Lapak metalo aditia
-
Upload
aditia-aulia -
Category
Documents
-
view
105 -
download
0
description
Transcript of Lapak metalo aditia
LAPORAN AKHIRPRAKTIKUM MATERIAL TEKNIK
PENGUJIAN METALOGRAFI & JOMINY
ADTIA AULIA 1106052455
KELOMPOK A5
Laboratorium Metalurgi Fisik
Departemen Metalurgi dan Material FTUI
2012
1
DAFTAR ISI
2
COVER...............................................................................................................................1
KARTU PRAKTIKUM .....................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I PREPARASI SAMPEL
I.1 MOUNTING....................................................................................................4
I.2 GRINDING......................................................................................................8
I.3 POLISHING....................................................................................................10
I.4 ETSA...............................................................................................................12
I.5 PERBESARAN FOTO DAN ANALISA STRUKTUR MIKRO...................16
I.6 PERCOBAAN JOMINY...............................................................................22
BAB II TULISAN PERBAIKAN UJIAN TUGAS
TAMBAHAN.....................................................................................................................25 A
BAB III PEMBAHASAN
III.I PREPARAI SAMPEL
III.1.1 HASIL MOUNTING.................................................................................26
III.1.2 HASIL PENGAMPLASAN GRINDING..................................................26
III.1.3 HASIL PEMOLESAN (POLISHING) .....................................................27
III.1.4 HASIL ETSA.............................................................................................29
III.2 PENGAMATAN STRUKTUR MIKRO
III.2.1 HASIL FOTO SAMPEL 1.........................................................................30
III.2.1.1 PEMBAHASAN.....................................................................................30
III.2.2 HASIL FOTO SAMPEL 2.........................................................................32
III.2.2.1 PEMBAHASAN.....................................................................................32
III.2.3 HASIL FOTO SAMPEL 3........................................................................33
III.2.3.1 PEMBAHASAN.....................................................................................33
III.2.4 HASIL FOTO SAMPEL 4.........................................................................34
III.2.4.1 PEMBAHASAN.....................................................................................34
III.3. PERCOBAAAN JOMINY
III.3.1 GRAFIK DAN HASIL PERHITUNGAN.................................................35
BAB IV KESIMPULAN & SARAN
IV.1 KESIMPULAN...........................................................................................38
BAB I
3
LAPORAN AWAL METALOGRAFI DAN JOMINY
MODUL 1
Preparasi / Persiapan sampel (mounting, amplas, poles, dan etsa)
1.1 Persiapan Sampel Metalografi
Prosedur dasar persiapan sampel metalografi :
1. Penentuan ukuran sampel, tergantung pada sifat material dan
informasi yang akan didapat. Umumnya bervariasi antara 5-30 mm
dan ketebalan lebih kecil dari dimensi tersebut.
2. Mounting sample, dilakukan jika ukuran sampel terlalu kecil.
3. Amplas kasar, umumnya untuk menghaluskan permukaan yang
tergores cukup dalam pada proses pemotongan.
4. Amplas halus, dilakukan dengan amplas berpartikel SiC yang
memiliki ukuran antara 400-1000 mesh.
5. Poles kasar, dilakukan dengan menggunakan partikel alumina atau
intan dengan besar partikel sekitar 5 mikrometer. Proses ini
digunakan untuk menghilangkan goresan yang masih tersisa dari
proses amplas.
6. Poles halus, untuk menghilangkan goresan yang amat halus dengan
menggunakan partikel alumina atau intan dengan besar partikel
kurang dari 1 mikrometer.
7. Etsa, dilakukan pada sampel yang te;ah dikeringkan setelah poles
halus dengan menggunakan zat kimia yang bersifat asam atau
basa. Setelah proses ini sampel siap diamati dengan mikroskop
optik
1.2 Mounting
1.2.1 Tujuan Percobaan
Percobaan bertujuan untuk menempatkan sampel pada
suatu media, untuk memudahkan penanganan sampel yang
berukuran kecil dan tidak beraturan tanpa merusak sampel.
1.2.2 Dasar teori
4
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk
yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika
dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh
adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran metal
tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan
penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus
ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum
syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material dan zat etsa)
Sifat eksoterimis rendah
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adhesi baik
Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk
ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan
mounting harus kondusif
5
Gambar 1. beberapa teknik Mounting
(1) (2)
Bentuk hasil mounting: (1) tampak samping (2) tampak atas
Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan
material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada
umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik.
Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur
dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih
mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan
bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun
bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik
(lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras.
Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan
thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material
ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam.
Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus, karena
dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan panas (±1490C) pada
mold saat mounting.
1.2.3. Metodologi Penelitian
1.2.3.1 Alat dan Bahan :
Cetakan
Alat khusus compression mounting
sampel pengujian
resin, hardener (castable mounting)
6
bubuk bakelit ( compression mounting)
1.2.3.2 Flowchart Proses Pengujian
a. Castable Mounting
b. Compression Mounting
7
Siapkan cetakan
Tutupi salah satu bagian ujung silinder dengan isolasi
Letakan sampel pada dasar cetakan
Siapkan resin 1/3 bagian cetakan)
Campur resin (15 tetes hardener)
Tuangkan ke dalam cetakan
Biarkan selama 25-30 menit hingga resin mengeras
Keluarkan mounting dari cetakan
Persiapakan sampel Pengaturan piston
Peletakkan permukaan sampel
Pengaturan tekanan piston
Penuangan bubuk bakelitMensetting alat mounting
1.3 Pengampelasan / Grinding
1.3.1 Tujuan Percobaan
Untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel dengan
cara menggosokan sampel pada kain abrasi/amplas.
1.3.2 Dasar teori
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah
terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini
harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan.
