KONTEKSTUALISASI SUFISME DI...
-
Upload
phungkhuong -
Category
Documents
-
view
234 -
download
0
Transcript of KONTEKSTUALISASI SUFISME DI...
KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN (Studi atas Relevansi Pemikiran Sufisme Nurcholish Madjid
di Indonesia)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Akidah Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)
Oleh M. Leliyanto
NIM. 104033101057
PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H./2010 M.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. yang Maha Pencipta dan Yang Maha
Memelihara ciptaan-Nya. Dengan kekuatan-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat
terselesaikan, meskipun kekurangan dan kesalahan tentunya masih menghiggapi
penulisan skripsi ini. Salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi
Muhammad Saw., keluaraga, sahabat, serta para pengikutnya yang senantiasa
setia kepada ajarannya hingga akhir zaman.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, penulis
banyak melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung,
ikut memberikan partisipasinya dalam penyusunan atau pun dalam pengumpulan
data yang dibutuhkan dalam skripsi ini. Untuk itu, sudah selayaknya penulis
memberikan penghargaan kepada semua pihak yang tulus telah memberikan
konstribusi, dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga.
Sebagai pihak yang ditunjuk selaku pembimbing dan pengarah kepada
penulis, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr.
Syamsuri, M.Ag., yang dengan tulus dan sabar membimbing dan memberikan
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya Kepada pihak dekanat dan
jajarannya, penulis haturkan terima kasih khususnya kepada Bapak Prof. Dr.
Zainun Kamaluddin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Fisafat, juga
kepada Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils., selaku ketua jurusan Akidah Filsafat
beserta Ibu Dra. Tien Rahmatin, M.Ag., selaku sekretaris jurusan.
Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
yang telah banyak berjasa memberikan motivasi serta bimbingan dalam
i
perkuliahan di kampus tercinta. Serta pihak perpustakaan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah. Kepada pihak
Yayasan Paramadina yang telah memberikan pelayanan serta menyediakan
referensi berupa buku-buku karya Nurcholish Madjid kepada penulis, sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Teman-teman di bangku perkuliahan kelas AF angkatan 2004 yang telah
memberikan dukungan dan informasi selama berdiskusi di kelas dan dalam
penyelesaian skripsi ini. Teman-teman Organsisasi Pemuda 16 (Gebang Raya),
dan teman spesial penulis Wiwin yang memberi penulis semangat baru dalam
menjalani kehidupan.
Rasa syukur dan bakti penulis haturkan kepada Ayahanda Uja bin Juki,
serta Ibunda tercinta Siti Maemunah yang tak henti-hentinya bekerja keras, sabar
dalam mendidik, penuh kasih sayang dalam mengasuh, dan ikhlas dalam berdo’a
yang senantiasa diperuntukkan kepada penulis. Terima kasih semuanya.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, penulis menyadari
betul bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, sumbangsih
berupa saran dan kritik sangat penulis harapkan. Namun penulis berharap, semoga
dengan skripsi ini, sedikit banyak dapat memberikan manfaat dan konstribusi
yang positif khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Amin.
Tangerang, 15 Maret 2010
Penulis,
M. Leliyanto
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Tidak dilambangkan = l = ا ل
b = m = ب م
t = n = ت ن
ts = w = ث و
j = h = ج ه
’ = h = ح ء
kh = y = خ ي
d = د
dz = ذ
r = ر
z = ز
sy = ش
sh = ص
dl = ض
th = ط
zh = ظ
‘ = ع
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
iii
Vokal Panjang (Mad) dan Diftong
= â ا = û و
= î ي
iv
اي
= ay
aw = او
Ta Marbûthah ( )
dalam posisi di-mudlaf-kan = “t”
Contoh: rawdat al-jannah, wahdat al-wujûd
dalam posisi tidak di-mudlaf-kan = “h”
ة
ة
ة
Contoh: tharîqah, al-islâmiyyah
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………...
KATA PENGANTAR …………………………………………………....... i
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………... iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………........ 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……………………………... 7
C. Tinjauan Pustaka ……………………………………………. 7
D. Tujuan Penulisan ……………………………………………. 9
E. Metode Penelitian ………………………………………........ 9
F. Sistematika Penulisan ……………………………………….. 10
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID …… 12
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ……………………………… 12
B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya15
C. Karier Kepnulisan dan Karya-karya …………………………. 21
BAB III SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID 26
A. Makna dan Hakikat Sufisme serta Kedudukannya dalam Islam 26
B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya ……………….. 31
C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme …………………… 38
D. Sufisme Baru ………………………………………………… 43
v
vi
BAB IV KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN
DAN KEINDONESIAAN ……………………………………… 50
A. Sufisme dalam Konteks Kemodernan ……………………….. 50
1. Makna Kemodernan ………………………………………. 50
2. Sufisme dan Kemodernan ………………………………… 54
B. Sufisme dalam Konteks Keindonesiaan …………………….. 60
1. Sufisme dan Kebudayaan Lokal ………………………… 60
2. Sufisme dan Kebhinekaan ………………………………. 64
3. Sufisme dan Politik ……………………………………… 69
4. Sufisme dan Pendidikan Moral Bangsa ………………..... 75
5. Sufisme dan Dunia Usaha ………………………………. 80
BAB V PENUTUP ……………………………………………………… 87
A. Kesimpulan ……………………………………………… 88
B. Saran-Saran ……………………………………………… 90
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradaban dunia kahir-akhir ini tengah menjalankan proyek modernisme
dimana penekanan individualisme dan rasionalisme empirisme serta sikapnya
yang sangat agresif terhadap kemajuan menjadi salah satu ciri masyarakatnya
yang paling menonjol. Harus diakui bahwa modernisme telah memacu
perkembangan msyarakat dalam bebagai bidang kehidupan. Namun pada saat
yang sama, modernisme meggiring manusia memasuki masa-masa krisis bagi
kualitas nilai kemanusiaannya. Hal ini ditandai dengan fenomena perilaku dan
pola pikir manusia yang semakin menjauh dari eksistensi kemanusiaanya. Nilai-
nilai kemanusiaa telah banyak diabdikan dan dikorbankan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dan
pragmatisme tampil dengan gagahnya di permukaan bumi ini, seraya dianggap
telah berhasil menggeser dogmatisme agama.1
Dengan didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos
kesakralan alam raya. Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu
dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini hanya
dipahamai semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan
1 Nurcholish Madjid et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan
Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 97.
1
2
Tuhan.2 Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu
aspeknya yang paling fundamental yaitu aspek spiritual. Pada gilirannya, manusia
lupa akan eksistensi dirinya sebagai ‘âbid (hamba) di hadapan Tuhan, karena
mereka sudah terputus dari akar-akar spiritualitas. Ini merupakan fenomena yang
menunjukkan betapa manusia modern spiritualitasnya begitu akut, yang
mengakibatkan mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan
hidupnya, kemudian terperangkap dalam “kehampaan spiritual”, atau yang dalam
bahasa sosiolog disebut alienasi.3
Masalah alienasi adalah masalah kejiwaan dimana manusia mengalami
keterasingan jiwa. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa
manusia dan sekaligus membebaskannya dari derita aliensi, jusru dengan
menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya (ultimate goal), karena Tuhan Maha
Wujud (omnipresent) dan Maha Absolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi
akan tidak berarti di hadapan eksistensi Yang Absolut. Keyakinan dan perasaan
inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali, dan kedamaian jiwa seseorang
sehingga yang bersangkutan merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan, yang
selalu menjadi pegangan hakiki.4 Dengan kata lain, manusia tidak bisa dipahami
tanpa ketergantungan dengan Tuhan sekaligus keterkaitan dengan manusia lain
baik secara individual maupun komunal. Pemahaman seperti ini sesungguhnya
berada dalam wacana spritualitas dan dalam khazanah intelektual Islam yang
biasa disebut “tasawuf” atau “sufisme”.
2 Nurcholish et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: h. 99. 3 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005), h. 3. 4 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, h. 5.
3
Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah
kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang
selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan.5 Selanjutnya
tasawuf atau sufisme menjadi salah satu khazanah Islam yang menarik perhatian
kaum intelkutaual baik di Timur maupun di Barat. Doktrin-doktrin sufisme terus
merembes – terlepas dari beberapa golongan dari tradisi keilmuan Islam yang
menolak doktrin tasawuf6 – ke dalam ranah intelektual para pemikir besar Islam.
Dalam pada itu, sekalipun sufisme berkembang dan dapat bertahan hingga
berabad-abad, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya,
terdapat pula pergeseran dalam ajaran-ajaranya. Karena dalam masa
perkembangannya tasawuf menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan
unsur-unsur dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum Muslim
dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal,
khususnya di bidang filsafat lebih dulu maju daripada kaum Muslim sendiri.7
Namun demikian, Kenyataannya sufisme terus berkembang pesat dan masih tetap
hidup selama berabad-abad hingga mencapai kepulauan Indonesia.
Kehadiran ajaran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di
Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang
masuk di kawasan ini. Sufisme secara langung terlibat dalam penyebaran Islam di
5 Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II, (Jakarta: UI Press, 1986),
h. 71. 6 Dalam perkembangannya, terdapat hubungan yang senantiasa tidak harmonis antara
tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqh atau syari’ah. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,1997), h. 47.
7 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48.
4
Indonesia.8 Aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam
penyebaran Islam hingga akhirnya sufisme tersebar di berbagai kepulauan
Indonesia. Tasawuf memainkan peranan besar dan menentukan dalam membentuk
pandangan religius, spiritual, dan intelektual di Kepulauan Indonesia. Bukan
hanya dalam proses islamisasi semata, tasawuf juga menunjukkan peranannya
yang cukup signifikan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik
Indonesia.9
Namun demikian, perlu diingat bahwa Islam bukanlah agama pertama
yang masuk di Indonesia. Pra-Islam, Indonesia telah memiliki “agama asli”10
yakni berupa konsep-konsep keruhanian dalam masyarakat suku yang secara
internal tumbuh, berkembanga dan mencapai kesempurnaannya sendiri tanpa
imitasi atau pengaruh eksternal. Selanjutnya, agama yang kemudian dianut orang-
orang Indonesia adalah Hindu-Budha yang dibawa oleh para pedagang India.11
Jadi, sebelum Islam datang, Indonesia telah memiliki tradisi dan kebudayaan lokal
yang sudah melekat dalam keyakinan mereka, yakni tradisi dan kebudayaan
agama asli serta Hindu-Budha. Kebudayaan lokal inilah yang nantinya akan
berdampingan dan berkolaborasi dengan ajaran-ajaran Islam [baca:sufisme].
8 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), h. 252. 9 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Histori Gerakan Politik
Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung:Pustaka Hidayah, 2002), h. 27.
10 Agama asli tersebut tidak jauh berbeda dengan agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam. Mereka mempercayai adanya Ruh Tuhan yang mengalir dalam setiap makhluk. Kekuatan tubuh sesuai dengan kapasitas Ruh Tuhan yang mengalir di dalamnya sehingga di antara mereka ada yang memuja dan mengultuskan leluhur atas dasar keyakinan bahwa ruh leluhur lebih kuat daripada ruh mereka sendiri. Bahkan ada yang menyembah binatang buas. Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2.
11 Alwi, Islam Sufistik, h. 3.
5
Sufisme hadir dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan
kontinuitas daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktik tradisi keagamaan
lokal. Karenanya, model Islam yang tersebar di kawasan ini selama periode awal
Islam di Indonesia adalah model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak
sesuai dengan ajaran syariah.12 Hal inilah yang nantinya menjadi sasaran kritik
tokoh-tokoh intelektual Muslim modernis.
Terkait dengan hal tersebut dan dalam konteks itu pula, Nurcholish Madjid
merupakan salah satu tokoh intelektual muslim modernis yang patut
diperhitungkan pemikirannya. Beliau menaruh perhatian yang cukup tinggi dan
memiliki pandangan tersendiri mengenai konsep tasawuf serta memiliki
pandangan positif terhadap ajaran tasawuf (sufisme) di tengah-tengah habitat
modernitas. Nurcholish Madjid menganggap bahwa tasawuf – yang merupakan
inti keagamaan (religiusitas) yang bersifat esoteris – masih, dan akan tetap relevan
dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.
Menurut Nurcholish Madjid kita harus lebih mencermati dan memahami
dengan seksama konsep ajaran dan tradisi-tradisi sufisme sehingga tidak terjadi
penyelewengan dari ajaran Al-Quran dan hadis. Sufisme tidak harus terkungkung
dalam teks-teks kuno yang diwariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu. Kerena
sufisme tradisional – seiring dengan perkembangannya – dalam beberapa hal
banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur asing.13 Oleh karena itu, sufisme perlu
dipahami secara kontekstual, namun tetap terjaga kemurniannya. Dalam pada itu,
sebagai bentuk pembaruan konsep ajaran sufisme tradisional, Nurcholish Madjid
12 Huda, Islam Nusantara, h. 253. 13 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48.
6
menawarkan sebuah konsep sufisme baru atau yang biasa disebut dengan “neo-
sufisme”.14
Relevansi tasawuf dalam kehidupan manusia modern diungkapkan oleh
Nurcholish Madjid, misalnya, dalam sebuah pengantar pada Melacak Pemikiran
Tasawuf di Nusantara, karya M. Solihin. Nurcholish Madjid (dalam buku itu)
menegaskan betapa pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan mayarakat
Indonesia-modern karena tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas baik yang
berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan bangsa ini. Ia bisa
diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan sosial mana pun dan di tempat mana
pun.15
Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dan
melakukan penelitian lebih lanjut tentang pandangan sufisme Nurcholish Madjid
ini. Dalam pada itu, sesunggunya konsep sufisme yang ditawarkan Nurcholish
Madjid ini sangatlah relevan bila dikaitkan dalam konteks kemodernan dan
keindonesiaan mengingat masyarakat Indonesia saat ini telah terkungkung dalam
pola hidup modern, dimana manusia menjadi serba dilayani perangkat teknologi
yang serba otomatis dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat manusia
lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi. Akibatnya,
manusia lupa eksistensi dirinya sebagai ‘âbid (hamba) di hadapan Tuhan.
Demikianlah yang mejadi latar belakang masalah penulisan skripsi ini dengan
14 Istilah neo-sufisme berasal dari Fazlur Rahman, seorang pengkaji Ibn Taimîyah yang
sangat bergairah. Neo-sufisme yang dia maksud adalah suatu paham kesufian yang tidak terlalu banyak terkungkung oleh sufisme tradisonal (poluler). Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2006), h. 3311.
15 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, h. 6.
7
judul “Kontekstualisasi Sufisme dalam Kemodernan dan Keindonesiaan
(Studi atas Relevansi Pemikiran Sufisme Nurcholish Madjid di Indonesia)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini agar tidak terjadi kerancuan dan pembahasan
yang melebar, penulis tidak membahas seluruh aspek pemikiran Nurcholish
Madjid, namun dibatasi hanya seputar pandangan sufisme, yang menurut
anggapan penulis mempunyai relevansi yang cukup signifikan dalam konteks
kemodernan dan keindonesiaan.
Setelah membatasi permasalahan penulis merumuskan masalah dalam
skripsi ini, rumusannya adalah pertama, bagaimana pandangan Nurcholish Madjid
tentang sufisme? Kedua, bagaimana memahami konsep sufisme secara
kontekstual sehingga terlihat relevansi yang cukup signifikan dalam konteks
kemodernan dan keindonesiaan menurut Nurcholish Madjid?
C. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan dan tinjauan pustaka yang penulis lakukan, terdapat
beberapa karya tulis baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang
telah mengkaji lebih dahulu mengenai pemikiran Nurcholish Madjid. Namun
demikian, berdasarkan analisa penulis – dari seluruh kajian ilmiah tersebut –
belum ada satu pun penelitian yang mengangkat sebuah relevansi dalam konteks
kemodernan dan keindonesiaan dari konsep sufisme Nurcholish Madjid.
8
Untuk menunjukkan asumsi tersebut, maka di sini penulis akan
menguraikan beberapa karya tulis, yang penulis anggap sudah cukup mewakili
karya-karya tulis lainnya. Pertama, buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba
dengan judul Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa
(Jakarta: Paramadina, 2004). Dalam buku tersebut dibahas secara gamblang sisi
religiusitas Nurcholish Madjid, dimana iman dan tauhid merupakan dasar dari
pandangan dan sikap sufistik Nurcholish Madjid. Kedua, tulisan Mahmud Afifi
dengan judul Teologi Islam Agama-Agama: Analisa Kritis Pemikiran Nurcholish
Madjid (tesis, UIN Jakarta, 2003). Dalam penelitiannya, Mahmud Afifi ingin
melihat sejauh mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang
agama-agama (yang benar), dilihat dari kacamata doktirn Islam (Al-Quran) serta
relevansi dalam konteks saat ini. Ketiga, karya Anwar Sodik Tauhid dan Nilai-
nilai Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid (skripsi, UIN Jakarta,
2008). Tidak jauh berbeda dengan pembahasan sebelumnya, Anwar Sodik pun
ingin mengangkat sisi religiusitas Nurcholish Madjid. Dalam penelitiannya,
Anwar Sodik menilai bahwa konsep tauhid Nurcholish Madjid sarat dengan
dimensi nilai-nilai kemanusian.
Berdasarkan data-data tersebut, apa yang ingin dikaji penulis dalam
penelitian ini tentulah sangat berbeda. Perbedaan itu dikarenakan penelitian ini
lebih memfokuskan pada kajian konsep sufismenya Nurcholish Madjid, yang
menurut pandangan penulis terdapat relevansi yang cukup signifikan dalam
konteks kemodernan dan keindonesiaan. Oleh karenanya, adalah sebuah
keharusan ilmiah dan intelektual untuk melakukan penelitan lebih lanjut dan
9
menguji kebenaran hipotesis tersebut. Maka, masih terbuka lebar bagi penulis
untuk melakukan penelitan (skripsi) ini, di samping juga belum ada yang meneliti
sebelumnya sebagaimana telah penulis kemukakan di atas.
D. Tujuan Penulisan
1. Tujuan untuk melengkapi tugas akademi, sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana Strata satu (S1) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Mengetahui secara jelas pemahaman Nurcholish Madjid tentang sufisme
dan relevansinya dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.
E. Metode Penelitian
Dalam upaya memaparkan penelitian ini, penulis menggunakan metode
library research atau penelitian kepustakaan. Artinya, data-data yang dihadirkan
diperoleh dari data primer dalam hal ini tentunya buku-buku yang ditulis oleh
Nurcholish Madjid. Sebagaian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan
utama dalam penelitan ini adalah Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 2008), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
1987) dan beberapa karya lain yang ditulis olehnya. Disamping itu, penulis juga
menggunakan beberapa data sekunder berupa buku-buku yang mengkaji tentang
pemikiran Nurcholish Madjid serta buku-buku lainnya yang memiliki korelasi
dengan topik pembahasan dalam skripsi ini.
10
Adapun pendekatan metodologi penelitan ini besifat deskriptif dan analisis
kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat dan
objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini
ingin mengungkapkan pemikiran sufisme yang memiliki relevansi dengan konteks
kemodernan dan keindonesiaan semata-mata apa adanya (objektif). Sedangkan
pendekatan analisis kritis adalah menganalisa serta menilai scara kritis
keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut,
sehingga dapat terungkap akan kekuatan dan begitu pula kelemahan dari konsep
sufisme Nurcholish Madjid.
