Laporan Akhir - Kementerian Perdagangan Republik · PDF fileDampak kebijakan pemerintah dapat...
-
Upload
nguyennguyet -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of Laporan Akhir - Kementerian Perdagangan Republik · PDF fileDampak kebijakan pemerintah dapat...
Laporan Akhir
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas rahmat serta
hidayah-Nya, sehingga laporan “Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Inflasi dan Kemiskinan” dapat diselesaikan. Analisis ini
dilatarbelakangi oleh ditetapkannya beberapa kebijakan pemerintah yang
seringkali diiringi dengan dampak atau efek negatif. Salah satunya adalah
tekanan pada inflasi. Tekanan pada inflasi dapat menyebabkan tekanan pula
pada daya beli masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat yang
berkategori miskin dan hampir miskin.
Dampak kebijakan pemerintah dapat berlangsung melalui kenaikan
harga kebutuhan pokok. Kebijakan pemerintah dalam analisis ini
direpresentasikan oleh kebijakan yang mempengaruhi dinamika harga energi,
yaitu bensin, solar, dan elpiji. Sementara itu, barang-barang kebutuhan pokok
direpresentasikan oleh beberapa komoditi, yaitu beras, jagung, terigu,
kedelai, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang merah, minyak
goreng dan gula.
Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri dengan tim peneliti internal yang dibantu oleh
tenaga ahli dari Brighten Institute.
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik
ditinjau dari aspek substansi, analisa maupun data-data pendukung, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terimakasih terhadap semua
pihak yang membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata
semoga penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam
merumuskan kebijakan di bidang logistik, investasi dan fasilitasi usaha.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan ii
ABSTRAK
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI
DAN KEMISKINAN
Kebijakan pemerintah terutama yang terkait dengan peningkatan harga energi dapat memberikan dampak terhadap harga barang kebutuhan pokok yang berujung pada peningkatan harga barang konsumsi dan penurunan daya beli masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhapap inflasi dan kemiskinan serta membangun model untuk memperkirakan dampak penerapan kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan. Model-model beserta simulasi yang dikembangkan dalam kajian ini, telah dapat menunjukkan bagaimana kebijakan yang ditetapkan pemerintah berdampak pada inflasi dan kemiskinan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario-skenario kebijakan pemerintah yang menghasilkan kombinasi kenaikan harga komoditas-komoditas energi dapat dikembangkan untuk menghasilkan dampak yang minimal, utamanya untuk kemiskinan. Selain itu, patut dikembangkan juga skenario peningkatan tingkat konsumsi masyarakat untuk memkompensasi pergerakan garis kemiskinan yang memperbesar tingkat kemiskinan.
Kata kunci: kebijakan pemerintah, harga, inflasi, kemiskinan, garis
kemiskinan
ABSTRACT
GOVERNMENT POLICY IMPACT ANALYSIS ON INFLATION AND
POVERTY
Government policy particularly which is related to the increasing of energy prices could have an impact on prices of basic need products which led to an increase in prices of consumer goods and a decrease in purchasing power. The purpose of this study was to analyze the impact of government policy on inflation and poverty and build a model to estimate the impact of government policies on inflation and poverty. The models and simulations developed in this study, has been able to show how the policies set by the government have an impact on inflation and poverty. The simulation results show that the scenarios of government policies that produce a combination of rising prices of energy commodities can be developed to minimalizing the impact, especially for poverty. Besides, it should be developed consumption rate increase scenario to compensate for the movement of the poverty line which increase the level of poverty.
Keywords: government policy, prices, inflation, poverty, poverty line
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................i
ABSTRAK ........................................................................................................ ii
ABSTRACT ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ..............................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan Analisis................................................................................... 3
1.3 Output Kajian ..................................................................................... 3
1.4 Manfaat Kajian ................................................................................... 3
1.5 Ruang Lingkup ................................................................................... 3
1.6 Metodologi Penelitian ......................................................................... 4
1.7 Sistematika Penelitian ........................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6
2.1 Pengaruh Harga Komoditas Terhadap Infllasi ................................... 6
2.2 Kebijakan Pemerintah Yang Mempengaruhi Harga Pangan .............. 6
2.2.1 Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) ............................... 6
2.2.2 Kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL) .............................................. 9
2.2.3 Kebijakan Harga Pangan ........................................................... 15
2.3 Pentingnya Pengendalian Inflasi dalam Perekonomian ................... 24
2.4 Principal Component Analysis (PCA) ............................................... 26
2.5 Tinjauan Penelitian Sebelumnya...................................................... 29
BAB III METODOLOGI.................................................................................. 31
3.1 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 31
3.2 Data dan Sumber Data .................................................................... 32
3.3 Metode Analisis................................................................................ 32
3.3.1 Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan
pokok dan Inflasi........................................................................ 32
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iv
3.3.2 Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan ................................................................................. 34
3.3.3 Struktur simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan .......................................................................... 35
BAB IV ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INFLASI DAN KEMISKINAN ......................................................................... 37
4.1 Formulasi Indeks Harga dengan PCA .............................................. 37
4.2 Analisis Dampak kebijakan Pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan Inflasi .............................................................................. 41
4.3 Model Dampak kebijakan Pemerintah terhadap kemiskinan ........... 47
4.4 Simulasi Dampak kebijakan Pemerintah terhadap Inflasi dan Kemiskinan ................................................................................................ 49
BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 52
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 52
5.2 Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 54
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kebijakan Harga BBM di Indonesia................................................. 7
Tabel 4.1 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan I .......................... 38
Tabel 4.2 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan II ......................... 39
Tabel 4.3 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan III ........................ 39
Tabel 4.4 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Energi ................................ 40
Tabel 4.5 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga
Kelompok Makanan I .................................................................... 42
Tabel 4.6 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga
Kelompok Makanan II ................................................................... 43
Tabel 4.7 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga
Kelompok Makanan III .................................................................. 45
Tabel 4.8 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga
Konsumen ..................................................................................... 46
Tabel 4.9 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap
Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-1) ............................................ 49
Tabel 4.10 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap
Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-2) .......................................... 50
Tabel 4.11 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap
Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-3) .......................................... 50
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perkembangan subsidi listrik tahun 2000 – 2013 ...................................... 12
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 31
Gambar 3.2 Ilustrasi Perubahan tingkat kemiskinan ..................................................... 35
Gambar 3.3 Tahapan dalam simulasi dampak kebijakan terhadap inflasi
dan kemiskinan ........................................................................................ 36
Gambar 4.1 Distribusi penduduk dan tingkat kemiskinan (Maret 2013) ........................ 48
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan pemerintah dapat secara langsung mempengaruhi
perekonomian, khususnya harga dan dampaknya pada inflasi yang berujung
pada kemampuan dayabeli masyarakat. Pada era sebelum tahun 2010,
inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Namun, pergerakan ekonomi terus berubah dimana inflasi tidak hanya
disebabkan oleh pengaruh makroekonomi saja seperti sukubunga, nilai tukar
dan jumlah uang beredar tetapi juga peran komoditi (Bank Indonesia, 2014).
Inflasi dapat menyebabkan perubahan yang sangat luas terhadap kegiatan
ekonomi masyarakat. Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah
nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah
stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan
melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan
dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Inflasi yang
rendah dan stabil merupakan salah satu penopang utama daya beli
masyarakat
Kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya
pertumbuhan), seringkali diiringi dengan dampak atau efek negatif. Salah
satunya adalah tekanan pada inflasi. Tekanan pada inflasi dapat
menyebabkan tekanan pula pada daya beli masyarakat, khususnya pada
kelompok masyarakat yang berkategori miskin dan hampir miskin. Sinyal dari
kebijakan pemerintah melalui stabilitas harga pangan dan non pangan dan
berujung pada inflasi. Besarnya kebijakan pemerintah akan menentukan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2
respon perubahan harga dari suatu komoditi yang berdampak pada
kemampuan dayabeli masyarakat.
Dalam rangka mengemban tugas untuk menciptakan kesejahteraan,
keadilan, dan keberlanjutan dalam kehidupan masyarakat, pemerintah
diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan. Setiap kebijakan yang
dikeluarkan dapat berdampak positif atau negatif, dan dalam mekanisme
transmisi yang langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu kebijakan
yang diarahkan untuk memberikan dampak positif pada aspek tertentu, dapat
melahirkan dampak negatif pada aspek yang lain. Oleh karena itu, suatu
kebijakan seringkali perlu direspon oleh kebijakan yang lain untuk
meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Salah satu visi Kementerian Perdagangan adalah menciptakan
stabilitas harga dan memperlancar jaringan distribusi. Dalam mendukung ini,
bagaimana memastikan tercapainya stabilisas harga bahan pokok, supaya
kemampuan/ daya beli masyarakat terjaga. Terkait dengan hal ini, maka
inflasi dan kemiskinan menjadi dua indikator yang perlu diperhatikan. Dari
sini, kita dapat melihat dua sisi yang saling terkait, yaitu kebijakan pemerintah
yang diarahkan pada aspek tertentu, dan aspek stabilitas harga pokok
(inflasi) serta kemampuan daya beli masyarakat (tingkat kemiskinan) yang
perlu dikelola. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak penerapan
suatu kebijakan terhadap inflasi dan kemiskinan. Dalam konteks inilah
analisis ini sangat penting, yaitu bagaimana melihat keterkaitan (atau
dampak) dari satu kebijakan terhadap inflasi dan tingkat kemiskinan. Hasil
kajian ini sangat penting untuk dijadikan sebagai salah satu guidance dalam
merespon satu kebijakan, dengan melihat dampaknya kepada masyarakat
melalui indikator inflasi dan kemiskinan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3
1.2 Tujuan Analisis
Tujuan dari analisis ini adalah:
a. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan
kemiskinan
b. Membangun model untuk memperkirakan dampak penerapan kebijakan
pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan
1.3 Output Kajian
Output analisis dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
a. Respon dari setiap komoditi bahan pangan pokok terhadap dampak
kebijakan pemerintah
b. Respon Kebijakan Pemerintah terhadap indikator inflasi dan kemiskinan
c. Tersusunnya suatu model (template) untuk memperhitungkan dampak
kebijakan pemerintah terhadap perubahan harga (inflasi) dan kemiskinan
1.4 Manfaat Kajian
Analisis ini menjadi salah satu bahan rujukan (Referensi) bagi
pemerintah untuk mengantisipasi atau memitigasi dampak negatif dari
kebijakan pemerintah dalam menerapkan suatu kebijakan dan dapat
merespon dampak tersebut secara cepat dan masukan dalam upaya
mendukung kebijakan stabilisasi harga dan kelancaran distribusi.
1.5 Ruang Lingkup
Analisis dalam kajian ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu:
a. Aspek Komoditi; melihat dampak kebijakan terhadap inflasi bahan
makanan meliputi komoditi bahan kebutuhan pokok yaitu beras, gula,
minyak goreng, tepung terigu, kedelai, daging ayam, daging sapi, telur
ayam, aneka cabai dan aneka bawang.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4
b. Aspek kebijakan; meliputi identifikasi dan telaahan atas berbagai
instrument kebijakan yang diperkirakan dapat memberikan dampak
terhadap inflasi dan kemiskinan
c. Aspek Ekonomi; melihat dampak dari suatu kebijakan dengan
menggunakan besaran elastisitas.
1.6 Metodologi Penelitian
a. Metode Analisis
Analisis ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
ekonometrik dengan model persamaan Simultan 2 SLS (Two-Stages
Least Squares (2-SLS) untuk estimasi elastisitas.
b. Data yang dibutuhkan merupakan data sekunder yang diperoleh dari
Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, Kementerian ESDM dan sumberdata lainnya yang
relevan.
1.7 Sistematika Penelitian
Penulisan laporan didasarkan pada ketersediaan data dan informasi
yang diperoleh dari hasil penelusuran data sekunder, publikasi berbagai
sumber (media), institusi serta penggalian informasi di lapangan. Dari hasil
kegiatan tersebut, sistematika penulisan meliputi :
BAB I. Pendahuluan
Pada bab ini disampaikan mengenai latar belakang pentingnya analisis,
isu dampak kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi inflasi baik
komoditi pangan maupun non pangan serta dampaknya lanjutannya ke
dayabeli masyarakat dan kemiskinan, permasalahan, tujuan analisis,
keluaran, manfaat dan ruang lingkup analisis serta sistematika
penulisan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
Bab II. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini disampaikan tentang bagaimana harga dapat
mempengaruhi Inflasi (teori), kebijakan Pemerintah di Indonesia,
pentingnya inflasi dalam perekonomian, serta tinjauan hasil penelitian
sebelumnya terkait dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi.
