KONSERVASI PENYU DI INDONESIA .pdf
-
Upload
aan-amilah -
Category
Documents
-
view
1.275 -
download
7
Transcript of KONSERVASI PENYU DI INDONESIA .pdf
KONSERVASI PENYU DI INDONESIA
(Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Berbagai
Spesies Penyu Lain) Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dan merupakan tugas
akhir pada Mata Kuliah Zoologi Vertebrata dengan dosen pengampu
Dosen : Dr.Hj.Tuti Kurniati, M.Pd
Assisten : Sumiyati Sa’adah, M.Si
Disusun oleh:
Aan Amilah (1211206002)
IV/A
JURUSAN PEND. MIPA PRODI PEND. BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim.....
Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan semesta alam Allah SWT. Berkat
izinnya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Solawat
serta salam juga tetap terlimpah pada sang revolusi Islam Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya.
Saya selaku penyusun menghaturkan terimakasih kepada rekan-rekan yang
telah membantu dalam memberikan saran dalam penyusunan makalah ini dan
membantu dalam mencari berbagai referensi sehingga akhirnya makalah ini dapat
tersusun dengan baik.
Makalah yang berjudul PENYU ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuannya khususnya
yang berkaitan dengan judul materi ini.
Bandung, Mei 2013
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
C. Tujuan Pembahasan .................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Jenis dan Sebaran Penyu
1. Identifikasi Jenis ................................................................. 4
2. Bentuk Luar Penyu ............................................................ 6
B. Keadaann Penyu Saat Ini
1. Kelimpahan dan Kecenderungan Populasi ........................... 12
2. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia .... 18
C. Bio-Ekologi Penyu
1. Reproduksi ........................................................................ 21
2. Siklus Hidup Penyu ............................................................ 32
D. Jalur Migrasi Penyu
1. Jalur Migrasi Penyu Hijau ................................................... 34
2. Jalur Migrasi Penyu Belimbing ........................................... 35
3. Jalur Migrasi Penyu Abu-Abu ............................................. 36
E. Status Perlindungan Penyu ........................................................... 37
F. Ancaman dann Permasalahan Penyu ............................................ 38
G. Deskripsi Penyu Hijau ............................................................ 45
H. Nasib Penyu Hijau di Indonesia ................................................... 47
I. Pembudidayaan Penyu Hijau ........................................................ 50
BAB III SIMPULAN ................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dari luas laut sekitar 3,1
juta km2 (0,3 juta km2 perairan territorial dari 2,8 juta km2 perairan nusantara)
atau 62% dari luas territorial. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal
dengan kekayaan dan keanekaragaman dan sumber daya alamnya baik
sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu
karang ) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan
gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa
di sekitar kelautan mempunyai potensi yang sangat besar dalam bangunan di masa
depan (Dahuri,2001). Kondisi ini merupakan habitat yang sesuai bagi penyu untuk
singgah dan bereproduksi di pantai kepulauan Indonesia. Di Indonesia terdapat 6
dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Dari 6 jenis penyu tersebut, 4 jenis
diantaranya: yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eremochelys imbricate),dan penyu lekang
(Lepidochelys olivacea) telah diketahui berbiak di Indonesia, sementara jenis yang
lain, penyu tempayan (Caretta caretta) diduga juga berbiak disini (Salm, 1984;
salm dan Halim, 1984; Kitchener, 1996). Jenis keenam, penyu pipih (Natator
epresus) diketahui hanya berbiak di Australia, tetapi telah teramati mencari makan
di perairan Indonesia (Kitchener, 1996).
Sampai saat ini kehidupan penyu di Indonesia sangat terancam, keseriusan
ancaman penyu di Indonesia dari kepunahan nampak dari kekhawatiran Green
peace (1989) dalam Nuitja, 1997 mengatakan bahwa pertambahan populasi secara
alamiah penyu laut di Indonesia mendekati nol. Bahkan IUCN, 1984 dan
TRAFFIC Japan sudah mulai mengkhawatirkan dimasa mendatang penyu tidak
akan ditemukan lagi di Indonesia (Troeng, 1997). Pembantaian penyu dan
pengambilan telur penyu di Indonesia telah mendorong kearah kepunahan penyu
2
laut, sebab secara alamiah keberhasilan hidup penyu hanya 1% dari seluruh telur
yang dihasilkan. Pembantaian penyu dan pengambilan telur secara liar telah
mendorong menurunnya populasi penyu di Indonesia. Bahkan catatan terakhir
WWF menyatakan penurunan populasi penyu di Indonesia mencapai 60%
(Partomo, 2004).
Penyu merupakan hewan langka dunia, sehingga kepunahan penyu di
Indonesia akan sangat merugikan Indonesia baik akibat kehilangan
keanekaragaman hewan maupun posisi Indonesia di percaturan Internasional.
Sebagai contoh Green Peace mengancam memboikot wisata ke Indonesia akibat
pemantaian penyu di Bali tahun 1989, di Tingkat Asean tahun 1997 telah ada
perjanjian bersama untuk perlindunan penyu, bahkan ASEAN Serikat memboikot
ekspor udang dari ASEAN akibat menggunakan jaring yang membunuh penyu
(Arshad Khan, 2003).
Secara formal, pemerintah Indonesia telah berusaha melindungi penyu dari
kepunahan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan pemerintah tersebut
ditetapkan semua jenis penyu dilindungi. Beberapa tempat juga telah ditetapkan
sebagai kawasan perlindungan penyu di Indonesia di antaranya, Taman Nasional
Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, Suaka Margasatwa Jamursba Medi
Irian Jaya dan lain-lain. Salah satu usaha perlindungan adalah dengan
menyelamatkan telur penyu di pantai, membesarkan dan melepas ke laut. Namun
permasalahan yang muncul akibat kurang pengetahuan pelaksana dan pendanaan
ternyata banyak telur penyu yang tidak menetas dan anak penyu yang mati selama
perawatan. Maka dari itu, makalah ini akan membahas tetang penyu dan
kehidupannya di alam.
3
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka saya dapat menyimpulkan rumusan
masalah menjadi beberapa pertanyaan yaitu:
1. Bagaimana bentuk luar penyu dan terdiri apa saja bagian tumbuhnya?
2. Seperti apa keadaan penyu saat ini (kelimpahan dan keragaman)?
3. Bagaimana tahapan penetasan telur penyu?
C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah yang telah kami rumuskan maka tujuan dari
pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. engetahui bentuk luar penyu dan terdiri apa saja bagian tumbuhnya.
2. Mengetaui keadaan penyu saat ini (kelimpahan dan keragaman).
3. Mengetahui tahapan penetasan telur penyu.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jenis dan Sebaran Penyu
1. Identifikasi Jenis
Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya
sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu
terdiri dari bagian-bagian:
a. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian
punggung dan berfungsi sebagai pelindung.
b. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.
c. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas
dengan lastrón. Bagian ni dapat digunakan sebagai alat identifikasi.
d. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat
dayung.
e. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi
sebagai alat penggali. Gambaran bagian-bagian tubuh penyu dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Tungkai depan
Plastron
Karapas
Infra
marginal Kuku Tungkai
Tungkai belakang
Bagian-Bagian Tubuh Penyu (Sumber: Yayasan Alam Lestari, 2000)
Tampak dari dorsal Tampak dari ventral
5
Family : Cheloniidae, meliputi :
Species :
1) Chelonia mydas (penyu hijau)
2) Natator depressus (penyu pipih)
3) Lepidochelys olivacea (penyu abu)
4) Lepidochelys kempi (penyu kempi)
5) Eretmochelys imbricata (penyu sisik)
6) Caretta caretta (penyu karet atau penyu tempayan)
Family : Dermochelyidae, meliputi :
Species :
7) Dermochelys coriacea (penyu belimbing)
Dari 7 spesies penyu di atas, penyu jenis Lepidochelys kempi (penyu kempi) tidak
berada di Indonesia, tapi berada di Ameraka Latin. Oleh karena itu pada
pembahasan makalah ini tidak dibahas tentang Penyu Kempi tetapi hanya
membahas ke 6 penyu diatas yng beada di Indonesia.
Tabel 1. Nama ilmiah, internasional dan nama daerah (Indonesia)
NO NAMA ILMIAH DAN
INTERNASIONAL NAMA DAERAH
1 Chelonia mydas (Green turtle)
Penyu Hijau (Jawa Barat dan Kalimantan Timur), Penyu Daging (Bali), Penyu Sala (Sumbawa), Katuwang (Sumatera Barat), Penyu Pendok (Karimun Jawa)
2 Natator depressus (Flatback turtle) Penyu Pipih
3 Lepidochelys olivacea (Olive ridley turtle)
Penyu Abu-Abu
4 Dermochelys coriacea (Leatherback turtle) Penyu Belimbing
6
5 Eretmochelys imbricata (Hawksbill turtle)
Penyu Sisik (Jawa Barat, Sumatera Barat, Bali, Belitung, Simelue, Pulau Seribu, Sulawesi, Kalimantan Timur), Penyu Genting (Jawa Timur), dan Penyu Sisir (Madura)
6 Caretta caretta (Loggerhead turtle) Penyu karet dan penyu tempayan
Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan pada hal-hal berikut:
a. Bentuk luar (morfologi)
b. Tanda-tanda khusus pada karapas
c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan
bertelur
d. Pilihan habitat peneluran
2. Bentuk luar penyu
Identifikasi penyu berdasarkan bentuk luar (morfologi) setiap jenis
dapat dilihat pada Tabel dibawah. Tata cara atau kunci identifikasi jenis
penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi dapat dilihat pada abel dibawah ini.
Tabel 2. Identifikasi Berdasarkan Bentuk Luar
(Morfologi) Jenis Penyu
NO JENIS-JENIS PENYU CIRI-CIRI MORFOLOGI
1 Chelonia mydas (Penyu Hijau)
Karapas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing dipunggung, kepala bundar.
2 Natator depressus (Penyu Pipih)
Karapas meluas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing di belakang, kepala yang kecil dan bundar.
