konservasi rajungan berbasis masyarakat
-
Upload
amalia-inndah-kartika -
Category
Documents
-
view
663 -
download
10
description
Transcript of konservasi rajungan berbasis masyarakat
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus) banyak ditemukan pada daerah dengan
geografi yang sama seperti kepiting bakau (Scylla serrata). P. pelagicus dikenal
dengan nama rajungan, blue swimming crab atau kepiting pasir dan merupakan
hasil samping dari tambak tradisional pasang-surut di Asia. Di Indonesia pusat
penyebaran rajungan terdapat di Jawa Barat, Sulawaesi Selatan, Selat Malaka dan
Sumatra Barat. Sejak tahun 1973 di negara tetangga, rajungan (Portunus
pelagicus) merupakan hasil laut yang penting dalam sektor perikanan.
Rajungan di Indonesia sampai saat ini masih merupakan komoditas
perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dieksport terutama ke negara
Amerika, yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan. Rajungan juga dieksport
ke berbagai negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan
dalam bentuk olahan (dalam kaleng) dieksport ke Belanda. Komoditas ini
merupakan komoditas eksport urutan ketiga dalam arti jumlah setelah udang dan
ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan eksport rajungan masih mengandalkan
dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi
di alam. Alternatif yang sangat bijaksana untuk menghindari kepunahan jenis
kepiting ini melalui pengembangan budidaya.
Pada umumnya rajungan Indonesia lebih banyak ditangkap dengan
menggunakan jaring dan memasang perangkap, serta penangkapan secara tidak
sah dengan memasang pukat (pukat kecil). Rajungan merupakan usaha perikanan
skala kecil dan penangkapannya dilakukan oleh nelayan tradisional dengan
menggunakan perahu kurang dari 10 GT, baik perahu bermesin ataupun tidak.
Karena industri rajungan merupakan usaha kecil maka pemerintah setempatlah
yang bertanggung jawab, namun sampai saat pemerintah daerah belum
memberikan regulasi yang jelas pada pengelolaan usaha perikanan tangkap
khususnya rajungan.
1
Terkait kondisi tersebut, lama-kelamaan keberadaan rajungan di
habitatnya akan semakin terancam. Maka dari itu perlu adanya upaya konservasi
yang melibatkan masyarakat setempat guna menjaga kelestarian rajungan tersebut.
1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui potensi rajungan di
kabupaten Bangkalan-Madura dan memberikan alternatif upaya konservasi
rajungan.
2
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk ke dalam kelas crustacea yang
hidup sepenuhnya di air laut. Rajungan dengan mudah dapat dikenali dari bentuk
tubuhnya yang memiliki karapas cukup lebar. Karapas rajungan berbentuk
semitriangular dengan ornamen berbentuk titik-titik putih. Ornamen pada bagian-
bagian tersebut dapat menjadi ciri kematangan kelaminnya. Pada bagian dorsal
tubuh rajungan terdapat toraks (thorachic sterna) dan lipatan abdomen yang
berwarna putih. Bentuk lipatan abdomen berbeda antara jantan dan betina.
Rajungan memiliki tanda seksual dimorpisme atau perbedaan bentuk
antara jantan dan betina. Umumnya rajungan jantan memiliki ukuran lebih besar
dari yang betina. Jenis kelamin rajungan dapat dikenali dari ornamen pada
karapasnya. Ornamen putih pada rajungan jantan lebih jelas dan besar
dibandingkan betina. Warna biru lebih terlihat pada rajungan jantan yang
mendominasi hampir seluruh tubuh bagian dorsalnya terutama pada kaki dan
capitnya. Rajungan betina memiliki warna karapas hijau kekuningan. Pada bagian
ventral, tempat abdomen berada, warna tubuhnya putih baik pada jantan maupun
betina (Gambar 1. dan 2.).
Gambar 1. Rajungan Jantan
3
Gambar 2. Rajungan Betina
2.2 Reproduksi Rajungan
Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan gonad atau
dewasa pada ukuran lebar karapas 70-90 mm, ketika umurnya mendekati 12
sampai 18 bulan. Rajungan jantan dapat kawin dengan sejumlah betina pada saat
musimnya. Rajungan betina dapat mengerami sampai 2 juta telur per kantongnya.
Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya terjadi
pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan pertama di bulan Maret,
musim Timur di bulan Juli, dan musim peralihan kedua di bulan September.
Rajungan jantan yang matang gonad akan melepaskan cangkangnya
(moulting) beberapa minggu sebelum periode moulting betina. Rajungan jantan
membawa seekor betina yang dijepit dibawahnya selama 4 sampai 10 hari
sebelum betina moulting. Ketika rajungan jantan menjepit rajungan betina ini
disebut sebagai ”berpasangan” atau coupling. Perkawinan terjadi setelah betina
moulting dan ketika cangkangnya masih lunak. Sperma disimpan secara internal
dalam spermatheca tetapi pembuahan terjadi secara eksternal. Rajungan betina
yang menggendong telur-telurnya yang telah dibuahi diistilahkan dengan sponge
crab. Telur-telur yang telah dibuahi diletakkan dalam bagian abdomennya dan
memiliki bentuk seperti busa atau sponge. Telur yang masih muda berwarna
oranye dan secara bertahap berubah menjadi coklat dan hitam. Telur-telur yang
bersifat planktonis menetas antara tengah malam sampai pagi setelah sekitar 15
hari pada suhu 24°C.
4
Secara umum siklus hidup rajungan melalui beberapa fase yaitu telur,
zoea, megalopa, rajungan muda dan rajungan dewasa (Gambar 3.). Siklus hidup
P. pelagicus tersusun atas beberapa tingkat larva yang dilalui selama 26-45 hari
(Kangas, 2000). Menurut Juwana dan Romimohtarto (2000) terdapat empat fase
zoea dan satu fase megalopa selama perkembangan larva rajungan. Perkembangan
zoea I menjadi zoea II membutuhkan waktu dua sampai tiga hari. Perkembangan
dari zoea II, zoea III dan Zoea IV masing-masing membutuhkan waktu 2 hari.
Setelah fase zoea terlewati maka rajungan memasuki fase megalopa dan
selanjutnya menjadi crab I sampai crab IV yang masing-masing fasenya berselang
sekitar lima sampai 10 hari dan kemudian menjadi rajungan muda (young crab).
Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan
musim. Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm,
menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas
150-200 mm (Mossa 1980 dalam Fatmawati 2009).
Gambar 3. Siklus hidup Rajungan
5
2.3 Habitat Rajungan
Rajungan hidup pada habitat yang bermacam-macam seperti pantai dengan
dasar pasir, pasir lumpur, berpasir putih atau pasir lumpuran dengan rumput laut
di pulau-pulau karang dan di laut terbuka. Menurut Nontji (2007), rajungan
dewasa hidup di dasar perairan sedangkan stadia larva dan megalopa berenang
terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Habitat rajungan adalah perairan dengan
dasar pasir berlumpur.
Baik dewasa maupun juvenil P. pelagicus menempati lingkungan dasar
pantai yang terlindung dan betinanya bermigrasi ke laut lepas untuk memijah dan
kembali ke estuari selama beberapa waktu setelah memijah. Baik jantan maupun
betina bermigrasi dari estuari sebagai reaksi rendahnya salinitas
Rajungan juga terdapat pada zona intertidal sampai pada kedalaman
mencapai 50 m (Williams, 1982; Edgar, 1990). Pada perairan pantai rajungan
yang lebih kecil ditemukan pada perairan lebih dangkal sedangkan terdapat pada
habitat lamun dan rumput laut yang tersebar luas dan pada substrat lumpur yang
dewasa ditemukan pada perairan lebih dalam. Juvenil rajungan terdapat pada
daerah mangrove dan hamparan lumpur (mud flat) selama 8 sampai 12 bulan
hingga mencapai ukuran lebar karapas 80-100 mm.
2.4 Potensi Rajungan
Rajungan merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting
dan merupakan komoditas eksport yang permintaannya dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Umumnya seluruh kebutuhan rajungan diperoleh dari hasil
tangkapan di alam dan usaha eksploitasi hewan ini telah lama dilakukan, sehingga
kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan populasi di alam. Tingkat
pemanfaaatan potensi perikanan khususnya rajungan akan berpengaruh terhadap
kelesatarian stok.