Pengamplasn dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang
ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan
pengamplasan harus dilakukan dengan nomor mesh yang rendah
(hingga 150 mash) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga
600mash). Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada
kekerasan permukaan dan kedalaman yang ditimbulkan oleh
pemotongan. Lihat tabel berikut :
Jenis alat potong
Ukuran kertas
amplas (grit)
untuk
pengamplasan
pertama
8
Jalankan alat ( Tekanan konstan, ± 5 menit)
Pasang balok pendingin
Penurunan tekanan hingga 1 atm
Pengeluaran sampel
Nyalakan dengan kecepatan rendah
Tambahkan air secara kontinu pada permukaan
kertas
Amplas sampel
Tambah kecepatan putaran
Ubah arah pengamplasan (45o atau 90o terhadap arah sebelumnya)
Lakukan pengamplasan dengan kertas amplas bergrit lebih tinggi
Gergaji pita 60 – 120
Gergaji abrasif 120 – 240
Gergaji kawat / intan
kecepatan rendah320 – 400
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah
pemberian air. Air berfungsi sebagai pemindah geram, memperkecil
kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat mengubah struktur
mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan
perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450
atau 900 terhadap arah sebelumnya.
1.3.3 Metodologi Penelitian
1.3.3.1 Alat dan Bahan
- mesin amplas.
- sampel pengujian
- kertas amplas ukuran grit 120 dan grit 200
- air
1.3.3.2 Flowchart Proses Pengujian
9
1.4 Pemolesan / Polishing
1.4.1 Tujuan Percobaan
Pemoleasan bertujuan untuk mendapatkan permukaan
sampel yang halus dan tanpa gores seperti kaca tanpa gores.
1.4.2. Dasar teori
Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop
harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau
bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk
dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan
secara acak oleh permukaan sampel. Hal ini dapat dijelaskan pada
gambar berikut :
Permukaan halus Permukaan kasar
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih
dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3
metode pemolesan antara lain, yaitu :
1. Pemolesan Elektrolit Kimia
10
Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan
elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan,
terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus
yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan
tinggi terjadi proses pemolesan. Adapun keuntungan dari
pemolesan elektrolit kimia ini adalah kehalusan permukaan bebas
goresan, sulit dicapai secara mekanik, untuk logam yang sulit
dipoles secara meknik;
amat lunak, amat keras, waktu yang dibuthkan jauh lebih efisien
dari poles mekanik.
Akan tetapi kelemahan dari pemolesan ini adalah larutan
elektrolit bersifat korosif, dan bersifat eksplosif, untuk logam 2 fase,
sulit karena ada 2 macam fase dengan potensial yang bagian pinggir
sampel mounting lebih cepat terserang daripada bagian tengah, dan
sampel yang dimounting harus dilubang agar konduktif
2. Pemolesan Kimia Mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan
mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel
pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum
digunakan. Hal yang harus diperhatikan pada poles mekanik adalah
gerakan cuplikan, tekanan poles, pencucian, pengeringan, dan
penyimpanan
3. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)
Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis
pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia,
tembaga, kuningan, dan perunggu.
1.4.3 Metodologi Penelitian
1.4.3.1 Alat dan bahan
- mesin poles
-alumina
11
- sampel pengujian,
- kain poles
1.4.3.2 Flowchart Proses Pengujian
1.5 Etsa
1.5.1 Tujuan Percobaan
1) Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan
bantuan mikroskop optik setelah terlebih dahulu dilakukan
proses etsa pada sampel.
2) Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa
serta aplikasinya.
3) Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik
dan benar.
1.5.2 Dasar teori
Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas
butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan
pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel
sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan
tajam. Untuk beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan
zat etsa sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa
yang tepat. Ada dua jenis etsa, yaitu etsa kimia dan etsa elekrolitik.
12
Pasang kain poles pada mesin poles
menyalakan mesin dengan
kecepatan rendah
Lakukan pemolesan
Tuangkan alumina
menambah alumina Letakkan sampel pada permukaan kain poles
1. Etsa kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan
kimia dimana zat etsa yang digunakan memiliki karakteristik tersendiri
sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati.
Contohnya yaitu :
a. Nitrid acid/nital: asam nitrit + alkohol 95 % (khusus untuk
baja karbon) yang bertujuan untuk mendapatkan fasa
perlit dan ferit dari martensit.
b. Picral: asam picric + alkohol (khusus baja) yang bertujuan
untuk mendapatkan perlit, dan feritdari martensit.
c. Ferric chloride: Ferric chloride + HCl + air untuk melihat
struktur SS, austenitic nikel dan paduan tembaga.
d. Hydrofluoric acid : HF + air untuk mengamati struktur pada
aluminium dan paduannya.
Dalam melakukan etsa kimia ada beberapa hal yang harus
diperhatikan :
a. waktu etsa jangan terlalu lama (umumnya sekitar 4–30 detik),
b. setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan
alkohol kemudian dikeringkan dengan alat pengering.
2. Elektro etsa ( Etsa Elektrolit)
Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektro
etsa. Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik
serta waktu pengetsaan. Adapun prinsip dasar etsa elektrolitik sebagai
berikut.
a. Prinsip reaksi reduksi dan oksidasi. Reduksi pada ktoda dan oksidasi
pada anoda. Diberikan tegangan dari luar, cuplikan sebagai anoda
dan katoda dari logam lain yang lebih inert, misal platina atau
logam lain yang lebih elektronegatif dibanding cuplikan.
b. Diperlukan potensial kimia yang lebih rendah daripada poles
elektrolitik
c. Kecenderungan tergantung afinitas deret volta, dengan hydrogen
volta dianggap nol.
13
d. Prinsip adalah korosi dengan masing-masing elemen struktur mikro
mempunyai laju korosi yang berbeda.
