng
suci. Dongeng ini dimitoskan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak tampak
sehingga dongeng-dongeng suci itu mengandung pesan. Namun, pesan tersebut adakalanya sulit
diterima akal karena pada mulanya legenda-legenda itu terbentuk secara tidak rasional. Di sisi lain
masyarakat mempercayai isi atau menerima pesan yang terkandung dalam mitos dengan tanpa
mempertanyakan secara kritikal. Bagi masyarakat, mitos berfungsi sebagai pernyataan tentang
kenyataan yang tidak tampak secara kasat mata.
Seperti yang telah dibicara kan di atas bahwa manusia dalam menjelaskan kenyataan yang tidak
tampak, cenderung mengacu pada kebudayaan sebagai seperangkat simbol yang dapat
memperjelas fenomena lingkungan yang di hadapinya. Seperti lazimnya, manusia senantiasa
berusaha memahami dan menata gejala/fenomena yang ada di lingkungannya demi kelangsungan
hidupnya. Dengan cara mengacu kebudayaan sebagai abstraksi pengalamannya dimasa lampau,
manusia mencoba untuk mengklasifikasikan fenomena yang ada dan menertibkan dalam alam
pikirannya. Upaya peng kalsifikasian tersebut tidak ter lepas dari kebudayaan yang menguasai pola
pikir dan sikap mental yang dimiliki. Seolaholah manusia hanya melihat, men dengar dan
memikirkan fenomena di sekitarnya berdasarkan ground yang dimiliki, sehingga mitos merupakan
cermin dari suatu kebudayaan pendukungnya.
1. Mitos Sebagai Sarana Fendidikan
Berbagai dongeng suci ataupun legenda, sering kali secara tidak langsung
dianggap sebagai doktrin atau dianggap pesan yang datang dari Tuhan sehingga tidak
perlu di pertanyakan secara kritikal. Keyakinan terhadap mitos tersebut menjadikan mitos
76
sebagai sarana pendidikan yang paling efektif terutama untuk mengukuhkan dan
menanamkan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan keyakinan tertentu. Selanjutnya
mitos juga digunakan sebagai pegangan bagi masyarakat pendukungnya untuk membina
kesetiakawanan sosial di antara para anggota. Demikian halnya beberapa sekte-sekte
agama di Jepang misalnya, telah memegang teguh mitos tertentu, sehingga mereka dapat
saling membedakan antara komunitas yang satu dan yang lain. Sebaliknya dalam
cara penyebarannya mitos bisa melintasi batas dari suatu komunitas, sehingga dengan
mudah dapat menggalang kesetiakawanan sosial dalam masyarakat yang lebih luas.
Berkaitan dengan fungsi mitos sebagai sarana pendidikan, maka tidaklah mengherankan jika
dongeng-dongeng yang bernafas kan petuah atau mengarah pada nilai-nilai moral/etika "suci"
yang terdapat pada setiap komunitas, berfungsi sebagai peraga untuk mempererat keyakinan
masyarakat terhadap keluhuran budayanya dan memperkokoh kesetiawanan sosial mereka
seperti yang tersirat dalam dongeng-dongeng suci yang berkembang di masyarakat. Tentu nya
masyarakat dapat menyerap pesan-pesan budaya dengan tanpa merasakan kejemuan. Missal
dalam dongeng Malin Kundang yang ingin menyampaikan pesan untuk masyarakat Indonesia,
dan khususnya masyarakat Sumatra, tentang sumpah serapah seorang ibu yang mengakibatkan
kefatalan hidup bagi anak kandungnya, dilain sisi akibat kebruntalan anak terhadap orang
tuanya, dan masih banyak lagi cerita- cerita serupa yang terdapat di masing-masing daerah
maupun bangsa. Tentunya masyarakat dapat menyerap pesan-pesan budaya yang berkembang
sesuai dengan zaman nya.
2. Mitos: Perangsang Kreatifitas dan Pemikiran Baru Barthes dalam bukunya mengatakan
bahwa Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi
sehingga dapat diterima oleh akal (1972). Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya
sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi atau
pemikiran baru. Artinya pengkajian secara mendalam terhadap isi atau pesan maupun
pengkajian perbandingan sangat diperlukan guna pemikiran maupun pengetahuan tertentu,
dan juga bisa digunakan untuk merangsang perkembangan kreativitas dalam berpikir.
Kebudayaan sebagai abstraksi pengalaman manusia adalah bersifat dinamis dan
cenderung untuk berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat pen dukungnya,
karena itu mitos yang mencerminkan kebudayaan juga cenderung menyampaikan pesan-
pesan yang bersifat transformatif. Pesan-pesan transformatif itu bisa terpadu dalam satu mitos,
atau bisa juga terwujud dalam versi baru pada mitos yang sama. Hal tersebut jelas
tergambar dalam cerita atau dongeng-dongeng masyarakat yang me legenda,
sehingga bisa digunakan sebagai tuntunan dan tontonan.
77
Di sisi lain para cendekiawan di masa lampau dengan mudah mengembangkan kreatifitasnya
melalui berbagai macam versi dan interpertasinya untuk membina masyarakat dan
mengembangkan kebudayaan. Di samping itu banyaknya versi yang berlainan juga
mengundang pemikiran lebih lanjut guna menentukan apa yang sesungguhnya menjadi inti
pesan mitos itu sendiri. Penutup
Fungsi sosial mitos sebagai tradisi lisan perlu dipertahankan, walaupun saat ini pula tradisi tulis
telah digalakkan. Hai ini disebabkan mitos berfungsi untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi, inspirasi dan apresiasi masyarakat yang sedang membangun. Barthes
juga menggaris bawahi bahwa tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu
proses signifikasi yang dapat diterima oleh akal sesuai dengan situasi dan kondisi masingmasing
kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya.
2.4. Kepercayaan Orang Batak
Suku Batak mengenal tiga konsep umum yaitu sebagai berikut.
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang sekaligus merupakan kekuatannya.
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.
Begu adalah tondi yang sudah meninggal.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Danau Toba terletak di pusat suatu puncak topografi dengan panjang 300 km dengan beda
tinggi berkisar antara 100-1000 m dimuat dalam peta topografi Sumatra Utara. Luas badan
air Danau Toba 1.103 km2 yang menempati 3 area, Pulau Samosir di dalam danau
mempunyai luas daratan 647 km2
dan suatu Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas
area 7 km2. Panjang danau adalah 87 km, dengan ukuran panjang keliling danau 294 km.
Area cekungan danau dikelilingi oleh batuan vulkanik, dengan tinggian yang berkisar
antara 400 hingga 1200 m di atas muka air danau. Danau ini terletak pada garis lintang
dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT‟; 2040′ LS.
78
Kabupaten Samosir terdiri dari Sembilan kecamatan (Harian, Naingolan, Onan Runggu,
Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, Sitiotio) dan
Kabupaten yang bersinggungan dengan Danau Toba (Utara berbatas Kabupaten Karo dan
Simalungun, Selatan berbatas Kabupaten Tapanuli Utara, Barat berbatas Kabupaten Dairi
dan Kabupaten Papak Bharat, Timur berbatas Kabupaten Toba Samosir.
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif . Pendekatan kualitatif
suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti
membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan
responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan
Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini diawali oleh penelitian-
penelitian sebelumnya.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:
3. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas:
3. Situs yang dianggap memiliki mitos
4. Penggalian legenda yang melekat pada situs .
Penetapan informan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan bola salju.
Oleh karena itu, penentuan informan selanjutnya direkomendasikan oleh
informan awal.
4. Observasi
79
Observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian
atau peristiwa, waktu, dan perasaan masyarakat penutur sekitarnya
4. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya
dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan memastikan keakurasian data
cerita yang sudah diperoleh.
3 Pengujian Data
Data wacana yang sudah terkumpul kemudian dilanjutkan dengan pengujian data
dengan triangulasi. Teknik digunakan untuk memastikan apakah legenda itu
masih ada atau pernah ada.
D. Analisis Data
Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis
transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti
dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan pengerjaan, pengorganisasian,
pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola apa yang dilaporkan.
Bab IV Temuan dan Pembahasan Penelitian
Mitos Poda atau amanat yang tiditemukan dalam cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di
lingkaran Danau Toba adalah sebagai berikut:
Patik dohot uhum (aturan dan hukum).
Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak.
Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum merupakan dunia
orang Batak.
Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan
hidup orang Batak sejak jaman purba. Oleh karena itu, warga mahir dalam berbicara dan
berjuang memperjuangkan hak-hak asasi. Ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum
di Indonesia yang mencatat nama orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum,
baik sebagai Jaksa, Pembela maupun Hakim.