Berdasarkan data statistik perikanan tahun 2006, jumlah produksi eksport
rajungan pada tahun 2005 sebesar 18.593 ton dengan nilai produksi sebesar
130.905.000 US$ (Statistik Perikanan, 2006). Sementara itu pada tahun 2004
menunjukkan bahwa produksi rajungan seluruh Indonesia mencapai 36.130 ton
6
(Statistik Perikanan, 2006), namun jumlah produksi tersebut mencukupi
kebutuhan eksport seluruh perusahaan pengeksport rajungan. Masuknya rajungan
di pasar eksport secara tidak langsung merupakan salah satu motivasi nelayan di
Indonesia untuk melakukan penangkapan rajungan sepanjang tahun.
Perairan Laut Jawa Kabupaten Bangkalan meliputi wilayah perairan
Bangkalan, Arosbaya, Tanjung Bumi, Klampis dan sebagian wilayah utara Socah.
Menurut data statistik perikanan di Kabupaten Bangkalan (2003) menunjukkan
bahwa penggunaan alat tangkap yang dipakai oleh nelayan Laut Jawa berupa
jaring tetap (26,23%) kemudian diikuti oleh jaring insang hanyut (19,74%) dan
purse sine (16,87%).
Rajungan merupakan usaha perikanan skala kecil dan mudah ditangkap di
daerah pantai. Rajungan biasanya ditangkap oleh usaha perikanan skala kecil yang
menggunakan perahu dibawah tonase 10 GT baik bermesin maupun tidak, namun
tidak jarang para nelayan yang tidak memiliki perahu. Hasil tangkapan kemudian
didaratkan di pelabuhan dan langsung di kumpulkan pada para
tengkulak.Diketahui bahwa sebanyak 65.000 nelayan dan sekitar 13.000
tengkulak yang mendapat keuntungan dari hasil perikanan khusus rajungan.
Jumlah produksi rajungan di kabupaten Bangkalan pada periode 1995 –
2000 menunjukkan hasil yang meningkat (Gambar 4.), namun jumlah produksi
rajungan semakin menurun pada periode tahun 2006 – 2010 (Gambar 5.).
1995 1996 1997 1998 1999 20000
20000400006000080000
100000120000140000
Tahun
Prod
uksi
(Kg)
Gambar 4. Produksi Rajungan Kabupaten Bangkalan Tahun 1995-2000
7
2006 2007 2008 2009 20100
100000
200000
300000
400000
500000
600000
700000
800000
Tahun
Pro
duks
i (Kg
)
Gambar 5. Produksi Rajungan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006–2010
Semakin meningkatnya kebutuhan rajungan secara tidak langsung
menuntut nelayan untuk melakukan penangkapan bahkan tidak jarang
penangkapan tersebut hingga menyebabkan over fishing yang justu dapat
mengakibatkan semakin berkurangnya hasil tangkapan pada maasa mendatang.
Pada perikanan tangkap yang telah berkembang pesat upaya konservasi sangat
diperlukan, sehingga pembangunan berkelanjutan dan kelestarian sumberdaya
perikanan dapat dijamin keberadaannya.
2.5 Upaya Konservasi
Pemanfaatan sumberdaya hayati perairan harus selalu diikuti dengan
pengendaliannya, antara lain dengan penerapan budidaya dan konservasi. Upaya
Konservasi dilakukan dengan cara budidaya Rajungan di karamba dan tambak.
Namun terdapat beberapa permasalahan dalam upaya konservasi rajungan tersebut
diantaranya permasalahan lingkungan dan ketersediaan benih baik kualitas dan
kuantitas.