Etsa jenis ini biasanya untuk stainless steel karena dengan etsa
kimia susah untuk mendapatkan detail strukturnya. Hubungan kuat arus
dan tegangan dalam etsa dapat dijelaskan pada gambar dibawah ini,
dimana kurva tersebut terbagi menjadi beberapa daerah karakteristik .
1.5.3 Metodologi Penelitian
1.5.3.1 Alat dan Bahan
a. blower/ dryer
b. Cawan gelas
c. Pipet
d. Alat elektro-etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel
konduktif.
e. Zat etsa : FeCl3, nital 2%, HF 0.5% dan asam oksalat (H2C2O4)
15 g/100 ml air)
f. Air, alkohol, tissue.
1.5.3.2 Flowchart Proses Pengujian
Etsa Kimia
14
Sampel Dibersihkan
Pengetsaan
Pembersihan sampel
Pengeringan (dengan blower)
Dilap dengan tissue
+ zat etsa
+ alkohol
Etsa Elektrolitik
1.6 DAFTAR PUSTAKA
- Modul Praktikum Material Teknik (Metalografi dan Jominy). 2011.
Depok : Laboratorium Metalografi dan HST Departemen Metalurgi
dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia
- Callister, William D. Materials Science and Engineering An
Introduction 6th Edition. 2004. Canada : John Wileys & Sons, Inc.
15
Penyusunan alat dan bahan
Penentuan daerah etsa
Pengaturan besarnya arus
Bilas dengan air dan HNO3
Keringkan dengan hair dryer
MODUL 2
Pembuatan F oto dan A nalisa S truktur M ikro
2.1 Tujuan Pecobaan
1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur
2. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya
3. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro
2.2 Dasar Teori
Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik
mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta hubungannya dengan
sifat-sifat logam dan paduannya tersebut. Ada beberapa metode yang
dipakai : yaitu mikroskop (optik maupun elektron), difraksi (sinar-X,
elektron dan neutron), analasis (X-ray fluoresence, elektron
mikroprobe) dan juga stereometric metalografi. Pada praktikum
metalogradi ini digunakan metode mikroskop optik.
Pengamatan metalografi dengan mikroskop umumnya dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan
perbesaran 10 – 100 kali
2. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan
perbesaran diatas 100 kali
Sebelum dilakukan pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop
maka diperlukan proses-proses persiapan sampel. Langkah-langkah
persiapan sampe untuk mikroskop telah diterangkan dalam modul
sebelumnya.
2.2.1Mikrostruktur
2.2.1.1 Mikrostruktur Baja Karbon
Struktur yang terdapat pada material adalah tergantung pada
komposisi unsur-unsur pembentuk, yang dapat dilihat dari
16
diagram fasa. Contoh fasa pada baja dapat dilihat pada diagram
fasa Fe-Fe3C.
Gambar Diagram Fe – Fe3c.
Baja didefinisikan sebagai material ferrous dengan kadar
karbon kurang dari 2,14%. Baja karbon dibagi menjadi 2 yaitu,
baja hipoeutektoid dan baja hipereutektoid, dengan kadar karbon
0,8% sebagai batas. Pada kadar karbon 0,8% akan terbentuk
fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk lamel-lamel yang
merupakan paduan antara ferit sebagai matriksnya dan sementit
sebagai lamelnya. Fasa ferit merupakan fasa yang terbentuk
17
dengan kadar karbon maksimum 6,67%. Sementara ferit pada
kadar karbon maksimum 0,02%.
Fasa yang ada pada temperatur ruang pada diagram tersebut
didapat dengan metode pendinginan kontinyu yang amat lambat,
struktur yang terbentuk adalah struktur stabil. Fasa yang didapat
dengan pendinginan yang tidak kontinyu, akan mendapat
struktur yang metastabil seperti martensit atau bainit.
2.2.1.1.1 Mikrostruktur Baja Karbon pada Heat &
Surface Treatment
Perlakuan panas adalah rangkaian siklus pemanasan dan
pendinginan terhadap material logam dalam keadaan padat,
yang bertujuan untuk menghasilkan sifat-sifat (mekanis, fisik,
dan kimia) yang diinginkan. Dasar dari perlakuan panas baja
adalah transformasi fasa dan dekomposisi austenit. Ada
beberapa macam proses perlakuan panas yaitu annealing,
spherodisasi, normalisasi, tempering, dan quenching. Masing-
masing memiliki proses maupun media pendingin yang berbeda.
Dasar dari transformasi fasa pada heat treatment adalah
diagram TTT (transformation Temperature Time) dan CCT
(Continuous Cooling Transformation). Perlakuan panas ini akan
menyebabkan pembentukan fasa martensit dan bainit.
Perlakuan permukaan adalah suatu perlakuan yang
menghasilkan terbentuknya kulit lapisan pada permukaan logam
dimana lapisan tersebut memiliki sifat-sifat lebih baik
dibandingkan dengan bagian dalam logam. Bebeapa contoh
kasus perlakuan permukaan yaitu karburisasi, nitridisasi,
sianidisasi, karbonitridisasi, flame hardening, dan induction
hardening. Sampe yang digunakan disini merupakan hasil
karburisasi dimana terjadi difusi karbon ke dalam permukaan
logam Fe akibat reaksi dekomposisi :
CO ↔ CO2 + C(Fe)
18
2.2.1.2 Mikrostruktur Besi Tuang
Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara besi
dan karbon, dimana pada diagram Fe-Fe3C terlihat bahwa besi
tuang mengandung kadar karbon lebih besar dibandingkan
dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan austenit pada
temperatur eutektik, yaitu pada renang 2,14 – 6,67%. Secara
komersial besi tuang yang dipakai adalah besih tuang dengan
kadar karbon 2,5 – 4%, karena kadar karbon yang terlalu tinggi
membuat besi tuang sangat rapuh. Secara metalografi besi
tuang dibagi dalam 4 tipe yang didasarkan pada variabel kadar
karbon, kadar pengotor dan paduan, serta proses perlakuan
panasnya. Tipe-tipe tersebut antara lain :
Besi tuang putih; merupakan besi tuang dimana semua kadar
karbonnya terpadu dalam bentuk sementit.
