Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis...
Transcript of Kontrak Standard dan Kekuatan Tanggungjawab Yuridis...
Volume 8, No.1, Nop 2008 i
Kontrak Standard dan Kekuatan
Hukumnya;
Perubahan Status Hak Atas Tanah
berdasarkan UUPA;
Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan
Perkara Pidana;
Perlindungan Debitor atas Perjanjian
yang telah disetujui dan Upaya
Hukumnya;
Keabsahan Pengadilan Pajak;
Akibat Hukum Terhadap Penagihan
Pajak.
Volume 8, No.1 Nop 2008 ISSN 1412-2928
Volume 2, No.1 Nop 2002 ISSN 1412-2928
Volume 8, No.1, Nop 2008 ii
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura
Pimpinan Redaksi
Muhammad, S.H.,MH.
Wakil Pimpinan Redaksi
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
M.Amin Rachman, S.H., MH.
Sekretaris Redaksi
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Konsultan Redaksi
Drs. H. Kutwa, M.Pd.
Drs. H. Abd. Roziq, MH.
H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.
Redaksi Pelaksana
Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.
Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.
Win Yuliwardani, S.H.,M.Hum.
Adrianana Pakendek, S.H., MH.
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
Pembantu Umum
Wasilaning Rahayu
Toyyib Muniri
Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan
E-mail: [email protected]
Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan
pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
Volume 8, No.1, Nop 2008 iii
EDITORIAL
Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan
Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit
pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor dan tulisan tersebut
mempertanyakan masalah kontrak baku yang terlanjur ditandangani oleh nasabah
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, maka semua tanah mempunyai
fungsi sosial. Untuk itu, terhadap semua tanah dapat dihapuskan statusnya dari hak
milik menjadi tanah tanah negara atau tanah dengan hak lainnya. Bagaimana tentang
pemberian tegen prestatienya lebih lanjut akan dibahas dalam tulisan kedua.
Penyidik ataupun Penuntut Umum bahkan hakim mempunyai kewenangan
untuk melakukan penyitaan atas sesuatu benda yang berhubungan dengan suatu tindak
pidana. Namun tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan secara serampangan,
melainkan dibatasi. Tentang pembatasan terhadap penyitaan benda dikemukakan dalam
tulisan ke tiga.
Perjanjian kredit antara nasabah dengan perbankan tidak lain adalah suatu kontak atau perjanjian yang telah siap ditanda-tangani. Sehingga format kontrak
tersebut adalah baku atau kontrak baku. Bilamana terlanjur disetujui dan di kemudian
hari merugian salah satu pihak, maka pembahasannya ditengahkan pada tulisan yang ke
empat.
Adapun tulisan yang ke lima adalah mengenai keberadaan pengadilan pajak,
yang menurut Mahkamah Agung lembaga peradilan tersebut inkonstitusional. Sehingga
segala akibat hukum yang dilahirkan oleh lembaga peradilan itu adalah illegal. Namun
nyatanya hingga saat ini lembaga peradilan tersebut masih ada dan melakukan
aktifitasnya sebagai lembaga peradilan.
Tulisan ke enam pajak tiada lain adalah mengambil hak rakyat, oleh karena itu
maka setiap pungutan pajak harus dilaksanakan secara hati-hati. Namun terhadap wajib pajak berdasarkan ketentuan kena pajak, maka wajib pajak harus membayar pajak.
Berbeda halnya jika wajib pajak dikenakan pajak sebagaimana mestinya, maka wajib
pajak dapat mengajukan upaya hukum. Hal ini akan dibahas dalam tulisan utama.
Editor
Volume 8, No.1, Nop 2008 iv
DAFTAR ISI
EDITORIAL …………………………………………………… ii
1. H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.
Kontrak Standard Dalam Perjanjian Sewabeli Rumah dan Kekuatan
Hukumnya ........................................................................................................ 1
2. Sukirman, S.H.,M.Hum.
Perubahan Status Hak atas Tanah dari Hak Milik menjadi Hak lainnya
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 ………………………. 31
3. Nur Hidayat, S.H., M.Hum.
Tanggungjawab Yuridis Benda Sitaan Dalam Perkara Pidana ................... 53
4. H. Firman Syah, S.H.,M.Hum.
Perlindungan Hukum Debitor dalam Perjanjian yang Disetujui dan
Upaya Hukumnya …………………………………………………………. 91
5. M.Amin Rachman, S.H.,MH.
Keabsahan Pengadilan Pajak dan Perlindungan HAM dalam
Hukum Pajak ………………………………………………………………. 121
6. Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
Akibat Hukum Terhadap Penagihan Pajak ……………………………… 160
Volume 8, No.1, Nop 2008 v
KONTRAK STANDARD DALAM PERJANJIAN
SEWA BELI RUMAH DAN AKIBAT HUKUMNYA
Oleh:
H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Perjanjian sewa beli atau huurkoop yang merupakan ciptaan praktik
dan bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW
(Burgerlijke Wetboek) masih diakui sebagai praktik hukum. Hal ini
dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang perikatan atau van
verbintennis adalah bersifat aan vullenrecht. Sifat aan vullenrecht
dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap
orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-
undang tidak mengaturnya.
Kata Kunci: Kontrak Baku – Perjanjian Sewa Beli – Akibat
Hukumnya.
LATAR BELAKANG
Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan
Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit
pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek
jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut.
Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa
beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit.
Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang
diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian
bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum
dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang
dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa
barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru
jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelaian barang,
status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang.1
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII, Sumur
Bandung, Jakarta, 1981, h.65
Volume 8, No.1, Nop 2008 vi
Perjanjian sewa beli atau huurkoop2 yang merupakan ciptaan praktik dan
bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih
diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang
perikatan atau van verbintennis3 adalah bersifat aan vullenrecht.4 Sifat aan vullenrecht
dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh
mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya. Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW,
kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan
freedom of making contract.5
Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan
pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der
contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata
“perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan
membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan
“ketertiban dan kesusilaan umum”.6
Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk
Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan (verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.
Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya,
misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian
yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu,
misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab
sebagainya.
Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian,
sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak
sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan
perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum
perjanjian” dan “hukum kontrak”.
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam
mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak
lain.”7 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan
2Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985,
h.51 3Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11
4Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84
5Ibid. 6Subekti. RI., Op.cit. h.5
7Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian
elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55
Volume 8, No.1, Nop 2008 vii
hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban
memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.
Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang
menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam
buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”8
Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.9
Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam
praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai
pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian,
dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah
Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru
akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada
penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas.
Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha,
umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui
bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak
menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat
yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga
menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian
ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat
perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan.
Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan
pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak
normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan
kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan,
antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat
perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula.
Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha
8Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa,
Jakarta, 1985, h.123. 9Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta,
1979, h.1.
Volume 8, No.1, Nop 2008 viii
memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan
yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi
pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung
jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.
RUMUSAN MASALAH
Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode
yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai
tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen
justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada
suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam
ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi
yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan
perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha,
melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan dengan rumusan kalimat, sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan perjanjian sewa beli dalam penjualan perumahan di
Perumnas?
2. Bagaimanakah kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian sewa beli
Perumnas?
PERJANJIAN SEWA BELI DALAM PENJUALAN PERUMAHAN
1. Karakteristik Perjanjian Sewa Beli
Masalah sewa beli serta jual beli secara angsuran akhir-akhir ini menjadi
masalah yang aktual. Hal ini membuktikan bahwa pesatnya perkembangan
perekonomian di negara kita khususnya pada dasa warsa delapan puluhan membawa
dampaknya bagi hukum dan peradilan. Di satu pihak pesatnya perkembangan ekonomi
mendorong laju peningkatan penggunaan barang-barang pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari. Di lain pihak ia menimbulkan masalah-masalah hukum yang harus
dipecahkan.
Hukum Perdata terutama kita, sebagaimana tercantum dalam BW sebenarnya
tidak memuat pengaturan tentang lembaga sewa beli. Lembaga itu tumbuh dan
berkembang dalam praktik, eksistensinya kemudian diakui oleh yurisprudensi. Masalah
hukum terpenting dalam lembaga sewa beli adalah masalah tentang siapa yang memikul
risiko atas barang yang di-sewa beli-kan dalam hal ada sesuatu yang menimpa barang tersebut. Karena lembaga sewa beli adalah suatu perjanjian yang timbul dalam praktik
Volume 8, No.1, Nop 2008 ix
sehingga tidak ada peraturan tertulisnya, sehingga pengaturan tentang pembebanan
risikonyapun tidak ada peraturan tertulisnya.
Dari segi hukum, sebenarnya terdapat perbedaan prinsipil antara sewa beli
dengan jual beli secara angsuran, walaupun kedua-duanya merupakan species dari jual
beli. Inti perbedaan itu terletak pada berpindahnya hak milik atas benda yang diperjual-
belikan. Pada jual beli secara angsuran, dari kaca mata hukum sebenarnya hak milik atas benda yang diperjual-belikan telah berpindah ke tangan pembeli, walaupun
harganya belum terbayar lunas seluruhnya. Sedangkan dalam sewa beli perpindahan hak
milik baru terjadi setelah dilunasinya pembayaran. Dalam praktik sehari-hari kedua
lembaga ini sering dicampur-adukkan. Bahkan dalam kenyataannya jual beli dengan
angsuran yang penyerahan hak miliknya terjadi pada saat penyerahan barang, sementara
harganya dibayar dengan angsuran, tidak banyak ditemukan dalam praktik. Mengingat
bentuk formal dari perjanjian tersebut dikemas menjadi berbentuk perjanjian sewa beli,
namun dalam pelaksanaannya ternyata berbentuk perjanjian jual beli secara angsuran.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa perjanjian sewa beli tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan interaksi sosial. Sehingga masalah
perjanjian sewa beli tidak diatur dalam BW, termasuk tentang beban risiko yang
timbul terhadap para pihak, baik debitor maupun kreditor.
Perjanjian sewa beli bermula dari ketidakmampuan seseorang untuk membeli
barang dengan uang kontan sebagai pembelian atas barang yang dibelinya, akhirnya
mulai dikembangkan pembayaran harga barang secara angsuran. Dalam hal ini
pembayaran harga barang dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit misalnya
setiap bulan dibayar sebesar sekian prosentase dari jumlah harga pembelian.
Dalam hubungan hukum di atas, antara penjual dengan pembeli terdapat
hubungan yang saling menguntungkan, dalam ilmu biologi dikenal dengan sebutan simbiosis mutulisme. Di satu pihak yaitu pembelian membutuhkan sesuatu barang tetapi
ia tidak dapat membayar kontan, sedang di pihak lainnya yaitu penjual menghendaki
barang yang ia jual laku.
Dalam perjanjian di atas, terdapat risiko yang akan timbul terhadap hilangnya
barang atau harga barang tidak dibayar cicilannya. Lebih-lebih jika barang tersebut telah
dijual kepada pihak ketiga, dengan akibat hukum penjual akan menderita kerugian.
Artinya barang yang sebelum harganya dibayar tunai oleh pembeli, barangnya telah
dialihkan kepada pihak lain. Pada posisi ini pihak penjual sangat dirugikan, karena
barang tidak dapat dikembalikan oleh pembeli padanya, sedangkan pihak pembelian
tidak juga melunasi sisa harga cicilan tersebut.
Volume 8, No.1, Nop 2008 x
Untuk menolong penjual, dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang
dinamakan sewa beli atau huurkoop10 yaitu perjanjian yang dinamakan sewa menyewa
barang, dengan akibat bahwa penerima barang tidak menjadi pemilik melainkan
pemakai belaka. Kecuali pemakai melunasi seluruh uang sewa yang jumlahnya sama
dengan harga pembelian, maka penyewa atau pemakai beralih menjadi pembeli yaitu
barang tersebut menjadi milik penyewa. Dengan menerapkan praktik jual beli barang dalam bentuk perjanjian sewa
beli, maka kedudukan kreditor atau penjual menjadi sangat terlindungi. Hal ini
mengingat risiko atas hilangnya barang atau dijualnya kembali barang pada pihak
ketiga, menjadi tanggung jawab seluruhnya pihak penyewa atau debitor. Artinya,
manakala pihak debitor dengan dalih barangnya telah habis terjual atau hilang dan ia
tidak berkehendak untuk membayar sisa angsurannya, maka pihak debitor dapat
diancam sebagai pelaku tindak pidana penggelapan sebagaimana diancam dengan
pidana dengan pasal 372 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).11
Rasio penerapan pasal 372 KUHP tersebut, mendasarkan pada status
kepemilikan barang sewa beli yang masih belum dimiliki oleh pihak debitor atau
penyewa, di mana barang sewa beli akan menjadi milik debitor atau penyewa bilamana
seluruh angsurannya telah dibayar lunas. Dengan demikian, bilamana pihak debitor atau penyewa menjual atau mengalihkan barang yang notabene bukan miliknya, maka ia
akan terkena jerat pasal penggelapan dalam KUHP.
Berbeda halnya, jika setelah terjadi kesepakatan dalam perjanjian sewa beli
tanda bukti kepemilikan barangnya atas nama pembeli, walaupun pembayaran harga
pembelian dilakukan secara angsuran. Hubungan hukum perjanjian demikian adalah
berbentuk perjanjian jual beli dengan angsuran dan bukan sewa beli.
Dalam perjanjian jual beli dengan angsuran, pihak pembeli adalah pemilik
barang walaupun harganya belum dibayar lunas. Secara hukum pihak pembeli dalam
perjanjian jual beli secara angsuran adalah pemilik atas barang yang dibeli secara
angsuran. Sehingga apabila pihak pembeli barang secara angsuran, menjual barang yang
dibelinya sebelum seluruh angsurannya dibayar lunas, ia tidak dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana penggelapan. Hal ini dikarenakan barang yang telah ia jual itu
adalah memang benar-benar miliknya, ia bukanlah penyewa.
Untuk jelasnya, berikut penulis kutipkan syarat agar seseorang dapat dituntut
berdasarkan pasal 372 KUHP, yaitu:
Kejahatan ini dinamakan “penggelapan biasa”. Penggelapan adalah kejahatan yang
hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362 KUHP, hanya bedanya jika dalam
pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada di tangannya si pelaku,
sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah
10
Subekti R.I., Op.Cip., h.51 11
Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap
Pasal demi Pasal, Cet. Ulang, Politeia, Bogor, 1996, h.258
Volume 8, No.1, Nop 2008 xi
berada di tangannya pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau sudah dipercayakan
kepadanya.12
Dalam perjanjian sewa beli, barang yang menjadi obyek perjanjian sewa beli
adalah dalam status disewa oleh debitor. Artinya debitor bukan pemilik dari barang
yang disewa beli itu, hal ini dapat dibuktikan dari surat tanda bukti kepemilikan atas
barang tersebut. Barang yang disewa tersebut tidak dapat dijual atau dialihkan pada pihak ketiga oleh penyewa, karena barang dimaksud belum menjadi miliknya. Sehingga
bilamana barang obyek perjanjian sewa beli itu dialihkan, maka penyewa akan dapat
dituntut sebagai pelaku tindak pidana penggelapan.
Perjanjian sewa beli adalah merupakan ciptaan praktik jual beli, sehingga tidak
diatur dalam BW. Kendati demikian perjanjian sewa beli diakui dan dibenarkan dalam
praktik perjanjian, mengingat perjanjian sewa beli tersebut disepakati oleh mereka yang
membuatnya, karenanya telah memenuhi azas konsensual.13
Azas konsensualisme yang terdapat di dalam pasal 1320 BW mengandung arti
kemauan para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan
diri. Kemauan tersebut membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dapat
dipenuhi. Azas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan azas
kebebasan berkontrak dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam pasal 1338 ayat 1 BW.
Pasal 1338 ayat 1 BW menentukan bahwa “semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Kata “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal
maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Azas kebebasan berkontrak
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa
perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan pasal 1320 BW ini
mempunyai kekuatan mengikat.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam
Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak azasi manusia. Sebagaimana hal ini telah dijamin dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia setiap orang bebas untuk
memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam Hukum Perjanjian, falsafah ini
diwujudkan dalam kebebasan berkontrak yang tidak dapat diintervensi oleh
pemerintah.14 Faham ini memberikan peluang luas kepada golongan kuat untuk
menguasai golongan lemah. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang
lembah. Pihak yang lemah berada dalam penguasaan pihak yang kuat.
12
Sugandi R., KUHPdan Penjelasannya, Cet.-, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, h.390 13
Suryodiningrat R.M., Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Cet.II, Tarsito, Bandung, 1991,
h.8 14
Mariam Darus Badrulzaman dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, h.84
Volume 8, No.1, Nop 2008 xii
Faham di atas dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan. Masyarakat ingin
pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, kehendak
bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan
kepentingan umum.
Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan
tetapi perlu diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum untuk menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan
Hukum Perjanjian oleh pemerintah terjadi penggeseran Hukum Perjanjian ke bidang
Hukum Publik.
Sejak tahun 1980-an risiko dan beban pertanggung jawaban telah ditetapkan
dalam suatu yurisprudensi. Kendati praktik pelaksanaan perjanjian sewa beli tidak
diatur secara tegas dalam suatu undang-undang, tetapi tentang risiko dan pihak yang
harus dibebani risiko yang timbul dalam perjanjian sewa beli telah diatur dan ditentukan
dalam suatu yurisprudensi.15
2. Proses Penjualan Perumahan pada Perumnas Barisan Sampang
Proses penjualan perumahanan di Perumnas Barisan Sampang akan dikaji dari
kontrak perjanjiannya yaitu perjanjian kredit pemilikan rumah antara Bank
Tabungan Negara dengan pihak debitor. Di mana dalam perjanjian tersebut pada
bagian awal disebutkan tentang identitas para pihak yang membuat perjanjian,
jumlah pinjaman, bunga, pembayaran kembali kredit dan jangka waktu kredit,
tanggal jatuh waktu pembayaran angsuran bulanan dan denda tunggakan, provisi
bank dan biaya lainnya, agunan kredit, penggunaan pinjaman dan kuasa, serta
ditutup dengan pasal lain-lain.
Dengan memperhatikan pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian kredit
pemilihan rumah tersebut, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah
perjanjian sewa beli, melainkan perjanjian kredit yang dalam BW adalah salah satu dari
bentuk perjanjian pinjam meminjam.16 Artinya pidak debitor meminjam uang pada
pihak bank yaitu Bank Tabungan Negara sejumlah harga tunai pembelian rumah, atas
15
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Perkembangan Putusan Perkara Beli Sewa dalam
Yurisprudensi, Cet.-, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1989, h.iii 16
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, h.240
Volume 8, No.1, Nop 2008 xiii
hasil pinjaman uang tersebut kemudian debitor membayar harga rumah yang dibelinya
secara tunai. Adapun pihak debitor kepada Bank Tabungan Negara melakukan
pembayaran terhadap pinjaman uangnya secara angsuran.
Dalam perjanjian di atas, pihak debitor telah berkedudukan sebagai pemilik
atas rumah tersebut. Karenanya, apabila debitor tersebut jika suatu ketika menjual
rumah dimaksud pada pihak ketiga, ia tidak dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penggelapan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 372 KUHP.
Bukti konkrit dari perjanjian kredit pemilikan rumah di lingkungan Perumnas
adalah bukan perjanjian sewa beli, dapat kita lihat dari judul perjanjiannya yang
bernama “Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah antara Bank Tabungan Negara dan
Debitor”. Di samping itu adanya jaminan kredit dari perjanjian tersebut yang berupa
tanah berikut bangunan rumahnya adalah menunjukkan bahwa perjanjian tersebut
benar-benar bukan sewa beli. Praktik perjanjian sama halnya dengan perjanjian kredit
antara perbankan dengan nasabah.
Dengan dicantumkannya nama pemilik bangunan dan tanah dalam surat bukti
kepemilikan, menunjukkan bahwa debitor adalah pemilik atas bangunan dan tanah
tersebut. Secara hukum ia berhak menjual barang yang atas namanya dimaksud,
walaupun surat tanda bukti kepemilikannya berada pada pihak bank. Namun ketentuan dalam azas yang diberlakukan di tiap-tiap perjanjian adalah azas kebebasan berkontrak,
maka bisa saja penjual dan pembeli membuat kesepakatan bahwa jual beli tetap terjadi
dengan ketentuan penyerahan surat tanda bukti kepemilikannya dilakukan setelah pihak
penjual atau debitor melunasi angsurannya di Bank Tabungan Negara.
KONTRAK STANDARD DALAM SEWA BELI PERUMAHAN
1. Kekuatan Hukum Kontrak Standard Sewa Beli Perumahan
Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran
hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia).
Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang
bersifat imperatif dari pemahaman prinsip “men are created free and equal”17, hal ini
17
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Cet.VIII, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1979, h.21
Volume 8, No.1, Nop 2008 xiv
harus selalu menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak,
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu
melahirkan konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada
dua kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu
pemenuhan prestasi.
Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak
yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan
menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan
saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah
akta.
Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang
terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus
secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah
ditentukan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak terlebih dahulu menyepakati isi
kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu
adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak,
dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang
diperbolehkan.
Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak
yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas
dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh
undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum.
Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan
untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini
dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai
syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah
merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah
merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak.
Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para
pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum,
maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat
mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur
terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan.
Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak dipenuhi,
maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif
sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut batal demi
hukum (nietig).18
18
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari
Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xv
Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam
kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan
mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai
persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam
suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam
suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk
menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak
mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak
menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati
demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak
mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu,
yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa
upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW.
Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran
yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.19 Artinya, tidak ada suatu
kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh
pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok yang menentukan lahirnya perjanjian.
Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah
merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai
rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima
oleh pihak lainnya dalam kontrak.
Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat
ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu
tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus
ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki.
Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa
adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan
bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut.
Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih
jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak
yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan
pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si
berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak.
Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh
kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan
19
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian buku I, Cet.II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, h.165.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xvi
sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya.20 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan
debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh
pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan
terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur.
Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam
sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah
bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah
tangan.
Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Artinya dengan akta tersebut
para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur
dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi
kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan
penandatanganan para pihak.
a. Akta Otentik.
Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di
tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus
berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang
untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk
membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus
disimpan oleh Notaris, tanggalnya ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan
salinannya, grossenya dan kutipannya.21
Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta
kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus
oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini
dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masing-masing pejabat umum yang berwenang.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik
telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang
dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta
otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku
bagi tiap orang atau pihak ketiga..
Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang
menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun
20
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,
Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3 21
Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia ,
Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xvii
kepalsuan intelektual.22 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan
dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan
intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar
dalam akta itu.
Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda
tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi
juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian
formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan
tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap
sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun
kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana
dimuat dalam pasal 1870 BW.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik memberikan bukti
yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, di antara para pihak yang
bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu.
Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan
berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang
mendapat hak dari mereka.
b. Akta dibawah tangan.
Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu
bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan
adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari
seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang
dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum pembuat akta. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di
bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika
terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan
dalam pasal 1869 BW.
Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan
tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg.
(Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal
305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880.
Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan
utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan
22
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta,
1983, h.196.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xviii
sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis
dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari
kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri
kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian
permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW
yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam
pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan
ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau
dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya
peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di
bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan
mendasar tentang:
a. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan
pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam
undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan
tidak demikian; b. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir
sesuai azas acta publica probant seseipsa23, sedangkan kontrak yang dibuat
dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.
c. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara
hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian.
Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur
sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract),
sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1
tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya. Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung
unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari
kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Bagian dari kontrak yang esensial
Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak
tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada.
Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.
23
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000,
h.111.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xix
b. Bagian dari kontrak yang natural
Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak
yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya
aturan yang bersifat mengatur saja.
c. Bagian dari kontrak yang aksidental Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama
sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk
mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of
contract).24
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda
tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang
perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab
V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan
sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang
terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.
Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja
sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk
isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan
terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang
yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu
kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya
kontrak sewa beli.
Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal
bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi
tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian
campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai
pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya
dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal
yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat
tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di
samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik.
24
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, 28.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xx
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-
pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang
melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-
undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa
melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam
undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara
perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-
undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar
perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian
dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237
ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan
pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3
(tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan
paksaan (dwang).
Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak
bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau
dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar
kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati
demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan
permohonan ke pengadilan.
Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan
secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan
suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan
kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam
jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya
pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah
diperjalanan dan sebagainya.
Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan
pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila
dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.25
Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam
membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut
25
Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxi
dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW
penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325,
1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku
pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret
1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena
perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu
sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan
dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang
purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas,
pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai
unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur.26 Namun
untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan
dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog
serta misbruik van omtandigheden.
a. Dwang (Paksaan)
Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas,
karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang
diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan
terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang
yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang
tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan
hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai
kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW).
Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian
jika paksaan itu dilakukan terhadap:
a. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW);
b. Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis
ke atas atau ke bawah.
Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan
oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
26
Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omtandigheden) sebagai Alasan
(Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda), Cet.I, Liberty,
Yogyakarta, 2001., h.58.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxii
pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian
dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya
seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini
tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang
dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.
Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik
secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau
apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk
dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undang-
undang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah
berhenti (pasal 1454 BW).
b. Dwaling (Kehilafan).
Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare
dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat
diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat
dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.27 Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan
dalam dua hal, yaitu:
1. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi
ternyata bukan;
2. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang
dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan
persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi
bukan.28
Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu
terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain
kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi
khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi
merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem
self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan
colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang
terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.29
27
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.30 . 28
Setiawan. R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999., h.60 29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.118
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxiii
c. Bedrog (Penipuan)
Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak
sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat
perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut. Kontrak yang
dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan pengadilan seperti halnya
kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak yang dibuat karena
paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa, sedangkan persetujuan yang
dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau karena sesat tidak mengetahui
bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan perbedaan antara kontrak yang
dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat pihak yang sesat sendiri yang
mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun dalam hal tipu kemauan pihak
yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah.
Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk
menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan
yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat
demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya.
Kontrak standard yang digunakan dalam perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, pada dasarnya dilarang bilamana pencantuman klausula bakunya diletakkan
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti tidak dapat dibenarkan dan secara hukum dapat
dinyatakan batal demi hukum pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998
tentang Perlindungan Konsumen.
2. Akibat Hukum terhadap Perjanjian Sewa Beli
Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak
kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa
dalam kontrak.30 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan
yang bersumber pada kebebasan berkontrak.
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh
dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke
waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke
dalam bahsa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga
harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di
30
Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxiv
bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum”
yang dipergunakan dalam suatu kontrak.
Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh
menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi
yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya
diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian
terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu.
Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan
kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan,
maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu
menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara
sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja.
Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang
dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam
kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak
haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar
mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum. Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya
mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau
perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.31
Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian standard
ini adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi
pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu
organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak
untuk diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena
ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas
mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan
perjanjian standard ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.
Pitlo mengemukakan perjanjian standard ini adalah suatu dwangkontract,
karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak
yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat
lain.Terhadap perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian
standard akan melahirkan legio particuliere wetgevers.32
Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal
1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan
perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.33
31
Ibidt., h.134 32Ibid, h.135. 33
Subekti R.III, Op.cit., h.14-15.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxv
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian standard bertentangan, baik
dengan azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun
kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan
menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan.
Kontrak standard biasanya merupakan perjanjian standard di mana kontrak-
kontrak itu telah dipersiapkan secara standard dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya
nilai transaksi, junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga,
dengan kontrak standard ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak
membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang
akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak.
Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit
telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan
data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara
baku.34
Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya
sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan
berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya
menurut pasal 1320 BW.
Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila
dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para
pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang
dikehendaki masing-masing.35
Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan
perjanjian standard seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian
standard dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank.
Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna
memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit
adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit
dari calon debitur.36
Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur
dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan
mencantumkan syarat-syarat antara lain:
34
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 35
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62. 36
Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999,
h.80.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxvi
a. Maksimum/limit fasilitas kredit.
b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit.
c. Bentuk pinjaman.
d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas.
e. Suku bunga.
f. Bea meterai kredit yang harus dibayar. g. Provisi kredit commitment fee management fee.
h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan
menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan
likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap
jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang
bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan
cara pengikatannya.
i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan.
j. Sanksi-sanksi seperti:
denda terlambat pembayaran bunga
denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan
denda atas overdraft
sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian
kredit.
k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan
pribadi/borgtocht dan lain-lain).
l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan
fasilitas kredit.
m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.37
Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat
jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai
peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga
tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa
terjepit atau kepepet.
Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan
banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan
dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya.
Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang
dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar
pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan
37Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxvii
kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut
syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW.
Kontrak standard atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit
segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu
sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum
debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Bentuk baku dari kontrak standard telah ditentukan secara pasti tentang jangka
waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek
jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara
sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun
kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk
melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of
contract, melainkan prinsip take it or leave it.
Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak
biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa
memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai
kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya. Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki
kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang
disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguh-
sungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima
juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya
menerima tanpa perundingan lagi.
Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam
kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang
meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapkali menggunakan kedudukannya itu untuk
membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri
berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung
jawab perusahaan pemberi kredit .
Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam
kontrak standard memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak
lain dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).38 Bentuk paksaan
demikian, termasuk paksaan yang melawan hukum.
Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu
perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan
kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain,
maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya.
38
Munir Fuady II, Op.Cit., h.42.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxviii
Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari
ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak
itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap
debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah
dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak.
Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kredit adalah adanya hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa
persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses
pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau
terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan.
Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan
pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan
dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha
untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung
hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan
kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan
klausula-klausula yang mematikan. Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian
rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para
pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata
masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat
berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu.
Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat
keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada
pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak,
menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada
kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas
kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak.
Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam
berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan
untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama
dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling
menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang
harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak.
Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu
menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga
dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win solution.
Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah berbicara
keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam berkontrak.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxix
Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman
kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju,
demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka
konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis
itu.
Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat. Apabila pada kontrak yang dibuat itu
diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka
kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil.
Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang
memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan
kontrak standard tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak standard
tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur
dan harus diikuti oleh debitur. Kontrak standard ini hanya melahirkan dua pilihan bagi
debitur yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan
tawar menawar.
Bentuk kontrak standard di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat
dimintakan pembatalannya.
Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam
kontrak tersebut terdapat:
a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan
darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak
berpengalaman;
b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)
disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui
bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup
suatu perjanjian;
c. penyalahgunaan (misbruik)
salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui
atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d. hubungan kausal (causaal verband)
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxx
Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian
itu tidak akan ditutup.39
Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah
kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan
dalam pasal 1321 BW yang berupa:
a. kesesatan (dwaling);
b. paksaan (dwang);
c. penipuan (bedrog).
Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu
kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri.
Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada
terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau
maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang
disalahgunakan menjadi tidak bebas.
Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a) penyalahgunaan
keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari: (a)
adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan
kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.40
Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung
penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai
keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan
perjanjian.
Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung penyalahgunaan
kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti
39
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41 40Ibid., h.44
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxi
hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter
pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan
keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak
berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.41
Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu
kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk:
a. berlakunya itikad baik secara terbatas;
b. penjelasan normatif dari perbuatan hukum;
c. pembatasan berlakunya persyaratan baku;
d. penyalahgunaan hak.42
Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338
ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib
memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak
menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke
tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana
sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah
merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas
tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang
sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan
dasar itikad baik guna membeli tanah itu.
Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak
hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi
jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi
kontrak itu. Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu
merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.
Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas
dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut.
Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam
suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan
kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan
normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak
dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak
selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu
harus merupakan kerugian dalam arti obyektif.
41Ibid. 42ibid., h.64-67.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxii
Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk
mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal
ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan
bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia
dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk
membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik
van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak
dibenarkan untuk membatalkan perjanjian.
Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu
pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang
lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada
undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian
itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak.
Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan
pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti
penghematan waktu dan tenaga. Kontrak standard banyak dilakukan oleh kalangan perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu
berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan
aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat
menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas
dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara
lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa
lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur
bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya.43
Gejala kesepakatan dalam kontrak standard sebagaimana diuraikan di atas,
mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang
seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur
telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, di mana klausula
yang ada telah dibuat secara baku.
Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh
kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undang-
undang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang
melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga.
Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat
43
Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxiii
merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan
hak milik.
Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan
adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas
hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu
dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan keadaan sebaliknya pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang.
Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan
keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari
yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan
berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan.
Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam
menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi
juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk
melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak
dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung
pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini
dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar
kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan konsumen dan Undang-
undang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.44
Dalam kontrak standard dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat
dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank,
dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur
tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan
diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank.
Bentuk kontrak standard demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi,
sebab debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it, without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan
sekali kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak
tawaran kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh
dan lain sebagainya.
Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku
pensiun.45 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan
ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku
44
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, h.40 45
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxiv
pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini
dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban
membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat
pertama ini dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi
ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan
pada ex aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.46
Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak
debitur hanya mempunyai hak mengisi kontrak standard yang telah dibakukan dalam
perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak
mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit,
jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktu-
waktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur
telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak
(take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk
penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak.
Praktik kontrak standard menggambarkan bahwa pihak debitur telah
secara terpaksa menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan
rintangan kejiwaan bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi
kontrak. Isi syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak standard pada
hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa
bagi pengusaha yang menawarkan “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari
uraian di atas telah memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan
penyalahgunaan keadaan terhadap pihak debitur.
Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang
bagi pihak yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan,
sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi
memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini
hukum harus ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian
hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan
(gerechtigkeit).47 Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang
notabene, dapat dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung
unsur penyalahgunaan keadaan.
46
Ibid. 47
Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno
Mertokusumo II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxv
Ulasan di atas menggambarkan betapa akibat hukum yang ditimbulkan
oleh setiap kontrak standard demikian besar terhadap kekuatan mengikatnya bagi
para pihak yang membuatnya. Artinya setiap kontrak standard yang dibuat secara
bertentang dengan undang-undang, kepatutan, kesusilaan, dan penyalah-gunaan
keadaan diancam kebatalannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan ulasan-ulasan pembahasan terhadap permasalahan yang telah
dirumuskan, maka dapatlah ditarik rumusan kesimpulan sebagai berikut:
a. Penerapan perjanjian sewa beli dalam penjualan perumahan di Perumnas, pada
kenyataannya adalah bukan perjanjian sewa beli atas perumahan dimaksud.
Pembelian bangunan rumah di lingkungan Perumnas tersebut dilakukan secara
tunai, namun pembeli masih mempunyai hubungan dengan pihak Bank
Tabungan Negara sebagai debitor. Di mana pembeli rumah Perumnas tersebut
sudah berkedudukan sebagai pihak pemilik atas rumah yang dibelinya,
walaupun ia tidak memegang tanda bukti kepemilikan rumahnya. Hal ini dikarenakan surat tanda bukti kepemilikan rumah dimaksud berada dalam
jaminan kredit.
b. Kekuatan hukum kontrak standard dalam perjanjian sewa beli Perumnas yang
ternyata adalah merupakan perjanjian kredit pemilikan rumah banyak memuat
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Hal ini menurut pasal 18
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen,
kontrak demikian tidak mempunyai kekuatan mengikat dan batal demi hukum.
Ketentuan dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998
tersebut bersesuaian
dengan maksud pasal 1338 BW, yaitu bahwa perjanjian yang dibuat secara sah tersebut hendaknya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
kepatutan, dan kesusilaan serta penyalah-gunaan keadaan.
SARAN
Adapun saran-saran yang dapat dikemukakan sehubungan keadaan di atas,
maka penulis dapat mengemukakan sebagai berikut:
a. Perjanjian sewa beli perlu diatur secara khusus dalam undang-undang,
mengingat selama ini baik prosedur ataupun akibat hukumnya hanya
digantungkan pada yurisprudensi. Artinya para pihak yang bersengketa di
bidang sewa beli untuk memperoleh penyelesaian secara hukum, terlebih
dahulu harus berperkara di pengadilan;
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxvi
b. Sudah waktunya sengketa perjanjian sewa beli diklasifikasikan sebagai
sengketa yang masuk dalam kewenangan Pengadilan Niaga, dan bukan
termasuk sengketa wanprestasi yang merupakan kompetensi Pengadilan
Negeri. Mengingat sengketa yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Niaga
dapat diproses secara cepat, biaya ringan dan sederhana.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxvii
PERUBAHAN STATUS HAK ATAS TANAH
DARI HAK MILIK MENJADI HAK LAINNYA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
Oleh:
Sukirman, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
ketentuan hukum pertanahan kita masih umum dan belum cukup
operasional, sehingga menjadikannya mudah disalahtafsirkan. Hal
ini nampak pada pengaturan Hak Adat, Hak Ulayat, Hak Milik dan
ketentuan yang mengatur penguasaan tanah dan peruntukannya.
Juga ketentuan pengadaan tanah, misalnya tentang rumusan
pengertian kepentingan umum, pengertian tentang ganti rugi yang
layak, pengertian tentang musyawarah, pengertian tentang status
hak dan sebagainya.
Kata Kunci: Hak atas tanah – Perubahan status – Pemberian
ganti rugi.
LATAR BELAKANG
Dewasa ini banyak sekali tanah-tanah, baik yang ada di dalam maupun di luar
perkotaan dipakai oleh pihak lain tanpa ijin dari pihak yang berhak.48 Dalam pada itu,
untuk pembangunan negara penggunaan tanah haruslah dilakukan dengan cara yang
teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar norma-norma
hukum dan tata tertib, sebagaimana terjadi di banyak tempat, benar-benar menghambat
bahkan acapkali tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan di
berbagai bidang. Pembuatan bangunan-bangunan di dalam kota untuk tempat tinggal, berjualan
dan lain sebagainya berjejal-jejal dan tidak teratur letak dan tempatnya, dari bahan-
bahan yang mudah terbakar, tidak saja menambah besarnya kemungkinan kebakaran,
tetapi dipandang dari sudut kesehatan dan tata tertib keamanan sungguh tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Belum lagi diperhitungkan berapa kerugian yang diderita
negara dan masyarakat, misalnya dari tindakan-tindakan yang berupaka perusakan
tanah.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
48
Anton Lucas, Penindasan dan Perlawanan: Ciri Khas Sengketa Tanah Di Indonesia, Tanah dan
Pembangunan, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h.51-59
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxviii
Dengan demikian, maka bagaimanapun juga pemakaian tanah-tanah dengan
cara yang melanggar hukum di atas, sesungguhpun dapat dipahami sebab musababnya
tetapi tidaklah dapat dibenarkan. Untuk itu ketentuan hukum memberikatan batasan,
bahwa perbuatan dimaksud adalah dilarang.
Sementara itu, setiap tanah yang menjadi sumber konflik dalam masyarakat,49
selalu ada alas hak yang mendasari penguasaan atas tanah tersebut. Adapun yang dimaksud dengan alas hak menurut pasal 584 KUH Perdata adalah adanya hubungan
hukum untuk penyerahan eigendom.50 Dalam tulisan ini rujukan yang dapat
memberikan definisi tentang alas hak hanya KUH Perdata, sedangkan dalam Undang-
undang Pokok Agraria sebagai hukum pokoknya yang telah diundangkan dalam
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tidak terdapat pengertian tentang alas hak.
Undang-undang Pokok Agraria yang mengatur tentang tanah, hanya
menyebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara, maka negara menentukan
macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah tersebut, selanjutnya
negara dapat memberikan tanah dimaksud kepada orang atau badan hukum (pasal 4 ayat
1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960).
Hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-
undang Nomor 5 tahun 1960, menurut pasal 16 undang-undang tersebut adalah: a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut hasil hutan;
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Hak milik atas tanah adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960, hal ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 20 Undang-
undang Nomor 5 tahun 1960. Artinya hak milik ini adalah merupakan hak yang paling
kuat, diantara hak atas tanah lainnya. Ini terbukti dari tenggang waktu yang membatasi
hak milik, di mana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 hak milik merupakan
satu-satunya hak yang masa penguasaannya tidak dibatasi dengan tenggang waktu.
49
Dianto Cachriadi, Pembangunan Konflik Pertanahan dan Perlawanan Petani, Tanah dan
Pembangunan, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, h.70 50
Soetojo Prawirohamidjojo. R. dan Marthalena Pohan, Bab-bab tentang Hukum Benda, Cet.I,
Bina Ilmu, Surabaya, 1984, h.41
Volume 8, No.1, Nop 2008 xxxix
Dalam hukum benda yang terdapat pembedaan hak, yaitu antara hak
kebendaan dan hak perorangan.51 Hak kebendaan yang paling sempurna adalah hak
milik diantara hak kebendaan lainnya.52 Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan
yang sempurna atau penuh bagi pemilik, disebut sebagai hak milik. Hak milik ini
mempunyai pengertian universal, abstrak, belum terikat kepada kualifikasi tertentu,
artinya tidak saja hak milik atas tanah yang mempunyai sifat paling sempurna, tetapi juga terhadap benda lainnya, baik bergerak, tidak bergerak, berwujud ataupun tidak
berwujud.
Bilamana kita padukan dari dua dimensi ulasan di atas, yang dimaksud dengan
alas hak adalah hubungan hukum yang mendasari penguasaan suatu benda, dalam kajian
ini tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak lainnya yang
telah ditentukan dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960.
Hak milik atas tanah merupakan hak terkuat di antara hak atas tanah lainnya,
pemilik tanah berhak penuh atasnya. Namun demikian, menurut pasal 6 Undang-undang
Nomor 5 tahun 1960 semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, karenanya untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Pada azasnya, tanah jika diperlukan untuk suatu keperluan haruslah lebih
dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya,
misalnya atas dasar jual beli, tukar menukar atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian
itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang
empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali
untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Di sini tergambar, bahwa hak milik
atas tanah adalah kuat dan dapat dipertahankan terhadap siapapun.53
Kendati hak milik atas tanah dimaksud adalah merupakan hak yang terkuat,
oleh karena kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan,
maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan
umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa
mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan guna
mengejewantahkan fungsi sosial tanah dengan menggunakan perangkat aturan yang
ditentukan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 1961. Namun ketentuan ini pada era
reformasi sekarang, sudah tidak memadai lagi untuk diterapkan, terlebih setelah
lahirnya Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia.
Pengambilan tanah yang dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak
sebagaimana diuraikan di atas, dimaksudkan untuk mengimplementasikan pasal 18
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa “Untuk kepentingan
51
Subekti R, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia (selanjutnya
disingkat Subekti R. I), Cet.II, Alumni, Bandung, 1982, h.25 52
Vollmar HFA, Hukum Benda (menurut KUH Perdata), Cet.II, Tarsito, Bandung, 1990, h.34 53
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1981, h.9
Volume 8, No.1, Nop 2008 xl
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”
Ketentuan pasal 18 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 juga merupakan
perwujudan bahwa hak milik atas tanah adalah merupakan hak yang sempurna dan
terkuat serta dapat dipertahankan terhadap siapapun, termasuk untuk kepentingan penataan ruang sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang nomor 24 tahun
1992. Dengan Undang-undang nomor 24 tahun 1992, penataan ruang didasarkan pada
azas:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, serasi selaras, seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Dengan azas penataan ruang tersebut, telah dapat dipastikan bahwa konsep
penataan ruang masih menempatkan sifat hak milik atas tanah yang merupakan hak
terkuat dan paling sempurna penggunaannya. Azas keterbukaan, persamaan,
keadilan dan perlindungan hukum memberikan bentuk pelaksanaan tata ruang yang
akan memberikan perlindungan hukum secara layak kepada para pemegang hak
milik atas tanah. Hal ini dikarenakan konsep penataan ruang diterapkan secara
terbuka, secara equal dan adil, sehingga pada gilirannya tidak ada diskriminasi
dalam memperlakukan hak milik atas tanah seseorang.
Dalam wacana di atas, negara ditempatkan selaku penguasa atau yang mempunyai kewenangan atas tanah selaku organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia
untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya;
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi,
air dan ruang angkasa itu;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang berhubungan dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
Dalam pada itu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang,
badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib
menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya,
Volume 8, No.1, Nop 2008 xli
mencegah terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam kenyataannya, masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh
perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak sesuai dengan keadaannya atau sifat
dan tujuan haknya. Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan.
Hapusnya hak atas tanah sebagai akibat penelantaran tanah, tidak dilakukan
pengklasifikasian terhadap hak atas tanahnya. Artinya hapusnya hak atas tanah dapat
terjadi terhadap segala hak atas tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai dan lain sebagainya. Ketentuan Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tersebut, melahirkan kesimpulan bahwa hak milik atas tanah walaupun merupakan
hak atas tanah yang terkuat dan paling sempurna ternyata masih juga dapat dihapuskan
dengan alasan telah ditelantarkan. Tiap hak atas tanah yang penguasaan terhadap obyek
haknya menyebabkan tanah tersebut terlantar, maka tanah dimaksud berada dalam
penguasaan langsung negara sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 pasal 15 ayat 1.
Sebagaimana dikemukakan di atas, hak milik dalam hak kebendaan adalah merupakan hak yang paling sempurna. Hak-hak kebendaan yang lain seperti hak guna
usaha, hak guna bangunan dan sebagainya memberikan kekuasaan yang lebih terbatas,
karena masa penguasaannya dibatasi oleh masa tenggang waktu. Berbeda halnya
dengan hak milik, masa penguasaan hak milik tidak dibatasi oleh tenggang waktu
berlakunya hak milik yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum.
Atas dasar uraian singkat di atas, maka rumusan masalah yang dipandang
cukup relevan untuk diangkat adalah:
a. Sifat-sifat apakah yang melekat dalam hak milik?
b. Apakah kriteria yang dapat diterapkan terhadap hak milik, sehingga dapat
berubah menjadi tanah negara?
c. Bagaimanakah proses pembebasan tanah, sehingga status tanah yang dibebaskan menjadi dikuasai langsung oleh negara?
KEDUDUKAN HAK MILIK DALAM HUKUM BENDA
1. Hukum Benda dan Lingkup Pengaturannya
Hukum Benda dalam Buku II KUH Perdata diatur secara terinci dari titel I
hingga titel XXI, namun sejak tanggal 24 September 1960 Buku II KUH Perdata
tersebut sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, dinyatakan tidak berlaku. Hal ini dikarenakan pada saat itu aturan hukum
yang khusus mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
Volume 8, No.1, Nop 2008 xlii
dalamnya telah lahir yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
Kendati ketentuan Buku II KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku terhadap
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi sifat khas atau
karakter dari hak-hak kebendaan yang ditentukan dalam KUH Perdata diambil alih dan
menjadi sifat atau karakter daripada hak-hak kebendaan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tersebut. Pada uraian di bawah ini, akan digambarkan tentang sifat
kebendaan yang memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada pemegang haknya,
dibandingkan dengan hak perorangan.
Hukum benda adalah sub sistem dari hukum nasional, sebagai sub sistem is
mengandung seluruh azas-azas yang terdapat di dalam hukum nasional, khususnya azas
idiil, azas konstitusional, dan azas politis. Di samping itu, hukum benda memiliki azas-
azasnya sendiri yang lebih khusus. Azas-azas ini dapat digolongkan ke dalam
azas umum, di mana sifat umumnya tidak lagi bersifat abstrak, akan tetapi konkret
operasional.
Jika hukum keluarga bersifat non netral, maka hukum benda sebagai bagian
dari hukum harta kekayaan bersifat netral. Walaupun hukum adat dan hukum islam
mengenal hukum benda, hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata relatif lebih banyak dipakai. Pemakaian hukum benda itu tidak hanya terbatas untuk golongan eropa
dan timur asing cina, akan tetapi juga oleh golongan Bumi Putera.
Adapun hukum perdata yang diatur dalam KUH Perdata terdiri atas 4 buku,
yaitu:
a. Buku I, yang berjudul perihal orang (van personen), yang memuat Hukum
Perorangan dan Hukum Kekeluargaan;
b. Buku II, yang berjudul perihal benda (van zaken), yang memuat Hukum Benda
dan Hukum Waris;
c. Buku III, yang berjudul perihal perikatan (van verbintenissen), yang memuat
Hukum Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang
berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu; d. Buku IV, yang berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa atau lewat waktu
(van bewijs en verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan
akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.54
Atas dasar keadaan di atas, untuk dapat menyesuaikannya dengan Pancasila
dan UUD 1945, hakim mempunyai kesempatan untuk menafsirkannya secara materiil.
Hukum benda mempunyai tanda-tanda pokok yang dibedakan dari hukum perorangan.
Pembedaan itu tidak bersifat tajam, karena dewasa ini keduanya tumbuh saling
mendekati.
Dalam pada itu, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sendiri memiliki aspek-
aspek perdata, karena mengatur beberapa hak atas tanah yang menjadi obyek dari
54
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.XVIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.214
Volume 8, No.1, Nop 2008 xliii
perbuatan-perbuatan perdata. Dasar Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 adalah hukum
adat yang sudah disesuaikan dengan modernisasi dan kepentingan nasional (pasal 5
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Oleh karena itu Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 mengatur beberapa hak yang mirip dengan hak-hak yang terdapat di dalam KUH
Perdata, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan. Namun demikian kedua hak ini
tidak identik dengan hak-hak yang terdapat dalam KUH Perdata, karena kepribadiannya berbeda.
Hak-hak atas tanah yang dikenal oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak sewa;
f. hak membuka tanah;
g. hak memungut hasil hutan; h. hak gadai;
i. hak usaha bagi hasil;
j. hak menumpang;
k. hak sewa tanah pertanian;
l. hak guna air;
m. hak pemeliharaan ikan;
n. hak ruang angkasa.
Dengan adanya hak-hak di atas, maka ketentuan-ketentuan mengenai bumi, air
dan ruang angkasa diatur dalam KUH Perdata Buku II sudah dicabut. Pencabutan itu
tidak bersifat total, melainkan bersifat sebagian yaitu jika bumi dan hal lain diatur dalam
sebuah ketentuan, maka bagian mengenai hal-hal yang sudah diatur Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dicabut dan yang selebihnya tetap berlaku. Ketentuan mengenai
hak waris tetap berlaku untuk bagian kecil penduduk.
Segi lain yang sangat penting artinya yang diintrodusir Undang-undang Nomor
5 tahun 1960 ialah Hukum Adat, dengan batasan bahwa Hukum Adat itu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional (pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun
1960). Undang-undang nomor 5 tahun 1960 mengenal beberapa lembaga, seperti hak
milik. Pada prinsipnya Hukum Adat tidak mengenal pengertian hak milik seperti yang
dikenal Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. Menurut pengertian Hukum Adat hak
milik atas tanah dalam lingkup hukum benda mempunyai hubungan interaktif dengan
hak ulayat.
Hubungan antara hak milik dengan hak ulayat seperti bola elastis, jika di atas
hak ulayat itu diciptakan hak perseorangan, misalnya dengan jalan membuka hutang dan
Volume 8, No.1, Nop 2008 xliv
mengerjakannya secara terus menerus, sehingga lahir hak perseorang atas hak ulayat itu,
maka hak ulayat mengkerut.55
Dalam pada itu, KUH Perdata mengadakan pembedaan benda dalam beberapa
kelompok, yaitu benda berwujud dan tidak berwujud, benda bergerak dan tidak
bergerak, benda yang dapat dipakai habis dan yang tidak dapat dipakai habis, barang
yang sekarang ada dan di kemudian hari akan ada, barang yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, benda yang dalam perdagangan dan di luar perdagangan. Di samping
itu ada kebutuhan untuk membedakan benda dalam benda yang terdaftar dan tidak
terdaftar, sedang dalam Hukum Adat benda hanya dibedakan dalam tanah dan yang
bukan tanah.
Hak kebendaan kerapkali diberi pengertian sebagai suatu hak yang
memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, dengan kata lain hak kebendaan
(zakelijk recht)
ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atau suatu benda, yang dapat
dipertahankan terhadap tiap orang.56
Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, sedangkan
suatu hak perorangan (persoonlijk recht) memberikan suatu hak tuntutan atau hak tagih
terhadap seseorang. Hak perorangan bersifat relatif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tententu.57
Setiap hubungan hukum menurut sifatnya adalah hubungan antara orang yang
satu dengan orang lainnya, demikian halnya dengan hak kebendaan adalah merupakan
hubungan hukum antara orang-orang yang berhak dengan orang atau pihak lainnya.
Dalam hubungan hukum ini terdapat sifat kemutlakan dari hak kebendaan, yaitu orang
yang berhak atas kebendaan dapat bertindak terhadap siapapun yang mengganggu hak
itu dan hak kebendaan selalu melekat pada benda itu, termasuk bilamana benda itu
berada di tangan pihak lain (zaaksgevolg).58
Dengan demikian hak kebendaan memiliki ciri-ciri, yang dapat dibedakan
dengan hak perorangan, yaitu:
a. dapat bertindak secara mandiri terhadap siapa saja yang melanggar haknya; b. haknya atas benda tersebut tetap melekat tidak perdulu di tangan siapapun
benda itu berada;
c. hak kebendaan lebih kuat kedudukannya daripada hak perorangan.
2. Hak-hak Kebendaan dalam Hukum Benda
Di dalam KUH Perdata ditemukan dua istilah yaitu, benda (zaak) dan barang
(goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda ialah segala sesuatu yang dapat
55
Imam Sudiyat, Op.cit., h.3 56
Subekti R., Pokok-pokok Hukum Perdata (selanjutnya disingkat Subekti R. II), Cet.XX,
Intermasa, Jakarta,1985, h.62 57
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet.II, Alumni, Bandung,
1997, h.31 58
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op.cit., h.13
Volume 8, No.1, Nop 2008 xlv
dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum (pasal 499 KUHD). Kata dapat di
sini mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada
saat yang tertentu sesuatu itu belum bestatus sebagai obyek hukum, namun pada saat
yang lain merupakan obyek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi obyek hukum
ada syarat yang harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nlai ekonomi
dan karena itu dapat dijadikan sebagai obyek perbuatan hukum. Gambaran ini dapat kita lihat dala proses ketika seseorang membuka hutan dan mengolahnya, selanjutnya lahir
penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan tersebut menjadi pasti setelah pohon-
pohon yang ditanami pembuka huta itu tumbuh berbuah, sehingga hutan yang dibuka
dimaksud langsung dapat dimiliki.
Pola perolehan hak di atas, berbeda dengan cara atau ajaran yan dianut dalam
KUH Perdata. Dalam KUH Perdata dianut ajaran bahwa untuk sahnya penyerahan
dibutuhkan beberapa syarat (pasal 584 KUH Perdata), yaitu:
a. ada alas hak;
b. perjanjian kebendaan yang diikuti dengan perbuatan penyerahan (pendaftaran)
dan penerbitan sertifikat;
c. wewenang menguasai.
Alas hak adalah perjanjian untuk menyerahkan benda atau hubungan hukum yang mendasari timbulnya penguasaan atas suatu benda. Hubungan hukum di sini adalah
bersifat konsensual obligatoir.
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian kebendaan adalah perjanjian penyerahan
benda yang diikuti dengan formalitas tertentu, misalnya pendaftaran.
Penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu seperti pendaftaran,
pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum kita sebelumnya. Banyak ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1997
yang mengambil alih sistem penyerahan di atas, yaitu:
a. perjanjian yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah, misalnya
jual beli harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan
pejabat yang berwenang. Azas ini berasal dari hukum romawi, yang membedakan hukum harta kekayaan dalam hak kebendaan dan hak
perorangan. Ada faham yang berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tidak menganut perbedaan ini, namun di dalam kenyataannya
ajaran ini dianut. Hal ini dapat dibuktikan karena Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 mengenai lembaga pendaftaran. Lembaga pendaftaran ini tidak
semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan
tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda
(tanah) belum mempunyai kaitan dengan milik. Hak milik akan merupakan
istilahnya hampa, baru ada milik namun belum ada hak. Selama pendaftaran
belum terjadi, hak hanya mempunyai arti terhadap para pihak dan umum belum
mengetahui perubahan status hukum dari benda. Pengakuan dari masyarakat
baru terjadi pada saat milik itu didaftarkan. Melalui pendaftaran lahirlah pengakuan umum terhadap hubungan hak dengan benda;
Volume 8, No.1, Nop 2008 xlvi
b. Adanya pengumuman kepada masyarakat mengenai status kepemilikan tanah,
pengumuman hak atas tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah
yang disediakan untuk itu, sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi
melalui penguasaan nyata benda itu;
c. Dalam lembaga kepemilikan atas tanah, secara individual harus ditunjukkan
dengan jelas ujud, batas, letak dan luas tanah. Azas ini terdapat pada hak milik, guna usaha, dan guna bangunan atas benda tetap;
d. Hak kepemilikan atas benda hanya dapat diletakkan terhadap obyeknya secara
totalitas, artinya hak itu tidak dapat diletakkan hanya untuk bagian-bagian
benda. Pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adlah pemilik kosen,
jendela, pintu dan genteng rumah tersebut;
e. Dari azas totalitas tersebut muncul azas perletakan, di mana suatu benda
lazimnya terdiri dari bagian-bagian yang melekat menjadi satu dengan benda
pokok, seperti hubungan antara bangunan dengan genteng, kosen, pintu dan
jendela. Azas perletakan menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap
yang meletak pada benda pokok. Melalui azas perletakan ditentukan bahwa
pemilik benda pokok dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda
pelengkap, dengan perkataan lain status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok;
Ciri khas kebendaan di atas merupakan sifat yang melekat pada hak kebendaan,
seperti pada:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai.
3. Hak Milik atas Tanah Beserta Sifat yang Melekat
Hak milik adalah merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969. Ini merupakan ketentuan pasal 20 dari Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960. Dari rumusan ini dapat kita simpulkan bahwa ciri-ciri hak milik
menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 itu mirip dengan hak milik yang kita
kenal dalam KUH Perdata yakni mengandung kekuasaan menguasai.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa hak milik itu
mempunyai batas-batas sebagai berikut:
a. hak milik atas tanah tidak boleh semata-mata dipergunakan (tidak
dipergunakan) untuk kepentingan pribadi, akan tetapi harus seimbang dengan
kepentingan umum;
b. tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain;
c. harus diperlihara baik-baik;
d. pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah; e. pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xlvii
Di dalam pasal 570 KUH Perdata dikemukakan bahwa batasan hak milik adalah
undang-undang, peraturan umum dan tidak boleh menimbulkan gangguan kepada
pihak lain, dengan demikian berbeda atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
Batasan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 menunjukkan bahwa
hak milik bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas, akan tetapi dibatasi
oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh hukum publik. Hukum publik memberikan perintah dan larangan terhadap pemilik mengenai apa yang boleh
dilakukan dalam menggunakan hak miliknya, seperti jika hendak mendirikan bangunan,
maka pemilik wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh pemerintah.
Juga dari sesama anggota masyarakat, wewenang yang boleh dilakukan oleh pemilik
terhadap miliknya terbatas, yaitu tidak boleh melanggar undang-undang dan kepatutan
yang terdapat di dalam masyarakat dalam hal tertentu wajib memperhatikan Hukum
Adat. Jika pemilik melakukan perbuatan melawan hukum atau menimbulkan gangguan
kepada pihak lain, maka ia dapat digugat untuk memberikan ganti rugi, demikian juga
jika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
AKIBAT HUKUM PENELANTARAN HAK MILIK ATAS TANAH
1. Klasifikasi Penelantaran Tanah
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan
hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib
menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah
terjadi kerusakannya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat
bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam kenyataannya masih banyak terdapat bidang-bidang tanah yang
dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hak atas
tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. Segala hak atas tanah menjadi hapus keberadaannya, bilamana atas hak atas
tanah tersebut ditelantarkan. Hak milik atas tanah hapus jika ditelantarkan ditemukan
rumusan ketentuannya dalam pasal 27 sub a angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960, demikian juga dengan hak guna usaha akan hapus bilamana ditelantarkan yang
diatur dalam pasal 34 sub e Undang-undang Nomor 5 tahun 1960.
Hak guna bangunan tidak terkecuali hapus pula jika ditelantarkan, hal ini diatur dalam
pasal 40 sub e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
Rumusan ketentuan pasal 27 sub a angka3, pasal 34 sub e, dan pasal 40 sub e
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut direalisasikan dan dikonkretkan dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tersebut mengatur tentang tanah terlantar dengan ruang lingkup segala tanah-tanah yang dikuasai
Volume 8, No.1, Nop 2008 xlviii
dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan serta
tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas
tanahnya sesuai dengan ketentuan pertauran perundang-undangan yang berlaku.
Setiap tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik,
adalah merupakan kriteria untuk menentukan sesuatu tanah dalam keadaan ditelantarkan atau tidak. Kriteria ini berlaku untuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
atau hak pakai.
Di samping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 juga mengacu
pada Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yaitu bilamana hak
milik, hak guna bangunan atau hak pakai penggunaannya tidak sesuai dengan
peruntukan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan
penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.
Ketentuan tentang penggunaan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai
yang harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah diatur dalam pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 36 tahun 1998. Pasal ini dapat ditafsirkan secara a contrario, bahwa
bilamana suatu bangunan telah didirikan di atas hak milik, hak guna bangunan ataupun
hak pakai sebelum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah tidak dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar. Hal ini dapat dianalisis dari aturan ketentuan yang dimuat dalam pasal 1
angka 5 Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 yang mendefinisikan rencana tata ruang
sebagai hasil perencanaan tata ruang. Artinya tata ruang itu dianggap telah dibentuk
bilamana telah ada rencana tata ruang wilayah.
Adapun terhadap sebidang tanah yang telah dinyatakan terlantar, maka tanah
tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, hal ini diatur dalam pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998. Kepada bekas pemegang hak atau pihak
yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan
sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan
bukti-bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh
hak atas dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh meteri agraria.
Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan
atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau
bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan
tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi. Adapun ganti rugi dimaksud
dibebankan kepada pihak yang oleh menteri agraria ditetapkan sebagai pemegang hak
yang baru atas tanah tersebut.
2. Penelantaran Hak Milik atas Tanah
Pengertian hak milik adalah hak yang dapat diwariskan secara turun temurun
secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi
perpindahan hak. Ini merupakan bentuk pengejewantahan dari pengertian hak milik sebagai hak yang terkuat diantara sekian banyak hak yang ada. Dalam pasal 570 KUH
Volume 8, No.1, Nop 2008 xlix
Perdata, hak milik ini dirumuskan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu
kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan
kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan
akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan pembayaran ganti rugi.
Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian akan hak milik seperti
yang dirumuskan dalam pasal 20 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada ayat 1
ditentukan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan tepenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah.
Ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa hak milik adalah hak yang terkuat
dan terpenuh yan dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti
bahwa hak itu merupakan hak mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan
terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak, yang
bersifat religio-magis.59
Kalimat terkuat dan terpenuh pada hak milik, itu dimaksudkan untuk membedakan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain. Hal
ini untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang
hak miliklah yang paling kuat dan paling penuh.
Oleh karena di dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial, hal ini berbeda pengertiannya dengan eigendom
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH Perdata yang menentukan bahwa
hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa
yang ada di atasnya dan di dala tanah.
Di atas tanah, pemilik dapat mengusahakan segala tanaman dan mendirikan
setiap bangunan yang disukai. Dengan tidak mengurangi akan hakekat dari hak milik
tersebut. Di bawah tanah pemilik dapat membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, sepanjang hasil tersebut
bukan merupakan obyek kepentingan umum. Penjabaran hak milik ini merupakan
pengertian hak milik menurut KUH Perdata.
Dengan demikian, maka pengertian terkuat seperti yang dirumuskan dalam
pasal 571 KUH Perdata ini akan berlainan dengan yang dirumuskan dalam pasal 20
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, oleh karena dalam Undang-undang Nomor 20
tahun 1960 sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa segala hak mempunyai sifat
sosial, berbeda dengan pengertian eigendom yang dirumuskan dalam pasal 571 KUH
Perdata.
Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah ini, maka hanya warga negara
Indonesia yang mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam
59
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Cet.VII, Haji Masagung, Jakarta,
1988, h.198
Volume 8, No.1, Nop 2008 l
pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Hak milik atas tanah yang hanya
berlaku bagi warga negara Indonesia ini dapat diketahui di dalam penjelasan umum
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada angka romawi II sub 5, yaitu bahwa
pemilikan tanah dipakai asas kebangsaan, yang ditegaskan bahwa sesuai dengan asas
kebangsaan tersebut dalam Pasal 1 maka menurut pasal 9 yunkto pasal 21 ayat 1
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960). Adapun pertimbangan untuk melarang badan-
badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah guna mencegah usaha-usaha yang
bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan batas maksimum luas tanah yang dipunyai
dengan hak milik.
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak mempunyai hak milik atas
tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya
dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian maka didakanlah suatu
escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik.
Dengan adanya escape clause ini, maka cukuplah bila ada keperluan akan hak milik
bagi suatu macam badan hukum diberikan dispensasi oleh pemerintah, dengan jalan
menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960). Badan-badan
hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usaha dalam bidang sosial
dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu
mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 pada azasnya
badan hukum tidak dimungkinkan untuk mempunyai hak milik atas tanah, hal ini
dikecualikan oleh undang-undang serta peraturan lainnya, seperti dapat kita lihat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 bahwa badan-badan hukum yang dapat
diberikan hak milik adalah: a. bank-bank yang didirikan oleh negara;
b. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan
Undang-undang Nomor 79 tahun 1958;
c. badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Agama;
d. badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Sosial.60
Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang
sudah dipunyai sejak tanggal 24 Sepetember 1960 (sebelum berlakunya Undang-undang
60
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cet.XII, Djambatan, Jakarta, 1994, h.858
Volume 8, No.1, Nop 2008 li
Nomor 5 Tahun 1960), sedangkan sesudah tanggal tersebut diberikan hak guna
bangunan atau hak pakai.
Dengan mengakaji uraian di atas, hak milik atas tanah pada dasarnya hak milik
atas permukaan bumi yang disebut sebagai tanah. Hak milik atas tanah merupakan hak
yang terkuat dan terpenuh, diantara hak atas tanah lainnya. Mengingat hak milik atas
tanah tidak dibatasi oleh tengang waktu masa penguasaannya, berbeda halnya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Hak-hak atas tanah sebagaimana
disebutkan pada kalimat terakhir di atas adalah dibatasi oleh tenggang waktu
penguasaannya, yaitu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk paling lama 20
tahun hak guna bangunan, demikian halnya dengan hak yang lainnya.
Kendati hak milik sebagaimana diuraikan di atas adalah merupakan hak atas
tanah yang terkuat dan terpenuh dan pemilik dapat berbuat secara bebas atas tanah
miliknya tersebut, namun pada keadaan tertentu hak milik melemah dan tidak dapat
dipertahankan keberadaannya. Status hak milik dapat melemah bilamana berhubungan
dengan hak-hak komunal,61 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 disebut
kepentingan sosial (pasal 6).
Di samping hak milik menjadi melemah jika berhadapan dengan kepentingan
sosial, juga hak milik menjadi tidak kuat statusnya bilamana hak milik atas tanah ditelantarkan, hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 1998. Hak milik dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini menjadi
hapus keberadaannya jika ditelantarkan atau digunakan tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah ketika hak milik itu baru akan digunakan. Sedangkan bilamana hak milik
atas tanah itu telah digunakan dan diperuntukkan jauh sebelum adanya rencana tata
ruang wilayah, maka eksistensi hak milik atas tanah tersebut tidak dapat diganggu atau
dihapuskan.
Seperti halnya uraian di atas, bilamana hak milik atas tanah telah
terklasifikasikan sebagai tanah terlantar, maka tanah milik yang dinyatakan sebagai
tanah terlantar tersebut dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Artinya tanah milik telah berubah status haknya menjadi tanah negara.
PEMBEBASAN TANAH
1. Pembebasan Tanah dan Aspek Hukumnya
Tidak satu persoalanpun tentang pembebasan tanah diatur secara tegas dalam
peratuan tentang pembebasan tanah. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
pasal 27 hanya menegaskan bahwa hak milik itu hapus karena pencabutan hak untuk
kepentingan umum dan karena penyerahan dengan sukarela ole pemiliknya. Sedangkan
di dalam pasal 34 dan 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 hanya mengenai
61Soerojo Wignjodipoero, Loc.cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lii
hapusnya hak-hak tertentu. Seperti yang telah ditegaskan dalam pasal 34 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu bahwa hak guna usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
c. dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. karena ketentuan pasal 40 ayat 2.
Sedangkan di dalam pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
menentukan bahwa hak guna bangunan hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
c. dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. karena tidak memenuhi syarat dalam pasal 36 ayat 2.
Dengan kata lain bahwa di dalam Undang-undang Pokok Agraria mengejar
hapusnya hak atas tanah itu, yaitu mengenai hak guna usaha dan hak guna bangunan,
secara tegas disebutkan karena dicabut haknya atau oleh karena dilepaskan haknya
sebelum jangka waktunya berakhir.
Sepanjang mengenai pembebasan tanah ini, terutama diatur di dalam Peraturan
Pemerintah maupun di dalam peraturan meneri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara
Pembebasan tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak
swasta. Pembebasan tanah, janganlah dicampurbaurkan dengan pencabutan hak atas
tanah. Jika pencabutan hak atas tanah secara tegas telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960, akan tetapi mengenai pembebasan tanah diatur dengan peraturan-
peraturan lainnya.
Pertimbangan pembebasan tanah umumnya didasarkan atas pertimbangan
untuk keperluan berbagai macam pembangunan, sedang tanah negara yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas sekali atau bahkan tidak ada
lagi. Sehingga satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, ialah dengan cara pembebasan tanah milik rakyat atau tanah yang dikuasai
oleh masyarakat hukum adat dengan hak-hak adat, atau tanah dengan hak-hak lainnya.
Volume 8, No.1, Nop 2008 liii
Adapun yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang
bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di
antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara pemberian ganti rugi
kepada yang berhak atau penguasai tanah itu.
Pelaksanaan pebebasan tanah haruslah berdasarkan pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dengan memperhatikan ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Agraria tanggal 3 Pebruari 1975 Nomor Ba.12/108/12/1975 tentang
pelaksanaan pembebasan tanah. Di mana akhirnya ketentuan dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 55
tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.62
Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di
dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika dilihat dari kebutuhan pemerintah
akan tanah untuk keperluan pembangunan, dapatlah dimengerti bahwa tanah negara
yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh
yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak
lainnya yang melekat di atasnya.
Dalam rangka pelaksanaan pembebasan tanah, telah digariskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang tertuang dalam Tap MPR Nomor
IV/MPR/1973. bahwa pelaksana pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan
hasil-hasil pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil
pembangunan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata-mata, melainkan
menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab
masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus ditumbuhkan,
dengan mengikutsertakan masyarakat secara adil. Demikian, jika masyarakat
melepaskan tanah-tanah mereka, pelepasan hak itu perlu dengan rasa keiklasan demi
pembangunan bangsanya. Tetapi pemerintah juga dituntut untuk melaksanakan aturan
perundang-undangan yang ada, seperti yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun
1993. Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat
pada pemegang hak atau penguasa tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi
atas tanah yang dibebaskan berupa:
a. tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960;
b. tanah-tanah dari masyarakat hukum adat;
Dalam mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia
pembebasan tanah haarus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang
hak atas tanah dan atau benda yang ada di atasnya berdasarkan harga umum
setempat.
62
Boedi Harsono, Op.cit., h.599
Volume 8, No.1, Nop 2008 liv
Ganti rugi berdasarkan harga umum setempat, berarti harga itu harus benar-
benar memperhatikan kepentingan rakyat yang terkena pembebasan tanah. Untuk itu
ganti rugi harus didasarkan pada penaksiran seluruh nilai yang ada di tanah yang akan
dibebaskan tersebut dengan cara mengusahakan persetujuan antara kedua belah pihak.
Kecuali itu harus diperhatikan pula faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah
bersangkutan. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi atas bangunan dan tanaman, panitia
harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan
Umum dan Dinas Pertanian setempat, tentang lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya
yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi
atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan tersebut, di
mana ganti ruginya dapat berbentuk uang, tanah atau fasilitas-fasilitas lainnya.
Pihak yang berhak atas ganti rugi dalam pembebasan tanah ialah mereka yang
berhak atas tanah atau benda yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada hukum
adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
Pemerintah yang dalam hal ini berperan aktif secara kolektif merupakan unsur
panitia dalam pembebasan tanah terdiri dari63: - Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap
anggota;
- Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Kabupaten yang ditunjuk oleh
Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan sebagai anggota;
- Kepala Pajak Bumi dan Bangunan atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
- Seorang yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai
anggota;
- Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat I atau pejabat yang ditunjuk
apabila mengenai tanah bangunan, sedang jika mengenai pertanian Kepala
Dinas Pertanian tingkat II atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
- Kepala Wilayah Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota; - Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota;
- Seorang pejabat dari Kantor Badan Pertanahan sebagai anggota.
Dengan demikian dalam rangka pembebasan tanah ini kalau dilihat kompisisi
keanggotaan panitia, kemungkinan kecil akan terjadi kebocoran-kebocoran, atau
paling tidak rakyat akan benar-benar dilindungi haknya. Karenanya dalam
penentuan harga tanah, panitia yang bertugas mengadakan penaksiran besarnya ganti
rugi atas tanah, dan bangunan-bangunan serta tanaman-tanaman yang ada di atasnya
mengusahakan persetujuan kedua belah pihak berdasarkan musyawarah. Dan apabila
tercapai kesepakatan harga, harus dilakukan langsung oleh instansi yang
memerlukan kepada yang berhak menerima. Dengan demikian kita harapkan tidak
akan terjadi mendeknya pembangunan untuk kepentingan umum dari adanya
63
Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.77
Volume 8, No.1, Nop 2008 lv
oknum-oknum yang hendak mencari keuntungan pribadi. Hak dan kedudukan
hukum pemegang hak harus dihormati, karena ini merupakan hak paling dasar.
Mengingat tanah merupakan tumpuan hidup rakyat yang mempunyai nilai
ekonomis, bagaimana mungkin kalau ganti rugi yang diterima untuk membeli tanah
di tempat lain ternyata hanya dapat membeli tanah saja dan tiada sisa biaya untuk
melanjutkan membangunan rumah tempat tinggal.
2. Pemberian Ganti Rugi dalam Pembebasan Tanah
Di tahun sembilan puluhan, masalah pertanahan mulai banyak mendapat
sorotan dari berbagai mass media, terutama bagaimana untuk menentukan harga
patokan akan tanah yang terkenan pembebasan atau terkena proyek-proyek pemerinah.64
Secara umum falsafah dasar tanah adalah bahwa tanah sejak semula asalnya tidak
diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti
menjual miliknya, yang benar ia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah
selama itu dikuasainya.
Hal di atas adalah benar, jika kita mengkaji bahwa tanah di samping
mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial, yang berarti di sini, hak atas
tanah tidaklah mutlak. Namun demikian negara harus menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya, yang dijamin dengan undang-undang.
Dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 hak-hak atas tanah yang
dapat diberikan kepada warga negaranya berupa hak milik atau hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan,
dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai disebutkan dalam
pasal 53 (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian).
Hal di atas, berarti nilai secara ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan
hak yang melekat pada tanah itu, dengan demikian ganti rugi atas tanah juga
menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu, akan tetapi negara mempunyai wewenang di dalam melaksanakan pembangunan nasional di
negara kita, yang telah diatur dengan berbagai undang-undang maupun peraturan
pemerintah dengan penentuan hak atas tanah maupun pembebasan tanah seperti yang
diatur di dalam perundang-undangan.
Dalam hubungannya dengan pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah
itu, maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala keterangan dan data-
data yang diajukan di dalam mengadakan taksiran akan ganti rugi di dalam rangka
pembebasan tanah yang akan terkenan itu. Sehingga apabila telah mencapai suatu
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi maka baru dilakukan pembayaran
ganti rugi, dan ganti rugi ini hendaklah secara langsung kepada yang berhak. Setelah itu
64
Putusan Badan Peradilan, Kasus Pembebasan Tanah Waduk Kedung Ombo, Majalah Hukum
Bulanan Tahun IX No.107, Agustus 1994, h.5
Volume 8, No.1, Nop 2008 lvi
baru diadakan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga
apa yang dikhawatirkan akan peranan calo-calo tanah dapat ditekan seminimal
mungkin.
Apabila pembebasan tanah secara musyawarah ini tidak mendapatkan jalan
keluar, antara pemegang hak atas tanah dan pemerintah, sedang tanah itu akan
digunakan untuk kepentingan umum maka dapat ditempuh cara seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah
dan benda-benda yang berada di atasnya.
Sebelum tanah itu akan dibebaskan, maka perlu untuk meneliti tentang tanah
yang akan dibebaskan itu dengan menentukan taksiran ganti rugi. Taksiran ganti rugi
atas tanah dilakukan oleh Panitia Penaksir yang bertugas melakukan dan menetapkan
ganti rugi dalam rangka pembebasan hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan atau
benda di atasnya. Pembentukan Panitia Penaksir tersebut ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten dan Kotamadya dalam suatu wilayah
propinsi yang bersangkutan. Dengan Panitia ini sebenarnya sudah terjawab seberapa
jauh harga patokan tanah akan ditetapkan di satu wilayah.
Panitia yang telah ditunjuk dalam suatu ketepan Gubernur di atas bukanlah
merupakan panitia yang bersifat khusus artinya jika pembebasan tanah itu telah selesai, panitia tersebut bubar dan panitia itu hanya untuk pembebasan tanah tertentu saja.
Selain itu dari panitia ini juga ada yang karena jabatannya merupakan anggota tetap
seperti Kepala Badan Pertanahan, pejabat dari pemerintah kabupaten, kepala kantor
Pajak Bumi dan Bangunan dan instansi yang memerlukan tanah.
Dalam rangka pembebasan tanah ini, panitia harus melakukan tugasnya dengan
bersandar pada peraturan-peraturan yang berlaku atas dasar asas musyawarah dan harga
umum setempat. Sedangkan harga umum di sini harus melihat kenyataan yan ada di
dalam masyarakat dengan melihat pula faktor-faktor tentang letak tanah yang dapat pula
mempengaruhi harga tanah, dengan demikian pantia penaksir ganti rugi tanah ini akan
mewujudkan kemauan para pihak dengan adil serta bijaksana sehingga apa yang kita
tawarkan tentang terjadinya pemerkosaan atas hak-hak warga negara akan dihindarkan, sebagaimana yang telah terjadi dalam kasus waduk kedung ombo.
Prinsip hak warga negara harus dihormati, apabila menyangkut hak hidup
rakyat banyak, karena tanah mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai sosial,
dengan demikian pemberian ganti rugi haruslah dilihat hak atas tanah yang melekat di
atasnya.
Masalah tanah adalah masalah yang menyentuk hak rakyat yang paling dasar. Tanah, di
samping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, karena fungsi sosial inilah
yang kadang kala kepentingan pribadi atas tanah dikorbankan untuk kepentingan umum.
Ini dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak
berupa uang semata akan tetapi dapat juga berbentuk tanah atau fasilitas lain. Misalnya,
dipindahkan ke tempat lain yang memang diperuntukkan bagi perumahan dengan
mendapat prioritas utama, dan tentunya jika penggantian ini dengan uang haruslah dengan jumlah yang layak. Harga layak di sini haruslah harga umum menurut undang-
Volume 8, No.1, Nop 2008 lvii
undang, yang artinya pantas menurut kesusilaan umum, karena jika menurut harga
pasaran, ini acapkali sudah melalui perantara.
Harga atanah yang dibebaskan itu haruslah yang pantas, yang sifatnya tidaklah
terlalu murah. Ini tentunya sangat relatif, sehingga kadang-kadang pemilik tanah merasa
tidak puas atas ganti rugi yang bakal diterima. Bilamana terjadi hal yang demikian maka
terhadap keputusan panitia tersebut dapat dimintakan banding kepada Pengadilan tinggi dalam daerah hukumnya tanah yang bersangkutan dalam tenggang waktu satu bulan
terhitung sejak diterima keputusan pembebasan tanah dimaksud. Hal ini sebagaimana
yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-
hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
KESIMPULAN
Dari seluruh uraian di atas, maka dapatlah penulis tarik beberapa kesimpulan
yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sifat-sifat yang melekat dalam hak milik adalah hak yang dapat diwariskan
secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan hak yang
terkuat diantara sekian hak-hak atas tanah yang ada, dalam pasal 570 KUH
Perdata hak milik dirumuskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap
kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,
kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak
demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan
pembayaran ganti rugi;
b. Kriteria yang dapat diterapkan terhadap hak milik, sehingga dapat berubah menjadi tanah negara ialah hanya karena dua alasan yaitu karena ditelantarkan
dan karena dibebaskan untuk kepentingan umum. Bilamana negara akan
mengambil alih hak milik seseorang, maka harus dilakukan proses identifikasi
terlebih dahulu, bilamana memang terbukti benar terjadi penelantaran hak
milik, maka pemerintah dapat melakukan tegoran sebanyak tiga kali tegoran.
Apabila terhadap tegoran-tegoran itu tidak diindahkan, maka barulah
pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Badan Pertanah Kabupaten
mengeluarkan ketetapan bahwa tanah tersebut ditelantarkan. Selanjutnya
melakukan penguasaan langsung atas tanah milik yang ditelantarkan tersebut.
Ini berarti kendati, hak milik merupakan hak atas tanah yang terpenuh dan
terkuat dan dapat dipertahankan sebagai hak kebendaan terhadap siapapun
akan keberadaan haknya, tetapi dalam hal terjadi atau berbenturan dengan fungsi sosial tanah, maka hak milik menjadi luluh.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lviii
c. Proses pembebasan tanah, sehingga status tanah yang dibebaskan menjadi
dikuasai langsung oleh negara adalah dilakukan dengan perantaraan Panitia
Penaksir. Panitia Penaksir melakukan taksiran harga atas tanah yang akan
dibebaskan dengan mendasarkan pada harga umum tanah yang bersangkutan di
tempat tersebut pada saat itu juga. Pada dasarnya penentuan harga atas tanah
yang akan dibebaskan didasarkan pada asas musyawarah, namun bilamana tidak terjadi kesepakatan akan harga yang telah ditetapkan oleh Panita
Penaksir, maka dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi yang
mempunyai wilayah hukum di tanah yang dibebaskan tersebut. Pengajuan
keberatan tersebut harus diajukan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya
satu bulan terhitung sejak diterimanya surat ketetapan harga oleh Panitia
Penaksir. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973.
SARAN
Saran yang dipandang cukup relevan dapat dikemukakan dalam tulisan ini,
yaitu: a. Dalam era reformasi, kekuatan hak milik dipandang perlu ditempatkan pada
kedudukannya yang proporsional, dengan harapan jangan sampai hak milik
melepaskan fungsi sosial dari tanah sebagaimana hal ini telah dicanangkan
oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960;
b. Di sini lain, pemahaman Hak Azasi Manusia oleh penguasa perlu dicermati
dengan maksud agar tidak terjadi pengambilalihan hak milik yang
ditelantarkan dengan semena-mena, tanpa proses hukum yang telah ditentukan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998;
c. Demikian halnya terhadap pembebasan tanah, agar pemberian ganti kerugian
itu diberikan secara cukup layak. Dengan harapan agar setelah tanah yang
bersangkutan dibebaskan, pemilik dapat mempunyai tempat tinggal yang layak huni.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lix
TANGGUNG JAWAB YURIDIS
BENDA SITAAN DALAM PERKARA PIDANA
Oleh:
Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir
tahun 1981 sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi
terwujudnya cita-cita dalam bidang keadilan hukum. Hukum Acara
Pidana tersebut memberikan batasan terhadap tindakan penyitaan
yang dilakukan aparat, baik terhadap pelaksanaannya maupun
terhadap obyek sitaannya.
Kata Kunci: Penyitaan – Benda dalam perkara pidana –
Peralihan tanggung jawab.
LATAR BELAKANG
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada Pasal 1 butir 16
memberi pengertian penyitaan sebagai berikut, "Penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan."
Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan
perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan
Hak Asasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak
terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Asasi Manusia itu dapat ditemukan
dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita,
tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam
kasus-kasus konkrit.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lx
Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat
dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)65 yang berlaku di
Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember
1981.66 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
adalah mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara.
Hak warga negara inilah yang utama dibandingkan dengan hak politik dan hak
sosial, sebab hanya apabila warga negara ini benar-benar dimiliki oleh para warga
negara dan dipertahankan oleh pengadilan, barulah hak politik dan hak sosial
mempunyai arti. Pengertian HAM itu sendiri adalah inhaerent dipunyai oleh setiap
manusia makhluk Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan kepada semua hamba-Nya
tanpa pandang bulu.
Hak asasi manusia adalah demikian melekat pada sifat manusia, sehingga
tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Karena itu
pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar,
sebagaimana hal ini telah dijamin oleh sila kedua dari Pancasila yaitu sila Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab dengan disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila. Karakteristik inilah yang membedakan Hak asasi manusia dari hak-hak lainnya yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita.
Pandangan bahwa penyebutan hak selalu dibarengi dengan pertain adanya
kewajiban timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah
simetris. Adalah kesimpulan yang keliru bahwa hak dan kewajiban itu berada pada
subyek yang sama. Penyebutan hak selau harus dibarengi dengan pengertian adanya
kewajiban. Sebagai contoh bahwa jika seseorang mempunyai sesuatu hak, maka orang
lain dalam hal yang sama mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hal yang
sama tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia
termasuk hak warga negara selalu melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh
warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasan
memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin
dipergunakan istilah hak dan kewajiban asasi manusia, maka pengertiannya adalah
adanya hak pada individu dan adanya kewajiban pada pemerintah. Hak Asasi Manusia
pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah untuk melindungi individu
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 65
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3
66
Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.440
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxi
tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara
atau aparat pemerintahan sendiri.
Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981
sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita dalam
bidang keadilan hukum. KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa
konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap
tindak, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, terutama terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan
pidana.
Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang
sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar
merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung
timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk
kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.67
Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan
Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang
selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan
norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi
pelaku dari sesuatu tindak pidana.
Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu
pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah
yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat
dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.68
Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana
penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda
dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat
membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya
sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan
67Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling
Terpercaya mengenai Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum
Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35 68Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung,
1984, h.13
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxii
pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa
KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif
tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam
masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP.
Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap
penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi
masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin
sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang
untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak
sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan
jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer),
maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan
mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan
ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin
kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.69 Prof. Mr.
Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.70
Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang
telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana
sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk
menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya)
berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung
ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.71
RUMUSAN MASALAH
Peraturan pidana yang telah menjadi hukum positif, tiada lain ditujukan dengan maksud untuk menjaring pelaku kejahatan. Selanjutnya untuk mempertahankan hukum
pidana tersebut haruslah diterapkan hukum acaranya yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang biasa disingkat dengan KUHAP. Di mana tiap-tiap tindak
pidana atau kejahatan harus diawali proses penyidikan setelah sebelumnya dilakukan
penyelidikan.
Sementara itu, acapkali dalam proses penyidikan diperlukan suatu bukti,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat 1 KUHAP yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan terdakwa.
69Kansil C.S.T., Op.Cit, h.40 70Ibid., h.42 71Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta,
2000, h.5
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxiii
Sementara bukti tersebut berada di pihak lain, dalam kondisi demikian pasal 39
KUHAP memberikan fasilitas kepada pejabat yang berwenang guna melakukan
penyitaan.
Atas dasar fakta tersebut di atas, maka Penulis memandang cukup relevan
untuk mengangkat beberapa permasalah hukum dengan rumusan kalimat:
a. Benda apakah yang dapat disita dalam perkara pidana? b. Bagaimanakah peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan dalam
proses perkara pidana?
BENDA OBYEK PENYITAAN PERKARA PIDANA
1. Benda yang Tidak dan Dapat Dilakukan Penyitaan
Berpikir secara sistematika perundang-undangan, jauh lebih tepat jika secara
keseluruhan masalah penyitaan diatur dalam suatu bab dan bagian paling tepat
ditempatkan dalam Bab V, Bagian Keempat, sehingga lebih mudah mempelajarinya.
Oleh karena itu, kita kurang memahami apa rasio menempatkan Pasal 128-130 pada
Bab XIV, Bagian Kedua KUHAP berjudul Penyidikan. Sementara penyitaan pada
hakikatnya termasuk wewenang dan fungsi penyidikan.72 Kalau begitu tidak ada urgensi
untuk dipisah-pisah. karena Pasal 128 sampai dengan Pasal 130, benar-benar aturan yang menyangkut penyitaan. Dengan demikian lebih tepat digabung pada Bab V Bagian
Keempat.
Pengertian penyitaan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang
berbunyi "Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan."
Memperhatikan pengertian di atas, kata yang dipergunakan kurang bernada
paksa. Lebih mirip bersifat kata-kata dalam hukum perdata, hal bersesuaian dengan
kalimat "mengambil alih". Seolah-olah benda yang hendak disita, semula adalah
kepunyaan penyidik, dan kemudian bendanya itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula. Karena itu kata-kata mengambil alih kurang tepat dipergunakan dalam
tindakan penyitaan pada tindak pidana. Kata mengambil alih, dihilangkan saja serta
mengganti menyimpan dengan kata "menaruh". Dengan mempergunakan kata menaruh,
lebih tegas diketahui bersifat upaya paksa daripada kata menyimpan yang berbau
perdata. Memang jika dalam perdata sesuai benar dipakai kata "menyimpan di bawah
pengawasannya"73. Tetapi dalam hukum publik tepat dipakai kata "menaruh di bawah
kekuasaannya".
72Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem
dan Prosedur, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.94 73Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta,
1988, h.62
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxiv
Terlepas daripada persoalan pemakaian kata-kata yang kurang tepat di atas
penyitaan dalam pengertian hukum acara pidana yang digariskan KUHAP adalah
"upaya paksa" yang dilakukan penyidik untuk74:
a. mengambil atau katakan saja "merampas" sesuatu barang tertentu dan seorang
tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan
dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum (wederechtelyk),
b. setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan
di bawah kekuasaannya.
Tujuan penyitaan, untuk kepentingan "pembuktian", terutama ditujukan
sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti,
perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi
lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan
sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan
pengadilan.
Kadang-kadang barang yang disita bukan milik tersangka, adakalanya barang
orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana
pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa ijin yang sah menurut
perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi.
