Kitin Kitosan_Vannia Valentina_13.70.0024_B5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
KITIN-KITOSAN_GALIH AJI PRIAMBODO_12.70.0116_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of KITIN-KITOSAN_GALIH AJI PRIAMBODO_12.70.0116_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen
Khitin 1 (%)Rendemen
Khitin 2 (%)Rendemen
Khitosan (%)
E1Kulit udang + HCl
0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
34 18,987 15,333
E2Kulit udang + HCl
0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
18 13,514 16,400
E3Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5%
+ NaOH 50%21 14,285 15,200
E4Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5%
+ NaOH 50%14 14,706 12,000
E5Kulit udang + HCl
1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
22 14,706 17,333
E6Kulit udang + HCl
1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
26 28,571 8,500
Dari data diatas dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitin I terendah terdapat pada
kelompok E4 sebesar 14% dan nilai rendemen kitin I tertinggi terdapat pada kelompok
E1 sebesar 34%. Kemudian dari data diatas, dapat dilihat juga bahwa nilai rendemen
kitin II terendah terdapat pada kelompok E2 yakni sebesar 13,514% dan nilai rendemen
kitin II tertinggi terdapat pada kelompok E6 yakni sebesar 28,571%. Serta dari data
diatas, dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitosan terendah terdapat pada kelompok E6
sebesar 8,500% dan nilai rendemen kitosan tertinggi terdapat pada kelompok E5 sebesar
17,333%.
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan percobaan pembuatan kitin dan kitosan dari limbah kulit
udang. Kulit udang mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin
15-20%, namun besarnya kandungan komponen tersebut tergantung dari jenis udang
dan tempat hidupnya. Kulit udang merupakan sumber potensial pembuatan kitin dan
kitosan, yaitu biopolimer yang secara komersil berpotensi diberbagai macam bidang
industri (Marganov, 2003). Menurut Muzzarelli (1985), kitin (C8H13NO5)n merupakan
biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β (1,4).
Sedangkan menurut Wardaniati & Setyaningsih (____), kitosan merupakan produk
turunan dari kitin yang memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa)
yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat. Kitosan
berbentuk padatan amorf, berwarna putih dengan struktul kristal tetap dari bentuk awal
kitin murni. Rantai dari kitosan lebih pendek daripada rantai kitin.
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit atau eksoskeleton hewan crustacea
seperti kulit kerang, kulit udang, tulang rawan cumi-cumi, dan bisa juga paruh burung
(Marganov, 2003). Selain itu, menurut Peter (1995), kitin juga dapat ditemukan dalam
komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan crustacea serta terdapat di dalam
dinding sel ragi dan jamur (30-60%). Misalnya saja, kitin yang terkandung dalam kulit
udang adalah sebesar 15-20%, sedangkan sisanya pada kulit udang juga terkandung
protein sebesar 25-40% dan kalsium karbonat sebesar 45-50%. Namun, besarnya
kandungan komponen tersebut tergantung dari jenis udang dan tempat hidupnya
(Marganov, 2003). Menurut Prasetiyo (2006), kandungan kitin dalam udang windu
dapat mencapai 99,1%. Suhardi (1992) menambahkan jika kitin tidak dapat berdiri
sendiri di alam, melainkan harus bergabung dengan senyawa-senyawa lainnya.
Contohnya pada crustacean kitin bergabung dengan pigmen, garam anorganik (CaCO3),
dan garam.
Menurut Wang et al. (2010), kitin merupakan suatu polimer alam yang berasal dari
sumber laut yang dapat ditemukan pada kulit atau cangkang crustaceans seperti
serangga, kepiting dan udang, dan dinding sel dari fungi. Kulit tersebut mengandung
15-40% kitin. Proses pembuatan kitin dilakukan melalui dua tahap, antara lain tahap
demineralisasi yang menggunakan larutan HCl Sdan deproteinasi yang menggunakan
larutan NaOH. Sedangkan kitosan sendiri merupakan produk turunan dari kitin yang
mengalami proses deasetilasi dengan menggunakan larutan alkali 40-45%, pada
temperatur yang tinggi dan waktu yang lama.
Menurut Peter (1995), kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim
seperti enzim papain, laktase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase.
Selain itu, kitin juga sering digunakan dalam berbagai industri pangan dan kosmetik.
