Kewenangan PTUN Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Yang Dibuat Oleh KPU dan KPUD.pdf
-
Upload
raka-tri-portuna -
Category
Documents
-
view
59 -
download
0
Transcript of Kewenangan PTUN Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Yang Dibuat Oleh KPU dan KPUD.pdf
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
MAKALAH PRO
“Kewenangan PTUN Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Yang Dibuat Oleh
KPU/KPUD”
Disusun Oleh:
RAKA TRI PORTUNA
02011281419245
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2015
Hal. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang
Maha Esa karena atas berkatrahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kewenangan PTUN Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Yang Dibuat Oleh
KPU/KPUD” tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, masih
banyak kekurangan dan banyak kelemahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca yang sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bukan hanya bagi penulis melainkan juga para pembaca.
Indralaya, 28 Oktober 2015
Penulis
Hal. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalahan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
A. Teori Kewenangan 4
B. Konsep Negara Hukum 4
C. Pemilu dan Kedaulatan Rakyat 12
D. Peradilan Tata Usaha Negara 19
BAB III POKOK PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN 25
A. Sengketa Administrasi Pemilu 25
B. Kekosongan Hukum Sengketa Administrasi Pemilu 26
BAB IV PENUTUP 34
A. Resensi Pembahasan 34
B. Kesimpulan 36
DAFTAR PUSTAKA 37
Hal. 1 Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik di Indonesia yang mengalami suatu
pergeseran atau transformasi ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru ke Orde
Reformasi pada tahun 1998. Proses tersebut mengarah pada tatanan politik yang bersifat lebih
demokratis, hal ini ditandai dengan perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia
melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah meletakkan dasar-
dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan kedaulatan berada di tangan
rakyat yang diwujudkan melalui pengembangan format politik dalam negeri dan
pengembangan sistem pemerintahan termasuk sistem penyelenggaraan pemerintahan dan
juga sistem pemilihan umum guna menunjang pelaksanaan pemerintahan berjalan lebih
demokratis.
Dalam melakukan pemilihan umum dalam hal ini Kepala Negara dan Kepala Daerah,
setiap negara dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut, sistem Pemilu, kondisi politik
masyarakat, pola pemilihan, prosedur-prosedur dan mekanisme politik. Dalam sistem politik
yang demokratis, pencalonan dan pemilihan pejabat pemerintahan lebih didasarkan pada
aspirasi politik masyarakat, apakah itu melalui lembaga perwakilan rakyat atau rakyat sendiri
yang langsung memilih siapa yang layak memimpin. Demikian halnya dalam pemilihan atau
merekrut Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah biasanya dilakukan oleh DPRD namun setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, maka mekanisme pemilihan Kepala Daerah mengalami perubahan
signifikan di mana pemilihan Kepala Daerah langsung dilakukan oleh seluruh masyarakat.
Hal. 2 Pendahuluan
Negara Republik Indonesia, menyelenggaraan Pemerintahan menggunakan asas
desentralisasi dan tugas pembantuan, kedudukan Kepala Negara dan Kepala Daerah
memegang peran penting dalam menentukan suatu keputusan publik. Pemerintahan yang
kuat adalah pemerintahan yang memiliki tingkat legitimasi tinggi. Legitimasi tersebut
diperoleh karena keberhasilannya dalam mewujudkan darinya dalam masyarakat sehingga
masyarakat menghormati dan mempercayainya.
Pemilihan Kepala Neagara dan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilpres/Pilkada)
merupakan suatu perwujudan demokrasi dalam kehidupan kenegaraan. Karena Pemilhan
umum tidak hanya merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan dalam lima tahun sekali
yang mana dalam penyelenggaraannya membutuhkan dan atau menghabiskan anggaran
negara/daerah dalam jumlah yang sangat besar, akan tetapi Pemilihan umum lebih merupakan
sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam setiap pemerintahan negara Republik
Indonesia.
Tingkat pluralitas yang sangat tinggi dan pemilahan sosial yang saling berkonsolidasi
antara agama, etnisitas, dan kelas sosial masyarakat Indonesia akan sangat sulit membentuk
sebuah pemerintahan yang stabil yang mampu mewujudkan dirinya untuk memberikan
pelayanan dan perlindungan masyarakat.1 Hal yang sama juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan demokrasi yang ada di Indonesia. Sengketa terkait dengan pemilu sudah
menjadi konsumsi public dalam pemberitaan berbagai media. Sengketa pada hakikatnya
terjadi terjadi karena adanya benturan kepentingan. Oleh karena itu seiring dengan
perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha untuk meminimalisir berbagai
benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lalu seorang ahli filsafat yang
bernama Cicero mengatakan, “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada masyarakat maka di
situ ada hukum. Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya hukum itu adalah berfungsi
1 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal. 353
Hal. 3 Pendahuluan
sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah atau norma itu adalah patokan-patokan
mengenai perilaku yang dianggap pantas.
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat terjadinya benturan
kepentingan antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan seseorang/ Badan Hukum
Perdata tersebut, ada kalanya dapat diselesaikan secara damai melalui musyawarah dan
mufakat, akan tetapi ada kalanya pula berkembang menjadi sengketa hukum yang
memerlukan penyelsaian lewat pengadilan. Benturan kepentingan yang terjadi, merupakan
dampak dari dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha Negara yang bertentangan dengan
hak yang sifatnya individual.
Dengan pelaksanaan demokrasi yang masih banyak menuai sengketa, lembaga
Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan menjadi salah satu pranata yang mampu
menyelesaikan permasalahan terkait dengan sengketa pemilu. Namun demikian, pelaksanaan
putusan terkait dengan penyelesaian sengketa pemilhan umum yang sulit dilakukan
mengingat bahwa Peradilan Tata Usaha Negara bukanlah merupakan satu-satunya lembaga
yang memiliki kewenangan dalam hal ini. Sehingga sangat membuka peluang hadirnya
keputusan yang berbeda pada sengketa dengan objek permasalahan yang sama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian
sengketa Pemilihan Umum?
2. Apakah Implikasi Kewenangan Peradilan Tata usaha Negara dalam Penyelesaian
Sengketa Pemilihan Umum?
Hal. 4 Tinjauan Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Kewenangan
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan
hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini sehingga F.A.M
Sroink J.G Steenbeek menyebutkan sebagai konsep inti dalam kedudukan tata negara
dan hukum administrasi.
Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasan hukum tidak sama dengan
kekuasaaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. Dalam hukum, kewenangan sekaligus berarti hak dan
kewajiban (rechteen en plichten). Dalam kaitan otonomi daerah hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.2
B. Konsep Negara Hukum
Teori negara berdasarkan hukum secara esensi bermakna bahwa hukum adalah
“Supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk
pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law),
semuanya ada di bawah hukum (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh
ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan
(misuse of power).3 Jika dirunut ke atas, pemikiran tentang negara hukum merupakan sebuah
proses dan evolusi sejarah yang sangat panjang, sehingga untuk mengetahui lebih dalam
perlu dikemukakan terlebih dahulu bagaimana proses dan evolusi itu terjadi.
2 Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara.UII Press,Yogyakarta: 2002 3 Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang. Hal. 11.
Hal. 5 Tinjauan Pustaka
Pada awalnya cita negara hukum dikembangkan dari hasil pemikiran Plato yang
diteruskan oleh Aristoteles.4 Plato yang prihatin terhadap negaranya yang saat itu di pimpin
oleh orang-orang dengan kesewenang-wenangan, mendorongnya untuk menulis sebuah buku
yang berjudul “Politea”. Menurut Plato, agar negara menjadi baik, maka pemimpin negara
harus diserahkan kepada filosof, sebab filosof biasanya manusia bijaksana, menghargai
kesusilaan dan berpengetahuan tinggi. Namun hal ini tidak pernah dapat dilaksanakan, karena
hampir tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas dari hawa nafsu dan
kepentingan pribadi. Atas dasar itu, Plato menulis buku keduanya yang berjudul “Politicos”.
Dalam buku ini plato menganggap perlu adanya hukum untuk mengatur warga negara,
termasuk di dalamnya adalah penguasa. Selanjutnya dalam bukunya yang ketiga, “Nomoi”
(the law) yang dihasilkan ketika usianya sudah lanjut dan sudah banyak pengalaman, Plato
mengemukakan idenya bahwa “penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh
hukum.”5
Aristoteles kemudian melanjutkan ide ini. Menurutnya, suatu negara yang baik ialah
negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Hal ini termuat dalam
karyanya yang berjudul “Politica”. Ia juga mengemukakan bahwa ada tiga unsur dari
pemerintahan berkonstitusi, yaitu, Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan
umum; kedua, pemerintahan dlaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan
konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang
dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan seperti yang dilaksanakan
4 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI-PRESS, Jakarta. Hal. 19. 5 Ellydar Chaidir, 2001, Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden, Prespektif Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, 2001. Hal. 21.
Hal. 6 Tinjauan Pustaka
pemerintahan despotis. Ketiga unsur dikemukaka oleh Aristoteles ini, dapat ditemukan di
semua negara hukum. Dalam bukunya “Politica”, Aristoteles mengatakan: 6
“Konstitusi merupakan penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa
yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat,
konstitusi merupakan aturan-aturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut
aturan-aturan tersebut.”
Dalam Kepustakaan berbahasa Indonesia sudah sangat populer dengan menggunakan
istilah negara hukum, namun seringkali menjadi permasalahan, apakah sebenarnya konsep
negara hukum itu. Apakah konsep negara hukum itu sama dengan konsep Rechstaat dan
apakah negara hukum itu sama dengan konsep The Rule of Law. 7 Hal tersebut perlu dibahas
terlebih dahulu, sehingga dapat memberikan dasar dalam mengklasifikasikan bentuk negara
hukum Indonesia.
“Dalam Ensiklopedia Indonesia, istilah “negara hukum” dirumuskan sebagai berikut:8
Negara hukum (bahasa belanda:rechstaat) adalah negara yang bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan
hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya
jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum.”
Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung
dari istilah rechstaat.9 Istilah Rechsstaat mulai populer di Eropa sejak tahun 1885 oleh A.V.
6 Romi Librayanto, 2008, Trias Politica “Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia” , Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP) Makassar. Hal. 11. 7 Achmad Ruslan, 2011, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta. Hal. 19. 8 Ensiklopedia Indonesia N.V.W. Van Hoeve, dalam Donna Okthalia Setia Beudi, 2010, “Disertasi: Hakikat, Parameter, dan Peran Nilai Lokal Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Rangka Tata Kelola Perundang-undangan yang Baik,” Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Hal. 99.
Hal. 7 Tinjauan Pustaka
Dicey. Konsep Rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga
sifatnya revolusioner. Konsep Rechsstaat bertumpu pada atas sistem hukum continental yang
disebut civil law atau Modern Roman Law. Karakteristik Civil law adalah administratif, hal
ini dlatarbelakangi oleh sejarah perkembangan ketatanegaraan, tepatnya pada zaman
Romawi, dimana kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui
dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang
membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu
sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi negara sehingga tidaklah mengherankan jika
dalam sistem kontinental muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administrative”,
yang intinya membahas hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. 10
Konsep negara rechsstaat menurut Immanuel Kant yaitu fungsi negara sebagai
penjaga kemanan baik preventif, maupun represif (negara liberale rechsstaat), yaitu yang
melarang negara untuk mencapuri usaha kemakmuran rakyat, karena rakyat harus bebas
dalam mengusahakan kemakmurannya. Friedrich Julius Stahl dengan menolak absolute
monarki mengemukakan bahwa konsep rechsstaat memiliki empat unsur, yaitu:11
a. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia;
b. Untuk melindungi hak asasi manusia tersebut maka penyelenggaraan negara harus
berdasarkan pada trias politica;
c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang;
d. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah
masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi
seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.
9 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI-PRESS, Jakarta. Hal. 30. 10 Achmad Ruslan. Op. Cit. Hal. 20. 11 Azhary, Op. cit. Hal. 46.
Hal. 8 Tinjauan Pustaka
Lebih lanjut C.W. Van der Port menjelaskan bahwa atas dasar demokratis,
“rechsstaat” dikatakan sebagai “Negara Kepercayaan Timbal Balik” (de staat van het
wederzijds vertrowen) yaitu kepercayaan dari pendukungnya, bahwa kekuasaan yang
diberikan tidak akan disalahgunakan, dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat
pendukungnya. S.W. Cowenberg menjelaskan bahwa asas-asas demokratis yang melandasi
rechsstaat meliputi lima asas, yakni:
a. Asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten);
b. Asas mayoritas;
c. Asas perwakilan;
d. Asas pertanggungjawaban; dan
e. Asas publik (openbaarheids beginsel).
Konsep Negara hukum rule of law dikembangkan pada abad XIX, oleh Albert Venn
Dicey dengan karyanya yang berjudul “Introduction to Study of The Law of The
Constitution” pada tahun 1985 yang mengemukakan 3 (tiga) unsur utama rule of law yakni,
supremacy of law, equality before the law, constitution based on individual rights.
Sedangkan konsep Negara hukum rechtsstaat yang ditulis oleh Immanuel Kant dalam
karyanya yang berjudul Methaphysiche Ansfangsgrunde Der Rechtslehre yang dikenal
dengan nama negara hukum liberal (nachwachter staat) yakni pembebasan penyelenggaraan
perekonomian atau kemakmuran diserahkan pada rakyat dan negara tidak campur tangan
dalam hal tersebut. Konsep tersebut kemudian diperbaiki oleh Frederich Julius Stahl yang
dinamakan negara hukum formal yang unsur utamanya adalah mengakui hak asasi manusia.
Melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan Negara harus berdasarkan teori trias
politika, dalam menjalankan tugasnya pemerintah berdasarkan atas undang-undang dan
apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih
Hal. 9 Tinjauan Pustaka
melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka
ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.
