kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap ...
Transcript of kewenangan penyidikan badan narkotika nasional (bnn) terhadap ...
TESIS
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA
NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR
NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE
SUBSTANCES
MADE DWI KURNIAHARTAWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA
NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR
NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE
SUBSTANCES
MADE DWI KURNIAHARTAWAN
NIM: 1290561024
PROGRAM MAGISTER
PROFRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA
NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR
NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE
SUBSTANCES
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MADE DWI KURNIAHARTAWAN
NIM 1290561024
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAHDISETUJUI
PADA TANGGAL 12 JANUARI 2015
Pembimbing I
Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH
NIP. 19570709 198610 1 001
Pembimbing II
Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH
NIP. 19590325 198403 1 002
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM
NIP. 19611101 198601 2 001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19590215 198510 2 001
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada 12 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana
Nomor : 102/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 12 Januari 2015
Ketua : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH
Sekretaris : Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH
Anggota : 1. Dr. I Gede Artha, SH.,MH
2. Dr. Made Suartha, SH.,MH
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Made Dwi Kurniahartawan
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional
(BNN) Terhadap Pengedar Narkotika New
Psychoactive Substances
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Denpasar, 2 Januari 2015
Yang Menyatakan
Made Dwi Kurniahartawan
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul
"KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE
SUBSTANCES" dapat dilesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari
isi maupun teknis penulisannya. Oleh karenanya, kritik yang bersifat konstruktif
sangat diharapkan dari berbagai pihak. Adapun pada kesempatan ini, ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada yang terhormat:
1. Dosen Pembimbing I, Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH.
2. Dosen Pembimbing II, Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH.
3. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-K.E.M.D.
4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S(K).
5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah
Wairocana, S.H., M.H.
6. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana sekaligus
Dosen Penguji III, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM.
vii
7. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Dr.
Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum.
8. Dosen Penguji I, Dr. I Gede Artha SH., MH.
9. Dosen Penguji II, Dr. Dewa Made Suartha, S.H.,M.H
10. Dosen Pembimbing Akademik, Prof. Dr. I Ketut Rai Setia Budhi, SH., MS.
11. Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
yang telah memberikan ilmu dan arahan dalam proses menyelesaikan tesis ini.
12. Para pegawai administrasi di sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana (Bapak Made Mustiana, Ibu Agung Yun, Ibu Agung,
Dyva dan Dandy).
13. Orang tua yaitu Made Muliawan dan Ni Nengah Ardhani.
14. Kakak yaitu Letnan Satu Pelaut I Komang Sukrawan dan Arjun Komisaris
Polisi Putu Diah Kurniawandari, SH.
15. Keluarga Besar Bulutangkis Universitas Udayana (Justitia Badminton Club).
16. Teman-teman Magister Hukum angkatan 2012 beserta sahabat lainnya :
Kristyanti, Pasek Pramana Putra, Edi Gordo, Gung Mas, Ratih Kumala Dewi,
Ditha Nomia, Ayu Prami, Bapak Made Gelgel, Bapak, Akp Arta Ariawan,
Komang Trisna, Pratama Wijaya, Bapak Dewa Anom, Ibu Sinaryati, beserta
teman-teman Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana angkatan 2012 yang lainnya.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang
viii
Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian
tesis ini.
Denpasar, 7 September 2014
Penulis
ix
ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari
adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum. Kekosongan norma hukum
dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan I,
II, dan III Undang-Undangan No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika
New Psychoactive Substances (NPS) belum diatur dalam daftar berbagai jenis
narkotika serta golongan dan turunannya didalam ketentuan Undang-Undang No.
35 tahun 2009 Tentang Narkotika juncto Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2010 Tentang Prekursor Narkotika. Narkotika New Psychoactive Substances
(NPS) salah satunya terdapat dalam kasus Raffi Ahmad dan sesuai Asas Legalitas
dalam hukum pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan
bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada. Penelitian ini juga membahas
keabsahan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana narkotika oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) dikaji berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun
2010 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN). Penelitian ini menggunakan
peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan
pendekatan kasus.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah keabsahan kewenangan penyidikan
Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap dalam tindak pidana narkotika adalah
tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada ketentuan Pasal 149 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai Undang-Undang
Administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika dan
tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan
Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui
peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. Keabsahan penyidikan Badan
Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan
tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak terpenuhinya
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat
dapat dihukum karena belum diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa
yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci
mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan)
Kata Kunci : Kewenangan Penyidikan, Narkotika, Badan Narkotika Nasional.
x
ABSTRACT
This research is a normative legal research based on the emptiness of legal
norms or legal principles, as can be seen from what is stipulated in Article 6
appendixes I, II, and III of the Act Number 35 of 2009 Concerning Narcotics.
Narcotics of Psychoactive Substances (NPS) has not been listed under various
types of narcotics and its derivations included in the Act Number 35 of 2009
Concerning Narcotics in connection with the Governmental Regulation Number
44 of 2010 Concerning the Precursor of Narcotics. Narcotics of New Psychoactive
Substances (NPS) could be found in the case of Raffi Ahmad according The legal
principle of the Criminal Law is based on what is stipulated in Article 1 clause (1)
of the Criminal Law in which it is stated that any act cannot be made into a
criminal case, except it is based on what is stipulated in the existing regulations of
the Criminal Law. This research also discusses the validity of the authority of the
narcotic crime investigation by the National Narcotics Board (BNN) assessed
pursuant to Presidential Decree Number 23 of 2010 concerning the National
Narcotics Board (BNN).The approach of rules and regulations, the approach of
the analysis of legal concept, and the approach of case are used in the present
study.
The conclusion of this research is the validity of the investigative authority
of the National Narcotics Board (BNN) to dealers in narcotic crime is not valid
because the National Narcotics Board established pursuant to Presidential Decree
No. 23 of 2010 concerning National Narcotics Board (BNN) reference to Article
149 of Law No. 35 of 2009 Concerning Narcotics. As the Administration Act
contains criminal punishment regarding labeling narcotics and narcotic precursor
procurement procedures of Act No. 35 Year 2009 concerning Narcotics can not
delegate authority to the establishment of the National Narcotics Board (BNN)
National Narcotics Board (BNN) should be established through implementing
regulations such as government regulations.
The validity of the investigation of the National Narcotics Board (BNN) to
the case Raffi Ahmad is not valid and can not be criminally accountable because it
is not fulfill the elements of criminal liability in particular the objective elements
can be punished because it is not strictly regulated in terms of legislation
applicable accordance with the principle of legality and the principle of lex certa
legislators (legislative) must be formulated clearly and in detail about the actions
called with a criminal offense (crime)
Keywords : Authority Investigations , Narcotics , National Narcotics Board
xi
RINGKASAN TESIS
Tesis ini berjudul : " Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional
(BNN) Terhadap Pengedar Narkotika New Psychoactive Substances ", yang terdiri
dari 5 bab, antara lain sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan di
dalamnya terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, landasan teori dan konsep serta metode penelitian. Pada latar belakang
diuraikan mengenai permasalahan tentang tidak diaturnya narkotika New
Psychoactive Substances beserta golongan dan turunannya dalam ketentuan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penulis juga
memberikan beberapa contoh kasus salah satu diantaranya adalah kasus narkotika
Raffi Ahmad yang jenis narkotikanya masuk kedalam klasifikasi New
Psychoactive Substances dengan jenis Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene
Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Efek samping menggunakan
Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu
diwaspadai peredarannya. Sebagai pisau analisa untuk mengkaji permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini pada landasan teoritis digunakan Teori
Principles Of Legality, Teori Kewenangan, Teori Sistem Hukum, Teori Kebijakan
Hukum Pidana, Konsep Negara Hukum, Asas Legalitas, Konsep
Pertanggungjawaban Pidana, Konsep Due Process Model, dan Konsep Politik
Hukum Pidana.
Bab II merupakan bab yang memuat tinjauan umum tentang Kewenangan
Penyidikan Narkotika oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang membahas
tentang pengertian wewenang, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban
wewenang, penyidikan narkotika serta tugas, wewenang, dan fungsi Badan
Narkotika Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.
Bab III merupakan pembahasan atas permasalahan pertama, yaitu
Keabsahan Kewenangan Peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam
Tindak Pidana Narkotika. Dari kajian keilmuan ilmu hukum berkaitan dengan
keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap
pengedar dalam tindak pidana narkotika sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah tidak sah karena
wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dibentuk berdasarkan
atas Peraturan Presiden. Sebagai undang-undang administrasi bersanksi pidana
yang memuat tentang pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor
narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat
mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan
Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti
peraturan pemerintah.
Bab IV ialah bab yang berisikan pembahasan atas permasalahan kedua,
yakni kasus narkotika Raffi Ahmad dalam kaitannya dengan keabsahan
penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan ketentuan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Keabsahan penyidikan Badan
Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dengan mengelaborasi
teori, konsep, dan asas hukum adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung
xii
jawabkan secara pidana. Sesuai dengan konsep hukum pidana yang menganut
doktrin asas legalitas serta tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur
secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni
didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Unsur
pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur subyektif dan unsur obyektif
dan penghukuman harus didasarkan pada ketentuan tertulis dalam undang-undang
(lex certa). Secara umum dapat penulis simpulkan unsur tersebut terdiri dari (1)
perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum;
(3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.
Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup dalam penulisan tesis ini.
Pada bab ini ditulis mengenai simpulan dan saran dari penulisan tesis ini.
Simpulan pertama dalam penelitian tesis ini adalah keabsahan kewenangan
penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap pengedar dalam tindak
pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada Pasal
149 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai undang-
undang administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika
dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan
Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui
peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah.
Simpulan kedua pada penelitian tesis ini adalah keabsahan penyidikan
Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah
dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak memenuhi
unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat
dihukum karena tidak diatur didalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat
undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
Mengenai saran dalam penelitian ini saran pertama adalah disarankan bagi
para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden jika
masih menghendaki adanya Badan Narkotika Nasional hendaknya membentuk
suatu undang-undang agar memberikan kewenangan yang sah kepada Badan
Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika. Untuk saran kedua
dalam penelitian ini guna mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan
narkotika jenis baru disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika dan membentuk klausula pasal progresif yang
menyatakan penyidikan tindak pidana narkotika yang jenisnya tidak tencantum
dalam ketentuan undang-undang, penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil
uji laboratorium forensik.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................. ...................... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................. v
HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH...................................................... . vi
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................. ix
HALAMAN ABSTRACT................................................................................ x
RINGKASAN TESIS....................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 12
1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................... 12
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 13
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................ 13
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................... 13
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 14
1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................ 14
1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................. 14
1.6 Orisinalitas Penelitian ............................................................... 15
xiv
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ................................ 19
1.8 Metode Penelitian ..................................................................... 45
1.8.1 Jenis Penelitian .............................................................. 45
1.8.2 Jenis Pendekatan ............................................................ 45
1.8.3 Sumber Bahan Hukum................................................... 47
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................. 48
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum...................................... 49
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN
PENYIDIKAN NARKOTIKA OLEH BADAN
NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
2. 1 Pengertian Wewenang, Penyalahgunaan Wewenang,
dan PertanggungjawabanWewenang .............................. 51
2. 2 Penyidikan Narkotika................................................ ...... 63
2. 3 Tugas, Wewenang, dan Fungsi Badan Narkotika
Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika ...................................... 71
BAB III KEABSAHAN KEWENANGAN PEYIDIKAN BADAN
NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
xv
3.1 Kedudukan Badan Narkotika Nasional Menurut KUHAP
Dalam Penyidikan Peredaran Narkotika Jenis New
Psychoactive Substances................................................. .. 77
3.2 Keabsahan Kewenangan Peyidikan Badan Narkotika
Nasional (BNN) Dalam Tindak Pidana Narkotika ........... 83
BAB IV PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
YANG TIDAK TERMASUK DALAM KETENTUAN
UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
4.1 Kasus Posisi Raffi Ahmad .................................................. 108
4.2 Keabsahan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)
Terhadap Kasus Narkotika Raffi Ahmad Dikaji
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika. ................................................... 109
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 143
5.2 Saran ................................................................................... 144
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan
pembangunan nasional dalam suasana aman, tenteram, tertib, dan dinamis baik
dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian
terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini sudah sampai pada
tingkat yang memprihatinkan dan mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Persoalan narkotika lambat laun ada tendensi akan menjajah
bangsa ini. Betapa tidak, banyak lapisan masyarakat yang terjerumus dalam
penggunanaan narkotika. Sampai saat ini diprediksikan lebih dua juta penduduk
Indonesia mengkonsumsi narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba) atau
narkotika, psikotropika serta zat adiktif lainnya (naza). Bangsa ini terlihat dalam
“drug abused” pada tingkat yang sudah membahayakan.
1
2
Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah
yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia
Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap
masalah narkotika semakin meningkat, salah satunya dapat dilihat melalui Single
Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.1 Masalah ini menjadi begitu
penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) adalah suatu zat yang dapat
merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep
dokter.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika dijelaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan/adiktif
(kecanduan). Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009
dijelaskan beberapa jenis golongan narkotika yaitu:
Huruf a
- Yang dimaksud “Narkotika Golongan I” adalah narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
1 Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
Oleh Anak, UMM Press, Malang, h. 30
3
Huruf b
- Yang dimaksud dengan “Narkotika Golongan II” adalah narkotika
berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
Huruf c
- Yang dimaksud dengan“Narkotika Golongan III” adalah narkotika
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Bahaya narkotika terberat untuk kesehatan adalah efek ketergantungan
yang disebabkan oleh obat itu sendiri. Efek buruk yang ditimbulkan bagi pecandu
narkotika adalah keinginan untuk selalu memakainya secara berulang. Bila tidak
memakainya kembali akan timbul rasa sakit yang dialami para penderita dan rasa
ketergantungan pada narkotika.
Penggunaan narkotika dalam bidang kesehatan adalah legal apabila
peruntukannya digunakan untuk pengobatan. Narkotika merupakan zat atau obat
yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu.
Narkotika umumnya dipakai dalam rangka terapi karena senyawa-senyawa
psikotropika yang terdapat di dalamnya dipakai untuk membius (anastesi) pasien
saat hendak dilakukaan operasi (pembedahan) atau obat-obatan untuk penyakit
4
tertentu. Hal ini juga harus dilakukan oleh pihak medis dengan menggunakan
dosis dan cara pemakaian yang tepat.
Penggunaan narkotika apa bila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai
dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan
bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih
merugikan lagi apabila disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan
nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan
nasional.
Ada beberapa macam jenis narkotika diantaranya yaitu :
1. Opium (candu) atau biasa dikenal dengan opiate. Opium merupakan candu
kasar atau mentah yang didapat dari getah buah tanaman papaver
samniterum yang dihisap/digores dan dibiarkan mengering. Opium
merupakan golongan narkotika alami yang sering digunakan dengan cara
dihisap.
2. Morpin. Jenis obat narkotika ini adalah zat aktif yang diperoleh dari candu
melalui pengolahan secara kimia. Cara penggunaanya disuntikan ke tubuh
(injeksi).
3. Putaw Heroin. Golongan narkoba sejenis ini akan lebih mudah menembus
otak sehingga lebih kuat dari morfin itu sendiri.
4. Kanabis (Ganja). Inilah yang seringkali menjadi kasus narkoba yang
paling banyak diberitakan dan menyerang semua kalangan di masyarakat
kita. Ganja adalah merupakan jenis tanaman kanabis yang biasanya
dipotong, dikeringkan, dipotong kecil-kecil dan digulung untuk dijadikan
rokok yang disebut joints.2
Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang pada dewasa ini dengan
diikuti pula perkembangan tehnologi yang semakin berkembang menyebabkan
adanya dampak positif dan negatif. Dampak negatif terjadi khususnya dalam hal
rekayasa obat-obatan narkotika yang disebabkan karena kecanggihan tekhnologi
2 Mardani, 2008, Penyalah Gunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.81
5
dan ilmu pengetahuan digunakan untuk hal yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan untuk menghindar dari jeratan hukum.
Kreasi manusia dalam rekayasa obat-obatan telah memunculkan zat-zat
baru yang ditengarai sebagai jenis narkotika baru dan sangat berdampak negatif
pada kesehatan manusia apabila disalahgunakan atau digunakan secara salah.
Kreasi manusia dalam hal rekayasa obat-obatan dikatakan baru karena zat-zat
tersebut serta narkotika yang ditimbulkan dari zat tersebut belum diatur atau
masuk dalam daftar berbagai jenis golongan narkotika yang diatur dalam
ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan narkotika pada Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Dalam perkembangannya di Indonesia, Badan Narkotika Nasional (BNN)
telah menemukan 17 zat baru atau Narkotika jenis baru melalui pemeriksaan
laboratorium. Zat yang disebut sebagai Narkotika baru tersebut adalah:
1. Benzylpiperazine
2. Para-methoxymethamphetamine
3. Methylone
4. Methcathinone
5. Mephedrone
6. Pentedrone
7. 4-methyl-N-methylcathinone
8. N-ethyl-cathinone
9. MDPV (3,4-methylenedioxypyrovalerone)
10. Chat plant (cathinone and cathine)
11. JHW-018
12. XLR-11
13. 2-CB (4-bromo-2,5 dimethoxymethamphetamine
14. DOC (4-chloro-2,5-dinethoxyamphetamine
15. Mytragyna plant
16. DMA (N, N, α-trimethyl-benzeneethanamine)
17. Penazepam. 3
3 Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Phsycoactive Substances-NPS),
Alvalaible at http://bnnp-diy.com/posting-117-narkoba-baru-nps.html. Diakses 22 November 2013
6
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyebut zat-zat
serupa narkotika baru tersebut sebagai New Psychoactive Substances (NPS). NPS
dikenal di pasaran dengan berbagai istilah, yang antara lain: “designer drugs” ,
“legal highs” , “herbal highs” , “bath salts”. Istilah-istilah tersebut telah meluas
dan termasuk di dalam sebutan other psychoactive substances yang dibuat dengan
mengubah zat-zat yang telah dilarang dengan cara memodifikasi struktur
kimianya, dengan tujuan menghindari ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan.4
Berkaitan dengan Narkotika New Psychoactive Substances beberapa
contoh kasus dapat penulis uraikan dalam relevansinya mendukung penyusunan
penelitian ini yaitu :
a. Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri Memaparkan Hasil
Temuan Narkotika Jenis Baru Beredar Di Indonesia.
Berdasarkan pada data yang penulis peroleh melalui artikel dalam format
elektronik (internet) petugas Direktorat Tindak Pidana Narkotika Mabes Polri
berkoordinasi dengan petugas Bea dan Cukai menangkap sejumlah tersangka
pelaku sindikat peredaran narkotika internasional, jaringan Hongkong, Malyasia,
dan Indonesia. Narkotika yang ditemukan adalah narkotika jenis baru yang terdiri
dari Metilon, Kratom, Piperazine atau dikenal jenis narkoba ekstasi herbal, dan
LSD atau yang juga biasa disebut Smile. Keempat jenis narkotika ini diketahui
belum pernah ditemukan di Indonesia dua di antaranya Kratom dan LSD
digunakan dengan cara yang cukup berbeda dengan jenis lainnya.