3 Lepidochelys olivacea (Penyu Abu-Abu)
Karapas berbentuk seperti kubah tinggi, terdiri dari 5 pasang “coastal scutes” dimana disetiap sisi terdiri dari 6-9 bagian. Bagian pinggir karapas lembut. Karapas berwana hijau gelap (dark olive green) dan bagian bawah berwarna kuning. Kepala penyu abu-
7
abu tergolong besar.
4 Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing)
Punggung memanjang berbentuk buah belim bing , epalanya sedang serta membundar, kaki depan panjang serta punggung berwarna hitam, hampir seluruhnya disertai bintik-bintik putih.
5 Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik)
Bentuk karapas seperti jantung (elongate) , meruncing dipunggung, kepalanya sempit seta karapasnya berwarna coklat dengan beberapa variasi terang mengkilat.
6 Caretta caretta (Penyu Tempayan)
Bentuk memanjang, meruncing dibagian belakang,kepala berbentuk “triangular” hampir seluruhnya berwarna cokelat kemerah-merahan.
Gambar 2. Kunci identifikasi jenis penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi (Sumber: Queensland Department of Environment and Heritage)
Perbedaan bentuk morfologi setiap jenis penyu dapat dilihat pada Gambar.
Penyu Hijau (Chelonia mydas) Tampak Atas
Penyu Pipih (Natator depressus) Tampak Atas
8
Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivacea) Tampak Atas
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Tampak Atas
Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) Tampak Atas
9
Penyu Tempayan (Caretta caretta) Tampak Atas
c. Jejak, ukuran sarang dan kebiasaan bertelur penyu
Identifikasi jenis penyu berdasarkan jejak (track), ukuran sarang dan
kebiasaan bertelur penyu dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Identifikasi Berdasarkan Jejak (track) dan Ukuran Sarang
NO JENIS
IDENTIFIKASI
JEJAK
UKURAN SARANGA
DAN KEBIASAANN
BERTELUR
1 Chelonia mydas (Penyu Hijau)
Lebar jejak + 100 cm Bentuk pintasan dan
tanda diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya.
Kedalaman antara 55-60 rb
2 Natator depressus (Penyu Pipih)
Lebar jejak + 90 cm Pintasannya jelas dengan
tanda diagonalnya yang berpola simetris dibuat oleh tungkai depannya.
Pembuatan sarang dilakukan di pantai terbuka dan luas, di daratan atau di pulau-pulau besar berhabitat karang.
3 Lepidochelys olivacea (Penyu Abu-Abu)
Lebar jejak + 80 cm Bentuk pintasan
dangkal, tanda diagonal yang dibuat tungkai depannya tidak simetris.
Bertelur setiap saat (malam atau siang), ditemukan serentak dalam beberapa hari “arribada” Arribada adalh perilaku unik dari betina L. Olivacea yang bersarang secara serentak pada waktu
10
tertentu. Penyu ini bertelur di daerah tropis berpohon.
4 Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing)
Lebar jejak antara 150-200 cm
Pintasan sangat dalam dengan tanda diagonal yang simetris.
bertelur di pantai yang luas dan panjang di daerah yan trois.
5 Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik)
Lebar jejak antara 75-80 cm
Bentuk pintasan dangkal, tanda diagonal yang dibuat tidak simetris.
Tempat bertelur memilih di pasir koral atau pasir granit. Kedalaman sarang paling dangkal dibanding jenis penyu lainnya.
6 Caretta caretta (Penyu Tempayan)
Lebar track antara 90-100 cm
Pintasannya ajelas tetapi dalam dan tanda diagonalnya yang berpola dibuat oleh kaki depannya
Pembuatan sarang umumnya dilakukan di pantai pada daratan pulau besar
Pengukuran jejak setiap jenis penyu bertelur dilakukan mulai saat naik dari
permukaan air menuju intertidal sampai mencari lokasi yang cocok untuk digali.
Pengukuran jejak dilakukan malam hari. Contoh jejak beberapa jenis penyu
disajikan pada gambar di bawah ini.
Contoh jejak beberapa jenis penyu. (1) penyu sisik; (2) penyu belimbing; dan (3) penyu hijau
(1. Ali Mashar, 2007;2..www.bss.sfsu.edu; 3. www.ecoworld.com)
Panjang kaki belakang (pore flipper) pada penyu jenis tertentu
menentukan dalamnya sarang. Secara umum penyu mampu membuat lubang
11
sarang sejauh panjang jangkauan kaki belakangnya untuk mengeduk pasir di
sekitarnya. Sarang yang paling dangkal adalah yang dibuat oleh penyu sisik
karena kaki belakang penyu sisik adalah yang terpendek diantara penyu lainnya.
Sebagai gambaran jumlah telur dan kondisi sarang telur beberapa jenis penyu
dapat dilihat pada gambar ini.
Gambaran kondisi sarang telur penyu hijau di alam dan penghitungan telur penyu sisik oleh petugas Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Pesisir Selatan di Pulau Penyu, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
12
B. Keadaan Populasi Penyu Saat Ini
A. Kelimpahan dan kecenderungan populasi
Penyu hijau, penyu sisik, penyu belimbing dan penyu abu-abu
adalah jenis penyu yang terdapat di perairan Indonesia dan telah masuk
dalam daftar Appendix I CITES. Upaya untuk menghitung kelimpahan
populasi berbagai jenis penyu yang ada di Indonesia. Sebelum tahun
1997 pernah dilakukan (Tomascik et al, 1997), namun setelah periode
tersebut pembaruan data belum pernah dilakukan. Data kelimpahan
populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun hanya
ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Jamursba Medi–Warmon di
Papua, Kabupaten Berau - Kalimantan Timur serta pantai Sukamade dan
Ngagelan di Jawa Timur.
Semua jenis penyu di lokasi tersebut mengalami penurunan,
kecuali populasi bertelur penyu Lekang di pantai peneluran Alas Purwo,
Jawa Timur. Pada penjelasan di bawah ini disajikan contoh kelimpahan
populasi beberapa jenis penyu di beberapa pantai peneluran.
a. Kelimpahan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi –
Warmon, Papua
Pantai Jamursba Medi adalah lokasi peneluran penyu
belimbing terbesar di kawasan Pasifik (Hitipeuw et al, 2007).
Panjang kedua pantai tersebut adalah 18 km dan 6 km. Hasil
pemantauan terhadap populasi penyu belimbing oleh WWF dan
rekan dari tahun 1993–2004 yang dilakukan oleh Hitipeuw et al
(2007) menunjukkan bahwa jumlah sarang telur (nest) penyu di
pantai Jamursba Medi berfluktuasi dan diprediksi antara 1921–
13.360 sarang, dengan rerata 4573 ± 2910 (SD). Angka ini diduga
ditelurkan oleh sekitar 300–900 ekor penyu betina. Angka yang
sebanding juga diperoleh di lokasi peneluran Warmon yang berjarak
± 30 km dari Jamursba Medi.
Berdasarkan pemantauan pada periode 1993–2004, jumlah
penyu belimbing yang bertelur di kedua lokasi ini diperkirakan
13
antara 600–1800 ekor per-tahun. Musim bertelur puncak di Jamursba
Medi adalah pada Bulan April–September, sedangkan di Wermon
adalah Oktober–Maret. Kecenderungan populasi (population trend)
di Jamursba Medi mengalami penurunan, demikian pula prediksi di
Warmon.
Jumlah sarang telur (nests) penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) per musim di pantai peneluran
Jamursba Medi, Papua. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Hitipeuw et al, 2007.
b. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur
Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
adalah salah satu lokasi peneluran dan ruaya pakan penyu hijau di
Asia (Adnyana, 2003; Adnyana et al, 2007). Kepulauan ini terletak
di wilayah perairan seluas ± 1.222.988 ha, lokasinya mulai dari
Pulau Panjang (di Utara) hingga semenanjung. Mangkaliat (di
Selatan). Di Perairan ini terdapat 31 pulau-pulau kecil dimana 9
diantaranya tempat penyu bertelur, yaitu Pulau Derawan, Sangalaki,
Samama, Maratua, Bulang-Bilangan, Mataha, Sambit, Balikukup
dan Pulau Kaniungan. Pulau Kaniungan adalah lokasi bertelur bagi
penyu sisik. Situasi pulaupulau penyu yang tersebar di seluruh
14
perairan Berau tidak memungkinkan dilakukannya pemantauan
populasi di semua tempat Kelimpahan populasi bertelur penyu hijau
di wilayah ini diperkirakan antara 4500–5000 ekor per tahun
(Tomascik et al, 1997; Adnyana, 2003). Musim peneluran terjadi
sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar Bulan Mei–Oktober.
Pulau Sangalaki adalah pulau dengan kepadatan bertelur
tertinggi, menyumbang lebih dari 30% dari total keseluruhan
populasi bertelur di Kabupaten Berau (Adnyana et al, 2007).
Pemantauan populasi yang dilakukan di pulau ini sejak awal Tahun
2002 menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin
menurun (Gambar 8). Bahkan jika dibandingkan dengan total sarang
telur penyu yang dicatat pada periode tahun 1985-1990, rerata (±SD)
jumlah sarang pada periode 2002–2007 (4151 ± 1088) adalah sekitar
57,5% dari rerata yang diperoleh pada periode 1995 – 2000
(Adnyana et al, 2007).
Jumlah sarang telur (nests) penyu Hijau (Chelonia mydas) per tahun di Pulau Sangalaki, Kalimantan
Timur. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Adnyana et al, 2007.
15
c. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Pantai Sukamade, Jawa
Timur
Pantai Sukamade yang terletak di kawasan Taman Nasional
Meru Betiri adalah salah satu pantai peneluran penting di Jawa
Timur. Di sepanjang 3 km pantai peneluran ini terdapat 4 jenis
penyu yang bertelur, yaitu penyu hijau, belimbing, sisik dan abu-abu.
