Komitmen Kebijakan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3 ... · PDF fileK3 (P2K3) pada posisi...
Transcript of Komitmen Kebijakan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3 ... · PDF fileK3 (P2K3) pada posisi...
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 39
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Komitmen Kebijakan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Sebagai Upaya
Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja (Studi pada Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan)
Noer Rafikah Zulyanti *)
*)Dosen Fakultas Ekonomi Prodi Manajemen Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) MPS
KUD Tani Mulyo Lamongan, mengetahui kesesuaian kebijakan K3 dengan peraturan yang berlaku, dan mengetahui
komitmen kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai upaya perlindungan tenaga kerja pada MPS KUD
Tani Mulyo Lamongan.Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dan sebagai obyek penelitian
adalah Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan. Dengan menggunakan teknik purposive sampling
peneliti mengumpulkan data dari key informan, dan teknik probability sampling dari 469 karyawan produksi sebagai
sample penelitian. Untuk mengetahui komitmen kebijakan K3 di MPS KUD Tani Mulyo, peneliti meneliti 4 elemen,
yaitu sumber daya, komunikasi dan kepedulian, pelatihan dan kompetensi, dan tugas dan wewenang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :(a) MPS KUD Tani mulyo telah berkomitmen dengan kebijakan K3
sesuai dengan Permenaker Nomor PER.05/MEN/1996. (b) Elemen sumber daya, dengan telah menepatkan organisasi
K3 (P2K3) pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan, yaitu dengan diketuai oleh direktur utama
secara langsung, menyediakan sumberdaya manusia, sarana dan anggaran/dana yang diperlukan di bidang K3. (c)
Elemen komunikasi dan kepedulian, MPS KUD Tani Mulyo hendaknya perlu memperhatikan motivasi karyawan
dalam berperilaku sehingga tujuan akhir proses komunikasi dapat tercapai yaitu berperilaku aman dan dengan
menerepakan sistem hadiah dan hukuman dalam penerapan K3. (d) Elemen pelatihan dan kompetensi, MPS KUD
Tani Mulyo melaksanakan pelatihan secara internal dan eksternal untuk meningkatkan kompetensi personel dalam
bidang K3. (e) Elemen tugas dan wewenang MPS KUD Tani Mulyo telah menetapkan personel yang mempunyai
tanggung jawab dan wewenang yang jelas. (f) MPS KUD Tani berhasil dalam komitmennya untuk melindungi
karyawannya dengan keberhasilan penerapan kebijakan K3, hal ini dapat dibuktikan dengan selalu diraihnya
penghargaan zero accident (kecelakaan nihil) sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2011.
Kata kunci : kebijakan K3, komitmen, perlindungan tenaga kerja
Pengantar
Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja sangat penting bukan saja untuk
mengendalikan risiko kecelakaan kerja, terlebih-lebih
jika dikaitkan dengan kondisi perekonomian, yang
mana jika terjadi kecelakaan kerja akan dapat
mengakibatkan kerugian material/asset pada
perusahaan maupun nasional. Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Ksehatan Kerja
merupakan salah satu untuk menjamin konsistensi dan
efektivitas perusahaan dalam mengendalikan sumber
bahaya dan dapat meminimalkan risiko, mencegah
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta
memaksimalkan efisiensi perusahaan yang pada
akhirnya dapat meningkatkan daya saing perusahaan.
Melalui penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dilaksanakan
dengan konsisten dan berkesinambungan, kejadian
yang tidak diinginkan atau dapat menimbulkan
kerugian dapat dicegah. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang menyatakan kewajiban
pengusaha melindungi tenaga kerja dari potensi
bahaya yang dihadapi.
Dalam pelaksanaan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja itu sendiri juga
mengacu pada Permenaker RI Nomor :
Per.05/MEN/1996 pasal 3 ayat 1 dan 2 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang
menyatakan bahwa ―Setiap perusahaan yang
memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang
atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja
seperti peledakan, kebakaran, pencemran lingkungan
dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3)‖ .
Menurut data terakhir, pada tahun 2006
terjadi 95.624 kasus kecelakaan kerja, sedangkan pada
tahun 2007 terjadi 65.474 kasus kecelakaan kerja.
Pada tahun 2008, kasus kecelakaan kerja di Indonesia
ditargetkan menurun hingga 50%. Dengan semakin
menurunnya angka kecelakaan kerja, diharapkan dapat
membantu berkembangnya dunia usaha, investasi dan
memacu peningkatan produktivitas nasional
(Depnakertrans : 2011).
Berkaitan dengan pelaksaan SMK3 ,
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia memberikan apresiasi yaitu dengan
dianugrahkannya penghargaan kepada 254 perusahaan
yang berhasil menerapkan SMK3 berdasarkan
evaluasi hasil audit dari Lembaga Audit. Jumlah ini
meningkat 6,7% dibanding tahun 2011 yang sebanyak
238 perusahaan (Depnakertrans : 2011).
MPS Tani Mulyo adalah mitra dari
PT.Hanjaya Mandala Sampoerna yang khusus untuk
memproduksi rokok lintingan tangan alias sigaret
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 40
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kretek tangan (SKT) yang sampai saat ini memiliki
jumlah tenaga kerja mencapai 1500 orang. Yang mana
sekitar 1300 orang diantara pekerja berpendidikan SD,
SMP, dan SLTA, berhubungan dengan produksi
langsung.
Pengelolaan yang tentu saja tidak mudah bagi
perusahaan. Sehubungan dengan tingkat keselamatan
dan kesehatan kerja MPS Tani Mulyo menerapkan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
sebagai bentuk komitmen manajemen perusahaan
untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja yang
aman bagi pekerja.
Komitmen perusahaan adalah elemen inti
keberhasilan dari Sistem Manajemen Keselamtan dan
Kesehatan Kerja (SMK3), selain beberapa elemen
yang merupakan rangkaian proses yang terintegrasi
dengan sistem manajemen lain yang ada dalam
perusahaan bagi terpenuhinya ekspektasi performansi
SMK3 yaitu menjamin tersedianya lingkungan kerja
yang aman dan sehat bagi seluruh tenaga kerja.
Kajian Empiris
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara optimal
dilakukan oleh perusahaan saat akan dilakukan audit
saja dan setelah dilakukan audit penerapan SMK3
mengalami kemunduran yang cukup berarti, bahkan
rekomendasi upaya perbaikan yang disarankan tim
audit diabaikan. Dari hasil penelitian dijelaskan pula
bahwa penerapan SMK3 yang lebih baik akan dapat
meningkatkan produktifitas, begitu pula sebaliknya
(Edi Subroto,2002). Sementara Soerono (2005),
menyatakan bahwa penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja termasuk dalam
kategori cukup. Hal ini didukung dengan data yang
menyatakan bahwa jumlah kecelakaan dan penyakit
akibat kerja selam 3 tahun terakhir mengalami
penurunan. Dita Artaningtiyas (2007) menyatakan
dalam penelitiannya bahwa permasalahan promotif
adalah perilaku/kebiasaan karyawan yang tidak biasa
makan pagi, istirahat teratur, dan terbatasnya
pengetahuan tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3), terutama pada karyawan yang tidak
mempunyai dasar pendidikan kesehatan. Masalah
preventif adalah perlindungan terhadap bahaya-bahaya
fisik, kimia, biologi, dan zat-zat berbahaya di tempat
kerja. Masalah penerapan ergonomi adalah karyawan
yang bekerja belum sesuai dengan protap (prosedur
tetap) dan adanya ruangan alat yang mempercepat
kelelahannya. Masalah kuratif adalah belum adanya
prosedur tetap untuk pelayanan kesehatan tenaga
honorer. Sedangkan untuk permasalahan yang
menyangkut K3 yang pertama adalah komitmen dan
kebijakan adalah sosialisasi dan tidak adanya
dukungan dana khusus untuk K3. Masalah
pelaksanaan SMK3 adalah sosialisasi protap yang
belum menyeluruh dan petugas K3 yang belum
memiliki keahlian khusus. Masalah pengukuran dan
evaluasi pada SMK3 adalah belum ada standart
operasional prosedur (SOP) untuk evaluasi K3.
Sementara Zaman Tarigan (2008) menyatakan
program-program Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) telah diterapkan di
pabrik kelapa sawit Tanjung Harapan Medan seperti
rekruitmen, pendidikan, dan pelatihan dan penggunaan
alat pelindung diri. Sedangkan jumlah tenaga kerja
yang menggunakan alat pelindung diri antara lain
helm dipakai sekitar 89,48% pekerja yang seharusnya
menggunakan, sepatu boot dipakai 63,34% pekerja,
sarung tangan dipakai 72,73% pekerja, penutup
telinga dipakai 62,50% pekerja, penutup mulut dipakai
77,78% pekerja, pelindung dada dipakai 53,34%
pekerja yang seharusnya menggunakan. Perlu
disarankan pengawasan yang baik yaitu dengan
pengecekan dan penggunaan alat pelindung diri,
perawatan berkala, dan penyuluhan dari manajemen
pabrik dengan mengadakan pelatihan Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Kajian Teoritis
Administrasi
Istilah Administrasi berasal dari kata latin ad
dan ministrare yang artinya membantu, melayani, dan
atau mematuhi. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah
administration, sedangkandalam bahasa Belanda
dikenal istilah administratie yang artinya setiap
penyusunan keterangan-keterangan secara sistematis
dan pencatatannya secara tertulis dengan maksud
untuk memperoleh suatu ikhtisar mengenai
keterangan-keterangan itu dalam keseluruhannya dan
dalam hubungannya satu sama lain (Joko Widodo MS,
2003). Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang
berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan
untuk mencapai tujuan (Kamus Terbaru Bahasa
Indonesia : 2008). Sedangkan menurut Dr. Sondang P.
Siagian (1996) yang dikutip oleh Joko Widodo,
administrasi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan
proses kerja sama antara dua orang atau lebih yang
didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pengertian
lain yang diberikan oleh Herbert A. Simon dalam Joko
Widodo (2003 : 2) menyatakan sebagai berikut, in its
broadest sense, administrationcan be difined as the
activities of group cooperating to accomplish common
goals. Dalam pengertian yang luas, administrasi dapat
dirumuskan sebagai kegiatan dari kelompok orang-
orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama. Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat
ditarik kesimpulan pada dasarnya administrasi adalah :
merupakan suatu proses kerja sama yang dilakukan
oleh sekelompok orang dalam rangka mencapai tujuan
tertentu.
Administrasi Negara
Menurut John M. Pfiffner and Robert V. Presthus
yang dikutip Adi Supardi (2009), mengemukakan:
Administrsi Negara adalah pelaksanaan kebijaksanaan
Negara yang telah digariskan oleh badan-badan politik
yang representative (Public Adminiration involve the
implementation of public wich has been outlined by
representative political bodies). Sedangkan menurut
Leonard D. White dalam bukunya yang berjudul
“Introduction tot the study of public Administration”
yang dikutip Adi Supardi (2009) mengemukakan :
Adminitrasi Negara terdiri atas semua/seluruh
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 41
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
aktivitas/kegiatan yang bertujuan pemenuhan atau
pelaksanaan kebijaksanaan Negara (public
administration concists of all these operation having
for their purpose the fulfillment or enforcement of
public policy).
Administrasi Niaga
Pengertian administrasi Niaga menurut Prof. Dr..s.
prajudi Admosudidjo (1982) adalah suatu pengertian
yang mencakup dua pengertian menjadi satu, yaitu :
Administrsi Niaga adalah adminitrasi dari pada suatu
organisasi niaga secara keseluruhan, bilamana
organisasi niaga tersebut merupakan perusahaan,
maka administrasi niaga tersebut dijalankan oleh
Direksi dari pada perusahaan. Administrasi Niaga
adalah administrasi yang mengejar tercapainya tujuan-
tujuan yang bersifat kewiraniagaan (business
objective), dalam pengertian ini, administrasi niaga
tersebut dijalnkan oleh setiap manager dalam suatu
organisasi niaga. Dari uraian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa Administrsi Niaga adalah proses
kerjasama dari kelompok orang untuk mencapai
keuntungan / laba yang sebesar-besarnya.
Perbedaan Administrasi Negara dan Administrasi
Niaga
Menurut Sondang P. Siagian (1996),
membedakan administrasi Negara (publik) dan
adminstrasi niaga (bisnis) dilihat dari beberapa faktor /
aspek antara lain sebagai berikut :
(a) Tujuan. Administrasi Negara berusaha
meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat (welfare
state). Sedangkan administrasi bisnis berusaha
meningkatkan kegiatan / usaha melalui akumulasi
modal, investasi, dan lain sebagainya.(b) Motif.
Administrasi Negara berorientasi pada public services,
yang efisien, efektif, dan ekonomis. Sedangkan
administrasi bisnis berorientasi pada profit making
yang setinggi-tingginya. (c) Sifat layanan.
Administrasi Negara berorientasi pada seluruh lapisan
masyarakat, sedangkan administrasi bisnis pada
sebagian masyarakat yang mampu membayar layanan.
(d) Wilayah Yuridiksi. Administrasi Negara batas
wilayah yuridiksi sama dengan batas-batas wilayah
kekuasaan Negara, sedangkan administrasi bisnis
batas wilayah kekuasaan tidak jelas. (e) Kekuasaan.
Kekuasaan administrasi Negara berasal dari rakyat
melalui lembaga-lembaga perwakilan, sedangkan
administrasi bisnis ditentukan oleh modal , skill, yang
dimilikinya. (f) Orientasi Politik. Idealnya
administrasi Negara (birokrasi) netral, karena
berfungsi sebagai abdi semua golongan/lapisan
masyarakat. Sedangkan administrasi bisnis cenderung
memihak pada pemegang kekuasaan. (g) Cara Kerja.
Administrasi Negara cenderung lebih lamban, karena
kurang adanya kompetisi dan terlalu legalitas,
sedangkan administrasi bisnis cenderung lebih cepat
dan efisien.
Kebijakan Publik dan Kebijakan Bisnis
Kebijakan publik menurut Dye (1992), adalah
apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan
atau tidak dikerjakan (public policy is whatever
governments choose to do or not to do). Anderson
dalam Islamy (1997) mengartikan kebijakan publik
sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku
atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah
tertentu. Sedangkan kebijakan bisnis merupakan studi
tentang fungsi dan tanggung jawab pimpinan
perusahaan dalam menghadapi problema yang
mempengaruhi karakter dan keberhasilan perusahaan
secara keseluruhan. Kebijakan bisnis juga dapat
didefinisikan sebagai ketetapan atau keputusan
manajemen untuk mencapai tujuan masa depan
perusahaan yang merupakan pedoman dalam
melakukan aktivitas bisnis.
Proses Pembuatan Kebijakan
Menurut William N. Dunn (2003:43) proses
pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan dalam
lima tahap, yaitu : penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,
dan penilaian kebijakan. (a) Penyusunan agenda. Pada
tahap ini pembuat kebijakan melakukan perumusan
masalah, yaitu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, penyebab-penyebabnya, memetakan
tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan
pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan baru.(b)
Formulasi kebijakan. Peramalan merupakan kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini. Dengan peramalan
akan dapat menguji masa depan yang plausible,
potensial, dan secara normative bernilai, mengestimasi
akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan,
mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi
dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan
politik dari berbagai pilihan.(c) Adopsi kebijakan.
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakna tentang manfaat atau biaya dari
berbagai alternative yang akibatnya di masa
mendatang telah diestimasi melalui peramalan. Ini
membantu para pengambil kebijakan pada tahap
adopsi kebijakan.(d) Implementasi kebijakan. Pada
tahap implementasi kebijakan, pengambil kebijakan
melakukan pemantauan atas kebijakan yang telah ada
sebelumnya. Pemantauan membantu menilai tingkat
kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak
diinginkan dari akibat kebijakan atau program,
mengidentifikasi hambatan dan rintangan
implementasi, dan menemukanletak pihak-pihak yang
bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.(e)
Penilaian. Penilaian dilakukan untuk mengevaluasi
tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang
diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan.
Implementasi Kebijakan
Donald S. Van Mater dan Carl E. Horn dalam The
Policy Implementations Process, Administration and
Society yang dikutip oleh Joko Widodo, menguraikan
batasan implementasi sebagai : ―Policy
implementation encompasses those action by public
and private individuals (or groups) that are directed
at the achievement of objevctives set forth in prior
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 42
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
policy decisions. This includes both one time efforts to
transform decisions into operational terms, as well as
continuing efforts to achieves the large and small
changes mandated by policy decisions”.
Implementasi kebijakan menekankan pada
suatu tindakan-tindakan, baik yang dilakuakan oleh
pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok),
swasta, yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan
kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini, pada
suatu saat berusaha untuk mentransformasikan
keputusan menjadi pola operasional, serta melanjutkan
usaha tersebut untuk mencapai perubahan baik yang
besar maupun kecil yang diamanatkan oleh keputusan
kebijakan tertentu.
Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Permasalahan yang melatarbelakangi sehingga
ditetapkannya kebijakan K3 oleh
perusahaan(Disnakertrans: 2012) adalah : (a)
Kebutuhan terhadap pentingnya K3 bagi perusahaan
belum menjadi prioritas. (b) Keterlibatan pimpinan
perusahaan terhadap K3 pada umumnya masih kurang.
(c) Penerapan K3 pada umumnya masih pada
perusahaan-perusahaan yang berpotensi bahaya tinggi
seperti pada sector migas, petrokimia, dan pada
perusahaan asing. (d) Keterbatasan pegawai pengawas
keselamatan dan kesehatan kerka di Kabupaten/Kota
baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan
kendala pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
(e) Penegakan hokum terhadap pelanggaran
norma/peraturan perundangan di bidang
ketenagakerjaan masih belum optimal.
Kebijakan K3 merupakan perwujudan dari
komitmen pucuk pimpinan yang mamuat visi dan
tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk
melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja,
kerangka dan program kerja (Soehatman Ramli, 2010
: 71).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Berdasarkan pendapat Leon C. Megginson
(1981:364) dalam Anwar Prabu Mangkunegara (2005)
menyatakan bahwa istilah keselamatan mencakup
kedua istilah risiko keselamatan dan risiko kesehatan.
Dalam bidang ketenagakerjaan, kedua istilah risiko
tersebut dibedakan. Keselamatan kerja menunjukkan
kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan,
kerusakan atau kerugian di tempat kerja. Risiko
keselamatan merupakan aspek-aspek dari lingkungan
kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, ketakutan
aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah
tulang, kerugian lat tubuh, penglihatan, dan
pendengaran. Semua itu sering dihubungkan dengan
perlengkapan perusahaan atau lingkungan fiisik dan
mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan
pemeliharaan dan latuhan.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3)
Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan bagian dari
sistem manajmen secara keseluruhan meliputi struktur
organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan
prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan
bagi pengembangan penerapan, pencapaian,
pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan
dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko
yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya
tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif
(Peraturan Perundangan dan Pedoman Teknis SMK3:
2011).
Saat ini terdapat berbagai bentuk sistem
manajemen K3 yang dikembangkan oleh berbagai
lembagai dan institusi di dalam dan di luar negeri
antara lain :(a) Sistem Manjemen Five Star dari
British Safety Council, UK. Dikembangkan oleh
lembaga K3 di Inggris sekitar tahun 1970, Lembaga
ini memberi penghargaan kepada perusahaan yang
berprestasi berbentuk pedang keselamatan (Sword of
Honour). (b) British Standart BS 8800 Guide to
Occuptional Health and Safety Management System.
Merupakan standar tentang SMK3 yang diberlakukan
di Inggris dan negara lainnya. (c) International Safety
Rating System (ISRS) dari ILCI/DNV. Sistem ini
memberi peringkat kinerja K3 suatu perusahaan
melaui audit dan sistem skoring atau nilai.Process
Safety Management, OHSA Standard CFR 29
1910.119. Merupakan SMK3 yang dirancang khusus
untuk industri proses beresiko tinggi seperti
perminyakan dan petrokimia. (d) Sistem Manajmen
K3 dari Depnaker RI. Sistem ini telah banyak
dikembangkan oloeh perusahaan di Indonesia dan
kinerjanya akan diaudit oleh Sucofindo. (e) American
Petroleum Instutute : API9100A: Model
Environmental Health and Safety (EHS) Management
System. Lembaga ini mengeluarkan pedoman tentang
sistem manajmen keselamatan kerja dan lingkungan.
(f) American Petroleum Institute:API RP750,
Management of Process Hazards. (g) ILO-OSH 2001
: Guideline on OHS Management System. Lembaga
perburuhan dunia ini juga mengembangkan pedoman
SMK3 yang banyak digunakan ssebagai acuan oleh
berbagai negara dan perusahaan. (f) E&P Forum :
Guidelines for development and Aplicatin of HSE
Management System.
Penerapan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja
Berdasarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3) setiap perusahaan atau tempat kerja wajib
melaksanakan SMK3, yang mana merupakan suatu
sistem yang diterapkan guna mencegah dan
mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Untuk mengusahakan agar tenaga kerja maupun orang
lain yang berada di tempat kerja serta sumber
produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam
keadaan aman dan sehat. Maka penerapan SMK3
berdasarkan pedoman penerapannya meliputi :(1)
Komitmen dan kebijakan pimpinan perusahaan, (2)
Perencanaan, (3) Penerapan , (4) Pengukuran dan
evaluasi, (5) Tinjauan ulang dan peningkatan oleh
pihak manajemen.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 43
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Perlindungan Tenaga Kerja
Setiap tenaga kerja berhak mendapat
perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan,
pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai
dengan martabat manusia dan moral agama. Sesuai
dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 86, ―Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas‖ :
(a) Keselamatan dan kesehatan kerja; (b) Moral dan
kesusilaan; dan (c) Perlakuan yang sesuai dengan
harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Kecelakan mempengaruhi produktivitas
perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh
Soehatman Ramli (2010 : 15), bahwa di dalam proses
produksi, produktivitas ditopang oleh tiga pilar utama
yaitu Kuantitas (Quantity), Kualitas (Quality), dan
Keselamatan (Safety) seperti yang tergambar pada
segitiga produktivitas. Seperti dipaparkan pada
gambar 1 berikut :
Gambar 1. Segitiga Produktivitas dan K3
Komitmen Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Sebagai Upaya Perlindungan Tenaga Kerja
Komitmen ibarat energi yang menggerakkan
roda kebijakan K3 organisasi. Dalam peraturan
Menteri Tenaga Kerja yang tertuang dalam
PER.05/MEN/1996 mensyaratkan agar manajmen
menunjukkan komitmennya terhadap pelaksanaan
SMK3 dengan menetapkan kebijakan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(SMK3).
Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan
komitmen sebagai suatukeadaan dimana seorang
individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan
keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya
dalam organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson
dalam Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen
organisasional sebagai derajad dimana karyawan
percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi
dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan
organisasinya.
Komitmen kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja pada MPS KUD Tani Mulyo
ditunjukkan melalui keberhasilan penerapan kebijakan
K3. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil empat
elemen penentu keberhasilan penerapan kebijakan K3
yaitu sumber daya, komunikasi dan kesadaran,
pelatihan dan pengembangan, dan tugas dan
wewenang.
Metodologi
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif dan sebagai obyek penelitian adalah Mitra
Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan.
Dengan menggunakan teknik purposive sampling
peneliti mengumpulkan data dari key informan, dan
teknik probability sampling dari 469 karyawan
produksi sebagai sample penelitian. Untuk mengetahui
komitmen kebijakan K3 di MPS KUD Tani Mulyo,
peneliti meneliti 4 elemen, yaitu sumber daya,
komunikasi dan kepedulian, pelatihan dan kompetensi,
dan tugas dan wewenang
Hasil Penelitian dan Pembahasan
MPS KUD Tani Mulyo Lamongan telah
mengintegrasikan Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3). Kebijakan K3 ini
merupakan komitmen perusahaan menyangkut
masalah kualitas keselamatan dan kesehatan dalam
menjalankan proses dan aktivitas bisnis. Kebijakan ini
memberikan kerangka kerja bagi operasi bisnis
perusahaan yang harus dipahami oleh karyawan MPS
Lamongan dan semua orang yang berkepentingan
(kontraktor, subkontraktor, karyawan ). Kebijakan K3
MPS Lamongan dituangkan dalam bahasa yang
mudah dipahami dan diletakkan di lokasi area kerja
yang mudah dijangkau oleh umum.
Hasil observasi menunjukkan bahwa, di beberapa
area kerja seperti area produksi, bengkel,
Laboratorium Quality Control (QC), ruangan
manajemen, pos security, bahkan di kantin-kantin
tempat karyawan beristirahatpun terpasang kebijakan
K3. Hal ini bertujuan selain mudah dijangkau oleh
umum, juga untuk mengembangkan program K3
secara menyeluruh dan terintegrasi dalam rangka
pencegahan dan mitigasi potensi terjadinya kerugian
terhadap seseorang.
Sejarah perkembangan kebijakan K3 pada MPS
Lamongan tidaklah semulus pencapaian produktivitas
selama perusahaan berdiri. Seperti diketahui sejak
tahun 2010-2012, MPS KUD Tani Mulyo
mendapatkan penghargaan dengan kategori Platinum
sebagai penghargaan atas pencapaian produktifitas
“Excellence in Everything” . Pada saat observasi
penelitian, temuan data periode th 2009 – 2011,
peneliti mendapatkan kebijakan K3 yang
ditandatangani oleh Martin G. King, President
Director PT HM Sampoerna, pada 15 Nopember
2008. Yang berbunyi sebagai berikut : ―Adalah
Kebijakan Perusahaan, sebagai salah satu unit bisnis
Philip Morris International, untuk mencapai misi
memberikan sensasi merokok terbaik bagi perokok
dewasa, hari ini dan masa yang akan datang.
Perusahaan berkomitmen untuk menyediakan
tempat kerja yang sehat dan aman, mencegah
kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta mencegah
polusi lingkungan. Hal ini merupakan tanggung jawab
bersama antara perusahaan dan karyawan, dimana
keberhasilan dari kebijakan ini sepenuhnya terletak
pada keterlibatan dari semua karyawan dengan cara
menjalankan kebiasaan kerja yang terbaik dalam
bidang kualitas lingkungan, kesehatan, dan
keselamatan kerja
produktivitas
kuantitas
keselam
atan
kualitas
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 44
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Hasil wawancara yang dilakukan dengan
sekretaris P2K3, ibu Zunifa, MPS KUD Tani Mulyo
Lamongan, menerangkan bahwa, di th 2008 hingga th
2011 Kebijkan K3 ada, namun tidak tercatat,
terorganisir, dan implementasinya belum secara
efektif dilakukan. Terlebih komitmennya terhadap
keesuaian dengan undang-undang, peraturan, dan
ketentuan lain yang berlaku. Perusahaan cukup
berkomitmen dengan 5R saja yaitu : Ringkas, Rapi,
Resik, Rawat, Rajin. Kendala yang dihadapi pada saat
itu adalah sumber daya manusia yang masih belum
berkompeten dalam bidang K3, berikut anggaran yang
harus disiapkan oleh perusahaan untuk K3 sangatlah
besar. Namun demikian, perusahaan tetap
menunjukkan komitmennya terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja bagi karyawan dan orang lain di
tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat,
sehingga tiga elemen produktivitas, yaitu kualitas,
kuantitas, dan keselamatan bisa terwujud. Hal ini
dapat dibuktikan, pada tahun 2004 - 2005 perusahaan
mendapatkan sertifikat Kecelakaan Nihil dan pada
tahun 2007 - 2012 perusahaan kembali mendapatkan
sertifikat Zero Accident, untuk performansinya dengan
kategori nol terhadap kecelakaan akibat kerja.
Pada tahun 2010, kebijakan K3 mulai ditinjau
kembali keberadaannya oleh manajemen perusahaan,
dengan membuat SOP (Standard Operational
Procedure),dan Instruksi Kerja pada setiap level
pekerjaan. Efektivitas Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, sebagai sarana
untuk pelaksanaan suatu kebijakan, MPS Lamongan
berkomitmen untuk meningkatkan performansi
operasi secara efektif dan kontinyu sesuai strategi dan
tujuan perusahaan, undang-undang, dan peraturan
pemerintah, serta persyaratan lainnya.
Pada tahun 2012, tepatnya tgl 1 Februari 2012
telah ditetapkan Kebijakan K3 MPS KUD Tani Mulyo
yang ditandatangani oleh Direktur Utama, Ir.H. Djoko
Wahyudi. Berikut adalah isi kebijakan K3 MPS KUD
Tani Mulyo Lamongan: ―Kebijakan Lingkungan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja MPS KUD Tani
Mulyo Lamongan adalah kebijakan perusahaan untuk
menyediakan tempat kerja yang aman dan sehat bagi
karyawan, kontraktor, pengunjung, dan masyarakat
sekitar guna :‖(a) Mencegah dan mengurangi
kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja serta
polusi lingkungan. (b) Menjamin agar setiap sumber
produksi dapat dipakai secara aman dan efisien. (c)
Menjamin agar setiap proses produksi dapat berjalan
lancar.
Komitmen terhadap peraturan perundangan
yang dilakukan oleh MPS KUD Tani Mulyo
Lamongan adalah minimal setiap awal tahun
mengupgrade data peraturan perundangan pada
Disnaker Kabupaten Lamongan. Selain itu, dari pihak
Disnaker juga secara insidental melakukan kunjungan
ke perusahaan untuk memberitahukan adanya
peraturan perundangan K3 yang baru.
Kegiatan sosialisasi juga dilaksanakan dalam
rangka program perlindungan tenaga kerja dan
pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan.
