KOMERSIALISASI AIR MENURUT HUKUM ISLAM
Transcript of KOMERSIALISASI AIR MENURUT HUKUM ISLAM
KOMERSIALISASI AIR MENURUT HUKUM ISLAM
(Analisis terhadap Dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah
Oleh :
Anjarsari Septiarini
14421075
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYAH
FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2018
ii
iii
iv
v
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk orang tua dan segenap keluarga
Serta teman-teman seperjuangan, dan kerabat lainnya
Yang tiada hentinya memberikan do‟a dan dukungan kepada Penulis hingga detik ini
vii
HALAMAN MOTO
والنار والماء ثلاثة : في الكلاء يالناس شركاءف “ Manusia bersekutu pada tiga macam benda yaitu rumput, air dan Api”.
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)”.1
1H.R Ahmad dan Abu Dawud
viii
ABSTRAK
KOMERSIALISASI AIR MENURUT HUKUM ISLAM
(Analisis terhadap Dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Alam)
Air dianggap menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, semua makhluk hidup tidak dapat hidup tanpa adanya kehadiran air. Oleh
sebab itu, air menjadi kebutuhan primer dan harus ada dalam suatu kehidupan di bumi
ini. Permasalahan tentang air telah diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air dan setelah lahirnya UU tersebut banyak terjadi perselisihan,
perdebatan serta penolakan-penolakan di kalangan masyarakat, karena terdapat beberapa
pasal yang secara tidak langsung membolehkan terjadinya privatisasi yang berpotensi
terjadinya komersialisasi air. Komersialisasi air adalah perbuatan menjadikan sesuatu
sebagai barang dagangan. Tujuan penulisan skripsi yaitu untuk mengetahui bagaimana
status air dalam kehidupan masyarakat, maksudnya seberapa penting air dalam
kehidupan masyarakat sehingga dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air tidak boleh ada unsur monopoli sedikitpun. Karena Undang-Undang
tersebut pada kenyataannya dibatalkan oleh MK, oleh sebab itu penulis juga mempunyai
tujuan untuk menganalisis dimana letak ketidaksesuaiannya, apa saja alasan MK
membatalkan UU tersebut, kemudian dianalisis secara hukum Islam. Penelitian ini
merupakan penlitian pustaka (library research) dan sifat penelitian ini bersifat deskriptif-
analitis kritis. Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
kualitatif yang bersifat deskriptif. Penulis menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu bahan hukum yang berasal dari UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, buku-buku hukum, pendapat para ahli, dan pendapat para ulama. Sedangkan
data sekunder yaitu bahan yang berasal dari media massa seperti tesis, jurnal dan
majalah-majalah tentang hukum. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air mengandung unsur monopoli, komersialsasi air atau mengambil keuntungan
yang sebesarnya untuk kepentingan sendiri, sehingga UU tersebut dibatalkan karena
tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 yang dibuktikan dengan 14 (empat belas) pasal
yang tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Dalam Islam komersialisasi dilarang
karena telah dijelaskan bahwa manusia bersekutu dalam tiga macam yaitu rumput, air
dan api. Dari hadis tersebut telah disampaikan bahwa tiga macam benda itu merupakan
benda publik yang harus dimanfaatkan secara bersama sesuai dengan kepentingan dan
pemanfaatannya, tidak boleh ada pihak manapun yang menguasai air.
KATA KUNCI: Komersialisasi, Monopoli, Hukum Islam
ix
KATA PENGANTAR
الرحيم بسم اللو الرحن
نو ونستػغفره ونستػهديو ونػعوذ بالله من شرور أنػفس يئات إف المد للو نمده ونستعيػ نا ومن أف لا إلو إلا الله وأشهد أف أعمالنا، من يػهده الله فلا مضل لو ومن يضلل فلا ىادي لو. أشهد
لئم وبارؾ على ممد وعلى آلو وصحبو ومن اىت ولو. اللهم صلئ و دى بداه ممدا عبده ور إل يػوـ القيامة
Alhamdulillah puji syukur kepada Allah penguasa semesta atas segala limpahan
rahmat dan anugerah kepada kita semua, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini, shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepada beliau Nabi Agung
junjungan kami Muhammad SAW, beserta segenap keluarga dan para sahabatnya hingga
akhir nanti. Dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “Komersialisasi Air Menurut
Hukum Islam (Analisis terhadap Dibatalkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air)” tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena
itu penulis sampaikan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D Selaku Rektor Universitas Islam Indonesia.
2. Dr. H. Tamyiz Mukharram, MA selaku Dekan FakultasI lmu Agama Islam
Universitas Islam Indonesia
3. Kepala Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, Bapak Prof Dr. H Amir Mu'allim,
MIS selaku Dosen Pembimbing yang selalu sabar memberikan arahan dan ilmunya
dalam membimbing sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
4. Drs. H. Syarif Zubaedah, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Al-
Syakhsiyyah Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia.
5. Seluruh Dosen Dosen Pengampu mata kuliah pada Program Study Ahwal Al-
Syakhsiyyah Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan ilmu yang sangat
bermanfaat bagi penulis.
x
6. Bapak Saiman Warudju, SH (Alm) selaku bapak kandung yang sangat saya cintai
serta Ibu Hartini sebagai orang tua penulis yang telah memberikan do‟a dan
dukungan materiil maupun moril kepada penulis.
7. Seluruh keluarga yang selalu member dukungan kepada penulis.
8. Sahabat tercinta, Rosita Dewi, Gina Nabilah dan Titis Rahmawati, yang sudah
dengan ikhlas mendengarkan keluh kesah, mengajarkan, dan berbagi canda tawa
serta cerita selama penulis mengerjakan tugas akhir.
9. Sahabat seperjuangan, Aliza Kamalatuzzahroh dan Ratna Ningsih yang telah
menjadi sahabat seperjuangan dan telah mensupport penulis serta telah berkenan
memberikan ide dan meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga besar Ahwal al-syaksiyyah Universitas Islam Indonesia
Penulis menyadari bahwa penulis skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun, penulis harapkan guna
memperbaiki dan menyempurnakan penulisan yang selanjutnya, sehingga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Yogyakarta, 1 Ramadan1439 H
17 Mei 2018
Penulis,
Anjarsari Septiarini
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA DAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 158 Tahun 1987
Nomor: 0543b//U/1987
Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke
abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab
dengan huruf-huruf Latin beserta perangkatnya.
A. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf. Dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian
dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda
sekaligus.
Berikut ini daftar huruf Arab yang dimaksud dan transliterasinya dengan huruf latin:
Tabel 0.1: Tabel Transliterasi Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan أ
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ث
Jim J Je ج
xii
Ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
Kha Kh ka dan ha خ
Dal D De د
Żal Ż Zet (dengan titik di atas) ذ
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy es dan ye ش
Ṣad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
Ḍad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
Ṭa ṭ te (dengan titik di bawah) ط
Ẓa ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ` koma terbalik (di atas)` ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ؼ
Qaf Q Ki ؽ
Kaf K Ka ؾ
Lam L El ؿ
Mim M Em ـ
Nun N En ف
Wau W We و
Ha H Ha ھ
Hamzah „ Apostrof ء
Ya Y Ye ي
xiii
B. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
1. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tabel 0.2: Tabel Transliterasi Vokal Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A ـ
Kasrah I I ـ
Dammah U U ـ
2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf sebagai berikut:
Tabel 0.3: Tabel Transliterasi Vokal Rangkap
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Fathahdan ya Ai a dan u ..ي
Fathah dan wau Au a dan u ...و
Contoh:
kataba كتب - fa`ala فػعل -ل - suila kaifa كيف -
xiv
haula حوؿ -C. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda sebagai berikut:
Tabel 0.4: Tabel Transliterasi Maddah
Huruf Arab Nama Huruf
Latin
Nama
Fathah dan alif atau ya Ā a dan garis di atas ..ى ..ا
Kasrah dan ya Ī i dan garis di atas ..ى
Dammah dan wau Ū u dan garis di atas ..و
Contoh:
qāla قاؿ -
ramā رمى -
qīla قيل -
yaqūlu يػقوؿ -
D. Ta’ Marbutah
Transliterasi untuk ta‟ marbutah ada dua, yaitu:
1. Ta‟ marbutahhidup
Ta‟ marbutahhidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah, dan dammah,
transliterasinya adalah “t”.
2. Ta‟ marbutah mati
Ta‟ marbutah mati atau yang mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah
“h”.
3. Kalau pada kata terakhir dengan ta‟ marbutah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta‟
marbutah itu ditransliterasikan dengan “h”.
xv
Contoh:
طفاؿ ل رؤضةا - raudah al-atfāl/raudahtul atfāl
al-madīnah al-munawwarah/al-madīnatul munawwarah المديػنةالمنػورة -
talhah طلحة -
E. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid, ditransliterasikan dengan huruf, yaitu huruf
yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh:
nazzala نػزؿ -
al-birr البر -
F. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال,
namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas:
1. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf “l” diganti dengan huruf yang langsung
mengikuti kata sandang itu.
2. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditransliterasikan dengan
sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya.
Baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun qamariyah, kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanpa sempang..
xvi
Contoh:
ar-rajulu الرجل -
al-qalamu القلم -
asy-syamsu الشمس -
ؿ اللا - al-jalālu
G. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan sebagai apostrof. Namun hal itu hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Sementara hamzah yang terletak di
awal kata dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh:
ta‟khużu تأخذ -
syai‟un شيئ -
an-nau‟u النػوء -
inna إف -
H. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fail, isim maupun huruf ditulis terpisah. Hanya
kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan
dengan kata lain karena ada huruf atau harkat yang dihilangkan,maka penulisan kata
tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
رالرازقي - /Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn وإناللهفهوخيػ
Wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn
xvii
اىا - Bismillāhi majrehā wa mursāhā بسماللهمجراىاومر
I. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti apa
yang berlaku dalam EYD, di antaranya: huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf
awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamana nama diri itu didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya.
Contoh:
/Alhamdu lillāhi rabbi al-`ālamīn المدللهربئالعالمي -
Alhamdu lillāhi rabbil `ālamīn
Ar-rahmānir rahīm/Ar-rahmān ar-rahīm الرحنالرحيم -
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan
Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain
sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.
Contoh:
Allaāhu gafūrun rahīm اللهغفوررحيم -
عال للها - يػ مورج Lillāhi al-amru jamī`an/Lillāhil-amru jamī`an
J. Tajwid
Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi
ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Ilmu Tajwid. Karena itu peresmian
pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.
xviii
DAFTAR ISI
NOTA DINAS ................................................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................. Error! Bookmark not defined.
REKOMENDASI PEMBIMBING ................................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................................................... vi
HALAMAN MOTO ..................................................................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN ........................................................................... xi
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. xviii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................................... 6
E. Telaah Pustaka ............................................................................................................. 7
F. Sistematika Penulisan ................................................................................................ 14
BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................................................... 17
A. Fungsi dan Regulasi Kepemilikan Air ....................................................................... 17
B. Nilai Dasar Pengelolaan Air ...................................................................................... 20
C. Etika Bisnis Dan Kepemilikan Dalam Islam.............................................................. 24
1. Pengertian Jual Beli .............................................................................................. 24
2. Tinjauan Umum Tentang Etika Bisnis Islam ........................................................ 27
D. Pengertian dan sebab-sebab Kepemilikan .................................................................. 29
E. Macam-macam kepemilikan ...................................................................................... 30
xix
F. TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI ............................ 32
1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ........................................................................ 32
2. Wewenang Mahkamah Konstitusi ........................................................................ 33
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................................... 35
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian................................................................................. 35
B. Data dan Sumber Data ............................................................................................... 36
C. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................................... 36
D. Teknik Analisis Data .................................................................................................. 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................................. 38
A. Tinjauan Umum Tentang Sumber Daya Air .............................................................. 38
B. Tinjauan Umum Tentang Komersialisasi Air ............................................................ 39
C. Kedudukan Sumber Daya Air Dalam Kehidupan Manusia ....................................... 48
D. Alasan Mahkamah Konstitusi Membatalkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air ........................................................................................... 55
E. Analisis Dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 Menurut Hukum Islam ............... 73
BAB V PENUTUP ....................................................................................................................... 78
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 78
B. Saran-Saran ................................................................................................................ 79
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 0.1 Tabel Transliterasi Konsonan
Tabel 0.2 Tabel Transliterasi Vokal Tunggal
Tabel 0.3 Tabel Transliterasi Vokal Rangkap
Tabel 0.4 Tabel Translliterasi Maddah
Table 0.5 Suplai air di dunia
Tabel 0.6 Skala Prioritas Sumber Daya Air
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah suatu Negara yang kepulauannya terbesar di dunia yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke terdiri dari beberapa pulau besar maupun
kecil. Indonesia juga kaya dengan sumber daya alam, baik berdasarkan jenis atau
jumlahnya. Menyadari anugerah yang diberikan Allah Swt kepada semua
makhluknya merupakan nikmat bagi kita semua, sehingga dalam menerima kekayaan
alam tentu saja membutuhkan pihak-pihak untuk mengatur serta mengelolanya.
Mahkamah konstitusi dalam hal ini telah menerapkan sejumlah prinsip pengelolaan
sumber daya alam dan konstitusi Negara tetap bertahan hingga saat ini. Peraturan
tentang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah dinyatakan
dalam konstitusi secara tegas bahwa ketentuan ini telah di atur dalam Undang-
UndangDasar 1945.
Air merupakan sumber daya yang dibutuhkan oleh seluruh manusia di dunia
dan menjadi sesuatu yang sangat vital, bahkan untuk seluruh kehidupan makhluk
hidup di bumi ini. Semua makhluk hidup tidak bisa hidup tanpa adanya air, karena air
telah menjadi salah satu sumber kehidupan yang sangat penting dan kehidupannya
sangat tergantung pada air, karena memang air adalah kebutuhan yang sangat pokok
dan mendasar dalam kehidupan. Tidak hanya manusia yang membutuhkan air,
makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan juga sangat membutuhkan keberadaan air
untuk keberlangsungan hidupnya. Fungsi air dalam kehidupan sehari-hari digunakan
untuk minum, tubuh manusia mengandung 55% hingga 75% air. Oleh sebab itu,
dalam sehari setiap manusia harus minum minimal 2,5 liter atau 8 gelas, air juga
berfungsi untuk menyediakan makanan serta untuk keperluan lain seperti untuk
mandi, mencuci, menyiram tanaman dan lain-lain. Oleh karena fungsi air yang sangat
2
penting untuk kehidupan, maka perlu adanya Undang-Undang yang mengatur
tentang sumber daya air dengan tujuan agar dalam pengelolaan dan penggunaan
sumber daya air dapat dilakukan secara adil, terlebih ketika musim kemarau banyak
kota-kota yang mengalami kekeringan sehingga menyulitkan warga masyarakat
dalam beraktivitas. Adapun undang-undang yang mengatur tentang sumber daya air
yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 2004. Akan tetapi pada tahun 2015 Undang-
Undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi, dengan alasan bahwa
Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33
serta UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
Bahwa pengertian Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga kekuasaan
Negara yang mempunyai kedudukan pada tingkat Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan salah satu bagian dari Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-
undang Dasar 1945 Mahkamah Konstisusi mempunyai peran yang sangat penting
untuk menjaga hubungan antar lembaga Negara demi terciptanya keharmonisan antar
lembaga yang kerap kali terjadi perselisihan. Mahkamah Konstitusi juga berfungsi
sebagai pemeriksa peraturan perundang-undangan, MK juga dapat menolak dan
mencabut Undang-Undang yang telah dianggap mengalami kekosongan hukum dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Salah satu
Undang-Undang yang mengalami kekosongan hukum dan telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. UU tersebut merupakan suatu Undang-Undang yang mengatur tentang
pengelolaan serta pemanfaatan terhadap air.
Surat putusan tersebut telah di pertimbangkan bahwa sumber daya air
merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia, karena manusia sangat
bergantung dengan ada atau tidaknya kehadiran air. Undang-Undang Sumber Daya
Air mempunyai persyaratan konstitusional yang harus dipenuhi yaitu dalam
pelaksanaannya Undang-Undang tersebut harus menjamin terwujudnya amanat
konstitusi yang berkaitan dengan hak penguasaan Negara atas air. Ada atau tidaknya
3
hak penguasaan Negara ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya mandat dari
Undang-Undang Dasar 1945 untuk membuat suatu kebijakan untuk melakukan
tindakan pengelolaan serta tindakan pengawasan tentang sumber daya air. Jika MK
sampai melakukan pembatalan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 hal
itu jelas terjadi kekosongan hukum dalam Undang-Undang tersebut dan bertentangan
dengan aturan Negara serta UUD 19452. Alasan lain dibatalkannya UU No. 7 Tahun
2004 dianggap tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber
daya air3, keenam prinsip dasar tersebut antara lain:
1. Setiap pengusaha atas air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak
rakyat.
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu Hak
Asasi Manusia.
3. Pengelolaan air harus mengikat kelestarian lingkungan.
4. Sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak, air harus dalam pengawasan dan pengendalian oleh Negara
secara mutlak.
5. Hak pengelolaan air mutlak milik Negara, prioritas utama yang
diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN dan BUMD.
6. Apabila semua pembatasan terpenuhi dan masih ada ketersediaan air,
pemerintah masih sangat dimungkinkan memberi izin kepada swasta
untuk melakukan pengusahaan atasair dengan syarat tertentu.
Selain tidak sesuainya dengan enam prinsip tersebut, UU Nomor 7 Tahun 2004
juga dianggap tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 yang
berbunyi: “Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
2 Lembaga Negara Pengawal Konstitusi, Seluruh Undang-Undang SDA Dibatalkan MK, dikutip
dari www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10634#.WrHLelGyQ0M 15
Februari 2018. 3Eko Aditya Nugroho, Enam Prinsip Dasar Pengelolaan SDA, dikutip dari
http://id.beritasatu.com/home/enam-prinsip--pengelolaan-dasar-sda/169754 15 Februari 2018.
4
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari
penjelasan tersebut bermakna bahwa UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) telah melarang
adanya penguasaan sumberdaya air yang dipegang oleh salah satu pihak atau untuk
kepentingan individu demi mendapatkan keuntungan yang besar.
Dalam hal ini, Negara harus memegang hak penguasaan terhadap pengelolaan
atas air. Pemanfaatan air yang digunakan diluar hak guna pakai harus melalui
prosedur yang ada yaitu melalui permohonan izin pemerintah. Tidak hanya Negara
yang berperan dalam perizinan hak pakai air, tetapi masyarakat juga harus dilibatkan
dalam hal alasan penerbitan izin, dengan alasan karena air menjadi sesuatu yang
bersifat publik yang dimanfaatkan seluas-luasnya oleh masyarakat. Dengan
pernyataan yang demikian, pihak swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas air,
hanya dapat melakukan penguasaan sumber daya air dalam jumlah tertentu sesuai
dengan alokasi yang telah ditentukan dan diberikan izin oleh Negara. Maka
dibatalkannya UU No 7 Tahun 2004 dalam putusannya kembali menghidupkan atau
memberlakukan Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang
selanjutnya disebut UU Pengairan dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hukum
mengenai air4.
Sebenarnya pengertian komersialisasi itu sendiri adalah suatu pengelolaan air
yang dilakukan oleh pihak swasta dengan menjual air milik umum untuk
mendapatkan keuntungan yang besar. Hal tersebut sangat merugikan masyarakat.
