kimling

31
1. Redoks ( reaksi reduksi-oksidasi ) Reaksi redoks dalam lingkungan tanah adalah hasil dari siklus yang dimulai dari fotosintesis. Reaksi-reaksi dalam tanah melengkapi siklus tersebut, karena telah memanfaatkan energi yang disimpan oleh fotosintesis, membuang limbah organik, dan menghasilkan CO 2 yang dibutuhkan untuk fotosintesis tambahan. Peristiwa oksidasi tanah sering terjadi secara tidak langsung, bagaimanapun, telah banyak menyebabkan bagian-bagian reaksi hingga siklus selesai. Didalam peristiwa fotosintesis karbon (C) dalam CO 2 menerima elektron, yang selanjutnya terjadi perubahan bilangan oksidasi dari C 4+ ke C 0 dalam karbohidrat ((CH 2 O)n) ; CO 2 + 4e - + 4H + --> CH 2 O + H 2 O (10.1) Setengan reaksi digambarkan pada oksidasi oksigen dalam air (H 2 O), dimana O 2- menjadi O 0 dalam O 2 . 2H 2 O --> O 2 + 4e - + 4H + (10.2) Oksigen dalam hal ini sebagai donor elektron, dan karbon sebagai akseptor elektron. Dalam fotosintesis (persamaan reaksi 10.1 dan 10.2) masing-masing menggambarkan hanya setengah reaksi, atau disebut setengah reaksi. Meskipun dalam persamaan tersebut menyiratkan adanya elektron bebas, konsentrasi elektron bebas sebenarnya makin kecil. Persamaan setengah reaksi sebenarnya menyiratkan bahwa donor

description

kimling

Transcript of kimling

Page 1: kimling

1. Redoks ( reaksi reduksi-oksidasi ) Reaksi redoks dalam lingkungan tanah adalah hasil dari siklus yang dimulai dari

fotosintesis.  Reaksi-reaksi dalam tanah melengkapi siklus tersebut, karena telah

memanfaatkan energi yang disimpan oleh fotosintesis, membuang limbah organik, dan

menghasilkan CO2 yang dibutuhkan untuk fotosintesis tambahan.  Peristiwa oksidasi

tanah  sering terjadi secara tidak langsung,  bagaimanapun, telah banyak menyebabkan

bagian-bagian reaksi hingga siklus selesai.  Didalam peristiwa fotosintesis karbon (C)

dalam CO2 menerima elektron, yang selanjutnya terjadi perubahan bilangan oksidasi dari

C4+ ke C0 dalam karbohidrat ((CH2O)n) ;

CO2 + 4e- + 4H+ -->  CH2O + H2O                                                      (10.1)

Setengan reaksi digambarkan pada oksidasi oksigen dalam air (H2O), dimana O2- menjadi

O0 dalam O2.

2H2O  -->  O2 + 4e- + 4H+                                                                (10.2)

Oksigen dalam hal ini sebagai donor elektron, dan karbon sebagai akseptor elektron. 

Dalam fotosintesis (persamaan reaksi 10.1 dan 10.2) masing-masing menggambarkan

hanya setengah reaksi, atau disebut setengah reaksi.  Meskipun dalam persamaan tersebut

menyiratkan adanya elektron bebas, konsentrasi elektron bebas sebenarnya makin kecil. 

Persamaan setengah reaksi sebenarnya menyiratkan bahwa donor elektron tidak

ditentukan oleh akseptor yang ada.  Keseluruhan reaksi fotosintesi digambarkan sebagai

berikut ;

CO2 + H2O -->  CH2O +O2                                                                 (10.3)

Setengah reaksi lainnya dari siklus karbon adalah reaksi oksidasi karbohidrat (respirasi)

dan banyak senyawa-senyawa organik disintesis dari peristiwa respirasi.  Oksidasi

melepaskan energi dalam senyawa, oksidasi adalah peristiwa pembakaran, yang

merupakan bagian penting juga yang terjadi pada hewan yang hidup pada tanaman.  Sisa

tanaman dan residu hewan jatuh ke tanah yang selanjutnya dioksidasi oleh

mikroorganisme tanah.  Setengah reaksi oksidasi karbohidrat ditunjukkan oleh reaksi

berikut ini ;

CH2O  +  H2O  -->  CO2  + 4e- + 4H+                                                  (10.4)

Page 2: kimling

Dalam kegiatannya untuk memperoleh energi ini dan melaksanakan setengah reaksi, 

organisme harus menemukan akseptor elektron untuk untuk mengambil elektron,  jika

oksigen hadir maka setengah reaksi dari penerimaan elektron ini adalah ;

O2  +  4e- + 4H+ --> 2H2O                                                                (10.5)

Peristiwa oksidasi yang ditunjukkan pada persamaan (10.4) sebenarnya dilakukan melalui

langkah-langkah krebs atau siklus asam sitrat,  sedangkan persamaan (10.5) adalah

penyederhanaan dari proses yang sesungguhnya.

Tumbuhan tingkat tinggi dan hewan hanya dapat menggunakan oksigen (O2)

sebagai akseptor elektron,  tetapi mikroba tanah juga dapat memanfaatkan keadaan

teroksidasi nitrogen, belerang, besi, mangan, dan elemen lainnya.  Jumlah akseptor

elektron dalam beberapa kondisi menjadikan peristiwa oksidasi adalah reaksi yang rumit

dalam kimia tanah maupun dalam biokimia.

Reaksi rodoks yang melibatkan karbon, nitrogen, dan belerang ditentukan

terutama oleh ketersediaan elektron dan biasanya dikatalisis oleh enzim.  Katalis

diperlukan karena kebanyakan terjadi pertukaran elektron unsur.  Enzim menurunkan

energi aktivasi transfer elektron dan meningkatkan laju reaksi.  Ini merupakan yang

dihindari untuk mencapai keseimbangan, atau sebaliknya dalam menciptakan

metastabilitas senyawa karbon.

