KINERJA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA … · Selama kurun waktu tersebut tentunya banyak...
Transcript of KINERJA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA … · Selama kurun waktu tersebut tentunya banyak...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KINERJA BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN
PURBAKALA (BP3) JAWA TENGAH DALAM
PERLINDUNGAN CANDI-CANDI DI JAWA TENGAH
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
Disusun Oleh :
REHELA RAVITA SARI
D 0106088
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
ABSTRAK ........................................................................................................ xii
ABSTRACT ..................................................................................................... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 9
C. Tujuan .......................................................................................... 9
D. Manfaat ....................................................................................... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 11
A. Kinerja ......................................................................................... 11
B. Perlindungan ................................................................................ 25
C. Candi ........................................................................................... 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
D. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di
Jawa Tengah ............................................................................. 49
E. Kerangka Berfikir .................................................................... 50
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 53
A. Jenis Penelitian ......................................................................... 53
B. Lokasi Penelitian ...................................................................... 54
C. Sumber Data.............................................................................. 54
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 55
E. Teknik Pengambilan Sampel .................................................... 57
F. Validitas Data ........................................................................... 58
G. Analisis Data ............................................................................ 59
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 62
A. Gambaran Umum Bp3 Jawa Tengah ....................................... 62
B. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di
Jawa Tengah ............................................................................. 78
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja ......... 124
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 133
D. Kesimpulan .............................................................................. 133
E. Saran ........................................................................................ 135
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRAK
Rehela Ravita Sari, D0106088, “Kinerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa Tengah.” Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 138 halaman.
Perlindungan terhadap candi-candi di Jawa Tengah yang kaya akan nilai penting bertujuan untuk mencegah dan menghindarkannya dari kerusakan oleh faktor alam maupun manusia. BP3 Jawa Tengah adalah organisasi pemerintah yang bertugas melaksanakan perlindungan terhadap candi-candi yang berada di Jawa Tengah.
Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah, serta mengetahui faktor yang mendukung dan faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif yang, menggunakan data primer yang didapat melalui wawancara dan observasi, serta data sekunder berupa buku, peraturan perundangan, data statistik, dan laporan kegiatan. Validitas data diuji menggunakan teknik triangulasi data. Teknik analisis data menggunakan model interaktif yang mencakup reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Secara umum kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi adalah baik.
Dari segi produktivitas, kegiatan perlindungan dilakukan dengan penuh pertimbangan, fleksibel, berdasarkan skala prioritas walaupun masih terkesan kurang memperhatikan candi di lokasi terpencil. Dari segi responsivitas, BP3 Jawa Tengah menerima dengan baik aspirasi masyarakat yang disampaikan lewat website dan pameran, tetapi kurang menanggapi keluhan dari satpam dan juru pelihara candi. Dari segi akuntabilitas, BP3 Jawa Tengah telah membuat LAKIP dan laporan realisasi anggaran. Faktor yang mendukung kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi adalah kepedulian masyarakat sekitar candi serta LSM di bidang budaya. Sedangkan faktor penghambatnya adalah keterbatasan dana, wilayah kerja yang luas, partisipasi minim dari pemerintah kabupaten/kota, dan ancaman kolektor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang sangat kaya, tidak hanya kaya akan sumber
daya alam saja, tetapi juga kaya akan sumber daya budaya baik yang bersifat
tangible maupun yang intangible. Dalam www.wikipedia.org disebutkan
bahwa bangsa Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat panjang dari
zaman prasejarah hingga zaman sejarah. Zaman prasejarah dimulai sekitar 1,7
juta tahun yang lalu berdasarkan penemuan “manusia Jawa”. Sedangkan
periode sejarah dapat dibagi menjadi lima era yaitu era Pra-Kolonial, era
Kolonial, era Kemerdekaan Awal, era Orde Baru, dan era Reformasi.
Selama kurun waktu tersebut tentunya banyak ditinggalkan jejak-jejak
peradaban baik yang bersifat benda maupun tak benda. Dari situ kita dapat
memperoleh gambaran tentang bagaimana kehidupan masa lalu, diantaranya
tentang teknologi, seni, kepercayaan, kondisi pemerintahan, mata pencaharian
masyarakat pada waktu tersebut. Peninggalan berupa tak benda contohnya
adalah tari-tarian, upacara adat, bahasa. Sedangkan peninggalan berupa benda
diantaranya adalah fosil manusia purba, kapak batu, candi, keraton, benteng,
stasiun kereta api.
Dalam pasal 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar
Budaya, terkandung pengertian bahwa benda peninggalan sejarah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
purbakala yang memiliki nilai penting bagi pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan digolongkan sebagai benda cagar budaya
(BCB).
BCB memiliki nilai penting yang dapat dikelompokkan menjadi empat
macam yaitu:
1. Nilai Penting Informatif/Ilmu Pengetahuan
BCB dikatakan memiliki nilai penting ilmu pengetahuan karena tiga hal.
Pertama, BCB merupakan data untuk merekonstruksi aspek-aspek
kebudayaan masyarakat masa lampau yang antara lain tentang ideologi,
ekonomi, sosial, teknologi, seni. Kedua, BCB merupakan sumber inspirasi
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Ketiga, BCB
dapat menjadi wahana pendidikan.
2. Nilai Penting Asosiatif
BCB dapat dikatakan mempunyai nilai penting asosiatif karena tiga hal.
Pertama, BCB merupakan mata rantai pemahaman terhadap sejarah dan
jatidiri bangsa. Kedua, BCB adalah legitimation of action, yang artinya
adalah dasar legitimasi untuk suatu tujuan yang terkait dengan kesatuan
etnis, wilayah, kekerabtan. Ketiga, BCB dapat berguna untuk mewujudkan
social solidarity and integration atau solidaritas sosial dan integritas
masyarakat.
3. Nilai Penting Estetika
BCB memiliki nilai penting estetika karena dua hal. Pertama, BCB
merupakan wujud dan bukti hasil pencapaian cita rasa seni yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, BCB menjadi sumber
inspirasi pengembangan hasil seni pada masa sekarang.
4. Nilai Penting Ekonomi
BCB memiliki nilai penting ekonomi karena dua hal. Pertama, BCB dapat
dikembangkan dan dikelola sebagai aset budaya dan pariwisata yang
bernilai ekonomi. Kedua, BCB merupakan kekayaan budaya daerah yang
potensial untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Salah satu jenis BCB yang memiliki nilai penting bagi pengembangan
sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan adalah candi. Dari candi kita
dapat belajar banyak hal, misalnya tentang teknik pembuatan, arsitektur, seni
manik-manik atau perhiasan yang terdapat pada arca, nilai-nilai luhur, cerita
dari relief candi, filosofi dari bangunan candi. J. A. Sonjaya dalam sebuah
artikel yang berjudul ‘candi untuk masa depan’ menuliskan bahwa dari candi
kita dapat belajar banyak hal, salah satunya tentang konsep pluralisme dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Artikel tersebut menjelaskan tentang konsep pluralisme masa lampau
yang dapat dilihat pada kompleks candi Prambanan yang bercorak Hindu dan
kompleks candi Sewu yang bercorak Budha. Kedua candi ini berbeda
ideologi namun berada di lokasi yang sama dan saling berdampingan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa leluhur kita sudah jauh lebih dahulu mengenal
konsep pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika, dimana mereka tetap bersatu
dalam jalinan sosial-kenegaraan walaupun berbeda keyakinan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Selain memiliki nilai penting seperti dijelaskan di atas, candi juga dapat
membangkitkan rasa kebanggaan nasional, contohnya adalah candi
Borobudur. Candi Borobudur merupakan monumen Budha terbesar di dunia
yang terdiri dari sepuluh tingkat. Candi ini sangat megah, dimana dalam
Rusdi (2010:42-43) disebutkan bahwa Borobudur memiliki luas bangunan
15.129 m2, memiliki relief yang merupakan rangkaian cerita yang tersusun
dalam 1.460 panel. Apabila dijumlahkan, panjang relief itu dapat mencapai
3km. Selain itu, Borobudur juga memiliki 504 buah arca. Candi Borobudur
memang merupakan hasil karya masa lalu, tetapi kemegahannya tidak kalah
oleh bangunan-bangunan masa kini sehingga sampai sekarang masih tetap
menjadi kebanggaan bangsa Indonesia serta umat Budha di seluruh dunia.
Salah satu daerah di Indonesia yang banyak memiliki candi adalah Jawa
Tengah. Sampai sekarang ini setidaknya telah ditemukan 64 candi di Jawa
Tengah (lihat lampiran). Sayangnya, candi-candi yang menyimpan banyak
nilai penting itu keberadaannya tidak lepas dari ancaman kerusakan, baik
yang ditimbulkan oleh alam maupun yang ditimbulkan oleh manusia.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor alam antara lain ketuaan,
pelapukan, bencana alam seperti gunung meletus, lahar dingin, tanah longsor,
gempa, dan tsunami. Contohnya adalah gempa bumi yang terjadi di
Yogyakarta pada tahun 2006 lalu yang mengakibatkan candi-candi terutama
di daerah Prambanan seperti candi Sewu, Plaosan, Sojiwan dan lainnya
mengalami kerusakan cukup parah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Sedangkan ancaman kerusakan BCB yang diakibatkan oleh faktor manusia
adalah pencurian, pemalsuan, pembangunan yang tidak memperhatikan
keberadaan BCB, dan kelalaian dalam pemeliharaan BCB. Candi di Jawa
Tengah dapat dikatakan sering mengalami pencurian arca, kala, relief, serta
beberapa bagian candi lainnya. Kasus pencurian yang menimpa candi-candi
di Jawa Tengah selama tahun 1990-2009 dapat dilihat pada tabel I.1 di bawah
ini:
Tabel I.1
Kasus Perusakan Candi-Candi di Jawa Tengah Tahun 1990-2009
No Tanggal Nama Benda Jmlh Lokasi Koordinasi 1. 15-01-1990 Arca Batu 1 Candi Selogriyo Polres Magelang 2. 02-02-1990 Relief Kala 1 Candi Ngawen Polres Magelang 3. 08-02-1990 Arca Naga 1 Candi Pengilon Polres Kendal 4. 12-04-1990 - Batu Candi
- Kemuncak 2
Candi Gondosuli Polres Temanggung
5. 04-05-1990 Arca Ganesha 1 Candi Umbul Polres Magelang 6. 07-05-1990 Arca Makara 2 Candi Gedong
Songo Polres Salatiga
7. 14-06-1990 Arca Kudhu 1 Candi Bima Polres Banjarnegara 8. 28-06-1990 Arca Kudhu 1 Candi Bima Polres Banjarnegara 9. 11-07-1990 Yoni 1 Candi Gumeng Polres Magelang 10. 13-07-1990 Makara 1 Candi Gedong
Songo Polres Salatiga
11. 13-08-1990 Arca Kala 1 Candi Gedong Songo
Polres Salatiga
12. 04-10-1990 Arca Budha 1 Candi Mendut Polres Magelang 13. 03-11-1990 Arca 1 Candi Ceto Polres Karanganyar 14. 04-12-1990 Arca Nyai Gumuk 1 Candi Ceto Polres Karanganyar 15. 15-12-1990 Arca Batu 1 Candi Pringapus Polres Temanggung 16. 17-12-1990 - Arca Kepala
Manusia - Arca Berbentuk
Setengah
4
Candi Ceto Polres Karanganyar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Manusia - Arca Berbentuk
Kemaluan - Arca Berbentuk
Manusia Berdiri 17. 18-12-1990 - Arca Eyang Agni
- Arca Sabdopalon - Arca Porno
3 Candi Ceto Polres Karanganyar
18. 20-12-1990 Arca Ganeca 1 Candi Umbul Polres Magelang 19. 27-12-1990 Relief Candi
Lumbung 1 Candi Lumbung Polres Magelang
20. 01-05-1991 Arca Manusia Duduk Bersila
1 Candi Ceto Polres Karanganyar
21. 20-03-1993 - Kala - Batu Relief
(gambar Kepala Ular)
2
Candi Dukuh Polres Semarang
22. 26-07-1994 Batu Antefik 2 Candi Gedong Songo
Polsek Ambarawa
23. 24-01-2000 Relief Arca 1 Candi Plaosan Lor
Polsek Prambanan
24. 25-02-2000 Relief Arca 1 Candi Plosan Lor
Polsek Prambanan
25. 12-06-2000 Arca Kudu 1 Candi Bima Polsek Banjarnegara 26. Juli 2000 Arca Brahmana 1 Candi Parikesit Polres Wonosobo 27. 30-08-2003 Arca Kudu 1 Candi Bima Polsek Batur 28. 21-02-2007 Kala Pipi Tangga 1 Candi Plaosan
Lor Polsek Prambanan
29. 23-11-2009 - Kepala Arca Dhyani Bodhisatva
- Kepala Arca Dhyani Buddha
2
Candi Plaosan Lor
Polsek Prambanan
30. - Antefik 4 Candi Losari Polsek Salam 31. 06-12-2009 Kepala Arca
Buddha 1 Candi Plaosan
Lor Polres Klaten
Sumber:BP3 Jawa Tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Dari tabel I.1 di atas dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 1990-2009
telah terjadi 31 kasus pencurian terhadap bagian-bagian candi. Bila diamati
lebih lanjut, pencurian paling marak terjadi pada tahun 1990 yaitu sebanyak
19 kasus. Kemudian turun drastis pada tahun 1991 sampai beberapa tahun
sesudahnya dimana kasus pencurian tiap tahunnya paling banyak adalah satu
kasus. Hal tersebut mungkin ada kaitannya dengan dikeluarkannya Undang-
Undang tentang BCB pada tahun 1992. Namun, pada tahun 2000 pencurian
kembali meningkat, yakni sebanyak empat kasus. Hal itu mungkin
dikarenakan stabilitas nasional yang sedang terganggu karena jatuhnya rezim
orde baru dan digantikan oleh era reformasi.
Angka pencurian tersebut di atas memang terlihat kecil, akan tetapi bila
tiap tahun terus terjadi maka dihawatirkan kelestarian candi akan terancam
dan nilai pentingnya dapat berkurang bahkan hilang. Hal tersebut mengingat
benda yang dicuri merupakan benda yang sangat terbatas jumlahnya, bernilai,
langka dan tidak dapat diperbarui lagi karena memiliki nilai arkeologis
tersendiri. Dihawatirkan, generasi yang akan datang tidak akan dapat
mengambil nilai penting dari candi. Salah satu dampaknya adalah kesadaran
jati diri bangsa akan memudar sehingga mereka akan menjadi generasi yang
tidak menghargai bangsanya sendiri.
Apalagi sekarang ini arus globalisasi semakin kuat dan teknologi
komunikasi semakin maju, dimana dalam kondisi tersebut interaksi budaya
antar bangsa menjadi tak terkendali. Bangsa Indonesia yang dulunya dikenal
sebagai bangsa yang ramah tamah, suka gotong royong, saling menghormati,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
akan berubah menjadi bangsa yang individualis, penuh kebebasan, suka
kekerasan, mudah tercerai berai, dan tidak peduli terhadap sesama. Karena
hal itulah maka upaya perlindungan terhadap candi sangat penting untuk
dilakukan.
Disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya, bahwa semua BCB, termasuk candi
didalamnya, dikuasai oleh Negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa
pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggungjawab
terhadap upaya pelestarian BCB, yang terdiri dari kegiatan perlindungan,
pemugaran, pemeliharaan, inventarisasi dan dokumentasi BCB.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3), BP3 Jawa Tengah merupakan Unit Pelayanan
Teknis (UPT) yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, bertugas menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja
Provinsi Jawa Tengah. BP3 Jawa Tengah adalah organisasi yang bertugas
melestarian BCB dan situs di Jawa Tengah. Kegiatan pelestarian itu salah
satunya adalah kegiatan perlindungan terhadap candi-candi di Jawa Tengah.
Keutuhan candi-candi di Jawa Tengah akan sangat ditentukan oleh sejauh
mana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan upaya perlindungan
terhadap candi-candi tersebut. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi
penelitian dengan judul “kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan
candi-candi di Jawa Tengah” ini dilakukan. Karena pencapaian kinerja juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
dipengaruhi faktor-faktor baik yang berasal dari dalam maupun dari luar
organisasi, maka penelitian ini juga akan mengidentifikasi faktor-faktor
tersebut.
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran tentang sejauh mana hasil yang telah dicapai, mengungkap apa saja
masalah yang terjadi dalam upaya perlindungan candi-candi di Jawa Tengah,
faktor apa saja yang mendukung dan faktor apa yang menghambat kinerja
BP3 Jawa Tengah tersebut. Dengan begitu, akan dapat ditentukan langkah
penanganan yang tepat untuk mengatasi hambatan yang ada serta upaya
peningkatan kinerja dapat lebih terarah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka
dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di
Jawa Tengah?
2. Apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor yang menghambat
kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi
candi-candi di Jawa Tengah.
2. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mendukung serta apa saja faktor
yang menghamabat kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-
candi di Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
D. Manfaat
1. Teoritis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan untuk para pembaca khususnya dan masyarakat pada
umumnya terkait kinerja BP3 Jawa Tengah dalam melindungi candi-candi
di Jawa Tengah serta faktor pendorong maupun faktor penghambatnya.
2. Praktis, yaitu dapat memberikan masukan pada BP3 Jateng agar dapat
meningkatkan kinerjanya dalam hal perlindungan candi-candi di Jawa
Tengah pada waktu yang akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kinerja
Berikut ini akan dijelaskan beberapa konsep terkait kinerja, yaitu
pengertian kinerja, penilaian dan indikator kinerja, serta faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja.
1. Pengertian Kinerja
Kinerja berasal dari kata “to performance” dan menurut The Scibner
Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan Kanada tahun
1979 dalam Widodo (2008: 77-78), kinerja diartikan sebagai berikut :
a. To do or carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan).
b. To discharge or fulfill; as a vow (memenuhi atau menjalankan
kewajiban atau nadzar).
c. To execute or complete an undertaking (melaksanakan atau
menyempurnakan tanggung jawab).
d. To do what is expected of a person or machine (melakukan sesuatu
yang diharapkan oleh seseorang atau mesin).
Hampir sama dengan pengertian di atas, dalam kamus Illustrated
Oxford Dictionary (1998:606) dalam Keban (2004:191-192), performance
diistilahkan sebagai “the execution or fulfillment of a duty” (pelaksanaan
atau pencapaian dari suatu tugas).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Bernadin dan Russel (1993:378) dalam Ruky (2002:15) juga
memberikan definisi tentang performance sebagai berikut:
“performance is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”.
Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih
sebagai berikut:
“kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu”. Teresa Curristene (2005:129) juga memberikan definisi tentang kinerja
seperti di bawah ini:
“Performance means the yield or result of activities carried out in relation to the purpose being pursued. Its objective is to strengthen the degree to which government achieve their purposes” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka artinya kurang
lebih seperti di bawah ini:
“Kinerja berarti hasil atau hasil dari kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan tujuan yang dikejar. Tujuannya adalah untuk memperkuat sejauh mana pemerintah mencapai tujuan-tujuan mereka” Sementara menurut Surat Keputusan Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia NOMOR: 239/IX/6/8/2003 Tentang Perbaikan
Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah halaman 10, kinerja instansi pemerintah didefinisikan sebagai
gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi
pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strateji instansi
pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang
ditetapkan.
Dari berbagai macam pengertian kinerja yang telah disampaikan di atas,
dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh
sebuah organisasi dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mencapai
tujuan organisasi.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Baik atau buruknya kinerja sebuah organisasi tentunya tidak lepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Widodo (2001:79) berpendapat
bahwa kinerja lembaga (organisasi) salah satunya ditentukan oleh kinerja
sekelompok orang sebagai pelaku organisasi. Sebaliknya, kinerja
sekelompok orang sebagai pelaku organisasi ditentukan oleh struktur,
peralatan, dan keuangan yang dimiliki oleh organisasi.
Hal ini menunjukkan bahwa antara sumber daya manusia (SDM)
dengan organisasi saling berkaitan dan berpengaruh dalam hal pencapaian
kinerja. Apabila kinerja karyawan (SDM) sebagai pelaku organisasi baik,
tetapi tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai,
maka dimungkinkan tujuan organisasi tidak tercapai dengan baik dan
artinya kinerja organisasi tersebut buruk.
Hampir sama dengan yang disampaikan oleh Widodo di atas, Soesilo
(2000:22-12-22-13) dalam Tangkilisan (2007:180-181) mengemukakan
bahwa kinerja suatu organisasi birokrasi di masa depan dipengaruhi oleh
faktor-faktor berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
a. Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan
fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi.
b. Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi organisasi.
c. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas karyawan untuk
bekerja dan berkarya secara optimal.
d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan
database untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja.
e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan
penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap
aktivitas organisasi.
Atmosoeprapto (2001:11-19) dalam Tangkilisan (2007:181-182)
menyampaikan pendapat yang sedikit berbeda dengan pendapat-pendapat
di atas. Beliau membedakan faktor-faktor yang memengaruhi kinerja
organisasi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam organisasi itu
sendiri, yang terdiri dari:
a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin
diproduksi oleh suatu organisasi.
b. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan
dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada.
c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota
organisasi sebagai penggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola
kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.
Faktor ekstenal merupakan faktor yang berasal dari luar organisasi,
yang terdiri dari:
a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan
kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban,
yang akan memengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara
maksimal.
b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang
berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli
untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem
ekonomi yang lebih besar.
c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah
masyarakat, yang memengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja
yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja organisasi dapat berasal dari dalam organisasi itu
sendiri (internal) maupun dari luar organisasi tersebut (eksternal). Yang
termasuk faktor internal antara lain adalah: struktur organisasi, tujuan
organisasi, sumber daya manusia, sistem informasi manajemen, sarana
prasarana, keuangan (dana), budaya organisasi. Sedangkan yang
atermasuk faktor eksternal antara lain adalah: faktor ekonomi, faktor
politik, dam faktor sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3. Penilaian Kinerja dan Indikator
Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita harus mengetahui
apa yang dimaksud dengan penilaian kinerja serta apa yang dimaksud
dengan indikator kinerja itu.
Larry D. Stout dalam Bastian (2001) dalam Tangkilisan (2007:174)
mengemukakan bahwa pengukuran/penilaian kinerja organisasi
merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan
kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui
hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses.
Sedangkan Widodo (2008:95) berpendapat bahwa pengukuran kinerja
merupakan aktivitas menilai pencapaian hasil kerja yang dicapai oleh
organisasi, dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan indikator kinerja
yang telah ditetapkan.
Dari dua pendapat diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
penilaian kinerja organisasi merupakan kegiatan menilai pencapaian hasil
kerja suatu organisasi yang berupa produk, jasa ataupun proses,
berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan.