Seperti yang baru-baru dilaksanakan pada bulan Juli
2012 Disnaker Kabupaten Lamongan melaksanakan
sosialisasi SMK3 yang bekerja sama dengan PT. Abdi
Karya Abadi Surabaya. Yang mana setiap perusahaan
yang berada di area Lamongan-Gresik –Surabaya
yang memiliki kewajiban menerapkan SMK3 menjadi
pesertanya, termasuk MPS KUD Tani Mulyo
Lamongan.
Up date yang dilakukan oleh sekretaris P2K3
tertera dalam Daftar Peraturan Perundangan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang mana dalam
daftar tersebut dicantumkan apakah perubahan
perundangan telah diimplementasikan (compliance =
C) atau belum diimplementasikan (non compliance =
NC). Contoh untuk topik yang berkaitan dengan K3
umum yakni penerapan pasal 13 UU no 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, ― barang siapa akan
memasuki sesuatu tempat kerja diwajibkan mentaati
semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-
alat pelindung diri yang diwajibkan.‖ Peraturan
tersebut sudah berstatus ―C‖, evaluasi dilakukan oleh
Ibu Zunifa (ahli K3 Umum), dan diterbitkan pada per
tanggal 20 Januari 2012.
Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) adalah pola penerapan
kebijakan K3 MPS KUD Tani Mulyo yang merupakan
bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan
perusahaan. Kelemahan sistem manajemen
mempunyai peranan yang sangat besar sebagai
penyebab kecelakaan, karena sistem manjemenlah
yang mengatur unsur-unsur produksi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kecelakaan merupakan manifestasi
adanya kesalahan manajemen yang menjadi penyebab
masalah dalam proses produksi.
Keberhasilan penerapan kebijakan K3 berarti
pula pencapaian tujuan perusahaan. Seperti diketahui
bahwa kegiatan MPS KUD Tani Mulyo adalah
produksi dengan sistem padat karya, yang berarti
sumber daya manusia yang dalam hal ini adalah para
pekerja produksi yang memiliki peran utama dalam
menghasilkan produk unggul dan kompetitif , maka
tenaga kerja dikelola sedemikian rupa yang
dituangkan dalam suatu bentuk peraturan bersama
yang baik benar, dan proporsional bagi kedua belah
pihak yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara
perusahaan dan karyawan. Indikator keberhasilan
komitmen perusahaan terhadap penerapan kebijakan
K3 adalah bahwa sejak tahun 2003 – 2011 perusahaan
mendapatkan sertifikat Zero Accident yaitu
penghargaan atas pencapaian kecelakaan nihil, oleh
perusahaan selama satu tahun. Untuk tahun 2012,
kecelakaan yang tercatat sebagian besar tergolong first
aid, artinya karyawan tidak sampai kehilangan hari
kerja mereka. Ada beberapa kecelakaan yang
mengakibatkan sampai kehilangan hari kerja, namun
tipe kecelakaannya adalah lalu lintas pada saat
karyawan pulang atau berangkat kerja. Berikut
rekapitulasi data laporan kecelakaan periode Januari –
September 2012.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 45
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Tabel 1.
REKAPITULASI DATA KECELAKAAN
PERIODE JANUARI – SEPTEMBER 2012
MPS KUD TANI MULYO LAMONGAN
No Bulan Sumber Kecelakaan Jumlah
1 Januari 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
7
3
2 Februari 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
4
1
3 Maret 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
5
3
4 April 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
4
3
5 Mei 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
5
3
6 Juni 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
3
4
7 Juli 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
4
0
8 Agustus 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
3
0
9 September 1.Pisau Push Cutter
2.Sepeda Motor
1
2
Sumber : Poliklinik MPS KUD Tani Mulyo
Lamongan
Sedangkan dalam proses produksi, setiap
sumber/bahan produksi dapat dipakai secara aman dan
efisien, serta dapat berjalan dengan lancar. Hal ini
terbukti sejak diselenggarakannya program
penghargaan untuk produktivitas oleh PT. HM.
Sampoerna, pada tahun 2010 sampai dengan 2012
MPS KUD Tani Mulyo mereaih penghargaan dalam
kategori ―Excellence in Everything‖
Simpulan
Dari penjelasan sebelumnya dapat
disimpulkan penelitian mengenai komitmen kebijakan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada MPS KUD
Tani Mulyo yakni :
1. MPS KUD Tani Mulyo memiliki kebijakan K3
yang mulai diimplemetasikan secara efektif dan
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan
sejak tanggal 12 Februari 2012.
2. Penerapan kebijakan K3 secara umum telah sesuai
dengan Permenaker Nomor PER.05/MEN/1996,
yaitu menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja demi
tercapainya tujuan kebijakan K3.
3. Dalam penelitian ini ada empat elemen yang
menentukan keberhasilan dalam penerapan
kebijakan K3 sebagai komitmen MPS KUD Tani
Mulyo atas kebijakan K3 sebagai upaya
perlindungan karywan adalah sumber daya,
komunikasi dan kepedulian , pelatihan dan
kompetensi , tugas dan wewenang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa :
a. Sebagai komitmennya atas ketersediaan sumber
daya, MPS KUD Tani Mulyo telah menempatkan
organisasi K3 yaitu P2K3 pada posisi yang dapat
menentukan keputusan perusahaan dan sebagai
ujung tombak pelaksanaan K3 di perusahaan, Ahli
K3 yang bersertifikasi sebagai lead auditor dalam
audit internal, regu balakar dan tim evakuasi yang
berpartisipasi aktif menjalankan tugas sesuai
dengan prosedur. Mesin dan sarana yang
digunakan telah bersertifikasi untuk kelayakan
penggunannya. MPS KUD Tani Mulyo juga
memberikan dukungan berupa penyediaan dana
guna terealisasinya program kerja tahunan K3.
b. Pada elemen komunikasi, ada 3 indikator yaitu
penyampaian pesan/informasi K3, bertindak jika
terjadi kondisi darurat, dan memastikan karyawan
bekerja dengan benar dan aman, sedangkan untuk
elemen kepedulian ada 2 indikator yaitu, peran
pengawas dan peran rekan kerja. Pada indikator
penyampaian pesan/informasi mengenai tujuan
kebijakan dan beberapa istilah K3 menunjukkan,
lebih dari 50% karyawan bagian giling (GL) dan
push cutter (PC) menyatakan tidak paham hal ini
berbanding lurus dengan peran pengawas, hasil
analisis menunjukkan lebih dari 50% karyawan GL
dan PC menyatakan pengawas mereka tidak
pernah menyampaikan informasi mengenai adanya
kebijakan K3. Sebaliknya pada bagian pack dan
bandrol, lebih dari 50% karyawan paham dengan
tujuan adanya kebijakan K3 yang berbanding lurus
dengan peran pengawas yang menunjukkan lebih
60% karyawan menyatakan pengawas mereka
sering menyampaikan informasi tujuan adanya
kebijakan K3. Hal ini dikarenakan jumlah
karyawan GL dan PC yang jauh lebih banyak
daripada bagian pack dan bandrol serta tingkat
kesulitan pekerjaan dan intensitas pekerjaan bagian
GL dan PC lebih tinggi dari pada bagian pack dan
bandrol.
Untuk Indikator bertindak jika terjadi
kondisi bahaya dan memastikan karyawan bekerja
dengan benar dan aman menunjukkan lebih dari
55% karyawan bagian GL dan PC menyatakan
paham pada indikator bertindak jika terjadi kondisi
darurat, dan 80% lebih karyawan bagian pack dan
bandrol menyatakan paham untuk bekerja dengan
benar dan aman. Hal ini sejalan dengan peran
pengawas (bagian GL, PC, pack, dan bandrol)
yang menunjukkan rata-rata lebih dari 70%
karyawan menyatakan pengawas sering
memberikan informasi tentang tindakan yang
harus diambil pada saat kondisi darurat dan untuk
memastikan bekerja dengan benar dan aman.
Dengan demikian MPS KUD Tani Mulyo telah
berhasil dalam mengembangkan perilaku aman
sebagi bentuk kesadaran karyawan terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja, yang secara tidak
langsung MPS KUD Tani Mulyo telah berhasil
mengkomunikasikan tujuan kebijakan K3.
c. Elemen pelatihan dan kompetensi mengantarkan
karyawan MPS KUD Tani Mulyo kearah sumber
daya manusia yang berkompeten dalam bidang K3.
MPS KUD Tani Mulyo berkomitmen untuk
menyediakan sumber daya yang berkompeten
dalam rangka mencapai tujuan penerapan
kebijakan K3. Hal ini dubuktikan, perusahaan
melaksanakan pelatihan untuk mengembangkan
SDM nya dalam bidang K3 baik secara internal
yang dilakukan oleh perusahaan sendiri maupun
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 46
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
secara eksternal dari PT. HM Sampoerna atau
dengan instansi terkait dan lembaga yang
berkompeten.
d. Komitmen atas tugas dan wewenang yaitu dengan
menempatkan personel yang memepunyai
tanggung jawab dan wewenang yang jelas dalam
penanganan keselamatan dan kesehatan kerja,
dibuktikan dengan selama pelaksanaan simulasi
keadaan darurat, setiap petugas yang terdiri dari
tim balakar dan tim evakuasi bekerja sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan.
e. MPS KUD Tani berhasil dalam komitmennya
untuk melindungi karyawannya baik dari
kecelakaan maupun penyakit akibat kerja dengan
keberhasilan penerapan kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3), hal ini dapat dibuktikan
dengan selalu diraihnya penghargaan zero
accident (kecelakaan nihil) sejak tahun 2003
sampai dengan tahun 2011.
Daftar Pustaka
Admosudirdjo, S. Prajudi, Dr., Prof., 1982,
Administrasi dan Managemen Umum. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Bird, E, Frank, 1989, Commitmen. Georgio: Institute
Publishing Loganville.
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Lamongan, 4 Juli 2012, Sosialisasi
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Keraj (SMK3).
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Lamongan, 7 Juli 2012, Sosialisasi
SMK3 : Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Dalam Rangka Terwujudnya Budaya K3 di
Jawa Timur.
Dunn, N, William, 2003, Pengantar Analisis
Kebijakan Publik, Edisi kedua. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Dye, Thomas R., 1992, Understanding Public Policy.
Englewood Clifts, New Jersey USA : Prince
Hall.
Edwards III, C, George, 1980, Implementing Publick
Policy. United State of America (USA) :
Congressional Quarterly Press.
Irfan, Islamy, 1997, Prinsip-prinsip Perumusan
Kebijaksanaan Negara, Cetakan kedelapan.
Jakarta : Bumi Aksara.
Ismail, Nawawi, M.Si., M.P.A., Dr., Prof., H., 2009,
Perilaku Administrasi : Kajian, Teoritik, dan
Pengantar Praktik. Surabaya : ITS Press.
Judge dan Robins SP, 2007, Perilaku Organisasi.
Jakarta : Salmenba Empat.
Kementrian Tenega Kerja dan Transmigrasi RI
Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan, 2011, Peraturan Perundangan
dan Pedoman Teknis Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
Kementrian Tenega Kerja dan Transmigrasi RI
Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan Direktorat Pengawasan Norma
K3, 2012, Peraturan Pemerintah RI Nomor 50
Tahun 2012.
Leopold, John (edited), 2002, Human Resources in
Organisations. England : Ashford Colour Press.
Ltd.
Mangkunegara, Prabu, A.A. Anwar, M.si., Psi., Drs.,
2005, Manajemen Sumber Daya Perusahaan.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Muyo
Lamongan, 2010, Manual Sistem Manajemen
Lingkungan dan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja.
Nazir, Mohammad, Ph.D., 2009, Metode Penelitian.
Bogor : Ghalia Indonesia.
Ramli, Soehatman, 2010, Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja : OHSAS
18001. Jakarta : Dian Rakyat.
Rosyidi, Suherman, M.Com., Drs., Ec., Pengantar
Teori Ekonomi. Surabaya : Duta Jasa.
Siagian, P, Sondang, 1996, Bunga Rampai
Manajemen Modern. Jakarta : PT. Gunung
Agung.
Simanjuntak, Payaman J, 1985, Pengantar Ekonomi
Sumber Daya Manusia. Jakarta : LPFE UI.
Sopiah, 2008, Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Andi.
Suma‘mur, P.K, M.Sc., Dr., 1987, Keselamatan Kerja
dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT.
Saksama.
Suma‘mur, P.K, M.Sc., Dr., 1988, Hiegene
Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : PT.
Saksama.
Sugiyono, Dr., Prof., 2011, Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Supardi, Adi, Perbedaan Administrasi Negara dan
Niaga, URL : http://adisupardi.blogspot.com, 23
Juli 2009.
Syartini, Titi, 2010, Laporan Penelitian : Penerapan
Sisitem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) Dalam Upaya Pencegahan
Kecelakaan Kerja di PT. Indofood CBP Sukses
Makmur Divisi Noodle Cabang Semarang.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Usman, Hardius dan Nachrowi, D, Nachrowi, 2006,
Pendekatan Popoler dan Praktis : Ekonometrika
Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta :
LPFE UI.
Widodo, Joko, MS., Dr., 2003, Bunga Rampai : Teori,
Konsep, dan Issue Strategik kontemporer
Administrasi Publik (Diktat Kuliah). Program
Studi Magister Administrasi (MA) Universitas
17 Agustus 1945 Surabaya.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 47
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Efektivitas Pelatihan Dalam Meningkatkan Kompetensi Tutor Tutorial Tatap Muka
Pada Universitas Terbuka (Kasus: Tutor Pada Universitas Terbuka
Di Provinsi Aceh)
Malta*)
*)
Dosen pada FMIPA Universitas Terbuka dpk. UPBJJ-UT Banda Aceh
ABSTRAK
Melalui pelatihan diharapkan kompetensi tutor dapat meningkat. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan sistem
pelatihan yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kompetensi tutor. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Sejaumanakah tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada
Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (2) Sejauhmanakah tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada
Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (3) Sejauhmanakah hubungan antara pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor
tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember
2010 pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Populasi penelitian adalah semua tutor tutorial tatap muka Universitas
Terbuka di provinsi Aceh tahun 2009 yang telah mendapatkan pelatihan, yaitu sebanyak 237 orang. Sampel penelitian
dipilih dari tutor pada daerah yang paling banyak terdapat tutor, yaitu Aceh Timur sebanyak 66 orang dan Aceh Tengah
sebanyak 13 orang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif korelasional. Untuk menguji hipotesis
yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat
efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh termasuk kategori rendah; (2)
tingkat kompetensi tutor termasuk kategori rendah; (3) Aspek-aspek pelatihan yang harus diperhatikan dalam upaya
meningkatkan kompetensi tutor adalah kesesuaian materi dengan kebutuhan tutor, strategi penyampaian oleh instruktur,
interaksi dengan peserta, dan penggunaan media.
Kata Kunci: efektivitas, pelatihan, kompetensi, dan tutor
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh
(PTTJJ) mempunyai karakteristik yang unik, yang
membedakannya dari perguruan tinggi tatap muka.
Perbedaan tersebut menyangkut berbagai aspek, satu di
antaranya adalah dalam sistem pembelajaran. Jika
perguruan tinggi tatap muka lebih menekankan
pembelajaran dalam bentuk tatap muka, maka sesuai
dengan hakikatnya, PTTJJ melakukan pembelajaran
dengan jarak jauh. Sistem pembelajaran jarak jauh
didukung oleh berbagai komponen, salah satu
diantaranya tutorial.
Tutorial merupakan salah satu komponen
penting dalam penyelenggaraan PTTJJ. Mahasiswa
yang belajar dengan sistem jarak jauh dituntut untuk
mampu mandiri dalam menyelesaikan segala masalah
belajar yang dihadapinya. Bahan-bahan tercetak berupa
modul serta surat-surat melalui media massa
merupakan teman akrab yang setia mendampingi
mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Namun, para mahasiswa ini tidak jarang menghadapi
kesepian dan kejenuhan, rasa terisolasi dan rasa
kesendirian yang kadang-kadang menurunkan
semangat belajar dan akhirnya mengarah kepada drop
out. Hasil berbagai penelitian yang berkaitan dengan
tingginya angka drop-out mengungkapkan bahwa
mahasiswa yang belajar dengan sistem jarak jauh
umumnya menghadapi dua jenis masalah, yaitu (1)
masalah yang berkaitan dengan pencapaian dan
pemerolehan kemampuan dan (2) masalah yang
berkaitan dengan motivasi belajar (Flinck & Flinck,
1990). Untuk mengatasi masalah ini PTTJJ
mengembangkan sarana komunikasi/interaksi dua arah,
yaitu antara mahasiswa dengan tutor/pengurus.
Interaksi/komunikasi tersebut pada umumnya
diwujudkan dalam bentuk tutorial.
Peran tutor sangat penting dalam pelaksanaan
tutorial. Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh
(PTTJJ) harus memiliki tenaga akademik dengan
kualifikasi dan kuantitas yang memadai untuk
mengembangkan dan mengelola program tutorial.
Kualifikasi dan kemampuan tutor perlu terus
ditingkatkan, sehingga setiap tutor mampu
menjalankan fungsinya secara optimal.
Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi
tutor adalah dengan mengadakan pelatihan bagi tutor.
Melalui pelatihan dapat ditingkatkan kompetensi dari
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Universitas
Terbuka di Provinsi Aceh telah melaksanakan
pelatihan dengan maksud meningkatkan kompetensi
tutor dalam mengembangkan dan mengelola program
tutorial; tetapi dalam kenyataannya kompetensi tutor
masih rendah (Mariana dkk, 2009).
Oleh karena itu perlu diupayakan
pengembangan sistem pelatihan dalam upaya
meningkatkan kompetensi tutor dalam
mengembangkan dan mengelola program tutorial.
Upaya-upaya dalam mengembangkan sistem pelatihan
tutor dapat dilakukan terlebih dahulu dengan
mengetahui sejauhmana tingkat efektivitas pelatihan
tutor yang pernah dilakukan dan mengkaji apa saja
aspek-aspek pelatihan yang berhubungan dengan
tingkat kompetensi tutor.
Seberapa efektif pelatihan dalam meningkatkan
kompetensi tutor dan apa saja aspek-aspek dalam
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 48
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
pelatihan yang berhubungan dengan tingkat
kompetensi tutor menjadi masalah menarik untuk
diteliti dan menjadi alasan penelitian ini.
Bertitik tolak dari latar belakang yang
dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: (1) Sejaumanakah tingkat
efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada
Universitas Terbuka di Provinsi Aceh?
(2) Sejauhmanakah tingkat kompetensi tutor tutorial
tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi
Aceh? (3) Sejauhmanakah hubungan antara pelatihan
dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka
pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh?
Berdasarkan rumusan masalah; tujuan penelitian
adalah: (1) Mengetahui tingkat efektivitas pelatihan
tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di
Provinsi Aceh. (2) Mengetahui tingkat kompetensi
tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di
Provinsi Aceh. (3) Mengetahui hubungan antara
pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap
muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh.
Tinjauan Pustaka
Efektivitas
Menurut Danfur (2009) efektivitas adalah suatu
ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai; semakin
besar presentase target yang dicapai, makin tinggi
efektivitasnya. Suatu program/kerja disebut efektif jika
pencapaian target output seharusnya > output realisasi,
yang diukur dengan cara membandingkan output
seharusnya dengan output realisasi.
Arifin (2009) mendefinisikan efektivitas adalah
melakukan hal yang benar pada saat yang tepat untuk
jangka waktu yang panjang. Efektivitas adalah sebagai
ukuran suksesnya organisasi, sebagai kemampuan
organisasi untuk mencapai segala keperluannya,
organisasi harus mampu menyusun dan
mengorganisasikan sumber daya untuk mencapai
tujuan.
Berdasarkan pengertian-pengertian efektivitas
tersebut, dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target
(kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai,
yang dijalankan dengan prosedur yang benar dengan
mengoptimalkan sumber daya yang ada, serta target
tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.
Pelatihan
Menurut Nitisemito (Kristina, 2009) pelatihan
adalah suatu kegiatan dari organisasi yang bermaksud
untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap,
tingkah laku, ketrampilan dan pengetahuan dari para
anggota organisasi yang sesuai dengan keinginan
organisasi yang bersangkutan. Menurut Simamora
(Kristina, 2009) pelatihan adalah proses sistematik
pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah
guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional.
Menurut Armstrong (Kristina, 2009) training is
a planned process to modify attitude, knowledge or
skill behavior through learning experience to achieve
effective peformance in an activity or of activities.
Pelatihan, dengan demikian, merupakan suatu usaha
untuk meningkatkan tanggung jawab mencapai tujuan
organisasi. Pelatihan merupakan proses keterampilan
kerja timbal balik yang bersifat membantu, oleh karena
itu dalam pelatihan seharusnya diciptakan di suatu
lingkungan dimana para karyawan dapat memperoleh
atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian,
pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan
dengan pekerjaan, sehingga dapat mendorong mereka
untuk dapat bekerja lebih baik supaya dihasilkan output
yang diharapkan.
Berdasarkan pendapat diatas mengenai tujuan
pelatihan maka dapat disimpulkan bahwa adanya
pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan
sesuai dengan kompetensinya, dapat menggunakan
keahliannya sesuai dengan perubahan teknologi,
karyawan akan lebih berorientasi pada pengembangan
organisasi, meningkatkan kinerja karyawan dan untuk
pengembangan karir, sehingga adanya pelatihan
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan pribadi
setiap karyawan.
Kompetensi
Syah (2002) menyatakan bahwa pengertian
dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan
atau kecakapan. Istilah kompetensi diartikan sebagai
―kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu
tugas‖ atau sebagai ―memiliki keterampilan yang
disyaratkan‖. Kata kompetensi dipilih untuk
menunjukkan tekanan pada ―kemampuan
mendemonstrasikan pengetahuan‖ (Suparno, 2001).
National Council of State Boards of Nursing
Inc., (Shellabear, 2002) menyatakan bahwa kompetensi
adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat
interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan
(psychomotor skills) yang diharapkan dalam
menjalankan suatu peran.
Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai
penerapan dari pengetahuan, kemampuan, dan
karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja
yang menonjol (Stone dan Beiber, 1997).
Menurut Spencer dan Spencer (1993),
kompetensi merupakan karakteristik mendasar
seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang
terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang
ditentukan dalam suatu pekerjaan atau suatu situasi
tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja
(hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang
beragam. Tingkat kompetensi seseorang, dengan
demikian dapat digunakan untuk memprediksi bahwa
seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan
cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir,
menyesuaikan dalam berbagai situasi, dan bertahan
lama dalam jangka panjang.
Kompetensi dalam penelitian ini adalah
kemampuan tutor dalam melaksanakan kegiatan
tutorial sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Tutorial
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997)
mendefinisikan tutorial sebagai:(1) pembimbingan
kelas oleh seorang pengajar (tutor) untuk seorang
mahasiswa atau sekelompok kecil mahasiswa, atau (2)
pengajaran tambahan melalui tutor. Sedangkan tutor
didefinisikan sebagai (1) orang yang memberi pelajaran
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 49
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kepada seseorang atau sejumlah kecil siswa ( di rumah,
bukan di sekolah), atau (2) dosen yang membimbing
sejumlah mahasiswa di pelajarannya.
Bertitik tolak dari definisi tersebut, dilihat dari
aktivitasnya, tutorial berarti mengajar orang lain atau
memberikan bantuan belajar kepada seseorang.
Bantuan belajar tersebut dapat diberikan oleh orang
yang lebih tua atau yang sebaya. Kegiatan tutorial
melibatkan orang yang mengajar/memberi bantuan
yang disebut tutor dan orang yang belajar atau yang
diberi bantuan belajar (tutee). Terdapat bahan/sumber
belajar di antara tutor dan tutee, yang merupakan
sumber ilmu yang dikaji oleh tutee bersama tutor.
Selanjutnya, di antara tutor dan tutee terjadi interaksi
atau komunikasi, dan inilah yang merupakan inti dari
tutorial.
Menurut Wardani (2000),pada Pendidikan
Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh (PTTJJ) sangat
diperlukan pengelolaan tutorial secara serius dan
berkesinambungan; diperlukan perencanaan yang
cermat dan evaluasi yang rutin untuk pengembangan
program tutorial.
Kerangka Berpikir
Penelitian ini ingin mengetahui tingkat
efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka
Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Efektivitas
pelatihan diduga berhubungan dengan tingkat
kompetensi tutor. Hubungan antar peubah penelitian
disajikan pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Berpikir Efektivitas Pelatihan
Tutor
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kerangka
berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis
penelitian adalah: terdapat hubungan antara efektivitas
pelatihan dengan kompetensi tutor tutorial tatap muka
Universitas Terbuka di Provinsi Aceh.
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua tutor tutorial
tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh tahun
2009 yang telah mendapatkan pelatihan, yaitu
sebanyak 237 orang. Sampel penelitian dipilih dari
tutor pada daerah yang paling banyak terdapat tutor,
yaitu Aceh Timur sebanyak 66 orang dan Aceh Tengah
sebanyak 13 orang.
Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak
dicapai, maka jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif korelasional yang dilaksanakan
untuk melihat hubungan antara peubah-peubah
penelitian dan menguji hipotesis yang telah
dirumuskan sebelumnya. Penelitian terdiri dari peubah
bebas yaitu efektivitas pelatihan (X); dan peubah
terikat yaitu kompetensi tutor (Y).
Untuk mengetahui adanya hubungan dilakukan
uji statistik menggunakan korelasi Rank Spearman dan
untuk menjelaskan substansi hasil uji statistik
digunakan pendekatan kualitatif.
Definisi Operasional
Definisi operasional dalam kegiatan penelitian
ditetapkan untuk mencegah terjadinya kesalahan arah
terhadap konsep yang telah ditetapkan, dengan
demikian pengukuran terhadap peubah dapat dilakukan
secara jelas dan terukur. Definisi operasional dalam
penelitian ini adalah:
Efektivitas Pelatihan Tutor (X)
1. Materi (X1) adalah tingkat kecukupan dan
kesesuaian materi pelatihan.
2. Waktu (X2) adalah tingkat kecukupan jumlah jam
pelatihan.
3. Instruktur (X3) adalah tingkat kualitas instruktur
pelatihan.
Kompetensi Tutor (Y)
Kompetensi Tutor adalah tingkat pemahaman
dan penerapan responden terhadap konsep tutorial,
Rancangan Aktivitas Tutorial (RAT) / Satuan Aktivitas
Tutorial (SAT), dan model-model tutorial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Pelatihan Tutor
Indikator efektivitas pelatihan tutor yang diukur
dalam penelitian ini adalah: (1) materi, (2) waktu,
dan (3) instruktur. Deskripsi selengkapnya, disajikan
pada Tabel 1.
Materi
Peubah materi yang diukur dalam penelitian ini
adalah cakupan materi, sistematika penyajian materi,
manfaat materi yang dirasakan oleh tutor, dan
kemutakhiran materi.
Tabel 1. Deskripsi Efektivitas Pelatihan Tutor
No Efektivitas Pelatihan
(X)
Kategori Persen
1 Materi Rendah
Sedang
Tinggi
41,8
44,3
13,9
2 Waktu Rendah
Sedang
Tinggi
49,4
25,3
25,3
3 Instruktur Rendah
Sedang
Tinggi
41,8
26,6
31,6
Keterangan: n = 79
Karakteristik
Tutor
Pelatihan
(X)
Kompetensi
Tutor
(Y)
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 50
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Cakupan materi pelatihan diberikan berdasarkan
arahan materi yang telah ditetapkan Pusat
Pengembangan Instruksional Universitas Terbuka
(PPI-UT), meliputi: Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ),
Peta Konsep, Perencanaan Tutorial, Pengembangan
Model Tutorial, Pelaksanaan Tutorial, Pemberian dan
Penilaian Tugas, Pengembangan Bahan Presentasi, dan
Pemanfaatan Sumber Belajar. Persentase tutor yang
merasa puas dengan cakupan materi yang diberikan
pada pelaksanaan pelatihan adalah 58,2 %.. Tutor yang
merasa puas menyebutkan bahwa materi yang
disampaikan sudah runut melingkupi sistem
pembelajaran di UT yang harus dipahami tutor serta
konsep/praktek tutorial yang ideal. Sedangkan tutor
yang merasa kurang puas dengan cakupan materi,
menyebutkan bahwa materi yang disampaikan belum
mengakomodir konsep tutorial yang sesuai dengan
karakteristik mahasiswa UT yang sebagian besar
berusia di atas usia ideal peserta didik pendidikan strata
satu.
Sistematika penyajian materi memperhatikan
prinsip alur: sederhana ke rumit dan sedikit ke banyak.
Pada saat pelatihan, pemberian materi didahului
dengan konsep dan kemudian diikuti contoh. Sebagian
besar (62,3 %) tutor merasa puas dengan sistematika
penyajian materi dan menyebutkan bahwa sistematika
yang disajikan dalam pelatihan, memudahkan untuk
memahami materi. Tutor yang merasa kurang puas
dengan sistematika penyajian materi, menyebutkan
bahwa penyajian materi tidak dilakukan secara
konsisten, terkadang dimulai dengan konsep tetapi
sering juga penyajian materi belum dijelaskan
konsepnya tetapi sudah langsung dimulai dengan
pemecahan kasus oleh peserta pelatihan.
Lima puluh sembilan persen tutor menyebutkan
bahwa materi pelatihan bermanfaat dan relevan dengan
kebutuhan sebagai tutor dalam pelaksanaan tutorial
tatap muka. Tutor menyebutkan bahwa materi
pelatihan menambah wawasan tentang bagaimana
hakekat sesungguhnya konsep pendidikan jarak jauh
yang merupakan ‗jiwa‘ pelaksanaan tutorial.
Semua pokok bahasan utama materi berdasarkan
arahan materi dari PPI-UT, yang selalu up to date dan
berdasarkan masukan pustaka mutakhir. Delapan puluh
dua persen tutor mengakui kemutakhiran materi yang
disajikan pada pelatihan tutor.