Besi tuang melleable; dimana hampir semua karbonnya
dalam bentuk partikel tak beraturan yang dikenal dengan
karbon temper. Besi tuang melleable diperoleh dengan
memberikan perlakuan panas pada besi tuang putih
Besi tuang kelabu; dimana semua atau hampir semua
karbonnya dalam bentuk flake.
Besi tuang nodular; dimana semua atau hampir semua
karbonnya dalam bentuk spheroidal. Bentuk spheroidal ini
terjadi akibat adanya penambahan elemen paduan khusus
yang dikenal sebagai nodulizer.
2.2.1.3 Mikrostruktur Baja Perkakas
Pada umumnya semua baja dapat digunakan sebagai baja
perkakas. Namun istilah baja perkakas dibatasi hanya pada baja
dengan kualitas tinggi yang mampu digunakan sebagai perkakas.
Ada beberapa macam klasifikasi yang digunakan untuk baja
perkakas. Tingginya kualitas baja perkakas diperoleh dari
penambahan paduan-paduan seperti Cr, W, dan Mo, ditambah
perlakuan-perlakuan khusus. Mikrostruktur yang dihasilkan pada
19
umumnya adalah matriks martensit dengan adanya parikel-
partikel karbida, grafit, serta presipitat.
Kalsifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (american Iron and
Steel Institute) dibagi dalam 7 kelompok utama :
GRUP SIMBOL TIPEWater-hardening WShock-resisting S
Cold-workO Oil hardeningA Medium alloy air-hardeningD High-carbon high-chromium
Hot-work HH1 – H19 : Chromium baseH20 – H39 : Tungsten baseH40 – H59 : Molybdenum base
Mold P
P1–P19 : termasuk dalam karbon rendahP20-P39 : termasuk tipe lain Low-alloy
Special-purposeL Karbon-tungstenF
2.2.1.4 Mikrostruktur Panduan Alumunium
Mikrostruktur hampir semua paduan alumunium terdiri dari kristal
utama padatan alumunium (biasanya berbentuk dendritik) ditambah
dengan produk hasil reaksi dengan paduan. Elemen paduan yang tidak
berada dalam keadaan padat biasanya membentuk fasa campuran pada
eutektik, kecuali silikon yang muncul sebagai produk utama. Pada paduan
alumunium-silikon, eutektik terjadi pada sekitar 12% Si.
2.2.1.5 Mikrostruktur Panduan Tembaga
Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan
tembaga dengan elemen dasar seng. Kuningan merupakan paduan
tembaga seng, dengan elemen-elemen lainnya seperti timbal, timah dan
alumunium. Pada diagram fasa Cu-Zn, kelarutan senga dalam larutan
padatan fasa α meningkat dari 32,5% pada temperatur 903 oC ke 39%
20
pada temperatur 454 oC. Fasa α berbentuk FCC, sementara fase β
berbentuk BCC.
2.2.1.6 Mikrostruktur Material Hasil Lasan
Fasa yang terbentuk sebagai hasil proses las pada baja akan
membentuk fasa sesuai dengan kecepatan pendinginan dari fasa γ
(austenit). Semakin dekat dengan daerah fusi, temperatur baja semakin
tinggi, dan kecepatan pendinginan akan semakin tinggi.
Daerah pada produk las dimulai dari daerah logam las :
a. Daerah logam las (daerah fusi); daerah logam filler yang cair
bercampur dengan logam induk yang dipanaskan sampai
temperatur cair. Bentuknya butir columbar dan widmanstatten,
yaitu bentuk memanjang karena logam cair mendapat
pendinginan yang amat cepat, seperti struktur produk cor.
b. Daerah pertumbuhan butir, dimana logam induk yang tidak
mencair akan membesar karena pemanasan yang amat tinggi
akibat proses pengelasan.
c. Daerah penghalusan butir (daerah rekristalisasi), karena
temperatur sedikit lebih rendah dari daerah b, austenit
mengalami rekristalisasi, pembentukan butir baru yang lebih
halus, pada pendinginan akan terjadi ferit dan perlit yang lebih
halus.
d. Daerah transisi, waktu proses welding sebagian fasa austenit
sebagian masih ferit, jadi waktu pendinginan, terdapat campuran
feri baru dan ferit yang ada sebelumnya. Daerah b, c, dan e
disebut daerah terpengaruh panas (Heat Affected Zone).
e. Daerah tak terpengaruh panas (Unaffected Zone), fasa logam
induk yang tidak berubah karena tidak terkena panas pada
pengelasan.
2.4 DAFTAR PUSTAKA
21
- Modul Praktikum Material Teknik (Metalografi dan Jominy). 2011.
Depok : Laboratorium Metalografi dan HST Departemen Metalurgi
dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia
- Callister, William D. Materials Science and Engineering An
Introduction 6th Edition. 2004. Canada : John Wileys & Sons, Inc.
MODUL 3
Percobaan Jominy
3.1 Tujuan
1. Mendapatkan antara jarak permukaan dengan pendingin
langsung dengan kekerasan bahan (kemampukerasan bahan).
2. Memperoleh hubungan antara kecepatan pendinginan dengan
fasa yang terbentuk, serta mendapatkan sifat kekerasan dari
fasa tersebut.