Bab III. Metodologi
Pada bab ini disampaikan mengenai kerangka analisis yang digunakan,
data dan sumber data serta pendekatan analisis yang digunakan untuk
menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan
kemiskinan.
Bab IV. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan
Kemiskinan,
Pada bab ini menjelaskan Model Dampak kebijakan Pemerintah
terhadap harga kebutuhan pokok, model Dampak kebijakan Pemerintah
terhadap inflasi dan kemiskinan serta model simulasi dampak kebijakan
pemerintah terhadap harga kebutuhan bahan pokok, inflasi dan
kemiskinan (bisa di aplikasikan dalam bentuk kerangka template).
BAB V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Pada bab ini dijelaskan mengenai intisari dari apa yang disampaikan
dalam bab-bab sebelumnya serta menyimpulkan sesuai dengan hasil
analisis dan simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan
kemiskinan serta usulan rekomendasi kebijakan dalam mendukung
stabilisasi harga bahan kebutuhan pokok.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
2. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, dibahas beberapa konsep dan literatur yang relevan
dengan kajian ini. Pembahasan meliputi teori pengaruh harga komoditas
terhadap inflasi, kebijakan pemerintah di Indonesia, pentingnya inflasi dalam
perekonomian serta penelitian yang terkait dengan dampak kebijakan
pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan.
2.1 Pengaruh Harga Komoditas Terhadap Infllasi
Dalam hal hubungan harga komoditas terhadap inflasi, Furlong dan
Ingenito (1996) menyatakan bahwa harga komoditi dapat dijadikan sebagai
leading indicator inflasi dengan dua argumen. Argumen pertama adalah
harga komoditas mampu merespon secara cepat shock yang terjadi dalam
perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate
demand shock). Kedua, harga komoditas juga mampu merespon terhadap
non-economic shock seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya
yang menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut. Pergerakan harga
komoditas pangan/pertanian akan selaras dengan perkembangan harga
barang secara keseluruhan, walaupun besarannya akan berbeda. Respon
harga yang cepat tersebut dapat memberikan sinyal bahwa kenaikan harga
barang lainnya akan menyusul sehingga tekanan inflasi meningkat.
2.2 Kebijakan Pemerintah Yang Mempengaruhi Harga Pangan
2.2.1 Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM)
Pasal 72 Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2004 mengatur
bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan
oleh pemerintah. Sebelumnya, MK mengamanatkan bahwa dalam kebijakan
penentuan harga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7
termasuk di dalamnya BBM dan gas bumi dibutuhkan campur tangan
pemerintah. Hanya saja, campur tangan pemerintah dalam penentuan harga
terbatas untuk BBM bersubsidi.
Pengaturan mengenai BBM terdapat dalam Peraturan Presiden No.
191 Tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran
BBM. Kemudian, lebih lanjut pengaturan mengenai BBM bersubsidi
dijabarkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2014 dan
Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2014. Di dalam Permen ESDM
tersebut ditetapkan bahwa BBM bersubsidi adalah solar dan minyak tanah.
Arah kebijakan harga BBM di Indonesia secara umum dapat dilihat
pada Tabel 2.1. Harga BBM diharapkan tidak mendapat subsidi lagi mulai
tahun 2007. Meskipun pada akhirnya realisasinya tidak demikian.
Tabel 2.1 Kebijakan Harga BBM di Indonesia
Sumber: BPH Migas
Keterangan:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8
R=Regulated : Harga ditetapkan Pemerintah (masih
mengandung subsidi harga)
NR=Non Regulated : Harga sudah tidak mengandung subsidi
NA : Sudah tidak dipasarkan lagi
Kategori BBM (Tahap
II)
: Premium, minyak tanah, solar, diesel,
minyak bakar
Kategori Non BBM
(Tahap III)
: Minyak bakar, avtur, avgas, LPG, pelumas,
aspal, parasilin, dll
Sejak Desember 2014, Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru
penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi. Pemerintah
mengklasifikasikan BBM menjadi tiga kategori dengan variasi harga
didalamnya, tiga kategori tersebut yaitu, BBM Tertentu yaitu adalah BBM
yang diberikan subsidi, BBM khusus penugasan dan BBM Umum.
Mengenai kebijakan harga, Pemerintah telah menetapkan variasi
harga BBM dengan formula perhitungannya. Pertama, dua jenis BBM
Bersubsidi yaitu, minyak tanah harganya tidak berubah tetap pada harga Rp
2.500 per liter termasuk PPN, dan kedua minyak solar, cara penetapannya
adalah dibuat formula yang terdiri dari harga dasar ditambah dengan PPN
ditambah pajak bahan bakar kendaraan bemotor dikurangi dengan subsidi
sebesar Rp. 1000. Apabila harga keekonomian solar naik atau turun maka
harga subsidi akan naik turun.
BBM Penugasan adalah BBM bukan bersubsidi yang harus
didistribusikan ke wilayah-wilayah sudah ditentukan yang terkadang jauh/sulit
sehingga memerlukan effort dari pemerintah, maka disebutnya sebagai BBM
khusus penugasan. Kebijakan harga BBM Khusus penugasan ditetapkan
dengan formula harga dasar ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) ditambah
dengan biaya distribusi yang akan diberikan kepada badan usaha yang
melaksanakan distribusi besarnya 2%.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9
Sedangkan, BBM Umum adalah BBM yang harganya akan mengikuti
harga keekonomian pasar dan formula harga jualnya juga ditetapkan oleh
pemerintah. Harga BBM Umum juga ditetapkan dengan formula, harga dasar
ditambah dengan PPN ditambah dengan PBBKP ditambah dengan margin
badan usaha. Karena ini adalah berkaitan dengan harga keekonomian, maka
diserahkan sepenuhnya pada badan usaha, namun tetap berpedoman pada
formula dari pemerintah. Pemerintah tidak ingin kompetisi antar badan usaha
tidak sehat, karena itu diberi margin minimal 5% dan margin maksimal 10%.
Sementara itu, harga dasar ditetapkan oleh pemerintah. Harga dasar ini
meliputi biaya perolehan, biaya distribusi, ditambah biaya penyimpanan serta
margin. Disinilah instrumen pemerintah untuk mengatur harga. Perhitungan
harga dasar menggunakan rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika dengan kurs beli Bank Indonesia periode
tanggal 25 sampai dengan tanggal 24 pada periode bulan sebelumnya.
Selain itu, PBBKB untuk jenis BBM tertentu bersubsidi dan BBM
khusus penugasan adalah 5%, sedangkan BBM Umum ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dengan patokan maksimal 10%. Hal ini dilakukan untuk
mendorong agar antar Pemerintah Daerah berkompetisi, kalau daerah ingin
harga BBMnya lebih murah maka PBBKBnya dapat dibuat lebih rendah.
Sehingga diharapkan dapat mendorong Pemerintah Daerah membangun
daya saing di masing-masing daerahnya.
2.2.2 Kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL)
Energi listrik telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan modern
manusia, tanpa listrik aktivitas menjadi lumpuh. Hampir seluruh aspek
kehidupan akan terpengaruh termasuk roda pemerintahan dan perekonomian
secara khusus bisa terganggu bila tidak ada listrik, hampir seluruh aktivitas
kehidupan modern sangat bergantung pada listrik. Menyadari hal tersebut,
Pemerintah terus berupaya menyediakan pasokan listrik kepada masyarakat.
PT PLN (Persero) yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah dalam
menyediakan listrik bagi masyarakat harus terus meningkatkan kapasitasnya
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10
agar mampu mengimbangi tingginya pertumbuhan permintaan listrik di
Indonesia.
Kebutuhan listrik nasional rata-rata tumbuh sekitar 8 – 9 % per tahun.
Angka ini berarti bahwa setiap tahun harus ada tambahan sekitar 5.700 MW
kapasitas pembangkit baru. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah
dalam penyediaan listrik karena dibutuhkan dana yang begitu besar dalam
investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari pembangunan
pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan
distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen. Tantangan
berikutnya adalah bahwa kenyataan rasio elektrifikasi yang baru mencapai
sekitar 80,5%, artinya masih ada sekitar 19,5% masyarakat belum memiliki
akses terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Tantangan besar
lainnya adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya
seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi.
Subsidi listrik yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam belanja
APBN terus meningkat, dimana pada tahun 2013, jumlah subsidi listrik naik
mencapai Rp 101,21 triliun. Padahal pada era tahun 2000-2004, subsidi listrik
hanya berkisar Rp 3,3 triliun. Ini artinya subsidi listrik mengalami laju
peningkatan yang luar biasa, lebih dari 30 kali lipat. Untuk itu diperlukan
upaya pengendalian subsidi listrik agar anggaran yang seharusnya dapat
digunakan untuk pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat tidak
mampu, terus menerus tersedot oleh belanja subsidi listrik.
Pada dasarnya subsidi listrik adalah selisih antara harga jual/tarif listrik
dengan biaya produksinya. Saat ini masih terdapat selisih yang jauh antara
biaya produksi dengan harga jualnya ke konsumen. Sebagai gambaran, data
realisasi tahun 2013, rata-rata BPP tenaga listrik sebesar Rp.1.289/kWh,
dengan margin 7% menjadi sebesar Rp. 1.379/kWh, sementara harga jual
rata-rata (tarif) yang dibayar oleh pelanggan hanya sebesar Rp.819/kWh,
sehingga ada selisih sebesar Rp. 560/kWh. Untuk menutup selisih ini, pada
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11
tahun 2013, Pemerintah harus membayar selisih tersebut dalam bentuk
subsidi kepada PT PLN (Persero), besarnya mencapai Rp. 101,21 triliun,
untuk menjaga agar PLN dapat terus beroperasi menyediakan pasokan
listrik.
Kebijakan subsidi listrik diawali pada tahun 2000 dengan bentuk
“corporate cash flow subsidy” atau defisit arus kas yaitu Pemerintah
memberikan selisih antara biaya operasional PLN dalam penyediaan tenaga
listrik dengan pendapatan tarif listrik yang diperoleh dari pelanggan PLN agar
PLN tidak merugi. Kemudian pada tahun 2001 hingga tahun 2004 kebijakan
subsidi listrik diganti menjadi subsidi konsumen terarah, yaitu hanya
pelanggan dengan daya sampai dengan 450 VA yang diberikan subsidi,
itupun hanya penggunaan 60 kWh pertama. Dengan adanya gejolak
memburuknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 2005, dimana
terjadi terjadi pelemahan nilai tukar Rupiah dan naiknya harga minya dunia
yang mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat. Tentunya hal ini
menyebabkan biaya penyediaan listrik akan membengkak yang
menyebabkan harga jual listrik semestinya harus dinaikkan untuk
mengimbangi. Namun untuk menjaga agar masyarakat dapat membeli listrik
dengan harga yang terjangkau maka Pemerintah mengubah kebijakan
subsidi listrik menjadi subsidi konsumen diperluas. Dengan subsidi konsumen
diperluas ini maka seluruh konsumen yang tarif listrik nya masih dibawah
biaya penyediaannya wajib diberikan subsidi listrik oleh Pemerintah.
Kebijakan ini yang terus berlangsung hingga saat ini dan menjadi beban
keuangan Negara, dikarenakan jumlah subsidi yang terus membengkak (
Gambar 2.1 ).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12
Gambar 2.1 Perkembangan subsidi listrik tahun 2000 – 2013
Untuk menjaga keuangan Negara, Pemerintah melakukan perubahan
arah kebijakan. Subsidi listrik tidak boleh terus menggerus keuangan Negara.
Untuk itu perlu suatu upaya bagaimana beban subsidi listrik ini dapat
dikendalikan bahkan dikurangi secara bertahap. Apalagi mengingat bahwa
subsidi listrik sesuai amanat Undang-undang No.30 Tahun 2007 tentang
Energi maupun Undang-Undang No.30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan hanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pada tahun 2013, dengan
meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)
dalam pembahasan APBN Tahun 2013, maka Pemerintah melakukan
penyesuaian tarif tenaga listrik dengan kenaikan rata-rata sebesar 15%
melalui penyesuaian secara bertahap untuk periode triwulanan (4 kali dalam
setahun). Pemerintah melakukan penyesuaian di tahun 2014 untuk
penghapusan subsidi bagi 4 (empat) golongan pelanggan, yaitu:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13
1. Pelanggan Rumah Tangga Besar (R-3, daya 6.600 VA ke atas), contoh:
rumah mewah.