Komersialisasi air merupakan permasalahan yang menyangkut kesejahteraan rakyat
dan permasalahan yang berhubungan dengan keyakinan hati seseorang. Maksudnya
bahwa fungsi air tidak hanya untuk memenuhi kehidupan manusia dengan manusia
tetapi, fungsi air juga untuk meghubungkan antara manusia dengan Allah dalam arti
lain yaitu shalat. Ketika hendak shalat pasti kita membutuhkan air untuk wudhu.
Apabila keberadaan air menjadi komoditas yang hendak dikomersialkan bisa
4Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, hlm. 145.
5
dikatakan untuk setiap orang yang hendak beragama ataupun beribadah hanya untuk
orang-orang yang berkecukupan atau memiliki uang yang cukup untuk membeli air
bersih. Dan bagi orang yang tidak berkecukupan bisa dikatakan dalam masalah
beribadah, mereka tidak akan terpenuhi, karena tidak mampu jika harus membeli air
yang harganya terjangkau mahal.
Dalam Islam komersialisasi jelas dilarang, karena tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Karena Islam merupakan agama yang lebih mengutamakan orang lain dan
sangat menjunjung tinggi kekeluargaan sehingga ketika seseorang hendak melakukan
suatu perbuatan selalu melihat Al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai pedomannya.
Pengertian lain komersialisasi yaitu mengambil keuntungan dari benda yang bersifat
umum, yang akan di bahas pada skripsi ini mengenai komersialisasi air atau disebut
dengan istilah menjual belikan air bersih kepada orang yang membutuhkan. Dalam
Islam terdapat aturan-aturan yang harus dilakukan ketika hendak melakukan jual beli,
terdapat rukun-rukun, syarat sah atau tidaknya jual beli. Sehingga tidak semua jenis
jual beli yang hendak kita lakukan hukumnya sah, terdapat berbagai pertimbangan
sesuai dengan dalil-dalil Al-Qur‟an. Masalah komersialisasi air terlihat dalam UU
No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air. UU tersebut telah menyalahgunakan izin
yang diberikan oleh Negara, sehingga UU tersebut dinyatakan dicabut atau
dibatalkan. Dengan adanya pembatalan UU Sumber Daya Air, penulis tertarik untuk
meneliti dan menganalisis kasus ini. Ketika suatu peraturan di cabut oleh pihak yang
berwenang, maka Undang-undang tersebut terdapat beberapa masalah yang
merugikan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti terhadap
Undang-undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dikaitkan dengan
hukum Islam yang dituangkan ke dalam skripsi yang berjudul “KOMERSIALISASI
AIR MENURUT HUKUM ISLAM (ANALISIS TERHADAP DIBATALKANNYA
UU NO. 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR)”. Maksud dari judul
diatas yaitu bahwa penulis akan meneliti komersialisasi air secara hukum Islam
kemudian dengan melihat UU No. 7 Tahun 2004 maka penulis juga akan meneliti
6
tentang komersialisasi air secara umum. Karena UU tersebut telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi maka yang penulis lakukan selanjutnya yaitu menjelaskan
semua alasan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004, kemudian penulis meneliti dari
hukum Islam, dimana letak ketidaksesuaian UU tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas permasalahan yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis
mencoba merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana status air dalam konteks hubungannya dengan manusia?
2. Dimana ketidaksesuaian UU No 7 Tahun 2004 jika dilihat dari sudut
pandang hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Dilihat dari permasalahan yang sangat berkembang di Indonesia pada sekarang
ini dan mendatang mengenai sumber daya air, maka tujuan dilakukannya penelitian
ini:
1. Untuk menjelaskan bagaimana status air dalam kehidupan manusia.
2. Untuk menjelaskan tentang letak ketidakssuaian UU No.7 Tahun 2004
berdasarkan perspektif hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menjadi acuan akademis
dan digunakan sebagai sumber literature ilmiah dalam menunjang
perkembangan ilmu Hukum Islam mengenai berbagai permasalahan
komersialisasi air yang terus berkembang, khususnya bagi prodi Ahwal al-
syaksiyyah FIAI.
2. Manfaat Praktis
7
Dalam penelitian ini, selain dapat memberikan solusi yang tepat dalam
permasalahan UU Sumber Daya Air yang kini telah dibatalkan dan belum
ditemukan jawabannya secara tepat jika dilihat dari hukum Islam, penulisan
skripsi ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pemerintah dan
penegak hukum baik dalam hukum Islam maupun hukum positif serta
menjadi solusi atas segala permasalahan hukum yang terjadi dalam ruang
lingkup Negara tanpa melupakan kaidah Islam. Serta penelitian ini juga
diharapkan dapat menjadi acuan dan tolak ukur dalam perumusan suatu
kebijakan hukum dalam setiap permasalahan.
E. Telaah Pustaka
Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis, fokus masalah dari
penelitian ini adalah mengenai analisis dibatalkannya UU No. 7 tentang Sumber Daya
Air secara hukum Islam, yang menurut UU tersebut terdapat unsur privatisasi yang
dapat berpotensi terjadinya komersialisasi air. Terdapat beberapa literature dan karya
tulis yang penulis gunakan sebagai sumber penelitiann ini, diantaranya:
1. Menurut Daud Silalahi dalam bukunya yang berjudul “Pengaturan Hukum
Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup Di Indonesia”. Menyatakan
tentang Hak-Hak Tataguna Air yang menjelaskan bahwa hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa semacam hubungan hak
ulayat5
diatur dalam pasal 9 UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria),
mengatur hubungan antar warga Negara Indonesia dengan bumi, air dan
ruang angkasa telah memberikan ciri dasar kenasionalan dari hak-hak atas
tanah, air dan ruang angkasa6
. Sebab, yang mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa hanya warga Negara
Indonesia karena wilayah Indonesia merupakan wilayah tanah air yang
5 Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum
adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. 6 Daud Silalahi, “Pengaturan Hukum Sumber Daya Air Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di
Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1996). Hlm. 43
8
bersatu menjadi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai pemilik penuh
atas air, namun seluruh aturan termasuk penguasaan hak atas air milik
masyarakat. Dalam penguasaan dan wewenangnya atas air maka masyarakat
melimpahkan atau memberikan izin kepada pemerintah, instansi-instansi
pemerintah baik pemerintah Pusat maupun pemerintah Daerah7.
2. Menurut Arif Rirmansyah dalam jurnalnya yang berjudul “Penafsiran Pasal
33 UUD 1945 Dalam Membanggun Perekonomian Di Indonesia”. Dalam
jurnal tersebut membahas lebih detail mengenai kedudukan pasal 33 UUD
1945, dinyatakan bahwa dalam UU No. 7 Tahun 2004 melarang adanya
penguasaan sumber daya alam oleh pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain
UU ini bertentangan dengan segala hal yang berkaitan dengan monopoli,
komersial, oligopoli dalam bidang penguasan pengelolaan sumber daya
alam. Namun, tidak semua pihak dapat menerima sesuatu yang mengandung
unsur monopoli dan sebagainya. Berapa masyarakat beranggapan bahwa
pasal ini tidak mengikuti perkembangan perekonomian zaman. Pertama,
pada saat ini Negara sudah berkembang dan tidak hanya berpatokan pada
satu asas yaitu asas kekeluargaan. Karena pada kenyataannya bisnis modern
memang tidak dapat dihindarkan dari sistem kepemilikan secara pribadi atau
perseorangan. Kedua, kepentingan masyarakat memang seharusnya dikusai
dan dikelola oleh Negara. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dijelaskan
lebih lanjut, bahwa UU Dasar 1945 Pasal 33 mempunyai jiwa sosial, yang
menempatkan penguasaan barang adalah milik publik8.
3. Jurnal berjudul “Air Dalam Perspektif Islam” oleh Sukarni. Dalam jurnal ini
dijelaskan bahwa air dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama,
dalam tinjauan Al-Quran telah dijelaskan bahwa air mempunyai beberapa
fungsi umum air, sumber dan sirkulasi air serta pengelompokannya. Fungsi
7 Ibid, hlm. 44.
8 Arif Firmansyah, “Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 Dalam Membangun Perekonomian Di
Indonesia, Jurnal Hukum Syiar Hukum FH.UNISBA. VOL. XIII. NO. 1, 2012, hlm. 267.
9
air dalam Al-Quran merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, menjadi sumber dari semua kehidupan yang diciptakan
Allah. Dalam hal ini, setiap manusia mempunyai hak dan tanggung jawab
dalam ketersediaan serta kebersihan air. Adanya air berasal dari Hujan yang
diturunkan oleh Allah Swt, kemudian mengisi relung-relung bebatuan yang
berada di pegunungan dan setelah itu air yang telah mengisi relung bebatuan
itu hendak mengalir ke berbagai tempat sesuai dengan alurnya masing-
masing. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa sirkulasi air akan
mengalir mengikuti setiap alurnya dengan cermat. Kedua, Air dalam tinjauan
Hadis menyatakan bahwa air merupakan kebutuhan setiap manusia yang
kepemilikannya dapat dilakukan secara bersama dan menjadi benda sosial
yang dapat dimiliki secara umum oleh masyarakat. Ketiga, metode ijtihad
dalam merumuskan fiqh air. Metode ini adalah salah satu cara untuk
menemukan hukum fikih yang berkaitan dengan fikih air yang dilakukan
menggunakan dua cara yaitu deduksi (istinbaty) dan induksi (istiqra‟iy).
Dengan kedua cara ini, maka tidak ada lagi suatu permasalahan yang
dihadapi oleh umat Islam, melainkan dapat dijelaskan sesuai dengan hukum
fikihnya9.
4. Menurut Arinto Nurcahyono, Husni Syam dkk dalam jurnalnya yang
berjudul “Hak Atas Air dan Kewajiban Negara dalam Pemenuhan Akses
Terhadap Air”. Dalam jurnal ini menyatakan bahwa air merupakan
kebutuhan dasar manusia selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, air digunakan sebagai suatu komoditas, tetapi disisi yang lain air
merupakan suatu social good. Telah disebutkan bahwa hak atas air diberikan
kepada siapapun tanpa adanya diskriminasi, bahwa Negara sangat berperan
dalam hal mengatur hak dan kewajian atas air dengan alasan manusia tidak
dapat bergerak sendiri dalam mengatasi permasalahan ini. Karena tidak
9Sukarni,“Air Dalam Perspektif Hukum Islam” (Kalimantan Selatan: Majelis Tarjih dan Tajdid
PWM), Jurnal Ratjih Volume 12 (1) 2014, hlm. 116-120.
10
semua manusia mendapatkan posisi yang sama dalam mendapatkan air dan
penguasaan air yang dilakukan oleh pihak swasta memiliki orientasi untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, oleh sebab itu, penguasaan
serta pengusahaan tersebut secara tidak langsung telah membatasi akses
masyarakat dalam mendapatkan air bersih dan semakin menjauhkan segala
sesuatu yang telah diusahakan oleh Negara untuk mensejahterahkan rakyat10
.
5. Jurnal berjudul“Privatisasi Air Di Indonesia (Kajian Atas Undang-Undang
Sumber Daya Air dan Ekonomi Islam)”, oleh Hermansyah dijelaskan bahwa
sumber daya air dan kebutuhan pokok yang dapat dimiliki oleh siapa saja,
karena termasuk dalam benda umum. Dengan paradigma ini, kita harapkan
setiap makhluk hidup dapat menikmati dan menggunakan air tanpa adanya
halangan dari pihak manapun, karena penggunaan air termasuk dalam
kewajiban individu untuk menjaga kemaslahatan. Berdasarkan hukum Islam
air termasuk dalam kebutuhan dharuriyyat, kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh setiap orang, apabila tidak dipenuhi, makhluk hidup akan mengalami
kekurangan air (dehidrasi) bahkan bisa mati. Kebutuhan air yang digunakan
sebagai maslahah al-„ammah11
, telah dijelaskan bahwa air termasuk dalam
kebutuhan dharuriyyat yang mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
setiap orang dan termasuk dalam hak asasi yang fundamental12
.
6. Menurut naskah yang ditulis oleh Irfan Nur Rachman berjudul “Implikasi
Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Konstitusional
Undang-Undang Sumber Daya Air” menyatakan bahwa pentingnya
kebaradaan air untuk semua makhluk hidup, perlu adanya suatu undang-
10
Arinto Nurcahyono, dkk, 2015, “Hak Atas Air dan Kewajiban Negara dalam Pemenuhan
Akses Terhadap Air”, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung), Jurnal Hukum Vol. 31,
No. 2, 2015, hlm, 1-10. 11
Bahwa manusia tidak dapat membiarkan siapa saja yang menjadikannya sebagai komoditi
personal atau kelompok dengan menjual kepada setiap masyarakat dengan harga penawaran yang
sangat tinggi. 12Hermansyah,“Privatisasi Air Di Indonesia (Kajian Atas Undang-Undang Sumber
Daya Air dan Ekonomi Islam)”, Jurnal Hukum.
11
undang yang mengaturnya seperti UU No. 7 Tahun 2004. UU tersebut
mengatur secara jelas pengelolaan sumber daya air. Perlunya pengaturan
mengenai sumber daya air disebabkan karena pada era sekarang kondisi air
semakin buruk, seperti meningkatnya kebutuhan air sedangkan ketersediaan
air menurun. Menurunnya ketersediaan air dapat dilihat banyaknya kota-kota
yang mengalami kekeringan. Namun, Undang-Undang Sumber Daya Air
pada tahun 2013 telah dicabut karena dianggap tidak sesuai dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat13
.
7. Menurut Sentot Sudarwanto dalam jurnal yang berjudul “Dampak
Dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air terhadap Manajemen Air untuk Kesejahteraan Masyarakat”.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa dengan dibatalkannya UU SDA ini
banyak menimbulkan dampak negatif bagi pemerintah yaitu pemerintah
tidak lagi mempunyai payung hukum untuk melaksanakan pengelolaan
sumber daya air karena segala peraturan telah dicantumkan dalam UU
tersebut. Namun, hal ini tidak dianggap hal yang benar-benar merugikan,
namun dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki diri dengan menyusun
aturan pengelolaan sumber daya air yang pro-rakyat serta berkeadilan
kepada semua pihak14
.
8. Menurut Santi Puspitasari dan Nindyaningrum dalam jurnalnya yang
berjudul “Implikasi Mahkamah Konstitusi 85/PUU-XI/2013 Terhadap
Sistem Penyediaan Air Minum”. Dalam jurnalnya dijelaskan terdapat
masalah yang terjadi terhadap UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, dalam jurnal ini disebutkan bahwa Negara kurang bertanggung jawab
dalam hal penyediaan air minum, karena masih banyak kebutuhan air yang
13
Irfan Nur Rachman, 2015, “Impikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Pengujian Konstitualitas Undang-Undang Sumber Daya Air”, (Jakarta Pusat: Naskah Teks), Kajian
Vol. 20 No.2, hlm, 109-112. 14
Sentot Sudarwanto, “Dampak Dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air Terhadap Manajemn Air untuk Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal Yustisia. Vol. 4
No. 2Mei-Agustus 2015., hlm. 458.
12
belum terpenuhi secara menyeluruh. Dan dalam pelaksanaannya UU ini
sering mendapatnya kritik berupa hal yang menyatakan bahwa UU No.7
Tahun 2004 mengandung unsur privatisasi, komersialisasi serta swastanisasi.
Komersialisasi muncul dalam Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 45 UU SDA,
serta anggapan lain tentang UU SDA yaitu kurangnya tanggung jawab
Negara dalam mengatur sistem penyediaan air minum yang bersih, yang
pada akhirnya UU SDA tersebut dicabut oleh MK karena dianggap tidak
mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Dengan adanya putusan Nomor
85/PUU-XI/2013 penyediaan air minum dinilai mengalami penurunan atau
kemunduran khususnya tanggung jawab Negara dalam penyediaan air15
.
9. Menurut M. Muhtar Nasir dalam skripsinya “Pengelolaan Sumber Air
Menurut Muhammadiyah Dan Nahdatul Ulama”. Dalam skripsi ini
menjelaskan perbandingan pendapat antara keduanya tentang pengelolaan
air. Menurut pendapat tarjih Muhammadiyah air adalah kebutuhan sangat
penting dalam kehiduan masyarakat dan menguasai hajat hidup orang
banyak. Sehingga dalam pengelolaan seharusnya Negara yang mengaturnya
bukan kekuasaan-kekuasaan perusahaan, terutama perusahaan asing yang
memanfaatkan air sebagai komoditas yang sangat tinggi. Apabila sumber
daya air lebih dimanfaatkan oleh pihak swasta, maka Indonesia belum
termasuk Negara yang berdaulat dalam mengelola sumber daya air.
Kemudian, Nahdatul Ulama juga berpendapat hal yang serupa yaitu
pengelolaan seharusnya dilakukan sepenuhnya oleh Negara demi
kepentingan rakyat. NU sangat peduli terhadap lingkungan, tetapi NU
berbeda pendapat dengan Muhammadiyah tentang pengelolaan yang
dilakukan oleh pihak swasta. Menurutnya tidak masalah apabila pengelolaan
dilakukan oleh pihak swasta, tetapi dengan syarat ada ketegasan pengaturan
15
Santi Puspitasari dan Utari Nindyaningrum, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013 Terhadap Sistem Penyediaan Air Minum”, Jurnal Penelitian Hukum Volume
2,Nomor 1, 2015, hlm. 46-59.
13
oleh pemerintah dan memprioritaskan kerjasama dengan perusahaan swasta
nasional daripada asing serta memberikan dampak yang baik terhadap
masyarakat dan demi kemandirian Negara. Persamaan pendapat antara
Muhammadiyah dan NU adalah sama-sama peduli terhadap lingkunganan
serta menghendaki pengelolaan air dilakukan oleh Negara dengan tujuan
untuk kesejahteraan penduduknya. Pengelolaan sumber daya air dalam
pandangan Muhammadiyah dan NU sesuai dengan apa yang telah dicita-cita
oleh Al-maqasid al-syari‟ah16
.
10. Menurut buku Suara Muhammadiyah yang berjudul“Fikih Air” menjelaskan
bahwa pengelolaan sumber daya air menurut hukum Islam dapat di lihat dari
beberapa sudut pandang antara lain seperti tauhid, sifat bersyukur dan
keadilan. Ketiga hal tersebut merupakan nilai dasar dari pengelolaan air.
Yang mana ketika kita hendak mengelola air maka kita harus mempunyai
sifat tersebut. Tauhid artinya bahwa kepercayaan dalam tauhid akan
membawa atau melahirkan kesadaran tentang seluruh alam semesta yang ada
di dunia ini termasuk air, diciptakan, dipelihara serta diatur oleh Allah yang
Maha Kuasa. Dalam tauhid mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam semesta
termasuk air. Syukur artinya karena air termasuk sumber daya air yang
diciptakan oleh Allah swt maka sebagai umat Islam kita harus mempunyai
rasa bersyukur dengan menjaga dan menggunakan karunia Allah yang
berupa air sesuai dengan kehendak pemberinya. Dengan rasa syukur tersebut
sebagai orang Muslim seharusnya merasa ridha dan puas atas nikmat air
yang diperolehnya dan tetap mempertahankan nikmat yang sudah dimiliki
guna untuk mendapatkan nikmat yang lebih baik. Keadilan artinya bahwa
setiap manusia mempunyai hak untuk mengelola air dengan seadil-adilnya.
Keadilan dapat timbul apabila setiap manusia mempunyai kesadaran bahwa
16
Muhtar Nasir, “Pengelolaan Sumber Air Menurut Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama”,
(Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016).