80
Hariara dan tumbuhan lainnya yang tumbuh di persekitaran Danau Toba
Raja Odapodap yang sudah mengikat pertunangan dengan Deak Parujar di alam para Dewata
menyadari permintaan Deak Parujar untuk menyendiri di bumi merupakan upaya penolakan
perjodohan. Ketika Deak Parujar minta pertolongan dari Mulajadi Nabolon atas perilaku Naga
Padohaniaji yang menjadi ancaman setiap saat terhadap bumi yang diperjuangkannya, Mulajadi
Nabolon memberi dukungan dan merestui Raja Odapodap turun ke bumi. Rasa saling
membutuhkanpun tercipta, cinta yang terpotong pun tersambung akhirnya Mulajadi Nabolon
merestui pernikahan duniawi pertama terhadap Raja Odapodap dengan Si Boru Deak Parujar.
Kelahiran anak pertama Si Boru Deak Parujar membuatnya merasa kecewa, karena tidak sama
dengan wujud mereka. Yang terlahir berbentuk bulat (songon gumul) dan tidak memiliki wajah
dan perangkat tubuh lainnya. Atas petunjuk Mulajadi Nabolon, yang terlahir itu ditanamkan ke
bumi ciptaannya sehingga kemudian tumbuh menjadi pepohonan dan berbagai jenis tumbuhan
lainnya berkembang di permukaan tanah hingga dalam air.
Kelahiran kedua anaknya adalah kembar laki-laki dan perempuan yang diberi nama Raja Ihat
Manisia dan Boru Ihat Manisia. Kepada mereka, Boru Deak Parujar berpesan supaya memelihara
seluruh apa yang ada di bumi. Hubungan manusia dinyatakan terbatas dengan para dewa dewi
yang tercipta di alam dewata. Untuk mewujudkan hubungan dengan pencipta alam semesta harus
memenuhi tata cara khusus dengan persembahahan minimal pangurason (air suci). Jenis pohon
itu adalah Hariara yang banyak tumbuh di desa-desa Tapanuli. Pohonnya sangat rimbun maka
aneka burung-burung hinggap di pohon itu. Pohon Hariara menghasilkan buah yang manis dan
menjadi bahan makanan bagi burung-burung yang hinggap di dahan-dahan dan ranting-ranting
pohon itu. Bukan saja burung yang memakan buahnya tetapi hewan-hewan yang berada di
bawahnya juga memakan buah yang jatuh dari pohon itu.
Pengelolaan Air, Tanah dan Hutan
Poda atau amanat dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola hubungan antar manusia
dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar Kepada Keturunannya untuk
“memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan”
bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus
pemaknaan pemberian warisan sebagai “UGASAN” bagi Si raja Ihat Manisia dan
keturunannya. Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba
81
merusak bumi dan segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang
semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga. Peristiwa ini
menjadi motif hadirnya Boru Saniangnaga untuk memelihara kejernihan air yang dulunya
menggoda hatinya dari dunia para dewata. Orang Batak selalu menghormati kedua
penguasa itu setiap kali hendak memanfaatkan potensi air dan bumi untuk kegiatan
kehidupan.
Pemahaman “UGASAN” bagi manusia atas segala isi bumi masih dimaknai dengan
penghormatan kepada pelestariaanya sekaitan dengan para dewa pada awalnya telah
berjanji untuk melakukan pelestarian bimi dan air “ciptaan” yang dimohonkan Si Boru
Deakparujar itu.
Martutuaek
Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan
Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata.
Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan dengan jenis asal mereka “air”.
Martutuaek artinya menuju ke sumber air. Memperkenalkan manusia lahir itu dengan air
yang merupakan keutamaan sumber hidup sebelum mengenali semua apa yang ada di
bumi. Untuk pertama sekali dia mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan
kepada Mulajadi Nabolon.
Seperti halnya pesah yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, manusia
wajib memelihara seluruh isi bumi. Diperkenalkan selanjutnya bahwa air adalah saudara
tubuh kenyal dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya dalam sirkulasi darah dalam
tubuhnya. Untuk pribadi manusia, air berperan untuk “Parsuksion mula ni haiason,
haiason mula ni parsolamon, parsolamon mula ni hamalimon”, awal pembersihan menuju
kesucian, kesucian menuju kesempurnaan. Untuk hubungan manusia dengan Mulajadi
Nabolon air “Mual Natio dipadomu dohot unte mungkur marangkuphon sanggul banebane
jumadi pangurason parsungsion” berperan sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon
atau pelengkap utama dari seluruh jenis persembahan itu.
82
Parhombanan
Pekembangan manusia membutuhkan penataan kehidupan yang teratur. Penataan
kehidupan itu diaturkan tata lingkungan rumah tinggal atau perkampungan, sumber
kehidupan, kesehatan dan hubungan sosial. Sebaik-baiknya pemilihan sebuat tempat
perkampungan, indikator utama adalah adanya sumber air, sub indikatornya nadalah
faktor kemudahan ke akses sumber air itu. Sumber air pilihan adalah sungai, pancuran dan
mata air. Konon ada menyatakan bahwa yang sebelumnya tidak ditemui mata air, tapi atas
permintaan mereka kepada Mulajadi Nabolon mereka diberi mata air yang melimpah.
Sumber air ini dipelihara dan dirawat karena diakui sebagai anugerah utama dalam
kehidupan mereka. Manifestasi rasa syukur mereka atas anugerah itu, mereka melakukan
persembahan kepada Mulajadi Nabolon di lokasi mata air itu. Mereka membuat batasan-
batasan perlakuan sebagai penghargaan kepada sumber air itu. Sumber air itu kemudian
dialirkan ke sawah-sawah, sebagai sumber air minum utama dan kebutuhan ritual
“pangurason”.
Sekali dalam satu tahun dilakukan acara ritual pada mata air itu yang disebut “mangase
homban” yang tujuannya merawat dengan cara membersihkan lokasi sumber mata air,
perawatan tanaman dan pohon yang ada disekitarnya, perawatan aliran air ke hilir hingga
perbaikan pematang sawah. Ini merupakan pertanda awal turun sawah setelah selama satu
tahun digunakan untuk sumber kehidupan dan memulai kegiatan baru untuk kehidupan
baru ke depan.
Mangase homban
Suatu kegiatan yang berkaitan dengan acara ritual Bius ”Asean Taon” dengan melakukan
persembahan kepada Mulajadi Nabolon dengan kurban “horbo santi”. Mangase homban
dilakukan oleh warga kampung, setelah dilakukan Asean Taon oleh Bius dengan
melibatkan seluruh kampung yang ada dalam Bius itu.
Pada setiap pendirian rumah baru dalam kampung, dilakukan upacara “mompo” diartikan
memasuki untuk pertama sekali. Sebelum penghuni rumah memasuki rumah secara resmi,
83
sehari sebelumnya harus memenuhi persyaratan awal dengan memasukkan air ke dalam
rumah itu dalam “panguhatan”.
Panguhatan adalah sumber air dalam rumah berbentuk periuk tanah, dan saat ini
digantikan dengan ember.
marsitalolo
Arti harafiahnya adalah mencukupkan hasil panen dalam setahun. Hal ini disebabkan bercocok
tanam padi di sawah dengan irigasi hanya berlangsung setahun sekali pada umumnya. Oleh
karena itu, sawah musim pasca panen ditanami tumbuhan palawijawa lainnya atau bertambak ikan
mas di area persawahan yang kosong.
Poda sistem Penangkapan Ikan
Kepercayaan warga desa tidak boleh menangkap ikan dari mual Sirambe dan bahkan tidak berani
untuk memakannya karena terlarang sejak dahulu. Ikan itu mereka yakini sebagai perwujudan dari
"namboru boru Siagian", penunggu embung yang memilih akhir hidupnya di sana. Konon
menurut kepercayaan mereka, pada zaman dahulu kala, seorang putri dijodohkan orangtuanya
dengan pria yang tidak disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe.
Sebongkah batu ditafsirkan sebagai pertanda.
Ihan itu jarang menampakkan wujudnya. Jika menampakkan diri artinya sebagai pertanda rezeki
besar bagi yang melihatnya. Batu diyakini sebagai perwujudan dari namboru boru Siagian yang
menjadi penghuni Mual Sirambe sampai kini penduduk tidak berani mengusik ihan-ihan dekat
batu di mual tersebut. Warga Lumbanjulu yang akan menangkap ihan dari sungai itu memiliki
aturan dan cara tersendiri. Tujuannya, agar tidak terjadi perusakan, apalagi niat untuk
menghancurkkan ikan sakral tersebut. Dahulu ikan ini sering dihidangkan sebagai sajian
istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat. Sayangnya, sekarang
sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut di Danau Toba. Spesies ikan endemik
Danau Toba ini mulai terancam punah akibat kerusakan lingkungan.
solu
Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencarian penting bagi orang Batak. Di
daerah tepi danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif
dengan perahu (solu).
