KONSEP BELAJAR JARAK JAUH DAN APLIKASINYA *) · PDF fileMohammad Imam Farisi Konsep BJJ dan...
Transcript of KONSEP BELAJAR JARAK JAUH DAN APLIKASINYA *) · PDF fileMohammad Imam Farisi Konsep BJJ dan...
KONSEP BELAJAR JARAK JAUH DAN APLIKASINYA*)
Dr. Mohammad Imam farisi, M.Pd.
( FKIP-UT, UPBJJ Surabaya )
Disajikan dalam Orientasi Pengelola Program Pengayaan Pembelajaran
Bagi Murid SD Sistem Jarak Jauh di Hotel Royal Tretes View
Pasuruan, tanggal 29 Mei 2012
Dewasa ini, sistem PJJ/BJJ sudah menjadi keniscayaan di dunia, bahkan telah
diakui sebagai ’disiplin ilmiah’ dengan landasan filosofi, teori, dan praktik yang sudah
mapan (Holmberg, 1986; Keegan, 1990). Di Indonesia, secara yuridis-formal PJJ/BJJ
telah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional, melalui UU no. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional.
Salah satu faktor terpenting tingginya tingkat keberterimaan PJJ/BJJ di dunia,
termasuk Indonesia, adalah karena fleksibilitasnya yang tinggi dalam mengeliminasi
berbagai keterbatasan yang selama ini dihadapi oleh pendidikan tatap muka untuk
menyediakan akses pendidikan bagi semua orang, seperti usia, lokasi geografis,
keterbatasan waktu, dan situasi ekonomi (Gunawardena & McIsaac, 2001; Baggaley,
Belawati, dan Malik, 2010).
Adopsi PJJ/BJJ di Indonesia pertama kali dilaksanakan tahun 1997 untuk jenjang
pendidikan dasar, melalui projek SMP Terbuka (open junior high school). Pada tahap
awal ditetapkan 59 lokasi dengan jumlah peserta program sekitar 10.000 peserta didik
(usia 12-17 tahun). Pada tahun 2.000, diperluas lagi ke 3.000 lokasi dengan jumlah
peserta mencapai 500.000 peserta didik (Miarso, 1997).
Pada tahun 1984 PJJ/BJJ dikembangkan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan
mendirikan Universitas Terbuka (UT). Hingga akhir tahun 1990an, UT merupakan satu-
satunya perguruan tinggi negeri di Indonesia yang menerapkan sistem PJJ. Sejalan
dengan meningkatkan kebutuhan akan PJJ/BJJ di Indonesia, sistem ini kemudian
diperluas penggunaannya pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi tatap muka, sesuai
dengan Kepmendiknas No. 107/U/2001 dan kemudian Permendiknas Nomor 24/2012.
Pada lembaga-lembaga pendidikan tersebut, implementasi PJJ dikembangkan melalui
sistem ”dual mode” yang memadukan antara sistem tatap muka dan sistem jarak jauh.
Pada tahun 2002, PJJ/BJJ dikembangkan pada jenjang pendidikan menengah,
melalui SMU Terbuka. Untuk tahap awal ditetapkan 6 (enam) propinsi sebagai lokasi
perintisan SMU Terbuka, yaitu: (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Jawa Timur, (5)
Riau, (6) Kalimantan Timur, dan (7) Sulawesi Selatan (Siahaan & Simanjuntak, 2004).
Makalah ini akan mendeskripsikan tentang konsep, evolusi, dan aplikasi PJJ/BJJ,
sebagai bahan orientasi bagi para pengelola program pengayaan pembelajaran bagi murid
SD sistem jarak jauh.
