kimling
-
Upload
aprilliana-indah -
Category
Documents
-
view
44 -
download
4
description
Transcript of kimling
1. Redoks ( reaksi reduksi-oksidasi ) Reaksi redoks dalam lingkungan tanah adalah hasil dari siklus yang dimulai dari
fotosintesis. Reaksi-reaksi dalam tanah melengkapi siklus tersebut, karena telah
memanfaatkan energi yang disimpan oleh fotosintesis, membuang limbah organik, dan
menghasilkan CO2 yang dibutuhkan untuk fotosintesis tambahan. Peristiwa oksidasi
tanah sering terjadi secara tidak langsung, bagaimanapun, telah banyak menyebabkan
bagian-bagian reaksi hingga siklus selesai. Didalam peristiwa fotosintesis karbon (C)
dalam CO2 menerima elektron, yang selanjutnya terjadi perubahan bilangan oksidasi dari
C4+ ke C0 dalam karbohidrat ((CH2O)n) ;
CO2 + 4e- + 4H+ --> CH2O + H2O (10.1)
Setengan reaksi digambarkan pada oksidasi oksigen dalam air (H2O), dimana O2- menjadi
O0 dalam O2.
2H2O --> O2 + 4e- + 4H+ (10.2)
Oksigen dalam hal ini sebagai donor elektron, dan karbon sebagai akseptor elektron.
Dalam fotosintesis (persamaan reaksi 10.1 dan 10.2) masing-masing menggambarkan
hanya setengah reaksi, atau disebut setengah reaksi. Meskipun dalam persamaan tersebut
menyiratkan adanya elektron bebas, konsentrasi elektron bebas sebenarnya makin kecil.
Persamaan setengah reaksi sebenarnya menyiratkan bahwa donor elektron tidak
ditentukan oleh akseptor yang ada. Keseluruhan reaksi fotosintesi digambarkan sebagai
berikut ;
CO2 + H2O --> CH2O +O2 (10.3)
Setengah reaksi lainnya dari siklus karbon adalah reaksi oksidasi karbohidrat (respirasi)
dan banyak senyawa-senyawa organik disintesis dari peristiwa respirasi. Oksidasi
melepaskan energi dalam senyawa, oksidasi adalah peristiwa pembakaran, yang
merupakan bagian penting juga yang terjadi pada hewan yang hidup pada tanaman. Sisa
tanaman dan residu hewan jatuh ke tanah yang selanjutnya dioksidasi oleh
mikroorganisme tanah. Setengah reaksi oksidasi karbohidrat ditunjukkan oleh reaksi
berikut ini ;
CH2O + H2O --> CO2 + 4e- + 4H+ (10.4)
Dalam kegiatannya untuk memperoleh energi ini dan melaksanakan setengah reaksi,
organisme harus menemukan akseptor elektron untuk untuk mengambil elektron, jika
oksigen hadir maka setengah reaksi dari penerimaan elektron ini adalah ;
O2 + 4e- + 4H+ --> 2H2O (10.5)
Peristiwa oksidasi yang ditunjukkan pada persamaan (10.4) sebenarnya dilakukan melalui
langkah-langkah krebs atau siklus asam sitrat, sedangkan persamaan (10.5) adalah
penyederhanaan dari proses yang sesungguhnya.
Tumbuhan tingkat tinggi dan hewan hanya dapat menggunakan oksigen (O2)
sebagai akseptor elektron, tetapi mikroba tanah juga dapat memanfaatkan keadaan
teroksidasi nitrogen, belerang, besi, mangan, dan elemen lainnya. Jumlah akseptor
elektron dalam beberapa kondisi menjadikan peristiwa oksidasi adalah reaksi yang rumit
dalam kimia tanah maupun dalam biokimia.
Reaksi rodoks yang melibatkan karbon, nitrogen, dan belerang ditentukan
terutama oleh ketersediaan elektron dan biasanya dikatalisis oleh enzim. Katalis
diperlukan karena kebanyakan terjadi pertukaran elektron unsur. Enzim menurunkan
energi aktivasi transfer elektron dan meningkatkan laju reaksi. Ini merupakan yang
dihindari untuk mencapai keseimbangan, atau sebaliknya dalam menciptakan
metastabilitas senyawa karbon.
Donor Eleketron
Sebagian besar dari donor-donor elektron didalam tanah adalah material tanaman
SOM (soil organic matter). Tabel 10.1 menunjukkan perkiraan karbon, hydrogen, dan
oksigen yang terkandung dalam dua komponen besar pada tanaman, yaitu lignin dan
sellulosa, yang menunjukkan tipikal bahan organik (SOM). Pada tabel tersebut,
diabaikan besarnya kandungan untuk nitrogen, sulfur, dan dan elemen-eleman lainnya.
Anggapan bahwa material tanaman mengandung 1/3 lignin dan 2/3 selulosa, rumus
empiris material tanaman adalah sekitar C1.7H2.2O. lebih lanjut, bahwa semua asumsi
karbon dalam bahan ini mengoksidasi C4+ (bilangan oksidasi karbon dalam CO2).
Persamaan setengah reaksinya adalah ;
C1.7H2.2O --> 1.7C4+ + H2O + 0.2H++7e - (10.6)
Tabel 10.1
Perkiraan kandungan unsur C, H dan O pada lignin, selulosa dan tanah bahan organik
(SOM).
