LAP 1 Geriatri
-
Upload
leliamedia -
Category
Documents
-
view
58 -
download
13
description
Transcript of LAP 1 Geriatri
LAPORAN TUTORIAL
BLOK GERIATRI
SKENARIO 1
KEGAWATAN JATUH PADA GERIATRI
KELOMPOK 18
LES YASIN G0012244
M. BEIZAR YUDHISTIRA G0012134
RIZKI FEBRIAWAN G0012190
YUSUF ARIF SALAM G0012240
TRIA MULTI FATMAWATI G0012222
LELY AMEDHIA RATRI G0012114
TIA KANZA NURHAQIQI G0012220
R.rr ERVINA KUSUMA W G0012168
LATIFA ZULFA S G0012112
RIANITA PALUPI G0012180
OKI SARASWATI UTOMO G0012156
TUTOR:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
“Aduh nek, kakek jatuh terjerumus parit ”
Kekek Yoso, seorang pensiunan guru, yang masih bugar di usianya yang 60
tahun, tiba-tiba merasa berkunang-kunang dan jatuh terjerumus parit pada saat
jalan-jalan di pagi hari bersama istrinya.
Esok harinya nyeri lututnya kembali, bahkan sulit digerakkan dan minta di
bawa ke dokter. Pemeriksaan dokter tekanan darah 190/100 mmHg. Hasil
pemeriksaan laboratorium UGD didapatkan GDS 200 mg/dl, Hb 10,5 gr % , tidak
ditemukan proteinuria. EKG dalam batas normal.
Kakek mengeluhkan mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa.
Jika berjalan merasa tidak stabil dan nggliyeng (serasa ingin jatuh).
Sebelumnya beliau minum bisoprolol dan HCT secara rutin, kaang – kadang
mengkonsumsi antalgin atau meloxicam yang beli di toko obat untuk meredam
nyeri sendiri.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
Jump I: Klarifikasi Istilah
Dalam skenario ini beberapa istilah yang perlu diklasifikasi adalah sebagai
berikut:
1. Bisoprolol : obat golongan beta bloker untuk mengobati penyakit jantung
dan terutama diindikasikan untuk orang yang menderita hipertensi.
2. Meloxicam : obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang bersifat
analgesik, antipiretik dan anti inflamasi yang bekerja dengan menghambat
COX2. Tersedia dalam sediaan 7,5 mg dan 15 mg.
Jump II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa penyebab berkunang-kunang pada pasien?
2. Apa sajakah kemungkinan yang dapat menyebabkan kakek Yoso terjatuh?
3. Bagaimana mekanisme munculnya nyeri lutut yang kembali kambuh 1
hari setelah terjatuh?
4. Bagaimana interpretasi hasil pemerikaan fisik?
5. Apa penyebab mata kabur, pendengara berkurang dan sering lupa pada
pasien?
6. Mengapa pasien merasa badannya tidak stabil dan nggliyeng saat
berjalan?
7. Apakah efek bisoprolol dan HCT pada kasus kakek Yoso?
8. Bagaimanakah konsumsi antalgin dan meloksikam dalam jangka panjang
dengan keluhan pasien?
9. Bagaimana hubungan usia pasien dengan keluhan yang dialami?
Jump III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara
mengenai permasalahan
A. Fisiologi dan teori penuaan.
1. Teori Mengenai Proses Penuaan
a. Teori “Genetic Clock”
Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) nya suatu jam genetik
yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jma ini akan menghitung
mitosis dan mengehntikan replikasi sel bila tidak dipuat, jadi bila jam itu
menghentikan replikasi sel maka kita akan meninggal dunia, meskipun tanpa
disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang katastrofal.
b. Mutasi somatik (teori error Catastrophe)
Faktor-faktor penyebab terjadinya menua adalah faktor lingkungan yang
menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Radiasi dan zat kimia dapat
memperpendek umur, sebaliknya menghindari terkenanya radiasi atau
tercemar zat kimia yang bersifat karsinogenik atau toksis, dapat
memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif
pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan
fungsional sel tersebut.
Menurut hipotesis ini, menua disebabkan oleh kesalahan yang
beruntun. Setelah berlangsung dalam waktu lama, terjadi kesalahan transkipsi
DNA menjadi RNA, amupun dalam proses translasi RNA -> protein/enzim.
Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah
sehingga akan terjadi proses metabolisme yang salah dan kesalahan sintesis
protein atau enzim.
c. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali
dirinya sendiri. Jika mutasi somatik, dapat menyebabkan kelaiann pada
antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun
tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan sebagai zat asing dan
menghancurkannya (autoimun).
Dipihak lain, sistem imun tubuh sendiri, daya pertahanannya mengalami
penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi
menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah.
d. Teori menua akibat metabolisme
Perpanjangan umur berasosiasi dengan tertundanya proses degenerasi.
Perpanjangan kalori akibat penurunan jumlah kalori disebabkan karena
menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan
pengeluaran hormon yang merangsang proliferasi sel, misalnya insulin dan
hormon pertumbuhan. Pentingnya metabolisme sebagai faktor penghambat
umur panjang. Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan tersebut.
e. Teori radikal bebas
Menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat
reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan komponen penting selular,
termasuk protein, DNA, dan lipid, serta menjadi molekul- molekul yang tidak
berfungsi namum bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya.
Proses menua normal merupakan akibat dari kerusakan jaringan oleh
radikal bebas, dimana mitokondria sebagai generator radikal bebas, juga
merupakan target dari kerusakan radikal bebas tersebut.