A. Konsep PJJ/BJJ
*)
Bahan Orientasi Pengelola Program Pengayaan Pembelajaran Bagi Murid SD Sistem Jarak Jauh di Hotel
Royal Tretes View Pasuruan, tanggal 29 Mei 2012
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 1
Dalam kepustakaan, istilah BJJ/Belajar Jarak Jauh (distance learning) kerap
digunakan secara “bertukar pakai” dengan istilah PJJ (distance education) dalam
pengertian yang sama. Hal yang sama juga akan digunakan di dalam makalah ini. Secara
konseptual, BJJ/PJJ dilihat dari dua aspek, yaitu aspek institusional dan aspek personal.
Aspek institusional, berkenaan dengan tugas dan kewenangan
institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ untuk mengembangkan sistem,
desain, mekanisme atau proses yang dibutuhkan oleh peserta didik agar komunikasi dan
interaksi pembelajaran terjadi. Dari aspek ini, BJJ/PJJ dapat dimaknai sebagai “sebuah
sistem dan proses pendidikan yang antara pendidik peserta didik terpisahkan oleh ruang
dan/atau waktu, dan pembelajarannya menggunakan multi-media dan multi-sumber
(Permendiknas No. 24/2012; Wikipedia, 2012). Dengan kata lain, secara institusional
PJJ/BJJ merupakan bidang pendidikan yang memfokuskan pada peran
institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ dalam memilih dan pemanfaatan
metode dan teknologi pembelajaran yang dapat memfasilitasi “ketakhadiran atau
keterpisahan fisikal” peserta didik di dalam kelas seperti lazimnya di dalam latar
pendidikan konvensional (PTT). Oleh sebab itu, institusi/organisasi/lembaga
penyelenggara BJJ/PJJ harus senantiasa update terhadap perkembangan teknologi dan
kemungkinan pemanfaatannya untuk pembelajaran. Fokus kajian PJJ/BJJ dalam hal ini
adalah pada berbagai dimensi pemanfaatan medium teknologi, seperti media cetak, dan
televisi, video, komputer, internet, dll untuk mendukung implementasi PJJ (Keegan,
1990; Gunawardena, & McIsaac, 2004).
Aspek personal, Dari aspek ini, BJJ/PJJ dapat dimaknai sebagai “sebuah sistem dan
proses pendidikan yang menekankan pada proses belajar mandiri (independent learning),
yaitu proses atau aktivitas belajar secara individual (individual learning) dan/atau
berkelompok (cooperative learning). Belajar mandiri ini didasarkan pada kemauan,
kesiapan dan kemampuan peserta didik untuk belajar secara terkontrol,
terarah/terbimbing (self-directed learning), serta atas inisiatif dan prakarsa sendiri
(Wedemeyer & Childs, 1961; Moore, 1972; Kadarko, 1999; Sugilar, 2000).
Dalam BJJ/PJJ, kemandirian belajar ini masih problematik, dan sejumlah studi
menunjukkan bahwa kemandirian belajar merupakan variabel terpenting bagi kesuksesan
peserta didik dalam BJJ/PJJ (Kadarko, 1999; Sugilar, 2000; Puspitasari & Islam, 2003).
Pembentukannya banyak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: konsep diri (self
concept); daya tahan belajar (learning resistance); kesiapan belajar (learning readiness);
kendali belajar (learning control); atensi belajar (learning attention) atau derajat
kepentingan peserta didik atas komponen kegiatan belajarnya; kemampuan melakukan
kontrak belajar (learning contract) sesuai dengan kapasitas, sasaran, dan cara belajarnya.
Semua aspek kemandirian belajar tersebut tidak berada di dalam kewenangan dan
kontrol institusi/organisasi/lembaga penyelenggara BJJ/PJJ, melainkan dari, oleh, dan
untuk peserta didik sendiri. Tugas dan kewajiban institusi adalah bagaimana menciptakan
lingkungan pembelajaran yang kondusif bagi kesuksesan belajar mandiri peserta didik.