3.2 Dasar Teori
Proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan
mengubah struktur mikro dan sifat mekanis logam disebut Perlakuan
Panas (Heat Treatment). Logam yang didinginkan dengan kecepatan yang
berbeda-beda misalnya dengan media pendingin yang berbeda, air, udara
atau minyak akan mangalami perubahan struktur mikro yang berbeda.
Setiap struktur mikro misalnya fasa martensit, bainit, ferit, dan perlit
22
merupaka hasil transformasi fasa dari fasa austenit. Masing-masing fasa
tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan yang berbeda-beda dimana
untuk setiap paduan bahan dapat di lihat pada diagram Continous Cooling
Transformation (CCT) dan Time Temperature Transformation (TTT)
diagram. Masing-masing fasa di atas mempunyai nilai kekerasan yang
berbeda. Pendinginan yang cepat akan menghasilkan struktur martesit
yang keras, sedangkan pendinginan yang lambat akan menghasilkan
struktur:
1. Bainit bawah : struktur seperti jarum seperti martensit
2. Bainit atas : struktur seperti perlit dengan sifat lapisan tidak
jelas
3. Perlit halus: struktur perlit halus dengan lapisan ferit dan
cementit
4. Perlit kasar: kekerasan dari martensit sampai pearlit makin
menurun
Oleh karena itu, dengan pengujian Jominy maka dapat diketahui laju
pendinginan yang berbeda akan menghasilkan kekerasan bahan yang
berbeda.
Distribusi kekerasan yang disebabkan perlakuan panas
Kekerasan adalah salah satu faktor penting dalam membentuk suatu
material maka akan lebih ekonomis apabila spesifikasi material
23
didasarkan atas perlakuan panas material tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan suatu tes yang dapat yang dapat memprediksikan kemampu-
kerasan dari baja tersebut. Tes yang sangat luas dipakai ialah end-quench
hardenability tes atau jominy test. Tes ini telah distandarkan oleh ASTM,
SAE, dan AISI. Untuk percobaan ini diperlukan : 1 inchi sampel yang
bundar dan panjangnya 4 inchi, dipanaskan sampai suhu austenit. Setelah
itu sampel tadi diangkat dan diletakan pada tempat yang stabil dan
diberikan udara dari bawah sampel dan semua bagian dari sampel harus
mendapatkan pendinginan yang rata. Setelah 10 menit waktu
pendinginan maka sampel tadi diangkat dan dipindahkan. Setelah itu
dihitung kekerasannya dan hasilnya digambarkan dalam kurva kekerasan
antara nilai kekerasan berbanding lurus dengan jarak dari tempat
berakhirnya quenched.
Fitur yang sangat penting dalam Jominy Test ialah setiap bagian dari
sampel akan merespon pendinginan yang diperlukan. Adalah derajat
pendinginan yang menentukan terbentuknya martensite. Kurva Jominy
dapat digunakan untuk memplot profile kekerasan dari suatu bagian.
Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit yang
ditampilkan dan kekerasan makin turun. Penambahan kadar karbon atau
paduan atau bertambah besarnya ukuran butir akan menyebabkan grafik
bergeser ke kanan sehungga memudahkan pembentukan struktur
martensit. Pergeseran grafik ke kanan juga menggambarkan sifat
kemampukerasan bahan tersebut.
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Alat dan Bahan
- Batang baja sebagai benda uji, dengan d=2,5 cm, L= 10 cm
- Oven mUffle temperatur makx 11000C
- Kran air dengan tekanan cukup
- Amplas
- Alat penguji kekerasan Brinell
- Mikroskop pengukur jejak
24
3.3.2Flow Chart Pengujian
3.4 Daftar Pustaka
- Modul Praktikum Material Teknik (Metalografi dan Jominy). 2011.
Depok : Laboratorium Metalografi dan HST Departemen Metalurgi
dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia
- Callister, William D. Materials Science and Engineering An
Introduction 6th Edition. 2004. Canada : John Wileys & Sons, Inc.
25
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Pengujian Metalografi
III.1.1 HASIL MOUNTING
Mounting bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam penanganan
material yang berukuran kecil dan tidak beraturan. Dengan melakukan
mounting sampel menjadi mudah dipegang tanpa merusak sampel.
Pecobaan mounting ini tidak harus selalu digunakan dalam setiap
percobaan metalografi, jika ukuran sampel sudah dinilai besar dan
beraturan maka proses mounting tidak perlu dilakukan.
Ada dua metode mounting yaitu Castable Mounting dan Compression
Mounting. Media yang digunakan dalam mounting harus lah sesuai
dengan material dan jenis reagen etsa yang digunakan.
Hasil mounting berupa sampel yang terdapat di dasar mounting yang
berbentuk silinder. Sampel yang telah dimounting akan lebih mudah
26
diamplas dan dipoles. Mounting lebih ditujukan untuk sampel berukuran
kecil. Pada percobaan ada 4 sampel yang telah dimounting, yaitu CuSn
(perunggu), low C steel (besi dengan kadar karbon rendah), AlSi
(alumunium-silikon), dan BTN (besi tuang nodular). Sampel ferrous adalah
low C steel dan BTN, sedang sampel non ferrous adalah CuSn.
III.1.2 HASIL PENGAMPLASAN ATAU GRINDING
Setelah proses mounting selesai maka sampel siap untuk memasuki
proses pengamplasan (grinding). Pada grinding (pengamplasan) kita
memulai pengamplasan material dengan menggunakan amplas yang kasar, dan
kemudian dilanjutkan dengan amplas yang sudah agak sedikit halu, dan
keumdian dengan amplas yang halus.