Waktu
Peubah waktu yang diukur dalam penelitian ini
adalah tingkat kecukupan jumlah jam pelatihan. Total
jumlah jam pelatihan adalah 40 jam pelatihan dan satu
jam pelatihan setara dengan 45 menit.
Empat puluh sembilan persen tutor
menyebutkan bahwa jumlah jam pelatihan tidak cukup,
mengingat banyaknya materi yang disajikan pada saat
pelatihan. MenurutWoolfolk (1993) tidak ada
ketentuan baku jumlah jam untuk suatu pelatihan,
penentuan jumlah jam pelatihan disesuaikan dengan
karakteristik peserta, kerumitan materi, dan tujuan
yang ingin dicapai; namun penelitian Iskandar (2008)
menemukan bahwa jumlah jam pelatihan di bawah 100
jam tidak signifikan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik yang berada pada level pemula. Tutor
tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi
Aceh Aceh termasuk pada level pemula dalam hal
pemahaman tentang konsep tutorial, walaupun telah
bertahun-tahun melakukan kegiatan tutorial tetapi
masih ‗konsisten‘ dengan cara-cara belajar pada
perkuliahan tatap muka.
Instruktur
Peubah instruktur yang diukur dalam penelitian
ini adalah strategi penyampaian oleh instruktur, rasio
latihan/praktek dengan teori, interaksi dengan peserta,
dan penggunaan media.
Strategi penyampaian materi oleh instruktur
disesuaikan dengan tujuan pelatihan dan karakteristik
peserta pelatihan. Salah satu tujuan pelatihan adalah
mengupayakan para tutor supaya mampu menerapkan
konsep pelaksanaan tutorial, sehingga instruktur ketika
menyampaikan materi secara langsung
mempraktekkan/ menggunakan konsep tutorial supaya
peserta dapat memahami konsep yang dimaksud seperti
membagi para peserta pelatihan dalam beberapa
kelompok diskusi (diskusi kelompok adalah salah satu
model dalam tutorial).
Disamping itu, strategi penyampaian juga
menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa.
Peserta pelatihan terdiri dari orang dewasa sehingga
strategi penyampaian materi oleh instruktur
mengadopsi sistem pendidikan orang dewasa yang
berorientasi kebutuhan peserta didik bukan berorientasi
subject matter. Enam puluh sembilan persen tutor
peserta pelatihan menyatakan puas terhadap strategi
penyampaian materi oleh instruktur.
Rasio teori dengan latihan/praktek pada saat
pelatihan tutor berkisar 60:40. Instruktur
menyampaikan teori terlalu lama dan latihan di
kertas/bahan kerja tentang hal yang sudah dijelaskan
hanya sedikit, di akhir sesi. Banyaknya materi yang
akan disampaikan dan sedikitnya waktu menjadi
kendala untuk membuat rasio yang proporsional/ideal.
Sembilan puluh empat persen tutor peserta
pelatihan menyatakan kurang dan tidak puas dengan
rasio antara penyampaian teori dengan latihan/praktek
dan mengusulkan supaya dijadwalkan waktu yang
cukup untuk latihan/praktek dalam pelaksanaan
pelatihan tutor, supaya dapat dipahami dengan baik
setiap item materi pelatihan.
Interaksi instruktur dengan peserta pelatihan
tutor sangat intens. Susunan kursi dan meja diruangan
pelatihan dibuat sedemikian rupa sehingga peserta
dengan mudah dapat berinteraksi dengan instruktur,
peserta tidak merasa sebagai murid yang sedang diajari
oleh guru tetapi instruktur adalah sebagai fasilitator
untuk membantu peserta dalam proses pembelajaran.
Instruktur menerapkan konsep diskusi dalam
penyampaian materi dan tidak seperti ceret yang
menuangkan air ke dalam gelas. Lima puluh delapan
persen peserta pelatihan merasa puas dengan tingkat
interaksi antara instruktur dan peserta.
Instruktur masih kurang dari sisi penggunaan
media dalam kegiatan pelatihan tutor. Beberapa pokok
bahasan menggunakan power point, tetapi tidak semua
materi secara keseluruhan. Padahal media, seperti:
tampilan CD interaktif, tampilan tiga dimensi, adalah
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 51
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
salah satu alat untuk mendukung proses pembelajaran
kepada peserta didik dapat berlangsung secara efektif.
Delapan puluh tujuh persen tutor peserta pelatihan
tidak/kurang puas terhadap penggunaan media oleh
instruktur dalam kegiatan pelatihan tutor.
Kompetensi Tutor
Kompetensi Tutor yang diukur dalam penelitian
ini adalah tingkat pemahaman dan penerapan tutor
terhadap konsep tutorial, RAT/SAT, dan model-model
tutorial. Sebagian besar tutor (45,6 %) yang telah
mendapatkan pelatihan tidak memahami konsep
tutorial/model-model tutorial, tidak memahami
RAT/SAT secara komprehensif, tidak menerapkan
konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial serta tidak
menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial.
Lebih dari 40 % tutor yang telah mendapatkan
pelatihan kurang memahami konsep tutorial/model-
model tutorial dan RAT/SAT, tidak konsisten
menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan
tutorial. Hanya 13,9 % dari tutor yang telah
mendapatkan pelatihan yang memahami dengan baik
konsep tutorial/model-model tutorial, RAT/SAT dan
menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial
serta menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial.
Korelasi Pelatihan dengan Kompetensi Tutor
Tutorial Tatap Muka Universitas Terbuka di
Provinsi Aceh
Terdapat sembilan sub peubah yang digunakan
dalam penelitian ini untuk melihat korelasi pelatihan
dengan kompetensi tutor Universitas Terbuka di
Provinsi Aceh. Sembilan peubah yang dimaksud
adalah: cakupan materi, sistematika penyajian materi,
manfaat materi yang dirasakan oleh tutor,
kemutakhiran materi, waktu, strategi penyampaian oleh
instruktur, rasio latihan/praktek dengan teori, interaksi
dengan peserta, dan penggunaan media. Korelasi sub
peubah pelatihan dengan kompetensi tutor tutorial tatap
muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh, disajikan
pada Tabel 2.
Manfaat materi yang dirasakan oleh tutor
berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi =
0,939) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya
semakin bermanfaat materi pelatihan bagi tutor maka
semakin tinggi tingkat kompetensi tutor. Hal ini sejalan
dengan pendapat Rogers (1995) yang menyebutkan
bahwa materi ajar/pelatihan harus punya relevansi
dengan kebutuhan klien.
Tabel 2. Korelasi Pelatihan dengan Kompetensi Tutor
No Sub Peubah Koefisien
korelasi
1 Cakupan materi 0,055
2 Sistematika penyajian materi 0,037
3 Manfaat materi yang dirasakan oleh
tutor 0,939 **
4 Kemutakhiran materi 0,212
5 Waktu 0,092
6 Strategi penyampaian oleh instruktur 0,765 **
7 Rasio latihan/praktek dengan teori 0,334
8 Interaksi dengan peserta 0,865 **
9 Penggunaan media 0,431 **
Keterangan tabel:
n = 79
** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
Tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di
Provinsi Aceh punya latar belakang dan pengalaman
dalam pendidikan sistem tatap muka, sehingga dalam
melakukan kegiatan tutorial sistem pembelajaran yang
dilakukan mengikut kepada sistem belajar tatap muka.
Pelatihan tutor yang dilakukan dengan pemaparan
tentang materi sistem belajar jarak jauh dan konsep
tutorial, telah membuka wawasan tutor dan mengubah
sistem pembelajaran yang dilakukan pada kegiatan
tutorial mengikut kepada konsep pendidikan jarak jauh.
Strategi penyampaian oleh instruktur
berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi =
0,765) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya
semakin baik strategi penyampaian oleh instruktur
dalam pelatihan tutor maka semakin tinggi tingkat
kompetensi tutor. Pada pelaksanaan pelatihan tutor,
instruktur dalam menyampaikan materi pelatihan
memperhatikan aspek karakteristik peserta pelatihan
dan berorientasi kepada peserta sebagai subjek. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa instruktur harus
punya inovasi dalam menyampaikan materi kepada
peserta pelatihan supaya tujuan pelatihan dapat dicapai
secara optimal serta Universitas Terbuka harus
berupaya untuk mengembangkan kompetensi instruktur
supaya kreatif dalam menemukan inovasi dalam
pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Winkel
(1986) yang menyebutkan bahwa inovasi dalam sistem
pembelajaran adalah bagian dari strategi dalam proses
belajar mengajar yang akan menentukan hasil belajar.
Interaksi dengan peserta berhubungan positif
sangat nyata (koefisien korelasi = 0,865) dengan
tingkat kompetensi tutor, artinya semakin tinggi tingkat
interaksi instruktur dengan peserta dalam pelatihan
tutor maka semakin meningkat kompetensi tutor.
Melalui interaksi, peserta pelatihan dapat menyatakan
secara eksplisit materi yang belum dimengerti atau
segala sesuatu yang menjadi kendala dalam penerapan
konsep tutorial selama ini dan melalui interaksi juga,
instruktur dapat mengetahui apa yang menjadi
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 52
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
masalah/kebutuhan tutor dalam pelaksanaan tutorial
sehingga hal tersebut dapat didiskusikan. Hasil
penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian oleh
Ningkeula (2008) bahwa faktor interaksi selama
pelatihan mempengaruhi hasil belajar peserta pelatihan.
Penggunaan media berhubungan positif sangat
nyata (koefisien korelasi = 0,431) dengan tingkat
kompetensi tutor, artinya semakin tinggi tingkat
penggunaan media dalam pelatihan tutor menjadikan
kompetensi tutor makin tinggi. Media merupakan salah
satu alat bantu dalam proses pembelajaran, melalui
media dapat diberikan ilustrasi dan penjelasan
tambahan. Media juga dapat menambah daya tarik dan
semangat peserta untuk mencermati materi pelatihan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hasibuan (1994) yang
menyatakan bahwa tingkat kesulitan materi bahan ajar
dapat diminimalkan dengan bantuan media yang
interaktif. Hal penelitian ini menunjukkan bahwa
instruktur bersama Universitas Terbuka harus
merancang suatu media pendukung/tambahan dalam
kegiatan pelatihan tutor, dan tidak hanya
mengandalkan power point versi teks.
KESIMPULAN / REKOMENDASI
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Tingkat
efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka
Universitas Terbuka di Provinsi Aceh termasuk
kategori rendah, pelatihan yang dilakukan belum secara
signifikan dapat meningkatkan kompetensi tutor. (2)
Tingkat kompetensi tutor termasuk kategori rendah,
sebagian besar (86,1 %) tutor yang telah mendapatkan
pelatihan kurang memahami konsep tutorial/model-
model tutorial, kurang memahami RAT/SAT secara
komprehensif, dan belum menerapkan konsep tutorial
secara total dalam pelaksanaan tutorial serta belum
menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial secara
konsisten. (3) Aspek-aspek pelatihan yang harus
diperhatikan dalam upaya meningkatkan kompetensi
tutor adalah kesesuaian materi dengan kebutuhan tutor,
strategi penyampaian oleh instruktur, interaksi dengan
peserta, dan penggunaan media.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan,
disarankan beberapa hal sebagai berikut: (1) Materi
pelatihan harus dikembangkan dengan contoh-contoh
yang aktual dan mutakhir dan tidak hanya
mengandalkan materi pokok dari Pusat Pengembangan
Instruksional Universitas Terbuka. (2) Universitas
Terbuka sebaiknya secara konsisten dan berkala selalu
mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik instruktur pelatihan tutor. (3) Pelatihan
seyogyanya berorientasi klien/peserta didik sebagai
subjek dan bukan berorientasi subject matter.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. (2009). Efektivitas Usaha Anggota Koperasi
yang Peduli Lingkungan.
http://www.smecda.com.
Balai Pustaka. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta.
Danfur. (2009). Definisi Efektivitas.
http://dansite.wordpress.com.
Flinck, R. & Flinck, A. W. (1990). Handbook for
Tutor.Colombo: Department of Distance
Education.
Hasibuan, S. (1994). Kebutuhan Pelatihan dan
Beberapa Aspek Makro Pelatihan,
Permasalahan Ekonomi, 540, 10.
Iskandar S. (2008). Hubungan Pendidikan dan
Pelatihan Terhadap Kompetensi Pegawai Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota
Lhokseumawe. Jurnal Studi Pembangunan
USU. http://repository.usu.ac.id.
Kristina, N.N. (2009). Mengembangkan Program
Pelatihan. http://simkesugm06. wordpress.com.
Mariana, dkk. (2009). Kompetensi Tutor
Melaksanakan Tutorial Tatap Muka Pada
Program S1 PGSD di UPBJJ-UT Banda Aceh.
Laporan Hasil Penelitian.
Ningkeula, I. (2008). Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan
dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap
Peserta Pelatihan Pada Balai Pelatihan dan
Pengembangan KB Surabaya, Jurnal Personnel
Management. http://garuda.dikti.go.id.
Rogers, E.M. (1995). Diffusion of Innovations. New
York: The Free Press.
Shellabear, S. (2002). Competency Profiling:
Definition and Implementation [abstrak].
Training Journal. August 2002.
Spencer, L.M dan Spencer S.M. (1993). Competence at
Work: Models for Superior Performance. New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Stone, B.B dan Bieber S. (1997). Competencies: A
New Language for Our Work. Journal of
Extension 35 (1).
http://www.joe.org/joe/1997february/iwl.sht.ml.
Suparno, S. (2001). Membangun Kompetensi Belajar.
Jakarta: Depdiknas.
Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Wardani, IGAK. (2000). Program Tutorial dalam
Sistem Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak
Jauh. Jurnal PTJJ, 1(2), 41-52.
Winkel, W.S. (1986). Psikologi Pengajaran. Jakarta:
Penerbit PT. Gramedia.
Woolfolk, W.S. (1993). Educational Psychology.
Needham Heigts, Boston, MA: Pearson
Education Inc., dan Allyn and Bacon
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 53
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Homeschooling: Another Perspective In Global Education
Uzlifatul Masruroh Isnawati *) [email protected]
Islamic University of Lamongan
Abstract
Regarding the flaw and the criticism towards formal schools, due to the different
learners‘ need, different views on school policy, or even the questions about the facts
on how schools are no longer ―comfort zone‖ place for children.Thus the idea of
home schooling is worth to consider. Instead going to a regular school, parents were
home schooled their children regarding the benefits they take into account.
Considering the learners and parents preference, home schooling is worth to consider
as an alternative choice in educational ―market‖ and policy in our country. It is
important to see this paradigm objectively and proportionally as the education takes
role in this globalization era.
A. Brief History
According to Wikipedia, the free encyclopedia,
homeschooling , also called home education, home
learning , or homeshool is the education of children at
home, typically by parents or professional tutors, rather
than in a public or private school. Home schooling may
also refer to instruction in the home under the
supervision of correspondence schools or umbrella
schools. Although prior to the introduction of of
compulsory school attendance laws, most childhood
education occured within the family or community,
home schooling in the modern sense is an alternative
in developed countries to formal education.
Historically, this education model became a hot
issue in 1964 when John Caldwell Holt, an American
educator published a book entitled ― How children
failed which criticized traditional schools. The book was
based on a theory he had developed as a teacher—that
the academic failure of school children was caused by
pressure placed on children in schools. Holt began
making appearances on Major TV talk shows and
writing book for Life Magazine. In his follo-up work,
How children learn , in 1967, he tried to demonstrate the
learning process of children and why he believed school
short circuits this process.
They asserted that formal school before ages 8-
12 not only lacked of the anticipated effectiveness, but
was actually harmful for children. The Moores began to
publish their view that formal schooling was damaging
young children academically, socially, mentally, and
even psysiologically. They presented evidence that
childhood problem or disorder such as juvenile
delinquency, nearsightedness increased enrollment of
students in special education classes and behavioral
problems were the result of increasingly enrollment of
the students. Further, the Moores cited studies
demonstrating that orphans who were given surrogate
mothers were measurably more intelligent , with
superior long term effect—eventhough the mothers
were mentally retarded teenagers—and that illiterate
tribal mothers in Africa produced children who were
socially and emotionally more advanced than typical
western children, by western standards of
measurements.
The primary assertion was the bound and
emotional development made at home with parents
during these years produced critical long term results
that were cut short by enrollment in schools, and could
neither be replaced nor afterward corrected in an
institutional setting. Recognizing a necessity for early
out-of-home care for some children particularly special
needs and attrractively impoverished children, and
children from exceptionally inferior homes—they
maintained that the vast majority of children are far
better situated at home – even with mediocre parents –
than with the most gifted and motivated teachers in a
school setting (assuming that the child has a gifted and
motivated teacher). They described the difference as
follows: ― This is like saying, if you can help a child by
taking him off the cold street and housing him in a
warm tent, then warm tents should be provided for all
children – when obviously most children already have
even more secure housing‖.
B. Home schooling in Indonesia
The development of home schooling in Indonesia
has not been known precisely since there is no research
regarding this specifically . The term home schooling is,
thus a relatively new in Indonesia. However, home
schooling will no longer be a new program if it is is
viewed as a concept as of learning process taking place
out of formal school. It is due to the very fact, that
according to Dr. Seto Mulyadi, some famous historical
figures Ki Hajar Dewantara and Buya Hamka practiced
and experienced this education model. Meanwhile
another world-wide figure experienced homeschooling
is Thomas Alfa Edison and Bill Gates.
In addition, we probably also familiar with the
terms long distance learning like e-learning, or SMU or
open University (universitas terbuka), Ppendidikan
Kejar (Kelompok Belajar) Paket A dan Paket B can also
be classified into home schooling. Basically home
schooling is an alternative education which emphasizes
flexible curricullum in teaching (Kompas, 29/8/2005)
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 54
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
In line with those figures, Helen Ongko (50), a
mother who home schooled her child. She even had to
travel to Singapore and Malaysia attending seminars on
home schooling. ―we were facing economic srisis at that
time, so we had much time at home. It seemed to be
enjoyable teaching and studying together with the
children, ― explained Helen who started teaching her
kids in 2000 ( Kompas, 13/3/2005).
Meanwhile, Danang Sasongko, the Secretary
General of Homeschooling Association and Alternative
Education (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan
Alternatif or Asah Pena) says that unlike in some
developed countries , home schooling is relatively a
new trend in Indonesia. He further explains that there
are three types home schooling (henceforth HS). First,
single homeschooling (HS tunggal). It is initiated by a
single family and carried it at home. Secondly,
compound homeschooling (HS majemuk) which
comprises two families. The last is community
homeschooling (HS Komunitas). This community
model is created using tutorial teaching method. Kak
Seto and Neno Warisman are two out of some people
establishing and chairing this type of homeschooling.
Accordingly, based on articel 7 of the Indonesian
Education law (Undang-undang No. 20/2003) gives
parents the right to select how to educate their children.
In May 2007 the Department of Education published a
manual detailing the requirements for home schooling.
The manual suggests home schools to register and
require testing at certain levels, but currently there is no
enforcement of these requirements. Home schoolers are
not automatically awarded high school diplomas, so to
passing into university may be difficult.
In other words, in national education, based on
section 1 of national education system act of 2003, the
department of national education categorizes home
schooling as informal education. Although government
does not set up the content standard and the process of
informal education, the output and outcome are equal to
that of formal education (formal school) and non-formal
after the learners pass the final-exam using national
standard (section 27, chapter 2).
C. Benefits and Drawbacks of Home schooling
Regarding of its controversy, home schooling
has shown some benefits for the learners. In terms of
parents‘ concern, it is obvious that parents assurely
observe how the the child learns and progresses at any
subject matter they learn. Children who learn quickly
will not be held back just because the rest of the class
does not progress as fast as they do. A child who has
problem keeping up with a class that go beyond other
students will not be put under pressure of falling behind
or feeling undesired for holding the rest of the class
back. In a conventional classroom, a child might have
to wait days or even a week grades and feedback on
projects, test papers, assignments, and many more.
Home schooling offers child‘s immediate feedback so
they know which one is appropriate or not. Immediate
feedback is one of the advantages of homeschooling
which makes learning becomes more effective.
Further, parents are more confortable and focus
on the child‘s learning. Through home schooling , thus
they are able to focus on the educational subjects that
are more beneficial to their child‘s knowledge and
future prospect. Knowing that their children in safe and
comfort environment, parents do not have reasons to
show their anxiety about the negative and unfavourable
environment on their children such as verbal
agressiveness.
Since more than 1 million kids who are educated
at home know that it has a long going for it, students
who are home schooled may benefit from the one-one
attention. For instance, if you don‘t understand
something in math, the whole class won‘t be moving on
without you – you might be the whole class ! and if you
really excell at something , you can keep learning more
at your own pace.
Students who are homeschooled also may get out
in their communities more than other kids their age.
They may get to experience hands-on education at
museums, libraries, business, marinas, and other
community resources. They also might volunteer or
participate in ―service learning‖ where they take on
local projects.
Home schooling gives students lots of
advantages – such as more flexibility than local schools
to focus on specific subjects needed for a future career.
So, if one attends local school and know or have a
chance to meet a home-schooled student, children can
learn a lot from each other.
However, home schooling is not as simple as
sitting down with mom or dad and opening whichever
book you feel like. Laws, regulation, and requirements
vary across different countries, and it‘s up to home
schoolers to comply with local regulations. So, home
schooling can be a lot of works for parents; They need
to know what the law requires them to teach, resrach
sources on those subject (and learn more about the
subjects if there are gaps in their knowledge), and then
do the actual teaching.
It‘s not just the parents who need to do more
work when it comes to home schooling: often the
students do too. As home-schooled kids become teens
and old enough to guide their learning, they may be left
more on their own to find resources and find resources
and do their own research. (it may be challenging at the
time, but working independently like this can put home-
schooled kids ahead of the game when it comes to
preparing for their upper level of education or in college
life).
A kid who‘s home schooled may not have the
convenience of some school facilities, such as a
gymnasium, science lab, or art studio. These may be
less important for little kids, who can do their science
projects in the kitchen or have art class outdoors. But
when it comes to teaching teens, home-schooling
parents may need to find a way around such limitations.
Some parents who home school their kids form groups
so their students can join together for art classes or
group learning activities, like field trips. And some
public schools let home-schooled kids participate in
certain classes or extracurricullar activities. Sharing
lesson time can be good for home-schooled students for
another reason: It provides social interaction that they
might not have if they‘re not part of class.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 55
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
D. Notabled Home schooled Individuals
Regardless the drawbacks of home schooling
might bring about, numerous historical and public
figures were home-eduvated. They are, Abraham
Lincoln (1808-1865) the 16th president of United
States, received very little schooling, but was an avid
reader and taught himself how to read, write, and do
arithematics. Andrew Wyeth (1917) an American realist
painter was taken out of school at vey young age
because of illness; he then received an art education
from his parents. Bode Miller (1977), an American
alpine skier, was home-schooled by his parents until he
was ten. Che Guevara (1928), left-wing guerrilla leader
in Cuba, Africa, and Bolivia and prison commandant
and national bank president in cuba, born in Argentina,
was educated at home mainly by his mother, until the
age of 13.
E. Some Points to Ponder
There at least three important points to consider
about home schooling. First, students‘ social
development although one-one instruction greatly
contribute on students, but some potential probles might
appear. Parents concern for what skills being taught or
exposed in school setting. They assurely the children
learn value which meet to their perspective, but not
other. Some experts regard this kind of protection as
unrealistic and potentially harmful to the child.
Due to the fact that children grow up in the real
world—a world made up of the diversity views oxposed
by different people. Interaction with peers from diverse
background prepare the students how to communicate
and to survive with his/her capacity. On the other hand,
formal schools allow the students to do so. In fact,
formal schools allow young people to learn to navigate
the sometimes-troubled water which caused by the
social diversity.
Meanwhile many experts also believe that the
ability to interact with people outside the family circle is
necessary for success and happiness in life. Students
naturally gain interactive skill in the classroom,
playgrounds, and cafetaria of formal schools did. Unless
parents whom home schooling their kids make
significance efforts to create social situations for
interaction with children outside the family, therefore
parents run the risk of stunting their children‘s
development of the social skill necessary towards the
complex society.
Secondly, due to the sustainability of continuing the
study. Home schooling results on better students‘
academic performance. It is gained from one-one
attention. Besides, many parents who promote home
schooling have teaching preparation or experience.
Nevertheless, students might face difficulties in
their future education endeavors if home schooling is
not aligned with formal school curricullum. Home
schooled students sometimes returned to their former
formal school settings, and many of these students plan
to attend the college or university level. Preparing for
college admission is a significant chore that you should
take into account when you consider home schooling.
This risk should be recognized by the parents to
anticipate.
And the third is about the social concerns. In a
broad sense, home schooling may reduce the democratic
value. As we can see that democratic requires harmony
within the diverse society. In short, people have to know
how to deal with others who might be different from
them. When learning takes place in isolation, early
learners do not experience. The democratic environment
will work only if the cooperative and team working run
and remain the differences. Peer engagement allows
favourable democratic life.
F. Conclusion and Recommendation
Several valid arguments support homeschooling
under the ideal circumtances. Learning at home allos
one-on-one instruction that is not possibly happened at
formal schools. Although professional educators devote
their careers to their students, they can not equally meet
to the kind of unconditional commitmtnt to long-term
development of a child provided by most parents. Those
who are willing to invest the great personal effort on
their children‘s education can be adequately effective in
homeschooling their children.
Regardless on homeshooling controversy, one
thing for sure—homeschooling is not for everyone. It is
a matter of choice and ―taste‖ for parents. It also
requires personal commitment between both parents and
the children as the learners. And when the commitment
is made, the society remains expects that it is including
a commitment to teach the students live in a bigger
world. For parents who choose home shcooling their
children, they are to provide opportunity for the students
to have social interaction for their children.
References:
Brown, J. Home Schooling: Its
Advantageswww.homeschoolingcatalog.com
accessed on February,10, 2013
Houston, P.D. 2008 Should you Homeschool Your
Child? Microsoft Corporation: Microsoft ®
Encharta ®
http:/en. Wikipidia .org/wiki/hpmeschooling#colomn-
one#
http:/www.perspectifbaru.com/wawancara/570
Kompas Cyber media, 29/9/2005. Rumah kelasku, dunia
sekolahku
Quinn. S. 2008. The Common Advantages of Home
schooling.www.associatedco
ntent.com/user/16759/styephnie-quinn.html,
accessed on March, 24, 2013.
Simbolon, P.S. 2007. Home schooling: Sebuah
Pendidikan Alternatif. http:/pormadi
.wordpress.com/author/pormadi, accessed on
April, 15, 2013
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 56
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Pembinaan Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Teoretis Dan Praktis
Fathurrahman*)
*) Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan
Email : [email protected]
Abstrak
Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai
profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan
tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru.
Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru
profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses
dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat
dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran
Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah
memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah
tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi
guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3)
kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian.
Kata Kunci : Pembinaan profesionalisme guru, teoriti dan praktis
A. Pendahuluan
Termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
pendidikan diselenggarakan dengan tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
nasional tersebut perlu keterlibatan berbagai komponen
pemangku kepentingan (stakeholder) dan berbagai
upaya implementasinya. Hal tersebut dilakukan agar
pengembangan pendidikan, khususnya di sekolah dapat
dilakukan dengan baik dan optimal sehingga
memberikan peluang yang sangat besar untuk
keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan.
Komponen yang paling penting dalam upaya
pencapaian tujuan pendidikan adalah pendidik dan
tenaga kependidikan utamanya guru sebagai pendidik.
Komponen ini dianggap paling penting karena
merupakan ujung tombak pelaksanaan suatu program
pendidikan yang dilakukan pada kegiatan pembelajaran
di kelas. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya kualitas guru
sangat mempengaruhi tinggi rendahnya keberhasilan
tujuan pembelajaran. Artinya bahwa suatu kegiatan
pembelajaran akan berjalan dengan baik dan optimal
untuk mencapai tujuan yang diharapkan jika guru
memiliki kompetensi dan performansi pada bidang yang
diajarkannya. Sebaliknya, kegiatan pembelajaran tidak
akan berhasil dengan baik jika guru tidak memiliki
kompetensi dan performansi untuk mengelola
pembelajaran secara baik dan benar.
Di antara kompetensi yang diharapkan dikuasai
oleh seorang guru menurut Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah kompetensi
pedagogik. Kompetensi pedagogik salah satunya adalah
dalam hal melaksanakan pembelajaran sesuai
kurikulum.Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Guru harus memiliki kualifikasi akademik
minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV),
menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial
dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga
profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa
profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi.Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk
selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Permasalahannya adalah apakah konsepsi
teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada
guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas
praksis di ruang-ruang pembelajaran?
Tulisan ini akan mengkaji dari perspektif teoretis
dan praksis mengenai profesionalisme guru dengan
tujuan: 1) Menelaah perspektif teoretis peningkatan
profesionalisme guru, 2) Merumuskan strategi
pembinaan dan pemberdayaan profesionalisme guru
dalam perspektif praksis, dan 3) Praksis pembinaan dan
pengembangan profesional guru melalui supervisi.
Rumusan tujuan tersebut dalam rangka sinkronisasi
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 57
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
pembinaan profesionalitas guru antara perspektif
teoretis dan praksis sebagai upaya mewujudkan
profesionalisme guru.
B. Peningkatan Profesionalisme Guru dalam
Perspektif Teoritis
Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia
semakin dituntut untuk memenuhi terwujudnya
profesionalisme dan kebutuhan global. Tuntutan ini
menjadi sangat berat ketika kita melihat kondisi
pendidikan Indonesia saat ini. Rendahnya kualitas
pendidikan tersebut sebagai akibat dari kualifikasi dan
kompetensi tenaga pendidik yang masih rendah pula.