Namun data yang dikumpulkan sejak periode awal 1980-an
menunjukkan hanya penyu hijau yang masih dominan ditemukan
bertelur, sedangkan jenis lainnya sangat jarang.
Jumlah sarang telur per tahun yang ditemukan di Sukamade
berkisar antara 177–2.072 dengan rerata (±SD) 747 ± 475. Kajian
yang dilakukan oleh tim gabungan dari Universitas Udayana, WWF
Indonesia dan pengelola Taman Nasional Meru Betiri di Tahun
2004-2005 memperkirakan bahwa jumlah penyu hijau yang bertelur
di lokasi ini tak kurang dari 500 ekor per tahun (Adnyana et al,
2005).
Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim
puncak sekitar Bulan November-Desember. Cakupan wilayah
peneluran yang relatif pendek (3 km) memungkinkan dilakukannya
pemantauan yang intensif. Pemantauan populasi yang dilakukan
sejak awal 1970-an menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi
yang semakin menurun (Gambar 9).
16
Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per
tahun di pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Hijau. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data
dikutip dari basis data TNMB dan Adnyana et al, 2005.
d. Kelimpahan populasi Penyu Abu-abu di Pantai Ngagelan, Jawa Timur
Pantai Ngagelan terletak di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa
Timur juga merupakan lokasi peneluran bagi 4 jenis penyu (penyu hijau,
belimbing, sisik dan penyu abu-abu). Jika di pantai Sukamade didominasi
oleh penyu hijau, maka di pantai Ngagelan mayoritas penyu yang
ditemukan adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Musim
puncak peneluran di sepanjang 18 km pantai peneluran ini adalah sekitar
Bulan April – September.
Data peneluran penyu yang dikumpulkan oleh para petugas
lapangan Taman Nasional Alas Purwo sejak Tahun 1983–2008
menunjukkan bahwa populasi penyu (>95% penyu abu-abu) yang bertelur
meningkat tajam dari tahun ke tahun (Gambar 10). Data ini semestinya
dapat dipakai contoh keberhasilan suatu pengelolaan konservasi penyu di
Indonesia. Namun demikian, mengingat kompleksitas isu konservasi
penyu, maka data mesti diinterpretasi dengan hati-hati. Salah satu argumen
17
dari fenomena ini diduga karena tingkat eksploitasi penyu abu-abu untuk
dimanfaatkkan dagingnya relatif rendah dibandingkan dengan penyu hijau,
demikian halnya untuk diambil cangkangnya dibandingkan dengan penyu
sisik. Meningkatnya upaya pemantauan oleh para petugas lapangan pada
tahun-tahun belakangan (yang seiring dengan meningkatnya isu konservasi
penyu) di Taman Nasional Alas Purwo adalah faktor lain yang sangat
signifikan.
Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Lekang. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan penurunan) linier. Data
dikutip dari basis data Taman Nasional Alas Purwo.
e. Kelimpahan Populasi di Lokasi Peneluran Lainnya Prediksi kelimpahan populasi juga bisa dilakukan dengan melihat
catatan data lainnya yang terkait, misal data jumlah telur yang dilaporkan
oleh para pemegang hak konsesi telur penyu seperti yang terjadi di pantai
Paloh–Sambas, Kalimantan Barat. Jumlah sarang telur penyu yang
dihasilkan di pantai peneluran penyu Paloh, Kabupaten Sambas, provinsi
Kalimantan Barat dari Tahun 1996 hingga 2004 adalah 27.872 sarang,
dengan rerata ± SD per tahun adalah 3097±750 (Laporan Koperasi
Tanjung Bendera, 2004). Angka ini memang tidak menunjukkan angka
kelimpahan populasi penyu di lokasi tersebut, karena merupakan catatan
18
petugas koperasi yang mesti membayar sejumlah ‘konsesi’ kepada pihak
tertentu. Data ini hanya bisa dipergunakan sebagai penduga minimal.
Selain sebagai penduga kelimpahan minimal, seri data yang dikumpulkan
dalam 9 tahun ini juga memberikan gambaran kecenderungan populasi
penyu di Paloh yang menurun dari tahun ke tahun.
Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Paloh, Kalimantan Barat. Jumlah ini adalah dominan (>90%) penyu Hijau. Garis putus-
putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari basis data Koperasi Tanjung Bendera, 2004.
Indikasi penurunan populasi di lokasi peneluran lainnya seperti
Pesisir Selatan dan Kepulauan Banyak di Sumatera Barat, area peneluran
di wilayah Laut Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan tempattempat lainnya di
Indonesia dapat diketahui dari laporan-laporan pemantauan singkat
(Suganuma etal, 1999; dan Adnyana, 2009) maupun berita yang
disampaikan oleh media cetak maupun elektronik. Pemantauan yang
lebih terstruktur perlu dilakukan untuk mengetahui situasi yang
sebenarnya.
B. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia
Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6
(enam) diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu pipih (Natator depressus), penyu abu-abu
(Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu
belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta
19
caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja
(1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta
caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti
mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang
meliputi Indonesia (Limpus et al., 1992, Charuchinda et al., 2002).
Namun dengan teknik genetik telah diketahui bahwa setiap jenis
terdiri dari berbagai populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan oleh
NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu
belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu-
penyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan
Solomon. Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik
Barat yang memiliki keragaman genetik berbeda dengan kelompok
lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico, Costa Rica, dan
Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini
dinyatakan telah punah.
Spesies penyu yang paling banyak ditemukan dan memiliki wilayah
jelajah yang luas di perairan kepulauan Indonesia adalah penyu hijau
(Chelonia mydas) diikuti oleh penyu sisik(Eretmochelys imbricata).
Penyu hijau tidak mudah dibedakan dengan penyu-penyu lainnya.
Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal
(metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa
penyu-penyu belimbing yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di
Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan
berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik
Timur diketahui beruaya pakan di belahan Selatan (southern hemisphere)
yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile.
20
Stok genetik penyu Belimbing yang masih tersisa di dunia Area berwarna solid adalah lokasi peneluran dengan stok genetik definitif. Area ber garis-garis adalah lokasi peneluran penyu Belimbing dengan stok genetik yang belum sepenuhnya dikertahui. Stok populasi yang ada di Papua sejenis dengan yang ada di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Stok populasi penyu Belimbing yang bertelur di Malaysia
dinyatakan telah punah (Dutton, unpublished).
Studi keragaman genetik dengan teknik DNA mitokondrial pada
penyu-penyu hijau menunjukkan bahwa populasi yang bertelur di tujuh
pantai peneluran yaitu pantai Sukamade (Jawa Timur), pantai Pangumbahan
(Jawa Barat), pulau Sangalaki (Kalimantan Timur), pulau Derawan
(Kalimantan Timur), pulau Piai (Raja Ampat), pulau Enu (Aru), serta pantai
Paloh (Kalimantan Barat) berbeda satu dengan yang lainnya dan dinyatakan
sebagai stok populasi atau unit pengelolaan (management unit) yang
masing-masing berdiri sendiri (Purwanasari dan Adnyana, 2009; Wahidah,
2008; Mahardika et al, 2007; Moritz et al, 2002). Hanya populasi penyu
yang di pantai Paloh dinyatakan memiliki keragaman yang sama dengan
populasi penyu di Sarawak (Moritz et al, 2002).
Secara teoritis, terjadinya pertukaran individu petelur (dari lokasi
peneluran satu dengan lainnya) pada populasi dengan stok genetik yang
berbeda hampir tidak terjadi, dan setiap populasi akan memberikan respon
21
terpisah terhadap adanya suatu ancaman maupun pengelolaan konservasi
(Moritz, 1994). Dengan ilustrasi lain, keberhasilan proteksi penyu yang
bertelur di pulau Sangalaki tak akan memberikan efek positif bagi populasi
penyu yang bertelur di pulau didekatnya, yaitu pulau Derawan (keduanya
memiliki keragaman genetik yang berbeda). Dengan demikian, fokus
konservasi mesti dilakukan pada kedua populasi tersebut. Sementara itu,
karena memiliki keragaman genetik yang sama, maka masih eksisnya
penyu-penyu hijau di pantai Paloh (Kalimantan Barat) sedikit banyak adalah
akibat dari upaya proteksi yang dilakukan di pantai di dekatnya (Sarawak -
Malaysia), demikia pula sebaliknya.
Selain identifikasi terhadap keragaman genetik populasi penyu yang
bertelur, kajian terhadap keragaman populasi penyu di dua ruaya pakan
(perairan Aru Tenggara dan perairan di dekat Pulau Panjang, Kalimantan
Timur) juga telah dilakukan. Telaah stok campuran (mixed stock
assessment) yang dilakukan di ruaya pakan perairan Aru Tenggara
menunjukkan adanya agregasi populasi penyu yang tidak saja berasal dari
pulau-pulau peneluran di dekatnya, namun juga dari Papua New Guinea dan
Great Barrier Reef Utara, Australia (Moritz et al, 2002). Sementara, penyu-
penyu yang ada di ruaya pakan pulau Panjang diketahui berasal dari
populasi yang bertelur di pulau Derawan, Sangalaki, kepulauan penyu yang
ada di Malaysia-Philippines, serta Micronesia (Cahyani et al, 2007). Ini
menegaskan pentingnya kolaborasi internasional dalam pengelolaan suatu
ruaya pakan dengan stok populasi penyu yang majemuk.
C. Bio-Ekologi Penyu 1. Reproduksi
Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu
dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai
menghasilkan generasi baru (tukik). Penyu membutuhkan kurang lebih 15-
50 tahun untuk dapat melakukan perkawinan. Selama masa kawin, penyu
laut jantan menarik perhatian betinanya dengan menggosok-gosokkan
kepalanya atau menggigit leher sang betina. Sang jantan kemudian
22
mengaitkan tubuhnya ke bagian belakang cangkang si betina. Kemudian ia
melipat ekornya yang panjang ke bawah cangkang betina. Beberapa jantan
dapat saling berkompetisi untuk merebut perhatian si betina. Hanya penyu
laut betina yang pergi kepantai untuk bersarang dan menetaskan telurnya.