8
2.5.1 Langkah-langkah melakukan Konservasi Rajungan1. Analisis Status Produksi Rajungan
Potensi rajungan yang terdapat di pesisir wilayah Pulau Madura, Jawa
Timur cukup tinggi. Daerah-daerah di Pulau Madura yang dikenal memiliki
potensi rajungan yang tinggi antara lain Desa Tengket di Kecamatan Arosbaya,
Desa Junganyar di Kecamatan Socah dan Desa Pulau Mandangin di Kecamatan
Sampang. Menurut DKP Kabupaten Bangkalan tahun 2006-2010, Hasil Produksi
Perikanan Laut menurut jenis rajungan yaitu terlihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Produksi Rajungan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006-2010
TahunJenis
Tangkapan
Produksi
(Kg)Harga/Kg (Rp)
Nilai Produksi
(x Rp. 1000)
2006 Rajungan 692.658,00 25.000 17.316.450.000
2007 Rajungan 678.801,00 25.000 16.970.025.000
2008 Rajungan 699.600,00 25.000 17.490.075.000
2009 Rajungan 588.830,00 25.000 14.720.750.000
2010 Rajungan 525.925,00 25.000 13.148.125.000
Tabel diatas menunjukkan bahwa hasil produksi rajungan dari tahun 2006-
2010 menunjukan kondisi yang menurun, hal ini dikarenakan banyak nelayan
yang menangkap rajungan kecil dan petelur, serta kurangnya kesadaran nelayan
akan pentingnya kelestarian rajungan untuk masa depan. Kurangnya sosialisasi
dari pemerintah terkait tentang pembatasan ukuran rajungan yang diperbolehkan
ditangkap dan tidak boleh ditangkap.
2. Analisis Habitat Rajungan
Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan
di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 meter)
sampai kedalaman 65 meter (Moosa, 1980). Rajungan hidup di daerah estuaria
kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan
telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria
(Nybakken, 1986).
9
Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan
tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu
ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau
dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang
jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu
perkawinan dengan berenang (Susanto 2010).
Rajungan hidup di berbagai ragam habitat, termaksud tambak-tambak ikan
di perairan pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman
perairan tempat rajungan ditemukan berkisar antara 0-60 meter. Substrat dasar
habitat sangat beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur
lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun (Juwana, 1997).
Rajungan merupakan salah satu jenis dari famili Portunidae yang
habitatnya dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, bahkan
ditemukan pula pada daerah-daerah subtropis (Nontji, 1986). Rajungan hidup
sebagai binatang dewasa di daerah estuaria dan di teluk pantai. Rajungan betina
bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya
dan begitu stadium larvanya dilewati rajungan muda tersebut bermigrasi kembali
ke muara estuaria (Nybakken, 1986). Rajungan hidup pada kedalaman air laut
sampai 40 meter, pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur (Coleman,
1991).
3. Analisis Siklus Hidup Rajungan
Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang
mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap
memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan
perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya (Effendy
dkk, 2006).
ketika fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas
pantai dan kembali ke daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Larva
rajungan cenderung sebagai pemakan plankton. Semakin besar ukuran tubuh,
rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang disukai
10
larva rajungan antara lain udang-udangan seperti rotifera sedangkan rajungan
dewasa lebih menyukai ikan rucah, bangkai binatang, siput, kerang-kerangan,
tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama udang-udang kecil, pemakan
bahan tersuspensi di daratan lumpur (Effendy dkk, 2006).
4. Analisis Pertumbuhan Rajungan
Pertumbuhan pada rajungan adalah perubahan ukuran, dapat berupa
panjang atau berat dalam waktu tertentu setelah moulting. Pertumbuhan
dipengaruhi oleh faktor jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen
terlarut, kualitas air, umur dan ukuran organisme (Fatmawati, 2010).
Rajungan dalam siklus hidupnya, mulai dari fase zoea sampai dewasa
mengalami pergantian kulit sekitar 20 kali dan ukuran lebar karapaksnya dapat
mencapai 18 cm (Nonji, 1986). Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan rajungan
jantan memiliki pertumbuhan lebar karapaks lebih baik dibandingkan dengan
betina (Soim, 1994).
5. Analisis Musim Pemijahan Rajungan
Pemijahan rajungan lebih mudah diamati dari pada ikan, hal ini dapat
ditandai dengan terdapatnya telur-telur yang sudah dibuahi yang masih terbawa
induknya yang melekat pada lipatan abdomen bersama pleopodanya
(Romimohtarto, 2005). Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun
dengan puncaknya terjadi pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan
pertama di bulan Maret, musim Timur di bulan Juli, dan musim peralihan kedua
di bulan September.