Radikal bebas merupakan senyawa kimia yang berisi elektron tidak
berpasangan. Radikal bebas tersebut terbentuk sebagai hasil sampingan
berbagai proses selular atau metabolisme yang melibatkan oksigen.
Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran sel
atau kromosom sel. Lebih jauh, teori radikal bebas menyatakan bahwa
terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap di dalam sel sejalan dengan
waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi ambang maka mereka ingin
berkontribusi pada perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan
penuaan.
f. Teori glikosilasi
Menyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan
pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced glycation end
products (AGEs) yang dapat menyebabkan penumpukan protein dan
makromolekul lain yang termodifiakasi sehingga terjadi disfungsi pada
hewan dan manusia.
g. Teori DNA repair
Menujukkan bahwa dengan adanya perbedaan pola laju perbaikan
(repair) kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai
fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang mempunyai umur
maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar, dan korelasi
ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan piniata.
2. Fisiologi Proses Menua
Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologis penuaan adalah
keadaaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi
sering meningkatanya usia pada setiap sistem organ.
Seiring bertambahnya usia, jumlah cadangan fisiologis untuk
menghadapi berbagai perubahan semakin berkurang. Setiap perubahan
homeostasis merupakan pergerakan menjauhi keadaan dasar, dan semakin
besar perubahan yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis
homeostasi yang diperlukan untuk kembali ke homeostasis. Di sisi lain,
dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis, maka seorang usia lanjut
lebih mudah untuk mencapai suatu ambang, yang berupa keadaan sakit atau
kematian akibat perubahan tersebut.
Seorang usia lanjut tidak hanya memiliki cadangan fisiologis yang
semakin berkurang, namun mereka juga memakai atau menggunakan
cadangan fisiologis tersebut untuk mempertahankan homeostasis. Akibatnya
akan semakin sedikit cadangan yang tersedia untuk mengjhadapi perubahan.
3. Aplikasi Klinis Proses Menua
Sistem dalam Tubuh Perubahan yang TerjadiSistem Endokrin Toleransi glukosa terganggu
Penurunan DHEAPenurunan testosteronPenurunan hormon T3Penurunan produksi vitamin D oleh kulitPenurunan hormon ovariumPeningkatan kadar hormon sistein serum
Sistem Kardiovaskuler
Berkurangnya pengisian ventrikel kiriBerkurangnya sel pacu jantung di nodus SAHipertrofi atrium kiriWaktu kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri lebih lamaPenuruana curah jantung maksimalLapisan subendotel menebal menjadi jaringan ikatPeningkatan resistensi vaskuler perifer
Tekanan Darah Peningkatan tekanan darah sistolikTidak ada perubahan tekanan darah diastolikBerkurangnya vasodilatasi dimediasi beta adrenergikTerganggunya perfusi autoregulasi otak
Otot Massa otot berkurang secara bermaknaEfek penuaan paling kecil pada otot diafragmaBerkurangnya sintesis rantai berat myosinBerkurangnya inervasiMeningkatnya myofibrilInfiltrasi lemak ke berkas ototPeningkatan fatigabilitasBerkurangnya laju metabolisme basal
Tulang Melambatnya penyembuhan frakturBerkurangnya massa tulangBerkurangnya formasi osteoblas tulang
Sendi Terganggunya matriks kartilagoModifikasi proteoglikan dan glikosaminoglikan
Penglihatan Terganggunya adaptasi gelapPengeruhan pada lensaBerkurangnya fokus penglihatanBerkurangnya sensivitas terhadap korneaBerkurangya lakrimasi
Ginjal Berkurangya bersihan kreatininPenuruan massa ginjal sebesar 25%Menurunnya eksresi dan konservasi K dan NaBerkurangnya sekresi akibat penambah asamMenurunnya aktivasi vitamin D
B. Penyakit penyerta pada geriatri yang terdapat pada kasus Kakek Yoso
1. Hipertensi pada usia lanjut
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan
spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran
manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi
duduk punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama 5
menit sampai 30 menit setelah merokok atau minum kopi (Kaplan,
2006). Kriteria hipertensi menurut JNC VII (2007) :
KLASIFIKASI
TEKANAN
DARAH
TEKANAN
DARAH
SISTOL
(mmHg)
TEKANAN
DARAH
DIASTOL
(mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage
1
140-159 90-99
Hipertensi Stage
2
160 atau >160 100 atau
>100
Hipertensi didiagnosis berdasarkan peningkatan tekanan darah
sistolik dan diastolik. Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik berada
pada pada kategori yang berbeda, maka dipilih kategori yang lebih tinggi
untuk mengklasifikasikan tekanan darah individu. Menurut Kaplan
(2006) hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :
a) Hipertensi Primer (essensial)
Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-
55 tahun, sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan.
Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor-faktor
yang terlibat dalam patogenesis hipertensi essensial antara lain faktor
genetik, hipertaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin,
defek natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi
alkohol secara berlebihan
b) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik.
Hipertensi sekunder apat terjadi pada individu dengan usia sangat muda
tanpa disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Individu dengan
hipertensi pertama kali pada usia di atas 50 tahun atau yang sebelumnya
diterapi tapi mengalami refrakter terhadap terapi yang diberikan
mungkin mengalami hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder
antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler
ginjal, hiperaldosteronisme primer dan sindroma chusing,
feokromsitoma, koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obat-
obatan.
