KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI KARTANEGARA
Transcript of KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI KARTANEGARA
KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT MULYADHI
KARTANEGARA
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Oleh:
RUSMIYANAH
NIM: 1113033100068
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
iv
ABSTRAKSI
Judul: Konsep Epistemologi Menurut Mulyadhi Kartanegara
Epistemologi Islam Mulyadhi Kartanegara menggambarkan cara pandang
pencapaian terhadap ilmu secara luas. Tidak hanya materi epistemologi umum
dengan segala keterbatasan-keterbatasannya, melainkan juga epistemologi Islam
dengan melihat ketentuan-ketentuan tertentu yang menjadikan epistemologi Islam
sebagai pengetahuan yang kompleks. Tidak dapat dipungkiri, epistemologi umum
yaitu Barat lebih dikenal dengan baik oleh masyarakat dibanding epistemologi
Islam. Jika diamati sesungguhnya epistemologi Islam mampu menyajikan
pemahaman lebih mendalam, yaitu dengan menentukan langkah-langkah berikut.
Pertama, status ontologis obyek ilmu. Kedua, basis ontologis klasifikasi ilmu.
Ketiga, metode-metode ilmiah. Keempat, kriteria obyektivitas ilmu.
Secara umum bentuk epistemologi yang ditawarkan Mulyadhi Kartanegara
adalah sikap kritis dan perbandingan terhadap epistemologi Barat dan
epistemologi Islam. Ia melihat bahwa epistemologi Barat telah mempengaruhi
sistem pendidikan termasuk di negara-negara Muslim yang mana hal tersebut
tidak cocok dengan nilai-nilai budaya Islam yang apabila dibiarkan tentu dapat
mempengaruhi keyakinannya. Sebagaimana diketahui epistemologi Islam
memandang obyek ilmu lebih luas, yaitu ia mengakui obyek-obyek fisik juga
nonfisik. Sebaliknya, berbeda dengan Barat yang memandang obyek ilmu secara
sempit yaitu hanya membatasi kajian pada obyek yang fisik saja.
Skripsi ini mengkaji epistemologi Mulyadhi Kartanegara, tujuan utama
penelitian ini adalah untuk mengetahui, membahas dan menganalisis secara
sistematis pemikiran Mulyadhi Kartanegara demi menjawab sejauh manakah
konsep epistemologi menurut pandangannya. Metode yang digunakan oleh
penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ........................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Metodologi Penelitian ......................................................... 8
E. Sistematika Pembahasan ..................................................... 9
BAB II BIOGRAFI MULYADHI KARTANEGARA
A. Biografi dan Latar Belakang Intelektual ............................ 10
B. Pokok-pokok Pikirannya .................................................... 12
C. Karya-karyanya .................................................................. 15
D. Kedudukannya dalam Filsafat Islam………………........19
BAB III TEORI TENTANG EPISTEMOLOGI DAN BAGIAN-
BAGIANNYA
A. Definisi Epistemologi ......................................................... 20
B. Obyek Kajian Epistemologi ............................................... 24
C. Sejarah Epistemologi .......................................................... 27
D. Aliran-aliran Epistemologi Islam ....................................... 41
1. Burhânȋ ........................................................................ 42
2. ‘Irfânȋ .......................................................................... 43
x
3. Bayânȋ .......................................................................... 44
BAB IV TINJAUAN TERHADAP KONSEP EPISTEMOLOGI
ISLAM
A. Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu ................................ 47
B. Konsep Klasifikasi Ilmu ..................................................... 57
C. Metode-metode Ilmiah ....................................................... 63
D. Kriteria Obyektivitas Ilmu .................................................. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 76
B. Saran-saran ......................................................................... 77
Daftar Pustaka ................................................................................................. 78
Riwayat Hidup Peneliti ................................................................................... 83
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang amat sangat mendalam kepada Allah swt, atas segala
limpahan rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta kepada keluarganya,
sahabatnya dan para pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia.
Alhamdulillah, penulisan skrpisi yang berjudul “ Konsep Epistemologi
Menurut Mulyadhi Kartanegara”, telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya
Ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
studi strata satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk
itu saya merasa perlu menghanturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) dan segenap
civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam)
terimakasih telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan
bantuannya.
3. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam.
vii
4. Kusen, Ph. D, sebagai pembimbing skripsi, terimakasih telah meluangkan
waktunya dan mengerahkan segala tenaga dan pikirannya, terimakasih
telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan baik.
5. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
beserta jajarannya.
6. Teruntuk kedua orang tua penulis Rusdi dan Maryunah, yang tak henti-
hentinya memberikan doa, serta bantuan baik moril maupun materil
kepada penulis demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Juga kepada
kakak-kakak dan adik-adik yang selalu mendukung dan menyemangati
penulis.
7. Para dosen Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan dan
ilmu yang luas kepada penulis. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan
Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terimakasih atas sumber
daya dan fasilitasnya.
8. Terimakasih untuk calon imam, Fahrurrozi Wahid, S.Pd. I yang selalu
memberikan semangat setiap saat.
9. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat Islam
angkatan 2013, Rizka, Fitroh, Puji, Dalilah, Geti, Cici dan teman-teman
yang lainnya, atas diskusi dan partisipasinya dalam proses penyelesaian
skripsi
10. Terimakasih untuk para pengurus Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia,
untuk sarana dan prasarananya serta dukungannya.
viii
11. Dan kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
yang banyak membantu, mempermudah dan memperlancar hingga skripsi
ini akhirnya selesai.
Ciputat, 21 Februari 2018
Rusmiyanah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menyelesaikan permasalahan, kita dituntut untuk berpikir, bersikap,
dan bertindak secara obyektif. Pertanyaannya adalah apa itu obyektif ? Apa ukuran
atau kriteria sesuatu itu dapat dikategorikan obyektif atau tidak obyektif ? Inilah
salah satu masalah utama dalam ranah epistemologi.
Salah satu aliran falsafah, yaitu positivisme berpendapat bahwa segala
sesuatu dapat dikategorikan obyektif bilamana sesuatu itu dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah. Menurut posistivisme, sesuatu dapat dikatakan ilmiah
jika sesuatu itu dapat terinderawi (terlihat, terdengar, terasa, teraba), dapat
diujicobakan (eskperimen), diukur dan diramalkan.1Sedangkan menurut Alfred
Jules Ayer menyangkut realitas inderawi maka mesti dilakukan observasi atau
sekurang-kurangnya mempunyai hubungan dengan observasi. Begitupun sebuah
ucapan dapat dikategorikan mempunyai makna jika menunjuk kepada suatu hal
yang sifatnya empiris. Misalnya “keranjang itu berisi 30 buah Mangga”.2Apakah
pernyataan tersebut benar ? Untuk mendapatkan benar atau tidak benarnya, maka
diperlukan observasi dan verifikasi. Jika setelah diobservasi dan diverifikasi
ternyata jumlah mangganya cuma 20 buah, maka pernyataan yang menyatakan
1Keterangan lebih lanjut tentang positivisme lihat buku Filsafat Agama 1, oleh Amsal
Bakhtiar, diterbitkan di Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 114. Dan buku Filsafat Ilmu dan Ilmu KeIslaman, oleh Biyanto, diterbitkan di Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, h. 257.
2K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 35.
2
bahwa keranjang itu berisi 30 buah Mangga menjadi tidak benar. Sebaliknya jika
setelah diobservasi dan diverifikasi ternyata jumlah Mangganya 30, maka
pernyataan itu benar. Benar dan tidak benarnya sesuatu mesti bersesuaian dengan
fakta. Dalam epistemologi, kebenaran yang didasarkan pada fakta dilapangan
disebut korespondensi.3
Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri.
Pengetahuan (knowledge) mempunyai berbagai cabang pengetahuan dan ilmu
(science) merupakan salah satu cabang pengetahuan tersebut. Karakteristik
keilmuan itulah yang mencirikan hakekat keilmuan dan sekaligus yang
membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan lainnya. Karakteristik
keilmuan menjadikan pengetahuan menjadi bersifat ilmiah.4
David Hume berpendapat bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman
yang diterima oleh kesan inderawi. Hal ini mendorong kita bahwa untuk
menemukan sebuah pengetahuan, diperlukan adanya pengalaman. Dengan
demikian, bahwa untuk membuktikan kebenaran akan pengetahuan, diperlukan
penelitian di lapangan, observasi, percobaan, agar manusia dapat mengetahui
berbagai hal.5Comte meyakini bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah
pengetahuan yang pasti, nyata dan berguna. Ia mendepak metafisika dengan
keyakinannya bahwa segala sesuatu yang dapat manusia ketahui adalah apa yang
3Keterangan lebih lanjut soal korespondensi lihat buku Integrasi Ilmu Agama dan Umum:
Mencari Format Islamisasi Ilmu Pengetahuan ditulis oleh Masri Elmahsyar Bidin, M. Syairozi Dimyati, DKK, diterbitkan di Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003, h. 12.
4Universitas Muhammadiyah Surakarta, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), h. 1.
5Muhammad Alfan, Filsafat Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 171.
3
tertangkap pancaindra. Para metafisikus yang bersibuk di kursi goyangnya
mencoba mereka-reka kemutlakan semesta dipandang sebelah mata oleh Comte.
Menurutnya, para failasuf spekulatif tersebut belum mencapai tahap
kedewasaannya yaitu pada falsafah positif. Positivisme sangat menekankan ilmu
pengetahuan atau ilmu positif sebagai puncak perkembangan manusia.6
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, kiranya dapat ditarik pemahaman
bahwa sesuatu dapat dikategorikan obyektif bilamana sesuatu itu bersesuaian
dengan fakta di lapangan. Dengan kata lain, pengalaman inderawi dilihat sebagai
sarana paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Melalui indera-indera
seseorang dapat berhubungan dengan dan mencerap berbagai macam obyek di luar
dirinya. Penekanan kuat pada kenyataan ini dikenal dengan nama realisme (hanya
kenyataan atau sesuatu yang sudah menjadi faktum dapat diketahui).7Jadi, dalam
empirisme sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris
yang diperoleh dari panca indera.8
Jika rumusan obyektivitas ilmu pengetahuan didasarkan semata-mata pada
hal-hal yang empiris, maka disinilah muncul persoalan yang sifatnya sangat serius,
yakni menyangkut keberadaan Tuhan. Sebagai Muslim, Tuhan ditempatkan
sebagai dzat yang tertinggi. Dan keberadaan Tuhan tidak dapat diempiriskan.
Karena itu jika kita menggunakan rumusan kaum positivisme, maka keberadaan
6Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai
Thomas Kuhn, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 65. 7Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 43-44. 8Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 45.
4
Tuhan menjadi tidak ada, karena Tuhan tidak dapat terinderawi, terukur dan
terujicobakan. Kebenaran metafisika dianggap tidak obyektif.
Sebagai umat Muslim meyakini keberadaan Tuhan hukumnya adalah
wajib, yaitu bisa dicapai melalui pengetahuan. Sebagaimana Islam adalah agama
yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Al-qur’an adalah kitab yang begitu
besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Hal ini seperti
tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali.
Misal, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berkaitan
dengan perintah membaca (Iqra’) dan menulis yang disimbolkan dengan “pena”
(qalam).9Perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui wahyu pertama yang
diterimanya tersebut adalah “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”, dan dari
sudut pandang Islam, membaca itu bukan hanya pintu menuju ilmu, akan tetapi
juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah.10
Tentu saja sebagai Muslim tidak sepakat dengan pandangan kaum
positivisme. Pertanyaannya adalah kalau begitu apakah ada kriteria lain
menyangkut obyektivitas ilmu pengetahuan ? Menurut perspektif falsafah Islam,
obyektivitas ilmu itu tidak semata-mata didasarkan pada empiris semata. Ibn Sȋnâ
dan Mulla Shadra misalnya, beliau berpendapat selain indera dan akal sebagai alat
utama penelitian ilmiah, failasuf Ibn Sȋnâ masih mengakui adanya daya lain yang
dimiliki manusia, yaitu hati (intuisi) yang disebutnya al-hads al-qudsi (intuisi
9Adian Husaini, Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 27-
28. 10C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj: Hasan Basari, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 16.
5
suci), yang dimiliki oleh para nabi dan sampai taraf tertentu oleh para wali
(Sufi).11
Mulyadhi Kartanegara adalah Salah seorang yang menolak pandangan
Barat tersebut. Beliau berpendapat bahwa mestinya obyektif itu artinya sesuai
dengan obyeknya. Namun, karena yang nyata atau riil itu tidak hanya yang fisik,
tetapi juga, paling tidak menurut para failasuf Muslim, yang non fisik, maka
ukuran obyektivitas sebuah objek ilmu tidak bisa hanya diukur dengan kriteria
fisik, tetapi harus diukur berdasarkan atau disesuaikan dengan sifat dasar dari
obyeknya yang bisa fisik tetapi juga bisa non fisik.12
Dalam konteks inilah pentingnya menggali pemikiran Mulyadhi
Kartanegara lebih lanjut, karena itu penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan
epistemologi sebagai judul.
Sisi lainnya kenapa mesti perlu mengangkat pemikiran epistemologi
Mulyadhi Kartanegara adalah tentang status ontologis obyek-obyek baik yang fisik
maupun yang metafisik.
Para failasuf Muslim mempercayai status ontologis obyek-obyek
metafisika seperti wujud sebagai wujud, Tuhan, Malaikat, akal dan jiwa, maka
pengetahuan tentang obyek-obyek metafisika ini sebagaimana adanya adalah
sesuatu yang mungkin secara filosofis.13
Untuk mengetahui obyek-obyek ilmu
sebagaimana adanya, seseorang bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur
11Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2003), h. 86. 12Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:
Mizan, 2003), h. 64-65. 13Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 47.
6
yang diambil oleh seorang ilmuwan untuk sampai pada pengetahuan tentang
sebuah obyek sebagaimana adanya.14
Seperti peristiwa kenabian, menurut para
failasuf Muslim, tak lain adalah kontak Nabi dengan akal aktif, sedangkan dalam
doktrin failasuf mereka, kontak dengan akal aktif merupakan pengalaman normal
yang bisa dilakukan oleh siapa pun yang telah mencapai tingkat akal Mustafad,
yakni para failasuf. Bedanya adalah kalau para failasuf mencapai kontak tersebut
melalui usaha yang keras dan melalui daya intelektual manusia, Nabi memperoleh
kontak tersebut tanpa usaha dan melalui daya yang luar biasa istimewanya yang
dianugerahkan oleh Allah.15
Keyakinan para ilmuwan Barat / modern akan status ontologis obyek-
obyek tidak didasarkan pada kenyataan bahwa mereka dapat dicerap oleh indera,
sedangkan obyek-obyek non-fisik tidak. Tetapi mereka lupa bahwa dengan
ketundukannya kepada “kejadian” (generation) dan “kehancuran” (corruption),
maka alam fisik tidak mungkin menjadi sebab bagi dirinya. Itulah sebabnya maka
menurut para pemikir Muslim alam membutuhkan agen lain yang lebih tetap
sebagai “pencipta” dunia fisik ini. Tentu saja sebagai “pencipta” (atau “sebab
pertama” dalam istilah falsafah), status ontologis sang Sebab akan lebih
fundamental dari pada status ontologis akibat-akibatnya, yakni alam fisik ini.
Kalau alam fisik ini sebagai akibat dari sebab pertama , sudah memiliki tingkat
obyektivitas atau status ontologis yang begitu nyata, maka apalagi status ontologis
pencipta, sebagai sebab primernya. Tentu ia akan jauh lebih sempurna dan lebih
14Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 51. 15Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, h. 144-145.
