LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG...
Transcript of LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN MENDUKUNG...
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT
Oleh
Mewa Ariani Achmad Suryana
Ketut Kariyasa Rangga Ditya Yofa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2. Tujuan Kajian ....................................................................... 4 1.3. Keluaran Kajian ..................................................................... 5
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ............................................. 5
II. METODOLOGI .............................................................................. 6
2.1. Lokasi Penelitian ................................................................... 6 2.2. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 6
2.3. Metode Analisis ..................................................................... 6
III. GAMBARAN UMUM PROGRAM SL-PTT ............................................ 7 3.1. Perkembangan Proporsi Luas Areal Program SL-PTT ................ 7
3.2. Perkembangan Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT ...... 13 3.3. Perkembangan Produktivitas Padi pada Program SL-PTT .......... 15
IV. TINJAUAN KRITIS SL-PTT: ANTARA KONSEP DAN IMPLEMENTASI .. 17 4.1. Konsep PTT/SL-PTT ............................................................... 17
4.2. Antara Konsep dan Penerapan Skala Luas SL-PTT .................... 19 4.3. Kinerja Implementasi Program SL-PTT .................................... 23
4.4. Menuju Gerakan Penerapan PTT (GK-PTT) .............................. 26 V. KINERJA IMPLEMENTASI SL-PTT: KASUS PROVINSI JAWA BARAT .. 28
5.1. Komponen Teknologi dan Efektivitas Pelaksanaan LL ............... 29 5.2. Kualitas Penyuluh, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan .. 31
5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih ..................................... 33 5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani ................................ 34 5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT ............................ 35
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 40
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Proporsi Luas Areal SL-PTT terhadap Luas Panen Padi Nasional, 2009-2014 ................................................................................... 8
2. Rencana Luas Areal Program SL-PTT Setiap Provinsi Tahun 2009-2014 10
3. Pertumbuhan Rencana Luas Areal Program SL-PTT Setiap Provinsi, 2009-2014 ................................................................................... 12
4. Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT terhadap Sasaran Produksi Padi Nasional, 2009-2014 .............................................................. 14
5. Perkembagan Produktivitas Padi Nasional dan Sasaran Produktivitas
SL-PTT Tahun 2009-2014 ............................................................. 15
6. Perubahan Pedoman Pelaksanaan/Juknis SL-PTT Padi Sawah, 2008-2014 ................................................................................... 20
7. Kontribusi Produksi Padi dan Jagung Provinsi Jawa Barat Terhadap Nasional, Tahun 2013 .................................................................... 29
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam upaya mewujudkan swasembada pangan terutama beras, pemerintah
menetapkan kebijakan yang dikenal dengan Program Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN). Program ini diputuskan oleh Presiden RI melalui Sidang Kabinet
Terbatas di Departemen Pertanian pada tanggal 8 Januari 2007 dan implementasinya
dimulai pada tahun 2008. Melalui program aksi ini, kenaikan produksi beras harus
mencapai minimal sebesar 2 juta ton atau setara dengan 3,5 juta ton gabah dengan
kenaikan sekitar 5 persen dari produksi tahun 2006. Strategi pencapaian produksi
padi dilakukan melalui empat hal yaitu: (1) Peningkatan produktivitas, (2) Perluasan
areal, (3) Pengamanan produksi, dan (4) Kelembagaan dan pembiayaan.
Upaya peningkatan produksi padi dilakukan melalui penerapan Sekolah
Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) untuk tanaman padi, jagung dan
kedelai. Khusus untuk tanaman padi, implementasi dari program ini dengan
pemberian bantuan sarana produksi secara lengkap pada lokasi Laboratorium Lapang
(LL) sekitar satu hektar dan pembelajaran pada kelompok terkait pengelolaan
tanaman terpadu (PTT). Selain itu juga diberikan bantuan benih pada lokasi bukan
LL untuk luasan 25 hektar, yang lokasinya terletak disekitar LL. Dalam paket SL-PTT,
petani diharapkan menerapkan komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan.
Dengan demikian petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia secara
terpadu dalam melakukan budidaya di lahan usahataninya berdasarkan spesifik lokasi
sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan usahataninya
dalam rangka peningkatan produksi padi. Melalui penerapan PTT diharapkan akan
terjadi peningkatan produktivitas padi inbrida sawah 0,75 ton/ha; padi hibrida 2,0
ton/ha; padi pasang surut 0,3 ton/ha; padi rawa lebak 0,3 ton/ha dan padi lahan
kering/gogo 0,5 ton/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2013).
2
Ditjen Tanaman Pangan sebagai institusi yang mendapat mandat untuk
mengimplementasikan program SL-PTT telah menyusun sasaran areal tanam dan
panen untuk setiap tahunnya dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar.
Pada tahun 2011, sasaran program SL-PTT untuk padi pada areal sebesar 2.778.980
ha dengan peningkatan produktivitas padi sawah 0,5-1,0 ton/ha dan 1,5-2,5 ton/ha
untuk padi varietas hibrida. Dengan peningkatan produktivitas pada areal SL-PTT,
yang diharapkan diikuti oleh para petani di sekitar wilayah SL-PTT, maka target
produksi padi tahun 2011 ditetapkan sebesar 70,59 juta ton. Sasaran tersebut sesuai
dengan yang dicanangkan oleh Presiden RI yaitu produksi padi tahun 2011 dapat
mencapai 70,60 juta ton GKG. Pada periode lima tahun berikutnya, 2011-2014, untuk
mempertahankan swasembada beras, produksi padi diharapkan meningkat dengan
laju 6,25%/tahun.
Dalam perkembangannya dilakukan perubahan penetapan target produksi
beras dikarenakan permintaan beras terus meningkat seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk. Disisi lain, dengan adanya perubahan iklim (yang menjadi
lebih ekstrim) akibat pemanasan global, berdampak pada terganggunya proses
produksi padi. Ke depan dipercaya pasar beras dunia akan menjadi lebih terbatas,
maka Indonesia harus mampu berswasembada beras berkelanjutan serta harus
memiliki cadangan beras yang cukup, agar ketahanan pangan dan kemandirian
pangan tidak terganggu. Hal lain yang mengakibatkan beras menjadi komoditas yang
sangat penting di Indonesia adalah, beras masih sebagai kontributor utama terhadap
inflasi, sehingga harga beras harus “terkendali” (Pusat Penyuluhan Pertanian, 2012).
Berdasarkan hal tersebut, pada sidang kabinet paripurna tanggal 6 Januari
2011, Presiden Republik Indonesia memberikan sembilan arahan terkait dengan
pangan, diantaranya adalah: (a) Pastikan pasokan pangan dapat memenuhi
permintaan secara nasional, (b) Pastikan cadangan atau stok pangan yang ada di
tangan pemerintah kuat untuk mencegah terjadinya spekulasi, dan (c) Tingkatkan
produksi dan produktivitas dalam negeri. Selanjutnya pada sidang Kabinet tanggal 22
Februari 2011, Presiden RI mengarahkan agar pencapaian surplus beras menjadi
3
program prioritas dan ditetapkan besaran surplus minimal 10 juta ton per tahun
dapat diraih mulai tahun 2014. Untuk mendukung program tersebut, upaya yang
dilakukan pemerintah adalah: (a) Pembukaan sawah baru (eks tanah terlantar), (b)
Pengembangan Food Estate dengan pola plasma inti, (c) Pengembangan/penyediaan
benih dan pupuk sesuai 6 tepat, (d) Perbaikan dan pengembangan sarana irigasi, (e)
Peningkatan penerapan paket teknologi spesifik lokasi melalui penyuluhan, (f)
Gerakan pengamanan produksi dari serangan hama penyakit serta banjir dan
kekeringan, (g) Pengembangan penelitian dan pengembangan teknologi budidaya
padi antara lain melalui Studi dan kerjasama dengan RRC dalam hal penggunaan padi
hibrida (peningkatan hasil per hektar).
Dalam kaitannya dengan upaya pencapaian surplus beras 10 juta ton, program
lingkup Kementerian Pertanian sebagai berikut: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
tetap melaksanakan program SL-PTT, yang implementasi di lapangan didampingi/
dikawal oleh peneliti dari Badan Litbang Pertanian. Direktorat Jenderal Prasarana dan
Sarana Pertanian melalui program System of Rice Intensification (SRI) dan Badan
Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian melakukan
pengawalan dan pendampingan pada lokasi SLPTT dan lokasi Demfarm.
Implementasi program SL-PTT tidak hanya didukung dana yang bersumber dari
APBN/APBD, namun juga dari sektor swasta/stakeholder yang mencakup 12 mata-
anggaran dengan lintas institusi, Ditjen teknis, dan lintas sektor. Ke 12 mata-
anggaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu: (a)
Perbaikan kapasitas produksi pertanian, (b) Bantuan alat dan sarana produksi
pertanian; (c) Pemberdayaan dan perbaikan manajemen petani, dan (d) Pembiayaan
terkait dengan kebijakan pendukung keberhasilan peningkatan produksi padi
(Rusastra, et al, 2012).
Dalam perkembangannya, terus dilakukan modifikasi dalam implementasi SL-
PTT di lapangan. Seperti pada Pedoman Teknis SL-PTT tahun 2013 yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menyebutkan bahwa fokus utama
peningkatan produktivitas padi dalam upaya pencapaian sasaran produksi padi tahun
2013 melalui peningkatankualitas SL-PTT berbasis pola pertumbuhan, pengembangan
4
dan pemantapan dengan pendekatan kawasan skala luas, terintegrasi dari hulu
sampai hilir, peningkatan jumlah paket bantuan sebagai instrument stimulan, serta
dukungan pendampingan dan pengawalan pada areal seluas 4,62 juta ha. Sementara
itu, di luar fokus utama melalui upaya peningkatan produksi lainnya pada kawasan
areal tanam seluas 9,17 juta ha, dan perluasan areal tanam seluas 567 ribu ha.
Kemudian pada tahun 2015, direncanakan program SL-PTT ditranformasikan menjadi
Gerakan Pengembangan-PTT.
Sampai tahun 2014, program SL-PTT telah diimplementasikan selama tujuh
tahun dengan jumlah anggaran dan sumberdaya yang cukup besar serta melibatkan
banyak instansi pemerintah dan swasta. Pertanyaannya adalah bagaimana efektivitas
dan dampak program SL-PTT terhadap pencapaian produksi padi?. Apakah tujuan
dan sasaran SLPTT ini tercapai? Bila tidak, apa yang menjadi faktor-faktor penyebab
ketidak berhasilan tersebut, apakah di tingkat perencanaan, transmisi/sosialisasi
kegiatan dari pusat-provinsi-kabupaten-lapangan, kurang sinkronnya penyediaan
faktor pendukung secara enam tepat, kemampuan petani mengadopsi teknologi, atau
ada faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja SL-PTT. Pertanyaan-pertanyaan ini
menjadi pertanyaan utama dalam kegiatan analisis kebijakan ini.