84
sabaran
Sistem penangkapan ihan di Danau Toba dipodakan/amanatkan kepada para nelayan
menggunakan sabaran berupa susunan batu di tepi danau sehingga ihan masuk dengan
tenang. Setelah ikan-ikan masuk, pintu sabaran ditutup lalu dilakukan penangkapan.
Dengan cara demikian, tidak terjadi pemburuan ke lubuk pemijahannya.
Tradisi penangkapan ihan berbeda jauh dengan cara-cara yang dilakukan nelayan saat ini.
Kelangkaan ihan itu berdampak terhadap pergeseran tatalaksana adat istiadat di kalangan
masyarakat Batak. Hal ini berakibat pada posisi ihan banyak digantikan dengan ikan mas
untuk acara "upa-upa" (selamatan atau syukuran).
Alat tangkapan yang dikemukan dalam cerita rakyat adalah sabaran, bubu, marsulu
Tala- lata ripe-ripe
Salah satu ciri perikanan rakyat dalam cerita rakyat adalah adanya empang milik
komunitas atau disebut ambar atau Tala-lata ripe-ripe . Empang seperti ini adalah
sumber bibit ikan yang dipelihara disawah.
Legenda Sitapigagan mengisahkan bubu sebagai alat tangkap ikan ditempatkan di
sekitar pantai, lokasinya tidak bisa sembarangan harus dengan persetujuan
kepercayaan (mitos), raja dan atau masyarakat lainnya. Pengangkatan ikan (hasil) dari
dalam bubu juga pada waktu yang disepakati bersama.
Legenda Sitapigagan dan Gudalap mengisahkan diadakannya aturan kesepakatan bahwa
nelayan di Danau Toba tidak boleh menangkap ikan terlalu banyak. Masyarakat hanya
boleh menangkap ikan cukup untuk dikonsumsi sendiri. Hal ini dikisahkan legenda aek
Sitapigagan akan mendapat sanksi magis, yaitu rittik „gila‟ jika melnggarnya. Legenda
ikan gudalap di Parbaba juga mengisahkan para pemancing tidak boleh beruturut-turut
tujuh hari memancing jika tidak dipatuhi akan mendapat sanksi magis, yaitu petaka
terhadap si pmancing tersebut. Bila profesinya adalah nelayan boleh lebih banyak, tetapi
itupun harus dengan volume dan ukuran ikan yang tertentu.
Jampalan dikisahkan dalam cerita Batu Hobol, Sitapi-tapi dan cerita lain adalah lahan
kosong di pinggiran hutan adalah milik bersama antara anggota masyarakat desa ataupun
bius. Pemanfaatannyapun bukan individual tetapi komunal. Bila seseorang ingin
memanfaatkan hasil hutan berupa batang pohon ataupun ingin mengusahakan lahan
kosong untuk pertanian atau mendirikan rumah maka dia harus meminta persetujuan lebih
85
dahulu melalui Raja Huta. Jika warga ada yang melanggarnya akan diberi sanksi sosial
atau pun terkena sanksi magis.
sipu-sipu
Sipusipu adalah bara api kecil yang tetap hidup sampai keesokan harinya sehingga
penghuni masuk secara resmi dan melakukan kegiatan masak-memasak di rumah itu.
Sipu-sipu diamanatkan dipelihara kesinambungannya karena api adalah alat yang paling
utama di setiap rumah. Hal ini disebabkan sumber api sulit untuk ditemukan.
partangisan
Pada sebuah permukiman tentunya akan mempunyai komponen yang disebut dengan partangisan atau
pemakaman/kuburan. Pada permukiman Batak-Toba di sekitar lingkungan DanauToba,
kuburan berada pada bagian luar dari huta.Kuburan ini berada pada satu lokasi khusus digunakan
sebagai areal pemakaman. Namun kadang-kadang kuburan ditemukan di tengah-tengah sawah atau
ladang dengan bentuk berupa sarkofagus atau tambak. Lokasi kuburan komunal biasanya
ditempatkan pada lokasi-lokasi yang berada pada lereng atas sebuah bukit, atau lebih
tinggi dari lokasi huta.
Parik
Benteng keliling yang membatasi huta dan lingkungan luar pada umumnya dibangun dari tatanan tanah
atau batu yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Benteng tanah atau batu merupakan batas luar kampung
merupakan salah satu hasil dari adaptasi yangdilakukan masyarakat Batak Toba untuk
memperluas areal persawahannya.
V. Kesimpulan
Peran mitos poda sebagai pembentuk budaya ekologis masyarakat Batak Toba yang
tinggal di persekitaran Danau Toba adalah:
1. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan tanah.
2. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan air.
3. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan tumbuh-tumbuhan.
86
4. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan biota air termasuk ikan.
5. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan tata pemukiman.
6. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan sistem tata-kelola beternak dan bertani.
Kepustakaan
Bang, J. Chr. dan Door, J. (1996). Language, Ecology, and Truth – Dialogue and
Dialectics. [online] Dapat diakses lewat situs: www.pdfio.com/k-22479.html
Bang, J.Chr. dan Door, J. (1993). Eco-Linguistics: A Framework. [online] Dapat diakses
lewat situs: <www.jcbang.dk/main/ecolinguistics/Ecoling_AFramework1993.pdf>
Barthes, Roland, 1972, Mythologies Noondy Press, New York. 1967, Denotation
Conotation dalam Element Semiology, London,1967 Elements of Semiology,
London Jonathan , Cape.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group: Jakarta.
Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology
and Environment. London: Continuum
Fishman, Joshua A. 1991.Sosiologi Bahasa.Kuala Lumpur: Universitas SainsMalaysia Pulai
Pinang.
Fiske , Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Hougen, Einar.1983. Ecology of Language.California: Stanford University Press.
Leach, Edmund 1067 Geneis as Myth, in Myth and Cosmos. Texas Press,
Source Books in Antropology, Austin.
Lechevrel, Nadege.“The Interviwened Histories of Ecolinguistics and Ecoligical
Approaches of Language Historical and Theorical Aspects of Research Paradigm”
87
Mbete, Aron. 2011. “Kearifan Lokal dan Keseimbangan Lingkungan” sebuah Wawancara
dalam Harian Analisa tanggal 23 April 2011.
88
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah, masyarakat, serta lembaga-
lembaga yang bersentuhan dengan ekosistem Danau Toba untuk menjaga harmonisasinya.
Tahapan penelitian ini terdiri dari tigatahapan , yang dituangkan dalam tiga tahun masa
kerja, yaitu:
Tahun pertama menggali dan menginventarisasi dan merekostruksi cerita rakyat yang
ditemukan di masyarakat. Tahum kedua mengklasifikasikan dan memaknai kearifan
lokal yang dikandungnya.Tahun ketiga merancang model revitalisasi cerita rakyat yang
mengandung kearifan lokal sebagai upaya menjaga harmonisasi ekosistem Danau Toba.
89
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan akhir temuan penelitian ini dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Setting mitos cerita rakyat yang diteliti terdiri dari 80 situs
2. Kehadiran mitos dalam kehidupan masyarakat khususnya Batak Toba penting
karena mitos memiliki kekuatan sebagai pembentuk norma.
3. Setting mitos memiliki motif yang dinarasikan dengan cerita lisan atau cerita
rakyat.
4. Muatan cerita rakyat dapat berupa:
a. Kearifan lokal norma tentang manusia dengan air
b. Kearifan lokal norma tentang manusia dengan tumbuh-tumbuhan
c. Kearifan lokal norma tentang manusia dengan batu
d. Kearifan lokal norma tentang manusia dengan sesamanya
e. Kearifan lokal norma bercocok tanam
f. Kearifan lokal norma pembukaan hunian.
90
DAFTAR PUSTAKA
Adisaputera, Abdurrahman. 2009. “Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu
Langkat Di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.” LOGAT Journal
Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume No. 1 April Tahun 2009
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Ak, Mustafa. 2009. “Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga.” Tabloid Ara
News. Edisi 01-Tahun Ke-1, Januari 2009
Akbar, Osra M., et all. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta:
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Aleida, Martin, Chris Poerba, & Hotman J. Lumban Gaol, 2009.Sitor Situmorang: Mitos
Dari Lembah Kekal.Jakarta: PT. Infomed Asih Jaya.
Anshoriy Ch, HM. Nasruddin. 2008. Kearifan Lingkungan.. Jakarta: Yayasan Obor.
