KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...
Transcript of KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...
KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA
SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN
TATA USAHA NEGARA (KTUN)
(Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
SKRIPSI
Oleh:
ERINA PERMATASARI
E1A011279
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA
NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN KEPUTUSAN
TATA USAHA NEGARA (KTUN)
(Studi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Oleh:
ERINA PERMATASARI
E1A011279
KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : ERINA PERMATASARI
Kelas : E1A011279
Judul : KONSEP SUMBER KEWENANGAN PEJABAT TATA
USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor
06/G/2011/PTUN.YK)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar merupakan hasil dari karya
saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain, serta bukan buatan dari orang
lain.
Apabila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, .... Februari 2015
ERINA PERMATASARI
E1A011279
iv
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul : “Konsep Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha
Negara Sebagai Dasar Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara” (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK).
Penelitian ini akan menguraikan keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara ditinjau
dari sumber kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat Tata Usaha Negara.
Sumber bahan hukum penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK. Tergugat dalam perkara a-quo
adalah Walikota Yogyakarta, dan objek gugatannya yakni Surat Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 503/687 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha beralamat di
Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan
Umbul Harjo, Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Yuridis Normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Surat Keputusan Objek Sengketa yang
dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta, bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan ditinjau dari Aspek Substansi/Materiil sebagaimana diatur dalam
KeputusanWalikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas
Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Wakil Walikota telah keliru menafsirkan
sumber wewenang yang dimilikinya, seharusnya Wakil Walikota memperoleh
wewenang berdasarkan delegasi, akan tetapi Wakil Walikota menganggapnya sebagai
mandat. Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Keputusan objek sengketa batal,
sehingga gugatan Penggugat dinyatakan dikabulkan. Pertimbangan hukum Majelis
Hakim tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin.
Akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat yakni Surat Keputusan objek
sengketa batal, Tergugat berkewajiban mencabut Surat Keputusan objek sengketa.
Kata Kunci :
Sumber Kewenangan, Pejabat Tata Usaha Negara, Dasar, Pembatalan, Keputusan
Tata Usaha Negara.
v
ABSTRACT
This thesis entitled: " The concept of authority source of administrative
officer as the basis of cancelation of administrative decision " (Study of State
Administrative Court Decision Yogyakarta No. 06 / G / 2011 / PTUN.YK). This
study will explain the validity of an administrative decision in terms of sources of
authority possessed by the Administrative Officer.
Material sourced from the State Administrative Court Decision Yogyakarta
No. 06 / G / 2011 / PTUN.YK. Defendants in the case a quo is the Mayor of
Yogyakarta, and the object of the lawsuit is the administrative decission No. 503/687
about business closure notification located in Mendung Warih street Number 147 RT.
32 RW. II Giwangan, sub-district Umbul Harjo, Yogyakarta. The method that used in
this research is normative juridical approach with the approach of legislation, case-
based approach, and the conceptual approach.
The results showed that the the administrative decision that released by the
mayor of Yogyakarta is contrary to the laws and regulations in terms of aspect
Substance / Material as set forth in Mayor Yogyakarta’s decision No. 232 / KEP /
2007 on the Implementation of the Special duties of Deputy Mayor and Mayor of
Yogyakarta Decree No. 50 / KEP / 2007 on the Delegation of Authority to the Deputy
Mayor To signing Official Papers.
The judges found the Deputy Mayor had wrongly interpreted the source of its
authority, the Deputy Mayor should obtain authority by delegation, but Deputy
Mayor has been considered it as a mandate. The judges stated that the object of
administrative decision void, so that Plaintiff stated granted. Consideration of the
judges of the law is in conformity with the laws and doctrines.
As a result of the law granting plaintiff object of the cancellation of
administrative decission, the Defendant is obliged to revoke the administration
decission that has been the object of the lawsuit.
Keywords: Source of Authority, Administrative Officer, Basic, Cancellation, Administrative
Decision.
vi
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada Penulis, serta memberikan kenikmatan lahir batin kepada saya,
sehingga saya masih ada tetap berada di Jalan-Nya dan dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik dan tepat waktu, yaitu dengan judul : KONSEP SUMBER
KEWENANGAN PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR
PEMBATALAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) (Studi
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK)
Skripsi ini merupakan salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam penulisan
skripsi ini tentu banyak halangan dan rintangan hingga kesulitan serta hambatan yang
penulis alami, namun berkat arahan, bimbingan, serta dukungan dorongan dari
berbagai pihak, Alhamdulillah Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan tepat waktu. Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus
kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa S.H.,M.Hum, selaku dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik sekaligus
Pembimbing Skripsi I Penulis.
3. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Skripsi
II Penulis.
vii
4. Bapak Pramono Suko Legowo,S.H.,M.Hum selaku Dosen Penguji Penulis.
5. Segenap Dosen FH Unsoed, karyawan dan karyawati (civitas akademika)
Universitas Jenderal Soedirman, yang telah banyak membantu dan atas
kerjasamanya sehingga penulis dapat menempuh perkuliahan sampai selesai
penyusunan skripsi ini.
6. Sang Ibunda tercinta Ibu Dwi Ani dan Sang Ayahanda tercinta Bapak Adit
Sugirman, S.H. selaku kedua orang tua yang selalu memberikan kasih sayang
tulus, perhatian, dan mendidik kepada saya sampai saat ini. Adik tersayang,
Nova Kharisma Ramadhani dan Alm. Royyan Aditya yang selalu memberi
dukungan semangat kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan tepat waktu.
7. Teman-Teman Seperjuangan Angkatan 2011, yang telah memberikan arti
kehidupan, semangat serta dukungan.
Penulis dalam hal ini menyadari, bahwa setiap tulisan tidak jauh dari kata
kekurangan, dan ketidaksempurnaan, maka dari itu penulis mohon adanya kritik dan
saran demi terbangunnya hasil tulisan yang lebih baik lagi. Penulis berharap skripsi
atau hasil tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi perkembangan ilmu hukum
di kemudian hari.
Purwokerto, Februari 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ................................................................................
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
ABSTRACT ............................................................................................................. v
PRAKATA ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................... 10
C. Kerangka Teori........................................................................................... 11
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 16
E. Kegunaan Penelitian................................................................................... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Negara Hukum .................................................................. 18
B. Hukum Administrasi Negara...................................................................... 22
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara ............................................. 22
ix
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara...................................... 25
C. Pemerintah dan Tindakan Pemerintah ....................................................... 28
1. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan ............................................ 28
2. Pejabat Tata Usaha Negara .................................................................. 29
3. Tindakan Hukum Pemerintah ............................................................ 30
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) ....................... 32
D. Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara ..................................... 40
E. Peradilan Tata Usaha Negara ..................................................................... 44
1. Asas-Asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ........ 44
2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara ........................................... 45
3. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara.......................................... 48
4. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara .......................................... 51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .................................................................................... 57
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................................. 58
C. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 59
D. Sumber Bahan Hukum ............................................................................... 59
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................ 61
F. Metode Penyajian Bahan Hukum ............................................................... 62
G. Metode Analisis Bahan Hukum ................................................................. 62
x
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................................... 63
B. Pembahasan .............................................................................................. 105
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. ............................................................................................. 134
B. Saran ......................................................................................................... 135
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu lingkup
peradilan yang ada di Indonesia dan diciptakan untuk menyelesaikan sengketa
antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai
akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-
hak warga negaranya. Dimana hal ini didasarkan atas amanat Pasal 24 Undang-
undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa :
1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang. 1
Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (PERATUN) adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) diundangkan pada tanggal 29
1 Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Desember 1986. Namun, undang-undang tersebut tidak dapat seketika itu
diterapkan karena masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan
pelaksanaan dari Pasal 145. Pasal 145, undang-undang tersebut memberikan
jangka waktu paling lambat 5 tahun sejak diundangkannya. Jadi, batas waktu
yang diberikan oleh undang-undang paling lambat adalah tanggal 29 Desember
1991 harus sudah keluar peraturan pemerintah tersebut. Namun, belum sampai
batas yang ditentukan oleh undang-undang terlampaui, ternyata pada tanggal 14
januari 1991 peraturan pemerintah yang merupakan amanat dari Pasal 145
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 telah dikeluarkan, yakni Peraturan
Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.2
Pengaturan Peradilan Tata Usaha Negara telah mengalami beberapa
perubahan diantaranya undang-undang yang pertama yaitu Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha
Negara.
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari 144 Pasal,
yang mana Pasal 1 sampai dengan Pasal 52 berisi mengenai hukum materialnya,
2 Wicipto Setiadi, “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu Perbandingan,
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hlm. 205-206
3
sedangkan Pasal 53 sampai dengan Pasal 144 berisi tentang hukum acara atau
hukum formalnya.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan
hukum yang mengatur cara menegakkan hukum materil, dengan demikian
hukum acara itu berisi mengenai suatu tata cara (formalitas). Sedangkan
pengertian hukum acara peradilan tata usaha negara adalah hukum yang berisi
mengenai ketentuan tata cara beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Baik
hukum formal maupun hukum materiel, keduanya merupakan unsur dari
peradilan.
Peradilan tanpa hukum materil akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang
akan dijelmakan, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak
ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya. Pengaturan hukum
formal dalam hukum positif, secara teoritis dapat dikelompokkan menjadi 2
bagian, yaitu:
1. Hukum formal sekaligus diatur secara bersamaan dalam hukum materialnya
dalam bentuk undang-undang;
2. Hukum formal dan hukum material masing-masing terpisah pengaturannya
dalam undang-undang.
Hukum formal merupakan sarana untuk melaksanakan hukum material.
Penegakan hukum material oleh hukum formal secara kongkret berlangsung saat
berlakunya hukum positif dalam praktek sebagai keharusan yang patut ditaati.
Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutus
4
perkara dengan menemukan hukum in concreto dalam upaya mempertahankan
dan menjamin ditaatinya hukum materiel, serta dengan menempuh prosedur yang
telah ditetapkan oleh hukum formal.3
Salah satu ketentuan yang diatur dalam undang-undang peradilan tata
usaha negara yaitu mengatur tentang kompetensi (kekuasaan) absolut dan
kompetensi relative. Kompetensi absolut adalah kompetensi badan peradilan
dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan peradilan lain. Sedangkan kompetensi relative adalah sesuai dengan
asas actor seguitir forum rei (yang berwenang adalag pengadilan tempat
kedudukan tergugat).4
Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara mengatur ketentuan bahwa Pengadilan bertugas
dan berwenang, memeriksa, dan memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara diatur
dalam Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 bahwa sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun didaerah, sebagai
3 Ibid, Hlm.87-88
4 Victor Vayed Neno, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolud Peradilan Tata Usaha
Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm 29 Sebagaimana dikutip oleh Sjachran Basah,
Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung, 1989, Hlm.
65
5
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara, berarti sebab dari
timbulnya sengketa tersebut disebabkan oleh adanya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Mengenai ketentuan kompetensi absolut PERATUN maka dapat
diketahui bahwa di dalam lingkungan PERATUN terdapat :
1. Tergugat yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
2. Penggugat yaitu orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN);
3. Objek Sengketa Gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeuarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisikan
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
6
undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dapat
dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain,
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan
urusan pemerintahan.
Mengenai pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Indroharto5
menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan
pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat
TUN. Sedangkan arti dari urusan pemerintah disini adalah kegiatan yang bersifat
eksekutif yaitu kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif.
Badan atau Pejabat TUN melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai
dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, dalam hal ini harus tetap
memperhatikan prinsip asas legalitas, apalagi indonesia adalah negara hukum,
maka asas legalitas adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan
pemerintah.
5 Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” Buku
I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.166
7
Asas legalitas adalah salah satu asas hukum administrasi negara yang
menyatakan bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan wewenang yang ada padanya, oleh karenanya
kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara.
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan Kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
berbuat atau tidak berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
memaksakan kehendak. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban
(rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri
(self besturen). Sedangkan, kewajiban mempunyai dua pengertian, yakni
horizontal dan vertical. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintah sebagaimana mestinya. Wewenang dalam
pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam
suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan. 6
Sistem desentralisasi yang dianut dalam konsep Negara Kesatuan pada
akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah, khususnya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas
urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintahan yang
6 Muhammad Fauzan, “Hukum Pemerintahan Daerah”Edisi revisi, STAIN Press, Purwokerto,
2010, Hlm.79
8
berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain untuk mencegah dominasi
kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.7 Namun sepanjang sejarah ini, dengan
adanya pemerintahan yang berlapis-lapis kini belum mencapai tujuan yang ingin
dikehendaki oleh Negara.
Penggunaan wewenang oleh Pejabat TUN merupakan persoalan yuridis
yang krusial dalam Peradilan Tata Usaha Negara, hal ini berkaitan dengan tolak
ukur untuk menguji keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Menurut Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa tolok ukur untuk
menentukan keabsahan suatu KTUN yaitu dapat dilihat dari 3 segi yaitu
prosedur, substansi dan wewenangnya.8 Pendapat Philipus M.Hadjon ini sesuai
(paralel) dengan penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 yang menentukan alasan (tolak ukur) yang dimaksud adalah :
1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat prosedural/formal;
2) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat material/substansial;
3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang;
Putusan Pengadilan yang amarnya berisi mengenai pembatalan suatu
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat dijumpai dalam praktek peradilan
7 Ibid, Hlm.79
8 Philiphus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993, Hlm. 324
9
sehari-hari, dalam hal ini KTUN tersebut dibatalkan karena tidak sesuai dengan
wewenang yang dimiliki oleh Pejabat Tata Usaha Negara dan telah melanggar
perundang-undangan, termasuk didalamnya asas-asas umum pemerintahan yang
baik atau AAUPB yang menjadi Tergugatnya.
Salah satu kasus mengenai pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikarenakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), khususnya mengenai
pelimpahan kewenangan, terdapat dalam Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Nomor Perkara 06/G/2011/PTUN.YK. Para pihak dalam perkara tersebut
Penggugatnya adalah CV. Sari Jaya dalam hal ini diwakili oleh Hani
Purbonegoro, selaku pemilik CV. Sari Jaya melawan Walikota Yogyakarta yang
selanjutnya disebut sebagai Tergugat, sedangkan Objek Gugatannya yaitu Surat
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011
tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha Penepungan Batu yang beralamat di
Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan,
Kecamatan Umbul Harjo, Kota Yogyakarta (selanjutnya disebut sebagai Surat
Keputusan Objek Sengketa).
Terhadap Sengketa Tata Usaha Negara mengenai Pemberitahuan
Penutupan Usaha Penepungan Batu, Majelis Hakim berpendapat bahwa Surat
Keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta dengan Nomor 503/687
tanggal 22 Februari 2011 tidak memenuhi aspek prosedur pelimpahan wewenang
yang terdapat dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
10
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota
Kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas.
Selain itu juga, Majelis Hakim dalam Pertimbangan Hukumnya menganut
beberapa doktrin sarjana Hukum Administrasi Negara, sehingga Majelis Hakim
berpendapat bahwa telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru
ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang
didasari tindakan Tergugat didalam menerbitkan objek sengketa a quo, yang
dalam hal ini menyebabkan surat keputusan objek sengketa menjadi batal.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk
menelaah lebih lanjut dengan melakukan suatu penelitian dan akan di tuangkan
dalam bentuk skripsi yang berjudul : “KONSEP SUMBER KEWENANGAN
PEJABAT TATA USAHA NEGARA SEBAGAI DASAR PEMBATALAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN)” (Studi Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut :
1. Apakah Pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor
06/G/2011/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep
11
perolehan sumber kewenangan, sudah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan doktrin yang ada?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat dalam
amar putusan Majelis Hakim pada putusan Nomor 6/G/2011/PTUN.YK?
C. Kerangka Teori
Menurut Plato dalam bukunya Nomoi mengemukakan bahwa:
Penyelenggaraan Negara yang baik, ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik. Gagasan plato tentang Negara hukum ini semakin tegas
ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku
Politica. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Gagasan Negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan
tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul konsep
rechstaat dari Freidrich Hulius Stahl, yang di ilhami oleh pemikiran
Immanuel Kant.9
Dalam perkembangannya konsepsi Negara Hukum tersebut kemudian
mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya
sebagai berikut :
a. Sistem Pemerintahan Negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
9 Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm 2-3
12
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle)
yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-
benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga
Negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang
merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.10
Didalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum”. Dan juga menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, sebagaimana di isyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945
bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah yang diatur
dengan undang-undang”.