Donor  Eleketron

Sebagian besar dari donor-donor elektron didalam tanah adalah material tanaman

SOM (soil organic matter).   Tabel 10.1  menunjukkan perkiraan karbon, hydrogen, dan

oksigen yang terkandung dalam dua komponen besar pada tanaman, yaitu lignin dan

sellulosa, yang menunjukkan tipikal bahan organik (SOM).  Pada tabel tersebut,

diabaikan besarnya kandungan untuk nitrogen, sulfur, dan dan elemen-eleman lainnya.

Anggapan bahwa material tanaman mengandung  1/3 lignin dan 2/3 selulosa,  rumus

empiris material tanaman adalah sekitar C1.7H2.2O.  lebih lanjut, bahwa semua asumsi

karbon dalam bahan ini mengoksidasi C4+ (bilangan oksidasi karbon dalam CO2). 

Persamaan setengah reaksinya adalah ;

C1.7H2.2O  --> 1.7C4+ + H2O + 0.2H++7e  -                                          (10.6)

Tabel  10.1

Page 3: kimling

Perkiraan kandungan unsur C, H dan O pada lignin, selulosa dan tanah bahan organik

(SOM).

  C

(%

)

H

(%

)

O

(%

)

Rumus

Empiri

s

Lignin 61-

64

5-6 30 C

2.8H2.9O

Selulos

a

44.

5

6.2 49.

3

C1.2H2O

Bahan

Organi

k

Tanah

(SOM)

58 5 36 C

2.2H2.2O

Rumus empiris bahan organik tanah (SOM) pada tabel 10.1, menunjukkan adanya

kandungan yang melimpah untuk karbon pada material tanaman.  Grup karbon yang

terbentuk pada tanah bahan organik (SOM) (gambar 5.5) cenderung lebih aromatik, dan

kurang kaya akan kandungan oksigen dari material tanaman.  Perkiraan setengah reaksi

oksidasi pada tanah bahan organik (SOM) :

C2.2H2.2O  -->  2.2C4+ + H2O + 0.2H++9e-                               (10.7)  

Persamaan reaksi lengkap untuk oksidasi bahan organik tanah dari persamaan (10.6) dan

(10.7) adalah ;

CH2O +  O2  --> CO2 + H2O + Energi                                       (10.8)

Energi yang dilepaskan adalah energi fotosintesis dari molekul karbohidrat.  Donor

elektron lainnya dalam tanah disamping karbon-organik, termasuk juga nitrogen dan

sulfur/belerang dalam asam amino (-NH3) dan grup sulfihydril (-SH),  serta ion

Page 4: kimling

ammonium dalam bahan organik.  Mikroorganisme tanah membuat donor elektron lain

ketika tanah mengalami kekurangan oksigen.

Akseptor  Elektron

Peran tanah dalam reaksi oksidasi-reduksi adalah untuk menyediakan akseptor elektron

untuk oksidasi senyawa organik.  Oksigen adalah akseptor elektron terkuat dialam

sehingga menghasilkan energi yang besar dalam peristiwa oksidasi.  Oksigen juga

merupakan akseptor elektron yang dimanfaatkan oleh akar tanaman.  Ketika oksigen

tersedia (kondisi aerobik), ia menerima elektron seperti diperlihatkan pada persamaan 

10.5.

Permintaan oksigen yang tinggi biasanya disebabkan oleh adanya senyawa organik yang

mudah terdekomposisi dan kondisi pertumbuhan yang mendukung aktivitas mikroba. 

Karena jumlah yang besar dari mereka dan aktivitas yang cukup,  mikroorganisme tanah

biasanya mendapatkan perubahan pertama pada oksigen yang tersedia di tanah.  Ketika

permintaan oksigen tinggi, relatif terhadap suplai oksigen hal ini bisa terjadi karena

digunakan untuk dekomposisi sampah-sampah organik.  Karena difusi oksigen relatif

lambat, fermentasi terjadi dan menghasilkan gas CO2, CH4, H2 serta bau busuk dari asam-

asam organik volatile dan aldehida.  Kelarutan oksigen dalam air rendah (sekitar 10 mg

L-1 pada 25oC).

Kebutuhan oksigen tanah dapat menguras oksigen yang terlarut dalam tanah yang

tergenang air dalam waktu kurang dari 24 jam.  Jika oksigen tidak tersedia, 

mikroorganisme tanah dapat menggunakan akseptor elektron lainnya.  Akseptor elektron

sekunder pada tanah ditunjukkan oleh setengah reaksi berikut ini :

FeOOH + e- + 3H+ --> Fe2+ + 2H2O                                                   (10.9)

2MnO1.75 + 3e- + 7H+ --> 2Mn2+ +3.5H2O                                          (10.1)

Dimana MnO1.75 menandakan adanya kompleks oksida Mn(III-IV) dalam tanah.