Aslinda .2000. “Kato Nan Ampek dalam Bahasa Minangkabau”. Padang: Yayasan
Pengkajian Bahasa Minangkabau
Bakti Setiawan, 2006. Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lingkungan. Dari Ide
Ke Gerakan, PPLH Regional Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI,
Yogyakarta
Bang, J.Chr. dan Door, J. (1993). Eco-Linguistics: A Framework. [online] Dapat diakses lewat
situs: www.jcbang.dk/main/ecolinguistics/Ecoling_AFramework1993.pdf
Bang, J. Chr. dan Door, J. (1996). Language, Ecology, and Truth – Dialogue and Dialectics.
[online] Dapat diakses lewat situs: www.pdfio.com/k-22479.html
91
Barthes, Roland,1972, Mythologies Noondy Press, New York. 1967, Denotation Conotation dalam
Element Semiology, London, 1967 Elements of Semiology,London Jonathan ,
Cape
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Bastardas-Boada, Albert. “Language Planning and Language Ecology: Towards a
Theoretical Integration.” Conference 30 Years of Language and Ecology, Graz,
Austria, 2000.
Bastardas-Boada, Albert. 1995. “Language Management and Language Behavior
Change: Policies and Social Persistence.” International Journal of Catalan
Culture, Vol. IX, n. 2, 1995
Bastardas-Boada, Albert. 2004. “Linguistic Sustainability for a Multilingual Humanity.”
the plenary speech for the X Linguapax Congress on „Linguistic Diversity,
Sustainability and Peace‟, Forum 2004, Barcelona.
Bastardas-Boada, Albert. 2005. “Linguistic Sustainability and Language Ecology.”
Language & Ecology Maret 2005
Berger, Arthur Asa. 2010. Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu
Pengantar Semiotika. Yogjakarta: Tiara Wacana.
Bernard, Spolsky. 1998. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press.
Blommaert, Jan. 2005. Discourse A Critical Introduction. States of America: Cambridge
University Press
Borradori, Giovanna. 2003. Philosophy in a time of Terror: Dialogues With Jurgen
Habermas And Jacques Derrida. Chicago: The University of Chicago Press.
92
Bowers, C.A. 2009. “The Language of Ecological Intelligence.” Language & Ecology
Vol. 3 No. 1 2009
Bowers, C.A. 2010. “The Insights of Gregory Bateson on the Connections between
language and the ecological crisis.” Language & Ecology Vol. 3 No. 2 201
Bundsgaard, Jeppe dan Sune Steffensen. (2000). ”The Dialectics of Ecological
Morphology - or the Morphology of Dialectics”. Dalam Anna Vibeka Lindo dan
Jeppe Bundsgaard (eds.) Dialectal Ecolinguistics: Three Essays for the
Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz, December 2000.
University of Odense.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group: Jakarta.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Butar-butar, Charles. 1996. Pengembangan Materi Ajar Berdasarkan Analisis Kontastif.
Tesis. IKIP Bandung.
Butar-butar, Charles, dkk. 2014. Revitalisasi Nilai Wacana Kedanauan sebagai Model
Pelestarian Ekosistem Danau Toba (Kajian Ekolinguistik). Penelitian Hibah
Bersaing Dikti.
Butar-butar, Charles. 2014. Analisis Nilai Cerita Rakyat Bahasa Batak Toba (Suatu Kajian
Antropolinguistik). Hibah Bersaing.
Butar-butar, Charles. Analysis of Value and Revitalization of Lakeness Discourse in Batak
Toba as a Model for Ecosystem Reservation an Antropolinguistic Study Related
to Lake Toba Reservation. International Seminar Proceeding. Language
Translation and Language Teaching. ISBN: 978-981-09-1355-7. Universitas
HKBP Nommensen, 07 March 2014, Indonesia.
Butar-butar, Charles. 2015. Nilai Kearifan Lokal Wacana Lisan Kedanauan Bahasa batak
Toba sebagai suatu Model Pelestarian Ekosistem (Kajian Antropolinguistik)..
93
Jalabahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan Balai Bahasa Jawa Tengah Volume 10,
No.2 November 2014
Butar-butar, Charles. 2016. Semantik. Medan: Perdana Publishing.
Butar-butar, Charles 2016. Bahasa Kedanauan (Kajian Ekolinguistik tentang Pelestarian Ekosistem).
Disertasi. USU
Butar-Butar, Charles 1als.org Preservation of Lake Toba Ecosystem through Batak Toba
Folklore: Ecolinguistic Study Quest Journals Inc. Quest Journals Journal of
Research in Humanities and Social Science Volume 5 ~ Issue 1 (2017) pp: 65-75
ISSN(Online) : 2321-9467 www.questjourn
Butar-butar, Charles. 2017. Analisis Kesalahan Berbahasa. Medan: UMSU Press.
Syamsuyurnita, Butar-butar, Charles. 2017. Analisis Makna Ragam Bahasa Register
Mahasiswa Kota Medan sebagai Model Pelacakan Perilaku Sosial (Kajian
Sosiolinguistik). Penelitian Produk Terapan Dikti.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.
………...2003.Psikolinguistik, Kajian Teoretik.Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004.Sosiolinguistik.Jakarta: Rineka Cipta.
Creese, P. Martin and N. H. Hornberger (eds.). 2008. Encyclopedia of Language and
Education 2nd Edition, Volume 9: Ecology of Language, i-vi. Springer
Science+Business Media LLC
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. California:Sage
Publications, Inc.
94
Coupland, Nikolas. 2007. Style Language Variation and Identity Key Topics in
Sociolinguistics. United Kingdom: Cambridge University Press
Crystal, David. 2000. Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Dardanila. 2006. Pronomina Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Darma, Yoce Aliah. 2009.Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Derni, Ammaria. (2008). ”The Ecolinguistic Paradigm: An Integrationist Trend in
Language Study”. The International Journal of Language Society and Culture.
Issue 24. [online] Dapat diakses lewat situs:
www.educ.utas.edu.au/users/tle/JOURNAL
De, Ani Kumar&Arnab Kumar De. 2009. Environtment and Ecology. New Delhi: New
Age International P Limited Publishers.
Denzin, NK. (1978). Sociological Methods. New York: McGraw-Hill.
Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia.
Pacific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS.
Fasold, Ralph. 1990. Sociolinguistics of Language. United Kingdom: Blackwell
Publishing
Fishman, Joshua A. 1991.Sosiologi Bahasa.Kuala Lumpur: Universitas SainsMalaysia Pulai
Pinang.
95
Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology
and Environment. London: Continuum
Fiske , Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the
Twentieth Century). Jakarta : Gramedia,
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford:Blackwell
Publishers.
Foucaullt, Michel. 1990. The History of Sexuality: An Introduction: Volume I. Vintage
Books.
Gargan, Michelle. 2007. “Magic Romance: on Perfume, Language and Environment.”
Language & Ecology 2007
Gaur, R.C. 2008. Basis Environmental Engineering. New Delhi: New Age International P
Limited Publishers
George Yule. 1985. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Grabowski, Ian. 2007. “Consumed by consumerism: the persuasive discourse of financial
institutions. Language & Ecology Vol. 2 No. 2 2007
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara.
Halliday, Max & Ruqaiya Hassan. 1977. Language, Text, and Context. Melbourne:
Deakin University Press.
Holland, Dorothy dan Quinn, Naomi. 1995. Cultural Models in Language and Thought.
London: Cambridge University Press
96
Hougen, Einar.1983. Ecology of Language.California: Stanford University Press.
Jatna, Supriatna, 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dam Hermeneutika. Yogjakarta: Paradigma.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III . Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
PusatBahasa
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Rineka Cipta.
--------------------. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
--------------.2007.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta:Djambatan
Kramsch, Claire. 2000. Language and Culture. New York: Oxford University Press.
Leach, Edmund. 1987.Geneis as Myth, in Myth and Cosmos. Texas Press, Source
Booksin Antropology, Austin.
Lechevrel, Nadege.“The Interviwened Histories of Ecolinguistics and Ecoligical
Approaches of Language Historical and Theorical Aspects of Research
Paradigm”
Luxemburg, Jan van. dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Mbete, Aron. 2011. “Kearifan Lokal dan Keseimbangan Lingkungan” sebuah Wawancara
dalam Harian Analisa tanggal 23 April 2011.
Milles, M.B. and Huberman, M.A. (1984). Qualitative Data Analysis. London: Sage
Publication.
97
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa.Jakarta: KPG.
Patton, M.Q. (2001). Qualitative Research and Evaluation Methods. Thousand Oaks, CA:
Sage Publications.