C
(%
)
H
(%
)
O
(%
)
Rumus
Empiri
s
Lignin 61-
64
5-6 30 C
2.8H2.9O
Selulos
a
44.
5
6.2 49.
3
C1.2H2O
Bahan
Organi
k
Tanah
(SOM)
58 5 36 C
2.2H2.2O
Rumus empiris bahan organik tanah (SOM) pada tabel 10.1, menunjukkan adanya
kandungan yang melimpah untuk karbon pada material tanaman. Grup karbon yang
terbentuk pada tanah bahan organik (SOM) (gambar 5.5) cenderung lebih aromatik, dan
kurang kaya akan kandungan oksigen dari material tanaman. Perkiraan setengah reaksi
oksidasi pada tanah bahan organik (SOM) :
C2.2H2.2O --> 2.2C4+ + H2O + 0.2H++9e- (10.7)
Persamaan reaksi lengkap untuk oksidasi bahan organik tanah dari persamaan (10.6) dan
(10.7) adalah ;
CH2O + O2 --> CO2 + H2O + Energi (10.8)
Energi yang dilepaskan adalah energi fotosintesis dari molekul karbohidrat. Donor
elektron lainnya dalam tanah disamping karbon-organik, termasuk juga nitrogen dan
sulfur/belerang dalam asam amino (-NH3) dan grup sulfihydril (-SH), serta ion
ammonium dalam bahan organik. Mikroorganisme tanah membuat donor elektron lain
ketika tanah mengalami kekurangan oksigen.
Akseptor Elektron
Peran tanah dalam reaksi oksidasi-reduksi adalah untuk menyediakan akseptor elektron
untuk oksidasi senyawa organik. Oksigen adalah akseptor elektron terkuat dialam
sehingga menghasilkan energi yang besar dalam peristiwa oksidasi. Oksigen juga
merupakan akseptor elektron yang dimanfaatkan oleh akar tanaman. Ketika oksigen
tersedia (kondisi aerobik), ia menerima elektron seperti diperlihatkan pada persamaan
10.5.
Permintaan oksigen yang tinggi biasanya disebabkan oleh adanya senyawa organik yang
mudah terdekomposisi dan kondisi pertumbuhan yang mendukung aktivitas mikroba.
Karena jumlah yang besar dari mereka dan aktivitas yang cukup, mikroorganisme tanah
biasanya mendapatkan perubahan pertama pada oksigen yang tersedia di tanah. Ketika
permintaan oksigen tinggi, relatif terhadap suplai oksigen hal ini bisa terjadi karena
digunakan untuk dekomposisi sampah-sampah organik. Karena difusi oksigen relatif
lambat, fermentasi terjadi dan menghasilkan gas CO2, CH4, H2 serta bau busuk dari asam-
asam organik volatile dan aldehida. Kelarutan oksigen dalam air rendah (sekitar 10 mg
L-1 pada 25oC).
Kebutuhan oksigen tanah dapat menguras oksigen yang terlarut dalam tanah yang
tergenang air dalam waktu kurang dari 24 jam. Jika oksigen tidak tersedia,
mikroorganisme tanah dapat menggunakan akseptor elektron lainnya. Akseptor elektron
sekunder pada tanah ditunjukkan oleh setengah reaksi berikut ini :
FeOOH + e- + 3H+ --> Fe2+ + 2H2O (10.9)
2MnO1.75 + 3e- + 7H+ --> 2Mn2+ +3.5H2O (10.1)
Dimana MnO1.75 menandakan adanya kompleks oksida Mn(III-IV) dalam tanah.
SO42- + 8e- + 8H+ -->S2-+4H2O (10.11)
NO3- + 5e- + 6H+ --> ½ N2 +3H2O (10.12)
NO3- + 2e- + 2H+ --> NO2
-+H2O (10.13)
N2O + 2e- + 2H+ --> N2 +H2O (10.14)
H+ + e- --> ½H2 (10.15)
Selain dihasilkan energi yang kurang, akseptor elektron sekunder juga menghasilkan
produk yang tidak menguntungkan untuk pertanian dan akuakultur. Sering dinyatakan
lebih beracun dari oksidasi yang stabil dengan adanya oksigen. Sebagai contoh,
ammonia dan nitrit lebih beracun daripada nitrat, dan H2S adalah lebih beracun daripada
sulfat. Reduksi dari Fe(III) dan Mn(III-IV) dapat menyebabkan phytotoxic Fe2+ dan
konsentrasi Mn2+ yang terdapat dalam tanaman padi. Reduksi dari NO3- ke gas N2 dan
N2O adalah kondisi pertanian yang tidak diinginkan. Karena tanah akan kehilangan
nitrogen. Jika oksigen dan akseptor elektron sekunder tidak hadir, mikroorganisme
dalam tanah dan system lain masih dapat mengekstrak energi beberapa senyawa organik
secara fermentasi. Fermentasi dari sudut pandang energi adalah penataan ulang molekul
organik menjadi senyawa yang lebih stabil sehingga sebagian dari energi ikatan mereka
dilepaskan. Fermentasi karbohidrat menjadi etanol atau metana dan CO2, dan bahan
tanaman untuk gambut, melepaskan CO2 sekitar 10% dari energi. Maka produk
fermentasi (masing-masing etanol, metana, dan gambut) mempertahankan sekitar 90%
dari energi bahan asli.