Penyu laut jantan jarang sekali kembali ke pantai setelah mereka menetas.
Penyu laut pergi untuk menetaskan telurnya ke pantai dimana mereka dulu
dilahirkan. Penyu betina naik ke pantai untuk bertelur. Dengan kaki
depannya, mereka menggali lubang untuk meletakkan telur-telurnya.
Kemudian mereka mengisi lubang itu dengan telur-telurnya sebanyak
kurang lebih 100 butir (bahkan mungkin lebih). Kemudian mereka dengan
hati-hati menutup kembali lubang tersebut dengan pasir dan meratakan
pasir tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan letak lubang
telurnya. Setelah proses melelahkan ini selama kurang lebih 1-3 jam
berakhir, mereka kembali ke laut. Penyu umumnya lambat dan canggung
apabila berada di darat, dan bertelur adalah hal yang sangat melelahkan,
Penyu yang sedang bertelur sering terlihat mengeluarkan air mata, padahal
sebenarnya mereka mengeluarkan garamgaram yang berlebihan di dalam
tubuhnya. Beberapa penyu dapat menghentikan proses bertelur apabila
mereka terganggu atau merasa dalam bahaya. Oleh karena itu, sangat
penting diketahui bahwa jangan mengganggu penyu yang sedang bertelur.
Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkawinan
Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger
di atas punggung penyu betina (Gambar 13). Tidak banyak regenerasi
yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan
oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai
dewasa. Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada
kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam
enangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat
kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang
sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu jantan
23
kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama
perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan
untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu
yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di permukaan air dalam
waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih.
Perkawinan Penyu (Sumber: ãSeaPics.com dan Yayasan Alam Lestari, 2000)
Untuk membedakan kelamin penyu dapat dilakukan dengan cara ”sexual
dimorphism”, yaitu membedakan ukuran ekor dan kepala penyu sebagai berikut:
NO URAIAN JENIS KELAMIN
JANTAN BETINA
1 Kepala Lebih kecil Lebih besar
2 Ekor Lebih kecil,
memanjang
Lebih pendek, agak
besar
24
Jantan Betina
Perbedaan jenis kelamin penyu. Kiri: jantan; Kanan: betina (Sumber: www.kathyboast.com)
Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada
saat menjelang sore hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali
melakukan kopulasi, beberapa minggu kemudian penyu betina akan
mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang diinginkan.
b. Perilaku Peneluran
Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu
betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di
daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai
dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki waktu
(timing) peneluran yang berbeda satu sama lain. Lama antara peneluran
yang satu dengan peneluran berikutnya (interval peneluran) dipengaruhi
oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran
cenderung makin pendek.
Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran
cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu
umumnya berpola sama. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur
adalah sebagai berikut:
1) Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak
2) Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak
melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak cocok,
penyu akan mencari tempat lain.
25
3) Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan
menggali sarang telur di dalam body pit.
4) Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua
sampai tiga telur. Ekor penyu melengkung ketika bertelur.
5) Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk
menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya.
6) Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu
menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya.
7) Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya. 8) Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara
gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang
bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok.
9) Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim
peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 – 8 tahun
mendatang.
c. Pertumbuhan Embrio
Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir,
berbentuk bulat seperti bola pingpong, agak lembek dan kenyal. Sebagai
contoh, gambaran pertumbuhan embrio penyu Tempayan, berdasarkan
informasi dari Yayasan Alam Lestari (2000) dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Embrio umur 30 hari
- Panjang 2 cm
- Kepala besar, mata berwarna hitam besar
- Karapas sudah mulai terbentuk sebagian
- Kaki dengan 5 tulang jari terlihat jelas
2) Embrio umur 40 hari
- Panjang mencapai 4 cm
- Kaki dan mata mulai bergerak perlahan-lahan
- Karapas berwarna hitam, mulai mengeras
26
- Tampak pembuluh darah pada kuning telur
yang menutup embrio
- Tukik sudah sempurna
3). Embrio dan permukaan telur umur 50 hari
- Permukaan telur berwarna
putih jernih dan kering.
Apabila digerak-gerakan
terasa akan pecah.
- Seluruh tubuh tukik yang
sudah terbentuk
berwarna hitam, mata
kadang terbelalak
4) Embrio umur 52 hari
- Telur menetas apabila sisa kuning telur
sudah mengering
- Panjang tukik mencapai 7 cm, berat 19
gram
- Tukik keluar dari pasir pada hari ke- 52
Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh
optimal pada kisaran suhu antara 24–33 0C, dan akan mati apabila di luar kisaran
suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
embrio sampai penetasan, antara lain:
1) Suhu pasir
Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas.
Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir
berbeda menunjukkan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32 0C
menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24 0C
menetas dalam waktu lebih dari 80 hari.
2) Kandungan air dalam pasir
27
Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir.
Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan
pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi
bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari
telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya
embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati.
3) Kandungan oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang
menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan
oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati.
d. Proses penetasan
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan
induknya, masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan
proses penetasan hingga tukik keluar dari sarang menurut Yayasan Alam
Lestari (2000) disajikan pada gambar dibawah ini.
Proses Penetasan
Keterangan:
1. Telur dalam sarang.
2. Tukik memecahkan cangkang telur dengan menggunakan paruh (caruncle)
yang terdapat di ujung rahang atas.
3. Tukik mulai aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput embrio
terlepas.
4. Tukik bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk
mencapai ke permukaan.
28
Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh suhu. Berikut ini
adalah grafik hubungan antara jenis kelamin tukik semasa inkubasi dengan suhu
penetasan pada penyu tempayan.
Hubungan antara jenis kelamin tukik penyu Tempayan dan suhu penetasan (sumber : Yntema & Mrososvsky,
1980 dalam Yayasan Alam Lestari, 2000)
f. Tukik menuju laut
Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik
memerlukan waktu dua hari atau lebih untuk mencapai permukaan pasir,
biasanya pada malam hari. Untuk menemukan arah ke laut tukik
berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi
garis horison di sekitarnya.
Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi
petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke
daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan
berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk-petunjuk yang
diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. Proses
ini disebut imprinting process.
29
Tukik setelah menetas berusaha keluar ke permukaan pasir dan menuju laut
(Sumber: ãSeaPics.com)
Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arus-
arus laut bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang
mengapung, benda apung lain yan terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan
30
laut kecil sebagai makanan. Tukik bersifat karnivora sampai berumur 1 tahun, dan
akan berubah setelah berumur lebih dari 1 tahun tergantung dari jenis penyu itu
sendiri.
Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm
dengan usia sekitar 5-10 tahun setelah menetas. Pada saat itu tukik yang telah
menjadi dewasa berenang kembali ke ruayan pakan di pesisir dan tinggal di
daerah tersebut sampai siap memijah, dan saat itu pulalah siklus hidup penyu
dimulai lagi. Masa tukik-tukik menghilang disebut sebagai tahun-tahun hilang
(the lost years), yang ternyata saat itu tukik berlindung dan mencari makan di
daerah sargassum.
Tukik berlindung diantara algae Sargassum (Sumber: ãSeaPics.com)
31
g. Habitat Bertelur Penyu
Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu
bertelur. Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan.
Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai
serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di
pantai bagian atas.
Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat
di sepanjang daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke
arah daratan adalah sebagai berikut (Gambar 20):
a) Tanaman Pioner
b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura
procumbens, dan lainnya
c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia
catappa, Cycas rumphii, dan lainnya.
d) Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum,
Canavalia ensiformis, Cynodon actylon, dan lainnya.
Formasi Vegetasi dan Kondisi Pantai Peneluran Penyu di daerah peneluran penyu (penyu hijau dan penyu sisik)
di Pulau Penyu, Sumbar (kiri) dan di daerah peneluran penyu hijau di Pantai Merubetiri, Jember, Jatim (kanan)
2. Siklus Hidup Penyu
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu
mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluh-
puluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup
bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan
menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai
peneluran. Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun)
32
penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah
kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau
dua bulan sebelum penelura pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan
maupun betina memiliki beberapa pasangan kawin.
Penyu betina menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya
untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7
sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut. Penyu jantan biasanya
kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan kegiatan
bertelur dua mingguan di pantai. Penyu betina akan keluar dari laut jika
telah siap untuk bertelur, dengan menggunakan sirip depannya menyeret
tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina membuat kubangan atau
lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk
sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu
kering dan tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi
lain.
Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong homing
instinct”) yang kuat (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer dan
Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan
(Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground). Migrasi ini
dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim,
kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan
manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah peneluran,
misalnya tsunami. Siklus hidup penyu secara umum dapat dilihat pada
skema pada gambar ini:
33
Skema siklus hidup penyu (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Serangan, Bali)
Upaya konservasi penyu tak akan pernah cukup jika hanya dilakukan di
lokasi peneluran saja, karena penyu adalah satwa bermigrasi. Penyu yang telah
mencapai usia dewasa di suatu ruaya peneluran (foraging ground) akan
bermigrasi ke lokasi perkawinan dan pantai peneluran (breeding and nesting
migration). Setelah mengeluarkan semua telurnya, penyu betina akan kembali
bermigrasi ke ruaya pakannya masing-masing (post-nesting migration). Demikian
pula halnya dengan penyu jantan, yang akan bermigrasi kembali ke ruaya
pakannya setelah selesai melakukan perkawinan. Pengetahuan tentang jalur
migrasi penyu diperoleh dengan penerapan teknik penelusuran menggunakan
satelit telemetri. Di Indonesia, studi ini dilakukan secara intensif pada jenis penyu
hijau, abu-abu dan belimbing. Studi pada penyu sisik juga pernah dilakukan di
Pulau Segamat (Halim et al, 2002) dan Maluk-Sumbawa (Adnyana, 2008), namun
dengan jumlah penyu yang sangat sedikit (2 ekor penyu din Segamat dan seekor
penyu di Sumbawa). Studi dengan ukuran sampel kecil tersebut menunjukkan
bahwa Pergerakan penyu Sisik di kedua wilayah peneluran ini hanya bersifat
lokal, artinya tidak terlalu.