Terakhir berkaitan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan
oleh Ceqda Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gamabaran yang jelas tentang apa yang menjadi topik
kajian dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memaparkan
sistematika penulisannya.
Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah,
tinjauan pustaka, tujuan penulisan, metode penelitan, dan sistematika penulisan.
Bab II, penulis menampilkan profil Nurcholish Madjid dengan memotret
riwayat hidup dan pendidikan, serta corak pemikiran dan iklim intelektual sekitar
yang mempengaruhinya, berikut beberapa karyanya yang merefleksikan
perkembangan pemikirannya.
11
Bab III, memaparkan tentang pandangan Nurcholish Madjid tentang
sufisme secara umum. Bab ini meliputi: makna dan hakikat sufisme serta
kedudukannya dalam Islam, tradisi awal sufisme dan perkembangannya, Tarekat
dan Korelasinya dengan sufisme, kemudian Sufisme Baru.
Bab IV, menjelaskan pandangan Nurcholish Madjid tentang
kontekstualisasi sufisme dalam kemodernan dan keindonesaan. Bab ini meliputi:
Pertama, sufisme dalam konteks kemodernan, di dalamnya mencakup makna
kemodernan, serta kedudukan tasawuf dalam kemodernan. Kedua, sufisme dalam
konteks keindonesiaan, mencakup relevansi sufisme dan kebudayaan lokal,
sufisme dan kebhinnekaan, sufisme dan politik, sufisme dan pendidikan, serta
sufisme dan dunia usaha.
Bab V, penutup berupa kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini dan diakhiri dengan saran.
12
BAB II
BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Nurcholish Madjid (yang populer dipanggil Cak Nur) – selanjutnya dalam
tulisan ini akan disebut Nurcholish – adalah seorang cendikiawan muslim yang
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia
dilahirkan pada 17 Maret 1939, bertepatan dengan 26 Muharam 1358 H. di
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.1 Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren.
Ayahnya (Abdul Madjid), seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang,
yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus
Syaikh Hasyim Asy‘ari.2 Meskipun ayahnya berlatar belakang pendidikan NU,
namun dalam segi politik, ayahnya, begitu pula ibunya adalah tokoh pendukung
MASYUMI yang tulus.
Nurcholish, pertama kali mendapatkan pelajaran agama lewat ayah dan
ibunya serta di madrasah yang didirikan oleh keluarganya pada 1948. Selain itu, ia
juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya.3 Setelah tamat Sekolah
Rakyat, Kemudian melanjutkan pendidikannya (tingkat menengah SMP) di
pesantren Dârul ‘Ulûm, Rejoso, Jombang selama dua tahun,4 dan kemudian
1 Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish
Madjid, (Bandung: mizan, 2006), h. iv. 2 Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam: Pemikiran dan
Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 121.
3 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 122. 4 Ada dua alasan, yang menurut Nurcholish Madjid, mengapa ia hanya bertahan selama
dua tahun nyantri di Rejoso. Pertama, karena alasan kesehatan, dan kedua, karena alasan ideologi atau politik. Dedy, Zaman Baru Islam, 123.
12
13
akhirnya ia pindah ke pesantren KMI (Kulliyatul Mu‘allimîn Al-Islâmiyyah),
Pesntren Dâr al-Salâm di Gontor, Ponorogo.5
Pondok “modern” Gontor dimana Madjid mengenyam pendidikan Islam
tingkat SLTP/SLTA, adalah pondok pesantren yang berkecenderungan
“modernis”.6 Di tempat inilah Nurcholish mendapatkan pengetahuan lebih
mendalam tentang dasar-dasar agama Islam, serta pelajaran untuk berpikir kritis,
tidak memihak pada salah satu mazhab secara fanatik.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren Gontor, Nurcholish
melanjutkan pendidikannya di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.7
Di masa inilah Nurcholish berjodoh dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
organisasi yang dibesarkan dan sekaligus membesarkannya. Setiap jenjang
organisasi dilaluinya dengan penuh semangat. Karirnya di HMI dimulai dari
komisariat, lalu menjadi Katua Umum HMI Cabang Jakarta, hingga akhirnya
berhasil menjadi Katua Umum PB-HMI selama dua periode berturut-turut, yakni
pada 1966-1968 dan 1968-1970.8 Dalam masa itu pula, ia menjadi presiden
pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan Wakil Sekjen
IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.9
5 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv. 6 Disebut “modernis” karma pendidikan di pesantren Gontor berbeda dengan pesantren
“tradisional”. Pembeda dari pondok-pondok yang “tradisional”, adalah di Gontor, kitab-kitab kuning yang dikaji sudah bersifat majemuk. Hal ini menjadi pembeda, karena di pesantren “tradisional”, kitab kuning tertentu saja yang dikaji. Jadi, ada tradisi dan sikap untuk kaji banding yang mengisyaratkan adanya peluang luas menumbuhkan sikap dan cara pikir “ijtihad”, yang bersifat sintesis, yang memunculkan asumsi bahwa pendapat masa lampau ditempatkan secara non-mutlak. Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 96.
7 Zamharir, Agama dan Negara, h. 101. 8 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 125. 9 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi.
14
Masih dalam dunia akademik, pada tahun 1978 Nurcholish pergi ke
Amerika untuk mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago,
Kemudian pada tahun 1984 ia kembali ke Indonesia10 dengan meraih gelar Ph.D.
dalam bidang filsafat Islam dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi)
menurut Ibn Taimiyah (Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason
and Revelatiaon in Islam).11
Intelektualitas Nurcholish tidak dapat diragukan, dan eksistensinya dalam
ranah pemikiran Islam bersinar hingga taraf internasional sejak tahun 1970-an.
Tahun 1977, ia menjadi sarjana tamu dan pembicara pada konferensi tahunan
MESA (Middle East Studies Association) di San Fransisco, AS. Juga masih dalam
posisi dan peran yang sama, pada AAR (American Academy or Religion).12 Pada
tingkat nasional, Nurcholish mulai berkiprah tahun 1980-an, antara lain dengan
ditandai oleh kedudukannya sebagai: (1) anggota Dewan Pers (1991-1997); (2)
Anggota Komnas HAM (1993-1998); (3) Anggota Dewan Riset Nasional (1994-
1998); dan (4) Anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendikiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI), 1995-1998. Pada tahun 1998, Nurcholish dikukuhkan sebagai
Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Falsafah dan Kalam pada Fakultas
Ushuluddin, IAIN (kini UIN) Jakarta.13
Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia bersama
tokoh-tokoh pembaru Islam yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina
10 Ketika Nurcholish Madjid pulang dari Amerika pada 1984, lebih dari 100 orang
menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. http:/www.kampusislam.com/index?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=426, artikel diakses tanggal 4 November 2009.
11 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 12 Zamharir, Agama dan Negara, h. 102. 13 Zamharir, Agama dan Negara, h. 103.
15
pada Oktober 1986.14 Sejak Paramadina didirikan, aktivitas dakwah dan
menulisnya dalam bidang keislaman pun semakin menjadi, hingga akhirnya, ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini, menghembuskan nafas
terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29
Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta
Selatan.15 Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 30
Agustus 2005, dengan upacara militer dipimpin oleh Ketua MPR-RI, Dr. Hidayat
Nurwahid, MA.16
B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya
Jika kita kategorikan pemikiran Islam di Indonesia kepada dua golongan,
yakni Islam tradisional dan Islam modern, maka Nurcholish adalah sosok pemikir
Islam yang berada pada keduanya sekaligus. Karena dilihat dari lingkungan
keluarga, ia berasal dari keluarga – dimana untuk pertama kalinya ia mendapatkan
pelajaran agama – yang berkultur keagamaan NU. Dalam hal ini ia menulis:
“…….bolehlah dikatakan bahwa saya ini adalah seorang (dengan kultur) NU, meskipun bukan anggota NU! Sebab sampai dengan sekitar umur 15 tahun, kegiatan utama saya adalah mempelajari kitab-kitab kuning……”.17 Namun, ditinjau dari dari jenjang pendidikan, ia banyak mengenyam
pengetahuan tentang Islam modern, mulai dari pesantren Gontor, IAIN (sekarang
UIN) Jakarta, dan Universitas Chicago. Karier intelektualnya, sebagai pemikir
14 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 137. 15 Nurcholish Madjid meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya.
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nurcholish-madjid/biografi/index.html, artikel diakses tanggal 4 November 2009.
16 Marwan Saridjo, Cak Nur di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 62.
17 Zamharir, Agama dan Negara, h. 97.
16
Muslim, dimulai ketika ia menjadi mahasiswa UIN Jakarta, khususnya ketika
menjadi Ketua Umum PB-HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).18 Dalam masa
inilah Nurcholish membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam.
Bahkan karena karya-karya ilmiahnya di masa ini – dan terutama bakat
intelektualnya yang luar biasa, dan pemikirannya yang berkecenderungan modern,
tetapi sekaligus sosialis religius – ia pun oleh generasi Masyumi yang lebih tua,
sangat diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang,
menggantikan Mohamad Natsir, sehingga di masa ini ia pun dikenal sebagai
“Natsir Muda”, sampai saatnya pada 1970, mereka, dolongan tua, kecewa akibat
makalah Nurcholish yang mempromosikan paham sekularisasi.19
Intelektualitas Nurcholish semakin terbentuk ketika ia belajar di
Universitas Chicago, dimana ia secara leluasa bisa berjumpa dengan kepustakaan
Islam klasik abad pertengahan yang bergitu luas dan kaya langsung di bawah
bimbingan ilmuwan neo-Modernis asal Pakistan Prof. Fazlur Rahman. Fazlur
Rahman barangkali bisa disebut sebagai “guru utama” yang penting dalam
pematangan intelektual Nurcholish Madjid. 20
Selain kepada Fazlur Rahman, ia tentu saja mengagumi orang-orang yang
paling dekat dalam kehidupannya. Mereka, diantaranya adalah ayahnya sendiri,
pamannya,21 dan beberapa pejuang nasional yang kapasitas kecendikiaan dan
komitmen keislamannya cukup kuat seperti K.H. Agus Salim dan Bung Hatta.
18 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 19 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. ix. 20 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 128. 21 Paman Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh masyarakat santri yang tinggal di
sebuah desa Jombang, Jawa Timur, yang dipandang gagah berani saat itu. Dedy, Zaman Baru Islam, h. 133.
17
Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang mempengaruhi
pemikirannya, Nurcholish rupanya merasa berhutang budi kepada almarhum
Buya Hamka. Lebih dari itu, “…Beliau (Hamka) adalah tempat saya berdiskusi
dan menyelsaikan problem pribadi…” tulis Nurcholish.22
Dari berbagai unsur-unsur di atas, teramu sosok intelektual muslim
Indonesia yang – acap kali menemukakan gagasan – konteoversial,23 yakni
Nurcholish Madjid. Pola pemikiran keagamaannya dapat dilacak sejak
pembaruannya melalui ide “Islam yes, partai Islam no.” Kemudian dilanjutakan
dengan ide tentang sekularisasi, yang kemudian disalah pahami kebanyakan orang
kerena disamakan begitu saja dengan sekularisme.24
Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan bahwa terdapat konsistensi antara
sekularisasi dan rasionalisasi. Sebab, inti sekularisasi ialah: pecahkan dan pahami
masalah-masalah duniawi ini dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio.
Kemudian, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab,
pendekatan rasional kepada seuatu benda atau masalah yang telah menjadi sakral,
22 Nurcholish Madjid sangat berterimakasih kepada Hamka karena tradisi menulisnya
semakin berkembang tatkala ia bertempat tinggal di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebuah bilik di masjid tersebut yang sengaja disediakan Hamka untuk tempat tinggal perantau muda ini. Dedy, Zaman Baru Islam, 129.
23 Setidaknya, terdapat dua buah buku sengaja ditulis untuk membantah dan mengoreksi pendapat Nurcholish Madjid yang membuat kontroversi ini semakin menghangatkan iklim intelektual Islam Indonesia. Pertama, yang ditulis Rasjidi, Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Yayasan Bangkit, 1972) dan Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973), semuanya kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Bulan Bintang; kedua, yang ditulis oleh Endang Saefudin Anshari, Kritik atas Paham dan Gerakan Pembaruan Drs. Nurcholish Madjid, (Bandung: Bulan Bintang, 1973), yang merupakan kritik paling panjang dari rekan segenerasi Nurcholish Madjid. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxvii.
24 Di antara reaksi kontroversi Nurcholish Madjid tentang pembaruan yang pernah dikemukakan pada awal tahun 1970, ialah ketidaksetujuan terhadap istilah “sekularisasi”, dan mungkin jenis reaksi ini adalah yang paling keras. Untuk kajian lebih konfrehensif mengenai “sekularisasi”nya Nurcholish Madjid, lihat, Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), h. 221-237.
18
tabu, dan lain-lain menjadi tidak mungkin. Sebelum kita mengadakan pemecahan
dan pemahaman rasional atas sesuatu, maka sesuatu tersebut harus bebas dari
bungkus ketabuan dan kesakralan. Maka dalam hal ini, untuk kembali kepada
prisip tauhid dalam kalimat syahadat, orang harus mantap untuk tidak men-tabu-
kan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu, dan karenanya tak mungkin dimengerti oleh
manusia dengan rasionya itu. Artinya, dengan bertitik tolak dari syahadat itu,
manusia dapat memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan
mempertaruhkan kemampuan potensial yang ada pada dirinya sendiri, yaitu
kecerdasan.25
Bedasarkan gambaran di atas, jelas corak pemikiran Nurcholish berada
pada psosisi seimbang dalam menilai tradisi dan modernitas. Oleh karena itu,
Nurcholish juga dikenal sebagai tokoh neo-modernisme Islam Indonesia.26 Ia
mencoba untuk mengkombinasikan dua unsur penting dalam peradaban Islam
Indonesia: moderinisme dan tradisionalisme. Nurcholish menganggap bahwa
Kehadiran modernisme memang tidak mungkin dihindari. Tetapi, dengan
mengakomodasikan ide-ide modernisme tersebut tidak berarti bahwa
tradisionalisme harus dibuang. Dalam neo-modernisme, kedua ide yang berbeda
ini dapat dipertemukan dalam satu sintesis. Neo-Modernisme jauh lebih siap
untuk menerima ide-ide paling maju yang dikembangkan kalangan modernis, dan,
pada saat yang sama, juga bisa mengakomodasi pandangan kaum tradisionalis.27
25 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 229. 26 Lihat, misalnya, Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan
Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rineka, 1999), h.22. 27 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad
XX, (Jakarta: serambi, 2004), h.321.
19
Dalam potret demikian, ia merumuskan apa yang harus dibangun oleh ide
pembaruan Islam, yaitu usaha penyegaran pemahaman. Jadi, inti makna
pembaruan adalah up dating pemahaman orang atas ajaran agamanya dan cara
mewujudkan ajaran itu dalam masyarakat. Sedangkan tujuan pembaruan itu
sendiri adalah untuk membuat agama yang diyakini itu lebih fungsional dalam
memberi jawaban terhadap tantangan modern.
Selanjutnya, corak pemikiran Nurcholish pada masa belakangan ini lebih
mengarah ke usaha menampilkan Islam secara inklusif, dalam rangka untuk lebih
mengaktualkan nilai-nilai keislaman masa meodern. Ciri mendasar teologi inklusif
adalah penegasan bahwa Islam itu agama terbuka, dan penolakan ekslusifisme dan
absolutisme. Paradigma terpenting dari teologi inklusif adalah komitmen pada
pluralisme. Dengan pluralisme, kita ingin menumbuhkan suatu sikap kejiwaan
yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Ini penting sekali
(menurut Nurcholish) dalam agama kita. Ketika dalam agama disebutkan bahwa
manusia itu diciptakan dalam keadaan fitrah (suci, sacred), maka setiap orang
pada dasarnya suci dan benar. Potensi untuk benar adalah primer. Inklusivisme,
dengan demikian adalah suatu kemanusiaan universal yang dalam Al-Qur’ân,
surat ar-Rûm, ayat 30,28 disebutkan sebagai agama yang benar.29
Jikalau ini kita jadikan dasar, maka inklusivisme akan menjadi suatu
konsekuensi logis. Karena logika dari kemanusiaan universal adalah inklusivisme
itu sendiri. Juga termasuk di sini adalah pluralisme. Dunia ini, sebetulnya, secara
28 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rûm:30).
29 Nurcholish Madjid, sekapur sirih dalam, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), h. xiii.
20
sejati mengalami mayarakat yang pluralistik. Atau yang pluralis dalam arti
menerima plurlitas sebagai satu kenyataan positif.30
Dari sini kita bisa melihat misi Madjid yang mengupayakan penghadiran
Islam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang
berubah. Maksudnya mengadirkan Islam dalam tuntutan kemodernan. Dengan
kata lain, gerakan Madjid, terutama ialah mendorong kepada tegaknya subtansi
Islam. Sementara tokoh-tokoh Islam yang lain banyak yang sibuk membicarakan
wadah gerakan Islam, seperti Negara Islam, partai Islam, syariat Islam, dan
institusi-institusi lain yang diharapkan dapat membawa kepada kemajuan Islam.
Sementara Nurcholish lebih mengedepankan substansi daripada wadah atau kulit.
Itulah sebabnya selama ini ia sering melontarkan pernyataan yang terkesan
kontroversial dan mengagetkan orang, terutama orang yang sibuk mengurus
wadah dari pada substansi.
Mengembangkan substansi adalah cara berpikir tasawuf. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Nurcholish bahwa tasawuf sangat banyak menekankan
pentinganya pengahayatan ketuhanan melaui pengalaman-pengalaman nyata
dalam olah rohani (spiritual exercise) yang mengutamakan intuisi.31 Jadi, tasawuf
merupakan orientasi keagamaan yang lebih esoteris.32
Cara berpikir tasawuf bersifat utuh dan padu, di mana iman, ibadah, amal
saleh, dan akhlak yang mulia itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan
30 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. xiv. 31 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina,1997), h. 47. 32 “Esoteris” dari bahasa Yunani “soteros” yang artinya “dalam” atau “batin”. Lorrens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 216.
21
satu sama lain. Keterpaduan dan keutuhan pemikiran itu akan melahirkan
kekuatan untuk membangun umat dan peradaban manusia umumnya.
C. Karier Kepenulisan dan Karya-karya
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, karier intelektual Nurcholish
sebagai pemikir muslim dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika
menjadi Ketua Umum PB-HMI. Namun demikian, Nurcholish tidak menonjol di
lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan
politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan
mahasiswa yang dianggap berperan menumbangakan Presiden Soekarno dan
mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi
Nurcholish lebih terukir di pentas pemikiran.33
Pada masa ini (1968) ia menulis “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan
Westernisasi”, sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh
Indonesia. Setahun kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pendoman ideologis
HMI, yang disebut “Nilai-nilai Dasar Perjuangan” (NDP) yang sampai sekarang
masih dipakai sebagai buku dasar keislman HMI, dan bernama nilai-nilai identitas
kader (NIK).34 buku kecil ini merupakan pengembangan dari artikel Nurcholish
yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu
dasar-dasar islamisme.35
33 http:/www.kampusislam.com/index?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=426, artikel
diakses tanggal 4 November 2009. 34 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi. 35 Ide-ide pembaruan Madjid – yang tertuang dalam buku kecil ini, yang kemudian
diidentikkan dengan jati diri HMI – sebenarnya merefleksikan dilema kalangan muda Muslim yang merasa teralienasi karena perebutan politik di kalangan umat Islam serta adanya citra yang
22
Gagasan Nurcholish “muda” memang sudah mulai menggelindingkan isu-
isu demokrasi, keadilan sosial, kebebasan berbicara dan berpikir, teloransi agama,
dunia intelektual, dan masalah figur pemimpin yang diyakinya ideal baik menurut
pendangan Islam atau pun bedasarkan kriteria demokrasi modern. Namun, yang
paling dominan pada masa itu adalah kentalnya gagasan Nurcholish tentang
persamaan manusia dan pembelaannya terhadap kaum lemah.
