KHILAFAH ISLAMIYAH PERTAMA DI ALAM MELAYU
-
Upload
hilmy-bakar-almascaty -
Category
Documents
-
view
2.439 -
download
2
Transcript of KHILAFAH ISLAMIYAH PERTAMA DI ALAM MELAYU
Kerajaan Jeumpa AcehKhilafah Islam
Pertama Di Alam Melayu
Sebuah Kajian Sosio-Antropologis-Ekonomis
Hilmy Bakar Almascaty
A. Latar Belakang
Khilafah Islamiyah1, yang di alam Melayu2 dikenal dengan istilah Kerajaan
Islam, menurut para peneliti pernah tegak secara sambung menyambung sejak
awal kedatangan Islam. Namun teori tentang Khilafah atau Kerajaan Islam pertama
di alam Melayu sampai saat ini masih banyak diperdebatkan oleh para peneliti, baik
cendekiawan Muslim maupun non Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang
teori ini didasarkan pada teori awal mula masuknya Islam ke Asia Tenggara.
Mengenai teori Islamisasi di Asia Tenggara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3
kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori
Mekah (Arab). Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara
mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang
dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat
dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini
adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A.
Hasymi, dan Hamka.3
Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka
mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad
VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas
mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan
1 Khilafah Islamiyah adalah sistem pemerintahan dalam Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw kepada para pengikutnya yang diteruskan oleh pelanjut beliau, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, Khalifah Ali dan Khalifah Hasan bin Ali. Selanjutnya sistem kekhalifahan ini berkembang dan berinteraksi dengan peradaban lokal sesuai dengan perkembangan Islam ke seluruh dunia. Di Asia Tenggara, model ini diadaptasikan menjadi sistem Kerajaan yang berdasarkan kepada ajaran Islam sebagai sebuah proses transisi menuju sistem Khilafah Islamiyah. Di beberapa tempat, para ulama juga menggunakan istilah Daulah Islamiyah. Namun semuanya merujuk kepada sistem pemerintahan dalam Islam. (lihat. Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah wal Mulk).
2 Alam Melayu adalah istilah yang penulis gunakan untuk kawasan Asia Tenggara atau dikenal juga dengan Nusantara. Menurut teori Malik ben Nabi dalam al-Komenwel Islamy, Dunia Islam sebagai sebuah entitas peradaban dibagi menjadi Dunia Islam Arab, Afrika, Eropa, Indo-Pak dan Dunia Melayu.
3 Masalah Islamisasi Nusantara, lihat misalnya : S.M.N. Al-Attas, “Prelimenary Statement on A General Theory of the Islamization”, dalam Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969,. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, Medan: Panitia Seminar, 1963. T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1958, hlm. 65-66. T. Ibrahim Alfian (ed). Kronika Pasai, Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1973, hlm. 100. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Waspada, 1981. Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, (S-gravenhage: NV. De Nederlanshe Boek-en Steendrukkerij V. H.L. Smits, 1959). Husein Djajaningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan Yang Terdapat Dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj.) (Banda Aceh: Depdikbud DI Aceh. 1983). Siti Hawa Saleh (edt), Bustanus as-Salatin, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992). Denys Lombard, Kerajaan Aceh, Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (terj), (Jakarta: Balai Pustaka,1992). C. Snouck Hurgronje, Een- Mekkaansh Gezantscap Naar Atjeh in 1683”, BKI 65, (1991). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 196. A. Hasymi, 59 Aceh Merdeka Dibawah Pemerintah Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1997).
2
sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang
Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian
mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian
membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga
melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab
`Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di
Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia
dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim
di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab
kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander
memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara
cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas menolak temuan epigrafis yang
menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran
Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata
pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Al-Attas
menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas
kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut
dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada
literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.4
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan
tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap
oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang
disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun
budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan
bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka
datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina,
Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham
keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu,
bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan,
cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.5
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan
historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja
4 Azra, op.cit. hal. 285 Al-Attas, op.cit. hal. 54-55
3
Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara
Nusantara dengan Arabia.6
Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap
Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam
berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali
pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963.
Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan
teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat
hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir
sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada
masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di
Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat.
Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu
Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang
dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan
Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh
sebelumnya, yakni sekitar Abad VII.7
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang
menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak
peranan Arab dalam penyebaran Islam di alam Melayu. Arnold sendiri telah
mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai
perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang
sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno
yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan
Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan
Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan
Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan
Arnold dan Van Leur.8
Berdasarkan Teori Mekkah inilah kemudian, para ahli sejarah Islam
menyimpulkan bahwa Kerajaan Islam pertama di alam Melayu adalah Kerajaan
Perlak. Di antaranya adalah sebagaimana dikemukakan pakar sejarah peradaban
6 Azra, op.cit. hal.307 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia; Bandung;
Mizan; 1995; hal. 81.8 Op.cit, hal. 92-93
4
Islam asal Aceh, Prof. A. Hasymi. Berdasarkan naskah Idhar al-haqq fi Mamlakat
Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi, Tazkirat Tabaqat Jumu
Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, dan Silsilah Raja-
raja Perlak dan Pasai, A. Hasymi menyatakan bahwa Kerajaan Perlak, Aceh
adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang didirikan pada tanggal 1
Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin Sayyid Maulana
Abdil Aziz Syah. Teori ini kemudian banyak didukung oleh cendekiawan Nusantara
dan dimasukkan dalam buku teks pengajaran Perguruan Tinggi.9
B. Identifikasi Masalah
Teori yang dikemukakan A. Hasymi dan para pendukungnya sampai saat ini
tentang Kerajaan Perlak sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara hanya
didasarkan pada sumber-sumber literatur yang sangat terbatas. Terutama sumber-
sumber yang ditulis oleh para pakar sejarah Islam tanpa melibatkan pakar-pakar
lintas pengetahuan yang telah mengadakan penelitian masalah tersebut atau yang
berhubungan dengannya dengan berbagai pendekatan, baik secara geografis,
antropologis, sosiologis, etimologis, dan bidang-bidang keilmuan lainnya yang telah
berkembang dengan pesatnya saat ini.
Sebagai sebuah teori yang dikemukakan pada zamannya, maka pendapat
A.Hasymi dengan para pendukungnya tidak dapat disalahkan, mengingat sangat
terbatasnya referensi pada zaman beliau. Demikian juga akibat menurun drastisnya
minat intelektualisme terhadap kajian-kajian tentang Islam di Aceh menyusul
keadaan konflik yang berkepanjangan. Bahkan tidak sedikit para cendekiawan
Muslim yang tengah mengadakan penelitian tentang keislaman di sekitar Aceh
dicurigai oleh aparat keamanan dengan berbagai alasan yang dicari-cari, seperti
apa yang diceritakan Prof. Hasbi yang hanya mengadakan penelitian tentang
dayah, harus berhadapan dengan aparat. Apalagi sejak Aceh bergolak, para peneliti
asing sangat dibatasi kegiatannya di Aceh yang telah mengakibatkan mundurnya
penelitian ilmiyah dalam segala bidang, termasuk tentang sejarah Islam di Aceh.
Konflik berkepanjangan di Aceh, bukan hanya menimbulkan dampak
kemunduran dalam bidang ekonomi dan sosial saja, namun telah merambah ke
segala lini, termasuk dalam bidang intelektualisme. Dalam penelitian di lapangan,
penulis banyak berhadapan dengan kendala-kendala yang sebagian besar
9 A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, Bandung:al-Ma'arif, 1993, cet. 3, , hal. 7; . lihat juga A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. hal.146.
5
berhubungan dengan faktor keamanan. Sepanjang penelitian di Aceh, penulis harus
berhadap-hadapan diantara kecurigaan para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang menganggap sebagai intel negara, atau kecurigaan aparat keamanan yang
menggap pendukung perjuangan GAM. Dilemma seperti ini rupanya dihadapi
banyak cendekiawan yang mengadakan penelitian ilmiyah di Aceh. Dan beberapa
kali, sebagai peneliti, mereka harus berhadapan dengan aparat dan sekaligus
mendapat pengawasan ketat GAM.
Untuk mencapai tempat-tempat bersejarah yang diteliti, terutama di sekitar
daerah Jeunib, Peudada, Kuala Jeumpa, Bireuen, Pante Peusangan dan sekitarnya,
yang dikenal sebagai daerah basis GAM, bahkan diklasifikasikan sebagai ”daerah
hitam” oleh aparat keamanan, para peneliti harus selalu siap dan waspada. Salah-
salah akan ditangkap, bahkan mungkin akan menjadi korban salah tembak. Namun
berkat hubungan baik penulis, baik dengan aparat keamanan dan para Abu (Ulama)
disekitar tempat tersebut, lebih memudahkan penelitian lapangan yang dilakukan.
Namun tetap saja harus mengalami ”introgasi” dan pengawasan ketat aparat
keamanan RI maupun anggota dan pendukung GAM.
Setelah bencana tsunami, perjanjian Helsinki dan berlangsungnya pemilihan
umum yang dibenangkan pasangan Irwandi-Nazar, keadaan agak relatif aman.
Penelitian dapat dilanjutkan bersamaan dengan naiknya kembali semangat
masyarakat Aceh yang ingin menggapai kegemilangan peradaban nenek
moyangnnya. Keadaan yang kondusif, yang didukung oleh semangat baru
masyarakat Aceh telah memudahkan para peneliti. Demikian pula berkembangnya
teknologi telah memudahkan penelitian lintas bidang. Berbeda halnya dengan masa
A. Hasymi dan gemerasinya yang sangat terbatas sumber rujukan, sedangkan pada
zaman sekarang, dengan bantuan teknologi komunikasi dan informatika, para
cendekiawan dapat mengambil sumber-sumber rujukan dengan mudah. Dengan
hanya mengakses internet, para peneliti akan mendapatkan sumber rujukan yang
berlimpah ruah untuk kepentingan penelitiannya dari perpustakaan on-line penjuru
dunia.