34
D. Jalur Migrasi Penyu
1. Jalur Migrasi Penyu Hijau
Studi tentang migrasi pasca bertelur penyu hijau di Indonesia telah
dilakukan di beberapa lokasi peneluran, yaitu Kepulauan Raja Ampat–
Papua (Gearheart et al, 2005), Pulau Misol–Papua (Jayaratha & Adnyana,
2009), Berau - Kalimantan Timur (Adnyana et al, 2007)) serta Sukamade-
Jawa Timur (Jayaratha & Adnyana, 2009). Studi-studi tersebut
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penyu ber-ruaya pakan di area
yang dekat dengan area perkawinan maupun bertelurnya. Ini ditemukan
pada sebagian penyu yang di tag di Raja Ampat dan di Pulau Misol–
Papua. Sebagian besar lainnya bermigrasi ke area yang berjarak hingga
ribuan kilometer dari lokasi bertelur dan menunjukkan jalur maupun
tujuan yang relatif konsisten.
Pola pergerakan migrasi penyu hijau cenderung bergerak melalui
pesisir. Pergerakan lintas samudera ditemukan pada penyu Hijau yang di
tag di pantai Sukamade–Jawa Timur. Penyu hijau di Raja Ampat sebagian
besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut
Sulu- Sulawesi dan Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu hijau di
Sukamade sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian
lagi ke Kepulauan Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Penyu hijau
di Berau semuanya bermigrasi ke Laut Sulu; sebagian ke wilayah perairan
Philipina dan sebagian lagi ke wilayah perairan Sabah – Malaysia.
35
Migrasi pasca bertelur penyu Hijau di 3 lokasi peneluran di Indonesia. Keterangan: Penyu Hijau di Raja Ampat (RA)sebagian besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu-Sulawesi dan
Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu Hijau di Sukamade (S) sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian lagi ke Kepulauan Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Penyu Hijau di Berau (B) semuanya
bermigrasi ke Laut Sulu-Sulawesi.
2. Jalur Migrasi Penyu Belimbing Penyu belimbing diketahui memiliki kisaran pergerakan yang
paling luas dibandingkan dengan reptil lautan lainnya, telah terbukti
bermigrasi melintasi Samudera Pasifik maupun Atlantik (Ferraroli et al.
2004; Hays et al. 2004; James et al. 2005; Eckert 2006; Benson et al.
2007b). Penyu belimbing yang bertelur di Amerika Tengah dan Meksiko
diketahui bermigrasi kearah selatan menuju perairan hangat/ tropis Pasifik
selatan (Eckert dan Sarti 1997). Studi yang dilakukan terhadap 9 ekor
penyu belimbing pasca bertelur di pantai peneluran Jamursba Medi
menunjukkan bahwa penyu-penyu tersebut bergerak menuju berbagai
perairan tropis, yaitu ke perairan Philipina dan Malaysia, perairan di
Jepang, hingga menyeberangi equatorial Pasifik ke perairan hangat di
Amerika Utara (Benson et al, 2007). Penyu belimbing yang menyeberangi
Samudera Pasifik tiba di Perairan dekat Oregon-USA pada Bulan Agustus,
saat tingginya agregasi ubur-ubur (Shenker 1984). Ini menunjukkan bahwa
tujuan migrasi berhubungan dengan tersedianya sumber pakan (Benson et
al 2007). Hubungan langsung antara lokasi peneluran Pasifik Barat dan
ruaya pakan di Timur Laut Pasifik menegaskan konklusi mengenai
struktur stok (genetik) oleh Dutton et al (2000).
36
Lintasan satelit telemetri 6 penyu Belimbing pasca-bertelur yang bergerak kearah Utara atau Timur Laut dari Jamursba Medi, Indonesia (tanda bintang). Lingkaran kecil hitam sepanjang lintasan menunjukkan lokasi
bulanan. Lingkaran kosong besar menunjukkan lokasi transmisi terakhir.
Lintasan satelit telemetri 3 penyu Belimbing pasca-bertelur yang bergerak kearah Barat dari Jamursba Medi, Indonesia (tanda bintang). Lingkaran kecil hitam/penuh menunjukkan lokasi bulanan, sedangkan lingkaran
besar kosong menunjukkan lokasi transmisi terakhir
3. Jalur Migrasi Penyu Abu-abu
Penelusuran pergerakan pasca-bertelur terhadap penyu abu-abu
telah dilakukan di dua wilayah peneluran, yaitu bagian Selatan (Alas
Purwo – Jawa Timur dan Bali) serta Utara (Jamursba Medi dan Kaironi,
Papua). Dari empat penyu yang diamati di wilayah selatan, 3 ekor (75%)
bermigrasi kearah Barat menuju perairan Provinsi Jawa Barat, sedangkan
yang seekor bergerak mengelilingi wilayah selatan dan timur Pulau Bali
sebelum bergerak menuju Laut Jawa. Sementara itu, seluruh (5 ekor)
penyu dari wilayah Utara bermigrasi menuju ke selatan hingga laut Banda
serta Arafura.
37
Lintasan satelit telemetry penyu Lekang pasca-bertelur di Jawa Timur (S – Alas Purwo) & Bali (B),
Kepala Burung Papua (J – Jamursba Medi; K – Kaironi)
E. Status Perlindungan Penyu
Kompleksitas isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan dan
konservasinya, dan kenyataannya tidak tak satu aturanpun yang mampu menjawab
kompleksitas permasalahan ini. Seluruh aturan mesti dipergunakan secara
bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk mengisi kesenjangan yang
masih tersisa. Luasnya cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya
pengaturan yang meliputi daratan (pantai), wilayah perairan pesisir (hingga 12
mil), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Penyu telah terdaftar dalam
daftar Apendik I Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Spesies
Terancam (Convention on International Trade of Endangered Species - CITES).
Konvensi tersebut melarang semua perdagangan internasional atas semua
produk/hasil yang datang dari penyu, baik itu telur, daging, maupun cangkangnya.
Kita sendiri dapat menolong untuk melestarikan spesies penyu laut, yaitu dengan:
1. Tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari penyu (telur, daging)
2. Tidak menggunakan barang-barang yang terbuat dari cangkang penyu
(mis: bingkai kacamata, dll)
3. Tidak membuang sampah plastik dan benda-benda lain yang berbahaya ke
dalam laut. Penyu tertentu dapat salah mengartikan plastik sebagai makanan
mereka yaitu ubur-ubur, sehingga menyebabkan sakit atau kematian penyu
yang memakannya.
38
4. Tidak mengganggu penyu yang sedang bertelur karena mereka dapat
menghentikan proses bertelur apabila merasa terancam.
5. Tidak mengambili telur-telur penyu karena akan menghancurkan populasi
mereka.
6. Menjaga kesehatan terumbu karang kita. Terumbu karang yang sehat
merupakan tempat makan dan tempat tinggal yang baik untuk penyu.
7. Turut mendukung program konservasi penyu laut.
Sifat-sifat migrasinya yang cenderung lintas negara mewajibkan adanya
pengaturan bilateral, tri nasional bahkan regional. Kompleksitas dampak sosial-
ekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya memandatkan
adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal terakhir ini,
barangkali adalah salah satu faktor penting yang mendasari keterlibatan lembaga–
lembaga keagamaan serta komunitas Adat dalam upaya penyelamatan populasi
penyu.
F. Ancaman dan Permasalahan Penyu
Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur ketika
menuju daerah peneluran banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman
bagi kehidupannya. Permasalahan-permasalahan yang dapat mengancam
kehidupan penyu secara umum dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan
ancaman karena perbuatan manusia. Penyu laut telah mengalami penurunan yang
dramatis dalam jumlah populasi dalam jangka waktu terakhir ini. Bahkan
beberapa spesies terancam kepunahan dalam waktu yang dekat. Di alam,
penyupenyu yang baru menetas menghadapi ancaman kematian dari hewan-
hewan seperti kepiting, burung, dan reptilia lainnya seperti biawak. Ancaman
yang paling besar bagi penyu di Indonesia, seperti juga halnya di seluruh dunia,
adalah manusia. Pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi
habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu untuk iambil tellur, daging,
kulit, dan cangkangnya telah membuat populasi penyu berkurang. Di beberapa
negara, penduduk masih mengambili telur penyu untuk dikonsumsi. Telur-telur
itu dapat ditemui di pasar. Penyu hijau termasuk penyu yang dimanfaatkan secara
berlebihan (over eksploitasi ) oleh penduduk Indonesia. Mereka dibunuh untuk
39
diambil dagingnya. Bali merupakan konsumer terbesar penyu laut. Mereka
menggunakan penyu dalam upacaraupacara adat mereka. Ribuan penyu telah
terbunuh untuk memenuhi permintaan pasar di Bali. Gangguan atau ancaman
alami yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:
1. Pemangsaan (predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari
sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing-anjing liar, biawak dan burung
elang) maupun terhadap tukik di laut (diantaranya oleh ikan cucut).
2. Penyakit, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau karena pencemaran
lingkungan perairan.
3. Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik dan banyak
terjadi erosi pantai peneluran sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap
berubahnya daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik.
Salah satu penelitian sekunder yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dari
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikarian an Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas
Padjadjaran (Unpad) menemukan adanya korelasi antara perubahan iklim dan
makin terdegradasinya populasi penyu di habitatnya. Hasil penelitian tersebut
bahkan secara ekstrem mengklaim bahwa penyu tidak akan lagi dapat melakukan
reproduksi pada tahun 2070 yang akan datang. Menurut salah seorang mahasiswa
yang menjadi salah satu orang yang menjadi tim peneliti tersebut mengatakan, ada
dua aspek yang diyakini dapat mendegradasi keberadaan penyu dari habitatnya.
