Lapak MTU
-
Upload
muhammad-rifky -
Category
Documents
-
view
251 -
download
8
description
Transcript of Lapak MTU
1
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan produksi telur dan daging unggas tidak dapat terlepas dengan
proses penetasan. Saat ini, penetasan telur unggas di pedesaan masih banyak yang
menggunakan induk untuk menetaskan telur. Hal ini dirasa kurang efektif karena
jumlah telur yang dapat ditetaskan per induk relative sedikit, yaitu hanya berkisar
antara 5 sampai 10 telur. Sementara kebutuhan konsumsi telur dan daging terus
meningkat seiring dengan semakin meningkatnya populasi penduduk di
Indonesia, sehingga dibutuhkan suatu teknologi untuk dapat menetaskan telur
unggas sesuai dengan permintaan.
Salah satu teknologi yang sampai saat ini mulai digunakan adalah mesin
penetasan. Penetasan telur unggas sudah mulai dilakukan di berbagai daerah.
Usaha penetasan telur unggas dengan mesin tetas di Indonesia pada umumnya
menggunakan mesin tetas dengan kapasitas 250– 350 butir/unit baik dalam skala
usaha kecil, menengah hingga skala besar.
Usaha peternakan unggas sebagai penghasil telur dan daging semakin
mengarah pada usaha komersial yang pengelolaannya harus dilaksanakan secara
efisien. Pengembangan usaha penetasan telur unggas komersial seyogyanya harus
dapat memenuhi permintaan dengan tidak mengabaikan kualitasnya, sehingga
tercapai kepuasan antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu melalui
praktikum ini kita dapat mengetahui pelaksanaan manajemen penetasan pada
unggas khususnya ayam.
2
1.2. Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui dan mengerti cara kerja dari mesin tetas serta melaksanakan
cara fumigasi mesin tetas yang benar.
2. Mengetahui dan melaksanakan seleksi dan fumigasi telur tetas dengan
benar.
3. Mengetahui dan melaksanakan penetasan telur secara buatan melalui
mesin tetas.
1.3. Waktu dan Tempat
Waktu : Pukul 10.00-12.00 WIB
Tanggal : 21 September 2015, 28 September 2015, dan 5 November 2015
Tempat : Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan
…………..Universitas Padjadjaran
3
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Fumigasi Mesin Tetas
Fumigasi adalah mensucihamakan mesin tetas dari mikroorganisme yang
menenmpel dan atau masuk dalam mesin tetas dengan menggunakan zat kimia.
Zat kimia yang sering digunakan adalah KMnO4 (Kalium permanganat) yang
dicampur dengan Formaldehide 40 %. Mengapa sampai saat ini zat kimia tersebut
masih digunakan? karena zat kimia tersebut tidak merusak mesin tetas dan
peralatannya, tidak tergantung dari suhu dan kelembaban linkungan baik
lingkungan internal dan eksternal dari mesin tetas, murah harganya, mudah
melakukannya, dan mudah didapat/dibelinya, dan yang paling penting tidak
membahayakan operator yang melakukannya serta telur yang fertil yang ada
dalam mesin tetas tersebut. Cara menggunakan zat kimia tersebut adalah sebagai
berikut : mesin tetas dan peralatannya atau telur yang telah dimasukkan dalam
mesin tetas, campuran KMnO4 ( 3 gram ) dicampur dengan 3 sendok makan yang
ditempatkan pada bekas gelas air mineral, kemudian ditutup selama 15 menit,
kemudian dibuka (sudah bisa digunakan). Dalam menjalankan fumigasi sebaiknya
setelah proses penetasan berakhir (Edhy, 2012).
Mesin tetas atau mesin penetas adalah mesin untuk menetaskan telur.
Berdasarkan sistem pemanasan mesin tetas dikelompokan dalam : sistem pemanas
udara diam (still air incubator atau flatt incubator) dan sistem pemanas udara
mengalir (forced draught incubator atau cabinet incubator atau circular air
incubator).
4
Pada incubator jenis forced-air incubator, jika terjadi lampu mati atau PLN
off maka ventilasi harus dibuka lebih lebar dan bila perlu sesekali di buka
pintunya agar terjadi pertukaran udara segar dan tetap diusahakan suhu ruangan
berada pada kisaran 75oF atau lebih. Sedangkan pada incubator tipe still-air
ventilasi dibiarkan terbuka ¼ atau ½ (tidak berubah atau lebih ditutup) agar panas
dan kelembaban tidak terlalu terpengaruh (Gloryfarm, 2010).
Standar untuk suhu dalam incubator “penetasan” tipe forced air adalah
100oF. untuk jenis forced-air incubators dan 102oF. untuk type still-air incubators.
Suhu pada incubator penetas (hatching) di set 1o F lebih rendah dibandingkan
dengan incubator “pengeram” selama 3 hari sebelum penetasan.
Sedangkan untuk tipe still air, posisi termometer adalah sejajar atau rata
dengan tinggi bagian atas telur atau sekitar 5 cm dari dasar telur. Termometer
haruslah tidak diletakkan diatas telur atau diluar bidang penetasan tetapi
bersebelahan dengannya. Selain itu, mesin incubator juga harus tertutup rapat
untuk menghindari hilang panas atau kelembaban udaranya.
Mesin tetas tentunya memang diciptakan untuk mengambil alih tugas
mengerami dari se-ekor induk ayam (atau bangsa unggas lainnya) dalam
mengerami telur telur yang dibuahi dari hasil persilangan atau perkawinan dengan
pejantan. Mesin tetas tentunya memang diciptakan untuk mengambil alih tugas
mengerami dari se-ekor induk ayam (atau bangsa unggas lainnya) dalam
mengerami telur telur yang dibuahi dari hasil persilangan atau perkawinan dengan
pejantan (Gloryfarm, 2010).
Adapun macam-macam dari mesin tetas adalah sebagai berikut :
1. Alat tetas dengan teknologi sekam dan sumber panas matahari
2. Mesin tetas Listrik dengan lampu bohlam sebagai alat pemanasnya
5
3. Mesin tetas dengan menggunakan lampu minyak
4. Mesin tetas dengan kawat nekelin
5. Mesin tetas dengan kombinasi beberapa hal diatas
6. Mesin tetas otomatis (Gloryfarm, 2010.)
Mesin penetas dapat dibuat sederhana dan dapat pula dibuat secara
otomatis dan besar. Kapasitas mesin tetas dapat dibuat kecil dan besar. Pada
mesin tetas otomatis dan besar misalnya mesin tetas pada perusahaan penetasan
pada umumnya terdiri dari 2 mesin yaitu mesin setter dan hatcher. Mesin setter
berperan untuk incubasi (pengeraman) dan mesin hatcer untuk penetasan.
Fumigasi mesin tetas menggunakan potassium permanganate dan
formalin. Formalin dicampurkan kedalam potassium permanganate dan mesin
tetas ditutup selama 30 menit. Mesin tetas dapat dijalankan 12-24 jam setelah
dilakukan fumigasi. Fumigasi telur tetas juga dilakukan sebelum telur disusun di
dalam mesin tetas (Oluyemi dan Roberts, 1979).