SO42- + 8e- + 8H+ -->S2-+4H2O                                                       (10.11)

Page 5: kimling

NO3- + 5e- + 6H+ --> ½ N2 +3H2O                                                    (10.12)

NO3- + 2e- + 2H+ --> NO2

-+H2O                                                       (10.13)

N2O + 2e- + 2H+ --> N2 +H2O                                                          (10.14)

H+ + e- --> ½H2                                                                            (10.15)

Selain dihasilkan energi yang kurang, akseptor elektron sekunder juga menghasilkan

produk yang tidak menguntungkan untuk pertanian dan akuakultur.  Sering dinyatakan

lebih beracun dari oksidasi yang stabil dengan adanya oksigen.  Sebagai contoh,

ammonia dan nitrit lebih beracun daripada nitrat,  dan H2S adalah lebih beracun daripada

sulfat.  Reduksi dari Fe(III) dan Mn(III-IV) dapat menyebabkan phytotoxic  Fe2+ dan

konsentrasi Mn2+ yang terdapat dalam tanaman padi.  Reduksi dari NO3- ke gas N2 dan

N2O adalah kondisi pertanian yang tidak diinginkan.  Karena  tanah akan kehilangan

nitrogen.  Jika oksigen dan akseptor elektron sekunder tidak hadir,  mikroorganisme

dalam tanah dan system lain masih dapat mengekstrak energi beberapa senyawa organik

secara fermentasi. Fermentasi dari sudut pandang energi adalah penataan ulang molekul

organik menjadi senyawa yang lebih stabil sehingga sebagian dari energi ikatan mereka

dilepaskan.  Fermentasi karbohidrat menjadi etanol atau metana dan CO2, dan bahan

tanaman untuk gambut,  melepaskan CO2 sekitar 10% dari energi.  Maka produk

fermentasi (masing-masing etanol, metana, dan gambut)  mempertahankan sekitar 90%

dari energi bahan asli.

Fermentasi dan reduksi akseptor elektron sekunder hanya expediencies

sementara.  Produk yang dihasilkan tidak stabil dengan adanya oksigen dan akhirnya

mengoksidasi lebih lanjut saat lebih banyak oksigen tersedia.  Bahan organik tanah

adalah contoh akumulasi manfaat dari produk yang tidak stabil dari oksidasi lengkap atau

fermentasi. Kandungan bahan organik tanah mencerminkan perbedaan antara tingkat

penambahan bahan organik dan oksidasi.  Laju oksidasi diatur oleh suhu dan laju pasokan

oksigen. (mahbub alwathoni, 2011 ; Henrich L. Bohn et al, 1985)

2. Asam –Basa

Page 6: kimling

Salah satu fungsi kimia tanah adalah pertukaran kation-kation. Kemampuan suatu

tanah dalam mempertukarkan kation-kation disebut Cation Exchange Capacity (CEC).

Pertukaran kation dalam tanah merupakan mekanisme yang menyebabkan unsur-unsur

penting lainnya bias diperoleh oleh tanaman. Pertukaran ini terjadi pada saan ion-ion

logam digunakan oleh akar tanaman, ion hydrogen ditukar dengan ion logam

Tanah berperan sebagai buffer dan menahan perubahan pH. Pertumbuhan tanaman akan

terjadi dengan baik dan optimum apabila pH tanah mendekati netral. Bila tanah bersifat

asam diperlukan penambahan kalsium karbonat.

Sedangkan bila tanah bersifat basa diperlukan penambahan aluminium atau besi sulfat

yang akan melepaskan asam ketika dihidrolisis.

Sulfur yang ditambahkan ke dalam tanah dioksidasi oleh reaksi yang diperantarai oleh

bakteri menjadi asam sulfur.

Sulfur dipakai untuk mengasamkan tanah yang basa

3. Pengendapan Keberadaan Fosfor pada Tanah Masam

Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa bahwa bentuk ion fosfor yang diserap

tanah dipengaruhi oleh pH tanah. Pengaruh pH tanah terhadap ketersedian P bagi

tanaman adalah dengan pH larutan tanah adalah yang paling menentukan bentuk ion

yang ada dan pH tanah juga mengendalikan tipe dan kelarutan mineral-mineral

tanah. Mineral-mineral ini dapat merubah produk-produk reaksi pupuk, mineral-

mineral sekundr atau primer. Menurut Young et al. ( 1997), ketika suatu pupuk

ditambahkan pada suatu tanah masam, ia bereaksi dengan senyawa-senyawa Fe dan

Al membentuk produk-produk kompleks yang tidk begitu larut dan kurang tersedia

bagi tanaman. Senyawa-senyawa yang terbentuk dapat mengendap dalam larutan,

Page 7: kimling

terjerap pada permukaan oksida Fe dan Al, atau terjerap pada partikel-partikel

lempung.

Berkaitan dengan tanh masam, ketersediaan fosfor yang sangat terbatas adalah

salah satu masalah penting pada tanah masam. Fosfor selalu menunjukkan afinitas

yang kuat dengan Al dan Fe pada tanah masam, sehingga pengendapannya bersama

Al dan Fe atau dijerap pada permukaan liat (clay). Reaksi kimianya yang berlangsung

antara ion fosfat dengan alumunium yang larut, menghasilkan bentuk hidroksi fosfat

yang tidak larut. Mekanisme reaksinya yakni, ion fosfat menggantikan kedudukan ion

OH- dari koloid tanah atau mineral. Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai

berikut :

Konsekuensi dari reaksi di atas ini, akan selalu terjadi bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO4 - yang tersedia bagi tanaman.

4. Mekanisme Sorption

PERANAN MIKROBA TANAH PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

Mikroba merupakan organisme yang mempunyai niche yang sangat sempit se-

hingga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Kerentanan tersebut memacu

mikroba bermutasi untuk bertahan pada kondisi lingkungan yang baru (Metting, 1996).