Untuk mengetahui kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan
(larva/anak) dapat dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan oleh individu betina
dalam suatu pemijahan. Perhitungan fekunditas umumnya dilakukan dengan
mengestimasi jumlah telur yang ada di dalam ovarium pada organisme matang
gonad. Jumlah telur yang dihasilkan oleh rajungan bervariasi tergantung besarnya
individu. Rajungan dengan panjang karapas 140 mm dapat menghasilkan 800.000
11
butir, sedangkan rajungan dengan panjang karapaks 160 mm dapat menghasilkan
2.000.000 dan rajungan dengan panjang karapaks 220 mm menghasilkan
4.000.000 butir (Nakamura, 1990).
Seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva mencapai lebih
sejuta ekor. Selanjutnya massa telur rajungan yang berwarna kuning atau jingga
berisi antara 1.750.000 hingga 2.000.000 butir telur (Nontji, 1986).
6. Analisis Permasalahan Sosial dan Ekonomi Masyarakatr Sekitar
Rajungan merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang
mempunyai nilai ekonomis penting di Indonesia. Beberapa species rajungan yang
memiliki nilai ekonomis adalah Portunus trituberculatus, P. gladiator, P.
sanguinus, P. astatoides, dan P. pelagicus (Nakamura, 1990 dan Supriyatna,
1990). Berdasarkan data terakhir Kabupaten Bangkalan (Anonim, 2007) bahwa
pada sentra (pusat) pengolahan rajungan tersebut telah melibatkan tenaga kerja
sebanyak 450 orang, dengan rincian tugas sebagai berikut : (1) tenaga pengukus
20 orang, (2) tenaga pengupas sebanyak 150 orang, dan (3) tenaga penangkap
sebagai nelayan sebanyak 300 orang. Basis pemasaran rajungan di Indonesia
cukup luas mulai dari Asia, Amerika dan Afrika. Volume eksport rajungan terus
mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Rajungan yang bernama latin P.
Pelagicus, merupakan jenis kepiting yang sangat populer dimanfaatkan sebagai
sumber pangan dengan harga yang cukup mahal (Direktorat Jendral perikanan,
1994 dalam Fatmawati, 2009). Rajungan yang memiliki beberapa keunggulan
yang sangat potensial untuk dikembangkan. Keunggulan nilai gizi rajungan adalah
kandungan proteinnya yang cukup besar, yaitu sekitar 16-17 g/100 gram daging.
Angka tersebut membuktikan bahwa rajungan dapat dimanfaatkan sebagai sumber
protein yang cukup baik dan sangat potensial (Coleman, 1991). Adapun harga
rajungan yang tergantung dari statusnya yaitu untuk rajungan segar dengan harga
berkisar Rp 22.500-25.000/kg, rajungan yang sudah direbus dengan harga
Rp 27.500-30.000/kg, dan daging rajungan dalam bentuk kemasan dengan harga
Rp 250.000-300.000/kg tergantung dari kualitas dan mutunya (Anonim, 2007).
12
2.5.2 Konservasi Rajungan
1. Penggunaan Alat Tangkap yang Ramah Lingkungan
Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap
yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana
alat tangkap tersebut merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat
tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Faktor lain adalah dampak
terhadap biodiversity dan target resources yaitu komposisi hasil tangkapan,
adanya bycatch serta tertangkapnya ikan-ikan muda. Menurut Balai Besar
Pengembangan Penangkapan Ikan, alat tangkap yang ramah lingkungan untuk
rajungan yaitu alat tangkap bubu.
Nelayan rajungan didesa Tengket, kecamatan Arosbaya, kabupaten
Bangkalan merupakan salah satu kelompok nelayan yang menggunakan bubu lipat
sebagai alat tangkap rajungan. Rata-rata nelayan rajungan memiliki 200-600 bubu
lipat dengan ukuran mata jaring pada kisaran 1,5 inchi – 2,5 inchi. Ukuran mata
jaring pada kisaran tersebut masih kurang besar untuk kelestarian sumberdaya
rajungan, ukuran mata jarring untuk alat tangkap rajungan yang berwawasan
lingkungan yaitu >4 inchi. Kecilnya ukuran mata jarring membuat anakan
rajungan yang berukuran kurang dari 8 cm tertangkap, pada dasarnya rajungan
yang berukuran <8 kurang memiliki nilai ekonomis, sehingga sangat disayangkan
apabila rajungan-rajungan kecil ikut tertangkap. Tertangkapnya rajungan-rajungan
kecil akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya rajungan yang ada. Untuk itu
perlu adanya perhatian terhadap keberadaan ukuran mata jaring pada alat tangkap
bubu lipat yang digunakan oleh nelayan rajungan.