Mahmudi (2005:12) berpendapat tentang manfaat dari penilaian kinerja,
bahwa pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan
organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi
itu akan digunakan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Selain sebagai alat untuk menilai kesuksesan organisasi, penilaian
kinerja memiliki manfaat lain sebagaimana diungkapkan oleh Bastian
dalam Tangkilisan (2007:174) seperti di bawah ini:
a. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi
b. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan
c. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan
dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi
Manfaat dari dilakukannya penilain kinerja adalah kita dapat
mengetahui bagaimana kinerja sebuah organisasi. Manfaat dari
mengetahui bagaimana kinerja suatu organisasi pemerintah adalah
sebagaimana disampaikan oleh Teresa Curristine (2005:129) di bawah ini:
“Performance information is important for governments in assessing and improving policies: (1) in managerial analysis, direction and control of public services; (2) in budgetary analysis; (3) in parliamentary oversight of the executive; (4) for public accountability - the general duty on governments to disclose and take responsibility for their decision” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya seperti
di bawah ini:
“Informasi/keterangan mengenai kinerja penting bagi pemerintah dalam menilai dan memperbaiki kebijakan: (1) di bidang analisis pengelolaan, petunjuk dan kontrol pelayanan publik; (2) dalam analisis anggaran; (3) dalam pengawasan parlemen terhadap eksekutif; (4) untuk akuntabilitas publik-tugas umum pemerintah untuk memperlihatkan dan bertanggungjawab atas keputusan mereka” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dengan melakukan
penilaian terhadap kinerja, akan dapat ditentukan secara tepat langkah apa
yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Dalam melakukan penilaian terhadap kinerja tentunya berdasarkan pada
indikator-indikator tertentu. Indikator kinerja menurut Bastian (2001:33)
dalam Tangkilisan (2007:175) adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif
yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator berikut ini:
a. Indikator masukan (inputs)
Merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan agar organisasi mampu
menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi
sumberdaya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.
b. Indikator keluaran (outputs)
Merupakan sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu
kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik.
c. Indikator hasil (outcomes)
Merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran
kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
d. Indikator manfaat (benefit)
Merupakan sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan
kegiatan.
e. Indikator dampak (impacts)
Merupakan pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif,
pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah
ditetapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Berbeda dengan pendapat di atas, Levine dkk. (1990) dalam Dwiyanto
(1995) dalam Tangkilisan (2007:170-171) berpendapat bahwa ada tiga
konsep yang dapat dijadikan acuan untuk mengukur kinerja organisasi
publik, yaitu:
a. Responsivitas (responsivveness)
Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan
pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan
masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik,
maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik.
b. Responsibilitas (responsibility)
Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan
organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prnsip yang
implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan
serta kebijaksanaan organisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin
baik.
c. Akuntabilitas (accountability)
Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat politik
dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih
oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik
apabila seluruhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya
memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik, maka
kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.
Sedangkan Dwiyanto dkk. (2002:48-49) dalam Tangkilisan (2007:176-
178) mengemukakan empat macam ukuran dari tingkat kinerja suatu
organisasi publik yang sedikit berbeda dengan pendapat Levinne di atas,
yakni seperti di bawah ini:
a. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tungkat efisiensi, tetapi
juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami
sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas kemudian
dirasa terlalu sempit dan General Accounting Office (GAO) mencoba
mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan
memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang
diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
b. Orientasi Layanan Kepada Pelanggan
Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik
muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan
yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja
organisasi publik.
c. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini
menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan
sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan
ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal
tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan
misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki
responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek
pula.
d. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang telah
dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik
tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu
merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep
akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak
masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat
dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
pemerintah seperti penerapan target. Kinerja sebaiknya harus dinilai
dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki
akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai
dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Salim dan Woodward (1992) dalam Ratminto (2007:174) berpendapat
bahwa indikator untuk menilai kinerja adalah sebagai berikut:
a. Economy atau ekonomis, adalah penggunaan sumber daya yang
sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.
b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan
tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam
suatu penyelenggaraan pelayanan publik.
c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang
maupun misi organisasi.
d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan
dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.
Ratminto dan Atik (2005:174) berpendapat bahwa indikator-indikator
kinerja sangat bervariasi. Akan tetapi, dari sekian banyak indikator
tersebut, kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu indikator
kinerja yang berorientasi pada proses dan indikator kinerja yang
berorientasi pada hasil. Pengelompokan indikator berdasarkan dua sudut
pandang di atas dapat dilihat dalam tabel II.1 di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Tabel II.1
Perbandingan Indikator Pelayanan Publik
Pakar Indikator
Berorientasi hasil Berorientasi proses McDonald & Lawton (1997):
· Efficiency · Effectiveness
Salim & Woodward (1992):
· Economy · Eficiency · Effectiveness · Equity
Levine (1990): · Responsivitas · Responsibilitas · Akuntabilitas
Zeithaml, Pasuraman & Berry (1990):
· Tangibles · Reliability · Responsiveness · Assurance · Empathy
Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Standar Pelayanan Publik
· Waktu peyelesaian · Biaya pelayanan · Produk pelayanan
· Prosedur pelayanan · Sarana dan prasarana · Kompetensi petugas pemberi
layanan Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Asas Pelayanan Publik
· Transparansi · Akuntabilitas · Kondisional · Partisipatif · Kesamaan hak · Keseimbangan hak dan
kewajiban Keputusan MENPAN Nomor 63/2004: Prinsip Pelayanan Publik
· Ketepatan waktu · Akurasi
· Kesederhanaan · Kejelasan · Keamanan · Keterbukaan · Tanggung jawab · Kelengkapan sarana dan
prasarana · Kenyamanan · Kedisiplinan · Kesopanan dan keramahan · Kemudahan akses
Gibson, Ivancevich & Donnely (1990)
· Kepuasan · Efisiensi
· Perkembangan · Keadaptasian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
· Produksi · Kelangsungan hidup Sumber: Ratminto dan Atik (2007:178-179)
Behn (2003), Hatry (1999), Halachmi (2002a), Halachmi (2002b)
dalam Marc Holzer dan Kathryn Kloby (2005:1-2) menyebutkan bahwa
terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian kinerja, yaitu
seperti di bawah ini:
“Two approaches to measuring and improving government performance are evident in the literature. First, there are those that emphasize the purpose, techniques and utility of performance measurement as a tool for increasing productivity. ... The second approach to measuring performance is addressed by a body of literature providing the argument that citizen inclusion in measuring the performance of government adds value to process and better informs policy decision” Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah seperti di
bawah ini:
“Dua pendekatan untuk mengukur dan meningkatkan kinerja pemerintah adalah jelas dalam literatur. Pertama, ada yang menekankan tujuan, teknik dan kegunaan pengukuran kinerja sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas. ... Pendekatan kedua untuk mengukur kinerja ditujukan oleh badan literatur memberikan argumen bahwa warga inklusi dalam mengukur kinerja pemerintah menambah nilai proses dan lebih baik menginformasikan keputusan kebijakan” Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai kinerja. Pertama,
pendekatan dari sisi hasil yaitu menilai kinerja dengan menggunakan
indikator yang berorientasi pada hasil seperti efektivitas, produktivitas,
efisiensi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan dari sisi proses yaitu menilai
kinerja dengan menggunakan indikator yang berorientasi pada proses
seperti responsivitas, akuntabilitas, responsibilitas, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa indikator yang dipakai
untuk menilai kinerja cukup banyak. Akan tetapi dari sekian banyak
indikator tersebut tidak semuanya cocok apabila digunakan untuk
melakukan penilaian kinerja. Hal tersebut dikarenakan setiap organisasi
mempunyai tujuan, bidang kerja, jenis pelayanan (langsung dan tidak
langsung), dan kegiatan yang berbeda.
Dalam penelitian ini penulis ingin menilai kinerja dari dua segi, yaitu
dari segi hasil dan dari segi proses. Dari segi hasil, indikator yang dipilih
adalah produktivitas. Sedangkan dari segi proses, indikator yang dipilih
adalah responsivitas dan akuntabilitas.
B. Perlindungan
Karena candi merupakan BCB, maka perlindungan yang diterapkan sesuai
atau mengacu pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
No.PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No:063/U/1995 tentang
Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya, perlindungan
didefinisikan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau
akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat
menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan
benda cagar budaya dengan cara penyelamatan, pengamanan, dan penertiban.
Atmosudiro (2004:12) berpendapat bahwa perlindungan BCB dan situs
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu perlindungan hukum serta
perlindungan fisik. Perlindungan secara hukum dimaksudkan agar setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
tindakan mempunyai landasan yang legal hingga dapat
dipertanggungjawabkan dan dikontrol. Sedangkan perlindungan secara fisik
diterapkan baik pada BCB maupun pada lingkungan sekitar BCB.
Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
No.PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang pedoman pelestarian BCB dan situs,
kegiatan dalam rangka perlindungan BCB dan situs diatur dalam pasal 23-25.
Kegiatan tersebut adalah:
1. Perizinan
Perizinan berasal dari kata izin yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007:447) adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang);
persetujuan; membolehkan. Perizinan BCB dapat diartikan sebagai
tindakan mengabulkan atau tidak mengabulkan segala kegiatan yang
berkaitan dengan BCB dan situs.
Perizinan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata No: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian
Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 23-38.
a. Lingkup perizinan BCB dan situs
Lingkup perizinan BCB dijelaskan pada pasal 23 ayat (1) dimana
perizinan tersebut meliputi tiga hal. Pertama: izin membawa BCB ke
luar wilayah Republik Indonesia. Kedua, izin membawa BCB antar
daerah. Ketiga, izin pemanfaatan BCB untuk kepentingan agama,
sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan atau kebudayaan.
Selanjutnya pada ayat (2) menjelaskan bahwa jenis BCB yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
dimaksud di atas meliputi BCB milik Negara maupun perorangan, BCB
buatan manusia maupun buatan alam, BCB bergerak maupun tida
bergerak.
b. Izin membawa BCB
Izin membawa BCB diatur dalam pasal 27 ayat (1) dan ayat (2). Pada
ayat (1), disebutkan bahwa perizinan pembawaan BCB antar daerah
hanya terhadap BCB bergerak dan hanya berlaku untuk tujuan
berpindah tetap (selamanya) karena kepentingan mengikuti pemilik,
beralihnya pemilikan, perlindungan dan pelestarian, pertukaran
informasi keagamaan dan kebudayan (adat). Pada ayat (2) dijelaskan
lebih lanjut bahwa permohonan izin pembawaan BCB antar daerah
dianggap pendaftaran BCB.
c. Izin memanfaatkan BCB
Izin memanfaatkan BCB diatur dalam pasal 33 serta pasal 34 ayat (1)
dan (2). Dalam pasal 33 dijelaskan bahwa fungsi pemanfaatan BCB
untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidkan, ilmu
pengetahuan dan/atau kebudayaan meliputi pendayagunaan menurut
jenis kebendaan atas benda cagar budaya, bergerak dan tidak bergerak.
Pada pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa pendayagunaan BCB bergerak
dapat berfungsi sebagai sarana pameran, penelitian, pengembangan
IPTEK, serta perkenalan informasi keagamaan dan kebudayaan
(kesenian dan adat istiadat). Sedangkan pada pasal 34 ayat (2)
disebutkan bahwa pendayagunaan BCB tidak bergerak termasuk situs
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
dapat berfungsi sebagai sarana upacara keagamaan, acara pertunjukan,
kegiatan sosial/kemasyarakatan, kunjungan wisatawan, kegiatan
pendidikan, penelitian/survei, serta pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
2. Penyelamatan
Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor:
PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar
Budaya dan Situs, penyelamatan diartikan sebagai upaya darurat ataupun
terencana untuk melindungi benda cagar budaya dan situs dari ancaman
kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan.
Penyelamatan BCB diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata No: PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian
Benda Cagar Budaya dan Situs pasal 39-47. Kegiatan yang dilakukan
dalam rangka penyelamatan BCB adalah sebagai berikut:
a. Ekskavasi
Pengertian ekskavasi terdapat pada pasal 39 ayat (3) yaitu kegiatan
penggalian yang mengguanakan metode dan teknik arkeologis
sebagaimana kegiatan ekskavasi yang dilakukan dalam kegiatan
ekskavasi arkeologi pada umumnya. Dalam pasal 39 ayat (1) dijelaskan
tentang tujuan ekskavasi penyelamatan, yaitu untuk menghimpun data
secara vertikal yang berhubungan dengan BCB dan/atau situs yang
terancam kelestariannya baik akibat ulah manusia maupun yang
disebabkan oleh aktivitas lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
ayat (2) dijelaskan lebih lanjut lagi bahwa hasil dari kegiatan ekskavasi
dijadikan dasar untuk menentukan langkah kebijakan lebih lanjut dalam
upaya penyelamatan dan pelestariannya.
b. Studi Analisis Dampak Lingkungan
Menurut pasal 41 ayat (1), kegiatan studi analisis mengenai dampak
lingkungan ditujukan khusus terhadap BCB dan/atau situs yang terkena
rencana pembangunan (renbang). Hal ini sangat penting artinya dan
sangat diperlukan bagi proses penentuan keputusan/kebijakan untuk
suatu usaha atau kegiatan, sehingga keamanan dan kelestarian BCB
dan/atau situs dapat terus terjamin sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
c. Pemberian Hadiah
Menurut pasal 43 ayat (1), kegiatan pemberian hadiah temuan
merupakan salah satu upaya penyelamatan BCB dengan cara
memberikan hadiah/imbalan kepada penemu/pemilik BCB serta
pemberian ganti rugi/pembebasan tanah kepada pemilik atau yang
menguasai lahan situs. Ada empat hal yang perlu diketahui terkait
kegiatan pemberian hadiah ini. Pertama, pada ayat (2) dijelaskan bahwa
hadiah temuan atau imbalan jasa serta ganti rugi pembebasan tanah
lahan situs yang diberikan dapat berupa sejumlah uang atau sertifikat
penghargaan. Kedua, pada ayat (3) dijelaskan bahwa terhadap BCB
yang telah diberi hadiah temuan/imbalan jasa kepada penemu, menjadi
milik negara dan ditempatan di museum. Ketiga, pada ayat (4)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dijelaskan juga bahwa terhadap lahan yang telah diganti rugi atau
tanahnya telah dibebaskan ditetapkan sebagai situs yang dikuasai oleh
negara.
d. Pemindahan BCB
Menurut pasal 44 ayat (1), pemindahan BCB merupakan salah satu
upaya penyelamatan terhadap BCB yang mengalami ancaman atau
diduga akan mengalami kerusakan atau kemusnahan akibat ulah
manusia atau yang diakibatkan oleh aktifitas lingkungan alam atau
sekitarnya.
e. Pemintakatan
Pemintakatan menurut pasal 46 ayat (1) adalah salah satu upaya
perlindungan terhadap BCB dan/atau situs dengan cara menetapkan
lahan peruntukan terhadap situs, yang terdiri atas mintakat inti,
mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan. Peruntukan masing-
masing mintakat dijelaskan dalam ayat (2) seperti dibawah ini:
1) Mintakat inti, adalah lahan yang merupakan batas asli situs, lahan
yang mengandung potensi BCB. Penentuan batas untuk mintakat inti
didasarkan pada tiga hal. Pertama, batas asli yaitu batas asli
keberadaan BCB. Kedua, batas geotopografis yaitu batas-batas yang
mengikuti bentangan alam misalnya lereng, sungai, lembah, dan
sebagainya. Ketiga, batas kelayakan pandang, yaitu batas dimana
pengunjung dapat mengapreasikan bentuk atau nilai BCB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
2) Mintakat Penyangga berfungsi sebagai penyangga (bumper) untuk
pengaman mintakat inti dari situs dan BCB. Idealnya, pada mintakat
penyangga ini lahan telah steril dari BCB. Untuk itu, dalam
penetapan mintakat penyangga ini perlu juga mempertimbangkan
potensi ancaman yang perlu dilakukan ekskavasi dalam bentuk test
pit. Selain itu, penetapan mintakat penyangga ini perlu juga
mempertimbangkan potensi ancaman yang dapat mengancam
kelestarian situs dan BCB.
3) Mintakat pengembangan, merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan
untuk berbagai kepentingan pengembangan pemanfaatan serta
sebagai lahan pembangunan fasilitas situs.
f. Studi Nominasi Warisan Budaya Dunia
Menurut pasal 47 ayat (1), kegiatan studi nominasi warisan buadaya
dunia merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap BCB dan/atau
situs yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri, dan dengan
jumlah yang sangat terbatas sehingga memiliki nilai yang bertaraf
internasional. Dalam pasal (2) dijelaskan bahwa kegiatan studi
nominasi dilakukan untuk menghimpun data-data penunjang guna
memenuhi kriteria dan persyaratan yang tercantum dalam standard
nominasi warisan budaya dunia yang ditetapkan oleh UNESCO.
3. Pengamanan
Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor:
PM.49/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Budaya dan Situs, pengamanan diartikan sebagai upaya perlindungan
benda cagar budaya dan situs dengan cara menjaga, mencegah, dan
menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia dan/atau
kondisi alam yang dapat merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar
budaya dan situs.
Pengamanan BCB diatur dalam pasal 48 ayat (1), yaitu pengamanan
dilakukan dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal
yang ditimbulkan karena perbuatan manusia, yang antara lain berupa
pencurian; pengerusakan dan pencemaran; penyelundupan keluar wilayah
Indonesia; penggalian dan penyelaman liar. Dalam pasal 49 disebutkan
bahwa permasalahan pengamanan dan penertiban BCB pada dasarnya
dapat dilihat pada dua masalah pokok, yaitu yang disebabkan oleh
perbuatan yang ditimbulkan manusia dan yang disebabkan oleh faktor
alam.
Langkah-langkah prosedur pengamanan sebagaimana dijelaskan dalam
pasal 51 meliputi kegiatan-kegiatan upaya pencegahan (preventif) maupun
upaya penanganan (represif), baik yang berupa data, sarana, prasarana,
koordinasi, maupun lainnya semuanya meliputi kegiatan pendataan
pengamanan, dengan cara menjaring informasi melalui laporan lisan
maupun tertulis.
Kegiatan pengamanan BCB meliputi:
a. Pengawasan dan Penertiban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Untuk BCB bergerak, dilakukan pengawasan lalu lintas keberadaan
BCB dimana menurut pasal 52 ayat (1), pengawasan lalu lintas
keberadaan BCB ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi peredaran
dan pemanfaatan BCB secara ilegal pada masyarakat. Sedangkan untuk
BCB tidak bergerak dan situs, langkah penertibannya seperti yang
dijelaskan dalam pasal 52 ayat (2), yakni berupa pengaturan
pemanfaatan BCB, situs, lingkungan, kawasan, dan pengembangannya
termasukdi dalamnya kegiatan pemintakatan (zooning), yaitu penentuan
batas BCB dan situs sesuai peruntukannya.
b. Pemasangan Poster atau Pamflet
Salah satu langkah pengamanan terhadap BCB adalah dengan
memasang poster/pamflet jenis BCB dimana menurut pasal 53
pemasangannya dilakukan di tempat-tempat strategis, sarana angkutan
tertentu, berisi himbauan, ajakan, larangan, dan sebagainya.
c. Pengamanan Lokasi BCB
Dalam pasal 54, pengamana lokasi BCB dilakukan melalui:
1) Sistem jaringan informasi pengamanan agar tidak terjadi pelanggaran
atau kejahatan, yaitu melalui kesadaran masyarakat (siskamtibmas
swakarsa)
2) Komunikasi untuk memudahkan hubungan antara para petugas
pelaksana di lapangan dengan pihak yang terkait atau yang
berwenang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
3) Pemasangan papan informasi pengamanan yang berupa informasi
tulisan untuk memberikan penerangan yang bersifat larangan, ajakan,
apresiasi, pesan, dan petunjuk pada lokasi atau situs.
4) Pengadaan pos jaga bagi petugas pengamanan yang berfungsi
sebagai tempat pemantauan lokasi situs.
5) Pemagaran sebagai pembatas lokasi situs
6) Pengadaan lampu penerangan untuk memantau lokasi situs pada
malam hari
7) Monitoring petugas pengamanan untuk memantau dan mengontrol
pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh petugas pengaman pada
lokasi situs baik pada malam hari maupun siang.
d. Peningkatan Koordinasi Pengamanan
Dalam pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa peningkatan koordinasi
pengamanan dengan instansi atau pihak yang terkait dilakukan melaui
kerja sama dalam pelaksanaan dan seminar-seminar dalam rangka
menyamakan persepsi dan tindak pengamanan terhadap BCB.
e. Penambahan Jumlah dan Kualitas Satuan Organisasi Pengaman
Menurut pasal 55 ayat (2), peningkatan jumlah dan kualitas satuan
organisasi pengaman berupa penambahan sumber daya manusia yang
berkualitas kesamaptaan Polri (PPNS dan Satpam) yang berfungsi
melakukan tugas di lapangan dan operasional untuk menghadapi kasus-
kasus pelanggaran dan kejahatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
f. Peningkatan pengaman
Pasal 55 menyebutkan bahwa pengaman BCB dan situs dapat melalui
peningkatan tindakan pengamanan dalam menangani kasus-kasus yang
telah terjadi, baik tindak pelanggaran maupun tindak kejahatan terhadap
kelestarian BCB, bekerja sama dengan pihak Polri dan pihak yang
berwenang dalam memutuskan perkara.
Perlindungan terhadap BCB pada dasarnya bertujuan untuk
melestarikannya agar tetap bisa dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan
Nasional Indonesia dan memperkuat jati diri bangsa. Perlindungan terhadap
BCB merupakan salah satu tugas pokok dari Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3).
Hal tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang Organisasi dan
Tatakerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, dimana Balai Peninggalan
Purbakala (BP3) mempunyai tugas melaksanakan pemeliharaan,
perlindungan, pemugaran, dokumentasi, bimbingan dan penyuluhan,
penyelidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak
maupun tidak bergerak serta situs, termasuk yang berada di lapangan maupun
tersimpan di ruangan.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan perlindungan memerlukan beragam
pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu, kegiatan perlindungan
juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait, bukan hanya oleh
pemerintah saja. Hal ini sebagaimana terdapat pada Charter For The
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Protection and Management Of The Archeological Heritage (1990) oleh
International Council on Monument and Sites (ICOMOS) sebagai berikut:
“The protection of this heritage cannot be based upon the application of archaeological techniques alone. It requires a wider basis of professional and scientific knowledge and skills. Some elements of the archaeological heritage are components of architectural structures and in such cases must be protected in accordance with the criteria for the protection of such structures laid down in the 1966 Venice Charter on the Conservation and Restoration of Monuments and Sites. Other elements of the archaeological heritage constitute part of the living traditions of indigenous peoples, and for such sites and monuments the participation of local cultural groups is essential for their protection and preservation. For these and other reasons the protection of the archaeological heritage must be based upon effective collaboration between professionals from many disciplines. It also requires the co-operation of government authorities, academic researchers, private or public enterprise, and the general public.” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih
adalah sebagai berikut:
“Perlindungan terhadap heritage tidak dapat didasarkan pada penerapan teknik arkeologi saja. Ini membutuhkan dasar dari profesional dan pengetahuan ilmiah serta keterampilan yang lebih luas. Beberapa elemen dari warisan arkeologi merupakan komponen dari struktur arsitektural dan dalam kasus-kasus seperti itu harus dilindungi sesuai dengan kriteria perlindungan struktur seperti diatur dalam Piagam Venesia tahun 1966 tentang Konservasi dan Restorasi Monumen dan Situs. Elemen lain dari warisan arkeologi merupakan bagian dari tradisi hidup penduduk asli, dan untuk situs dan monumen tersebut partisipasi kelompok budaya lokal penting untuk perlindungan dan pelestarian situs dan monumen tersebut. Untuk alasan ini dan alasan-alasan lainnya, perlindungan terhadap warisan arkeologi harus didasarkan pada kolaborasi efektif antara para profesional dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini juga memerlukan kerjasama dari pemerintah yang berkuasa, peneliti akademis, perusahaan pribadi atau publik, dan masyarakat umum. Dari apa yang dituliskan di atas dapat kita ketahui bahwa BCB yang
merupakan warisan arkeologi, perlindungan terhadapnya tidak dapat semata-
mata hanya berdasar pada kaidah ilmu arkeologi saja, tetapi juga memerlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
disiplin ilmu lain seperti teknik, arsitektur, geologi, dan sebagainya. Selain
itu, perlindungan hendaknya melibatkan berbagai pihak terkait seperti
masyarakat adat atau masyarakat lokal, pihak swasta, pemerintah, serta
masyarakat luas.