2. Osteoarthritis (OA)
Osteoarthritis adalah penyakit sendi degenarif yang berkembang
lambat, progresif, dan menyebabkan kerusakan kartilago sendi.
Karakteristik penyakit ini antara lain menipisnya tulang rawan sendi
secara progresif disertai pembentukan tulang baru pada trabekula
subkondral dan terbentuknya tulang rawan sendi dan tulang baru pada
tepi sendi (osteofit). Secara histopatologik, proses OA ditandai dengan
menipisnya rawan sendi disertai pertumbuhan dan remodeling tulang di
sekitarnya (bony overgrowth) diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang
di sekitarnya. Beberapa faktor risiko OA adalah:
a. Umur: jarang pada usia < 40 tahun dan tersering usia > 60 tahun.
b. Jenis kelamin: wanita (khususnya mengenai banyak sendi dan sendi
lutut), laki-laki (biasanya pada sendi pinggul, pergelangan tangan,
dan leher) dan setelah menopause lebih sering pada wanita
dibanding laki-laki.
c. Suku bangsa: orang kaukasoid lebih sering terkena daripada orang
asia dan kulit hitam; orang Indian lebih sering dari orang kulit putih.
Klasifikasi osteoartritis menurut etiologinya:
a. Osteoartritis primer: kausanya tidak diketahui (idiopatik)
b. Osteoartritis sekunder: pekerjaan dan olahraga (tekanan berlebih,
obesitas (beban tubuh berlebih), usia lanjut (proses penuaan),
gangguan endokrin (menopause), cedera sendi) (inflamasi), genetik,
kelainan pertumbuhan.
Manifestasi klinis osteoartritis antar lain nyeri sendi, hambatan
gerak (keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat
gesekan kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi,
perubahan gaya berjalan. Diagnosis OA dapat ditegakkan melalui
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Beberapa
pemeriksaan dalam penegakkan diagnosis OA antara lain:
a. Fisik: terdapat gambaran gejala klinis seperti yang disebut di atas.
b. Radiologis: terdapat gambaran penyempitan celah sendi asimetris,
peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, kista tulang,
osteofit pada tepi sendi, dan perubahan struktur anatomi sendi
c. Laboratorium darah: pemeriksaan darah tepi dan imunologis (ANA,
faktor rematoid dan komplemen) dalam keadaan normal. Namun,
jika terjadi peradangan akan terlihat penurunan viskositas,
pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan sel radang dan
protein.
Gejala klinis pada OA, di antaranya nyeri sendi, hambatan gerak
(keterbatasan range of motion), krepitasi (rasa gemeretak akibat gesekan
kedua permukaan sendi saat digerakkan), pembengkakan sendi, kaku
pagi, tanda-tanda radang (kalor, dolor, tumor, rubor, finctio laesa),
deformitas sendi, perubahan gaya berjalan.
Patogenesis Osteoathritis
Jejas mekanik pada sinovial sendi
Molekul abnormal
Degenerasi kartilago Kompensatorik
Sendi+inflamasi
Aktivitas fibrinogenik Regenerasi kartilago Remodelling tulang Aktivitas fibrinolitik
Trombus & kompleks lipid Sintesis kolagen, Pembentukan osteofitmenyumbat pembuluh darah proteoglikan, di tepi sendi
menekan enzim streptomisin,Iskemik & nekrosis jaringan proliferasi sel
Penekanan
periosteum dan radiks sarafMerangsang mediator kimiawiProstaglandi dan interleukin
Nyeri Merangsang monositmenjadi osteoklas danmeresorpsi matriks kartilago
Gangguan homeostasis sendi
Perlunakan, perpecahan, dan pengelupasan lapisan tulang rawan sendi (osteoarthritis)
3. Gangguan penglihatan, pendengaran dan sring lupa pada usia
lanjut
a. Gangguan pemglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam
proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan
akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna
serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak. Semakin bertambahnya
usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk
lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera.
Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan
akibat proses menua:
a) Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan
akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi
lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis,
dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk
memusatkan penglihatan jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu
kesulitan dalam membaca huruf huruf yang kecil dan kesukaran
dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
b) Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter
pupil mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu
penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan
perifer pada tingkat tertentu.
c) Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat enimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini
adalah penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan
kesukaran dalam membaca dan memfokuskan penglihatan,
peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya
penglihatan pada malam hari, gangguan dalam persepsi
kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian),
perubahan dalam persepsi warna.
d) Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata
berpotensi terjadi sindrom mata kering.
b. Gangguan Pndengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis
dapat mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada
lansia disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan
akibat proses menua:
a) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi
sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan
komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi
perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan
pendengaran secara bertahap. Ketidak mampuan untuk
mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam
mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi seperti beberapa
konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
b) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap
membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan
ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah
gangguan konduksi suara.
c) Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal,
kulit menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin.
Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen
sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.
c. Demensia
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang
progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi
(umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan
perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan
fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan
pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya
progresif. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi
kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran (Maramis, 2005).
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat
kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal
yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya orientasi , daya
pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa ,
kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai
hendaya fungsi kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan
(detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau
motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit
kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau
sekunder mengenai otak (Depkes, 2003).
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap
kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi
demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada
kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40
persen (Maramis, 2005).
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia
diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia
vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang
mencapai kira-kira 10 % diantaranya adalah demensia jisim Lewy
(Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal,
hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia
infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau
sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui
evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab
yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya
hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12
atau defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi
(Maramis, 2003).