Gagasan Nurcholish “muda”, seperti tampak lewat tulisan-tulisannya yang
dimuat di Pos Bangsa, Tribun dan Mimbar sekitar tahun 1970-an merupakan
contoh dari pergumulan pemikiran dalam merespons tentang pertumbuhan yang
diperdebatkan di awal masa pembangunan politik ekonomi Orde-Baru.36 Juga dari
tulisan-tulisan Nurcholish pada kurun itu, kita bisa melihat bagaimana komitmen
seorang intelektual muda Islam yang hadir dalam kapasitasnya sebagai pembela
kaum lemah.37
Keprihatinan Nurcholish terhadap nasib kaum lemah yang sudah sejak
awal muncul, misalnya, bisa kita lihat dari salah satu tulisannya berjudu “kaum
buruh seluruh Indonesia, bersatulah”. Tulisan itu tampaknya akan tetap relevan
dalam konteks Indonesia mutakhir saat persoalan nasib buruh kecil dan kaum
penggiran merupakan agenda kebangsaan yang belum sepenuhnya tuntas.38
kurang bagus tentang Islam sendiri. Kebangkitan gerakan pembaruan pemikiran ini juga merupakan gambaran dari adanya krisis identitas yang dialami kalangan intelektual Muslim pada saat loyalitas pada ideologi primordial menjadi bertentangan dengan cita-cita para penguasa di pemerintahan. Formulasi yang ditawarkan Madjid tentang pembaruan ini merupakan upaya menyelesaikan persoalan ketegangan internal di kalangan umat Islam. Fauzan, Teologi Pembaruan, h.321.
36 Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, h.22. 37 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 130. 38 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 131.
23
Selanjutnya, Nurcholish menulis artikel yang berjudu “Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.39 Sebuah artikel
yang dipresentasikan Madjid pada pertemuan silaturahim antara para aktivis,
anggota, dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu PERSAMI, HMI, GPI,
dan PII yang diselenggarakan oleh PII cabang Jakarta, di Jakarta 3 Januari 1970.40
Dalam artikel ini, Madjid menggambarkan persoalan-persoalan yang
sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyakngkut integrasi umat
akibat terpecah belah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Nurcholish
dengan jargon “sekularisasi”-nya dan “Islam yes, partai Islam no” hendak
mengajak umat Islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan
kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah,
ia menyarankan suatu kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap
terbuka, dan kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan suatu
istilah Nurcholish sendiri, psychological striking force (daya tonjok psikologis)
yang menumbuhkan ikiran-pikiran segar.41
Karena artikel ini sangat subtansial, dan menimbulkan kontroversi besar,
– bahkan sempat membuat Nurcholish kehilangan reputasi baik di kalangan tua
yang konservatif – maka Nurcholish merasa perlu memeberikan penjelasan lebih
mendalam tentang artikelnya itu. Kemudian ia pun menulis “Beberapa Catatan
Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran Islam”, yang muncul tidak lama setelah
heboh kertas kerja 3 Januari 1970 itu, dan “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”
39 Artikel inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan besar di kalangan intelektual
Muslim Indonesia mengenai sekularisasi-sekularisme. 40 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. x. 41 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xi.
24
(1972) dan “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam” (artikel ditampilkan
dalam acara sastra Dewan Kesenian Jakarta, 20 Oktober 1972).42
Selanjutnya, setelah kembali dari Chicago, pada 1984, dengan
menggondol gelar Doktornya, Nurcholish mencoba mengaktualkan kembali
gagasan-gagasan pembaruan 1970-an itu dengan subtansi yang lebih mendalam.
Tulisan pertamanya yang sangat mendalam terbit bebarapa saat sebelum
kedatangannya, yaitu wawancara tertulis yang diberi judul “Cita-cita Politik
Kita”. Dalam tulisan tersebut, Nurcholish memberi substansi atas gagasan
sekularisasi politiknya yang dulu dirumuskan dalam jargon “Islam Yes, Partai
Islam No.” dalam tulisan inilah, Madjid terlihat mempergunakan perspektif
hermeneutika Neo-Modernisme dalam melihat persoalan kemodernan Islam.43
Pada saat yang hampir bersamaan, terbit pula buku pertama Nurcholish yang
merupakan karya terjemahan dan diberi kata pengantanya sendiri, yaitu Khazanah
Intelktual Islam, diterbitkan Bulan Bintang, Jakarta bekerja sama dengan Yayasan
Obor Indonesia.44 Pada 1987, terbit pula bukunya yang lain – kumpulan tulisan
Nurcholish selama 20 tahun – yaitu Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung. Lewat buku ini kita bisa melihat
bagaimana pergolakan pemikiran Madjid dalam mengaitkan persoalan keislaman
dalam konteks keindonesiaan.45
Tulisan Nurcholish yang lain yang tak kalah pentingnya juga terkoleksi
dalam bunga rampai karya Gloria Dabis, What is Modern Indonesia?, 1979. Di
42 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xii. 43 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxix. 44 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 131. 45 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 132.
25
situ Nurcholish menyumbangkan tulisan dengan topik “The Issues of
Modernization Among Muslims in Indonesia”. Di kesempatan lain, ia juga telah
menuangkan gagasan tentang: “Islam in Indonesia: Challenges and
Opportunities” yang ikut menghiasi kumpulan karangan Cyriac K. Pullapilly,
Islam in The Contemporary World, terbit 1980.46
Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia dan kawan-
kawannya yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina, pada Oktober 1986.
Maka sejak Paramadina didirikan hampir setiap bulan ia menulis paper untuk
keperluan diskusi di Klub Kajian Agama (KKA). Sebagian makalah-makalah
Madjid kemudian menjadi buku seperti Islam: Doktrin dan Peradaban (1992),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (1994), Islam Agama Peradaban
(1995), Islam Agama Kemanusiaan (1995), dan bebarapa buku lain yang tidak
terkait dengan KKA, tetapi merupakan pengisian lebih detail ide-ide dalam KKA
itu, seperti Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987) Islam, Kerakyatan dan
Keindonesiaan (1993), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994), Kaki Langit Peradaban
Islam (1997) Bilik-Bilik Peasntren (1997), Perjalanan Religius Umrah dan Haji
(1997), dan Dialog Keterbukaan (1997).47
46 Dedy, Zaman Baru Islam, h. 133. 47 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. xxxii.
26
BAB III
SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID
A. Makna dan Hakikat Tasawuf serta Kedudukannya dalam Islam
Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi
tempat kepada jenis penghayatan keagaman eksoterik (zhâhirî, lahiri) dan esoterik
(bâthinî, batini) sekaligus. Tapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah
satu dari kedua aspek pengahayaan itu akan menghasilkan kepincangan yang
menyalahi prinsip ekuilibirium (tawâzun) dalam Islam, namun kenyataanya
banyak kaum Muslim yang pengahayatan keislamannaya lebih mengarah kepada
yang lahiri (lalu disebut ahl al-zhawâhir) dan banyak pula yang lebih mengarah
kepada yang batini (dan disebut ahl al-bawâthin). Kaum syarî’ah, yaitu mereka
yang lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syarî’ah atau hukum,
sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum tharîqah, yaitu mereka yang
berkecimpung dalam amalan-amalan “tarekat”, dinamakan kaum batini.1
“Esoterik” juga biasa disebut mistik atau mistisme. Kita harus ingat bahwa
diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar
kata mysterion dan mistisme.2 Dengan demikian orang dapat mengaitkannya
dalam konteks Islam dengan istilah-istilah seperti asrâr (misteri-misteri) atau
bâthin (esoterik atau batin), mengingat bahwa kaum Sufi menyebut diri mereka
1 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 77. 2 Lihat. Lorrens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 216.
26
27
sebagai para penjaga misteri-misteri atau asrâr Ilahi.3 Mistisisme dalam Islam
diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientaslis disebut sufisme. Kata sufisme
dalam istilah orientalis khusus dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak
dipakai untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain.4
Jadi, tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan
dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk
yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih
menekankan aspek rohaniya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya
dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan
dunia yang fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia
lebih menekakan aspek esoterik ketimbang eksoterik, lebih menekankan
penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah. Karena para ahli taswuf, yang
kita sebut sufi, secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki
dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang
ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu, realitas sejati
bersifat spiritual.5 Dari pengertian ini terlihat perbedaan orientasi keagamaan yang
signifikan antara kaum lahiri dan batini.
Sebagaimana yang menjadi pengetahuan kita, bahwa inti dari keseluruhan
sistem agama Islam adalah ajaran tawhîd, dan inti ajaran al-Qur’an adalah tawhîd
3 Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku
Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003) h. 459. 4 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2006),
h. 43. 5 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 3.
28
merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan.6 Tawhîd kemudian
termanifestasikan dalam bentuk ibadah serta amal-perbuatan sebagai bentuk
institusi iman. Penghayatan dan pengamalan akan iman inilah yang berbeda
penekannya antara kaum lahiri dan kaum batini. Perbedaan atara kedua orientasi
keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi
sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua-
duanya kemudian tumbuh cabang ilmu keislaman yang berbeda satu dari yang
lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Kedua-duanya seolah
hendak merebut sumber legitimasi dari al-Qur’an dan menganggap paham serta
jalan yang mereka tempuh par excellence.7
Sama halnya – perbedaan orientasi keagamaan – tasawuf dengan fiqih,
demikian pula halnya tasawuf dengan ilmu kalam. Bisa dikatakan antara tasawuf
dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu
fiqih atau syari‘ah memang tidak senantiasa harmonis. Tetapi harus dikatakan di
sini bahwa pada awalnya perbedaan atara ketiga cabang ilmu itu, terutama antara
tasawuf dengan kalam, lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajarannya.
Dikatakan bahwa perbedaan itu lebih terletak pada masalah tekanan dari pada
isinya, sebab baik ilmu kalam maupn ilmu tasawuf keduanya berpangkal tolak
pada kalimat syadadat lâ ilâha illa Allâh. Menurut kaum sufi, dari kalimat
syahadat itu dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq
hanyalah Tuhan semata, sedangkan selain Dia hanyalah nisbi belaka. Kaum sufi
6 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina,1997), h. 45. 7 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. 6, (Jakarta: Paramadina, 2008),
h. 252.
29
bertujuan untuk sampai pada al-Haqq itu.8 Karenanya, para sufi menyebut diri
mereka “ahl al-haqîqah”. Penyebutan ini mencerminkan obesesi mereka terhadap
kebenaran yang hakiki. Maka, mudah dipahamai kalau mereka menyebut Tuhan
dengan “al-Haqq”, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj (w. 922 H.),
“anâ al-Haqq”.9 Dari sini terlihat immanensi Tuhan dalam ajaran tasawuf.
Selain persoalan transendealisme10, ilmu kalam juga lebih mengutamakan
pemahaman masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan
logis. Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan
ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani (spiritual
exercise) yang mengutamakan intuisi.11 Yang dilakukan kaum sufi – untuk
sampai kepada al-Haqq – dengan hanya mencontoh perihidup Nabi Muhammad
yang merupakan prototype kehidupan ruhani dalam Islam. Dalam pada itu,
mereka pun menempuh jalan dalam mencari pengalaman ruhani yang ukuran
sempurnanya adalah mi‘raj Nabi.
Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isrâ’-Mi’râj itu adalah sebuah
contoh puncak pengalaman ruhani yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun
kaum sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri,
dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka.
Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang
8 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. 9 Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 6. 10 Dalam teologi aliran ilmu kalam (khususnya teologi Asy’ari) sangat ditekenkan ajaran
bahwa Tuhan adalah transendental, mengatasi dan terpisah dari apa pun yang merupakan ciptaan-Nya. Perincian tentang sifat-sifat Tuhan yang dua puluh mencakup sifat mukhâlafat li al-hawâdits, bahwa Tuhan berbeda dari seluruh makhluk atau alam ciptaan-Nya. Sedangkan dalam tasawuf sebaliknya, bahwa Tuhan adalah serba immanent, senantiasa hadir bersama hamba-Nya dan selalu mawjûd di mana-mana. Lihat. Madjid, Bilik-bilik Pesantren, h. 43-45.
11 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 47.
30
sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia “bertemu” dengan Dzat Yang
Mahatinggi itu. “Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga
merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah Hadîts sebagai
“sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak
terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam “pertemuan” itu, segala rahasia
kebenaran “tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan
sirna (fanâ) dalam Kebenaran.12
Tasawuf lebih merupakan kumpulan perilaku daripada rumusan doktrin-
doktrin. Tasawuf ini seringkali bersifat sangat pribadi. Oleh karena itu
pengalaman mistis kaum sufi hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang
lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri.
Karenanya sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan “di luar garis”, dan
orang lain, lebih-lebih sesama sufi sendiri, akan memandangnya dengan penuh
pengertian, bahkan kekaguman.13
Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut
ekstase. Dalam perbedaharaan kaum sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai
keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq)
digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagaian
mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka
namakan “dlamîr al-sya’n”, yaitu kata-kata “an” yang berarti “bahwa” dalam
kalimat syadat pertama, Asyhadu an lâ ilâh illa Allâh (aku bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensnya
12 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 257. 13 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 258.
31
mereka menghayati tawhîd, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain
selain Dia Yang Mahaada.14
Selanjutnya, di dalam al-Qur’an juga banyak ditegaskan tentang
pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada
pribadi, termasuk ketika al-Qur’an berbicara tentang hukum. Seorang Muslim
harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam
komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqih
yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thahârah) lahir, sebagai awal
pensucian batin.15 Di sini Madjid ingin mengatakan bahwa tasawuf merupakan
“faktor pengimbang” bagi fiqh yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri,
bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pembahasan rasional-dialektis, dan
bagi falsafah yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih
daripada kalam.16
B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya
Jika melacak tradisi awal sufisme, rasanya sulit untuk memastikan kapan
tepatnya mucul tradisi sufisme ini. Terlebih jika kita mengartikan tasawuf sebagai
“cara atau jalan – yang lebih mengarah kepada segi esoterik atau batini –
bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah (al-Haqq)”.
14 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 260. 15 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, 255. 16 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92.
32
Sebab sejak manusia menyadari hubungannya dengan Yang Mahabenar (al-
Haqq), maka ia mencari kebenaran.17
Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam Islam yang menjadi pokok
pangkal agamanya adalah ajaran tawhîd atau pengesaan Tuhan, suatu monoteisme
yang keras dan tidak mengenal kompromi. Dalam pada itu, sepanjang ajaran al-
Qur’an, tawhîd adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi
sepanjang zaman. Di kalangan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad, agama
Nabi Ibrâhîm18 sudah dikenal, khususnya oleh penduduk kota Makkah suku
Quraisy. Para pengamal agama itu disebut “orang-orang hanîf” atau “hunafâ”,
yang berarti orang-orang yang memelihara dan memegang kebenaran. Sebelum
ditutusnya Nabi Muhammad, para pendahulu kaum sufi disebut sebagai hunafâ.19
Muhammad yang kelak menjadi nabi itu termasuk seorang hunafâ.20 Jadi,
menurut Nurcholish, kita bisa mengatakan bahwa sebelum Islam “tasawuf” tidak
ada, namun banyak terdapat tokoh-tokoh yang dianggap penempuh jalan sufi yang
biasa disebut para ahli zuhud (zâhid) atau ahli ibadah (âbid).
Kenyataannya, dalam tradisi tasawuf mengakui beberapa diantara sahabat-
sahabat Nabi sebagai nenek moyang rohani tasawuf. Kita sering mendengar apa
yang dikenal sebagai ahl as-suffah – salah-satu kata yang dirujuk sebagai asal
17 Syekh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam: Nilai-nilai Universal dalam
Tasawuf, terj. Andityas, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 24. 18 Ada petunjuk bahwa yang pertama mengememukakan ajara tawhîd itu dengan jelas dan
sistematis adalah Nabi Ibrahim yang kelak mewariskan agama-agama menoteistis utama. Tiga di antaranya tetap hidup sampai sekarang, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Lihat, Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 57-58.
19 Bentounes, Tasawuf Jantung Islam, h.25. 20 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 41.
33
etimologi kata “sufi”21 – yakni anggota masyarakat yang miskin dan saleh yang
hidup di masjid Madinah. Sahabat-sahabat Nabi itu sering melontarkan ucapa-
ucapan tentang kemiskinan, dan ia muncul sebagai prototipe fakir sejati, si miskin
yang tidak memiliki apa pun tetapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta-
Nya yang abadi.22
Namun demikian, – menurut Nurcholish – pada masa Nabi Muhammad
sendiri, dan selama satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal
adanya kaum sufi, kaum mutakallimîn atau ahli kalam, maupun ahli hukum fiqih.
Tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual dan semakin
dikenalnya cara-cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal
penting. Pertama, sistem hukum yang terorganisikan, dan kedua teologi yang
sistematis. Maka melalui suatu proses yang sejajar dan oleh sebab kewajaran serta
keperluan adanya faktor pengimbang atas rasionalisasi lahiriah daripada agama
itu, persepsi keagamaan yang intuitif menjadi semakin peka dan sadar-diri. Usaha-
usaha dari kaum asketik dan zuhud yang telah ada sebelumnya untuk memperoleh
kesempurnaan etis tidak ditinggalkan samasekali, bahkan berangsur-angsur
dimurnikan dan ditransformasikan. Cita-cita etis yang dinyatakan melalui ajaran
“takhallaqû bi akhlâq Allâh” (berbudi-pekertilah kamu dengan budi-pekerti
Tuhan) tidak lagi terpuaskan dengan hanya melaksanakan aturan-aturan yang
21 Harun Nasution menyatakan terdapat lima teori yang dianggap sebagai asal etimologi
kata “sufi”: ahl al-suffah, saff, sûfî, sophos, dan shûf. Lihat, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-44.
22 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 27.
34
dipaksakan dari luar, tetapi menuntut adanya keserasian dengan makna
pengalaman ruhani yang mendalam dan nyata.23
Dari sudut pandang lain, menurut Nurcholish, tasawuf juga nampak
sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah atau material yang mewah dan
menyimpang dari ukuran kewajaran. Ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari latar
belakang sosial-ekonomi dan politik serta budaya bagi lahirnya orientasi kesufian
yang sangat kuat justru di zaman keemasan Islam pada masa kekhalifahan Hârûn
al-Rasyîd (786 M.). Agaknya gejala ini juga dapat ditelusuri sejak masa Umayyah
(705 M.) di Damaskus, yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan oposisi suci
(pious opposition) di kalangan tertentu, khususnya di Bashrah, Irak. Di zaman
Hârûn al-Rasyîd kota Bashrah menjadi saingan kota Kufah dalam tradisi
intelektual Islam. Jika Kufah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (al-fuqahâ) yang
terkenal, sementara Bashrah banyak menampilkan “orang-orang suci” (al-nussâk
–para ahli nusuk atau ibadah; atau al-zuhhâd -para ahli zuhud atau asketik).
Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan ada indikasi bahwa persaingan itu cukup
tajam, dengan masing-masing pihak mengaku lebih benar atau malah paling benar
daripada lainnya.24
Nama yang melambangkan awal sikap pertapa dan anti-pemerintah ini
adalah Hasan al-Basri (110 H./728 M.). Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga
kelompok-kelompok penentang rezin Umayyah banyak yang mengambil ilham
dan semangatnya dari Hasan. Begitu pula para ulama dengan orientasi Sunnî dan
orang-orang Muslim dengan kecenderungan hudup zuhud (asketik). Mereka yang
23 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 46. 24 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92.
35
tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Bashrah, yang disebut kaum sufi
(shûfî), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shûf)
yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shûf itu pula
terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum sufi.25
Dalam perkembangannya lebih lanjut, tasawuf tidak lagi bersifat tertutama
sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi
susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat
dikenali dari tingkah laku kaum sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena
dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar
sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai
sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi.26 Karena apa
yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan
suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat”-
Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di
hadapan-Nya.
Namun demikian, Nurcholish melanjutkan, sekalipun sufisme
mendasarkan ajaran-ajarannya pada al-Qur’an dan al-Sunnah, khususnya dalam
soal-soal doktrin, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya,
esoterisme Islam ini menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan, unsur-
unsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum muslim
dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syria dan Persia yang dalam beberapa hal,
25 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 250. 26 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 251.
36
khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim sendiri.27
Kenyataannya, memang keberadaan unsur-unsur asing yang timbul baik karena
pengaruh langsung maupun tidak langsung, tidak seluruhnya dapat dicegah.
Tekanan ajaran tasawuf pada aspek imanensi Tuhan telah memungkinkan
terbukanya pintu bagi masuknya paham-paham panteisme.28 Sebut saja, misalnya,
paham seorang sufi dari Persia Abû Yazîd al-Bustâmî (w. 874 M.) tentang fanâ
(terleburnya diri pribadi dalam Tuhan) dan baqâ (mengekalnya diri pribadi dalam
kesatuan dengan Tuhan) berseru dengan kalimat subhânî (Maha Suci Aku), atau
paham hulûl pada al-Hallâj (858 M.) yang termasyhur dengan ucapannya Anâ al-
Haqq, yang dihukum mati di Bagdad pada tahun 922 M.29
Namun menurut Nurcholish, tidak adil rasanya jika kita mengatakan
bahwa tasawuf itu sesat. Karena jika kita menghukum unsur asing yang
menyusup, maka yang kita sedang hukum bukanlah tasawuf Islam, tapi unsur
asing tersebut. Tasawuf Islam ialah ruh yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah, hal ini merupakan pernyataan yang keluar dari para imam-imam sufi dan
hal ini pula yang diakui oleh para ulama yang bersikap objektif ketika mereka
berbicara masalah sufi. Mereka telah mencoba memberikan definisi tentang
tasawuf dengan puluhan definisi sesuai dengan pemahaman mereka dan
pengalaman spiritual mereka.30
27 Hal inilah yang menyebabkan para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering
mengesankan ketidak-aslian sufisme sebagai berasal dari Islam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48.
28 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 50. 29 Lihat, misalnya, Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, terj.
Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 66-69. 30 Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi: Menyucikan Tasawuf dari Noda-noda,
(Jakarta: Hikmah, 2002), h. 84.
37
Bentuk yang sangat populer dari pengaruh luar terhadap sufisme adalah
praktek-praktek pemujaan kepada para wali. Praktek ini bersumber dari ajaran
tentang adanya kemampuan para wali untuk memberi berkah kepada orang lain,
baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ajaran ini mendorong
tumbuhnya kebiasaan mengagungkan makam orang-orang suci yang kemudian
dijadikan tempat perantara dalam berdo’a. Bahkan tidak jarang dijadikan tempat
tumpuan harapan bagi orang-orang yang memiliki ambisi tertentu.31 Hal inilah
yang menjadi sasarang kritik para pemikir modern Islam nantinya.
Tidak lama kemudian muncullah al-Qusyayrî dengan karyanya yang
terkenal Risâlah, dan al-Ghazâlî (w. 505 H./1111 M.) dengan karyanya yang
terkenal Ihyâ Ulûm al-Dîn yang merupakan seruan bagi dihidupkannya kembali
tasawuf. Al-Ghazâlî berperan besar dalam memberikan penyelesaian pada
sebagian besar pertikaian paham di kalangan kaum Muslimin (mutakallimîn,
fuqqahâ, dan sufi), sehingga ia memperoleh gelar Hujjah al-Islâm yang bisa
diartikan “argumentasi Islam” atau “pembela Islam”.32
Namun demikian, betapa pun besarnya jasa al-Ghazali, ia tidak luput dari
kritikan-kritikan tokoh-tokoh Islam setelahnya. Kritikan paling keras adalah yang
datang dari Ibnu Taymîyah, seorang ulama yang banyak mengilhami tokoh-tokoh
pergerakan pembaruan dalam Islam. Kecamannya terutama ditujukan pada
pandangan hidup al-Ghazâlî yang sangat mementingkan kehidupan asketik atau
zuhud sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi
(’uzlah).
31 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 51. 32 Lihat, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 52. dan Nurcholish Madjid, Kaki Langit
Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 86.
38
Menurut Nurcholish, sekarang ini sikap dunia Islam terhadap tasawuf
seolah-olah terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada imam al-Ghazâlî dan
mereka yang lebih merorientasi kepada Ibnu Taymîyah. Mungkin tidak bisa
dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan tekanan
orientasi itu sangat jelas terasa.
C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme
Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan baik dengan cara individual
maupun cara kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah
mengamalkan sikap-siakp sufistik, seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas,
rida, dan sebagainya. Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah
melaksanakannya secara bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang biasa
disebut tarekat.33
Sebenarnya perkataan “tarekat” (tharîqah) itu sendiri – menurut Madjid –
secara harfiah berarti “jalan”, sama dengan arti perkataan “syarîa’ah”, “sabîl”,
“shirâth”, dan “manhaj”. Dalam hal ini yang dimaksud ialah jalan menuju
kepada Allah guna mendapatkan ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran-Nya.
Semua perkataan yang berarti “jalan” itu terdapat dalam kitab suci al-Qur’an:34
“Kalau saja mereka berjalan dengan terguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah”. (Q.S. al-Jinn: 16) Perkataan tharîqah dalam firman tersebut menunjuk pada agama secara
keseluruhan, bukan hanya suatu wujud atau institusi keagamaan seperti yang kita
33 Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 177.
34 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92.
39
lihat sekarang sebagai “tarekat”.35 Agama memang selalu digambarkan sebagai
jalan. Sama dengan Marga atau Darma dalam bahasa Sansekerta, atau Tao dalam
bahasa Cina.36
Jadi dengan menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten,
manusia dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada
terkira. Hidup bahagia itu ialah hidup sejati, yang dalam ayat suci tersebut
diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian, air
karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” (mâ’u al-hayâti). Inilah yang secara
simbolik dicari oleh para pengamal tarekat, yang wujud sebenarnya tidak lain
ialah “pertemuan” dengan Tuhan dengan ridla-Nya. Harapan kepada ridla Allah
itu juga dicerminkan dalam sebuah wirid tarekat yang berbunyi “Ilahî Anta
maqshûdî a ridlâ-Ka mathlûbî”37
Tarekat juga bisa didefiniskan sebagai sebuah persaudaraan kaum sufi
yang memiliki silsilah guru spiritual yang sama, tempat bagi para syekh atau
mursyid untuk mewisuda murid-muridnya dan memberikan mereka ijin resmi
untuk melanjutkan mazhab pemikiran dan amalan yang umum. Terekat ini ada
yang memiliki – ada yang tidak – organisasi. Namun, pada tingkat lokal terdapat
kegiatan yang terorganisir.38
Salah satu aspek penting dari suatu tarekat adala silsilah, yakni mata-rantai
para guru sufi yang berpangkal pada Nabi Muhammad. Ciri ini begitu penting,
35 Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish
Madjid, (Bandung: Mizan, 2006), h. 3297. 36 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.3300. 37 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. 38 Baldick, Islam Mistik, h. 103.
40
sehingga pada tingkatan yang lebih luas, tarekat adalah sisilah itu sendiri: suatu
ekspresi hidup dari kesinambungan dari generasi ke generasi.39
Namun, menurut Nurcholish, penggunaan istilah “tharîqah” dalam arti
persaudaan kesufian (shûfî brotherhood) adalah hasil perkembangan makna
semantik perkataan itu, sama dengan yang terjadi pada perkataan “syarî’ah”
untuk ilmu hukum Islam (juga dapat disebut “fiqh” dalam pengertian yang sedikit
lebih sempit – sementara makna “fiqh” itu menurut asalnya ialah pemahaman
agama secara keseluruhan, tidak terbatas hanya kepada bidang hukum dan
peribadatan semata).40
Selanjunya, Nurcholish menegaskan, setiap ajaran esoterik atau batini
tentu memiliki segi-segi ekslusif. Jadi tidak dapat dibuat untuk orang umum. Segi-
segi eksklusif itu menyangkut hal-hal yang “rahasia”, yang bobot keruhaniannya
yang berat membuatnya sukar dimengerti oleh kaum awam (orang umum), atau
mudah menimbulkan salah paham pada mereka. Kerena itu segi-segi eksklusif
tersebut seyogyanya tidak dipahamai seseorang melalui kegiatan pribadinya
semata, melainkan dipahamai melalui tarekat dari seorang guru pembimbing
(mursyid) yang sudah diakui kewenangannya.41
Namun, segi-segi ekslusif seperti ini menimbulkan masalah “keabsahan”
tarekat – dalam pengertian – sebagai ikatan persaudaraan kaum sufi. Pengalaman
dalam sejarah agama-agama, termasuk Islam sendiri, menunjukkan bahwa
39 Semenjak abad ke-10, daftar guru sufi hanya merujuk sampai para tabiin, generasi
Islam yang hidup pada masa sesudah sahabat Nabi dan diangap memiliki otoritas kolektif. Baru setelah masa tabiin inilah mulai muncul penyebutan nama individu. Tapi, dalam sumber-sumber abad ke-12 dan terkemudian, kita menemukan bahwa daftar itu sengaja dibuat hingga sampai kepada Muhammad, yaitu melalui para penerus pertamanya. Baldick, Islam Mistik, h. 104.
40 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 93. 41 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 94.
41
esoterisme yang tak terkendali dapat menjadi sumber kesesatan umum yang
mengacaukan masyarakat. Kenyataanya, saat ini – setidaknya – terdapat dua
Negara yang secara resmi melarang amalan tarekat yakni Kerajaan Saudi Arabia
dan Republik Turki.42
Tidak dapat disangkal bahwa keanggotaan dalam suatu tarekat dapat
memeberikan ketenteraman batin yang luar biasa. Secara doktrin, dzikir atau ingat
kepada Allah itulah yang memberikan ketenteraman. Tetapi kenyataan sosialnya,
“attachment” kepada organisasi tarekat yang dipimpin kiai itulah yang lebih
berfungsi. Karena itu, sering terjadi sseseorang yang telah luas pengatahuan
agamanya, yang secara teoretis telah memahami sendiri bagaimana menjalankan
zikir dan ibadah, masih merasa perlu mengikatkan diri kepada seorang kiai tarekat
dan ahli wirid yang sebenarnya pengetahuannya lebih rendah.43
Menurut Nurcholish, tradisi seperti ini mungkin saja ada manfaatnya.
Misalnya bagi orang-orang yang mental kagamaannya masih kekanak-kanakan,
dalam arti masih memerlukan bimbingan langsung tokoh yang disegani layakna
anak memerlukan bimbingan orang tua. Namun sifatnya yang hierarkis itu, tak
pelak lagi, sangatlah membahayakan bagi perkembangan kedewasaan keagamaan
kaum muslim pada umumnya. Sebab, dengan menempatkan seorang tokoh
sebagai “model” bagi segala macam tindakan, maka kesalahan atau kekhilafan
sekecil apa pun yang dilakukan tokoh tersebut akan berdampak besar bagi para
42 Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Turki melarang kegiatan tarekat dengan alasan
yang berlainan. Saudi Arabia melarang tasawuf karena dinilai bertentangan dengan jaran-ajaran Islam murni (puritanisme ortodoks), sedangkan Turki melarangnya karena bertentangan dengan paham hidup modern (sekularisme). Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 54.
43 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3298.
42
pengikutnaya.44 Hal ini dikarenakan bahwa seorang guru tarekat seringkali
dipadang memiliki kualitas-kualitas kewalian, pada gilirannnya menimbulkan
tradisi pengkultusan kepada sorang guru bahkan setelah guru atau syaikh itu
meninggal.45
Adanya unsur negatif seperti itu telah mengundang adanya generalasi
terhadap tarekat atau gerakan kesufian sebagai negatif. Namun demikian, menurut
Nurcholish, sikap negatif secara pukul rata jelas tidak dibenarkan, sebagaimana
sikap positif secara pukul rata (tanpa penilaian kritis atas kasus-kasus spesifknya)
juga tidak dapat dibenarkan. Kita harus secara kritis dan adil melihat perkaranya
masalah-demi-masalah, dan hendaknya tidak melakukan penilaian bedasarkan
generalisasi yang tidak ditopang oleh fakta. Karena itu organisasi-organsasi Islam
– khususnya di Indonesia – semisal NU (Nahdlatul Ulama) menetapkan kriteria
tertentu untuk dapat disahkannya suatu tarekat. Tarekat yang absah dan yang
secara syariat dapat dipertanggungjawabkan itu biasa disebut “tharîah
mu’tabarah”. Pada pokoknya suatu tarekat absah jika ia tidak menyimpang dari
syari’ah. Ini tentu saja merupakakan kelanjutan dari pemikiran al-Ghazâlî dan
juga al-Qusyairî sebelumnya,46 yang tercatat dalam sejarah Islam telah mencoba
“mendamaikan” antara orientasi lahiri (disiplin syarî’ah) dan orientasi batini
(disiplin tasawuf).
44 Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, (Jakarta:
Hikmah, 2002), h. 24. 45 Setelah seorang guru tarekat meninggal, biasanya akan secara langsung dianggap wali
yang keramat sehingga makamnya banyak dikunjungi atau diziarahi orang-rang yang hendak meminta berkah. Lama-kelamaan seroang wali, apalagi makamnya, menajadi semacam mysterium tremendum et fascimosum yang memiliki daya tarik begitu kuat bagi kaum Muslim awam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 62.
46 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 96.
43
Dari pemaparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tarekat bisa
dipahami dalam dua pengertian: pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual
menuju Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada
Tuhan; dan kedua dalam pengertian persaudaraan suci di mana berkumpul
sejumlah (sufi) murid dan seorang guru, yang dibantu oleh mursyid-mursyid
lainnya. Tarekat tidak membicarakan segi filsafat dari tasawuf, tetapi
membicarakan segi amalan atau prakteknya.
D. Sufisme Baru
Setiap gerakan pembaruan atau pemurnian agama (Islam) tentu mencakup
agenda pemberantasan bid‘ah dan khurafat, sebagai tindakan menambah-nambah
hal baru kepada agama tanpa dasar yang sah dalam prinsip agama itu sendiri.
Perbuatan bid‘ah tentu akan berakibat mengaburkan ajaran agama yang murni,
dan sebagai kepercayaan kepada obyek-obyek yang palsu khurafat dengan
sendirinya sudah merupakan penyimpangan dari kemurnian agama. Walaupun
begitu, untuk menentukan mana yang bid‘ah dan mana pula yang khurafat
bukanlah perkara yang dapat dengan mudah disepakati oleh semua kelompok
Islam sebab masing-masing kelompok mengaku sebagai penganut ajaran yang
murni, yang bebas dari bid‘ah dan khurafat. Beberapa gerakan pemurnian Islam
memiliki konsep yang tegas tentang apa yang mereka pendang sebagai bid‘ah dan
khurafat, serta melancarkan program pemberantasannya dengan gigih.
Gerakan pembaruan atau pemurnian juga terjadi di dalam dunia tasawuf
atau sufisme. Dalam konteks kemodernan, – setidaknya – ada dua istialah atau
44
sebutan yang biasa dilekatkan kepada paham sufisme baru yang dianggap
(Nurcholish) sebagai pemurnian ajaran Islam (baca: tasawuf), yakni: sebuah
terminologi yang pertama kali dimuncukan oleh pemikir muslim kontemporer,
Fazlur Rahman, yakni “neo-sufisme”,47 dan istilah yang dipopularkan oleh
pemikir Islam Indonesia, pfof. Hamka, yakni “tasawuf modern”48.
Baik Hamka maupun Fazlur Rahman, keduanya adalah tokoh pembaruan
Islam yang sangat mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik seperti Ibn
Taymîyah dan Ibn Qayyim al-Jawzîyah. Kedua tokoh itu (Fazlur Rahman dan
Hamka) menunjukkan kepada kenyataan yang sama, yaitu suatu jenis kesufian
yang terkait erat dengan syarî’ah, atau dalam wawasan Ibn Taymîyah, jenis
kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana
termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan tetap berada dalam pengawasan
kedua sumber utama ajaran Islam itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk
tetap menjaga keterlibatan dalam mayarakat secara aktif.49
Di sini Nurcholish mencoba untuk merekonstruksi pemikiran sufisme
terdahulu (sufisme tradisional atau sufisme poluler) yang secara tegas
menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar pada pendekatan
esoteris, pendekatan batiniyah, yang berdampak kepada timbulnya kepincangan
dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan makna
47 Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 311. 48 Istilah “neo-Sufisme” terasa lebih netral daripada istilah “tasawuf modern”. Istilah
“tasawuf modern” terasa lebih optimistik, karena “modern” acapkali berkonotasi positif dan optimis. Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3311.
49 Ibn Taymiyah dan ibn Qayyim al-Jawziyyah disebut-sebut sebagai kaum neo-Sufi, atau perintis kearah kecenderungan ini, karena mereka sangat memusuhi sufisme populer. Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h.78.
45
batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan sangat kurang
memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Akhirnya, wajar apbila kemudian
dalam penampilannya, kaum sufi (terdahulu) tidak tertarik untuk memikirkan
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi
agama.50
sementara sufisme baru menekankan kepada motif moral dan penerapan
metode dzikir dan murâqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati
Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi51
(ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar
dan kemurnian moral dari jiwa. Gejala yang dapat disebut sebagai sufisme baru
(atau neo-Sufisme) ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi
dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia.52
Dalam pada itu, kaum neo-Sufisme juga mengakui, sampai batas tertentu,
kebenaran klaim sufisme intelektual: mereka menerima kasyf (pengalaman
penyingkapan kebenaran Ilahi) kaum Sufi atau ilham intuitif, tetapi menolak
klaim mereka seolah-olah tidak dapat salah (ma’shûm), dengan menekankan
bahwa kehandalan kasyf adalah sebanding dengan kebersihan moral dari kalbu,
yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tak terhingga. Bahkan, baik
Ibn Taymîyah maupun Ibn Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami
kasyf sendiri. Jadi terjadinya kasyf dibawa kepada tingkat proses intelektual yang
50 Rivay, Tasawuf, h. 309. 51 Perkataan Arab “salaf” secara harfiah berarti “yang lampau”. Kemudian, dalam
perkembangan semantiknya, perkataan “salaf” mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas sebagai sumber pemahaman ajaran agama Islam sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Karena dekat dengan masa hidup Nabi. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 365.