Keegan (1990) telah mengidentifikasi 5 (lima) karakteristik utama di dalam
BJJ/PJJ, yaitu:
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 2
(1) Keterpisahan secara “quasi-permanent“ antara pembelajar (teacher, tutor)
dengan pebelajar (learner, tutee) selama proses belajar berlangsung
(2) Terdapat pengaruh organisasi/institusi/lembaga pendidikan dalam perencanaan
dan penyiapan bahan ajar, serta penyediaan layanan bantuan belajar
(3) Penggunaan media untuk mempersatukan antara pembelajar (teacher, tutor)
dengan pebelajar (learner, tutee) untuk membawa isi atau konten belajar
(4) Penyediaan komunikasi dua arah sehingga learner dapat menarik keuntungan
darinya atau bahkan mengambil prakarsa untuk berdialog, dan
(5) Ketidakhadiran kelompok belajar sepanjang proses belajar, sehingga learner
atau tutee belajar secara individual dengan kemungkinan sekali-sekali ada
pertemuan untuk tujuan pengajaran dan bersosialisasi (tutorial).
Gambar 1: Aspek institusional dan personal dalam PJJ/BJJ
B. Evolusi PJJ/BJJ
Berge dan Collins (1995) menyatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia
pendidikan terkait erat dengan upaya manusia untuk membuka sekat-sekat ruang dan
waktu pada akses peserta didik terhadap produksi dan distribusi materi pembelajaran
melalui pemanfaatan kemajuan teknologi. Dalam konteks historis inilah perubahan dari
paradigma Pendidikan Tatap Muka (PTT) ke paradigma Pendidikan Jarak Jauh (PJJ)
terjadi.
Hingga saat ini, PJJ/BJJ di dunia telah mengalami 8 (delapan) kali perubahan
paradigma atau generasi. Semua perubahan paradigma atau generasi tersebut selalu
berkaitan dengan perubahan teknologi dan pemanfaatannya dalam PJJ/BJJ (Garrison,
1985; Nipper, 1989; Bates, 1995; Taylor, 1999; Keegan, 2002; Peters, 2004; Willems,
2005; Zawacki-Richter, Brown, & Delport, 2008).
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 3
Gambar 2: Perubahan paradima dalam Pendidikan (Farisi, 2010:4)
Generasi pertama adalah “correspondence model” yang mulai diperkenalkan oleh
Isaac Pitman pertama kali di Inggris pada tahun abad k-19, sejalan dengan terjadinya
revolusi teknologi percetakan dan jasa layanan pos. Model ini dicirikan oleh kombinasi
penggunaan media cetak dan layanan pos, yaitu mengirimkan bahan-bahan belajar
tercetak kepada siswanya secara berkala dengan bantuan jasa layanan pos pada abad ke-
19.
Generasi kedua adalah “multi-media model”, yang mengintegrasikan penggunaan
berbagai media pembelajaran yaitu surat-menyurat atau korespondensi; buku teks standar
yang secara khusus didesain untuk kepentingan PJJ/BJJ; koleksi bahan-bahan bacaan
seperti jurnal; dan didukung oleh penggunaan televisi; radio; media-rekam seperti kaset-
video; dan pembelajaran berbasis komputer.
Generasi ketiga adalah “tele-learning model”, dicirikan oleh pembelajaran secara
“synchronous”, yaitu pembelajaran seperti pada model PTT tetapi dilakukan melalui
penggunaan teknologi interaktif seperti komputer, internet (instant messaging atau live
chat, webinar) dan video conference, yang memungkinkan pembelajar dan pebelajar
dapat berkolaborasi dan belajar secara real time (seakan-akan antara keduanya belajar hal
yang sama, pada saat yang sama, dan di tempat yang sama pula).