Banyak mikroba ditemukan meng-huni lahan-lahan yang tercemar logam berat seperti

pada lahan bekas tambang. Mikroba memainkan banyak peran, baik yang

menguntungkan maupun yang me-rugikan bagi manusia pada lahan-lahan bekas

tambang. Di satu sisi mikroba ta-nah dapat memperburuk keadaan lahan misalnya

mikroba yang berperan sebagai biokatalisator AMD tetapi sebagian dari mereka aktif

mereduksi logam-logam menjadi tidak tersedia, sebagian lagi membantu pertumbuhan

tanaman sehing-ga proses revegetasi menjadi lebih baik. Secara terperinci peranan

mikroba terse-but diuraikan sebagai berikut:

a) Sebagai Biokatalisator AMD dan Sebagai Agen Biomining

Peristiwa AMD terjadi karena adanya oksidasi mineral-mineral bersulfur yang

merupakan sisa galian tambang terbuka dan melepaskan asam sulfat seperti reaksi FeS2 +

Page 8: kimling

14Fe3+ + 8H2O15Fe2+ + 2SO42 + 16H+ (Bond et al., 2000). Asam sulfat merupakan

asam kuat sehingga akan menurunkan pH tanah dan air secara drastis. Menurunnya pH

dapat mening-katkan kelarutan logam-logam (Tan, 1993). Menurunnya pH dan hilangnya

bahan organik (akibat penambangan terbuka) akan memacu inisiasi bakteri pengoksi-dasi

sulfur (BOS) seperti Thiobacillus spp., Leptospirillum spp., Sulfolobus spp., dan

Ferroplasma spp. (Bond et al., 2000). Mikroba tersebut bersifat suka asam (acidophilic),

menggunakan sumber C dari bahan anorganik (lithotroph atau ototrof) dan menggunakan

sumber energi dari oksigen (Wentzel, 2004 dalam Wid-yati, 2006). Spesies T.

ferrooxidans yang dikenal sebagai kemolitotrof dan mensin-tesis selnya dari karbon yang

diperoleh secara ensimatik dari CO2, ternyata dapat menggunakan karbon organik secara

ter-batas (Bacelar-Nicolau and Johnson, 1999). Kehadiran BOS akan memacu la-ju AMD

menjadi 500.000-1.000.000 kali lipat dibandingkan dengan reaksi yang terjadi secara

geokimia (Mills, 2004) se-hingga dalam hal ini kelompok mikroba tersebut sangat

merugikan bagi lingkung-an tempat hidupnya.

Namun demikian, BOS dapat diman-faatkan untuk “memanen” sisa logam yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi se-perti tembaga, seng, nikel bahkan dapat melepaskan

emas dan perak dari mineral pirit (Brierley and Brierley, 1999 dalam Santosa, 2004).

Kelompok mikroba ter-sebut dikenal dengan istilah ”mikroba pe-nambang” atau

biominer dan aktivitas pe-nambangan dengan menggunakan mikro-ba disebut biomining.

Menurut Rawlings (2004) biomining adalah istilah untuk memfasilitasi ekstraksi logam-

logam dari mineral bersulfur atau yang mengandung besi dengan menggunakan mikroba.

Pro-ses pelarutan logam merupakan kombina-si proses kimia dan mikrobiologi, di ma-na

proses kimia terjadi karena adanya ion Fe3+ dan atau asam yang dihasilkan oleh aktivitas

mikroba. Ekstrak logam pada proses biomining dilarutkan ke dalam air, sehingga proses

ini disebut bioleaching sedangkan khusus untuk recovery emas dari lumpur tailing

digunakan istilah bio-oksidasi (Rawlings, 2004). Menurut Rawlings (2004), tidak semua

mineral dapat dipanen logamnya melalui teknolo-gi bioleaching tetapi hanya logam yang

terikat pada mineral yang mengandung sulfur, besi atau sulfur tereduksi, sehing-ga proses

bioleaching selalu menghasil- kan limbah berupa ion Fe3+ dan asam sul-fat.

Menurut Rawlings dan Silver (1995) dalam Rawlings (2004) ekstraksi logam

dengan mikroba lebih ekonomis dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan

Page 9: kimling

ekstraksi secara kimia. Kadar logam yang terlalu rendah dibandingkan dengan mi-neral

yang mengikatnya mengakibatkan ekstraksi secara kimia menjadi tidak eko-nomis

dibandingkan dengan perolehan logam. Metode bioleaching juga tidak memerlukan

energi dalam jumlah besar seperti yang digunakan untuk proses pe-leburan dan

pembakaran pada proses pengambilan logam secara tradisional. Di samping itu, metode

bioleaching lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan proses-proses secara fisiko

kimia karena proses ini menggunakan proses yang ter- jadi di alam. Sebagai contoh pada

proses peleburan dan pembakaran akan meng-hasilkan gas berbahaya misalnya SO2, hal

tersebut tidak terjadi pada proses bio-leaching. Mekanisme pelarutan mineral sulfid

menunjukkan pola yang berbeda-beda. Schippers and Sand (1999) menemukan bahwa

oksidasi logam sulfida yang ber-beda dimulai dengan reaksi antara (inter-mediate) yang

berbeda. Untuk pirit (FeS2) dan molybdenit (MoS2) melalui reaksi antara yang disebut

mekanisme thiosul-fat. Sedangkan spalerit (ZnS), kalkopirit (CuFeS2) atau galena (PbS)

melalui mekanisme polysulfide. Pada mekanisme thiosulfat, pelarutan logam sulfida oleh

asam terjadi dengan perantara thiosulfat dengan hasil akhir yang utama adalah sulfat.

Schippers and Sand (1999) mencontohkan reaksi yang terjadi pada mineral pirit:

FeS2+6Fe3++3H2O → S2O32–+7Fe2++6H+ .......(1)

S2O32–+8Fe3++5H2O → 2SO42–+ 8Fe2++10H+...(2)

Pada mekanisme polisulfida, pelarut-an logam sulfida memerlukan perantara sulfur

elementer. Sulfur relatif stabil te-tapi dapat dioksidasi menjadi sulfat dengan bantuan

BOS seperti reaksi 5 di ba-wah ini:

MS+Fe3++H+→ M2++0,5H2Sn+Fe2+(n≥2).........(3)

0,5H2Sn+Fe3+ → 0,125S8+Fe2++H+...................(4)

0,125S8+1,5O2+H2O → SO42–+2H+...................(5)

BOS

Ion Fe2+ yang dihasilkan dalam proses tersebut mungkin teroksidasi kembali oleh BOS

menjadi Fe3+.

2Fe2++0,5O2+2H+ → 2Fe3++H2O…...................(6)

BOS

Page 10: kimling

Peranan BOS pada proses solubilisasi logam adalah menyediakan asam sulfat (reaksi 5)

untuk menangkap proton dan mengoksidasi besi menjadi ion feri (reak-si 6) untuk

melarutkan mineral. Bakteri yang telah dibuktikan efektif untuk melepaskan logam-

logam komer-sial antara lain T. ferrooxidans dan L. fer-rooxidans dengan kerapatan

populasi 106-107 satuan pembentuk koloni/ml me-dia tumbuh (Brierley and Brierley,

1999 dalam Santosa, 2004). Sejak tahun 1950-an bakteri tersebut telah digunakan untuk

melepaskan logam-logam dari limbah ba-han galian (tailing). Beberapa tahun ter-akhir

dilaporkan bahwa 11% dari produk-si tembaga (Cu) di USA (www.personals. psu.edu)

dan 20% produk tembaga di du-nia (Brierley and Brierley, 1999 dalam Santosa, 2004)

diproduksi melalui tekno-logi bioleaching dengan bakteri T. ferro-oxidans. Valenzulaa et

al. (2006) mela-porkan bahwa sejak diterapkan teknik biomining di Chili (negara

penghasil tem-baga kelas atas dunia) produksi temba-ganya meningkat 400.000 ton per

tahun.

Bakteri BOS membentuk lapisan bio-film yang melapisi permukaan mineral yang

mengandung tembaga. Oksidasi yang dilakukan oleh bakteri terhadap mi-neral akan

menghasilkan ferrosulfat dan “oksidan”. Oksidan akan bereaksi de-ngan mineral-mineral

tembaga-sulfida se-perti kalkopirit (CuFeS2), kalkosit (Cu2S), kovelit (CuS), dan bornit

(Cu5FeS4), de-ngan melepaskan larutan CuSO4 (www. personals.psu.edu). Tembaga

selanjutnya dapat dipisahkan melalui proses elektroli-sis. Penelitian lain menunjukkan

bahwa T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans di-laporkan sebagai organisme yang paling

signifikan dalam proses oksidasi mineral-mineral sulfidik.

Beberapa kelompok mikroba ditemukan bekerja pada suhu yang berbeda-beda

sehingga dapat dimanfaatkan untuk bio-mining pada mineral yang berada pada

kedalaman lapisan tanah yang berbeda. Pada oksidasi mineral yang dioperasikan pada

kisaran suhu 40°C, mikroba yang paling efektif adalah campuran kelompok (konsorsium)

dari BOS gram negatif, yang terdiri atas Acidithiobacillus ferro- oxidans (dahulu

Thiobacillus ferrooxi-dans) (Gambar 1), At. thiooxidans (dahu-lu T. thiooxidans), dan At.

caldus (dahulu T. caldus), dan bakteri pengoksidasi besi Leptospirillum ferrooxidans

serta L. fer-riphilum (Rawlings, 2004). Bakteri yang aktif pada suhu 50°C terdiri atas

campuran kelompok (konsor-sium) At. caldus, beberapa Leptospirillum spp., bakteri

Page 11: kimling

gram-positif dari genera Sul-fobacillus dan Acidimicrobium, serta ar-chaea dari genus

Ferroplasma (Rawlings, 2004).

Pada bioleaching yang dioperasikan pada suhu >65°C, konsorsium lebih dido-

minasi oleh archaea dibandingkan oleh bakteri. Spesies bakteri yang banyak di-temukan

adalah Sulfolobus dan Metal-losphaera sedangkan archaea terdiri atas genus Acidianus

misalnya Ad. ambiva-lensi atau Ad. infernus yang juga mampu tumbuh pada suhu sangat

tinggi (90°C) (Rawlings, 2004). Mikroba yang ekstrim termofil yang dapat dipekerjakan

pada proses biomining terutama anggota dari genus Sulfolobus, Acidianus, Metallos-

phaera, dan Sulfurisphaera (Valenzulaa et al., 2006).

b) Sebagai Agen Bioremediasi Logam-logam

Sebagai penghuni tanah kehidupan mikroba selalu dipengaruhi secara lang-sung

oleh perubahan-perubahan yang ter-jadi di dalam tanah. Pada lahan bekas tambang

perubahan tanah (fisik, kimia, dan biologi) terjadi secara drastis, sehing-ga di dalam

ekosistem tersebut mikroba harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, atau punah.

Menurut Figuera et al. (2005) salah satu mekanisme adap-tasi adalah mengubah ekspresi

gen se-hingga aktivitas enzim dan protein me-mungkinkan mereka untuk meneruskan

hidup di lingkungan tersebut. Beberapa mekanisme mikroba beradaptasi pada ta-nah

bekas tambang yang tercemar logam-logam antara lain mikroba mampu meng-gunakan

logam sebagai sumber energi, mempresipitasikan logam dalam bentuk garam-logam yang

tidak larut, mengimo-bilisasi logam dalam dinding sel, mem-produksi agen pengkelat,

mengubah per-meabilitas membran sel mikroba terhadap logam, dan mereduksi logam

menjadi bentuk yang tidak toksik (Figuera et al., 2005). Kemampuan mikroba inilah yang

dapat digunakan dalam proses detoksifi-kasi logam yang dikenal dengan istilah

bioremediasi.

Bioremediasi adalah suatu proses pe-mulihan polutan dengan memanfaatkan jasa

makhluk hidup seperti mikroba (bak-teri, fungi, khamir), tumbuhan hijau atau enzim

yang dihasilkan dalam proses me-tabolisme mereka (disarikan dari berba-gai sumber).

Bagi mikroba tertentu, po-lutan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk

pertumbuhan mereka (Alexander, 1977).

Page 12: kimling

Pada tanah bekas tambang dijumpai logam-logam yang awalnya berada dalam

kondisi reduktif yang berikatan dengan sulfida membentuk mineral yang kom-pleks.

Namun demikian logam-logam ter-sebut menjadi tersedia karena teroksidasi akibat

bereaksi dengan udara dan atau air. Logam-logam Fe, Mn, Zn, Cu, Ni, dan lain-lain

banyak dijumpai pada lahan be-kas tambang. Di samping itu, pada per-tambangan yang

memerlukan pemurnian bijih banyak dijumpai logam-logam berat seperti arsen (As),

merkuri (Hg) atau ba-han berbahaya lainnya misalnya sianida (CN). Salah satu spesies

mikroba yang terbukti mampu melakukan bioremediasi sianida adalah Pseudomonas

pseudoalca-ligenes (Brierley and Brierley, 1999 da-lam Santosa, 2004), yang dapat

menurun-kan ketersediaan CN pada kolam tailing sampai 90% dalam waktu 2-3 hari

pada pH 10,5.

Untuk mendegradasikan merkuri (Hg) beberapa mikroba dikenal mempunyai

enzim merkuri reduktase misalnya Pseu-domonas putida, Geobacter metallire-ducens,

Shewanella putrefaciens, Desul-fovibrio desulfuricans, dan D. vulgaris. Kedua spesies

terakhir adalah kelompok bakteri pereduksi sulfat (BPS). Peneliti- an yang dilakukan oleh

Lovley (1995) dalam Widyati (2006) menunjukkan bah-wa remediasi merkuri dengan

mikroba ja-uh lebih baik daripada secara kimia ka-rena metode secara kimia selain lebih

mahal juga masih menghasilkan timbun-an lumpur yang mengandung Hg. Akar

permasalahan pada lahan bekas tambang terbuka (misalnya pada lahan bekas tambang

batubara) telah diidenti-fikasi oleh Widyati (2006), yaitu sangat rendahnya pH akibat

akumulasi sulfat pada lahan tersebut yang berakibat pada meningkatnya kelarutan logam-

logam. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi pada lahan-lahan yang demikian harus

dimulai dengan penurunan konsentrasi sulfat dan pencegahan oksidasi mineral sulfida

lebih lanjut. Kelompok bakteri pereduksi sul-fat (BPS) dapat dimanfaatkan untuk me-

reduksi sulfat. Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa BPS dapat

digunakan untuk mereduksi sulfat pada tanah bekas tambang batubara dengan efisiensi

80% dalam waktu 10 hari. Di samping itu, inokulum BPS (Gambar 2) dengan dosis

inokulum 25% dari total vo-lume tanah tersebut dapat menurunkan ketersediaan Fe, Mn,

Zn, dan Cu dengan efisiensi mencapai 90% dengan waktu in-kubasi 15 hari. Aplikasi

pada air asam tambang (AAT) yang dilakukan oleh Widyati et al. (2008) (Gambar 2)

menun-jukkan bahwa penambahan inokulum BPS 1% dari volume AAT dapat mening-

Page 13: kimling

katkan pH menjadi netral hanya dalam waktu beberapa jam setelah aplikasi. Un-tuk

menurunkan kandungan logam-logam dosis yang efektif adalah 10% dengan waktu

inkubasi 2-4 hari. Inokulum BPS yang digunakan meru-pakan isolat yang dibiakkan pada

media kompos. Meningkatnya pH terjadi kare-na BPS menggunakan sulfat sebagai

aseptor elektron dan karbon (C) dari kompos sebagai donor elektron dengan

menghasilkan hidrogen sulfida (reaksi 7).

2CH2O + SO42- → H2S + 2HCO3-......................(7)

Hidrogen sulfida akan segera berikatan dengan logam membentuk logam sulfida yang

tidak larut sehingga ketersediaan lo-gam turun (reaksi 8).

M2+ + S2-→ MS .................................................(8)

5. Biodegradasi Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah Minyak Bumi

Parameter uji yang dilakukan untuk mengetahui kondisi optimal yang dicapai

pada remediasi terdiri atas pH, kemampuan ikat air/water holding capacity (WHC) dan

degradasi TPH (Total Petroleum Hidrokarbon).

pH

Berdasarkan hasil analisis, pada umumnya semua perlakuan mengalami

penurunan nilai pH. Penurunan nilai pH tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas

konsorsium bakteri yang membentuk metabolit-metabolit asam. Biodegradasi alkana

yang terdapat dalam minyak bumi akan membentuk alkohol dan selanjutnya menjadi

asam lemak. Asam lemak hasil degradasi alkana akan dioksidasi lebih lanjut membentuk

asam asetat dan asam propionat (Gambar 3), sehingga dapat menurunkan nilai pH

medium, persamaan reaksinya sebagai berikut :

Page 14: kimling

Kemampuan Ikat Air/Water Holding Capacity (WHC).

Secara umum pemberian biokompos memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap % WHC. Hal ini karena biokompos mengandung mikroorganisme pendegradasi

minyak bumi. Pada sampel A1 mengalami kenaikan lebih kecil dibandingkan dengan A2.