4 Ibid
7
Arman Depari selaku Direktur IV Tindak Pidana Narkoba melalui
konferensi persnya yang bertempat di Gedung Direktorat Tindak Pidana
Narkotika Bareskrim Mabes Polri, Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, ia
menjelaskan Kratom berbentuk daun (narkotika alami), bisa diseduh seperti teh
atau juga dibakar seperti ganja, sedangkan LSD bentuknya menyerupai kertas,
pemakaiannya dapat ditempelkan secara langsung di lidah.5
Arman Depari juga menjelaskan bahwa berkaitan dengan Metilon dan
Piperazine bahwa Metilon dan Piperazine berbentuk pil dan digunakan dengan
cara yang sama seperti narkotika berbentuk pil lainnya. Untuk jenis LSD jika
dilihat dari bentuknya, narkotika ini terlihat tidak berbahaya. LSD berbentuk stiker
kertas dengan gambar flying dragon atau naga terbang di bagian atasnya. Satu
lembar LSD biasanya berukuran sekitar 10x10 cm. Dalam satu lembar tersebut
terdapat 100 potongan kecil berukuran 1x1 cm yang dapat dirobek untuk
digunakan. Sobekan-sobekan kecil berukuran 1x1 cm itu cukup diletakkan di
bawah lidah. Ini artinya penggunaan narkotika tersebut terbilang mudah. LSD atau
narkotika sintetis tersebut didapat pihaknya dari seorang Ibu rumah tangga yang
bertugas sebagai kurir bernama inisial HM di halaman Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Jakarta Timur dengan barang bukti empat lembar LSD.6
Narkotika jenis Kratom merupakan narkotika dari sejenis tumbuhan yang
digunakan sesuai bentuk aslinya. Bagian daunnya diambil, sama seperti ganja.
5 Arman Depari, 2013, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri Memaparkan Hasil
Temuan Narkotika Jenis BaruBeredar di Indonesia, Alvalaible at http://
sinarharapan.co/index.php/news/read/27868/empat-narkoba-jenis-baru-beredar-di indonesia.html.
Diakses 14 Februari 2014
6 Ibid
8
Namun, selain dibakar ini bisa diseduh seperti teh. Kratom, Metilon, maupun LSD
memiliki efek yang sama, yakni sebagai halusinogen. Pemakainya akan
mengalami efek halusinasi. Piperazine memiliki efek sebagai stimulant.
Penggunanya akan dirangsang untuk bersemangat. Sebagai narkotika jenis baru,
penyalahgunaan keempat jenis narkotika tersebut belum diatur dalam UU No 23
Tahun 2009 tentang Narkotika.7
b. Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba
(UPT) Oleh Badan Narkotika Nasional.
Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional
(BNN) kembali menemukan dua narkotika jenis baru yang dikenal dengan New
Psychoactive Substance (NPS) dalam pil berwarna krem berlogo "channel", dan
pil berwarna cokelat muda berlogo "double ring".
Berdasarkan sumber data yang penulis peroleh melalui artikel dalam
format elektronik (internet), Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional
(BNN) Sumirat Dwiyanto menyebutkan kedua zat dalam yang terkandung di
dalam narkotika tersebut adalah MPHP dan Methoxetamine (3-MeO-2-Oxo-PCE).
Tim Laboratorium BNN menerima sampel zat tersebut dari masyarakat pada
tanggal 18 Desember 2013 tahun lalu. MPHP ialah zat yang memiliki efek
stimulan dan dapat menyebabkan kerusakan hati jika dikonsumsi berlebih pada
tubuh manusia. MPHP merupakan turunan dari Katinon dan terkelompok didalam
golongan Syntetic Cathinone. Katinon adalah zat Monoamina Alkaloid yang
7 Ibid
9
banyak terkandung dalam tumbuhan semak Catha Edulis (Khat). Secara kimiawi,
Katinon mirip dengan zat Amphetamine (ekstasi).8
Sumirat Dwiyanto menambahkan keterangannya bahwa penggunaan
katinon yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, kejang,
muntah, sakit kepala, perubahan warna (discolorisation) pada kulit, hipertensi,
hiper-refleksia, euforia, halusinasi, gelisah, lekas marah, insomnia dan serangan
panik. Pengguna kronis beresiko terhadap gangguan kepribadian, menderita Infark
Miokard (serangan jantung) hingga kematian. Infark Miokard yaitu matinya
sekelompok otot jantung karena penyumbatan mendadak dari arteri koroner. Hal
ini biasanya disertai dengan nyeri dada luar biasa dan sejumlah kerusakan
jantung.9
Methoxetamine (3-MeO-2-Oxo-PCE) berdasarkan data UNODC (Global
Smart Program 2013) masuk kedalam golongan lain narkotika yang belum
dikelompokkan jenis zatnya. Senyawa yang pertama kali ditemukan pada
November 2010 lalu ini secara kimiawi merupakan turunan dari Ketamin dan
memiliki efek menenangkan (antidepresan).
Ketamin adalah senyawa sintetik sejenis dengan PCP (Phenencyclidine)
yang biasa dipakai sebagai obat anesthetic. Dalam ilmu kedokteran anesthetic
biasa digunakan pada pasien sebagai obat penekan rasa sakit. Efek Ketamin
8 Sumirat Dwiyanto, 2013, Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji
Narkoba (UPT) Oleh Badan Narkotika Nasional, Alvalaible at http://www.tribunnews.com
/nasional/2013/12/30/bnn-temukan-narkotika-jenis-baru. Diakses 11 Februari 2014
9 Ibid
10
biasanya hanya berlangsung antara 45-90 menit. Akan tetapi jika digunakan
melebihi dosis dan terus menerus, dapat menyebabkan kecanduan.
Ketamin merupakan zat yang bersifat halusinogen dan sangat dissociative,
bahkan delirium (tidak bisa sama sekali membedakan mana yang nyata dan mana
yang tidak). Hingga saat ini telah ditemukan 26 Narkotika jenis baru beredar
gelap di Indonesia dan 251 Narkotika baru yang beredar di dunia. Narkotika baru
tersebut terbagi menjadi 7 kelompok, yakni Synthetic Cannabinoids, Synthetic
Cathinones, Phenetylamines, Piperazines, Plant-based substances, Ketamine, dan
Miscellaneous.10
c. Kasus Raffi Ahmad
Badan Narkotika Nasional (BNN) menetapkan Raffi Ahmad dan tujuh
orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus narkotika yang dilakukan di rumah
Raffi Ahmad di Jalan Gunung Balong Kavling VII Nomor 16 I Lebak Bulus
Jakarta Selatan pada penggerebekan yang dilakukan pada hari Minggu 27 Januari
2013.
Bersama ke-17 orang yang diamankan, pihak BNN juga menemukan
barang bukti berupa dua linting ganja dan 14 butir kapsul yang diduga berisi
MDMA. Ganja ditemukan didalam kamar dekat tempat pajangan (bufet) di kamar
RA (Raffi Ahmad) dan MDMA di dalam laci di ruang makan. BNN melakukan
penggerebekan di kediaman pembawa acara televisi Raffi Ahmad yang menurut
BNN sedang menggelar pesta ganja dan ekstasi. Selain Raffi Ahmad ada beberapa
aktris dan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Wanda
10 Ibid
11
Hamidah serta pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar juga turut dibawa ke
BNN untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
BNN menemukan narkotika jenis Cathinone dalam kasus Raffi Ahmad cs,
yakni 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Staf Ahli
Kimia Farmasi BNN Mufti Djusnir mengatakan efek samping menggunakan
Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu
diwaspadai peredarannya. Struktur dasarnya adalah MDMA, yakni 3,4 Methylene
Dioxy Metacathinone. Bahaya dari zat tersebut jika dikonsumsi akan mengalami
psikoaktif dan siapa pun yang menggunakan tanpa takaran jelas mengakibatkan
overdosis sehingga kejang, keram, dan berakhir dengan kematian. 11
Selain dari beberapa contoh kasus yang telah diuraikan diatas dalam
penelitian ini penulis juga mengidentifikasi adanya tumpang tindih dalam konsep
hukum yakni asas legalitas dalam hukum pidana dan norma hukum yang
mengatur tentang kewenangan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN)
terhadap pengedar narkotika jenis New Psychoactive Substances.
Makna asas legalitas diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP
yakni suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Narkotika yang termasuk
kedalam klasifikasi jenis New Psychoactive Substances secara tegas belum diatur
golongan dan turunannya. Sedangkan kewenangan Badan Narkotika Nasional
(BNN) dalam pemberantasan tindak pidana narkotika telah diatur secara tegas
11 Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Bahan Jenis Narkoba Kasus Raffi Ada di Puncak, 2013,
Alvaliable at http://www.tempo.co/read/news/2013/02/03/064458701/BNN-Bahan-Jenis-Narkoba-
Kasus-Raffi-Ada-di-Puncak. Diakses 11 Februari 2014
12
dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam penelitian ini
juga terdapat permasalahan dalam hal dasar hukum terbentuknya Badan Narkotika
Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan
Narkotika Nasional dengan merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika sebagai undang-undang administratif bersanksi pidana.
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, menarik bagi penulis untuk
menulis penelitian yang berjudul “KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN
NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR
NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas adapun rumusan masalah yang dapat
penulis uraikan adalah:
1. Apakah sah kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam
melakukan penyidikan tindak pidana narkotika?
2. Apakah sah penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional
(BNN) terhadap kasus narkotika Raffi Ahmad dikaji berdasarkan
ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk membatasi ruang lingkup masalah dalam penelitian ini agar sifatnya
lebih spesifik dalam rumusan masalah pertama dibahas mengenai keabsahan
13
kewenangan peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana
narkotika.
Rumusan masalah kedua dibahas permasalahan tentang keabsahan
penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dikaji
berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah :
Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma sience as a process (ilmu
sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final)
dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.
Pengembangan ilmu hukum dalam penelitian ini adalah dibidang hukum pidana
dalam hal keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)
terhadap jenis narkotika baru yang tidak diatur dalam ketentuan Undang-Undang
No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus (het doel in het onderhoek) dari penelitian ini adalah
mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan
permasalahan penelitian yaitu :
14
1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara komperhensif
tentang pengaturan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional
(BNN) dalam tindak pidana narkotika.
2. Untuk mengetahui keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional
(BNN) dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika terhadap kasus Raffi Ahmad.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk
pembenahan dalam kajian akademis tentang keabsahan penyidikan Badan
Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika serta terhadap
narkotika jenis New Psychoactive Substances dimana pengaturan klasifikasi
mengenai jenis golongan serta turunannya belum diatur didalam Undang-Undang
Narkotika No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat khusus atau manfaat praktis penelitian ini adalah penelitian ini
diharapkan dapat memberi masukan bagi para akademisi hukum, praktisi hukum,
mahasiswa dan peneliti khususnya dibidang hukum dan sistem peradilan pidana
tentang narkotika jenis New Psychoactive Substances dalam kaitannya dengan
keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam
penyidikan tindak pidana narkotika dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
15
1.6 Orisinalitas Penelitian.
Orisinalitas penelitian dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat
dalam dunia pendidikan di Indonesia mewajibkan kepada setiap mahasiswanya
untuk mampu menunjukan sisi orisinalitas dari penelitian yang sedang ia
kerjakan. Adapun tiga judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai
pembanding yang pembahasannya berkaitan dengan narkotika adalah:
1. Tahun 2012, tesis karya I Putu Darma (mahasiswa magister ilmu hukum
program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar) dengan judul penelitian
“Upaya Penanggulangan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika
Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar”. Dalam penelitian
tesis ini membahas tentang upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak
pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar serta
hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar dilakukan
melalui kebijakan non penal dan kebijakan penal. Dalam upaya menanggulangi
dan memberantas tindak pidana narkotika hendaknya lebih mengutamakan
kebijakan non penal daripada kebijakan penal sebab kebijakan non penal pada
dasarnya mengarah pada upaya-upaya pencegahan. Hambatan-hambatan dalam
penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum
Kepolisian Resor Kota Denpasar berasal dari faktor penegak hukum, sarana
dan prasarana dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya.
16
2. Tahun 2012, tesis karya A.A. Istri Mas Candra Dewi (mahasiswa magister ilmu
hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang berjudul
“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika
Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang relevansi
perlindungan hukum melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan
narkotika serta pelaksanaan pengawasan atas putusan rehabilitasi terhadap
korban penyalahguna narkotika. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
perlindungan hukum bagi korban penyalahguna narkotika tidak dapat terlepas
dari gagasan yang mendasari perlindungan hukum terhadap korban pelaku
narkotika dalam bentuk Rehabilitasi. Ketentuan hukum yang mengatur
tindakan rehabilitasi pecandu narkotika diatur dalam Pasal 54, 56,103, dan
dikaitkan dengan pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, SEMA
Nomor 4 Tahun 2010 sebagai Pedoman Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu
Narkotika. Sedangkan dalam upaya pelaksanaan pengawasan terhadap putusan
hakim terhadap tindakan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan
narkotika diperlukan suatu pengaturan tersendiri mengenai pengawasan
putusan rehabilitasi sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di
Indonesia sehingga tujuan hukum berupa kemanfaatan dapat tercapai.
3. Tahun 2012, tesis karya Ida Bagus Putu Swadharma Diputra (mahasiswa
magister ilmu hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar
dengan judul penelitian “Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna
Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
17
Narkotika”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang kebijakan
rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika serta apakah pelaksanaan rehabilitasi terhadap
penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang wajib.
Kesimpulan dari penelitian ini mengkaji tentang kebijakan penjatuhan sanksi
rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Penjatuhan sanksi rehabilitasi
terhadap penyalahguna narkotika adalah tindakan penting karena disatu sisi
penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana narkotika,
namun disatu sisi lainnya pelaku juga merupakan pelaku dari tindak pidana
yang ia lakukan.
Penjatuhan pidana kiranya kurang tepat diberikan kepada mereka dan tindakan
rehabilitasi merupakan salah satu jalan yang lebih baik. Kebijakan rehabilitasi
terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika telah diatur secara khusus pada bab IX. Kebijakan ini
memberikan kewenangan kepada hakim untuk dapat menjatuhkan sanksi
rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika disamping sanksi pidana.
Selain mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat juga
surat edaran SEMA No.4 tahun 2010 sebagai acuan hakim dalam menjatuhkan
sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika.
Sanksi rehabilitasi merupakan tindakan yang wajib diberikan apabila seorang
pelaku tindak pidana narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap. Pada bagian ahir dari penelitian tesis ini sebagai saran kedepannya
18
diperlukan pemisahan pengaturan tentang penjatuhan sanksi rehabilitasi baik
terhadap penyalahguna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika serta
pecandu narkotika agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penjatuhan
sanksinya serta diharapkan aparat penegak hukum harus dapat lebih baik dalam
merumuskan status seorang pelaku tindak pidana narkotika agar ia dapat
dijatuhi hukuman yang tepat sesuai dengan kesalahannya.
Berdasarkan kerangka orisinalitas diatas dapat dilihat perbedaan pada
fokus permasalahan yang dibahas oleh masing-masing peneliti terdahulu dalam
penelitiannya.
Tesis karya I Putu Darma dengan judul penelitian “Upaya
Penanggulangan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah
Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar” mengkaji permasalahan tentang upaya
penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum
Kepolisian Resor Kota Denpasar serta hambatan-hambatan dalam
penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum
Kepolisian Resor Kota Denpasar.
Tesis karya A.A. Istri Mas Candra Dewi dengan judul penelitian
“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Dengan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”
membahas permasalahan tentang relevansi perlindungan hukum melalui
rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika serta pelaksanaan
pengawasan atas putusan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika.
19
Tesis karya Ida Bagus Putu Swadharma Diputra dengan judul penelitian
“Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” membahas permasalahan tentang
kebijakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika serta apakah pelaksanaan rehabilitasi
terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang wajib.
Penelitian pada tesis ini lebih memfokuskan pada keabsahan kewenangan
penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika
serta terhadap narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang terdapat
didalam kasus Raffi Ahmad yang golongan dan turunannya tidak diatur didalam
ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
A. Landasan Teoritis
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata
theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.12
Lebih lanjut, mengutip
pendapat Gijssels menyatakan bahwa, “Kata teori dalam Teori Hukum dapat
diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian
yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga
memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji”. Berdasarkan
hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai
hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara
12 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, h. 4
20
ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para
ahli hukum. 13
Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.14
Ilmu hukum memiliki banyak
konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu
pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma
hukum”.15
J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa,
“Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai”.16
Berdasarkan
hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah penting yang
menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan
Perundang-undangan.
Teori, asas dan konsep hukum yang penulis gunakan sebagai pisau analisis
untuk membahas rumusan masalah pertama adalah:
1. Teori Principles Of Legality
In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of
law:
Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting
behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or
publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law
requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought
13 Ibid, h. 5
14
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47.
15
M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,
cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 56.
16
J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan
kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 123.
21
to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the
past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the
laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One
law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the
impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make
on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be
congruence between what written statute declare and how officials enforce
those statutes (#8).17
Berdasarkan uraian teori hukum dari Loan Fuller diatas dengan
mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles
Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan
perundang-undangan yaitu:
1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh
berlaku khusus atau untuk individu tertentu.
2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai
jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas
3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga
menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang
harus bersifat prospefektif.
4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus
berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di
massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus
jelas.
5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh
undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang
dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh
bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh
mengandung peraturan yang kontradiktif).
6. Suatu Undang-Undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-
undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau
menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau
kesanggupan warga negara untuk memenuhinya.
7. Undang-undang tidak boleh sering berubah; apa yang diminta oleh
undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap.
8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan
ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta
atau peraturan-peraturan tersebut.
17 Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), p. 39.
22
Teori hukum dari Lon Fuller diatas dengan mengelaborasi ide yang
tertuang dari pemikirannya agar kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN)
dalam pembentukan dan penerapan undang-undangnya berjalan dengan baik,
perlu kiranya mempertimbangkan beberapa aspek dari teori principles of legality
yakni yang terdapat didalam poin ke 3, 4 dan poin ke 8 yakni hukum harus
memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian
antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara
pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.
Makna hukum harus jelas pada poin ke 3 teori Principles Of Legality
diatas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas
hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum
dan undang-undang harus bersifat prospefektif. Konsep pemikiran dari teori ini
dalam relevansinya membahas permasalahan dalam penilitian ini adalah dalam hal
undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti
menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan
masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum menjangkau hal
tersebut karena adanya kesalahan prosedur dalam hal terbentuknya Badan
Narkotika Nasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang
Badan Narkotika Nasional serta belum ada klausula pasal yang menyatakan
bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) dapat melakukan penyidikan tindak
pidana narkotika khususnya narkotika jenis baru yang tidak diatur didalam
23
ketentuan undang-undang narkotika dengan berdasarkan atas hasil uji
laboratorium forensik Badan Narkotik Nasional.
Makna hukum harus jelas pada poin ke 4 teori Principles Of Legality
diatas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk
undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Teori ini berfungsi
memberikan makna berkaitan dengan kejelasan keabsahan kewenengan
penyidikan Badan Narkotika Nasional dikaji melalui Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-undang ini adalah undang-undang
administrasi bersanksi pidana yang didalam ketentuannya memuat teknis tata cara
kerja pemerintah dalam hal pengadaan prekursor narkotika dan pelabelan
narkotika sehingga tidak dapat mendelegasikan wewenangnya untuk membentuk
Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan merujuk pada ketentuan Pasal 67
melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika
Nasional yang kemudian melahirkan wewenang penyidikan.
Makna apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara
pemerintah menetapkan statuta/atau peraturan-peraturan pada poin ke 8 sejalan
dengan prinsip asas legalitas yang dianut dalam konsep hukum pidana dan oleh
Von Feurbach. Dalam pandangannya Von Feurbach menjelaskan bahwa bahwa
prinsip asas legalitas adalah sebagai berikut :
1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum
pidana (nulla poena sine lege)
2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang
diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine)
24
3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang
membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-
undang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).18
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara
hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental. Dalam
bidang hukum adminitrasi negara asas legalitas merupakan prinsip negara hukum
yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van
bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.
Asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek negatif (het negative aspect),
aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect) dan aspek materiil-positif (het
materieel-positieve aspect). Aspek negatif menentukan bahwa tindakan
pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan
pemerintah adalah tidak sah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah
hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan
undang-undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang
memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti
bahwa kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga bahwa
kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-undang.19
18 Von Feurbach dalam Marwan Effendy, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana:
Perkembangan dan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta
Selatan, h. 84
19
Ridwan HR II, Op.Cit, h. 91-92
25
2. Teori Kewenangan
Teori kewenangan ini berfungsi untuk mengkaji persoalan kebasahan
penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar dalam tindak pidana
narkotika. Adapun Teori Kewenengan ini terdiri dari beberapa bagian yaitu :
a. Definisi Kewenangan
Mengenai wewenang H.D. Stout mendefenisikan arti kewenangan adalah
sebagai berikut :
"Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan
worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de
verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer"
(Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi
pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh
subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).20
H.D. Stout dengan menyitir pendapat Goorden mengatakan bahwa
wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan
oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik).21
Menurut F.P.C.L.
Tonnaer, "Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermögen
om positief recht vast te stellen en aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers
20
H.D. Stout, 1994, “Betekenissen van de Wet” dalam Ridwan H.R (ed), 2011, Hukum
Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, (Selanjutnya disebut Ridwan HR II),
h.98
21
Ibid
26
onderling en tussen overheid en te scheppen" (Kewenangan pemerintah dalam
kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan
dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan
warga negara).22
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara. Kewenangan di dalamnya terkandung
hak dan kewajiban. P. Nicolai mendefinisikan arti kewenangan sebagai berikut :
"Het vermögen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen
(handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dat
bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de
(rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten
of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verrichten van een
handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een
bepaalde handeling te verrichten of na te laten".
(Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-
tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu).23
Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Dalam definisi hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan
22 F.P.C.L. Tonnaer, 1986, Legaal Besturen: het Legaliteitbeginsel of struikelblok, Dalam
Ridwan H.R (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, h 99
23
P. Nicolai dalam Ridwan H.R, 2008, Hukum Administrasi Negara, cetakan keempat,
Rajawali Pers, Jakarta, (Selanjutnya disebut Ridwan H.R I), h. 99-100
27
mengelola sendiri (zelfbesturen) 24
, sedangkan makna kewajiban secara horizontal
berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.
Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib
ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.
Negara Hukum dalam konsepnya menempatkan asas legalitas sebagai
sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan (bestuurs
bevoegdheid) berasal dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman
menyatakan pendapat berikut ini:
"Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet
kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen
attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld
belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) ofaan speciale colleges
(bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke
rechtspersonen" .
(Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang.
Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak
hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai
{misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau
terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus
untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat).25
Pemerintahan dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dalam
pelaksanaannya harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang,
yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Seiring
dengan pilar utama negara hukum asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat
24
Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi
Daerah, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Fakultas Hukum, Univeristas Padjajaran,
Bandung 13 Mei.
25
R.J.H.M. Huismandalam Ridwan H.R II, Loc.Cit
28
bahwa wewenang pemerintahan berasal dari Peraturan Perundang-undangan,
artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah Peraturan Perundang-
undangan.
b. Cara Memperoleh Wewenang
Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari Peraturan Perundang-
undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.26
Ridwan HR menterjemahkan teori kewenangan dari H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mengenai definisi atribusi, delegasi dan mandat sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever
aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).27
Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari
Peraturan Perundang-undangan. Organ pemerintah memperoleh kewenangan
secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.
Dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggungjawab intern dan ekstern
pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang (atributaris). Pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun
hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya.
26 Ridwan H.R I, Op.Cit, h. 100-102
27
Ibid, h. 104-105
29
Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi
beralih pada penerima delegasi (delegataris). Selanjutnya, pada mandat, penerima
mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat
(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap
berada pada mandans.28
c. Pertanggung Jawaban Wewenang
Pejabat dalam setiap penggunaan wewenangnya selalu disertai dengan
tanggung jawab sesuai dengan prinsip “tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban” 29
Pertanggungjawaban terhadap pelaku dalam hal terjadi
penyalahgunaan wewenang didasarkan atas pertanggungjawaban jabatan (liability
jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal
responsibility) sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana. 30
Prinsip pertanggungjawaban dalam hal penyalahgunaan wewenang
pertanggungjawaban hukumnya terbagi atas pertanggungjawaban pribadi yang
berfokus pada pendekatan fungsional atau perilaku yang dapat mengakibatkan
terjadinya tindakan penyalahgunaan dalam bentuk maladministrasi dan
pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada pendekatan legalitas (keabsahan)
mengenai penggunaan wewenang, prosedur, dan susbtansi. Perbedaan
pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban jabatan membawa
28 Ibid, h.108-109
29
Julista Mustamu, 2011, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan, Jurnal
Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni, h.6
30
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 80
30
konsekwensi pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi.
Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab pribadi,
pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan baik tanggung jawab pribadi
maupun tanggung jawab jabatan dan pertanggung jawaban administrasi berkaitan
dengan tanggung jawab jabatan.31
Pertanggungjawaban hukum dalam hal siapa yang harus bertanggung
jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum
(penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya
wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum "geen bevoegdheid zonder
verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility". Di dalam
setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat
pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Dalam konsep Hukum
Administrasi Negara sumber lahirnya wewenang diperoleh dengan cara atribusi,
delegasi, dan mandat.32
Wewenang melekat pada jabatan dalam implementasinya dijalankan oleh
manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan. Siapa yang harus memikul
tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik
karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula
berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.33
31 H. Muhamad Syarif Nuh, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar, h.50
32
Julista Mustamu, Loc.Cit.
33
Julista Mustamu, Loc.Cit.
31
d. Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Hukum Adminitrasi Negara
adalah diartikan sebagai melakukan tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum, menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang atau peraturan lainnya, dan menyalahgunakan suatu prosedur.34
Pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt
menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dapat dilihat
dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.
35
Penyalahgunaan kewenangan pada hakekatnya sangat erat kaitannya
dengan terdapatnya ketidakabsahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan tindakan
penyelenggara negara. Philipus M. Hadjhon mengemukakan bahwa cacat yuridis
tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu
yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut
pada hakekatnya menjadi penyebab timbulnya penyalahgunaan kewenangan.36
34
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Peran Pegawai Pemerintah Sebagai
Partisipan Membangun Budaya Bangsa , Availaible at www.kejaksaan.go.id, h.6. Accesed 14
Februari 2014
35
Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan
Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama,
Palangkaraya, h.75-76
36
Philipus M. Hadjhon , 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,
Cetakan Pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 100 (Selanjutnya disebut Philipus M.
Hadjhon I)
32
Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang
dalam hukum administrasi negara dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan
Waline. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.37
3. Konsep Negara Hukum
Konsep yang paling universal sebagai landasan untuk menganalisis
permasalahan dalam penelitian ini digunakan konsep negara hukum dari Friedrich
Julius Stahl. Konsep negara hukum ini selanjutnya menjadi fondasi atau sebagai
acuan dalam mengetahui tentang keabsahan penyidikan Badan Narkotika
Nasional (BNN) serta pengaturan narkotika jenis New Psychoactive Susbtances di
kaji menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Konsep Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtsstaat
atau Rule of Law. Paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum
Anglo Saxon atau Common Law System.
Paham rechtsstaat ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa
Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham
37 Indriyanto Seno Adji, 1997, Korupsi, Kebijakan, Kebijakan Aparatur Negara Dan Hukum
Pidana, Diadit Media, Jakarta, h. 427
33
Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Vann Dicey pada tahun 1885
menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The
Constitution.38
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa paham
rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental.
Dalam penelitian ini, digunakan konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl,
karena Indonesia menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa
Kontinental, sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait
dengan penerapan sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya Rechtsstaat
mencakup 4 (empat) elemen, yaitu :
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;39
d. Peradilan tata usaha negara.
Teori, asas, dan konsep hukum yang penulis gunakan untuk menganalisis
rumusan masalah kedua adalah :
1. Teori Sistem Hukum
Sistem hukum menurut H.L.A. Hart dalam gagasannya dibagi menjadi dua
yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut
merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.
38 Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama,
CV. Mandar Maju, Bandung, h. 3
39
Ibid
34
Primery rules lebih menenkankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak
atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum
(forms of law).40
Mengenai primary rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang
pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan
sosial (sosial rule) yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi;
Pertama adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial,
suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta
situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitik beratkan pada
perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang
menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu
kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang
relevan. Dari sudut pandang internal, anggota (masyarakat) itu merasakan bahwa
aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan
reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek
internal).41
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam
satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang
dapat dilihat atau memiliki sudut pandang masing-masing aturan menyatakan apa
yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan
suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-
40 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96
41
Ibid, h. 96-99
35
duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai
suatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan prilaku yang sesuai merupakan
jelmaan prilaku dari aspek eksternal dengan hal yang sama.
Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules,
yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) yang apa bila di
rinci meliputi, pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang
dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa
dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat
dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih
jauh maka (rules of ajudication). Rules of ajudication lebih efisien, sedangkan
rules of change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat
reduksionis.42
Relevansi teori ini dalam membahas permasalahan kedua dalam penelitian
tesis ini adalah berkaitan dengan primary rules dan secondary rules yang harus
ada dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pengaturan narkotika jenis baru
harus diatur secara seragam dan spesifik didalam perundang-undangan sebagai
konsep dari primary rules. Konsep secondary rules dalam kaitannya dengan kasus
narkotika Raffi Ahmad adalah berkaitan dengan oleh siapa aturan itu dapat
dilaksanakan, oleh siapa dapat ditegakan dan dapat dirubah. Sebagai element inti
dari sistem hukum keduanya harus ada pada hukum yang membentuk suatu
peraturan perundang-undangan.
42 Ibid
36
2. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara
pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan
ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kejahatan
adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat.
Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan
penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan
penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga
tahap kebijakan yaitu :
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan
perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan
oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana
secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.43
Teori ini memilki relevansi untuk menajawab rumusan masalah kedua
dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi narkotika jenis baru yang tidak
daiatur didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
43
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PL Citra Aditya Bakti Bandung, h. 30 (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief
I )
37
Pengaturan penjatuhan sanksi pidana jenis narkotika baru dapat dimulai
pada tahap formulasi yang dilakukan oleh lembaga legislatif dengan membentuk
dan mengesahkannya kedalam undang-undang. Pada tahap kebijakan legislatif
ditetapkan sistem pemidanaan yang pada hakekatnya sistem pemidanaan
merupakan sistem kewenangan/kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak
hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti
luas/ material.
Penjatuhan pidana dalam arti sempit/formal berarti kewenangan
menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat
yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/material, penjatuhan pidana
merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang,
mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan
oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini
merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh
karena itu keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana harus
terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.
3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana.
Konsep pertanggungjawaban pidana sebagai pisau analisis permasalahan
dalam penelitian ini memberikan fungsi tentang tolak ukur dalam kasus narkotika
jenis baru yang melibatkan Raaffi Ahmad dalam hal kapan suatu perbuatan pidana
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Doktrin hukum pidana dikenal adanya pertanggungjawaban pidana.
Doktrin ini menjelaskan bahwa untuk dapat dipidananya suatu perbuatan pidana
38
tentunya harus memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana. Dalam unsur
pertanggung jawaban pidana terdapat beberapa indikator atau tolok ukur dalam
memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai
perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-
unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika
unsur perbuatan pidana itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak dapat dipidana.44
Para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari
perbuatan pidana yaitu:
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang
dapat dihukum. Dari definisi Simons tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif;
berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)
dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung
jawab.45
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan
44 Johny Krisnan, 2008, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang, h. 22
45
Simons dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid
39
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Adapun unsur-unsur atau elemen yang harus ada
dalam suatu perbuatan pidana terdiri dari :
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.46
4. Konsep Due Process Model
Secara teoritis didalam sistem peradilan pidana indonesia menganut sistem
“Due Procces Model”. Karakteristik due proses model yaitu:
a. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau
human error menyebabkan model ini menolak informal fact finding
process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt
seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan
adversary fact finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka
harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak, dan
diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk
mengajukan pembelaannya.
b. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan.
c. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,
sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt.
d. Doktrin “Legal-Guilty” menjadi dasar atas dasar :
1. Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan
secara prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas
untuk itu.
2. Penetapan kesalahan hanya dapat ditetapkan oleh
pengadilan yang berwenang dan tidak memihak.47
e. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law”
lebih diutamakan.
46 Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid, h. 24
47
Eva Achjani Ulfa Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk
Agung, Bandung, h. 27
40
f. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan
sanksi pidana (criminal sanction).48
Due process model merupakan tipe negatif model yang selalu menekankan
pada batasan kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan
tersebut yang dominan dalam model ini adalah kekusaan yudikatif dan selalu
mengacu kepada konstitusi. 49
Konsep ini memiliki relevansi terkait dengan permasalahan keabsahan
penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kasus narkotika Raffi
Ahmad. Fungsi dari Due process model dalam kaitannya dengan penyidikan
(BNN) adalah model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,
sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt yakni seseorang dianggap
bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara prosedural dan oleh mereka yang
memiliki otoritas untuk itu serta menekankan kepada pencegahan (preventif
measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan.
5. Konsep Politik Hukum Pidana.
Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik hukum pada
umumnya. Menurut Sudarto politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari
politik hukum pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
48 Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen,
Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung, h.42
49
Ibid, h. 44
41
terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, (2) usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu.50
Politik hukum sebagai bagian dari politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-
undangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti
mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.51
Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek)
ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan
pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat
untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan,
penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.52
50
Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, h. 113-11
51
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Penerbit P.T Citra Aditya Bakti, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief IV )
Bandung, h.1
52
Mulder dalam M. Hamdan, 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja Grafindo,
Persada, Jakarta, h. 20
42
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian
dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan
pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu:
(1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran
hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti luas, dimana politik kriminal
merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di
dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas,
politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Politik hukum pidana (politik kriminal) dalam pengertian yang praktis
adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan. Usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekusi
pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan
berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.53
Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi
mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum
53 Barda Nawawi Arief, 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) h. 59
43
pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi negara.54
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum
pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy).
Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang
(hukum pidana) merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat
(social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).55
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
54 Indrianto Seno Adji, 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media Jakarta, h. 10
55
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya bakti,
Bandung, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief III ) h. 99
44
B. Kerangka Berpikir
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL
(BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE
SUBSTANCES
Metode Penelitian :
Penelitian ini menggunakan
metode Penelitian Hukum
Normatif dengan
menggunakan pendekatan
peraturan perundang-
undangan (The statute
Approach), pendekatan
analisis konsep hukum
(Analitical & Conseptual
Approach) dan pendekatan
kasus.
Rumusan Masalah :
1. Apakah sah kewenangan
penyidikan Badan Narkotika
Nasional (BNN) dalam
melakukan penyidikan tindak
pidana narkotika?
2. Apakah sah penyidikan yang
dilakukan oleh Badan Narkotika
Nasional (BNN) terhadap kasus
narkotika Raffi Ahmad dikaji
berdasarkan ketentuan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika ?
Latar Belakang Masalah :
- Kreasi manusia dalam
rekayasa obat-obatan telah
memunculkan zat-zat baru
yang ditengarai sebagai jenis
Narkotika New Psychoactive
Susbtances yang belum diatur
dalam daftar berbagai jenis
golongan dan turunan
narkotika dalam ketentuan UU
No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika .
Landasan Teoritis
2. Rumusan Masalah 2:
a. Teori Sistem Hukum
b. Teori Kebijakan Hukum Pidana
c. Konsep Pertanggungjawaban Pidana
d. Konsep Due Process Model
e. Konsep Politik Hukum Pidana
1. Rumusan Masalah 1:
a. Teori Principles Of Legality
b. Teori Kewenangan
c. Konsep Negara Hukum
d. Asas Legalitas
Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengkaji keabsahan kewenangan penyidikan BNN terhadap
Narkotika yang masuk kedalam klasifikasi New Psychoactive Substances:
1. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana
narkotika adalah tidak sah. Kewenangan yang sah adalah kewenangan yang berasal dari kekuasaan
legislatif yang diberikan oleh undang-undang.
2. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah
tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum pidana karena tidak terpenuhinya
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum
karena belum diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus
merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
45
1.8. Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari
adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum.56
Kekosongan norma hukum
dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan I,
II, dan III Undang-Undangan No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika
New Psychoactive Substances (NPS) belum diatur dalam daftar berbagai jenis
narkotika serta golongan dan turunannya didalam ketentuan Undang-Undang No.
35 tahun 2009 Tentang Narkotika junctoPeraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2010 Tentang Prekursor Narkotika.
Penelitian ini juga dilengkapi oleh data sebagai bahan hukum penunjang
yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang diperoleh melalu penelitian hukum dengan lokasi penelitian
bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan
(The statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical &
Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach).57
Pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach) adalah
penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan. Yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
56 Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, h. 284
57
H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.24
46
penelitian. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.58
Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach)
adalah analisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung
oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara
konsepsional. Hal ini dilakukan dengan melalui dua cara: Pertama, sang peneliti
berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang
bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersbut dalam praktik melalui
analisis terhadap putusan pengadilan.59
Pendekatan kasus (The Case Approach) dalam penelitian hukum normatif
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum.
58 Jhony Ibrahim, Op.Cit, h.302
59
Jhony Ibrahim, Loc.Cit
47
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan
sebagai berikut dibawah ini :
Bahan Hukum Perimer terdiri dari :
- Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum dalam kaitannya
dengan karya tulis ilmiah ini terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988)
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 367);
c. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143);
d. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60);
e. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 12);
f. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan
Narkotika Nasional Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis
Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Pengujian Narkoba Pada Badan
48
Narkotika Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 670 Tahun 2011)
Bahan Hukum Sekunder terdiri dari :
1. Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan
enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi
hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ;
2. internet dengan menyebut nama dan situsnya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).60
Adapun
metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus
menerus yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan buku-buku
hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier di inventarisasi dan diklasifikasi secara
sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan
pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap
permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan mengelaborasikan antara
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang
dianalisis dan disusun secara sistematis.
60 I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam
Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana,
Denpasar.
49
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum.
Teknik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
teknik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding). Teknik deskripsi
adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi
hukum atau non hukum.61
Teknik penemuan hukum (Rechtsvinding)
menggunakan teknik konstruksi hukum. Dalam teknik konstruksi hukum
penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu:
1. Analogi : Adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya
suatu pasal dari aturan hukum atau Undang-Undang terhadap peristiwa
hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum
dimaksud.
2. Argumentum a contrario: Adalah penalaran ini sama juga dengan analogi
tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam
Undang-Undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara
eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut.
3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum: Oleh Sudikno Mertokusumo
dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya berlawanan
dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan
hukum yang dikhususkan.62
61 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I,
Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43
62
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal
Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga. h. 48
50
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses
penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan
untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret.
Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret tertentu. Apabila
terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan ditemukan melalui
penemuan hukum.63
63 Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan
Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, h. 56
51
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN
PENYIDIKAN NARKOTIKA OLEH BADAN
NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
2.1 Pengertian Wewenang, Penyalahgunaan Wewenang, dan Pertanggung
jawaban Wewenang.
2.1.1 Pengertian Wewenang
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian
hukum tata negara dan hukum administrasi. Pentingnya kedudukan wewenang ini
sehingga E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyatakan: "Het begrip
bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht". 64
Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan
konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi.
Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan "authority" dalam
bahasa Inggris dan "bevoegdheid" dalam bahasa Belanda. Kewenangan atau
wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak
atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup
melaksanakan kewajiban publik (bevoegdheid). Dalam istilah Hukum Belanda
Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah
"wewenang" dan "bevoegdheid". Istilah "bevoegdheid" digunakan dalam konsep
64 F. A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan
Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, h. 65
51
52
hukum privat dan hukum publik, sedangkan "wewenang" selalu digunakan dalam
konsep hukum publik.65
Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari
3 (tiga) komponen, yaitu:
a. pengaruh;
b. dasar hukum;
c. konformitas hukum.
Komponen pengaruh adalah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum adalah
wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen
konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum
(semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).66
Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun
tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas
dalam wujudnya "nullum delictum sine lege" dewasa ini masih diperdebatkan asas
berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya
"wetmatigheid van bestuur" sudah lama dirasakan tidak memadai.67
Tidak memadainya asas legalitas (wetmatighid van bestuur) pada dasarnya
berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di
65 Phillipus M. Hadjon,1997, Tentang Wewenang, Yuridika, h.1 (Selanjutnya disebut Philipus
M. Hadjon II)
66
Ibid., h. 1-2.
67
Philipus M. Hadjon,Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB), Artikel Ilmiah, disampaikan pada Seminar Nasional "Aspek Pertanggungjawaban
Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004, h. 1.
(Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III).
53
Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah
murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan
dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir
pendapatnya N.E. Algra bahwa: "pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan
istilah "uitvoerende macht", melainkan menggunakan istilah yang populer
"bestuur" yang dikaitkan dengan "sturen" dan "sturing". "Bestuur" dirumuskan
sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan
kekuasaan yudisial".68
Konsep "bestuur" membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah
semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas
(vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power).69
Menurut Ten Berge,
seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan
kebijakan dan kebebasan penilaian.70
Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi
dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan
wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas
untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi pengggunaannya
secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam
arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk
menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu
wewenang secara sah telah terpenuhi.
68 Ibid., h. 2
69
Ibid, h. 3
70
Ibid
54
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan
pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat
ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi:
1. kewenangan untuk memutus sendiri
2. kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).71
Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas "vjetmatigheid" tidaklah memadai.
Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi
tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum
yang tertulis atau asas-asas hukum.
Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen,
pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka
memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik
tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara.
Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang
kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ
dari negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari
warga negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten). Dalam organ atas
susunan negara diatur mengenai:
1. Bentuk negara
2. Bentuk pemerintahan
3. Pembagian kekuasaan dalam Negara.
71 Ibid, h. 6.
55
Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atas pembagian horisontal yang
meliputi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas
pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara
horisontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan
saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun
horisontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut,
yang ditegaskan dalam konstitusi.
Negara Indonesia dalam sistem ketatanegaraannya memberikan
pengaturan tentang pembagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian
wewenang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 17, Pasal 18 dengan
amandemen Pasal 18 A dan Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 yang diamandemen
dengan Pasal 20 A, dan Pasal 24 yang diamandemen dengan Pasal 24 A, Pasal 24
B, dan Pasal 24 C.
Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara
hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata
pemerintahan ("adminis-tratiefrecht" atau "bestuursrecht") berisikan norma-
norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi pa-
rameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-
badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang
itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum sehingga apabila
56
terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara tidakpatuhan hukum maka
badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan.72
Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik
dan cara-cara pengujian kewenangannya serta hukum mengenai kontrol terhadap
kewenangan tersebut.73
2.1.2 Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang menurut Leden Marpaung diartikan sebagai
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan serta yang bersangkutan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajibannya.74
Menurut pendapat Indrianto Seno Adji bahwa untuk mengukur
penyalahgunaan wewenang kriterianya dengan menggunakan parameter sebagai
berikut :
1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran
terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam
masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau
zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun
asas kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan
peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada
kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.75
72 Tatiek Sri Djatmiati, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, (Disertasi), Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, h. 62-63
73
Ibid
74
Leden Marpaung, 2004, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Edisi
Revisi, Djambatan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Leden Marpaung II), h. 45
75
Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit
57
Pertanggungjawaban terhadap pelaku dalam hal terjadi penyalahgunaan
wewenang didasarkan atas pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan
prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility)
sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam hukum pidana. 76
Prinsip-prinsip tanggung jawab dalam pertanggungjawaban hukum terdiri
dari pertanggungjawaban pribadi yang berfokus pada pendekatan fungsional atau
perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya tindakan penyalahgunaan dalam
bentuk maladministrasi dan pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada
pendekatan legalitas (keabsahan) mengenai penggunaan wewenang, prosedur, dan
susbtansi. Perbedaan pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban
jabatan membawa konsekwensi pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan
administrasi. Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab
pribadi, pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan baik tanggung jawab
pribadi maupun tanggung jawab jabatan dan pertanggung jawaban administrasi
berkaitan dengan tanggung jawab jabatan.77
Penyalahgunaan wewenang pertanggungjawabannya secara kasuistis dapat
dilihat dari sumber atau lahirnya wewenang dalam hal siapa yang harus
bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang
melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang). Hal tersebut sesuai dengan
konsep hukum "geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no
76 Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 80
77
H. Muhamad Syarif Nuh, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar, h.50
58
authority without responsibility". Dalam setiap pemberian wewenang kepada
pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang
bersangkutan. Dalam konsep Hukum Administrasi Negara sumber lahirnya
wewenang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.78
Konsep atribusi adalah wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh
si penerima wewenang, tergantung pada si penerima wewenang melakukan
mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si
mandans (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap
bertanggungjawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka
pemberi wewenang tidak bertanggungjawab, pertanggungjawaban sudah beralih
pada delegatoris.79
Delegasi dalam maknanya dijelaskan bahwa pekerjaan yang didelegasikan
diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi
(delegataris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya
sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika
terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab
adalah delegatoris.
Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena
wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan
mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan
atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya
78 Ibid
79
Ibid
59
mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan
wewenang pada mandat maka yang bertanggungjawab secara yuridis tetap pada
mandans (pemberi wewenang).80
Konsep atribusi, delegasi, dan mandat dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban hukum dinyatakan oleh J.G. Brouwer dan A.E.Schilder,
bahwa:
1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is intial (originair), which is to
say that is not derived from a previously non existent powers and assigns
them to an authority.
2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that has
acquired the power) can exercise power in its own name.
3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans)
assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take
action in its name.81
Brouwer berpendapat pada "atribusi", kewenangan diberikan kepada suatu
badan administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini
asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif
menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumya dan
memberikannya kepada yang berkompeten.
Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi
yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah
memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya.
80 Ibid, h. 76
81
Brouwer J.G dan Schilder, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan Wewenang
Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang
Mediatama, h. 74
60
Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat
(mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk
membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan mendasar yang lain antara kewenangan atribusi dan
delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan
delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan
didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi
bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.82
2.1.1 Pertanggungjawaban Wewenang.
Perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan
hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban
jabatan (liability jabatan) dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungja-
waban pribadi (personal responsibility). Dalam hukum administrasi setiap
penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun
demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan
wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang
pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang
memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah
pihak yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan pejabat yang
melaksanakan tugas atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang
memikul tanggung jawab hukum.
82 Ibid.
61
Hal terpenting penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis di dasarkan
pada cara memperoleh wewenang/kewenangan. Perlu juga ada kejelasan tentang
siapa "pejabat" tersebut dan yang kedua, bagaimana seorang itu disebut dan
dikategorikan sebagai pejabat.
Hukum publik dalam perspektifnya dijelaskan bahwa yang berkedudukan
sebagai subyek hukum adalah jabatan yakni suatu lembaga dengan lingkup
pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas
dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang
yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai
pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang
melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan.
Seseorang dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan
kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Dalam kaitan dengan tanggungjawab
jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan "beleid", hakim tidak dapat
melakukan penilaian.83
Berbeda halnya dalam pembuatan "beleid" tersebut ada
indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan
pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana. Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan
contoh sebagai berikut: "anggota DPRD mengesahkan Perda Tata Ruang".
"Beleid" yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Perda, hakim tidak dapat
melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh
anggota dewan tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap
itulah yang menjadi obyek pemeriksaan.
83
Philipus M.Hadjon I, Op.Cit, h. l24-125.
62
Hukum administrasi dalam konsepnya di uraikan tentang setiap pemberian
wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu
disertai dengan “tujuan dan maksud” diberinya wewenang itu. Sehingga
penerapan wewenang itu harus sesuai dengan "tujuan dan maksud" diberikannya
wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan
"tujuan dan maksud" pemberian wewenang itu maka dapat disebut telah terjadi
penyalahgunaan wewenang. Parameter "tujuan dan maksud" pemberian
wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang dikenal
dengan asas spesialitas
Secara substansial asas spesialitas mengandung makna bahwa setiap
kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam hukum administrasi disebut asas
ketajaman arah atau tujuan. Menyimpang dari asas ini akan melahirkan
penyalahgunaan wewenang "détournement de pouvoir".
Asas spesialitas (specicdialiteits beginsel) oleh Tatiek Sri Djatmiati
diterjemahkan dalam bahasa hukum Indonesia yakni asas tujuan.84
Penggunaan
istilah asas tujuan tersebut belum terlalu popular, oleh karenanya sependapat
dengan Tatiek Sri Djatmiati dalam kaitan pembahasan ini masih dipergunakan
istilah asas spesialitas.
Asas spesialitas ini merupakan suatu asas yang menjadi landasan bagi
kewenangan pemerintah untuk bertindak dengan mempertimbangkan pada suatu
tujuan. Setiap kewenangan pemerintah (bestuursbevoegdheid) diatur oleh
84
Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h. 108
63
peraturan perundang-undangan dengan suatu tujuan tertentu yang pasti. Dari sudut
hukum administrasi Specicdialiliteitsbeginsel tersebut dinyatakan sebagai suatu
rangkaian peraturan yang berkaitan dengan kepentingan umum tertentu.85
2.2 Penyidikan Narkotika
Pengertian Penyidik diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang terdapat pada Pasal I butir I yang berbunyi sebagai berikut:
Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan
Penyidik dari makna penjelasan ketentuan undang-undang diatas
disimpulkan mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Pejabat Pegawai
Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. Dalam peraturan pelaksana Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam
Ketentuan Pasal 2 telah ditetapkan syarat kepangkatan pejabat Polisi sebagai
penyidik adalah sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi. 86
Selain penyidik dalam ketentuan KUHAP dikenal pula penyidik
pembantu. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 ayat 3 KUHAP yang
menyebutkan bahwa:
85 Nur Basuki Minarno, Loc.Cit
86
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, h. 81
64
Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang
diatur dalam undang-undang ini.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal I
ayat 12 Undang-undang No. 2 tahun 2002 menyatakan bahwa :
Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP bahwa:
Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah misalnya pejabat bea
cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyidikan
sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Penyidik dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana narkotika
secara normatif diatur dalam ketentuan Pasal 81, 82, 83, 84, dan 85 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
65
Pasal 82
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor
Narkotika berwenang:
a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memeriksa orang yang diduga melakukanpenyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
h. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 84
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
66
Prekursor Narkotika, memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan
kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.
Pasal 85
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi
dengan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) atau penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana
Berkaitan dengan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan
penyidik pembantu dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas
penyidikan harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang
tersebut menurut Andi Hamzah berpendapat bahwa :
Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas
kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab
yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan
dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta berat ringannya
kewajiban dan tanggung jawab penyidik.87
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI adalah merupakan
penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit
dan membutuhkan tanggung jawab yang besar karena penyidikan merupakan
87 Andi Hamzah dalam dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana
(Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Cet. I Widya
Padjajaran, Bandung. h. 79
67
tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara yang nantinya akan
berpegaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.88
Pasal I ayat 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyidikan
sebagai berikut:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya".
Yahya Harahap berkaitan dengan hal diatas memberikan penjelasan
mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut:
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal I
ayat I dan 2 merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan penyidik
adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang oleh undang-undang. Sedangkan penyidikan berarti serangkaian
tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan dengan
bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta
sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 89
Andi Hamzah kembali menguraikan bahwa Penyidikan ialah suatu istilah
yang dimaksud sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda), dan investigation
(Inggris) atau Penyiasatan/siasat (Malaysia). Definisi penyidikan dalam KUHAP,
menurut bahasa Belanda adalah sama dengan opsporing. Menyidik (opsporing)
berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
88 Ibid
89
M. Yahya Harahap dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana
(Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Cet. I Widya
Padjajaran, Bandung. h, 79
68
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar yang
sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.90
Penyidikan merupakan aktivitas yuridis yang dilakukan penyidik untuk
mencari dan menemukan kebenaran sejati (membuat terang, jelas tentang tindak
pidana yang terjadi. Penyidikan dikatakan sebagai aktivitas yuridis maksudnya
adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai
hasil dari tindakan tersebut harus dapat di pertanggung jawabkan secara yuridis
pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang
menjadi dasar (basic) bagi dilakukannya suatu tindakan dan peraturan yang
dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum acara pidana.91
Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir 2
KUHAP.
Penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkap suatu
tindak pidana karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana yang
tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (I) Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Jo Pasal 16 ayat (I) Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa wewenang
penyidik adalah sebagai berikut:
90 Ibid
91
Nyoman Sarikat Putra Jaya, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di
Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, h.61
69
1. menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan;
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan yang dilakukan harus didahului dengan pemberitahuan kepada
penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai
dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam
ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat
menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya
penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.92
Penyidik melakukan
tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat
berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.
Hukum pidana mensyaratkan apabila dalam penyidikan tidak ditemukan
bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah
92 Soeparno Adisoeryo, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan
Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II:
Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Siatem Peradilan Terpadu. Jakarta, 16 Juli 2002), h.
13.
70
Penghentian penyidikan. Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut
telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat
menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya,
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan
cerajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai
dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP
tentang Praperadilan.
Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara apabila penyidikan
telah selesai dilakukan kepada penuntut umum. Penuntut umum dalam hal
berkaitan dengan penyidikan berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang
lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada
penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik
menyerahkan hasil penyidikan dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak
mengembalikan berkas tersebut maka penyidikan dianggap selesai.
Penyidikan “dianggap selesai” mengandung arti secara materiil, belum
secara pasti selesai, tetapi walaupun demikian diperkirakan telah selesai. Hal ini
sebagai pegangan bagi penyidik, agar memiliki kepastian hukum dalam hal
pekerjaan yang telah dilakukannya. Dari aspek normatif perundang-undangan hal
ini dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar pembuatan berkas dalam
71
proses penyidikan tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan dan dapat diselesaikan
dengan cepat sesuai dengan prosedur hukum acara pidana. 93
Rumusan kata “penyidikan dianggap selesai” diatur didalam ketentuan
Pasal 110 Ayat (4) yang berbunyi :
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas
waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut
umum kepada penyidik.
2.3 Tugas, Fungsi dan Wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN)
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Berkaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang Badan Narkotika Nasional
(BNN) terdapat didalam beberapa ketentuan pasal-pasal yang termuat didalam
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Pasal 70 Badan Narkotika Nasional (BNN) mempunyai tugas :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat;
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
93 Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan, & Pengadilan
Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi) Sinar Grafika, Jakarta, h. 9
72
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Pasal 71
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN)
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 72
1. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh
penyidik BNN.
2. Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala BNN.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian penyidik BNNsebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Kepala BNN.
Pasal 80 BNN juga memiliki kewenangan yaitu :
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk
harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang
terkait;
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
73
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal
yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar
negeri.
Secara yuridis eksistensi Badan Narkotika Nasional diatur didalam
ketentuan Pasal 64 dan 65 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Ketentuan Pasal 64 memberikan penjelasan bahwa dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika
Nasional yang selanjutnya disingkat BNN. BNN merupakan lembaga pemerintah
nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Pasal 65
1. BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di
daerah provinsi dan kabupaten/kota.
3. BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
Pasal 66
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (3) merupakan instansi vertikal.
74
Selain berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dasar hukum pembentukan Badan Narkotika Nasional (BNN) juga
mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010
Tentang Badan Narkotika Nasional.
Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini
disebut dengan BNN adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui kordinasi Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
Tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional
adalah:
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat
e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika
f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam
pencegahan dan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika
g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan peredaran gelap memberantas peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekusor Narkotika
i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang
75
Pasal 2 ayat (2)
Selain tugas sebagaimana yang dimaksud ayat (1), BNN juga bertugas menyusun
dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif
lainnya kecuali bahan adiktif fi tembakau dan alkohol.
Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal (2) juga menyelenggarakan fungsi yang diatur dalam
ketentuan Pasal 3 yaitu :
a. Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan
P4GN;
b. penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan
prosedur P4GN;
c. penyusunan perencanaan, program, dan anggaran BNN;
d. penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan
masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang
P4GN;
e. pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan teknis P4GN di bidang
Pencegahan, Pemberdayaan Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi,
Hukum, dan Kerja Sama;
f. pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di
lingkungan BNN;
g. pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat
dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan
nasional di bidang P4GN;
h. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan
BNN;
i. pelaksanaan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta masyarakat;
j. pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika;
k. pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang
narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;
l. pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen
masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke
dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau
pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah;
76
m. pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif
lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
n. peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau
pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali
bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik
atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya;
o. pelaksanaan penyusunan, pengkajian, dan perumusan peraturan
perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN
p. pelaksanaan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang
P4GN;
q. pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di
lingkungan BNN;
r. pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait
dan komponen masyarakat di bidang P4GN;
s. pelaksanaan penegakkan disiplin, kode etik pegawai BNN, dan kode etik
profesi penyidik BNN;
t. pelaksanaan pendataan dan informasi nasional, penelitian dan
pengembangan, dan pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN;
u. pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan
adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;
v. pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika, dan prekursor
serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol;
w. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di
bidang P4GN.
Pasal 4 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika
Nasional (BNN) ditentukan bahwa dalam melaksanakan tugas pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan
Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
77
BAB III
KEABSAHAN KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN
NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
3.1 Kedudukan Badan Narkotika Nasional Menurut KUHAP Dalam
Penyidikan Peredaran Narkotika New Pshycoactive Susbtances.
Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika, Badan Narkotika Nasional diberikan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah
Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol.
Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam mekanisme penyidikan tindak
pidana narkotika memiliki payung hukum dalam pelaksanaanya (hukum formal)
yang mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
77
78
Ketentuan Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
memberikan penjelasan bahwa ruang lingkup berlakunya undang-undang ini
adalah untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum
pada semua tingkat peradilan.
Penyidikan tindak pidana narkotika dalam prosesnya didahului dengan
tahap penyelidikan. Secara normatif penyelidikan diatur didalam ketentuan Pasal
4 dan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelidik
menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 5 ayat (1)
huruf a meyatakan bahwa Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pasal 5 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa atas perintah penyidik dapat
melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa Penyelidik membuat dan
menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada
ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
79
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga secara tegas
mengatur mengenai penyidik. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia serta pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam
ketentuan ayat (2) syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam ketentuan
Pasal 81 memberikan penjelasan tentang penyidikan yakni Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN)
berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 84 ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
memberikan penjelasan tentang perlunya kordinasi secara kelembagaan dalam hal
penyidikan tindak pidana narkotika. Dalam melakukan penyidikan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis
dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.
Ketentuan Pasal 85 juga menjelaskan tentang teknis penyidikan dalam
melakukan penyidikan tindak pidana narkotika. Dalam melakukan penyidikan
terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS) tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana.
80
Wewenang Penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana diatur
didalam ketentuan Pasal 7 KUHAP. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pasal 7 ayat (2)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 7 ayat (3)
Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku dalam melakukan
tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),.
Pasal 8 ayat (1)
Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam
undang-undang ini.
81
Pasal 8 ayat (2)
Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Pasal 8 ayat (3)
Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum.
Badan Narkotika Nasional (BNN) berkaitan dalam melakukan penyidikan
terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika selain berpedoman pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara normatif ketentuannya
juga diatur didalam ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun ketentuan Pasal-Pasal yang
mengatur tentang penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana :
Pasal 1 ayat (10)
Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 ayat (11)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik
dan mempunyaiwewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam
lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Pasal 1 ayat (12)
82
Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 14 ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum danperaturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuaidengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
83
Pasal 14 ayat (2)
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.2 Keabsahan Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional Dalam
Tindak Pidana Narkotika
Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya
aparat penegak hukum pidana yang dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan,
penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan.
Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga
pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara
pidana. Usaha-usaha ini di lakukan demi untuk mencapai tujuan dari peradilan
pidana.
Kepolisian, Jaksa, dan Hakim memiliki tugas yang berbeda-beda pada
setiap proses sistem peradilan pidana. Untuk mencapai tujuan dalam sistem
peradilan pidana mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistem. Bekerja dalam
satu kesatuan sistem artinya adalah kerja masing-masing aparatur penegak hukum
harus berhubungan secara fungsional. Penyelengaaran peradilan pidana adalah
merupakan suatu sistem yang keseluruhannya terangkai dan terdiri dari atas
unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional.
Peradilan pidana di pandang sebagai suatu sistem karena dalam peradilan
pidana terdapat beberapa lembaga penegak hukum (Institusi) yang masing-masing
mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidang dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam peradilan pidana terdapat berbagai
84
komponen akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut adalah menanggulangi
kejahatan (Over coming of crime) dan pencegahan kejahatan (Prevention of
crime). Oleh karena itu sistem peradilan pidana harus di bangun dari proses-
proses sosial di dalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana dalam hal ini
harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.94
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang terdiri dari hukum pidana materil dan hukum
pidana formil dimana hukum pidana formil merupakan hukum pelaksanaan
pidana. Kelembagaan ini harus dilihat juga dalam konteks sosial. Sifat yang
terlalu formal jika dilandasi hanya kepentingan hukum saja akan membawa
bencana berupa keadilan. Muladi menegaskan bahwa makna “integrated criminal
justice system” adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat
dibedakan dalam :
1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan
dan keselarasan dalam rangka hubungan antara lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansi (substansial syncronization) adalah keserampakan
dan keselarasan yang bersifat vertical dan horisontal dalam kaitannya
dengan hukum positif
3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan
keselarasan dalam menghadapi pandangan-pandangan, sikap-sikap dan
falsafah yang menyeluruh dan mendasari jalannya sistem peradilan
pidana.95
Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seorang
bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh
94 Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Op.Cit, h. 33
95
Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citrabaru, Jakarta, h.30
85
aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas
konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.96
Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) untuk
dapat mencapai tujuan bekerjanya subsistem peradilan pidana secara maksimal
harus didukung dengan sistem yang tersinkronisasi secara substansial serta
kelembagaan antar susbistem peradilan pidana yang dimulai dari tahap penyidikan
dan berahir pada tahap putusan hakim. Penyidikan tindak pidana apabila dalam
prosesnya sudah sesuai aturan yang berlaku maka tidak akan terjadi hambatan
pada tahap penuntutan dan akan memiliki dampak yang signifkan terhadap
putusan hakim nantinya yakni menghasilkan putusan yang obyektif.
Sistem peradilan pidana dalam kaitannya pada penelitian ini penulis
menemukan adanya permasalahan dalam hal keabsahan terbentuknya kewenangan
penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) secara kelembagaan. Dasar hukum
pembentukan Badan Narkotika Nasional adalah mengacu pada Pasal 67 dan Pasal
149 ketentuan peralihan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
sehingga dipandang perlu membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN)
berdasarkan Perpres No. 87 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Peraturan
Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Kewenangan
Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) diatur didalam ketentuan Pasal 4
Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.
Fuller dalam teorinya Principles Of Legality menjelaskan adanya delapan
persyaratan dari peraturan perundang-undangan yang baik yaitu:
96 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, h. 6
86
1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh
berlaku khusus atau untuk individu tertentu.
2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai
jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas
3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga
menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang
harus bersifat prospefektif.
4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus
berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di
massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus
jelas.
5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh
undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang
dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh
bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh
mengandung peraturan yang kontradiktif).
6. Suatu Undang-Undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-
undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau
menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau
kesanggupan warga negara untuk memenuhinya.
7. Undang-undang tidak boleh sering berubah; apa yang diminta oleh
undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap.
8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan
ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta
atau peraturan-peraturan tersebut.
Teori hukum dari Lon Fuller diatas dengan mengelaborasi ide yang
tertuang dari pemikirannya agar kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN)
dalam pembentukan dan penerapan wewenang penyidikan dalam undang-undang
berjalan dengan baik, perlu kiranya mempertimbangkan beberapa aspek dari teori
principles of legality yakni yang terdapat didalam poin ke 3, 4 dan poin ke 8 yakni
hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi
kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana
cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.
Prospektif dalam poin ke 3 memberikan makna tentang suatu peraturan
perundang-undangan harus mampu menjangkau kedepan serta harus memiliki
87
nilai yang progresif. Dalam gagasan progresif berarti hukum adalah untuk
manusia. Kendatipun berhukum itu dimulai dari teks namun selanjutnya pekerjaan
berhukum diambil alih oleh manusia. Artinya manusia itulah yang akan mencari
makna lebih dalam dari teks undang-undang dan membuat putusan. Berhukum
secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum.97
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum
mencerminkan progresifitas hukum mengingat masih terdapat kelemahan dari
faktor ketidakjelasan lahirnya wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional
(BNN) dengan karakteristiknya undang-undang administrasi bersanksi pidana
yang tidak dapat mendelegasikan wewenang penyidikan serta belum adanya satu
klausula pasal yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana narkotika
khususnya narkotika yang mengandung zat-zat baru yang tidak diatur didalam
lampiran golongan dan turunan narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 dapat dilakukan penyidikan berdasarkan hasil uji laboratorium
forensik oleh tim unit pelayanan terpadu laboratorium forensik Badan Narkotika
Nasional.
Makna hukum harus jelas dalam teori Fuller diatas terkait dengan
penelitian ini memberikan arti bahwa suatu peraturan hukum/undang-undang yang
dibentuk harus jelas. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
yang memberikan wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)
melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 adalah tidak tepat. Sebagai
97 Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai
Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta, h. 3
88
Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang didalamnya memuat
ketentuan tentang pelabelan narkotika, perijinan narkotika untuk kesehatan dan
pengadaan prekursor narkotika, pembentukan Badan Narkotika Nasional
hendaknya harus melalui Peraturan Pemerintah (PP) karna undang-undang
adminitrasi bersanksi pidana tidak dapat mendelegasikan kewenangannya. Hal ini
merupakan kesalahan dalam cara memperoleh wewenang dibentuknya Badan
Narkotika Nasional (BNN) dengan mengacu pada ketentuan Pasal 67 Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pembentuk undang-undang harus
jelas dalam membuat undang-undang.
Badan Narkotika Nasional (BNN) agar kewenangan penyidikannya sah
idealnya harus dibentuk melalui Peraturan Pemerintah sesuai dengan undang-
undang organik dalam hal tata cara pelaksanaannya yang tidak diatur dalam
undang-undang lebih lanjut diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah.
Makna apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara
pemerintah menetapkan statuta/atau peraturan-peraturan pada poin ke 8 sejalan
dengan prinsip asas legalitas yang dianut dalam doktrin hukum pidana di
Indonesia dan oleh Von Feurbach dinyatakan bahwa :
1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum
pidana (nulla poena sine lege)
2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang
diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine)
3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang
membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-
undang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).98
98 Von Feurbach dalam Marwan Effendy, 2011, Loc.Cit
89
Asas legalitas berfungsi sebagai standarisasi dalam penegakan hukum
pidana. Berkaitan dengan penyidikan ditentukan didalam ketentuan Pasal 7
Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang
sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti
bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak
hukum yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan
undang-undang. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini termasuk juga di
dalamnya penyadapan.
Wewenang penyidikan yang terdapat didalam ketentuan pasal 4 Peraturan
Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Narkotika tidak dapat menimbulkan
akibat hukum dalam penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional
karna hanya undang-undang yang dapat menimbulkan akibat hukum dengan
mengacu berdasarkan ketentuan normatif Pasal 7 Undang-Undang 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman dan makna asas legalitas.
Hukum pidana dalam kajian tentang keabsahan suatu persoalan hukum
tentang kewenangan penyidikan harus berdasarkan pada asas legalitas apa yang
ditetapkan harus sejalan dengan pelaksanaanya. Asas legalitas merupakan
perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin
dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Asas legalitas merupakan asas yang
sifatnya esensial di dalam penerapan hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal
1 ayat (1) KUHP di didefenisikan asas legalitas adalah “Tiada suatu perbuatan
90
dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Hukum dalam penerapannya adalah menciptakan keadilan dalam
masyarakat, maka berhukum adalah upaya untuk mewujudkan keadilan tersebut.
Berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Ada dua
keadilan yaitu keadilan menurut teks (Formal/legal Justice) dan keadilan
sebenarnya (substansial justice). Paul Scholten mengatakan bahwa keadilan itu
memang ada didalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Dengan
demikian berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang,
melainkan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan didalamnya.
Itulah makna menguji batas kemampuan hukum.99
Hukum Pidana yang berlaku di
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengutamakan adanya asas
legalitas dan pengesahan dalam bentuk tertulis sering menyebabkan hukum itu
tertinggal dari peristiwanya.
Hukum administrasi negara mengenal tiga sumber kewenangan
pemerintah yaitu “atribusi”, “delegasi”, dan “mandat”. Ketiga sumber wewenang
tersebut dipaparkan dibawah ini:
a. Atribusi
Kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan undang-undang disebut
“atribusi”. H.D. van Wijk memberikan pengertian bahwa atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ
pemerintah. Pembentukan perundang-undangan yang dilakukan baik oleh
99
Paul Scholten dalamSatya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2011, Memahami Hukum Dari
Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta, h. 5
91
pembentuk undang-undang orisinil (originaire wetgevers) maupun pembentuk
undang-undang yang diwakilkan (gedelegeerde wetgevers) memberikan
kekuasaan kepada suatu organ pemerintah yang dibentuk pada kesempatan itu
atau kepada organ pemerintah yang sudah ada. Hal ini dinyatakan sebagai berikut:
“een wetgever schept een (nieuwe) bestuursbevoegdheid en kent die toe aan
een bestuursorgaan. Dat kan een bestaand bestuursorgaanzijn, of een voor de
gelegenheid nieuw geschapen bestuursorgaan”.
“ Pembuat undang-undang menciptakan suatu wewenang pemerintahan yang
baru dan menyerahkannya kepada suatu lembaga pemerintahan. Ini bisa
berupa lembaga pemerintahan yang telah ada, atau suatu lembaga
pemerintahan baru yang diciptakan pada kesempatan tersebut”.100
Senada dengan rumusan H.D van Wijk, Indroharto mengemukakan bahwa
“atribusi” adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu
ketentuan dalam perundang-undangan baik yang disediakan oleh original
legislator ataupun delegated legislator.101
b. Delegasi
Delegasi menurut H.D. van Wijk adalah “Overdracht van een bevoegdheid
van het ene bestuur organ een onder” Penyerahan wewenang kepada
pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat
100 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi
Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 49
101
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta, h. 91
92
pemerintah yang lain.102
Setelah wewenang diserahkan, pemberi wewenang tidak
mempunyai wewenang lagi. Penjelasan berkaitan dengan delegasi ditegaskan
kembali :
"Van delegatie van bestuursbevoegdheid is spreke wanneer een
bevoegdheid van een bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander
orgaan, dat die bevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het
oorspronkelijk bevoegde orgaan. Delegatie impliceert dus overdracht: wat
aanvankelijk bevoegdheid van A was, is voortaan bevoegdheid van B (en
nietmeer van A)"
(Kita dapat berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan bilamana
suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga lain,
yang menjalankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga yang semula
berwenang. Dengan demikian, Delegasi disimpulkan sebagai penyerahan:
apa yang semula merupakan wewenang A, sekarang menjadi wewenang B
[dan bukan lagi A]).103
c. Mandat
Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat
dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan apabila pejabat yang
memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. H.D. van Wijk
menjelaskan arti dari "mandat" yaitu: "een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid
namens hem uitoefenen door een ander") (suatu organ pemerintah mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). Lebih lanjut dikatakan:
"Is het orgaan dat officieel een bepaalde bestuurs-bevoegdheid bezit
(krachtens attributie of delegatie) in feite niet in staat die beveboegdheid ook
persoonlijk te hanteren, dan zal aan dat orgaan ondergeschikte ambtenaren
102 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 51
103
H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Loc.Cit
93
kunnen opdragen, de bevoegdheid uit te oefenen namens het eigenlijk
bevoegde orgaan. In dat geval is er sprake van mandaat. u)
(Bila organ yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu
[karena atribusi atau delegasi] tidak dapat menangani sendiri wewenang
tersebut, para pegawai bawahan dapat diperintahkan untuk menjalankan
wewenang tersebut atas nama organ yang sesungguhnya diberi wewenang.
Dalam hal ini kita bisa berbicara tentang mandat).104
Berbeda dengan "delegasi", pada "mandat", mandans atau pemberi mandat
tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan,
dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya.
Mandan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris.
Sebagaimana dikatakan H.D. van Wijk:
"Bij mandaat is er geen sprake van een bevoegdheids-verschuiving in
juridische zin; nu gehandeld wordt namens het betrokken bestuursorgaan,
worden de handelingen ook aan dat orgaan toegerekend; het blijven,
juridische gesproken, besluitenvan het orgaan zelf. Er is hier sprake van een
vorm vetegenwoordiging van het bestuursorgaan. De mandaatgever
(mandans) blijft dan ook bevoegd de bevoegdheid zelf te hanteren indien hij
dat wensf; hij kan zijn mandatarissen alle aanwijzingen geven die hij nodig
acht; hij is geheel verantwoordelijk voor de krachtensmandaat genomen
besluiten, Juridisch gesproken is de mandataris niet sen anderdan de
mandans". )
(Pada mandat kita tidak bisa berbicara tentang pemindahan
kekuasaan/wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah ditangani atas
nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan, penanganannya juga
diserahkan kepada lembaga tersebut; berbicara secara yuridis, ini tetap
merupakan keputusan lembaga itu sendiri. Disini kita bisa berbicara tentang
suatu bentuk perwakilan lembaga pemerintahan. Pemberi mandat [mandans]
juga tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenang bilamana ia
kehendaki; ia bisa memberikan kepada para mandatarisnya segala petunjuk
104 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 53
94
yang dianggapnya perlu; ia seluruhnya bertanggung jawab atas keputusan
yang diambil berdasarkan mandat. Secara yuridis, perkataan mandataris tidak
lain dari pada perkataan mandans).105
Indroharto menambahkan bahwa pada "mandat" tidak terjadi perubahan
wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan,
atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung
jawab mandan.106
H.D. van Wijk menjelaskan tentang pengertian "mandat kepada bukan
bawahan". Apabila tidak ada ketentuan hukum yang jelas, mandat yang demikian
hanya sah jika dipenuhi tiga syarat:
"1. de mandataris aanvaardt het mandaat, 2. de gemandateerde bevoegdheid
ligh in de sfeer van de normale bevoegdheden van de mandataris, en 3. de
betrokken wettelijke regeling verzet zich niet tegen (deze vorm van)
mandatering".7
(1.mandataris menerima pemberian mandat, 2. wewenang yang diberikan
adalah wewenang sehari-hari dan mandataris, 3. ketentuan perundang-
undangan tidak menentang pemberian mandat).107
Teori kewenangan dalam mengkaji permasalahan pada penelitian ini
memberikan penjelasan tentang cara memperoleh wewenang. Cara memperoleh
wewenang dalam hukum administrasi negara dikenal ada tiga cara yakni melalui
atribusi, delagasi, dan mandat.
105 H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 54
106
Indroharto, Loc.Cit
107
D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Loc.Cit
95
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika berdasarkan
analisis penulis dengan menganalisis terbentuknya kewenangan Badan Narkotika
Nasional (BNN) adalah tidak sah. Hukum Administrasi Negara mengenal tiga
cara memperoleh wewenang yakni melalui atribusi, delegasi dan mandat.
Kakarakteristik Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
adalah undang-undang administratif bersanksi pidana. Hal ini memberikan
pengertian bahwa konsep dari undang-undang administratif bersanksi pidana
adalah tidak dapat mendelegasikan kewenangan penyidikan melalui Peraturan
Presiden sebagai pelaksana ketentuan Pasal 67. Untuk membentuk wewenang
penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) idealnya harus melalui peraturan
pelaksana seperti peraturan pemerintah.
Prajudi Atmosudirjo dalam konsep kewenangan dan wewenang dalam
Hukum Adminitrasi Negara dijelaskan bahwa kewenangan adalah :
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/administratif. Kewenangan adalah merupakan
kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya
mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan
sesuatu tindakan hukum publik. Kewenangan adalah kekuasaan tehadap
golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan (atau bidang urusan pemerintahan tertentu yang bulat). 108
Konsep kewenangan diatas tersirat makna bahwa secara teknik perundang-
undangan kekuasaan untuk melahirkan wewenang dalam hal ini wewenang
penyidikan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah kekuasaan yang berasal
108 Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, h. 29.
96
dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) bukan perundang-undangan.
Untuk menyatakan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)
tersebut sah kewenangan harus dibentuk melalui undang-undang karna hanya
undang-undang yang dapat menjatuhkan sanksi hukum atau menimbulkan akibat
hukum. Kewenangan yang sah adalah kewenangan terhadap segolongan orang
tertentu terhadap satu bidang pemerintahan tertentu yang bulat.
Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana umum bukan tindak
pidana khusus yang mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap golongan
orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu,
sehingga dalam hal ini tidak boleh ada penyimpangan terhadap hukum pidana
materiil dan pidana formiil dalam hal ini KUHP dan KUHAP dan tunduk pada
pasal 103 KUHP kecuali kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
KUHAP telah menentukan secara tegas didalam ketentuan pasal 6 KUHAP.
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana khusus telah dicabut
kekhususannya. Pada saat berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 dicabut
dengan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika tidak
terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus dan
kemudian pada masa sekarang diganti dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika. Secara tegas yang menjadi bagian tindak pidana khusus
97
adalah Hukum Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana
Terorisme.109
Terbentuknya Perpres ini tidak terlepas dari adanya Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang memiliki karakteristik tersendiri yakni
undang-undang yang mengandung hukum administrasi bersanksi pidana. Selain
mengatur tentang sanksi pidana kejahatan narkotika yang diatur dalam ketentuan
Pasal 111-148 juga mengatur urusan dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah
sehingga undang-undang ini memiliki karakteristik tersendiri dalam hal ini Badan
Narkotika Nasional bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dan
dilengkapi dengan adanya Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) yang diatur
dalam ketentuan Pasal 11 serta Pasal 50 berkaitan dengan kebutuhan pengadaan
prekursor narkotika dalam industri farmasi.
Wewenang pemerintahan terkait dengan karakteristiknya dibagi menjadi
wewenang terikat, fakultatif, dan bebas terutama dalam kaitannya dengan
kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (beschikkingen) oleh
organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan
bebas.
Wewenang pemerintahan bersifat terikat terjadi apabila peraturan dasarnya
menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat
digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari
keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang semacam itu
merupakan wewenang terikat.
109 Purnama Rani, 2014, Hukum Tindak Pidana Khusus, Avalaible at
https://www.academia.edu. Diakses 22 Agustus 2014
98
Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha
negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit
banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-
hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditemukan dalam peraturan
dasarnya.110
Wewenang bebas yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi
kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri
mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya
memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan. Wewenang bebas dibagi menjadi dua kategori yaitu kebebasan
kebijaksanaan dan kebebasan penilaian.
Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila
peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ
pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya
meskipun syarat-syarat penggunaanya secara sah dipenuhi.
Kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak
sesungguhnya) ada sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan
untuk menilai secara mandiri dan ekslusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan
suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.
110 Ridwan H.R. II, Op.Cit, h. 107-108
99
Berdasarkan pengertian ini dapat dismpulkan ada dua jenis kekuasaan
bebas atau kekuasaan diskresi yaitu: Pertama, kewenangan untuk memutus secara
mandiri. Kedua, kewenangan interprestasi terhadap norma-norma tersamar.111
Lawrence Meir Friedman dalam sudut pandangnya menjelaskan bahwa
idealnya susatu sistem hukum itu harus memenuhi beberapa komponen yang
terdiri dari : Stuktur (Stucture), Subtansi (Subtance), dan Kultur Hukum (Legal
Culture).
Pertama sistem hukum mempunyai stuktur, dalam hal ini sistem hukum
terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang
berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya, ada pola
jangka panjang yang berkesinambungan stuktur sistem hukum, dengan kata lain
adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kedua sistem hukum
mempunyai substansi, yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan
pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Ketiga, yang merupakan
bagian ahir adalah sistem hukum harus mempunyai kultur (budaya hukum) adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, didalamnya terdapat
kepercayan, nilai, pemikiran, serta harapannya. 112
Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar
dalam tindak pidana narkotika erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang.
111 Ibid
112
Lawrence Meir Fridman dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana
(Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia ), Cet. 1, Widya
Padjajaran, Bandung, h. 31
100
Mengkaji tentang keabsahan adalah berhubungan dengan sah atau tidak sahnya
kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN).
Keabsahan tolak ukurnya adalah ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang
atau adanya cacat prosedur. Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Hukum
Administrasi Negara diartikan sebagai melakukan tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan umum, menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang atau peraturan lainnya dan menyalahgunakan suatu
prosedur.113
Indriyanto Seno Adji dengan mengutip dari pendapat W. Konijnenbelt
menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dapat dilihat
dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran
terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam
masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan ditetapkan
apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan
apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu
nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang
mendesak sifatnya.114
Penyalahgunaan kewenangan pada hakekatnya sangat erat kaitannya
dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan tindakan
penyelenggara negara. Philipus M. Hadjhon mengemukakan bahwa cacat yuridis
tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu
113
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Loc.Cit
114
Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit
101
yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut
pada hakekatnya menjadi penyebab timbulnya penyalah gunaan kewenangan.115
Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang
dalam hukum administrasi negara dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan
Waline. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.116
Mengenai persoalan pertanggungjawaban terhadap pejabat dalam hal
penyalahgunaan wewenang menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang
melandasinya yaitu: 117
a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya
itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.
115 Philipus M. Hadjhon , 2008, Loc.Cit
116
Indriyanto Seno Adji, 1997, Loc.Cit
117
Ridwan HR, Op.Cit, h. 365
102
Hans Kelsen menguraikan tentang teori pertanggungjawaban dalam
hukum yaitu suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum
(responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang
dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah
bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.
Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan terhadap pelaku adalah karena
perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab.118
Pertanggungjawaban dapat dituntut jika hukum menghendaki dan
berdasarkan atas undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia ditentukan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Makna yang terkandung dari kata Indonesia adalah negara
hukum menurut Wiryono Prodjodikoro adalah para penguasa atau pemerintah
sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan tidak boleh sewenang-wenang.
Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap
pengedar dalam tindak pidana narkotika analisis dan kajiannya tidak terlepas dari
sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Mohamad Yamin mendefenisikan negara hukum sebagai suatu negara
yang menjalankan pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang
memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-
badan perwakilan rakyat yang membentuk secara sah, sesuai dengan asas “the
laws and not menshall goverll”. Joeniarto memberi defenisi atau pengertian
118 Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Cet. ke-2, terjemahan Jimly
Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Konstitusi Press, Jakarta) h. 56
103
tentang negara hukum sebagai negara dimana tindakan penguasanya harus
dibatasi oleh hukum yang berlaku. 119
Sudargo Gautama menyatakan bahwa paham negara hukum berasal dari
ajaran kedaulatan hukum, ia memberi pengertian tentang negara hukum sebagai
negara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum. Sementara itu
sarjana lainya seperti Seodiman Karto Hadi Prodjo mendefenisikan negara hukum
sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang didalamnya dijamin
sebaik-baiknya oleh hukum. 120
Konsep Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtstaats
atau rule of law. Paham rechstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
eropa kontinental, sedangkan paham rulle of law bertumpu pada sistem hukum
anglo saxon atau common law system.
Ide tentang rechstaats mulai populer pada abad ketujuh belas sebagai
akibat dari situasi sosial politik eropa yang didominir oleh absolutisme raja.
Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum eropa kontinental seperti
Emanuelkan dan Friederih Julius Sthal.
Paham rulle of law mulai dikenal yang dipelopori oleh Albert Vann Dicey
pada tahun 1885 dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to
Study of The law of The Constitution. Melalui bukunya Albert Vann Dicey
menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang konsep the rulle of law.
119 Mohamad Yamin dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit
120
Sudargo Gautama dalam Bahder Johan Nasution, 2012, NegaraHukum Dan Hak Asasi
Manusia, Mandar Maju, Bandung. h. 20
104
Albert Vann Dicey dalam bukunya Introduction to Study of The law of The
Constitution menjelaskan elemen-elemen yang terdapat didalam konsep the rulle
of law yaitu:
1. Supremasi absolute atau predominasi dari regular law untuk menentang
pengaruh dari abrytary power dan meniadakan kesewenang-wenangan,
jadi berupa discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
ordinary court ; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas
hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk
mentaati hukum yang sama, jadi tidak perlu ada peradilan administrasi
negara;
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the lend, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak
individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; 121
Konsep rechtstaat dan rulle of law dalam kaitannya dengen sistem hukum
yang berlaku di Indonesia mengarah pada sistem hukum eropa kontinental yang
diaktualisasikan melalui konsep rechtstaat yang dikembangkan oleh ahli-ahli
hukum eropa kontinental seperti Emanuel Kant dan Friederich Julius Sthal.
Konsep rechtstaat menurut Emanuel Kant dan Friederich Julius Sthal adalah:
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia
2. Adanya pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmategheid vanbestuur)
4. Adanya peradilan tata usaha negara. 122
Konsep Negara Hukum dalam mengkaji keabsahan kewenangan
penyidikan Badan Narkotika Nasional adalah memberikan penjelasan bahwa
121 Albert Vann Dicey dalam Bahder Johan Nasution, 2012, NegaraHukum Dan Hak Asasi
Manusia, Mandar Maju, Bandung, h.3
122
Bahder Johan Nasution, Loc.Cit
105
penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika dalam menjalankan tugasnya
dibidang hukum harus berdasarkan undang-undang. Undang-undang yang
dibentuk harus jelas secara substansial dan jelas dalam penerapannya.
Dalam karakteristik negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental selain pemerintahan harus berdasarkan undang-undang, asas legalitas
merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan.
Hukum adminitrasi negara dalam bidangnya menyebut asas legalitas
merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het
beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.123
Prinsip keabsahan dalam asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek
negatif (het negative aspect), aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect)
dan aspek materiil-positif (het materieel-positieve aspect).
Aspek negatif menentukan bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak sah
apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan
tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materiil-
positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat
tindakan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa kewenangan itu harus memiliki
123 Ridwan HR II, Loc.Cit
106
dasar perundang-undangan dan juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan
normanya oleh undang-undang.124
Hukum pidana dalam ruang lingkup kajiannya berpegang teguh pada
doktrin asas legalitas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan
termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang dalam bahasa latin disebut
dengan “Nullum delictum nullapoena sina praevia lege poenale” artinya adalah
tidak ada hukuman tanpa undang-undang. Asas legalitas mengandung pengertian
yaitu tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-
undang, dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi dan aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).125
Menurut aliran klasik makna asas legalitas dalam hukum pidana adalah
aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan bertitik
berat pada kepastian hukum.
Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang. Pertama, asas
legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak
ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penuntutan tanpa
undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat
dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat
kesalahan semata. Ketiga, yang terakhir adalah asas pembalasan yang sekuler
124 Ridwan HR II, Loc.Cit
125
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, h. 122-123
107
yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk
mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau
ringannya perbuatan yang dilakukan.126
126 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit
Alumni Bandung, h. 25.
108
BAB IV
PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG TIDAK TERMASUK
DALAM KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
4.1 Kasus Posisi Raffi Ahmad
Badan Narkotika Nasional (BNN) menetapkan Raffi Ahmad dan tujuh
orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus narkotika yang dilakukan di rumah
Raffi Ahmad di Jalan Gunung Balong Kavling VII Nomor 16 I Lebak Bulus
Jakarta Selatan pada penggerebekan yang dilakukan pada hari Minggu 27 Januari
2013.
Bersama ke-17 orang yang diamankan, pihak Badan Narkotika Nasional
(BNN) juga menemukan barang bukti berupa dua linting ganja dan 14 butir kapsul
yang diduga berisi MDMA. Ganja ditemukan didalam kamar dekat tempat
pajangan (bufet) di kamar RA (Raffi Ahmad) dan MDMA di dalam laci di ruang
makan. Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penggerebekan di kediaman
pembawa acara televisi Raffi Ahmad pada saat sedang menggelar pesta ganja dan
ekstasi. Selain Raffi Ahmad ada beberapa aktris dan salah satu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Wanda Hamidah serta pasangan
Irwansyah dan Zaskia Sungkar juga turut dibawa ke Badan Narkotika Nasional
(BNN) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan narkotika
jenis Cathinone dalam kasus Raffi Ahmad cs, yakni 3,4 Methylene Dioxy
108
109
Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Staf Ahli Kimia Farmasi Badan
Narkotika Nasional (BNN) Mufti Djusnir mengatakan efek samping
menggunakan Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga
perlu diwaspadai peredarannya. Struktur dasarnya adalah MDMA, yakni
3,4Methylene Dioxy Metacathinone. Bahaya dari zat tersebut jika dikonsumsi
akan mengalami psikoaktif dan siapa pun yang menggunakan tanpa takaran jelas
mengakibatkan overdosis sehingga kejang, keram, dan berakhir dengan
kematian.127
4.2 Keabsahan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Terhadap
Kasus Raffi Ahmad (BNN) Dikaji Berdasarkan Ketentuan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Negara adalah suatu organisasi masyarakat untuk mengatur kehidupan
bersama. Untuk mencapai tujuan bersama disusunlah suatu tatanan pemerintahan
sebagai sarana pelaksana tugas negara beserta pembagian tugas dan batas
kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara adalah suatu abstraksi yang oleh
hukum dipersonifikasi dan diangkat sebagai realita hukum. Sebagai suatu
abstraksi, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya tanpa melalui
organnya.
Hukum administrasi dalam ketentuan hukum positif di Indonesia tepatnya
pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 digunakan istilah
“badan” atau "pejabat" untuk menyebut organ itu. Dikatakan bahwa: "badan atau
pejabat tata usaha negara adalah pelaksana urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku".
127 Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Loc. Cit
110
Pengertian "badan" menurut pengertian bahasa adalah sekumpulan orang
yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu. Padanan kata "badan"
dalam bahasa Belanda antara lain adalah "orgaan". Pengertian "orgaan" sebagai
istilah hukum adalah sebagai alat perlengkapan, artinya adalah "orang" atau
"majelis" yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau
anggaran dasar berwenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan
hukum. Dengan perantaraan alat perlengkapan itu badan hukum ikut mengambil
bagian dalam lalu lintas hukum.128
Pengertian "pejabat" menurut pengertian bahasa adalah pegawai
pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan). Dalam bahasa
Belanda istilah "pejabat" disalin antara lain menjadi "ambtdrager", yang diartikan
sebagai orang yang diangkat dalam dinas pemerintah (negara, propinsi, kotapraja
dan sebagainya).
Frederick Robert Bohtlingk menguraikan pendapatnya tentang pengertian
"orgaan" adalah:
"verstaat men; ieder persoon of college, met enig openbaar gezag bekleed,
of; ieder persson die bevoegd is de overheid door rechtshandelingen te
verbinden, of iets dergelijks" 129
128 Teeuw, A, 1999, Kamus Indonesia-Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. h. 50
129
Frederick Robert Bohtlingk dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 55
111
“ kita maksudkan adalah setiap orang atau badan, yang memiliki kekuasaan
umum: atau setiap orang yang berwenang untuk menghubungkan kekuasaan
melalui tindakan hukum, atau yang mirip dengan itu.”
Lebih lanjut Frederick Robert Bohtlingk menjelaskannya dengan suatu
ilustrasi:
"Wanneer de heer P minister Is, dan maakt de hier besproken gangbare
opvatting een scheiding tussen de heer P in prive en de heer P in kwaliteit.
Deze laatste meneer noemt men "orgaan". Men kent dus aan de ene mens P
twee persoonlijkheden toe: enerzijds de personificatie van P 'm prive (de
privepersoon), anderzijds de personificatie van P in kwaliteit (de minister),
en noemt deze laatste personificatie orgaan. 'Orgaan' is niet ambt en niet
ambtdrager".
(bila Tuan P adalah seorang menteri, disini berlaku pandangan adanya
pemisahan antara Tuan P secara prive dan dalam kualitas. Tuan P dalam
kualitas adalah seorang menteri disebut badan yang dipersonifikasi di dalam
kualitas sebagai pejabat. Sedangkan Tuan P secara prive (orang pribadi) yakni
personifikasi Tuan P sebagai manusia individu. Dengan demikian, Tuan P
memiliki dua kepribadian, yakni personifikasi sebagai manusia individu dan
personifikasi Tuan P sebagai pejabat). 130
E. Utrecht mengungkapkan bahwa "jabatan" adalah sebagai pendukung
hak dan kewajiban. Sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan
perbuatan hukum (rechtshandelingen) baik menurut hukum publik maupun
menurut hukum privat. Ditambahkan bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam
suatu perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun pada pengadilan
perdata dan administrasi. Agar wewenang dapat dijalankan, "jabatan" sebagai
personifikasi hak dan kewajiban memerlukan suatu perwakilan yang disebut
"pejabat" yaitu "manusia" atau "badan", dengan kata lain disebut "pemangku
jabatan".
130 Ibid, h. 56
112
Pelaksanaan hak dan kewajiban hukum dapat dilakukan dengan
perantaraan "pejabat", melalui "jabatan".131
Logeman menempatkan "jabatan" dari
aspek negara sebagai organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yang saling
berhubungan dalam suatu totalitas lingkungan kerja tertentu, sehingga negara
disebut sebagai suatu perikatan fungsi-fungsi. Negara sebagai organisasi jabatan
yang melahirkan otoritas dan wewenang, dan jabatan adalah bagian dari fungsi
atau aktivitas pemerintahan yang bersifat tetap atau berkelanjutan. Jabatan muncul
sebagai pribadi (persoon) atau subjek hukum yang dibebani kewajiban dan
dijadikan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, tetapi untuk melakukan
tindakan harus melalui "pejabat" atau "pemangku jabatan". Dalam hal ini harus
ada pemisahan mutlak antara pribadi pemangku jabatan selaku "pejabat" dan
selaku manusia sebagai prive.132
Badan sebagai pejabat yang mengikat administrasi dari sudut pandang
yang berbeda dinyatakan bahwa untuk menentukan seseorang atau suatu badan
sebagai pejabat yang mengikat administrasi tidak ditentukan semata-mata dari
kedudukan dalam struktur pemerintahan. Mengenai hal ini Indroharto
menjelaskan arti "badan" atau "pejabat" (jabatan) tata usaha negara menurut Pasal
1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai berikut:
"Untuk menangkap yang dimaksud dengan badan atau jabatan tata usaha
negara sebagai organ dari suatu lembaga hukum publik dapat kita dekati
dengan dua cara: Pertama, sebagai organ-organ dari suatu lembaga hukum
publik yang menjadi induknya; Kedua, sebagai jabatan-jabatan tata usaha
negara yang memiliki wewenang-wewenang pemerintahan. Dalam banyak
hal antara keduanya adalah identik satu dengan yang lain, tetapi tidak selalu
131
E. Utrecht dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 57
132
Logemann dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 57
113
demikian. Untuk hukum tata usaha negara cara pendekatan kedualah yang
mempunyai arti penting, karena menurut pendekatan kedua tersebut, badan
atau jabatan tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-un-
dangan yang berlaku memiliki wewenang pemerintahan".
Indroharto mengambil kesimpulan bahwa ukuran yang harus dipakai
adalah masalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
yang dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara adalah apa dan siapa saja
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang dikerjakan itu
berupa kegiatan urusan pemerintahan tanpa memandang aparat resmi dalam
struktur hierarkhis pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan suatu
badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan tata usaha negara adalah tidak
relevan dengan mencari landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur
hierarkhis pemerintahan.133
Kedudukan pejabat dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia keberadaannya sangat penting dalam
menjalankan tugas negara dibidang hukum. Kewenangan seorang pejabat
memiliki standarisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta diatur oleh
aturan-aturan yang ketat didalam peraturan perundang-undangan yakni undang-
undang hukum acara pidana (KUHAP). Pembatasan secara ketat tersebut
bertujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam melaksanakan tugasnya
dan terwujudnya penegakan hukum yang adil.
133 Indroharto dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 58
114
Fungsi dan tujuan hukum acara pidana (KUHAP) yang disebut sebagai
hukum pidana formil adalah terciptanya tertib proses hukum dan menjamin
penegakan hukum pidana materiil seperti KUHP dan undang-undang
nonkodifikasi pidana lainnya dilakukan secara tepat. Ketentuan Hukum Acara
Pidana (KUHAP) lebih dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan
terdakwa dari tindakan hukum sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan
pengadilan. Hukum pada sisi lain memberikan kewenangan kepada negara cq.
pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang
dapat mengurangi hak asasi warganya yang melanggar hukum.134
Hukum Acara
Pidana juga merupakan sumber kewenangan dari aparat penegak hukum dan
hakim serta pihak penegak hukum lainnya seperti penasihat hukum (advokat),
Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), serta lembaga pemasyarakatan.
KUHAP sebagai hukum acara pidana dalam penyidikan tindak pidana
narkotika diatur didalam ketentuan Pasal 85 dan mengalami perluasan makna
tentang alat bukti yang diatur didalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Pasal 85
BNN dalam penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika dalam pelaksaanaanya berkordinasi kepada Penyidik Pegawai
Negeri Sipil tertentu dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
134 M. Sofyan Lubis, 2010, Prinsip”Miranda Rule”Hak Tersangka Sebelum Pemerikasaan
Jangan Sampai Anda Menjadi Korban Peradilan, Tim Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 64
115
Pasal 86
1. Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
2. Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang
memiliki makna dapat dipahami oleh orang.
Ketentuan pasal diatas memberikan penjelasan secara tegas bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berfungsi sebagai hukum acara
(hukum formal) mengenai tatacara penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
narkotika.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam fungsinya
sebagai pelaksana hukum pidana materiil dalam korelasinya dengan hak
penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu:
1. Asas Legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu
delik.
2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang
yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya akan
merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang
yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan.
Wewenang untuk tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum
116
dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan ketentuan Pasal 34 huruf c Undang-
Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 135
Asas Legalitas dan Asas Oportunitas merupakan hal yang sifatnya kontra
diktif dalam KUHAP. Asas legalitas memberikan arti bahwa penyidikan hanya dapat
dilakukan atas dasar undang-undang dan tanpa diskriminasi dengan asas kesamaan
dihadapan hukum (asas equality before the law) sedangkan asas oportunitas
memberikan keistimewaan dalam hal penuntutan dapat dikesampikan apabila
merugikan kepentingan umum.
Mewujudkan proses hukum yang adil (due procces of law) memiliki
relevansi keterkaitan yang erat dengan keabsahan kewenangan serta tidak terlepas
dari tujuan hukum yang terdiri dari nilai kepastian hukum, kemanfaatan hukum,
dan keadilan dalam pelaksanaanya. Penelitian ini terkait dengan hal tersebut,
permasalahan yang terjadi dalam proses penegakan hukum adalah dalam hal sah
atau tidaknya penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus
narkotika Raffi Ahmad dalam hal tidak diaturnya jenis golongan narkotika yang
digunakan pada ketentuan Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Tidak adanya peraturan yang menetapkan secara tegas memiliki arti bahwa
perbuatan tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan asas legalitas. Ketentuan
Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan bahwa suatu
perbuatan tidak dapat dipidana apabila tidak ada ketentuan yang mengatur secara
tegas ketentuan tersebut.
135
Osman Simanjuntak, 1995, Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum, PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 90.
117
Makna asas legalitas memiliki makna yang jelas dan tegas sebagai suatu
barometer dalam domain hukum pidana. Dalam negara hukum, setiap tindakan
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip
wetmatigheid van bestuur (asas legalitas). Asas ini menentukan bahwa tanpa
adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki
wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum
warga masyarakatnya.
Prinsip asas legalitas maknanya secara tersirat terkandung didalam teori
sitem hukum yang dikemukakan oleh Hart yang penulis gunakan sebagai pisau
analisis untuk menjawab permasalahan penelitian ini. Asas legalitas dengan
mengelaborasi Teori Sistem Hukum Hart mengandung makna tentang aturan
mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan
oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa
dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Teori yang
dikemukakan oleh Hart menurut pandangan penulis mensyaratkan ketegasan
dalam menjalankan aturan dan menerapkan asas legalitas secara proporsional.
Narkotika yang terdapat didalam kasus Raffi Ahmad adalah narkotika
jenis Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa
disebut Methylone. Jenis narkotika ini tidak diatur didalam ketentuan Undang-
Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tidak adanya ketentuan yang
mengatur memberikan arti bahwa asas legalitas serta aturan mana yang dianggap
sah seperti yang diuraikan H.L.A Hart dalam teori sistem hukum tidak terpenuhi,
118
sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional
(BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan cacat prosedural.
H.L.A. Hart dengan teorinya Teori Sistem Hukum dalam gagasannya
sistem hukum dibagi menjadi dua yang disebut dengan primary rules dan
secondary rules. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan
keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primary rules lebih menekankan
kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan
ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law).136
Mengenai primary rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang
pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan
sosial (sosial rule) yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi;
Pertama adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial,
suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta
situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada
perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang
menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu
kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang
relevan. Dari sudut pandang internal, anggota (masyarakat) itu merasakan bahwa
aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan
reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek
internal).137
136 H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96
137
Ibid, h. 96-99
119
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam
satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang
dapat dilihat atau memiliki sudut pandang masing-masing aturan menyatakan apa
yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan
suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-
duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai
suatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan prilaku yang sesuai merupakan
jelmaan prilaku dari aspek eksternal dengan hal yang sama.
Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules,
yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) yang apa bila di
rinci meliputi, pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang
dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa
dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat
dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih
jauh maka rules of ajudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat
sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.138
Posner mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum yaitu pertama, teori
hukum berhasil mengungkapkan ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem
hukum dan menunjukan arah jalan perubahan konstruktif yang sangat bernilai
tentang unsur-unsur konsep hukum. Kegunaan kedua teori hukum membantu
menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah
pengetahuan sistem yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana
138 Ibid
120
menjalankannya dalam suatu sistem dimana praktisi hukum telah biasa
melakukannya.139
Ian Mc Leod juga memberikan penjelasannya bahwa kegunaan
teori hukum khususnya bagi praktisi hukum adalah sebagai dasar berpikir untuk
apa yang mereka sedang kerjakan. Teori hukum juga memiliki nilai tersendiri
sebagai suatu bagian dari sebuah hasil pemikirian-pemikiran study.140
Hukum pidana dalam konsep untuk dapat dipidananya suatu perbuatan
harus memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana. Dalam unsur pertanggung
jawaban pidana terdapat beberapa indikator atau tolok ukur dalam memutuskan
apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau
tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan
pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur-unsur
perbuatan pidana tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana.141
Para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari
perbuatan pidana yaitu:
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang
dapat dihukum.
139 Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press, p.14-15
140
Ian McLeod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall University, p. 11
141
Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit
121
Pendapat Simons dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif;
berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)
dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung
jawab.142
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Adapun unsur-unsur atau elemen yang harus ada
dalam suatu perbuatan pidana terdiri dari :
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.143
Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat
diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur
pokok subjektif.144
142 Simons dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit
143
Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit.
144
Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid, h. 25
122
a. Unsur Pokok Objektif.
1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai
berikut:
a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan
b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.
2. Akibat perbuatan manusia
Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah
membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan
oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/ harta benda, atau
kehormatan.
3. Keadaan-keadaan
Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas keadaan pada saat
perbuatan dilakukan keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan
dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
b. Unsur Pokok Subjektif
Asas pokok hukum pidana ialah “tidak ada hukuman jika tidak ada
kesalahan” (an act does not make guilty unless the mindis guilty, actus not facit
reum nisi mens sit rea). Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja
(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).
1. Kesengajaan.
123
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud.
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).
2. Kealpaan.
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan.
Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:
a. Tidak berhati-hati; dan
b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.
Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia
yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk
dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi tersebut dapat dilihat
unsur-unsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-
undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut
dipidana.145
Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang
disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh
peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Unsur-unsurnya adalah (1)
kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang-undang.
Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu
yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Bersifat teoritis
adalah perbuatan pidana pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum yang diadakan
145 Van Hammel dalam dalam Johny Krisnan2008, Op.Cit, h. 25
124
karena kesalahan pelanggar yang harus diberikan pidana. Pemberian pidana untuk
dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Perbuatan Pidana menurut hukum positif adalah perbuatan pidana sebagai suatu
peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan
pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam
beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan
keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. 146
Penulis mengelaborasi dengan mengutip pendapat pompe yakni perbuatan
Pidana menurut hukum positif inilah yang tidak terpenuhi untuk dapat
dipertanggungjawabkannya jenis narkotika raffi ahmad sehingga untuk dapat
dituntut secara pidana tidak memiliki keabsahan. Selain harus memenuhi unsur
pertanggungjawaban pidana untuk dapat dipidananya suatu perbuatan berkaitan
dengan syarat pemidanaan juga harus memenuhi kriteria, yaitu:
a. Actus Reus yaitu berupa kesalahan (schuld) dan melawan hukum
(wederrechtelijke);
b. Mens Rea yaitu berupa perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana.
Unsur Mens Rea sebagai syarat pemidanaan ini tidak terpenuhi didalam
kasus narkotika Raffi Ahmad dengan jenis narkotika baru dan mengandung jenis
Methylone sehingga secara legalitas ia tidak dapat dijatuhkan pidana.
Indrianto Senoadji dalam sistem hukum anglo-saxon menjelaskan bahwa
syarat pemidanaan adalah harus memenuhi syarat adanya actus reus dan mens
146 Pompe dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit
125
rea, sehingga dalam pemidanaan yang harus digunakan adalah unsur melawan
hukum formal, artinya ada atau tidak dalam perbuatan tersebut hal-hal yang
bertentangan dengan hukum positif tertulis.147
Tradisi civil law mensyaratkan secara lex Scripta adalah penghukuman
harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang
tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku
(perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang
mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa
dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa
dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar
penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam
hukum pidana, ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang
terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang terebut.
Hukum harus didasarkan pada undang-undang memiliki kaitan dengan
asas lex certa bahwa pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan
secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana
(kejahatan, crimes). Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas
tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada
perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidak
pastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena
147 Indrianto Seno Adji dalam Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana :
Perkembangan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta, h. 84.
126
warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak
berguna sebagai pedoman perilaku. 148
Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus
Raffi Ahmad dengan mengelaborasi teori, konsep, dan asas hukum yang telah
penulis uraikan diatas adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan
secara pidana. Kewenangan Badan Narkotika Nasional tidak sah karena Undang-
Undang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah undang-undang
administrasi bersanksi pidana sehinga ia tidak dapat mendelegasikan
wewenangnya melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan
Narkotika Nasional yang berdasarkan ketentuan pasal 4 melahirkan wewenang
penyidikan kepada Badan Narkotika Nasional.
Kasus Rafii Ahmad tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana
sesuai dengan konsep hukum pidana yang menganut doktrin asas legalitas serta
tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur
obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur secara tegas didalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni didalam ketentuan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Unsur pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur subyektif dan
unsur obyektif dan penghukuman harus didasarkan pada ketentuan tertulis dalam
undang-undang (lex certa). Secara umum dapat penulis simpulkan unsur tersebut
148 Roelof H. Heveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia,
Tata Nusa, Jakarta, h. 50.
127
terdiri dari (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2)
melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.
Berkaitan dengan kewenangan yang sah (legalitas) memiliki relevansi
dengan Teori Keabsahan. Hadjhon berdasarkan pandangannya dalam Teori
Keabsahan mensyaratkan keabsahan tindakan pemerintah didasarkan aspek
kewenangan yaitu setiap tindakan pemerintahan harus bertumpu pada
kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun mandat). Aspek prosedur dari
teori keabsahan bertumpu atas asas Negara Hukum, asas demokrasi dan asas
instrumental. Aspek substansial menyangkut “apa” dan “untuk apa”.149
Teori
keabsahan memberikan suatu penjelasan bahwa pengunaan wewenang tidak bisa
sewenang-wenang harus jelas menyangkut apa dan untuk apa dalam
pelaksanannya.
Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam proses
penegakan hukum dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor procedural justice dan
faktor substantive justice. Menurut Bagir Manan dua aspek penting dalam
keberhasilan penegakan hukum adalah tata cara penegakan hukum (procedural
justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice).150
Tata cara
dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan.
149 Philipus M. Hadjhon dalam I Made Muliawan Subawa, 2013, Fungsi Notaris dalam
Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan
CapJempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan, (tesis) Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Udayana, h. 10
150
Bagir Manan, 2005, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Varia Peradilan, Tahun
ke-XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, h. 10
128
Seiring dengan berkembangnya jaman sifat yang prosedural sering
menyebabkan hukum menjadi statis dan tertinggal dari peristiwanya. Untuk
menengahi permasalahan ini diperlukan adanya suatu konsep keadilan. Konsep
keadilan dalam penelitian ini oleh penulis digunakan konsep keadilan Jhon Rawls.
Keadilan menurut Jhon Rawls pada dasarnya adalah keadilan yang
mengutamakan kebebasan individual yang bertanggung jawab.151
John Rawls
dalam teorinya keadilan prosedural murni menjelaskan :
The procedure for determining the just result must actually be carried out;
for in these cases there is no independent criterion by reference to which a
definite outcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a
particular state of affairs is just because it could have been reached by
following a fair procedure. This would permit far too much and would lead to
absurdly consequences.152
John Rawls berpendapat bahwa prosedur untuk menentukan hasil yang
adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria
independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut
disebutkan John Rawls kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah
adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair. Hal ini akan
terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada
konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil. Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Hukum
harus sesuai atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat serta berdasarkan pada kewenangan yang sah (legalitas).
151
Jhon Rawls dalam M. Syukri Akub Dan Baharuddin Baharu, 2012, Wawasan Due Proses
Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, h.19
152
John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, h. 86
129
Tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang
adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses menurut Wayne La Favre
sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.153
Berkaitan dengan pendapat Bagir Manan maupun Wayne La Favre, dalam
pandangan Satjipto Rahardjo ketika membicarakan tentang penegakan hukum
pada hakikatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang
notabene adalah abstrak.154
Dikatakan demikian karena pada hakikatnya hukum mengandung ide atau
konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak.155
Menarik
pendapat Gustav Radbruch, Satjipto Rahardjo mengelompokan yang abstrak
tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
sosial.156
Dalam rumusan lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, dan proses perwujudan ide-ide
itu merupakan hakikat dari penegakan hukum.
Hukum pidana dalam penegakannya secara faktual terdapat tiga jenis
penegakan hukum. Joseph Goldstein dalam teorinya teori penegakan hukum
153 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 7
154
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing,Yogyakarta, h. 12.
155
Ibid
156
Ibid
130
pidana membaginya menjadi 3 yaitu Total Enforcement, Full Enforcement, dan
Actual Enforcement.157
Total Enforcement adalah ruang lingkup hukum pidana sebagaimana
dirumuskan dalam hukum pidana substantif. Namun demikian Total Enforcement
tidak dapat dilakukan sepenuhnya, karena penegak hukum dibatasi oleh aturan-
aturan yang ketat yang ada didalam hukum acara pidana seperti aturan-aturan
penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Disamping itu hukum pidana
substantif itu sendiri juga memberikan pembatasan-pembatasan seperti
diperlukannya aduan terlebih dahulu untuk menuntut suatu perkara (delik
aduan).158
Full Enforcement adalah para penegak hukum menegakan hukumnya
secara maksimal. Namun oleh Goldstein harapan ini dianggap harapan yang tidak
realistis karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal,
financial, dan sarana-sarana dalam penyidikan dan sebagainya. Kesemuanya ini
mengakibatkan keharusan untuk dilakukan diskresi. 159
Actual enforcement adalah penegakan hukum harus dilihat secara realistis
sehingga penegakan hukum secara aktual harus dilihat sebagai bagian diskresi
yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan.160
157 Joseph Goldstein dalam Yesmil Anwar dan Adang,2009, Sistem Peradilan Pidana
(Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya
Padjajaran, Bandung, .h.60
158
Loc.Cit
159
Loc.Cit
160
Loc.Cit
131
Sejak diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) guna melaksanakan penegakan hukum yang adil (due procces of law)
konsep yang dianut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah mengarah
pada konsep Due Process Model. Konsep ini lebih cenderung mengarah pada
Adversary System yang menganggap tersangka atau terdakwa bukan sebagai
objek.
Packer dalam bentuk pendekatan normatif sistem peradilan pidana
membedakan menjadi dua model yaitu crime control model dan due proses
model.161
Crime control model dan due proses model memiliki perbedaan
karakteristik tersendiri dalam fungsinya. Nilai- nilai yang melandasi crime control
model adalah :
1. Tindakan-tindakan represif terhadap satu tindakan kriminal merupakan
suatu fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan
hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan
menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya.
3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prinsip cepat, (speedy) dan tuntas (finality) dan model yang dapat
mendukung proses penengakan hukum tersebut adalah model administratif
dan menyerupai model manajerial.
4. “Asas praduga bersalah” Presumption of guilt” menyebabkan sistem ini
dilaksanakan secara efisien; dan
5. Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-
temuan fakta administratif oleh karena temuan tersebut akan membawa
kearah:
a. Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan
b. Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.
161 Hebert Packer, 1968, The Limits Of Criminal Santion, Stanford University Press,
California, p. 152-153
132
Nilai-nilai yang melandasi “Due Procces Model” dalam bentuk
pendekatan normatif sistem peradilan pidana terdapat beberapa macam
karakteristik dalam penerapannya, yaitu :
1. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau human
error menyebabkan model ini menolak informal fact finding process
sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang.
Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan adversary fact
finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke
muka pengadilan yang tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka
memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya.
2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan.
3. Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan
utama didalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang
formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan
kemerdekaan yang diaanggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang
yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses peradilan dianggap
sebagai Coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan
martabat (Demeaning). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat
dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan
cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan
individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;
4. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan,
sehingga model ini memegang teguh doktrin “legal guilt”. Doktrin ini
memiliki konsep pemikiran sebagai berikut:
- Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara
prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu.
- Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan
akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan
undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif.
Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat ditetapkan oleh
pengadilan yang berwenang dan tidak memihak.
5. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law” lebih
diutamakan.
6. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana (criminal sanction).162
162 Ibid
133
Karakteristik dari masing-masing model diatas terlihat jelas perbedaannya.
Crime control model merupakan tipe affirmatif model yang menekankan pada
eksistensi penggunaan kekuasaan formal pada setiap tahapan dari prosedur
peradilan pidana serta kekuasaan legislatif yang sangat dominan. Sedangkan Due
process model merupakan tipe negatif model yang menekankan pada batasan
kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan yang
dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif yang selalu mengacu pada
konstitusi. 163
Due Proses Model merupakan suatu rangkaian yang menjadi standarisasi
bagi penegak hukum dalam hal ini Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap
kasus Raffi Ahmad, serta penegak hukum lainnya dalam melakukan penangkapan,
penahanan, penuntutan dan mengadili serta mempersalahkan pelaku kejahatan.
Konsep Due Process Model menganut asas praduga tidak bersalah dimana
seseorang baru dapat dinyatakan bersalah oleh suatu autoritas yang sah melalui
peradilan. Due Process Model sebagai paradigma sistem peradilan pidana akan
membawa sistem tersebut pada pencapaian tujuan proses yang wajar,
menempatkan pelaku kejahatan sebagai subyek, sehingga mempunyai posisi
hukum yang seimbang misalnya dengan aparat penegak hukum. Peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penegakan hukum akan
dirumuskan terutama untuk melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan
163 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, h. 44
134
aparat. Dengan demikian berlaku apa yang menurut Fletcher sebagai
negative principle of legality.164
Ketentuan undang-undang dipandang sebagai “pembatasan” kewenangan
negara (aparat penegak hukum) dan bukan sebagai dasar dari “pemberian”
kewenangan untuk merepresi suatu perbuatan. Asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) akan menjadi fundamen utama seluruh perangkat
(substance, structure dan culture) penegakan hukum.
Konsep Due Process Model relevan dalam mendukung adanya
pembatasan wewenang secara formal terhadap Penyidik Badan Narkotika
Nasional guna menghindari adanya kesalahan mekanisme administrasi peradilan
dalam hal penyalahgunaan wewenang dan menerapkan asas “equality before the
law” (kesamaan dihadapan hukum) sehinga terwujud penegakan hukum yang adil
(due process of law). Penegakan hukum yang adil (due process of law) untuk
mewujudkannya harus mencakup beberapa kriteria: pertama, perlindungan
terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara. Kedua, bahwa
pengadilan berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Ketiga, bahwa
sidang pengadilan harus bersifat terbuka. Keempat, bahwa tersangka dan terdakwa
harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya.165
Berkaitan pada kriteria diatas dalam proses peradilan pidana lembaga
peradilan dituntut bukan saja prosesnya dilakukan secara jujur, bersih dan tidak
164 George P. Fletcher, 1998, Basic Concept of Criminal Law, Oxford: Oxford University Press,
p, 207
165
I Gusti Ketut Ariawan, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM Dalam
KUHAP, Bahan Pendalaman Materi Perkuliahan Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana
Program MagisterIlmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 8
135
memihak, akan tetapi juga harus dilandasi prinsip-prinsip yang sifatnya terbuka,
korektif dan rekorektif.166
Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk berupaya
memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, tetapi dilain pihak juga
memperlihatkan usaha untuk mendorong dan mengarahkan perubahan.
Pemositifan hukum dalam perundang-undangan menjadikan hukum itu terbatas
dan sering tertinggal oleh dinamika perkembangan masyarakat. Menurut
Khudzaifah Dimyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadikan sistem hukum
positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapkan
kepadanya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (ius
constituendum), konstruksi hukum, penafsiran analogi, penghalusan hukum,
adalah contoh-contoh untuk itu.167
Penemuan hukum dan perbaikan melalui peraturan perundang-undangan
secara kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN) perlu dilakukan.
Penemuan hukum perlu dilakukan berkaitan dengan jenis narkotika Cathinone
dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon dalam kasus Raffi Ahmad
yang secara tegas tidak diatur didalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.
Perbaikan secara perundang-undangan dalam hal pembentukan
kelembagaan yang berpengaruh pada lahirnya wewenang penyidikan Badan
Narkotika Nasional (BNN). Eksistensi Badan Narkotika Nasional (BNN) masih
166 Ibid, h. 12
167
Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, h. 65
136
dibutuhkan dalam hal mengantisipasi kejahatan narkotika yang dapat mengancam
sendi-sendi kehidupan bernegara. Agar sumber hukum wewenang Badan
Narkotika Nasional (BNN) seimbang secara hierarkhi peraturan perundang-
undangan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 29 Tentang Narkotika idealnya
Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional perlu
diganti dengan undang-undang layaknya lembaga negara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) atau dengan Peraturan Pemerintah mengingat undang-undang
administrasi bersanksi pidana tidak dapat mendelegasikan wewenangnya.
Penulis mengutip pendapat Indroharto yang menjelaskan bahwa hanya
undang-undang yang dapat menimbulkan akibat hukum serta sesuai dengan
penjelasan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak hukum yang berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan berdasarkan undang-undang.
Penemuan hukum perlu dilakukan agar mampu memberikan solusi atas
perkembangan kejahatan narkotika yang terjadi. Penemuan hukum oleh Sudikno
Merto Kusumo diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim
atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan
hukum umum pada peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum sebagai
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengingat peristiwa konkret tertentu.168
Definisi ini juga tidak jauh
berbeda dengan pengertian penemuan hukum dengan apa yang dikemukakan oleh
168 Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Loc.Cit
137
Loudoe, bahwa penemuan hukum bukan suatu proses yang logis belaka melalui
proses subsumsi dari fakta pada ketentuan undang-undang, akan tetapi juga
merupakan penilaian dari fakta untuk kemudian menemukan hukumnya.
Penemuan hukum dalam hal terjadi kekosongan hukum dapat dilakukan
dengan teknik konstruksi hukum. Melalui teknik ini penemuan hukum
(Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu:
1. Analogi : Adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya
suatu pasal dari aturan hukum atau undang-undang terhadap peristiwa
hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum
dimaksud.
2. Argumentum a contrario: Adalah penalaran ini sama juga dengan analogi
tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam
undang-undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara
eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut.
3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum: Oleh Sudikno Mertokusumo
dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya berlawanan
dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan
hukum yang dikhususkan.169
Paul scholten memberikan penjelasannya dalam hal terjadinya kekosongan
hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pada intinya hukum itu ada,
tetapi masih harus ditemukan. Adalah sesuatu yang khayal apabila sesorang
beranggapan bahwa undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas.
169 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Loc.Cit
138
Penemuan hukum berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum
ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik lewat penafsiran hukum,
analogi, maupun penghalusan hukum. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan
dengan logika penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika,
melainkan melibatkan penilaian dan memasuki ranah pemberian makna. 170
Berdasarkan wawancara penulis dengan I Gede Artawan selaku Kepala
Bidang Pemeberantasan Badan Narkotika Nasional Propinsi Bali berkaitan
dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap narkotika yang
masuk termasuk kedalam kategori New Psychoactive Substances dijelaskan
bahwa Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika secara tegas tidak
mengatur ketentuan tersebut.
I Gede Artawan juga menyarankan agar para legislator yakni Dewan
Perwakilan Rakyat besama Presiden dalam merumuskan peraturan perundang-
undangan yang baru atau merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika guna mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika
jenis baru untuk membuat satu klausula Pasal yang memberikan kewenangan
kepada Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa penyidikan tindak
pidana narkotika dapat dilakukan apabila telah membuktikannya melalui hasil
laboratorium.
Penemuan hukum adalah sebuah reaksi terhadap sistuasi-situasi
problematik yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum. Penemuan hukum
diarahkan pada pemberian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hukum
170 Paul scholten dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Loc.Cit
139
yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian konkret. Ada dua unsur penting didalam
penemuan hukum yaitu pertama adalah hukum/sumber hukum dan kedua adalah
fakta.171
Fakta hukum yang terjadi dalam kasus narkotika Raffi Ahmad
menunjukan bahwa terjadinya kekosongan hukum secara normatif. Untuk itu
diperlukan adanya pemositifan hukum agar kedepannya tidak terjadi
permasalahan berkaitan dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional
(BNN) terhadap narkotika yang termasuk kedalam klasifikasi New Psychoactive
Substances. Pemositifan hukum terkait dengan narkotika jenis baru (New
Psychoactive Substances) dapat dilakukan melalui kebijakan formulasi hukum
pidana yang sesuai dengan teori kebijakan hukum pidana dan kebijakan hukum
pidana ini diambil berdasarkan pada arah politik hukum pidana.
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara
pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan
ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kejahatan
adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat.
Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan
penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan
penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga
tahap kebijakan yaitu :
171 J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Shidarta, Jendela Mas Pustaka,
Bandung, h. 1
140
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang
dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum
pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana. 172
Kebijakan formulasi narkotika jenis baru yang terdapat didalam kasus
narkotika Raffi Ahmad dengan jenis metilon yang diklasifikasikan sebagai
narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) kepastian hukumnya dapat
dicapai dalam tataran kebijakan legislatif. Pada tataran ini adalah tahapan
terpenting dimana penormaan suatu rumusan delik dalam undang-undang
dilakukan oleh lembaga terkait yang memiliki otoritas untuk itu. Pembuat undang-
undang menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan
sanksi apa yang dapat dikenakan. Ketika undang-undang telah terbentuk
pelaksanaannya kemudian dilaksanakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif
untuk melaksanakan hukum pidana secara konkrit.
Kebijakan penegakan hukum pidana harus sesuai dengan arah politik
hukum yang dibutuhkan dalam hal penanggulangan kejahatan yang dilakukan
oleh Negara melalui pembentukan undang-undangnya. Dalam kasus Raffi Ahmad
konsep politik hukum pidana diperlukan dalam hal pengertian yang praktis yakni
politik hukum pidana adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
172
Barda Nawawi Arief, 1998, Loc. Cit
141
menanggulangi kejahatan dan usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk
undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan aparat yang terkait dengan
eksekusi pemidanaan. Aktifitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri
melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.173
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, "Politik Hukum" adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa
melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti, "usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Politik hukum pidana dilihat sebagai bagian dari politik hukum
mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat
173 Barda Nawawi Arief II, Loc.Cit
142
peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari
tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana".
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan
hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy).
Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang
(hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat
diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam
pengertian "social policy", sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy"
dan "social defence policy".
Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang
lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana
formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.
143
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian tesis ini yang dapat penulis
uraikan adalah :
1. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam
tindak pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu
pada Pasal 149 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Sebagai Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang
pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan
kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika
Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti peraturan
pemerintah.
2. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi
Ahmad adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana
karena tidak memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur
obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur didalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan
asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan
secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
143
144
5.2 Saran/Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait dengan pembahasan
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
bersama presiden jika masih menghendaki adanya Badan Narkotika Nasional
hendaknya membentuk suatu undang-undang agar memberikan kewenangan
yang sah kepada Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana
narkotika.
2. Untuk mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika jenis
baru disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
bersama Presiden untuk merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika dan membentuk klausula pasal progresif yang menyatakan
penyidikan tindak pidana narkotika yang jenisnya tidak tencantum dalam
ketentuan undang-undang, penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil uji
laboratorium forensik.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku.
Adi, Kusno, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang.
Atmosudirjo, S. Prajudi , 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi
Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta.
Ali, H.Zainudin 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
cetakan keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen,
Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya
Padjajaran, Bandung.
Arief, Barda Nawawi, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________________ , 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit P.T. Citra
Aditya Bakti Bandung.
__________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Citra
Aditya bakti, Bandung.
Atmadja, I Dewa Gede, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum
(Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit
Bali Aga.
Atmosudirjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia.
Brouwer J.G dan Schilder, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan
Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi
Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama.
Bruggink, J. J. H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Sidhartha, Arief
cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Dimyati, Khudzaifah , 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University
Press, Surakarta.
Effendy, Marwan, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-
Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta
Selatan.
Fuller, Lon, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press).
Goldstein, Joseph dalam Anwar, Yesmil dan Adang,2009, Sistem Peradilan
Pidana (Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum
di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung.
Logemann dalam Fachrudin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi
Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.
Hadjhon, Philipus M, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBangPRESSindo, Yogyakarta.
Hadjon, Phillipus M, 1997, Tentang Wewenang,Yuridika, Surabaya.
Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Hamzah, Andi dalam dalam Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan
Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum
di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung
Harahap, M. Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan
Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum
di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung.
Hart, H.L.A, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford.
H.R, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Cet.ke-4, Rajawali Pers,
Jakarta.
____________, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Ian Mc.Leod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall
University
Iqbal Hasan, M, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya,
Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Ibrahim, Jhony, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya.
Kusumaatmadja, Mochtar dalam Atmasasmita, Romli 2012, Teori Hukum
Integratif : Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan
Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta.
Kelsen, Hans 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Cet. ke-2, terjemahan
Asshiddiqie, Jimly dan Safa'at, M. Ali Konstitusi Press, Jakarta).
M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete
Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya.
Marpaung, Leden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan, &
Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi) Sinar Grafika, Jakarta.
Marpaung, Leden, 2004, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan
Pencegahan, Edisi Revisi, Djambatan.
Mardani, 2008, Penyalah Gunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muladi dan Nawawi Arief, Barda 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana,
Penerbit Alumni Bandung
Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan
Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang
Mediatama.
Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citrabaru, Jakarta.
Mulder dalam Hamdan, M 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja
Grafindo, Persada, Jakarta.
Nasution, Bahder Johan, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan
pertama, CV. Mandar Maju, Bandung.
Nicolai, P dalam H.R, Ridwan,2008, Hukum Administrasi Negara, cetakan
keempat, Rajawali Pers, Jakarta.
Packer, Hebert, 1968, The Limits Of Criminal Santion, Stanford University Press,
California.
Pontier, J.A. 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Shidarta, Jendela
Mas Pustaka, Bandung.
Putra Jaya, Nyoman Sarikat, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Rahardjo, Satjipto 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing,Yogyakarta.
Rawls, Jhon, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts.
Rawls, Jhon, dalam Syukri Akub, M dan Baharu, Baharuddin, 2012, Wawasan
Due Proses Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkang
Education, Yogyakarta
Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press.
Roelof H. Heveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern
Indonesia, Tata Nusa, Jakarta.
Robert Bohtlingk, Frederick dalam Fachrudin, Irfan 2004, Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.
Scholten, Paul dalam Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk, 2011, Memahami
Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta.
Seno Adji, Indrianto 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media
Jakarta.
Seno Adji, Indrianto dalam EfFendy, Marwan, 2012, Kapita Selekta Hukum
Pidana : Perkembangan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan
Korupsi, Referensi, Jakarta
Seno Adji, Indrianto dalam Basuki Minarno, Nur, 2009, Penyalahgunaan
Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan
Daerah, Laksbang Mediatama, Palangkaraya.
Sinaga, Patuan dalam S.F Marbun dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjoeno, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Stroink, F. A.M. dan J.G. Steenbeek, Dalam Minarno, Nur Basuki (ed),
Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama.
Stout, H.D, 1994, “Betekenissen van de Wet” dalam HR, Ridwan (ed), Hukum
Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada.
Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.
Manan, Bagir 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit
IND-HILL.CO, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum, cetakan keenam, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno dalam Hiariej, Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas Dan
Penemuan Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga,
Jogjakarta
Teeuw, A, 1999, Kamus Indonesia-Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tonnaer, F.P.C.L, 1986, Legaal Besturen: het Legaliteitbeginsel of struikelblok,
Dalam HR, Ridwan (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja
Grafindo Persada.
Utrecht, E, dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi
Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.
Van Wijk, H.D, dalam Irfan Fachrudin, 2004, Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung.
Ulfa Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit
Lubuk Agung Bandung.
II. Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Peraturan Hukum Acara Pidana,
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988)
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 367).
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143).
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60).
Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 12).
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional
Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pelayanan
Laboratorium Pengujian Narkoba Pada Badan Narkotika Nasional
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 670 Tahun 2011).
III. Jurnal /Artikel Ilmiah.
Adisoeryo, Soeparno, Lembaga Pengawas sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan
Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah
disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga
Pengawas Siatem Peradilan Terpadu. Jakarta, 16 Juli 2002.
Ariawan, I Gusti Ketut, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM
Dalam KUHAP, Bahan Pendalaman Materi Perkuliahan Bantuan Hukum
dan Penyantunan Terpidana Program MagisterIlmu Hukum Universitas
Udayana, Denpasar.
Djatmiati, Tatiek Sri, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, (Disertasi),
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
M. Hadjon, Philipus, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik (AAUPB), Artikel Ilmiah, disampaikan pada Seminar
Nasional "Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik
Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004.
Mustamu, Julista, 2011, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi
Pemerintahan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni.
Manan, Bagir, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka
Otonomi Daerah, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional
Fakultas Hukum, Univeristas Padjajaran, Bandung 13 Mei.
Manan, Bagir, 2005, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Varia
Peradilan, Tahun ke-XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Jakarta.
Syarif Nuh, Muhamad, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1,
Makasar
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Peran Pegawai
Pemerintah Sebagai Partisipan Membangun Budaya Bangsa, Availaible
at www.kejaksaan.go.id. Diakses 14 Februari 2014.
IV. Tesis.
Muliawan Subawa, I Made, 2013, Fungsi Notaris dalam Menjamin Keabsahan
Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan
CapJempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan, (tesis) Program Pasca
Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Johny Krisnan, 2008, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (tesis)Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang
Wahyu Chandra Satriana, I Made 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif
Dalam Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2)
Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
V. Artikel Dalam Format Elektronik (Internet).
Arman Depari, 2013, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri
memaparkan hasil temuan narkotika jenis baru yang beredar di
Indonesia, Alvalaible at http://sinarharapan.co/index.
php/news/read/27868/empat-narkoba-jenis-baru-beredar-di-
indonesia.html. Diakses 14 Februari 2014.
Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Psychoactive
Substances-NPS), Avalaible at, http://bnnp-diy.com/posting-117-
narkoba-baru-nps.html. Diakses 22 November 2013.
Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Bahan Jenis Narkoba Kasus Raffi Ada di
Puncak, 2013, Avaliable at http://www.tempo.co/read/news/2013/02/03/
064458701/BNN-Bahan-Jenis-Narkoba-Kasus-Raffi-Ada-di-Puncak.
Diakses 11 Februari 2014.
Sumirat Dwiyanto, 2013, Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan
Laboratorium Uji Narkoba Oleh Badan Narkotika Nasional, Avalaible
at http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/30/bnn-temukan
narkotika-jenis-baru. Diakses 11 Februari 2014.