Sedangkan menurut Robert (1992), kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet
karena kitosan mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif yang dapat
mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Karakteristik kitosan tersebut berbeda
dengan karakteristik polisakarida lainnya yang memiliki muatan netral. Kitosan dapat
diperoleh dari kitin yang mengalami deasetilasi dengan larutan basa 40-50% pada suhu
120-160oC (Radhakumary et al., 2005). Menurut Prabu dan Natarajan (2012), kitosan
memiliki beberapa manfaat lainnya misalnya adalah memiliki aktivitas antimikrobia,
antioksidan, antikoagula, antitumor dan hepatoprotektif, antidiabetes, penyembuh luka,
dan penyerapan ion logam berat dalam suatu larutan.
Penggunaan kitin dapat menjadi terbatas karena salah satu sifat dari kitin yang
menyulitkan untuk dilakukannya pengolahan yaitu sulit larut dalam air. Oleh karena itu,
kitin biasanya dimodifikasi secara kimiawi sehingga diperoleh turunan kitin yang
memiliki sifat kimia yang lebih baik. Turunan kitin tersebut adalah kitosan yang
memiliki sifat larut dalam asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat
diasetilasi dan derajat degradasi polimer (Wardaniati & Setyaningsih, ____). Menurut
Dunn et al. (1997), kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti asam format,
asam asetat, dan asam sitrat. Adanya gugus karboksil pada asam asetat dapat
mempermudah pelarutan kitosan, karena terjadinya interaksi hidrogen antara gugus
karboksil dan gugus amina dari kitosan. Jika kitosan tersebut disimpan lama dalam
keadaan terbuka, yaitu mengalami kontak dengan udara dapat menyebabkan terjadinya
dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan, kelarutan dan viskositasnya menjadi
berkurang. (Wardaniati & Setyaningsih, ____). Dunn et al. (1997) menambahkan jika
kitosan yang telah disubstitusikan dapat larut dengan air.
2.1. Kitin
Inti dari proses pembuatan kitin adalah terdapat pada dua tahap yaitu demineralisasi dan
deproteinasi. Namun, sebelum masuk ke dalam dua tahap tersebut, limbah kulit udang
yang diperoleh dan yang telah dipisahkan dari kepala dan kakinya dicuci dengan
menggunakan air mengalir. Tujuan dilakukannya proses pencucian dengan air mengalir
menurut Bastaman (1989) adalah untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel
pada kulit udang sehingga mempermudah dan tidak mengganggu jalannya proses-proses
selanjutnya dan ekstraksi kitin dapat berlangsung dengan maksimal. Kemudian
dilanjutkan dengan pencucian menggunakan air panas sebanyak dua kali. Menurut
Bastaman (1989), tujuan dilakukannya pencucian menggunakan air panas adalah
sebagai tahap sterilisasi sehingga mikroorganisme merugikan yang ada pada kulit udang
dapat dihilangkan. Kemudian dihancurkan menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan
ukuran 40-60 mesh. Hal tersebut sesuai dengan teori Prasetyo (2006) bahwa bahan yang
sudah kering kemudian digiling sehingga menghasilkan serbuk ukuran 40-60 mesh.
Bastaman (1989) menambahkan jika tujuan dilakukannya penghancuran kulit udang
kering menjadi bentuk serbuk adalah untuk memperluas permukaan bahan sehingga
pelarut yang digunakan dapat melakukan kontak dengan serbuk secara maksimal.