Jika pada ulasan di atas hanya melihat perlindungan dari aspek
perlindungan BCB saja, Eisuke Tanaka berpandangan lain seperti tertulis di
bawah ini:
“However, the idea of protection does not simply mean objects considered cultural property from destruction. The notion of protection is also used to denote protecting the owner’s right to control cultural property. What is often at stake in cultural property debates (e.g. disputes over repatriation) is where and by whom such objects should be protected, and who can decide where such objects are protected and displayed. This provokes rivalry between different claimants for the ownership of cultural property at international, national and local levels” Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
“Namun, gagasan perlindungan tidak hanya berarti menjaga benda dianggap harta budaya dari kehancuran. Gagasan perlindungan ini juga digunakan untuk menunjukkan melindungi hak pemilik untuk mengontrol kekayaan budaya. Apa yang sering dipertaruhkan dalam perdebatan properti budaya (sengketa misalnya lebih dari repatriasi) adalah dimana dan oleh siapa objek tersebut harus dilindungi, dan siapa yang bisa menentukan dimana benda tersebut dilindungi dan ditampilkan. Hal ini menimbulkan persaingan antara pengadu yang berbeda untuk kepemilikan budaya properti di tingkat internasional, nasional, dan lokal”
C. Candi
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dua hal. Pertama, sekilas tentang
candi yang mencakup pengertian candi, struktur bangunan, tujuan pembuatan,
dan langgam candi. Kedua, candi sebagai BCB yang mencakup pengertian
BCB, kewajiban terhadap BCB, dan larangan terhadap BCB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
1. Sekilas Tentang Candi
Indonesia pantas mendapat julukan ”Negeri Seribu Candi” karena
banyak candi yang bertebaran di Indonesia, yaitu dengan pusatnya di
Pulau Jawa (www.hurahura.wordpress.com). Definisi tentang candi
disampaikan oleh Soekmono (1996) dalam www.wikipedia.com yakni
sebagai berikut:
"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan." Rusdi (2010:18) menjelaskan bahwa kata ‘candi’ biasanya mengacu
pada berbagai macam bentuk dan fungsi suatu bangunan. Fungsi bengunan
yang dimaksud antara lain adalah sebagai tempat ibadah, pusat pengajaran
agama, tempat penyimpanan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau
tempat bersemayamnya para dewa, petirtaan (pemandian), dan gapura.
Walaupun fungsi dari bangunan candi cukup beragam, namun secara
umum fungsi-fungsi itu tidak terlepas dari kegiatan keagamaan, khususnya
untuk agama Hindu dan Budha.
Menurut www.wikipedia.com, struktur bangunan candi terbagi menjadi
tiga bagian yaitu:
a. Kaki candi: bagian dasar Sekaligus membentuk denahnya (berbentuk
segi empat, ujur sangkar atau segi 20)
b. Tubuh candi: terdapat kamar–kamar tempat arca atau patung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
c. Atap candi: berbentuk limasan, bermahkota stupa, lingga, ratna atau
wajra
Menurut sumber yang sama, apabila dilihat dari tujuan pembuatannya,
candi terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Candi Kerajaan, yaitu yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan.
Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi
Plaosan (Jawa Tengah)
b. Candi Wanua/Watak,yaitu candi yang digunakan oleh seluruh
masyarakat pada daerah tertentu pada suatu kerajaan. Contoh: candi
yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahandi (Tulung Agung,
Jawa Timur), Candi Gebang (Yogya), Candi Pringapus (Temanggung,
Jawa Tengah).
c. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan
seorang tokoh. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati,raja
Singhasari), Candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana,raja
Singhasari), Candi Ngrimbi (pendharmaan Tribuanatunggadewi, ibu
Hayam Wuruk),Candi Tegawangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan
Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
Masih menurut sumber yang sama, dijelaskan juga bahwa
pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat
dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin
yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu
bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Selatan. Dalam kitab Manasara tidak hanya berisi patokan-patokan
membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga
arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di
kompleks kota/desa, dan lain-lain.
Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di
Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat
air, baik air sungai (terutama di dekat pertemuan 2 buah sungai, danau,
laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan
sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut.
Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di
puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah,dsb. Seperti kita
ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan
candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Opak dan sungai
Progo.
Bila kita berbicara masalah candi di Jawa, tentunya tidak lepas dari
pembahasan mengenai kapan dan oleh siapa candi itu dibuat. Menurut
Rusdi (2010:13-14), pada awal abad ke-8 telah berdiri kerajaan besar yang
bernama Mataram Kuno, yang berpusat di Jawa Tengah. Kemudian, pada
abad ke-10 pusat kerajaan ini berpindah ke Jawa Timur. Kerajaan
Mataram Kuno pernah diperintah oleh dua wangsa (dinasti), yaitu Wangsa
Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang beragama
Budha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Rusdi (2010:23-24) menambahkan bahwa candi-candi yang terletak
Jawa Tengah wilayah utara, umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya,
dimana candi-candi tersebut adalah candi Hindu. Candi-candi ini biasanya
bentuk bangunannya lebih sederhana. Selain itu umumnya candi ini
dibangun dalam satu kelompok dengan pola yang sama dimana candi
induk terletak di tengah dikelilingi oleh candi Perwara (pendamping).
Sedangkan untuk candi-candi yang berada di wilayah Jawa Tengah
Selatan, umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra dan candi-candi
tersebut adalah candi Budha. Umumnya, candi-candi ini bangunannya
megah dan sarat dengan hiasan.
Lain lagi dengan candi yang berada di Jawa Timur yang umumnya
memiliki usia yang lebih muda dibanding dengan candi yang terdapat di
Jawa Tengah dan Yogyakarta.Hal ini karena pembangunannya dilakukan
di bawah pemerintah kerajaan-kerajaan penerus Mataram Kuno, seperti
Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri, Majapahit. Selain itu bangunan
candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada candi tersebut
dibangun pada pemerintahan kerajaan apa.
Sebagai contoh, candi yang dibuat pada masa kerajaan Singasari dibuat
dari bahan batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-
Buddha). Sedangkan candi yang dibangun pada masa kerajaan Majapahit
umumnya dibuat dari bahan bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran
Buddha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Soetarno (2007:6) menyebutkan ciri-ciri Candi Langgam Jawa Tengah
sebagai berikut:
a. Bentuk bangunannya tambun
b. Atapnya nyata berundak-undak
c. Puncaknya berbentuk ratna atau stupa
d. Gawang pintu dan relung berhiaskan kala makara
e. Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis
f. Letak candi di tengah halaman
g. Kebanyakan menghadap ke timur
h. Kebanyakan terbuat dari batu andesit
Sedangkan untuk ciri-ciri candi langgam Jawa Timur, Soetarno
(2007:122) menjelaskan seperti di bawah ini:
a. Bentuk bangunan ramping
b. Atapnya merupakan perpaduan tingkatan
c. Puncaknya berbentuk kubus
d. Makara tidak ada, dan pintu relung hanya ambang atasnya saja yang
diberi kepala kala
e. Letak candi di bagian belakang halaman
f. Kebanyakan menghadap ke barat
g. Kebanyakan terbuat dari bata
Masih berkaitan dengan langgam candi, Soekmono (1973) dalam
www.wikipedia.com menjelaskan bahwa berdasarkan langgam seni atau
gaya arsitekturnya, candi di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Sedangkan untuk candi-
candi yang berada di Bali, Kalimantan, dan Sumatra dikategorikan
menganut langgam Jawa Timur. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat
pada tabel II.2 di bawah ini:
Tabel II.2
Langgam Candi di Indonesia
Bagian dari Candi Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur
Bentuk Bangunan Cenderung tambun Cenderung tinggi dan
ramping
Atap Jelas menunjukkan
undakan, terdiri atas tiga
tingkatan
Atapnya merupakan
kesatuan tingkatan.
Undakan-undakan kecil
yang sangat banyak
membentuk kesatuan atap
yang melengkung halus.
Kemuncak Stupa (candi Buddha),
Ratna atau Vajra (candi
Hindu)
Kubus (candi Hindu),
terkadang Dagoba yang
berbentuk tabung (candi
Buddha)
Gawang pintu dan hiasan
relung
Gaya Kala-Makara;
kepala Kala dengan mulut
menganga tanpa rahang
bawah terletak di atas
pintu, terhubung dengan
Makara ganda di masing-
masing sisi pintu
Hanya kepala Kala
tengah menyeringai
lengkap dengan rahang
bawah terletak di atas
pintu, Makara tidak ada
Relief Ukiran lebih tinggi dan
menonjol dengan gambar
Ukiran lebih rendah
(tipis) dan kurang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
bergaya naturalis menonjol, gambar
bergaya seperti wayang
Bali
Tata letak dan lokasi
candi utama
Mandala konsentris,
simetris, formal; dengan
candi utama terletak tepat
di tengah halaman
kompleks candi,
dikelilingi jajaran candi-
candi perwara yang lebih
kecil dalam barisan yang
rapi
Linear, asimetris,
mengikuti topografi
(penampang ketinggian)
lokasi; dengan candi
utama terletak di
belakang, paling jauh dari
pintu masuk, dan
seringkali terletak di
tanah yang paling tinggi
dalam kompleks candi,
candi perwara terletak di
depan candi utama
Arah hadap bangunan Kebanyakan menghadap
ke timur
Kebanyakan menghadap
ke barat
Bahan bangunan Kebanyakan batu andesit Kebanyakan batu bata
merah
Sumber: www.wikipedia.com
Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa antara langgam Jawa
Tengah dan langgam Jawa Timur memiliki perbedaan pada bagian-bagian
candi yang dapat kita lihat dengan jelas. Untuk langgam Jawa Tengah
sendiri sebenarnya masih dikelompokkan lagi menjadi langgam Jawa
Tengah Utara dan langgam Jawa Tengah selatan.
Pada langgam Jawa Tengah Utara, ukiran candi lebih sederhana,
bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit. Candi
yang termasuk pada langgam Jawa Tengah Utara ini contohnya adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
candi Gunung Wukir, candi Badut, kompleks candi Gedong Songo dan
kompleks candi Dieng. Sedangkan langgam Jawa Tengah Selatan,
ukirannya lebih banyak dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi
dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur. Candi
yang termasuk dalam langgam Jawa Tengah Selatan ini contohnya adalah
candi Borobudur, candi Mendut, candi Plaosan dan candi Sewu.
Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan
kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia,
seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini
tampak jelas pada Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu,
selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga
menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida
Amerika Tengah.
2. Candi sebagai Benda Cagar Budaya (BCB)
Candi merupakan salah satu jenis benda cagar budaya. Oleh karena itu,
selain memahami tentang candi kita juga harus mengetahui beberapa hal
terkait BCB, yaitu tentang pengertian BCB, kewajiban dan larangan
terhadapnya. Hal itu penting karena hal-hal yang merupakan kewajiban
terhadap BCB maupun larangan terhadapnya akan berlaku pula pada
sebuah candi.
Dalam Undang-Undang No.5 tahun 1992 pasal 1 ayat (1) dijelaskan
bahwa benda cagar budaya adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa
gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.
Dari pengertian di atas, dapat kita ketahui dua hal: pertama, bahwa
BCB ternyata bukan hanya benda buatan manusia saja, tetapi bisa juga
benda alam yang memang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, serta kebudayaan. Kedua, BCB dapat digolongkan menjadi
BCB bergerak dan BCB tidak bergerak. BCB bergerak maksudnya adalah
BCB yang mudah dipindahkan atau dibawa, contohnya keris, arca, kitab
kuno. Sedangkan BCB tidak bergerak adalah BCB yang tidak mudah
dipindahkan apalagi dibawa, contohnya candi, benteng, goa.
Benda cagar budaya (BCB) secara umum disebut dengan warisan
arkeologi. ICOMOS mendefinisikan warisan arkeologi sebagai berkut:
“The "archaeological heritage" is that part of the material heritage in respect of which archaeological methods provide primary information. It comprises all vestiges of human existence and consists of places relating to all manifestations of human activity, abandoned structures, and remains of all kinds (including subterranean and underwater sites), together with all the portable cultural material associated with them.” Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang
lebih adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
“Warisan arkeologi adalah bagian dari warisan/peninggalan arkeologi yang dari metode arkeologi menghasilkan informasi primer. Ini terdiri dari semua sisa keberadaan manusia dan terdiri dari tempat-tempat yang berkaitan dengan semua manifestasi dari aktivitas manusia, struktur yang ditinggalkan, dan sisa-sisa segala jenis (termasuk situs di bawah tanah dan bawah air), berikut dengan semua material budaya yang portabe/mudah dibawa yang terkait dengan mereka.”
Melihat nilai penting BCB, jumlahnya yang terbatas, sifatnya yang
tidak dapat diperbarui dan digantikan, dan tingkat kerawanan yang tinggi,
maka dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang BCB diatur
tentang hal-hal yang berkaitan dengan BCB, salah satunya adalah tentang
kewajiban dan larangan terhadap BCB.
Kewajiban yang harus dilakukan seseorang terhadap BCB adalah
sebagai berikut ini:
a. Kewajiban melapor
Kewajiban melapor ini berlaku bagi setiap orang yang: pertama,
menemukan atau mengetahui ditemukannya BCB atau benda yang
diduga BCB (pasal 10 ayat (1)). Kedua, BCB yang dikuasai/dimiliki
hilang atau rusak (pasal 9).
b. Kewajiban mendaftarkan BCB, meliputi: pertama, pendaftaran BCB
yang dimiliki/dikuasainya. Kedua, pengalihan hak dan pemindahan
BCB (pasal 8 ayat (1)).
c. Kewajiban melindungi dan memelihara BCB
Sedangkan larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan terhadap
BCB adalah seperti di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
a. Larangan Mutlak
Larangan mutlak adalah larangan yang tidak boleh dilanggar apapun
kondisinya. Larangan mulak terhadap BCB ada pada pasal 15 ayat (1)
UU Benda Cagar Budaya, dimana setiap orang dilarang merusak benda
cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Kegiatan yang dinilai dapat
merusak BCB adalah seperti kegiatan mengurangi, menambah,
mengubah, memindahkan, dan mencemari BCB. Sedangkan kegiatan
yang dinilai dapat merusak situs adalah seperti kegiatan mengurangi,
mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs.
b. Larangan Bersyarat
Larangan bersyarat adalah larangan yang berubah menjadi
diperbolehkan apabila ada izin dari pemerintah. Larangan tersebut
tertulis pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Benda Cagar
Budaya antara lain:
1) Mencari BCB, benda yang diduga sebagai BCB, benda berharga
yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian,
penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya
tanpa izin dari pemerintah. Izin pencarian hanya diberikan untuk
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi,
penyelamatan dan/atau pelestarian BCB (Pasal 12).
2) Membawa BCB ke luar wilayah Indonesia (pasal 15 ayat (2a)).
Seseorang hanya dapat melakukannya apabila telah mendapat izin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dari menteri. Izin ini hanya diberikan untuk kepentingan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan, sosial/budaya.
3) Memindahkan BCB dari daerah satu ke daerah yang lain (pasal 15
ayat (2b)). Pemindahan diizinkan kalau tidak menghilangkan
ataupun mengurangi nilai sejarah dan fungsi pemanfaatannya.
4) Mengambil atau memindahkan BCB, baik sebagian maupun
seluruhnya kecuali untuk penyelamatan dalam keadaan darurat
(pasal 15 ayat (2c)).
5) Mengubah bentuk dan/atau warna BCB serta memugarnya (pasal 15
ayat (2d)).
6) Memisahkan sebagian BCB dari kesatuannya (pasal 15 ayat (2e)).
7) Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan
BCB (pasal 15 ayat (2f)). Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat
memiliki izin usaha perdagangan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Selain itu, pedagang juga harus melaporkan secara berkala
BCB tertentu yang diperjualbelikan.
8) Memanfaatkan BCB dengan cara penggandaan (pasal 23 ayat (23))
D. Kinerja BP3 Jawa Tengah Dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa
Tengah
Dari penjelasan di atas, kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan
candi-candi di Jawa Tengah adalah hasil kerja BP3 Jawa Tengah dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan terhadap candi-candi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
berada di wilayah kerjanya dengan tujuan untuk mewujudkan pelestarian dan
pemanfaatan candi di wilayah Jawa Tengah.
E. Kerangka Berpikir
Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting
artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Oleh karena itu, benda cagar budaya dan situs perlu untuk
dilindungi. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan
untuk melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan
nasional Indonesia.
Candi merupakan salah satu jenis BCB tidak bergerak yang menyimpan
banyak nilai penting. Kita dapat belajar banyak hal dari candi, misalnya
arsitektur, bangunan, seni, nilai-nilai luhur serta filosofi kehidupan. Sampai
sekarang, keberadaan candi masih terancam oleh kerusakan baik itu karena
alam maupun karena manusia. Dengan dilakukannya perlindungan pada
candi, ancaman kerusakan pada candi dapat diminimalisir sehingga candi
dapat diambil manfaatnya sampai masa yang akan datang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3), BP3 Jawa Tengah adalah Unit Pelaksana
Teknis (UPT) yang menangani bidang kepurbakalaan dengan wilayah kerja
Propinsi Jawa Tengah yang secara langsung bertanggungjawab kepada
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Salah satu tugas dari BP3 Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Tengah adalah melakukan perlindungan terhadap BCB dan situs yang berada
di seluruh wilayah Jawa Tengah, dalam hal ini termasuk melindungi candi
juga.
Kegiatan Perlindungan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah adalah meliputi
kegiatan pengamanan dan penyelamatan. Pencapaian hasil kerja (kinerja)
yang baik dalam hal perlindungan akan mendukung kelestarian candi
sehingga akan bisa terus dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti
pengembangan sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, upacara
keagamaan, acara pertunjukan, dan pariwisata. Kinerja BP3 Jawa Tengah
dalam kegiatan perlindungan ini akan dinilai berdasarkan indikator
produktivitas, responsivitas, dan akuntabilitas, serta melihat faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut.
Dengan dilakukan penilaian terhadap kinerja, akan diketahui sejauh mana
kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi yang berada di
Jawa Tengah, apakah telah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan atau
belum. Selain itu, dapat diketahui juga faktor apa saja yang mendukung serta
faktor apa saja yang menghambat BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan
kegiatan perlindungan. Model kerangka berfikir dalam penelitian ini
digambarkan seperti gambar II.1 di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Gambar II.1 Model Kerangka Berpikir
“Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan candi di Jawa
Tengah”
Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah
· Produktivitas · Responsivitas · Akuntabilitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi
· faktor internal · faktor eksternal
Terwujudnya pelestarian dan
pemanfaatan candi-candi di Jawa Tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian menurut Sugiyono (2006:1) merupakan cara ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Dalam metode
penelitian ini akan dijelaskan tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel, validitas data, dan
analisis data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah diskriptif kualitatif. Menurut Susanto (2006:16),
penelitian diskripif merupakan jenis penelitian yang berusaha
menggambarkan secara terperinci terhadap gejala sosial seperti yang
dimaksudkan dalam permasalahan yang diteliti, sehingga hanya merupakan
penyingkapan fakta. Menurut Sutopo (2002:48) penelitian kualitatif lebih
menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan
analisis kualitatifnya. Dengan kata lain penelitian kualitatif lebih
mementingkan makna, tidak ditentukan oleh kuantitasnya, tetapi lebih
ditentukan oleh proses terjadinya jumlah (dalalm bentuk angka) dan cara
memandang atau perspektifnya.
Pada penelitian ini akan dilakukan pencarian data yang berupa kata-kata
dalam susunan kalimat atau gambar yang berlanjut pada analisis data untuk
memberikan gambaran yang senyatanya tentang permasalahan yang ada.
Dalam penelitian ini penulis berupaya menggambarkan bagaimana kinerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa Tengah melalui
data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang
memiliki arti lebih dari pada sekedar angka.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di BP3 Jawa Tengah yang beralamat di Jl.
Manisrenggo Km.1, Prambanan, Klaten, dengan fokus penelitian pada
perlindungan candi-candi. Pertimbangan yang mendasari peneliti mengambil
lokasi penelitian tersebut adalah karena:
1. BP3 Jawa tengah merupakan instansi pemerintah yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam hal perlindungan candi-candi di wilayah Jawa
Tengah.
2. Di Jawa Tengah banyak ditemukan candi-candi peninggalan kerajaan
Mataram Kuno, dan kemungkinan masih ada candi-candi yang masih
terkubur dalam tanah.
C. Sumber Data
Sumber data memegang peranan sangat penting dalam sebuah penelitian.
Semenarik apapun suatu permasalahan apabila sumber datanya tidak tersedia,
maka tetap saja masalah tersebut tidak bisa diteliti. Dalam Sutopo (2002:49)
disebutkan bahwa ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan
menentukan ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Sumber data primer
Menurut Sugiyono (2006:156), sumber data primer adalah sumber data
yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Yang termasuk
sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi.
Dalam wawancara, pihak yang akan diwawancarai adalah:
a. Kepala Pokja Perlindungan BP3 Jawa Tengah
b. Kasubpokja Pengamanan BP3 Jawa Tengah
c. Kasubpokja Penyelamatan Bp3 Jawa Tengah
d. Satpam dan Juru Pelihara candi
e. Masyarakat
2. Sumber data sekunder
Menururt Sugiyono (2006:156), sumber data sekunder adalah sumber data
yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya
lewat orang lain atau lewat dokumen. Yang termasuk sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen yang berbentuk buku, data
statistik, peraturan perundangan, dan laporan kegiatan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
memeroleh data atau informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
1. Wawancara
Menurut Moleong (2009:186), wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu dimana percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
itu. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara tidak terstruktur.
Sugiyono (2002:160) menjelaskan bahwa wawancara tidak terstruktur
adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap
untuk pengumpulan datanya.
Penulis memilih menggunakan wawancara tidak terstruktur karena dengan
teknik ini akan didapat informasi yang lebih mendalam. Dalam
wawancara, penulis belum mengetahui secara pasti data apa yang akan
diperoleh. Oleh karena itu, peneliti lebih banyak mendengarkan dan
menganalisis jawaban dari responden tersebut baru kemudian mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada satu tujuan.