52 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 79.
46
sehat. Lebih jauh lagi, Ibn Taymîyah dan para pengikutnya menggunakan
keseluruhan terminoligi kesufian – termasuk istilah sâlik, penempuh jalan
keruhanian – dan mencoba memasukkan ke dalamnya makna moral yang puritan
dan etos salafi.53
Dalam semangat empatik, mungkin justru pengalaman mistis kaum sufi
harus dipandang sebagai bentuk pengalaman keagamaan yang sejati. Seperti
pengalaman Nabi dalam Mi‘râj yang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga tak
terkomunikasikan, pengalaman mistis kaum sufi pun sesungguhnya berada di luar
kemampuan rasio untuk menggambarkannya. Kaum sufi gemar mengatakan
bahwa untuk mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanya harus
mengalaminya sendiri. Tidak munkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika
orang tidak pernah mencicipinya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan
yang kaya untuk melukiskan kenyaaan itu.
Meskipun pengalaman mistis tertinggi dalam dunia kesufian (ekstase)
hanya bersifat sesaat (transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi
pekerti akan bersifat awet. Sebab dalam pengamalan intens sesaat itu orang
berhasil menagkap suatu kebenaran yang utuh. Kesadaran akan kebenaran yang
utuh itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatu
euphoria yang tak terlukiskan. Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah
bahwa euphoria itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan
peran diri sendiri yang proporsional, yaitu “tahu diri” (ma‘rifat al-nafs) yang tidak
lebih dari pada seorang makhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat
53 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 80.
47
(Islâm)54 kepada Sang Maha Pencipta (al-Khâliq).55 Jadi, menurut Nurcholish,
tasawuf dengan pengertian seperti ini adalah Islâm itu sendiri.
Selanjutnya, mengenai pengasingan diri atau ‘uzlah – seperti yang
diajarkan oleh al-Ghazâlî dan para pemikir kesufian lainnya – dalam tingkatnya
yang melewati batas, dimana seseorang melakukannya tidak semata-mata karena
hendak melepaskan diri sementara dari kenyataan hidup sehari-hari dan hendak
menempuh hidup pasif dan tidak mau tahu kepada masalah kemasyarkatan, tentu
saja merugikan. Karena itu ‘uzlah pernah menjadi sasaran kritik kaum modernis,
seperti Hamka, karena ‘uzlah yang demikian dapat menjadi excuse atau alasan
bagi kepasifan dan ketidak-pedulian sosial.56
Menurut Nurcholish, ‘uzlah barang kali masih bisa dibenarkan, karena kita
sulit menilai suatu masalah secara jujur jika kita sendiri terlibat dalam masalah itu.
Keterlibatan kita tentu akan mempengaruhi pandangan dan penilaian kita,
sehingga sering terjadi kekeliruan.57 Tetapi ‘uzlah yang dimaksud Nurcholish
adalah sebatas pengasingan diri itu digunakan untuk merenung (tadabbur),
berpikir (tafakkur) dan mawas diri (ihtisâb). Hal yang demikian adalah sebagai
suatu “exercise” untuk memahami lebih baik keadaan sekitar, melalui
“disengagement” sementara (untuk memperoleh penilaian yang obektif dan
jujur). Semuanya itu harus kembali menuju kepada penemuan jawaban yang
sebaik-baiknya atas persoalan bagaimana melibatkan diri secara positif dalam
54 Islâm, artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang menjadi inti ajaran agama
yang benar di sisi Allah. Lihat, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, h. 2-3. 55 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 260. 56 Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 156. 57 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 283..
48
hidup ini, sejalan dengan tujuan hidup itu sendiri.58 Artinya, tidak menutup diri
dari perkembangan dunia dan peradaban manusia, tetapi justru sangat
menekankan pentingnya pelibatan diri dalam masyarakat secara intensif.59
Jadi neo-sufisme menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarkat
secara lebih kuat dari pada sufisme lama, serta menolak secara keras sekali
terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i‘tizâliyah). Selanjutnya,
Berkenaan dengan ajaran pokok spiritualisme sosial itu terdapat suatu nilai yang
sudah secara umum telah diketahui kaum Muslimin, yaitu nilai keseimbangan
(mîzân atau tawâzun) sesuai dengan prinsip yang difirmankan Allah:60
“Langit Ia tinggikan dan diadakannya neraca (keadilan), supaya jangan kamu lampaui batas timbangan.” (QS. Al-Rahmân: 7-8) Kalau kita perhatikan firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu
dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah
hukum Allah untuk seluruh jagad raya, sehingga melanggar prinsip keseimbangan
merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagad
raya. Selanjutnya, Nurcholish menegaskan, kalau manusia disebut sebagai “jagad
kecil” atau “mikrokosmos,” maka, tidak terkecuali, manusia pun harus
memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam
kehidupan spiritualnya.61
Sampai di sini dapat dipahami bahwa, – apa pun istilahnya – baik “neo-
sufisme” maupun “tasawuf modern”, adalah “reformed Sufism” atau sufisme
yang telah diperbaharui. Kalau pada era kecemerlangan sufisme terdahulu, aspek
58 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 283. 59 Rivay, Tasawuf, h. 316. 60 Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 168. 61 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 81.
49
yang paling dominan adalah sifat ekstatik metafisis atau mistis-filosofis, maka
dalam sufisme baru ini digantikan atau di-reform dengan prinsip-prinsip Islam
ortodok. Sufisme baru mengalihkan pusat pengamatan kepada rekonstruksi sosio-
moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersifat
individual dan (hampir) tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh
karena itu, karakter keseluruhan sufisme baru adalah “puritan dan aktivis”.
50
BAB IV
KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN DAN
KEINDONESIAAN
A. Sufisme dalam Konteks Kemodernan
1. Makna Kemodernan
Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang
berlangsung sekaran ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah.
Masalah itu timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya
(“modern” berarti baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap yang
berarti berikutnya. Di samping itu, perkataan “modern” mengisyaratkan suatu
penilaian tertentu yang cenderung positif (“modern” berarti maju dan baik),
padahal dari sudut hakikatnya, zaman modern itu sesungguhnya bersifat netral.
Artinya, bisa bersifat atau berdampak fositif, dan juga sebaliknya.
menurut Nurcholish, pengertian yang mudah tentang “modernisasi” adalah
pengeritan yang identik, atau hampir identik dengan pengertian “rasionalisasi”,
yakni proses perombakkan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah
(rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang
akliah.1 Maka “modernitas” bisa diartikan dengan kondisi konkret zaman modern
yang di dalamnya meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Ditinjau dari sosio-historis, periode sejarah yang lazim disebut “modern”
mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode
1 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987) h.
172.
50
51
sebelumnya (periode pertengahan)2. Menurut Bertrand Russell, ada dua hal
terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas agama (dalam
konteks Barat saat itu otoritas gereja), dan menguatnya otoritas sains.3 Peristiwa-
peristiwa penting yang turut mendorong modernitas antara lain, Revolusi Industri
Inggris dan Revolusi Prancis pada abad ke-18.4
Menurut Nurcholish, betapa pun hebatnya zaman modern, namun
kreativitas itu, dalam perspektif sejarah dunia dan umat manusia secara
keseluruhan, masih merupakan kelanjutan berbagai hasil usaha (achievements)
umat manusia sebelumnya. Unsur-unsur kultural kehidupan modern seperti
bahasa, norma-norma etis, bahkan huruf dan angka serta temuan-temuan ilmiah,
meskipun dalam bentuknya yang masih germinal dan embrionik, adalah produk
zaman sebelumnya, yaitu zaman Agraria. Tanpa pernah ada zaman Agraria,
zaman modern sendiri sama sekali mustahil. Oleh sebab itu, pertama-tama zaman
modern harus dipandang sebagai kelanjutan wajar dan logis perkembangan
kehidupan manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia
ini.5
Karena merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, maka modernitas adalah
sesuatu yang tak terhindarkan. Lambat atau pun capat modernitas tentu muncul di
kalangan umat manusia, entah kapan dan di bagian mana dari muka bumi ini. Jika
2 Masyarakat abad pertengahan adalah masyarakat yang relatif kecil, homogen, tanpa pembagian kerja, dimana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci. Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), h. 68.
3 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko et. al., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 645.
4 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69. 5 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. 6, (Jakarta: Paramadina, 2008),
h. 446.
52
“kebetulan” momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat Laut sekitar dua
abad yang lalu, maka sebenarnya telah pula terjadi “kebetulan” serupa sebelumya,
yaitu dimulainya momentum zaman Agraria dari Lembah Mesopotamia (bangsa
Sumeria) sekitar lima ribu tahun yang lalu.6 Lebih jauh lagi, munculnya zaman
Agraria juga disebut sebagai permulaan sejarah, dan zaman sebelumnya disebut
zaman “prasejarah” yang tanpa “peradaban”. Karena itu Lembah Mesopotamia
dianggap sebagai tempat “buaian” peradaban manusia.7
Jadi, modernitas (kemodernan), jika seandainya sekarang ini belum
muncul, tentu akan membuka kemungkinan bagi kelompok manusia mana pun,
dengan keungulan relatif antara mereka, untuk memunculkannya. Namun karena
dimensi pengaruhnya yang global dan cepat itu, maka modernitas sekali dimulai
oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa-bangsa Barat), tidak mungkin
lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol.
Kembali kepada kemodernan yang merupakan suatu kelanjutan logis
sejarah, pada gilirannya membawa dampak negatif yang sangat menantang, yaitu
materialisme. Dimulai dengan kenyataan bahwa teknikalisasi – sebagai salah satu
wujud kemodernan – dapat berakibat kepada merosotnya peranan agama,8 atau
paling tidak mendorong ajaran agama pada posisi pinggiran, jika bukan
6 Jika zaman modern membawa implikasi terbentuknya Negara-negara nasional, maka
konsep dan lembaga kenegaraan itu sendiri adalah akibat langsung dan diciptakan oleh zaman Agraria.
7 Patut diingat bahwa semua agama besar, baik yang Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) maupun yang “Asia” (Hiduisme, Budhisme, Konfusionisme) lahir dan berkembang di zaman Agraria. Zaman Agraria itu sendiri, semenjak permulaannya oleh bangsa Sumeria, telah berlangsung selama sekitar lima puluh abad, sementara zaman modern, dalam bentuknya yang mekar sekarang ini, baru berlangsung sekitar dua abad saja. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 447.
8 Fenomena tragis ini telah ditunjukkan dalam sejarah awal zaman modern di Barat, dimana otoritas gereja digantikan oleh otoritas sains. Lihat, Russel, Sejarah Filsafat Barat, h. 645-647.
53
membuatnya tidak relevan dengan kenyatan hidup manusia.9 Pada kenyataannya,
Masyarakat modern bukan lagi masyarakat kecil dimana satu sama lain saling
kenal dan bergotong royong secara sukarela. Masyarakat modern adalah
masyarakat orang-orang asing yang heterogen secara kultural dan agama, dimana
norma hubungan antar-manusia dieksploitasi dalam bentuk kontrak10 (“saya
bekerja bukan karena saya kenal anda, tetapi karena menurut perjanjian anda akan
mengupah saya 100 perak per jam”).
Berkenaan dengan bangsa Indonesia, masalah yang harus kita perhatikan
adalah kenyataan religo-sosio-kultural bahwa sebagian besar bangsa kita adalah
Muslim. Hal ini mengisyaratkan adanya potensi konflik antara modernitas –
dengan materialisme sebagai implikasinya – di satu pihak dan Islam-Indonesia di
pihak lainnya. Namun, menurut Nurcholish, sebenarnya ada segi dari Islam dan
tradisi kaum Muslim yang diharapkan (secara lebih menentukan) mengambil
bagian dalam usaha-usaha menanggulangi berbagai krisis zaman Modern, yakni
pemahaman hakikat tawhîd yang diwujudkan melalu amal perbuatan yang
dilakukan berdasarkan dorongan batinnya.11 Jika pola revolusi ilmiah umumnya
tidak lebih dari pada hasil dari mencari pemcehan teka-teki (puzzle solving) – dan
bukannya terbit dari semangat mencari Kebenaran Terakhir (Ultimate Truth)12 –
9 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 72. 10 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69. 11 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 531. 12 Dalam proses-proses kreatifitas ilmiah modern, umumnya, tidak mau, atau tidak berani,
mengaku sebagai mencari “kebenaran”, melainkan lebih banyak mencari pemecahan berbagai teka-teki yang terkandung dalam suatu paradigma ilmiah yang dianggap mapan. Nurcholish, Tradisi Islam, h. 73.
54
maka sebab utamanya adalah karena hilangnya semangat tawhîd dalam diri
manusia modern.
Dari penjelasan tentang kemodernan – dengan implikasi positif dan
negatifnya – sebagai suatu kelanjutan logis sejarah, maka faktor – yang disebut
Nurcholish dengan – “the man behind the gun” memegang peran amat
menentukan dalam menjadikan teknologi bermanfaat atau bermudarat. “The man”
adalah hakikat yang diwujudkan melalu amal perbuatan yang dilakukan
berdasarkan dorongan batinnya.13
2. Sufisme dan Kemodernan
Zaman modern, dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau sains serta
teknologi sebagai bentuk terapannya, tidak dapat dibantah telah membuat hidup
umat manusia menjadi lebih baik, atau jauh lebih baik. Kenyataan ini diperkuat
oleh adanya dambaan semua bangsa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai landasan kemajuan, kekuatan dan kemakmurannya. Tetapi dari
sisi lain, – yang gelap – ialah ketika ilmu pengetahuan berkembang menjadi
“paham ilmu-pengetahuan” atau scientism, menuju ke arah pertumbuhan sebuah
ideologi tertutup. Yaitu ideologi atau paham yang memandang ilmu pengetahuan
sebagai hal terakhir (final), memiliki nilai kemutlakan, dan serba cukup dengan
dirinya sendiri. Kenyataan ini terlihat ketika sains (modern) meyakini bahwa
13 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 532.
55
hakikat hanyalah kenyataan empirik, dan kemudian meragukan hal-hal di luar
jangkuannya.14
Pada gilirannya hal ini dapat berakibat kepada merosotnya peranan agama,
atau paling tidak mendorong agama pada posisi pinggiran, jika bukan
membuatnya tidak relavan dengan kenyataan hidup manusia.15 Dalam masyarakat
serupa itulah timbul sinyalemen bahwa teknologi modern mengakibatkan alienasi,
yaitu keadaan seseorang yang “terasing” dari dirinya sendiri dan nilai
kepribadiannya, karena ia menjadi tawanan sistem yang melingkarinya dan di
mana ia hidup, tanpa ia sendiri berdaya berbuat sesuatu apa pun.16 Pada
gilirannya, manusia modern menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan
terhadap lingkungan alam manusia, dan ia menciptakan suatu situasi di mana
kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan, yang selanjutnya tidak
hanya berubah menjadi kehancuran tatanan masyarakat tapi juga perbuatan bunuh
diri.17 Dengan kata lain, Beberapa implikasi negatif dari kemodernan itu
melahirkan kegelisahan yang akut dalam jiwa manusia modern.
Permasalahan yang muncul – dari kemodernan – kemudian adalah jika
kemodernan – sebagaimana yang telah diungkapkan Nurcholish – adalah suatu
kelanjutan logis sejarah atau perkembangan alami manusia, maka ketidak cocokan
itu bisa bermakna serius, yaitu ketidak cocokan antara alam manusia dengan
manusia itu sendiri serta ajaran agamanya. Namun optimistik Nurcholish tetap
14 Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. (e.d), Ensiklopedi Nurcholish
Madjid, (Bandung: mizan, 2006h), h. 2768. 15 Nurcholish, Tradisi Islam, h. 73. 16 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 531. 17 Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif
Filsafat Perennial, (Jakarta, Gramedia, 2009), h. 1.
56
kuat dalam memandang relevansi tasawuf dalam kemodernan. Menurut
Nurcholish, kita perlu menumbuhkan kembali keyakinan kepada keserasian atau
keseimbangan (mîzân atau tawâzun) atara diri kita (sebagai jagad kecil atau
mikro-kosmos) dengan dengan alam raya keseluruhan (sebagai makro-kosmos).18
Ini juga berarti menumbuhkan kembali dimensi religusitas dalam kehidupan
manusia (modern). Karena religiusitas adalah milik praktis setiap orang. Manusia
hidup tidak mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh
emosi dan jiwanya atau ruhaninya.19
Demikian pula pada manusia modern, dimensi religius atau spiritual
bukannya tak ada, tapi karena manusia modern “hidup di pingir lingkaran
eksistensi”, tidak pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa
siapa dirinya.20 Dengan kata lain permasalahan modernitas, atau sebagaian orang
yang mempermasalahkan relavansi agama dengan modernitas, adalah dikarenakan
memudarnya daerah kegaiban atau mistik dalam penghayatan keagamaan. Padahal
tindakan keagamaan pada dasarnya dilakukan karena pengakuan adanya
kenyataan supra-empiris atau gaib dan misteri (mistik).21
Permasalahan tidak selesai sampai di situ. Pengakuan akan adanya
kenyataan supra-empiris atau gaib pun terdapat pada manusia primitif dengan
berbagai ritual pemujaannya22. Sebagai tokoh pembaru Islam, – yang mempunyai
misi memurnikan ajaran Islam dari bid‘ah dan khurafat – Nurcholish, justru
18 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 81. 19 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 9. 20 Komaruddin, Agama Masa Depan, h. 3. 21 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 148. 22 Seperti agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan
bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam serta pengkultusan kepada leluhur.
57
melihat sisi positif lainnya dari kemodernan. Bahkan kemodernan menopang dan
meningkatkan misi pemurnian ajaran agama atau meningkatkan religiusitas yang
paling murni dan sejati. Yakni sikap keagamaan yang memandang keparcayaan
atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan
bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak
mengaharapkan kegunaan di luari imannya sendiri. Maka agama menjadi semakin
murni, dalam arti bahwa keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai
instrumental.23
Dalam pada itu, sebagaimana telah diungkapkan Nurcholish, bahwa
modernisasi adalah rasionalisasi, yakni proses perombakan pola berpikir dan tata-
kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir
dan tata-kerja baru yang akliah. Keguanaannya adalah untuk memperoleh daya
guna dan efisiensi yang maksimal. Maka dalam menetapkan penilaian tentang
kemodernan, juga berorientasi kepada nilai-nilai besar Islam. Di sini Nurcholish
ingin menegaskan bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban
yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan
Yang Maha Esa. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau
Sunnatullah (Hukum Ilahi) yang haqq (sebab alam adalah haqq). Sunnatullah
telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat
23 Contoh sederhana, karena “instrument” untuk memberantas hama tanaman dalam suatu
masyarakat industrial (modern) telah disediakan oleh ilmu dan teknoogi – misalnya dalam bentuk insektisida – maka orang akan semakin berkurang mendekati Tuhan – misalnya dalam bentuk doa – dengan tujuan agar tanamannya di sawah tidak terkena hama; ia – dengan modernitas – mungkin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural instrumental ke cultural consumatory, di mana ia melihat ibadat sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sumber kebahagiaan. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 149.