2.1.1. Demineralisasi
Setelah proses awal pembuatan kitin selesai dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan
proses demineralisasi. Menurut Bastaman (1989), suatu proses pembuatan kitin yang
dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan mineral yang terdapat pada kulit udang
disebut sebagai proses demineralisasi. Peter (1995) menambahkan jika selain kitin di
dalam kulit udang juga terkandung mineral kalsium karbonat sebesar 45-50% dan
protein sebesar 25-40%. Oleh karena kandungan mineral yang tinggi itulah, maka perlu
dilakukannya proses demineralisasi sehingga jumlah mineral dapat berkurang
signifikan. Pada kulit udang terkandung mineral hingga mencapai konsentrasi 30-50%
dari berat keringnya. Mineral utama yang terkandung pada kulit udang adalah kalsium
karbonat (CaCO3) dan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2). Sebelum dilakukan proses ekstraksi
kitin, mineral yang ada pada kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu. Komponen
mineral dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti HCl, H2SO4, atau asam
laktat. Oleh karena itu, pada pembuatan kitin ini dilakukan proses demineralisasi
dengan cara menambahkan larutan HCl ke dalam serbuk kulit udang. Konsentrasi HCl
yang ditambahkan pada setiap kelompok berbeda tingkat konsentrasinya. Kelompok E1
dan E2 diberikan penambahan HCl 0,75 N; kelompok E3 dan E4 dengan HCl 1 N, dan
kelompok E5 dan E6 dengan penambahan HCl 1,25 N. Larutan HCl ditambahakan ke
dalam serbuk kulit udang dengan komposisi pelarut:kitin adalah 10:1. Penambahan HCl
akan menyebabkan kerusakan pada permukaan biopolimer kitin dengan reaksi berikut
ini:
HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)
H+(aq) + H2O H3O+(aq)
Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)
CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)
Kemudian ada tahap selanjutnya yaitu dilakukannya pemanasan pada suhu 90oC selama
1 jam dan disertai dengan pengadukan. Menurut Puspawati et al. (2010), pemanasan
tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat jalannya proses perusakan
mineral. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan karena proses pemisahan
mineral selama proses demineralisasi. Pada saat proses pemisahan mineral berlangsung
akan terbentuk gelembung udara yang merupakan gas CO2. Reaksi yang terjadi pada
proses ini adalah:
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).
Setelah itu, dilakukan penetralan pH dengan menggunakan air. Caranya adalah dengan
menambahkan air kemudian disaring menggunakan kain saring. Setelah diperoleh pH
normal, kemudian residu yang tidak lolos kain saring dikeringkan menggunakan oven
selama 24 jam. Sebelum dikeringkan, terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat
basahnya, dan setelah dikeringkan ditimbang berat keringnya. Menurut Bastaman
(1989), proses demineralisasi tersebut akan menyebabkan kalsium karbonat beraksi
dengan asam klorida dan membentuk asam karbonan, asam fosfat, dan yang larut dalam
air. Sehingga mineral-mineral yang terdapat pada kitin akan ikut larut dengan air,
sedangkan residu yang tidak larut air merupakan senyawa kitin.
Hari berikutnya dilakukan penimbangan berat kering untuk mengetahui besar rendemen
kitin I yang diperoleh. Hasil percobaan menunjukkan nilai rendemen kitin I terendah
terdapat pada kelompok E4 sebesar 14% dan nilai rendemen kitin I tertinggi terdapat
pada kelompok E1 sebesar 34%. Menurut Johnson dan Peterson (1974), penambahan
asam atau basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi dan disertai dengan proses atau
waktu yang lebih panjang dapat melepaskan atau meregangkan ikatan protein dan
mineral dengan kitin serta bahan organik lainnya pada kulit udang. Hal pendukung
diungkapkan oleh Laila & Hendri (2008) bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang
ditambahkan maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini
dikarenakan senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan
sehingga mineral yang hilang dari kitin akan semakin banyak. Alhasil massa kering
kitin I juga mengalami penurunan, dan massa kering yang lebih rendah ini
menyebabkan jumlah rendemennya pun semakin rendah. Dalam praktikum ini
didaptkan hasil yang kurang sesuai karena seharusnya kelompok E2 juga memiliki
jumlah rendemen tertinggi. Tertinggi kedua seharusnya diikuti oleh kelompok E3 dan
E4, namun pada praktikum ini kelompok E4 mendapatkan nilai rendemen kitin I
terendah. Kemudian rendemen terendah seharusnya diperoleh oleh kelompok E5 dan E6
dengan konsentrasi HCl tertinggi. Namun hasil percobaan yang kurang sesuai dengan
teori tersebut dapat disebabkan karena jenis dan kondisi udang yang digunakan berbeda
karakteristiknya antara udang yang satu dengan udang yang lain sehingga kandungan
kitin dan kitosannya pun pasti berbeda-beda. Selain itu, kesalahan lain dapat terjadi
ketika proses pencucian menggunakan air hingga pHnya netral, kemungkinan ketika
pencucian tersebut ada kitin dan kitosan yang ikut terbawa oleh air.