Keadaan seperti ini masih berlangsung paling tidak
sampai saat ini, data yang menyedihkan berdasar hasil
the Trends in International Mathematics and Science
Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading
Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang
diselenggarakan the International Association for the
Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan
dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya
membangunkan kita semua, termasuk para pengambil
kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan
dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani
dengan tepat.
Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa
Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca
sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati
urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan
rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan
ratarata 406. Tingkat Penalaran TIMSS, yang
diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk
menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi
ajar (konten) dan proses berpikir siswa.Assessment kelas
delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar,
geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi
biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir
yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri
dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan),
dan reasoning (bernalar).
Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian
siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan
mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low
international benchmark (400),intermediate
benchmark (475), high international benchmark (550),
dan advanced international benchmark (625).
Hasil TIMSS 2011 untuk matematika
menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang
mencapaiadvanced international benchmark, 2% siswa
mencapai high international benchmark (turun dari 4%
di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun
dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international
benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian,
57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil
mencapai low international benchmark, yang
menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa
baru sampai pada tahap menyelesaikan masalah-
masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang
telah biasa digunakan.Tingkat pencapaian tertinggi,
yaitu advanced international benchmark, antara lain,
meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari
berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan
melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalah-
masalah yang membutuhkan beberapa tahapan
penyelesaian.
Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai
advanced international benchmark, 3% siswa
mencapai high international benchmark (turun dari 4%
di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun
dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international
benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46%
siswa belum berhasil mencapai kategori terendah
tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan
fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan
menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi
tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-
pengetahuan dasar ke dalam situasi nyata.
Advanced international benchmark, antara lain,
menggambarkan kemampuan siswa dalam
mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan
kompleks di bidang sains serta mengombinasikan
informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan
masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.Pencapaian
siswa kelas empat dalam membaca relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan pencapaian siswa kelas delapan
dalam matematika dan sains. Tidak ada siswa kita yang
mencapai advanced international benchmark, 4%
mencapai high international benchmark (naik dari 2%
di 2006), 28% mencapai intermediate bench mark (naik
dari 19% di 2006), dan 66% mencapai low international
benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa
masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik
ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan
secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Menelaah
capaian prestasi yang rendah tersebut tentunya sebagai
dampak dari sistem pembelajaran yang belum optimal
dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas,
kualifikasi dan kompetensi guru, yang cenderung
unqualified, underqualified, dan mismath.
Diberlakukannya UU Guru-Dosen dan SNP yang
mensyaratkan guru harus S-1, merupakan titik tolak
upaya pemberdayaan dan pengembangan untuk
meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru harus
dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu,
pemberlakuan Otoda dan otonomi pendidikan adalah
instrumen penting untuk menyokong dan meretas
persoalan yang sangat kompleks ketika menyangkut
kompetensi profesi guru.
Dalam bingkai ini, munculnya UU nomor 14
tahun 2005 tentang Guru-Dosen dan Peraturan
Mendiknas nomor 11 tahun 2005 serta SNP (Standar
Nasional Pendidikan) merupakan upaya pemerintah
untuk meningkatkan profesionalisme dan
memprofesikan guru. Dengan asumsi bahwa guru
sebagai profesi yang profesional dengan segala
kompetensi yang harus dimiliki, akan dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran, output, maupun
outcome. Hal ini akan menjadi kenyataan apabila kita
menjalankan amanah dalam perundangan tersebut yang
mengatakan bahwa ‖Pendidik dan Tenaga
Kependidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi (pedagogik, kepribadian, profesional,
sosial) sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan
rohani, serta memilik kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional (Paulina, 2006).
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 58
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama
agar suatu pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi
menurut Macionis (1987: 498), yakni landasan
pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru
memang bukan sekedar pekerjaan atau mata
pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis,
tetapi juga pengetahuan teoretik (Rosidi, 2007).
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen menetapkan bahwa kompetensi guru
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi
kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian
yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa
serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi profesional menunjuk pada
kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas
dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk
kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama
guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar. Tampaknya, kendati syarat kualifikasi
pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya
seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada
cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran,
atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan
bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang
diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan
pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-
regulated training and practice). Kalau kebanyakan
orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak
demikian dengan kerja profesional. Pekerjaan
profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang
bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Karena itu,
sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau instansi
yang mempekerjakan, maupun yang diselenggarakan
oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk
sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional.
Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-
lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan sanksi
hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa
sertifikasi terkait.
Pasal 42 Undang-undang Undang-undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tampak sudah
sejalan dengan prinsip profesionalisme menurut tinjauan
teoretik akademik. Berkenaan dengan organisasi
profesi, ditegaskan sebagai berikut:
Organisasi profesi guru mempunyai
kewenangan:
a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b. memberikan bantuan hukum kepada guru;
c. memberikan perlindungan profesi guru;
d. melakukan pembinaan dan pengembangan
profesi guru; dan
e. memajukan pendidikan nasional.
Namun demikian, bila yang dimaksudkan adalah
pengaturan praktik kependidikan secara otonom oleh
guru, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum
sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam
pengawasan ketat para atasan, serta tidak memiliki
derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya
profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang
berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi
kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak
mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan
penilaian seorang guru bidang studi.
Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga
ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat
daripada kepada pamrih pribadi (community rather
thanself-interest orientation). Pekerjaan profesional
juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain
(altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat
ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi.
Kecintaan pada bidang pekerjaan dan pengabdian
kepada masyarakat merupakan salah satu landasan etika
pekerjaan profesional. Walaupun secara praktik boleh
saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik
profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial
tinggi.
Untuk memecahkan permasalahan belum
terpenuhinya sebagian aspek persyaratan
keprofesionalan guru, diperlukan suatu sistem
pembinaan professional guru secara berkesinambungan.
Dalam pasal 39 ayat (2) UU SISDIKNAS dinyatakan
bahwa Pendidik merupakan tenaga professional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada msyarakat, terutama
bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tersuratnya
sebutan professional untuk tenaga pendidik (guru),
menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan
professional oleh guru. Surya (2005)
merekomendasikan hal yang harus dilaksanakan dalam
rangka mereposisi jabatan guru menjadi jabatan
professional sebagai berikut: (1) Pemerintah harus ada
kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan
posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional dan
memberikan penghargaan sesuai dengan hak dan
martabatnya. Penataan kembali berbagai perundang-
undangan dan produk hokum yang berkaitan dengan
pendidikan, agar lebih sesuai dengan tuntutan yang
berkembang. Dalam penataan ini dapat dilakukan
perbaikan perundang-undangan yang telah ada, dan
menghasilkan produk baru termasuk undang-undang
khusus tentang guru. (2) Mewujudkan suatu sistem
manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya
dalam satu institusi yang meiliki kewenangan nasional
secara terpadu yang sistematik, sinergik, dan simbiotik.
Seluruh aspek manajemen guru yang mencakup antara
lain rekrutmen, pendidikan, penempatan, pembinaan,
dan pengembangan berada dalam satu sistem
pengelolaan tunggal yang professional dan proporsional.
Pengelolaan yang lebih bersifat birokratis harus digeser
menjadi pengelolaan yang lebih bersifat
―pemberdayaan‖ dengan suatu mobilitas yang terbuka
baik secara vertical maupun horizontal sesuai dengan
kesempatan dan kompetensinya serta memperhitungkan
berbagai variable individual. (3) Pembenahan sistem
pendidikan dan pelatihan guru yang lebih fungsional
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 59
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
untuk lebih menjamin dihasilkan kualitas professional
guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dilihat dari
posisi dan perannya, guru memerlukan kompetensi
pribadi dan profesi agar mampu mampu melaksanakan
proses pendidikan secara mendasar. Oleh karena itu
pendidikan dan latihan guru hendaknya lebih
berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan
kepribadian guru professional, lingkungan kehidupan
pendidikan, dinamika adaptasi yang tinggi,
pengembangan dedikasi kependidikan, dsb. Pendidikan
guru pada masa kini harus menggunakan strategi yang
lebih mengarah pada pembentukan kepribadian dan
kompetensi, memiliki ketrkaitan dengan lingkungan dan
kebutuhan. (4) Pengembangan satu sistem remunerasi
(gaji dan tunjangan lainnya) bagi para guru secara adil,
bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian
rupa sehingga merangsang para guru melakukan
tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan
kepuasan lahir batin. Sejalan dengan rekomendasi
UNESCO/ILO, dalam upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan guru Indonesia, sistem penggajian guru
harus dibangun sebagai satu kulminasi kesatuan
berbagai variable yang saling terkait yaitu: (1) jenjang
pendidikan tempat guru bertugas, (2) tingkat
pendidikan, (3) pengalaman/masa kerja, (4) beban kerja,
(5) kreativitas, (6) lokasi atau lingkungan kerja, (7)
kepangkatan.
Rekomendasi tersebut mengisyaratkan bahwa
dalam usaha mereposisi guru ke posisi jabatan
professional harus dilakukan melalui manajemen
terpadu yang melibatkan berbagai unsur dan
memperhatikan berbagai variabel yang berpengaruh,
serta dilakukan secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal
tersebut, maka dalam membina profesionalisme guru
juga harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
berbagai komponen baik komponen struktural maupun
non-struktural dan dilaksanakan secara berkelanjutan.
Arah pembinaan guru ditekankan kepada pencapaian
kemampuan dan keterampilan. melaksanakan
pembelajaran yang meliputi penggunaan: 1) open-ended
inquiry, 2) collaborative learning, 3) active
participation during lecture, 4) in cooperation of
relevan material and 5) integration of the laboratory
experiences with the lectur material (Wagner, 2001).
Komponen-komponen tersebut merupakan
indikator keprofesionalan guru yang menjadi tolok ukur
keberhasilan proses pembinaan. Membina
profesionalisme guru berarti praktek professional dari
supervisor dan organisasi profesi untuk membantu guru
mencapai indicator tersebut di atas. Guru yang
menunjukkan indikator-indikator seperti di tersebut di
atas dalam melaksanakan pembelajaran diharapkan akan
menjadi jaminan mutu pendidikan (education quality
assurance). Manejemen pembinaan professional guru
dilakukan dengan pendekatan TQM yang mendudukan
setiap orang sebagai manajer dalam posisinya dan
semua komponen terlibat di dalamnya (Sallis, 1993).
Berdasarkan prinsip TQM, dalam pelaksanaan
pembinaan professional guru diarahkan harus terjadi
tarnsformasi budaya dari budaya tradisional ke budaya
mutu (cultural change), serta proses
perbaikan/peningkatan dilaksanakan secara
berkesinambungan (continuous improvement). Sebagai
contoh program penataran guru untuk kemampuan guru
dalam menguasai bahan ajar (content) seharusnya
dilaksanakan secara terencana dengan tujuan yang jelas
dan metode sesuai. Apabila kigiatan penataran ini
dilakukan asal tugas penyelenggaraan selesai tiadka
akan berdampak pada peningkatan kemampuan guru-
guru tersebut.
Dalam kaitan ini budaya ―asal selesai‖
seharusnya diubah kepada budaya ―penyelenggaraan
berkualitas‖ Seperti telah diuraikan di bagian
Pendahuluan makalah ini, untuk membina
profesionalisme guru telah tersedia berbagai lembaga
atau organisasi profesi baik di tingkat pusat maupun
daerah. Lembaga/organisasi tersebut dipersiapkan Pusat
dan Daerah untuk membantu para guru dalam
meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar.
Komponen-komponen tersebut dapat dibagai menjadi
dua kategori yaitu, kategori structural dan kategori non-
struktural. Komponen Pembina yang termasuk kategori
strukutral antara lain Kepala Sekolah, Pengawas,
LPMP, PPPG. Sedangkan yang termasuk kategori non-
struktural antara lain MGMP, KKG, dan PGRI.
C. Strategi Pembinaan dan Pemberdayaan
Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis
Meskipun guru telah mendapatkan sertifikasi
sebagai guru profesional pasca uji portofolio atau
pendidikan dan latihan profesional guru sebagai
implementasi UU Guru dan Dosen, yang dapat
diasumsikan mereka telah memiliki kecakapan kognitif,
afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka
guru dituntut untuk terus menerus berupaya
meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja
(2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi
tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting
adalah kemamuan diri untuk terus menerus melakukan
peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam
mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected
to put their knowledge to work to demonstrate they can
dothe job. Finally, professional are expected to engage
in a life long commitment to selfimprovement. Self
improvement is the will-grow competency area.
Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk
bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi
seyognya menjadi spring board bagi guru untuk terus
menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri
dalam rangka meningkatkan kompetensi. Peningkatan
kompetensi atas dorongan komitmen diri diharapkan
akan mampu meningkatkan keefektifan kinerjanya di
sekolah. Komitmen untuk meningkatkan kefektifan
kinerja sangat berkaitan dengan pencapaian tujuan
program, yaitu program pembelajaran yang diharapkan
mampu menghasilkan output dan outcome yang
mencapai standar. Jika guru memiliki komitmen untuk
mengembangkan kompetensi diri secara terus menerus,
maka proses-proses perencanaan, pengembangan,
penerapan, pengelolaan, dan penilaian program
pembelajaran diyakini akan dapat dilakukan sesuai
dengan tuntutan kekinian. Penjelasan di atas
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 60
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
mengindikasikan, bahwa komitmen diri dan strategi-
strategi manajemen sangat dibutuhkan dalam rangka
memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya.
Sinergi antara komitmen guru dan strategi manajemen
akan melahirkan proses kolaborasi yang efektif untuk
meningkatkan kompetensi.
Pada saat ini, guru dihadapkan pada perubahan
paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat
physical asset menuju paradigma knowledge
basedcompetition. Perubahan paradigma tersebut
menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber
daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan
agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing
dan memiliki keunggulan kompetitif.
Pemantapan sumber daya guru sebagai
intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan
dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian
yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka
terhadap arah perubahan yang terjadi. Strategi
pemberdayaan merupakan salah satu cara
pengembangan guru melalui employee involvement.
Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2002), dapat
dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya
kepala sekolah untuk meberikanwewenang dan
tanggung jawab yang proporsional, menciptakan kondisi
saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan
tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah
memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan
guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini, kepala
sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam
mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara
proporsional. Upaya ini, pada satu sisi merupakan
proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk
mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru
secara berkelanjutan.
Untuk menjamin keberhasilan proses
pemberdayaan guru, dapat digunakan model
pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003)
dengan paradigma-paradigma desire, trust, confident,
credibility, accountability, communication. Paradigma
desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a)
memberi kesempatan kepada guru untuk
mengidentifikasi permasalahan yang sedang
berkembang, (b) memperkecil directive personality dan
memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong
terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali
strategi untuk meningkatkan kinerja, dan (d)
menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk
melakukan self-control.
Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah
untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk
berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b)
menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang
mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan
kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi
bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d)
menghargai perbedaan pandangan dan mengakui
kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan
akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk
meningkatkan kinerja.
Paradigma Confident merupakan upaya kepala
sekolah untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang
dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan
mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c)
memperluas tugas dan membangun jaringan dengan
sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal
job instruction dan mendorong munculnya win-win
solution.
Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan
paradigma credibility, adalah (a) memandang guru
sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat
standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c)
mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada
guru lain untuk melakukan perubahan secara
partisipatif, dan (d) menggagas win-winsolution dalam
mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan
tujuan dan penetapan prioritas.
Paradigma accountability merupakan upaya
kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training
dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas
yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c)
melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran
kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru
dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e)
menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.
Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah
untuk (a) menetapkan kebijakan open door
communication, (b) menyediakan waktu untuk
memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalah
secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk
cross-training.
Di samping enam paradigma pemberdayaan guru
tersebut, faktor lingkungan sekolah juga sangat
menentukan pelaksanaan program pemberdayaan.
Caudron (dalam Wahibur Rokhman, 2003)
menganjurkan enam hal penting untuk membangun
lingkungan sekolah yang kondusif bagi pelaksanaan
program pemberdayaan. Enam hal tersebut, adalah (1)
work teams and information sharing, (2) training and
resources, (3) measurement and feedback, (4)
reinforcement, (5) responsibility, dan (6)
flexibilityprocedure.
Membentuk work teams and information sharing
sangat penting bagi sekolah, karena di dalam tim
terdapat peluang yang besar terjadinya sharing
knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala
sekolah. Setiap individu diharapkan mampu menyajikan
unjuk kerja dan mempengaruhi secara positif kepada
yang lain dalam meningkatkan kompetensi. Sharing
knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala
sekolah terjadi melalui proses-proses komunikasi
terbuka tentang kekuatan dan kelemahan kinerja mereka
serta mencermati tantangan dan peluang yang mereka
hadapi seiring dengan perkembangan pendidikan.
Pemberdayaan training and resources sangat
penting untuk menunjang peningkatan profesionalisme
guru. Training team memiliki peran penting untuk
menjaga kekompakan dalam penyelesaian berbagai
masalah di sekolah. Hal ini penting, karena
pemberdayaan bagi guru tidak hanya untuk tujuan-
tujuan independent empowering, tetapi juga
interdependent empowering. Namun, training sangat
membutuhkan penyediaan fasilitas da sumber daya lain
yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan
kompetensinya. Measurement sangat dibutuhkan untuk
memperoleh data ada atau tidaknya peningkatan dan
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 61
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kemajuan yang dialami guru. Konsep pengukuran tidak
bisa dilepaskan dari konsep standar. Hasil pengukuran
yang dibandingkan dengan standar akan berfungsi
sebagai alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan
oleh guru. Namun pasca pengukuran memerlukan
adanya feedback secara cepat. Hal ini penting, karena
feedback akan memberi peluang bagi guru untuk
menampilkan kinerja yang lebih baik.
Dukungan manajemen dengan pemberian
reinforcement secara terus menerus akan mendukung
dan memotivasi guru. Pada hakikatnya, semua manusia
(termasuk guru) merasa respektif terhadap penghargaan
yang diterima atas prestasi yang dicapainya. Kepala
sekolah atau pengawas perlu memberikan penilaian
yang baik atas prestasi kerja yang bisa dicapai oleh
guru. Kepala sekolah wajib melakukan sosialiasi atas
prestasi yang dicapai guru di sekolah. Memberikan
kepercayaan kepada para guru untuk melakukan
pekerjaan yang sesuai akan membangun responsibility
guru terhadap tugas yang menjadi kewajibannya.
Kepercayaan tersebut akan membangkitkan kreativitas
dan inovasi mereka yang pada akhirnya akan
meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Pemberian
wewenang memiliki nilai strategis bagi guru dalam hal
meningkatkan rasa percaya diri mereka sebagai akibat
dirinya merasa dihargai, penting, dan dibutuhkan
keberadaanya di sekolah. Dengan demikian, guru akan
mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahliannya
untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.
Flexibility procedure sangat dibutuhkan di
sekolah, karena sangat memudahkan dalam
pengambilan keputusan. Prosedur yang fleksibel akan
mendukung sekolah dalam melakukan penyesuaian
terhadap perubahan-perubahan zaman seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Di samping itu, akan memberi peluang pula bagi guru
untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan
kompetensi, sehingga lebih siap dalam berkompetisi.
D. Pembinaan dan Pengembangan Profesionalisme
Guru melalui Supervisi
Fase vital dalam pembinaan dan pengembangan
profesionalisme guru adalah supervisi. kepala sekolah
berfungsi sebagai supervisor pengajaran di sekolah.
Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan
semua program pengajaran. Para guru mengharapkan
agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar
waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pengajaran.
Oleh sebab itu, kepala sekolah hendaknya memiliki
kompetensi kepemimpinan pengajaran dalam
melaksanakan tugasnya sebagai supervisor. Dia
hendaknya memiliki pemahaman tentang cara yang
tepat dalam melaksanakan supervisi.
Fungsi supervisi pendidikan adalah sebagai
layanan atau bantuan kepada guru untuk
mengembangkan situasi belajar mengajar. Konsep
supervisi sebenarnya diarahkan kepada pembinaan.
Artinya kepala sekolah, guru dan para personel lainnya
di sekolah diberi fasilitas untuk meningkatkan
kemampuannya dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya.Menurut Anwar dan Sagala (2009)
Supervisor mempunyai fungsi-fungsi utama, antara lain:
a. Menetapkan masalah yang betul-betul mendesak
untuk ditanggulangi.
b. Menyelenggarakan inspeksi, yaitu sebelum
memberikan pelayanan kepada guru, supervisor
lebih dulu perlu mengadakan inspeksi sebagai usaha
mensurvai seluruh sistem yang ada.
c. Memberikan solusi terhadap hasil inspeksi yang
telah di survai.
d. Penilaian
e. Latihan, dan
f. Pembinaan atau pengembangan.
Dilihat dari fungsi yang telah ada, tampak jelas
peranan supervisi pendidikan. Peranan supervisi dapat
dikemukakan oleh berbagai pendapat para ahli yang
menyimpulkan tetang tugas dan fungsi supervisor:
a. Koordinator, sebagai koordinator supervisor dapat
mengkoordinasi program-program belajar mengajar,
tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan yang
berbeda-beda diantara guru-guru.
b. Konsultan, sebagai konsultan supervisor dapat
memberikan bantuan, bersama mengkonsultasikan
masalah yang dialami guru baik secara individual
maupun secara kelompok.
c. Pemimpin kelompok, supervisor dapat memimpin
sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi
kelompok, pada saat mengembangkan kurikulum,
materi pelajaran dan kebutuhan profesional guru
secara bersama-sama.
d. Evaluator, supervisor dapat membantu guru dalam
menilai hasil dan proses belajar, dapat menilai
kurikulum yang sedang dikembangkan.
Konsepsi umum pendidikan mengenal supervisi
sebagai salah satu usaha menstimulir, mengkoordinir
dan membimbing secarr kontinyu pertumbuhan guru-
guru di sekolah baik secara individual maupun secara
kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam
mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan
demikian mereka dapat menstmulir dan membimbing
pertumbuan tiap-tiap peserta secara kontinyu, serta
mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat
demokrasi modern. Wilem Mantja (2002)
mendefinisikan bahwa, supervisi diartikan sebagai
kegiatan supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan
untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada
dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh
supervisi, yaitu; perbaikan (guru -murid) dan
peningkatan mutu pendidikan. Willem Mantja
memandang supervisi sebagai kegiatan untuk perbaikan
(guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan
Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan
pendekatan supervisi pengembangan (developmental
supervision). Pendekatan tersebut bertolak dari
kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah
proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara
kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dan
siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban
untuk memhamami semua karakteristik siswa.
Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan
supervisi pada para guru, hendaknya guru diperhatikan
sebagai individu, karena adanya perbedaanpernedaan
individual guru dalam perkembangan manusiawinya.
Perlakuan seperti itu sangat diperlukan, lebih-lebih guru
dituntut untuk terlibat secara langsung dalam
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 62
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi
perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan
karakteristik guru. Pendekatan tersebut erat kaitannya
dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam
menjalankan tugas keprofesionalan,nyaitu komitmen
dan kemampuan berpikir abstraks.
Komitmen guru merupakan banyaknya waktu
dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut
bagi siswa dan menunjang profesinya. Komitmen
diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi
atas tiga kategori, kepedulian terhadap diri sendiri,
terhadap siswa, dan terhadap profesionalisasi.
Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan
kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu
mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu
siswa belajar secara efektif, dan mampu
mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih
memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa.
Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas
kognitif.
Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas
kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan
profesional, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang,
dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut
membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang
dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi
direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki
kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas
kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif diperuntukkan
bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan
kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi
nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki
kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif
tinggi. Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi
pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting,
demonstrating, directing, standardizing, reinforcing.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk
mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran,
menetapkan prangkat standar untuk perbaikan
pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai
dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak,
bahwa dalam supervisi direktif, tanggung jawab
cenderung lebih banyak pada kepala sekolah
dibandingkan
dengan tanggung jawab guru. Dalam supervisi
kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah
listening, clarifying, pressenting, problem solving,
negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut
mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru
berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya
mendengarkan persepsi guru tentang masalah
pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi
guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan
masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif
pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk
diterapkan dalam pembelajaran. Beranjak dari
pemahaman kepala sekolah, bahwa guru adalah mampu
berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang
lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat
dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening,
clarifying, encouraging, pressenting, negotiating,
accomodating teacher-initiated.
Tindakan-tindakan tersebut bertolak dari premis,
bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh
pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru
tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri.
Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah
upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman
belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah adalah
mendengarkan, tidak memberi pertimbangan,
membangkitkan kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi
pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih
menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh
informasi dengan tujuan membuka komunikasi dalam
pertemuan supervisi mereka. Peranan kepala sekolah
dalam menjalankan supervisi seperti itu akan membuat
persepsi guru menjadi positif.
E. Kesimpulan
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga
profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa
profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi.Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk
selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai
profesionalisme guru gencar dibicarakan diIndonesia.
Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga
faktor yang cukup penting,yaitu kompetensi guru,
sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga
faktortersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan
erat dengan kualitas pendidikan. Guruprofesional yang
dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan
mendorongterwujudnya proses dan produk kinerja yang
dapat menunjang peningkatan kualitaspendidikan. Guru
kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi
guru berikuttunjangan profesi yang memadai menurut
ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapatsejumlah guru
yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah
memperoleh tunjanganprofesi, dan akan memperoleh
tunjangan profesi.
Fakta bahwa guru telah tersertifikasimerupakan
dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki
kompetensi. Kompetensiguru tersebut mencakup empat
jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2)
kompetensiprofesional, (3) kompetensi sosial, dan (4)
kompetensi kepribadian.
Permasalahannya adalah apakah konsepsi
teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada
guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas
praksis di ruang-ruang pembelajaran.
Program sertifikasi guru merupakan upaya
pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru
berkualitas. Guru berkualitas yang terbukti dari hasil
sertifikasi dijadikan dasar untuk memberikan tunjangan
profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi
dikategorikan sebagai guru yang profesional. Untuk
menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 63
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan
profesionalisme secara berkesinambungan. Secara
preskriptif, dukungan kompetensi manajemen, strategi
pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian
tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis
alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Dukungan kompetensi manajemen diperankan
oleh kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah.
Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan
merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi
teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik,
bahwa guru yang harus berkembang secara profesional,
pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya
secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi
manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi
pengembangan tidak lebih dari sekadar fasilitas dan
pijakan bagi guru untuk meningkatkan komitmen.
Daftar Pustaka
Macionis, John J. 1987. Sociology. Englewood Cliffs,
New Jersey: Pentice-Hall. Inc
Mantja, W. 2002. Manajemen pendidikan dan supervisi
pengajaran. Malang: Wineka Media.
McIntosh, J. E. 2005. Valuing the collaborative nature
of professional learning communities. Tersedia
pada
http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V82E.pdf.
Rosidi, Sakban. 2008, Penelitian Tindakan, Praksis
Pendidik Profesional. Makalah
Seminar dan Lokakarya Nasional, Kerjasama Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Timur dan PP Un-Nur Malang, tanggal 25 Mei
2008.
Saiful Sagala, 2009, Kemampuan Profesional Guru dan
Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta
Sallis, E. (1993), Total Quality Management in
Education, London: Kogan Page Limited
Surya Dharma. 2003. Pengembangan SDM berbasis
kompetensi. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma
baru manajemen sumber daya manusia. 105-
120. Yogyakarta: Amara Book.
Surya, M. (2005), Profesi Guru Dalam Kenyataan dan
Harapan, Makalah Semiloka Nasional
Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, , Bandung, FIP-UPI
Wagner E (2001), Development and Evaluation of a
Standards-Based Approach to Instruction in
General Chemistry, Elektronic Journal of
Science Education Vol. 6 No. 1
Wahibur Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan
komitmen: Upaya mencapai kesuksesan
organisasi dalam menghadapi persaingan global.
Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru
manajemen sumber daya manusia. 121-133.
Yogyakarta: Amara Book.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 64
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Posisi Dan Fungsi Teori Dalam Penelitian Kualitatif
Madekhan *) *) Dosen Program Studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Lamongan
Abstract
There is a growing interest on qualitative methodology as evidence by an increasing number of qualitative research
design employed in social science researches. In qualitative inquiry process, the role of theory in the field of social
science and where it situates in the research framework has always created a challenge for the researchers. However,
inconclusive and differing opinions have so far been documented about the position and function of theory in qualitative
research. The purpose of this paper is to build a general perspective in terms of the position and function of theory in
qualitative research methodology applicable to social science research. Review of literatures on these issues were
presented and discussed. As a result, mostly argue that theory in qualitative research is not in terms of testifying the
validity or accuracy, event or experience in real-life cannot always or necessarily be based on theory, yet the
significant role of theory in literature review is an undeniable fact. Here, theory is a road guidance in qualitative
research.
Key Words: qualitative, social research, position and function of theory.
I. PENGERTIAN PENELITIAN KUALITATIF
Setiap penelitian bermaksud untuk menemukan
atau mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan itu
adakalanya berupa teori, yang merupakan penjelasan
terhadap gejala-gejala, dan adakalanya berupa
knowledge yang merupakan konsep-konsep atau pola-
pola regulasi yang terdapat di alam ini. Selain itu,
penelitian juga bermaksud untuk menemukan
pengetahuan yang berupa strategi-strategi untuk
pemecahan suatu masalah. Pada dasarnya penelitian
kualitatif dapat digunakan untuk ketiga maksud tersebut
(Bahar, 2011).