13
Gambar 6. Prosentase ukuran rajungan yang tertangkap
Desa junganyar, kecamatan socah, kabupaten bangkalan menggunakan
jaring sebagai alat tangkap rajungan. Panjang jaring yang digunakan nelayan di
kecamatan socah yitu 10 meter/unit, dan lebar 1,5 meter/unit. Rata-rata nelayan di
Kecamatan Socah membawa 10 unit jaring dalam setiap trip penangkapan
rajungan. Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan kebanyakan berukuran
2,5 – 3,5 inci. Berdasarkan pengamatan dilapang, banyak rajungan kecil yang
tertangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring. Rajungan kecil yang
tertangkap tidak dilepaskan kembali ke laut, akan tetapi tetap dijual. Hal tersebut
dikarenakan minimnya tangkapan, sehingga semua hasil yang tertangkap entah
dalam ukuran kecil atau besar tetap dijual.
2. Konservasi Rajungan Petelur
Pengertian pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI) berkelanjutan adalah
pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana SDI yang ada saat ini mampu
memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, di mana
aspek keberlanjutan harus meliputi aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat
dan institusi. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak melarang aktifitas penangkapan
yang bersifat ekonomi/komersial, tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa
tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan
perairan atau kemampuan pulih SDI (MSY), sehingga generasi mendatang tetap
memiliki asset sumberdaya ikan yang sama atau lebih banyak dari generasi saat
14
ini. Suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat
mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan secara
ekologi, sosial dan ekonomi (Bengen, 2005).
Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa kegiatan
pengelolaan SDI dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistim,
memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan SDI dapat
berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan
pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas
sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas
sosial, dan pengembangan kelembagaan Sedang keberlanjutan secara ekonomi
berarti bahwa kegiatan pengelolaan SDI harus dapat membuahkan pertumbuhan
ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan SDI serta investasi secara efisien.
Penangkapan rajungan di pulau Madura tidak berwawasan lingkungan.
Hal ini dikarenakan banyak nelayan yang tetap menangkap rajungan kecil dan
rajungan petelur. Rajungan kecil dan rajungan petelur sangat mempengaruhi
keberadaan sumberdaya rajungan di masa mendatang, karena terputusnya
regenerasi dari sumberdaya rajungan yang ada. Komposisi rajungan petelur dari
1000 sampel rajungan dapat dilihat pada gambar 7 berikut.
Gambar 7. Komposisi Rajungan Bertelur
15
Dari gambar diatas dapat dilihat komposisi rajungan yang tertangkap
dalam kondisi bertelur cukup besar yaitu 21%. Dari 1000 sampel rajungan apabila
dalam 1 ekor rajungan yang bertelur mempunyai 4000 telur, maka ada 840.000
calon rajungan muda yang akan hilang. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi
kelestarian rajungan di masa mendatang. Kondisi tersebut perlu mendapatkan
perhatian yang serius, konservasi sumberdaya rajungan dirasakan perlu dilakukan
untuk menekan kelestarian sumberdaya rajungan. Konservasi rajungan yang
bertelur bisa dilakukan dalam suatu karamba percontohan.
3. Konservasi Rajungan Pembesaran
Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga berpengaruh
terhadap hasil tangkapan rajungan yang berukuran kecil. Komposisi rajungan
yang ukuran kecil dari 1000 sampel rajungan dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Komposisi Ukuran Rajungan
Dari gambar diatas dapat dilihat komposisi rajungan yang tertangkap
dalam ukuran <8 sebanyak 9%. Untuk rajungan ukuran >8<12 sebanyak 48% dan
rajungan yang berukuran >12 sebanyak 43%. Maka perlu dilakukan
pembudidayan untuk rajungan kecil untuk menekan kelestarian sumberdaya
16
rajungan.Konservasi rajungan yang kecil bisa dilakukan dalam suatu karamba
percontohan.