Memasuki abad 20 perkembangan konsep Negara hukum rule of law mengalami
perubahan, penelitian Wade dan Philips yang dimuat dalam karya yang berjudul
“Constitusional Law” pada tahun 1955 berpendapat bahwa rule of law sudah berbeda
dibandingkan pada waktu awalnya. Begitu juga dengan konsep negara hukum rechsstaat,
dikemukakan oleh Paul Scholten dalam karya ilmiahnya yang berjudul “Verzamelde
Geschriften” tahun 1935 dinyatakan bahwa dalam membahas unsur-unsur negara hukum
dibedakan tingkatan unsur-unsur negara hukum, unsur yang dianggap penting dinamakan
sebagai asas, dan unsur yang merupakan perwujudan asas dinamakan sebagai aspek. Berikut
ini adalah gambaran atas asas-asas (unsur utama) dan aspek dari negara hukum Scholten,
yakni unsur utamanya adalah adanya hak warga negara terhadap negara/raja. Unsur ini
mencakup 2 (dua) aspek; pertama, hak individu pada prinsipnya berada di luar wewenang
negara. Kedua, pembatasan hak individu hanyalah dengan ketentuan undang-undang yang
berupa peraturan yang berlaku umum. Unsur kedua, “adanya pemisahan kekuasaan” yakni
dengan mengikuti Montesquieu dimana rakyat diikut sertakan di dalamnya.
Perubahan konsep negara hukum ini disebabkan konsep negara hukum formal telah
menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Menghadapi hal
seperti itu pemerintah pada waktu itu tidak dapat berbuat apa-apa karena menurut prinsip
negara hukum formal pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksana undang-undang. Hal ini
menyebabkan terjadinya perubahan pengertian asas legalitas dalam prakteknya, yang semula
diartikan pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheit van het bestuur)
keadaan inilah yang menumbulkan gagasan negara hukum material (welfare state). Tindakan
pemerintah atau penguasa sepanjang untuk kepentingan umum agar kemakmuran benar-benar
terwujud secara nyata jadi bukan kemakmuran maya, maka hal ini dianggap diperkenankan
Hal. 10 Tinjauan Pustaka
oleh rakyat dalam negara hukum yang baru, yaitu negara hukum kemakmuran (welvaarts
staat) dan negara adalah alat bagi suatu bangsa untuk mencapai tujuannya.
Perumusan ciri negara hukum dari konsep “rechtstaat” dan “rule of law”
sebagaimana dikemukakan oleh A.V Dicey dan F.J Stahl kemudian diinteregasikan pada
perincian baru yang lebih memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Sunaryani Hartono yang menyamakan
istilah negara hukum dengan konsep the rule of law sebgaimana nampak dalam tulisannya
"...supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang
bersangkutan, penegakan rule of law itu harus dalam arti materiil".
Menurut Sckeltema bahwa terdapat empat unsur utama dalam negara hukum
Rechtsstaat dan masing-masing unsur utama mempunyai turunannya, yaitu sebagaimana
dikemukaan oleh Azhary, yaitu :
1. Adanya kepastian hukum, yakni mencakup :
a. Asas legalitas;
b. Undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa,
hingga warga dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;
c. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
d. Hak asasi dijamin oleh undang-undang; dan
e. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan.
2. Asas persamaan, yakni mencakup :
a. Tindakan yang berwenang diatur di dalam undang-undang dalam arti materiil;
dan
b. Adanya pemisahan kekuasaan.
3. Asas demokrasi :
Hal. 11 Tinjauan Pustaka
a. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;
b. Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen;dan
c. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.
4. Asas pemerintah untuk rakyat :
a. Hak asasi dengan undang-undang dasar; dan
b. Pemerintahan secara efektif dan efesien.
Sedangkan Konsep The Rule of Law awalnya dikembangkan oleh Albert Venn Dicey
(Inggris). Dia mengemukakan tiga unsur utama The Rule of Law, yaitu)12 :
1. Supremacy of law (supremasi hukum), yaitu bahwa negara diatur oleh hukum,
seseorang hanya dapat dihukum karena mlanggar hukum.
2. Equality before the law (persamaan dihadapan hukum), yaitu semua warga Negara
dalam kapasitas sebagai pribadi maupun pejabat Negara tunduk kepada hukum
yang sama dan diadili oleh pengadilan yang sama.
3. Constitution based on individual right (Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak
perorangan), yaitu bahwa konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan
konsekwensi dari hak-hak individual yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
pengadilan dan parlemen hingga membatasi posisi Crown dan aparaturnya.
Lebih lanjut Achmad Ruslan mengemukakan bahwa baik latar belakang yang
menopang konsep rechstaat maupun konsep the rule of law berbeda dengan latar belakang
Negara RI. Dengan demikian, isi Konsep Negara hukum Indonesia tidaklah begitu saja
dengan mengalihkan konsep rechstaat maupun the rule of law, meskipun tidak dapat
dipungkiri bahwa ada pengaruh kehadiran konsep rechstaat maupun the rule of law tersebut.
Sama halnya dengan istilah demokrasi yang dalam istilah bangsa kita tidak dikenal, namun
12 Ibid., Hal. 120
Hal. 12 Tinjauan Pustaka
hadir berkat pengaruh pemikiran barat. Praktik yang sudah ada dalam masyarakat kita beri
nama demokrasi dengan atribut tambahan sejak tahun 1967 (Tap MPRS No.XXXVII
/MPRS/1967) resmi disebut demokrasi Pancasila.13 Menurut Philipus Hadjon, dalam
perbandingan istilah Negara hukum dengan istilah demokrasi yang diberi atribut Pancasila
adalah tepat, istilah Negara hukum diberi atribut Pancasila juga, sehingga menjadi Negara
hukum pancasila.14
Dari pembahasan terkait konsep-konsep Negara hukum di atas, jika dibandingkan
antara konsep rechstaat maupun the rule of law dengan konsep Negara hukum yang dimiliki
Indonesia, ketiganya memiliki kesamaan yang mendasar, yakni sama-sama mengakui dan
memberikan perlindungan terhadap keberadaan Hak Asasi Manusia. Hanya saja dalam hal
konsep perlindungan Hak Asasi Manusia tersebut, ketiganya memiliki perbedaan, yakni jika
rechstaat mengedepankan konsep Wetmatigheid yang kemudian direduksi ke dalam
rechtmatigheid, maka The rule of law lebih mengedepankan prinsip equality before the law.
Sementara itu untuk konsep Negara hukum Indonesia lebih mengedepankan keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat yang berdasar pada asas kekeluargaan.
C. Pemilu dan Kedaulatan Rakyat
1. Pemilu Berkala
Pentingnya Pemilihan umum diselengarakan secara berkala dikarernakan oleh
beberapa sebab:
1. Pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam
masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu kewaktu. Dalam jangka
waktu tertentu, dapat saja terjadi bahwa sebagian besar rakyat berubah
pendapatnya mengenai suatu kebijakan negara.
13 Achmad Ruslan, Op.Cit. Hal. 26-27. 14 Ibid. Hal. 29
Hal. 13 Tinjauan Pustaka
2. Disamping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu kewaktu, kondisi bersama
kehidupan masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia
internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor
internasional manusia maupun karena faktor eksternal manusia.
3. Perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga mungkin dapat terjadi
karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Pada pemilihan
baru (new voters) atau pemilihan pemula, belum tentu mempunyai sikap yang
sama dengan orang tua mereka sendiri.
4. Pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya
penggantian kepemimpinan negara baik dicabang kekuasaan eksekutif maupun
legislatif.
Untuk menjamin siklus kekuasaan yang bersifat teratur itu diperlukaan mekanisme
pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala sehingga demokrasi dapat terjamin,
dan pemerintahan yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan seluruh rakyat dapat
benar-benar bekerja secara efektif dan efesien. Dengan adananya jaminan sistem demokrasi
yang beraturan demikian itulah kesehjahtraan dan keadlian dapat terwujud dengan sebaik-
baiknya.15
2. Tujuan pemilihan umum
Ada beberapa 4 hal tujuan pemilihan umum, yaitu:16
1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara
tertib dan damai;
2. Untuk memungkinkan terjadinya penggantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat dilembaga perwakilan;
3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
15 Asshiddiqie, jimly, 2009, Pengantar ilmu hukum tata negara, Konstitusi Press, jakarta, Hal. 417 16 Ibid. Hal 418
Hal. 14 Tinjauan Pustaka
4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Seperti dimaklumi, kemampuan seseorang bersifat terbatas. Disamping itu, jabatan
pada dasarnya merupakan amanah yang berisi beban dan tanggung jawab, bukan hak yang
harus dinikmati. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh duduk disuatu jabatan tanpa ada
kepastian batasnya untuk dilakuakan penggantian. Tanpa siklus kekuasaan yang dinamis,
kekuasaan itu dapat mengeras menjadi sumber malapetaka sebab, dalam setiap jabatan, dalam
dirinya selalu ada kekuasaan yang cendrung berkembang menjadi sumber kesewenang-
wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itu penggantian kepemimpian harus
dipandang sebagai sesuatu yang niscaya untuk memelihara amanahyang terdapat dalam setiap
kekuasaan itu sendiri.17
3. Sistem Pemilihan Umum
Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut pandang oleh
rakyat. Kepentingan rakyat sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihanya dan
sekaligus mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat .
Sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam yaitu:
a. Sistem pemilihan mekanis;
1 Sistem distrik;
2 Sistem proporsional;
b. Sistem pemilihan organis
Sistem pemilihan mekanis yang melihat rakyat sebagai masa individu yang sama.
Sistem pemilihan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang
hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah
tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industrial), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani,
cendikiawan) dan Lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat mempunyai fungsi dan
17 Ibid. Hal. 419
Hal. 15 Tinjauan Pustaka
tujuan tertentu sebgai suatu organisme dalam totalitasnya, seperti komunitas atau persekutuan
hidup.18
4. Penyelenggaraan dan Sengketa Hasil Pemilu
a. Lembaga penyelengaraan
Siapakah yang seharusnya menjadi penyelenggaraan pemilihan umum?
Pasal 22E ayat(1) UUD 1945 telah menetukan bahwa: “Pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Dalam
Pasal 22E ayat 5 ditentukan pula bahwa ”Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Oleh sebab itu, menurut
UUD 1945 penyelenggara pemilihan umum itu haruslah suatu komisi yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri atau independen.
Mengapa harus independen? Jawabnya jelas, karena penyelenggara pemilu itu harus
bersifat netral dan tidak boleh memihak. Komisi pemilihan umum itu tidak boleh
dikendalikan oleh partai politikataupun oleh pejabat negara yang mencerminkan kepentingan
partai politik atau peserta atau calon peserta pemilihan umum. Peserta pemilu itu sendiri
dapat terdiri atas (i) partai politik, beserta para anggotanya yang dapat menjadi calon dalam
rangka pemilihan umum, (ii) calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (iii) calon
atau anggota Dewan Perwakilan Daerah, (iv) calon atau anggota DPRD, (v) calon atau
Presiden atau Wakil Presiden, (vi) calon atau Gubernur atau Wakil Gubernur, (vii) calon
atau Bupati atau Wakil Bupati, (viii) calon atau Walikota atau Wakil Walikota. Kedelapan
pihak yang terdaftar di atas mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan keputusan-keputusan yang akan diambil oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai
18 Ibid. Hal 421-422
Hal. 16 Tinjauan Pustaka
penyelenggara pemilu, sehingga oleh karenanya KPU harus terbebas dari kemungkinan
pengaruh mereka itu.19
b. Pengadilan Sengketa Hasil Pemilu
Hasil pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitungan suara yang
diikuti oleh pembagian kursi yang diperebutkan,yang diumumkan secara resmi oleh
lembaga penyelenggara pemilihan umum seringkali tidak memuaskan peserta pemilihan
umum, yang tidak berhasil tampil sebagai pemenang. Kadang-kadang terjadi perbedaan
pendapat dalam hasil perhitungan itu antara peserta pemilihan umum dan penyelenggara
pemilihan umum, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, baik karena kesalahan
teknis atau kelemahan yang bersifat administratif dalam perhitungan ataupun disebabkan
oleh faktor human error. Jika perbedaan pendapat yang demikian itu menyebabkan
terjadinya kerugian bagi peserta pemilihan umum, maka peserta pemilihan yang
dirugikan itu dapat menempuh upaya hukum dengan mengajukan permohonan perkara
perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.
Jenis perselisihan atau sengketa mengenai hasil pemilihan umum ini tentu harus
dibedakan dari sengketa yang timbul dalam kegiatan kampanye, ataupun teknis pelaksanaan
pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil pemilihan umum ini juga harus pula dibedakan
dari perkara-perkara pidana yang terkait dengan subjeksubjek hukum dalam penyelenggaraan
pemilihan umum. Siapa saja yang terbukti bersalah melanggar hukum pidana, diancam
dengan pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana pula me nurut ketentuan
yang berlaku di bidang peradilan pidana. Misalnya, A mencuri surat suara, maka hal itu
tergolong pelanggaran hukum pidana yang diadili menurut prosedur pidana. Sedangkan B
melanggar jadwal kampanye yang menjadi hak calon lain, maka pelanggaran semacam ini
19 Ibid. Hal. 427
Hal. 17 Tinjauan Pustaka
harus diselesaikan secara administratif oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum
yang bertanggung jawab di bidang itu.
Demikian pula jika C mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pemilu
ke Mahkamah Konstitusi. Namun di dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, C
berkolusi dengan pejabat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan memalsukan
bukti-bukti di persidangan yang tidak dapat dibantah oleh pejabat Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Pusat dalam persidangan. Di kemudian hari, terbukti bahwa data-data
yang diajukan oleh KPU Daerah itu palsu, maka hal tersebut sepenuhnya merupakan
perkara pidana pemalsuan yang merugikan semua pihak dan harus dipertanggung
jawabkan secara pidana. Akan tetapi, sepanjang menyangkut hasil pemilihan umum
yang sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dalam persidangan
yang terbuka untuk umum, persoalan tindakpidana dimaksud tidak lagi ada kaitannya
dengan hasil pemilihan umum. Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, semua
pihak, termasuk apalagi kepada pihak KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu dan pihak-
pihak yang kepentingannya terkait lainnya, sudah diberi kesempatan yang cukup dan
leluasa untuk membantah atau menolak bukti-bukti yang diajukan oleh pihak pemohon
perkara, tetapi karena ternyata buktibukti dimaksud tidak terbantahkan, maka perkara
perselisihan hasilpemilu itu sudah diputus final dan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
Biasanya, hal-hal yang berkenaan dengan kualitas bukti yang dianggap tidak benar
itu justru datang belakangan oleh pihak penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi,
roda penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak boleh digantungkan kepada kealpaan
atau kelalaian penyelenggara pemilu sebagai satu kesatuan institusi penyelenggara pemilihan
umum di seluruh Indonesia. KPU adalah satu institusi. Perkara perselisihan hasil pemilu
adalah perkara formal yang membutuhkan teknik-teknik pembuktian yang juga bersifat
formal dan dengan jadwal yang pasti. Kepastian hukum sangat diutamakan dalam hal ini.
Hal. 18 Tinjauan Pustaka
Sikap mengutamakan keadilan bagi satu orang tidak mungkin dibenarkan, apabila hal
itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtszekerheid). Sebab, dalam jenis
perkara perselisihan hasil pemilihan umum, tanpa adanya kepastian hukum
(rechtszekerheid) yang tegas, niscaya dapat timbul ketidakadilan dalam seluruh
mekanisme penyelenggaraan negara dan karena itu dapat menimbulkan ketidakadilan bagi
semua warga negara.
Tentu tidak semua negara memiliki Mahkamah Konstitusi ataupun mekanisme
penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi. Di negara-
negara yang tidak memiliki lembaga seperti ini, biasanya perkara-perkara pemilu itu
langsung ditangani oleh Mahkamah Agung. Di Amerika Serikat, perkara seperti ini juga
ditangani oleh Mahkamah Agung negara bagian, dan baru setelah itu ditangani oleh
Mahkamah Agung Federal. Tetapi, di Brazil, peradilan pemilu ini dilembagakan secara
tersendiri, yaitu untuk menangani semua aspek perkara hukum yang terkait dengan
pemilihan umum.
Dengan ada mekanisme peradilan terhadap sengketa hasil pemilihan umum ini,
maka setiap perbedaan pendapat mengenai hasil pemilihan umum tidak boleh
dikembangkan menjadi sumber konflik politik atau bahkan menjadi konflik sosial yang
diselesaikan di jalanan. Penyelesaian perbedaan mengenai hasil perhitungan suara pemilihan
umum menyangkut pertarungan kepentingan politik antar kelompok warga negara sudah
seharusnya diselesaikan melalui jalan hukum dan konstitusi. Dengan kewenangannya
untuk mengadili dan menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilu ini, dapat dikatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi diberi tanggung jawab untuk menyediakan jalan konstitusi
bagi para pihak yang ber sengketa, yaitu antara pihak penyelenggara pemilihan umum dan
pihak peserta pemilihan umum.20
20 Ibid. Hal 429-432
Hal. 19 Tinjauan Pustaka
D. Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) disebut juga pengadilan administrasi negara.
PTUN lahir dan mulai bekerja melayani masyarakat pencari keadilan sejak 14 Januari Tahun
1991. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah pengadilan yang termuda di antara 4
(empat) lingkungan peradilan (Pengadilan Negeri; Pengadilan Militer; Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tata Usaha Negara). Indonesia sebagai negara hukum sudah lama mencita-
citakan untuk membentuk pengadilan administrasi negara atau Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Sebagai suatu pengadilan khusus (lihat Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009), kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dibatasi hanya memeriksa, memutus
dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) Undang-
undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Jabatan Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Batasan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai obyek gugatan Tata Usaha
Negara berdasarkan Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
“Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
Tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Hal. 20 Tinjauan Pustaka
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.”
a. Penetapan tertulis.
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara disebutkan bahwa suatu penetapan tertulis adalah terutama menunjuk
kepada isi bukan bentuk (form). Persyaratan tertulis adalah semata untuk kemudahan segi
pembuktian. Oleh karenanya sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis,
yang penting apabila sudah jelas:
1) Badan atau pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya,
2) Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu,
3) Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
b. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat (8) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009).
c. Tindakan hukum Tata Usaha Negara.
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat
Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang
dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
d. Bersifat konkret, individual, final.
Bersifat konkret adalah obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha
Negara tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual
Hal. 21 Tinjauan Pustaka
adalah Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik
alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama
orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Bersifat final adalah Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan itu sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum.Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan instansi
atasan atau instansi lain belum bersifat final.
e. Memiliki akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pasal 2 juga
menentukan beberapa pengecualian untuk sejumlah Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN) yang tidak termasuk Obyek Sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
Hal. 22 Tinjauan Pustaka
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
Selain dari itu, Pasal 49 mengatur beberapa Keputusan Tata Usaha Negara tertentu
juga dinyatakan bukan wewenang badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, yaitu keputusan yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bencana alam atau
keadaan luar biasa yang keadaan mendesak untuk kepentingan umum yang berdasarkan
peraturanperaturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembagian kompetensi antara empat lingkungan peradilan, menurut Philipus M.
Hadjon berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 (sekarang Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009) tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Prinsip-prinsip pembagian kompetensi tersebut dijabarkan secara jelas dalam undang-
undang yang mengatur empat lingkungan peradilan. Kompetensi Badan Peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 4 berbunyi:
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 5 ayat (1) berbunyi:
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Tata Usaha Negara,
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 47 berbunyi:
Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Hal. 23 Tinjauan Pustaka
Peradilan Tata Usaha Negara bersifat membela kepentingan umum, kepentingan
Negara, atau kepentingan pemerintahan. Dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara, makin
lama makin aktif bekerja, maka sudah banyak ketimpangan dalam administratif yang digugat
oleh warga masyarakat dan mendapat tindakan korektif sebagaimana diharapkan.21 Beberapa
asas-asas hukum administrasi yang menjadi karakteristik hukum acara Peradilan Tata Usaha
Negara di antaranya sebagai berikut:
a. Asas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae
causa).
b. Asas Pembuktian Bebas;
c. Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis);
d. Asas Putusan Peradilan mempunyai kekuatan mengikat Erga Omnes.
Dengan berlandaskan pada fungsi asas-asas hukum tersebut, terhadap asas-asas
hukum administrasi yang merupakan tempat bertumpunya norma-norma hukum administrasi,
dapatlah dikatakan bahwa:
a. Asas-asas hukum administrasi akan memberikan arah dalam “positiveringsarbeid”
oleh pembentukan undang-undang (wetgever) maupun organ pemerintahan
(bestuursorganen).
b. Asas hukum administrasi akan memberikan pedoman bagi “administrastrative
rechter” dalam melakukan interprestasi hukum guna menjamin ketepatan menentukan
putusan hakim.
c. Asas hukum administrasi memberikan tuntutan pada warga masyarakat khususnya
akademisi hukum administrasi melalui pemikiran-pemikiran dan pembuatan peraturan
21 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. Hal. 144.
Hal. 24 Tinjauan Pustaka
perundangundangan maupun hakim administrasi dalam melakukan koreksi terhadap
peraturan perundang-undangan.
Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mengembangkan
dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig).22 Tujuan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian
hukum, baik bagi masyarakat maupun bagi administrasi negara dalam arti terjaganya
keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administrasi
negara akan terjaga ketertiban, ketenteraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya, demi mewujudkannya pemerintahan yang bersih dan beribawa dalam kaitan
Negara berdasarkan Pancasila khususnya di peradilan.23
22 Ibid. Hal. 74. 23 Sjachran Basah, Menelaah Liku-liku Rancangan Undang-undang No. -Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, 1992. Hal. 154.
Hal. 25 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
BAB III
POKOK PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
A. Sengketa Administrasi Pemilu
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam pemilihan umum penting untuk
mengamankan integritas atas pemilu itu sendiri. Karena itu, setiap penyusunan desain
penyelenggaraan pemilu mesti disertakan mekanisme penyelesaian sengketa atas setiap
tahapan yang mungkin akan muncul. Dengan demikian, setiap keberatan yang muncul dalam
proses bisa terselesaikan. Harapannya semua pihak bisa menerima keputusan penyelenggara
dan hasil dalam pemilu diterima dengan baik.24
Salah satu permasalahan hukum pemilu yang belum menemukan pengaturannya
dalam undang-undang pemilu adalah sengketa administrasi pemilu. Tanpa harus memaksakan
diri mengacu pada perundang-undangan tentang pemilu, bisa disimpulkan bahwa sengketa
administrasi muncul karena benturan kepentingan antara kPU sebagai penyelenggara dengan
peserta pemilu atau pihak lain,akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU.
Dengan kata lain, sengketa administrasi adalah sengketa yang ditimbulkan oleh keputusan
atau tindakan penyelenggara pemilu yang dianggap merugikan pihak tertentu, baik warga
negara (yang mempunyai hak pilih dan hak memilih) maupun peserta pemilu (bakal
calon/calon) yang terjadi disetiap tahapan pemilu.
Meskipun jenis sengketa administrasi tidak dikenal dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Legislatif, faktanya sengketa itu muncul. Terbukti di awal tahapan, KPU menerima
gugatan dari 5 partai politik yang tidak lolos verifikasi sebagai peserta pemilu. Kelima partai
24 Chad Vickery, 2011. Pedoman untuk Memahami, Menangani, dan Menyelesaikan sengketa Pemilu. international Foundation
for electoral sistems (iFes): amerika serikat. Diterjemahkan oleh a san Harjono. Hal 13.
Hal. 26 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
tersebut adalah Partai Republiku ,PartaiBuruh ,Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
(PPNUI), Partai Merdeka, dan Partai Syarikat Indonesia (PSI). Kelima Partai tersebut
menggugat keputusan KPU tentang hasil verifikasi faktual yang tidak meloloskan kelima
partai tersebut sebagai peserta pemilu.
sengketa itu muncul mengingat UU Pemilu tidak menegaskan sifat dari keputusan
pemilu yang bersifat final dan mengikat. Akibatnya setiap keputusan yang dikeluarkan KPU
(kecuali hasil pemilu) sangat mungkin dipersengketakan oleh peserta pemilu. Berbeda
dengan UU 12/2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD (UU12/2003) yang
menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, setiap
keputusan kPU berpeluang untuk digugat oleh para pihak.6 Meskipun dalam Pemilu 2004
keputusan KPU bersifat final dan mengikat, namun dalam praktik juga muncul sengketa
administrasi.25
B. Kekosongan Hukum Sengketa Administrasi Pemilu
Problem penyelesaian sengketa administrasi pemilu baik dalam Pemilu 2004 dan
2009, tidak adanya pengaturan khusus tentang mekanisme penyelesaian sengketa administrasi
pemilu. Tidak adanya pengaturan bukan berarti tidak ada sengketa administrasi. Baik Pemilu
2004 dan 2009 menunjukkan sejumlah masalah terhadap keputusan penyelenggara pemilu
terhadap tahapan penyelenggaraan. Akibatnya, keadilan pemilubagi para pihak sulit
diwujudkan. sejumlah persoalan tidak bisa terselesaikan mengingat kekosongan
pengaturannya.
Tidak terselesaikannya sengketa administrasi pemilu antara peserta pemilu dengan
penyelenggara juga diakibatkan simpang siurnya pengaturan. Mekanisme penyelesaian
sengketa administrasi dalam penyelenggaraan pemilu pada dasarnya sama dengan mekanisme
25 Perubahan sifat putusan tersebut dilakukan untuk menghindari munculnya kesewenang-wenangan dan potensi penyimpangan yang dilakukan oleh kPu. selain itu membuka ruang bagi peserta pemilu dan para pihak untuk melakukan peninjauan ulang terhadap setiap keputusan yang dikeluarkan kPu. Tujuannya tentu untuk memberikan keadilan bagi semua pihak, khususnya peserta pemilu
Hal. 27 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
yang berlaku pada sengketa administrasi umum. sengketa ini bisa diselesaikan melalui
peradilan administrasi pemilu. Peradilan administrasi yang dimaksudkan adalah suatu
peradilan yang menyelesaikan perselisihan/ sengketa yang terjadi antara pihak-pihak yang
salah satunya adalah aparat pemerintah dan warga masyarakat di pihak lain.26 sengketa ini
kemudian dalam hukum administrasi disebut sebagai sengketa ekstern. Dalam rangka
penyelesaian sengketa administrasi, terdapat beberapa lembaga penyelesaian sengketa yang
digunakan, yakni sebagai berikut:27
1. Pengaduan (administratief beroep), yakni penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam
lingkungan administrasi sendiri. Pengajuan sengketa ditujukan kepada atasan atau instansi
yang lebih tinggi.
2. Badan peradilan semu (Quasi), yakni penyelesaian sengketa dalam lingkungan
administrasi dengan menggunakan tata cara seperti badan peradilan. Kegiatan
peradilannya dilakukan oleh badan, dewan, komisi atau panitia. Cara kerjanya hampir
sama dengan peradilan umum tetapi keputusannya masih bisa dibatalkan oleh menteri
yang bersangkutan.
3. Badan peradilan administrasi,yakni penyelesaian sengketa melalui badan peradilan
dengan anggota badan berkedudukan sebagai hakim. Putusan pengadilan tidak bisa
dipatalkan atau dipengaruhi oleh menteri atau kelembagaan lain. Peradilan administrasi
ini bisa dibentuk dan melekat di badan/kelembagaan terkait atau terpisah sebagai
peradilan administrasi seperti Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Badan peradilan umum. Sengketa ini di putus oleh peradilan umum termasuk gugatan
ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yakni mengenai perbuatan melawan
hukum oleh pejabat pemerintah/penguasa (onrechtmatige overheid daad).
3. Badan arbitrasi seperti Badan Arbitrase Nasional indonesia (BANI)
26
lutfi effendi,2004. Pokok-Pokok Hukum administrasi negara.bayu Media: Malang – Jatim. Hal 95. 27
Ibid, hal 97-98
Hal. 28 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
4. Badan teknis atau panitia teknis atau panitia ad hoc atau panitia khusus yang dibentuk
departemen atau instansi lain.
Pengalaman Pemilu 2009, saluran alternatif penyelesaian sengketa di atas tidak diatur,
apalagi di jalankan.Satu-satunya mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan oleh
Partai Republiku, Partai Buruh, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI),
Partai Merdeka, dan Partai Syarikat Indonesia (PSI) adalah melalui Peradilan Tata Usaha
Negara (Peradilan TUN). Peradilan TUN disini merupakan badan yang diharapkan menjadi
tempat warga negara mencari keadilan dan harapan memperolehkeadilan.Warga negara bisa
menggugat aparatur negara dalam menyelenggarakan pemerintahan, membuat keputusan
yang melampau batas wewenangnya atau adanya kekeliruan dalam menerapkan aturan
hukumnya saat menyelesaikan suatu masalah tertentu yang konkrit.28
kelima partai diatas menggunakan saluran ini karena PTUN dianggap memiliki
kewenangan yudikatif dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN baik pusat
maupun daerah. Pemohon menganggap keputusan kPU yang tidak meloloskan kelima partai
tersebut sebagai peserta pemilu sebagai keputusan Tata Usaha Negara dan kPU sebagai
pejabat TUN. Pasal 1 Ayat (9) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU
No. 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara (Keputusan TUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan usaha perdata.
Memang kemudian UU No. 9 Tahun 2004 membuat pengecualian terhadap
pengertian keputusan TUN. Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5
28 bachsan Mustafa, sistem Hukum administrasi negara indonesia, (bandung : Citra aditya bakti, 2001), hlm. 109.
Hal. 29 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
Tahun 1986 tentang Peradilan TUN menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian
keputusan Tata Usaha Negara adalah:
1. keputusan Tata Usaha Negara merupakan perbuatan hukum perdata;
2. keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional indonesia;
7. keputusan komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.”
Berdasarkan pengecualian tersebut muncul penafsiran yang berbeda khususnya
terjemahan tentang keputusan kPU terkait hasil pemilu. surat Edaran Mahkamah Agung No.
8/ 2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pemilukada telah menghilangkan kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi
pemilu.29 seMA itu telah memperluas pengertian hasil pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 2
huruf g UU 9/2004 tentang PTUN, bahwa keputusan kPU terkait hasil pemilu bukan
merupakan objek sengketa TUN. keputusan kPU dimaksud meliputi semua produk hukum
kPU terkait hasil penyelenggaraan pemilu.karena keputusan kPU dianggap sebagai produk
politik yang tidak dapat diuji melalui mekanisme hukum administrasi. Akibatnya, SEMA itu
telah menendang keluar kewenangan PTUN untuk mengadili sengketa administrasi. Selain
itu dalam berbagai yurisprudensi MA,telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan
29 Veri Junaidi, kekosongan hukum sengketa administrasi pemilu, Suara Karya, 30 Januari 2009.
Hal. 30 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan
PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Akibatnya permasalahan sengketa administrasi
pemilu tidak memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas.
Simpang-siurnya pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa administrasi pemilu
memunculkan saluran-saluran yang berbeda dalam penyelesaian kasus yang sama. Akhir
penyelesaian terhadap Partai Republiku berbeda dengan nasib empat partai lainya yang
dinilai lebih beruntung. Meskipun PTUN pada tanggal 18 Agustus 2009 mengeluarkan
Putusan No. 110/G/2008 PTUN Jakarta yang memerintahkan KPU untuk membatalkan SK
Nomor 2446/15/VII/08 tanggal 28 Juni 2008 tentang hasil verifikasi faktual yang menolak
Partai Republik sebagai partai peserta Pemilu 2009, KPU tidak lantas melaksanakan putusan
itu. Bahkan KPU mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. karena
KPU kalah dua kali baik di PTUN dan PTTUN, sehingga KPU mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Proses kasasi di Mahkamah Agung memperlihatkan dampak tidak adanya pengaturan
yang tegas mekanisme sengketa administrasi. Akibatnya, tidak menimbulkannya kepastian
hukum dan keadilan bagi para pihak, baik Partai Republiku maupun KPU. Mahkamah Agung
justru mengeluarkan Putusan yang diluar dugaan. MA menilai bahwa keputusan kPU bukan
merupakan keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dalam ranah sengketa administrasi
negara. keputusan kPU dalam penyelenggaraan pemilu dinilai sebagai keputusan dalam ranah
politik sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara tidak memiliki kompetensi absolut dalam penyelesaian kasus ini. Oleh karena itu,
Mahkamah Agung memerintahkan para pihak untuk menyelesaikan permasalahan itu dalam
ranah hukum perdata. karena MA memutuskan PTUN dan PTTUN tidak memiliki
kompetensi absolut maka Partai Republiku pun membawa kasus ini dalam ranah privat, yakni
gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Dalam gugatan ini
Hal. 31 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
lagi-lagi KPU kalah dan PN Jakpus mengeluarkan Putusan No.408/PDT.G/2008/PN.
JKT.PST tertanggal 24 Desember 2008. Melalui Putusan itu, pengadilan membatalkan Surat
Keputusan Ketua KPU No. 2446/15/VII/2008 Tanggal 28 Juli 2008 tentang hasil verifikasi
peserta Pemilu Tahun 2009 yang tidak meloloskan Partai Republiku sebagai peserta Pemilu
2009.
Putusan itu menunjukkan tidak adanya mekanisme yang adil dalam penyelesaian
sengketa administrasi pemilu. Meskipun PN Jakarta Pusat telah memenangkan Partai
Republiku pada tanggal 28 Desember 2008, Putusan itu tidak dapat dilaksanakan oleh kPU.
Mengingat tahapan penyelenggaraan Pemilu legislatif 2009 telah berjalan. kPUpun
mengalami dilema untuk melaksanakan putusan tersebut, karena dinilai justru akan
mengacaukan tahapan pemilu yang sudah berjalan. Akibatnya, Putusan Pengadilan justru
tidak memberikan keadilan bahkan memunculkan permasalahan baru.
Melihat kasus di atas, persoalan bukan hanya karena UU Pemilu tidak mengatur
tentang sengketa administrasi pemilu. Persoalan juga muncul ditingkat peradilan dan aturan
tentang mekanisme tersebut. Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan sengketa
Administrasi Pemilu bukan sebagai kompetensi absolut pengadilan didasarkan pada surat
edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pemilihan
Umum kepala Daerah telah menghilangkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi pemilu. sengketa itu terkait
dengan mekanisme koreksi atas setiap keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang
penyelenggaraan pemilu/pemilukada.
SEMA No 8/2005 telah memperluas pengertian tentang hasil pemilu sebagaimana
dimaksud Pasal 2 huruf g UU 9/2004 tentang PTUN. Ketentuan pasal itu menyebutkan
bahwa Keputusan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota terkait dengan hasil pemilu
bukanlah merupakan objek sengketa TUN. Akibatnya, SEMA tersebut telah menendang
Hal. 32 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
keluar kewenangan PTUN untuk mengadili sengketa administrasi pemilu. Sebab, menurut
SEMA No 8/2005, yang dimaksud dengan keputusan KPU tentang sengketa hasil pemilu
adalah semua produk hukum kPU terkait penyelenggaraan pemilu. Artinya, keputusan KPU
dianggap sebagai produk politik yang tidak dapat diuji melalui mekanisme administratif.
Padadasarnya, setiap kebijakan berpotensi memunculkan permasalahan karena tidak
selamanya keputusan pejabat publik sesuai dengan kehendak seseorang yang terkena dampak
dari kebijakan itu. Apalagi, konteks Pemilu 2009 memberikan peluang besar bagi munculnya
sengketa administrasi pemilu. Ketentuan perundang-undangan dalam pemilu, baik UU No
10/2008 tentang Pemilu Legislatif maupun UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu,
tidak menegaskan bahwa keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Berbeda dengan
UUNo12/2003 sebagai dasar penyelenggaraan Pemilu 2004, yang menegaskan bahwa
keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, jelas bahwa keputusan kPU
tidak dapat digugat dan tertutup kemungkinan adanya sengketa administrasi pemilu.
Kekosongan hukum ini memunculkan berbagai masalah. Pertama, tidak adanya
kepastian hukum atas sengketa administrasi pemilu. Para pihak yang merasa dirugikan atas
keputusan KPU kecuali tentang hasil, akan menempuh mekanisme yang berbeda-beda.
Seperti empat partai politik yang tak lolos electoral threshold yaitu Partai Buruh, Partai
Sarikat Islam (PSI), Partai Merdeka, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
(PNUI). Kemudian menyusul Partai Republiku mengajukan gugatan melalui PTUN. Namun,
untuk Partai Republiku, MA menyatakan PTUN tidak berwenang memeriksa dan
mengadilinya, sehingga harus mengajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mekanisme yang berbeda ini berpotensi memunculkan ketimpangan keadilan dan disparitas
putusan.
Kedua, terabaikannya ketidakpuasan peserta pemilu atas keputusan KPU. Sebab,UU
Pemilu tidak mengenal mekanisme sengketa administrasi pemilu. UU No 10/2008 hanya
Hal. 33 Pokok Permasalahan dan Pembahasan
mengenal adanya pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, dan sengketa
hasil pemilu. Pelanggaran administrasi dimaksud adalah pelanggaran atas ketentuan syarat-
syarat administrasi pemilu dan bukan mekanisme komplain atas keputusan KPU dalam
pengertian pejabat TUN. Oleh karena itu, sengketa bukan merupakan tugas dan wewenang
kPU untuk menyelesaikannya.30
30 Veri Junaidi, kekosongan hukum sengketa administrasi pemilu, Suara Karya, 30 Januari 2009.
Hal. 34 Penutup
BAB IV
PENUTUP
A. Resensi Pembahasan
HAK pilih warga negara merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak tersebut
hadir sebagai konsekuensi atas kesepakatan dalam sejarah pembentukan negara. Hak yang
melekat dalam diri individu menjadi dasar dalam kesepakatan kolektif (kesepakatan umum)
untuk membentuk negara. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap hak pilih berarti telah
mencederai legitimasi pembentukan negara.
kehadiran hak pilih juga bukan hal yang sepele sehingga dapat dengan mudah
diabaikan. Keberadaannya dijamin dalam konstitusi, bahwa setiap warga negara memiliki hak
yang sama dalam pemerintahan. Hak pilih bahkan dalam konteks internasional diakui sebagai
hak sipil dan politik warga negara. Pengaturan dunia internasional mengakui itu, bahkan telah
diratifikasi dalam perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan hal itu, maka bahasan
tentang keadilan pemilu dan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa pemilu menjadi satu
paradigma dan instrumen untuk menegakkan hak pilih.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari
pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga
negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan
hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu
persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh
berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis
Hal. 35 Penutup
dan sewenang-wenang. Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau
kewenangan mengadili.
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara
dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif
berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan
wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang
menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk
memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa
(Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah
hukum pengadilan itu.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang
menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di
tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat
banding. Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU
No. 9 tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap
putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.
Hal. 36 Penutup
B. Kesimpulan
Dari penulisan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Penyelesaian sengketa dalam Pemilihan Umum dapat dilakukan di Peradilan Tata
Usaha Negara karena MA pada tahun 2010 telah merubah keputusan terkait Pasal
2 hurup g UU PTUN. Tentang materi SEMA No. 7 Tahun 2010 bahwa keputusan-
keputusan yang belum atau tidak merupakan ”hasil pemilihan umum” dapat
digolongkan sebagai keputusan dibidang urusan pemerintahaan. Sepanjang
keputusan tersebut memenuhi Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Pasal 1 ayat 9 tentang kewenangan PTUN dalam memeriksa dan
mengadili permaslahan yang terkait dengan Pemilihan Umum.
2. Dalam penyelesaian sengketa TUN dalam pemilu putusan PTUN tidak
memberikan implikasi terhadap tahapan dalam pemilu dan hasil pemilu yang
ditetapkan oleh KPU.
Hal. 37
DAFTAR PUSTAKA
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara.UII Press,Yogyakarta: 2002. Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang
(PERPU), UMM Press, Malang.
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,
UI-PRESS, Jakarta.
Ellydar Chaidir, 2001, Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden, Prespektif
Konstitusi, UII Press, Yogyakarta.
Romi Librayanto, 2008, Trias Politica “Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia” , Pusat
Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP) Makassar.
Achmad Ruslan, 2011, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta.
Asshiddiqie, jimly, 2009, Pengantar ilmu hukum tata negara, Konstitusin Press Jakarta.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sjachran Basah, Menelaah Liku-liku Rancangan Undang-undang No. -Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung.
lutfi effendi,2004. Pokok-Pokok Hukum administrasi negara.bayu Media: Malang – Jatim
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum administrasi negara indonesia, (bandung : Citra aditya
bakti, 2001).
Veri Junaidi, kekosongan hukum sengketa administrasi pemilu, Suara Karya, 30 Januari
2009.