1.2. Tujuan Kajian
Tujuan umum kajian adalah melakukan evaluasi implementasi program SL-PTT
untuk mendukung gerakan penerapan PTT. Secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. Menganalisis implementasi program SL-PTT dari aspek (a) Kesesusaian desain
program dengan rumusan konsep PTT dan SL, (b) Perencanaan volume kegiatan
dan penganggaran serta realisasinya, dan (c) Desain kegiatan strategis yang
menjadi kunci pelaksanaan SL-PTT.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program SL-PTT.
3. Mengkaji dampak program SL-PTT terhadap peningkatan produktivitas padi.
4. Menyusun rekomendasi kelanjutan implementasi program SL-PTT, penyempur-
naan kebijakan dan disain program SL-PTT agar lebih efektif dan efisien dalam
pencapaian sasaran peningkatan produktivitas.
5
1.3. Keluaran Kajian
Secara umum keluaran kajian ini adalah rumusan rekomendasi
penyempurnaan kebijakan dan program indikatif SL-PTT dalam upaya peningkatan
produksi padi nasional. Secara khusus keluaran dari kegiatan penelitian ini adalah:
1. Data dan informasi kesesuaian desain program dengan rumusan konsep PTT dan
SL, perencanaan volume kegiatan dan penganggaran serta desain kegiatan
strategis yang menjadi kunci pelaksanaan SL-PTT.
2. Informasi faktor-faktor yang menjadi penghambat implementasi program SLPTT.
3. Data dampak program SL-PTT terhadap peningkatan produktivitas padi.
4. Rekomendasi penyempurnaan kebijakan dan desain program SL-PTT agar lebih
efektif dan efisien dalam pencapaian sasaran program ini, yaitu peningkatan
produktivitas padi.
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil kajian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam
merumuskan alternatif kebijakan baru untuk perbaikan program SLPTT ke depan agar
lebih efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan program. Selain itu hasil penelitian
tersebut akan merupakan pembelajaran bagi semua pihak terkait dengan
implementasi program SLPTT. Dampak yang diharapkan adalah perubahan menuju
perbaikan dari saran-saran dalam aspek teknis, sosial-ekonomi dan kelembagaan.
Perubahan-perubahan itu dapat dilakukan melalui perantara perencana, pelaksana
ataupun penentu kebijakan. Berdasarkan pembelajaran dari program SL-PTT
diharapkan kegiatan GP-PTT dapat dilaksanakan secara optimal dan target produksi
padi dapat tercapai.
6
II.METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Secara umum bahasan kajian dilakukan secara nasional, namun untuk
pendalaman substansi dilakukan pengumpulan data dan informasi lapangan tingkat
pusat (Kementerian Pertanian), di Provinsi Jawa Barat (tingkat provinsi dan
Kabupaten Cianjur). Agar data dan informasi yang diperoleh lebih komprehensif, juga
dilakukan kunjungan lapang ke Provinsi Banten.
2.2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data terutama berasal dari data sekunder yang diperoleh dari berbagai
instansi pusat seperti BPS, Kementerian Pertanian (Ditjen Tanaman Pangan, Badan
Litbang Pertanian, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian). Data
sekunder juga diperoleh melalui penelusuran dokumen berupa jurnal, laporan
penelitian, tesis/disertasi, baik berbentuk hardcopy maupun elektronik. Selain data
sekunder, juga dilakukan pengumpulan data primer melalui wawancara dengan
aparat pertanian tingkat propinsi/kabupaten dan gapoktan penerima program SL-
PTT. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi keragaan program (luasan dan
produktivitas hasil SL-PTT, mekanisme pelaksanaan program, besaran dana menurut
peruntukannya), faktor-faktor pendorong dan penghambat keberhasilan SL-PTT dan
lainnya yang terkait dengan SL-PTT.
2.3. Metoda Analisis
Data dan informasi yang terkumpul dilakukan analisis deskriptif kualitatif
dengan mengungkapkan keragaan, faktor-faktor pendorong dan permasalahan serta
peluang penyempurnaan atau reorientasi kebijakan ke depan.
7
III. GAMBARAN UMUM PROGRAM SL-PTT
3. 1. Perkembangan Proporsi Luas Areal Program SL-PTT
Peningkatan jumlah penduduk dan pengembangan industri pangan
meningkatkan permintaan terhadap berbagai komoditas pangan. Beras merupakan
salah satu komoditas strategis yang meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk
tersebut. Upaya peningkatan produksi padi dalam rangka memenuhi kebutuhan beras
terus dilakukan dengan sasaran akhir terwujudnya swasembada dan swasembada
berkelanjutan. Salah satu program nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
produksi pangan adalah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT),
yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Pelaksanaan program SL-PTT melibatkan
seluruh provinsi di Indonesia. Melalui penerapan konsep SL-PTT diharapkan
introduksi teknologi yang menggunakan filosifi “tetesan minyak”, semula berasal dari
Laboratorium Lapang (LL), kemudian ke Sekolah Lapang (SL), dan selanjutnya
kepada petani secara umum-dapat terjadi secara masif sehingga menjadi sebuah
gerakan nasional untuk peningkatan produktivitas usahatani padi dan peningkatan
produksi padi/beras nasional.
Faktor utama yang paling menentukan dalam peningkatan produksi padi
adalah ketersediaan lahan yang cocok untuk budidaya padi, yang lebih dari 95%
berupa lahan sawah. Dikombinasikan dengan ketersediaan air, ketersediaan lahan ini
akan membentuk luas tanam dan luas panen. Berdasarkan data proporsi luas areal
panen SL-PTT terhadap luas panen padi nasional pada Tabel 1. diketahui bahwa
perkembangan luas panen padi nasional mengalami situasi fluktuatif sedangkan
rencana luas areal SL-PTT mengalami situasi yang meningkat, dengan rata-rata
pertumbuhan selama 2009-2014 sebesar 1,06% per tahun, sedangkan rata-rata
pertumbuhan rencana luas areal SL-PTT sebesar 18,32% per tahun. Karena itu
proporsi rencana luas areal SL-PTT terhadap luas panen padi nasional meningkat
cukup pesat dari 15,9% pada tahun 2009 menjadi 34,1% pada tahun 2014.
8
Tabel 1. Proporsi Luas Areal SL-PTT terhadap Luas Panen Padi Nasional, 2009-2014
No. Tahun Luas Panen (Ha) Rencana Luas Areal
SLPTT (Ha)
Share SLPTT (%)
1. 2009 12.883.576 2.051.000 15,92
2. 2010 13.253.450 2.500.000 18,86
3. 2011 13.203.643 2.778.980 21,05
4. 2012 13.445.524 3.400.650 25,29
5. 2013 13.835.252 4.625.000 33,43
6. 2014 13.569.941 4.632.000 34,13
Sumber: Pedoman Teknis SLPTT, 2009-2014
Pertumbuhan rencana luas areal SL-PTT yang sangat cepat dibandingkan
pertumbuhan luas panen padi nasional menggambarkan bahwa perencaan luas areal
SL-PTT tidak didasarkan kepada evaluasi keberhasilan. Keberhasilan program SL-PTT
dicerminkan dari adanya peningkatan tambahan produktivitas antara 0,5 ton per
hektar hingga 0,75 ton per hektar. Tambahan produktivitas ini tergantung pada
keberhasilan petani/kelompok tani menerapkan teknologi PTT secara sinergis. Untuk
itu penyuluh dan pendampingan penerapan teknologi menjadi hal yang esensial. Dari
dokumen perencanaan yang ada, hal ini telah dibahas atau diperhatikan secara
mendalam.
Diperkirakan pertumbuhan rencana luas tanam SL-PTT yang cepat hanya
didasarkan pada ketesediaan anggaran, sehingga pada tahun 2014 proporsi rencana
luas areal SL-PTT hingga mencapai 34% dari total luas panen padi nasional.
Masalahnya pertumbuhan proporsi rencana luas areal SL-PTT ini tidak didukung
dengan ketersediaan penyuluh.-Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di
lapangan, umumnya penyuluh yang berperan dalam pendampingan program SL-PTT
masih berstatus sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) yang rata-rata adalah fresh
graduate dengan latar belakang pendidikan yang beragam dan belum mendapat
training sebaik dan selengkap PPL dengan masa kerja lebih dari 5 tahun. Hal ini
9
seyogyanya menjadi evaluasi penting mengingat kualitas SL-PTT sangat tergantung
dari kualitas penyuluhan dan pendampingan.
Pada level regional, Pulau Jawa dan Sumatera merupakan yang terluas dalam
perencanaan areal program SL-PTT (Tabel 2). Proporsi rata-rata luas areal program
SL-PTT di Pulau Jawa dan Sumatera masing-masing sebesar 33,08% dan 28,43% per
tahun. Perencanaan ini tidak komplementer dengan konsep MP3EI dimana Pulau
Jawa dan Sumatera akan menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan
pertambangan.
Khusus di Pulau Jawa, dengan kepadatan penduduk dan trend konversi lahan
pertanian yang tinggi, justru bertolak belakang dengan trend perkembangan luas
areal tanam program SL-PTT yang terus bertumbuh. Provinsi Jawa Timur dan Jawa
Barat yang merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia
justru menjadi provinsi terluas dalam perencanaan areal program SL-PTT dengan
rata-rata proporsi rencana luasan masing-masing 9,65% dan 8,95%. Catatan lainnya
adalah tingkat penerapan teknologi di Jawa sudah lebih baik dengan produktivitas per
hektar lebih dari rataan nasional, sehingga tambahan hasil/hektar yang diharapkan
menjadi lebih terbatas dibandingkan dengan di Luar Jawa.
Dengan dana yang besar seharusnya program SL-PTT dapat mendukung
pertumbuhan pusat-pusat produksi padi yang baru seperti di pulau Sulawesi yang
dalam konsep MP3EI akan diproyeksi menjadi koridor pangan. Pada perencanaan
luas areal di Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan yang terluas
bahkan menjadi Provinsi terluas ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Barat dengan
rata-rata proporsi rencana luasan sebesar 8,37%. Namun kondisinya jauh berbeda
dengan provinsi lainnya yang hanya berkisar antara 0,99-2,49%.