2.1.2. Deproteinasi
Setelah dilakukan proses demineralisasi, maka tahap selanjutnya adalah proses
deproteinasi. Menurut Alamsyah et al. (2007), proses deproteinasi merupakan salah satu
proses yang perlu dilakukan pada proses pembuatan kitin dengan tujuan untuk
menghilangkan protein yang masih melekat pada kitin, sehingga dapat diperoleh kitin
yang bebas dari protein. Proses deproteinasi sebaiknya dilakukan setelah proses
demineralisasi, hal ini dikarenakan proses pengisolasian kitin melalui tahap
demineralisasi-deproteinasi akan memberikan hasil rendemen yang lebih banyak
dibandingkan dengan tahap isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi.
Penyebabnya apabila mineral tidak dihilangkan terlebih dahulu maka proses
deproteinasi tidak dapat berlangsung optimal karena mineral memiliki struktur yang
lebih keras dibandingkan dengan protein, sehingga mineral akan membentuk pelindung
yang keras pada kulit udang. Akibatnya, apabila proses deproteinasi dilakukan terlebih
dahulu maka protein tidak dapat hilang dengan optimal karena proses penghilangan
protein menjadi terhambat oleh mineral yang membentuk pelindung yang keras. Oleh
karena itulah pada percobaan pembuatan kitin ini tahap deproteinasi dilakukan setelah
tahap demineralisasi.
Proses deproteinasi ini dilakukan dengan cara tepung yang sudah mengalami
demineralisasi dan dikeringkan selanjutnya dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan kitin:NaOH adalah 1:6. Menurut Puspawati et al. (2010), larutan NaOH
ditambahkan dengan tujuan untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada
kitin. Kemudian diaduk selama 1 jam, dan selanjutnya larutan tersebut dipanaskan pada
suhu 90oC selama 1 jam. Tujuan dilakukannya proses pemanasan menurut Puspawati et
al. (2010) adalah untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin
yang dihasilkan akan lebih maksimal. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan
untuk membantu pelarutan NaOH sehingga proses deproteinasi dapat berjalan dengan
baik.
Kemudian dilakukan penyaringan dan pendinginan, kemudian setelah itu kitin dicuci
menggunakan air hingga diperoleh pH netral. Inti dari dilakukannya proses netralisasi
menggunakan air kurang lebih sama dengan proses netralisasi pada tahap
demineralisasi. Menurut Rogers (1986), proses netralisasi akan berpengaruh terhadap
sifat penggembungan kitin dengan alkali sehingga proses hidrolisis basa terhadap gugus
asetamida pada rantai kitin akan semakin baik. Larutan NaOH akan terionisasi dalam air
dan membentuk ion natrium dan ion hidroksida dan jika larutan tersebut ditambahkan
secara perlahan-lahan ke dalam larutan asam, maka setiap ion hidroksida akan bereaksi
dengan ion hidrogen membentuk molekul air. Ketika ion hidrogen tetap berada di dalam
larutan maka larutan akan bersifat asam. Akan tetapi, jika ion hidroksida yang
ditambahkan sama dengan jumlah ion hidrogen maka larutan menjadi netral. Ketika pH
kitin telah mencapai netral kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan
oven dengan suhu 80oC selama 24 jam.
Keesokan harinya, dilakukan penimbangan berat kering untuk dapat mengetahui besar
rendemen kitin II yang diperoleh. Hasil percobaan menunjukkan jika nilai rendemen
kitin II terendah terdapat pada kelompok E2 yakni sebesar 13,514% dan nilai rendemen
kitin II tertinggi terdapat pada kelompok E6 yakni sebesar 28,571%. Jika dibandingkan
dengan jumlah rendemen kitin I maka dapat diketahui bahwa kelompok yang
mengalami penurunan rendemen adalah kelompok E1, E2, E3, dan E5; sedangkan
kelompok E4 dan E6 mengalami peningkatan rendemen. Hasil yang menunjukkan
peningkatan rendemen tidak sesuai dengan teori Fennema (1985) bahwa proses
penghilangan protein dan mineral akan lebih efektif menggunakan larutan basa
dibandingkan asam. Hal ini dikarenakan kelarutan protein dan mineral lebih tinggi pada
kondisi basa dibandingkan pada kondisi asam, selain itu larutan basa seperti NaOH
memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan jika
proses deproteinasi menggunakan larutan alkali seperti NaOH akan menyebabkan
protein dan mineral yang hilang akan lebih banyak, sehingga rendemen kitin yang
diperoleh pun akan semakin rendah.