Di antaranya adalah peningkatan debit air laut dan peningkatan temperatur udara
di muka bumi secara konstan. Menurutnya, adanya peningkatan air laut ini akan
makin menenggelamkan pantai yang telah lama menjadi tempat potensial bagi
penyu untuk bertelur. Menurutnta, jika debit air laut terus meningkat, penyu akan
mencari tempat untuk bertelur makin jauh dari bibir pantai, sedangkan tempat di
atas pantai itu komposisi pasirnya sudah berbeda. Kalau air laut sudah sampai di
tanah lapisan atas, ia sudah tidak akan bisa bertelur lagi. Kekhawatiran tersebut
tentunya bukan tanpa alasan. Pakar dinamika kelautan, Noir P. Purba, M'Si-
mengatakan, berdasarkan data dari IPCC (Inter Panel on Climate Change), secara
40
global permukaan air laut terns meningkat sebanyak 0,25 milimete pertahun.
Bahkan ada juga penelitian yang mengatakan kenaikannya hingga cm per tahun.
Akan tetapi, itu tergantung geografinya, tidak sama di semua lokasi. Di Indonesia,
yang hingga sekarang terlihat sangat terancarn itu Jakarta, Semarang, dan
Banjarmasin, menrut penuturannya.
Tidak hanya itu, menurut Noir, pantai selatan Jawa yang dikenal sebagai ternpat
mendaratnya penyu untuk bertelur pun terlihat mengalarni peningkatan. Hanya
saja, hingga saat ini peningkatannya belum terlihat secara signifikan.Menurunya
sangat masuk akal jika laut pasang, otomatis pasir tergenang dan ketika lubang
tempat penyu menyimpan telur itu tergenang, pasti telur itu akan jadi busuk
karena air laut itu mengandung bakteri yang dapat memakan protein telur itu.
Menurut pendapatnya.
Penentuan Jenis Kelarnin Dibandingkan dengan jenis hewan lain, penyu memiliki
struktur regenerasi yang terbilang cukup unik. Dalam truktur regenerasi penyu
dikenal istilah temperature sex determination, yang artinya jenis kelamin tukik
(anak penyu) sangat dipengaruhi oleh suhu yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas
berbeda dengan hewan lain yang struktur regenerasinya ditentukan oleh sifat
genetik (genetic sex determination). Penyu tidak sama dengan reptillain yang
kerap mengerami telur, Seusai bertelur, induk penyu akan mengubur telur tersebut
dalam pasir lalu meninggalkannya begitu saja. Dalamjangka waktu sekitar 45 hari,
telur-telur penyu tersebut kemudian akan menetas dengan sendirinya. Dalam
suhu panas, yaitu diatas 29 derajat Celsius, kelak akan menghasilkan tukik betina.
Begitu pula sebaliknya, dalam suhu di bawah 29 derajat Celsius akan lahir tukik
jantan. Jika suhu di muka burni terus meningkat, menurnt Vikky salah satu
mahasiswa yang tergabung kedalam tim peneliti Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas
Perikarianan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran (Unpad) menutup
kemungkinan kelak telur penyu yang menetas secara alami selurnhnya akan
berjenis kelamin betina. Jika suhu terus naik secara konstan, menurnt perhitungan
mereka, tahun 2050 jenis kelarnin tukik yang lahir itu sudah betina semua. Kalau
itu terjadi, tahun 2070 penyu betina akan sulit untuk bereproduksi karena penyu
jantannya tidak ada. Tepi pendapat ini masih diragukan oleh pakar reptil dan
41
amphibi Institut Teknologi Bandung Dr. Djoko Tjahjono Iskandar. Menurunya,
penentuan jenis kelamin berdasarkan suhu tidak hanya dapat ditemui pada reptil
sejenis penyu semata. Banyak reptillain yang seperti itu. Ada suhu yang berbeda
pada masing- masing spesies, Djoko mengatakan, sebelum penyu memutuskan
untuk menggali sarang sebagai tempatnya untuk bertelur, ia memiliki insting
untuk mendeteksi secara pasti suhu yang ada di sekitarnya. Kemungkinan tetap
ada, tetapi sejauh ini belum bisa dikatakan secara pasti menurutnya. la
menuturkan, selain temperatur, kedalaman lubang yang digali oleh penyu sebelum
bertelur juga berpengaruh terhadap jenis kelarnin tukik kelak, mengingat
temperatur dan kelembaban yang ada di dalam tanah belum tentu sama dengan
temperatur udara di atas tanah.
Sedangkan gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia yang setiap saat
dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:
1. Tertangkapnya penyu karena aktivitas perikanan, baik disengaja maupun
tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap, seperti tombak , jaring insang
(gill net), rawai panjang (longline) dan pukat (trawl).
2. Penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang dan
tulangnya.
3. Pengambilan telur-telur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein.
4. Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu
untuk bertelur seperti penambangan pasir, pembangunan pelabuhan dan
bandara, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan pembangunan
dinding atau tanggul pantai (lihat Lampiran 2).Gambar dibawah ini
mengilustrasikan berbagai ancaman yang membahayakan kehidupan populasi
penyu..
42
Penyu banyak diburu atau ditangkap manusia dengan tombak dan jaring (Sumber: Pusat Pendidikan dan
Konservasi Penyu, Bali)
Pembangunan Dinding Pantai (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Bali)
Ancaman Predator atau Pemangsa (Sumber: ãSeaPics.com)
43
Terkena Baling-Baling Kapal (Sumber: ãSeaPics.com)
Terjaring Trawl (Sumber: ãSeaPics.com)
44
Telur mati terlilit tanaman laut (kiri); Pemanfaatan oleh manusia (kanan) (Sumber: ãSeaPics.com)
Mati setelah menetas, kemudian dikerumuni oleh semut (Sumber: ãSeaPics.com)
45
G. Deskripsi Penyu Hijau
Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah
jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh dunia.
Penyu laut diperkirakan telah menghuni bumi ini lebih dari 100 juta tahun. Oleh
karena itu penyu laut dikenal sebagai fosil hidup. Penyu telah mengalami
beberapa adaptasi untuk dapat hidup di laut, diantaranya yaitu dengan adanya
tangan dan kaki yang berbentuk seperti sirip dan bentuk tubuh yang lebih ramping
untuk memudahkan mereka berenang di air. Penyu laut juga memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan garam-garam air laut yang ikut tertelan bersama
makanan yang mereka makan dan juga kemampuan untuk tinggal di dalam air
dalam waktu yang lama selama kurang lebih 20-30 menit. Telinga penyu laut
tidak dapat dilihat, tetapi mereka memiliki gendang telinga yang dilindungi oleh
kulit. Penyu laut dapat mendengar suara-suara dengan frekuensi rendah dengan
sangat baik dan daya penciuman mereka juga mengagumkan. Mereka juga dapat
melihan dengan sangat baik di dalam air. Penyu laut memiliki cangkang yang
melindungi tubuh mereka dari pemangsa. Penyu laut berbeda dengan kura-kura.
Apabila dilihat sepintas, mereka memang terlihat sama. Ciri yang paling khas
yang membedakan penyu laut dengan kurakura yaitu bahwa penyu laut tidak
dapat menarik kepalanya ke dalam apabila merasa terancam. Penyu hijau
(Chelonia mydas) merupakan penyu laut yang berukuran pertengahan sampai
besar. Penyu hijau betina yang siap bertelur (nesting female) memiliki ukuran
karapas (Carapace) dengan 3 kaki dengan bobot lebih dari 400 pon. Tukiknya
berukuran kecil, dengan panjang karapas 2 inch dengan bobot kurang dari 1 ons.
Karapas penyu dewasa licin sepanjang marjin (edges) lateral dan posteior dengan
sisik yang tidak beraturan (non-overlapping scales). Tukiknya memiliki karapas
yang bundar. Warna penyu hijau bervariasi dari hijau ke abu-abu ke coklat, dan
karapas sering kali ditandai dengan titik-titik yang lebih gelap atau ditandai
dengan loreng-loreng. Nama penyu hijau diambil dari warna jaringan lemaknya
yang hijau, bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas (plastron)
biasanya berwarna putih atau kuning.
46
Penyu bukanlah ikan meskipun hewan ini hidup di perairan. Penyu
tergolong ke dalam reptil dan bernafas dengan paru-paru. Bentuk cangkang yang
mengerucut dan keempat anggota tubuhnya yang menyerupai sirip
memudahkannya bermigrasi ke berbagai samudra. Bahkan penyu hijau tercatat
sebagai penjelajah antar benua yang hebat, mampu mengunjungi wilayah-wilayah
tropis, seperti Indonesia, Hawai, dan Brazil. Namun begitu, seperti sudah menjadi
kebiasaan, penyu akan kembali ke tempat dia menetas.
Perbedaan penyu dengan kura-kura yaitu dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Penyu Laut
Kura-kura air tawar
Kura-kura Darat
47
H. Nasib Penyu Hijau di Indonesia
Segitiga Karang meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini,
Kepulauan Solomon dan Timor Leste menjadi rumah bagi 6 dari 7 jenis penyu
yang ada di dunia. Penyu-penyu tersebut adalah penyu hijau atau dikenal dengan
nama green turtle (Chelonia mydas), penyu sisik atau dikenal dengan nama
Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau dikenal dengan
nama Olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing atau dikenal
dengan nama Leatherback turtle (Dermochelys olivacea), penyu pipih atau dikenal
dengan nama Flatback turtle (Natator depressus) dan penyu tempayan atau
dikenal dengan nama Loggerhead turtle (Caretta caretta). Penyu belimbing
adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES (Convention on
International Trade of Endangered Species) Appendix 1. Penyu hijau adalah salah
satu jenis penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak dibanding beberapa
penyu lainnya. Meskipun jumlahnya lebih banyak dibanding penyu lainnya,
populasi penyu hijau tiap tahun berkurang oleh penangkapan dan pembunuhan
baik sengaja maupun tidak sengaja yang terperangkap oleh jaring.