Penyitaan adalah tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan,
sesudah lewat taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk dan atas
nama penyidik. Itu sebabnya Pasal 38 KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa
penyitaan hanya dapat dilakukan oleh "penyidik". Dengan penegasan Pasal 38 KUHAP
tersebut, telah ditentukan dengan pasti, hanya penyidik yang berwenang melakukan
tindakan penyitaan.
Penegasan ini dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum, agar tidak
terjadi ketidak-pastian seperti yang dialami pada masa yang lalu di mana Polri dan
penuntut umum sama-sama berwenang melakukan penyitaan, sebagai akibat dari status, sama-sama memiliki wewenang melakukan penyidikan75. Ketidak-pastian ini diperbarui
KUHAP, dengan meletakkan landasan prinsip diferensiasi dan spesialisasi fungsional
secara instansional, seperti yang dijelaskan pada uraian terdahulu.
Sama sekali hal ini tidak mengurangi kemungkinan akan adanya penyitaan
pada tingkat penuntutan atau tingkat pemeriksaan, pengadilan. Namun demikian
pelaksanaan penyitaan "mesti diminta" kepada penyidik. Seandainya, dalam
pemeriksaan sidang pengadilan berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan suatu
barang, untuk itu hakim mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum
agar penyidik melaksanakan penyitaan barang dimaksud.
74Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.31 75Andi Hamzah, Op.Cit., h.59
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxv
Memperhatikan ketentuan yang mengatur penyitaan, undang-undang
membedakan beberapa bentuk tata cara penyitaan. Ada yang berbentuk biasa dengan
tata cara pelaksanaan biasa. Bentuk yang biasa dengan tata cara yang biasa merupakan
landasan aturan umum penyitaan. Akan tetapi, pembuat undang-undang telah
memperkirakan kemungkinan yang timbul dalam konkreto. Berdasar perkiraan
kemungkinan itu mendorong pembuat undang-undang mengatur berbagai bentuk dantata cara penyitaan, agar penyitaan bisa terlaksana efektif dalam segala kejadian.
Penyitaan dengan bentuk dan prosedur biasa merupakan aturan umum
penyitaan. Selama masih mungkin dan tidak ada hal-hal yang luar biasa atau keadaan
yang memerlukan penyimpangan, aturan bentuk dan prosedur biasa yang ditempuh dan
diterapkan penyidik. Penyimpangan dan aturan bentuk dan tata cara biasa, hanya dapat
dilakukan apabila terdapat keadaan-keadaan yang mengharuskan untuk mempergunakan
aturan bentuk dan prosedur lain, sesuai dengan keadaan yang mengikuti peristiwa itu
dalam kenyataan.
Adapun tata cara pelaksanaan penyitaan secara umum harus ada "Surat ijin"
Penyitaan dan Ketua Pengadilan Negeri sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih
dulu meminta ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut,
penyidik memberi penjelasan dan alasan-alasan pentingnya dilakukan penyitaan, guna dapat memperoleh barang bukti baik sebagai barang bukti untuk penyidikan,
penuntutan, dan untuk barang bukti dalam persidangan pengadilan.
Apakah Ketua Pengadilan Negeri berhak menolak permintaan ijin, tentang hal
ini undang-undang tidak menegaskan. Akan tetapi secara logika, dapat menolak
memberikan ijin. Lagi pula salah satu tujuan pokok ijin penyitaan dari Ketua Pengadilan
Negeri, dalam rangka pengawasan dan pengendalian, agar tidak terjadi penyitaan yang
tidak perlu atau penyitaan yang bertentangan dengan undang-undang. Bertitik tolak dari
latar belakang pemberian ijin sebagai pengawasan dan pengendalian, Ketua Pengadilan
Negeri berwenang penuh untuk menolak permintaan yang diajukan penyidik. Cuma
penolakan ijin yang dilakukan memuat alasan berdasar hukum dan undang-undang.
Jangan asal menolak tanpa argumentasi atau pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana halnya kalau Ketua Pengadilan Negeri menolak
pemberian ijin, upaya apa yang dapat ditempuh penyidik dalam kejadian penolakan ini,
tentang hal ini undang-undang tidak memberikan jalan keluar sebagai alternatif
menurut wajarnya, penyidik dapat meminta atau mengajukan perlawanan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi. Sebab, jika tidak dibuka perlawanan terhadap penolakan pemberian
ijin penyitaan, berarti sekali Ketua Pengadilan Negeri menolak, tindakan penyitaan
mengalami jalan buntu.
Kemungkinan besar penyidik paling dapat menempuh altematif
mempergunakan bentuk dan cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak, dengan segala risiko yang akan dihadapi. Karena, sedang cara biasa saja pun
permintaan ijin ditolak, apalagi ditempuh dengan cara luar biasa (dalam keadaan yang
perlu dan mendesak), sejak semula penyidik dapat membayangkan akan terjadi penolakan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan "persetujuan". Memperhatikan
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxvi
semua kesulitan yang dihadapi oleh penyidik jika berani menempuh cara penyitaan
dengan mempergunakan alasan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, alternatif
yang terbaik ditempuhnya ialah bentuk dan cara penyitaan "tidak langsung", yakni
penyitaan dengan jalan mengeluarkan surat perintah, agar barang yang hendak disita,
diperintahkan supaya diserahkan tersangka atau pemilik/pemegang kepada penyidik.
Dengan menempuh cara ini, penyidik tidak terikat kepada ijin penyitaan Ketua Pengadilan Negeri.
Satu hal terpenting bagi pejabat yang akan melakukan penyitaan adalah
keharusan memperlihatkan atau Menunjukkan Tanda Pengenal. Syarat kedua yang
harus dipenuhi penyidik, menunjukkan "tanda pengenal" jabatan kepada orang dan
mana benda itu akan disita. Hal ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang
bersangkutan bahwa dia benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128
KUHAP)76. Dengan adanya ketentuan ini, tanpa menunjukkan lebih dulu tanda
pengenal, orang yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan
penyitaan.
Selanjutnya pejabat yang melakukan penyitaan harus memperlihatkan Benda
yang Akan Disita (Pasal 129 KUHAP) Penyidik harus memperlihatkan benda yang akan
disita kepada orang dan mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini untuk "menjamin"
adanya kejelasan atas benda yang disita. Dan pada saat penyidik memperlihatkan benda
dimaksud kepada orang tersebut atau keluarganya, penyidik dapat meminta keterangan
kepada mereka tentang asal usul benda yang akan disita.
Penyitaan dan Memperlihatkan Benda Sitaan Harus Disaksikan oleh Kepala
Desa atau Ketua Lingkungan dengan Dua Orang Saksi. Syarat atau tata cara
selanjutnya, ada kesaksian dalam penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan
disita. Dengan ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus
membawa saksi ke tempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga orang. Saksi
pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua lingkungan (Ketua RT/RW), ditambah
dua orang saksi lainnya (Pasal 129 ayat (1) KUHAP). Siapa yang dapat dijadikan saksi, pembuat undang-undang tidak menegaskan.
Oleh karena itu, sebaiknya diikuti dan dipegangi penjelasan Pasal 33 ayat (4), yang
menegaskan bahwa yang menjadi saksi dalam penggeledahan harus diambil dan warga
lingkungan yang bersangkutan. Maka untuk tidak terjadi keraguan dan perbedaan
pendapat antara penyidik dengan orang yang hendak disita dalam menentukan siapa
yang akan menjadi saksi penyitaan, dianut asas "konsistensi" dengan aturan
penggeledahan. Dengan demikian, pada penyitaan, kedua saksi yang dimaksud terdiri
dari anggota masyarakat dan lingkungan setempat. Kehadiran ketiga saksi dimaksud
untuk ikut melihat dan menyaksikan jalannya penyitaan, bahwa benda yang disita
benar-benar diperlihatkan kepada tersita atau keluarganya, dan semua saksi "ikut
menandatangani berita acara" sita.
76Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.77
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxvii
Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan di hadapan atau
kepada orang dari mana benda itu disita atau kepada keluarganya dan kepada ketiga
orang saksi, jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita acara, penyidik
memberi tanggal pada berita acara, kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan
berita acara, masing-masing mereka membubuhkan "tandatangan" pada berita acara,
penyitaan (penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing membubuhkan tanda tangan pada berita acara).
Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal itu serta menyebut alasan
penolakan membubuhkan tanda tangan. Artinya, segala hal yang terungkap dalam
proses penyitaan harus dituangkan secara jelas dan lengkap dalam berita acara
penyitaannya.
Setiap proses penyitaan harus selalu dibuatkan turunan berita acara penyitaan.
Kalau diperhatikan kewajiban penyidik dalam penyampaian turunan berita acara
penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan penyidik dalam
melaksanakan wewenang melakukan penyitaan, benar-benar diawasi dan terkendali.
Pengawasan dan pengendalian itu dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat meliputi
kalangan lingkunganyang agak luas. Baik pengawasan dan pengendalian dari atasan langsung penyidik sebagai built in control, maupun dari pihak-pihak yang
berkepentingan dan orang yang ikut terlibat dalam penyitaan itu sendiri:
a. sebagai pengawasan dan pengendalian dari segi struktural dan instansional,
penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada
"atasannya"(Pasal 129 ayat (4) KUHAP),
b. sebagai pengawasan dan pengendalian dari orang atau pihak yang terlibat
dalam penyitaan, penyidik menyampaikan turunan berita acara penyitaan
kepada:
1. orang dari mana barang itu disita atau keluarganya, dan
2. kepala desa.
Patut dan wajar untuk menjaga dan memelihara barang sitaan dengan cermat dan baik, sebagaimana layaknya barang sendiri. Malah harus melebihi cara penjagaan
dan pemeliharaan terhadap barang sendiri. Sebab alangkah tragis, apabila kesalahan
tersangka tidak terbukti atau barang yang disita tidak tersangkut dalam tindak pidana
yang dilakukan tersangka. Ternyata pada waktu benda yang disita itudikembalikan
kepadanya, sudah hancur dan tidak mempunyai nilai apa-apa lagi. Yang paling sedih
lagi benda sitaan itu ternyata memang tersangkut dalam tindak pidana, tapi benda itu
milik saksi yang menjadi korban tindak pidana, dan pada saat putusan memerintahkan
pengembalian barang bukti sitaan kepada saksi/korban (misalnya dalam pencurian),
ternyata benda tersebut sudah rusak dan tidak bisa lagi dimanfaatkan. Banyak hal-hal
yang merugikan dalam pengembalian barang sitaan kepada pemiliknya yang sah.
Barangkali pada saat pengembalian kepada pihak saksi atau kepada pihak yang berhak
untuk menerima kembali sesuai dengan amar putusan pengadilan, hampir jarang yang masih utuh dan bernilai. Hal ini terjadi disebabkan beberapa faktor, antara lain, di
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxviii
samping cara pembungkusan, penyimpanan, pemeliharaan, dan penjagaan yang kurang
bertanggung jawab, juga disebabkan faktor tempat penyimpanan tidak memenuhi
syarat. Semua ditumpuk berserakan pada gudang sempit, hanya berukuran 3 x 3 m2.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi kerusakan, lambatnya putusan pengadilan sampai
ke tahap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Harus menunggu bilangan tahun,
jarang yang memakan waktu satu dua tahun. Seandainya kepastian hukum dapat diperoleh dengan cepat, barang bukti bisa segera dikembalikan kepada yang berhak.
Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, pasal 130 KUHAP telah
menentukan cara-cara pembungkusan benda sitaan dicatat beratnya atau jumlahnya
menurut jenis masing-masing benda sitaan. Kalau jenisnya sulit ditentukan, sekurang-
kurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya, dicatat hari tanggal penyitaan, tempat
dilakukan penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita, kemudian diberi lak dan
cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai dengan ketentuan
Pasal 130 KUHAP ayat (1) di atas, ayat (2) pasal tersebut menentukan bahwa harus
membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada ayat 1 di atas, catatan itu
ditulis di atas label yang ditempelkan atau dikaitkan pada benda sitaan.
Sebagai pengecualian penyitaan biasa berdasar aturan umum yang diuraikan dahulu, Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberi kemungkinan melakukan penyitaan tanpa
melalui tata cara yang ditentukan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Hal ini diperlukan untuk
"memberi kelonggaran" kepada penyidik bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang
diperlukan. Seandainya pada setiap kasus penyidik diharuskan menempuh prosedur
penyitaan seperti yang diatur pada Pasal 38 ayat (1) KUHAP, kemungkinan besar
penyidik mengalami hambatan dalam pencarian dan penemuan bukti tindak pidana.
Untuk menjaga kemungkinan kemacetan dan hambatan pada kasus tertentu, yang
mengharuskan penyidik segera bertindak dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak, dapat menempuh tata cara penyitaan yang ditentukan Pasal 41 KUHAP.
Landasan alasan penyimpangan ini, didasarkan kepada kriteria "dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak". Tentang pengertian apa yang dimaksud "dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak", sudah dijelaskan pada uraian penggeledahan. Oleh karena itu, pada uraian
penyitaan ini, tidak diulang lagi menjelaskannya. Namun sebagai pedoman, ada baiknya
diulang mencatat kembali penjelasan Pasal 34 ayat (1) KUHAP. Sekalipun penjelasan
Pasal 34 ayat (1) KUHAP dimaksudkan untuk penggeledahan, penjelasan ini dapat kita
pergunakan secara "konsisten" terhadap tindakan penyitaan dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak.
Sesuai dengan penjelasan dimaksud, setelah disesuaikan dengan maksud
penyitaan, dapat disimpulkan sebagai berikut, "keadaan yang sangat perlu dan
mendesak ialah bilamana di suatu tempat diduga keras terdapat benda atau barang bukti
yang perlu segera dilakukan penyitaan, atas alasan patut dikhawatirkan bahwa benda itu
akan segera dilarikan atau dimusnahkan ataupun dipindahkan oleh tersangka". Itulah kira-kira pengertian dalam keadaan mendesak yang dirumuskan sendiri oleh pembuat
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxix
undang-undang. Memang seperti yang kita tanggapi pada pembahasan penggeledahan,
rumusan penjelasan ini agak mengambang, dan penilaian keadaan yang sangat perlu dan
mendesak yang digambarkan, lebih dititikberatkan pada penilaian subjektif pejabat
penyidik.
Mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
adalah sebagai berikut:77 a. Tanpa "Surat ijin" Ketua Pengadilan Negeri, jadi, penyidik tidak perlu lebih
dulu melapor dan meminta surat ijin dari Ketua Pengadilan, dapat langsung
mengadakan penyitaan. Dengan demikian bilamana penyidik "harus segera
bertindak" dan tidak mungkin mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, dalam
keadaan seperti ini penyitaan dilakukan tanpa surat ijin Ketua Pengadilan
Negeri.
b. Hanya Terbatas atas Benda Bergerak Saja, objek penyitaan dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak sangat dibatasi, hanya meliputi "benda
bergerak" saja. Alasan undang-undang membuat pembatasan objek penyitaan
yang seperti ini, tiada lain oleh karena belum ada ijin dari Ketua Pengadilan
Negeri, sehingga timbul pendapat, penyitaan dalam keadaan sangat perlu dan
mendesak belum sempurna landasan hukumnya. Lagi pula hanya benda bergerak yang mudah dilenyapkan atau dilarikan tersangka, sedang benda yang
tidak bergerak sulit untuk dihilangkan.
c. Wajib Segera "Melaporkan" Guna Mendapatkan "Persetujuan", artinya segera
sesudah penyitaan, apakah penyitaan berhasil atau tidak, penyidik "wajib"
segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, sambil meminta
"persetujuan". Bagaimana kalau Ketua Pengadilan Negeri tidak memberikan
persetujuan atau membuat penyataan penolakan atas persetujuan yang diminta
penyidik? Apabila penyitaan tidak disetujui, berarti penyitaan tersebut "tidak
sah". Oleh karena itu, dengan sendirinya penyitaan itu "batal demi hukum",
dan benda sitaan segera dikembalikan kepada keadaan semula. Dan memang
jika keadaan seperti ini terjadi, merupakan hal yang menyedihkan bagi penyidik. Akan tetapi, bagaimanapun pedihnya kejadian seperti ini, hukum
harus ditegakkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, jika benar-benar cukup alasan
untuk menolaknya. Malahan sangat disayangkan apabila Ketua Pengadilan
Negeri bersikap masa bodoh dan tutup mata atas kekeliruan yang dilakukan
penyidik. Bukankah tujuan persetujuan itu dimaksudkan sebagai upaya koreksi
terhadap penyidik? Dan menempatkan Ketua Pengadilan Negeri sebagai
instansi pengawas dan pengendali bagi penyidik dalam melaksanakan
wewenang penyitaan yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Kalau
terjadi penolakan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, apakah penyidik
dapat melakukan perlawanan? Tidak dapat, Sebab undang-undang tidak
mengatur perlawanan atas kejadian yang seperti ini.
77Soesilo Yuwono, Loc.Cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxx
Ketiga hal itulah yang khusus dalam penyitaan yang dilakukan dalam
keadaan sangat perlu dan mendesak. Selebihnya, diikuti tata cara dan prosedur yang
ditentukan pada KUHAP Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130, yakni harus
menunjukkan tanda pengenal kepada orang dari mana benda itu disita atau
terhadap keluarganya, memperlihatkan benda yang disita baik kepada orang yang
bersangkutan atau keluarganya dan kepada saksi-saksi. penyitaan harus disaksikan
oleh kepala desa atau ketua lingkungan ditambah lagi dua orang saksi dan lingkungan
warga tempat penyitaan, membuat berita acara penyitaan serta membacakan lebih dulu
berita acara kepada orang dari mana benda itu disita atau terhadap keluarganya dan
kepada saksi-saksi, kemudian setelah berita acara dibacakan, masing-masing mereka
membubuhkan tanda tangan. Dan apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya
tidak bersedia membubuhkan tanda tangan, dicatat oleh penyidik pada berita acara serta
menyebutkan alasan penolakan penandatanganan dimaksud, turunan berita acara
disampaikan kepada pihak atasan penyidik, orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya, dan kepala desa, terakhir, benda sitaan dibungkus sebagaimana halnya
pada benda sitaan biasa seperti yang diatur pada Pasal 130 ayat (2) KUHAP.
Penyitaan dalam Keadaan Tertangkap Tangan, penyitaan benda dalam keadaan
tertangkap tangan merupakan "pengecualian" penyitaan biasa. Dalam keadaan
tertangkap tangan, penyidik dapat "langsung" menyita sesuatu benda dan alat:
a. yang ternyata digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau benda dan alat
yang "patut diduga" telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, atau
b. benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxi
Ketentaan Pasal 40 KUHAP sangat beralasan, langsung memberi wewenang
kepada penyidik untuk menyita benda dan alat yang dipergunakan pada peristiwa tindak
pidana tertangkap tangan. Malahan dianggap lucu, jika untuk melakukan penyitaan
benda atau alat pada keadaan tertangkap tangan, penyidik lari dari tempat kejadian
untuk meminta surat ijin penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sikap seperti itu
sia-sia, tidak efektif dan efisien, dan tidak rasional serta tidak tepat menurut prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan. Misalnya, penyidik memergoki
seseorang membawa ganja atau morfin di pantai yang jauh dari kantor Pengadilan
Negeri pada suatu malam. Tersangka lari sambil meninggalkan ganja atau morfin tadi.
Adalah ganjil sekali apabila penyidik meninggalkan benda bukti tersebut, dan
mengambil langkah seribu lari ke kota meminta ijin dulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Tindakan yang tepat, efektif, dan efisien apabila penyidik "langsung" menyitanya.
Dalam keadaan tertangkap tangan, sangat luas wewenang penyitaan yang
diberikan kepada penyidik. Di samping wewenang untuk menyita benda dan alat yang
disebut pada Pasal 40, Pasal 41 KUHAP memperluas lagi wewenang itu meliputi segala
macam jenis dan bentuk surat atau paket:
a. menyita paket atau surat, b. atau benda yang pengangkutan atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos
dan telekomunikasi, jawatan atau pemisahaan komunikasi atau pengangkutan,
c. asalkan sepanjang surat atau paket atau benda tersebut diperuntukkan atau
berasal dari tersangka,
d. namun dalam penyitaan benda-benda pos dan telekomunikasi yang demikian,
penyidik harus membuat ''surat tenda terima" kepada tersangka atau kepada
jawatan atau perusahaan telekomunikasi maupun pengangkutan dari mana
benda atau surat itu disita.
Pada ketentuan Pasal 41 KUHAP, pengertian keadaan tertangkap tangan,
bukan terbatas pada tersangka yang nyata-nyata sedang melakukan tindak pidana, tetapi
termasuk pengertian tertangkap tangan atas paket atau surat dan benda-benda pos
lainnya, sehingga terhadap benda-benda tersebut dapat dilakukan penyitaan "langsung"
oleh penyidik.
Kalau dalam keadaan tertangkap tangan dikenal bentuk dan cara penyitaan
"langsung" oleh penyidik terhadap benda dan alat serta benda-benda pos atau paket
melalui jawatan maupun perusahaan pengangkutan, Pasal 42 KUHAP memperkenalkan
bentuk dan cara penyitaan "tidak langsung". Benda yang hendak disita tidak langsung
didatangi dan diambil sendiri oleh penyidik dari tangan dan kekuasaan orang yang
memegang dan menguasai benda tersebut, tetapi penyidik mengajak yang bersangkutan untuk menyerahkan sendiri benda yang hendak disita dengan sukarela. Atas dasar
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxii
pengertian di atas, kita menyebut bentuk dan cara ini "penyitaan tidak langsung".
Artinya tangan dan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyitaan, tidak secara
langsung dan nyata dalam pengambilan benda sitaan, tetapi disuruh antar atau disuruh
serahkan sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Mengenai tata cara pelaksanaan penyitaan tidak langsung yang diatur dalam
Pasal 42 KUHAP adalah seseorang yang menguasai benda yang dapat disita karena benda itu tersangkut sebagai barang bukti dari suatu tindak pidana, oleh karena itu perlu
disita. Yang dimaksud di sini orang yang menguasai benda yang dapat disita dan benda
yang tersangkut dengan suatu peristiwa pidana, tidak hanya terbatas kepada tersangka
saja, tapi meliputi semua orang. Siapa saja yang menguasai atau memegang benda yang
dapat disita, baik penyimpan, pembeli, pemakai, atau peminjam, atau surat-surat yang
ada pada seseorang yang berasal dari tersangka atau terdakwa atau surat yang ditujukan
kepada tersangka/terdakwa atau kepunyaan tersangka/terdakwa ataupun yang
diperuntukkan baginya, atau jika benda itu merupakan alat untuk melakukan tindak
pidana, penyidik "memerintahkan" kepada orang-orang yang menguasai atau
memegang benda untuk "menyerahkan" kepada penyidik. Jadi, cara penyitaan
dilakukan dengan jalan mengeluarkan "perintah" kepada orang-orang yang
bersangkutan untuk "menyerahkan" benda tersebut kepada penyidik, apakah perintah penyerahan itu dilakukan secara tertulis atau cukup dengan lisan tergantung kepada
keadaan, secara kasus per kasus. Namun demi untuk tegaknya kepastian hukum serta
terbinanya administrasi penegakan hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman yang
menuntut kerapian administrasi, sebaiknya perintah penyerahan benda itu dilakukan
dengan "perintah tertulis". Jika perintah penyerahan dilakukan penyidik dalam keadaan
mendesak, sehingga pada saat itu tidak mungkin dilakukan secara tertulis, harus disusul
dengan menyampaikan surat tertulis kepada orang yang bersangkutan.
Penyidik memberikan "surat tanda terima", atas penyerahan benda, bagaimana
jika orang yang bersangkutan tidak mau mematuhi perintah penyidik tersebut, tidak mau
menyerahkan benda dimaksud. Dari sudut hukum materiil, penyidik dapat memeriksa
orang yang bersangkutan atas pelanggaran tindak pidana Pasal 216 KUHP yaitu dengan sengaja tidak menurut perintah atau permintaan keras yang dilakukan menurut peraturan
perundang-undangan oleh pegawai negeri.78
Namun dari segi hukum formal, sesuai dengan apa yang digariskan KUHAP,
penyidik harus menempuh tata cara penyitaan bentuk biasa. Atas keingkaran orang
tersebut menyerahkan benda yang perlu disita penyidik minta "surat ijin" Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan dengan cara paksa.
Penyitaan Surat atau tulisan lain di atas sudah dibicarakan penyitaan surat dan benda
pos atau benda telekomunikasi dalam keadaan tertangkap tangan, yang memberi
wewenang kepada penyidik "langsung" menyita surat atau benda pos dimaksud.
78Soesilo R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cet.VI, Politeia , Bogor, h.1996.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxiii
Demikian juga halnya pada penyitaan surat secara tidak langsung melalui
perintah penyidik kepada pemegang atau yang menguasai untuk menyerahkan kepada
penyidik seperti yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) KUHAP. Maka pada Pasal 43
KUHAP, diatur pula bentuk dan cara penyitaan surat-surat lain di luar surat-surat yang
disebut pada Pasal 41 dan Pasal 42 ayat (2) KUHAP. Yang dimaksud dengan surat atau
tulisan lain pada Pasal 43 KUHAP adalah surat atau tulisan yang "disimpan" atau "dikuasai" oleh orang tertentu, di mana orang tertentu yang menyimpan atau menguasai
surat itu, "diwajibkan merahasiakannya" oleh undang-undang. Misalnya, seorang
notaris adalah pejabat atau orang tertentu yang menyimpan dan menguasai akta
testamen, dan oleh undang-undang diwajibkan untuk merahasiakan isinya. Akan tetapi
harus diingat, kepada kelompok surat atau tulisan lain ini tidak termasuk surat atau
tulisan yang menyangkut "rahasia negara". Surat atau tulisan yang menyangkut rahasia
negara "tidak takluk" kepada ketentuan Pasal 43 KUHAP. Oleh karena itu, Pasal 43
KUHAP tidak dapat diperlakukan sepanjang tulisan atau surat yang menyangkut rahasia
negara. Atau kalau dibalik, Pasal 43 KUHAP hanya dapat diterapkan terhadap surat dan
tulisan yang "tidak" menyangkut rahasia negara. Mengenai syarat dan cara
penyitaannya hanya dapat disita atas persetujuan mereka yang dibebani kewajiban oleh
undang-undang untuk merahasiakan. Misalnya akta notaris atau sertifikat, hanya dapat disita atas persetujuan notaris atau pejabat agraria yang bersangkutan, atas "ijin khusus"
Ketua Pengadilan Negeri, jika tidak ada persetujuan dari mereka. Jika mereka yang
berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan surat atau tulisan itu "setuju
atas penyitaan" yang dilakukan penyidik, penyitaan dapat dilakukan "tanpa surat ijin"
Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi, kalau mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang untuk merahasiakan "tidak setuju" atas penyitaan yang akan dilakukan
penyidik, dalam hal seperti ini penyitaan hanya dapat dilakukan "atas ijin khusus" Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
Penyitaan Minuta Akta Notaris Berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung/
Pemb/3429/86 dan Pasal 43 KUHAP mengenai masalah ini dapat dikernukakan
pedoman yaitu bahwa Ketua Pengadilan Negeri harus benar-benar mempertimbangkan "relevansi" dan "urgensi" penyitaan secara objektif berdasar pasal 39 KUHAP.
Pemberian ijin khusus Ketua Pengadilan Negeri atas penyitaan Minuta Akta
Notaris, berpedoman kepada petunjuk teknis dan operasional yang digariskan dalam
Surat MA No. MA/Pemb/3429/86 (12 April 1986), antara lain menjelaskan bahwa
pada prinsipnya minuta akta menurut Pasal 40 PJN hanya boleh diperlihatkan atau
diberitahu kepada orang yang berkepentingan langsung. Sehubungan dengan itu, notaris
berada dalam posisi sulit menghadapi proses pidana yang dihadapkan kepadanya.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 KUHAP, lebih tinggi tingkatannya dari
PJN, oleh karena itu, apa yang diatur dalam Pasal 40 PJN selayaknya tunduk kepada
penyitaan yang diatur dalam KUHAP, selanjutnya, Minuta Akta yang disimpan oleh
notaris, pada umumnya dianggap sebagai arsip negara. Oleh karena Minuta Akta
ditafsirkan berkedudukan sebagai Arsip Negara atau melekat padanya "rahasia Jabatan"
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxiv
notaris, pemberian ijin oleh Ketua Pengadilan Negeri, merujuk kepada ketentuan Pasal
43 KUHAP bahwa penyitaan harus berdasar Ijin Khusus Ketua Pengadilan Negeri.
Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan petunjuk sebagai pedoman
tidak tepat pendapat yang menyatakan Minuta Akta tidak bisa disita, berdasar Pasal 43
KUHAP dikaitkan dengan Surat Mahkamah Agung No.MA/Pemb/3429/86 (12 April
1986) Penyidik dapat meminta ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menyita Minuta Akta, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Ijin Khusus yang
dituangkan dalam Penetapan. Namun penyitaan dalam hal ini tidak terlepas kaitannya
dengan kewajiban notaris menyimpan Minuta dimaksud, sehingga wujud penyitaan
yang dibenarkan terbatas pada kebolehan penyidik untuk "menyalin" atau
memfotokopinya.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, penyitaan adalah tindakan
pengambilalihan benda untuk disimpan dan ditaruh di bawah penguasaan penyidik baik
benda itu diambil dari pemilik, penjaga, penyimpan, penyewa, dan sebagainya, maupun
benda yang langsung diambil dari penguasaan atau pemilikan tersangka. Apakah
penyitaan dapat dilakukan atau diletakkan terhadap semua benda tanpa mempersoalkan
status hukum benda itu? Atau benda yang bagaimana sifat dan keadaannya yang dapat
dilakukan atau diletakkan sita, Tentu ada batasan agar dapat ditegakkan kepastian hukum. Kalau tidak ada batasan, berarti terhadap semua benda yang bagaimanapun
keadaan dan statusnya, dapat diletakkan sita oleh penyidik.
Secara saksama ditelusuri pasal-pasal penyitaan, terutama Pasal 39 KUHAP
dihubungkan dengan Pasal 1 butir l6. Dari semua isi ketentuan pasal dimaksud, telah
digariskan "prinsip hukum" dalam penyitaan benda,' yang memberi batasan tentang
benda yang bagaimana yang dapat diletakkan penyitaan. Prinsip itu menegaskan "benda
yang dapat disita menurut undang-undang (KUHAP) hanya benda benda yang ada
hubungannya dengan tindak pidana". Jika suatu benda tidak ada kaitan atau keterlibatan
dengan tindak pidana, terhadap beada-benda tersebut tidak dapat diletakkan sita. Oleh
karena itu, penyitaan benda yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana
yang sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang "bertentangan dengan hukum", dan dengan sendirinya penyitaan "tidak sah". Konsekuensinya, orang yang
bersangkutan dapat meminta tuntutan ganti rugi baik kepada Praperadilan apabila masih
dalam tingkat penyidikan dan kepada Pengadilan Negeri apabila perkaranya sudah
diperiksa di persidangan.
Terhadap benda apa saja penyitaan dapat diletakkan, atau terhadap jenis benda
yang bagaimana sita dapat dilakukan, apabila benda yang bersangkutan ada
keterlibatannya dengan tindak pidana guna untuk kepentingan pembuktian pada tingkat
penyidikan, penuntutan, dan sidang peradilan, ditentukan dalam Pasal 39 KUHAP.
Menurut pasal 39 KUHAP ayat (1) yang dapat dikenakan penyitaan adalah
benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana, benda yang telah
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana, benda yang dipergunakan menghalang-halangi
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxv
penyidikan tindak pidana, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan
tindak pidana, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan. Ayat (2) dari pasal 39 KUHAP menentukan benda yang berada dalam
sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan
ayat (1). Artinya sepanjang benda sitaan perkara perdata mempunyai kaitan dengan suatu tindak pidana yang sedang diperiksa baik benda itu merupakan hasil atau
diperoleh dari tindak pidana atau benda sitaan perdata tadi dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana ataupun benda sitaan perdata tersebut
diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana.
Menyikapi Penyitaan dalam Perkara Pidana Atas Benda yang Disita dalam
Perkara Perdata Belakangan ini sering dihadapkan dengan masalah penyitaan dalam
perkara pidana. Pada umumnya permasalahan datang dari aparat penyidik yang
menuding kekeliruan atau ketidaktanggapan Ketua Pengadilan Negeri merespons
permintaan ijin penyitaan yang diminta Polri.
Memang terkadang ada indikasi, permintaan penyitaan merupakan rekayasa
atau persekongkolan penyidik dengan pihak ketiga untuk mendistorsi atau menghambat
penyelesaian perkara perdata yang sedang ditangani pengadilan terhadap barang yang hendak disita dalam perkara pidana tadi, sehingga dianggap cukup alasan menolak
pemberian ijin penyitaan.
Apalagi dengan munculnya Peradilan Niaga yang berfungsi menyelesaikan
perkara pailit, perlu ditingkatkan sikap yang lebih hati-hati memberi ijin penyitaan.
Sebab penyitaan yang dilakukan penyidik terhadap budel pailit, bisa mengurangi
efektivitas penyelesaian perkara pailit.
2. Pengembalian Benda Sitaan
Kecuali mengenai benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang
mengedarkan, pada prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dan siapa
benda itu disita atau kepada mereka "yang paling berhak". Inilah prinsip hukum atas pengembalian benda sitaan yang dijadikan barang bukti pada setiap tingkat
pemeriksaan, harus dikembalikan kepada mereka yang paling berhak.79 Apalagi jika
benda sitaan disita dari pihak ketiga atau dari pihak tersangka tapi yang diambilnya
dengan jalan melawan hukum dari saksi yang menjadi korban peristiwa pidana yang
bersangkutan, sangat layak untuk segera mengembalikan barang bukti tersebut. Betapa
sedih dan ruginya seorang saksi korban tindak pidana, atau seorang ibu yang kena
rampok emas perhiasannya habis dirampok tersangka. Kemudian seluruh emas
perhiasan itu secara utuh berhasil diselamatkan dari tersangka/terdakwa.
Tersangka/terdakwa mengaku di hadapan penyidik bahwa itulah perhiasan yang
79Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan permasalahan KUHAP
Bidang Penuntutan dan Eksekusi dalam Bentuk Tanya Jawab, Cet.I, Sinar Grafika,
Jakarta, 1992, h.309
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxvi
dirampoknya dari ibu yang menjadi korban. Dan korban menjelaskan dan
memperlihatkan surat-surat tentang kebenaran benda perhiasan yang dirampok.
Sekarang mari kita pertanyakan persoalan ini secara hukum dan objektif. Pertama,
apakah benda perhiasan tadi dapat disita oleh penyidik, menurut hukum jelas ada
kaitannya dengan tindakan pidana perampokan. Yuridis formal dapat disita sampai
perkara perampokan mendapat putusan yang berkekuatan tetap. Untuk apa benda perhiasan itu disita sampai sebegitu lama. Dari segi hukum, untuk kepentingan
pembuktian dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai dari penyidikan sampai ke tingkat
pemeriksaan kasasi. Jadi, kalau ditinjau dari segi hukum dan undang-undang, penyitaan
terhadap benda perhiasan dalam kasus ini dibenarkan oleh hukum dan undang-undang.
Akan tetapi, kalau kita mempersoalkannya lebih mendalam, tindakan penyitaan dalam
contoh tadi bisa terjadi hal-hal yang memilukan dan memalukan serta kurang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi hukum manapun. Bukankah barang perhiasan tadi
sudah jelas kepunyaan saksi/korban sesuai dengan kenyataan dan fakta yang
diketemukan penyidik sendiri? Bukankah perhiasan tersebut merupakan barang bukti
yang kurang penting untuk setiap saat harus ada pada tangan pejabat pada setiap tingkat
pemeriksaan, asal sudah dicatat jenis dan beratnya. Bukankah juga perhiasan tadi dapat
disuruh bawa oleh saksi kapan saja diperlukan pada setiap tingkat pemeriksaan, bukankah barangkali harta kekayaan saksi korban yang paling berharga hanya perhiasan
itu saja? Bukankah benda itu tidak bersifat berbahaya?
Benda emas perhiasan tadi tidak dikembalikan pada saksi/korbansesudah
dicatat jenis dan beratnya. Dan pada contoh kita di atas, malang tak dapat diraih, anak
saksi/korban mengalami sakit keras. Cari biaya pengobatan ke sana ke mari tidak dapat.
Teringat saksi akan barang perhiasan yang masih disita oleh pejabat. Bergegas
menjumpai pejabat yang bersangkutan agar dapat dikembalikan untuk dijual guna
menanggulangi biaya pengobatan. Akan tetapi malang nasibnya. Dia mendapat
bentakan dari pejabat yang menjelaskan barang perhiasan itu tersangkut tindakan
pidana. Karena itu tak dapat diutak-atik sampai perkaranya mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Putus asa menghadapi pejabat, dia pulang dengan pilu sambil bertanya dalam hati. Begitu kakukah hukum yang berlaku terhadap dirinya, Bukankah
barang perhiasan tersebut hasil cucur keringatnya, yang dikumpulkan dengan segala
penderitaan, sudah jadi korban perampokan, tapi harta bendanya dijadikan pula korban
dari kejahatan orang lain. Padahal dari segi hukum pun, penyitaan atas benda itu tidak
begitu penting. Tiada berapa lama anaknya yang sakit keras tadi meninggal dunia
disebabkan tidak ada biaya pengobatan, karena barang perhiasan emas yang bisa
dijadikan sebagai penolong dalam keadaan terdesak, tidak dikembalikan pejabat, dan
tetap ditahan sebagai barang sitaan untuk tujuan dan kepentingan hukum yang kurang
relevan. Adapun yang menjadi akhir dari cerita ini, perkara berjalan berlarut-larut
sampai bertahun baru mendapat keputusan pasti. Dan pada waktu perkara yang
bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti, saksi/korban sudah meninggal dunia.
Dan pada waktu ahli waris menanyakan benda perhiasan yang disita empat tahun yang lalu, ternyata barangnya sudah tidak ada lagi. Mulai dari penyidik, penuntut umum, dan
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxvii
pengadilan ditanyai, tapi semua menjelaskan tidak tahu-menahu akan benda sitaan
dimaksud. Demikianlah sekelumit kisah penyitaan suatu benda. Pada akhirnya selalu
benda sitaan tidak bisa dipakai lagi, atau hilang tanpa bekas. Apa yang diceritakan di
atas barangkali sering terjadi di mana-mana.
Berhubung dengan apa yang digambarkan di atas kewajiban bagi aparat
penegak hukum, supaya sesegera mungkin mengembalikan benda sitaan yang tidak penting sebagai barang bukti dalam pemeriksaan terutama jika benda sitaan itu berasal
dari saksi korban peristiwa pidana. Korban peristiwa pidana mati dibunuh oleh
perampok, namun kesedihan keluarga itu ditimpa lagi dengan penyitaan benda harta
kekayaan yang menjadi bukti dalam penangkapan, akan tetapi tidak tahu kapan benda
itu dapat dikembalikan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 46 KUHAP, pengembalian benda sitaan
harus dilakukan "sesegera mungkin" kepada yang paling berhak apabila secara nyata
dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukannya lagi, atau apabila perkara
tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak
pidana, perkara tersebut dikesampingkan/dideponer untuk kepentingan umum, atau
perkara tersebut ditutup demi hukum, karena alasan nebis in idem atau
tersangka/terdakwanya meninggal dunia atau karena tuntutan terhadap tindak pidana sudah kedaluwarsa.
Apa yang dibicarakan di atas adalah pengembalian benda sitaan sebelum
perkara yang berhubungan dengan benda sitaan itu belum memperoleh keputusan yang
berkekuatan tetap. Oleh karena itu, mulai dari tingkat penyidikan, atau penuntutan
diusahakan segera mengembalikan benda sitaan kepada yang paling berhak jika
"urgensi" benda tadi sebagai bukti dalam pemeriksaan, tidak dipentingkan atau tidak
diperlukan lagi.
Apabila perkaranya sudah diputus harus segera dikembalikan kepada orang
yang paling berhak sesuai dengan amar putusan. Kecuali jika menurut putusan hakim,
benda sitaan itu dirampas untuk negara atau untuk dimusnahkan maupun untuk dirusak
sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai bukti dalam perkara lain.
Sebagai akhir dari uraian ini, kita kutip alinea terakhir penjelasan Pasal 46 ayat
(1) KUHAP bahwa "Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin
diperhatikan kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi
sumber kehidupan".
3. Penjualan Lelang Benda Sitaan
Yang dimaksud dengan penjualan lelang benda sitaan dalam uraian ini, bukan
penjualan lelang taraf eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Penjualan lelang yang akan dibicarakan adalah penjualan yang dimaksud
Pasal 45 KUHAP, berupa "penjualan lelang" benda sitaan yang pemeriksaan perkaranya
masih dalam taraf proses tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan. Mungkin penjualan lelang itu dilakukan atas perintah yang dikeluarkan instansi
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxviii
penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan berdasar wewenang dan syarat-syarat
yang diberikan dan ditentukan undang-undang dalam Pasal 45 KUHAP. Bisa juga
berdasar penetapan yang dikeluarkan penuntut umum pada tingkat penuntutan atau
hakim yang menyidangkan perkara pada semua tingkat pemeriksaan pengadilan.
Apa memang boleh menjual atau melelang benda sitaan dalam keadaan
perkaranya belum diputus oleh pengadilan, atau apakah boleh menjual benda sitaan sebelum perkaranya mempunyai keputusan yang berkekuatan tetap. Bukankah tindakan
atau wewenang penjualan seperti ini bertentangan dengan prinsip hukum. Sebab dengan
pelelangan barang benda sitaan pada saat proses pemeriksaan masih sedang berjalan,
berarti secara tidak langsung penjualan pelelangan menjatuhkan vonis bersalah terhadap
tersangka atau terdakwa. Tindakan serupa ini dianggapnya bertentangan dengan prinsip
presumption of innocent,80 karena memvonis barang tersebut ada hubungannya dengan
kejahatan, padahal kesalahannya belum terbukti." Mungkin ada benarnya jika hanya
bertitik tolak dari sudut penjualan itu semata-mata. Akan tetapi kalau ditinjau secara
integral dihubungkan dengan landasan alasan penjualan lelang serta dikaitkan dengan
motivasi dan tujuan kepentingan keselamatan benda tersebut serta memperhitungkan
risiko kerugian yang akan diderita, pendapat itu kurang argumentatif. Oleh karena itu,
bertitik tolak dari cara berpikir yang komprehensif, penjualan lelang benda sitaan, tidak bertentangan dengan prinsip presumption of innocent. Sebab prinsip itu sendiri pun
tidak rela mengorbankan sesuatu demi untuk kepentingan prinsip itu sendiri. Lagi pula,
bukankah prinsip itu harus sejalan dengan prinsip hukum yang lain, yakni prinsip
hukum extra ordinary atau overmacht yang menjadi landasan yang "memaafkan" suatu
tindakan di luar kebiasaan. Jadi, jika pejabat yang bersangkutan menghadapi "kesulitan
yang luar biasa" atau berada dalam keadaan sulit menyelamatkan dan menjaga keutuhan
benda atau benda yang disita merupakan bahan kimia yang mudah meledak sedang
tempat penyimpanan yang sesuai untuk itu tidak ada; pejabat yang bersangkutan
dihadapkan pada suatu keadaan yang extra ordinary. Dalam ruang lingkup keadaan
yang seperti ini Pasal 45 KUHAP memberi kemungkinan bagi pejabat yang
bersangkutan menjual benda sitaan, dengan syarat agar memenuhi tata caranya. Syarat Penjualan Lelang yang Perkaranya Sedang Diperiksa Sekalipun, perkaranya masih
dalam tahap proses pemeriksaan, benda sitaan dapat dijual lelang, asal dipenuhi syarat-
syarat:
a. bila benda sitaan tercuri dari benda yang "mudah rusak" atau busuk;
b. apabila benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap,
c. jika biaya penyimpanan benda sitaan akan menjadi terlalu tinggi.
80Soesilo Yuwono, Op.Cit., h.27
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxix
Itulah beberapa syarat yang bersifat "alternatif" bagi pejabat hukum yang
bersangkutan, yang memberi kemungkinan kepada mereka untuk menjual lelang benda
sitaan. Apabila salah satu di antara syarat tersebut terpenuhi, benda sitaan dapat dijual
leiang. Sebaiknya, pembuat undang-undang menambah satu syarat lagi yaitu meminta
keterangan dari seorang ahli yang akan memberi pendapat tentang kebenaran dan
kemestian untuk menjual lelang benda sitaan. Sebab tanpa adanya keterangan ahli, bisa saja syarat-syarat di atas dipermainkan oleh pejabat yang bersangkutan menurut selera
dan penilaian subjektifnya. Oleh karena itu, agar penilaian syarat-syarat itu lebih
objektif, ada baiknya supaya dalam setiap penjualan lelang yang akan dilakukan oleh
pejabat penegak hukum, harus ada "rekomendasi dari seseorang ahli" agar penilaian
syarat-syarat itu mendekati kenyataan objektif.
Sekalipun permintaan pendapat ahli tidak ditentukan dalam undang-undang
sebagai syarat, namun penjelasan Pasal 45 ayat (1) Alinea 2 KUHAP menegaskan
lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak. Adapun maksud
melibatkan lembaga ahli dalam proses penjualan pelelangan, untuk menghindarkan
pejabat dari tuduhan negatif. Oleh karena itu, lebih baik meminta keterangan seorang
ahli. Hal ini tidak merugikan fungsi dan wewenang mereka, dan tidak pula menghambat
kelancaran pelaksanaan pemeriksaan. Di samping syarat-syarat yang dikemukakan, Pasal 45 KUHAP juga telah menggariskan
juga cara penjualan lelang yang dianggap sah oleh hukum "Sedapat
Mungkin" Mendapat Persetujuan dari Tersangka atau Kuasanya Pada ketentuan ini
undang-undang mempergunakan kata-kata "sejauh mungkin" dengan persetujuan
tersangka atau kuasanya. Apa yang dimaksud dengan pengertian "sejauh mungkin",
apakah persetujuan tersangka atau kuasanya dalam penyitan benda sitaan bersifat
"imperatif", hanya sepanjang "menyampaikan" maksud atau rencana penjualan lelang
benda sitaan kepada tersangka atau kuasanya serta keharusan untuk menanyakan
pendapat atas rencana penjualan lelang dimaksud. Apakah tersangka atau kuasanya
setuju atau tidak, bukan merupakan faktor dominan. Keputusan akhir tetap berada di
tangan pejabat yang bersangkutan. Akan tetapi harus diingat kata-kata "sejauh mungkin". Berarti usaha pendekatan yang maksimal, jangan asal tanya saja, sebab
perkataan sejauh mungkin mengandung pengertian yang bermakna "daya upaya" yang
dapat diusahakan, penjualan pelelangan "sedapat mungkin” ada persetujuan tersangka
atau kuasanya. Dengan pengertian seboleh-bolehnya, pada hakikatnya sudah mendekati
"kemestian". Kalau begitu maksud ketentuan di atas menghendaki penjualan lelang
benda sitaan "semestinya" ada persetujuan dan tersangka atau kuasanya.
Pejabat yang Dapat Melakukan Penjualan Lelang, Dilihat dan Taraf Proses
Pemeriksaan apabila taraf pemeriksaan perkara masih di tangan penyidik, yang dapat
menjual lelang atau mengamankan benda sitaan ialah penyidik. Apabila taraf
pemeriksaan berada di tangan penuntut umum, yang dapat menjual lelang atau
mengamankan benda sitaan ialah penuntut umum. Apabila perkara sudah dalam taraf
pemeriksaan peradilan, penjualan atau pengamanan benda sitaan dilakukan oleh "penuntut umum" atas "ijin hakim".
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxx
Ijin hakim Pengadilan Negeri, jika pemeriksaan perkara dalam tingkat
pemeriksaan Pengadilan Negeri, ijin hakim Pengadilan Tinggi, jika perkaranya sudah
dilimpahkan atau diperiksa dalam tingkat banding, ijin Hakim Agung, jika perkaranya
sudah dilimpahkan kepada Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Dalam ketentuan
ini, di samping kata-kata penjualan lelang terdapat pula kata "diamankan", sehingga
kalimatnya berbunyi: benda tersebut dapat dijual lelang atau "diamankan". Kalau begitu tindakan yang dapat dilakukan pejabat yang bersangkutan
terhadap barang sitaan, bukan hanya menjual lelang, tapi juga dapat "mengamankan"
benda sitaan. Dan menurut penjelasan Pasal 45 ayat(l) KUHAP yang dimaksud dengan
benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah
meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat
membahayakan kesehatan orang lain dan lingkungan.
Pelaksanaan Lelang Dilakukan oleh "Kantor Lelang Negara" dalam
pelaksanaan lebih dulu kantor lelang mengadakan konsultasi dengan pihak penyidik
atau penuntut umum setempat atau dengan hakim yang bersangkutan sesuai dengan
tingkat pemeriksaan, dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang muda
rusak, (lihat penjelasan Pasal 45 ayat (1) Alinea ke-2 KUHAP).
PERALIHAN TANGGUNG JAWAB ATAS BENDA SITAAN
1. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Penyidikan
Seperti yang ditegaskan Pasal 38 KUHAP, penyitaan merupakan tindakan yang
diberikan undang-undang kepada penyidik sesuai dengan asas spesialisasi dan
diferensiasi fungsional. Pada lazimnya, penyitaan dilakukan penyidik pada taraf
pemeriksaan penyidikan81. Namun hal itu tidak mengurangi kemungkinan untuk
melakukan penyitaan pada tingkat penuntutan atau pemeriksaan pengadilan dengan
jalan mengeluarkan surat perintah atau penetapan, yang pelaksanaannya di lapangan
dilakukan aparat penyidik. Apa yang disebut di atas termasuk bidang fungsi aparat penyidik, yakni salah
satu fungsi aparat penyidik, berwenang melakukan tindakan penyitaan. Akan tetapi
fungsi penyitaan berbeda dengan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda
sitaan. Pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, bukan tindakan
pelaksanaan dan tata cara penyitaan atas benda sitaan yang dipermasalahkan. Yang jadi
pokok utama pada kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan ialah
mengenai "hubungan hukum" dan "peralihan hukum" antara penyidik dengan benda
sitaan. Serupa halnya dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Bukan
tindakan penahanannya yang dipersoalkan, tetapi hubungan hukum dan tanggung jawab
hukum antara instansi yang menahan dengan orang yang ditahan.
81Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxi
Berbicara mengenai kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda
sitaan, kurang mendapat perhatian dalam undang-undang. Malahan undang-undang
tidak menyinggung masalah peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Namun
demikian, dari bunyi Pasal 45 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (2) PP No. 27/1983,
kita dapat menarik kesimpulan tentang adanya kewenangan dan tanggung jawab
penyidik atas benda sitaan, dan adanya peralihan tanggung jawab yuridis instansi penyidik atas benda sitaan.
Saat Mulainya Timbul Kewenangan dalam Taraf Penyidikan Kewenangan dan
tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada instansi penyidik, sejak saat benda itu
disita dan ditempatkan di Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara)82.
Sejak penyidik menyita suatu benda dalam pemeriksaan penyidikan, kemudian
menyimpan benda sitaan dalam Rupbasan, sejak itu terjalin kewenangan dan tanggung
jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan, dan hal itu berlangsung selama
pemeriksaan perkara berada dalam tingkat penyidikan. Selama pemeriksaan perkara
masih dalam taraf penyidikan, kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya atas benda
sitaan mutlak berada di tangan aparat penyidik. Instansi penuntut umum atau pengadilan
tidak dapat mencampuri kewenangan dan tanggung jawab tersebut.
Kewenangan dan tanggung jawab yuridis aparat penyidik atas benda sitaan assessor dengan tingkat pemeriksaan yang diberikan undang-undang kepadanya. Itu
sebabnya status benda sitaan yang kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya berada
di tangan aparat penyidik, lazim disebut "benda sitaan penyidikan". Ini berarti, selama
benda sitaan berada dalam status penyidikan. penyidik berwenang dan bertanggung
jawab melakukan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46
KUHAP.
Mengenai kewenangan penyidik atas benda sitaan yang disebut pada Pasal 45
KUHAP, didasarkan atas keadaan benda sitaan, yakni merupakan benda yang mudah
rusak, benda yang membahayakan, atau biaya penyimpanan benda tersebut terlampau
tinggi maka penyidik dalam tingkat pemeriksaan penyidik mempunyai wewenang untuk
menjual lelang benda sitaan, atau mengamankan benda sitaan. Agar pengamanan benda sitaan memenuhi tanggung jawab yuridis, tindakan
itu harus memenuhi ketentuan dan syarat keadaan benda sitaan memang benar-benar
dapat dibuktikan lekas rusak, membahayakan atau terlampau tinggi biaya
penyimpanannya, Untuk itu sebaiknya didasarkan atas pembuktian lembaga ahli, tidak
semata-mata atas penilaian penyidik. Terutama mengenai benda yang lekas rusak,
adalah bijaksana jika penyidik lebih dulu meminta keterangan dan ahli sebagai bukti
dan pertanggungjawaban hukum tentang kebenaran keadaan benda sitaan. Kecuali
mengenai benda sitaan yang dapat membahayakan kesehatan atau lingkungan atau
keadaan benda itu mudah terbakar, dan keadaan sifat benda itu merupakan pengetahuan
umum dalam kehidupan masyarakat, dalam hal yang seperti itu tidak perlu diminta
82Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.32
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxii
pendapat ahli. Ketentuan syarat ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 45 ayat (1)
KUHAP.
Sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya, inilah syarat
kedua yang dituntut undang-undang dari penyidik sebagai pertanggungan jawab hukum
atas pelaksanaan kewenangan yang ada padanya atas benda sitaan. Penyidik berwenang
untuk menjual lelang atau mengamankan benda sitaan. Narnun sebelum kewenangan itu dilaksanakan oleh penyidik, demi untuk memenuhi tanggung jawab yuridis, sedapat
mungkin diminta "persetujuan" tersangka atau kuasanya, sesuai penegasan yang diatur
dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a KUHAP.
Mengenai apakah terdapat persetujuan atau tidak, tidak menjadi masalah bagi
undang-undang. Pengambilan keputusan berada sepenuhnya di tangan penyidik. Cuma
sebelum tindakan dilakukan sedapat mungkin mengusahakan adanya persetujuan dari
tersangka atau kuasanya. Dan sebaiknya tindakan penjualan lelang atau pengamanan
benda sitaan, mendapat persetujuan dari tersangka atau kuasanya. Akan tetapi jika
mereka tidak setuju, sama sekali tidak merupakan halangan bagi penyidik untuk
melaksanakan tindakan dimaksud penjualan lelang dilaksanakan oleh kantor lelang.
Syarat ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 45 ayat (1) KUHAP, yang
mengharuskan setiap pelelangan dilakukan oleh kantor lelang. Cara penjualan lelang melalui kantor lelang menghindarkan penyidik dari
prasangka yang kurang baik serta sebagai penjualan resmi oleh pejabat yang khusus
berwenang untuk itu. Dengan demikian cara penjualan tersebut memperkuat kebenaran
penyidik dalam pengembanan tanggung jawabnya atas benda sitaan. pengamanan atau
penjualan lelang disaksikan oleh tersangka atau kuasanya, Syarat pertanggungjawaban
penyidik ini diatur dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b KUHAP, yang menegaskan agar
pada setiap pengamanan atau penjualan lelang benda sitaan, pelaksanaannya disaksikan
oleh tersangka atau kuasanya. Bagaimana kalau tersangka atau kuasanya tidak mau
hadir menyaksikan pelelangan atau pengamanan benda sitaan, atau pada hari pelelangan
atau pengamanan yang telah diberitahukan secara resmi dan patut kepada tersangka
atau kuasanya, kemudian mereka menyatakan berhalangan untuk menyaksikannya. Apakah ketidakhadiran atau keadaan berhalangan menyaksikan, dapat dijadikan alasan
untuk menunda pelelangan atau pengamanan. Hal ini tidak mutlak menunda, Pelelangan
atau pengamanan dapat dilangsungkan atau ditunda. Tergantung pada penilaian
penyidik dan kantor lelang, apalagi jika tersangka atau kuasanya secara tegas
menyatakan ketidakhadiran menyaksikan pelelangan atau pengamanan, tidak perlu
dilakukan penundaan.
Demikian juga dalam hal berhalangan, tidak menunda pelelangan atau
pengamanan. Hal itu tergantung pada keadaan benda sitaan dihubungkan dengan
biaya yang semakin besar yang diakibatkan penundaan. Kalau kerusakan atau keadaan
membahayakan atau pengamanan sudah tidak mungkin ditunda-tunda lagi, halangan
untuk menyaksikan yang dikemukakan tersangka atas kuasanya, tidak perlu
diperhatikan penyidik.
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxiii
Menurut ketentuan Pasal 46 KUHAP maupun penjelasan pasal tersebut, selama
berlangsung pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, aparat penyidik berwenang
mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda sitaan itu disita, atau
kepada orang yang paling berhak.
Kewenangan pengembalian benda sitaan, oleh undang-undang digantungkan
kepada beberapa syarat. Tidak dipenuhi syarat tersebut, pengembalian itu kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum. Oleh karena itu, agar pengembalian barang
sitaan yang dilakukan penyidik benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan tidak
menyalahi maksud yang terkandung dalam tindak penyitaan benda sitaan "tidak
diperlukan" untuk kepentingan pembuktian.
Syarat utama yang menjadi patokan pengembalian barang sitaan, penyidik
berpendapat, benda sitaan tidak penting artinya dan tidak mempunyai nilai sebagai
barang bukti. Urgensi barang sitaan sebagai alat bukti, tidak ada sama sekali, misalnya,
benda yang disita tidak mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa.
Atau dengan menlengkapi identitas orang yang sama, dianggap penyidik mencukupi
sebagai lampiran dalam berkas perkara. Misalnya penyitaan atas mobil dalam perkara
tindak pidana Pasal 359 KUHP. Dengan pencatatan identitas mobil tersebut, dapat
dikembalikan kepada pemilik. Atau jika pegembalian itu sewaktu-waktu dapat dibawa pemilik apabila diperlukan dalam pemeriksaan, memberi kewenangan bagi penyidik
untuk mengembalikan benda sitaan kepada orang dan siapa benda itu disita atau kepada
orang yang paling berhak atasnya.
Sehubungan dengan pengembalian benda sitaan atas alasan tidak diperlukan
untuk kepentingan pembuktian, kiranya dapat dibedakan dalam kategori83:
a. Pengembalian yang "bersifat mutlak".
Pengembalian benda sitaan yang sifatnya mutlak, apabila benar-benar tidak
mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya, pada saat
dilakukan penyitaan oleh penyidik, besar dugaan suatu benda mempunyai hubungan
dengan perkara yang sedang disidik. Ada dugaan benda itu merupakan hasil dan
tindak pidana atau sebagai alat melakukan tindak pidana. Akan tetapi setelah penyidik melakukan pemeriksaan, ternyata tidak ada hubungan dengan perkara yang
sedang diperiksa. Dalam kasus yang demikian, pengembalian benda sitaan bersifat
mutlak. Kalau tidak, hal itu membuka kesempatan bagi tersangka untuk mengajukan
gugatan ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP atas alasan tindakan penyitaan
tidak sah, karena menyita barang yang tidak mempunyai kaitan dengan perkara
pidana yang diperiksa.
b. Pengembalian bersifat "fakultatif".
Apabila benda yang disita mempunyai kaitan dengan perkara yang sedang diperiksa
karena dipergunakan sebagai alat melakukan tindak pidana, tetapi tidak penting lagi
bagi pemeriksaan pembuktian atau karena sewaktu-waktu benda itu dapat diajukan
apabila diperlukan dalam tingkat penuntutan maupun dalam tingkat pemeriksaan
83Ibid., h.35 -36
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxiv
pengadilan, penyidik berwenang mengembalikannya. Atau benda sitaan merupakan
hasil perbuatan pidana. Misalnya, mobil yang dicuri tersangka merupakan alat
sumber mata pencarian pemilik dari siapa mobil itu dicuri tersangka. Di sinipun
sangat bijaksana untuk mengembalikan benda sitaan kepada saksi pemilik mobil
tersebut.
2. Pemeriksaan perkara "dihentikan" dalam penyidikan. Berdasar Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik berwenang menghentikan penyidikan
apabila tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut temyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. Apabila penyidik menghentikan
pemeriksaan penyidikan berdasar salah satu alasan yang disebut Pasal 109 ayat (2)
KUHAP dan kebetulan penyidik sempat melakukan penyitaan benda sebelum
penyidikan dihentikan, dalam kasus yang demikian penyidik "mutlak" harus
mengembalikan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
3. "Meminjam" benda sitaan.
Wewenang yang lain dari penyidik atas benda sitaan, "meminjamkan" benda sitaan
kepada orang dari siapa benda itu disita. Kewenangan untuk meminjamkan benda sitaan diatur sebagai petunjuk pelaksanaan dalam angka 2 Lampiran Keputusan
Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Menurut petunjuk yang terdapat
pada angka 2 Lampiran tersebut, kewenangan penyidik untuk meminjamkan benda
sitaan tidak memerlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri, cukup melaporkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan bentuk tembusan.
Kewenangan Penyidik Mengubah Status Benda Sitaan, kewenangan lain yang
dimiliki penyidik atas benda sitaan adalah mengubah status benda sitaan, status benda
sitaan penyidikan diubah dengan penjualan lelang, pengamanan atau dikembalikan
kepada orang dari siapa benda itu disita. Meminjarnkan benda sitaan di sini status benda
masih tetap benda sitaan. Cuma "dipinjamkan" kepada orang dari siapa benda itu disita.
Syarat formal antara "mengubah" status benda sitaan dengan "meminjamkan" benda sitaan, terdapat perbedaan. Perbedaan syarat formal itu diatur dalam angka 2 Lampiran
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983.
Perubahan status benda sitaan harus "mendapat izin" dari Ketua Pengadilan
Negeri. Setiap jenis perubahan status benda sitaan yang hendak dilakukan penyidik
sesuai dengan kewenangan yang ada pada taraf pemeriksaan penyidikan, lebih dulu
mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri. Tanpa izin, penyidik tidak dapat menjual
lelang, mengamankan atau mengembalikan benda sitaan. Oleh karena itu, kewenangan
penyidik untuk mengubah status benda sitaan digantungkan kepada kewenangan yang
ada pada instansi lain yakni kewenangan yang ada pada Ketua Pengadilan Negeri.
Kewenangan mengubah status benda sitaan yang ada pada tingkat penyidikan ditinjau
dari segi hukum, tidak sempurna sifatnya, karena digantungkan kepada izin dan
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxv
persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Kewenangan mengubah status benda sitaan yang
ada pada diri penyidik in haerent dengan syarat formal, berupa izin persetujuan dari
Ketua Pengadilan Negeri, sehingga kewenangan itu harus disempurnakan dengan
kewenangan yang ada pada diri Ketua Pengadilan Negeri.
Apa pun alasan yang menjadi dasar perubahan status yang hendak dilakukan
penyidik, selamanya tergantung dari izin persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Ketergantungan penyidik atas izin Ketua Pengadilan Negeri, sejalan dengan
kewenangan penyidik pada saat hendak melakukan penyitaan, penyidik dibebani syarat
formal sebagaimana yang ditentukan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Penyitaannya dapat
dilakukan penyidik dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Syarat formal penyitaan tetap
merupakan unsur formal yang mengikat penyidik "mengubah status" benda sitaan,
hanya dapat dilakukan penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri. Perubahan
status benda sitaan tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, melanggar tanggling
jawab yuridis yang dibebankan undang-undang dan peraturan.
Meminjamkan benda sitaan, kewenangan yang "sempurna" bagi penyidik.
Berbeda halnya meminjamkan benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita.
Meminjamkan benda sitaan merupakan kewenangan yang "penuh" diberikan undang-
undang dan peraturan kepada penyidik. Tindakan itu tidak digantungkan pada syarat formal kewenangan instansi lain. Untuk melakukan peminjaman benda sitaan, penyidik
tidak memerlukan surat izin dari aparat penegak hukum yang lain. Penyidik tidak perlu
mendapat izin dari Ketua Pengadilan. Cukup "melaporkan" dalam bentuk "tembusan".
Akan tetapi, di sini pun harus diingat, peminjaman benda sitaan yang diperkenankan
petunjuk angka 2 Lampiran tersebut, hanya "kepada orang dari siapa benda itu disita".
Peminjaman tidak diperbolehkan kepada oknum penyidik atau kepada orang lain.
Peminjaman yang demikian "tidak sah" dan bertentangan dengan hukum, dan membuka
kesempatan kepada tersangka atau orang dari siapa benda itu disita, untuk menuntut
ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP.
Peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan, sama
prinsipnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan. Oleh karena itu, peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan
assessor dengan tingkat pemeriksaan perkara. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan
menjadi kewenangan dan beban hukum bagi setiap aparat penegak hukum sesuai
dengan tingkat pemeriksaan. Tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada aparat
penyidik, selama pemeriksaan penyidikan masih berlangsung.
Beralihnya tingkat pemeriksaan kepada taraf penuntutan, dengan sendirinya
mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda itu ke tangan penuntut
umum. Dengan berlangsungnya pengalihan pemeriksaan dari tingkat penyidikan ke
tingkat penuntutan, berakhir kewenangan dan tanggung jawab penyidik atas benda
sitaan, dan sekaligus beralih kewenangan dan tanggung jawab yuridisnya kepada
penuntut umum. Mengenai patokan tanggal peralihan dan tanggung jawab yuridis atas
benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan, sama dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tingkat penyidikan ke
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxvi
tingkat penuntutan. Oleh karena itu, pada saat tanggal terjadi peralihan kewenangan dan
tanggung jawab penahanan dari penyidik kepada penuntut umum, dengan sendirinya
peralihan itu diikuti bersamaan oleh kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda
sitaan. Mengenai patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab itu sudah
penulis jelaskan panjang lebar dalam pembicaraan peralihan penahanan.
Uraian mengenai patokan yang dibahas di situ, dapat dijadikan dasar pedoman menentukan penetapan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas
benda sitaan. Bagaimana jika penyitaan benda tidak dibarengi dengan penahanan atas
tersangka, penetapan tanggal mana yang dijadikan tanggal peralihan kewenangan dan
tanggung jawab yuridis atas benda sitaan dari tingkat penyidikan ke tingkat penuntutan.
Penetapan tanggalnya tetap sama. yakni penetapan tanggal peralihan dihitung sejak saat
"diserahkan" berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum dalam tingkat
penuntutan, Dan mengenai pengertian tanggal terjadinya penyerahan berkas dari tingkat
penyidikan ke tingkat penuntutan, sudah penulis persoalkan secukupnya pada uraian
peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis penahanan. Oleh karena itu, tidak
diulangi lagi pembahasannya, dan apa yang dibahas di situ dapat dijadikan dasar dan
penetapan pada uraian ini.
2. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Penuntutan
Perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan antara penyidik dengan
penuntut umum disinggung dalam angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman
No. M.14-PW.07.03/1983. Petunjuk pelaksanaan yang digariskan berbunyi: "Dalam hal
terjadi perbedaan pendapat antara penyidik dan penuntut mengenai status benda sitaan
tersebut pada saat perkara itu dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum maka
putusan akhir ada pada instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan
itu setelah hal tersebut dikonsultasikan secara sungguh-sungguh antara penyidik dan
penuntut umum". Sebelum menguraikan lebih lanjut, diringkas dulu pengertian yang
terangkum dalam petunjuk pelaksanaan tersebut.
Bilamana terjadi perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan antara penyidik dan penuntut umum, dan saat terjadinya perbedaan pendapat, waktu perkara
dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum, putusan akhir atas perbedaan
pendapat itu diputus oleh instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda
sitaan, namun sebelum instansi yang bersangkutan mengambil keputusan, harus
berkonsultasi secara sungguh-sungguh antara penyidik dan penuntut umum.
Demikian ringkasan yang dapat disimpulkan dari petunjuk pelaksanaan yang
terdapat pada angka 2 dimaksud. Kalau ringkasan ini mau diringkaskan lagi, sehingga
dapat dirumuskan dalam kalimat bahwa apabila perkara sudah dilimpahkan oleh
penyidik kepada penuntut umum, dan penuntut umum tidak sependapat dengan status
benda sitaan yang telah ditetapkan penyidik pada tingkat pemeriksaan penyidikan,
penuntut umum dapat menentukan status lain yang dianggapnya tepat menurut hukum
sesuai dengan kepentingan benda sitaan dalam pemeriksaan selanjutnya, tapi untuk itu penuntut umum harus lebih dulu mengadakan konsultasi yang sungguh-
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxvii
sungguh dengan penyidik.
Memang seperti yang diringkas di ataslah penerapan yang tepat terhadap
petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tersebut. Perbedaan pendapat antara penyidik
dengan penuntut umum barn bisa terjadi setelah penuntut umum menerima pelimpahan
berkas perkara dari penyidik. Logikanya memang demikian, tidak mungkin timbul
perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum jika berkas perkara belum diterima penuntut umum. Selama berkas perkara masih berada di tangan penyidik,
belum mungkin penuntut umum mengetahui secara resmi tentang status benda sitaan.
Bahkan selama perkara masih dalam tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntut umum
tidak berwenang mencampuri status benda sitaan. Jika penuntut umum tidak berwenang
mencampurinya, tidak mungkin penuntut umum berselisih pendapat dengan penyidik.
Berdasar pemikiran yang diuraikan, perbedaan pendapat antara penyidik
dengan penuntut umum mengenai status benda sitaan, baru bisa terjadi dalam "tingkat
penuntutan", setelah penuntut umum menerima berkas perkara dari tingkat penyidikan.
Tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat sebelum berkas perkara diterima pada
tingkat penuntutan. Hal ini penting dijernihkan, guna menempatkan dan menentukan
posisi instansi mana yang berwenang mengambil "putusan akhir" atas perbedaan
pendapat yang terjadi. Dengan ditetapkan patokan, perbedaan pendapat hanya mungkin terjadi setelah berkas "diterima di tingkat penuntutan", dengan sendirinya dapat
dipastikan instansi mana yang berwenang "memberi putusan akhir" atas perbedaan
pendapat yang terjadi:
a. perbedaan pendapat mengenai status benda sitaan terjadi setelah penuntut
umum menerima pelimpahan berkas perkara dari instansi penyidik,
b. dengan demikian perbedaan pendapat terjadi setelah kewenangan dan tanggung
jawab yuridis atas benda sitaan berada di tangan penuntut umum pada tingkat
penuntutan,
c. oleh karena itu, instansi yang berwenang menentukan putusan akhir
atas perbedaan pendapat yang terjadi, berada di tangan instansi penuntut umum.
Dengan kesimpulan pendapat ini. sudah dapat ditegakkan kepastian hukum
dalam penerapan petunjuk pelaksanaan yang dikehendaki angka 2 Lampiran Keputusan
Menteri Kehakiman dimaksud. Apakah dengan kesimpulan pendapat tersebut sudah
selesai permasalahan yang ditimbulkan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran tadi,
sepintas lalu hampir terselesaikan, terutama sepanjang status benda sitaan berupa
"pinjaman".
Pada dasarnya penyitaan itu sama dengan perampasan, dimana dalam perkara
pidana perampasan menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 66 K/Kr/1969 tanggal 9
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxviii
Agustus 1969 tidaklah menjadi keharusan. Sebagaimana hal ini pula ditegaskan oleh
putusan Mahkamah Agung Nomor 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964.84
Kalau status benda sitaan hanya dipinjamkan penyidik kepada orang dari siapa
benda itu disita, tidak begitu sulit formalitas penyelesaiannya. Seandainya penuntut
umum tidak setuju atas tindakan penyidik meminjamkan barang sitaan kepada orang
dari siapa benda itu disita, penuntut umum dapat segera memulihkannya ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan. Dan menyuruh kembalikan benda tadi ke dalam
Rupbasan, serta menempatkan benda sitaan di bawah kewenangan dan tanggung jawab
yuridis instansi penuntut umum.
Akan tetapi, lain halnya jika penyidik sudah sempat "mengubah" status benda
sitaan baik berupa penjualan lelang, pengamanan atau pengembalian kepada orang dari
siapa benda itu disita maupun kepada orang yang berhak atasnya. Di dalam tindakan
penyidik mengubah status benda sitaan, penyidik harus lebih dulu mendapat izin dari
Ketua Pengadilan Negeri. Kalau begitu, seandainya penuntut umum tidak setuju atas
perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik pada tingkat penyidikan, dan
penuntut umum memutuskan untuk mengembalikan ke dalam status penyitaan, belum
tentu keputusan itu bisa terlaksana.
Ada beberapa hambatan untuk merealisasi putusan tersebut. Faktor hambatan yang dimaksud adalah keadaan dan Sifat Perubahan Status Benda Sitaan itu Sendiri
yang dimaksud di sini, perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik
sedemikian rupa keadaan dan sifatnya, sehingga perubahan status itu "tidak mungkin
lagi dipulihkan" ke dalam status benda sitaan. Misalnya tindakan penjualan lelang
benda sitaan. Keadaan dan sifat perubahan status benda sitaan dengan penjualan lelang,
secara mutlak tidak mungkin lagi dikembalikan menjadi benda sitaan. Benda sitaannya
sudah dijual secara resmi oleh kantor lelang. Bagaimana mungkin untuk menempatkan
benda itu berada dalam penyitaan penuntut umum, kecuali pembeli lelang bersedia
mengembalikan benda tersebut. Namun untuk memaksa pembeli mengembalikannya,
bertentangan dengan hukum. Di sini dapat penulis lihat ditinjau dari segi teori maupun
praktek, tidak mungkin lagi mengembalikan benda sitaan yang telah dijual lelang oleh penyidik dalam tingkat pemeriksaan penyidikan ke dalam status benda sitaan dalam
tingkat penuntutan secara in natura. Hambatan untuk menempatkan kembali sebagai
benda sitaan, disebabkan keadaan dan sifat perubahan status itu sendiri sudah tidak
memberi kemungkinan lagi. Kalau begitu, jika penuntut umum tidak setuju atas
penjualan benda sitaan yang dilakukan penyidik, tidak ada altenatif lain yang dapat
diputuskan. Selain daripada menyetujui penjualan lelang yang tidak disetujuinya itu.
Kalau begitu, jika penuntut umum menjumpai kenyataan bahwa penyidik telah menjual
lelang benda sitaan, mau tidak mau terpaksa menyetujuinya dalam tingkat penuntutan.
Karena tidak ada kemungkinan lagi untuk mengembalikan perubahan status penjualan
itu ke dalam keadaan benda sitaan. Hal ini merupakan peringatan bagi penuntut umum,
supaya jangan gegabah memutuskan sesuatu yang mempersulit kelancaran penyelesaian
84Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Op.Cit., h.252
Volume 8, No.1, Nop 2008 lxxxix
perkara. Dan sikap menyetujuilah yang paling tepat diambil dalam kasus penjualan
benda sitaan yang dilakukan penyidik. Kalau tidak demikian, penuntut umum akan
terbentur menghadapi tembok yang tidak dapat ditembusnya sendiri.
Faktor ijin Ketua Pengadilan Negeri, hambatan lain yang mungkin terjadi,
faktor izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 38 KUHAP
yang menegaskan, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri. Apabila misalnya penuntut umum tidak setuju tindakan
penyidik yang mengubah status benda sitaan dengan jalan mengembalikan benda sitaan
kepada orang dari siapa benda itu disita sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat(l)
KUHAP. Kemudian penuntut umum memutuskan benda sitaan yang dikembalikan
penyidik supaya ditempatkan dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan.
Berarti untuk menyita kembali benda yang telah dikembalikan tersebut, penyidik harus
minta izin Ketua Pengadilan Negeri.
Latar belakang permintaan ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri, adalah
dikarenakan izin penyitaan semula sudah hapus atau gugur. Karena sesuai dengan
petunjuk pelaksanaan yang diatur pada angka 2 Lampiran Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor. M.14-PW.07.03/1983, jika penyidik hendak, mengubah status
benda sitaan harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Dengan demikian seandainya penuntut umum memulihkan untuk
menempatkan kembali dalam status semula, penyidik harus lebih dulu mendapat izin
lagi dari Ketua Pengadilan Negeri. Bagaimana halnya jika Ketua Pengadilan Negeri
tidak memberikan izin, sudah barang tentu Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat dipaksa
penyidik untuk memberikan izin. Jika ternyata Ketua Pengadilan Negeri tidak mail
memberikan izin, dengan sendirinya putusan penuntut umum yang menetapkan
pengembalian benda sitaan ke dalam status benda sitaan dalam tingkat penuntutan, sama
sekali tidak terealisir.
Izin Ketua Pengadilan Negeri merupakan faktor penghambat untuk
melaksanakan putusan penuntut umum mengenai pengembalian status benda sitaan
dalam keadaan semula. Malahan faktor izin ini bukan hanya penghambat yang berdiri sendiri. Ada lagi faktor penghambat lain yang mengiringi izin tersebut, yakni faktor
"keberadaan" benda yang telah dikembalikan. Sekiranya Ketua Pengadilan bersedia
memberikan izin penyitaan kembali benda yang sudah dikembalikan penyidik, akan
tetapi benda itu telah dijual oleh orang yang menerima pengembalian atau benda itu
sudah habis terpakai atau musnah terbakar. Sudah barang tentu dalam kasus yang
demikian putusan penuntut umum yang menetapkan pengembalian benda ke dalam
penyitaan penuntutan, tidak dapat direalisasi.
ltulah beberapa permasalahan hukum yang ditimbulkan petunjuk pelaksanaan
angka 2 Lampiran tadi. Seolah-olah petunjuk itu bukan membimbing dan mengarahkan
pelaksanaan penerapan hukum yang lebih praktis. Malahan sebaliknya, petunjuk itu
semakin mempersulit penyelesaian perbedaan pendapat yang terjadi antara penyidik
dengan penuntut umum. Jika seandainya petunjuk itu benar-benar bertujuan menghindari terjadinya perbedaan pendapat antara penyidik dengan penuntut umum
Volume 8, No.1, Nop 2008 xc
mengenai perubahan status benda sitaan, cukup dirumuskan petunjuk pelaksanaan yang
sederhana yang sungguh-sungguh dapat menjangkau penertiban pelaksanaan. Misalnya,
cukup dirumuskan petunjuk yang berbunyi untuk menghindari perbedaan pendapat
antara penyidik dengan penuntut umum mengenai benda sitaan, setiap perubahan status
benda sitaan yang hendak dilakukan penyidik pada tingkat penyidikan, lebih dulu
dikonsultasikan dengan pihak penuntut umum. Dengan petunjuk yang demikian, dapat dihindari perbedaan pendapat. Atau
sebaiknya hal itu tidak perlu dipersoalkan, dan tidak perlu diberikan petunjuk
pelaksanaan. Tanpa petunjuk pelaksanaan, dengan sendirinya setiap instansi semata-
mata akan berdiri pada batas kewenangan dan pertanggungjawaban yuridis yang ada
padanya sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Kewenangan dan Peralihan Tanggung
Jawab Yuridis Penuntut Umum Atas Benda Sitaan
Uraian mengenai kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis atas
benda sitaan pada tingkat penuntutan dapat dipersingkat, karena banyak di antara uraian
yang telah dibahas pada tingkat penyidikan, termasuk juga dalam ruang lingkup
kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis benda sitaan pada tingkat
penuntutan. Oleh karena itu, apa yang diuraikan di sini hanya mengenai hal-hal yang
khusus kewenangan dan peralihan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan pada tingkat penuntutan.
Kewenangan penuntut umum atas benda sitaan dalam tingkat penuntutan
hampir sama dengan yang dimiliki instansi penyidik. Landasan dan dasar hukum
kewenangan inipun baik pada tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan, sama-
sama bertitik tolak dari Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP.
Kewenangan Mengubah Status Benda Sitaan, selama pemeriksaan perkara
berada dalam tingkat penuntutan, penuntut umum berwenang mengubah status benda
sitaan. Perubahan status benda sitaan yang termasuk kewenangan penuntut umum
meliputi menjual lelang benda sitaan. Tentang kewenangan menjual lelang barang
sitaan yang ada pada penuntut umum terdapat sedikit perbedaan dengan apa yang ada
pada instansi penyidik, hanya terbatas selama pemeriksaan perkara masih dalam tingkat penyidikan. Tidak demikian halnya jangkauan kewenangan yang ada pada penuntut
umum.
Kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan tidak hanya
terbatas selama perkara berada dalam tingkat penuntutan, tapi menjangkau tingkat
pemeriksaan pengadilan baik pada tingkat Pengadilan Negeri, pemeriksaan tingkat
banding maupun tingkat kasasi. Demikian jauhnya jangkauan kewenangan penuntut
umum mengubah status benda sitaan, bukan hanya terbatas pada tingkat penuntutan,
tapi menjangkau semua tingkat pemeriksaan pengadilan. Hanya saja dalam
melaksanakan kewenangan ini terdapat perbedaan "formalitas". Jika penjualan lelang
dilakukan penuntut umum masih dalam tingkat kewenangan dan tanggung jawab
yuridisnya yang murni, penjualan lelang tidak memerlukan formalitas dari instansi lain.
Jadi, jika penuntut umum memerlukan penjualan lelang atas benda sitaan. Dan tindakan itu dilakukannya masih dalam tingkat penuntutan tidak diperlukan izin persetujuan dari
Volume 8, No.1, Nop 2008 xci
siapa pun. Akan tetapi jika tindakan perubahan status itu hendak dilakukannya setelah
pemeriksaan perkara pada tingkat pengadilan, penuntut umum hams mendapat izin
persetujuan dari "hakim" yang menyidangkan perkara. Dari hakim Pengadilan Negeri
yang menyidangkan perkara pada tingkat pertama. Dari Hakim Tinggi yang
menyidangkan perkara pada tingkat banding dan dari Hakim Agung yang
menyidangkan perkara pada tingkat kasasi. Demikian pelaksanaan kewenangan penjualan leiang penuntut umum menurut Pasal 45 ayat (1) huruf a dan b.
Akan tetapi, apakah benar demikian, apakah campur tangan instansi lain tidak
merupakan syarat formal dalam pelaksanaan penjualan yang dilakukan penuntut umum
selama perkara dalam tingkat penuntutan. Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 45 ayat (1) K.UHAP benar demikian. Namun jika kewenangan itu dihubungkan
dengan petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.14-PW.07.03/1983, penjualan lelang yang hendak dilakukan dalam tingkat
penuntutan pun, harus lebih dulu mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, karena
menurut penegasan petunjuk pelaksanaan itu, jika penyidik atau penuntut umum hendak
mengubah status benda sitaan, harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
Dengan menghubungkan Pasal 45 ayat (1) KUHAP dengan petunjuk pelaksanaan tadi,
penuntut umum tidak bisa berdiri sendiri melakukan penjualan leiang, tapi harus mendapat bantuan dari instansi lain, berupa izin persetujuan Ketua Pengadilan Negeri
pada penjualan lelang dalam tingkat penuntutan, izin persetujuan hakim yang
menyidangkan perkara dalam tingkat pemeriksaan pengadilan.
Di samping itu, supaya tindakan penjualan lelang benda sitaan memenuhi
syarat yang dikehendaki undang-undang dan peraturan, penuntut umum mesti
memperhatikan hal-hal berikut benda sitaan terdiri dari benda yang mudah rusak,
keadaan yang mudah rusak itu dibuktikan berdasar pendapat lembaga ahli, sejauh
mungkin mendapat persetujuan dari terdakwa atau kuasanya, penjualan lelang
disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan lelang disaksikan oleh petugas
Rupbasan, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (4) Peraturan Menteri Kehakiman No.
M.05-UM.01.06/1983, pelaksanaan lelang dilakukan oleh kantor lelang negara, menyisihkan sebagian kecil dari benda yang dilelang guna kepentingan pembuktian.
ltulah beberapa syarat penjualan lelang yang harus diperhatikan penuntut
umum. Syarat-syarat itu sudah dijelaskan pada bagian terdahulu, dan tidak akan
dijelaskan ulang lagi di sini. Tindakan mengamankan benda sitaan meliputi pengertian
pemusnahan benda sitaan. Kewenangan pengamanan atau memusnahkan benda sitaan
yang dilakukan penuntut umum baik pada tingkat penuntutan maupun pada tingkat
pemeriksaan pengadilan, sama hal dan formalitasnya dengan tingkat penjualan lelang.
Oleh karena itu, jika penuntut umum hendak memusnahkan benda sitaan karena
dianggap membahayakan kesehatan orang dan lingkungan, tindakan itu harus lebih dulu
"mendapat izin" Ketua Pengadilan Negeri jika pemusnahan atau pengamanan itu
dilakukan pada tingkat penuntutan, dan izin persetujuan dari hakim yang menyidangkan
perkara jika tindakan itu dilakukan pada tingkat pemeriksaan pengadilan.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcii
Dalam tindakan pemusnahan benda sitaan ini pun kewenangan penuntut umum
tidak hanya terbatas pada tingkat penuntutan saja. Tetapi meliputi tingkat pemeriksaan
pengadilan dalam semua tingkat, mulai dari tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri,
tingkat banding dan kasasi. Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi penuntut umum
dalam tindakan pemusnahan barang sitaan tersebut membahayakan, sejauh mungkin
dengan persetujuan terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan pemusnahan disaksikan terdakwa atau kuasanya, pelaksanaan pemusnahan disaksikan petugas Rupbasan, seperti
yang dijelaskan Pasal 11 ayat (3) huruf c Keputusan Menteri Kehakiman No. M.05-
UM.O I -06/1983.
Mengembalikan benda sitaan, di samping kewenangan menjual lelang dan
memusnahkan benda sitaan, penuntut umum berwenang mengubah status benda sitaan
dengan cara "mengembalikan" benda sitaan kepada orang dari siapa dulunya benda
sitaan itu disita. Pengembalian benda sitaan berarri mengembalikan benda itu dalam
kedudukan semula secara sempurna tanpa ikatan apa-apa lagi dengan perkara maupun
dengan pihak instansi penegak hukum. Jadi, harus dibedakan pengembalian dalam arti
murni dan sempurna dengan pengertian tindakan meminjamkan atau menitipkan benda
sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Pada status peminjaman, benda sitaan
memang benar dikembalikan kepada orang yang bersangkutan. Akan tetapi pengembalian itu tidak murni baik ditinjau dari segi yuridis dan keperluan. Secara
yuridis benda sitaan yang dipinjamkan masih berada dalam status penyitaan dan
tanggung jawab yuridisnya masih dipegang instansi yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan perkara serta benda itu masih diperlukan dalam pemeriksaan
perkara.
Formalitas dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi penuntut umum dalam
pelaksanaan pengembalian benda sitaan mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri, ini
sejalan dengan makna yang terdapat pada petunjuk pelaksanaan angka 2 Lampiran
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983 yang menegaskan bahwa
setiap perubahan status benda sitaan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum,
harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri, kepentingan pemeriksaan tidak memerlukannya lagi, atau benda itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara yang
diperiksa, atau perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti, atau perkara
tidak jadi dituntut karena peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana, atau
karena dikesampingkan (ideponering) untuk kepentingan umum, atau perkara ditutup
demi hukum karena nebis in idem, karena kedaluwarsa, terdakwanya meninggal dunia,
dan sebagainya.
Suatu hal yang penting diingatkan di sini sehubungan dengan tindakan
perubahan status benda sitaan. Setiap tindakan kewenangan perubahan status benda
sitaan harus berdasar "surat perintah" atau surat penetapan penuntut umum. Hal ini
perlu demi untuk kepastian hukum dan untuk menjadi dasar bagi petugas Rupbasan
mengeluarkan benda itu dari Rupbasan. Demikian yang dituntut ketentuan Pasal 10 dan
Pasal II Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05-UM.01.05/1983. Juga perlu diingat
Volume 8, No.1, Nop 2008 xciii
larangan untuk mempergunakan benda sitaan oleh siapa pun sebagaimana yang
ditegaskan Pasal 44 ayat (2) KUHAP.
Di samping kewenangan penuntut umum mengubah status benda sitaan berupa
penjualan lelang, pemusnahan dan pengembalian, dia juga berwenang meminjamkan
benda sitaan kepada orang dari siapa benda itu disita. Kewenangan untuk meminjamkan
benda sitaan disebutkan pada petunjuk pelaksanaan angka 2 alinea pertama Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983. Seperti yang sudah
diterangkan, peminjaman benda sitaan ialah pengembalian yang tidak sempuma dan
mumi. Benda sitaan yang dipinjamkan masih tetap berstatus benda sitaan dan tanggung
jawab yuridisnya tetap berada pada pihak instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan
perkara.
Dari segi keperluannya pun benda itu masih tetap diperlukan untuk
kepentingan pemeriksaan perkara. Dari segi formal, tindakan meminjamkan benda
sitaan merupakan kewenangan yang murni bagi penuntut umum. Dia sepenuhnya
berwenang melakukan tindakan itu tanpa bantuan persetujuan izin dari Ketua
Pengadilan Negeri. Cuma tindakan itu hanya dapat dilakukan selama pemeriksaan
perkara berada dalam tingkat penuntutan. Jika tingkat pemeriksaan perkara sudah
berada pada taraf pemeriksaan pengadilan, harus lebih dulu mendapat izin persetujuan dari hakim yang memeriksa perkara sesuai dengan tingkat pemeriksaan pengadilan yang
bersangkutan.
Sehubungan dengan tindakan meminjamkan benda sitaan tidak banyak syarat-
syarat yang harus diperhatikan penuntut umum. Syarat yang penting di sini, antara lain
penetapan peminjaman dari penuntut umum, peminjaman hanya diberikan kepada orang
dari siapa benda itu disita. Jangan sampai peminjaman diberikan kepada orang lain.
Apalagi untuk kepentingan diri sendiri, dilarang oleh Pasal 44 ayat (2) KUHAP,
pelaporan berupa tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelaporan ini, jika
sepanjang tindakan meminjarnkan itu dilakukan penuntut umum pada tingkat
penuntutan. Kalau tindakan itu dilakukan pada tingkat pemeriksaan pengadilan, bukan
pelaporan yang menjadi syarat, tapi izin persetujuan dari hakim yang menyidangkan. Masalah yang berkenaan dengan peralihan kewenangan dan tanggungjawab
yuridis atas benda sitaan dari penuntut umum kepada Pengadilan Negeri tidak diuraikan
lagi di sini, karena baik mengenai peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis
atas penahanan maupun benda sitaan adalah sama. Dengan demikian. patokan
menentukan tanggal peralihan kewenangan dan tanggungjawab yuridis atas benda sitaan
dari tingkat penuntutan ke tingkat pemeriksaan pengadilan, berjalan beriringan dengan
peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas penahanan dari tangan penuntut
umum kepada pengadilan. Pada tanggal terjadinya peralihan kewenangan dan tanggung
jawab yuridis penahanan dari tangan penuntut umum kepada pengadilan, otomatis
terjadi pula peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan.