2. Pelanggan Bisnis Menengah (B-2, daya 6.600 VA s.d 200 kVA), contoh:
hotel bintang 3, kantor perbankan, restoran besar.
3. Pelanggan Bisnis Besar (B-3, daya diatas 200 kVA), contoh: Shopping
Center/Mall, Hotel bintang 4, hotel bintang 5, taman hiburan dan
rekreasi komersil, stasiun TV swasta.
4. Pelanggan Kantor Pemerintah sedang (P-1, daya 6.600 VA s.d 200
kVA), contoh: Kantor Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pada tahun 2014, dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik
Pemerintah kembali mengusulkan penghapusan subsidi listrik untuk
pelanggan listrik golongan industri besar I-4 daya diatas 30.000 kVA dan
industri menengah I-3 go public daya diatas 200 kVA. Pada awalnya,
kebijakan penghapusan subsidi sekaligus terhadap kedua pelanggan
tersebut mendapat persetujuan, yang berarti bahwa tarifnya langsung
dinaikkan ke tarif keekonomiannya yang dilakukan secara bertahap 4 x 2
bulanan.
Seiring dengan adanya perubahan kurs yang melonjak tinggi, dari
asumsi APBN 2014 yaitu Rp. 10.500/USD menjadi Rp.11.600/USD dalam
APBN-P 2014, maka Pemerintah kembali mengusulkan penghapusan subsidi
listrik untuk 6 (enam) golongan pelanggan, yaitu:
1. Industri I-3 non go public (daya diatas 200 kVA), melalui kenaikan tarif
listrik secara bertahap rata-rata 11,57% setiap dua bulan,
2. Rumah Tangga R-1 (daya 1.300 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara
bertahap rata-rata 11,36% setiap dua bulan,
3. Rumah Tangga R-1 (daya 2.200 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara
bertahap rata-rata 10,43% setiap dua bulan,
4. Rumah Tangga R-2 (daya 3.500 VA s.d 5.500 VA), melalui kenaikan
tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70 % setiap dua bulan,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14
5. Pemerintah P-2 (daya diatas 200 kVA), melalui kenaikan tarif listrik
secara bertahap rata-rata 5,36 % setiap dua bulan,
6. Penerangan Jalan Umum P-3, melalui kenaikan tarif listrik secara
bertahap rata-rata 10,69% setiap dua bulan,
yang diberlakukan mulai 1 Juli 2014 sampai dengan Desember 2014.
Kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi listrik dengan penyesuaian
TTL masih disambut negatif oleh berbagai kalangan. Namun demikian tidak
selalu harus dipandang negatif, penyesuaian TTL juga memberi dampak
positif, antara lain:
Selama ini masyarakat pelanggan listrik dimanjakan dengan tarif listrik
yang disubsidi, mengakibatkan penggunaan listrik yang cenderung
boros, dan sulit sekali diajak untuk hemat listrik. Dengan disesuaikannya
tarif listrik pelanggan tersebut menjadi tarif listrik non subsidi, tentu akan
memaksa pengguna dengan sendirinya untuk lebih berhemat
menggunakan listrik, jika dia tidak mau membayar tagihan yang besar.
Dengan adanya penghematan di sisi konsumen, tentu turut mengurangi
tenaga listrik yang harus disediakan/dibangkitkan, terutama yang
dibangkitkan dengan membakar BBM di pembangkit listrik, dan ini akan
mengurangi biaya produksi listrik, dan pada akhirnya juga mengurangi
subsidi listrik;
Dengan adanya penghapusan subsidi listrik bagi pelanggan industri
menengah I-3 daya di atas 200 kVA dan industri besar I-4 daya 30.000
kVA ke atas akan merangsang pelanggan industri tersebut untuk
mengusahakan kebutuhan listriknya sendiri dengan biaya yang lebih
murah dibandingkan dengan membeli dari PLN.
Subsidi listrik yang dihemat dapat dialihkan oleh Pemerintah untuk
membangun infrastruktur listrik di Indonesia dalam rangka
meningkatkan rasio elektrifikasi yang saat ini baru mencapai 80,51%,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15
sehingga semakin banyak lagi daerah-daerah yang bisa menikmati
listrik.
2.2.3 Kebijakan Harga Pangan
Sistim perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar
bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh
oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi tersebut dan berbagai
masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan,
terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan
bawang merah menjadi berfluktuasi. Indonesia sebagai negara agraris
menghasilkan berbagai macam produk pangan strategis, bahkan untuk
komoditas tertentu sudah surplus.
Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan kebutuhan pangan
masyarakat dapat terpenuhi, pemerintah harus melindungi masyarakat dan
petani dari gejolak harga, seperti harga jatuh pada saat panen raya, dan
harga melambung pada saat di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah adalah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani
sebagai produsen mendapatkan hasil yang menguntungkan, dan masyarakat
sebagai konsumen mampu membeli bahan pangan dengan harga yang
terjangkau.
Kebijakan stabilisasi harga pangan berperan dalam memantapkan
ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitas politik
nasional. Pengalaman Tahun 1996 dan Tahun 1998 membuktikan bahwa
terjadinya goncangan ekonomi yang kemudian berubah menjadi krisis politik,
terjadi karena harga pangan melonjak drastis dalam jangka waktu yang
pendek. Untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pemerintah
berupaya merumuskan kebijakan stabilitas harga pangan yang komprehensif
dan dapat merespon beberapa perubahan lingkungan strategis seperti
dinamika ekonomi global dan perubahan sistem manajemen pemerintahan
agar krisis ekonomi dan krisis politik tidak terulang kembali.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16
Secara umun, kebijakan harga pangan meliputi kebijakan perberasan
(Harga Pembelian Pemerintah/HPP), kebijakan stabilisasi harga kedelai
(SHK), pemantauan harga pangan pokok pada hari-hari besar keagamaan
dan nasional (HBKN), prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan
strategis, serta kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Secara rinci perumusan kebijakan dan stabilisasi harga tersebut diuraikan di
bawah ini:
Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah/Beras
Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah
anjloknya harga jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya
harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi
rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga
beras dapat menimbulkan gejolak sosial mengingat beras merupakan
makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani
dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak
bagi petani. Selain itu, beras dijual ke masyarakat/konsumen diatur dengan
harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar.
Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) procurement price policy.
Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan
petani, pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional,
peningkatan ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan
pangan. Selain itu juga untuk mendukung peningkatan produktivitas petani
padi dan produksi beras nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah
diharapkan menjadi “semacam harga minimum” (floor price) yang berfungsi
sebagai referensi harga (price reference) bagi petani dan pedagang yang
melakukan transaksi jual-beli gabah/beras.
Penetapan HPP gabah/beras pertama kali dilakukan pada tahun 2002
yang dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17
2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah/beras untuk
menyesuaikan situasi perberasan dalam negeri, terutama akibat
perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama
periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) berkisar 8-30
persen atau rata-rata 15,43 persen per tahun, kenaikan HPP Gabah Kering
Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau rata-rata 13,82 persen per tahun, dan
HPP beras berkisar 0-30 persen atau rata-rata 15,90 persen per tahun.
Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain
penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada
tanggal 1 Oktober 2005 terjadi kenikan solar sebesar 124 persen yang
berdampak sangat besar terhadap kinerja sektor pertanian. Untuk
mempertahankan profitabilitas usahatani padi agar usaha tani padi
menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah mengeluarkan kebijakan
perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang menaikan HPP
gabah/beras.
Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga
gabah/beras di pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada
akhir Tahun 2006 sampai awal 2007, harga gabah/beras sekitar 40-60
persen di atas HPP. Hal ini menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target
pengadaan gabah/beras pemerintah, sehingga pemerintah kembali
mengeluarkan kebijakan perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007. Selain
itu, tingginya harga beras dunia yang terjadi karena berbagai masalah di
negara-negara produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga minyak
juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP.
Kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010
yang berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu
alasan pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan
mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada
Januari 2010. Diharapkan dengan penyesuaian HPP tersebut, pendapatan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18
petani tidak menurun dan peningkatan produksi beras nasional tidak
terganggu.
Selama Tahun 2002 – 2004, harga Gabah Kering Panen (GKP) di
tingkat petani masih berada di bawah HPP (antara 41,6 – 66,67 persen),
namun sejak Tahun 2005 – 2012, harga GKP selalu berada di atas HPP,
yaitu pada kisaran 4,4 – 36,20 persen di atas HPP, seperti terlihat pada
Gambar 1. Dengan demikian kenaikan HPP GKP berdampak positif dalam
meningkatkan harga aktual GKP petani dengan persentase yang jauh lebih
tinggi, baik pada bulan-bulan panen raya (Maret-April) maupun tahunan. Hal
ini menunjukkan kenaikan harga aktual GKP di tingkat petani berdampak
langsung terhadap keuntungan usahatani padi.
Di tingkat konsumen, kebijakan perberasan dengan penetapan HPP
juga dinilai cukup efektif mengendalikan harga beras dalam negeri. Pada
Januari 2008, dunia internasional sedang mengalami krisis pangan yang
menyebabkan harga komoditas pangan penting seperti beras, jagung,
kedelai dan gandum melonjak tajam. Melonjaknya harga beras dunia pada
periode tersebut tidak mempengaruhi harga beras dalam negeri.
Stabilisasi Harga Kedelai (SHK)
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat
strategis karena merupakan bahan baku tahu dan tempe yang merupakan
sumber lauk-pauk utama sebagian besar penduduk Indonesia. Bahkan pada
tahun 60-an, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, karena
tingginya konsumsi masyarakat pada komoditas tempe.
Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun
Indonesia mengalami berbagai permasalahan seperti ketersediaan dalam
negeri yang belum mencukupi, rata-rata baru mencapai sekitar 40 persen
sehingga untuk memenuhi kekurangannya melalui impor. Selain itu, tata
niaga kedelai yang didominasi pengusaha importir sering berdampak pada
instabilitas harga kedelai di tingkat masyarakat, baik produsen dalam hal ini
pengrajin tahu dan tempe, maupun konsumen atau masyarakat luas.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19
Ketergantungan kedelai terhadap produk impor juga berpengaruh terhadap
harga di dalam negeri akibat fluktuasi harga kedelai di pasar internasional.
Kondisi tersebut menyebabkan kedelai berpengaruh terhadap perubahan
inflasi.
Selama periode 2002-2012, harga kedelai dalam negeri baik kedelai
lokal ataupun kedelai eks-impor terus mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun dengan perubahan kenaikan sekitar 11,46 persen per tahun seperti
terlihat pada Gambar 3. Lonjakan kenaikan harga kedelai yang sangat
signifikan terjadi pada tahun 2008, sebesar 58,41 persen dari Rp 5.389/kg
menjadi Rp 8.536/kg, yang diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar
internasional sebesar 48,16 persen.
Melihat berbagai permasalahan seperti di atas, pemerintah mengambil
langkah-langkah penanganan terhadap stabilitas dan pengendalian harga
kedelai agar ketersediaan dan fluktuasi harga kedelai tidak menganggu
stabilitas masyarakat. Seperti tahun 2008, untuk menurunkan harga kedelai
dalam negeri, pemerintah membebaskan kebijakan bea masuk kedelai impor
pada tahun 2008 dan menggalakan petani untuk menanam kedelai dengan
memberikan subsidi.
Mengingat kedelai merupakan komoditas strategis, dan banyaknya
permasalahan dalam penanganannya, sejak tahun 2002 pemerintah telah
berupaya untuk menjaga stabilitas harga kedelai. Pada tahun 2003
pemerintah telah menargetkan untuk tahun 2006 tidak akan melakukan impor
kedelai terutama untuk kebutuhan industri, namun harus dipenuhi dari dalam
negeri agar harga jual kedelai petani tidak jatuh. Untuk melindungi produsen
lokal agar harga kedelai lebih murah, pada Tahun 2005 bea masuk kedelai
impor ditetapkan 10 persen, jauh lebih rendah dari usulan sekitar 30 persen.