10
Tabel 2. Rencana Luas Areal Program SLPTT Setiap Provinsi Tahun 2009-2014 (Ha)
Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013 2014
ACEH 73.050 87.300 105.800 172.125 235.000 250.000
SUMUT 95.390 115.040 149.625 153.525 228.000 224.000
SUMBAR 70.000 93.150 97.500 110.000 138.000 139.000
RIAU 35.000 48.000 44.225 59.500 94.000 84.000
JAMBI 45.000 41.000 64.500 72.500 94.000 94.000
SUMSEL 106.000 124.850 136.000 178.750 274.000 277.000
BENGKULU 33.000 34.500 45.675 57.500 71.000 71.000
LAMPUNG 88.000 110.000 143.200 173.500 203.000 210.000
BABEL 3.000 3.000 6.450 4.900 7.000 8.000
KEPRI 100 - - - - -
SUMATERA 548.540 656.840 792.975 982.300 1.344.000 1.357.000
DKI JAKARTA - - - - - -
JABAR 200.500 220.800 201.550 267.900 439.000 459.000
JATENG 173.360 203.010 220.070 253.125 386.000 386.000
DI Y 75.750 88.650 89.500 56.460 89.000 89.000
JATIM 155.200 254.125 279.600 305.500 463.600 470.000
BANTEN 80.000 72.450 95.205 171.850 181.800 184.000
JAWA 684.810 839.035 885.925 1.054.835 1.559.400 1.588.000
KALBAR 87.500 107.250 122.000 121.000 158.000 158.000
KALTENG 47.000 63.500 56.400 70.000 74.000 61.000
KALSEL 93.000 102.200 104.975 163.000 177.800 177.800
KALTIM 45.000 56.200 61.350 48.625 56.000 54.000
KALIMANTAN 272.500 329.150 344.725 402.625 465.800 450.800
SULUT 46.100 59.900 60.450 63.375 70.500 70.500
SULTENG 53.000 63.000 68.250 80.000 117.000 116.000
SULSEL 125.500 173.000 195.175 307.725 440.000 431.000
SULTRA 46.000 51.000 65.625 89.600 86.000 86.000
GORONTALO 24.600 33.700 31.800 34.400 33.900 39.900
SULBAR 33.000 37.850 46.225 64.525 71.000 73.000
11
Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013 2014
SULAWESI 328.200 418.450 467.525 639.625 818.400 816.400
BALI 40.000 39.950 42.000 35.000 34.000 15.000
NTB 80.000 97.550 105.450 157.500 215.000 215.000
NTT 53.000 74.750 91.105 84.665 131.000 131.000
BALI-NUSA 173.000 212.250 238.555 277.165 380.000 361.000
MALUKU 12.000 14.350 15.150 14.000 16.800 16.900
PAPUA 17.550 15.375 18.300 11.000 21.600 22.350
MALUT 9.000 7.500 10.200 10.350 13.300 13.300
PAPUA BARAT 5.400 7.050 5.625 8.750 5.700 6.250
PAPUA-MALUKU 43.950 44.275 49.275 44.100 57.400 58.800
INDONESIA 2.051.000 2.500.000 2.778.980 3.400.650 4.625.000 4.632.000
Sumber: Pedoman Teknis Pelaksanaan SL-PTT Padi Tahun 2009-2014
Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa perkembangan rencana luas areal
program SL-PTT di setiap provinsi mengalami pertumbuhan yang positif kecuali di
provinsi bali. Provinsi Bali mengalami pertumbuhan yang negatif rata-rata sebesar
14,08% per tahun. Dengan kearifan lokal berupa subak yang tetap eksis hingga hari
ini, seharunya Provinsi Bali dapat dikembangkan dalam perencanaan program SL--
PTT.
Secara umum terdapat 13 provinsi yang rata-rata pertumbuhan luas arealnya
lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan nasional. Pertumbuhan rencana luas
areal terbesar terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Aceh, dan Jawa
Timur dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 29,85%, 29,62%,
29,25%, dan 27,23% per tahun. Sementara itu, terdapat 20 provinsi yang rata-rata
pertumbuhan rencana luas arealnya lebih kecil daripada rata-rata pertumbuhan
nasional. Rencana luas areal provinsi di Pulau Jawa dominan lebih besar dari pada
rata-rata pertumbuhan rencana luas areal nasional, sedangkan pada pulau Sulawesi
hanya Provinsi Sulawesi Selatan saja yang lebih besar daripada rata-rata
pertumbuhan rencana luas areal nasional.
12
Berdasarkan data pada Tabel 2 dan 3 diketuhui bahwa belum ditemukan
metode yang credible dalam mengalokasikan program SL-PTT kesetiap provinsi.
Dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan perencanaan jangka panjang ke
depan maka kegiatan SL-PTT seyogyanya lebih diusahakan ke Luar Jawa, sehingga
incremental (tambahan penghasilan) produktivitas per hektar akan lebih besar pula.
Strategi menumbuhkan pusat-pusat produksi baru menjadi sangat penting untuk
dilakukan terutama pada Pulau Sulawesi yang akan diproyeksi menjadi koridor
pangan dalam konsep MP3EI.
Tabel 3. Pertumbuhan Rencana Luas Areal Program SLPTT Setiap Provinsi,2009-2014
No. Provinsi Pertumbuhan Rencana Luas Areal (%)
2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 Rata-Rata
1. ACEH 19,51 21,19 62,69 36,53 6,38 29,26
2. SUMUT 20,60 30,06 2,61 48,51 -1,75 20,01
3. SUMBAR 33,07 4,67 12,82 25,45 0,72 15,35
4. RIAU 37,14 -7,86 34,54 57,98 -10,64 22,23
5. JAMBI -8,89 57,32 12,40 29,66 - 18,10
6. SUMSEL 17,78 8,93 31,43 53,29 1,09 22,51
7. BENGKULU 4,55 32,39 25,89 23,48 - 17,26
8. LAMPUNG 25,00 30,18 21,16 17,00 3,45 19,36
9. BABEL - 115,00 -24,03 42,86 14,29 29,62
10. KEPRI -100,00 - - - - -
11. SUMATERA 19,74 20,73 23,88 36,82 0,97 20,43
12. DKI JAKARTA - - - - - -
13. JABAR 10,12 -8,72 32,92 63,87 4,56 20,55
14. JATENG 17,10 8,40 15,02 52,49 - 18,60
15. DI YOGYAKARTA 17,03 0,96 -36,92 57,63 - 7,74
16. JATIM 63,74 10,02 9,26 51,75 1,38 27,23
17. BANTEN -9,44 31,41 80,51 5,79 1,21 21,90
18. JAWA 22,52 5,59 19,07 47,83 1,83 19,37
19. KALBAR 22,57 13,75 -0,82 30,58 - 13,22
20. KALTENG 35,11 -11,18 24,11 5,71 -17,57 7,24
13
No. Provinsi Pertumbuhan Rencana Luas Areal (%)
2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 2013-2014 Rata-Rata
21. KALSEL 9,89 2,72 55,28 9,08 - 15,39
22. KALTIM 24,89 9,16 -20,74 15,17 -3,57 4,98
23. KALIMANTAN 20,79 4,73 16,80 15,69 -3,22 10,96
24. SULUT 29,93 0,92 4,84 11,24 - 9,39
25. SULTENG 18,87 8,33 17,22 46,25 -0,85 17,96
26. SULSEL 37,85 12,82 57,67 42,98 -2,05 29,85
27. SULTRA 10,87 28,68 36,53 -4,02 - 14,41
28. GORONTALO 36,99 -5,64 8,18 -1,45 17,70 11,16
29. SULBAR 14,70 22,13 39,59 10,03 2,82 17,85
30. SULAWESI 27,50 11,73 36,81 27,95 -0,24 20,75
31. BALI -0,13 5,13 -16,67 -2,86 -55,88 -14,08
32. NTB 21,94 8,10 49,36 36,51 - 23,18
33. NTT 41,04 21,88 -7,07 54,73 - 22,12
34. BALI-NUSA 22,69 12,39 16,18 37,10 -5,00 16,67
35. MALUKU 19,58 5,57 -7,59 20,00 0,60 7,63
36. PAPUA -12,39 19,02 -39,89 96,36 3,47 13,32
37. MALUT -16,67 36,00 1,47 28,50 - 9,86
38. PAPUA BARAT 30,56 -20,21 55,56 -34,86 9,65 8,14
39. PAPUA-MALUKU 0,74 11,29 -10,50 30,16 2,44 6,83
40. INDONESIA 21,89 11,16 22,37 36,00 0,15 18,32
Sumber: Pedoman Teknis Pelaksanaan SL-PTT Padi Tahun 2009-2014 (diolah)
3.2. Perkembangan Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT
Peningkatan luas areal program diharapkan dapat meningkatkan produksi.
Berdasarkan Tabel 4. diketahui bahwa sasaran produksi padi nasional dan sasaran
produksi SL-PTT mengalami trend pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan
sasaran produksi padi nasional sebesar 3,88% per tahun sedangkan rata-rata
pertumbuhan sasaran produksi SL-PTT sebesar 17,99% per tahun sehingga rata-rata
proporsi sasaran produksi SL-PTT terhadap sasaran produksi padi nasional sebesar
14
25,78% per tahun. Dari data ini segera diketahui bahwa kegiatan SL-PTT menjadi
tulang punggung dalam program P2BN.
Tabel 4. Proporsi Sasaran Produksi Program SL-PTT terhadap Sasaran Produksi Padi Nasional, 2009-2014
No Tahun Sasaran Produksi Padi
Nasional (Ton)
Sasaran Produksi
SL-PTT (Ton) Share SL-PTT (%)
1 2009 63.525.000 11.083.800 17,45
2 2010 66.680.000 14.692.000 22,03
3 2011 70.599.317 15.950.000 22,59
4 2012 67.824.692 17.974.155 26,50
5 2013 72.063.735 24.651.127 34,21
6 2014 76.567.719 24.401.938 31,87
Sumber: Pedoman Teknis SL-PTT, 2009-2014
Berdasarkan informasi dari key informan di lapang diketahui bahwa tidak
semua Dinas Pertanian Kabupaten yang menjadi pelaksana program SL-PTT
melaporkan realisasi produksi. Di sisi lain, karena alasan administratif maka laporan
yang dikirimkan Dinas Pertanian Kabupaten masih berupa lembaran yang belum
terkomputerisasi sehingga menyulitkan ketika harus mengakumulasi realisasi sasaran
produksi SL-PTT secara nasional.
Lemahnya evaluasi terhadap realisasi pencapaian sasaran produksi SL-PTT
seharusnya menjadi perhatian serius bagi para penentu kebijakan baik di tingkat
pusat maupun provinsi dan daerah. Namun, kondisi ini justru diperparah dengan
sasaran produksi SL-PTT yang semakin besar setiap tahunnya hingga pernah
mencapai proporsi 34% terhadap sasaran produksi padi nasional pada tahun 2013.
Situasi permasalahan ini menggambarkan bahwa penetapan sasaran produksi SL-PTT
tidak berdasarkan evaluasi tahunan yang mendalam terhadap realisasi dari sasaran
produksi tersebut sebagaimana yang juga terjadi pada pertumbuhan luas areal SL-
PTT.
15
3.3. Perkembangan Sasaran Produktivitas Padi pada Program SL-PTT
Pertumbuhan rata-rata sasaran produksi padi (25,78% per tahun) dan luas
areal program (24,78% per tahun) pada program SL-PTT, tidak langsung berkorelasi
dengan pertumbuhan sasaran produktivitas. Perkembangan sasaran produktivitas
dari tahun 2009-2014 berfluktuasi dengan trend pertumbuhan yang negatif. Rata-rata
pertumbuhan sasaran produktivitas SL-PTT sebesar -0,26% per tahun (Tabel 5).
Perkembangan produktivitas padi nasional juga berfluktuasi namun dengan trend
pertumbuhan yang positif (1,14% per tahun).
Dengan paket program yang diberikan, produktivitas padi di areal SL-PTT
dipacu melebihi rata-rata produktivitas padi nasional, sehingga deviasi antara sasaran
produktivitas SL-PTT dengan produktivitas padi nasional berkisar antara 1,94 hingga
5,33 kwintal per hektar. Proporsi deviasi ini terhadap produktivitas padi nasional
cukup realistis karena berada pada selang antara 5-10%. Dalam arti penentuan
sasaran produktivitas padi di areal SL-PTT dianggap realistis terhadap kondisi riil di
lapang.