10
Ibid, Hlm. 4-5
13
Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas
pemerintah, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang
menjalankan pemerintahan. Pemerintah dalam arti luas mencakup semua alat
kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara
lain yang bertindak untuk dan atas nama negara. Pemerintah dalam arti sempit
adalah organ/alat kelengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau
melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua
badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan didalam negara baik
kekuasaan seksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif.11
Pemerintah dalam hal ini yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(Pejabat TUN) dalam menjalankan tugasnya untuk mengeluarkan suatu
Keputusan Tata Usaha Negara harus berdasarkan wewenang masing-masing
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Menurut S.F. MARBUN dalam bukunya R.Wiyono ; “Menurut
hukum administrasi, pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah
kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintah tertentu
yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah,
sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah
mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian
11
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, Hlm. 20-21
14
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang
yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.”12
Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundangan-undangan di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi
(Attributie), Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat), hal ini juga sesuai
dengan pendapat H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt.13
Berdasarkan uraian diatas, dalam penegakan hukum ada 3 unsur yang
harus mendapatkan perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban, sedangkan tujuan lainnya
yaitu mencapai keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan adanya
kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Peradilan
merupakan suatu lembaga yang memberi harapan bagi setiap pencari keadilan
untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan
dalam suatu perkara.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu
lingkup peradilan yang ada di Indonesia dan diciptakan untuk menyelesaikan
sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengkata yang timbul
sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap
melanggar hak-hak warga negaranya. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU PERATUN) telah mengalami beberapa perubahan diantaranya
12
R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, Hlm. 64 13
Ridwan HR.2011 .Op.Cit. Hlm. 102
15
UU yang pertama yaitu UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yang telah diubah menjadi UU Nomor 9 tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan diubah lagi menjadi UU Nomor 51 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas UU Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan yang
dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN), baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Timbulnya sengketa Tata Usaha Negara dikarenakan adanya
Keputusan Tata Usaha Negara yang melanggar peraturan perundang-
undangan dan atau melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Seperti yang sudah diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Permasalahan dalam sengeketa ini adalah Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta yang ditujukan kepada
CV.Sari Jaya sebagai penggugat, yang menganggap bahwa KTUN tersebut
tidak sah. Penggugat dalam hal ini berpendapat, tindakan tergugat dalam
16
mengeluarkan surat keputusan objek sengketa telah melanggar peraturan
perundang-undangan yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dapat dikatakan sah menurut hukum apabila dalam
pembuatannya memenuhi syarat materil dan syarat formil. Selain itu sesuai
dengan penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Nomor 9 Tahun 2004 bahwa
KTUN yang sah dalam pembuatannya juga harus memperhatikan 3 aspek,
yaitu aspek wewenang, substansi/materiil, dan prosedural.14
Berdasarkan sengketa diatas, dapat dilihat bahwa untuk mendirikan
suatu kegiatan usaha harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku sebagaimana
yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya
mengenai peraturan tentang izin gangguan. Hal ini bertujuan agar tidak akan
menimbulkan sengketa yang berujung pada pengadilan.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim pada
putusan Nomor 06/G/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan
14
S.F. Marbun, 2011, Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Cet.3,
Yogyakarta; FH UII Press, Hlm 162
17
Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari
konsep perolehan sumber kewenangan.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat
dalam amar putusan Majelis Hakim pada putusan Nomor 6/G/2011/PTUN.YK
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi pengembangan studi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, khususnya mengenai cara perolehan sumber kewenangan Pejabat
Tata Usaha Negara.
2. Kegunaan Praktis
Hasil Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
penulis serta para penegak hukum selanjutnya, dan memberikan informasi
tentang penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai alasan
gugatan maupun sebagai dasar pembatalan suatu Beschikking atau Keputusan
Tata Usaha Negara.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Negara Hukum
Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, tetapi pada
dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena
pengaruh-pengaruh situasi kesejarahan tadi, disamping pengaruh falsafah bangsa,
ideologi negara, dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep
negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al-
Quran dan sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Anglo-
Saxon (Rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum
Pancasila. Konsep-konsep negara Hukum ini memiliki dinamika sejarahnya
masing-masing. Namun dalam hal ini, hanya akan dibahas mengenai sejarah
kemunculan negara hukum khususnya Eropa Kontinental (rechstaat) yang
memiliki kaitan langsung dengan kemunculan ilmu Hukum Administrasi
Negara.1
Philipus M. Hadjon mengemukakan tiga macam konsep negara hukum,
yaitu : Rechstaat, The Rule Of Law, dan Negara Hukum Pancasila.2
Menurut Plato dalam bukunya Nomoi mengemukakan bahwa
Penyelenggaraan Negara yang baik, ialah yang didasarkan pada pengaturan
1 Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm. 1
2 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
1987,Hlm 71
19
(hukum) yang baik. Gagasan plato tentang Negara hukum ini semakin tegas
ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku
Politica. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Gagasan Negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan
tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara
lebih eksplisit pada abad ke 19, yaitu dengan munculnya konsep rechstaat dari
Freidrich Julius Stahl, yang di ilhami oleh pemikiran Immanuel Kant.
Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechstaat) adalah sebagai berikut :
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.3
Sehubungan dengan adanya unsur equality before the law pada rule of
law yang berlaku sama terhadap pejabat maupun warga negara, maka Hukum
Administrasi Negara sebagai hukum yang secara khusus mengatur hubungan
antara pemerintah dengan warga negara dianggap asing bagi masyarakat Inggris.
Dalam perkembangannya konsepsi Negara Hukum tersebut kemudian mengalami
penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Sistem Pemerintahan Negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
3 Ridwan HR, 2011, Op.Cit, Hlm. 2-3
20
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang
bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak
memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara
untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang
dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata
sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.4
Konsep Negara Hukum yang semula dipelopori oleh Dicey (dari Inggris)
dengan sebutan Rule of Law , berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Sendi
utama dalam Sistem Anglo Saxon adalah Yurisprudensi. Sistem hukum Anglo
Saxon berkembang dari kasus-kasus konkret dan dari kasus konkret tersebut lahir
sebagai kaidah dan asas hukum, karena itu sistem hukum ini disebut sebagai
sistem hukum yang berdasar kasus (case law system)5
Negara Indonesia sebagai Negara Hukum seperti yang telah dinyatakan
oleh Undang-undang Dasar 1945 (rechstaat), merupakan Negara Hukum dengan
4 Ibid, Hlm. 4-5
5 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, Hlm. 3
21
konsep Negara Hukum Pancasila. Dalam Negara Hukum Pancasila terdapat
jaminan kebebasan beragama, yang memiliki arti bahwa agama dan negara
memiliki hubungan yang harmonis, sehingga tidak boleh terjadi pemisahan
antara keduanya. Ciri-ciri Negara Hukum Pancasila yaitu:
- Ada hubungan erat antara agama dan negara;
- Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Kebebasan beragama dalam arti positif;
- Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
- Asas kekeluargaan dan asas kerukunan.6
Sebagai Negara Hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).
Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan
pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat
pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang diberi otonomi
yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah
tangga daerah.7
B. Hukum Administrasi Negara
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Administrasi (Administrare), mempunyai dua arti. Pertama, kegiatan
catat-mencatat. Kedua, mereka atau kompleks jabatan (jabatan) yang
menyelenggarakan kegiatan pencatatan termaksud pada point pertama. Dalam
6 M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi
Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang,
Jakarta, Hlm 71-72 7 Ridwan HR,2011, Op.Cit, Hlm 17
22
bahasa belanda untuk Hukum Administrasi Negara dikenal tiga istilah, yaitu
Bestuursrecht, Administratiefrecht, serta Statikaatrecht in engere zin.
Sedangkan dalam bahasa Inggris: Hukum Administrasi disebut dengan
Administrative Law, Prancis: Hukum Administrasi disebut dengan Droit
Administratif, Jerman: Hukum Administrasi disebut dengan
Verwaltungsrecht.8
Van vollenhoven membuat deskripsi mengenai hukum administrasi
dengan dua cara :
a. Membandingkan hukum administrasi dengan hukum negara berdasarkan
fungsinya, yaitu hukum negara berfungsi memberikan wewenang kepada
organ pemerintahan Negara yang berkaitan dengan admnistrasi negara
dalam batas-batas tertentu sedangkan hukum administrasi negara
berfungsi membatasi kemerdekaan penggunaan wewenang tersebut.
Pendapat Van Vollenhoven ini, dikemukakan pada tahun 1919. Van Der
Pot kemudian dalam waktu lima tahun, memberikan komentar terhadap
pendapat Van Vollenhoven dengan mengemukakan bahwa secara faktual
kelihatannya gambaran dari Van Vollenhoven tentang hukum
administrasi negara yang justru meletakkan beban-beban kepada rakyat
atau yang diperintahkan. Atas dasar catatan Van der Pot itu, makan Van
8 Willy D.S. Volly, Dasar-dasar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,
Hlm. 4
23
Vollenhoven pada tahun 1972 memperbaiki pendapatnya tentang Hukum
Administrasi Negara.9
b. Van Vollenhoven membedakan kuantum substansi materi hukum dari
hukum administrasi negara dibandingkan dengan kuantum materi hukum
lainnya.
Pendapat Van Vollenhoven diatas dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan kriterium pertama dengan membedakan hukum negara dengan
hukum administrasi negara, pada dasarnya mirip dengan pendapat dari
Oppenheiman yang mengatakan, bahwa Hukum Negara adalah melihat
Negara dalam keadaan statika, sedangkan hukum administrasi negara melihat
Negara dalam keadaan dinamika.
Loggeman mengajarkan, bahwa Hukum Negara adalah meliputi
ajaran kompetensi, sedangkan hukum administrasi negara adalah meliputi
ajaran hubungan hukum istimewa. Pendapat ini mirip dengan pendapat van
vollenhoven.
Utrecht dalam merumuskan hukum administrasi negara pada
hakikatnya adalah analog dengan pendapat loggeman, Van Vollenhoven, dan
Oppenheimn.10
Istilah Hukum Administrasi Negara merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Belanda, Administratiefrecht. Hukum Administrasi memiliki beberapa
9 Ibid, Hlm. 82-83
10 Ibid, Hlm. 84
24
pengertian berdasarkan sudut pandang. Berikut akan dipaparkan beberapa
pengertian dari Hukum Administrasi menurut beberapa pakar, antara lain:
a. R. Abdoel Djamali, bahwa Hukum Administrasi Negara adalah
peraturan hukum yang mengatur administrasi, yaitu hubungan antara
warga negara dan pemerintahannya yang menjadi sebab hingga negara itu
berfungsi.
b. Kusumadi Poedjosewojo, bahwa Hukum Administrasi Negara adalah
keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana negara sebagai
penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugasnya.
c. E. Utrecht, mendefinisikan Hukum Administrasi sebagai hukum yang
menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan, akan kemungkinan
para pejabat melakukan tugas mereka yang khusus.
d. Van Apeldoorn, memberikan pengertian Hukum Administrasi Negara
adalah keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh para pengusaha
yang diserahi tugas pemerintahan dalam menjalankan tugasnya.11
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh penulis lainnya pada
dasarnya kita sependapat bahwa Hukum Administrasi Negara adalah
mempersoalkan hubungan hukum istimewa antara administrasi penguasa
dengan rakyat atau yang diperintah.12
11
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara IndonesiaI, Kencana, Jakarta, 2014, Hlm.6-7 12
Ibid, Hlm. 85
25
2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam kepustakaan Belanda
disebut pula dengan istilah bestuursrecht, dengan unsur utama “bestuur”.
Menurut Philipus M. Hadjon, istilah bestuur berkenaan dengan “sturen” dan
“sturing”. Bestuur dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar
lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Dengan rumus itu
kekuasaan pemerintahan tidaklah sekadar melaksanakan undang-undang.
Kekuasaan pemerintahan merupakan yang aktif. Sifat aktif tersebut dalam
konsep Hukum Administrasi secara intrinsik merupakan unsur utama dari
“sturen” (besturen).13
Kekuasaan pemerintah yang menjadi objek kajian hukum administrasi
negara ini demikian luas. Oleh karena itu, tidak mudah menentukan ruang
lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN). Di samping itu, kesukaran
menentukan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara ini disebabkan pula
oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan tindakan pemerintahan
yang tidak semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam peraturan
perundang-undangan, seiring dengan perkembangan kemasyarakatan
yang memerlukan pelayanan pemerintah dan masing-masing masyarakat
di suatu daerah atau negara berbeda tuntutan dan kebutuhan.
13
Ridwan HR.,2011, Op.Cit, Hlm. 38
26
b. Pembuatan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan instrumen
yuridis bidang administrasi lainnya tidak hanya terletak pada satu tangan
atau lembaga.
c. Hukum Administrasi Negara berkembang sejalan dengan perkembangan
tugas-tugas pemerintah dan kemasyarakatan, yang menyebabkan
pertumbuhan bidang Hukum Administrasi Negara tertentu berjalan secara
sektoral.14
Alasan tersebut diatas hampir senada yang dikemukakan pula oleh
E.Utrecht, dengan mengutip pendapat A.M. Donner, bahwa HAN itu sukar
dikodifikasi. Karena tidak dapat dikodifikasi, maka sukar diidentifikasi ruang
lingkupnya dan yang dapat dilakukan hanyalah membagi bidang-bidang atau
bagian-bagian HAN.
Menurut pendapat P. De Han dkk sebagaimana dikutip oleh Ridwan
HR, bahwa HAN dibagi menjadi 2 bidang, yaitu :
a. Hukum Administrasi Negara Umum, adalah berkenaan dengan peraturan
umum mengenai tindakan hukum dan hubungan administrasi dan
peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang
hukum administrasi.
b. Hukum Administrasi Negara Khusus, adalah peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan bidang tertentu, seperti peraturan tentang tata ruang,
14
Ibid. Hlm. 40
27
perturan tentang pertanahan, peraturan tentang perpajakan dan
sebagainya. 15
Khusus bagi negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat
pula Hukum Administrasi Daerah, yaitu peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan administrasi daerah atau pemerintah daerah. Ada penulis yang
menyebutkan bahwa HAN mencakup hal-hal sebagai berikut;
a. Sarana-sarana (instrumen) bagi penguasa untuk mengatur,
menyeimbangkan, dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat;
b. Mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses
penyusunan dan pengendalian tersebut, termasuk proses penentuan
kebijaksanaan;
c. Perlindungan hukum bagi warga masyarakat;
d. Menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintah yang baik.16
Berdasarkan dari pemaparan beberapa pendapat sarjana diatas,
dapatlah disebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah Hukum yang
berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit) yaitu hukum yang
cakupannya secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. Perbuatan Pemerintah (Pusat dan daerah) dalam bidang publik;
b. Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan dibidang publik
tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan
15
Ibid. Hlm. 41 16
Ibid. Hlm. 45
28
bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan
kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum, karena itu
diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum;
c. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan
kewenangan pemerintahan itu;
d. Penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang
pemerintahan.17
C. Pemerintah dan Tindakan Pemerintah
1. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan
Secara teoritik dan praktik, terdapat perbedaan antara pemerintah dan
pemerintahan. Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas
pemerintah, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang
menjalankan pemerintahan. Pemerintah sebagai alat kelengkapan negara dapat
diartikan secara luas (in the broad sense) dan dalam arti sempit (in the narrow
sense). Pemerintah dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan negara,
yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudisial atau alat-alat kelengkapan negara lain yang bertindak
untuk dan atas nama negara. Dalam pengertian sempit pemerintah adalah
cabang kekuasaan eksekutif. Pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat
kelengkapan negara yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan
17
Ibid. Hlm. 46
29
undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua badan yang
menyelenggarakan semua kekuasaan didalam negara baik kekuasaan
seksekutif maupun kekuasaan legislatif dan yudikatif.18
2. Pejabat Tata Usaha Negara
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN)
dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau
dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai
wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Mengenai pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
Indroharto19
menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu
bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai
Badan atau Pejabat TUN. Sedangkan arti dari urusan pemerintah disini adalah
kegiatan yang bersifat eksekutif yaitu kegiatan yang bukan kegiatan legislatif
atau yudikatif.
18
Ridwan HR, 2003, Op.Cit, Hlm. 20-21 19
Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” Buku
I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.166
30
3. Tindakan Hukum Pemerintah
Pemerintah dalam melakukan aktivitasnya, melakukan dua macam
tindakan, yaitu tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum
(rechtshandelingen). Dengan kata lain bahwa, bentuk perbuatan pemerintahan
atau bentuk tindakan administrasi negara yang secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Perbuatan hukum/tindakan hukum (rechtshandelingen).
b. Bukan perbuatan hukum/tindakan biasa (feitelijkehandelingen).
Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan pemerintah
yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen).Adapun tindakan
pemerintah yang tergolong tindakan hukum, yakni :
a. Tindakan menurut hukum privat.
b. Tindakan menurut hukum publik.20
Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah
tindakan dalam kategori tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan
hukum pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan.
Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya
sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (bestuurs-
organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
20
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit, Hlm. 308
31
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk
menimbulkan akibat hukum dan dibidang Hukum Administrasi.
c. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.