Prijono, Sudarti, 2008.“Lingkungan dan Topografi Lahan Kaitannya dengan Penempatan Situs-situs
Arkeologi Masa Tradisi Megalitik dan Islam di Kawasan Cibeber ” dalam
Penelitian dan Pemanfaatan Sumberdaya Budaya. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Purwitasari, Tiwi, 2008. “Kampung Budaya Sindang Barang: Tradisi Lama Lahir Kembali”,
dalam Penelitian dan Pemanfaatan Sumberdaya Budaya.Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Ricklefs, Robert E. 1976. The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology. New
Work: Chiron Press Incorporated.
98
LAMPIRAN 1. bukti luaran yang didapatkan
- Draff Artikel ilmiah
MITOS PODA DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
SEBAGAI PEMBENTUK BUDAYA EKOLOGIS
(Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem)
Dr. Charles Butar-butar, M.Pd.
Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk medeskripsikan hasil hasil investigasi, merekonstruksi, serta
menganalisis poda atau amanat yang terdapat dalam cerita rakyat yang terdapat di
lingkungan Danau Toba. Setelah itu, hasil analisis kontribusi poda dalam cerita rakyat
tersebut sebagai kearifan lokal dapat melestarikan ekosistem daerahnya. Kajian penelitian
ini adalah ekolinguistik, yaitu pembuktian sejauhmana cerita rakyat yang hidup atau yang
pernah hidup dapat menjaga keseimbangan alam. Teori mitos untuk memecahkan masalah
model pelestarian ekosistem dalam poda cerita rakyat di Danau Toba.
Penelitian ini dilakukan di seputaran Pulau Samosir termasuk lingkar luarnya. Responden
yang terpilih adalah penduduk setempat, yaitu orang-orang yang masih mengetahui cerita
tentang situs yang sudah terindentifikasi. Pemilihan responden ini didasari teknik bola
salju, yaitu penentuan respondennya adalah hasil rekomendasi responden yang sudah ada
sebelumnya. Data yang sudah terekam diuji keabsahannya dengan teknik pengujian
kredibiliatas, tranferabilitas, dependabilitas, konfirmabilitas.
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu data berupa verbal bersifat
naturalistik. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik interpratatif, yaitu pemaknaan
sesuai dengan teori yang sudah dirujuk.
Hasil penelitian ini adalah adanya upaya yang diwariskan poda dalam cerita rakyat untuk
menjaga keharmonisan tataguna ruang dengan istilah huta, parik, suha, partangisan,
jampalan; tataguna penangkapan ikan berupa norma, area, penempatan alat tangkap ikan,
dan tala ripe-ripe.
Bab I Pendahuluan
2.1 Latar Belakang Masalah
Makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang bergantung pada eksistensi ekosistemnya.
Namun, faktanya keberadaan danau tersebut semakin lama semakin parah kerusakannya.
Kerusakan hutan dan lingkungan Danau Toba sudah pada tingkat mengkhawatirkan dan
mengancam eksistensi kehidupan semua makhluk hidup yang berada di persekitarannya
99
juga yang ada di luar Danau Toba. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat yang rendah
dan perilakunya cenderung mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian.
Regulasi penyelamatan Danau Toba sudah banyak digulirkan baik di tingkat tujuh pemkab
(Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo,
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi/Papak
barat) yang berada di sekitar lingkungan Danau Toba, dan tingkat Provinsi Sumatera Utara
bahkan di tingkat pusat. Bentuk-bentuk penyelamatan sudah banyak ditawarkan yang
disajikan dalam bentuk workshop, seminar, maupun tindakan ilmiah lainnya. Namun,
usaha-usaha tersebut tidak berhasil karena fakta menunjukkan semakin hari kondisi danau
tersebut semakin memprihatinkan.
Pemanfaatan dan pemberdayaan potensi kekuatan diri masyarakat yang diwariskan secara
turun-temurun, yaitu dalam bentuk tradisi-tradisi perlu direvitalisasi. Tradisi bersahabat
dengan lingkungan merupakan jiwa masyarakat diasumsikan sudah mulai pudar. Upaya
menumbuhkembangkan kesadaran warga sesuai dengan Rencana Induk Penenlitian yang
sudah ditetapkan pihak UMSU, yaitu prioritas I kurun waktu 2016 – 2020 isu lokal/daerah
pemberdayaan masyarakat, pengembangan budaya, komunikasi sosial pembangunan. Oleh
karena itu, peneliti berkeiginan menggali tradisi yang disampaikan dalam bentuk lisan,
yaitu cerita rakyat yang dibalut dengan kepercayaan mitos sebagai media uapaya adaptasi
manusia dengan lingkungannya.
Sikap bersahabat dengan alam harus direvitalisasi dan digagas sehingga menjadi sebuah
paradigma baru di kawasan Danau Toba. Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar
wacana-wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Ia menjadi sesuatu “conditio sine
qua non” jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam dan
lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia
menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap e Aspek sosial-ekologis sangat
memengaruhi keterpeliharaan, keseimbangan, dan keterwarisan lingkungan bagi generasi
mendatang. Ekolinguistik, atau ekologi bahasa, berusaha mewujudkan lingkungan yang
sehat, dengan memasukkan kearifan-kearifan ekologis lokal ke dalam bahasa tersebut
(Mühlhäusler, 1995). Unsur-unsur bahasa yang dimaksud adalah eko-fonologi, eko-
morfologi, eko-sintaksis, dan eko-semantik, yang menjadi bagian dari wacana lingkungan.
Kearifan-kearifan ekologis lokal ini perlu diturut-sertakan dalam wacana lingkungan yang
sehat dan hijau (greenspeak), mengingat jiwa (konsep-konsep ideologis, filosofis, sosio-
ekologis) masyarakat setempat tercermin dalam kearifan-kearifan lokal tersebut.
100
gosentrisme dan antroposentrisme. Oleh karena itu, peneliti tertarik mengkaji keterkaitan
antara mitos poda dengan pembentukkan karakter budaya harmonisasi hidup dengan
ekosistem.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan mitos poda dalam cerita
rakyat bahasa Batak Toba yang pernah dan sedang tumbuh di sekitar Danau Toba dengan
pelesatarian ekosistem di wilayah Danau Toba?
Bab II Tinjauan Pustaka
2. 1 Ekolinguistik Ekolinguistik, ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu, merupakan sebuah payung bagi semua
penelitian tentang bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikaitkan sedemikian rupa dengan ekologi
seperti yang dikatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000),
mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut. Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all
approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology‟.
Demikian pula, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the
University, menyebutkan Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters
we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose
perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined
they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems
languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the
habitat of many languages in recent times (p.2)
Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition,
menjelaskan bahwa ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the notion of ecology
in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is
seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green
linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the
importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes,
language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of
communicative peace.
Hal ini berimplikasi bahwa ada ungkapn-ungkapan yang digunakan untuk selalu menjunjung
tinggi prinsip perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, dan pengembangan secara lestari terhadap
sumber daya alam dan seni budaya, dalam pelestarian lingkungan di kampus konservasi ini.
101
Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran Haugenian bahwa
upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu
dasawarsa (Fill 2001:44). Alasan perlunya upaya penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar
(2010:70) bahwa “banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk
“hidup,” bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah.
Belum lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional dan
nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.
Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete (2009:2), “dalam
perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang
hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-
teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi,
sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) mdalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa
ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan
dengan ekologi. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan Muhlhausler
(2001:67) menjelaskan bahwa ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan,
konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill dan Muhlhausler 2001:43).
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial (Sapir dalam Fill
dan Muhlhausler, 2001:14). Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik:
topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas
curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber-sumber
mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk
pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan
seni.
Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik memiliki
parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan), environmentm (lingkungan
ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill
dan Muhlhausler 2001:1). Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa
ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu: (1) linguistik historis komparatif;
(2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6)nfilologi; (7)
linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik
kultural (cultural linguistics); dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Berdasarkan
pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan
linguistik preskriptif (leksikografi).
Menurut Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2), perubahan pada bahasa itu tampak jelas
teramati pada tataran leksikon. Kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian
102
besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya.
Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan
Bundegaard, 2000: 10-11), yakni (a) dimensi ideologis, (b) dimensi sosiologis, (c) dimensi
biologis.
2.2 Hata Tona dan Poda
Pada tradisi, adat dan budaya Batak Hata tona dohot poda" (kata amanah dan
nasihat), umpasa dohot umpama (pantun dan peribahasa), berisikan tentang bagaimana
membangun sistem “moral” yang “kini” senantiasa diajarkan oleh agama-agama
modern di seluruh dunia.
Hata tona dohot poda dapat disampaikan dalam bentuk umpasa dan umpama. Bahkan
segala pesan yang disampaikan dalam bentuk umpasa dan umpama "tertentu" bukan
hanya sekedar kata-kata bijak yang indah dan baik (hata na uli jala na denggan) tetapi
merupakan "ucapan berkat (pasu-pasu) dan doa (tangiang)" dari yang menyampaikan
kepada yang menerimanya.