2. Observasi
Menurut Sutopo (2006:64), teknik observasi digunakan untuk menggali
data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda,
serta rekaman gambar. Observasi ini dilakukan dengan melakukan
serangkaian pengamatan dengan menggunakan alat indera penglihatan dan
pendengaran secara langsung terhadap obyek yang diteliti. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
penelitian ini, penulis menggunakan teknik observasi berperan pasif,
dimana teknik tersebut dapat dilakukan secara formal maupun informal.
3. Dokumentasi
Menurut Susanto (2006:136), teknik pengumpulan data dengan
dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-
dokumen. Keuntungan menggunakan dokumentasi ialah biayanya relatif
murah, waktu dan tenaga lebih efisien. Sedangkan kelemahannya ialah
data yang diambil dari dokumen cenderung sudah lama dan kadang salah
cetak, meka peneliti ikut salah pula mengambil datanya.
E. Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling dan snowball sampling. Menurut Sutopo (2002:56),
dalam purposive sampling peneliti memiliki kecenderungan untuk memilih
informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara
mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Jadi
dalam penelitian ini sampel diarahkan pada informan yang dipandang
memiliki data yang penting yang berkaitan dengan masalah yang sedang
diteliti. Sedangkan snowball sampling menurut Susanto (2006:121) adalah
teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel
ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel. Begitu
seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Jadi penarikan sampel
dilakukan melalui beberapa tahap, ibarat bola salju yang bila menggelinding,
makin lama makin besar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
F. Validitas Data
Menurut Sutopo (2002:77-78), data yang telah berhasil digali,
dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan
kemantapan dan kebenarannya. Ketepatan data tersebut tidak hanya
tergantung dari ketepatan memilih sumber data dan teknik pengumpulannya,
tetapi juga diperlukan teknik pengembangan validitas datanya. Validitas ini
merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai
hasil penelitian.
Trianggulasi menurut Sutopo (2002:78) merupakan salah satu cara yang
dapat digunakan bagi peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini, pengembangan validitas dilakukan melalui teknik
trianggulasi data (trianggulasi sumber). Dalam Sutopo (2002:79), trianggulasi
data atau sumber memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk
menggali data yang sejenis. Patton dalam Moleong (2009:330) mengatakan
bahwa triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakannya secara pribadi
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Dari lima langkah di atas, langkah yang diterapkan dalam triangulasi data
pada penelitian ini adalah langkah nomor 1, 4, dan 5.
G. Analisis Data
Analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
model interaktif. Miles dan Huberman dalam Sutopo (2002:91) berpendapat
bahwa tiga komponen utama dalam proses analisis data adalah:
1. Reduksi data
Sotopo (2002:91) menyebutkan bahwa reduksi data sebagai komponen
pertama dalam analisis yang merupakan seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung
terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Reduksi data merupakan bagian
dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa
sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan.
2. Sajian data
Menurut Sutopo (2002:92), sajian data merupakan suatu rakitan organisasi
informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan
penelitian dapat dilakukan. Selain dalam bentuk narasi, Sutopo (2002:92-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
93) suga menambahkan bahwa sajian data juga dapat berbentuk matriks,
gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, juga tabel sebagai
pendukung narasinya. Semua itu dirancang guna merakit informasi secara
teratur supaya mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam bentuk
yang lebih kompak.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Sutopo (2002:93) menjelaskan bahwa dari awal pengumpulan data,
peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui
dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-
pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai
proposisi. Simpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses
pengumpulan data berakhir.
Masih menurut sumber yang sama, disebutkan pula bahwa simpulan perlu
diverifikasi agar bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu
dilakukan aktivitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran,
data kembali dengan cepat, mungkin sebagai akibat pikiran kedua yang
timbul melintas pada peneliti pada waktu menulis sajian data dengan
melihat kembali sebentar pada catatan lapangan.
Pada model analisis interaktif, Sutopo (2002:96) menyatakan bahwa
reduksi dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah
mendapatkan unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu
pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk
menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan semua hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila simpulan dirasa
kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian
datanya, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan
data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang ada
dan juga bagi pendalaman data.
Untuk lebih jelasnya, proses analisis data dengan model interaktif ini dapat
dilihat pada gambar III.1 sebagai berikut :
Gambar III.1 Model Analisis Interaktif
Sumber: Sutopo (2002:96)
Pengumpulan data
Reduksi data
Penarikan simpulan/ verifikasi
Sajian data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum BP3 Jawa Tengah
1. Sejarah BP3 Jawa Tengah
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah
merupakan salah satu Unit Pelayanan Teknis (UPT) dari Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Sejarah terbentuknya Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) bermula dari didirikannya Lembaga
Kebudayaan pertama di Indonesia pada tahun 1878 oleh kaum terpelajar di
Jakarta yang waktu itu diberi nama “Bataviaash Genootschap van kunsten
en wetenchapen”. Mulai tahun 1882 kegiatan kepurbakalaan ditangani
oleh “Comisie tot het Opsporen Verzamelen en Bewaen van
Oudheidkundigde Voorwerpen” dimana pada waktu itu mengalami
perkembangan yang sangat pesat dalam bidang penelitian, observasi,
penggambaran, ekskavasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian,
dan pemugaran bangunan kuno di Indonesia.
Pada Tahun 1885, muncul lembaga swasta bernama “Archeologische
Vereeniging” yang dipimpin oleh Ir. J. Wijzerman dan lembaga ini
menjalankan tugasnya hingga tahun 1902. Setelah itu muncul lembaga
baru lagi yang bernama ”Commisise in Nederlandsch-Indie voor
Oudheidkundige Onderzoenk op Java en Madoera” yang mana lembaga ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
diketuai oleh Dr. J.LA. Brandes dan bertugas menangani benda-benda
purbakala di wilayah Jawa dan Madura. Pada tahun 1913, komisi ini
berganti nama menjadi “Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie”
dan dipimpin oleh N.J Krom sampai dengan tahun 1926, kemudian
digantikan oleh F.D.K Bosch.
Memasuki tahun 1913, komisi ini mengeluarkan undang-undang
tentang penanganan peninggalan purbakala yaitu “Monumenten Ordonatie
Staatsblad” No.238 tahun 1931. Dengan adanya undang-undang tersebut
maka pengawasan dan perlindungan terhadap peninggalan purbakala
mempunyai kepastian hukum. Nama Oudheidkundigde Dienst berubah
menjadi Jawatan Perbakala pada tahun 1936, dan dipimpin oleh Dr. W. F.
Stutterheim. Beberapa bidang baru juga dikembangkan, seperti
keramologi, sejarah kesenian, dan arkeologi kimia.
Pada tanggal 18 Maret 1942, Jepang mengambil alih kekuasaan atas
Indonesia dari Belanda dan sejak itu pula Kantor Jawatan Purbakala
diambil alik oleh Jepang dan berubah namanya menjadi Kantor Urusan
Barang-Barang Purbakala. Pada Juli 1947, Kantor Urusan Barang-Barang
Purbakala kembali diambil alih oleh Belanda dan dipimpin oleh Prof. Dr.
A. J Bernet Kempers. Pada tahun 1951, nama kantor tersebut berubah
menjadi Dinas Purbakala yang untuk pertamakalinya dipimpin oleh putra
bangsa bernama Drs. Soekmono, kemudian berubah lagi menjadi Lembaga
Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Memasuki tahun 1975, LPPN dipecah menjadi dua instansi yaitu Pusat
Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (pus. P3N) dan Direktorat
Sejarah dan Purbakala (DSP). DSP dipimpin oleh Dra. Uka
Tjandrasasmita dan bertugas melakukan perlindungan benda-benda
peninggalan Sejarah dan Purbakala. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 200/O/1978, maka tugas dan fungsi
kantor cabang diubah menjadi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
sebagai Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan yang bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal
Kebudayaan.
Setelah sekian lama menggunakan undang-undang yang merupakan
produk warisan belanda, akhirnya diberlakukanlah Undang-Undang No.5
tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) dan PP No.10 tahun 1993
tentang pelaksanaan UU RI No.5 th.1992. Keduanya ini menggantikan
Monumenten Ordonatie Staatsblad No. 238 tahun 1931.
Berdasarkan SK Kepala Badan Pengembangan Kebudayaan dan
Pariwisata No. KEP-06/BP Budpar/2002, nama Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala diganti dengan Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3). Meskipun lembaga purbakala telah berulang kali
berganti nama, akan tetapi lingkup kerjanya tetap sama yaitu bidang
kepurbakalaan. Sampai sekarang ini jumlah BP3 di Indonesia ada 8 buah
yang salah satunya berada di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Jl.
Manisrenggo Km.1 Prambanan, 57454.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2. Visi dan Misi
BP3 Jawa Tengah yang merupakan pengampu pelestarian dan
pemanfaatan BCB di Jawa Tengah mempunyai visi sebagai berikut:
“Terwujudnya Pelestarian dan Pemanfaatan Peninggalan Purbakala
di Wilayah Jawa Tengah”
Untuk mewujudkan visi di atas, maka dirumuskan misi BP3 Jawa
Tengah tahun 2005-2009 sebagai berikut:
a. Meningkatkan pelestarian peninggalan sejarah dan purbakala
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pemahaman sejarah dan
purbakala
c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelestarian dan
pemanfaatan peninggalan sejarah dan purbakala
3. Susunan Organisasi dan Uraian Tugas BP3 Jawa Tengah
Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
PM.37/OT.001/MKP-2006 tentang organisasi dan tata kerja Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala, maka susunan organisasi BP3 Jawa
Tengah terdiri sebagai berikut:
a. Kepala BP3 Jawa Tengah
Dalam pelaksanaan tugasnya, dibantu oleh sub bagian tat usaha dan
seksi pelestarian dan pemanfaatan.
b. Sub-bagian Tata Usaha
Sub Bagian Tata Usaha berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Kepala. Tugas dari Sub Bagian Tata Usaha yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
1) Melakukan pengaturan urusan keuangan;
2) Melakukan pengaturan urusan kepegawaian;
3) Melakukan pengaturan urusan perlengkapan;
4) Melakukan pengaturan urusan tata usaha dan rumah tangga balai
pelestarian.
Dalam melaksanakan tugasnya, Sub Bagian Tata Usaha membawahi
2 (dua) penanggung jawab, yaitu penanggung jawab administrasi dan
penanggung jawab keuangan/ perlengkapan/rumah tangga. Setiap
penanggung jawab membawahi sub urusan. Penanggung jawab
administrasi membawahi urusan kepegawaian, urusan tata warkat, dan
urusan pelaporan/humas; penanggung jawab keuangan/ perlengkapan/
rumah tangga membawahi urusan keuangan, dan perlengkapan/ logistik
dan rumah tangga.
Dalam menjalankan tugasnya, Sub Bagian Tata Usaha memiliki
fungsi:
1) Penyelengaraan pengelolaan administrasi umum untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
2) Koordinasi kegiatan administrasi Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
c. Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan
Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala. Tugas dari Seksi
Pelestarian dan Pemanfaatan yaitu:
1) Melakukan dokumentasi peninggalan benda purbakala;
2) Melakukan perlindungan peninggalan benda purbakala;
3) Melakukan pemugaran peninggalan benda purbakala;
4) Melakukan konservasi peninggalan benda purbakala;
5) Melakukan penyidikan peninggalan benda purbakala
Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan
menyelanggarakan fungsi:
1) Penyelengaraan pengelolaan kegiatan teknis pelestarian dan
pemafaatan peninggalan benda purbakala sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa
Tengah.
2) Koordinasi kegiatan teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Jawa Tengah.
Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan
dibantu oleh 5 Kelompok Kerja dan 2 Unit. Setiap kelompok kerja
dipimpin oleh seorang Kepala Kelompok Kerja yang dibantu oleh
Kepala Sub Kelompok dan staff, sementara untuk setiap Unit dipimpin
oleh seorang Kepala Unit yang dibantu oleh Kepala Sub Unit dan staff.
Kelompok Kerja tersebut terdiri dari:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
1) Kelompok Kerja Perlindungan
Kelompok Kerja Perlindungan mempunyai tugas antara lain:
a) Merencanakan kegiatan perlindungan cagar budaya di Jawa
Tengah.
b) Bertanggungjawab terhadap kegiatan perlindungan BCB di Jawa
Tengah meliputi ekskavasi atau penyelamatan, pengamanan.
c) Bertanggungjawab terhadap karyawan pada kelompok
perlindungan.
d) Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan perlindungan.
e) Membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan perlindungan.
f) Bekerjasama dengan kelompok lain di lingkungan Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
g) Bertanggungjawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, Kelompok Kerja
Perlindungan dibantu oleh Sub Kelompok Kerja pengamanan, Sub
Kelompok Kerja penyelamatan, dan Sub Kelompok Kerja Bawah
Air.
a) Sub Kelompok Kerja Pengamanan
Sub Kelompok Kerja Pengamanan memiliti tugas antara lain:
· Membuat rencana kegiatan pengamanan.
· Melaksanakan pengadaan rumah jaga pada situs-situs
purbakala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
· Melaksanakan pemasangan papan pengumuman pada situs
yang berisi larangan, ajakan, apresiasi, petunjuk dan
keterangan.
· Melaksanakan pendataan dan penyelidikan terhadap kasus
pelanggaran peraturan perundangan yang ada.
· Pembentukan dan mengatur satpam Penjarpala yang bertugas
untuk mengamankan situs purbakala dari gangguan atau
perbuatan manusia, sesuai dengan kewenangannya.
· Pembentukan PPNS.
· Melaksanakan koordinasi perlindungan dan pengamanan BCB
antar instansi terkait.
· Menangani tindakan terhadap pelaporan tentang terjadinya
pencurian BCB.
· Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan
· Bertanggung jawab kepada Kapokja Perlindungan.
b) Sub Kelompok Kerja Penyelamatan
Sub Kelompok Kerja Penyelamatan memiliki tugas antara lain:
· Membuat rencana kegiatan penyelamatan.
· Melaksanakan ekskavasi penyelamatan terhadap situs cagar
budaya yang terancam bahaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
· Melaksanakan pemindahan BCB dari tempat yang dianggap
rawan, yang diperkirakan akan mengalami ancaman kerusakan
atau kemusnahan.
· Memberi ganti rugi atau hadiah temuan/pembelian BCB yang
perlu dimiliki negara.
· Melaksanakan penyelamatan terhadap situs tempat
ditemukannnya BCB.
· Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan.
· Bertanggungjawab kepada Kapokja Perlindungan.
c) Sub Kelompok Kerja Bawah Air
Sub Kelompok Kerja Bawah Air memiliki tugas antara lain:
· Membuat rencana kegiatan pengamanan, pelestarian, dan
penelitian peninggalan arkeologi yang berada di bawah air
· Pengendalian temuan BCB di bawah air atau situs kapal karam
· Menyusun, merencanakan, dan melaksanakan program kerja
Subpokja bawah air
· Membuat laporan pertanggungjwaban kegiatan
· Bertanggung jawab kepada Kapokja Perlindungan
2) Kelompok Kerja Pemugaran
Kelompok Kerja Pemugaran memiliki tugas antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
a) Mengawasi/mengarahkan dan koordinasi tugas Kasubpok
Pemugaran. Penggambaran dan perencanaan pengukuran serta
koordinator Administrasi.
b) Koordinasi program dengan kelompok lain.
c) Evaluasi hasil kegiatan
d) Bertanggungjawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, Kelompok Kerja
Pemugaran dibantu oleh Sub Kelompok Kerja Pemugaran dan Sub
Kelompok Kerja Perencanaan.
3) Kelompok Kerja Pemeliharaan
Kelompok Kerja Pemeliharaan memiliki tugas:
a) Merencanakan kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya di
Jawa Tengah.
b) Bertanggung jawab terhadap kegiatan pemeliharaan benda cagar
budaya di Jawa Tengah, meliputi perawatan dan konservasi.
c) Bertanggung Jawab terhadap karyawan pada Kelompok Kerja
Pemeliharaan.
d) Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pemeliharaan.
e) Membuat laporan pertanggungjawaban kegiatan pemeliharaan.
f) Bekerja sama dengan kelompok kerja lain di Lingkungan Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
g) Bertanggung jawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, Kelompok Kerja
Pemeliharaan dibantu oleh Sub Kelompok Kerja Perawatan dan Sub
Kelompok Kerja Konservasi.
4) Kelompok Kerja Registrasi dan Penetapan
Kelompok Kerja Registrasi dan Penetapan memiliki tugas yaitu:
a) Mengawasi/mengarahkan dan koordinasi tugas koordinator
Registrasi dan Penetapan.
b) Koordinasi program dengan kelompok lain.
c) Melaporkan hasil kegiatan kepada kepala Seksi Pelestarian dan
Pemanfaatan.
d) Evaluasi hasil kegiatan.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, Kelompok Kerja
Registrasi dan Penetapan dibantu oleh Sub Kelompok Kerja
Registrasi dan Sub Kelompok Kerja Penetapan.
5) Kelompok Kerja Pemanfaatan.
Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, Kelompok Kerja pemanfaatan
dibantu oleh:
a) Sub Kelompok Kerja Koleksi, memiliki tugas:
· Pengelolaan Koleksi BCB
· Pelestarian Koleksi BCB
· Penyebaran Informasi Koleksi BCB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
· Koleksi Buku Perpustakaan
b) Sub Kelompok Kerja Publikasi, memilki tugas:
· Penyebaran informasi pelestarian BCB
· Apresiasi Budaya lewat media elektronika (televisi dan radio)
· Apresiasi Budaya lewat media cetak
· Penulisan artikel untuk Website
· Kliping Berita Koran
Selain lima program di atas, Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan juga
dibantu oleh dua unit yaitu:
1) Unit Sewu
Unit Sewu dipimpin oleh Ketua Unit yang memiliki tugas sebagai
berikut:
a) Mengawasi /mengarahkan tugas sub unit Pemugaran dan sub unit
Pemeliharaan.
b) Menyusun program kerja tahunan Unit Candi Sewu.
c) Koordinasi program kerja dengan program lain.
d) Melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaan kepada kepala Seksi
Pelestarian dan Pemanfaatan.
e) Membina tenaga lapangan pemugaran maupun juru pelihara.
f) Evaluasi hasil kegiatan Unit Candi Sewu.
g) Bertanggung jawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Unit Sewu terdiri dari Sub Unit Pemugaran dan Sub Unit
Pemeliharaan.
2) Unit Museum Prasejarah Sangiran
Unit Museum Prasejarah Sangiran dipimpin oleh Ketua Unit yang
memiliki tugas sebagai berikut:
a) Pengamanan, penyelamatan, penertiban, perawatan, pengawetan,
analisis, penyajian, bimbingan/edukasi, dokumentasi, dan
publikasi benda-benda purbakala baik yang bergerak maupun
tidak bergerak yang berada di Situs Manusia Purba Sangiran.
b) Menyusun program kerja tahunan Unit Museum Prasejarah
Sangiran.
c) Koordinasi program kerja dengan kelompok kerja lain.
d) Melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaan kepada kepala Seksi
Pelestarian dan Pemanfaatan.
e) Membina tenaga teknis museum dan tenaga konservasi.
f) Evaluasi hasil kegiatan Unit Museum Prasejarah Sangiran.
g) Bertanggungjawab kepada Kepala Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah.
Sedangkan struktur organisasi dapat dilihat pada gambar 4.1 di bawah
ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Struktur Organisasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah
Gambar IV.1
Struktur Organisasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah
75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
4. Keadaan Pegawai BP3 Jawa Tengah
Untuk menjalankan tugasnya, BP3 Jawa Tengah didukung oleh sumber
daya manusia atau pegawai yang jumlah keseluruhannya berjumlah 499
orang, terdiri dari 408 PNS, 35 CPNS, dan 56 honor lepas. Dari jumlah
keseluruhan pegawai sebanyak 499 orang, sebanyak 436 memiliki tingkat
pendidikan yang beragam, mulai dari lulusan S2, D.IV/S.1, D.III, SLTA,
SLTP, dan SD. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel IV.1 di
bawah ini:
Tabel IV.1
Data Jumlah Pegawai BP3 Jawa Tengah Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Formal
No Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase 1. S2 2 0,5% 2. D.IV/S.1 28 6,4% 3. D.III 3 0,7% 4. SLTA 182 41,7% 5. SLTP 159 36,5% 6. SD 62 14,2%
Jumlah 436 100% Sumber: BP3 Jawa Tengah
Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal para
pegawai BP3 Jawa Tengah paling banyak adalah SMA, kemudian SLTP
lalu disusul oleh SD. Sangat sedikit yang menempuh jenjang pendidikan di
atas dari SMA. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pegawai BP3
Jawa Tengah adalah pegawai teknis lapangan yang bertugas daerah-
daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Pegawai teknis lapangan tersebut diantaranya adalah satpam sejumlah
99 orang, juru pelihara sejumlah 214 orang, penyetel batu candi, pekerja
pemugaran dan lain sebagainya. Dari jumlah satpam dan juru pelihara saja
sudah mencapai 313 orang, belum lagi jumlah pekerja lain seperti penyetel
batu candi dan pemugaran.
Menurut penulis, pekerjaan di atas tidak menuntut seseorang untuk
memiliki jenjang pendidikan tinggi agar dapat bekerja pada bidang
tersebut. Lain halnya dengan pekerjaan lain seperti arkeolog ataupun
arsitek yang menuntut seseorang memiliki jenjang pendidikan tinggi di
bidangnya agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut.
Sedangkan untuk pegawai PNS dan CPNS yang jumlahnya 443, terdiri
dari berbagai golongan mulai golongan I, II, III, dan IV. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel IV.2 di bawah ini:
Tabel IV.2
Data Jumlah Pegawai BP3 Jawa Tengah Berdasarkan Golongan
No Golongan Keterangan
Jumlah A B C D
1. I 23 0 70 0 93 2. II 151 27 71 30 279 3. III 20 35 4 9 68 4. IV 2 1 0 0 3
Jumlah 443 Sumber: BP3 Jawa Tengah
Dari tabel di atas, dapat kita lihat bahwa pegawai yang bekerja di BP3
Jawa Tengah paling banyak memiliki golongan II yaitu sebanyak 279
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
orang. Sedangkan yang paing sedikit adalah golongan IV, yaitu sebanyak
3 orang.
B. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam Perlindungan Candi-Candi di Jawa
Tengah
Penilaian kinerja organisasi merupakan kegiatan menilai pencapaian hasil
kerja suatu organisasi yang berupa produk, jasa, ataupun proses, berdasarkan
indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan melakukan penilaian terhadap
kinerja organisasi publik maka dapat diketahui masalah-masalah apa saja
yang dihadapi dalam pelaksanakan pelayanan pada masyarakat sehingga
langkah perbaikan dapat dilakukan secara lebih terarah dan sistematis.
Pada bagian ini akan dibahas tentang Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam
perlindungan candi-candi di Jawa Tengah. Penilaian kinerja yang dilakukan
menggunakan tiga indikator yaitu produktivitas, responsivitas, dan
akuntabilitas. Selain itu juga akan dibahas mengenai faktor pendukung
maupun faktor penghambat yang dialami BP3 Jawa Tengah dalam kegiatan
perlindungan BCB dan situs.