Pada negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan
atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur
atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang
yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga
masyarakatnya.21
Pengertian Tindakan Hukum pemerintah dalam bukunya Ridwan HR,
bahwa tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh organ pemerintahan atau administrasi negara yang dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintah atau administrasi
negara.22
Berdasarkan paparan sebagaimana disebutkan di atas, maka pada
dasarnya perbuatan pemerintah (administrasi) dapat dikategorikan menjadi
tiga macam, yaitu :
21
Ibid, Hlm. 309 22
Ridwan HR, 2011, Op.Cit, Hlm. 112
32
a. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling).
b. Mengeluarkan keputusan (beschikking).
c. Melakukan perbuatan material (materielle daad).23
Tindakan Hukum Tata Usaha Negara tidaklah sama maknanya dengan
tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha negara. Tidak setiap tindakan
pejabat adalah tindakan Hukum Tata Usaha Negara. Pengertian tindakan
hukum Tata Usaha Negara termasuk dalam kelompok tindakan hukum publik
yang sifatnya sepihak dan diarahkan kepada sasaran yang individual. Dari
sifatnya sebagai hukum publik, perlulah dipahami secara benar perbedaan
antara tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat.24
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Asas-asas umum pemerintahan yang baik, sesungguhnya adalah
rambu-rambu bagi para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya.
Rambu-rambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai
dengan tujuan hukum yang sesungguhnya.
Tujuan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah sebagai
saran perlindungan hukum terhadap penggunaan dan pelaksanaan wewenang
bebas (diskresioner) pemerintah dalam melaksanakan wewenangnya,
misalnya penggunaan wewenang dalam membuat ketetapan (beschikking).25
23
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit, Hlm. 311 24
Ibid, Hlm. 583-584 25
A. Muin Fahmi, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 56
33
Jika dilihat dari sejarah atau keberadaan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB) ini di Indonesia belum diakui secara
yuridis formal seningga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 5 tahun 1986 di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas
tersebut dimasukan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap keputusan
badan/pejabat tata usaha negara, akan tetapi usulan ini tidak diterima oleh
pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku
Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah.
Tidak dicantumkannya AAUPB dalam Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara (UU PERATUN) bukan berarti aksistensinya tidak diakui sama
sekali, karena ternyata seperti yang terjadi di Belanda, AAUPB ini diterapkan
dalam praktik peradilan terutama pada Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).26
Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik Indonesia,
asas-asas ini kemudian muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang, yaitu
UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta diakui dan
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam proses peradilan di
Pengadilan Tata Usaha Negara yakni setelah adanya UU Nomor 9 tahun 2004
tentang perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang PERATUN sebagai
26
Ridwan HR, 2011, Op.Cit, Hlm. 240
34
salah satu alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan di Peradilan
Tata Usaha Negara, yang disebutkan sebagai berikut :
a. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraa negara.
b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
c. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memeperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
d. Asas Proposionalitas, yaitu asas mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara.
e. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
35
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.27
Telah disebutkan bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah, oleh
karena itu, terdapat rumusan yang beragam mengenai asas-asas tersebut.
Meskipun demikian, dalam buku ini tidak dibicarakan mengenai rumusan
yang beragam itu, namun hanya memuat AAUPB yang telah dirumuskan oleh
para penulis Indonesia, khususnya Koentjoro Purbopranoto dan
SF.Marbun. Macam-macam AAUPB tersebut, adalah sebagai berikut :
a. Asas Kepastian Hukum
Asas ini memiliki 2 aspek, yaitu aspek yang bersifat material dan bersifat
formal. Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan
itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai
dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan.
b. Asas Keseimbangan atau Asas Proposionalitas
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan
kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula
adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran
atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga memudahkan
27
Ibid, Hlm. 241-242
36
penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan
perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum.
c. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan
Asas ini menghendaki agar badan pemerintah mengambil tindakan yang
sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama.
Menurut Philipus M. Hadjon asas ini memaksa pemerintah untuk
menjalankan kebijakan. Bila pemerintah dihadapkan pada tugas baru yang
dalam rangka itu harus mengambil banyak sekali keputusan tata usaha
negara, maka pemerintah memerlukan aturan-aturan atau pedoman-
pedoman.
d. Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan
Asas ini menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat
dalam melakukan berbagai aktifitas penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara.
Asas ini mensyaratkan agar badan pemerintahan sebelum mengambil
keputusan, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua
kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya.
e. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan
Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintahan
harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam
menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan atau motivasi itu
tercantum dalam keputusan.
37
f. Asas Tidak Mempercampuradukkan Kewenangan
Asas ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam
peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui
batas.
g. Asas Permainan yang Layak (Fair Play)
Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan
untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum
dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga menekannkan
pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa
tata usaha negara.
h. Asas Keadilan dan kewajaran
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi
negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan
menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras
dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar
setiap aktivitas pemerintah atau administrasi negara memperhatikan nilai-
nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama,
moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.
38
i. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah
harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu,
aparat pemerintah harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu
harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik
kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah.
j. Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal
Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari pekerjaannya dengan
suatu surat keputusan (beschikking). Seorang pegawai yang dipecat karena
diduga telah melakukan kejahatan, tetapi setelah dilakukan proses
pemeriksaan di pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak
bersalah.
k. Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi
Asas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas kehidupan
pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi
setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang
menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan
kata lain, asas ini merupakan pengembangan dari salah satu prinsip negara
hukum, yakni perlindungan hak asasi.
l. Asas Kebijaksanaan
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan
39
kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan
formal.
m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum
Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang
mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan
konsekuensi dianutnya konsepsi negara hukum modern (welfare state),
yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab
untuk mewujudkan bestuurszorg (kesejahteraan umum) warga negaranya.28
Kebebasan diberikan administrasi negara dalam melaksanakan tugas
kesejahteraan umum. Bentuknya adalah kebebasan untuk mengambil tindakan
yang tepat, cepat serta berfaedah dalam keadaan mendesak terhadap sesuatu
yang belum diatur oleh hukum, namun tindakan tersebut harus dalam bingkai
hukum. Kebebasan yang demikian dalam ilmu hukum di Perancis disebut
Pourvoir Discretionare. Di belanda disebut Freies Ermessen, Logemman
menyebut Vrije Insitiatief. Donner menyebut Vrije Heid van Het Bestuur.
Dikalangan ahli hukum di Indonesia lebih pupuler dengan istilah Freies
Ermessen. Sedangkan di kalangan birokrat di Indonesia lebih dikenal sebagai
kebijaksanaan.
Istilah Detournement de Pouvoir diartikan sebagai penggunaan
wewenang pemerintah dalam menyelenggarakan kepentigan umum yang lain
28
Ibid. Hlm 245-263
40
dari kepentingan umum yang telah ditentukan dalam peraturan dasarnya.
Doktrin tersebut semula diakui dalam hukum administrasi, termasuk di
Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, ternyata hukum positif di
Indonesia telah menetapkan bahwa Detournement de Pouvoir adalah
perbuatan pemerintah (bestuur) yang melanggar hukum (onrechtmatige
overheidsdaad).
Fungsi Freies Ermessen adalah agar administrasi negara sebagai aparat
penyelenggara negara dapat menilai dan menentukan apa yang inkonkreto,
yang pada nyatanya harus terjadi, sesuai dengan demikian masyarakat. Karena
itu, kebebasan yang dimaksud adalah bebas menentukan apa yang harus
dilakukan, dengan ukuran apa wewenang itu digunakan, kapan tindakan itu
dilakukan dan bagaimana caranya wewenang itu digunakan.29
D. Sumber Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa
hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan
hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak
untuk memaksakan kehendak. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan
kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan
mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan, kewajiban mempunyai dua
29
A. Muin Fahmi, Op.Cit. Hlm. 44-45
41
pengertian, yakni horizontal dan vertical. Secara horizontal berarti kekuasaan
untuk menyelenggarakan pemerintah sebagaimana mestinya. Wewenang dalam
pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam
suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan. 30
Berbeda dengan pendapat S.F. MARBUN dalam bukunya R.Wiyono;
“Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan” (authority, gezag)
adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintah
tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah,
sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah
mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang
yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.”31
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara. Begitu pentingnya kedudukan
kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya
sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara,
“Het begrip bevoegheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief
recht”. Kewenangan yang ada di dalamnya terkandung hak dan kewajiban,
menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut:
30
Muhammad Fauzan, “Hukum Pemerintahan Daerah”Edisi revisi, STAIN Press, Purwokerto,
2010, Hlm.79 31
R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, Hlm. 64
42
“Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-
tindakan yang dimaksudkan untuk menimbukan akibat hukum, dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain
untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.”32
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam
menjalankan tugasnya untuk mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara
harus berdasarkan wewenang masing-masing yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya. Sumber dan cara memperoleh wewenang pemerintah
bersumber dari undang-undang dasar dan undang-undang. Secara teoritis
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan tersebut di
peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan
Mandat (Mandaat).
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
32
Ridwan HR., 2011, Op.Cit, Hlm. 99
43
3. Mandat
Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.33
Selain pengertian diatas, Philipus M. Hadjon juga memberikan definisi
mengenai delegasi dan mandat. Menurutnya, dengan mengutip pasal 10:3 AWB
delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “beslit”) oleh
pejabat pemerintahan (Pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut
menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Sedangkan menurutnya, mandat
merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n
pejabat TUN yang memberikan mandat. Dengan demikian, tanggung jawab dan
tanggung gugat tetap ada pada pemberi mandat.34
Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan baik
yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator.
Dalam Kajian Hukum Administrasi Negara (HAN), mengetahui sumber
dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena
berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang
tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum. Setiap
pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat
didalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.35
33
Ibid. Hlm. 102 34
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm. 204-205 35
Ridwan HR., 2011, Op.Cit, Hlm. 105
44
E. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu lingkup
peradilan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan diciptakan
untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni
sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan pemerintah
yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Sedangkan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) merupakan pengadilan tingkat pertama yang ada dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU PERATUN) telah mengalami beberapa perubahan diantaranya UU
yang pertama yaitu UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yang telah diubah menjadi UU Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
dan diubah lagi menjadi UU Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas UU Nomor 51 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara.
1. Asas-Asas Khusus Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas hukum acara peradilan tata usaha negara terletak pada asas-
asas hukum yang melandasinya, yaitu :
a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid = praesumptio
iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang dibuat
(pasal 67 ayat 1 Undang-undang 5 tahun 1986);
45
b. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetakan beban pembuktian. Hal ini
berbeda dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut pasal 107 UU
Nomor 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100;
c. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata
usaha negara sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum
perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan pasal 58,
63 ayat 1, 2, 80, 85.
d. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omes”.
Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan
pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang
bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan pasal 83 tentang
intervensi bertentangan dengan asas “erga omes”.36
2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kekuasaan (kompetensi) Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari
kompetensi absolut dan kompetensi relative. Kompetensi absolut terdapat
dalam pasal 47 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. 37
Kompetensi Absolut merupakan kompetensi utama Badan Peradilan
Administrasi yang dibentuk beradasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
36
Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, UGM Press, Yogyakarta,
1999, Hlm 313. 37
Wiyono, Op.Cit. Hlm. 6
46
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa
administrasi negara antara pemerintah dan warga masyarakat, disebabkan
pemerintah telah melanggar hak-hak kepentingan warga. 38
Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara kurang lebih
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Yang bersengketa (pihak-pihak) adalah Orang atau Badan Hukum Perdata
dengan Pejabat Tata Usaha Negara.
b. Objek Sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara yakni penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c. Keputusan yang dijadikan objek sengketa ini berisi tindakan hukum pejabat
tata usaha negara.
d. Keputusan yang dijadikan objek sengketa itu bersifat konkret, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum
perdata.39
Pasal 53 ayat 1 yang dimaksud Penggugat adalah : “Orang atau Badan
Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN) dapat mengajukan Gugatan Tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi”.
38
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm 580 39
SF Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta,
2001, Hlm 186
47
Sedangkan yang dimaksud dengan Tergugat tercantum dalam pasal 1
angka 6 bahwa : “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata”.
Kompetensi relative merupakan kewenangan memeriksa/mengadili
perkara berdasarkan pembagian daerah hukum (distribusi kekuasaan).
Kompetensi Relatif ini diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 9 tahun
2004 tentang PERATUN, yang menyatakan ;
a. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi
dan daerah hukumnya meliputu wilayah Provinsi.
Mengenai susunan Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, oleh Pasal 8 UU PERATUN ditentukan bahwa Pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari ;
1) Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama (PTUN);
2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang merupakan Pengadilan Tingkat
Banding (PTTUN).40
40
R. Wiyono., Op.Cit. Hlm. 2
48
Adapun kekuasaan dari Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara adalah sebagai berikut;
a. Pasal 50 menentukan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara di tingkat pertama;
b. Pasal 51 menentukan;
(1). Pengadilan TUN bertugas dan berwenang memeriksa,dan memutus
Sengketa Tata Usaha Negara ditingkat banding;
(2). Pengadilan TUN juga bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara Pengadilan TUN di dalam daerah hukumnya;
(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan ditingkat pertama
Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48;
(4) Terhadap Putusan Pengadilan TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dapat diajukan permohonan kasasi.
3. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Disamping melalui upaya administratif, penyelesaian sengketa Tata
Usaha Negara dilakukan melalui gugatan. Penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara melalui upaya administratif relatif lebih sedikit jika dibandingkan
dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui gugatan, karena
49
penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif hanya
terbatas pada beberapa “sengketa tata usaha negara tertentu” saja.
Pasal 53 ayat 1 setelah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun
2004 menentukan orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan
gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1 tersebut dapat
diketahui bahwa yang dimaksud dengan gugatan dalam penyelesaian sengketa
Tata Usaha Negara adalah permohonan secara tertulis dari seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, yang ditujukan kepada pengadilan di
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.41
Ketentuan tentang tenggang waktu gugat harus diperhatikan jika
seseorang atau badan hukum perdata akan mengajukan gugatan ke pengadilan
di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, karena dengan lewatnya
tenggang waktu gugatan, ketua pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan
41
Ibid, Hlm. 117
50
bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 ayat 1 huruf e.
Pasal 55 menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam
tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.42
Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan TUN pada prinsipnya tidak
menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat
tata usaha negara, serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang
digugat. Namun demikian, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan agar surat keputusan yang digugat tersebut ditunda
pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat
dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat akan sangat dirugikan jika keputusan
TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (pasal 67 ayat 4 a).43
Pasal 1 ayat 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan yang dimaksud
dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN), baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara
42
Ibid, Hlm. 124 43
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm 596
51
(KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
4. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara
Pejabat Tata Usaha Negara pada saat menjalankan tugasnya salah
satunya yaitu mengeluarkan keputusan, yang selanjutnya disebut sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), pengertiannya terdapat pada Pasal 1
ayat 9 UU Nomor 51 Tahun 2009. Sedangkan yang dimaksud dengan bersifat
konkret, individual dan final adalah sebagai berikut :
a. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tata usaha
negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
b. Bersifat individual, artinya keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju.
c. Bersifat final, artinya sudah Definitif dan karenanya dapat menimbulkan
akibat hukum.44
Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas presumtio
justae causa yang maksudnya bahwa suatu keputusan TUN harus selalu
dianggap benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang hakim belum membuktikan
sebaliknya. Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan
tata usaha negara adalah sebagai berikut :
- Syarat Materiil :
a. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang.
44
R. Wiyono, Op.Cit, Hlm. 28
52
b. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka
pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis.
c. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan
dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur)
membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam
peraturan dasar tersebut.
d. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan
dasar.
e. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu.
- Syarat Formil :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus
dipenuhi.
b. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan.
c. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya
keputusan harus dipenuhi.
d. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hak-hak yang
menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu
tidak boleh dilewati.45
Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu
tindakan Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah
45
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. Op.Cit. Hlm 322-323
53
sesuai dengan norma-norma hukum (baik yang tertulis maupu yang tidak
tertulis) yang berlaku bagi tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian
yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara terbatas hanya dari segi
hukumnya (peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik).
Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 UU Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004, yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; atau
b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik.
Dalam Praktiknya Majelis Hakim dalam pengujiannya terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara telah sesuai ketentuan Pasal 53 di atas, adalah
meliputi tiga aspek yaitu :
a. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau
melanggar kewenangan. Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah
secara atribusi (berasal dari perundang-undangan yang melekat pada suatu
jabatan), delegasi (adanya pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang
ada), dan mandat (dalam hal ini tidak ada pengakuan kewenangan atau
pengalihan kewenangan).
b. Aspek Substansi/materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan
kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan
54
ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan tata
usaha negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam
pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.
Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tetapi juga dengan memperhatikan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu ;
a. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan
keputusan :
• Persiapan yang cermat.
• Asas Fair Play.
• Larangan Detournement de Procedure (menyalahi prosedur).
b. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :
• Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan
pada suatu keputusan.
• Pertimbangan tersebut harus memadai.
c. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :
• Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan.
• Asas persamaan perlakuan.
• Larangan detournement de pouvoir.
55
• Asas kecermatan materiil.
• Asas keseimbangan.