Penyu hijau hidup di lautan tropis dan subtropis di Samudra Atlantik dan
Pasifik. Penyu hijau memiliki leher yang pendek dan sirip yang menyerupai
lengan yang beradaptasi untuk berenang. Paruhnya pendek dan tidak melengkung.
Beratnya mencapai 315 kg, yang terbesar mencapai 395 kg. Penyu remaja
menghabiskan waktunya di laut dangkal. Penyu akan kembali ke pantai saat
bertelur. Penyu ini akan bertelur setiap tiga tahun sekali. Keberadaan penyu hijau
sangat jarang sehingga dilindungi oleh setiap Negara dan ditetapkan sebagai
hewan dilindungi oleh IUCN dan CITIES. Namun dibeberapa Negara seperti di
Indonesia, penyu hijau masih diburu dan diambil telurnya untuk dimakan.
Gerakannya yang unik dan khas seakan menggambarkan kelihayan perenang
dasar laut yang mempesona. Ini mungkin bisa menggambarkan betapa unik dan
indah melihat penyu laut berenang bebas di bawah permukaan laut. Dengan
menggerakkan kedua kaki renang depan untuk mengontrol gerakan dan
kecepatan, hewan ini bergerak gesit di dasar laut. Juga dengan bantuan kaki
48
belakang sebagai penyeimbang seakan memberikan kesempurnaan gaya renang
yang memukau.
Penyu laut khususnya penyu hijau adalah hewan pemakan tumbuhan
(herbivore) namun sesekali dapat menelan beberapa hewan kecil. Hewan ini
sering di laporkan beruaya di sekitar padang lamun (seagrass) untuk mencari
makan, dan kadang di temukan memakan macroalga di sekitar padang alga. Pada
padang lamun hewan ini lebih menyukai beberapa jenis lamun kecil dan lunak
seperti (Thalassia testudinum, Halodule uninervis, Halophila ovalis, and H.
ovata). Pada padang alga, hewan ini menyukai (Sargassum illiafolium and
Chaclomorpha aerea). Pernah di laporkan pula bahwa penyu hijau memakan
beberapa invertebrate yang umumnya melekat pada daun lamun dan alga.
Penyu laut adalah adalah hewan yang menghabiskan hampir seluruh
hidupnya di bawah permukaan laut. Induk betina dari hewan ini hanya sesekali
kedaratan untuk meletakkan telut-telurnya di darat pada substrate berpasir yang
jauh dari pemukiman penduduk. Untuk penyu hijau, seekor Induk betina dapat
melepaskan telur-telurnya sebanyak 60 – 150 butir, dan secara alami tanpa adanya
perburuan oleh manusia, hanya sekitar 11 ekor anak yang berhasil sampai kelaut
kembali untuk berenang bebas untuk tumbuh dewasa. Dari 1.000 anak penyu
(tukik) yang lahir, rata-rata hanya satu yang bisa hidup sampai dewasa. Beberapa
peneliti pernah melaporkan bahwa presentase penetasan telur hewan ini secara
alami hanya sekitar 50 % dan belum ditambah dengan adanya beberapa predator-
predator lain saat mulai menetas dan saat kembali ke laut untuk berenang.
Predator alami di daratan misalnya kepiting pantai (Ocypode saratan, Coenobita
sp.), burung dan tikus. Dilaut, predator utama hewan ini antara lain ikan-ikan
besar yang beruaya di lingkungan perairan pantai. Sangat kecilnya presentase
tersebut lebih diperparah lagi dengan penjarahan oleh manusia yang mengambil
telur-telur tersebut segera setelah induk-induk dari penyu tadi bertelur.
Karenanya, bila habitat penyu terganggu, berupa gugus pantai dan
hamparan hutan mangrove-nya, Penyu tidak akan berani untuk naik ke pantai dan
bertelur. Semakin lama populasinya akan menurun. Belum lagi gangguan-
gangguan dari manusia yang mengancam keberadaannya. Aktifitas perburuan
49
daging penyu, jual beli cindera mata yang terdiri dari karapaks (cangkang penyu)
atau menjual telurnya adalah hal-hal yang dapat membuatnya terancam punah.
Semua jenis penyu adalah satwa yang dilindungi menurut undang-undang.
Berdasarkan Undang-undang no 5 tahun 1990, perdagangan satwa langka
termasuk penyu dapat dikenai hukuman penjara maksimum lima tahun dan denda
seratus juta rupiah.
Tasikmalaya (ANTARA News) - Populasi penyu hijau (Chelonia mydas)
di Kawasan Konservasi Sindangkerta (KKS), Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya,
Jabar, kian memprihatikan, bahkan bukan mustahil beberapa tahun mendatang
punah. Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Badan Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Jabar, Ir. Tata Jatirasa kepada ANTARA, mengakui adanya penurunan
tingkat populasi penyu hijau yang datang ke KKS. Data tahun 2006, jumlah penyu
hijau yang mendarat di KKS tercatat hanya 54 ekor, padahal data tahun 2002
menyebutkan populasi penyu hijau masih berjumlah 60 ekor, malahan tahun 2003
lalu jumlahnya lebih banyak lagi yakni mencapai 84 ekor. "Telur-telur yang ada
itu dihasilkan dari penyu dewasa. Kalau penyu dewasanya sudah tidak ada atau
semakin sedikit, maka jumlah telurnya pun otomatis berkurang".
Dikatakan, tahun 2006 dari 54 penyu hijau tersebut yang mendarat hanya
49 ekor yang bertelur. Jumlah telur yang ditetaskan adalah 3.318 ekor dengan
rincian 1.523 telur yang menetas dan dari jumlah itu sebanyak 1.348 tukik (anak
penyu) hidup serta 175 tukik mati. Sementara itu hingga April 2007 ini jumlah
penyu yang mendarat baru mencapai 12 ekor. Berkurangnya populasi penyu hijau
dewasa itu antara lain dipengaruhi oleh perubahan alam di sekitar KKS dan
penyebabnya sangat kompleks.
Menurut Tata, sebenarnya kondisi pasir dan alam di sekitar KKS masih
cukup bagus untuk dijadikan tempat penangkaran penyu hijau. Pihaknya mengaku
khawatir dengan perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu,
pihaknya selalu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Tasikmalaya agar bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Menurut
dia, adanya perusakan hutan yang dibarengi dengan kian padatnya area
pemukiman di sekitar KKS, juga merupakan salah satu faktor yang membuat
50
populasi penyu hijau terus mengalami penurunan. Disebutkan, suasana gaduh dan
alam yang makin tak nyaman membuat penyu yang ada di KKS itu enggan untuk
bertelur. Wilayah konservasi penyu itu idealnya berada di tempat yang jauh dari
kebisingan dengan situasi yang tenang, penyu-penyu menjadi merasa aman untuk
bertelur. Ia mengatakan, ancaman kepunahan penyu hijau yang paling besar
datang dari gangguan lingkungan sekitarnya, seperti munculnya pencurian telur
penyu, kerusakan terumbu karang, hancurnya sepadan pantai dan masih banyak
lagi. Jadi faktornya sangat kompleks, ujarnya. Kawasan Konservasi Penyu
Sindangkerta memiliki luas yang memanjang sejauh 3 kilometer dari mulai
Cikuya Hirup hingga Pasir Sindangkerta.
I. Pembudidayaan Penyu Hijau
Penangkaran merupakan sebuah praktek yang umum dilakukan dalam
Konservasi Penyu untuk melindungi telur-telur penyu yang terancam di habitat
alami. Problem-problem yang muncul pada program penangkaran penyu: biaya
tinggi, kebutuhan akan staf yang terlatih dan terpercaya, biaya yang mencukupi
untuk keberlanjutan penangkaran, keberhasilan tetas yang tidak konsisten, efek
terhadap genetika penyu, hilangnya keragaman genetik, dan efeknya terhadap
jenis kelamin yang dihasilkan dari penangkaran. Suhu selama masa inkubasi juga
mempengaruhi keberhasilan tetas, lama masa inkubasi, ukuran, morfologi dan
fisiologi serta perilaku tukik yang dihasilkan..
1. Tegal Sereh
Sejak tahun 2002 lalu, di kawasan Tegal Sereh yang tak jauh dari KKS
telah dibangun Area Suaka Margasatwa. Sekarang, penyu-penyu hijau dewasa
lebih senang bertelur di Tegal Sereh, sehingga untuk ke depannya Tegal Sereh
diharapkan akan mampu menjadi benteng kepunahan penyu hijau.
Puncak masa bertelur penyu hijau, dimana telor penyu hijau akan
berserakan yakni pada bulan September hingga Desember. Pada saat-saat seperti
itu semua petugas KKS disibukan karena harus menjaga dan mengamankan telur-
telur yang berserakan. Bahkan tak jarang para petugas itu harus menjaganya
hingga larut malam. Penyu hijau bertelur setiap tiga tahun sekali dengan jumlah
51
mencapai 180 telur. Proses bertelurnya sendiri, hanya memerlukan waktu sekitar
2,5 jam. Tapi kalau telur-telur itu dibiarkan menetas secara alami, kemungkinan
hidupnya sangat kecil. Fluktuasi lingkungan sangat berpengaruh pada proses
penetasan. Kawasan Konservasi Sindangkerta dinilai merupakan salah satu
kawasan yang sebenarnya sangat cocok untuk proses penetasan teur penyu.
Memang KKS bukanlah satu-satunya tempat konservasi penyu di Indonesia.