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset)
yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang
bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan
kematian. Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan
beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien
sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien.
Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling
sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia
vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.
Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung
dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara
mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan
tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga
pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu
dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan
benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut
dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik (Tombon,
2003).
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh
karena perbaikan bagian- bagian otak (self-healing), gejala-gejala
pada demensia dapat berlangsung lambat untuk 25 beberapa waktu
atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada
demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme,
hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan
terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi
yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga
demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia
vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada
demensia yang terkait dengan trauma kepala) (Hardywinoto, 1999).
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan
kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik
untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus
mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien
usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan
peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas
antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil,
rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase
yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga
sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan
inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan
potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya
menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat
bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan
hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih
baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik (Maramis, 2003).
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin
jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas.
Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan
galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI)
dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada
donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah
degenerasi neuron progresif (Nugroho, 2003).
Penyebab pasien berkunang-kunang dan terjatuh
1. Perubahan pada proses menua yang berkaitan dengan instabilitas dan jatuh
a. Perubahan kontrol postural
Proses menua mengakibatkan perubahan pada kontrol postural yang
mungkin memegang peranan penting pada sebagian besar kejadian jatuh.
Pada lansia terjadi perubahan komponen dari kapasitas biomekanik meliputi
latensi mioelektrik yang memanjang, waktu untuk bereaksi yang memanjang,
input proprioseptif yang berkurang, lingkup gerak sendi yang menurun,
kekuatan otot yang menurun, perubahan postur tubuh, ayunan postural yang
meningkat, dapat meningkatkan prevalensi kejadian jatuh pada lansia.
b. Perubahan gaya berjalan
Pada umumnya, lansia tidak dapat mengangkat kakinya cukup tinggi
sehingga cenderung mudah terantuk. Pada lansia laki-laki, postur tubuh
membungkuk dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-pendek. Pada
lansia perempuan, kedua kaki menyempit dengan gaya jalan bergoyang-
goyang. Selain itu, pada lansia dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menyelesaikan satu siklus berjalan. Hal ini dapat meningkatkan risiko jatuh
sebesar lima kali lipat.
c. Peningkatan prevalensi kondisi patologis yang terkait dengan instabilitas
Penyakit sendi degeneratif terutama vertebra servikal leher,
lumbosakral, dan ekstremitas bawah, dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi
tidak stabil, kelemahan otot, dan gangguan neurologis. Fraktur panggul dan
femur yang baru menyembuh dapat mengakibatkan gaya berjalan yang tidak
normal dan kurang mantap. Strok yang menyebabkan kelemahan otot dan
defisit sensorik dapat menyebabkan instabilitas. Berkurangnya input sensorik
pada neuropati diabetik dan neuropati perifer lainnya, gangguan penglihatan,
dan ganggguan pendengaran mengakibatkan berkurangnya isyarat dari
lingkungan yang berperan dalam kestabilan. Penyakit lain yang sering
dialami oleh usia lanjut, seperti penyakit Parkinson dan penyakit jantung
dapat mengakibatkan instabilitas dan jatuh pula.
d. Peningkatan prevalensi demensia
Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan seseorang berjalan-
jalan (wandering) ke tempat atau lingkungan yang tidak aman dan
memudahkan untuk jatuh.
2. Faktor Risiko Jatuh pada Geriatri
a. Faktor risiko intrinsik
1) Faktor intrinsik lokal
Faktor risiko intrinsik lokal yang dapat menyebabkan jatuh pada
geriatri antara lain osteoarthritis pada genu atau vertebra lumbal, gangguan
pendengaran dan penglihatan, gangguan alat keseimbangan, dan kelemahan
musculus quadriceps femoris.
2). Faktor intrinsik sistemik
Faktor risiko intrinsik sistemik yang dapat menyebabkan jatuh
adalah berbagai penyakit yang dapat memicu gangguan keseimbangan dan
jatuh seperti PPOK, pneumonia, infark miokard akut, infeksi saluran kemih,
hiponatremia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipoksia, stroke, dan transient
iskemik attack (TIA).
Penyakit kardiovaskuler dan neurologis, dapat berkaitan dengan
jatuh. Stenosis aorta dapat menyebabkan sinkop dan jatuh pada lansia.
Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan
mengalami sinkop karena refleks tonus vagal yang meningkat akibat batuk,
mengedan atau berkemih sehingga terjadi bradikardi atau hipotensi. Stroke
akut dapat menyebabkan jatuh atau memberikan gejala jatuh. TIA sirkulasi
anterior dapat menyebabkan kelemahan unilateral dan meicu jatuh.
b. Faktor risiko ekstrinsik
Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor lingkungan yang
memudahkan lansia jatuh seperti pencahayaan yang kurang, lantai yang
licin, tidak rata, dan basah, tangga yang tidak aman, tidak ada tempat
berpegangan, dan benda-benda yang berserakan di lantai. Selain faktor
ekstrinsik tersebut, konsumsi obat-obatan juga merupakan salah satu faktor
risiko ekstrinsik. Golongan obat diuretik dapat menimbulkan keinginan
untuk buang air kecil terus-menerus sehingga harus sering ke kamar mandi
sehingga meningkatkan faktor risiko jatuh. Obat-obat sedatif dan
antipsikotik juga dapat menyebabkan kantuk dan kurang waspada sehingga
meningkatkan risiko jatuh. Selain obat-obat golongan diuretik, sedatif dan
antipsikotik, obat-obat antihipertensi, antidepresi trisiklik, dan hipoglikemi
juga dapat meningkatkan faktor risiko jatuh.