7
fundamental. Indikasi ketergantungan alam fisik pada sebab pertama, dapa dilihat
misalnya dari sebutan yang diberikan Suhrawardi kepada alam sebagai al-faqȋr
(yang membutuhkan) yaitu membutuhkan sebab pertama yang disebut al-Ghanȋ
(yang berdiri sendiri) dan tidak membutuhkan yang lain untuk keberadaan-Nya.16
Dalam konteks inilah saya merasa perlu mengangkat tema “Konsep
Epistemologi menurut Mulyadhi Kartanegara” yang akan saya jadikan sebagai
judul skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mendapatkan sebuah hasil yang sistematis dan agar masalah tidak
melebar dalam pembahasannya, pengaji merasa perlu memberikan batasan dan
perumusan masalah terhadap obyek yang dikaji. Adapun batasannya adalah
mengenai epistemologi Islam: telaah terhadap obyektivitas ilmu menurut
Mulyadhi Kartanegara dari Tahun 2002 – 2009. Sedangkan perumusannya adalah:
1. Bagaimana konsep epistemologi menurut Mulyadhi Kartanegara ?
2. Bagaimana obyektivitas menurut Mulyadhi Kartanegara ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah pengaji rumuskan di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Mengetahui dan memahami pandangan Mulyadhi Kartanegara
Tentang epistemologi
16Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 39-40.
8
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menjadi koleksi khazanah ilmu pengetahuan yang bermanfaat
2. Memberi wawasan kepada para pembaca tentang penjelasan
epistemologi
3. Secara akademis penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah
satu persyaratan guna meraih gelar sarjana Strata satu (S1).
D. Metode Penelitian
Dalam Penulisan skripsi ini, pengaji menggunakan kajian kepustakaan
(library research), suatu metode dengan pengumpulan data-data dan informasi,
baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasikan
secara sistematis dan analisi dengan bantuan dari berbagai macam sarana yang
terdapat di ruang pustaka. Adapun buku-buku yang menjadi sumber primer dalam
hal ini tentunya buku karangan Mulyadhi Kartanegara yang memuat pembahasan
tentang epistemologi Islam. Sedangkan sebagai bahan penunjang adalah sumber
sekunder yaitu diambil dari buku-buku yang terkait dengan pokok pembahasan ini.
Metode pembahasan yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah
metode analisis deskriptif analisis. Dengan metode ini, penulis akan
menggambarkan dan memaparkan secara obyektif pemikiran Mulyadhi
Kartanegara seputar epistemologi Islam berdasarkan referensi yang digunakan.
Sedangkan secara teknis, penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Thesis dan Disertasi), Jakarta, Ceqda,
9
2007. Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan
Hipius (Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin).
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini,
maka pengaji mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan. BAB II adalah mengandung isi biografi dan
latar belakang intelektualnya, pokok-pokok pikirannya, karya-karyanya dan
kedudukan Mulyadhi Kartanegara dalam filsafat Islam.
Bab III menjelaskan tentang teori epistemologi dan bagian-bagiannya.
Sekilas akan dibahas mengenai definisi epistemologi, obyek kajian epistemologi,
sejarah perkembangan epistemologi dari masa ke masa serta aliran-aliran
epistemologi Islam.
BAB IV adalah pemikiran Mulyadi Kartanegara mengenai epistemologi.
Dalam bab ini menyangkut pembahasan tinjauan terhadap konsep epistemologi
yaitu konsep status ontologis obyek ilmu, konsep klasifikasi ilmu, metode-metode
ilmiah dan kriteria obyektifitas ilmu. Dan BAB V adalah penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran-saran, daftar pustaka serta riwayat hidup peneliti.
10
BAB II
BIOGRAFI MULYADHI KARTANEGARA
A. Biografi dan Latar Belakang Intelektual
Mulyadi Kartanegara lahir di Tangerang pada tanggal 11 Juni 1959. Ia
adalah seorang guru besar falsafah lulusan University of Chicago. Berkat
keilmuwannya saat ini beliau mengajar mata kuliah falsafah di berbagai perguruan
tinggi, diantaranya Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta; Program Pascasarjana UIN
Jakarta; Islam College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta; Universitas
Paramadina Jakarta. Pada tahun 2001-2003 beliau juga pernah menjadi Direktur
Pelaksana Program Pascasarjana Pusat Kajian Agama dan Lintas Budaya
Universitas Gajah Mada.1
Mulyadhi Kartanegara mengenyam bangku pendidikan dasar di SD Legok
Tangerang dan melanjutkan pendidikannya di PGAN selama 4 tahun di Tangerang
juga. Kemudian melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Persiapan (SP)
IAIN Ciputat pada tahun 1978 dan mendapatkan gelar BA pada tahun 1984.
Setelah itu, ia mendapatkan tugas dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan
pendidikannya di luar Negeri, tepatnya di Center for Middle East Studies, The
University of Chicago. Hal itu berlangsung pada tahun 1986 atas dasar beasiswa
dari Ford Foundation untuk English International Course di Davis California dan
Fullbright Foundation. Hingga akhirnya program Master berhasil diraihnya pada
1Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h.
225.
11
tahun 1989 dengan thesisnya yang berjudul “The Mistical Reflection Of Rumi”.
Begitu juga dengan gelar Doktornya yang ia raih di universitas yang sama dan
mendapat gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dari Department of Near Eastern
Languages and Civilization (NELC), The University of Chicago (1996). Sekarang
ia menjadi guru besar falsafah Islam lulusan Chicago yang menjabat sebagai staf
ahli pada Yayasan Madania, serta sebagai dosen di berbagai universitas dan
perguruan tinggi ternama di Indonesia. Kini ia juga aktif sebagai direktur di Center
of Islamic Philosophical Studies and Information (CIPSI) Jakarta.2
Beberapa posisi akademik yang pernah dijabat oleh Mulyadhi Kartanegara
diantaranya:
1. Wakil Direktur Pasca Sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000-
2001).
2. Eksekutif Direktur di Center for Religious and Cross-cultural Studies
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2001-2003).
3. Direktur di Pusat Kajian Epistemologi Islam, Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (2008-sekarang).
4. Professor Filsafat Islam dan Mistisisme di Fakultas Ushuluddin dan
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dosen Filsafat Ilmu dan Etika Islam di Universitas Paramadina, Jakarta.
2http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf#page=1&zoom=auto,-12,848,
diakses pada tgl: 18 November 2017, Pukul: 22.10. Ditulis oleh Hajar Mutahir, Skripsi tentang
Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan
Ilmu Pengetahuan di Universitas Islam di Indonesia
12
6. Dosen Filsafat di Swiss-German University BSD, Tangerang.
7. Senior Visiting Professor di ISTAC, Kuala Lumpur.3
B. Pokok-pokok Pikirannya
Dilihat dari berbagai karya-karya Mulyadhi Kartanegara, di sana terlihat
bahwa ia ingin menyampaikan pokok-pokok pikirannya kepada khalayak pembaca
guna diaktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan bagaimana
bersikap terhadap diri sendiri, masyarakat, alam semesta dan pencipta alam yaitu
Tuhan. Diantaranya:
1. Etika
Dalam beberapa tulisannya Mulyadhi Kartanegara menuliskan tentang
apa itu etika. Menurutnya etika adalah termasuk ke dalam salah satu cabang
ilmu-ilmu praktis yang mana sasaran ilmu-ilmu praktis adalah tindakan
manusia, bukan sesuatu, yang memiliki tujuan bagaimana mengarahkan
tindakan manusia ke arah yang benar, sehingga ia menjadi orang yang baik.
Di sini, etika mengajarkan kepada kita untuk menjadi sebaik-baiknya individu
atau manusia sebagai anggota masyarakat. Dikatakan, apabila sebuah
masyarakat manusia sudah baik individunya, keluarganya dan masyarakatnya,
maka ia akan menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Ia juga
3http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf, diakses pada tanggal: 21 Desember
2017, Pukul: 21.47. Ditulis oleh Hajar Mutahir, Skripsi tentang Pemikiran Mulyadhi Kartanegara
tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan Ilmu Pengetahuan di Universitas
Islam di Indonesia
13
mengutarakan bahwasanya etika berkaitan dengan psikologi yang membahas
tentang tingkah laku yang tidak bisa dilepaskan dari kejiwaan seseorang,
karena tingkah laku itu adalah ekspresi apa yang manusia rasakan dalam
jiwanya.
Ajaran tentang etika memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan.
Dalam bukunya ia mengutip pendapat dari Nashir al-Din Thusi menyatakan,
bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila sesuatu atau seseorang telah
mencapai kesempurnaannya, yakni mencapai tujuan penciptaannya. Dan
karena kebaikan adalah tujuan akhir dari sesuatu, maka kebaikan merupakan
kesempurnaannya.4Di sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya
kebaikan pada akhirnya akan sama dengan kebahagiaan. Jika seseorang dapat
berbuat baik kepada siapapun di muka bumi ini dan menyadari dirinya akan
kehadiran Tuhan, maka disitulah ia akan mencapai kebahagiaan yang hakiki.
2. Tasawuf
Mulyadhi Kartanegara menyatakan dalam bukunya bahwa Tasawuf
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt (taqarrub ila Allah). Lalu
dengan cara apa ? yaitu dengan cara ibadah melakukan kontak dengan sumber
dan terus berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, maka manusia boleh
berharap mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup. Tuhanlah tempat
kembali dan Ia adalah asal dan kampung halaman manusia yang sesunguhnya.
Hal ini sudah tertera di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 156
4Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf, (Ciputat: Ushul Press, 2009), h.
55-66.
14
جعون ا إل يه ر إن ا لل و إن
Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah
kami kembali”.
Selain itu Mulyadhi Kartanegara juga mengajarkan manusia untuk
mencintai makhluk ciptaan Tuhan. Perlu diketahui, alam bukan hanya obyek
mati yang bisa dieksploitasi semaunya atau sebebas-bebasnya tanpa respek,
karena sesungguhnya alam adalah makhluk hidup yang memiliki kemampuan
untuk menyinta dan dicinta. Di sini tasawuf dijadikan sarana bagi penyadaran
atau pencerahan akan hakikat alam semesta, sehingga dapat
memperlakukannya secara santun dan penuh cinta.5
3. Islamisasi Ilmu
Dikatakan bahwa munculnya upaya Islamisasi sains yaitu disebabkan
adanya sekularisasi terhadap ilmu seperti yang terjadi di Barat. Akibat dari
sekularisasi tersebut yaitu dapat menimbulkan ancaman-ancaman bahkan
serangan-serangan yang begitu meruntuhkan terhadap pilar-pilar kepercayaan
kepada Tuhan dan alam gaib yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar
dunia. Maka dari itu Mulyadhi Kartanegara merasa perlu untuk
meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan
agama dan perlu melindunginya yakni dengan cara islamisasi yaitu dengan
mengambil bentuk naturalisasi. Islamisasi sains merupakan sebuah proses di
mana ilmu yang diperoleh dari Barat diadaptasi dan diasimilasi kembali ke
5Mulyadhi Kartanegara, Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf, h. 130-132.
15
dalam nilai-nilai budaya dan religius Islam. Islamisasi sains bukanlah sebuah
upaya pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis, melainkan ia
bekerja pada tingkat epistemologis yang meliputi pembahasan tentang status
ontologis objek-objek ilmu, sistem klasifikasi ilmu yang meliputi ilmu-ilmu
fisika, matematika dan metafisika, serta metode ilmiah yang meliputi metode
eksperimen (tajrȋbȋ), demonstratif (burhânȋ) dan intuitif (‘irfânȋ).6
Dari pemaparan di atas, Penulis menyimpulkan agar tidak ada pemisah
antara ilmu dan agama. Jika demikian maka dapat mengurangi kadar
keimanan seseorang. Apabila terdapat ilmu yang mempunyai prinsip yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip agama maka harus disikapi secara kritis.
Sebaliknya, jika ada ilmu yang bersifat positif maka harus dihargai. Karena
sudah sepatutnya bagi mereka yang telah menuntut ilmu ia dapat lebih
mengenal dan dekat kepada Tuhan, semakin tinggi ilmunya maka rasa cinta
terhadap Tuhannya juga semakin meningkat. Karena sesungguhnya agama
adalah bagian dari ilmu. Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan
mengenal Tuhan-Nya.
C. Karya-karyanya
Mengenal Mulyadhi Kartanegara tidak akan lengkap hanya dengan melihat
biografinya. Mengetahui pemikirannya dari karya-karyanya sangat penting untuk
bisa membuka pengetahuan kita tentang sosoknya. Mulyadhi Kartanegara telah
6Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:
Mizan, 2003), h. 145.
16
menulis sejumlah buku dalam rangka mengembangkan pemikirannya dan juga
membagikan setiap ilmu yang dimilikinya.
Mulyadhi Kartanegara adalah seorang penulis yang mumpuni, di mana
terdapat waktu luang maka ia manfaatkan dengan baik menuangkan isi pikirannya
ke dalam tulisan, contohnya, ia pernah berkata di hadapan mahasiswanya ketika
jam mata kuliah berlangsung bahwasanya ia berusaha mampu menulis di manapun
ia berada, misalnya ketika berada dalam perjalanan menuju universitas di dalam
mobil kata demi kata ia torehkan di buku catatannya, selain itu ia juga senang
menulis di malam hari saat yang lain terlelap dalam tidurnya.
Berikut ini adalah karya-karya Mulyadhi Kartanegara, yaitu:
1) Renungan Mistik Jalan al-Din Rumi, diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada
tahun 1986.
2) Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, diterbitkan oleh
Paramadina pada tahun 2000.
3) Menembus Batas Waktu: Panorama Falsafah Islam, diterbitkan oleh Mizan
pada tahun 2002.
4) Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, diterbitkan oleh
Mizan pada tahun 2003.
5) Jalal al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, diterbitkan oleh Teraju
pada tahun 2004.
6) Seni Mengukir Kata: Kiat-kiat Menulis Efektif-Kreatif, diterbitkan
oleh Mlc pada tahun 2005.
7) Integritas Ilmu: Sebuah Pendekatan Holistik, diterbitkan oleh Arasy pada
17
tahun 2005.
8) The Best Chicken Soup Philosopher, diterbitkan oleh Hikmah pada
tahun 2005.
9) Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Falsafah Islam, Jakarta: Lentera Hati,
2006.7
10) Sejarah Falsafah Islam (Translation of Majid Fakhry’s A History of Islamic
Philosophy), diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1986.
11) The Mystical Reflections of Rumi (tesis master), pada tahun 1984.
12) Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, diterbitkan oleh BI pada tahun 2006.
13) Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Falsafah Islam (Lentera Hati),
diterbitkan oleh Lentera Hati pada tahun 2006.
14) Nalar Religius: Mengenal Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, diterbitkan
oleh Erlangga pada tahun 2007.
15) Islam Bagi Yang Ingin Tahu, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2007.
16) Falsafah Islam, Tasawuf dan Etika, diterbitkan oleh Ushul Press pada tahun
2009.
17) Sains dan Matematika dalam Islam, diterbitkan oleh Ushul Press pada
tahun 2009.
18) Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modernitas, diterbitkan
oleh Erlangga pada tahun 2007.
19) Pengantar Studi Islam, diterbitkan oleh UIN Press pada tahun 2010.
20) The Essentials of Islamic Epistemology
7Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 225.
18
21) Terjemahan the Venture of Islam 1, diterbitkan oleh Paramadina pada
tahun 1999.
22) Terjemahan the Venture of Islam 2, diterbitkan oleh Paramadina pada
tahun 2002.
23) Muslim Scholars and Heroes, Chicago.