14
air adalah milik umum yang mana harus di pakai bersama dan sesuai dengan
kebutuhan individu. Pandangan Islam jelas berbeda dengan liberisme yang
melakukan komersialisasi terhadap air demi mendapatkan keuntungan, yang
nantinya keuntungan tersebut dinikmati oleh pihak swasta. Sementara Islam
mengajarkan kepada semua umatnya untuk mengelola dan menggunakan
sumber daya air sesuai dengan takaran kebutuhan masing-masing serta
berprinsip tauhid, syukur dan keadilan. Ketiga hal itulah yang menjadi
landasan dalam pengelolan air17
.
Dari penelitian-penelitian yang telah ditinjau oleh penulis tentu memiliki
perbedaan dengan penelitian ini. Adapun perbedaannya adalah jika penelitian-
penelitian terdahulu pada umumnya membahas implikasi putusan mahkamah
konstitusi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air serta
membahas tentang praktik jual beli air kemasan atau kebanyakan dari penelitian
terdahulu hanya membahas komersialisasi atau privatisasi secara hukum positif.
Maka dalam penelitian penulis akan mencoba menghubungkan antara hukum positif
dan hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
kedalam bentuk penulisan yang sistematis dan teratur, maka skripsi ini disusun
dengan sistematika penulisan sebagai berikut.
Bab pertama yaitu bab pendahuluan yang meliputi latang belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka yaitu kajian penelitian
terdahulu dan sistematika penulisan.
17
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Air”, (Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah, 2016).
15
Bab kedua yaitu bab landasan teori yang meliputi penjelasan dasar dan ringkas
dari ruang lingkup masalah yang diteliti, dalam hal ini tentang komersialisasi air serta
urgensi tentang pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 yang meliputi pengelolaan sumber
daya air yang di dalamnya memuat sub-sub bab yang berkaitan dengan judul yaitu
subbab Pertama tentang fungsi dan Regulasi Kepemilikan Air. Kedua, nilai-nilai
dasar pengelolaan air yang di dalamnya terdapat beberapa macam seperti tauhid,
syukur, keadilan, moderasi dan keseimbangan serta meninggalkan yang tidak
bermanfaat. Sub bab ketiga yaitu, Etika Bisnis dan kepemilikan dalam Islam yang
memuat tentang pengertian jual beli, tinjauan umum tentang etika bisnis Islam,
pengertian dan sebab-sebab kepemilikan serta macam-macam kepemilikan. Sub bab
keempat yaitu tentang tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi yang di dalamnya
membahas kedudukan MK dan wewenang MK.
Bab ketiga berisi tentang metode penelitian yang penulis gunakan dalam
meneliti topik skripsi ini meliputi jenis dan pendekatan penelitian, data dan sumber
data, teknik oengumpulan data dan teknik analisisis data.
Bab keempat yaitu pembahasan, adapun penelitian ini membahas tentang alasan
Mahkamah Konstitusi terhadap pembatalan Undang-Undang No.7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, dalam sub Bab pertama ini penulis membahas tinjauan
umum tentang sumber daya air. Kedua, tinjauan umum tentang komersialisasi air,
ketika kita ingin meneliti kesalahan yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2004
sebelumnya kita harus memahami serta mengetahui bagaimana dasar komersialisasi
air menurut hukum Islam. Sub bab ketiga, setelah kita mengetahui tentang
komersialisasi termasuk hukum-hukumnya selanjutnya kita membahas tentang
kedudukan sumber daya air dalam kehidupan manusia. Kita juga harus mengetahui
tentang bagaimana air dalam kedudukan manusia serta membahas seberapa
pentingnya air dalam kehidupan. Keempat, sesuai dengan topik permasalahan skripsi
ini, bab empat membahas mengenai Alasan MK membatalkan UU No. 7 Tahun
16
2004 tentang Sumber Daya Air. Dan dalam sub bab terakhir, penulis akan
menganalisa dari topik-topik yang telah dibahas di atas.
Bab kelima yakni bab terakhir yaitu penutup. Pada bab ini penulis
menyimpulkan hasil penelitian serta analisisnya kemudian penulis memberikan saran
bagi pembaca, dan melampirkan data-data yang menunjang kelengkapan dalam
skripsi ini.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Fungsi dan Regulasi Kepemilikan Air
Fungsi air sangat penting dalam kehidupan manusia. Air adalah suatu hal
penentu ada atau tidaknya keberadaan manusia, hubungan keduanya sering
diibaratkan seperti dua sisi dalam satu koin mata uang, yang mana dua sisi tersebut
keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Sehubung dengan hal itu, terdapat enam
fungsi air bagi kehidupan, antara lain:
Pertama, karena air adalah sesuatu yang sangat penting, oleh karena itu air
berfungsi sebagai sumber kehidupan dari segala jenis makhluk hidup yang diciptakan
oleh Allah Swt baik itu manusia, tumbuhan dan hewan18
.
Menurut al-Baidawi, hewan dan manusia sebagian besar komposisinya terbuat
dari air, hal itulah yang menjadi alasan kenapa manusia dan makhluk lainnya tidak
dapat hidup tanpa adanya air. Komposisi tersebut sebanyak dua pertiga dari fisik
setiap manusia adalah berupa cairan, seperti air liur, darah, pelumas sendi dalam
setiap tulang serta cairan yang terdapat dalam sumsum belakang19
.
Fungsi kedua, air berfungsi untuk kebutuhan pokok makhluk hidup. Tanpa
adanya asupan air yang memadai, semua makhluk hidup merasakan lemas, yang
menimbulkan badan terasa tidak enak, seperti kurangnya pelumas bagi tulang yang
ada di tubuh setiap manusia serta mengakibatkan hal lain yang lebih buruk bahkan
menimbulkan kematian. Memang, air diciptakan oleh Allah Swt untuk memenuhi
setiap kebutuhan manusia yaitu untuk diminum oleh manusia dan hewan dan untuk
menumbuhkan tanaman.
18
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Air”, hlm. 21. 19
Ibid. hlm. 22.
18
Fungsi ketiga, air berfungsi untuk melindungi tanah, artinya air bekerja untuk
melindungi dan memelihara tanah agar tidak mengalami kekeringan atau tandus.
Dengan adanya air, maka tanah yang semula tandus menjadi subur, sehingga
bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui hasil panen dari tanaman yang mereka
tanam seperti sayur-sayuran, buah-buahan serta tanaman-tanaman lainnya. Fungsi
keempat, air berfungsi sebagai sarana untuk menghadap ke Allah, artinya air
digunakan oleh setiap manusia untuk bersuci atau berwudhu, baik bersuci seperti
berwudhu ataupun mandi. Hadas kecil contohnya seperti kencing, buang air besar,
kentut dll sedangkan hadas besar seperti mandi wajib setelah haid, mimpi basah dan
lainnya. Ketika tidak ada air, maka setiapmanusia mengalami susahnya untuk mandi
maupun bersuci, oleh sebab ituair dalam hal ini sangat berperan penting.
Fungsi kelima, air juga dapat berfungsi sebagai sarana transportasi kedaraan
laut, tidak hanya darat dan udara saja yang di gunakan sebagai akses untuk menuju
suatu tempat. Akan tetapi, laut ataupun sungai juga dapat digunakan. Tidak sedikit
orang yang lebih memilih untuk bertransportasi menggunakan sarana laut seperti
menggunakan kapal.
Fungsi keenam, air dapat berfungsi sebagai energi listrik. Bahwa air dapat
menggerakan turbin pada suatu pembangkit listrik tenaga air atau PLTA yang
kemudian dari gerakan turbin tersebut dapat menghidupkan generator yang kemudian
menghasilkan listrik. Bukti lain bahwa air dapat digunakan sebagai teknologi yaitu
pembangkit listrik tenaga uap, dan bahkan pada saat ini telah dikembangkan
teknologi untuk peralatan memasak dengan memanfaatkan uap sebagai sumber energi
yang ramah lingkungan. Berhubungan dengan fungsi air sebagai energi telah diatur
dalam firman Allah yaitu Q.S al-Jasiyah (45): 12, yang berbunyi20
:
خر لكم البحر لتجري الفلك فيو بأمره ولتبتػغوا من فضلو ولعلكم تش كروف اللو الذي
20Zaini Dahlan, 1999. Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya. Surah Al-Jasiyah (45): ayat 12,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 989.
19
“Allah-lah yang menundukkan lautanmu untukmu agar kapal-kapal dapat
berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari
sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur”.
Fungsi-fungsi yang telah dijelaskan di atas termasuk ke dalam fungsi
kontributif yaitu fungsi yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Adapun selain
fungsi kontributif, dalam Al-Quran juga telah dijelaskan fungsi destruktif yaitu fungsi
yang tidak bermanfaat (merusak) air. Dalam volume yang besar, seperti air banjir dan
air yang telah berubah warna, tidak lagi bermanfaat untuk kehidupan masyarakat,
bahkan menjadi hal yang berbahaya bagi kehidupan manusia seperti banjir yang
sangat tinggi yang berakibat dapat menelan korban serta dapat memisahkan keluarga
satu dengan keluarga lainnya (ayah dengan anak terpisah). Peristiwa tersebut telah
digambarkn dalamQ.S.Hud (11): 43 yang berbunyi21
:
كن وىي تري بم ف موج كالباؿ ونادى نوح ابػنو وكاف ف معزؿ يا بػن اركب معنا ولا ت مع الكافرين
“Anaknya menjawab “aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat
memeliharaku dari air bah! “Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari
ini dari siksaaan Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan
gelombanG menjadi penghalang anatara keduanya, maka jadilah itu termasuk
orang-orang yang ditenggelamkan.
Dalam agama Islam, Regulasi Kepemilikan Air telah diakui bahwa sumber
daya air merupakan kepemilikan yang diakui adanya hak umum dan hak privat.
Namun, ketika sumber daya air menjadi hak privat, Islam tidak membuka lebar-lebar
pintu privatisasi tanpa batasan, melainkan memperkenalkan pengaturan yang
proporsional. Dalam kitab Tuhfat al-Fuqaha karya as-Samarqandi (w.539/1144)
ulama mazhab Hanafi dari Samarkad, di dalamnya disebutkan bahwa kepemilikan air
mempunyai empat kategori. Pertama, air merupakan milik privat artinya ketika air
berada dalam ember yang sudah dimiliki secara pribadi maka air tersebut menjadi hak
21
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”, Surah Al-Huud (11): ayat 43,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 398.
20
pribadi. Karena telah menjadi hak pribadi, maka air ini tidak dapat dimiliki atau
dikuasai oleh orang lain. Kedua, air menjadi milik privat ketika berada di dalam
sumur.
Air ini menjadi milik pribadi atau menjadi hak milik pemilik sumur. Akan
tetapi, tidak mutlak menjadi hak pribadi melainkan ketika masyarakat sekitar yang
ingin memanfaatkan untuk kepentingan umum maka dibolehkan dengan syarat
penggunaan dilakukan sesuai keperluannya dan tidak berlebihan. Ketiga, air yang
berada di sungai yang dimiliki oleh sebuah komunitas masyarakat tertentu.
Keempat,air keberadaannya di sungai-sungai besar seperti sungai Eufrat, Sungai Nil.
Air yang keberadaannya berskala besar, maka kepemilikannya menjadi milik menjadi
milik umum dan tidak bisa dilakukan privatisasi. Air yang berskala besar ini
merupakan air yang keberadaannya di atur dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 2 yang telah disebutkan tidak dapat
diprivatisasi. Pemanfaatan air yang dilakukan secara secara umum oleh setiap orang
dalam Islam diatur agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain atau
mengganggu hajat hidup orang banyak.
B. Nilai Dasar Pengelolaan Air
Bahwa agama Islam merupakan suatu agama yang istimewa dan sempurna di
sisi Allah SWT, yang nantinya dijadikan pedoman dan tuntutan bagi pengelolaan air.
Dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya air, Islam mempunyai nilai dasar yang
digunakan sebagai pedoman. Nilai dasar adalah suatu nilai yang dijadikan pedoman
bagi umat Islam untuk pengelolaan air, kemudian nilai dasar itu menjadi landasan
bagi penyusunan prinsip universal dan ketentuan hukum atau rumusan implementatif
pengelolaan air. Yang termasuk kedalam nilai dasar pengelolaan air yaitu22
:
22
Ibid, hal. 37.
21
1. Tauhid
Tauhid merupakan suatu dasar keimanan seseorang yang dijadikan
fondasi keimanan dan amal kebaikan dalam agama Islam. Tanpa adanya nilai
keimanan yang baik, maka seorang Muslim tidak dapat menjaga perbuatannya
termasuk dalam pengelolaan air. Tauhid tidak hanya mengatur urusan manusia
dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan alam, termasuk
air. Dengan demikian, dapat disadari oleh setiap umat Islam bahwa manusia dan
air adalah bagian dari alam semesta yang diatur keberadaannya oleh wahyu Allah
swt. Sehingga melindungi air menjadi bagian dari kewajiban agama.
2. Syukur
Hakikat syukur adalah suatu kesadaran manusia secara mendalam
terhadap kasih sayang Allah kepada makhluknya. Ketika manusia mempunyai
sifat syukur terhadap apapun yang diperoleh dari Allah swt, maka dapat
mensyukuri segala nikmat dan ciptaaan dari Allah swt. Seseorang yang telah
menanamkan sifat syukur, maka dengan sikap tersebut kita semua dapat
memanfaatkan air dengan sebaik-baiknya serta sesuai dengan kebutuhan masing-
masing individu. Sehingga rasa syukur yang tertanam pada jiwa manusia dapat
menjadi landasan bagi setiap aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan air. Allah
SWT berfirman23
:
ولن كفرت إف عذاب لشديد ,وإذ تأذف ربركم لن شكرت لزيدنكم Artinya:”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, niscaya aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” [Q.S.Ibrahim
(14): 7].
3. Keadilan
Keadilan mempunyai makna bahwa setiap manusia tentu memiliki
haknya masing-masing terutama dalam hal memperoleh dan memenuhi
23
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”, Surah Ibrahimn (14): ayat
7, Yogyakarta: UII Press, hlm. 452.
22
kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan air secara adil. Dalam mengelola air yang
merupakan karunia Allah swt, nilai keadilan sangat penting dan menjadi landasan
dasar dalam pendistribusian air. Dalam paradigma liberalisme telah melakukan
komersialisasi terhadap air untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar,
paradigma ini memberikan keistimewaan kepada pemilik sumber daya materi
dalam mengakses air, sedangkan untuk pihak yang tidak memilikinya cenderung
tersisihkan. Berbeda dengan paradigma Agama Islam yang tidak mengenal istilah
komersialisasi air, justru Islam sangat mencegah hal tersebut terjadi. Dalam Al-
Qur‟an telah ditegaskan bahwa Allah telah menolak pendistribusian kekayaan
dan asset milik umum atau publik yang keberadaannya tidak merata sehingga
melahirkan ketidakadilan, sebagaimana dalam firman Allah sebagai beriku24
:
وؿ ولذي القرب واليتامى والم ولو من أىل القرى فللو وللر ساكي ما أفاء اللو على ر
وؿ فخذوه وما .وابن السبيل كي لا يكوف دولة بػي الغنياء منكم وما آتاكم الر
إف اللو شديد العقاب واتػقوا اللو اكم عنو فانػتػهوا نػه “Apa saja harta rampasan (fai‟) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah Allah, untuk Rasul, kaum,
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”(Q.S al-Hasr (59): 7).
4. Moderasi dan Keseimbangan
Moderasi adalah perbuatan yang dianggap sebagai penengah guna
menghindari problem kelebihan air dengan nama lain pemborosan air dan
kekurangan air (kekeringan). Dengan adanya sikap moderarasi Allah telah
memberikan kepercayaan kepada Umat Islam untuk menjadi saksi atas semua
perbuatan manusia.
24
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya, Surah Al-Hasyr (59): ayat 7,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 992.
23
Keseimbangan juga merupakan prinsip yang ditekankan dalam agama Islam.
Keseimbangan dalam penggunaan air memperhitungkan potensi ketersediaan air
dan kebutuhan sumber daya yang tersedia. Prinsip keseimbangan mengakui
adanya hak manusia terhadap air, namun juga mengingatkan adanya kewajiban
untuk menjaga keberlangsungan air. Keseimbangan penggunaan air diwujudkan
dengan mengupayakan keberlanjutan unsur-unsur kehidupan secara bersamaan.
Bahwa pada prinsip keseimbangan juga mengakui adanya hak asasi manusia
terhadap air, namun dalam masalah keseimbangan juga mengingatkan adanya
kewajiban untuk menjaga keberlangsungan air. Penggunaan air dalam hal ini
tentang keseimbangan diwujudkan dengan mengupayakan unsur-unsur lain yang
dilakukan secara bersamaan.
5. Meninggalkan yang tidak bermanfaat
Efisiensi dalam pengggunaan air dapat diartikan bahwa menggunakan
sumber daya air haruslah sesuai dengan kebutuhan dan tidak secara berlebihan.
Agama Islam sangat menekankan dalam penggunaan air. Akan tetapi, agama
Islam sangat menganjurkan pemanfaatan air secara bijaksana sesuai dengan
keperluan, kebutuhan yang tidak bermanfat sebaiknya ditinggalkan. Termasuk
dalam hal berwudhu, karena wudhu dalam air yang banyak tidak menjamin
anggota tubuh menjadi bersih. Sebaliknya, ketika kita berwudhu dengan air yang
sedikit, maka wudhunya lebih berih karena anggota badan yang terkena air
dilakukan dengan cara ditekan.
Kelima nilai dasar di atas saling berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya, serta saling melengkapi. Pentingnya diajarkan tentang nilai dasar
pengelolan air yaitu kita dapat mengelola air sesuai dengan ajaran agama Islam
sehingga tidak adanya penyelewengan atau penggunaan air yang bertentangan
dengan agama Islam. Hal ini juga dapat menghindarkan dari komersialisasi air,
karena komersialisasi dapat timbul ketika manusia lupa dengan segala aturan-
aturan yang diatur-Nya serta pengggunaan air yang dilakukan tidak sesuai
dengan kebutuhan.
24
C. Etika Bisnis Dan Kepemilikan Dalam Islam
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah kegiatan transaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
untuk mendapatkan barang yang di inginkan. Hukum jual beli telah disyariatkan
berdasarkan kitab Allah dengan firman Allah sebagai berikut25
:
لذين يأكلوف الرئبا لا يػقوموف إلا كما يػقوـ الذي يػتخبطو الشيطاف من
عمثلالرئبا المسئ االبػيػ لكبأنػهمقالواإن للهالبػيػعوحرمالرئبا, ذ ف وأحلا ربئ انػتػهى فمنجاءهوعظةمنػ
لف وأمره إل اللو عادفأولكأصحابالنار فػلو ما هفيهاخالدوف ومنػ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”.(Q.S Al-Baqarah: 275)”.
Dalam kitab pengantar Fiqh Muamalah diterangkan bahwa untuk memiliki
sesuatu barang yang hukumnya syah dan sesuai dengan syara‟, ada beberapa sebab
yang dikemukakan oleh para fuqaha, antara lain26
:
25
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”, Surah Al Baqarah (2): ayat
275. Yogyakarta: UII Press, hlm. 82.
26 Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam
Berekonomi) ,(Bandung: CV. Diponegoro, 1984), hal. 71.