• Larangan Willekeur (sewenang-wenang).46
Indroharto dalam Bukunya Usaha Memahami Undang-Undang
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, mengemukakan dasar untuk
menguji KTUN adalah :
a. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
b. Melanggar Larangan De’tournement de pouvoir/penyalahgunaan
wewenang;
c. Menyimpang dari Nalar yang Sehat (Melanggar Larangan Willekeur);
d. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.47
Sebuah ketetapan/keputusan yang tidak sah menurut Utrecht, mengenal
tiga macam yakni :
a. Batal (nietig/absolute nietig), berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan
dianggap tidak ada. Bagi hukum, akibat perbuatan hukum itu tidak ada
sejak semula.
b. Batal demi hukum (nietigheid van rechtswege), batal karena hukum atau
batal demi hukum (nietigheid van rechtswege) berakibat suatu perbuatan
untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada
46
Ibid, Hlm 323-325 47
Indroharto, Op.Cit, Hlm 172
56
(dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu
badan pemerintahan batalnya sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu.
c. Dapat dibatalkan (verniegbaar), berarti bagi hukum bahwa perbuatan yang
dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh
hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten
(pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu
kekurangan). Bagi hukum perbuatan tersebut ada sampai waktu
pembatalnnya dan oleh sebab itu itu segal akibat yang ditimbulkan antara
waktu mengadakannya, sampai waktu pembatalnnya, menjadi sah
(terkeculi dalam hal undang-undang menyebutkan beberapa bagian akibat
itu tidak sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan bila
mungkin diusahakan supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau
sebagiannya hapus.48
48
Andy Lesmana, 2013, Batal Demi Hukum, http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/batal-
demi-hukum-602043.html diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB
57
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Yuridis Normatif, Menurut Johny Ibrahim, metode pendekatan yuridis normatif
adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian
hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.1
A. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Kasus (Case
Approach), dan Pendekatan Konseptual.
- Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
peraturan undang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan
masalah hukum yang sedang ditangani. Pendekatan ini akan membuka
kesempatan kepada peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara undang-undang dengan undang-undang lainnya, antara
1Johny Ibrahim , Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2008,
Hlm.57
58
undang-undang dan undang-undang dasar, antara regulasi dengan undang-
undang. 2
- Pendekatan Kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-
kasus yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.3
- Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin di dalam ilmu hukum, konsep-konsep
hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan masalah yang dihadapi.4
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi Penelitian yang digunakan adalah preskriptif, yaitu suatu
penelitian yang menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti dengan
keyakinan-keyakinan tertentu yang didasari atas perundang-undangan yang ada
dan kemudian mengambil kesimpulan dari bahan-bahan dari objek masalah yang
akan diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu.5
2 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
Hlm. 58 3 Ibid, Hlm. 58
4 Ibid, Hlm. 60
5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hlm. 141
59
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, Pusat
Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit
Pelayanan Terpadu (UPT) Universitas Jenderal Soedirman, dan ditempat lain
yang berkaitan erat dengan adanya sumber bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini.
D. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data
Sekunder, yang terdiri dari :
1. Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum ini merupakan bahan-bahan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat, yang dapat berupa norma dasar (Pancasila),
peraturan dasar seperti Batah Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan
Perundang-undangan, hukum yang tidak dikodifikasi, hukum adat, hukum
islam, yurisprudensi, traktat dan doktrin6 seperti :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen ;
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara RI tahun 1986 Nomor 77); Undang-undang
Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI
6 M. Syamudin, Op.Cit, Hlm. 96
60
tahun 2004 Nomor 35); Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor
160)
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125)
d. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
(Lembaran Negara RI tahun 2009 Nomor 8);
e. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6
Tahun 1999 tentang Izin Gangguan diganti menjadi Peraturan Daerah
Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan ;
f. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksana Tugas Khusus Wakil Walikota.
g. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk
Penandatanganan Naskah Dinas.
h. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor
06/G/2011/PTUN-YK
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, misalnya rancangan peraturan perundang-
61
undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian, jurnal, dan
sebagainya.7
3. Bahan Hukum Tersier
Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus,
ensiklopedi, indeks kumulatif, dan lain-lain.8
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan menginventarisasi
bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, putusan Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK,
yurisprudensi, dan doktrin yang relevan dengan objek penelitian ini.
Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara Studi
Kepustakaan, adalah kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri
dokumen-dokumen atau kepustakan yang dapat memberikan informasi atau
keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti9. Seperti terhadap Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hasil-hasil penelitian, literatur-literatur,
makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel, risalah-risalah sidang di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, serta petunjuk teknis
7 Ibid, Hlm. 96
8 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, Hlm. 141
9 M. Syamsudin, Op.Cit, Hlm. 101
62
maupun petunjuk pelaksana yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung maupun
PTUN Yogyakarta yang relevan dengan objek penelitian.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Penyajian bahan hukum dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk Teks
Naratif atau secara naratif 10
yaitu suatu penyajian dalam bentuk rangkaian
kalimat yang bersifat narasi atau bersifat menguraikan, menjelaskan dan
sebagainya, yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan
sistematis.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu merupakan
cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan
pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang
berkaitan dengan pokok permasalahan.
Cara pengambilan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu cara
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
masalah-masalah konkret yang dihadapi. 11
10
Ibid, Hlm. 119 11
Ibid, Hlm. 72
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang berbentuk data sekunder bersumber dari Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor 06/G/2011/PTUN.YK yang
diuraikan secara singkat sistematis sebagai berikut :
1. Para Pihak yang berpekara
1.1 Identitas Penggugat
a. Nama Badan Hukum : CV. Sari Jaya
b. Tempat Kedudukan : Jalan Mendung Warih Nomor 147 RT 32 RW
II Kelurahan Giwangan, Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Dalam hal ini diwakili oleh pemilik dari CV. Sari Jaya, yaitu ;
a. Nama : Hani Purbonegoro
b. Kewarganegaraan : Indonesia
c. Pekerjaan : Wiraswasta
d. Tempat Tinggal Jalan Madubronto Nomor 34 Patangpuluhan
RT 011 RW 002, Kelurahan Patangpuluhan,
Kota Yogyakarta.
1.2 Identitas Tergugat
a. Nama Jabatan : Walikota Yogyakarta
64
b. Tempat Kedudukan : Jalan Kenari Nomor 56 Komplek Balaikota
Timoho Yogyakarta.
2. Objek Gugatan
Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor : 503/687 Tanggal 22 Februari
2011 Tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha. (selanjutnya disebut sebagai
objek sengketa)
3. Duduk Perkara Menurut Penggugat
3.1 Bahwa tergugat dalam menerbitkan objek sengketa a quo tersebut
sangat merugikan kepentingan penggugat. Penggugat di dalam
menjalankan usahanya sejak berdiri tahun 1987 hingga sekarang telah
mengantongi segala perijinan sebagaimana ketentuan peraturan yang
berlaku, termasuk Ijin Gangguan No. 503-T.117/02.I1/2000 yag berlaku
sampai dengan tanggal 5 November 2004, dan sudah mengajukan
permohonan perpanjangan ijin gangguan dengan nomor pendaftaran
1097/XI/04 tanggal 9 November 2004, namun hingga sekarang
permohonan perpanjangan ijin gangguan yang persyaratannya sudah
lengkap tidak ada kejelasan dari tergugat, apakah ditolak atau
bagaimana. Selain itu Penggugat juga telah memiliki dokumen-
dokumen perijinan yaitu Surat Ijin Membangun Bangun-Bangunan No.
627.R/DTK/Tahun 2000, Surat Ijin Peruntukan Lahan No. 503.834
tanggal 23 September 1999, Dokumen AMDAL berupa Pengesahan
Kepala Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta atas
65
Dokumen UKL dan UPL pada Desember 2004, Surat Ijin Usaha
Perdagangan No. 841/MP/XII/NAS tanggal 4 Januari 1986, Surat
Pemberian Ijin Usaha Tetap No. 1812/012/D/36990/AI/VI/1988 tangga l
21 Juni 1988 ;
3.2 Bahwa salah satu dasar diterbitkannya objek sengketa adalah Putusan
Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 30 Desember 2010 No.
1267/Pid.C/2010/PN.YK adalah bukan atas nama Penggugat akan tetapi
atas nama terdakwa orang lain yaitu Hellen Purbonegoro, yang sama
sekali bukan pemilik dan bukan penanggungjawab CV SARI JAYA
milik penggugat, yang artinya adalah bahwa putusan tersebut telah
terjadi salah orang, sehingga mutatis mutandis penutupan usaha yang
dilakukan Tergugat sebagaimana Surat Walikota Yogyakarta Nomor :
503/687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan
Usaha adalah tidak sah ;
3.3 Bahwa objek sengketa a quo bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2)
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin
Gangguan bahwa keberatan hanya dapat diajukan dalam tenggang
waktu lima belas hari sejak permohonan itu diumumkan, dan pada saat
permohonan perpanjangan diajukan telah ternyata tidak pernah ada
keberatan warga, hal mana jelas bahwa Tergugat sudah terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar peraturan
66
yang dibuatnya sendiri. Selain itu objek sengketa juga bertentangan
dengan Pasal 18 serta Lampiran IV Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor : 41 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan,
oleh karena Penggugat tidak pernah diberi surat peringatan terlebih
dahulu sebelum terbitnya objek sengketa, akan tetapi Tergugat justru
memberikan Surat Perintah Penutupan Usaha sebanyak tiga kali, yaitu
Surat Nomor : 503/042 tanggal 7 Januari 2011 tentang Perintah
Penutupan Usaha, Surat nomor 503/069 tanggal 14 januari 2011 tentang
Perintah Penutupan Usaha, dan Surat Nomor : 503/115 tanggla 25
Januari 2011 tentang Perintah Penutupan Usaha. Selain itu pula, dasar
hukum penutupan usaha adalah Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
yang cacat hukum karena salah terdakwa, sehingga dengan demikian
prosedur penutupan usaha sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV
juga cacat hukum;
3.4 Bahwa keputusan Tergugat bertentangan dengan azas-azas umum
pemerintahan yang baik yaitu azas kepastian hukum karena tidak
memberikan jawaban atas permohonan perpanjangan izin gangguan No.
503-T/117/02.I1/2000 dengan Nomor Pendaftaran 1097/XI/04; azas
kecermatan karena mendasarkan penutupan usaha dengan putusan
pengadilan yang salah orang in casu Putusan Pengadilan Negeri
Yogyakarta tanggal 30 Desember 2010 No. 1267/Pid.C/2010/PN.YK
67
dan azas keterbukaan karena telah menerbitkan surat perintah penutupan
sebanyak tiga kali tetapi tanpa peringatan terlebih dahulu.
4. Petitum atau Tuntutan Penggugat
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Penggugat memohon
kepada Yth. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara sebagai berukut :
4.1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
4.2 Menyatakan Surat Walikota Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011
tantang Pemberitahuan Penutupan Usaha bertentangan dengan Perda
Nomor 2 Tahun 2005 jo. Peraturan Walikota Nomor 41 Tahun 2006
tanggal 5 Juni 2006.
4.3 Menyatakan batal atau tidak sah Surat Walikota Nomor 503 / 687
tanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
4.4 Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Walikota Nomor 503/687
tanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
4.5 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul.
5. Duduk Perkara Menurut Tergugat
5.1 Bahwa objek sengketa telah diterbitkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yaitu Pasal 2 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan
dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah
Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan yang
68
berbunyi, “Setiap orang pribadi atau badan yang mendirikan tempat
usaha di wilayah daerah, diwajibkan memiliki izin dari Kepala Daerah
atau Pejabat yang ditunjuk”. Bahwa Penggugat nyata-nyata yang
berbunyi, “ Selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum habis masa
berlakunya izin, pemohon harus sudah mengajukan permohonan izin
baru “. Bahwa Penggugat telah mengakui izin gangguannya telah habis
masa berlakunya pada tanggal 5 November 2004, dan Penggugat telah
mengakui sendiri melakukan permohonan perpanjangan izin gangguan
baru pada tanggal 9 November 2004 yang semestinya sesuai ketentuan
diajukan selambat- lambatnya 1 (satu) bulan sebelum habis masa
berlakunya izin, akan tetapi hal itu tidak dilakukan dan dijalankan oleh
Penggugat, Apabila dihitung sejak berdirinya CV. Sari Jaya pada tahun
1987 sampai dengan perkara ini diperiksa di Pengadilan Tata Usaha
Negara Yogyakarta, Penggugat semestinya telah memiliki izin
Gangguan sebanyak 5 (lima) Izin Gangguan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta, sesuai Pasal 10 Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat I Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang
Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 3 ayat (3)
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang
Tentang Izin Gangguan, yang berbunyi, “Izin berlaku untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun”. Bahwa oleh karena Izin Gangguan Penggugat
telah habis masa berlakunya pada tanggal 5 November 2004 dan oleh
69
karena faktanya Pemerintah Kota Yogyakarta belum pernah
menerbitkan perpanjangan atas izin gangguan tersebut, maka jelas-jelas
dalil-dalil Penggugat yang menyatakan “sejak tahun 1987 hingga
sekarang, didalam melakukan kegiatan sebagaimana ketentuan peraturan
yang berlaku…” adalah TERBUKTI TIDAK BENAR ;
5.2 Bahwa faktanya Tergugat sebelum menerbitkan objek sengketa telah
melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2
Tahun 2005, yaitu Tergugat nyata-nyata telah terlebih dahulu
memberikan “PERINGATAN” sebanyak tiga kali, yaitu Surat Nomor
503 / 069 tanggal 14 Januari 2011 yang dibetulkan dengan Surat Nomor
503 / 074 tanggal 17 Januari 2011, dan Surat Nomor 503/ 115 tanggal
25 Januari 2011, namum tidak diindahkan oleh Penggugat ;
5.3 Bahwa Pengugat telah keliru dalam membaca dan memahami Pasal 8
ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun
2005 yang mengatur tentang jangka waktu pemberitahuan adanya
permohonan izin gangguan terhadap pihaj-pihak yang berkeberatan,
bukan tenggang waktu untuk mengajukan keberatan dan bukan pula
batas waktu bagi Tergugat untuk menyampaikan Jawaban atas
permohonan perpanjangan Izin Gangguan dari Penggugat ;
5.4 Bahwa Hellen Purbonegoro di hadapan Hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta telah mengakui bahwa yang bersangkutan dalam proses
70
tindak pidana ringan di Pengadilan Negeri Yogyakarta mewakili Hani
Purbonegoro selaku ayah kandungnya yang saat itu sedang dalam
keadaan sakit, sehingga tidak benar apa yang didalilkan Penggugat yang
menyatakan Hellen Purbonegoro adaah orang lain, karena faktanya juga
membuktikan nama Hellen Purbonegoro tercantum di dalam Akta
Notaris Soerjono Partaningrat, SH. Nomor 113 tangal 13 Oktober 1987
tentang Pendirian CV. Sari Jaya sehingga dengan demikian Hakim
Pengadilan Negeri Yogyakarta yang memeriksa perkara tindak pidana
ringan dimaksud menyatakan bahwa Hellen Purbonegoro sah mewakili
CV. Sari Jaya ;
5.5 Bahwa penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan azas-azas umum
pemerintahan yang baik, yaitu antara lain azas kepastian hukum, karena
justru sangat tidak adil dan tidak ada kepastian hukum manakala
Tergugat tidak melakukan penutupan terhadap usaha penggugat yang
nyata-nyata tidak mempunyai izin gangguan yang sebagaimana
Pengadilan Negeri Yogyakarta telah menyidangkan tindak pidana ringan
yang terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Daerah Kota Yogyakarta Nomor : 2 Tahun 2005 Tentang Izin gangguan,
sehingga diputus hukum denda sebesar Rp. 1.000.000,00 sebagaimana
termuat dalam putusannya Nomor 1267/Pid.C/2010/Pn.YK tanggal 30
Desember 2010. Bahwa dalam menerbitkan objek sengketa tergugat
telah bertindak cermat, dimana sebelum menerbitkan objek sengketa
71
Tergugat melalui Kepala Dinas Perekonomian Kota Yogyakarta sudah
melayangkan surat Nomor 503/1503 tanggal 23 Desember 2004 perihal
Permohonan Izin Gangguan Penggugat yang ditujukan kepada
Penggugat bahwa Permohonan Izin Gangguan Penggugat tidak dapat
diproses lebih lanjut dikarenakan adanya keberatan dari warga sekitar
lokasi tempat kegiatan usaha penepungan batu CV. Sari Jaya yang
nyata-nyata telah menimbulkan dampak lingkungan sehingga
mengganggu waga sekitar lokasi kegiatan usaha penepungan baru.
Bahwa tergugat juga melalui Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta sudah
melayangkan surat peringatan sebanyak tiga kali yaitu Surat Nomor
503/042 tanggal 7 Januari 2011, Surat Nomor : 503/069 tanggal 14
Januari 2011 yang dibetulkan dengan Surat nomor :503/074 tanggal 17
Januari 2011, dan Surat Nomor : 503/115 tanggal 25 Januari 2011.
Bahwa tindakan Tergugat juga telah sesuai dengan azas keterbukaan,
dimana Tergugat telah melakukan peninjauan lokasi kegiatan usaha CV.
Sari Jaya milik Penggugat, berkoordinasi dengan instansi terkait dan
memperhatikan masukan-masukan dari warga masyarakat yang
keberatan atas keberadaan kegiatan usaha penepungan batu milik
Pengggugat yang sangat mengganggu masyarakat.