2.2. Seleksi dan Fumigasi Telur Tetas
Kualitas fisik dan kimia telur tergantung pada kualitas isi telur dan kulit telur.
Faktor kulitas telur dibagi menjadi dua yaitu faktor kualitas eksterior dan interior.
Faktor kualitas eksterior meliputi kebersihan telur, bentuk telur, berat telur, indeks
bentuk telur, dan kedalaman kantung udara. Faktor kualitas interior antaralain
ketebalan kerabang, berat kerabang, dan kandungan nutrien telur. Karakteristik
kimia telur secara keseluruhan meliputi kandungan air, abu, protein, lemak,
6
karbohidrat, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1999). Persyaratan utama telur tetas
yaitu telur dalam kondisi fertil dan berasal dari breeder.
2.2.1.Bentuk Telur dan Permukaan Telur
Bentuk telur tetas adalah bulat telur dalam artiaan tidak terlalu bulat dan
tidak terlalu lonjong. Telur yang tidak normal bentuknya akan menurunkan daya
tetas yaitu telur yang bentuknya normal daya tetasnya sekitar 33,8 % sedangka
telur normal mencapai 71,1 %. Bantuk telur yang tak normal diantaranya lonjong,
bulat, terdapat ban ditengah, kulit tipis/tak berkapur, terlalu kecil, tanpa rongga
udara dan sebagainya
Bentuk telur yang menyimpang merupakan keabnormalan pada telur.
Bentuk telur yang tidak proporsional berupa, bentuk telur yang tidak bulat dan
tidak seimbang perbandingan panjang dan lebarnya (Rasyaf, 1999). Panjang dan
lebar ini merupakan dasar penentuan indeks telur, indeks telur merupakan
perbandingan antara lebar dan panjang telur. Bentuk telur dipengarugi oleh lebar
tidaknya diameter isthmus. Apabila isthmus lebar, maka bentuk telur yang
dihasilkan cenderung bulat dan apabila diameter isthmus sempit, maka bentuk
telur yang dihasilkan cenderung lonjong (Rasyaf, 1999).
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa bentuk telur tetas yang
lonjong akan menghasilkan anak ayam jantan dan bentuk telur yang bulat akan
menghasilkan ayam betina. Menurut Suprijatna (2006), bentuk telur yang lonjong
akan cenderung menghasilkan anak jantan dan bentuk telur yang bulat cenderung
menghasilkan ayam betina. Akan tetapi hal ini belum bisa di buktikan ke
akuratannya secara pasti.
7
2.2.2.Bobot Telur
Bobot telur tetas yang baik adalah yang termasuk bobot normal sesuai
dengan jens unggasnya misalnya untuk ayam ras sekitar 55-65 g dan ayam
kampung 45-55 g. Bobot telur tetas yang ditetaskan juga harus seragam. Telur
tetas yang terlalu kecil atau terlalu besar kurang menguntungkan untuk ditetaskan.
Bobot telur tetas sangat tergantung dari banyak faktor antara lain : jenis unggas,
pakan, lingkungan dan lain-lain.
Rasyaf (1999), menyatakan bahwa bobot telur ternyata dapat digunakan
sebagai indicator bobot tetas, dimana telur lebih berat akan menghasilkan DOC
yang lebih berat. Telur yang mempunyai berat lebih besar akan menghasilkan
bobot tetas yang yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang kecil, tetapi
telur yang besar akan menetas lebih lambat. Selanjutnya Sefton dan siegal (1974)
menyatakan bahwa bobot telur denga bobot tetas mempunyai hubungan korelasi
yang positif.
Faktor yang mempengaruhi berat telur yaitu genetik dan umur ayam,
pakan, penyakit, suhu lingkungan, musim, periode produksi (awal atau menjelang
akhir), umur dewasa kelamin, besar tubuh, banyaknya telur yang dihasilkan dan
sistem pengelolaan ayam (Jacob, 2009). Kehilangan berat telur terjadi seiring
bertambahnya waktu penyimpanan telur. Kehilangan berat telur merupakan salah
satu perubahan yang paling jelas karena penyimpanan telur. Hal ini terutama
disebabkan oleh hilangnya kadar air dari albumen. Penurunan berat telur
disebabkan oleh lepasnya gas, seperti CO2, ammonia, nitrogen , dan kadang-
kadang H2S yang sebagian besar merupakan hasil dari perubahan kimia pada telur
(Jacob, 2009).
8
2.2.3.Warna Kulit telur
Dalam pemilihan telur tetas yang akan ditetaskan harus dipilih yang
seragam (uniform). Pada telur dengan kulit berwarna, maka kulit dengan warna
gelap lebih menghasilkan daya tetas (hatchability) tinggi.
2.2.4.Kulit Telur
Kualitas klit telur berhubungan dengan daya tetas. Kulit telur tebal akan
memberikan daya daya tetas lebih baik dari yang tipis. Selanjutnya tekstur kulit
harus merata. Kulit retak/cacat tidak baik untuk ditetaskan.
2.2.5.Umur telur
Umur telur dalam penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari 7 hari. Suhu
penyimpanan sekitar 10◦-13◦C 50◦-60◦F. Telur yang terlalu lama disimpan
berakibat penurunan daya tetas.
2.2.6.Kebersihan Telur
Telur kotor sering menyebabkan menurunya daya tetas. Pembersihan telur
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara kering dan secara basah. Pembersihan
telur dapat dilakukan de3ngan air hangat yang mengandung desinfektan.
2.2.7.Kualitas Telur
Telur adalah bakal dari hewan yang dikelilingi oleh kulit yang dikenal
dengan kerabang, dimana kulit ini berfungsi melindungi embrio yang ada
didalam. Ukuran dan bentuk telur unggas berbeda bagi setiap spesies unggas,
tetapi semua telur memiliki tiga bagian utama yaitu kuning telur, putih telur, dan
kerabang telur.
9
Kualitas telur adalah sesuatu yang dinilai, dilihat dan diamati pada telur
untuk perbandingan baik atau tidaknya telur sehingga dapat dipergunakan untuk
kebutuhan konsumen. Kualitas eksternal dilihat pada kebersihan kulit, tekstur dan
bentuk telur, sedangkan kualitas internal dilihat pada putih telur (albumen)
kebersihan dan viskositas, ukuran sel udara, bentuk kuning telur dan kekuatan
kuning telur. Penurunan kualitas interior dapat diketahui dengan menimbang
bobot telur atau meneropong ruang udara (air cell) dan dapat juga dengan
memecah telur untuk diperiksa kondisi kuning telur dan putih telur (HU).
Penentuan kualitas telur didasarkan pada: ciri-ciri telur yang berpengaruh
terhadap penerimaan knsumen, daya duna telur, dan keamanannya sebagai bahan
pangan. Ada beberapa pengelompokan telur kedalam beberapa tingkatan
tergantung pada negara yang bersangkutan (2,3 atau 4 tingkatan). USDA
membagi menjadi 4 tingkatan kualitas yaitu: Grade 1 (AA), grade 2 (A), grade 3
(B) dan grade 4 (C). Sedangkan Indonesia membagi menjadi 3 tingkatan yaitu
mutu 1,2 dan 3 (SNI-1995).