Hal ini disebabkan sampel A1 merupakan kontrol yang hanya ditanami dengan rumput

gajah dan tanpa inokulan. Rumput gajah dan mikroba indigen tidak mampu mendegradasi

senyawa organik secara cepat yang terdapat dalam tanah. Minyak bumi menyelimuti

tanah dan masuk ke dalam pori-pori tanah sehingga air tidak dapat terjerap oleh tanah

karena air bersifat polar sedangkan minyak bersifat nonpolar. Adanya perbedaan sifat ini

menyebabkan air tidak akan terjerap oleh tanah yang sudah dipenuhi dengan minyak.

Page 15: kimling

Sampel A2 mengalami kenaikan nilai WHC, karena pada sampel A2 ditambah

inokulan mikroba pendegradasi minyak bumi. Keberadaan mikroba ini dapat

mendegradasi minyak dalam tanah, karena minyak tersebut dapat difungsikan sebagai

sumber energy mikroba. Bahan utama minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan

aromatik, yaitu senyawa-senyawa organik di mana setiap molekulnya hanya mempunyai

unsur karbon dan hidrogen saja. Biodegradasi hidrokarbon alifatik biasanya terjadi pada

kondisi aerob. Tahap awal degradasi hidrokarbon secara aerob adalah memasukkan

molekul oksigen ke dalam hidrokarbon oleh enzim oksigenase (Nugroho, 2009). Menurut

R.M. Atlas, and R. Bartha (1992) dalam Nugroho (2009) Jalur degradasi alkana yang

paling umum adalah oksidasi rantai terminal (Gambar 4.5). Alkana dioksidasi menjadi

alkohol dan selanjutnya menjadi asam lemak (Cookson, 1995 dalam Nugroho, 2009).

Persen Degradasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dan Biomassa Rumput

Gajah.

Urea merupakan sumber nitrogen yang murah dan mudah tersedia bagi mikroba.

Nitrogen merupakan suatu keharusan bagi biosintesis asam amino dan basa purin serta

pirimidin, yang merupakan unit pembangun protein dan asam nukleat bernitrogen

(Lehninger,1994). Urea yang dimasukkan kedalam tanah akan mengalami proses

amonifikasi sebagai berikut:

Page 16: kimling

Dalam keadaan asam dan netral amonia berada sebagai ion amonium. Ion amonium dapat

diasimilasi tanaman dan mikroba, selanjutnya diubah menjadi asam amino atau senyawa

N lain. Di dalam sel, ammonia direaksikan oleh glutamat atau glutamin sintase atau

mengalami proses aminasi langsung dengan asam-ketokarboksilat sehingga berubah

menjadi asam amino (Sumarsih, 2003). Selanjutnya asam amino membentuk ikatan-

ikatan peptida dengan asam amino yang lain membentuk protein. Protein ini dibutuhkan

untuk perkembangbiakan mikroba, dengan banyaknya urea yang ditambahkan proses

perkembangbiakan semakin cepat, dan proses degradasipun lebih cepat.

Secara statistik Anova pemberian biokompos dan rumput gajah memberikan

pengaruh signifikan % degradasi minyak bumi. Hal ini karena kedua aktivitas mikroba

dan pertumbuhan tanaman dapat dipengaruhi oleh penambahan pupuk, penambahan

pupuk merupakan faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi proses bioremediasi.

Tabel 4.1 menunjukkan tingkat degradasi TPH dengan tingkat penambahan urea yang

berbeda. Hubungan positif antara tingkat degradasi TPH dan tingkat penambahan pupuk

urea menunjukkan efektif dalam meningkatkan proses rhizoremediasi TPH. Di sisi lain

menunjukan perubahan berat biomassa dengan penambahan urea dengan jumlah yang

berbeda dan penambahan inokulan. Berdasarkan aplikasi urea 2 g, biomassa rumput

gajah meningkat dengan penambahan urea yaitu 36,43 ± 2,448 g seperti terlihat pada

perlakuan B1(tanpa inokulan). Dengan aplikasi yang sama dan penambahan inokulan,

biomassa rumput gajah menurun dengan penambahan urea yaitu 12,82 ± 13,346 g pada

perlakuan B2. Namun, berat biomassa yang rendah ditemukan dengan tingkat aplikasi

urea yang lebih tinggi 9 g, dengan nilai biomassa sebesar 2,16 ± 1,250 g yaitu perlakuan

C2 (dengan inokulan). Sedangkan dengan perlakuan yang sama perlakuan C1 (tanpa

inokulan) mengalami peningkatan nilai biomassa sebesar 39,02 ± 55,177 g. Sedangkan

perbedaan nilai biomassa pada perlakuan yang ditambahkan inokulan dan tanpa inokulan.

Pada perlakuan B2 dan C2 yang ditambahkan inokulan mengalami penurunan nilai

Page 17: kimling

biomassa sebesar 12,82 ± 13,346 g dan 2,16 ± 1,250 g. Pada perlakuan B1 dan C1

mengalami kenaikan nilai biomassa sebesar 36,43 ± 2,448 g dan 39,02 ± 55,177 g.

Hal ini disebabkan karena pada perlakuan yang ditambahkan inokulan, terjadi

kompetisi antara inokulan dengan rumput gajah dalam mengambil unsur-unsur hara yang

terdapat pada media untuk kebutuhan metabolisme. Sehingga pertumbuhan rumput gajah

menjadi terhambat dan bahkan mengalami kematian. Sedangkan perlakuan tanpa

inokulan dengan adanya pemberian kompos dan urea saja sudah cukup untuk kebutuhan

metabolism mikroorganisme dan rumput gajah, sehingga pertumbuhan biomassanya tidak

terganggu. Penambahan inokulan degradasi minyak lebih cepat, tapi hasil degradasi

diantaranya senyawa fenol yang merupakan zat toksik untuk pertumbuhan tanaman.