Generasi keempat adalah “flexible learning model”, dicirikan oleh penggunaan
komunikasi secara “asynchronous”, yaitu pembelajaran secara jarak jauh menggunakan
sumber belajar online (internet atau website), atau menggunakan komputer via sistem
jawab otomatis (automated-response system), korespondensi via e-mail, konferensi via
komputer, layanan online dengan sistem bulletin board (BBS), atau multimedia interaktif
lainnya. Di dalam model ini, pembelajar dan pebelajar dapat berkomunikasi secara
fleksibel dalam hal tempat dan waktu, dengan kontrol belajar berpusat pada diri pebelajar
(learner).
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 4
Generasi kelima adalah “intelligent
flexible learning model”, dicirikan oleh
penggunaan komunikasi secara
“asynchronous”, melalui pemanfaatan
internet/website, media jejaring sosial, dan
perangkat multimedia seperti YouTube.
Seperti pada generasi ke-4, di dalam model
ini, pembelajar dan pebelajar dapat
berkomunikasi secara fleksibel dalam hal
tempat dan waktu, dengan kontrol belajar
berpusat pada diri pebelajar (learner).
Generasi keenam adalah “electronic
learning atau e-learning” yang diperkenalkan
oleh Keegan (2002). Model ini dicirikan oleh
pembelajaran secara o nline (online learning)
melalui pemanfaatan penuh teknologi Internet
(website) untuk memperoleh sumber-sumber
belajar, komunikasi, maupun berbagai model
pembelajaran.
Generasi ketujuh adalah “mobile learning
atau m-learning” yang diperkenalkan oleh Zawacki-Richter, Brown, & Delport (2008).
Model ini dicirikan oleh pe nggunaan teknologi digital berperangkat wireless (hand
phone, personal digital assistants (PDAs), Pocket PC, atau laptop computers, smart-
phones, WAP, GPRS, dan UMTS telephones) untuk
memperoleh sumber-sumber belajar, komunikasi,
maupun berbagai model pembelajaran.
Generasi kedelapan adalah “multi-generational
model” yang diperkenalkan oleh Willems (2005). Model
ini dicirikan oleh penggunaan secara terintegrasi
teknologi pembelajaran dari generasi pertama hingga
ketujuh. Model ini dalam beberapa hal menerapkan
metodologi “blended learning”, “hybrid learning” atau
“mixed-mode”, yaitu pembelajaran yang
mengintegrasikan antara model pembelajaran
“synchronous” (PTT) dan “asynchronous” (online)
(Buzetto-More &Sweat-Guy, 2006).
Tentang keunggulan dan kelemahan dari masing-masing penggunaan teknologi
pembelajaran (dari generasi ke-1 s.d. generasi ke-5), Taylor (1991:3) membuat
perbandingan dilihat dari aspek-aspek: fleksibilitas (waktu, tempat, akses); kemudahan
memperoleh bahan ajar; keunggulan teknologi pembelajaran; dan efisiensi biaya
(mendekati nol) seperti berikut.
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 5
C. Aplikasi PJJ/BJJ
Ada enam komponen utama yang perlu diperhatikan dalam aplikasi BJJ/PJJ yang
tidak semuanya terdapat dalam PTT. Keenam komponen itu adalah registrasi, bahan ajar
(mencakup pengembangan program, kurikulum, produksi dan distribusi), unit sumber
belajar, bantuan belajar, evaluasi, dan kendali mutu.
1. Registrasi merupakan rangkaian pendaftaran peserta didik mulai dari penyediaan
formulir hingga pengembaliannya ke institusi/lembaga (secara langsung, melalui
jasa pengiriman, atau online). Hal penting dalam registrasi adalah penentuan
kompetensi awal dan karakteritik calon peserta didik.