Prinsip menentukan patokan peralihan kewenangan dan tanggung jawab
yuridis atas benda sitaan dari tingkat penuntutan kepada tingkat pemeriksaan pengadilan, tidak semurni peralihan dan tanggung jawab atas penahanan. Dalam
Volume 8, No.1, Nop 2008 xciv
penahanan, sejak saat terjadi peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis dari
penuntut umum kepada instansi pengadilan, penuntut umum tidak mempunyai
kewenangan apa-apa lagi atas penahanan tersebut. Akan tetapi tidak demikian halnya
benda sitaan. Berdasar Pasal 45 ayat (1) huruf b KUHAP, kewenangan penuntut umum
atas benda sitaan masih berlanjut terus, sekalipun telah terjadi peralihan tanggung jawab
yuridis ke tingkat pemeriksaan pengadilan. Walaupun secara nyata dan formal telah terjadi peralihan tanggung jawab
yuridis berkas perkara dan penahanan ke tingkat pemeriksaan pengadilan, undang-
undang masih tetap memberi kewenangan kepada penuntut umum untuk menjual lelang
benda sitaan, untuk mengamankan atau memusnahkan benda sitaan, tetapi atas izin
hakim yang menyidangkan perkara yang bersangkutan.
Jadi, kewenangan penuntut umum atas benda sitaan menjangkau dan berlanjut
sampai ke tingkat pemeriksaan pengadilan baik pada tingkat pemeriksaan Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Memang dengan terjadinya
peralihan benda sitaan dari tingkat penuntut umum ke tingkat pemeriksaan pengadilan,
secara formal tanggung jawab yuridisnya ada di tangan pengadilan. Akan tetapi
sekaligus dalam kewenangan dan tanggung jawab yuridis pengadilan tadi. tetap melekat
kewenangan penuntut umum untuk menjual lelang atau memusnahkan benda sitaan. Cuma sifat kewenangan yang melekat tersebut tidak mutlak, karena
kewenangan itu baru bisa diterapkan penuntut umum tergantung dari izin persetujuan
hakim yang menyidangkan perkara.
3. Peralihan Tanggung Jawab Di Tingkat Peradilan
Wewenang pengadilan dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan,
pada prinsipnya sama dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada
instansi penyidik dan penuntut umum. Kewenangan yang diberikan undang-undang
kepada setiap instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda
sitaan, pada hakikatnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP.
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kewenangan yang ada pada satu instansi dengan instansi yang lain, tanpa mengurangi adanya variasi dan pengecualian di sana-
sini. Ada kelebihan antara instansi penyidik dengan penuntut umum dan antara penuntut
umum dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada instansi pengadilan.
Selama Pemeriksaan Perkara Masih Berlangsung dalam Setiap Tingkat
Pengadilan dapat memerintahkan atau memberi izin penjualan lelang benda sitaan,
Dapat memerintahkan atau memberi izin pemusnahan atau pengamanan benda sitaan.
Asal penjualan lelang atau pemusnahan itu memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 45
ayat (1) KUHAP. Dapat memerintahkan atau memberi izin pengembalian benda sitaan
kepada orang dari siapa benda itu disita, asalkan pengembalian itu memenuhi syarat
yang ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a, b, atau c KUHAP. Dapat
meminjamkan benda sitaan, sepanjang peminjaman itu tidak menghambat kelancaran
pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcv
Pada Taraf Penjatuhan Putusan, Pengadilan pada Setiap Tingkat Instansi
Dapat menjatuhkan putusan pengembalian benda sitaan kepada orang dari siapa benda
itu disita atau kepada orang yang dianggap paling berhak atas benda sitaan. Dapat
menjatuhkan putusan menetapkan perampasan benda sitaan untuk negara. Atau dapat
menjatuhkan putusan yang memerintahkan pemusnahan atau perusakan benda sitaan.
Atau dapat menjatuhkan putusan yang menetapkan benda sitaan masih diperlukan lagi sebagai barang bukti dalam perkara lain.85
Kewenangan yang disebut belakangan ini ditentukan dalam Pasal 46 ayat (2)
KUHAP. Dan kewenangan ini hanya diberikan undang-undang kepada instansi
pengadilan pada setiap tingkat pemeriksaan. Kewenangan ini mutlak monopoli instansi
pengadilan, tidak diberikan undang-undang kepada instansi penyidik pada tingkat
pemeriksaan penyidikan maupun kepada instansi penuntut umum pada tingkat
penuntutan. Jadi, selama benda sitaan mengikuti tingkat pemeriksaan pengadilan,
pengadilan yang berwenang menetapkan kepada siapa benda sitaan dikembalikan atau
dirampas untuk negara, maupun untuk dimusnahkan. Pengadilan Negeri berwenang
untuk menjatuhkan putusan yang memerintahkan pengembalian benda sitaan kepada
orang dari siapa benda itu disita, atau orang yang dianggapnya paling berhak. Atau
dapat memerintahkan merampas benda sitaan untuk negara maupun untuk dimusnahkan. Namun atas putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi berwenang
pula untuk menentukan lain benda sitaan tersebut dalam putusan. Jika Pengadilan
Negeri menetapkan benda sitaan dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita,
sedang Pengadilan Tinggi berpendapat benda itu semestinya dikembalikan kepada
orang lain yang paling berhak, Pengadilan Tinggi berwenang untuk mengubah putusan
Pengadilan Negeri tersebut. Atau jika putusan Pengadilan Negeri memerintahkan
pengembalian benda sitaan, sedang Pengadilan Tinggi berpendapat harus dirampas
untuk negara, dia berwenang untuk menentukan demikian. Demikian pula Mahkamah
Agung, berwenang untuk menentukan benda sitaan dari apa yang telah ditentukan
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dalam putusan yang mereka jatuhkan
sepanjang putusan itu tidak keluar dari batas ruang lingkup yang ditentukan Pasal 46 ayat (2) KUHAP.
Mengenai peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas benda sitaan
dari Pengadilan Negeri ke tingkat banding, dan dari tingkat banding ke tingkat kasasi,
serupa halnya dengan peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis atas
penahanan. Untuk menentukan patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung
jawab yuridis atas benda sitaan tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri ke tingkat
banding pada Pengadilan Tinggi dan dari Pengadilan Tinggi ke tingkat kasasi pada
Mahkamah Agung, berpedoman berdasar asas "konsistensi" kepada ketentuan Pasal 238
ayat (2) dan Pasal 253 ayat (4) KUHAP. Dengan mempedomani pasal-pasal tersebut
secara konsisten patokan tanggal peralihan kewenangan dan tanggung jawab yuridis
atas benda sitaan terhitung sejak tanggal permintaan banding diajukan, kewenangan
85Ibid., h.248
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcvi
dan tanggung jawab yuridis benda sitaan beralih dari Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi, terhitung sejak tanggal permintaan kasasi diajukan, kewenangan dan
tanggung jawab yuridis atas benda sitaan beralih dari Pengadilan Negeri dan atau
Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Benda yang dapat di sita dalam perkara pidana adalah hanya mempunyai
hubungan dengan tindak pidana, sedangkan bilamana benda tersebut tidak
mempunyai hubungan dengan tindak pidana maka benda tersebut tidak dapat
di sita. Di samping hal tersebut, dalam proses penyitaan benda yang
bersangkutan dengan perkara pidana harus mendapat ijin dari Ketua
Pengadilan Negeri;
b. Tanggung jawab atas benda sitaan adalah merupakan tanggung jawab dari
pihak yang secara langsung bertanggung jawab atas keselamatan barang itu.
Artinya bilamana benda sitaan tersebut di sita oleh penyidik dan dikuasai oleh penyidik, maka yang bertanggung jawab adalah penyidik. Berbeda halnya jika
benda tersebut sudah dalam tahap dua dari suatu perkara tindak pidana, maka
beban tanggung jawab telah dialihkan pada penuntut umum. Demikian pula
jika benda sitaan tersebut telah dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri, maka
yang bertanggung jawab adalah Pengadilan Negeri.
SARAN
Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan proses penyitaan dalam KUHAP,
maka dapat dikemukakan hal-hal:
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcvii
a. perlu penegasan dalam putusan pengadilan, jika telah ditentukan bahwa barang
bukti atau benda tersebut dikembalikan kepada yang paling berhak dipandang
perlu untuk menegaskan siapakah yang paling berhak. Sebab seolah-olah
hakim pidana tidak bertanggung jawab terhadap siapa ia mengembalikan benda
atau barang itu. Padahal Pengadilan Negeri telah dibantu guna mencari
kebenaran materiil dalam perkara tersebut; b. perlu pemahaman yang cukup seksama tentang penyitaan, mengingat dalam
praktik tidak sedikit penyidik melakukan penyitaan, sementara obyek yang sita
tersebut tidak dalam keadaan mendesak.
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcviii
Perlindungan Hukum Debitor
dalam Perjanjian yang Disetujui
serta Upaya Hukumnya
OLEH:
H. FIRMAN SJAH, S.H.,M.HUM.*
ABSTRAK
BERDASARKAN PASAL 1320 BW PERJANJIAN ADALAH JIKA
TELAH MEMENUHI KETENTUAN SYARAT SAHNYA
PERJANJIAN. PERJANJIAN ANTARA KRIDITOR DAN DEBITOR
HARUS JUGA MEMENUHI SYARAT SAHNYA PERJANJIAN,
SEBAGAIMANA HAL INI DITEGASKAN DALAM PASAL 1338 BW.
KATA KUNCI: PERLINDUNGAN HUKUM – PERJANJIAN
MERUGIKAN SALAH SATU PIHAK – AKIBAT
HUKUM.
LATARBELAKANG
Secara umum setiap orang yang telah menyetujui suatu perjanjian, maka ia
terikat untuk melaksanakannya. Kendati demikian, hendaknya perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian, tidak bertentangan dengan kepatutan, ketertiban
umum dan kesusilaan serta tidak mengandung penyalah-gunaan keadaan. Artinya setiap debitor yang telah menyetujui suatu perjanjian, tidak serta-merta harus melaksanakan isi
perjanjian tersebut. Lebih jelasnya sebagai gambaran latarbelakang penulis akan
menjelaskan tentang perjanjian kredit dan perjanjian yang menggunakan kontrak baku.
Perjanjian dalam bentuk apapun, tidak terkecuali perjanjian kredit dalam
pelaksanaannya harus atas dasar dengan itikad baik. Walaupun perjanjian tersebut telah
memenuhi ketentuan dalam pasal 1338 BW (Burgerlijk Wetboek), namun yang
dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah harus didasari pula pada pemenuhan
syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.86
Pada Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan
Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 86
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, h.181
Volume 8, No.1, Nop 2008 xcix
pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek
jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut.
Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa
beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar
harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit.
Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian
bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum
dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang
dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa
barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru
jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelian barang,
status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang.87
Perjanjian sewa beli atau huurkoop88 yang merupakan ciptaan praktik dan
bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih
diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang
perikatan atau van verbintennis89 adalah bersifat aan vullenrecht.90 Sifat aan
vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya.
Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW,
kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan
freedom of making contract.91
Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan
pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der
contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata
“perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan
membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan
“ketertiban dan kesusilaan umum”.92 Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk
Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan
(verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.
Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya,
misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian
87
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII,
Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h.65 88
Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985,
h.51 89
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11 90
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84 91Ibid. 92
Subekti. RI., Op.cit. h.5
Volume 8, No.1, Nop 2008 c
yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu,
misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab
sebagainya.
Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian,
sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak
sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih
dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum
perjanjian” dan “hukum kontrak”.
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam
mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak
lain.”93 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban
memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.
Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang
menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam
buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”94
Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.95
Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam
praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai
pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian, dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan
rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah
Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru
akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada
penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas.
Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha,
umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui
93
Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian
elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55 94
Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa,
Jakarta, 1985, h.123. 95
Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta,
1979, h.1.
Volume 8, No.1, Nop 2008 ci
bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak
menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat
yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga
menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian
ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu
dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan.
Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan
pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak
normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan
kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan,
antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat
perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula.
Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha
memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan
yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi
pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung
jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.
RUMUSAN MASALAH
Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode
yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai
tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen
justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada
suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam
ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi
yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha,
melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan
dengan rumusan kalimat, sebagai berikut:
a. Bagaimanakah terhadap perjanjian yang telah disetujui itu sah menurut hukum?
b. Dapatkah perjanjian yang telah disetujui itu dibatalkan secara sepihak?
Volume 8, No.1, Nop 2008 cii
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1. Perjanjian yang Sah adalah Mengikat
Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran
hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia).
Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang
bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu
menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan
konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada dua
kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu
pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasi
semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam
revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”96 dengan akibat memberi peluang kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi
lemah.
Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya
kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak
yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan
menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan
saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah
akta.
Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang
terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus
secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi
kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu
adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak,
dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal
tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang
diperbolehkan.
Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak
yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas
20
Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep
Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika
Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99.
Volume 8, No.1, Nop 2008 ciii
dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh
undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum.
Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan
untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini
dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai
syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak
adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah
merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak.
Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para
pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum,
maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat
mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur
terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini
bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada
seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya.97
Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak
dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut
batal demi hukum (nietig).98
Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam
kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan
mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai
persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam
suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam
suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu
harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk
menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak
mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati
demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak
mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu,
yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa
upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW.
Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran
yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.99 Artinya, tidak ada suatu
kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh
97
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno
Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12 98
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari
Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65. 99
J. Satrio, Op.Cit., h.165.
Volume 8, No.1, Nop 2008 civ
pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok
yang menentukan lahirnya perjanjian.
Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah
merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai
rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima
oleh pihak lainnya dalam kontrak. Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat
ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu
tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus
ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki.
Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa
adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan
bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut.
Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih
jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak
yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan
pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak.
Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh
kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan
sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya.100 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan
debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh
pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan
terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur.
Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam
sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi
tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah
bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan.
Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.Artinya dengan akta tersebut
para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur
dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi
kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan
penandatanganan para pihak.
a. Akta Otentik.
100
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,
Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3
Volume 8, No.1, Nop 2008 cv
Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di
tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus
berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang
untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk
membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus disimpan oleh Notaris, tanggalnya
ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan salinannya, grossenya dan
kutipannya.101
Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta
kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus
oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini
dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masing-
masing pejabat umum yang berwenang.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik
telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang
dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta
otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku bagi tiap orang atau pihak ketiga..
Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang
menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun
kepalsuan intelektual.102 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan
dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan
intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar
dalam akta itu.
Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda
tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal
yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi
juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan
tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap
sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun
kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana
dimuat dalam pasal 1870 BW.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik membereikan bukti
yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, diantara para pihak yang
bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu.
101
Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia,
Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4. 102
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta,
1983, h.196.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cvi
Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak
tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan
berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang
mendapat hak dari mereka.
b. Akta dibawah tangan. Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu
bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan
adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari
seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang
dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum pembuat akta.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di
bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika
terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan
dalam pasal 1869 BW.
Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg.
(Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal
305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880.
Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan
utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan
sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis
dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari
kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri
kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian
permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW
yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam
pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan
ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau
dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya
peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di
bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan
mendasar tentang:
d. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan
pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam
undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan
tidak demikian;
Volume 8, No.1, Nop 2008 cvii
e. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir
sesuai azas acta publica probant seseipsa103, sedangkan kontrak yang dibuat
dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.
f. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara
hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian.
2. Perjanjian yang Sah dan yang Disetujui
Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur
sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract),
sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1
tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung
unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari
kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:
d. Bagian dari kontrak yang esensial
Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak
tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada.
Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.
e. Bagian dari kontrak yang natural
Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak
yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya
aturan yang bersifat mengatur saja.
f. Bagian dari kontrak yang aksidental
Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama
sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk
mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of
contract).104
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda
tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang
perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab
103
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar (selanjutnya disingkat Sudikno
Metokusumo II), Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h.111. 104
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, 28.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cviii
V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan
sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang
terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.
Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak
yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja
sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan
terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang
yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu
kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya
kontrak sewa beli.
Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal
bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi
tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian
campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang
diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai
pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya
dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.
a. Perjanjian Bernama.
Perjanjian bernama disebut juga persetujuan dengan sebutan
(nominaatcontracten) yaitu persetujuan yang disebut dan diatur dalam perundang-
undangan seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya.105
Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok kontrak atau perjanjian, yaitu
perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan
perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu
nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama. Nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-undang, seperti jual beli, sewa-
menyewa, perjanjian pemborongan dan lain sebagainya.
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan
tunduk kepada salah satu nama perjanjian seperti yang diatur khusus dalam BW yatu
bab V sampai dengan bab XVIII ditambah titel VII A WVK (Wetboek van Koophandel)
tentang persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Baik untuk perjanjian
bernama ataupun tidak bernama pada azasnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan
dalam bab I, II dan IV buku III BW.106
Buku III BW mengkatagorikan perjanjian bernama tersebut ke dalam 15
kategori sebagai berikut:
(1) perjanjian jual beli (diatur dalam bab V);
105
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.30 106
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999, h.51
Volume 8, No.1, Nop 2008 cix
(2) perjanjian tukar menukar (diatur dalam bab VI);
(3) perjanjian sewa menyewa (diatur dalam bab VII);
(4) perjanjian kerja, termasuk perjanjian pemborongan pekerjaan (diatur
dalam bab VII A);
(5) perjanjian persekutuan pedata (diatur dalam bab VIII);
(6) perjanjian badan hukum (diatur dalam bab IX); (7) perjanjian penghibahan (diatur dalam bab X);
(8) perjanjian penitipan barang (diatur dalam bab XI);
(9) perjanjian pinjam pakai (diatur dalam bab XII);
(10) perjanjian pinjam pakai habis (diatur dalam bab XIII);
(11) perjanjian bunga abadi (diatur dalam bab XIV);
(12) perjanjian untung-untungan (diatur dalam bab XV);
(13) perjanjian pemberian kuasa (diatur dalam bab XVI);
(14) perjanjian penanggungan hutang (diatur dalam bab XVII);
(15) perjanjian perdamaian (diatur dalam bab XVIII).
Bilamana ada perjanjian yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari perjanjian
tersebut dan ketentuan dalam WVK di atas, maka itu berarti perjanjian yang
bersangkutan termasuk ke dalam perjanjian umum (tidak bernama). Maksudnya, terhadap perjanjian tersebut hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang
perjanjian yang juga diatur dalam buku III BW. Di samping tentunya juga berlaku
ketentuan-ketentuan yang diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang
bersangkutan, ditambah kebiasaan dan yurisprodensi yang berlaku untuk hal
dimaksud.
b. Perjanjian tidak bernama.
Kita mengenal adanya beberapa perjanjian yang di dalam kehidupan praktek
sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam undang-
undang. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari ada perjanjian yang mempunyai nama
yang sama dengan yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi oleh masyarakat
diberikan arti yang lain. Misalnya kontrak sewa-menyewa. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kata kontrak mempunyai arti yang sama
dengan persetujuan atau perjanjian. Bahkan bab II buku III judulnya adalah tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Kata “atau” di
belakang “kontrak” menunjukkan, bahwa ia mempunyai arti yang sama dengan kata
“perjanjian”.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1319 BW, bahwa terdapat dua
kelompok perjanjian yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama
khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-
undang tidak diatur dan tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan
perjanjian tidak bernama. Pasal 1319 BW tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan,
bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak hanya tunduk pada ketentuan umum tentang
perjanjian, sebagaimana diatur dalam buku III titel I, II dan IV tetapi terhadap perjanjian
Volume 8, No.1, Nop 2008 cx
itu berlaku pula ketentuan-ketentuan khusus yang tidak menutup kemungkinan
menyimpangi ketentuan umum.
Dengan pertimbangan di atas, maka azas umumnya adalah ketentuan umum
yang diatur dalam titel I, II, dan IV buku III. Ketentuan ini berlaku untuk semua
perjanjian, baik perjanjian bernama maupun tidak bernama, ataupun campuran,
sepanjang undang-undang terhadap perjanjian bernama itu tidak menentukan lain dari ketentuan umum tersebut. Dalam hal yang demikian berlakulah azas lex specialis
derogat legi generalie.
Di luar perjanjian bernama, sesuai dengan dianutnya azas kebebasan
berkontrak di dalam BW, terdapat bermacam-macam perjanjian lain, yang secara
teoritis terbatas variasinya. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ditutup
perjanjian-perjanjian, dengan variasi yang cukup banyak jumlahnya dan ada di
antaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu.
c. Perjanjian Campuran.
Di samping itu masih juga dikenal adanya perjanjian-perjanjian yang tidak
diatur secara khusus di dalam undang-undang, namun dalam praktek mempunyai nama
sendiri di mana unsur-unsurnya mirip atau bahkan sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi tidak tersebut sebagai salah satu perjanjian dalam perjanjian
bernama. Untuk perjanjian jenis ini dapat diambil contoh misalnya perjanjian sewa beli.
Dalam perjanjian sewa beli terdapat unsur-unsur, yaitu: (a) jual beli, karena
pada akhirnya setelah perjual sewa menerima pembayaran lunas, pembeli menjadi
pemilik; (b) sewa menyewa, karena sementara menyicil, pembeli sewa boleh
menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut.
Unsur-unsur tersebut terjalin satu sama lain dengan erat, sehingga kita baru
mengatakan suatu perjanjian adalah perjanjian sewa beli jika unsur-unsur itu ada di
dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian tersebut kita melihat adanya beberapa unsur
perjanjian bernama yang tergabung menjadi satu. Di sana unsur pejanjian bernama yang
satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Unsur-unsur perjanjian bernama di sana tidak bisa dipisahkan untuk berdiri sendiri, antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian
jual-belinya.
Kendati demikian, tidak selamanya kita dapat dengan pasti mengatakan apakah
suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada
persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan
yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama (perjanjian
campuran).107
Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat
107Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxi
tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di
samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-
pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang
melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa
melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam
undang-undang.
Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara
perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-
undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar
perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian
dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237
ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan
pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3
(tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan
paksaan (dwang). Inilah tiga macam cacat kehendak dalam pengajuan gugat pembatalan terdapat suatu perjanjian.”108
Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak
bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau
dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik
kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar
kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati
demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan
permohonan ke pengadilan.
Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan
secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan
suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan
kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam
jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya,
jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya
pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah
diperjalanan dan sebagainya.
Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang,
108
Yohanes Sogar Simamora, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Bentuk Pelanggaran terhadap
Asas kebebasan Berkontrak (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora III), Yuridika, Fakultas Hukum
Unair Surabaya, No.4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h.55
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxii
kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan
pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila
dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.109
Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam
membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut
dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW
penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau
bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325,
1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku
pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret
1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena
perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu
sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan
dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas,
pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai
unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur.110 Namun
untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan
dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut
dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog
serta misbruik van omtandigheden.
a. Dwang (Paksaan)
Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas,
karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan
terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang
yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang
tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang
dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan
hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai
kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW).
Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian
jika paksaan itu dilakukan terhadap:
c. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW);
109
Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10 110
Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan
Perjanjian, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2001, h.58.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxiii
d. Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis
ke atas atau ke bawah.
Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan
oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian
dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini
tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang
dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.
Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi
dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik
secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau
apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk
dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undang-
undang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah
berhenti (pasal 1454 BW).
b. Dwaling (Kehilafan).
Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat
diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat
dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.111
Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan
dalam dua hal, yaitu:
3. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi
ternyata bukan;
4. apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang
dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan
persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.112
Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu
terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain
kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi
khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi
merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem
self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan
111
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdjandjian, Cet.V, Sumur Bandung, Bandung,
1960, h.30 . 112
Setiawan R., Op.Cit, h.60
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxiv
colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang
terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.113
c. Bedrog (Penipuan)
Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak
sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut.
Dengan dasar pengertian di atas, R.M. Suryodiningrat menterjemahkan tipu ialah
perbuatan pihak yang satu untuk mengarahkan pihak lainnya ke jalan yang salah.114
Kontrak yang dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan
pengadilan seperti halnya kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat
pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak
yang dibuat karena paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa,
sedangkan persetujuan yang dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau
karena sesat tidak mengetahui bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan
perbedaan antara kontrak yang dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat
pihak yang sesat sendiri yang mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun
dalam hal tipu kemauan pihak yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah.
Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk
menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan
yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat
demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya.
UPAYA HUKUM TERHADAP PERJANJIAN YANG DISETUJUI
1. Perjanjian yang Disetujui Harus Sah
Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak
kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa
dalam kontrak.115 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang
sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan
yang bersumber pada kebebasan berkontrak.
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh
dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke
waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga
113
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.118 114
Suryodiningrat RM., Azas-azas Hukum Perikatan, Ed.II, tarsito, Bandung, 1985. 115
Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxv
harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di
bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum”
yang dipergunakan dalam suatu kontrak.
Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh
menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi
yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para
pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian
terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu.
Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan
kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan,
maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu
menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara
sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja.
Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang
dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam
kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak
haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum.
Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya
mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau
perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.116
Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini
adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah
atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi
dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk
diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena
ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak
lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan
perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.
Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena
kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang
lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap
perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan
melahirkan legio particuliere wetgevers.117
116Ibidt., h.134 117Ibid, h.135.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxvi
Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal
1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan
perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.118
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan
azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan.
Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan.
Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu
telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko
untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi,
junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak
baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan
kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk
dituangkan dalam kontrak.
Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit
telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan
data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara
baku.119 Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya
sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan
berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat
para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya
menurut pasal 1320 BW.
Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila
dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para
pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang
dikehendaki masing-masing.120 Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan
perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan
berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses
aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank.
Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna
memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit
118
Subekti R.III, Op.cit., h.14-15. 119
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 120
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxvii
adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit
dari calon debitur.121
Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur
dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan
mencantumkan syarat-syarat antara lain:
a. Maksimum/limit fasilitas kredit. b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit.
c. Bentuk pinjaman.
d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas.
e. Suku bunga.
f. Bea meterai kredit yang harus dibayar.
g. Provisi kredit commitment fee management fee.
h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan
menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan
likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap
jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang
bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan
cara pengikatannya. i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan.
j. Sanksi-sanksi seperti:
denda terlambat pembayaran bunga
denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan
denda atas overdraft
sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian
kredit.
k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan
pribadi/borgtocht dan lain-lain).
l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan
fasilitas kredit. m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.
122
Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat
jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai
peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga
tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa
terjepit atau kepepet.
121
Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1999, h.80. 122Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxviii
Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan
banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan
dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya.
Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang
dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar
pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut
syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW.
Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit
segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu
sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum
debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank.
Bentuk baku dari kontrak baku telah ditentukan secara pasti tentang jangka
waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek
jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara
sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun
kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of
contract, melainkan prinsip take it or leave it.123
Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak
biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa
memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai
kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya.
Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki
kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang
disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguh-
sungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima
juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya menerima tanpa perundingan lagi.
Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam
kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang
meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapakli menggunakan kedudukannya itu untuk
membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri
berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung
jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung
jawab perusahaan pemberi kredit .
Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam
kontrak baku memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak lain
123
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.97
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxix
dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).124 Bentuk paksaan demikian,
termasuk paksaan yang melawan hukum.125
Also, if a party’s manifestation of assent to a contract is induced by an improper threat
by the other party that leaves the victim no reasonable alternative, the contract is
voidable by the victim.126
Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan
kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain,
maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya.
Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari
ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak
itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap
debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah
dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak.
Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kerdit adalah adanya
hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa
persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses
pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan.
Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan
pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan
dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha
untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung
hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan
kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan
klausula-klausula yang mematikan.
Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian
rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata
masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat
berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu.
Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat
keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada
pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak,
menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada
kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas
124
Munir Fuady II, Op.Cit., h.42. 125
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996., h.69 126Ibid., h.70
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxx
kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam
berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak.
Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam
berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan
untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama
dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang
harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak.
Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu
menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga
dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win
solution.127 Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah
berbicara keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam
berkontrak.
Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman
kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju,
demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka
konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis itu.
Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak
dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat.128 Apabila pada kontrak yang dibuat
itu diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka
kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil.
2. Perjanjian yang Tidak Sah dapat Dibatalkan
Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang
memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan
kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan
harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur
yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar
menawar.
Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan
pembatalannya.
Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam
kontrak tersebut terdapat:
127
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.101 128Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxi
e. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan
darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak
berpengalaman;
f. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)
disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa
pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu
perjanjian;
g. penyalahgunaan (misbruik)
salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui atau
seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
h. hubungan kausal (causaal verband)
Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian itu
tidak akan ditutup.129
Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah
kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan
dalam pasal 1321 BW yang berupa:
d. kesesatan (dwaling); e. paksaan (dwang);
f. penipuan (bedrog).
Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak
selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri.
Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada
terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak
atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang
129
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxii
disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh
Van Dunné.130
Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a)
penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri
dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan
kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.131
Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung
penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai
keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan
perjanjian.
Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung
penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan
ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan
anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang
mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang
pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.132
Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu
kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan
keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk:
e. berlakunya itikad baik secara terbatas;
f. penjelasan normatif dari perbuatan hukum;
g. pembatasan berlakunya persyaratan baku;
h. penyalahgunaan hak.133
Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338
ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak
menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke
tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana
sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah
merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian
rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas
tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang
130Ibid., h.43 131
Ibid., h.44 132Ibid. 133ibid., h.64-67.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxiii
sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan
dasar itikad baik guna membeli tanah itu.
Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak
hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi
jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi
kontrak itu.
Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu merupakan
latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.134 Dengan
merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat
dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut.
Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam
suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan
kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan
normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak
dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak
selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu
harus merupakan kerugian dalam arti obyektif.
Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal
ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan
bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia
dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk
membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat
mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik
van omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak
dibenarkan untuk membatalkan perjanjian.
Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu
pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada
undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian
itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak.
Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan
pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti
penghematan waktu dan tenaga. Kontrak baku banyak dilakukan oleh kalangan
perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu
berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan
134
Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxiv
aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat
menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas
dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara
lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa
lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur
bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya.135
Gejala kesepakatan dalam kontrak baku sebagaimana diuraikan di atas,
mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang
seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah
secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur
telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, dimana klausula
yang ada telah dibuat secara baku. Akibatnya debitur hanya mempunyai pilihan atas
isi kontrak itu, take it or leave it?
Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh
kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undang-
undang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang
melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga.
Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan
hak milik.
Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan
adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas
hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu
dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan
keadaan sebaliknya pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang.
Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan
keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari
yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan
berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan.
Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam
menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi
juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk
melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak
dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung
pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan
konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini
dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar
135
Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxv
kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan komsumen dan Undang-
undang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.136
Dalam kontrak baku dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat
dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank,
dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur
tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank.
Bentuk kontrak baku demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi, sebab
debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it,
without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan sekali
kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak tawaran
kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh dan lain
sebagainya.
Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku
pensiun.137 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan
ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku
pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini
dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat
pertama ini dkuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi
ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan
pada ex aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam
kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.138
Demikian halnya dengan kontrak terapeutik yang didasarkan atas informasi
sebelumnya secara timbal balik antara pasien dengan dokter yang disebut dengan
informed consent139, sebab pada dasarnya informed consent pada dasarnya kontrak
terapeutik ini mengandung dua unsur urgen, yaitu:
(a) informasi yang diberikan oleh dokter; dan
(b) pesetujuan yang diberikan oleh pasien.140 Dengan adanya syarat dalam proses persetujuan yang akan dituangkan dalam
kontrak terapeutik yang berbentuk informed consent, sebelumnya diperlukan
beberapa tindakan dokter yaitu:
136
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, h.40 137
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58. 138Ibid. 139
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik suatu Tinjauan
Yuridis Perssetujaun dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.11. 140
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana
Dokter sebagai salah satu Pihak), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.74.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxvi
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh
dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan);
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak
diinginkan yang mungkin timbul;
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi/untuk pasien;
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung;
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuannya tanpa
adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan
lembaganya;
6. Prognosis mengenai medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu
(percobaan) tersebut.141
Ke enam persyaratan tersebut adalah bersifat fakultatif, artinya dokter sebelum
melakukan tindakan medis harus melakukan seluruh langkah-langkah tindakan
tersebut, sebelum pasien memberikan persetujuannya dalam kontrak terapeutik itu.
Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam pasal 1338 ayat 1
BW disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara berlaku bagi mereka
yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik
telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320
BW, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik terhadap dokter maupun
pasiennya.
Akan tetapi dalam suatu kontrak yang paling penting adalah isi dari kontrak
terapeutik yang telah disepakati oleh dokter dan pasien harus tidak boleh ada unsur
penyalahgunaan, artinya walaupun dokter dan pasien bebas dalam menentukan isi
suatu kontrak, bagi diri dokter tetap ada kewajiban untuk membuat kontrak
terapeutik yang disepakati pasien atas dasar informed consent.
Sebagaimana diberitakan oleh berita mingguan, bahwa seorang lelaki dengan usia 53
tahun yang mempunyai mata pencaharian sebagai tukang becak, ia tinggal di Desa
Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Suatu hari di tahun 1992 ketika memarkir becaknya di
depan Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Kabupaten Cianjur, ia diminta
untuk mengikuti program Keluaga Berencana secara gratis. Ternyata dalam program
itu, ia divasektomi massal dengan tanpa informed concent.142
141
ibid.h.75 142
Kesehatan, Vasektomi Massal membawa Korban, Tempo, Majalah Berita Mingguan Jakarta,
No.9/XXX/30 April – 6 Mei 2001, h.114
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxvii
Kerapkali dalam praktek, dokter demikian saja memberkan pelayan medis dengan
tanpa ada informed concent. Dokter dalam kasus yang demikian telah
menyalahgunaan keadaan ketidaktahuan atau kekurang-pengetahuan pasien, kontrak
demikian secara yuridis mengandung misbruik van omstandigheden, dengan akibat
hukum dapat dimintakan pembatalannya.
Dengan demikian ajaran penyalahgunaan keadaan adalah menyangkut perwujudan azas kebebasan berkontrak, karena hal itu menentukan secara langsung terhadap
kebebasan seseorang dalam mewujudkan kehendak secara leluasa dalam suatu
kontrak.
Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak
debitur hanya memunyai hak mengisi kontrak baku yang telah dibakukan dalam
perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak
mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit,
jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktu-
waktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur
telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak
(take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk
penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak.
Praktik kontrak baku menggambarkan bahwa pihak debitur telah secara terpaksa
menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang
sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan rintangan kejiwaan
bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi kontrak. Isi syarat-
syarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak baku pada hakekatnya merupakan
ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa bagi pengusaha yang
menawarkan “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari uraian di atas telah
memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan penyalahgunaan keadaan
terhadap pihak debitur.
Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang bagi pihak
yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan, sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi memberikan
perlindungan terhadap kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini hukum harus
ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum
(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).143
Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang notabene, dapat
143
Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno
Mertokusumo III), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxviii
dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung unsur
penyalahgunaan keadaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
c. Kebebasan dalam membuat perjanjian dalam pasal 1338 BW selalu berkait
dengan perjanjian yang dibuat secara sah menurut syarat sahnya perjanjian
dalam pasal 1320 BW, maka perjanjian tersebut adalah sah. Artinya
perjanjian yang mengikat adalah perjanjian yang telah disepakati dan dibuat
menurut syarat sahnya perjanjian;
d. Untuk itu setiap perjanjian haruslah dibuat secara sah menurut ketentuan
pasal 1320 BW, agar perjanjian yang telah disetujui tersebut berakibat
hukum sah dan mengikat. Sedangkan jika perjanjian dibuat secara tidak sah
dan walaupun telah disetujui oleh para pihak, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.
SARAN
Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan hukum perjanjian, maka dapat
dikemukakan hal-hal:
a. Hendaknya suatu perjanjian tidak ditekankan pada yang penting telah tanda tangan, maka ia telah setuju. Hal ini dikarenakan, jika suatu saat
salah satu pihak membatalkan perjanjiannya atas dasar dwang, dwaling
atau bedrog;
b. Kalangan praktisi, khususnya notaris tidak perlu lagi membuat pernyataan
bahwa setiap perjanjian yang ditanda-tangani tidak dapat dibatalkan.
Mengingat, setiap perjanjian yang mengandung cacat hukum selalu
diancamkan kebatalannya.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxix
KEABSAHAN PENGADILAN PAJAK
DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM HUKUM PAJAK
Oleh:
M.Amin Rachman, S.H.,MH.*
ABSTRAK
Pengadilan Pajak diberlakukan dengan berdasarkan pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Keberadaan dan operasionalnya
tidak merujuk pada Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
selaku undang-undang induknya, mengingat Pengadilan Pajak adalah
salah satu kekuasaan kehakiman. Namun, ternyata penyelesaian sengketa
pajak di tingkat puncaknya bermuara pada Mahkamah Agung.
Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman – Pengadilan Pajak –
Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan.
LATAR BELAKANG
Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Azasi Manusia tidak mendapatkan
perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan
Hak Azasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak
terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Azasi Manusia itu dapat ditemukan
dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita,
tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam
kasus-kasus konkrit. Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat
dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)144 yang berlaku di
Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember
1981.145 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
144
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3 145
Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.440
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxx
adalah mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak azasi manusia
maupun hak serta kewajiban warga negara.
Demikianlah perlindungan hak asasi manusia di bidang perkara pidana, namun
akankah demikian pula dalam bidang pajak khususnya hukum pajak. Mengingat
masyarakat atau warga negara dalam suatu negara tidak terkecuali adalah wajib pajak,
sehingga pada tiap masyarakat selalu ada kewajiban untuk taat dan membayar pajak. Adakah hak wajib pajak dalam proses pengenaan dan pemungutan pajak sebagaimana
halnya dalam proses perkara pidana, adakah hak menangguhkan penagihan dan
pemungutan pajak oleh pemungut pajak atau fiscus dalam hal ini pemerintah.
Pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala, walaupun pada saat itu belum
dinamakan pajak. Namun masih merupakan pemberian yang bersifat sukarela dari
rakyat kepada rajanya. Perkembangan selanjutnya pemberian itu berubah menjadi upeti
yang sifat pemberiannya dipaksakan dalam arti bahwa pemberian itu bersifat wajib dan
ditetapkan secara sepihak oleh negara. Dengan kata lain pajak yang semula merupakan
pemberian berubah menjadi pungutan, hal ini adalah wajar karena kebutuhan negara
akan dana semakin besar dalam rangka untuk memelihara kepentingan negara yaitu
untuk mempertahankan negara dan melindungi rakyatnya dari serangan musuh maupun
untuk melaksanakan pembangunan. Dengan demikian sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di
bidang ekonomi, sosial dan kenegaraan.
Pajak adalah masalah masyarakat dan negara serta setiap orang yang hidup
dalam suatu negara pasti atau harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah
pajak juga menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian
setiap orang sebagai anggota masyarakat harus mengetahui segala permasalahan yang
berhubungan dengan pajak, baik mengenai asas-asasnya, jenis atau macam-macam
pajak yang berlaku di negaranya, tata cara pembayaran pajak serta hak dan
kewajibannya sebagai wajib pajak.
Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor non
pemerintah ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang dan dapat dipaksakan dengan tiada mendapat imbalan yang langsung yang dapat ditunjuk, guna membiayai
pengeluraran akibat aktifitas pemerintahan.
Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan
(tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong,
penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang
keuangan negara.146
Adapun hukum pajak yang juga disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan
146
Rochmat soemitro. H., Pengantara Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco, Bandung, 1992, h.12
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxi
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan
hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan yang berwajiban membayar
pajak.147
Dari beberapa definisi pajak di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
unsur-unsur pajak adalah: a. iuran masyarakat kepada negara, dalam arti bahwa yang berhak untuk
melakukan pemungutan pajak hanya negara, dengan alasan apapun swasta atau
partikelir tidak boleh memungut pajak;
b. berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan), dalam arti bahwa
walaupun negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun
pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari rakyatnya yaitu melalui
undang-undang;
c. tanpa imbalan langsung dari negara yang dapat langsung ditunjuk, dalam arti
bahwa jasa timbal atau kontra prestasi yang diberikan oleh negara kepada
rakyatnya tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak;
d. untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum, dalam arti
bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum.
Dari keempat unsur tersebut maka unsur yang paling menonjol adalah unsur
paksaan yang mempunyai arti bahwa jika utang pajak tersebut tidak dibayar, maka
utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan surat
paksa dan sita maupun penyanderaan terhadap wajib pajak. Unsur kedua adalah tidak
imbalan langsung dari pemerintah. Hal-hal ini memberikan kesan bahwa di satu sisi
seseorang atau badan itu mau membayar pajak karena terpaksa atau takut dengan
sanksi-sanksi yang harus ditanggungnya apabila tidak mau membayar pajak dan di sisi
lain seakan-akan pembayaran pajak itu pengeluaran sia-sia karena tidak memperoleh
jasa atau imbalan langsung dari pemerintah.
Dengan demikian pemungutan pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Hal ini membuktikan bahwa pajak mempunyai fungsi
budgeter.148
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pajak-pajak Daerah juga
nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang
diserahkan kepada daerah, di samping subsidi juga merupakan sumber pendapatan
daerah yang penting.
Pajak disamping fungsinya yang budgeter, masih mempunyai fungsi mengatur
(reguler).149 Pajak di sini bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-
147
Santoso Brotodihardjo. R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Eresco, Bandung, 1998, h.1 148Ibid., h.2 149Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxii
banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu.
Di samping fungsi mengatur yang diuraikan di atas, pajak juga dapat
digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah, jika tepat
penggunaannya, merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara.
Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip pengenaan pajak, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya.
Di samping pemungutan berbagai macam pajak, pemerintah masih melakukan
berbagai pungutan lain, misalnya retribusi, sumbangan, bea dan cukai. Sehingga pada
dasarnya pemerintah dapat menanggulangi inflasi yang terjadi selama ini. Lebih-lebih,
negara kita masih mempunyai kekayaan lain yang salah satunya adalah sumber daya
alam.
Retribusi ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan dan dapat
imbalan langsung yang dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekonomis, karena siapa
saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, ia tidak dikenakan iuran itu.
Misalnya retribusi pasar, parkir, uang kuliah, uang ujian dan sebagainya. Jadi dengan
perkataan lain retribusi adalah pungutan yang dikaitkan secara langsung dengan balas
jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada pembayar retribusi tersebut. Sumbangan ialah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan yang
ditujukan kepada golongan tertentu, yang dimaksudkan untuk golongan tertentu pula.
Paksaan di sini bersifat yuridis dan ekonomis, misalnya SWP3D (Sumbangan atau
Setoran Wajib Pembangunan dan Pemeliharaan Prasarana Daerah) bagi para pemilik
kendaraan bermotor, yang antara lain digunakan untuk pemeliharaan dan pembuatan
jalan-jalan. Jadi sumbangan atau iuran adalah pungutan yang dikaitkan dengan balas
jasa yang diberikan oleh pemerintah secara langsung kepada golongan pembayarnya,
yang sering pula pungutan ini dinamakan pajak dan pada umumnya pungutan ini
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Bea dan cukai pada hakekatnya juga merupakan pajak yang pemungutannya
dilakukan oleh pemerintah pusat, khususnya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bea terdiri dari Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan yang dikenakan
atas jumlah harga barang yang dimasukkan (diimport) ke dalam daerah pabean, sedang
bea keluar adalah pungutan yang dikenakan atas jumlah barang yang dikeluarkan ke
luar daerah pabean (diekspor) berdasarkan tarip yang sudah ditentukan untuk masing-
masing golongan barang. Daerah pabean adalah daerah tertentu dalam batas mana bea
dipungut, pada hakekatnya seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan daerah pabean
kecuali pelabuhan bebas Sabang yang termasuk dalam kawasan Bonded Warehouse
yang tidak dipungut bea. Cukai adalah pungutan yang dikenakan atas barang-barang
tertentu, antara lain cukai terhadap tembakau, gula, bensin, minuman keras.150
150
Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.11
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxiii
Dasar kewenangan negara memungut pajak pada masyarakat yang disebut
wajib pajak adalah dikarenakan terdapat asas pemungutan pajak yaitu asas domisili,
asas sumber dan asas kebangsaan.151
Asas domisili ketika diterapkan menyebabkan negara dimana wajib pajak
bertempat tinggal atau berkedudukan berhak mengenakan pajak erhadap wajib pajak
tersebut dari semua penghasilannya. Menurut asas ini, siapapun yang bertempat-kediaman di Indonesia dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik yang diperoleh
di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Menurut asas sumber pengenaan pajak tergantung adanya sumber di suatu
negara. Negara dimana sumber penghasilan berada, berhak mengenakan pajak dengan
tidak mengingat di mana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan. Menurut
asas ini siapapun yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, akan dikenakan pajak
penghasilan oleh negara Indonesia, baik wajib pajaknya bertempat-kediaman di
Indonesia maupun di luar Indonesia.