58
menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku
dalam alam itu (perintah Tuhan).24
Namun demikian, karena keterbatasan kemampuannya, manusia tidak
dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, melainkan sedikit demi sedikit
dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga berarti progresif dan
dinamis. Maka sekalipun bersikap modern (to be modern) itu suatu keharusan
mutlak, tetapi kemodernan (modernitiy) itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat
oleh ruang dan waktu. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah yang benar
secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam. Jadi,
modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran-
kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu
Allah.25 Bukankah tujuan akhir (ultimate goal) hidup manusia ialah Kebenaran
Akhir (Ultimate Truth), yaitu Tuhan itu sendiri atau Kebenaran Ilahi?
Dari sini kita bisa melihat relevansi sufisme (tasawuf baru atau neo-
sufisme) yang ditawarkan Nurcholish. Tasawuf yang mengajarkan bahwa
kenyataan yang benar atau al-Haqq hanyalah Tuhan semata, dan kaum sufi
bertujuan untuk sampai kepada al-Haqq itu26 dengan memelihara prinsip
keseimbangan (mîzân atau tawâzun) dalam dirinya sendiri, termasuk dalam
kehidupan spiritualnya dan tetap bersikap positif kepada dunia.27
Pembahasan di atas diharapkan dapat memberi gambaran memadai tentang
prinsip-prinsip tawhîd, – sebagaimana semangat kaum sufi dalam menghayati dan
24 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 172. 25 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 174. 26 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina,1997), h. 48. 27 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 79.
59
mengamalkan tawhîd – adalah prinsip abadi, berlaku untuk selama-lamanya.
Maka dengan sendirinya juga seharusnya dan memang berlaku untuk masa
sekarang di zaman modern ini, dan kita dapat melihat apa saja yang dihasilkan
sains (modern) yang sekiranya bisa menguatkan sistem keimanan agama. Itu
semua membawa kita ke dalam hidup dan menjalani kehidupan dengan selalu
bersandar (tawakal) kepada Allah, ingat (dzikir) dengan berdo‘a, dan berbuat
hanya atas perintah-Nya dan demi ridlâ-Nya.
Selanjutnya Nurcholish mengatakan bahwa yang diperlukan disni adalah
adanya sikap istiqâmah agar dapat memperoleh hikmah agama secara optimal –
lebih-lebih lagi – dizaman modern ini. Karena kemodernan (modernitas,
modernity) syarat dengan perubahan, bahkan “perubahan yang terlembagakan”
(institutionalized change).28 Istiqâmah yang di maksud (Nurcholish), tidak
bermakna statis. Meskipun mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti
kemandekan, melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Jadi
dalam modernitas, yang bericirikan perubahan yang terlembagakan ini, kita harus
tetap bergerak, maju, namun tetap stabil, tanpa goyah, apalagi takut dengan oleh
lajunya perubahan. Ini bisa terwujud kalau kita – lagi-lagi – menyadari dan
meyakini apa tujuan hidup kita, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk
sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, Sang Kebenaran Mutlak dan Abadi.
28 “Institutionalized change” artinya, jika pada zaman-zaman sebelumya perubahan
adalah sesuatu yang “luar biasa” dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan. Nurcholish Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 174.
60
Kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan
sejati.29
B. Sufisme dalam Konteks Keindonesiaan
1. Sufisme dan Kebudayaan Lokal
Potret sejarah Indonesia menujukkan bahwa sebelum Islam masuk di
wilayah ini, kepulauan Nusantara telah mengenal kebudayaan Hindu-Budha.30
Kebudayaan yang kemudian berkembang dalam masyarakat Indonesia terbentuk
sebagai dampak dari kehadiran agama Hindu, Budha, dan Islam (dan belakangan
Kristen). Bangunan budaya yang perekembangannya besendikan ajaran agama
Islam dalam aspek-aspeknya yang tertentu, bertumpang tindih dengan budaya dan
sistem kepercayaan lokal (Hindu-Budha). Ini terlihat dari upacara-upacara
keagamaan di berbagai daerah di kepulauan Nusantara, bentuk dan corak sastra
atau keseniannya, serta dalam berbagai kearifan lokal.31
Berkaitan dengan kehadiran Islam di Indonesia, para da‘i sufi dengan
paham tasawufnya, memainkan peranan penting dalam proses islamisasi di
kepulauan Nusantara. Melalui tasawuf, semangat intelektual dan rasional Islam
memasuki alam pikiran masyarakat Indonesia. Dengan adanya akulturasi atau
29 Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, h. 175. 30 Bahkan jika melihat lebih jauh lagi, sebelum Hindu-Budha masuk di wilayah ini,
Indonesia telah memiliki agama asli (primitif), yakni berupa konsep-konsep keruhanian dalam masyarakat suku yang secara internal tumbuh, berkembang, dan mencapai kesempurnaannya sendiri tanpa imitasi atau pengaruh eksternal. Agama tersebut tidak jauh berbeda dengan agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam. Mereka mempercayai adanya ruh Tuhan yang mengalir dalam setiap makhluk, bahkan ada yang menyembah binatang buas. Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 2.
31 Abdul Halim (ed.), Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 95.
61
hubungan timbal balik ajaran Islam (baca: tasawuf) dengan budaya lokal,
melahirkan manifestsi intelektual dan dan budaya baru yang tidak pernah ada
sebelum Islam datang.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya
lokal memang diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushûl
al-Fiqh, bahwa “adat itu dihukumkan”, atau, lebih lengkapnya, “adat adalah
syarî‘ah yang dihukumkan”. Dengan kata lain, adat dan kebiasaan suatu
masyarakat, yaitu budaya lokalnya, bisa menjadi salah satu sumber hukum dalam
Islam. Namun Nurcholish menegaskan, bahwa unsur-unsur budaya lokal yang
dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. unsur-unsur yang bertentangan dengan
prinsip Islam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti.32
Namun, adalah hal yang sia-sia upaya menghilangkan dan menghapuskan
– sama sekali – pengaruh (budaya lokal) dalam penerapan ajaran-ajaran tasawuf.
Tetapi, dikarenakan adanya sejumlah titik temu (kemiripan) antara akidah Islam
versi kaum sufi dengan kepercayaan-kepercayaan Hindu-Budha33 yang sudah
terlebih dahulu berakar di Nusantara, dan oleh karena sifat-sifat dan sikap kaum
sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang, maka tasawuf pun mudah
diterima. Bahkan warisan ajaran-ajaran agama Hindu-Budha – menurut
Nurcholish – telah membantu mematangkan kesiapan bangsa Indonesia menerima
32 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 544. 33 Dalam agama Hindu terdapat ajaran yang mendorong manusia untuk meniggalkan
dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman; Di dalam ajaran Budha terdapat paham nirwana. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 2006), h. 45.
62
kedatangan agama Islam melalui tasawufnya itu. Sebaliknya dalam
perkembangannya, sufisme telah ikut memepengaruhi ajaran-ajaran mistik
setempat.34 Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan, bahwa apa yang disebut
“kejawen” pun dapat dilihat sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman
mistisme Jawa. Pengaruh al-Ghazâlî juga amat terasa dalam kalangan
“kejawen”,35. Kenyataannya, dalam Kepustakaan Kejawen, banyak terdapat
naskah-naskah gubahan – kebanyakan – dalam bentuk sekar macapat (puisi),
yang isinya banyak mengungkapkan konsep-konsep ajaran martabat tujuh (suatu
ajaran tasawuf yang pada dasarnya berpaham pantheistis dari pengembangan Ibn
‘Arabi). Sastra Mistik yang berbentuk sekar dalam sastra Jawa disebut serat
suluk.36
Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren di
Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri.
Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal
dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka memandang bacaan-bacaan
itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar pada
sumber-sumber berbahasa Arab seperti yang diajarkan oleh kiai atau guru mereka.
Buku Imam al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn adalah yang paling banyak dipelajari
ketika mendalami ajaran-ajaran kesufian. Oleh karena pengaruh kuat dari kitab
Ihyâ’ itu maka boleh dikatakan tidak pernah ada ekses-ekses yang ditimbulkan
34 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 55. 35 Ini bisa dilihat dari banyaknya konsep kesufian dalam literatur kejawen, seperti konsep
tarikat, makrifat, hakikat, dan lain-lain. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 67. 36 Lihat, Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa,
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 19-20.
63
kaum sufi di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun
dalam amalan-amalannya.37
Sekalipun budaya lokal (Hindu-Budha), serta mistik setempat selalu
dianggap sebagai unsur dalam kalangan sufi, tetapi gejala itu tidak pernah menjadi
ciri yang menonjol. Paham-paham yang lebih murni atau ortodoks dari ilmu-ilmu
kalam dan fiqih senantiasa “mengawasi” amalan-amalan sufisme dan intuisinya
agar tidak jatuh dalam amalan-amalan yang menyimpang. Karena itu gerakan
sufisme dan tarekatnya tidak pernah terkena pengertian yang dikandung dalam
perkataan klenik. Klenik lebih banyak diasosiasikan dengan gerakan kebatinan di
luar tarekat-tarekat.38
Pendekatan kompromis yang dijalankan oleh para sufi dan guru-guru
tarekat yang tidak mempersoalkan kemurnian agama memang cukup luwes,
tasawuf bisa diterima berdampingan dengan tradisi lama tanpa menimbulkan
ketegangan yang berarti. Institusi-institusi lama seperti kenduri dan upacara-
upacara lainnya bisa diislamkan dengan mudah hanya dengan Pak Kiai yang
memberi berkah doa atau bacaan-bacaan tahlil dan bacaan ayat-ayat al-Qur’an.39
Inilah yang dimaksud Nurcholish dengan adanya kemungkinan akulturasi
timbal balik antara tasawuf dengan tradisi atau budaya lokal. Tradisi-tradisi
masyarakat yang pada masa lalu diliputi oleh praktik-oraktik yang berlawanan
dengan ajaran tawhîd serta ajaran-ajaran lain dalam Islam, seperti, misalnya,
37 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 56. 38 Organisasi seperti NU pun berjasa dalam mencegah adanya kecenderungan-
kecenderungan esoteris yang berlebihan. Sebagaimana telah disinggung di muka, NU menetapkan ketentuan tentang tarekat mana yang sah (mu‘tabarah) dan yang tidak sah (ghayr al-mu‘tabarah). Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 67.
39 Simuh, Sufisme Jawa, h. 21.
64
takhayul dan mitologi, semuanya harus ditiadakan dan diganti dengan ajaran-ajran
Islam tentang tawhîd atau paham Ketuahanan Yang Maha Esa (dengan implikasi
terkuat anti pemujaan gejala alam dan sesama manusia atau kultus).40 Jadi,
kehadiran tasawuf di Indonesia mengakibatkan adanya perombakan masyarakat
atau “pengalihan bentuk” (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik.
Tapi, pada saat yang sama, kehadirannya tasawuf tidak mesti “distuptif” atau
memotong suatu tradisi masyarakat dari masa lampaunya semata.
2. Sufisme dan Kebhinnekaan
Kita di negeri ini biasa menyebut masyarakat Indonesia sebagai sebuah
mayarakat majemuk (plural).41 Menurut Nurcholish, kemajemukan (pluralis)
bangsa Indonesia bukanlah suatu keunikan dari kalangan masyarakat atau bangsa-
bangsa lain. Karena dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-
benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya.
Meskipun ada suatu masyarakat yang bersatu, tidak terpecah-belah, tetapi keadaan
bersatu (being united) itu tidak dengan sendirinya berarti kesatuan atau
ketunggalan (unity) yang mutlak. Sebab, persatuan itu dapat terjadi, dan justru
kebanyakan terjadi, dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E Pluribus
Unum, Bhinneka Tunggal Ika).42
40 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 546. 41 Dilihat dari segi geografis, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia
dengan kurang lebih 13.000 pulau, baik dihuni atau tidak. Disamping itu, secara sosial, Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa, dan adat istiadat, yang menunjukkan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi. Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia: Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rineka, 1999), h. 49.
42 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 155.
65
Dalam Kitab Suci terdapat petunjuk yang tegas bahwa kemajemukan
(kebhinnekaan) itu adalah kepastian atau ketentuan Ilahi (taqdîr menurut
maknanya dalam al-Qur’an) dari Allah Ta‘âlâ. Sebagai ketentuan Ilahi,
kemajemukan berarti termasuk ke dalam kategori sunnatullâh yang tak
terhindarkan karena kepastiannya.43 Tentu saja, dan tidak perlu lagi ditegaskan,
perbedaan yang dapat ditenggang itu ialah yang tidak membawa kepada
kerusakan kehidupan bersama, melainkan menumbuhkan sikap bersama yang
sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri.
Namun, dalam potret sejarah masyarakat Indonesia mempunyai pegalaman
kemajemukan internal, bahkan perpecahan dan pertentangan yang acapkali
mengalami eskalasi sampai ke tingkat yang berbahaya. Penomena ini pernah
terjadi di bidang politik, dan pendidikan.44 Kenyataan itu sebagian masih dapat
disaksikan sampai saati ini, dan masih mempengaruhi kalangan tertentu di antara
kita, baik antara umat Islam maupun antar umat lainnya.
Menurut Nurcholish, pertentangan antar umat atau golongan itu terjadi
dikarenakan kealpaan manusia terhadap prinsip-prinsip dalam berbagai nuktah
ajaran dalam Kitab Suci, yakni tentang Kebenaran Universal. Pokok pangkal
43 Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mangetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujarât: 13).
44 Di bidang politik di zaman penjajahan, pernah terjadi perbedaan yang cukup tajam antara mereka yang memilih sikap non-kooperatif (misalnya, Sarekat Islam) dan kooferatif (misalnya, Muhammadiyah). Di bidang pendidikan, juga terdapat pertentangan cukup gawat antara, misalnya, Muhammadiyah dan al-irsyad, yang membuka diri menerima unsur-unsur modern yang telah diperkenalkan oleh sistem sekolah Belanda (HIS, MULO, AMS, HBS, dan seterusnya) di satu pihak, dan, contohnya, Nahdlatul ‘Ulama yang menolak sistem Belanda dan mempertahankan sistem “asli” Islam dan bangsa sendiri (madrasah, pesantren, dan seterusnya) di lain pihak. Lihat, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 157-158.
66
Kebenaran Universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa
atau tawhîd. Kebenaran Universal, dengan sendirinya adalah tunggal, meskipun
ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beragam. Ini juga mengahasilkan
pandangan antropologis bahwa pada mulanya umat manusia adalah tunggal,
karena berpegang kepada kebenaran yang tunggal. Tetapi kemudian mereka
berselisih sesama mereka, justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang
dan mereka berusaha memahami setaraf dengan kemampuan mereka.45 Maka
terjadilah perbedaan penafisran terhadap kebenaran yang tunggal itu, yang
perbedaan itu kemudian menajam berkat masuknya vested interest akibat nafsu
memenangkan suatu persaingan.46
Disebabkan adanya prinsip Kebenaran Universal tersebut, maka al-Qur’an
mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious pluralitiy). Ajaran itu
tidak perlu diartikan sebagai pengakuan langsung akan kebenaran semua agama
dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Akan tetapi ajaran kemajemukan
keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi
kebebasan utnuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut
agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok.47
Sikap demikian dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua
agama yang ada. Karena – sebagaimana telah diuraikan di atas – semua agama itu
45 Semula manusia adalah yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi yang
membawa kabar gembira dan memberi peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu kitab suci untuk menjadi pedoman bagi manusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka perselisihkan dan tidaklah berselisish tentang hal itu kecuali mereka yang telah menerima kitab suci itu sesudah datang kepada mereka berbagai keterangan, karena persaingan antara mereka. (Q.S: al-Baqarah: 213)
46 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 176. 47 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 180.
67
pada mulanya mengantu prinsip yang sama, yaitu prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa dan keharusan manusia untuk berserah diri kepada-Nya (al-Islâm), maka
agama-agam itu, baik karena dinamika internalnya atau karena persinggungannya
satu sama lain, secara berangsur-angsur akan menemukan kebenaran asalnya
sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik temu”, “common
platform” atau dalam istilah al-Qur’an, “kalîmah sawâ”.48 Selanjutnya, melalui
semangat kebhinnekaan diusahakan mengubah perbedaan menjadi pangkal sikap
hidup yang positif, seperti “berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan
(al-khirât)”, dengan sikap saling menghormati sesama anggota masyarakat, dan
menghargai pendirian serta pandangan masing-masing.
Dalam pada itu, tradisi tasawuf atau mistisisme Islam, ada diskurusus yang
lebih menekankan sisi esoteris dan esensi (baca:hakikat). Di sana banyak kita
jumpai para asketis dan kaum Sufi yang tidak henti-hentinya mengajak
pentingnya persatauan agama-agama (wihdat al-adyân). Seperti yang
diungkapkan oleh Abû al-Mughîts Husain al-Hallâj (w. 309 H.), dan Muhy al-Dîn
Ibn ‘Arabî (w. 638 H./1240 M.) misalnya. Menurut mereka, semua agama itu
hakikatnya satu, yaitu mengakui, menyembah, dan mengabdi kepada Tuhan alam
semesta, Tuhan semua agama. Sementara namanya, yakni atribut dan simbol-
simbolnya, bisa saja bervariasi. Ada Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, atau pun
lainnya. Namun jelas, hakikatnya itu tidak ada bedanya.49 Perbedaan agama tak
ubahnya seperti lingkaran yang tak punya ujung dan pangkalnya. Dalam lingkaran
itu tergambar prinsip kausalitas yang menuntut adanya perbedaan keberagamaan.
48 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 181. 49 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Sebagai
Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), h. 280.
68
Namun di balik itu, justeru terdapat kesatuan. Perbedaaan agama itu muncul
karena perbedaan hubungan-hubungan keilahian, atau berbedanya pintu-pintu
menuju Tuhan.50
Dari keterangan di atas kiranya menjadi jelas bahwa bentuk-bentuk
kegamaan tertentu dapat merupakan masalah dalam usaha mewujudkan Bhinneka
Tunggal Ika di Indonesia. Upaya menggoyahkan nilai luhur Bhinneka Tunggal
Ika, tidak lepas dari pemahaman yang belum tuntas akan makna “hidup” dan
“kehidupan”. Pemahaman nilai-nilai eksoteris dan ajaran formal agama yang
hanya mengutaman simbol-simbol ketimbang esensinya merupakan salah satu
kendala bagi implementasi somboyan tersebut. Begitu pula munculnya politik
yang sarat kepentingan pribadi dan golongan sebagai sarana pemuas hawa nafsu
belaka. Sejarah mencatat intrik-intrik tersebut, cepat atau lambat, akan
menceburkan manusia ke dalam kehidupan yang serba tidak menentu.51
Selanjutnya, Nurcholish menegaskan, untuk mewujudkan Bhinneka
Tunggal Ika, hendaknya manusia tidak membanggakan apa yang ada dalam diri
sendiri atau kelompok sendiri, yang antara lain dapat mengahasilkan pandangan
diri sendiri atau kelompok sendiri sebagai yang pasti paling benar dan diri orang
lain atau kelompok lain pasti salah. Bahkan hal ini dapat disebutkan sebagai jenis
kemusyrikan karena dibalik itu teselip pandangan memutlakkan diri sendiri dan
kelompok sendiri. Sikap ini jelas bertentangan dengan semangat tawhîd yang
konsekuensi logis utama dan pertamanya ialah meniadakan kemutlakan kepada
apa pun, termasuk diri sendiri dan kelompok sendiri, sebab yang mutlak hanya
50 Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 314. 51 Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 282.