25
a. At-Tawalludu berpendapat bahwa benda yang disebabkan karena beranak
pihak, segala sesuatu yang lahir dari barang yang dimiliki maka berhak untuk
memilikinya dan barang tersebutbisa di jual belikan. Contohnya, anak ayam
yang lahir dari ayam pemiliknya, sehingga induk ayam tersebut menjadi
pemilikbarang tersebut.
b. Khalafiah berpendapat bahwa benda yang didapatkan berdasarkan hasil waris,
kedudukannya dapat dijadikan sebagai barang jual beli dan hukumnya sah.
Faktor-faktor inilah yang nantinya dapat dibicarakan lebih lanjut, para fuqaha
memandang sebagai salah satu rukun pada jual beli, yang mana transaksi tidak
dipandang sebagai transaksi yang sah apabila tidak diikuti dengan akad. Pelaksanaan
akad atau ijab qabul yang sah ialah selama sesuai dengan syariat agama Islam. Hal ini
juga diperselisihkan oleh para fuqaha, dan secara garis besar dibagi kedalam tiga
pendapat27
:
Pendapat pertama, akad yang dilakukan tidak sah apabila tidak diikuti dengan
sighat yaitu pelafalan yang dilakukan oleh dua orang pada saat bertransaksi.
Ketentuan ini berlaku untuk jual beli, sewa menyewa,waqaf, hibah, nikah dan lain
sebagainya. Misalnya, dengan pelafalan “Saya akan menjual barang ini kepadamu”,
dan pembeli menjawab: “Saya telah membeli barang ini darimu”. Akan tetapi, ada
ketentuan lain dalam melakukan sighat seperti orang yang tidak dapat mengucapkan
sighat dengan kata lain orang bisu, maka dapat melakukannya dengan isyarat.
Adapula orang terhalang lainnya seperti orang yang keberadaannya jauh dari tempat
penjual, ia dapat melakukan akad dengan tertulis.
Pendapat kedua, bahwa akad yang sah yaitu akad yang dilakukan dengan
tindakan, khusus bagi hal-hal yang biasanya dilakukan dengan suatu perbuatan atau
tindakan. Seperti: wakaf untuk pendirian masjid, tanah kuburan yang letaknya di jalan
raya serta jual beli.
27
Ibid, hal. 72.
26
Pendapat ketiga, pendapat yang ketiga ini adalah akad yang tidak memihak
bagaimana pelaksanaannya. Bahwa setiap akad yang dilakukan dengan cara apapun
yang terpenting adalah menunjukkan maksud tujuannya, baik perkataan maupun
dengan perbuatan. Dan apa-apa yang dianggap sebagai jual beli oleh manusia maka
itulah jual beli dan apa-apa yang dianggap sewa-menyewa oleh manusia maka itulah
sewa menyewa dan lain sebagainya. Jual beli, sewa menyewa sah apabila akad yang
dilakukan dapat dimengerti oleh masing-masing bangsa karena dalam hal ini fuqaha
tidak melakukan pembatasan apapun.
Adapun syarat-syarat jual beli yang tidak sah antara lain: Dalam jual beli
terdapat dua syarat, misalnya dalam jual beli kayu, pembeli menyuruh kepada penjual
agar yang memotong kayu dan serta membawakan kayu tersebut ketempat tujuan
adalah penjual. Tidak semua jenis jual beli yang dilakukan oleh setiap orang
hukumnya dibolehkan. Kita juga perlu mengetahui serta memahami bahwa jual beli
juga ada yang terlarang, seperti dalam bukunya Abu Bakar Jabir El-Jazairi telah
disebutkan bahwa jual beli ada yang dilarang28
. Namun, penulis hanya akan
menuliskan salah satu dari beberapa jual beli yang terlarang karena satu hal tersebut
berkaitan dengan pembahasan skripsi penulis, yaitu: (1) Menjual barang yang bukan
miliknya, Telah dijelaskan bahwa setiap orang muslim dilarang keras untuk
melakukan jual beli barang dagangan yang bukan miliknya, seperti misalnya air. Air
merupakan barang publik yang semua orang dapat memanfaatkan untuk
kehidupannya. Apabila air dijual belikan oleh salah satu atau beberapa oknum dengan
tujuan untuk mengambil keutungan, maka hal tersebut sangat dilarang karena
menyebabkan kerugian banyak orang serta dapat mengurangi kapasitas air.
Karena dalam skripsi ini mambahas tentang komersialisasi air, yang mana
dalam istilah lain disebut sebagai jual beli air. Oleh sebab itu, dengan adanya
penjelasan tentang jual beli, maka dapat menjadi bahan acuan dalam penulisan skripsi
28
Ibid, hal. 51.
27
ini dengan mengetahui dasar serta hukum-hukum jual beli yang sesuai dengan hukum
Islam.
2. Tinjauan Umum Tentang Etika Bisnis Islam
Islam mempunyai pedoman untuk mengarahkan setiap umatnya untuk
malakukan setiap amalan. Pedoman agama Islam adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi.
Oleh sebab itu, setiap perbuatan yang dilakukan oleh umat Islam hendaknya
berdasarkan pedoman yang telah ditentukan, begitu juga ketika kita
menjalankansuatu bisnis,kita harus mengetahui terlebih dahulu tentang bisnis yang
kita lakukan apakah sudah sesuai dengan Hukum Islam atau belum agar terdapat
keberkahan di dalamnya.
Dalam Islam pengertianBisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada
peningkatan hasil tambah melalui proses penyerahan jasa dengan mengolah barang
(produksi). pengertian bisnis secara Islami, adalah serangkaian aktivitas bisnis dalam
berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang/jasa)
termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan
hartanya karena aturan halal dan haram29
.
Etika dalam Islam berkaitan dengan Norma dan tuntunan atau ajaran dengan
tujun untuk mengatur sistem kehidupan secara individu atau lembaga atau secara
kelompok. Terdapat sistem penilaian atas perbuatan maupun perilaku yang
mempunyai kompetensi baik maupun buruk. Perilaku baik merupakan suatu
perbuatan yang didorong berdasarkan kehendak akal fikir hati nurani dalam
kewajiban menjalankan perintah Allah serta menggunakan anjuran yang diturunkan
oleh Allah swt untuk mendapatkan pahala.
29
Muhammad,”Etika Bisnis Islami”, (Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN,
2004), hlm. 38.
28
Bisnis Islami tentu saja berbeda dengan bisnis pada umumnya, dasarnya saja
sudah berbeda apalagi dengan cara pengolahannya tentu saja berbeda. Menyamakan
antara keduanya begitu saja tentu akan menimbulkan kesulitan. Namun, bisa pula kita
pahami, bahwa sebagian pengelola terhadap bisnis syari‟ah “kemungkinan” berasal
dari pengelola konvensional karena sebagian mereka sulit untuk melepaskan tradisi
bisnis konvensional yang kedudukannya sudah mendarah daging. Sedangkan
hubungan ekonomi berdasarkan syari‟ah Islam ditentukan oleh hubungan aqadyang
di dalamnya terdapat Lima konsep aqad yaitu (prinsip simpanan),(bagi hasil), (margin
keuntungan), (jasa), (sewa)30
.
Sistematika bisnis dalam Islam lebih menekankan pada hubungan antara
manusia dengan Allah Swt. Karena Allah Maha Mengetahui tentang segala sesuatu.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, terdapat sistem etika bisnis dalam Islam, antara
lain31
:
1. Segala sesuatu tergantung pada niatnya, karena Allah Maha Mengetahui
sehingga Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati kita.
2. Tentu ketika seseorang mempunyai niat harus diikuti dengan tindakan.
Dengan demikian, niat yang baik akan dihitung sebagai ibadah walaupun pada
kenyataanya tidak dilaksanakan. Dan niat yang baik (halal) tidak dapat
merubah niat buruk (haram) menjadi halal.
3. Islam menggunakan pendekatan terbuka terhadap etika seseorang. Karena
menurut Islam, keegoisan seseorang tidak mendapatkan ruang dalam agama
Islam.
4. Percaya kepada Allah bahwa segala sesuatu pasti dikembalikan kepada-Nya
dan senantiasa diberikan kemudahan bagi yang menjalankan sesuai dengan
prinsip Islami.
30
Ibid, hal. 35. 31
Ibid, hal. 52.
29
D. Pengertian dan sebab-sebab Kepemilikan
Terdapat dua pengertian dalam kepemilikan. Secara bahasa dan secara
istilah.
Kepemilikan secara bahasa berasal dari kata milk dan malakiyah atau malakah yang
berarti milik. Sedangkan secara istilah dapat dilihat dari firman Allah SWT sebagai
berikut“Suatu Ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syara‟ yang
membenarkan si pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang yang miliknya
sekehendaknya, kecuali penghalang32
.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kepemilikan adalah
suatu barang yang mutlak menjadi milik kita, yang orang lain tidak dapat
menggunakannya tanpa seijin pemiliknya. Dari pengertian inilah penulis dapat
menyebutkan sebab-sebab terjadinya kepemilikan, antara lain:
1. Memiliki barang yang menjadi hak milik sendiri
2. Adanya akad, maksudnya bahwa seseorang mempunyai barang tertentu, pasti
berasal dari transaksi dan agar transaksi yang dilakukan antara kedua pihak
sah, maka harus ada akad.
3. Pewarisan. Selain kepemilikan berasal dari transaksi kedua belah pihak,
sesuatu itu bisa didapatkan juga dari pewarisan.
4. Berkembang Biak. Ketika kita mempunyai barang berupa makhluk yang dapat
berkembang Biak, maka anaknya menjadi milik kita. Itulah yang disebut
benda kepemilikan yang berkembang Biak.
Hal ini telah dikatakan bahwa sebab kepemilikan pada dasarnya adalah
adanya kebolehan. Seperti pada air, pepohonan dan rumput merupakan benda yang
berada di hutan,sungai dan sekitarnya tidak dapat dimiliki oleh seseorang karena itu
semua adalah barang yang hukumnya mubah33
. Semua orang dapat memiliki air,
32
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Fiqh Mu‟amalah, (Semarang:PT.
Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 12.
33
Ibid, hal 13.
30
pohon, rumput dan lain sebagainya dengan cara menguasainya maka tindakan
tersebut disebut ihraz34
harus memenuhi syarat yang telah ditentukan, antara lain:
1. Benda tersebut belum pernah dikuasai oleh orang lain
Seperti ketika pada saat hujan, seseorang mengumpulkan air hujan
dengan menggunakan tempat yang sangat besar dan tempat tersebut tidak
dipindahkan ke tempat yang lain, dengan perumpamaan tersebut maka orang
lain tidak boleh memiliki atau mengambil air di tempat penadah air hujan
tersebut karena air yang seperti ini bukan lagi menjadi air mubah karena telah
dikuasai oleh seseorang.
2. Syarat kedua yaitu maksud untuk memiliki
Ketika seseorang memperoleh benda mubah, dan orang tersebut tidak
bermaksud untuk memilikinya, tidaklah benda itu menjadi milik seseorang
yang memperolehnya. Dengan contoh, ketika ada seoarang pemburu yang
meletakkan jaringnya bukan bertujuan mencari binatang melainkan hanya
sebatas mengeringkan saja. Dengan adanya perumpamaan tersebut, binatang
tersebut tidak menjadi haknya pemilik jaring tetapi, dapat dimiliki oleh orang
lain. Dan yang mengambil binatang dipandang sebagai muhriz, bukan sebagai
pemilik barang.
E. Macam-macam kepemilikan
Semua macam benda tentu saja mempunyai sifat dapat dimiliki, terdapat tiga
macam benda jika dilihat dari boleh atau tidaknya benda itu dimiliki, antara lain35
:
1. Benda yang tidak boleh menjadi milik individu atau perorangan, yaitu suatu
benda yang menjadi milik publik dan tidak boleh dialihkan menjadi barang
34
Ihraz adalah bolehnya seseorang memiliki suatu harta yang tidak bertuan (belum dimiliki
seseorang atau kelompok). 35
Ahmad Azhar Basyir,” Asas-Asas Hukum Muamalat” (Hukum Perdata Islam)”,
(Yogyakrta:UII Press, 2000), hlm. 46.
31
perorangan, benda jenis ini memang diperuntukan bagi kepentingan umum,
seperti bandara, stasiun, jalan umum, perpustakaan umum dan lain-lain.
2. Benda yang dapat dimungkinkan untuk dimiliki, tetapi benda tersebut pada
dasarnya tidak dapat menjadi milik perorangan. Keadaan yang seperti ini bisa
terjadi, jika ada sebab-sebab yang dibenarkan oleh syarak. Misalnya harta
benda yang telah diwakafkan seperti tanah. Tanah tersebut dapat menjadi
milik perorangan apabila terdapat keputusan dari Pengadilan Agama tentang
pembatalan wakaf karena ada unsur-unsur tertentu dan dengan berbagai
pertimbangan seseorang akan menggantikannya dengan harta benda lain.
Dengan jalan tanah yang semula diwakafkan tersebut akan dijual terlebih
dahulu kepada perorangan.
3. Benda yang sewaktu-waktu menjadi milik perorangan yaitu semua benda
yang bukan dipersiapkan untuk kepentingan umum.
Dalam fikih Islam telah dibedakan hak-hak kebendaan sesuai dengan manfaat
benda yang diperoleh, sebagai berikut:
a. Hak pengairan artinya hak untuk mendapatkan bagian air untuk mengairi
sawah, ladang atau kebun.
b. Hak pengaliran artinya suatu hak yang digunakan untuk mengalirkan air di
atas tanah orang lain dengan tujuan untuk mengairi tanah pekarangan.
c. Hak pengaliran sisa air yaitu hak yang digunakan untuk mengalirkan sisa
air air atas pekarangan orang lain.
Dari ketiga hak tersebut merupakan suatu hak-hak kebendaan yang dapat
dijelaskan lebih dalam, yaitu bahwa hak memperoleh bagian air dapat dilihat untuk
kepentingan apa. Apabila yang dimaksudkan adalah untuk minum orang atau
32
binatang disebut haqqusy-syafah. Berdasarkan penjelasan di atas maka hak
memperoleh bagian air dapat dibedakan36
:
1) Air bukan milik perorangan yaitu air yang mengalir di saluran umum.
Air jenis ini boleh dimanfaatkan oleh siapapun untuk keperluannya
sendiri.
2) Air yang berada di parit-parit khusus merupakan air milik perorangan.
3) Air tersebut menjadi milik perorangn apabila air tersebut berada di
sumur atau mata air yang letaknya berada di tempat umum, namun
ketika sumur tersebut berada di tempat tertentu misalnya rumah, maka
menjadi air milik perorangan.
F. TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi kedudukannya setara dengan Mahkamah Agung.
Keduanya termasuk penyelenggara tertinggi suatu Negara dari kekuasaan kehakiman.
Sebagai lembaga kehakiman, MK mempunyai kekuasaan Negara yang bertujuan
untuk menyelenggarakan peradilan dalam pelaksanaan kaidah konstitusi yang telah
ditentukan oleh UUD 1945 sesuai dengan bidangnya37
. Demi terselenggaranya
Negara Republik Indonesia yang demokratis, maka MK menyelenggarakan fungsi
peradilan demi terwujudnya misi tersebut. Oleh karena itu, setiap putusan yang
diambil oleh MK merupakan suatu keputusan final dan keputusannya
dianggapberkekuatan hukum yang tetap.
Berdasarkan hasil amandemen yang ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa MK
merupakan salah satu lembaga tertinggi Negara yang kedudukannya setara dengan
lembaga-lembaga tinggi lainnya seperti MPR, DPR, Presiden, dan MA. Pernyataan
36
Ibid, hal. 52. 37
Soimin, Mashuriyanto, “Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”,
(Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 63.
33
tersebut telah diatur dalam Pasal 24 ayat (1), dalam pasal tersebut telah dijelaskan
bahwa tidak hanya MA yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan, oleh
sebab itu Mahkamah Konstitusi termasuk lembaga yudikatif. MK telah
dikontruksikan ke dalam UUD 1945, dari hasil kontruksi tersebut menghasilkan 4
(empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang mana keduanya telah ditentukan
dalam Pasal 24C dan Pasal 7B UUD 1945. Keempat kewenangan tersebut adalah
mengadili suatu perkara pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk: (1) menguji Undang-Undang terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa
antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutuskan
pembubaran partai politik, dan (4) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum.
Adapun kewajiban yang terdapat pada hasil kontruksi tersebut yaitu memeriksa,
mengadili, serta memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau wakil Presiden
telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum seperti korupsi,
penyuapan, perbuatan tercela dan lain sebagainya38
.
Dengan kewenangan dan kewajiban yang telah di sebutkan di atas, maka MK
mempunyai kewenangan penuh dalam suatu Undang-Undang, misalnya ketika UU
bermasalah atau bertentangan dengan hukum yang ada, maka MK mempunyai
kewenangan untuk mencabut UU dengan disertai alasan-alasan, bukti-bukti yang
kuat, sehingga dengan kuatnya bukti maka permohonan tersebut dapat diterima dan
disetujui.
2. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana yang telah di atur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003
Pasal 10 tentang Mahkamah Konstitusi R.I, wewenang Mahkamah Konstitusi
disebutkan sebagai berikut :
38
Ibid, hal. 63-64.
34
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. Di dalam pengujian UU terdapat 3 jenis yaitu pengujian secara
formal adalah suatu pengujian undang-undang yang dilakukan dengan Cara
menguraikan secara jelas dimana letak ketidaksesuaian dengan Undang-
undang Dasar 1945. Selanjutnya pengujian secara material yaitu suatu
pengujian yang dilakukan dengan melihat pasal atau ayat terhadap undang-
undang yang akan di uji dengan melihat Undang-undang Dasar Negara
Repulik Indonesia Tahun 1945, kemudian dilihat apakah UU yang akan diuji
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat atau tidak. Terakhir,
pengujian terhadap UU yang dapat dimohonkan, artinya bahwa UU yang
dapat dimohonkan kepada MK adalah UU yang telah diundangkan setelah
UUD 1945 yaitu tanggal 19 Oktober 1999. Itu berarti Undang-undang No. 7
Tahun 2004 tentang sumber daya air dapat dimohonkan di depan MK untuk
diuji kembali tentang kelayakan UU tersebut dan dilihat apakah terdapat hal,
pasal atau ayat yang bertentangan dengan UUD 1945.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan peanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden Dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945.39
39
Abdul Latif, “Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, (Yogyakarta: Total Media,
2009), hlm. 25.
35
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ialah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian
menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi,
sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, hubungan
antar variabel yang timbul, perbedaan antar fakta yang ada serta
pengaruhnya terhadap suatu kondisi, dan lain sebagainya.
2. Pendekatan Penelitian
Sementara yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini yaitu
penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Yuridis
Dengan menggunakan pendekatan yuridis, penulis menganalisis
muatan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam
penelitian ini, pendekatan yuridis-normatif (dokrinal) yang memandang
bahwa hukum sebagai aturan, dan pendekatan yuridis-empiris (non-
doktrinal) yang memandang bahwa hukum sebagai gejala social yang
bersifat sebagai variable bebas/sebab yang dapat menimbulkan pengaruh
dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial.Sehingga keduanya sama-
sama digunakan dalam penulisan skripsi ini.
b. Pendekatan Normatif
36
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang memandang agama dai
segi ajarannya, yang mana norma diartikan sebagai seluruh aturan yang
terdapat dalam nash, sehingga pendekatan normatif dapat dikatakan
mempunyai cakupat yang luas.