1. Hata Tona
Kata-kata yang berisi: amanah, pesan atau anjuran
Misal: Ingkon di toru do tangan na mangido
Artinya: "Harus di bawah posisi tangan meminta", maksudnya jika mengharapkan
atau memohon sesuatu hendaklah dengan kerendahan hati.
2. Hata Poda:
Kata-kata nasihat.
Misal : "Pantun do hangoluan, tois do hamagoan"
Artinya: Sopan santun sumber kehidupan, tetapi congkak alamat celaka.
2.3 Mitos
Mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari
masyarakat yang berorientasi dari masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal.
Mitos dalam pengertian lama identik dengan sejarah / historis, bentukan masyarakat pada
masanya. Di sisi lain mitos (Roland Barthes) diartikan sebagai tuturan mitologis bukan saja
berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan yang dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah,
103
olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan, pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus
representasi dan mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung,
misal untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan inter pertasi. Tuturan
mitologis dibuat untuk komunikasi dan mem punyai suatu proses signifikasi sehingga dapat
diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep,
atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Manusia dalam masyarakat dan
lingkungan sebagai pen dukung mitos berada dalam lingkup sosial budaya. Mereka senantiasa
berusaha untuk memahami diri dan kedudukan nya dalam alam semesta, sebelum mereka
menentukan sikap dan tindakan untuk mengembangkan kehidupannya dalam suatu masyarakat.
Dengan seluruh ke mampuan akalnya, manusia berusaha memahami setiap gejala yang tampak
maupun yang tidak tampak. Dampaknya setiap masyarakat berusaha mengem bangkan cara-cara
yang bersifat komunikatif untuk menjelaskan berbagai perasaan yang mem punyai arti bagi
kehidupannya. Kendatipun manusia sebagai mahluk yang mampu mengguna kan akal dan
mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada mahluk lainnya, namun ia tidak mampu
menjelaskan semua fenomena yang ada disekitarnya. Senyampang untuk dapat me nguasai
fenomena tersebut, di perlukan pemahaman terhadap kehidupan dengan cara me ngembangkan
simbol-simbol yang penuh makna. Simbol-simbol tersebut berfungsi untuk men jelaskan
fenomena lingkungan yang mereka hadapi, terutama fenomena yang tidak tampak tetapi dapat
dirasakan kehadiran nya. Secara kasat mata, manusia melambangkan legenda/ dongeng-dongeng
suci. Dongeng ini dimitoskan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena yang tidak tampak
sehingga dongeng-dongeng suci itu mengandung pesan. Namun, pesan tersebut adakalanya sulit
diterima akal karena pada mulanya legenda-legenda itu terbentuk secara tidak rasional. Di sisi lain
masyarakat mempercayai isi atau menerima pesan yang terkandung dalam mitos dengan tanpa
mempertanyakan secara kritikal. Bagi masyarakat, mitos berfungsi sebagai pernyataan tentang
kenyataan yang tidak tampak secara kasat mata.
Seperti yang telah dibicara kan di atas bahwa manusia dalam menjelaskan kenyataan yang tidak
tampak, cenderung mengacu pada kebudayaan sebagai seperangkat simbol yang dapat
memperjelas fenomena lingkungan yang di hadapinya. Seperti lazimnya, manusia senantiasa
berusaha memahami dan menata gejala/fenomena yang ada di lingkungannya demi kelangsungan
hidupnya. Dengan cara mengacu kebudayaan sebagai abstraksi pengalamannya dimasa lampau,
manusia mencoba untuk mengklasifikasikan fenomena yang ada dan menertibkan dalam alam
pikirannya. Upaya peng kalsifikasian tersebut tidak ter lepas dari kebudayaan yang menguasai pola
pikir dan sikap mental yang dimiliki. Seolaholah manusia hanya melihat, men dengar dan
memikirkan fenomena di sekitarnya berdasarkan ground yang dimiliki, sehingga mitos merupakan
cermin dari suatu kebudayaan pendukungnya.
104
1. Mitos Sebagai Sarana Pendidikan
Berbagai dongeng suci ataupun legenda, sering kali secara tidak langsung
dianggap sebagai doktrin atau dianggap pesan yang datang dari Tuhan sehingga tidak
perlu di pertanyakan secara kritikal. Keyakinan terhadap mitos tersebut menjadikan mitos
sebagai sarana pendidikan yang paling efektif terutama untuk mengukuhkan dan
menanamkan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan keyakinan tertentu. Selanjutnya
mitos juga digunakan sebagai pegangan bagi masyarakat pendukungnya untuk membina
kesetiakawanan sosial di antara para anggota. Demikian halnya beberapa sekte-sekte
agama di Jepang misalnya, telah memegang teguh mitos tertentu, sehingga mereka dapat
saling membedakan antara komunitas yang satu dan yang lain. Sebaliknya dalam
cara penyebarannya mitos bisa melintasi batas dari suatu komunitas, sehingga dengan
mudah dapat menggalang kesetiakawanan sosial dalam masyarakat yang lebih luas.
Berkaitan dengan fungsi mitos sebagai sarana pendidikan, maka tidaklah mengherankan jika
dongeng-dongeng yang bernafas kan petuah atau mengarah pada nilai-nilai moral/etika "suci"
yang terdapat pada setiap komunitas, berfungsi sebagai peraga untuk mempererat keyakinan
masyarakat terhadap keluhuran budayanya dan memperkokoh kesetiawanan sosial mereka
seperti yang tersirat dalam dongeng-dongeng suci yang berkembang di masyarakat. Tentu nya
masyarakat dapat menyerap pesan-pesan budaya dengan tanpa merasakan kejemuan. Missal
dalam dongeng Malin Kundang yang ingin menyampaikan pesan untuk masyarakat Indonesia,
dan khususnya masyarakat Sumatra, tentang sumpah serapah seorang ibu yang mengakibatkan
kefatalan hidup bagi anak kandungnya, dilain sisi akibat kebruntalan anak terhadap orang
tuanya, dan masih banyak lagi cerita- cerita serupa yang terdapat di masing-masing daerah
maupun bangsa. Tentunya masyarakat dapat menyerap pesan-pesan budaya yang berkembang
sesuai dengan zaman nya.
2. Mitos: Perangsang Kreatifitas dan Pemikiran Baru Barthes dalam bukunya mengatakan
bahwa Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi
sehingga dapat diterima oleh akal (1972). Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya
sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi atau
pemikiran baru. Artinya pengkajian secara mendalam terhadap isi atau pesan maupun
pengkajian perbandingan sangat diperlukan guna pemikiran maupun pengetahuan tertentu,
dan juga bisa digunakan untuk merangsang perkembangan kreativitas dalam berpikir.
Kebudayaan sebagai abstraksi pengalaman manusia adalah bersifat dinamis dan
cenderung untuk berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat pen dukungnya,
karena itu mitos yang mencerminkan kebudayaan juga cenderung menyampaikan pesan-
105
pesan yang bersifat transformatif. Pesan-pesan transformatif itu bisa terpadu dalam satu mitos,
atau bisa juga terwujud dalam versi baru pada mitos yang sama. Hal tersebut jelas
tergambar dalam cerita atau dongeng-dongeng masyarakat yang me legenda,
sehingga bisa digunakan sebagai tuntunan dan tontonan.
Di sisi lain para cendekiawan di masa lampau dengan mudah mengembangkan
kreativitasnya melalui berbagai macam versi dan interpertasinya untuk membina masyarakat
dan mengembangkan kebudayaan. Di samping itu banyaknya versi yang berlainan juga
mengundang pemikiran lebih lanjut guna menentukan apa yang sesungguhnya menjadi inti
pesan mitos itu sendiri.
Fungsi sosial mitos sebagai tradisi lisan perlu dipertahankan, walaupun saat ini pula tradisi tulis
telah digalakkan. Hai ini disebabkan mitos berfungsi untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi, inspirasi dan apresiasi masyarakat yang sedang membangun. Barthes
juga menggaris bawahi bahwa tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu
proses signifikasi yang dapat diterima oleh akal sesuai dengan situasi dan kondisi masingmasing
kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya.
2.4. Kepercayaan Orang Batak
Suku Batak mengenal tiga konsep umum yaitu sebagai berikut.
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang sekaligus merupakan kekuatannya.
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.
Begu adalah tondi yang sudah meninggal.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
E. Lokasi Penelitian
Danau Toba terletak di pusat suatu puncak topografi dengan panjang 300 km dengan beda
tinggi berkisar antara 100-1000 m dimuat dalam peta topografi Sumatra Utara. Luas badan
air Danau Toba 1.103 km2 yang menempati 3 area, Pulau Samosir di dalam danau
mempunyai luas daratan 647 km2
dan suatu Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas
area 7 km2. Panjang danau adalah 87 km, dengan ukuran panjang keliling danau 294 km.