Pada tinjauan pustaka yang telah penulis bahas di awal, disebutkan bahwa
kegiatan perlindungan BCB dan situs dilakukan melalui perizinan,
pengamanan, dan penyelamatan. Karena BP3 Jawa Tengah memandang
kegiatan perizinan lebih condong ke arah pemanfaatan, maka tentang
perizinan tidak penulis bahas di sini. Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam
perlindungan candi hanya akan penulis nilai dari dua kegiatan perlindungan
yang dilaksanakan, yaitu pengamanan dan penyelamatan. Karena kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
perlindungan yang dilakukan tiap tahun tidak sama dan kadang bersifat
insidentil, maka penulis membatasi penelitian ini pada kegiatan perlindungan
candi tahun 2008-2009.
1. Produktivitas
Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan
output, dengan kata lain adalah perbandingan sejauh mana upaya yang
dilakukan dengan hasil yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Dalam
penelitian ini, konsep produktivitas dipahami sebagai sejauh mana upaya
yang dilakukan BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa
Tengah dan bagaimana hasil yang diperoleh.
Produktivitas BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan perlindungan
Candi di Jawa Tengah dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan dalam rangka
melaksanakan pengamanan dan penyelamatan terhadap candi selama tahun
2008-2009 sebagaimana dijabarkan seperti dibawah ini:
a. Pengamanan
Pengamanan merupakan upaya perlindungan benda BCB dan situs
dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang
ditimbulkan oleh perbuatan manusia dan/atau kondisi alam yang dapat
merugikan kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya dan situs.
Kegiatan pengamanan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah selama tahun
2008 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
1) Memasang Papan Pembudayaan dan Pemasyarakatan
Papan pembudayaan dan pemasyarakatan merupakan papan-
papan yang berisi larangan melakukan hal-hal tertentu terhadap
candi, serta ajakan untuk ikut serta melestarikan candi. Papan
larangan dipasang dengan tujuan agar masyarakat tahu bahwa candi
juga merupakan BCB. Oleh karena itu, ada hal-hal yang tidak boleh
dilakukan seperti merusak, mengambil, memindahkan, mengubah
bentuk dan lain sebagainya sebagaimana terdapat pada UU No.5
Tahun 1992 pasal 15 ayat (1) dan (2). Bagi yang melakukan
larangan tersebut akan dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur
dalam pasal 26. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Pak Deny
selaku Kasubpokja Pengamanan:
“Papan larangan berisi tentang hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan pada BCB, serta sanksinya hukum yang berlaku sesuai dengan UU BCB” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Sedangkan papan apresiasi berisi tentang himbauan-himbauan
untuk ikut melestarikan candi, memberikan pengertian pada
masyarakat tentang nilai penting candi sehingga masyarakat juga
mau untuk melestarikan dan menjaganya. Terkait papan apresiasi,
disampaikan oleh Pak Deny sebagai berikut:
“papan apresiasi itu isinya himbauan pada masyarakat bahwa BCB itu warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan...” (hasil wawancara 21 Maret 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Tentang petugas yang memasang papan larangan, Sumaryono
selaku juru pelihara candi Selogriyo di Magelang memberikan
keterangan sebagai berikut:
“nek rusak nggih lapor teng mriko (BP3 Jawa Tengah), mengkeh diparingi terus ken masang” (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2011) Setelah di konfirmasikan pada BP3 Jawa Tengah, Pak Deny
menjelaskan sebagai berikut:
“itu untuk tahun-tahun yang lama mbak. Kalo sekarang ini kita yang kesana, kan sekalian kontrol sama kasih pembinaan ke jupelnya. Paling tidak seminggu itu tiga kali kita kontrol ke daerah-daerah, milihnya secara acak” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemasangan papan larangan pada beberapa tahun yang lalu
terkadang masih dikerjakan oleh juru pelihara dengan cara juru
pelihara datang ke kantor BP3 Jawa Tengah kemudian
membawanya untuk dipasang. Sedangkan tahun-tahun sekarang ini
sudah dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah sendiri bersamaan dengan
dilakukannya kontrol dan pembinaan pada juru pelihara candi
setempat.
Papan larangan biasanya di pasang di tempat terbuka yang setiap
harinya terkena hujan dan terik matahari yang dapat pengakibatkan
pelapukan atau lunturnya tulisan pada papan tersebut. Oleh karena
itu selain memasang, BP3 Jawa Tengah juga melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
penggantian berkala pada papan larangan tersebut. Hal ini seperti
disampaikan oleh Pak Deny:
“Setiap 3 sampai 4 tahun sekali akan kita ganti. Itu juga melihat dimana papan itu di pasang, di dataran tinggi, dataran rendah atau pesisir pantai. Kalau di dataran rendah ya bisa awet. Tapi kalau di dataran tinggi yang banyak unsur sulfurnya atau di daerah pesisir yang banyak kandungan garamnya ya baru sebentar saja sudah keropos besinya. Untuk mengatasinya, biasanya untuk daerah-daerah tersebut kita pakai papan dari kayu jati agar lebih awet.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa lamanya
penggantian papan ditentukan oleh dimana papan itu di pasang. BP3
Jawa Tengah juga telah menyesuaikan bahan untuk membuat papan
tersebut agar awet. Papan larangan untuk untuk candi yang berada
di dataran rendah biasanya memakai bahan besi atau seng.
Sedangkan untuk candi yang berada di daerah pesisir atau dataran
tinggi yang unsur sulfur atau belerangnya tinggi maka papan dibuat
dengan bahan kayu jati.
2) Pemagaran
Kegiatan pemagaran dilakukan dengan tujuan untuk memberi
batasan lokasi situs. Selain itu, pagar juga berfungsi untuk
mencegah orang masuk sembarangan tanpa ijin. Setelah dilakukan
pensertifikatan tanah candi, biasanya akan diikuti dengan kegiatan
pemasangan pagar. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Pak
Deny:
“Setelah tanah disertifikatkan, maka akan dilakukan pemagaran”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
(hasil wawancara 21 Maret 2011) Sama halnya dengan papan larangan, dalam jangka waktu
tertentu pagar juga akan mengalami kerusakan misalnya akibat karat
dan mengharuskannya untuk diganti. Oleh karena itu, selain
dilakukan kegiatan pemagaran juga dilakukan kegiatan perbaikan
pagar.
Kegiatan pemagaran yang dilakukan pada tahun 2008 adalah
pemagaran candi Ngawen tahap I. Sedangkan kegiatan perbaikan
pagar meliputi perbaikan pagar BRC candi Gondosuli tahap I,
perbaikan pagar BRC candi Pendem Sengi, perbaikan pagar BRC
candi Selogriyo tahap I.
Untuk tahun 2009, perbaikan pagar meliputi kegiatan perbaikan
pagar candi Bongkotan, kegiatan perbaikan pagar candi Gondosuli
tahap II, kegiatan perbaikan pagar candi Gunungsari, kegiatan
perbaikan pagar candi Karangnongko, kegiatan perbaikan pagar
candi Sewu, kegiatan perbaikan pagar candi Sojiwan tahap I.
Dari beberapa candi yang penulis kunjungi, penulis mendapati
jenis pagar yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat kita lihat
dari gambar IV.2 di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Gambar IV.2
Pagar candi Ceto, candi Plaosan Lor, candi Selogriyo
Pagar Candi Ceto Pagar Candi Plaosan Lor
Pagar Candi Selogriyo
Dari gambar diatas, terlihat adanya perbedaan jenis pagar yang
dipasang pada candi yang satu dengan candi yang lain. Pagar pada
candi Ceto adalah jenis pagar kawat duri. Pagar pada candi Plaosan
adalah jenis pagar teralis dan pada candi Selogriyo memakai pagar
jenis BRC. Setelah dikonfirmasikan, diperoleh jawaban dari Pak
Deny seperti di bawah ini:
“Kalau yang pagar kawat duri dan teralis itu pagar yang lama mbak. Sekarang ini kita pakainya pagar BRC karena lebih murah, mudah masangnya, dan tidak mengganggu pemandangan. Kita masang pagar itu selain melihat dari sisi keamanannya juga mempertimbangkan dari sisi estetikanya. Sebisa mungkin pagar itu tidak terlihat dan disamarkan, agar tidak mengganggu pemandangan candi” (hasil wawancara 5 April 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sekarang ini
dalam memasang pagar pada candi, BP3 Jawa Tengah cenderung
memilih menggunakan pagar BRC karena memiliki beberapa
keunggulan yaitu murah, mudah memasangnya, tidak mengganggu
pemandangan.
3) Membuat pos jaga
Pos jaga merupakan markas bagi para satpam yang bertugas
mengamankan candi dari perbuatan yang dapat membahayakan
kelestarian candi. Selain itu, pos jaga juga merupakan sarana untuk
mengawasi atau memantau lingkungan candi serta menjadi tempat
sementara untuk mengamankan benda-benda temuan.
Pada tahun 2008 dan tahun 2009 tidak dilakukan pembuatan pos
jaga, tetapi hanya perbaikan saja. Kegiatan perbaikan pos jaga pada
tahun 2008 dilaksanakan di candi Sewu. Sedangkan pada tahun
2009, kegiatan perbaikan pos jaga dilaksanakan di candi Bubrah,
candi Dukuh, candi Tengaran, candi Plaosan, candi Gedong I
kompleks candi Gedong Songo.
Sampai sekarang ini, belum semua candi di Jawa Tengah
memiliki pos jaga. Setelah hal tersebut ditanyakan ke Pokja
Pengaman, alasannya adalah seperti disampaikan oleh Pak Deny:
“Kalau candi itu udah ada satpamnya, nanti kita bangun pos jaga. ...Beberapa candi di daerah terpencil memang banyak yang belum ada satpamnya.” (hasil wawancara 21 Maret 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Dari hasil wawancara di atas, dapat kita ketahui bahwa hanya
candi yang memiliki satpam yang akan diprioritaskan diberi pos
jaga, sedangkan candi yang hanya dijaga oleh juru pelihara sejauh
ini belum dibangun pos jaga, meskipun ada pengecualian misalnya
pada candi Ceto. Candi tersebut memiliki banyak juru pelihara tapi
tidak memiliki satpam. Namun begitu, tetap ada pos jaga.
Hal tersebut mungkin karena mempertimbangkan candi Ceto
lumayan besar dan memiliki banyak arca dan relief, serta sering
dikunjungi wisatawan. Meskipun begitu, tetap saja lebih banyak
candi yang berada di daerah terpencil yang belum memiliki pos
jaga. Tidak adanya pos jaga beserta satpam mungkin karena
kebanyakan candi di lokasi terpencil pada umumnya kecil, minim
arca dan relief, serta jarang dikunjungi wisatawan.
Akan tetapi, candi walaupun itu kecil tidak boleh diremehkan
karena setiap candi pasti memiliki keistimewaan sendiri dan sudah
semestinya untuk tahun yang akan datang pengamanan candi di
lokasi terpencil lebih diperhatikan.
Kembali lagi ke permasalahan pos jaga yang apabila dilihat
fungsinya sebagai markas para satpam yang bertugas mengamankan
candi serta sarana untuk mengawasi atau memantau lingkungan
candi, rasanya pos jaga tidak dibutuhkan oleh juru pelihara. Hal
tersebut karena melihat tugas juru pelihara adalah membersihkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
dan merawat candi, bukan menjaga candi siang dan malam
sebagaimana yang dilakukan oleh satpam.
Akan tetapi, pada kenyataan dilapangan penulis menemukan juru
pelihara yang merangkap tugas sebagai satpam, salah satunya
adalah di candi Selogriyo, sebagaimana penuturan Bapak
Sumaryono selaku Juru Pelihara candi Selogriyo:
“Kulo niki jupel (juru pelihara), nggih ngrangkep satpam” (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2011) Maksudnya adalah Bapak Sumaryono sebenarnya adalah juru
pelihara candi Selogriyo, tapi juga merangkap tugas sebagai satpam.
Tentang juru pelihara yang tugasnya merangkap sebagai satpam
memang pernah disinggung oleh Pak Sugeng Widodo selaku
Kapokja Perlindungan yakni sebagai berikut:
“Akan tetapi walaupun tidak ada satpam, di sana tetap ditempatkan juru pelihara, biasanya diambil dari penduduk sekitar. Juru pelihara tugasnya merawat, memelihara, melakukan antisipasi dini apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada candi” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Hal senada juga disampaikan oleh pak Deny:
“Beberapa daerah terpencil memang banyak yang belum ada satpamnya. Tapi meskipun begitu, masih ada jupel (juru pelihara.red) yang merangkap satpam. Jadi selain melakukan pemeliharaan, juga mengamankan candi” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat kita simpulkan
bahwa juru pelihara selain bertugas melakukan pemeliharaan
ternyata juga bertugas mengamankan candi meskipun porsi tugas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
pengamanan yang dilakukan tidak seperti satpam. Akan tetapi,
melihat tugas pengamanan yang dia kerjakan pastinya dia juga
membutuhkan keberadaan pos jaga untuk mendukung pelaksanaan
tugasnya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Bapak
Sumaryono di bawah ini:
“yo sing baku niku nggih pos jaga niku. Nek dalane rodo apek, sore nek niliki mriku (candi) mandeke kan ning pos jaga, mboten teng warung. Mriki niki kan warung” (hasil wawancara tanggal 23 Maret 2011) Maksud Bapak Sumaryono di atas adalah yang baku atau penting
dan dibutuhkan itu adalah pos jaga. Jadi kalau jalannya bagus dan
sore hari ingin menengok keadaan candi, singgahnya di pos jaga,
bukan di warung.
Menanggapi hal tersebut, Pak Deny memberikan keterangan
sebagai berikut:
“idealnya itu semua candi ada pos jaganya. Jupel yang merangkap satpam pastinya juga butuh karena mereka juga bertugas mengamankan. Tapi kan itu gak bisa langsung karena anggaran kita juga terbatas. Harus dilakukan step by step. Itu sudah kita programkan, jadi untuk kedepannya tetap diupayakan tiap candi itu ada pos jaganya. Kita dalam menyusun kegiatan itu juga melihat skala prioritas” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari apa yang disampaikan Pak Deny di atas, dapat kita tangkap
maksudnya bahwa sebenarnya BP3 juga mengharapkan setiap candi
itu memiliki pos jaga agar pengamanan candi dapat berjalan lebih
baik. Akan tetapi, dana yang turun dari pusat setiap tahun
jumlahnya terbatas dan tidak menutup kemungkinan ada kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
lain yang dirasa lebih mendesak untuk dilakukan. Mungkin itulah
yang menyebabkan belum semua candi memiliki pos jaga dan
meskipun demikian, BP3 Jawa Tengah akan terus mengupayakan
keberadaan pos jaga pada setiap candi.
4) Menempatkan Satpam
Satpam merupakan orang yang bertugas khusus untuk
mengamankan candi dari hal-hal yang dapat merusak kelestarian
candi yang dijaganya. Yang membedakan satpam dengan juru
pelihara adalah satpam diwajibkan memiliki kemampuan
kesamaptaan polri, sedangkan juru pelihara tidak. Oleh karena itu,
satpam yang bekerja di BP3 Jawa Tengah setidaknya pernah
mengikuti pendidikan dalam hal pengamanan, sebagaimana
disampaikan oleh Bapak Sugeng Widodo:
“Terkait kemampuan satpam, untuk satpam yang lama yakni angkatan 80-an sebagian sudah mengikuti pendidikan. Sedangkan untuk satpam yang baru-baru ini, mereka mengikuti pendidikan sendiri” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Hal yang sama juga dikatakan oleh Her Dwiyanto, Satpam di
candi Plaosan Lor yakni sebagai berikut:
“Pernah mbak, ikut pendidikan di Manggala Pratama Service Security selama 1,5 bulan. Itu ikut sendiri, bukan dari kantor. Selain itu pernah juga dikirim untuk mengikui diklat pengamanan di Prambanan dan Borobudur” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa satpam di BP3
Jawa Tengah memang memiliki kemampuan kesamaptaan dimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
kemampuan tersebut didapat dari mengikuti pendidikan serta diklat.
Untuk satpam angkatan 80-an pendidikannya masih ditanggung
oleh BP3 Jawa Tengah sedangkan untuk satpam yang angkatan
baru-baru ini sudah mengikuti pendidikan secara mandiri.
Selain mengikuti pendidikan, satpam juga diberi pembinaan rutin
dari Polsek dan Polres setempat setiap bulannya, serta diberi
pelatihan beladiri setiap hari Jum’at. Hal ini sebagaimana
disampaikan oleh Pak Deny:
“Setiap jum’at kita adakan latihan bela diri bagi satpam-satpam yang baru. Selain itu setiap tanggal 2 juga ada pembinaan dari Polres dan Polsek setempat.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Hal yang sama juga dikatakan oleh Her Dwiyanto, satpam candi
Plaosan, sebagai berikut:
“Tiap tanggal dua ada pengarahan dari Polsek Prambanan dan Polres Klaten. Isinya ya paling PBB, terus mengingatkan kita agar selalu waspada, diajarkan bela diri Polri juga. ...iya, setiap jum’at juga dilatih bela diri buat satpam baru” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Selain mengikuti pendidikan serta mendapat pembinaan rutin,
satpam juga dilengkapi dengan peralatan pendukung seperti senter
dan HT. Karena tugasnya mengamankan candi baik siang maupun
malam, maka jumlah satpam yang ada pada satu lokasi candi dibagi
menjadi beberapa regu dan kemudian diatur waktu tugasnya untuk
berjaga pada shift pagi atau shift malam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Sampai sekarang ini, BP3 Jawa Tengah telah mempekerjakan 99
satpam yang 81 diantaranya bertugas di beberapa candi di Jawa
Tengah sebagaimana terlihat pada tabel IV.3 di bawah ini:
Tabel IV.3 Tabel Jumlah Satpam BP3 Jawa Tengah Yang Bertugas di
Candi-Candi Seluruh Jawa Tengah
No Nama Candi Alamat Jumlah Satpam PNS Kontrak
1.
Kompleks Candi Dieng - Arjuna - Srikandi - Puntadewa - Sembadra - Semar - Sentyaki - Petruk - Antareja - Nakula Sadewa - Nalagareng - Gatutkaca - Bima - Dwarawati - Pari Kesit
Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara 6 1
2. Sukuh Brejo, Ngargoyoso, Karanganyar 2 - 3. Sewu Bener, Bugisan, Prambanan 14 4 4. Plaosan Lor Plaosan, Bugisan, Prambanan 14 4 5. Plaosan Kidul Plaosan, Bugisan, Prambanan 6 - 6. Gana Bener, Bugisan, Prambanan 6 - 7.
Sojiwan Sojiwan, Kebondalem Kidul, Prambanan
9 -
8. Ngawen Ngawen, Muntilan 2 1 9. Mendut Mendut, Mungkid, Magelang 3 2 10. Gunung Wukir Muntilan 2 - 11.
Dukuh Rowoboni, Banyubiru, Kab.
Semarang 1 -
12. Kompleks Candi Candi, Ambarawa, Kab. Semarang 2 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Gedong Songo 13. Candi Pringapus Pringapus, Temanggung 1 -
Jumlah 68 13
Sumber: Pokja Perlindungan BP3 Jawa Tengah
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa baru 13 candi saja yang
dijaga oleh satpam. Apabila dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan candi di seluruh Jawa Tengah yang menurut data dari
BP3 Jawa Tengah adalah 64 candi (lihat lampiran), maka dapat
dikatakan bahwa baru sekitar 20% saja candi di Jawa Tengah yang
telah dijaga oleh satpam. Melihat kenyataan di atas, tentu timbul
pertanyaan tentang bagaimana tingkat keamanan sebagian besar
candi lainnya yang tidak dijaga oleh satpam. Menanggapi hal
tersebut, Pak Deny memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Beberapa daerah terpencil memang banyak yang belum ada satpamnya. Tapi meskipun begitu, masih ada jupel (juru pelihara.red) yang merangkap satpam. Jadi selain melakukan pemeliharaan, juga mengamankan candi” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan Pak Deny di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa walaupun candi tidak dijaga oleh satpam, masih ada juru
pelihara yang juga bertugas merangkap satpam dan berarti tugasnya
selain melakukan pemeliharaan adalah mengamankan candi juga.
Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa juru pelihara tidak
memiliki pengetahuan khusus tentang pengamanan yang setara
dengan satpam. Selain itu juru pelihara juga tidak menjaga candi
full time sebagaimana satpam. Terlebih lagi juru pelihara juga tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
mengikuti pembinaan tiap bulan serta latihan bela diri. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Bapak Sumaryono sebagai berikut:
“Asline niku jam 7.30-15.30. Ning kulo biasane mriki nggih jam-jam 8.00 enjing, wong mangkeh biasane ngantos jam 17.00 sonten. Kadang nggih ngantos jam 18.00. ...nek dalu nggih mboten wonteng sing jogo mbak. Ning kulo kadang nggih tilem mriki, biasane pas hari besar kan wonten dangdutan teng mriki. Nopo kadang pas wonten tiang tilem mriki, kulo nggih mesti tilem mriki. Pokoke nunggoni ngantos tiangipun wangsul. ...Nek sing pemeliharaan niku mboten, tapi nek sing keamanan dididik saking polres nganu to, polsek klaten niko” (hasil wawancara 23 Maret 2011) Dari hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa menurut
peraturan juru pelihara bertugas dari pukul 07.30-15.30 WIB. Pada
candi Selogriyo, juru peliharanya bekerja sampai dengan pukul
18.00 WIB. Walaupun begitu, setelah jam tersebut tidak ada lagi
yang menjaga candi. Kalaupun juru pelihara tidur di candi, itupun
hanya pada waktu-waktu tertentu dan sangat jarang. Selain itu, juru
pelihara juga tidak diwajibkan mengikuti pembinaan yang diadakan
tiap tanggal dua.
Dari hasil wawancara di atas, penulis melihat bahwa waktu
malam hari inilah yang menjadi saat paling rawan terhadap
kemungkinan terjadinya tindak pencurian. Apalagi melihat
banyaknya jumlah candi yang terletak di daerah terpencil dan jauh
dari pemukiman warga dan belum dijaga oleh satpam. Oleh karena
itu penulis merasa pengamanan pada candi khususnya yang berada
di daerah terpencil masih sangat kurang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Terkait banyaknya candi yang belum dijaga oleh satpam, Pak
Sugeng Widodo memberikan tanggapan sebagai berikut:
“Belum semua candi dilakukan pengamanan (penempatan satpam.red). Namun untuk kedepannya akan tetap diupayakan pengamanan” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Terkait upaya untuk menambah jumlah satpam yang bertugas di
candi-candi juga disampaikan oleh Pak Deny, yakni sebagai berikut:
“Tiap tahun akan ada penambahan jumlah satpam kontrak yang baru dan akan terus dilakukan sampai tercukupi jumlah yang kami butuhkan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Selain mengenai minimnya jumlah candi yang telah dijaga
satpam, dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa jumlah satpam
yang menjaga candi itu berbeda-beda antara candi yang satu dengan
yang lain. Penulis mengamati bahwa candi yang berada di daerah
yang dekat dengan kantor BP3 Jawa Tengah yakni Prambanan,
cenderung memiliki jumlah satpam yang lebih besar dibanding
dengan candi yang berada di daerah yang jauh dari Prambanan.