2. Pantai Pangumbahan
Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di pantai selatan Sukabumi
terancam punah. Penyu Hijau atau Chelonia mydas yang habitatnya terdapat di
pantai selatan Kabupaten Sukabumi, yaitu di Pantai Pangumbahan dan Suaka
Margasatwa (SM) Cikepuh di Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap Kabupaten
Sukabumi, populasinya menurun drastis dan terancam punah. Penyebabnya
eksploitasi untuk kepentingan komersial. Pada tahun 80-an, populasi penyu hijau
yang terlihat naik ke daratan sekitar 50-an setiap malamnya. Namun sekarang
penyu hijau yang bisa kita lihat pada musim bertelur hanya sekitar tiga ekor per
malam, menurut Budiyanto, Direktur Eksekutif Kusuka bumiku, di Sukabumi,
Budiyanto mengatakan kepada beritabumi.or.id, populasi penyu tersebut harus
segera diselamatkan dan tidak boleh dieksploitasi dalam bentuk dan atau alasan
apapun. Menurutnya, yang paling penting dan mendesak saat ini adalah
melakukan upaya rehabilitasi dan restorasi untuk mengembalikan populasi penyu
dan ekosistemnya, setidaknya seperti puluhan tahun silam. Sementara menurut
Budiyanto, pengunduhan (pengambilan telur) penyu hijau di Pantai Pangumbahan
selama ini justru dilakukan pihak swasta, yakni CV Daya Bakti yang menjadi
rekanan Pemkab Sukabumi. Bahkan pihak pengelola berhak melakukan usaha
pengambilan telur dari satwa yang dilindungi undang-undang tersebut dari sarang
alaminya.
Sedangkan di lokasi sepanjang pantai dalam kawasan konservasi Suaka
Margasatwa Cikepuh, pengambilan telur-telur penyu tersebut dilakukan oleh
oknum masyarakat secara ilegal. Bahkan diduga melibatkan oknum pegawai pada
lingkungan Departemen Kehutanan (Dephut). Menurut keterangan Budiyanto
sejumlah oknum pegawai kehutanan yang terlibat tersebut telah mendapat sanksi
52
administrasi, yaitu dipindah-tugaskan ke daerah lain. Upaya pelestarian penyu
yang dilakukan oleh pemerintah dapat ditempuh melalui kegiatan pengamanan
pantai, pengumpulan telur, pembuatan tempat penetasan semi permanen,
pemeliharaan telur yang ditetaskan, pemeliharaan tukik yang baru menetas,
pemeliharaan tukik di tempat penampungan, tagging, sexing, pencatatan data
jumlah penyu, pencatatan data jumlah telur, penyuluhan, pelayanan penelitian,
pelepasan tukik ke laut, pendidikan dan pelatihan untuk pelajar dan mahasiswa.
3. Pulau Jemur
Berdasarkan penelitan yang dibagi kedalam 3 stasiun (tempat) bertelurnya
penyu. Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat berelur penyu di
stasiun I yaitu rintangan batu-batu cadas dan gelombang air laut yang lemah.
Gelombang air laut lemah, diduga disebabkan oleh letak pantai, yaitu adanya
pulau yang terletak sekitar 100 m dari pantai, dan selain itu diantara pulau dan
pantai terdapat pula palung laut, sehingga pantai terhalang dari gelombang yang
kuat. Di stasiun II dan III karakteristik pantai cenderung landai dan terbuka
dengan kecepatan gelombang sedang dan kuat.
Menurut Anonimus (1997) bahwa kehadiran penyu di pantai untuk
membuat sarang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pantai landai dan
kekuatan gelombang yang membantu penyu untuk mendarat dipantai, selain itu
rintangan berupa tebing batu-batu cadas dan ganguan lainnya sangat
mempengaruhi kehadiran penyu di pantai. Secara “temporal” aktivitas membuat
sarang penyu hijau di pulau Jemur dimulai pada bulan April, dan aktivitas puncak
membuat sarang berlangsung pada bulan Mei dan Juni , dan menurun pada bulan
Juli. Menurut Pusphalaila et al (1999) bahwa masa bersarang penyu hijau secara
temporal dimulai pada pertengahan bulan Mei, dan aktivitas puncak membuat
sarang selama bulan Juni dan Juli, dan menurun pada bulan Agustus, dan berakhir
dalam bulan September. Musim bersarang panyu normal dimulai pada bulan April
dan puncaknya pada bulan Mei dan Juni, selanjutnya menurun pada bulan Juli
(Winel et al, 2000).
53
Aktivitas puncak membuat sarang penyu di pulau Jemur memungkinkan
terjadi pada bulan Mei dan Juni, karena pada saat itu berlangsung musim
kemarau. Sesuai yang dikemukakan oleh Maria et al (2000) yaitu bahwa
kelimpahan sarang memuncak berlangsung pada musim kemarau, hal ini ada
hubungannya dengan kondisi iklim makroklimak dengan mikroklimak sarang
yang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan dan berperan sebagai aspek
biologi reproduksi penyu. Berdasarkan rerata sarang per bulan dari setiap zona di
setiap stasiun, kemiringan pantai, tekstur pasir, rintangan dan gangguan di pantai,
menunjukkan rerata sarang paling sedikit dijumpai di stasiun II. Diduga
disebabkan oleh kemiringan pantai yang terlalu landai, yaitu dengan kemiringan
pantai kecil dari 140, sehingga pantai sering diterpa gelombang dan akan
memudahkan interupsi air laut kepantai. Hal ini menyebabkan pasir selalu basah
dan cenderung lebih padat. Pasir yang lebih padat akan menyulitkan penyu dalam
menggali lobang sarang. Sebaliknya pantai curam dan terjal merupakan kendala
bagi penyu untuk mendarat kepantai. Kemiringan pantai yang tidak terlalu landai
dan tidak pula terlalu curam yaitu berkisar antara 240-310, kondisi ini
memudahkan penyu untuk mendarat dipantai sehingga dipantai tersebut relatif
lebih banyak dijumpai sarang penyu. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh
Anonimus (1999) bahwa kondisi pantai yang cocok untuk sarang adalah pantai
dengan kemiringan 300, dan lokasi daerah peneluran berada diatas daerah pasang
surut antara 30-80 m. Tekstur pasir pun sangat menentukan dalam proses
penetasan telur penyu.
Menurut Nybakken (1998) bahwa ukuran partikel pasir dipantai
merupakan fungsi dari gelombang ombak di pantai itu, jika ombak kecil partikel-
partikel berukuran kecil, sedangkan jika ombak besar dan kuat partikel-partikel
akan menjadi kasar dan membentuk kerikil serta kepentingannya terletak pada
retensi air dan kesesuaian untuk digali. Selanjutnya Anonimus (1999)
mengemukakan bahwa penyu tidak jadi bertelur jika tipe pasir yang berada dalam
sarang berupa pecahan kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil,
selain itu butiran pasir yang sangat halus didalam penggalian lubang sering
longsor sehingga penyu tidak mau meneruskan penggalian sarang dan berpindah
54
mencari tempat yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa butiran pasir yang
cocok dan disenangi oleh induk penyu untuk bersarang adalah dalam ukuran
sedang dan halus.
Dari uraian di atas dikemukakan bahwa kehadiran penyu membuat sarang
di stasiun II rendah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adalah tekstur pasir
dan rintangan batu-batu cadas. Tekstur pasir pantai merupakan interaksi dari
kemiringan pantai dan kecepatan gelombang kepantai. Berdasarkan kemiringan
sarang, jarak naungan dengan mikroklimak (suhu dan kelembaban) sarang (tabel
2). Sarang pada kemiringan 30-320 dengan suhu harian pagi hari 28-310C dan 30-
320 C pada sore hari. Sarang pada kemiringan 200-280 (<300) dengan suhu
harian pagi hari 19-260C dan 20-280C pada sore hari. Suhu harian sarang pada
sore hari relatif lebih tinggi dari pada pagi hari, hal ini disebabkan radiasi dan
konduksi panas lebih optimal, sehingga daratan (pantai) mengalami kenaikan
suhu.
55
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah pada diatas maka dapat di ssimpulkan pembahasan
makalah ini menjadi beberapa poin, yaitu:
1. Tubuh penyu terdiri dari bagian-bagian:
a. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian
punggung dan berfungsi sebagai pelindung.
b. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.
c. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas
dengan lastrón. Bagian ni dapat digunakan sebagai alat identifikasi.
d. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat
dayung.
e. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi
sebagai alat penggali. 2. Kelimpahan dan Keragaman Penyu saat ini.
Keadaan penyu saat ini terancam punah karena eksploitasi penyu dan
telur yang begitu tidak terkendali yang disebabkan oleh tingkah laku manusia
yang serakah tanpa memperdulikan keseimbangan lingkungan. Penyu yang
dahulu keadaannya melimpah terutama Chelonia mydas yang tersebar di
seluruh Indonesia teapi sekarang statusnya menjadi dilindungi karena
keberadaannya (populasi) nya semakin berkurang, sementara masa bertelurnya
sangat lama harus menunggu sekitar 3-4 tahun untuk dapat bertelur, itu pun
tidak semua telur dapat berkembang menjadi tukik (anak penyu) karena
ancaman dari luar sangat banyak dan beragam ancaman.
Untuk keberagaman ini masih tetap ada sampai saat ini hanya
keberadaannya sangat sedikit, sehingga butuh perlindungan yang sangat ekstra
untuk tetap mempertahankan setiap jenis penyu yang sekarang masih ada.
3. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai berikut:
a. Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak
56
b. Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak
pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak cocok, penyu akan
mencari tempat lain.
c. Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan
menggali sarang telur di dalam body pit.
d. Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua
sampai tiga telur. Ekor penyu melengkung ketika bertelur.
e. Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk
menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya.
f. Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu
menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya.
g. Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya. h. Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara
gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak
lurus atau melalui jalan berkelok-kelok.
i. Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim peneluran
berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 – 8 tahun mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Yustina, 2004, Jurnal Biogenesis, Analisis Distribusi Sarang Penyu Hijau
Chelonia mydas di Pulau Jemur Riau, Pekan Baru, Vol. 1, ISSN:
1829-5460.
Risma Illa Maulany, 2011, Biologi, Ekologi dan Manajemen Penyu Lekang
(Lepidochely olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi: Natural and Rural Systems Management University of
Queensland.
Agus Dermawan dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi
Penyu. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Mimi. 2012. Penyu Laut .Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Albiansyah dan Aditya. 2011. Akibat Perubahan Iklim Populasi Penyu
Terancam. Bandung: Pikiran Rakyat.