Adupun ciri-ciri penentu kualitas telur yang harus diperhatikan adalah
kerabang telur (kebersihan, keutuhan, bentuk, kehalusan, dan ketebalan), kantung
udara (kedalaman, letak, dan bentuk), putih telur (kekentalan, dan ada/tidaknya
noda), kuning telur (keutuhan, bentuk, diameter dan ada/tidaknya noda).
Cara penilaian kualitas telur dapat dilakukan dengan metode peneropongan
dan pemecahan. Bagian telur yang dinilai adalah bagian eksternal (kerabang
telur), danbagian internal (kantung udara, putih telur dan kuning telur).
1. Kerabang Telur
Kerabang telur merupakan pembungkus telur yang paling tebal, bersifat
keras dan kaku. Pada kerabang terdapat pori-pori yang berfungsi untuk
10
pertukaran gas. Pada permukaan luar kerabang terdapat lapisan kutikula, yang
merupakan pembungkus telur paling luar.
Untuk kualitas kerabang, banyak faktor yang berkaitan dengan kualitas
kerabang meliputi gizi ternak yang cukup, masalah kesehatan ternak,
manajemen pemeliharaan, serta kondisi lingkungan peternakan. Kerabang telur
mengandung sekitar 95% kalsium dalam bentuk kalsium karbonat dan sisanya
seperti magnesium, fosfor, natrium, kalium, seng, besi, mangan, dan tembaga.
Dalam penentuan kualitas telur secara eksterior, yang diperhatikan yaitu :
Bentuk telur (normal, sedikit normal,abnormal), bobot/berat telur, panjang
telur, lebar telur, keadaan kerabang (bersih, tidak kotor, tidak pecah/utuh,
kedalaman), keutuhan kerabang dapat dilakukan secara visual atau
peneropongan, ketebalan kerabang dengan menggunakan telur utuh (merendam
telur dalam berbagai konsentrasi larutan garam sehingga diperoleh BJ telur,
mengukus kekuatan kerabang dengan alat khusus.
Kerabang termasuk lapisan gelatinous pembungkus kerabang yaitu
kutikula tersusun atas sebagian besar garam anorgamk, bahan organik dan
sedikit air. Kutikula merupakan yang tidak larut dalam air dan membungkus
kerabang (menutup pori-pori) serta berfungsi sebagai penghambat masuknya
mikrobia ke dalam isi telur. Komposisi kutikula terdiri atas 90 % protein,
polisakarida dan air. Protein penyusun kutikula mengandung glisin, asam
glutamat, lisin, sistin, dan tirosin yang cukup tinggi. Penyusun polisakarida
adalah hexosamin, galaktose, manose dan fucose.
Kerabang tersusun atas bagian-bagian: 1. Matrix, yang merupakan serabut-
serabut protein dan massa sphercaal, 2. Material kristal calcite. Matrix terbagi
menjadi 2 bagian yaitu matrix mammillary dan matrix spongy.
11
Rata-rata keseluruhan interval antara dua telur yang dikeluarkan dalam
suatu clutch adalah 27 jam. Ovulasi pada ayam secara normal terjadi 30 menit
setelah telur sebelumnya dikeluarkan. Jika sebutir telur keluar setelah pukul
14.00, ovulasi berikutnya tidak akan terjadi dalam waktu 16 – 18 jam.Hal ini
berkaitan dengan kurangnya cahaya yang menstimulasi kelenjar pituitary untuk
mensekresikan FSH yang merangsang kerja ovarium (Suprijatna et al., 2005).
2. Kantung Udara Telur
Kantung udara dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan telur,
kelembaban dan perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010). Kantung udara
telur semakin bertambah besar karena adanya penguapan air di dalam telur atau
penyusutan berat telur. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah dapat
menyebabkan kantung udara cepat membesar akibat adanya penguapan air di
dalam telur (Suprijatna et al., 2005).
2.2.8.Fumigasi
Telur yang baru diambil dari kandang telah tercemar mikroba yang
populasinya tergantung pada tingkat kebersihan telur. Fumigasi merupakan upaya
untuk membasmi mikroba tersebut. Fumigasi dengan menggunakan gas
formaldehyde digunakan secara luas pada perusahaan penetasan telur, karena
disamping mudah dilakukan, gas tersebut mempunytai daya basmi terhadap
mikroba yang tinggi.
Sanitasi atau pembersihan terhadap telur dan peralatan penetasan dapat
menggunakan sistem fumigasi. Fumigasi dengan tingkat yang rendah tidak akan
mem bunuh bakteri dan bibit penyakit tetapi fumigasi yang terlalu tinggi dapat
membunuh embrio di dalam telur. Maka amatlah diharuskan untuk memakai
12
ukuran yang tepat terhadap bahan kimia yang akan digunakan dalam melakukan
fumigasi.
Dalam melakukan fumigasi, sebuah ruangan yang cukup atau lemari yang
besar diperlukan untuk menampung semua telur-telur yang akan di tetaskan dan
ruangan atau tempat tersebut juga dilengkapi dengan kipas angin untuk sirkulasi
udara di dalamnya.
Susun telur-telur yang ada di dalam ruangan atau lemari dengan rak-rak dari
bahan berlubang lubang (seperti kawat nyamuk atau kasa) sehingga udara dapat
bergerak bebas diantaranya. Bahan kimia yang biasa dipakai untuk fumigasi
adalah gas Formaldehyde yang dihasilkan dari campuran 0,6 gram potassium
permanganate (KMnO4) dengan 1,2 cc formalin (37,5 percent formaldehyde)
untuk setiap kaki kubik ruangan yang dipakai. Boat campuran bahan-bahan
tersebut pada tempat terpisah sebanyak setidaknya 10 kali dari volume total
ruangan atau lemari.
Sirkulasikan gas tersebut di dalam ruangan atau lemari selama 20 menit dan
kemudian keluarkan/buang gasnya. Suhu yang diperlukan selama fumigasi adalah
diatas 70°F. Selanjutnya biarkan telur-telur tersebut di udara terbuka selama
beberapa jam sebelum menempatkannya di dalam mesin incubator (Sukardi,
1999).
2.3. Tatalaksana Penetasan Telur
2.3.1 Penetasan Telur
Penetasan telur adalah usaha untuk menetaskan telur unggas dengan bantuan
mesin penetas telur yang sistem atau cara kerjanya mengadopsi tingkah laku
(behaviour) induk ayam atau unggas lainnya selama masa mengeram.
13
Perbanyakan populasi unggas biasanya ditempuh dengan cara menetaskan telur
yang sudah dibuahi. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami
(induk ayam) dan melaui penetasan buatan (mesin tetas). Kapasitas produksi
unggas sekali pengeraman hanya sekitar 10 – 15 butir telur. Akan tetapi, untuk
mesin tetas sangat bervariasi tergantung kapasitas mesinnya (minimal 100 butir
telur).