Ternyata BP3 Jawa Tengah memiliki pertimbangan tersendiri
dalam menentukan candi mana saja yang akan mendapat prioritas
untuk dijaga satpam dan berapa jumlah satpam yang ditugaskan.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo:
“...mempertimbangkan kondisi candi dan tingkat kerawanannya. Kalau candi yang tinggal fondasinya saja, maka tingkat kerawanannya tidak begitu tinggi. Selain itu juga melihat banyak tidaknya terdapat benda-benda berharga yang mudah dibawa seperti arca” (hasil wawancara 7 Februari 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan
yang dipakai untuk menentukan perlu tidaknya sebuah candi diberi
satpam adalah dengan melihat kondisi candi tersebut, apakah masih
utuh, apakah masih banyak BCB bergeraknya. Kalau candinya
masih utuh dan banyak terdapat BCB bergerak seperti arca, kala,
relief, makara, lingga-yoni dan sebagainya maka candi tersebut akan
mendapat prioritas untuk ditempatkan satpam disana.
Berbeda dengan pendapat di atas, Pak Deny lebih melihat kondisi
lingkungan dan masyarakat sekitar candi sebagai pertimbangan
terkait perlu dan tidaknya sebuah candi diberi satpam. Pernyataan
pak Deny tersebut adalah sebagai berikut:
“Antara candi yang berada di atas bukit maupun yang berada dekat dengan perkampungan penduduk memiliki tingkat kerawanannya sendiri-sendiri. Candi yang berada di atas bukit yang lokasinya terpencil dan penduduknya masih jarang, tingkat kerawanannya bisa saja tinggi karena sepi dan tidak ada listrik. Akibatnya kan gelap karena tidak ada lampu. Kalau candi yang berada di dekat perkampungan penduduk, ya lihat dulu penduduknya seperti apa. Peduli tidak dengan keberadaan candi” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak selalu
candi yang berada di atas bukit itu rawan dan tidak selalu juga candi
yang berada dekat dengan perkampungan masyarakat itu aman.
Semua itu sangat dipengaruhi bagaimana tingkat kepedulian
masyarakat terhadap candi itu, apakah ikut menjaga keamanannya
atau malah tidak mempedulikan candi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Menanggapi anggapan penulis tentang candi di sekitar
Prambanan yang memiliki satpam lebih banyak dibanding daerah
lain, Pak Deny memberikan tanggapan sebagai berikut:
“...daerah Prambanan khususnya, merupakan pusatnya koleksi Mataram Lama (Hindu-Budha) di Jawa Tengah. Banyak arca yang bagus-bagus dan masih lengkap. Candi-candi di daerah Prambanan sepertinya sudah terkenal kaya akan arca yang bagus-bagus, apalagi di Plaosan itu banyak sekali arcanya. Karena sudah terkenal bagus kan mesti banyak yang ngincar. Selain itu di Jogja kan juga banyak sekali art shop, bisa jadi disana juga banyak terdapat kolektor. Oleh karena itu memang disini (Prambanan) sengaja kita kuati.” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa di daerah
Prambanan memang banyak sekali terdapat candi dimana candi-
candi disana umumnya megah, kaya akan arca, relief dan benda-
benda lain yang menjadi incaran para kolektor. Dengan begitu,
candi-candi di Prambanan dapat dikatakan tingkat kerawanannya
tinggi dan wajar apabila satpam yang menjaga candi-candi di daerah
tersebut berjumlah banyak.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan
yang dipakai oleh BP3 Jawa Tengah dalam menilai perlu tidaknya
sebuah candi diberi satpam adalah melihat pada dua hal. Pertama
adalah kondisi candi yaitu keutuhan dan jumlah BCB bergerak di
dalamnya. Kedua adalah bagaimana tingkat kepedulian masyarakat
yang berada paling dekat dengan lokasi candi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
b. Penyelamatan
Penyelamatan merupakan upaya darurat ataupun terencana untuk
melindungi BCB dan situs dari ancaman kerusakan, kehilangan, dan
kemusnahan. Kegiatan penyelamatan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah
selama tahun 2008 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut:
1) Pemintakatan/Zoonasi
Pemintakatan adalah salah satu upaya penyelamatan terhadap
situs candi dengan cara menetapkan lahan peruntukan terhadap
situs, yang terdiri atas mintakat inti, mintakat penyangga, dan
mintakat pengembangan. Pemintakatan sebenarnya merupakan
metode perencanaan dalam penggunaan tanah.
Tujuan dilakukan pemintakatan adalah sebagaimana disampaikan
oleh Pak Sugeng Widodo sebagai berikut:
“Penyelamatan yang kaitannya dengan manusia yaitu dengan zoonasi. Agar dalam perkembangan pemukiman atau fasilitas lain, tidak akan mengganggu candi. Bila pemintakatan tidak dilakukan, dihawatirkan akan terjadi keterlanjuran” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Dari pernyataan Pak Sugeng Widodo di atas, dapat disimpulkan
bahwa sebuah candi itu perlu dilakukan pemintakatan yakni
mengatur peruntukan lahan di sekitar candi. Pada waktu yang akan
datang, dimungkinkan akan lebih banyak lagi candi yang
dikembangkan untuk pariwisata. Hal tersebut akan mendorong
dibangunnya fasilitas-fasilitas pendukung di sekitar candi, misalnya
toilet, tempat parkir, rumah makan, penginapan, toko souvenir dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
sebagainya. Atau bisa jadi lebih banyak lagi rumah-rumah warga
yang dibangun di wilayah sekitar candi.
Apabila lahan candi dan sekitarnya tidak di atur peruntukannya,
maka pembangunan-pembangunan seperti di atas bisa saja
mengancam kelestarian candi. Pembangunan yang dapat
mengancam kelestarian candi contohnya adalah mendirikan
bangunan permanen sangat dekat dengan candi, padahal pada lokasi
tersebut masih diduga terdapat bagian candi yang belum ditemukan.
Seperti yang telah disebutkan dalam bab tinjauan pustaka di atas,
sistem pemintakatan terdiri dari mintakat inti, mintakat penyangga,
dan mintakat pengembangan. Pada mintakat inti, hanya ada candi
dan bangunan yang merupakan fasilitas pendukung seperti pos jaga
dan barak kerja bila candi tersebut dalam proses pemugaran. Pada
mintakat penyangga, hanya boleh ada toilet dan tempat ibadah.
Sedangkan pada mintakat pengembangan, dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan pariwisata dan kepentingan lainnya.
Pada tahun 2008, pemintakatan dilakukan di candi Ceto.
Sedangkan pada tahun 2009, pemintakatan dilakukan di candi
Ngempon, dan kompleks candi Sengi (candi Asu, candi Pendem,
dan candi Lumbung). Hasil dari kegiatan pemintakatan akan
digunakan sebagai rambu-rambu atau tata aturan dalam hal
pengembangan sehingga pemanfaatannya tetap berbasis pada
pelestarian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Agar lebih jelas, penulis mengambil contoh hasil pemintakatan
pada candi Asu, salah satu candi pada kompleks candi Sengi. Hasil
pemintakatan candi Asu tersebut penulis dapat dari laporan hasil
pemintakatan Kompleks Candi Sengi.
Pemintakatan ini dilatarbelakangi oleh rencana Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Magelang untuk
mengembangkan kompleks candi Sengi sebagai tempat pariwisata
karena dinilai lokasinya memiliki posona pedesaan yang khas, serta
akan digabungkan dalam paket wisata lereng gunung merapi atau
Ketep pass. Dari pemintakatan yang dilakukan oleh BP3 Jawa
Tengah, diperoleh hasil sebagai berikut:
a) Mintakat Inti
Lokasi ini dilengkapi dengan kawat beduri yang dikamuflase
dengan pohon yang mengelilingi candi. Di dalam pagar
dilengkapi dengan pos keamanan dan pertamanan.
b) Mintakat Penyangga
Mintakat penyangga merupakan areal persawahan. Penentuan
berdasarkan aspek arkeologis, geotopografis lingkungan
sehingga diperoleh batas sisi utara, timur, selatan berjarak 20
meter dari candi. Sedangkan sisi barat dibatasi jalan desa
menuju Tlatar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
c) Mintakat Pengembangan
Pada mintakat pengembangan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan agama, sosial, pendidikan, pariwisata dan
kebudayaan.
Dari penjabaran di atas tentang kegiatan pemintakatan, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan pemintakatan bertujuan untuk
mengatur peruntukan lahan situs agar pembangunan yang terjadi
tidak mengganggu kelestariannya. Selain itu, kegiatan pemintakatan
ini diprioritaskan pada candi yang akan dikembangkan sebagai
tempat wisata oleh Dinas Pariwisata setempat seperti candi Ceto
dan kompleks candi Sengi.
2) Pembebasan dan Pensertifikatan Tanah
Pembebasan dan Pensertifikatan tanah merupakan upaya yang
dilakukan untuk merubah hak kepemilikan tanah tempat dimana
candi berada dari milik perseorangan/kelompok menjadi milik
negara, dengan jalan membeli tanah tersebut dari pemilik tanah.
Pembelian tanah sangat penting dilakukan. Hal itu mengingat
pembuatan pagar dan pos jaga baru akan dilakukan setelah
dilakukan pensertifikatan tanah. Selain itu, pemilik tanah memiliki
hak untuk membangun bangunan baik itu sementara atau permanen
di atas tanahnya tersebut. Oleh karena itu, dengan dilakukannya
pembelian tanah dan kemudian mensertifikatkannya, maka kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
pengamanan, penyelamatan dan sebagainya akan lebih mudah
dilakukan karena tanah tersebut sudah dimiliki oleh negara.
Pada tahun 2008, dilakukan pembebasan dan pensertifikatan
tanah di candi Sojiwan. Pada waktu itu BP3 Jawa Tengah membeli
tanah kas desa. Hal tersebut sebagaimana dejelaskan oleh Pak
Tunggul, warga desa setempat sebagai berikut:
“itu beli tanah kas desa mbak. Jadi urusane BP3, kelurahan sama kabupaten. Tidak membeli tanah dari warga, tanah kas desa semua itu mbak” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah dimana
candi Sojiwan sekarang ini berdiri adalah tanah kas desa. Yang
dimaksud dengan tanah kas desa adalah tanah dimana warga
tersebut boleh menggunakannya, tetapi tidak boleh
memperjualbelikannya. Karena tanah tersebut milik desa, maka
transaksi jula beli dilakukan antara pihak BP3 Jawa Tengah, pihak
Kelurahan dan Kabupaten setempat.
2. Responsivitas
Responsivitas merupakan kemampuan organisasi dalam mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dalam penelitian ini
menggambarkan sejauh mana kemampuan BP3 Jawa Tengah dalam
menyusun program dan kegiatan perlindungan terhadap BCB dan situs
terutama candi, yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Dalam penelitian ini, penulis menilai responsivitas BP3 Jawa Tengah
dalam perlindungan candi melalui tiga aspek. Pertama, bagaimana BP3
Jawa Tengah menerima, menanggapi dan menindaklanjuti laporan maupun
saran dari masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang dilakukan.
Kedua, bagaimana BP3 Jawa Tengah menanggapi dan menindaklanjuti
laporan serta masukan dari satpam dan juru pelihara candi. Ketiga,
bagaimana BP3 Jawa Tengah membangun komunikasi eksternal yakni
komunikasi dengan masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang akan
dilaksanakan.
Pembahasan responsivitas disini akan dimulai dari aspek pertama yaitu
bagaimana BP3 Jawa Tengah menerima, menanggapi dan menindaklanjuti
laporan maupun saran dari masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang
dilakukan.
BP3 Jawa Tengah merupakan organisasi publik yang
menyelenggarakan pelayanan tidak langsung kepada masyarakat, yakni
dalam bidang pelestarian BCB dan Situs di Jawa Tengah. Sebagai
organisasi publik yang bertugas melayani masyarakat, tentunya BP3 Jawa
Tengah juga akan terbuka terhadap aspirasi masyarakat baik itu masukan
atau saran maupun laporan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak
Deny sebagai berikut:
“Aspirasi dari masyarakat akan kita terima dengan baik. Nanti kami pertimbangkan” (hasil wawancara 21 Maret 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa BP3 menyambut baik
terhadap aspirasi dari masyarakat. Aspirasi masyarakat kepada BP3 Jawa
Tengah bisa disampaiakan melalui beberapa cara sebagaimana
disampaikan oelah Pak Junawan sebagai berikut:
“Media untuk menyalurkan aspirasi masyarakat ya bisa lewat website kita di www.purbakala.jawatengah.go.id, lewat pameran kepurbakalaan juga. Saat pameran kan biasanya kita membuka semacam layanan konsumen gitu mbak. Laporan yang datang biasanya tentang situs yang rusak, penemuan BCB di sana sudah ditinjau belum pak, saya menemukan BCB Pak lalu bagaimana” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Hal yang sama juga disampaikan oleh Pak Putu, staf Pokja Pemanfaatan
yang juga bertugas mengelola website BP3 Jawa Tengah, yakni sebagai
berikut:
“iya mbak, lewat website juga bisa. Yang masuk ke sini tu biasanya laporan penemuan BCB. Kalau ada laporan kayak gitu nanti kita teruskan ke bagian perlindungan supaya ditindaklanjuti” (hasil wawancara 5 April 2011) Saat penulis mencoba megakses alamat website yang disebutkan,
terbukti bahwa melalui website tersebut kita dapat menyampaikan aspirasi
dan nantinya aspirasi tersebut akan ditampilkan pada website tersebut.
Aspirasi yang disampaikan melalui website BP3 Jawa Tengah tersebut
salah satunya seperti yang disampaiakan oleh Cah Ndesa yang
menanyakan kapan candi yang berada di daerahnya yaitu di Mangunsuko,
dekat kali Senowo akan digali lagi. Hal tersebut dikarenakan candi itu
ditemukan pada tahun 80-an, akan tetapi sampai sekarang belum
dilaksanakan penggalian/ekskavasi lebih lanjut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Salah satu hal yang disayangkan dari website ini adalah penulis tidak
menemukan feedback atau tanggapan dari pihak BP3 Jawa Tengah terkait
aspirasi yang disampaikan tersebut. Padahal feedback tersebut menurut
penulis sangat penting, dimana dengan diberikannya sebuah tanggapan
maka paling tidak masyarakat akan merasa aspirasi mereka telah didengar.
Terkait tindak lanjut yang dilakukan BP3 Jawa Tengah terhadap
laporan seperti di atas disampaikan oleh Pak Junawan selaku Kasubpokja
Penyelamatan sebagai berikut:
“Kalau ada laporan, biasanya kita meninjau langsung ke lapangan kemudian melakukan diskusi dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan bagaimana penanganan selanjutnya. Yang diajak diskusi bisanya ya para arkeolog, ahli arsitektur, ahli geologi, ahli lingkungan dan sebagainya” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa BP3 responsiv
terhadap laporan dari masyarakat terkait penemuan BCB serta situs yang
mengalami kerusakan, karena BP3 Jawa Tengah akan segera melakukan
langkah awal yakni peninjauan ke lokasi serta diskusi dengan pihak terkait
mengenai bagaimana penanganannya.
Untuk penanganan selanjutnya, mungkin memang ada beberapa candi
yang terkesan diabaikan, yakni hanya ditinjau tetapi tidak dilakukan
langkah penanganan setelahnya. Hal tersebut mungkin dikarenakan
banyaknya permasalahan terkait candi yang harus ditangani, dan dalam
penanganannya dilakukan secara bertahap berdasarkan skala prioritas.
Selain melalui website dan pameran, penulis melihat ada media lain
yang sebenarnya potensial untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
melalui buku tamu. Hampir semua candi memiliki buku tamu karena buku
tersebut berfungsi unutk mencatat berapa jumlah pengunjung sebuah candi
dan dari mana saja asalnya. Salah satu pengunjung candi yang pernah
menuangkan aspirasinya lewat buku tamu adalah Wijna, seseorang yang
memiliki ketertarikan besar terhadap candi dan telah mendatangi hampir
seluruh candi yang ada di Jawa Tengah dan sekitarnya. Wijna sendiri
memiliki sebuah blog yang beralamat di http://mblusuk.com, yang berisi
pengalamannya mendatangi candi-candi di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Menurut Wijna, dia pernah menuliskan aspirasinya dalam buku tamu,
yaitu seperti di bawah ini:
“Adapun yang berkaitan dengan candi semisal kurangnya panduan keberadaan candi, informasi latar-belakang candi, petugas-petugas yang kurang ramah, dan masih banyak lainnya. Biasanya uneg-uneg itu aku tulis di bukutamu. ..menurutku masih kurang. Terutama untuk candi-candi yang aksesnya jauh dan tidak berdampak pada kehidupan warga, semisal bukan obyek pariwisata atau difungsikan sebagai tempat ibadah. Beberapa candi nampak kurang terawat, yah mungkin perawatannya berjangka beberapa tahun sekali. Selain itu keterbatasan personil di lapangan seperti satpam, juru rawat, atau juru kunci dan juga shift jaga malam, sepertinya membuat candi rentan akan kerusakan.” (hasil wawancara 20 Mei 2011) Pernyataan di atas membuktikan bahwa buku tamu memang potensial
digunakan sebagai media penyampaian aspirasi masyarakat terhadap BP3
Jawa Tengah. Akan tetapi sayangnya sampai sekarang aspirasi yang
tertulis dalam buku tamu belum mendapat perhatian besar. Satpam atau
juru pelihara candi sepertinya hanya bertugas melaporkan jumlah
pengunjung candi serta catatan tentang pelaksanaan tugas mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Aspirasi tidak hanya berupa laporan, tetapi dapat juga berupa saran atau
masukan. Terkait masukan dari masyarakat atau LSM, terhadap
pelaksanaan kegiatan perlindungan yang dilakukan, dikatakan bahwa
selama ini belum pernah ada masukan. Hal ini sebagaimana disampaikan
oleh Pak Deny di bawah ini:
“LSM dan masyarakat belum pernah ada komplain atau masukan tentang kegiatan perlindungan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Pernyataan Pak Deny tersebut diperkuat oleh pernyataan Pak Junawan
seperti di bawah ini:
“sejauh ini belum pernah ada. Yang ada biasanya tentang laporan penemuan BCB atau bila BCB hilang atau rusak” (hasil wawancara 21 Maret 2011)
Dari petikan dua pernyataan di atas memperlihatkan bahwa selama ini
memang belum ada masukan atau saran tentang kegiatan perlindungan
yang dilaksanakan oleh BP3 Jawa Tengah. Penulis melihat bahwa tidak
adanya masukan atau saran dari pihak di luar BP3 Jawa Tengah ini karena
dua kemungkinan.
Pertama, mungkin BP3 Jawa Tengah kurang membuka diri atau kurang
melibatkan masyarakat dalam kegiatan perlindungan, sehingga masyarakat
kurang mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan untuk melindungi
candi. Hampir semuanya dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah sendiri,
padahal tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah masyarakat yang ingin
berpartisipasi dalam kegiatan ini banyak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Kedua, mungkin masyarakat yang kurang peduli dengan keberadaan
BCB, dalam hal ini adalah candi. Ketidak pedulian tersebut mungkin
disebabkan karena masyarakat belum mengetahui betapa besar nilai
penting dari candi. Ketidaktahuan masyarakat ini penyebabnya adalah isu
tentang budaya khususnya candi kurang gencar diberitakan atau disorot
oleh media. Media cetak maupun elektronik hanya dipenuhi oleh berita
seputar politik, terorisme, korupsi, dan sebagainya. Akibatnya, hanya
sedikit dari masyarakat yang tahu tentang BCB, nilai pentingnya, siapa
yang bertugas melakukan perlindungan dan bagaimana bentuk
perlindungan terhadap BCB tersebut.
Apabila seandainya ada masukan atau saran dari masyarakat, tindak
lanjut yang dilakukan BP3 Jawa Tengah adalah seperti disampaikan oleh
Pak Deny seperti di bawah ini:
“Apabila itu tidak sinkron dengan program BP3 ya tidak kami pakai. Maksudnya sinkron dengan program BP3 itu adalah usulan-usulan tersebut memang termasuk kegiatan-kegiatan BP3 dalam hal perlindungan. Misalnya ada usulan, Pak mbok candi sana itu dikasih lampu dikasih pagar. Tempatnya kan rawan pak” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa apabila ada masukan
dari masyarakat yang mana masukan tersebut merupakan kegiatan yang
juga sering dilakukan BP3 dalam rangka melindungi candi, maka BP3
akan responsiv karena akan ditindaklanjuti. Tindak lanjutnya misalnya
dengan mempertimbangkan saran tadi untuk dimasukkan dalam kegiatan
perlindungan pada tahun selanjutnya. Sementara tentang usulan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
berseberangan dengan kegiatan BP3 atau hal-hal tersebut belum pernah
dilakukan sebelumnya, maka sikap BP3 terlihat kurang responsif.
Disini penulis berpendapat bahwa apabila hal ini terus terjadi,
dihawatirkan kegiatan perlindungan yang dilakukan dari waktu ke waktu
akan begitu-begitu saja. Padahal modus kejahatan di luar sana setiap saat
selalu berkembang. Selain itu, wacana yang berkembang di luar terkait
perlindungan candi yang walaupun tidak secara langsung ditujukan kepada
BP3 Jawa Tengah hendaknya juga diperhatikan. Misalnya saja wacana
tentang pemasangan CCTV di candi Borobudur
(http://koran.republika.co.id).
Candi Borobudur dalam pengelolaannya diserahkan kepada pihak
swasta yakni PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB). BP3 Jawa
Tengah sebagai organisasi yang juga bertugas mengelola candi sebaiknya
juga mengikuti cara tersebut, yakni merencanakan pemasangan CCTV
pada candi, khususnya pada candi yang besar dan tingkat kerawanannya
tinggi. Memasang CCTV sepertinya akan lebih efektif dan efisien
dibandingkan dengan menambah jumlah satpam pada sebuah candi.
Setelah membahas aspek pertama, penulis akan membahas aspek kedua
dalam penilaian responsivitas yaitu bagaimana BP3 Jawa Tengah
menanggapi dan menindaklanjuti laporan serta masukan dari satpam dan
juru pelihara candi. Hal ini juga penting untuk diamati karena melihat
posisi penting satpam dan juru pelihara yakni sebagi ujung tombak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
kegiatan perlindungan yang dilakukan. Satpam maupun juru pelihara
adalah orang yang tahu persis bagaimana keadaan candi yang dijaganya.
Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa kegiatan perlindungan akan
dapat berjalan dengan baik apabila BP3 Jawa Tengah memperhatikan
aspirasi dari para satpam dan juru pelihara yang bertugas di lapangan, baik
itu berupa laporan maupun masukan. Terkait adanya laporan dari satpam
maupun juru pelihara pernah disampaikan oleh Pak Deny seperti di bawah
ini:
“Kalau ada laporan, biasanya langsung meninjau ke lokasi seketika itu juga. Waktu itu pernah pada tengah malam ada laporan dari satpam yang bertugas di Gedong Songo bahwa telah terjadi pencurian. Ya saat itu juga saya mengendarai mobil sendiri ke Gedong Songo, dari rumah saya di Klaten” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Terkait penyampaian laporan ke BP3 Jawa Tengah, Her Dwiyanto
selaku satpam di Candi Plaosan Lor memberikan keterangan sebagai
berikut:
“Waktu tau kalau ternyata dua kepala arca itu dicuri, kita langsung mengamankan lokasi dan langsung lapor kantor. Saat itu langsung datang, tidak berselang lama” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa BP3 Jawa Tengah sangat
responsif dalam menanggapi adanya laporan pencurian BCB di candi.