4. Pengalokasian Area Pembesaran dan Penetasan Telur Rajungan
Areal tempat pemeliharan rajungan pembesaran dan bertelur di tempatkan
di desa Tengket, kecamatan Aroesbaya, kabupaten Bangkala, Madura, Jawa
Timur. Tempat tersebut memiliki arus laut yang tidak terlalu besar dan tempat
pemeliharaan aman dari gangguan predator atau dari gangguan manusia. Daerah
pembesaran berada pada kordinat E 1120 49’ 250” untuk mencapai lokasi
pembesaran membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Kegiatan pembesaran rajungan
bertujuan untuk mengetahui berapa persen pakan optimum yang dibutuhkan,
karena dengan mengetahui berapa pakan optimum dapat diperkirakan besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk pembesaran rajungan.
5. Penjelasan Konservasi Rajungan (Edukasi) kepada Masyarakat Sekitar
Upaya penyuluhan yang telah dilakukan di Sekolah Dasar (SD) Kab.
Bangkalan, dilakukan dengan sangat menarik yaitu dengan menggunakan poster-
poster bergambar, sehingga para siswa tertarik akan masalah penangkapan
rajungan dan konservasi. Selain itu penyuluhan dilakukan dengan cara menonton
film yang bertemakan rajungan. Diharapkan setelah mereka mengenal rajungan,
maka usaha untuk melestarikan rajungan dengan cara melarang pengambilan
rajungan yang sedang bertelur dan yang masih kecil dapat memberi kesadaran
bagi mereka pula bagi orang tua masing-masing.
17
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rajungan merupakan hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi
dan merupakan komoditas eksport. Kabupaten bangkalan merupakan salah satu
daerah penghasil rajungan, namun penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan
tidak ramah lingkungan sehingga dapat mengancam keberadaan rajungan untuk
generasi yang akan dating.
Melihat kondisi tersebut maka perlu adanya upaya konservasi yang
dilakukan yaitu dengan cara penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan
seperti bubu lipat dengan ukuran mata jaring 2,5-4,5 inchi, tidak menangkap
rajungan yang sedang bertelur, melakukan upaya budidaya serta penyuluhan pada
masyarakat sekitar tentang pentingnya kelestarian sumberdaya ikan, khususnya
rajungan.
3.2 Saran
Upaya konservasi rajungan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang
sadar akan pentingnya kelestarian SDI, namun harus melibatkan stekholder
lainnya, terutama pemerintah dalam menetapkan peraturan yang berkaitan dengan
kelestarian rajungan. Pemerintah diharapkan mampu memberikan regulasi yang
jelas tentang batasan ukuran rajungan yang diperbolehkan untuk ditangkap serta
pelarangan menangkap rajungan yang serta bertelur dan pemerintah harus
memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar.
18
DAFTAR PUSTAKA
Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An Inprint of harper colling Publishers. Australia, 324 pp.
Edgar, G.J. 1990. Predator-prey interactions in seagrass beds. II. Distribution in diet of the blue manna crab, Portunus pelagicus (L.) at Cliff Head,Western Australia. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 139:23–32.
Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H. Batubara, dan M. Syaichudin. 2006. Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaenus). Diterbitkan Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan dengan Balai Budidaya Air Payau, Takalar.
Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran Rajungan Di Daerah Mangrove Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Nontji, A.1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan .Jakarta.
Potter, I.,P.Christal dan N. Loneragan. 1983. The Biology of the blue manner crab Portunus pelagicus in an Australian Estuary. Mar Biol. 78:75-85.
Williams M.J. 1982. Natural food and feeding in the commercial sand crab Portunus pelagicus Linnaeus, 1766 (Crustacea: Decapoda: Portunidae) in Moreton Bay Queensland. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology.Vol.59,no.2-3,pp.165-176.1982.
Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus,Linn). Oseana 22(4); 1-12.
Moosa, M.K. 1980. Beberapa catatan mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu. Rangkuman Hasil Penenlitian Pelita II LON. Jakarta.
Nakamura K dan Supriyatna. 1990, Organogenesis dirung methamorphosis in the swimming crab, portunus trituberculatus, Nippon Suisan Gakkaishi, 56 (10): 1,561-1,564.
Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hlm.
Nybakken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologi. Penerbit Gramedia, Jakarta.
19
Soim, A. 1994. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya. Jakarta.
20