B. Data dan Sumber Data
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menekankan penelitian
yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) yang utama. Penelitian
kepustakaan merupakan kajian literatur yaitu menelusuri penelitian terdahulu untuk
dilanjutkan atau dikritisi sehingga penelitian tidak dimulai dari nol seperti memuat
beberapa gagasan yang saling berkaitan serta didukung oleh data-data dari sumber
pustaka. Penelitian kepustakaan dapat juga memanfaatkan sumber pustaka untuk
memperoleh data penelitiannya tanpa harus melakukan penelitian/riset lapangan.
Sumber pustaka sebagai bahan kajian yang penulis gunakan yaitu sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer berupa Undang-undang No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara sumber sekunder berupa jurnal penelitian
ilmiah, tesis, laporan penelitian ilmiah, buku-buku yang berkaitan dengan topik,
makalah, tulisan-tulisan resmi yang dibuat oleh pemerintah dan lain sebagainya.
Beberapa data-data pustaka tersebut dibahas dan diteiliti secara mendalam yang
digunakan sebagai pendukung ataupun penentang teori awal untuk menghasilkan
suatu kesimpulan yang dihasilkan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai
bahan pustaka.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (library research). Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis
mengumpulkan, mengolah, menafsirkan dan membandingkan bahan-bahan yang
dinilai relevan dengan permasalahan yang akan ditulis dalam skripsi ini.
37
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan cara menganalisis data-data yang didapatkan
melalui berbagai sumber literature kemudian dilakukan kesimpulan.
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Sumber Daya Air
Sumber daya air adalah suatu kekayaan alam yang diturunkan oleh Allah Swt
untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Tidak ada kehidupan
tanpa kehadiran air karena sumber daya air mempunyai fungsi yang sangat vital bagi
umat manusia. Keberadaan air dibumi sekitar + 1.360.600.000 km3, yang terdiri dari
Air Asin + 97,25% (37.400.000 km3). Air permukaan1% (374.000 km3), Air Tanah
23,965 (8.963.000 km3) dan air salju atau es terdiri dari 75% (28.050.000km3)40
.
Secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 141
.
Table 0.5 Suplai air di dunia
Wilayah Volume air
(kubik mil)
Persentase
Total
Air permukaan
Danau
Tambak
Sungai
Total
30.000
25.000
300
55.300
0,009
0,008
0,0001
0,017
Air kedalaman
Tanah
Dasar
Total
16.000
2.000.000
2.016.000
0,005
0,62
0,625
Es dan gletsyer 7.000.000 2,15
Atmosfir 3.000 0,001
Laut 317.000.000
Total 326.000.000 100
40
Muhamad Erwin, “Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup”, (Bandung: Refika Aditama, 2011). Hlm. 37. 41
Tjuju Susana, “Air Sebagai Sumber Kehidupan”, Jurnal Oseana, Volume XXVIII No. 3,
(2003), hlm. 21.
39
Demikianlah penyebaran air di bumi yang secara sederhana dapat di artikan
bahwa keberadaan air memang benar-benar sangat penting dan dibutuhkan,
berdasarkan kegunaannya sehingga air dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
Ada beberapa pengertin sumber daya air 42
, yaitu:
1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya;
2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan
air laut yang berada di darat;
3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah;
4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah;
5. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air.
6. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau
mengusahakan air untuk berbagai keperluan.
7. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,
penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal
agar berhasil guna dan berdaya guna.
B. Tinjauan Umum Tentang Komersialisasi Air
Komersialisasi merupakan suatu tindakan yang mengacu pada proses
mekanisme pasar dan praktek serta memperkenalkan suatu pengambilan keputusan
operasi pelayanan yang bersifat publik, seperti kegiatan mengambil keuntungan dari
suatu produk, pemulihan biaya dan lain-lain. Komersialisasi mempunyai institusi
yang popular seperti korporatisasi yaitu dimana pelayanan suatu produk dibatasi
42
Lihat Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 1 ayat (1), ayat (2),
(3), (4), dan ayat (6).
40
dengan sebuah unit bisnis yang telah didirikan sendiri dengan dimiliki dan
dioperasionalkan oleh suatu Negara.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa komersialisasi sumber daya
air yaitu suatu usaha yang dilakukan dan didirikan sendiri dengan memaksimalkan
keuntungan, namun produk tersebut merupakan produk negara yang seharusnya
dimanfaatkan oleh setiap warga masyarakat yang membutuhkan untuk memenuhi
kehidupannya, akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian, banyak pihak-pihak
swasta yang menyalahgunakan keberadaan air dengan dijual kekota-kota yang
membutuhkan air bersih. Komersialisasi air merupakan suatu kegiatan jual beli
sumber daya air dengan mengambil keuntungan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Hal ini disebabkan semakin banyaknya kebutuhan air dan semakin berkurangnya
keberadaan air, sehingga kekeringan kerap terjadi akhir-akhir ini. Kekeringan yang
tejadi di beberapa Kota disebabkan karena ulah manusia yang tidak bertanggung
jawab, mengambil air yang seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat umum untuk
dijual belikan.
Untuk menghadapi permasalahan seperti ini seharusnya Negara melakukan
pengendalian serta pengawasan lebih ketat, agar pihak swasta tidak menjual belikan
air untuk kepentingan sendiri. Negara memiliki ketersedian air yang sangat
melimpah, sebagai orang Muslim di Indonesia sudah seharusnya menanamkan rasa
syukur dalam dirinya. Sehingga rasa syukur tersebut dapat dijadikan acuan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air. Rasa syukur dalam agama Islam
memiliki esensi yaitu kesadaran mendalam bahwa Allah selalu berada di sekitar kita.
Kesadaran ini ditunjukan dengan menggunakan dan memanfaatkan air sebagai
karunia Allah, dengan cara menanamkan rasa syukur terhadap nikmat-Nya, maka
seorang muslim akan lebih menikmati segala sesuatu yang diberikan oleh Allah swt
karena ia merasa puas sehingga timbulah nikmat dalam karunia Allah. Sumber daya
air merupakan milik setiap individu oleh karena itu setiap manusia memiliki hak dan
kewajiban dalam memanfaatkan sumber daya air sesuai dengan kebutuhannya.
41
Sumber daya air telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada
pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air harus
ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maksud dari ayat tersebut yaitu
bahwa Negara yang seharusnya bertanggung jawab terhadap ketersediaan air dan
pendistribusian potensi bagi seluruh rakyat Indonesia43
. Dengan demikian, adanya
pemanfaatan potensi sumber daya air yang telah direncanakan sedemikian rupa oleh
Negara, maka timbullah prinsip-prinsip yang nantinya membawa bangsa Indonesia
berkembang menuju Negara yang lebih baik. Prinsip tersebut diantaranya prinsip
kemanfaatan, prinsip keadilan, kemandirian dan kelestarian. Pada dasarnya prinsip-
prinsip tersebut diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat
terhadap kepentingan setiap orang yang berbeda-beda demi terwujudnya suatu
kesejahteraan rakyat.
Terdapat dua jenis sumber daya air. Pertama, sumber air yang telah diciptakan
oleh Allah swt untuk manusia di atas permukaan bumi, seperti sungai dan laut.
Kedua, sumber-sumber yang berada di dalam perut bumi, yang mana ketika manusia
ingin melakukan dan mendapatkan sumber air harus melakukan penggalian terlebih
dahulu. Sumber air jenis pertama merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan
untuk bersama atau milik masyarakat. Dalam Islam, kekayaan alam demikian tidak
boleh dimiliki secara individu. Sebaliknya, Islam mengizinkan semua orang untuk
memanfaatkan sumber daya alam dengan mengambil manfaatnya, tetapi dalam
pemanfaatannya harus tetap menjaga keutuhan karakteristik dari prinsipnya, yakni
“bahwa substansi-subtansi aktual dan hak kepemilikan atas mereka adalah milik
bersama”. Dengan demikian, tidak seorang pun dapat memilikinya secara individu.
Sementara air yang sumbernya terkandung di dalam perut bumi, tidak seorang
pun yang bisa mengklaim sebagai pemiliknya kecuali melakukan tindakan atau
semacam bekerja untuk mengaksesnya, misalnya melakukan penggalian untuk
43
Lihat UUD Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3)
42
mendapatkan sumber daya air. Ketika seseorang telah membuka sumber air dengan
cara bekerja dan penggalian, maka berhak atas mata air yang telah ditemukan, dengan
kata lain setiap orang berhak mengambil manfaat mata air tersebut serta mencegah
orang lain yang tidak berhak menguasainya. Karena setiap individu yang tidak ikut
andil dalam membuka sumber mata air tersebut, tidak berhak mengintervensinya
dalam menikmati manfaat tersebut. Dengan demikian, wajib membagi sumber mata
air tersebut secara cuma-cuma atau gratis kepada orang lainuntuk memenuhi
kebutuhan hidupnya seperti untuk minum, memasak, mandi dan lain sebagainya.
Tetapi Islam sangat melarang untuk meminta balasan terhadap sumber mata air yang
telah kita berikan kepada orang lain, karena substansi air tersebut tetap menjadi milik
bersama, si penemu sumber air terebut hanya mempunyai penguasaan terhadap hak
prioritas sebagai hasil usahanya tidak sebagai pemiik mutlak atas sumber air44
.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan olehAbu Bashir dari
Imam ash Shadiq, menyatakan45
:
“Jadi, jangan jual mereka. Namun, pinjamkanlah kepada tetangga dan
saudaramu(seiman)”.
Dari hadis Rasulullah saw tersebut, Al arba‟a‟ mempunyai makna bahwa
seseorang membuat sebuah dam untuk mengairi tanahnya sampai memenuhi
kebutuhannya dalam hal itu. Sedangkan An nithaf artinya bahwa seseorang
mempunyai batas waktu yang tepat untuk mengairi tanahnya sampai terpenuhi dalam
kebutuhan ini. Ketika seseorang telah memenuhi kebutuhannya dalam hal ini, maka
dilaranglah bagi kalian untuk menjualnya kepada orang saudara kalian atau tetangga
kalian, tetapi biarkanlah setiap orang memanfaatkannya. Adapun riwayat lain yaitu
Syekh ath Thusi menjelaskan mengenai hubungan antar individu dengan mata air
merupakan suatu hak dan bukan menjadi kepemilikan. Namun, ketika air yang
44
Muhammad Baqir Ash Shadr, “Buku Induk Ekonomi Islam Istishaduna”,(Jakarta: Zahra,
2008), hlm, 239-240. 45
Ibid, Hlm. 241.
43
didapatkan telah dimasukakan kedalam suatu wadah, maka ia berhak untuk
memanfaatkannya untuk dirinya sendiri dan dalam hak penguasaannya ia menjadi
hak si penemu sumber daya air.
Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan manusia, tetapi
Fiqh Islam air mempersoalkan masalah air karena benda ini menjadi benda
yangsangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga banyak terjadi persengketaan atau
perserikatan. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw46
:
اء ثلاثة : ف الكلاء لناس شركاءف ا والنار. }رواه أحد و أبوداود{ والم
“Manusia bersekutu pada tiga macam benda yaitu rumput, air dan Api”.
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)”.
Dengan dasar hadis tersebut, maka ketiga benda tersebut boleh dilakukan atau
digunakan untuk siapa saja atau benda tersebut merupakan benda publik. Air yang
dimaksud dalam hadis ini adalah air yang penggunaannya kelebihan dari yang kita
butuhkan. Segala macam air yang berlebihan dilarang untuk dijual belikan baik air
tersebut berada di suatu wadah atau tempat yang dimiliki seseorang atau ditempat
bebas. Segolongan fuqaha menyatakan bahwa pemilik air wajib memberikan dengan
cuma-cuma terhadap kelebihan air yang dimilikinya dengan tidak meminta imbalan
apapun, baik air tersebut untuk minum, bersuci atau mengairi sawah pekarangan. Dari
penafsiran hadis tersebut, maka terdapat beberapa pendapat tentang pengelolan air.
Imam Nawawi berpendapat, pemilik air boleh memberikan airnya secara cuma-
cuma,dengan syarat;Pertama, tidak terdapat air untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya; Kedua, pemberian tersebut digunakan untuk keperluan ternak, bukan
kepentingan menyiram atau mengairi tanaman di suatu pekarangan; Ketiga; Pemilik
air tidak membutuhkannya sehingga ia dengan kebesaran hatinya memberikan airnya
46
Hamzah Ya‟qub, “Kode Etik Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam Berekonomi),
(Bandung: CV. Diponegoro, 1984), hlm. 129.
44
kepada orang lain. Berbeda halnya dengan al-Qurtubi yang telah menafsirkan dari
hadis tersebut melarang menjual belikan kelebihan air.
Pendapat Ibnu Qayyim dalam kitab al-Huda, memperkuat pandangan dari
fuqaha lain yang mewajibkan pemberian air secara cuma-cuma, baik ditanah bebas
atau atas penguasa pemilik. Beliau berkata: “Dibolehkan memasuki tanah orang lain
untuk mengambil air dan rerumputan, sebab ia berhak untuk mengambilnya, dan
tidak boleh dilarang untuk memakainya”. Pendapat Ibnu Qayyim ini sejalan juga
dengan al-Mansurbillah dan Imam Yahya, tentang hal memungut rumput.
Menurutnya, ketika seseorang ingin memperoleh rumput atau air, tidak perlu lagi
untuk meminta izin kepada pemilik ladang untuk masuk mengambil air, atau bahkan
rumput-rumputan. Karena tidak berhak untuk melarangnya. Akan tetapi berbeda
halnya, ketika rumahtersebut berpenghuni maka si pengambil air tersebut harus izin
kepada penghuni terlebih dahulu. Bahwa pandangan para fuqaha tentang air yang
harus diberikan secara cuma-cuma dan dilarang untuk dijual belikan, yaitu Hadist
riwayat Abu Dawud, yang berbunyi47
:
عو ؟ قاؿ : الماء, قاؿ : يانب اللو , شىء الذى انو قل رجل : يا نب اللو , ما اؿ لايلر منػعو ؟ قل : الملح . }رواىابوداود{ ما الشىءالذى لايلر منػ
“Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Nabi saw: Ya Nabiyallah! Barang
apakah yangtidak dihalalkan melarang (memakainya)? Jawab Nabi saw: “Air”
Ia bertanya lagi: “Ya Nabiyallah. Barang apakah yang tidak dihalalkan
melarang (pemakaiannya)? Jawab Nabi saw: “Garam”.
Dengan adanya hadis tersebut maka sudah jelas untuk setiap manusia dilarang
untuk menjual belikan air, karena air merاupakan kebutuhan vital bagi kehidupan
umat Islam, baik manusia, tumbuhan dan hewan. Semua adalah makhluk Allah yang
membutuhkan dan kehidupannya bergantung pada air. Jika air hilang dari kehidupan,
maka tidak akan ada kehidupan di bumi ini. Dan segolongan fuqaha berpendapat
47
Ibid, Hal. 131.
45
bahwa kelebihan air yang dilarang penjualannya adalah air sungai, air danau, air
hujan, atau air yang selama keberadaannya berada di tempat semula, karena air bukan
milik pribadi melainkan milik bersama atau umum.
Akan tetapi, air yang cara memperolehnya dengan melakukan penggalian,
pengeboran, tentunya dengan segala cara yang dilakukan membutuhkan biaya untuk
mendapatkan mata air tersebut. Karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, oleh
sebab itu air seperti ini adalah air yang menjadi milik pribadi serta boleh dijual
belikan. Sebagai sandarannya adalah ketika Nabi saw. hijrah ke Madinah menjumpai
sebuah sumur yang mempunyai Nama”Rumah” milik Yahudi, di mana dalam rumah
tersebut pemiliknya terlihat menjual air yang berada di sumurnya. Kemudian, Nabi
saw meminta pemilik sumur tersebut untuk menjual air tersebut kepada umat Islam.
Kemudian, sumur milik orang Yahudi tersebut kemudian dijual oleh Utsman
bin „Affan dan oleh Usman diwakafkan untuk kepentingan kaum muslimin dengan
tujuan meringankan beban kaum muslimin. Sehingga kaum Muslimin tidak perlu lagi
membeli air, mereka bisa memanfaatkannya sesuai kebutuhannya.
Adapun pendapat fuqaha lain tentang kelebihan air yang disampaikan oleh
Imam Ahmad, ia berkata: “Hanya saja yang terlarang menjualnya itu ialah kelebihan
dari air sumur dan mata airnya, karena pembelinya lebih berhak dengan airnya. Air
adalah barang yang sangat vital, siapapun tidak boleh dijual belikan karena milik
bersama dan semua orang juga bergantung serta membutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Jika dalam pelaksanaan jual beli kelebihan air dapat dilakukan
secara baik dan sesuai dengan kaidah, maka penulis akan menyebutkan kaidah yang
berkaitan dengan komersialisasi air atau jual beli air. Menurut Dzajuli dalam bukunya
Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah Yang Praktis). Dalam buku ini bagian sub bab Kaidah Fikih Khusus Di
Bidang Muamalah Atau Transaksi Menyatakan bahwa sebagai hamba Allah, manusia
diberikan tuntutan oleh Allah Swt untuk melakukan suatu usaha di bumi ini agar
46
hidupnya tidak menyimpang dan Allah swt selalu mengingatkan kepada semua
umatnya bahwa manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Dari
pernyataan tersebut maka setiap manusia mempunyai kebebasan untuk
memakmurkan kehidupan dunia ini dengan cara-cara yang benar dan tidak
menyimpang. Banyak usaha yang dilakukan manusia berupa barang dan jasa,
tentunya dalam melakukan hal tersebut memerlukan transaksi. Dalam transaksi para
ulama menyebutkan terdapat 25 bentuk transaksi, terlebih seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin maju serta tuntutan masyarakat yang semakin
meningkat, lahirlah model-model transaksi yang tentunya membutuhkan penyelesaian
dari sisi Hukum Islam48
. Kaidah yang diharapkan oleh kebanyakan orang yaitu
kaidah yang dalam penyelesaiannya secara Islami dan di sisi lain mampu
menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Islam tentu saja mempunyai cara-cara
yang diharapkan yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah. Dalam buku ini
disampaikan beberapa kaidah yang mengatur kaidah fikih di bidang muamalah.
Penulis menemukan kaidah yang berkaitan dengan judul skripsi yang penulis teliti
mengenai komersialisasi Air. Kaidah tersebut yaitu “Hukum asal dalam transaksi
adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya
yang diakadkan”.
Dalam transaksi keridhaan adalah prinsip yang utama.Oleh karena itu, transaksi
dinyatakan sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak.Hal ini
berkaitan dengan komersialisasi air, yang mana pihak swasta menjadikan sumber
daya air sebagai komoditas yang dilakukan secara sepihak, tanpa adanya diskusi
dengan warga masyarakat mengenai jual beli air bersih ketika dalam musim kemarau.
Bahwa dalam masalah sumber daya air, Islam telah mengaturnya dalam bentuk
sedemikian rupa agar setiap manusia dapat memanfaatkannya sesuai dengan
kebutuhan. Dalam hal tersebut timbullah prinsip yang membicarakan tentang air yaitu
48
Dzajuli, “Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis), (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 127.
47
Prinsip Universal Pengelolaan Air, merupakan suatu kaidah yang akan digunakan
sebagai tolok ukur dalam menyusun regulasi serta membuat program riil dalam
bentuk pengelolaan air, di antaranya:
1. Bahwa air merupakan suatu kebutuhan yang sangat vital, oleh sebab itu
semua elemen masyarakat baik pengguna, perencana atau sebagai
pelaksana terhadap kebijakan air, harus mempunyai serta menjadi
perhatian. Semua pihak harus terlibat dalam pengelolaan sumber daya air
dengan tujuan untuk menjamin keberlangsungan air untuk masa depan.