Untuk tindak lanjut terhadap pencurian itu adalah sebagaimana
disampaikan Pak Deny dibawah ini:
“Langkah pertama kita meninjau ke lokasi, meminta keterangan pada satpam yang berjaga saat itu. Setelah itu kita lapor Polsek setempat. ...Setelah ada kejadian pencurian itu kita lakukan evaluasi. Jadi, setiap mau pergantian shift akan dilakukan pengecekan aset terlebih dahulu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Nanti kalau ada yang hilang kan ketahuan, itu hilangnya pas regu mana yang sedang jaga” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Tentang dilakukannya evaluasi dan perubahan pengamanan setelah
terjadinya pencurian dua kepala arca Buddha di candi Plaosan Lor juga
disampaikan oleh Her Dwiyanto, satpam di candi Plaosan yakni sebagai
berikut:
“Setelah kejadian itu ya ada perubahan. Kita yang tadinya bertugas selama 6 jam sekarang jadi 12 jam. Selain itu kita juga mengisi buku mutasi setiap mau pergantian shift regu jaga” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa responsivitas
BP3 Jawa Tengah dalam menanggapi laporan tentang pencurian BCB di
candi sangat baik. Selain segera meninjau ke lokasi dan berkoordinisi
dengan satuan kepolisian setempat, BP3 Jawa Tengah juga melakukan
evaluasi terkait kelemahan pada sistem pengamanan yang selama ini
dilakukan. Setelah itu, dilakukan perbaikan sistem pengamanan untuk
mencegah terjadinya hal serupa di kemudian hari.
Selain laporan pencurian, ada juga masukan yang disampaikan satpam
dan jupel pada BP3 Jawa Tengah terkait masalah atau keterbatasan yang
dihadapi di lapangan. Hal ini sebagaimana disampaikan Pak Deny sebagai
berikut:
“keluhan itu pasti ada, paling masalah seragam, lampu mati, dan peningkatan kesejahteraan. Tiap tahun itu kita udah melakukan pengadaan seragam, tikar, batu baterai, sampai mantel” (hasil wawancara 5 April 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Selain itu, masukan pada BP3 Jawa Tengah terkait masalah
pengamanan misalnya, pernah disampaikan oleh satpam candi Plaosan Lor
seperti dibawah ini:
“HT jumlahnya masih kurang, cuma ada dua. Tapi kita terus usaha sendiri mbak, ngadain arisan HT. Ya inisiatif dari kita sendiri karena yang namanya satpam itu kan butuh HT. Kalau ada apa-apa bisa cepet menghubungi yang lain , sekali pencet saja bisa. Kalau pake HP kan ribet mbak, gak bisa cepet. Lampu ya ada, tapi cuma di dekat-dekat pagar saja. Jadi untuk lokasi tengah itu ya gelap. Ya harusnya di lokasi tengah itu ada lampu-lampu spot. Pos jaga masih kurang kalau melihat luasnya candi seperti ini. Disini ada dua pos jaga dan satu warekeet. Paling tidak disana (utara) ada pos jaga satu lagi. Kalau pos jaga yang itu (timur) jarang digunakan karena menurut kami kurang strategis. ...paling tidak dipasang kran air sama dibangun toilet karena biasanya disini yang kita pakai jaga. Kan ini dekat pintu masuk. Kita kalau mau buang air harus berjalan jauh dulu ke warekeet ujung sana, kalau tidak ya numpang di rumah-rumah penduduk situ. Selain itu pengunjung juga banyak yang menanyakan dimana kamar mandi. ...satpam yang sebelum saya pernah mengeluhkan hal itu, saya juga pernah menyampaikan waktu habis ada kejadian kemalingan arca itu. Tapi ya sampai sekarang belum dibangun-bangun juga” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Pak Sumaryono, juru
pelihara yang merangkap satpam di candi Selogriyo seperti di bawah ini:
“Pun usul, mbok didamelne pos jaga, WC, kalih kulo nyuwun HT. Teng mriki seringe mboten wonten sinyal. Nek wonten nopo-nopo ben gampang nek ngabari adik kulo (jupel candi selogriyo juga). ...yo sing baku niku nggih pos jaga niku. Nek dalane rodo apek, sore nek niliki mriku mandeke kan ning pos jaga, mboten teng warung. Mriki niki kan warung. Kalih niku, nek wonten pengunjung kulo ndadak wira-wiri marani setunggal-setunggal. Nek wonten pos jaga kan mangkeh pengunjung niku mandeke teng pos jaga rumuyin, ngisi buku tamu sak derenge. Mriki nek dalu peteng, mboten wonten listrik. Kulo ndek mbiyen pernah ndamel dinamo kincir air, ning lampune niku murupe kirang padhang, wong kaline miline cilik.” (hasil wawancara 23 Maret 2011) Dari dua petikan wawancara di atas menunjukkan bahwa ternyata
satpam dan juru pelihara yang bertugas di lapangan masih menemukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
banyak kendala. Menurut dua informan di atas, hal tersebut juga pernah
disampaikan pada pihak BP3 Jawa Tengah akan tetapi belum mendapat
tindak lanjut.
Apabila diamati, kendala yang dihadapi dalam masalah pengamanan
adalah sama yaitu masalah fasilitas pendukung pengamanan yang antara
lain adalah HT, pos jaga, lampu penerangan, serta toilet. Padahal alat-alat
tersebut sangatlah penting untuk menunjang pengamanan.
HT merupakan alat komunikasi khusus untuk mempermudah
komunikasi antar satpam. Pos jaga merupakan markas satpam untuk
melakukan pemantauan terhadap lingkungan. Lampu penerangan sangat
penting untuk membantu mengawasi lokasi candi pada malam hari. Lampu
yang tidak terang akan menyulitkan petugas melakukan pengawasan.
Toilet juga sangat dibutuhkan. Walaupun bukan merupakan sarana
penunjang keamanan, keberadaan toilet juga berpengaruh terhadap
kegiatan pengamanan. Apabila tidak ada toilet, satpam atau juru pelihara
harus meninggalkan lokasi yang dijaga selama beberapa waktu hanya
untuk buang air dan hal tersebut akan melemahkan pengamanan.
Masukan satpam dan juru pelihara di atas sebenarnya menyangkut hal-
hal yang penting dan sangat berpengaruh dalam kegiatan pengamanan
yang dilakukan. Akan tetapi sayangnya pihak BP3 Jawa Tengah kurang
rsponsif terhadap hal ini. Setelah dikonfirmasikan pada Pak Deny,
alasannya adalah sebagai berikut:
“kalau pos jaga (di Plaosan Lor) sudah cukup jumlahnya, ada dua pos jaga dan satu warekeet. Memang yang sebelah utara itu kurang bagus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Harusnya bangunannya separuhnya kaca bukan tembok semua kayak gitu, jadi bisa mudah melihat sekitarnya. Kalau di selogriyo itu ada warekeet, agak di bawah letaknya. Bisa itu dipake pos jaga” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masih
terdapat perbedaan antara BP3 Jawa Tengah dengan satpam dan juru
pelihara selaku petugas lapangan terkait penilaian cukup atau tidaknya
fasilitas pendukung pengamanan pada candi yang dijaganya. Pihak BP3
Jawa Tengah merasa fasilitas yang ada sudah cukup, akan tetapi satpam
dan juru pelihara yang bertugas di lapangan masih merasa kurang sehingga
akan memberikan hambatan bagi pelaksanaan tugas mereka.
Setelah membahas dua aspek di atas, selanjutnya akan dibahas aspek
ketiga dalam penilaian responsivitas yaitu membangun komunikasi
eksternal yakni dengan masyarakat terkait kegiatan perlindungan yang
akan dilaksanakan. Dalam kegiatan perlindungan yang dilakukan, BP3
Jawa Tengah juga selalu membuka kesempatan pada masyarakat untuk
ikut serta. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh pak Deny sebagai
berikut:
“Kita menerapkan konsep pelestarian berwawasan masyarakat, yaitu mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pelestarian” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
pelestarian yang di dalamnya termasuk juga ada kegiatan perlindungan,
juga akan melibatkan masyarakat baik dalam proses perencanaan kegiatan
maupun dalam pelaksanaannya. Dengan melibatkan masyarakat baik pada
taraf perencanaan kegiatan maupun pelaksanaannya, sama artinya dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
BP3 Jawa Tengah telah menjalin komunikasi secara eksternal yaitu dengan
masyarakat. Dengan begitu, BP3 Jawa Tengah dapat mengetahui
bagaimana keinginan masyarakat dalam kegiatan perlindungan yang
dilaksanakan.
Pelibatan masyarakat dalam kegiatan perlindungan terlihat dalam
beberapa kegiatan yang dilakukan BP3 Jawa Tengah yaitu dalam hal
pengamanan lokasi candi, pemintakatan/zoonasi, pemindahan candi,
pembebasan dan pensertifikatan tanah candi.
Dalam hal pengamanan lokasi candi, BP3 memberikan kesempatan bagi
masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam mengamankan lokasi candi.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo sebagai
berikut:
“Seperti di candi Sojiwan, masyarakatnya ikut menjaga. Apabila ada hal yang dapat merugikan candi, masyarakat akan langsung mengambil langkah antisipasi. Selama ini, secara tidak langsung masyarakat juga ikut mengamankan” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Pernyataan Pak Sugeng Widodo di atas didukung oleh pernyataan Pak
Sumardi selaku satpam di candi Sojiwan yakni sebagai berikut:
“iya mbak, kalau malam ada beberapa warga yang ikut ngumpul disini. Biasanya ya jam 8 ato 12 sudah pada pulang. Tapi kadang ya ada yang ikut tidur sini, paling satu dua orang. Selain itu di baliknya candi, ndak kelihatan kalau dari sini, kan ada tempat duduk yang sering dipake nongkrong anak muda. Walaupun di luar pagar, tapi secara tidak langsung mereka juga ikut mengawasi” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa BP3 Jawa Tengah juga
memperbolehkan masyarakat turut serta membantu mengamankan lokasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
candi. Dari situ juga dapat di lihat bahwa masyarakat di sekitar candi
Sojiwan tersebut peduli dengan keberadaan candi.
Sedangkan dalam hal pemintakatan/zoonasi, dalam proses
penentuannya juga melibatkan masyarakat sekitar candi. Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh Pak Sugeng Widodo yakni sebagai berikut:
“Dalam menentukan zoonasi, masyarakat setempat dilibatkan. Biasanya Lurah atau Kepala Desa yang mewakili hadir” (hasil wawancara 7 Februari 2011) Selain itu, responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam pemintakatan juga
dapat dilihat dari salah satu metode yang dipakai dalam kegiatan
pemintakatan, yaitu wawancara. Wawancara dilakukan dengan perwakilan
dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, juru pelihara dan satpam
candi, serta penduduk sekitar. Wawancara ini salah satu tujuannya adalah
untuk mengetahui bagaimana dampak candi bagai masyarakat sekitar serta
bagaimana keinginan penduduk terhadap situs yang ada si sekitar mereka.
Pelibatan masyarakat dalam penentuan zoonasi ini penting mengingat
penetapan zoonasi terutama pada candi yang berada dekat dengan
perkampungan warga akan berpengaruh terhadap kebebasan warga sekitar
candi terutama dalam mendirikan bangunan. Melalui pelibatan ini
diharapkan masyarakat dapat mengeluarkan pendapat apabila ada hal-hal
yang kurang mereka setujui. Selain itu, diharapkan juga agar masyarakat
tahu sampai mana saja batasan mintakat/zoonasi pada candi tersebut
sehingga mereka tahu dimana tempat yang boleh atau tidak boleh
mendirikan bangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Sedangkan dalam hal pemindahan candi, komunikasi eksternal yang
dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah adalah dengan menjaring masukan dari
berbagai golongan lewat diskusi-diskusi. Rencana pemindahan candi yang
dimaksud adalah pada candi Selogriyo yang mengalami longsor. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Pak Sugeng Widodo sebagai berikut:
“Melihat lokasi candi yang rawan longsor, muncul perdebatan dari para ahli tentang bagaimana penanganan pada candi tersebut, apakah akan dipindahkan ke lokasi lain yang lebih aman ataukah akan disitu saja. Tapi kemudian diambil kesepakatan bahwa candi dikembalikan ke posisi semula, kemudian dibuat talud yang baru untuk mengantisipasi longsor lagi. Alasan tidak dipindahkan karena apabila dipindahkan maka filosofinya akan berubah. Tentunya nenek moyang kita waktu bikin candi itu tidak asal tapi penuh pertimbangan seperti menentukan arah hadap, lokasinya, mungkin juga ketinggiannya” (hasil wawancara 7 Fenruari 2011) Hal senada juga diungkapkan oleh Pak Junawan yakni sebagai berikut:
“Pemindahan candi pernah dilakukan, yaitu di candi Selogriyo. Saat itu kami menggelar diskusi, mungki sampai 10 kali lebih untuk membicarakan masalah itu. Bagaimana bila ditinjau dari sisi arkeologi, dari sisi budaya, dari segi geologi, teknik dan lain sebagainya memungkinkan apa tidak. Bahkan perdebatan itu sangat lama, mungkin sampai ganti tahun baru diperoleh kesepakatan penanganannya” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari kedua pernyataan di atas, terlihat bahwa dalam pengambilan
keputusan dalam hal penanganan candi Selogriyo yang longsor tidak
ditentukan oleh BP3 Jawa Tengah saja, akan tetapi melibatkan berbagai
pihak yang berkompeten di bidangnya seperti arkeolog, budayawan, ahli
geologi dan sebagainya. Setelah ditemukan kesepakatan, baru kemudian
ditentukan penanganannya. Hal ini membuktikan bahwa BP3 Jawa Tengah
telah membangun komunikasi keluar, yakni dengan para ahli terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Sedangkan untuk kegiatan pembebasan dan pensertifikatan tanah candi,
pelibatan masyarakat yang dilakukan adalah dengan tetap melibatkan
pemilik tanah dalam penentuan harga, dengan kata lain adalah masih ada
sistem tawar menawar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pak Junawan
sebagai berikut:
“Ya ada tawar menawar. Kita dalam membeli akan mengikuti harga dari pasaran. Justru malah masyarakat itu akan menaikkan harga tanah mereka pas tau tanahnya akan dibeli Negara. Oleh karena itu, bisanya pas kita membuat rencana anggaran, harga akan kita naikkan karena biasanya begitulah yang terjadi di lapangan” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak BP3 Jawa
Tengah dalam membeli tanah tetap melihat harga di pasaran dan
masyarakatlah yang biasanya menaikkan harga menjadi lebih tinggi dari
harga tanah di pasaran. Jadi, walaupun Negara yang membeli bukan
berarti harga tanah tersebut akan ditentukan sepihak yakni oleh negara saja
dan pemilik tanah tersebut mau tidak mau harus menjualnya dengan harga
rendah. Aspirasi pemilik tanah dalam penentuan harga masih
diperhitungkan disini.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam penyelanggaraan pelayanan publik adalah sebuah
ukuran yang menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang telah dipilih oleh
rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena
dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan
kepentingan rakyat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Akuntabilitas BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi dapat dinilai
dari seberapa besar kebijakan dan kegiatan perlindungan yang
dilaksanakan tersebut dipertanggungjawabkan kepada pejabat di atasnya
atau yang lebih tinggi.
BP3 Jawa Tengah merupakan UPT (Unit Pelayanan Teknis) yang
menangani bidang kepurbakalaan di Jawa Tengah, berada dibawah
Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Oleh karena itu, semua
kegiatan yang diselenggarakan harus dipertanggungjawabkan langsung
kepada Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Pertanggungjawaban
tersebut diwujudkan dalam bentuk LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah). Hal ini seperti disampaikan oleh Wardiyah, staff
bagian perencanaan BP3 Jawa Tengah seperti berikut:
“...kita bertanggungjawabnya ke Direktur Sejarah dan Purbakala. Setiap tahun kita bikin LAKIP dan dikirim kesana. Biasanya diserahkan setiap awal tahun, ya bulan-bulan Januari biasanya.” (hasil wawancara 21 Maret 2011) Dari wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa BP3 Jawa Tengah
telah melaksanakan pertanggungjawaban kepada Direktorat Jenderal
Sejarah dan Purbakala yang dituangkan dalam bentuk LAKIP yang dibuat
setiap tahun dan diserahkan pada awal tahun. Tentang proses pembuatan
LAKIP, disampaikan oleh Wardiyah sebagai berikut:
“Setiap selesai pelaksanaan kegiatan, tiap pokja akan membuat laporan dan diserahkan kesini. Dari laporan-laporan tersebut nanti kita susun menjadi LAKIP yang kemudian diserahkan kepada Kepala BP3 Jawa Tengah. Setelah itu baru dikirim ke pusat” (hasil wawancara 21 Maret 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Dari wawancara di atas, dapat diketahui bahwa LAKIP disusun
berdasarkan laporan kegiatan tiap pokja. Dari laporan tersebut dapat
diketahui kegiatan apa saja yang dilakukan tiap bulannya, sehingga dalam
satu tahun akan dapat diketahui sejauh mana pencapaian terhadap rencana
kegiatan tahunan yang telah dibuat untuk tahun tersebut.
LAKIP merupakan dokumen yang berisi gambaran perwujudan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP) yang disusun dan
disampaikan secara sistematik dan melembaga. LAKIP merupakan bentuk
akuntabilitas publik secara vertikal dimana seluruh organisasi publik wajib
untuk membuatnya. Oleh karena itu, agar tercipta keseragaman maka
dalam pembuatannya juga mengacu pada sebuah pedoman yaitu SK
Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor: 239/IX/6/8/2003 tentang
Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah yang formatnya seperti di bawah ini:
IKHTISAR EKSEKUTIF
Pada bagian ini disajikan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
dalam rencana strategis serta sejauh mana instansi pemerintah mencapai
tujuan dan sasaran utama tersebut, serta kendala-kendala yang dihadapi
dalam pencapaiannya. Disebutkan pula langkah-langkah apa yang telah
dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut dan langkah antisipatif
untuk menanggulangi kendala yang mungkin akan terjadi pada tahun
mendatang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
I. PENDAHULUAN
Pada bagian ini dijelaskan hal-hal umum tentang instansi serta
uraian singkat mengenai mandat apa yang dibebankan kepada
instansi (gambaran umum tupoksi).
II. RENCANA STRATEJIK
Pada bab ini disajikan gambaran singkat mengenai: Rencana
stratejik dan Rencana kinerja. Pada awal bab ini disajikan gambaran
secara singkat sasaran yang ingin diraih pada tahun yang
bersangkutan serta bagaimana kaitannya dengan visi dan misi
instansi.
Rencana Stratejik
Uraian singkat tentang rencana stratejik instansi, mulai dari visi,
misi, tujuan, sasaran serta kebijakan dan program instansi.
Rencana Kerja
Disajikan rencana kerja pada tahun yang bersangkutan, terutama
menyangkut kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai sasaran
sesuai dengan program pada tahun tersebut, dan indikator
keberhasilan pencapaiannya.
III. AKUNTABILITAS KINERJA
Pada bagian ini disajikan uraian hasil pengukuran kinerja, evaluasi
dan analisis akuntabilitas kinerja, termasuk di dalamnya
menguraikan secara sistematis keberhasilan dan kegagalan,
hambatan, kendala, dan permasalahan yang dihadapi serta langkah-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
langkah antisipatif yang akan diambil. Selain itu dilaporkan pula
akuntabilitas keuangan dengan cara menyajikan alokasi dan
realisasi anggaran bagi pelaksanaan tupoksi dan fungsi-fungsi
lainnya, termasuk analisis tentang capaian indikator kinerja
efisiensi.
IV. PENUTUP
Mengemukakan tinjauan secara umum tentang keberhasilan dan
kegagalan, permasalahan dan kendala utama yang berkaitan dengan
kinerja instansi yang bersangkutan serta strateji pemecahan masalah
yang akan dilaksanakan di tahun mendatang.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Setiap bentuk penjelasan lebih lanjut, perhitungan-perhitungan,
gambar, dan aspek pendukung seperti SDM, sarana prasarana, metode,
dan aspek lain dan data yang relevan, hendaknya tidak diuraikan dalam
badan laporan, tetapi dimuat dalam lampiran. Keputusan-keputusan
atau peraturan-peraturan dan perundang-undangan tertentu yang
merupakan kebijakan yang ditetapkan dalam rangka mencapai visi,
misi, tujuan, dan sasaran perlu dilampirkan. Jika jumlah lampiran cukup
banyak, hendaknya dibuat daftar lampiran, daftar gambar, dan daftar
label secukupnya.
Sedangkan acuan yang digunakan BP3 Jawa Tengah dalam membuat
LAKIP adalah seperti yang disampaikan Pak Gatot selaku Kepala Urusan
Perencanaaan dan Evaluasi sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
“biasanya tu sekitar bulan November Desember kita dapat surat edaran dari biro renkum (perencanaan dan hukum) kementerian Budpar” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan
LAKIP, BP3 Jawa Tengah tidak berpedoman pada Pedoman Penyusunan
LAKIP seperti di atas, tetapi mengacu pada surat edaran dari Biro
Perencanaan dan Hukum Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pada saat penulis membandingkan format LAKIP BP3 Jawa Tengah
dengan format pada pedoman penyusunan LAKIP di atas, formatnya
memang sudah benar dan sesuai dengan format di atas. Akan tetapi, ada
sedikit perbedaan pada isinya.
Pada LAKIP BP3 Jawa Tengah, tidak terdapat adanya akuntabilitas
keuangan, termasuk juga cara menyajikan alokasi dan realisasi anggaran
bagi pelaksanaan tupoksi dan fungsi-fungsi lainnya, termasuk analisis
tentang capaian indikator kinerja efisiensi. Setelah hal ini dikroscekkan
pada pihak BP3 Jawa tengah, Pak Gatot memberikan penjelasan sebagai
berikut:
“o, kalau yang ini biasanya kita lampirkan. Biasanya kita menyertakan dua mbak, LAKIP sama dokumen laporan realisasi anggaran” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait alokasi dan
realisasi anggaran ternyata dibuat terpisah dengan LAKIP. Perbedaan lain
selain itu adalah tentang indikator kinerja yang dipakai. Pada pedoman
penyusunan LAKIP yang dikeluarkan oleh LAN, dalam indikator kinerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
kegiatan mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome),
manfaat (benefit), dan dampak (impact).