Menetaskan telur dengan alat tetas buatan 100% aktivitas penetasan itu
membutuhkan campur tangan manusia dan sang induk tidak tahu menahu masalah
penetasan. Induk unggas itu hanya bertelur dan tidak punya tugas untuk
menetaskan telur tetas melalui aktivitas pengeraman. Selama mengeram hingga
anaknya disapih, ayam atau unggas itu tidak akan bertelur (Rasyaf, 1999).
Penetasan telur pada prinsipnya adalah menyediakan lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan embrio unggas. Penetasan dapat dilaksanakan dengan
penetasan secara alami dan secara buatan menggunakan mesin tetas. Hal ini sesuai
bahwa penetasan adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan embrio didalam telur. Pada penetasan secara alami (natural
incubation) pengeraman dilakukan oleh induknya, namun pada itik tidak
dilakukan oleh induknya melainkan dilakukan oleh unggas lainya seperti ayam
atau entok. Kelebihan dari penetasan alami adalah mudah dilakukan, tidak
memerlukan alat, tidak tergantung sumber panas, sedangkan kekuranganya adalah
kapasitas sedikit, produksi telur rendah, dan mudah terjadinya penularan
penyakit.Penetasan buatan (artifical incubation) adalah penetasan secara yang
dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut mesin tetas atau incubator.
Prinsipnya adalah menyediakan kondisi lingkungan (temperatur, kelembapan, dan
sirkulasi udara) yang sesuai dengan kondisi asli untuk perkembangan embrio
14
secara optimal sehingga telur dapat menetas. Hal ini sesuai dengan pendapat
Suprijatna (2005) yang menyatakan bahwa penetasan merupakan proses
perkembangan embrio didalam telur sampai telur pecah menghasilkan anak ayam.
Penetasan dapat dilakukan dengan mesin tetas atau secara buatan.Penetasan
buatan dilakukan untuk membantu unggas yang tidak mempunyai sifat mengeram
selain itu juga untuk usaha komersial. penetasan dengan bantuan mesin tetas
mempunyai prinsip yang sama dengan penetasan secara alami yaitu memberi
media yang cocok untuk embrio berkembang dengan pengaturan suhu agar sesuai
dengan suhu pada waktu induk mengeram dan untuk mengatur kelembaban mesin
tetas. Sebelum mesin tetas digunakan mesin harus dipanaskan dahulu selama 6 –
12 jam. Bila suhu sudah tidak berubah-ubah, maka mesin baru bisa dipakai. Suhu
harus dipertahankan tetap antara 38,5o – 39o C atau 98 o– 100o F, kelembaban
nisbinya 60%. Bak air dam mesin tetas hendaknya selalu terisi penuh. Hal ini
untuk menjaga 70%, suhu diatur dan ventilasi udara harus baik. Pengaturan agar
kelembaban udara dalam mesin tetas berkisar antara 60-70 lubang ventilasi sangat
diperlukan agar udara segar selalu tersedia (Suprijatna, 2005).
Hal – hal yang harus diperhatikan saat penetasan adalah :
1. Suhu dan Kelembaban Inkubator
Suhu dan kelembaban relatif harus diatur selama inkubasi agar kehidupan
embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal. Pembentukan
embrio yang optimal terjadi saat suhu 37,2-39,4°C (Jacob, 2009). Suhu yang
terlalu tinggi mengakibatkan mortalitas embrio meningkat, sebaliknya suhu yang
terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan telur tidak menetas.
Suhu optimum perkembangan embrio berbeda pada masing-masing telur, hal ini
dipengaruhi oleh ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain),
15
umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi. Kelembaban
udara relatif pada mesin tetas selama 18 hari pertama inkubasi harus sekitar 60%.
Selama tiga hari terakhir atau periode penetasan kelembaban harus sekitar 70%
(Jacob, 2009).
2. Ventilasi
Ventilasi diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari ammonia dan
bahan berbahaya yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur setelah mesin
tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979).
3. Peneropongan Telur (Candling)
Peneropongan dapat dilakukan untuk mengetahui fertilitas dan kematian
embrio. Telur yang tidak fertil dapat diketahui setelah 15-18 jam inkubasi.
Pemeriksaan kedua dapat dilakukan setelah 14 sampai 16 hari inkubasi, embrio
yang mati dapat dikeluarkan dari inkubator (Jacob, 2009).
4. Posisi Telur
Penempatan telur pada mesin tetas memanjang sumbu horizontal atau
vertikal. Bagian yang tumpul dari telur harus berada dibagian atas ketika telur
diletakkan secara vertikal. Bagian tumpul tersebut terdapat banyak pori-pori
kerabang yang memungkinkan lebih besar kehilangan uap air dan gas
dibandingkan bagian lain pada kerabang.
5. Rak telur dan Rak Anak Ayam
Rak telur merupakan tempat telur tetas yang akan ditetaskan. Ukuran rak
telur tergantung kapasitas mesin penetas. Penempatan rak telur dibawah sumber
panas dan mudah diamat dari luar.
16
Rak anak ayam merupakan tempat anak ayam yang baru menetas
sementara belum belum dikeluarkan dari mesin. Rak anak unggas ini beberapa
mesin tetas tidak tersedia, maka rak telur bertindak juga sebagai rak anak unggas/
6. Waktu Inkubasi
Waktu inkubasi pada telur ayam yaitu 21 hari. Semakin besar ukuran telur
maka waktu inkubasi yang diperlukan semakin lama, begitu juga dengan telur
yang berukuran kecil membutuhkan waktu yang lebih cepat (Jacob, 2009).
2.3.2 Infertil
Telur infertile merupakan telur yang tidak termasuk kedalam kategori
penetasan. Telur yang infertile tidak dapat ditetaskan karena telur tersebut kosong.
Telur yang tidak dapat ditetaskan dapat disebabkan oleh bobot telur tidak sesuai
dengan standar, telur kotor. Telur yang kotor diduga telah terkontamnasi oleh
mikroba-mikroba pathogen.
2.3.3 Fertil Mati
Fenomena telur mati setelah dimasukkan kedalam incubator dapat terjadi
karena manajemen penetasan yang kurang baik. Telur mati pada saat
peneropongan dikatakan mati apabila tidak ada lingkaran darah atau pertumbuhan
embrio. Ciri-ciri ini dapat disebabkan oleh pejantan kurang aktif dan kualitas
sperma yang kurang baik serta gizi pejantan yang kurang baik. Selain itu telur
terlalu lama disimpan, telur tidak boleh disimpan lebih dari lima hari atau
lingkungan penyimpanan telur hangat, yaitu suhu besar dari 20º c. Embrio dapat
mati pada umur 12-18 hari, hal ini dapat terjadi karena suhu penetasan terlalu
rendah atau terlalu panas, ventilasi kurang baik sehingga sirkulasi udara dari
dalam incubator tidak baik, pemutaran telur tidak benar dan kebakaan. Selain itu
17
embrio yang telah berkembang didalam kerabang telur dapat mati karena suhu
penetasan yang terlalu rendah atau terlalu panas, pemutaran telur tidak benar,
kelembaban rata-rata terlalu tinggi dan penyakit.