69
Allah, Tuhan Yang Maha Esa semata.52 Dengan kata lain, pemutlakan diri sendiri
dengan berbagai kecenderungan subyektifnya, begitu pula ketaatan mutlak kepada
sesama makhluk, adalah tidak sejalan dengan iman yang benar berdasarkan
tawhîd, sehingga akhirnya juga berdampak negatif kepada jiwa persaudaraan atas
dasar persamaan hak dan kewajiban serta harkat dan martabat manusia.
Di sini sesunggunhnya kita diajarkan untuk menerapkan prinsip kenisbian
ke dalam diri (internal relativism), tanpa klaim kemutlakan untuk diri sendiri dan
kelompok sendiri, sebagai yang benar. Maka yang diperlukan di sini adalah
penghayatan dalam batin (esoteris) tentang orientasi hidup pribadi yang
transendental, melalui tawhîd yang murni. Orientasi hidup pribadi itu kemudian
diterjemahkan ke dalam kehidupan sosial.53
Jadi, semangat Bhinneka Tunggal Ika (kemajemukan ras, bahasa dan
agama), dan juga pengalaman esoteris agama (seperti tasawuf dalam Islam) adalah
suatu keniscayaan bagi sebuah komunitas yang beragama di Indonesia sebagai
upaya menumbuhkan kerukunan hidup antar-umat beragama.54 Dengan demikian,
sufisme selalu up to date bagi masanya dan relevan dengan kehidupan dan
tantangan yang dihadapi manusia di setiap waktu dan tempat. Hal ini jelas akan
lebih baik jika dilakukan bersama-sama dengan membangun iklim dialog antar-
umat beragama yang kondusif.
3. Sufisme dan Politik
52 Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 62. 53 Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 65. 54 Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 316.
70
Sebagaimana telah disinggung bahwa tasawuf, – pada awal
pertumbuhannya di dunia Islam – selain sebagai olah rohani, juga merupakan
gerakan oposisi politik pada masa pemerintahan kaum Umawi di Damaskus (685-
705 M.) yang dipandang kurang “religius” oleh kaum Sufi (orang-orang Muslim
dengan kecenderungan hidup zuhud pada masa itu). Semangat melawan atau
mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang
segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya
karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara
sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme.55 Hal serupa juga terjadi di
beberapa tempat lainnya56 termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, kaum sufi atau sufisme, selain telah menjadi perantara bagi
tersebarnya agama Islam, juga telah memilhara jiwa keagamaan di kalangan kaum
Muslim pada saat Indonesia mengalami kemunduran dalam hal kekuatan politik
dan militer pada masa kolonial Belanda (sejak abad ke-16 dan mencapai
puncaknya sekitar tahun 1930-an).57 Terlebih lagi ketika persepsi orang Indonesia
mengenai penjajah Belanda kala itu bahwa mereka datang ke Indonesia untuk
menghapus Islam dari negeri ini dan untuk kemudian digantikan dengan agama
55 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 251. 56 Di tempat-tempat yang ada pengikut tarekat hampir selalu bisa ditemukan suatu
pondokan atau zâwiyah guna menampung para fakir yang hendak melakukan wirid atau suluk. Zâwiyah itu dalam perkembangannya berubah menjadi gilda-gilda dan pusat-pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, bahkan tidak jarang menjadi cikal bakal kekuatan politik yang besar pengaruhnya di kumudian hari. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 55.
57 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Histori Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 30.
71
Kristen. Hal ini mereka lihat dalam intensitas upaya yang dilakukan untuk
menghalang-halangi ulama menyerukan jihad demi agama dan negara.58
Kebijakan-kebijakan (ordonasi) kolonial yang dipahamai sebagai tekanan,
pada akhirnya menjadi akar keresahan orang Indonesia yang selanjutnya
membangun sikap emosi dan frustasi yang kumulatif. Keadaan ini menjadi lebih
buruk oleh runtuhnya kekuasaan para pemimpin mereka. Sejak akhir bad ke-18,
sultan-sultan di seluruh Jawa (seperti Demak dan Banten, selanjutnya Mataram
dan Cirebon) telah kehilangan hak-hak istimewa (previlage) dari rakyatnya, yang
dihancurkan oleh politik kolinal.59
Kehadiran Tarekat – terutama tarekat Qâdiriayah-Naqsyabandiyah – di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa terutama di pusat-pusat kegiatan Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah seperti Banten, Kediri, dan Sidoarjo (sekitar tahun
1870 M.) telah membawa angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan
pola hidup tertekan. Pada saat itu pula ia memperoleh momentum pengikut yang
luar biasa, dan membuat gerakannya mengakar kuat di kalangan rakyat jajahan,
dengan isu-isu sentralnya: “jihâd fî sabîlillah”, “kolonial kafir yang harus diusir”,
dan sebagainya. Saat itu, tarekat mengubah fungsi dan perannya dari “sistem
sosial-organik” atau gerakan keagamaan ke “sistem religio-politik”.60 Semangat
perjuangan melawan kolonialisme semakin menggebu, juga dikarenakan – meski
pun secara samar-samar – kaum Muslim umumnya dan kalangan tarekat
khususnya memercayai akan datangnya seorang pemimpin besar bernama Imam
Mahdi. Apalagi tarekat Qâdiriayah-Naqsyabandiyah yang mengklaim pertautan
58 Alwi, Islam Sufistik, h. 194. 59 Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, h. 31. 60 Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, h. 32.
72
amalannya dengan Nabi Muhammad adalah melalui ‘Alî, dan diperkuat oleh
unsur-unsur Syî‘ah yang masuk. Dalam kebatinan, – yang menurut Nurcholish
adalah sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisme Jawa –
pengharapan akan datangnya seorang pemimpin besar yang mendapat hidayah
atau petunjuk Ilahi dihubungkan dengan kedatangan Ratu Adil.61
Pengharapan akan datangnya seorang pemimpin besar atau yang biasa
disebut (messianisme),62 Menurut Nurcholish, adalah sumber kekuatan dan
semangat perjuangan bagi kaum tertindas, karena dengan messianisme itu mereka
tidak pernah kehilangan harapan kepada suatu bentuk pertolongan dari langit. Ia
menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang dengan amat sangat mendambakan
kebebasan dan keadilan.63
Jadi, hubungan sufisme dalam perpolitikan di Indonesia dapat dilihat dari
bagaimana efektifnya potensi yang dimiliki kaum tarekat (khususnya Qâdiriayah-
Naqsyabandiyah) dengan kebutuhan psikologis dan sosiologis rakyat Indonesia. Ia
telah menjadi katalisator dalam menggerakkan massa, bukan hanya dalam arti
psikologis, tetapi juga dalam pemikiran politik, baik melalui konsep-konsep jihad
maupun dalam menentukan sasarana-sasaran pencapaiannya.
Sampai di sini kita melihat hubungan yang signifikan antara sufisme dan
dunia politik Indonesia pada masa kolonial atau sebelum kemerdekaan.
Selanjutnya, relevansi sufisme dan politik Indonesia juga sangat signifikan,
61 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3299. 62 Messianisme adalah suatu paham menantikan datangnya seorang “messiah” yang bakal
menyelamatkan umat manusia dan mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi. “Messiah” beasal dari bahasa Ibrani, “messiah” yang merupakan padanan atau cognate perkataan Arab al-masîh. Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 103.
63 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 106.
73
bahkan sangat dibutuhkan hingga masa kemerdekaan saat ini, dimana demokrasi
dengan nilai-nilai pancasila sebagai substansinya menjadi landasan politiknya.64
Menurut Nurcholish, demokrasi sudah barang tentu mengimplikasikan
sebuah kebebasan pribadi. Namun, banyak orang yang takut kebebasan, karena di
situ dituntut tanggung jawab pribadi yang lebih besar. Ketakutan itu bisa menjadi
penghalang yang besar atas terwujudnya demokrasi (khususnya di Indonesia).
Oleh karena itu, penting sekali diperhatikan segi pendidikan politik, yang di situ
masalah kebebasan dan tanggung jawab pribadi yang mengiringinya harus
diberikan secara proporsional. Suatu kebenaran yang mungkin terdengar ganjil
bahwa dimensi sosial hidup manusia – termasuk sistem politik demokrasinya –
akan membutuhkan tumbuhnya individu-individu yang kuat, yang menghargai
kebabasan dan siap menerima konsekuensinya berupa tanggung jawab pribadi.65
Masing-masing perorangan itu pulalah yang akhirnya dituntut untuk menampilkan
diri sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala
amal perbuatannya (dalam pengadilan Hadirat Ilahi di akhirat nanti) tanpa
kemungkinan mendelgasikannya kepada pribadi yang lain.66
Jadi, untuk mewujudkan stabilitas politik guna memberi atmosfir yang
baik bagi pembangunan Negara Indonesia, dibutuhkan kekokohan pribadi (yang
bertanggungjawab), karena dalam nilai-nilai inilah terdapat makna dan tujuan
64 Meskipun dari rumusan verbalnya, pancasila, banyak menggunakan ungkapan-
ungkapan dari bagasa Sanskerta (seperti kata Maha Esa) dan dari bahaa Arab (seperti kata adil, adab, rakyat, hikmat, dan musyawarah), namun segi-segi substansinya telah benar-benar ada dalam budaya “asli” masyarakat Indonesia. Nurcholish, Tradisi Islam, h. 181.
65 Nurcholish, Tradisi Islam, h. 185. 66 Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 68.
74
hidup yang hakiki.67 Selanjutnya, tanggung jawab pribadi itu membawa akibat
adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa
dipertangung-jawbkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus yang bisa
dipertangjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan menggunakan istilah
sufisme yang lebih khusus, tanggung jawab yang bersifat pribadi itu membawa
akibat adanya kesentosaan (salâmah)68 yang terwujud melalui amal saleh yang
ada dalam konteks interaksi antara sesama manusia dan bahkan sesama ciptaan
Tuhan dalam arti seluas-luasnya. Maka perolehanan spiritual pribadi akibat
adanya iman yang benar, sikap pasrah yang tulus (al-Islâm) ridlâ dan tawakal
kepada Allah serta ingat (dzikr) kepada-Nya, tidak bisa tidak melahirkan berbagai
konsekuaensi tingkah laku yang mewujud dalam kerangaka kehidupan sosial.69
Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif; kebenaran harus
mewujudkan diri dalam tindakan.70
Dari sini bisa disimpulkan bahwa sikap sufistik atau sufisme – yang
merupakan esoterik Islam atau penghayatan keagamaan batin dan bersifat pribadi
– menurut Nurcholish, sangat diperlukan dalam dunia politik Indonesia yang
berlandaskan demokrasi pancasila. Terlebih sufisme yang dikehendaki Nurcholish
adalah sufisme yang hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah
67 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 156. 68 Salâm atau salâmah adalah rasa kedamaian dan keselaranan ruhani yang merupakan
buah langsung dari sikap pasrah yang tulus kepada Allah (al-Islâm mengahasilkan salâm). Sikap ini menghantarkan manusia kepada tingkat kebahagiaan ruhani yang tertinggi, yakni jiwa yang tenang-tentram (al-nafs al-muthma’innah). Lihat, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 340.
69 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaba, h. 343. 70 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 157.
75
kemasyarakatan atau sosio-politik.71 Kemudian yang menjadi prioritas utamanya
adalah perilaku dan moralitas manusia agar bisa berakhlak mulia, dan bukan
mengutamakan unsur legal-formal agama Islam seperti terwujudnya – sebuah
apologi – Negara Islam,72 kejayaan partai Islam, serta ekpresi simbolis dan idiom-
idiom politik, kemasyarakatan, dan budaya Islam sebagai bagian dari
eksperimentasi sistem ketatanegaraan Islam.73 Jadi, meskipun tasawuf tidak
secara sistematis mengajarkan praktek demokrasi, namun tasawuf memberi etos,
spirit, dan muatan doktrinal dalam individu-individu masyarakat Indonesia, yang
mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratik.
4. Sufisme dan Pendidikan Moral Bangsa
Dewasa ini, di Indonesia, terdapat persoalan-persoalan serius yang juga
menarik perhatian dunia internasional. Di antara persoalan-persoalan bangsa
tersebut yang paling terlihat dan bisa dirasakan sangat kuat adalah menurunnya
martabat bangsa. Ini ditandai dengan mudahnya individu-individu tergelincir ke
dalam berbagai pengaruh negatif yang datang dari modernisasi.74 Julukan yang
desematkan pada negeri kita pun semakin banyak saja, misalnya: “bangsa yang
tingkat korupsinya tertinggi” atau “low trust society” atau masyarakat yang
rendah tingkat kejujurannya. Sungguh sesuatu yang sangat ironis. Apalagi jika
71 Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa,
(Jakarta: Paramadina, 2004), h. 176. 72 Untuk kajian yang lebih komferehensif mengenai apologi “Negara Islam”, Lihat,
Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 253-255. 73 Halim (ed.), Menembus Batas Tradisi, h. 58. 74 Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 236.
76
dikaitkan dengan kenyataan bahwa negeri ini sebagaian besar penduduknya
adalah penganut agama Islam.
Kenyataan ini, jelas dikarenakan oleh pembangunan bangsa yang tidak
banyak memusatkan pada penataan nilai-nilai perwatakan budaya bangsa (nation
and character building). Pemusatan yang berlebihan pada “investasi kapital” telah
memakan korban pada penurunan mentalitas bangsa. Kepincangan ini akhirnya
menghasilkan rendahnya SDM, pupusnya kreativitas, tumbuhnya keenderungan
pembajakan budaya, serta tercerai-berainya moralitas bangsa. Dunia pendidikan
yang diharapkan menjadi “kawah candradimuka” bagi penyebaran tata nilai
humanis, serta ketahanan mental bangsa, ternyata banyak mendapat hardikan,
karena tidak berdaya mengemban amanah bangsa.
Maka pendidikan pun perlu diarahkan untuk melakukan perombakan-
perombakan substansial menuju penyadaran hakiki (fitrah) dengan bertumpu pada
pemaknaan hidup secara lebih humanis. Dengan kata lain, pendidikan, sebagai
sarana memperoleh ilmu pengetahuan, harus ditundukkan di bawah pertimbangan
fitrah kemanusiaan. Ia tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa bimbingan
kesadaran kemanusian, sehingga dapat memberi umpan balik yang merusak
kehidupan, bukan kebaikan.75 Maka, menurut Nurcholish, yang diperlukan oleh
manusia adalah sikap batin yang senantiasa komunikatif dengan Tuhan, karena
kebaikan, atau juga Kebenaran Sejati, ialah Tuhan sendiri. Kebaikan yang
memanusia ialah yang dirasakan oleh hati nurani ketika ia secara sungguh dan
mendalam berkomunikasi dengan Tuhan sebagai Kebaikan Sejati, serta
75 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 270.
77
menginsafi adanya kehidupan kekal nanti.76 Jadi, perubahan orientasi pendidikan
ini sepatutnya diarahkan pada “wilayah esoteris” yang merupakan kesadaran
hakiki terhadap potensi diri yang berwatak multidimensional. Kesadaran esoteris
ini senantiasa meneguhkan nilai-nilai Ilahiah yang menjadi sumber dari segala
bentuk kesadaran.
Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan
proses sosialisasi dan inkulturasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan
yang terakumulasi dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat berjalan
berkelindan dengan pertumbuhan dan proses sosialisasi dan inkulturasinya dalam
bentuk yang bisa diserap secara optimal atau bahkan maksimal. Sebagaimana
telah disinggung, tasawuf bukanlah suatu penyikapan yang pasif atau apatis
terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan
sebuah revolusi moral-spiritual dalam masyarakat. Kaum sufi adalah kelompok
garda depan di tengah masyarakatnya. Mereka sering kali memimpin gerakan
penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial. Pendidikan, yang
biasanya digelar di dalam maupun di serambi Nurcholish, merupakan instrument
penyadaran itu.77
Selanjutnya, pembicaraan tentang hubungan tasawuf dengan pendidikan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia mengacu kepada pembicaraan peranan
pesantren yang merupakan penjabaran real sistem pendidikan dalam tasawuf.78
76 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 271. 77 Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, h. 52. 78 Meskipun pesantren atau pondok merupakan perkembangan dari sistem zâwiyah yang
dikembangkan kaum sufi, tetapi bukan berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Pada saat ini pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran. Sedangkan yang melakkukan peranan sebagai pusat gerakan tarekat (tasawuf) hanya sedikit. Lebih sedikit lagi
78
Pesantren memiliki peranan menentukan dalam bidang pendidikan. Tidak dapat
dibayangkan keadaan pendidikan pada umumnya dan agama khususnya bagi
masyarakat Indonesia tanpa adanya pesantren ini dan bagaimana mereka dapat
memainkan peran yang diinginkan karena pesantren umumnya di daerah pedesan
yang merupakan 80 persen dari jumlah penduduk Indonesia.79
Menurut Nurcholish, Jika melihat kenyataan di Indonesia, bahwa ajaran-
ajaran tasawuf merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam yang paling mudah dan
cepat menyesuaikan diri dengan unsur-unsur budaya dan mistik setempat
(kejawen). Tetapi, kalau kita lihat para pengikut tasawuf di pesantren-pesantren di
Jawa, ternyata mereka tidak begitu paham dengan sastra mistik Jawa sendiri.
Umumnya mereka tidak mengenal bacaan-bacaan mistik seperti yang dikenal
dalam dunia kebatinan atau kejawen. Bahkan mereka memandang bacaa-bacaan
itu dengan curiga. Dalam mengamalkan tasawuf ini mereka hanya bersandar pada
sumber-sumber berbahasa Arab.80
Buku Imam al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn adalah yang paling banyak
dipelajari ketika mendalami ajaran-ajaran kesufian. Ghazaliisme dapat dikatakan
merupakan “modus vivendi” antara rasionalisme ilmu kalam ortodoks atau sunni
dan ilmu fiqhnya dengan intuisiisme kaum sufi. Karena pengaruh kuat dari kitab
Ihyâ itu maka boleh dikatakan tidak pernah ada ekses-ekses yang ditimbulkan
adalah pesantren yang mengkhususkan diri dalam bidang tasawuf sebagai objek pengajarannya. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 55.
79 Alwi, Islam Sufistik, h. 194. 80 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 56.
79
kaum sufi di pesantren, baik dalam hal pengembangan ajaran-ajarannya maupun
dalam amalan-amalannya.81
Namun demikian, terdapat berberapa permasalahan metodik-didaktik
dalam penerapan pendidikan yang berdimensi esoterik atau tasawuf di Indonesia.
Masalah itu ditimbulkan oleh kenyataan bahwa pengajaran agama di lembaga-
lembaga pendidikan kita (sekolah dan madrasah, dari tingkat paling bawah sampai
tingkat paling tinggi) umumnya didominasi oleh orientasi lahiriah Fiqh dan
Kalam, atau oleh segi-segi eksoteris. Kondisi ini melahirkan anak-anak didik yang
lebih paham, misalnya, syarat dan rukun bagi sah-tidaknya shalat, tanpa dengan
mantap mengetahui apa sesungguhnya makna shalat itu bagi pembentukan diri
pribadinya, lahir dan batin. Kemudian, karena dominasi Kalam, mereka (anak-
anak didik) lebih mampu, misalnya, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan ada,
tanpa memiliki keinsafan yang cukup mendalam tentang apa makan kehadiran
Tuhan (rasa Ketuhanan dalam kalbu) itu dalam hidup ini.82
Tetapi Nurcholish menegaskan, bukan berarti bahwa bukan berarti Fiqh
dan Kalam menjadi tidak penting. Fiqh dan Kalam tetap penting diajarkan kepada
anak didik, dan tasawuf – sehingga tumbuh menjadi disiplin kajian tersendiri
dalam lingkungan ilmu-ilmu keislaman – adalah sedikit banyak merupakan usaha
untuk membendung ekses orientasi lahiriah dari Fiqh dan Kalam (seperti yang
disebutkan diatas, umpanya). Tasawuf – sebagaimana yang dijelaskan Nurcholish
– lebih menekankan urusan batin, namun, tanpa meninggalkan urusan lahir.