Pada Tahun 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
menekan gejolak harga kedelai impor, yaitu bea masuk dibebaskan, PPh
impor turun dari 2,5 persen ke 0,5 persen, dan pemberian subsidi bagi bahan
baku kedelai Rp 1.000/kg selama 6 bulan. Selain itu, mengingat produksi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20
nasional kedelai masih rendah, pemerintah menargetkan alokasi dana Rp 1
triliun bagi pengembangan kedelai nasional yang akan digunakan untuk
peningkatan produksi nasional kedelai menjadi 1 juta ton, dan pemberian
bibit paritas unggul pagi petani.
Sampai tahun 2012, produksi kedelai dalam negeri masih belum
mencukupi kebutuhan nasional, sehingga pemenuhanya dilakukan melalui
impor. Namun demikian, kebijakan tersebut berdampak pada gejolak harga di
tingkat masyarakat. Harga jual kedelai petani biasanya anjlok pada saat
panen raya akibat harga kedelai impor yang jauh lebih murah. Sedangkan
pada saat tidak panen, harga jual kedelai ke pengrajin sangat mahal
sehingga berdampak pada naiknya harga tahu dan tempe yang ujungnya
berdampak pada terganggunya daya beli masyarakat.
Pada Tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Program
Stabilisasi Harga Kedelai (Program SHK) yang bertujuan untuk stabilisasi
harga kedelai di tingkat petani dan di tingkat pengrajin secara bersamaan.
Hal ini dilakukan mengingat sejak bulan Agustus 2012, harga kedelai dalam
negeri melonjak tinggi dan sulit dikendalikan sehingga menimbulkan gejolak
dimasyarakat. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian terlibat
langsung dalam penyusunan kebijakan Program SHK, dari mulai proses
penyusunan peraturan, hingga mekanisme pelaksanaan kebijakan, termasuk
di dalamnya dalam penentuan harga beli kedelai di tingkat petani.
Kebijakan SHK ditetapkan pada tanggal 28 Mei 2013 melalui
Peraturan Menteri Perdagangan No.23/2013 tentang program Stabilisasi
Harga Kedelai yang merupakan implementasi dari Perpres No.32/2013
tentang Penugasan Kepada Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan
Penyaluran Kedelai. Melalui program stabilisasi harga kedelai, pemerintah
berupaya mengatur tata niaga kedelai melalui pembelian kedelai petani
dengan harga tertentu sehingga petani mendapat keuntungan yang layak,
dan menjual kedelai kepada pengrajin tahu/tempe dengan harga tertentu
sehingga harga jual produk terjangkau masyarakat. Untuk mendukung
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21
pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan
tentang Penetapan Harga Pembelian/Penjualan Kedelai Petani melalui
Permendag No.25/2013.
Di dalam Program SHK, Harga Pembelian Kedelai Petani yang
selanjutnya disebut HBP Kedelai adalah harga acuan pembelian kedelai di
tingkat petani yang ditetapkan sebesar Rp 7.000/kg. HBP kedelai tersebut
berlaku untuk masa panen raya triwulan III periode 1 Juli sampai dengan 30
September 2013. Sementara harga penjualan kedelai di tingkat pengrajin
tahu/tempe disebut HJP kedelai berlaku 1 bulan, ditetapkan sebesar Rp
7.450/kg berlaku untuk bulan Juli 2013, dan Rp.7.700/kg untuk bulan Agustus
2013, dan akan ditinjau kembali untuk bulan selanjutnya. Apabila masa
berlaku telah lewat, tetapi penetapan HJP yang baru belum ditetapkan, maka
HJP kedelai yang berlaku masih sama dengan harga sebelumnya.
Prognosa Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan
Upaya penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang
dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan, sampai dengan
distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang
serta melibatkan banyak pihak. Penyusunan prognosa tersebut harus
dilakukan secara tepat dan akurat agar perencanaan dan kebijakan yang
diambil juga tepat sasaran.
Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan sudah dimulai sejak
tahun 2002. Prognosa tersebut merupakan informasi tentang kondisi
kebutuhan dan ketersediaan pangan yang disusun dalam format bulanan.
Pada awalnya penyusunan prognosa bertujuan untuk sosialisasi dan
informasi perkiraan kondisi ketersediaan dan kebutuhan pangan menjelang
Hari-hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN). Bagi masyarakat,
informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengantisipasi,
mencari alternatif bahan pangan dan mengatur tingkat konsumsi dalam
mengatasi kebutuhan pangan yang relatif meningkat pada periode menjelang
HBKN. Bagi pemerintah, informasi tersebut diperlukan untuk mengambil
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22
langkah-langkah antisipasi menjaga stabilitas pasokan bahan pangan pokok
dalam menghadapi HBKN agar volumenya mencukupi dengan harga yang
tidak melonjak terlalu tinggi. Dengan berjalannya waktu, penyusunan
prognosa mempunyai tujuan yang lebih luas lagi yaitu prognosa kebutuhan
dan ketersediaan pangan dijadikan acuan dalam menentukan sasaran
produksi, penyediaan pasokan impor, dan perumusan langkah-langkah
antisipasi pemenuhan kebutuhan selama 1 (satu) tahun.
Selama tahun 2005-2010, perhitungan prognosa kebutuhan dan
ketersediaan pangan dilakukan pada 9 komoditas strategis yang pada hari-
hari besar keagamaan mengalami gejolak harga dan mengalami peningkatan
kebutuhan konsumen, yaitu beras, kacang tanah, gula pasir, minyak goreng,
cabai merah, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Pada
tahun 2011, meningkat menjadi 10 komoditas dengan penambahan
komoditas jagung, dan mulai tahun 2012 menjadi 12 komoditas dengan
penambahan kedelai dan cabai (cabai rawit dan cabai besar).
Dalam beberapa tahun terakhir ini, prognosa kebutuhan dan
ketersediaan bahan pangan sudah menjadi bahan utama dalam rapat
koordinasi kebijakan stabilisasi harga pangan, baik dalam rapat teknis
maupun rapat terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Selain itu, prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan juga menjadi acuan
dalam pemberian rekomendasi impor oleh Kementerian Pertanian yang
digunakan untuk memperoleh surat penerbitan impor (SPI) oleh Kementerian
Perdagangan.
Penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan pokok
minimal disusun berdasarkan kebutuhan dan angka sasaran produksi
(prognosa I). Selanjutnya prognosa tersebut akan dievaluasi dan
disempurnakan sesuai dengan perubahan angka prognosa produksi (BPS),
angka realisasi produksi (Ditjen teknis), ekspor dan impor. Beberapa tahapan
penyusunan prognosa, yaitu: (a) Revisi I: Prognosa kebutuhan dan
ketersediaan pangan yang didasarkan pada prognosa produksi BPS (Maret-
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23
April); (b) Revisi II: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang
didasarkan pada ARAM I BPS (Juli-Agustus); dan (c) Revisi III: Prognosa
kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM II BPS
(November).
Pemantauan Harga Hari-Hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN)
Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari aspek
budaya, sosial dan agama, serta pendirian bangsa yang penuh dengan latar
belakang historis. Hal tersebut menyebabkan banyaknya hari-hari besar
keagamaan dan nasional (HBKN) seperti Puasa, Idul Fithri, Idul Adha, Natal
dan lainnya. Kultur budaya sebagian besar masyarakat Indonesia dalam
menyambut dan merayakan HBKN umumnya membutuhkan bahan pangan
dalam jumlah yang lebih banyak dibanding hari biasa. Kondisi ini
menyebabkan tidak seimbangnya permintaan masyarakat dengan
ketersediaan yang ada dalam periode tertentu. Hal tersebut mengakibatkan
fluktuasi harga yang cukup tinggi pada hampir semua komoditas pangan.
Sejak tahun 2002-2012, secara umum kondisi harga pangan nasional
cenderung berfluktuasi dan naik setiap tahunnya. Fluktuasi harga disebabkan
adanya kenaikan permintaan menjelang HBKN seperti Idul Fitri, Idul Adha
dan Natal, serta dampak dari kenaikan harga di pasar internasional.
Kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM juga berpengaruh
terhadap instabilitas harga. Sebagai contoh, pada pertengah tahun 2012
terjadi kenaikan harga BBM pada saat menjelang bulan puasa. Hal ini
berdampak pada peningkatan harga bahan pangan pada hampir semua
komoditas, terutama cabai, bawang merah, dan daging sapi yang membuat
gejolak di masyarakat. Pemerintah mengantisipasi gejolak harga pada saat
dan menjelang HBKN antara lain melalui pemantauan harga di pasar-pasar,
baik pasar modern maupun tradisional untuk mengetahui kondisi riil serta
upaya antisipasi kenaikan harga pangan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24
2.3 Pentingnya Pengendalian Inflasi dalam Perekonomian
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi
didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil
memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Dampak negatif inflasi tersebut adalah pertama, inflasi yang tinggi akan
menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar
hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama
orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan
menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam
mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang
tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan
konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi
dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga
domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan
pada nilai rupiah (Bank Indonesia, 2015).
Pencapaian suatu target inflasi dengan tingkat fluktuasi yang minimal
merupakan kerangka dasar tujuan kebijakan ekonomi makro di berbagai
negara maju dan berkembang. Inflasi yang rendah dan stabil mencerminkan
stabilitas kondisi ekonomi makro. Faktor ini sangat penting bagi
terselenggaranya proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai penelitian telah
menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi meskipun pada suatu batasan tertentu inflasi merupakan indikasi
berjalannya roda kegiatan ekonomi. Inflasi yang melebihi batas tertentu
(threshold) secara signifikan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Threshold inflasi untuk negara maju antara 1 – 3%, sedangkan untuk negara
berkembang 11 – 12% (Khan & Senhadji, 2000).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25
Inflasi yang cenderung tinggi berkaitan erat dengan besarnya variabel
biaya yang harusdikeluarkan dalam aktivitas kegiatan ekonomi, yang pada
gilirannya menentukan tingkatefisiensi suatu perekonomian. Besarnya
variabel biaya “ekstra” yang harus dikeluarkan olehpelaku usaha ini akan
mempengaruhi keputusan bisnis pengusaha dalam melakukanekspansi dan
atau berproduksi. Situasi pergerakan inflasi yang berfluktuasi secara tajam
menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha dalam menentukan rencana
bisnisnya. Kondisi ini secara agregat berdampak pada peran investasi yang
lebih konservatif dalam perekonomian dan menekan laju produktivitas
kegiatan usaha (Fischer, 1993). Survei yang diselenggarakan oleh Bappenas
5 menunjukkan bahwa inflasi sebagai salah satu faktor penting yang
mempengaruhi investasi baru. Tingginya inflasi maupun ketidakstabilannya
akan dapat menghambat perkembangan investasi baru.
Tingkat inflasi suatu negara turut menentukan daya saing ekspor
dalam pasar internasional.Inflasi yang lebih tinggi relatif dibandingkan dengan
inflasi di negara-negara pesaing dagang menyebabkan harga komoditas
ekspor menjadi tidak kompetitif. Inflasi yang tinggi juga memicu turunnya
pendapatan riil sehingga menggerus daya beli masyarakat. Kenaikan inflasi
yang tinggi memiliki pengaruh yang negatif pada pendapatan per kapita
masyarakat (Barro, 1995). Dalam jangka panjang, efek dari kenaikan inflasi
ini secara substantif menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat suatu
negara. Implikasi negatif yang ditimbulkan dari ketidakstabilan dan kenaikan
inflasi yang tinggi menjadi suatu konsensus bagi para pengambil kebijakan
ekonomi makro dan bank sentral untuk menitikberatkan pencapaian tingkat
inflasi yang rendah dan stabil sebagai tujuan utama kebijakan (Pokjanas
TPID, 2014).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26
2.4 Principal Component Analysis (PCA)
PCA digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians- kovarians
dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut.
Secara umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi
variabel-variabel.
Misalkan saja terdapat p buah variabel yang terdiri atas n buah objek.
Misalkan pula bahwa dari p buah variabel tersebut dibuat sebanyak k buah
komponen utama (dengan k ≤ p) yang merupakan kombinasi linier atas p
buah variabel tersebut. k komponen utama tersebut dapat menggantikan p
buah variabel yang membentuknya tanpa kehilangan banyak informasi
mengenai keseluruhan variabel. Umumnya PCA merupakan analisis
intermediate yang berarti hasil komponen utama dapat digunakan untuk
analisis selanjutnya.