2. Bahan Ajar merupakan media pembelajaran merupakan komponen strategis
dalam konteks BJJ/PJJ. Melalui bahan ajar peserta didik belajar, berinteraksi,
berefleksi, dan mengevaluasi diri. Bahan ajar dalam BJJ/PJJ dikembangkan
secara multi-media, yaitu media cetak (modul/paket belajar) dan non-cetak
(audio/video, komputer/internet, siaran radio dan televisi). Bahan ajar dalam
BJJ/PJJ berbeda dengan bahan ajar dalam PTT. Dalam BJJ/PJJ bahan ajar
dikembangkan sebagai “pengganti pebelajar” dan didesain didesain khusus
sesuai dengan keperluan BJJ/PJJ. Karena itu bahan ajar dalam BJJ/PJJ tidak
hanya bermuatan materi ajar, tetapi juga strategi belajar, pengalaman belajar,
evaluasi belajar, serta perangkat pembelajaran lainnya, sesuai kurikulum atau
garis-garis besar program pembelajaran atau silabus, melibatkan para pakar atau
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 6
ahli masing-masing bidang keilmuan/keahlian dari berbagai institusi/lembaga
pendidikan.
Selain itu, oleh karena dalam BJJ/PJJ terjadi “minimalisasi” pertemuan tatap
muka, maka bahan ajar dikembangkan dengan mempertimbangkan beban belajar
untuk setiap bidang studi/mata pelajaran, dan kapasitas peserta didik untuk
menuntaskannya. Di UT misalnya, 1 sks = 3 modul/paket belajar dengan 3 sub-
pokok bahasan/kegiatan belajar (@40-50 halaman), sehingga untuk mata kuliah
yang memiliki beban belajar 4 SKS, maka jumlah modul/paket belajar sebanyak
12 modul/paket belajar, dengan 36 sub-pokok bahasan/kegiatan belajar (480—
600 halaman). Namun demikian, berapa jumlah modul/paket belajar dan halaman
juga perlu mempertimbangkan kapasitas belajar peserta didik.
Gambar 6: Komponen utama dalam aplikasi BJJ/PJJ
3. Unit Sumber Belajar (USB) adalah unit-unit pendukung penyelenggaraan
BJJ/PJJ yang didirikan oleh institusi/lembaga/organisasi penyelenggara BJJ/PJJ
atau melalui kerjasama dengan institusi/lembaga/organisasi lain.
Secara historis, aplikasi PJJ di dunia, juga di Indonesia, didasarkan pada
kebutuhan untuk memperluas dan meningkatkan keterbatasan akses dan daya
tampung dan daya jangkau publik pada PTT. Oleh sebab itu, pada dasarnya
implementasi PJJ/BJJ dikembangkan atau didesain sebagai suatu “networking
institution”, sebuah sistem kelembagaan/organisasi/institusi pendidikan yang
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 7
didukung penuh oleh suatu jaringan kerja sama yang bersifat
kelembagaan/organisasional/institusional yang cakupannya mencapai seluruh
negeri bahkan juga ke seluruh dunia.
4. Bantuan belajar adalah aktivitas pemberian bantuan belajar kepada peserta didik
menggunakan berbagai modus BJJ/PJJ (dari generasi ke-1 hingga ke-8), meliputi
kegiatan perencanaan (learning plan), proses pembelajaran, pemberian tugas, dll.
Dalam konteks BJJ/PJJ, pemberian bantuan belajar tidak dilakukan sepanjang
proses belajar, dan lebih menekankan pada proses belajar mandiri (independent
learning) yang menghendaki setiap peserta didik memiliki inisiatif atau prakarsa
sendiri untuk belajar secara individual atau dalam kelompok (kelompok belajar
atau tutorial). Pemberian bantuan belajar juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh
institusi/lembaga/organisasi penyelenggara BJJ/PJJ, tetapi juga perlu menjalin
kerja sama kemitraan dengan institusi/lembaga/organisasi, khususnya dalam
rekrutmen tenaga pendidik (tutor, supervisor, instruktur).
5. Evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengukur keberhasilan studi atau
ketercapaian kompetensi kurikuler tertentu oleh setiap peserta didik. Evaluasi
dilakukan secara reguler dan/atau online menggunakan instrumen evaluasi yang
valid. Untuk mendukung penyediaan dan produksi instrumen evaluasi, institusi
dapat mengembangkan “Bank Soal”. Kegiatan evaluasi hasil belajar terdiri dari
serangkaian aktivitas mulai dari pengembangan bahan evaluasi, pemrosesan dan
penggandaan bahan evaluasi, pelaksanaan evaluasi, pengolahan dan
pengumuman hasil evaluasi.
6. Kendali Mutu dilakukan untuk keperluan standarisasi kualitas setiap proses dan
produksi layanan/bantuan pendidikan/pembelajaran kepada peserta didik. Kendali
mutu mencakup kendali dalam registrasi, bahan ajar, bantuan belajar, dan
evaluasi hasil belajar. Belakangan ini, kendali dan jaminan mutu (quality control
and assurance) atas berbagai aspek dalam BJJ/PJJ semakin mendapatkan
perhatian dari para pakar/ahli. Aspek kendali dan jaminan mutu ini merupakan
salah satu dari “eternal vectors triangle” dalam BJJ/PJJ, selain akses dan biaya
(Daniel, 1995, 1998, 2003), dan belakangan menjadi isu kunci dan sentral yang
sangat dibutuhkan tidak hanya bagi peserta didik melainkan juga bagi
kepentingan kerjasana dan implementasi BJJ/PJJ dalam konteks global (Jung,
2007).
Daftar Pustaka Baggaley, J., Belawati, T., dan Malik, N. (2010). Distance education in Asia Pacific: diunduh 24
Agustus 2011 dari http://web.idrc.ca/en/ev-140836-201-1-DO_TOPIC.html
Bates, T. (1995, 20-24 Juni). Technology, open learning and distance education. Proceedings of the 19th ICDE World Conference on Open Learning and Distance education, Vienna,
Austria. Diunduh dari www.tonybates.ca/ 2008/07/21/distance-education-the-fifth-
generation
Berge, Z., & Collins, M. (1995). Computer-mediated communication and the online classroom in distance learning. Computer-Mediated Communication Magazine, 2(4). Diunduh dari
http://www.ibiblio.org/cmc/mag/1995/apr/berge.html
Buzetto-More, N.A. & Sweat-Guy, R. (2006). Incorporating the hybrid learning model into minority education at a historically black university. Journal of Information Technology
Education, 5, h. 153-164.
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 8
Daniel, J.S. (1995). The mega-universities and the knowledge media: Implications of new
technologies for large distance teaching universities. A Thesis in the Department of Education. Canada: Concordia University. Retrieved from http://spectrum.library.
concordia.ca/132/
Daniel, J.S. (1998). Knowledge media for mega-universities: Scaling up new technology at the
open university. A paper presented at Shanghai Open and Distance Education Symposium. Retrieved from http://www.open.ac.uk/johndanielspeeches/chinatlk.html/
Daniel, J.S. (2003, November 7-9). Mega-universities = Mega-impact on access, cost and
quality. Keynote address, First Summit of Mega-universities, Shanghai, China. Retrieved from http://portal.unesco.org/education/en/ev.php-URL_ID=26277&URL_DO...
Daniel, S.J. (2011). Transforming Asia through open and distance learning. Keynote address on
Asian Association of Open Universities 25th Annual Conference, Penang, Malaysia, 28-30
September 2011.
Farisi, M.I. (2010). The paradigm shifts in integrating technology at distance education and the
structure of teacher’s competencies in the field of educational technology. Prosiding
International Seminar on Integrating Technology into Education. Jakarta: IPTPI. Garrison, G. R. (1985). Three generations of technological innovation in distance education.
Distance Education, 6(2), h. 235-241. Diunduh dari http://www.c3l.uni-
oldenburg.de/cde/media/readings/garrison85.pdf Gunawardena, C.N., & McIsaac, M.S. (2004). Distance education. In D. H. Jonassen (Ed.),
Handbook of research on educational communications and technology (2nd ed., pp. 355–
395). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Holmberg, B. (1986). A discipline of distance education. Journal of Distance Education, 1(1),
25–40.