106
Area cekungan danau dikelilingi oleh batuan vulkanik, dengan tinggian yang berkisar
antara 400 hingga 1200 m di atas muka air danau. Danau ini terletak pada garis lintang
dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT‟; 2040′ LS.
Kabupaten Samosir terdiri dari Sembilan kecamatan (Harian, Naingolan, Onan Runggu,
Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, Sitiotio) dan
Kabupaten yang bersinggungan dengan Danau Toba (Utara berbatas Kabupaten Karo dan
Simalungun, Selatan berbatas Kabupaten Tapanuli Utara, Barat berbatas Kabupaten Dairi
dan Kabupaten Papak Bharat, Timur berbatas Kabupaten Toba Samosir.
F. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif . Pendekatan kualitatif suatu
proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu
fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran
kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi
pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3)
mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Penelitian ini diawali oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
G. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:
5. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas:
5. Situs yang dianggap memiliki mitos
6. Penggalian legenda yang melekat pada situs .
Penetapan informan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan bola salju.
Oleh karena itu, penentuan informan selanjutnya direkomendasikan oleh
informan awal.
6. Observasi
107
Observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian
atau peristiwa, waktu, dan perasaan masyarakat penutur sekitarnya
4. Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya
dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan memastikan keakurasian data
cerita yang sudah diperoleh.
4 Pengujian Data
Data wacana yang sudah terkumpul kemudian dilanjutkan dengan pengujian data
dengan triangulasi. Teknik digunakan untuk memastikan apakah legenda itu
masih ada atau pernah ada.
H. Analisis Data
Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis
transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti
dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan pengerjaan, pengorganisasian,
pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola apa yang dilaporkan.
Bab IV Temuan dan Pembahasan Penelitian
Mitos Poda atau amanat yang tiditemukan dalam cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang di
lingkaran Danau Toba adalah sebagai berikut:
Patik dohot uhum (aturan dan hukum).
Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat di sosialisasikan oleh orang Batak.
Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum merupakan dunia
orang Batak.
Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan
hidup orang Batak sejak jaman purba. Oleh karena itu, warga mahir dalam berbicara dan
berjuang memperjuangkan hak-hak asasi. Ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum
di Indonesia yang mencatat nama orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum,
baik sebagai Jaksa, Pembela maupun Hakim.
108
Hariara dan tumbuhan lainnya yang tumbuh di persekitaran Danau Toba
Raja Odapodap yang sudah mengikat pertunangan dengan Deak Parujar di alam para Dewata
menyadari permintaan Deak Parujar untuk menyendiri di bumi merupakan upaya penolakan
perjodohan. Ketika Deak Parujar minta pertolongan dari Mulajadi Nabolon atas perilaku Naga
Padohaniaji yang menjadi ancaman setiap saat terhadap bumi yang diperjuangkannya, Mulajadi
Nabolon memberi dukungan dan merestui Raja Odapodap turun ke bumi. Rasa saling
membutuhkanpun tercipta, cinta yang terpotong pun tersambung akhirnya Mulajadi Nabolon
merestui pernikahan duniawi pertama terhadap Raja Odapodap dengan Si Boru Deak Parujar.
Kelahiran anak pertama Si Boru Deak Parujar membuatnya merasa kecewa, karena tidak sama
dengan wujud mereka. Yang terlahir berbentuk bulat (songon gumul) dan tidak memiliki wajah
dan perangkat tubuh lainnya. Atas petunjuk Mulajadi Nabolon, yang terlahir itu ditanamkan ke
bumi ciptaannya sehingga kemudian tumbuh menjadi pepohonan dan berbagai jenis tumbuhan
lainnya berkembang di permukaan tanah hingga dalam air.
Kelahiran kedua anaknya adalah kembar laki-laki dan perempuan yang diberi nama Raja Ihat
Manisia dan Boru Ihat Manisia. Kepada mereka, Boru Deak Parujar berpesan supaya memelihara
seluruh apa yang ada di bumi. Hubungan manusia dinyatakan terbatas dengan para dewa dewi
yang tercipta di alam dewata. Untuk mewujudkan hubungan dengan pencipta alam semesta harus
memenuhi tata cara khusus dengan persembahahan minimal pangurason (air suci). Jenis pohon
itu adalah Hariara yang banyak tumbuh di desa-desa Tapanuli. Pohonnya sangat rimbun maka
aneka burung-burung hinggap di pohon itu. Pohon Hariara menghasilkan buah yang manis dan
menjadi bahan makanan bagi burung-burung yang hinggap di dahan-dahan dan ranting-ranting
pohon itu. Bukan saja burung yang memakan buahnya tetapi hewan-hewan yang berada di
bawahnya juga memakan buah yang jatuh dari pohon itu.
Pengelolaan Air, Tanah dan Hutan
Poda atau amanat dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola hubungan antar manusia
dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar Kepada Keturunannya untuk
“memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan”
bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus
pemaknaan pemberian warisan sebagai “UGASAN” bagi Si raja Ihat.
109
Pemahaman “UGASAN” bagi manusia atas segala isi bumi masih dimaknai dengan
penghormatan kepada pelestariaanya sekaitan dengan para dewa pada awalnya telah
berjanji untuk melakukan pelestarian bimi dan air “ciptaan” yang dimohonkan Si Boru
Deakparujar itu.
Martutuaek
Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan
Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata.
Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan dengan jenis asal mereka “air”.
Martutuaek artinya menuju ke sumber air. Memperkenalkan manusia lahir itu dengan air
yang merupakan keutamaan sumber hidup sebelum mengenali semua apa yang ada di
bumi. Untuk pertama sekali dia mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan
kepada Mulajadi Nabolon.
Seperti halnya pesah yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, manusia
wajib memelihara seluruh isi bumi. Diperkenalkan selanjutnya bahwa air adalah saudara
tubuh kenyal dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya dalam sirkulasi darah dalam
tubuhnya. Untuk pribadi manusia, air berperan untuk “Parsuksion mula ni haiason,
haiason mula ni parsolamon, parsolamon mula ni hamalimon”, awal pembersihan menuju
kesucian, kesucian menuju kesempurnaan. Untuk hubungan manusia dengan Mulajadi
Nabolon air “Mual Natio dipadomu dohot unte mungkur marangkuphon sanggul banebane
jumadi pangurason parsungsion” berperan sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon
atau pelengkap utama dari seluruh jenis persembahan itu.
Parhombanan
Pekembangan manusia membutuhkan penataan kehidupan yang teratur. Penataan
kehidupan itu diaturkan tata lingkungan rumah tinggal atau perkampungan, sumber
kehidupan, kesehatan dan hubungan sosial. Sebaik-baiknya pemilihan sebuat tempat
perkampungan, indikator utama adalah adanya sumber air, sub indikatornya nadalah
faktor kemudahan ke akses sumber air itu. Sumber air pilihan adalah sungai, pancuran dan
mata air. Konon ada menyatakan bahwa yang sebelumnya tidak ditemui mata air, tapi atas
permintaan mereka kepada Mulajadi Nabolon mereka diberi mata air yang melimpah.
110
Sumber air ini dipelihara dan dirawat karena diakui sebagai anugerah utama dalam
kehidupan mereka. Manifestasi rasa syukur mereka atas anugerah itu, mereka melakukan
persembahan kepada Mulajadi Nabolon di lokasi mata air itu. Mereka membuat batasan-
batasan perlakuan sebagai penghargaan kepada sumber air itu.
Sumber air itu kemudian dialirkan ke sawah-sawah, sebagai sumber air minum utama dan
kebutuhan ritual “pangurason”.
Sekali dalam satu tahun dilakukan acara ritual pada mata air itu yang disebut “mangase
homban” yang tujuannya merawat dengan cara membersihkan lokasi sumber mata air,
perawatan tanaman dan pohon yang ada disekitarnya, perawatan aliran air ke hilir hingga
perbaikan pematang sawah. Ini merupakan pertanda awal turun sawah setelah selama satu
tahun digunakan untuk sumber kehidupan dan memulai kegiatan baru untuk kehidupan
baru ke depan.
Mangase homban
Suatu kegiatan yang berkaitan dengan acara ritual Bius ”Asean Taon” dengan melakukan
persembahan kepada Mulajadi Nabolon dengan kurban “horbo santi”. Mangase homban
dilakukan oleh warga kampung, setelah dilakukan Asean Taon oleh Bius dengan
melibatkan seluruh kampung yang ada dalam Bius itu.