2.3.4 Daya Tetas Telur
Daya tetas adalah perbandingan antara jumlah telur yang menetas dengan
jumlah telur yang fertile. Daya tetas telur sangat dipengaruhi oleh factor
penyimpan telur, factor genetic, suhu dan kelembaban, musim, umur induk,
kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan penyakit serta perbandingan antara
jantan dan betina.
Kematian embrio tertinggi terjadi pada minggu pertama proses penetasan,
lima hari penetasan atau tiga hari terakhir masa penetasan. Kegagalan penetasan
anak ayam ditandai dengan kematian embrio menjelang menetas disebabkan oleh
perbandingan jantan dan betina yang tidak tepat, sirkulasi udara yang kurang baik
terutama pada hari ke 20 dan ke 21 masa pengeraman serta factor kelembaban
yang tidak stabil.
2.3.5 Bobot tetas
Rasyaf (1999) menyatakan bahwa bobot telur ternyata dapat digunakan
sebagai indicator bobot tetas, dimana telur yang lebih berat akan menghasilkan
DOC yang lebih berat. Selain itu telur yang mempunyai berat lebih besar akan
menghasilkan bobot tetas yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang kecil,
tetapi telur telur yang besar akan menetas lebih lambat. Selanjutnya selton dan
sleger menyimpulkan baha bobot telur dengan bobot tetas mempunyai hubungan
korelasi yang positif.
18
2.3.6 Tata laksana Penetasan Telur
Keberhasilan penetasan telur sangat tergantung pada manajemen penetasan.
Hal – hal yang perlu diperhatikan pada tatalaksana penetasan adalah :
1. Sesuai dengan kegunaannya, telur dibedakan menjadi dua macam, yaitu
telur konsumsi dan telur tetas. Telur konsumsi umumnya berasal dari
unggas yang tidak dikawinkan, sehingga didalamnya tidak terkandung
embrio (infertil). Jika telur tersebut dierami, maka telur tersebut tidak dapat
menetas, telur tetas adalah telur yang berasal dari induk yang dikawinkan,
sehingga pemilihan telur didalamnya terdapat embrio yang dapat
berkembang bila kondisi lingkungannya sesuai. Hal – hal yang perlu
diperhatikan dalam memilih telur yang akan ditetaskan adalah :
a. Asal telur: telur yang akan ditetaskan harus berasal dari induk yang
dikawinkan.
b. Besar telur: telur yang terlalu kecil ataupun terlalu besar mempunyai
daya tetas yang rendah. Disamping itu ukuran (bobot) telur mempunyai
korelasi positif dengan bobot tetas, sehingga telur yang kecil akan
menghasilkan bobot tetas yang kecil, demikian pula sebaliknya.
c. Bentuk telur: telur mempunyai bentuk oval (bulat telur) dengan dua
ujung yaitu ujung tumpul dan ujung lancip. Telur yang normal memiliki
indeks telur sekitar 74%.
d. Kerabang telur: kerabang telur disamping penting sebagai sumber
mineral untuk pertumbuhan embrio, juga untuk melindungi isi sel telur
dari gangguan fisik serta mencegah masuknya mikroba yang dapat
merusak isi telur sehingga daya tetasnya rendah.
19
III
ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
3.1. Alat
3.1.1.Alat Fumigasi Mesin Tetas
1. Mesin tetas
2. Cawan Petridis
3. Gelas ukur
4. Labu Erlenmeyer
5. Timbangan O’haus
6. Alat ukur (meteran)
3.1.2.Alat Seleksi Dan Fumigasi Telur Tetas
1. Mesin tetas
2. Cawan Petridis
3. Gelasukur
4. Labu Erlenmeyer
5. TimbanganO’haus
6. Alatukur (meteran)
3.1.3.Alat Penetasan Telur
1. Egg tray
2. Mesin tetas
3. TimbanganO’haus
4. Candler
20
3.2. Bahan
3.2.1.Bahan Fumigasi Mesin Tetas
1. KMnO4
2. Formalin 40%
3.2.2.Bahan Seleksi Dan Fumigasi Telur Tetas
1. KMnO4
2. Formalin 40%
3. Telur tetas ayam buras
3.2.3.Bahan Penetasan Telur
Telur tetas ayam buras
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1.Fumigasi Mesin Tetas
No
.
Prosedur Kerja
1. Volume mesin tetas diukur dengan alat ukur (meteran) yaitu
panjang, lebar dan tinggi dari mesin tetas bagian dalam. Selanjutnya
nilai volume dikonversikan.
2. Semua ventilasi atau lubang pada mesin tetas ditutup dengan
menggunakan kertas bekas atau kertas koran.
3. Kebutuhan KMnO4 dan formalin 40% dihitung sesuai dengan
volume mesin tetas pada kosentrasi 3 kali.
4. KMnO4 ditimbang dengan menggunakan neraca O’haus sesuai
dengan perhitungan yang didapatkan, setelah itu KMnO4
21
ditempatkan pada cawan Petridis.
5. Formalin 40% diukur dengan menggunakan gelas ukur sesuai
dengan perhitungan yang didapatkan, lalu cairan formalin 40%
dimasukkan pada labu Erlenmeyer.
6. Cawan Petridis yang berisiKMnO4 ditempatkan pada tempat
penyimpanan telur tetas dalam mesin tetas, lalu larutan formalin
40% yang terdapat dalam labu Erlenmeyer dituangkan secara hati-
hati ke cawan Petridis.
7. Pintu mesin tetas ditutup dengan segera, agar gas yang timbul tidak
sampai keluar dari dalam mesin tetas.
3.3.2.Seleksi Telur Tetas
No
.
Prosedur Kerja
1. Pencucian pada telur-telur yang kotor dilakukan menggunakan air
hangat di lap dengan tissue.
2. Setelah kering, telur dicandling untuk melihat keadaan kerabang,
apakah terdapat retak halus (hair check). Telur dipisahkan bila
terdapat yang retak maupun yang retak halus pada kerabang telur
jangan ditetaskan.
3. Huruf A ditulis pada kulit telur bagian atas dan huruf B pada kulit
telur bagian bawah (rotasi 1800), serta penomoran angka diberikan
secara berurut pada masing-masing telur yang akan ditetaskan.
4. Bobot telur tetas tersebut ditimbang dan dicatat beratnya sesuai
dengan nomor urut telur.
22
5. Panjang dan lebar atau diameter telur diukur dengan menggunakan
jangka sorong untuk menentukan bentuk telur (shape index).
SI= Lebar telurPanjang telur
x 100
Bila shape index kurang dari 69 bentuk telur lonjong, shape index
antara 69-77 bentuk telur normal (ovoid) dan di atas 77 bentuk telur
bulat.
6. Setelah dihitung, bentuk telur tersebut dicatat lonjong, normal atau
bulat.
3.3.3 Fumigasi Telur Tetas
No. Prosedur Kerja
1. Telur tetas yang difumigasi sebaiknya dilakukan pada lemari
khusus.