Akan tetapi pada LAKIP yang BP3 Jawa Tengah buat, indikator
kegiatannya hanya sampai pada tingkat output saja, misalnya berapa
jumlah candi yang dipugar, berapa kali mengadakan pameran, berapa kali
dilakukan perbaikan pagar dan sebagainya. Setelah dikroscekkan pada
BP3 Jawa Tengah, Pak Gatot memberikan penjelasan seperti di bawah ini:
“...indikator kinerja itu pernah mengalami perubahan, dari tahun 2005-2009 itu paling tidak sudah 3 kali. Ada versi yang bilang bahwa di unit eselon III atau UPT seperti BP3, indikator kinerja hanya berhenti pada output, artinya kita hanya bicara soal kuantitas. Jadi berapa dipugar, berapa dipasang pagar, berapa peserta pameran. Kan cuma gitu. Versi yang kedua adalah indikator kinerja kita harus sampai ke tingkat outcome. Intinya seberapa besar pemahaman, berapa prosentase penurunan, efeknya ke masyarakat. ...dan indikator kinerja yang dipakai di instansi di atas kita (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata) kebanyakan juga pakai output. Jadi indikator kinerja yang kita pakai ya sampai output saja” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal
yang menyebabkan indikator kinerja kegiatan yang dipakai BP3 Jawa
Tengah hanya sampai pada output (hasil) saja. Pertama, karena indikator
kinerja yang dipakai oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata itu
sering berubah sehingga dinilai cukup menyulitkan BP3 Jawa Tengah.
Kedua, karena dari atas memang masih ada perdebatan tentang peyusunan
indikator kinerja kegiatan cukup sampai output saja atau harus lebih.
Ketiga, karena BP3 Jawa Tengah berada di bawah Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, maka bentuk LAKIP termasuk juga indikator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
kinerja kegiatan yang dipakai juga sama dengan yang dipakai oleh
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yaitu sampai pada output saja.
Penyusunan LAKIP yang dilakukan BP3 Jawa Tengah ternyata belum
mencakup semua kegiatan yang dilakukan. Kegiatan rutin khususnya yang
belum dapat masuk dalam LAKIP. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Pak Gatot yaitu:
“kegiatan yang dilakukan kan ada dua, kegiatan yang rutin sama kegiatan yang terkait tugas dan fungsi. Di LAKIP, yang rutin itu gak bakal keliatan. Kalau kita mengikuti indikator kinerja dari pusat, akan banyak aktivitas yang sifatnya lokal itu ndak akan kelihatan. Misalnya kegiatan yang sifatnya pendampingan, penilaian dampak rencana pembangunan. Itu secara realita kita melakukan dan memang dibutuhkan. Frekuensinya dalam satu tahun itu amat tinggi, tapi indikator kinerja gak ada yang mewadahi itu. Kalau kita ikuti indikator kinerja dari pusat, maka akan kelihatan tidak balance sama anggaran yang kita pakai” (hasil wawancara 5 April 2011) Dari pemaparan hasil wawancara terkait indikator akuntabilitas di atas
dapat disimpulkan bahwa BP3 Jawa Tengah telah berusaha membuat
LAKIP sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada instansi pemerintah
yang berada di atasnya terkait kegiatan yang dilakukan. Namun, dalam
proses pembuatannya BP3 Jawa Tengah banyak mengalami hambatan
yang apabila dilihat memang hambatan tersebut datangnya dari luar.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Pencapaian kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi
dipengaruhi oleh hal-hal yang dapat berasal dari dalam organisasi maupun
dari luar organisasi. Hal-hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong maupun
faktor penghambat terhadap kegiatan perlindungan yang dilaksanakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Dibawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal-hal apa saja yang
menjadi pendorong maupun hal-hal apa saja yang menjadi penghambat BP3
Jawa Tengah dalam melaksanakan kaegiatan perlindungan candi di Jawa
Tengah.
1. Faktor Pendukung
Dalam upaya perlindungan terhadap candi yang dilakukan oleh BP3
Jawa Tengah, peneliti mengamati bahwa dukungan dari masyarakat
merupakan faktor pendukung yang paling berpengaruh terhadap kinerja
BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi. Masyarakat di sini
dikelompokkan menjadi 2, yakni masyarakat sekitar candi, dan LSM
kebudayaan.
a. Masyarakat Sekitar Candi
Kepedulian masyarakat terhadap candi, terutama masyarakat yang
berada di dekatnya sangatlah berpengaruh terhadap tingkat keamanan
candi tersebut. Masyarakat umumnya sudah paham bahwa candi
merupakan BCB yang dilindungi oleh negara. Masyarakat juga
mengerti bahwa di dalam candi terdapat benda-benda kuno bernilai jual
tinggi yang menjadi incaran kolektor dan pencuri.
Oleh karena itu, biasanya masyarakat peduli dengan candi tersebut
dan akan melakukan antisipasi apabila mengetahui hal-hal yang dapat
merusak candi tersebut. Akan tetapi perlu kita ketahui juga bahwa
tingkat kepedulian masyarakat itu ternyata berbeda-beda. Ada yang
bentuk kepeduliannya sebatas pada tidak melakukan hal yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
merusak candi. Ada yang kepeduliannya dengan melakukan langkah
antisipasi bila melihat hal-hal atau orang yang dicurigai memiliki niat
buruk terhadap candi. Kemudian ada yang kepeduliannya dengan sering
berkumpul di dekat candi sekaligus mengawasi dan mengamankannya.
Tingkat kepedulian yang tinggi dari masyarakat sekitar candi dapat
kita lihat di candi Sojiwan, Prambanan. Candi Sojiwan dapat dikatakan
berada di tengah perkampungan warga karena pada saat penulis
berkunjung ke candi tersebut, penulis mengamati bahwa candi Sojiwan
dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Tentang kepedulian
masyarakat terhadap candi, ditunjukkan dengan adanya beberapa warga
yang pada malam hari ikut berjaga.
Hal ini seperti disampaikan oleh Pak Sumardi sebagaimana telah
ditulis di atas yang menyatakan bahwa pada malam hari biasanya ada
warga yang berkumpul di candi dan biasanya sampai jam 8 malam atau
12 malam. Bahkan terkadang ada yang sampai ikut tidur disana
menemani satpam. Selain itu disebutkan juga bahwa banyak anak muda
yang suka berkumpul duduk-duduk di luar pagar dekat candi sekaligus
ikut mengawasi candi.
Selain di candi Sojiwan, tingkat kepedulian masyarakat sekitar
pada candi juga dapat dilihat di candi Ceto, Karanganyar. Candi ini
sampai sekarang masih sering digunakan sebagai tempat ibadah umat
Hindu. Orang yang beribadah di tempat ini adalah masyarakat sekitar
yang mayoritas beragama Hindu. Selain itu banyak juga masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
dari luar daerah seperti Surabaya, Jakarta dan daerah lainnya yang
datang untuk beribadah.
Lokasi candi Ceto yang berada di dekat perkampungan masyarakat
desa dimana masyarakatnya mayoritas beragama hindu membuat candi
tersebut lebih aman. Hal tersebut karena candi tersebut merupakan
tempat ibadah bagi mereka dan oleh karenanya masyarakat tersebut
merasa memiliki dan akan ikut menjaganya. Hal tersebut sebagaimana
disampaikan oleh Pak Cipto selaku Juru Pelihara candi Ceto sebagai
berikut:
“masyarakat mriki katah sing agamane Hindu, dadose nggih melu njogo candi. Mriki aman mbak, menawi wonten nopo-nopo mengkeh dicegat ndalan, ngebel mriko, mriko, mriko pun ketemu barange. Dalane kan mung setunggal. Kalih sing ngandap-ngandap mriko pun akrab sedoyo, pun gadah nomer hapene. Nek kalih polsek-polsek sekitar nggih pun gadah nomere” (hasil wawancara 12 Maret 2011) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang
mendukung keamanan candi Ceto adalah karena berada di lingkungan
masyarakat yang mayoritas beragama Hindu, dan candi tersebut masih
digunakan sebagai tempat ibadah. Selain itu, masyarakat sekitarnya
juga sangat kompak dalam menjaga candi dan koordinasi yang terjalin
antar masyarakat juga baik. Disamping itu, jupel dan masyarakat juga
sudah berhubungan dekat dengan polsek setempat sehingga apabila
terjadi pencurian di candi maka akan cepat diambil langkah
penanganannya.
b. LSM Budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
LSM yang bergerak dalam bidang budaya jumlahnya cukup
banyak diantaranya MADYA, Ratu Shima, dan sebagainya. Keberadaan
LSM tersebut juga memberikan dampak positif bagi perlindungan candi
karena LSM tersebut akan ikut memantau kondisi BCB dan Situs
termasuk juga candi. Apabila ada candi yang mengalami kerusakan, ada
menemuan BCB, ada kasus pencurian dan hal-hal lain terkait BCB dan
Situs, mereka akan melaporkan ke pihak BP3 Jawa Tengah.
BP3 Jawa Tengah memiliki wilayah kerja yang sangat luas dan
oleh sebab itu akan sulit untuk mengetahui hal-hal yang terjadi di
daerah, kaitannya dengan BCB dan situs. Dengan adanya laporan-
laporan dari LSM ini, maka apabila terjadi kerusakan, pencurian atau
penemuan BCB akan cepat diketahui oleh BP3 Jawa Tengah dan dapat
segera dilakukan penanganan.
2. Faktor Penghambat
Selain ada hal-hal yang mendukung kegiatan perlindunagn yang
dilakukan oleh BP3 Jawa Tengah, ternyata ada juga hal-hal yang
menghalangi atau menghambat kegiatan perlindungan yang dilakukan.
Hal-hal yang dapat menghambat tersebut akan dijabarkan di bawah ini:
a. Dana
Dana merupakan salah satu faktor terpenting dan sangat
berpengaruh terhadap kegiatan perlindungan yang dilaksanakan.
Pemasangan papan larangan, pagar dan pos jaga membutuhkan dana.
Untuk membayar gaji satpam dan juru pelihara juga butuh dana. Untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
membebaskan dan mensertifikatkan tanah juga perlu dana yang tidak
sedikit. Disini dapat kita lihat bagaimana pentingnya dana dalam
kegiatan perlindungan yang dilakukan dan semua membutuhkan dana.
Padahal bila kita lihat, jumlah candi di Jawa Tengah sangat
banyak. Selain itu, BCB dan situs di Jawa Tengah bukan hanya candi
saja, banyak jenis BCB lainnya yang juga perlu dilestarikan. Sedangkan
kegiatan pelestarian tidak hanya dilakukan dengan perlindungan saja,
tetapi masih ada kegiatan lain seperti pemeliharaan, pemugaran dan
lainnya. Oleh karena itu, dana yang turun dari pemerintah pusat akan
dibagi-bagi dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan hanya sedikit dari
dana tersebut yang akan masuk ke dalam kegiatan perlindungan pada
candi.
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kegiatan
perlindungan dalam pelaksanaannya seringkali terbentur masalah dana.
Dampaknya adalah kita masih melihat banyak candi yang
perlindungannya masih sangat kurang sehingga akan rawan terhadap
tindak kejahatan kepadanya.
b. Wilayah Kerja yang Luas
Wilayah kerja BP3 Jawa Tengah adalah seluruh wilayah Jawa
Tengah yang terdiri dari 35 Kabupaten dan Kota. Dengan begitu, candi
yang menjadi obyek kegiatan perlindungan yang dilakukan adalah
seluruh candi yang tersebar di 35 Kabupaten dan Kota tersebut dan
sebagian besar berada di daerah terpencil. Luasnya wilayah kerja dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
banyaknya candi yang harus dilindungi menjadikan kegiatan
perlindungan yang dilakukan tidak bisa meksimal.
Lokasi candi yang jauh dan terpencil seringkali menyebabkan
pengawasannya menjadi minim. Komunikasi antara BP3 Jawa Tengah
dengan satpam atau juru pelihara candi juga sangat jarang dilakukan,
yaitu setiap tanggal dua atau mungkin saat ada kunjungan dari BP3
Jawa Tengah saja.
Hal tersebut tentu saja akan berbeda dengan candi yang lokasinya
tidak jauh dengan kantor BP3 Jawa Tengah. Candi-candi tersebut
cenderung akan lebih diperhatikan karena jarak yang dekat dan dengan
begitu apabila ada permasalahan akan langsung dapat ditangani.
c. Dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota
Selama ini campur tangan pemerintah daerah kabupaten atau kota
dalam kegiatan perlindungan candi bisa dikatakan masih sangat kurang.
Hampir seluruh kegiatan perlindungan terhadap candi yang meliputi
pemasangan pagar, pos jaga, lampu dan sebagainya diupayakan oleh
BP3 Jawa Tengah, baik dalam hal SDM pelaksananya maupun
dananya.
Hal itu mungkin karena pengelolaan BCB yang di atur dalam UU
No.5 tahun 1992 tentang BCB masih bersifat sentralistis atau terpusat.
Hal-hal yang akan diberlakukan terhadap candi harus diberitahukan
dahulu kepada pemerintah pusat, dalam hal ini adalah pada BP3 Jawa
Tengah sebagai wakilnya di daerah. Semua tergantung pada persetujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
dari BP3 Jawa Tengah. Dengan begitu, pemerintah daerah hanya
memiliki kewenangan yang sangat terbatas pada candi-candi yang ada
di daerahnya.
Selain itu apabila nantinya daerah dimungkinkan untuk mengelola
candi di daerahnya secara mandiri, daerah tersebut belum tentu
memiliki SDM yang dibutuhkan dalam pengelolaan candi seperti ahli
arkeologi, arsitektur, dan sebagainya. Apabila terjadi hal-hal terhadap
candi, tentunya daerah tidak akan mampu melakukan penanganan yang
tepat karena tidak memiliki SDM yang berkompeten di bidangnya.
Alasan lain adalah melihat komitmen tiap-tiap daerah untuk
melestarikan BCB itu berbeda-beda. Ada yang sungguh-sungguh
melestarikannya, ada pula yang hanya membiarkannya. Biasanya itu
tergantung dari bagaimana ketertarikan yang dimiliki Kepala Derah.
Apabila Kepala Daerah tersebut tertarik dalam bidang ekonomi, maka
program-programnya seputar kegiatan pembangunan ekonomi saja.
Apabila Kepala Daerah tertarik dalam bidang pendidikan, maka
programnya akan diarahkan untuk pengembangan pendidikan. Apabila
Kepala Daerahnya tertarik dalam bidang kebudayaan, baru pada kondisi
itu akan banyak program yang berkaitan dengan pengembangan
kebudayaan, pelestarian BC dan situs di daerahnya.
Hal-hal itulah yang mungkin menjadikan pengelolaan BCB sampai
sekarang masih diselenggarakan oleh pemerintah pusat yaitu BP3 Jawa
Tengah. Seandainya semua daerah telah berkewajiban dan punya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
komitmen dalam urusan kebudayaan serta punya SDM yang memadai,
maka perlindungan terhadap candi otomatis juga akan berjalan lebih
baik.
Dengan kondisi sekarang dimana beban yang ditanggung BP3
Jawa Tengah sangat besar, maka tindakan perlindungan yang dilakukan
tidak akan dapat optimal. Berbeda bila beban itu dibagi pada masing-
masing daerah, beban yang ditanggung akan lebih ringan dan
perlindungan yang dilaksanakan dapat lebih optimal.
d. Kolektor BCB
Berbagai upaya telah dilakukan BP3 Jawa Tengah untuk
melindungi candi baik dari kerusakan oleh alam maupun oleh manusia.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, BP3 Jawa Tengah masih harus
berhadapan dengan kolektor yang senantiasa mengincar keberadaan
arca dan benda berharga lainnya di dalam candi.
Kasus pencurian BCB biasanya tidaklah sesederhana kasus
pencurian motor. Diduga ada semacam jaringan internasional yang
mencuri BCB dan menjualnya pada kolektor dengan harga sangat
tinggi. BCB yang hilang tiba-tiba berada luar negeri dan siap untuk
dilelang.
Oleh karena itu, wajar apabila penanganan kasus pencurian BCB
akan banyak menyita tenaga, pikiran dan waktu. Bahkan, hal tersebut
dapat saja menghambat kegiatan BP3 Jawa Tengah yang lain.
Seringkali dalam kasus pencurian BCB yang dapat tertangkap hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
pencuri atau pengepulnya saja. Untuk jaringan pencurian BCB tersebut
masih belum dapat dilacak hingga saat ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan
candi-candi di Jawa Tengah adalah baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penilaian kinerja melalui tiga indikator yang digunakan, seperti di bawah ini:
1. Produktivitas
Dalam hal melaksanakan perlindungan candi-candi di Jawa Tengah,
produktivitas BP3 Jawa Tengah adalah baik. Hal tersebut dikarenakan
kegiatan perlindungan yang dihasilkan didasari oleh pertimbangan yang
matang dan berdasarkan pada skala prioritas, serta memaksimalkan
sumberdaya yang ada. Dalam melakukan pemasangan papan larangan dan
pagar, BP3 Jawa Tengah telah mempertimbangkannya dari segi bahan,
estetika, keawetan, serta harga. Dalam hal membangun pos jaga,
menempatkan satpam serta melakukan pemintakatan, BP3 Jawa Tengah
mendahulukan candi yang sekiranya memiliki tingkat kerawanan yang
tinggi. Selain itu dalam melakukan pengamanan pada candi di lokasi
terpencil yang belum memiliki satpam, BP3 Jawa Tengah memaksimalkan
sumberdaya yang ada yakni juru pelihara candi tersebut untuk merangkap
tugas sebagai satpam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
2. Responsivitas
Responsivitas BP3 Jawa Tengah dalam melaksanakan perlindungan
pada candi-candi di Jawa Tengah adalah cukup baik. Hal tersebut karena
BP3 Jawa Tengah telah memiliki website dimana melalui website itu
masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka. Sayangnya, BP3 Jawa
Tengah belum memberikan respon atau tanggapan terhadap aspirasi
tersebut. Selain itu, setiap ada laporan dari masyarakat terkait penemuan
atau kerusakan BCB akan segera dilakukan peninjauan. Tidak hanya itu,
dalam melaksanakan pemintakatan BP3 Jawa Tengah juga selalu
melibatkan masyarakat sekitar candi untuk dimintai pendapatnya.
Sedangkan terkait masukan masyarakat terkait pelaksanaan kegiatan
perlindungan, sepertinya BP3 Jawa Tengah belum dapat menjaring
masukan itu. Untuk masalah komunikasi antara BP3 Jawa Tengah dengan
petugas ujung tombak di lapangan yakni satpam dan juru pelihara,
sepertinya masih kurang. Hal itu karena melihat masih adanya perbedaan
pandangan tentang cukup atau tidaknya fasilitas penunjang keamanan pada
lokasi candi.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas BP3 Jawa Tengah terhadap kegiatan perlindungan yang
telah dilakukan adalah baik. BP3 Jawa Tengah telah melaksanakan
pertanggungjawaban kegiatan melalui LAKIP kepada kepada instansi di
atasnya yakni Direktorat Sejarah dan Purbakala. Akan tetapi dalam
pelaksanaanya mengalami hambatan yang disebabkan oleh indikator
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
kinerja yang digunakan untuk menyusun sebuah LAKIP sering berubah.
Peubahan tersebut merupakan keputusan dari pemerintah pusat, yakni
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dimana BP3 Jawa Tengah
sebagai UPT kementerian tersebut harus mengikuti perubahan tersebut.
Selain itu, banyak kegiatan yang sifatnya rutin belum dapat dimasukkan ke
dalam LAKIP. Walaupun begitu, BP3 Jawa Tengah terus membuat LAKIP
dengan segenap kemampuan yang ada.
Kinerja BP3 Jawa Tengah dalam perlindungan candi-candi di Jawa
Tengah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar organisasi, dimana faktor-faktor tersebut dapat mendukung
kinerja ataupun sebaliknya. Faktor-faktor yang mendukung kinerja BP3 Jawa
Tengah dalam melindungi candi-candi di Jawa Tengah adalah masyarakat
sekitar candi yang peduli terhadap keberadaan candi, contohnya adalah
masyarakat sekitar candi Ceto dan Sojiwan. Selain itu LSM yang bergerak di
bidang budaya juga turut mendukung karena biasanya LSM tersebut akan
ikut memantau kondisi candi.
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat kinerja BP3 Jawa Tengah
dalam perlindungan candi di Jawa Tengah adalah jumlah dana yang terbatas,
wilayah kerja yang luas meliputi seluruh Jawa Tengah, kurangnya dukungan
dari Pemerintah Kabupaten/Kota, dan ancaman dari kolektor BCB.
B. Saran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Dari kesimpulan di atas, peulis akan menyampaikan beberapa saran
dengan harapan dapat ikut membantu BP3 Jawa Tengah dalam meningkatkan
kinerjanya pada waktu yang akan datang. Saran tersebut adalah seperti di
bawah ini:
1. Dalam penyusunan kegiatan perlindungan, hendaknya pada waktu yang
akan datang BP3 Jawa Tengah tidak melupakan candi-candi yang berada
di lokasi terpencil. Sekecil apapun candi itu, tetaplah memiliki
keistimewaan sendiri yang bisa jadi tidak dimiliki oleh candi besar
sekalipun.
2. Sebaiknya BP3 Jawa Tengah lebih mengembangkan websitenya agar
dapat menyerap lebih banyak aspirasi masyarakat. BP3 Jawa Tengah harus
berusaha memberikan tanggapan atas setiap aspirasi masyarakat yang
masuk, sebagai bentuk penghargaan atas kepedulian masyarakat atas
candi. Hal lain yang harus dioptimalkan adalah penggunaan buku tamu
agar tidak hanya berfungsi untuk mencatat jumlah pengunjung saja, tetapi
dapat digunakan sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat. Hal
tersebut juga harus disertai himbauan kepada satpam dan juru pelihara
supaya melaporkan apabila ada aspirasi masyarakat yang tertulis di buku
tamu. Selain itu, BP3 Jawa Tengah sebaiknya lebih intens menjalin
komunikasi dengan petugas di lapangan seperti satpam dan juru pelihara.
Bagaimanapun juga, mereka adalah petugas lapangan yang mengetahui
secara pasti bagaimana kondisi yang ada serta apa saja hal-hal yang sangat
dibutuhkan untuk menunjang kegiatan pengamanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
3. Akan lebih baik lagi kalau BP3 Jawa Tengah dalam pemenuhan sarana-
prasarana perlindungan tidak hanya bergantung pada dana dari pusat saja.
Misalnya tentang arisan HT di candi Plaosan Lor yang diikuti oleh para
satpam, bisa saja lingkup arisan itu dibuat lebih besar lagi sehingga
membuka peluang bagi para satpam maupun juru pelihara yang bertugas di
candi lain yang berminat agar dapat ikut.
4. Selama ini sepertinya tidak ada wadah atau bagi orang-orang yang
menaruh minat atau kepedulian besar pada candi. Padahal bisa jadi
jumlahnya besar, tetapi orang-orang tersebut sulit menyalurkan minatnya
tersebut. Dengan dibuatnya sebuah komunitas atau organisasi pecinta
candi misalnya, organisasi tersebut akan ikut membantu mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dialami candi. Nantinya komunitas ini
dapat bekerjasama dengan BP3 Jawa Tengah dan dapat berbagi tugas. Bisa
saja komunitas ini mendapat tugas menggalang dana untuk pembangunan
fasilitas penunjang kegiatan perlindungan candi, dan mengkampanyekan
pada masyarakat tentang nilai penting candi.