Proses pengamplasan ini bertujuan untuk menghaluskan permukaan
material yang akan diuji, pengamplasan dilakukan dengan cara mengamplas
dengan satu arah. Kemudian jika sudah terlihat garis-garis satu arah, maka
amplas diganti denga amplas yang sedikit halus, dengan menggantii sudut
pengamplasan sebesar 90o, kemudian jika sudah terlihat garis yang satu arah
yang berbeda dengan yang pertama, kemudian menggunakan amplas yang
halus, dengan perubahan sudut amplas sebesar 90O. Setelah selesai maka
material akan terlihat halus.
Untuk sampel baja, pengamplasan dilakukan dengan menggunaka mesh
yang lebih kecil dahulu. Dalam praktikum, kami menggunakan amplas dengan
mesh 1000 dan 1500. Untuk sampel baja, pengamplasan di awali dari mesh yang
lebih kecil dahulu untuk mendapatkan hasil pengamplasan yang rata dan sedikit
goresan / kerataan permukaan sampel yang mendekati rata sempurna.
Sedangkan untuk sampel CuZn, pengamplasan dilakukan dengan
menggunakan amplas dengan mesh 1500. Hal ini dikarenakan untuk sampel
baja nitriding atau carburizing, memiliki strukur yang relatif lebih keras
dibandingkan CuZn. Sehingga dalam proses pengamplasan (grinding)
menggunakan mesh yang lebih kecil dahulu.
27
Gambar Mesin Amplas
III.1.3 HASIL PEMOLESAN (POLISHING)
Setelah proses pengamplasan (grinding) dilakukan, proses
selanjutnya adalah pemolesan (polishing). Proses polishing ini bertujuan
agar pemukaan sampel yang telah diamplas menjadi lebih halus dan
mengkilap seperti halnya cermin. Selain itu polishing juga bertujuan untuk
menghilangkan goresan-goresan yang terdapat pada permukaan sampel
hasil dari proses grinding.
Dalam proses grinding terdapat dua jenis alat yang berbeda, yaitu
alat polishing untuk material ferrous dan non ferrous. Selain alat polishing,
proses ini juga membutuhkan zat Alumina Al2O3. Alumina merupakan zat
penghalus yang sangat halus sekal sehingga dapat menghaluskan
permukaan sampel menjadi sangat halus dan mengkilap. Dalam
penggunaannya zat alumina digunakan beriringan dengan air
secukupnya. Untuk pemolesan alumina pada permukaan material maka
kita membutuhkan kain beludru yang dipasang pada alat pemutar poles.
Dikarenakan material ferrous dan non-ferrous harus dipisahkan,
maka sampel Besi Tuang Kelabu, Medium C, dan Nitriding yang tergolong
paduan ferrous dipoles pada satu alat poles yang sama sedangkan Cu-Ni
yang tergolong Non-ferrous dipoles pada alas poles yang berbeda.
28
Selama proses pemolesan mesin pemutar di putar dengan kecepatan
yang dianggap cukup sehingga tidak menyulitkan dalam proses
pemegangan sampel. Selain itu selama proses pemolesan kain beludru
tidak boleh kering karena dapat menggores permukaan yang telah halus.
Setelah proses pemolesan selesai, material ferrous akan
menghasilkan pemukaan yang lebih mengkilap dibandingkan dengan
material non ferrous.
III.1.4 HASIL ETSA
Proses selanjutnya setelah pemolesan selesai adalah etsa. Proses
etsa bertujuan untuk memebersiahan permukaan sampel dari butiran-
butiran yang dapat mengganggu pengamatan.
Pada percobaan kali ini kita menggunakan etsa kimia. Maka dari itu
diperlukan pembedaan cairan untuk sampel ferrous dengan sampel non-
ferrous. Untuk sampel ferrous (BTK, Medium C, Nitriding) menggunakan
cairan Nital Acid selama 5-10 detik sedangkan untuk sampel non-ferrous
menggunakan cairan Ferric Chloride selama 10-15 detik.
29
Setalah diberi cairan etsa kemudian sampel dibilas menggunakan
alkohol. Alkohol berfungsi untuk menghentikan laju reaksi sementara dari
zat etsa. Pada saat pemberian zat etsa pada masing-masing sampel harus
dipehatikan lama waktu yang digunakan, karena jika terlalu lama zat etsa
menyentuh permukaan sampel akan membuat permukaan sampel
menjadi gosong.
Jika pada saat etsaterjadi kesalahan prosedur maka percoban harus
mengulang dari proses pengamplasan kembali. Hal ini dikarenakan
permukaan sampel telah menjadi kotor. Maka dari itu sangat dibutuhkan
ketelitian kerja pada percobaan kali ini.
Reagen Etsa Material Waktu etsa
Nitrid Acid ( Nital) Baja karbon 5-10 detik
Picric Acid (Picral)
1. Semua Jenis Baja
Karbon:
a. Annealed
b. Normalized
c. Quenched
d. Tempered
e. Spherodized
f. Austempered
2. Low alloy steel
Beberapa detik
hingga 1 menit
Ferric Chloride
Hydrochloric Acid
1. Stainless Steel
2. Austenitic Nickel
3. Paduan Tembaga
10-15 detik
Ammonium Hydroxide
Hydrogen Peroxide
Tembaga dan
paduannya
Kurang lebih
1menit
30
Hydrofluoric AcidAluminium dan
paduannya< 5 detik
III.2 PENGAMATAN STRUKTUR MIKRO
III.2.1 HASIL FOTO SAMPEL 1
Foto Hasil Percobaan Foto Literatur
Nama: Low carbon
steel
Nama: Low carbon steel
Perbesaran: 500x Perbesaran: 500x
III.2.1.1 PEMBAHASAN
Low carbon steel mengandung kadar C sebanyak kurang dari
0,25 wt%. Dari foto hasil percobaan di atas, terdapat 2 fasa dalam
low carbon steel, yaitu ferrite dan perlite. Area butir yang lebih
terang adalah ferrite. Hal ini disebabkan karena pada fasa ini
masih lebih dominan kandungan besi (Fe). Sedangkan area butir
yang lebih gelap adalah fasa pearlite. Area butir ini lebih gelap
karena terdapat banyak kandungan karbon yang bercampur
dengan besi.