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terutama kemajuan teknologi,
teori-teori tentang sejarah akan terus berkembang, sebagaimana teori-teori
pengetahuan lainnya dengan ditemukannya teori-teori baru yang didukung oleh
argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Sebagaimana
halnya teori-teori tentang masuknya Islam ke Nusantara terdahulu yang terus
menerus dikoreksi dari Teori Gujarat dikoreksi Teori Persia dan terakhir dikoreksi
6
dengan Teori Mekah atau Arab. Maka dengan ditemukannya data-data terbaru yang
lebih akurat, berdasarkan kajian dari berbagai sumber bidang ilmu pengetahuan,
maka teori tentang Kerajaan Islam pertama di Nusantara perlu dipertanyakan lagi
keabsahannya. Apakah memang Kerajaan Perlak yang didikan oleh Maulana Abdul
Aziz pada tahun 804 adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.
C. Tujuan Dan Metodologi
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keabsahan dari
teori yang telah dikemukakan oleh A. Hasymi dan para pendukungnya yang
menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Perlak
yang didirikan oleh Maulana Abdul Aziz pada tahun 840 Masehi yang terletak kini di
sekitar kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan menggunakan metodologi deskriptif-analisis, yang menggabungkan
beberapa penelitian dan analisis terkini, berdasarkan pengetahuan lintas bidang,
seperti pengetahuan geografi, antropologi, sosiologi, etimologi dan lainnya
diadakan sebuah sintesa baru yang diharapkan melahirkan sebuah teori baru dalam
bidang sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Dengan mengolah data-data dari
sumber primer dan sekunder, melalui penelahaan beberapa referensi terkait yang
ditindaklanjuti dengan survei lapangan, diharapkan dapat ditemukan sebuah
kesimpulan awal yang akan dipertanggungjawabkan secara ilmiyah.
D. Studi Terhadap Beberapa Teori Berkaitan Kerajaan Islam Pertama Di
Nusantara
Sebagaimana lazimnya pengembangan pengetahuan ilmiyah, teori baru
biasanya lahir berdasarkan teori-teori yang telah dikembangkan terlebih dahulu
oleh para cendekiawan dengan dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dalam membahas permasalahan yang sedang diteliti, akan dikemukakan beberapa
teori yang sudah umum dikenal sebagai dasar dalam mengembangkan sebuah teori
tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara. Diantaranya adalah :
1. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan
Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli
geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan
daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di
7
pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar
niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari
kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer
dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat
pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah
Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa
Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para
pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas,
kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat
itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas
mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia
Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja),
fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas
dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari
negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi
Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-
Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli
sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus
merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun
menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang
Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-
16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-
nya King Solomon.10
Sementara perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah
dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang
juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan
Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina
dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500
tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung
Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah
dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui
10 N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. (Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941). William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
8
Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan
Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.11
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur
perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini
kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan
terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang
pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan
tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran
di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di
bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin
banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota
pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki
beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-
kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.12
Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology Australia National University,
telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima
masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan
kepulauan Nusantara dengan Cina. Dia menulis “Museum Nasional di Jakarta
memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin
11 D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.)
12 M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
9
bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London....”. Sifat perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan
antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan
kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab
kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada
tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-
kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang
terakhir ini tidak dijumpai catatannya.13
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah
orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para
pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada
zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara
negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan
Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang
berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi,” 14
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang
seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun
setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah
Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir
pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih
berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat
Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang
mengembara pada tahun 674 M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang
membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA
menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang
sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa
temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika.15
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah
mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang
13 Lihat juga: Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific. The Prehistory of Southeast Asia and Oceania, New York: Oxford University Press. 1979. Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Orlando, Florida: Academic Press. 1985.
14 Tibbetts; Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt. 3, 1956, hal. 207. Dr. Ismail Hamid “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” .Jakarta: Pustaka Al-Husna cet. 1, 1989, hal. 11).
15 Prof. Dr. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama; Jakrta: Pustaka Panjimas; cet.III; 1996; Hal. 4-5.
1
Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti
yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’
adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo
ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga
kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa
kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Para pengembara Arab ini tak hanya
berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh
sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu
pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia
dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17
duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri
Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan
Muslim di Kanfu atau Kanton.16
Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut
laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam
bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili
sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak). 17
2. Teori Barus-Fansur Aceh
Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper
sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam
banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan,
botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut
camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak
yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini
dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali
dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.18
Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn
al-Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu
perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab
16 Lihat: W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, .Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970,
17 F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.
18 Lihat: artikel "Kafur", A. Dietrich, Ensiklopedia Islam (E.I) 2 hal: 435-436.
1
menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-
wangian.19
Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari
Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang
belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat
ritual semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga
mulai memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip
Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama.
Ketiganya melalui serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan
berbagai fungsi dan kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang
berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah,
sebagai balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi,
berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra,
mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain.
Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai
salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur
barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab
dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan
safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang
menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan
makan.
Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam
bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-
Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan
mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah
pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan.
Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu
menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu
badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan
dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi
dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan
pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu
lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat
19 W. Heyd, Histoire du commerce du Levant [Sejarah Pergadangan di Kawasan Syria-Libanon], edisi Prancis yang disusun kembali oleh Furcy Raynand, Amsterdam: Adolf M, Hakkert, 1967, tambahan I, hal 590).
1
kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan
menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan lebih
bermanfaat."20
Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti
kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis
dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad
ke-10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar
dan kebenaran obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-
muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad
ke-10) seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M)
berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep.
Salah satunya adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit pes.
Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu
kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari
Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri
Medicinales.
Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail
al-hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia
Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan
yang dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan
Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua
posisinya … di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut
dan usus yang dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan
kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar
abu-abu, qust, tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."21
Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang
petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati
gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon
dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang
mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan
tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi
kering." Riha adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur al-
Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.
20 Ibn Baytar, Traite des Simples par Ibn el-Beithar. Terj. Dr. L. Leclerc, 3 jil. –Paris: 1881-1887.21 G. Celentano, L.V. Vaglieri, "Trois Epitres d'al-Kindi: textes et traduction avec XIX plaches
facsimile des trois epitres", dalam Annali dell Istituto universitario Orientale di Nipoli, jil 34, buku 3 (1974) hal 523-562.
1
Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan.
Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi.
Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada
periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.
Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh
Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara
Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn
Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah
Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon
bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-
racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"22
Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind
juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah
dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi
oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit". Nama Ramni atau Ram(n)I,
kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib,
adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of
22 Tibbetts, Arabic Texts, hal. 27-28.
1
Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from
the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka).23
Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja
Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni)
yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was
approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan
kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."24
Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari
Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang
dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas,
dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang
hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun
yang penuh dengan topan dan gempa bumi.25
'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi
mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat
zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang
terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di
waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang
hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar,
terutama di kawasan Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk,
(Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E.
Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal
ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." 26
Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut.
Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis
dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421.
Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari
Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam
yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain
sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025.27
Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li
dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu
23 Wolters, Early Indonesian Commerce, hal. 178) 24 Tibbetts, Arabic Texts, hal. 30 25 Ibid, hal. 37-3826 Ibid, hal. 44-4527 K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), hal. 80, 81.
1
bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya
Sri Lanka dan India.28
Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan
melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan
(Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya
menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara,
pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."29
Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:
”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi
kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-
kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu
selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk
berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin
mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.30
Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan,
selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir
lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut
dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar
dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang
besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti
kepada Dinasti Yuan di China.31
Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para
saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar
Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan
di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan
pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang
utara.32
Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya:
”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li.
Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran
28 Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei,( Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), hal. 40-41)
29 Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72).
30 Ibid, hal.11431 Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo
Press, 1975), 2:299)32 Ibid, hal. 300
1
laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat
hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-
masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun
membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus
sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat
panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di
Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura,
cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas
yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga
mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-
lain.”33
Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri
sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit.34
Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang
dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini
terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga.
Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu,
terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan
luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan
pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau
Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang
juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang.
Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan
bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu
gaharu.35
Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut
Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat
dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian
barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang
disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat
berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut
yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-
pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai
33 ibid34 Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:1135 Mills, Ma Huan, hal 122-123.
1
komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada
jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.36
Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat
mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara
pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian
kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar terletak antara
Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan
memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di
sana. Raja ini adalah Moo…".37
Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh
pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu
yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal,
sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada
halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat
sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".38
Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga
bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh
kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus
memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus,
makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota
ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan
pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur.
Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari
Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.39
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang ahli
Georafi dan Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada
abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera yang
menjadi jalan ke Tiongkok terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai
(Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula
bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke
36 Ibid, hal. 123-12437 ibid38 T. Iskandar, Hikayat Atjeh, op.cit. hal. 1739 Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth
and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), hal. 72). W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 280.
1
Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun
sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu.40
3. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an
Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari
beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah
kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui
perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’
sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada
satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala
kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin
seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat menbuat sebuah kitab
agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh
seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra,
tapi kitab hukum, undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang
disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan
keindahan al-Qur’an.41
Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an
adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab
kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang
bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak
digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab.42
Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk
Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana
dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah
sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang
dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil
terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau
Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu
telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar
Lamuri-Aceh.
40 N.J. Krom, Zaman Hindu, terjemahan Arief Effendi, Jakarta: Pembangunan, 1956, hal. 10-12. D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
41 Lihat misalnya, al-Wahyu al-Muhammady, oleh M. Rasyid Ridha42 Lihat misalnya, Mafhum fie Ulum al-Qur’an, Ash-Shabuni
1
Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang
dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti
Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur
sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat
tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai
nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat
penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian
dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya.
Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab,
sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan
dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak
diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari Barus
sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .
Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar
kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata
"kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal dari bahasa Melayu.
Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya penghubung secara
etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-
7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara.43
4. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles
Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang
peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan
bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang
sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama
daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa
adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya
inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di
wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles
sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh. 44
”Champa” biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman
kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang
43 Karel Steenbrink, Pondok Pesantren, Jakarta: LP3ES, 44 Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of
Mahomedanism. Published by John Murray, Albemarle-Street. 1830. Vol II, 2nd Ed, Chap X, hal. 74. 122
2
memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri Champa” sebagaimana
disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, yang nama lainnya Anarawati (Dwarawati)
yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian
menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal
dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat,
Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam
pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit.45
Banyak ahli sejarah yang konfius dengan ”Champa”, yang pada akhirnya
menimbulkan kegelapan dan kerancuan luar biasa pada sejarah Islam Nusantara.
Kekaburan ini umumnya disebabkan para ahli hanya mengutip mendapat-pendapat
yang sudah ada tanpa mengadakan pengkajian lebih dalam dan lebih mendetil dari
berbagai aspek. Kemalasan intelektual ini hanya memahami Champa sebagai
sebuah kata yang sudah bercampur dengan berbagai mitos, legenda dan cerita
masyarakat yang tidak berdasarkan fakta ilmiyah. Bukan Champa sebagai sebuah
realitas sejarah berdasarkan penelitian sejarah berbagai aspek yang berkaitan
dengannya.
Mari kita peras sedikit logika kita untuk mengungkap kegelapan Champa
yang sudah berabad-abad dipercayai sebagai kebenaran sejarah. Para ahli sejarah
memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara
tahun 1379 sampai dengan 1392.46 Untuk memastikan dimanakah Champa yang
telah ditinggali Maulana Malik dan saudara iparnya ”Putri Champa”, maka perlu
diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Aceh
maupun Kambodia.
Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah
oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King
(Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah
Raja ini Muslim atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia masa ini
dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya. Beliau berhasil menyatukan dan
mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun
1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar
Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan
oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho . Che Bong Nga meninggal dua
tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini
45 JJ. Meinsma,. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage, 1903
46 Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Semarang:Menara Kudus. 1980.
2
dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana
yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.47
Sementara menurut catatan sejarah, yang terkenal dengan Sultan Cam atau
Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau
Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu
Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain
(Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul
Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam
ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad
Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar
As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni
Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW. Jadi beliau adalah anak saudara dari
Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam. Wan
Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas
Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa
Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul
Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni
Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.48
Pertanyaannya, kapan dan dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang
dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang
menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di
atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo
(Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah
pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih.
Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang
masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut
bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah
perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?. Inipun masih
menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang
47 (Lihat misalnya: D.R. SarDesai,Vietnam, Trials and Tribulations of a Nation. 1988. ppg 33-34,. David P. Chandler, A History of Cambodia (Boulder: Westview Press, 1992.) George F. Hourani "Arab Seafaring" Princeton University Press, New Jersey, 1979. Nicholas Tarling, "The Cambridge History of Southeast Asia" vol.1 Cambridge University Press, Cambridge, 1992. Lafont, P. B., "Aperçu sur les relations entre le Campa et l'Asie du Sud-Est," Actes du Séminaire sur le Campa organisé à l'Université de Copenhague, le 23 mai 1978 (Paris: 1988b) hal. 71-82. Manguin Pierre Yves, "Etudes cam II; l'introduction de l'Islam au Campa," Bulletin de l'Ecole Française d'Extrême-Orient, Vol. LXVI (1979) hal.. 255-287.
48 Lihat : Tun Suzanna Tun Hj.Othman dkk. Dinast-Dinastii Quraysh (Hasyimy) di Alam Melayu, Johor:tt.
2
mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand
berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.49
Untuk mendukung Teori Raffles bahwa Champa yang dimaksud bukan di
Vietnam sekarang, tetapi di wilayah Jeumpa Bireuen Aceh, ada beberapa dalil yang
dapat dikemukakan, antara lain; (i) Sebuah Martin Van Bruinessen telah memetik
tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning,
Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah
mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan
kakinya ke Kemboja dan Aceh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan
waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke
Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula
beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya.
Anaknya, Saiyid Ibrahim ditinggalkan di Aceh untuk mendidik masyarakat
dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke
negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun
kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Jadi tidak
diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid
Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan
mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau
Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan
tentu menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”.
(ii) Keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Malik Ibrahim sedang
huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh
Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay
Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini
sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai
pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar
seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah
pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana
dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat
gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul
sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka
mendapat penghormatan mulia dan tinggi.50 Dan Sejarah Melayu menyebutkan
49 Lihat : Wan Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arifin Syah, Utusan Melayu, 24 Juli 200650 A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions”, Indonesia, Cornell
Modern Indonesia Project, 1975, no.19 (April). Hal. 8
2
bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa
Arab.51.
(iii) Populeritas Jeumpa di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-
puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India
dan Melayu, yang di Aceh terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih
kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Aceh yang
sampai saat ini masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya, gadis Bireuen. Pada
masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”)
sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah
terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong,
Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota
Perlak. Puteri Jeumpa lainnya,Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-
Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan
Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang
melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Mereka
seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh
Darussalam. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi
legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai
ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat
mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah
Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu
dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik
Ibrahim dan para petinggi Pasai. Dikisahkan Sang Prabu meminta agar Puteri
Jeumpa bersedia menjadi Permaisurinya dan menikahlah mereka yang melahirkan
Raden Fatah.
(iv) Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina,
kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara
bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa
Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar Nusantara saat itu. Muka-
muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar
mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata
orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Aceh yang lebih mirip ke
wajah Arab, India atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan
Raden Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan
bahasa Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, 51 TD. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu, op.cit. hal. 168-173
2
Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama
yang dikarang para Ulama terkemudian seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-
Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.
(v) Sejarah pergerakan dakwah Islamiyah Nusantara abad ke IX-XV Masehi,
sebagaimana yang disepakati para ahli sejarah Islam Nusantara, tidak pernah
menyebutkan berpusat di sekitar daerah Vietnam atau Indo-China sekarang, namun
sebaliknya tercatat berpusat diantara Perlak, Pasai, Malaka, Lamuri, Barus,
ataupun Fansur di wilayah Aceh, yang di tengah-tengahnya terdapat Jeumpa,
yang menjadi laluan dan tempat persinggahan yang banyak menyisakan
kegemilang Islam. Sementara di Vietnam telah dibuktikan tidak banyak
ditemukannya Sayyid, Syarief atau Maulana dan Makhdum serta Ulama-Ulama
besar yang umumnya menjadi penggerak Islamisi. Juga tidak didapati peninggalan-
peninggalan situs yang berhubungan dengan kegemilangan Islam, apakah berupa
istana, maqam, ataupun skrip keislaman yang menjadi ciri khas peninggalan jejak
peradaban Islam. Di samping itu, tidak didapatkan dalam sejarah bahwa Islam
pernah gemilang di sekitar sana dengan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang
berperan. Karena tradisi dari para pendakwah akan mendirikan sebuah kerajaan
atau mengislamkan kerajaan tersebut, atau menaklukkannya sebagaimana sejarah
Perlak, Pasai, Malaka, Aceh Darussalam, Demak dan lainnya. Ada kemungkinan di
Champa pernah tumbuh perkampungan muslim, namun hal ini tidak dapat dijadikan
pegangan, karena yang dikatakan ”Puteri Champa” tentulah anak Raja Champa,
demikian pula disebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim menikah dengan salah
seorang puteri Raja di Champa yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel)
(vi) Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil
para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa
bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada
masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390),
sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi.
Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika sasaran
dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa,
terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut
dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada
masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina
yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar
Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara. Kaisar Cina yang sudah
2
Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya,
Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara
hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan
antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra
sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Aceh Jeumpa lebih
mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada
Champa Kambodia.
(vii) ”Puteri Champa” ibunda Raden Fatah adalah bibi dari Sunan Ampel
(Raden Rahmat) yang juga lahir di ”Champa”, sementara Raden Rahmat adalah
putra dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang anak dari Sayyid Jamaluddin Akbar
al-Husein atau juga disebut Sayyid Hussein Jamad al-Kubra, dan seterusnya hingga
bersambung di Imam Ja’far Sadiq, cucu Nabi Muhammad saw. Dari analisis ini,
artinya bahwa Puteri Champa adalah keluarga atau bersaudara dengan istri
Maulana Malik Ibrahim yang juga Puteri Raja Jeumpa, yang tidak diragukan adalah
keturunan Ahlul Bayt dari Sasaniah Salman ataupun Maulana Abdul Aziz. Sebagai
seorang Sayyid atau Maulana, yaitu keturunan Nabi saw yang alim dan fakih, serta
pejuang aktif, tentulah Maulana Malik Ibrahim tetap menjaga tradisi dan kesucian
yang menjadi warisan Ahlul Bayt. Apalagi diketahui bahwa keluarga Ahlul Bayt sejak
awal sudah menjadi penguasa di sekitar Jaumpa, Perlak maupun Pasai. Bahkan
menurut silsilahnya, Meurah Silu atau Malik al-Saleh adalah keturunan dari Imam
Ja’far Shadiq juga yang berarti masih satu turunan dengan Maulana Malik Ibrahim.
Adapun silsilah lengkap Maulana Malik Ibrahim adalah : Husain bin Ali, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa
ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih,
Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal,
Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.52
(viii) Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim,
bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di
Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan
Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya
sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi 52 (Lihat :Umar Hasyim, Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Semarang:Menara Kudus. 1980. Al-Murtadho, H.
Sayid Husein, dan KH Abdullah Zaky Al-Kaaf, Drs. Maman Abd. Djaliel, 1999. Keteladanan Dan Perjuangan Wali Songo Dalam Menyiarkan Islam Di Tanah Jawa. CV Pustaka Setia, Bandung. Nasab-Alwi (Ammu al-Faqih), Situs Asyraaf Malaysia (Situs Persatuan Alawiyyin Malaysia) Martin van Bruinessen, 1994. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 150. 305-329.
2
jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan
G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-
tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,''
tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar
Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut
sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar
tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
(ix) Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai
ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden
Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama
yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di
zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa,
ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang
dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis,
beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat
penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi,
bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah Sultan Malik al-Salih, yang
juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang
dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan
mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang
tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.
Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa
Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun
sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah
kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu.
Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di
Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Aceh, yang dikelilingi oleh
Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu
digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan
sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat
pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan
terdahulu.
(x) Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda
agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selama-
lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Itrah (keturunannya). Dua
2
perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya,
sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga
keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh
Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan
berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul
mendapat kehormatan dan kedudukan, termasuk di alam Nusantara. Itulah
sebabnya ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt
Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan,
Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang. Ditengarai, generasi awal
datang dari Persia sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar abad VII Masehi,
yang mendirikan kerajaan di sekitar Aceh-Sumatra, yang menjadi cikal bakal
Kerajaan Perlak dan Pasai. Jika dirut silsilah para Sultan di Nusantara, sebagian
besar akan bertemu pada jalur Imam Ja’far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina
Husein bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw, baik Maulana Abdul Aziz Syah
(Perlak), Sultan Malik al-Shalih (Pasai), Mughayat Syah (Aceh), Syarif Hidayatullah
(Banten), Sultan Wan Abdullah (Kelantan) dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan,
sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diantara mereka senantiasa
memelihara kekerabatan dan saling topang menopang dalam menegakkan Islam
dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokoh-tokoh Ahlul Bayt yang sudah memegang
kekuasaan segai akan memberikan bantuan kepada yang lainnya. Nah pada zaman
Maulana Malik Ibrahim masih muda, yang tengah berkuasa dan berkibar adalah
Dinasti Ahlul Bayt Pasai di Aceh. Itulah sebabnya ayahanda beliau, Saiyid
Jamaluddin menitipkan dan mempersiapkan anaknya pada patron yang kuat,
Kerajaan Pasai, yang para Rajanya adalah persilangan antara turunan Ahlul Bayt
dari Kerajaan Perlak dengan Kerajaan Jeumpa. Sebagai seorang pendidik pejuang,
mustahil seorang Ulama setingkat Saiyid Jamaluddin akan meninggalkan anaknya di
Champa yang tengah dikuasai Kerajaan Hindu Budha.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Champa yang dimaksud dalam
sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat
persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa”
atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di
Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles,
”Champa” berada di Jeumpa dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi
bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti
Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra
2
Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju......
Wallahu a’lam.
E. Data Awal Mengenai Kerajaan Jeumpa Aceh
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis
Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan
yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar
daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante
Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang
Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe
Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di
Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala
Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau
ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).53
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai
tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan
Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan,
seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga
ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan
anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit
yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya
ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu
Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah.
Datang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di
kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang
(Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut
lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad ke VIII Masehi dan negeri ini sudah dikenal di
seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab
dan lainnya. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan
agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena
tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan
dengan puteri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi 53 Lihat: Modus, No.15/Th.V/23-29 Juli 2007
2
Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia
berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di
India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan
semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan, sama
dengan Jayakarta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.54
Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan
oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam
Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran
dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah
Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak,
antara lain Shahri Duli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri
Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak.
Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar
pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum
menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya.
Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak
Maha Raja Parsia terakhir.
Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah
Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang
berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga
merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam
Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan
beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-
Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya
dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya syair :
Hamzah ini asalnya FansuriMendapat wujud di tanah Shahrnawi Beroleh khilafat ilmu yang ’ali Daripada ’Abd al-Qadir Jilani
Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu
Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi
Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh
Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan
di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman
54 Ibid
3
(Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi
adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam
Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun
805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana
Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam
Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.
Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan
kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama
pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori
bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di
Nusantara.
Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusi dari pembentukan
Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang
keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran
Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi.
Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat
persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat
Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali
lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-
wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan
Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan
Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama
kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis
Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan
Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan
Syi'ah.55
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka
dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di
pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin
Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan
mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja
Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia
kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah 55 Wan Huseein Azmi, Islam di Acheh, Kuala Lumpur:
3
tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya
yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka
terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke
Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua
berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni
al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang
pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap
menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun
al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin
Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi
Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq
dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan.
Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk
meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran
itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang
pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi
---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di
Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak.
Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan
adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja
dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis
Syah.56
Jadi jelaslah bahwa keberadaan Kerajaan Perlak, tidak terlepas dari peranan 2
orang tokoh sentralnya pendirinya, yaitu Meurah Syahri Nuwi dan saudarinya
Makhdum Tansyuri yang keduanya berasal dan dilahirkan di Kerajaan Jeumpa
yang dipimpin dan didirikan oleh ayahnya, Pangeran Salman al-Farsi. Sebelum
Kerajaan Perlak ada, maka lebih dahulu telah muncul Kerajaan Jeumpa, yang
menjadi sebab musabab keberadaan Kerajaan Perlak. Maka dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Islam pertama di Nusantara bukanlah Kerajaan
Perlak sebagaimana dinyatakan A. Hasymi dengan para pendukungnya. Namun dari
fakta dan data yang dikemukakan tersebut, sudah ada kerajaan yang lebih awal, 56 ibid
3
yaitu Kerajaan Jeumpa yang terletak di sekitar Kecamatan Jeumpa Kabupaten
Bireuen NAD saat ini.
F. Sebuah Hipotesa Dan Kesimpulan Awal
Dari beberapa teori dan data awal yang dikemukakan di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Aceh sudah terjadi sejak awal
perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh
para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden,
Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di
ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah
memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-
Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.
Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin,
terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar
mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke
negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para
Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau
sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya,
sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat
perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam
jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut
karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang
mampu berlayar lama.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang
merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang
memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah
persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak
lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau
Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu
bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-Melayu
dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam
bahasa Arab pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan pendatang dari Arab telah
mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan
Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di
3
Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan
Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang
melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah
atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat
Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa,
Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor
pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak
saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama
Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.
G. Tesis : Kerajaan Jeumpa Aceh Adalah Kerajaan Islam Pertama Di
Nusantara
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw
membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan
dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut
yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan
lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat
strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota
pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik
dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju
Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan
seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan
seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan
wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”,
”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan
para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan
Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan
inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi
pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-
obatan, wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual keagamaan
pagan, menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Tentu dari
para petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang sihir
terlibat dalam proses pembuatan kafur yang bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan
hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai
3
dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan
wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang
merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa.
Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di
wilayah ini.
Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan
Arab lebih dominan mudah menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan
(i) sumber utama al-Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa Arab, yang
tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Arab
seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang Barus-Fansur-Lamuri,
(ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat
dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi
Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga
keturunan Arab pra-Islam ini mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi
kebiasaan hidupnya, (iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di
kalangan bangsa Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan
menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela Rasul
walaupun tidak masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan perantauan Arab
ini, ada kebanggaan kesukuan memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah
leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain, (iv) tentu ajaran Islam yang rasional,
adil, menawarkan persamaan kedudukan dan status menjadi daya tarik bagi
masyarakat kosmopolit yang telah berbaur dengan berbagai peradaban besar
sebagaimana yang dialami keturunan Arab (v) disamping kepandaian dan
ketampanan para pembawa Islam keturunan Arab telah membuat jatuh hati para
Raja dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu, penasihat atau panglima dan
ada yang menggantikan kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang
memang sudah mapan dan memiliki kedudukan terhormat.
Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh
berkembang di Aceh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya
di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para
pedagang Muslim asal Aceh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab,
Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab
Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius
3
Ptolemaeus, disebut bernama ”Barousai”, yang tidak diragukan maksudnya adalah
Barus di dekat Lamuri wilayah Aceh.57
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para
Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman
Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat
ke Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah tentu untuk
memberikan sebuah tawaran umum para Khalifah kepada semua Raja: ”Engkau
memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami, jika tidak engkau membayar
jizyah sebagai tanda ketundukan pada Islam, jika engkau menolak keduanya,
berarti akan terjadi peperangan, karena sabda Nabi saw : ”Aku diperintah
memerangi manusia pembangkang sehingga mereka mengakui tidak ada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusannya”. Cina menjadi salah satu tujuan
dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu Kerajaan besar.
Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir
pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Sejak dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur
Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat,
yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah
dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan
Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500
tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung
Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah
dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui
Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan
Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.58
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur
perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini
kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan
terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang
pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan
57 D.G.E. Hall, A History of South East Asia, London: Macmillan & Co. Ltd., 1960, hlm. 1-5. D.H. Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, terjemahan dan edisi J.V.G. Mills, Hakluyt Society, 1970, hlm. 120. W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Source, Jakarta: Bharata, 1960, hlm. 209. B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two, The Hauge-Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957, hlm. 17.
58 D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, hlm. 15.
3
tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.59
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-
kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan
perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut
telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang
diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di
beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau
kota perdagangan.60
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar
Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan
purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa
juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat
ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat
topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah
dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis
Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan
yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar
daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante
Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang
Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe
Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di
Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala
Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau
ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa
dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama
Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang
59 M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, hlm. 345 (catatan 122)
60 Ibid
3
Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri
Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama
Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian
Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan
Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid,
Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein
bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran
Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau
keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei
dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut pengamatan pakar sejarah
Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein
ra. Karena (i) beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas
menunjuk kepada moyangnya (ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan
cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini (iii) anak
beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada
yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk
mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara
setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri
Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat
dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di
wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan
seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan
menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan,
(i) beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di
sana, (ii) beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), (iii)
keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya
dan (iv) menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat
Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah
bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut
Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau
bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai
tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk
3
Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia.
Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk
menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu
menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama
lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai
Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa
berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan
Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman
Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju
dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana
lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa
menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di
sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di
Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan
Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri
lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari
bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama
dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam
bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat
anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan
Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat
anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya
berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya
Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804.
Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota
pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang
dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya
Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali
bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan
ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H
atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar
Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini,
hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak.
3
Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang
menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam
Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan
perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi
kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah
fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah
Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah
adalah keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara
dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana
Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa.
Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki
hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat
pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum
ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi
Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap
memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan
beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa
Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa
(Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di
Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal
dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang
Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan
Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi
Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa,
Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan
Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan
Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh
para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak,
yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan
Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-
Hindu Majapahit.
4
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah
menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan
mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri
sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah
Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari
Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah
yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi
penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang
memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh
Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh
dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke
wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau
pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun
peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah
keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan.
Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa
mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan
diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari
keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
4