Pada setiap pendirian rumah baru dalam kampung, dilakukan upacara “mompo” diartikan
memasuki untuk pertama sekali. Sebelum penghuni rumah memasuki rumah secara resmi,
sehari sebelumnya harus memenuhi persyaratan awal dengan memasukkan air ke dalam
rumah itu dalam “panguhatan”.
Panguhatan adalah sumber air dalam rumah berbentuk periuk tanah, dan saat ini
digantikan dengan ember.
marsitalolo
Arti harafiahnya adalah mencukupkan hasil panen dalam setahun. Hal ini disebabkan bercocok
tanam padi di sawah dengan irigasi hanya berlangsung setahun sekali pada umumnya. Oleh
karena itu, sawah musim pasca panen ditanami tumbuhan palawijawa lainnya atau bertambak ikan
mas di area persawahan yang kosong.
111
Poda sistem Penangkapan Ikan
Kepercayaan warga desa tidak boleh menangkap ikan dari mual Sirambe dan bahkan tidak berani
untuk memakannya karena terlarang sejak dahulu. Ikan itu mereka yakini sebagai perwujudan dari
"namboru boru Siagian", penunggu embung yang memilih akhir hidupnya di sana. Konon
menurut kepercayaan mereka, pada zaman dahulu kala, seorang putri dijodohkan orangtuanya
dengan pria yang tidak disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe.
Sebongkah batu ditafsirkan sebagai pertanda.
Ihan itu jarang menampakkan wujudnya. Jika menampakkan diri artinya sebagai pertanda rezeki
besar bagi yang melihatnya. Batu diyakini sebagai perwujudan dari namboru boru Siagian yang
menjadi penghuni Mual Sirambe sampai kini penduduk tidak berani mengusik ihan-ihan dekat
batu di mual tersebut. Warga Lumbanjulu yang akan menangkap ihan dari sungai itu memiliki
aturan dan cara tersendiri. Tujuannya, agar tidak terjadi perusakan, apalagi niat untuk
menghancurkkan ikan sakral tersebut. Dahulu ikan ini sering dihidangkan sebagai sajian
istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat. Sayangnya, sekarang
sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut di Danau Toba. Spesies ikan endemik
Danau Toba ini mulai terancam punah akibat kerusakan lingkungan.
solu
Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencarian penting bagi orang Batak. Di
daerah tepi danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif
dengan perahu (solu).
sabaran
Sistem penangkapan ihan di Danau Toba dipodakan/amanatkan kepada para nelayan
menggunakan sabaran berupa susunan batu di tepi danau sehingga ihan masuk dengan
tenang. Setelah ikan-ikan masuk, pintu sabaran ditutup lalu dilakukan penangkapan.
Dengan cara demikian, tidak terjadi pemburuan ke lubuk pemijahannya.
Tradisi penangkapan ihan berbeda jauh dengan cara-cara yang dilakukan nelayan saat ini.
Kelangkaan ihan itu berdampak terhadap pergeseran tatalaksana adat istiadat di kalangan
112
masyarakat Batak. Hal ini berakibat pada posisi ihan banyak digantikan dengan ikan mas
untuk acara "upa-upa" (selamatan atau syukuran).
Alat tangkapan yang dikemukan dalam cerita rakyat adalah sabaran, bubu, marsulu
Tala- lata ripe-ripe
Salah satu ciri perikanan rakyat dalam cerita rakyat adalah adanya empang milik
komunitas atau disebut ambar atau Tala-lata ripe-ripe . Empang seperti ini adalah
sumber bibit ikan yang dipelihara disawah.
Legenda Sitapigagan mengisahkan bubu sebagai alat tangkap ikan ditempatkan di
sekitar pantai, lokasinya tidak bisa sembarangan harus dengan persetujuan
kepercayaan (mitos), raja dan atau masyarakat lainnya. Pengangkatan ikan (hasil) dari
dalam bubu juga pada waktu yang disepakati bersama.
Legenda Sitapigagan dan Gudalap mengisahkan diadakannya aturan kesepakatan bahwa
nelayan di Danau Toba tidak boleh menangkap ikan terlalu banyak. Masyarakat hanya
boleh menangkap ikan cukup untuk dikonsumsi sendiri. Hal ini dikisahkan legenda aek
Sitapigagan akan mendapat sanksi magis, yaitu rittik „gila‟ jika melnggarnya. Legenda
ikan gudalap di Parbaba juga mengisahkan para pemancing tidak boleh beruturut-turut
tujuh hari memancing jika tidak dipatuhi akan mendapat sanksi magis, yaitu petaka
terhadap si pmancing tersebut. Bila profesinya adalah nelayan boleh lebih banyak, tetapi
itupun harus dengan volume dan ukuran ikan yang tertentu.
Jampalan dikisahkan dalam cerita Batu Hobol, Sitapi-tapi dan cerita lain adalah lahan
kosong di pinggiran hutan adalah milik bersama antara anggota masyarakat desa ataupun
bius. Pemanfaatannyapun bukan individual tetapi komunal. Bila seseorang ingin
memanfaatkan hasil hutan berupa batang pohon ataupun ingin mengusahakan lahan
kosong untuk pertanian atau mendirikan rumah maka dia harus meminta persetujuan lebih
dahulu melalui Raja Huta. Jika warga ada yang melanggarnya akan diberi sanksi sosial
atau pun terkena sanksi magis.
sipu-sipu
Sipusipu adalah bara api kecil yang tetap hidup sampai keesokan harinya sehingga
penghuni masuk secara resmi dan melakukan kegiatan masak-memasak di rumah itu.
Sipu-sipu diamanatkan dipelihara kesinambungannya karena api adalah alat yang paling
utama di setiap rumah. Hal ini disebabkan sumber api sulit untuk ditemukan.
113
partangisan
Pada sebuah permukiman tentunya akan mempunyai komponen yang disebut dengan partangisan atau
pemakaman/kuburan. Pada permukiman Batak-Toba di sekitar lingkungan DanauToba,
kuburan berada pada bagian luar dari huta.Kuburan ini berada pada satu lokasi khusus digunakan
sebagai areal pemakaman. Namun kadang-kadang kuburan ditemukan di tengah-tengah sawah atau
ladang dengan bentuk berupa sarkofagus atau tambak. Lokasi kuburan komunal biasanya
ditempatkan pada lokasi-lokasi yang berada pada lereng atas sebuah bukit, atau lebih
tinggi dari lokasi huta.
Parik
Benteng keliling yang membatasi huta dan lingkungan luar pada umumnya dibangun dari tatanan tanah
atau batu yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Benteng tanah atau batu merupakan batas luar kampung
merupakan salah satu hasil dari adaptasi yangdilakukan masyarakat Batak Toba untuk
memperluas areal persawahannya.
V. Kesimpulan
Peran mitos poda sebagai pembentuk budaya ekologis masyarakat Batak Toba yang
tinggal di persekitaran Danau Toba adalah:
2. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan tanah.
3. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan air.
4. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan tumbuh-tumbuhan.
5. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan biota air termasuk ikan.
6. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan tatapemukiman.
7. Mitos poda berperan menjaga kelestarian budaya menjaga harmonisasi manusia
dengan sistem tata-kelola beternak dan bertani.
114
Kepustakaan
Bang, J. Chr. dan Door, J. (1996). Language, Ecology, and Truth – Dialogue and
Dialectics. [online] Dapat diakses lewat situs: www.pdfio.com/k-22479.html
Bang, J.Chr. dan Door, J. (1993). Eco-Linguistics: A Framework. [online] Dapat diakses
lewat situs: <www.jcbang.dk/main/ecolinguistics/Ecoling_AFramework1993.pdf>
Barthes, Roland, 1972, Mythologies Noondy Press, New York. 1967, Denotation
Conotation dalam Element Semiology, London,1967 Elements of Semiology,
London Jonathan , Cape.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group: Jakarta.
Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology
and Environment. London: Continuum
Fishman, Joshua A. 1991.Sosiologi Bahasa.Kuala Lumpur: Universitas SainsMalaysia Pulai
Pinang.
Fiske , Jhon. 2004. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Hougen, Einar.1983. Ecology of Language.California: Stanford University Press.
Leach, Edmund 1067 Geneis as Myth, in Myth and Cosmos. Texas Press,
Source Books in Antropology, Austin.
Lechevrel, Nadege.“The Interviwened Histories of Ecolinguistics and Ecoligical
Approaches of Language Historical and Theorical Aspects of Research Paradigm”
Mbete, Aron. 2011. “Kearifan Lokal dan Keseimbangan Lingkungan” sebuah Wawancara
dalam Harian Analisa tanggal 23 April 2011.
115
Lampiran 2: Kontrak Penelitian
116
117
118
119