Fermentasi dan reduksi akseptor elektron sekunder hanya expediencies
sementara. Produk yang dihasilkan tidak stabil dengan adanya oksigen dan akhirnya
mengoksidasi lebih lanjut saat lebih banyak oksigen tersedia. Bahan organik tanah
adalah contoh akumulasi manfaat dari produk yang tidak stabil dari oksidasi lengkap atau
fermentasi. Kandungan bahan organik tanah mencerminkan perbedaan antara tingkat
penambahan bahan organik dan oksidasi. Laju oksidasi diatur oleh suhu dan laju pasokan
oksigen. (mahbub alwathoni, 2011 ; Henrich L. Bohn et al, 1985)
2. Asam –Basa
Salah satu fungsi kimia tanah adalah pertukaran kation-kation. Kemampuan suatu
tanah dalam mempertukarkan kation-kation disebut Cation Exchange Capacity (CEC).
Pertukaran kation dalam tanah merupakan mekanisme yang menyebabkan unsur-unsur
penting lainnya bias diperoleh oleh tanaman. Pertukaran ini terjadi pada saan ion-ion
logam digunakan oleh akar tanaman, ion hydrogen ditukar dengan ion logam
Tanah berperan sebagai buffer dan menahan perubahan pH. Pertumbuhan tanaman akan
terjadi dengan baik dan optimum apabila pH tanah mendekati netral. Bila tanah bersifat
asam diperlukan penambahan kalsium karbonat.
Sedangkan bila tanah bersifat basa diperlukan penambahan aluminium atau besi sulfat
yang akan melepaskan asam ketika dihidrolisis.
Sulfur yang ditambahkan ke dalam tanah dioksidasi oleh reaksi yang diperantarai oleh
bakteri menjadi asam sulfur.
Sulfur dipakai untuk mengasamkan tanah yang basa
3. Pengendapan Keberadaan Fosfor pada Tanah Masam
Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa bahwa bentuk ion fosfor yang diserap
tanah dipengaruhi oleh pH tanah. Pengaruh pH tanah terhadap ketersedian P bagi
tanaman adalah dengan pH larutan tanah adalah yang paling menentukan bentuk ion
yang ada dan pH tanah juga mengendalikan tipe dan kelarutan mineral-mineral
tanah. Mineral-mineral ini dapat merubah produk-produk reaksi pupuk, mineral-
mineral sekundr atau primer. Menurut Young et al. ( 1997), ketika suatu pupuk
ditambahkan pada suatu tanah masam, ia bereaksi dengan senyawa-senyawa Fe dan
Al membentuk produk-produk kompleks yang tidk begitu larut dan kurang tersedia
bagi tanaman. Senyawa-senyawa yang terbentuk dapat mengendap dalam larutan,
terjerap pada permukaan oksida Fe dan Al, atau terjerap pada partikel-partikel
lempung.
Berkaitan dengan tanh masam, ketersediaan fosfor yang sangat terbatas adalah
salah satu masalah penting pada tanah masam. Fosfor selalu menunjukkan afinitas
yang kuat dengan Al dan Fe pada tanah masam, sehingga pengendapannya bersama
Al dan Fe atau dijerap pada permukaan liat (clay). Reaksi kimianya yang berlangsung
antara ion fosfat dengan alumunium yang larut, menghasilkan bentuk hidroksi fosfat
yang tidak larut. Mekanisme reaksinya yakni, ion fosfat menggantikan kedudukan ion
OH- dari koloid tanah atau mineral. Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai
berikut :
Konsekuensi dari reaksi di atas ini, akan selalu terjadi bentuk fosfat yang tidak larut, atau hanya sedikit ion H2PO4 - yang tersedia bagi tanaman.
4. Mekanisme Sorption
PERANAN MIKROBA TANAH PADA LAHAN BEKAS TAMBANG
Mikroba merupakan organisme yang mempunyai niche yang sangat sempit se-
hingga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Kerentanan tersebut memacu
mikroba bermutasi untuk bertahan pada kondisi lingkungan yang baru (Metting, 1996).
Banyak mikroba ditemukan meng-huni lahan-lahan yang tercemar logam berat seperti
pada lahan bekas tambang. Mikroba memainkan banyak peran, baik yang
menguntungkan maupun yang me-rugikan bagi manusia pada lahan-lahan bekas
tambang. Di satu sisi mikroba ta-nah dapat memperburuk keadaan lahan misalnya
mikroba yang berperan sebagai biokatalisator AMD tetapi sebagian dari mereka aktif
mereduksi logam-logam menjadi tidak tersedia, sebagian lagi membantu pertumbuhan
tanaman sehing-ga proses revegetasi menjadi lebih baik. Secara terperinci peranan
mikroba terse-but diuraikan sebagai berikut:
a) Sebagai Biokatalisator AMD dan Sebagai Agen Biomining
Peristiwa AMD terjadi karena adanya oksidasi mineral-mineral bersulfur yang
merupakan sisa galian tambang terbuka dan melepaskan asam sulfat seperti reaksi FeS2 +
14Fe3+ + 8H2O15Fe2+ + 2SO42 + 16H+ (Bond et al., 2000). Asam sulfat merupakan
asam kuat sehingga akan menurunkan pH tanah dan air secara drastis. Menurunnya pH
dapat mening-katkan kelarutan logam-logam (Tan, 1993). Menurunnya pH dan hilangnya
bahan organik (akibat penambangan terbuka) akan memacu inisiasi bakteri pengoksi-dasi
sulfur (BOS) seperti Thiobacillus spp., Leptospirillum spp., Sulfolobus spp., dan
Ferroplasma spp. (Bond et al., 2000). Mikroba tersebut bersifat suka asam (acidophilic),
menggunakan sumber C dari bahan anorganik (lithotroph atau ototrof) dan menggunakan
sumber energi dari oksigen (Wentzel, 2004 dalam Wid-yati, 2006). Spesies T.