Kurang sesuainya hasil percobaan dengan teori dapat disebabkan karena beberapa hal.
Menurut Hartati et al. (2002), hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kitin
antara lain jenis bahan baku, proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi).
Laila & Hendri (2008) menambahkan jika proses ekstraksi kitin dipengaruh oleh
beberapa hal misalnya adalah lama proses pengolahan, konsentrasi zat kimia, suhu yang
digunakan, dan pH. Semakin lama proses pemanasan yang dilakukan akan
menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang terlarut dapat berkurang.
Namun, jika pemanasan dilakukan dalam waktu yang singkat maka kandungan protein
yang terlarut menjadi lebih rendah karena protein tersebut belum larut seluruhnya.
Selain itu, penyebab lainnya yang dapat terjadi adalah karena proses demineralisasi
yang tidak optimal sehingga masih terdapat mineral yang dapat menghambat jalannya
proses deproteinasi.
2.2. Kitosan
2.2.1. Deasetilasi
Setelah dilakukan proses demineralisasi dan deproteinasi maka akan diperoleh kitin.
Namun untuk dapat memproduksi kitosan perlu dilanjutkan ke tahapan berikutnya yaitu
tahap deasetilasi. Menurut Robert (1992), untuk mendapatkan kitosan perlu dilakukan
tiga tahapan proses yaitu tahap demineralisasi dan deproteinasi sehingga diperoleh kitin,
dan kemudian dilanjutkan dengan tahap deasetilasi untuk mengubah kitin menjadi
kitosan. Menurut Ramadhan et al. (2010), proses deasetilasi merupakan suatu proses
penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi amina pada kitosan. Azhar et al. (2010)
menambahkan jika kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus
asetamida (–NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus amina (–NH2). Sehingga dengan
kata lain, proses deasetilasi mampu memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil
dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin sehingga berubah menjadi gugus amina
(–NH2) yang terdapat pada kitosan. Selain itu menurut Knoor (1984), mutu kitosan
ditunjukkan dengan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin
maupun kitosan atau disebut dengan derajat deasetilasi. Semakin tinggi derajat
deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan akan semakin rendah, dan mutu kitosan
pun semakin baik. Berikut adalah gambar proses deasetilasi pada gugus asetamida kitin.
Gambar 1. Penghilangan gugus asetil pada gugus asetamida (Azhar et al., 2010)
Proses deasetilasi dilakukan dengan cara bubuk kitin yang telah diperoleh dari proses
demineralisasi dan deproteinasi ditambahkan larutan NaOH dengan perbandingan
kitin:NaOH adalah 1:20. Konsentrasi NaOH yang ditambahkan berbeda-beda setiap
kelompoknya. Kelompok E1 dan E2 digunakan NaOH 40%, sedangkan kelompok E3
dan E4 digunakan NaOH 50%, dan kelompok E5 dan E6 digunakan NaOH 60%.
Menurut Martinou (1995), NaOH dengan konsentrasi yang tinggi mampu merubah
konformasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang, sehingga enzim mudah terekspos
untuk mendeasetilasi polimer kitin. Sehingga proses deasetilasi dapat berjalan dengan
baik. Alkali dengan konsetrasi yang tinggi mampu memutuskan ikatan antara gugus
karboksil dengan atom nitrogen. Hirano (1989) menambahkan jika kitin memiliki
struktur kristal yang panjang dengan ikatan yang kuat antara gugus karboksil dan ion
nitrogen, sehingga diperlukan larutan alkali atau NaOH dengan konsentrasi 40-50% dan
suhu yang tinggi untuk dapat mengubah kitin menjadi kitosan. Selain itu, menurut
Mekawati et al., (2000), kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi akan dapat
diperoleh jika proses deasetilasi dilakukan menggunakan larutan NaOH dengan
konsentrasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan gugus fungsional amino yang
menyubstitusi gugus asetil kitin di dalam larutan menjadi semakin aktif, sehingga proses
deasetilasi akan lebih sempurna. Kemudian diaduk selama satu jam dan didiamkan
selama 30 menit. Pendinginan ini menurut Rogers (1986) dilakukan dengan tujuan agar
bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap secara maksimal pada bagian bawah dan
tidak terbuang selama pencucian.