Untuk menggali ragam pengetahuan yang
disebut di atas, penelitian kualitatif mempunyai caranya
sendiri, yang berbeda dari penelitian kuantitatif. Jika
penelitian kuantitatif bertolak dari suatu teori dan
kemudian bermaksud untuk mengujinya, maka dalam
penelitian kualitatif tidak demikian halnya. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bertolak dari
ketidaktahuan, artinya peneliti belum memiliki
pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis
data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan.
Karena itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan
teori yang sudah ada sebagai dasar pengembangan
teoritiknya.
Penelitian kualitatif berangkat dari suatu
komitmen untuk memperoleh data secara alamiah:
peneliti beranggapan bahwa pemerolehan pengetahuan
secara sistematik harus berada dalam suasana alamiah
ketimbang dalam suasana artifisial atau buatan seperti
eksperiman (Marshall dan Rossman (1989). Lebih
sistematis dikemukakan Bryman (1988, hal 61-69)
bahwa penelitian kualitatif memiliki 6 kriteria,
sebagaimana dalam tabel 1 berikut:1
1dalam Silverman 1993 hal 23-25
Tabel 1. Kriteria Penelitian Kualitatif
1 Melihat melalui mata dari ... atau menurut
perspektif subjek.
2 Menggambarkan detail-detail kebiasaan di
dalam kehidupan sehari-hari;
3 Memahami tindakan dan makna dalam
konteks sosialnya.
4 Menekankan waktu dan proses
5 Lebih terbuka dan desain penelitiannya
relatif tidak terstruktur,
6 Menghindari konsep dan teori pada tahap
permulaan.
Bila mengacu Tabel 1 di atas maka Penelitian
kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan
pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif
subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar
fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain
itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan
gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai
bahan pembahasan hasil penelitian.
Terdapat perbedaan mendasar antara peran
landasan teori dalam penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif,
penelitian berangkat dari teori menuju data, dan
berakhir pada penerimaan atau penolakan terhadap teori
yang digunakan. Sedangkan dalam penelitian kualitatif
peneliti bertolak dari data yang sarat dengan konteks,
memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas,
dan berakhir dengan suatu teori.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitungan lainnya, secara umum
tujuan penelitian kualitatif adalah untuk ―menemukan‖.
Menemukan berarti sebelumnya belum pernah ada atau
belum diketahui. Bisa dikatakan bahwa pendekatan
kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena
yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian
kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat
digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif
naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan
maupun menemukan teori-teori sosial. Dengan metode
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 65
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kualitatif, maka peneliti dapat menemukan pemahaman
yang luas dan mendalam terhadap situasi sosial yang
kompleks, memahami interaksi dalam situasi sosial
tersebut sehingga dapat ditemukan hipotesis, pola
hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi
teori.
II. PENGERTIAN TEORI
Teori adalah seperangkat dalil mengenai
hubungan antara berbagai konsep. Dalam penelitian
kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang
cukup penting, teori dalam penelitian kualitatif
digunakan secara lebih longgar, teori memungkinkan
dan membantu untuk memahami apa yang sudah
diketahui secara intuitif pada saat pertama, tetapi
bersifat jamak untuk berubah sebagaimana teori sosial
berubah. Pada umumnya teori bagi penelitian kualitatif
berguna sebagai sumber inspirasi dan pembanding
(Bahar, 2011).
Kedudukan teori sendiri dalam penelitian
hendaknya dipahami dari keterkaitannya dengan
kedudukan hipotesis, metode dan metodologi. Pada
tabel 1 di bawah ini, Silverman (1993, hal 1) dengan
jelas menggambarkan kedudukan teori di tengah tiga
konsep dasar dalam penelitian.
Tabel 2. Konsep Dasar dalam Penelitian
KONSEP
PENGERTIAN
RELEVANSI
Teori Serangkaian konsep
penjelas
Sesuai
Kegunaan
Hypotesis Pernyataan/proposisi
yang bisa diuji
Validitas
Metodologi Pendekatan umum
untuk mengkaji topik
penelitian
Sesuai
Kegunaan
Metode Suatu teknik
penelitian tertentu.
Harus
sebangun
dengan teori,
hipotesis dan
metodologi
Sebagaimana pada tabel 2, teori menyediakan
serangkaian konsep penjelas (explanatory concepts).
Tanpa sebuah teori, tidak akan terlaksana penelitian. Di
dalam penelitian sosial, contoh teori adalah
fungsionalisme (yang mengkaji fungsi-fungsi pranata
sosial), behaviorisme (yang melihat semua perilaku
dalam kerangka stimulus dan respon), dan interaksi
simbolik (yang memusatkan bagaimana kita
mengkaitkan makna-makna simbolis dengan relasi-
relasi interpersonal.
Dengan demikian teori merupakan sumber
tenaga bagi penelitian, dimana seiring perkembangan
zaman, teori dikembangkan dan dimodifikasi oleh
berbagai penelitian. Di sini diyakini bahwa ketika
didayagunakan teori tidak pernah salah, namun hanya
dalam pemahaman lebih ataupun kurang berguna
Silverman (1993, hal 2).2
Dalam penelitian kualitatif, karena
permasalahan yang dibawa oleh peneliti bersifat
sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian
kualitatif juga bersifat sementara, dan akan berkembang
setelah peneliti memasuki lapangan atau dalam konteks
sosial. Dalam kaitannya dengan teori, penelitian
kualitatif bersifat menemukan teori.
III. TEORI BAGI PENELITI
KUALITATIF
Dari sisi kememadaian, dalam penelitian
kualitatif yang bersifat holistik, jumlah teori yang harus
dimiliki peneliti kualitatif jauh lebih banyak di
bandingkan penelitian kuantitatif karena harus
disesuaikan dengan fenomena yang berkembang di
lapangan. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau
menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih
luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik.
Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai
bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih
luas dan mendalam. Walaupun peneliti kualitatif
dituntut untuk menguasai teori yang luas dan mendalam,
namun dalam melaksanakan penelitian, peneliti
kualitatif harus mampu melepaskan teori yang dimiliki
tersebut dan tidak digunakan sebagai panduan dalam
menyusun instrument dan sebagai panduan dalam
menyusun panduan untuk wawancara, dan observasi.
Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data
berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan
dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti
kualitatif harus bersifat ―perspektif emic‖ artinya
memperoleh data bukan ―sebagai seharusnya‖, bukan
berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti tetapi
berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi
dilapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan
oleh partisipan/sumber data.
Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih
sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif
harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi
―human instrument‖ yang baik. Penelitian kualitatif jauh
lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian
kuantitatif karena data yang terkumpul bersifat
subyektif dan instrument sebagai alat pengumpul data
adalah peneliti itu sendiri.
Dengan kebutuhan akan teori yang memadai,
maka untuk dapat menjadi instrument penelitian yang
baik, peneliti kualitatif dituntut untuk memiliki
wawasan yang luas, baik wawasan teoritis maupun
wawasan yang berkaitan dengan konteks sosial yang
diteliti yang berupa nilai, budaya, keyakinan, hukum,
adat-istiadat yang terjadi dan berkembang pada konteks
sosial tersebut. Bila peneliti tidak memiliki wawasan
yang luas, maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan
pada sumber data, sulit memahami apa yang terjadi,
tidak akan mampu memahami analisis secara induktif
terhadap data yang diperoleh, padahal pendekatan
induktif memberikan panekanan pada pemahaman yang
2 David, Silverman, Interpreting Qualitative Data, Sage Publication,
London, 1993
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 66
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kompresif atau ―holistik" mengenai situasi sosial yang
ditelaah. Artinya, kehidupan sosial dipandang sebagai
pelibatan serangkaian peristiwa yang saling berpautan,
yang perlu untuk digambarkan secara lengkap oleh
peneliti kualitatif.
IV. POSISI DAN FUNGSI TEORI DALAM
PENELITIAN KUALITATIF
Menurut J.W Creswell (1998), peneliti kualitatif
perlu menyadari perlunya dan tata cara penggunaan
perspektif teori di dalam kajiannya. Ilmu-ilmu sosial
memberikan penjelasan, prediksi dan generalisasi
tentang bagaimana aspek-aspek kehidupan manusia
berperan. Teori-teori tersebut mungkin diajukan oleh
peneliti pada filosofis yang abstrak dan luas ataupun
tingkat yang lebih konkrit dan substansial. Pertanyaan
pokoknya, antara lain adalah: haruskah sebuah
kacamata teori tertentu membingkai penelitian tersebut
sehingga melahirkan pertanyaan penelitian dan
menyarankan sudut pandang di dalamnya?
Yang jelas, bagaimanapun juga memang ada
baiknya seorang peneliti untuk mempertimbangkan
sebuah teori digunakan dalam penelitiannya. Pengertian
membingkai di sini tidak lain adalah menggunakan
sebuah teori ilmu tertentu untuk menginterpretasikan
temuan penelitian dan bukan untuk menentukan
variabel-variabel yang perlu ditemukan, apalagi untuk
membuktikan kebenaran sebuah teori. Dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya penggunaan tersebut berada pada
garis yang kontimum dari awal hingga akhir proses
penelitian, tinggal pada posisi mana pada garis tersebut
sebuah teori akan digunakan di masing-masing tradisi
penelitian kualitatif3.
Sementara Bahar (2011), menyatakan bahwa posisi
teori pada pendekatan kualitatif harus diletakkan sesuai
dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Pertama,
untuk penelitian yang bermaksud menemukan teori dari
dasar, paling tidak ada tiga aspek fungsi teori yang
dapat dimanfaatkan;
a. Konsep-konsep yang ditemukan pada teori terdahulu
dapat "dipinjam" sementara (sampai ditemukan
konsep yang sebenarnya dari kancah) untuk
merumuskan masalah, membangun kerangka
berpikir, dan menyusun bahan wawancara;
b. Ketika peneliti sudah menemukan kategori-kategori
dari data yang dikumpulkan, ia perlu memeriksa
apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya.
Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa
saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang
kategori tersebut. Hal ini dilakukan hanya untuk
perbandingan saja, bukan untuk mengikutinya; dan
c. Proposisi teoritik yang ditemukan dalam penelitian
kualitatif (yang memiliki hubungan dengan teori
yang sudah dikenal) merupakan sumbangan baru
untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian
pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik
dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada
dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan
baru itu.
3 Lebih jelas karya John W. Cresswell ini bisa dibaca pada saduran
dengan judul Desain dan Model Penelitian Kualitatif oleh Dr.
M. Djauzi Moedzakir, M.A, UNM, Malang, 2010
Kedua, untuk penelitian yang bermaksud memperluas
teori yang sudah ada, teori tersebut bermanfaat bagi
peneliti pada tiga hal berikut;
a. Penelitian dapat dimulai dari teori terdahulu tersebut
dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan
kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa
digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati
data. Namun demikian, penelitian yang sekarang
harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas
dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian
dapat dengan bebas memilih data yang
dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori
awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi;
b. Teori yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk
menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi
pedoman dalam pengamatan/wawancara untuk
mengumpul data awal; dan
c. Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori
yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan
bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan
teori yang ada.
Peneliti kualitatif dituntut mampu
mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan
teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih
berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti
memiliki teori dan memahami permasalahan yang
diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat
sementara. Oleh karena itu landasan teori yang
dikemukakan bukan merupakan harga mati, tetapi
bersifat sementara. Peneliti kualitatif justru dituntut
untuk melakukan ―grounded research‖, yaitu
menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh di
lapangan.
Ada dua bentuk perangkat yang digunakan dalam
merancang kerangka konseptual sebagai panduan kerja
dalam penelitian kualitatif. Kedua perangkat dimaksud
adalah ―paradigma alamiah‖ (naturalistic paradigm) dan
pola pengembangan pengetahuan dalam ―bidang ilmu‖
yang diteliti. Pada dasarnya kedua perangkat ini bersifat
saling melengkapi, di mana paradigma alamiah
mengarahkan kegiatan penelitian, dari mana dimulai
dan ke mana arahnya, serta bagaimana cara atau proses
kerjanya, sedangkan bidang ilmu mempertegas obyek
material atau substansi yang layak diteliti. Pandangan
mendasar yang menjadi asumsi paradigma alamiah
adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada pola-
pola interaksi atau perilaku tertentu yang terjadi secara
ajeg. Jika peneliti dapat mendeteksi dan menemukan
pola-pola itu, maka ia dapat menyusunnya menjadi
suatu teori. Inilah yang dimaksudkan dalam grounded
theory bahwa penelitian kualitatif merupakan satu upaya
untuk membangun teori dari dasar. Jadi, teori itu
sesungguhnya ditemukan dari masyarakat melalui
penelitian yang sistematis. Oleh karena itu, penelitian
kualitatif sama sekali tidak bermaksud untuk menguji
teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel
yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan
jika penelitian kualitatif dimulai dengan teori atau
konsep/variabel yang digunakan teori sebelumnya,
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 67
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
karena akan menghambat pengembangan rumusan teori
baru.
Sejalan dengan asumsi di atas, peneliti kualitatif
tidak membawa konsep-konsep yang diperoleh dari
teori (yang sudah ada) ke lapangan, melainkan berusaha
memahami dan memaknai fenomena sesuai dengan
pemahaman dan pemaknaan yang diberikan oleh subyek
yang diteliti. Ini sangat prinsip dalam penelitian
kualitatif. Strategi ini disebut dengan pendekatan emik,
yaitu suatu prinsip pemaknaan fenomena berdasarkan
pemahaman "orang dalam", dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang ditemukan di lapangan. Dasar
pijakan penelitian ini ialah adanya interaksi simbolik
dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir
berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan
cara mencari makna semantis universal dari gejala yang
sedang diteliti. Bertolak dari prinsip paradigma alamiah,
proses data kualitatif selalu menggunakan metode
berpikir induktif. Prinsip pokok teknik analisa ini ialah
mengolah dan menganalisa data menjadi data yang
sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna.
Tujuan akhir penelitian kualitatif ialah menghasilkan
pengertian-pengertian, konsep-konsep dan atau
pembangunan suatu teori baru. Perangkat yang kedua
adalah pola pengembangan ilmu sosial, yang pada
mulanya metode-metode kualitatif muncul dari
penelitian-penelitian antropologi, etnologi, serta aliran
fenomenologi dan aliran idealisme. Karena metode-
metode ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu sosial
lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.
Ada dua istilah yang sering dipakai dalam
penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual.
Istilah kerangka teoritis banyak dipakai dalam penelitian
kuantitatif, tidak pada penelitian kualitatif, sedangkan
istilah kerangka konseptual lebih tepat digunakan pada
penelitian kualitatif. Dasar pertimbangannya adalah,
bahwa penelitian kuantitatif menggunakan deduksi logis
dari suatu teori untuk perumusan hipotesis, sedangkan
penelitian kualitatif lebih pada upaya pembentukan
konsep-konsep dari data lapangan menuju pemahaman
terhadap fenomena atau terbentuknya suatu teori.
Pada hakikatnya, kerangka konseptual adalah suatu
rancangan yang dapat menegaskan tentang dimensi-
dimensi kajian utama penelitian serta mengungkap
tentang perkiraan hubungan-hubungan antara dimensi-
dimensi tersebut. Atas dasar itu, kerangka konseptual
merupakan panduan bagi peneliti dalam proses
penelitiannya, baik memutuskan karakeristik data yang
harus dikumpulkan, strategi dalam melakukan
kategorisasi, maupun dalam penemuan relasi antara
kategori.
Kapan waktu yang paling tepat melakukan
perancangan kerangka konseptual dalam penelitian
kualitatif? Ini menjadi diskusi yang tidak berujung di
kalangan ahli kualitatif. Jika dilakukan dari awal,
mungkin sekali membuat ketidakbebasan bagi peneliti
untuk menemukan fenomena yang asli, karena
pikirannya telah terfokus untuk memperhatikan hanya
pada fokus khusus. Hal ini merupakan pengebirian
karakter penelitian kualitatif. Tetapi jika kerangka
konseptual dirancang belakangan, dapat mengakibatkan
pengumpulan data serampangan dan bisa jadi
menghadirkan data yang melimpah-ruah.
Diskusi yang tidak pernah selesai ini menjadi faktor
munculnya berbagai pola perancangan kerangka
konseptual di kalangan peneliti kualitatif. Ahli
antropologi dan fenomenologi berpendapat, realitas
sosial itu cukup kompleks, karena itu peta-peta
konseptual yang konvensional akan menjadi kendala.
Sebab, latar, fenomena-fenomena, dan pelaku-pelaku
yang paling bermakna tidak akan dapat diramalkan
sebelum penelitian lapangan. Jadi, kerangka konseptual
seharusnya muncul secara empiris di lapangan sewaktu
penelitian berjalan.
Tidak semua penelitian harus menghasilkan teori.
Sebagian dari hasil penelitian itu tidak dimungkinkan
untuk dilanjutkan ke perumusan teori, dan karena itu
harus dihentikan sampai pada penemuan formulasi-
formulasi konseptual dan tema-tema budaya. Penelitian
yang sampai pada penemuan tema-tema seperti itu juga
cukup penting, sebab tema-tema yang memuat
keterangan deskriptif itu dapat disusun secara sistematis
ke dalam bentuk konsepsi -konsepsi dekriptif yang kaya
dengan definisi, informasi, dan atau abstraksi dari
gejala-gejala sosial. Atas dasar itu, seorang peneliti
kualiatif tidak mesti memaksakan diri untuk
menemukan ―teori‖ dari kancah, bahkan ia dapat saja
merancang sebuah penelitian yang hanya sampai pada
penemuan tema-tema untuk disusun ke dalam
pengetahuan deskriptif yang bersifat informatif.
Akhirnya, perumusan teori dimulai dengan
mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus
memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi
rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus
semakin diperbanyak. Atribut terori yang tersusun dari
hasil penafsiran/pemaknaan dilengkapi terus dengan
data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas
cakupannya sekaligus dipersempit kategorinya. Jika hal
itu sudah tercapai dan peneliti telah merasa yakin akan
hasilnya, pada saat itu peneliti sudah dapat
mempublikasikan hasil penelitiannya.
V. KESIMPULAN
Dasar penelitian kualitatif berada di seputar upaya
memperoleh data secara alamiah. Bagaimana peneliti
berupaya memperoleh pengetahuan secara sistematik
dalam suasana alamiah, tidak artifisial atau buatan. Atas
sifatnya demikian, maka teori dalam penelitian
kualitatif, memiliki kegunaan yang cukup penting. Teori
dalam penelitian kualitatif digunakan untuk
memungkinkan dan membantu peneliti kualitatif
memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif
pada saat pertama, tetapi pada fase berikutnya bisa
berubah sebagaimana teori sosial berubah.
Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau
menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih
luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik.
Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai
bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih
luas dan mendalam. Oleh karena itu penelitian kualitatif
jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena
peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas
sehingga mampu menjadi ―human instrument‖ yang
baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila
dibandingkan dengan penelitian kuantitatif karena data
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 68
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
yang terkumpul bersifat subyektif dan instrument
sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri.
Fungsi dan posisi sebuah teori dalam pengertian
sederhana adalah bingkai dari sebuah penelitian
kualitatif. Di sini tidak lain adalah menggunakan sebuah
teori ilmu tertentu untuk menginterpretasikan temuan
penelitian dan bukan untuk menentukan variabel-
variabel yang perlu ditemukan, apalagi untuk
membuktikan kebenaran sebuah teori. Dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya, fungsi dan posisi teori berada
pada garis yang kontimum dari awal hingga akhir proses
penelitian, tinggal pada posisi mana pada garis tersebut
sebuah teori akan digunakan di masing-masing tradisi
penelitian kualitatif.
Akhrinya, sebagaimana ditemukan dalam beberapa
literatur metode penelitian (Moleong, 1999; Creswell,
2002, Lindloft, 1995), menyebutkan bahwa metode
penelitian kualitatif lebih bersifat induktif. Artinya
langkah penelitian yang harus didahulukan adalah data
berdasarkan fakta, gejala, fenomena, realitas yang
menjadi tema, kemudian diolah, diproses, sehingga
akhir penelitian dapat menjadi proposisi, model atau
bahkan teori. Hampir semua disepakati bahwa teori
pada penelitian kualitatif bukan untuk diuji keabsahan,
kebenaran atau kesalahannya, melainkan sebagai
―guidance‖ atau ―petunjuk jalan‖ saja.
Daftar Bacaan :
Bahar, Hartati, Teori dalam Penelitian Kualitatif,
http://tatikbahar.blogspot.com/2011/01/teori-
dalam-penelitian-kualitatif.html, diakses
November 2012.
David, Silverman, Interpreting Qualitative Data, Sage
Publication, London, 1993.
Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama:
Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,
2005.
Moedzakir, Djauzi, M.A, Desain dan Model Penelitian
Kualitatif, Universitas Negeri Malang, 2010
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.
Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah
S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah,
Universitas Gajah Mada, 2008.
Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual,
http://google.or.id//teori dalam penelitian
kualitatif.htm. di akses September 2008
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan
R&D, Alfabeta, Bandung, 2006
Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian
Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian
FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo,
2007
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 69
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Mengintegrasikan Soft Skill Dalam Pembelajaran Interaktif (Sebuah telaah kritis atas artikel ilmiah : Integrating Soft Skills Through
Active Learning In The Management Classroom)
Rusydan*)
*)
Dosen FKIP Unisla Lamonggan
Abstrak : Penerapan active learning yang merupakan suatu ide yang cemerlang
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penerapan atribut soft skill di ruang
kelas di Indonesia, misalnya, lebih banyak lagi tugas presentasi, diskusi
kelompok, sampai role play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan
berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting sebagai aplikasi pendidikan
yang bukan sekadar bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre
learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik (student centre
learning). Lulusan Perguruan Tinggi kita dihadapkan pada kenyataan dan
problematika masyarakat yang memerlukan ketangguhan kompetensi personal
tinggi. Oleh karenanya diperlukan suasana pembelajaran di kelas yang
berorientasi pada pengembangan soft skill mahasiswa.
Kata kunci: Integrasi, soft skill, pembelajaran interaktif
A. Pendahuluan
Permasalahan Pendidikan di Indonesia saat ini
diungkapkan oleh Muchlas Samani dalam bukunya
Menggagas Pendidikan Bermakna bahwa Pendidikan
kita tampaknya terlalu teoritik, seperti di awang-awang,
tidak membumi, dan memisahkan siswa dari kehidupan
sehari-hari. Pendidikan kita tidak membekali siswa
bagaimana mengahadapi kehidupan nyata di
masyarakat. Lulusan perguruan tinggi hanya memiliki
ijazah, namun tidak memiliki kompetensi. Akibatnya,
mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam
dunia kerja. Sorotan tersebut terutama ditujukan kepada
lulusan dari perguruan tinggi. Terdapat jurang yang
lebar/gap (mismatch) antara lulusan di perguruan tinggi
dengan dunia kerja yang memberikan pekerjaan.
Menurut survei yang diterbitkan National
Association of Colleges and Employers (NACE) di
Amerika Serikat pada tahun 2002 dari hasil jajak
pendapat 457 pengusaha, bahwa Indeks Prestasi (IP)
hanya menempati urutan ke 17 dari 20 kualitas yang
dianggap penting dari seorang lulusan universitas.
Kualitas yang ada di peringkat atas justru merupakan
kemampuan yang tidak terlihat (intengible) namun
sangat diperlukan, seperti kemampuan berkomunikasi,
integritas dan bekerjasama. Kemampuan tersebut
dikenal dengan istilah soft skill.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka tulisan
ini bermaksud untuk menelaah kritis atas artikel jurnal
berjudul Integrating Soft Skills Through Active Learning
In The Management Classroom. Sebuah artikel hasil
penelitian yang dilakukan oleh Chynette
NealyUniversity of Houston-Downtown dimuat
dalamJournal of College Teaching & Learning Volume
2, Number 4 April 2005.
Telaah kritis jurnal ini akan mengambil fokus
teori yang digunakan, Kedua, telaah akan difokuskan
pada metode, baik metode pelaksanaan training maupun
metode analisa data. Dan yang terakhir telaah akan
mengulas sumbangan apa yang dapat diberikan dari
artikel ini baik dalam konteks pengembangan ilmu
maupun tataran praktis.
B. Gambaran umum jurnal
Kemampuan untuk menggunakan interpersonal
skill merupakan hal yang sangat esensial dalam dunia
kerja. Interpersonal skill, yang dianggap sebagai soft
skill menunjuk pada kemampuan komunikasi,
mendengarkan, penyelesaian masalah kelompok,
hubungan antar budaya dan customer service. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk membuktikan
pentingnya interpersonal skill dalam dunia bisnis dan
industri. Dan dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa soft skill menempati urutan teratas sebagai
kemampuan yang dicari pada setiap pencari kerja.
Data dari NACE pada job outlook 2000
menunjuk pada tiga top soft skill yang paling
dibutuhkan yakni komunikasi verbal (4,61), teamwork
(4,61) dan interpersonal (4,54). Hasil tersebut
digunakan sebagai feedback dari dunia bisnis dan
industri yang sering merasa kecewa dengan para sarjana
atau lulusan yang dianggap kurang memiliki
kemampuan tersebut. Data tersebut digunakan oleh para
instruktur manajemen untuk memodifikasi kurikulum
dan teknik pengajaran untuk mempersiapkan pemimpin
bisnis masa depan dengan keterampilan yang
dibutuhkan di dunia kerja pada abad 21.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji active
learning dan hubungannya dengan perkembangan soft
skill dan mengukur signifikansi pengajaran dari para
instruktur manajemen pada mahasiswa tahun pertama
dan atau mahasiswa nontradisional. Yang kedua adalah
menyediakan strategi belajar yang dapat diadaptasi di
kelas dalam kuliah manajemen.
Penelitian ini menggunakan populasi sebagai
partisipasi yang menjadi sampel adalah 20 orang
mahasiswa suatu universitas urban yang berasal dari 70
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 70
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
orang mahasiswa di dua kelas manajemen. Terdiri dari
13 orang wanita dan 3 orang pria. 8 orang African
American, 12 orang Hispanic. Berusia antara 25 sampai
dengan 45 tahun. 5 orang tidak bekerja, 9 orang bekerja
part time dan 6 orang bekerja full time.
Tahapan Program penlitian terdiri dari 3 tahap.
Pertama mahasiswa di beri kuliah dan diskusi tentang
soft skill yang dibutuhkan dalam berbagai kondisi dan
kepemimpinan. Ke dua diberi ujian tentang soft skill
yang dibutuhkan pada dunia bisnis saat ini. Yang
terakhir dibagi dalam 6 kelompok dan diberi tugas
berupa studi kasus tentang 3 hal yakni (a)
Communicaton and technology, partisipan diminta
untuk menganalisa permasalahan yang berkait dengan
komunikasi dan teknologi, seperti mengevaluasi jon
application, membuat resume, memberikan peringatan
dan pengumuman kepada karyawan, memimpin rapat,
interview dan sebagainya. Tujuannya agar para
partisipan tersebut memiliki keterampilan komunikasi
baik personal maupun kelompok. (b) Human relations,
partisipan diminta untuk menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan hambatan karena kesadaran budaya
yang rendah dan diskriminasi. Tujuannya agar
partisipan memiliki keterampilan mendengarkan dan
memahami perbedaan budaya. (c) Records and
information management, partisipan dihadapkan pada
tantangan etik, dan diminta untuk mengembangkan
kode etik berkaitan dengan komitmen perusahaan
terhadap tanggung jawab dan kesadaran social.
Tujuannya agar partisipan mampu mengembangkan
kesadaran etik tentang soft skill yang dikembangkan
diantaranya mengartikulasikan ide-ide, berfikir kritis,
dan etika kerja yang merefleksikan tanggung jawab.
Data dianalisa berdasarkan hasil laporan dari
para partisipan baik secara lisan maupun tulisan, dan
diresumekan secara deskriptif. Laporan tersebut berisi
pengalaman partisipan menerapkan teori dalam praktek
kerjanya dan menunjukkan bahwa partisipan telah
mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan
mengaplikasikan soft skil yang dibutuhkan dalam
manajemen dan berpengaruh positif terhadap perilaku
organisasi. Partisipan juga mampu menggunakan
pendekatan pengambilan keputusan yang rasional serta
mengembangkan rencana dan kelompok kerja yang
kolaboratif. Di bawah ini adalah daftar soft skill yang
dapat diidentisikasi dan dikembangkan oleh partisipan
selama pelaksanaan kegiatan active learning:
a. Mendapatkan kepercayaan diri
b. Meningkatkan kemampuan komunikasi baik lisan
maupun tulisan
c. Keinginan yang besar untuk menerima ide dari
orang lain
d. Respek yang tinggi khususnya dari mahasiswa
tradisional
e. Mendapatkan kredibilitas berdasarkan pengalaman
kerja
f. Mahasiswa menghargai seniornya karena
pengalaman hidupnya
g. Mendapatkan pengalaman dan pemahaman tentang
budaya lain
h. Belajar mengenai aspek negatif dari stereotip
i. Belajar bahwa active learning informatif dan
menyenangkan
j. Berteman dengan yang lain meskipun orang tersebut
kurang aktif di kelas
k. Mengatasi rasa malu
l. Belajar tentang teknologi dan aplikasinya
m. Belajar untuk tidak setuju tanpa rasa marah.
n. Mendapatkan kepercayaan bahwa tujuan dapat
dicapai melalui pembimbingan baik oleh instruktur
maupun sejawat.
o. Mengenali pentingnya organisasi dan hubungan
antar karyawan
Proses yang telah dilalui oleh partisipan
memberikan banyak keuntungan diantaranya partisipan
belajar untuk beradaptasi dan menemukan metodenya
sendiri untuk memahami materi perkuliahan. Beberapa
implikasi yang dapat diambil dari penelitian tersebut
adalah:
a. Meneruskan penelitian tentang efektifitas active
learning
b. Para instruktur diharapkan selalu mengeksplorasi
kesempatan untuk mengintegrasikan active learning
dalam aktifitas perkuliahan.
c. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk
mengidentifikasikan soft skill dan kemampuan lain
yang dibutuhkan oleh para karyawan.
d. Struktur organisasi yang flat dan meningkatkan
populasi mahasiswa menuntut adanya perubahan
strategi mengajar yang masih tradisional dan up date
kurikulum.
Penelitian ini dilandasi oleh hasil-hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain, yakni :
1. Mishel and Bernstein (1994) yang menyatakan
bahwa transformasi pada angkatan kerja yang
berhubungan erat dengan perubahan-perubahan
diantaranya mahasiswa non tradisional yang
memasuki dunia perguruan tinggi. Berdasarkan data
Departemen Pendidikan AS menunjukkan bahwa
setengah dari mahasiswa tahun pertama berusia
diatas 24 tahun, dan sepertiganya berusia di atas 35
tahun.
2. Kebutuhan untuk memperkecil skill gap dengan
meningkatkan kemampuan para pekerja agar
memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja
yang global, kompetitif dan berteknologi. Keadaan
tersebut membutuhkan transformasi metode
pengajaran. Menurut Fink (1999) an Black (2002)
untuk menjawab hal tersebut para pengajar perlu
mengubah pengajaran yang bersifat tradisional ke
model pembelajaran yang adaptif yang berfokus
pada pendekatan yang terintegrasi dan lebih
melibatkan siswa.
3. Allen (2000) menyatakan bahwa materi perkuliahan
harus mengandung aktivitas pembelajaran yang
bervariasi sehingga mahasiswa dapat berperan dalam
budaya akademik dan memperkaya kehidupannya
melalui proses sharing dengan para pengajarnya.
4. Giezkowski (1992) menyatakan bahwa instruktur
yang mampu menyesuaikan diri dengan mahasiswa
yang sudah matang (mature students) mengalami
peningkatan dalam proses pengajaran dan kelasnya
menjadi sangat dinamis, sebab mahasiswa tersebut
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 71
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
cenderung lebih fokusdalam menerapkan apa yang
dipelajari, lebih bermotivasi, dan menunjukkan
perilaku yang unggul. Pengalaman hidupnya
memperkaya diskusi di kelas serta mendorong baik
mahasiswa maupun pengajarnya untuk
membandingkan antara teori dan realita.
5. Bean (1996), Sutherland and Bonwell (1996) dan
Silberman (1996) active learning direkomendasikan
untuk memperluas pemahaman dan interpersonal
skill seperti komunikasi, penyelesaian masalah dan
team work.
6. Lucas (1997) mengatakan bahwa active learning
merupakan pendekatan simulasi atau game yang
memiliki 4 karakteristik yakni (a) mencari arti dan
pemahaman, (b) fokus pada tanggung jawab siswa,
(c) menekankan pada keterampilan dan
pengetahuan, (d) pendekatan terhadap kurikulum
yang menempatkan lulusan pada setting sosial dan
karir yang lebih luas.
C. Telaah Kritis
1. Topik Artikel
Topik artikel ini sangat menarik, mengingat
bahasan mengenai soft skill saat ini sedang hangat
dibicarakan. Jumlah lapangan pekerjaan dan pelamar
kerja yang tidak sebanding membuat persaingan
menjadi ketat. Tatapi kenyataannya banyaknya pelamar
kerja tidak diimbangi dengan kualitas individual yang
dibutuhkan oleh dunia kerja.
Berdasarkan laporan World Compettivenes
Yerabook (2004), tingkat daya saing Sumber Daya
Manusia Indonesia di limgkungan regoional ASEAN
berada paling bawah. Misalnya Singapura berada di
peringkat 2, Malaysia peringkat 16, Thailand peringkat
29 dan Filipina 52. Para pelamar kerja khususnya
lulusan perguruan tinggi yang diharapkan memiliki
kualitas personal yang unggul ternyata kurang tangguh,
tidak jujur, cepat bosan, tidak bisa bekerja teamwork,
sampai minim kemampuan berkomunikasi lisan dan
menulis laporan dengan baik.
Hal ini tidak terlepas dari peran PT yang
idealnya sebagai pusat pengajaran, selama ini hanya
menekankan pengajaran pada keahlian dan keterampilan
fisik (hard skill) Padahal waktu terjun di DU/DI banyak
aspek soft kill seperti kemampuan berkomunikasi yang
baik, kejujuran, etos kerja tinggi, tahan banting dan
aspek-aspek lain yang tidak di ajarkan tetapi sangat
berperan dalam DU/DI tersebut.
Soft Skill didefinisikan sebagai ―personal and
interpersonal behaviors that develop and maximize
human performance (e.g. coaching, team building,
decision making, initiative). Menurut Patrick S. O'Brien
dalam bukunya Making College Count, soft skill dapat
dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning
Characteristics, yaitu, communication skills,
organizational skills, leadership, logic, effort, group
skills, dan ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak
terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan
itu, disebut soft skill.
Dan survei dari National Association of
College and Employee (NACE), USA (2002), kepada
457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang
juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan
komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja
sama, kemampuan interpersonal, beretika,
motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya
analitik, kemampuan komputer, kemampuan
berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan,
kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks
prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan
berwirausaha.
2. Teori yang digunakan
Penelitian ini didasari pada hasil-hasil
penelitian yang telah dilaksanakan oleh para peneliti
terdahulu, diantaranya adanya kebutuhan praktis akan
metode pembelajaran yang menjembatani antara
kebutuhan dunia usaha dan pelaksanaan pengajaran di
PT. Ketidakseimbangan pendidikan di ruang kuliah
yang lebih bertumpu pada hard skill, tentu saja perlu
segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot
lebih kepada pengembangan soft skill. Implementasi soft
skill tersebut dapat dilakukan baik melalui kurikulum
maupun kegiatan ekstrakurikuler.
Penerapan active learning yang digagas oleh Bean
(1996), Sutherland and Bonwell (1996) dan Silberman
(1996) merupakan suatu ide yang cemerlang untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Penerapan atribut soft
skill di ruang kelas di Indonesia, misalnya, lebih banyak
lagi tugas presentasi, diskusi kelompok, sampai role
play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan
berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting
sebagai aplikasi pendidikan yang bukan sekadar
bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre
learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar
dengan baik (student centre learning).
3. Sumbangan bagi dunia pendidikan
Artikel ini memiliki sumbangan yang cukup
signifikan bagi perkembangan dunia pendidikan.
Penelitian di Eropa menyebutkan, kesuksesan seseorang
di dunia usaha 80% ditentukan oleh kemampuan
softskill dan 20% kemampuan hardskill. Akan tetapi,
didalam sistem pendidikan saat ini seperti di paparkan
dalam Rakerwil Pimpinan PTS tahun 2006 bahwa 10 %
adalah soft skills sedangkan 90 % adalah hard skills.
Model pendidikan tinggi pada umumnya masih fokus
pada keterampilan teknis (hard skill) 90 persen di
bandingkan pengembangan kemampuan lunak (Soft
skills) yaitu 10 persen. Sementara itu, National
Association Of College and Employers (NACE) pada
tahun 2005 melaporkan bahwa pada umumnya para
pengguna lulusan membutuhkan keahlian kerja berupa
soft skill 82 persen dan hard skill 18 persen. Oleh
karena itu dibutuhkan adaptasi kurikulum untuk
meningkatkan hasil belajar siswa yang berorientasi pada
soft skill.
4. Kelemahan artikel
Kelemahan dari artikel penelitian ini
diantaranya adalah tidak mendasarkan pada teori-teori
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 72
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
tentang soft skill. Meskipun proses pembelajaran
merupakan penekanan pada penelitian ini tetapi soft
skill sebagai out come dari penelitian ini tetap harus
dianalisa secara mendalam.
Metodologi yang digunakan hanya bersifat
deskriptif, sehingga tidak dapat disimpulkan apakah
memang ada perbedaan yang signifikan antara
kemampuan sebelum dan sesudah penelitian. Akan
lebih baik bila didesain dengan eksperimen dan
digunakan kelompok control. Dengan demikian maka
sample dapat diperbanyak dan lebih melibatkan banyak
unsur budaya.
Partisipan adalah orang African American dan
Hispanic, tidak ada satupun orang Amerika asli, hal ini
tentunya akan membawa dampak strereotip dan
prejudice yang sangat tidak diharapkan.
D. Penutup
Kesimpulan
Dari uraian yang telah disampaikan, maka
dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama artikel jurnal
internasional yang berjudul Integrating Soft Skills
Through Active Learning In The Management
Classroom yang dilakukan oleh Chynette
NealyUniversity of Houston-Downtown dimuat
dalamJournal of College Teaching & Learning Volume
2, Number 4 April 2005 sangat menarik untuk dijadikan
kajian.
Kondisi masyarakat di Indonesia khususnya
angkatan kerjanya yang memiliki kualitas personal
rendah, dapat menjadi cermin bahwa soft skill yang
merupakan salah satu aspek penting dari kualitas
personal seseorang masih belum mendapat perhatian.
Dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi mestinya
mampu merespon kondisi ini dengan merevisi
kurikulum pendidikannya berikut pada metode
pembelajaran agar kondisi pembelajaran di kelas dapat
menstimulasi munculnya kemampuan soft skil. Proses
integrasi materi soft skill dalam mata kuliah dan
praktek pengelolaan kelas menjadi keniscayaan bagi
pendidik dalam memimpin pembelajaran yang pada
gilirannya akan mampu menghasilkan lulusan
perguruan tinggi yang kompeten dibidangnya serta
tangguh dalam menghadapi dinamika masyarakat
global.
DAFTAR RUJUKAN
As‘ad, M. 1986. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberti
Daft, R.I. 1986.Organization: A Micro/Macro
Approach. Glenview, Illinois: Scot, Foresman
and Company.
Hughes, R.J. & Kapoor J.R. 1976. Business. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Luthan, F. 1985. Organizational Behavior(4th
ed),
Singapore: Mc Graw Hill Book Company.
Moore, G.W.1983. Developing and Evaluating
Educational Research. Toronto: Little Brown
& Company (Canada) Limited.
Owens, R.G. 1991. Organizational Behaviourin
Education (4th
ed). London: Prentice Hall
International Inc.
Santoso, Slamet. Integrasi Soft Skill Mahasiwa di
Perkuliahan;Langkah letih Pengembangan dan
Pendekatan Pendidikan di PT.
(slametsantoso.multiply.com/journal/item/6 -
124k. diakses tanggal 26 Oktober 2008)
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad
21. Magelang: Indonesia Tera.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 73
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Upaya Meningkatkan Produktivitas Menulis Melalui Strategi Pembelajaran Berbasis
Masalah Untuk Mahasiswa STKIP PGRI Lamongan
Abd. Ghofur* *)
Tenaga Pengajar di STKIP PGRI Lamongan
Abstrak Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
dapat meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa di STKIP PGRI Lamongan.Untuk mencapai tujuan tersebut
dilakukan observasi terkait tingkat produktivitas menulis mahasiswa. Hasil observasi menunjukan bahwa tingkat
produktivitas menulis mahasiswa masih minim, walaupun ada, itupun masih banyak unsur copy paste. Oleh karena itu,
perlu dilakukan tindakan terhadap kelas tersebut.
Tindakan penelitian dengan strategi pembelajaran berbasis masalah ini dilakukan dalam dua siklus. Siklus yang
pertama kelas dibuat dalam bentuk kelompok. Hasil siklus pertama cukup baik, cuma masih belum merata untuk
masing-masing individu. Hasil evaluasi dan refleksi menunjukan perlu tindakan pada siklus kedua. Pada tahapan ini
hasil evaluasi menunjukan bahwa masing-masing individu mampu membuat karya tulis orisinil sesuai masalah yang
dikaji.
Kata Kunci: Produktivitas Menulis, Strategi pembelajaran berbasis masalah.
PENDAHULUAN
Menulis penting bagi kehidupan manusia. Sebab
menulis merupakan proses berpikir, kegiatan
berkomunikasi, serta merupakan kemampuan yang perlu
dimiliki seorang pembelajar, terutama mahasiswa
(Yuningtyas, 2010).
Kemampuan menulis memiliki peran penting
dalam keberhasilan mahasiswa untuk menyelesaikan
studinya. Beberapa pembelajaran dalam perkuliahan,
menuntut mahasiswa dapat menghasilkan sebuah tulisan.
Bahkan, di akhir masa studinya, mahasiswa harus
membuat laporan penelitian. Namun, aktivitas menulis di
kalangan mahasiswa dapat dikatakan belum berjalan baik.
Hal ini disebabkan menulis dianggap kegiatan yang sulit
dan kurangnya kesadaran membaca di kalangan
mahasiswa untuk meningkatkan kualitas tulisan mereka
(Yuningtyas, 2010).
Ini bukan perkara biasa. Sayang, tak semua orang
menganggap penting hal ini. Akademisi tak terampil
berkarya tulis, sungguh sebuah ironi. Harus ada upaya
luar biasa yang mesti dilakukan agar budaya baca tulis
marak di masyarakat kampus. Produktivitas dalam
berkarya tulis idealnya menjadi ciri khas dari kehidupan
masyarakat ilmiah di lingkungan kampus.
Dalam konteks kekinian, tidak perlu malu
mengakui, kaum intelektual Indonesia belum produktif
berkarya tulis. Di Malaysia, rata-rata per tahun terbit
sekitar 6.000 sampai 7.000 judul buku baru. Sementara di
Indonesia baru terbit sekitar 4.000 sampai 5.000 judul
buku baru (Sapa'at, 2012).
Ironisnya, hal ini tidak sebanding dengan jumlah
penduduk Indonesia yang lebih besar 10 kali lipat dari
jumlah penduduk Malaysia. Idealnya, 60.000 judul buku
baru setiap tahunnya muncul di pasaran, buah pemikiran
dari 61.889 dosen berkualifikasi magister dan 12.081
dosen berkualifikasi doktor di PTN dan PTS seluruh
Indonesia. Dengan perhitungan seperti itu, untuk
mengejar Malaysia saja, setiap dosen di Indonesia harus
menulis satu buku setiap tahunnya (Sapa'at, 2012).
Bagaimana dengan produktivitas menulis para
mahasiswa di Indonesia? Hampir bernasib sama dengan
para dosennya, memprihatinkan. Prof. Alwasilah dalam
sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 16 responden
etnografis (mahasiswa S1, S2, S3) di kampus
Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, mayoritas
responden menilai bahwa pendidikan nasional Indonesia
tidak membekali mahasiswa dengan kemampuan menulis
paper (75%), tidak mengajari kemampuan berpikir kritis
(68%), dan menulis paper merupakan tugas akademik
yang paling sulit (75%) (Sapa'at, 2012).
Kondisi ini menuntut keprihatinan, lantaran pegiat
pendidikan yang seharusnya giat menelurkan karya tulis
sepertinya dalam kondisi mlempem. Memang kondisi ini
tidak bisa dilihat dari sudut pandang sepihak saja. Namun
butuh kajian yang sistematis untuk bisa menggenjot
produktivitas menulis dikalangan pegiat pendidikan,
khususnya para mahasiswa.
Mengacu pada latar belakang masalah diatas,
rumusan masalah penelitian tersebut yakni apakah
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dapat
meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa STKIP
PGRI Lamongan?.
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dapat
meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa STKIP
PGRI Lamongan.
Menurut Rusydiawan (2011) Produktivitas dapat
digambarkan dalam dua pengertian yaitu secara teknis
dan financial. Pengertian produktivitas secara teknis
adalah pengefesiensian produksi terutama dalam
pemakaian ilmu dan teknologi. Sedangkan pengertian
produktivitas secara financial adalah pengukuran
produktivitas atas output dan input yang telah
dikuantifikasi.Suatu perusahaan industry merupakan unit
proses yang mengolah sumber daya (input) menjadi
output dengan suatu transformasi tertentu. Dalam proses
inilah terjadi penambahan nilai lebih dibandingkan
sebelum proses, sehingga produktivitas dapat diukur
berdasarkan pengukuran berikut:
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 74
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Produktivitas = Output yang dihasilkan / Input yang
dipergunakan; Pencapaian Tujuan / Penggunaan
sumber-sumber daya; Efektivitas pelaksanaan tugas /
Efisiensi penggunaan sumber daya; Efektivitas /
Efisiensi.
KAJIAN TEORI
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM)
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran
yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah
yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri utama dari
SPBM. Pertama, SPBM merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran, artinya dalam implementasinya SPBM ada
sejumlah kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa.
SPBM tidak mengharapkan siswa hanya sekedar
mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi
pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa aktif berfikir,
berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya
menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan
untuk menyelesaikan masalah. SPBM menempatkan
masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran.
Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses
pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan pendekatan berfikir secara ilmiah.
Berfikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah
proses berfikir deduktif dan induktif. Proses berfikir ini
dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis
artinya berfikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan
tertentu: sedangkan empiris artinya proses penyelesaian
masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas,
(Sanjaya, 2008).
Arends (Hipni, 2011) menyatakan bahwa model
pembelajaran berdasarkan masalah adalah model
pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa
pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan
keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan
siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Model
ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata
sebagai sesuatu dan meningkatkan keterampilan
berpikirkritis dan menyelesaikan masalah, serta
mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting.
Pendekatan pembelajaran Berbasis Masalah ini
mengutamakan proses belajar dimana tugas dosen harus
memfokuskan diri untuk membantu mahasiswa mencapai
keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran
berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat
berpikir lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada
masalah, termasuk bagaimana belajar (Nurhayati Abbas
dalam Hipni, 2011). Dosen dalam model pembelajaran
berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah,
penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan
masalah dan pemberi fasilitas penelitian. Selain itu dosen
menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat
meningkatkan pertumbuhan inquiri dan intelektual
mahasiswa. Pembelajaran berdasarkan masalah hanya
dapat terjadi jika dosen dapat menciptakan lingkungan
kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan.
Pembelajaran berdasarkan masalah juga dapat
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan aktivitas
belajar mahasiswa, baik secara individual maupun secara
kelompok. Di sini guru berperan sebagai pemberi
rangsangan, pembimbing kegiatan siswa, dan penentun
arah belajar siswa (Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011).
Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model
pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan
yang dihasilkan oleh siswa sebagai hasil penyelidikan
mereka. Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai
pekerjaan siswa tersebut, penilaian itu antara lain asesmen
kenerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses
bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa
merencanakan pemecahan masalah melihat bagaimana
siswa menunjukkan pengetahuan dan keterampilan.
Karena kebanyakan problema dalam kehidupan nyata
bersifat dinamis sesuai perkembangan jaman dan
konteks/lingkungannya, maka perlu dikembangkan model
pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif
mengembangkan kemampuannya untuk belajar (Learning
how to learn). Dengan kemampuan atau kecakapan
tersebut diharapkan siswa akan mudah beradaptasi
(Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa
semester V Prodi Pendidikan Ekonomi dan PPKn STKIP
PGRI Lamongan. Proses penelitian ini dilaksanakan
selama 3 bulan dimulai pada bulan November 2012
sampai dengan Januari 2013. Dalam prakteknya
penelitian ini terbagi dalam dua siklus. Sebagai langkah
awal peneliti melakukan pengumpulan data yang
obyektif, sehingga data yang dihasilkan bukan sekedar
asumsi atau data yang bersifat subyektif. Pada siklus
pertama dimulai pada minggu pertama bulan November
2012 sampai minggu pertama bulan Desember 2012.
Kemudian dilanjutkan dengan siklus kedua dengan
konsep dan format yang hampir sama dengan siklus
pertama, cuma ada beberapa hal yang membedakanya.
Pada siklus kedua ini konsep dan pelaksanaan sudah
mulai matang karena peneliti sudah mengantongi data dan
informasi terkait objek yang menjadi penelitian, sehingga
bisa dijadikan acuan. Sikluss kedua ini dilaksanakan pada
minggu keempat bulan Desember 2012 sampai minggu
kedua bulan Januari 2013. Setiap siklus memuat
perencanaan atau revisi perencanaan, pelaksanaan
tindakan dan observasi, evaluasi dan diakhiri dengan
refleksi.
Pada siklus pertama membutuhkan waktu yang
relatif lama, hal ini dikarenakan Perencanaan yang ada
pada siklus pertama memuat secara umum seluruh siklus.
Perencanaan atau revisi perencanaan pada siklus kedua
membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 75
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Adapun skema siklus dapat dilihat sebagaimana
bagan dibawah ini.
Gambar 1: Pelaksanaan Penelitian Tindakan
Pada siklus satu terdiri dari tiga tindakan yaitu
tindakan pertama, kedua, dan ketiga. Ketiga tindakan
pada siklus satu dilaksanakan setiap jam mata kuliah
strategi belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di
luar kelas. Kemudian pelaksanaan tindakan observasi
bersamaan dengan pelaksanaan siklus. Sedangkan
evaluasi dilaksanakan dua kali. Untuk melengkapi siklus
pertama dilakukan refleksi sebagai bahan renungan atas
segala aktivitas yang telah dilaksanakan pada siklus
pertama.
Pada siklus pertama dibuat dalam bentuk
kelompok berdasar asumsi-asumsi peneliti dan hasil
pengamatan serta wawancara lepas dengan beberapa
mahasiswa yang menjadi sasaran penelitian. Hasil
pengumpulan data awal terkait kemampuan mahasiswa,
kemudian peneliti membuat daftar kelompok sesuai
kemampuan siswa yang dengan sistim heterogen,
sehingga dalam setiap kelompok saling melengkapi antara
personil masing-masing kelompok. Peneliti membagi
kelas yang berjumlah 21 mahasiswa menjadi 4 kelompok.
Pada siklus kedua mahasiswa dianggap sudah
mumpuni dan mandiri dalam membuat karya tulis
menggunakan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
dengan sistim individu.
Observasi yang dilakukan selama proses
pembelajaran menggunakan Strategi Pembelajaran
Berbasis Masalah pada tahapan pertama yang
menggunakan sistim kelompok adalah dengan mengamati
interaksi antar anggota tiap kelompok dalam berbagi
peran menyelesaikan tugas. Beberapa hal yang menjadi
bahan observasi adalah 1) Sistematika Tulisan, 2)
Penggunaan tata bahasa, 3) Substansi tulisan dengan
masalah, 4) Orisinilitas tulisan. Beberapa kriteria yang
menjadi bahan observasi karena menjadi tolok ukur
pelaksanaan pembelajaran tahap selanjutnya.
Observasi pada tahapan kedua menggunakan
sistim individu, komponen pengamatan sama dengan
yang ada pada sistem kelompok. Pada tahapan ini
diharapkan menjadi tolok ukur peningkatan produktivitas
mahasiswa dalam menulis karya tulis menggunakan
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah.
Evaluasi ini dilakukan sebagai wujud penilaian
dan koreksi dari metode yang dipakai. Evaluasi ini
dilakukan dengan menggunakan tes dan form penilaian
yang sudah dimodifikasi peneliti. Hal ini dilakukan sebagi
pedoman dan acuan seberapa efektif pembelajaran
menggunakan metode ini. Evaluasi ini dilakukan dua kali,
Evaluasi pertama dilakukan setelah berakhirnya siklus
pertama, sedangkan evaluasi kedua dilaksanakan pada
siklus kedua.
Refleksi penelitian dilakukan dalam rangka untuk
melihat lebih detail pelaksanaan selama proses tindakan
pembelajaran, segala tindakan yang sudah dirancang dan
dilaksanakan apakah sudah berjalan secara efektif dan
optimal apa belum, sehingga bisa dirumuskan beberapa
strategi yang lebih tepat dalam proses tindakan
selanjutnya. Refleksi ini dilakukan setelah berakhirnya
siklus kesatu, tepatnya setelah selesai proses evaluasi
pertama. Secara umum refleksi ini dilakukan untuk
melihat produktivitas karya tulis mahasiswa
menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah.
Beberapa instrumen penelitian yang digunakan
dalam rangka mengumpulkan data untuk menjawab
rumusan masalah adalah; (1) Instrumen Pengamatan, (2)
Instrumen Angket sebelum dan sesudah pembelajaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus pertama, mahasiswa dibuat dalam bentuk
kelompok. Setiap kelompok mendapatkan materi tentang
teknik menulis dan pengembangannya. Namun sebelum
pembelajaran dimulai, mereka diberikan angket untuk
mengetahui kondisi awal mahasiswa. Hasil pemberian
angket diketahui bahwa 80% dari seluruh mahasiswa
belum pernah membuat karya tulis. Kemudian 85%
mahasiswa kesulitan untuk membuat karya tulis. Lalu,
30% yang mengetahui penggunaan kosa kata dan tata
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selama empat kali pertemuan dalam melakukan
tindakan, ada beberapa perkembangan yang cukup
Kelompok
Kriteria
Sis
tem
ati
k
a T
uli
san
Pen
gg
un
a
an
ta
ta
ba
ha
sa
Su
bst
an
si
tuli
san
den
ga
n
ma
sala
h
Ori
sin
ilit
a
s tu
lisa
n
Satu 80 85 76 80
Dua 79 82 74 75
Tiga 85 75 80 86
Empat 87 90 78 88
Lima 95 87 80 80
SIKLUS 2
SIKLUS 1
Perencanaan Ulang
Penggalian Data
Awal
Tindakan dan observasi
Perencanaan Umum
Tindakan dan observasi
Evaluasi 1
Refleksi
Evaluasi 2
Penyusunan Laporan
Tabel 1. Hasil Evaluasi Siklus I
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 76
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
signifikan. Hasil observasi menunjukan bahwa 85%
mahasiswa mampu membuat karya tulis sederhana
dengan Strategi belajar berbasis masalah. Setelah dirasa
cukup melakukan tindakan, langkah berikutnya adalah
melakukan evaluasi. Hasil evaluasi menunjukan bahwa
mahasiswa yang tergabung dalam kelompok mampu
membuat karya tulis sederhana sesuai kriteria yang
diharapkan. Langkah berikutnya adalah melakukan
refleksi, dimana hasilnya adalah melakukan tindakan lagi
dalam siklus kedua. Sebab, secara kelompok mereka
mampu membuat karya tulis, namun secara individu
belum terbukti.
Siklus kedua, mahasiswa sudah melakukan
kegiatan secara individu. Mereka diberikan tindakan sama
seperti pada siklus pertama. Hasil observasi yang
dilakukan saat tindakan berlangsung cukup signifikan.
Tercatat, ada 80% mahasiswa mampu membuat karya
tulis sederhana secara mandiri dan orisinil. Setelah
melakukan tiga kali tindakan, hasilnya cukup
memuaskan. Pada tahap evaluasi, para mahasiswa 90%
sudah mampu mengembangkan dan membuat karya tulis.
Setidaknya, dalam dua siklus, mereka telah menghasilkan
dua kali karya tulis. Sehingga intensitas menulis akan
terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
menulis mereka.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil tindakan dan observasi dalam
penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi belajar
berbasis masalah mampu meningkatkan produktivitas
menulis mahasiswa. Hal ini didasarkan pada tingkat
keberhasilan mahasiswa menghasilkan karya tulis. Sebab,
sebelumnya mereka kesulitan membuat karya tulis,
walaupun ada, lebih pada copy paste.
Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Sebab,
pada siklus pertama hasilnya belum menyeluruh. Sebab,
pada siklus pertama dilakukan dalam bentuk kelompok.
Pada siklus yang kedua, para mahasiswa telah mampu
membuat karya tulis secara mandiri dan orisinil. Sehingga
kesimpulannya, strategi belajar berbasis masalah mampu
mengupayakan peningkatan produktivitas menulis
mahasiswa yang mengambil mata kuliah Media
Pembelajaran semester V Prodi Ekonomi dan PPKn
STKIP PGRI Lamongan.
DAFTAR PUSTAKA
Hipni. Rohman. 2011. Strategi Pembelajaran Berbasis
Masalah [online]
(http://hipni.blogspot.com/2011/09/strategi-
pembelajaran-berbasis-masalah.htm , diakses
tanggal 03 Januari 2013)
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Sapa'at. Asep. 2012. Akademisi Miskin Karya Tulis,
Tanya Mengapa?, [online]
(http://www.kesekolah.com/artikel-dan-
berita/berita/akademisi-miskin-karya-tulis-tanya-
mengapa.html, diakses tanggal 26 Desember 2012)
Sopa, Ikhwan. 2012. Definisi Produktivitas, [online]
(http://produktivitas.qacomm.com/blog/definisi-
produktivitas.html, diakses tanggal 26 Desember
2012)
Yuningtyas, A. F. 2010. Pengaruh penerapan strategis
sisnacalisting terhadap kemampuan menulis artikel
mahasiswa. Skripsi prodi bahasa dan sastra
Indonesia jurusan sastra indonesia fakultas sastra
Universitas Negeri Malang: diterbitkan.
Rusydiawan, Imaniar. 2011. Meningkatkan Produktivitas
Produksi dengan Optimalisasi Sistem Infrastruktur
TI Menggunakan Metoda IT Balanced Scorecard.
Thesis Magister Teknik Elektro, Universitas Mercu
Buana: diterbitkan.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 77
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Jatmiko Winarno *)
*) Dosen Fakultas Hukum Unisla
ABSTRAKSI
Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dilindungi karena
dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi keberadaannya.
Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak.
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Perlindungan terhadap anak menjadi penting karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Pengangkatan anak tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata hanya
mengatur ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin yang diatur dalam Buku I Bab XII bagian ketiga, tepatnya
pada Pasal 280 sampai Pasal 289.