Jung, I. (2007). Quality assurance survey of mega universities, in McIntosh, Ch. Ed. Perspectives
on distance education: Lifelong learning & distance higher education. Canada-France: Commonwealth of Learning/UNESCO Publishing.
Kadarko, W. (1999). Kemampuan belajar mandiri dan faktor-faktor psikososial yang
mempengaruhinya: Kasus universitas terbuka. Jurnal Pendidikan Tinggi Jarak Jauh.
Volume 1(1).
Keegan, D. (1990). Foundations of distance education. 2nd
ed. London: Routledge.
Keegan, D. (2002). ZIFF PAPIERE 119. The future of learning: From eLearning to mLearning.
Hagen: FernUniversitat. Diunduh dari www.fernuni-hagen.de/ZIFF/ZP_119.pdf Keegan, D. (2002). ZIFF PAPIERE 119. The future of learning: From eLearning to mLearning.
Hagen: FernUniversitat. Diunduh dari www.fernuni-hagen.de/ZIFF/ZP_119.pdf
Miarso, Y.H. (1997). Educational technology and systemic change in education. Makalah pada Third International Symposium on Open and Distance Learning, Bali, November.
Moore, M.G. (1972). Learner autonomy: The second dimension of independent learning.
Convergence 5(2), 76-88. Nipper, S. (1989). Third generation distance learning and computer conferencing. In R. Mason &
A. Kaye (Eds.), Mindweaves: Communication, computers and distance education (h.
63.73). Oxford: Pergamon Press. Diunduh dari http://www-
icdl.open.as.uk/mindweave/chap5.html Peters, O. (2004). The educational paradigm shifts. In O. Peters (Ed.), Distance education in
transition - new trends and challenges (4th ed., h. 25-35). Oldenburg: BIS.
Ratnawati, L. & Andriyani, D. (2011). Sistem belajar jarak jauh: penerapannya di Universitas
Terbuka. Bahan Pelatihan Pembentukan Tutor Inti Universitas Terbuka. Jakarta: UT.
Siahaan, S., & Simanjuntak, WBP. (2004). Studi tentang pengelolaan sekolah menengah umum
terbuka (SMU terbuka). Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, 5(1), h. 59-82. Sugilar (2000). Kesiapan belajar mandiri peserta pendidikan jarak jauh. Jurnal Pendidikan Tinggi
Jarak Jauh. Volume 1(2).
Mohammad Imam Farisi
Konsep BJJ dan aplikasinya 9
Suparman, A. (2011). Sistem belajar jarak jauh. Bahan presentasi Power Point pada Pelatihan
Pembentukan Tutor Inti Universitas Terbuka. Jakarta: Universitas terbuka. Taylor, J.C. (1999, 20-24 Juni). Distance education: The fifth generation. Proceeding of the 19th
World Conference on Open Learning and Distance Education, Vienna, Austria.
Wedemeyer, C. A., & Childs, G.B. (1961). New Perspectives in University Correspondence
Study. Chicago: Center for the Study of Liberal Education for Adults. Wikipedia (2012a). Distance education. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/
wiki/Distance_education
Wikipedia (2012b). Blended Learning. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/ wiki/Blended_learning
Willems, J. (2005). Spanning the generations: Reflections on twenty years of maintaining
momentum. Proceeding of the Australasian society for computers in learning in tertiary education (ascilite) Conference, Brisbane, Australia. Diunduh dari
http://www.ascilite.org.au/ conferences/brisbane05/blogs/ proceedings/
Zawacki-Richter, O., Brown, T., & Delport, R. (2008). Mobile Learning: From single project
status into the mainstream? Diunduh dari http://www.eurodl.org/?article=357