Setelah itu, dilanjutkan dengan proses pemanasan pada suhu 90oC selama satu jam.
Menurut Puspawati et al. (2010), pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan derajat deasetilasi kitosan. Salah satu faktor yang mempengaruhi derajat
deasetilasi kitosan selama proses pembuatan adalah suhu yang digunakan. Hal serupa
diungkapkan oleh Mekawati et al., (2000) bahwa kitosan dengan derajat deasetliasi
yang tinggi akan dapat diperoleh jika dilakukan pemanasan dengan suhu yang tinggi.
Semakin tinggi suhu pemanasannya maka derajat deasetilasinya akan semakin tinggi
pula. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk meratakan kitin dengan
NaOH sehingga proses deasetilasi berjalan dengan optimal. Selanjutnya dilakukan
proses pencucian menggunakan air hingga diperoleh pH netral dan dilanjutkan dengan
pengeringan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Serbuk yang diperoleh
setelah proses pengeringan merupakan kitosan, dan kitosan yang diperoleh berwarna
putih kekuningan sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Ramadhan et al.(2010).
Setelah disimpan selama 24 jam, serbuk kitosan yang diperoleh ditimbang berat
keringnya dan digunakan untuk menghitung besar rendemen kitosan. Hasil rendemen
kitosan yang diperoleh oleh kelompok E1 sebesar 15,333%; kelompok E2 sebesar
16,400%; kelompok E3 sebesar 15,200%; kelompok E4 sebesar 12%; kelompok E5
sebesar 17,333%; dan kelompok E6 sebesar 8,500%. Berdasarkan hasil tersebut dapat
diketahui jika rendemen kitosan yang diperoleh masing-masing kelompok berbeda-beda
jumlahnya. Pada kelompok E1 dan E2 yang menggunakan larutan NaOH dengan
konsentrasi yang sama yakni 40% tetapi memiliki perbedaan hasil rendemen. Kemudian
pada kelompok E3 dan E4 yang menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi yang
sama yakni 50%, namun memiliki nilai rendemen kitosan yang berbeda. Begitu juga
dengan kelompok E5 dan E6 yang menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi
sama yakni 60% tetapi mempunyai nilai rendemen kitosan yang jauh berbeda.
Rendemen tertinggi diperoleh oleh kelompok E5 yaitu sebesar 17,333% yang diberikan
penambahan larutan NaOH 60%. Sedangkan rendemen terendah diperoleh kelompok E6
yakni 8,500% yang diberikan penambahan larutan NaOH 60%.
Menurut Knoor (1984), mutu kitosan ditunjukkan dengan persentase gugus asetil yang
dapat dihilangkan dari rendemen kitin maupun kitosan atau disebut dengan derajat
deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan akan
semakin rendah, dan mutu kitosan pun semakin baik. Derajat deasetilasi sendiri menurut
Mekawati et al., (2000) ditentukan oleh dua hal yaitu konsentrasi larutan alkali yang
digunakan dan suhu serta lamanya proses pemanasan. Kitosan dengan derajat deasetilasi
yang tinggi akan dapat diperoleh jika proses deasetilasi dilakukan menggunakan larutan
NaOH dengan konsentrasi yang tinggi dan proses pemanasan dilakukan pada suhu yang
tinggi dan waktu yang cukup lama. Hong et al. (1989) menambahkan jika kitosan
dengan derajat deasetilasi yang tinggi berarti kitosan tersebut memiliki nilai rendemen
yang rendah. Hal ini dikarenakan apabila derajat deasetilasinya tinggi maka itu berarti
bahwa semakin banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin
maupun kitosan. Dan apabila gugus asetil dari rendemen kitin maupun kitosan semakin
banyak yang hilang akibatnya kitosan mengalami penurunan berat molekul dan
rendemen yang dihasilkan pun lebih sedikit. Sehingga, dapat disimpulkan jika derajat
deasetliasi tertinggi atau nilai rendemen terendah seharusnya diperoleh oleh kelompok
E5 dan E6 yang menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi tertinggi yakni 60%.