Mengingat meningkatnya kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak dan kultur budaya masyarakat telah
lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsbald 1917
No.129 yang isinya mengatur secara khusus mengenai lembaga pengangkatan anak yang termuat dalam Bab II pasal 5
sampai dengan pasal 15 yang lebih dikenal dengan istilah adopsi.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan yaitu Bagaimana syarat dan tata
cara pengangkatan anak? Dan Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak?
Kata kunci : anak angkat, akibat hukum
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari
Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta
dilindungi karena dalam diri seorang anak melekat
harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi keberadaannya.
Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan
Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak.
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan
orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera. Perlindungan terhadap anak menjadi
penting karena anak adalah tunas, potensi, dan
generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun
1979 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6
Tahun 1983 disamping menjadi pedoman bagi
hakim-hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia dalam hal menerima,
memeriksa dan memutus permohonan pengesahan
pengangkatan anak juga merupakan produk hukum
yang dibentuk guna melengkapi peraturan
perundang-undangan yang tidak mencukupi dalam
hal pengaturan mengenai pengangkatan anak.
Selain itu pada kenyataannya, cara pemeriksaan
maupun bentuk serta isi pertimbangan dalam
putusan Pengadilan Negeri di bidang pengangkatan
anak menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan
yang kurang menguntungkan. Padahal sangat
diharapkan dari putusan-putusan semacam itu
merupakan faktor yang determinan (menentukan).
Permohonan pengangkatan anak berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
dibedakan antara:
1. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak
antar-WNI (Domestic Adoption);
2. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak
WNA oleh orang tua angkat WNI (Intercountry
Adoption); dan
3. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak
WNI oleh orang tua angkat WNA (Intercountry
Adoption).
Sedangkan putusan terhadap permohonan
tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung
No.6 Tahun 1983 dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Penetapan : dalam hal pengangkatan anak
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 78
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
tersebut terjadi antar-WNI(Domestic
Adoption).
2. Putusan : dalam hal anak yang diangkat oleh
orang tua angkat WNI berstatus WNA atau
dalam hal anak yang diangkat tersebut
berstatus WNI diangkat oleh orang tua angkat
WNA (Intercountry Adoption).
Mengenai akibat hukum pengangkatan anak di
Pengadilan Negeri, Surat Edaran Mahkamah Agung
No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak
menyatakan bahwa isi putusan dalam pertimbangan
hukum hendaknya jangan dilupakan hukum apa
yang diterapkan. Pada umumnya dalam hal ini
diterapkan hukum dari pihak yang mengangkat,
kadang-kadang diperlukan perhatian juga terhadap
adanya segi-segi dari hukum antargolongan yang
disebabkan oleh perbedaan suku atau golongan,
mungkin peleburan.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mngetahui bagaimana syarat dan tata
cara pengangkatan anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum
pengangkatan anak.
II. Kajian Teori
Pengertian pengangkatan anak ada bermacam-
macam, masing-masing pakar mengemukakan
pendapatnya sendiri-sendiri bedasarkan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam hukum adat, agama
dan kepercayaan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata kita hingga kini tidak mengenal adanya
lembaga pengangkatan anak (di negara asalnya
telah terjadi perkembangan bahwa B.W. Nederland
sekarang telah mengenal lembaga adoptie)4. Karena
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang
perkawinan sebagai bentuk hidup bersama bukan
untuk mengadakan keturunan.5 Selain dalam hukum
adat, pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad
1917 No.129, khususnya Bab II. Di dalam
Staatsblad tersebut pengangkatan anak dikenal
dengan istilah adopsi.
Adapun Hal yang menjadi latar belakang
diaturnya lembaga pengangkatan anak (adopsi)
dalam Hukum Perdata Barat adalah Kitab Undang-
undang Hukum Perdata diberlakukan pula untuk
golongan Tionghoa dimana masyarakat mengenal
adanya pengangkatan anak (adopsi). Menurut
tradisi mereka, dalam keluarga harus ada anak laki-
laki untuk melanjutkan keturunan dalam garis
keturunan lurus laki-laki. Karena, hanya anak yang
wajib memelihara kuburan dan sembahyang abu
untuk nenek moyang. Oleh karena itu, jika tidak
ada keturunan laki-laki maka seyogyanya
4 Soetojo Prawirohamijojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen En Familie-Recht), Surabaya : Airlangga
University Press, hal. 194. 5 Ali Afandi, 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum
Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta, hal.149.
mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya
sendiri.6 Oleh sebab itu, diaturlah kctentuan
mengenai pengangkatan anak (adopsi) yang berlaku
bagi masyarakat dalam Staatsblad 1917 No.129
khususnya Bab II.
Pengertian pengangkatan anak tidak ditemukan
dalam pasal-pasal Staatsblad tersebut untuk
mengetahui pengertian pengangkatan anak dapat
dibaca dalam pasal-pasalnya, antara lain Pasal 5
yang menyatakan sebagai berikut :
1. Apabila seorang laki-laki, beristri atau telah
pernah beristri, tidak mempunyai keturunan
laki-laki dalam garis laki-laki, baik keturunan
karena kelahiran, maupun keturunan karena
pengangkatan, maka bolehlah ia mengangkat
seorang laki-laki sebagai anaknya.
2. Pengangkatan yang demikian harus dilakukan
oleh si orang laki-laki tersebut bersama-sama
dengan istrinya, atau jika dilakukannya setelah
perkawinannya bubar, oleh dia sendiri.
3. Apabila kepada seorang perempuan janda,
yang tidak telah kawin lagi. oleh suaminya
yang telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan
seorang keturunan sebagaimana termaksud
dalam ayat kesatu pasal ini, maka boleh pun ia
mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya.
Jika sementara itu si suami yang telah
meninggal dunia, dengan surat wasiat telah
menyatakan tak menghendaki pengangkatan
anak oleh istrinya, maka pengangkatan itu pun
tak boleh dilakukannya.
Ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai
calon orang tua angkat. Sedangkan anak angkat
dapat diketahui dari Pasal 6 Staatsblad 1917
No.129 yang menyatakan sebagai berikut : Yang
boleh diangkat hanya orang-orang Tionghoa laki-
laki yang tak beristri pun tak beranak, dan tidak
telah diangkat oleh orang lain.
Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut
pengertian pengangkatan anak (adopsi) berdasarkan
Staatsblad 1917 No.129 adalah pengangkatan anak
Tionghoa laki-laki oleh seorang laki-laki beristri
atau pernah beristri atau seorang janda cerai mati,
tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis
baik karena kelahiran maupun keturunan karena
pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang
diangkat mendapat nama keluarga yang
mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus
segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya,
tidak mewaris dari keluarga sedarah asalnya dan
mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang
mengangkatnya.
Tujuan Pengangkatan Anak Hakikat dari suatu perkawinan adalah
bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam masyarakat suatu keluarga dianggap sebagai
keluarga yang lengkap apabila keluarga tersebut
terdiri dari suami, istri dan anak. Namun pada
6 Soetojo Prawiroharridjojo, Op cit, hal. 194.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 79
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kenyataannya banyak keluarga yang tidak lengkap
atau dengan kata lain tidak memiliki anak. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, mungkin
karena belum mempunyai anak atau bahkan karena
pasangan suami istri tersebut memang tidak dapat
memiliki anak. Berdasarkan hal tersebut, maka
pengangkatan anak merupakan salah satu jalan
keluar dari permasalahan tersebut.
Imam Sudiyat dalam bukunya mengatakan
bahwa pengangkatan anak tidak hanya dilakukan
oleh keluarga yang tidak memiliki anak, tetapi tidak
jarang pengangkatan anak juga dilakukan oleh
keluarga yang sudah mempunyai anak. Dari hal
tersebut diketahui bahwa bukan hanya pasangan
suami istri yang tidak rnempunyai anak saja yang
dapat melakukan pengangkatan anak, namun
mereka yang telah mempunyai anak pun dapat pula
melakukan pengangkatan anak.7
Pasal 5 ayat (1) Staatsblad 1917 No.129
mengatakan bahwa, "Bila seorang laki-laki yang
kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai
keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki
naik karena perhubungan darah maupun karena
pengangkatan anak, dapat mengangkat seorang
sebagai anak laki-lakinya. Dari ketentuan pasal
tersebut, jelaslah bahwa yang mendorong seorang
untuk mengangkat anak (mengadopsi) adalah
karena tidak mempunyai anak laki-laki dalam
keluarganya.
Hal tersebut disebabkan Staatsblad tersebut
menganut filosofi dan budaya masyarakat
keturunan Tionghoa yang didasarkan adat istiadat
dan kepercayaan mereka. Pengangkatan anak laki-
laki dimaksudkan untuk melanjutkan pemujaan
kepada leluhur yang hanya dapat dilakukan oleh
seorang anak laki-laki. Selain itu, pengangkatan
anak laki-laki juga untuk mempertahankan garis
keturunan karena masyarakat yang menganut
sistem kekeluargaan patrilineal. Sehingga apabila
mereka tidak mempunyai seorang anak laki-laki
mereka akan berusaha mendapatkannya dengan
jalan mengangkat anak laki-laki.
Dalam hukunn adat, tujuan dari
pengangkalan anak tersebut dibedakan dari masing-
masing daerah. Hal tersebut didasarkan pada sistem
kekeluargaan yang dikenal dalam masyarakat
Indonesia yaitu, patrilineal, matrilineal dan
parental. Namun demikian, bukan berarti hal
tersebut tidak menunjukan adanya persamaan
diantara sistem kekeluargaan satu dengan sistem
kekeluargaan yang lain. Sifat kesamaan dalam
hukum adat tetaplah sama.
Isti Sulistyorini berpendapat bahwa tujuan
pengangkatan anak sangat bervariasi, antara lain:
1. Karena tidak mempunyai anak.
2. Karena belas kasihan.
3. Karena hanya mempunyai anak laki-laki maka
diangkatlah anak perempuan dan sebaliknya.
7 Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat dan Sketsa, Yogyakarta:
Liberty, hal. 102.
4. Sebagai upaya memancing agar segera
mempunyai anak karena, lama tidak
mengandung.
5. Untuk mempererat tali persaudaraan.
6. Untuk menambah/membantu dalam usaha.
7. Karena unsur budaya.8
Motivasi yang beragam tersebut disebabkan
karena keberagaman suku, adat dan kebiasaan di
Indonesia.
Terlaksananya proses pengangkatan anak
tersebut tidak terlepas dari parapihak baik orang tua
kandung maupun orang tua angkat. Para pihak
mempunyai latar belakang yang mendasari
pelaksanaan pengangkatan anak tersebut.
Ikut sertanya orang tua kandung dalam
pelaksanaan pengangkatan anak antara lain
disebabkan oleh:
a. Merasa tidak mampu untuk membesarkan
anaknya;
b. Melihat adanya kesempatan untuk
meringankan beban oleh karena ada yang ingin
mengangkat anak;
c. Adanya imbalan pada persetujuan anak
kandungnya diangkat oleh orang tua angkat;
d. Nasib atau pandangan orang lain
disekelilingnya;
e. Ingin anaknya tertolong material selanjutnya;
f. Masih mempunyai anak lainnya;
g. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk
membesarkan anaknya sendiri;
h. Merasa bertanggung jawab atas masa depan
anaknya;
i. Tidak menghendaki anak yang dikandungnya
karena hubungan yang tidak sah.9
Pada mulanya pengangkatan anak
mengandung maksud untuk memenuhi kebuluhan
dan kepentingan orang tua yang mengangkat anak
yang antara lain untuk memperoleh anak dalam hal
orang tua angkat tersebut tidak mempunyai anak.
Namun dengan berkembangnya pengetahuan
masyarakat, pengangkatan anak dilaksanakan
dengan maksud dan tujuan tidak lagi semata-mata
untuk kepentingan orang tua angkat lagi tetapi demi
kesejahteraan dan masa depan anak.
Ketentuan mengenai pengangkatan anak yang
terdapat dalam Surat Edaran Mahkamat Agung
No.6 Tahun 1933 Tentang Penyempurnaan Surat
Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979, Surat
Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang
Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah
No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak menunjukkan kesungguhan
untuk mewujudkan pelaksanaan pengangkatan anak
yang didasarkan pada tujuan kesejahteraan anak.
Pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.61
Tahun 1983, perwujudan pengangkatan anak
dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
8 Isti Sulistyorini, Loc.Cit. 9 Arif Gosida. 1985. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta:
Akademika, hal. 26.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 80
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
anak tercermin dari proses pemeriksaan terhadapan
pengangkatan anak tersebut. Dalam hal tersebut,
hakim-hakim pengadilan harus memperoleh
gambaran yang benar tentang motivasi
pengangkatan anak, hak dari pihak yang akan
melepaskan anak maupun pihak yang akan
mengangkat anak.
Apabila diketahui ada alasan dari para orang
tua angkat dalam pelaksanaan pengangkatan anak
tersebut yang menyebabkan berkurangnya jaminan
kesejahteraan terhadap calon anak angkat, maka
dapat dijadikan alasan bagi hakim untuk menolak
pengangkatan anak tersebut.
Pengangkatan anak yang didasarkan pada
pengutamaan kesejahteraan anak ini didorong oleh
keinginan mewujudkan hak-hak anak seperti yang
tertuang dalam "Declaration of theRight of The
Child" (Deklarasi Hak-Hak Anak) yang ditetapkan
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 20 November 1959.
Tujuan pengangkatan anak berdasarkan
peraturan perundang-undangan dipertegas dengan
ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 2
Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dalam peraturan
perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan unian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak ada
bermacam-macam. Tujuan pengangkatan anak
(adopsi) bagi orang Tionghoa sebagaimana diatur
dalam Staatsblad 1917 No.129 adalah untuk
meneruskan keturunan laki-laki. Tujuan
pcngangkatan anak menurut hukum Adat bersifat
variatif. Menurut hukum Islam, pengangkatan anak
bertujuan sebagai suatu amal yang baik. Sedangkan
pengangkatan anak menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku bertujuan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Macam- macam Pengangkatan Anak Musthofa Sy. dalam bukunya
mengelompokan pengangkatan anak berdasarkan
beberapa kategori, diantaranya kewarganegaraan
orang tua angkat, status perkawinan calon orang tua
angkat, keberadaan anak yang akan diangkat dan
akibat hukum pengangkatan anak.
Dilihat dari kewarganegaraan orang tua
angkat, pengangkatan anak dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pengangkatan anak antar Warga
Negara Indonesia (domestic adoption) dan
pengangkatan anak internasional (intercountry
adoption). Domestic adoption adalah pengangkatan
anak yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI
terhadap anak angkat WNI. Sedangkan intercountry
adoption adalah pengangkatan anak, yang
dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap
anak angkat WNA atau pengangkatan anak yang
dilakukan oleh orang tua angkat WNA terhadap
anak angkat WNI.10
Dilihat dari status perkawinan calon orang
tua angkat, pengangkatan anak dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang
dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus
belum kawin (single parent adoption),
pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon
orang tua angkat berstatus kawin dan pengangkatan
anak yang dilakukan oleh janda atau duda
(posthurrus adoption).11
Dilihat dari keberadaan anak yang akan
diangkat, pengangkatan anak dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang
dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada
dalam kekuasaan orang tua kandung atau orang tua
asal (private adoption), pengangkatan anak yang
dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada
dalam organisasi social (non private adoption) dan
anak angkat yang tidak berada dalam
kekuasaanorang tua asal maupun organisasi sosial
misalnya anak yang ditemukan karena dibuang oleh
orangtuanya.12
Dilihat dari akibat hukum pengangkatan
anak, dalam kepustakaan hukum biasanya
membedakan pengangkatan anak menjadi dua
macam, yaitu pengangkatan anak berakibat hukum
sempurna (adoption plena) dan pengangkatan arak
berakibat hukum terbatas (adoption minus plena).13
Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari
akibat hukumnya, maka pengertian pengangkatan
anak (adopsi) berdasarkan Staatsblad 1917 No.
1129 dapat dimasukan ke dalam pengangkatan anak
berakibat hukum sempuma (adoption plena).
Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum
adat bersifat variatif, sehingga pengangkatan anak
menurut hukum adat ada yang termasuk
pengangkatan anak berakibat hukum sempurna
(adoption plena) dan ada pula vang termasuk
pengangkatan anak berakibat hukum terbatas
(adoption minus plena). Sedangkan pengangkatan
anak menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undang yang berlaku dapat dimasukan
ke dalam pengangkatan anak berakibat hukum
terbatas (adoption minus plena).
Dasar Hukum Pengangkatan Anak Pengangkatan anak melibatkan peran
pengadilan diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
Staatsblad 1917 No.l29. pengadilan mempunyai
kewenangan untuk memberi izin pengangkatan
anak bagi janda cerai mati apabila izin dari
keluarga mendiang suaminya tidak diperoleh izin
pengadilan itu harus disebutkan dalam akta
pengangkatan anak.
Ketentuan yang membolehkan janda cerai
mati untuk melakukan pengangkatan anak adalah
10 Musthofa Sy., Op.cit. hal. 42. 11Ibid 12Ibid 13 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendi-
sendi Hukum Perdata International, Jakarta: Rajawali, hal.
44-45.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 81
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
pengecualiaan dengan beberapa syarat
sebagrimana Pasal 5 ayat (3) Staatsblad tersebut
mengatur. Syarat lain bagi jauda perlu
mendapatkan kata sepakat dari saudara laki-laki
yang telah dewasa dan ayah mendiang suaminya
lebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 8
ayat (4). Apabila izin dari keluarga mendiang
suaminya tidak diperoleh, maka izin dapat
diperoleh melalui izinpengadilan.
Pengangkatan anak golongan Tionghoa
hanya untuk laki-laki, sehingga menutup peluang
pengangkatan anak perempuan melalui notaris.
Keinginan WNI keturunan Tionghoa untuk
melakukan pengangkatan terhadap anak
perempuan tidak tertampung oleh lembaga
tersebut dannotaris menolak terhadap
pengangkatan anak yang demikian. Demikian pula
pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon
orang tua angkat yang belum menikah. Untuk bisa
melakukan pengangkatan anak yang demikian Itu
harus ditempuh melalui putusan pengadilan.
Putusan-putusan pengadilan telah mengisi
kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam
perkembangan lembaga pengangkatan anak.
Pengangkatan anak melalui pengadilan akan
memberikan perlindungan kepentingan anak dan
kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan European
Convention on the Adoption of Children
(Konvensi Adopsi Den Haaag Tahun 1965) yang
menetapkan bahwa penetapan atau putusan
pengadilan merupakan syarat esensial bagi sahnya
pengangkatan anak.
Dalam perkembangannya, permohonan
pengangkatan anak melalui pengadilan semakin
banyak. Semula hanya dikenal pengangkatan anak
menurut Staatsblad 1917 Mo. 129 dan hukum adat
namun kemudian berdasarkan Peraturan
Pemerintah Rl No.7 Tahun 1977 Tentang
Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
memungkinkan pengangkatan anak untuk
memperoleh tunjangan anak. Selain itu,
berdasarkan Pasal 2 Undang-undanp, No.62 Tahun
1958 banyak terjadi pengangkatan anak warga
negara asing yang belurn berumur 5 (lima) tahun
oleh warga Negara Indonesia.14
Jumlah permohonan pengangkatan anak yang
diajukan ke Pengadilan Negeri terus bertambah,
baik yang dikumulasikan dengan gugatan perdata
maupun diajukan dalam permohonan khusus. Hal
ini menunjukan pergeseran variasi motif
pengangkatan anak dan kebutuhan pengangkatan
anak dalam masyarakat makin bertambah dan
untuk memperoleh kepastian hukum hanya dapat
dilakukan melalui putusan pengadilan.15
Dalam perkembangannya, khusus mengenai
pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat
WNA melalui notaris, Menteri Kehakiman dengan
Surat edaran No.THA 1/1/2 tanggal 24 Februari
14 Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hal. 36-37 15 Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan
Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, hal. 55.
1978 melarang notaris membuatkan akta
pengangkatan anak dan pengangkatan anak
tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui
Pengadilan Negeri. Atas keluarnya surat edaran
tersebut, Menteri Sosial menindaklanjuti dengan
Surat Edaran No.Huk 3-1-58.78 tanggal 7
Desember 1978. Selanjutnya Mahkamah Agung
RI memberikan petunjuk mengenai pengangkatan
anak antar-negara (intercountry adoption) dengan
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979
tanggal 7 April 1979.16
Berdasarkan SEMA Ko.6 Tahun 1983
Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah
Agung No.2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang
dilakukan oleh golongan Tionghoa melalui notaris
tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan.17
Demikian pula berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 7 Tahun 1977, anak angkat dapat diajukan
untuk mendapattunjangan anak bagi Pegawai
Negeri Sipil, maka banyak permohonan
pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan
Negeri.18
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun
1983 membedakan pengangkatan anak menjadi 3
(tiga) macam, yaitu:
a. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak
antar-WNI (domesticadoption).
b. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak
WNA oleh orang tua angkat WNl (intercountry
adoption).
c. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak
WNI oleh orang tua angkat WNA (intercountry
adoption).
Dengan belakunya Surat Edaran Mahkamah
Agung No.5 Tahun 1983 maka Surat Edaran
Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 dianggap
tidak berlaku lagi.
Pengadilan yang dimaksud untuk
pengangkatan anak pada saat itu adalah
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat
pertama di lingkungan Peradilan Umum. Peradilan
Unnnn adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya.Kekuasaan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri
sebagaipengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tinggi sebagai pengadilantingkat banding,
Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana danperdata di
tingkat pertama. Berdasarkan ketentuan tersebut
dapatditafsirkan bahwa Pengadilan Negeri sebagai
peradilan umum, bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan segala
perkara pidana dan perdata di tingkat pertama,
16 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 260. 17 Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum,
BeberapaYurisprudensi Perdata yang penting serta Hubungan
Ketentuan Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung RI,
Jakarta, hal. 551. 18 Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan
Anak dan Masalahnya, Semarang Dahara Prize, hal. 23-28.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 82
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
kecuali peraturan perundang-undangan
memberikan kewenangan secara khusus kepada
pengadilan lain (attributie van rechismacht), yaitu
Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan
Pengadilan Tala Usaha Negara.
Kewenangan terhndap perkara pengangkatan
anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan
lain pada saat itu, oleh karenanya semua perkara
yang berkaitan pengangkatan anak menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri.
III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A. Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Anak
Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus
yang mengharuskan pengangkatan anak dilakukan
dengan penetapan dari pengadilan. Hal tersebut
karena penetapan pengadilan tersebut hanya
berfungsi untuk menguatkan pengangkatan anak
yang dilakukan dan untuk lebih memberikan
jaminanhukum pengangkatan anak adalah sah
apabila dilakukan menurut ketentuan hukum adat,
hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing
pihak yangbersangkutan.
Sah atau tidaknya pengangkatan anak
tersebut tergantung pada dipenuhi atau tidaknya
syarat-syarat dan tata cara dalam melakukan
pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu dalam hal
harus adanya persetujuan dari masing-masing
pihak, baik pihak yang mengangkat anak ataupun
pihak yang akan melepaskan anak tersebut. Jika
tidak ada persetujuan dari salah satu pihak, maka
pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak sah.
Menurut hukum adat, syarat dan tata cara
pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan
dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat
bergantung pada tujuan dan akibat hukum dari
dilakukannya perbuatan pengangkatan anak
tersebut, yaitu:19
1. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan Tunai
Pengangkatan anak dalam cara ini
dilakukan olch masyarakat yang yang
menganut perbuatan hukum pengangkatan
anak sebagai perbuatan hukum untuk
menjadikan anak orang lain sebagai anak
kandung. Anak angkat pada masyarakat ini
selain dimasukan ke dalam ikatan somah
(rumah tangga) orang tua angkatnya, ia juga
secara sosial dimasukkan pula ke dalam ikatan
kekerabatan orang tua angkatnya. Selain itu
anak angkat menduduki posisi sebagai ahli
waris dari orangtua angkatnya baik terhadap
harta benda yang bersifat materiil maupun
untuk benda-benda imateriil (gelar-gelar adat
dan kebangsaan).
Secara terang berarti bahwa
pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan
sepengetahuan dan dihadapan kepala
persekutuan (kepala adat) dengan melakukan
19Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek hukumnya
Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI September
2007, MA RI, Jakarta, hal.63.
upacara-upacara adat. Hal ini dilakukan dengan
maksud agar khalayak ramai dapat mengetahui
bahwa telah terjadi tindakan untuk
memutuskan hubungan hukum antara anak
angkat itu dengan orang tua kandungnya
sendiri dan memasukan anak angkat tersebut
ke dalam ikatan hak dan kewajiban orang tua
angkat dan kerabat angkatnya.
Hal tersebut terdapat dalam
pengangkatan anak di Bali. Di Bali pemutusan
hubungan hukum antara anak angkat itu
dengan orang tua kandungnya ditandai dengan
adanya upacara pembakaran seutas benang
(tali) hingga putus. Sedangkan di daerah
Pasemah (Sumatera Selatan), pengangkatan
anak dilakukan secara terang dihadapan orang
sedusun (laman dusun).
Sedangkan yang dimaksud dengan
secara tunai adalah pengangkatan anak tersebut
harus disertai dengan pemberian atau
pembayaran adat, berupa benda-benda magis,
uang atau pakaian. Pengangkatan anak
dianggap telah selesai dengan adanya
pemberian-pemberian tersebut. Pada saat itu
juga anak angkat beralih bubungan hukumnya
dari orang tua kandungnya kepada orang tua
angkatnya. Pengangkatan anak selesai seketika
itu juga dan tidak mungkin ditarik kembali
(eenmalig).20
Prinsip terang ini juga terdapat di Bali
melalui pembayaran adat berupa 1000 (seribu)
kepeng. Sedangkan di Jawa Timur terdapat
satu lembaga yang menyatakan pengangkatan
anak itu suatu perbuatan kontan, yaitu dengan
pembayaran mata uang sejumlah rong wang
segobang (17 ½ sen) kepada orang tua
kandung sebagai sarana magis untuk memutus
ikatan anak dengan orang tua kandungnya.21
2. Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang Dan
Tunai
Pengangkatan anak yang tidak bertujuan
untuk menjadikan anak angkat sebagai anak
kandung tidak harus dilakukan secara terang
dan tunai. Di Jawa, pengangkatan anak pada
umumnya tidak memutus pertalian kerabat
antara anak angkat itu dengan orang tua
kandungnya. Sifat pengangkatan anak pada
masyarakat ini umumnya hanya untuk
memasukan anak angkat itu ke dalam
kehidupan rumah tangga orang tua angkatnya
saja. Anak angkat dalam hal ini tidak
berkedudukan sebagai anak kandung dengan
fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua
angkatnya. Anak angkat yang diangkat pada
umumnya adalah keponakannya sendiri, baik
laki-laki atau perempuan. Dasar pengangkatan
anak seperti ini adalah untuk:
a. Untuk memperkuat pertalian orang tua
anak yang diangkat;
20 Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 33 21 Imam Sudiyat, Op.cit. hal. 103.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 83
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
b. Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan,
jadi pengangkatan anak untuk menolong
anak angkat tersebut;
c. Berhubungan dengan kepercayaan, jika
mengangkat anak akan mendapat anak
sendiri;
d. Mungkin pula untuk mendapat laki-laki di
rumah yang dapat membantu pekerjaan
orang tua angkat sehari-hari.22
Pada bentuk pengangkatan anak pada
masyarakat di atas, perbuatan hukum
pengangkatan anak itu tidak dilakukan secara
terang dan tunai. Bahwa hal tersebut tidak
harus dilakukan di hadapan dan sepengetahuan
kepala adat untuk keabsahannya. Selain itu
tidak ada keharusan untuk melakukan
pemberian-pemberian atau pembayaran adat
kepada orang tua kandung dari anak angkat
tersebut.
Pengangkatan anak pada masyarakat ini
tidak memutus hubungan hukum hukum antara
anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Sehingga ia tetap akan bertindak sebagai ahli
waris dari orang tua kandungnya. Sementara
itu anak angkat juga berhak memperoleh
bagian dari harta gono-gini orang tua
angkatnya sebagai anggota rumah tangga dari
orang tua angkatnya.
Akibat dari tidak dilakukannya
pengangkatan anak secara terang dan tunai
maka pada mayarakat ini sering terjadi keragu-
raguan apakah anak tersebut telah diangkat
sebagai anak dari orang tua angkatnya
sehingga mempunyai hak-hak tertentu terhadap
hartapeninggalan orang tua angkatnya kelak,
atau anak tesebut hanya sebagai anak yang
dipelihara saja sehingga tidak mempunyai hak-
hak tersebut. Meskipun demikian, Soepomo
dalam bukunya mengatakan, bahwa :
Bagaimanapun juga dengan mengambil anak
sebagai anak angkat dan memelihara anak itu
hingga menjadi orang dewasa yang kuat gawe,
maka timbul dan berkembanglah hubungan
rumah tangga (gezinsverhouding) antara bapak
dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di
lain pihak. Hubungan rumah tangga ini
menimbulkan hak-hak dan kewajiban antara
kedua belah pihak, yang mempunyai k
konsekuensi terhadap harta benda rumah
tangga tersebut.23
3. Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai Saja
Secara terbatas perbutan pengangkatan
anak yang hanya dilakukan secara tunai saja
dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh pada masyarakat suku Rejang
(Bengkulu), seorang ayah yang karena
perkawinannya tidak berhak atas seorang anak
pun yang lahir dari perkawinannya. Hal
tersebut disebabkan karena si ayah tersebut
22 Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta:
Pradnya Paramita, hal. 102. 23Ibid
hanya mampu membayar kurang dari setengah
uang adat (pelapik) yang disyaratkan oleh
pihak keluarga istrinya pada saat
perkawinannya. Maka secara adat semua anak
yang lahir dari perkawinannya akan masuk
klan (tobo) ibunya dan si ayah tidak berhak
untuk itu. Meskipun demikian, hukum adat
daerah tersebut masih memberi kesempatan
kepada si ayah untuk mengambil seorang anak
dari perkawinannya itu untuk dimasukan ke
dalam klan-nya sendiri. Agar dapat melakukan
hal tersebut, si ayah harus
melakukanpembayaran uang adat yang disebut
dengan uang pedaut kepada istrinya.