ferrooxidans yang dikenal sebagai kemolitotrof dan mensin-tesis selnya dari karbon yang
diperoleh secara ensimatik dari CO2, ternyata dapat menggunakan karbon organik secara
ter-batas (Bacelar-Nicolau and Johnson, 1999). Kehadiran BOS akan memacu la-ju AMD
menjadi 500.000-1.000.000 kali lipat dibandingkan dengan reaksi yang terjadi secara
geokimia (Mills, 2004) se-hingga dalam hal ini kelompok mikroba tersebut sangat
merugikan bagi lingkung-an tempat hidupnya.
Namun demikian, BOS dapat diman-faatkan untuk “memanen” sisa logam yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi se-perti tembaga, seng, nikel bahkan dapat melepaskan
emas dan perak dari mineral pirit (Brierley and Brierley, 1999 dalam Santosa, 2004).
Kelompok mikroba ter-sebut dikenal dengan istilah ”mikroba pe-nambang” atau
biominer dan aktivitas pe-nambangan dengan menggunakan mikro-ba disebut biomining.
Menurut Rawlings (2004) biomining adalah istilah untuk memfasilitasi ekstraksi logam-
logam dari mineral bersulfur atau yang mengandung besi dengan menggunakan mikroba.
Pro-ses pelarutan logam merupakan kombina-si proses kimia dan mikrobiologi, di ma-na
proses kimia terjadi karena adanya ion Fe3+ dan atau asam yang dihasilkan oleh aktivitas
mikroba. Ekstrak logam pada proses biomining dilarutkan ke dalam air, sehingga proses
ini disebut bioleaching sedangkan khusus untuk recovery emas dari lumpur tailing
digunakan istilah bio-oksidasi (Rawlings, 2004). Menurut Rawlings (2004), tidak semua
mineral dapat dipanen logamnya melalui teknolo-gi bioleaching tetapi hanya logam yang
terikat pada mineral yang mengandung sulfur, besi atau sulfur tereduksi, sehing-ga proses
bioleaching selalu menghasil- kan limbah berupa ion Fe3+ dan asam sul-fat.
Menurut Rawlings dan Silver (1995) dalam Rawlings (2004) ekstraksi logam
dengan mikroba lebih ekonomis dan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan
ekstraksi secara kimia. Kadar logam yang terlalu rendah dibandingkan dengan mi-neral
yang mengikatnya mengakibatkan ekstraksi secara kimia menjadi tidak eko-nomis
dibandingkan dengan perolehan logam. Metode bioleaching juga tidak memerlukan
energi dalam jumlah besar seperti yang digunakan untuk proses pe-leburan dan
pembakaran pada proses pengambilan logam secara tradisional. Di samping itu, metode
bioleaching lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan proses-proses secara fisiko
kimia karena proses ini menggunakan proses yang ter- jadi di alam. Sebagai contoh pada
proses peleburan dan pembakaran akan meng-hasilkan gas berbahaya misalnya SO2, hal
tersebut tidak terjadi pada proses bio-leaching. Mekanisme pelarutan mineral sulfid
menunjukkan pola yang berbeda-beda. Schippers and Sand (1999) menemukan bahwa
oksidasi logam sulfida yang ber-beda dimulai dengan reaksi antara (inter-mediate) yang
berbeda. Untuk pirit (FeS2) dan molybdenit (MoS2) melalui reaksi antara yang disebut
mekanisme thiosul-fat. Sedangkan spalerit (ZnS), kalkopirit (CuFeS2) atau galena (PbS)
melalui mekanisme polysulfide. Pada mekanisme thiosulfat, pelarutan logam sulfida oleh
asam terjadi dengan perantara thiosulfat dengan hasil akhir yang utama adalah sulfat.
Schippers and Sand (1999) mencontohkan reaksi yang terjadi pada mineral pirit:
FeS2+6Fe3++3H2O → S2O32–+7Fe2++6H+ .......(1)
S2O32–+8Fe3++5H2O → 2SO42–+ 8Fe2++10H+...(2)
Pada mekanisme polisulfida, pelarut-an logam sulfida memerlukan perantara sulfur
elementer. Sulfur relatif stabil te-tapi dapat dioksidasi menjadi sulfat dengan bantuan
BOS seperti reaksi 5 di ba-wah ini:
MS+Fe3++H+→ M2++0,5H2Sn+Fe2+(n≥2).........(3)
0,5H2Sn+Fe3+ → 0,125S8+Fe2++H+...................(4)
0,125S8+1,5O2+H2O → SO42–+2H+...................(5)
BOS
Ion Fe2+ yang dihasilkan dalam proses tersebut mungkin teroksidasi kembali oleh BOS
menjadi Fe3+.