24) The Mukhtasar Siwan al-hikmah of Umar b. Sahlan al-Sawi, disertasinsaya
dalam bahasa Arab pengantar Inggris, tentang kata- kata hikmah. , (desertasi)
pada tahun 1996.
25) Para Pemikir dalam Tradisi Ilmiah Islam
26) Menyelami Lubuk Tasawuf, diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2006.
27) Rasail Ikhwan al-Shafa’, buku 3
28) Rasa'il Ikhwan al-Shafa' buku 4
29) Rasa'il Ikhwan al-Shafa’ buku
30) Rasa'il Ikhwan al-Shafa’ buku 6.8
31) Pengantar Ilmu Kalam, diterbitkan oleh Masjid Sunda Kelapa pada tahun
2009.
32) Tiara, Sebuah Nyanyian Cinta (belum terbit).
33) Dua Sisi Kehidupan (belum terbit).
34) Pengantar Psikologi Islam (belum terbit).9
8Artikel diakses pada 24 November 2017 dari
http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2015/10/daftar-buku-prof-mulyadhi-kartanegara.html. Ditulis oleh
Fikri. Tentang daftar Buku Mulyadhi Kartanegara. 9Artikel diakses pada 21 Desember 2017 dari
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf. Ditulis oleh Hajar Mutahir, skripsi tentang
Pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang Islamisasi Ilmu dan Relevansinya dengan Pengembangan
Ilmu Pengetahuan di Universitas Islam di Indonesia.
19
D. Kedudukan Mulyadhi dalam Falsafah Islam
Menurut Kusen, sebagaimana mengutip pendapat Haidar Bagir
disampaikan secara langsung bahwa Mulyadhi Kartanegara adalah satu-
satunya ilmuwan Muslim Indonesia yang secara linier konsisten pada falsafah
Islam. Sedangkan Cak Nur beralih ke falsafah Politik dan Komarudin Hidayat
beralih pada psikologi.
20
BAB III
TEORI TENTANG EPISTEMOLOGI
A. Definisi Epistemologi
Istilah epistemologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah cabang ilmu falsafah tentang dasar-dasar dan batas-batas
pengetahuan.1Selanjutnya, Menurut Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus,
ditinjau dari segi etimologi Epistemologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu
episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti
ilmu atau informasi. Dapat dikatakan, pengetahuan tentang pengetahuan.
Adakalanya disebut “teori tentang ilmu pengetahuan”.2Sedangkan menurut
terminologinya, epistemologi berarti ilmu falsafah tentang pengetahuan atau
falsafah pengetahuan.3Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J. F.
Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakannya dengan cabang falsafah
lainnya yaitu ontology.4
Selanjutnya, Harun Nasution berpendapat dalam bukunya Falsafat
Agama, epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang apa itu pengetahuan
dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.5Sedangkan, A. Susanto
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang falsafah yang mempelajari asal
1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 234. 2Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 212.
3Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Falsafah Pengetahuan Islam,
(Jakarta: UI-Press, 2006), h. 2. 4Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), h. 31. 5Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 10.
21
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.6Di
sisi lain, Jalaluddin dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan berpendapat
bahwa epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang mengacu kepada proses. Dalam pandangan
epistemologi, setiap pengetahuan merupakan hasil dari pemeriksaan dan
penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia.7Kemudian Mukhtar
Latif dalam bukunya Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu
mengatakan, epistemologi merupakan salah satu cabang falsafah yang
mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan atau dengan kata
lain, epistemologi merupakan disiplin falsafah yang secara khusus hendak
memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.8Selain itu, Inu Kencana
Syafiie dalam bukunya Pengantar Filsafat berargumen bahwa epistemologi
adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika,
etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah,
kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran
ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.9Terakhir Amsal Bakhtiar dalam
bukunya Filsafat Ilmu berpandangan epistemologi adalah cabang falsafah
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.10
6A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 102. 7Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 166. 8Mukhtar Latif, Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014), h. 197. 9Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung: Refika Aditama, 2014), h. 10.
10Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 148.
22
Jika dilihat dari penjelasan beberapa tokoh di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu pengetahuan,
mulai dari cara memperolehnya, melaui proses-proses hingga menjadi
pengetahuan yang ilmiah yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan
dan diakui masyarakat.
Sebagai cabang ilmu falsafah, epistemologi bermaksud mengkaji dan
mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.11
Menurut Surajiyo epistemologi membicarakan tentang asal muasal, sumber,
metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan
dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? Bagaimana
prosedurnya ? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar ? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? Apakah
kriterianya ? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?.12
Epistemologi atau falsafah pengetahuan pada dasarnya merupakan
suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif
pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan
alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat
evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai
apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat
dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memiliki dasar yang dapat
11
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), h. 63. 12
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 151.
23
dipertanggungjawabkan secara nalar. Selanjutnya, normatif adalah
menentukan norma atau tolok ukur dan dalam hal ini tolok ukur kenalaran
bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak
mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia
mengetahui.13
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang
justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Menurut AR Lacey,
untuk menemukan kebenaran maka perlu melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Menemukan kebenaran dari masalah
2. Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran
3. Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran
4. Falsification atau operasionalism (experimental operation, operation
research)
5. Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran
6. Metode hipotetico-deduktif
7. Induksi dan presuposisi / teori untuk menemukan kebenaran fakta.14
Untuk mencapai kebenaran tersebut tentu memerlukan alat-alat
pengetahuan yaitu dapat diperoleh melalui pengalaman data-data indera,
benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri, orang lain atau
benda-benda fisik.15
13
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Falsafah Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 18-19. 14
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 78. 15
Apollo Daito, Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 55.
24
Pembahasan tentang epistemologi (teori tentang ilmu pengetahuan)
dimulai dengan penjelasan tentang definisi sains, ilmu dan opini. Ilmu dalam
epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam
epistemologi Barat. Sains dalam epistemologi dibedakan dengan knowledge,
ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra’y). Sementara
sains dipandang sebagai sembarang pengetahuan yang terorganisasi (any
organized knowledge) Ilmu didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya”. Ilmu bukanlah sembarang pengetahuan atau
opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian
ilmu tidak jauh berbeda dengan sains, hanya saja sains dibatasi pada bidang-
bidang fisik atau inderawi, ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik,
seperti metafisika.16
Dari pengertian di atas, pembahasan epistemologi kali ini lebih luas
tidak hanya berkutat pada aspek yang fisik tetapi juga pada yang metafisik.
B. Obyek Kajian Epistemologi
Obyek kajian epistemologi terbagi menjadi tiga, yaitu ilmu
pengetahuan, logika dan metode.
1. Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
16
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 1.
25
itu.17
Di sisi lain Basiq Djalil mengatakan bahwa ilmu adalah suatu lafadz
yang mempunyai pengertian ganda, pertama, berarti apa yang diketahui
(Al-ma’rifah), yaitu dipercayai dengan pasti dan sesuai dengan kenyataan
yang muncul dari satu alasan argumentasi yang disebut dalil. Kedua,
yang berarti gambaran yang ada pada akal tentang sesuatu, Seperti kuda,
kambing, kucing. Dengan menyebut atau mendengar lafadz tertentu,
dengan sendirinya muncul gambaran pada akal. Lafadz yang ada
gambaran dalam akal ini disebut tasawur.18
Pengetahuan, kata dasarnya adalah tahu, mendapatkan awalan dan
akhiran pe dan an. Imbuhan pe-an berarti menunjukkan adanya proses.
Jadi menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti proses
mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan.
Sebagai salah satu bidang falsafah, masalah ini dipersoalkan secara
khusus dalam epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, episteme
berarti pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya.19
Mohammad Adib memberikan definisi ilmu pengetahuan yaitu
suatu pengetahuan tentang obyek tertentu yang disusun secara sistematis
sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu.20
2. Logika
Logika adalah cabang falsafah yang mempelajari kegiatan
berpikir manusia.21
Selanjutnya Mundiri dalam bukunya yang berjudul
17
Baihaqi A. K, Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik, (Jakarta: Darul Ulum Press,
2012), h. 9. 18
Basiq Djalil, Logika: Ilmu Mantiq, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 1. 19
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu
Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008), 48-49. 20
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, h. 17.
26
logika, menerangkan bahwa logika berasal dari bahasa latin yaitu logos
yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain yang digunakan sebagai
gantinya adalah mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja națaqa
yang berarti berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari seseorang
sering mendengar ungkapan seperti, alasannya tidak logis,
argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Di sini yang dimaksud
dengan logis adalah masuk akal dan tidak logis berarti tidak masuk
akal.22
Logika di sini adalah studi tentang metode dan prinsip yang
digunakan untuk menguji dan membedakan penalaran yang tepat dari
penalaran yang tidak tepat.23
Kesimpulannya adalah bahwa logika ialah
alat untuk berpikir bagi manusia.
3. Metode
Secara etimologis, kata metodologi diderivasi dari kata method
yang berarti cara, dan logy atau logos berarti teori atau ilmu. Jadi kata
metodologi mempunyai arti suatu ilmu atau teori yang membicarakan
cara. Anthony Flew yang dikutip oleh Wardi Bachtiar, mengatakan
bahwa metodologi adalah suatu kajian tentang cara, yang dalam kajian
kajian itu dibicarakan prosedur-prosedur, tujuan dari ilmu itu sendiri dan
jalan yang harus dilakukan yang dengan jalan itu, ilmu itu dapat disusun.
Jadi metodologi adalah suatu proses dalam mencapai tujuan.24
21
B. Arief Sidharta, Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan
Telaah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), h. 3. 22
Mundiri, Logika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 1-2. 23
Benyamin Molan, Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h.
1-2. 24
Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 60.
27
Selain itu, Wardi Bachtiar dalam bukunya yang berjudul
Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah berpandangan bahwa, metodologi
penelitian atau metodologi riset dalam bahasa inggrisnya disebut science
research method. Metodologi berasal dari kata methodology, maknanya
ilmu yang menerangkan metode-metode atau cara. Penelitian adalah
terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research yang terdiri dari kara re
(mengulang) dan search (pencarian, pengejaran, penelusuran,
penyelidikan atau penelitian), maka research berarti berulang melakukan
pencarian. Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan
tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang
berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil
kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.25
Sebagai suatu ilmu, metodologi merupakan bagian dari perangkat
disiplin keilmuan yang menjadi induknya. Hampir semua ilmu
pengetahuan mempunyai metodologi tersendiri.26
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa metodolgi adalah teori
tentang cara atau metode untuk mendapatkan pengetahuan.
C. Sejarah Perkembangan Epistemologi
Pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup, segala sesuatu terkait
permasalahan kehidupan manusia, relatif mudah dipecahkan dengan cara
langsung minta pendapat dari Nabi, atau langsung merujuk pada al-Qur‟an.
Seiring dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa khalifah
25
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), h. 1. 26
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 61.
28
Utsman bin Affan, semakin banyak kaum mawali (orang non-Arab masuk
Islam). Perluasan wilayah kekuasaan Islam disamping membawa citra positif
bagi perkembangan dakwah, namun juga menimbulkan rasa kuatir akan
timbulnya kesalahan bacaan dan kesalahan pemaknaan terhadap sumber
pokok syariat Islam (al-Qur‟an). Dalam upaya menjaga kemurnian al-Qur‟an,
maka dipandang perlu melakukan pembakuan aturan-aturan bayân (penjelas).
Oleh banyak kalangan, Imam Syâfi‟î (150-204 H/767-812M) dianggap
sebagai peletak dasar aturan-aturan bayân Warisan ilmu dari Imam Syâfi‟î
yang bercorak bayâni itu ialah al-ushûl al-fiqh (azas-azas jurisprudensi).
Salah satu bentuk azas al-ushûl al-fiqh itu ialah al-qiyâs (analog).
Al-qiyâs pada hakekatnya dimaksudkan sebagai cara pembenaran
terhadap dalil naqli selaras dengan penjelasan akal atau setidak-tidaknya
dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Ini berarti, metode bayâni tidak
lagi sebatas bagaimana menjelaskan kata-kata sulit yang ada dalam al-Quran,
tetapi telah bergerak merambah bagaimana memahami nash bersesuaian
dengan kebenaran akliah. Dalam konteks inilah kemudian metode bayâni
dimaknai sebagai metode ilmu yang ditopang oleh dua pendekatan, yaitu:
berpegang pada lafadz (redaksi ayat) dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab (nahw/Sharf) sebagai alat analisis, dan menggunakan al-qiyâs (Al-Jabirî
1991; h.530).
Al-Qiyâs yang semula diterapkan untuk memahami fiqh (hukum
Islam), oleh para mutakalimin dijadikan pendekatan memaknai ayat-ayat al-
Qur‟an yang berkenaan dengan persoalan-persoalan ‘ilm kalâm (teologi).
Dengan kata lain, qiyâs diterapkan untuk istidlal bi al-syahid ‘ala ghaib
29
(penalaran yang berangkat dari hal nyata, untuk mengukuhkan hal ghaib).
Karena corak qiyâs yang demikian itu, metode ilmu yang terdapat dalam ‘ilm
kalâm dinamakan al-qiyâs al-jadaly (dialektis). Dan pengetahuan yang
dihasilkannya dari metode pendekatan al-qiyâs al-jadaly (dialektis) tak
terlepas dari hubungan erat antara ilmu, iman dan kebebasan manusia. Hal
demikian tercermin misalnya dari pemikiran Abd Al-Jabbâr (salah satu tokoh
terkemuka di Mu‟tazilah). Seperti yang dinyatakannya:
فاد, فمتى تعلق بالشيء علىى مىا ىه بىه, عىى علىى جىه ونىت ى ه ا ا لعلم : ا نه من جنس الا عت
لنفس, كا علما.
“Ilmu adalah bahwa ia merupakan jenis keyakinan, dan ketika keyakinan
tersebut berkaitan dengan suatu obyek tepat seperti realitas apa adanya, dan
berproses dengan suatu cara yang meniscayakan timbulnya ketengan jiwa,
itulah yang disebut pengetahan”.
(Mug XII, 25)
Penggunaan metode rasional di kalangan cendikiawan muslim
semakin mendapatkan bentuknya yang lebih sistematis pada saat kontak
dengan falsafah Yunani berjalan intensif, yakni pada abad ke-3 H/9 M.
Munculnya falsafah Yunani di kalangan cendikiawan Muslim, mendorong
lahirnya falsafah masysyâ’iyyah (peripatetik). Dan falsafah masysyâ’iyyah
dilandaskan pada metode burhâni (rasional). Metode burhâni menempuh
pendekatan secara bahtsi (diskursif), yaitu penjelasan yang dilandaskan pada
tiga hal: al-ta’rif (definisi), al-qadhiyah (proposisi), dan al-qiyâs al-‘aqly
(silogisme). Ketiga bentuk pendekatan tersebut di atas, ditengerai sebagai
metode deduktif atau manthiq al-shury (logika formal).
30
Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa pengenalan akal tidak akan
mampu menyentuh realitas yang sejati. “Cinta”, misalnya, menurut para sufi
tidak bisa dipahami oleh akal diskursif, berapapun buku teori cinta yang kita
baca, karena “cinta” hanya bisa dipahami dengan mengalaminya secara
langsung (Mulyadhi 2006, 58-59)”.27
Sejarah epistemologi dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu
Yunani, Kebangkitan Islam, Abad Pertengahan, Abad Modern dan
Kontemporer. Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah
berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif,
karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus
melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode
menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan pemikiran secara teoretis senantiasa mengacu kepada
peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu di sini dimulai dari
peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer.28
Berikut adalah
proses perjalanan sejarah epistemologi dari masa kemasa:
1. Falsafah Ilmu di Era Yunani (600 SM – 500 SM)
Dalam dunia falsafah, zaman Yunani kuno terbagi menjadi dua
periode yaitu, zaman Pra-Sokrates dan zaman Pasca-Socrates. Pertama,
Falsafah pra-Socrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala
sesuatu (arche). Mereka yakin bahwa di balik keanekaragaman realitas
alam semesta ini hanya ada satu azas.29
Zaman kuno meliputi zaman
27
Dikutip dari Thesis Kusen, Ph. D 28
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 80. 29
Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2011), h. 107.
31
falsafah pra-Socrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama
failasuf pertama atau failasuf alam. Mereka mencari unsur induk (arche)
yang dianggap asal dari segala sesuatu. Misal, menurut Thales arche itu
air, sedangkan Anaximandros berpendapat arche itu „yang tak terbatas‟
(to apeiron), selanjutnya Anaximenes berkata bahwa arche itu udara,
Pythagoras arche itu bilangan, Heraklitos arche itu api, ia juga
berpendapat bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak.30
Periode falsafah Yunani merupakan periode yang sangat penting
dalam sejarah peradaban manusia karena ketika itu terjadi perubahan
pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir
mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan
mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi.31
Masyarakat pada masa pra-Socrates dalam kehidupannya
meyakini tentang takhayul. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada
dongeng dan takhayul, tetapi lama kelamaan, mereka mampu keluar dari
kungkungan mitologi dan menggunakan rasio sebagai dasar pengetahuan
ilmiah.32
Pada abad ke-6 SM mulai berkembang di Yunani suatu sikap
baru, di mana orang mulai mencari jawaban-jawaban tentang rahasia-
rahasia alam semesta. Rasio mulai menggantikan mitos, logika
menggantikan legenda. Dengan demikian, lahirlah falsafah Yunani, di
mana mereka tidak mencari-mencari lagi keterangan-keterangan tentang
alam semesta ini dalam cerita-cerita mitos, tetapi mereka mulai berpikir
sendiri, untuk memperoleh keterangan-keterangan yang memungkinkan
30
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 83. 31
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 21. 32
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 23.
32
mereka mengerti kejadian-kejadian dalam alam ini. Perubahan sikap baru
yang rasional tersebut, mungkin sekali dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu-ilmu pengetahuan di Timur Kuno, karena banyak orang-orang
Yunani yang mempelajari ilmu-ilmu, seperti ilmu ukur, ilmu hitung dan
astronomi dari bangsa Mesir dan Babilonia.33
Kedua, periode Pasca-Socrates ditandai dengan lahirnya tokoh
Plato dan Aristoteles. Plato menyumbangkan ajaran tentang “idea”.
Baginya hanya idea-lah realitas sejati. Semua fenomena alam hanya
bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato,
pada awal mula ada idea-singa, nun di sana di dunia idea. Dunia idea
mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis dan keberadaannya
terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-singa itu muncul semua singa yang
kasat mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon dan burung bisa berubah
dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon dan burung kekal adanya.
Sementara menurut Plato realitas tertinggi adalah yang
dipikirkan dengan akal, sedangkan menurut Aristoteles realitas tertinggi
adalah yang dilihat dengan indera mata. Aristoteles adalah murid dari
Plato. Di sini dapat dilihat walaupun Aristoteles murid dari Plato, akan
tetapi pemikirannya berbeda. Aristoteles mengandalkan pengamatan
inderawi sebagai basis untuk mencapai pengetahuan sempurna.34
Di
samping itu, Aristoteles menegaskan bahwa untuk mendapatkan
kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru ada dua
cara, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Logika
33
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 72. 34
Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, h. 111-113.
33
Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif yang sampai saat ini,
bahkan masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika
formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya, ia juga
menyadari pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif.35
2. Kebangkitan Islam (657 – 1000 SM)
Islam dengan kebudayaannya telah berjalan selama 15 abad.
Dalam perjalanan yang demikian panjang terdapat 5 abad perjalanan yang
menakjubkan dalam kegiatan pemikiran falsafah, yaitu antara abad ke-7
hingga abad ke-12. Dalam kurun waktu 5 abad itu para ahli pikir Islam
merenungkan kedudukan manusia di dalam hubungannya dengan sesama,
dengan alam dan dengan Tuhan, dengan menggunakan akal pikirnya.
Mereka berpikir secara sistematis dan analitis serta kritis sehingga lahirlah
para failasuf Islam yang mempunyai kemampuan tinggi karena
kebijaksanaannya.36
Sejak kedatangan Islam, akal dan agama berjalan bersama-sama
dan serasi, terutama sejak tahun 80-an sampai tahun 1200-an. Ini adalah
tahun-tahun hidupnya failasuf-failasuf besar Islam jalur rasional, seperti
Al-Kindȋ (769-873), Al-Râzȋ (683-925), Al-Fârâbȋ (870-950), Ibn Sȋnâ
(980-1037), Al-Ghâzâlȋ (1059-1111) dan Ibn Rȗsyd (1126-1198). Di
35
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2014), h. 57-58.
36
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 97.
34
samping itu masih banyak lagi failasuf yang terkenal, diantaranya adalah
Ibn Bajjah dan Ibn Thufail.37
Al-Kindȋ dalam hidupnya memberikan kontribusi besar terhadap
terbukanya pintu-pintu falsafah bagi para ilmuwan Muslim. Umat Muslim
pada zaman dahulu amat menentang untuk mempelajari ilmu falsafah,
karena dikhawatirkan akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat
kepada Tuhan. Namun, al-Kindȋ mencoba membangun nilai falsafah dan
mendesak mereka agar menoleransi gagasan-gagasan dari luar Islam.38
Selanjutnya al-Fârâbȋ sangat berjasa dalam mengenalkan dan
mengembangkan cara berpikir logis (logika) pada dunia Islam. Berbagai
karangan Aristoteles, seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second
Analysis telah diterjemahkan al-Fârâbȋ ke dalam bahasa Arab. Al-Fârâbȋ
juga telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif
dan induktif. Di samping itu, ia dianggap sebagai peletak dasar pertama
ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan
sebelumnya oleh Phytagoras. Al-Fârâbȋ juga berkontribusi dalam
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan, yaitu ke dalam tujuh cabang, di
antaranya, logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan
ilmu fiqh (hukum).39
Kejayaan peradaban sains dan teknologi Islam disebabkan oleh
beberapa hal pokok, yaitu kesungguhan seluruh umat Muslim khususnya
para ilmuwan Muslim dalam mengimani dan mempraktikkan ajaran Islam
37
Elmahsyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format Islamisasi
Ilmu Pengetahuan, h. 42. 38
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah, h. 240. 39
Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung, Pustaka Setia, 2011), h. 67.
35
sehingga lahirlah individu-individu unggul. Dalam hal ini, umat Muslim
menapaki peradaban sains dan teknologi atas dasar motivasi agama.
Sedangkan di sisi yang lain, kejayaan peradaban sains dan teknologi Islam
juga disebabkan oleh faktor sosial politik, stabilitas ekonomi, serta
dukungan dan perlindungan dari pemimpin pemerintahan.40
3. Abad Pertengahan (1200 – 1500 SM)
Zaman ini dikatakan merupakan zaman keemasan kekristenan.
Pada abad-abad ini Plato dan Aristoteles masih berpengaruh dan berperan
penting terutama melalui Augustinus dan Thomas Aquinas. Falsafah
Augustinus merupakan suatu bentuk Platonisme yang sangat khas. Melalui
pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran abadi sejak kelahiran dalam
ingatan, manusia ikut mengambil bagian dalam ide-ide Tuhan namun
manusia merupakan ciptaan yang unik (bukan pasif), melainkan
diwujudkan secara aktif dalam suatu pengetahuan yang penuh kasih. Ia
yang melampaui ciptaan dapat mendaki sampai pada pengakuan yang
penuh kasih akan Tuhan. Berpikir dan mengasihi sungguh sangat dekat
dan tak dapat dipisahkan. Tuhan adalah ada sebagai pengada, bersifat
pribadi dan yang menciptakan seluruh jagad raya secara bebas dan bukan
dengan jalan emanasi yang niscaya.41
Pada zaman ini falsafah berfungsi sebagai alat untuk pembenaran
atau justifikasi ajaran agama (the philosophy as a handmaiden of
theology). Sejauh falsafah bisa melayani teologi, ia bisa diterima. Namun,
40
Abdul Waid, Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam yang
diKlaim Barat, (Jogjakarta: Laksana, 2014), h. 50.
41
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011),
h. 120-121.
36
falsafah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan gereja,
maka akan ditolak.42
Masa abad pertengahan ini juga dikatakan sebagai
suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke dalam
kehidupan atau sistem kepercayaan yang fanatik, dengan menerima ajaran
gereja secara membabi buta, karena itu perkembangan ilmu pengetahuan
terhambat.43
Falsafah abad pertengahan diawali oleh Boethius dan diakhiri oleh
Nicolaus Cusanus. Nicolaus membedakan tiga macam pengenalan, yaitu
panca indra, rasio dan intuisi. Dikatakan pengenalan inderawi kurang
sempurna. Rasio membentuk konsep berdasarkan pengenalan inderawi.
Dan dengan intuisi manusia dapat mencapai segala sesuatu yang tidak
terhingga yaitu Tuhan.44
4. Abad Modern (1600 – 1900 SM)
Abad 17 merupakan kelahiran falsafah modern di dunia Barat.
Bapak falsafah modern adalah Rene Descartes (Perancis) dan Francis
Bacon (Inggris). Kelahiran falsafah modern ini hasil pengaruh-pengaruh
antara falsafah dan natural science dengan ahlinya Copernicus (Abad 15),
Kepler (Abad 17) yang waktu itu sudah mulai berkembang.45
Rene Descartes dalam berfalsafah dikenal dengan istilah cogito
ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Yang ditemukan dengan metode
kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito”
42
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 106. 43
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 67-68. 44
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai
Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 77. 45
Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,
(Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007), h. 107.
37
atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak
tergoyahkan karena dapat mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah.
Cogito ditemukan lewat pikiran, sesuatu yang dikenali melalui dirinya
sendiri, tidak melalui kitab suci, dongeng, pendapat orang, juga tidak pada
prasangka.46
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Descartes dalam
mengukur kebenaran yaitu melalui rasio.
Tokoh pada abad modern selanjutnya yaitu John Locke. Berbeda
dengan Rene Descartes yang memprioritaskan rasio dalam mencari
kebenaran, John Locke lebih mengutamakan empirisme. Dia berpendapat
bahwa idea-idea yang difikirkan adalah terjadi melalui proses
penginderaan yang sangat rumit. Sebelum berfikir abstrak, seseorang lebih
dulu harus mengamati warna, ukuran, bentuk, mencium bau atau
mendengarkan sesuatu. Apa saja yang ditangkap dari dunia luar itu
menjadi proses-proses internal seperti, berpikir, merasa dan berkehendak.
Proses internal langsung berdasarkan pengalaman lahiriah itu
menghasilkan idea-idea, seperti idea sakit, idea nikmat, idea kesatuan.47
Selanjutnya ada Immanuel Kant, Kant dalam berfalsafah dikenal
dengan “kritisisme”. Kritisisme dipahami sebagai sebuah falsafah yang
lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum
memulai penyelidikannya. Kant mengatakan bahwa kritisme adalah
falsafah yang lebih dahulu menyelidiki syarat-syarat kemungkinan
46
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 38-39. 47
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 76.
38
pengetahuan. Immanuel Kant memahami “kritik” sebagai “pengadilan
tentang kesahihan pengetahuan” atau “pengujian kesahihan”.48
Terakhir, tokoh yang termasuk ke dalam abad modern adalah
August Comte. Ia dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Positivisme
menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.
Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme yakni metafisika,
atau dengan kata lain positivisme hanya percaya pada yang faktual. Fakta
dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diobservasi”, maka sebenarnya
positivism terkait erat dengan empirisme. Yang membedakannya,
empirisme masih menerima adanya pengalaman subyektif yang bersifat
rohani, sedangkan positivism menolaknya sama sekali. Yang dianggapmya
sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman obyektif yang bersifat
lahiriah, yang bisa diuji secara inderawi.49
Para failasuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan
terdapat perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa
sumber dan kebenaran pengetahuan adalah rasio (akal). Selanjutnya aliran
empirisme meyakini pengalaman adalah sumber pengetahuan itu, baik yang
batin maupun yang inderawi. Sedangkan aliran kritisisme mencoba
memadukan kedua pendapat berbeda itu.50
48
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 133. 49
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, h. 204-205. 50
Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Falsafah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), h. 125.
39
Sejak para pemikir (scientis) dapat berbicara dengan penuh
kepastian tentang keilmuwannya, sejak itu ilmu pengetahuan mulai
berkembang lebih baik. Pada saat tersebut, susunan atom, virus dan bakteri,
karena penggunaan mikroskop elektron dan metode-metode optik yang
dapat membesarkan obyek-obyek yang diteliti mulai berkembang.
Belakangan, manusia dapat meluncurkan roket-roket bertingkat ke suatu
planet dengan kecepatan melebihi 17.000 km/jam. Dan akan memperoleh
kecepatan yang spektakuler bila menggunakan bahan bakar nuklir.51
5. Kontemporer (1900 – Dewasa Ini)
Pengkajian pemikiran falsafah kontemporer bisa dimulai dengan
memahami tokoh-tokohnya, diantaranya, William James, Martin Heidegger,
Karl Popper, Betrand Russell, Jean-Paul Sartre, Jurgen Habermas, Richard
Rirty, J. Derrida dan Mazhab Frankfurt.52
Karl Popper dalam bukunya Logika penelitian dari tahun 1934
memaparkan beberapa masalah filosofis yang menyangkut ilmu
pengetahuan alam. Menurutnya suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah
karena sudah dibuktikan, melainkan karena dapat diuji (testable). Seperti
ucapan “semua logam akan memuai kalau dipanaskan” dapat dianggap
ilmiah, kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk
menyangkalnya. Seandainya terdapat satu jenis logam yang tidak memuai
51Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai
Teofailasufi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 79-80. 52
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 196.
40
setelah dipanaskan, maka ucapan itu ternyata tidak benar dan harus diganti
dengan ucapan lain yang lebih tepat.53
Selanjutnya, Jean Paul Sartre merumuskan seluruh usaha
falsafahnya dalam satu kalimat pendek, yaitu: “merekonsiliasikan
(mendamaikan) subyek dan obyek. Hal ini didorong oleh pengalaman
fundamental Sartre tentang kebebasan diri sebagai subyek dan tentang
benda sebagai obyek. Kedua pengalaman ini dalam pandangannya
merupakan simbol kondisi manusia yang di satu pihak mengalami dirinya
sebagai makhluk bebas, tetapi di lain pihak selalu dihadapkan pada kuasa
atau daya tarik benda.54
Masa kontemporer juga ditandai dengan hadirnya Mazhab
Frankfurt. Falsafah yang dipraktekkan dalam Mazhab Frankfurt dikenal
sebagai “teori kritis”. Jika seseorang ingin menentukan kedudukan teori
kritis dalam rangka sejarah falsafah, maka terutama tiga faktor harus
dikemukakan: teori kritis secara khusus dipengaruhi oleh Hegel, Marx dan
Freud.55
Perubahan yang terjadi di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
pada abad ke -19 sangatlah mengagumkan. Dekade-dekade awal abad itu
dipenuhi perkembangan pesat di dalam penggunaan tenaga uap, seperti di
dalam kereta api, pabrik-pabrik, serta kapal laut bertenaga uap.56
Pada
Zaman ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih.