Namun dalam percobaan ini kelompok E5 memiliki nilai rendemen kitosan yang paling
tinggi. Dan nilai rendemen tertinggi atau derajat deasetilasi terendah seharusnya
diperoleh kelompok E1 dan E2 yang menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi
terendah yakni 40%. Hasil percobaan tersebut kurang sesuai dengan teori. Hal tersebut
dapat disebabkan karena jenis udang yang digunakan memiliki kondisi yang berbeda
antara udang yang satu dengan lainnya sehingga kandungan kitin dan kitosannya pun
pasti berbeda-beda. Selain itu, kesalahan lain dapat terjadi ketika proses pencucian
menggunakan air hingga pHnya netral, kemungkinan ketika pencucian tersebut ada kitin
dan kitosan yang ikut terbawa oleh air.
Perkembangan penggunaan kitosan semakin meningkat sejak tahun 1970-an. Namun
penggunaan kitosan sudah dimulai pada tahun 1940-an. Penggunaan kitosan dapat
diaplikasikan pada bidang khusus seperti kesehatan, farmasi, dan industri seperti
pangan, bioteknologi, kosmetik, agroindustri, biokimia, pengolahan limbah, dan masih
banyak lagi. Selain itu, kitosan dapat digunakan sebagai pengawet organik pada buah
klimakterik. Kemudian kitin dan kitosan juga bermanfaat sebagai penstabil dan
pengawet warna produk. Contohnya dalam bidang pangan antara lain sebagai
pembentuk tekstur, penjernih minuman, pembentuk tekstur, dan emulsifier.
Dalam jurnal “Mechanical and thermal properties of crab chitin reinforced carboxylated
SBR composites”, menunjukkan bahwa kitin kepiting, juga dalam jumlah yang rendah,
memberikan beberapa efek berupa penghalang pelarut, sementara di sisi lain tidak
substansial mempengaruhi stabilitas termal dan sifat creep matriks. Selain itu, sistem
yang tidak muncul secara substansial diubah oleh suhu tinggi dan waktu. Sementara
pada jurnal “Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for
application in the pharmaceutical industry”, kitosan merupakan polisakarida amino yang
dibuat dari proses pengolahan limbah udang yang melibatkan deasetilasi kitin. Dalam
penelitian ini, industri farmasi memerlukan berbagai jenis kitosan demi memenuhi
standar yang dibutuhkan. Kitosan penting dalam dunia kesehatan karena kitosan ikut
berperan dalam penyembuhan luka.
Pada jurnal “Control of Dongchimi Fermentation with Chitosan Deacetylated by Alkali
Treatment to Prevent Over-Ripening”, kitosan dapat digunakan sebagai bahan
fungsional dalam aplikasi makanan secara komersial. Secara khusus, aktivitas
antibakteri kitosan ini berguna dalam fermentasi kimchi ketika kualitas kimchi dapat
ditingkatkan dengan penambahan kitosan sederhana. Selain itu, kitosan dapat digunakan
untuk berbagai makanan yang memiliki umur simpan rendah. Kemudian dalam jurnal
“Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of
Time on the Degree of Deacetylation”, pengaruh waktu deasetilasi pada kualitas kitosan
yang dihasilkan diteliti dengan mengukur jumlah glukosamin dan asetil glukosamin.
Jumlah glukosamin dalam sampel diukur dengan menggunakan analisis HPLC. Dengan
deasetilasi dari kitin diekstrak dalam 90 dan 180 menit, diperoleh masing-masing
kitosan dengan derajat deasetilasi dari 69,75% dan 77,63%. Oleh karena itu, dengan
meningkatkan periode deasetilasi dalam kondisi suhu konstan dan konsentrasi NaOH,
tingkat deasetilasi meningkat. Serta pada jurnal “Production of Chitin and Chitosan
from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum”, Lactobacillus
plantarum sebagai produsen asam dan protease, digunakan untuk ekstraksi biologis
kitin dari kulit udang. Dalam penelitian ini, kitin dikonversi menjadi kitosan dengan N-
deasetilasi dengan larutan NaOH.
3. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit crustaceans dan arthoproda.
Kitin (C8H13NO5)n dapat diperoleh melalui dua proses utama yakni demineralisasi
dan deproteinasi.