2Fe2++0,5O2+2H+ → 2Fe3++H2O…...................(6)
BOS
Peranan BOS pada proses solubilisasi logam adalah menyediakan asam sulfat (reaksi 5)
untuk menangkap proton dan mengoksidasi besi menjadi ion feri (reak-si 6) untuk
melarutkan mineral. Bakteri yang telah dibuktikan efektif untuk melepaskan logam-
logam komer-sial antara lain T. ferrooxidans dan L. fer-rooxidans dengan kerapatan
populasi 106-107 satuan pembentuk koloni/ml me-dia tumbuh (Brierley and Brierley,
1999 dalam Santosa, 2004). Sejak tahun 1950-an bakteri tersebut telah digunakan untuk
melepaskan logam-logam dari limbah ba-han galian (tailing). Beberapa tahun ter-akhir
dilaporkan bahwa 11% dari produk-si tembaga (Cu) di USA (www.personals. psu.edu)
dan 20% produk tembaga di du-nia (Brierley and Brierley, 1999 dalam Santosa, 2004)
diproduksi melalui tekno-logi bioleaching dengan bakteri T. ferro-oxidans. Valenzulaa et
al. (2006) mela-porkan bahwa sejak diterapkan teknik biomining di Chili (negara
penghasil tem-baga kelas atas dunia) produksi temba-ganya meningkat 400.000 ton per
tahun.
Bakteri BOS membentuk lapisan bio-film yang melapisi permukaan mineral yang
mengandung tembaga. Oksidasi yang dilakukan oleh bakteri terhadap mi-neral akan
menghasilkan ferrosulfat dan “oksidan”. Oksidan akan bereaksi de-ngan mineral-mineral
tembaga-sulfida se-perti kalkopirit (CuFeS2), kalkosit (Cu2S), kovelit (CuS), dan bornit
(Cu5FeS4), de-ngan melepaskan larutan CuSO4 (www. personals.psu.edu). Tembaga
selanjutnya dapat dipisahkan melalui proses elektroli-sis. Penelitian lain menunjukkan
bahwa T. ferrooxidans dan L. ferrooxidans di-laporkan sebagai organisme yang paling
signifikan dalam proses oksidasi mineral-mineral sulfidik.
Beberapa kelompok mikroba ditemukan bekerja pada suhu yang berbeda-beda
sehingga dapat dimanfaatkan untuk bio-mining pada mineral yang berada pada
kedalaman lapisan tanah yang berbeda. Pada oksidasi mineral yang dioperasikan pada
kisaran suhu 40°C, mikroba yang paling efektif adalah campuran kelompok (konsorsium)
dari BOS gram negatif, yang terdiri atas Acidithiobacillus ferro- oxidans (dahulu
Thiobacillus ferrooxi-dans) (Gambar 1), At. thiooxidans (dahu-lu T. thiooxidans), dan At.
caldus (dahulu T. caldus), dan bakteri pengoksidasi besi Leptospirillum ferrooxidans
serta L. fer-riphilum (Rawlings, 2004). Bakteri yang aktif pada suhu 50°C terdiri atas
campuran kelompok (konsor-sium) At. caldus, beberapa Leptospirillum spp., bakteri
gram-positif dari genera Sul-fobacillus dan Acidimicrobium, serta ar-chaea dari genus
Ferroplasma (Rawlings, 2004).
Pada bioleaching yang dioperasikan pada suhu >65°C, konsorsium lebih dido-
minasi oleh archaea dibandingkan oleh bakteri. Spesies bakteri yang banyak di-temukan
adalah Sulfolobus dan Metal-losphaera sedangkan archaea terdiri atas genus Acidianus
misalnya Ad. ambiva-lensi atau Ad. infernus yang juga mampu tumbuh pada suhu sangat
tinggi (90°C) (Rawlings, 2004). Mikroba yang ekstrim termofil yang dapat dipekerjakan
pada proses biomining terutama anggota dari genus Sulfolobus, Acidianus, Metallos-
phaera, dan Sulfurisphaera (Valenzulaa et al., 2006).
b) Sebagai Agen Bioremediasi Logam-logam
Sebagai penghuni tanah kehidupan mikroba selalu dipengaruhi secara lang-sung
oleh perubahan-perubahan yang ter-jadi di dalam tanah. Pada lahan bekas tambang
perubahan tanah (fisik, kimia, dan biologi) terjadi secara drastis, sehing-ga di dalam
ekosistem tersebut mikroba harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, atau punah.
Menurut Figuera et al. (2005) salah satu mekanisme adap-tasi adalah mengubah ekspresi
gen se-hingga aktivitas enzim dan protein me-mungkinkan mereka untuk meneruskan
hidup di lingkungan tersebut. Beberapa mekanisme mikroba beradaptasi pada ta-nah
bekas tambang yang tercemar logam-logam antara lain mikroba mampu meng-gunakan
logam sebagai sumber energi, mempresipitasikan logam dalam bentuk garam-logam yang
tidak larut, mengimo-bilisasi logam dalam dinding sel, mem-produksi agen pengkelat,
mengubah per-meabilitas membran sel mikroba terhadap logam, dan mereduksi logam
menjadi bentuk yang tidak toksik (Figuera et al., 2005). Kemampuan mikroba inilah yang
dapat digunakan dalam proses detoksifi-kasi logam yang dikenal dengan istilah
bioremediasi.
Bioremediasi adalah suatu proses pe-mulihan polutan dengan memanfaatkan jasa
makhluk hidup seperti mikroba (bak-teri, fungi, khamir), tumbuhan hijau atau enzim
yang dihasilkan dalam proses me-tabolisme mereka (disarikan dari berba-gai sumber).
Bagi mikroba tertentu, po-lutan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan mereka (Alexander, 1977).
Pada tanah bekas tambang dijumpai logam-logam yang awalnya berada dalam
kondisi reduktif yang berikatan dengan sulfida membentuk mineral yang kom-pleks.