53K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 72.
54Zainal Abdidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009), h. 186-187. 55
K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, h. 179. 56
Reza A. A. Wattimena, Falsafah dan Sains: Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Grasindo,
2008), h. 141.
41
Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami
kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit
komunikasi, internet dan sebagainya.57
Dalam abad 20 muncul banyak aliran falsafah dan banyak
merupakan penerusan filsafah-falsafah abad modern seperti neo-tomisme,
neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme. Ada yang baru dengan
corak yang amat berbeda seperti, Fenomenologi dengan tokoh utamanya
Edmund Husserl, Eksistensialisme, Pragmatisme, Strukturalisme dan Post-
modernisme.58
Demikianlah mata rantai sejarah epistemologi yang saling
berhubungan satu sama lain dari para pemikir atau ilmuwan-ilmuwan dari
berbagai belahan dunia dan perkembangannya yang dapat dirasakan oleh
masyarakat dunia sampai saat ini.
D. Aliran-aliran Epistemologi Islam
Manusia memperoleh pengetahuan melalui berbagai cara dan
menggunakan berbagai alat.59
Dalam sejarah falsafah ada sumber-sumber atau
asal-usul pengetahuan melalui studi-studi metodologis dari beberapa aliran
berpikir dengan pendekatannya masing-masing, melihat bagaimana
pengetahuan manusia diperoleh, diantaranya:
57
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, h. 89. 58
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011),
h. 131. 59
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 140.
42
1) Burhânȋ
Burhânȋ (demonstratif) secara sederhana dapat diartikan
sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi
(qadhiyah) melalui pendekatan deduktif (al-istintâj) dengan
mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah
terbukti kebenarannya secara aksiomaik (badhihi).60
Mulyadhi
Kartanegara dalam bukunya Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam
berpendapat bahwa metode Burhânȋ adalah metode logika yang
digunakan untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang telah
diketahui, sehingga menghasilkan kesimpulan, pengetahuan atau
informasi baru, yang sebelumnya tidak atau belum diketahui. Prosedur
yang harus diikuti dalam penarikan kesimpulan tersebut adalah apa
yang disebut sebagai silogisme, yang harus memiliki beberapa bagian
pokok, yaitu premis (mayor dan minor) middle term dan kesimpulan.
Contoh:
Semua makhluk yang bernyawa akan mati
Kucing makhluk yang bernyawa
Maka kucing akan mati.61
Rasionalisme merupakan paham falsafah yang mengatakan
bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan
dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir
60
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), h. 217. 61
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006),
h. 190.
43
ialah kaidah-kaidah logis atau logika.62
Selain itu Muhammed
„Abid al-Jabiri dalam bukunya kritik pemikiran Islam,
menambahkan bahwa hanya ada dua cara untuk sampai pada
pengetahuan yang sejati, yaitu pertama, data primer dari nalar dan
indera. Kedua, premis-premis yang dihasilkannya dari nalar dan
indera.63
2) ‘Irfânȋ
Metode ‘Irfânȋ biasa digunakan oleh para sufi, istilah ini
bisa juga disebut metode intuitif. Jenis intuisi dapat berupa wahyu,
ilham atau orang Jawa menyebutnya wangsit. Intuisi adalah
pengetahuan yang diperoleh tanpa penalaran, yang disebut sebagai
pengalaman personal. Sebagaimana juga wahyu, diyakini sebagai
kalamullah yang diberikan kepada manusia pilihan-Nya yaitu Nabi
dan Rasul, sebagaimana al-Qur‟an kepada Nabi Muhammad saw.
Hanya saja, intuisi dalam kategori ilham atau jenis lain yang
berbeda dengan wahyu tidak dapat diasosiasikan kepada publik
karena tidak semua orang memiliki keyakinan yang sama tentang
adanya kebenaran dalam ilham yang dimaksudkan, sebab yang
menerima tidak dikategorikan sebagai Nabi atau Rasul. Akan
tetapi, manakala ilham itu diceritakan oleh wahyu, seperti ibu Nabi
Musa menerima ilham dari Tuhan, keyakinan atas kebenaran
62
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber
dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 84. 63
Muhammed „Abid al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 122.
44
tersebut bukan pada ilhamnya, melainkan karena tertuang dalam al-
Qur‟an yang diyakini sebagai wahyu.64
Pengetahuan ‘Irfânȋ didasarkan pada kasyf, yaitu
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Oleh karena itu
pengetahuan ‘Irfânȋ diperoleh berdasarkan atas terlimpahnya
pengetahuan secara langsung dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana
pencapaian pengetahuan „irfan siap untuk menerimanya.65
Selanjutnya, yang terpenting dalam metode intuitif adalah
melakukan persiapan (isti’dad) untuk menyongsong pencerahan
(iluminasi) atau ada juga yang menyebutnya mukasyafah. Yaitu
dengan cara membersihkan diri dari segala kotoran jiwa (tazkiyat
al-anfus) yaitu pensucian diri. Karena pengenalan intuitif dapat
diibaratkan turunnya sinar kebenaran ke dalam hati seorang hamba
yang bersih, sehingga kebenaran itu hadir di dalam dirinya.66
3) Bayânȋ
Selain dunia indera dan akal sebagai sumber ilmu, ilmuwan
Muslim juga meyakini al-Qur‟an atau firman Tuhan sebagai
sumber ilmu, mereka menyebutnya dengan metode Bayânȋ atau
penjelasan.
Melalui metode ini ayat-ayat al-Qur‟an diklasifikasi ke
dalam beberapa kategori, seperti ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat (jelas, gamblang), kemudian
dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang bersifat mujmal (berbelit-belit),
64
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, h. 105-106. 65
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, h. 206. 66
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 193-194.
45
zhahir (makna lahiriah) dan mubayan (jelas). Ayat-ayat zhahir juga
dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang musykil (membingungkan) dan
khafi (tersembunyi), sedangkan mubayan dibagi lagi ke dalam
mufassar (terang) dan nashsh (jelas sekali).
Metode Bayânȋ juga membedakan ayat al-Qur‟an dari sudut
langsung atau tidak langsungnya makna sebuah ayat (manthuq dan
mafhum atau lafazh dan ma’na). makna yang langsung biasanya
dipahami sebagai yang pemahamannya diperoleh dari presentasi
kata. Beberapa kata hanya menerima satu penafsiran saja, mereka
mengemban sebuah nama yang diasosiasikan dengan mereka dan
umumnya diketahui oleh semua orang. Sedangkan makna tak
langsung didefiniskan sebagai makna yang pemahamannya didapat
dari sebuah faktor yang lain dari presentasi kata tersebut.
Pemahamannya mengandaikan adanya inteleksi yang berbeda dari
penginderaan dengan telinga atau mata.
Selain itu, ayat-ayat juga dibagi ke dalam yang bersifat
umum („am) dan khusus (khashsh). Yang umum adalah ayat yang
mengisyaratkan pluralitas dan dapat dibedakan dalam dua arti,
general dalam kata itu sendiri dan general dalam makna yang
dirujuknya. Sedangkan ayat-ayat khusus adalah ayat yang meliputi
hanya satu obyek dan dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu
khusus sebagai jenis, khusus sebagai spesies atau khusus sebagai
46
benda tunggal. Dan terakhir ayat-ayat al-Qur‟an dikategorisasikan
ke dalam perintah („amr) dan larangan (nahy).67
Dari ketiga aliran di atas, maka untuk mencapai kebenaran
yang hakiki ketiga metode tersebut saling melengkapi satu sama
lain dan dianggap satu rangkain yang sempurna dan tidak dapat
dipisahkan. Karena jika hanya mengandalkan satu metode akan
didapati kelemahan-kelemahannya.
67
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 194-196.
47
BAB IV
TINJAUAN TERHADAP KONSEP EPISTEMOLOGI MENURUT
MULYADHI KARTANEGARA
A. Konsep Status Ontologis Obyek Ilmu
Unsur ilmu terdiri dari subyek, obyek dan hubungan antara keduanya.
tidaklah dapat dikatakan sebuah ilmu jika salah satu diantara dua hal tersebut
tidak dihadirkan. Melainkan sesuatu dapat disebut ilmu apabila adanya hubungan
antara subyek (sebagai pengamat) dan obyek (yang diamati). Obyek dapat dibagi
menjadi dua, yaitu obyek yang fisik dan obyek metafisik. Obyek yang fisik
adalah obyek yang dapat terindera, yakni dapat dilihat, diraba, dicium, terukur,
sedangkan obyek yang metafisik adalah sebaliknya.
Epistemologi Islam, sesuai dengan kepercayaan ilmuwan-ilmuwannya
kepada dunia metafisik, telah menciptakan teori ilmu yang membahas bukan saja
obyek-obyek inderawi, sebagaimana ilmu-ilmu modern, tetapi juga obyek-obyek
metafisik. Di sini terdapat perbedaan mengenai pemahaman teori ontologi yang
dianut oleh failasuf Barat dengan teori ontologinya para failasuf Muslim. Kalau
di Barat mereka cenderung menolak status ontologis obyek-obyek metafisika dan
lebih memusatkan perhatiannya pada obyek-obyek fisik, sedangkan epistemologi
Islam masih mempertahankan status ontologis tidak hanya obyek-obyek fisik,
tetapi juga obyek-obyek matematika dan metafiska.1
1Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:
Mizan, 2003), h. 31.
48
Maka dari itu dalam pembahasan ontologi obyek ilmu tidak terlepas dari
pengetahuan tentang Tuhan dan Malaikat yang metafisik, alam meliputi benda-
benda langit serta benda-benda bumi termasuk tumbuhan dan hewan non-
rasional, dan manusia atau yang biasa disebut hewan rasional.
Telah jelas pemaparan di atas bahwasanya failasuf Muslim meyakini
keberadaan status ontologis obyek fisik dan juga obyek metafisik. Dengan
demikian epistemologi Islam telah berhasil menyusun “klasifikasi ilmu” yang
komprehensif dan disusun secara hierarkis, yaitu metafisika menempati posisi
tertinggi, disusul oleh matematika dan terakhir ilmu-ilmu fisik.2Oleh karena itu
mereka telah menyusun hierarki wujud (martabah al-maujȗdât) yang dimulai
dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan sebagai puncaknya, kemudian
menurun melalui alam tempat manusia hidup dan berkembang.
Mulyadhi Kartanegara sependapat dengan al-Kindȋ mengenai hierarki
wujud Tuhan yang memandang Tuhan sebagai sebab pertama (al-‘illah al-ȗlâ).
Sebagai sebab pertama, Dia menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain,
termasuk alam materiil ini (bumi) adalah sebagai akibat-akibatnya. Jika dilihat
dari sudut status ontologis, Tuhan sebagai Sebab Pertama tentu lebih utama
dibandingkan status ontologis alam fisik, karena Posisi Tuhan adalah sebagai
sebab atau sumber, sedangkan alam materiil hanyalah sebagai akibat atau derivat
dari Tuhan. Tentu status sebab akan lebih tinggi dibandingkan akibatnya karena
sebab bisa dibayangkan adanya walaupun tidak ada akibatnya, sedangkan akibat
2Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2002), h. 59.
49
tidak bisa dibayangkan adanya tanpa sebab. Oleh karena itu, sekalipun Tuhan
bersifat imateriil dalam pandangan failasuf Muslim, akan tetapi pada hakikatnya
Dia (Tuhan) lebih riil dari pada dunia yang kasat mata, dan sebaliknya bagi para
pemikir Barat sekuler, yang materiillah yang lebih riil, sedangkan yang gaib
(imateriil) sering dipandang sebagai ilusi atau delusi.
Selain itu Mulyadhi Kartanegara juga sepemikiran dengan Ibn Sȋnâ
mengenai keutamaan Tuhan dipandang dari sudut status ontologisnya, yaitu
Tuhan sebagai Wâjib al-Wujȗd (Wujud Niscaya) yang dipersandingkan dengan
status ontologis alam sebagai mumkin al-wujȗd (wujud yang mungkin atau
potensial). Sebagai wujud yang mungkin dalam arti potensial, alam sangat
bergantung keberadaannya pada Wujud Niscaya, dalam arti Wujud Yang
Senantiasa Aktual. Tanpa adanya Wujud Yang Senantiasa Aktual, alam sebagai
wujud yang mungkin (potensial) akan tetap berada dalam keadaan potensial. Ia
memang tidak mustahil untuk mengada, tetapi ia bisa mengada hanya apabila ada
wujud lain yang telah aktual yang dapat mengubah potensi alam itu menjadi
aktualitas. Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa Tuhan sebagai Wâjib al-
Wujȗd lebih tinggi derajatnya dan status ontologisnya lebih fundamental, karena
alam materiil saja dipandang begitu tinggi status ontologisnya oleh pemikir
Barat, padahal posisinya ia hanya sebatas akibat, apalagi status ontologis Tuhan
yaitu satu-satunya Sebab Awal keberadaan alam semesta.3
Bukti pertama berdasarkan pendapat bahwa alam semesta diciptakan
dalam waktu. Telah ditunjukkan bahwa alam semesta itu terbatas dalam badan,
3Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 32-33.
50
waktu dan gerak, yang berarti bahwa alam semesta pasti telah diciptakan.4
Berdasarkan prinsip hukum sebab akibat, semesta ini adalah terbatas dan tercipta
dari ketiadaan. Menurut prinsip sebab akibat, setiap yang tercipta berarti ada
yang mencipta dan Sang Pencipta semesta yang dimaksud adalah Tuhan.5
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, Tuhan adalah sebagai
sumber dari yang ada di alam ini tempat makhluk hidup berpijak, Dialah pencipta
langit, bumi beserta isinya. Dengan demikian status ontologis Tuhan lebih
unggul dibandingkan dengan yang lainnya.
Selanjutnya, tentang hierarki wujud Malaikat, Mulyadhi Kartanegara
sepakat dengan apa yang dilontarkan oleh al-Fârâbȋ yaitu Malaikat digambarkan
sebagai “wujud yang imateriil”, al-Fârâbȋ dan Ibn Sȋnâ menamakan Malaikat
sebagai akal, seperti dalam istilah akal aktif (al-‘aql al-fa’âl) yaitu sebutan untuk
Malaikat Jibril, ialah yang mengadakan kontak dengan para Nabi ataupun
failasuf. Dalam hal ini Mulyadhi Kartanegara juga sepakat dengan Suhrawardi
yang mengatakan bahwa Malaikat itu adalah cahaya (al-nȗr al-aqrab) sebutan
untuk Malaikat pertama yang muncul dengan intensitas cahaya yang karena
dekatnya hampir sama dengan Tuhan yaitu sebagai “Cahaya dari segala cahaya”
(nȗr al-anwâr).
Kemudian tentang status ontologis para Malaikat, Mulyadhi Kartanegara
sependapat dengan failasuf Muslim yang mengatakan bahwa Malaikat memiliki
4George N. Atiyeh, Al-Kindi: Tokoh Failasuf Muslim, diterjemahkan sah dari Al-Kindi: The
Philosopher of the Arabs, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 55. 5A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), h. 82.
51
status ontologis yang lebih tinggi dan riil dibandingkan alam materi. Mengapa
demikian ? yaitu karena pengaruhnya yang besar terhadap pembentukan benda-
benda fisik, seperti planet-planet termasuk bumi.
Selanjutnya, pernyataan keunggulan status para Malaikat dibanding alam
materi di atas, Mulyadhi Kartanegara setuju dengan sistem falsafah Suhrawardȋ
yang berargumen mengenai salah satu jenis Malaikat adalah ide-ide Platonik.
Ide-ide Platonik ini dipandang sebagai “prototipe” atau dalam istilahnya arbâb
al-ashnâm dari benda-benda yang ada di dunia ini, yang ia sebut ashnâm. Kata
arbâb bentuk jamak dari Rabb, biasanya diterjemahkan sebagai Tuhan atau tuan
(Lord). Sedangkan kata ashnâm yang arti harfiahnya adalah berhala-berhala
merujuk pada benda-benda derivatif sebagai obyek penderita atau “hamba”.
Karena “Tuan” pasti mempunyai posisi yang lebih kuat daripada hambanya,
demikian juga status ontologis ide-ide Plato (Suhrawardȋ menyebutnya
Malaikat), tentu lebih fundamental dan lebih riil dari pada benda-benda fisik.
Dapat dikatakan bahwa ide-ide ini mengambil bentuk sebab, sedangkan benda-
benda fisik merupakan akibat. Kesimpulannya adalah status ontologis sebab,
dalam bentuk apapun akan lebih unggul, riil dan fundamental, dari pada status
ontologis akibat-akibatnya.6
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, status ontologis Malaikat
berada di bawah status ontologis Tuhan, akan tetapi lebih tinggi status
ontologisnya dibanding dengan status ontologis alam materil.
6Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 33-35.
52
Berikutnya mengenai hierarki wujud benda-benda langit atau benda-
benda angkasa. Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan pendapat Suhrawadȋ yang
mengatakan bahwa benda-benda angakasa berada pada posisi Middle Occident
(Barat Tengah) yang dibedakan dengan posisi entitas-entitas imateriil (yaitu para
Malaikat) yang menduduki posisi Oriental (Dunia Timur) di atas mereka, dan
dengan posisi benda-benda fisik seperti mineral, tumbuhan dan hewan di bawah
mereka yang masuk ke dalam dunia Occident (Barat Murni).
Kemudian Mulyadhi Kartanegara juga sepemikiran dengan Ibn Sȋnâ yang
berargumen benda-benda angkasa memiliki pengaruh besar terhadap benda-
benda fisik di bawah bulan. Daya-daya yang berperan dalam mengatur interaksi
atau reaksi-reaksi kimiawi dan fisik pada unsur-unsur (dalam istilah modernnya
disebut atom-atom dan molekul-molekul) tak lain adalah daya-daya yang
diberikan oleh benda-benda angkasa tersebut. Selain itu, karena tidak mungkin
ada dinamika dalam alam tanpa gerak-gerak yang dipengaruhi oleh daya-daya
benda angkasa, bisa dilihat pentingnya peranan yang dimainkan oleh benda-
benda angkasa ini terhadap gerak, dinamika dan perkembangan dinamis alam
semesta selanjutnya.7
Dapat ditarik kesimpulan bahwa, status ontologis benda-benda angakasa
tidak lebih tinggi dibanding status ontologis Tuhan dan Malaikat, akan tetapi ia
lebih unggul status ontologisnya dari pada status ontologis benda-benda materiil.
Terakhir adalah hierarki wujud benda-benda bumi. Dalam hal ini
Mulyadhi Kartanegara sepemahaman dengan al-Fârâbȋ yang mengemukakan
7Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 35-36.
53
macam-macam benda dilihat dari sudut yang terendah sampai yang tertinggi.
yaitu unsur-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan non rasional dan hewan
rasional (manusia).
Falsafah Islam dalam pemikirannya dipengaruhi oleh falsafah Yunani,
seperti Aristoteles, yang membagi unsur-unsur sebagai bagian yang terendah dari
hierarki wujud yang berjumlah empat, diantaranya, tanah, air, api dan udara.
Keempat unsur ini berpadanan dengan empat sifat utama yang menjadi ciri benda
alami, yaitu tunduk pada kejadian dan kehancuran seperti panas dan dingin,
basah dan kering. Unsur inilah yang menjadi dasar bagi pembentukan benda-
benda alami lainnya dengan komposisi yang berbeda-beda, yaitu mineral,
tumbuhan dan hewan.8
Penelitian di bidang minerologi atau ilmu tentang benda-benda mineral
seperti batu-batuan atau logam-logaman diarahkan pada distribusi, identifikasi
dan sifat-sifat dari benda-benda mineral tersebut. Itulah sebabnya, maka di
samping berat dan ukuran, penelitian minerologis juga diarahkan pada warna,
kecemerlangan, tekstur dan bentuk dari sebuah batu. Juga diteliti peranan batu-
batu tertentu dalam menenangkan jiwa atau menimbulka rasa senang atau
keadaan psikologis lainnya. Al-Kindȋ menulis dua buku tentang berbagai jenis
batu-batuan berharga dan sebuah risalah tentang berbagai jenis batu-batuan dan
permata.9
8Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 36-37.
9Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h.
138.
54
Obyek batu yang semula hanya menempati bentuk batu yang kasar
kemudian karena melalui proses ia dapat berubah menjadi batu yang berharga
dan mulia seperti perak, emas bahkan berlian. Dari sini dapat dipahami bahwa
semakin halus dan mulia sebuah benda mineral, maka status ontologisnya juga
akan semakin tinggi.
Selanjutnya benda-benda alami tumbuh-tumbuhan. Mulyadhi Kartanegara
mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan bisa jadi merupakan evolusi dari dunia
mineral. Perubahan evolutif ini dapat dilihat dalam dunia mineral karena
perubahan benda-benda mineral yaitu berupa batu-batuan dan logam, dari yang
rendah ke arah yang lebih mulia barangkali merupakan proses alamiah yang
sangat gradual. Jadi ketika dunia mineral telah sampai pada puncak
perkembangannya, perkembangan vertikal alam kemudian berhasil melakukan
penerobosan fundamental dengan munculnya jenis makhluk lain yang disebut
tumbuhan.10
Tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu pertama, kemampuan untuk
tumbuh (growth). Kedua, menyerap makanan (nutritive faculty). Ketiga,
berkembang biak (reproductive faculty).11
Tumbuh-tumbuhan memiliki daya
tumbuh, yakni ia dapat tumbuh dari benih yang kecil hingga berkembang
menjadi pohon yang besar dan tinggi, yang mana tumbuhan yang sudah tumbuh
besar itu dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia, seperti kayunya
dapat dijadikan bahan bakar untuk masak, bangunan rumah, perabotan rumah
10
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 38 11
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 139.
55
tangga dan sebagainya. Selanjutnya, daya menyerap makanan, tumbuh-tumbuhan
memasok makanan melalui bagian-bagian tertentu seperti akar menyerap air dan
pupuk yang akhirnya tumbuhan tersebut dapat menghasilkan buah yang segar.
Terakhir daya reproduktif, yaitu bertujuan untuk memperbanyak sekaligus
memelihara spesiesnya.
Di samping itu, tumbuh-tumbuhan juga memiliki manfaat medis yang
dikenal dengan cabang ilmu kedokteran yaitu farmakologi. Ilmu ini menyelidiki
manfaat dan bahaya (racun) dari tumbuh-tumbuhan tertentu bagi kesehatan dan
pengobatan tubuh manusia dan bagaimana dari berbagai tumbuhan yang telah
diekstrak esensinya diracik sejenis obat tertentu, tentunya melalui berbagai
percobaan (tajribat).12
Dapat ditarik kesimpulan bahwa status ontologis tumbuh-tumbuhan lebih
fundamental dibandingkan status benda-benda mineral yaitu karena kelebihan-
kelebihan yang dimilikinya.
Selanjutnya, benda-benda bumi (alami) hewan. Dunia hewan dibagi
menjadi dua macam, yaitu hewan nonrasional yang biasanya disebut hewan pada
umumnya, seperti kucing, kambing, sapi. Dan hewan rasional yang disebut
manusia. Sebagai wujud yang mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada
tumbuh-tumbuhan, hewan memiliki daya-daya yang istimewa dibandingkan
daya-daya yang dimiliki oleh dunia mineral ataupun dunia tumbuh-tumbuhan.
Hewan memiliki daya penginderaan (sensasi) dan gerak (lokomosi / ḫarakah).13
12
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 140. 13
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 39.
56
Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa al-Jahizh telah meneliti dan
mempelajari 350 hewan, melakukan penelitian bukan hanya terhadap
pendeskripsian dan pengklasifikasian hewan ke dalam empat kategori menurut
cara mereka bergerak. Selain itu al-Jahizh juga telah menjadikan zoologi sebagai
sebuah cabang kajian agama, karena menurutnya tujuan mempelajari zoologi
tidak lain dari pada menunjukkan keberadaan Tuhan dan kebijaksanaan yang ada
pada ciptaannya.14
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa status ontologis hewan
lebih kuat dan lebih tinggi dibandingkan tumbuh-tumbuhan dan juga mineral.
Terakhir adalah hewan rasional atau yang dimaksud adalah manusia.
Perbedaan yang fundamental antara hewan-hewan biasa dan manusia terletak
pada akalnya (rasio). Dimana dengan akal manusia mampu menangkap informasi
yang tidak pernah bisa dilakukan oleh indera manapun, yaitu dengan
menanyakan raung, waktu, sebab-akibat dan seterusnya. Yang lebih menonjol
lagi adalah kemampuan manusia untuk menangkap makna abstrak, baik dari
benda-benda fisik maupun dari ucapan orang lain dan kemampuannya untuk
mengomunikasikan pikiran-pikirannya kepada orang lain lewat symbol-simbol
verbal ataupun tertulis seperti bahasa. Aspek lain yang menyebabkan status
ontologis manusia lebih fundamental dan riil dari pada makhluk-makhluk lainnya
adalah kenyataan bahwa akal bersifat imateiil dan bisa survive setelah
kematian.15
14
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 141. 15
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 40.
57
Selain itu, manusia juga adalah mikrokosmos (dunia kecil) karena
terkandung di dalamnya segala unsur yang ada dalam kosmos, seperti, mineral,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan bahkan unsur Malaikat dan Illahi. Ide bahwa
manusia adalah mikrokosmos yakni terkait erat dengan fakta bahwa manusia
merupakan puncak dari evolusi alam.16
Kesimpulannya adalah status ontologis manusia lebih unggul
dibandingkan dengan hewan, hewan lebih kuat dibanding tumbuhan dan
tumbuhan lebih tinggi dibanding mineral. Dan menurut falsafah Islam, status
ontologis tidak diberikan hanya pada obyek-obyek alami (materiil), tetapi juga
pada obyek-obyek imateriil.
B. Konsep Klasifikasi Ilmu
Mulyadhi Kartanegara berpendapat bahwa banyak pemikir Barat dan
failasuf ilmu yang meragukan status ontologis obyek-obyek nonfisik atau
metafisika. Oleh karenanya klasifikasi sains di Barat hanya memasukan bidang-
bidang ilmu empiris ditambah secara misterius dengan bidang-bidang ilmu
matematika, tetapi dengan tegas menolak bidang metafisika yang obyek-
obyeknya sering dipandang tidak riil atau ilusif. Sedangkan klasifikasi ilmu
Islam, meliputi tidak hanya bidang-bidang fisik dan matematika, tetapi juga
bidang-bidang ilmu metafisika.
Teori mengenai klasifikasi ilmu Islam Mulyadhi Kartanegara sepakat
dengan apa yang disampaikan oleh Ibn Sȋnâ, yakni ia menyebutkan wujud-wujud
16
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 46.
58
disusun secara hierarkis sesuai dengan sifat-sifat dasar mereka. Di sini Ibn Sȋnâ
mengelompokkan wujud-wujud tersebut dalam tiga kategori, yaitu pertama,
wujud-wujud yang secara nisaya tidak berhubungan dengan materi dan gerak.
Kedua, wujud-wujud yang meskipun pada dirinya bersifat imateriil, terkadang
mengadakan kontak dengan materi dan gerak. Ketiga, wujud-wujud yang secara
niscaya terkait dengan materi dan gerak.
Ibn Sȋnâ memberikan contoh pada setiap kategori, seperti wujud-wujud
yang termasuk ke dalam kategori pertama adalah yang disebut wujud-wujud
metafisika, contohnya adalah Tuhan dan jiwa. Selanjutnya wujud-wujud dalam
kategori kedua yang disebut sebagai wujud-wujud matematika dan yang terakhir
wujud-wujud dalam kategori ketiga ialah jatuh pada wilayah fisik.
Dari sini maka dapat dipahami bahwa teori pengetahuan Islam, ilmu
dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu, ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu matematika
dan ilmu-ilmu alam atau fisik.17
Dalam tradisi intelektual Islam obyek metafisik adalah obyek penelitian
yang tertinggi dan termulia, yang bukan hanya akan menyebabkan ilmu tentang-
Nya (al-‘ilm al-Ilâhi) sebuah disiplin ilmu yang tertinggi, tetapi juga yang
dipercaya akan mendatangkan kebahagiaan tertinggi bagi siapa saja yang
mempelajari-Nya. Dengan demikian ia dapat dijadikan sebagai basis moral bagi
penelitian ilmiah.18
17
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 42-43. 18
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), h. 78-79.
59
Tuhan adalah prinsip fundamental dari segala yang ada (maujȗdât). Dia
wajib adanya (wâjib al-wujȗd), sedangkan alam hanyalah mungkin adanya
(mumkin al-wujȗd). Sebagai yang wajib ada, maka Tuhan tidak boleh tidak ada,
baik masa lalu maupun masa mendatang. Sedangkan alam yang bersifat
mungkin, boleh saja ada atau tidak karena kedua hal tersebut sah-sah saja dan
tidak menimbulkan kontradiksi logis.19
Selain itu, Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Khaldȗn yang
membagi ilmu-ilmu metafisik ke dalam lima bagian, diantaranya:
1) Bagian yang mempelajari wujud sebagai wujud, yang biasa
disebut ontologi atau ilmu tentang wujud
2) Bagian bidang yang mempelajari materi umum yang
mempengaruhi benda-benda jasmani dan spiritual, seperti
kuiditas, kesatuan, pluralitas dan kemungkinan
3) Bagian yang mempelajari asal-usul benda-benda yang ada dan
menentukan apakah mereka itu adalah entitas-entitas spiritual atau
bukan
4) Bagian yang mempelajari bagaimana cara benda-benda yang ada
muncul dari entitas-entitas spiritual dan mempelajari susunan
mereka
19
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 125-126.
60
5) Bagian yang mempelajari keadaan jiwa setelah perpisahannya
dengan badan dan kembalinya ia ke asal atau permulaannya.20
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa metafisika meliputi
bidang ontologi yang terletak pada poin satu dan dua, juga bidang kosmologi
yaitu pada poin tiga dan empat dan terakhir bidang eskatologi dapat dilihat pada
poin kelima.
Mengenai basis ontologis ilmu-ilmu matematika, Mulyadhi Kartanegara
mengomentari pendapat Ibn Sȋnâ tentang jenis ke dua wujud sebagai wujud-
wujud, walaupun pada dirinya bersifat imateriil, akan tetapi ia mampu
mengadakan kontak dengan materi dan gerak, hal ini cocok untuk
menggambarkan sifat dasar obyek-obyek matematika. Obyek-obyek matematika
seperti angka dan bentuk-bentuk geometris, tentu bersifat imateriil (yaitu karena
berbentuk simbol) yang tidak pernah ditemukan hakikatnya di dunia fisik.