3. Penyebab Jatuh pada Geriatri
a. Kecelakaan
Kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan murni seperti
terantuk, terpeleset, dan lain-lain yang mengakibatkan jatuh. Kecelakaan
biasanya disebabkan interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang
meningkatkan kerentanan.
b. Sinkop
Sinkop atau kehilangan kesadaran mendadak dapat disebabkan
respons vasovagal, gangguan kardiovaskuler, gangguan neurologis akut,
emboli paru, dan gangguan metabolit.
c. Drop attacks
Drop attacks merupakan kelemahan otot tungkai bawah mendadak
yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran. Kondisi tersebut
sering kali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yang dipicu oleh
perubahan posisi kepala.
d. Hipotensi ortostatik
Sekitar 10-20% lansia mengalami hipotensi ortostatik yang sebagian
besar tidak bergejala. Beberapa kondisi dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik yang yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh. Kondisi-
kondisi tersebut antara lain curah jantung yang rendah, disfungsi otonom
(akibat diabetes mellitus), gangguan aliran balik vena, tirah baring lama,
serta beberapa obat.
e. Dizziness dan atau vertigo
Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan yang sering
diutarakan oleh lansia yang mengalami jatuh. Vertigo pada pasien geriatric
biasanya dikaitkan dengan kelainan telinga bagian dalam, penyakit Meniere,
dan benign paroxysmal positional vertigo.
f. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat menyebabkan jatuh antara lain diuretika,
antihipertensi, antidepresi trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemia, dan
alkohol.
g. Proses penyakit
Kejadian jatuh biasanya dikaitkan dengan proses penyakit akut pada
sistem kardiovaskuler dan neurologis.
h. Idiopatik
Jatuh pada lansia yang tidak dapat diidentifikasi penyebabnya
termasuk ke dalam golongan ini.
4. Penatalaksanaan Jatuh dan Fraktur pada Geriatri
a. Prinsip penatalaksanaan jatuh pada geriatri
1) Mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh
2) Mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh
3) Memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan,
menguatkan otot, penggunaan alat bantu.
4) Mengubah agar lingkungan lebih aman seperti pencahayaan yang cukup,
lantai yang tidak licin, dan lain-lain)
5) Latihan fisik seperti senam tai chi.
Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium
Intrepretasi hasil Px fisik
- Tekanan darah 190/100 mmHg
Klasifikasi Hipertensi Menurut Joint National Commitee (JNC) VII
Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stadium I 140-159 90-99
Hipertensi Stadium II ≥160 ≥100
Jadi kakek Yoso menderita Hipertensi Stadium II
- Kadar gula darah sewaktu (GDS) 200 mg/dl
Tabel Kriteria kadar gula darah WHO
Golongan KlinikKadar Glukosa Darah (mg/dl)
Darah Vena Darah Kapiler Plasma Vena
Diabetes Melitus
a. Puasa
b. 2 jam setelah makan
>=120
>=180
>=120
>=200
>=140
>=200
Toleransi Gula
Terganggu
a. Puasa
b. 2 jam setelah makan
<120
120-180
<120
120-200
<140
140-200
Menurut American Diabetes Association diagnosis diabetes pada geriatric
ditegakkan bila : kadar gula plasma puasa >=126 mg/dl diambil 2 kali pada
waktu yang berbeda, Gula darah sewaktu >=200 mg/dl, kadar gula plasma
>=200 mg/dl dengan gejala.
- Kadar Hb 10,5 gr%
Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram hemoglobin dalam
100 ml darah, dan tiap gram hemoglobin dapat berikatan maksimal dengan
1,34 ml oksigen yang berarti bahwa rata-rata 15 gram hemoglobin dalam
100 ml darah dapat bergabung dengan hampir 20 ml oksigen bila saturasi
hemoglobin 100 persen. Cut off point kriteria WHO tahun 2000, dinyatakan
anemia bila :
a. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
b. Perempuan dewasa : Hb < 12 g/dl
c. Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl
d. Anak umur 6-11 tahun : Hb < 11,5 g/dl
e. Anak umur 6 bulan-5 tahun : Hb < 11 g/dl
Kadar hemoglobin pada wanita dewasa dapat digolongkan berdasarkan
tiga tingkatan yaitu : normal jika kadar Hb ≥ 12,0 g/dl, anemia ringan jika
kadar Hb 10,0-11,00 g/dl, dan anemia berat jika kadar Hb ≤ 8,0-9,9 g/dl.
Selain kriteria WHO, terdapat juga kriteria klinik anemia yang umumnya
dipakai di Indonesia, yaitu ; Hb < 10 g/dl, Ht < 30%, Eritrosit < 2,8
juta/mm3 .
Jika yang dimaksud dalam skenario adalah 10,5 gr/dl maka Kakek
Yoso bisa dikategorikan Anemia, tapi jika yang dimaksud dalam scenario
adalah 10,5 % atau kadar HbA1c maka hal itu menguatkan diagnosis
Diabetes Melitus yang diderita kakek Yoso. Menurut American Diabetes
Association kadar HbA1c pada orang normal kurang dari 5,8%, prediabetes
5,7% - 6,5%, sedangkan pada penderita diabetes kadarnya lebih dari 6,5%.
Jump IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.
Daya IngatPenyakit kronik (OA , DM, Hipertensi)PenglihatanPendengaanIatrogenik
LingkunganPencahayaan
EkstrinsikIntrinsik
JATUH
Jump V: Merumuskan tujuan pembelajaran
LO (Learning Objection) yang perlu diketahui dan dicari pada pertemuan kedua
adalah
1. Mengetahui tatalaksana, pencegahan, prognosis pada pasien geriatri
2. Mengetahui prinsip polifarmasi
3. Mengetahui mekanisme DM pada Lansia
4. Mengetahui efek samping obat-obat yang dikonsumsi kakek Yoso
Jump VI : Mengumpulkan Informasi Baru (Belajar Mandiri).
Jump VII: Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru
yang Diperoleh.
Tatalaksana secara umum pasien geriatri
Hal yang patut untuk diperhatikan pada pasien geriatri adalah fakta bahwa
pasien tidak memiliki gejala yang khas pada penyakit yang dideritanya. Proses
penuaan menyebabkan degradasi dan penurunan fungsi pada fisik pasien yang
menyebabkan seringnya muncul respon yang berbeda dari tubuh pasien geriatri
yang mengalami sakit dibandingkan pasien dewasa atau dewasa muda.
Selain itu, sering pada pasien geriatri tidak memiliki penyakit yang
spesifik melainkan lebih mengarah kepada suatu sindroma. Untuk itu perlu
penangan yang hati- hati dan kolaboratif dalam tatalaksana kasus geriatri, berikut
ini adalah tatalaksana pasien geriatri secara umum:
1. Temukan penyakit akut
Temukan diagnosis dari keluhan utama yang mendatangkan pasien ke
dokter. Penyakit yang bersifat akut dapat memiliki dua kemungkinan, yaitu
penyakit akut yang berdiri sendiri atau penyakit akut yang berupa komorbid dari
penyakit kronis atau sindroma yang diderita pasien. Penyakit akut yang diderita
pasien bisa jadi memiliki prognosis yang buruk sehingga merupakan prioritas
pertama dalam tatalaksana pasien geriatric.
2. Monitoring penyakit kronis
Selain mengobati dari penyakit akut pasien, lakukan pemantauan dari
sindroma atau penyakit kronis yang diderita pasien. Tatalaksana dari penyakit
akut pada pasien tidak boleh menurunkan kondisi pasien sehingga penyakit kronis
pasien mengalami kekambuhan atau berkembang menjadi lebih buruk. Untuk itu
perlu untuk berfikir secara komprehensif dan kolaboratif dengan berbagai bidang
ilmu dalam penanganan pasien geriatri.
3. Lihat disability
Memperhatikan disabilitas atau keterbatasan pasien akibat medikasi atau
terapi pada saat melakukan penatalaksanaan merupakan hal yang esensial pada
kasus geriatri. Banyak faktor yang berhubungan dengan kondisi kesehatan pada
pasien geriatric, salah satunya adalah hal psikologis. Seringkali terapi yang
menyebabkan peningkatan disabilitas pada pasien seperti post operasi atau
kemoterapi seringkali menyebabkan depresi pada pasien yang menyebabkan
menurunnya derajat kesehatan pada pasien.
4. Setting limit
Menentukan batas fisik dari pasien geriatri akan membantu dalam
peningkatan kesehatan dan kesadaran pasien. Perlunya edukasi yang jelas dan
terperinci pada pasien geriatri dan keluarga akan batasan batasan fisik akibat
proses penuaan ataupun penyakit akan mempengaruhi dan mendukung proses
terapi pasien.
5. Taget perawatan
Perlu adanya terapi yang terencana dengan jelas dalam penatalaksanaan
kasus geriatri, sehingga dapat memaksimalkan fungsi terapi. Terapi ini juga harus
disesuaikan dengan tingkat kemampuan pasien dan keluaga, untuk itu penting
dalam perencanaan terapi pasien dilakukan secara bersama oleh dokter dan
keluarga pasien.
DM
Prevalensi DM pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan
DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri
dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa.
Umumnya pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlah
tersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.
Untuk menentukan diabetes usia lanjut baru timbul pada saat tua,
pendekatan selalu dimulai dari anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti
poliuri, polidipsi atau polifagi. Demikian pula gejala komplikasi seperti neuropati,
retinopati dan sebagainya, umumnya bias dengan perubahan fisik karena proses
menua, oleh karena itu memerlukan konfirasi pemeriksaan fisik, kalau perlu
pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada
usia lanjut kebanyakan tidak ditemukan adanya kelainan-kelainan yang
sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki diabetik, serta tumbuhnya
jamur pada tempat-tempat tertentu.
Kriteria diagnosis DM dapat mengacu pada rekomendasi ADA (American
Diabetes Association) yang tidak menunjukkan adanya pertimbangan spesifik
umur. Diagnosis DM dibuat setelah dua kali pemeriksaan gula darah puasa > 126
mg/dl (dengan sebelumnya puasa paling sedikit 8 jam). Pasien perlu dipastikan
tidak dalam kondisi infeksi aktif atau sakit akut dalam pemeriksaan ini. Atau gula
darah acak > 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes. Pengukuran hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c) tidak direkomendasikan sebagai alat diagnostik, tetapi
dipakai secara luas untuk memantau efektifitas pengobatan.
Penampilan klinis DM pada lanjut usia
Berbagai perubahan karena proses menua dapat mempengaruhi penampilan
klinis DM pada lanjut usia. Gejalanya dapat sangat tidak khas dan menyelinap.