Namun demikian logam-logam ter-sebut menjadi tersedia karena teroksidasi akibat
bereaksi dengan udara dan atau air. Logam-logam Fe, Mn, Zn, Cu, Ni, dan lain-lain
banyak dijumpai pada lahan be-kas tambang. Di samping itu, pada per-tambangan yang
memerlukan pemurnian bijih banyak dijumpai logam-logam berat seperti arsen (As),
merkuri (Hg) atau ba-han berbahaya lainnya misalnya sianida (CN). Salah satu spesies
mikroba yang terbukti mampu melakukan bioremediasi sianida adalah Pseudomonas
pseudoalca-ligenes (Brierley and Brierley, 1999 da-lam Santosa, 2004), yang dapat
menurun-kan ketersediaan CN pada kolam tailing sampai 90% dalam waktu 2-3 hari
pada pH 10,5.
Untuk mendegradasikan merkuri (Hg) beberapa mikroba dikenal mempunyai
enzim merkuri reduktase misalnya Pseu-domonas putida, Geobacter metallire-ducens,
Shewanella putrefaciens, Desul-fovibrio desulfuricans, dan D. vulgaris. Kedua spesies
terakhir adalah kelompok bakteri pereduksi sulfat (BPS). Peneliti- an yang dilakukan oleh
Lovley (1995) dalam Widyati (2006) menunjukkan bah-wa remediasi merkuri dengan
mikroba ja-uh lebih baik daripada secara kimia ka-rena metode secara kimia selain lebih
mahal juga masih menghasilkan timbun-an lumpur yang mengandung Hg. Akar
permasalahan pada lahan bekas tambang terbuka (misalnya pada lahan bekas tambang
batubara) telah diidenti-fikasi oleh Widyati (2006), yaitu sangat rendahnya pH akibat
akumulasi sulfat pada lahan tersebut yang berakibat pada meningkatnya kelarutan logam-
logam. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi pada lahan-lahan yang demikian harus
dimulai dengan penurunan konsentrasi sulfat dan pencegahan oksidasi mineral sulfida
lebih lanjut. Kelompok bakteri pereduksi sul-fat (BPS) dapat dimanfaatkan untuk me-
reduksi sulfat. Hasil penelitian Widyati (2006) menunjukkan bahwa BPS dapat
digunakan untuk mereduksi sulfat pada tanah bekas tambang batubara dengan efisiensi
80% dalam waktu 10 hari. Di samping itu, inokulum BPS (Gambar 2) dengan dosis
inokulum 25% dari total vo-lume tanah tersebut dapat menurunkan ketersediaan Fe, Mn,
Zn, dan Cu dengan efisiensi mencapai 90% dengan waktu in-kubasi 15 hari. Aplikasi
pada air asam tambang (AAT) yang dilakukan oleh Widyati et al. (2008) (Gambar 2)
menun-jukkan bahwa penambahan inokulum BPS 1% dari volume AAT dapat mening-
katkan pH menjadi netral hanya dalam waktu beberapa jam setelah aplikasi. Un-tuk
menurunkan kandungan logam-logam dosis yang efektif adalah 10% dengan waktu
inkubasi 2-4 hari. Inokulum BPS yang digunakan meru-pakan isolat yang dibiakkan pada
media kompos. Meningkatnya pH terjadi kare-na BPS menggunakan sulfat sebagai
aseptor elektron dan karbon (C) dari kompos sebagai donor elektron dengan
menghasilkan hidrogen sulfida (reaksi 7).
2CH2O + SO42- → H2S + 2HCO3-......................(7)
Hidrogen sulfida akan segera berikatan dengan logam membentuk logam sulfida yang
tidak larut sehingga ketersediaan lo-gam turun (reaksi 8).
M2+ + S2-→ MS .................................................(8)
5. Biodegradasi Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah Minyak Bumi
Parameter uji yang dilakukan untuk mengetahui kondisi optimal yang dicapai
pada remediasi terdiri atas pH, kemampuan ikat air/water holding capacity (WHC) dan
degradasi TPH (Total Petroleum Hidrokarbon).
pH
Berdasarkan hasil analisis, pada umumnya semua perlakuan mengalami
penurunan nilai pH. Penurunan nilai pH tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas
konsorsium bakteri yang membentuk metabolit-metabolit asam. Biodegradasi alkana
yang terdapat dalam minyak bumi akan membentuk alkohol dan selanjutnya menjadi
asam lemak. Asam lemak hasil degradasi alkana akan dioksidasi lebih lanjut membentuk
asam asetat dan asam propionat (Gambar 3), sehingga dapat menurunkan nilai pH
medium, persamaan reaksinya sebagai berikut :
Kemampuan Ikat Air/Water Holding Capacity (WHC).
Secara umum pemberian biokompos memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap % WHC. Hal ini karena biokompos mengandung mikroorganisme pendegradasi
minyak bumi. Pada sampel A1 mengalami kenaikan lebih kecil dibandingkan dengan A2.
Hal ini disebabkan sampel A1 merupakan kontrol yang hanya ditanami dengan rumput
gajah dan tanpa inokulan. Rumput gajah dan mikroba indigen tidak mampu mendegradasi
senyawa organik secara cepat yang terdapat dalam tanah. Minyak bumi menyelimuti
tanah dan masuk ke dalam pori-pori tanah sehingga air tidak dapat terjerap oleh tanah
karena air bersifat polar sedangkan minyak bersifat nonpolar. Adanya perbedaan sifat ini
menyebabkan air tidak akan terjerap oleh tanah yang sudah dipenuhi dengan minyak.