Contoh, angka 3 harus dipahami sebagai simbol hakikat “tiga” yang abstrak,
demikian juga segitiga adalah simbol esensi segitiga yang didefinisikan sebagai
bidang yang memiliki tiga sudut dengan jumlah 180 derajat. Hanya saja angka 3
atau segitiga ini tentu saja masih harus diasosiasikan dengan benda-benda fisik
untuk bisa memberinya makna, seperti 3 apel + 4 apel. Oleh karenya obyek-
obyek matematika pada dirinya bersifat abstrak, akan tetapi karena
diabstraksikan dari benda-benda fisik, maka ia masih terkait dengan benda-benda
fisik. Bukti bahwa obyek-obyek matematika bersifat imateriil dapat dilihat dari
20
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, (UIN Jakarta Press,
2003), h. 51.
61
kenyataan bahwa dalam matematika seseorang dapat mengatakan “sesuatu dapat
dibagi atau dikalikan secara tak terhingga”. Berbicara yang tak terhingga dalam
matematika adalah sesuatu yang logis dan sah. Oleh karenanya, obyek-obyek
matematika tidak bersifat materiil karena seluas apa pun alam fisik, ia tidak bisa
tanpa batas sehingga tidak bisa tak terhingga.21
Dalam hal ini, Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Khaldȗn yang
membagi matematika ke dalam empat kelompok, yakni:
1) Geometri, yaitu cabang matematika yang mengkaji tentang
kuantitas (pengukuran-pengukuran), secara umum, yang bisa saja
bersifat terputus, karena terdiri dari angka-angka atau
berkesinambungan seperti figur-figur geometris
2) Aritmatika, yaitu cabang matematika yang mempelajari sifat-sifat
yang esensial dan aksidental dari jumlah yang terputus, yang
disebut bilangan (number)
3) Musik, yakni cabang matematika yang mempelajari proporsi suara
dan bentuk-bentuk (modusnya) dan pengukuran-pengukuran
numerik mereka, yang menghasilkan pengetahuan tentang melodi-
melodi musik
4) Astronomi, yaitu cabang matematik yang menetapkan bentuk-
bentuk bola-bola langit, menetukan posisi dan jumlah dari tiap
planet dan bintang tetap.22
21
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 47-48. 22
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 64-65.
62
Terakhir, basis ontologis ilmu-ilmu alam (fisika). Fisika adalah ilmu yang
menyelidiki benda-benda fisik (bodies) dari sudut gerak atau diam. Ia
mempelajari benda-benda langit dan substansi atau zat-zat elementer, seperti
manusia, hewan, tumbuhan dan mineral yang tercipta dari unsur-unsur dasar
tersebut.para sarjana dan failasuf Muslim telah mempelajari benda-benda fisik ini
dalam karya mereka baik secara rasional maupun dengan melakukan eksperimen-
eksperimen langsung.23
Obyek-obyek ilmu alam adalah obyek-obyek ilmu yang
paling jelas status ontologisnya. Status ontologis obyek-obyek ilmu alam telah
diakui secara universal dan dianggap penting bagi para failasuf dan ilmuwan
Muslim dan dianggap sebagai basis ontologis yang sah bagi kelompok ilmu-ilmu
alam (fisika).
Mulyadhi Kartanegara setuju dengan al-Fârâbȋ mengenai pembagian
ilmu-ilmu alam yang sesuai dengan jenis obyek-obyek alamiahnya. Dimana
benda-benda alami digambarkan sebagai wujud-wujud yang secara niscaya
berkaitan dengan materi dan gerak dibagi menjadi lima, yaitu unsur-unsur,
mineral, tumbuhan, hewan dan manusia. Mulyadhi Kartanegara berargumen,
tiap-tiap bagian benda-benda alami ini tentu bisa dijadikan sebagai basis
ontologis yang sah bagi cabang-cabang ilmu alam. Unsur-unsur elementer
memerlukan cabang ilmu khusus yang mempelajarinya, seperti kimia atau fisika
materiil. Benda-benda mineral memerlukan sebuah ilmu yang khusus contohnya
mineralogi, metalurgi, yang berbicara tentang pembuatan benda-benda metal,
23
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 67.
63
seperti pembuatan pedang. Selain itu ada juga tumbuh-tumbuhan yang telah
menjadi basis ontologis cabang ilmu yang disebut botani, ada juga hewan-hewan
nonrasional menjadi basis ontologi untuk cabang ilmu hayat (biologi atau
zoologi). Manusia sebagai hewan rasional termasuk ke dalam benda-benda alami
juga memiliki unsur nonmaterial yaitu akal (jiwa atau ruh). Dari sini muncul ilmu
anatomi yang mengkaji manusia dari sudut struktur dan muatan fisiknya. Juga
ada ilmu kedokteran yang memandang manusia dari sisi kesehatan. Terakhir
Psikologi mengkaji manusia dari sudut kejiwaan.24
C. Metode-metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis
dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.25
Sedangkan menurut
Mulyadhi Kartanegara yang dimaksud metode ilmiah adalah cara-cara untuk
mengetahui sebuah obyek ilmu sebagaimana adanya. Menurutnya metode ilmiah
harus disesuaikan dengan sifat dasar (nature) obyek-obyeknya. Mengapa
demikian ? karena obyek-obyek ilmu memiliki sifat dasar, karakter dan status
ontologis yang berbeda, maka metode ilmiah dalam epistemologi juga beragam
sesuai dengan obyek-obyeknya.
Epistemologi Islam membagi metode ilmiah menjad tiga, akan tetapi
Mulyadhi Kartanegara membaginya menjadi empat. Pertama, metode observasi
atau eksperimen (tajrȋbȋ) yaitu untuk obyek-obyek fisik. Kedua, metode logis
24
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 49-50. 25
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta:
Andi, 2007), h. 157.
64
(burhânȋ) adalah untuk obyek-obyek nonfisik. Ketiga, metode intuitif („irfânȋ)
juga untuk objek-objek nonfisik dengan cara yang lebih langsung.26
Terakhir,
metode bayânȋ yakni metode untuk memahami al-Qur‟an.27
1. Metode Observasi atau Eksperimen
Metode observasi atau eksperimen (tajrȋbȋ) adalah melakukan
pengamatan inderawi terhadap obyek-obyek fisik dan percobaan-percobaan
ilmiah terhadap fenomena alam baik di arena terbuka maupun di
laboratorium-laboratorium yang tertutup. Pengamatan atau observasi inderawi
bisa dilakukan secara langsung tanpa alat bantu, tetapi kadang perlu alat bantu
seperti teleskop untuk benda-benda langit yang jauh, juga mikroskop untuk
benda-benda yang teramat kecil, seperti kuman atau atom.28
Hal ini bertujuan
untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif tentang obyek-obyek fisik,
maka diperlukan cara-cara dan alat-alat bantu bagi indera, dengan begitu
pengamatan indera akan menjadi tepat.
Mulyadhi Kartanegara sepakat dengan Ibn Haitsam, yang menyatakan
bahwa ia sangat memerlukan metode observasi yang khusus yaitu metode
eksperimen dan alat-alat bantu bagi indera karena ia sangat menyadari
kelemahan pengamatan inderawi, khususnya pengamatan mata. Dalam
karangan bukunya yang berjudul Al-Manâzhir (The Optics), di sana ia
menunjukkan kelemahan pandangan mata yang ditimbulkan beberapa faktor,
seperti jarak, posisi, transparansi, keburaman, lamanya memandang dan juga
26
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 52. 27
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 195. 28
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 31.
65
kondisi mata. Oleh karenanya, menurut Ibn Haitsam observasi sebagai
metode, perlu dibantu oleh metode matematika, Laplace menyebutnya dengan
kalkulasi yaitu bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih
akurat.29
Kitab yang ditulis oleh Ibn Haitsam dalam tujuh jilid, merupakan
karya optik monumental yang pengaruhnya dapat dilihat dari karya-karya
fisikawan dan astronom Barat, seperti Roger Bacon, Vitello dan Kepler. Di
mana karya ini membahas tentang teori penglihatan dan yang berkaitan
dengan itu, seperti pelangi, refraksi dan refleksi.30
Selain itu untuk melakukan pengamatan yang lebih akurat dan obyektif
terhadap sebuah benda yang fisik dan untuk menghindarkan kesan subyektif
dari seorang pengamat, maka para ilmuwan Muslim dan kemudian dilanjutkan
serta dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat sampai taraf yang begitu
canggih, mereka melakukan berbagai pengukuran baik terhadap jarak, seperti
kilometer, hektometer, dekameter, meter, desimeter, sentimeter, millimeter.
Selain itu ada juga alat untuk mengukur beban, seperti, kilogram, gram, pons
dan ons. Tentu saja alat-alat ukur harus diciptakan untuk tujuan pengukuran,
sehingga munculah satuan-satuan ukuran dengan alat-alat yang dibutuhkannya
seperti timbangan dan meteran. Pada masa modern pengukuran menjadi
sangat canggih sehingga dapat mengukur bukan hanya jarak dan beban, tetapi
29
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 53.
30
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 62.
66
juga tekanan, misalnya tekanan darah, yang menghasilkan tensometer,
tekanan udara dan barometer.31
Metode ini tentunya diakui kebenarannya oleh semua kalangan baik
ilmuwan Muslim maupun Barat. Tidak dapat dipungkiri, pada prakteknya di
lapangan panca indera menjadi salah satu faktor mencari pengetahuan yaitu
dengan mengamati obyek-obyek fisik. Tetapi bagi failasuf Muslim tidak
cukup hanya dengan metode tajrȋbȋ, karena metode ini tidak dapat menangkap
obyek yang metafisik melainkan terbatas hanya pada obyek-obyek yang fisik
saja.
2. Metode Demonstratif (burhânȋ)
Metode demonstratif merupakan salah satu metode rasional atau logis
yang digunakan oleh para ilmuwan dan failasuf Muslim untuk menguji
kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan
filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan
sebuah kesimpulan ilmiah. Diantaranya dilakukan dengan memperhatikan
validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau
minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah yang mengantarai
kedua premis tersebut. Dalam ilmu logika metode tersebut disebut silogisme
(al-qiyâs). Mengenai tujuan metode demonstratif, Mulyadhi Kartanegara
setuju dengan apa yang digambarkan oleh al-Fârâbȋ, yaitu pertama, untuk
mengatur dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benar dalam
hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mungkin salah. Kedua, untuk
31
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 185-186.
67
melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah. Ketiga, untuk
memberi sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang
mungkin tidak bebas dari kesalahan. Alat bantu yang dimaksud al-Fârâbȋ
adalah kaidah-kaidah yang hubungannya dengan akal dan pengetahuan yang
sama dengan hubungan kaidah-kaidah tata bahasa dengan bahasa dan lafal.32
Pada metode ini akan diperkenalkan dengan metode silogisme, yaitu
penarikan kesimpulan dari premis mayor, premis minor, middle term dan
kesimpulan. Mekanismenya adalah sebagai berikut: premis mayor + premis
minor + middle term + kesimpulan. Seperti contoh berikut ini:
Semua makhluk yang bernyawa akan mati
Kucing makhluk yang bernyawa
Maka kucing akan mati
Baris yang pertama disebut premis mayor, baris kedua disebut premis
minor dan baris ketiga disebut kesimpulan. Middle termnya adalah “makhluk
yang bernyawa”. Menurut keyakinan para failasuf kesimpulan tersebut
niscaya benar dan karena itu berkorespondensi dengan kenyataan, dengan
syarat bahwa premis mayor dan minornya merupakan proposisi yang
kebenarannya tidak diragukan.33
Menurut Mulyadhi Kartanegara, metode
demonstratif dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan
dapat menagkap realitas obyek-obyek yang ditelitinya dengan tepat, karena
telah terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis.34
Akal memang mampu menangkap obyek-obyek yang metafisik, akan
tetapi perlu diketahui bahwa ia bukan satu-satunya alat yang bisa digunakan
32
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 56. 33
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 190-191. 34
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 63.
68
untuk menangkap realiats metafisik, karena selain akal manusia juga
dikaruniai oleh Tuhan dengan hati.
3. Metode Intuitif (‘irfânȋ)
Metode intuitif berkaitan dengan intuisi atau hati. Intuisi dapat
menangkap obyeknya secara langsung. Obyek-obyek intuisi bersifat abstrak,
seperti rasa cinta, benci, kecewa dan bahagia. Metode intuitif ini juga bersifat
langsung.35
Misalnya, seseorang tahu tentang cinta, tetapi sebelum ia
mengalami sendiri maka pengetahuannya tentang cinta sangatlah artificial
atau superfisial, tidak sesunguhnya. Karena tidak ada jalan lain untuk
memahami cinta kecuali dengan memahami atau merasakan cinta itu. Contoh
lainnya adalah seperti pengetahuan seseorang tentang manis yang dicapai
dengan cara mencicipinya, tentu sangat berbeda kualitasnya dengan
pengetahuan tentangnya yang diperoleh lewat pelajaran biologi meskipun
dengan membaca buku sampai berhalaman-halaman.36
Pendekatan intuitif (dzauqi) disebut pendekatan presensial
(presential) yaitu karena obyek-obyeknya hadir (present) dalam jiwa
seseorang, karena itulah modus ilmu seperti ini disebut ilmu ḫudhuri
(knowledge by presence). Oleh karena obyek-obyek yang ditelitinya hadir
dalam jiwa, maka dapat dialami dan dirasakan sendiri obyeknya dan dari
sinilah muncul istilah dzauqi (rasa). Selain itu, obyek-obyek itu juga bisa
diketahui secara langsung karena tidak ada lagi jurang pemisah antara subyek
sebagai peneliti dengan obyek-obyek yang diteliti karena di sini telah terjadi
35
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 60. 36
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 192-193.
69
kesatuan antara subyek dan obyek, yakni antara yang mengetahui dan yang
diketahui.37
Perlu diketahui bahwa ilmu ḫudhuri tidak serta merta datang begitu
saja, melainkan harus melalui tahapan terlebih dahulu. Seperti dengan cara
isti’dâd, yaitu dengan mempersiapkan diri untuk menyongsong iluminasi
(pencahayaan) langsung dari Tuhan, yakni dengan membersihkan diri (hati)
dari segala kotoran atau dosa dan noda. Untuk bisa menangkap obyek-obyek
pengenalan intuitif dengan lebih sempurna, maka kebersihan dan kehalusan
lensa hati harus tetap dijaga. Itulah sebabnya berdzikir yang intinya adalah
menghapus setiap debu syirik dari dalam hati serta tazkiyat al-nufȗs
(pembersihan diri terutama dari egosentrisme) menjadi sangat penting dalam
upaya mengenal dengan lebih baik obyek-obyek yang hadir dalam diri.
Dengan demikian yang terpenting adalah olah batin atau spiritual, seperti yang
dilakukan oleh orang-orang salih, termasuk Nabi dan para wali juga seperti
dalam latihan-latihan spiritual (riyadhat al-nafs) yang diselenggarakan dalam
tarekat-tarekat.38
4. Metode Bayânȋ
Metode bayânȋ diperlukan untuk menyibak realitas yang lebih dalam
dari al-Qur‟an. Al-Qur‟an adalah ayat atau tanda-tanda Allah, di sini metode
bayânȋ mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur‟an ke dalam beberapa kategori,
seperti ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat
37
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 65. 38
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 116.
70
dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang bersifat mujmal, zahir dan mubayan.