6. Petitum atau Tuntutan Tergugat
6.1 Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvakelijk Verklaard) ;
72
6.2 Mengabulkan Jawaban Tergugat untuk seluruhnya ;
6.3 Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang ditimbulkan dalam
perkara ;
7. Alat Bukti
7.1 Alat Bukti Surat Penggugat
P-1 : Foto Copy Akte Notaris Nomor: 113 tanggal 13 Oktober
1987, Notaris RM Soerjanto Partaningrat di Yogyakarta.
P-2 : Foto Copy profil CV SARI JAYA.
P-3 : Foto Copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota
Yogyakarta dengan Nomor : 503/042 tanggal 7 Januari 2011
tentang Perintah Penutupan Usaha.
P-4 : Foto copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota
Yogyakarta dengan No. 503/069 tanggal 14 Januari 2011
tentang Perintah Penutupan Usaha.
P-5 : Foto copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota
Yogyakarta dengan No. 503/115 tanggal 25 Januari 2011
tentang Perintah Penutupan Usaha.
P-6.A : Foto copy Surat dari Dinas Ketertiban Pemerintah Kota
Yogyakarta dengan No. 503/687 tanggal 22 Januari 2011
tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
73
P-6.B : Foto copy Surat Perintah Walikota No. 503/003/SP/2011
tanggal 22 Februari 2011 kepada Plt Kepala Dinas Ketertiban
Kota Yogyakarta tentang Penutupan Usaha CV SARI JAYA.
P-7 : Foto copy Berita Acara Penutupan Penutupan Kegiatan Usaha
No. 503/357 tanggal 24 Februari 2011.
P-8.A : Foto copy salinan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.
1267/Pid.C/2010/PN.Yk tanggal 30 Desember 2010.
P-8.B : Foto copy permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung RI terhadap Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
No. 1267/PidC/2010/PN.Yk tanggal 30 Desember 2010.
P-9 : Foto copy Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No: 2 Tahun
2005 tentang Izin Gangguan.
P-10 : Foto copy Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 41 Tahun
2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan.
P-11 : Foto copy Tanda Izin Usaha (HO) No. 503 T.117/02.4/2000
tanggal 1 Maret 2000.
P-12 : Foto copy bukti penerimaan berkas permohonan Ijin
Gangguan (HO) No.1097/XI/2004 tanggal 09-11-2004.
P-13 : Foto copy Nama-nama Karyawan dan foto copy KTP
Karyawan CV SARI JAYA.
74
P-14 : Foto copy Piagam Penghargaan No.657/KEP/2010 dari
Walikota Yogyakarta tanggal 23 November 2010.
P-15 : Foto copy Bukti Pembayaran pajak dari tahun 2010 dan 2011.
P-16.A : Foto copy Keputusan Walikota Yogyakarta
No.627.R/DTK/Tahun 2000 tentang Pemberian Ijijn
Membangun Bangunan-bangunan tanggal 8 Febuari 2000.
P-16.B: Foto copy Keputusan Walikotammadya Kepala Daerah
Tingfkat II Yogyakarta No.650/R tentang Pemberian Ijin
Membangun Bangun-Bangunan tanggal 2 November 1995.
P-16.C : Foto copy tanda bukti penerimaan sebagai pembayaran IMB
(baru) SK.No.26/R. tanggal 04 April 1996 terletak di
Giwangan RT.32.RW.XI.YK.
P-17 : Foto copy Surat Ijin Peruntukan Lahan Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah No.503/834 tentang Ijin
Peruntukan Lahan tanggal 23 September 1999.
P-18 : Foto copy salinan Keputusan Walikotamadya Kepala Darah
Tingkat II Yogyakarta No. 503-T.117/02.I 1/2000 tentang
Pemberian Ijin Tempat Usaha tanggal 1 Maret 2000.
P-19 : Foto copy Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) No.SIUP:
841/PM/XII/NAS tanggal 4 Januari 1986.
75
P-20 : Foto copy Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor
1812/012/D/36990/AI/VI/1988 tentang Pemberian Ijin Usaha
Tetap tanggal 21 Juni 1988.
P-21.A : Foto copy Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan
Upaya Pemantauan Lingkungan ( UKL dan UPL) Kegiatan
Penggilingan Batu Gamping oleh CV.SARI JAYA telah di
syahkan oleh Kepala Kantor Pengendalian Dampak
Lingkungan Kota Yogyakarta pada bulan Desember.
P-21.B : Foto copy Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta No. 290/KPTS/ 1994 tentang Persetujuan (RKL)
dan ( RPL) tanggal 8 September 1994.
P-22.A : Foto copy laporan hasil uji No. G/I/2001 tanggal 14 januari
2011 dari Balai Besar Tekhnik Kesehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatan RI.
P-22.B : Foto copy Laporan hasil uji No. G/XI//2010 tanggal 17
November 2010 dari Balai Besar Tekhnik Kesehatan
Lingkungan Kementrian Kesehatan RI.
P-23 : Foto kwitansi jimpitan ronda CV.SARI JAYA terhadap warga
mendung warih kelurahan giwangan Kecamatan Umbulharjo.
P-24 : Foto copy surat surat dari pekerja kepada pimpinan CV.SARI
JAYA, mohon untuk di buka kembali Perusahaan milik Bpk.
HANI PURBONEGORO.
76
P-25 : Foto copy Surat Penerimaan Berkas Perkara Peninjauan
Kembali Pidana atas nama HELLEN PURBONEGORO
Nomor: 87/ TU/87/PK/ Pid. Sus/ 2011 tertanggal 4 Mei 2011.
P-26 : Foto copy Surat Pernyataan dari HELLEN
PURBONEGORO.
7.2 Alat Bukti Surat Tergugat
T-1 : Foto Copy Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta
No.1267/Pid.c/2010/PN.YK tanggal 30 Desember 2010
dengan terdakwa Hellen Purbonegoro.
T-2 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban yang ditujukan
kepada Walikota Yogyakarta, No.130/3089, tanggal 31
Desember 2010 tentang Laporan Hasil Sidang Tipiring atas
Pelanggaran CV.SARI JAYA.
T-3 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban yang ditujukan
kepada Hellen Purbonegoro Pemilik atau Penanggungjawab
CV. SARI JAYA tentang Perintah Penutupan Usaha
No.503/042 tanggal 7 Januari 2011.
T-4 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban tentang Perintah
Penutupan Usaha No.503/069 tanggal 14 Januari 2011.
T-5 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban No.503/074 tanggal
17 Januari 2011 tentang Pembetulan Surat No.503/069.
77
T-6 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban No. 503/115
tanggal 25 Januari 2011, tentang Perintah Penutupan Usaha.
T-7 : Foto Copy Surat Walikota No. 503/687 tertanggal 22 Februari
2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha.
T-8 : Foto Copy Surat Perintah yang diterbitkan oleh Walikota
Yogyakarta No. 503/003/SP/2011 tanggal 22 Februari 2011.
T-9 : Foto Copy Surat Tugas yang diterbitkan oleh Kepala Dinas
Ketertiban Kota No. 800/350 tanggal 23 Februari 2011.
T-10 : Foto Copy Berita Acara Penutupan Kegiatan Usaha No.
503/357 tanggal 24 Februari 2011.
T-11 : Foto Copy Berita Acara Penolakan Tanda Tangan No.
503/358 tanggal 24 Februari 2011.
T-12 : Foto Copy Tanda Izin Tempat Usaha (HO) No.
503.T.117/02.11/2000, atas nama CV SARI JAYA.
T-13 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
No. 503/2779, tanggal 1 November 2004 tentang Masukan
Bahan Laporan.
T-14 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta
No. 503/5022, tanggal 1 November 2004 tentang Telaahan
Kelanjutan Ijin CV SARI JAYA.
T-15 : Foto Copy Formulir Permohonan Izin Gangguan No
Pendaftaran 1097/XI/04 tanggal 9 November 2004.
78
T-16 : Foto Copy Surat warga disekitar pabrik CV SARI JAYA yang
ditujukan kepada Walikota Yogyakarta tanggal 6 Oktober
2004.
T-17 : Foto Copy Surat Kepala Sekolah Dasar Ibtidaiyah Negeri
Yogyakarta II Kota Yogyakarta No. MI.I/I.b/100/2004,
tentang Keberatan Kelanjutan Izin CV SARI JAYA.
T-18 : Foto Copy Notulen Rapat tanggal 20 Desember 2004 dan
Notulen Rapat tanggal 22 Desember 2004.
T-19 : Foto Copy Notulen Rapat Koordinasi Membahas Izin
Gangguan CV SARI JAYA yang diterbitkan oleh Advokat
Musyafah, SH & Rekan, tanggal 20 Desember 2004.
T-20 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Perekonomian Kota
Yogyakarta No. 503/1503 tanggal 23 Desember 2004 tentang
Permohonan Izin Gangguan.
T-21 : Foto Copy Surat kepada Walikota tentang Penolakan Ijin
Penggilingan Batu CV SARI JAYA tanggal 25 Oktober 2010.
T-22 : Foto Copy Surat warga kepada Walikota Yogyakarta, tanggal
26 Oktober 2010, perihal Mohon Penjelasan, disertai dengan
Lampiran Surat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
Yogyakarta tertanggal 18 Februari 1998 No. 640/545 dan
Kliping koran Kedaulatan Rakyat Tahun 1997.
79
T-23 : Foto Copy Surat Kepala Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri
Yogyakarta II Kota Yogyakarta tanggal 14 Januari 2011
tentang Mohon Perlindungan.
T-24 : Foto Copy Surat Kepala Dinas Ketertiban No. 503/209,
tanggal 2 Februari 2011 tentang Laporan Pelanggaran CV
SARI JAYA.
T-25 : Foto Copy Lampiran II-3 Peraturan Daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor : 6 Tahun 1994 tentang
Rencana Umum Tata Ruang Kota Yogyakarta Tahun 1994-
2004.
T-26 : Foto Copy Lampiran XII Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor : 88 tahun 2005 tentang Penjabaran Status Kawasan,
Pemanfaatan Lahan dan Intensitas Pemanfaatan Ruang.
T-27 : Foto Copy Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor:
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil
Walikota.
T-28 : Foto Copy Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor:
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota
kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah
Dinas.
80
T-29 : Foto Copy Surat Walikota Yogyakarta Nomor : 640/215,
tanggal 21 Januari 2011, perihal Pemberitahuan
Pembongkaran Bangunan.
7.3 Alat Bukti Saksi Tergugat
Tergugat juga mengajukan beberapa saksi, yang telah didengar
keterangannya dibawah sumpah dipersidangan, yang pada pokoknya
memberikan keterangan sebagai berikut :
a. Saksi Drs. Bambang Yuhana, Msi menerangkan sebagai berikut :
- Bahwa saksi tinggal di sebelah utara pabrik sejak tahun 1994 dan
saksi menyatakan bahwa posisi rumah saksi dengan pabrik sekitar
22 meter, selain itu saksi juga mengenal Hani Purbonegoro.
- Saksi tidak tahu pabrik tersebut berijin atau tidak dan saksi pernah
mengajukan keberatan kepada Walikota sebagaimana dituangkan
dalam Bukti T-16, T-21, T22.
- Saksi menghadiri rapat yang diselenggarakan di Ruang Rapat
Dinas Perekonomian Kota Yogyakarta, yang membahas
permohonan izin gangguan pabrik CV. SARI JAYA, sebagaimana
dituangkan dalam Bukti T-18 dan Saksi tidak pernah memberikan
Kuasa secara tertulis Kepada Musyatah.
- Saksi tidak pernah melihat ijin- ijin milik penggugat yang lain
selain Ijin Gangguan.
81
- Saksi menjelaskan bahwa saksi pernah datang ke Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah pada sekitar tahun 1994 untuk
menanyakan rencana peruntukan daerah Mendung Warih dan
saksi memperoleh informasi dari Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah bahwa peruntukan Daerah Mendung Warih
adalah untuk pemukiman dan saksi mengetahui keberadaan pabrik
CV. SARI JAYA lebih dahulu berdiri dan beroperasi dibawah
Mendung Warih, sebelum berdirinya perumahan-perumahan,
Madrasah Ibtidayah Negeri Yogyakarta II Kota Yogyakarta
maupun sekolah-sekolah lainnya, karena pada saat CV. SARI
JAYA berdiri wilayah Mendung Warih masih berupa sawah-
sawah, tanah-tanah pekarangan, rumah-rumah perkampungan
biasa, dan belum ada perumahan-perumahan seperti sekarang
maupun sekolah-sekolah.
- Saksi mengetahui dan datang melihat langsung pada saat
dilakukannya Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARI JAYA dan
setelah dilakukan Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARI JAYA,
sampai saat saksi dipanggil dan diperiksa sebagai saksi di
Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, pabrik CV
SARIJAYA yang berlokasi di Jl. Mendung Warih, tidak lagi
beroperasi.
82
b. Saksi Bernandus Bayu Laksmono, Msi menerangkan sebagai berikut :
- Saksi sebagai Kepala Seksi pada Dinas Ketertiban Yogyakarta dan
mengetahui Plt. Kepada Dinas Ketertiban Yogyakarta
mengeluarkan Surat Tugas Nomor 800/350 tanggal 23 Februari
2011 untuk melaksanakan tugas Penutupan Kegiatan Usaha CV.
SARIJAYA.
- Saksi mengetahui pelaksanaan Penutupan CV. SARIJAYA dan
saksi juga mengetahui bahwa Iwan Setiawan K, S.H. selaku Kuasa
Hukum CV. SARI JAYA tidak bersedia untuk menandatangani
Berita Acara Penutupan Kegiatan Usaha CV. SARI JAYA.
- Bahwa saksi mengetahui Surat Perintah Penutupan dari Walikota,
selain itu saksi juga mengetahui isi laporan dari Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
- Saksi mengetahui kalau pemilik CV SARI JAYA Hani
Purbonegoro.
8. Pertimbangan Hukum Hakim
8.1 Menurut pendapat Majelis Hakim, hal-hal yang relevan dan
merupakan inti pokok persengketaan, sehingga perlu diuji dalam
sengketa Tata Usaha Negara adalah mengenai : “ Apakah ada cacat
yuridis di dalam surat keputusan yang diterbitkan oleh tergugat baik
dari segi kewenangan, formal procedural, maupun dari segi substansi
materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 ( huruf a dan b
83
) Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang mengakibatkan objek sengketa in litis dapat
dinyatakan batal atau tidak sah?”
8.2 Menimbang, bahwa beranjak dari jawab-jinawab dan permasalahan
tersebut diatas, maka Majelis Hakim akan mengujinya secara yuridis
formal, Procedural, dan substansi materiil berdasarkan fakta-fakta
hukum yang diperoleh selama persidangan berlangsung yang
kemudian dihubungkan dengan ketentuan yang berlaku, baik berupa
peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan
yang baik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2)
huruf a dan b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
8.3 Menimbang, bahwa perlu ditegaskan untuk menguji pokok
permasalahan tersebut, Majelis Hakim akan memperhatikan segala
sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa terikat pada fakta dan
hal yang diajukan oleh para pihak karena Hakim Tata Usaha Negara
bersifat aktif, sehingga dapat menentukan sendiri apa yang harus
dibuktikan, siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus
dibuktikan oleh hakim sendiri serta alat bukti mana saja yang
diutamakan serta kekuatan pembuktian yang telah diajukan, semua ini
84
dalam rangka menemukan kebenaran materiil sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 106 dan 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009.
8.4 Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan mengenai substansi materiil terbitnya objek
sengeketa a quo .
8.5 Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 107 Undang-Undang
Nomor : 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor : 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka
dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pengggugat dan Tergugat di muka
Pengadilan, dikaitkan dengan bukti-bukti tertulis dan keterangan saksi-
saksi yang diajukan oleh para pihak, telah terungkap fakta-fakta
hukum di persidangan.
8.6 Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat, bahwasanya yang
penting untuk dicermati adalah dikenal adanya azas umum yang
mengatakan bahwa “orang tidak boleh menyimpang dari communis
opinion doctorum = pendapat umum para sarjana”, sehingga dengan
demikian azas tersebut menjadikan kekuatan mengikat bagi pendapat
para sarjana atau ahli hukum sehingga melahirkan salah satu sumber
hukum formil hukum administrasi negara yaitu Doktrin atau pendapat
para ahli hukum administrasi negara, dimana apabila sumber hukum -
85
sumber hukum yang lain yang berupa peraturan perundang-undangan
maupun yurisprudensi tidak dapat memberi semua jawaban mengenai
hukumnya, maka Doktrin adalah merupakan tempat hakim dapat
menemukan hukumnya.
8.7 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas,
Majelis Hakim berpendapat di dalam mempertimbangkan mengenai
substansi materiil terbitnya objek sengketa a quo, Majelis Hakim selain
mendasarkan pada peraturan perundang-undangan maupun azas-azas
umum pemerintahan yang baik, juga akan mendasarkan pada doktrin
hukum administasi Negara, sebagai tempat Majelis Hakim menemukan
hukumnya.
8.8 Menimbang, bahwa berdasarkan doktrin tentang Keputusan Tata
Usaha Negara yang sah, menurut Van Der Pot, adalah keputusan yang
memenuhi syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil, yaitu sebagai
berikut:
- Syarat-syarat materiil :
a. Keputusan harus dibuat oleh alat Negara yang berwenang;
b. Dalam kehendak alat Negara yang membuat keputusan tidak
boleh ada kekurangan yuridis;
c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
86
d. Keputusan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggaar
peraturan-peraturan lain, menurut isi dan tujuan sesuai dengan
peraturan yang menjadi dasar keputusan itu.
- Syarat-syarat formil :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan
dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya
keputusan harus dipenuhi;
b. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan;
c. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya
keputusan harus dipenuhi;
d. Jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hak-hak yang
menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya
keputsan itu, tidak boleh dilewati.
8.9 Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum – fakta hukum
sebagaimana terurai di atas, objek sengketa a quo diterbitkan dengan
ditandatangani oleh Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota
Yogyakarta dalam rangka tugas penegakan peraturan daerah yang
pelaksanaannya dibawah koordinasi langsung Wakil Walikota
berdasarkan ketentuan Diktum Pertama Angka 3 Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus
Wakil Walikota (vide Bukti T-27), dimana berdasarkan Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian
87
Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatangangan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) Walikota
Yogyakarta telah mendelegasikan wewenang kepada Wakil Walikota
Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta untuk menandatangani
Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal
tindak lanjut kewenangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Wakil
Walikota.
8.10 Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat yang menjadi dasar
hukum sumber kewenangan materiil serta bentuk formal terbitnya
objek sengketa a quo adalah berawal dasar dari Pasal 3 huruf e
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas
dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, yang
mengatur bahwa “Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil
Kepala Daerah mempunyai tugas; …e. melaksanakan tugas dan
kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah”.
8.11 Menimbang, bahwa selanjutnya berdasar pada Pasal 3 huruf e
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas
dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta
tersebut, ditetapkanlah keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
88
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide BuktiT-27), yang mana di dalam Diktum Pertama Angka 3
ditetapkan, “Menetapkan tugas dan kewajiban pemerintahan kepada
Wakil Walikota selain yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor
2 tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungs i Walikota dan
Wakil Walikota, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemerintah
Kota Yogyakarta, adalah sebagai berikut: …3. Mengkoordinasikan
sepenuhnya penegakan Peraturan Daerah – Peraturan Daerah”;
8.12 Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah
Dinas (vide Bukti T-28), Diktum Pertama, menyebutkan, “
Mendelegasikan wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk
penandatanganan naskah dinas di lingkungan Pemerintah Kota
Yogyakarta…” ;
8.13 Menimbang, bahwa berdasarkan Doktrin dalam khasanah Hukum
Administrasi Negara tentang Teori Sumber Kewenangan, bahwa
dikenal tiga sumber kewenangan pemerintahan, yaitu “atribusi,
delegasi, dan mandat” ;
8.14 Menimbang, bahwa H.D Van Wijk memberikan pengertian atribusi
adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada pemerintah. Indroharto mengemukakan bahwa atribusi
89
adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu
ketentuan dalam perundang-undangan baik yang diadakan oleh
original legislator maupun delegated legislator;
8.15 Menimbang, bahwa menurut H.D Van Wijk, delegasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat
pemerintah kepada badan atau pejabat yang lain. Setelah wewenang
diserahkan maka pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.
Artinya berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan bilamana
suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga
lain, yang menjalankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga
yang semula berwenang. Delegasi dengan demikian disimpulkan
sebagai penyerahan : apa yang semula merupakan wewenang A,
sekarang menjadi wewenang B, dan bukan lagi wewenang A. Stroink
dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa delegasi hanya dapat
dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah
mempunyai wewenang melalui atribusi. Delegasi menyangkut
pelimpahan wewenang dari wewenang yang sudah ada oleh organ
yang telah mempunyai wewenang secara atributif kepada orang lain.
Selanjutnya H.D Van Wijk menjelaskan bahwa Badan dan/atau pejabat
pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi dapat
mensubdelegasikan tindakan kepada badan dan/atau pejabat
90
pemerintahan lain. Delegasi dituangkan dalam bentuk peraturan
sebelum wewenang dilaksanakan;
8.16 Menimbang, bahwa H.D Van Wijk menjelaskan arti mandate yaitu
suatu organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
orang lain atas namanya. Artinya bila orang yang secara resmi
memiliki wewenang pemerintahan tertentu (karena atribusi atau
delegasi) tidak dapat menangani sendiri wewenang tersebut, maka para
pegawai bawahan dapat diperintahakan untuk menjalankan wewenang
tersebut atas nama orang yang sesungguhnya diberi wewenang.
Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans atau pemberi mandat
tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia
menginginkan, dan memberikan petunjuk kepada mandataris mengenai
apa yang diinginkannya. Mandas tetap bertanggung jawab atas
tindakan yang dilakukan mandataris. Artinya pada mandat tidak bisa
berbicara tentang pemindahan kekuasaan/ wewenang di dalam arti
yuridis; sekarang setelah ditanda tangani atas nama lembaga
pemerintahan yang bersangkutan, penanganannya juga diserahkan
kepada lembaga tersebut ; berbicara secara yuridis, ini tetap keputusan
lembaga itu sendiri. Indroharto menambahkan bahwa pada mandat
tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan
hubungan internal pada suatu badan, atas penugasan bawahan
melakukan suatu tindakan atas nama dan tanggung jawab mandans;
91
8.17 Menimbang, bahwa dengan demikian terdapat perbedaan konsep teori
antara delegasi dan mandat yaitu ditinjau dari segi prosedur
pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya, serta
kemungkinan dipergunakannya kembali wewenang-wewenang
tersebut. Ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, pada delegasi
pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan yang lainnya yang dilakukan dengan peraturan
perundang-undangan, sedangkan pada mandat pelimpahan wewenang
terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan,
kecuali dilarang secara tegas di dalam peraturan perundangan.
Selanjutnya ditinjau dari segi tanggung jawab dan tanggung gugatnya,
pada delegasi tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada
delegatoris, sedangka pada mandat tetap pada pemberi mandat
(mandans). Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang
berkehendak menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi
pemberi delegasi (delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu
lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada azas
contrarius actus, sedangkan pada mandat pemberi wewenang
(mandans) setiap saat dapat mempergunakan sendiri wewenang yang
dilimpahkan itu;
8.18 Menimbang, bahwa alasan-alasan dan dalil-dalil Tergugat yang
menyatakan bahwa objek sengketa diterbitkan dengan ditandatangani
92
oleh Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta
dalam rangka tugas penegakan peraturan daerah yang pelaksanaannya
dibawah koordinasi langsung Wakil Walikota berdasarkan ketentuan
Diktum Pertama Angka 3 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide Bukti T-27), dimana berdasarkan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatangan Naskah Dinas
(vide Bukti T-28) Walikota Yogyakarta telah mendelegasikan
wewenang kepada Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota
Yogyakarta untuk menandatangani Naskah Dinas di Lingkungan
Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal tindak lanjut kewenangan
dalam menjalankan tugas dan fungsi Wakil Walikota, Majelis Hakim
akan mempertimbangkannya sebagai berikut;
8.19 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana
terurai di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwasannya disebutkan
secara jelas, terang, dan pasti, bahwa sumber kewenangan penerbitan
objek sengketa in litis adalah DELEGASI wewenang Walikota
Yogyakarta kepada Wakil Walikota Yogyakarta yang dituangkan
dalam bentuk peraturan perundangan yaitu Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus
Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota
93
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah
Dinas (vide Bukti T-28) sebelum wewenang dilaksanakan, akan tetapi
wewenang tersebut dilaksanakan oleh Wakil Walikota Yogyakarta
dengan atas nama Walikota Yogyakarta, yang mana “atas nama”
adalah merupakan ciri bentuk mandat;
8.20 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas,
Majelis Hakim berpendapat bentuk formil objek sengketa a quo yang
dikehndaki oleh peraturan perundang-undangan adalah bentuk
keputusan tata usaha negara yang lahir dari sumber kewenangan yang
berupa delegasi wewenang, dan bukan mandate, karena wewenang
tersebut dituangkan dan disebutkan secara jelas dalam bentuk
peraturan perundang yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada
Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-
28) sebelum wewenang tersebut dilaksanakan;
8.21 Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan
hukum – pertimbangan hukum tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat dan berkeyakinan bahwa telah terjadi kekacauan
pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber
94
kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari tindakan
Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo. Oleh karena itu
sesuai dengan tugas, fungsi, dan tujuan dibentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu untuk melakukan pengawasan dan pengoreksian
atas tindakan pemerintah di dalam penyelenggaraan pemerintahan
sehingga apabila memang terbukti terjadi kesalah ataupun kekeliruan
yang dilakukan oleh pemerintah in casu di dalam tindakan Tergugat
menerbitkan objek sengketa a quo, yang kemudian dikoreksi oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara dengan harapan dan tujuan agar kelak
kesalahan dan kekeliruan tersebut tidak terulang selanjutnya di masa
yang akan datang, sehingga benar-benar akan terwujud good
government;
8.22 Menimbang, bahwa oleh karena bentuk formil objek sengketa a quo
yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan adalah bentuk
keputusan tata usaha negara yang lahir dari sumber kewenangan yang
berupa delegasi wewenang, maka seharusnya di dalam bentuk formil
objek sengketa a quo tidaklah dengan menggunakan penyebutan atas
nama, in casu objek sengketa diterbitkan dengan ditandatangani oleh
Wakil Walikota Yogyakarta Atas Nama Walikota Yogyakarta. Oleh
karena di dalam delegasi telah terjadi pelimpahan wewenang, maka
beralih pula seluruh wewenang dari delegans (in casu Walikota
Yogyakarta) kepada delegatoris (in casu Wakil Walikota Yogyakarta),
95
sehingga dengan demikian delegatoris (in casu Wakil Walikota
Yogyakarta) melaksanakan wewenang tersebut atas nama delegatoris
sendiri dan tidak lagi atas nama delegans (in casu Walikota
Yogyakarta), karena delegans (in casu Walikota Yogyakarta) sudah
tidak memiliki wewenang lagi, demikian pula tanggung jawab dan
tanggung gugat ada pada delegatoris (in casu Wakil Walikota
Yogyakarta) dan bukan pada delegans (in casu Walikota Yogyakarta)
lagi;
8.23 Menimbang, bahwa apabila memang yang dimaksud oleh Tergugat
adalah sumber kewenangan mandat, maka seharusnya ditinjau dari
segi prosedur pelimpahannya, tidak dilakukan dengan dituagkan di
dalam peraturan perundang-undangan, in casu dituangkan di dalam
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah DInas (vide Bukti T-28), karena pada
mandat pelimpahan wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin
antara bawahan dengan atasan, tanpa dituangkan di dalam peraturan
perundang-undangan. Selain itu pula, di dalam Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 dan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 juga justru menyebutkan dengan
96
jelas dengan kata-kata “ pendelegasian wewenang; mendelegasikan
wewenang; delegasi wewenang”;
8.24 Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum – fakta hukum
sebagaimana terurai di atas, Tergugat mendalilkan bahwa dalam
melaksanakan tugasnya Wakil Walikota sebagaimana dimaksud di
dalam Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27) dan
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) adalah atas nama
Walikota serta wajib melaporkan dan bertanggung jawab kepada
Walikota, maka hal tersebutlah yang mana oleh Majelis Hakim
berpendapat telah terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru
ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan
mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek
sengketa a quo;
8.25 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum – pertimbangan
hukum sebagaimana terurai di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa
atas kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas
teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat tersebut,
kemudian terbitlah objek sengketa yang tidak sesuai dengan bentuk
yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu
97
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28);
8.26 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum – pertimbangan
hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan
bahwa oleh karena bentuk formil objek sengketa tidak sesuai dengan
bentuk yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu
Keputusan Wakil Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28), maka Majelis
Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa tindakan Tergugat adalah
merupakan pelanggaran atas Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada
Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-
28);
98
8.27 Menimbang, bahwa lebih daripada itu, Majelis Hakim berpendapat
bahwa tindakan Tergugat yang melanggar peraturang perundang-
undangan tersebut in casu Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada
Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-
28), adalah juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di
dalam memahami dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di
dalam menerbitkan objek sengketa, yang mengakibatkan
ketidakpastian hukum, sehingga dengan demikian Majelis Hakim
berpendapat tindakan Tergugat tersebut adalah merupakan pelanggaran
atas azas kecermatan dan azas kepastian hukum, yang berarti Tergugat
telah melakukan pelanggaran atas Azas-Azas Umum Pemerintahan
Yang Baik;
8.28 Menimbang, bahwa tindakan Tergugat selain melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan azas-azas umum pemerintahan
yang baik tersebut, dari tinjauan nilai-nilai keadilan pun substansi dari
objek sengketa a quo yang menutup usaha Penggugat akan berdampak
negatif terhadap setidak-tidaknya dua hal, yaitu: Pertama, akan
menimbulkan ketidakadilan pula bagi Penggugat, bahkan menyangkut
keberlangsungan kehidupan banyak orang termasuk tenaga kerja
99
penggugat yang nota bene menyangkut pula keluarga-keluarga yang
ditanggung oleh tenaga kerja-tenaga kerja Penggugat, serta yang perlu
dicermati pula adalah bahwasannya kegiatan usaha Penggugat in casu
CV. SariJaya adalah sudah sejak tahun 1987 jauh sebelum adanya
perumahan-perumahan yang ada sekarang, maupun sekolah-sekolah
yang ada sekarang, sehingga jauh pula sebelum adanya keberatan-
keberatan dari warga dengan beberapa alasan keberatannya, bahkan
tidak terbukti pula mengenai rencana pemanfaatan lahan di wilayah
tempat lokasi pabrik milik CV. Sari Jaya pada Rencana Umum Tata
Ruang Kota Yogyakarta maupun Penjabaran Status Kawasan,
Pemanfaatan Lahan dan Intensitas Pemanfaatan Ruang dari tahun 1987
sampai dengan tahun 1994, pada saat awal pabrik milik CV. Sari Jaya
berdiri, memperoleh ijin, dan beroperasi melakukan kegiatan
usahanya. Yang sangat penting digarisbawahi adalah bahwa Penggugat
dapat melaksanakan kegiatan usaha selama ini adalah justru oleh
karena adanya izin usaha yang dahulu pertama kali diterbitkan sejak
tanggal 22 April 1987 berlaku Surat Pemberian Ijin Usaha Tetap No.
(1812/012/D/36990/AI/VI/1988)/(3699/136/1) tanggal 21 Juni 1988
yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Perindustrian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Atas Nama
Menteri Perindustrian Republik Indonesia Tentang Memberikan Izin
Usaha Tetap kepada CV. Sari Jaya yang beralamat di Mendungan,
100
Giwangan, Umbulharjo, Yogyakarta, dengan penanggung jawab Hani
Purbonegoro, untuk menjalankan perusahaan industri penepungan
batu-batuan, yang berlaku selama perusahaan berproduksi (vide Bukti
P-20) dan selanjutnya terus berlanjut dengan perizinan tahun 1994,
1999, 2000 (vide Bukti P-17, Bukti P-18, Bukti P-19, Bukti P-20,
Bukti P-21, Bukti T-11, Bukti T-12), yang mana di dalam Doktrin
Hukum Administrasi Negara tentang Teori Keputusan Tata Usaha
Negara dikenal adanya Keputusan Tata Usaha Negara Berantai, yang
mana keputusan-keputsan tata usaha Negara tersebut in casu perizinan-
perizinan yang diperoleh oleh Penggugat di dalam melaksanakan
kegiatan usahanya selama ini justru juga dilahirkan oleh pejabat tata
usaha Negara yang berwenang pada saat itu. Sehingga apapun keadaan
hukumnya pada saat ini, adalah merupakan hasil dari tindakan hukum
pemerintah pejabat tata usaha Negara terhadap usaha kegiatan
Penggugat pada masa lalu, yang manakala timbul perbedaan kondisi
dan keadaan hukum pada masa kini saat ini, berikut akibat hukum –
akibat hukumnya, maka berdasarkan teori keadilan, kesalahan dan
tanggung jawab juga haruslah dibebankan kepada pemerintah pejabat
tata usaha Negara dan tidak hanya dibebankan kepada Penggugat.
Kedua, apabila Penggugat ditutup kegiatan usahanya, sedangkan
negara masih terus memperoleh pemasukan keuangan Negara oleh
karena CV. Sari Jaya masih memenuhi kewajibannya membayar pajak
101
kepada Negara sampai dengan tanggal 11 Februari 2011 serta
memperoleh Piagam Penghargaan dari Walikota Yogyakarta Atas
Ketaatan Dalam Membayar Pajak (vide Bukti P-15), maka hal tersebut
adalah merupakan ketidakadilan besar bagi Penggugat. Dengan
demikian, setelah memperhatikan fakta hukum tersebut Majelis Hakim
meyakini bahwa substansi objek sengketa a quo tidak memenuhi rasa
keadilan yang ada;
8.29 Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbanagan hukum tersebut di
atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa tindakan Tergugat di dalam
menerbitkan objek sengketa in litis secara substansi materiil
bertentangan dengan rasa keadilan, dan selain itu juga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yaitu Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus
Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada
Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas, serta tindakan
Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa in litis juga
bertentangan dengan azas kecermatan dan azas kepastian hukum,
sehingga dengan demikian tindakan Tergugat di dalam menerbitkan
objek sengketa in litis juga telah bertentangan dengan Azas-Azas
Umum Pemerintahan yang Baik, sebagaimana itu semua diatur di
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 9
102
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
8.30 Menimbang, bahwa oleh karena penerbitan keputusan a quo oleh
Tergugat secara substansi materiil mengandung cacat yuridis, sehingga
sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, dengan demikian tuntutan Penggugat mengenai pembatalan
terhadap Surat Walikota Yogyakarta Nomor 503/687 tertanggal 22
Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha, dapat
dikabulkan;
8.31 Menimbang, bahwa terhadap Permohonan Penetapan Penundaan yang
diajukan oleh Penggugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh
karena obyek sengketa a quo telah dilaksanakan, maka sudah terjadi /
terdapat tindakan factual, sehingga terhadap Permohonan Penetapan
Penundaan Penggugat tersebut tidak dapat dikabulkan;
8.32 Menimbang, bahwa tentang alat bukti yang tidak disebutkan secara
tegas di dalam pertimbangan hukum ini yang relevan dianggap telah
dipertimbangkan termasuk yang berupa peraturan perundang-
undangan, sedangkan terhadap alat bukti yang lain walaupun sah
sebagai alat bukti akan tetapi dikesampingkan karena tidak relevan
namun diperintahkan tetap dilampirkan dalam berkas perkara a quo;
103
8.33 Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat telah dinyatakan
dikabulkan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 110 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Tergugat
dihukum untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan
ditentukan dalam amar putusan ini;
8.34 Mengingat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jis Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas
dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta,
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota, Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah
Dinas serta peraturan lain yang berkaitan.
9. Amar Putusan Hakim Dalam Perkara Tata Usaha Negara Nomor
06/G/2011/PTUN.YK
9.1 Dalam Penundaan
104
9.1.1 Menolak Permohonan Penetapan Penundaan yang diajukan oleh
Penggugat
9.2 Dalam Pokok Perkara
9.2.1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
9.2.2 Menyatakan tindakan Tergugat menerbitkan Surat Walikota
Yogyakarta Nomor : 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal :
Pemberitahuan Penutupan Usaha, melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas
Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan
Naskah Dinas, serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik yaitu Asas Kecermatan dan Asas Kepastian Hukum.
9.2.3 Menyatakan batal Surat Walikota Yogyakarta Nomor 503/687
tertanggal 22 Februari 2011 Hal: Pemberitahuan Penutupan
Usaha.
9.2.4 Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pencabutan Surat Walikota Yogyakarta
Nomor: 503/687 tanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan
Penutupan Usaha.
105
9.2.5 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang
timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta
Seratus Empat Ribu Rupiah).
B. Pembahasan
1. Pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor
06/G/2011/PTUN.YK, dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 503/687 tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari
konsep perolehan sumber kewenangan, sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan doktrin.
Negara Indonesia sebagai Negara Hukum (rechstaat) seperti yang
telah dinyatakan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, yaitu
setelah Amandemen ke IV. Dan merupakan Negara Hukum dengan konsep
Negara Hukum Pancasila. Dalam Negara Hukum Pancasila terdapat jaminan
kebebasan beragama, yang memiliki arti bahwa agama dan negara memiliki
hubungan yang harmonis, sehingga tidak boleh terjadi pemisahan antara
keduanya.1
Sebagai Negara Hukum, setiap penyelenggaraan urusan
pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid
1 M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi
Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini . Bulan Bintang, Jakarta, Hlm 71-72
106
van bestuur). Hal ini bisa dilihat dari amanat Pasal 24 Undang-undang Dasar
(UUD) 1945 yang menyebutkan bahwa :
1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi;
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang. 2
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga menentukan bahwa susunan
kekuasaan serta hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka untuk badan peradilan yang ada di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan
diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang
2 Perubahan ke empat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
107
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 51 tahun 1986 Peradilan
Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan salah satu
lingkup peradilan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan
diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga
negaranya, yakni sengkata yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-
tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.
Wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat pada pasal 47 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara.
Sedangkan yang disebut sebagai Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau
Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(Pejabat TUN), baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(
Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN)
Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara, berarti sebab dari
timbulnya sengketa tersebut disebabkan oleh adanya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang
108
Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) adalah
“ suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang beris ikan tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pihak yang terkait dalam timbulnya
Objek sengketa Tata Usaha Negara yaitu orang (individu) atau badan hukum
perdata sebagai penggugatnya dan badan atau pejabat tata usaha negara
sebagai tergugatnya.
Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN)
dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu, badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau pejabat
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai
wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti
bahwa urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya
ada perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang
109
diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga daerah. 3
Pemerintah dalam bertindak melaksanakan tugas pokok, dan
fungsinya harus berdasar pada hukum yang berlaku, hal ini sesuai dengan
asas yang dianut pada negara hukum, yaitu asas legalitas, bahwa setiap
tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Asas ini menentukan
bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah
tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Pemerintah dalam melakukan aktivitasnya, melakukan dua macam
tindakan, yaitu tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum
(rechtshandelingen). Dengan kata lain bahwa, bentuk perbuatan
pemerintahan atau bentuk tindakan administrasi negara yang secara garis
besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Perbuatan hukum/tindakan hukum (rechtshandelingen).
b. Bukan perbuatan hukum/tindakan biasa (feitelijkehandelingen).
Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan pemerintah
yang tergolong tindakan hukum (rechtshandelingen). Pengertian Tindakan
Hukum pemerintah dalam bukunya Ridwan HR, bahwa tindakan hukum
pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ
3 Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hlm 17
110
pemerintahan atau administrasi negara yang dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintah atau
administrasi negara.4 Pada dasarnya perbuatan pemerintah (administrasi)
dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling).
b. Mengeluarkan keputusan (beschikking).
c. Melakukan perbuatan material (materielle daad).5
Salah satu kategori perbuatan pemerintah yaitu pemerintah
mengeluarkan keputusan (beschikking). Dalam pengeluaran keputusan
tersebut, tidak selalunya benar dan berdasar pada peraturan perundang-
undangan yang ada, sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah
itu dianggap sewenang-wenang dan tidak berdasar dengan hukum. Sehingga
pihak yang diberi keputusan yang kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, hal ini dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. 6
4 Ibid, Hlm. 112 5 Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara IndonesiaI, Kencana, Jakarta, 2014, Hlm. 311 6 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Ed. Revisi, Cet. 1,
Jakarta, 2008, hlm. 117.
111
Apabila terjadi hal demikian maka penyelesaian sengketa ini dapat
dilakukan dengan upaya administratif dan melalui gugatan. Penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administratif relatif lebih sedikit
jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui
gugatan, karena penyelesaian sengketa tata usaha negara me lalui upaya
administratif hanya terbatas pada beberapa “sengketa tata usaha negara
tertentu” saja. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan, pihak
yang merasa dirugikan mengajukan gugatan secara tertulis yang didalam nya
memuat semua alasan-alasan mengapa KTUN tersebut mengandung
kerugian, dan berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi, setelah itu gugatan tersebut ditujukan kepada
pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan TUN pada prinsipnya tidak
menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat
tata usaha negara, serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang
digugat. Namun demikian, penggugat dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan agar surat keputusan yang digugat tersebut ditunda
pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya
dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat akan sangat
112
dirugikan jika keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (pasal 67
ayat 1 UU Nomor 9 tahun 2004).7
Alasan gugatan diatur dalam pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun
1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004, yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Majelis Hakim dalam praktik pengujiannya terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara harus sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 53 di atas,
meliputi tiga aspek yaitu :
a. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau
melanggar kewenangan.
b. Aspek Substansi/materil, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan
kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan tata
usaha negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam
pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.8
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara dengan tidak memperhatikan aspek kewenangan,
7 Ibid. Hlm 596 8 Ibid, Hlm 323-325
113
substansi/materiil dan prosedur , dapat dikategorikan sebagai KTUN yang
bertentangan dengan hukum, yaitu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Philipus
M.Hadjon mengenai kesimpulan dari penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang berkaitan dengan alasan
menggugat adalah :
1) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal;
2) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial;
3) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang; 9
Berkaitan dengan tiga hal tersebut, diukur dengan peraturan tertulis
dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sehingga sebetulnya
alasan menggugat hanya menyangkut dua hal saja, secara alternative dan
komulatif, yaitu :
a. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, dan atau
b. Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
9 Philiphus M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993, Hlm. 324
114
Berdasarkan hasil penelitian nomor 1 mengenai para pihak, dalam
hubungannya dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 tahun
2004, CV. Sarijaya (Penggugat) telah memenuhi persyaratan sebagai subjek
hukum Penggugat yaitu berupa “Badan Tata Usaha Negara” yang berkaitan
dengan perusahaan dibidang penepungan batu yang berada di jalan Mendung
Warih Nomor 147 RT 32 RW II Kelurahan Giwangan, Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Sedangkan Walikota Yogyakarta juga telah
memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum Tergugat, karena
dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Berdasarkan hasil penelitian nomor 4.3 yaitu mengenai Petitum atau
tuntutan pokok yang diajukan oleh Penggugat telah sesuai dengan Pasal 53
ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa apa
yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada
satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang telah
merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Hal
ini juga sesuai dengan isi petitum/tuntutan yang diajukan penggugat, yang
menghendaki bahwa Majelis Hakim menyatakan batal atau tidak sah Surat
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/687 tanggal 22 Februari 2011
tentang pemberitahuan penutupan usaha. Selain itu, mengenai hasil
penelitian nomor 4.4 telah sesuai dengan pasal 97 ayat (9) huruf a UU No 5
Tahun 1986, dimana dalam petitumnya penggugat menghendaki agar
115
tergugat mencabut surat yang menjadi objek sengketa tersebut, hal ini
merupakan salah satu konsekuensi yuridis mengenai kewajiban tergugat
sebagai badan atau pejabat tata usaha negara apabila nantinya tergugat
dinyatakan kalah dalam amar putusan majelis hakim. Sedangkan hasil
penelitian nomor 4.5 juga telah sesuai dengan pasal 97 ayat (10) yang
menyatakan dalam petitum, kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat
juga disertai pembebanan ganti rugi, dalam hal ini penggugat menghendaki
agar tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul.
Sebelum menelaah lebih lanjut, penulis akan menguraikan kasus
posisi perkara ini secara singkat sebagai berikut :
1. Penggugat (CV.SariJaya) sejak berdiri pada tahun 1987 hingga sekarang
telah mengantongi segala perizinan sebagaimana ketentuan peraturan
yang berlaku, termasuk izin gangguan dan telah diperpanjang ketika
habis masa berlakunya dan pada saat Penggugat mengajukan
perpanjangan izin gangguan ke Tergugat, hingga sekarang permohonan
perpanjangan izin tersebut yang persyaratannya sudah lengkap tidak ada
kejelasan dari Tergugat, apakah ditolak atau bagaimana, padahal sudah
lebih dari 15 hari. Dan selama ini CV.SariJaya tidak pernah ada
masalah baik terhadap lingkungan masyarakat maupun terhadap instansi
terkait.
2. Ternyata dalil tergugat tidak mengeluarkan izin perpanjangan yang
dimaksud tersebut, dikarenakan adanya keberatan dari warga dan
116
sekitarnya. Dan telah melakukan peninjauan lokasi, serta berkoordinasi
dengan instansi terkait dan memperhatikan masukan-masukan dari
warga masyarakat yang keberatan atas keberadaan kegiatan usaha
tersebut.
3. Selain itu Menurut Tergugat bahwa berdirinya CV.SariJaya tersebut
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu dengan tidak mentaati
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor
6 Tahun 1999 Tentang Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti
dengan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2
Tahun 2005 Tentang Izin Gangguan. Dan Pasal 10 Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat I Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999 Tentang
Izin Gangguan, dan telah dicabut dan diganti dengan pasal 3 ayat (3)
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang
Tentang Izin Gangguan.
4. Hal ini disangkal oleh Penggugat, bahwa Penggugat tidak melanggar
Perda Kota Yogyakarta No 2 tahun 2005 tentang izin gangguan dan
Penggugat merasa tidak pernah ada urusan dengan PN Yogyakarta,
yaitu dengan adanya putusan Nomor 1267/Pid.C/2010/PN.Yk, bukan
atas nama penggugat yang artinya telah terjadi salah orang.
117
5. Namun Tergugat tetap berkeyakinan dan berpendapat bahwa dalam
Penerbitan objek sengketa telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan azas-azas umum pemerintahan dan yang baik.
6. Penggugat berpendapat bahwa tindakan tergugat ini telah menyalahi
prosedur yang telah ada pada pasal 8 ayat (1) dan (2) Perda kota
Yogyakarta Nomor 2 tahun 2005 Tentang Izin Gangguan dan Pasal 18
serta Lampiran IV Peraturan Walikota No 41 tahun 2006 tentang
Mekanisme Penutupan Usaha, yang berarti telah bertentangan dengan
peraturan perundangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sehingga Penggugat mohon kepada majelis hakim untuk menyatakan
batal atau tidak sah terhadap objek sengketa tersebut.
Pertimbangan Hukum Hakim dalam sengketa a quo, sebagai berikut :
1. Pokok permasalahan dalam Gugatan yang diajukan oleh Penggugat
adalah apakah ada cacat yuridis di dalam surat keputusan yang
diterbitkan oleh tergugat baik dari segi kewenangan, formal procedural,
maupun dari segi substansi materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (2) (huruf a dan b ) Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan objek
sengketa in litis dapat dinyatakan batal atau tidak sah.
2. Menurut Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide Bukti T-27)
118
dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang
Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) bahwa wewenang
penerbitan KTUN tersebut seharusnya tidak dilaksanakan oleh Wakil
Walikota Yogyakarta dengan atas nama Walikota Yogyakarta, yang
mana “atas nama” adalah merupakan ciri bentuk mandat, padahal dalam
bukti T-28 Telah disebutkan secara jelas, terang dan pasti, bahwa
kewenangan yang diatur merupakan bentuk pendelegasian/delegasi
bukan mandat.
3. Majelis Hakim berpendapat dan berkeyakinan bahwa oleh karena
bentuk formil objek sengketa tidak sesuai dengan bentuk yang
dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan in casu, maka telah
terjadi kekacauan pemahaman atau bahkan justru ketidakpahaman atas
teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat yang mendasari
tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a quo.
4. Menurut Majelis Hakim, Tindakan Tergugat adalah merupakan
pelanggaran atas Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota
(vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil
Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28) dan
juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami
119
dan melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam menerbitkan
objek sengketa, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga
merupakan pelanggaran atas atas Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang
Baik yaitu azas kecermatan dan azas kepastian hukum.
Berdasarkan kronologis kasus posisi dan pertimbangan hukum
majelis hakim diatas, dapat diketahui adanya penerapan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam
menguji keabsahan Surat Keputusan Objek Sengketa, yaitu Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas
Khusus Wakil Walikota (vide Butki T-27) dan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan Naskah Dinas
(vide Bukti T-28).
Menurut Van Der Pot, doktrin tentang Keputusan Tata Usaha
Negara yang sah adalah keputusan yang memenuhi syarat-syarat materiil dan
syarat-syarat formil, yaitu sebagai berikut:
Syarat-syarat materiil :
1. Keputusan harus dibuat oleh alat Negara yang berwenang;
2. Dalam kehendak alat Negara yang membuat keputusan tidak boleh ada
kekurangan yuridis;
3. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu;
120
4. Keputusan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggaar peraturan-
peraturan lain, menurut isi dan tujuan sesua i dengan peraturan yang
menjadi dasar keputusan itu.
Syarat-syarat formil :
1. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus
dipenuhi;
2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan;
3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan
harus dipenuhi;
4. Jangka waktu yang ditentukan : antara timbulnya hak-hak yang
menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputsan itu,
tidak boleh dilewati.
Syarat tersebut mengandung arti, bahwa apabila dalam pembuatan
KTUN, syarat materil dan formil tersebut diatas terpenuhi maka KTUN
dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan
ketentuan hukum yang ada. Sebaliknya apabila kedua syarat itu tidak
terpenuhi dalam pembuatan KTUN, maka keputusan itu akan mengandung
cacat yuridis yang mempunyai akibat hukum, salah satunya KTUN tersebut
dapat dibatalkan atau tidak sah. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 53
ayat (2) UU Nomor 9 tahun 2004.
121
Sesuai dengan Penjelasan pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun
1986, suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (bertentangan dengan hukum), apabila dalam
pembuatannya KTUN tersebut melanggar dan mengesampingkan aspek
kewenangan, substansi/materil dan prosedural.
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) dalam perkara ini, tidak memenuhi persyaratan untuk
dikatakan sebagai keputusan tata usaha negara yang sah, karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang ditinjau dari segi
substansi materiil. Pengertian Aspek substansi/materil, yaitu meliputi
pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara
materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya (hasil penelitian
nomor 8.9 dan 8.10) menggunakan beberapa peraturan perundang-
undangan sebagai dasar pertimbangannya, yaitu ketentuan Diktum Pertama
angka 3 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang
Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian Wewenang
Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah Dinas.
Serta yang menjadi dasar hukum pertimbangan (hasil penelitian nomor 8.9)
sumber kewenangan materiil dan formil terbitnya objek sengketa a quo
122
adalah pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007
tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta.
Pasal 3 huruf e Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007
tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, merupakan
dasar dikeluarkannya objek sengketa a quo, yang bunyinya sebagai berikut :
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Kepala daerah mempunyai tugas : a. membantu kepala daerah dalam menyelengggarakan pemerintahan
daerah; b. membantu kepala daerah dalam mengordinasikan kegiatan instansi
vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan;
d. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;
e. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah;
f. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Atas dasar peraturan Walikota Yogyakarta tersebut maka
ditetapkanlah Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota, yang dalam putusan ini,
majelis hakim menggunakan Diktum Pertama Angka 3 sebagai
pertimbangan hukumnya, yang berbunyi sebagai berikut :
123
“Menetapkan tugas dan kewajiban pemerintahan kepada Wakil Walikota selain yang tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 2 tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran Fungsi Walikota dan Wakil Walikota, dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemerintah Kota Yogyakarta, adalah sebagai berikut: .....3. Mengkoordinasikan sepenuhnya penegakan Peraturan Daerah – Peraturan Daerah”
Selanjutnya pada hasil penelitian nomor 8.10 Majelis Hakim juga
mendasarkan pada Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
Tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (Vide Bukti T-28), Diktum Diktum
Pertama, menyebutkan;
“ Mendelegasikan wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk penandatanganan naskah dinas di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta…”
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut diatas, Majelis
Hakim berpendapat, bahwa penggunaan teori sumber wewenang yang
digunakan adalah Delegasi atau Pendelegasian, karena telah jelas dan
terang disebutkan didalam Diktum Pertama Keputusan Walikota Nomor
50/KEP/2007 tersebut, tertulis kata “Mendelegasikan...”.
Berdasarkan pembahasan pertimbangan hukum Hakim diatas,
mengenai peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar pertimbangan
hakim dalam menguji keabsahan KTUN objek sengketa, telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Hasil penelitian nomor 8.11 Majelis Hakim dalam Pertimbangan
Hukumnya tidak hanya menguji berdasarkan Peraturan Perundang-
124
undangan, tetapi hakim juga menggunakan doktrin para sarjana. Dan dalam
khasanah Hukum Administrasi Negara tentang Teori Sumber Kewenangan,
dikenal 3 Teori sumber Kewenangan Pemerintah, yaitu : Atribusi, Delegasi,
dan Mandat. Masing-masing akan dijabarkan menurut pendapat/doktrin para
sarjana oleh Penulis, sebagai berikut :
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat
Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.10
Sedangkan pengertian Mandat menurut H.D. Van Wijk, yang artinya
bila orang yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu
(karena atribusi atau delegasi) tidak dapat menangani sendiri wewenang
tersebut, maka para pegawai bawahan dapat diperintahakan untuk
menjalankan wewenang tersebut atas nama orang yang sesungguhnya diberi
10 Ridwan HR, Op.Cit. Hlm. 102
125
wewenang. Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans atau pemberi
mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia
menginginkan, dan memberikan petunjuk kepada mandataris mengenai apa
yang diinginkannya. Mandans tetap bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan mandataris. Artinya pada mandat tidak bisa berbicara tentang
pemindahan kekuasaan/ wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah
ditanda tangani atas nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan,
penanganannya juga diserahkan kepada lembaga tersebut ; berbicara secara
yuridis, ini tetap keputusan lembaga itu sendiri.
Stroink dan Steenbeek menjelaskan lebih lanjut bahwa delegasi
hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah
mempunyai wewenang melalui atribusi. Delegasi menyangkut pelimpahan
wewenang dari wewenang yang sudah ada oleh organ yang telah mempunyai
wewenang secara atributif kepada orang lain. Delegasi dituangkan dalam
bentuk peraturan sebelum wewenang dilaksanakan.
Sedangkan Indroharto mengemukakan bahwa atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam
perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun
delegated legislator. Sedangkan pada mandat tidak terjadi perubahan
wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu
badan, atas penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan
tanggung jawab mandans.
126
Berdasarkan pendapat/doktrin para sarjana diatas, Majelis Hakim
berpendapat dan berkeyakian, bahwa kewenangan yang digunakan dalam
Surat Keputusan yang menjadi objek sengketa a quo ini merupakan Mandat.
Karena dalam Surat Keputusan Nomor 503/687 tersebut telah jelas tertera
didalamnya bahwa yang mengeluarkan adalah atas nama Walikota
Yogyakarta, yang mana merupakan ciri dari Mandat. Dan Majelis
berpendapat bentuk formil objek sengketa a quo yang dikehendaki oleh
peraturan perundang-undangan adalah bentuk keputusan tata usaha negara
yang lahir dari sumber kewenangan yang berupa delegasi wewenang, dan
bukan mandat.
Dengan demikian, terdapat perbedaan konsep teori antara delegasi
dan mandat yaitu ditinjau dari segi prosedur pelimpahannya, tanggung jawab
dan tanggung gugatnya, serta kemungkinan dipergunakannya kembali
wewenang-wewenang tersebut, yang selanjutnya penulis akan membedakan
ke dua sumber kewenangan tersebut dalam bentuk tabel, yaitu :
No Segi Delegasi Mandat 1 Prosedur
Pelimpahannya Pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah lainnya yang dilakukan dengan peraturan perundang-
Pelimpahan wewenang terjadi umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas didalam peraturan
127
Penulis dalam hal ini sependapat dengan pendapat Majelis Hakim
pada hasil penelitian nomor 8.21 bahwa telah terjadi kekacauan pemahaman
atau bahkan justru ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara
delegasi dan mandat yang mendasari tindakan Tergugat di dalam
menerbitkan objek sengketa a quo. Dan tindakan Tergugat adalah
merupakan pelanggaran atas Keputusan Wakil Walikota Yogyakarta Nomor
232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota (vide
Bukti T-27) dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk
Penandatanganan Naskah Dinas (vide Bukti T-28), berdasarkan hal tersebut
juga merupakan bentuk ketidak cermatan Tergugat di dalam memahami dan
melaksanakan peraturan perundang-undangan di dalam menerbitkan objek
sengketa, yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga dengan
undangan. perundangan. 2 Tanggung jawab
& Tanggung gugat
Beralih pada delegatoris atau yang diberi wewenang
Tetap pada pemberi mandat (mandans)
3 Kemungkinan dipergunakan kembali
Pemberi delegasi (delegans) tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus.
Pemberi mandat (mandans) setiap saat dapat mempergunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
128
demikian Majelis Hakim berpendapat tindakan Tergugat tersebut adalah
merupakan pelanggaran atas azas kecermatan dan azas kepastian hukum,
yang berarti Tergugat telah melakukan pelanggaran atas Azas-Azas Umum
Pemerintahan Yang Baik.
Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian di atas, maka
Penulis berpendapat bahwa Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor
503/687 tertanggal 22 februari 2011 yang menjadi objek sengketa
mengandung cacat yuridis apabila dilihat dari segi substansi/materiilnya,
karena didalamnya telah terjadi kekacauan pemahaman dan bahkan justru
ketidakpahaman atas teori sumber kewenangan antara delegasi dan mandat
yang mendasari tindakan Tergugat di dalam menerbitkan objek sengketa a
quo. Selain karena telah jelas disebutkan dalam Keputusan Walikota
Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 bahwa wewenang yang dimaksud adalah
Pendelegasian, dengan demikian sumber kewenangan yang dimaksud
Tergugat adalah delegasi, maka tanggung jawab seharusnya beralih pada
wakil walikota, namun dalam hal ini pada Diktum kedua Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 disebutkan bahwa “dalam
melaksanakan tugasnya, Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam
Diktum Pertama wajib melaporkan dan bertanggung jawab kepada
walikota” yang artinya tanggung jawab masih ada pada walikota.
Selain itu Pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini
terdapat syarat-syarat sebagai berikut :
129
a. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
artinya delegasi hanyya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan;
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berhak
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.11
Berdasarkan penjelasan diatas, jika dikaitkan dengan kasus ini maka
seharusnya pendelegasian wewenang dari Walikota kepada Wakil Walikota
ini tidak diperkenankan, karena menurut doktrin Ridwan HR tersebut
pelaksanaan delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan
hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
11 Ibid, Hlm. 104
130
2. Akibat hukum dari dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan
amar putusan Majelis Hakim pada putusan Nomor
6/G/2011/PTUN.YK?
Berdasarkan putusan pengadilan yang ditentukan oleh Majelis
Hakim, ada beberapa macam putusan yang dikeluarkan, berdasarkan Pasal
97 ayat (7) UU Nomor 5 tahun 1986 menentukan bahwa putusan pengadilan
dapat barupa ;
a. Gugatan ditolak ;
b. Gugatan dikabulkan ;
c. Gugatan tidak diterima;
d. Gugatan Gugur.
Kaitannya dengan Amar Putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK ini,
Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan dari penggugat, yang berarti
tidak membenarkan keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
TUN secara keseluruhan, sehingga dalam putusan tersebut sekaligus dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN
yang mengeluarkan keputusan tersebut, Pasal 97 ayat (9) UU Nomor 9 tahun
2004, yang berupa ;
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan; atau b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang
baru; atau c. Penerbitan KTUN apabila gugatan didasarkan pada sikap diam yang
disamakan dengan keputusan penolakan.
131
Selain kewajiban di atas, berdasarkan Pasal 97 ayat (10) UU Nomor
9 tahun 2004 badan atau pejabat TUN dapat diwajibkan pula untuk
membayar ganti rugi kerugian. 12 Hal ini sesuai dengan Amar Putusan
Majelis Hakim dalam putusan ini, yang secara lengkap telah tertulis sebagi
berikut, yaitu :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
a. Menyatakan tindakan Tergugat menerbitkan Surat Walikota
Yogyakarta Nomor 503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal :
Pemberitahuan Penutupan Usaha, melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu Keputusan Walikota Yogyakarta
Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil
Walikota dan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007
tentang Pendelegasian Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota
Untuk Penandatanganan Yang Baik yaitu Azas Kecermatan dan
Azas Kepastian Hukum;
b. Menyatakan batal Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503 / 687
tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha;
c. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pencabutan Surat Walikota Yogyakarta Nomor :
12 Wicipto Setiadi, “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu Perbandingan,
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hlm. 140
132
503 / 687 tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan
Penutupan Usaha;
d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat
Ribu Rupiah).
Berdasarkan Amar Putusan Majelis Hakim tersebut, maka akan
timbul akibat hukumnya. Akibat hukum ialah segala akibat yang terjadi dari
segala perbuatan hukum yang dilakukan subjek hukum terhadap objek
hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian
tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau
dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang kemudian
menjadi sumber lahirnya kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan.
Oleh karena itu, akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat
berdasarkan Amar Putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor
06/G/2011/PTUN.YK adalah Surat Walikota Yogyakarta Nomor: 503 / 687
tertanggal 22 Februari 2011 Hal : Pemberitahuan Penutupan Usaha,
dinyatakan Batal atau tidak sah, yang berarti bagi hukum perbuatan yang
dilakukan dianggap tidak ada13. Serta timbulnya kewajiban bagi Tergugat
untuk mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa, dan apabila Tergugat
tidak bersedia mencabut, berdasarkan pasal 116 ayat (2) Undang-Undang
13 Andy Lesmana, 2013, Batal Demi Hukum, http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/batal-
demi-hukum-602043.html diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB
133
Nomor 51 tahun 2009, setelah jangka waktu 60 hari Surat Keputusan Objek
Sengketa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang
bunyinya:
“ apabila setelah 60 hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Artinya, dalam hal ini CV.SariJaya dapat melakukan kegiatan
usahanya seperti biasa dan seperti keadaan semula sebelum Objek Sengketa
itu di keluarkan.
Akibat Hukum selanjutnya yaitu muncul Hak Tergugat untuk
mengajukan Upaya Hukum Banding, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Surabaya, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Yogyakarta itu diberitahukan kepadanya secara sah.
Serta apabila putusan a quo telah inkrah, Tergugat sebagai pihak yang kalah
diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta
Seratus Empat Ribu Rupiah).
134
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pertimbangan hukum hakim pada putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK,
dalam membatalkan Surat Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 503/687
tanggal 22 Februari 2011 ditinjau dari konsep perolehan sumber kewenangan,
sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan doktrin sumber
kewenangan. Adapun alasannya yaitu:
a. Wakil walikota Yogyakarta telah keliru menafsirkan bahwa kewenangan
yang dimilikinya dalam menerbitkan Surat Keputusan Objek Sengketa
diperoleh dari sumber kewenangan Mandat Walikota Yogyakarta, padahal
berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007
tentang Pelaksanaan Tugas Khusus Wakil Walikota dan Keputusan
Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian
Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota Untuk Penandatanganan
Naskah Dinas, seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh wakil walikota
adalah berdasarkan konsep sumber kewenangan delegasi.
b. Sesuai dengan Doktrin sumber kewenangan, pelimpahan wewenang dari
walikota kepada wakil walikota untuk menerbitkan surat keputusan objek
sengketa adalah berdasarkan konsep sumber kewenangan dalam pengertian
Delegasi.
135
2. Akibat hukum dikabulkannya gugatan penggugat berdasarkan Amar Putusan
Majelis Hakim pada Putusan Nomor 06/G/2011/PTUN.YK.
a. Surat Keputusan Objek Sengketa dinyatakan Batal atau tidak sah.
b. Walikota Yogyakarta sebagai Tergugat dibebani kewajiban, untuk
mencabut Surat Keputusan Objek Sengketa, apabila Tergugat tidak bisa
mencabut, maka dalam jangka waktu 60 hari Surat Keputusan Objek
Sengketa tersebut, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Sebagai pihak yang kalah, Tergugat diwajibkan membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.104.000,00 (Dua Juta Seratus Empat Ribu Rupiah).
d. Munculnya hak Tergugat untuk mengajukan Upaya Hukum Banding
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya.
B. SARAN
1. Disarankan kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk lebih bertindak cermat
dan berhati-hati dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara, karena hal
ini dapat merugikan terhadap orang atau badan hukum perdata yang
bersangkutan, sehingga keputusan yang dikeluarkannya tidak berakibat
dibatalkan karena bersifat melanggar ketentuan hukum.
2. Disarankan kepada pemerintah daerah dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan agarr benar-benar memperhatikan ketentuan mengenai norma
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan khususnya dalam
penyusunan keputusan tentang pelimpahan wewenang harus memperhatikan
dengan seksama konsep sumber kewenangan.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Azhary, M. Tahir,. 1992. Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya
dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara
Madinah dan Masa Kini. Jakarta : Bulan Bintang.
Fahmi, A. Muin,. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta : UII Press.
Fauzan, Muhammad. 2010. “Hukum Pemerintahan Daerah” Edisi revisi.
Purwokerto: STAIN Press.
Gunadi Widodo, Ismu dan Triwulan T , Titik,. 2014. Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia I. Jakarta: Kencana.
H.R., Ridwan. 2011. “Hukum Administrasi Negara” Edisi Revisi. Jakarta:
Rajawali Pers.
HR, Ridwan,. 2003. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII Press.
Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Banyumedia.
Indroharto. 1993. “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara” Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
M.Hadjon , Philiphus, dkk,. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Mahmud, Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media.
Marbun, SF,. 2001. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta : UII Press.
Neno Victor Vayed,. 2006. Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolud Peradilan
Tata Usaha Negara. Bandung : Citra Aditya Bakti
Setiadi, Wicipto. 2001. “Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara” Suatu
Perbandingan. Jakarta: Rajawali Pers.
Syamsudin, M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Volly, Willy D.S. 2014. Dasar-dasar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Jakarta:
Sinar Grafika.
Wiyono, R., 2010. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” Edisi Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor 77)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 2004
Nomor 35)
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun
2009 Nomor 160)
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembar Negara RI tahun
2009 Nomor 8)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125)
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Izin Gangguan
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tugas dan Penjabaran
Fungsi Walikota dan Wakil Walikota Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
di Pemerintah Kota Yogyakarta
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 232/KEP/2007 tentang Pelaksana Tugas
Khusus Wakil Walikota.
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 50/KEP/2007 tentang Pendelegasian
Wewenang Walikota kepada Wakil Walikota untuk Penandatanganan Naskah
Dinas.
Putusan Pengadilan :
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Nomor:06/G/2011/PTUN.YK
Sumber Lain :
Lesmana, Andy, 2013, Batal Demi Hukum,
http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/19/batal-demi-hukum-602043.html
diakses pada tanggal 27 Desember 2014 pukul 17.18 WIB