Sampel A2 mengalami kenaikan nilai WHC, karena pada sampel A2 ditambah
inokulan mikroba pendegradasi minyak bumi. Keberadaan mikroba ini dapat
mendegradasi minyak dalam tanah, karena minyak tersebut dapat difungsikan sebagai
sumber energy mikroba. Bahan utama minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan
aromatik, yaitu senyawa-senyawa organik di mana setiap molekulnya hanya mempunyai
unsur karbon dan hidrogen saja. Biodegradasi hidrokarbon alifatik biasanya terjadi pada
kondisi aerob. Tahap awal degradasi hidrokarbon secara aerob adalah memasukkan
molekul oksigen ke dalam hidrokarbon oleh enzim oksigenase (Nugroho, 2009). Menurut
R.M. Atlas, and R. Bartha (1992) dalam Nugroho (2009) Jalur degradasi alkana yang
paling umum adalah oksidasi rantai terminal (Gambar 4.5). Alkana dioksidasi menjadi
alkohol dan selanjutnya menjadi asam lemak (Cookson, 1995 dalam Nugroho, 2009).
Persen Degradasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dan Biomassa Rumput
Gajah.
Urea merupakan sumber nitrogen yang murah dan mudah tersedia bagi mikroba.
Nitrogen merupakan suatu keharusan bagi biosintesis asam amino dan basa purin serta
pirimidin, yang merupakan unit pembangun protein dan asam nukleat bernitrogen
(Lehninger,1994). Urea yang dimasukkan kedalam tanah akan mengalami proses
amonifikasi sebagai berikut:
Dalam keadaan asam dan netral amonia berada sebagai ion amonium. Ion amonium dapat
diasimilasi tanaman dan mikroba, selanjutnya diubah menjadi asam amino atau senyawa
N lain. Di dalam sel, ammonia direaksikan oleh glutamat atau glutamin sintase atau
mengalami proses aminasi langsung dengan asam-ketokarboksilat sehingga berubah
menjadi asam amino (Sumarsih, 2003). Selanjutnya asam amino membentuk ikatan-
ikatan peptida dengan asam amino yang lain membentuk protein. Protein ini dibutuhkan
untuk perkembangbiakan mikroba, dengan banyaknya urea yang ditambahkan proses
perkembangbiakan semakin cepat, dan proses degradasipun lebih cepat.
Secara statistik Anova pemberian biokompos dan rumput gajah memberikan
pengaruh signifikan % degradasi minyak bumi. Hal ini karena kedua aktivitas mikroba
dan pertumbuhan tanaman dapat dipengaruhi oleh penambahan pupuk, penambahan
pupuk merupakan faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi proses bioremediasi.
Tabel 4.1 menunjukkan tingkat degradasi TPH dengan tingkat penambahan urea yang
berbeda. Hubungan positif antara tingkat degradasi TPH dan tingkat penambahan pupuk
urea menunjukkan efektif dalam meningkatkan proses rhizoremediasi TPH. Di sisi lain
menunjukan perubahan berat biomassa dengan penambahan urea dengan jumlah yang
berbeda dan penambahan inokulan. Berdasarkan aplikasi urea 2 g, biomassa rumput
gajah meningkat dengan penambahan urea yaitu 36,43 ± 2,448 g seperti terlihat pada
perlakuan B1(tanpa inokulan). Dengan aplikasi yang sama dan penambahan inokulan,
biomassa rumput gajah menurun dengan penambahan urea yaitu 12,82 ± 13,346 g pada
perlakuan B2. Namun, berat biomassa yang rendah ditemukan dengan tingkat aplikasi
urea yang lebih tinggi 9 g, dengan nilai biomassa sebesar 2,16 ± 1,250 g yaitu perlakuan
C2 (dengan inokulan). Sedangkan dengan perlakuan yang sama perlakuan C1 (tanpa
inokulan) mengalami peningkatan nilai biomassa sebesar 39,02 ± 55,177 g. Sedangkan
perbedaan nilai biomassa pada perlakuan yang ditambahkan inokulan dan tanpa inokulan.
Pada perlakuan B2 dan C2 yang ditambahkan inokulan mengalami penurunan nilai
biomassa sebesar 12,82 ± 13,346 g dan 2,16 ± 1,250 g. Pada perlakuan B1 dan C1
mengalami kenaikan nilai biomassa sebesar 36,43 ± 2,448 g dan 39,02 ± 55,177 g.
Hal ini disebabkan karena pada perlakuan yang ditambahkan inokulan, terjadi
kompetisi antara inokulan dengan rumput gajah dalam mengambil unsur-unsur hara yang
terdapat pada media untuk kebutuhan metabolisme. Sehingga pertumbuhan rumput gajah
menjadi terhambat dan bahkan mengalami kematian. Sedangkan perlakuan tanpa
inokulan dengan adanya pemberian kompos dan urea saja sudah cukup untuk kebutuhan
metabolism mikroorganisme dan rumput gajah, sehingga pertumbuhan biomassanya tidak
terganggu. Penambahan inokulan degradasi minyak lebih cepat, tapi hasil degradasi
diantaranya senyawa fenol yang merupakan zat toksik untuk pertumbuhan tanaman.
Karena senyawa fenol memiliki beberapa sifat diantaranya mudah larut dalam air,
senyawa fenol yang terlarut berpengaruh terhadap proses perakaran, tergantung pada
konsentrasinya. Proses penyerapan senyawa fenol terhadap akar sama halnya terjadi pada
perkecambahan. Menurut Salisbury and Ross (1992); Colton and Einhellig (1980) dalam
Tambaru, E dan Santosa (1999) Konsentrasi senyawa fenol dalam air yang tinggi dapat
menaikan potensial osmotik, sehingga dapat menghambat difusi air dan O2 ke dalam
kecambah. Jika air yang dibutuhkan tidak terpenuhi, maka hal ini dapat menghambat
sintesis hormon IAA, GA, dan sitokini, sehingga perkecambahan dan pertumbuhan
kecambah terhambat (Santosa, 1990; Rice, 1984 dalam Tambaru, E dan Santosa, 1999 ).
Berkurangnya difusi air ke dalam biji juga mempengaruhi transport O2, sehingga
menghambat proses respirasi dan ATP yang dihasilkan terbatas. ATP sangat dibutuhkan
untuk perkecambahan dan pertumbuhan kecambah (Salisbury dan Ross, 1992 dalam
Tambaru, E dan Santosa, 1999).
Menurut Salt et al (1998), Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman
dengan bantuan air dan CO2. Tanaman mengeluarkan sekret melalui eksudat akar sebesar
10 – 20% dari hasil fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses
pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar rizosfer.
Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar (misalnya fenolik,
asam organik, alkohol, protein ) dapat menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai
sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses degradasi senyawa organik.
Sekret berupa senyawa organik dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan
aktivitas mikroba rizosfer. Adapun reaksi pembentukan senyawa fenolik dari hasil
degradasi adalah sebagai berikut (Gambar 8 ).
DAFTAR PUSTAKA
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas
Untuk Me-macu Revegetasi Lahan. Disertasi. Program Pendidikan Doktor IPB. Bogor.
Widyati, E., F. Hazra dan I. Devita. 2008. Bioremediasi Air Asam Tambang dengan Bakteri
Pereduksi Sulfat. (Tidak Diterbitkan).
Rawlings, D.E. 2004. Microbially As-sisted Dissolution of Minerals and Its Use in the Mining
Industry. Pure Appl. Chem. 76(4): 847-859. Anas, I. 1997. Polusi dan Bioremediasi
Tanah. Diktat Kuliah Bioteknologi Tanah. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. (Tidak
diterbitkan).
Bacelar-Nicolau, P. and D.B. Johnson. 1999. Leaching of Pyrite by Acido-philic Heterotrophic
Iron-Oxidizing Bacteria in Pure and Mixed Cul-tures. Applied and Environmental
Microbiology 65(2): 585-590.
Bond, P.L., G.K. Druschel, and J.F. Ban-field. 2000. Comparison of Acid Mine Drainage
Microbial Commu-nities in Physically and Geoche-mically Distinct Ecosystems. Ap-
plied and Environmental Microbio-logy 66 (11): 4962-4971.
Valenzulaa, L., A. Chib, S. Bearda, A. Orella, N. Guiliania, J. Shabano-witzb, D.F. Huntb and
C.A. Jereza. 2006. Genomics, Metagenomics and Proteomics in Biomining
Microorganisms. Biotechnology Advances 24:197-211.
Cerniglia, C.E. 1992. Biodegradation of Polycycluc Aromatic Hydrocarbons, In: Biodegradation
journal, vol 3. Kluwer Academic Pub. Netherlands. p 351-368.
Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan
LingkunganTercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI. Vol 32, No 1.
Karwati. 2009. Degradasi Hidrokarbon Pada Tanah Tercemari Minyak Bumi Dengan Isolat
A10 Dan D8. Skripsi. IPB. Bogor.
Lehninger, A.L. 1994. Dasar-dasar Biokimia, alih bahasa oleh Maggy Thenawidjaja. Erlangga.
Jakarta.
Nugroho, A. 2009. Produksi Gas Hasil Biodegradasi Minyak Bumi: Kajian Awal
Aplikasinya dalam Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR). Makara, Sains. Vol 13.
No.2. 111-116.
Nugroho, A. 2006. Biodegradasi ‘Sludge’ Minyak Bumi Dalam Skala Mikrokosmos. Makara
Teknologi. 10 (2): 82-89.
Nwoko. Chris O. 2010. Trends in phytoremediation of toxic elemental and organic pollutants.
African Journal of Biotechnology. Vol. 9 (37), pp. 6010-6016.
Salt, D.E., R.D. Smith and I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant
Molecular Biology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501–662.
Breemen N van. 1993. Environmmental aspects of acid sulphate soils. In: Dent DK andvan
Mensvoort MEF. (ed). Selected Paper of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid
Sulphate Soils; Vietnam, March 1992. hlm.391-402
Dent D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. Wageningen:
ILRI Publ. 39.
Dugan PR. 1974 . Biolchemical Ecology of Water Pollution. New York: Plenum Press.
Evangelou, VP and Zhang YL. 1995. A review: Pyrite oxidation mechanism and acid mine
drainage prevention, Crtitical Reviews in Environmental Science and Technology. 25
(2): 141-199.
Anonim. 2002d. Microbial ecology. In: Brock Biology of Microorganisms. http: //
cw.prenhall.com/bookhind/pubbooks/brock/chapter14/objectives/deluxe-content.html .
[5 November 2002].