Dikatakan paling sedikit separuh dari populasi lanjut usia tidak tahu bahwa
mereka terkena DM. Keluhan tradisional dari hiperglikemia seperti polidipsi dan
poliuria sering tidak jelas, karena penurunan respon haus dan peningkatan nilai
ambang ginjal untuk pengeluaran glukosa urin. Penurunan berat badan, kelelahan
dan kencing malam hari dianggap hal yang biasa pada lanjut usia, berakibat
tertundanya deteksi adanya DM. Penampilan klinis seperti dehidrasi, konfusio,
inkontinentia dan komplikasi-komplikasi yang berkaitan DM merupakan gejala-
gejala yang tampak.
Komplikasi mikrovaskuler seperti neuropati dapat berupa kesulitan untuk
bangkit dari kursi atau menaiki tangga. Pandangan yang kabur atau diplopia juga
dapat dikeluhkan, akibat mononeuropati yang mengenai syaraf kranialis yang
mengatur okulomotorik.
Proteinuria tanpa adanya infeksi, harus dicari kemungkinan adanya
DM.Infeksi khusus yang sering berkaitan dengan DM, lebih banyak dijumpai
pada lanjut usia antara lain otitis eksterna maligna dan kandidiasis urogenital.
Sebaliknya adanya penyakit-penyakit akut seperti bronkopneumoni, infark
miokard atau stroke dapat meningkatkan kadar glukosa sehingga berakibat
tercapainya kriteria diagnosis DM, pada mereka yang telah ada peningkatan kadar
intoleransi glukosa. Beberapa gejala unik yang dapat terjadi pada penderita lanjut
usia antara lain adalah: neuropati diabetika dengan kaheksia, neuropati diabetic
akut, amiotropi, otitis eksterna maligna, nekrosis papilaris dari ginjal dan
osteoporosis.
Bila terlambat diketahui adanya penyakit diabetes pada lanjut usia, penderita
mungkin sudah dalam keadaan status dekompensasi dari sistem metabolik seperti
hiperglikemi, hiperosmolaritas, sindroma non ketotik atau ketoasidosis diabetik.
Penderita juga dapat dijumpai gejala-helaja hipoglikemi, yang biasanya
disebabkan oleh obat-obat antidiabetik. Penampilan klinis hipoglikemia yang khas
tampak sebagai perubahan status mental dan status neurologi seperti penurunan
fungsi kognitif, konfusio, kjang, diaphoresis dan bradikadi.
Keadaan yang menyertai hiperglikemi seperti hiponatremia
(pseudohiponatremi), kondisi dehidrasi dan hipomagnesia (akibat diuresis
osmotik) dapat juga terjadi. Profil lipid pada umunya menunjukkan peningkatan
trigliserid, penurunan HDL sedangkan LDL kolesterol tidak selalu meningkat
tetapi terisi oleh small dense LDL yang lebih banyak, yang lebih aterogenik.
Patofisiologi DM pada Lanjut Usia
Patofisiologi DM pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya,
namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses
menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh,
menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal
khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres
oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh
karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena aged related
insulin resistance atau aged related insulin inefficiency sebagai hasil dari
preserved insulin action despite age.3
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor
genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang
mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor
genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan,
kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat
muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin
pada jaringan sasaran.
Faktor risiko diabetes melitus akibat proses menua:
Penurunan aktifitas fisik
Peningkatan lemak
Efek penuaan pada kerja insulin
Obat-obatan
Genetik
Penyakit lain yang ada
Efek penuaan pada sel
Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi
perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan
glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebih
tampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan
pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa
hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi
hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan
glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebut
Isolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH).
Polifarmasi pada geriatri
1. Perubahan pada lansia dalam hubungannya dengan obat
Pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ & sistema
tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Terjadi perubahan
dalam hal farmakokinetik, farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah
perilaku obat dalam tubuh.
2. Farmakokinetik
Tabel 1. Perubahan farmakokinetik obat akibat proses menua
Parameter Perubahan akibat proses menua
Absorbsi Penurunan: permukaan absorbsi, sirkulasi darah
splanchnic, motilitas gastrointestinal.
Peningkatan pH lambung.
Distribusi Penurunan: curah jantung, cairan badan total, massa
otot badan, serum albumin.
Peningkatan lemak badan.
Peningkatan alfa-1 asam glikoprotein.
Perubahan pengikatan terhadap protein.
Metabolisme Penurunan: aliran darah hepar, massa hepar, aktivitas
enzim, penginduksian enzim.
Ekskresi Penurunan: aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus,
sekresi tubuler.
Sensitifitas jaringan Perubahan pada jumlah reseptor, afinitas reseptor,
fungsi pembawa kedua, respon seluler dan nuklear.
Poin-poin yang harus diingat:
a. Dengan pemberian dosis yang lazim Kadar Obat Plasma (KOP) akan
lebih tinggi karena sistem eliminasi obat dalam hepar dan ginjal akan
menurun.
b. Dengan KOP yang sama dapat terjadi Fraksi Obat Bebas (FOB) lebih
tinggi dari yang lazim karena kadar albumin pada lansia telah menurun
terlebih-lebih waktu sakit atau karena pengangsuran tempat (silent
reseptor) dari ikatan albumin oleh obat lain (polifarmasi).
3. Farmakodinamik
Adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan reaksi
biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Di dalam sel
terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon seluler. Respon seluler pada
lansia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada
mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis dan penurunan
tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti pada
farmakokinetik.