Karena senyawa fenol memiliki beberapa sifat diantaranya mudah larut dalam air,

senyawa fenol yang terlarut berpengaruh terhadap proses perakaran, tergantung pada

konsentrasinya. Proses penyerapan senyawa fenol terhadap akar sama halnya terjadi pada

perkecambahan. Menurut Salisbury and Ross (1992); Colton and Einhellig (1980) dalam

Tambaru, E dan Santosa (1999) Konsentrasi senyawa fenol dalam air yang tinggi dapat

menaikan potensial osmotik, sehingga dapat menghambat difusi air dan O2 ke dalam

kecambah. Jika air yang dibutuhkan tidak terpenuhi, maka hal ini dapat menghambat

sintesis hormon IAA, GA, dan sitokini, sehingga perkecambahan dan pertumbuhan

kecambah terhambat (Santosa, 1990; Rice, 1984 dalam Tambaru, E dan Santosa, 1999 ).

Berkurangnya difusi air ke dalam biji juga mempengaruhi transport O2, sehingga

menghambat proses respirasi dan ATP yang dihasilkan terbatas. ATP sangat dibutuhkan

untuk perkecambahan dan pertumbuhan kecambah (Salisbury dan Ross, 1992 dalam

Tambaru, E dan Santosa, 1999).

Menurut Salt et al (1998), Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman

dengan bantuan air dan CO2. Tanaman mengeluarkan sekret melalui eksudat akar sebesar

10 – 20% dari hasil fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses

pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar rizosfer.

Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar (misalnya fenolik,

asam organik, alkohol, protein ) dapat menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai

sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses degradasi senyawa organik.

Sekret berupa senyawa organik dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan

Page 18: kimling

aktivitas mikroba rizosfer. Adapun reaksi pembentukan senyawa fenolik dari hasil

degradasi adalah sebagai berikut (Gambar 8 ).

Page 19: kimling

DAFTAR PUSTAKA

Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas

Untuk Me-macu Revegetasi Lahan. Disertasi. Program Pendidikan Doktor IPB. Bogor.

Widyati, E., F. Hazra dan I. Devita. 2008. Bioremediasi Air Asam Tambang dengan Bakteri

Pereduksi Sulfat. (Tidak Diterbitkan).

Rawlings, D.E. 2004. Microbially As-sisted Dissolution of Minerals and Its Use in the Mining

Industry. Pure Appl. Chem. 76(4): 847-859. Anas, I. 1997. Polusi dan Bioremediasi

Tanah. Diktat Kuliah Bioteknologi Tanah. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. (Tidak

diterbitkan).

Bacelar-Nicolau, P. and D.B. Johnson. 1999. Leaching of Pyrite by Acido-philic Heterotrophic

Iron-Oxidizing Bacteria in Pure and Mixed Cul-tures. Applied and Environmental

Microbiology 65(2): 585-590.

Bond, P.L., G.K. Druschel, and J.F. Ban-field. 2000. Comparison of Acid Mine Drainage

Microbial Commu-nities in Physically and Geoche-mically Distinct Ecosystems. Ap-

plied and Environmental Microbio-logy 66 (11): 4962-4971.

Valenzulaa, L., A. Chib, S. Bearda, A. Orella, N. Guiliania, J. Shabano-witzb, D.F. Huntb and

C.A. Jereza. 2006. Genomics, Metagenomics and Proteomics in Biomining

Microorganisms. Biotechnology Advances 24:197-211.

Cerniglia, C.E. 1992. Biodegradation of Polycycluc Aromatic Hydrocarbons, In: Biodegradation

journal, vol 3. Kluwer Academic Pub. Netherlands. p 351-368.

Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan

LingkunganTercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI. Vol 32, No 1.

Karwati. 2009. Degradasi Hidrokarbon Pada Tanah Tercemari Minyak Bumi Dengan Isolat

A10 Dan D8. Skripsi. IPB. Bogor.

Lehninger, A.L. 1994. Dasar-dasar Biokimia, alih bahasa oleh Maggy Thenawidjaja. Erlangga.

Jakarta.

Nugroho, A. 2009. Produksi Gas Hasil Biodegradasi Minyak Bumi: Kajian Awal

Aplikasinya dalam Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR). Makara, Sains. Vol 13.

No.2. 111-116.

Page 20: kimling

Nugroho, A. 2006. Biodegradasi ‘Sludge’ Minyak Bumi Dalam Skala Mikrokosmos. Makara

Teknologi. 10 (2): 82-89.

Nwoko. Chris O. 2010. Trends in phytoremediation of toxic elemental and organic pollutants.

African Journal of Biotechnology. Vol. 9 (37), pp. 6010-6016.

Salt, D.E., R.D. Smith and I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant

Molecular Biology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501–662.

Breemen  N van.  1993. Environmmental aspects of acid sulphate soils. In: Dent DK andvan

Mensvoort MEF. (ed). Selected Paper of the Ho Chi Minh City Symposium on  Acid

Sulphate Soils; Vietnam, March 1992.  hlm.391-402

 

Dent D.  1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for  research and development. Wageningen:

ILRI Publ. 39.

 

Dugan PR. 1974 . Biolchemical Ecology of Water Pollution. New York: Plenum Press.

 

Evangelou, VP and Zhang YL. 1995.  A review: Pyrite oxidation mechanism and acid mine

drainage prevention, Crtitical Reviews in Environmental Science and Technology. 25

(2): 141-199.

 

Anonim. 2002d. Microbial ecology. In: Brock Biology of Microorganisms. http: //

cw.prenhall.com/bookhind/pubbooks/brock/chapter14/objectives/deluxe-content.html .

[5 November 2002].