31
Baja ini tidak bisa dikeraskan dengan cara perlakuan panas
(martensit) hanya bisa dengan pengerjaan dingin. Sifat
mekaniknya lunak, lemah dan memiliki keuletan dan ketangguhan
yang baik. Serta mampu mesin (machinability) dan mampu las nya
(weldability) baik.
Low carbon steel terletak kurang dari 0.25 wt%. Jadi pada diagram
fasa di atas, low carbon steel terdapat di dalam kotak berwarna abu-abu.
Diagram Fasa
Menurut Callister dalam buku “Material Sciene and
Engineering”, medium steel carbon diaplikasikan untuk:
0,05 % - 0,20 % C : automobile bodies, buildings,
pipes, chains, rivets, screws, nails.
32
PearliteFerrite
0,20 % - 0,30 % C : gears, shafts, bolts, forgings,
bridges, buildings.
III.2.2 HASIL FOTO SAMPEL 2
Foto Hasil Percobaan Foto Literatur
Nama: AlSi Nama: AlSi
Perbesaran: 500x Perbesaran: 500x
III.2.2.1 PEMBAHASAN
Salah satu aplikasi paduan aluminium silikon ini adalah piston.
Piston merupakan komponen sepeda motor yang berfungsi
sebagai penekan udara masuk dan penerima hentakan
pembakaran pada ruang bakar silinder liner, sehingga diperlukan
sifat mekanis yang baik dalam pengaplikasiannya. Sifat mekanis
tersebut didapat kan dengan penambahan jumlah silikon pada
aluminium tersebut.
Campuran Silikon dalam Aluminium jenis ini menghasilkan
keuntungan-keuntungan seperti sifat mampu cor yang baik,
mudah dilakukan proses permesinan, dan ketahanan terhadap
korosi yang baik. Untuk meningkatkan mampu cor yang baik dan
meningkatkan ketangguhannya, paduan Al-Si ini juga dapat
ditambahkan unsur-unsur lain seperti Cu, Mg, atau Ni. Paduan Al-
Si adalah material yang digu nakan hampir 85-90% dari total
Aluminium paduan produk casting.
Paduan aluminium dengan silikom hingga 15% akan
memberikan kekerasan dan kekuatan tensil yang cukup besar
33
hingga mencapai 525 Mpa pada aluminium paduan yang
dihasilkan pada perlakuan panas. Jika konsentrasi silikon lebih
tinggi dari 15%, tingkat kerapuhan logam akan meningkat secara
drastis akibat terbentuknya kristal granula silika.
III.2.3 HASIL FOTO SAMPEL 3
Foto Hasil Percobaan Foto Literatur
Besi Tuang Nodular (Nodular Cast Iron)
III.2.3.1 PEMBAHASAN
Nodular Cast Iron adalah perpaduan besi tuang kelabu. Nodular
Cast Iron atau biasa disebut dengan besi tuang nodular tersusun atas
ferrite, perlite, dan grafit.
Besi tuang nodular memiliki ketangguhan, keuletan, dan kekuatan
yang tinggi. Karena besi tuang nodular memiliki keuletan yang tingga,
besi tuang ini juga biasa disebut dengan ductile cast iron.
Terdapat perbedaan foto hasil percobaan dengan literature
dikarenakan praktikan yang kurang sempurna melakukan preparasi
sampel.
III.2.4 HASIL FOTO SAMPEL 4
34
Foto Literatur
Keterangan : NitridingPerbesaran : 500 xEtsa : Nital
Keterangan : NitridingPerbesaran : 200 xEtsa : Nital
III.2.4.1 PEMBAHASAN
Baja Nitriding adalah baja yang mengalami proses nitridisasi,
yaitu pelapisan baja dengan bahan paduan Nitrit. Pada gambar ini,
kita akan melihat bahwa base metal pada foto hasil percobaan
adalah bagian dengan campuran warna hijau dan kuning.
Sementara itu, bagian yang mengalami nitridisasi berwarna hitam,
dan bagian yang berwarna bening adalah bagian mounting.
Bila ditambahkan dengan nitrit, sifat baja akan berubah.
Perubahan yang terjadi antara lain adalah kekerasan permukaan
yang bertambah, ketahanan terhadap tempering dan kekerasan
pada temperatur tinggi. Selain itu, fatigue dari bahan juga akan
bertambah dan sensitifitas terhadap takikan fatigue rendah.
Penambahan ini juga akan membuat material baja yang dilapisi
lebih tahan korosi untuk material non stainless steel, dan stabilitas
dimensi yang tinggi.
Untuk proses nitridisasinya, pelapisan nitrogen dilakukan pada
temperature 500 – 590oC pada fase ferit. Ada tiga metode untuk
35
mendapatkan baja nitridisasi, yaitu gas nitriding, salt – bath
nitriding, dan powder nitriding. Prinsipnya menggunakan absorpsi
nitrogen pada permukaan baja.
Sementara itu, dalam industri, aplikasi yang dapat kita lihat
penggunaannya adalah pada gear , piston, rem, dan laher otomotif
III.4 PERCOBAAN JOMINY
III.4.1 TABEL DAN PERCOBAAN JOMINY
Hasil percobaan :
Beban (P) : 187,5 kg
Diameter bola (D): 3mm
Titik pengujian ke- (dari
sumber air)
jarak dari
sumber air (mm)
d (diameter jejak
indentasi) (mm)
BHNBHN Rata-
Rata
1 20 0.69 494.9627
339.9166
2 30 0.73 441.4784
3 40 0.70 480.7284
4 50 0.78 385.8419
5 60 0.84 331.7409
6 70 0.89 294.7570
7 80 0.91 281.6407
8 90 0.94 263.5124
9 100 1.02 222.7400
10 110 1.07 201.7635
36
20 30 40 50 60 70 80 90 100 1100
100
200
300
400
500
600
BHN vs Jarak
BHN
III.4.2 CONTOH PERHITUNGAN
Dengan data yang di peroleh maka kita dapat menghitung kekerasan
pada lokasi kjejak dengan menggunakan rumus :
h BHN= 2 P
(πD )(D−√D2−d2)
Untuk titik jejak ke 10, d=1,20 mm; D = 3mm; P = 187,5 kg
h BHN= 2 P
(πD )(D−√D2−d2)
h BHN= 2x 187,5
(227X 3) (3−√32−1,202 ) = 158,83
III.4.3 PEMBAHASAN GRAFIK
Berdasarkan grafik yang dihasilkan dari percobaan jominy akan
didapatkan hubungan antara jarak permukaan dengan pendinginan
langsung dengan kekerasan bahan serta hubungan antara kecepatan
pendinginan dengan fasa yang terbentuk serta mendapatkan sifat
kekerasan dari fasa tersebut.
Dari grafik, besar beban yang dipakai adalah 187.5 kg. Setelah kita
melihat grafik tersebut, kita dapat mengetahui bahwa semakin jauh jarak
besi dari quenching, maka kekerasan akan semakin kecil. Hal ini
dikarenakan daerah yang paling dekat dengan end-quenching
37
membentuk fase martensite yang lebih stabil dibandingkan jarak
terhadap quenching yang lebih jauh, mengakibatkan kekerasan material
berkurang.
Selain itu, jika dihubungkan dengan temperatur, pada temperatur
austenite, material akan berubah fasa menjadi fasa martensite bila
didinginkan secara tiba – tiba. Hal ini membuat kekerasan material
bertambah.
Bila dikaitkan dengan kurva pendinginan, maka fasa yang terbentuk
bila pendinginan dilakukan tiba – tiba adalah fase martensite. Bila
didinginkan agak lebih cepat, terbentuk fase cementite. Setelah itu, bila
didinginkan sedikit lebih lama, akan membentuk fasse ferrite. Sementara
itu, bila didinginkan secara normal, akan kembali membentuk fase
austenite
Bila kita melihat aplikasi dari percobaan Jominy di dunia industry, bila
ingin didapatkan fase yang kuat serta tangguh dan sesuai dengan
keperluan fungsinya, maka akan digunakan percobaan ini untuk
membentuk fase martensitenya.
38
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
IV.1 KESIMPULAN
IV.1.1 PREPARASI SAMPEL
IV.1.1.1 MOUNTING
Dalam penangan sampel yang berukuran sangat kecil, proses
mounting sangat membantu. Terdapat beberpa kemungkinan pada
kesalahan mounting yang menimbulkan cacat bubble, tacky tops, dan
discoloration.
IV.1.1.2 PENGAMPLASAN (GRINDING)
Pengamplasan dilakukan agar permukaan sampel menjadi rata.
Penggunaan kertas amplas harus disesuaikan dengan permukaan dengan
tingkat kehalusan permukaan. Setiap pergantian ukuran grit kertas
amplas maka arah pengamplasan digeser 45-90 derajat dari arah semula.
IV.1.1.3 PEMOLESAN (POLISHING)
Pemolesan bertujuan untuk menjadikan permukaan sampe halus dan
mengkilap seperti kaca, sehingga permukaan dapat diamati dengan jelas
pada ukuran mikro. Zat alumina sangat membantu sekali dalam proses
pemolesan.
IV.1.1.4 ETSA
Etsa merupakan suatu proses penyerangan atau pengikisan abatas
butuir secara selektif. Zat yang digunakan etsa harus sesuai dengan
sampel yang digunakan.
IV.1.2 PENGAMATAN STRUKTUR MIKRO
Pada pengamatan hasil sampel yang telah selesai dari tahap
preparasi sampel, perlu digunakan mikroskop dengan perbesaran yang
sesuai. Struktur mikro yang dimiliki suatu material akan mempengaruhi
sifat mekanisnya
39
IV.1.3 PECOBAAN JOMINY
Semakin cepat suatu material didinginkan dari suhu kritisnya maka
semakin banyak martensit yang terbentu kemudian jika semakin lama
waktu yang dibutuhkan untuk mendinginkan suatu material dari suhu
kritinya maka semakin banyak fase ferrit yang terbentuk.Semaik banyak
maetensit menunujukkan semaik kerasnya suatu material sedangkan
ferrit menunjukkan semakuin lunaknya suatu material.
IV.2 SARAN
Menurut saya sebaiknya proses pengamplasan sebaiknya dimulai dari
permukaan kasar sehingga para mahasiswa dapat melakukan proses
pengamplsan secara seksama. Kemudian pada percobaan waktu yang
dibutuhkan untuk memanaskan sampel sampai suhu yang ditentukan
kurang lama.
40
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
PENGANTAR MATERIAL TEKNIK; BONDAN T. SOFYAN;2010; Salemba
Teknika; Jakarta
http://prajadillaatos.blogspot.com/2010/01/percobaan-metalografi-
terhadap suatu.html
http://www.scribd.com/doc/80871482/dokumen-153-Modul-3
http://www.sv.vt.edu/classes/MSE2094_NoteBook/96ClassProj/examples/
cu_ni.jpg
http://pojoklistrik.blogspot.com/2012/03/proses-pembuatan-besi-baja.html
http://www.codere.ch/E/nitriding.php?onglet=processes
41