Di dalam kulit crustaceans dan arthoproda, kitin berikatan dengan protein dan
mineral seperti kalsium karbonat sehingga perlu dilakukan deminerlaisasi dan
deproteinasi untuk mendapatkan kitin.
Proses demineralisasi dilakukan menggunakan larutan HCl dan deproteinasi
dilakukan menggunakan larutan NaOH.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan pada tahap demineralisasi maka
semakin banyak mineral yang hilang dan rendemen yang diperoleh semakin rendah.
Rendemen kitin semakin mengalami penurunan pada tahap deproteinasi karena
protein banyak yang hilang akibat proses hidrolisis larutan alkali seperti NaOH
yang memiliki daya hidrolisis yang tinggi.
Kitosan merupakan produk turunan dari kitin.
Kitosan dapat diperoleh melalui proses deasetliasi kitin yang telah diperoleh pada
tahap demineralisasi dan deproteinasi.
Pada proses deasetilasi terjadi penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi amina
pada kitosan.
Proses deasetliasi dilakukan menggunakan larutan NaOH konsentrasi tinggi dan
pada suhu yang tinggi pula.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka semakin banyak gugus
asetilyang hilang sehingga kitosan mengalami penurunan berat molekul dan
rendemen kitosan yang diperoleh pun semakin rendah.
Semarang, 18 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen
Galih Aji Priambodo Stella Gunawan
12.70.0116
4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses tanggal 15 September 2014.
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Khorrami, M.; Najafpour, G. D.; Younesi, H.; Hosseinpour, S. (2012). Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223 (2012).
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses tanggal 15 September 2014.
Lee, W.; Shin, T. S.; Ko, S.; Oh, H. I. (2010). Control of Dongchimi Fermentation with Chitosan Deacetylated by Alkali Treatment to Prevent Over-Ripening. Journal of Food Science _ Vol. 75, Nr. 5, 2010.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.Diakses tanggal 15 September 2014.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000). Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Prabu, K. and Natarajan, E. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 4, Suppl 4, 2012. India.
Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Puvvada, Y. S.; Sukhavasi, S. (2012). Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Viarsagh, M. S.; Masoumi, J. (2010). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journal of Paramedical Sciences (JPS) Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496X.
Visakh, P. M.; Kenny, J. M. (2012). Mechanical and thermal properties of crab chitin reinforced carboxylated SBR composites. eXPRESS Polymer Letters Vol.6, No.5 (2012) 396–409.
Wang, Zhengke; Qiaoling H.; and Lei, C. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010. China.
Wardaniati, R.A. & S. Setyaningsih. (____). Pembuatan Chitosan dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_ penelitian_ fix.pdf. Diakses tanggal 15 September 2014.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Perhitungan
Rumus :
Rendemen kitin I = berat keringberat basah I
x 100%
Rendemen kitin II = berat kitinberat basah II
x 100%
Rendemen kitosan = berat kitosanberat kitin III
x 100%
Kelompok E1
Rendemen Kitin I =3,4
10×100 %
= 34 %
Rendemen Kitin II =1,5
7 . 9×100 %
= 18,987 %
Rendemen Kitosan =0,92
6×100 %
= 15,333 %
Kelompok E2
Rendemen Kitin I =1,8
10×100 %
= 18 %
Rendemen Kitin II =0,5
3,7×100 %
= 13,514 %
Rendemen Kitosan =0,41
2,5×100%
= 16,4 %
Kelompok E3
Rendemen Kitin I =2,1
10×100 %
= 21 %
Rendemen Kitin II =1
7×100 %
= 14,285 %
Rendemen Kitosan =0,76
5×100 %
= 15,20 %
Kelompok E4
Rendemen Kitin I =1,4
10×100 %
= 14 %
Rendemen Kitin II =0,5
3,4×100%
= 14,706 %
Rendemen Kitosan =0,18
1,5×100 %
= 12 %
Kelompok E5
Rendemen Kitin I =2,2
10×100 %
= 22 %
Rendemen Kitin II =1,0
6,8×100 %
= 14,706 %
Rendemen Kitosan =0,78
4,5×100 %
= 17,333 %
Kelompok E6
Rendemen Kitin I =2,6
10×100%
= 26 %
Rendemen Kitin II =1,0
3,5×100 %
= 28,571 %
Rendemen Kitosan =0,17
2×100 %
= 8,5 %
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara