Tugasan al fiqh al islami 1 soalan kedua (konsep nasab menurut pandangan ulama)
KONSEP ETOS KERJA ISLAMI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN...
Transcript of KONSEP ETOS KERJA ISLAMI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN...
i
KONSEP ETOS KERJA ISLAMI
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
RIF’AH MUNAWAROH
NIM 11111047
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2016
vi
MOTTO
Bekerja Itu Ibadah, Berprestasi Itu Indah
(Tasmara, 2002:73)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan
sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 6)
vii
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah Swt, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapakku, Sutarna, dan ibuku, Durotul Basaroh, dengan segala perjuangan,
do‟a, keringat pengorbanan, kesabaran dan cinta kasih yang membentuk diriku
menjadi seorang perempuan yang tegar dalam mengarungi kehidupan yang
penuh liku. Semoga Allah Swt memberikan umur panjang, kesehatan, dan
kesakinahan dalam hubungan bapak dan ibu, serta semoga Allah Swt
memasukkan mereka ke dalam golongan penghuni surga.
2. Adikku, Riza Gunawan, yang selalu memberikan dukungan, perhatian, dan
pengertian, utamanya dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga Allah Swt
memberi kelancaran agar dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik,
tercapai apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting semoga Allah Swt
menjadikanmu anak saleh yang dapat meninggikan derajat keluarga.
3. Kekasihku, Slamet Setiawan, yang tak pernah henti memberikan motivasi,
semangat dan dukungan dalam mengarungi masa-masa sulit dalam hidupku,
serta tak pernah lelah menasehatiku agar menjadi seorang perempuan yang
lebih dewasa dan bijaksana. Semoga Allah Swt senantiasa menjagamu dan
meridhoi niat baik kita untuk segera bersatu dalam ikatan suci pernikahan.
viii
KATA PENGANTAR
Terucap syukur kepada Allah Swt Yang Maha Sempurna beserta Asmaul
HusnaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
persyaratan wajib untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Srata Satu Pendidikan
Islam (S.Pd.I) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Tak lupa sholawat serta
salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rasulullah saw.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemui hambatan, tetapi
dengan rahmat-Nya dan perjuangan penulis serta bantuan berbagai pihak sehingga
skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan banyak
terima kasih atas segala nasehat, bimbingan, dukungan, dan bantuannya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Kajur PAI IAIN Salatiga.
4. Ibu Maslikhah, S.Ag., M.Si. selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya
dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak M. Gufron, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan bimbingan dan motivasi untuk menjadi yang terbaik.
ix
6. Segenap dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga yang
telah banyak memberikan hikmah dan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis
selama di bangku perkuliahan.
7. Bapak dan Ibuku tercinta, yang selalu memberikan dukungan baik moril
maupun materi serta dengan tulus dan ikhlas mengetuk pintu langit berdoa
untuk kelancaran dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.
8. Keluarga Besar Biro Konsultasi Psikologi Tazkia khususnya Tim Majelis
Do‟a Mawar Allah yeng telah memberikan banyak pengalaman dan pelajaran
berharga bagi penulis.
9. Ibu Dr. Muna Erawati, M.Si., yang telah memotivasi penulis untuk selalu
optimis dalam meraih kesuksesan.
10. Para pustakawan di IAIN Salatiga, yang telah memberikan pelayanan dalam
menggali wacana selama proses perkuliahan, khususnya Mbak Fera dan
Mbak Devi yang telah mendukung kelancaran pencarian bahan pustaka
selama pembuatan skripsi penulis.
11. Saudara-saudaraku seperjuangan di KOPMA “FATAWA” IAIN Salatiga,
yang telah memberikan pengalaman dalam berorganisasi.
12. Sahabat-sahabatku, Evi Triyani, Rini Riftiyani, Nur Anisah, Ratih Siti Nur
Jannah, Yuli Hastuti, Ika Khusnul Fadhilah, Al Milatul Mizza yang telah
memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Rekan-rekanku di kelas PAI B angkatan tahun 2011, kelompok KKL, kelompok
PPL, kelompok KKN yang telah memberikan banyak pengalaman berharga selama
perkuliahan.
xi
ABSTRAK
Munawaroh, Rif‟ah. 2015. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan
Islam. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing:
Maslikhah, S.Ag., M.Si.
Kata Kunci: Etos Kerja Islami, Pendidikan Islam, Guru dan Siswa
Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang bukan
hanya berorientasi pada materi tetapi lebih jauh bekerja merupakan ibadah. Etos
kerja Islami sebagai karakter kerja memiliki pandangan utuh tentang dunia dan
akhirat, materi dan non materi, serta jasmani dan rohani. Peneliti tertarik untuk
mengkaji tentang etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam. Peneliti
secara khusus mencari implikasi etos kerja Islami pada pendidikan Islam.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka pertanyaan utama yang ingin
dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep etos kerja Islami?,
(2) Bagaimana konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam?, (3)
Bagaimana implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan
Islam?.
Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library research),
yaitu meneliti tentang Konsep Etos Kerja Islami dan Konsep Pendidikan Islam
dari berbagai literatur. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber data
primer yaitu data utama berupa buku-buku tentang etos kerja Islami dan
pendidikan Islam dan sumber data sekunder yaitu data pendukung dari data
primer yang berhubungan secara tidak langsung dengan permasalahan penelitian.
Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Metode analisis data
dengan analisis deduktif, induktif, dan sintesis. Analisis deduktif memaparkan
teori-teori secara umum kemudian ditarik sesuai permasalahan penelitian. Analisis
induktif dengan membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan temuan-temuan
dari pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian. Analisis sintesis
dengan menggabungkan antarkonsep untuk ditemukan hubungan antarkomponen.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Konsep etos kerja Islami menunjukkan
bahwa bekerja merupakan fitrah dan amanah yang esensinya iman, ilmu, dan
amal. Bekerja dilakukan dengan semangat jihad, menempatkan tujuan utama
bekerja bukan berupa materi, melainkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt; (2) Konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan
Islam merupakan konsep yang memiliki pandangan utuh tentang iman, ilmu, dan
amal, kerja dan ibadah, materi dan non materi. Hal ini selaras dengan pendidikan
Islam yang berlandaskan prinsip kesatuan dan keseimbangan untuk menciptakan
insan kamil; (3) Implikasi etos kerja Islami bagi guru dan siswa dalam pendidikan
Islam merupakan spirit yang dapat melahirkan performa kerja profesional dan
religius. Etos kerja Islami bagi guru dan siswa dapat membangkitkan motivasi
mengajar-belajar yang dilandasi keyakinan bahwa mengajar-belajar merupakan
fitrah, amanah, dan ibadah yang dijiwai semangat jihad untuk mengintegrasikan
iman, ilmu, dan amal dalam mencapai tujuan pendidikan Islam.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN BERLOGO ............................................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................. iii
NOTA PEMBIMBING ............................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v
MOTTO ...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ....................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
ABSTRAK .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... . 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Fokus Masalah ..................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Kegunaan Penelitian ........................................................... 9
E. Metode Penelitian ................................................................ 10
F. Penegasan Istilah ................................................................. 13
G. Sistematika Penulisan .......................................................... 15
xiii
BAB II KONSEP ETOS KERJA ISLAMI ........................................... 17
A. Etos Kerja ............................................................................ 17
1. Pengertian Etos Kerja ..................................................... 17
2. Sumber Etos Kerja .......................................................... 19
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja ............... 24
4. Ciri-ciri Etos Kerja Tinggi .............................................. 29
5. Ciri-ciri Etos Kerja Rendah ............................................ 33
B. Etos Kerja Islami ................................................................. 34
1. Pengertian Etos Kerja Islami .......................................... 34
2. Sumber Etos Kerja Islami ............................................... 38
3. Prinsip-prinsip Etos Kerja Islami .................................... 44
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami .... 56
5. Pedoman Sikap Pekerja Beretos Kerja Islami ................ 61
6. Karakteristik Etos Kerja Islami ...................................... 65
BAB III KONSEP PENDIDIKAN ISLAM ........................................... 78
A. Pengertian Pendidikan Islam ............................................... 78
B. Dasar Pendidikan Islam ....................................................... 84
1. Dasar Pandangan Terhadap Manusia .............................. 88
2. Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat ......................... 89
3. Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta .................... 89
4. Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan .............. 90
5. Dasar Pandangan Terhadap Akhlak ................................ 92
C. Tujuan Pendidikan Islam ..................................................... 93
xiv
D. Karakteristik Pendidikan Islam ........................................... 95
1. Karakteristik Filosofis .................................................... 95
2. Karakteristik Substansi ................................................... 97
3. Karakteristik Aplikatif .................................................... 102
E. Domain Pendidikan Islam ................................................... 105
1. Guru ................................................................................ 105
2. Siswa ............................................................................... 119
3. Materi Pendidikan Islam ................................................. 124
4. Metode Pendidikan Islam ............................................... 128
5. Alat dan Media Pedidikan Islam ..................................... 135
6. Lembaga Pendidikan Islam ............................................. 137
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 141
A. Konsep Etos Kerja Islami .................................................... 141
1. Perpaduan Berbagai Konsep dalam Etos Kerja Islami ... 141
2. Etos Kerja Islami Melahirkan Kerja yang Religius ........ 149
B. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan
Islam .................................................................................... 154
1. Etos Kerja Islami dalam Diri Insan Kamil ..................... 155
2. Etos Kerja Islami dalam Karakteristik Pendidikan Islam 160
3. Etos Kerja Islami dalam Diri Guru ................................. 166
4. Etos Kerja Islami dalam Diri Siswa ................................ 171
xv
C. Implikasi Etos Kerja Islami dalam Pendidikan Islam .......... 175
1. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Guru Profesional
dan Religius .................................................................... 176
2. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Karakter Insan
Kamil pada Siswa ........................................................... 181
BAB V PENUTUP ................................................................................ 191
A. Kesimpulan .......................................................................... 191
B. Saran .................................................................................... 192
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 194
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 198
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ........................................................... 198
Lampiran 2 Nota Penunjukan Pembimbing ............................................. 199
Lampiran 3 Jurnal Konsultasi Skripsi ...................................................... 200
Lampiran 4 Daftar Nilai SKK .................................................................. 202
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bekerja merupakan kewajiban bagi manusia dalam mengarungi
kehidupan di dunia. Setiap orang memiliki pandangan, sikap, kebiasaan yang
berbeda dalam bekerja. Pandangan, sikap, kebiasaan seseorang terhadap kerja
inilah yang dinamakan etos kerja (Buchori, 1994:6). Terbentuknya etos kerja
didorong atau dimotivasi oleh berbagai faktor. Dorongan kebutuhan dan
aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut, keyakinan atau ajaran agama tertentu
dapat berperan dalam proses terbentuknya etos kerja (Asifudin, 2004:30). Etos
kerja yang dimotivasi oleh ajaran agama, lebih khusus yaitu oleh nilai-nilai
ajaran Islam disebut sebagai etos kerja Islami.
Etos kerja Islami merupakan sebuah spirit yang harus mendarah daging
dalam diri pribadi muslim. Allah Swt tidak akan mengubah keadaan seseorang
atau suatu kaum apabila ia tidak berusaha mengubahnya sendiri, yaitu dengan
bekerja. Sebagaimana penjelasan firman Allah Swt dalam Surah Ar-Ra‟du ayat
11 berikut ini:
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S.
Ar-Ra‟du: 11).
2
Etos kerja Islami berbeda dengan etos kerja secara umum. Etos kerja
secara umum melahirkan semangat kerja yang berorientasi untuk memperoleh
kepuasan duniawi, sedangkan etos kerja Islami bukan sekadar melahirkan
semangat kerja yang berorientasi pada materi atau kepuasan duniawi,
melainkan lebih jauh kerja sebagai ibadah yang tujuannya untuk memperoleh
ridho Allah Swt.
Tasmara (2002) mengemukakan bahwa etos kerja Islami dimotivasi
oleh semangat jihad dan tauhid. Semangat jihad mendorong seorang muslim
untuk bekerja dengan kesungguhan yang luar biasa. Sedangkan tauhid dalam
etos kerja seorang muslim menjadi daya pendorong agar terus berkreasi tanpa
merasa takut terhadap apapun kecuali Allah Swt. Iman yang menghujam dalam
dirinya tampak pada amal shalih yang memberikan rahmat bagi alam
sekitarnya (Tasmara, 2002:39). Etos kerja seorang muslim idealnya digerakkan
oleh dorongan iman dan semangat jihadnya, kemudian diolah dengan daya
nalar yang tajam (Tasmara, 2002:58).
Seorang yang beretos kerja Islami selalu kecanduan untuk beramal
shalih, suatu perbuatan disebut sebagai amal shalih apabila perbuatan itu
dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah Swt (Sastrahidayat, 2009:12). Oleh
karena itu, Tasmara (2002:73-135) mengemukakan 25 ciri seorang yang
kecanduan beramal sholih sebagai karakteristik etos kerja Islami. Karakteristik
etos kerja Islami tersebut tampak pada perilakunya sehari-hari, seperti:
menghargai waktu, jujur, istiqomah, bertanggungjawab, memiliki semangat
perubahan, kecanduan belajar dan mencari ilmu, berorientasi pada
3
produktivitas, senang bersilaturahmi, dan lain-lain. Luth (2001:39-40)
selanjutnya menjelaskan karakteristik seorang yang memiliki etos kerja Islami
yaitu ia bekerja semata-mata karena Allah Swt, bekerja keras, dan memiliki
cita-cita tinggi.
Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004:96) merupakan salah satu
wujud pemahaman Islam kaffah, di antaranya yaitu menyeluruh dan seimbang
dalam mengerjakan ibadah mahdhah maupun ibadah dalam arti luas seperti
bekerja. Etos kerja Islami memberikan dorongan amat kuat agar kerja sebagai
ibadah disikapi dan diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah
mahdhah) (Asifudin, 2004:57). Pemahaman tersebut membawa akibat
dipraktekkannya etos kerja Islami dalam seluruh dimensi aktivitas kehidupan,
baik aktivitas ubudiyah maupun keduniaan; baik aktivitas berkenaan dengan
hablumminallah maupun hablumminannas (Asifudin, 2004:52-53). Etos kerja
Islami yang melahirkan keyakinan bahwa bekerja sebagai ibadah, merupakan
penjabaran dari tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia ialah semata-
mata untuk mengabdi kepada Allah Swt., sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah Swt Surah Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi:
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat:56).
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang selaras dengan tujuan
hidup manusia, yaitu menjadikan hamba Allah Swt yang paling taqwa
(Achmadi, 1987:90). Hamba Allah Swt yang paling taqwa merupakan gelar
4
yang akan didapatkan oleh seorang muslim yang senantiasa beribadah kepada
Allah Swt. Ibadah yang dimaksud yaitu mengabdikan diri kepada Allah Swt
dalam berbagai aspek kehidupan agar memperoleh ridho-Nya (Faridi,
1982:79). Beribadah kepada Allah Swt dalam berbagai aspek kehidupan atau
disebut ibadah dalam arti luas merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai
pendidikan Islam, sebab pendidikan Islam menuntut keseimbangan dalam
aspek duniawi ukhrawi; jasmani rohani; individu dan kemaslahatan
masyarakat; ilmu agama dan ilmu duniawi, serta teori dan praktik (Hafidz dan
Kastolani, 2009:58-67). Ibadah harus dipahami secara komprehensif; tidak
hanya terbatas pada melakukan ritual-ritual agama secara pasif saja, melainkan
juga meliputi segala aspek kegiatan: iman, berfikir, merasa dan bekerja
(Achmadi, 1987:90).
Ibadah dalam arti luas merupakan sarana untuk melaksanakan misi
khalifatullah fil ardhi. Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan
potensi-potensi atau fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat
Allah Swt yang ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung,
2004:50). Sifat-sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai nama-nama
yang indah atau Asmaul Husna. Pengembangan sifat-sifat Allah setinggi-
tingginya sesuai kemampuan manusia merupakan cara untuk mengantarkan
manusia pada keberhasilan melaksanakan misi khalifatullah fil ardhi yang
mampu memakmurkan alam dan membawa rahmah bagi alam sekitarnya.
Tujuan tertinggi pendidikan Islam dari berbagai uraian di atas
sesungguhnya adalah untuk menghasilkan insan kamil. Insan kamil adalah
5
manusia yang utuh jasmani, akal, dan rohani, berguna bagi dirinya dan
masyarakat serta gemar mengamalkan ajaran Islam dalam hubungannya
dengan Allah Swt dan sesama manusia serta dapat mengambil manfaat dari
alam untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat (Daradjat, 2011:29).
Konsep etos kerja Islami memiliki keselarasan dengan pendidikan
Islam. Keselarasan tersebut di antaranya dapat dilihat dari pandangan keduanya
yang komprehensif. Etos kerja Islami memandang kerja bukan sekadar untuk
memperoleh kepuasan duniawi, melainkan lebih jauh ialah untuk mendapatkan
ridho Allah Swt. Sejalan dengan pandangan tersebut, pendidikan Islam
memiliki pandangan yang menyeluruh dalam aspek duniawi ukhrawi; jasmani
rohani; individu dan kemaslahatan masyarakat; ilmu agama dan ilmu duniawi,
serta teori dan praktik.
Pandangan yang menyeluruh dalam pendidikan Islam dapat pula dilihat
dari substansi pendidikan Islam yang utuh, yaitu meliputi pendidikan
keimanan, pendidikan amal, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak, dan
pendidikan sosial. Substansi tersebut marupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dan membentuk pola hubungan sebagai berikut: iman adalah
pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang
benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan Munzier,
2003:72-73). Pola hubungan yang demikian juga terdapat dalam konsep etos
kerja Islami. Etos kerja Islami bersumber dari keimanan kepada Allah Swt
sehingga berbuah pada keyakinan bahwa kerja adalah ibadah. Keyakinan
bahwa kerja adalah ibadah melahirkan performa kerja yang penuh
6
kesungguhan, semangat yang luar biasa, dan hasil yang optimal. Performa
kerja yang penuh kesungguhan ini dilandasi dengan etika yang mulia; sikap
yang berlandaskan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah Swt, sebab
kesadaran bahwa bekerja merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt dan
merasa selalu dalam pengawasan-Nya. Seorang yang beretos kerja Islami
dalam bekerja juga berlandaskan pada ilmu, oleh karena itu membuahkan kerja
yang profesional.
Insan kamil sebagai manusia yang ingin diupayakan atau dihasilkan
oleh pendidikan Islam, merupakan sosok manusia yang memiliki karakteristik
etos kerja Islami. Insan kamil yaitu manusia yang utuh secara jasmani, akal,
dan rohani. Etos kerja Islami apabila dilihat dari karakteristiknya mampu
mengembangkan ketiga dimensi tersebut secara utuh. Dari segi jasmani, etos
kerja Islami melahirkan karakter manusia yang memperhatikan kesehatan,
karena dengan jasmani yang sehat maka akan membuahkan kerja yang optimal.
Selanjutnya, dari segi akal akan menumbuhkan karakter manusia yang rasional,
ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang
baik, disiplin, dan profesional. Etos kerja Islami dari segi rohani akan
membentuk manusia yang bekerja dengan kejujuran dan akhlak yang mulia
atas dasar keyakinan bahwa kerja merupakan wujud pengabdian dirinya kepada
Allah Swt, kerja merupakan amanat dari Allah Swt yang dipikulkan padanya
serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt.
Etos kerja Islami diperlukan dalam proses pendidikan Islam, hal ini di
antaranya dapat dilihat dari domain guru dan siswa. Guru dalam pendidikan
7
Islam misalnya, di antaranya disyaratkan mempunyai kepribadian yang mulia,
seperti mandiri dan dewasa. Kepribadian yang mandiri dan dewasa tentunya
dimiliki oleh seorang yang menghayati etos kerja Islami dalam melaksanakan
setiap aktivitasnya. Seorang guru selanjutnya memiliki tugas selain mengajar
dan mendidik siswa, juga bertugas sebagai fasilitator, motivator, dan manager
atau pemimpin. Guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut hendaknya
didasarkan pada niat ikhlas karena Allah Swt, memiliki jiwa melayani, serta
memiliki karakter yang patut untuk diteladani siswa, seperti sabar, jujur,
disiplin, bertanggungjawab, percaya diri, konsisten, senang memperkaya
wawasan keilmuan, pandai mengelola waktu dan akhlak mulia yang lainnya.
Karakter seorang guru dalam perspektif pendidikan Islam seperti
dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya
selain harus profesional, juga harus berlandaskan keikhlasan semata-mata
untuk mengabdi kepada Allah Swt. Guru dengan karakter demikian tentu tidak
akan terlahir jika hanya mempraktikkan etos kerja secara umum yang
berorientasi materi saja, melainkan harus dengan mempraktikkan etos kerja
Islami.
Etos kerja Islami hendaknya juga dimiliki oleh siswa, sebab ia adalah
manusia yang akan diupayakan oleh pendidikan Islam agar menjadi insan
kamil. Etos kerja Islami seperti telah diuraikan di atas memiliki karakteristik
insan kamil, yaitu karakter yang utuh jasmani, akal, dan rohani. Etos kerja
Islami memiliki prinsip bahwa bekerja adalah ibadah, oleh karenanya dalam
perspektif siswa bekerja diterjemahkan sebagai belajar, sehingga belajar adalah
8
ibadah. Apabila siswa mampu menempatkan belajar sebagai ibadah, maka ia
akan terdorong untuk menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Belajar
yang diinsyafi sebagai ibadah bukan hanya akan membuahkan prestasi pada
siswa, tetapi lebih dari itu akan tumbuh karakter insan kamil dalam dirinya.
Siswa dengan karakter insan kamil tentunya membutuhkan peran guru yang
memiliki pandangan utuh dalam bekerja, yaitu guru yang mempraktikkan etos
kerja Islami.
Berdasarkan pada permasalahan tersebut, maka penulis berkeinginan
untuk menggali lebih dalam konsep etos kerja Islami kaitannya dengan
pendidikan Islam, sehingga judul yang penulis ambil dalam penelitian ini yaitu
“Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
B. Fokus Masalah
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Konsep Etos
Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Fokus masalah tersebut
dapat dirinci dalam sejumlah pertanyaan berikut:
1. Bagaimana konsep etos kerja Islami?
2. Bagaimana konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam?
3. Bagaimana implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam
pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep etos kerja Islami.
9
2. Untuk mengetahui konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan
Islam.
3. Untuk mengetahui implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa
dalam pendidikan Islam.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau manfaat dari hasil penelitian yang penulis harapkan
adalah:
1. Teoretik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi khasanah keilmuan pendidikan Islam, antara lain berupa
temuan keselarasan antara konsep etos kerja Islami dengan tujuan
pendidikan Islam yaitu untuk membentuk insan kamil.
2. Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai motivasi untuk
melaksanakan tugas secara profesional karena tumbuh kesadaran dalam
dirinya bahwa tugas yang dipikulnya merupakan amanat dari Allah Swt.
b. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai motivasi untuk
belajar dengan giat, dan lebih jauh lagi timbul dalam dirinya sebuah
semangat untuk berprestasi karena semata-mata untuk beribadah kepada
Allah Swt.
c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah
wawasan untuk mengupayakan timbulnya etos kerja khususnya terhadap
guru dan siswa.
10
d. Bagi peneliti sendiri, hasil penelitian ini selain dapat mengembangkan
wawasan keilmuan juga sebagai motivasi agar lebih bersemangat dalam
beramal di dunia, utamanya dalam rangka membagi ilmu pengetahuan
kepada orang lain atas dasar ibadah kepada Allah Swt.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini didasari oleh beberapa hal pokok
agar dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah yang
ada dalam penelitian ini, antara lain: jenis penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library
research), yaitu menghimpun data dari berbagai literatur, tidak terbatas pada
buku-buku tetapi dapat juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah-
majalah, koran-koran, dan lain-lain. Literatur-literatur tersebut di dalamnya
dapat ditemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip-prinsip, pendapat,
gagasan, dan lain sebagainya yang dapat dipergunakan untuk menganalisis
dan memecahkan masalah yang diselidiki (Nawawi, 1995:30). Dalam
penelitian ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meneliti literatur-literatur tentang etos kerja Islami dan pendidikan Islam
sebagai objek kajian utama penelitian.
b. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan berkaitan dengan ”Konsep
Etos Kerja Islami” dalam literatur-literatur tentang etos kerja Islami dan
11
“Konsep Pendidikan Islam” dalam literatur-literatur tentang pendidikan
Islam.
c. Memaparkan berbagai teori tentang “Konsep Etos Kerja Islami” dan
“Konsep Pendidikan Islam”, kemudian ditarik kesimpulan dari beberapa
teori yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian.
d. Menganalisis pokok permasalahan dengan cara menguraikan “Konsep
Etos Kerja Islami”, kemudian mencari perspektif “Pendidikan Islam”
terhadap “Konsep Etos Kerja Islami”, dan implikasi “Etos Kerja Islami
dalam Pendidikan Islam”, khususnya ditinjau dari domain guru dan
siswa.
e. Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan fokus masalah dalam
penelitian.
2. Sumber Data
Data-data yang terkait dengan penelitian ini dikumpulkan melalui
studi pustaka. Penulis dalam penelitian ini menggunakan 2 sumber data
yaitu sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji
sebagai bahan rujukan dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini
adalah buku-buku yang membahas etos kerja Islami dan pendidikan
Islam.
12
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data pendukung dari data primer.
Data sekunder diambil dari sumber-sumber yang lain, yaitu dengan cara
mengumpulkan data dari buku, internet, dan informasi lainya yang
berhubungan secara tidak langsung dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan menyelidiki benda-
benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Penulis
dalam penelitian ini menggunakan benda-benda tertulis yaitu buku-buku
etos kerja Islami, pendidikan Islam dan buku-buku lainnya yang relevan
dengan permasalahan yang dibahas.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah:
a. Deduktif
Metode deduktif adalah metode berfikir yang berangkat dari
pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak dari yang umum itu
kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1981:42). Metode
deduktif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan berbagai teori
tentang konsep etos kerja Islami dan konsep pendidikan Islam kemudian
13
ditarik kesimpulan dari beberapa teori yang sesuai dengan pokok
permasalahan dalam penelitian.
b. Induktif
Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-
fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42). Metode ini
digunakan untuk membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan
temuan-temuan dari pembahasan terhadap fokus masalah dalam
penelitian ini.
c. Sintesis
Sintesis yaitu metode untuk mencari kaitan antara satu kategori
dengan kategori lainnya, kemudian kaitan satu kategori dengan kategori
lainnya diberi nama/ label lagi (Moleong, 2009:289). Metode ini
digunakan untuk menganalisis mengenai konsep etos kerja Islami,
perspektif pendidikan Islam terhadap konsep etos kerja Islami, dan
implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan
Islam.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian, maka
penulis memberikan pengertian dan batasan penelitian ini, yaitu:
1. Etos Kerja Islami
Etos kerja adalah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja,
kebiasaan kerja, ciri-ciri tentang cara bekerja atau sifat-sifat mengenai cara
14
bekerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa
(Buchori, 1994:6). Etos kerja menurut Asifudin (2004:27) adalah karakter
dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup
manusia yang mendasar terhadapnya. Etos kerja menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, 2007:309-310).
Etos kerja Islami dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang
melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk
memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga
sebagai manivestasi dari amal sholih dan oleh karenanya mempunyai nilai
ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin (2004:234)
menjabarkan etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan manusia
berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islam
yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos kerja Islami
menurut Anoraga (2009:29) adalah suatu pandangan dan sikap bahwa kerja
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi dan kepuasan lahiriah saja,
tetapi yang lebih hakiki kerja merupakan perintah Allah Swt sehingga di
sinilah sumber motivasi yang bisa membimbing dan memberi arahan
semangat pengabdian.
Etos kerja Islami menurut penulis dalam penelitian ini adalah
karakter dan kebiasaan berkaitan dengan kerja yang terpancar dari
keyakinan bahwa bekerja itu bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan
15
lahiriah atau duniawi, tetapi yang lebih hakiki bekerja sebagai ibadah dalam
rangka memperoleh ridho Allah Swt.
2. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah
manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai
dengan norma Islam (Achmadi, 1987:9). Pendidikan Islam menurut
Marimba (1989:23) adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian muslim.
Tafsir (2008:32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin dalam
segala aspeknya.
Berdasarkan pada definisi di atas, maka pengertian pendidikan Islam
menurut penulis dalam penelitian ini adalah bimbingan untuk
mengembangkan fitrah manusia berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam menuju
terbentuknya kepribadian muslim dalam hubungannya dengan Allah Swt,
dengan sesama manusia, serta dengan alam sekitar.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini berisi lima bab untuk membahas Konsep Etos Kerja Islami
dalam Perspektif Pendidikan Islam, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat tentang latar belakang masalah, fokus
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
16
BAB II KONSEP ETOS KERJA ISLAMI
Pada bab ini membahas tentang etos kerja dan etos kerja Islami.
Pembahasan mengenai etos kerja meliputi pengertian, sumber,
faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja, ciri-ciri etos kerja
tinggi dan etos kerja rendah. Selanjutnya pembahasan mengenai
etos kerja Islami meliputi pengertian, sumber, prinsip-prinsip etos
kerja Islami, faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja Islami,
pedoman sikap pekerja beretos kerja Islami, dan karakteristik etos
kerja Islami.
BAB III KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Pada bab ini berisi tentang pengertian pendidikan Islam, dasar
pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, karakteristik
pendidikan Islam, dan domain pendidikan Islam.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang konsep etos kerja
Islami, konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan
Islam, dan implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa
dalam pendidikan Islam.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi beberapa kesimpulan
dan beberapa saran.
17
BAB II
KONSEP ETOS KERJA ISLAMI
A. Etos Kerja
1. Pengertian Etos Kerja
a. Pengertian Bahasa
Etos kerja secara etimologi berasal dari kata etos dan kerja. Kata
etos berasal dari kata dalam bahasa Yunani ethos yang artinya ialah ciri,
sifat, atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral,
pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu
bangsa (Buchori, 1994:6). Kata etos dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial
(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007:309). Etos dalam kamus
sosiologi memiliki arti nilai-nilai dan ide-ide dari suatu kebudayaan atau
karakter umum suatu kebudayaan (Soekanto, 1983:106). Arti kata etos
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah watak dasar suatu
masyarakat, sedangkan perwujudan luarnya adalah struktur dan norma
sosial (Wiradi, 2004:218).
Kata kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kegiatan
melakukan sesuatu; yang dilakukan atau sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah; mata pencaharian (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
2007:554). Kerja dalam arti luas adalah semua bentuk usaha yang
18
dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau non materi, intelektual
atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan
atau keakhiratan (Sofyan, 2010:76). Asifudin (2004:58) mengemukakan
arti kerja kepada tiga hal: Pertama, kerja merupakan aktivitas bertujuan
maka dengan sendirinya dilakukan secara sengaja; Kedua, pengertian
kerja dalam konteks ekonomi adalah penyelenggaraan proses produksi
maka merupakan upaya memperoleh hasil. Pengertian kerja di sini
mencakup pula konteks keagamaan, oleh karenanya pengertian hasil
dapat bersifat transenden dan non materil, di samping bersifat materil;
dan Ketiga, kerja itu mencakup kerja bersifat fisik dan non fisik atau
kerja batin. Kesimpulannya, kerja menurut Asifudin (2004:59) berarti
aktivitas bertujuan memperoleh hasil, mencakup kerja lahir dan batin.
Penjelasan mengenai kerja lahir dan batin ini secara lebih rinci adalah
sebagai berikut:
Kerja lahir merupakan aktivitas fisik, anggota badan, termasuk
panca indera seperti melayani pembeli di toko, mencangkul di
kebun, mengajar di sekolah, menjalankan sholat, dan mengawasi
anak buah bekerja. Kerja batin, ada dua macam: pertama, kerja
otak, seperti belajar, berpikir kreatif, memecahkan masalah,
menganalisis, dan mengambil kesimpulan, kedua kerja qalb,
seperti berusaha menguatkan kehendak mencapai cita-cita,
berusaha mencintai pekerjaan dan ilmu pengetahuan, sabar dan
tawakal dalam rangka menghasilkan sesuatu (Asifudin, 2004:59).
As‟ad (2003:47) sejalan dengan pengertian kerja menurut Asifudin
(2004) tersebut, mengemukakan bahwa kerja merupakan aktivitas
manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya merupakan
bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapat kepuasan.
19
b. Pengertian Istilah
Pengertian etos kerja secara terminologi dapat dilihat dari
beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Etos kerja menurut
Buchori (1994:6) adalah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja,
kebiasaan kerja, ciri-ciri tentang cara bekerja atau sifat-sifat mengenai
cara bekerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa.
Buchori (1994:7) selanjutnya menjelaskan bahwa: “Etos kerja adalah
bagian dari tata nilai (value system)”. Etos kerja menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan
keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa, 2007:309-310). Asifudin (2004:27) mengemukakan bahwa etos
kerja merupakan karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang
terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Sikap
hidup mendasar ini terbentuk dari dorongan kebutuhan dan aktualisasi
diri, nilai-nilai yang dianut, serta keyakinan atau ajaran agama (Asifudin,
2004:30).
Etos kerja berdasarkan uraian di atas menurut penulis dapat
disimpulkan sebagai sikap, pandangan, karakter, kebiasaan berkenaan
dengan kerja, atau dapat juga diartikan sebagai semangat yang menjadi ciri
khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok dalam bekerja.
2. Sumber Etos Kerja
Sumber etos kerja menurut kesimpulan Siswanto (2012) berdasarkan
pengamatannya terhadap berbagai hasil penelitian ada tiga hal, yaitu: nilai-
20
nilai religius, nilai-nilai budaya, serta ideologi masyarakat. Penjelasan
mengenai sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut:
a. Nilai-Nilai Religius
Sebagian analisis menguraikan bahwa sumber utama bagi etos
kerja yang baik adalah keyakinan religius, dan agaknya memang terdapat
hubungan yang signifikan antara ajaran-ajaran agama dengan etos kerja
suatu masyarakat. Tesis Weber mengungkapkan adanya pengaruh ajaran
agama, dalam hal ini sekte Protestant Calvinist di Eropa terhadap
kegiatan ekonomi para penganutnya, masalah perkembangan suatu
masyarakat dengan sikap mereka terhadap makna kerja. Doktrin-doktrin
dalam agama Protestant Calvinist menekankan kerja keras adalah suatu
keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan; pekerjaan
sebagai suatu panggilan jiwa bagi manusia, sehingga kerja merupakan
kewajiban hidup yang sakral. Paradigma penting Weber adalah bahwa
masalah development dan underdevelopment dari suatu etnis atau suatu
bangsa adalah masalah dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai
dengan pembangunan. Semakin tinggi etos kerja yang dimanifestasikan
dalam kemampuan mereka untuk bekerja keras serta hidup hemat dan
sederhana, semakin besar kemungkinan mereka berhasil dalam usaha-
usaha pembangunan. Jika etnis atau bangsa memiliki etos kerja yang
rendah maka sebaliknya yang akan terjadi (Siswanto, 2012:228).
Penemuan Weber tersebut banyak mempengaruhi ahli-ahli ilmu
sosial yang lain. Bellah adalah salah satu ilmuwan yang terpengaruh.
21
Bellah dalam penelitiannya tentang agama Tokugawa memperlihatkan
bagaimana dua jenis kegiatan religius (Budhisme dan Konfusianisme)
telah menguatkan nilai-nilai dasar tentang prestasi dan partikularisme.
Keduanya menjadikan hubungan-hubungan partikularistik dengan
bersifat sakral dan menitikberatkan pentingnya prestasi yang tinggi
dalam melaksanakan kewajiban sebagai syarat penyelamatan religius
(Siswanto, 2012:229).
Budhisme Zen, menurut Bellah sangat menghargai kegiatan
produktif. “Hari tanpa kerja berarti hari tanpa makan” merupakan aturan
pertama dalam kehidupan kuil Zen. Kerja adalah sesuatu yang suci
karena dipandang paling tidak sebagai sebagian dari upaya membalas
rahmat yang diterima. Hal yang paling utama di dalam hidup seseorang
adalah ketekunan dan loyalitas pada pekerjaan. Di samping itu terdapat
pula nilai-nilai sakral yang sangat dipegang dan dihormati oleh bangsa
Jepang yang terkandung dalam konsep girl (kewajiban), bungen (status),
na (kehormatan), dan jisel (semangat tentang waktu). Akar-akar budaya
ini telah membantu tercapainya sukses Jepang. Kini Jepang merupakan
bangsa non Barat yang telah mentransformasikan dirinya menjadi satu
bangsa industri modern. Sedangkan inti ajaran Konfusianisme yang berisi
keutamaan loyalitas, nasionalisme, kolektivisme sosial, dan kepentingan
akan teknologi, menjadi dasar hidup masyarakat di negara Hongkong,
Korea, Singapura dan Taiwan. Keempat negara tersebut di kawasan Asia
22
dikenal sebagai The Four Small Dragon of Asia (Siswanto, 2012:229-
230).
Ajaran yang merupakan dasar etos kerja bagi agama Hindu,
terkandung dalam dharma. Masyarakat Hindu punya kewajiban untuk
menaati hukum karmayoga, suatu norma yang menyatakan bahwa
bekerja sesuai dengan swadharma masing-masing merupakan inti dari
yadnya (ibadah) (Siswanto, 2012:231).
Agama Islam juga memiliki konsep-konsep yang merupakan
acuan bagi etos kerja. Agama Islam menggariskan syariah (hukum
sakral) sebagai sumber aturan dalam berperilaku beserta sumber panutan
yang mengajarkan kesetiaan dan ketekunan. Hal ini dipertegas oleh
penelitian dan tulisan yang disampaikan, antara lain oleh: Sobari dalam
Siswanto (2012:230) yang berkesimpulan bahwa keshalihan merupakan
sumber energi, pendorong gairah kerja. Ia bukan sekadar lahan subur
bagi tumbuhnya etos kerja, melainkan etos kerja itu sendiri. Muahimin
dalam Siswanto (2012:230) menyatakan bahwa norma dalam Islam
merupakan bagian dari sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk
bekerja keras.
b. Nilai-Nilai Budaya
Etos kerja di samping berasal dari nilai-nilai religius, juga
bersumber dari nilai-nilai budaya. Koentjaraningrat dalam Siswanto
(2012:231) mengatakan, bahwa sistem nilai budaya atau cultural value
systems dan sikap atau attitudes menyebabkan timbulnya pola-pola cara
23
berpikir tertentu pada warga suatu masyarakat dan sebaliknya pola-pola
cara berpikir ini yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan kelakuan
mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat
keputusan-keputusan yang penting dalam hidup. Artinya, sistem nilai
budaya dan sikap yang dimiliki mempengaruhi terhadap etos kerja setiap
individu sebagai anggota masyarakat maupun terhadap suatu masyarakat
sebagai suatu lembaga (Siswanto, 2012:231).
c. Ideologi Masyarakat
Etos kerja di samping berasal dari nilai religius dan nilai-nilai
budaya, juga bersumber dari ideologi yang dimiliki masyarakat.
Masyarakat Barat berhasil mengembangkan industri dengan sains sebagai
dasar utamanya karena cara berpikir mereka yang cenderung
merasionalisasikan persoalan. Masyarakat Jepang demikian pula, mereka
tidak ragu-ragu untuk belajar dan meniru dari orang lain sepanjang itu
bermanfaat dan tidak merugikan mereka.
Bangsa Indonesia juga sesungguhnya telah memiliki pijakan yang
kuat untuk membina etos kerja yang menunjang kemajuan. Bangsa
Indonesia di samping memiliki sikap hidup yang religius, juga
mempunyai Pancasila sebagai dasar-dasar nilai luhur yang tak pernah
kering. Pancasila sebagai etos kebudayaan nasional menegaskan, bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat meresapi serta menjiwai
kehidupan manusia Indonesia baik dalam bidang kelembagaannya
maupun dalam kelakuan individualnya. Nilai-nilai yang terkandung
24
dalam Pancasila yaitu budi pekerti, gotong royong, dan keadilan
merupakan dasar etos kerja yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia.
Kini tinggal bagaimana bangsa Indonesia memanfaatkan gagasan-
gagasan etos kerja yang dilandasi nilai luhur dalam Pancasila tersebut ke
dalam gagasan-gagasan pembangunan. Pentingnya etos kerja yang tinggi
bagi keberhasilan pembangunan nasional tidak lagi dapat disangkal
(Siswanto, 2012:231-232).
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai religius yang
bersumber dari agama, nilai-nilai kebudayaan, serta ideologi suatu bangsa
atau masyarakat mampu menjiwai karakter kerja dari suatu kelompok
masyarakat, bangsa maupun perseorangan, sehingga ketiganya menjadi
sumber bagi terbentuknya etos kerja.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
Manusia adalah makhluk biologis, sosial, intelektual, dan spiritual
yang berjiwa dinamis. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya termasuk
dalam kehidupan kerjanya sering mengalami kesukaran untuk
membebaskan diri dari pengaruh faktor-faktor tertentu, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Faktor yang bersifat internal timbul dari faktor
psikis, misalnya: dorongan kebutuhan, frustasi, suka atau tidak suka,
persepsi, emosi, kemalasan, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang bersifat
eksternal datangnya dari luar, seperti: faktor fisik, lingkungan alam,
pergaulan, budaya, pendidikan, pengalaman dan latihan, keadaan politik,
25
ekonomi, imbalan kerja, serta janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran
agama (Asifudin, 2004:33).
Anoraga (2005) mengemukakan ketenangan dan kegairahan bekerja
seorang karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor kepribadian dan kehidupan emosional sendiri, termasuk dalam
faktor ini adalah kesesuaian tugas yang dipegangnya dengan kemampuan
dan minatnya;
b. Faktor luar, yang terdiri dari faktor job security, kemungkinan untuk
mendapat kemajuan, lingkungan kerja, relasi dengan teman sekerja, relasi
dengan pimpinan, dan gaji.
1) Job security, maksudnya pekerjaan yang dipegang merupakan
pekerjaan yang tetap, jadi bukan pekerjaan yang mudah digeser-
geser, diungkit, diganti, dan lain sebagainya. Adanya kemungkinan
akan dirumahkan, diberhentikan, digeser, merupakan faktor pertama
yang mengurangi ketenangan dan kegairahan kerja seorang
karyawan. Artinya karyawan tersebut dalam situasi yang demikian
akan hanya bekerja secara rutin saja, sekadar melakukan tugas sehari-
hari, sedangkan produktivitas, kreativitas, inisiatif sangat kurang
optimal, karena konsentrasi terbagi secara naluriah;
2) Kemungkinan/kesempatan untuk mendapat kemajuan;
3) Kondisi kerja yang menyenangkan. Suasana lingkungan kerja yang
harmonis, tidak tegang merupakan syarat bagi timbulnya gairah. Juga
suasana lingkungan kerja tidaklah suram;
26
4) Good working companion atau rekan sekerja yang baik. Hubungan
sosial yang ada di antara karyawan merupakan faktor yang cukup
penting untuk dapat menimbulkan kegairahan kerja. Adanya
ketegangan yang muncul dalam hubungan ini mudah sekali
menimbulkan akibat yang kurang baik bagi gairah kerja. Dalam hal
ini faktor kepribadian seringkali menonjol, yang merupakan faktor
yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi harmoni
dalam hubungan sosial antarkaryawan, demikian juga latar belakang
kebudayaan dan adat kebiasaan karyawan;
5) Hubungan dengan pimpinan atau faktor pimpinan yang baik.
Pimpinan yang baik ini akan menimbulkan rasa hormat dan
menghargai dari karyawan kepadanya. Dalam hal ini faktor
kepemimpinan merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi hubungan baik antara pimpinan dengan
karyawan atau bawahan;
6) Kompensasi, gaji atau imbalan. Faktor ini walaupun pada umumnya
tidak menempati urutan-urutan paling atas, tetapi masih merupakan
faktor yang mudah mempengaruhi ketenangan dan kegairahan kerja
karyawan. Tingginya gaji atau imbalan merupakan sesuatu yang
relatif. Bagi seorang karyawan yang baru akan memasuki suatu
perusahaan, maka imbalan yang akan diterima pada umumnya
diperbandingkan dengan imbalan yang mungkin diterima dari
perusahaan-perusahaan lain. Perbedaan yang mencolok dapat
27
menggoyahkan gairah, tetapi menurut penelitian umumnya masih
bisa dipatahkan oleh faktor kemungkinan maju (Anoraga, 2005:85).
Lebih lanjut As‟ad (2003) menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja adalah faktor psikologis, sosial, fisik, dan
finansial, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan
karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap
kerja, bakat, dan keterampilan;
b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi
sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun
karyawan yang berbeda jenis pekerjaan;
c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik
lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan
ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan
karyawan, umur, dan sebagainya;
d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan
serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji,
jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan,
promosi dan sebagainya (As‟ad, 2003:115-116).
Faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja berdasarkan uraian di
atas menurut penulis dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang
mendorong etos kerja dan faktor-faktor yang menghambat etos kerja.
28
Faktor-faktor yang mendorong maupun menghambat etos kerja dapat dibagi
menjadi faktor yang berasal dari dalam diri yang disebut faktor internal dan
faktor yang berasal dari luar yang disebut faktor eksternal.
a. Faktor yang mendorong etos kerja, yaitu hal-hal atau suatu kondisi yang
dapat mendorong semangat kerja seseorang atau suatu kelompok.
1) Faktor internal pendorong etos kerja, seperti: kondisi kesehatan yang
baik; usia produktif; memiliki kepribadian produktif; kesesuaian
antara tugas atau pekerjaan yang dihadapi dengan kemampuan atau
keterampilannya; terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan khususnya
kebutuhan akan rasa aman, afiliasi dan cinta, pengakuan dan
penghargaan, serta aktualisasi diri; kondisi emosi tertentu seperti
ketika sedang bahagia.
2) Faktor eksternal pendorong etos kerja, seperti: pemimpin yang mampu
memberi inspirasi dan menggugah semangat bawahannya; hubungan
dengan atasan dan dengan sesama teman kerja yang baik; adanya
kesempatan untuk maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan,
jaminan sosial yang sesuai; kondisi fisik lingkungan yang baik, seperti
perlengkapan kerja, pencahayaan, sirkulasi udara.
b. Faktor yang menghambat etos kerja, yaitu hal-hal atau kondisi yang
menghambat semangat kerja seseorang atau suatu kelompok.
1) Faktor internal penghambat etos kerja, seperti: kondisi kesehatan yang
buruk; memiliki kepribadian vested interest yaitu sikap penuh
keraguan, cemas, iri, cemburu, dan suka meremehkan; kebutuhan akan
29
rasa aman, afiliasi dan cinta, penghargaan dan pengakuan serta
aktualisasi diri yang tidak terpenuhi; kejenuhan dan kelelahan yang
dipaksakan.
2) Faktor eksternal penghambat etos kerja, seperti: pemimpin yang tidak
dapat mengorganisir sistem kerja dengan baik dan tidak mampu
menjadi teladan bagi bawahannya; hubungan dengan atasan dan
dengan sesama rekan kerja yang buruk; tidak ada kesempatan untuk
maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan, jaminan sosial yang
tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan; kondisi lingkungan
fisik, seperti penerangan dan sirkulasi udara yang buruk, fasilitas yang
tidak memadai, penataan ruang kerja yang buruk atau tidak tepat, dan
sebagainya.
4. Ciri-Ciri Etos Kerja Tinggi
Ciri-ciri orang yang beretos kerja tinggi menurut Asifudin (2004:38)
pada umumnya memiliki sifat-sifat berikut ini: (1) aktif dan suka bekerja
keras; (2) bersemangat dan hemat; (3) tekun dan profesional; (4) efisien dan
kreatif; (5) jujur, disiplin, dan bertanggungjawab; (6) mandiri; (7) rasional
serta mempunyai visi yang jauh ke depan; (8) percaya diri namun mampu
bekerjasama dengan orang lain; (9) sederhana, tabah dan ulet; (10) sehat
jasmani dan rohani.
Shalih (2009) menjelaskan bahwa karakter orang yang berhasil
mencapai puncak karir dalam dunia kerja adalah sebagai berikut:
30
a. Jujur, yaitu sikap menyampaikan apa adanya tanpa kepentingan untuk
menambah atau mengurangi, lurus hati, bersikap tidak curang, serta
menjauhkan diri dari segala bentuk kebohongan;
b. Berpandangan jauh ke depan, yaitu berpikir ke masa depan; mampu
memprediksi serta mampu merencanakan pencapaian masa depan;
c. Dapat memberi inspirasi, artinya ia mampu mendorong dan menjadi
sumber motivasi bagi munculnya sebuah pemikiran baru pada pihak lain;
d. Kompeten, yaitu kemampuan dan kecakapan diri yang unggul. Artinya ia
memiliki keinginan kuat untuk melakukan hal-hal yang dapat
meningkatkan kemampuan diri, bertekad untuk menguasainya, dan
bersedia mengembangkan segala kemampuan;
e. Adil, yaitu kemampuan seseorang untuk menempatkan sesuatu sesuai
dengan tempatnya, mampu bertindak secara profesional, serta mampu
memperlakukan seseorang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang
dimilikinya;
f. Mendukung, yaitu sikap suka mendorong, memotivasi, dan membantu
pencapaian ambisi, keinginan, dan tujuan orang lain dengan penuh itikad
baik dan membangun persahabatan demi kesuksesan bersama;
g. Berpandangan luas, yaitu kemampuan untuk berpikir, melihat, serta
menilai sesuatu secara menyeluruh dan utuh. Kemampuan tersebut
didukung dengan pertimbangan segala aspek dari berbagai sudut
pandang; baik buruk, benar salah, manfaat mudarat, halal haram, dan
sebagainya;
31
h. Cerdas, artinya mampu berpikir dan bersikap strategis, jeli, visioner, serta
memiliki semangat tinggi dalam mewujudkan tujuan dan keberhasilan;
i. Terus terang, yaitu sikap terbuka dalam mengungkapkan pikiran dan
emosi. Tidak ada keraguan dalam mengungkapkan sikap yang dia yakini
benar, walaupun terasa pahit. Menjauhkan diri dari sikap menggerutu,
menilai sesuatu secara sembunyi-sembunyi, dan dari konflik dalam
bekerjasama dengan orang lain;
j. Berani, yaitu tidak takut terhadap resiko, berani bertanggungjawab, dan
bersedia menerima resiko;
k. Dapat diandalkan, yaitu konsistensi dalam mengapresiasikan kerja dan
kesetiaan dalam mengabdikan diri pada pekerjaan sehingga tumbuhlah
sikap kepercayaan orang lain terhadap dirinya;
l. Dapat bekerjasama, yaitu melakukan pekerjaan dalam sebuah
kebersamaan dengan orang lain secara sinergis, saling membantu, saling
menghormati, penuh kesadaran dan semangat demi kesuksesan bersama;
m. Kreatif, artinya dalam sepak terjangnya memiliki beragam variasi
sehingga tidak membosankan dan selalu memunculkan hal-hal baru;
n. Peduli pada orang lain, yaitu sikap perhatian kepada orang lain dan
memperlakukan mereka dengan rasa segan, hormat, serta menghargai;
o. Tegas, yaitu sikap seseorang yang dibangun atas dasar keyakinan dan
prinsip yang kuat sehingga tidak ragu-ragu dan tidak mudah goyah oleh
berbagai godaan yang menghadang;
32
p. Matang, yaitu sikap dewasa, bijaksana, serta tenang dalam mengambil
keputusan dan menyikapi setiap permasalahan;
q. Berambisi, yaitu berkeinginan keras untuk mencapai sesuatu dengan
penuh semangat dan antusiasme. Orang yang berambisi memiliki rasa
percaya diri tinggi, dinamis, mau mengambil resiko, spontan, bersedia
untuk mengarahkan, mandiri, mempunyai lebih banyak ide
duibandingkan dengan jam kerjanya sendiri;
r. Loyal, yaitu sikap setia kepada seseorang, gagasan, atau pekerjaan. Sikap
ini terkadang disertai sikap berani berkorban untuk organisasi atau
kelompok di mana dia menjadi bagian di dalamnya. Seorang yang loyal
berkomitmen untuk memberikan yang terbaik;
s. Mampu mengendalikan diri, yaitu mampu mengelola emosinya dengan
baik dan dapat menahan untuk tidak menunjukkan emosinya secara
berlebihan;
t. Independen, yaitu sikap mandiri, bebas dari segala pengaruh, tidak
tergantung pada orang lain, dan penuh percaya diri (Shalih, 2009:165-
178).
Ciri-ciri orang yang memiliki etos kerja tinggi berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan yaitu: aktif dan suka bekerja keras; bersemangat dan
hemat; tekun dan profesional; mandiri dan independen; efisien dan kreatif;
jujur, disiplin, dan bertanggungjawab; loyal; rasional serta mempunyai visi
yang jauh ke depan; percaya diri; berani terus terang dan berani mengambil
33
resiko; dapat bekerjasama dan peduli dengan orang lain, dapat memberi
inspirasi; adil; sederhana; tabah dan ulet; serta sehat jasmani dan rohani.
5. Ciri-Ciri Etos Kerja Rendah
Individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang
rendah atau negatif, maka akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri;
b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia;
c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh
kesenangan;
d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan;
e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup (Mutaqin, 2010:15).
Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat,
akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan
situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja
yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyarat yang mutlak, yang harus
ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka
pandangan dan sikap kepada manusia untuk menilai tinggi terhadap kerja
keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asal-
asalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya.
Nitisemito dalam Mutaqin (2010:15) mengatakan bahwa indikasi turun atau
rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain:
a. Turun atau rendahnya produktivitas;
b. Tingkat kemangkiran naik;
34
c. Tingkat perputaran buruh yang tinggi;
d. Tingkat kerusuhan yang naik;
e. Kegelisahan dimana-mana;
f. Tuntutan yang sering terjadi; dan
g. Pemogokan.
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-
ciri etos kerja yang rendah yaitu berupa pandangan-pandangan yang negatif
terhadap kerja, seperti: kerja dipandang sebagai beban, kerja merupakan
penghambat kesenangan, kerja dilakukan dengan terpaksa dan dihayati
hanya sebagai bentuk rutinitas. Etos kerja rendah juga dapat dilihat dari
indikasi-indikasi praktek di lapangan, seperti: rendahnya produktivitas,
kemangkiran naik, terjadi kerusuhanan dan kegelisahan dimana-mana,
tuntutan yang sering terjadi, dan pemogokan.
B. Etos Kerja Islami
1. Pengertian Etos Kerja Islami
a. Pengertian Etos Kerja dalam Bahasa Al-Qur’an
Etos kerja Islami dalam bahasa Al-Qur‟an termuat dalam istilah
amal shalih. Kata amal (عول) biasa diterjemahkan “pekerjaan”. Kata ini
digunakan oleh Al-Qur‟an untuk menggambarkan perbuatan yang
dilakukan dengan sadar oleh manusia dan jin (Shihab, 1997:479).
Kemudian kata shalih (صالح) terambil dari akar kata shaluha (صلح)
yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Qur'an dijelaskan maknanya
35
sebagai antonim kata fasid (فاسد), yang berarti “rusak”. Dengan
demikian, kata shalih diartikan sebagai “tiadanya/terhentinya kerusakan
(Shihab, 1997:479).
Shalih juga diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai”. Amal
shalih adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan
akan terhenti atau menjadi tiada; atau dapat juga diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.
Seorang yang shalih adalah yang aktivitasnya mengakibatkan
terhindarnya mudarat, atau yang pekerjaannya memberikan manfaat
kepada pihak-pihak lain, dan atau pekerjaannya sesuai dengan petunjuk-
petunjuk Ilahi, akal sehat, dan adat istiadat yang baik (Shihab, 1997:480).
Kesimpulannya, etos kerja Islami yang secara bahasa Al-Qur‟an yaitu
amal shalih, merupakan karakter berkaitan dengan kerja dimana
pekerjaan itu harus dilakukan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi,
akal sehat, dan adat istiadat yang baik, serta menghindari segala bentuk
kemudaratan.
Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004) digali dan dirumuskan
berdasarkan konsep iman, ilmu dan amal shalih. Suatu kerja atau
perbuatan meskipun memberikan manfaat keduniaan bagi orang lain,
namun tanpa disertai iman pada pelakunya, kerja itu tidak akan
membuahkan pahala di akhirat. Allah Swt bila menyebut perkataan الذيي
عولا dalam ayat Al-Qur‟an selalu menyambungkannya dengan اها
36
Sebagaimana tercantum dalam firman Allah Swt sebagai .الصالحاث
berikut:
Artinya:
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-
„Asr: 1-3).
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka
karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai- sungai
di dalam syurga yang penuh kenikmatan. (Q.S. Yunus: 9).
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwa iman dan amal shalih
merupakan satu rangkaian yang berkaitan erat dan tidak terpisahkan.
Tidak ada amal shalih tanpa iman, dan iman akan menjadi mandul bila
tidak melahirkan amal shalih. Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus
jembatan yang harus ada bagi iman dan amal shalih. Ilmu adalah bagian
dari kewajiban yang bersifat keagamaan karena diwajibkan bagi setiap
muslim untuk mencarinya. Maka dengan kalimat yang lain, menurut
Kastolani dan Hafidz (2009) iman adalah pondasi akhlak yang mulia,
37
akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar
menjadi pondasi amal yang shalih.
b. Pengertian Istilah
Etos kerja Islami dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian
yang melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan
saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya,
melainkan juga sebagai manifestasi dari amal shalih dan oleh karenanya
mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin
(2004:234) menjabarkan etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan
manusia berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan atau
aqidah Islam yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos
kerja Islami menurut Anoraga (2009:29) adalah suatu pandangan dan
sikap bahwa kerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi dan
kepuasan lahiriah saja, tetapi yang lebih hakiki kerja merupakan perintah
Allah Swt sehingga di sinilah sumber motivasi yang bisa membimbing
dan memberi arahan semangat pengabdian.
Etos kerja Islami berdasarkan uraian mengenai pengertian secara
bahasa dan istilah di atas dapat disimpulkan sebagai karakter dan kebiasaan
berkaitan dengan kerja yang terpancar dari keyakinan bahwa bekerja itu
bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan lahiriah atau duniawi, tetapi
yang lebih hakiki bekerja sebagai ibadah dalam rangka memperoleh ridho
Allah Swt.
38
2. Sumber Etos Kerja Islami
Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang
berorientasi bukan hanya sekadar pada hasil materi tetapi lebih dalam dari
itu bekerja merupakan ibadah dalam rangka meraih ridho Allah Swt. Ridho
Allah Swt merupakan tujuan tertinggi bagi seorang yang beretos kerja
Islami. Oleh karena itu, munculnya etos kerja Islami pada diri seseorang
bersumber dari keimanan kepada Allah Swt. Manusia yang beriman maka
akan meyakini dengan sepenuh hati dan melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Perintah-perintah untuk
beramal atau bekerja beserta keutamaan-keutamaannya banyak dimuat
dalam Al-Qur‟an dan hadits. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang memuat tentang
perintah dan keutamaan bekerja di antaranya akan diuraikan di bawah ini:
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S.
Ar-Ra‟du: 11).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa nasib atau keadaan manusia tidak
akan berubah menjadi lebih baik apabila mereka tidak mengubahnya dengan
tangan mereka sendiri, yaitu dengan bekerja untuk memperbaiki
kehidupannya sendiri, orang-orang di sekitarnya, maupun untuk
lingkungannya. Apa yang telah diusahakannya, maka itulah yang akan
didapatkannya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah An-Najm ayat
39-42 berikut ini:
39
Artinya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan
diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada
Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (Q.S. An-Najm: 39-42).
Manusia tidak memperoleh ganjaran kecuali terhadap pekerjaan dan
usahanya sendiri. Tidak pula pekerjaan orang lain dapat ditambahkan
kepadanya, juga pekerjaannya tidak dapat dikurangi dan diberikan kepada
orang lain. Kehidupan dunia merupakan kesempatan yang diberikan kepada
manusia untuk bekerja. Jika ia meninggal dunia, hilanglah kesempatan itu
dan terputuslah pekerjaannya atau amalnya, kecuali tiga perkara yaitu anak
shalih yang mendo‟akan orang tuanya, sedekah jariyah, dan ilmu yang
bermanfaat. Sedikit apapun pekerjaan seseorang, tidak akan disia-siakan
oleh Allah Swt. Dengan konsep ini, nilai-nilai kemanusiaan akan terealisir
dalam diri manusia yang didasarkan atas eksistensinya sebagai makhluk
utama, bertanggungjawab, dan independen. Ia diberi kesempatan bekerja
dan memanen hasilnya. Maka akan terwujudlah ketentraman yang
bersendikan keadilan (Mursi, 1997:60).
Allah Swt dalam penggalan ayat di atas berfirman: Dan bahwasanya
kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). Maksud ayat tersebut,
tidak ada jalan kecuali jalan yang akan berakhir pada Tuhan, tidak ada
tempat mencari keselamatan diri kecuali kepada-Nya, dan tidak ada tempat
40
kembali kecuali rumah-Nya, baik berupa kenikmatan surga maupun
kesengsaraan neraka. Esensi ayat tersbut pada hakikatnya mempunyai nilai-
nilai dan dampak-dampak bagi proses pembentukan emosi manusia. Ketika
manusia merasa bahwa akhir sari segala sesuatu adalah Allah Swt, maka
sejak perjalanannya ia akan menyadari tentang akhir dari kehidupannya.
Nilai-nilai tersebut akan mendasari setiap pekerjaannya dan kemudian ia
akan berusaha menyelaraskan diri dengan nilai-nilai tersebut (Mursi,
1997:60).
Manusia diberikan bekal berupa kesempurnaan fisik, akal dan juga
ruh, maka bekal tersebut harus digunakan untuk bekerja dengan penuh
kesungguhan sehingga dapat meninggikan martabatnya di mata Allah Swt
dan di mata sesama manusia. Allah Swt juga menyediakan hamparan
kekayaan alam di bumi untuk diolah supaya dapat menunjang kehidupan
manusia.
Artinya:
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka
adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami
keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka
makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan
anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya
mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan
41
oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
(Q.S. Yasin: 33-35).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt telah menganugerahkan
potensi-potensi di lingkungan alam untuk diolah dan dimanfaat manusia.
Kekayaan alam yang menghampar barulah sebuah potensi dan belum akan
mendatangkan manfaat yang berarti apabila manusia tidak bekerja untuk
mengolahnya.
Artinya:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu‟ah: 10).
Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt menghendaki
keseimbangan dalam kehidupan manusia. Allah Swt menghendaki
manusia memikirkan akhirat dan juga memikirkan dunia, Allah Swt
menghendaki keduanya diraih dengan cara yang seimbang tanpa memisah-
misahkan keduanya. Dalam mengerjakan segala urusan akhirat maupun
urusan dunia, Allah Swt menganjurkan untuk mengerjakannya secara
efisien dan menghargai waktu. Sebagaimana diperintahkan dalam surah
Al-Insyirah ayat 7 yang berbunyi:
Artinya:
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S.
Al-Insyirah: 7).
42
. ...
Artinya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam
membuat) kebaikan ... . (Q.S. Al-Baqarah:148).
Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 148 tersebut
memerintahkan agar manusia berlomba-lomba dalam beramal shalih. Hal
itu menunjukkan bahwa Islam memberikan dorongan yang kuat kepada
para pemeluknya untuk bekerja giat sehingga membolehkan bahkan
menyuruh mereka untuk berkompetisi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang baik, tentunya dengan cara yang baik dan sehat.
Artinya:
Dan (orang-orang beriman yaitu) orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S. Al-
Mu‟minun: 8).
Amanat dalam ayat tersebut diartikan sebagai apa saja yang
diamanatkan kepada mereka (orang-orang beriman). Adapun janji adalah
semua janji mereka, baik kepada Allah Swt maupun kepada sesama
manusia. Janji dan amanah dalam ayat tersebut mencakup segala sesuatu
yang menjadi konsensus tugas dan tanggung jawab manusia, baik dalam
urusan agama maupun urusan dunia. Sedangkan amanah lebih luas
daripada janji, maka setiap janji pasti amanah (Asifudin, 2004:126).
Amanah pada dasarnya dapat berupa apa saja yang diamanatkan oleh
Allah Swt. Jadi, amanah dapat berupa amaliah wajib agar diamalkan,
amaliah yang dilarang agar dihindari, dapat berupa benda konkrit seperti
43
tangan, kaki, mulut, panca indera, anak, isteri dan suami; dan dapat berupa
sesuatu yang abstrak seperti ilmu, kekuasaan, jabatan, kepercayaan, waktu,
pekerjaan, dan lain sebagainya (Asifudin, 2004:127). Kesimpulannya,
pekerjaan adalah termasuk amanah Allah Swt yang dititipkan kepada
manusia, oleh karena itu manusia harus bertanggung jawab terhadap
pekerjaannya.
Perintah dan keutamaan-keutamaan bekerja selain dimuat dalam
Al-Qur‟an, juga terdapat dalam hadits Rasulullah saw, misalnya hadits
yang mengajarkan tentang kerja keras berikut ini:
ل هللا صلى هللا علي سلن −رضي هللا عنه −عي الوقدام عي رس
، قال: ها أكل أحد طعاها قط خيزا هي أى يأكل هي عول يد
د دا إى بى هللا .كاى يأكل هي عول يد − −عليه السالم
Artinya:
Dari Al-Miqdam ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda:
“Tidak seorangpun makan makanan yang lebih baik daripada
memakan hasil kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud
as. makan dari hasil kerja tangannya”. (H.R. Bukhari, no. 979).
Hadits tersebut menyiratkan pesan bahwa dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya manusia diperintahkan untuk bekerja, karena sesuatu
yang diperoleh atas usaha atau kerja dari tangannya sendiri adalah lebih
mulia kedudukannya dibanding dengan meminta-minta. Perbuatan ini
bahkan telah dicontohkan oleh para Nabi seperti Nabi Daud as.
Berdasarkan pada uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Al-Qur‟an dan hadits memerintahkan manusia untuk bekerja.
44
Kebahagiaaan atau kesengsaraan yang diterima manusia baik di dunia
maupun kelak di akhirat tergantung dari usaha, amal atau kerja yang
dilakukannya. Manusia diberikan kesempatan untuk beramal atau bekerja
di dunia hanya sebentar saja, ketika maut telah menjemput maka tak akan
ada yang dapat diusahakannya lagi. Oleh karenanya, hamparan kekayaan
alam yang dianugerahkan Allah Swt di bumi harus diolah dengan sebaik-
baiknya sebagai sarana memperoleh bekal akhirat. Bekerja adalah amanah,
maka dianjurkan agar bekerja dengan sungguh-sungguh dan berkompetisi
secara sehat serta menghargai waktu. Nilai-nilai inilah yang di antaranya
dapat menjadi sumber keyakinan umat muslim untuk bersemangat dalam
bekerja dengan menghayati etos kerja Islami.
3. Prinsip-prinsip Etos Kerja Islami
a. Kerja adalah Ibadah
Ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk, merendahkan diri dan
menghambakan diri, sedangkan pengertian ibadah menurut istilah berarti
penghambaan diri yang sepenuhnya untuk mencapai keridhoan Allah Swt
(Tono, dkk., 1998:2). Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan
menjadi dua, yaitu ibadah mahdhah atau ibadah ritual atau ibadah khusus
dan ibadah grairu mahdhah atau ibadah luar ritual atau ibadah umum
(Syahyuti, 2011:47).
Ibadah mahdhah memiliki tiga prinsip: keberadaannya harus
berdasarkan adanya perintah dalil, tata caranya harus mencontoh
Rasulullah saw., dan asasnya taat. Tata pelaksanaannya tidak dapat
45
diubah dan tidak dapat pula diimprovisasi. Ibadah mahdhah sering pula
disebut sebagi ibadah dalam arti sempit, yaitu aktivitas atau perbuatan
yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Kondisi, cara, tahapan, dan
urutannya telah ditentukan. Ibadah ini menjalin relasi seorang hamba
dengan Allah Swt secara langsung tanpa dicampuri hubungannya dengan
manusia lain. Ibadah mahdhah ini contohnya seperti: seperti wudhu,
tayamum, shalat, puasa, haji (Syahyuti, 2011:47).
Ibadah ghairu mahdhah di samping memiliki dimensi hubungan
hamba dengan Allah Swt, juga mencakup hubungan atau interaksi antara
hamba dengan makhluk lainnya atau relasi horizontal dengan lingkungan
sekitarnya. Prinsip-prinsip ibadah ini adalah tata pelaksanaannya tidak
kaku, bersifat rasional, dan berasas manfaat. Selama hal itu bermanfaat,
maka boleh dilakukan. Yang tergolong ibadah ini adalah segala bentuk
kebaikan untuk menjaga hidup, seperti makan, minum, mencari nafkah,
dan seterusnya. Ibadah-ibadah muamalah ini berbentuk interaksi
antarmanusia yang dijalankan secara sungguh-sungguh dengan
berpedoman pada Al-Qur‟an dan hadits. Jika dalam ibadah mahdhah
dilarang untuk berkreasi, dalam muamalah manusia sangat dianjurkan
untuk berkreasi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang telah
ditetapkan (Syahyuti, 2011:48). Walaupun antara ibadah mahdhah dan
ibadah ghairu mahdhah memiliki perbedaan dalam tata cara
pelaksanaannya, namun keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu
46
mencari ridho Allah Swt. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan
yang sama penting.
Bekerja merupakan suatu upaya manusia untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Bekerja dalam pandangan Islam bukan sekedar
untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan lebih dalam. Bekerja
sebagai upaya mewujudkan firman Allah Swt sebagai bagian dari
keimanannya. Dengan demikian bekerja sebagai aktivitas yang mulia.
Bekerja adalah sarana untuk melaksanakan perintah-perintah Allah Swt.
Zakat, infaq, dan sedekah tidak mungkin dapat terlaksana jika kita tidak
bekerja. Bekerja juga merupakan wujud syukur atas nikmat dan karunia
Allah Swt kepada manusia di dunia ini. Lebih jauh lagi, bekerja
merupakan wujud pemenuhan perintah Allah Swt atas amanat yang
dibebankan kepada manusia yaitu sebagai khalifah di bumi, yang
bertugas untuk mengolah seluruh potensi alam raya ini untuk
kemakmuran manusia. Oleh karena itu, bekerja dalam pandangan Islam
termasuk ibadah, dalam artian segala aktivitas yang dilakukan bernilai
kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari‟at, serta ditujukan dalam
rangka mencari ridho-Nya.
Prinsip ini artinya bekerja bukan sekadar berorientasi pada materi,
tetapi juga imateri. Bekerja akan bernilai ibadah apabila dilakukan
dengan ikhlas dilandasi niat semata-mata mencari keridhoan Allah Swt.
Hasil kerja berupa materi bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil tersebut
adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga akan dapat
47
melaksanakan perintah-perintah Allah Swt selama di dunia termasuk
melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji. Ibadah-ibadah
mahdhah tersebut tidak mungkin dapat terlaksana apabila manusia tidak
bekerja. Kerja dengan penuh keikhlasan tentunya akan dihiasi dengan
kebaikan-kebaikan disetiap langkahnya. Pada hakikatnya, setiap kerja
yang dilakukan dengan kebaikan, sesuai perintah Allah Swt dan tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang telah dibuat-Nya serta bertujuan
untuk meraih ridho-Nya adalah termasuk ibadah.
b. Kerja Didasarkan Prinsip Keseimbangan
Hakikat ajaran Islam melarang sikap dan perilaku keterlaluan
dalam beragama. Nabi Muhammad saw. sendiri dalam kehidupan sehari-
harinya selalu memanfaatkan waktu untuk melakukan kerja dan
perbuatan mulia, baik berupa ibadah mahdhah, menunaikan kewajiban
untuk diri sendiri dan keluarga, berbuat baik kepada sesama, dakwah,
mengajar, dan lain-lain (Asifudin, 2004:64). Larangan Rasulullah saw.
tentang perilaku berlebihan dalam beragama ini termuat dalam hadits
berikut:
عن انس بن مالك رض قال: جاء ثالثة رهط الى بيوت ازواج
ا اخبروا بي ص. فلم بي ص يسالون عن عبادة الن هم ,الن كان
بي ص؟ قد غ , تقالوها م من ما له ر ف فقالوا: و اين نحن من الن تقد
ر ا انا ؟ذنبه وما تأخ و قال ,فانى اصلى الليل ابدا ,قال احدهم: ام
هر و ال افطر ساء ,آخر: انا اصوم الد و قال آخر: انا اعتزل الن
48
ج ابدا انتم الذين قلتم :هللا ص اليهم فقال فجاء رسول ,فال اتزو
لكنى اصوم و ,كذا و كذا؟ اما و هللا انى الخشاكم هلل و اتقاكم له
ساء ,افطر و اصلى و ارقد ج الن تى ,و اتزو فمن رغب عن سن
نى.فليس م
Artinya:
Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: “Ada tiga orang sahabat
yang mendatangi rumah isteri-isteri Rasulullah saw. untuk
bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika mereka diberitahukan
tentang ibadahnya seakan-akan mereka menganggapnya sedikit,
mereka berkata: „Dimana posisi kita dibanding Rasulullah saw.?.
Allah Swt telah mengampuni baginya dosa-dosanya yang
terdahulu dan yang akan datang‟. Salah seorang mereka berkata:
„Adapun aku akan shalat malam selamanya‟. Orang yang lain
berkata: „Aku akan puasa sepanjang masa dan tak pernah
berhenti puasa‟. Orang yang satunya lagi berkata: „Aku akan
menghindari perempuan dan tidak menikah selamanya‟. Maka
Rasulullah saw. kemudian mendatanginya dan berkata: „Apakah
kalian yang berkata begini dan begini? Demi Allah Swt,
sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah Swt. dan
paling bertakwa kepada-Nya, hanya saja aku berpuasa dan
berbuka, aku shalat dan aku tidur dan aku menikahi wanita-
wanita. Maka barang siapa yang tidak senang terhadap
sunnahku, maka ia bukanlah golonganku‟.” (H.R. Bukhari, no.
2.039).
Prinsip keseimbangan ini apabila dikaikan dengan etos kerja
Islami menurut Asifudin (2004:57) menimbulkan implikasi yang
memberikan dorongan amat kuat agar kerja sebagai ibadah disikapi dan
diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah mahdhah).
Posisi aktivitas keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama
diperintahkannya, seperti halnya penegasan diperintahkannya shalat,
zakat, puasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, etos kerja yang baik di
49
berbagai bidang kehidupan juga wajib ditegakkan dalam kehidupan
sehari-hari umat Islam.
Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami menurut penulis
yaitu manusia dalam hidupnya di dunia bukan hanya sekadar
mementingkan ibadah ritual semata, melainkan juga harus bekerja
dengan penuh kesungguhan, karena bekerja termasuk ibadah yang sama-
sama diperintahkan oleh Allah Swt. Bekerja merupakan sarana atau alat
untuk mengumpulkan bekal di akhirat, selain itu dengan bekerja maka
ibadah mahdhah dapat terlaksana, seperti halnya haji membutuhkan
biaya untuk dapat melaksanakannya. Biaya tersebut tentunya didapat
melalui bekerja. Prinsip ini juga berimplikasi pada dipraktikkannya etos
kerja Islami dalam berbagai aspek kehidupan, baik urusan dunia dan
akhirat, jasmani dan rohani, intelektual dan fisik, dan pasangan-pasangan
lainnya secara menyeluruh sesuai porsinya.
c. Kerja Dilandasi Ilmu
Sumber ilmu yang mendasari etos kerja Islami adalah wahyu dan
keteraturan hukum alam yang merupakan hasil penelitian akal. Ilmu
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu sebagai landasan atau
jembatan iman dan aman shalih, maka ilmu aqly dipandang amat penting
dalam Islam. Akal menjangkau daya yang dapat dipakai untuk
memahami realitas konkrit dan ghaib. Realitas konkrit dipahami oleh
pikiran, sedangkan realitas ghaib atau spiritual oleh qalbu. Pengertian
seperti ini penting untuk dipahami supaya orang tidak lagi
50
mempertentangkan akal dengan iman, karena pemahaman dengan akal
dapat mencakup pemberdayaan iman terhadap objek yang memang harus
diimani. Akal melakukan penalaran sehingga sampailah pada kesimpulan
bahwa alam ini diatur oleh Tuhan dengan hukum alam yang diciptakan-
Nya. Hukum alam ini dalam bahasa Islam disebut sebagai sunnatullah
(Asifudin, 2004:114).
Keilmuan sehubungan dengan sunnatullah ini secara langsung
atau tidak langsung menuntut serta medidik orang Islam agar bekerja
rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan
perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional, serta
menghindari sikap-sikap yang merupakan lawan atau kebalikan dari
sikap-sikap tersebut.
d. Kerja Dijiwai Semangat Jihad dan Tauhid
Jihad secara etimologi Bahasa Arab adalah berasal dari kata
jaahada, yujaahidu, mujaahadan dan jihaadan yang artinya bekerja
sepenuh hati (Mansur, 1982:9). Jihad menurut Tasmara (2002:36) berarti
suatu sikap yang sungguh-sungguh dalam berikhtiar dengan
mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan atau cita-
cita. Faridi (1982:138) mengemukakan mengenai arti jihad sebagai
perjuangan atau bersungguh-sungguh, yaitu segala macam bentuk usaha
yang dilakukan untuk menegakkan yang benar dan menumbangkan yang
salah.
51
Jihad apabila diterjemahkan sebagai bersungguh-sungguh,
semangat tersebut merupakan ruh yang universal. Bersifat universal
artinya tidak hanya orang Islam yang mempunyai semangat
kesungguhan tersebut. Orang kafir sekalipun pasti akan memperoleh apa
yang ia inginkan selama memiliki kesungguhan untuk berusaha. Bedanya
dengan semangat kerja dalam Islam ialah kaitannya dengan niat serta
cara meraihnya. Bagi orang Islam, bekerja merupakan kewajiban yang
hakiki dalam rangka menggapai ridho Allah Swt sehingga kesadaran
seperti ini disebut sebagai jihad fi sabilillah. Orang kafir bersungguh-
sungguh dalam bekerja untuk kesenangan duniawi semata, bahkan
bersungguh-sungguh untuk memuaskan nafsu (Tasmara, 2002:37).
Bangsa Jepang adalah salah satu contoh bangsa yang memiliki semangat
jihad yang mereka terjemahkan dalam satu kata magis: keizen. Keizen
adalah semangat untuk terus-menerus melakukan perbaikan yang
melibatkan setiap orang, mulai dari pimpinan puncak, para manager,
sampai pada pekerja lapangan (Tasmara, 2002:41). Keizen harus
diterapkan juga oleh orang Islam dalam segala urusannya baik dunia dan
akhirat, jasmani dan rohani, serta intelektual dan fisik dengan niat
mencari ridho Allah dalam bentuk kemasan jihad.
Makna jihad dalam kaitannya dengan bekerja, berikhtiar, atau
mewujudkan suatu cita-cita menjadi satu kekuatan yang secara abadi
harus terus menerus menyala serta digali potensinya sehingga mampu
mengeluarkan energi yang signifikan. Jihad bukan sekedar teriakan
52
penuh semangat, melainkan ada muatan batin yang mendorong
kesungguhan luar biasa untuk melahirkan perbuatan kreatif (Tasmara,
2002:39). Semangat jihad inilah yang mampu menjadi pendorong bagi
seorang muslim agar mewujudkan apa yang menjadi angan-angan,
harapan ataupun ide-ide pemikirannya menjadi perbuatan nyata.
Semangat jihad adalah jiwa etos kerja seorang muslim yang
berfungsi sebagai sumber motivasi untuk beramal shalih. Jihad
merupakan bagian dari 3 rangkaian mutiara yang berulang kali
disebutkan dalam Al-Qur‟an, yaitu: iman, hijrah, dan jihad. Seorang yang
beriman tidak mungkin puas dengan keadaan yang statis. Dia ingin selalu
menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu, sebagaimana pesan-pesan
yang disampaikan dalam makna hijrah. Akan tetapi kualitas iman dan
semangat perubahan tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya
jihad, yaitu kesungguhan untuk membuktikannya dalam kehidupan nyata
(Tasmara, 2002:39). Jihad adalah penggerak dan pendorong bagi seorang
muslim untuk mengubah diri dan dunia dalam rangka meraih ridho Allah
Swt.
Jihad memiliki fondasi ketauhidan bahwa tidak ada Ilah
melainkan Allah Swt. Ilah berarti sesuatu yang disembah, sesuatu yang
menguasai diri, yang dapat memberikan perlindungan sehingga
menyebabkan diri terikat kepanya. Ilah bisa berarti apa saja yang
menguasai diri manusia dengan begitu hebatnya sehingga menjadi
belenggu bagi dirinya. Harta, tahta, dan wanita bisa menjadi Ilah apabila
53
manusia sangat bergantung padanya dan seluruh hidupnya terpenjara
oleh tujuan terhadapnya (Tasmara, 2002:47).
Ilah bagi seorang yang memiliki etos kerja Islami tentu hanya
Allah Swt semata. Ikrar ketauhidan ini merupakan cara Allah untuk
memuliakan sekaligus membebaskan manusia dari segala bentuk
penghambaan serta keyakinan yang akan meruntuhkan martabat dirinya
sebagai makhluk yang memiliki potensi rohani khususnya pada berbagai
bentuk tahayul, ideologi, science, dan bahkan teknologi (Tasmara,
1994:19). Ikrar ketauhidan ini menjadi daya pendorong seorang muslim
untuk terus berkreasi tanpa merasa takut terhadap segala pemikiran yang
bersifat tahayul (Tasmara, 2002:43). Tauhid ini melahirkan dan
mendorong etos kerja melalui cara dirinya berani untuk berpikir secara
kritis dan merdeka, hati yang lapang, dan karenanya tidak merasa
tertekan oleh apapun. Sikap yang mandiri dan bersih dari takhayul
mendorong seorang yang beretos kerja Islami untuk tampil menjadi
pribadi yang sangat proaktif, penuh inisiatif dan kreativitas (Tasmara,
2002:44). Tauhid melahirkan pula “kesadaran diri” (self awarness) yang
sangat kuat sehingga seorang yang ber-etos kerja Islami mampu
mengendalikan diri, mampu mendayagunakan seluruh potensi dirinya
secara proporsional, dan mampu melakukan pilihan-pilihan dengan
memakai tolok ukur kebenaran yang diyakini (Tasmara, 2002:45).
Manusia mempunyai fitrah sebagai subjek (khalifatullah fil
ardhi), sehingga dia tidak boleh melawan fitrahnya sendiri untuk menjadi
54
objek benda lain selain Allah Swt. Seorang pribadi yang memiliki etos
kerja Islami tersebut sangat bahagia untuk menjadi pelayan Allah Swt.
Kalimat iyyaaka na‟budu yang ia ucapakan menjadi semacam gelora
untuk mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk membuktikan
pelayanannya kepada Allah Swt. Semangat iyyaaka na‟budu menjadi
motivasi besar di dalam hatinya untuk melayani, mengembangkan, dan
memberikan manfaat bagi seluruh makhluk (Tasmara, 2002:47). Mereka
yang ber-etos kerja Islami memiliki prinsip hidup yaitu tauhid: prinsip
yang teguh dan tidak tergoyahkan karena akarnya menghujam ke seluruh
sanubarinya, kemudian tampak pada amal shalih yang memberikan
rahmat bagi alam sekitarnya (Tasmara, 2002:49). Semangat jihad yang
tumbuh dari tauhid inilah yang seharusnya menjadi etos kerja setiap
muslim dimanapun berada.
Jihad dan tauhid sebagai jiwa etos kerja Islami menurut penulis
dalam penelitian ini adalah sebuah kesungguhan, semangat yang luar
biasa yang mendorong seseorang untuk beramal shalih dalam rangka
memperoleh ridho Allah Swt. Semangat yang luar biasa ini dilandasi oleh
keyakinan akan tidak adanya Ilah melainkan Allah Swt sehingga
termanifestasi pada kebebasan untuk bekerja atau berkreasi dengan
mendayagunakan seluruh potensi yang diberikan Allah Swt secara
proporsional tanpa takut oleh apapun kecuali Allah Swt. Etos kerja Islami
dengan dijiwai jihad dan tauhid ini berbuah pada keberanian untuk
55
berpikir maupun bekerja secara kritis, kreatif dan merdeka dilandasi
pengabdian penuh kepada Allah Swt.
e. Kerja dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjuk-
petunjuk-Nya.
Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan potensi-
potensi atau fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat Allah
Swt yang ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung,
2004:50). Sifat-sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai nama-
nama yang indah atau Asmaul Husna. Sifat-sifat Allah harus diteladani
manusia supaya potensi-potensi dirinya mewujud dalam perbuatan nyata
yang serupa dengan sifat-sifat Allah dalam porsi kemanusiaannya. Sifat
al-Khaliq (Maha Pencipta) pada Allah misalnya, dapat dijabarkan oleh
manusia dalam bentuk sifat kreatif. Gabungan sifat ar-Rabb, al-
Mudabbir, al-Musawwir, al-Muqaddir dan al-Khaliq pada Allah Swt
menunjukkan Dia memiliki sifat Maha Sempuna dalam bekerja. Manusia
mempunyai potensi untuk mengembangkan karakteristik etos kerja tinggi
dengan meneladani sifat Maha Sempurna Allah Swt tersebut dalam
bekerja, seperti aktif, berencana, efisien, efektif, disiplin, profesional,
ilmiah, kritis, konstruktif, dan sebagainya. Allah Maha Kuasa (al-Malik)
dengan kekuasaan tidak terbatas dan Allah Maha Pengatur (al-
Mudabbir), manusia juga mempunyai potensi untuk memimpin dan
mengembangkan manajemen di bidang usaha, politik, sosial dan lain-lain
(Asifudin, 2004:123).
56
Keistimewaan orang yang beretos kerja Islami aktivitasnya
dijiwai oleh dinamika aqidah dan motivasi ibadah. Bekerja dengan niat
mencari ridho Allah Swt amat erat kaitannya dengan ihsan, sedangkan
makna ihsan sangat luas, antara lain sehubungan dengan kerja artinya
bekerja harus optimal atau sebaik mungkin. Ihsan di sini amat
mendukung pengembangan sikap percaya diri, kemandirian sekaligus
mendorong suka bekerjasama dengan orang lain dengan pengawasan
malaikat. Orang yang beretos kerja Islami juga memiliki ciri-ciri yang
tercakup dalam konsep amanah. Amanah menjadi salah satu prinsip
akhlak yang utama dalam Islam. Konsep amanah ini mewujud kepada
sikap moral seperti: menjaga mutu kerja, menepati janji, jujur, dan lain
sebagainya (Asifudin, 2004:124-125).
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etos
kerja Islami harus dilandasi prinsip-prinsip: kerja merupakan ibadah, kerja
memiliki kedudukan yang sama dengan ibadah-ibadah mahdhah, kerja harus
dilandasi ilmu, kerja dijiwai dengan semangat jihad dan tanpa takut terhadap
apapun kecuali Allah Swt, serta kerja dengan meneladani sifat-sifat Allah
Swt sesuai kadar kemanusiaan dan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami
a. Faktor Pendorong
Hal-hal yang dapat mendorong seorang muslim untuk menghayati
dan mempraktikkan etos kerja Islami selain karena faktor pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan dan aktualisasi diri, faktor
57
lingkungan kerja, serta berbagai faktor yang bersifat keduniaan yang
lainnya, juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat transenden. Faktor
tersebut ialah janji-janji yang Allah Swt kabarkan dalam firman-Nya.
Allah Swt menjanjikan pahala bagi umatnya yang beriman kepada-Nya
dan mengamalkan dalam perbuatan yang nyata. Allah Swt juga berjanji
akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang bekerja
dengan disertai iman. Janji Allah Swt tersebut dimuat dalam firman Allah
Swt dalam Surah An-Nahl ayat 97 berikut ini:
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(Q.S. An-Nahl: 97).
b. Faktor Penghambat
Etos kerja Islami merupakan karakter berkaitan dengan kerja yang
bersumber dari keyakinan Islam, tepatnya keyakinan Islam tentang kerja.
Keyakinan Islam sebagai sumber etos kerja Islami ternyata tidak cukup
membuat etos kerja Islami ini dimiliki oleh semua umat muslim. Ada
beberapa sebab yang menghambat dihayatinya etos kerja Islami oleh
umat muslim, di antaranya sebagi berikut:
58
1) Pandangan dikotomis antara ibadah dan kerja
Salah satu penyebab keterpurukan dunia Islam adalah
menguatnya tradisionalisme, yakni cara pandang dikotomis terhadap
ibadah dan kerja. Tradisionalisme secara sederhana dapat dijelaskan
sebagai lahirnya semacam pandangan umum di kalangan masyarakat
bahwa ibadah adalah persoalan ukhrawi dan pekerjaan sehari-hari
adalah urusan duniawi (atau setidaknya kurang bernilai ibadah),
yang masing-masing memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda.
Pendeknya, karena keduanya diyakini memiliki dimensi atau nilai
yang berbeda, maka prioritas terhadap keduanya juga harus
dibedakan (Irkhami, 2014:171).
2) Pandangan keliru tentang makna zuhud
Zuhud adalah perilaku terpuji, tapi maknu zuhud sering
dikelirukan dan disalahtafsirkan sebagai sikap menolak segala hal
duniawi. Mereka menolak segala hal yang enak dan menyenangkan,
tidak mempedulikan makan dan minum, berpakaian seadanya, dan
tidak memikirkan harta kekayaan. Mereka takut terperdaya oleh
pesona dunia (Syahyuti, 2011:166).
Kehidupan dunia memang berpotensi besar melalaikan atau
melengahkan manusia. Dalam Surah Al-Hadid ayat 20 disebutkan
bahwa kehidupan dunia itu semata-mata permainan dan hiburan
yang melalaikan, hanyalah kesenangan bagi orang yang terperdaya,
dan seterusnya. Namun hakikatnya, ayat ini bukan kecaman terhadap
59
dunia yang menjadikan seseorang harus mengutuk dan
mengabaikannya, melainkan gambaran kehidupan duniawi orang-
orang hedonis yang melalaikan agama (Syahyuti, 2011:166-167).
Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasan
hati dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tak ada ikatan hati
kepada harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta hanya
sampai di “tangan”, tidak sampai di “hati” (Syahyuti, 2011:167).
Artinya sekaya apapun seseorang itu, ia tidak akan terperdaya atau
menjadi budak dari hartanya. Ia tidak takut hartanya berkurang
dengan berbagi kepada orang yang tidak mampu dan anak yatim. Ia
justru gemar bersedekah, karena ia meyakini harta hanyalah titipan
dan di dalam harta tersebut ada bagian untuk orang-orang yang
berhak menerimanya. Oleh karena itu, orang kaya sangat bisa
melakukan zuhud.
3) Paham jabariyah
Paham jabariyah sebenarnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu
golongan ekstrim dan moderat. Golongan ekstrim berpandangan
bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa;
manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri
dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatannya adalah
dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Manusia menurut paham ini hanya merupakan wayang yang
digerakkan dalang (Nasution,1986:33-34). Sedangkan golongan
60
moderat berpandangan, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-
perbuatan itu.
Paham jabariyah yang masih melekat pada sebagian umat
muslim dimasa kini adalah sisa-sisa dari paham jabariyah ekstrim,
meskipun tidak seekstrim seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kalangan jabariyah dimasa kini ialah mereka yang kurang bisa
memahami makna takdir. Mereka mencampurkan takdir mubram
dengan takdir mu‟allaq. Takdir mubram adalah ketentuan Allah Swt
tanpa campur tangan manusia, misalnya gempa bumi serta
berputarnya siang dan malam. Sebaliknya, takdir mu‟allaq adalah
ketentuan Allah Swt yang digantungkan atas jalan usaha (ikhtiar)
dan do‟a, artinya ada peran manusia di dalamnya. Dalam konteks
takdir mu‟allaq, manusia harus berusaha dengan kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki kemudian hasilnya diserahkan kepada
Allah Swt (Syahyuti, 2011:168).
Ciri orang yang berpaham jabariyah di masa kini antara lain
tidak rasional, negatif, dan pesimis terhadap dunia (Syahyuti,
2011:167). Paham ini juga berimplikasi pada kekeliruan dalam
memaknai tawakal. Tawakal sering disalahartikan sebagai menyerah
dan pasrah tanpa mau berusaha mengubah nasib (Syahyuti,
2011:79). Padahal, arti tawakal yang sebenarnya ialah berusaha dan
61
berikhtiar dengan sungguh-sungguh setelah itu baru menyerahkan
hasilnya kepada Allah Swt, bukan bermakna meninggalkan ikhtiar
dan usaha, kemudian hanya berpasrah pada nasib atau dapat
diistilahkan kalah sebelum berperang.
Etos kerja Islami berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam praktik-praktik kehidupan umat Islam keyakinan tentang kerja
dalam pandangan Islam yang bersumber dari janji-janji Allah Swt di dalam
firman-Nya dapat menjadi pendorong umat Islam untuk menghayati etos
kerja Islami. Penghayatan etos kerja Islami juga mengalami beberapa
hambatan, di antaranya disebabkan oleh: (1) pandangan bahwa ibadah
berorientasi ukhrawi sedangkan kerja berorientasi duniawi; (2) pandangan
yang keliru mengenai makna zuhud sebagai sikap menolak kesenangan
dunia, harta, dan hal-hal yang bersifat materi lainnya; (3) pandangan yang
negatif tentang takdir, yaitu takdir dipahami sebagai kehendak Allah Swt
yang membuatnya merasa tidak punya daya dan upaya sehingga berdampak
pada sikap pasrah sebelum berusaha.
5. Pedoman Sikap Pekerja Beretos Kerja Islami
Seorang pekerja muslim yang mampu menghidupkan etos kerja
Islami dalam hatinya dan dalam kerjanya, akan mampu menampilkan cara
kerja yang terbaik. Seorang yang bekerja dengan etos kerja Islami haruslah
memiliki pedoman bersikap dan bertingkahlaku yang berdasarkan nilai-nilai
sikap terbaik yaitu akhlakul karimah. Dengan berpegang pada pedoman
sikap dalam bekerja, seorang pekerja akan memberikan penampilan
62
terbaiknya. Pedoman bersikap tersebut menurut Shalih (2009:157-163)
antara lain sebagai berikut:
a. Bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kejujuran. Menghayati
sepenuhnya bahwa kejujuran merupakan jati diri yang akan
menghantarkan kepada kedudukan terpuji;
b. Meyakini sepenuhnya bahwa setiap kebohongan, pemalsuan dan
penipuan merupakan bentuk pengkhianatan. Sikap tersebut dapat
merendahkan martabat dirinya sebagai hamba Allah Swt dan merusak
perusahaan atau instansi;
c. Mampu menghadirkan Allah Swt dalam dunia kerja. Selalu merasa
dilihat dan dinilai oleh Allah Swt sehingga tumbuh kesadaran bahwa
Allah Swt hanya akan menerima pekerjaan yang dilakukan secara bersih
dan sungguh-sungguh;
d. Selalu memegang teguh tanggung jawab tugas yang telah diamanahkan
pada dirinya. Menjauhkan diri dari segala bentuk penyelewengan dan
pengkhianatan terhadap kontrak kerja, sumpah jabatan, dan/atau
kesepakatan yang telah dibuat dalam setiap rangkaian kerja;
e. Memiliki etika yang tinggi, menghargai semangat kerja kelompok, dan
ikut aktif dalam membina kualitas kelompoknya;
f. Memelihara semangat dan gairah yang sangat tinggi untuk memberikan
pelayanan prima;
63
g. Tidak pernah mengomersilkan jabatannya, memanipulasi, dan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, karena hal itu merupakan
pengkhianatan terhadap amanah Allah Swt;
h. Memiliki semangat pengorbanan, senantiasa mencintai, serta
mendahulukan kepentingan perusahaan atau instansi dan orang lain di
atas kepentingan pribadi;
i. Mampu membangun hubungan baik dengan setiap rekan kerja,
karyawan, dan pimpinan;
j. Berusaha untuk dapat berempati kepada setiap orang, yaitu dengan
menjadi pendengar yang baik, selalu tampil dengan wajah berseri, serta
penuh senyuman;
k. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang unggul. Menunjukkan keteladanan
sehingga dirinya menjadi panutan, baik di lingkungan kerja maupun
dalam pergaulan di masyarakat;
l. Menjadikan semangat musyawarah sebagai ciri kepribadian dalam
menyelesaikan berbagai persoalan kerja;
m. Proaktif, harmonis, dan turut serta dalam memberikan kontribusi untuk
meningkatkan kualitas sumber insani, baik individual maupun kolektif;
n. Memelihara kualitas lingkungan kerja yang kondusif, menghindari segala
bentuk pergunjingan, situasi konflik, serta perbuatan yang mengganggu
organisasi dan wibawa perusahaan atau instansi;
64
o. Merasakan misi sebagai duta perusahaan atau instansi dalam pergaulan di
masyarakat. Dengan misi tersebut tumbuhlah citra positif masyarat
terhadap perusahaan atau instansi;
p. Mempertimbangkan dengan segala kebijaksanaan dalam ketenangan hati
dan kebersihan pikiran akan setiap pengambilan keputusan;
q. Menyadari sepenuhnya bahwa berdisiplin tinggi dan memenuhi peraturan
perusahaan merupakan bagian hakiki dari sikap dan cara kerja profesinal;
r. Melaksanakan setiap tugas dengan standar kualitas tinggi sesuai visi dan
misi perusahaan atau instansi;
s. Bekerja secara inovatif, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan untuk mencapai peningkatan kualitas diri, terbuka dengan
gagasan baru, dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan berbagai
persoalan secara cepat, tepat, dan akurat;
t. Berupaya sekuat tenaga dan dengan segala kemampuan untuk
mengembangkan diri dalam mendukung upaya pengembangan dan
keberhasilan kerja.
Seseorang yang menghayati etos kerja Islami dalam aktivitas
kerjanya, berdasarkan pada uraian di atas maka harus berpegang pada
pedoman sikap yang mulia, seperti: bersikap dan bertindak atas dasar
kejujuran, menolak segala bentuk kebatilan karena hal itu dapat
merendahkan martabatnya sebagai hamba Allah Swt, selalu merasa diawasi
Allah Swt dalam setiap aktivitas kerjanya, selalu memegang teguh tanggung
jawab tugas yang telah diamanahkan, mendahulukan kepentingan pekerjaan
65
di atas kepentingan pribadi, membangun hubungan yang baik dengan
atasan, rekan kerja, dan setiap orang di sekitarnya, menunjukkan
keteladanan di lingkungan kerja maupun di masyarakat, proaktif, harmonis
dan turut serta memberikan kontribusi bagi orang lain maupun instansi
kerjanya, memelihara lingkungan kerja yang kondusif, mengambil
keputusan secara bijaksana, mampu beradaptasi dengan perubaha-
perubahan, terbuka pada gagasan baru, serta selalu mengembangkan
kemampuan diri demi kemajuan kerjanya.
6. Karakteristik Etos Kerja Islami
Tasmara (2002) mengemukakan karakteristik etos kerja Islami ke
dalam 25 ciri orang yang kecanduan beramal shalih. Ciri-ciri orang yang
memiliki etos kerja islami akan tampak dalam sikap dan perilakunya yang
kecanduan untuk beramal shalih, yaitu bekerja itu ibadah dan berprestasi itu
indah. Dua puluh lima ciri etos kerja Islami menurut Tasmara (2002) adalah
sebagai berikut:
a. Kecanduan Terhadap Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang
menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu
detik berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito
paling berharga yang dianugerahkan Allah Swt secara gratis dan merata
kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin, penjahat atau
orang alim akan memperoleh jatah deposito waktu yang sama, yaitu 24
jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari.
66
Tergantung kepada masing-masing manusia bagaimana dia
memanfaatkan depositonya tersebut (Tasmara, 2002:73).
b. Memiliki Moralitas yang Bersih (Ikhlas)
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya
kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang diambil dari bahasa
Arab mempunyai arti: bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai
antonim dari syirik (tercampur). Ibarat ikatan kimia air (H2O), dia
menjadi murni karena tidak tercampur apapun, dan bila sudah tercampur
sesuatu (misalnya CO2) komposisinya sudah berubah dan dia bukan lagi
murni H2O. Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin
sincer: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar
yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam (based on what is
truly and deeply felt, free from dissimulation). Mereka yang disebut
mukhlis melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa motivasi lain
kecuali bahwa pekerjaan itu merupakan amanat yang harus ditunaikan
dengan sebaik-baiknya (Tasmara, 2002:78-79).
c. Memiliki Kejujuran
Seorang yang jujur di dalam jiwanya terdapat komponen nilai ruhani
yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan
sikap moral yang terpuji (morally upright). Perilaku jujur adalah perilaku
yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
Kejujuran dan integritas adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
67
Seorang yang jujur harus siap menghadapi resiko dan segala akibat
dengan gagah berani (Tasmara, 2002:80-81).
d. Memiliki Komitmen
Komitmen berasal dari bahasa Latin committere, to connect, entrust-
the state of being obligated or emotionally impelled, artinya adalah
keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga
membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan
perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i‟tiqad). Orang yang
memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah. Ciri-ciri orang yang
memiliki komitmen antara lain sebagai berikut:
1) Siap berkorban demi sesuatu yang lebih penting;
2) Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar;
3) Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan
penjabaran pilihan-pilihan (Tasmara, 2002:85).
e. Istiqomah atau Kuat Pendirian
Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap
konsisten (dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice
with profession; ability to be asserted together without contradiction),
yaitu kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan
mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus
berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu
mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetap teguh
pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan
68
situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri
yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan
tetap penuh gairah (Tasmara, 2002:86).
f. Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin (Latin:
disciple, discipulus, murid, mengikuti dengan taat), yaitu kemampuan
untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam
situasi yang sangat menekan. Pribadi yang disiplin sangat hati-hati dalam
mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab dalam memenuhi
kewajibannya. Pandangannya terarah pada hasil yang akan diraih,
sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang.
Mereka pun juga mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk
menerima inovasi atau gagasan baru (Tasmara, 2002:88).
g. Konsekuen dan Berani Menghadapi Tantangan
Ciri lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah
keberaniannya menerima konsekuensi dari kuputusannya. Bagi mereka,
hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan merupakan
tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak
manapun karena pada akhirnya semua pilihan merupakan tanggung
jawab pribadinya (Tasmara, 2002:89).
h. Memiliki Sikap Percaya Diri (Self Confidence)
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam
bersikap serta berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus
69
membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Sikap percaya
diri dapat kita lihat dari beberapa ciri kepribadiannya yang antara lain
sebagai berikut :
1) Mereka berani menyatakan pendapat atau gagasannya sendiri
walaupun hal tersebut beresiko tinggi, misalnya menjadi orang yang
tidak populer atau malah dikucilkan.
2) Mereka mampu menguasai emosinya; ada semacam self regulation
yang menyebabkan dia tetap tenang dan berpikir jernih walaupun
dalam tekanan yang berat (working under pressure).
3) Mereka memiliki independensi yang sangat kuat sehingga tidak
mudah terpengaruh oleh sikap orang lain walaupun pihak lain adalah
mayoritas. Baginya, kebenaran tidak selalu dicerminkan oleh
kelompok yang banyak (Tasmara, 2002:89-90).
i. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau
gagasan baru dan asli (new and original: using or showing use of tha
imagination to create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil
kinerjanya dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif (Tasmara,
2002:91).
j. Bertanggungjawab
Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan merupakan ciri
bagi muslim yang bertaqwa. Amanah adalah titipan yang menjadi
tanggungan, bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan
70
cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala
tuntutan (Tasmara, 2002:94-95).
k. Bahagia Karena Melayani
Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan
kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan
pertolongan merupakan investasi yang kelak akan dipetik
keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun mereka sudah
merasakannya (Tasmara, 2002:96).
l. Memiliki Harga Diri
Harga diri (dignity, self esteem) merupakan penilaian menyeluruh
mengenai diri sendiri, bagaimana ia menyukai pribadinya, harga diri
mempengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah ia akan menjadi
seorang pemimpin atau pengikut (Tasmara, 2002:100).
m. Memiliki Jiwa Kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan
sekaligus memainkan peran (role) sehingga kehadiran dirinya
memberikan pengaruh pada lingkungan (Tasmara, 2002:102).
n. Berorientasi ke Masa Depan
Seorang pribadi muslim yang memiliki etos kerja tidak akan berkata,
”ah, bagaimana nanti”, tetapi dia akan berkata, ”nanti bagaimana?”, dia
tidak mau berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia harus
menetapkan sesuatu yang jelas dan karenanya seluruh tindakannya
diarahkan kepada tujuan yang telah dia tetapkan (Tasmara, 2002:105).
71
o. Hidup Berhemat dan Efisien
Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang
pelari marathon, lintas alam, yang harus berjalan dan ari jarak jauh.
Karenanya, akan tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di
daam mengeloa setiap ”resources” yang dimilikinya. Dia menjauhkan
sikap yang tidak produktif dan mubazir karena mubazir adaah sekutunya
setan yang mahajelas. Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin
memupuk kekayaan sehingga melahirkan sikap kikir individualistis,
melainkan dikarenakan ada satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu
berjalan secara lurus, ada up and down, sehingga berhemat berarti
mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang
(Tasmara, 2002:105).
p. Memiliki Jiwa Wiraswasta (Entrepreneurship)
Dia memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi, yaitu kesadaran dan
kemampuan yang sangat mendalam (ulil abab) untuk melihat segala
fenomena yang ada di sekitarnya, merenung, dan kemudian bergelora
semangatnya untuk mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam
bentuk yang nyata dan realistis(Tasmara, 2002:107).
q. Memiliki Jiwa Bertanding (Fastabiqul Khoirot)
Semangat bertanding merupakan sisi lain dari citra seorang muslim
yang memiliki semangat jihad. Panggilan untuk bertanding dalam segala
lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan penuh rasa
tanggung jawab (Tasmara, 2002:109).
72
r. Mandiri
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada
jiwa yang merdeka, sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam
penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu
mengaktualisasikan asset, kemampuan, serta potensi Ilahiahnya yang
sungguh sangat besar nilainya (Tasmara, 2002:114).
s. Haus Mencari Ilmu
Seorang yang mempunyai wawasan keilmuan tidak pernah cepat
menerima sesuatu sebagai taken for granted, karena sikap pribadinya
yang kritis dan tak pernah mau menjadi kerbau jinak, yang hanya mau
manut kemana hidungnya ditarik. Dia sadar bahwa dirinya tidak boleh
ikut-ikutan tanpa pengetahuan karena seluruh potensi dirinya suatu saat
akan diminta pertanggungjawaban dari Allah Swt (Tasmara, 2002:116).
t. Memiliki Semangat Perantauan
Mereka ingin memjelajahi hamparan bumi, memetik hikmah,
mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa
perantauannya mengantarkan dirinya untuk mampu mandiri,
menyesuaikan diri, dan pandai menyimak dan menimbang budaya orang
lain. Hal ini menyebabkan dirinya berwawasan universal, tidak
terperangkap dalam fanatisme sempit, apalagi kauvinisme yang merasa
bahwa hanya bangsa dan negaranya sajalah yang paling unggul
(Tasmara, 2002:120).
73
u. Memperhatikan Kesehatan dan Gizi
Etos kerja Islami adalah etos yang erat kaitannya dengan cara dirinya
memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya. Mens sana in corpore
sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya sebagai motto olah raga,
tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya, meronta dan haus
untuk berprestasi. Salah satu persyaratan untuk menjadi sehat adalah cara
dirinya untuk memilih dan menjadikan konsumsi makanan sehat dan
bergizi, sehingga dapat menunjang dinamika kehidupan dirinya dalam
mengemban amanah Allah Swt (Tasmara, 2002:123).
v. Tangguh dan Pantang Menyerah
Izin Allah Swt adalah sunnatullah yang berlaku universal. Bukan
milik ummat Islam saja tapi milik siapapun. Siapa yang menolak sunnah
maka dia telah menolak nikmat Allah Swt. Maka, bekerja keras, ulet, dan
pantang menyerah adalah ciri dan cara dari kepribadian muslim yang
mempunyai etos kerja. Keuletan merupakan modal yang sangat besar di
dalam menghadapi tantangan dan tekanan (pressure), sebab sejarah telah
banyak membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah
pahit, namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas
kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi
lingkungannya (Tasmara, 2002:125).
w. Berorientasi pada Produktifitas
Seorang muslim akan selalu berorientasi pada cara kerja yang
efisien, artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah keluaran
74
(performance) dibandingkan dengan energi (waktu tenaga) yang dia
keluarkan (produktifitas: keluaran yang dihasilkan berbanding dengan
masukan dalam bentuk waktu dan energi). Cara kerja yang efisien ini
menjadi orientasi seorang yang beretos kerja Islami karena ia sangat
menghargai arti waktu sebagi aset, dia tidak akan membiarkan waktu
terbuang tanpa arti (Tasmara, 2002:129).
x. Memperkaya Jaringan Silaturahmi
Bersilaturrahmi berarti membuka peluang dan sekaligus mengikat
simpul-simpul informasi dan menggerakkan kehidupan. Manusia yang
tidak mau atau enggan bersilaturrahmi untuk membuka cakrawala
pergaulan sosialnya atau menutup diri dan asyik dengan dirinya sendiri,
pada dasarnya dia sedang mengubur masa depannya. Dia telah mati
sebelum mati. Bersilaturrahmi dapat membuat panjang umur, maksudnya
panjang umur bukanlah berapa lama seseorang akan hidup tetapi
seberapa bermakna dia memanfaatkan hidup (Tasmara, 2002:131).
y. Memiliki Semangat Perubahan (Spirit Of Change)
Pribadi yang memiliki etos kerja Islami sangat sadar bahwa tidak
akan ada satu makhluk pun di muka bumi ini yang mampu mengubah
dirinya kecuali dirinya sendiri. Betapapun hebatnya seseorang untuk
memberikan motivasi, hal itu hanyalah kesia-sian belaka, bila pada diri
orang tersebut tidak ada keinginan untuk dimotivasi (Tasmara,
2002:134).
75
Karakteristik etos kerja Islami menurut Luth (2001:39-40) mencakup
tiga hal yaitu niat ikhlas karena Allah Swt, kerja keras, dan memiliki cita-
cita tinggi, yang diuraikan sebagai berikut:
a. Niat Ikhlas karena Allah Swt Semata
Niat ikhlas merupakan landasan dalam segala aktivitas. Niat semata-
mata karena Allah Swt akan memberi kesadaran bahwa: (a) Allah Swt
sedang memantau atau mengawasi kerja manusia, (b) Allah adalah tujuan
dari segala yang ingin diraih atau dilakukan, (c) segala yang diperoleh
wajib disyukuri, (d) rezeki harus digunakan dan dibelanjakan di jalan
yang benar, dan (e) menyadari apa saja yang diperoleh atau dimiliki
manusia pasti ada pertanggungjawaban kepada Allah Swt (Luth,
2001:39).
b. Kerja Keras (al-Jiddu fi al-„Amal)
Islam memerintahkan agar bekerja keras, maksudnya bekerja dengan
sungguh-sungguh, sepenuh hati, jujur, dan mengusahakan sesuatu dengan
cara-cara yang halal. Kerja dengan cara yang demikian merupakan kerja
yang didasarkan pada prinsip jihad, yaitu bekerja dengan kesungguhan
hati semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Orang yang bekerja
keras dikelompokkan sebagai mujahid di jalan Allah Swt (Luth,
2001:40).
c. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi (al-Himmah al-„Aliyah)
Cita-cita yang tinggi harus ditanamkan dalam diri setiap manusia
dalam bekerja. Seorang pekerja tidak boleh puas hanya dengan menjadi
76
bawahan seumur hidupnya, tetapi ia harus mempunyai cita-cita yang
tinggi agar suatu saat menjadi pemilik, majikan, atau bos dari pekerjaan
yang digelutinya (Luth, 2001:40). Cita-cita yang tinggi ini juga
berimplikasi pada kerja keras yang harus dilakukan oleh seorang yang
ingin mewujudkan cita-cita tersebut. Ia harus berusaha dengan penuh
kesungguhan agar mencapai hasil yang maksimal pada setiap aktivitas
atau kerja yang ia lakukan sehingga cepat atau lambat cita-cita tersebut
akan terwujud menjadi kenyataan.
Shalih (2009:63) menyebutkan tentang karakteristik etos kerja Islami
ini dengan istilah 10 ciri bekerja dengan hati nurani, yaitu sebagai berikut:
a. Mengawali kerja dengan niat yang baik dan benar;
b. Menjaga agama Allah Swt dalam bekerja;
c. Menghadirkan Allah Swt dalam setiap pekerjaan;
d. Menggunakan hati nurani dalam menentukan sikap saat bekerja;
e. Menampilkan sikap taqwa dalam bekerja;
f. Ikhlas dalam bekerja;
g. Menampilkan cara kerja yang terbaik (amal prestatif);
h. Memunculkan syukur prestatif;
i. Menjalin silaturahmi dan merajut ukhuwah (kerja sama);
j. Menampilkan pelayanan prima (service excellent).
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik etos kerja Islami dapat dilihat dari sikap-sikap yang tampak
sebagai buah dari keyakinan berkenaan kerja sebagai ibadah. Orang yang
77
telah menancapkan keyakinan dalam hatinya bahwa kerja merupakan
ibadah, maka akan memperlihatkan sikap-sikap sebagaimana yang
disebutkan Tasmara (2002) dalam 25 ciri orang yang kecanduan amal
shalih, kemudian yang disebutkan Luth (2001) dalam 3 karakteristik etos
kerja Islami, dan yang disebutkan Shalih (2009) dalam 10 ciri bekerja
dengan hati nurani.
78
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
1. Pengertian Bahasa
Pendidikan Islam secara etimologi berasal dari kata-kata bahasa
Arab yang pada umumnya digunakan untuk menunjukkan istilah
pendidikan, yaitu: tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib.
Istilah tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama, rabba yarbu
yang artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiya yarba yang artinya
menjadi besar. Ketiga, rabba yarubbu yang artinya memperbaiki,
menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara (Nahlawi, 1992:31).
Ketiga asal kata tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang
tercakup dalam makna tarbiyah terdiri atas empat unsur, yaitu:
a. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah manusia;
b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan;
c. Mengarahkan seluruh kelengkapan manusia yang beraneka ragam
(terutama akal budinya) menuju kesempurnaan;
d. Melaksankan pendidikan secara bertahap sesuai perkembangan anak
(Nahlawi, 1992:32).
Tafsir (2008:29) berdasarkan pada uraian mengenai empat unsur
tarbiyah tersebut, menyimpulkan bahwa pendidikan menurut term tarbiyah
79
adalah pengembangan seluruh potensi siswa secara bertahap menurut ajaran
Islam.
Istilah ta‟lim berasal dari kata „allama yang berarti mengajar
(pengajaran), yaitu transfer ilmu pengetahuan (Bawani dan Anshori,
1991:72). Menurut Jalal (1988:27), proses ta‟lim lebih universal dibanding
dengan proses tarbiyah. Ta‟lim merupakan proses yang membawa kepada
tazkiah (pensucian), yaitu pensucian dan pembersihan diri manusia dari
segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam suatu kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala hal
yang bermanfaat untuk diketahui. Ta‟lim tidak hanya berhenti pada
pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid (Jalal,
1988:29). Ta‟lim mencakup pengetahuan teoritis, mengulang kajian secara
lisan, dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta‟lim mencakup pula
aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang
dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik (Jalal, 1988:30).
Istilah ta‟dib berasal dari kata addaba yang artinya mendidik yang
lebih tertuju pada penyempurnaan akhlak atau budi pekerti (Achmadi,
1987:4). Attas (1996:61-62) mendefinisikan ta‟dib sebagai pengenalan dan
pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan
kepribadian. Pengertian ini menurut Tafsir (2008:29), intinya ta‟dib
80
merupakan usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam
kehidupan ini. Definisi tersebut menurut Tafsir (2008:29) selain panjang,
abstrak, sulit dipahami, juga sulit dioperasionalkan.
Berdasarkan pada ketiga pengertian pendidikan Islam secara
etimologi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
merupakan upaya untuk menumbuh kembangkan potensi atau fitrah
manusia dalam aspek pengetahuan, keterampilan praktis, dan akhlak agar
manusia mencapai kesempurnaannya.
Islam secara etimologi dan menurut Al-Qur‟an berarti penyerahan
diri dan kepatuhan (Nahlawi, 1992:36). Pokok-pokok ajaran Islam
disimpulkan oleh kalangan ulama terdiri dari tiga komponen, yaitu: Islam,
iman, dan ihsan. Ada juga yang mengistilahkan tiga pokok ajaran tersebut
dengan: aqidah, syari‟ah, dan akhlak. Lain lagi menyebutnya dengan:
aqidah, ibadah, dan mu‟amalah (Kaelany, 2000:31).
Aspek Islam yaitu berupa penyerahan diri kepada Allah Swt, Tuhan
Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha Esa. Penyerahan itu diikuti
dengan kepatuhan dan ketaatan untuk menerima dan melakukan apa saja
yang diperintah dan dilarang-Nya. Tunduk pada aturan dan undang-undang
yang diturunkan kepada manusia melalui hamba pilihan-Nya (para rasul).
Aturan dan undang-undang yang dibuat oleh Allah Swt itu dikenal dengan
istilah syari‟ah (Kaelany, 2000:31). Untuk memudahkan pemahaman
terhadap syari‟ah Islam yang luas dan global, ulama membagi syari‟ah itu
dalam dua segi mendasar, yaitu: (1) Segi amalan sebagai sarana bagi orang-
81
orang muslim mendekatkan diri kepada Tuhannya (hablum minallah)
disebut ibadah; (2) Segi amal usaha dalam menjalin hubungan sesama
manusia (hablum minannas) dan hubungannya dengan lingkungan, alam
semesta disebut muamalah (Kaelany, 2000:33). Pembagian syari‟ah ke
dalam dua segi di atas hanya untuk memudahkan pemahaman manusia.
Iman sebagai pokok ajaran Islam yang berikutnya, memiliki
pengertian kepercayaan kepada Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa. Esensi
iman bukan sekadar hanya percaya akan adanya Allah Swt dan
mengucapkan kalimat syahadatain secara lisan, tetapi iman harus
diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu berupa amal shalih. Amal shalih
adalah refleksi dari iman, yang mencakup ibadah dalam arti ubudiyah atau
ibadah khusus dan ibadah dalam arti luas. Pengertian ibadah secara
eksklusif lebih berdimensi hubungan vertikal yang syarat, cara dan polanya
telah digariskan oleh Allah Swt dan rasul-Nya. Ini kalau ditinjau dari arti
yang pertama yang lebih bersifat ritual. Namun dalam pengertian luas dan
universal, ibadah adalah segala kegiatan manusia beriman yang dilakukan
dengan ikhlas dan bertujuan untuk mencapai ridho Allah Swt. Dalam
pengertian terakhir ini terdapat korelasi yang erat dengan tujuan penciptaan
manusia agar segala aktivitas hidupnya berorientasi pengabdian kepada
Allah Swt semata (ibadah). Peran manusia sebagai khalifah untuk
menguasai, mengelola, dan memakmurkan dunia ini sehingga menjadi dunia
yang damai, aman, dan penduduk yang sejahtera, pada hakikatnya tercakup
dalam pengertian ibadah secara luas. Seluruh kegiatan hidup orang beriman
82
dengan demikian akan bernilai amal shalih jika bermotivasi dan bertendensi
ikhlas mencapai keridhoan Allah Swt (Kaelany, 2000:99-100).
Ihsan secara bahasa artinya berbuat baik, bagus, kebajikan, dan
shalih, sedangkan secara istilah artinya meyakini dan merasakan Allah Swt
senantiasa mengawasi, memperhatikan gerak-gerik dan segala aktivitas
dalam kehidupan. Dengan ihsan diharapkan semua perilaku dan aktivitas
seorang muslim bukan saja dilakukan dengan keindahan dan kebaikan
secara lahir, melainkan sungguh-sungguh dilandasi iman. Dengan ihsan juga
seorang muslim akan melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi
manusia. Sikap ihsan, dengan kata lain akan menampilkan seseorang
menjadi muslim yang memiliki akhlakul karimah atau akhlak mulia. Akhlak
mulia ini contohnya meliputi akhlak terhadap Allah Swt, seperti: taqwa,
tawakal, bersyukur atas segala nikmat dan bersabar atas segala musibah, dan
sebagainya; akhlak kepada diri sendiri seperti: jujur, ikhlas, istiqamah,
sabar, disiplin, dan lain-lain; akhlak terhadap orang lain seperti: berbakti
kepada orang tua, tolong-menolong, bermusyawarah dalam memecahkan
persoalan dengan masyarakat, dan lain sebagainya; serta akhlak kepada
alam semesta seperti: memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya, tidak
merusak alam dan mengeksploitasinya secara berlebihan (Kaelany,
2000:54-60).
Islam menurut uraian di atas dapat disimpulkan sebagai agama yang
berisikan tiga ajaran pokok, yaitu: (1) Dimensi Islam atau syari‟ah yang
berisikan ajaran tentang hablumminallah dan hablumminannas; (2) Dimensi
83
iman atau aqidah yang berisikan ajaran tentang kepercayaan kepada Allah
Swt yang diwujudkan dalam amal shalih; serta (3) Dimensi ihsan atau
akhlak yang berisikan ajaran tentang perilaku mulia yang didasarkan pada
iman.
2. Pengertian Istilah
Pengertian pendidikan Islam secara terminologi telah banyak
dikemukakan oleh para ahli. Pendidikan Islam menurut Achmadi (1987:10)
adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya
insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam. Insan
kamil yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah muttaqiin yang
terefleksikan dalam perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan,
dengan sesama manusia, maupun dengan alam. Sejalan dengan pengertian
ini, Daradjat (2011:29) menjelaskan insan kamil sebagai manusia utuh
rohani jasmani, dapat hidup dan berkembang dengan wajar dan normal
karena taqwanya kepada Allah Swt. Makna insan kamil yang demikian
mengandung arti bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan
manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar
mengamalkan serta mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan
dengan Allah Swt dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil
manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan
hidup di dunia dan di akhirat nanti (Daradjat, 2011:29).
Pendidikan Islam menurut Marimba (1989:23) adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
84
terbentuknya kepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah kepribadian
yang seluruh aspek-aspeknya yaitu baik tingkah laku luarnya, kegiatan-
kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan
pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhan.
Tafsir (2008:32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal
mungkin dalam segala aspeknya. Definisi yang digunakan ini menyangkut
pendidikan yang dilakukan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah,
serta menyangkut aspek jasmani, akal, dan hati subjek didik.
Berdasarkan pada pengertian terminologi pendidikan Islam menurut
para ahli tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan Islam adalah bimbingan untuk mengembangkan fitrah
manusia berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam menuju terbentuknya
kepribadian muslim dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan sesama
manusia, serta dengan alam sekitar.
B. Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan adalah pandangan yang mendasari seluruh aktivitas
pendidikan baik dalam rangka penyusunan teori perencanaan maupun
pelaksanaan pendidikan. Dasar pendidikan merupakan nilai-nilai tertinggi yang
dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa di mana pendidikan
itu berlaku. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan dasar pendidikan Islam
ialah pandangan hidup yang Islami atau biasa disebut pandangan hidup muslim
yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden,
85
universal, dan eternal (Achmadi, 1987:76). Sumber dari nilai-nilai luhur dalam
Islam ialah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. (Achmadi, 1987:77). Maka
pendidikan Islam juga bersumber dari nilai-nilai luhur dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasulullah saw. Allah Swt berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 122
dan Surah Al-Anbiya‟ ayat 7, sebagai berikut:
Artinya:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (Q.S. At-Taubah: 122).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam tidak dianjurkan untuk
semuanya ikut berangkat dalam peperangan, melainkan harus ada sebagaian
dari mereka yang mendalami pengetahuan tentang Islam sehingga akan terlahir
cendekiawan-cendekiawan muslim yang dapat menjaga kekokohan umat dan
agama Islam. Ayat tersebut juga menekankan pentingnya ilmu tentang agama
sebagai bekal kehidupan. Manusia yang memiliki wawasan keagamaan luas
tidak akan tersesat hidupnya baik dunia sampai di akhirat. Betapa pentingnya
ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam menuntun hidup manusia, Allah Swt
menyuruh kepada manusia untuk bertanya atau meminta petunjuk kepada
86
orang yang berilmu apabila ia tidak mengerti tentang sesuatu hal, sebagaimana
dijelaskan dalam Surah Al-Anbiya‟: 7 berikut ini:
Artinya:
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika
kamu tiada mengetahui. (Q.S. Al-Anbiya‟: 7).
Nilai-nilai dalam Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan Islam
adalah pendidikan yang menyeluruh. Pendidikan Islam ialah pendidikan
keimanan, ilmu, amal, akhlak, dan sosial. Maka pendidikan Islam adalah
pendidikan keimanan, pendidikan ilmiah, pendidikan amaliah, pendidikan
akhlak, dan pendidikan sosial (Hafidz dan Kastolani, 2009:68). Hal itu
tergambar dalam firman-Nya dalam surah Al-„Asr ayat 1-3.
Artinya:
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-„Asr: 1-3).
Berdasarkan pada ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses
pendidikan meliputi pendidikan keimanan yang harus dipraktikkan dalam
bentuk amal shalih. Pendidikan Islam dalam ayat tersebut juga berupa
pendidikan sosial dan akhlak. Pendidikan sosial yaitu berupa saling menasehati
dalam kebenaran, kemudian saling menasehati dalam kesabaran, dan sabar
adalah simbol pendidikan akhlak dalam Islam.
87
Sunnah Rasulullah saw. menjadi sumber kedua bagi pendidikan Islam
sesudah Al-Qur‟an, maksudnya adalah perkataan Rasulullah saw. dan
perbuatannya, dan apa yang dipersetujuinya terhadap sahabat-sahabat melalui
perkataan atau diam dan senyap, serta sifat-sifat jasmani dan akhlaknya.
Sunnah telah membawa perkara-perkara yang sesuai dengan yang dibawa Al-
Qur‟an, dan sunnah datang untuk menentukan perkara-perkara yang disentuh
Al-Qur‟an secara umum. Dalam sunnah atau hadits Rasulullah saw. dijelaskan
tentang pentingnya pendidikan Islam. Manusia mulia yang akan memperoleh
kenikmatan surga bukan hanya manusia yang senantiasa rajin beribadah dalam
artian shalat dan mengaji, melainkan juga manusia yang hidupnya diisi dengan
proses pencarian ilmu yang dapat menjadikan dirinya sebagai insan taqwa.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa orang yang mencari ilmu
yaitu ilmu yang bermanfaat, akan dimudahkan jalannya dalam memasuki
surga, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:
هي سلك طزيقايلتوس في ل هللا قال: عي أبى زيزة أى رس
علوا,سل هللا ل طزيقا إلى الجت
Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh jalan
untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke
surga”. (H.R. Muslim, no. 1.888).
Sunnah Rasulullah saw. dalam hubungannya dengan pendidikan Islam
menggunakan dua pendekatan, yaitu: Pertama, bersifat positif artinya berpusat
88
pada dasar-dasar yang sesuai dan kuat bagi akhlak yang mulia dan bertujuan
menanamkan kemuliaan. Kedua, bersifat penjagaan artinya menghindarkan
manusia dari segala macam keburukan, baik bersifat individual atau sosial, dan
menjaga masyarakat dari bahaya perpecahan (Syaibany, 1979:432).
Dasar pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah
tersebut, oleh Jalaluddin (2001) diperinci menjadi lima, yaitu: dasar pandangan
terhadap manusia, dasar pandangan terhadap masyarakat, dasar pandangan
terhadap alam semesta, dasar pandangan terhadap ilmu pengetahuan, dan dasar
pandangan terhadap akhlak.
1. Dasar Pandangan Terhadap Manusia
Manusia memiliki sejumlah potensi untuk berkembang dan
dikembangkan. Dalam kaitan ini pendidikan Islam menilai manusia
didasarkan atas prinsip-prinsip pemikiran bahwa:
a. Manusia adalah ciptaan Allah Swt yang paling mulia. Manusia
diciptakan pada hakikatnya adalah untuk mengabdi kepada Allah Swt;
b. Manusia dalam hidupnya diamanatkan untuk menjadi hamba Allah Swt
dan sekaligus khalifah guna memakmurkan kehidupan di bumi;
c. Manusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan untuk
belajar dan mengembangan diri;
d. Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi jasmani, rohani, dan ruh
(fitrah ketauhidan);
e. Manusia bertumbuh dan berkembang ditentukan oleh potensi bawaan dan
pengaruh lingkungannya;
89
f. Manusia memiliki sifat fleksibel (keluwesan) dan memiliki kemampuan
untuk mengubah serta mengembangkan diri (Jalaluddin, 2001:83-84).
2. Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat
Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk
sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri, dengan mengabaikan
keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan antarsesamanya dalam
kehidupan bermasyarakat. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemikiran
tentang masyarakat mengacu kepada penilaian bahwa:
a. Masyarakat merupakan kumpulan individu yang terikat oleh kesatuan
dari berbagai aspek, seperti: latar belakang budaya, agama, tradisi,
kawasan lingkungan, dan lain-lain;
b. Masyarakat yang terbentuk dalam keragaman adalah sebagai ketentuan
dari Allah Swt, agar dalam kehidupan terjadi dinamika sosial dalam
bentuk interaksi antarsesama manusia yang menjadi warganya;
c. Setiap masyarakat memiliki identitas sendiri yang secara prinsip berbeda
satu sama lain;
d. Masyarakat merupakan lingkungan yang dapat memberi pengaruh pada
pengembangan potensi individu (Jalaluddin, 2001:84-85).
3. Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta
Manusia dalam peranannya sebagai khalifah Allah Swt diamanatkan
untuk menciptakan kemakmuran di bumi tempat manusia itu hidup. Alam
semesta memang diciptakan Allah Swt untuk dimanfaatkan manusia atas
90
petunjuk penciptanya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pemikiran
tentang alam semesta mengacu pada prinsip bahwa:
a. Lingkungan alam baik berupa lingkungan sosial maupun lingkungan fisik
atau benda budaya dan benda alam mempengaruhi pendidikan, sikap, dan
akhlak;
b. Lingkungan alam termasuk juga jagat raya adalah bagian dari ciptaan-
Nya;
c. Setiap wujud di alam semesta terbentuk dari dua unsur, yaitu unsur
materi dan non materi, nyata dan ghaib, dunia dan akhirat;
d. Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan hukum yang
diatur oleh Penciptanya (sunnatullah);
e. Alam terwujud dalam dinamika gerak yang teratur dan terkendali oleh
suatu tatanan yang menyatu pada sunnatullah;
f. Alam merupakan sarana yang diperuntukkan bagi manusia sebagai upaya
meningkatkan kemampuan diri sejalan dengan potensi yang dimilikinya
(Jalaluddin, 2001:85-86).
4. Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil produksi dari
pengembangan nalar dan kreasi manusia dalam upaya mengembangkan diri
dan membentuk peradaban. Pendidikan Islam memandang ilmu
pengetahuan dan teknologi betapapun canggihnya, secara hakiki harus
terikat pada nilai-nilai tertentu. Pemikiran yang dijadikan dasar pandangan
ini meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:
91
a. Pengetahuan merupakan pengembangan dari kemampuan nalar manusia
yang potensi dasarnya bersumber dari anugerah Allah Swt;
b. Pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui usaha (belajar, meneliti,
atau eksperimen) atau melalui penyucian diri serta pendekatan kepada
Allah Swt. Pengetahuan diperoleh dari kesungguhan usaha disebut ilm
al-kash (acquired knowledge) sedangkan yang diperoleh dari pendekatan
diri hingga memperoleh bimbingan Allah Swt disebut ilm ladunni
(perennial knowledge);
c. Pengetahuan merupakan potensi manusia yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan kehidupan diri maupun masyarakat;
d. Pengetahuan terbentuk melalui nalar dan pengindraan;
e. Pengetahuan manusia memiliki kadar dan tingkatan yang berbeda sesuai
dengan objek, tujuan, dan metode yang digunakan;
f. Pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan yang berhubungan
dengan Allah Swt, perbuatan-Nya serta makhluk-Nya;
g. Pengetahuan manusia pada hakikatnya adalah hasil penafsiran dan
pengungkapan kembali segala bentuk permasalahan yang berkaitan
dengan hukum-hukum Allah Swt (sunnatullah) dan ciptaan-Nya;
h. Pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan yang didasari oleh kaidah-
kaidah dan nilai akhlak, karena akan dapat mendatangkan ketentraman
batin. Sehubungan dengan ini maka pengetahuan yang bernilai adalah
pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia lahir
dan batin sesuai petunjuk Allah Swt (Jalaluddin, 2001:86-87).
92
5. Dasar Pandangan Terhadap Akhlak
Pendidikan Islam memandang pembinaan akhlak merupakan faktor
penting dalam pendidikan. Keutamaan akhlak sebagai sarana puncak dalam
pendidikan Islam. Arah sasaran pencapaian target tersebut agar dapat
dipenuhi, maka perlu dirumuskan prinsip-prinsip yang menjadi dasar
pandangan terhadap akhlak, yaitu:
a. Akhlak termasuk faktor yang diperoleh dan dipelajari;
b. Akhlak lebih efektif dipelajari dan dibentuk melalui teladan dan
pembiasaan yang baik;
c. Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi
masyarakat, serta adat istiadat, dan cita-cita atau pandangan hidup.
Akhlak tidak selalu terpelihara, kebaikan dan keburukan berpengaruh
bagi pembentukan akhlak;
d. Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat manusia, yaitu cenderung
kepada yang baik;
e. Akhlak mempunyai tujuan akhir yang identik dengan tujuan akhir ajaran
Islam, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat;
f. Akhlak yang mulia merupakan realisasi dari ajaran Islam;
g. Akhlak berintikan tanggung jawab terhadap amanat Allah Swt, sehingga
dinilai berdasarkan tolok ukur yang diisyaratkan Allah Swt dalam ajaran
Islam (Jalaluddin, 2001:88).
Dasar pendidikan Islam berdasarkan uraian di atas merupakan
pandangan yang mendasari segala aktivitas pendidikan yang bersumber dari
93
nilai-nilai luhur dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. Ada lima prinsip
utama yang menjadi kerangka acuan dalam penyusunan dasar pendidikan
Islam, yaitu dasar pandangan terhadap manusia, dasar pandangan terhadap
masyarakat, dasar pandangan terhadap alam semesta, dasar pandangan
terhadap ilmu pengetahuan, dan dasar pandangan terhadap akhlak. Berdasarkan
prinsip-prinsip utama yang dijadikan acuan dasar pendidikan Islam tersebut,
dapat dilihat bahwa pendidikan Islam dalam segala aspeknya senantiasa
dihubungkan dengan konsep ajaran Islam, khususnya kaitannya dengan hakikat
penciptaan dan amanat Ilahiyat.
C. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam menurut pendapat beberapa ahli adalah
sebagai berikut:
Achmadi (1987:90) mengemukakan bahwa tujuan tertinggi dan terakhir
pendidikan Islam pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya diciptakan oleh Allah Swt. Tujuan tertinggi dan terakhir menurut
Achmadi (1987:90-92) adalah sebagai berikut:
1. Menjadikan hamba Allah Swt yang paling taqwa. Tujuan ini sejalan dengan
tujuan hidup manusia yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt.
Pengertian ibadah yang dimaksud di sini tidak terbatas pada ritual-ritual
gama secara pasif saja, melainkan juga meliputi segala aspek kegiatan yaitu:
iman, berfikir, merasa, dan bekerja;
94
2. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ardhi yang mampu
memakmurkan alam sekitar dan mampu mewujudkan rahmah bagi alam
sekitarnya;
3. Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai
akhirat, baik individu maupun masyarakat. Kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat hanya akan dicapai dengan ilmu.
Tujuan umum pendidikan Islam menurut Abrasyi (1970:1-4) adalah
pembinaan akhlak, persiapan kehidupan dunia dan akhirat, penguasaan ilmu,
dan keterampilan bekerja dalam masyarakat.
Tujuan umum pendidikan Islam menurut Tafsir (2008:51) ialah muslim
yang sempurna, atau manusia yang taqwa, atau manusia yang beribadah kepada
Allah Swt. Kategori muslim sempurna adalah sebagai berikut:
1. Jasmani yang sehat dan kuat, ciri-cirinya yaitu: sehat, kuat,
berketeramapilan;
2. Akal yang cerdas, ciri-cirinya yaitu: mampu menyelesaikan masalah secara
cepat dan tepat, mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis,
memiliki dan mengembangkan sains, memiliki dan mengembangkan
filsafat;
3. Hati yang taqwa kepada Allah Swt ciri-cirinya yaitu: dengan sukarela
melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya, hati yang
berkemampuan berhubungan dengan alam gaib (Tafsir, 2008:50).
Nata (1997:53-54) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam
meliputi: (1) Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka
95
bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan
dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; (2) Mengarahkan manusia
agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan
dalam rangka beribadah kepada Allah Swt, sehingga tugas tersebut terasa
ringan dikerjakan; (3) Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia
tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya; (4) Membina dan
mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu,
akhlak, dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung
tugas pengabdian dan kekhalifahannya; serta (5) Mengarahkan manusia agar
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Berdasarkan pada uraian mengenai tujuan pendidikan Islam oleh para
ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut
penulis adalah untuk membentuk insan kamil, yaitu dengan membina potensi
akal, ruh, dan jasmani manusia sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan
keterampilan untuk mendukung tugas pengabdian (ibadah) dan
kekhalifahannya, agar ia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D. Karakteristik Pendidikan Islam
1. Karakteristik Filosofis Pendidikan Islam
a. Penciptaan yang Bertujuan
Islam memandang pendidikan sebagai proses yang suci untuk
merealisasikan tujuan asasi manusia dalam kehidupan nyata yaitu
beribadah kepada Allah Swt dalam makna yang luas. Pendidikan dalam
hal ini merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam, yang ruang
96
lingkupnya adalah alam semesta, pusatnya adalah manusia, dan
tujuannya adalah kehidupan yang beriman (Hafidz dan Kastolani,
2009:45).
b. Kesatuan yang Menyeluruh
Refleksi prinsip kesatuan dalam filsafat Islam tampak pada proses
pendidikan. Pertama, prinsip kesatuan perkembangan individu dalam
kerangka perkembangan masyarakat dan dunia. Kedua, prinsip kesatuan
umat manusia yang merupakan karakteristik universalitas dalam
pendidikan Islam. Ketiga, prinsip kesatuan pengetahuan yang mencakup
berbagai disiplin ilmu dan seni (Aly dan Munzier, 2003:58).
c. Keseimbangan
Prinsip keseimbangan dalam Islam tercermin dalam pendidikan
Islam, seperti keseimbangan antara teori dan praktik, ucapan dan
perbuatan, pengetahuan kemanusiaan yang berguna bagi individu dan
yang berguna bagi masyarakat, serta pengetahuan yang fardhu „ain dan
yang fardhu kifayah dalam semua lapangan pengetahuan, baik
keagamaan maupun keduniaan (Aly dan Munzier, 2003:62). Allah Swt
mencela orang-orang yang hanya mengatakan sesuatu tanpa
mengamalkannya, sebagaimana tercantum dalam surah Ash-Shaff ayat 2-
3 sebagai berikut:
97
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan. (Q.S Ash Shaff: 2-3).
Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam telah meletakkan
segala sesuatu sesuai dengan batasnya dan menghitung segala sesuatu
sesuai dengan ukurannya, sehingga tidak mencederai ukuran dan
kehidupan. Prinsip yang demikian diletakkan karena pendidikan Islam
adalah pendidikan untuk hidup dengan penuh keimanan menuju
keridhoan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:65).
Karakteristik filosofis pendidikan Islam seperti telah diuraikan di
atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dicirikan sebagai: Pertama,
pendidikan yang berupaya merealisasikan tujuan penciptaan manusia yaitu
untuk beribadah kepada Allah Swt dalam arti yang luas; Kedua, pendidikan
Islam menekankan prinsip kesatuan antara umat manusia maupun kesatuan
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; Ketiga, pendidikan Islam
menekankan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.
2. Karakteristik Substansi Pendidikan Islam
a. Pendidikan Keimanan
Substansi pendidikan Islam yang paling utama adalah pendidikan
keimanan. Keimanan yang dimaksud adalah keimanan dengan
manivestasi amal perbuatan yang nyata, dengan menjadikan hidup dan
kehidupan di dunia ini bernilai ibadah, bertaqwa yang sebenarnya, dan
berakhlak mulia dalam rangka mendapatkan hidayah dan ridho dari Allah
98
Swt (Zainuddin, 1991:101). Keimanan yang demikian tujuannya agar
kehidupan individu itu bermakna, aktivitasnya mempunya tujuan,
motivasi untuk belajar dan bekerja berkembang secara terus-menerus,
akhlaknya menjadi tinggi, jiwanya menjadi suci dan senantiasa menjadi
cakap untuk menjadi khalifatullah fil ardhi (Hafidz dan Kastolani,
2009:70).
Iman adalah pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia
menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal
yang shalih (Aly dan Munzier, 2003:72-73). Oleh karena itu, iman adalah
yang pertama dan terutama dalam ajaran Islam yang harus tertancap
dalam diri individu, sehingga pendidikan keimanan merupakan pondasi
dari ilmu pengetahuan dan aspek-aspek pendidikan yang lainnya serta
merupakan pedoman dan pandangan hidup seorang muslim. Sehingga
dalam memahami, mendalami, dan menyelidiki ajaran Islam, menghayati
dan mengamalkannya harus berlandaskan iman yang kuat.
b. Pendidikan Amaliah
Pendidikan Islam menegaskan tentashalihng pentingnya aspek
amaliah, karena pendidikan Islam menganjurkan belajar dengan selalu
mengaplikasikannya dalam tindakan, tidak hanya menghafal teori-teori
yang tidak mampu membawa pada amal shalih dalam kehidupan nyata
(Hafidz dan Kastolani, 2009:30). Amal shalih pada hakikatnya
merupakan salah satu pintu masuk ke dalam substansi pendidikan Islam,
di samping merupakan buah utama dari ilmu yang benar, akhlak yang
99
mulia, dan pendidikan sosial kemasyarakatan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pendidikan amaliah mencakup segala sesuatu
yang dimuat dalam pendidikan keterampilan, yang tercermin dalam
perbuatan yang bermanfaat kepada umat manusia dalam kehidupan ini
dan perbuatan yang dapat menjamin keberlangsungan ilmu pengetahuan
sebagai upaya untuk menguasai seluruh alam semesta, mengambil
manfaat dari bumi yang telah diberikan, serta membuat potensi,
kekayaan, dan kandungan bumi menjadi bermanfaat bagi individu,
masyarakat, dan umat manusia seluruhnya (Hafidz dan Kastolani,
2009:84).
c. Pendidikan Ilmiah
Substansi pendidikan Islam yang lain ialah ilmu pengetahuan,
dimulai dengan keterampilan membaca dan menulis. Pendidikan
keterampilan baca tulis dilanjutkan dengan pengetahuan kemanusiaan
yang dimulai dari pengetahuan tentang jiwa manusia sampai kepada
lingkungan sosial sepanjang masa dan di setiap tempat, kemudian
pengetahuan tentang lingkungan fisik dan fenomena-fenomena alam.
Pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan bersifat komprehensif karena
lahir dari prinsip kesatuan yang merupakan aspek penting di dalam
konsep Islam. Atas dasar itu Islam mendorong manusia untuk
mempelajari setiap pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya,
masyarakat, dan semua umat manusia, baik dalam lingkungan
100
pengetahuan keagamaan maupun pengetahuan sosial, kealaman, ataupun
pengetahuan lainnya (Aly dan Munzier, 2003:85).
Islam sangat mendorong untuk mempergunakan akal sampai
batas kemampuannya, dan mencela dengan keras orang yang tidak
mempergunakan akal dan rasionalnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:102).
Akal dapat digunakan manusia untuk memperoleh dan mempelajari ilmu,
dimana Islam memuliakan manusia untuk mempelajari ilmu yang
bermanfaat baginya, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya.
Pendidikan Islam juga berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ilmu
pengetahuan merupakan materi yang paling dalam dan dipergunakan
sebagai pondasi dalam pengembangan ilmu, keterampilan, dan
pandangan manusia. Buah dari ilmu yang baik adalah terwujudkan insan
yang paling taqwa sebagai tujuan utama pendidikan Islam (Hafidz dan
Kastolani, 2009:101)
d. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dalam substansi
pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur‟an sebagai
referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin: individu,
keluarga, masyarakat, dan umat (Aly dan Munzier, 2003:89). Akhlak
adalah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan
meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan
wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan
(Zainuddin, 1991:102). Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat
101
bagi manusia dan kemanusiaan, serta membuat hidup dan kehidupan
menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi
individu dan masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan
berbeda dari kumpulan binatang (Aly dan Munzier, 2003:89).
Manusia hendaknya mengikuti dan mempraktikan nilai-nilai yang
ada dalam asmaul husna sesuai kemampuan dan kekuatannya (Hafidz
dan Kastolani, 2009:108). Selain mengambil nilai-nilai asmaul husna
sebagai pedoman akhlak mulia, manusia juga harus mengambil teladan
dari akhlak yang dicontohkan Rasulullah saw. selama hidupnya.
Pendidikan akhlak dalam Islam sangat berkaitan dengan tujuan utama
pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam untuk mewujudkan insan
paling taqwa, melaksanakan tugas khalifatullah fll ardhi, serta persiapan
kehidupan dunia dan akhirat membutuhkan akhlak yang mulia, supaya
manusia senantiasa berpegang teguh pada kebaikan dan menjauhkan diri
dari kemungkaran (Hafidz dan Kastolani, 2009:110).
e. Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial dalam Islam menempati posisi yang penting
karena manusia adalah makhluk sosial sesuai dengan ciptaan Allah Swt.
Allah Swt sebagai dzat pencipta dan sembahan manusia, dan Islam
sebagai rahmat lil „alamiin tidak datang hanya untuk satu individu,
masyarakat tertentu, tetapi untuk seluruh individu, masyarakat, dan
seluruh generasi di setiap masa dan tempat. Allah Swt mewariskan bumi
dan mengamanatkannya kepada setiap muslim dan menjadikan sosial
102
sebagai watak Islam dan watak generasi muda Islam. Maka tidak heran
jika Islam memusatkan perhatiannya pada pengembangan tradisi sosial
yang benar bagi individu, menanamkan perasaan dan kesadaran sebagai
keluarga, anggota masyarakat, individu dan masyarakat dunia yang luas
(Hafidz dan Kastolani, 2009:124).
Berdasarkan pada uraian mengenai karakteristik substansi
pendidikan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik
pendidikan Islam yaitu meliputi: Pertama, pendidikan keimanan yang
berfungsi sebagai landasan bagi kehidupan manusia dalam rangka
menjalankan tugas sebagai khalifatullah fil ardhi; Kedua, pendidikan akhlak
sebagai wujud dari keimanan yang dimiliki manusia serta akhlak sebagai
kemuliaan sikap dari insan yang paling taqwa; Ketiga, pendidikan ilmiah
sebagai sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik; Keempat,
pendidikan sosial sebagai sarana untuk mengembangkan tanggung jawab
individu terhadap manusia lain atau masyarakat banyak, sehingga sekaligus
sebagai sarana mewujudkan insan yang paling taqwa serta mewujudkan
tugas khalifatullah fil ardh.
3. Karakteristik Aplikatif Pendidikan Islam
a. Kewajiban Belajar
Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Banyak
ayat, hadis, dan realitas sejarah dalam kehidupan Rasulullah saw. dan
ulama salaf menunjukkan kewajiban untuk menuntut ilmu dan
menjadikan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dalam
103
menuntut ilmu, sesuai dengan wataknya dan manfaat yang akan diambil
bagi dirinya dan masyarakatnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:134).
b. Kesinambungan Pendidikan
Karakteristik ini berkaitan dengan prinsip keluasan ilmu
pengetahuan. Pendidikan Islam mengasumsikan bahwa pengetahuan
merupakan proses yang berkembang terus sepanjang masa hingga akhir
zaman, bukan proses yang terbatas, dan tidak seorangpun dapat mencapai
akhir proses itu (Aly dan Munzier, 2003:103). Perkembangan ilmu
pengetahuan lahir karena banyaknya pembahasan dan pengkajian secara
terus-menerus. Tidak ada batas akhir bagi manusia untuk menggali
pengetahuan, karena “di atas setiap orang yang berpengetahuan masih
ada Yang Maha Tahu”. Manusia dengan umurnya yang terbatas, tidak
mungkin mampu meliput semua ilmu pengetahuan, baik keagamaan
maupun keduniaan (Aly dan Munzier, 2003:104).
Setiap anggota masyarakat hendaknya mengambil spesialisasi
yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga pengetahuan
mereka menjadi lengkap. Setiap ilmu yang bermanfaat, apapun lapangan
dan disiplinnya, merupakan ilmu fardhu kifayah yang wajib digeluti oleh
sebagian anggota masyarakat agar yang lain tidak memikul beban.
Seluruh masyarakat muslim akan berdosa jika lalai dalam merencanakan
spesialisasi disipin-disiplin yang diperlukan bagi pengembangan
masyarakat (Aly dan Munzier, 2003:104).
104
c. Pemerataan Kesempatan Belajar
Setiap muslim dalam masyarakat mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, antara orang Arab dan selain Arab, dan tidak ada perbedaan
pula antara orang berkulit hitam dan putih, kecuali hanyalah kadar amal
dan usaha yang mereka lakukan dengan kesempatan yang sama bagi
semua. Amal dan usaha adalah tolok ukur pembeda antara orang-orang
mukmin dalam mencapai tujuan risalah Islam, seperti bertaqwa, berjihad,
dan menuntut ilmu. Orang-orang yang bertaqwa adalah paling mulia
dalam pandangan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:105). Kesempatan
untuk belajar dalam Islam diberikan kepada semua individu dan lapisan
masyarakat, baik yang sempurna maupun kurang sempurna. Setiap
individu memiliki hak belajar yang sama atas negara dan masyarakat
(Hafidz dan Kastolani, 2009:141).
d. Cara Memperoleh Pengetahuan
Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan
cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta pengalaman.
Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan dengan membawa
fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang
berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal tersebut kemudian dia
belajar: mula-mula melalui hal-hal yang dapat ditangkap dengan panca
inderanya sebagai jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal
yang dapat ditangkap indera kepada hal-hal yang abstrak, dan dari yang
105
dapat dilihat kepada yang dapat difahami (Aly dan Munzier, 2003:106-
107).
Manusia dilahirkan tanpa berpengetahuan dan bahwa
pengetahuan yang dimilikinya merupakan hasil perolehan. Manusia
setelah dilahirkan mulai memasuki proses belajar melalui interaksi
dengan lingkungannya. Manusia mulai belajar melalui pendengaran dan
penglihatan; atau dengan kata lain melalui panca indera, proses
pengalaman dan penelitian (Aly dan Munzier, 2003:107).
e. Aturan Moral dalam Penggunaan Pengetahuan
Aturan-aturan moral dalam penggunaan pengetahuan merupakan
karakteristik paling penting dari pendidikan akhlak. Pengetahuan apapun,
baik keagamaan maupun keduniaan, teoritis maupun praktis, ibarat pisau
bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik
dan berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan
umat manusia. Oleh sebab itu, Islam mementingkan ilmu yang
bermanfaat dan memperhatikan penggunaannya bagi kepentingan
individu dan masyarakat, sebaliknya, Islam melarang mempelajari
pengetahuan yang berbahaya seperti sihir serta penggunaannya dalam
hal-hal yang membahayakan manusia dan tidak bermanfaat bagi mereka
(Aly dan Munzier, 2003:109).
Uraian mengenai karakteristik aplikatif pendidikan Islam di atas
kesimpulannya yaitu: (1) Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap
muslim; (2) Setiap muslim hendaknya memiliki spesialisasi disiplin ilmu;
106
(3) Setiap muslim berhak untuk belajar, tanpa membedakan jenis kelamin,
ras, suku, warna kulit, golongan; (4) Pengetahuan diperoleh manusia
melalui alat indera; dan (5) Pengetahuan yang boleh dipelajari ialah yang
bermanfaat dan tidak membahayakan.
E. Domain Pendidikan Islam
Domain pendidikan Islam mencakup unsur-unsur penting yang
berperan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Domain pendidikan Islam yang
akan dibahas yaitu meliputi: guru, siswa, materi, metode, media dan lembaga
pendidikan Islam.
1. Guru
a. Pengertian Guru
Guru adalah orang dewasa yang tugas atau pekerjaannya selain
mengajar, juga mendidik siswa (Purwanto, 2007:138). Mengajar ialah
memberikan pengetahuan atau melatih kecakapan-kecakapan atau
keterampilan-keterampilan kepada siswa, sedangkan mendidik ialah
membentuk budi pekerti dan watak siswa. Pada hakikatnya mengajar dan
mendidik ialah satu kesatuan, siapa yang mengajar ia juga mendidik, dan
siapa hendak mendidik, harus juga mengajar. Menurut Purwanto
(2007:150) pendidikan lebih luas dari pengajaran. Pendidikan merupakan
pendidikan keseluruhan; merupakan pembentukan kepribadian,
sedangkan pengajaran adalah salah satu alat usaha dari pendidikan
keseluruhan.
107
Guru dalam bahasa Jawa adalah orang yang digugu (diindahkan)
dan ditiru, digugu dalam arti piwulange (ajarannya) diperhatikan dan
diindahkan oleh siswa, serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu
diikuti oleh siswa dan masyarakatnya karena guru sebagaimana ulama
adalah pewaris sifat dan perilaku Rasulullah saw., yaitu sebagai uswatun
hasanah (contoh atau teladan yang baik) (Roqib, 2009:36). Menurut
Abrasyi (1993:136), guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi
seorang siswa, karena ia yang memberi santapan jiwa dengan ilmu dan
pendidikan akhlak.
b. Syarat-Syarat Guru
Syarat-syarat menjadi guru yang baik dalam konteks pendidikan
Islam, menurut Daradjat (2011) secara umum hendaknya bertaqwa
kepada Allah Swt, berilmu, sehat jasmaninya, baik akhlaknya,
bertanggungjawab, dan berjiwa nasional, sebagaimana uraian berikut:
1) Taqwa Kepada Allah Swt
Guru sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, tidak mungkin
mendidik anak agar bertaqwa kepada Allah Swt, jika ia sendiri tidak
bertaqwa kepada-Nya. Sebab guru adalah teladan bagi siswanya
sebagaimana Rasulullah saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh
mana seorang guru mampu memberi teladan baik kepada siswa-
siswanya sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik
mereka menjadi generasi penerus bangsa yang mulia (Daradjat,
2011:41).
108
2) Berilmu
Keilmuan guru ini salah satunya dibuktikan dengan ijazah
yang dimiliki. Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu
bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan
kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan. Guru pun
harus mempunyai ijazah supaya ia diperbolehkan mengajar
(Daradjat, 2011:41).
3) Sehat Jasmani
Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi
mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap
penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan
siswa-siswa. Guru yang berpenyakit di samping itu juga tidak akan
bergairah dalam mengajar (Daradjat, 2011:41).
4) Berkelakuan Baik
Budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan watak
siswa. Guru harus menjadi suri teladan, karena siswa suka meniru.
Tujuan pendidikan Islam di antaranya ialah membentuk akhlak baik
pada anak dan ini hanya mungkin jika guru itu berakhlak baik pula.
Akhlak yang harus dimiliki oleh guru di antaranya: mencintai
jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua siswanya,
berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, manusiawi,
bekerjasama dengan guru-guru lain, serta bekerja sama dengan
masyarakat (Daradjat, 2011:41).
109
5) Berjiwa Nasional
Bangsa Indonesia terdiri dari beratus suku bangsa yang
berlainan bahasa dan adat istiadat. Guru bertugas untuk menanamkan
jiwa kebangsaan atau nasionalisme dalam diri siswa untuk
menyatukan berbagai perbedaan tersebut. Guru agar mampu
menanamkan nasionalisme dalam diri siswa maka harus memiliki
jiwa nasional (Daradjat, 2011:42).
c. Sifat-Sifat Guru
Syarat-syarat guru seperti uraian di atas adalah syarat-syarat yang
umum, yang berhubungan dengan jabatan guru di dalam masyarakat.
Salah satu syarat umum tersebut ialah guru harus berkelakuan baik,
artinya seorang guru harus memiliki sikap, watak, dan sifat-sifat yang
baik. Abrasyi (1993:137-139) menyebutkan bahwa sebaiknya guru dalam
Islam memiliki sifat-sifat berikut ini:
1) Bersifat zuhud, maksudnya tidak mengutamakan materi, mengajar
dilakukan karena mencari keridhoan Allah Swt. Gaji bagi seorang
pendidik adalah diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa
menerima gaji tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut
merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam
rangka beribadah kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-
Nya sebagi tujuan hakiki;
2) Bersih tubuhnya sehingga penampilan lahiriahnya menyenangkan
dan bersih jiwanya artinya tidak suka melakukan dosa-dosa besar;
110
3) Ikhlas atau tidak ria dan bersikap jujur dalam pekerjaan;
4) Bersifat pemaaf, yakni harus memiliki sifat pemaaf terhadap siswa-
siswanya, banyak bersabar, berkepribadian dan memiliki harga diri,
menjaga kehormatan, dan menghindarkan hal-hal yang hina;
5) Bersifat kebapakan, yakni mencintai siswanya seperti mencintai
anaknya sendiri;
6) Mengetahui karakter siswa, mencakup pembawaan, kebiasaan,
perasaan, dan pemikiran.
Sifat-sifat guru sebagaimana disimpulkan oleh Tafsir (2008:84)
yaitu: kasih sayang kepada siswa, lemah lembut, rendah hati,
menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil, menyenangi ijtihad,
konsekuen antara perkataan dengan perbuatan, dan sederhana.
Selanjutnya menurut Purwanto (2008:143-146), seorang guru yang baik
memiliki sifat-sifat: adil, percaya dan suka kepada siswa-siswanya, sabar
dan rela berkorban, berwibawa, penggembira atau humoris, bersikap baik
terhadap guru-guru lainnya, serta bersikap baik terhadap masyarakat.
Seorang guru menurut Gunawan (2014) harus memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi
teladan bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kepribadian tersebut apabila
dijabarkan adalah sebagai berikut:
1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yang indikatornya
bertindak sesuai norma hukum dan norma sosial. Bangga sebagai guru
dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma;
111
2) Memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri menampilkan
kemandirian dalam bertindak sebagai guru yang memiliki etos kerja;
3) Memiliki kepribadian yang arif, yang ditunjukkan dengan tindakan
yang bermanfaat bagi siswa, sekolah, dan masyarakat, serta
menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak;
4) Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku yang
berpengaruh positif terhadap siswa dan memiliki perilaku yang
disegani;
5) Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan
tindakan yang sesuai norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas,
suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani siswa
(Gunawan, 2014:196).
d. Tugas Guru
Tugas guru bukan hanya mengajar (transfer of knowledge) saja,
tetapi juga sekaligus mendidik, yaitu aktualisasi sifat-sifat Ilahi manusia
dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi
kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Oleh karena itu, tugas-tugas guru
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Sebagai pengajar (mu‟allim) yang bertugas merencanakan program
pengajaran, dan melaksanakan program yang telah disusun, serta
mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian (evaluasi) setelah program
dilaksanakan;
112
2) Sebagai pendidik (murabbi) yang mengarahkan siswa pada tingkat
kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan
Allah Swt menciptakannya;
3) Sebagai pemimpin (manager) yang memimpin dan mengendalikan
diri sendiri dan siswa serta masyarakat terkait yang menyangkut
upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan,
dan antisipasi atas program yang telah dilakukan (Roestiyah dalam
Gunawan, 2014:170).
Tugas dan kewajiban guru menurut Al-Ghazali sebagaimana
dikutip Zainuddin (1991) dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Mengikuti Jejak Rasulullah saw. dalam Tugas dan Kewajibannya
Seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti
Rasulullah saw. yang mewarisi ajaran-ajarannya dan
memperjuangkan dalam kehidupan masyarakat di segala penjuru
dunia, demikian pula perilaku, perbuatan dan kepribadian seorang
guru harus mencerminkan ajaran-ajarannya, sesuai dengan
akhlaknya. Seorang guru seharusnya menilai tujuan dan tugas
mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah Swt
semata. Pandangan ini dapat dilihat dari dua segi: pertama, sebagai
tugas kekhalifahan dari Allah Swt; kedua, sebagai pelaksanaan tugas
ibadah kepada Allah Swt untuk mencari ridho-Nya dan mendekatkan
diri kepada-Nya. Tugas demikian dimaksudkan agar seorang guru
tidak menilai tugasnya hanya sekadar untuk mencari gaji dan
113
kekayaan belaka. Gaji bagi seorang guru adalah diperbolehkan, akan
tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji tersebut bukan tujuan
semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan
mendekatkan diri kepada-Nya sebagai tujuan hakiki (Zainuddin,
1991:59-60).
2) Memberikan Kasih Sayang Terhadap Siswa
Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua
orangtua siswanya, yaitu mencintai siswanya seperti memikirkan
keadaan anaknya. Hubungan psikologis antara guru dan siswanya,
seperti hubungan naluriah antara kedua orangtua dan anaknya,
sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan
berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran
(Zainuddin, 1991:61).
3) Menjadi Teladan bagi Siswa
Seorang guru hendaklah mengerjakan apa yang
diperintahkan, menjauhi apa yang dilarangnya dan mengamalkan
segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya, karena perkataan dan
tindakan guru merupakan teladan bagi siswanya. Oleh karena itu,
seorang guru harus benar-benar dapat digugu dan ditiru, artinya
segala tutur katanya, segala anjurannya, segala nasehat-nasehatnya
harus benar-benar dapat dipercaya, harus benar-benar dapat
digunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman, dan segala gerak
114
geriknya, segala tingkah lakunya harus benar-benar menjadi contoh
(Zainuddin, 1991:62).
4) Menghormati Kode Etik Guru
Setiap guru haruslah menjaga dan memelihara kode etik guru
dalam rangka membantu kemajuan proses pendidikan dan
pengajaran pada umumnya. Kode etik tersebut misalnya seorang
guru tidak boleh melamar suatu pekerjaan; bahwa suatu kontrak
harus dipenuhi hingga selesainya, guru tidak boleh mencampuri
urusan guru lain kecuali dimintai pertolongan, menjaga rahasia siswa
kecuali dipandang perlu untuk disampaikan kepada orang lain
dengan seizin dari yang bersangkutan, sorang guru tidak boleh
mengkritik teman sejawatnya kecuali dengan jujur dan tertulis serta
resmi, dan sebagainya (Zainuddin, 1991:63).
e. Kode Etik Guru
Kode etik guru dalam Islam menurut Al-Kanani dalam Gunawan
(2014) yaitu meliputi: kode etik yang berkaitan dengan diri sendiri, kode
etik yang berkaitan dengan pelajaran, dan kode etik yang berkaitan
dengan siswa.
1) Kode Etik Guru yang Berkaitan dengan Diri Sendiri
a) Guru hendaknya insyaf akan pengawasan Allah Swt terhadap
segala perkataan dan perbuatannya, ia memegang amanat yang
diberikan Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia tidak boleh
115
menghianati amanat itu, justru ia tunduk dan merendahkan diri
kepada Allah Swt;
b) Guru hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk
pemeliharaannya ialah dengan tidak mengajarkan ilmu kepada
orang yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan dunia semata;
c) Guru hendaknya bersifat zuhud, artinya hendaknya ia tidak tamak
terhadap kesenangan dunia;
d) Guru hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan
ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta prestise,
atau kebanggan atas orang lain;
e) Guru hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam
pandangan syara‟, menjauhi situasi yang dapat mendatangkan
fitnah, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan
harga dirinya di mata orang banyak;
f) Guru hendaknya memelihara syiar-syiar Islam, seperti
melaksanakan shalat jama‟ah di masjid, mengucapkan salam, serta
menjalankan amar ma‟ruf nahi mungkar;
g) Guru hendaknya rajin melaksanakan hal-hal yang disunahkan oleh
agama, baik secara lisan maupun perbuatan, seperti membaca Al-
Qur‟an, berzikir, dan shalat tengah malam;
h) Guru hendaknya memelihara akhlak mulia dalam pergaulannya,
dan menghindarkan diri dari akhlak tercela sehingga menjadi
teladan dan panutan;
116
i) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan
hal-hal yang bermanfaat, seperti membaca dan menulis;
j) Guru hendaknya selalu belajar dan bersikap terbuka terhadap
masukan apapun yang bersifat positif dari manapun datangnya
(Gunawan, 2014:181-182).
2) Kode Etik Guru yang Berhubungan dengan Pelajaran
a) Guru sebelum berangkat untuk mendidik hendaknya suci dari
hadas dan kotoran, serta mengenakan pakaian yang baik;
b) Guru selalu berdo‟a terlebih dahulu sebelum berangkat ke tempat
mengajar dan di sepanjang perjalanan selalu berzikir kepada Allah
Swt;
c) Guru ketika di dalam ruang belajar mengambil posisi tempat yang
membuatnya terlihat oleh semua siswa;
d) Guru sebelum memulai pelajaran hendaknya membaca sebagian
ayat Al-Qur‟an dan kemudian membaca basmalah, agar
memperoleh berkah dalam mengajar;
e) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai hirarki nilai,
kemuliaan, dan kepentingannya, serta berupaya mendasarkan
materi pelajaran dengan Al-Qur‟an dan hadits;
f) Guru hendaknya selalu mengatur volume suaranya sehingga tidak
terlalu keras ataupun terlalu pelan;
117
g) Guru hendaknya memperhatikan tata cara penyampaian materi
pelajaran yang baik, sehingga apa yang disampaikan mudah
dicerna oleh siswa;
h) Guru hendaknya selalu menanamkan akhlak terpuji kepada siswa,
termasuk menegur siswa yang berbuat tercela, baik di dalam
maupun di luar ruangan belajar;
i) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan,
menyampaikan pelajaran, dan menjawab pertanyaan;
j) Guru harus berusaha mempersatukan hati siswanya antara satu
dengan lainnya, khususnya jika ada siswa baru;
k) Guru hendaknya menutup setiap akhir pelajaran dengan kalimat
wallahu a‟lam (Allah Swt Yang Maha Tahu), yang menunjukkan
penyerahan kembali segala urusan kepada Allah Swt;
l) Guru hendaknya tidak mengajar bidang studi yang tidak
dikuasainya, ini adalah salah satu wujud memuliakan ilmu
(Gunawan, 2014:183-184).
3) Kode Etik Guru yang Berkaitan dengan Siswa
a) Guru hendaknya mengajar dengan niat mencari ridho Allah Swt,
menyebarkan ilmu, menghidupkan syara‟, menegakkan kebenaran
dan melenyapkan kebatilan, serta memelihara kemaslahatan umat;
b) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar siswa yang tidak
mempunyai niat tulus dalam belajar;
118
c) Guru hendaknya mencintai siswanya seperti ia mencintai dirinya
sendiri;
d) Guru hendaknya memotivasi siswanya agar menuntut ilmu seluas
mungkin;
e) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang
mudah dimengerti, dan berusaha agar siswanya dapat memahami
pelajaran;
f) Guru hendaklah melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar
mengajar yang dilakukannya;
g) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua siswanya;
h) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan
siswanya, seperti apabila ada siswa yang sakit, ia menjenguknya,
dan apabila ada yang kehabisan bekal, hendaklah ia
membantunya;
i) Guru hendaknya terus memantau perkembangan siswanya, baik
intelektual maupun akhlaknya (Gunawan, 2014:184-185).
Uraian mengenai guru di atas dapat disimpulkan bahwa guru
menurut penulis dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang bertugas
untuk mengupayakan perkembangan potensi siswa, baik jasmani maupun
rohani melalui proses pengajaran. Istilah guru yang terkadang muncul pada
pembahasan selanjutnya dalam penelitian ini maknanya disamakan dengan
pengertian guru tersebut, dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam
memaknai setiap bagian dalam penelitian ini.
119
Tugas seorang guru yaitu sebagai pengajar, guru dan pemimpin,
yang berlandaskan keteladanan terhadap sifat-sifat Rasulullah saw.
Selanjutnya, syarat seorang guru yaitu umur sudah dewasa, sehat jasmani,
bertaqwa, berilmu, dan berakhlak mulia. Kode etik yang harus ditaati oleh
guru yaitu berupa etika yang berkaitan dengan diri sendiri; berupa
persyaratan akhlak guru, etika berkaitan dengan pelajaran yaitu mengenai
adab dalam proses belajar mengajar, serta etika yang berkaitan dengan siswa
yaitu mengenai sikap seorang guru terhadap siswa.
2. Siswa
a. Pengertian dan Hakikat Siswa
Siswa dalam perspektif pendidikan Islam merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang
masih perlu dikembangkan. Siswa merupakan makhluk Allah Swt yang
memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf
kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan bagian-
bagiannya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,
perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan (Rasyidin
dan Nizar, 2005:47).
Siswa memerlukan bimbingan orang lain; dalam hali ini ialah
guru, untuk membantu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang
dimiliki, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Oleh karena itu,
pemahaman konkrit tentang siswa perlu diketahui oleh guru, supaya
dapat membantu pelaksanaan tugas dan fungsinya melalui berbagai
120
aktivitas kependidikan. Siswa pada hakikatnya memiliki beberapa
karakteristik yang perlu dipahami oleh guru, yaitu sebagai berikut:
1) Siswa bukan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya
sendiri. Hal ini penting untuk dipahami oleh guru agar perlakuan
terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan
pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar,
materi yang diajarkan, sumber bahan yang digunakan, dan lain
sebagainya;
2) Siswa adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi
perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini perlu diketahui
agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh
siswa;
3) Siswa adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang
menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
Kebutuhan tersebut di antaranya adalah kebutuhan biologis, kasih
sayang, rasa aman, harga diri, aktualisasi diri dan sebagainya;
4) Siswa adalah makhluk Allah Swt yang memiliki perbedaan
individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun
lingkungannya. Hal ini penting untuk dipahami guru, karena
menyangkut bagaimana pendekatan yang sesuai dengan aneka ragam
sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa
harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok;
121
5) Siswa merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan
rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan
dan pembiasaan melalui proses pendidikan. Sedangkan unsur rohani
meliputi dua daya, yaitu daya akal dan rasa. Daya akal dipertajam
melalui proses pendidikan dengan mengasah daya intelektualitasnya
melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa
dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Konsep ini
bermakna bahwa proses pendidikan Islam hendaknya dilakukan
dengan memandang siswa secara utuh;
6) Siswa adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Tugas guru di sini
adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan
tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa
melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun
horizontal (Rasyidin dan Nizar, 2005:48-50).
b. Sifat-Sifat Ideal Siswa
Sifat-sifat ideal yang harus dimiliki oleh siswa misalnya:
berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang
tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa dan lain sebagainya (Rasyidin
dan Nizar, 2005:52). Berkenaan dengan sifat-sifat ideal tersebut, Al-
Ghazali sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar (2005:52-53)
merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki siswa menjadi sepuluh
macam sifat, yaitu:
122
1) Belajar dengan niat ibadah, konsekuensi dari sikap ini siswa akan
senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul karimah dalam
kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan akhlak yang
rendah (tercela);
2) Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding
ukhrawi dan sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua
dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk
melaksanakan amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal;
3) Bersikap tawadhu‟ (rendah hati);
4) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran;
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu
agama;
6) Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran
yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak);
7) Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada
ilmu yang lainnya;
8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari;
9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi;
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan,
mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup di dunia dan
akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.
123
c. Tugas dan Kewajiban Siswa
Tugas dan kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan dan
dikerjakan oleh setiap siswa menurut Abrasyi (1993:147-148) di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Sebelum mulai belajar, siswa didik harus terlebih dahulu
membersihkan hatinya dari segala sifat buruk, karena belajar dan
mengajar adalah termasuk ibadah;
2) Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwanya dengan
fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan untuk
menonjolkan diri dan berbangga diri;
3) Hendaknya bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air untuk
mencari ilmu ke tempat yang jauh sekalipun;
4) Jangan terlalu sering menukar guru, kecuali dengan pertimbangan
yang matang;
5) Hendaklah ia menghormati guru, memuliakannya karena Allah Swt,
dan berupaya menyenangkan hatinya;
6) Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, dan jangan
melakukan suatu aktivitas dalam belajar kecuali atas petunjuk dan
izin guru;
7) Memaafkan guru apabila mereka bersalah, terutama dalam
menggunakan lidahnya;
8) Bersungguh-sungguh dan tekun belajar;
124
9) Siswa wajib saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya
sebagai wujud untuk memperkuat rasa persaudaraan;
10) Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya;
11) Siswa hendaknya senantiasa mengulang pelajaran dan menyusun
jadwal belajar dengan baik guna meningkatkan kedisiplinan
belajarnya;
12) Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai
akhir hayat.
Siswa berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai anak
yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi untuk dikembangkan. Ia
hakikatnya memiliki perbedaan dengan individu lain, mempunyai berbagai
kebutuhan dan periode perkembangan yang harus pahami dan diupayakan
oleh guru.
3. Materi Pendidikan Islam
Materi dalam pendidikan Islam yaitu semua ilmu yang berasal dari
Allah Swt. Ilmu tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu
perennial knowledge (pengetahuan abadi) dan acquired knowledge
(pengetahuan yang diperoleh). Pengklasifikasian tersebut dimaksudkan
sekadar untuk membedakan cara atau proses perolehannya, bukan untuk
memisahkan keduanya.
125
a. Ilmu Pengetahuan Abadi yang Bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah (Perennial Knowledge)
Ilmu pengetahuan abadi ini secara esensial tidak mengalami
perkembangan dan perubahan. Tetapi dalam penjabarannya dan
pemahamannya mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan
perkembangan zaman. Isi kandungan ilmu ini secara garis besar meliputi:
aqidah, syari‟ah, dan akhlak.
1) Aqidah
Aqidah secara etimologi berarti keyakinan hidup dan secara
khusus berarti iman yakni kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan
lisan, dan diamalkan dengan perbuatan (anggota badan). Objek materi
pembahasan aqidah pada umumnya ialah rukun iman yang enam
yakni: iman kepada Allah Swt, kepada malaikat, kepada kitab-kitab
Allah Swt, kepada rasul-rasul Allah Swt, kepada hari akhir, serta iman
kepada qadha dan qadar. Aqidah merupakan landasan paling utama
bagi hidup dan kehidupan manusia yang akan memberikan motivasi
dan pengendali aktivitas manusia. Oleh karena itu, aqidah harus
ditanamkan kepada siswa sejak dini (Achmadi, 1992:81-82).
2) Syari‟ah
Syari‟ah secara etimologi berarti jalan, dan secara terminologi
berarti suatu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan denga alam.
Syari‟ah menurut Achmadi (1992:83) mencakup dua aspek yaitu:
126
hubungan secara langsung antara manusia dengan Allah yang disebut
ibadah khusus (vertikal) dan hubungan manusia dengan sesama
manusia yang disebut mu‟amalah ma‟annas.
3) Akhlak
Akhlak ialah segala tuntunan dan ketentuan Allah Swt yang
membimbing watak, sikap, dan tingkah laku manusia agar bernilai
luhur sesuai dengan fitrahnya. Secara rinci akhlak dalam Islam dibagi
menjadi:
a) Akhlak manusia terhadap Al-Khaliq (Allah Swt);
b) Akhlak manusia terhadap dirinya sendiri;
c) Akhlak manusia terhadap sesama manusia;
d) Akhlak manusia terhadap alam lingkungannya (flora dan fauna)
(Achmadi, 1992:83).
Akhlak yang cakupannya sangat luas itu, maka sesungguhnya
syari‟ah juga termasuk akhlak. Namun Achmadi (1992) berpendapat
syari‟ah dikhususkan dalam bidang tersendiri atas dasar pertimbangan
bahwa ketentuan syari‟ah lebih tegas, termasuk sangsi hukumnya,
sedangkan akhlak dalam pembidangan ini pada umumnya tidak
disertai sangsi hukum yang jelas. Sifat akhlak hanya mengetuk hati
nurani manusia untuk menentukan sikap dan perbuatan sesuai dengan
bimbingan Ilahi. Pertimbangan individu di sini sangat menentukan,
oleh karenanya hanya imanlah yang dapat memanggil hati nurani
manusia untuk menerima dan melakukan ketentuan tersebut secara
127
ikhlas. Akhlak yang telah dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari dan
telah menjadi milik seseorang akan membentuk watak, dan watak
yang telah dijiwai akhlak Islami akan memperkokoh iman seseorang.
Demikian hubungan iman, akhlak, dan watak yang merupakan tugas
pendidikan Islam untuk mengembangkannya (Achmadi, 1992:83).
b. Ilmu Pengetahuan yang Diperoleh (Acquired Knowledge)
Wilayah kajian ilmu ini ialah meliputi manusia sendiri, sejarah,
dan alam semesta. Ilmu perolehan ini dapat diklasifikasikan menjadi
ilmu-ilmu berikut ini:
1) Imajinatif (seni), meliputi: seni dan arsitektur Islam, bahasa, sastra;
2) Ilmu-ilmu intelektual, meliputi: studi sosial, filsafat, pendidikan,
ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam (termasuk paham-
paham Islam tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial, perang dan
damai), geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi;
3) Ilmu-ilmu alam, meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika,
statistik, fisika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi dan ilmu
ruang, dan sebagainya;
4) Ilmu terapan, meliputi: rekayasa dan teknologi (sipil, mesin, dan
sebagainya), obat-obatan, dan sebagainya;
5) Ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, administrasi umum, ilmu
perpustakaan, ilmu kerumahtanggaan, ilmu komunikasi, dan
sebagainya (Achmadi, 1992:84).
128
Berdasarkan uraian di atas, materi atau isi pendidikan Islam
walaupun secara kasat mata dipisahkan menjadi perennial knowledge dan
acquired knowledge, namun keduanya ialah satu kesatuan. Keduanya
harus diajarkan secara utuh sebagai satu kesatuan dengan tujuan untuk
menambah ketaqwaan siswa. Perennial knowledge dalam pengajarannya
harus diserta penjelasan dari temuan-temuan dalam acquired knowledge,
supaya muatannya selalu mengikuti perkembangan zaman. Acquired
knowledge harus dilandasi dengan ajaran-ajaran di dalam perennial
knowledge, supaya tidak menjadi ilmu yang melenceng dari ketentuan-
ketentuan Islam.
4. Metode Pendidikan Islam
Metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa
dan membangkitkan semangat dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah Nabi saw. Metode-metode tersebut menurut Nahlawi (1992)
meliputi: metode hiwar, metode kisah, metode amtsal, metode keteladanan,
metode pengamalan dan pembiasaan, metode „ibrah dan ma‟uidhah, serta
metode targhib dan tarhib.
a. Metode Dialog (Hiwar) Qur’ani dan Nabawi
Dialog (hiwar) adalah percakapan silih berganti antara dua pihak
atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada
satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Bahan
pembicaraan di dalam percakapan itu tidak dibatasi; dapat digunakan
berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan lain-lain. Hiwar
129
mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi pendengar
pembicaraan itu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak
terlibat langsung dalam pembicaraan, sehingga tidak membosankan;
kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti pembicaraan secara terus-
menerus karena ingin tahu kesimpulannya; ketiga, metode ini dapat
membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa; keempat,
jika hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak dan tuntunan Islam,
maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat itu akan memberikan
pengaruh positif bagi peserta yaitu berupa pendidikan akhlak, sikap
dalam bicar, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya (Nahlawi,
1992:284-285).
Metode hiwar menurut Nahlawi (1992) terdapat dalam Al-Qur‟an
dan Sunnah Nabi saw. Hiwar yang terdapat dalam Al-Qur‟an misalnya
hiwar Khitabi atau Ta‟abudi, merupakan metode dialog yang diambil
dari dialog antara Tuhan dan hamba-Nya di dalam Al-Qur‟an (Nahlawi,
1992:290). Hiwar yang berasal dari Sunnah Nabi adalah metode dialog
yang digunakan Rasulullah saw. untuk mendidik para sahabat-
sahabatnya. Rasulullah saw. menghendaki agar para sahabatnya yang
memulai pertanyaan (Nahlawi, 1992:323).
b. Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi
Kisah dalam pendidikan Islam mempunyai fungsi edukatif yang
sangat penting. Hal ini disebabkan kisah Qur‟ani dan Nabawi memiliki
130
beberapa keistimewaan yang membuatnya mempunyai dampak
psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi, dan luas jangkauannya
seiring dengan perkembangan zaman. Metode kisah dikatakan amat
penting karena alasan antara lain sebagai berikut:
1) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar
untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya;
2) Kisah Qur‟ani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena
penampilan tokoh kisah itu disajikan secara mengena, sesuai dengan
tempatnya, fungsi dan upaya pencapaian tujuan edukatif dari
penyajiannya;
3) Kisah Qur‟ani mendidik perasan keimanan dengan cara: (a)
membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, ridho, cinta; (b)
mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu
puncak yaitu kesimpulan kisah; (c) melibatkan pembaca atau
pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional
(Nahlawi, 1992:331-335).
Kisah-kisah Nabawi tidak berbeda dengan kisah-kisah Qur‟ani,
akan tetapi ditinjau dari segi tujuannya merupakan sebuah rincian atau
pengkhususan dari tujuan kisah Qur‟ani. Kisah-kisah Nabawi itu seperti
tentang keikhlasan dalam beramal shalih, menganjurkan bersedekah dan
mensyukuri nikmat Allah Swt (Nahlawi, 1992:344-347).
131
c. Metode Perumpamaan (Amtsal)
Allah Swt ada kalanya mengajari umatnya dengan membuat
perumpamaan, misalnya dalam Surah Al-Ankabut ayat 41 Allah Swt
mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir dengan sarang
laba-laba, ayat tersebut berbunyi:
Artinya:
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-
pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat
rumah. Dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Q.S. Al-Ankabut:
41).
Metode perumpamaan seperti dalam ayat-ayat Al-Qur‟an juga
dapat digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu
sama dengan metode kisah, yaitu dengan cara ceramah atau membaca
teks. Kebaikan metode ini antara lain sebagai berikut:
1) Mempermudah siswa dalam memahami konsep yang abstrak, ini
terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti
kelemahan Tuhan orang kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba;
2) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat
dalam perumpamaan tersebut;
132
3) Merupakan pendidikan agar dapat berpikir logis dalam menggunakan
perumpamaan itu. Perumpamaan yang dibuat harus mampu
memperjelas konsep, bukan sebaliknya;
4) Amtsal Qur‟ani dan Nabawi dapat memberikan motivasi kepada
pendengarnya untuk melakukan amal baik dan menjauhi segala
kemungkaran (Nahlawi, 1992:355-362).
d. Metode Teladan
Siswa cenderung meneladani gurunya; ini diakui oleh semua ahli
pendidikan, baik Barat maupun Timur. Dasarnya ialah karena secara
psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelek
pun ditirunya. Sifat siswa itu diakui dalam Islam. Umat meneladani Nabi
saw.; Nabi saw. meneladani Al-Qur‟an. Keteladanan dalam pandangan
Islam dapat dipetik beberapa konsep, di antaranya yaitu:
1) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Kepala sekolah,
guru, dan semua aparat sekolah merupakan teladan bagi siswa di
sekolah. Dalam pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para
pemimpin masyarakat, misalnya para da‟i;
2) Teladan untuk umat Islam khususnya para guru adalah Rasulullah
saw. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain
Rasulullah saw., sebab beliau adalah teladan yang baik. Rasulullah
saw. meneladankan bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan,
karena Rasulullah saw. adalah penafsir ajaran Tuhan (Nahlawi,
1992:366-367).
133
Manusia secara psikologis memang membutuhkan tokoh teladan
dalam hidupnya; ini adalah sifat pembawaan. Taqlid (meniru) adalah
salah satu sifat pembawaan manusia. Peneladanan itu ada dua macam,
yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladan yang tidak sengaja di
antaranya adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat
keikhlasan, sedangkan keteladanan yang disengaja seperti memberikan
contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar. Keteladanan
yang disengaja ialah keteladanan yang memang disertai penjelasan atau
perintah agar meneladani. Dalam pendidikan Islam, kedua keteladanan
tersebut sama pentingnya (Nahlawi, 1992:372).
e. Metode Pengamalan dan Pembiasaan
Islam adalah agama yang menuntut pemeluknya supaya
mengerjakan amal shalih. Sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa ilmu
akan berkurang dengan tidak mengamalkan, menyerukan, dan
mengerjakannya kepada orang-orang. Oleh karena itu, dalam dunia
pendidikan, metode “learning by doing” atau dengan jalan
mengaplikasikan teori dengan praktik sangat terkesan dalam jiwa,
mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan dalam ingatan
(Nahlawi, 1992:375-376).
Suatu amalan sebaiknya dilakukan secara terus-menerus supaya
menjadi sebuah kebiasaan. Maka dalam pendidikan Islam digunakan
metode pembiasaan untuk pembinaan sikap. Anak-anak yang dibiasakan
bangun pagi misalnya, akan berpengaruh dalam segala aktivitas
134
hidupnya. Ia akan mengerjakan pekerjaan lain pun cenderung pagi-pagi
atau lebih awal. Ahli-ahli pendidikan sepakat untuk membenarkan
metode pembiasaan sebagai salah satu upaya yang baik dalam
pembentukan manusia dewasa (Tafsir, 2008:144). Metode pengamalan
dan pembiasaan dapat menggugah akhlak yang baik pada jiwa siswa
sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih istiqamah, karena
merasakan dirinya sukses dalam perbuatan dan pekerjaannya.
f. Metode Pelajaran (‘Ibrah) dan Nasehat (Mau’idhah)
„Ibrah dan i‟tibar adalah suatu kondisi psikis yang
menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang
dihadapi dengan menggunakan nalar sehingga kesimpulannya dapat
mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya atau dengan kata lain „ibrah
ialah suatu kondisi yang memungkinkan manusia sampai dari
pengetahuan konkrit kepada pengetahuan yang abstrak (Nahlawi,
1992:390). Adapun ma‟uidhah adalah nasehat yang lembut yang diterima
oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya (Nahlawi,
1992:403).
g. Metode Janji (Targhib) dan Hukuman (Tarhib)
Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat
yang disertai bujukan. Tarhib adalah ancaman dari Allah Swt atas dosa
yang dilakukan, dengan maksud untuk menumbuhkan rasa takut pada
hamba-Nya. Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dengan
metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan
135
utamanya ialah targhib dan tarhib berdasarkan ajaran Allah Swt,
sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran
duniawi. Perbedaan antara targhib dan tarhib dengan ganjaran dan
hukuman di antaranya sebagai berikut:
1) Targhib dan tarhib mengandung aspek iman, sedangkan ganjaran dan
hukuman tidak mengandung aspek iman;
2) Targhib dan tarhib secara operasional lebih mudah dilaksanakan
daripada metode ganjaran dan hukuman karena materi targhib dan
tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, sedangkan ganjaran
dan hukuman harus ditemukan sendiri oleh guru;
3) Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja
dan di mana saja, sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus
disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu;
4) Targhib dan tarhib di pihak lain lebih lemah daripada ganjaran dan
hukuman, karena ganjaran dan hukuman lebih nyata dan langsung
waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan
ghaib dan diterima nanti (di akhirat) (Tafsir, 2008:147).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode-metode
dalam pendidikan Islam seperti metode hiwar, metode kisah, metode
amtsal, metode keteladanan, metode pengamalan dan pembiasaan, metode
„ibrah dan ma‟uidhah, serta metode targhib dan tarhib, semuanya bertujuan
untuk membentuk kepribadian siswa berdasarkan nilai-nilai Islam.
136
5. Alat dan Media Pendidikan Islam
Alat pendidikan dalam banyak kasus menjadi rancu karena
dipersamakan dengan media pendidikan. Alat dapat disebut dengan
hardware atau perangkat keras, yang berfungsi untuk menyajikan pesan,
seperti: LCD, Komputer, Televisi, VCD, speaker, dan sebagainya.
Sedangkan media pendidikan yaitu bahan atau perangkat lunak (software)
yang di dalamnya mengandung pesan-pesan yang perlu disajikan,
contohnya: video, film, slide power point, rekaman, musik, dan lain
sebagainya (Roqib, 2009:69).
Alat dan media pendidikan dengan perkembangan teknologi saat ini
bukan hanya berperan sebagai alat bantu belaka bagi guru, tetapi juga
sebagai alat penyalur pesan dari guru kepada siswa. Media pendidikan
sebagai salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan akan
membantu mengatasi hambatan psikologis, fisik, kultural, dan lingkungan.
Media pendidikan juga dapat membantu perbedaan gaya belajar, cacat
tubuh, atau hambatan jarak geografis, minat, intelegensi, keterbatasan daya
indera, jarak waktu, dan lain-lain (Roqib, 2009:70).
Dalam perspektif pendidikan Islam, kewajiban membuat media
dengan memanfaat perkembangan iptek dan keharaman mengacuhkannya
adalah bagian dari aktualisasi amar ma‟ruf nahi mungkar. Perkembangan
teknologi walaupun memiliki dua sisi yang saling bertentangan; positif dan
negatif, akan tetapi guru harus mampu mengambil sisi positifnya, yaitu
137
mengambil yang penting dan bermanfaat bagi pengembangan proses
pendidikan Islam (Roqib, 2009:71).
Pada masa sekarang, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, proses belajar mengajar tidak dapat dilepaskan dari media
modern. Guru dapat memanfaatkan teknologi modern untuk membuat media
sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih menarik. Guru, misalnya
dapat memanfaatkan jaringan internet untuk membuat blog atau website
yang berisi materi pembelajaran yang dibutuhkan dan dapat diakses oleh
peserta didik serta masyarakat umum. Power point juga dapat digunakan
oleh guru untuk menyampaikan materi pelajaran secara lebih ringkas,
menarik, dan mudah dipahami siswa, apalagi jika dilengkapi dengan musik,
bagan, grafik, gambar, bahkan video.
6. Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan merupakan suatu institusi, media, forum, atau
situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses
pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi yang telah
diciptakan sebelumnya (Roqib, 2009:121). Lembaga pendidikan secara garis
besar dibagi menjadi tiga: (1) lembaga pendidikan formal; (2) lembaga
pendidikan informal; (3) lembaga pendidikan non formal, yaitu sebagai
berikut:
a. Lembaga Pendidikan Formal
Lembaga pendidikan formal seringkali dilekatkan dengan
lembaga sekolah yang memiliki tujuan, sistem, kurikulum, gedung,
138
jenjang, dan jangka waktu yang telah tersusun rapi dan lengkap. Sekolah
didirikan dengan maksud untuk menyampaikan pendidikan dan ilmu
pengetahuan dengan sistem yang teratur dan metode yang sistematik.
Guru melaksanakan pembinaan, pendidikan, dan pengajaran di lembaga-
lembaga pendidikan formal ini dengan dibekali pengetahuan tentang
siswa, serta memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
kependidikan. Fungsi sekolah dalam konsep Islam adalah sebagai media
merealisasikan pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah, dan
syari‟ah demi terwujudnya penghambaan (pengabdian) kepada Allah
Swt, sikap mengesakan-Nya serta mengembangkan segala potensi atau
fitrahnya sehingga manusia terhindar dari berbagai penyimpangan
(Kaelany, 2000:251-252).
b. Lembaga Pendidikan Informal
Lembaga pendidikan informal yaitu keluarga sebagai lingkungan
pendidikan pertama yang berperan penting dalam membentuk
kepribadian anak. Rumah keluarga muslim merupakan benteng utama
tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Keluarga muslim
maksudnya adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada
pembentukan keluarga yang sesuai dengan syari‟ah Islam. Di dalam
rumah itu anak akan dididik antara lain agar ia dapat mendirikan syari‟ah
Islam. Di dalam keluarga itu juga diharapkan dapat terwujud ketentraman
psikologis jika kedua suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang
sehingga anak-anak pun akan tumbuh dalam suasana bahagia, percaya
139
diri, tenteram, kasih sayang serta jauh dari kekacauan (Kaelany,
2000:250).
c. Lembaga Pendidikan Non Formal
Lembaga pendidikan non formal keberadaannya berada di luar
sekolah atau di masyarakat, dan masyarakat itulah yang mengkondisikan
dan menjadi guru atau pendidik sekaligus sebagai subjek didik. Lembaga
pendidikan non formal misalnya pesantren dan masjid.
1) Pesantren
Pesantren adalah lingkungan masyarakat tempat para santri
menuntut ilmu (Sri Sutjianingsih dan Sutrisno Kutoyo dalam Saerozi,
2013:7). Ciri-ciri khas pesantren yang membedakannya dengan
lembaga pendidikan lainnya adalah: (1) adanya pondok tempat tinggal
kiai dan santrinya; (2) adanya masjid sebagai tempat kegiatan ibadah
dan belajar-mengajar (pengajian); (3) santri bertempat tinggal secara
tetap dalam waktu yang relatif lama (bermukim); (4) kiailah yang
menjadi tokoh sentral dalam pesantren; dan (5) yang diajarkan adalah
kitab-kitab Islam klasik sebagai kelanjutan dari pengajian Al-Qur‟an
(Dhofier, 1983:44).
2) Masjid
Aktivitas pertama Rasulullah saw. ketika di Madinah adalah
membangun masjid, karena masjid merupakan suatu tempat yang
dapat menghimpun berbagai jenis kegiatan kaum muslimin. Masjid
selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga digunakan seluruh umat
140
muslim untuk membahas dan memecahkan persoalan hidup,
bermusyawarah untuk mewujudkan berbagai tujuan, menjauhkan diri
dari kerusakan, serta menghadang berbagai penyelewengan aqidah.
Sesuatu yang sudah mulai terlupakan pada zaman ini, dahulu masjid
digunakan sebagai markas besar tentara, dan merupakan pusat
pendidikan yang mengajak manusia pada keutamaan, kecintaan pada
pengetahuan, kesadaran sosial, serta sebagai sarana dalam mengisi
hati kaum muslimin dengan kekuatan spiritual serta berzikir
mengingat dan mendekatkan diri kepada-Nya (Kaelany, 2000:250).
Lembaga pendidikan Islam seperti yang telah diuraikan di atas,
masing-masing memiliki peranan yang amat penting bagi perkembangan
siswa. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama, seharusnya
mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran Islam yang berfungsi sebagai
pedoman moral anak dalam bergaul dengan masyarakat luar. Sekolah atau
madrasah merupakan pendidikan formal yang wajib ditempuh siswa sebagai
bekal masa depannya. Pesantren maupun masjid sebagai lembaga
pendidikan non formal sekaligus keagamaan yang diperlukan oleh anak
dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang ajaran Islam serta
mempertebal keimanan.
141
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Konsep Etos Kerja Islami
1. Perpaduan Berbagai Konsep dalam Etos Kerja Islami
Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang
berorientasi bukan sekadar pada aspek materi tetapi lebih dalam dari itu
untuk mengabdi kepada Allah Swt sehingga ridho-Nya dapat diraih. Etos
kerja Islami memiliki prinsip di antaranya bahwa bekerja itu harus
sepenuh hati karena merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt.
Bekerja sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt termasuk ibadah
dalam arti luas, maka umat muslim hendaknya menyeimbangkan
hidupnya dengan beribadah mahdhah dan juga bermuamalah, hablum
minallah dan hablumminannas. Beribadah mahdhah seperti shalat,
memang diwajibkan atas umat muslim, tetapi Islam tidak menghendaki
manusia yang mengisi seluruh waktunya dengan hanya beribadah
mahdhah, mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat, dan
melalaikan tugas-tugasnya sebagai khalifah Allah Swt untuk menciptakan
kemakmuran di muka bumi.
Etos kerja Islami menempatkan kerja sebagai aktivitas yang mulia.
Kerja sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat duniawi sekaligus sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
142
Etos kerja Islami menempatkan hasil materi bukan sebagai tujuan
tertinggi dalam bekerja, melainkan hanya sebatas sarana untuk mencapai
kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, tujuan tertinggi dari kerja seorang
muslim yang beretos kerja Islami ialah pengabdian kepada Allah Swt
dengan sepenuh jiwa, pikiran, dan fisik untuk meraih ridho-Nya. Supaya
dengan ridho Allah Swt tersebut, manusia dimasukkan dalam golongan
penghuni surga. Konsep-konsep dalam etos kerja Islami begitu moderat
dalam memposisikan kerja dalam kehidupan manusia.
a. Bekerja Sesuatu yang Fitrah dan Amanah
Manusia diciptakan Allah Swt dengan segenap potensi, baik
ruhani, jasmani, maupun akal. Potensi-potensi tersebut yang
membedakan manusia dari binatang dan memperoleh kedudukan
sebagai makhluk yang paling mulia. Manusia dengan bekerja maka
potensi dalam dirinya akan berkembang secara optimal, karena
bekerja merupakan aktualisasi diri (Syahyuti, 2011:147). Artinya,
dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya. Islam berpandangan
bahwa manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman,
ilmu, dan amal (Tasmara, 2002:4). Iman akan menjadi nyata dengan
adanya amal yang dihiasi moral yang luhur yang dapat membawa ke
jalan yang lurus. Jalan yang lurus akan diperoleh melalui ilmu. Oleh
karena itu, seorang muslim dalam bekerja harus dilandasi dengan
iman dan ilmu yang dapat membawa kepada jalan yang lurus, supaya
manusia dapat memanusiakan dirinya.
143
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia, maka amanat
untuk memakmurkan bumi pun dilimpahkan kepadanya. Gelar
khalifatullah fil ardhi atau khalifah Allah Swt di bumi membawa
konsekuensi bagi manusia untuk bekerja dengan penuh kesungguhan,
bukan kerja yang asal-asalan apalagi hanya bermalas-malasan.
Manusia dianjurkan untuk bekerja giat dan berkompetisi dalam
melakukan pekerjaan yang baik, sebagaimana telah disebutkan dalam
surat Al-Baqarah ayat 148, artinya: “... Maka berlomba-lombalah
kamu dalam (berbuat) kebaikan ....”. Hanya dengan bekerja dengan
penuh kesungguhan manusia dapat menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terbaik (khairu
ummah) yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Bekerja merupakan perintah Allah Swt yang banyak termuat
dalam firman-Nya. Salah satunya dalam Q.S. Ar-Ra‟du ayat 11
dijelaskan bahwa Allah Swt tidak akan mengubah keadaan suatu
kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya. Ayat ini
menyiratkan perintah Allah Swt kepada umat manusia untuk bekerja
agar mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan
kehidupan yang lebih baik maka manusia dapat meninggikan
martabatnya.
b. Bekerja adalah Ibadah
Tugas setiap manusia dan juga jin ialah ibadah;
menghambakan diri kepada Allah Swt. Ibadah sebagai tugas hidup
144
adalah mencakup semua aspek kehidupan (ucapan, perbuatan, dan
lain-lain) yang diizinkan oleh Allah Swt dan dilaksanakan dengan
ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Ibadah dalam pengertian
khusus (terminologi fiqh) berarti perbuatan atau upacara dalam
melaksanakan hubungan langsung dengan Allah Swt. Termasuk dalam
pengertian ini adalah rukun Islam yang lima. Ibadah dalam arti khusus
utamanya rukun Islam yang lima telah diatur tata caranya secara pasti
(Faridi, 1982:87-88). Ibadah baik sebagai tugas hidup maupun ibadah
ritual memiliki kedudukan yang sama pentingnya dan harus dilakukan
seluruhnya tanpa meninggalkan salah satu di antaranya.
Bekerja adalah salah satu aspek dari kehidupan manusia yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan guna
mempertahankan kelangsungan hidup. Bekerja merupakan sarana
untuk memanusiakan manusia dan meninggikan martabatnya di
hadapan Allah Swt. Bekerja adalah termasuk ibadah, apabila
dilaksanakan dengan ikhlas, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
dikehendaki Allah Swt dan tujuan tertingginya untuk meraih ridho
Allah Swt. Bekerja sebagai ibadah berarti kerja yang dilakukan
didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt sehingga bekerja
termasuk amal shalih. Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang yang beramal shalih, seperti tertulis dalam firman Allah Swt
surah Al-Kahfi ayat 30 berikut ini:
145
Artinya:
Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal shalih,
tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. (Q.S. Al-
Kahfi: 30).
Bekerja sebagai ibadah yaitu menghambakan diri kepada Allah
Swt. Bekerja dalam rangka menghambakan diri kepada Allah Swt
Yang Maha Mulia lagi Sempurna tentunya tidak boleh asal-asalan,
melainkan harus dilaksanakan dengan ikhlas, sepenuh hati, dan penuh
kesungguhan. Bekerja sebagai ibadah harus diiringi oleh tujuan untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, kemudian melahirkan suatu
peningkatan atau perbaikan untuk meraih nilai yang lebih bermakna.
Bekerja sebagai ibadah merupakan bukti pengabdian dan rasa syukur
umat muslim untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar
mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi
diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik
(Tasmara, 2002:25).
Bekerja merupakan ibadah, maka sebagai muslim jangan
sampai terjebak hanya pada ibadah ritual saja dan menganggap kerja
hanya sebagai aktivitas duniawi yang tidak bernilai ibadah. Anggapan
tersebut tentunya tidak benar. Islam merupakan agama yang kaffah,
mementingkan urusan dunia dan akhirat, hablumminallah dan
hablumminannas, aqidah dan syari‟ah, jasmani dan rohani, individu
146
dan sosial, serta pasangan-pasangan yang lainnya. Sifat menyeluruh
dan seimbang ini dipertegas oleh Al-Qur‟an dan hadits. Dalam Surah
Al-Jumu‟ah ayat 9 dijelaskan bahwa: “Apabila kamu selesai
mengerjakan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah”. Ayat ini menegaskan bahwa manusia yang bertakwa
bukan sekadar yang mengerjakan ibadah ritual melainkan juga
bermuamalah. Rasulullah saw. selanjutnya dalam hadits juga
menjelaskan bahwa beliau tidak menyukai sikap yang berlebihan,
karena beliau orang yang paling takut kepada Allah Swt saja berpuasa
dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita-wanita. Islam
agama yang kaffah, menghendaki pemeluk-pemeluknya untuk
melaksanakan tuntunan agama secara menyeluruh dan seimbang.
c. Bekerja adalah Rangkaian Iman, Hijrah, dan Jihad
Jihad bukan hanya semata-mata dikaitkan dengan perang
secara fisik. Jihad secara umum maknanya adalah kesungguhan untuk
mengerahkan segala kekuatan atau potensi dirinya di dalam
melaksanakan sesuatu dan meninggikan martabat dirinya sebagai
manusia yang mengemban misi sebagai rahmatan lil „alamin
(Tasmara, 2002:37). Oleh karena itu, secara sederhana jihad diartikan
sebagai bersungguh-sungguh. Allah Swt bahkan memberikan jaminan
pertolongan serta jalan keluar bagi mereka yang bersungguh-sungguh
dalam segala hal, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt
surah Al-Ankabut ayat 69 sebagai berikut:
147
Artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Ankabut:
69).
Jihad dalam kaitannya dengan kerja islami merupakan
semangat yang bergemuruh dalam setiap pekerjaan yang dilakukan
karena keterpanggilan untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah
Swt. Jihad merupakan bagian dari tiga rangkaian mutiara yang secara
berulang disebutkan di dalam Al-Qur‟an, yaitu rangkaian iman, hijrah,
dan jihad. Iman harus dihidupkan dalam bentuk adanya perubahan
(hijrah). Kualitas iman dan semangat perubahan tidak mungkin dapat
terwujud kecuali dengan adanya jihad, yaitu kesungguhan untuk
membuktikan dalam kehidupan yang nyata (Tasmara, 2002:39).
Bekerja adalah ibadah, ini artinya bekerja harus dilaksanakan
dengan penuh kesungguhan, mengerahkan segala daya dan upaya
secara maksimal, serta dengan semangat yang luar biasa. Bekerja
dengan semangat jihad juga merupakan proyeksi dari keimanan
seorang muslim. Keimanan dalam dirinya membawa keyakinan bahwa
Allah Swt senantiasa mengawasi kerja yang ia lakukan. Keyakinan ini
akan terproyeksikan pada sikap jujur dalam bekerja serta mampu
menghindarkan diri dari sikap-sikap curang atau negatif dalam
bekerja. Kesimpulannya, bekerja dengan semangat jihad ialah bekerja
148
dengan penuh kesungguhan untuk melahirkan perubahan-perubahan
yang lebih baik disetiap waktu, karena Allah Swt selalu mengawasi
kerja yang ia lakukan.
d. Materi Bukan Sekadar Hasil Kerja
Bekerja dalam konteks etos kerja Islami bukan sekadar
berorientasi pada materi, tetapi juga imateri sebagai tujuan tertinggi.
Hasil kerja berupa materi bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil
tersebut adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga
akan dapat melaksanakan perintah-perintah Allah Swt selama di dunia
termasuk melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji.
Ibadah-ibadah mahdhah tersebut tidak mungkin dapat terlaksana
apabila manusia tidak bekerja.
Haji misalnya, membutuhkan biaya yang besar untuk dapat
menunaikannya. Biaya tersebut didapat melalui bekerja tentunya.
Zakat juga demikian, zakat fitrah misalnya, hanya dapat dikeluarkan
oleh seorang muslim yang mampu untuk membayarkannya. Zakat mal
dapat dikeluarkan oleh seorang muslim apabila telah mencapai nisab
dan haul. Nisab tentunya dicapai apabila telah memenuhi kadar
tertentu, artinya orang yang dapat mengeluarkan zakat mal tergolong
orang yang berharta. Ini artinya, materi atau harta bukan sekadar
bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia selama hidup di
dunia. Apalagi harta dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena
dapat membuat manusia lalai dan terlena. Anggapan ini memang
149
benar adanya, yaitu apabila seorang yang berharta tersebut
menganggap harta sebagai tujuan hidupnya, ia takut kehilangannya,
dan menjadi budak hartanya. Harta bagi seorang muslim seharusnya
ditempatkan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah Swt dan
mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat, sehingga tercapailah
tujuan tertinggi dari bekerja yaitu mendapatkan ridho Allah Swt agar
memasukkan ke dalam golongan penghuni surga.
2. Etos Kerja Islami Melahirkan Kerja yang Religius
Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang
bersumber dari keyakinan Islam terhadap kerja, di mana sumber tersebut
dimuat dalam Al-Qur‟an dan hadits. Keyakinan-keyakinan terhadap kerja
yang Islami dapat melahirkan cara-cara kerja yang Islami pula.
a. Produktivitas Tinggi sebagai Proyeksi Hati yang Bersyukur
Seorang muslim seharusnya akan menghindari sikap mubadzir.
Dengan penghayatan ini tumbuhlah sikap yang konsekuen dalam
bentuk perilaku yang selalu mengarah pada cara kerja yang efisien.
Sikap seperti ini merupakan modal dasar dalam upaya menjadikan
dirinya sebagai manusia yang selalu berorientasi kepada nilai-nilai
produktif. Kerja yang efisien dan berorientasi pada produktivitas ini
karena pribadi muslim sangat menghayati arti waktu sebagai aset, ia
tidak mungkin membiarkan waktu berlalu tanpa arti. Penghargaan
terhadap waktu ialah salah satu wujud rasa syukur atas limpahan
nikmat yang Allah Swt berikan kepadanya.
150
b. Bekerja secara Profesional sebagai Proyeksi Nilai Keikhlasan
Bekerja yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, yang
orientasi utamanya ialah meraih ridho Allah Swt maka akan
membuahkan kerja yang profesional. Keikhlasannya untuk
mengabdikan diri kepada Allah Swt akan melahirkan cara-cara kerja
yang profesional yang tentunya disukai oleh Allah Swt. Ia dalam
bekerja di antaranya akan memiliki sikap jujur, konsisten, disiplin,
bertanggungjawab, melayani. Sikap-sikap tersebut ia lakukan secara
ikhlas, tanpa ada pamrih apapun. Meskipun dengan sikap kerja yang
demikian ia akan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan
atau hasil yang tidak sesuai harapan, ia akan tetap menerimanya
dengan senang hati, sebab ia ikhlas dalam kerjanya. Ia yakin, dengan
keikhlasannya Allah Swt akan memberikan balasan yang lebih indah.
Balasan indah baik berupa kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan
berupa surga di akhirat.
c. Kerja Datang dari Cinta sebagai Wujud Pengabdian
Bekerja sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt tentunya
akan dilakukan dengan sepenuh hati dan cinta yang mendalam, supaya
Allah Swt berkenan memberikan ridho-Nya. Ketika seseorang
mengagumi orang lain yang diharapkan akan menjadi kekasihnya,
maka ia akan melakukan apapun dengan sepenuh cinta untuk dapat
memilikinya. Begitupun dengan bekerja, apabila ia sadar bahwa
bekerja merupakan ibadah; pengabdian diri kepada Allah Swt, maka
151
ia akan melakukan kerja dengan sepenuh cinta, supaya Allah Swt juga
mencintainya, mengabulkan do‟anya dan memberikan ridho-Nya.
d. Bekerja dalam Balutan Kompetisi dan Tolong Menolong
Allah Swt memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba atau
berkompetisi (tanafus) di manapun keberadaannya untuk menjadi
hamba yang gemar berbuat kebajikan (Fitriantoro, 2011:28). Semua
ini menunjukkan etos persaingan dalam kualitas kerja yang Islami.
Dalam kaitannya dengan kerja, Islam memerintahkan supaya seorang
muslim dalam bekerja memiliki semangat untuk berkompetisi agar
memperoleh hasil yang terbaik. Kompetisi yang dilakukan harus
dilandasi dengan akhlak yang mulia, bukan kompetisi yang dilakukan
dengan cara curang.
Kompetisi dalam bekerja juga dibarengi dengan sikap saling
tolong menolong (ta‟awun). Seorang muslim walaupun berada dalam
sebuah kompetisi kerja, namun tetap mengutamakan untuk menolong
rekan kerja yang membutuhkan bantuannya. Ia memiliki prinsip,
dengan memudahkan urusan orang lain maka Allah Swt akan
memudahkan segala urusan dirinya. Oleh karena itu, dengan memberi
pertolongan kepada rekan kerjanya, ia akan menjadi seorang yang
memiliki citra baik di hadapan semua orang. Jika ia berhasil dalam
kerjanya, misalnya memperoleh promosi atau kenaikan pangkat,
semua orang di sekitarnya akan ikut senang. Kebaikannya kepada
152
orang-orang di sekitarnya menumbuhkan kecintaan mereka kepada
dirinya serta mampu menghantarkan pada kesuksesan kerjanya.
e. Bekerja secara Sempurna (Itqan)
Kualitas kerja yang itqan yaitu hasil pekerjaan yang dapat
mencapai standar ideal pekerjaan secara teknis. Kerja secara itqan
ntuk itu memerlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal.
Islam menganjurkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih (Fitriantoro, 2011:19).
Seorang muslim yang bekerja dengan landasan itqan selalu
berusaha mengerjakan segala sesuatu secara sempurna atau dengan
standar tinggi. Ia tidak mau bekerja secara asal-asalan, bekerja harus
itqan. Kerja secara itqan membutuhkan ilmu yang mumpuni, karena
kesempurnaan atau idealitas tidak mungkin dicapai dengan
pengetahuan yang terbatas terhadap pekerjaannya. Ia harus ahli dalam
bidangnya; mengetahui apa yang ia kerjakan sampai ke akar-akarnya
dan terus-menerus melakukan perbaikan agar memperoleh hasil yang
lebih baik disetiap waktunya.
f. Bekerja dengan Kreatif dan Gigih sebagai Wujud Sikap Tawakal
Seorang muslim yang kreatif dan gigih dalam kerjanya
memiliki ciri-ciri: motivasi untuk berprestasi yang kuat, komitmen
yang kuat terhadap pekerjaannya, serta penuh inisiatif dan optimisme
(Tasmara, 2002:91-92). Bekerja secara kreatif dan gigih merupakan
wujud sikap tawakal.
153
Seorang muslim yang memiliki sikap tawakal, dalam bekerja
akan berusaha dengan sungguh-sungguh dan ia yakin akan usahanya
tersebut. Setiap kali semangat kerjanya mulai redup ia berdzikir
kepada Allah Swt untuk menumbuhkan dorongan semangat pada
dirinya. Setiap kali diterpa badai tantangan dalam kerjanya, ia segera
memperbaiki dan membenahi diri. Dalam segala hal ia tidak pernah
mencari kambing hitam, ia tidak akan mencari-cari alasan kegagalan
dirinya dengan cara menyalahkan orang lain. Ia menyadari bahwa
apapun yang terjadi dalam kerjanya harus ia hadapi dengan penuh
tanggung jawab. Tidak ada kata pesimis dalam hidupnya. Baginya
melihat sesuatu secara pesimis dan negatif hanya akan menambah
beban dan bukan akan mendapatkan penyelesaian dari persoalan yang
dihadapinya.
g. Zuhud dan Tawadhu
Zuhud bukan berarti menolak segala sesuatu yang bersifat
duniawi. Zuhud dalam konteks etos kerja Islami ialah kepuasan hati
dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tidak ada ikatan hati kepada
harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta hanya sampai
di “tangan”, tidak sampai di “hati” (Syahyuti, 2011:167). Harta bagi
seorang muslim merupakan sarana, bukan tujuan. Harta merupakan
sarana untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Seorang muslim yang
zuhud tidak akan terperdaya oleh harta, karena harta merupakan
sarana untuk ia dapat melaksanakan ibadah dan meraih kebahagiaan
154
akhirat. Harta bukanlah tujuan ia bekerja, bukan pula tujuan dari
hidupnya.
Kezuhudan seorang muslim juga diiringi dengan sikap
tawadhu. Tawadhu adalah sikap merendah tanpa menghinakan diri
(Syahyuti, 2011:154). Tawadhu akan mengangkat derajat seseorang,
bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan menyelamatkan mereka
di dunia dan akhirat. Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang
menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati, dan ketinggian
derajat pemiliknya (Syahyuti, 2011:155). Tawadhu dalam kaitannya
dengan kerja ialah sikap yang senantiasa rendah hati, merasa bahwa ia
bukan siapa-siapa meskipun memiliki kedudukan tinggi dalam
pekerjaannya. Orang yang rendah hati maka hati dan pikirannya selalu
terbuka terhadap gagasan-gagasan atau ide-ide baru. Hal inilah yang
akan membawa kemajuan pesat pada orang yang memiliki sikap
tawadhu. Tampak di luar biasa-biasa saja, namun dibalik tampilan
luarnya tersimpan sesuatu yang luar biasa.
B. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam
Etos kerja Islami hakikatnya adalah iman dan amal. Etos kerja Islami
akan membuahkan kerja yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah Swt.
Kerja yang dilandasi keimanan pada Allah Swt ini akan menciptakan
keyakinan pada diri seorang muslim bahwa bekerja merupakan ibadah, yaitu
dalam segala aktivitasnya diarahkan untuk mencapai ridho Allah Swt. Konsep
iman dan amal juga merupakan bagian dari karakteristik pendidikan Islam.
155
Pendidikan Islam berupaya membentuk manusia yang beriman dan beramal
shalih. Pendidikan Islam selalu menganjurkan amal shalih, yaitu belajar
dengan diaplikasikan dalam tindakan, tidak semata-mata menghafal teori-
teori dan pengetahuan yang tidak mampu membawa pada amal shalih yang
nyata. Artinya, baik pendidikan Islam maupun etos kerja Islami menekankan
pada konsep iman dan amal. Etos kerja Islami dalam pandangan pendidikan
Islam akan dijelaskan pada uraian di bawah ini.
1. Etos Kerja Islami dalam Diri Insan Kamil sebagai Tujuan Pendidikan
Islam
Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat berkenaan
dengan kerja yang bukan sekadar didorong oleh tujuan untuk memperoleh
hasil materi, tetapi yang lebih dalam ialah dorongan untuk memperoleh
hasil imateri yaitu kebahagiaan di akhirat. Artinya, etos kerja Islami ialah
semangat kerja yang berorientasi pada aspek duniawi dan ukhrawi. Etos
kerja Islami secara sederhana dapat dikatakan sebagai semangat kerja yang
dilandasi keyakinan bahwa dunia harus diraih dalam genggaman untuk
bekal meraih kebahagiaan di akhirat.
Etos kerja Islami mencakup unsur-unsur yang saling terintegrasi,
yaitu berupa iman, ilmu, dan amal shalih. Islam berpandangan bahwa
manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman, ilmu, dan amal
(Tasmara, 2002:4). Iman akan menjadi nyata dengan adanya amal yang
dihiasi moral yang luhur yang dapat membawa ke jalan yang lurus. Jalan
yang lurus akan diperoleh melalui ilmu. Oleh karena itu, seorang muslim
156
dalam bekerja harus dilandasi dengan iman dan ilmu yang dapat membawa
kepada jalan yang lurus, supaya manusia dapat memanusiakan dirinya.
Etos kerja Islami akan menjadikan seseorang bersemangat dan
bergairah untuk bekerja karena ia meyakini bahwa setiap pekerjaannya
merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt. Seorang yang beretos
kerja Islami memiliki keyakinan bahwa ia harus berprestasi dalam
kerjanya, ia harus bekerja dengan semangat tinggi dan memperoleh hasil
yang selalu meningkat. Ia yakin jika bekerja dengan niat ikhlas karena
Allah Swt, melakukan kerja dengan baik dan tidak melanggar ketentuan-
Nya maka Allah Swt akan meridhoi apa yang ia kerjakan, sehingga Allah
Swt akan mencatatnya sebagai amal shalih yang merupakan tabungan
untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
Etos kerja Islami selain berpandangan bahwa aktivitas kerja itu
sendiri akan mendatangkan balasan berupa kebahagiaan di akhirat, juga
memiliki pandangan bahwa hasil dari aktivitas kerja yang dilakukan yaitu
berupa materi, merupakan sarana yang dapat digunakan untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sehingga orang yang beretos kerja
Islami disetiap kerjanya selalu diiringi gemuruh semangat untuk mencapai
hasil yang maksimal dan selalu berusaha untuk meningkatkan hasil. Materi
yang dihasilkan dari kerjanya selain ia gunakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sandang papan pangan, juga ditabung untuk bekal di
akhirat. Tabungan akhirat itu diperoleh misalnya dari sedekah yang ia
157
keluarkan, infaq, wakaf, serta amal-amal lainnya yang dapat ia lakukan
karena materi yang dimilikinya.
Orang yang beretos kerja Islami bergairah untuk mendapat hasil
materi, namun materi bukanlah tujuan dari kerjanya. Materi itu
digunakannya sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
Swt, jadi keridhoan Allah Swt merupakan tujuan yang ingin ia capai. Bagi
seorang yang beretos kerja Islami, ibadah ritual seperti shalat belumlah
cukup untuk memenuhi tabungan akhirat. Ia memiliki keyakinan harus
menjadi orang yang sukses dalam kerjanya supaya ia dapat bermanfaat
bagi orang banyak. Dengan kesuksesannya ia dapat berbagi rezeki dengan
orang yang kurang mampu; ia dapat mendirikan yayasan sosial, panti
asuhan, lembaga pendidikan, yang dapat menolong saudara-saudaranya
yang kurang beruntung. Harta yang dimiliki bukanlah untuk dinikmati
sendiri, melainkan ia gunakan untuk kebahagiaan banyak orang. Bagi
orang yang beretos kerja Islami, seluruh aktivitas hidup ialah ibadah.
Mengamalkan rukun Islam yang lima ialah ibadah, bermuamalah untuk
kemaslahatan umat juga ialah ibadah.
Seorang yang beretos kerja Islami seperti uraian di atas merupakan
sosok manusia yang memiliki kepribadian utuh. Ia bekerja secara
profesional dengan dilandasi iman, ilmu, dan amal shalih. Ia bekerja selain
untuk mendapat hasil duniawi yang maksimal, juga berorientasi untuk
mendapat kebahagiaan akhirat atas ridho Allah Swt melalui pekerjaan
yang ia lakukan. Orientasi ukhrawi dalam kerja ini membutuhkan
158
kecerdasan secara ruhani atau dapat dikatakan orang yang beretos kerja
Islami benar-benar menghidupkan iman dalam hatinya.
Hati atau kalbu yang dipenuhi iman memiliki tanda-tanda seperti:
bila ia shalat maka khusyuk dalam shalatnya, bila ia mengingat Allah Swt
maka hatinya menjadi tenang, bila disebut nama Allah Swt bergetar
hatinya, bila dibacakan ayat-ayat Allah Swt mereka bersujud dan
menangis (Tafsir, 2008:46). Dari situlah akan muncul manusia yang
berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah Swt. Orang yang
beretos kerja Islami senantiasa menghadirkan Allah Swt disetiap kerjanya,
ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Oleh karena itu, etos kerja
Islami dapat menjadi spirit bagi terbentuknya kepribadian manusia yang
utuh atau insan kamil.
Insan kamil ialah manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan
Islam. Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang dapat
mendayagunakan seluruh potensi dirinya baik jasmani, akal maupun
ruhani yang dapat menunjang tugas pengabdian (ibadah) dan kekhalifahan
di muka bumi. Manusia yang dapat mendayagunakan jasmani, akal serta
ruhaninya untuk membangun hubungan dengan Allah Swt, bermanfaat
bagi sesama manusia dan alam sekitarnya adalah hakikatnya insan kamil
tersebut.
Pendidikan Islam utamanya di madrasah atau sekolah, dalam
mengupayakan terbentuknya Insan kamil membutuhkan berbagai usaha
yang bersifat praktis. Insan kamil bukan hanya manusia yang cerdas
159
karena memiliki banyak teori, melainkan manusia yang mampu
melakukan tindakan yang nyata baik untuk dirinya, orang-orang di
sekitarnya, dan masyarakat luas, karena Islam mengajarkan iman yang
dibuktikan dengan amal shalih. Maka tindakan pun harus dilandasi dengan
akhlak mulia yang bersumber dari keimanan kepada Allah Swt, supaya
tidak terjun ke dalam tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan agama.
Etos kerja Islami jika diinternalisasikan pada manusia yang terlibat
dalam proses berlangsungnya pendidikan Islam, maka dapat mendobrak
semangat untuk bertindak atau bekerja dengan giat karena keimanannya
kepada Allah Swt. Etos kerja Islami apabila dihayati oleh guru maka akan
menimbulkan semangat untuk mendidik siswa maupun mengemban tugas
lainnya secara maksimal karena ia selalu merasa diawasi Allah Swt dan ia
ingin kerjanya dapat dicatat sebagai amal shalih. Etos kerja Islami apabila
dihayati oleh siswa maka akan melahirkan siswa yang tekun dan semangat
belajar, aktif dalam kegiatan-kegiatan yang positif, serta berakhlak mulia.
Etos kerja Islami dalam pendidikan Islam merupakan spirit untuk
mengupayakan terbentuknya insan kamil. Sebab etos kerja Islami
berlandaskan iman dan amal, begitupun dengan pendidikan Islam.
Pendidikan Islam mengajarkan pendidikan keimanan dan juga amal. Etos
kerja Islami merupakan semangat untuk bekerja yang besumber dari
keimanan kepad Allah Swt. Sehingga etos kerja Islami adalah spirit yang
menjadi penggerak proses berlangsungnya pendidikan Islam untuk
membentuk insan kamil.
160
2. Etos Kerja Islami dalam Karakteristik Pendidikan Islam
a. Karakteristik Filosofis Pendidikan Islam
Etos kerja Islami berlandaskan prinsip bahwa kerja merupakan
bagian dari tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah Swt.
Kerja dalam etos kerja Islami dipandang secara menyeluruh, yaitu
kerja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan sekaligus
sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat karena
bekerja merupakan ibadah. Kerja selain itu juga berdasarkan prinsip
keseimbangan, artinya dalam kehidupan manusia di dunia tidak boleh
berlebih-lebihan dalam beribadah ritual ataupun berlebihan dalam
bekerja. Segala sesuatu yang berlebihan akan membawa pada
keburukan. Ibadah ritual maupun muamalah hendaknya dilaksanakan
sesuai porsinya. Pada waktu bekerja misalnya, ketika sedang sibuk
bekerja dan pekerjaannya masih menumpuk, kemudian terdengar
kumandang adzan, maka pekerjaan yang bertumpuk itu harus
ditinggalkan terlebih dahulu dan bersegera untuk menunaikan shalat,
setelah selesai melaksanakannya bersegera pula untuk kembali pada
pekerjaan tersebut.
Prinsip etos kerja Islami yang menempatkan kerja sebagai
bagian dari ibadah merupakan prinsip yang dapat dijadikan alat untuk
merealisasikan salah satu dari karakteristik filosofis pendidikan Islam.
Pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai sarana untuk
merealisasikan tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah Swt
161
dan sebagai khalifah Allah Swt di bumi. Pendidikan Islam dalam
mengupayakan pembentukan manusia yang dapat merealisasikan tugas
hidupnya maka dibutuhkan alat yang tepat. Alat tersebut salah satunya
ialah etos kerja Islami, karena etos kerja Islami merupakan semangat
untuk bekerja dengan tujuan untuk memperoleh ridho Allah Swt. Etos
kerja Islami akan menumbuhkan kerja yang penuh semangat dan
kesungguhan karena kerjanya merupakan wujud pengabdian kepada
Allah Swt. Kerja itu sendiri merupakan sarana untuk merealisasikan
tugas manusia sebagai khalifah Allah Swt. Tugas sebagai khalifah
tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerja atau amal dalam
kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, etos kerja Islami mampu
melahirkan kerja yang penuh kesungguhan dan dengan kerja itu
mampu mewujudkan tugas untuk beribadah atau mengabdi kepada
Allah Swt dan sebagai khalifah Allah Swt di bumi.
Prinsip menyeluruh adalah karakteristik pendidikan Islam yang
berikutnya. Pendidikan Islam menghargai dan memandang penting
semua pengetahuan yang berguna bagi individu dan masyarakat, tanpa
membeda-bedakan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduniaan. Etos
kerja Islami dalam pendidikan Islam dapat menjadi spirit yang
menggerakkan pola pikir dan tindakan yang bersifat menyeluruh. Etos
kerja Islami mengandung semangat kerja yang orientasinya tidak
memisahkan antara duniawi dan ukhrawi, maupun materi dan imateri.
Etos kerja Islami mendorong seseorang untuk menjadikan kerja
162
sebagai sarana mempertahankan kelangsungan hidup di dunia
sekaligus sarana mengumpulkan bekal untuk kebahagiaan di akhirat.
Etos kerja Islami dapat membentuk cara pandang yang menyeluruh
sebagaimana prinsip pendidikan Islam.
Pendidikan Islam selain berlandaskan pada prinsip menyeluruh
juga menghendaki adanya keseimbangan. Pendidikan Islam
menghendaki keseimbangan antara teori dan praktik, ucapan dan
perbuatan, pendidikan Islam menekankan asas penerapan praktis dan
manfaat bagi individu dan masyarakat dalam menghadapi realitas
hidup (Aly dan Munzier, 2003:63). Pendidikan Islam juga membuat
keseimbangan antara pengembangan kecenderungan spiritual dan
pemenuhan kebutuhan material serta sosial (Aly dan Munzier,
2003:65). Pendidikan Islam selain itu juga membuat keseimbangan
antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat, dengan
tanpa mengabaikan salah satunya (Aly dan Munzier, 2003:65).
Etos kerja Islami seperti halnya pendidikan Islam juga
berlandaskan prinsip keseimbangan, utamanya dalam hal urusan
duniawi dan ukhrawi serta materi dan imateri. Etos kerja Islami
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya berpandangan bahwa antara
kerja dengan ibadah ritual hendaknya seimbang sesuai porsinya
masing-masing. Pandangan bahwa kerja semata-mata hanya
berorientasi materi tanpa adanya nilai spiritual yang terlibat di
dalamnya tidak tepat menurut pandangan etos kerja Islami. Kerja
163
dalam pandangan etos kerja Islami memiliki nilai ibadah, maka kerja
sebagai ibadah hendaknya disikapi dan diperlakukan sebagaimana
ibadah-ibadah lainnya (Asifudin, 2004:57). Menurut Asifudin (2004),
posisi aktivitas keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama
diperintahkan oleh-Nya, seperti halnya penegasan diperintahkannya
shalat, zakat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya.
Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami merupakan
prinsip yang mendukung salah satu prinsip yang menjadi karakteristik
pendidikan Islami. Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam di
antaranya ialah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan materi dan
pengembangan spiritual. Demikian juga dengan etos kerja Islami, yang
pada intinya menghendaki keseimbangan antara urusan duniawi dan
ukhrawi atau materi dan spiritual. Artinya, etos kerja Islami dalam hal
prinsip keseimbangan berjalan selaras dengan pendidikan Islam. Oleh
karena itu, penghayatan etos kerja Islami dalam pendidikan Islam
dapat memudahkannya untuk merealisasikan prinsip keseimbangan
tersebut.
b. Karakteristik Substansi Pendidikan Islam
Etos kerja Islami dibangun dari beberapa konsep yang ada di
dalamnya. Konsep yang paling menonjol ialah iman dan amal. Konsep
iman dalam etos kerja Islami berupa keyakinan akan keberadaan Allah
Swt yang telah menciptakan manusia dengan berbagai potensi dan
memberi tugas serta amanat kepada manusia untuk beribadah dan
164
menjadi khalifah Allah Swt di bumi. Keyakinan tersebut kemudian
diwujudkan dalam kerja yang penuh kesungguhan dengan tujuan
memperoleh ridho Allah Swt. Kerja dengan penuh kesungguhan inilah
wujud nyata dari konsep amal dalam etos kerja Islami. Konsep amal
tersebut dijiwai dengan semangat jihad, oleh karena itu dalam setiap
kerjanya selalu dilakukan dengan penuh kesungguhan disertai
gemuruh semangat yang luar biasa. Etos kerja Islami selain konsep
iman dan amal, juga memiliki konsep etika yang diwujudkan dalam
etika kerja. Etika kerja secara sederhana merupakan pedoman sikap
yang menjadi rambu-rambu dalam bekerja. Etika kerja Islami
merupakan pedoman sikap agar setiap kerja yang dilakukan tampak
elok dan tidak melanggar ketentuan Allah Swt.
Konsep iman, amal, serta etika dalam etos kerja Islami
merupakan bagian dari substansi pendidikan Islam. Ada lima substansi
pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan amaliah,
pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial.
Substansi pendidikan Islam tersebut, saling berkaitan satu sama lain
dan membentuk pola hubungan sebagai berikut: iman adalah pondasi
akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang
benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan
Munzier, 2003:72-73). Maka etos kerja Islami merupakan spirit dalam
pendidikan keimanan, pendidikan amaliah, dan pendidikan akhlak di
dalam pendidikan Islam. Etos kerja Islami terutama selaras dengan
165
pendidikan amaliah. Spirit dalam etos kerja Islami dapat membawa
pengaruh positif pada pendidikan amaliah. Etos kerja Islami
merupakan karakter atau semangat kerja yang berorientasi bukan
sekadar pada aspek materi tetapi yang lebih dalam ialah mencapai
ridho Allah Swt. Karakter kerja yang demikian perlu dihayati dalam
pendidikan amaliah, supaya tercipta amal atau perbuatan nyata yang
berlandaskan ibadah kepada Allah Swt sehingga amal tersebut akan
selalu pada koridor yang benar sesuai yang dikehendaki Allah Swt.
c. Karakteristik Aplikatif Pendidikan Islam
Pendidikan Islam memandang belajar sebagai suatu kewajiban,
tanpa membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Seorang
muslim baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki kegigihan
untuk menuntut ilmu. Pendidikan Islam menghendaki agar setiap
muslim ahli dalam disiplin ilmu tertentu, karena begitu luasnya ilmu
pengetahuan sehingga tidak mungkin setiap manusia dengan
keterbatasan kemampuan yang dimiliki dapat mempelajari seluruh
ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam juga menghendaki agar setiap
manusia belajar secara terus menerus selama hidupnya, sebab ilmu
pengetahuan dan teknologi selalu berkembang.
Pendidikan Islam berpandangan bahwa setiap muslim dalam
masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan,
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antara orang Arab
dan selain Arab, dan tidak ada perbedaan pula antara orang berkulit
166
hitam dan putih, kecuali hanyalah kadar amal dan usaha yang mereka
lakukan dengan kesempatan yang sama bagi semua. Amal dan usaha
adalah tolok ukur pembeda antara orang-orang mukmin dalam
mencapai tujuan risalah Islam, seperti bertaqwa, berjihad, dan
menuntut ilmu. Orang-orang yang bertaqwa adalah paling mulia dalam
pandangan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:105).
Kegigihan seorang muslim untuk belajar secara terus-menerus
selama hidup, kemudian untuk mempelajari suatu disiplin ilmu
sehingga menjadi ahli dalam bidang tersebut, maka diperlukan
kemauan dan semangat yang luar biasa. Kemauan dan semangat yang
luar biasa merupakan spirit dalam etos kerja Islami, sehingga etos
kerja Islami merupakan spirit yang harus dimiliki seorang muslim
dalam proses belajar selama ia hidup maupun dalam menekuni suatu
disiplin ilmu. Etos kerja Islami harus senantiasa dihayati oleh seorang
muslim utamanya dalam proses belajar, karena pendidikan Islam
memandang manusia sama rata dalam hal kesempatan memperoleh
pendidikan, kecuali berdasarkan usaha dan amal yang dilakukan.
3. Etos Kerja Islami dalam Diri Seorang Guru
Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat berkaitan
dengan kerja yang berlandaskan keyakinan bahwa kerja bukan hanya
untuk memperoleh hasil materi, tetapi lebih dari itu kerja adalah ibadah;
tugas hidup manusia untuk mengabdikan diri kepada Allah Swt yang
semata-mata untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Keyakinan bahwa
167
bekerja merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt membawa akibat
pada semangat kerja yang luar biasa dalam setiap aktivitas yang dilakukan.
Seorang yang memiliki etos kerja Islami selalu ingin bekerja dengan
mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya, karena ia bekerja dengan
dijiwai semangat jihad. Ia bekerja dengan penuh semangat dan
kesungguhan demi performa kerja yang terbaik. Performa kerja yang
terbaik adalah bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt yang telah
membekali dirinya dengan segenap potensi atau fitrah dan kekayaan alam
yang menghampar luas.
Bekerja dengan mengerahkan seluruh potensi untuk menghasilkan
performa kerja yang maksimal sebagai wujud pengabdian kepada Allah
Swt merupakan sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru dalam
pendidikan Islam dituntut untuk memiliki sifat atau kepribadian yang
dewasa, dengan ciri menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai
guru yang memiliki etos kerja (Gunawan, 2014:196). Etos kerja Islami
maka dari itu merupakan karakter yang harus ada dalam diri guru,
utamanya guru dalam lembaga pendidikan Islam. Etos kerja Islami yang
dihayati oleh guru akan melahirkan performa kerja yang terbaik dalam
menjalankan tugasnya sebagai guru.
Etos kerja Islami yang berlandaskan keyakinan bahwa kerja adalah
ibadah, akan melahirkan performa kerja dengan karakteristik di antaranya:
bekerja dengan ikhlas karena ingin mendapat ridho Allah Swt semata,
jujur, bertanggungjawab, istiqamah dan kuat pendirian, disiplin, memiliki
168
harga diri, berani menghadapi tantangan, percaya diri, bahagia karena
melayani, mandiri, berorientasi kemasa depan, pandai mengelola waktu,
ketagihan menuntut ilmu.
Karakteristik kerja seperti itu selaras dengan karakter yang harus
dimiliki oleh seorang guru. Abrasyi (1993:137) di antaranya mengatakan
bahwa guru sebaiknya memiliki sifat ikhlas atau tidak ria dan bersikap
jujur dalam pekerjaan, sederhana, banyak bersabar, berkepribadian dan
memiliki harga diri, menjaga kehormatan, dan menghindarkan hal-hal
yang hina. Sifat-sifat ini sama dengan karakter etos kerja Islami yaitu
bekerja dengan ikhlas semata-mata hanya mengharap ridho Allah Swt,
jujur, memiliki harga diri, hidup berhemat dan efisien. Guru salah satunya
bertugas sebagai fasilitator bagi siswa, maka ia harus memiliki jiwa
melayani, dan jiwa melayani ini merupakan karakterstik etos kerja Islami.
Seorang guru menurut Gunawan (2014:196) harus memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan
bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kepribadian tersebut selaras dengan
karakteristik etos kerja Islami. Seorang guru memiliki kepribadian mantap,
stabil dan dewasa selaras dengan karakteristik etos kerja Islami seperti
bertanggungjawab, mandiri, istiqamah dan kuat pendirian. Kemudian
seorang guru yang berwibawa selaras dengan karakteristik etos kerja
Islami yaitu memiliki harga diri, dan seorang guru yang menjadi teladan
ialah ia yang memiliki akhlak mulia, seperti jujur, ikhlas, suka menolong,
disiplin, percaya diri, dan sikap-sikap lainnya yang merupakan akhlak
169
mulia. Sikap-sikap guru yang patut untuk diteladani ini juga selaran
dengan karakteristik-karakteristik etos kerja Islami.
Etos kerja Islami berlandaskan prinsip bahwa bekerja selain
dilandasi dengan iman, juga harus menggunakan penalaran, sehingga
membuahkan kerja yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai
iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan
profesional. Bekerja bagi seorang guru memerlukan sikap yang
berlandaskan penalaran tersebut. Seorang guru oleh karenanya dalam
menyampaikan materi pendidikan Islam utamanya tentang aqidah, syari‟ah
maupun akhlak hendaknya disertai dengan penjelasan yang bisa dipahami
secara rasional oleh siswa dan disesuaikan dengan konteks perkembangan
ilmu penetahuan dan teknologi. Etos kerja Islami akan melahirkan
performa kerja yang rasional, ilmiah, profesional, serta mengikuti
perkembangan teknologi dengan tetap berpegang teguh pada etika kerja
Islami.
Etos kerja Islami berpandangan bahwa kerja memiliki orientasi
bukan hanya pada hasil materi, tetapi yang lebih dalam ialah untuk meraih
ridho Allah Swt. Pandangan ini selaras dengan pandangan yang
dikehendaki pendidikan Islam, yaitu:
Seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas
mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah Swt
semata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai
tugas kekhalifahan dari Allah Swt; kedua, sebagai pelaksanaan
tugas ibadah kepada Allah Swt untuk mencari ridho-Nya dan
mendekatkan diri kepada-Nya. Tugas demikian dimaksudkan agar
seorang guru tidak menilai tugasnya hanya sekadar untuk mencari
gaji dan kekayaan belaka. Gaji bagi seorang guru adalah
170
diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji
tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah
kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-Nya sebagi tujuan
hakiki (Zainuddin, 1991:59-60).
Etos kerja Islami dengan demikian selaras dengan pandangan
mengenai tugas seorang guru dalam pendidikan Islam. Keselarasan
tersebut sangat tampak dalam pandangan terhadap nilai atau posisi harta di
dalam kerja. Materi atau harta merupakan sarana untuk memenuhi
kebutuhan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan
mendekatkan diri kepadanya. Pandangan seperti ini mendorong guru untuk
menampilkan sikap yang mulia dan performa kerja yang optimal karena ia
mengharap ridho Allah Swt, dan bukan karena tujuan memperoleh harta
atau materi.
Etika kerja Islami merupakan pedoman sikap dalam etos kerja
Islami. Etos kerja Islami adalah karakter atau semangat kerja yang
bersumber dari ajaran Islam. Etos kerja Islami berdasarkan pandangan ini,
dalam hal performa kerja memiliki pedoman sikap supaya kerja yang
dilakukan tetap berada dalam koridor ajaran Islam. Etika kerja seorang
yang beretos kerja Islami di antaranya yaitu: memegang teguh kejujuran
karena ia sadar dengan kejujuran maka akan meninggikan martabatnya di
hadapan Allah Swt; mengemban tugas dengan penuh tanggung jawab dan
menolak segala bentuk penyelewengan kerja karena ia sadar bahwa Allah
Swt selalu mengawasi apa yang ia kerjakan; menjalankan tugas dengan
disiplin, inovatif, kreatif, dan memiliki standar tinggi dalam kerjanya; serta
171
menjalin hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang terlibat
dalam pekerjaannya.
Etika kerja Islami hendaknya dimiliki oleh guru dalam pendidikan
Islam. Guru dalam pendidikan Islam juga terikat oleh kode etik yang
selaras dengan etika kerja Islami sebagaimana dijelaskan di atas. Kode etik
guru salah satunya menurut Gunawan (2014:181) ialah guru hendaknya
insyaf akan pengawasan Allah Swt terhadap segala perkataan dan
perbuatannya, ia memegang amanat yang diberikan Allah kepadanya. Oleh
karena itu, ia tidak boleh mengkhianati amanat itu, justru ia tunduk dan
merendahkan diri kepada Allah Swt. Kode etik guru dalam pendidikan
Islam tersebut selaras dengan etika kerja dalam etos kerja Islami.
Keduanya, baik etika dalam etos kerja Islami maupun kode etik guru
dalam pendidikan Islam berlandaskan pada sikap tunduk dan merendahkan
diri pada Allah Swt dalam setiap tindakannya; melaksanakan tugas
dengan kejujuran dan tanggung jawab sebab ia kerja adalah amanat yang
diberikan Allah Swt pada manusia dan Allah Swt selalu mengawasi
terhadap segala perkataan dan perbuatan manusia.
4. Etos Kerja Islami dalam Diri Siswa
Etos kerja Islami apabila dihayati ke dalam diri seseorang maka
dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki karakter unggul dengan
dilandasi keimanan yang kuat. Etos kerja Islami mampu mengembangkan
dimensi-dimensi yang ada dalam diri manusia, yaitu jasmani, akal dan
rohani. Etos kerja Islami dari segi jasmani, melahirkan karakter manusia
172
yang memperhatikan kesehatan dan gizi. Etos kerja Islami dari sisi akal
akan menumbuhkan karakter manusia yang rasional, ilmiah, proaktif,
kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil,
teratur, disiplin, dan profesional. Etos kerja Islami dari segi rohani akan
membentuk manusia yang bekerja dengan kejujuran dan akhlak yang
mulia atas dasar keyakinan bahwa kerja merupakan wujud pengabdian
dirinya kepada Allah Swt, kerja merupakan amanat dari Allah Swt yang
dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt.
Dimensi atau potensi dalam diri manusia dikembangkan oleh etos
kerja Islami secara utuh. Dimensi jasmani, akal dan rohani juga ada dalam
diri siswa. Siswa memiliki kebutuhan untuk mengembangkan dan
mengaktualisasikan dimensi-dimensi tersebut agar menjadi tindakan yang
nyata. Karakteristik etos kerja Islami tersebut menunjukkan bahwa
dimensi-dimensi dalam diri siswa dapat dikembangkan melalui
penghayatan terhadap etos kerja Islami.
Karakteristik yang dimiliki oleh seorang yang beretos kerja Islami
secara umum di antaranya ialah: bekerja ikhlas karena Allah Swt semata,
jujur, istiqamah dan kuat pendirian, disiplin, percaya diri,
bertanggungjawab, pandai mengelola waktu, memiliki harga diri, hidup
berhemat dan efisien, mandiri, kecanduan belajar dan menuntut ilmu,
memiliki semangat perantauan, tangguh dan pantang menyerah, memiliki
semangat perubahan, serta memperkaya jaringan silaturahmi (Tasmara,
2002:73-134). Karakteristik tersebut selaras dengan tugas dan kewajiban
173
yang harus dilakukan oleh siswa berdasarkan pendapat Abrasyi (1993:147-
148), yaitu di antaranya: belajar diniatkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt, bersedia meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu sampai
ke tempat yang jauh, bersungguh-sungguh dan tekun belajar, disiplin
untuk mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar dengan baik,
membina hubungan yang baik dengan guru dan teman-temannya, serta
bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat.
Etos kerja Islami melahirkan kerja yang ikhlas dengan niat semata-
mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Karakteristik tersebut selaras
dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa, yaitu belajar dengan
niat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Etos kerja Islami membentuk
manusia yang memiliki semangat perantauan, hal ini selaras dengan
kewajiban siswa menurut Abrasyi (1993) tersebut yaitu bersedia
meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu sampai ke tempat yang jauh.
Etos kerja Islam juga membentuk seorang yang kecanduan untuk mencari
ilmu, di mana karakteristik ini selaras dengan tugas siswa menurut Abrasyi
(1993) yaitu bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat. Etos
kerja Islami selanjutnya menumbuhkan karakter istiqamah dan kuat
pendirian, disiplin, pandai mengelola waktu, sebagaimana tugas dan
kewajiban siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu bersungguh-sungguh dan
tekun belajar, disiplin untuk mengulang pelajaran dan menyusun jadwal
belajar dengan baik. Etos kerja Islami juga melahirkan karakteristik
seorang yang senang menjalin silaturahmi, hal ini sebagaimana kewajiban
174
siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu agar dapat membina hubungan yang
baik dengan guru dan teman-temannya.
Etos kerja Islami bersumber dari keimanan kepada Allah Swt, dan
iman tidak cukup hanya diucapkan dalam perkataan dan diyakini dalam
hati. Iman harus dibuktikan melalui amal shalih. Amal shalih merupakan
setiap aktivitas yang diniatkan untuk mencari ridha Allah Swt. Oleh karena
itu, etos kerja Islami harus diwujudkan dalam kerja yang didasarkan niat
untuk beribadah kepada Allah Swt. Konsep iman dan amal dalam etos
kerja Islami merupakan bagian dari sifat-sifat ideal yang harus dimiliki
oleh siswa menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar
(2005:52-53) yaitu seorang peserta hendaknya mengenal nilai-nilai praktis
dari ilmu yang dipelajari. Artinya siswa bukan hanya sekadar memahami
dan meyakini ilmu yang dipelajari, tetapi juga harus mempraktikkannya
dalam kehidupan nyata agar membawa manfaat bagi sesama manusia dan
alam sekitar.
Etos kerja Islami berasal dari pandangan bahwa manusia dalam
urusan dunia dan akhirat harus memiliki keseimbangan. Islam tidak
menghendaki segala sesuatu yang berlebihan. Manusia yang
menghabiskan hidupnya untuk mengejar materi adalah tidak dikehendaki
oleh Allah Swt, sebaliknya, manusia yang seumur hidupnya mengisolasi
diri dari kehidupan bermasyarakat dan terus-menerus beribadah (dalam arti
ibadah ritual atau individu) juga tidak disukai Allah Swt. Allah Swt
menghendaki manusia untuk beribadah dan bekerja, mementingkan urusan
175
individu dan tidak meninggalkan urusan bermasyarakat, karena
sesungguhnya bekerja adalah termasuk ibadah. Dalam kaitannya dengan
pendidikan Islam, siswa hendaknya memiliki sifat mengurangi
kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi dan
sebaliknya. Siswa idealnya mampu memandang konsep dunia dan akhirat
sebagai satu kesatuan. Kebahagiaan akhirat ialah tujuan hidup manusia,
namun kebahagiaan akhirat tidak akan diraih tanpa kehidupan dunia yang
diisi dengan kemuliaan, karena dunia adalah jembatan menuju akhirat.
C. Implikasi Etos Kerja Islami Terhadap Guru dan Siswa dalam
Pendidikan Islam
Konsep etos kerja Islami berdasarkan uraian sebelumnya memiliki
keselarasan dengan komponen-komponen pendidikan Islam. Keselarasan
tersebut dapat dijadikan indikator mengenai keterlibatan etos kerja Islami
dalam mendukung kesuksesan proses pendidikan Islam. Beberapa uraian di
bawah ini kurang lebih akan membahas mengenai implikasi etos kerja Islami
terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam. Pembahasan mengenai
implikasi etos kerja Islami dalam proses pendidikan Islam pada penelitian ini
hanya difokuskan terhadap domain guru dan siswa, dengan argumentasi
bahwa kedua domain tersebut merupakan sentral perhatian dalam proses
pendidikan Islam, tanpa mengesampingkan peranan domain pendidikan Islam
yang lain.
176
1. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Guru Profesional dan Religius
Etos kerja Islami berpandangan bahwa bekerja merupakan amanah
dari Allah Swt yang dipikulkan kepada manusia dalam perannya sebagai
khalifah di bumi. Hal ini tercantum dalam firman Allah Swt sebagai
berikut:
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh. (Q.S. Al-Ahzab: 72).
Artinya:
Dan (orang-orang beriman yaitu) orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S. Al-
Mu‟minun: 8).
Bekerja sebagai amanah mengandung konsekuensi agar manusia
bekerja dengan penuh kesungguhan, berupaya mencapai hasil terbaik dan
sempurna sesuai kemampuannya, dan selalu merasa dalam pengawasan
Allah Swt. Bekerja sebagai amanah apabila dihayati oleh seorang guru
akan menimbulkan performa kerja yang terbaik dalam menjalankan
tugasnya. Guru dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik siswa
akan berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik, begitu pula dalam
berhubungan dengan teman sejawat, dengan atasan dan dengan
177
masyarakat, akan selalu menampakkan sikap dan perilaku yang bijaksana
dan bertanggungjawab sebagai wujud penghayatan bekerja yang amanah.
Kerja sebagai amanah dalam diri guru, mampu melahirkan akhlak
mulia dan tindakan-tindakan positif sebagai teladan bagi siswanya. Guru
yang menempatkan kerja sebagai amanah akan menampilkan akhlak mulia
seperti jujur, perkataannya sesuai dengan perbuatannya,
bertanggungjawab, sabar, disiplin, penuh kasih dengan siswanya, hal ini
akan menjadi akhlak yang patut untuk dijadikan teladan oleh siswa. Allah
Swt mencela orang yang hanya berbicara tanpa mempraktikkan dalam
tindakan nyata, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya berikut:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
(Q.S Ash Shaff: 2-3).
Guru yang amanah akan menampilkan tindakan yang sesuai dengan
perkataannya. Ceramah-ceramahnya di dalam kelas bukan hanya menjadi
hiasan yang memperbagus penampilan mengajarnya, tetapi ia berani
berceramah atau memberikan nasehat karena hal itu sudah dilakukannya.
Seorang guru yang bekerja atas dasar amanah ialah sosok guru yang
memiliki integritas tinggi.
178
Etos kerja Islami berpijak pada keyakinan bahwa bekerja adalah
ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya atas segala karunia Allah
Swt. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 7 yang berbunyi:
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai
perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara
mereka yang terbaik perbuatannya. (Q.S. Al-Kahfi: 7).
Kerja yang diyakini sebagai ibadah akan melahirkan performa yang
penuh kecintaan dan keikhlasan sebagai wujud pengabdian diri kepada
Allah Swt. Guru apabila menanamkan dalam dirinya bahwa bekerja ialah
ibadah maka ia akan menjalankan tugas-tugasnya dengan hati senang dan
penuh kerelaan. Ia mengajar dihadapan siswanya dengan riang gembira
dan berusaha untuk mengerahkan segala kemampuan terbaiknya dalam
memberikan ilmu dan membentuk kepribadian siswa. Keyakinan akan
kerja sebagai ibadah mendorongnya untuk bekerja secara profesional,
yaitu dengan terus memperdalam disiplin ilmu yang menjadi kajiannya,
mengadakan inovasi-inovasi dalam proses belajar mengajar dengan siswa,
bersikap dan bertindak dengan penuh kejujuran dan integritas tinggi dalam
menjalankan tugasnya sebagai guru maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Etos kerja Islami berlandaskan iman dan amal yang dijiwai
semangat jihad. Keimanan dalam diri bahwa Allah Swt yang telah
menciptakan manusia dengan dibekali sejumlah potensi dalam rangka
menjalankan tugas ibadah dan menjadi khalifah di bumi mendorong
179
seorang yang beretos kerja Islami untuk melakukan amal shalih dalam
bentuk kerja yang dipenuhi gemuruh semangat untuk menjadi yang terbaik
dengan kerja yang penuh kesungguhan. Kerja yang dilandasi dengan iman
dan jihad bagi seorang guru akan melahirkan performa kerja yang
berusaha untuk selalu mengerahkan kemampuan terbaiknya, sebagai rasa
syukur atas segala potensi yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya. Usaha
untuk mengerahkan segenap kemampuan terbaiknya itu ia wujudkan
dalam kerja yang profesional. Ia tampil sebagai pribadi yang selalu
bergairah dan penuh semangat baik ketika mengajar siswanya,
berhubungan dengan guru, dan dengan atasan. Ia selalu optimis dan
berpandangan positif dalam segala situasi. Apabila dalam menjalankan
tugasnya kemudian menemui kendala atau permasalahan, ia tidak berputus
asa dari rahmat Allah Swt dan terus berusaha untuk memperbaiki diri dan
keadaan.
Bekerja dijiwai semangat jihad bagi seorang guru akan melahirkan
semangat untuk berlomba-lomba mengukir prestasi gemilang sebagai
seorang guru. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al-
Baqarah ayat 148 berikut:
. ...
Artinya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam
membuat) kebaikan ... . (Q.S. Al-Baqarah:148).
Prestasi diraih dengan cara menampilkan kemampuan mengajar
terbaik, menampilkan guru yang berkepribadian mulia di hadapan
180
siapapun, atau bahkan dengan mengikuti berbagai karya-karya ilmiah yang
diperuntukkan bagi guru. Semangat jihad dalam diri seorang guru
membuatnya selalu bergairah untuk berkompetisi dalam rangka
menciptakan prestasi. Gairah kompetisi dalam dirinya bukan berarti ia
melupakan jiwa kepedulian dan tolong menolong terhadap sesama.
Etos kerja Islami menempatkan harta atau materi bukan sebagai
tujuan dari bekerja, melainkan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehingga manusia dapat beribadah ritual dengan khusyuk dan juga
dapat beribadah dalam arti luas untuk kemaslahatan orang banyak serta
lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Keyakinan seperti ini apabila
dipraktekkan oleh seorang guru akan melahirkan performa kerja yang
tidak menempatkan gaji sebagai orientasi atau tujuan ia bekerja. Gaji
bukanlah tujuan utama yang ingin ia raih dari tugasnya sebagai guru,
karena ia bertugas atas dasar ibadah.
Bekerja sebagai ibadah bukan juga berarti guru tidak boleh atau
tidak berhak menerima gaji. Gaji tetaplah dibutuhkan dan hak yang harus
diberikan kepada guru, karena dengan gaji tersebut guru dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Guru dengan terpenuhi kebutuhan hidupnya
diharapkan menjadi salah satu faktor yang dapat memicu ketenangan
dalam beribadah ritual. Gaji sebagai sarana untuk beribadah secara luas
dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka dengan gaji tersebut guru
yang beretos kerja Islami mampu memanfaatkannya untuk berbagi dengan
sesama, memberikan infaq, bahkan menyisihkan uang untuk tabungan haji.
181
Gaji yang dimanfaatkan bukan sekadar untuk memenuhi kepuasan duniawi
akan mampu menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Guru yang menghayati etos kerja Islami; yang menempatkan gaji
sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt, memiliki sikap yang
sederhana. Ia sederhana dalam berpenampilan dan gaya hidup.
Guru dengan karakter kerja yang amanah, bekerja dengan penuh
cinta dan keikhlasan sebagai wujud ibadah, menampilkan teladan sikap
dan perilaku mulia, bekerja dengan penuh gairah dan kesungguhan, serta
menjadikan gaji bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan
sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bersikap
sederhana, merupakan bekal untuk mengupayakan pembentukan siswa
yang memiliki karakter insan kamil.
2. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Karakter Insan Kamil pada
Siswa
Etos kerja Islami merupakan sebuah semangat kerja yang terpancar
dari keyakinan bahwa bekerja adalah amanah, bekerja adalah ibadah,
bekerja dijiwai semangat jihad, bekerja bukan sekadar berorientasi materi.
Bekerja dalam konteks siswa tentunya bukan memiliki pengertian sebagai
profesi atau suatu kegiatan untuk mencari nafkah, tetapi bekerja
diterjemahkan sebagai belajar. Belajar sama halnya dengan bekerja,
apabila dilakukan dengan niat ikhlas semata-mata untuk mendapat ridho
Allah Swt dan ditempuh dengan cara yang baik dan benar maka belajar
juga bernilai ibadah. Apalagi ketika ilmu pengetahuan sebagai hasil belajar
182
itu dapat membawa manfaat bagi kemaslahatan orang banyak; misalnya
dengan menghasilkan penemuan-penemuan terbaru bagi solusi kehidupan
manusia. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan orang
banyak merupakan salah satu amal yang masih akan mengalir pahalanya
meskipun orang tersebut sudah meninggal dunia.
Belajar yang dilakukan dengan niat ibadah merupakan jalan bagi
seseorang untuk memperoleh kemudahan memasuki syurga, sebagaimana
sabda Nabi saw. berikut ini:
هي سلك طزيقايلتوس ل هللا قال: عي أبى زيزة أى رس
علوا,سل هللا ل طزيقا إلى الجت في
Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan ke surga”. (H.R. Muslim, no. 1.888).
Hadits tersebut menjelaskan betapa orang yang menuntut ilmu
maka akan diberi kemudahan oleh Allah Swt untuk masuk surga. Ilmu
pengetahuan yang bermanfaat dan didapatkan atas keridhoan Allah Swt
dapat menjadi jalan penerang bagi kehidupan manusia. Aly dan Munzier
(2003:72-73) menjelaskan bahwa iman adalah pondasi akhlaq yang mulia,
akhlaq yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar
menjadi pondasi amal yang shalih. Oleh karena itu, dengan ilmu
pengetahuan, manusia dapat membedakan mana yang merupakan amal
183
shalih yang harus dilakukan dan mana yang merupakan amal tercela yang
tidak boleh untuk dilakukan. Seorang yang berilmu akan senantiasa
menghiasi dirinya dengan amal shalih, sehingga amal tersebut menjadi
penuntun yang memudahkannya untuk masuk syurga.
Siswa yang memiliki semangat belajar atas dasar keyakinan bahwa
belajar adalah ibadah akan melahirkan sikap utuh dalam diri siswa. Belajar
yang selama ini hanya bertujuan pada hal-hal materi, seperti: belajar agar
menjadi juara kelas, agar dapat memasuki sekolah favorit, agar menjadi
juara olimpiade, agar nantinya menjadi orang sukses dan kaya raya, dan
berbagai tujuan duniawi lainnya yang terpisah sama sekali dari tujuan
hakiki seorang muslim dalam berbagai aktivitas kehidupannya, yaitu
beribadah dalam rangka memperoleh ridho Allah Swt. Etos kerja Islami
akan menimbulkan spirit belajar yang utuh dalam diri siswa; ia belajar
dengan mendasarkan niat semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt,
kemudian niat tersebut diwujudkan dalam praktik belajar yang
menghasilkan prestasi gemilang, dengan tujuan untuk meraih masa depan
gemilang yang diridhoi Allah Swt.
Etos kerja Islami dapat memotivasi siswa agar belajar dengan
mengintegrasikan aspek iman, ilmu, amal, dan akhlak, seperti dijelaskan
dalam surah Al-„Asr berikut ini:
184
Artinya:
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kererugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-
„Asr: 1-3).
Ayat tersebut dalam konteks siswa, dapat dimaknai bahwa dalam
belajar harus dilandasi niat untuk beribadah kepada Allah Swt sebagai
bagian dari aspek keimanan. Iman akan mandul tanpa dipraktikkan dalam
wujud amal, maka dalam konteks siswa, ilmu yang dipelajari harus
dipraktikkan dalam tindakan yang nyata. Sebagai seorang siswa yang
terpelajar, dalam setiap tindakannya harus didasarkan kepada pengetahuan
yang benar, dan bukan sekadar ikut-ikutan saja. Tindakan yang didasarkan
pada pengetahuan yang benar akan melahirkan akhlak mulia. Sehingga
siswa yang dalam dirinya tertanam spiritetos kerja Islami akan memiliki
prestasi yang tinggi, akhlak yang mulia, serta yang terpenting hatinya
dilandasi keimanan kepada Allah Swt.
Etos kerja Islami memotivasi siswa agar memiliki keseimbangan
dalam hidup, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah Al-
Jumu‟ah ayat 10 sebagai berikut:
Artinya:
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu‟ah: 10).
185
Ayat tersebut dalam konteks siswa maknanya adalah masa belajar
siswa harus diisi dengan kesibukan baik yang berhubungan dengan urusan
dunia maupun akhirat. Belajar adalah kewajiban siswa, namun yang
dimaksud belajar bukan hanya sekadar belajar di sekolah, tetapi juga diisi
dengan belajar mengaji atau memperdalam ilmu-ilmu agama. Contoh yang
lainnya, selama belajar disekolah apabila telah memasuki waktu dhuhur
maka bersegera menunaikannya, bahkan lebih baik lagi jika dapat
menunaikan shalat dhuha ketika ada waktu luang selama di sekolah.
Aspek keseimbangan yang ada dalam konsep etos kerja Islami,
dalam konteks siswa dapat pula diartikan bahwa siswa dalam belajar
dianjurkan untuk selalu mengaplikasikan dalam tindakan, tidak hanya
semata-mata menghafal teori-teori dan pengetahuan yang tidak mampu
membawa pada amal shalih dalam kehidupan nyata. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah Swt surah An-Najm ayat 39 berikut ini:
Artinya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya. (Q.S. An-Najm: 39).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa teori dan pengetahuan apabila
tidak dipraktikkan dalam amal yang nyata maka hanya akan sia-sia, karena
manusia hanya akan memperoleh hasil yang positif apabila ia berusaha
atau beramal atau melakukan tindakan nyata. Misalnya, ketika siswa
mengetahui dan mengerti tentang syarat wajib shalat, rukun-rukunnya,
sunah-sunahnya, yang membatalkan serta keutamaaan-keutamaan shalat,
186
maka pengetahuan itu sepatutnya harus dipraktikkan dalam bentuk
pelaksanaan shalat lima waktu setiap hari.
Etos kerja Islami dalam diri siswa akan melahirkan keyakinan
bahwa belajar merupakan upaya untuk mengembangkan fitrah atau potensi
dalam dirinya. Siswa merupakan pribadi yang dibekali dengan potensi
jasmani, akal, dan rohani. Siswa dengan bimbingan guru akan berupaya
mengembangkan ketiga potensi tersebut secara utuh, sehingga dapat
menjadi bekal untuk mengamalkan ajaran Islam secara utuh pula, yaitu
mencakup hablumminallah dan hablumminannas.
Etos kerja Islami dalam mengembangan potensi jasmani, akan
melahirkan karakter siswa yang memperhatikan kesehatan fisik,
mempunyai kesadaran akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan.
Kesadaran untuk menjaga kesehatan timbul dari keyakinan bahwa dengan
tubuh yang sehat maka ia dapat berpikir jernih sehingga dapat menyaring
mana tindakan yang baik dan yang buruk. Pengembangan potensi akal
akan menumbuhkan karakter siswa yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif,
menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, teratur, dan
disiplin. Seorang siswa harus memiliki karakter tersebut dalam rangka
menghadapi kencangnya arus globalisasi, dengan tetap bersandar pada
ajaran-ajaran Islam. Etos kerja Islami dari segi rohani akan membentuk
karakter siswa yang jujur, bertanggungjawab, dan dihiasi dengan berbagai
akhlak yang mulia atas dasar keyakinan bahwa belajar merupakan wujud
187
ibadah kepada Allah Swt, belajar merupakan amanat dari Allah Swt yang
dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt.
Etos kerja Islami akan mendorong siswa untuk belajar dengan
tekun dan sungguh-sungguh, karena belajar adalah bagian dari jihad. Jihad
menurut Tasmara (2002:36) berarti suatu sikap yang sungguh-sungguh
dalam berikhtiar dengan mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai
suatu tujuan atau cita-cita. Etos kerja Islami oleh karenanya akan
melahirkan semangat belajar dengan mengerahkan segenap kemampuan
siswa untuk mencapai prestasi gemilang yang diridhoi Allah Swt. Siswa
akan memiliki kesadaran untuk belajar dengan gigih karena Allah Swt
telah menganugerahkan segenap potensi dalam dirinya. Potensi tersebut
harus ia kembangkan semaksimal mungkin agar dapat mencapai cita-cita
yang ia impikan. Belajar dengan gigih untuk mengembangkan potensi
secara maksimal ialah wujud rasa syukurnya kepada Allah Swt atas
segenap potensi yang dianugerahkan dalam dirinya.
Etos kerja Islami harus diupayakan dalam diri siswa supaya
tumbuh siswa yang memiliki karakter belajar bukan hanya berorientasi
materi atau duniawi, belajar sebagai ibadah, belajar sebagai pengembangan
fitrah, dan belajar dengan semangat jihad. Siswa yang diupayakan
memiliki karakter demikian merupakan sarana untuk mewujudkan insan
kamil dalam dirinya. Oleh karena itu, upaya pembentukan etos kerja Islami
dapat dimulai dengan mengembangkan ketiga potensi manusia yaitu
jasmani, akal, dan rohani.
188
Upaya membentuk etos kerja Islami dari segi jasmani misalnya
melalui metode pembiasaan. Pembiasaan seperti sarapan sebelum
berangkat sekolah agar bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar
mengajar. Pembiasaan sarapan pagi ini juga ditanamkan nilai religius,
sehingga ia terbiasa sarapan bukan hanya untuk tujuan mengisi energi
tubuh. Siswa perlu ditanamkan kesadaran bahwa dengan sarapan maka
tubuh akan berenergi, pikiran menjadi jernih, dan jiwa menjadi tenang.
Jiwa yang tenang serta pikiran yang jernih akan melahirkan akhlak yang
mulia. Akhlak yang mulia sangat disukai Allah Swt dan bernilai pahala.
Pembiasaan untuk hidup bersih juga perlu ditanamkan dalam diri siswa,
seperti dengan membuat jadwal piket kelas dan juga kesadaran untuk
peduli pada lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.
Pembiasaan untuk hidup bersih ini juga disertai penanaman nilai-nilai
religius, seperti ditanamkan pemahaman bahwa kebersihan adalah
sebagian dari iman. Allah Swt menjadikan sesuatu yang bersih sebagai
syarat dalam beribadah kepada-Nya, misalnya, sebelum shalat
diperintahkan untuk membersihkan diri dengan cara berwudhu. Metode
pembiasaan dengan demikian, untuk mendisiplinkan siswa secara jasmani
hendaknya disertai penanaman pemahaman yang komprehensif mengenai
tindakan yang akan dibiasakan tersebut. Pemahaman tersebut meliputi
unsur duniawi dan ukhrawi.
Penanaman etos kerja Islami dari segi akal ialah upaya untuk
menumbuhkan pola pikir yang rasional, kreatif, inovatif dan memiliki
189
pandangan yang terbuka. Upaya ini salah satunya dapat dilakukan melalui
metode hiwar. Metode hiwar dilakukan untuk membahas materi pelajaran
dengan cara dialog atau diskusi. Tata cara dalam dialog atau diskusi dapat
merujuk pada dialog yang dimuat dalam Al-Qur‟an atau hadits. Dengan
merujuk tata cara dialog dalam Al-Qur‟an atau hadits, maka proses belajar
dengan metode hiwar ini akan sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Oleh
karena itu, dengan metode hiwar ini siswa diharapkan dapat terasah
nalarnya, memiliki wawasan yang lebih luas, dan memiliki sikap terbuka
dalam menerima pandangan dari orang lain serta tetap berlandaskan nilai-
nilai keislaman.
Cara menumbuhkan etos kerja Islami dari segi rohani siswa yaitu
dengan mengupayakan pembentukan sikap yang sadar akan pengawasan
Allah Swt, hal ini akan tercermin dalam sikap jujur, bertanggungjawab,
disiplin, percaya diri, dan akhlak mulia yang lainnya. Metode yang dapat
digunakan agar tumbuh sikap-sikap demikian dalam diri siswa di
antaranya yaitu metode keteladanan, serta targhib dan tarhib. Metode
keteladanan adalah dengan keteladanan yang diberikan oleh guru kepada
siswanya. Seorang guru baik perkataan maupun perbuatannya harus dapat
ditiru oleh siswa. Guru harus menampilkan perkataan yang mulia dan
perkataan itu sesuai dengan apa yang dilakukannya. Guru harus memiliki
sikap jujur, bertanggungjawab, disiplin, percaya diri, penuh kasih sayang,
sehingga sikap tersebut akan dicontoh oleh siswa. Kemudian metode
targhib dan tarhib yaitu berupa janji dan ancaman atau reward and
190
punishment yang diberikan oleh guru kepada siswa. Janji berupa pahala
dan surga apabila siswa melakukan tindakan terpuji, serta ancaman berupa
siksa di neraka apabila siswa melakukan tindakan tidak terpuji.
Etos kerja Islami melalui metode-metode tersebut diharapkan
tumbuh dalam diri siswa. Sehingga siswa bersemangat dalam belajar dan
menampilkan tindakan yang terpuji sebagaimana karakterik etos kerja
Islami. Tindakan terpuji yang ditampilkan siswa diniatkan untuk beribadah
kepada Allah Swt supaya ridho-Nya dapat diraih. Siswa yang menghayati
etos kerja Islami akan tampil sebagai seorang yang berprestasi secara
akademik dan ihsan dalam berperilaku.
191
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Etos kerja Islami ditinjau dari makna filosofis yaitu karakter kerja yang
berlandaskan keyakinan bahwa bekerja adalah fitrah dan amanah yang
esensinya iman, ilmu, dan amal, bekerja adalah ibadah, bekerja dijiwai
semangat jihad, dan materi bukan tujuan dari bekerja tetapi sarana untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Etos kerja Islami apabila
ditinjau dari hasil, akan melahirkan kerja produktif, profesional, penuh
kecintaan, kompetitif, berorientasi pada kesempurnaan, kreatif, gigih,
bertanggungjawab dan optimis yang berlandaskan sikap religius, ditandai
dengan rasa syukur, keikhlasan; pengabdian semata-mata kepada Allah
Swt, tolong menolong, sederhana dan tawadhu‟.
2. Etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam memiliki pandangan
utuh tentang iman, ilmu, dan amal, kerja dan ibadah, duniawi dan
ukhrawi, serta materi dan non materi. Pandangan utuh tersebut memiliki
keselarasan dengan pendidikan Islam, ditinjau dari karakter insan kamil
sebagai tujuan pendidikan Islam, prinsip kesatuan dan keseimbangan
antara iman, ilmu, dan amal sebagai karakteristik pendidikan Islam, kerja
yang berorientasi dunia dan akhirat sebagai karakter guru profesional dan
192
religius, serta pengembangan potensi secara utuh sebagai upaya
membentuk karakter insan kamil dalam diri siswa.
3. Implikasi etos kerja Islami bagi guru dan siswa dalam pendidikan Islam
merupakan spirit yang dapat melahirkan performa kerja profesional dan
religius. Etos kerja Islami bagi guru dan siswa dapat membangkitkan
motivasi mengajar-belajar yang dilandasi keyakinan bahwa mengajar-
belajar merupakan fitrah, amanah, dan ibadah, serta dijiwai semangat
jihad untuk mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam mencapai
tujuan pendidikan Islam.
B. Saran
1. Guru
Guru hendaknya menghayati etos kerja Islami dalam melaksanakan
tugasnya, sehingga akan lahir semangat yang tinggi dan performa kerja
profesional dan religius, yaitu bekerja atas dasar keikhlasan untuk
beribadah kepada Allah Swt. Seorang guru adalah teladan bagi siswanya,
oleh karena itu menampilkan karakter pekerja yang beretos kerja Islami
merupakan salah satu cara memberikan keteladanan kepada peserta didik.
2. Siswa
Siswa hendaknya membiasakan diri untuk disiplin dan kerja keras
dalam belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Siswa selain itu
hendaknya membiasakan diri untuk mengikuti pembelajaran di kelas
dengan penuh semangat dan antusiasme, dan menanamkan dalam dirinya
193
bahwa belajar dengan penuh semangat merupakan wujud pengabdian
kepada Allah Swt dan Allah Swt senantiasa mengawasi dirinya.
3. Sekolah
Sekolah hendaknya turut menciptakan suasana yang mampu
menghidupkan etos kerja Islami bagi seluruh warga sekolah. Bentuk
dukungan sekolah dalam mengupayakan terbentuknya etos kerja di
antaranya ialah dengan menyediakan sarana dan prasarana yang
memadahi. Tenaga kependidikan, seperti petugas akademik, petugas
perpustakaan, petugas kebersihan, juga harus menunjukkan etos kerja
yang tinggi dengan memberikan pelayanan yang prima.
194
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi, Mohd. Athiyah. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. H.
Bustami A. Gani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.
Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam I. Salatiga: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo.
. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
Aditya Media.
Albani, Muhammad Nashiruddin. 2012a. Ringkasan Shahih Bukhari. Terj.
Rahmatullah dan Kamaluddin Sa‟adiyatulharamain. Jakarta: Pustaka
Azzam.
. 2012b. Ringkasan Shahih Muslim. Terj. Subhan dan Imran Rosadi.
Jakarta: Pustaka Azzam.
Aly, Hery Noer dan Munzier. 2003. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska
Agung Insani.
Anoraga, Panji. 2009. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
As‟ad, Moh. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. 1996. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj.
Haidar Bagir. Bandung: Mizan.
Bawani, Imam dan Isa Anshori. 1991. Cendekiawan Muslim dalam Perspektif
Pendidikan Islam. Surabaya: Bina Ilmu.
Buchori, Mochtar. 1994. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
195
Daradjat, Zakiyah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Agama. 1989. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera.
Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: LP3ES.
Faridi, Miftah. 1982. Pokok-Pokok Ajaran Islam. Bandung: Perpustakaan Salman
ITB.
Fitrianto, Fajar Rian. 2011. Pengaruh Etos Kerja Islam Terhadap Kinerja
Karyawan PT BPRS Buana Mitra Perwira Purbalingga. Skripsi tidak
diterbitkan. Semarang: Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo.
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hafidz dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam: Antara Tradisi dan Modernitas.
Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Irkhami, Nafis. 2014. Islamic Work Ethics: Membangun Etos Kerja Islami.
Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Jalal, Abdul Fattah. 1988. Azas-Azas Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali.
Bandung: CV. Diponegoro.
Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kaelany, H.D. 2000. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi,
Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
Luth, Thohir. 2001. Antara Perut dan Etos Kerja dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Gema Insani.
196
Mansur, Sutan H.A.R. 1982. Jihad. Jakarta: Panji Masyarakat.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-
Ma‟arif.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mursi, Abdul Hamid. 1999. SDM yang Produktif: Pendekatan Al-Qur‟an dan
Sains. Jakarta: Gema Insani Press.
Mutaqin, Wawan Ridwan. 2010. Pengaruh Iklim Organisasi, Etos Kerja dan
Disiplin Kerja Terhadap Efektivitas Kinerja Organisasi di Politeknik
Kesehatan Surakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Studi
Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret.
Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam:
dalam Keluarga, di Sekolah, dan di Masyarakat. Terj. Herry Noer Ali.
Bandung: CV. Diponegoro.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka
Cipta.
Roqib, Muh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif
di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.
197
Saerozi. 2013. Pembaruan Pendidikan Islam: Studi Historis Indonesia dan
Malaysia 1900-1942. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Saleh, Muwafik. 2009. Bekerja dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga.
Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. 2009. Membangun Etos Kerja dan Logika Berpikir
Islami. Malang: UIN Malang Press.
Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir AL-Qur‟an Al-Karim. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Siswanto, Dwi. 2012. Urgensi Falsafah Penyuluhan Pembangunan dan Etos Kerja
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Ilmiah CIVIS. II (I): 217-237.
Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Sofyan, Mochlasin. 2010. Islam dan Etos Kerja: Tafsir Islam Transformatif
Perspektif M. Dawam Raharjo. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Syahyuti. 2011. Islamic Miracle of Working Hard: 101 Motivasi Islami Bekerja
Keras. Depok: Manna dan Salwa.
Syaibani, Omar Muhammad Al-Toumy. 1979. Falasafah Pendidikan Islam. Terj.
Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tono, Sidik, M. Sularno, Imam Mujiono, dan Agus Triyanto. 1998. Ibadah dan
Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press Indonesia.
Wiradi, Gunawan. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 5. Bekasi: Delta
Pamungkas.
Zainuddin. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.