Sedangkan asas kebangsaan adalah asas yang berdasarkan kebangsaan atau
nationaliteit ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia yang mewajibkan setiap orang yang tidak
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia membayar pajak tersebut. Dalam sistem perpajakan yang lama bagi setiap wajib harus ditetapkan
pajaknya dengan Surat Ketetapan pajak yang menentukan besarnya pajak yang
terhubung. Namun dalam sistem perpajakan yang baru timbulnya hutang pajak tidak
tergantung kepada adanya surat ketetapan tetapi hutang pajak tidak tergantung kepada
adanya surat ketetapan tetapi hutang pajak timbul karena adanya atau berlakunya
undang-undang pajak. Setiap wajib pajak harus membayar pajak yang terhutang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
Penentuan besarnya pajak yang terhubung atau pajak yang harus dibayar
selama tahun berjalan maupun setelah tahun pajak berakhir seharusnya dilakukan
sendiri oleh wajib pajak, namun ada pula yang penentuannya dilakukan oleh fiskus melalui surat ketetapan besarnya pajak yang menurut Surat Ketetapan Kemungkinan
lebih besar dari perhitungan wajib pajak sendiri. Kepada wajib pajak yang merasa
keberatan terhadap ketetapan tersebut diberi hak untuk mengajukan keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak. Keberatan dapat diajukan tidak hanya terhadap surat ketetapan
, tetapi dapat pula diajukan terhadap pemotongan oleh pihak ketiga. Dengan demikian
keberatan dapat diajukan terhadap:
a. Surat Pemberitaan;
b. Surat Ketetapan Pajak.
c. Surat Ketetapan Pajak Tambahan;
d. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran;
151
Santoso Brotodihardjo. R, Op.Cit., h.87
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxiv
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
perundang-undang perpajakan
Pada prinsipnya pajak terhutang pada saat timbulnya obyek pajak yang dapat
dikenakan pajak. Saat terhutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk pajak penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh pengusaha
atas pungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Barang Mewah;
c. pada akhir Tahun pajak, untuk pajak penghasilan.
Jumlah pajak yang dipotong, dipungut ataupun yang harus dibayar sendiri oleh
wajib pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan,
harus disetorkan oleh wajib pajak ke Kas Negara atau tempat lain yang telah ditentukan.
Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana yang telah
dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16
tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ssurat ketetapan baru
diterbitkan bilamana wajib pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut
ketentuan peraturan perundang-undang. Sistem pemungutan pajak demikian disebut self assessment.152
Dengan demikian pada sistem self assessment surat ketetapan mempunmyai
fungtsi sebagai saran koreksi atas jumlah pajak yang terhutang menurut SPT (Surat
Pemberitahuan Pajak Tahunan) wajib pajak, sebagai sarana untuk mengenakan sanksi
administrasi. Kecuali itu untuk menagih pajak serta sebagai sarana untuk
mengembalikan pajak bila terjadi kelebihan membayar.
Ketika Fiscus selaku pejabat pemungut pajak telah mengeluarkan Surat
Keterapan Pajak, maka wajib pajak harus melakukan pembayaran. Hal ini dikarenakan,
bilamana wajib pajak tidak melakukan pembayaran akan dilakukan penagihan pajak.
Jika tagihan tersebut tidak diindahkan pula oleh wajib pajak ia akan dipaksa membayar
dengan dikeluarkannya Surat Paksa oleh Fiscus, dan bilamana Surat Paksa tersebut tidak juga dipenuhi, maka Fiscus melalui Juru Sitanya akan melakukan penyitaan atas
harta benda Wajib Pajak sejumlah nilai pajak yang terhutang.
Proses pemungutan pajak di atas didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Di dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut, tidak
satupun terdapat cara bahwa penagihan dan pemungutan pajak dapat dilakukan
penundaan bilamana Wajib Pajak menyatakan keberatan atas besar hutang pajak yang
telah ditetapkan.
Penagihan dan Pemungutan pajak tidak dapat lagi dilakukan penundaan oleh
karena suatu keberatan, adapun Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-Undang
152
Diaz Prinatara, Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Cet.-, Djambatan, Jakarta, 2000, h.2
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxv
Nomor 14 Tahun 2002 adalah merupakan lembaga peradilan khusus pajak dan tidak
memberikan putusan atau penetapan penundaan pembayaran pajak. Keberatan ataupun
banding terhadap besar hutang pajak tetap akan diperiksa, namun wajib pajak terlebih
dahulu harus membayar hutang pajak yang telah ditetapkan.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas terdapat dua kepentingan yang secara hukum seharusnya
sama-sama memperoleh perlindungan hukum secara proporsional. Pihak Fiscus selaku
pemungut pajak harus diberikan perlindungan hukum akan dapat memfungsikan pajak
sebagai sarana budgeter dan sarana reguler. Sedangkan Wajib Pajak harus pula
mendapat perlindungan hukum, agar hak-haknya tidak terlampaui oleh pihak Fiscus.
Di sisi lain, keberadaan pengadilan pajak dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 sebagai lembaga peradilan ternyata tidak termasuk sebagai salah satu dari
empat lingkungan peradilan yang diakui dalam, baik Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan
untuk mengangkat beberapa permasalah hukum dengan rumusan kalimat:
c. Bagaimanakah eksistensi Pengadilan Pajak Tahun 2002 dalam Undang-
Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman?
d. Bagaimanakah kedudukan hak asasi manusia dalam Undang-Undang
Pengadilan Pajak Tahun 2002?
KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK
DALAM UNDANG-UNDANG POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
1. Empat Lingkungan Pengadilan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal inipun diperkuat lagi oleh
ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan dan Penambahan
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxvi
Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.153 Saat pengujian skripsi ini
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman diganti dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004.
Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Hal ini dikarenakan, Pasal 24
UUD 1945 hanya menyebutkan empat badan peradilan secara limitatif, yaitu peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam
Undang-undang Dasar baru itu Pengadilan Pajak tidak disebut, secara yuridis akan
melahirkan masalah hukum, karena Pengadilan Pajak itu pengadilan yang berdiri
sendiri. Atas dasar apa membentuk itu, karena Undang-undang Dasar hanya menyebut
empat.
Implikasi dari pengaturan mengenai badan peradilan dalam Pasal 24 UUD
1945 tersebut adalah konstitusi tidak membuka kemungkinan dibentuknya badan
peradilan lain di luar keempat badan peradilan yang telah disebutkan secara tegas di dalamnya. Saat ini memang belum banyak dipersoalkan oleh masyarakat, namun di
masa yang akan datang, masyarakat akan mempertanyakan eksistensi pengadilan
tersebut secara konstitusional.
Undang-undang Dasar begitu limitatif menyebut peradilan ini, peradilan ini tidak membuka kemungkinan yang lain. Sehingga masalah konstitusionalnya adalah
bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak, pengadilan pajak tidak merupakan bagian
dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer ataupun
Pengadilan Agama. Pengadilan Pajak berdiri sendiri sejajar diantara empat lingkungan
peradilan tersebut, artinya putusan Pengadilan Pajak kedudukannya adalah sama pula
dengan putusan peradilan lainnya.
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 mengatur bahwa
Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa
dan memutus Sengketa Pajak. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) tersebut dinyatakan
bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas Sengketa
Pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak.
Implikasi hukum dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut yaitu putusan Pengadilan Pajak tidak
153
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.IV, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, Jakarta, 1981, h.234
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxvii
dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan
Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut
kewenangan/kompetensi Pengadilan Pajak.
Pengadilan Pajak sendiri merupakan badan peradilan yang khusus
menyelesaikan sengketa di bidang perpajakan yang sebelumnya dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1997. Semula dalam pembahasannya di Komisi IV DPR, pengadilan pajak hendak
disatukan dalam lingkungan pengadilan tata usaha negara. Namun, ada yang
berpendapat bahwa pengadilan pajak haruslah pengadilan khusus.
Pada dasarnya Badan Peradilan Pajak keberadaannya dibutuhkan, hal ini
mengingat penyelesaian sengketa perpajakan memang memerlukan peradilan yang lebih
khusus lagi dibandingkan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata
Usaha Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, hanya
menghasilkan putusan yang menyatakan sah atau tidaknya keputusan tata usaha negara yang disengketakan.
Sedangkan penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan peradilan yang
lebih khusus lagi, yaitu yang tidak hanya memutuskan sahnya atau tidak sahnya
keputusan tata usaha negara yang disengketakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor14 Tahun 2002, putusan Pengadilan Pajak memang tidak sekadar memutuskan
sah tidaknya keputusan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang di bidang perpajakan.
Menurut Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, putusan Pengadilan
Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya, menambah pajak
yang harus dibayar, tidak dapat diterima, membetulkan kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau, membatalkan.
Tidak ada satu pun pasal atau ayat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun
2002 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berada di bawah Pengadilan Tata
Usaha Negara. Sementara apabila Pengadilan Pajak merupakan pengadilan khusus di
bawah Pengadilan Tata Usaha Negara, seharusnya ada ketentuan hukum dalam Undang-
Undang Nomor 14Tahun 2002 yang mengatur hal itu.
Pengadilan Niaga dan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan-
pengadilan khusus yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang masing-masing.
Pasal 280 ayat (1) Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan mengatakan bahwa
Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum. Kemudian, Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 26Tahun 2000 tentang pengadilan HAM mengatur secara lugas bahwa
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan
Umum.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxviii
Agar Pengadilan Pajak tetap bisa eksis, syaratnya pengadilan tersebut harus
masuk pada salah satu badan peradilan yang ada. Pengadilan Pajak masih tetap bisa
dipertahankan, tapi dia harus masuk pada salah satu badan peradilan yang ada yaitu
badan peradilan tata usaha negara. Jadi Menteri Keuangan tinggal memilih, merevisi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang baru berumur 1 tahun tersebut atau
mengubah kembali Pasal 24 UUD 1945 yang telah beberapa kali diamandemen itu.
2. Keberadaan Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman
Pajak yang merupakan gejala masyarakat artinya bahwa pajak hanya terdapat
pada masyarakat, hal ini dikarenakan jika tidak ada masyarakat, maka tidak akan ada
pajak. Masyarakat itu sendiri adalah kumpulan manusia yang ada pada suatu waktu berkumpul di suatu tempat untuk jangka waktu pendek atau untuk jangka waktu panjang
dengan tujuan tertentu.
Desa, kecamatan, kabupaten, bahkan negara adalah masyarakat yang
mempunyai tujuan bersama tertentu. Bangsa Indonesia telah bertekad dan berikrar
untuk mendirikan negara atau masyarakat untuk jangka waktu yang panjang guna
mencapai tujuan tertentu dengan Pancasila sebagai falsafahnya.
Sementara itu, masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup
sendiri dan mempunyai kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup
masyarakat dan kepentingan masyarakat. Walaupun demikian hidup individu dan
kepentingan individu tidak dapat dipikirkan terlepas sama sekali dari hidup dan
kepentingan negara. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup individu. Hidup
negara adalah lain daripada hidup individu, tetapi walaupun lain masing-masing
memerlukan biaya. Biaya hidup individu menjadi beban sendiri yang berasal dari
penghasilan individu. Biaya hidup negara adalah untuk kelangsungan alat-alat negara,
administrasi negara, lembaga negara, dan seterusnya yang kesemuanya itu dibiayai dari
penghasilan negara.
Adapun penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya yang hidup dalam
masyarakat, baik dalam lingkungan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan
sebagainya. Penghasilan yang berasal dari rakyatnya tersebut diperoleh negara dengan
cara memungut pajak, dengan cara pengolahanan kekayaan alam ataupun berasal dari
usaha-usaha negara yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah. Penghasilan yang diperoleh negara tersebut kemudian digunakan untuk
membiayai kepentingan umum, yang akhirnya juga mencakup kepentingan umum
pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya.
Karenanya di mana ada kepentingan masyarakat, di situ timbul pengutan pajak,
sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.
Dengan demikian pemungutan pajak adalah ditujukan untuk membiayai
kepentingan masyarakat. Artinya jika disimpulkan, di satu sisi pajak ditujukan untuk
memasukkan atau memperoleh uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxxxix
membiayai pengeluaran aktifitas kenegaraan. Dan di sisi lain pajak ditujukan untuk
mencapai tujuan tertentu, yaitu oleh karena pajak tidak dipungut pada rakyat yang tidak
mampu melainkan rakyat yang mampu, maka akan timbul tingkat pemerataan
penghasilan setidak-tidaknya mendekati pemerataan. Hal ini dikarenakan, rakyat yang
mampu penghasilannya terpotong oleh pajak sehingga penghasilan berkurang, di mana
tingkat pengurangan penghasilan ini juga berfungsi tidak membuat jurang pemisah yang terlalu jauh antara tingkat penghasilan pihak yang kaya dengan pihak yang miskin.
Fungsi pajak yang diupayakan guna memasukkan atau memperoleh uang yang
sebanyak-banyaknya dari rakyat kepada negara adalah merupakan fungsi pajak
budgeter.154 Sedangkan pajak yang ditujukan untuk mencapai tingkat pemerataan
pendapatan guna mengurangi jurang pemisah antara yang miskin yang kaya adalah
fungsi pajak reguler.155
Jika ditinjau dari pengertian dan fungsi dari pajak seperti telah diuraikan di
atas, yaitu bahwa pajak merupakan sumber keuangan negara dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan, dan pemungutan pajak sudah didasarkan pada undang-
undang yang berarti bahwa pemungutan pajak tersebut sudah disepakati atau disetujui
bersama antara pemerintah dengan rakyatnya, maka sudah sewajarnya kalau masyarakat
sadar akan kewajibannya di bidang perpajakan yaitu membayar pajak dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kenyataannya
banyak hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutannya. Sebagaimana
diuraikan di atas, hambatan pemungutan pajak sebagai akibat perlawanan terhadap
pajak yang dibedakan antara perlawanan pasif dan perlawanan aktif.
Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar
pemungutan pajak yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi, perkembangan
intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam
perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat
pemungutan pajak, namun karena kondisi masyarakat yang kurang atau bahkan tidak
tahu seluk beluk pajak maka mereka tidak membayar pajak.
Perlawanan aktif adalah meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak. Dalam
perlawanan aktif ini nyata-nyata ada usaha dari wajib pajak untuk tidak membayar
pajak. Usaha-usaha tersebut dapat berupa penghindaran diri dari pajak, pengelakan atau
penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.
Perlawanan terhadap pajak akan sangat merugikan negara, oleh karena itu
dalam rangka untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali hambatan-
hambatan tersebut maka perlu diusahakan suatu keadaan di mana masyarakat wajib
pajak mau dan sadar akan kewajibannya membayar pajak. Usaha menghilangkan
hambatan ini dapat dilakukan dengan memberikan penerangan dan bimbingan kepada
masyarakat mengenai manfaat pajak bagi kelangsungan hidup negara dan kelancaran
jalannya pembangunan. Penerangan mengenai pengertian, arti pentingnya atau manfaat
154
Bohari. H., Op.Cit., h.101 155Ibd.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxl
membayar pajak ini dapat dilakukan secara dini yaitu pada sekolah-sekolah, perguruan
tinggi dan kelompok masyarakat lainnya.
Perlawanan pajak secara aktif, khususnya yang berupa penyelundupan dan
melalaikan pajak, adalah merupakan pelanggaran undang-undang, oleh karena itu perlu
adanya tindakan yang tegas atau adanya sanksi yang berat terhadap para pelakunya
karena hal tersebut akan dapat mempengaruhi atau mempunyai akibat pada bidang keuangan, ekonomi dan bahkan pada bidang sosial dan budaya.
Untuk itu, maka Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 khususnya pasal 25
ayat 7 menentukan bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Hal ini adalah semata-mata ditujukan untuk
mencegah timbulnya akibat sebagaimana dikemukakan di atas. Karenanya kewajiban
membayar pajak dari wajib pajak adalah bersifat imperative atau memaksa.
Keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat 7 Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat
ketetapan pajak tersebut. Namun khusus tujuan pengajuan keberatan tersebut, sesuai
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep.22/PJ/1995 tanggal 27 Pebruari
1995 wewenang Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugas pelayanan di bidang perpajakan telah dilimpahkan kepada beberapa pejabat Direktorat Pajak antara
lain Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pajak Pertambahan Nilai, Kepala Kantor
Wilayah Ditjen Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.156
Wajib Pajak bilamana tidak puas atas Keputusan Keberatan yang telah
dikeluarkan oleh Direktur Pajak Penghasilan, Direktur Pajak Pertambahan Nilai, Kepala
Kantor Wilayah Ditjen Pajak ataupun oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, ia dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan setelah
diterima Keputusan keberatan tersebut.
Pengadilan Pajak yang mempunyai kewenangan mengadili sengketa pajak
dalam hal ini banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 2002. Dengan demikian sengketa pajak bukan lagi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1986, terhitung sejak berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tersebut.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman khususnya pasal 10 hanya menetapkan empat lingkungan
peradilan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara,
dan Mahkamah Militer. Adapun Pengadilan Niaga dan Pengadilan HAM merupakan
bagian dalam tubuh Pengadilan Negeri.
Sehingga keberadaan Pengadilan Pajak dalam Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman tidak termasuk sebagai bagian lembaga peradilan, mengingat
Pengadilan Pajak tidak termasuk ke dalam salah satu dari keempat lingkungan peradilan
tersebut.
156
Erly Suandy, Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat, Jakarta,
2002, h.88
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxli
Karenanya keputusan pajak bukan Keputusan Tata Usaha Negara yang
dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
usaha Negara, mengingat sengketa pajak tidak menjadi kewenangan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Untuk itu Keputusan di bidang pajak tidak dapat bersifat vermoeden van
rechmatigheid157, karenanya seharusnya tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu
pembayaran pajaknya atau pajak yang terhutang dalam tagihan pajak.
PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM UNDANG-UNDANG PENGADILAN PAJAK TAHUN 2002
1. Beberapa Kewenangan Penguasa selaku Pemungut Pajak
Pada dasarnya pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-
banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi
budgeter. Dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah pajak-pajak daerah juga
nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang
diserahkan kepada daerah, di samping subsidi merupakan sumber pendapatan daerah yang penting.
Kendati demikian, di samping pajak-pajak fungsinya yang budgeter masih
mempunyai fungsi mengatur (reguler). Pajak di sini bukan semata-mata untuk
memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam bidang
pembebasan pajak guna memperoleh atau menarik modal luar negeri dengan cara tax
holiday.158
Contoh lain bahwa pajak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya
dorongan pemerintah untuk lebih memanfaatkan dan menggunakan koperasi dalam
menjalankan usaha. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan bentuk usaha yang sesuai
dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Dalam rangka itu koperasi dibebaskan dari pengenaan pajak untuk jangka waktu 10 tahun dihitung sejak
saat didirikannya, dan setelah jangka waktu sepuluh tahun itu koperasi dikenakan pajak
dengan tarip yang diperingan.
Di samping fungsi mengatur yang di sebutkan di atas, pajak-pajak juga dapat
digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah jika tepat
penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara.
Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip tinggi
dan tarip rendah atau tarip 0, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya.
157
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cet.I, Airlangga
University Press, Surabaya, 1997, h.91 158
Rochmad Soemitro , Op.Cit., h.3
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlii
Pajak dapat juga ditinjau dari segi pembangunan, dari segi ini pajak baru
mempunyai manfaat terhadap pembangunan apabila pajak-pajak setelah digunakan
untuk membiayai pengeluaran rutin, masih ada cukup sisa yang dapat digunakan untuk
membiayai pembangunan melalui investasi publik.
Dari segi pembangunan pajak dapat ditinjau sebagai alat fiscal policy atau
kebijakan fiskal. Dalam kebijakan fiskal kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi pembangunan.
Masalah pokok dalam pembangunan adalah investasi, investasi ini berasal dari
tabungan, baik tabungan swasta maupun tabungan pemerintah.
Investasi tabungan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak dan kerelaan golongan swasta, melainkan harus diarahkan ke jurusan tertentu.
Melalui deposito berjangka, dengan pembebasan pajak atas bunga deposito berjangka,
pemerintah telah berhasil meningkatkan deposito berjangka yang besar artinya bagi
pembangunan. Juga pasar uang dan modal, yang mempunyai peranan penting dalam
pembangunan, dapat digalakkan oleh pemerintah dengan menggunakan pajak-pajak
sebagai alat-alat penggerak.
Pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari
segi hukum, lebih menitikberatkan kepada perikatan, pada hak dan kewajiban wajib pajak, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum. Hak penguasa untuk
mengenakan pajak. Timbulnya hutang pajak, hapusnya hutang pajak, penagihan pajak
dengan paksa, sanksi administratif maupun sanksi pidana, penyidikan, pembukuan, soal
keberatan, banding dan gugatan pajak.
Suatu keadaan yang dilematis, mengingat pajak di satu sisi adalah bagai
perampokan jika tidak mendasarkan pada perundang-undangan sebelumnya.
Sebagaimana hal ini didalilkan dalam falsafah pajak di USA taxation without
representation is robbery.159 Dan di sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk
kelangsungan pembangunan dan aktifitas suatu negara. Untuk itu, proses pemungutan
pajak yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dilakukan dengan sangat hati-hati
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pajak dikenakan dan dipungut atas dasar undang-undang, namun
karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara maka
pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawan, maka
terhadap kewajiban di samping hak fiscus yaitu bahwa pajak haruslah memenuhi syarat-
syarat yaitu160:
1. pemungutan pajak harus adil;
2. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang;
3. pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian;
4. pemungutan pajak harus efisien;
5. sistem pemungutan pajak harus sederhana.
159
Erly Suandi, Loc.Cit. 160
Munawir, Perpajakan, CetI, Liberty, Yogyakarta, 1992, h.8-13
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxliii
a. Pemungutan pajak harus adil
Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat sebagai wajib pajak yang antara
lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak,
obyek pajak, timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutan pajak, cara penagihannya
dan sebagainya. Di samping itu memuat pula tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak serta sanksi-sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana
sehubungan dengan adanya pelanggaran atas hukum atau peraturan-perturannya.
Tujuan dari setiap hukum adalah membuat adanya keadilan, demikian pula
dalam hukum pajakpun mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum-hukum
lainnya yaitu membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik adil dalam
perundang-undangannya maupun adil dalam pelaksanaannya. Keadilan dalam
pelaksanaan antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak atau banding dan
gugatan kepada Pengadilan Pajak.
Walaupun demikian keadilan itu sangat relatif, namun salah satu jalan yang
harus ditempuh dalam mencari keadilan adalah mengusahakan agar pemungutan pajak
diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Dengan demikian pajak harus mengabdi pada keadilan, dan keadilan
inilah yang dinamakan azas pemungutan pajak menurut falsafat hukum atau syarat
keadilan.
Jika pihak fiscus mampu berlaku adil dalam memungut pajak, kemudian atas
dasar apa negara atau fiscus dapat dan mempunyai hak untuk memungut pajak.
Terhadap kondisi ini lahirlah bebera teori pembenar guna mentolerir negara selaku
fiscus untuk memungut pajak. Teori-teori yang lahir adalah:
a. teori asuransi;
b. teori kepentingan;
c. teori daya pikul;
d. teori daya beli.161
a. Teori asuransi
dalam teori ini intinya mengatakan bahwa tugas negara adalah untuk
melindungi orang dan atau warganegaranya dengan segala kepentingannya, hyaitu
keselamatan dan keamanan jiwa dan harta bendanya. Sebagaimana pada perjanjian
asuransi atau pertanggungan maka untuk perlindungan tersebut diperlukan pembayaran
premi, dan dalam hal ini pembayaran pajak ini dianggap atau disamakan
denganpembayaran premi tersebut. Teori ini banyak yang menentang karena
pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang
kepada perusahaan pertanggungan, dan negara tidak dapat dipersamakan dengan
perusahaan asuransi karena:
161
Bohari. H., Op.Cit., h.32-35
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxliv
1. dalam hal timbul kerugian, misalnya adanya kematian atau pembunuhan
atau pencurian/ perampokan tidak akan ada suatu penggantian dari negara;
2. antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa perlindungan yang
diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang langsung.
b. Teori kepentingan
Teori ini menekankan bahwa pembagian beban pajak pada penduduk seluruhnya harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas
negara/pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa
orang-orang itu serta harta bendanya. Pembayaran pajak hendaknya dihubungkan
dengan kepentingan orang-orang itu terhadap tugas negara. Maka sudah selayaknyalah
bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya
dibebankan kepada seluruh penduduk tersebut. Teori ini banyak pula yang
menyanggahnya, karena setiap orang yang mempunyai kepentingan lebih besar
seharusnya membayar pajak yang lebih besar pula. Hal ini bertentangan dengan
kenyataan, karena mungkin sekali orang miskin yang mempunyai kepentingan yang
lebih besar, baik dalam perlindungan jaminan sosial dan sebagainya, sehingga sebagai
konsekuensinya seharusnya membayar pajak yang lebih banyak namun kenyataannya
justru mereka ini tidak membayar pajak. Antara kepentingan seseorang terhadap jasa negara tidak dapat dihubungkan langsung dengan besarnya pembayaran pajak. Jadi
dasar keadilan pemungutan pajak adalah karena orang-orang mempunyai kepentingan
pada negara dan untuk menyelenggarakan kepentingan itu harus dibayar biaya, yaitu
dalam bentuk pajak.
c. Teori Gaya Pikul
Teori ini pada hakekatnya mengandung kesimpulan bahwa dasar keadilan
dalam pemungutan pajak adalah terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara
kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Untuk keperluan
perlindungan ini diperlukan biaya yang harus dipikul oleh segenap orang yang
menikmati perlindungan tersebut, yaitu dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal teori ini juga keadilan, yaitu bahwa tekanan pajak itu haruslah sama beratnya
untuk setiap orang. Pajak harus dibayar sesuai dengan gaya pikul seseorang, dan
sekedar untuk mengukur gaya pikul dapat dilihat dari dua unsur yaitu unsur obyektif
yang terdiri dari penghasilan, kekayaan dan besarnya pengeluaran seseorang serta unsur
subyektif yaitu segala kebutuhan terutama materiil, dengan memperhatikan besar-
kecilnya jumlah tanggungan keluarga. Makin besar kebutuhan yang harus dipenuhi
semakin kecil kekuatan seseorang untuk membayar pajak.
d. Teori bakti
Teori ini sering disebut juga teori kewajiban pajak mutlak, yang pada intinya
mengatakan bahwa negara sebagai organisasi dari golongan, dengan memperhatikan
syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan dalam bidang pajak. Menurut teori ini
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlv
dasar hukum atau dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam hubungan rakyat
dengan negaranya, dan justru sifat suatu negara maka timbullah hak mutlak untuk
memungut pajak. Rakyatnya harus selalu menginsyafi bahwa pembayaran pajak sebagai
suatu kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara.
c. Teori Azas Gaya Beli Teori ini tidak mempermasalahkan asal mulanya negara memungut pajak,
melainkan hanya melihat pada akibat pemungutan pajak tersebut, dan memandang
akibat yang baik itu merupakan dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi
pemungutan pajak dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari
rumah tangga – rumah tangga dalam masyarakat untuk rumah tangga negara kemudian
menyalurkan kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara kehidupan
masyarakat dan untuk membawa ke arah tertentu yaitu kesejahteraan. Teori ini
mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat
dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga
bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya
(individu dan negara).
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Bagi
negara-negara hukum, maka segala sesuatu harus diatur atau ditetapkan dalam undang-
undang termasuk pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam
Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen pasal 23A yang menentukan antara lain
bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi
berdasarkan undang-undang.
Kecuali itu, dalam menyusun undang-undangnyapun harus diusahakan oleh
pembuat undang-undang untuk tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam
menyusun undang-undang secara umum tidak oleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:
1. hak-hak negara sebagai pemungut pajak (fiscus) yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin terlaksananya dengan lancar;
2. para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas agar supaya tidak
diperlakukan dengan semena-mena oleh fiscus dengan segala aparaturnya;
3. adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri
atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan atau
disampaikannya kepada instansi-instansi pajak, dan rahasia itu tidak disalah-
gunakan.
c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.
Keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karena adanya
pemungutan pajak, bahkan harus tetap dipupuk olehnya sesuai dengan fungsi kedua dari
pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Oleh karena itu kebijakan pemungutan pajak harus diusahakan supaya tidak menghambat lancarnya perekonomian, baik dalam
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlvi
bidang produksi maupun perdagangan dan jangan sampai merugikan kepentingan
umum dan menghalang-halangi usaha rakyatnya dalam menuju kebahagiaan.
d. Pemungutan pajak harus effisien
Hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutup sebagian dari
pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan fungsi yang pertama dari pemungutan pajak yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter). Oleh karena itu untuk
melaksanakan pemungutan pajak hendaknya tidak memakan biaya pemungutan yang
besar, dan pemungutan ini hendaknya dapat mencegah inflasi. Untuk mencapai efisiensi
pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak guna melakukan pemungutan
pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu
dengan permasalahan pajak yang sulit, karenanya dapat menimbulkan inefisiensi.
e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana.
Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga
masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan
sistem pajak yang sederhana yang mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Sistem pemungutan pajak yang
sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak.
Dari uraian di atas telah memperjelas kita, bahwa kendatipun pajak adalah
merupakan alat untuk kelangsungan pembangunan suatu negara, namun tidak
diperkenankan diterapkan secara semena-mena dan mengindahkan hak azasi manusia.
Seharusnya tindakan-tindakan fiscus yang secara serta-merta tanpa dilakukan pengujian
akan kebenarannya, dan bahkan harus dilaksanakan walaupun pihak wajib pajak
mengajukan keberatan ataupun banding adalah merupakan tindakan-tindakan yang
sewenang-wenang. Tindakan ini dalam negara hukum seharusnya tidak mendapat
tempat lagi untuk hidup dan berlangsung dalam praktik kehidupan sehari-hari. Tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak yang dapat secara serta merta
menagih dan memungut pajak pada wajib pajak akan lebih banyak menimbulkan
tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang
detourmenent de pouvoir atau penyalah-gunaan wewenang.162
2. Perlindungan Wajib Pajak dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yunkto Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan keberatan, banding serta gugatan.
162
Philipus M. Hadjon et all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Adminstrative law), Cet.III, Gajah Mada University Press, Bandung, 1994, h.270
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlvii
Keberatan dan banding serta gugatan Wajib Pajak terhadap fiscus atas
ketetapan pajak adalah merupakan jaminan bagi wajib pajak untuk menggunakan
haknya yang dijamin oleh undang-undang pajak.163 Khusus untuk banding dan gugatan
di bidang pajak adalah termasuk kewenangan Pengadilan Pajak untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskannya, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada bab II dan bab III. Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 belum lahir, maka segala
sengketa di bidang perpajakan dilakukan dan di bawah kewenangan Pengadilan Tata
Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan
Tata Usaha Negara. Namun ketika lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997
Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sengketa pajak menjadi
kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan putusannya bersifat final.
Kondisi hukum tersebut, mendapat respon dari kalangan hukum termasuk para
praktisi hukum. Hal itu dikarenakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukanlah
lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman yaitu pasal 10 tentang 4 (empat) Lingkungan Peradilan, sehingga bentuk
keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak boleh bersifat final dan hal ini
terbukti dari adanya perkara atas Surat Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan kasasi dan peradilan kasasi menyatakan berwenang mengadili sengketa
pajak yang telah diputuskan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.164
Pengadilan Pajak dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman tidak disebutkan sebagai bagian lembaga
peradilan yang dapat mengadili, memeriksa, dan memutus sesuatu perkara. Sehingga
perlu dicari dasar pembenar tentang apakah Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga
peradilan.
Untuk menjawab masalah di atas, maka perlu dianalisis terlebih dahulu tentang
Pengadilan pajak apakah telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu peradilan. Adapun
unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai suatu lembaga peradilan adalah:
a. adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;
b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit;
c. adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.165
Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak (pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002).
163
Bohari. H., Op.Cit., h.133
164
Achmad Rifai, Catatan Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Semester Gasal,
Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan, 2000. 165
Bohari. H., Loc.Cit.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlviii
Kemudian hukum pajak yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan
pada suatu persoalan atau sengketa pajak adalah segala ketentuan di bidang
perpajakan, misalnya Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan di ubah dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000. Dengan demikian Pengadilan pajak telah memenuhi unsur pertama sebagai lembaga peradilan.
Kewenangan Pengadilan Pajak adalah di bidang sengketa pajak, jadi di sini
telah ditetapkan tentang kewenangan Pengadilan Pajak secara khusus hanya untuk
mengadili, memeriksa dan memutuskan sengketa di bidang pajak. Ini termasuk bentuk
sengketa konkrit yaitu sengketa di bidang pajak, artinya Pengadilan Pajak tidak dapat
mengadili sengketa lain selain sengketa pajak. Untuk itu, unsur kedua dari unsur-unsur
sebagai lembaga peradilan telah terpenuhi.
Pengadilan Pajak hanya dapat mengadili sedikitnya dua pihak yang
bersengketa di bidang pajak, yang salah satunya harus Direktorat Jenderal pajak selaku
Fiscus atau pemungut pajak. Bilamana hanya ada satu pihak saja yaitu Fiscus saja tanpa
ada pihak Wajib Pajak, maka tidak dapat diadili di Pengadilan pajak. Unsur ini dapat
dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak merupakan lembaga peradilan.
Aparatur yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yaitu hakim di
lingkungan Pengadilan Pajak, sedangkan aparatur hakim di lain lingkungan selain
Pengadilan Pajak, misalnya hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tata Usaha Negara, atau hakim Pengadilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa pajak. Dengan demikian
ke empat unsur sebagai ciri lembaga peradilan telah dapat dibuktikan oleh Pengadilan
Pajak, karenanya Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan.
Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 25
ayat 1 diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atas surat: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang
Pengadilan Pajak ialah sifat dari pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di
sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut
pajak (fiscus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.
Pengadilan Pajak yaitu lembaga peradilan yang berwenang melakukan
penyelesaian semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak, namun khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pajak tentang banding dan
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxlix
gugatannya. Sedangkan untuk keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak hanya dapat
diajukan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memutuskannya.
Khusus untuk keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengajukan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-
alasan yang jelas. Keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud di
atas. Kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.
Bilamana suatu keberatan tidak diajukan sebagaimana diuraikan di atas,
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, maka surat keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan.
Kendati demikian, bilamana Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan
Pajak, tidaklah menunda kewajiban Wajib Pajak untuk membayar pajak.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama duabelas bulan sejak
tanggal Surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alaan
tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang
terutang. Namun bilamana Direktur Jenderal Pajak setelah jangka waktu duabelas bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima tidak memberikan keputusannya, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Guna lebih sistematis selanjutnya akan dikemukakan beberapa persoalan yang
berhubungan dengan masalah keberatan, yaitu tentang:
a. pokok perselisihan;
b. pemasukan surat keberatan.
Perselisihan itu ialah mengenai dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau
pemungutan pajak yang telah ditetapkan, jadi bukan jumlah pajaknya meskipun jumlah utang, pajak tergantung pada besarnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.
Dalam pajak penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bersihnya. Adapun
penghasilan itu dibedakan atau dua yaitu laba usaha (business profit) dan penghasilan
lain-lain (other income).166
Pada Pajak Penghasilan misalnya, ada suatu kewajiban bahwa bagi wajib pajak
untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam SPT itu oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan diharuskan oleh undang-undang untuk memberitahukan jumlah
yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak yang terhutang.
Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan mengisi
SPT itu secara lengkap, misalnya bagi badan usaha yang menjadi wajib pajak
diwajibkan melengkapi SPT itu dengan laporan keuangan berupa neraca dan
166
John Hutagaol, Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia
dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I, Salemba Empat, Jakarta, 2000, h.21
Volume 8, No.1, Nop 2008 cl
perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Akan tetapi hal itu tidak selalu
dilakukan, ada yang disebabkan karena ketidak-jujuran wajib pajak, yang dengan
sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan
dengan cara pengisian yang tidak sebenarnya.
Dalam hal demikian Direktur Jenderal pajak tidak terikat dengan Surat Pemberitahuan itu dan selalu berwenang untuk mengadakan penelitian dan penilaian ini
berarti bahwa Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari Surat Pemberitahuan
Wajib Pajak, dan penyimpangan ini tentunya dilakukan dengan alasan yang kuat.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian dan penilaian Surat
Pemberitahuan (SPT) yang dimasukkan oleh wajib pajak, dan dari hasil pemeriksaan
terbukti bahwa pengisian Surat Pemberitahuan itu adalah tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan pajak secara jabatan.
Pada umumnya penetapan pajak secara jabatan ini adalah jauh lebih besar dari
jumlah perkiraan oleh wajib pajak sendiri sewaktu mengajukan Surat
Pemberitahuannya. Oleh karena penetapan pajak secara jabatan ini dianggap tidak adil
karena pajaknya terlalu tinggi, maka wajib pajak biasanya mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan
pajak tersebut.
Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk satu jenis
pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun 2001 dan 2000. Keberatan
terhadap surat keterangan pajak penghasilan tahun 2001 dan tahun 2000 tersebut, harus
diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak
tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa batas waktu pengajuan surat
keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Undang-undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Adapun maksud penentuan tenggang waktu tiga bulan tersebut adalah supaya
wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat
keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut
tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasan wajib pajak
(force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat
dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal pajak (Penjelasan pasal 25
ayat 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat
Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan
melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi
kepentingan wajib pajak. Tanda bukti penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga
digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas
Volume 8, No.1, Nop 2008 cli
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk
melakukan tindakan penagihan. Kententuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar
wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk
membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan.
Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
tentang isi surat keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian
secara tersirat, namun kalau diteliti lebih jauh maka nampak tersirat lima hal yang
merupakan syarat minimum yaitu:
a. Penyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak;
b. Jenis pajaknya;
c. Tahun pajak;
d. Nomor pokok Wajib Pajak;
e. Nama dan tanda tangan wajib pajak.
Pada dasarnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib
pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun
demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan
pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu.
Surat keberatan yang tidak disertai alasan adalah lembah, karena itu besar
kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undang-
undang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah
berkisar pada dasar-dasar pengenalan pajak telah ditetapkan oleh kepada instansi pajak
setempat. Sebagai contoh pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Undang-undang
Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 serta
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, maka penghasilan
seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri
dari:
a. Penghasilan dari pekerjaan;
b. Penghasilan dari kegiatan usaha;
c. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;
d. Pengasilan lain-lain.
Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi
wajib pajak tertentu. Wajib Pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk
memasukkan surat pemberitahuan. Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak
berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi
karena ketidak-jujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang
Volume 8, No.1, Nop 2008 clii
melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk
mengadakan penilian ini berarti Direktorat Pajak (fiscus) dapat menyimpang dari
surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak
ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat
pemberitahuan dari Wajib Pajak.
Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan jika wajib pajak mengajukan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidak-benaran penetapan pajak secara
sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak.
Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatannya
ditolak dan wajib pajak boleh mengajukan banding pada banding pada Pengadilan
Pajak. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan
penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk
memberikan keputusannya.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa:
1. menerima seluruhnya atau sebagian;
2. menolak seluruhnya keberatan.
Apabila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan pemohon dapat
diterima dan karena itu pajak dikurangkan.
Jika surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat
membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang
pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.
Wajib pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal pajak mengenai keberatannya itu, dapat mengajukan banding pada
Pengadilan Pajak menurut ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
Adapun banding dapat diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak, dengan ketentuan tidak boleh melampaui waktu tiga bulan
sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding tersebut, kecuali diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu tiga bulan tersebut adalah
bersifat mengikat, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasan pemohon banding
misalnya force majeure.
Setiap permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap satu Keputusan,
dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan pula tanggal diterimanya
surat keputusan yang dimohonkan banding tersebut. Di samping ada kewajiban untuk
mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohon banding, pemohon
banding juga wajib melampirkan salinan keputusan yang dimaksud.
Syarat yang bersifat mutlak dipenuhi oleh pemohon banding adalah bilamana
banding itu diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding itu
Volume 8, No.1, Nop 2008 cliii
hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%
(lima puluh persen).
Banding dapat diajukan wajib pajaksendiri, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya. Namun apabila selama proses banding, pemohon banding
meninggal dunia, maka pemohonan banding tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya, atau kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding dalam pailit.
Bilamana selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud
dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud.
Permohonan banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada
Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud di atas, dihapus dari
daftar sengketa dengan penetapan ketua, dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang dilaksanakan. Bilamana pencabutan diajukan dalam tahap
pemeriksaan sengketanya, maka pencabutan tersebut harus atas persetujuan pihak
terbanding, yang nantinya akan dibuatkan putusan hakim yang memeriksa perkaranya
bahwa perkaranya telah di cabut. Terhadap banding yang permohonannya dicabut melalui penetapan ataupun
putusan, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan satu kali saja. Artinya setelah
permohonan banding terhadap Surat Ketetapan Pajak dicabut, maka terhadap Surat
Ketetapan Pajak dimaksud tidak dapat diajukan permohonan banding lagi.
Bilamana Wajib Pajak tidak puas pula terhadap Keputusan Banding, maka ia
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak secara tertulis dengan Bahasa
Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan
yang digugat. Pengajuan gugatan tersebut hanya dapat diajukan satu surat keputusan
yang digugat.
Gugatan pada Pengadilan Pajak terhadap Surat Keputusan sebagaimana
dimaksud di atas, dapat diajukan oleh Penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal
diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan
dokumen yang digugat. Apabila selam proses gugatan, penggugat meninggal dunia,
gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau
pengampunya dalam hal penggugat pailit.
Bilamana selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud
dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Bilamana pihak penggugat tidak berkehendak melanjutkan perkaranya, maka
penggugat dapat membuat pernyataan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan
Pajak. Gugatan yang dicabut tersebut baru akan dihapus dari daftar sengketa, jika terdapat penetapan ketua bilamana surat pernyataan pencabutan itu diajukan sebelum
Volume 8, No.1, Nop 2008 cliv
sidang perkaranya belum dimulai dan penghapusan dari daftar perkara akan didasarkan
pada putusan hakim yang mengadilinya, bila pernyataan pencabutan itu dilakukan pada
saat perkara sedang berjalan, sehingga perlu persetujuan pihak tergugat pula.
Setelah gugatan tersebut dicabut, maka terhadap perkara dimaksud tidak dapat
diajukan perkara gugatan lagi. Jadi Wajib Pajak hanya mempunyai hak satu kali saja
untuk mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak atau surat keputusan banding, sebab bilamana perkara itu diajukan kembali, maka perkara gugatan demikian akan
ditolak.
Kendati demikian pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Namun penggugat dapat
mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda
selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan
pajak. Adapun permohonan penundaan pelaksanaan penagihan pajak tersebut harus
diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya.
Ketika Fiscus mengeluarkan surat tagihan pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan
telah dilakukan peneguran dengan Surat Tegoran, sedangkan pihak Wajib Pajak tidak
juga membayar sejumlah pajak yang ditagih tersebut, maka Fiscus melalui Jurusitanya akan mengeluarkan Surat Paksa.167
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mempertimbangkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa kepada
Penanggung Pajak, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penagihan merupakan salah satu bagian yang penting dalam rencana kinerja
suatu Kantor Pelayanan Pajak untuk memasukkan uang dari pajak ke kas negara.
Karena merupakan salah satu bagian yang penting, penagihan harus dapat memberikan
motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Penagihan itu sendiri
timbul karena adanya tunggakan dari wajib pajak. Tidak semua wajib pajak mempunyai kesadaran pajak, kepatuhan pajak, dan disiplin pajak, sehingga diperlukan suatu
pengawasan. Sebagai tindak lanjut dari pengawasan tersebut maka dilakukan tindakan
penagihan pajak. Adapun tugas-tugas dalam melakukan penagihan ialah:
a. mengadakan perjanjian pembayaran pajak dengan wajib pajak secara
mencicil, yang menyimpang dari ketentuan undang-undang, bila ada alasan
untuk itu;
b. memberikan surat keterangan fiskal, yang sering dibutuhkan untuk berbagai
keperluan, seperti ikut tender, untuk mendapatkan kredit dari bank
pemerintah, untuk bepergian keluar negeri, dan sebagainya;
c. melakukan pemindahbukuan (overboeking) dan konpensasi kelebihan
pembayaran pajak yang satu kepada yang lain;
167
Moeljo hadi. H., Dasar-Dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat
dan Daerah, Cet.IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.27
Volume 8, No.1, Nop 2008 clv
d. mengeluarkan surat paksa;
e. melakukan sita, melelang barang-barang yang disita melalui juru lelang, dan
melantarkan sandera;
f. mengenakan sanksi, bunga atas kelambanan pembayaran pajak;
g. mencegah daluwarsa;
h. mengeluarkan surat tagihan pajak; i. memberikan surat keterangan hipotik;
j. melakukan penghapusan pajak bila perlu tentang pajak-pajak yang ternyata
tidak dapat ditagihkan lagi karena wajib pajak menghilang, pindah dan tidak
diketahui alamatnya, atau meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris
maupun warisan;
k. menunda pembayaran pajak;
l. membuat statistik tentang penerimaan / realisasi penerimaan pajak-pajak,
disusun per jenis pajak dan secara total;
m. mengadministrasi pengembalian pajak jika ternyata terjadi kelebihan
pembayaran pajak;
n. melakukan pengawasan atas pembayaran pajak-pajak, dan sebagainya.168
Dalam pelaksanaan di lapangan tindakan penagihan dilakukan oleh Jurusita
Pajak. Seperti tersebut dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000, tugas-tugas Jurusita Pajak dalam tindakan penagihan adalah :
- dengan Surat Perintah Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan
Sekaligus sesegera mungkin.
- memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dengan cara
pernyataan dan menyerahkan salinan dari Surat Paksa.
- melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan. Sebelumnya dalam laporan pelaksanaan
Surat Paksa dilaporkan jenis, letak dan taksiran harga dari objek sita dengan
memperhatikan tunggakan pajak dan biaya pelaksanaan yang mungkin akan dikeluarkan. Sedangkan barang yang dapat disita adalah barang milik
penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan atau di tempat lainnya yang penguasaannya berada di tangan
pihak lain, atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, misalnya barang bergerak dan barang tidak
bergerak.
- melaksanakan pencegahan dan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah
yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Pencegahan dan penyanderaan
168
Rochmat Soemitro, Azas dan Dasar Perpajakan I, Refika Aditama, Bandung, 1998, hal. 151.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clvi
yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak harus dibantu oleh aparat Kepolisian,
Kejaksaan, Kantor Imigrasi dan aparat yang terkait.
Di dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
diubah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 menyebutkan bahwa Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, adalah
merupakan dasar dari penagihan pajak.
Dengan sistem self assessment, wajib pajak diberi kewenangan untuk
menghitung sendiri jumlah pajak yang terhutang. Disini wajib pajak dituntut
kejujurannya dalam hal jumlah besarnya penghasilan yang diperoleh dari wajib pajak
dengan jumlah pajak terhutang yang dilaporkan. Tindakan pelaksanaan penagihan pajak
dilakukan apabila pajak yang terutang seperti yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan tidak atau kurang
dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan.
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau
sanksi berupa bunga dan denda administrasi. Seperti tersebut dalam pasal 14 (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila:
a. pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) terdapat kekurangan
pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung;
c. wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) tahun 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetapi
membuat Faktur Pajak; f. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat
atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi
selengkapnya Faktur Pajak.
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat
Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan
besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah
kekurangan pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih
harus dibayar. Dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, Surat Ketetapan
Pajak diterbitkan apabila:
(1) dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutang pajaknya, atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, fiskus dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal sebagai berikut:
Volume 8, No.1, Nop 2008 clvii
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) tidak disampaikan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) dan telah
ditegur secara tertulis tetapi tidak disampaikan pada waktunya sebagai
mana ditentukan dalam Surat Tegoran; c. apabila berdasarkan hasil pemeriksanaan mengenai Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif
0%;
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 29
tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang.
(2) jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya dua
puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
(3) jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar:
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dibayar dalam satu tahun pajak;
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan;
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. (4) besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan (SPT Tahunan) menjadi pasti menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku, apabila dalam jangka waktu
sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
(5) apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen)
dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal wajib pajak
setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebut dipidana, karena melakukan
tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clviii
Surat Ketetapan Pajak Tambahan adalah surat keputusan yang menambah
jumlah pajak yang telah ditetapkan. Dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000 Surat Ketetapan Pajak Tambahan diterbitkan apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,
apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
(2) jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan
keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.
(4) apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dala
hal wajib pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana
karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan dikeluarkannya STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat Keputusan
Pembetulan sebagai akibat dari tidak dilunasinya utang pajak oleh Penanggung Pajak
atau Wajib Pajak, maka jika utang pajak yang tercantum dalam STP, SKPKB, SKPKBT
dan Surat Keputusan Pembetulan, masih belum juga dilunasi dalam jangka waktu yang
telah ditentukan dalam surat tersebut maka langkah yang diambil oleh aparat pajak
berikutnya ialah dengan mengeluarkan Surat Tegoran, Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus, mengeluarkan Surat Paksa, Penyitaan, Pencegahan atau Penyanderaan serta
Pelelangan. Langkah-langkah tersebut merupakan proses-proses dalam tindakan
penagihan. Untuk jelasnya proses-proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Surat Tegoran
Surat Tegoran ini diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajak
setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pelunasan atau jatuh tempo pembayaran yang
tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterima Wajib Pajak. Isi dari Surat
Tegoran tersebut adalah peringatan kepada Penanggung Pajak agar mau melunasi utang
pajaknya dan juga memberitahukan akibat hukum yang ditimbulkan apabila Surat
Tegoran tersebut tidak diindahkan.
2. Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus
Volume 8, No.1, Nop 2008 clix
Pengertian “Seketika” mengandung arti bahwa pelunasan utang pajak tersebut harus
dilunasi dengan segera, dan pengertian “Sekaligus” mengandung arti bahwa pajak
tersebut harus dilunasi dalam waktu bersamaan untuk semua jenis pajak yang terutang.
Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilakukan bilamana terjadi suatu peristiwa atau
keadaan yang mendesak dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang akan
mengakibatkan pajak yang terhutang dari Penanggung Pajak tidak dapat ditagih karena : - Penanggung Pajak akan atau berniat untuk meninggalkan Indonesia untuk
selamanya;
- Penanggung Pajak menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan
barang yang dimiliki atau yang dikuasai;
- Terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan atau berniat membubarkan badan
usahanya;
- Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara;
- Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum
penerbitan Surat Paksa. Jadi logika hukumnya adalah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dilaksanakan tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana
tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak. Dalam pelaksanaannya Penagihan Pajak
Seketika dan Sekaligus dilakukan sebagai berikut:
- Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus diterbitkan tanpa
memperhatikan apakah Wajib Pajak telah diberikan Surat Tegoran atau tidak;
- Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus disampaikan kepada
Wajib Pajak dan dalam waktu 2 X 24 jam Wajib Pajak harus melunasi segala
utang pajaknya;
- Apabila dalam jangka waktu 2 X 24 jam Wajib pajak belum mau melunasi
utang pajaknya, maka segera dilakukan tindakan penagihan dengan Surat
Paksa. 3. Surat Paksa
Surat Paksa dalam arti umum adalah alat hukum yang lazimnya diterapkan dalam
hukum perdata setelah ada putusan hakim.169 Sedangkan Surat Paksa dalam arti khusus
adalah surat yang dikeluarkan oleh pejabat dalam hal ini yang berwenang dalam
menerbitkan surat paksa, yang intinya memerintahkan kepada wajib pajak (penanggung
pajak) yang mempunyai utang pajak untuk membayar utang pajaknya dan biaya
penagihan pajak.
Akan tetapi di dalam hukum pajak Surat Paksa disebut parate executie, artinya dapat
melakukan eksekusi langsung tanpa melalui proses dimuka pengadilan.
Membahas tentang Surat Paksa, maka Surat Paksa dapat ditinjau dari 2 (dua) segi, yaitu
segi isinya dan segi karakteristiknya.
169
Ibid., hal. 76.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clx
Ditinjau dari segi isinya, sesuai dengan pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor19 Tahun 2000, Surat Paksa memuat hal-hal sebagai berikut :
- diawali dengan kata-kata yang berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
- nama wajib pajak atau penanggung pajak, keterangan cukup tentang alasan
yang menjadi dasar penagihan, perintah membayar. - dikeluarkan atau ditandatangani oleh Pejabat berwenang yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Sedangkan ditinjau dari segi karakteristiknya adalah sebagai berikut :
- mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan Hakim
dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim
atasannya.
- mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde).
- mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak atau
biaya-biaya dalam proses penagihan.
- dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/
pencegahan.170
Yang perlu dipahami oleh Penanggung Pajak bahwa dengan Surat Paksa,
Jurusita Pajak dapat melakukan eksekusi langsung baik itu berupa tindakan penyitaan
maupun pelaksanaan lelang. Khusus pelelangan Jurusita Pajak menyerahkannya kepada
Kantor Lelang yang berwenang melaksanakan lelang.
Surat Paksa mempunyai kekuatan executorial karena mepunyai title berupa
kepala (irah-irah) “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ini sama
dengan keputusan pengadilan dan grosse akte notaris yang juga berkepala demikian.171
Surat Paksa diterbitkan fiskus (aparat pajak) kepada para wajib pajak yang
mempunyai tunggakan pajak. Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak disebut
Penanggung Pajak, sedangkan tunggakan pajak selanjutnya disebut utang pajak yang
harus dilunasi sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Utang pajak yang tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan akan diterbitkan Surat
Paksa dengan terlebih dahulu diterbitkan surat tegoran atau surat peringatan.
Terhadap Penanggung Pajak yang telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus juga diterbitkan Surat Paksa dan terhadap Penanggung Pajak yang
mengajukan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak dan sampai jangka
waktu pembayaran masih juga belum melunasinya sesuai dengan keputusan yang
dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Prosedur penerbitan Surat Paksa pada Kantor Pelayanan Pajak Pamekasan
diawali dengan pelaksanaannya dibidang tata usaha sebelum Surat Paksa tersebut
170
Moeljo Hadi, Op.Cit., hal. 23
171
Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank,
Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.38
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxi
disampaikan kepada Penanggung Pajak. Ini penting sekali karena Surat Paksa adalah
salah satu produk hukum dari Direktorat Jenderal Pajak, jangan sampai Surat Paksa
dikeluarkan begitu saja tanpa ada dasarnya baik itu dasar hukumnya ataupun dasar
administrasinya. Dasar hukum dari Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sudah jelas
yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, sedangkan dasar administrasinya dapat
diuraikan sebagai berikut : - Surat Paksa dikeluarkan setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal surat
tegoran yang sebelumnya telah dikirim;
- tanggal dan nomor Surat Paksa dicatat dalam buku register Surat Paksa, buku
register pengawasan penagihan, dan buku register tindakan penagihan;
- selanjutnya Surat Paksa diserahkan kepada Jurusita Pajak yang mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan tugas penagihan;
- Jurusita Pajak yang telah menerima penyerahan Surat Paksa, harus :
mencatatnya dalam buku Produksi Harian dan buku register Tindakan
Penagihan;
menyampaikan, memberitahukan dan menyerahkan salinan Surat Paksa
kepada Penanggung Pajak;
membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa dan membuat berita acara
pemberitahuan Surat Paksa;
pelaksanaan Surat Paksa dicatat dalam buku register Pengawasan
Penagihan dan buku register Tindakan Penagihan serta Surat Paksa
dimasukkan dalam berkas penagihan wajib pajak yang bersangkutan.
4. Penyitaan
Pengertian penyitaan dalam hukum pajak pada intinya sama dengan Sita
Executoir dalam Hukum Perdata, yaitu:
Serangkaian tindakan dari Jurusita Pajak yang dibantu oleh dua orang saksi untuk
menguasai barang-barang dari Wajib Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi
utang pajak sesuai dengan perundang-undangan pajak yang berlaku. Penyitaan dalam Hukum Pajak merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan
penagihan dengan Surat Paksa. Penyitaan terpaksa dilakukan bilamana pajak yang
masih harus dibayar oleh Penanggung Pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 X 24
jam sesudah tanggal pemberitahuan dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa
kepada Wajib Pajak. Dalam pelaksanaannya penyitaan dilakukan oleh Jurusita Pajak
dengan didampingi oleh 2 (dua) orang saksi. Adapun barang-barang Penanggung Pajak
yang dapat disita antara lain:
Barang bergerak
Semua barang bergerak milik Penanggung Pajak yang ada di rumah, di toko, di
tempat usaha, atau kantor dari Penanggung Pajak.
Barang tidak bergerak Semua barang tak bergerak berupa rumah, kantor, perusahaan dan sebagainya, baik
itu ditempati sendiri atau dikontrakkan kepada pihak lainnya. Juga termasuk kebun,
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxii
sawah, bungalow dan sebagainya, baik itu dikerjakan sendiri atau disewakan pada
pihak lain serta kapal dengan bobot tertentu.
Tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari
Penanggung Pajak.
5. Pencegahan dan Penyanderaan Pengertian Pencegahan sebagaimana tersebut dalam pasal 7 sub 17 UU
Nomor 19 Tahun 2000 adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung
Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan
pencegahan terhadap Penanggung Pajak dalam upaya penagihan pajak harus memenuhi
utang pajak dalam jumlah sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan
diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Keputusan pencegahan
diterbitkan oleh Menteri atas permintaan dari pejabat yang bersangkutan.
Pengertian Penyanderaan (Gijzeling) atau lebih dikenal dengan sita badan
adalah pengekangan sementara waktu kebebasan dari Penanggung Pajak dengan
menempatkan ditempat tertentu. Penyanderaan dilakukan bilamana Penanggung Pajak
mempunyai kemampuan untuk membayar pajak tetapi tidak mau membayarnya bahkan
menyembunyikan harta kekayaannya setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak, sedangkan besarnya
utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya
dalam melunasi utang pajak.
Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh pejabat setempat setelah
mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan. Surat Perintah tersebut disampaikan oleh
Jurusita Pajak dengan didampingi 2 (dua) orang saksi dan dapat meminta bantuan pihak
Kepolisian atau Kejaksaan.
6. Pelelangan
Pelelangan adalah penjualan barang milik Penanggung Pajak dimuka umum
dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Lelang adalah sebagai akibat dari utang pajak dan atau
biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan. Dalam hal
pelaksanaannya lelang dilaksanakan melalui Kantor Lelang. Lelang tetap dilaksanakan
walaupun keberatan yang diajukan oleh Penanggung Pajak belum memperoleh putusan
dari Direktorat Jenderal Pajak, dan juga lelang dapat dilaksanakan meskipun si
Penanggung Pajak tidak hadir.
Hasil dari pelelangan digunakan lebih dahulu untuk membayar biaya
penagihan dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila lelang sudah mencapai
jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak pelaksanaan
lelang dihentikan, walaupun barang yang akan dilelang masih ada. Jika ada sisa barang
dan kelebihan uang hasil lelang dikembalikan kepada Penanggung Pajak segera setelah
pelaksanaan lelang.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxiii
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
e. Secara tegas, baik Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman lembaga peradilan hanya ada empat
lingkungan peradilan yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Militer. Adapun Pengadilan
Pajak yang didirikan atas dasar kekuatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 yang berdiri sendiri sebagai peradilan khusus bidang pajak adalah
inkonstitusional, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Karenanya putusannya jika berbentuk penghukuman wajib pajak untuk
membayar pajak adalah juga inkonstitusional, sehingga non executable
(tidak dapat dilaksanakan);
f. Keadilan tidak diterapkan secara proporsional antara keadilan terhadap
Wajib Pajak dan Fiscus, Undang-Undang Pengadilan Pajak Tahun 2002
lebih mengutamakan dan membenarkan pihak Fiscus. Kendatipun misalnya
Fiscus yang salah dan wajib pajak diberikan bunga atas kewajiban yang telah
dibayar, namun wajib pajak belum diberikan kesempatan yang sama dengan Fiscus.
SARAN
Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan Peradilan Pajak berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, maka dapat dikemukakan hal-hal:
a. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 perlu segera direvisi, dengan
menyatakan dirinya sebagai bagian dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Tata Usaha Negera;
b. Setiap pengeluaran surat penagihan pajak, hendaknya dilakukan secara hati-
hati. Mengingat setiap surat penagihan pajak akan selalu diterbitkan surat
paksa, bilamana wajib pajak tidak segera membayarnya, terlepas apakah penagihan pajak tersebut benar atau tidak.
Bahan Rujukan
Brotodihardjo. R., Santoso.1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Eresco.
Bandung.
Bohari. 1999. Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada. Jakarta.
CST., Kansil.1989. Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII.
Balai Pustaka. Jakarta.
Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I. Sinar Grafika. Jakarta.
Hadi, Moeljo. 2001. Dasar-Dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita
Pajak Pusat dan Daerah, Cet.IV. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxiv
Hutagaol, John. 2000. Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Indonesia dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I. Salemba Empat.
Jakarta.
Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cet.IV, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI. Jakarta.
Muljono, Eugenia Liliawati dan Amin Widjaja Tunggal, 1996. Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank, Cet.I. Rineka Cipta. Jakarta.
Munawir, 1992. Perpajakan. Liberty. Yogyakarta.
M. Hadjon, Philipus et all., 1994 Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Indonesian Adminstrative law), Cet.III. Gajah Mada
University Press. Bandung.
Prinatara, Diaz. 2000. Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Cet.-, Djambatan. Jakarta.
Rifai, Achmad. 2000. Catatan Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
Semester Gasal, Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.
Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba
Empat. Jakarta.
Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantara Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco. Bandung.
-----------. 1998. Azas dan Dasar Perpajakan I, Refika Aditama. Bandung. Wijoyo, Suparto.1997. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cet.I.
Airlangga University Press. Surabaya.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxv
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENAGIHAN PAJAK
Oleh:
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.*
ABSTRAK Pola penagihan pajak yang didasarkan kepada Obyek kena pajak,
bilamana tidak diindahkan oleh Wajib Pajak akan melahirkan tindakan
penagihan, pemaksaan dengan surat paksa bahkan penyitaan dan
pelelangan dari Fiscus. Untuk itu setiap tagihan pajak
penyelesaiannya dengan cara pembayaran pajak.
Kata Kunci: Hutang Pajak – Penagihan – Akibat Hukum.
LATAR BELAKANG
Pajak dibebankan kepada wajib pajak oleh pemerintah, dikarenakan pemerintah dibebani biaya pengeluaran-pengeluaran umum untuk kepentingan tugas-
tugas kenegaraan yaitu untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kepentingan umum.
Pemerintah dari perolehan pajak tersebut salah satu kegiatannya adalah menciptakan
fasilitas umum, seperti pembangunan pelabuhan, jalan raya, kereta api, bis kota,
bendungan, irigasi, sekolah dan Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, penanggulangan
bencana alam, pembiayaan pertahanan negara dan sebagainya.172
Pemerintah selaku pemungut pajak atau fiscus untuk kepentingan
penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum tersebut, akan memfungsikan
pajak secara reguler.173 Dengan fungsi pajak yang reguler itu, masyarakat selaku wajib
pajak akan dapat diatur guna melakukan tindakan yang seminimal mungkin terkena
pajak. Sementara pemerintah selaku fiscus dalam fungsi pajak yang reguler, melakukan pungutan pajak hampir di setiap aspek kegiatan wajib pajak, misalnya setiap pembelian
barang atau jasa dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), setiap penghasilan di atas
jumlah tertentu dikenakan PPh (Pajak Penghasilan), setiap pembeli atau memperoleh
tanah dengan nilai tertentu dikenakan BPHATB (Bea Perolehan Hak Atas dan
Bangunan) dan lain sebagainya.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 172
Kansil. C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.324 173
Erly Suandy, Hukum Pajak (Dilengkapi dengan Latihan Soal), Ed.II, Salemba Empat, Jakarta,
2002, h.13
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxvi
Dengan beberapa bentuk pungutan pajak dimaksud, maka wajib pajak akan
selalu menahan diri untuk tidak mengkonsumsi barang-barang tersebut. Sehingga wajib
pajak hanya akan membeli barang yang benar-benar sangat dibutuhkan. Dengan
demikian pemerintah telah dapat memfungsikan posisi pajak sebagai alat untuk
mengatur, karenanya tujuan pajak telah mencapai maksudnya sebagai fungsi reguler.
Sementara tindakan pemerintah melalui fiscus, yang terus berupaya untuk meningkatkan pendapatan yang sebesar-besarnya dari sektor pajak adalah merupakan
fungsi pajak yang budgeter.174 Adapun pendapatan negara itu sendiri dapat bersumber
dari:
a. Pajak;
b. Kekayaan alam;
c. Bea dan Cukai;
d. Retribusi;
e. Iuran;
f. Sumbangan;
g. Laba dari Badan Usaha Milik Negara;
h. Sumber-sumber lainnya.175
Khusus untuk pengklasifikasian sumber pendapatan negara di atas, Dosen Pembimbing tidak sependapat dengan penulis buku Hukum Pajak tersebut. Dengan
alasan bahwa seharusnya Bea dan Cukai tidak perlu disebut lagi, mengingat baik Bea
ataupun Cukai tiada lain adalah pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1985 tentang Bea (Pajak atas Barang Import dan Eksport) dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985 tentang Cukai (Pajak atas Rokok, Alkohol dan
lainnya). Sebagai pembenarnya dapat dirujuk tentang ciri khas dari pajak yang dibuat
oleh Erly Suandy sendiri, yang terdiri dari:
1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemerintah;
2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan;
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah;
4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah;
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai
public investment;
6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
pemerintah;
7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.176
174
Santoso Brotodihardjo. R., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Ed.III, Refika Aditama, Bandung,
1998, h.204 175
Erly Suandy, Op.Cit., h.2 176Ibid., h.11
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxvii
Dari ciri pajak di atas maka jelaslah bahwa Bea dan Cukai adalah juga pajak, sebab
pemungutan Bea dan Cukai tidak diberikan kontraprestasi langsung secara individual
yang diberikan oleh pemerintah.
Tegasnya, di dalam mekanisme pembiayaan seluruh kepentingan dan kebutuhan
umum dalam masyarakat, salah satu yang dibutuhkan dan terpenting adalah suatu peran
serta yang aktif dari warga negaranya untuk ikut memberikan iuran kepada negaranya
yaitu dalam bentuk pajak, sehingga segala kepentingan atau kebutuhan dapat terpenuhi
bersama.
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanaan suatu
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan. Disamping pajak dalam pemungutannya berdasarkan Undang-
undang, penggunaan hasil pajak juga harus didasarkan pada Undang-undang. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam
APBN tersebut juga diperinci penggunaan pendapatan negara sehingga rakyat dapat
mengetahui penggunaan hasil pajak adalah untuk kepentingan umum. Pajak juga
merupakan sumber pendapatan utama negara disamping penerimaan negara dari sumber
daya alam. Banyak sedikitnya uang yang diperlukan negara tergantung kepada tingkat
ekonomi negara serta rakyatnya. Lebih besar tingkat ekonomi negara, lebih besar pula
kebutuhannya, dan lebih besar pula pendapatan yang diperlukan. Pajak-pajak yang
dikelola pemerintah digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan
tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Jadi pajak dalam pungutannya sudah
berdasarkan pada keadaan ekonomi rakyatnya.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxviii
Pajak tidak hanya digunakan untuk memasukkan uang kedalam Kas Negara,
tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politis atau tujuan yang
ada diluar bidang keuangan. Salah satu contoh, pajak yang digunakan sebagai alat
politik adalah untuk mendapatkan suara dalam pemilihan umum dinegara-negara maju,
dengan memberikan janji-janji bahwa pajak akan diturunkan apabila calon terpilih
menjadi presiden. Juga dalam hubungan internasional, pajak sering juga digunakan
untuk memasukkan barang-barang produksi luar negeri yang belum dapat diproduksi di
negara sendiri.
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan suatu kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial budaya dapat diwujudkan dengan pembangunan
sekolah-sekolah, tempat-tempat ibadah dan sarana-sarana lainnya yang langsung dapat
dinikmati dan dipergunakan demi kepentingan masyarakat luas. Juga dalam bidang
pertahanan keamanan, penggunaan hasil pajak dapat dialokasikan untuk menjaga
keutuhan wilayah Republik Indonesia, misalnya untuk membayar gaji aparat keamanan,
membeli persenjataan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan segala
aktivitas pertahanan dan keamanan negara.
Pertimbangan yang dilakukan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus
mempertimbangkan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya. Untuk memenuhi
tuntutan keadilan dan keabsahan tersebut perlu diperhatikan asas-asas pemungutan
pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith yang lebih dikenal dengan “The Four
Maxims”. Asas-asas yang dimaksud tersebut adalah asas equality, asas certainty, asas
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxix
convenience of payment dan asas efficiency177. Disamping keempat asas dalam “The
Four Maxims” tersebut diatas, ada beberapa teori yang mendukung prinsip-prinsip
keadilan dan keabsahan sebagaimana berikut ini178 :
Teori Kepentingan
Dasar keadilan pemungutan pajak adalah karena orang mempunyai
kepentingan pada negara, dan untuk mewujudkan kepentingan tersebut
dibutuhkan dana yang tidak sedikit, yang penyelenggaraannya dikumpulkan
melalui pajak.
Teori Bakti
Dengan pajak, masyarakat dapat menunjukkan salah satu baktinya kepada negara
sebagai balasan atas pemberian dan pembiayaan berbagai kepentingan atau
keperluan masyarakat oleh negara.
Teori Daya Pikul
Pemungutan pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan dari anggota
masyarakatnya, dan bukan berdasarkan pada besar kecilnya kepentingan.
Teori Daya Beli
Pemungutan pajak yang dilakukan negara ini lebih cenderung melihat aspek
akibat yang baik terhadap kedua belah pihak yaitu masyarakat dan negara,
sehingga dapat memanfaatkan kekuatan dan kemampuan beli (daya beli)
masyarakat untuk kepentingan negara yang pada akhirnya akan dikembalikan
atau disalurkan kembali pada masyarakat.
177
Santoso Brotodihardjo. R., Op.Cit., h.27-28 178Ibid., h.30-35
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxx
Dalam hukum pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak. Berikut ini
diuraikan beberapa sistem pemungutan pajak sebagai berikut :
a. Self assesment
Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak diberi kepercayaan
untuk menghitung sendiri pajak yang terhutang, memperhitungkan sendiri pajak yang
terhutang, membayar sendiri jumlah pajak yang terhutang dan melaporkan sendiri pajak
yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.179
Adapun ciri-ciri dari sistem self assesment ini adalah, adanya kepastian hukum,
sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata dan
penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Dalam sistem pemungutan ini
wajib pajak bersifat aktif, sedangkan fiskus sendiri sifatnya pasif, dengan kata lain
fiskus hanya sebagai pengawas dari segala apa yang dilaporkan wajib pajak kepada
fiskus. Sistem ini dianut oleh peraturan perundang-undangan perpajakan kita sekarang
ini.
b. Official assesment
Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana fiskus sendiri yang
menetapkan (diluar wajib pajak) jumlah pajak yang terhutang dari para wajib pajak. Jadi
inisiatif dan kegiatan menghitung dan menetapkan pemungutan pajak sepenuhnya
berada pada fiskus180. Dalam sistem pemungutan ini yang aktif adalah fiskus.
Disamping fiskus sebagai pengawas bagi aktifitas wajib pajak, juga mempunyai
179Ibid., h.66 180Ibid.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxi
kewenangan untuk menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak,
sedangkan wajib pajak hanya bersifat pasif. Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia
terhadap Undang-undang perpajakan yang lama.
c. Withholding system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak, dimana penghitungan, pemotongan
dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh
pemerintah.181 Pihak ketiga yang diberi kepercayaan misalnya badan-badan tertentu,
majikan, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Anggaran, para bendaharawan dan lain-lain. Contoh
pajak yang menganut sistem ini misalnya Pajak penghasilan pasal 21, 22, 23 dan 26.
d. Stelsel riil
Adalah suatu sistem pengenaan pajak, dimana dikenakan penghasilan yang
sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak. Penghasilan yang diperoleh dalam
suatu tahun pajak baru diketahui pada akhir tahun , maka pajak baru dikenakan sesudah
akhir tahun pajak berakhir. Contoh pajak yang menganut sistem ini adalah Pajak
Penghasilan (dalam hal menghitung pajak dan laporan pajaknya).
e. Stelsel fiktif
Adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu fiksi atau
anggapan. Suatu fiksi atau anggapan tergantung dari ketentuan undang-undang
perpajakan yang bersangkutan.
f. Stelsel campuran
181Ibid., h.67
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxii
Adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik pada stelsel riil
maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menganut sistem stelsel fiktif dan setelah
akhir tahun pajak menganut stelsel riil. Contohnya Pajak Penghasilan (PPh).
Undang-undang perpajakan di Indonesia sekarang ini menganut sistem self
assessment, seperti penjelasan diatas sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada
wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Pemerintah dalam
hal ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak (fiskus), tidak turut campur
dalam hal penentuan besarnya pajak yang terutang. Otoritas pajak bersifat pasif dan
hanya memberikan penerangan, pengawasan, dan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh wajib pajak.
Didalam suatu sistem tentunya ada kekurangannya dan ada kelebihannya,
tergantung dilihat dari sudut pandangnya. Praktek dalam pelaksanaan sistem
pemungutan pajak berdasarkan self assessment mengandung banyak kelemahan. Salah
satunya adalah sistem ini sering disalahgunakan oleh wajib pajak atau memberikan
kesempatan untuk melakukan kecurangan, misalnya memanipulasi restitusi pajak. Hal
tersebut dapat terjadi karena penghitungan pajak yang menjadi beban wajib pajak,
berdasarkan pembukuan yang dibuat oleh wajib pajak. Dalam kenyataannya, disamping
tingkat kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang masih relatif rendah, masih
banyak pula wajib pajak yang belum menyelenggarakan pembukuan dengan baik, benar
dan lengkap. Padahal pilar sistem perpajakan yang berdasarkan self assessment adalah
pembukuan yang benar dan lengkap, serta itikad baik dari para wajib pajak. Di pihak
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxiii
lain masyarakat masih menganggap prosedur pembayaran pajak terlalu rumit, misalnya
dalam pengisisan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Akibatnya penerimaan pajak
yang sistem pemungutannya berdasarkan self assessment (misalnya PPh pasal 25),
jumlahnya masih relatif rendah dibandingkan dengan sistem Withholding atau yang
dikenal pula dengan istilah sistem pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga
(misalnya, PPh pasal 21, 22, 23, 26 dan PPN). Sistem pemotongan yang dilakukan oleh
pihak ketiga ternyata merupakan sistem yang ampuh untuk mengatasi rasa enggan wajib
pajak dalam membayar pajak.
Sedangkan kelebihannya dari sistem ini adalah jika ada penyelewengan pajak
yang dilakukan wajib pajak, sistem pengontrolan terhadap wajib pajak itu sendiri lebih
mudah dilakukan oleh fiskus. Adapun kelebihan lain dari sistem ini adalah wajib pajak
diberi kesempatan langsung untuk ikut serta dalam proses pembagunan nasional .
RUMUSAN MASALAH
Dalam sistem pemungutan pajak dengan self assessment, pemerintah lebih
mengedepankan kepentingan dari wajib pajak, artinya pemerintah lebih
mempertimbangkan rasa keadilan dan hak asasi. Berdasarkan segala hal yang telah
diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang relevan untuk
dikemukakan, yaitu:
a. Sejak kapan pajak dapat dilakukan penagihan terhadap wajib pajak?
b. Bagaimana akibat hukum terhadap penagihan pajak?
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxiv
PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
1. Pejabat yang Berwenang melakukan Tagihan Pajak
Pada dasarnya pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-
banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Dikatakan bahwa pajak dalam hal demikian mempunyai fungsi
budgeter. Dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah pajak-pajak daerah juga
nampak dalam fungsinya yang budgeter. Pajak daerah dan pajak pemerintah pusat yang
diserahkan kepada daerah, di samping subsidi merupakan sumber pendapatan daerah
yang penting.
Kendati demikian, di samping pajak-pajak fungsinya yang budgeter masih
mempunyai fungsi mengatur (reguler). Pajak di sini bukan semata-mata untuk
memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, melainkan juga dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam bidang
pembebasan pajak guna memperoleh atau menarik modal luar negeri dengan cara tax
holiday.182 Contoh lain bahwa pajak digunakan untuk mencapai tujuan tertentu,
misalnya dorongan pemerintah untuk lebih memanfaatkan dan menggunakan koperasi
dalam menjalankan usaha. Hal ini dikarenakan koperasi merupakan bentuk usaha yang
sesuai dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Dalam rangka
itu koperasi dibebaskan dari pengenaan pajak untuk jangka waktu 10 tahun dihitung
sejak saat didirikannya, dan setelah jangka waktu sepuluh tahun itu koperasi dikenakan pajak dengan tarip yang diperingan.
Di samping fungsi mengatur yang di sebutkan di atas, pajak-pajak juga dapat
digunakan untuk menanggulangi inflasi. Pajak di tangan pemerintah jika tepat
penggunaannya merupakan alat yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara.
Berdasarkan kedua fungsi pajak itu, pemerintah dengan mengkombinasikan tarip tinggi
dan tarip rendah atau tarip 0, dapat mencapai tujuan yang dikehendakinya.
Pajak dapat juga ditinjau dari segi pembangunan, dari segi ini pajak baru
mempunyai manfaat terhadap pembangunan apabila pajak-pajak setelah digunakan
182
Rochmad Soemitro , Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet.III, Eresco, Bandung, 1992., h.3
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxv
untuk membiayai pengeluaran rutin, masih ada cukup sisa yang dapat digunakan untuk
membiayai pembangunan melalui investasi publik.
Dari segi pembangunan pajak dapat ditinjau sebagai alat fiscal policy atau
kebijakan fiskal. Dalam kebijakan fiskal kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi pembangunan.
Masalah pokok dalam pembangunan adalah investasi, investasi ini berasal dari tabungan, baik tabungan swasta maupun tabungan pemerintah.
Investasi tabungan masyarakat tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak dan kerelaan golongan swasta, melainkan harus diarahkan ke jurusan tertentu.
Melalui deposito berjangka, dengan pembebasan pajak atas bunga deposito berjangka,
pemerintah telah berhasil meningkatkan deposito berjangka yang besar artinya bagi
pembangunan. Juga pasar uang dan modal, yang mempunyai peranan penting dalam
pembangunan, dapat digalakkan oleh pemerintah dengan menggunakan pajak-pajak
sebagai alat-alat penggerak.
Pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari
segi hukum, lebih menitikberatkan kepada perikatan, pada hak dan kewajiban wajib
pajak, subyek pajak dalam hubungannya dengan subyek hukum. Hak penguasa untuk
mengenakan pajak. Timbulnya hutang pajak, hapusnya hutang pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administratif maupun sanksi pidana, penyidikan, pembukuan, soal
keberatan, banding dan gugatan pajak.
Suatu keadaan yang dilematis, mengingat pajak di satu sisi adalah bagai
perampokan jika tidak mendasarkan pada perundang-undangan sebelumnya.
Sebagaimana hal ini didalilkan dalam falsafah pajak di USA taxation without
representation is robbery.183 Dan di sisi lain, pajak sangat dibutuhkan untuk
kelangsungan pembangunan dan aktifitas suatu negara. Untuk itu, proses pemungutan
pajak yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dilakukan dengan sangat hati-hati
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun pajak dikenakan dan dipungut atas dasar undang-undang, namun
karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara maka pemungutannya agar tidak menimbulkan berbagai hambatan atau perlawan, maka
terhadap kewajiban di samping hak fiscus yaitu bahwa pajak haruslah memenuhi syarat-
syarat yaitu184:
1. pemungutan pajak harus adil;
2. pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang;
3. pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian;
4. pemungutan pajak harus efisien;
5. sistem pemungutan pajak harus sederhana.
a. Pemungutan pajak harus adil
183
Erly Suandi, Loc.Cit. 184
Munawir, Perpajakan, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1992., h.8-13
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxvi
Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dengan masyarakat sebagai wajib pajak yang antara
lain mengatur siapa-siapa yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak,
obyek pajak, timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutan pajak, cara penagihannya
dan sebagainya. Di samping itu memuat pula tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak
wajib pajak serta sanksi-sanksi baik secara administratif maupun sanksi pidana sehubungan dengan adanya pelanggaran atas hukum atau peraturan-perturannya.
Tujuan dari setiap hukum adalah membuat adanya keadilan, demikian pula
dalam hukum pajakpun mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum-hukum
lainnya yaitu membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik adil dalam
perundang-undangannya maupun adil dalam pelaksanaannya. Keadilan dalam
pelaksanaan antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak atau banding dan
gugatan kepada Pengadilan Pajak.
Walaupun demikian keadilan itu sangat relatif, namun salah satu jalan yang
harus ditempuh dalam mencari keadilan adalah mengusahakan agar pemungutan pajak
diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas
seluruh rakyat. Dengan demikian pajak harus mengabdi pada keadilan, dan keadilan inilah yang dinamakan azas pemungutan pajak menurut falsafat hukum atau syarat
keadilan.
Jika pihak fiscus mampu berlaku adil dalam memungut pajak, kemudian atas
dasar apa negara atau fiscus dapat dan mempunyai hak untuk memungut pajak.
Terhadap kondisi ini lahirlah bebera teori pembenar guna mentolerir negara selaku
fiscus untuk memungut pajak. Teori-teori yang lahir adalah:
a. teori asuransi;
b. teori kepentingan;
c. teori daya pikul;
d. teori daya beli.185
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang
hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. Bagi
negara-negara hukum, maka segala sesuatu harus diatur atau ditetapkan dalam undang-
undang termasuk pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam
Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen pasal 23A yang menentukan antara lain
bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh terjadi
berdasarkan undang-undang.
Kecuali itu, dalam menyusun undang-undangnyapun harus diusahakan oleh
pembuat undang-undang untuk tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam
menyusun undang-undang secara umum tidak oleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:
185
Bohari. H., Pengantar Hukum Pajak, Cet.III, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.32-35
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxvii
1. hak-hak negara sebagai pemungut pajak (fiscus) yang telah diberikan oleh
pembuat undang-undang harus dijamin terlaksananya dengan lancar;
2. para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas agar supaya tidak
diperlakukan dengan semena-mena oleh fiscus dengan segala aparaturnya;
3. adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia-rahasia mengenai diri
atau perusahaan-perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan atau disampaikannya kepada instansi-instansi pajak, dan rahasia itu tidak disalah-
gunakan.
c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.
Keseimbangan dalam kehidupan ekonomi tidak boleh terganggu karena adanya
pemungutan pajak, bahkan harus tetap dipupuk olehnya sesuai dengan fungsi kedua dari
pemungutan pajak yaitu fungsi mengatur. Oleh karena itu kebijakan pemungutan pajak
harus diusahakan supaya tidak menghambat lancarnya perekonomian, baik dalam
bidang produksi maupun perdagangan dan jangan sampai merugikan kepentingan
umum dan menghalang-halangi usaha rakyatnya dalam menuju kebahagiaan.
d. Pemungutan pajak harus effisien
Hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutup sebagian dari pengeluaran-pengeluaran negara sesuai dengan fungsi yang pertama dari pemungutan
pajak yaitu sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgeter). Oleh karena itu untuk
melaksanakan pemungutan pajak hendaknya tidak memakan biaya pemungutan yang
besar, dan pemungutan ini hendaknya dapat mencegah inflasi. Untuk mencapai efisiensi
pemungutan pajak serta untuk memudahkan wajib pajak guna melakukan pemungutan
pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu
dengan permasalahan pajak yang sulit, karenanya dapat menimbulkan inefisiensi.
e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana.
Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga
masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan sistem pajak yang sederhana yang mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak
terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Sistem pemungutan pajak yang
sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak.
Dari uraian di atas telah memperjelas kita, bahwa kendatipun pajak adalah
merupakan alat untuk kelangsungan pembangunan suatu negara, namun tidak
diperkenankan diterapkan secara semena-mena dan mengindahkan hak azasi manusia.
Seharusnya tindakan-tindakan fiscus yang secara serta-merta tanpa dilakukan pengujian
akan kebenarannya, dan bahkan harus dilaksanakan walaupun pihak wajib pajak
mengajukan keberatan ataupun banding adalah merupakan tindakan-tindakan yang
sewenang-wenang. Tindakan ini dalam negara hukum seharusnya tidak mendapat
tempat lagi untuk hidup dan berlangsung dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxviii
Tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak yang dapat secara serta merta
menagih dan memungut pajak pada wajib pajak akan lebih banyak menimbulkan
tindakan Fiscus atau Direktur Jenderal Pajak selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang
detourmenent de pouvoir atau penyalah-gunaan wewenang.186
2. Persyaratan sebagai Pejabat Penagih Pajak
PENAGIHAN PAJAK ADALAH SERANGKAIAN TINDAKAN AGAR
PENANGGUNG PAJAK MELUNASI UTANG PAJAK DAN BIAYA PENAGIHAN
PAJAK DENGAN MENEGUR ATAU MEMPERTIMBANGKAN,
MELAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS,
MEMBERITAHUKAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK,
MENGUSULKAN PENCEGAHAN, MELAKSANAKAN PENYITAAN,
MELAKSANAKAN PENYANDERAAN, MENJUAL BARANG YANG TELAH
DISITA.
PENAGIHAN MERUPAKAN SALAH SATU BAGIAN YANG PENTING
DALAM RENCANA KINERJA SUATU KANTOR PELAYANAN PAJAK UNTUK
MEMASUKKAN UANG DARI PAJAK KE KAS NEGARA. KARENA
MERUPAKAN SALAH SATU BAGIAN YANG PENTING, PENAGIHAN HARUS DAPAT MEMBERIKAN MOTIVASI PENINGKATAN KESADARAN DAN
KEPATUHAN WAJIB PAJAK. PENAGIHAN ITU SENDIRI TIMBUL KARENA
ADANYA TUNGGAKAN DARI WAJIB PAJAK. TIDAK SEMUA WAJIB PAJAK
MEMPUNYAI KESADARAN PAJAK, KEPATUHAN PAJAK, DAN DISIPLIN
PAJAK, SEHINGGA DIPERLUKAN SUATU PENGAWASAN. SEBAGAI TINDAK
LANJUT DARI PENGAWASAN TERSEBUT MAKA DILAKUKAN TINDAKAN
PENAGIHAN PAJAK.
DALAM PELAKSANAAN DI LAPANGAN TINDAKAN PENAGIHAN
DILAKUKAN OLEH JURUSITA PAJAK. SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 5
AYAT 1 DAN 2 UU NOMOR19 TAHUN 2000, TUGAS-TUGAS JURUSITA PAJAK DALAM TINDAKAN PENAGIHAN ADALAH :
A. DENGAN SURAT PERINTAH JURUSITA PAJAK MELAKSANAKAN
PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS SESEGERA MUNGKIN.
B. MEMBERITAHUKAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG
PAJAK DENGAN CARA PERNYATAAN DAN MENYERAHKAN
SALINAN DARI SURAT PAKSA.
C. MELAKSANAKAN PENYITAAN ATAS BARANG PENANGGUNG
PAJAK BERDASARKAN SURAT PERINTAH MELAKSANAKAN
PENYITAAN. SEBELUMNYA DALAM LAPORAN PELAKSANAAN
SURAT PAKSA DILAPORKAN JENIS, LETAK DAN TAKSIRAN
HARGA DARI OBJEK SITA DENGAN MEMPERHATIKAN
186
Philipus M. Hadjon et all., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Adminstrative law), Cet.III, Gajah Mada University Press, Bandung, 1994, h.270
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxix
TUNGGAKAN PAJAK DAN BIAYA PELAKSANAAN YANG
MUNGKIN AKAN DIKELUARKAN. SEDANGKAN BARANG YANG
DAPAT DISITA ADALAH BARANG MILIK PENANGGUNG PAJAK
YANG BERADA DI TEMPAT TINGGAL, TEMPAT USAHA,
TEMPAT KEDUDUKAN ATAU DI TEMPAT LAINNYA YANG
PENGUASAANNYA BERADA DI TANGAN PIHAK LAIN, ATAU YANG DIBEBANI DENGAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI
JAMINAN PELUNASAN UTANG TERTENTU, MISALNYA
BARANG BERGERAK DAN BARANG TIDAK BERGERAK.
D. MELAKSANAKAN PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
BERDASARKAN SURAT PERINTAH YANG DIKELUARKAN OLEH
MENTERI KEUANGAN. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
YANG DILAKSANAKAN OLEH JURUSITA PAJAK HARUS
DIBANTU OLEH APARAT KEPOLISIAN, KEJAKSAAN, KANTOR
IMIGRASI DAN APARAT YANG TERKAIT.
DI DALAM PASAL 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
SEBAGAIMANA DIUBAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000 MENYEBUTKAN BAHWA SURAT TAGIHAN PAJAK, SURAT
KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR, SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG
BAYAR TAMBAHAN, SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN, SURAT
KEPUTUSAN KEBERATAN, PUTUSAN BANDING, YANG MENYEBABKAN
JUMLAH PAJAK YANG HARUS DIBAYAR BERTAMBAH, ADALAH
MERUPAKAN DASAR DARI PENAGIHAN PAJAK.
DENGAN SISTEM SELF ASSESSMENT, WAJIB PAJAK DIBERI
KEWENANGAN UNTUK MENGHITUNG SENDIRI JUMLAH PAJAK YANG
TERHUTANG. DISINI WAJIB PAJAK DITUNTUT KEJUJURANNYA DALAM
HAL JUMLAH BESARNYA PENGHASILAN YANG DIPEROLEH DARI WAJIB
PAJAK DENGAN JUMLAH PAJAK TERHUTANG YANG DILAPORKAN. TINDAKAN PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DILAKUKAN APABILA
PAJAK YANG TERUTANG SEPERTI YANG TERCANTUM DALAM SURAT
TAGIHAN PAJAK, SURAT KETETAPAN PAJAK ATAU SURAT KETETAPAN
PAJAK TAMBAHAN TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR SETELAH LEWAT
JATUH TEMPO PEMBAYARAN PAJAK YANG BERSANGKUTAN.
SURAT TAGIHAN PAJAK ADALAH SURAT UNTUK MELAKUKAN
TAGIHAN PAJAK DAN/ ATAU SANKSI BERUPA BUNGA DAN DENDA
ADMINISTRASI. SEPERTI TERSEBUT DALAM PASAL 14 (1) UNDANG-
UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN
TATA CARA PERPAJAKAN, SURAT TAGIHAN PAJAK DITERBITKAN
APABILA:
A. PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR;
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxx
B. DARI HASIL PENELITIAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT
TAHUNAN) TERDAPAT KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK
SEBAGAI AKIBAT SALAH TULIS ATAU SALAH HITUNG;
C. WAJIB PAJAK DIKENAKAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA
DENDA DAN ATAU BUNGA;
D. PENGUSAHA YANG DIKENAKAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) TAHUN
1984 DAN PERUBAHANNYA TETAPI TIDAK MELAPORKAN
KEGIATAN USAHANYA UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI
PENGUSAHA KENA PAJAK;
E. PENGUSAHA YANG TIDAK DIKUKUHKAN SEBAGAI
PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP) TETAPI MEMBUAT FAKTUR
PAJAK;
F. PENGUSAHA YANG TELAH DIKUKUHKAN SEBAGAI
PENGUSAHA KENA PAJAK TIDAK MEMBUAT ATAU MEMBUAT
FAKTUR PAJAK TETAPI TIDAK TEPAT WAKTU ATAU TIDAK
MENGISI SELENGKAPNYA FAKTUR PAJAK.
SURAT TAGIHAN PAJAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG SAMA DENGAN SURAT KETETAPAN PAJAK. SURAT KETETAPAN PAJAK
ADALAH SURAT KEPUTUSAN YANG MENENTUKAN BESARNYA JUMLAH
PAJAK YANG TERUTANG, JUMLAH PENGURANGAN PEMBAYARAN PAJAK,
JUMLAH KEKURANGAN POKOK PAJAK, BESARNYA SANKSI
ADMINISTRASI DAN JUMLAH PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR.
DALAM PASAL 13 UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2000, SURAT
KETETAPAN PAJAK DITERBITKAN APABILA:
(1) DALAM JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SESUDAH SAAT
TERUTANG PAJAKNYA, ATAU BERAKHIRNYA MASA PAJAK,
BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, FISKUS DAPAT
MENERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR DALAM HAL SEBAGAI BERIKUT:
A. APABILA BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN ATAU
KETERANGAN LAIN PAJAK YANG TERUTANG TIDAK ATAU
KURANG DIBAYAR;
B. APABILA SURAT PEMBERITAHUAN (SPT TAHUNAN) TIDAK
DISAMPAIKAN DALAM JANGKA WAKTU SEBAGAIMANA
DIMAKSUD DALAM PASAL 3 AYAT (3) DAN TELAH DITEGUR
SECARA TERTULIS TETAPI TIDAK DISAMPAIKAN PADA
WAKTUNYA SEBAGAI MANA DITENTUKAN DALAM SURAT
TEGORAN;
C. APABILA BERDASARKAN HASIL PEMERIKSANAAN
MENGENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH TERNYATA TIDAK
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxi
SEHARUSNYA DIKOMPENSASIKAN SELISIH LEBIH PAJAK
ATAU TIDAK SEHARUSNYA DIKENAKAN TARIF 0%;
D. APABILA KEWAJIBAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM
PASAL 28 DAN PASAL 29 TIDAK DIPENUHI, SEHINGGA TIDAK
DAPAT DIKETAHUI BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG.
(2) JUMLAH KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR SEBAGAIMANA
DIMAKSUD PADA AYAT (1) HURUF A DITAMBAH SANKSI
ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 2% SEBULAN UNTUK
SELAMA-LAMANYA DUA PULUH EMPAT BULAN, DIHITUNG
SEJAK SAAT TERUTANGNYA PAJAK ATAU BERAKHIRNYA MASA
PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK SAMPAI
DENGAN DITERBITKANNYA SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG
BAYAR.
(3) JUMLAH PAJAK DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG
BAYAR SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA AYAT (1) HURUF B,
HURUF C, DAN HURUF D DITAMBAH DENGAN SANKSI
ADMINISTRASI BERUPA KENAIKAN SEBESAR: A. 50% (LIMA PULUH PERSEN) DARI PAJAK PENGHASILAN
YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR DALAM SATU TAHUN
PAJAK;
B. 100% (SERATUS PERSEN) DARI PAJAK PENGHASILAN YANG
TIDAK ATAU KURANG DIPOTONG, TIDAK ATAU KURANG
DIPUNGUT, TIDAK ATAU KURANG DISETOR, DAN DIPOTONG
ATAU DIPUNGUT TETAPI TIDAK ATAU KURANG
DISETORKAN;
C. 100% (SERATUS PERSEN) DARI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR. (4) BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG YANG DIBERITAHUKAN
OLEH WAJIB PAJAK DALAM SURAT PEMBERITAHUAN (SPT
TAHUNAN) MENJADI PASTI MENURUT KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU,
APABILA DALAM JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SESUDAH
SAAT TERUTANGNYA PAJAK ATAU BERAKHIRNYA MASA
PAJAK, BAGIAN TAHUN PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, TIDAK
DITERBITKAN SURAT KETETAPAN PAJAK.
(5) APABILA JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN SEBAGAIMANA
DIMAKSUD PADA AYAT (1) TELAH LEWAT, SURAT KETETAPAN
PAJAK KURANG BAYAR TETAP DAPAT DITERBITKAN
DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 48% (EMPAT PULUH DELAPAN PERSEN) DARI JUMLAH PAJAK
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxii
YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR, DALAM HAL WAJIB
PAJAK SETELAH JANGKA WAKTU SEPULUH TAHUN TERSEBUT
DIPIDANA, KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIBIDANG
PERPAJAKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG
TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP.
SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN ADALAH SURAT
KEPUTUSAN YANG MENAMBAH JUMLAH PAJAK YANG TELAH
DITETAPKAN. DALAM PASAL 15 UNDANG-UNDANG NOMOR16 TAHUN 2000
SURAT KETETAPAN PAJAK TAMBAHAN DITERBITKAN APABILA
MEMENUHI SYARAT-SYARAT SEBAGAI BERIKUT:
(1) DIREKTUR JENDERAL PAJAK DAPAT MENERBITKAN SURAT
KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN DALAM
JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN SESUDAH SAAT PAJAK
TERUTANG, BERAKHIRNYA MASA PAJAK, BAGIAN TAHUN
PAJAK ATAU TAHUN PAJAK, APABILA DITEMUKAN DATA
BARU DAN ATAU DATA YANG SEMULA BELUM TERUNGKAP
YANG MENGAKIBATKAN PENAMBAHAN JUMLAH PAJAK YANG TERUTANG.
(2) JUMLAH KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG DALAM
SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN,
DITAMBAH DENGAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA
KENAIKAN SEBESAR 100% (SERATUS PERSEN) DARI JUMLAH
KEKURANGAN PAJAK TERSEBUT.
(3) KENAIKAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (2)
TIDAK DIKENAKAN APABILA SURAT KETETAPAN PAJAK
KURANG BAYAR TAMBAHAN ITU DITERBITKAN
BERDASARKAN KETERANGAN TERTULIS DARI WAJIB PAJAK
ATAS KEHENDAK SENDIRI, DENGAN SYARAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK BELUM MULAI MELAKUKAN TINDAKAN
PEMERIKSAAN.
(4) APABILA JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (1) TELAH LEWAT,
SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN
TETAP DAPAT DITERBITKAN DITAMBAH SANKSI
ADMINISTRASI BERUPA BUNGA SEBESAR 48% (EMPAT PULUH
DELAPAN PERSEN) DARI JUMLAH PAJAK YANG TIDAK ATAU
KURANG DIBAYAR, DALAM HAL WAJIB PAJAK SETELAH
JANGKA WAKTU 10 (SEPULUH) TAHUN TERSEBUT DIPIDANA
KARENA MELAKUKAN TINDAK PIDANA DIBIDANG
PERPAJAKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxiii
3. Jadwal Penagihan Pajak
DENGAN DIKELUARKANNYA SPT, SKPKB, SKPKBT DAN SURAT
KEPUTUSAN PEMBETULAN SEBAGAI AKIBAT DARI TIDAK DILUNASINYA
UTANG PAJAK OLEH PENANGGUNG PAJAK ATAU WAJIB PAJAK, MAKA JIKA UTANG PAJAK YANG TERCANTUM DALAM SPT, SKPKB, SKPKBT DAN
SURAT KEPUTUSAN PEMBETULAN, MASIH BELUM JUGA DILUNASI
DALAM JANGKA WAKTU YANG TELAH DITENTUKAN DALAM SURAT
TERSEBUT MAKA LANGKAH YANG DIAMBIL OLEH APARAT PAJAK
BERIKUTNYA IALAH DENGAN MENGELUARKAN SURAT TEGORAN,
PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS, MENGELUARKAN SURAT
PAKSA, PENYITAAN, PENCEGAHAN ATAU PENYANDERAAN SERTA
PELELANGAN. LANGKAH-LANGKAH TERSEBUT MERUPAKAN PROSES-
PROSES DALAM TINDAKAN PENAGIHAN. UNTUK JELASNYA PROSES-
PROSES TERSEBUT DAPAT DIJELASKAN SEBAGAI BERIKUT:
1. SURAT TEGORAN
SURAT TEGORAN INI DITERBITKAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG TIDAK MELUNASI UTANG PAJAK SETELAH 7 (TUJUH) HARI SEJAK
TANGGAL PELUNASAN ATAU JATUH TEMPO PEMBAYARAN YANG
TERCANTUM DALAM SURAT KETETAPAN PAJAK YANG DITERIMA
WAJIB PAJAK. ISI DARI SURAT TEGORAN TERSEBUT ADALAH
PERINGATAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK AGAR MAU MELUNASI
UTANG PAJAKNYA DAN JUGA MEMBERITAHUKAN AKIBAT HUKUM
YANG DITIMBULKAN APABILA SURAT TEGORAN TERSEBUT TIDAK
DIINDAHKAN.
2. PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS
PENGERTIAN “SEKETIKA” MENGANDUNG ARTI BAHWA PELUNASAN UTANG PAJAK TERSEBUT HARUS DILUNASI DENGAN SEGERA, DAN
PENGERTIAN “SEKALIGUS” MENGANDUNG ARTI BAHWA PAJAK
TERSEBUT HARUS DILUNASI DALAM WAKTU BERSAMAAN UNTUK
SEMUA JENIS PAJAK YANG TERUTANG. PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA
DAN SEKALIGUS DILAKUKAN BILAMANA TERJADI SUATU PERISTIWA
ATAU KEADAAN YANG MENDESAK DAN UNTUK MENJAGA
KEMUNGKINAN TERJADINYA SESUATU YANG AKAN
MENGAKIBATKAN PAJAK YANG TERHUTANG DARI PENANGGUNG
PAJAK TIDAK DAPAT DITAGIH KARENA :
- PENANGGUNG PAJAK AKAN ATAU BERNIAT UNTUK
MENINGGALKAN INDONESIA UNTUK SELAMANYA;
- PENANGGUNG PAJAK MENGHENTIKAN ATAU MENGECILKAN KEGIATAN PERUSAHAAN, ATAU PEKERJAAN YANG
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxiv
DILAKUKANNYA DI INDONESIA ATAUPUN
MEMINDAHTANGANKAN BARANG YANG DIMILIKI ATAU YANG
DIKUASAI;
- TERDAPAT TANDA-TANDA PENANGGUNG PAJAK AKAN ATAU
BERNIAT MEMBUBARKAN BADAN USAHANYA;
- BADAN USAHA AKAN DIBUBARKAN OLEH NEGARA; - TERJADI PENYITAAN ATAS BARANG PENANGGUNG PAJAK OLEH
PIHAK KETIGA ATAU TERDAPAT TANDA-TANDA KEPAILITAN.
SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS
DITERBITKAN SEBELUM PENERBITAN SURAT PAKSA. JADI LOGIKA
HUKUMNYA ADALAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN SEKALIGUS
DILAKSANAKAN TANPA MENUNGGU TANGGAL JATUH TEMPO
PEMBAYARAN SEBAGAIMANA TERCANTUM DALAM
SKP/SKPKB/SKPKBT/SK.
DALAM PELAKSANAANNYA PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN
SEKALIGUS DILAKUKAN SEBAGAI BERIKUT:
- SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN
SEKALIGUS DITERBITKAN TANPA MEMPERHATIKAN APAKAH WAJIB PAJAK TELAH DIBERIKAN SURAT TEGORAN
ATAU TIDAK;
- SURAT PERINTAH PENAGIHAN PAJAK SEKETIKA DAN
SEKALIGUS DISAMPAIKAN KEPADA WAJIB PAJAK DAN
DALAM WAKTU 2 X 24 JAM WAJIB PAJAK HARUS MELUNASI
SEGALA UTANG PAJAKNYA;
- APABILA DALAM JANGKA WAKTU 2 X 24 JAM WAJIB PAJAK
BELUM MAU MELUNASI UTANG PAJAKNYA, MAKA SEGERA
DILAKUKAN TINDAKAN PENAGIHAN DENGAN SURAT
PAKSA.
3. SURAT PAKSA SURAT PAKSA DALAM ARTI UMUM ADALAH ALAT HUKUM YANG
LAZIMNYA DITERAPKAN DALAM HUKUM PERDATA SETELAH
ADA PUTUSAN HAKIM.187 SEDANGKAN SURAT PAKSA DALAM
ARTI KHUSUS ADALAH SURAT YANG DIKELUARKAN OLEH
PEJABAT DALAM HAL INI YANG BERWENANG DALAM
MENERBITKAN SURAT PAKSA, YANG INTINYA MEMERINTAHKAN
KEPADA WAJIB PAJAK (PENANGGUNG PAJAK) YANG MEMPUNYAI
UTANG PAJAK UNTUK MEMBAYAR UTANG PAJAKNYA DAN
BIAYA PENAGIHAN PAJAK.
187
Moeljo Hadi, Dasar-dasar Penagihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Juru Sita Pajak Pusat dan
Daerah, Cet.IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 76.
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxv
AKAN TETAPI DI DALAM HUKUM PAJAK SURAT PAKSA DISEBUT
PARATE EXECUTIE, ARTINYA DAPAT MELAKUKAN EKSEKUSI
LANGSUNG TANPA MELALUI PROSES DIMUKA PENGADILAN.
SELANJUTNYA TENTANG SURAT PAKSA INI AKAN DIBAHAS
DALAM BAB III.
4. PENYITAAN PENGERTIAN PENYITAAN DALAM HUKUM PAJAK PADA INTINYA
SAMA DENGAN SITA EXECUTOIR DALAM HUKUM PERDATA, YAITU:
SERANGKAIAN TINDAKAN DARI JURUSITA PAJAK YANG DIBANTU
OLEH DUA ORANG SAKSI UNTUK MENGUASAI BARANG-BARANG
DARI WAJIB PAJAK, GUNA DIJADIKAN JAMINAN UNTUK MELUNASI
UTANG PAJAK SESUAI DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN PAJAK
YANG BERLAKU.188
PENYITAAN DALAM HUKUM PAJAK MERUPAKAN TINDAK LANJUT
DARI PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA.
PENYITAAN TERPAKSA DILAKUKAN BILAMANA PAJAK YANG
MASIH HARUS DIBAYAR OLEH PENANGGUNG PAJAK TIDAK
DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU 2 X 24 JAM SESUDAH TANGGAL PEMBERITAHUAN DENGAN PERNYATAAN DAN PENYERAHAN
SURAT PAKSA KEPADA WAJIB PAJAK. DALAM PELAKSANAANNYA
PENYITAAN DILAKUKAN OLEH JURUSITA PAJAK DENGAN
DIDAMPINGI OLEH 2 (DUA) ORANG SAKSI. ADAPUN BARANG-
BARANG PENANGGUNG PAJAK YANG DAPAT DISITA ANTARA LAIN:
BARANG BERGERAK
SEMUA BARANG BERGERAK MILIK PENANGGUNG PAJAK
YANG ADA DI RUMAH, DI TOKO, DI TEMPAT USAHA, ATAU
KANTOR DARI PENANGGUNG PAJAK.
BARANG TIDAK BERGERAK
SEMUA BARANG TAK BERGERAK BERUPA RUMAH, KANTOR, PERUSAHAAN DAN SEBAGAINYA, BAIK ITU DITEMPATI
SENDIRI ATAU DIKONTRAKKAN KEPADA PIHAK LAINNYA.
JUGA TERMASUK KEBUN, SAWAH, BUNGALOW DAN
SEBAGAINYA, BAIK ITU DIKERJAKAN SENDIRI ATAU
DISEWAKAN PADA PIHAK LAIN SERTA KAPAL DENGAN
BOBOT TERTENTU.
TUJUAN PENYITAAN ADALAH UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN
PELUNASAN UTANG PAJAK DARI PENANGGUNG PAJAK.
5. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
PENGERTIAN PENCEGAHAN SEBAGAIMANA TERSEBUT DALAM
PASAL 7 SUB 17 UU NOMOR19 TAHUN 2000 ADALAH LARANGAN
188 Ibid., hal. 49
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxvi
YANG BERSIFAT SEMENTARA TERHADAP PENANGGUNG PAJAK
TERTENTU UNTUK KELUAR DARI WILAYAH NEGARA REPUBLIK
INDONESIA. PELAKSANAAN PENCEGAHAN TERHADAP
PENANGGUNG PAJAK DALAM UPAYA PENAGIHAN PAJAK HARUS
MEMENUHI UTANG PAJAK DALAM JUMLAH SEKURANG-
KURANGNYA SEBESAR RP 100.000.000,00 DAN DIRAGUKAN ITIKAD BAIKNYA DALAM MELUNASI UTANG PAJAK. KEPUTUSAN
PENCEGAHAN DITERBITKAN OLEH MENTERI ATAS PERMINTAAN
DARI PEJABAT YANG BERSANGKUTAN.
PENGERTIAN PENYANDERAAN (GIJZELING) ATAU LEBIH DIKENAL
DENGAN SITA BADAN ADALAH PENGEKANGAN SEMENTARA
WAKTU KEBEBASAN DARI PENANGGUNG PAJAK DENGAN
MENEMPATKAN DITEMPAT TERTENTU. PENYANDERAAN
DILAKUKAN BILAMANA PENANGGUNG PAJAK MEMPUNYAI
KEMAMPUAN UNTUK MEMBAYAR PAJAK TETAPI TIDAK MAU
MEMBAYARNYA BAHKAN MENYEMBUNYIKAN HARTA
KEKAYAANNYA SETELAH LEWAT JANGKA WAKTU 14 (EMPAT
BELAS) HARI SEJAK TANGGAL SURAT PAKSA DIBERITAHUKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK, SEDANGKAN BESARNYA UTANG
PAJAK SEKURANG-KURANGNYA RP 100.000.000,00 DAN DIRAGUKAN
ITIKAD BAIKNYA DALAM MELUNASI UTANG PAJAK.
SURAT PERINTAH PENYANDERAAN DITERBITKAN OLEH PEJABAT
SETEMPAT SETELAH MENDAPAT IZIN TERTULIS DARI MENTERI
KEUANGAN. SURAT PERINTAH TERSEBUT DISAMPAIKAN OLEH
JURUSITA PAJAK DENGAN DIDAMPINGI 2 (DUA) ORANG SAKSI DAN
DAPAT MEMINTA BANTUAN PIHAK KEPOLISIAN ATAU KEJAKSAAN.
4. PELELANGAN
PELELANGAN ADALAH PENJUALAN BARANG MILIK PENANGGUNG
PAJAK DIMUKA UMUM DENGAN CARA PENAWARAN HARGA SECARA LISAN DAN ATAU TERTULIS MELALUI USAHA
PENGUMPULAN PEMINAT ATAU CALON PEMBELI. LELANG ADALAH
SEBAGAI AKIBAT DARI UTANG PAJAK DAN ATAU BIAYA
PENAGIHAN PAJAK TIDAK DILUNASI SETELAH DILAKSANAKAN
PENYITAAN. DALAM HAL PELAKSANAANNYA LELANG
DILAKSANAKAN MELALUI KANTOR LELANG. LELANG TETAP
DILAKSANAKAN WALAUPUN KEBERATAN YANG DIAJUKAN OLEH
PENANGGUNG PAJAK BELUM MEMPEROLEH PUTUSAN DARI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, DAN JUGA LELANG DAPAT
DILAKSANAKAN MESKIPUN SI PENANGGUNG PAJAK TIDAK HADIR.
HASIL DARI PELELANGAN DIGUNAKAN LEBIH DAHULU UNTUK
MEMBAYAR BIAYA PENAGIHAN DAN SISANYA UNTUK MEMBAYAR UTANG PAJAK. APABILA LELANG SUDAH MENCAPAI JUMLAH YANG
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxvii
CUKUP UNTUK MELUNASI BIAYA PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG
PAJAK PELAKSANAAN LELANG DIHENTIKAN, WALAUPUN BARANG
YANG AKAN DILELANG MASIH ADA. JIKA ADA SISA BARANG DAN
KELEBIHAN UANG HASIL LELANG DIKEMBALIKAN KEPADA
PENANGGUNG PAJAK SEGERA SETELAH PELAKSANAAN LELANG.
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENAGIHAN PAJAK
1. Tindakan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
MEMBAHAS TENTANG SURAT PAKSA, MAKA SURAT PAKSA
DAPAT DITINJAU DARI 2 (DUA) SEGI, YAITU SEGI ISINYA DAN SEGI
KARAKTERISTIKNYA. DITINJAU DARI SEGI ISINYA, SESUAI DENGAN
PASAL 7 AYAT 1 DAN 2 UU NOMOR19 TAHUN 2000, SURAT PAKSA
MEMUAT HAL-HAL SEBAGAI BERIKUT :
- DIAWALI DENGAN KATA-KATA YANG BERBUNYI “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
- NAMA WAJIB PAJAK ATAU PENANGGUNG PAJAK, KETERANGAN CUKUP TENTANG ALASAN YANG MENJADI DASAR PENAGIHAN,
PERINTAH MEMBAYAR.
- DIKELUARKAN ATAU DITANDATANGANI OLEH PEJABAT
BERWENANG YANG DITUNJUK OLEH MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA.
SEDANGKAN DITINJAU DARI SEGI KARAKTERISTIKNYA ADALAH
SEBAGAI BERIKUT :
- MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG SAMA DENGAN GROSSE
PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PERDATA YANG TIDAK
DAPAT DIMINTA BANDING LAGI PADA HAKIM ATASANNYA. - MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM YANG PASTI (IN KRACHT VAN
GEWIJSDE).
- MEMPUNYAI FUNGSI GANDA YAITU MENAGIH PAJAK DAN
MENAGIH BUKAN PAJAK ATAU BIAYA-BIAYA DALAM PROSES
PENAGIHAN.
- DAPAT DILANJUTKAN DENGAN TINDAKAN PENYITAAN ATAU
PENYANDERAAN/ PENCEGAHAN.189
PERLU DIPAHAMI OLEH PENANGGUNG PAJAK BAHWA DENGAN
SURAT PAKSA, JURUSITA PAJAK DAPAT MELAKUKAN EKSEKUSI
LANGSUNG BAIK ITU BERUPA TINDAKAN PENYITAAN MAUPUN
189
Moeljo Hadi, Op.Cit, hal. 23
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxviii
PELAKSANAAN LELANG. KHUSUS PELELANGAN JURUSITA PAJAK
MENYERAHKANNYA KEPADA KANTOR LELANG YANG BERWENANG
MELAKSANAKAN LELANG.
SURAT PAKSA MEMPUNYAI KEKUATAN EXECUTORIAL KARENA
MEPUNYAI TITLE BERUPA KEPALA (IRAH-IRAH) “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, INI SAMA DENGAN KEPUTUSAN PENGADILAN DAN GROSSE AKTE NOTARIS YANG JUGA
BERKEPALA DEMIKIAN.190
SURAT PAKSA DITERBITKAN FISKUS (APARAT PAJAK) KEPADA
PARA WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI TUNGGAKAN PAJAK. WAJIB
PAJAK YANG MEMPUNYAI TUNGGAKAN PAJAK DISEBUT PENANGGUNG
PAJAK, SEDANGKAN TUNGGAKAN PAJAK SELANJUTNYA DISEBUT UTANG
PAJAK YANG HARUS DILUNASI SESUAI JANGKA WAKTU YANG TELAH
DITETAPKAN OLEH UNDANG-UNDANG. UTANG PAJAK YANG TIDAK
DILUNASI DALAM JANGKA WAKTU YANG DITENTUKAN AKAN
DITERBITKAN SURAT PAKSA DENGAN TERLEBIH DAHULU DITERBITKAN
SURAT TEGORAN ATAU SURAT PERINGATAN.
TERHADAP PENANGGUNG PAJAK YANG TELAH DILAKSANAKAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS JUGA DITERBITKAN SURAT
PAKSA DAN TERHADAP PENANGGUNG PAJAK YANG MENGAJUKAN
PERSETUJUAN ANGSURAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK DAN
SAMPAI JANGKA WAKTU PEMBAYARAN MASIH JUGA BELUM
MELUNASINYA SESUAI DENGAN KEPUTUSAN YANG DIKELUARKAN OLEH
KANTOR PELAYANAN PAJAK.
PROSEDUR PENERBITAN SURAT PAKSA PADA KANTOR
PELAYANAN PAJAK PAMEKASAN DIAWALI DENGAN PELAKSANAANNYA
DIBIDANG TATA USAHA SEBELUM SURAT PAKSA TERSEBUT
DISAMPAIKAN KEPADA PENANGGUNG PAJAK. INI PENTING SEKALI
KARENA SURAT PAKSA ADALAH SALAH SATU PRODUK HUKUM DARI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, JANGAN SAMPAI SURAT PAKSA
DIKELUARKAN BEGITU SAJA TANPA ADA DASARNYA BAIK ITU DASAR
HUKUMNYA ATAUPUN DASAR ADMINISTRASINYA.
DASAR HUKUM DARI PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
SUDAH JELAS YAITU UNDANG-UNDANG NOMOR19 TAHUN 2000,
SEDANGKAN DASAR ADMINISTRASINYA DAPAT DIURAIKAN SEBAGAI
BERIKUT :
- SURAT PAKSA DIKELUARKAN SETELAH LEWAT 21 (DUA PULUH
SATU) HARI SEJAK TANGGAL SURAT TEGORAN YANG
SEBELUMNYA TELAH DIKIRIM;
190
Eugenia Liliawati Muljono dan Amin Widjaja Tunggal, Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank,
CetI, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.34
Volume 8, No.1, Nop 2008 clxxxix
- TANGGAL DAN NOMOR SURAT PAKSA DICATAT DALAM BUKU
REGISTER SURAT PAKSA, BUKU REGISTER PENGAWASAN
PENAGIHAN, DAN BUKU REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN;
- SELANJUTNYA SURAT PAKSA DISERAHKAN KEPADA JURUSITA
PAJAK YANG MEMPUNYAI KEWENANGAN UNTUK
MELAKSANAKAN TUGAS PENAGIHAN; - JURUSITA PAJAK YANG TELAH MENERIMA PENYERAHAN SURAT
PAKSA, HARUS :
MENCATATNYA DALAM BUKU PRODUKSI HARIAN DAN BUKU
REGISTER TINDAKAN PENAGIHAN;
MENYAMPAIKAN, MEMBERITAHUKAN DAN MENYERAHKAN
SALINAN SURAT PAKSA KEPADA PENANGGUNG PAJAK;
MEMBUAT LAPORAN PELAKSANAAN SURAT PAKSA DAN
MEMBUAT BERITA ACARA PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA;
PELAKSANAAN SURAT PAKSA DICATAT DALAM BUKU
REGISTER PENGAWASAN PENAGIHAN DAN BUKU REGISTER
TINDAKAN PENAGIHAN SERTA SURAT PAKSA DIMASUKKAN DALAM BERKAS PENAGIHAN WAJIB PAJAK YANG
BERSANGKUTAN.
2. Upaya Hukum terhadap Penagihan dengan Surat Paksa
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan juncto Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
maka terhadap Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan keberatan, banding serta gugatan.
Keberatan dan banding serta gugatan Wajib Pajak terhadap fiscus atas
ketetapan pajak adalah merupakan jaminan bagi wajib pajak untuk menggunakan haknya yang dijamin oleh undang-undang pajak.
191 Khusus untuk banding dan gugatan
di bidang pajak adalah termasuk kewenangan Pengadilan Pajak untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskannya, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada bab II dan bab III.
Ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 belum lahir, maka segala
sengketa di bidang perpajakan dilakukan dan di bawah kewenangan Pengadilan Tata
Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan
Tata Usaha Negara. Namun ketika lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997
Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), sengketa pajak menjadi
kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan putusannya bersifat final.
191
Bohari. H., Op.Cit., h.133
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxc
Kondisi hukum tersebut, mendapat respon dari kalangan hukum termasuk para
praktisi hukum. Hal itu dikarenakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukanlah
lembaga peradilan yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman yaitu pasal 10 tentang 4 (empat) Lingkungan Peradilan, sehingga bentuk
keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak tidak boleh bersifat final dan hal ini
terbukti dari adanya perkara atas Surat Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diajukan kasasi dan peradilan kasasi menyatakan berwenang mengadili sengketa
pajak yang telah diputuskan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Pengadilan Pajak dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman tidak disebutkan sebagai bagian lembaga
peradilan yang dapat mengadili, memeriksa, dan memutus sesuatu perkara. Sehingga
perlu dicari dasar pembenar tentang apakah Pengadilan Pajak merupakan suatu lembaga
peradilan.
Untuk menjawab masalah di atas, maka perlu dianalisis terlebih dahulu tentang
Pengadilan pajak apakah telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu peradilan. Adapun
unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai suatu lembaga peradilan adalah:
a. adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan
pada suatu persoalan; b. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit;
c. adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
d. adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.192
Pengadilan Pajak adalah merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak (pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002).
Kemudian hukum pajak yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan
pada suatu persoalan atau sengketa pajak adalah segala ketentuan di bidang
perpajakan, misalnya Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan di ubah dengan Undang-undang
192Ibid..
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxci
Nomor 16 Tahun 2000. Dengan demikian Pengadilan pajak telah memenuhi unsur
pertama sebagai lembaga peradilan.
Kewenangan Pengadilan Pajak adalah di bidang sengketa pajak, jadi di sini
telah ditetapkan tentang kewenangan Pengadilan Pajak secara khusus hanya untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan sengketa di bidang pajak. Ini termasuk bentuk
sengketa konkrit yaitu sengketa di bidang pajak, artinya Pengadilan Pajak tidak dapat
mengadili sengketa lain selain sengketa pajak. Untuk itu, unsur kedua dari unsur-unsur
sebagai lembaga peradilan telah terpenuhi.
Pengadilan Pajak hanya dapat mengadili sedikitnya dua pihak yang
bersengketa di bidang pajak, yang salah satunya harus Direktorat Jenderal pajak selaku
Fiscus atau pemungut pajak. Bilamana hanya ada satu pihak saja yaitu Fiscus saja tanpa
ada pihak Wajib Pajak, maka tidak dapat diadili di Pengadilan pajak. Unsur ini dapat
dibuktikan oleh Pengadilan Pajak, karenanya Pengadilan Pajak merupakan lembaga
peradilan.
Aparatur yang berwenang menyelesaikan sengketa pajak yaitu hakim di
lingkungan Pengadilan Pajak, sedangkan aparatur hakim di lain lingkungan selain Pengadilan Pajak, misalnya hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tata Usaha Negara, atau hakim Pengadilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara atau sengketa pajak. Dengan demikian
ke empat unsur sebagai ciri lembaga peradilan telah dapat dibuktikan oleh Pengadilan
Pajak, karenanya Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan.
Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 25
ayat 1 diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atas surat:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan pajak Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Unsur-unsur yang menentukan bahwa suatu perselisihan termasuk wewenang
Pengadilan Pajak ialah sifat dari pihak yang berselisih dan sifat perselisihannya. Di
sini yang menjadi pihak ialah pemerintah, khusus dalam sifatnya sebagai pemungut
pajak (fiscus) dan pihak lain adalah rakyat selaku wajib pajak.
Pengadilan Pajak yaitu lembaga peradilan yang berwenang melakukan penyelesaian semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak, namun khusus untuk
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcii
memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa pajak tentang banding dan
gugatannya. Sedangkan untuk keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak hanya dapat
diajukan dan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memutuskannya.
Khusus untuk keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengajukan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Keberatan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan
sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud di
atas. Kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.
Bilamana suatu keberatan tidak diajukan sebagaimana diuraikan di atas,
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 ayat 4 Undang-undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, maka surat keberatan tersebut tidak dapat dipertimbangkan.
Kendati demikian, bilamana Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan
Pajak, tidaklah menunda kewajiban Wajib Pajak untuk membayar pajak.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama duabelas bulan sejak
tanggal Surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan keberatan tambahan atau penjelasan tertulis.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang
terutang. Namun bilamana Direktur Jenderal Pajak setelah jangka waktu dua belas bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima tidak memberikan keputusannya, maka keberatan
yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Guna lebih sistematis selanjutnya akan dikemukakan beberapa persoalan yang
berhubungan dengan masalah keberatan, yaitu tentang:
a. pokok perselisihan;
b. pemasukan surat keberatan.
Perselisihan itu ialah mengenai dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, jadi bukan jumlah pajaknya meskipun jumlah
utang, pajak tergantung pada besarnya yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.
Dalam pajak penghasilan yang dikenakan pajak adalah penghasilan bersihnya. Adapun
penghasilan itu dibedakan atau dua yaitu laba usaha (business profit) dan penghasilan
lain-lain (other income).193
Pada Pajak Penghasilan misalnya, ada suatu kewajiban bahwa bagi wajib pajak
untuk memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam SPT itu oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan diharuskan oleh undang-undang untuk memberitahukan jumlah
193
John Hutagaol, Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia
dengan Negara-ngara Di kawasan Eropa, Cet.I, Salemba Empat, Jakarta, 2000, h.21
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxciii
yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan jumlah pajak yang terhutang.
Jumlah itu harus diberitahukan sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan mengisi
SPT itu secara lengkap, misalnya bagi badan usaha yang menjadi wajib pajak
diwajibkan melengkapi SPT itu dengan laporan keuangan berupa neraca dan
perhitungan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Akan tetapi hal itu tidak selalu
dilakukan, ada yang disebabkan karena ketidak-jujuran wajib pajak, yang dengan
sengaja ingin menyembunyikan beberapa bagian dari penghasilan atau kekayaan
dengan cara pengisian yang tidak sebenarnya.
Dalam hal demikian Direktur Jenderal pajak tidak terikat dengan Surat
Pemberitahuan itu dan selalu berwenang untuk mengadakan penelitian dan penilaian ini
berarti bahwa Direktur Jenderal pajak dapat menyimpang dari Surat Pemberitahuan
Wajib Pajak, dan penyimpangan ini tentunya dilakukan dengan alasan yang kuat.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian dan penilaian Surat
Pemberitahuan (SPT) yang dimasukkan oleh wajib pajak, dan dari hasil pemeriksaan
terbukti bahwa pengisian Surat Pemberitahuan itu adalah tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan pajak secara jabatan.
Pada umumnya penetapan pajak secara jabatan ini adalah jauh lebih besar dari
jumlah perkiraan oleh wajib pajak sendiri sewaktu mengajukan Surat Pemberitahuannya. Oleh karena penetapan pajak secara jabatan ini dianggap tidak adil
karena pajaknya terlalu tinggi, maka wajib pajak biasanya mengajukan keberatan pada
Direktur Jenderal Pajak sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tidak setuju dengan penetapan
pajak tersebut.
Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk satu jenis
pajak dan satu tahun pajak, misalnya pajak penghasilan tahun 2001 dan 2000. Keberatan
terhadap surat keterangan pajak penghasilan tahun 2001 dan tahun 2000 tersebut, harus
diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak
tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa batas waktu pengajuan surat
keberatan ditentukan dalam waktu tiga bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
atau SKP sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxciv
Adapun maksud penentuan tenggang waktu tiga bulan tersebut adalah supaya
wajib pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat
keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut
tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak, karena keadaan di luar kekuasan wajib pajak
(force majeure), maka tenggang waktu selama waktu tiga bulan tersebut masih dapat
dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal pajak (Penjelasan pasal 25 ayat 3 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).
Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan diberikan oleh pejabat
Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan
melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi
kepentingan wajib pajak. Tanda bukti penerimaan tersebut oleh wajib pajak dapat juga
digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu
dua belas bulan itu berakhir, mengingat oleh karena dalam jangka waktu dua belas
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Pengajuan Surat Keberatan itu tidak menghalangi aparatur pajak untuk
melakukan tindakan penagihan. Kententuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar
wajib pajak dengan dalih mengajukan keberatan, tidak melakukan kewajibannya untuk membayar pajak yang telah ditetapkan, atau wajib pajak berusaha melakukan
penghindaran pajak pada saat mengajukan keberatan.
Undang-undang pajak menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
tentang isi surat keberatan. Meskipun undang-undang tidak memberikan perincian
secara tersirat, namun kalau diteliti lebih jauh maka nampak tersirat lima hal yang
merupakan syarat minimum yaitu:
a. Penyataan bahwa wajib pajak merasa keberatan terhadap ketetapan pajak;
b. Jenis pajaknya;
c. Tahun pajak;
d. Nomor pokok Wajib Pajak;
e. Nama dan tanda tangan wajib pajak. Pada dasarnya Surat Keberatan itu memuat alasan-alasan mengapa seorang wajib
pajak keberatan terhadap ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Namun
alasan ini bukan merupakan syarat mutlak untuk sahnya Surat Keberatan. Meskipun
demikian sebaiknya wajib pajak mengajukan alasan-alasan guna meyakinkan
pejabat yang akan memberikan keputusan atas keberatan itu.
Surat keberatan yang tidak disertai alasan adalah lemah, karena itu besar
kemungkinannya bahwa keberatan itu ditolak. Alasan yang diberikan oleh undang-undang pajak terhadap wajib pajak yang ingin mengajukan keberatannya adalah
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcv
berkisar pada dasar-dasar pengenalan pajak telah ditetapkan oleh kepada instansi pajak
setempat. Sebagai contoh pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Undang-undang
Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 serta
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
Berdasarkan pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, maka penghasilan seseorang dapat dikelompokkan menjadi empat macam sumber penghasilan yang terdiri
dari:
a. Penghasilan dari pekerjaan;
b. Penghasilan dari kegiatan usaha;
c. Penghasilan dari modal, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;
d. Pengasilan lain-lain.
Keempat penghasilan di atas menjadi obyek pengenaan pajak penghasilan bagi
wajib pajak tertentu. Wajib Pajak sebelum ditetapkan pajaknya berkewajiban untuk
memasukkan surat pemberitahuan. Dalam surat pemberitahuan tersebut wajib pajak
berkewajiban memasukkan seluruh jenis sumber penghasilannya. Akan tetapi
karena ketidak-jujuran wajib pajak, hal ini tidak dilakukan. Dalam hal demikian
fiskus tidak terikat dengan surat pemberitahuan itu, dan fiskus berwenang
melakukan penilaian atas Surat Pemberitahuan tersebut. Wewenang untuk
mengadakan penilian ini berarti Direktorat Pajak (fiscus) dapat menyimpang dari
surat pemberitahuan wajib pajak. Penyimpangan ini berarti dasar pengenaan pajak
ditetapkan secara sepihak oleh Direktorat Pajak dan tidak didasarkan atas surat
pemberitahuan dari Wajib Pajak.
Pengenaan pajak secara sepihak yang dilakukan oleh Direktorat Pajak dapat
digunakan oleh wajib pajak sebagai alasan keberatan. Dan jika wajib pajak mengajukan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak maka ketidak-benaran penetapan pajak secara
sepihak tadi harus dibuktikan oleh wajib pajak.
Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikannya, maka surat keberatannya
ditolak dan wajib pajak boleh mengajukan banding pada banding pada Pengadilan
Pajak. Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcvi
penyelesaiannya dalam tingkat pertama diberikan pada Direktur Jenderal Pajak untuk
memberikan keputusannya.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan wajib pajak dapat berupa:
1. menerima seluruhnya atau sebagian;
2. menolak seluruhnya keberatan.
Apabila surat keberatan itu diterima atau dikabulkan seluruhnya, maka tidak perlu diberikan alasan, cukup dinyatakan di dalamnya bahwa keberatan pemohon dapat
diterima dan karena itu pajak dikurangkan.
Jika surat Keberatan itu ditolak seluruhnya, berarti wajib pajak tidak dapat
membuktikan ketidak-benaran ketetapan pajak secara jabatan yang telah ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Penolakan keberatan ini dapat berakibat bahwa jumlah utang
pajak ada kemungkinannya bertambah, ataupun tetap jumlahnya.
Wajib pajak yang belum merasa puas terhadap keputusan yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal pajak mengenai keberatannya itu, dapat mengajukan banding pada
Pengadilan Pajak menurut ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
Adapun banding dapat diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia
kepada Pengadilan Pajak, dengan ketentuan tidak boleh melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding tersebut, kecuali diatur lain dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu tiga bulan tersebut adalah
bersifat mengikat, kecuali terdapat keadaan di luar kekuasan pemohon banding
misalnya force majeure.
Setiap permohonan banding hanya dapat diajukan terhadap satu Keputusan,
dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan pula tanggal diterimanya
surat keputusan yang dimohonkan banding tersebut. Di samping ada kewajiban untuk
mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dimohon banding, pemohon
banding juga wajib melampirkan salinan keputusan yang dimaksud.
Syarat yang bersifat mutlak dipenuhi oleh pemohon banding adalah bilamana
banding itu diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding itu hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%
(lima puluh persen).
Banding dapat diajukan wajib pajaksendiri, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya. Namun apabila selama proses banding, pemohon banding
meninggal dunia, maka pemohonan banding tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya, atau kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon
banding dalam pailit.
Bilamana selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud
dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud.
Permohonan banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud di atas, dihapus dari
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcvii
daftar sengketa dengan penetapan ketua, dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang dilaksanakan. Bilamana pencabutan diajukan dalam tahap
pemeriksaan sengketanya, maka pencabutan tersebut harus atas persetujuan pihak
terbanding, yang nantinya akan dibuatkan putusan hakim yang memeriksa perkaranya
bahwa perkaranya telah di cabut.
Terhadap banding yang permohonannya dicabut melalui penetapan ataupun putusan, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan satu kali saja. Artinya setelah
permohonan banding terhadap Surat Ketetapan Pajak dicabut, maka terhadap Surat
Ketetapan Pajak dimaksud tidak dapat diajukan permohonan banding lagi.
Bilamana Wajib Pajak tidak puas pula terhadap Keputusan Banding, maka ia
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak secara tertulis dengan Bahasa
Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan
yang digugat. Pengajuan gugatan tersebut hanya dapat diajukan satu surat keputusan
yang digugat.
Gugatan pada Pengadilan Pajak terhadap Surat Keputusan sebagaimana
dimaksud di atas, dapat diajukan oleh Penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau
kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal
diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila selam proses gugatan, penggugat meninggal dunia,
gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau
pengampunya dalam hal penggugat pailit.
Bilamana selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud
dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggung jawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Bilamana pihak penggugat tidak berkehendak melanjutkan perkaranya, maka
penggugat dapat membuat pernyataan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan
Pajak. Gugatan yang dicabut tersebut baru akan dihapus dari daftar sengketa, jika
terdapat penetapan ketua bilamana surat pernyataan pencabutan itu diajukan sebelum sidang perkaranya belum dimulai dan penghapusan dari daftar perkara akan didasarkan
pada putusan hakim yang mengadilinya, bila pernyataan pencabutan itu dilakukan pada
saat perkara sedang berjalan, sehingga perlu persetujuan pihak tergugat pula.
Setelah gugatan tersebut dicabut, maka terhadap perkara dimaksud tidak dapat
diajukan perkara gugatan lagi. Jadi Wajib Pajak hanya mempunyai hak satu kali saja
untuk mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak atau surat keputusan banding,
sebab bilamana perkara itu diajukan kembali, maka perkara gugatan demikian akan
ditolak.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan penulis dalam bab penuntut ini adalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcviii
c. Pajak dapat dilakukan penagihan terhadap wajib pajak, bilamana wajib
pajak telah menyetor Surat Pemberitahuan, atau pihak fiscus telah
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Barang, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dan lainnya. Atas dasar kekuatan surat-surat
tersebut, maka pihak fiscus dapat melakukan tindakan-tindakan hukum,
seperti penagihan pajak dengan Surat Paksa. d. Akibat hukum terhadap penagihan pajak adalah lahirnya kewajiban bagi
wajib pajak untuk segera melakukan pembayaran pajak. Sebab bilamana
penagihan pajak tersebut tidak diindahkan oleh wajib pajak, fiscus dapat
memaksa wajib pajak dengan Surat Paksa guna wajib pajak membayar
hutang pajaknya. Adapun bilamana pihak wajib pajak menyatakan
keberatan atas penagihan pajak tersebut, maka ia dapat mengajukan
keberatan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengeluarkan surat
tagihan pajak tersebut. Wajib pajak juga diberikan hak untuk menolak
keputusan keberatan dari Kantor Pelayanan Pajak dengan mengajukan
banding ke Pengadilan Pajak, namun syaratnya wajib pajak harus
membayar separuh dari hutang pajak yang telah ditetapkan.
SARAN
Dengan adanya fakta di atas, maka pihak pemerintah melalui institusi terkait
untuk segera melakukan tindakan-tindakan:
a. Penagihan pajak hendaknya harus memperhatikan hak azasi manusia dari
Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak agar diberikan kebebasan dengan waktu yang
cukup guna menyatakan keberatan ataupun mengajukan upaya hukum;
b. Pengadilan Pajak jangan dijadikan alat oleh fiscus guna mencapai tujuan fiscus
untuk memaksa Wajib Pajak guna melakukan pembayaran hutang pajak,
artinya Pengadilan Pajak haruslah diberikan kewenangan untuk menangguhkan
pembayaran hutang pajak bilamana terdapat cukup alasan sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dalam sengketa pajak.
Volume 8, No.1, Nop 2008 cxcix