Tabel 5. Perkembagan Produktivitas Padi Nasional dan Sasaran Produktivitas SL-PTT Tahun 2009-2014
No. Tahun Produktivitas Padi
Nasional (Kw/Ha)
Sasaran
Produktivitas SL-PTT (Kw/Ha)
Deviasi
(Kw/Ha)
Proporsi Deviasi
terhadap Povitas Nasional (%)
1. 2009 51,04 56,37 5,33 10,44
2. 2010 55,56 59,50 3,94 7,09
3. 2011 55,46 58,57 3,11 5,61
4. 2012 50,02 54,76 4,74 9,48
5. 2013 52,00 55,21 3,21 6,17
6. 2014 53,50 55,44 1,94 3,63
Sumber: Pedoman Teknis SL-PTT, 2009-2014
16
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pelaksana program baik di level pusat
maupun provinsi dan daerah, adopsi teknologi yang direkomendasikan pada program
SL-PTT masih rendah. Pola tanam Jajar Legowo yang menjadi salah satu teknik
peningkatan produktivitas padi ternyata masih rendah tingkat implementasinya.
Sebab utama rendahnya adopsi teknologi ini karena sasaran penyuluhan bukanlah
pelaku utama dalam usahatani padi. Pelaku utama usahatani padi adalah para buruh
tani yang tidak mendapatkan bimbingan dan materi penyuluhan selengkap petani
penggarap karena memang yang menjadi sasaran penyuluhan selama ini adalah
petani penggarap. Dengan mempertimbangkan rendahnya adopsi teknologi pada
program SL-PTT, penentuan target produktivitas sebagaimana yang terinci pada
Tabel 5 menjadi realisitis.
17
IV. TINJAUAN KRITIS SL-PTT: ANTARA KONSEP DAN IMPLEMENTASI
4.1. Konsep PTT/SL-PTT
Kehadiran PTT telah diinspirasi adanya rapat koordinasi kabinet Indonesia
Bersatu yang langsung dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden RI pada awal
tahun 2007 di Departemen Pertanian (sekarang Kementrian Pertanian) yang
menghasilkan keputusan penting, yaitu target peningkatan produksi beras 2 juta ton
pada tahun 2009 dan selanjutnya meningkat 5% per tahun hingga tahun 2007
(Badan Litbang Pertanian, 2007). Untuk menindaklanjuti komitment tersebut,
Departemen Pertanian meluncurkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) untuk segera diimplementasikan. Salah satu upaya strategis yang dilakukan
dalam upaya pencapaian target peningkatan produksi tersebut adalam melalui
penerapan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah.
PTT pertama kali dikembangkan pada tahun 2002. Penerapan PTT didasarkan
pada empat prinsip (Badan Litbang Pertanian, 2007), yaitu (i) PTT pada dasarnya
bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau
strategi bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman,
tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan
berkelanjutan, (ii) memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan
diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi, (iii)
memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi
petani, dan (iv) PTT bersifat partisipatif yang berarti petani turut serta menguji dan
memilih teknologi sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui
proses pembelajaran.
Berbeda dengan program-program sebelumnya, seperti BIMAS, INMAS,
sampai SUPRA-INSUS, dimana teknologi yang dianjurkan bersifat paket dan berlaku
umum dimana saja, serta dilaksanakan sepenuhnya dengan inisiasi petugas (top
down); dalam penerapan PTT, petani dan petugas duduk bersama memilih
komponen teknologi yang akan diterapkan sesuai dengan keinginan petani dan sesuai
dengan kondisi lingkungan.
18
Model pengembangan PTT dan System of Rice Intensiification (SRI) tersedia
untuk dimanfaatkan dalam skala luas pada saat yang hampir bersamaan. Pada
dasarnya paket teknologi yang dirakit serupa, akan tetapi strategi penerapannya
berbeda. Strategi SRI lebih dipusatkan pada penggunaan pupuk organik/kompos
yang mencapai 10 ton/ha/musim, sehingga dalam prakteknya sulit dipenuhi dalam
skala yang luas dan akan menambah biaya tenaga kerja untuk aplikasinya. Oleh
karena itu, dalam upaya meningkatkan produktivitas dan produksi padi pada
hamparan skala luas dan di berbagai lokasi di Indonesia, melalui pendekatan PTT
dipertimbangkan lebih sesuai.
Sesuai konsepnya, tahapan dalam pelaksanaan PTT diawali dengan melakukan
Participatory Research Appraisal (PRA) di daerah pengembangan untuk menggali
masalah utama yang dihadapi petani, sehingga kegiatan ini menjadi sangat penting
dan menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan PTT. Tahapan berikutnya adalah
penyusunan komponen teknologi yang sesuai dengan karakteristik dan masalah di
daerah pengembangan, dimana komponen ini nantinya bersifat dinamis sesuai
dengan perkembangan waktu dan masukan dari petani dan masyarakat setempat.
Setelah itu dilanjutkan dengan penerapan teknologi utama PTT di hamparan lawah
sawah (misal 100 ha) dan pada saat yang sama juga diperagakan berbagai
komponen teknologi alternatif pada luasan sekitar 1 ha dalam bentuk superimpose
atau petak demonstrasi, sebagai sarana pelatihan bagi petani dan petugas lapang.
Alternatif komponen PTT yang dapat diintroduksikan, yaitu: (1) Varietas
unggul baru sesuai dengan lokasi pengembangan, (2) Benih bermutu, (3) Bibit muda,
< 21 HSS, (4) Jumlah bibit 1-3 batang per lubang dan sistem tanam jajar legowo, (5)
Pemupukan N berdasarkan BWD, (6) Pemupukan P dan K berdasarkan status hara
tanah, (7) Bahan organik, (8) Pengairan berselang, (9) Pengendalian gulma secara
terpadu, (10) Penerapan PHT, dan (11) Panen beregu dan pasca panen
menggunakan alat perontok. Lebih lanjut, komponen-komponen ini dipilah menjadi
dua bagian: (1) Teknologi untuk memecahkan masalah setempat, dan (2) Teknologi
untuk perbaikan cara budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam implementasi-
nya, tidak semua komponen teknologi tersebut diterapkan sekaligus. Namun
19
demikian, komponen 1-6 adalah komponen teknologi yang dapat diterapkan
bersamaan sebagai penciri model PTT, mengingat jika keenam komponen tersebut
diterapkan secara bersamaan mampu memberikan sumbangan yang nyata terhadap
peningkatan produktiivtas dan efisiensi produksi padi.
4.2. Antara Konsep dan Penerapan Skala Luas SL-PTT
Sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan peningkatan produktivitas dan
produksi pangan (padi, jagung dan kedelai) melalui pelaksanaan program SL-PTT,
maka setiap tahunnya dibuat Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT. Secara umum
aspek-aspek yamg dijelaskan dan dibahas dalam Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-
PTT itu hampir sama setiap tahunnya. Namun demikian ada beberapa perbedaan
didalamnya sesuai dengan perkembangannya. Pedoman Pelaksanaan/Teknis tahun
2008 sampai 2012 adalah sama, namun pedoman ini mengalami perubahan sejak
tahun 2013.
Tabel 6 menginformasikan perkembangan Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-
PTT selama tahun 2008-2014. Sesuai tujuannya, SL-PTT merupakan kegiatan
penyuluhan dan pendampingan yang disebut dengan sekolah lapangan bagi petani
dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui pengunaan input produksi
yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas
tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Untuk mencapai
tujuan ini, pelaksanaan SL-PTT selama periode 2008-2012 dilaksanakan dengan
disain dalam setiap 10-25 ha pengembangan terdapat 1 ha sebagai Laboratorium
Lapang (LL) dan 24 ha sekolah lapang (SL).
Namun demikian, sejak tahun 2013, pendekatan pengembangan SL-PTT
mengalami perubahan. Kegiatan SL-PTT dilaksanakan berdasarkan tiga pola, yaitu
pertumbuhan, pengembangan, dan pemantapan, dengan pendekatan kawasan skala
luas 1000 hektar terintegrasi dari hilir. Jumlah paket bantuan sebagai instrumen
stimulan, serta dukungan pendampingan dan pengawalan dibedakan dalam ketiga
pola tersebut (Dirjen Tanaman Pangan, 2013). Definisi ketiga pola tersebut
didasarkan potensi produktivitas yaitu: kawasan pertumbuhan merupakan daerah
20
yang tingkat produktivitasnya masih dibawah rata-rata produktivitas provinsi,
kawasan pengembangan merupakan daerah-daerah dengan tingkat produktivitas
sama dengan produkvitas provinsi, sedangkan kawasan pemantapan adalah daerah-
dearah yang produktivitasnya sudah di atas rata-rata provinsi dan atau nasional.
Pada setiap 25 ha terdapat 1 ha LL, sehingga dalam kawasan 1000 ha terdapat
sebanyak 40 unit LL (40 ha LL).
Tabel 6. Perubahan Pedoman Pelaksanaan/Juknis SL-PTT Padi Sawah, 2008-2014
Aspek 2008-2012 2013-2014
A. Luas • 10-25 ha
• 1 ha LL
• 1000 ha
• Setiap 25 ha terdapat 1 ha LL
B. Komponen Teknologi
Dasar 1. VUB, Inbrida/hibrida
2. Benih bermutu dan berlabel 3. Pemebrian bahan organik melalui
pengembalian jerami ke sawah/dalam
bentuk kompos 4. Pengaturan populasi tanaman secara
optimum
5. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan stataus hara
6. Pengendalian OPT dengan
pendekaran PHT
1. Varietas Moderen (VUB, PH, PTB)
2. Bibit bermutu dan sehat 3. Pengaturan cara tanam (jarwo) 4. Pemupukan berimbang dan efisien
menggunakan BWD dan PUTS/petak omisi/Permentan no.40/2007
5. PHT sesuai OPT sasaran
Pilihan 1. Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
2. Pengunaan bibit muda ( < 21 hari)
3. Tanam bibit 1 -3 batang per rumpun 4. Perngairan secara efektif dan efisien 5. Penyiangan dengan landak/gasrok
6. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok
7. Pengaturan tanam (jarwo 2:1 atau 4;1) sejak 2012
1. Bahan organik/pupuk kandang/amelioran 2. Umur bibit 3. Pengolahan tanah yang baik
4. Pengelolaan air optimal (pengairan berselang)
5. Pupuk cair
6. Penangan panen dan pasca panen
B. Bantuan
21
Aspek 2008-2012 2013-2014
LL • Benih, pupuk Urea, NPK dan pupuk organik sesuai dengan rekomendasi
spesifik lokasi
• Pertemuan kelompok 8 kali
Kawasan Pertumbuhan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 300 kg/ ha, organik 1000 kg/ha,
pertemuan kelompok 8 kali Kawasan Pengembangan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 275 kg/ ha, organik 1000 kg/ha,
pertemuan kelompok 6 kali Kawasan Pemantapan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 250 kg/ ha, organik 1000 kg/ha,
pertemuan kelompok 4 kali
SL • Benih 25 kg/ha atau sesuai jenis varietas
Kawasan Pertumbuhan: Benih, Urea 100 kg/ha, NPK 200 kg/ ha, organik 750 kg/ha, Pertemuan kelompok 8 kali
Kawasan Pengembangan: Benih, Urea 75 kg/ha, NPK 150 kg/ha, organik 500 kg/ha, Pertemuan kelompok 6 kali
Kawasan Pemantapan: Benih, pertemuan kelompok 4 kali
Pola Pemberian
Benih
• BLBU (Benih Gratis) Benih Bersubsidi (HET ditentukan oleh Mentan)
Sumber: Dirjen TP, 2009; 2013.