Dalam Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus
terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya air atau dalam segala
aktivitas-aktivas kebaikan, terdapat dalam Q.S al-Maidah (5): 2yang
menyatakan secara tidak langsung bahwa tangggungjawab terhadap
masalah air bukan hanya terletak pada pemerintah, akan tetapi terdapat
pada seluruh lapisan masyarakat di bumi ini.
2. Penyusunan Skala Prioritas
Dalam hal ini bermaksud untuk mengatur penggunaan air sesuai
dengan kebutuhan. Bahwa masyarakat yang menggunakan air tentu
memiliki kewenangan dalam pengalokasian serta pendistribusian air, yang
mana kita harus mengetahui secara jelas kemana air harus digunakan serta
dibagikan. Untuk mengatasi pengalokasian yang tidak jelas dan tidak
terarah, maka sangat diperlukan sebuah pemetaan terkait pengalokasian
penggunaan sumber daya air yang dilakukan oleh setiap manusia untuk
menghindari terjadinya pemborosan. Oleh sebab itu, skala prioritas
sangatlah dibutuhkan, bahwa penggunaan air dapat dialokasikan ke dalam
tiga hal yaitu penggunaan sumber daya air yang bersifat primer, sekunder
dan tersier. Ketigal hal tersebut akan disampaikan dalam bentuk tabel,
sebagai berikut:
Tabel 0.6 Skala Prioritas Sumber Daya Air
48
Kebutuhan
terhadap air
Pengertian Penggunaan
Primer
Merupakan kebutuhan yang sangat
penting. Jika kebutuhan tersebut tidak
segera dilakukan atau tidak tersedia
maka akan terjadi kerusakan dalam
kehidupan di bumi.
Makan
Minum
Ibadah
Masalah kesehatan
Sekunder Merupakan suatu kebutuhan yang
sangat penting, namun keberadaannya
tidak mendesak. Apabila kebutuhan
tersebut tidak ada atau tidak terpenuhi,
hanya akan terjadi kekacauan tidak
menimbulkan kerusakan.
Irigrasi
Menjaga keseimbangan
bagi ekosistem selain
manusia, seperti memberi
suplai berupa makanan dan
minuman untuk mereka
bertahan hidup.
Tersier
Merupakan kebutuhan pelengkap. Membuat suatu kolam
untuk berenang
Air yang digunakan
untuk mencuci mobil atau
motor.
C. Kedudukan Sumber Daya Air Dalam Kehidupan Manusia
Air merupakan bagian dari kekayaan alam di bumi ini, dan menurut pandangan
agama Islam itu semua merupakan wujud yang tidak dapat berdiri sendiri, karena
Allah swt menciptakan kekayaan alam ini dengan maksud dan tujuan tertentu, bukan
sekedar untuk main-main, sesuai dengan firman Allah yang terdapat dalam Q.S ad-
Dukhan (44) : 38 yang berbunyi 49
:
نػهما لاعبي وما خلقنا السماوات والرض وما بػيػ
49
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih”,Hlm. 30.
49
“Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya”….. [Q.S. al-Dukhan (44): 38]”50
.
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat menafsirkan bahwa kekayaan alam
termasuk air mempunyai bentuk atau wujud nyata serta bekerja sesuai dengan aturan-
aturan yang telah ditetapkan dan dibuat oleh Allah Swt, dengan demikian hal ini
disebut sebagai Sunnatullah51
. Sebagai salah satu ketentuan dalam aturan-Nya atau
hukum-Nya, setiap makhluk hidup satu dengan lainnya saling berhubungan secara
seimbang dan harmoni. Begitu halnya dengan hubungan antara manusia dan
kekayaan alam, khususnya air. Dalam Islam, manusia tidak hanya diposisikan sebagai
makhluk Tuhan, seperti yang telah disebutkan dalam Q.S Az-Zariyat (51) ayat 56
berbunyi52
:
إلا ليػعبدوف . وما خلقت الن والإنس “Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku” [Q.S az-Zariyat (51) ayat 56]”.
Selebihnya, Allah swt memposisikan manusia sebagai khalifah-nya atau
sebagai pengatur di bumi ini dengan tugas untuk memakmurkannya, hal ini sesuai
dengan firman-Nya dalam Surat Fatir (35) ayat 3953
, berbunyi:
فمن كفر فػعليو كفره لكم خلائف ف الرض ىو الذي جع
“Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. Barang
siapa kafir, maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. [Q.S.
Fatir (35): 39]”.
50
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”,,Surah Ad Dukhaan (44) ayat
48,Yogyakarta: UII Press, hlm. 894. 51
Sunnatullah adalah tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang
terlaksana di alam semesta atau dapat disebut sebagai hukum alam. 52
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”, Surah Adz Dzaariyaat (51):
ayat 56, Yogyakarta: UII Press, hlm. 944. 53
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”, Surah Fathir (35): ayat 39,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 780.
50
Abu Bakr Bakader, dkk, sebagaimana dikutip H. Mortanda menafsirkan kata
khalifah bahwa manusia hanyalah sebagai pengelola bumi, bukan pemiliknya.
Memang, menurut agama Islam, semuanya merupakan ciptaan Allah seperti tauhid,
alam dan manusia hanya merupakan kesatuan yang mempunyai kesetaraan
kedudukan, sehingga manusia wajib menjaga keharmonisasian alam. Sedangkan
kodrat manusia hanya sebagai hamba yang wajib tunduk kepada Tuhan dengan
menerima segala nikmat yang mengalir padanya. Sama halnya dengan Tuhan yan
menghidupkan semua alam semesta ini. Itu semua merupakan wujud dari ketundukan
manusia kepada Tuhannya, tidak dapat mengabaikannya.
Dari penjelasan ayat-ayat di atas dapat dipahami, manusia dan air mempunyai
pola hubungan. Keduanya dibangun di atas dua prinsip yaitu pemanfaatan sumber
daya air serta pemeliharaannya dengan kata lain yaitu pengelolaan air. Ketersediaan
air yang kita miliki saat ini sifatnya terbatas yang mana tidak mungkin jika
keberadaannya tidak akan habis, suatu saat pasti akan mengalami kehabisan. Air yang
kita miliki hanya ada pada sekarang, yang mana kuantitasnya bersifat tetap sejak 4
milyar tahun lalu. Sementara air yang dapat kita miliki 97,5% merupakan air laut, ia
tidak dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan masyarakat seperti untuk minum,
memasak makanan, mencuci dan lain sebagainya. Sedangkan yang digunakan untuk
minum hanya tersedia 2,5% berupa air segar dan1% tersedia untuk minum. Adapun
sisanya sekitar 2% merupakan es dan glasier54
. Dengan demikian, terbatasanya
jumlah air bersih semakin mendapatkan ancaman yang dapat berpengaruh terhadap
keberlanjutan air bersih dan kualitas air. Di antara masalah-masalah terkait penurunan
kualitas dapat berupa kekeringan, kesulitan serta kesenjangan dalam akses dan
penggunaan air, menyebabkan berkurangnya produksi pangan sebab air bersih sudah
susah untuk didapatkan. Namun, dalam pandangan Islam permasalahan seperti ini
sebenarnya dapat diatasi, karena dalam Islam telah diajarkan bahwa tidak ada sakit
yang tidak ada obatnya. Pepatah tersebut berarti setiap permasalahan yang ada pasti
54
Ibid, hal. 35
51
terdapat jalan keluarnya atau sesulit apapun masalah yang kita hadapi dalam hidup
pasti terdapat jalan keluarnya.
Karena kita semua sudah mengetahui Air merupakan suatu kebutuhan dasar
manusia, tidak ada seorangpun yang bisa hidup tanpa adanya air. Air merupakan
persyaratan standar hidup yang memadai untuk kesejahteraan manusia. Bahwa
sekarang ini banyak permasalahan tentang ketersediaan sumber daya air dengan
menjadikan air sebagai komoditas ekonomi yang menguntungkan. Di sisi lain
masyarakat juga harus menggunakan air tanpa diskriminasi. Dengan adanya kasus
seperti ini, maka peran Negara sangat dibutuhkan untuk mengawasi serta
mengendalikan sumber daya air baik dalam pemanfaatan maupun pengelolaan.
Air mempunyai posisi sentral dan sebagai jaminan bagi keberlangsungan hidup
seseorang jika dilihat dari segi sejarah kehidupan manusia. Air berhubungan dengan
hak hidup seseorang sehingga air tidak bisa dilepaskan dalam kerangka hak asasi
manusia. Dalam pengakuan air sebagai hak asasi manusia mempunyai dua indikasi di
dalamnya yaitu: Pertama, tentang pengakuan air, berdasarkan pengakuan dari
beberapa pihak bahwa air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Kedua, ketika air sangat penting maka di sisi lain perlunya perlindungan
kepada setiap orang atas akses untuk mendapatkan air. Demi terwujudnya
perlindungan tersebut, maka hak atas air perlu diposisikan sebagai hak yang tinggi
dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia55
.
Menurut Hukum Positif Hak atas air memang diakui sebagai hak asasi manusia
hal ini telah disebutkan dalam pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya yang menyatakan “hak atas air tidak dapat dipisahkan dari hak-hak manusia
lainnya, yaitu bahwa air tidak hanya sebagai komoditas ekonomi dan akses terhadap
air adalah hak asasi manusia”. Hak atas air harus mencukupi untuk kehidupan
55
Arinto Nurcahyono, dkk, “Hak Atas Air dan Kewajiban Negara dalam Pemenuhan Akses
Terhadap Air”, Jurnal Vol. 31, No. 2, 2015, hlm, 390.
52
seseorang, kesehatan dan untuk martabat manusia. Kecukupan tentang hak atas air
tidak bisa diartikan secara sempit, misalnya hanya sebatas mengetahui tentang
kuantitas volume dan teknologi. Akan tetapi, air harus diperlakukan sebagai barang
sosial dan budaya.
Dalam hukum positif, hak asasi manusia atas air adalah sesuatu hak yang dapat
diberikan kepada setiap orang atas air bersih yang memadai, air yang dapat digunakan
serta dapat diakses untuk kepentingan sehari-hari baik untuk personal atau kelompok.
Pencegahan tingkat kematian dapat dilakukan ketika ketersediaan air yang memadai
dapat diakses untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Selain itu air memadai juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi setiap orang. Hak atas air
merupakan kategori jaminan mutlak untuk memenuhi standar kehidupan yang layak,
artinya salah satu hak yang sangat fundamental untuk bertahan hidup. Hal ini
dibuktikan dalam pasal 11 Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya.
Adapun pandangan hukum Islam mengenai air sebagai hak asasi manusia
adalah bahwa di dalam Al-Qur‟an merupakan landasan utama atau fondasi agama
Islam, menyatakan bahwa air adalah hal penting bagi keberlangsungan kehidupan
bagi semua kalangan masyarakat yang telah dijelaskan dalam Surat An-Nahl (16): 65
berbunyi56
:
لك لية لقوـ واللو أنػزؿ من السماء ماء فأحيا بو الرض بػعد موتا إف ف ذ Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air tu“يسمعوف
dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesunggguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda(kebesaran Tuhan) bagi orangorang
yangmendengarkan (pelajaran)”.
56
Zaini Dahlan, 1999. “Qur‟an Karim dan Terjemahan Artinya”,,Surah An-Nahl (16): ayat 65,
Yogyakarta: UII Press, hlm. 482.
53
Dalam penafsiran di atas masih terdapat kerancuan dalam kata yang berbunyi
“dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya”, artinya bahwa air mempunyai esensi
tentang air. Pertama, bahwa air merupakan unsur utama dalam keberlangsungan
kehidupan makhluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan. Dan informasi kedua
terhadap penafsiran makna ayat di atas adalah sebagai teori hidrologi air. Penafsiran
tersebut dibuktikan dengan kalimat “…Allah menurunkan air dan langit, lalu
diaturnya menjadi sumber-sumber di bumi”. Dari pernyataan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa air yang berda di bumi ini merupakan suatu kesatuan yang
memang keberadaannya tidak dapat dipisahkan, dan juga berimplikasi terhadap
hukum pengelolaan serta pengaturan air dalam kehidupan manusia. Islam mempunyai
pandangan terhadap kepemilikan sumber daya alam di bumi ini yang pada dasarnya
menjadi milik Allah.
Bahwa semua perbuatan manusia tentu ada sesuatu yang mengaturnya, dalam
hal komersialisasi air itu berarti membicarakan tentang alam. Oleh sebab itu penulis
akan menyampaikan sedikit aturan dalam fikih tentang pelestarian lingkungan.
Pengertian pelestarian lingkungan adalah segala sesuatu yang menjadikan segala
sesuatu menjadi lestari, keberadaannya tetap dan kekal atau dengan kata lain yaitu
suatu upaya yang dilakukan untuk memelihara serta melindungi sesuatu dari
perubahan atas ulah manusia. Terdapat beberapa sifat perubahan lingkungan, antara
lain: bersifat alami, natural atau akibat ulah manusia. Akan tetapi, dalam penelusuran
menjelaskan perubahan lingkungan karena ulah manusia saja, karena pelaku dalam
komersialisasi adalah manusia-manusia atau pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab serta tidak mensejahterakan rakyat. Perubahan yang direncanakan adalah
perubahan yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengurangi risiko
lingkungan57
.
57
Mujiyono Abdillah, 2005, “Fikih Lingkungan (Panduan Spiritual Hidup Berwawasan
Lingkungan)”, (Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN), hlm, 10-15.
54
Islam secara jelas telah memberikan panduan bahwa sumber daya alam dan
lingkungan merupakan daya lingkungan bagi seluruh kehidupan manusia. Karena dari
segi agama Allah swt telah menunjukan bahwa umat manusia diberikan fasilitas
berupa daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia dan status hukum tentang
pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib. Timbulnya hukum tersebut bermula
dari dua pendekatan yakni pendekatan ekologis dan pendekatan spiritual fiqhiyah
Islamiyah. Pelestarian lingkungan secara ekologis berarti segala sesuatu yang tidak
dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Oleh sebab itu pelestarian lingkungan
harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara fiqhiyah Islmiyah Allah swt
memiliki kepedulian yang sangat besar. Hal tersebut telah disebutkan secara eksplisit
dalam ayat-ayat al-Qur‟an antara lain:
1. Al-Qur‟an surat Luqman ayat 20:
بغ عليك أل خر لكم ما ف السماوات وما ف الرض وأ م نعمو ظاىرة تػروا أف اللو
وباطنة ومن الناس من يادؿ ف اللو بغي علم ولا ىدى ولا كتاب مني
“Tidakkah kamu cermati bahwa Allah telah menjadikan sumber daya alam
dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara
optimum. Dengan demikian, masih saja ada sebagian manusia yang
mempertanyakan kekuasaan Allah secara secara sembrono yakni tanpa
alasan ilmiah, landasan etik dan referensi memadai”
2. Al-Qur‟an surat al-Jasiyah ayat 13:
خر لكم لك ليات لقوـ و يعا منو إف ف ذ ما ف السماوات وما ف الرض ج
يػتػفكروف
55
“Dan (Allah) telah menjadikan semua sumber daya alam dan lingkungan
sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian
hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki perhatian serius pada
lingkungan”.
Berdasarkan dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
bertugas mengembangkan kesadaran pelestarian lingkungan adalah manusia, sebab
manusia diciptakan oleh Allah swt sebagai makhluk lingkungan. Keduanya memiliki
keterkaitan yang sangat kuat dan keduanya saling membutuhkan. Sumber daya
lingkungan dibutuhkan oleh sekelompok atau seluruh manusia atau makhluk lainnya
sebagai ruang kehidupan, dan manusia tidak dapat hidup jika tidak berada pada
lingkungan yang memadai. Sebab, secara faktanya lingkungan telah menyediakan
fasilitas kehidupan berupa daya dukung sumber daya alam, di sisi lain, manusia
adalah makhluk social yang tiak dapat hidup sendiri mampu mengelola lingkungan
secara bertanggung jawab.
D. Alasan Mahkamah Konstitusi Membatalkan Undang-Undang No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan suatu
peraturan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan
sumber daya air termasuk fungsi serta pengelolaannya. UU tersebut telah disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rayat (DPR) dan telah dirumuskan ke dalam lembaran
negara pada tahun 2004. Akan tetapi banyak pihak yang mencela undang-undang
tersebut karena mereka beranggapan mengandung unsur privatisasi yang dapat
berdampak untuk dilakukannya komersialisasi air, yang mana air merupakan
kebutuhan dasar bagi manusia.
Sebelum disahkannya Undang-Undang No. 7 tahun 2004, sumber daya air
diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Tetapi, dengan
berjalannya waktu dan berkembangnya zaman maka undang-undang tersebut tidak
56
lagi memadai dengan alasan adanya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam
tatanan kehidupan masyarakat.
Keberadaan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 juga telah dianggap
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945, sehingga beberapa pihak
tidak setuju dengan adanya peraturan tersebut. Pihak yang merasa bahwa undang-
undang tersebut telah bertentangan diantaranya pimpinan pusat muhammadiyah, Al-
Jami‟yatul Washliyah, solidaritas juru parker, pedagang kaki lima, pengusaha dan
karyawan serta perkumpulan vanaprastha58
. Mereka menganggap bahwa
beleid59
dianggap belum menjamin pembatasan terhadap pengelolaan sumber daya air
dan masih terdapat peluang tehadap komersialisasi air oleh pihak swasta, sehingga
dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan berbagai pertimbangan, pada tanggal 8 Februari 2013 Mahkamah
Konstitusi menghapus keberadaan seluruh pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, karena MK menilai bahwa UU SDA bertentangan dengan
UUD 1945 serta tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber
daya air yang telah dijelaskan dalam UUD 1945. Keenam prinsip tersebut antara lain:
1. Pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan apalagi
meniadakan hak rakyat atas air. Karena air merupakan suatu kebutuhan
manusia yang tidak dapat dihilangkan, oleh sebab itu untuk semua
pengusaha atas air tidak boleh mengambil air melebihi ketentuan sehingga
harus memperhatikan hak rakyat.
2. Negara harus memenuhi hak atas air. Hal ini sesuai dengan pasal 28I ayat (4)
yang berbunyi “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah”.
58
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Hal. 1. 59
Beleid adalah keputusan-keputusan yang berisi peraturan kebijakan.
57
3. Kelestarian lingkungan hidup, maksudnya bahwa setiap manusia mempunyai
hak sendiri-sendiri dalam memenuhi kebutuhannya karena setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup sejahtera baik secara lahir maupun batin.
4. Pengawasan dan pengendalian oleh Negara. Air merupakan kebutuhan orang
banyak dan sebagai cabang produksi oleh golongan tertentu sehingga
keberadaannya bersifat multak (harus ada). Semua kegiatan pengelolaan
terdapat pengendalian dan pengawasan yang dilakukan oleh Negara untuk
menghindari tindakan komersialisasi air oleh pihak swasta.
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN dan
BUMD.
6. Pemerintah masih dimungkinkan untukmemberikan izin kepada usaha
swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu
secara ketat. Jadi, ketika semua prinsip telah terpenuhi maka masih terdapat
kemungkinan untuk terjadinya komersialisasi air.