2. Volume mesin tetas diukur dengan alat ukur (meteran) yaitu
panjang, lebar, dan tinggi dari mesin tetas bagian dalam.
3. Semua ventilasi ditutup atau lubang pada mesin tetas dengan
menggunakan kertas bekas atau kertas koran.
4. Kebutuhan KMnO4 dan Formalin 40 % dihitung sesuai dengan
volume mesin tetas pada konsentrasi 1-2 kali selama 10-20 menit.
5. KMnO4 ditimbang dengan menggunakan nerasa O’haus sesuai
dengan perhitungan yang dilakukan, setelah itu KMnO4
ditempatkan pada cawan petridis.
6. Volume formalin 40 % diukur dengan menggunakan gelas ukur
sesuai dengan perhitungan yang dilakukan, lalu cairan formalin 40
% dimasukan pada labu erlenmeyer.
23
7. Cawan petridis yang berisi KMnO4 ditempatkan pada tempat
penyimpanan telur tetas dalam mesin tetas, lalu larutan formalin 40
% yang terdapat dalam labu erlenmeyer dituangkan secara hati-hati
ke cawan petridis.
8. Pintu mesin tetas ditutup dengan segera, agar gas yang timbul tidak
sampai keluar dari dalam mesin tetas.
9. Cara perhitungan maupun tabel kebutuhan untuk KMnO4 dan
formalin 40 % sesuai dengan ketentuan pada mesin tetas.
3.3.4 PenetasanTelur
No. Prosedur Kerja
1. Telur disusun secara horizontal pada rak telur mesin tetas, setelah
telur diseleksi dan difumigasi.
2. Rak telur dimasukkan dan mesin tetas ditutup. Kondisi temperatur
dalam mesin tetas diatur antara 98 – 102 ˚F dengan cara sekrup pada
bagian thermolegulator diputar.
3. Hari pertama sampai dengan hari ketiga tidak perlu diputar dan
diputar pada hari keempat sampai berakhirnya periode setter. Untuk
ayam sampai hari kedelapan belas sedangkan untuk puyuh sampai
hari ke tujuh belas. Pemutaran telur setiap harinya dilakukan dua
kali, baik pada telur ayam maupun telur puyuh yaitu pukul 07.00 –
09.00 dan pukul 14.00 -16.00 WIB.
4. Pembahasan telur hanya dilakukan pada telur ayam dan telur puyuh
dengan cara disemprot secara merata dengan air. Untuk
penyemprotan sampai hari ke 14 cukup satu kali.
24
5. Pembahasan telur ayam dan telur puyuh dilakukan sesudah
pemutaran.
6. Setiap harinya dicatat pada lembaran yang telah disediakan yaitu
nama, npm yang bertugas, kelompok,suhu,dan kejadian yang diluar
dugaan misalnya listrik mati, telur ada yang pecah.
7. Bak air diperhatikan untuk kelembaban jangan sampai kering. Bak
air diisi antara ½ sampai ¾ bagian wadah.
8. Apabila terjadi listrik mati disiapkan penyalaan lampu tempel dan
tunggu sampai suhu penetasan tercapai. Lamanya mati listrik
tersebut dicatat.
9. Kejadian-kejadian selama penetasan berlangsung dicatat dalam
tabel pengamatan penetasan telur pada kolom keterangan.
10. Persentase fertilitas pada hari ke tujuh dan persentase daya tetas
dihitung.
11. Ulasan diberikan pada laporan akhir faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi fertilitas dan daya tetas.
25
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
4.1.1.Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
Perhitungan
Panjang mesin tetas = 55,5 cm = 0,555 m
Lebar mesin tetas = 55,2 cm = 0,552 m
Tinggi mesin tetas = 32,9 cm = 0,329 m
Volume mesin tetas = 0,10 m3
Kebutuhan KMnO4 = 2,2 g
Kebutuhan Formalin = 4,4 mL
Tabel 1. Pengamatan Fumigasi Mesin Tetas
Volume
Ruangan
(cm3)
Kekuatan
Fumigasi
(kali)
Dosis Fumigasi Lama waktu
fumigasi
(menit)
KMnO4 (g) Formalin
40% (mL)
100.792,44 3 2,2 4,4 1 hari
4.1.2.Seleksi dan Fumigasi Telur Tetas
Tabel 2. Seleksi Telur Tetas
No.
Telur
Berat
Telur
(g)
Panjang
(cm)
Diameter
(cm)Bentuk Kebersihan Keutuhan
26
1. 34,5 4,82 3,37 OvoidBintik
merahUtuh
2. 39,1 4,73 3,41 Ovoid Bintik Putih Utuh
3. 40,5 4,96 3,4 LonjongBenjolan
kecilUtuh
4. 33,4 4,94 4,29 Bulat Bintik putih Utuh
5. 44,0 4,77 3,57 Ovoid Thin spot Utuh
6. 40,3 4,64 3,67 Bulat Thin spot Utuh
7. 44,7 4,55 3,17 Ovoid Thin spot Utuh
8. 42,3 4,41 3,49 Bulat Bersih Utuh
9. 39,2 5 3,79 Ovoid Bersih Utuh
10. 40 4,96 4,91 Bulat Bersih Utuh
11. 45,4 4,97 4,09 Bulat Bintik putih Utuh
12. 35,9 4,68 3,66 Bulat Bersih Utuh
13. 35,0 4,60 3,19 Bulat Bersih Utuh
14. 44,0 4,80 3,64 Bulat Bintik Utuh
15. 39,3 4,95 3,50 BulatBintik
hitamUtuh
16. 40,4 4,75 3,50 Bulat Bintik putih Utuh
17. 38,0 4,91 3,68 Ovoid Bersih Utuh
18. 36,7 4,94 3,635 Ovoid Bintik putih Utuh
19. 34,9 4,895 3,635 Ovoid Bersih Utuh
20. 33,8 4,58 3,62 Bulat Bersih Utuh
21. 42,5 5,09 3,87 Ovoid Bersih Utuh
22. 43,1 4,88 3,93 Bulat Bersih Utuh
27
23. 42,2 4,96 3,91 BulatBercak
putihUtuh
24. 40,3 4,80 3,88 Bulat Bersih Utuh
25. 34,6 4,82 3,64 Ovoid Bersih Utuh
26. 41,9 4,86 3,88 Bulat Bintik putih Utuh
27. 45,9 5,06 4,04 Bulat Bersih Utuh
28. 46,7 5,13 3,99 Bulat Bersih Utuh
29. 35 4,32 3,48 Bulat Bersih Utuh
30. 39,3 4,37 3,58 Bulat Kotor Utuh
31. 37,7 4,6 3,41 Ovoid Kotor Utuh
32. 40 4,7 3,51 Ovoid Kotor Utuh
4.1.3.Penetasan Telur Unggas
Tabel 3. Pengamatan Fertilitas dan Daya Tetas
Jumlah telur yang ditetaskan: 32 butir
Nomor
TelurInfertil Fertil
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
28
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Jumlah 23 butir 9 butir
29
Perhitungan Fertilitas:
Fertilitas = jumlahtelur yang fertil
jumlahtelur yang ditetaskan x 100%
= 9
23x 100% = 28,125%
Daya tetas 1 = jumlahtelur yang menetas
jumlahtelur yangditetaskan x 100%
= 6
23 x 100% = 26,09%
Daya tetas 2 = jumlahtelur yangmenetas
jumlah telur yang fertil x 100%
= 69 x 100% = 66,67%
4.2. Pembahasan
4.2.1.Cara Kerja dan Fumigasi Mesin Tetas
Mesin tetas atau mesin penetas adalah mesin untuk menetaskan telur.