Mereka terkenal kaya dengan lukisan-lukisan tentang bagaimana yang lahir itu
81 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 57. 82 Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 141.
80
terkait (tanpa mungkin dipisahkan) dengan yang batin, dan sebaliknya. “yang
batin memerlukan yang lahir, sebagaimana orang yang akan mampu mendaki
gunung (batiniah) dengan sendirinya harus mampu berjalan di tanah datar
(lahiriah).83
Jadi dalam masalah pendidikan yang berorientasi kepada pembinaan
moralitas adalah bagaimana cara menyadarkan anak didik akan makna ibadat-
ibadat itu bagi pembentukan diri pribadinya, yakni akhlaknya. Oleh karena itu,
tasawuf jelas sangat terkait dengan masalah ini. Karena ajaran tasawuf dapat
dikatakan sebagai pengejawantahan dari ajaran tentang ihsan, salah satu dari tiga
serangkai ajaran Islam (Islam, iman dan ihsan). Dengan demikian akan tertanam
dalam jiwa anak didik kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup, dan Tuhan
selalu mengawasi segala tingkah laku kita.84 “Kemana pun kamu menghadap,
maka di sanalah wajah Tuhan” (Q.S. 2:115). “Dia beserta kamu di mana pun
kamu berada, dan Dia mengetahui segala sesuatu yang kamu perbuat”. (Q.S. 57:4)
5. Sufisme dan Dunia Usaha
Masyarat Indonesia pada dasarnya adalah mayarakat yang baik dan tahan
menderita. Mereka bisa dibujuk untuk bersabar, termasuk tahan untuk menahan
lapar. Yang tidak bisa diterima oleh mereka adalah kalau anak-anak mereka juga
harus ikut menderita, tidak bisa makan, tidak bisa sekolah, dan lain-lain. Kondisi
ini yang biasa disebut dengan “kemiskinan” dalam arti yang sebenarnya, karena
sudah menyangkut sandang, pangan, dan papan. Pada gilirannya kejahatan, atau
83 Nurcholish, Masyarakat Religius, h. 142. 84 Sudirman, Orientasi Sufistik Cak Nur, h. 121.
81
kriminalitas merejala rela karena kemiskinan adalah salah satu penyebab utama
kejahatan.85 Kalau kondisinya sudah sampai seperti itu, maka segala macam
himbauan moral menjadi tidak relevan lagi. Maka pembahasan ekonomi dan dunia
usaha dirasa sangat diperlukan. Terlebih jika melihat kemajuan peraadaban suatu
bangsa dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekologi
(IPTEK), dan perkembangan ekonomi. Indonesia saat ini misalnya dikatakan
terpuruk, karena kehidupan ekonomi dan bisnisnya mengalami kemerosotan sejak
pertengahan 1997. Dengan demikian, untuk memulihkan pembangunan di
Indonesia, maka ia harus dapat memulihkan kembali – selain memajukan mutu
pendidikan – kehidupan ekonominya.
Kita sering mengutuk Karl Marx (1818-1883 M.) yang mengatakan bahwa
agama adalah candu masyarakat. Tetapi tanpa sadar kita sering membiarkan
agama benar-benar menjadi candu, yakni ketika masyarakat memahami
kemiskinan yang menimpa mereka sebagai “takdir Tuhan” yang tidak bisa diubah,
dan tidak perlu diubah. Sehingga muncullah kepasrahan-kepasrahan yang tidak
pada tempatnya.86 Misalnya, “Biarlah saya hidup miskin di dunia, yang penting
bisa bahagia di akhirat”. Sepintas kepasrahan semacam itu menunjukkan
keluhuran budi yang tiada tara, bahkan seperti layaknya kapasitas akhlak seorang
sufi.
Menurut Nurcholish, ekonomi merupakan garis sentuh antara hidup
nafsani-ruhani manusia dengan lingkungan jasmani atau kebendaan di sekitarnya.
Dalam bahasa Arab, “ekonomi” adalah “iqtishâd”, suatu istilah yang mengarah
85 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, cet. 3, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 129. 86 Nurcholish Madjid et. al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan
Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 463.
82
kepada pengertian tindakan hemat, penuh perhitungan, berkeseimbangan, dan
tidak boros. Sebab penggunaan benda yang tersedia dalam alam lingkungan hidup
manusia itu harus dilakukan dengan cara yang hemat (“ekonomis”).87 Jadi, sudah
menjadi suatu keharusan bagi manusia untuk hidup dengan cara ekonomis, dan
bukan hidup dengan kepasrahan-kepasrahan yang tidak pada tempatnya tadi.
Pembicaraan tentang ekonomi erat hubungannya dengan dunia usaha atau
bisnis, baik yang dilakukan individu (perorangan) maupun kelompok, dan sudah
barang tentu berkaitan dengan individu atau kelompok lainnya. Oleh karena itu,
dalam dunia usaha diperlukan perangkat-perangkat hukum (seperti undang-
undang penanaman modal, undang-undang perbankan, undang-undang
ketenagakerjaan, dan lain-lain). Namun, perangkat hukum tersebut tidak dapat
sepenuhnya menunjang dalam dunia usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan
perangakat lain, yakni “etos”88. Dalam konteks dunia usaha atau bisnis, maka
yang dibutuhkan adalah etos kerja yang matang pada setiap individu.
Perngertian etos ini mengarah kepada adanya keyakinan yang kuat akan
harga atau nilai sesuatu yang menjadi bidang kegiatan usaha atau bisnis. Yang
pertama-tama harus ada dalam etos bisnis ini ialah keyakinan yang teguh dan
mendalam tentang nilai penting dan penuh arti dari suatu bisnis. jadi, seseorang
disebut punya etos bisnis, jika padanya ada keyakinan yang kuat bahwa bisnisnya
bermakna pernuh bagi hidupnya. unsur keyakinan dalam bisnis ini umumnya
87 Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 241. 88 “Etos” berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karekter. Maka
secara lengkapnya “etos” ialah karakter dan sikap, kebiasaan seseorang individu atau sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlâq” atau bersifat “akhlâqî”, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 401.
83
terkait dengan masalah kesadaran tentang makna dan tujuan hidup. Seorang
pelaku bisnis harus dapat melihat bahwa bidang usahanya sebagai kelanjutan dari
makna dan tujuan hidupnya. Meskipun bisnis hanya bernilai alat atau jalan
mencapai tujuan, tapi karena dalam keyakinannya itu terletak demikian kuat
kaitan bisnis dengan makna dan tujuan hidupnya, maka seorang pelaku bisnis
tidak menyikapinya dengan setengah hati.89
Jika di atas disinggung bahwa “ekonomi” – yang erat kaitannya dengan
bisnis – adalah suatu istilah yang mengarah kepada pengertian tindakan hemat,
penuh perhitungan, berkeseimbangan, dan tidak boros, maka pepatah klasik
poluler “hemat pangkal kaya” adalah benar. Ini adalah sikap kesadaran seseorang
akan makna dan tujuan hidupnya yang berpandangan jauh ke depan. Asketisme
atau zuhud, baik perorangn maupun kemasyarakatan, diperlukan dalam etos bisnis
demi kesuksesannya sendiri. Zuhud merupakan the characteristic spirit, prevalent
tone of sentiment, of a people or community. Ungkapan “You may lose the battle,
but you shuld win the war”, “Wani ngalah duwur wekasane”, “Lebih baik mandi
keringat dalam latihan daripada mandi darah dalam pertempuran”, “Berakit-rakit
ke hulu berenang ketepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”
dan lain sebagainya”, adalah dalil-dalil yang sangat bersangkutan dengan etos
bisnis. Ini semua menunjukkan adanya sikap hidup berpandangan jauh ke depan,
dan tidak menjadi tawanan kekinian dan kedisinian.90
Sikap yang demikian, menurut Nurcholish, adalah sikap seorang yang
tidak berputus asa dan orang yang berani menempuh risiko. Tapi pada waktu yang
89 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3306. 90 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3308.
84
sama seorang pelaku ia adalah aorang yang “tahu diri” secara “pas”, yakni, tanpa
melebihkan diri sehingga menjadi sombong, atau mengurangkan diri sehingga
menjadi rendah diri dan kurang bersyukur kepada Tuhan. Ia tidak “rendah diri”
tapi “rendah hati”. Karena itu, jika mengalami sukses ia tidak mengklaim “kredit”
atau pengakuan hanya untuk dirinya sendiri semata, dan jika mengalami
kegagalan ia tidak menjadi nelangsa dan kehilangan harapan. Sebab, semua itu
tidak seluruhnya manusia sendiri yang menentukan, melaikan ada juga campur
tangan Yang Gaib. Jadi ia terus melakukan “ikhtiyâr”.91
Selanjutnya, Nurcholish menegaskan, bahwa dalam ikhtiyâr, harus
tertanam komitmen yang teguh atau niat dalam hati sebagai dasar nilai kerja,
karena nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai
pelakunya. Jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridlâ Allah) maka ia
pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti
misalnya, hanya bertujuan memeproleh simpati sesama manusia belaka), maka
setingkat tujuan itu pulalah nilai kerjanya tersebut.92 Dengan niat yang ditujukan
kepada Allah, maka kita tidak akan melakukan pekerjaan kita secara asal-asalan,
karena kita bertanggung jawab langsung kepada-Nya. Karena itu, dalam etos kerja
mengenal konsep yang disebut ihsân, yakni – yang langsung relevan dengan
persoalan kita tentang etos kerja ini – perbuatan baik, dalam pengertian sebaik
mungkin atau secara optimal.93 Jadi, ihsân adalah optimalisasi hasil kerja, dengan
91 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3309. 92 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 404. 93 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 407.
85
jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin.94
Kemudian di samping ihsân, juga digunakan ungkapan lain, yakni itqân yang
artinya kira-kira adalah mengerjakan sesuatau secara sunguh-sungguh dan teliti,
sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian satu dengan yang lain dari bagian-
bagiannya95
Hal yang demikian itu, terkait dengan konsep mengenai eksistensi
manusia. Menurut Nurcholish, pemahaman akan eksistensi manusia amat penting
agar manusia tidak terjebak dalam kungkungan alienasi, dimana seseorang tidak
lagi mampu menemukan dirinya karena ia telah menjadi tawanan kerja.
Melainkan kerja itulah yang membuat atau mengisi eksistensi kemanusiaannya.
Jadi, jika filosof Perancis, Rene Descrates, terkenal dengan ucapannya, “Aku
berpikir, maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya adalah
bentuk wujud manusia – maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu
seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada”.96
Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Kitab Suci. Ditegaskan
bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan
sendiri. Itulah yang dimakusdkan Nurcholish dengan ungkapan bahwa kerja
adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia – yakni apa yang
dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada
karena amalnya, dan dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai
94 Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu
membunuh, maka ber-ihsan-lah dalam membunuh itu; dan jika kamu menyembelih binatang (untuk dimakan), maka ber-ihsan-lah dalam menyembelih itu, dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenagkan binatang sembehannya itu. (H.R. Muslim)
95 Nurcholish et. al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, h. 470. 96 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 409.
86
harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan.97
Dengan demikian, manusia – dengan segala macam bidang usaha atau
pekerjaannya – tidak akan terjerumus dalam syirk, yakni mengalihkan tujuan
pekerjaannya selain kepada Tuhan, Sang Mahabenar (al-Haqq), yang menjadi
sumber nilai intrinsik pekerjaan manusia.
Yang demikian itu, adalah perilaku sufistik sebagai teknik pembebasan
manusia dari perangkap material ketika melakukan tindakan sosial-ekonomi
(baca: bisnis). Sebagaimana yang telah disinggung, praksis sufi bukan menjauhi
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu
sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam
tataran lebih spiritual dan Ilahiah. Itulah basis etik setiap laku sufi yang
seharusnya meresapi tiap tindakan manusia di dalam dunia usaha. Inti ajaran sufi
demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama di dunia yang
autentik.
Jadi, dengan dimensi esoteris Islam (sufisme) ini, bisnis berjalan sejajar
dengan kesungguhan dan dedikasi. Ia tidak dapat dilakukan sambil lalu. Dikaitkan
dengan makna dan tujuan hidup, semakin seseorang bersungguh-sungguh (Arab:
juhd, jihâd, ijtihâd, mujâhadah), semakin ia dapat diharap menemukan jalan
menuju tujuan hidupnya. Begitu pula kebalikannya, semakin jauh setengah hati,
semakin jauh pula tujuan untuk tercapai. Nurcholish menegaskan, Bisnis yang
berpandangan esotoerik seperti ini bukanlah mengada-ada. Kenyataannya, bahwa
dewasa ini banyak perusahaan dipimpin oleh para sufi, dalam arti nilai-nilai
97 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 410.
87
keruhanian telah memengaruhi begitu mendalam etos kerja para pimimpin
perusahaan. Inilah “Tasawuf@Work” (Tasawuf di Dunia Usaha).98
98 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3310.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf, sebagai aspek mistisme dalam Islam, pada intinya adalah
kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang
selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat dengan Tuhan, yang kemudian
memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala
eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang
Absolut.
Tidak dapat dipungkiri, pada perkembangannya, dalam ajaran-ajaran
sufisme terdapat – atau setidaknya dianggap – penyimpangan-penyimpangan dari
ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, dan tidak relevan dengan kehidupan manusia
modern, sehingga memunculkan kontroversi yang di kalangan umat Islam. Hal ini
menggugah Madjid – meski pun bukan orang yang pertama, karena sebelumanya
Fazlur Rahman dan Hamka, mislanya, telah mengemukakan hal yang serupa –
untuk melakukan pembaruan dalam ajaran-ajaran sufisme (khususnya di
Indonesia), dan menghadirkan relevansinya disetiap zaman.
Sufisme yang diperbarui atau di re-form oleh Madjid dengan istilah
“Sufisme baru” , atau “neo-Sufisme”, jika memang absah disebut demikian,
adalah sebuah esoterisisme atau penghayatan keagamaan batini yang
menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan.
Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, tapi jika hal itu
88
89
dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan,
yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dan aktifitas segar lebih
lanjut. Pengalaman metafisis pribadi seperti kasyf adalah absah, namun bersifat
pibadi dan tidak boleh diklaim sebagai mesti benar, sebab kebenaran suatu
pengalaman kasyf adalah sebanding dengan kebersihan hati yang bersangkutan.
Faqr (fakir) bukan hidup miskin tanpa harta dan kuasa, tapi berlaku bagai si
miskin atas harta dan kuasa yang dimiliki, sehingga seseorang mudah memberikan
harta dan kuasanya bagi kesejehteraan publik.
Di Indonesia, tasawuf mempunyai peranan penting dalam proses
islamisasi. Selanjutnya, sufisme merupakan teknik pembebasan manusia dari
perangkap meterialistik manusia modern ketika melakukan tindakan sosial,
politik, pendidikan, dan ekonomi (bisnis). Cara hidup sufi (perlilaku sufistik)
melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih
luhur dan manusiawi dalam tatanan lebih Ilahiah.
Jadi, sebagai kesimpulan akhir, sufisme memiliki relevansi yang sangat
signifikan di tengah-tengah habitan kemajuan ilmu dan teknologi kehidupan
masyarakat Indonesia-modern. Karena tasawuf merupakan potensi Ilahiah yang
berfungsi di antaranya untuk mendesain corak sejarah dan peradaban dunia.
Tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas baik yang berdimensi sosial, poliitk,
ekonomi maupun kebudayaan; tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan
pengontrol manusia, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasai
yang mengarah kepada dekadensi moral dan anomali nilai-nilai, sehingga tasawuf
akan mengahantarakan manusia pada tercapainya supreme moralitiy (keunggulan
90
moral); tasawuf mempunyai relevansi dan signifikansi dalam kemodernan dan
keindonesiaan, karena tasawuf secara imbang telah memberikan kesejukan batin
dan disiplin syarî‘ah sekaligus. Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan
sosial mana pun dan di tempat mana pun.
B. Saran
Sufisme memiliki peranan besar dalam menentukan arah dan dinamika
kehidupan masyarakat. Meski pun kehadirannya sering menimbulkan kontroversi,
akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sufisme memiliki pengaruh tersendiri
dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan
sosial masyarakat Indonesia yang senantiasa berkembang mengikuti gerak
dinamikanya.
Menyikapi kontroversi tersebut, – sebagaimana yang dikemukakan Madjid
– hendaknya kita menunjukkan kemungkinan suatu penilaian dari sudut
pandangan yang netral. Sebab kaum Muslim sendiri rata-rata telah memiliki
komitmen dalam sikapnya terhadap segi esoterik Islam itu yang akan
mempengaruhi penilaiannya dalam pro-kontranya.
Barang kali benar tuduhan beberapa tokoh pemikir Islam yang mengatakan
bahwa tasawuf telah menyebabkan kaum Muslim mundur karena ajaran-ajarannya
yang mengakibatkan jiwa “melempem”, atau, tasawuf sebagai biang keladi
kemunduran dunia Islam sekarang ini.
Jika hal itu dibenarkan, maka yang dapat dilakukan pada saat ini adalah
meninjau kembali segi-segi kebaikan dan kekuatan gerakan-gerakan tasawuf –
91
baik di berbagai perkumpulan-perkumpulan kaum sufi (tarekat) maupun di
pondok-pondok pesantren – serta meneliti segi-segi kelemahannya. Sebab, sampai
sekarang ini masih banyak kita temukan pusat-pusat atau institusi-institusi
penyebaran Islam yang menggunakan simbol-simbol tasawuf atau tarekat. Kita
mengenal tradisi marhabanan, sekaten, ratiban, dan sebagainnya yang tipikal
tasawuf. Kemudian, kelompok kaum Muslim yang memiliki “kesenian agama”
adalah terutama mereka yang dekat hubungannya dengan dunia tasawuf atau
tarekat, yaitu santri-santri, baik kesenian itu berupa seni baca al-Qur’an, qasidah,
sampai pada seni suluk dan bacaan shalawat – seperti “Shalawat Badar” yang
terkenal sangat mudah menggugah solidaritas dan semangat berjuang.
Memang, timbulnya praktek superstitious (takhayul) yang menyimpang
dari ajaran-ajaran ortodoks itu harus dicegah, tetapi jelas harus dipelihara unsur
kedalaman rasa keagamaan yang ada. Dalam hal ini, dunia tarekat di Indonesia
sendiri berhasil telah terlebih dahulu memagari diri, terlepas dari penilaian
berhasil atau tidaknya, dengan menekankan kesatuan mutlak antara syarî‘ah,
tharîqah, ma’rifah, dan haqîqah. Barangkali satu pagar lagi yang sangat
diperlukan, yaitu peningkatan taraf kecerdasan umat Islam pada umumnya. Suatu
tantangan baru yang harus diselesaikan oleh kaum sufi – baik di pesantren
maupun organisasi tarekat – di Indonesia.