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi keenam prinsip tersebut dilahirkan
sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi
kehidupan bangsa. Dengan demikian, seluruh peraturan pemerintah yang terkait
dengan UU SDA dibatalkan. Sebenarnya Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
dalam Peraturan Pemerintah, namun karena UU Sumber Daya Air yang diuji adalah
“roh” atau “jantung” dari penguasaan hak oleh Negara atas air yang telah memegang
hajat hidup orang banyak sehingga mau tidak mau Peraturan yang berkaitan dengan
Sumber daya air harus diperiksa secara seksama sebagai persyaratan konstitusional
terhadap undang-undang yang akan diuji serta mengimplementasikan segala
penafsiran Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi60
.
Kemudian, pada pertimbangan MK terhadap pencabutan UU Nomor 7 Tahun
2004 merupakan keterlibatan pihak swasta mengenai hal pengelolaan sumber daya air
60
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR85/PUU-XI/2013.
58
telah mengalami perbedaan cara pandang dan berfikir serta pemaknaan fungsi air
sebagai barang publik yang kemudian berubah menjadi suatu komoditi yang
menguntungkan, lebih mementingkan aspek ekonomi dibandingkan aspek sosial.
Bahwa di dalam aspek sosial terdapat kata”publik”, namun kata itu telah diabaikan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Meninjau dari hasil putusan MA,
ternyata terdapat 14 (empat belas) pasal yang menjadi persoalan dicabutnya UU
Nomor 7 Tahun 2004 itu61
. Dengan kata lain, 14 (empat belas) pasal inilah yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang kuat62
.Pasal-Pasal tersebut antara lain:
1. Pasal 6
(1) Sumber daya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan
tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak
yang serupa dengan hal itu, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasionaldan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak ulayat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah
dilakukan dengan peraturan daerah setempat.
(4) Atas dasar penguasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan hak guna air.
2. Pasal 7
(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak
guna pakai dan hak guna usaha air.
61
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 62
Pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 26, pasal 29 ayat (2) (5), pasal 45, pasal 46,
pasal 48 ayat (1), pasal 49 ayat (1), pasal 80, pasal 91 dan pasal 92 ayat (1), (2) dan (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004.
59
(2) hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
disewakan atau dipindahangankan, sebagian atau seluruhnya.
3. Pasal 8
(1) Hak guna pakaiair diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang
berada di dalam sistem irigasi.
(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan
izin apabila:
a. cara menggunakan dilakukan dengan mengubah kondisi alami
sumber air,
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam
jumlah besar, atau
c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah
ada.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah
atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak
untuk mengalirkan air dari air atau ke tanahnya melalui tanah orang
lain yang berbatasan dengan tanahnya.
4. Pasal 9
(1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan
usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Pemegang Hak guna usaha dapat mengalirkan air di atas tanah orang
lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan.
60
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi
5. Pasal 10
Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Pasal 8, dan pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
6. Pasal 26
(1). Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan
penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan
pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola
pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah
sungai.
(2). Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan
sumber daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
(3). Pendayagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam.
(4). Pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan secara terpadu dan
adil, baik antar sektor, antar wilayah maupun antar kelompok
masyarakat dengan mendorong pola kerja sama.
(5). Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara
air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan
pendayagunaan air permukaan.
(6). Setiap orang berkewajiban menggunakan air sehemat mungkin.
(7). Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan
fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan
61
prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya
air dan dengan melibatkan peran masyarakat.
7. Pasal 29 ayat (2) dan (5)
(2) Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan
sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian,
ketenagaan, industry, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan
keanekaragaman hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem,
estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undanngan.
(5) Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi
pemakai sumber daya air, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib
mengatur kompensasi kepada pemakainya.
8. Pasal 45
(1) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan
fungsi social dan kelestarian lingkungan hidup.
(2) Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah
sungai hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik Negara atau
badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau
kerja sama antara badan usaha milik Negara dengan badan usaha milik
daerah.
(3) Pegusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerjasama
antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:
a. pengunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai dengan persyaratan
yang ditentukan dalam perizinan;
62
b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan
yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan
yang ditentukan dalam perizinan.
9. Pasal 46
(1) Pemerintah atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk
pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (10 harus didasarkan pada rencana alokasi air yang
ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai
bersagkutan.
(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah
atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan
berdasarkan alokasi air sementara.
10. Pasal 48 ayat (1)
(1) Pengusahaan sumber daya air dalam wilayah sungai yang dilakukan
dengan membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya
dapat digunakan untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat
ketersediaan air yang melebihi keperluan penduduk pada wilayah
sungai yang bersangkutan.
11. Pasal 49 ayat (1)
(1) Pengusahaan air untuk Negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila
penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) telah dapat terpenuhi.
63
12. Pasal 80
(1). Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan
sumber daya air.
(2). Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan
ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk
setiap jenis penggunaan sumber daya air didasarkan pada
pertimbangan kemampuan ekonomi kelompok pengguna dan volume
penggunaan sumber daya air.
(5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk
jenis penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi
rasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang
dipungut dari para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung
terselenggaranya kelangsungan pengelolaan sumber daya air pada
wilayah sungai yang bersangkutan.
13. Pasal 91
Instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air bertindak untuk
kepentingan masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat menderita
akibat pencemaran air dan/atau kerusakan sumber air yang mempegaruhi
kehidupan masyarakat.
14. Pasal 92
64
(1) Organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air berhak
mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan
kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau
prasarananya, untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan
untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan
keberlanjutan fungsi sumber daya air dan/atau gugatan membayar
biaya atau pengeluaran nyata.
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum
dan bergerak dalam bidang sumber daya air,
b. mencantumkan tujuan pendirian organisasi dalam anggaran
dasarnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan
fungsi sumber daya air,
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Dari keempat belas Pasal diatas ada beberapa Pasal yang memperkuat
Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusannya yaitu dengan melihat pada pasal 6
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 9, Pasal 26 ayat (7), Pasal 80, Pasal 45 serta Pasal 46 UU
sumber daya air, menurutnya pasal tesebut mengandung pengusahaan air serta
monopoli atas sumber daya air yang keberadaannya bertentangan dengan prinsip
Negara dan dipergunakan untuk kepentingan serta kemakmuran rakyat. Di mana
pasal-pasal yang berasaskan tuntutan tersebut, sekarang dapat diketahui bahwa
Undang-Undang a quo telah memberikan ruang sebesar-sebesarnya kepada pihak
swasta baik berupa badan usaha ataupun individu dengan tujuan menguasai hasil
kekayaan sumber daya air. Sepeti dalam Pasal 9 dapat dinyatakan bahwa hak guna
usaha telah menjadi suatu instrument baru terhadap hak pengusahaan atas sumber
daya air yang ada, dengan adanya instrument tersebut hak guna usaha melakukan
65
penyusunan kembali penguasaan sumber air, termasuk air yang telah diusahakan bagi
kepentingan bersama63
. Dengan adanya izin hak guna usaha, sumber daya air
merupakan hak milik bersama yang keberadaannya dapat diambil alih oleh pihak
swasta baik oleh badan usaha atau individu, hal tersebut dapat berakibat fatal bagi
masyarakat. Perbuatan seperti ini termasuk deskriminasi formalitas tehadap perizinan
serta pihak swasta dapat menciptakan monopoli dengan mengambil keuntungan yang
sebesar-besarnya serta melakukan pendistribusian dan pengusahaan air untuk
berbagai kepentingan dengan memungut biaya yang tentunya sangat merugikan bagi
masyarakat berekonomi kurang mampu.
Berdasarkan semua permohonan yang diterima oleh MK, maka berpendapat:
1. Air merupakan kebutuhan manusia yang sangat vital bagi kehidupan manusia
sehingga dalam pengelolaannya memang membutuhkan keadilan dalam hal
peruntukan dan penggunaan sehingga pemanfaatan air bisa dilakukan secara
optimal oleh setiap manusia
2. Bahwa sumber daya air dalam penguasaannya oleh Negara mengatur semua
hal tentang itu dan terdapat instrumen hak. Terkait dengan instrumen hak
tersebut UU SDA dalam penjelasan umum menyatakan bahwa pengaturan hak
air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak yang digunakan
untuk memperoleh, memakai serta menggunakannya untuk kepentingan
komersiil. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan berarti hak
pemilikan atas air, tetapi hanya sebatas hak untuk memperoleh serta
menggunakan atau mengusahakan sejumlah air sesuai alokasi yang telah
ditentukan oleh Pemerintah baik pihak yang memang wajib memperoleh izin
maupun yang tidak wajib. Hak guna air dan hak guna usaha air jelas
mempunyai perbedaan arti dan fungsi.
63
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, hal. 26-27.
66
3. Berdasarkan pernyataan di atas bahwa kebutuhan masyarakat akan air
semakin meningkat, hal ini dapat berakibat untuk merubah pihak-pihak
tertentu termasuk pihak swasta untuk lebih mendorong nilai ekonomi
dibandingkan dengan fungsi sosial. Ketika hal seperti ini terjadi, maka dapat
menimbulkan konflik kepentingan antarsektor, antar wilayah dan berbagai
pihak yang berkaitan dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan
sumber daya air yang dilakukan oleh pihak tertentu lebih berstandar pada nilai
ekonomi cenderung memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan
fungsi social. Fungsi social adalah suatu fungsi lebih mementingkan
kepentingan rakyat dibandingkan kepentingannya sendiri. Dengan adanya
pertimbangan-pertimbangan seperti ini seharusnya Undang-Undang a quo
memberikan perlindungan yang lebih terhadap kepentingan suatu kelompok
masyarakat ekonomi kurang mampu dengan menerapkan prinsip pengelolaan
sumber daya air dengan menyetarakan kepentingan masyarakat.
4. Dalam hal ini kaitannya dengan sumber daya air bahwa bumi dan air serta
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negaradan digunakan
untuk kepentingan serta kemakmuran rakyat. Menurutnya air adalah suatu
kebutuhan mendasar dan harus ada dalam kehidupan masyarakat. Negaralah
yang seharusnya melindungi dan mengawasi tentang keberadaan air serta
pemanfaatannya.
Penguasaan sumber daya air yang dilakukan oleh pihak swasta dengan
menggunakan prinsip hak guna usaha, bahwa hak penguasaan Negara untuk
menguasai sumber daya air telah diperuntukan sebesar-besarnya untuk kepentingan
dan kemakmuran rakyat, yang sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3)
adalah tentang Negara dalammenyikapi pengelolaan sumber daya air, bagaimana
Negara dalam penguasaan atas sumber daya alam, bagaimana cara Negara menjamin
bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat mengenai sumber daya alam, serta
bagaimana Negara menyikapi terhadap peranan pihak swasta dalam kaitannya dengan
67
sumber daya alam. Pasal 33 UUD 1945 memang dinilai sebagai landasan
ekonomidisebutkan sebagai berikut64
:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasaioleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagaimna diamanatkan dalamPasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah
diamandemen telah ditentukan bahwa Negara mempunyai hak dan kewajibannya.
Bahwa Negara wajib menyusun perekonomian atas asas kekeluargaan, maksudnya
bahwa Negara tidak boleh bersikap sewenang-wenang terhadap masyarakat apalagi
terhadap masalah kemakmuran rakyat. Sedangkan kewajibannya Negara wajib
menyusunperekonomian atas asas kekeluargaan, ketika asas ini diterapkan dalam
dunia nyata maka tidak adanya pihak yang dirugikan.
Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa produksi
tentang sumber daya air sebisa mungkin jangan sampaijatuh kepada pihak perorangan
atau badan swasta yang nantinya dapat berkuasa serta menindas masyarakat ekonomi
lemah. Yang dimaksud berkuasa disini yaitu bukan hanya penguasaan terhadap
kekuasaan politik saja, namun juga berkuasa dalam kekuasaan ekonomi. Memang,
pengusaan oleh Negara bukan berarti pemilikan secara penuh, tetapi juga harus
memperhatikan serta menjamin adanya kemampuan dan kewenangan yang bertujuan
untuk melindungi kepentingan umum dan kepentingan ekonomi masyarakat. Bahwa
Negara mempunyai kuasa penuh terhadap penguasaan sumber daya air, sehingga
kepentingan Negara untuk kepentingan orang banyak tetap terjaga. Dalam penafsiran
64
Lihat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
68
tersebut mengenai kegiatan sumber daya air yang terkait dalam Pasal 33 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, Negara tidak wajib melakukan kegiatan cabang
produksi sendiri, namun Negara hanya bertindak sebagai pengawas dan pegendali
agar dalam pengelolaan sumber daya air tidak dikuasai oleh pihak swasta.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa
sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang keberadaannya
wajib dilindungi dan dijaga karena menjadi sumber kemakmuran bagi rakyat. Namun,
dengan segala keterbatasan yang dimiliki Negara, dalam melaksanakan
pengembangan sumber-sumber kekayaan tersebut Negara dapat memanfaatkan
kemampuan seseorang atau kelompok masyarakat bahkan memanfaatkan kemampuan
usaha swasta. Walaupun demikian, pelaksanaan tesebut harus pada pengawasan dan
kendali pemerintah. Berangkat dari permasalahan ini, peranan hukum dan pengaturan
pemerintah sangat penting dan keduanya berkesinambungan untuk menjamin bahwa
potensi kekayaan alam dapat dikembangkan dengan memberikan imbalan yang layak
bagi yang mengusahakan sesuai dengan resiko yang dihadapinya. Serta dalam pasal
33 ayat (3) menafsirkan dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan.
Hak penguasaan sumber daya alam yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 telah memposisikan Negara sebagai pengatur, pengawas serta penjamin
kesejahteraan rakyat atau makna lain yaitu bahwa Negara bukanlah sebagai pemilik
mutlak terhadap keberadaan sumber daya air, melainkan Negara hanya diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk penguasaan kepada Negara untuk mengelola
sumber daya air dengan tujuan demi sebesar-sebarnya kemakmuran rakyat. Hal ini
69
sesuai dengan peraturan yang digaris bawahi oleh Undang-undang Dasar 1945 untuk
Negara.
Air merupakan suatu kebutuhan hajat hidup orang banyak yang penguasaannya
dilakukan oleh Negara, mengenai hal penguasaan tersebut Negara tidak hanya
berkuasa dalam hal politik, tetapi juga kekuasaan ekonomi. Negara mempunyai
kendali penuh tehadap penguasaan tentang sumber daya air, apabila tidak dikuasai
serta dikendalikan oleh Negara, hal tersebut dapat terjadi ketimpangan sosial dengan
jatuhnya produksi jatuh ke tangan orang yang tidak bertangggung jawab sehingga
banyak rakyat yang ditindasnya. Oleh karena itu harus dikuasai dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka secara teoritik kekuasaan Negara atas
sumber daya alam dikenalsebagai hak atas bangsa, Negara di pandang sebagai Negara
yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat, sehingga Negara
diberikan kekuasaan dan wewenang penuh untuk mengatur serta memelihara
pemanfaat seluruh yang berkaitan dengan potensi sumber daya alam. Keterkaitan
dengan hak penguasaan Negara dengan melihat kemakmuran rakyat, maka timbulah
kewajiban Negara sebagai berikut65
:
1. Bentuk pemanfaatan berupa bumi dan air serta hasil kekayaan yang didapat
harus secara nyata mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak yang terdapat di atas bumi, air serta
kekayaan tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung untuk dinikmatioleh
rakyat.
3. Dalam hal ini Negara mempunyai kewajiban mencegah segala tindakan
berasal dari pihak manapun yang dapat menyebabkan rakyatnya untuk tidak
menikmati atau kehilangan haknya terkait dengan sumber daya air.
65
Ronald Mawuntu, “Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan asal 33 UUD 1945 Dan Putusan
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum Vol. XX/No.3 (April-Juni, 2012) hlm. 16.
70
Berdasarkan ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala bentuk jaminan bagi
penguasaan Negara atas kekayaan sumber daya alam yang sekaligus dapat
memberikan pemahaman bahwa di dalam penguasaan sumber daya air, Negara hanya
bertindak sebagai pengurus dan pengelola tidak untuk melakukan. Bahwa Mahkamah
Konstitusi secara jelas sudah membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dengan berbagai pertimbangan66
.
Pertama, Undang-Undang a quo mengandung unsure monopoli sumber daya
air yang bertentangan dengan penguasaan yang dikuasai Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran, hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal 6 ayat (2)
dan (3). Kedua, Undang-Undang a quomemuat penggunaan air yang lebih cenderung
untuk kepentingan komersial (mengambil keuntungan dengan sebesar-besarnya). Hal
ini dibuktikan dengan adanya Hak Guna Usaha dan Hak Guna Pakai, dapat
disimpulkan dari beberapa pasal yang telah menjelaskan hal tersebut. Dinyatakan
bahwa hak guna pakai dan usaha dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 ini
memang secara fundamental telah merekontruksi nilai air yang dijadikan suatu
komoditas ekonomi dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya yang dapat
dikuasai oleh kelompok maupun individu (perorangan), padahal sumber daya air
merupakan barang publik. Ketiga, UU SDA tersebut mengandung unsur yang
menimbulkan timbulnya konflik horizontal. Dapat dilihat dalam Pasal 29 ayat (20,
Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa “pengusahaan sumber daya air dalam suatu
wilayah sungai yang dilakukan dengan membangun dan/atau menggunakansaluran
distribusi hanya dapat digunakan untuk wilayah sungai lainnya apabila masih
terdapat ketersediaan air yang melebihi keperluan penduduk wilayah sungai yang
bersangkutan”, Pasal 49 ayat (1) UUNomor 7 Tahun 2004 telah bertentangan dengan
UUD RI 1945. Berdasarkan pernyataan pasal 48 tersebut jelas penyebab terjadinya
pemicu konflik karena dengan pendistribusian sungai yang penggunaanya dibatasi,
menyebabkan pemicu konflik. Pengusaha swasta yang hendak melaksanakan
66
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, hlm. 24-27.
71
pengusahaan air dengan mengambil keuntungan.Keempat, bahwa Undang-Undang a
quotelah menghilangkan tanggung jawab Negara sebagai penguasa dalam pemenuhan
kebutuhan air. Kelima, Undang-Undang a quo tersebut dinyatakan sebagai undang-
undang diskriminatif. Kelima hal itulah yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam
melakukan pertimbangan terhadap undang-undang nomor 7 tahun 2004.
Dengan beberapa pertimbangan keputusan yang diambil oleh hakim
Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan semua pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004,
Presiden masih meragukan dengan keputusan tersebut sehingga Presiden menetapkan
sejumlah Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU SDA, yang dianggap relevan
dengan permohonan a quo, antara lain67
:
1. PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum sebagai pelaksanaan Pasal 40 UU Sumber Daya Air;
2. PP Nomor 20 Tahun 2006 tentang irigasi sebagai pelaksanaan Pasal 41 UU
Sumber Daya Air;
3. PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang
merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 ayat (5), Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat
(5), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (93), Pasal 25 ayat (3), Pasal 27 ayat (4),
Pasal 28 ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 ayat (7), Pasal 39 ayat (30, Pasal 42 ayat
(2), Pasal 43 ayat (2), Pasal 53 ayat (4), Pasal 53 ayat (3), Pasal 57 ayat (3),
Pasal 60 ayat (2), Pasal 61 ayat (5), Pasal 62 ayat (7), Pasal 81, Pasal 84 ayat
(2) UU Sumber Daya Air;
4. PP Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah sebagai pelaksanaan Pasal 10,
Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (5), Pasal 37 ayat (3), Pasal 57 ayat (3), Pasal
58 ayat (2), Pasal 60, Pasal 69, Pasal 76 UU sumber daya air;
5. PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai sebagai pelaksanaan pasal 25 ayat
93), Pasal 36 ayat (20, dan Pasal 58 ayat (2) UU Sumber Daya Air;
67
Lihat Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, hlm. 144.