Berdasarkan sistem pemanasan mesin tetas dikelompokan dalam : sistem pemanas
udara diam (still air incubator atau flatt incubator) dan sistem pemanas udara
mengalir (forced draught incubator atau cabinet incubator atau circular air
incubator). Pada saat praktikum di Laboratoeium, mesin tetas yang digunakan
ialah tipe circular air incubator atau still air incubator.
Pada incubator tipe still-air ventilasi dibiarkan terbuka ¼ atau ½ (tidak
berubah atau lebih ditutup) agar panas dan kelembaban tidak terlalu terpengaruh
(Gloryfarm, 2010). Posisi termometer adalah sejajar atau rata dengan tinggi
bagian atas telur atau sekitar 5 cm dari dasar telur. Termometer haruslah tidak
diletakkan diatas telur atau diluar bidang penetasan tetapi bersebelahan
dengannya. Selain itu, mesin incubator juga harus tertutup rapat untuk
menghindari hilang panas atau kelembaban udaranya.
30
Untuk fumigasi mesin tetas digunakan metode yang memakai bahan
KMnO4 dan formalin. Setelah dilakukan pengukuran volume mesin tetas,
selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap jumlah KMnO4 dan formalin 40%.
Maka didapatkan hasil sebanyak 2,2 gram untuk KMnO4 dan 4,4 mL untuk
formalin 40%. Lama fumigasi yang dilakukan ialah selama 1 hari. Ini sesuai
dengan teori bahwa mesin tetas dapat dijalankan 12-24 jam setelah dilakukan
fumigasi. Fumigasi telur tetas juga dilakukan sebelum telur disusun di dalam
mesin tetas (Oluyemi dan Roberts, 1979).
Fungsi dari fumigasi ini adalah untuk mensucihamakan mesin tetas dari
mikroorganisme yang menempel dan atau masuk dalam mesin tetas dengan
menggunakan zat kimia. Zat kimia yang biasanya digunakan adalah KMnO4 dan
formalin 40%, dengan perbandingan masing-masing sebesar 1:2.
4.2.2.Seleksi dan Fumigasi Telur Tetas
Seleksi telur tetas yang dilakukan pada saat praktikum terdapat beberapa
kriteria yang diperhatikan. Kriteria-kriteria tersebut ialah berat telur, bentuk,
kebersihan, dan keutuhan. Rata-rata berat telur yang digunakan pada saat
praktikum masih dibawah standard yang ditetapkan.
Bobot telur tetas yang baik adalah yang termasuk bobot normal sesuai
dengan jens unggasnya misalnya untuk ayam ras sekitar 55-65 g dan ayam
kampung 45-55 g. Bobot telur tetas yang ditetaskan juga harus seragam. Telur
tetas yang terlalu kecil atau terlalu besar kurang menguntungkan untuk ditetaskan.
Bobot telur tetas sangat tergantung dari banyak faktor antara lain: jenis unggas,
pakan, lingkungan dan lain-lain.
31
Rasyaf (1999), menyatakan bahwa bobot telur ternyata dapat digunakan
sebagai indicator bobot tetas, dimana telur lebih berat akan menghasilkan DOC
yang lebih berat. Telur yang mempunyai berat lebih besar akan menghasilkan
bobot tetas yang yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang kecil, tetapi
telur yang besar akan menetas lebih lambat.
Bentuk telur sebagian besar cukup bagus yaitu memiliki bentuk ovoid dan
sebagiannya bulat. Bentuk telur juga mempengaruhi daya tetas. Kemudian dari
kebersihan, ada beberapa telur yang berbintik putih. Hal tersebut bisa saja
disebabkan oleh faktor genetic dan faktor-faktor lainnya yang berpengaruh pada
saat pembentukan telur di tubuh induk seperti pakan dan lainnya.
Sebelum telur tetas dimasukkan ke dalam mesin tetas sebaiknya dilakukan
terlebih dahulu fumigasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi dan
mensucihamakan kerabang telur dari miokroorganisme supaya pada saat proses
inkubasi semua tahapan penetasan dapat berjalan dengan baik.
4.2.3.Penetasan Telur Tetas
Penetasan telur adalah usaha untuk menetaskan telur unggas dengan bantuan
mesin penetas telur yang sistem atau cara kerjanya mengadopsi tingkah laku
(behaviour) induk ayam atau unggas lainnya selama masa mengeram. Pengamatan
terhadap telur tetas dilakukan selama 21 hari dengan pembalikan telur sebanyak 3
kali sehari. Dari hasil yang diperoleh, ada 9 butir telur yang fertile dan 23 butir
telur tidak fertile dari keseluruhan jumlah telur sebanyak 32 butir.
Penetasan telur pada prinsipnya adalah menyediakan lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan embrio unggas. Penetasan dapat dilaksanakan dengan
penetasan secara alami dan secara buatan menggunakan mesin tetas. Hal ini sesuai
32
bahwa penetasan adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan embrio didalam telur. Pada penetasan secara alami (natural
incubation) pengeraman dilakukan oleh induknya, namun pada itik tidak
dilakukan oleh induknya melainkan dilakukan oleh unggas lainya seperti ayam
atau entok. Kelebihan dari penetasan alami adalah mudah dilakukan, tidak
memerlukan alat, tidak tergantung sumber panas, sedangkan kekuranganya adalah
kapasitas sedikit, produksi telur rendah, dan mudah terjadinya penularan penyakit.
Penetasan buatan (artifical incubation) adalah penetasan secara yang dilakukan
dengan menggunakan alat yang disebut mesin tetas atau incubator.
Prinsipnya adalah menyediakan kondisi lingkungan (temperatur,
kelembapan, dan sirkulasi udara) yang sesuai dengan kondisi asli untuk
perkembangan embrio secara optimal sehingga telur dapat menetas. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suprijatna (2005) yang menyatakan bahwa penetasan merupakan
proses perkembangan embrio didalam telur sampai telur pecah menghasilkan anak
ayam. Penetasan dapat dilakukan dengan mesin tetas atau secara buatan.Penetasan
buatan dilakukan untuk membantu unggas yang tidak mempunyai sifat mengeram
selain itu juga untuk usaha komersial. penetasan dengan bantuan mesin tetas
mempunyai prinsip yang sama dengan penetasan secara alami yaitu memberi
media yang cocok untuk embrio berkembang dengan pengaturan suhu agar sesuai
dengan suhu pada waktu induk mengeram dan untuk mengatur kelembaban mesin
tetas.
Hal – hal yang harus diperhatikan saat penetasan adalah :
1. Suhu dan Kelembaban Inkubator
Suhu dan kelembaban relatif harus diatur selama inkubasi agar kehidupan
embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal. Pembentukan
33
embrio yang optimal terjadi saat suhu 37,2-39,4°C (Jacob, 2009). Suhu yang
terlalu tinggi mengakibatkan mortalitas embrio meningkat, sebaliknya suhu yang
terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan telur tidak menetas.
Suhu optimum perkembangan embrio berbeda pada masing-masing telur, hal ini
dipengaruhi oleh ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain),
umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi. Kelembaban
udara relatif pada mesin tetas selama 18 hari pertama inkubasi harus sekitar 60%.
Selama tiga hari terakhir atau periode penetasan kelembaban harus sekitar 70% .
2. Ventilasi
Ventilasi diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari ammonia dan
bahan berbahaya yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur setelah mesin
tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979).
3. Peneropongan Telur (Candling)
Peneropongan dapat dilakukan untuk mengetahui fertilitas dan kematian
embrio. Telur yang tidak fertil dapat diketahui setelah 15-18 jam inkubasi.
Pemeriksaan kedua dapat dilakukan setelah 14 sampai 16 hari inkubasi, embrio
yang mati dapat dikeluarkan dari inkubator (Jacob, 2009).
4. Posisi Telur
Penempatan telur pada mesin tetas memanjang sumbu horizontal atau
vertikal. Bagian yang tumpul dari telur harus berada dibagian atas ketika telur
diletakkan secara vertikal. Bagian tumpul tersebut terdapat banyak pori-pori
kerabang yang memungkinkan lebih besar kehilangan uap air dan gas
dibandingkan bagian lain pada kerabang.
5. Rak telur dan Rak Anak Ayam
34
Rak telur merupakan tempat telur tetas yang akan ditetaskan. Ukuran rak
telur tergantung kapasitas mesin penetas. Penempatan rak telur dibawah sumber
panas dan mudah diamat dari luar.
Rak anak ayam merupakan tempat anak ayam yang baru menetas sementara
belum belum dikeluarkan dari mesin. Rak anak unggas ini beberapa mesin tetas
tidak tersedia, maka rak telur bertindak juga sebagai rak anak unggas/
6. Waktu Inkubasi
Waktu inkubasi pada telur ayam yaitu 21 hari. Semakin besar ukuran telur
maka waktu inkubasi yang diperlukan semakin lama, begitu juga dengan telur
yang berukuran kecil membutuhkan waktu yang lebih cepat (Jacob, 2009).
Dari 9 butir yang fertile, hanya 6 butir telur yang menetas. Untuk 2 telur
yang fertile, sudah dipecahkan terlebih dahulu untuk melihat perkembangan
embrio selama diinkubasi. Sedangkan satu telur lagi tidak menetas.
Telur yang tidak menetas disebabkan oleh beberapa faktor. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh pejantan kurang aktif dan kualitas sperma yang kurang baik
serta gizi pejantan yang kurang baik. Selain itu telur terlalu lama disimpan, telur
tidak boleh disimpan lebih dari lima hari atau lingkungan penyimpanan telur
hangat, yaitu suhu besar dari 20ºC. Embrio dapat mati pada umur 12-18 hari, hal
ini dapat terjadi karena suhu penetasan terlalu rendah atau terlalu panas, ventilasi
kurang baik sehingga sirkulasi udara dari dalam incubator tidak baik, pemutaran
telur tidak benar dan kebakaan. Selain itu embrio yang telah berkembang didalam
kerabang telur dapat mati karena suhu penetasan yang terlalu rendah atau terlalu
panas, pemutaran telur tidak benar, kelembaban rata-rata terlalu tinggi dan
penyakit.
35
Dari hasil perhitungan didapatkan daya tetas I sebesar 26,9% dan daya tetas
2 sebesar 66,67%. Jika dilihat dari keseluruhan jumlah telur yang ditetaskan,
tingkat daya tetasnya rendah. Namun, dari 9 butir telur yang fertile daya tetasnya
cukup tinggi.
Daya tetas adalah perbandingan antara jumlah telur yang menetas dengan
jumlah telur yang fertile. Daya tetas telur sangat dipengaruhi oleh factor
penyimpan telur, factor genetic, suhu dan kelembaban, musim, umur induk,
kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan penyakit serta perbandingan antara
jantan dan betina.
Kematian embrio tertinggi terjadi pada minggu pertama proses penetasan,
lima hari penetasan atau tiga hari terakhir masa penetasan. Kegagalan penetasan
anak ayam ditandai dengan kematian embrio menjelang menetas disebabkan oleh
perbandingan jantan dan betina yang tidak tepat, sirkulasi udara yang kurang baik
terutama pada hari ke 20 dan ke 21 masa pengeraman serta factor kelembaban
yang tidak stabil.
36
V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Mesin tetas digunakan untuk menginkubasi telur dengan pengaturan
lingkungan yang disesuaikan seperti pengeraman oleh induk ayam.
Sebelum dimasukkan telur tetas ke dalamnya, maka harus dilaksanakan
prosedur fumigasi menggunakan KMnO4 dan formalin 40% dengan
perbandingan 1:2.
2. Seleksi telur tetas sangat penting dilakukan karena berpengaruh terhadap
penetasan. Seleksi telur tetas berupa pengukuran bobot telur, bentuk
telur, kebersihan, dan keutuhan. Fumigasi telur tetas juga penting untuk
mencegah adanya kegagalan penetasan.
3. Penetasan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yang terpenting
adalah suhu, kelembaban, posisi penyimpanan telur, dan goncangan.
5.2. Saran
Pada saat pelaksanaan penetasan lebih diperhatikan lagi faktor-faktor yang
mempengaruhinya seperti suhu dan kelembaban. Proses pembalikan harus
dilakukan secara hati-hati agar jumlah telur yang menetas bisa lebih banyak.
37
DAFTAR PUSTAKA
Edhy. 2012. Penetasan Telur. http://edhysudjarwounggas.lecture.ub.ac.id/ (diunduh 28 Oktober 2015 pukul 21.00 WIB)
Gloryfarm, 2010. Penetasan Telur Dengan Mesin Tetas. http://www.glory-farm.com/ptetas_mesin/mesin_tetas.htm (diunduh 28 Oktober 2015 pukul 21.10 WIB)
Jacob, J.P., R.D. Miles, dan F.B. Mather.2009. Egg Quality. Institute of Food and Agricultural Sciences University of Florida, Gainesville.
Oluyemi, J.A. and F.A. Roberts. 1979. Poultry Production In Warm Wet Climates. The MacMillan Press LTD.
Rasyaf, Muhammad. 1990. Pengelolaan Penetasan. Kanisius, Yogyakarta.
Sefton, A.E., and P.B. Siegel, 1974. Inheritance of body weight in Japanese quail. Poultry Sci. 53: 1597-1603.
Sukardi, dkk. 1999. Dasar Ternak Unggas. Fakultas Peternakan Universitas Soedirman, Purwokerto.
Suprijatna, E. dan R. Kartasudjana. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.