Pada semua Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT dijelaskan bahwa
Laboratorium Lapang (LL) dirancang sebagai kawasan/area yang terdapat dalam
kawasan SL-PTT yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, temu lapang, tempat
belajar dan tempat praktek penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan
bersama oleh kelompoktani/petani secara spesifik lokasi. Pemilihan letak petak LL
yang berada pada kawasan SL-PTT diprioritaskan pada bagian pinggir areal SL-PTT
sehingga berbatasan langsung dengan areal di luar SL-PTT, dengan harapan
penerapan teknologi Sl-PTT mudah juga dilihat dan ditiru oleh petani yang berada di
luar lokasi SL-PTT.
Sama halnya dengan LL, semua Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT
menjelaskan bahwa SL adalah sebagai tempat pendidikan non formal bagi petani
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi,
menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan mengambil keputusan dan
menerapkan teknologi sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis
dan berwawasan lingkungan. Dengan kata lain, pada SL ini petani diharapkan mampu
22
menerapkan teknologi yang paling baik sesuai percontohan yang ada pada LL sesuai
dengan kondisi setempat. Agar petani mampu menerapkan teknologi secara baik
maka perlu adanya pengawalan dan pendampingan baik dari peneliti BPTP maupun
penyuluh. Pendampingan tidak hanya sebatas dilakukan pada petani SL, hal yang
sama diharapkan juga dilakukan pada petani yang berada di luar lokasi LL untuk
mendorong mereka juga menerapkan komponen teknologi PTT.
Pada periode 2008-2012, jenis bantuan yang diberikan pada LL yaitu pupuk
Urea, NPK, dan Organik yang jumlahnya disesuaikan dengan rekomendasi spesifik
lokasi. Sementara untuk petani pada SL hanya diberikan bantuan benih sebanyak 25
kg/ha atau disesuaikan dengan jenis varietasnya. Pada periode 2013-2014, jumlah
bantuan yang diberikan menurut Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT menjadi lebih
lengkap. Petani SL pada daerah yang termasuk katagori pertumbuhan dan
pengembangan selain mendapat bantuan benih, juga mendapat bantuan pupuk Urea,
NPK, dan organik dalam jumlah yang besar, serta juga difasilitasi untuk mengadakan
pertemuan kelompok. Petani SL yang berada pada daerah yang masuk kategori
pemantapan hanya mendapat bantuan benih dan difasilitasi untuk mengadakan
pertemuan kelompok.
Dari komponen teknologi yang dianjurkan yang terdapat pada Pedoman Umum
Pelaksanaan/Teknis juga berbeda antara tahun 2008-2012 dengan 2013-2014. Pada
tahun 2008-2012 masing-masing terdapat 6 komponen teknologi dasar dan pilihan,
kecuali pada tahun 2012 ada satu tambahan komponen teknologi pilihan yaitu
pengaturan tanam (Jajar legowo 2:1 atau 4:1), sementara pada tahun 2013 dan
tahun 2014 hanya terdapat 5 komponen teknologi dasar dan 6 komponen teknologi
pilihan. Komponen teknologi pilihan yaitu, pengatauran cara tanam (jarwo) bahkan
berubah menjadi komponen teknologi dasar sejak tahun 2013.
Perbedaan lainnya yang terdapat pada Pedoman Pelaksanaan/Teknis adalah
pola pemberian benih. Pada tahun 2008-2012, benih diberikan secara gratis kepada
kelompok tani melalui pola BLBU, sementara sejak tahun 2013 petani mendapat
bantuan benih bersubsidi, dimana petani harus membeli benih sebesar HET yang
23
ditetapkan oleh Menteri Pertanian. HET benih bersubsidi sekitar Rp 2020/kg, dibawah
harga gabah konsumsi.
Dari informasi di atas dapat dilihat bahwa penerapan PTT melalui program SL-
PTT seperti yang dijelaskan pada Pedoman Pelaksanaan/Teknis SL-PTT tidak
sepenuhnya sejalan dengan konsep PTT. Pada konsep PTT, dimana penerapan PTT
didasarkan pada empat prinsip yaitu: yaitu (i) PTT pada dasarnya bukanlah suatu
paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau strategi bahkan filosofi
bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur
hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan berkelanjutan, (ii)
memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan
dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi, (iii)
memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi
petani, dan (iv) PTT bersifat partisipatif yang berarti petani turut serta menguji dan
memilih teknologi sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui
proses pembelajaran.
Terutama pada prinsip ke-4, pengembangan PTT melalui program SL-PTT
diharapkan lebih banyak ditentukan oleh partisipasi petani dalam menerapkan setelah
melihat keunggulan-keunggulannya pada LL. Dengan kata lain, tanpa adanya
bantuan dari pemerintah sekalipun petani dengan yakin dan ikhlas menerapkannya
karena inovasi teknologi itu memberikan manfaat yang lebih banyak dari teknologi
yang mereka terapkan sebelumnya. Berbeda pada Pedoman Pelaksanaan/Teknis,
petani mau menerapkan seakan-akan lebih didorong karena adanya bantuan saprodi,
bukan mengedepankan partisipasinya.
4.3. Kinerja Implementasi Program SL-PTT
Secara umum kinerja implementasi program SL-PTT di lahan petani belum
menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, sekalipun kita sepakat bahwa secara
konsep PTT itu sangat bagus sehingga kalau pendekatannya diterapkan secara
konsisten diyakini mampu meningkatan produksi padi secara signifikan dan
berkelanjutan. Kinerja program SL-PTT yang belum sesuai harapan tersebut
24
disebabkan tingkat implementasinya belum sepenuhnya mengikuti pedoman
pelaksanaan dan pedoman teknis yang telah disediakan. Ada beberapa aspek
mendasar sebagai penyebabnya, seperti akan dijelaskan sebagai berikut:
Laboratorium Lapang (LL) yang dirancang dan pada awalnya diharapkan
sebagai tempat pembelajaran dan uji adaptasi berbagai komponen teknologi tidak
berjalan seperti diharapkan. LL sebagai tempat untuk melakukan uji adaptasi
berbagai varietas yang diperkirakan berpotensi untuk dikembangkan di lokasi
pengembangan program SL-PTT belum berjalan seperti yang diharapkan. Padahal
sesuai dengan konsepnya, dari sekian banyak varietas yang diperagakan pada LL,
petani bisa melihat secara langsung dan membuktikan sendiri varietas-varietas yang
mana yang produktivitasnya bagus dan mana yang kurang bagus. Dari pembuktian
ini petani selanjutnya diharapkan mampu untuk memutuskan sendiri varietas yang
mana sebaiknya ditanam pada musim tanam yang akan datang.
Dalam pelaksanaanya, jenis varietas yang diperagakan pada LL hanya
terbatas, dan bahkan cenderung hanya satu varietas saja, dan seringkali bukan jenis
varietas yang disukai petani. Di beberapa lokasi produktivitas padi pada LL lebih
rendah dari SL dan sekalipun dengan dibandingkan dengan petani di luar SL. Kondisi
ini terjadi diduga akibat jenis varietas yang ditanam pada LL tidak sesuai dengan
kondisi biofisik setempat. Hal yang sama juga terjadi dengan pengujian komponen
teknologi lainnya. Seharusnya semua komponen teknologi PTT diujicobakan dan
dimodifikasi terlebih dahulu oleh BPTP sesuai konsisi AEZ serta berdasarkan bio-fisik
lahan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil modifikasi tersebut dikaji
adaptasinya di LL, setelah adaptasi dari aspek teknis memungkinkan, ekonomi
menguntungkan dan sosial diterima oleh masyarakat pengguna, selanjutnya
dilakukan eskalasi ke SL pada skala yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan
secara gradual proses difusi teknologi ke wilayah sekitarnya dapat berjalan sesuai
harapan. Dengan demikian, fungsi LL sebagai tempat uji coba berbagai varietas dan
komponen teknologi lainnya belum berjalan.
Hal yang sama juga terjadi pada petani SL. Untuk mendorong petani SL di luar
LL menerapkan komponen teknologi PTT yang diperagakan dalam LL, maka petani
25
diberikan bantuan benih sebanyak 25 kg/ha selama tahun 2008-2012 dan diganti
dengan pola subsidi benih dimana petani hanya membayar sebesar HET yang
ditentukan oleh Menteri Pertanian. Namun fakta menunjukkan bahwa bantuan benih
gratis yang diberikan melalui pola BLBU dan pola subsidi benih tidak serta merta
mampu mendorong petani untuk menerapkan teknokogi PTT secara baik. Input benih
yang pada awalnya diharapkan sebagai kontributor utama dan pengungkit dalam
peningkatan produktivitas justru menjadi input produksi yang menyebabkan turunnya
produktivitas relatif terhadap teknologi petani. Dengan pola BLBU pada periode 2007-
2012, benih gratis yang diterima petani peserta SL-PTT kualitasnya sangat rendah,
varietasnya tidak sesuai keinginan petani, serta waktu ketersediannya tidak sesuai
dengan jadwal tanam akibat proses administrasinya cukup panjang (ada SK Provinsi,
SK Kabupaten, dan perintah dropping).
Sejak tahun 2013, dengan digantinya pola BLBU ke pola subsidi benih dimana
PT. SHS ditunjuk sebagai penyedia tunggal benih juga tidak mampu memperbaiki
kinerja SLPTT mengingat: (i) kualitas benih tidak lebih baik dari pola BLBU, (ii)
varietas juga tidak sesuai dengan keinginan petani, dan (iii) PT. SHS tidak dapat
menyalurkan benih tepat waktu, apalagi untuk daerah-daerah terpencil. Pola subsidi,
dimana harga benih yang harus dibayar petani hanya sebesar Rp 2.020/kg,
sementara harga gabah konsumsi telah mencapai Rp 4.000/kg GKP, juga
dikhawatirkan memicu munculnya banyak “kelompok petani/petani siluman” yang
menjual kembali benih tersebut untuk dikonsumsi, mengingat ada margin sebesar Rp
2.000/kg.
Terbatasnya jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan mendampingi
petani khususnya pada lahan SL juga turut berkontribusi terhadap rendahnya kinerja
implementasi program SL-PTT. Dengan tingkat pendidikan yang rata-rata masih
rendah, petani sendiri belum sepenuhnya mampu untuk memutuskan baik dari sisi
jenis, jumlah, dan waktu penerapakan komponen teknologi, belum lagi diperlemah
oleh kondisi finansial. Terbatasnya SDM peneliti dan penyuluh ini juga menyebabkan
difusi dan adopsi program ini ke luar SL terhambat.
26
Selain memberi bantuan benih dan pupuk pada LL, dan benih pada SL,
pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk mendukung program ini, yaitu
terkait dengan peningkatan kapasitas produksi pertanian yang diwujudkan dalam
bentuk bantuan, yaitu (i) JITUT, JIDES, optimasi lahan, dan cetak sawah, dan (ii)
biaya relabilitasi jaringan irigasi. Namun demikian, hasil kajian Rusastra, et al,
(2012) menyebutkan bahwa kedua jenis bantuan tersebut kurang mampu bersinergi
dan terintegrasi dengan program SL-PTT karena kebanyakan kedua jenis bantuan
tersebut tidak diimplementasikan di lokasi pengembangan SL-PTT. Hal yang sama
juga pembiayaan terkait dengan bantuan alat dan sarana produksi pertanian
dialokasikan dalam tiga bentuk, yaitu: (i) bansos dengan pola BLM, (ii) anggaran
terkait dengan bantuan alat dan mesin pertanian, dan (iii) anggaran terkait dengan
bantuan perontok dan pengering juga kurang diintegrasikan dan disinergikan dengan
kegiatan SL-PTT. Bantuan Sosial dengan pola BLM untuk pupuk dan biaya pertemuan
SL-PTT masih terbatas. Sementara bantuan alat dan mesin pertanian, serta perontok
mekanis dan pengering tidak sepenuhnya bisa digunakan oleh petani karena masalah
teknis dan skill petani sendiri, disamping jumlah yang dialokasikan masih terbatas
pada lokasi pengembangan SL-PTT tertentu saja.
4.4. Menuju Gerakan Penerapan-PTT (GP-PTT)
Pada tahun 2015, pemerintah melalui Kementerian Pertanian merencanakan
akan melakukan pemassalan penerapan PTT di berbagai lokasi di Indonesia melalui
program Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT). Hal ini
dilakukan atas pertimbangan bahwa setelah PTT diperkenalkan melalui program SL-
PTT sejak tahun 2008 sampai tahun 2014, maka sudah waktunya PTT itu diterapkan
secara masive melalui GP-PTT. Terkait dengan rencana ini, maka pembelajaran yang
sangat berharga bisa dipetik dari kinerja implementasi program SL-PTT sejak tahun
2008 sampai 2014 yang dapat dijadikan sebagai bahan perbaikan pelaksanaan GP-
PTT ke depan.
Seperti diungkap sebelumnya bahwa dari sisi konsepsi, PTT itu sangat bagus
sehingga kalau diimplementasikan secara baik dan konsisten diyakini akan dapat
27
berkontribusi signifikan dalam upaya meningkatan produktivitas dan produksi padi
nasional. Kelemahan-kelemahan dan ketidak-konsistenan dalam implementasinya ini
bisa dijadikan pembelajaran dalam memperkuat pelaksanaan GP-PTT ke depan
Beberapa kelemahan yang dimaksud seperti: tidak berfungsinya Laboratorium Lapang
sebagai tempat uji coba dan adaptasi berbagai komponen teknologi PTT, terbatasnya
jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam
mempraktekan komponen teknologi PTT di lahannya sendiri; program yang masih
cenderung didominasi pemerintah pusat (sentralistik), serta kurang mengedepankan
partisipasi petani dan sebaliknya lebih mengedepan bantuan sebagai stimulan untuk
mendorong agar petani mau menerapkan PTT.
Ke depan GP-PTT sebaiknya dilakukan melalui perencanaan dan tahapan
pelaksanaan yang jelas dan lebih matang, dan digerakan melalui partisipasi petani
dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan demikian, pelaku utama dalam
menggerakan dan menerapkan program ini adalah petani yang didorong oleh para
penyuluh, bukan seolah-olah pemerintah sebagai pelaksana. Dengan kata lain jangan
terulang lagi petani mau menerapkan teknologi PTT hanya karena ada bantuan,
bukan termotivasi setelah membuktikan dan melihat langsung keunggulan-
keunggulan teknologi tersebut pada lokasi LL.
28
V. KINERJA IMPLEMENTASI SL-PTT: KASUS PROVINSI JAWA BARAT
Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu propinsi sentra produksi pangan
termasuk padi. Luas baku lahan sawah sebesar 919.914 ha, terdiri atas irigasi teknis
374.156 ha, setengah teknis 131.674 ha, irigasi sederhana 104.077 ha, irigasi non-PU
104.488 ha, dan tadah hujan seluas 183.691 ha. Sebagai provinsi pelaksana program
SL-PTT, pada tahun 2014, Jawa Barat mendapat penghargaan “Kinerja Pelaporan
SL-PTT tahun 2008 – 2014 Terbaik” selain DI Yogyakarta dan Sumatera Selatan dari
Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Pada tahun 2013, produksi padi
Jawa Barat mencapai 12.083.162 ton dengan kontribusi terhadap total produksi
nasional paling besar seperti pada Tabel 7. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman
Pangan beserta semua Kepala Dinas Pertanian se-Jawa Barat, kontribusi Jawa Barat
terhadap produksi beras nasional didorong oleh program SL-PTT.
Pemerintah daerah Jawa Barat sangat mendukung program SL-PTT yang
ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD tingkat I yang relatif besar. Sebagai
gambaran, alokasi dana APBD pada tahun 2015 dialokasikan sekitar Rp.12 Milyar
(data sementara) untuk dua kegiatan yaitu fasilitasi pengaturan jarak tanam jajar
legowo (Rp.10 Milyar) dan SL-PTT padi hibrida (Rp.2 Milyar). Disamping itu, pada
tahun 2013, pemerintah daerah Provinsi Barat juga membentuk Badan Koordinasi
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh) yang akan membantu
pelaksanaan program pertanian termasuk SL-PTT. Pada tahun 2015, Bakorluh
menyediakan dana dari APBD untuk membei apresiasi terhadap tenaga penyuluh baik
yang sudah PNS maupun yang masih Tenaga Harian Lepas (THL) dalam bentuk
umroh gratis kepada penyuluh yang berprestasi atau reward dalam bentuk lainnya
kepada THL yang berprestasi. Dukungan seperti ini sangat dibutuhkan untuk
mendorong peningkatan kinerja para penyuluh dan THL yang menjadi „ujung tombak‟
dalam diseminasi teknologi yang diharapkan berdampak signifikan pada peningkatan
produksi dan produktivitas.
29
Tabel 7. Kontribusi Produksi Padi dan Jagung Provinsi Jawa Barat Terhadap Nasional,
Tahun 2013
Komoditas Produksi (ton) % terhad
Nasional
Peringkat
Nasional Jabar Nasional
Padi 12.083.162 71.279.709 16,95 1
Jagung 1.101.998 18.511.853 5,95 6
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2014)
Walaupun demikian, implementasi program SL-PTT di Jawa Barat masih terdapat
permasalahan yang harus dicarikan solusinya terutama oleh Kementerian Pertanian.
Permasalahn SL-PTT diperoleh dari hasil diskusi dalam pertemuan evaluasi SL-PTT
yang dihadiri oleh Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Bakorluh tingkat propinsi dan
enam kabupaten sentra produksi padi serta hasil diskusi dengan petani peserta
proram SL-PTT di Kabupaten Cianjur. Permasalahan program SL-PTT di Provinsi
Jawa Barat yang dirasakan dan dialami oleh instansi dan petani adalah: (a)
Komponen SL-PTT yang terlalu banyak dan kurang efektifnya pelaksanaan LL, (b)
Jumlah dan kualitas PPL terbatas serta kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas
Pertanian dengan Bakorluh, (c) Kinerja penyediaan benih sangat buruk (benih yang
sering kurang tepat baik waktu, jumlah, maupun kualitasnya), (d) Status petani
sebagai petani penggarap dan berumur tua. Selanjutnya akan diuraian dari masing-
masing permasalahan dan alternatif solusinya diuraikan dibawah ini.
5.1. Komponen Teknologi dan Efektivitas Pelaksanaan LL
Jumlah komponen teknologi dalam SL-PTT dianggap terlalu banyak (13
komponen, terdiri dari 6 komponen dasar dan 7 komponen pilihan). Jenis komponen
teknologi dasar yang tertera dalam Pedoman Teknis SL-PTT pada tahap awal
pelaksanaanya (2008) adalah varietas unggul baru hibrida/non hibrida, benih
bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik (jerami atau kompos), pengaturan
populasi tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan
status hara tanah, pengendalian OPT dengan pendekatan PHT. Komponen teknologi
30
pilihan adalah pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit
muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengaturan tanam (jajar
legowo 2:1 atau 4:1), pengairan secara efektif dan efisien, penyiapan dengan landak
atau gasrok, panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Pilihan komponen dasar dan pilihan telah mengalami perubahan seperti tertera
dalam Pedoman Teknis SL-PTT Padi dan Jagung tahun 2013. Dalam pedoman
tersebut tertera komponen teknologi dasar ada lima yaitu varietas moderen (VUB,
PH, PTB), bibit bermutu dan sehat, pengaturan cara tanam (jajar legowo),
pemupukan berimbang dan efisien menggunakan BWD dan PUTS/petak
omisi/Permentan No. 40/2007 dan PHT sesuai OPT sasaran. Komponen pilihan
sebanyak enam yaitu bahan organik/pupuk kandang/ameliorant, umur bibit,
pengolahan tanah yang baik, pengelolaan air optimal (pengairan berselang), pupuk
cair (ppc, pupuk organik, pupuk bio-hayati)/ZPT, pupuk mikro), penanganan panen
dan pasca panen. Berdasarkan kedua pedoman tersebut, terdapat perubahan dalam
jumlah komponen dasar dari 6 menjadi 5, dan komponen pilihan dari 7 menjadi 6
komponen. Selain perubahan jumlah komponen, juga ada perubahan jenis
komponen, seperti pada pedoman awal, pengaturan tanam (jajar legowo) merupakan
komponen pilihan menjadi komponen dasar pada pedoman tahun 2013.
Dalam pedoman disebutkan bahwa petani bersama penyuluh melakukan
pemilihan jenis komponen dasar dan pilihan yang akan diterapkan disesuaikan
dengan kebutuhan wilayah (spesifik lokasi) berdasarkan Kajian Kebutuhan dan
Peluang (KKP). Namun kenyataannya, sebagian besar petani dan penyuluh tidak
melakukan kajian tersebut baik di lahan Laboratorium Lapang (LL) maupun di non LL.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa secara inheren, sebetulnya petani sudah banyak
“asam garam” dalam berusahatani padi karena mereka melakukan hal tersebut sudah
dilakukan sekitar 20-30 tahun yang lalu. Berusahatani padi sebagai sumber mata
pencaharian utama yang dilakukan setiap musim padi secara terus menerus,
sehingga secara naluri mereka sudah mengetahui sistem budidaya padi yang
menguntungkan, teknologi mana yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan.
Penerapan 13
31
Dengan memperhatikan hal tersebut, diusulkan untuk mengurangi komponen
komponen teknologi dalam program SLPTT justru membingungkan petani, sementara
efektifitas dari setiap komponen belum terlihat nyata di lapangan, sehingga sebagian
petani memilih untuk kembali dengan pilihan teknologi seperti yang telah diterapkan
selama ini. Kondisi ini juga sebagai akibat tidak efektifnya kegiatan sekolah lapang di
LL dikarenakan: (a) Kegiatan LL dilakukan pada tahun yang sama dengan non LL, (b)
Penerapan komponen teknologi di LL tidak dilakukan secara optimal,umumnya hanya
dalam sistem pengaturan tanam (jajar legowo) dan penerapan varietas unggul baru
(VUB), (c) Lahan LL umumnya milik ketua gapoktan/kelompok tani sehingga
dimungkinkan lokasi lahan kurang strategis untuk dapat dilihat oleh banyak petani,
(d) Terbatasnya petani peserta dalam pertemuan LL (hanya sekitar 25 orang) dan (e)
Tidak adanya juklak di tingkat propinsi dan juknis di tingkat kabupaten sebagai
kelanjutan dari pedoman teknis yang disusun oleh Kementerian Pertanian.teknologi,
misal hanya 3-5 komponen saja yang betul-betul berpengaruh signfikan terhadap
produktivitas dan dapat diterapkan secara baik di lapangan. Hasil kajian yang
dilakukan oleh BPTP Jawa Barat menunjukkan komponen benih, jarak tanam legowo,
dan pemupukan merupakan tiga komponen utama yang berpengaruh besar terhadap
produktivitas padi.
5.2. Kualitas Penyuluhan, Pendampingan dan Koordinasi Penyuluhan
Jumlah tenaga penyuluh lapang (PPL) PNS semakin sedikit dikarenakan tidak
ada penambahan penyuluh PNS, disisi lain banyak PPL yang sudah pensiun dan
menduduki jabatan strukutral, sehingga penerapan satu desa satu penyuluh belum
dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Untuk menutupi kekurangan tersebut,
pemerintah menambah jumlah penyuluh yang dikenal dengan Tenaga Harian Lepas
(THL). Namun demikian THL ini belum dapat bekerja secara optimal dikarenakan: (a)
Tidak semua THL mempunyai latar belakang di bidang pertanian, (b) Terbatasnya
pelatihan pertanian untuk menambah wawasan mereka di bidang pertanian secara
komprehensif, (c) Pada umumnya umur THL lebih muda dibandingkan dengan umur
petani, sehingga para THL kurang percaya diri untuk melakukan kegiatan
32
penyuluhan, (d) Terbatasanya fasilitas THL dalam melaksanakan kunjungan lapang
(tidak ada kendaraan dan dana perjalanan). Honor THL dari pemerintah pusat untuk
10 bulan sedangkan kekurangannya (2 bulan) dibebankan kepada pemerintah
daerah. Kenyatannya tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan hal tersebut.
Peran PPL sebelum dan sesudah otonomi daerah relatif sama yaitu mendampingi
petani agar mampu mengadopsi teknologi pertanian secara baik dan benar sehingga
produktivitas dan produksi pertanian meningkatkan sesuai yang diharapkan. Seperti
pada kasus program SL-PTT, secara konsep program ini sangat baik, namun sebagian
besar petani menerapkan komponen teknologi PTT secara parsial, tidak menyeluruh
dan terus menerus. Salah satu penyebab hal tersebut adalah jumlah dan kualitas PPL
terbatas, padahal peran mereka adalah sangat penting, sebagai ujung tombak dalam
penerapan komponen teknologi SL-PTT.
Beberapa faktor terkait dengan PPL sebagai berikut: Pertama, sejak adanya
otonomi daerah, kelembagaan penyuluhan yang mewadahi PPL diserahkan kepada
masing-masing daerah, sehingga keberadaan lembaga penyuluhan bervariasi antar
daerah di Propinsi Jawa Barat. Eselonisasi lembaga penyuluh pertanian berbeda antar
daerah yang berdampak pada perbedaan besaran alokasi dana untuk fasilitasi
lembaga tersebut. Dibeberapa daerah yang kepala daerahnya tidak memiliki
pemahaman yang baik tentang peran penyuluhan, kelembagaan penyuluhan yang
sudah ada terancam dibubarkan dan digabung dengan Dinas Petanian atau Badan
Ketahanan Pangan. Secara khusus terkait program SLPTT, alokasi dana program SL-
PTT berada di Dinas Pertanian, sedangkan pengawalan dan pendampingan teknologi
dilakukan oleh PPL yang berada pada koordinasi lembaga penyuluhan kabupaten. Hal
ini berdampak pada kurang optimalnya implementasi program SL-PTT di lapangan
baik dalam hal alokasi dana dan koordinasi antar lembaga (diistilahkan jika yang
melaksanakan anak sendiri akan lebih bagus dibandingkan meminta bantuan anak
orang lain); Kedua, fasilitas dan insentif untuk PPL terbatas, tidak seperti pada waktu
lembaga penyuluh sebagai UPT pusat, yang berdampak pada kinerja PPL dalam
melaksanakan tugasnya; Ketiga, sistem pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan kapasitas PPL terbatas yang dahulu terdapat jenjang karir dan jenjang
33
tugas dalam penyuluhan seperti ada Petugas Penyuluh Spesialis (PPS) dan PPL,
namun saat ini tidak ada hal tersebut termasuk untuk THL. Jika ada pelatihan untk
PPL dan THL terfokus pada mekanisme pelaksanaan program termasuk
administrasinya. Kalaupun mereka mampu mengakses teknologi melalui media on
line terutama para THL, namun karena tidak ada arena mempraktekkan teknologi
yang diperoleh dan kurang percaya diri maka para THL tidak mampu melaksanakan
tugas secara optimal, tidak mampu mempengaruhi petani untuk mengadopsi
teknologi yang dianjurkan. Apalagi bekerja sebagai THL seolah-olah hanya pekerjaan
transit sebelum mereka mendapat pekerjaan tetap, maka jiwa patriotik dan korsa
melaksanakan tugas juga tidak tumbuh secara optimum. Disisi lain, PPL PNS yang
ada sudah berumur tua, berdampak pada keengganan untuk melakukan kunjungan
ke petani.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, hasil diskusi menyarankan: (1) Kelembagaan
penyuluh dikembalikan dikoordinir oleh lembaga tingkat pusat (sebagai UPT Pusat).
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga penyuluh, disarankan melakukan recruitment
terhadap penyuluh baru yang berstatus PNS; (2) Peningkatan fasilitas perlengkapan
PPL sesuai dengan kebutuhan yang bersifat spesifik lokasi, (3) Pelatihan melalui
paket kurikulum menurut jenjang karir penyuluh perlu dihidupkan kembali; dan (4)
Terkait pembinaan mental, disarankan penyuluh senior mengajak penyuluh yunior
saat melakukan penyuluhan sehingga terjadi transfer ilmu, wawasan, dan teknis
pelaksanaan penyuluhan langsung di lapangan.
5.3. Efektivitas Penyediaan Bantuan Benih
Selama program SL-PTT petani mendapat bantuan benih melalui mekanisme
Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) melalui pihak ketiga. Selama ini benih yang
diterima petani tidak sesuai dengan ketentuan (enam tepat). Benih yang diterima
petani tidak sesuai dengan yang diusulkan petani dalam hal varietas, kualitas, jumlah
dan waktu. Berdasarkan hasil diskusi dengan para kepala dinas pertanian kabupaten
se-Jawa Barat disarankan agar petani diberi hak untuk menjalankan usaha
penangkaran benih. Dengan konsep kawasan berupa GP-PTT pada tahun 2015, maka
34
sebagian dari luasan LL dapat menjadi tempat penangkaran benih untuk memenuhi
kebutuhan benih pada SL. Berdasarkan diskusi dengan petani dan petugas penyuluh
di Kabupaten Cianjur, diketahui bahwa petani sudah terbiasa melakukan penangkaran
benih bahkan mempunyai usaha di bidang benih. Namun sejak adanya program SL-
PTT, petani tidak melakukan penangkaran benih dan menutup usaha
penangkarannya karena tidak ada jaminan pasar dari hasil produksi benih tersebut.
Dengan potensi petani yang sudah terbiasa melakukan penangkaran benih, dan
pemerintah membantu dalam hal sertifikasi benih, maka petani siap memenuhi
kebutuhan benih untuk program SL-PTT atau GP-PTT. Petani mengusulkan dilakukan
identifikasi kebutuhan benih di setiap wilayah dan potensi produksi benih dari
penangkar, dan sisa kebutuhan benih dapat dipenuhi dari pihak ketiga.
5.4. Pola Pengusahaan Lahan dan Usia Petani
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya adopsi teknologi oleh para
petani. Beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian berdasarkan diskusi dengan
para kepala Dinas Pertanian dan Kepala Bakorluh kabupaten se-Jawa Barat adalah
petani bukanlah pekerja yang menjalankan usaha pertanian di lahan sawah. Sebagian
besar petani bukan petani pemilik penggarap tetapi petani penggarap yang
menggarap lahan untuk tanaman padi yang tergabung dalam wadah kelompok tani.
Hal ini berdampak pada lemahnya mereka dalam mengadopsi komponen teknologi
SL-PTT. Apalagi apabila teknologi tersebut berdampak pada peningkatan dana yang
dikeluarkan oleh petani penggarap, mereka tidak akan mengadopsi teknologi
tersebut.
Usia petani yang semakin menua (aging farmer) juga menjadi permasalahan
yang harus diselesaikan. Disisi lain ketertarikan para pemuda untuk masuk ke dalam
sektor pertanian juga sangat terbatas. Dikhawatirkan ke depan akan melemahkan
sektor pertanian yang berakibat melemahnya ketahanan pangan. Oleh karena itu,
pembinaan generasi muda desa untuk meneruskan usaha pertanian menjadi sangat
penting dan mendesak untuk dilakukan. Kasus di Kabupaten Cianjur, mengidentifkasi
petani muda kemudian dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan pertanian di dalam dan
35
luar negeri agar mereka menjadi entepreneur pertanian. Walaupun masih dalam
jumlah terbatas, diharapkan kegiatan ini akan mampu menarik pemuda untuk bekerja
di bidang pertanian. Ke depan pembinaan petani muda harus mendapat perhatian
dan dukungan yang baik dari dinas kabupaten/provinsi, bahkan Kementerian
Pertanian. Program-program seperti studi banding, beasiswa pertanian, dan
pemberian dana bergulir menjadi program yang diharapkan oleh para petani muda
Cianjur.
5.5. Kinerja Adopsi Komponen Teknologi SL-PTT
Selain masalah umur petani dan status petani sebagai pemilik penggarap,
faktor penyebab adopsi teknologi yang relatif rendah adalah kurangnya tenaga kerja
di sawah. Kasus di Kabupaten Cianjur dengan bekembangnya industri dan mudahnya
mendapatkan sepeda motor, maka petani terutama petani muda beralih pekerjaan ke
buruh industri dan tukang ojek. Tanam padi di wilayah ini adalah dengan sistem
borongan yang dilakukan oleh buruh wanita. Mereka bekerja sebagai buruh “tandur”
sudah sejak lama, sehingga pola kebiasaan ini sulit untuk diubah. Kasus pada
perubahan pengaturan tanam dari sistem tegel ke sistem jajar legowo (2:1, 4:1 dan
seterusnya) yang merupakan komponen dasar program SL-PTT sulit dilakukan oleh
petani. Walaupun petani sudah mendapatkan informasi mengenai kelebihan
menanam padi dengan sistem tersebut, tetapi petani tidak dapat menerapkan hal
tersebut karena buruh tandur tidak mau melakukannya. Oleh karena itu, disarankan
penyuluhan program SL-PTT tidak hanya pada petani akan tetapi juga kepada buruh
tanam termasuk buruh panen.