4. Efek Samping Obat (ESO)
Kejadian pada lansia meningkat 2-3 kali lipat. Problem ini paling banyak
menimpa sistem gastrointestinal dan sistem haemopoetik. Penelitian atau
pengukuran fungsi hepar, ginjal, kadar obat dalam plasma darah terlebih-lebih
dalam terapi polifarmasi sangat membantu dalam mengendalikan atau
menurunkan angka kejadian ESO.
5. Perubahan fisiologik dalam komposisi tubuh
a. Berat badan total: akan menurun pada usia lanjut akibat penurunan
jumlah cairan intraseluler sesuai dengan meningkatnya usia. Keadaaan
ini akan berakibat menurunnya distribusi obat yang sebagian terikat air
(misalnya litium).
b. Penurunan massa otot: yang secara umum terdapat pada usia lanjut akan
menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat otot akan
menurun, misalnya digoksin (konsentrasi obat bebas meningkat).
c. Peningkatan kadar lemak tubuh: akan mengakibatkan peningkatan kadar
obat yang larut lemak (misalnya diazepam), terutama pada wanita
lansia.
d. Penurunan kadar albumin: terutama pada penderita lansia yang sakit,
menyebabkan penurunan ikatan obat dengan protein, dan meningkatnya
proporsi obat bebas di sirkulasi (antara lain salisilat, tiroksin, warfarin
dan obat AINS)
e. Kekambuhan penyakit yang sebelumnya laten: beberapa obat dapat
membuat kambuh berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terlihat
misalnya:
1) Menurunnya stabilitas postural yang meningkatkan kemungkinan
jatuh, antara lain akibat obat hipertensi, diuretika, hipnotika, sedativa
dan vasodilator.
2) Konstipasi: antidepresan, antikolinergik, garam besi.
3) Hipotermia: fenotiasin, hipnotika, sedativa, dan antidepresan.
6. Rasionalisasi obat pada usia lanjut
a. Rejimen pengobatan: 1) periode pengobatan jangan dibuat terlalu
lama; 2) jumlah/jenis obat harus dibuat seminimal mungkin; 3) obat
harus diberikan atas diagnosis pasti; 4) harus diketahui dengan jelas
efek obat, mekanisme kerja, dosis dan efek samping yang mungkin
timbul; 5) apabila diperlukan pemberian polifarmasi, prioritaskan
pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi gangguan
fungsional; 6) pemberian obat harus dimulai dari dosis kecil,
kemudian dititrasi setelah berapa hari (kecuali anti-infeksi harus dosis
optimal; 7) frekuensi pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin,
kalau mungkin sekali sehari.
b. Pengurangan dosis: dosis awal obat adalah kira-kira lebih sedikit dari
separuh dosis yang diberikan pada usia muda.
c. Peninjauan ulang: perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan ulang
atau bila terjadi episode penyakit akut.
d. Kepatuhan penderita: harus diupayakan penjelasan pada penderita,
pemilihan preparat dan wadah obat yang tepat, diberi label, bantuan
mengingat, dan pengawasan minum obat oleh keluarga dan lain-lain.
Setiap efek samping hendaknya harus diminta untuk dilaporkan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari diskusi tutorial ini dapat disimpulkan bahwa pasien datang dengan
SARAN
Pada diskusi tutorial kali ini sudah berjalan dengan sangat baik dengan
target seluruh learning objective yang sudah tercapai dan proses diskusi yang
terorganisir. Untuk selanjutnya dapat terus dijalankan tahap diskusi ini secara
lebih konsisten, dan lebih meningkatkan sisi brain storming dari diskusi tutorial
selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Amalia. 2008. Osteoarthritis. http://fkui.org/tikidownload/wiki/attachment.php. (25 maret 2015).
Anonim. 2010. Glurenorm.
http://www.epgonline.org/viewdrug.cfm/drugId/DR001342/language/LG0001/drugName/GLURENORm (17 Maret 2011)
Boedhi B. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 4th ed. Jakarta: FK UI, pp: 4-9, 67-74.
Cicaherlina. 2006. Arthritis. www.kalbefarma.com/files/cdk/files/04penyakitpenyakit artritis023.pdf/04penyakitpenyakit023.html. (26 Maret 2015).
Hidayat AL. 2011. Penggunaan Anti Inflamasi Non Steroid untuk Rematik. http://multiline-jatimbali.blogspot.com/2009/12/penggunaan-anti-inflamasi-non-steroid.html (29 Maret 2015).
Martono H, Pranaka K, Rahayu RA, Joni B, Huda IS, Murti Y. 2007. Diabetes melitus pada lanjut usia. Dalam : Darmono, Suhartono T, dkk (editor). Naskah lengkap diabetes melitus. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, pp: 301-16.
Muchid A, et al. 2006. Pharmacheutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI.
Nugroho W. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta: EGC.
Rochmah W. 2006. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp: 1937-9
Setiati S, Harimurti K, Rossheroe AG. 2007. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam: Aru W.S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Setiati S, Laksmi PW. 2007. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. . Edisi IV jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Smeltzer S. 2001. Hipertensi pada Lansia. Dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Soeroso J, et al. 2007.Osteoarthritis. Dalam: Aru W.S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Suhardjono. 2006. Hipertensi Pada Usia Lanjut. In: Aru W.S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Wahjudi N. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. 3th ed. Jakarta: EGC, pp: 12-15.
Wall JC, Bell C, Camphbell S, Davis J. 2000. The Timed get-up-and-go tes revisited: Measurement of the Component tasks. Journal of Rehabilitation Research and Development 37 (1):109-114.