72
6. PP Nomor 73 Tahun 2013 tentang Rawa sebagai pelaksanaan pasal-pasal 25
ayat (30, Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UU sumber daya air;
Dengan adanya pertimbangan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
melaksanakan UU Sumber Daya Air a quo, namun menurut Mahkamah Kontitusi
keenam peraturan tersebut dianggap tidak memenuhi enam prinsip tentang
pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Berangkat dari perbedaan asumsi tersebut, yang menjadi perhatian penulis
dalam penelitian ini terkait pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Kontitusi.
Pertama, penetapan terhadap enam prinsip pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Kedua, tentang hak menguasai Negara dengan meletakkan posisi pertama atau tingkat
pertama pada pengelolaan tersebut yang dilakukan sendiri oleh Negara atas sumber
daya alam. Berdasarkan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi, ia memberikan
enam pembatasan pengelolaan sumber daya air untuk kehidupan bangsa Indonesia.
Hal ini berakibat, seluruh peraturan pemerintah yang terkait dengan UU sumber daya
air dinyatatakan batal demi hukum karena menurut hakim MK, keenam prinsip
tersebut tidak memenuhi prinsip yang telah disebutkan diatas.
Semua izin apapun baik yang berlaku pada saat berlakunya UU sumber daya
air maupun setelah pembatalan UU tersebut, maka harus berdasarkan pada prinsip
pengelolaan sumber daya air karena keenam prinsip tersebut telah menjadi tata kelola
air. Pembatasan tersebut bersifat kumulatif dan ketat. Namun implementasinya
kembali pada politik hukum pemerintah dalam mengelola sumber daya air68
.
68
Ida Nurlina, “Pengaturan Penguasaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Air Pasca
Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”, (2016) dikutip dari
http://www.academia.edu/13947228/UU_Sumber_Daya_Air_Pasa_Putusan_MK 10 April 2018.
73
E. Analisis Dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 Menurut Hukum Islam
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai komersalisasi air baik menurut hukum
Islam dan hukum positif serta alasan pembatalan Undang-undang No. 7 Tahun 2004
selanjutnya penulis akan menganalisis keduanyaguna mengetahui letak
ketidaksesuaian dalam hukum Islam. UU No. 7 Tahun 2004 merupakan UU sumber
daya alam, dimana di dalamnya mengatur segala peraturan tentang sumber daya alam.
Menurut Mahkamah Konstitusi undang-undang tersebut mengalami permasalahan
yang cukup serius, sebab terdapat pasal yang menunjukan bahwa Undang-Undang
tersebut menggunakan sistem komersial untuk memperoleh keuntungan. Dengan
berbagai pertimbangan dan berbagai pengujian, akhirnya Mahkamah Konstittusi
dalam mengabulkan permohonannya:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, terdapa 14 Pasal yang tidak sesuai dengan UU Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap;
3. Dengan Dicabutnya Undang-Undang tersebut maka peraturan yang lama
diberlakukan kembali yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan. Hakim MK memberlakukan kembali peraturan ini karena untuk
menghindari terjadinya kekosongan hukum yang dapat mengakibatkan
kekacauan hukum.
Kemudian, Implikasi hukum dari pembatalan UU Sumber Daya Air yaitu
berbagai perizinan yang diterbitkan sesuai dengan rezim UU Sumber Daya Air harus
tetap diakui kelegalitasannya sampai masa berlakunya izin tersebut berakhir. Namun,
izin tesebut tidak diperkenankan bertentangan dengan prinsip-prinsip pembatasan
pengelolaan sumber daya air. Oleh sebab itu, seharusnya pejabat atau instansi tertentu
yang berwenang menerbitkan perizinan yang berkaitan dengan isi dari sumber daya
74
air yaitu berupa hak guna usaha, pejabat/isntansi tersebut seharusnya bersikap
proaktif guna melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diterbitkan. Dengan
dicabutnya UU SDA No. 7 Tahun 2004 ini mengakibatkan UU yang lama
diberlakukan kembali.
Privatisasi yang dapat menyebabkan dikomesialkannya air terdapat dalam 14
(empa belas) Pasal yang masing-masing mempunyai makna sendiri. Seperti yang
telah dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Hak guna air sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindah tangankan sebagian
atau seluruhnya, artinya bahwa hak guna air yang telah diberikan kepada seseoarng
atau pemohon tidak dapat disewakan dan dipindahkan kepada pihak-pihak lain
dengan alasan apapun. Kemudian, apabila hak guna air yang telah disebutkan tenyata
tidak dimanfaatkan oleh pemegang hak guna air, Pemerintah atau pemerintah daerah
dapat mencabut hak guna air yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 26 ayat (7)
juga telah dijelaskan bahwa pasal tersebut memuat privatisasi air yang dapat
berakibat komersialisasi air. Pasal tersebut berbunyi “Pendayagunaan sumber daya air
dilakukan dengan mengutamakan fungsi social untuk mewujudkan keadilan dengan
memperhatikan prinsip pemanfaatan air membayar biaya jasa pengelolaan sumber
daya air dan dengan melibatkan peran masyarakat”, maksudnya bahwa Prinsip
pemanfaat membayar biaya jasa pengelolaan adalah penerima manfaat atau
masyarakat ikut membayar biaya pengelolaan sumber daya air baik secara langsung
maupun tidak langsung, bahwa sebenarnya ketentuan ini tidak boleh diberlakukan
kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, pengairan dan
pertanian. Ketika pengguna dikenakan biaya jasa maka dalam UU ini menganut unsur
komersialisasi yang dapat merugikan masyarakat.
Dari penjelasan kedua pasal tersebut sudah cukup menjelaskan bahwa UU No.
7 Tahun 2004 memang mengandung komersialisasi air. semua masyarakat di muka
bumi ini mengetahui bahwa air adalah milik bersama serta hak guna air tidak dapat
75
dipindahtangankan kesiapapun, karena memang hakikat air untuk kehidupan
bersama. Akan tetapi di era perkembangan zaman yang semakin maju, semakin
banyak orang-orang pintar yang tidak bertanggungjawab sehingga membuat UU yang
di dalamnya berisi usur privatisasi. Dengan adanya ketentuan pasal yang menyatakan
dengan mengambil biaya jasa dalam pemanfaat sumber daya air, oleh sebab itu
banyak pihak swasta yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual
belikan air kepada masyarakat. Seperti misalnya kasus yang terjadi Sukabumi dan
Klaten, banyak masyarakat setempat yang mengalami kesulitan air, padahal mereka
tinggal di daerah sumber mata air. Kemudian, di daerah Boyolali, justru terjadi
konflik antara para perantni dengan perusahaan air minum dalam penggunaan air
bersih. Dan sementara di daerah Jatiluhur, terjadi pengalihan fungsi air yang semula
kondisi air waduk yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk irigasi dan
sekarang dijadikan sumber air bagi industri setempat, sehingga dengan adanya
pengalihan fungsi tersebut masyarakat mengalami kekurangan air yang cukup
banyak. Pihak swasta melakukan tindakan tersebut karena dengan melihat pasal-pasal
yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2004banyak pihak-pihak swasta yang
melakukan pemanfaatan sumber air dengan membayar jasa yang telah disebutkan
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004. Penyalahgunaan izin tersebut dilakukan
guna mendapatkan keuntungan yang sangat besar untuk kepentingan dirinya sendiri
atau kelompok dengan cara ia mengambil air. Yang mana air tersebut merupakan
milik umum atau milik bersama, mereka menjualnya dengan menggunakan wadah-
wadah bersar atau dengan truk tangki, kemudian dikomersialkan ke kota-kota yang
mengalami kekeringan. Hal ini merupakan perbuatan yang salah, karena selain air
menjadi milik umum, air juga menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Jika
keberadaan air dikomersialkan, maka manusia sangat kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 juga telah bertentangan dengan Undang-
undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 yang di dalamnya menjelskan bahwa masyarakat
76
lebih mengutakan unsure kekeluargaan serta Negara menciptakan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kepetingandan kesejahteraan
rakyat. Namun dengan banyaknya pihak yang melakukan privatisasi air yang
menyebabkan komersialisasi maka tidak ada lagi unsure kekeluargaan, masyarakat
tidak merasa disejahterakan oleh Negara melainkan masyarakat merasa dirugikan atas
peraturan tersebut, sehingga dengan adanya kasus tersebut maka UU No. 7 Tahun
2004 tidak mengikuti aturan dalam UUD 1945 Pasal 33.
Komersialisasi merupakan kegiatan jual beli air yang di dalamnya tentu saja
membutuhkan sistem ekonomi. Islam dalam melakukan peraktek ekonomi terdapat
etika-etika yang mengaturnya dengan tujuan agar terciptanya sistem keadilan serta
dapat memperlakukan lingkungan hidup secara baik dan benar agar tetap terjaga
kualitasnya dan dapat dimanfaatkan untuk era yang akan datang. Ketika berbicara
tentang air yang dijadikan suatu komoditas yang dijual belikan Islam secara tegas
melarangnya karena air merupakan barang publik yang harus dimanfaatkan oleh siapa
saja serta mempunyai peran yang sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan
semua makhluk di bumi ini. Karena air merupakan kebutuhan pokok semua makhluk
hidup, sehingga apabila terjadi suatu permasalan di dalamnya apalagi dikomersialkan,
maka hal tersebut menjadi permasalahan yang akan di bahas dalam Hukum Islam,
sesuai dengan sabda rasulullah saw yang berbunyi:
اءوالنار. }رواه أحد و أبوداود{ثلاثة : ف الكلاءو الناس شركاءف الم
“Manusia bersekutu pada tiga macam benda yaitu rumput, air dan Api”. (H.R.
Ahmad dan Abu Dawud)”
Namun, hal inilah yang kerap kali menjadi pokok permasalahan kita yaitu umat
manusia. Pada sekarang ini, air menjadi salah satu sumber daya yang keberadaanya
dianggap langka. Ketersediaan air serta menipisnya keadaan sumber daya air
mengakibatkan revisi yang cukup besar pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
77
tentang sumber daya air, yang pada akhirnya dengan berbagai alasan maka UU
tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak sesuai
dengan enam prinsip pembatasan pengelolaan sumber daya air, bertentangan dengan
UUD 1945 serta di dalam Pasal-pasal UU No. 7 Tahun 2004 terdapat pasal yang
mengandung unsure monopoli yang di dalam Islam telah dilaranng. Karena pada
hakikatnya ketika air dipandang sebagai komoditas yang dapat digunakan sebagai
usaha berarti secara tidak langsung dalam undang-undang tersebut telah
membolehkan praktek privatisasi air menyebabkan terjadinya komersialisasi air.
Privatisasi air merupakan pengalihan sebagian atau seluruhnya kepada pihak swasta
atas pengelolaan sumber daya yang beralih kepada pihak swasta. Keuntungan buat
sendiri, masyarakat tidak menikmati justru masyarakat merasa sangat di rugikan
dengan adanya permasalahan seperti ini.
Komersialisasi dalam Islam dapat disebut dengan jual beli air, yaitu pihak
swasta menjual belikan air kepada masyarakat yang membutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Jual beli dalam Islam dikatakan sah apabila keduanya sama-
sama ridha atau ikhlas, tetapi ketika salah satu dari kedua pihak ada yang merasa
keberatan berarti jual beli tersebut tidak mengandung unsur keridhaan dan jual beli
hukumnya tidak sah. Begitu juga dengan komersialisasi air, ketika banyak pihak
masyarakat yang merasa dirugikan jual beli hukumnya tidak sah. Karena Islam adalah
agama yang sangat mengutamakan keadilan serta kesejahteraan umatnya. Dan UU
tersebut tidak menganut unsur yang telah diatur dalam hukum Islam.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis sampaikan di depan tentang analisis
dibatalkannyaUU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menurut hukum Islam,
maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Air mempunyai kedudukan sentral yang dapat dimanfaatkan oleh semua
makhluk hidup di bumi ini untuk memenuhi kebutuhan pokok dan air
mendapat mengakuan sebagai hak asasi manusia karena pengakuan terhadap
kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan pokok dan sangat penting dalam
kehidupan manusia, di satu sisi pengakuan air terhadap hak asasi manusia
mempunyai air bahwa setiap manusia membutuhkan perlindungan atas akses
untuk mendapatkan air. Dan dengan adanya pengakuan terhadap hak asasi
manusia Negara harus menghormati, melindungi serta memenuhi semua
kebutuhan manusia.
2. Letak ketidaksesuainya UU No.7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yaitu,
UU tersebut mengandung komersialisasi air yang telah di sebutkan dalam 14
Pasal, bertentangn dengan UU dan tidak sesuai dengan enam prinsip dasar
pembatasan pengelolaan sumber daya alam dan apabila dikaitkan dengan
hukum Islam secara tegas melarangnya karena di dalam Islam lebih
mengutamakan kekeluargaan serta kemanfaatan bersama. Tetapi dalam UU
tersebut justru mengandung unsur keegoisan dengan mengambil keuntungan
sebesar-besarnya dengan menjual belikan air. Yang mana agama Islam sangat
membenci adanya sikap tersebut, selain itu komersialisasi yang dilakukan oleh
pihak-pihak swasta merupakan jual beli yang tidak sesuai dengan hukum
Islam, seperti rukun, syarat, atau sebab-sebab terjadinya jual beli. Dan dalam
79
Undang-undang ini tidak mengutamakan adanya kesejahteraan masyarakat,
yang dalam Islam sikap tersebut justru sangat diutamakan. Dengan demikian
Hukum Islam telah melarang praktek komersialisasi air dengan berlandaskan
pada ayat-ayat Al-Qur‟an serta hadist-hadist yang telah menjelaskan hal
tersebut.
B. Saran-Saran
1. Untuk semua pihak, air merupakan kebutuhan yang harus ada, serta
merupakan kebutuhan publik sehingga dalam kehidupanair harus
diperlakukan sebagai benda sosial bukan semata-mata sebagai benda yang
dijadikan komoditas ekonomi. Sebaiknya para pengusaha mentaati segala
peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, jangan melanggar segala
ketentuan yang ada untuk mendapatkan keuntungan sendiri yang bernilai
cukup besar dengan cara merusak kekayaan alam yng telah diciptkan oleh
Tuhan, karena semua tindakan tersebut dapat merugikan kehidupan manusia
dan ekosistem alam bahkan dapat merugikan Negara. Bahwa perilaku
merusak kekayaan alam yang telah dititipkan oleh kita sebagai khalifah di
bumi ini merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan telah dilarang baik
dalamAl-Qur‟an maupun daam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004, karena
sekalilagi penulis tekankan bahwa air merupakan kebutuhan yang sangat
financial dalam kehidupan sehingga keberadaannya tidak dapat digantikan
dengan apapun. Oleh sebab itu, mulailah dari diri kita sendiri untuk
melestarikan serta menjaga lingkungan dengan berpedoman keagamaa serta
memberikan pengertian terhadap masyarakat tentang bahaya merusakan
kekayaan alam di bumi ini terutama sumber daya air.
2. Kepada Negara, seharusnya menjamin serta memastikan setiap warga
masyarakat untuk ketersediaan serta kesinambungan air. Dan lebih melakukan
pengawasan terhadap pihak-pihak swasta agar tidak terjadi lagi peristiwa
privatisasi sumber daya air serta lebih memperhatikan izin pengelolaan
sumber daya air yang telah disebutkan dalam UU tersebut dengan bersikap
80
aktif serta melakukan evaluasi terhadap masalah izin, agar tidak terjadi
kembali permasalahan yang sama.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiyono. 2005. Fikih Lingkungan (Panduan Spiritual Hidup Berwawasan
Lingkungan), Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Aditya Nugroho, Eko. 2018. Enam Prinsip Dasar Pengelolaan SDA, dikutip dari
http://id.beritasatu.com/home/enam-prinsip--pengelolaan-dasar-sda/169754 15
Februari 2018
Azhar Basyir, Ahmad. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakrta:UII Press.
Bakar Jabir El-Jazairi, Abu. 1991. Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim
Mu‟amalah), Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Baqir Ash Shadr, Muhammad. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam Istishaduna, Jakarta:
Zahra, 2008.
Brannen, Julia, 2005.Mamadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. (Fakultas
Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda, Celeban Timur UH Yogyakarta).
Dahlan, Zaini. 1999. Qur‟anKarim Dan Terjemahan Artinya. Yogyakarta: UII Press. Eka Presetia, Rizki. Praktik Jual Beli Air Dari Sumber Mata Air Umum Di
Kecamatan Panggang Kabupaten Gunung Kidul Dalam Tinjauan Hukum
Islam, Yogyakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Erwin, Muhammad. 2011. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama.
Firmansyah, A. 2012. Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 Dalam Membangun
Perekonomian Di Indonesia, Jurnal Hukum Syiar Hukum FH.UNISBA. VOL.
XIII. NO. 1.
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi NOMOR85/PUU-XI/2013.
Kruha (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), 2012. Komersialisasi, Komodifikasi dan
Privatisasi, Pilkada DKI Jakarta. Dikutip dari
www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/124/Privatisasi_Air/Komersialisasi_K
omoditi_dan_Privatisasi.html 02 April 2018.
82
Latif, Abdul. 2009. Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta:
Total Media.
Lembaga Negara Pengawal Konstitusi, Seluruh Undang-Undang SDA Dibatalkan
MK, dikutip dari
www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10634#.WrH
LelGyQ0M 15 Februari 2018.
Mashuriyanto, Soimin. 2013. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
Mawuntu, Ronald. 2013. Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD
1945 Dan Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum Vol. XX/No.3
Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Pengantar Fiqh Mu‟amalah,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Nasir, Muhtar. 2016. Pengelolaan Sumber Air Menurut Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Nurcahyono, Arinto. dkk, 2015. Hak Atas Air dan Kewajiban Negara dalam
Pemenuhan Akses Terhadap Air, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung), Jurnal Hukum Vol. 31, No. 2.
Nurlina, Ida. 2016. Pengaturan Penguasaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Air
Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air, dikutip dari
http://www.academia.edu/13947228/UU_Sumber_Daya_Air_Pasa_Putusan_M
K 10 April 2018.
Nur Rachman, Irfan. 2015. Impikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Pengujian Konstitualitas Undang-Undang Sumber Daya Air, (Jakarta Pusat:
Naskah Teks), Kajian Vol. 20 No.2.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013
Silalahi, Daud. 1996. Pengaturan Hukum Sumber Daya Air Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni.
83
Soekanto, Soerjono. 2006. Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, Jakarta:
Rajawali Press.
Sudarwanto, Sentot. 2015. Dampak Dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air Terhadap Manajemn Air untuk Kesejahteraan
Masyarakat, Jurnal Yustisia. Vol. 4 No. 2 Mei-Agustus 2015.
Sukarni. 2014. Air Dalam Perspektif Hukum Islam (Kalimantan Selatan: Majelis
Tarjih dan Tajdid PWM), Jurnal Ratjih Volume 12 (1).
Susana, Tjuju. 2003. Air Sebagai Sumber Kehidupan, Jurnal Oseana, Volume
XXVIII No. 3).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ya‟qub, Hamzah. 1984. Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup
Dalam Berekonomi), Bandung: C.V. Diponegoro.