Dalam bentuk matematis, katakan saja bahwa Y merupakan
kombinasi linier dari variabel-variabel X1, X2, … , Xp yang dapat
dinyatakan sebagai
Y = W1X1 + W2X2 + … + WpXp
dengan
Wi adalah bobot atau koefisien untuk variabel ke-i
Xi adalah variabel ke-i
Y adalah kombinasi linier dari variabel X
Secara prinsip pembentukan komponen utama merupakan
pembentukan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati. Dalam
PCA ditentukan suatu metode untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien atau
bobot dari kombinasi linier variabel-variabel pembentuknya dengan
ketentuan sebagai berikut:
a) Ada sebanyak p komponen utama, yaitu sebanyak variabel yang
diamati dan setiap komponen utama adalah kombinasi linier dari
variabel-variabel tersebut
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27
b) Setiap komponen utama saling ortogonal (tegak lurus)
dan saling bebas.
c) Komponen utama dibentuk berdasarkan urutan varians dari yang
terbesar hingga yang terkecil, dalam arti sebagai berikut
komponen utama pertama (KU1) merupakan kombinasi linier
dari seluruh variabel yang diamati dan memiliki varians terbesar.
komponen utama kedua (KU2) merupakan kombinasi linier
dari seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal
terhadap KU1 dan memiliki varians kedua terbesar.
komponen utama ketiga (KU3) merupakan kombinasi linier
dari seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal baik
terhadap KU1 maupun KU2, dan memiliki varians ketiga
terbesar.
komponen utama ke p (KUp) merupakan kombinasi linier dari
seluruh variabel yang diamati yang bersifat ortogonal terhadap
KU1, KU2, … , KU(p-1) dan memiliki varians yang terkecil.
Untuk mendapatkan koefisien komponen utama secara bersamaan
dapat menggunakan salah satu cara berikut ini
dekomposisi eigen value dan eigen vector dari matriks korelasi
atau kovarians dari variabel-variabel yang diamati. Dalam hal ini
eigen value merupakan varians setiap komponen utamanya dan
eigen vector merupakan koefisien-koefisien komponen utamanya
dekomposisi nilai singular dari matriks data yang berukuran n x p.
Interpretasi dari komponen utama adalah bahwa komponen utama
tersebut merupakan suatu sistem sumbu baru dalam ruang vektor
berdimensi banyak peubah yang diamati. Melalui komponen utama salib-
salib sumbu tersebut telah diubah skalanya dan dirotasi hingga
memiliki sifat varians yang terurut semakin kecil dan ortogona. Apabila
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28
varians dari variabel-variabel yang diamati mempengaruhi besarnya bobot
atau koefisien komponen utamanya maka PCA dapat dilakukan
menggunakan matriks varians-kovarians. Secara sederhana varians
merupakan suatu informasi dari variabel yang diamati yang berarti apabila
sebuah variabel memiliki pengamatan yang semua nilainya sama maka
variabel tersebut tidak memiliki informasi yang dapat membedakan antar
pengamatan.
Komponen utama adalah himpunan variabel baru yang merupakan
kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati. Komponen utama
memiliki sifat varians yang semakin mengecil, sebagian besar variasi
(keragaman atau informasi) dalam himpunan variabel yang diamati
cenderung berkumpul pada beberapa komponen utama pertama, dan
semakin sedikit informasi dari variabel asal yang terkumpul pada
komponen utama terakhir. Hal ini berarti bahwa komponen-komponen
utama pada urutan terakhir dapat diabaikan tanpa kehilangan banyak
informasi. Dengan cara ini PCA dapat digunakan untuk mereduksi variabel-
variabel.
Untuk keperluan reduksi variabel tentu harus ditentukan berapa
banyak komponen utama yang mesti diambil. Ada beberapa cara untuk
menentukan berapa banyak komponen utama yang harus diambil
diantaranya adalah: (i) menggunakan scree plot. Banyak komponen yang
diambil adalah pada titik kurva tidak lagi menurun tajam atau mulai melandai;
dan (ii) menggunakan proporsi kumulatif varinas terhadap total varians
Telah dijelaskan bahwa antar komponen utama bersifat ortogonal
yang artinya bahwa setiap komponen utama merupakan wakil dari seluruh
variabel asal sehingga komponen- komponen utama tersebut dapat
dijadikan pengganti variabel asal apabila analisis terhadap variabel
tersebut membutuhkan ortogonalitas, Dalam analisis regresi linier berganda
memerlukan suatu syarat tidak adanya multikolinieritas antara variabel-
variabel bebasnya. Apabila ternyata dalam data terdapat multikolinieritas
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29
maka komponen utama dapat digunakan sebagai pengganti variabel-
variabel bebas dalam model regresi tersebut.
Dalam PCA diperoleh beberapa ukuran-ukuran berikut:
1. Nilai total varians merupakan informasi dari seluruh variabel asal yang
dapat dijelaskan oleh komponen-komponen utamanya.
2. Proporsi varians komponen utama ke k terhadap total varians
menunjukkan besarnya persentase informasi variabel-variabel asal
yang terkandung dalam komponen utama ke-k.
3. Nilai koefisien korelasi antara komponen utama dengan variabelnya.
2.5 Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Secara empiris harga komoditas pangan (volatile foods) mempunyai
peranan penting dalam pengendalian inflasi. Porsi sumbangannya yang
cukup signifikan terhadap inflasi dan responnya yang cepat terhadap
berbagai shocks membuatnya layak untuk dijadikan sebagai leading
indicators inflasi. Permintaan konsumsi komoditas pangan yang telah
menjadi kebutuhan pokok cenderung stabil sehingga gejolak harganya lebih
dipengaruhi oleh shock di sisi penawaran seperti siklus panen, bencana, dan
distribusi.
Secara lebih spesifik, paper ini mencoba menelaah peran distribusi
dalam pembentukan harga komoditas. Faktor distribusi yang diamati meliputi
rantai distribusi,marjin keuntungan, biaya dan gangguan distribusi. Dalam
kajian ini, analisis pengaruh distribusi terhadap harga dilakukan dengan
membangun model pembentukan harga di tingkat konsumen dalam jangka
pendek di mana harga di tingkat konsumen ditentukan oleh harga di tingkat
petani/produsen ditambah biaya pemasaran/distribusi komoditas dari
petani/produsen sampai ke tingkat pedagang pengecer. Model pembentukan
harga komoditas diformulasikan sebagai berikut:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30
Pt = 𝑓 (Pt-1,Pit,Pmt,Pst,Qt,XtDt,Zt)
Dimana:
Pt : harga komoditas di tingkat konsumen (eceran)
Pit : harga bahan baku/harga input
Pmt : harga impor atau harga komoditas di pasar internasional
Pst : harga komoditas subtitusi
Qt : volume/jumlah produksi
Xt : faktor-faktor dari sisi permintaan
Dt : variabel yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi
Zt : kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pembentukan harga
komoditas
Estimasi persamaan dalam model tersebut dilakukan dengan
menggunakan data time series bulanan dengan periodisasi yang bervariasi
untuk tiap komoditas sesuai dengan ketersediaan data. Untuk kepentingan
estimasi, pada umumnya data ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma
natural (ln). Hasil analisis menunjukkan bahwa Peningkatan harga BBM
yang mendorong peningkatan biaya transportasi tidak signifkan terhadap
harga komoditas produk industri seperti minyak goreng dan gula pasir.
Namun signifkan terhadap komoditas non-industri dengan peningkatan biaya
aktual sekitar 1%, namun peningkatan harga yang terjadi dapat mencapai
5%. Dengan demikian dampak peningkatan BBM terhadap harga komoditas
dan inflasi secara keseluruhan lebih besar dari faktor distribusi lainnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31
3. BAB III
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan
dirumuskan dengan kerangka pemikiran sebagai berikut: (Gambar 3.1)
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
Kerangka diatas menjelaskan bahwa transmisi dampak kebijakan pemerintah
terhadap inflasi dan kemiskinan dapat berlangsung melalui kenaikan harga
kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan pokok ini kemudian dapat
mendorong pergerakan inflasi. Selanjutnya, inflasi ini dapat menggeser garis
kemiskinan naik, sehingga jika diasumsikan tidak terdapat kenaikan
pendapatan atau tingkat pengeluaran penduduk (terutama yang miskin dan
hampir miskin), maka dapat dipastikan tingkat kemiskinan juga akan bergerak
naik.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32
3.2 Data dan Sumber Data
Data utama yang digunakan untuk analisis ini adalah harga bahan
kebutuhan pokok meliputi beras, jagung, terigu, kedelai, ayam, sapi, telur,
gula, bawang, dan minyak goreng. Data tersebut adalah data time series
periode bulanan mulai tahun 2011-2014. Karena umumnya data harga
komoditas tersebut adalah data nominal, maka sebelum digunakan dalam
proses pemodelan lebih lanjut, data tersebut akan di-riil-kan terlebih dahulu
dengan menggunakan indeks harga konsumen (IHK) tahun dasar 2007.
Selain menggunakan data harga, perhitungan analisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan ini juga menggunakan
beberapa data pendukung lainnya seperti harga komoditas energi (bensin,
solar, elpiji, dan listrik), Indeks Harga Konsumen (IHK), jumlah/persentase
penduduk miskin, garis kemiskinan, Data-data di atas utamanya bersumber
dari beberapa instansi resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Kementerian Perdagangan.
3.3 Metode Analisis
3.3.1 Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap harga
kebutuhan pokok dan Inflasi
Kebijakan pemerintah dalam hal ini direpresentasikan oleh kebijakan yang
mempengaruhi dinamika harga energi, yaitu bensin, solar, dan elpiji.
Sementara itu, barang-barang kebutuhan pokok direpresentasikan oleh
beberapa komoditi, yaitu beras, jagung, terigu, kedelai, daging sapi, daging
ayam, telur ayam, bawang merah, minyak goreng dan gula.
Secara umum proses pemodelan adalah sebagai berikut:
Pemodelan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap
harga kebutuhan pokok. Di sini konteks kebijakan pemerintah yang dikaji
adalah kebijakan yang berkait dengan harga energi (BBM (bensin dan solar),
elpiji, dan listrik). Dengan demikian, pada tahap ini model akan mengukur
dampak dari kebijakan fluktuasi harga energi ini terhadap dinamika sepuluh
harga kebutuhan pokok.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33
Pada tahap ini, akan dibangun suatu model yang merepresentaiskan
hubungan antara harga energi, harga komoditas pokok, dan inflasi.
Hubungan tersebut dinyatakan dalam suatu model regresi linier berganda.
Namun demikian, karena model regresi melibatkan jumlah indikator yang
cukup besar, maka untuk menghindari gejala multikolinieritas dalam model,
variabel-variabel komoditas akan dikelompokkan dalam suatu indeks harga
dengan menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA).
PCA digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians-kovarians dari
suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut.
Secara umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi
variabel-variabel. Dalam hal ini, komponen utama adalah himpunan variabel
baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati.
Pengelompokkan variabel berdasarkan PCA disajikan sebagai berikut:
1 2 3 4EP W BENSIN W SOLAR W ELPIJI W LISTRIK ………………...... (1)
1 11 12 13 14KP W BERAS W JAGUNG W TERIGU W KEDELAI …………… (2)
2 21 22 23KP W AYAM W SAPI W TELUR ………………………………...... (3)
3 31 32 33KP W GULA W MIGOR W BAWANG ……………………………… (4)
Keterangan:
Wi adalah bobot atau koefisien untuk variabel ke-i
P adalah harga yang mencerminkan dari kombinasi linier dari variabel
harga yang bersangkutan.
Selanjutnya, berdasarkan variabel yang telah direduksi di atas, dapat
dirumuskan model yang mencerminkan hubungan antara harga energi,
harga komoditas, dan inflasi. Model tersebut dispesifikasikan sebagai berikut:
1 10 11 12 2 13 3 1K t Et K t K t tP P P P ………………………………..... (5)
2 20 21 22 1 23 3 2K t Et K t K t tP P P P ……………………………….... (6)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34
3 30 31 32 1 33 2 3K t Et K t K t tP P P P ………………………………..... (7)
40 41 1 42 2 43 3 4K t K t K t tIHK P P P ……………………………….. (8)
Keterangan:
1K tP, 2K tP
, 3K tP : menyatakan komponen harga kelompok komoditas.
βij : menyatakan parameter regresi
ε: menyatakan error term
3.3.2 Struktur model dampak kebijakan pemerintah terhadap
kemiskinan
Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan dilakukan
dengan menggeser garis kemiskinan sebesar pergeseran IHK yang diperoleh
dari model IHK (persamaan 8). Dari pergeseran garis kemiskinan tersebut,
selanjutnya dilakukan perhitungan pergerakan angka tingkat kemiskinannya.
Untuk dapat menghitung pergerakan tingkat kemiskinan tersebut
menggunakan data dasar (baseline) berupa tabel distribusi penduduk
menurut kelompok pengeluarannya. Pada kajian ini, kita menggunakan tabel
distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran sebagaimana yang dirilis
oleh Badan Pusat Statistik.
Dengan pendekatan diatas, angka kemiskinan pada tingkat baseline
diestimasi kembali. Estimasi tersebut akan menyimpang dari angka
kemiskinan yang resmi. Penyimpangan tersebut bersumber dari perbedaan
basis data yang digunakan dalam menghitung angka kemiskinan itu. Dalam
angka kemiskinan yang resmi, perhitungan dilakukan dengan menggunakan
basis data di tingkat rumahtangga, sedangkan dalam kajian ini, angka
kemiskinan diperkirakan atau diestimasi dari data tabel frekuensi. Disini, jelas
ada perbedaan dari sisi keakuratannya, Namun, hal itu tidak terlalu masalah
karena yang akan kita analisis atau perhitungkan adalah pergerakan angka
kemiskinan sebagai akibat adanya pergeseran pada garis kemiskinan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35
Sementara itu, sebagaimana telah diulas di atas, pergeseran garis
kemiskinan tersebut mengikuti besaran pergeseran (growth) dari IHK yang
dihasilkan melalui model.
Pendekatan analisis dampak terhadap kemiskinan tersebut
diilustrasikan pada Gambar 3.2 berikut ini:
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
< 1
50
00
0
1500
00 -
1999
99
2000
00 -
2999
99
3000
00-4
9999
9
5000
00 -
7499
99
75
00
00
-99
99
99
10
00
00
0 -
14
99
99
9
>= 1
50
00
00
00
Distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran (%)
GK1
GK2
%pov1
%pov2
Gambar 3.2 Ilustrasi Perubahan tingkat kemiskinan
3.3.3 Struktur simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi
dan kemiskinan
Dengan menggunakan model-model diatas, maka dapat
dikembangkan simulasi dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan
kemiskinan. Simulasi ini mengikuti tahapan sebagaimana diilustrasikan pada
Gambar 3.3 berikut.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36
KebijakanPerubahan Harga Energi
Perubahan pada Indeks PE
Perubahan Harga Bahan Makanan
Perubahan pada Indeks
PK1, PK2, dan PK3
Perubahan pada IHK
Perubahan pada Garis
Kemiskinan
Perubahan pada tingkat
pengeluaran (asumsi)
Perubahan pada tingkat kemiskinan
Gambar 3.3 Tahapan dalam simulasi dampak kebijakan terhadap inflasi dan kemiskinan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37
4. BAB IV
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
INFLASI DAN KEMISKINAN
4.1 Formulasi Indeks Harga dengan PCA
Sebagaimana telah dibahas pada bagian metode, variabel-variabel
komoditas akan dikelompokkan dalam suatu indeks harga dengan
menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA). PCA
digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians-kovarians dari suatu
set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel tersebut. Secara
umum komponen utama dapat berguna untuk reduksi dan interpretasi
variabel-variabel. Dalam hal ini, komponen utama adalah himpunan variabel
baru yang merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati.
Pengelompokkan variabel berdasarkan PCA disajikan sebagai berikut:
1 2 3 4EP W BENSIN W SOLAR W ELPIJI W LISTRIK ………………….. (1)
1 11 12 13 14KP W BERAS W JAGUNG W TERIGU W KEDELAI …………... (2)
2 21 22 23KP W AYAM W SAPI W TELUR …………………………………. (3)
3 31 32 33KP W GULA W MIGOR W BAWANG …………………………….. (4)
Keterangan:
Wi adalah bobot atau koefisien untuk variabel ke-i
P adalah harga yang mencerminkan dari kombinasi linier dari
variabel harga yang bersangkutan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 38
Hasil perhitungan indeks harga dengan menggunakan PCA ini disajikan
pada Tabel 4.1 - Tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.1 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan I
PCA: Bahan Komoditas I (Beras, Jagung, Kedelai, Terigu)
Principal components/correlation Number of obs =
48
Number of comp. =
4
Trace =
4
Rotation: (unrotated = principal) Rho =
1.0000
------------------------------------------------------------------------
--
Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative
-------------+----------------------------------------------------------
--
Comp1 | 2.14626 1.14039 0.5366 0.5366
Comp2 | 1.00587 .460662 0.2515 0.7880
Comp3 | .545209 .242548 0.1363 0.9243
Comp4 | .302661 . 0.0757 1.0000
------------------------------------------------------------------------
--
Principal components (eigenvectors)
--------------------------------------------------------------------
Variable | Comp1 Comp2 Comp3 Comp4 | Unexplained
-------------+----------------------------------------+-------------
beras | 0.2096 0.9140 0.3450 -0.0406 | 0
jagung | 0.6114 -0.1084 0.0080 0.7839 | 0
kedelai | 0.5272 -0.3700 0.6047 -0.4685 | 0
terigu | -0.5517 -0.1264 0.7178 0.4055 | 0
--------------------------------------------------------------------
Yg digunakan dalam model --> Comp3
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39
Tabel 4.2 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan II
PCA: Bahan Komoditas II (Beras, Jagung, Kedelai, Terigu)
Principal components/correlation Number of obs =
48
Number of comp. =
3
Trace =
3
Rotation: (unrotated = principal) Rho =
1.0000
------------------------------------------------------------------------
--
Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative
-------------+----------------------------------------------------------
--
Comp1 | 1.80417 .903436 0.6014 0.6014
Comp2 | .900734 .605638 0.3002 0.9016
Comp3 | .295096 . 0.0984 1.0000
------------------------------------------------------------------------
--
Principal components (eigenvectors)
----------------------------------------------------------
Variable | Comp1 Comp2 Comp3 | Unexplained
-------------+------------------------------+-------------
sapi | 0.3416 0.9344 0.1011 | 0
ayam | 0.6750 -0.1691 -0.7182 | 0
telur | 0.6539 -0.3136 0.6885 | 0
----------------------------------------------------------
Yg digunakan dalam model --> Comp1
Tabel 4.3 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Makanan III
PCA: Bahan Komoditas III (Minyak Goreng, Bawang, Gula)
Principal components/correlation Number of obs =
48
Number of comp. =
3
Trace =
3
Rotation: (unrotated = principal) Rho =
1.0000
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40
------------------------------------------------------------------------
--
Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative
-------------+----------------------------------------------------------
--
Comp1 | 1.98619 1.30416 0.6621 0.6621
Comp2 | .682026 .350239 0.2273 0.8894
Comp3 | .331787 . 0.1106 1.0000
------------------------------------------------------------------------
--
Principal components (eigenvectors)
----------------------------------------------------------
Variable | Comp1 Comp2 Comp3 | Unexplained
-------------+------------------------------+-------------
migor | 0.6349 -0.0634 -0.7700 | 0
bawang | 0.5306 0.7602 0.3748 | 0
bensin | 0.5616 -0.6466 0.5163 | 0
----------------------------------------------------------
Yg digunakan dalam model --> rata-rata Comp 1-4
Tabel 4.4 Perhitungan Indeks Harga Kelompok Energi
PCA: Bahan ENERGI (Bensin, Solar, Elpiji, Listrik)
Principal components/correlation Number of obs =
48
Number of comp. =
4
Trace =
4
Rotation: (unrotated = principal) Rho =
1.0000
------------------------------------------------------------------------
--
Component | Eigenvalue Difference Proportion Cumulative
-------------+----------------------------------------------------------
--
Comp1 | 2.67577 1.74578 0.6689 0.6689
Comp2 | .929992 .57685 0.2325 0.9014
Comp3 | .353142 .312045 0.0883 0.9897
Comp4 | .0410968 . 0.0103 1.0000
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41
------------------------------------------------------------------------
--
Principal components (eigenvectors)
--------------------------------------------------------------------
Variable | Comp1 Comp2 Comp3 Comp4 | Unexplained
-------------+----------------------------------------+-------------
bensin | 0.5932 -0.1751 0.1192 0.7767 | 0
solar | 0.5574 0.0913 0.6524 -0.5053 | 0
elpiji | 0.2780 0.9006 -0.3314 0.0415 | 0
listrik | -0.5100 0.3871 0.6711 0.3738 | 0
--------------------------------------------------------------------
Yg digunakan dalam model --> Comp 1
4.2 Analisis Dampak kebijakan Pemerintah terhadap harga kebutuhan
pokok dan Inflasi
Dalam analisis ini, kita melakukan perhitungan untuk menduga atau
mengestimasi parameter model dengan struktur yang telah dirumuskan pada
bagian metode.
I. Persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan I ( Beras, Jagung,
Terigu, dan Kedelai).
Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok
Makanan I (PK1) disajikan pada Tabel 4.5. Hasil pendugaan parameter
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 18,65 persen. Variabel
endogen (PK1) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-
variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 5 persen. Hal ini
diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 3,34.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42
Tabel 4.5 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan I
Persamaan: 1 10 11 12 2 13 3 1K t Et K t K t tP P P P
Dependent Variable: PK1
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 13.33001 0.725086 18.38405 0.0000
PE 0.057050 0.022978 2.482800 0.0169
PK2 0.092367 0.044461 2.077475 0.0436
PK3 -0.040538 0.028175 -1.438811 0.1573
R-squared 0.185478 Mean dependent var 15.11407
Adjusted R-squared 0.129942 S.D. dependent var 0.022022
S.E. of regression 0.020541 Akaike info criterion -4.853094
Sum squared resid 0.018566 Schwarz criterion -4.697161
Log likelihood 120.4743 Hannan-Quinn criter. -4.794167
F-statistic 3.339798 Durbin-Watson stat 0.831381
Prob(F-statistic) 0.027654
Secara individual, variabel penjelas yang memeberikan pengaruh
nyata terhadap variabel PK1 adalah Indeks Harga Kelompok Energi (PE), dan
Indeks Harga Kelompok Makanan II (PK2). Koefisien estimasi PE sebesar
0,057 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa
kenaikan PE sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK1 sebesar
0,057 persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK2 sebesar
0,092 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa
kenaikan PK2 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK1 sebesar
0,092 persen, ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan
bahwa Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3) ditemui tidak berpengaruh
signifikan terhadap PK1.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43
II. Persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan II ( Daging Ayam,
Daging Sapi, dan Telur).
Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok
Makanan II (PK2) disajikan pada Tabel 4.6. Hasil pendugaan parameter
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 22,62 persen. Variabel
endogen (PK2) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-
variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 1 persen. Hal ini
diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 4,29.
Tabel 4.6 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan II
Persamaan: 2 20 21 22 1 23 3 2K t Et K t K t tP P P P
Dependent Variable: PK2
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.986404 6.911190 0.142726 0.8872
PE -0.078967 0.078491 -1.006064 0.3199
PK1 0.967085 0.465510 2.077475 0.0436
PK3 0.256594 0.084887 3.022757 0.0042
R-squared 0.226278 Mean dependent var 17.10995
Adjusted R-squared 0.173524 S.D. dependent var 0.073112
S.E. of regression 0.066467 Akaike info criterion -2.504578
Sum squared resid 0.194384 Schwarz criterion -2.348645
Log likelihood 64.10987 Hannan-Quinn criter. -2.445651
F-statistic 4.289315 Durbin-Watson stat 0.868879
Prob(F-statistic) 0.009694
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44
Secara individual, variabel penjelas yang memeberikan pengaruh nyata
terhadap variabel PK2 adalah Indeks Harga Kelompok Makanan I (PK1) dan
Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3). Koefisien estimasi PK1 sebesar
0,967 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa
kenaikan PK1 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK2 sebesar
0,967 persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK3 sebesar
0,256 yang signifikan pada taraf nyata 1 persen menjelaskan bahwa
kenaikan PK3 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK2 sebesar
0,256 persen, ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan
bahwa Indeks Harga Kelompok Energi (PE) ditemui tidak berpengaruh
signifikan terhadap PK2.
III. Persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan III (Bawang, Gula, dan
Minyak Goreng).
Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok
Makanan III (PK3) disajikan pada Tabel 4.7 Hasil pendugaan parameter
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 29,31 persen. Variabel
endogen (PK3) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-
variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 1 persen. Hal ini
diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 6,081.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 45
Tabel 4.7 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Kelompok Makanan III
Persamaan: 3 30 31 32 1 33 2 3K t Et K t K t tP P P P
Dependent Variable: PK3
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 10.78893 11.05248 0.976155 0.3343
PE 0.345248 0.117265 2.944166 0.0052
PK1 -1.108476 0.770411 -1.438811 0.1573
PK2 0.670136 0.221697 3.022757 0.0042
R-squared 0.293122 Mean dependent var 8.922797
Adjusted R-squared 0.244926 S.D. dependent var 0.123614
S.E. of regression 0.107414 Akaike info criterion -1.544590
Sum squared resid 0.507665 Schwarz criterion -1.388657
Log likelihood 41.07016 Hannan-Quinn criter. -1.485663
F-statistic 6.081849 Durbin-Watson stat 0.412716
Prob(F-statistic) 0.001484
Secara individual, variabel penjelas yang memeberikan pengaruh
nyata terhadap variabel PK3 adalah Indeks Harga Kelompok Energi (PE), dan
Indeks Harga Kelompok Makanan II (PK2). Koefisien estimasi PE sebesar
0,345 yang signifikan pada taraf nyata 1 persen menjelaskan bahwa
kenaikan indeks harga kelompok energi sebesar 1 persen, diduga
menyebabkan kenaikan indeks harga kelompok makanan III sebesar 0,345
persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK2 sebesar 0,67 yang
signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan PK2
sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK3 sebesar 0,67 persen,
ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan bahwa Indeks
Harga Kelompok Makanan I (PK1) ditemui tidak berpengaruh signifikan
terhadap PK3.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 46
IV. Persamaan Indeks Harga Konsumen (Inflasi)
Hasil pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga
Konsumen (IHK) disajikan pada Tabel 4.8. Hasil pendugaan parameter
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 43,69 persen. Variabel
endogen (IHK) di dalam persamaan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-
variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata 1 persen. Hal ini
diperlihatkan oleh nilai statistik-F sebesar 11,379.
Tabel 4.8 Pendugaan parameter untuk persamaan Indeks Harga Konsumen
Persamaan:
40 41 1 42 2 43 3 4K t K t K t tIHK P P P
Dependent Variable: IHK
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -16.37344 5.372667 -3.047545 0.0039
PK1 1.273335 0.367005 3.469532 0.0012
PK2 -0.053765 0.119738 -0.449020 0.6556
PK3 0.301019 0.068496 4.394723 0.0001
R-squared 0.436890 Mean dependent var 4.637849
Adjusted R-squared 0.398496 S.D. dependent var 0.068846
S.E. of regression 0.053395 Akaike info criterion -2.942552
Sum squared resid 0.125444 Schwarz criterion -2.786619
Log likelihood 74.62125 Hannan-Quinn criter. -2.883625
F-statistic 11.37915 Durbin-Watson stat 0.280900
Prob(F-statistic) 0.000012
Secara individual, variabel penjelas yang memberikan pengaruh nyata
terhadap variabel IHK adalah Indeks Harga Kelompok Makanan I (PK1) dan
Indeks Harga Kelompok Makanan III (PK3). Koefisien estimasi PK1 sebesar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 47
1,27 yang signifikan pada taraf nyata 5 persen menjelaskan bahwa kenaikan
PK1 sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan PK2 sebesar 1,27
persen, ceteris paribus. Begitu juga koefisien estimasi PK3 sebesar 0,301
yang signifikan pada taraf nyata 1 persen menjelaskan bahwa kenaikan PK3
sebesar 1 persen, diduga menyebabkan kenaikan IHK sebesar 0,301 persen,
ceteris paribus. Sementara itu, hasil estimasi memperlihatkan bahwa Indeks
Harga Kelompok Makanan II (PK2) ditemui tidak berpengaruh signifikan
terhadap IHK.
4.3 Model Dampak kebijakan Pemerintah terhadap kemiskinan
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, model
dampak kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan ini menggunakan hasil
perhitungan perubahan IHK yang merupakan output dari model sebelumnya.
Perubahan IHK ini kemudian menjadi input bagi pergeseran Garis
Kemiskinan dan asumsi pergeseran tingkat konsumsi atau pengeluaran
umum penduduk. Dari dua hal ini, kita dapat memperkirakan perubahan
angka atau tingkat kemiskinan.
Sebagai baseline, kita menggunakan data distribusi penduduk
menurut kelompok pengeluaran yang dirilis oleh BPS pada Maret 2013
sebagai berikut: (Gambar 4.1)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 48
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
< 15
0000
15
00
00
-1
99
99
9
20
00
00
-2
99
99
9
30
00
00-
49
99
99
50
00
00
-7
49
99
9
7500
00 -
9999
99
1000
000
-14
9999
9
>= 1
5000
0000
Distribusi penduduk menurut kelompok pengeluaran (%) (Maret 2013)
GK = Rp. 271.626
Rp/kapita/bulan
%
Pov = 11,37 %
(official)
Gambar 4.1 Distribusi penduduk dan tingkat kemiskinan (Maret 2013)
Untuk mengembangkan simulasi menggunakan pendekatan distribusi
penduduk menurut pengeluaran tersebut, diperlukan perhitungan proyeksi
tingkat kemiskinan sebagai data dasar. Hasil perhitungan untuk
memproyeksikan tingkat kemiskinan menggunakan data distribusi diatas
(dengan tingkat garis kemiskinan Rp. 271.626), diperoleh tingkat
kemiskinannya sebesar 15,3 persen.
Angka ini memang berbeda dengan data tingkat kemiskinan yang
resmi (official) dikarenakan perbedaan besar dalam melakukan perhitungan
angka kemiskinannya. Walaupun demikian, dalam simulasi ini, yang akan kita
analisis adalah perubahan tingkat kemiskinan akibat terjadinya pergeseran
pada garis kemiskinannya maupun pergeseran pada tingkat pengeluaran
penduduk secara umum. Dengan demikian, angka tersebut dapat kita
gunakan dalam simulasi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 49
4.4 Simulasi Dampak kebijakan Pemerintah terhadap Inflasi dan
Kemiskinan
Dengan menggunakan model-model diatas, dilakukan simulasi
perhitungan dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan.
Dalam hal ini kita menggunakan dua kelompok skenario, yaitu (1) kelompok
skenario dimana kenaikan hanya terjadi pada sebagian komoditi energi (
Tabel 4.9), (2) kelompok skenario dimana kenaikan terjadi di semua
komoditi energi dengan besaran yang berbeda (Tabel 4.10), dan (3)
kelompok skenario dimana kenaikan terjadi di semua komoditi energi dengan
besaran yang sama (Tabel 4.11).
Tabel 4.9 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-1)
% Perubahan Harga Energi
skenario-1 skenario-2 skenario-3 skenario-4 skenario-5 skenario-6
Bensin 50 25 10 0 0 0
Solar 50 25 10 0 0 0
TDL 0 0 0 50 25 10
Elpiji 0 0 0 50 25 10
Growth (%)
PE 26.91 13.45 5.38 23.09 11.55 4.62
PK1 1.31 0.65 0.26 1.12 0.56 0.22
PK2 1.39 0.70 0.28 1.19 0.60 0.24
PK3 8.77 4.39 1.75 7.53 3.76 1.51
IHK 4.23 2.12 0.85 3.63 1.82 0.73
POV LINE 4.23 2.12 0.85 3.63 1.82 0.73
Pov Line Base 271,626 271,626 271,626 271,626 271,626 271,626
Pov Line New 283,119 277,373 273,925 281,490 276,558 273,599
% Poverty Base 15.30 15.30 15.30 15.30 15.30 15.30
% Poverty New 17.23 16.27 15.68 16.96 16.13 15.63
Delta % Pov 1.94 0.97 0.39 1.66 0.83 0.33
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 50
Pada
Tabel 4.9 diatas, kita dapat melihat bahwa dampak inflasi akibat
kenaikan harga pada kelompok komoditi bensin dan solar lebih besar dari
pada akibat kenaikan harga pada kelompok TDL dan elpiji. Gambaran seperti
ini juga terefleksikan pada skenario-skenario di kedua kelompok yang lain.
Tabel 4.10 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-2)
% Perubahan Harga Energi
skenario-1 skenario-2 skenario-3 skenario-4 skenario-5 skenario-6
Bensin 50 50 50 5 10 25
Solar 50 50 50 5 10 25
TDL 5 10 25 50 50 50
Elpiji 5 10 25 50 50 50
Growth (%)
PE 29.22 31.53 38.45 25.78 28.47 36.55
PK1 1.42 1.53 1.87 1.25 1.38 1.78
PK2 1.51 1.63 1.99 1.33 1.47 1.89
PK3 9.52 10.28 12.54 8.41 9.28 11.91
IHK 4.59 4.96 6.05 4.05 4.48 5.75
POV LINE 4.59 4.96 6.05 4.05 4.48 5.75
Pov Line Base 271,626 271,626 271,626 271,626 271,626 271,626
Pov Line New 284,105 285,092 288,051 282,639 283,788 287,236
% Poverty Base 15.30 15.30 15.30 15.30 15.30 15.30
% Poverty New 17.40 17.57 18.07 17.15 17.35 17.93
Delta % Pov 2.10 2.27 2.77 1.86 2.05 2.63
Tabel 4.11 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Perubahan Harga terhadap Inflasi dan Kemiskinan (Kelompok-3)
% Perubahan Harga Energi
skenario-1 skenario-2 skenario-3 skenario-4 skenario-5 skenario-6
Bensin 5 10 25 30 40 50
Solar 5 10 25 30 40 50
TDL 5 10 25 30 40 50
Elpiji 5 10 25 30 40 50
Growth (%)
PE 5.00 10.00 25.00 30.00 40.00 50.00
PK1 0.24 0.49 1.22 1.46 1.94 2.43
PK2 0.26 0.52 1.29 1.55 2.07 2.58
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 51
PK3 1.63 3.26 8.15 9.78 13.04 16.30
IHK 0.79 1.57 3.93 4.72 6.29 7.86
POV LINE 0.79 1.57 3.93 4.72 6.29 7.86
Pov Line Base 271,626 271,626 271,626 271,626 271,626 271,626
Pov Line New 273,762 275,897 282,304 284,440 288,711 292,983
% Poverty Base 15.30 15.30 15.30 15.30 15.30 15.30
% Poverty New 15.66 16.02 17.10 17.46 18.18 18.90
Delta % Pov 0.36 0.72 1.80 2.16 2.88 3.60
Dalam hal dampak terhadap kemiskinan, keseluruhan ketiga kelompok
skenario diatas mengasumsikan bahwa tidak ada peningkatan pada level
konsumsi (income) masyarakat. Perubahan level konsumsi atau income
masyarakat itu sangat penting dalam “mengkompensasi” pergeseran atau
peningkatan garis kemiskinan akibat inflasi.
Tabel-tabel diatas memberikan gambaran bagi pengambil kebijakan
untuk melakukan pemilihan skenario atau kombinasi kenaikan harga
komoditas energi. Salah satu pertimbangan penting lain yang dapat dijadikan
dasar untuk pemilihan skenario yang diambil selain pertimbangan
dampaknya pada inflasi dan kemiskinan adalah besarnya nilai subsidi yang
dapat dihemat akibat kenaikan harga tersebut. Selain itu, dapat juga diambil
pertimbangan skenario mana yang lebih memberikan landasan bagi
pengelolaan energi ke depan.
Jika melihat skenario-skenario diatas, atas beberapa pertimbangan
tersebut, dapat saja pengambil kebijakan mengambil skenario yang
memberikan dampak cukup besar pada inflasi dan kemiskinan. Dalam kasus
ini, maka kebijakan tersebut perlu didampingi dengan kebijakan lain untuk
mengkompensasi dampaknya terhadap kemiskinan. Kebijakan lain tersebut
dapat berupa kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan konsumsi (daya
beli) kelompok masyarakat yang diperkirakan akan terdampak kebijakan ini.
Selain itu, kebijakan pendamping ini juga dapat diarahkan untuk meringankan
beban masyarakat dalam mengakses atau membeli komoditi-komoditi pokok.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 52
5. BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan sebelumnya, hasil
analisis ini dapt disimpulkan sebagai berikut:
a. Kebijakan pemerintah, khususnya yang sangat terkait atau berakibat
pada peningkatan harga energi, dapat memberikan dampak pada inflasi
dan kemiskinan. Model-model beserta simulasi yang dikembangkan
dalam kajian ini, telah dapat menunjukkan bagaimana kebijakan tersebut
berdampak pada inflasi dan kemiskinan.
b. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario-skenario kebijakan
pemerintah yang menghasilkan kombinasi kenaikan harga komoditas-
komoditas energi dapat dikembangkan untuk menghasilkan dampak yang
minimal, utamanya terhadap kemiskinan. Selain itu, patut dikembangkan
juga skenario peningkatan tingkat konsumsi masyarakat untuk
mengkompensasi pergerakan garis kemiskinan yang melahirkan
pergerakan atau peningkatan tingkat kemiskinan.
c. model-model ini, skenario-skenario berikutnya dapat terus dikembangkan
yang berbasis pada dua instrumen diatas.
5.2 Rekomendasi Kebijakan
Pengembangan kebijakan untuk mengantisipasi dampak kenaikan
harga energi (dan pangan) terhadap inflasi dan (terutama) kemiskinan ini
sangat penting karena seringkali pengambilan kebijakan yang berakibat pada
kenaikan harga tersebut sulit dihindari. Pendekatan terbaik selanjutnya
adalah pada proses mitigasi atau meminimalkan dampaknya.
Untuk ini skenario mitigasi yang berbasis pada dua instrumen
(kombinasi kenaikan harga yang tepat, serta kompensasi pada masyarakat
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 53
untuk memastikan adanya peningkatan tingkat konsumsi) dapat penting
untuk dikembangkan.
Dalam kaitannya dengan tupoksi kementerian perdagangan, berbagai
instrumen perdagangan dapat dikembangkan untuk menghasilkan
peningkatan tingkat konsumsi masyarakat secara riil. Salah satu yang dapat
dilakukan untuk ini adalah kegiatan operasi pasar untuk meningkatkan akses
masyarakat miskin dan hampir miskin pada barang-barang kebutuhan pokok
dengan harga yang lebih murah. Kegiatan ini, walaupun secara nominal tidak
meningkatkan income masyarakat, namun secara riil daya beli atau
konsumsinya terangkat (dengan akses harga yang murah tersebut).
Sehingga, walaupun garis kemiskinan secara nominal meningkat, akses
terhadap barang-barang kebutuhan pokok (khususnya bahan makanan) tetap
terjaga.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 54
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2015). Retrieved Juli 7, 2015, from Bank Indonesia:
http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/Pentingny
a.aspx
Barro, R. J. (1995). Inflation and Economic Growth. Working Paper National
Bureau of Economic Research .
Fischer, S. (1993). The Role of Macraeconomics Factor in Growth. Working
Paper National Bureau of Economics Research .
Furlong, F., & Ingenito, R. (1996). Commodity Price and Inflation. FRBSF
Economic Review , 27-47.
Khan, M. S., & Senhadji, A. S. (2000). Threshold Effect in Relationship
Between Inflation and Growth. IMF Working Paper .
Pokjanas TPID. (2014). Buku Petunjuk TPID.
Prastowo, N. J., Yanuarti, T., & Depari, Y. (2008). Pengaruh Distribusi dalam
Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya terhadap Inflasi.
Bank Indonesia.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 55
LAMPIRAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 56
NOTULENSI
DISKUSI TERBATAS
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
INFLASI DAN KEMISKINAN
Jumat, 8 Mei 2015
A. PENDAHULUAN
Diskusi terbatas Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan
Kemiskinan dilaksanakan di ruang rapat Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam
Negeri BP2KP, Lantai 15 Gedung Utama Kementerian Perdagangan. Diskusi
terbatas dipimpin oleh Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
BP2KP dengan narasumber dari Kemenko Bidang Perekonomian, Bank Indonesia
dan Badan Pusat Statistik. Tujuan diskusi terbatas adalah untuk mendapatkan
masukan terkait dengan hasil sementara dari Analisis Dampak Kebijakan
Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan yang telah dilakukan.
B. MASUKAN/TANGGAPAN
1. Elias Payong (Kemenko Bidang Perekonomian)
a. Salah satu hal yang perlu dicermati adalah bobot inflasi dari tiap
komoditi pangan. Dalam analisis ini komoditi pangan adalah hal terkena
kebijakan pemerintah dan selanjutnya akan berimbas kepada tingkat
inflasi.
b. Target inflasi dalam RPJMN 2015-2019 berkisar 3,5 persen sampai
dengan 4,7 persen per tahun. Sampai dengan bulan April tahun 2015
tingkat inflasi tahun kalender masih negatif, sehingga target asumsi
inflasi tahun ini masih bisa tercapai.
c. Untuk menghitung elastisitas, saat ini terdapat model baru yang masih
terus dikembangkan yaitu model Almost Ideal Demand System (AIDS
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 57
Model), model ini merupakan model yang bisa menghitung elastisitias
dengan data sisaan/ error lebih kecil
2. Yunita (BPS)
a. Penghitungan inflasi sangat terkait dengan bobot komoditas. Bobot
tersebut diperoleh dari survey biaya hidup (SBH) rumah tangga. Bobot
komoditas menggambarkan seberapa besar persentase pengeluaran
masing-masing komoditas. Perubahan harga sedikit saja pada komoditas
yang mempunyai bobot yang besar, akan berpengaruh terhadap inflasi.
b. Akan lebih baik jika data bobot dalam analisis tidak menggunakan data
Susenas, tetapi menggunakan data bobot hasil survei biaya hidup (SBH)
karena penelitian ini terkait dengan inflasi.
3. Diana (BI)
a. Berdasarkan model yang ditayangkan dalam pemaparan, akan lebih baik
jika variabel income (pendapatan) dimasukkan sehingga analisis
terhadap kemiskinan tidak hanya dilihat dari satu sisi. Karena jika analisis
kemiskinan tidak melihat variabel income atau mitigasi semacam
bantuan langsung tunai (BLT) sebagai variabel kontrol, model penelitian
ini hanya melihat satu sisi dan bisa jadi hasilnya akan bias.
b. Range data yang digunakan lebih baik diperpanjang tidak hanya dari
tahun 2011 agar hasil analisis lebih kokoh (robust). Selain itu data
kemiskinan dikeluarkan dua kali dalam setahun, sehingga jika range data
hanya dari 2011 maka mungkin hanya didapatkan 12 titik pengamatan
dan jumlah ini sangat sedikit jika akan dilakukan analisis ekonometri.
4. Wayan R Susila (CADS)
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan (pangan)
merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam
penentuan laju inflasi. Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di
Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 58
pengendalian terhadap harga kelompok makanan. Dengan
mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum
menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap
laju inflasi diperkirakan akan masih dominan.
C. PENUTUP/KESIMPULAN
Analisis ini diharapkan dapat menghasilkan suatu model yang dapat
diaplikasikan sehingga jika pimpinan membutuhkan analisis mengenai dampak
kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan, informasi yang
dibutuhkan dapat disampaikan dengan lebih cepat. Masukan dan tanggapan
dari narasumber dan peserta diskusi terbatas akan diakomodir untuk
memperbaiki dan melengkapi proses analisis ini. Diskusi terbatas yang kedua
akan diadakan lagi dengan agenda presentasi hasil akhir analisis dengan
narasumber dan peserta yang hadir diharapkan tidak berbeda.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 59
NOTULENSI
DISKUSI TERBATAS II
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
INFLASI DAN KEMISKINAN
Jumat, 26 Mei 2015
A. PENDAHULUAN
Diskusi terbatas ini merupakan diskusi terbatas tahap kedua, yang dilaksanakan
dengan maksud untuk mendapatkan masukan terkait dengan hasil akhir dari
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Inflasi dan Kemiskinan yang
telah dilakukan. Diskusi terbatas Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Terhadap Inflasi dan Kemiskinan dilaksanakan di ruang rapat Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri BP2KP, Lantai 15 Gedung Utama Kementerian
Perdagangan. Diskusi terbatas dipimpin oleh Kepala Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri BP2KP dengan narasumber dari Kemenko Bidang
Perekonomian, CADS, Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik. Pemaparan
hasil penelitian dari tenaga ahli dan tim penelitian mencakup perbaikan
berdasarkan masukan dari diskusi terbatas yang pertama dan juga perbaikan
struktur data untuk menghindari gejala multikolinieritas dalam model.
B. MASUKAN/TANGGAPAN
1. Elias Payong (Kemenko Bidang Perekonomian)
a. Sebenarnya harga-harga komoditas dapat dijadikan sebagai leading
indicator inflasi. Hal ini karena harga komoditas mampu merespon
secara cepat shock yang terjadi dalam perekonomian secara umum,
seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Selain itu,
harga komoditas juga mampu merespon terhadap non-economic shock
seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang
menghambat jalur distribusi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 60
b. Pergerakan harga komoditas pangan/pertanian akan selaras dengan
perkembangan harga barang secara keseluruhan, walaupun besarannya
akan berbeda. Respon harga yang cepat tersebut dapat memberikan
sinyal bahwa kenaikan harga barang lainnya akan menyusul sehingga
tekanan inflasi meningkat.
2. Yunita (BPS)
a. Model regresi melibatkan jumlah indikator yang cukup besar, maka
untuk menghindari gejala multikolinieritas dalam model, variabel-
variabel komoditas bisa dikelompokkan dalam suatu indeks harga
dengan menggunakan pendekatan principal component analysis (PCA).
PCA digunakan untuk menjelaskan struktur matriks varians- kovarians
dari suatu set variabel melalui kombinasi linier dari variabel-variabel
tersebut.
b. Pasal 72 PP No. 36 Tahun 2004 mengatur bahwa harga bahan bakar
minyak dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah.
Sebelumnya, MK mengamanatkan bahwa dalam kebijakan penentuan
harga komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk di
dalamnya BBM dan gas bumi dibutuhkan campur tangan pemerintah.
3. Diana (BI)
a. Analisis ini mengacu pada suatu model yang dibangun secara terintegrasi.
Dalam operasionalnya, analisis bisa dilakukan dengan menggunakan
beberapa tahap pemodelan dengan spesifikasi yang berbeda. Maka dari
itu bisa dibangun dua tahap model, pertama Pemodelan untuk mengukur
dampak kebijakan pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok dan
kedua, pemodelan untuk melihat dampak dari kebijakan harga dan inflasi
terhadap kemiskinan berdasarkan hasil tahap pertama.
b. Sejak Desember 2014, Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru
penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi. Pemerintah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 61
mengklasifikasikan BBM menjadi tiga kategori dengan variasi harga
didalamnya, tiga kategori tersebut yaitu, BBM Tertentu yaitu adalah
BBM yang diberikan subsidi, BBM khusus penugasan dan BBM Umum.
4. Wayan R Susila (CADS)
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pasar produk makanan (pangan)
merupakan salah satu pasar barang yang memegang peran kunci dalam
penentuan laju inflasi. Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di
Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu
pengendalian terhadap harga kelompok makanan. Dengan
mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum
menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap
laju inflasi diperkirakan akan masih dominan.
C. PENUTUP/KESIMPULAN
Analisis ini telah menghasilkan suatu tempalate yang dapat diaplikasikan secara
langsung Maka dari itu jika pimpinan membutuhkan analisis mengenai dampak
kebijakan pemerintah terhadap inflasi dan kemiskinan informasi yang
dibutuhkan dapat disampaikan dengan lebih cepat. Masukan dan tanggapan
dari narasumber dan peserta diskusi terbatas merupakan hal yang sangat
bermanfaat bagi pelaksanaan analisis ini. Diharapkan hasil penelitian ini
dimanfaatkan terutama bagi para pengambil keputusan dan juga bisa dijadikan
acuan bagi para akademisi dan juga masayarakat umum.