Selain itu, banyaknya program yang dilaksanakan oleh pemerintah dan
seringnya berubahnya implementasi program juga ditengarai menjadi penyebab
rendahnya adopsi teknologi. Sekretaris BP4K Kabupaten Cianjur menyatakan bahwa
banyaknya program dan perubahan program dari waktu ke waktu mengharuskan
para penyuluh untuk menguasai banyak materi dan mengikuti perubahan paket
program tersebut. Dengan waktu yang relatif hanya setahun untuk mempelajari
36
banyaknya paket program pemerintah, mengakibatkan penguasaan penyuluh
terhadap materi program menjadi lemah.
Beberapa hal lain hasil diskusi terkait program peningkatan produksi padi
dapat diungkap sebagai berikut:
1. Perhitungan produksi oleh BPS. Lembaga yang berwenang untuk menentukan
melakukan perhitungan produksi adalah BPS, namun permasalahan dilapang
adalah teknik perhitungan BPS sering kali berbeda (lebih rendah) dengan
perhitungan yang dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten. Perbedaan tersebut
disebabkan karena perbedaan dalam teknik pengukuran pengubinan. Konsep
ubinan yang dilaksanakan oleh BPS relatif tetap dari dahulu padahal dengan pola
pengaturan jarak tanam seharusnya konsep ubinan menyesuaikan. Oleh karena
itu, sosialisasi program SL-PTT juga dilakukan ke instansi BPS tingkap pusat dan
daerah dan ada koordinasi yang baik antara BPS dengan Dinas Pertanian
Kabupaten.
2. GP-PTT direncanakan mulai diterapkan tahun 2015. Pelaksana teknis di lapangan
menyarakankan agar basis kawasan pada GP-PTT tidak berupa hamparan seluas
1.000 ha karena akan menyulitkan dalam koordinasnya. Tidak semua wilayah
mempunyai hamparan lahan pertanian seluas tersebut, sehingga untuk 1.000 ha
dimungkinkan mencakup lebih dari satu kecamatan. Pertanyaanya adalah jika
demikian, siapa yang akan menjadi ketua posko dan dimana letak posko dan hal
lainnya. Sebagai contoh, dengan topografi kabupaten kuningan yang beragam,
maka hamparan sawah paling luas diperkirakan hanya 700-800 ha. Berkaitan
dengan hal tersebut, disarankan sebaiknya basis kawasan padi adalah wilayah
administrasi apakah satu kecamatan atau atu desa. Hal ini untuk memudahkan
menentukan lokasi dan melakukan koordinasi dalam implementasinya.
37
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
1. Laju pertumbuhan luas panen padi nasional selama 2009-2014 berfluktuatif
dengan trend kenaikan sebesar 1,1% per tahun. Sementara itu, dalam kurun
waktu tersebut rencana luas areal SL-PTT terus ditingkatkan laju yang sangat
tinggi, yaitu 18,3% per tahun. Dari dua fakta ini dapat diketahui bahwa
Perencaan luas areal SL-PTT tidak didasarkan hasil evaluasi pelaksanaan SL-PTT
(dicerminkan dari apakah peningkatan tambahan produktivitas antara 0,5-0,75
ton/ha di area SL-PTT tercapai), namun lebih didasarkan pada ketersediaan
anggaran sehingga rencana luas areal SL-PTT mencapai 34% dari total luas
panen padi nasional, tetapi tidak signifikan meningkatkan produktivitas dan
produksi padi dengan pertumbuhan yang tinggi.
2. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan wilayah terluas dalam perencanaan areal
program SL-PTT masing-masing sebesar 33,1% dan 28,4% per tahun.
Perencanaan ini tidak sesuai dengan konsep MP3EI dimana Pulau Jawa dan
Sumatera dirancang menjadi pusat pertumbuhan industri pengolahan, jasa, dan
pertambangan.
3. Dari sisi konsepsi, program PTT/SL-PTT sangat bagus dan merupakan
pendekatan yang strategis untuk meningkatkan produktivitas dan produksi padi
nasional. Namun fakta menunjukkan bahwa kinerja implementasi program ini
sejak tahun 2008 sampai sekarang belum optimal seperti yang diharapkan.
4. Berbagai aspek diduga turut berkontribusi terhadap belum optimalnya kinerja
implementasi program ini, diantaranya: (1) Dari aspek perencanaan seperti
penentuan CPCL, penentuan kebutuhan teknologi PTT, dan kebutuhan sarana
produksi tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman Pelaksanaan PTT; (ii) Tidak
berfungsinya LL sebagai tempat uji coba dan adaptasi berbagai komponen
teknologi PTT, serta tempat petani melihat dan membuktikan secara langsung
praktek-praktek dan keunggulan teknologi; (iii) Terbatasnya jumlah peneliti dan
penyuluh untuk mengawal dan mendampingi petani dalam mempraktekkan
38
komponen teknologi PTT di lahannya sendiri; dan (iv) Program yang masih
cenderung didominasi pemerintah pusat (sentralistik) mempunyai dampak
negatif terhadap alokasi anggaran dan ketersediaan bantuan benih.
5. Selain itu, kelemahan dalam implementasi SL-PTT adalah tidak adanya
perbedaan waktu antara peragaan komponen teknologi PTT di lahan LL dengan
waktu mempraktekannya di lahan petani sendiri (SL). Praktek seperti ini
mengakibatkan tidak ada waktu bagi petani untuk terlebih dahulu membuktikan
bahwa teknologi yang akan diterapkan pada lahannya sendiri (SL) lebih unggul
dibandingkan dengan teknologi yang sudah biasa dilakukan.
6. Kasus di Provinsi Jawa Barat, pemerintah daerah sangat mendukung
pelaksanaan program SL-PTT yang ditunjukkan dengan alokasi dana dari APBD
tingkat I yang relatif besar dan kontribusi produksi padi di Provinsi Jawa Barat
terhadap nasional menduduki peringkat pertama.vNamun demikian,
implementasi program SL-PTT di wilayah ini masih ditemukan beberapa
permasalahan, diantaranya adalah: (a) Banyaknya komponen teknologi dan
kurang efektifnya pelaksanaan LL, (b) Jumlah dan kualitas PPL terbatas serta
kurang harmonisnya koordinasi antara Dinas Pertanian dengan Bakorluh, (c)
Kinerja penyediaan benih tidak optimal (benih yang didistribusikan sering kali
kurang tepat dalam hal: waktu, jumlah, varietas, maupun kualitasnya, (d)
Status petani sebagai petani penggarap dan umur petani yang relatif tua, dan
(e) Adopsi komponen teknologi SL-PTT rendah
7. Dalam upaya memperbaiki kinerja SL-PTT guna mendukung tercapainya
swasembada beras berkelanjutan ke depan, ada beberapa hal yang perlu
segera untuk diperbaiki: (i) perlu sosialisasi pedoman pelaksanaan/teknis SL-
PTT sesegera mungkin sebelum musim tanam tiba untuk mengurangi bias
antara perencanaan dan pelaksanaan, (ii) memfungsikan LL secara baik, (iii)
mendorong mobilisasi penyuluh swadaya, swasta, dan dari Perguruan Tinggi
untuk mengawal dan mendampingi petani dalam menerapkan komponen
teknologi PTT spesifik lokasi; (iv) menumbuhkan penangkar-penangkar lokal
39
dalam kawasan SL-PTT dalam penyediaan benih sesuai dengan keinginan
petani, dan ini sejalan dengan program desa mandiri benih, (v) membangun
komunikasi, koordinasi, dan sinergi yang lebih baik lagi antara pemerintah
pusat, daerah, dan pelaksana di lapangan, serta (vi) sejalan dengan
peningkatan produksi, maka aspek pengolahan, pemasaran, kelembagaan
kelompok tani juga perlu dibangun dan diperbaiki agar petani dapat
memperoleh manfaat yang lebih banyak dengan hadirnya program SL-PTT ini.
8. Kelebihan dan kelemahan dalam implementasi porgram SL-PTT sejak tahun
2008 dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang berharga dalam upaya
mensukseskan rencana Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-
PTT) pada tahun 2015. Kawasan GP-PTT sebaiknya tidak ditetapkan
berdasarkan luasan areal, namun pada wilayah administrasi (kecamatan atau
desa), sehingga akan lebih jelas dan memudahkan dalam koordinasi dan
tanggung jawab operasionalnya. Perlu difahami, peran Kepala Desa/ Lurah atau
Camat dalam melakukan koordinasi antar lembaga dan pembinaan terhadap
masyarakat masih cukup signifikan.
40
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi Sawah
Irigasi. Balitbangtan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia 2013. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Pedoman Pelaksanaan Sekolah
Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2009. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan
Kacang Tanah Tahun 2010. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, dan Kedelai
Tahun 2011. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2012. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Tahun 2012. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013.
Ditjen Tanaman Pangan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2014. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2014.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2014. Evaluasi Kinerja Capaian Produksi Tahun
2014 dan Sasaran Serealia Tahun 2015 di Jawa Barat. Bahan Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.
Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Purwakarta. 2014. Kendala
Dan Peluang Penerapan Komponen Teknologi PTT Padi dalam Program SL-PTTMendukung P2BN Di Kabupaten Purwakarta. Bahan Tayangan
Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta
Kepala Dinas Pertanian, Peternakan Dan Perikanan. 2014. Komponen Teknologi PTT Dalam Program SL-PTT Mendukung P2BN di Kabupaten Kuningan. Bahan
41
Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di
Bandung.
Nurhayati. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Komunikasi di dalam
Sekolah Lapang Padi. Tesis. IPB. Bogor.
Pusat Penyuluhan Pertanian. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pengawalan dan
Pendampingan Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung P2BN Di Lokasi SL-PTT dan Demfarm SL Agribisnis Padi. Badan Penyuluhan Dan Pengembangan SDM Pertanian. Kementerian Pertanian.
Rusastra, I.W., W. Sudana, Sumarno, Z. Zaini, K. Kariyasa, dan Baehaki. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT Tanaman Pangan.
Puslitbangtan. Bogor.
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian
Supriadi, Herman. I Wayan Rusastra. Ashari. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SL-PTT Menunjang Peningkatan Produksi Padi Nasional. Laporan Teknis. Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sekretariat Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Provinsi Jawa
Barat. 2014. Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan di Provinsi, Jawa Barat Tahun 2014 (Evaluasi Penyelenggaraan Program
Pengembangan SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani APBN Tahun 2014). Bahan Tayangan Disampaikan Pada Evaluasi SL-PTT Jawa Barat, 29 Oktober di Bandung.