Adanya pemberian uang pedaut dari si
ayah kepada keluarga istrinya yang berakibat si
ayah dapat memasukan anak itu ke dalam
klannya itu dan pada saat bersamaan
memutuskan hubungan hukum anak Itu dengan
ibunya (istrinya) dan kerabat ibunya itu
dipandang sebagai suatu perbuatan
pengangkatan anak pula. Hanya saja pada
bentuk pengangkatan anak semacam ini tidak
perlu dilakukan secara terang yang harus
dilakukan dengan upacara-upacara adat dan
dengan bantuan oleh kepala persekutuan
(pasirah) sehingga semua orang lain
mengetahuinya. Hal tersebut disebabkan
karena hanya terjadi pergeseran hubungan
hukum terhadap orang-orang yang telah hidup
sekeluarga (serumah tangga) tersebut.24
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
diketahui bahwa pengangkatan anak
berdasarkan hukum adat dapat dilakukan
secara terang yang berarti wajib dilakukan
dengan upacara-upacara adat dan dengan
bantuan kepala adat dan tunai yaitu dengan
pembayaran adat berupa sejumlah uang atau
benda-benda yang mempunyai nilai magis oleh
keluarga yang mengangkat anak bagi keluarga
kandung dari anak yang diangkat. Selain itu
pengangkatan anak berdasarkan hukum adat
juga dapat dilakukan tidak secara terang dan
tunai serta dapat pula dilakukan hanya secara
tunai saja.
Sedangkan Staatsblad 1917 No. 129
menentukan bahwa pihak-pihak yang dapat
melakukan pengangkatan anak (adopsi) adalah:
a. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah
kawin tapi tidak mempunyai keturunan
laki-laki, baik karena hubungan darah
maupun dari pengangkatan anak.
b. Dilakukan oleh suami istri secara bersama-
sama dan apabila perkawinan telah bubar,
maka dapat dilakukan oleh pihak suami
sendiri.
c. Jika suami meninggal lebih dahulu tanpa
meninggalkan keturunan laki-laki, maka
janda yang tidak kawin lagi dapat
mengadopsi anak laki-laki sebagai
24Abdullah Siddik,1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta: Dalai
Pustaka, hal. 232.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 84
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
anaknya (adoptie posthuum). Adopsi oleh
janda dilarang jika suami dalam wasiatnya
menyatakan bahwa ia tidak menghendaki
adopsi oleh jandanya.
Staatsblad 1917 No. 129 menentukan
bahwa adopsi hanya dapat dilakukan terhadap
seorang laki-laki dari golongan Tionghoa yang
tidak kawin dan tidak mempunyai anak serta
belum diadopsi oleh orang lain.
Selain itu harus diperhatikan perbedaan
usia antara anak yang akan diadopsi dengan
orang tua angkatnya. Perbedaan umur tersebut
adalah paling sedikit 18 (Jelapan belas) tahun
lebih muda dari usia suami dan paling sedikit
15 (lima belas) tahun lebih muda dari usia istri
atau janda yang mengadopsinya.
Jika yang diadopsi itu seorang anak dari
keluarga sedarah, misalnya dari saudara pihak
laki-laki atau wanita akan mengadopsi anak
laki-laki dari pamannya, maka hal ini tidak
diperkenankan.
Berdasarkan Stoatsblad 1917 No.129
adopsi juga harus dilakukan dengan adanya
kata sepakat dari kedua belah pihak, yaitu baik
pihak yang melepaskananak dan pihak orang
tua angkat. Untuk lebih jelasnya kata sepakat
dalam melakukan adopsi tersebut harus
dilakukan dengan cara seperti tersebut dibawah
ini:
1. Antara suami istri yang hendak
mengangkat anak harus ada kesepakatan.
Hal ini berarti bahwa seorang laki-laki
yang telah beristri tidak dapat mengadopsi
anak bila istrinya tidak memberikan
kesepakatan dan menolak untuk ikut serta
menandatangani akta notaris.
2. a. Jika yang diangkat itu anak sah, maka
harus ada kata sepakat dari bapak dan
ibu kandungnya. Kalau salah satu dari
mereka sudah meninggal maka harus
ada kata sepakat dari pihak orang tua
yang masih hidup baik itu bapak
ataupun ibunya. Namun dalam hal
pihak ibu kandung yang masih hidup
dan kemudian dia kawin lagi atau jika
kedua orang tua dari anak telah
meninggal dunia, maka harus ada kata
sepakal dari pihak wali anak angkat
atau dari Balai Harta Peninggalan.
b. Jika yang diaugkat tersebut anak luar
kawin, maka harus ada kata sepakat
dari orang tua yang mcngakuinya.
Bila salah satu dari orang tua yang
mengakuinya tersebut telah
meninggal, maka harus ada kata
sepakat dari atau ibunya yang masih
hidup. Dalam hal orang tua tersebut
tidak lagi mengakui atau keduanya
mengakui tapi sudah meninggal, maka
harus ada kata sepakat dari walinya
atau dari Balai Harta Peninggalan.
3. Jika yang akan diadopsi telah mencapai
umur 15 tahun, maka anak yang
bersangkutan harus memberikan juga
kesepakatannya.
4. Bila adopsi dilakukan oleh seorang janda
maka diperlukan kesepakatan dari saudara
ipar laki-laki yang telah dewasa
(meederjarig) dan ayah mendiang
suaminya. Jika mereka tidak ada lagi atau
orang-orang tersebut tidak bertempat
tinggal di Indonesia, maka diperlukan
kesepakatan dari dua anggota laki-laki
sedarah yang telah dewasa dan bertempat
tinggal di Indonesia dari pihak ayah suami
sampai dengan derajat keempat.
Jika tidak diperoleh kesepakatan
(toestemming) dari sanak keluarga yang
dimaksud oleh pasal 8 ayat (4), karena mereka
bukan ayah atau wali dari anak yang diangkat
atau tidak ada sanak keluarga laki-laki sampai
dengan derajat keempat, maka kesepakatan
tersebut dapat digantikan dengan kuasa dari
hakim (Pengadilan Negeri) di tempattinggal
sang janda. Keputusan pengadilan yang
diberikan atas permohonan janda tersebut tak
dapat diajukan banding ataupun kasasi.
Staatsblad 1917 No.129 juga menentukan
bahwa adopsi hanya dapat dilakukan dengan
akta notaris. Jika yang berkepentingan tidak
dapat menghadap sendiri di muka notaris,
maka boleh diwakili oleh seorang kuasa yang
diangkat dengan akte notaris yang khusus
dibuat untuk keperluan itu.
Semua Kesepakatan yang diperlukan
dapat diberikan dengan menggunakan akta
notrris tersendiri, kecuali ayah atau wali dari
sang anak yang akan menyerahkan anak itu
untuk diadopsi. Setiap orang yang
berkepentingan berhak meminta pada Catatan
Sipil agar diberi catatan mengenai adopsi itu di
pinggir akta kelahirannya. Tetapi, tanpa adanya
catatan adopsi tersebut tidak dapat digunakan
untuk menentang keabsahan adopsi. Dengan
kata lain, tidak ada akibat hukumnya apabila
catatan adopsi tersebut tidak dibuatkan.
Adopsi berdasarkan Staatsblad 1917 No.
129 tidak dapat dibatalkan atas dasar
kesepakatan bersama. Sedangkan adopsi anak
perempuan dan adopsi dengan cara lain
daripada akta notaris adalah batal demi hukum.
Adopsidapat dinyakan batal apabila
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, atau ayat (2) dan (3)
pasal 10.
Untuk pengangkatan anak yang
dimintakan pengesahannya ke Pengadilan
Negeri maka harus dilakukan menurut
ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung
No.6 Tahun 1983 Tentang penyempurnaan
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun
1979.
Syarat dan bentuk surat permohonan
dalam pengangkatan anak tersebut menurut
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun
1983 adalah sebagai berikut:
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 85
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
1. Permohonan tersebut diajukan dengan cara
lisan dengan hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri maupun dengan cara
tertulis dengan menggunakan surat
permohonan.
2. Dapat diajukan oleh pemohon sendiri atau
kuasanya. Namun demikian,meskipun
pemohon memakai seorang kuasa, dia
wajib hadir dalam pemeriksaan sidang di
Pengadilan Negeri.
3. Surat permohonan tersebut dibubuhi
materai secukupnya.
4. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnyameliputi
tempat tinggal domisili dari anak yang
diangkat tersebut.
Di dalam surat permohonan tersebut harus
memuat:
1. Motivasi yang dijadikan dasar diajukannya
permohonan pengangkatananak tersebut.
2. Penjelasan mengenai tujuan pengangkatan
anak, yaitu terutama untuk kepentingan
calon anak angkat yang bersangkutan
serta adanya gambaran mengenai
kemungkinan hari depan anak tersebut
setelah pengangkatan anak terjadi.
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6
Tahun 1983 menentukan bahwa pengangkatan
anak antar Warga Negara Indonesia dapat
dilakukan baik terhadap pihak-pihak di luar
panti asuhan atau yayasan sosial (private
adoption) maupun terhadap anak-anak yang
berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial.
Dalam hal anak yang akan diangkat
tersebut berada dalam panti asuhan atau
yayasan sosial, maka Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah
Agung No.2 Tahun 1979 menentukan bahwa
surat permohonan pengangkatan anak tersebut
harus dilampiri dengan surat izin tertulis dari
menteri sosial. Dalam surat izin tersebut hanya
menyatakan bahwa yayasan atau organisasi
sosial yang bersangkutan telah diijinkan
bergerak dibidang pengangkatan anak serta
bagi calon anak angkat harus mempunyai izin
tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang
ditunjuk yang menyatakan bahwa anak tersebul
telah diizinkan untuk diserahkan sebagai anak
angkat.
Untuk pengangkatan anak secara umum
yang dilakukan melalui yayasan atau rumah
sakit, dilaluikan sebagai berikut:
Seorang, yang bermaksud melakukan
pengangkatan anak mengajukan permohonan
pengangkatan anak kepada yayasan, panti
asuhan atau rumah sakit biasanya ada syarat-
syarat yang harus dipenuhi. Karena undang-
undang yang khusus mengenai pengangkatan
anak belum ada, maka yang dipakai sebagai
pedoman adalah Surat Keputusan Menteri
Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang
mengatur mengenai tata cara pengangkatan
anak dari yayasan atau rumah sakit yaitu
dengan cara diajukan permohonan dari pihak
yang ingin mengangkat anak yang isinya antara
lain identitas dari orang mengangkat baik itu
merupakan pasangan suami istri, janda atau
duda atau bahkan orang yang masih berstatus
lajang, pekerjaan dan alamat tempat tinggal.
Dalam permohonan tersebut harus disertai
alasan-alasan dan tujuan dari perbuatan
pengangkatan anak.
Demikian juga identitas dari anak yang
akan diangkat (nama, umur, tempat asil atau
tempat tinggal harus dicantumkan). Apabila
anak tersebut masih mempunyai orang tua
kandung maka dibuatkan surat persetujuan
yang ditandatangani oleh lurah dan camat.
Andaikata anak yang diangkat sudah tidak
mempunyai orang tua atau saudara-saudara
maka yang berwenang adalah yayasan atau
rumah sakit yang mengasuh anak tersebut.
Khusus bagi pengangkatan anak antar
Warga Negara Indonesia yang dilakukan
terhadap anak-anak yang berada dalam panti
asuhan atau yayasan sosial maka
pelaksanaannya didasarkan menurut ketentuan
yang berlaku dalam Surat Keputusan Menteri
Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13
Tahun 1993 menentukan tata cara permohonan
untuk mendapat izin pengangkatan anak antar
Warga NegaraIndonesiayaitu sebagai beikut:
1. Mengajukan pemohonan untuk
mendapatkan ijin pengangkatan anak
secara tertulis diatas kertas bermaterai
cukup kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Sosial Provinsi dimana
yayasan atau organisasi sosial tersebut
berada.
2. Tembusan dari surat permohonan tersebut
disampaikan kepada Menteri Sosial
melalui Direktorat Jenderal Bina
Kesejahteraan Sosial.
3. Kemudian diadakan penelaahan dan
penelitian atas perrnohonan yang diajukan
kepada Kantor Wilayah Departemen
Sosial dibantu oleh Tim Pertimbangan
Pengangkatan Anak Provinsi.
4. Berdasarkan laporan sosial dari pekerja
sosial tersebut maka kepala sektor provinsi
yang akan menentukan diterima atau
ditolaknya permohonan pengangkatan
anak tersebut apabila ditolak maka harus
disebutkan alasan-alasannya. Selain itu, di
dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.
13 Tahun 1993 tersebut juga menentukan
bahwa umur orang tua angkat minimal 30
tahun dan maksimal 45 tahun dan mereka
harus telah menikah minimal 5 tahun.
Akan tetapi Surat Keputusan Menteri
Sosial No. 13 Tahun 1993 memberikan
pengecualian dalam hal pasangan suami isteri
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 86
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
tersebut telah dinyatakan dengan surat
keterangan dokter bahwa mereka tidak
mungkin mempunyai anak atau melahirkan
anak. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut
maka mereka dapat melakukan pengangkatan
anak walaupun usia perkawinannya belum
mencapai 5 tahun.
Mengenai selisih umur antara orang tua
angkat dengan anak angkat tidak diatur dalam
Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun
1993. Hal tersebut diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Sosial No.41 Tahun 1984
yaitu selisih umurnya minimal 20 tahun.
Sedangkan alasan yang digunakan untuk
mengangkat anak yang berasaldari panti
asuhan atau yayasan sosial menurut Surat
Keputusan Menten Sosial No.41 Tahun 1984
adalah sebagai berikut:
1. Tidak mungkin mempunyai anak.
2. Belum mempunyai anak.
3. Hanya mempunyai anak kandung seorang.
4. Mempunyai seorang anak angkat dan tidak
mempunyai anak kandung.
Selanjutnya dalam Surat Keputusan
Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 alasan
bahwa hanya mempunyai seorang anak angkat
dan tidak mempunyai anak kandmg tidak dapat
dijadikan sebagai alasan untuk dapat
dilakukannya pengangkatan anak.
Selain alasan-alasan tersebut, calon orang
tua angkat juga harus mampu dalam hal
ekonomi dan sosial. Hal tersebut bertujuan
tidak lain untuk kesejahteraan dan kepentingan
calon anak angkat.
Lebih jauh lagi ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam Surat Keputusan Menteri
Sosial No.13 Tahun 1993 bersifat melengkapi
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983.
Hal tersebut antara lain dalam hal minimal usia
perkawinan calon orang tua angkat untuk
melakukan pengangkatan anak adalah 5 tahun,
sementara hal tersebut tidak diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983.
Mengenai batas usia calon orang tua
angkat, di dalam Surat Kepulusan Menteri
Sosial No. 13 Tahun 1993 menentukan
maksimal 45 tahun dan minimal 30 tahun. Hal
tersebut bertujuan agar anak angkat dapat
dipelihara dan dididik oleh calon orang tua
angkatnya sampai dewasa. Selain itu Surat
Kepatusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993
juga mengatur mengenai selisih usia antara
anak angkat dengan calon orang tua angkat,
yaitu 20 tahun. Kedua hal tersebut juga tidak
diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 6 Tahun 1983.
Ketentuan mengenai syarat-syarat
pengangkatan anak kemudian diubah dengan
dibentuknya Peraturan Pemerintah No.54
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak. Dengan berlakunya
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
tersebut, maka peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelaksanaan
pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah tersebut.
Akibat Hukum Pengangkatan Anak Hingga saat ini, peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur mengenai
pengangkatan anak belum ada, begitu pula hingga
saat ini belum ada pengatnran yang pasti mengenai
akibat hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak.
Dalam ketentuan-ketentuan pengangkatan
anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.
6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat
EdaranMahkamah Agung No.2 Tahun 1979
maupun Surat Keputusan Menteri
SosialNo.41/HUR/NEP/VII/1984 maupun
penyempurnaannya yaitu Surat Keputusan Menteri
Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak disebutkan
mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak.
Namun demikian di dalam pasal 39 ayat (2)
Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang
Perlindungan Anak jo. Pasal 4 Peraturan
Pemerinlah No.54 Tahon 2007 dinyatakan bahwa,
"Pengangkatan anak berdasarkan tidak memutuskan
hubungan darah antara anak dengan orang tua
kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku bagi
anak yang bersangkutan". Dari ketentuan tersebut
dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya
pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah
antara anak angkat dengan orang tua Kandungnya.
Sedangkan pengangkatrn anak (adopsi)
menurut Staatsblad 1917 No. 129 menimbulkan
akibat hukum bahwa anak yang diangkat oleh
suami istri sebagai anak mereka, dianggap sebagai
anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri
tersebut.
Hubungan peidata antara orang tua dengan
sanak keluarganya di satu pihak dengan anak
tersebut di lain pihak menjadi putus, dengan
perkecualianyang disebutkan dalam pasal 14 bila
anak yang diadopsi itu mempunyai nama keluarga
lain, karena hukum akan memperbolehkan nama
keluarga dari ayah yang mengadopsi.
Jika seorang suami mengadopsi anak setelah
perkawinan bubar, maka anak tersebut dianggap
lahir dari perkawinan pria tersebut yang telah bubar
karena kematian istrinya. Maksud ketentuan
tersebut adalah anak itu harus dianggap telah
dilahirkan dari suatu perkawinan fiktif, yaitu
perkawinanantara ayahnya dengan seorang wanita
yang sesungguhnya tidak ada, yang telah bubar
karena istri telah meninggal dunia.
Beberapa pakar berpendapat bahwa maksud
dari ketentuan tersebut adalah bahwa adopsi oleh
seorang suami setelah perkawinan bubar hanya
mempunyai akibat hukum terhadap dia sendiri dan
sanak keluarganya akan tetapi tidak terhadap bekas
istri atau sanak keluarganya.
Lain halnya jika seorang janda mengadopsi
anak setelah suaminya meninggal dunia, maka anak
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 87
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
yang diadopsi hanya dapat dianggap sebagai ahli
waris suami dari ibu angkatnya jika suami tidak
memberikan ketentuan-ketentuan atau harta
peninggalannya di dalam wasiatnya, maka hal ini
berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam wasiat
suami yang telah meninggal dunia tidak dapat
diganggu gugat oleh anak angkat. Dengan demikian
maka anak angkat tidak mempunyai legitime portie
atas warisan suami dari ibu angkatnya.
Selain itu, pasal 13 ayat (1) memerintahkan
apabila seorang suami meninggal dunia dengan
meninggalkan istri yang berwenang untuk
mengadopsi, maka Balai Harta Peninggalan wajib
mengambil tindakan-tindakan yang perlu dan
mendesak untuk menyelamatkan dan mengurus
harta peninggalannya yang akan jatuh pada anak
yang diadopsi.
Sedangkan hak-hak pihak ketiga yang dapat
dipengaruhi olehadopsi ini tetap ditangguhkan
sampai dengan dilakukannya adopsi. Tenggang
waktu penangguhan itu selambat-lambatnya selama
yang dimaksud oleh pasal 12 ayat (3) yaitu satu
bulan.
Adopsi yang telah dilakukan dalam jangka
waktu enam bulan setelah meninggalnya suami atau
janda dalam tenggang waktu itu telah meminta izin
dari hakim seperti yang dimaksud dalam pasal 9.
lalu dalam waktu satu bulan setelah izin atau kuasa
itu diperoleh, ia baru menggunakan haknya.
Apabila seorang janda yang melakukan
adopsi, maka anak tersebut dianggap sebagai anak
yang lahir dari janda tersebut dengan suaminya
yang telah meninggal. Dari pengertian tersebut
anak angkat akan mendapatkan bagian warisan
almarhum ayah angkatnya sejauh tidak ditentukan
lain dalam surat wasiat almarhum semasa hidupnya
dan sejauh adopsi tersebut dilakukan dalam jangka
waktu 6 bulan terhitung mulai saat meninggalnya
almarhum.
Kemudian Pasal 14 Staatsblud 1917 No. 129
menjelaskan bahwa, adopsi berakibat putusnya
hubungan hukum antara anak yang diadopsi dengan
orang tuanya sendiri, kecuali:
1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas
suatu tali kekeluargaan.
2. Mengenai peraturan hukum pidana yang
berdasar pada tali kekeluargaan.
3. Mengenai ganti rugi biaya-biaya perkara dan
sandera.
4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi.
5. Mengenai bertindak sebagai saksi.
Ditinjau dari hukum adat, pengangkatan anak
tidak selalu mengakibatkan terputusnya hubungan
perdata dengan orang tua kandung. Meskipun pada
umumnya dengan terjadinya pengangkatan anak,
orang tua angkat akan menggantikan kedudukan
orang tua kandung. Sehingga tanggung jawab orang
tua kandung akan beralih kepada orang tua
angkat.25
25
Isti Sulistyowati, Loc. Cit.
Pada dasarnya akibat hukum yang timbul dari
pengangkatan anak itu tidak terlepas hubungannya
dengan tata cara pengangkatan anak yang telah
dilakukan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan
oleh B. Bastian Tafal bahwa : Pengangkatan anak
yang dilakukan tanpa disertai dengan upacara-
upacara khusus dan tanpa surat-surat, maka
pengangkatan anak seperti ini tidak memutus
pertalian keluarga antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya. Meskipun secara
lahiriah hubungan anak itu terputus dengan orang
tua kandungnya karena dimasukan ke dalam
keluarga orang yang mengangkatnya, tetapi secara
batiniah hubungan antara anak dengan orang tua
kandungnya tetap ada. Kemudian dengan saudara
angkat timbul hubungan seperti layaknya saudara
kandung dan dengan keluarga ataukerabat dari
orang tua angkatnya dianggap sebagai sanak
keluarganya sendiri. Selanjutnya dalam upacara
perkawinan bagi anak angkat perempuan, maka
yang menjadi wali nikahnya adalah orang tua
kandungnya atau saudara laki-laki sekandung dari
anak angkat tersebut.26
Dalam hal hubungan dengan orang tua
kandungya tidak terputus, maka hak dan kewajiban
anak angkat masih bercabang dua yaitu terhadap
orang tua angkat maupun terhadap orang tua
kandung. Hal ini mempunyai konsekuensi lebih
lanjut bahwa anak angkat yang tidak terputus
hubungannya dengan orang tua kandung akan
menerima warisan baik dari orang tua kandung
maupun dari orang tua angkat. Keadaan seperti ini
biasanya terjadi pada masyarakat parental. Akan
tetapi sesuai dengan keanekaragaman sistem hukum
pengangkatan anak di berbagai daerah di Indonesia,
maka pandangan masyarakat dalam hubungannya
dengan kedudukan anak angkatpun beraneka ragam
pula. Kadang anak angkat mendapat warisan dari
orang tua angkat berupa harta asal dan harta
bersama, tetapi terkadang hanya harta bersama
saja.27
Sedangkan pengangkatan anak menurut
Hukum Islam pada dasarnya diperbolehkan tapi
semata-mata hanya didasarkan pada tujuan untuk
membantu anak-anak terlantar dan hal itu tidak
membawa akibat hukum apapun. Hal ini
disebabkan karena dalam hukum Islam ada
larangan pengangkatan anak dalam pengertian
adopsi yaitu pemberian status kepada anak sama
dengan status anak kandung. :
Pengangkatan anak menurut Agama Islam
tidak membawa akibat hukum dalam hak hubungan
darah, perwalian dan pewarisan dengan orang tua
kandungnya. Anak angkat tetap memakai nama
orang tua kandungnya dan tetap menjadi ahli waris
dari orang tua kandungnya.28
26 B. Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian
Hari, Jakarta : Rajawali Press, hal. 85. 27 Isti Sulistyorini, Loc. Cit. Hal. 27 28 M. Budiarto, Op.cit, hal. 2.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 88
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus
yang mengharuskan pengangkatan anak
dilakukan dengan penetapan dari pengadilan.
Hal tersebut karena penetapan pengadilan
tersebut hanya berfungsi untuk menguatkan
pengangkatan anak yang dilakukan dan untuk
lebih memberikan jaminanhukum
pengangkatan anak adalah sah apabila
dilakukan menurut ketentuan hukum adat,
hukum agama dan kepercayaan dari masing-
masing pihak yangbersangkutan.Sah atau
tidaknya pengangkatan anak tersebut
tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syarat-
syarat dan tata cara dalam melakukan
pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu
dalam hal harus adanya persetujuan dari
masing-masing pihak, baik pihak yang
mengangkat anak ataupun pihak yang akan
melepaskan anak tersebut. Jika tidak ada
persetujuan dari salah satu pihak, maka
pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak
sah.
Menurut hukum adat, syarat dan tata cara
pengangkatan anak pada umumnya
dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara
tersebut sangat bergantung pada tujuan dan
akibat hukum dari dilakukannya perbuatan
pengangkatan anak tersebut, yaitu:
a. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan
Tunai
b. Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang
Dan Tunai
c. Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai
Saja
2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut
menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6
Tahun 1983 Surat Keputusan Menteri Sosial
No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak
disebutkan mengenai akibat hukum dari
pengangkatan anak. Namun demikian di dalam
pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun
2003 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 4
Peraturan Pemerinlah No.54 Tahon 2007
dinyatakan bahwa, "Pengangkatan anak
berdasarkan tidak memutuskan hubungan
darah antara anak dengan orang tua
kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku
bagi anak yang bersangkutan". Dari ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan
dilakukannya pengangkatan anak tidak
memutus hubungan darah antara anak angkat
dengan orang tua Kandungnya.Sedangkan
pengangkatrn anak (adopsi) menurut Staatsblad
1917 No. 129 menimbulkan akibat hukum
bahwa anak yang diangkat oleh suami istri
sebagai anak mereka, dianggap sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan suami istri
tersebut.
B. Saran 1. Hakim Pengadilan Negeri hendaknya
memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengangkatan anak khususnya Undang-
undang No.3 Tahun 2006.
2. Para pihak yang terlibat dalam
pengangkatan anak hendaknya mengetahui
akibat hukum dari pengangkatan anak di
Pengadilan Negeri Sehingga diharapkan para
pihak dapat mengetahui kedudukan dan
hubungan hukum antara anak angkat dengan
orang tua angkat maupun anak angkat dengan
orang tua kandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Abdul Manar, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata
di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada
Media.
Abdullah Siddik.1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta:
Balai Pustaka.
Ali Afandi, 1997, Hukum Waris Hukum Keluarga
Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta.
Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan
Anak dan Masalahnya, Semarang: Dahara Prize.
Arif Gosida, 1985, Masalah Perlidungan Anak, Jakarta:
Akademika.
A. Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya
Dikemudian Hari, Jakarta: Rajawali Press.
Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Jakarta: Prajnya Paramita.
Djaja Meliala, 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di
Indonesia, Bandung: Tarsito.
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Dan Sketsa,
Lamongan: Liberty.
Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum
Normatif, Banyumedia Publishing, Malang 2006
Muderis Zaini, 1985, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga
Sistem Hukum, Bina Aksara Jakarta .
M. Budiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari
Segi Hukum, Jakarta: Akademika Presindo.
M. Yahya Harahap, 1990, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini.
M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata,
Jakarta: Sinar Grafika.
Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak
Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta:
Kencana.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983,
Sendi-sendi Hukum Perdata International, Jakarta:
Rajawali.
Retno Wulan S., 1979, Wanita Dan Hukum, Bandung:
Alumni.
Satria Effendi M. Zein, 2004, Problematika Hukum
Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana.
J u r n a l I l m u S o s i a l d a n H u m a n i o r a | 89
Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562
Soepomo 1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Jakarta: Pradnya Paramita.
Soerjono Soekamto, 1992, Intisari Hukum Keluarga,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan
Keluarga (Personen En Familie.-Recht), Surabaya:
Airlangga University Press.
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Lamongan: Liberty.
Surojo Wignodipuro, 1982. Pengantar dan Asas-asas
Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung.
Zakaria Ahmad Al-Barry, 2004, Hukum Anak-Anak
Dalam Islam (Saduran, Dra. Chadijah Nasution),
Jakarta: Bulan Bintang.
Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya
Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI
September 2007.
H. Sarmin, 2007, Hukum Formil dan Materil Penetapan
Pengaesahan / Pengangkatan Anak Pada
Peradilan Agama, Suara Uldilag Vol. I No XI
September 2007.
Isti Sulistyorini, 1997, Adopsi Menurut Staatsblad 1917
No. 129 Dan Kaitannya Dengan Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Adat, PENA, Jurnal Ilmu
pengetahuan Dan Teknologi: V (9).
M. Karsayuda, 2007, Pengangkatan Anak dari
Keluarga Non-muslim di Pengadilan Agama,
Suara Undilag Vol.3 No.XI September 2007.
Muslich Mauzi, 1984, Beberapa Bentuk Pengangkatan
Anak Di Indonesia Menurut Hukum Islam,
Walisongo, Edisi II Mei 1984.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
Staatblad No.l29 Tahun 1917;
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Undang-undang No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
Undang-undang No.4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak;
Undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum;
Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama;
Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia;
Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak;
Undang-undang No.4 'l'ahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;
Undang-undang No.8 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang No.2 Tahun 1985 Tentang
Peradilan Umum;
Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama;
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;
Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun
1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pengangkatan Anak;
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979;
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah
Agung No.2 Tahun 1979;