Ayat-ayat zahir dibagi lagi ke dalam ayat-ayat yang musykil dan khafi,
sedangkan mubayan dibagi lagi ke dalam mufassar dan nashsh. Kategorisasi
ini menunjukkan tingkat kejelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda-beda,
oleh karena itu perlu penanganan yang hati-hati di dalam menafsirkan dan
memahami ayat-ayat tersebut dan tidak boleh semena-mena.39
Oleh karena itu, metode ini tidak diperuntukkan bagi orang awam,
melainkan hanya akan ditempuh oleh para ahli tafsir dan ulama lainnya dalam
rangka memahami kitab suci sebagai bahasa simbolis. Beberapa metode
ilmiah tersebut adalah, 1. Tafsȋr, yaitu mengubah redaksi bahasanya dengan
redaksi bahasa lain, baik yang sama kedudukannya dalam bahasa Arab atau
sepadan pengertiannya dalam bahasa asing. 2. Ta’wȋl, yaitu menjelaskan
makna sebuah ayat al-Qur‟an setelah menghilangkan makna eksoterisnya. 3.
Tashrȋf, yakni melakukan pengubahan kata yang berimplikasi pada
penambahan dan pengurangan. 4. Tafri’, yakni mengembangkan sebuah
obyek dengan partisi-partisi atau sub-sub bahasa. 5. Jam’, yaitu
menggabungkan yang terpisah dan terakhir. 6. Tafrȋq, yakni memisah-
misahkan hal yang telah terhimpun.40
39
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. 195.
40
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2003), h. 117-118.
71
Demikianlah, apabila keempat metode ilmiah di atas digunakan maka
obyek-obyek fisik sampai obyek-obyek metafisik dapat diketahui dan
ditelusuri.
D. Kriteria Obyektivitas Ilmu
Mulyadhi Kartanegara berargumen tentang apa yang dimaksud obyektif
adalah sesuai dengan kenyataan.41
Di sini yang dimaksud nyata dan riil tidak
hanya pada bidang yang fisik tetapi juga mencangkup pada bidang yang nonfisik.
Maka dari itu, ukuran obyektivitas sebuah obyek ilmu tidak bisa hanya diukur
dengan kriteria fisik, tetapi harus diukur berdasarkan atau disesuaikan dengan
sifat dasar dari obyeknya baik fisik, maupun nonfisik.
Untuk membuktikan penjelasan di atas, Mulyadhi Kartanegara
memberikan ilustrasi sebagai berikut:
Seperti ketika berbicara tentang obyek-obyek fisik, untuk mencapai
obyektivitas tidaklah mudah, ketika berbicara tentang obyektivitas pengamatan
inderawi. Contoh: berbicara tentang obyektivitas pulpen yang digunakan untuk
menulis. Sepintas pulpen yang digunakan itu berwarna abu-abu, namun apakah
warna abu-abu itu obyektif dalam pengertian ada di sana secara terpisah dari
substratumnya ? Ternyata, jika bagian pulpen itu dibesarkan sampai ratusan atau
ribuan kali besarnya melalui mikroskop, tiba-tiba warna abu-abu yang tadi hilang
entah ke mana. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar apakah warna abu-abu
41
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 64.
72
pada pulpen tadi obyektif atau subyektif.42
Contoh lain, anak-anak Indonesia tentu
tidak asing dengan lagu “bintang kecil”, di sana terdapat lirik yang berbunyi
“bintang kecil di langit yang biru”, jika berbicara tentang obyektivitas
pengamatan inderawi, bintang yang jauh nun di sana jika dilihat dengan mata
telanjang benar adanya bahwa bintang tersebut terlihat kecil, tapi apakah itu
benar adanya ? dan ternyata tidak, seorang astronom mengatakan bahwa bintang
itu sesungguhnya ukurannya besar. Oleh karena itu pengamatan saja tidak cukup
untuk dijadikan sebagai instrumen mengukur obyektivitas sebuah benda fisik.
Dalam kasus ini Mulyadhi Kartanegara juga ingin menjelaskan bahwa
untuk mencapai pengetahuan tidak bisa obyek berdiri sendiri melainkan di sana
ada juga unsur subyektivitas. Seperti penemuan yang diperoleh dari Ibn Haitsam,
dijelaskan bahwa pada masanya telah berkembang dua teori yang sangat
membingungkan tentang penglihatan ini. Aristoteles beserta para pengikutnya
termasuk al-Kindȋ, menyatakan bahwa seseorang bisa melihat sebuah obyek
karena matanya memancarkan cahaya pada obyek tersebut, sedangkan ahli-ahli
matematika mengatakan sebaliknya bahwa seseorang bisa melihat suatu obyek
karena obyek tersebut memantulkan cahaya pada matanya. Menurut pengakuan
Ibn Haitsam kedua teori ini bertahan sama kuatnya. Setelah itu Ibn Haitsam
memecahkan masalah ini dengan melakukan eksperimen terhadap cahaya dan
pengaruhnya terhadap mata, dan menghasilkan kesimpulan yang akurat bahwa
42
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 65.
73
pendapat yang kedualah yang benar, yaitu bahwa seseorang dapat melihat karena
sebuah obyek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata.43
Mulyadhi Kartanegara mengutip perkataan Rolston yang mengakui
bahwa dalam pengetahuan alam, subyektivitas dapat terus ditekan. Namun
dengan berkembangnya kecanggihan ilmiah ia jatuh dalam paradoks. Semakin
jauh ia mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin tidak bisa
melepaskan diri dari subyektivitas. Akhirnya Rolston menyimpulkan bahwa
fisika, kimia dan astronomi, yakni tiga bidang ilmu yang dipandang paling
obyektif, nyatanya tidak bisa lari dari subyektivitas. Sebaliknya mereka bahkan
semakin subyektif saja.44
Contoh selanjutnya, anggapan bahwa mata dapat melihat semua benda
selama benda tersebut bersifat fisik atau anggapan bahwa seseorang bisa
mendengar semua suara selama bukan suara gaib. Namun, penyelidikan ilmiah
ternyata membuktikan bahwa seseorang hanya bisa melihat gelombang cahaya
dengan frekuensi tertentu. Di luar itu, mata tidak bisa lagi melihat atau
mencerapnya. Itulah sebabnya mengapa mata tidak bisa melihat sinar X (X ray),
sinar gamma, ultraviolet, inframerah dan sinar kosmik. Demikian juga telinga
hanya bisa mencerap gelombang suara yang berfrekuensi dari 15-20.000 hertz
per detik sehingga gelombang suara yang berfrekuensi kurang dari rentangan
tersebut atau melebihinya tidak bisa ditangkap oleh alat pendengaran. Walaupun
demikian, tidak berarti bahwa gelombang cahaya atau suara yang ada di luar
43
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, h. 95. 44
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas,
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 3-4.
74
frekuensi normal itu tidak ada. Akan tetapi semuanya ada dan bahkan bersifat
fisik. Hanya saja alat indera seperti mata dan telinga tidak sanggup
mendeteksinya sehingga sepertinya mereka tidak ada atau gaib. Bahkan
pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa mata tidak bisa melihat udara,
bahkan ketika udara tersebut telah dipadatkan dalam sebuah tabung transparan.45
Ilmu pengetahuan tidak bisa sama sekali terlepas dari subyektivitas sang
ilmuwan dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan obyektif, bebas nilai dan
universal.46
Pembahasan masalah obyektivias juga berkaitan dengan pengalaman
mistik yang menjadi basis sebuah mistisisme atau dalam kasus Islam disebut
sufisme atau tasawuf. Banyak yang berkata bahwa pengalaman mistik tidak bisa
dijadikan basis bagi sebuah ilmu, seperti tasawuf karena sifat subyektivitasnya.
Tentu saja pengalaman mistik adalah subyektif. Adakah pengalaman manusia
yang tidak subyektif ? Bahkan, pengalaman inderawi juga subyektif. Seperti,
pengalaman setiap pengunjung sebuah pameran elektronik pasti berbeda satu
sama lainnya. Kenyataannya bahwa pengalaman setiap pengunjung pameran
tersebut berbeda-beda, tentu merupakan hal yang sangat wajar dan alamiah.
Bahkan memang seharusnya begitu. Akan tetapi variasi atau perbedaan
pengalaman setiap pengunjung pameran tersebut tidak bisa menghilangkan
obyektivitas pameran itu sendiri, serta tempat dan waktu penyelengaraannya. Ini
penting dikemukakan karena pernyataan bahwa pengalaman mistik bersifat
subyektif sering mengisyaratkan bahwa pengalaman mistik tersebut tidak riil,
45
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h.66. 46
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas, h. 2-3.
75
atau dalam artian lain tidak didasarkan atau dialami di dunia yang sungguh-
sungguh ada. Padahal, seperti dalam kasus pengunjung pameran, pengalaman
subyektif mereka yang bervariasi tidak mengisyaratkan ketidakriilan ruang dan
waktu (atau dengan kata lain keberadaan) pameran tersebut.47
Dapat disimpulkan bahwa, obyektivitas hendaknya tidak dijadikan
kriteria bagi keabsahan sebuah ilmu karena sulit bagi seseorang untuk bisa benar-
benar secara mutlak memperoleh obyektivitas yang sama sekali terlepas dari
subyektivitasnya. Dapat disadari bahwa obyektivitas memang absolut, betapapun
para ilmuwan mengusahakannya adalah tetap sebuah ilusi. Dalam ilmu apapun
bidangnya, seyogianyalah diakui adanya unsur subyektif pada bidang-bidang
nonempiris, tidaklah berarti bisa begitu saja mengabaikan ukuran-ukuran
obyektif yang bisa ditemukan dalam metode-metode ilmiah yang digunakan
ataupun basis ontologisnya, yang di dalamnya mereka membangun ilmu dengan
bahan-bahan yang ditemukan dan diolah dengan cara yang mungkin terasa pelik
tetapi juga unik.48
47
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 71-72. 48
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, h. 74.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara terkait obyektif ilmu
adalah yang sesuai dengan obyeknya yakni obyek fisik dan metafisik.
Ukuran obyek ilmu fisik adalah dengan yang fisik dan ukuran obyek
metafisik adalah dengan yang metafisik. Tentu status ontologis obyek ilmu
nonfisik (metafisik) adalah riil, karena itu bahwa Tuhan sebagai obyek ilmu
adalah sah.
Epistemologi Islam dalam mencari pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya meliputi obyek-obyek fisik sekaligus juga obyek-
obyek nonfisik. Status ontologis sebuah obyek ilmu berpaduan dengan
kedudukannya dalam hierarki wujud. Tuhan adalah sebagai sebab dari
segala yang ada menduduki posisi tertinggi pada hierarki wujud. Maka
dapat dikatakan bahwa wujud Tuhan itu adalah riil atau nyata, karena jika
tidak ada sebab yaitu Tuhan, maka tidak akan ada alam semesta sebagai
bentuk dari akibat keberadaan Tuhan.
Konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara ingin menunjukkan
bahwa epistemologi Islam dengan epistemologi Barat sangatlah berbeda, ia
ingin membangunkan masyarakat dari tidur lelapnya dikarenakan
pemahaman yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan
Islam.
Pengetahuan tentang Tuhan tentu menjadi wajib hukumnya bagi umat
Muslim, inilah yang disajikan konsep epistemologi Mulyadhi Kartanegara,
77
yaitu dalam mencari kebenaran pengetahuan meyakini dengan tiga cara,
yakni tajrȋbȋ, burhânȋ, ‘irfânȋ dan bayânȋ. Jika umat Muslim berkiblat
dengan epistemologi Barat maka bisa dipastikan mereka akan gagal dalam
mengenal pengetahuan tentang Tuhan.
B. Saran-saran
Kontribusi Mulyadhi Kartanegara dalam mengembangkan materi
kuliah dari lisan menuju tulisan dengan tema-tema epistemologi telah
mampu menghilangkan dahaga ilmu. Dikarenakan kajian epistemologi
belum mendapatkan perhatian yang mendalam juga minimnya kajian
epistemologi Islam di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa masih banyak yang harus dieksplorasi dari
pemikiran Mulyadhi Kartanegara ini, untuk itu kiranya diperlukan
penelitian-penelitian lebih lanjut dengan metode dan pendekatan yang lebih
tepat terhadap sumber data atau subyek penelitian agar hasil yang diperoleh
bisa lebih baik.
78
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009.
------------------. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Alfan, Muhammad. Filsafat Modern. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Al-Jabiri, Muhammed ‘Abid. Kritik Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Amien, Miska Muhammad. Epistemolgi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.
Anwar, Rosihon. dkk. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
--------------------. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Bernadien, Win Usuluddin. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Bertens, K. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: PT. Gramedia, 1981.
-------------. Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013.
79
Bidin, Elmahsyar, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Umum: Mencari Format
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.
Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Daito, Apollo. Pencarian Ilmu Melalui Pendekatan Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011.
Djalil, Basiq. Logika: Ilmu Mantiq. Jakarta: Kencana, 2010.
Gahral Adian, Donny. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume
sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.
--------------------------. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
--------------------------. dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Diterjemahkan dari History of Islamic Philosophy. Bandung: Mizan, 2003.
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Umum: dari Metologi
sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2007.
http://fikrialmabrur.blogspot.co.id/2015/10/daftar-buku-2prof-mulyadhi-
kartanegara.html, diakses pada tgl: 24 November 2017, Pukul: 14.31
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/5831/6/BAB%203.pdf#page=1&zoom=auto,-
12,848, diakses pada tgl: 18 November 2017
Husaini, Adian. Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani,
2013.
Jalaluddin. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban.
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
K, Baihaqi A. Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik. Jakarta: Darul Ulum Press,
2012.
Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika dan Tasawuf. Jakarta: Ushul Press,
2009.
80
-----------------------------. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam.
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
------------------------------. Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2003.
------------------------------. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam.
Bandung: Mizan Pustaka, 2002.
-----------------------------. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
-----------------------------. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
---------------------------. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,
2006.
---------------------------. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas.
Jakarta: Erlangga, 2007.
Kebung, Konrad. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011.
Latif, Mukhtar. Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Molan, Benyamin. Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis. Jakarta: PT Indeks, 2012.
Mundiri. Logika. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibn Bajjah. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2014.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius,
1996.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana, 2003.
81
Qadir, C. A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj: Hasan Basari. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk
Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Sidharta, B. Arief . Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan
Telaah, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.
Soetriono dan SRDM Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,
(Yogyakarta: C.V Andi Offset, 2007.
Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016.
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat
Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara,
2013.
Susanto, A. Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama, 2014.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya.
Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994.
Waid, Abdul. Menguak Fakta Sejarah Penemuan Sains dan Teknologi Islam yang
diKlaim Barat. Jogjakarta: Laksana, 2014.
Wattimena, Reza A. A. Filsafat dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Grasindo,
2008.
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.
82
Zaprulkhan. Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers,
2016.
83
Riwayat Hidup Peneliti
Rusmiyanah lahir di kota Tangerang, 31 Oktober 1993. Mengenyam
pendidikan sekolah dasar di SDN Jombang Tengah satu, kemudian melanjutkan
Tarbiyah al-mu’allimin wa al-mu’allimat (TMI) di Pondok Pesantren
Madinatunnajah, Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan. Selanjutnya pada tahun 2013
masuk ke perguruan tinggi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Ushuluddin Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.
Sejak tahun 2010 mengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Pondok
Pesantren Bait al-Qur’an Mulia, Jombang dan di TPA Al-Hikmah Ciater BSD.
Kemudian pada tahun 2017 diberi tanggungjawab lebih untuk mengajar di Taman
Kanak-kanak (TK) Pondok Pesantren Bait al-Qur’an Mulia. Disamping itu juga
mengajar privat untuk mata pelajaran umum dan agama. Di lingkungan masyarakat
mengikuti kegiatan Majelis Ta’lim Ikatan Remaja Mushalah (IRMUS) dan sudah
menduduki berbagai jabatan, seperti bendahara, sekretaris juga ditunjuk sebagai ketua
baik di organisasi tersebut maupun diacara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI)
seperti Maulid Nabi dan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw.