dinamika kebijakan tehadap nelayan tinjauan historis pada nelayan ...
Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...
Transcript of Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan ...
TESIS
KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR
KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
MUHAMAD ALKAUSAR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
TESIS
KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR
KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
MUHAMAD ALKAUSAR NIM 0990261026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR
KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MUHAMAD ALKAUSAR NIM 0990261026
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan yang Mahakuasa karena berkat rahmat
dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Keterancaman Ritual
Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi
Tenggara tepat pada waktunya.
Penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana wujudnya sekarang ini berkat bantuan
dan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Oleh karena itu, sebagai
wujud nyata ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerja sama
yang penulis terima dengan penuh kebaikan dan cinta, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :
1) Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U, selaku pembimbing I yang dengan semangat
kekeluargaan membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis dalam berbagai kesulitan,
khususnya dalam mendeskripsikan gagasan-gagasan yang rumit dan abstrak dengan cara
yang lebih sederhana dan konkret;
2) Prof. Dr. Pudentia, MPSS., M.A. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan
tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan, khususnya di bidang Tradisi
Lisan;
3) Bapak Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. PD (KHOM), selaku Rektor Universitas Udayana ;
Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Dekan Fakultas Sastra Universitas
Udayana beserta staf atas segala yang diberikan; Ibu Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.,
selaku Ketua Program Magister Kajian budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana, atas
segala tuntutan dan petunjuknya; Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Sastra
Universitas Udayana Program Magister Kajian Budaya, atas segala motivasi dan berbagai
petunjuk dalam pengerjaan laporan penelitian;
4) Dewan penguji yang telah membaca dan memberikan masukan-masukan kritis dan objektif
terhadap keseluruhan tesis ini. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Prof. Dr. Aron Meko
Mbete, dan Dr. I Gede Mudana, M.Si;
5) seluruh staf pengajar di Program Pendidikan Magister Kajian Budaya yang telah membekali
penulis dengan berbagai konsep, teori, dan metodologi sehingga penulis dapat melakukan
penelitian dengan baik.
6) seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi S2 Kajian Budaya :
Bapak I Putu Sukaryawan, Bapak Madya, Ibu Luh, Ibu Aryati, Ibu Cok, Ibu Agung, Bapak
Candra, Bapak Hendra yang dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan melayani
berbagai urusan administrasi akademik dan kemahasiswaan.
7) Rektor Universitas Haluoleo Sulawesi Tenggara Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S,
dan selaku ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Kendari Dr. La Niampe. S.Pd M.Hum. yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 Kajian
Budaya Universitas Udayana
8) para informan pegawai kelurahan Bungkutoko dan masyarakat kelurahan Bungkutoko
khususnya Nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara yang telah memberikan data bagi
penulis secara langsung maupun tidak langsung selama masa penelitian dengan penuh
semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
9) teman-teman S2 angkatan 2009 khususnya dikelas pagi : Rahmat, Darwan,Ibu Choleta, Ibu
Wahyu, Pak Made, Pak Nurite, Pak Suriante, rekan-rekan seperjuangan dari Kendari: Dr. La
Taena SPd. M.Si, Abdul Rahman (Abu), Pak La Ino, Pak Hamiruddin Udu, Pak La Ode
Dirman, Pak Hadirman, Pak La Aso, Pak La Tari, Hardin, Wa Irma, La Kolona, Pak Ali
yang telah memberikan dukungan, semangat, nasehat dan doa sampai penulisan tesis ini.
10) Ayahanda Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad. M.S, Ibunda Wa Ode Atiah, serta saudara-
saudariku Ahdunyadin S.E, M.Si, Lili Darlian S.Si, M.Si, Muhamad Syahlan Jayanegara
S.E., M.Si., Nirmala Sari, S.Pd., M.Hum., Muhammad Awaluddin S.H., Wd. Fitriani Sari,
S.Pd dan yang terspesial dan tercinta keluarga besar Riski Eprilianti Ramdani Putri Tombili
S.Si (Kikhy) yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan dan suport kepada
penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini; dan
11) Keluarga Besar Bapak Soedjiwo yang telah memberikan nasehat, dukungan, bantuan, serta
doa kepada penulis.
Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan yang Maha Pengasih membalas budi
baik mereka dengan balasan yang setimpal.
Denpasar, Agustus 2011
Penulis
ABSTRAK
Judul : Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara
Oleh : Muhamad Alkausar Program Studi : (S2) Kajian Budaya
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam
Masyarakat Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Ritual mappandesasi ini merupakan identitas budaya etnik Mandar yang di dalamnya banyak terkandung pengetahuan tradisional, seharusnya dilestarikan oleh masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya dalam kemajuan iptek dan peraliharan mata pencaharian masyarakat nelayan etnik Mandar saat ini, ritual mappandesasi sudah terancam punah atau hampir tidak lagi dilaksanakan ritual mappandesasi.
Tujuan dari ritual mappandesasi adalah para nelayan meminta keselamatan dan rezeki (hasil tangkapan) pada saat melaut, dengan cara memberikan beberapa jenis makanan (sesajen) kepada penguasa laut. Ritual ini juga merupakan ucapan syukur para nelayan etnik Mandar kepada penjaga sasi atas berkah keselamatan dan rezeki yang didapat dalam melaut, Adapun manfaat ritual mappandesasi dilakukan setelah pulang dari melaut.
Masalah yang diteliti dirumuskan dalam tiga pertanyaan berikut ini. (1) bagaimana bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi? (3) bagaimanakah dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ritus untuk menganalisis permasalahan pertama, teori dekonstruksi untuk menganalisis permasalahan ke dua, dan teori semiotika untuk menganalisis permasalahan pertama dan ke tiga. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungukutoko Sulawesi Tenggara dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan media, faktor pendidikan, faktor ekonomi, serta kurangnya pemahaman generasi muda terhadap ritual mappandesasi, tidak adanya pewarisan budaya dari generasi tua terhadap generasi muda, dan faktor tradisi.
Terdapat beberapa dampak dan makna dalam penelitian ini terkait dengan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Dampak tersebut adalah dampak sosial, dampak ekonomi, dan dampak budaya. Adapun makna yang terdapat dalam ritual mappandesasi ini adalah makna religi, makna solidaritas dan makna kedamaian. Kata kunci: keterancaman, ritual mappandesasi, dan nelayan etnik Mandar
Abstract Judul : Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar
Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara Oleh : Muhamad Alkausar
Program Studi : (S2) Kajian Budaya
This thesis is the result of research on the threatened of ritual Mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko Mandar Southeast Sulawesi. This is a ritual mappandesasi Mandar ethnic cultural identity that many contained therein traditional knowledge, should be preserved by the community. However, the reality in the progress of science and technology and transition livelihoods of fishing communities currently Mandar ethnic, ritual mappandesasi already endangered or almost no longer carried out the ritual mappandesasi.
The purpose of ritual mappandesasi is the asking of safety and sustenance fishermen (catch) at sea, or by providing some type of food (offerings) to the ruler of the sea. This ritual is also a thanksgiving to the Mandar ethnic fishermen guard sasi blessing and provision of safety obtained in the sea. As for the benefits ritual mappandesasi performed after coming home from fishing.
Issues, formulated in the following three questions. (1) how the shape of the threatened rituals Mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko Southeast Sulawesi? (2) what factors are causing the threatened of ritual mappandesasi ? (3) how the impact and the threatened ritual mappandesasi in Mandar ethnic communities in Village Bangkutoko ?. The theory used in this study is the theory of ritus to analyze the first problem, the theory of deconstruction is to analyze the second problem and the theory of semiotics to analyze the problem first and third. This study used qualitative methods. Data collection in this study was done by using observation, interview and literature study. The results of this study indicate that the threatened of ritual mappandesasi in fishing communities in the Mandar ethnic village Bangkutoko Southeast Sulawesi influenced by the advance of technology and media, education factor, economic factors and lack of understanding of the ritual mappandesasi younger generation, the lack of cultural inheritance from older generations to younger generations, and the tradition factor.
There are some impacts and meanings in this research associated with the threatened of ritual mappandesasi in fishing communities in the Mandar ethnic in village Bangkutoko Southeast Sulawesi. The impacts are the social, economic, and cultural impact. As for the meanings contained in this ritual mappandesasi are religious, solidarity and peace meaning. Key words: the threatened, ritual mappandesasi and fishermen of Mandar ethnic
RINGKASAN
Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Bungkutoko
Kecamatan Abeli, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Penduduk kelurahan tersebut terdiri atas
suku Tolaki sebagai penduduk pribumi, suku Mandar, suku Buton, suku Muna, dan Jawa sebagai
penduduk pendatang. Yang mendiami kelurahan Bungkutoko ini adalah etnik Mandar yang
bermata pencaharian sebagai nelayan. Kelima suku tersebut memiliki tradisi budaya yang
berbeda-beda. Penelitian ini berjudul Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat
Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Penelitian ini berfokus
pada tradisi budaya etnik Mandar yang biasa dipentaskan menjelang melaut dan sesudah melaut
yang disebut oleh etnik Mandar dengan istilah ritual memberi makan penjaga laut (setassasi)
yang disebut dengan ritual mappandesasi.
Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok permasalahan. Pertama, mengidentifikasi dan
mendeskripsikan bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko. Kedua, mendeskripsikan faktor-faktor yang
mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan
etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko. Ketiga, menginterpretasi dampak dan makna
keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko.
Permasalahan tentang bentuk-bentuk keterancaman ritual mappandessai, dianalisis
dengan menggunakan teori ritus. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di kelurahan
Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual ,mappandesasi sebagai bentuk perwujudan masyarakat
nelayan etnik Mandar terhadap kepercayaan terhadap mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi
yang dilakukan oleh etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk
mengintensifkan kerja sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan etnik Mandar.
Selain itu, dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko di temukan adanya kelompok yang
menganggap ritual mappandesasi dilakukan sekedar mencari kepuasan hati tanpa ada makna
apa-apa. Ada kelompok yang menganggap pelaksanaan ritual mappandesasi sebagai kewajiban
sosial untuk mengikuti tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang. Dalam
pelaksanaan ritual mappandesasi ini ditampilkan berbagai bahan perlengkapan dari berbagai
jenis tumbuh-tumbuhan, nasi, telur, gambir, dupa atau kemenyan, dan ikut pula dikurbankan
hewan seperti kambing (beke) dan ayam (mannu). Beke dan mannu beserta bahan sesembahan
lainnya disodorkan untuk penjaga sasi.
Bentuk-bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai berikut. Pertama, proses pelaksanaan upacara seperti
terjadinya pengurangan jenis hewan yang dijadikan sebagai binatang sesembahan. Selain itu,
sudah terjadi pembaruan bahan ritual di antaranya digantinya tembakau tradisional dengan rokok
hasil produksi modern. Pengurangan dalam jenis binatang sesembahan, pada mulanya, dalam
ritual mappandesasi memiliki tiga jenis hewan sebagai binatang kurban yakni sapi, kambing
(beke) dan ayam (manu buluh sirua). Dalam perkembangan seperti sekarang binatang yang
dijadikan sebagai binatang kurban adalah kambing (beke) dan ayam (mannu). Kondisi ini
diakibatkan harga sapi mencapai tujuh juta rupiah per ekor. Kedua, bentuk keterancaman lain
yang terdapat dalam ritual mappandesasi adalah terjadi penurunan jumlah dan peserta dalam
pelaksanaan ritual mappandesasi. Pada mulanya ritual ini diikuti oleh semua suku yang ada di
Kelurahan Bungkutoko, akan tetapi seiring berjalannya waktu perserta ikut berkurang karena
pergantian mata pencaharian. Sebagian masyarakat tidak lagi bekerja di sektor kelautan yakni
sebagai nelayan, tetapi sudah beralih pada pekerjaan yang tidak berhubungan lagi dengan laut,
seperti tukang ojek, sopir angkutan umum, kuli bangunan dan menjadi karyawan di pusat-pusat
perbelanjaan di Kota Kendari.
Adapun permasalahan yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya
keterancaman ritual mappandesasi dianalisis dengan menggunakan teori dekonstruksi. Hasilnya
menunjukkan bahwa telah terjadi konstruksi sosial baru dalam masyarakat terkait dengan
pelaksanaan ritual mappandesasi. Konstruksi tersebut adalah adanya pembaruan dan
pengurangan sarana ritual akibat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dan media, faktor
pendidikan dan faktor ekonomi mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi.
Tiga faktor tersebut merupakan faktor penyebab secara eksternal. Ada faktor internal yang
mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual mappandesasi yakni kurangnya pemahaman
generasi muda terhadap ritual mappandesasi, tidak adanya pewarisan kebudayaan dari generasi
tua kepada generasi muda, dan faktor tradisi.
Semua bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi melahirkan dampak negative
dalam berbagai hal. Pertama, keterancaman mengakibatkan dampak secara sosial, yakni
terjadinya penurunan dan memudarnya rasa persatuan serta solidaritas masyarakat dalam
berbagai hal. Menurunnya tingkat kerja sama dalam masyarakat dapat kita jumpai dalam wujud
kerja bakti. Sudah jarang warga Kelurahan Bungkutoko yang menghadiri acara kerja bakti di
kantor kelurahan. Selain itu, dalam hajatan masyarakat, seperti pesta pernikahan, sudah jarang
laki-laki datang membantu, kebanyakan perempuan dengan alasan laki-laki pergi mencari uang.
Zaman modern merupakan zaman setiap orang selalu disorientasi dislokasi dengan orientasi
materi. Jarang orang yang memberikan tenaganya dengan cara gratis, harus ditukar dengan uang.
Kepentingan individu diletakkan di atas kepentingan kelompok. Dampak yang lain yakni
dampak yang berhubungan langsung dengan nelayan. Dampak tersebut sangat berkaitan dengan
penghasilan para nelayan dalam menangkap ikan. Berkurangnya penghasilan para nelayan
dikaitkan dengan akibat dari kurangnya dan terjadinya pembaruan sarana dalam ritual
mappandesasi.
Tidak saja memiliki dampak, ritual mappandesasi memiliki makna positif terhadap
masyarakat nelayan etnik Mandar. Pertama, makna religi, ritual mappandesasi dijadikan oleh
masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai simbol mengimplementasikan kepercayaan terhadap
mitos penjaga laut yang dipersonifikasikan dengan setassasi, dan terkait dengan mitos
keselamatan, kedamaian, serta keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar akan mendapatkan
hasil tangkapan yang banyak dalam melaut, ketika sudah melaksanakan ritual mappandesasi.
Kedua, makna solidaritas. Dengan melakukan ritual mappandesasi semua masyarakat dari etnis
mana pun seharusnya ikut membantu dan merayakan pelaksanaan ritual mappandesasi. Akan
tetapi, kondisi seperti itu sudah jarang ditemukan dalam masyarakat. Solidaritas yang terjadi
sekarang hanyalah tinggal antara sesama anggota nelayan dalam kelompok yang sama. Ketiga,
makna kedamaian. Setiap kelompok nelayan yang telah melakukan ritual mappandesasi baru
beraktivitas melaut selalu merasakan kedamaian meskipun menghadapi ombak besar di laut.
Perasaan ini diakibatkan oleh pola pikir bahwa dia telah memberi makan penjaga sasi sudah pasti
penjaga sasi akan melindungi dan memberikannya rezeki yang banyak.
Untuk menghindari agar ritual mappandesasi tidak mengalami kepunahan, peneliti
menyampaikan beberapa saran. Pertama, disarankan agar orang tua menghindari keterputusan
regenerasi terhadap pelaku ritual mappandesasi, sudah saatnya para orangtua memperkenalkan
ritual mappandesasi kepada anak-anaknya dengan cara menceritakan kepada mereka menjelang
tidur. Setelah diperkenalkan dan diketahui, orang tua menganjurkan kepada anak-anaknya
supaya pengetahuan itu ikut diiplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, disarankan
agar generasi muda yang pernah atau sedang mengikuti pendidikan formal supaya tidak
menyalahgunakan ilmunya dengan tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan lokal sebagai
bentuk kearifan lokal. Jadikanlah tradisi lokal sebagai filter untuk menyaring hasil produk
budaya modern yang masuk dan merusak dalam masyarakat agar tidak mengambil tatanan sosial
yang sudah ada sebelumnya.
Ketiga, disarankan kepada pemerintah khususnya Pemerintah Daerah meningkatkan
kepekaan dan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal sebagai penunjang kebudayaan nasional.
Kepekaan dan perhatian tersebut dapat direalisasikan oleh pemerintah dengan melakukan atau
mengadakan pertunjukan pameran kebudayaan lokal. Selain itu, perhatiannya dapat ditunjukan
atau diperlihatkan dengan cara membentuk sanggar budaya. Lewat sanggar budaya pemerintah
bisa mengadakan pertunjukan atau pentas kebudayaan yang harus diikuti oleh semua suku yang
mendiami wilayah tersebut. Alternatif terakhir yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk
menunjukkan perhatiannya terhadap kebudayaan lokal adalah dengan memberikan bantuan
kepada masyarakat yang hendak melakukan pementasan kebudayaan, seperti etnik Mandar yang
melakukan ritual mappandesasi sekali dalam setahun.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..…...i
PERSYARATAN GELAR ………………………………………………….……ii
LEMBAR PERSETUJUAN ………………………………………………..……iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……...………………………………...……iv
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………………v
ABSTRAK ……………………………………………………………………….ix
ABSTRACT ………………………………………………………………..……..x
RINGKASAN ……………………………………………………………………xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...…xvii
LAMPIRAN………………………………………………………………….….xxi
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….…..xxii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...xiii
GLOSARIUM …………………………………………………………………..xiv BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………...……..9
1.3 Tujuan Penelitian ………………………..…………………………….……..10
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………………….………….10
1.3.2 Tujuan Khusus ……………………………………………….…………...10
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………………...10
1.4.1 Manfaat Teoretis ……………………………………………..…………...10
1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………….…………..11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………….…………..…12
2.2 Konsep…………………….……………………………….…...................26
2.2.1 Keterancaman…………………………………………….………………26
2.2.2 Ritual Mappandesasi…...………...…………..…………………………..27
2.2.3 Keterancaman Ritual Mappandesasi……………………………………..29
2.2.4 Masyarakat Nelayan …..……...………………………………………….29
2.2.5 Etnik Mandar…...……………………….…………………….………….30
2.2.6 Tradisi Lisan………………………………………….…………………..32
2.2.7 Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar……..…32
2.3 Landasan Teori …………………………………………………...…………34
2.3.1 Teori Ritus…..……………...……………………………………...……….34
2.3.2 Teori Dekonstruksi………………………………………………...….……35
2.3.3 Teori Semiotik …………………………………..………………….……...37
2.4 Model Penelitian ……………………………………………………...…….38
BABA III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ………………………………………………………..42
3.2 Lokasi Penelitian ………………………………………………………...…..43
3.3 Jenis dan Sumber Data ………………………………………………………43
3.4 Penentuan Informan …………………………………………………………44
3.5 Instrumen Penelitian ……………………………...…………………...…….44
3.6 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………………..45
3.6.1 Observasi …………………………………………………………………..45
3.6.2 Wawancara Mendalam………………………….…………………...……..45
3.6.3 Studi Dokumen….………………………………………………………….46
3.7 Teknik Analisis Data ………………………………………………………...47
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ……………………………………….49
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis ……………………………………………………………...50
4.2 Demografi ………………………………………………………………........51
4.3 Mata Pencaharian ……………………………………………………………55
4.3.1 Nelayan……………………………………………………………………..56
4.3.2 Pegawai Negeri Sipil ………………………………………………...........58
4.3.3 Berdagang ………………………………………………………….............59
4.3.4 Tukang Kayu ………………………………………………………………61
4.4 Agama dan Kepercayaan ...…………………………………………………..63
4.5 Bahasa dan Kesenian ………………………………………………………...66
4.5.1 Bahasa………………………………………………………………….......66
4.5.2 Kesenian ……………………………………………………………….......68
4.6 Organisasi Sosial …………………………………………………………….69
4.7 Asal Usul Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko ………………………...74
4.8 Ritual Mappandesasi ………………………………………………………...76
BAB V BENTUK KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM
MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO SULAWESI TENGGARA
5.1 Proses Pelaksanaan Ritual Mappandesasi …………………………………...82
5.1.1 Mengecilnya Jumlah Sumbangan …………………………………….........83
5.1.2 Berkurangnya Binatang Kurban dalam Ritual Mappandesasi …………….86
5.1.3 Memotong Hewan Kurban…………………………………………………89
5.1.4 Meletakkan Sesaji ...………………………………………………….......104
5.1.5 Makan Bersama …………………………………………………………..106
5.2 Berubahnya Sarana Ritual Mappandesasi ………………………………….109
5.3 Menurunnya Jumlah Peserta yang Melakukan Ritual Mappandesasi ,…….112
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA
KETERANCAMAN TERHADAP RITUAL MAPPANDESASI 6.1 Faktor Eksternal…………………………………………………………….118
6.1.1 Teknologi dan Media …………………………………………………….118
6.1.2 Faktor Pendidikan ………………………………………………………..128
6.1.3 Faktor Ekonomi …………………………………………….…………….133
6.2 Faktor Internal ……………………………………………………………...138
6.2.1 Tidak Adanya Tranmisi Budaya dari Generasi Tua
kepada Generasi Muda ………………………………………………….139
6.2.2 Tidak Adanya Pengetahuan Generasi Muda
tentang Ritual Mappandesasi……………………………………………142
6.2.3 Faktor Tradisi……………………………………………………………..146
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR
7.1 Dampak …………………………………………………………….………151
7.1.1 Dampak Sosial …………………………………………………………....151
7.1.2 Dampak Ekonomi ………………………………………………………...154
7.1.3 Dampak Budaya…………………………………………………………..158
7.2 Makna ………………………………………………….…………………...161
7.2.1 Makna Religius ………………………………………………………….162
7.2.2 Makna Solidaritas ………………………………………………………..165
7.2.3 Makna Kedamaian ……………………………………………………….168
7.3 Refleksi …………………..………………………………………………....170
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan …………………………………………………………………...173
8.2 Saran …………………………………………………….………………….175
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara …………………………………………………..184
2. Daftar Informan ………………………………………………………...186
3. Peta Kelurahan Bungkutoko ……………………………………………187
DAFTAR TABEL
TABEL
1. Komposisi Penduduk Kelurahan Bungkutoko Menurut
Umur dan Jenis Kelamin ………...………………………………………53
2. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan
Bungkutoko ………………………………………...……………………56
DAFTAR GAMBAR
5.1 Pemotongan Kambing (Beke)………………………………………….....90
5.2 Pemotongan Ayam (Mannu) …………………………………………….92
5.3 Bahan-Bahan Sesajen Ritual …………………………………………….97
5.4 Wadah untuk Menyimpan Bahan Sesajen (Anja) ……………………….99
5.5 Rakit Tempat Sesajen……………………………………………….......105
5.6 Sandro dan Beberapa Masyarakat yang Berpartisipasi
dalam Ritual Mappandesasi …………………………………………...107
GLOSARIUM anja : wadah untuk menyimpan bahan sesajen untuk dibawa ketempat
keramat.
bakal : jenis tembakau tradisional yang digunakan sebagai salah satu
perlengkapan ritual mappandesasi
ba’go : nama kapal yang digunakan nelayan etnik Mandar pertama kali tiba
di Kelurahan Petoaha
beke : kambing salah satu jenis hewan kurban dalam ritual mappandesasi.
dambarisan : kebersamaan
ghoniwi : mengirim do’a kepada roh leluhur disertai dengan makanan dan
minuman secukupnya, biasanya hanya telur, air the, dan nasi.
kaluppin : daun sirih yang dilipat berbentuk persegi empat untuk perlengkapan
ritual mappandesasi.
kanjilo : salah satu nyanyian etnik Mandar yang selalu dinyanyikan pada saat
mau turun melaut.
lariangi : nama salah satu tarian milik etnik Buton yang selalu ditampilkan
pada saat acara peng-Islaman.
layya : salah satu jenis tumbuhan yang digunakan menjadi perlengkapan
ritual, atau biasa disebut jahe.
lulo : salah satu tarian di Sulawesi Tenggara, Tarian ini milik etnik Tolaki
hanya saja sekarang sudah sering dilakukan oleh semua etnik di
Sulawesi Tenggata pada saat acara hajatan, seperti pesta pernikahan.
majalla : salah satu jenis penangkapan ikan yang pertama kali digunakan oleh
etnik Mandar sampai mereka tiba di Kelurahan Petoaha.
mannu : salah satu jenis hewan kurban dalam ritual mappandesasi, mannu
sama dengan ayam.
mappandesasi : salah satu ritual memberi makan laut bagi nelayan etnik Mandar.
masiriballe’ : salah satu nama doa untuk meminta rezeki yang banyak dalam
melaut.
pallili : salah satu jenis persyaratan ritual mappandesasi yang terbuat dari
dupa atau kemenyan.
pamere : daun dari tumbuhan sirih yang digunakan sebagai perlengkapan
dalam ritual mappandesasi.
pangudunna alo : salah satu malam yang penuh berkah bagi masyarakat nelayan etnik
Mandar, malam ini jatuh pada Malam Jum’at dengan hitungan 10
bulan di langit
panno-panno : salah satu jenis tumbuhan yang menjadi persyaratan dalam ritual
mappandesasi.
pobhelo : nama salah satu silat tradisional dalam masyarakat Muna, yang selalu
ditampilkan pada saat acara aqikah.
rarambanga : kelompok kerja sama masyarakat nelayan etnik Mandar yang
dibentuk sebagai wadah tolong-menolong dalam aktivitas melaut
atau aktivitas kemasyarakatan lainnya.
sandro : sebutan pemimpin dalam melaksanakan ritual, orang pintar seperti
dukun.
sasi : yang berarti laut.
setasasi : sebutan penjaga laut bagi masyarakat etnik Mandar.
sikaada : perasaan atau sikap saling menerima kekurangan antarsesama
nelayan etnik Mandar.
sippatapa : perasaan jujur atau sikap tidak saling mencurigai antarsesama
nelayan etnik Mandar atau sikap saling mempercayai antara sesama
mereka.
sirua : jenis bulu ayam yang bisa digunakan sebagai hewan kurban dalam
ritual mappandesasi. Ayam ini semua berbulu hitam yang di
ketiaknya (di bawah sayapnya) terdapat bulu putih atau ayam yang
semuanya berbulu putih tetapi di ketiak (di bawah sayapnya)
terdapat bulu hitam.
Situlu-tulu : sikap saling menolong dalam hal meringankan beban atau
penderitaan hidup.
sokko : salah satu sarana ritual mappandesasi yang terbuat dari beras ketan
dan terbentuk dalam empat warna, seperti putih, merah, hitam dan
kuning.
taru : buah pinang yang digunakan sebagai perlengkapan dalam ritual
mappandesasi
torada : bambu yang digunakan sebagai perlengkapan ritual mappandesasi.
tusuk Bobal : nama salah satu tarian ernik Mandar yang selalu ditampilkan pada
saat-saat hajatan yang terkait dengan siklus hidup manusia, seperti
aqikah.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etnik-etnik yang tersebar di seluruh Nusantara ini, memiliki dua kemungkinan yang tidak
dapat disangkal. Kemungkinan pertama, etnik mayoritas dengan dukungan populasi yang besar
dan kedua, etnik minoritas dengan dukungan populasi yang kecil. Namun, etnik minoritas
tersebut tetap memperlihatkan ciri-ciri kebudayaannya, baik yang universal maupun yang unik
sifatnya. Sebagaimana diketahui kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai,
dan konsep, yang memungkinkan bagi suatu kelompok untuk kehidupannya atau sebagai
pandangan hidup (world view). Dalam sebuah kebudayaan tiap-tiap anggota pendukungnya
secara mental memiliki suatu kerangka pikiran tertentu. Secara fisik memiliki ketetapan bentuk
tubuh dasar tertentu, dan secara sosial berhubungan yang satu dengan lain dengan cara-cara
tertentu. Dalam pandangan ini identitas merupakan salah satu fungsi inkulturasi (Fay,2002:74).
Identitas etnik tersebut dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, cara makan, cara
berpakaian, cara bersopan santun, standar etika, dan moral yang berbeda antarkomunitas.
Perbedaan itu tampak kontradiktif. Namun, sejarah menunjukkan adanya inti budaya yang sama
(sharing of culture) yang dapat saling menerima dan saling mengerti perbedaan itu
(Purwasito,2003:224). Hal ini dapat ditemukan dalam etnik Mandar yang bermukim di
Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Etnik Mandar memiliki tradisi budaya tersendiri
yang menjadi identitasnya dalam hidup berdampingan dengan etnik-etnik lain di lokasi
pemukimannya, yakni di Bungkutoko yang dihuni oleh beberapa etnik.
Budaya etnik Mandar merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang belum
didokumentasikan. Sebagai masyarakat yang memiliki identitasnya sendiri, Kelurahan
Bungkutoko dihuni oleh berbagai etnik yang mayoritas beragama Islam. Salah satu di antaranya
adalah etnik Mandar. Walaupun masyarakat etnik Mandar mayoritas beragama Islam, tetapi
masih dalam kategori Islam sinkretis. Hal ini dapat dijumpai dalam kehidupan mereka sehari-
hari yang masih mempraktikkan kepercayaan lokal (religi) dan masih animisme dan dinamisme,
seperti memberikan sesajen terhadap penguasa laut.
Purwasito (2003:230), mengatakan bahwa kekuatan unsur-unsur religi merupakan
kepercayaan manusia terhadap keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi
kedudukannya daripada manusia. Masyarakat menjalankan aktivitas ritual religi sebagai cara
berkomunikasi dengan kekuatan gaib tersebut sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Lebih
lanjut, Van Ball (1967: 12) menyatakan bahwa peranan upacara (baik ritual maupun seremonial)
adalah selalu mengingatkan manusia untuk dibiasakan dalam pelaksanaan upacara berkenan
dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan. Dengan adanya upacara-upacara,
masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol
yang bersifat abstrak serta berada di tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terdapat dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.
Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dalam masyarakat etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko hingga saat ini adalah ritual Mappandesasi. yaitu suatu tradisi
kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang
teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual memberi makan laut ini sudah dilaksanakan
sejak nenek moyang yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun-temurun
hingga saat ini.
Masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sedang berubah karena bersentuhan
langsung dengan kemajuan global. Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko juga memiliki
dinamika sosial, yaitu gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan
dalam tata masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh globalisasi yang mengagungkan rasionalitas dan
menghapus hal-hal yang bersifat mistik, sehingga, globalisasi yang diidentikkan dengan
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan sebagai silet yang bermata dua. Selain
memajukan masyarakat, globalisasi ikut merusak tatanan hidup sosial suatu kelompok
masyarakat. Menurut Giddens (2003:67 ; Avia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya
modernitas sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dalam peradaban manusia.
Melalui ideologi budaya konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik,
kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua
jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau
homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengancam
eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju
kepunahan (Storey, 2007:54).
Hal yang sama dikemukakan oleh Kleden (1996:239) bahwa kalau sistem budaya itu
tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem sosial, sistem sosial terpaksa berubah
karena didesak oleh perubahan. Di lapisan material kebudayaan, maka yang terjadi ialah dua
kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, muncul semacam entropi kebudayaan, yaitu sistem
nilai kebudayaan bersangkutan tidak mati, tetapi kehilangan dayanya untuk memotivasi dan
mengontrol sistem sosial yang ada. Kemungkinan yang kedua, bisa terjadi bahwa kekuatan
kebudayaan sebagai sistem kognitif dan sistem normatif memang telah berakhir, dan tinggal
peranannya sebagai embel-embel yang berfungsi sebagai hiasan lahiriah (paraphernalia) yang
tidak fungsional cara pikir dan cara bertingkah laku.
Kondisi di atas, dapat ditemukan dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan ritual mappandesasi telah mengalami
keterancaman dalam hal peserta ritual dan tingkat efektifitas pemahaman makna dan fungsi
pelaksanaan ritual yang semakin hari semakin berkurang. Hal ini, selain diakibatkan oleh
kurangnya pemahaman makna dan fungsi para generasi muda terhadap ritual mappandesasi,
pengaruh arus globalisasi yang telah meluluhlantahkan pengetahuan-pengetahuan tradisional
yang dianggap mistik dan digantikan dengan mengagungkan pemikiran rasional. Sementara
ritual mappandesasi sangat penting bagi masyarakat etnik Mandar karena terkait langsung
dengan aktivitas mereka sehari-hari sebagai pemburu hasil laut (nelayan) tradisional.
Dalam aktivitas kebaharian, Lampe (2004:7) menyatakan bahwa nelayan dan pelaut-
pelaut dari Sulawesi Selatan mempercayai keyakinan dan praktik agama sebagai model
penyelamatan serta keberuntungan ekonomi. Dengan keyakinan, doa, dan mantra dapat
dihindarkan ancaman ganasnya gelombang laut, badai, pusaran air, dan arus besar. Kekuatan
do’a dapat menghindarkan diri (nelayan) dari gangguan raksasa laut (gurita, hiu) dan
menjinakkan gelombang, bahkan menaklukkan hantu-hantu laut di lokasi-lokasi penangkapan
yang kaya dengan sumber daya bernilai ekonomi tinggi. Spirit agama dipadukan dengan mental
untuk menggerakkan usaha lainnya seperti keberanian menanggung resiko ekonomi. Keteguhan
mental, persaingan, adanya adaptasi, wawasan luas, dan lain-lain menjadi modal sosial
masyarakat Mandar.
Ritual mappandesasi merupakan tradisi lisan folklor, yaitu folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Yang termaksud folklor sebagian lisan
adalah kepercayaan rakyat, adat-istiadat, permainan rakyat, upacara pesta rakyat, (Dananjaja
1986:22). Unsur lisan dari ritual mappandesasi terletak dalam doa/mantranya, nyanyian rebana.
Unsur bukan lisan dapat dilihat dalam sesaji, pemotongan kurban, pembakaran dupa (kemenyan),
kepercayaan adanya penjaga laut.
Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan
itu diturunkan dari generasi ke generasi, dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan
perilaku secara individu dan kelompok adalah implemtasi senyatanya dari teks-teks tulisan itu.
J.J. Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi lisan bisa dipandang sebagai rangkaian
berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti sejarah;
sejarah keberlangsungan hidup dan kehidupan sebuah suku bangsa.
Salah satu upacara ritual adat warisan dari nenek moyang yang diturunkan secara
internalisasi dari generasi ke generasi dan masih dipertahankan dan dilaksanakan hingga saat ini
oleh masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah mappandesasi. Mappandesasi,
yaitu suatu tradisi kepercayaan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini
masih dipegang teguh. Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual ini sudah dilaksanakan
sejak nenek moyang mereka yang bermukim di daerah Mandar.
Masyarakat Bungkutoko, khususnya masyarakat nelayan Mandar tidak terlepas dari
berbagai ritual upacara yang dilakukannya. Nelayan etnik Mandar mempercayai adanya
penghuni laut yang disebut Penjaga Sasi. Sebagaimana halnya suku Mandar yang beraktivitas
sebagai nelayan, rutinitas dalam melakukan upacara-upacara selalu dilakukan untuk kesuksesan
pekerjaan sebagai nelayan. Hal ini dilakukan karena dianggap sangat penting sehingga
pelaksanaannya pun melibatkan tokoh-tokoh adat yang berasal dari Mandar.
Masyarakat nelayan etnik Mandar sangat mempercayai adanya ritual mappandasesasi.
Prosesi ritual mapandasesasi dipimpin oleh seorang sansro ‘dukun’ yang berasal dari etnik
Mandar. Dukun atau sandro dalam kehidupan sehari-harinya hidup bersama dengan masyarakat
pada umumnya dan mempunyai mata pencaharian seperti masyarakat lainnya, yakni sebagai
nelayan. Akan tetapi, seorang sandro biasanya ada hal-hal tertentu yang membedakannya dengan
masyarakat pada umumnya, yakni seorang sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para
leluhur yang dianggap membantu dan melindungi masyarakat Mandar .
Pengetahuan tradisional masyarakat Mandar tentang ekologi kelautan merupakan
pengetahuan tradisional yang sifatnya turun-temurun. Nelayan etnik Mandar sangat percaya
bahwa betapapun kuatnya tantangan dalam mengarunginya, laut tetap menawarkan peluang
keberhasilan bagi nelayan dalam mencari nafkah, dengan berbagai sumber daya laut yang
terkandung di dalamnya. Agar memperoleh hasil tangkapan yang banyak, masyarakat nelayan
etnik Mandar harus memiliki daya juang, yakni ulet meskipun hanya memanfaatkan terknologi
tradisional andalan masyarakat. Nelayan etnik Mandar umumnya masih memegang aturan-
aturan, mekanisme alamiah (natural), pedoman-pedoman tradisi leluhur dalam melaut, seperti
kepercayaan tentang roh dan penguasa laut. Musim penangkapan ikan berdasarkan arah dan
kekuatan angin, pengetahuan tentang gelombang laut, badai, dan sebagainya.
Ritual mappandesasi (memberi makan laut), merupakan suatu bentuk upacara khas yang
bersifat sakral (suci) bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di mana pun berada. Ritual
mappandesasi merupakan media komunikasi masyarakat etnik Mandar dengan lingkungan laut,
sehingga sangat penting ritual ini dilakukan. Pelaksanaan ritual mappandesasi terhadap
masyarakat nelayan Mandar bertujuan untuk meminta kepada penjaga sasi agar diberikan
keselamatan dalam melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Dengan demikian,
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko masih tetap mempertahankan ritual
mappandesasi di era globalisasi seperti sekarang ini, meskipun pelaku ritual telah berkurang.
Masyarakat etnik Mandar sangat meyakini ritual Mappandesasi sebagai salah satu media
yang menghubungkan mereka untuk berkomunikasi dengan penjaga sasi. Dengan ritual
mappandesasi masyarakat etnik Mandar dapat menjinakkan ganasnya air laut menjadi bersahabat
dengan nelayan, dapat terhindar dari ancaman gurita besar, gelombang besar, dan bisa
mempermudah datangnya rezeki. Masyarakat etnik Mandar meyakini bahwa ketika dalam
melakukan aktivitas sebagai nelayan tanpa melakukan ritual mappandesasi terlebih dahulu, maka
kelompok nelayan tersebut tidak mendapat keselamatan dan rezeki, karena belum direstui oleh
penjaga sasi.
Kejadian seperti di atas, pernah terjadi beberapa tahun silam. Ada salah satu kelompok
nelayan yang tidak melakukan ritual mappandesasi ketika melakukan pelayaran (menangkap
ikan). Di tengah perjalanan kelompok nelayan ini tiba-tiba dihantam oleh gelombang besar dan
tenggelam. Dalam kejadian itu, tidak ada satu orang pun dari anggota kelompok nelayan dalam
pelayaran itu yang selamat. Kejadian lain yang pernah dialami oleh para nelayan yang tidak
melakukan ritual mappandesasi sebelum melaut adalah seringnya kelompok nelayan melihat
gurita besar. Gurita besar dianggap sebagai penjaga laut (setasasi) oleh nelayan.
Tradisi seperti ini sudah menurun entitasnya dalam masyarakat etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko diakibatkan oleh dua hal. Pertama, tidak adanya kemauan dari generasi
muda untuk melakukan ritual mappandesasi karena dianggap oleh generasi muda sebagai salah
satu tindakan yang menduakan Tuhan (sirik). Kedua, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko sudah terbawa arus globalisasi sehingga memiliki katergantungan terhadap
kecanggihan teknologi mutahir. Berangkat dari keresahan sebagian besar masyarakat etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko, maka penulis mencoba meneliti Keterancaman Ritual
Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Apabila
kondisi seperti ini dibiarkan maka dikhawatirkan memberikan dampak negatif bagi masyarakat
nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada tiga masalah yang perlu di teliti. Ketiga masalah
tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini.
1) Bagaimanakah bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara ?
2) Faktor-faktor apakah yang mengakibatkan terjadi keterancaman ritual mappandesasi dalam
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara?
3) Bagaimanakah dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami mendeskripsikan,
dan menginterpretasi dampak serta makna ritual mappandesasi yang dijadikan cermin dan
pedoman dalam kehidupan etnik Mandar dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko Sulawesi
Tenggara.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan khusus sebagai berikut :
1) untuk mengetahui bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan
Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.
2) untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman ritual
mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar kelurahan Bungkutoko Sulawesi
tenggara; dan
3) untuk menginterpretasi dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam
masyarakat etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan bermanfaat secara praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan informasi ilmiah dalam
perkembangan studi kebudayaan tradsi lisan.
2) Hasil penelitian dapat menambah khasanah pengetahuan tentang dinamika ritual
mappandesasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
1) Hasil penelitian dapat dipakai sebagai masukan kepada pemerintah dan lembaga terkait
tentang kebijakan pembinaan dan pemeliharaan fungsi-fungsi yang terkandung dalam ritual
mappandesasi.
2) Hasil penelitian dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan
dengan kebudayaan masyarakat etnik Mandar kelurahan Bungkutoko dalam ritual
Mappandesasi.
3) Bagi masyarakat Mandar dan sekitarnya di Kelurahan Bungkutoko, dalam ritual
mappandesasi tersebut dapat dijadikan sebagai jati diri, kearifan lokal, tradisi budaya dan
objek wisata budaya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
2.1 Kajian Pustaka
Studi tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia telah banyak dilakukan.
Tiap-tiap studi mencoba membahas aspek-aspek tertentu mulai dari faktor terjadinya ritual,
karakteristik ritual, dan nilai budaya yang mendasarinya. Demi menjaga orisinalitas penelitian
ini, peneliti menampilkan hasil-hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan mengenai ritual,
khususnya yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia dan dianggap relevan dengan
penelitian ini.
Maria Goretty (2010) tentang “Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku
Rendu di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini
merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana, ritual syukuran atas
hasil panen yang dilakukan oleh masyarakat adat suku Rendu dalam pelaksanaannya mengalami
degradasi atau penurunan, yang ditandai dengan enga gua atau pengumuman pelaksanaan gua
yang tidak tepat waktu, menurunnya jumlah pelaku ritual, adanya perubahan sarana ritual dan
tuturan ritual semakin pendek, berkurangnya kata-kata adat dalam menyusun doa adat.
Temuan Maria dalam penelitian, yaitu perubahan perilaku masyarakat suku Rendu, dalam
melaksanakan ritual gua Leza di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo Flores, terlihat
dalam semakin berkurangnya anggota masyarakat suku Rendu yang melaksanakan ritual,
penetapan waktu pelaksanaan ritual yang tidak serentak dan melunturnya kepatuhan dan ketaatan
dari sebagian anggota masyarakat suku Rendu. Selain itu kelompok generasi mudanya tidak
paham dengan nilai-nilai budaya lokal warisan leluhurnya yang sarat dengan pesan-pesan moral.
Penelitian Maria tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.
Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian, memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti
tulis, yakni sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dan
penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian kajian budaya dengan menggunakan teori-teori
post-modern. Kajian Maria ini berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti
memang mengkaji tentang ritual tetapi peneliti fokus pada ritual mappandesasi (memberi makan
laut) dalam masyarakat etnik Mandar yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi
Tenggara, sedangkan Maria mengkaji Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Rendu
di Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Jadi, obyek dan lokasi
penelitian sudah manggambarkan perbedaan yang jauh.
Hasil penelitian Maria tersebut, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, dan bahan
pembanding. Selain itu, dijadikan rujukan awal dan sebagai sumber inspirasi peneliti untuk
melakukan atau mengkaji tentang ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar
di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.
Penelitian tentang ritual dilakukan oleh Abdul Rahman (2007) tentang “ritual Cera Lepa
(selamatan perahu baru) Pada Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara”. Penelitian ini merupakan penelitian untuk skripsi di Jurusan Antropologi Universitas
Haluoleo. Cera Lepa merupakan ritual yang dilakukan oleh suku Bajo pada saat mau
mengoperasikan perahu baru. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa setiap perahu yang baru
selesai dibuat harus dicera sebelum dioperasikan. Tujuan cera lepa adalah untuk meminta
keselamatan pada penguasa laut (mbombongana lao) sekaligus untuk menyatukan arwah perahu
dengan penguasa laut.
Temuan Rahman yang menarik adalah perahu yang tidak dicera mendapatkan berbagai
tantangan dan hambatan dalam melakukan pelayaran untuk menangkap ikan. Perahu selalu
diterjang ombak besar, tiba-tiba perahu tidak jalan karena dililit oleh jari-jari gurita besar, semua
awak perahu selalu ketakutan karena sering melihat gurita di atas perahu. Nelayan yang
menggunakan perahu yang belum dicera selalu tidak mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.
Penelitian Rahman tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.
Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian Rahman, memiliki persamaan dengan penelitian yang
peneliti lakukan, yakni sama-sama mengkaji ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia,
yakni sama-sama berkaitan dengan aktivitas manusia sebagai nelayan. Penelitian Rahman
tersebut merupakan penelitian Antropologi yang menggunakan pendekatan posotivistik dan
menggunakan teori-teori modern, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian
kajian budaya dengan menggunakan teori-teori post-modern.
Penelitian di atas, banyak memberikan sumbangan pemikiran, khusunya pemahaman
peneliti terhadap konsep, bentuk, dan fungsi ritual. Oleh karena itu, penelitian di atas, peneliti
jadikan sebagai kepustakaan utama, sebagai sumber inspirasi, sekaligus sebagai bahan
pembanding.
Penelitian tentang dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan orang Bajo demikian
prominensia, sehingga Robert Zacot menyebut masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang cinta
damai, masyarakat yang tidak suka bersungut-sungut. Zacot (2008: 222) menyatakan bahwa
“Orang Bajo tidak menyukai kekejaman. Mereka membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang merendahkan harga dirinya kalau naik pitam secara terang-terangan. Selain beberapa
percekcokan antara suami dan istri yang mudah didengar melalui dinding penyekat yang dijuarai
oleh Ua Piana dan istrinya, tidak pernah terjadi pertengakaran di antara penduduk desa”
Masyarakat Bajo begitu menyelami dan memahami makna filosofi hidup bertetangga,
yakni mereka harus kasih-mengasihi dan saling memelihara antara yang satu dengan yang
lainnya. Akutualisasi pemahaman itu di antaranya adalah mereka wujudkan dengan membentuk
jaringan kerjasama atau rarambanga dengan menjadikan tetangga dekat mereka sebagai basis
kekuatan utama.
Penelitian Zacot tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.
Ditinjau dari segi fokus kajian penelitian Zacot, memiliki persamaan dengan penelitian yang
peneliti lakukan, yakni sama-sama mengkaji masyarakat yang bermukim di daerah etnik lain di
antaranya adalah mereka wujudkan dengan membentuk jaringan kerjasama.
Penelitian di atas, memberikan sumbangan pemikiran, khusunya pemahaman peneliti
terhadap tentang dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan. Oleh karena itu, penelitian di
atas, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, sebagai sumber inspirasi, sekaligus sebagai
bahan pembanding.
Sumitri (2005) tentang “Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga,
Manggarai, Nusa Tenggara Timur”. Penelitian ini merupakan tesis di Program Studi Kajian
Budaya Universitas Udayana. Dalam penelitiannya Sumitri menemukan bahwa ritual Dhasa
Jawa merupakan ritual tahunan yang bertujuan untuk menyatukan manusia dengan penguasa
adikodrati khususnya penghuni alam gaib. Selain itu, dalam ritual Dhasa Jawa terdapat
seperangkat norma dan nilai-nilai sosial yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika oleh
masyarakat Rongga untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dari ritual ini,
masyarakat Rongga mengetahui cara beradaptasi, memperlakukan alam dan roh para leluhur,
serta memperlakukan orang lain supaya mereka (penghuni alam gaib, roh leluhur) senang atau
bersahabat dengan masyarakat Rongga yang berprofesi sebagai petani.
Berdasarkan hasil penelitian Sumitri tersebut, peneliti mendapatkan data sekunder
tentang konsep, definisi ritual dan penggunaan teori. Dilihat dari fokus kajian, penelitian tersebut
memiliki persamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama berfokus pada ritual keagamaan.
Penelitian Sumitri memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti.
Dari segi pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan, sama-sama dalam kategori penelitian
kualitatif dan menggunakan rancangan fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Selain itu,
dalam hal penggunaan teori untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian memiliki
persamaan, yaitu sama-sama menggunakan teori semiotik. Kajian Sumitri berbeda dengan
penelitian yang peneliti lakukan. Peneliti memang mengkaji tentang ritual tetapi peneliti
berfokus pada ritual mappandesasi (memberi makan laut) dalam masyarakat etnik Mandar yang
bermukim di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara. Sumitri mengkaji tentang ritual Dhasa
Jawa dalam masyarakat petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jadi, obyek dan
lokasi penelitian sudah manggambarkan perbedaan yang jauh.
Hasil penelitian Sumitri tersebut, peneliti jadikan sebagai kepustakaan utama, bahan
pembanding, menjadi rujukan awal dan menjadi sumber inspirasi bagi peneliti untuk melakukan
atau mengkaji tentang ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.
Selain hasil penelitian di atas, penulis menampilkan beberapa kajian ilmiah lainnya untuk
menunjang pustaka utama guna mempertajam dan memperkaya kepustakaan dalam penelitian
ini. Penelitian Nong Hoban (2007) tentang “Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik
Bhajawa Kabupaten Ngada Nusa Tenggara Timur: Prespektif Kajian Budaya”. Penelitian ini
merupakan sebuah penelitian untuk tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam
penelitiannya, Hoban menemukan bahwa ritual reba sangat penting dalam kehidupan masyarakat
petani etnik Ngada. Dengan melakukan ritual reba sebelum melakukan aktivitas pertanian, maka
masyarakat Ngada senantiasa merasakan kenyamanan, ketenangan dalam mengelola lahan
pertanian mereka. Selain itu, etnik Ngada selalu mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Selain itu, para pelaku ritual (etnik Ngada) dalam melakukan ritual dengan memberikan
binatang persembahan berupa babi dan ayam dengan tujuan agar Dewa Zeta Nitu Zale berkenan
menerima persembahan mereka (etnik Ngada). Setelah menerima sesembahan itu etnik Ngada
berharap supaya diberikan petunjuk yang lurus oleh sang Dewa. Etnik Ngada meyakini bahwa
dengan melakukan ritual Reba maka hubungan antara manusia dengan leluhur tetap terjaga
keharmonisannya. Dengan demikian masyarakat Ngada selalu mendapat kekuatan spiritual
dalam setiap gerak langkah atau dan seperti tidak mendapat halangan atau rintangan dan
bencana.
Dilihat dari fokus kajian, antara penelitian Hoban dan penelitian yang peneliti lakukan
memiliki persamaan, yakni sama-sama berfokus pada ritual untuk mendapatkan keselamatan,
menjaga keharmonisan antara manusia dengan penguasa alam gaib (roh para leluhur) dan Dewa,
sama-sama merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kajian budaya. Penelitian Hoban
berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Hoban berfokus pada ritual yang berhubungan
dengan aktivitas pertanian dalam masyarakat petani, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan
adalah berfokus pada ritual yang berkaitan dengan aktivitas melaut, khususnya dalam masyarakat
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.
Dari hasil penelitian Nong Hoban di atas, peneliti mendapatkan data khususnya data
sekunder, seperti konsep ritual dan konsep masyarakat. Selain itu, hasil penelitian di atas, telah
membuka dan menambah wawasan pengetahuan peneliti tentang objek yang diteliti. Oleh karena
itu, penelitian di atas peneliti jadikan sebagai bahan pembanding dan sumber inspirasi guna
memperdalam kajian ritual mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko, Sulawesi Tenggara.
La ode Aris (2010), tentang “Kaago-Ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam
Masyarakat Muna)”. Penelitian ini merupakan penelitian untuk tesis di Program Pascasarjan
Univesitas Gajah Mada. Dalam penelitiannya La Ode Aris menemukan bahwa masyarakat Muna
sangat intens melakukan riual kaago-ago guna mencegah penyakit yang datang pada waktu
pergantian musim. Jenis penyakit yang dicegah oleh masyarakat Muna dengan menggunakan
ritual kaago-ago, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh angin (pergantian cuaca), seperti demam,
flu, panas, dan sakit kepala. Selain penyakit yang diakibatkan oleh pergantian musim, penyakit
yang dicegah dengan kaago-ago adalah penyakit yang disebabkan oleh agen aktif (manusia)
seperti sihir dan tenung.
Temuan yang menarik dalam penelitian La Ode Aris adalah dampak yang dirasakan oleh
masyarakat kalau tidak melakukan ritual kaago-ago dalam melakukan aktivitas pertanian.
Masyarakat mendapat bencana seperti lahan pertanian selalu diganggu oleh hama khususnya
gangguan binatang liar sehingga tidak menghasilkan panen yang memadai. Selain itu,
masyarakat mendapat bencana penyakit yang sampai merenggut nyawa manusia. La Ode Aris
pada waktu melakukan penelitian mendapatkan kejadian serupa, yakni ada tiga orang warga
masyarakat yang meninggal secara berturut-turut dalam satu minggu, yang diakibatkan karena
mereka melakukan aktivitas pertanian tanpa melakukan ritual kaago-ago terlbih dahulu.
Penelitian La Ode Aris di atas, memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
yang peneliti lakukan. Apabila dilihat dari fokus kajian, maka sama-sama meneliti ritual yang
berkaitan dengan siklus hidup manusia. Penelitian yang dilakukan oleh La Ode Aris merupakan
penelitian antropologi yang menggunakan pendekatan positivistik, sedangkan penelitian yang
peneliti lakukan merupakan penelitian postmodern dengan menggunakan pendekatan kajian
budaya.
Dari hasil penelitian La Ode Aris tersebut, peneliti mendapatkan pengetahuan tambahan
mengenai objek yang peneliti kaji. Selain itu, peneliti mendapatkan variasi konsep tentang ritual
dan mendapat teori yang relevan dengan objek yang dikaji. Kepustakaan di atas peneliti jadikan
sebagai kepustakaan pembanding dan sumber inspirasi.
Benekditus Belang Niron (2005), tentang “Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat
Lamaholot di Desa Sulengwaleng Kecamatan Solor Barat, Flores Timur: Prespektif Kajian
Budaya”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Dalam penelitiannya, Benekditus menemukan bahwa ritual adat Lepa Bura dalam
masyarakat Lamaholot disakralkan pelaksanaanya karena berkaitan dengan keselamatan para
petani dalam mengelola lahan pertaniannya. Selain keselamtan, masyarakat selalu mendapatkan
panen yang melimpah apabila mereka melakukan ritual Lepa Bura sebelum melaksanakan
aktivitas pertanian.
Ritual Lepa Bura bagi masyarakat Lamaholot dijadikan sebagai media untuk
berkomunikasi dengan kekuatan yang ada di luar diri manusia seperti Dewa, penguasa alam gaib,
dan sekaligus mereka jadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur.
Ritual Lepa Bura oleh masyarakat Lamaholot dijadikan sebagai salah satu wahana untuk
memperakrab atau mempererat hubungan silaturahmi antarsesama warga Lamaholot. Hal ini bisa
terjadi karena pada saat diadakan upacara Lepa Bura semua warga Lamaholot diwajibkan ikut
tanpa terkecuali. Dengan demikian, terbina hubungan antara Dewa, penguasa alam gaib dengan
manusia dan terbina hubungan antara sesama manusia.
Upacara Lepa Bura memiliki persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan.
Persamaannya dalam hal fokus kajian, yakni sama-sama meneliti ritual yang berkaitan dengan
siklus hidup manusia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Benekditus merupakan
penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan kajian budaya, sehingga sama dengan
pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti mendapatkan
tambahan pengetahuan tentang ritual, peneliti tidak lagi menelaah objek kajian ini. Peneliti
mendapatkan data sekunder, seperti konsep, teori serta makna ritual. Oleh karena itu, hasil
penelitian Benekditus di atas peneliti jadikan sebagai kepustakaan pembanding.
Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran khusus pada apa
yang disebut dengan simbol-simbol Turner (1967 : 19). Hal ini mirip dengan apa yang
ditunjukkan masyarakat Ujung,Bone, Sulawesi Selatan tentang tradisi ritual Addewatang Putta
Sereng. Mereka melakuakan ritual itu sebagai mediasi sesembahan yang secara terus-menurus
dan turun-temurun dilakukan dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di
dalamnya.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa munculnya pemahaman dan mitos putta sereng
ini didasarkan pada orang yang pertama kali mendeskripsikan mitos tersebut. Tidak seorang pun
yang menyangkal, termaksud para Sandro (Dukun) generasi sekarang bahwa orang yang pertama
kali memunculkan mitos ini adalah Sandro maggangka. Sandro ini menjadi sumber dan sentral
informasi di atas eksistensinya mitos Putta Sereng. Penelitian tersebut dapat dipakai sebagai
acuan untuk mendapatkan konsep dan teori yang berhubungan dengan ritual.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Turner dan yang dilakukan oleh penulis adalah
tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih dilaksanakan. Perbedaan antara penelitian yang
dilakukan oleh Turner dengan yang penulis lakukan adalah bahwa dalam ritual Addewatang
Putta Sereng yang diteliti oleh Turner, munculnya pemahaman dan mitos putta sereng ini
didasarkan pada orang yang pertama kali mendeskripsikan mitos tersebut. Tidak satu pun yang
menyangkal, termaksud para Sandro (Dukun) generasi sekarang bahwa orang yang pertama kali
memunculkan mitos ini adalah Sandro maggangka. Sandro ini menjadi sumber dan sentral
informasi di atas eksistensinya mitos Putta Sereng, dan penelitian yang dilakukan penulis adalah
ritual mappandesasi dianggap suatu bentuk upacara yang bersifat sakral (suci) dan dipimpin oleh
sandro, yakni dalam hal tertentu seorang Sandro dapat berhubungan dengan roh-roh halus para
leluhur yang dianggap biasa membantu dan melindungi masyarakat nelayan etnik Mandar.
Mbete, dkk. (2006) dengan hasil penelitian berjudul “Khazanah Budaya Lio-Ende” di
Kabupaten Ende Propinsi Nusa Tenggara Timur. Fokus kajiannya adalah menggali berbagai
ritual adat dan kearifan-kearifan lokal yang kurang diminati oleh masyarakat pendukungnya
khususnya generasi mudanya. Penelitian yang dilakukan oleh Mbete memberi inspirasi pada
penulis khususnya dalam hal konsep, teori yang berhubungan dengan ritual.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Mbete dan kawan-kawan dan penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah sama-sama membahas ritual adat dan kearifan-kearifan lokal yang
kurang diminati oleh masyarakat pendukungnya terutama oleh generasi muda sebagai pewaris
dan penerus nilai-nilai budaya yang dianut. Penelitian yang dilakukan oleh Mbete dan kawan-
kawan terfokus pada religi masyarakat Lio-Ende, sistem sosial masyarakat Lio-Ende, budaya
agraris, dan khazanah seni budaya Lio-Ende. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah ritual
mappandesasi dalam masyarakat etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko, yang terfokus pada
bentuk keterancaman ritual mappandesasi, faktor-faktor yang menyebabkan keterancaman dalam
ritual, serta dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap kelompok remaja.
Gluckman dalam Morris (2003 : 311) dengan hasil penelitiannya tentang upacara
Inowala di Swazi merupakan salah satu upacara tradisional. Inowala adalah ritual kerajaan yang
rumit dan berlangsung hingga berhari-hari, ritual itu dilaksanakn setiap tahun pada saat musim
panen pertama. Tidak seorang pun diperbolehkan menyentuh hasil panen tersebut hingga upacara
itu dilaksanakan dan di pihak kerajaan, hanya raja yang boleh melakukannya. Dalam upacara
tersebut kebanyakan lagu-lagu sakral yang dinyanyikan selama upacara, mengekspresikan dan
mendramatisasikan ide bahwa raja telah dibenci dan ditolak oleh masyarakat. Berkaitan langsung
dengan topik penelitian ini belum ditemukan.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Gluckman dan yang dilakukan oleh penulis
adalah tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih tetap dilaksanakan kendatipun pelaksanaanya
yang rumit dan berlangsung hingga berhari-hari. Perbedaanya antara penelitian yang dilakukan
oleh Gluckman dengan penelitian yang peneliti lakukan. Gluckman meneliti ritual Inowala yang
merupakan upacara tradisional yang dikaji secara utuh dari aspek bentuk, fungsi dan makna.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai keterancaman ritual mappandesasi yang
meliputi faktor-faktor yang menyebabkan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar, dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap nelayan
etnik Mandar.
Moertjipto (1997 : 26) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dalam masyarakat
Kepuharjo, Sleman Yogyakarta tiap tahunnya sering mengadakan ritual becekan, yakni suatu
ritual memohon hujan, pada saat mengalami kekeringan yang berkepanjangan, memohon agar
secepat-cepatnya hujan turun, sehinggah sawah dan tumbuh-tumbuhan yang kering menjadi
hijau kembali dan dapat dimanfaatkan kembali. Pelaksanaan ritual itu, ditujukan kepada
penguasa gunung Merapi, karena masyarakat setempat percaya bahwa gunung Merapi
merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu melindungi mereka.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Moertjipto dan yang dilakukan oleh penulis,
yaitu sama-sama meneliti tentang ritual adat. Bahwa ritual adat masih tetap dilaksanakan
kendatipun pelaksanaanya pada saat mengalami kekeringan. Perbedaanya antara penelitian yang
dilakukan oleh Moertjipto dengan yang dilakukan peneliti. Moertjipto meneliti ritual becekan,
yaitu memohon hujan yang ditujukan kepada penguasa gunung Merapi. Masyarakat setempat
percaya bahwa gunung Merapi merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu melindungi
mereka. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bentuk ritual mappandesasi yaitu
memberi makan laut yang ditujukan kepada penghuni laut atau dinamakan penjaga sasi.
Masyarakat nelayan etnik Mandar percaya dan terhindar dari bahaya dan diberikan rezeki.
Watu (2008) melakukan penelitian tentang “Representasi Citraan Ilahi dan Insani” dalam
Ritus Sa’o Ngaza di Kampung Guru Sina, Flores dengan fokus penelitiannya, yaitu representasi
citraan yang Ilahi dan Insani dalam upacara pembuatan rumah adat di kampung Guru Sina.
Penelitian yang dilakukan oleh Watu menambah wawasan penulis khususnya dalam hal konsep,
teori, dan metodologi.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Watu dan yang dilakukan penulis adalah
sama-sama meneliti tentang ritual adat. Bahwa ritual adat tetap dilaksanakan. Perbedaannya
penelitian yang dilakukan oleh Watu dengan yang dilakukan oleh peneliti Watu meneliti
“Representasi Citraan Ilahi dan Insani” khususnya dalam hal ritus pembuatan rumah adat dengan
mengungkapkannya lewat bentuk, fungsi, dan makna ritual. Penelitian yang dilakukan oleh
penulis adalah tentang keterancaman ritual mappandesasi, dalam Etnik Mandar, faktor-faktor
apa yang mengakibatkan keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik
Mandar, dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi terhadap nelayan etnik Mandar.
Kajian-kajian tersebut di atas bermanfaat bagi peneliti karena dapat memberikan
gambaran yang berarti dalam melihat secara jeli dan ilmiah fenomena budaya di tengah arus
globalisasi yang berdampak pada perubahan budaya lokal yang diangkat dalam penelitian ini.
2.2 Konsep
Konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar
generalisasi dari sejumlah karekteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu
(Singarimbun dkk, 1989:34). Dalam kaitan dengan penelitian terhadap ritual mappandesasi
dalam masyarakat nelayan etnik Mandar, digunakan sejumlah konsep terkait untuk memberikan
pemahaman dasar tentang topik sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan
dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep yang akan dijelaskan meliputi : konsep degradasi
ritual mappandesasi, masyarakat nelayan, etnik Mandar, dan bentuk ritual masyarakat nelayan
etnik Mandar.
2.2.1 Keterancaman
Secara morfologis, kata ‘keterancaman’ berasal dari bentuk dasar ‘terancam’ yang
dilekati oleh imbuhan ke-an. Kata ‘terancam’ adalah kata kerja yang berarti (1) diancam oleh (2)
dalam keadaan bahaya” (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia). Di sisi lain, menurut Ramlan,
imbuhan ke-an dalam bahasa Indonesia dapat diartikan proses. Dengan demikian, kata
keterancaman dapat berarti sebuah proses terjadinya suatu objek ke dalam kondisi
terancam/bahaya oleh sesuatu.
2.2.2 Ritual Mappandesasi
Ritual adalah upacara kurban untuk pemulihan dan pemeliharaan keharmonisan
hubungan dengan Tuhan, leluhur dan dengan alam. Di dalamnya termaksud tuntutan pemujaan
dalam upacara untuk berkomunikasi dengan alam semesta atau dengan Tuhan dalam konteks
budaya suatu masyarakat, misalnya upacara adat keanekaragaman, upacara keagamaan (Fox,
1984 : 16 Halliday, 1997 : 12).
Menurut Hadi (1999:29-30) ritual merupakan suatu bentuk perayaan yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa
normal atau seperti biasa yang dirasakan oleh semua manusia dan yang luhur dalam arti
merupakan suatu pengalaman yang suci. Berkaitan dengan hal tersebut ritual mappandesasi
adalah upacara memberi makan laut. Mappandesasi merupakan suatu upacara berupa
serangkaian tindakan yang dilakukan sekelompok orang menurut adat kebiasaaan setempat, yang
menimbulkan rasa hormat yang luhur sebagai suatu pengalaman suci.
Endaswara (2003 : 175) mengklasifikasi ritual menjadi dua. Pertama, ritual krisis hidup,
artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan
mengalami krisis hidup, ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam
lingkup krisis karena terjadi perubahan tahapan hidup termaksud dalam lingkup ini antara lain
kelahiran, pubertas dan kematian. Kedua ritual gangguan, yakni ritual sebagai negosiasi dengan
roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual semacam ini dalam masyarakat Mandar sering
diwujudkan dalam tradisi selamatan.
Tradisi ritual tersebut di atas, ternyata memiliki fungsi bagi keberlangsungan hidup di
antaranya :
1. ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan
nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu dan kelompok, berarti ritual menjadi
alat pemersatu atau interaksi.
2. ritual juga menjadi sarana pendukung untuk mengungkapkan emosi khususnya nafsu-nafsu
negative; dan
3. ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1994:147) bahwa sistem upacara
merupakan wujud kelakuan dan religi dan seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam
upacara yang bersifat harian, musiman dan kadang kala. Dalam sistem upacara keagamaan
terkandung empat aspek, yaitu (1) tempat upacara keagamaan, (2) tempat pelaksanaan upacara,
(3) waktu pelaksanaan upacara, dan (4) benda-benda dan peralatan upacara serta orang yang
melakukan dan memimpin jalannya upacara.
Mappandasesasi berasal dari bahasa Mandar, yakni dari kata ma yang berarti ‘me’, pande
berarti ‘beri makan’ dan sasi berarti ‘laut’. Kata mappandasesasi bermakna ‘memberi makan
laut’. Kata mappandasesasi ‘memberi makan laut’ merupakan salah satu tradisi masyarakat
nelayan etnik Mandar yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun-temurun,
serta masih tetap dipertahankan keberadaan walaupun bukan di kampung sendiri.
2.2.3 Keterancaman Ritual Mappandesasi
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, keterancaman tradisi ritual mappendesasi dapat
diartikan sebagai suatu proses tradisi ritual mappendesasi dalam keadaan terancam punah karena
faktor pengurangan hewan kurban, mengecilnya jumlah sumbangan, penurunan jumlah peserta,
dan perubahan sarana ritual mappandesasi.
2.2.4 Masyarakat Nelayan
Satuan konsep masyarakat nelayan terdiri atas dua unsur, yaitu masyarakat dan nelayan.
Masyarakat adalah sekelompok orang yang berdomisili di suatu wilayah dengan batas-batas
tertentu, saling berinteraksi antarsesama warganya, memiliki adat-istiadat, norma-norma serta
aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warganya dan memiliki rasa identitas yang
mengingat semua anggota masyarakatnya tanpa kecuali.
Koentjaraningrat (1992 : 122), menjelaskan bahwa masyarakat hendaknya memiliki
empat cirri, yaitu (1) interaksi antarwarga, (2) adat-istiadat, norma-norma, hukum serta aturan-
aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga, (3) kontinuitas dalam waktu, dan (4) rasa
identitas yang mengikat semua warga. Berdasarkan keempat ciri tersebut dapat dirumuskan
bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup yang saling berinteraksi sesuai dengan sistem adat
istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Nelayan merupakan orang-orang yang kerjanya menangkap ikan di sungai, di danau dan
di laut (Surayanto, 1994 : 24). Nelayan sebagai produser ikan dapat dibedakan manjadi 3
golongan, yaitu (1) golongan nelayan kecil, dengan modal kecil atau bahkan dengan hanya
bermodalkan tenaga kerja saja; (2) golongan nelayan menengah, dengan peralatan-peralatan
sederhana seperti perahu kecil dan jala; dan (3) golongan nelayan tertinggi, yang mempunyai
peralatan-peralatan dan perlengkapan khusus yang cukup canggih dan seringkali mempunyai
cara-cara atau usaha lain.
Bagi masyarakat nelayan di dunia, agama dan magis yang dapat terwujud dalam ritual
dipandang sebagai suatu elemen dalam sistem ekonominya. Suatu yang fungsinya lebih banyak
terkait pada usaha-usaha nelayan untuk memperoleh keselamatan dan keberuntungan dan
menghindari malapetaka dalam proses-proses berproduksi. Konsep masyarakat nelayan adalah
masyarakat yang pada umumnya bekerja dalam sektor nelayan yang orang-orangnya bekerja
sebagai penangkap ikan di danau, di sungai, dan di laut yang pada umumnya bermukim di sekitar
pesisir laut.
Jadi masyarakat nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok
masyarakat yang memiliki persamaan adat-istiadat, aktivitas (nelayan) yang bermukim dalam
satu wilayah, dalam hal ini masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko.
2.2.5 Etnik Mandar
Konsep etnik adalah konsep kultural yang terpusat pada persamaan norma, nilai,
kepercayaan, symbol, dan praktik kultural. Terbentuknya ‘suku bangsa’ bersandar pada penanda
kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial dan
politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada
nenek moyang mitologis yang sama.
Barth (1988 : 11-16) menyatakan bahwa pada umumnya definisi tentang kelompok etnik
mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang dan bertahan
cirri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam
suatu bentuk budaya;
2. membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri;
3. menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain.
Barth mengemukakan bahwa konsep kelompok etnik sebagai tatanan sosial akan
menentukan ciri khasnya yang akan dapat dilihat oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat
kategoris adalah ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk
kelompok etnik mana dan ini dapat di perkirakan dari latar belakang asal-usulnya, dengan
mengacu pada konsep kelompok etnik sebagai unit budaya dan tatanan sosial tersebut. Dapat
dijelaskan bahwa kelompok pendatang di Kelurahan Bungkutoko, yaitu orang-orang berasal dari
luar sebagai migran yang sadar akan identitas etniknya.
Etnik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan yang memiliki
persamaan norma, nilai, kepercayaan, dan memiliki persamaan dalam seperangkat tata cara
dalam menjalani hidup. Etnik tersebut adalah etnik nelayan Mandar yang bermukim di
Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.
2.2.6 Tradisi Lisan
Dalam kerangka besar corpus terdapat filsafat, sejarah, nilai-nilai moral, etika, religius,
hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra, dan estetika. Selain itu, teks lisan juga memuat
ilmu pengetahuan dengan metodenya. Masyarakat etnik Mandar mengetahui cara-cara
pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan, mereka mengetahui nama dan manfaat
tumbuh-tumbuhan. Tradisi lisan menjelaskan secara pasti pola-pola kepemilikan dan penguasaan
atas laut dan sumber daya alam.
Tradisi lisan, dengan demikian, menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa
depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari,
pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi
senyatanya dari teks-teks lisan itu. J.J Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi lisan bisa
dipandang sebagai rangkaian berkesinambungan dari dokumen sejarah, yang kemudian dapat
dijadikan sebagai bukti sejarah; sejarah berkelangsungan hidup dan kehidupan suku bangsa.
2.2.7 Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar
Ritual mappandasesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar adalah salah satu tradisi
masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun
temurun, serta masih tetap dipertahankan keberadaannya walaupun bukan di kampung sendiri.
Ritual mappandesasi (memberi makan laut), dianggap sebagai bentuk upacara yang bersifat
sakral (suci) bagi nelayan etnik Mandar, yaitu sebagai wujud ekspresi jiwa mereka dalam
menjalin hubungan vertikal dengan dunia gaib, khususnya penghuni lingkungan laut. Hal itu
mereka lakukan untuk meminta izin kepada penghuni laut, dengan tujuan agar masyarakat
nelayan etnik Mandar diberi keselamatan, dilindungi, dan mendapatkan hasil tangkapan yang
banyak.
Ritual adat dari masa lampau yang masih berakar kuat hingga kini masih tetap
dipertahankan dan dilaksanakan adalah mappandesasi, yaitu suatu tradisi kepercayaan
masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap laut yang hingga kini masih dipegang teguh oleh
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari.
Menurut masyarakat pemiliknya prosesi ritual ini sudah dilaksanakan sejak nenek moyang
mereka yang bermukim di daerah Mandar dan diwariskan secara turun temurun hingga saat ini
yang dilakukan tiap satu tahun sekali.
Jadi, ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah sebuah upacara sesembahan kepada laut yang dilakukan oleh komunitas
nelayan etnik Mandar, yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, dengan tujuan meminta dan
memohon kepada penjaga sasi agar mereka (nelayan) diberikan keselamatan dan rezeki (hasil
tangkap) yang banyak dalam melaut.
Namun dalam pelaksanaannya, ritual mappandesasi mengalami keterancaman, dalam arti
ada dalam masyarakat nelayan etnik Mandar yang tetap tekun melaksanakan ritual sebagaimana
dijelaskan di atas. Akan tetapi, ada
masyarakat nelayan etnik Mandar yang tidak melaksanakannya.
Adapun indikator keterancaman ritual mappandesasi adalah sebagai berikut:
1. menurunnya peserta yang melakukan ritual mappandesasi;
2. pengurangan terhadap ritual mappandsasi;
3. pengurangan binatang kurban dalam ritual mappandesasi;
4. adanya perubahan sarana dalam ritual mappandesasi.
2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, untuk membedah masalah diapresiasikan secara ekletik digunakan
beberapa teori. Adapun teori-teori yang digunakan adalah teori ritus, teori dekonstruksi, dan teori
semiotika.
2.3.1 Teori Ritus
Teori ritus dikemukakan oleh Smith (dalam Winarno, 1978 : 865), sebagai salah satu
simbol dari suatu kenyataan didasarkan atas peraturan yang sewenang-wenang atau simbol dari
suatu masyarakat yang sangat penting (transcendent) yang merupakan realitas rohani kepada
nilai-nilai tertinggi dari suatu komunitas atau masyarakat.
Rebertson Smith mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian
tentang religi dan agama. Gagasan pertama, mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan
dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dan religi atau agama yang
memerlukan studi dan analisis yang khusus. Dalam agama upacaranya itu tetap, tetapi latar
belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah. Gagasan kedua adalah bahwa upacara
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi
atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempuyai fungsi sosial untuk mengintesifkan
solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama menjalankan upacara dengan
sungguh-sungguh, dan ada yang menjalankannya setengah-setengah. Mereka menganggap
upacara adalah untuk mengalami kepuasan keagamaan secara peribadi dan upacara adalah
kewajiban sosial. Gagasan ke tiga adalah teori mengenai fungsi upacara sesaji. Pada pokoknya
dalam upacara seperti itu, manusia menyajikan seekor binatang, terutama darahnya, kepada
dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya.
Dalam konteks teori ritus, Dhavamony (1995 : 175-176) membedakan ritual atas empat
macam, yakni (1) tindakan magi, yakni tindakan yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-
bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur juga
bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan
sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistik dengan demikian upacara-upacara
kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual faktif, yakni meningkatkan produktivitas atau kekuatan,
atau permunian dan perlindungan atau dengan kata lain, meningkatkan suatu kesejahtraan materi
dari suatu kelompok.
Teori ritus dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab rumusan
masalah yang pertama yaitu bagaimana bentuk keterancaman ritual mappandesasi dalam
masyarakat etnik Mandar.
2.3.2 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru
dalam filsafat, strategi intelektual atau model pemahaman, yang telah dikembangkan oleh
Jacques Derrida, seorang tokoh filsafat Perancis keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar Aljazair
pada tahun 1930. Derrida lebih memusatkan pemikiran filsafatnya pada makna atau lebih
tepatnya kemustahilan makna dari sebuah teks.
Dekonstruksi bisa diartikan sebagai pembongkaran, tetapi bukanlah pembongkaran atau
penghancuran yang berakhir dengan kekosongan. Dekonstruksi adalah pembongkaran atas suatu
teks, kemudian merekonstruksi kembali konstruksi yang telah dibongkar sebagai suatu
konstruksi yang baru (konstruksi dekonstruksi). Mendekonstruksi berarti memisahkan,
melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan suatu teks. Secara khusus, dekonstruksi
melibatkan pelucutan oposisi biner hierarkis, misal tuturan/tulisan, realitas/citra,
alam/kebudayaan, akal/kegilaan, yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara
mengesampingkan dan merendahkan bagian “inferior” oposisi biner tersebut, sehingga tuturan
lebih diutamakan daripada tulisan, lebih diutamakan daripada citra, dan alam lebih diutamakan
daripada kebudayaan.
Dekonstruksi berusaha mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks. Derrida memandang
bahwa bahasa selalu merupakan sistem tanda yang defferensial yang membangun makna melalui
perbedaan ketimbang melalui korespondensi dengan makna transedental yang tetap atau acuan
kepada yang nyata. Sejak ada makna tidak ada lagi yang lain kecuali tanda, apa yang dipikir
selalu di dalam tanda (Derrida, 2004:76-79). Tidak ada makna asli di luar tanda yang merupakan
bentuk representasi grafis, sehingga tulisan menjadi asal muasal makna. Pengetahuan, kebenaran,
dan kebudayaan tidak dapat dipikir tanpa tanda, yaitu tulisan. Bagi Derrida tulisan adalah jejak
permanen yang ada sebelum presepsi peduli atau sadar akan dirinya sendiri. Jadi, Derrida
mendekonstruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan suatu identitas antara tanda dan penanda
(Barker, 2004 : 76).
Tujuan dekonstruksi bukan hanya sekedar membalik urutan biner tetapi menunjukkan
bahwa mereka saling terimplikasi pada yang lainnya. Dekonstruksi ingin menelanjangi titik-titik
buta sebuah teks, asumsi-asumsi yang tidak diakui yang mendasari operasi teks tersebut.
Teori ini digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan
masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman ritual
mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar.
2.3.3 Teori Semiotik
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya semua
yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.
Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2008:3), melihat tanda
sebagai pertemuan antara bentuk ( yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi,
yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan istilah significant
(penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signife (petanda) untuk segi maknanya.
Dalam konteks semiotika, Geetz menawarkan cara menafsirkan kebudayaan dengan cara
memaparkan konfigurasi atau sistem simbol-simbol bermakna secara mendalam dan
menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum
sebuah masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarkat yang
bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak berdasarkan
nilai-nilai yang sesuai. Bagi Greetz, kebudayaan adalah semiotik ; hal-hal yang berhubungan
dengan simbol-simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal oleh warga masyarakat yang
bersangkutan. Simbol adalah suatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya
dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu (Sukanto, 1993 :
VI-VII).
Ritual mappandesasi merupakan salah satu wujud kebudayaan yang ada dalam
masyarakat adat Mandar yang sarat dengan simbol-simbol. Ritual mappandesasi harus
diinterpretasikan dan diterjemahkan agar generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai
budaya dapat menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya di masyarakat.
Teori semiotika dipergunakan sebagai alat analisis dalam membahas dan menjawab
rumusan masalah yang pertama dan ke tiga, yaitu bagaimanakah bentuk keterancaman ritual
mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Sulawesi
Tenggara dan apa dampak dan makna keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar Sulawesi Tenggara.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah masalah-masalah
yang terdapat dalam penelitian dan sekaligus menjadi fokus penelitian. Model penelitian ini
dapat digambarkan berikut ini.
Bagan 1 : Model Penelitian
Globalisasi Nelayan Etnik Mandar
- Tradisi - Mitos
Keterancaman Ritual Mappandesasi
dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar
- Teknologi - Ekonomi - Pendidikan
Dampak dan makna keterancaman ritual
Mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar.
Bentuk keterancaman ritual Mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keterancaman terhadap
ritual mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar
Emansipasi Masyarakat Kelurahan
Bungkutoko
Keterangan
: garis yang menunjukkan saling mempengaruhi : garis yang memberi hubungan atau pengaruh secara sepihak ----------- : garis yang memberi pengaruh tidak langsung secara sepihak
Penjelasan Model
Masyarakat mana pun di dunia ini memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat
lainnya dalam memandang hidup dan kehidupan, berdasarkan tradisi budaya dan kebiasaan
masing-masing. Sebagaimana halnya dengan masyarakat Nelayan Etnik Mandar yang ada di
Kelurahan Bungkutoko, Sulawesi Tenggara, memiliki tradisi kebiasaan tersendiri yang berbeda
dengan masyarakat sekitarnya dalam hal memandang laut. Masyarakat Mandar di Kelurahan
Bungkutoko menjadikan laut sebagai kebun tempat mereka mencari nafkah, sehingga
masyarakat Mandar di kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai nelayan memiliki
kebiasaan memperlakukan laut seperti makhluk hidup. Hal ini dapat dilihat dalam kebiasaan
mereka yang selalu memberi makan laut (mappandesasi). Tradisi ini mereka (masyarakat
Mandar) lakukan pada saat mau turun melaut dengan tujuan supaya pada saat mereka melaut
mendapat perlindungan dari dewa laut, rezeki yang banyak, serta keselamatan.
Tidak dapat disangkal bahwa dengan masuknya era globalisasi, ilmu pengetahuan
modern sudah membuat sebagian masyarakat terlena dengan alat-alat teknologi modern dan
melupakan pengetahuan masa lalu (indigenous knowledge). Hal ini terjadi dalam masyarakat
Mandar di Kelurahan Bungkutoko khusunya dalam tradisi ritual mappandesasi. Modernisasi
mengagungkan ilmu pengetahuan empiris, sedangkan tradisi mempertahankan kebiasaan-
kebiasaan dan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat setempat dan diperoleh secara
turun-temurun dari generasi ke generasi. Akibat pergulatan globalisasi dan tradisi, sehingga
ritual mappandesasi mengalami pergeseran dalam hal berkurangnya perserta ritual yang
diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain ekonomi, dan teknologi. Hal ini diakibatkan oleh
adanya desakan ekonomi yang membuat masyarakat nelayan etnik Mandar beralih mata
pencaharian dari nelayan ke mata pencaharian yang tidak berhubungan dengan laut, seperti
mengojek, berdagang di pasar. Selain desakan ekonomi, penyebaran masyarakat nelayan etnik
Mandar ke wilayah-wilayah lain di kota Kendari yang diakibatkan karena pergeseran pekerjaan
mereka, mengakibatkan terjadinya penurunan peserta dan dan pelaksanaan ritual mappandesasi.
Dampak pendidikan, generasi muda nelayan etnik Mandar yang memiliki ilmu pengetahuan
khusunya ilmu agama, menganggap ritual mappandesasi sebagai salah satu bentuk praktek
kemusryikan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa banyak generasi muda nelayan
etnik Mandar tidak mau mempelajari ritual mappandesasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang
yang diamati. Berdasarkan filsafat rasionalisme bahwa suatu ilmu yang valid diperoleh dari
pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logis. Dalam realitas empirik
adalah tunggal (sama dengan positivism penganut paham monism) tetapi realitas tersebut tidak
diinterpretasikan dari prespektif (Muhadjir, 2000 : 83-84).
Metode kualitatif adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara atau
penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama,
menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak.
Kedua, metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan
informan. Ketiga, metode kualitatif ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman dengan pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Maleong,
2004:9). Melalaui metode kualitatif, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan
mengklarifikasikan data yang menarik. Dengan demikian, penelitian kualitatif ini membimbing
peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan
membangun kerangka teoritis yang baru (Endraswara, 2003:14-15).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Sulawesi
Tenggara. Lokasi ini ditentukan dengan pertimbangan berikut ini.
1. Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mayoritas etnik Mandar yang menggantungkan
hidupnya pada hasil laut, dalam hal ini berprofesi sebagai nelayan.
2. Ritual mappandesasi, pada awalnya sering dilakukan oleh masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko, tetapi sekarang pelaksanaan ritual mappandesasi di
Kelurahan Bungkutoko telah berkurang dan hampir punah.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa mantra memotong hewan
kurban, mantra memandikan perahu, mantra mendapatkan rezeki, dan mantra supaya terhindar
dari musibah, dan ditunjang dengan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil obsevasi,
wawancara. Data yang digunakan adalah data tentang ritual mappandesasi. Adapun data
kuantitatif di antaranya diperoleh dari data BPS dan monografi kelurahan.
Sumber data dalam rencana penelitian ini dibedakan atas sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah para informan. Sumber data sekunder adalah ritual
pelaksanaan studi dokumen berupa hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku, laporan-laporan
lembaga swasta seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
3.4 Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini, dilakukan secara purposive. Pertimbangannya
bahwa informan tersebut dinilai memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman tentang objek
penelitian. Informan dalam penelitian ini terdiri atas informan kunci dan informan lainnya.
Informan kunci dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan
tentang lokasi penelitian, memiliki banyak pengetahuan tentang objek penelitian yaitu Kepala
Kelurahan, tokoh masyarakat, dan tokoh adat, sedangkan informan lainnya adalah peserta ritual
sekaligus sebagai pelaku utama dalam ritual mappandesasi, seperti pemimpin upacara (sandro),
masyarakat nelayan Etnik Mandar, khususnya orang-orang tua yang sering melakukan dan
mengikuti ritual mappandesasi,
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan kartu-kartu data. Kartu-
kartu data digunakan untuk pencatatan, kategorisasi, dan klarifikasi data, sedangkan pedoman
wawancara digunakan sebagai pengarah peneliti dalam melakukan wawancara. Dalam konteks
tersebut Nawawi (1992: 69) mengatakan bahwa, dalam pengumpulan data diperlukan alat
(instrumen) yang tepat agar data yang berhubungan dengan tujuan penelitian dapat dikumpulkan
secara lengkap. Kemudian Nawawi, (1992 : 98) mengemukakan bahwa pedoman wawancara
adalah alat yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan
yang diajukan kepada informan. Di samping itu, berkenaan dengan kerja pengamatan, maka
diperlukan penggunaan kamera foto atau kamera Video untuk merekam hasil pengamatan serta
alat perekam untuk merekam hasil wawancara.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara triangulasi yakni observasi,
wawancara mendalam studi dokumen dan teks atau mantra. Di bawah ini diberikan
penjelasannya
3.6.1 Observasi
Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan
menyeluruh tentang bentuk, fungsi, dan makna ritual mappandesasi dan dinamikanya dalam
realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Mandar. Teknik yang digunakan adalah
pengamatan terlibat. Peneliti ikut berperan serta secara langsung dalam rangkaian kegiatan ritual
memberi makan laut. (Muhadjir, 1992 : 179-180). Pengamatan terlibat di lapangan ditopang pula
dengan penggunaan alat perekam data, khususnya rekaman video dan foto.
3.6.2 Wawancara Mendalam
Wawancara difokuskan pada pengetahuan dan pengalaman pribadi informan tentang
upacara ritual mappandesasi. Tujuan wawancara untuk menjaring data tentang pendapat dan
pandangan informan tentang upacara ritual mappandesasi terutama bentuk, fungsi dan makna
tekstual dan kontekstual. Jenis wawancara yang diterapkan adalah wawancara terbuka dan
mendalam guna menjaring pandangan mereka tentang kegunaan upacara ritual mappandesasi
dan kandungan norma dan nilai yang tersirat di baliknya. Wawancara demikian digunakan jika
dipandang sangat perlu untuk mengurangi variasi yang bisa terjadi antara seorang yang
diwawancarai dengan yang lainnya (Maleong, 2003 : 136).
Selain pengamatan dan wawancara, peneliti juga merekam dan mencatat tuturan upacara
ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar dengan menggunakan media pandang
dengar seperti video kamera dan tape recorder. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran
secara utuh dan menyeluruh berbagai interaksi verbal dan nonverbal yang terjadi selama upacara
ritual mappandesasi berlangsung, termasuk di dalamnya perekaman wacana ritual.
3.6.3 Studi Dokumen
Dalam rangka pengumpulan data untuk memperkaya dan memperluas wawasan dan
pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang akan dikaji, maka peneliti menelusuri,
mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan objek kajian yang
sudah dipublikasikan. Materi-materi kepustakaan yang dimaksud oleh peneliti adalah buku-buku,
koran, majalah, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan dan pelestarian budaya daerah,
laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan buku-buku bacaan lain yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian
ini.
Studi kepustakaan digunakan untuk menemukan pemahaman yang dapat dikembangkan
dalam melakukan penelitian. Selain itu, studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data
sekunder yang digunakan sebagai pelengkap data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan
data digunakan bukan saja dalam memperoleh data, tetapi juga merupakan bagian dari proses
melihat keabsahan data. Menurut (Moleong,1995:178), untuk melihat keabsahan data tersebut
digunakan teknik implementasi atau triangulasi data yang memiliki tiga prosedur, yaitu (1)
membandingkan data observasi dengan hasil interview; (2) membandingkan informasi antara
sumber satu dengan sumber yang lainnya; dan (3) membandingkan hasil interview dengan
dokumen yang terkait. Berkaitan dengan pernyataan yang disampaikan Moleong, maka peneliti
melakukan pembandingan data yang diperoleh melalui observasi di lapangan selama penelitian
berlangsung, hasil wawancara, studi kepustakaan.
3.7 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif. Proses analisis
dimaksudkan untuk mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan
satuan uraian sehingga dihasilkan suatu temuan atau simpulan sejalan dengan tujuan penelitian.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh melalui berbagai
sumber, yaitu wawancara, pengamatan dan perekaman dan catatan lapangan (Maleong, 2002 :
190). Prosedur berikutnya dalam penelitian ini adalah analisis data. Tahapan ini terdiri atas
beberapa langkah berikut ini.
a. Penyusutan data (data reduction), yaitu melakukan pengurangan data yang tidak relevan
dengan permasalahan. Reduksi data sebagai proses penyaringan, penyerdahanaan,
pengabstraksian, dan transpormasi data kata yang muncul dari catatan-catatn tertulis dari
lapangan dilakuakan pula dalam penelitian ini. Upaya ini sesuai dengan kerangka masalah
dan kerangka konseptual yang dikaitkan dengan tujuan utama penelitian ini, yakni untuk
menemukan khasanah budaya etnik Mandar. Sebagian dari proses analisis, reduksi
merupakan bentuk analisis yang menajamkan, mengklasifikasi, mengarahkannya,
mengorganisasikannya untuk kemudian bermuara pada simpulan, verifikasi, dan
rekomendasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dengan aneka cara
: seleksi yang ketat, meringkas, dan menggolong-golongkannya ke dalam pola tertentu yang
lebih luas. Sajian data (data display) dilakukan dengan pengelompokan dan kategorisasi data
sesuai dengan bentuk, fungsi dan makna, pengaruh bahasa dan budaya serta langkah-langkah
dalam mempertahankan keaslian upacara ritual dalam masyarakat etnik Mandar.
b. Penggalian makna dan fungsi dilakukan melalaui penafsiran makna atas semua bentuk
upacara dan prosesnya, hasil penafsiran makna dan fungsi dinegosiasikan pula dengan para
tetua adat yang menjadi informan kunci.
c. Pengambilan simpulan mengenai bentuk, fungsi dan makna, sistem nilai budaya dan
pengaruh budaya serta langkah-langkah pemberdayaan upacara ritual dalam masyarakat
Mandar.
d. Penemuan fakta tentang adanya perubahan atau dinamika ritual dilakukan dengan kajian
perbandingan terhadap struktur bentuk dan makna serta fungsi ritual yang diperoleh melalui
pengetahuan para pemiliknya antargenerasi, yaitu generasi tua dan muda. Perbedaan persepsi
generasi tua dan muda tentang bentuk, makna, dan fungsi ritual itu merupakan makna
perubahan dan dinamika yang dimaksudkan itu. (Miles dan Huberman, 1992 : 17-18).
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini akan peneliti sajikan secara informal
dan formal. Teknik penyajian secara informal adalah cara penyajian hasil analisis data dengan
cara deskripsi kata-kata atau narasi, sedangkan secara formal penyajian hasil penelitian berupa
tabel dan gambar. Laporan penelitian dituangkan ke dalam delapan bab.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis
Kelurahan Bungkutoko merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Abeli
Kota Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kelurahan Bungkutoko merupakan daerah tersendiri,
yakni kepulauan Bungkutoko yang terletak di pesisir teluk Kendari. Adapun luas wilayah
Kelurahan Bungkutoko adalah 700 ha. Batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan teluk Kendari;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Nambo;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Talia; dan
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.
Apabila menggunakan jalur laut untuk ke Kelurahan Bungkutoko, maka digunakan dua
jenis alat transportasi. Pertama, lewat pelabuhan kecil (tempat perahu berlabuh) di Pantai Biru
Sanggula (kota lama) menuju Kelurahan Bungkutoko digunakan jenis tansportasi kapal motor
(perahu mesin tempel atau katinting) yang membutuhkan waktu tempuh ± 30 menit dengan biaya
transportasi Rp 5.000,00 per kepala. Kedua, dengan menggunakan kapal motor jenis Speed
menuju Kelurahan Bungkutoko membutuhkan waktu tempuh selama ± 10 menit dengan biaya
transportasi Rp 7.000,00 per kepala. Jarak antara Pantai Biru Sanggula dengan Kelurahan
Bungkutoko ± 5 Km.
Sebagaimana wilayah-wilayah lain di kota Kendari yang memiliki waktu perubahan
musim, maka Kelurahan Bungkutoko juga mengenal perubahan musim. Akan tetapi, di
Kelurahan Bungkotoko hanya dikenal dua jenis musim yakni musim, kemarau dan musim hujan.
Kedua musim ini memiliki waktu perputaran yang berbeda. Musim hujan terjadi bulan Oktober
sampai dengan bulan April yang dibawa oleh angin barat, berasal dari Benua Asia dan Samudera
Pasifik, dengan melewati beberapa lautan. Pada bulan Mei sampai dengan bulan September
terjadi musim kemarau diakibatkan karena angin yang bertiup dari Timur (Benua Australia)
kurang mengandung uap air.
4.2 Demografi
Dilihat dari aspek kependudukan, masyarakat Kelurahan Bungkutoko merupakan
masyarakat yang heterogen sebagai hasil dari migrasi dan perkawinan campuran antara
penduduk asli (suku Tolaki) dengan suku pendatang yakni suku Mandar, Bugis, Jawa, Muna, dan
Buton.
Penduduk Kelurahan Bungkutoko pada akhir tahun 2010 berjumlah 1.280 jiwa,
sedangkan pada akhir penelitian ini (Februari, 2011), berdasarkan data dari Kelurahan
Bungkotoko, penduduk Kelurahan Bungkutoko telah mencapai jumlah 1.461 jiwa. Berdasarkan
data tersebut di atas, terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk Kelurahan Bungkutoko selama
kurun waktu dua tahun terakhir yakni dari tahun 2009 sampai 2011 sebesar 1,1 persen per tahun.
Luas wilayah Kelurahan Bungkutoko adalah 700 Ha, yang dibagi dalam tiga lingkungan.
Lingkungan pertama diberi nama Air Mancur, yang dibagi dalam tiga Rukun Tetangga (RT)
dengan jumlah penduduk 71 kepala keluarga (KK). Lingkungan ke dua diberi nama Padang Pasir
yang dibagi dalam empat Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk sebanyak 92 kepala
keluarga (KK), dan Lingkungan ke tiga diberi nama Nelayan yang dibagi dalam lima Rukun
Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 149 kepala keluarga (KK). Dengan demikian, penduduk
kelurahan Bungkutoko berjumlah 312 kepala keluarga atau 1.461 jiwa.
Dari tiga lingkungan di Kelurahan Bungkutoko, lingkungan ke tiga yang paling padat
penduduknya. Lingkungan nelayan terdiri atas lima Rukun Tetanga, dan sebagain besar
penduduknya adalah etnik Mandar, yakni 92 kepala keluarga (KK), 57 kepala keluarga yang
menghuni lingkungan nelayan adalah terdiri atas 29 kepala keluarga etnik Buton, 25 kepala
keluarga etnik Muna dan 3 kepala keluarga etnik Jawa. Sebagian besar mata pencaharian
penduduk etnik Buton dan Muna di lingkungan Nelayan, yaitu sebagai nelayan yang
berkelompok dengan etnik Mandar. Nelayan terbanyak di Kelurahan Bungkutoko terdapat pada
lingkungan nelayan dan mayoritas penduduknya didominasi oleh etnik Mandar, sehingga di
lingkungan inilah lokasi ritual mappandesasi selalu dilaksanakan.
Struktur umur penduduk di suatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat kelahiran,
kematian, dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran di suatu daerah sangat tinggi maka
dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah yang berpenduduk usia muda.
Keadaan struktur penduduk di Kelurahan Bungkutoko berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat
dilihat dalam tebel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kelurahan Bungkutoko Menurut Umur dan Jenis Kelamin. Kelompok Umur (tahun
Laki-Laki (L)
Perempuan (P)
Jumlah (L+P)
0 – 4
5 – 9
10 – 14 15 – 19
20 – 24 24 – 29 30 – 34 35 – 39
40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 -59
60 – 64 65 – 69 70 – 74
91
91
67 78
75 78 57 55
42 33 29 14
12 9 6
84
72
67 72
100 75 60 58
37 34 29 10
9 4 7
175
163
134 150
175 153 117 113
79 67 58 24
21 13 13
Jumlah Total 740 722 1.462
Sumber : Kantor Kelurahan Bungkutoko 2010.
Tabel di atas, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 hampir seperdua jumlah penduduk
Kelurahan Bungkutoko, yakni 48,06 persen dari jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko secara
keseluruhan atau sebanyak 622 jiwa adalah penduduk usia muda yang berumur di bawah 20
tahun. Tabel di atas, juga menunjukkan bahwa Kelurahan Bungkutoko tidak tergolong kelurahan
yang berpenduduk usia muda. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penduduk Kelurahan
Bungkutoko berjumlah 251.477 jiwa. Apabila ditinjau dari besarnya jumlah penduduk
Kelurahan Bungkutoko berdasarkan jenis kelamin, maka ternyata bahwa jumlah perempuan
lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Perempuan berjumlah 722 jiwa atau 49, 82 persen, sedangkan
laki-laki berjumlah 740 jiwa atau 50,12 persen.
Perbandingan jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko antara laki-kaki dan perempuan
disebut dengan rasio jenis kelamin. Tahun 2010 menunjukkan bahwa setiap 100 jiwa penduduk
Kelurahan Bungkutoko terdapat 48 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan dan
terdapat 52 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki. Rasio jumlah penduduk yang berdasarkan
jenis kelamin ini dijumpai secara merata di setiap lingkungan dalam Kelurahan Bungkutoko.
Apabila hal ini dilihat dari sudut analisis ekonomi dan dihubungkan dengan struktur
sosial budaya dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko, maka keadaan seperti ini tampaknya
menguntungkan bagi masyarakat Kelurahan Bungkutoko, karena laki-laki harus bertanggung
jawab penuh atas kelangsungan hidup keluarga. Kendatipun demikian, dalam masyarakat
kelurahan Bungkutoko, perempuan sejak kecil sudah dibiasakan oleh orangtua untuk belajar
hidup mandiri.
Dalam hal tenaga kerja, masyarakat Kelurahan Bungkutoko tidak mengalami kesulitan
karena jumlah penduduknya yang tergolong dalam usia non produktif (usia 0-14 tahun dan usia
60 tahun ke atas) lebih kecil yakni 526 jiwa, bila dibandingkan dengan kategori usia produktif
(usia 15-59 tahun) berjumlah 936 jiwa.
Penduduk Kelurahan Bungkutoko sebagian besar beragama Islam. Tampaknya agama
Islam di Kelurahan Bungkutoko ini cukup berkembang dengan pesat, tetapi masih banyak di
antara penduduk yang menganut agama Islam hanya lebih dalam tataran Islam simbolik. Hal ini
dapat dilihat dari kebiasaan sebagian besar penduduk yang menganut agama Islam mulai dari
anak-anak sampai pada orang tua yang pandai dan lancar membaca Al-Qur’an, meskipun
kebanyakan di antara mereka tidak pernah bersekolah dan buta aksara Latin. Selain itu, masih
pula penduduk kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam tetapi masih mempercayai
kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap dua kepercayaan itu tidak hanya
sebatas diyakini tetapi dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
4.3 Mata Pencaharian
Secara umum sumber mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Bungkutoko
menangkap ikan dan hasil-hasil laut lainnya. Selain mempunyai keahlian kelautan, beberapa
orang pandai berdagang dan menjadi tukang (membuat perahu/kapal kayu dan membuat rumah)
sebagai pekerjaan sambilan untuk memperoleh penghasilan tambahan.dan sebagian kecil
bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Komposisi mata pencaharian
menduduk di kelurahan Bungkutoko dapat dilihat dalam tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk di Kelurahan Bungkutoko.
No Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa)
1 Nelayan 724
2 Pegawai Negeri 93
3 Pedagang 57
4 Tukang 38
Jumlah 912
Sumber: Kantor kelurahan Bungkutoko 2010
4.3.1 Nelayan
Keterampilan penduduk Kelurahan Bungkutoko adalah menangkap ikan (nelayan) dan
mengumpulkan hasil laut lainnya. Tabel 4.2 di atas, secara jelas menunjukkan bahwa hampir
seperdua atau berjumlah 724 jiwa dari jumlah keseluruhan penduduk Kelurahan Bungkutoko
atau 1.462 jiwa adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Menangkap ikan tidak dengan
menggunakan pukat, pancing saja, tetapi memburunya di dalam air dengan menggunakan panah
ikan dan tombak yang dibuat sendiri. Hal ini dilakukan karena kebutuhan pasar terhadap
beberapa jenis ikan yang harus ditangkap dalam keadaan hidup memberi peluang kepada nelayan
etnik Mandar untuk memburu dan menangkap ikan tersebut sesuai pesanan. Biasanya yang
beroperasi mengumpulkan ikan hidup adalah beberapa pengusaha ikan dari Bungkutoko yang
memiliki relasi bisnis dengan pengusaha ikan dari PT. Djayanti Group dan PT Samudera Group,
dua pabrik pengolahan ikan di Kendari-Sulawesi Tenggara.
Salah satu bentuk kerja sama antara nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
dengan para pengusaha ikan adalah para pengusaha selain memberikan modal awal memberikan
keramba plastik secara cuma-cuma untuk menampung ikan hidup hasil buruan. Cara
penangkapanya adalah ikan dipanah di bagian ujung ekornya. Setelah lemas ikan tersebut
ditangkap dan dimasukkan ke dalam keramba plastik yang berisi air laut. Selain dipanah ikan
tersebut ditangkap dengan menggunakan pancing. Dalam melakukan perburuan, hasil yang
diperoleh tidak menentu, biasanya berkisar antara satu sampai delapan ekor.
Adapun jenis ikan yang menjadi sasaran buruan para nelayan adalah kerapu (cronileptes
altivelis), seperti kerapu batu (epinephelus taufina), kerapu sunuk (plectrophanus leopardus),
kakap, seperti kakap putih (lace calcarifer), dan kakap merah (lutganus altifrontalis), ikan tuna,
dan lain-lain. Para nelayan menjual ikan hasil buruan mereka dengan harga berkisar antara Rp
25.000,00 sampai Rp 30.000,00 per kilogram. Ikan-ikan tersebut selalu datang diambil di
Kelurahan Bungkutoko oleh pengusaha ikan yang memiliki relasi bisnis dengan para nelayan
setempat. Biasanya para pengusaha ikan ini turun di Kelurahan Bungkutoko untuk mengambil
ikan hasil buruan para nelayan sesering-seringnya (3 kali dalam seminggu).
Nelayan etnik Mandar, selain menangkap ikan dengan menggunakan panah dan
pancing,juga menangkap ikan dengan menggunakan kapal yang terbuat dari kayu (perahu
dengan menggunakan mesin dalam yang dilengkapi dengan jaring dan pukat) dan memasang
bagang. Dilihat dari peralatan tangkapnya, nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
sudah termasuk dalam kategori nelayan modern. Hasil-hasil yang diperoleh dari laut, dijual
dipasar oleh istri atau kerabat yang merupakan anggota kelompok nelayan.
4.3.2 Pegawai Negeri Sipil
Selain pedagang penduduk Kelurahan Bungkutoko ada yang berprofesi sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Jumlah penduduk Kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai PNS
berjumlah 93 jiwa yang tersebar di seluruh instansi pemerintah dan instansi swasta yang ada di
kota Kendari. Akan tetapi, peneliti tidak dapat merinci berapa banyak jiwa yang mengisi
lapangan pekerjaan di instansi pemerintah dan di instansi swasta. Hal itu diakibatkan karena
tidak adanya data yang membagi atau membedakan hal tersebut.
Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai PNS di Kelurahan Bungkutoko di atas
menunjukkan bahwa aktivitas sebagai nelayan lebih banyak digemari oleh warga setempat,
khususnya etnik Mandar. Hal ini diakibatkan oleh selain keterbatasan sumberdaya manusia
dalam komunitas etnik Mandar, juga diakibatkan oleh kebiasaan etnik Mandar yang sejak kecil
sudah melaut. Aktivitas melaut menurut etnik Mandar gampang untuk mendapatkan uang,
nelayan etnik Mandar dapat menikmati hasilnya setelah pulang dari melaut. Pekerjaan sebagai
PNS menurut etnik Mandar lama untuk mendapatkan uang karena nanti setiap awal bulan baru
mendapatkan hasilnya (terima gaji). Hal ini yang mengakibatkan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko mengenyampingkan dunia pendidikan.
Dari 93 jiwa penduduk di Kelurahan Bungkutoko yang bermata pencaharian sebagai
pegawai negeri sipil (PNS) tidak ada satu orang pun yang berasal dari etnik Mandar.
Kebanyakan dari penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil berasal dari
etnik Buton, Muna, dan Bugis. Meskipun demikian, tidak berarti perekonomian etnik Mandar
tidak mapan, justru perekonomian etnik Mandar lebih mapan dari perekonomian penduduk yang
bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil yang ada di Kelurahan Bungkutoko.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang telah diwariskan secara turun temurun dari
nenek moyang orang Mandar, bahwa orang Mandar tidak akan pernah sukses meraih hidup
dengan bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil, kecuali berwiraswasta dalam hal yang
halal. Selain itu, didorong oleh kenginan masyarakat untuk mendapatkan uang pada setiap hari.
Semua ini diakibatkan oleh pola hidup sebagian besar masyarakat di Kelurahan Bungkutoko
yang cenderung boros dan royal dalam hal uang.
4.3.3 Berdagang
Penduduk Kelurahan Bungkutoko selain berprofesi sebagai nelayan, ada sebagian
penduduk Kelurahan Bungkutoko yang berprofesi sebagai pedagang. Akan tetapi, jumlah
penduduk yang berprofesi sebagai pedagang sangatlah kecil yakni 57 jiwa. Aktivitas bedagang
ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan membuka kios untuk berjualan di dalam rumah.
Jenis barang yang diperdagangkan pada umumnya adalah makanan ringan, seperti kue kering,
berbagai jenis roti, indomie, berbagai jenis permen, minuman botol, seperti 7-Up, lemonaden,
fanta, soda, alat tulis-menulis, beberapa jenis kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako),
seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, bawang, terigu, dan beberapa jenis peralatan melaut
sederhana, seperti mata kail, dan tasi.
Menurut pengakuan para penjual, barang jualan kurang laris, karena penduduk Kelurahan
Bungkutoko pergi menjual ikan hasil tangkapan di luar (pasar di luar Bungkutoko). Pada saat
kembali ke Bungkutoko selalu membawa barang-barang yang dibutuhkan terutama yang
berhubungan dengan bahan makanan dan kebutuhan melaut. Berbagai jenis barang dagangan
tersebut di atas, yang banyak digemari oleh konsumen adalah jenis makanan ringan dan rokok,
karena kebanyakan konsumennya dari kalangan anak-anak dan remaja. Mengenai jumlah
keuntungan dalam berdagang tidak memberikan informasi yang pasti, karena para pedagang
selalu mengatakan berdagang ini sama dengan berjudi, tergantung nasib, kalau lagi bernasib
baik atau mujur penghasilan akan laku banyak tapi kalau nasib lagi tidak mujur maka barang
dagangan kurang laku.
Dari 57 jiwa yang berdagang, ada salah satu ibu yang mengehentikan aktivitas
berdagangnya adalah Minarti istri salah seorang Kepala Lingkungan Tiga yang telah diganti. Ibu
tersebut menghentikan jualannya karena rugi. Kerugian ini kerena barang dagangannya kurang
laku sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh anggota keluarganya. Lebih lanjut ibu lima orang
anak itu menyatakan bahwa usahanya dihentikan bukan bangkrut akibat pembeli yang tidak
membayar hutangnya, tetapi karena semata-mata kurang laku. Menurut Minarti, memang ada
sebagian pembeli yang suka menghutang, tetapi selalu membayarnya tepat waktu. Nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko paling takut berhutang uang karena menurut nelayan etnik
Mandar utang terkait dengan lancar tidaknya mendapat rezeki. Apabila salah satu yang merasa
kecewa (tempat menghutang) bisa menjadi salah satu penyebab kesialan dalam mencari rezeki di
laut. Kesulitan mencari rezeki pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup.
4.3.4 Tukang Kayu
Mata pencaharian utama masyarakat Kelurahan Bungkutoko adalah nelayan. Akan tetapi,
ada sebagian dari warga Kelurahan Bungkutoko yang memiliki keterampilan sebagai tukang
kayu. Keterampilan tersebut diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka. Pewarisan
keterampilan tersebut dilakukan melalui proses pembelajaran dalam keluarga. Biasanya seorang
bapak yang memiliki keterampilan sebagai tukang, selalu mengajari anaknya menjadi tukang.
Proses tersebut diawali dengan peniruan, yakni anak disuruh memperhatikan apa yang dikerjakan
oleh orang tuanya. Lama-kelamaan anak tersebut terbiasa untuk mencoba mengerjakannya
sendiri. Meskipun demikian, anak tersebut tetap berada dalam bimbingan orang tuanya.
Keberadaan para tukang kayu dan tukang batu di Kelurahan Bungkutoko dirasakan cukup
membantu warga setempat. Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain yang membutuhkan
jasa tukang kayu atau tukang batu, masyarakat Kelurahan Bungkutoko pun demikian adanya.
Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sebagian penduduk di
Kelurahan Bungkutoko, misalnya membangun rumah, baik rumah panggung maupun rumah
batu, dan jenis pertukangan lainnya. Oleh karena itu, penduduk Kelurahan Bungkutoko
senantiasa memiliki ketergantungan pada jasa tukang, bila ingin membangun rumah baru, atau
ingin memiliki peralatan rumah, seperti lemari, tempat tidur, kursi, meja, daun pintu dan daun
jendela. Bahan-bahan pembuatan rumah biasanya disediakan oleh pemesan melalui saran dari
tukang. Biasanya bahanya didatangkan dari pengumpul kayu bahan rumah untuk rumah
panggung dan dari pengumpul bahan bangunan, seperti batu, pasir, untuk rumah batu.
Melakukan aktivitas sebagai tukang, biasanya dijalani pada saat tidak ada aktivitas
melaut. Keadaan tidak melaut umumnya pada musim terang bulan, kencang ombak, atau
memang ada pesanan untuk menyelesaikan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dipesan seperti
membuat rumah, membuat lemari, atau perabot rumah lainnya. Maksudnya pemesan sangat
membutuhkan barang tersebut dalam waktu tertentu (dalam waktu dekat atau sifatnya
mendesak), maka tukang meninggalkan aktivitas melautnya demi memenuhi keinginan pemesan
tersebut.
Udin yang bekerja selain sebagai nelayan juga sebagai tukang kayu menyatakan bahwa
kalau sedang musim angin kencang atau musim terang bulan, ia tidak melaut, tetapi dia bekerja
sebagai tukang untuk membuat lemari, pintu atau jendela. Udin mempunyai bangsal di samping
rumahnya untuk tempat dia bekerja sebagai tukang. Harga yang Udin pasang sangat ber fariasi,
tergantung jenis barang yang dipesan oleh pelanggan. Alemari misalanya, ini juga memiliki
harga yang sangat ber fariasi tergantung ukuran dan bentuk lemari yang dipesan. Begitu juga
harga pintu dan jendela. Udin memasang tarif mulai dari Rp 750.000,00 sampai Rp
3.000.000,00. Lemari yang memiliki harga mahal yakni lemari besar dan dihiasi dengan berbagai
bentuk ukiran. Selain membuat lemari, pintu, dan jendela, Udin biasa menerima pesanan untuk
membuat rumah. Mengerjakan pesanan rumah, Udin dibayar mulai dari Rp 3.000.000,00 sampai
Rp 6.000.000,00 per unit. Menurut Udin, dirinya lebih senang mengerjakan pesananan rumah
daripada pesan lemari, jendela, dan pintu. Karena pesanan lemari, jendela dan pintu, cara
kerjanya repot, capek dan butuh ketelitian karena harus diukir.
4.4 Agama dan Kepercayaan
Seperti halnya kelurahan-kelurahan lain, Kota Kendari memiliki penduduk yang
beragam. Keberagaman itu bukan hanya dalam hal suku, etnis, daerah asal tetapi juga agama dan
kepercayaan. Kelurahan Bungkutoko juga memiliki penduduk yang beragam mulai dari suku,
etnis, daerah asal sampai pada keberagaman agama dan kepercayaan. Kelurahan Bungkutoko
memilki keberagaman suku atas etnik yang terdiri dari etnik Mandar sebagai penduduk yang
mayoritas meskipun etnik Mandar sebagai etnis pendatang, etnis Buton, etnis Bugis-Makassar,
etnis Jawa, dan entis Tolaki sebagai penduduk pribumi.
Keberagaman etnik tersebut dibarengi dengan keberagaman agama dan kepercayaan. Di
Kelurahan Bungkutoko terdapat dua agama yang teridentifikasi oleh pemerintah, yaitu agama
Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dengan
jumlah pengikutnya sebanyak 1428 jiwa, dan agama Kristen Katolik yang penganutnya
berjumlah 34 jiwa. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberagaman etnik yang ada di Kelurahan
Bungkutoko tidak diikuti dengan keberagaman agama atau pluralisme agama.
Sebagai agama yang pengikutnya sangat sedikit atau minoritas, maka agama Kristen di
Kelurahan Bungkutoko tidak dapat dilihat secara simbolik karena tidak memiliki tempat atau
rumah ibadah. Untuk menunaikan kewajibannya (melakukan ibadah) sebagai umat kristen, harus
melakukan ibadah di pusat Kota Kendari yang letaknya tidak terlalu jauh dari kelurahan
Bungkutoko (±15 KM). Berbeda dengan agama Islam yang merupakan agama mayoritas yang
dianut oleh penduduk di kelurahan Bungkutoko, maka agama Islam dapat dilihat secara simbolik
seperti tempat ibadah.
Agama Islam di Kelurahan Bungkutoko berkembang dengan pesat. Salah satu
indikasinya adalah banyaknya masjid dan sarana yang ada di Kelurahan Bungkutoko. Masjid-
masjid tersebut sangat diramaikan oleh kegiatan-kegiatan keislaman. Bagi masyarakat di
Kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam masjid berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah
sholat lima waktu, selamatan, tahlilan, dan tempat mengaji. Keyakinan beragama Islam di
kalangan masyarakat di Kelurahan Bungkutoko pada hakikatnya telah ditanamkan sejak masa
kanak-kanak. Kewajiban belajar mengaji bagi anak-anak yang beragama Islam dilakukan pada
malam hari atau pada pagi hari setelah selesai melaksanakan sholat Subuh, Hal ini di sebabkan
karena pada siang hari anak-anak pergi ke sekolah.
Walaupun masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mayoritas yang beragama Islam, tetapi
Islam yang dianut dan dikembangkan oleh separuh penganut agama Islam di Kelurahan
Bungkutoko, tampaknya Islam sinkritis. Indikasinya adalah sering dijumpainya keyakinan lain
yang bukan berasal dari agama Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat di
Kelurahan Bungkutoko. Misalnya, etnik Mandar yakin dan mempercayai adanya berbagai
makhluk halus yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti adanya penjaga laut (sasi), batu
besar, gua dan pohon-pohon besar. Berbagai makhluk halus itu dianggap sebagai pemilik atau
penjaga tempat tersebut. Pendek kata masyarakat yang menganut agama Islam di kelurahan
Bungkutoko juga masih yakin dan mempercayai kepercayaan animisme percaya roh-roh dan
dinamisme percaya kepada benda-benda gaib.
Nelayan etnik Mandar yakin bahwa makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan ada
yang bersifat jahat. Agar tidak mencelakakan manusia, maka tempat-tempat tersebut selalu diberi
sesajen. Selain itu, setiap ingin menggunakan benda-benda atau mengunjungi tempat-tempat
yang dianggap keramat tersebut, terlebih dahulu meminta izin atau bersalam kepada penunggu
atau penjaganya. Ungkapan yang lazim mereka ucapkan untuk meminta izin atau bersalam pada
penjaga tempat-tampat tersebut adalah sebagai berikut, “tabe anabi sasi” apabila hendak melaut,
atau tabe anabi madara ketika hendak menginjakan kaki di darat.
Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang beragama Islam masih yakin akan adanya
roh leluhur dan hubungan dengan roh-roh semacam ini tetap dipelihara kesinambungannya
dalam kehidupan sehari-hari. Terperliharanya kesinambungan itu dimanifestasikan dalam
perilaku masyarakat yang disebut ghoniwi, yakni mengirim do’a dengan disertai makanan dan
minuman sekedarnya yang ditujukan kepada arwah-arwah para leluhur. Hal itu biasanya
dilakukan pada setiap malam Jum’at atau pada hari-hari tertentu yang dianggap baik menurut
nelayan etnik Mandar. Selain itu, ada upacara dan ritus adat yang dilakukan pada waktu-waktu
tertentu, misalnya dalam peristiwa yang berhubungan dengan siklus hidup individu, seperti
kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Biasanya ghoniwi itu dilakukan sebelum acara
puncak dilaksanakan, misalnya dalam pesta pernikahan, sebelum memasuki acara ijab qobul
terlebih dahulu dilakukan ritual ghoniwi yang dilakukan satu malan sebelum acara puncak
dilaksanakan.
Selain Ghoniwi, ada kebiasaan dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko yang
dimiliki oleh masyarakat nelayan etnik Mandar dan sampai saat ini masih dipertahankan
eksistensinya oleh etnik Mandar, yakni ritual mappandesasi. Ritual ini merupakan tradisi
kebiasaan nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko yang dilakukan sebelum atau sesudah
melaut. Ritual ini dilakukan untuk meminta kepada penjaga laut (sasi) supaya para nelayan
diberikan, keselamatan dalam melaut dan diberikan rezeki atau hasil tangkapan yang banyak.
4.5 Bahasa dan Kesenian
4.5.1 Bahasa
Banyaknya suku bangsa atau etnis yang bertempat tinggal di kelurahan Bungkutoko
dengan sendirinya membuat Kelurahan Bungkutoko kaya akan bahasa. Semua suku bangsa yang
berasal dari daerah lain dan bertempat tinggal menetap di Kelurahan Bungkutoko secara otomatis
membawa persebaran bahasa daerah suku bangsa tersebut. Misalnya, orang yang berimigrasi dari
daerah Mandar Sulawesi Selatan secara otomatis bahasa ikut berimigrasi.
Pergaulan hidup sehari-hari penduduk di Kelurahan Bungkutoko menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya suku yang tinggal di
Kelurahan Bungkutoko dan tidak ada bahasa daerah dari suku-suku tersebut untuk dijadikan
bahasa yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti bahasa Bali di Jati Bali. Tidak
adanya bahasa daerah yang bisa digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari sehingga bahasa
Indonesia yang lazim digunakan sebagai bahasa sehari-hari.
Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti bahasa daerah
masing-masing tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Semua bahasa daerah dapat
digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Kelurahan
Bungkutoko sesama suku, etnis yang menggunakan bahasa daerah tersebut. Misalnya bahasa
Mandar digunakan berkomukasi dengan sesama etnik Mandar. Hal ini diakibatkan oleh
masyarakat pengguna bahasa tersebut terbatas pada etnik Mandar saja, begitu pula halnya bahasa
daerah yang lain.
Walaupun ada suku Tolaki yang mendiami Kelurahan Bungkutoko sebagai penduduk
pribumi tetapi jumlahnya sangat minoritas. Hal itu yang mambuat bahasa Tolaki tidak digunakan
sebagai bahasa sehari-hari karena tidak populer di kalangan masyarakat Kelurahan Bungkutoko
diakibakan oleh masyarakat pengguna bahasa Tolaki sangat sedikit. Akan tetapi, sekarang
bahasa Tolaki sebagai bahasa suku pribumi sudah dijadikan bahan pelajaran di sekolah, mulai
dari Sekolah Dasar sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai salah satu mata
pelajaran muatan lokal. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk melestarikan bahasa
lokal agar tidak mengalami kepunahan karena bahasa merupakan salah satu unsur identitas
masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Mengenai rekayasa tulisan, Ong mengatakan bahwa bahasa pada hakikatnya bersifat
lisani (oral); begitu lisan sehingga seakan-akan aksara tidak diperlukan, buktinya di antara
berpuluh-puluh ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia, hanya sekitar 106 yang memiliki
sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong
1980: 7). Selanjutnya, di antar kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang
memiliki kesusasteraan tertulis.
4.5.2 Kesenian
Masyarakat di kelurahan Bungkutoko terdiri atas tiga etnis yang tergolong besar, yaitu
etnik Mandar, Bugis, dan Muna. ketiga etnik tersebut memiliki kesenian daerah yang berdeda-
beda. Misalnya, kesenian pobhelo dari etnik Muna, kesenian ini dipentaskan pada saat
melakukan acara hajatan aqiqah dan pada saat menyambut tamu, tetapi di Kelurahan
Bungkutoko ditampilkan pada saat melakukan acara aqiqah. Kesenian lariangi dari etnik Buton,
kesenian ditampilkan pada saat melakukan hajatan pengislaman (katoba).
Dalam etnik Mandar terdapat seni tari dan seni suara. Seni tari terdiri atas tetabuhan
rebana. Seni ini menurut masyarakat etnik Mandar mempunyai nilai sejarah tersendiri karena
menandai pertama kalinya agama Islam masuk di tanah Mandar. Kesenian ini selalu ditampilkan
oleh etnik Mandar pada saat mau melakukan acara ritual mappandesasi di mana pun etnik
Mandar bermukim, termasuk di Kelurahan Bungkutoko. Selain seni tari tetabuhan rebana,
masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko juga memiliki tarian Tusuk Bobal. Tarian ini
selalu ditampilkan oleh masyarakat etnik Mandar pada saat melakukan hajatan yang terkait
dengan siklus hidup manusia dan pada saat upacara-upacara adat, seperti ritual mappandesasi.
Selain seni tari, masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai seni
suara, yang disebut kanjilo. Kanjilo ini selalu dinyanyikan oleh etnik Mandar pada saat mereka
hendak turun melaut. Meskipun masyarakat Kelurahan Bungkutoko memiliki banyak kesenian
tetapi ada salah satu kesenian yang berlaku secara universal dalam masyarakat. Kesenian
tersebut berupa seni tari yang disebut tari lulo. Tari lulo itu selalu ditampilkan pada saat
melakukan hajatan yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, seperti pernikahan, aqiqah, dan
pengislaman. Tari lulo ditampilkan dalam upacara syukuran keberhasilan dalam melaut. Tari ini
ditampilkan pada malam hari yang berfungsi sebagai alat pemersatu berfungsi sebagai
penghibur.
4.6 Organisasi Sosial
Kelurahan Bungkutoko yang terbagi dalam tiga Rukun Tetangga dan tediri atas dari 12
Rukun Warga tidak membuat masyarakat di kelurahan ini bercerai berai atau tidak saling
mengenal. Akan tetapi, dengan kondisi wilayah seperti itu masyarakat tetap tolong-menolong
dan bantu-membantu dalam berbagai aktivitas. Masyarakat di Kelurahan Bungkutoko memiliki
organisasi sosial tradisional yang dapat menyatukan semua etnik di kelurahan tersebut.
Organisosial tradisional tersebut disebut rarambanga, yaitu bentuk hubungan kerjasama yang
oleh masyarakat Kelurahan Bungkutoko dari berbagai etnik dalam melakukan berbagai bentuk
aktivitas.
Pada hakikatnya perkumpulan sosial ini dibentuk sebagai wadah partisipasi anggota
masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dalam rangka memenuhi tujuan bersama yang tidak bisa
dilakukan secara perseorangan, dan perkumpulan sosial merupakan sarana untuk saling
menolong dalam meringankan beban hidup dan membantu memecahkan persoalan hidup sesama
masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dari etnik mana pun.
Rarambanga ini tidak berlaku dalam aktivitas sosial yang bersifat umum, seperti
bersama-sama membangun rumah, tetapi rarambanga berlaku sampai pada kegiatan sosial yang
sifatnya khas seperti ritual mappandesasi. Hal ini dapat dijumpai dalam aktivitas masyarakat dari
luar etnik Mandar yang sibuk membantu proses berjalannya ritual, bahkan sampai ikut serta
dalam pelaksanaan sebagai anggota. Ada yang membantu menyediakan peralatan upacara,
memberikan, dan menghiasi lokasi pelaksanaan ritual yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Bukan kaum laki-laki yang terlibat dalam menyukseskan pelaksanaan ritual
mappandesasi ini melainkan kaum ibu-ibu dari berbagai etnik dan berbagai rukun tetangga ikut
berpartisipasi dalam hal membantu pekerjaan dapur. Memasak untuk persiapan sesajen, untuk
persiapan makan bersama setelah melakukan ritual mappandesasi. Bantuan dari etnik lain tidak
terbatas dalam hal moril atau tenaga (bukan etnik Mandar), tetapi ada bantuan materi yang
berwujud benda atau barang, seperti menyumbang sapi, kambing, dan ayam, untuk sesajen atau
pun untuk santapan setalah melakukan ritual.
Dilihat dari banyaknya bentuk partisipasi masyarakat dari luar etnik Mandar dalam hal
melancarkan proses jalannya ritual mappandesasi, dapat dikatakan bahwa masyarakat di
Kelurahan Bungkutoko sangat mematuhi organisasi sosial tradisional yang mereka bentuk
bersama, yakni rarambanga. Rarambanga diadopsi oleh masyarakat etnik Mandar dan
diterapkan dalam proses melaut. Melaut merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara
berkelompok maka rarambanga sangat cocok mereka jadikan sebagai patokan berpijak dalam
membentuk sebuah kelompok. Pembentukan kelompok untuk melakukan aktivitas melaut ini
didasarkan pada prinsip rarambanga yang dijabarkan dalam tiga poin penting.
Tiga poin Rarambanga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang
universal, yakni sippatappa (saling percaya), sikaada (saling menerima keadaan), dan situlutulu
(bahu membahu). Maksudnya, sippatappa adalah sesama anggota kelompok harus saling
mempercayai, tidak saling membohongi, tidak saling mencurigai. Sikaada yakni harus saling
memahami dan menerima keadaan bahwa memiliki perbedaan fisik, memiliki kelebihan dan
kekurangan sehingga harus mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Situlutulu
maksudnya harus bahu-membahu, tolong-menolong karena senasib sepenanggungan yakni
mengadu nasib di laut yang penuh dengan tantangan dan resiko, serta nelayan etnik Mandar telah
menjadi satu kesatuan yang lebih dekat lagi yakni rarambanga.
Kelompok kerja sama yang terbangun dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko tidah
hanya berlaku bagi kaum laki-laki atau suami tetapi berlaku untuk kaum perempuan atau istri.
Hal ini terbukti dengan banyaknya perempuan dari kalangan ibu-ibu dan remaja yang ikut
membantu dalam menyukseskan pelaksanaan ritual mappandesasi dari berbagai etnik. Tidak
terbatas sampai di situ aktivitas ibu-ibu yang suaminya terlibat dalam rarambanga untuk melaut.
Artinya bahwa, para suami yang melakukan kerja sama itu, istri-istri mengorganisir diri sebagai
kelompok rarambanga untuk membantu kelancaran dan meringankan pekerjaan suami. Para istri
bekerja sama dalam hal menjemur ikan hasil tangkapan, memasang atau mengikat bibit rumput
laut tali nilon dan lain-lain.
Keterlibatan etnik Mandar dalam rarambanga, selain sebagai pencerminan diri sebagai
makhluk sosial, mencerminkan adanya suatu struktur sosial sebagai jaringan kerja sama
antarindividu yang terorganisasi secara teratur. Dalam kehidupan etnik Mandar, hubungan sosial
yang dilakukan individu merupakan upaya untuk senantiasa mempertahankan keberadaannya.
Setiap individu memiliki keterbatasan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial.
Keterbatasan kemampuan ini pula yang mendorong etnik Mandar untuk saling berhubungan
dengan sesamanya sehingga terbentuklah suatu jaringan sosial. Jaringan sosial merefleksikan
terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus yang terbentuk di antara
sekelompok orang, yakni sedikitnya tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas
tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial yang ada. Pengelompokan tersebut dibentuk
guna memungkinkan bagi anggota-anggotanya dalam memenuhi kebutuhan individual dan
kelompoknya (Suparlan, 1982:35). Rarambanga merupakan salah satu pengelompokan sosial
dalam masyarakat Kelurahan Bungkutoko yang dibentuk sebagai jaringan kerja sama untuk
saling membantu meringankan beban hidup di antara masyarakat termasuk dari etnik Mandar.
Dalam jaringan kerja sama tersebut etnik Mandar sadar bahwa suatu anggota kelompok sosial
dengan batas-batas yang jelas. Kesadaran etnik Mandar tentang kehidupan kolektif, telah
mengubah kelakuan individu menjadi kelakuan sosial, sehingga tercipta proses interaksi yang
teratur antarindividu dalam kehidupan kolektif tersebut. Kesadaran ini malahirkan kesalahan
sosial, yang di antaranya dapat terlihat dari komitmen moral yang tertuang dalam prinsip kerja
rarambanga.
Pola tingkah laku seperti ini bukan hanya semata-mata sebagai upaya mengejar
kebutuhan individu, tetapi lebih pada upaya melanggengkan keberadaan kelompok, sebagai
konsekuensi dari persetujuan-persetujuan kontraktual di antara masyarakat dalam membangun
jalinan kerjasama. Realitas ini sejalan dengan pemikiran Karl Marx (dalam Magnis
Suseno,1993:99) bahwa pekerjaan tidak mengandung makna ekonomis semata, tetapi pekerjaan
adalah jembatan antar manusia untuk memenuhi sifat sosial dan medan objektivasi diri. Artinya,
melalui rarambanga, masyarakat di Kelurahan Bungkutoko termasuk etnik Mandar bisa saling
mengetahui keadaan hati serta perasaan secara lebih akrab dan lebih dekat, sehingga setiap orang
melakukan peran-peran nyata untuk anggota dan kelompoknya. Dalam konteks ini peran-peran
individu lebih bernuansa psikologis. Nuansa sosialnya tampak jelas bahwa dalam rarambanga
terdapat pamataha (ketua kelompok) dan anggota yang saling berinteraksi.
Dengan adanya rarambanga sebagai lembaga yang sah dalam masyarakat kelurahan
Bungkutoko, semakin mudah merencanakan dan melaksanakan program-program kerja dalam
masyarakat. Melalui rarambanga tersebut membangun kesadaran melalui rencana-rencana
pengolahan hasil laut untuk pengembangan ekonomi. Memalui wadah ini etnik Mandar saling
memberikan pemahaman dengan etnik dari luar Mandar untuk mengelola sumber daya alam
dengan bijak dan berkelanjutan untuk menigkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Selain itu,
rarambanga ini menjadi wadah pengumpulan dan penyaluran bantuan modal usaha, bahkan bisa
menampung dan memasarkan hasil-hasil produksi masyarakat Kelurahan Bungkutoko. Dengan
demikian rarambanga tersebut memiliki kemampuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat kelurahan Bungkutoko termasuk nelayan etnik Mandar, serta membawa dampak
positif terhadap kegairahan dan perkembangan sendi-sendi perekonomian masyarakat pesisir
secara makro.
Jika dicermati lebih jauh rarambanga-rarambanga yang telah terbentuk dalam
masyarakat Kelurahan Bungkutoko dapat saja ditransformasi menjadi lembaga formal yang
mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian masyarakat di Kelurahan Bungkutoko,
khususnya yang berprofesi sebagai nelayan. Pada gilirannya rarambanga dapat menjadi lembaga
ekonomi berupa koperasi atau bank desa yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat Bungkutoko
yang dapat berfungsi sebagai wadah penyaluran bantuan modal usaha untuk anggota, pemasaran
hasil produksi menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh anggota. Hanya saja ini belum
dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang terkait yang fokus dengan pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat pesisir.
4.7 Asal Usul Etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
Berdasarkan pengakuan dan keterangan yang terhimpun selama penelitian di lapangan
dapat dikatakan bahwa etnik Mandar yang mendiami sebagian kelurahan Bungkutoko pada
awalnya satu kapal atau perahu. Menurut pengakuan salah seorang etnik Mandar yang
sesepuhnya masyarakat di Kelurahan Bungkutoko bahwa, etnik Mandar pertama kali tiba di kota
Kendari pada tahun 1996. Waktu itu nelayan etnik Mandar belum ada keinginan untuk tinggal
menetap, tetapi baru sekedar berlayar menangkap ikan. Karena melihat potensi hasil laut dalam
hal ini ikan, sangat memadai sehingga masyarakat berniat untuk tinggal menetap.
Pada awalnya etnik Mandar hanyalah sekelompok nelayan tradisional yang berjumlah 12
orang dalam satu kapal. Kapal itu bernama hotel indah dan merupakan kapal jenis ba’go, yakni
kapal nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap jala atau biasa disebut nelayan majalla
dengan pimpinan atau juragan kapal waktu itu bernama Husen. Meskipun nelayan etnik Mandar
tinggal menetap, tetapi bukan di darat, melainkan di atas kapal karena belum memiliki lahan.
Sifat penetapan masih sementara, karena setiap satu kali dalam satu minggu pulang ke Mandar
dengan menggunakan kapal nelayan etnik Mandar. Mereka bukan menetap di Kelurahan
Bungkutoko tetapi di laut Petoaha.
Nelayan etnik Mandar tinggal dan menetap di darat nanti pada tahun 2001, yakni di
Kelurahan Bungkutoko. Mereka masih berjumlah 12 orang, dan semuanya sudah berkeluarga.
Pada tahun 2001 itu, nelayan etnik Mandar belum datang bersama keluarga. Setelah nelayan
etnik Mandar yang berjumlah 12 orang itu memilki rumah sendiri, nelayan etnik Mandar pulang
ke Mandar dan datang kembali bersama keluarga (istri dan anak-anaknya yang belum
bersekolah). Pertama kali etnik Mandar menetap tinggal bersama keluarga di Kelurahan
Bungkutoko pada akhir tahun 2001 dan 12 keluarga ini tinggal dalam satu rumah panjang yang
menyerupai rumah gadang.
Selama enam bulan tinggal di darat bersama keluarga, mulailah berdatangan para nelayan
etnik Mandar yang lain. Untuk sementara waktu para nelayan yang baru datang itu tinggal di
rumah panjang. Seiring berjalannya waktu terjadilah perkawinan silang antara nelayan etnik
Mandar dengan penduduk lokal, dalam hal ini etnik Tolaki. Mulai saat itu dan sampai sekarang,
keluarga Bungkutoko sebagian besar dihuni oleh nelayan etnik Mandar (menjadi penduduk
terbesar di Kelurahan Bungkutoko).
4.8 Ritual Mappandesasi
Ritual mappandesasi adalah salah satu ritual tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar
yakni memberi makan laut dengan cara memberi sesajen kepada laut. Pelaksanaan ritual
mappandesasi dipimpin oleh seorang dukun (sandro) yang memang didatangkan dari tanah
Mandar. Ritual mappandesasi bertujuan untuk meminta kepada penjaga sasi yang biasa disebut
setassasi, agar nanti dalam melaksanakan aktivitas melaut para nelayan senantiasa diberikan
keselamatan dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.
Dukun (sandro) yang menjadi pemimpin upacara adalah masyarakat biasa yang hidup
bermasyarakat seperti para nelayan. Biasanya pekerjaan sandro dalam masyarakat adalah bertani
atau juga bisa sebagai nelayan. Akan tetapi, orang menjadi sandro harus melalui kesepakatan
para tokoh adat dan tokoh masyarakat. Seseorang apabila dinobatkan menjadi sandro harus
memiliki bebrapa criteria, seperti harus beribadah kepada Allah SWT, berprilaku sopan terhadap
sesama, baik dan rendah hati, serta memiliki kelebihan dalam hal menyembuhkan atau
mengobati orang sakit.
Tidak hanya itu, yang menjadi sandro atau pemimpin dalam pelaksanaan ritual
mappandesasi adalah benar-benar orang yang memiliki kelebihan dalam hal menghadirkan roh-
roh para leluhur dan bisa berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh tersebut. Termasuk
juga sandro tersebut bisa berkomunikasi dengan setassasi melalui kemampuan ilmu spritual
yang dia miliki. Sandro yang menjadi pemimpin dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah sandro yang selalu didatangkan dari
Mandar Sulawesi Barat. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan ilmu spritual yang dimilki oleh
sandro di Kelurahan Bungkutoko belum bisa mengantarkan mereka untuk berkomunikasi dengan
roh para leluhur dan setassasi.
Agar keinginan para nelayan itu yakni keselamatan dan hasil tangkapan yang banyak
maka dalam upacara itu diadakan pemotongan hewan sebagai korban. Setelah dipotong hewan
korban tersebut dibuang ke laut. Apabila hewan tersebut tenggelam maka itu pertanda bahwa
hewan yang menjadi sesembahan diterima oleh setassasi. Dengan demikian, maka para nelayan
tidak akan mendapatkan kesialan lagi dalam melaut karena menurut nelayan etnik Mandar
kesialan itu sudah tenggelam bersama hewan korban yang dibuang ke laut oleh sandro. Hewan
yang menjadi bahan sesajen dalam ritual mappandesasi tersebut terdiri atas kambing (beke) dan
ayam (manu). Kedua jenis hewan tersebut disembelih oleh dukun (sandro). Sebelum disembelih
hewan tersebut terlebih dahulu dimandikan oleh sandro dengan air bersih dan air tersebut sudah
dibacakan mantra oleh sandro. Hewan tersebut disirami air dari kepala sampai ujung kaki dan
hal tersebut (memandikan hewan) diulangi sampai tiga kali, semua itu dilakukan oleh sandro.
Ayam yang dijadikan kurban dalam ritual ini adalah ayam yang keseluruhan bulunya
berwarna putih, tetapi di ketiak ayam tersebut terdapat sehelai buluh hitam. Bisa sebaliknya,
ayam yang keseluruhan bulunya berwarna hitam, tetapi di ketiak ayam tersebut terdapat sehelai
buluh berwarna putih atau disebut sebagai bulu sirua. Ayam yang dijadikan sebagai hewan
korban dalam ritual mappandesasi haruslah ayam jantan, sedangkan kambing yang dijadikan
sebagai hewan kurban, yaitu kambing jantan yang masih muda. Menurut salah seoerang tokoh
adat etnik Mandar terkait dengan mengapa ayam dan kambing yang dikorbankan harus sama-
sama jantan. Hal ini terkait dengan aktivitas melaut yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Hari pelaksanaan ritual mappandesasi ini harus ditentukan oleh sandro. Biasanya
pelaksanaan ritual ini selalu jatuh pada hari Kamis sampai malam Jum’at, yang menurut sandro
hari itu adalah hari yang baik dalam perputaran hari. Untuk mentukan bulan berapa dan tanggal
berapa serta hari apa pelaksanaan ritual mappandesasi ini, biasanya sandro menggunakan
penghitungan atau perputaran waktu pada hitungan 10 atau lebih bulan di langit. Pelaksanaan
ritual mappandesasi jatuh pada hari Kamis dan puncak ritual dilakukan pada malam Jum’at yang
disebut pangudunna allo atau malam istimewa.
BAB V
BENTUK KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR KELURAHAN BUNGKUTOKO
Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran pada apa yang ia
sebut dengan simbol-simbol (Turner, 1974:19). Hal ini mirip dengan apa yang ditunjukkan oleh
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari
tentang tradisi ritual mappandesasi. Mereka (nelayan etnik Mandar) melakukan ritual
mappandesasi sebagai mediasi sesembahan yang secara terus-menerus dan turun-temurun
dilakukan dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di dalamnya.
Bentuk penghormatan terhadap penjaga sasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari ini dilakukan sekali dalam dua tahun.
Masyarakat merasa ada yang kurang atau belum sempurna dalam melaut jika tidak atau belum
melakukan ritual mappandesasi. Anggapan ini setidaknya menjadi cara kelompok masyarakat
nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko melegitimasi keberadaan ritual mappandesasi
sebagai struktur ideologis yang mampu menggerakkan keseluruhan aktivitas dalam tataran niat,
spirit hidup, hingga ketundukan-ketundukan tiap-tiap individu pelaku atas dimensi super struktur
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko atau apa yang disebut oleh Berger
(dalam Abdullah, 2008:136) dengan istilah super-structure of society.
Masyarakat nelayan etnik Mandar memitoskan atau mempersonifikasikan penjaga sasi
atau disebut setassasi sebagai makhluk yang selalu memberikan perlindungan, keselamatan, dan
mempermudah rezeki bagi mereka dalam melaut. Akan tetapi, setassasi murka kepada nelayan,
ketika ada musibah di laut seperti kapal nelayan tenggelam atau para nelayan tidak mendapatkan
hasil tangkapan maka itu dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai bentuk murka
dari setassasi. Menurut pemahaman masyarakat nelayan etnik Mandar di lokasi penelitian ini,
hal itu terjadi karena para nelayan belum memberi makan atau belum melakukan ritual
mappandesasi pada saat melaut.
Ritual mappandesasi mulai dilakukan oleh nelayan etnik Mandar saat adanya pengakuan
para nelayan etnik Mandar terhadap eksistensi setassasi yang selalu memberikan perlindungan,
keselamatan, dan rezeki serta setassasi juga bisa memberikan musibah di laut pada saat melaut.
Bentuk ritual memberi makan laut (mappandesasi) ini dilakukan satu kali setahun atau dua tahun
sekali, dan dilakukan pada saat mereka (nelayan etnik Mandar) mau turun melaut.
Menariknya, keberadaan ritual mappandesasi melahirkan berbagai tafsir mistis, bahkan
mereka meyakini adanya kaitan sebuah kelangsungan hidup, khususnya perkembangan
kehidupan perekonomian para nelayan. Meskipun ritual mappandesasi begitu sangat penting
dalam kehidupan nelayan etnik Mandar, akan tetapi sekarang eksistensi ritual ini dalam
masyarakat telah mengalami keterancaman. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah bertambahnya ilmu pengetahuan masyarakat,
khusunya dalam ilmu agama. Komunitas atau masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam
dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu agama, menganggap perilaku masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko dalam melakukan ritual mappandesasi merupakan perilaku
yang mengarah pada kemusyrikan dan sama sekali merusak aqidah dan menggoyahkan
pemahaman ajaran Islam yang benar.
Pelaksanaan ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari dewasa ini sudah mengalami pergeseran dan
pengurangan atau mengalami keterancaman. Hal itu dapat dilihat dalam rangkaian pelaksanaan
ritual mappandesasi yang ternyata telah mengalami beberapa pengurangan, baik dari segi jumlah
peserta maupun sarana ritual, bila dibandingkan dengan ritual yang dilakukan pada masa lalu.
Mencermati penurunan entitas ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sejalan dengan konsep Sairin (2001:50),
bahwa dimensi kehidupan yang dibawah oleh sistem informasi dan teknologi telah membawa
berbagai implikasi dalam kehidupan masyarakat, terutama komunitas masyarakat yang masih
berkembang. Melalui teknologi canggih gagasan-gagasan baru dari seluruh pelosok dunia,
terutama yang berasal dari masyarakat atau negara maju datang menyerbu masyarakat dunia.
Secara berangsur-angsur gagasan itu berhasil mengubah pola gagasan budaya masyarakat yang
tersentuh serbuan tersebut.
Kenyataan seperti di atas, tampak dalam perubahan gaya hidup masyarakat yang terkena
imbas dari teknologi mutakhir sejak era globalisasi melanda dunia. Fenomena ini tampak pula
dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota
Kendari. Adapun bentuk keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko dijelaskan di bawah ini.
5.1 Proses Pelaksanaan Ritual Mappandesasi Terdapat beberapa ketentuan yang perlu mendapat perhatian setiap orang bila hendak
mengikuti ritual mappandesasi. Orang yang hendak melakukan ritual mappandesasi perlu
mempersiapkan diri (sehat jasmani dan rohani). Selain kesehatan jasmani dan rohani, orang-
orang yang hendak melakukan ritual mappandesasi harus menyiapkan benda-benda sebagai
prasarat sahnya ritual. Syarat sahnya ritual ini terdiri atas bebrapa jenis, mulai dari binatang
sebagai sesembahan, dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan.
Upacara atau ritual mappandesasi merupakan salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik
Mandar di mana pun berada, termasuk di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota
Kendari. Ritual ini (mappandesasi) diwariskan secara lisan dan turun-temurun dari generasi ke
generasi, dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar) sebagai ritual
untuk menolak bala atau menghindari malapetaka selama melakukan aktivitas melaut. Selain itu,
ritual mappandesasi diyakini oleh masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar) sebagai
ritual yang dapat mempermudah datangnya rezeki. Artinya, bahwa dengan melakukan ritual
mappandesasi maka orang yang melaut akan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.
Pelaksanaan ritual mappandesasi terdiri atas beberapa tahapan, yakni mengumpulkan
sumbangan, memotong hewan kurban, pelaksanaan ritual mappandesasi, meletakkan sesaji,
acara makan bersama.
5.1.1 Mengecilnya Jumlah Sumbangan
Pertama kali yang dilakukan oleh warga etnik Mandar dalam mempersiapkan
pelaksanaan ritual mappandesasi adalah mengumpulkan sumbangan. Sumbangan ini biasanya
dalam bentuk uang, tetapi ada juga dalam bentuk barang. Sumbangan dalam bentuk barang
seperti kambing, (beke), ayam (mannu) atau bahan perlengkapan ritual lainnya seperti beras.
Pengumpulan sumbangan tidak melalui rumah ke rumah, tetapi melalui kapal, artinya semua
kapal yang pemiliknya dari etnik Mandar dan digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan
dimintai uang demi lancarnya pelaksanaan ritual mappandesasi. Artinya, setiap kapal milik
nelayan etnik Mandar dikenakan iuran untuk biaya pelaksanaan ritual mappandesasi, dan
biasanya satu kapal dimintai uang sejumlah Rp 400.000,00.
Semua kebutuhan dalam ritual mappandesasi mulai dari pengadaan binatang yang akan
dijadikan sebagai binatang kurban sampai dengan sesembahan diadakan. Pembelian kambing
(beke) dan ayam (mannu) selalu terpenuhi oleh uang sumbangan dari para peserta ritual. Akan
tetapi, dalam kondisi yang modern seperti ini, tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin hari
semakin berat membuat salah satu tahapan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi hilang
tergilas roda modernisasi yang cenderung membuat manusia untuk mendahulukan sifat
individual. Tahapan dalam proses pelaksanaan ritual mappandesasi yang hilang adalah kebiasaan
masyarakat dalam mengumpulkan sumbangan.
Pergeseran ini membuat proses pelaksanaan ritual mappandesasi khususnya dalam
mengumpulkan sumbangan sudah berkurang. Dalam era modern seperti sekarang tidak lagi
semeriah dulu. Pelaksanaan ritual mappandesasi, sekarang dilakukan secara individu-individu
atau perseorangan. Hal ini terjadi karena masyarakat nelayan etnik Mandar banyak yang beralih
mata pencaharian. Dulunya mata pencaharian masyarakat etnik Mandar hanyalah melaut atau
sebagai nelayan, sehingga pelaksanakan ritual mappandesasi sangat meriah. Nelayan etnik
Mandar banyak yang beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi pekerja yang tidak
berhubungan lagi dengan laut. Dari nelayan mejadi tukang ojek, buruh bangunan, serta semakin
banyaknya etnik Mandar yang berprofesi sebagai sopir angkot (angkutan kota). Kondisi ini
diakibatkan oleh faktor kebutuhan ekonomi (uang). Apabila mereka sebagai nelayan maka hasil
yang didapatkan hari ini nanti beberapa minggu atau satu bulan baru dapat. Kalau menjadi
tukang ojek dan sopir angkot setiap hari mendapatkan uang, menjadi buruh bangunan setiap tiga
hari sudah menerima hasilnya. Kondisi inilah yang memotivasi para nelayan etnik Mandar untuk
beralih mata pencaharian. Hal ini senada dengan ungkapan informan Andi 34 tahun yang
mengatakan sebagai berikut.
“Pada awalnya pelaksanaan ritual mappandesasi ini kami mengumpulkan sumbangan dari bebrapa kapal milik etnik Mandar untuk biaya pelaksanaan ritual. Bagi yang tidak membayar uang mereka menggantinya dengan barang kebutuhan ritual. Tetapi seiring berkembangnya zaman, masyarakat sudah banyak yang berpindah mata pencaharia, melakukan aktivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Mereka beranggapan bahwa menjadi nelayan lama baru didapat hasilnya (uang), sementara melakukan aktivitas di darat seperti tukang ojek, sopir angkot, atau menjadi buruh bangunan, hasilnya kita dapat tiap hari. Memang pada zaman seperti sekarang uang adalah segalanya, orang mau kehilangan identitas budaya demi uang” (Wwancara, 9 februari 2011).
Penuturan di atas menggambarkan bahwa dalam dunia modern seperti sekarang, kebutuhan
ekonomi semakin mendesak. Desakan kebutuhan ekonomi inilah yang membuat masyarakat
nelayan etnik Mandar kebanyakan berpindah mata pencaharian. Selain itu, ungkapan di atas juga
menunjukkan bahwa karena uang masyarakat nelayan etnik Mandar rela meninggalkan tradisi
ritual mappandesasi. Demi mendapatkan uang tiap hari nelayan etnik Mandar harus terserabut
dari akar budaya dan mengalami pergeseran identitas budaya karena tidak lagi melakukan ritual
mappandesasi yang semua itu diakibatkan oleh globalisasi. Kondisi ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Storey (2007:54). di mengatakan bahwa globalisasi telah membersihkan hampir
semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat manusia pada pola persamaan
budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini
mengakibatkan atau mangancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan
mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan.
Meminjam istilah Kleden (2000:138) yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat seperti
dalam penuturan informan di atas sebagai masyarakat yang mengalami perubahan mencakup
hampir semua kebudayaan kendatipun di tataran sistem budaya yang abstrak dan yang mendasar
dalam kehidupan dan demi kebutuhan kepribadian manusia secara kolektif. Dengan demikian,
secara umum sama dengan pendapat Mbete dkk., (2006:191) bahwa perubahan dalam dimensi
atau sosok nonmaterial meliputi perubahan pola pikir, cara hidup, sikap dasar, orientasi dan pola
perilaku.
5.1.2 Berkurangnya Binatang Kurban dalam Ritual Mappandesasi
Awalnya syarat sah ritual ini terdiri atas sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu). Ketiga
jenis binatang ini merupakan prasyarat utama dalam ritual mappandesasi karena ketiga jenis
binatang ini nanti dijadikan sebagai binatang sesembahan. Apabila dalam melakukan ritual ini
dan tidak dilengkapi dengan binatang sebagai sesembahan, maka ritual ini dianggap tidak sah
dan dalam pelaksanaanya terjadi hambatan seperti ada diantara peserta ritual yang jatuh atau
kapalnya terbalik ke laut maka nelayan tersebut meninggal.
Masyarakat nelayan etnik Mandar yang dulunya melakukan ritual mappandesasi selalu
menggunakan binatang sebagai sesembahannya, seperti sapi, kambing (beke), dan ayam
(mannu). Tiga jenis binatang ini merupakan harga mati dalam ritual mappandesasi. Artinya,
bahwa tiga jenis binatang sesembahan ini merupakan syarat sahnya ritual mappandesasi. Bahan-
bahan yang lain itu hanyalah pelengkap dan bisa digantikan dengan jenis atau bahan-bahan lain.
Apabila dalam ritual mappandesasi, binatang sesembahan tidak lengkap atau dari tiga jenis itu
ada yang kurang salah satu seperti tidak ada ayam (mannu) atau tidak ada kambing (beke) maka
sudah bisa dipastikan ritual mappandesasi tidak bisa dilaksanakan. Sapi, kambing (beke), dan
ayam (mannu) yang digunakan dalam ritual mappandesasi harus berjenis kelamin jantan. Ayam
jantan yang digunakan harus ayam jantan yang berwana hitam dan sedikit memiliki bulu putih di
bagian
ketiaknya atau etnik Mandar menyebutnya buluh sirua. Hal ini diungkapkan oleh
informan Beddu 65 tahun di bawah ini.
“Bahan-bahan yang harus disiapkan terlebih dahulu dalam ritual mappandesasi adalah binatang sesembahan yang terdiri atas sapi, kambing (beke) dan ayam (mannu). Semua jenis binatang itu harus berjenis kelamin jantan, dan mannu yang digunakan dalam ritual mappandesasi adalah mannu yang kami sebut mannu bulu sirua, yakni ayam yang semuanya berbulu hitam tetapi ada beberapa lembar bulu putih yang ada di bawah ketiaknya, atau sebaliknya, mannu yang semua berbulu putih tetapi ada beberapa lembar bulu hitam di bawah ketiaknya. Selain binatang sesembahan itu yang harus kami penuhi dalam ritual mappandesasi ini juga kami selalu melakukannya karena menurut kami nelayan etnik Mandar, dengan kami melakukan ritual mappandesasi kami merasakan ada kepuasan dan kenyamanan tersendiri dalam melaut oleh karena itu kami selalu mengulanginya sampai saat ini” (Wawancara, 4 Februari 2011).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa, betapa penting dan sangat berharganya binatang sapi,
kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua dalam ritual mappandesasi sebagai
binatang sesembahan sehingga harus diprioritaskan untuk diadakan. Apabila dari tiga jenis
binatang sesembahan ini, sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua tidak ada,
maka ritual mappandesasi pun secara otomatis harus ditunda pelaksanaanya, menunggu sampai
binatang sesembahan tersebut lengkap. Selain itu, ritual mappandesasi ini sudah dianggap
sebagai pandangan hidup (world view) bagi masyarakat nelayan etnik Mandar, sehingga mereka
selalu melakukannya dari generasi ke generasi dan membudaya. Meminjam istilah atau konsep
Manuel Casstel (2001:39), komunitas seperti ini bisa disebut sebagai komunitas budaya, yakni
komunitas yang dibentuk dan dikonstruksi oleh budaya. Komunitas yang diorganisir melalui
sejumlah tata nilai serta makna dengan sharing-nya ditandai oleh beberapa kode identifikasi diri,
seperti komunitas kaum beriman, ikon-ikon nasionalisme dan lokalitas. Komunitas budaya yang
saya asumsikan sebagai bagian dari identitas diri bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko dalam sikap keberagaman yang didasari oleh sebuah pandangan
kosmologi atau keyakinan tertentu adalah mappandesasi.
Meskipun ritual mappandesasi sudah menjadi bangunan world view bagi masyarakat
nelayan etnik Mandar, akan tetapi dengan kemajuan globalisasi dewasa ini, ritual mappandesasi
mengalami penurunan entitas dalam masyarakat. Penurunan itu dapat kita lihat dalam jenis
binatang sesembahan misalnya, pada mulanya melaksanakan ritual mappandesasi di Kelurahan
Bungkutoko dan sampai pada beberapa generasi menggunakan sapi, kambing (beke), dan ayam
(mannu) jantan bulu sirua sebagai binatang sesembahannya. Namun, sekarang binatang
sesembahan itu sudah digampangkan yakni cukup dengan menggunakan kambing (beke), dan
ayam (mannu) jantan bulu sirua. Hal ini, diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi yang
semakin hari semakin berat. Senada dengan penuturan informan Rustam 45 tahun yang dikutip di
bawah ini.
“Pelaksanaan ritual mappandesasi tidak seperti dulu lagi, khususnya dalam hal binatang yang menjadi sesembahan. Sekarang binatang sesembahannya yang utama cukup beke dan mannu jantan bulu sirua. Hal ini diakibatkan selain pengaruh ekonomi, juga dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan generasi muda khususnya tentang agama Islam yang menganggap sapi itu bukanlah binatang kurban utama dalam Islam” (wawancara 9 Februari 2011).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran dalam tata cara pelaksanaan ritual
mappandesasi, khusunya dalam hal binatang yang menjadi sesembahan. Sudah terjadi
pengurangan atau penggampangan dalam jenis binatang sesembahan. Hal ini diakibatkan oleh
desakan kebutuhan ekonomi, dan pengaruh pengetahuan generasi muda khususnya dalam hal
agama, sangat berpengaruh dalam perubahan sebagian tata cara dan pelaksanaan ritual
mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Dengan
demikian, di bagain tertentu ritual mappandesasi ini telah terjadi proses elaborasi dengan nilai-
nilai dalam ajaran Islam. Uangkapan di atas sejalan dengan pandangan Soedjono Tirtokoesoemo
dalam Abdullah, (2002:12) yang mengatakan bahwa ritual juga bisa diubah dan disesuaikan
dengan tadisi Islam. Selain itu, ungkapan di atas juga sekaligus menunjukkan bahwa betapa
ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat istiadat masyarakat setempat Pelras,
(2006:4).
Sebagian tahapan proses pelaksanaan dalam ritual mappandesasi sudah digerogoti dengan
nilai-nilai ajaran agama Islam, sehingga ritual mappandesasi sudah menjadi sebagai salah satu
ritual yang sudah berelaborasi dengan ritual-ritual dalam Islam. Makna dari ritual mappandesasi
adalah tanda atau pesan keselamatan hidup, mempermudah datangnya rezeki serta doa panjang
umur bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota
Kendari.
5.1.3 Memotong Hewan Kurban
Mengingat puncak pelaksanaan ritual mappandesasi yang selalu dilaksanakan pada
malam hari yakni malam Jum’at, maka pemotongan hewan kurban untuk sesembahan dalam
ritual mappandesasi dilakukan pada hari Kamis, yaitu pada sore hari. Pemotongan hewan kurban
selalu didahului oleh pemotongan sapi, setelah itu menyusul pemotongan kambing (beke), dan
yang terakhir pemotongan ayam (mannu). Semua hewan sesembahan ini dipotong oleh seorang
sandro yang sudah ditugasi oleh pemimpin sandro. Semua jenis binatang yang menjadi
sesembahan dalam ritual mappandesasi haruslah jantan. Hal ini terkait dengan aktivitas melaut
yang selalu dilakukan oleh kaum laki-laki. Sandro dalam melaksanakan ritual mappandesasi
terdiri atas lima orang dan setiap sandro sudah memiliki tugas masing-masing.
Sebelum disembelih, semua binatang sesembahan ini terlebih dahulu dimandikan dengan
air dari kepala sampai kaki setelah itu dibacakan doa-doa dan kemudian diikuti dengan niat,
keselamatan dan supaya nanti binatang sesembahan itu halal untuk dimakan dan dapat diterima
oleh penjaga sasi. Setiap jenis binatang sesembahan disembelih dengan niat atau doa
pemotongan (sembelih) yang berbeda-beda.
Gambar 5.1 Pemotongan Kambing (Beke) (Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar di atas tampak peserta ritual yang baru selesai memotong beke dan siap-siap
untuk menguliti beke tersebut untuk sesembahan dalam ritual mappandesasi. Beke tersebut
disembelih oleh salah seorang sandro yang memang sudah ditugasi oleh pimpinan sandro untuk
memotongnya. Sandro memotongnya dengan menggunakan doa sebagai berikut:
“Bismillah amantu billah tawakaltu allaulah laha ulla walla kuataillah billah innawa itu in aniba innali wadhdhaini magere Olo-kolo ri gere matan’ A piso napettui eppa ureeonroang mattitti darana, darana pole ri tanae, bukunna pole ri batu na anging, uremu pole ri batang a’lambaka, alunrakeng sibawa baunna ma wangie. Lokkano mai, mimmaui iyaro de na makessing jokka ko Allahu akbar 4x bacaan ” Setelah membaca doa tersebut, sandro tidak langsung menyembelih beke, akan tetapi
diniatkan dulu. Lafaz niatnya, yakni “saya memotong beke ini atas kehendak-Mu dan tidak ada
kemampuan kami selain terjadi karena atas kuasaMu. Semoga pada suatu saat nanti kami akan
beretemu kembali karena setiap yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan
dipertemukan kembali pada suatu saat (di akhirat). Semoga beke ini diterima dengan baik oleh
penjaga sasi”. Setelah meniatkankannya, sandro langsung memotong beke tersebut.
Dalam mantra untuk memotong beke di atas, jelas sekali kolaborasi antara ajaran Islam
dalam ritual mappandesasi ini. Percampuran antara ayat suci Alqur’an dengan mantra tradisional
etnik Mandar. Fenomena di atas sejalan dengan Pelras (2006:4) yang mengatakan bahwa ajaran
Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan budaya masyarakat setempat.
Setelah menyembelih beke, sandro melanjutkan tugasnya dengan menyembelih mannu.
Dalam menyembelih mannu, sandro memandikan sama seperti beke, setelah itu membacakan
mantra dan niat, dengan menggunakan mantra dan niat yang hampir sama. Bedanya hanyalah
dalam hal takbirnya, ayam takbirnya sebanyak dua kali, sedangkan kambing ditakbirkan
sebanyak empat kali. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan jumlah kaki antara ayam dengan
kambing.
Gambar 5.2 Pemotongan Ayam (Mannu)
(Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar di atas tampak sandro sedang menyembelih mannu dan dibantu oleh beberapa
orang dari peserta ritual mappandesasi. Tampak seorang peserta yang bertugas memegang ayam
agar tidak bergerak-gerak pada saat disembelih oleh sandro dan ada satu lagi dari peserta yang
bertugas menadah darah mannu dalam satu tempat. Darah itu nantinya digunakan sebagai
campuran beberapa tumbuh-tumbuhan perlengkapan dalam ritual untuk dioleskan di bodi kapal
atau perahu yang digunakan melaut.
Sandro menyembelih mannu dengan menggunakan doa sebagai berikut:
“Bismillah amantu billah tawakaltu allaulah laha ulla walla kuataillah billah innawa itu in aniba innali wadhdhaini magere Olo-kolo ri gere matan’ A piso napettui rua ureeonroang mattitti darana, darana pole ri tanae, bukunna pole ri batu na anging, uremu pole ri batang a’lambaka, alunrakeng sibawa baunna ma wangie. Lokkano mai, mimmaui iyaro de na makessing jokka ko Allahu akbar 2x bacaan ”
Setelah membaca doa tersebut, sandro tidak langsung menyembelih mannu, tetapi diniatkan
dulu. Lafaz niatnya, yakni “saya memotong mannu ini atas kehendakMu dan tidak ada
kemampuan kami selain terjadi karena atas kuasaMu. Semoga pada suatu saat nanti kami akan
bertemu kembali karena setiap yang bernyawa akan mengalami kematian dan akan
dipertemukan kembali pada satu saat (di akhirat). Semoga mannu ini diterima dengan baik oleh
penjaga sasi”. Setelah meniatkankannya, sandro langsung memotong mannu tersebut.
Mantra untuk memotong mannu di atas, jelas sekali memiliki penggalan-penggalan kata
dari mantra tersebut merupakan atau diambil dari ayat-ayat suci Alqur’an yang sudah terjadi
percampuran atau kolaborasi dengan kebiasaan etnik Mandar, sehingga terdapat beberapa
kalimat yang berasal dari bahasa Mandar. Percampuran ini semakin memperjelas apa yang
dikatakan oleh Pelras (2006:4) bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat
istiadat dan budaya masyarakat setempat.
Semua doa-doa dalam ritual mappandesasi ini diturunkan oleh generasi tua secara lisan
ke generasi muda dan terjadi secara turun-temurun. Doa-doa tersebut selalu diturunkan atau
diwariskan murni secara lisan. Kebiasanaan ini sudah terjadi selama beberapa generasi, hanya
saja generasi muda yang sekarang sudah tidak mau mempelajari kebiasaan ini karena dianggap
tidak bermanfaat buat mereka. Generasi muda lebih memilih belajar budaya pop seperti musik
karena musik bisa membuat mereka (generasi muda) menjadi populer dan terkenal. Bagi
generasi muda yang memiliki pemahaman terhadap ajaran agama, khususnya agama Islam,
mereka juga tidak mau mempelajarinya karena menganggap doa-doa dan perilaku dalam ritual
mappandesasi sebagai sebuah perilaku yang mengarah pada kemusyrikan. Kondisi ini diperkuat
lagi oleh pemahaman generasi muda dengan melihat mantra-mantra yang digunakan dalam
memotong binatang sesembahan yang telah mencampurkan ayat-ayat suci Alqur’an dengan
bahasa yang tidak jelas berasal dari mana.
Darah beke dan darah mannu yang dipotong oleh sandro tidak dibuang ke tanah tetapi
ditadah dalam satu tempat, karena darahnya juga berfungsi sebagai salah satu peralatan ritual,
yakni dicampur dengan beberapa bahan lainnya lalu dilumuri atau dioleskan di perahu yang
nelayan gunakan pada saat melaut. Salah satu jenis campuran darah dari beke dan mannu adalah
rumput ‘pennu-pennu’ (panno-panno). Menurut masyarakat nelayan etnik Mandar penggunaan
rumput pennu-pennu atau panno-panno, ini memilki mitos yang terkait dengan hasil tanggkapan
para nelayan. Panno-panno menurut para nelayan sama artinya dengan penuh-penuh. Artinya,
dengan menggunakan jenis rumput ini diharapkan nanti hasil tanggakapannya akan seperti nama
rumput itu, yakni pennu-pennu. Nanti diharapkan perahu atau kapal yang digunakan untuk
menangkap ikan nanti akan penuh dengan hasil tangkapan seperti yang diungkapkan oleh
Rustam 45 tahun salah seorang nelayan. Di bawah ini.
“Darah beke dan mannu itu kami tidak buang tapi kami tadah di ember atau loyang karena kami gunakan sebagai salah satu peralatan ritual. Darah beke dan mannu kami campur dengan rumput panno-panno yang sudah kami tumbuk halus lalu kami oleskan pada keseluruhan bodi kapal atau perahu. Dengan seperti ini kami berharap supaya hasil tangkapan kami bisa banyak sampai kapal kami penuh seperti namanya rumput panno-panno. Menurut salah seorang tetua adat kami, semua peralatan dalam ritual mappandesasi ini merupakan simbol-simbol yang memiliki makna-makna sendiri-sendiri. Hanya saja kami belum mengetahi secara pasti semua jenis sarana itu menyimbolkan apa dan maknanya apa. Akan tetapi katanya semua itu memiliki nilai-nilai tersendiri” (Wawamcara, 9 Februari 2011).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa semua peralatan yang menjadi syarat sahnya
ritual mappandesasi merupakan simbol-simbol yang memiliki makna dan nilai-nilai sendiri-
sendiri yang terkait dengan aktivitas melaut. Darah beke dan darah mannu yang dioleskan di bodi
kapal memiliki makna supaya kapal atau perahu yang digunakan nelayan dalam menangkap ikan
selalu cerah. Adapun rumput panno-panno memiliki makna yang terkait dengan hasil tangkapan.
Dengan mencat atau mengoleskan hasil tumbukan rumput pennu-pennu atau panno-panno
bermakna agar nanti mendapat hasil tangkapan yang banyak, perahunya penuh. Ungkapan di atas
sejalan dengan pendapat M. Rais Amin (2008:148) yang mengatakan bahwa setiap jenis benda-
benda yang disajikan dalam ritual, baik itu yang berbentuk makanan maupun yang berbentuk
benda, seperti daun sirih, dupa, dan binatang sesembahan memiliki makna tersendiri yang tidak
jauh dari pemaknaan secara kontekstual. Betapapun situasi dan kondisi masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko, ketika ingin atau tiba waktunya untuk melaksanakan ritual
mappandesasi harus menyiapkan makanan dengan segala kelengkapannya dan menyempurnakan
segala rangkaian prosesi jalannya ritual.
Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa sebelum sampai
pada puncak pelaksanaan ritual, terlebih dahulu masyarakat nelayan etnik Mandar menyiapkan
beberapa sarana dan perlengkapan ritual seperti yang disebutkan dalam pembahasan terdahulu
dalam tulisan ini. Setelah semua perlengkapan upacara terpenuhi, maka tahapan selanjutnya
adalah puncak pelaksanaan ritual mappandesasi. Pada hakikatnya puncak pelaksanaan ritual ini
terdapat di dua tempat, yakni di rumah dan di tempat yang dianggap keramat seperti di
pelabuhan. Ritual mappandesasi dilaksanakan dalam rumah yang sudah ditunjuk oleh sandro
sebagai tempat pelaksanaan ritual dan dilaksanakan pada waktu malam hari, yakni pada malam
Jum’at. Proses yang mengawali aktivitas dalam pelaksanaan puncak ritual ini adalah
menyediakan hidangan makanan dan peralatan ritual lain seperti dupa. Menu makanan yang
disajikan untuk peralatan ritual mappandesasi berdasarkan jenis makanan yang selama ini
dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat nelayan etnik Mandar. Salah satu sumber
(sandro) mengatakan bahwa “makanan yang selama ini dimasak untuk hidangan pada saat
prosesi puncak ritual harus semua merupakan makanan kesukaan penjaga sasi, karena itu, setiap
masakan harus disesuaikan dengan selera penjaga sasi”.
Setelah semua makanan itu jadi (selesai dimasak), kemudian diletakkan di atas piring dan
disatukan dalam baki besar. Makanan yang telah disiapkan kemudian disajikan untuk dimantrai
oleh sandro dan disaksikan oleh semua masyarakat atau tokoh-tokoh yang menjadi perwakilan
dari mereka yang melakukan ritual. Proses pelaksanaan ritualnya diawali dengan pembacaan
doa-doa keselamatan dan kesyukuran kepada yang melakukan hajatan dengan menggunakan
ayat-ayat suci yang dipadukan dengan mantra-mantra berbahasa daerah Mandar. Pengucapan
doa-doa tersebut dibarengi dengan ritual mengangkat dupa yang berasap sambil menggerak-
gerakkan mengelilingi kanan dan kiri makanan yang disajikan dalam ritual. Hal ini dilakukan
sebanyak tiga kali putaran. Proses pelaksanaan puncak ritual mappandesasi ini dilakukan dalam
rumah tempat melakukan ritual, setelah di dalam rumah dikuti dengan peletakan sesaji di tempat
keramat atau tempat yang menurut masyarakat dihuni oleh penjaga sasi seperti di pelabuhan .
Gambar 5.3 Bahan-Bahan Sesajen Ritual (Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar 5.3 di atas, tampak seorang sandro yang dibantu oleh beberapa orang perempuan
untuk menyusun sarana ritual. Ada beberapa sarana ritual yang sudah siap untuk dibaca-bacakan
doa oleh sandro. Suasana ini merupakan puncak dari pelaksaanaa ritual mappandesasi. Pada saat
inilah sandro sebagai pemimpin upacara melaksanakan tugasnya. Pada saat puncak pelaksanaan
ritual mappandesasi ini, yang menjadi pemimpin sandro atau yang memimpin dalam
pelaksanaan ritual tidak lupa membacakan doa untuk para nelayan agar mendapatkan rezeki yang
banyak. Kebiasaan meminta rezeki ini bagi masyarakat nelayan biasa disebut masiri balle’.
Masiri balle’ ini sama halnya membacakan doa supaya ikan-ikan itu berlomba-lomba untuk
mendekati perahu atau kapal sehingga mudah untuk ditangkap (ikan-ikan mengelilingi perahu
atau kapal yang digunakan oleh para nelayan). Mantera yang dibaca oleh sandro dalam masiri
balle’ ini yaitu “assalamu alaikum anabi washadara asal kanuru illahi jarati anabi mustafa
alfatiha, bismillahi rahmanirrahim allahumasya dunia angkamuru tapere Baraka-baraka
laillaha anabi Mustafa ala ullah”.
Setelah proses itu dilakukan, maka hidangan makanan tersebut siap-siap dibawa ke
tempat yang dianggap keramat atau tempat yang dianggap oleh masyarakat nelayan etnik
Mandar dihuni oleh penjaga sasi seperti pelabuhan. Setelah dibaca-bacakan doa oleh pemimpin
upacara, semua peralatan atau sarana upacara dibuka-buka lalu disusun sesuai jenisnya masing-
masing dan selanjutnya disimpan di atas sebuah wadah yang sudah dibuat khusus untuk
menyimpan bahan sesajen. Wadah tersebut disebut anja dan terbuat dari daun lontara, rumput
pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur kelapa (pucuk manyang), dan bambu. Semua
makanan yang menjadi bahan sesajian dalam ritual mappandesasi diletakkan di atas anja dan
ditutupi dengan kain putih. Makanan yang menjadi sesembahan dalam ritual ini bisa dibawa atau
dipegang oleh orang tua dan bisa dibawa atau dipegang oleh anak-anak.
Semua peralatan ritual mappandesasi disimpan di atas anja mulai dari, kapur (palili),
pinang (paru), jahe (layya), tembakau yang sudah digulung dari daun nipa (bakal), daun sirih
(pamera) yang diikat atau dilipat-lipat sehingga berbentuk persegi empat atau disebut kaluppin.
Selain bahan-bahan itu, di atas anja disimpan juga ayam (mannu) panggang utuh satu ekor hanya
dikeluarkan isi dalamnya saja. Meskipun ayam tersebut dikeluarkan isi dalamnya, tetapi tidak
dengan dibelah hanya dikeluarkan melalui pantatnya. Selain ayam (mannu), kepala kambing
(beke) yang sudah dimasak, bulunya dibersihkan dan tanduknya dipotong lalu diletakkan di atas
anja sebagai sesajen. Anja yang berisi semua sesajen ini disimpan di tempat yang dianggap
keramat atau tempat yang dihuni oleh penjaga sasi, seperti di pelabuhan.
Gambar : 5.4 Wadah untuk Menyimpan Bahan Sesajen untuk Dibawa ketempat Keramat.(Anja)
(Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar 5.4 di atas tampak jelas beberapa anja yang diisi dengan semua sarana ritual
mappandesasi. Semua sarana ritual yang disusun oleh sandro dan beberapa perempuan yang
membantunya seperti dalam gambar yang ditampilkan di halaman pembahasan terdahulu.
Setalah dibaca-bacakan doa lalu disusun di atas wadah yang namanya anja, seperti yang nampak
dalam gambar 5.4 di atas.
Puncak pelaksanaan prosesi ritual mappandesasi seperti dalam gambar di halaman
sebelumnya sama dengan yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang bernama Hj.
Nani, 54 tahun dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Penuturan Hj. Nani diberikan di bawah
ini.
“Sebelum kami sampai pada puncak pelaksanaan ritual mappandesasi, terlebih dahulu kami mengumpulkan dan menyiapkan semua perlengkapan ritual. Kami membagi pekerjaan, dari laki-laki menyiapkan sarana ritual seperti mencari beke dan mannu jantan bulu sirua untuk binatang sesembahan, dan perelengkapan lainnya yang tidak berhubungan dengan masak-memasak. Sementara kami dari perempuan menyediakan sarana ritual yang berkaitan dengan masak-memasak seperti nasi dan membuat sokko. Selain itu kami menyiapkan atau menyusun bahan sesembahan di atas baki untuk dibaca-bacakan doa oleh sandro. Setelah
dibaca-bacakan doa keselamatan oleh sandro sesembahan itu dibuka-buka lagi lalu disusun di atas anja untuk persiapan memberikan sesaji kepada penjaga sasi di tempat yang kami anggap keramat atau tempat yang kami anggap dihuni oleh penjaga sasi seperti di pelabuhan” (wawancara, 4 Februari 2011).
Penuturan informan di atas menunjukkan adanya kerja sama dan pembagian kerja antara laki-
laki dan perempuan dalam mencari dan menyiapkan sarana ritual. Penuturan informan di atas
menunjukkan bahwa mulai dari penyiapan sarana, pelaksaan ritual dan peletakan sesajen, semua
orang atau peserta ritual selalu bekerja berdasarkan struktur dan fungsi masing-masing. Dukun
(sandro) memiliki posisi kedudukan yang sangat tinggi dalam ritual karena berperan sebagai
pemimpin upacara dan menjalankan fungsinya sebagai pemimpin. Hal ini sandro tunjukkan pada
saat membaca doa dan meletakkan sesajen yang selalu sandro lakukan karena sebelum
meletakan sesajen terlebih dahulu sandro berkomunikasi atau meminta izin dulu kepada penjaga
sasi. Penuturan informan di atas sejalan dengan pendapat Levis-Strauss (dalam
Koenjaraningrat,1987:235) yang mengatakan bahwa peran dan fungsi seseorang dalam
masyarakat sangat ditentukan oleh struktur sosial yang dia miliki dalam masyarakat.
Dalam pelaksanaan puncak ritual mappandesasi ini, sandro tidak lupa membentengi
perahu dengan mantra-mantra agar perahu terbebas dari berbagai malapetaka, seperti terkena
sihir dari para nelayan yang lain. Adapun cara membentengi perahu atau kapal dalam melaut
terdapat dua cara. Pertama, sandro memandikan perahu dengan air yang sudah dibacakan
mantra-mantra. Mantra untuk memandikan perahu atau kapal, yaitu “wahualla jaza kumulllah”.
Mantra ini diambil dari ayat suci Al Qur’an. Inti dari mantera ini adalah untuk meminta
keselamatan dari bahaya ilmu sihir dan meminta agar perahu atau kapal selalu mendapatkan
rezeki (hasil tangkap yang banyak dalam melaut). Memandikan perahu atau kapal, memiliki
pemaham tersendiri, yakni memandikan perahu atau kapal dengan cara berputar dari arah kanan
menuju arah kiri sebanyak satu kali putaran. Cara ini diyakini oleh sandro sebagai cara untuk
membuang sial, karena kebaikan itu selalu disimbolkan dengan tangan kanan dan keburukan
dengan tangan kiri. Maka dengan berputar mengelilingi perahu atau kapal dari arah kanan ke kiri
berarti telah membuang dan melindungi perahu atau kapal dari keburukan dan kesialan.
Tidak hanya itu cara untuk membentengi perahu, sandro juga membentengi perahu
dengan cara memasukkan air dalam sepotong bambu, kemudian bambu tersebut ditutup dengan
sabut kelapa dan disimpan di bagian paling depan di atas perahu atau kapal. Sandro menyimpan
potongan bambu yang berisi air ini dengan menggunakan mantra. Mantra yang dibaca sandro
pada saat menyimpan bambu di atas perahu atau kapal adalah sebagai berikut; iyyaakana budu,
wa iyyaaka nasta ‘iin,. Adapun doa yang dibacakan pada saat puncak pelaksanaan ritual
mappandesasi, pimpinan sandro sekaligus pemimpin dalam pelaksanaan ritual tidak mau
memberikannya kepada peneliti. Hal ini menurut pimpinan sandro Maruka (92 tahun) yang
menjadi pemimpin ritual mappandesasi terkait dengan sumpah dan janji kepada gurunya bahwa
selain untuk keperluan ritual mappandesasi maka doa itu tidak bisa dibacakan kepada siapa pun.
Apabila doa itu dibacakan bukan untuk keperluan ritual maka orang yang membacakan doa
tersebut mendapatkan kutukan dari nenek moyang etnik Mandar. Kutukan itu berupa, orang
yang membacakan doa itu bukan pada tempatnya pendek umurnya atau cepat mati, dan anak
turunannya akan mengalami hal yang sama.
Doa yang dibaca sandro pada saat puncak pelaksanaan ritual itu sangat sakral menurut
etnik Mandar, sehingga untuk proses pewarisannya tidak mudah. Harus mengikuti ketentuan
yang ditentukan oleh orang yang mau mewariskan ilmunya, seperti peserta yang mau mewarisi
mantra tersebut harus etnik Mandar, duduk bersila di atas kain putih dan harus pada malam
Jum’at. Selain itu, mantra tersebut tidak boleh ditulis bagi orang yang mempelajarinya, harus
didengarkan saja dan dihafal. Menurut Maruka, apabila mantra tersebut ditulis dapat mengurangi
kemujarapan atau tidak sakral lagi.
Fenomena tersebut sesuai dengan pendapat Ong dalam bukunya yang terkenal, Orality
dan Literacy the Thecnologizing of the Word, yang mengkhusus yang dia sebut “Primary
orality” kelisanan dasar untuk orang yang sama sekali tidak pernah mengenal tulisan kecuali
dalam situasi yang sama sekali terisolasi di Indonesia kelisanan dasar sudah tidak ada lagi.
Kelisanan yang mengimplikasikan bunyi bunyi, memiliki kekhasan bahwa begitu ia ada,
begitu pula ia tiada; sifatnya sesaat, tidak lestari dan tidak dapat dihentikan. Justru yang sifatnya
demikian itu bangsa-bangsa tertentu memberi kekuatan magis kepada mantra yang harus dihafal
tanpa salah supaya efektif. Tak ada dukun yang melafalkan mantra dengan membacanya dari
buku atau tulisan (yang memang muncul setelah aksara).
Dapat dipastikan bahwa pada zaman dini telah timbul keperluan untuk mengingat
kembali apa yang telah dikatakan, direnungkan atau dipikirkan, lebih-lebih lagi kalau dari dukun
(sandro) yang ingin dialihkan kepada orang lain, misalnya generasi berikutnya. Daya ingat
sangat penting dan sangat dihargai dan diusahakan.
Maka ditemukan juga peranti mnemonik yang dapat menunjang dan membantu daya
ingat yang berfungsi sebagai tempat petimpangan pengetahuan dan pengalaman. Dengan
menggunakan Definisi Lord dengan beberapa tambahan disini, formula (lihat juga Lord 1976:
30-67 dan Sweeney 1987: 119) dimaksudkan dalam arti yang luas, yaitu bunyi, kata,
sekelompok kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan. Formula
merupakan peranti mnemonik yang membantu orang menemukan pikiran yang tersimpan dalam
ingatan, di antaranya rima, paralelisme, aliterasi, asonansi, struktur-struktur tetap yang
digunakan dalam tradisi lisan.
Dalam konteks pewarisannya, tradisi diwariskan secara lisan (oral). Secara sederhana
tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang
beraksara“ atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang bukan aksara”. (Pudentia (ed),
1998, : Vii). Lebih lanjut James Danandjaja, dalam Pudentia (1998 53-54) menjelaskan konsep
tradisi lisan (verbal folklore). Folklore itu sendiri adalah pengindonesiaan kata Inggris (folklore).
Folk sama artinya dengan kolektif (collectivity), yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau
kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat.
Adapun lore, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan turun temurun secara lisan atau
melalui salah satu contoh yag disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic
device).
5.1.4 Meletakkan Sesaji
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa puncak
pelaksanaan ritual yaitu pada malam hari (malam Jum’at) dan dilaksanakan di dalam rumah.
Puncak pelaksanaan ritual ini adalah semacam baca-baca doa biasa, hanya semua bahan-bahan
yang menjadi perlengkapan upacara termasuk hewan sesajen turut dibaca-bacakan doa. Setelah
di baca-bacakan doa, maka hewan sesajen dengan perlengkapan ritual lainnya disimpan di atas
anja lalu dibawa ke tempat yang dianggap keramat lalu disajikan untuk penjaga sasi.
Meletakkan sesajen ini dipimpin oleh seorang sandro. Sebelum meletakkan atau
menyimpan sesajen terlebih dahulu meniatkan agar sesajen yang diberikan itu diterima dengan
baik oleh panjaga sasi. Lafaz niat tersebut sebagai berikut: “wahai penjaga sasi, kami datang
untuk memberi makanan kesukaanmu. Semoga setelah menerima sesembahan kami ini, kamu
bisa senang dan akan selalu menjaga dari maharabahaya serta memberi kami rezeki yang
banyak dalam melaut”. Setelah berniat seperti di atas, sandro langsung mengeluarkan sesajen
dari dalam anja untuk diletakkan di atas rakit sebagai pertanda bahwa para nelayan telah
melakukan ritual mappandesasi atau memberi makan laut. Niat ini sandro peroleh secara turun
temurun dari nenek moyang atau orang tua yang mendahuluinya. Proses memperoleh niat itu,
sandro bertanya kepeda orang-orang tua dan untuk memperolehnya tidak dengan mencatat akan
tetapi secara lisan dalam bentuk cerita-cerita biasa.
Gambar 5.5 Rakit Tempat Sesajen (Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar 5.5 di atas, tampak beberapa peralatan ritual mappandesasi yang
diletakkan di atas rakit, yaitu bahan-bahan tersebut, seperti daun sirih (pamera), pinang (taru’),
daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur (pusuk manyang), bambu
(taroda), jahe (layya), tembakau (bakal), sokko yang terdiri atas empat warna yaitu, merah,
kuning, hitam dan putih, serta dupa atau kemenyan, kapur (pallili), gambir (gambiri). Untuk
sesajen bagi penjaga sasi. Semua sesembahan yang ada di atas rakit merupakan sarana ritual
yang disusun oleh sandro dan dibantu oleh beberapa orang perempuan seperti yang ditampilkan
dalam gambar di depan.
Kondisi yang tampak dalam gambar di atas sejalan dengan pendapat Baedawi (dalam
Abdullah 2008:31) bahwa masyarakat yang mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan gaib
akan sering melakukan upacara tertentu dengan memberikan sesaji kepada kekuatan gaib dengan
maksud agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin dan masyarakat bisa
dijauhkan dari bencana. Hal inilah yang memotifasi masyarakat nelayan etnik Mandar yang
masih beraktivitas sebagai nelayan tetap mempertahankan ritual mappandesasi dan masih
melakukannya secara berulang-ulang.
5.1.5 Makan Bersama
Setelah semua rangkaian dalam pelaksanaan ritual mappandesasi terlaksana seperti
dalam tahapan-tahapan yang telah diuraikan di atas, maka aktivitas selanjutnya dari semua warga
yang ikut dalam ritual mappandesasi adalah acara makan bersama ini merupakan sebuah bentuk
rasa syukur para nelayan karena ritual mappandesasi yang dilakukan berjalan dengan lancar,
tanpa ada hambatan. Makan bersama ini dilakukan di atas kapal atau perahu yang digunakan
pada saat meletakkan sesajen di pelabuhan atau di bawah lampu merah atau yang dianggap oleh
para nelayan etnik Mandar ada penjaga sasi atau keramat.
Gambar 5.6 Sandro dan Beberapa Masyarakat yang Berpartisipasi dalam Ritual Mappandesasi Siap untuk Melakukan Acara Makan Bersama.
(Dok, Alkausar : 2010)
Dalam gambar 5.6 di atas, sandro dan beberapa masyarakat yang berpartisipasi dalam
ritual mappandesasi siap untuk melakukan acara makan bersama. Wajah yang berseri-seri yang
ditampilkan oleh para peserta dan sandro, menunjukkan bahwa mereka dengan senang hati untuk
menyantap makanan yang dihidangkan. Itu pertanda bahwa ritual yang dilakukan telah selesai
dan berjalan sesuai dengan rencana.
Gambar di atas menunjukkan rasa senang yang dirasakan (para nelayan etnik Mandar
yang telah selesai melakukan ritual mappandesasi) tidak bisa disembunyikan. Tampak dari
wajah masyarakat nelayan etnik Mandar yang berseri-seri. Dalam gambar di atas nampak
seorang imam atau Ustadz dengan menggunakan baju putih dan kopiah yang membaca doa
sebelum makan bersama. Tujuannya adalah agar kesyukuran para nelayan yang mengadakan
ritual bisa dinikmati oleh semua orang. Melalui doa yang dibacakan oleh Imam atau Ustadz
mereka berharap agar apa yang dihajatkan oleh para nelayan etnik Mandar bisa disampaikan
kepada Allah SWT. Selain itu, sebagian dipahami kalau pembacaan doa itu dikirimkan atas nama
Nabi Muhammad SAW. Fenomena seperti dalam gambar di atas sejalan dengan Pelras (2006:4)
yang mengatakan bahwa ajaran Islam menjadi bagian integral dan esensial dari adat-istiadat dan
budaya masyarakat setempat. Selain itu, makna dari ritual mappandesasi adalah tanda atau pesan
keselamatan hidup, serta menjadi sarana untuk meminta agar dimudahkan rezeki bagi
masyarakat nelayan etnik Mandar.
Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota
Kendari, melaksanakan ritual mappandesasi merupakan suatu keharusan. Hal ini disebabkan
oleh adanya keyakinan masyarakat nelayan etnik Mandar mengenai adanya kekuatan yang ada di
laut yang sewaktu-waktu kekuatan itu bisa membahayakan para nelayan. Untuk menjinakkan
kekuatan yang ada di laut agar bisa bersahabat dengan para nelayan maka masyarakat nelayan
etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi. Nelayan etnik Mandar meyakini ritual ini bisa
membuat mereka melakukan aktivitasnya sebagai nelayan dengan merasa aman. Masyarakat
nelayan etnik Mandar di mana pun berada, selalu memitoskan laut sebagai sesuatu yang
memiliki kekuatan maha dahsyat dan sewaktu-waktu kekuatan tersebut bisa mengancam
keamanan nelayan etnik Mandar dalam menjalankan aktivitasnya sebagai nelayan. Agar
kekuatan yang dimiliki oleh laut itu tidak mengganggu para nelayan dalam melaut, maka
masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi.
5.2 Berubahnya Sarana Ritual Mappandesasi
Proses keterancaman dalam ritual mappandesasi juga terjadi dalam sarana dan prasarana
ritual. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta media yang semakin canggih telah
mempengaruhi pola pikir manusia dalam berperilaku. Seharusnya dengan adanya kemajuan
teknologi manusia berubah ke arah yang lebih baik tanpa harus meninggalkan atau merusak
budaya yang menjadi identitas mereka sendiri. Aron Meko Mbete dkk., dalam bukunya yang
berjudul “Khazanah Budaya Lio-Ende” (2006:185) mengatakan bahwa perkembangan dan
perubahan kebudayaan secara fungsional didambakan agar bergerak menuju arah kemajuan
adab, harkat, dan martabat kemanusiaan ke tingkat yang lebih tinggi.
Ritual mappandesasi tidak terlepas dari perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan
zaman. Perubahan itu terjadi dalam sarana ritual, seperti jenis hewan sesembahan, padahal
binatang sesembahan tersebut merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tersendiri
dalam pelaksanaan ritual. Sesuai dengan pendapat Featherstone (dalam Abullah, 2008:189) yang
mengatakan bahwa materi atau sarana merupakan sebuah simbol yang biasanya mengandung
sesuatu yang bersifat implisit seperti keinginan-keinginan, maksud-maksud, dan tujuan
masyarakat penggunanya.
Perubahan yang terjadi dalam sarana ritual mappandesasi ini, dapat kita lihat dari
pengakuan informan Rusdi (43 tahun). Rusdi yang berprofesi sebagai nelayan sekaligus pemiliki
kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, mengatakan sebagai berikut.
“Adanya kemajuan seperti dalam zaman sekarang sehingga membuat menusia harus memiliki sesuatu yang baru. Parahnya kebiasaan ini sampai pada tataran kehidupan yang mendasar. Dalam ritual mappandesasi yang dulunya menggunakan binatang sesembahan seperti sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu) jantan bulu sirua, sekarang sudah digampangkan dengan menghilangkan sapi, cukup menggunakan beke dan mannu saja. Selain itu, dalam ritual mappandesasi juga harus dan wajib menggunakan tembakau tradisional yang digulung di daun nipa, sekarang sudah digampangkan lagi, menggantinya dengan rokok yang dijual di warung-warung” (wawancara, 26 Januari 2011).
Ungkapan informan Rusdi di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan hewan kurban
dan pembaruan berbagai sarana perlengkapan dalam ritual mappandesasi, yaitu tembakau
trdisional yang digulung di daun nipa yang sekarang sudah digampangkan dengan menggunakan
rokok yang dijual di warung-warung. Selain diakibatkan oleh pengaruh modern, hal ini juga
diakibatkan oleh keinginan masyarakat yang tidak mau susah dalam mencari perlengkapan
sarana ritual. Selain itu, uangkapan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penempatan ruang
dan waktu dalam tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan
Abeli, Kota Kendari, sehingga terjadi pelipatan simbol-simbol dan nilai-nilai dalam ritual
mappandesasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Piliang (2006:38) yang mengatakan bahwa dunia
yang disaksikan sekarang adalah dunia yang dilipat, yang di dalamnya berbagai sisi dunia tampil
dengan wajahnya yang baru. Telah terjadi pemaksaan, pemadatan, pemamfaatan, perusakan,
pengerdilan, dan telah terjadi miniaturisasi.
Kondisi inilah yang terjadi dalam ritual mappandesasi di kelurahan Bungkutoko saat ini.
Terjadi pemaksaan, seharusnya dalam ritual itu, binatang sesembahan sebagai kurban tidak boleh
tidak harus sapi, kambing (beke) dan ayam (mannu). Akan tetapi, sekarang sudah digantikan
atau terjadi pengerdilan binatang sesembahan dalam ritual mappandesasi, yaitu sapi dihilangkan,
cukup dengan menggunakan beke dan mannu jantan bulu sirua. Selain pemaksaan, dalam ritual
mappandesasi telah terjadi pemadatan dan pemampatan. Pada awalnya dalam ritual
mappandesasi harus dan wajib menggunakan tembakau tradisional (bakal) yang digulung
dengan daun nipa sebagai salah satu bahan perlengkappannya, sekarang sudah diganti dengan
tembakau modern yang sudah berbentuk rokok dalam kemasan yang dijual di warung-warung.
Hal ini dilakukan oleh masyarakat, selain karena susah mencari tambakaunya (bakal), proses
penggulungannya pun memerlukan waktu yang lama, karena daun nipanya harus dijemur dulu
sampai kering. Karena merasa rugi dari segi waktu, maka masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko, mencari yang instan saja, meskipun harus mengurangi nilai-nilai
kesakralan dari simbol-simbol dalam ritual mappandesasi.
Pembaruan dalam berbagai sarana perlengkapan ritual mappandesasi, bukan berarti ritual
mappandesasi mengalami perkembangan atau kemajuan ke arah yang lebih baik karena
mengikuti perkembangan zaman. Dilihat dari sudut pandang modern, memang ritual
mappandesasi telah mengalami perkembangan atau kemajuan ke arah modern. Akan tetapi,
ketika kita lihat dari sudut pandang tradisi, hal ini adalah sebuah pemunduran atau keterancaman.
Tradisi yang mengutamakan simbol-simbol tradisional dalam pelaksanaanya, dan simbol-simbol
tersebut telah disepakati bersama oleh masyarakat pendukungnya karena dianggap memiliki
nilai-nilai sakral tersendiri. Disadari atau tidak oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari bahwa pembaruan dalam sarana ritual
mappandesasi dengan hal-hal yang modern telah menggeser tradisi yang diwariskan turun-
temurun dari nenek moyang.
5.3 Menurunnya Jumlah Peserta yang Melakukan Ritual Mappandesasi
Ritual mappandesasi adalah tradisi budaya yang dimiliki oleh etnik Mandar. Secara
umum dapat disebutkan bahwa pelaku ritual mappandesasi adalah semua masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya, masyarakat lokal kelurahan Bungkutoko seperti, orang Buton dan orang Tolaki
pernah ikut melaksanakan ritual sebatas sebagai peserta. Hal ini diakibatkan karena pada waktu
itu orang Buton dan orang Tolaki ini bekerja sebagai nelayan di kelompok nelayan etnik Mandar.
Seiring berjalannya waktu, peserta ritual mappandesasi mengalami pengurangan dalam
hal jumlah, karena etnik lain sudah tidak ikut lagi. Masyarakat nelayan etnik Mandar sudah
jarang yang melakukan ritual mappandesasi, bahkan masyarakat nelayan etnik Mandar sudah
tidak lagi menjadi peserta. Keadaan seperti ini diperkuat oleh kondisi mata pencaharian sebagian
masyarakat etnik Mandar yang tidak melaut dan lebih memilih pekerjaan di darat. Untuk
mendapatkan peserta dalam ritual ini, masyarakat yang memiliki hajatan bekerja sama dengan
pegawai kelurahan sehingga pegawai kelurahan yang menghimbau warga untuk ikut dalam
pelaksanaan ritual, terkesan bahwa ritual ini dilakukan oleh pemerintah kelurahan.
Sudding (40 tahun) merupakan salah seorang informan yang masih melakukan hajatan
ritual mappandesasi dalam era modern seperti sekarang mengatakan sebagai berikut.
“Dulu ritual mappandesasi ini tidak saja dilakukan oleh masyarakat etnik Mandar, tetapi ada etnik lain yang ikut bergabung. Namun, dalam era seperti sekarang, masyarakat sudah tidak punya keinginan lagi untuk melakukan atau bahkan mengikuti saja sebagai peserta. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah masalah mata pencaharian. Orang tidak mau ikut lagi karena pekerjaan dia bukan di laut lagi. Jadi kalau orang yang bekerja di darat mau ikut dalam ritual mappandesasi sudah tidak mau karena dia pasti merasa rugi, apalagi kalau mereka sebagai kuli bangunan atau tukang ojek. Cara untuk menghadirkan masyarakat agar bisa ikut dalam ritual, saya selalu berkoordinasi dengan pihak kelurahan” (wawancara, 8 Februari 2011).
Ungkapan Sudding di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan peserta ritual,
khususnya dalam hal jumlah. Kondisi ini diakibatkan oleh faktor ekonomi, dalam hal ini
pekerjaan sebagian masyarakat etnik Mandar yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Akibat
pekerjaan yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas melaut adalah sebagian masyarakat
merasa acuh tak acuh dengan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa
perhatian pemerintah, khususnya Pemerintah Kelurahan terhadap ritual mappandesasi ini cukup
signifikan. Salah satu bukti perhatian pemerintah adalah dengan menghadirkan masyarakat untuk
mengikuti acara ritual yang dilakukan oleh warga dengan mengatasnamakan Pemerintah
Kelurahan. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat Dhavamony (1995:175) yang mengatakan
bahwa era modern telah membuat manusia untuk berpikir akan kebutuhan ekonomi (uang)
meskipun harus meninggalkan kebiasaan berperilaku sehari-hari.
Meskipun pemerintah menyarankan masyarakat ikut serta dalam setiap ada pelaksanaan
ritual mappandesasi, tetapi tidak semua masyarakat menjalankan himbauan itu. Gambaran
masyarakat tidak mengindahkan himbauan itu dapat dilihat dari jumlah peserta ritual
mappandesasi yang sangat sedikit seperti yang diuangkapkan oleh salah seorang pegawai
Kelurahan Bungkutoko berikut ini. Burhan kepala Lurah Kelurahan Bungkutoko mengatakan
sebagai berikut.
“Kami (pemerintah kelurahan Bungkutoko) telah berusaha untuk mengembalikan animo masyarakat, khususnya masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai pemilik ritual mappandesasi untuk selalu mengikuti setiap pelaksanaan ritual mappandesasi, tetapi kenyataannya masih saja sedikit jumlah pesertanya. Ini diakibatkan oleh peralihan mata pencaharian mereka. Meskipun demikian, saya tidak pernah kehabisan akal untuk membesarkan kembali ritual mappandesasi ini. Saya pernah menghadirkan Wakil Walikota Kendari yang juga satu suku mereka (etnik Bugis) dalam acara ritual mappandesasi. Wakil Walikota ini tidak sekedar saya hadirkan tetapi memberikan sambutan dan memberikan bantuan sejumlah uang untuk pelaksanaan ritual ini yang dia berikan langsung pada tetua adat mereka. Dalam sambutannya Wakil Walikota mengatakan bahwa tradisi ritual seperti ini supaya dipertahankan dan selalu dilakukan karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai filter agar masyarakat tidak terbawa atau terserabut dari akar budayanya yang diakibatkan oleh globalisasi” (Wawancara, 8 Februari, 2011).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa begitu besar respon pemerintah, bukan saja Pemerintah
Kelurahan Bungkutoko tetapi juga Pemerintah Kota Kendari dalam menghidupkan ritual
mappandesasi. Hal ini, dapat kita lihat dari usaha kepala Lurah yang menghadirkan Wakil
Walikota untuk menghadiri acara ritual mappandesasi. Ini bertujuan untuk menggugah
keinginan masyarakat, khususnya nelayan etnik Mandar untuk tetap mempertahankan tradisi
mappandesasi dalam era globalisasi ini. Mulai saat itu pemerintah kota sudah selalu memberikan
bantuan untuk pelaksanaan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas sejalan dengan pendapat
Dhavamony (1995:181) yang mengatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah proaktif untuk
menghidupkan tadisi-tradisi lokal (kepercayaan) bekerja sama dengan pemuka agama agar
masyarakat tidak terbawa arus globalisasi.
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KETERANCAMAN RITUAL TERHADAP MAPPANDESASI
Globalisasi telah minimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai
budaya lokal dan global. Meminjam pemikiran Aruppadai (dalam Ardika, 2007:18) dikatakan
bahwa era globalisasi dicirikan oleh adanya perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh
perkembangan teknologi (technoscape), pengaruh media dan informasi (mediascape), pengaruh
aliran dana dari Negara kaya ke Negara miskin (finascape), dan adanya pengaruh ideologi seperti
HAM dan demokrasi (ideoscape) yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat.
Berbagai pengaruh globalisasi seperti di atas, bersentuhan langsung dengan sendi-sendi
kehidupan dan tidak sedikit dari pengaruh globalisasi telah meruntuhkan tatanan sosial
masyarakat yang telah terbina dari dulu. Tidak sedikit masyarakat yang terserabut dari akar
budayanya bahkan sampai kehilangan identitas pribadi akibat globalisasi. Bukan saja masyarakat
yang ada di sekitar perkotaan tetapi globalisasi telah merasuki tatanan kehidupan masyarakat
pedesaan. Banyak masyarakat yang mengalami, tidak saja manusia yang hidup dan betempat
tinggal di sekitar wilayah perkotaan. Kemajuan teknologi yang begitu pesat dalam berbagai
dimensi kehidupan manusia, khusunya dalam hal kebutuhan pokok, pengaruh media dan
teknologi yang banyak menampilkan kebutuhan pokok manusia dengan promosi yang sangat
menarik perhatian.
Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kurangnya silaturrahim yang terjalin sesama
mereka (etnik Mandar) di Kelurahan Bungkutoko. Selain kondisi seperti itu, ada beberapa faktor
lain yang pengaruhi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi, misalnya para etnik
Mandar terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sudah
jarang kita menjumpai orang-orang yang berasal dari etnik Mandar yang ikut terlibat.
Pada umumnya orang-orang etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko mempunyai
aktivitas yang sama yakni melaut. Pada waktu malam hari, berbondong-bondong turun melaut,
ada yang menetap di laut sampai selama kurang lebih satu bulan, ada yang pada malam hari saja.
Pada waktu siang hari, kebanyakan dari mereka (nelayan etnik Mandar) memilih berdiam diri
(istirahat) di rumah, ada pula yang beraktivitas mengeringkan hasil tangkapan atau buruan.
Adapun aktivitas sampingan adalah berdagang, seperti membuka kios di rumah-rumah
masyarakat, yang dilakukan dilakoni oleh kaum ibu. Dengan demikian, pada saat ada kegiatan-
kegiatan sosial, seperti kerja bakti di kelurahan atau ada pernikahan, tampak sekali kuatnya
persatuan warga masyarakat Bungkutoko. Akan tetapi sekarang, dengan adanya globalisasi,
mengakibatkan kebutuhan manusia semakin hari semakin bertambah, sehingga membuat
sebagian etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko beralih mata pencaharian. Dari awal sebagai
nelayan, kini beralih ke mata pencaharian yang hasilnya langsung dirasakan, seperti tukang ojek,
kuli bangunan, dan sopir angkot (angkutan umum).
6.1 Faktor Eksternal
Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam ritual
mappandesasi adalah faktor dari luar atau eksternal. Artinya, perubahan itu terjadi dalam
masyarakat nelayan etnik Mandar sendiri. Akan tetapi, hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang tidak berasal dari dalam masyarakat nelayan etnik Mandar sendiri. Faktor-faktor itu antara
lain teknologi dan media, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan.
6.1.1 Faktor Teknologi dan Media
Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota
Kendari yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada aktivitas kelautan
seperti nelayan. Kebudayaan dalam konteks norma dan sistem sosial masyarakat nelayan etnik
Mandar masih tercermin secara sadar atau tidak sadar di setiap aspek kehidupan. Kesenangan
berkumpul dalam rangka suatu solidaritas, keterlibatan keluarga, semua ini mencerminkan
kebiasaan para nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang masih berakar dalam tubuh
mereka. Akan tetapi, saat ini masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sedang
mengalami goncangan atau tantangan dalam hal mempertahankan tradisi kebiasaan masyarakat
sebagai nelayan. Tradisi itu adalah ritual mappandesasi memberi makan laut.
Sebagian besar kehidupan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar,
kehidupannya sudah terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Ini terjadi
karena pengaruh teknologi dan media, baik media elektronik seperti televisi maupun media cetak
seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti telpon genggam telah mengubah
gaya hidup masyarakat, khususnya dalam hal pergaulan. Solidaritas sosial dalam masyarakat
nelayan etnik Mandar yang selama ini menjadi sangat positif ketika arah perhatian tertuju pada
kebersamaan, gotong-royong, saling memperhatikan dan tolong-menolong. Makna peningkatan
kualitas hidup yang demikian memperoleh substansi yang tepat dalam keadilan, kesejahteraan
bersama, dan harmoni. Bukan kepentingan individual atau kelompok tertentu.
Kebudayaan nelayan yang memiliki kekentalan nilai manusiawi, seperti perhatian,
persamaan, kebersamaan, dan saling menolong tidak lagi tercipta. Sama halnya dengan
kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang memiliki makna
menciptakan kebersamaan, tolong-menolong, antara sesama warga dari berbagai etnik, sekarang
sudah kurang memiliki power atau daya kontrol terhadap masyarakat untuk menjalin sebuah
solidaritas. Makna atau nilai kebersamaan yang terkandung dalam ritual mappandesasi dalam
masyarakat nelayan etnik Mandar, tidak saja kebersamaan antara sesama manusia, tetapi
membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan penguasa alam gaib, khususnya
penjaga sasi. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh teknologi yang masuk dalam kehidupan
masyarakat nelayan etnik Mandar. Teknologi mutakhir yang memiliki kecenderungan
menciptakan alienasi atau pengasingan, sikap individual, dan cenderung merusak kebudayaan
yang hakiki. Kenyataan inilah yang dihadapi oleh para generasi tua dalam masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, tempat pelaksanaan ritual mappandesasi selalu saja
mendapat tantangan dari generasi muda yang memiliki pengetahuan dan terkontaminasi dengan
budaya global.
Tantangan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi yang dialami oleh para generasi tua,
yaitu para generasi muda menyebut generasi tua sebagai pengikut aliran sesat, melakukan
praktek kemusyrikan, dikatakan mengubah ajaran Islam yang sebenarnya. Klaim dari generasi
muda ini tidak terlepas dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
oleh para generasi muda. Generasi muda menganggap praktek ritual sebagai salah satu perilaku
yang mencontohkan percaya kepada tahyul, karena generasi muda tergantung pada hal-hal yang
rasional saja.
Teknologi sebagai hasil kebudayaan yang bersifat fisik dan tanpa sipritualitas nilai-nilai
yang terkandung dalam adat, agama, dan kesenian, sudah kehilangan fungsinya untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Kehidupan di era global yang ditandai dengan kemajuan iptek
telah mempercepat tercabutnya akar budaya dari komunitasnya, terserabut dari landasan
dasarnya, berupa nilai-nilai, norma, dan etika (Wibowo, 2007:30). Lebih lanjut Geertz (dalam
Wibowo, 2007:31) menjelaskan bahwa kapitalisme sepenuhnya telah menguasai teknologi,
sementara ideologi-ideologi lain yang merupakan simbol-simbol kebudayaan tidak dapat lagi
berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam nilai-nilai karena didominasi kapitalisme.
Kebudayaan merupakan seluruh usaha manusia dengan akal budinya, melalui proses
belajar yang bertujuan memperbaiki situasinya, mempertinggi kualitas hidupnya, dan semakin
menyempurnakan dunia. Oleh Karen itu tindakan apa pun yang berupa pembunuhan kehidupan
serasi manusia adalah tindakan anti kebudayaan (Wibowo, 2007:28). Dalam konteks ini, jika
budaya global yang didominasi oleh kapitalisme ternayata banyak menciptakan ketidakadilan,
peperangan, dan pembunuhan kehidupan sebagian manusia. Ritual mappandesasi yang selama
ini dikenal dalam masyarakat sebagai salah satu bentuk ritual dalam masyarakat nelayan etnik
Mandar yang menciptakan kebersamaan, tolong- menolong, dan memperkokoh persatuan dan
solidaritas antarwarga, sekarang telah mengalami penurunan entitas dalam masyarakat. Ini
merupakan gerakan dari generasi yang ingin menghancurkan ritual mappandesasi, sehingga
selalu mendapatkan reaksi negatif dari sebagian besar masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko.
Kebudayaan yang selalu bertolak dari pemikiran ideal tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia untuk menyempurnakan hidup dan kehidupan. Inilah makna kebudayaan
yang hakiki. Menyempurnakan berarti selalu memperbaiki dan tidak merusaknya. Upaya ini
melahirkan berbagai nilai, norma, aturan pergaulan, dan perilaku antarmanusia, serta terhadap
lingkungan. Di samping itu, upaya-upaya tersebut menghasilkan penemuan baru yang kemudian
berkembang bermacam-macam teknologi. Dengan demikian, teknologi sebenarnya hasil
kebudayaan manusia. Sebenarnya, pemikiran-pemikiran ekonomi dengan berbagai upaya
meningkatkan produksi hasil kebudayaan. Permasalahannya adalah mengapa akhirnya teknologi
dan ekonomi-bisnis melahirkan dampak yang justru bertentangan dengan kebudayaan yang
hakiki.
Fenomena di atas, saat ini dialami oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Sebagian masyarakat nelayan etnik Mandar di
kelurahan Bungkutoko menjadi lebih percaya pada hasil-hasil teknologi dan hukum-hukum
ekonomi untuk mencapai tujuan yang sudah bergeser ke kepentingan-kepentingan individual.
Dalam hal ini, aturan-aturan pergaulan, etika dan perilaku antarmanusia, serta pergaulan antara
manusia dengan alam lingkungannya, telah diabaikan. Akibatnya, sikap dan kebudayaan nelayan
etnik Mandar yang selama ini dijadikan sebagai identitas lokal mereka kini menjadi kabur. Ini
diakibatkan karena nelayan etnik Mandar sebagian sudah memberhalakan hukum ekonomi yang
materialistik dan hasil teknologi yang sering merusak keseimbangan serta struktur alam
lingkungan.
Kemajuan teknologi seperti media komunikasi dan media cetak ikut mempengaruhi
terjadinya perubahan pola perilaku, cara berpikir, dan cara pandang masyararakat dalam
memaknai hidup dan kehidupan. Kemajuan media yang penuh dengan bujuk rayu kenikmatan
telah membuat manusia untuk mengikuti keinginannya (media). Semua kenikmatan yang
ditawarkan oleh media hanyalah keniscayaan. Kelurahan Bungkutoko saat ini menghadapi
persoalan globalisasi dalam hal ekonomi, informasi, dan budaya. Dalam hal ini media massa
khususnya televisi dan internet sebegitu jauh terkesan sebagai media yang sangat spektakuler
dalam memfasilitasi proses-proses globalisasi melalui berbagai produk budaya yang disampaikan
kepada khalayak (masyarakat). Kecenderungan yang demikian membawa konsekwensi yang luas
dan mendalam terhadap perkembangan masyarakat Kelurahan Bungkutoko khususnya dalam hal
identitas lokal. Ritual mappandesasi yang selama ini dijadikan oleh masyarakat nelayan etnik
Mandar sebagai ciri khas atau sebagai identitas lokal mereka kini telah mengalami pengaburan
makna. Banyak masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko yang tidak lagi melakukan
ritual. Hal ini karena sudah tidak bermanfaat lagi menurut masyarakat nelayan etnik Mandar, ini
terjadi karena pengaruh media televisi dan internet yang selalu mengiklankan berbgai hasil
produk global yang menjanjikan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan tetapi kenyataannya
tidaklah seperti itu.
Banyak nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian demi mendapatkan
kemudahan untuk memperoleh uang agar tercapai kebutuhan ekonomi rumah tangganya.
Banyaknya infrastruktur ekonomi yang dibangun pemerintah seperti Mall membuat generasi
muda etnik Mandar tidak mau lagi menjalankan aktivitas sebagai nelayan dan memilih bekerja
sebagai karyawan di mall-mall. Kondisi ini membuat banyak generasi muda yang tidak
melaksanakan ritual mappandesasi, serta melupakan tradisi kebiasaan nenek moyang yang
sebenarnya sangat terkait dengan filosofis kehidupan nelayan etnik Mandar. Bakri 47 tahun salah
seorang informan yang merupakan tokoh masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
Kecamatan Abeli Kota Kendari, mengatakan sebagai berikut.
“Salah satu faktor yang sangat dominan pengaruhnya terhadap keterancaman ritual kami adalah kemajuan teknologi dan media dengan segala bentuk paket promosi yang selalu ditayangkan pada setiap detik, dan sasaran utamanya adalah para generasi muda. Banyak generasi muda kami yang lebih memilih bekerja menjadi karyawan di mall-mall di kota daripada menjadi nelayan, dan penghasilannya juga lebih mendingan menjadi nelayan. Selain itu, dengan adanya berbagai paket hiburan yang selalu ditayangkan oleh televisi dalam setiap hari, seperti berbagai acara musik, film, membuat generasi muda tidak ada keinginan untuk mempelajari tradisi kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Menurut mereka generasi muda, tradisi itu lebih bersifat norak, kampungan dan tidak membuat mereka mejadi populer bila dibandigkan dengan mereka yang menjadi anak band” (Wawancara, 10 Februari 2011).
Ungkapan Bakri di atas menunjukkan bahwa para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko lebih
memilih pekerjaan yang selalu dikaitkan dengan faktor gengsi dan penampilan daripada melihat
hasil. Selain itu, para generasi muda sudah tidak ada keinginan untuk menghidupkan dan
melestarikan kebiasaan masa lalu yang merupakan warisan dari nenek moyang sebagai identitas
lokal. Ini diakibatkan oleh iklan televisi dan internet seperti pemberitaan musik dan iklan lainnya
yang selalu menawarkan keniscayaan. Pemberitaan musik misalnya, orang mampu bermain gitar
dan menyanyi mereka bisa menjadi populer, sedangkan apabila mereka belajar tradisi, generasi
muda berpikirnya tidak akan membuat mereka menjadi populer. Life style lebih diutamakan
sehingga membentuk sebuah identitas yang sifatnya hibriditas. Fenomena di atas, sejalan dengan
pendapat Hall, 1977:140) yang mengatakan bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan
konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, dimana kita mempersepsikan “dunia”, “
realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan nelayan etnik
Mandar dan kehidupan melalui “dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami.
Hibriditas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mengacu pemikiran Homi K. Bhaba
bahwa suatu penciptaan format-format transkultural baru di dalam zona hubungan produk
kolonisasi. Konsep ini diasosiasikan oleh Bhaba dalam menganalisis relasi antara penjajah dan
terjajah dengan menekankan kesalingtergantungan dan konstruksi yang saling mendukung dari
subjektivitas. Analisis ini bila dikaitkan dengan realita sekarang, khususnya yang terjadi di
Keluarahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari sangat tepat. Kehidupan para generasi
muda di Kelurahan Bungkutoko, khususnya generasi muda dari etnik Mandar telah banyak
mengalami pergeseran dari tradisi ke modern. Pergeseran kebiasaan ini tidak terlepas dari
pengaruh media massa sebagai penjajah terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai
terjajah. Media massa menjajah generasi muda nelayan etnik Mandar sampai membuat generasi
muda mengalami ketergantungan terhadap produk-produk yang ditawarkan oleh media. Salah
satu produk media yang membuat generasi muda mengalami ketergantungan adalah produk
berbagai jenis musik. Generasi muda nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko lebih
memilih belajar musik dari pada mempelajari tradisi kebiasaan yang diwariskan secara turun-
temurun oleh nenek moyang dan di dalam warisan itu terkandung nilai-nilai positif, bahkan bagi
nelayan etnik Mandar di seluruh daerah pemukiman sudah dijadikan sebagai pedoman hidup.
Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas,
kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam
suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam
pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi.
Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong
pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehiduapn yang
beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara
meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial.
Globalisasi juga telah membuat cara-cara orang mempraktikkan ajaran nenek moyang,
khususnya ritual mengalami perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat
yang selalu menginginkan kebaruan. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup
tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan manusia dari konteks
generalnya (Simmel,1991:17).
Pandangan Simmel di atas, apabila kita kaitkan dengan kehidupan masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari sangatlah sejalan.
Masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan Bungkutoko yang selalu menginginkan kebaruan,
mulai dari peralihan mata pencaharian sampai pada pembaruan sarana dan prasana ritul
mappandesasi. Peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi sopir angkutan umum, buruh
bangunan, menjadi tukang ojek, dan menjadi karyawan di mall, semua ini didorong oleh adanya
keinginan pembaruan. Pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan jenis pekerjaan dengan
harapan hasil yang didapatkan lebih baru, dari sedikit menjadi banyak. Selain itu, pembaruan ini
dilakukan karena ingin meningkatkan (membarukan) status sosial, karena selama ini masyarakat
nelayan selalu diidentikkan dengan masyarakat miskin dan orang-orang yang tidak
berpendidikan. Pembaruan dalam sarana dan prasana ritual, seperti yang dulunya binatang
sesembahan dalam ritual mappandesasi terdiri atas satu ekor sapi, beke, dan mannu jantan bulu
sirua’ tetapi sekarang digampangkan atau dikonstruksi baru menjadi seekor beke dan mannu.
Selain itu, pembaruan yang terjadi dalam ritual mappandesasi dapat kita jumpai dalam sarana
ritual. Sarana ritual yang dulunya menggunakan tembakau tradisional dan digulung dengan daun
nipa, sekarang di barukan dengan mengganti tembakau tradisional dengan rokok buatan pabrik.
Media merupakan salah satu saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan
global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup (Abdullah, 2009:50). Saling
ketergantungan hidup yang difasilitasi oleh kemudahan komunikasi dan kedalaman interaksi
antarwarga masyarakat lintas etnik atau antarguyub kultur bahkan dengan masyarakat dunia
umumnya merupakan kekuatan pengubah dan pengembang kebudayaan. Kenyataan bahwa yang
mempengaruhi terjadinya keterancaman ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko bukan saja dari dalam internal keetnikan seperti hubungan
antarmanusia dengan segala kepentingan terjalin, terajut dan terbina, secara alamiah dan kultural
secara terus-menerus dalam kehidupan sosial. Pada kenyataannya batas keetnikan dan
kebudayaan dalam era global ini memang telah kabur. Berdasarkan kontak dengan orang dan
guyub kultur lain itulah, peristiwa salain belajar dan berbagi pengalaman, pengetahuan dan
berbagi teknologi terjadi. Akibatnya, difusi unsur-unsur baru dapat terjadi secara meluas dan
mendalam menerpa sekat-sekat sistem budaya di kalangan masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko.
6.1.2 Faktor Pendidikan
Perkembangan pendidikan formal dan nonformal dalam berbagai jenjang dan jenisnya
merupakan suatu kekuatan dominan yang sangat menentukan perkembangan penalaran dan cara
berpikir manusia. Pendidikan dalam era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan
mengembangkan wawasan dan orientasi hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Pendidikan
formal mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat pendidikan tinggi, baik swasta
maupun negeri dituntut untuk mengikuti kurikulum yang sudah dioplos menjadi paket-paket
kepentingan tertentu, tanpa perlu mengindahkan kondisi, kepentingan, kebutuhan, dan
spesifikasi, baik sekolahnya maupun daerahnya (Wibowo,2007:52).
Perkembangan pendidikan formal dan nonformal di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan
Abeli, Kota Kendari, khususnya di lokasi pemukiman para nelayan etnik Mandar, baik secara
kualitatif maupun secara kuantitatif sudah memadai. Perkembangan pendidikan formal sangat
mempengaruhi pola pikir masyarakat nelayan etnik Mandar, khusunya para generasi muda.
Melalui pendidikan formal dalam berbagai jenjang inilah para generasi muda masyarakat
nelayan etnik Mandar dibekali ilmu pengetahuan. Salah satu pendidikan generasi muda yang
didapat melalui jenjang pendidikan formal dan dapat mengalihkan kebiasaan berperilaku mereka
sehari-hari, khusunya kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar dalam memperlakukan hal-hal
mistis atau yang berhubungan dengan alam gaib adalah mata pelajaran agama.
Dalam pelajaran agama inilah masyarakat nelayan etnik Mandar, khusunya bagi mereka
yang beragama Islam mendapat pemahaman mengenai perbedaan yang baik dan yang buruk
dalam ajaran Islam. Dalam mata pelajaran ini pula mereka bisa membedakan antara perilaku
yang musyrik dan yang bukan musyrik. Karena itulah, tidak mengherankan banyak kalangan
generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,
Kota Kendari menyebut ritual mappandesasi sebagai perilaku yang mengarah pada kemusyrikan.
Pendidikan generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar tidak terbatas pada
tingkatan atau jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas saja. Akan tetapi, sudah banyak
orangtua yang menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang pendidikan tinggi, baik itu negeri
maupun swasta di wilayah Nusantara. Dengan bersekolah pada jenjang pendidikan tinggi,
generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar semakin dalam pemahamannya tentang ajaran
agama yang didapat melalui kegiatan eksternal kampus. Kondisi ini semakin membuat generasi
muda masyarakat nelayan etnik Mandar sampai berani mengklaim bahwa ritual mappandesasi
adalah salah satu bentuk ritual yang menyembah selain Tuhan. Hal ini senada dengan penuturan
Sappe 45 tahun, yang mengatakan sebagai berikut.
“Kami sebagai generasi tua tetap memegang teguh kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang kami. Namun, dalam pelaksanaanya kami sudah banyak mendapatkan kendala. Salah satu kendala yang sering kami hadapi adalah pemahaman generasi muda yang sudah berpendidikan. Faktor yang mengakibatkan keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah banyaknya aliran Islam yang masuk di Kelurahan Bungkutoko ini. Semua yang mebawa aliran itu adalah anak-anak kami yang mempunyai jenjang pendidikan tinggi. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal mereka sudah menganggap kami sebagai orang-orang yang sesat dan musyrik. Hal ini mereka katakan karena kami dalam melakukan ritual mappandesasi selalu menyerahkan atau memberi sesajen pada tempat-tempat yang kami anggap keramat atau dihuni oleh penjaga sasi. Dari sinilah sehingga kami dari generasi tua dalam masyarakat tidak jarang terjadi pertentangan pendapat dengan generasi muda, bahkan pernah kami berpikir untuk mengusir mereka dari Kelurahan Bungutoko ini” (Wawancara, 26 Januari 2011).
Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa perilaku masyarakat nelayan etnik Mandar yang
masih memegang teguh kepercayaan lokal, khususnya bagi masyarakat yang kurang
berpendidikan masih selalu melakukan ritual mappandesasi. Dalam melaksanakan ritual
mappandesasi para masyarakat awam selalu mendapat tantangan dari generasi muda yang
berpendidikan. Generasi muda sudah menilai bahwa apa yang dilakukan oleh generasi tua
mereka adalah salah satu bentuk kemusyrikan dan harus dilawan karena telah mengubah ajaran
dan aqidah Islam yang sebenarnya. Dengan penilaian itu tidak sedikit membuat para generasi tua
kebakaran jenggot dan bahkan pernah terbesik niat dari kalangan generasi tua yang masih
berpegang teguh pada tradisi kebiasaan nenek moyang, akan mengusir para generasi muda yang
berbeda aliran kepercayaan dengan nelayan etnik Mandar. Apalagi agama yang dianut oleh
masyarakat nelayan etnik Mandar mayoritas Islam, tetapi masih Islam sinkretis. Hal ini sejalan
dengan pendapat Geertz (1992:107) yang mengatakan bahwa agama sebagai sistem kebudayaan
tidak memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat,
tetapi berperan memecah belah.
Para generasi muda tidak sekedar menjastivikasi perilaku para generasi tua dalam
masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai perbuatan yang menyimpang dari ajaran Agama
Isalam. Para generasi muda membentuk kelompok-kelompok pengajian dalam masyarakat guna
mempelajari atau memberikan pemahaman agama pada generasi muda yang lainnya sekaligus
mencuci pemikiran mereka agar tidak melakukan ritual mappandesasi yang notabene penuh
dengan simbol-simbol kemusyrikan.
Dari kelompok pengajian inilah banyak bermuculan para generasi muda yang kritis,
sehingga para generasi tua semakin kesulitan untuk mempertahankan atau melembagakan tradisi
mappandesasi ini dalam diri generasi muda sebagai generasi penerus. Bukan itu saja, generasi
tua semakin kesusahan untuk meningkatkan jumlah peserta dalam melakukan ritual
mappandesasi. Kondisi ini mengakibatkan ritual mappandeasasi sebagai identitas budaya etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko terancam akan mengalami kepunahan. Keresahan ini
diungkapkan oleh salah seorang tetua adat dalam masyarakat etnik Mandar. Suddiang 50 tahun
di bawah ini.
“Kalau para generasi muda akan tetap berperilaku frontal seperti ini, maka tidak tertutup kemungkinan 15 tahun ke depan ritual mappandesasi ini akan hanya tinggal nama atau kenangan saja, bahwa masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko pernah memiliki kebiasaan atau budaya ritual mappandesasi. Perilaku generasi muda, khususnya yang mendalami ajaran agama Islam tidak hanya membuat saya resah tetapi semua masyarakat di sini prihatin dengan eksistensi ritual mappandesasi ke depannya. Dari itu, sehingga akan lahirlah masyarakat etnik Mandar yang tidak memiliki ciri khas budaya sebagai identitas lokal atau masyarakat tanpa identitas lokal” (Wawancara, 20 Januari 2011).
Ungkapan Suddiang yang juga merupakan salah satu tetua adat dalam masyarakat etnik Mandar
di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari menunjukkan bahwa para
masyarakat, bukan saja tetua adat, semua masyarakat yang masih memegang teguh kebiasaan
ritual mappandesasi telah terusik dengan perilaku generasi muda nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko. Keresahan dan kegelisan itu mengarah pada kondisi keberadaan dan
eksistensi ritual mappandesasi dalam masyarakat dalam kurun waktu 15 tahun ke depan.
Suddiang memprediksikan 15 tahun ke depan masyarakat nelayan etnik Mandar di kelurahan
Bungkutoko akan menjadi masyarakat tanpa identitas lokal kalau para generasi muda sudah
tidak mau mewarisi lagi tradisi nenek moyang dulu. Ungkapan Suddiang di atas sejalan dengan
pendapat Piliang (2006:279) yang mengatakan bahwa menghidupkan kembali budaya lokal sama
halnya dengan menghidupkan identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak
dapat dipisahkan dari kebudayaan. Identitas menjadi sebuah isu tatkala segala sesuatu yang
sudah dianggap stabil sebagai warisan kultural masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh
dari luar, khusunya akibat berlangsungnya globalisasi yang menciptakan homogenitas budaya.
Krisis identitas muncul ketika apa-apa yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari tidak
dapat lagi dipertahankan, karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai yang berasal dari luar.
Fenomena inilah yang akan dialami oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari apabila generasi muda mereka tetap tidak mau
mempelajari dan mengaktualisasikan lagi pemahaman-pemahaman dari nenek moyang.
Masyarakat nelayan etnik Mandar akan mengalami krisis identitas lokal, akibat pergulatan antara
tradisi dan agama.
Para generasi muda masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko hanya berpikir
dan berperilaku secara sepihak. Yang dimaksud secara sepihak adalah generasi muda etnik
Mandar yang mendalami ajaran agama Islam berpikir untuk kehidupan akhirat saja. Pemikiran
inilah yang membuat nelayan etnik Mandar mengenyampingkan cara untuk meraih kebahagiaan
dunia. Padahal dalam ajaran Islam harus meyeimbangkan antara kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat. Berusaha untuk kebahagiaan hidup di dunia bertujuan agar dalam melaksanakan
pencarian kebahagiaan hidup akhirat terlebih dahulu harus dipenuhi kebutuhan dunia. Oleh
karena itu, adat harus dipertahankan karena adat merupakan warisan nenek moyang yang diakui
masih memiliki fungsi yang luhur sehingga masih dipertahankan karena merupakan pedoman
untuk mendapat kebahagiaan dunia (Abdullah, 1985:7). Adapun agama, dianggap sebagai
kebutuhan batin dan pegangan yang memiliki nilai agung yang dapat menuntun penganutnya ke
arah yang benar untuk kebahagiaan hidup di akhirat (Geertz,1973:61).
6.1.3 Faktor Ekonomi
Selain kemajuan teknologi dan media serta kemajuan ilmu pengetahuan, ternyata faktor
ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang mengakibatkan terjadinya keterancaman dalam
ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
Kecamatan Abeli Kota Kendari. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor utama yang harus
dipenuhi dalam rumah tangga terkait dengan kebutuhan pangan, sandang dan kebutuhan papan.
Kebanyak masyarakat nelayan etnik Mandar yang beralih mata pencaharian karena akibat dari
penghasilan melaut yang belum mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan.
Desakan pemenuhan kebutuhan inilah yang mengakibatkan masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari melakukan penyebaran untuk
mencari pekerjaan baru yang menurut masyarakat hasilnya lebih menjanjikan daripada menjadi
nelayan. Adapun jenis pekerjaan yang digeluti adalah semua pekerjaan yang tidak berhubungan
dengan laut, seperti supir angkutan umum, tukang ojek, kuli bangunan, dan sebagai karyawan
perusahaan, dan karyawan mall. Akibat dari pilihan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan
laut lagi sehingga sebagian masyarakat nelayan tidak mau melaksanakan dan tidak mau tau lagi
dengan ritual mappandesasi.
Masyarakat etnik Mandar yang memilih menjadi supir angkutan umum, jam kerjanya
mulai pagi sampai jam larut malam baru pulang ke rumahnya. Itupun yang tidak tinggal di
tempat kerjanya (di kota), karena yang menggeluti pekerjaan ini, biasanya sudah tinggal menetap
di kota dengan tinggal di rumah kontrakan atau kost-kostsan bersama keluarganya (istri dan
anaknya). Dengan tinggal di perkotaan, maka waktu pulang ke Kelurahan Bungkutoko sudah
sedikit. Streotip masyarakat Mandar sebagai masyarakat yang giat bekerja, sehingga kebanyakan
istri dari masyarakat nelayan etnik Mandar ikut bekerja mambantu menambah penghasilan suami
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Masyarakat etnik Mandar yang bekerja menjadi kuli bangunan jarang pulang ke
Kelurahan Bungkutoko. Mengingat pusat pembangunan kebanyakan ada di pusat kota, maka
setelah mendapat pekerjaan mereka harus tinggal di tempat kerja. Hal ini dilakukan untuk
mengefektifkan waktu kerja. Kalau masyarakat harus pulang di Kelurahan Bungkutoko maka,
secara otomatis waktu untuk bekerja akan berkurang, sementara bangunan yang dikerjakan
kebanyakan sifatnya borongan. Jadi, dengan tinggal di tempat kerja, masyarakat berharap
bangunan yang dikerjakan cepat selesai dan mencari pekerjaan atau borongan yang lain lagi.
Kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini adalah masyarakat etnik Mandar yang tidak memiliki
keterampilan dan pendidikan yang memadai, serta kebanyakan dari nelayan etnik Mandar adalah
generasi muda.
Berbeda lagi dengan pekerjaan sebagai tukang ojek, memang tinggal di Kelurahan
Bungkutoko, tetapi sudah bersifat apatis terhadap pelaksanaan ritual mappandesasi. Tukang ojek
lebih berpikiran materialis daripada pekerja kuli bangunan dan supir angkutan umum. Ini terjadi
karena kebanyakan dari nelyanan etnik Mandar yang menggeluti pekerjaan ini menggunakan
motor cicilan sehingga kecenderungan untuk mencari uang tinggi, mengingat tanggung jawab
nelyanan etnik Mandar terkait dengan cicilan motor yang digunakan mengojek. Kalau harus
mengikuti ritual mappandesasi, tidak mendapatkan uang setoran maka nelyanan etnik Mandar
mengalami kerugian. Tukang ojek berpikiran untung rugi, dan hal ini yang membuat nelyanan
etnik Mandar harus giat mencari dan bersifat individualistik.
Selain tiga jenis pekerjaan di atas, masih ada jenis pekerjaan yang digeluti oleh sebagian
generasi muda masyarakat nelayan etnik Mandar yang berdomisili di Kelurahan Bungkutoko,
yakni sebagai karyawan di mall. Pekerjaan ini lebih sibuk lagi, karena masuk kerja jam 08.00
pagi dan pulang jam 22.00 malam. Kebanyakan yang menggeluti pekerjaan ini adalah generasi
muda, baik laki-laki maupun perempuan. Mengingat jarak antara Kelurahan Bungkutoko dan
pusat kota sebagai tempat mereka bekerja cukup jauh dan memiliki keterbatasan transportasi.
Transportasi dari kota yang menuju Kelurahan Bungkutoko memang ada tetapi sampai pada jam
20.00 malam, di atas jam 20.00 malam sudah tidak ada lagi transportasi yang mau ke Kelurahan
Bungkutoko. Melihat kondisi transportasi yang demikian sehingga semua yang bekerja sebagai
karyawan mall sudah pasti tinggal di rumah kost yang dekat dengan tempat kerja masing-masing.
Selain keterbatasan transportasi, mereka harus tepat waktu, karena waktu jam kerja mulai jam
08.00 pagi. Sudah pasti kalau tinggal di Kelurahan Bungkutoko akan mengalami keterlambatan
untuk masuk kerja karena jarak yang jauh.
Meskipun semua pekerjaan yang digeluti oleh sebagian besar nelayan etnik Mandar ini,
bila ditinjau dari segi penghasilan tidaklah mengalami perbedaan yang signifikan dengan
penghasilan sebagai nelayan. Justru penghasilan menjadi nelayan masih lebih baik daripada
pekerjaan sebagai supir mobil, tukang ojek, dan kuli bangunan. Yang membedakanya itu
hanyalah dalam hal keuangan. Keuangan yang dimaksud adalah bukan dalam jumlah
penghasilan, tetapi keuangan yang dimaksud adalah ketika menjadi supir angkutan umum dan
tukang ojek, memegang uang tiap hari atau tidak kekurangan uang belanja keluarga sehari-
sehari. Sementara menjadi nelayan, untuk menikmati hasilnya harus menunggu sampai pulang
dari melaut, dan lama melaut bisa sampai lebih dari satu bulan atau biasanya 40 hari.
Pekerjaan sebagai karyawan mall sebenarnya penghasilannya lebih sedikit dan untuk
menikmati hasilnya sama dengan nelayan yakni diterima pada setiap bulannya. Hanya yang
membedakan antara karyawan mall dan nelayan terletak pada gengsi atau status sosial saja. Etnik
Mandar yang bekerja sebagai karyawan mall merasa lebih daripada yang bekerja sebagai
nelayan. Terjadi kelompok inferior (nelayan) dan superior (karyawan) dalam hal hubungan
komunikasi antara kelompok karyawan dan kelompok nelayan. Bekerja di sektor produksi dan
bersentuhan langsung denga dunia perkotaan kelompok karyawan merasa lebih segalanya
daripada pekerjaan sebagai nelayan yang hidup dan tempat kerjanya selalu jauh dari pemukiman
manusia.
Kondisi seperti di atas, bisa dilihat dari pemaparan Surding 42 tahun. Surding adalah
salah seorang tokoh masyarakat yang juga berprofesi sebagai supir angkutan umum. Hanya saja
Surding tetap tinggal di Kelurahan Bungkutoko karena mengingat rumah, keluarganya dan
tanggung jawabnya sebagai tokoh masyarakat. Di bawah ini dipetik ucapan Surding.
“Banyak masyarakat nelayan etnik Mandar yang meninggalkan aktivitasnya sebagai nelayan dan mencari pekerjaan yang tidak berhubungan dengan laut. Pekerjaan seperti buruh bangunan, tukang ojek, karyawan dan supir angkutan umum. Karena kesibukan yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas di laut membuat lupa dengan tradisi. Apalagi yang bekerja sebagai karyawan di mall misalnya, etnik Mandar sudah menganggap pekerjaan sebagai nelayan sebagai pekerjaan yang rendah dan identik dengan orang-orang yang tidak berpendidikan. Mereka yang menggeluti pekerjaan yang disebutkan di atas, kebanyakan tinggal di tempat kerja. Akibatnya kondisi kebiasaan di kampung menjadi terlupakan. Masyarakat nelayan etnik Mandar beralih mata pencaharian disebabkan oleh desakan pemenuhan kebutuhan pokok.” (Wawancara 23 Januari 2011).
Ungkapan Surding di atas menunjukkan bahwa terjadinya keterancaman dalam ritual
mappandesasi juga disebabkan oleh adanya penyebaran masyarakat nelayan etnik Mandar untuk
mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan ekonomi. Jenis pekerjaan yang mereka tekuni
juga sangat menentukan tempat tinggal dan status sosial mereka. Generasi muda nelayan etnik
Mandar yang beralih mata pencaharian, selain karena hasil dalam melaut mereka anggap belum
mencukupi kebutuhan, pekerjaan melaut juga diidentikkan dengan pekerjaan masyarakat miskin
dan tidak memiliki pendidikan yang memadai. Maka dalam masyarakat nelayan etnik Mandar
terjadi oposisi biner antara kelompok pekerja sebagai nelayan dan kelompok pekerja sebagai
karyawan, tukang ojek, buruh bangunan dan supir angkutan umum. Kelompok pekerja sebagai
karyawan menganggap diri mereka lebih dibandingkan dengan kelompok pekerja sebagai
nelayan. Hal ini sejalan dengan pendapat Douglas dan Isherwood, (1980:72) yang mengatakan
bahwa proses konsumsi seperti konsumsi rumah dan jenis pekerjaan seperti pekerjaan menjadi
karyawan, merupakan instrument yang cukup signifikan untuk menjelaskan gaya hidup dan
merupakan penanda identitas.
6.2 Faktor Internal
Faktor perkembangan teknologi dan media, faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan faktor
ekonomi memang merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya keterancaman dalam
ritual mappandesasi secara eksternal. Disadari atau tidak, perubahan atau keterancaman ada yang
datang secara internal atau dari dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Sama halnya
dengan ritual mappandesasi. Terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi tidak saja
disebabkan oleh faktor secara eksternal seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan ini dalam
halaman terdahulu, tetapi terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi ini disebabkan
oleh faktor internal seperti tidak adanya transmisi budaya dari generasi tua kepada generasi muda
dan kurangnya pengetahuan generasi muda tentang ritual mappandesasi. Kedua faktor yang
menyebabkan terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi ini akan diuraikan di bawah
ini.
6.2.1 Tidak Adanya Transmisi Budaya dari Generasi Tua kepada Generasi Muda Perubahan dapat didefinisikan secara konseptual sebagai perkembangan, pergeseran,
penggantian (subtitusi) komponen atau subsistem kebudayaan tertentu pada masa perkembangan
tertentu dan terjadi di lingkungan sosial tertentu pula. Aron Meko Mbete dkk. (2006:191)
mengatakan bahwa penyusutan fungsi sebuah komponen budaya merupakan ciri dinamika
kebudayaan.
Hal yang sama juga diuangkapkan oleh Andriani S. Kusni dan J.J. Kusni
(http/www.google.kompas.com.30 November 2009), bahwa pemindahan khazanah budaya dari
generasi satu ke generasi yang lainnya (dari generasi tua ke generasi muda) dilakukan secara
lisan dan tulisan. Pemindahan nilai-nilai budaya umumnya secara lisan, dituturkan dengan cerita-
cerita pada waktu menjelang tidur oleh ibu atau bapak kepada anak-anaknya kakek atau nenek
kepada cucu-cucunya. Saat ini pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah jarang atau tidak
lagi dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua seakan-akan tidak lagi perduli
dengan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Orang tua sudah tidak mewariskan tradisi
budayanya kepada anak-anak sebagai generasi penerus tradisi itu dengan menggunakan cerita-
cerita pada saat menjelang tidur. Kondisi ini terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari.
Generasi muda nelayan etnik Mandar tidak lagi mengetahui apa dan seperti apa tradisi
kebiasaan nenek moyangnya. Hal ini disebabkan karena sudah tidak adanya pewarisan tradisi
dari orang tua (generasi tua) kepada anak-anaknya (generasi muda) sebagai generasi yang
bertanggung jawab untuk melestarikan tradisi tersebut. Generasi tua nelayan etnik Mandar hanya
sekedar melaksanakan untuk mempertahankan tradisi yang diperolehnya dari generasi sebelum
dia tanpa ada usaha atau upaya dalam bentuk konkret untuk melestarikan tradisi tersebut.
Jumlah orang tua atau generasi yang masih sering melakukan ritual mappandesasi dalam
era modern sekarang semakin hari semakin sedikit. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi dalam
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari.
Masyarakat atau generasi yang masih melakukan ritual mappandesasi hanyalah dari kalangan
orang tua. Anak muda tidak memiliki ketertarikan untuk ikut melaksanakan sebagai bentuk
partisipasi dari masyarakat untuk mempertahankan ritual mappandesasi. Tidak adanya
ketertarikan ini diakibatkan karena para generasi muda tidak memiliki pemahaman dan
pengetahuan tentang ritual mappandesasi. Generasi tua pun dalam melaksanakan ritual
mappandesasi sekedar melaksanakan tanpa ada sosialisasi kepada generasi muda untuk
mengetahui dan melestarikannya. Kondisi seperti ini sejalan dengan penuturan informan Rusdi
43 tahun. Rusdi merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar. Penuturan Rusdi
dicantumkan di bawah ini.
“Sejak saya tiba di kelurahan Bungkutoko ini pada tahun 2005 yang lalu, saya belum pernah melihat pementasan budaya etnik Mandar. Kalau ada itu hanya pada saat-saat tertentu saja. Seperti ritual mappandesasi, itukan ada nanti dua tahun atau satu tahun sekali. Seharusnya itu perlu untuk diadakan demi kelestarian tradisi, selain itu pementasan bisa berfungsi sebagai media pengetahuan bagi generasi muda agar mereka bisa mengetahuai tentang apa fungsi dari ritual mappandesasi. Jadi kalau dari generasi tua tidak melakukan langkah-langkah kongkret untuk melestarikan ritual mappandesasi, maka tidak usah heran jika ritual mappandesasi ini akan hilang dan punah digilas roda globalisasi. Globalisasi banyak melahirkan produk budaya tandingan untuk menghancurkan tradisi, dan semua budaya yang dilahirkan oleh globalisasi selalu diminati oleh generasi muda karena memang sesuai dengan kondisi perkembangan zaman” (Wawancara, 28 Januari 2011)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa kondisi ritual mappandesasi yang menjadi
identitas lokal sekaligus menjadi tradisi masyarakat nelayan etnik Mandar yang bermukim di
kelurahan Bungkutoko kecamatan Abeli, kota Kendari sedang mengalamai tantangan. Tantangan
itu adalah datangnya dari generasi muda dan generasi tua, sehingga tidak tertutup kemungkinan
ritual mappandesasi akan mengalami kepunahan. Dari generasi tua, tidak adanya sosialisasi
untuk mewariskan ritual mappandesasi kepada generasi muda, sehingga generasi muda tidak
memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang ritual mappandesasi. Generasi muda lebih akrab
dengan produk budaya lokal, seperti musik dan sejenisnya. Karena musik atau produk budaya
global sifatnya fleksibel, bisa menyesuaikan dengan kemajuan zaman dan bagi orang yang
menekuninya bisa menjadi populer. Produk budaya global memang selalu membawa orang
menjadi terkenal, populer (kemoderenan) tatapi juga selalu mematikan produk-produk budaya
lokal yang tidak memiliki daya saing akibat dari masyarakat pendukungnya yang tidak pro aktif
untuk melestarikan budayanya. Ungkapan ini sejalan dengan pendapat Abdullah (2006:52) yang
mengatakan bahwa proses semacam ini sebagai proses eksklusi sosial, suatu kelompok
cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dengan orang lain.
Inilah yang dilakukan oleh para generasi muda di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,
Kota Kendari. Generasi muda lebih cenderung mempelajari musik-musik modern daripada ritual
mappandesasi karena musik bisa membuat identitas berbeda dengan kelompok lain khususnya
generasi tua yang masih melakukan ritual mappandesasi.
Fenomena di atas, bila kita meminjam istilah dari Bhaba (dalam Gandhi, 2006:viii)
bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat yang
disebut “tempat pengucapan ketiga”. Identitas kultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi
dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hierarki “kemurnian” budaya-budaya tidak
dapat dipertahankan lagi.
6.2.2 Tidak Adanya Pengetahuan Generasi Muda tentang Ritual Mappandesasi
Faktor penyebab terjadinya keterancaman ritual mappandesasi juga dipengaruhi oleh
faktor internal, yakni tidak adanya pengetahuan generasi muda nelayan etnik Mandar tentang
ritual mappandesasi. Sudah tidak memiliki pengetahuan tentang ritual mappandesasi, ditambah
lagi oleh tidak adanya keinginan dari generasi muda untuk mempelajari ritual mappandesasi.
Terjadilah perubahan dalam ritual mappandesasi yang tidak mengarah kepada peningkatan atau
kemajuan, akan tetapi mengalami perubahan yang mengakibatkan penurunan tingkat
pelaksanaan dalam masyarakat nelayan etnik Mandar. Sztompka (1995:57) menyatakan bahwa
dalam era mondial tempat terjadi pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai global,
mengharuskan perubahan tradisi menjadi sesuatu yang bermakna bagi masyarakat
pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi dipengaruhi bahkan disapu
bersih oleh globalisasi.
Masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota
Kendari sedang menghadapi tantangan globalisasi. Para generasi muda masyarakat nelayan etnik
Mandar lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka masih baru dan bisa
membuat mereka menjadi populer dan terkenal. Salah satunya adalah musik, menurut generasi
muda nelayan etnik Mandar dengan mempelajari musik sampai bisa masuk studio rekaman,
maka masyarakat generasi muda bisa terkenal, tidak saja di Kelurahan Bungkutoko tapi terkenal
seluruh dunia. kalau mempelajari ritual mappandesasi, maka tidak akan pernah membawa
generasi muda untuk menjadi populer. Pemikiran inilah yang mengakibatkan para generasi muda
untuk tidak belajar tentang kebiasaan-kebiasaan tradisional. Selain itu, tidak adanya keinginan
generasi tua untuk mewariskan pengetahuan tradisi ini kepada generasi muda. Fenomena di atas
sejalan dengan ungkapan informan Mardin 45 tahun. Mardin merupakan salah satu tokoh
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko. Mardin mengatakan sebagai
berikut.
“Saya juga bingung dengan keinginan anak muda sekarang. Mereka maunya harus yang modern-modern, seperti musik karena musik itu bisa membuat generasi muda mendapatkan uang yang banyak dan menjadi terkenal. kemungkinan besar 15 tahun ke depan kami (nelayan etnik Mandar di daerah perantauan ini) tidak lagi memilliki identitas budaya sendiri. Era yang serba modern ini memang mangarahkan manusia untuk serba gempang (praktis) tetapi tidak bisa kita pungkiri juga karena globalisasi kita harus kehilangan tatanan
sosial yang selama ini kita jadikan sebagai ikon budaya dan persaudaraan”. (Wawancara, 23 Januari 2011).
Ungkapan informan di atas menunjukkan kekhawatiranya atas sikap dan perilaku generasi muda
nelayan etnik Mandar yang tidak lagi memperhatikan dan melestarikan tradisi seperti ritual
mappandesasi. Generasi muda lebih cenderung melestarikan produk-produk modern seperti
musik. Selain itu, ungkapan informan di atas menunjukkan adanya penyesalan terhadap gerakan
globalisasi, seharusnya globalisasi mengantarkan manusia untuk modern tanpa harus terserabut
dari akar budayanya, tetapi justru produk modern yang menghancurkan tatanan sosial
masyarakat yang sudah ada. Kita pinjam istilah Storey (2007:54) bahwa globalisasi telah
membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring masyarakat ke
persamaan atau homogenitas budaya serta menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Kondisi
ini bila dibiarkan akan mengancam eksistensi budaya lokal bahkan mengantarkan budaya lokal
menuju kepunahan.
Menurut Giddens (2003:8) bahwa kehancuran masyarakat lokal diakibatkan oleh
masyarakat lokal itu sendiri yang tidak memiliki kemampuan untuk mengimbangi derasnya arus
globalisasi yang melanda masyarakat lokal sehinga komunitas lokal terserabut dari akar
budayanya. Kondisi inilah yang terjadi dalam masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Banyak generasi muda yang tidak mengetahui lagi
apa yang menjadi tradisi dan tradisi itu sebenarnya memiliki nilai-nilai bagi nelayan etnik
Mandar. Salah satu cantoh tradisi yang tidak lagi deketahui oleh generasi muda dalam
masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko adalah kebiasaan masyarakat
melakukan ritual mappandesasi. Dalam ritual ini banyak terkandung nilai-nilai kebaikan dan
dijadikan sebagai pandangan hidup bagi masyarakat pendukungnya (nelayan etnik Mandar).
Tidak membuat generasi muda nelayan etnik Mandar populer. Ritual mappandesasi
dianggap oleh generasi muda nelayan etnik Mandar yang memiliki ilmu pengetahuan khusunya
ilmu agama, sebagai salah satu bentuk praktek kemusryikan. Itulah salah satu penyebab mengapa
generasi muda nelayan etnik Mandar tidak mau mempelajari ritual mappandesasi. Kondisi di
atas sejalan dengan penuturan informan Andri 22 tahun. Andri merupakan salah seorang
pemuda yang aktif dalam dunia hiburan, tetapi sebelum Andri aktif dalam dunia musik, semasa
kuliahnya Andri aktif dalam organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Penuturan Andri dicantumkan di bawah ini.
“Bagaimana kami (generasi muda) mau mempelajari ritual Mapandesasi, menurut kami itu tidak berarti apa-apa, justru itu hanya menjadikan sebagai masyarakat yang menyembah selain Allah. Masa kita diajarkan untuk berbuat musryik. Selain itu, ritual mappandesasi tidak akan pernah membuat menjadi populer karena itu dilakukan sekali dalam setahun, musimanlah sifatnya. Itupun yang melakukannya hanya para generasi tua, kelompok nelayan, dan anak-anak. generasi tua sudah jarang yang ikut-ikut melakukan itu (ritual mappandesasi). beda dengan kami belajar musik misalnya, karena musik bisa membuat generasi muda menjadi populer, mencari jati diri, pelaksanaannya tidak musiman” (Wawancara, 23 Januari 2011).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ketidakmauan generasi muda untuk mempelajari
tradisi-tradisi lokal seperti ritual mappandesasi karena ritual mappandesasi sifatnya musiman,
cenderung mengajarkan masyarakat untuk menduakan Allah (melakukan kemusryikan). Selain
itu, ritual mappandesasi tidak memiliki nilai positif terhadap generasi muda, karena menurut
masyarakat nelayan etnik Mandar ritual mappandesasi tidak akan membuat generasi muda
menjadi populer, berbeda dengan belajar musik. Musik bisa membuat generasi muda yang
berbakat menjadi terkenal. Ungkapan informan di atas menunjukan bahwa ritual mappandesasi
telah kehilangan daya kontrolnya dalam masyarakat sehingga ritual mappandesasi tidak lagi
dianggap oleh generasi muda sebagai suatu unsur penyeimbang dalam masyarakat guna
menghadapi tantangan globalisasi. Ungkapan ini sejalan dengan pendapat Kleden (1996:239)
bahwa ketika suatu sistem sosial budaya tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem
sosial dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu terpaksa berubah karena didesak oleh
perubahan. Perubahan yang dimaksud, yakni globalisasi yang telah merusak tatanan sosial dalam
suatu masyarakat.
6.2.3 Faktor Tradisi
Sebagaimana pandangan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap ritual mappandesasi
adalah konstruksi imaginasi masyarakat etnik Mandar melalui simbol-simbol dalam memahami
suatu kekuatan yang berada di luar dirinya (Turner, 1976:19). Sejalan dengan itu ritual
mappandesasi pada saat yang sama, ditafsirkan sebagai sesuatu yang hadir melalui warisan
tradisi leluhur, karena itu harus dipelihara keberlanjutannya, selain itu masyarakat menganggap
ritual mappandesasi setara dengan ritual keagamaan. Terasa kontrofersial, karena itu ritual
mappandesasi mendapat respon berbeda dari komunitas lain khususnya dari tingkat individu
yang memiliki pemahaman agama Islam.
Seperti yang telah diuraikan di halaman pembahasan sebelumnya bahwa masyarakat
nelayan etnik Mandar merespon fenomena atau mitos ritual mappandesasi ditanggapi berbeda
dan variatif. Selain keyakinan terhadap eksistensi ritual mappandesasi yang selalu hadir setiap
saat, ada yang memahami ritual yang selama ini dilakukan merupakan warisan atau tradisi
leluhur. Menurut pemahaman masyarakat etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko bernama
Sudding, merupakan salah satu tokoh masyarakat nelayan etnik Mandar mengatakan bahwa “ada
dua makna yang diyakini oleh masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap ritual mappandesasi.
Pertama, sebagai pengikut tradisi leluhur dan kedua, sebagai bentuk rasa syukur karena
bernazar kepada Tuhan”.
Masyarakat nelayan etnik Mandar melanggar atau tidak mengikuti tradisi ini merupakan
sebuah bentuk penghianatan terhadap leluhur. Karenanya, sikap dan perilaku yang diambil
sesuai dengan apa yang telah dan pernah dilakukan leluhur etnik Mandar, seperti menyiapkan
dan melakukan upacara ritual sebagaimana mestinya. Ini menunjukkan bahwa keyakinan
masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap mitologi ritual mappandesasi relatif berbeda dengan
orang yang meyakininya tidak berdasarkan konsep warisan tradisi leluhur. Kelompok ini adalah
kelompok orang-orang yang mendalami ajaran agama Islam. Sikap seperti ini berbeda responnya
ketika masyarakat nelayan etnik Mandar meyakini atau memahami bahwa praktek ritual ini
merupakan kelanjutan dari tradisi yang diajarkan oleh orang tua. Bedanya dengan praktek ritual
dengan berdasarkan warisan leluhur terletak pada pola-pola dan bentuk pelaksanaan ritualnya
karena masyarakat nelayan etnik Mandar menganggap ritual ini adalah warisan leluhur
cenderung mempertahankan pola lama dalam upacara, misalnya dari komposisi makanan yang
harus disiapkan sesuai dan sama persis jenis dan jumlahnya yang semestinya disediakan.
Sementara bagi nelayan etnik Mandar secara umum dalam era modern ini melihat ritual
mappandesasi ini sekedar sebagai bentuk ketaatannya pada orang tua lebih memilih
memodifikasi atau reinvention (Hobsbawm dan Ranger, 2003:1) pola-pola ritual yang dilakukan,
dalam istilah lain. Misalnya bentuk rokok yang digunakan, meskipun namanya sama akan tetapi
bahan dan proses pembuatanya berbeda. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah pola
regenarasi yang diterapkan oleh orang tua yang selalu melibatkan anak-anak dalam setiap ada
ritual mappandesasi.
Masyarakat nelayan etnik Mandar dari pelaku ritual mappandesasi ini berbeda dengan
nelayan etnik Mandar yang meyakini ritual sebagai bagian dari kehidupannya. Pada prinsipnya
melakukan praktek ritual ini sekedar ikut-ikutan atau istilah lainnya partisipan semu (virtual
reality). Sikap dan perilaku yang paling menyolok dari orang-orang seperti ini adalah ambivalens
dalam meyakini eksistensi ritual mappandesasi. Biasanya orang-orang yang menampilkan seperti
ini adalah yang sedang atau telah mengenyam pendidikan formal, selain itu orang-orang yang
memiliki pemahaman mendalam terhadap ajaran agama Islam. Sikap lain yang dapat dilihat dari
orang-orang cenderung melakukan ritual sebagai formalitas tanpa ada usaha dan rasa ingin tahu
apa makna simbolik dari ritual mappandesasi. Pewarisan kebudayaan dilakukan dengan cara,
kebutuhan dan kekuasaan yang dilakukan suatu masyarakat kegiatan ini dilakukan di samping
untuk menjaga kelangsungan kebudayaan itu sendiri, untuk kelangsungan hidup masyarakat.
Dalam “A Scientific Theory of Culture and Other assays “, Malinowski menyatakan, tradisi
budaya harus disampaikan dari setiap generasi salanjutnya. Cara dan mekanisme sifat pendidikan
tersebut harus tetap ada dalam setiap kebudayaan. Peraturan dan hukum harus dijaga, sejak
kesepakatan menjadi inti dari setiap kegiatan budaya (Malinowski, 1960 : 37). Demikian halnya
dengan generasi terakhir dari orang-orang etnik Mandar yang masih memelihara ritual ini, yang
disekolahkan di sekolah agama, seperti madrasah dan pesantren. Prilaku yang mereka tampilkan
sangat resisten terhadap instruksi yang diberikan oleh orang tua selama ini.
BAB VII
DAMPAK DAN MAKNA KETERANCAMAN RITUAL MAPPANDESASI DALAM MASYARAKAT NELAYAN ETNIK MANDAR
Proses transformasi sosial yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, mengenai
keberagaman, praktek-praktek ritus lokal, hingga bagaimana suatu komunitas berusaha
membangun strategi bertahan di bawah bayang-bayang tantangan global mengalami hambatan
serius. Hambatan ini mulai dari relevansi sampai dengan dampak yang dirasakan oleh
masyarakat lokal. Dampak dari transformasi sosial ini tidak hanya dirasakan dalam dimensi
politik dan ekonomi, tetapi juga dalam aspek spritualitas dan bangunan world view suatu
masyarakat. Kondisi seperti di atas dapat ditemukan dalam masyarakat di Kelurahan
Bungkutoko, khusunya para nelayan etnik Mandar.
Beradasarkan data temuan di lapangan yang merupakan hasil interview dengan
masyarakat nelayan etnik Mandar yang sering melakukan ritual mappandesasi, terungkap bahwa
dengan adanya arus globalisasi yang melanda Kelurahan Bungkutoko telah membawa dampak
terhadap berlangsungnya ritual mappandesasi. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko terkait dengan adanya transformasi sosial yang
diakibatkan oleh globalisasi yakni terkait dengan world view, telah terjadi keterancaman dalam
ritual mappandesasi.
7.1 Dampak Setiap tindakan yang dilakukan manusia dalam kehidupan sehari-harinya selalu memiliki
akibat atau dampak baik-buruk, untung-rugi, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
lingkungan sosialnya. Begitu pula dengan kebiasaan masyarakat nelayan etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota kendari. Kebiasaan melakukan ritual
mappandesasi memiliki dampak terhadap lingkungan sosial dan penyebaran masyarakat nelayan
etnik Mandar.
Perubahan merupakan sifat yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia, karena
tanpa perubahan manusia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Kebudayaan sebagai salah satu produk hasil karya manusia senantiasa selalu berinteraksi dengan
dunia dan berkembang serta berubah dalam perjalanan waktu. Ritual mappandesasi sebagai
sebuah kebudayaan yang merupakan hasil produk masyarakat nelayan etnik Mandar dewasa ini
telah mengalami perubahan. Ritual mappandesasi merupakan salah satu identitas budaya bagi
nelayan etnik Mandar di mana pun berada. Adanya perubahan atau keterancaman dalam berbagai
tahapan proses yang terkait dengan pelaksanaan ritual mappandesasi membawa berbagai dampak
negatif terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,
Kota Kendari.
7.1.1 Dampak Sosial
Keterancaman ritual mappandesasi memiliki banyak pengaruh dalam masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko sebagai salah satu etnik pendukung dan sekaligus
sebagai etnik pelaku ritual mappandesasi. Ritual mappandesasi dimaknai oleh masyarakat
nelayan etnik Mandar sebagai salah satu media untuk membangun keharmonisan antara manusia
dengan penghuni alam gaib. Manusia yang dimaksud di sini adalah masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko, dan penghuni alam gaib yang dimaksud yaitu penjaga sasi.
Pelaksanaan ritual mappandesasi pada tahun-tahun sebelumnya tidak dilaksanakan oleh
nelayan etnik Mandar saja, tetapi diikuti oleh semua nelayan yang bermukim di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatam Abeli, Kota Kendari. Seiring berjalannya waktu, ritual mappandesasi
mengalami penyusutan, baik itu dari segi anggota dalam pelaksanaan mupun dalam hal sarana
dan prasarana ritual. Penyusutan dalam hal jumlah peserta yang diakibatkan oleh faktor peralihan
mata pencaharian, secara tidak langsung telah mengakibatkan hubungan-hubungan atau kontak
langsung antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan antara etnik yang satu dengan
etnik yang lain mengalami penyusutan.
Sadar atau tidak sadar, dan sengaja atau tidak disengaja kurangnya kontak langsung atau
hubungan secara langsung antara inividu yang satu dengan dinvidu yang lain, antara etnik satu
dengan etnik yang lain akan mengakibatkan kurangnya kebersamaan di dalam masyarakat.
Dengan sendirinya mengakibatkan terjadi varian-varian di dalam masyarakat. Kelompok nelayan
hanya bekerja sama dengan sesama kelompok nelayan, kelompok buruh bangunan bekerja sama
dengan kelompok buruh bangunan, dan yang lebih parah lagi pergaulan itu terjadi dalam satu
kelompok.
Pada awalnya masyarakat di Kelurahan Bungkutoko merupakan masyarakat yang
memiliki persatuan dan kerjasama yang kuat, sekarang semangat gotong-royong itu sudah mulai
memudar. Persatuan itu dapat dilihat pada saat pelaksanaan ritual mappandesasi terjadi, semua
etnis ikut merayakan dan ikut menyumbang terjadi kerja sama yang sangat baik. Dalam era
modern sekarang, masyarakat di Kelurahan Bungkutoko mengalami penyusutan persatuan
antarsesama warga. Kondisi ini bisa disimak dari pemaparan Burhan seorang Kepala Kelurahan
Bungkutoko. Berikut penuturan Burhan.
“Saya menjadi Kepala Lurah di sini sejak tahun 2006 sampai sekarang. Jadi saya menjadi Kepala Lurah di sini sudah lebih satu periode. Pertama kali saya tiba di sini, saya melihat keakraban dan persatuan yang begitu akrab dan kuat di antara sesama. Persatuan ini tidak terjadi dalam kegiatan ritual mappandesasi tetapi selalu saya jumpai persatuan itu dalam setiap kegiatan. Baik itu kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti dan kegiatan yang menyangkut hajatan seseorang. Dulu pertama kali saya menyaksikan ritual mappandesasi ini, saya kaget karena semua etnik yang ada di Kelurahan Bungkutoko ini ikut semua. Jadi saya kira ini tradisi masyarakat di kelurahan ternyata itu tradisi masyarakat etnik
Mandar. Saya melihat pemudaran kerjasama dan persatuan antarsesama warga itu sejak kurang lebih tiga tahun yang lalu. Di mana masyarakat sudah banyak beralih mata pencaharian. Masing-masing sibuk dengan pekarjaannya. Jangankan dalam ritual mappandesasi yang mengalami penyusutan peserta, kerja bakti pun sudah banyak yang tidak ikut. Justru saya melihat sudah terjadi berbedaan perlakuan dalam masyarakat antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Ada kelompok yang merasa dirinya lebih baik dan mediskreditkan kelompok lain” (Wawancara, 20 Januari 2011).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Kelurahan Bungkutoko
sudah terjadi pergeseran dan penyusutan rasa persatuan dan kebiasaan gotong-royong. Semua ini
diakibatkan oleh jenis dan lokasi pekerjaan setiap individu dalam masyarakat yang berbeda-
beda. Ada yang bekerja sebagai sopir angkutan umum, tukang ojek, buruh bangunan, sebagai
karyawan di beberapa perusahaan dan beberapa pusat-pusat perbelanjaan di Kota Kendari, dan
sebagian tetap bekerja sebagai nelayan. Semua jenis pekerjaan ini dilakukan oleh warga etnik
Mandar sebagai pemilik tradisi ritual mappandesasi. Banyaknya jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh warga masyarakat mengakibatkan diskriminasi di antara kelompok. Yang sering
menonjolkan perbedaan di antara kelompok itu adalah kelompok karyawan. Kelompok ini selalu
mendiskriminasi kelompok nelayan, bahkan tidak segan-segan kelompok karyawan menganggap
kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat rendah dan tidak memiliki
pendidikan. Ungkapan informan di atas sejalan dengan Gandhi (2006:141) bahwa suatu
masyarakat atau penduduk menghadapi dua bentuk penjajah, yakni penjajah asing dan penguasa
patriakal pribumi yang menindas. Kelompok pekerja sebagai karyawan menganggap dirinya
sebagai kelompok superior (berhak menjajah) karena memililki pekerjaan yang lebih baik
daripada kelompok pekerja sebagai nelayan sehingga atas dasar ini mereka menganggap
kelompok kerja nelayan sebagai masyarakat atau kelompok inferior (harus dijajah). Menjajah
dan dijajah dalam tulisan ini adalah kelompok pekerja sebagai karyawan menjajah kebiasaan
atau budaya dari kelompok pekerja nelayan dengan menghadirkan kebiasaan atau budaya baru
dalam masyarakat.
7.1.2 Dampak Ekonomi
Keterancaman ritual mappandesasi tidak saja berdampak dalam kehidupan sosial
masyarakat, tetapi dampaknya ikut dirasakan oleh masyarakat nelayan sendiri. Sesuai dengan
substansinya, masyarakat nelayan etnik Mandar mengadakan atau melakukan ritual
mappandesasi dengan tujuan untuk meminta keselamatan dalam melaut, dan meminta supaya
diberikan rezeki yang banyak dalam melaut. Masyarakat meminta kedua hal tersebut kepada
penjaga sasi atau masyarakat nelayan etnik Mandar biasa menyebutnya dengan istilah setasasi.
Terkait dengan tujuan awal masyarakat dalam melakukan ritual mappandesasi untuk
meminta rezeki yang banyak dalam melaut kepada penjaga sasi. Ketika masyarakat tetap
melakukan ritual mappandesasi sesuai dengan urutan dan memenuhi semua prasyarat seperti
yang disebutkan dalam halaman pembahasan sebelumnya, masyarakat selalu mendapatkan hasil
tangkapan yang banyak. Ketika masyarakat dalam melakukan ritual mappandesasi dengan tidak
memenuhi semua persayaratan seperti yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, maka
masyarakat juga mengalami kekurangan penghasilan. Disadari atau tidak disadari oleh
masyarakat, ritual mappandesasi ini bisa dikatakan sebagai ritual yang memiliki konsekwensi-
konsekwensi terhadap masyarakat pelaku ketika tidak melakukan ritual mappandesasi sesuai
dengan prosedur.
Nelayan etnik Mandar bukan melakukan ritual mappandesasi tidak sesuai dengan
prosedur dan mengikuti syarat yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya, akan tetapi para
nelayan sekarang melakukan ritual mappandesasi dengan membarukan atau mengurangi syarat-
syarat yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Misalnya, sapi yang dulunya ikut
dijadikan sebagai syarat dalam ritual mappandesasi, sekarang sudah tidak digunakan lagi karena
harga sapi yang mahal. Selain itu, pembaruan yang dilakukan oleh masyarakat pelaku ritual
mappandesasi adalah rokok yang menjadi prasyarat dalam ritual mappandesasi dulunya berasal
dari tembakau tradisional yang digulung dengan daun nipa kering, sekarang sudah diganti
dengan rokok yang merupakan hasil produksi modern.
Salah satu konsekwensi yang dirasakan oleh masyarakat nelayan ketika tidak melakukan
ritual mappandesasi sesuai dengan persyaratan yang diwariskan oleh nenek moyang adalah
berkurangnya hasil tangkapan para nelayan dalam melaut. Karena penghasilan dalam melaut
sudah tidak seperti dulu lagi (mengalami penurunan) membuat masyarakat nelayan etnik Mandar
melakukan pergantian mata pencaharian. Sebagian nelayan etnik Mandar sepertinya mengalami
frustasi dan menjadi kurang yakin lagi dengan ritual mappandesasi. Hal inilah, yang membuat
nelayan etnik Mandar harus melakukan peralihan mata pencaharian dari nelayan menjadi pekerja
yang tidak berhubungan dengan laut.
Peralihan mata pencaharian ini lebih diakibatkan oleh desakan kebutuhan ekonomi
keluarga. Sebagian nelayan etnik Mandar tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi rumah
tangganya dengan menggantungkan hidup dari melaut. Kenyataan ini tidak saja dirasakan oleh
para nelayan yang memiliki kebutuhan ekonomi rumah tangga yang banyak, seperti orang tua
yang memiliki anak lebih dari empat orang dan semuanya sekolah. Kondisi ini dirasakan oleh
nelayan yang baru memiliki anak dua atau tiga orang. Informan Rustam (45 tahun), memiliki
enam orang anak dan salah satu di antaranya sudah duduk di kursi perguruan tinggi. Rustam
menuturkan pengalamanya di bawah ini.
“Saya menjalani pekerjaan sebagai nelayan sejak saya berusia 25 tahun. Sampai usiaku memasuki 44 tahun saya tidak lagi memaksakan diri untuk melaut. Bukan karena usia saya yang sudah tua tetapi karena hasil dalam melaut sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang hasil dalam melaut itu untung-untungan bisa mencapai Rp. 200.000,-/orang setelah dibagi. Dikerjakan selama sebulan dengan hasil yang demikian sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi saya sudah memiliki anak yang sudah kuliah. Kejadian ini sering kami (nelayan) alami
setelah melakukan ritual mappandesasi dengan tidak menggunakan sapi dan tembakau tradisional sebagai sarananya. Tapi kalau kami gunakan sapi, harganya sudah mahal, sementara orang yang melakukan ritual mappandesasi sudah sendiri-sendiri. Artinya sesuai kelompok nelayannya, tidak lagi dilakukan secara bersama-sama. Adik-adiknya masih ada empat orang dan tiga di antaranya sudah bersekolah. Itulah sebabnya saya kembali pada pekerjaan saya masih di Mandar sebagai sopir angkutan umum. Alhamdulillah saya rasa hasilnya lebih memungkinkan daripada penghasilan saya sebagai nelayan” (Wawancara 9 Februari 2011).
Kondisi seperti di atas tidak saja dirasakan oleh Rustam, tetapi dirasakan oleh para nelayan lain.
Salah satu di antara masyarakat etnik Mandar adalah Andi (34). Andi yang memiliki dua orang
anak merasa penghasilannya dari melaut sudah tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Kondisi ini dirasakan Andi sejak beberapa tahun terakhir ini. Hal ini diakibatkan oleh hasil
tangkapan nelayan dalam melaut yang tidak seperti dulu lagi. Sekarang susah untuk
mendapatkan ikan, padahal tempat berlayar atau melaut sudah dekat dengan perbatasan Negara
Malaysia. Berikut penuturan dari Andi.
“Rata-rata hasil tangkapan nelayan sekarang sangat sedikit, saya tidak tau ini diakibatkan oleh apa! Sementara kami berlayar sudah dekat dengan perbatasan Malaysia. Susah sekali untuk mendapatkan ikan. Ada empat kali berlayar kami mendapatkan hasil yang sedikit. Kejadian ini sering dialami oleh para nelayan, bukan saja kami setelah terjadi beberapa pergantian bahan dalam ritual mappandesasi. Dari situ saya berpikir mendingan cari pekerjaan lain dulu di darat. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan iparku mendapat pekerjaan (borongan) membangun Rumah Toko (Ruko) di kota. Saya ikut dia saja, dan hasilnya lebih memuaskan. Satu minggu terimah gaji bersih sebesar Rp. 300.000,-, sementara kalau melaut uang tiga ratus ribu itu tidak dapat dalam sebulan” (Wawancara, 9 Februari 2011).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa berkurangnya hasil tangkapan dalam melaut
kemungkinan besar karena diakibatkan oleh terjadinya pembaruan dan pengurangan sarana
dalam melakukan ritual mappandesasi. Pengurangan dan pembaruan ini dipengaruhi oleh
mahalnya harga sapi dan susahnya mencari tembakau tradisional. Kelompok nelayan tidak lagi
melakukan ritual mappandesasi secara bersama-sama (satu kelompok besar), tetapi setiap
kelompok nelayan melakukan sendiri-sendiri ritual mappandesasi. Hal ini diakibatkan karena
tempat berlabuhnya kapal yang berbeda-beda dan sangat berjauhan. Dengan berkurangnya hasil
tangkapan para nelayan dalam melaut, semakin menunjukkan bahwa begitu pentingnya sarana
ritual dalam mappandesasi sehingga harus dipenuhi secara keseluruhan. Ungakapn di atas
sejalan dengan M. Rais Amin (2008:148) yang mengatakan bahwa setiap jenis benda-benda
yang disajikan dalam ritual, baik itu yang berbentuk makanan maupun yang berbentuk benda,
seperti daun sirih, dupa, dan binatang sesembahan masing-masing memiliki makna tersendiri
yang tidak jauh dari pemaknaan secara kontekstual.
7.1.3 Dampak Budaya
Dampak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat nelayan etnik Mandar adalah
pengaruh pendidikan, agama, dan kehidupan modern yang mempengaruhi dari aspek akulturasi
tardisi agama dan kehidupan modern, kesadaran kemanusiaan mengalami penurunan.
Konformisme dalam perilaku kolektif mendominasi kehidupan individu. Perubahan yang sangat
drastis, berkembang menjadi krisis multidimensi termasuk di dalamnya budaya, membuat suatu
pilihan tentang apa yang dilakukan oleh masyarakat tradisional. Pilihan yang dimaksud adalah
reformasi dan transformasi. Pilihan sudah diambil oleh masyarakat generasi muda berdasarkan
pendidikan, agama dan kehidupan modern menuju keterancaman.
Transformasi hidup yang diharapkan oleh masyarakat karena harapannya ingin cepat
mencapai hasil, maka tanpa disadari apa yang terjadi adalah merupakan transformasi. Pengaruh
modernitas dalam aspek budaya yang dianggap tidak bernilai dapat mempengaruhi seluruh
bagian. Akibat dunia era globalisasi mendorong kontak antarbudaya semakin pesat. Kontak
budaya dapat dimaknai sebagai pertemuan antara nilai baru dengan nilai lama yang terjadi di
luar dan di dalam masyarakat nelayan etnik Mandar dan pada akhirnya melahirkan perubahan
budaya Soemarjan (1995: 64) mengatakan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat tradisional yang mempengaruhi sistem sosialnya. Sementara oknum
mengemukakan bahwa perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material
maupun inmaterial, terutama yang menekankan pengaruh yang datang dari unsur-unsur
kebudayaan material terhadap kebudayaan inmaterial.
Perubahan budaya berkenaan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya
perubahan sistem stratifikasi sosial, sistem nilai dan norma sosial, proses sosial, struktur sosial,
pola sikap dan tindakan sosial dalam keberadaan masyarakat, serta lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam suatu kurun waktu tertentu. Perubahan sosial berproses di dalam
masyarakat dan mengubah masyarakat secara keseluruhan secara bertahapan. Perubahan terjadi
akibat adanya faktor yang datang dari internal dan faktor eksternal terutama agama dan
pendidikan. Doktrin agama mempengaruhi dalam keterancaman kehidupan adat- istiadat
menyebabkan identitas diri dan jati diri dalam nilai-nilai budaya yang mengatur kehidupan
manusia telah mengaburkan konteks keterancaman ritual mappandesasi.
Dalam kenyataannya agama proses akulturasi sampai asimilasi, lebih jauhnya sampai
homogenisasi atau penyeragaman budaya. Di samping itu, neoliberalisasi yang merasuk semua
ranah kehidupan, termasuk pendidikan, nilai-nilai asli yang sebelumnya sakral dan menjadi
bagian dari jati diri masyarakat hilang dan tidak bermakna lagi.
Pada saat nilai-nilai modern mulai terkontaminasi terhadap masyarakat nelayan etnik
Mandar, saat itu pula terjadi proses penggiringan nilai-nilai budaya masyarakat yang pada
akhirnya mengakibatkan terjadinya split dan kegamangan nilai. Kegamangan nilai yang dialami
masyarakat dewasa ini merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal,
memarginalkan peranan nilai-nilai transendental serta tunduk pada paham individualism dan
kapitalisme. Akibatnya, manusia kehilangan roh kemanusiaan dan kosong dari nilai-nilai
spiritual. Kemampuan otak dan rasionalitas telah mencapai titik puncak dan tidak dibarengi
dengan kekuatan rohaniah, akibatnya hidup menjadi kehilangan makna. Mengingat tantangan
yang dihadapinya semakin nyata dan kompleks, maka proses pendidikan yang berbasis pada
nilai etika dan budaya dewasa ini menjadi sangat penting. Tantangannya datang dari berbagai
arah, terutama datang sebagai efek dari arus informasi global. Susanto (1998: 27) menyebutkan
dalam era globalisasi yang terbuka ini, terpaksa informasi sangat memungkinkan seseorang
mengadopsi nilai-nilai pengetahuan dan kebiasaan luar lingkungan sosialnya jauh dari
jangkauannya secara fisik.
Dalam kondisi semacam itu, pertahanan nilai etika dan budaya yang menjadi pegangan
masyarakat akan semakin tergoyahkan, nilai tradisi yang ramah, lembut, dan santun bisa tergilas
oleh nilai-nilai baru yang bersandar dan berlindung pada kebebasan dengan mengatasnamakan
hak asasi. Dengan demikian, standar nilai yang dipegang oleh masyarakat akan semakin rapuh
dan siap untuk digantikan dengan standar lainnya. Nilai-nilai yang bersumber kepada budaya
atau tatanilai yang dipegang teguh masyarakat akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Karena itu, rujukan nilai etika yang dikembangkan oleh pendidikan tidak cukup hanya
berdasarkan nilai moral masyarakat, melainkan nilai transendetal yang bersumber dari agama
tradisional perlu diperpadukan agar nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang mengatur
kehidupan manusia dalam pancasila sebagai identitas bangsa berdasarkan kehidupan budaya
nusantara perlu dipertahankan dalam setiap generasi, karena budaya global mempengaruhi
budaya nasional menyebabkan budaya lokal dimarginalkan dengan ideologi pembangunan,
berubah lagi otonomi khusus dan otonomi daerah pun tidak menyelesaikan sosial ekonomi
masyarakat tetapi menghancurkan sosial budaya yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan.
7.2 Makna
Segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya untuk memenuhi
kebutuhan nalurinya. Demikin pula halnya masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari. Masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan
ritual mappandesasi selalu merasakan kepuasan, kedamaian dan kenyaman dalam menjalankan
aktivitasnya di laut sebagai nelayan. Dalam hal ini, hadirnya ritual mappandesasi didukung oleh
tradisi kebiasaan para nelayan etnik Mandar sehingga dapat dilihat bagaimana masyarakat
nelayan etnik Mandar memaknai ritual mappandesasi tersebut.
Makna itu sendiri diberikan oleh suatu subjek atau penafsir terhadap yang dimaknainya
atau yang dia tafsirkan. Sehubungan dengan hal ini, Ratna (2008:127) mengungkapkan bahwa
makna merupakan suatu representasi, proses menghadirkan kembali, yang diperoleh penafsir
melalui kegiatan menafsirkan.
Dalam kehidupan masyarakat, pemaknaan akan mengikuti lajunya perubahan perilaku
dan struktur sosial budaya dalam masyarakat yang selalu bergerak dinamis. Berangkat dari
pernyataan inilah, tentunya makna akan terus bergerak mengikuti teks dan konteks. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Derrida (dalam Sarup, 2000:48) bahwa makna tidak bisa
tetap, tidak bisa sama dan akan bergerak terus dari konteks yang satu ke konteks yang lainnya.
Ritual mappandesasi yang dulunya ada di daerah Mandar, Sulawesi Barat sekarang ritual
mappandesasi telah sampai di Kelurahan Bungkutoko, Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Hal ini
diakibatkan oleh nelayan etnik Mandar yang fanatik terhadap tradisi dan budaya.
7.2.1 Makna Religius
Seorang manusia yang mempercayai dan menghayati ajaran suatu agama akan
memperoleh kerangka berpikir untuk dijadikan acuan dalam memaknai semua kejadian yang
dialami sepanjang hidupnya. Masyarakat nelayan etnik Mandar melakukan ritual mappandesasi.
Ritual mappandesasi dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko
sebagai salah satu media yang bisa menghubungkan antara manusia dengan penjaga sasi. Selain
itu, ritual mappandesasi juga dimaknai oleh masyarakat nelayan etnik Mandar sebagai salah satu
media yang memecahkan permasalah nelayan etnik Mandar dalam melaut, khususnya masalah
yang berhubungan dengan alam gaib.
Dhavamony (1996:167) mengatakan bahwa agama adalah tindakan simbolis dan dalam
mengekspresikan tindakan simbolis itu berlangsung konsekrasi dalam artian terjadi perubahan
imaji terhadap sesuatu, baik benda maupun situasi atau keadaan. Konsentrasi yang ada dalam
ritual mappandesasi dapat dijumpai dalam penuturan doa-doa yang digunakan dan dalam lafaz
niat yang digunakan dalam ritual mappandesasi. Semua doa dan niat yang digunakan memiliki
atau mengandung makna magis, dan bahasa yang digunakan menyiratkan pengertian mistik.
Sehubungan dengan pengertian yang demikian, terjadilah transubstansi dari suasana profan
menjadi suasana sakral. Kondisi seperti ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa dengan
melakukan ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar sebenarnya tidak
menginginkan terjadinya keselarasan dengan penjaga sasi sebagai fungsi utama, akan tetapi
dalam melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar telah menunjukkan
kepada publik bahwa aktif dalam menjalankan kepercayaanya sebagai bentuk ketaatan atau
implikasi dari religi.
Ritual mappandesasi dikatakan memiliki makna religius karena dalam penyampaian
permohonan kepada penjaga sasi selalu dengan menggunakan doa-doa yang mengandung mistik
seperti penjelasan di halaman sebelumnya dalam tulisan ini. Selain itu, kesadaran para generasi
tua yang masih melaksanakan ritual mappandesasi merupakan satu indikator bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap ritual mappandesasi sangat tinggi dan dianggap sangat sakral. Hal ini dapat
dilihat dalam penuturan informan Muhtardi bawah ini.
“Dalam melaksanakan ritual mappandesasi masyarakat yang ikut sebagai peserta menunjukkan kekhusukan mereka dalam menjalani ritual mappandesasi ini. Kekhusukan dalam melaksanakan ritual mappandesasi karena menurut nelayan etnik Mandar ritual mappandesasi ini merupakan induk dari segala pemecahan permasalahan dalam kehidupan etnik Mandar, khususnya yang tinggal di daerah
pesisir dan menggantungkan hidup pada saat melaut. Kami meyakini bahwa kalau tidak melakukan ritual mappandesasi terus langsung melaut, maka kami sering mendapatkan bahaya, seperti tidak mendapatkan ikan, selalu dihantam oleh ombak, setelah kami melakukan ritual ini maka kami baru mengerti bahwa harus melakukan dulu ritual jika kami belum melakukan ritual. Oleh karena itu, dengan melakukan ritual mappandesasi, kami merasakan kenyamanan tersendiri dalam melaut. Itu sebabnya kami selalu melakukan ritual mappandesasi dan menghindari larangan-larangan yang bisa membatalkan kemanjuran doa-doa dalam ritual ini” (Wawancara 10 Februari 2011).
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa setelah melakukan ritual mappandesasi
masyarakat nelayan etnik Mandar merasakan ada kepuasan batin tersendiri. Kepuasan batin itu
sehingga membuat nelayan etnik Mandar untuk selalu melakukannya. Kepuasan yang selalu
merasa nyaman dan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut. Itulah yang
membuat nelayan etnik Mandar selalu melakukan ritual mappandesasi. Ungkapan di atas sejalan
dengan E.B Tylor (dalam Koentjaraningrat 1987:71) yang mengatakan suatu kelompok manusia
selalu mengulangi tindakannya karena dimotivasi oleh kepuasan tersendiri yang diperoleh
melalui tindakanya tersebut.
7.2.2 Makna Solidaritas
Manusia sebagai makhluk sosial yang di dalam kehidupannya senantiasa dituntut untuk
menjalin hubungan dan kerja sama dengan orang lain guna menjalani aktivitas kehidupan dalam
Kesehariannya. Manusia harus menjalin atau membangun hubungan solidaritas yang penuh
harmonis dengan Tuhan sang Pencipta, dengan sesama manusia dan dengan alam yang ada di
sekitarnya. Bagi masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, sebagai makhluk
sosial tidak hanya menjalin hubungan solidaritas yang harmonis dengan Tuhan, dan manusia.
Akan tetapi, masyarakat nelayan etnik Mandar selalu menjalin hubungan yang harmonis dengan
penguasa ilmu gaib seperti dewa-dewa, roh nenek moyang, bahkan dengan penjaga sasi
sekalipun. Hubungan solidaritas antara masyarakat nelayan etnik Mandar dengan penguasa alam
gaib, khususnya penjaga sasi termanifestasi dalam bentuk upacara ritual mappandesasi atau
ritual memberi makan laut.
Dalam melakukan ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari, selalu dikerjakan bersama-sama dengan orang-
orang di sekitarnya (secara gotong-royong). Dengan melakukan ritual mappandesasi, maka sama
halnya menguatkan kembali rasa persatuan, kebersamaan, dan solidaritas masyarakat nelayan
etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko, sesama etnik Mandar, dengan etnik lain, serta dengan
lingkungan, dalam hal ini laut, dan antara etnik Mandar dengan penguasa alam gaib seperti
penjaga sasi. Solidaritas antara sesama manusia, dapat dilihat dalam bentuk kerja sama
masyarakat di Kelurahan Bungkutoko dari berbagai etnik dalam tolong-menolong menyiapkan
semua perlengkapan sarana upacara ritual mappandesasi. Solidaritas masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko dengan alam, khususnya sasi dapat dilihat bahwa setelah
melakukan ritual mappandesasi masyarakat nelayan etnik Mandar dapat melaksanakan
aktivitasnya sebagai nelayan dengan aman dan nyaman. Adapun solidaritas masyarakat nelayan
etnik Mandar dengan penguasa alam gaib (penjaga sasi) dapat dilihat dengan keberhasilan
nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini terjadi karena salah satu fungsi dari ritual mappandesasi
adalah meminta kepada penjaga sasi agar memberikan rezeki yang banyak.
Dalam era globalisasi seperti sekarang, masyarakat nelayan etnik Mandar sebagian sudah
beralih mata pencaharian, dari nelayan berpindah mata pencaharian menjadi sopir angkutan
umum, tukang ojek, dan menjadi buruh bangunan, atau menekuni aktivitas yang tidak lagi
berhubungan dengan laut. Hal ini membuat peserta ritual mappandesasi di Kelurahan
Bungkutoko menjadi berkurang. Meskipun masyarakat yang mata pencahariannya tidak lagi
berhubungan dengan laut, bukan berarti sudah tidak ada rasa solidaritas di antara masyarakat
nelayan etnik Mandar. Masyarakat yang beralih mata pancaharian tidak ikut serta dalam
pelaksanaan ritual mappandesasi tetapi pada saat mengumpulkan atau membuat sarana ritual
tetap meluangkan waktu untuk ikut membantu. Dengan kondisi ini, ritual mappandesasi bagi
masyarakat nelayan etnik Mandar masih diyakini sebagai sesuatu yang sangat bermakna dalam
pencapaian kebersamaan dan membangkitkan rasa solidaritas. Di bawah ini dicantumkan
penuturan informan Imran, (31 tahun) dan berprofesi sebagai pegawai negeri sipil.
“Masyarakat nelayan etnik Mandar sudah banyak yang berpindah mata pencaharian dan melakukan akitivitas yang tidak lagi berhubungan dengan laut. Secara otomatis memang mereka tidak mengikuti pelaksanaan ritual mappandesasi tetapi dalam mengumpulkan bahan dan membuat sarana ritual, masyarakat yang tidak lagi melakoni aktivitas sebagai nelayan tetap meluangkan waktunya untuk selalu ikut membantu. Masyarakat selama ini tidak sering ketemu karena kesibukan dengan pekerjaan masing-masing, terkesan sudah tidak ada keakraban dan kebersamaan lagi diantara sesama. Akan tetapi, pada saat mengumpulkan bahan dan membuat peralatan ritual suasana ketidakakraban itu kembali menjadi sebuah kebersamaan dan membangun solidaritas yang tinggi dengan aktivitas mereka tolong-menolong dalam membuat dan mengumpulkan peralatan ritual” (Wawancara, 20 Februari 2011).
Penuturan Imran di atas menunjukkan bahwa ritual mappandesasi bagi masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko selain berfungsi untuk mempermudah datangnya rezeki,
berfungsi sebagai media untuk membangun solidaritas di antara sesama warga di Kelurahan
Bungkutoko. Meskipun masyarakat nelayan etnik Mandar telah mengalami sekat-sekat dalam
hal ini perbedaan jenis mata pencaharian akibat tuntutan kebutuhan ekonomi di era globalisasi
ini. Akan tetapi, solidaritas masyarakat nelayan etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko tetap
terjaga dan terbangun dengan adanya ritual mappandesasi. Penuturan informan di atas
berbanding terbalik dengan pendapat Syaefudin, (2007:185) yang mengatakan bahwa secara
sosiologis masyarakat sedang mengalami perubahan sosial yang cepat akibat globalisasi,
akibatnya dapat dirasakan, khususnya di segmen-segmen masyarakat tertentu telah mengalami
disorientasi, dilokasi dan alienasi yang semuanya sangat kondusif bagi timbulnya keresahan
sosial. Masyarakat yang biasanya sangat rentan terjadi dengan apa yang disebut konflik.
7.2.3 Makna Kedamaian
Selain makna religi dan makna solidaritas, masih ada makna lain yang terkandung dalam
ritual mappandesasi, masyarakat nelayan etnik Mandar yang sering melakukannya. Makna
tersebut adalah makna kedamaian bagi masyarakat yang selalu melaksanakan ritual
mappandesasi sebelum dan sesudah melakukan pelayaran atau melakukan aktivitas sebagai
nelayan (menangkap ikan).
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di halaman-halaman sebelumnya bahwa
salah satu eksistensi dari pelaksanaan ritual mappandesasi adalah memnita kepada setasasi
supaya diberikan keselamatan kepada nelayan etnik Mandar dalam melaksanakan aktivitasnya
sebagai nelayan. Terkait dengan eksistensi di atas, maka masyarakat nelayan etnik Mandar yang
telah melakukan ritual mappandesasi, selalu mendapatkan kedamaian, ketenangan, dan
kenyamanan dalam melaut. Tidak merasa gentar atau takut meskipun melewati lautan bebas
yang gelombangya besar. Nelayan yang sudah melakukan ritual mappandesasi selalu berpikiran
bahwa tidak akan mendapat musibah apa-apa dalam melaut meskipun melewati ombak besar
karena penjaga sasi sudah berpihak kepada mereka atau penjaga sasi selalu melindungi mereka
dari segala mara bahaya yang mengancam.
Kedamaian yang didapat oleh nelayan etnik Mandar setelah melakukan ritual
mappandesasi ini tidak saja dirasakan pada saat melakukan pelayaran untuk menangkap ikan,
tetapi merasakan setelah melakukan pelayaran untuk menangkap ikan. Kedamaian yang
dirasakan setelah menangkap ikan adalah kedamaian dan ketenangan jiwa setelah mengkonsumsi
hasil (uang) yang diperoleh dari melaut. Kedamaian ini, seperti membeli barang dengan
menggunakan uang hasil dari melaut, barang-barang tersebut dapat awet dan tahan lama. Uang
yang diperoleh dari hasil melaut bisa ditabung, tidak selalu dikeluarkan (tidak panas), berbeda
dengan uang yang diperoleh dengan tidak mengeluarkan keringat.
Pemahaman masyarakat seperti di atas terjadi atau terpola dalam pemikiran dan
tingkahlaku masyarakat nelayan etnik Mandar secara turun temurun dari nenek moyang. Disadari
atau tidak disadari pemikiran itu ada dengan sendirinya dalam otak para nelayan etnik Mandar
karena seringnya anak-anak melihat dan mendengarkan apa yang sering dilakukan oleh orang
tua. Oleh karena itu, kebiasaan berpikir dan berprilaku seperti itu masih ada yang
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat etnik Mandar di Kelurahan
Bungkutoko, jumlahnya sudah tidak sebanyak dulu lagi.
Meskipun jumlah yang mempertahankan tradisi sudah tidak banyak tetapi tidak
menyurutkan niat kelompok penerus tradisi ini untuk tidak melakukan kebiasaan nenek
moyangnya, yakni melakukan ritual mappandesasi. Dengan jumlah yang tinggal sedikit semakin
kelihatan bahwa mereka tetap eksis melakukan ritual mappandesasi. Meskipun hasil tangkapan
yang sudah tidak banyak dalam setiap kali melakukan pelayaran, nelayan etnik Mandar tetap
berpikiran bahwa ini persoalan nasib. Kelompok ini samapai sekarang tetap melakukan ritual
mappandesasi karena didorong oleh keinginan para nelayan untuk mendapatkan berbagai
kenikmatan dan kedamaian seperti yang telah diuraikan di atas.
Refleksi
Ritual mappandesasi merupakan salah satu ritual tradisi yang dimiliki oleh nelayan etnik
Mandar yang selalu mereka lakukan pada saat mau turun melaut atau pada saat mereka pulang
melaut di mana pun mereka berada. Pada awalnya ritual ini dilakukan sekali dalam dua tahun.
Akan tetapi, nelayan etnik Mandar yang bermukin di kelurahan Bungkutoko, sekarang
melakukan ritual mappandesasi ini sekali dalam setahun. Hal ini dilakukan karena nelayan etnik
Mandar banyak mengalami kesialan dalam melaut, seperti selalu mendapatkan musibah dalam
melaut, selalu mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit. Setelah melakukan ritual
mappandesasi sekali dalam setahun, nelayan etnik Mandar selalu mendapatkan kedamaian,
kenyamanan serta mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam melaut.
Pada awal pelaksanaan ritual mappandesasi ini di Kelurahan Bungkutoko, semua nelayan
yang bermukim di Kelurahan Bungkutoko, baik itu dari etnik Mandar maupun dari etnik lain ikut
melaksanakan, turut merayakan meskipun sebagai peserta. Seiring berjalan waktu, ritual
mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko mengalami penyusutan. Adapun bentuk-bentuk
keterancaman dalam ritual mappandesasi adalah terjadinya pengurangan jumlah peserta,
terjadinya pengurangan dan adanya pembaruan dalam hal sarana dan prasarana ritual.
Pengurangan sarana ritual misalnya pada awal pelaksanaan ritual binatang yang menjadi
sesembahan terdiri atas binatang sapi, kambing (beke), dan ayam (mannu), tetapi sekarang
binatang sesembahan itu tinggal kambing (beke) dan ayam (mannu). Pembaruan dalam sarana
ritual, dulunya ritual mappandesasi ini menggunakan perlengkapan sarana, seperti tembakau
tradisional yang digulung dengan daun nipa, sekarang sudah dibarukan dengan menggunakan
rokok modern yang dibeli di toko atau warung-warung.
Terjadinya keterancaman dalam ritual mappandesasi dalam masyarakat nelayan etnik
Mandar di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli, Kota Kendari diakibatkan oleh dua faktor,
yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal atau perubahan yang diakibatkan oleh
faktor dari luar seperti keterancaman diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan media, kemajuan
ilmu pengetahuan, dan diakibatkan oleh faktor ekonomi. Kemajuan teknologi dan media
mempengaruhi pola perilaku manusia yang diakibatkan oleh pencitraan media, seperti media
televisi dan internet. Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya generasi muda banyak
yang tidak mau melakukan ritual mappandesasi karena dianggap ritual mappandesasi itu salah
satu praktek tindakan kemusyrikan dan dianggap oleh generasi muda ritual mappandesasi
sebagai tindakan yang cenderung mengubah ajaran Islam yang seseungguhnya karena memimta
sesuatu kepada selain Allah. Keterancaman yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, yakni
terjadinya persebaran penduduk untuk mencari pekerjaan karena desakan pemenuhan kebutuhan
ekonomi. Pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan.
Ritual mappandesasi dianggap sebagai salah satu tradisi masyarakat nelayan etnik
Mandar yang selalu dilakukan sekali dalam setahun guna mencari ketenangan, kedamaian,
kenyamanan pada saat melakukan aktivitasnya sebagai nelayan. Selain itu, ritual mappandesasi
dianggap oleh masyarakat nelayan etnik Mandar untuk meminta keselamatan dan rezeki yang
banyak pada saat melaut. Keterancaman ritual mappandesasi melahirkan beberapa dampak yang
terjadi dalam masyarakat, seperti dampak sosial dan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan.
Ritual mappandesasi juga memberikan makna bagi masyarakat nelayan etnik Mandar. Adapun
makna yang terdapat dalam ritual mappandesasi terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar,
yakni makna religius, makna solidaritas, dan di dalam ritual mappandesasi juga terdapat makna
kedamaian. Ritual mappandesasi merupakan ukuran kualitas tinggkat religiusitas terhadap
masyarakat nelayan etnik Mandar.
Selain sebagai ukuran tingkat religiusitas masyarakat nelayan etnik Mandar, ritual
mappandesasi merupakan simbol pemersatu masyarakat nelayan etnik Mandar. Pada saat ada
hajatan untuk melakukan ritual mappandesasi maka semua warga nelayan etnik Mandar bahu
membahu mencari, mengumpulkan bahan-bahan untuk perlengkapan ritual mappandesasi.
Kebersamaan itu tidak berlaku di kalangan kaum laki-laki tetapi berlaku pada kaum perempuan.
Para perempuan bekerjasama atau bergotong royong mengerjakan pekerjaan dapur, seperti
membuat sokko, memasak daging beke untuk perlengkapan ritual, dan sebagainya.
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Ritual mappandesasi adalah sebuah ritual yang dimiliki oleh nelayan etnik Mandar, ritual
selalu dilakukan sekali dengan menggunakan jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut
ditentukan oleh sandro sebagai pemimpin dalam pelaksanaan ritual tersebut dengan berdasarkan
kesepakatannya dengan penjaga sasi atau seta sasi. Biasanya ritual mappandesasi ini dilakukan
oleh nelayan etnik Mandar sekali dalam setahun atau berdasarkan hasil perjanjian sandro dengan
penjaga sasi. Pergelaran ritual ini dilakukan biasanya sebelum melakukan pelayaran untuk
menangkap ikan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan rezeki yang banyak kepada
penjaga sasi dan setelah melakukan pelayaran menangkap ikan sebagai bentuk rasa syukur para
nelayan kepada penjaga sasi atas berkah yang telah dia berikan kepada nelayan.
Ritual mappandesasi ini selalu dilakukan dimulai pada hari Kamis dan puncak
pelaksanaan ritual mappandesasi, yakni pada malam hari (malam Jum’at). Hari Kamis dan
malam Jum’at yang dipilih tidak sembarang hari Kamis atau malam Jum’at, tetapi hari Kamis
yang dipilih adalah harus bertepatan dengan penghitungan 10 bulan di langit. Puncaknya
dilakukan pada malam hari karena pada malam Jum’at yang bertepatan dengan hitungan 10
bulan di langit dianggap oleh nelayan etnik Mandar sebagai malam yang penuh berkah atau biasa
disebut dengan pangguduna alo.
Dalam pelaksanaan ritual mappandesasi masyarakat menyiapkan beberapa perlengkapan
sebagai sarana ritual. Perlengkapan tersebut terdiri atas sapi, beke, dan mannu sebagai binatang
sesembahan. Akan tetapi, sekarang sapi sudah tidak digunakan lagi karena harganya mahal.
Selain binatang sesembahan, sarana ritual mappandesasi terdiri atas daun sirih (pamera), pinang
(taru’), daun lontara, rumput pennu-pennu (panno-panno), daun waru, janur (pusuk manyang),
bambu (taroda), jahe (layya), tembakau (bakal), sokko yang terdiri atas empat warna, yaitu
merah, kuning, hitam, dan putih, serta dupa atau kemenyan, kapur (pallili), gambir (gambiri).
Pelaksanaan ritual mappandesasi terdiri atas lima tahapan, yakni tahapan pengumpulan
sumbangan, tahapan pemotongan binatang sesembahan, tahapan pelaksanaan ritual
mappandesasi, tahapan meletakkan sesajen, dan tahapan akhir adalah acara makan bersama.
Pelaksanaan ini dipimpin oleh seorang pimpinan ritual yang disebut sandro. Tiap tahapan dalam
pelaksanaan ritual mappandesasi ini memiliki sandro masing-masing, terkecuali tahapan
pengumpulan sumbangan. Tahapan ini dipimpin oleh salah seorang masyarakat yang ditokohkan
dalam masyarakat.
Dulu pelaksanaan ritual mappandesasi ini dijalankan sesuai dengan tradisi yang
diturunkan atau diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Akan tetapi, dalam era
globalisasi seperti sekarang telah terjadi penyusutan eksistensi, terjadinya pengurangan dan
pembaruan terkait dengan sarana dan prasarana ritual mappandesasi dalam masyarakat.
Peyusutan atau berkurangnya jumlah peserta yang diakibatkan oleh penyebaran penduduk dalam
hal mencari lapangan pekerjaan baru. Penghasilan sebagai nelayan dianggap oleh sebagian
nelayan etnik Mandar tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena hasil tangkapan ikan
yang sudah berkurang. Penghasilan sedikit, sedangkan kebutuhan yang harus dipenuhi banyak
terutama terhadap nelayan yang anaknya telah duduk di bangku kuliah.
Keterancaman dalam ritual mappandesasi disebabkan oleh beberapa faktor yang tiap-tiap
faktor memiliki keterkaitan yang erat. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar
yakni faktor eksternal, dan factor internal. Faktor ekternal meliputi faktor teknologi dan media,
faktor pendidikan, dan faktor ekomoni. Adapun faktor internal, yaitu tidak adanya pengetahuan
generasi muda tentang ritual mappandesasi dan tidak adanya transmisi budaya dari generasi tua
kepada generasi muda, serta faktor tradisi.
Sementara dampak keterancaman ritual mappandesasi dalam kehidupan nelayan etnik
Mandar adalah dampak sosial dan berkurangnya hasil tangkapan para nelayan. Ritual
mappandesasi juga memiliki makna terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar, yakni makna
religi, makna solidaritas, dan makna kedamaian.
8.2 Saran
Fenomena keterancaman ritual dalam masyarakat sudah menjadi tontonan yang biasa
bagi setiap masyarakat. Akan tetapi, tidak semua masyarakat pendudukung kebudayaan
menganggap keterancaman itu sebagai hal yang biasa. Banyak masyarakat yang justru resah
dengan fenomena keterancaman ini, karena mengakibatkan pergeseran identitas dan
mengakibatkan perubahan kebiasaan yang dianggap oleh masyarakat sudah menjadi pandangan
hidup.
Perubahan-perubahan ini diakibatkan oleh faktor globalisasi yang merenggut dan
meluluhlantahkan tatanan sosial yang pernah ada dalam masyarakat. Melihat kondisi yang
demikian, maka peneliti menyarankan kepada pihak-pihak yang terkait supaya segera
memperhatikan nasib kebudayaan lokal yang juga merupakan pendukung paling utama
kebudayaan nasional. Oleh karena itu, peneliti menyarankan beberapa hal yang kiranya dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam bertindak.
1. Kepada Masyarakat
Khususnya para orang tua agar tetap memperkenalkan produk budaya-budaya tradisi
masa lalu kepada generasi muda, mulai sejak dini dan melalui cerita-cerita kepada anak-anak
menjelang tidur. Cerita itu tidak berfungsi mengantar anak-anak untuk tidur tetapi diharapkan
pula agar anak-anak itu bisa mengetahui apa fungsi dari tradisi-tradisi tersebut. Setelah
diceritakan, diharapkan kepada orang tua agar menyarankan kepada anak-anaknya sejak dini
untuk ikut mempraktekkan cerita-cerita tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diyakini
akan efektif untuk mempertahankan budaya masa lalu yang diturunkan secara turun-temurun dari
nenek moyang.
Masyarakat yang masih berstatus generasi muda, diharapkan supaya tidak gampang
terserabut dari akar budayanya karena desakan-desakan modernism. Semua janji dari modernism
itu adalah sebuah keniscayaan yang jarang untuk dicapai. Pertahankanlah budaya daerahmu
sebagai identitas lokalmu dan jadikanlah kebudayaan itu sebagai filter untuk menyaring hasil
produk budaya global yang dapat merenggut atau melumpuhkan semua tatanan sosial yang sudah
ada dalam masyarakat.
Jangan karena sudah mengenyam pendidikan formal lalu ikut melupakan bahkan menjadi
agen utama dalam masyarakat untuk memusnahkan tradisi karena berbeda dengan apa yang
didapatkan dalam bangku sekolah atau perkuliahan. Jangan pula mendiskreditkan masyarakat
yang melakukan tradisi sebagai kelompok masyarakat yang berusaha untuk mengubah ajaran
Islam, karena antara agama dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang saling menopang.
Jadikanlah ilmu yang diperoleh di bangku sekolah atau di bangku kuliah untuk membangun
kearifan lokal daerah, dengan cara melakukan pementasan-pementasan budaya sekaligus
memperkenalkan identitas budaya kepada orang lain.
2. Kepada Pemerintah
Didasarnkan agar Pemerintah Daerah lebih meningkatkan kepekaanya untuk
memperhatikan pengembangan budaya lokal sebagai salah satu faktor pendukung kebudayaan
nasional. Kepekaan atau perhatian itu dapat ditunjukkan dalam bentuk kebijakan dengan
menetapkan dan mengeluarkan kebijakan yang peka terhadap kearifan lokal.
Pemerintah rajin mengadakan pameran kebudayaan dengan menampilkan semua
kebudayaan etnik penduduk daerah tersebut. Jangan mengadakan pameran pembangunan yang
terfokus pada hasil-hasil produksi saja. Sementara tradisi kebuadayaan merupakan salah satu
pendukung utama pembangunan yang lebih bermartabat dan berbudaya. Pemerintah juga
seharusnya selalu memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat yang mau mangadakan
pentas budaya, seperti tradisi ritual mappandesasi di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli,
Kota Kendari. Masyarakat ini merupakan kelompok masyarakat yang setiap tahun melakukan
ritual kebudayaan sebagai bentuk tolak bala dan ucapan terima kasih kepada penguasa laut yang
disebut dengan istilah setasasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makasar. Jakarta: Inti Idayu Press. Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna, dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan Pada
Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah & Nilai Tradisional. ------------------.2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakatra: Sekolah
Pascasarjana UGM bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Ames, Roger T. 2001. Ritual Sebagai Hak : Laternatif Konfusius dalam Etika Terapan I,
Yogyakarta: CV, Tirta Wacana Yoga. Amin, Rais Mohammad. 2008. Keragaman Masyarakat Ujung Bone: Sebuah Ritual
“Addewatang Putang Sereng” di Sulawesi Selatan. (Irwan Abdullah ed). Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM Bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitas dalam Refleksi
Hubungan Antar Etnis. Antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali”. Dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM. Edisi Maret Tahun 2007.
Aris, La Ode. 2010. Kaago-ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna). Tesis di
Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Tidak diterbitkan Barker, Chirs. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. Penerjemah : Nurhadi. Yogyakarta.
Kreasi Wacana. Bath, Frederik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : University Press
Casstel, Manuel. 2001. The Information Of Age: Economy, Society, and Culture: Vol II, The Power of Identity. Ozford: Blackwell.
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta : PN.
Grafiti Pers. Dhavamony, M. 1995. Fenomena Agama. Yogyakarta: Kanisius. Douglas, M. dan B. Isherwood. 1980. The World of Goods. Harmonsworth: Penguins. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi PenelitianKebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University press. Foley, William A. 1991. Antropological Linguistics : An Intruduction, Oxford, UK : Blackwell
Publisher, Ltd
Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah : Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta : Djambatan.
Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:
Penerbit Qalam. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ---------. 1973. The Interpretation of Cultures. Terjemahan New York: Basic. Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD Komplek Polri Gowok. Goretty, Maria. 2010. Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Endu Aesea Propinsi
Flores. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Hadi, Y. Sumandiyo. 2000, Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Yayasan untuk Indonesia. Hadi, Abdul. W.M. 2004. Hermeneutika Estika Religius, Yogyakarta : DN Matahari Hadi, Sutrisno. 1978. Metode Reascard. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada. Hall, S. 1977. Culture The Media an The Ideological Effect, dalam J.Curran, M. Gurevilch dan J.
Woollacott (ed). Mass Cominications and Society. London. Edwar Arnold. Halliday. 1997. Explorations in The Function of Language. London : Edward Arnold. Hoban, Nong. 2007. Ritual Reba dalam Masyarakat Petani Etnik Bhajawa Kabupaten Ngada,
Nusa Tenggara Timur. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan
Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger. 2003. The Invention of Tradition. United Kingdom:
Cambirdge University Perss. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta :
Balai Pustaka Kleden, Ignatius. 1996. Pergeseran Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan
Sosial. Kolom 8, 5-6. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) ---------, 1987 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press) --------, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
---------, 1994, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat
---------, 2004. Kebudayaan Mentalis dan Pembanungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Lampe, Munsi. 2004. Masyarakat Bahari Wallecea dalam Catatan Antropologi Sosial Budaya
Universitas Hasanudin. Makassar. Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York: Harvard University Press. Maleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Posdakarya. ___________, 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other assays. New York :
Oxford University Press. Moertjipto, Drs, dkk. 1997. Upacara Tradisional Mohon Hujan Desa Kephoharjo Cangkringan
Sleman, Yogyakarta Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama Kritik Teori-Teori Agama Kontermporer. Yogyakarta:
AK Group. Muhadjir, Noeng. 1995. Metododlogi Penelitian Kualitatif : Telaah Posistivistik, Rasionalistik,
Phenomonologik, Realism Metaphisik. Yogyakarta : Rake Sarisin. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta :
Gadja Mada University Press. Niron, Benekditus Belang. 2005. Upacara Adat Lepa Bura dalam Masyarakat Lamaholot di Desa
Sulengwaseng Kecamatan Solok Barat, Flores Timur: Prekspektif Kajian Budaya. Tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak diterbitkan
O’dea, Thomas. 1985. Sosiologi Agama, Jakarta. Rajawali.
Ong, Walter J. 1983. Orality and Literacy: The Technologizing of the word’ Reprinted. London:
Methuen.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEQ.
Piliang, Amir Yasraf. 2006. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.
Yogyakarta: Jalasutra. Pudentia, MPSS. (ed), 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : ATL Purwasita, Andrik. 2003 .Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Rahman, Abdul. 2007. Ritual Cera Lepa (Selamatan Perahu Baru) dalam Masyarakat Bajo di Kelurahan Petoaha Kota kendari, Sulawesi Tenggara. Skripsi di Jurusan Antropologi Universitas Haluoleo. Tidak diterbitkan.
Rais, Muhammad. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global dalam
Keberagaman Masyarakat Ujung Bone Sebuah Ritual “Addewatang Putta Sereng”. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana UGM.
Ratna, I Nyoman Kutha 2008. Postkolonialisme di Indonesia: Refleksi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Sairin, Sjafri. 2001. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarup, Madan. 2000. Postrukturalismen dan Postmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES Simmel, Georg. 1991. “Money in Modern Cultur”, Theory Culture and Society. 8 (3): 7-13. Soemardjan. 1995. Sosiologi. Semarang: IKIP Semarang Press. Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop (terjemahan dari judul asli An Introductory Guide
Theory and Populer Culture) Edisi 1. Yogyakarta: CV. Qalam. Sumitri, Ni Wayan. 2005. Ritual Dhasa Jawa dalam Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai,
Nusa Tenggara Timur. Tesis Program Pascasarjana Magister Kajian Budaya Universitas Udayana, (tidak diterbikan).
Surayanto A. 1994. Ekosistem Pesisir Potensi Permasalahan dan Upaya Pengelolaan Secara
Terpadu. Jakarta: BPPT Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Kencana
Sweeny, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: University of California Press.
Syaefudin, Asep. 2007. Merukunkan Umat Beragama. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Turner, V. 1974. Darmas, Fields and Metaphors. Ithaca: Cornel University Press.
Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta : Gramedia.
Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Perilaku Serta Sikap yang tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Zacot, Francius R, 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA
Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayanan Etnik Mandar
Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Bagaimanakah sejarah masuknya etnik Mandar di Kelurahan Bungkutoko ?
2. Apakah selain etnik Mandar ada etnik lain yang ikut dalam ritual mappandesasi ?
3. Bagaimanakah sistem kepercayaan dalam masyarakat nelayan etnik Mandar ?
4. Apakah dalam masyarakat etnik Mandar ada stratifikasi sosial ? kalau ada bentuknya
seperti apa ?
5. Selain ritual mappandesasi apakah ada ritual lain ? kalau ada ritual apa saja ?
6. Siapakah yang paling berperan dalam ritual mappandesasi ?
B. Masalah Bentuk-Bentuk Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan
Etnik Mandar
1. Jelaskan apa itu ritual mappandesasi ?
2. Apa fungsi dari ritual mappandesasi ?
3. Apakah manfaat dari ritual mappandesasi ?
4. Sejak kapan ritual mappandesasi dilakukan di Kelurahan Bungkutoko?
5. Siapakah yang memimpin ritual mappandesasi ?
6. Jelaskan mengapa ritual mappandesasi dilaksanakan pada hari Kamis atau malam
Jum’at?
7. Sarana apa saja yang digunakan dalam pelaksanaan ritual mappandesasi ?
8. Persiapan apa saja yang disediakan dalam ritual mappandesasi ?
9. Siapakah peserta ritual mappandesasi ?
C. Masalah Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Keterancaman Ritual Mappandesasi.
dan Pengurangan terhadap Ritual Mappandesasi
1. Apa penyebab terjadinya penurunan peserta ritual mappandesasi ?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadi penurunan peserta ritual mappandesasi?
3. Apakah peserta ritual mappandesasi tidak pernah berkomunikasi dengan para pimpinan
ritual sandro ?
4. Bagaimanakah peran pimpinan ritual dengan penurunan peserta ritual ?
5. Apa yang mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap ritual mappandesasi ?
D. Masalah Dampak dan Makna Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat
Nelayan Etnik Mandar
1. Makna apa yang terdapat dalam ritual mappandesasi ?
2. Apakah dampak dari penurunan peserta dan pengurangan ritual mappandesasi ?
3. Apakah pernah ritual mappandesasi tidak dilaksanakan dalam satu tahun ? kalau pernah
mengapa ? Apa akibatnya terhadap masyarakat nelayan etnik Mandar ?
4. Apakah para peserta ritual mappandesasi paham dengan makna-makna yang terkandung
di dalam ritual mappandesasi ?
5. Apakah pernah terjadi kekurangan bahan ritual atau sesajen ?
6. Apakah masyarakat asli Kelurahan Bungkutoko pernah melarang adanya ritual
mappandesasi ?
Lampiran 2
DAFTAR INFORMAN
NO Nama L/P Usia Pekerjaan Alamat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
19
Ba’dul
Bakri
Mardin
Sudiang
Maruka
Beddu
Sappe
Drs.Burhan S.E
Muhtar S.E
Imran
Intan
Hj. Nani
Reski
Rustam
Rusdi
Andri
Cullang
Andi
Surding
Sudding
L
L
L
L
L
L
L
L
L
L
P
P
P
L
L
L
L
L
L
L
70 thn
47 thn
45 thn
50 thn
92 thn
65 thn
45 thn
45 thn
37 thn
30 thn
27 thn
54 thn
25 thn
41 thn
43 thn
22 thn
37 thn
34 thn
42 thn
40 thn
Tokoh Masyarakat
Tokoh Masyarakat/ Nelayan
Tokoh Masyarakat/Nelayan
Tetua Adat
Pimpinan Ritual Sandro (Dukun)
Sandro (Dukun)
Sandro (Dukun)
Lurah Kel. Bungkutoko
Sekertaris Lurah
PNS Kel.Bungkutoko
PNS Kel.Bungkutoko
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Nelayan
Tokoh Masyarakat/ Nelayan
Mahasiswa
Nelayan
Nelayan
Tokoh Masyarakat/Supir Angkutan
Nelayan
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-02
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-02
Kel.Bungkutoko RW-03
Kel.Bungkutoko RW-02
Kel.Bungkutoko RW-03
Kel.Bungkutoko RW-02
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Kel.Bungkutoko RW-01
Peta Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS UDAYANA
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN BUDAYA
Jalan Nias 13 Denpasar, Bali Telp/Fax (0361)246653
SURAT PERNYATAAN PEMBIMBING Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. (Pembimbiing I) 2. Nama : Dr. Pudentia MPSS., M.A.
(Pembimbing II) Menyatakan bahwa tesis mahasiswa berikut telah kami bimbing dan kami nyatakan siap diuji. Mahasiswa tersebut adalah : Nama : Muhamad Alkausar NIM : 0990261026 Pengkhususan : Tradisi Lisan Judul Penelitian : Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar
Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Denpasar, Agustus 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Dr. Pudentia MPSS., M.A. NIP 194409271976021001 NIP 195605081982032002
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL, 13 AGUSTUS 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. Dr. Pudentia MPSS., M.A. NIP 19440927 1976 021001 NIP 19560508 1982 03 2002
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Direktur Kajian Budaya Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19430521 198303 2001 NIP. 19590215 198510 2001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal, 13 Agustus 2011
Panitia Penguji Tesis, Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1390/UN14.4/HK/2011, Tanggal, 09 Agustus 2011
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Anggota :
1. Dr. Pudentia MPSS., M.A.
2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S
3. Prof. Dr. Aron Meko Mbete
4. Dr. I Gede Mudana, M.Si
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS UDAYANA
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) KAJIAN BUDAYA
Jalan Nias 13 Denpasar, Bali Telp/Fax (0361)246653
SURAT PERNYATAAN PEMBIMBING DAN PENGUJI Nomor : /J 14.4.5/PP.00.08/2011
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, masing-masing secara terpisah telah mencermati hasil perbaikan tesis : Berjudul : Keterancaman Ritual Mappandesasi dalam Masyarakat Nelayan Etnik Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. Disusun oleh : Muhamad Alkausar NIM : 0990261026 Mahasiswa : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana Lebih lanjut kami nyatakan bahwa hasil perbaikan tersebut telah dapat kami setujui karena sesuai dengan masukan-masukan yang telah kami berikan dalam ujian pada tanggal Agustus 2011. Kami mengharap “Surat Pernyataan” ini dapat digunakan sesuai dengan keperluan.
Para Pembimbing dan Penguji NO Nama Tanda Tangan Persetujuan
1. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. (Pembimbing I)
1. ………………………………………….
2. Dr. Pudentia MPSS., M.A (Pembimbing II)
2. ………………………………………….
3. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S (Anggota Penguji)
3. …………………………………………
4. Prof. Dr. Aron Meko Mbete. (Anggota Penguji)
4. ………………………………………….
5. Dr. I Gede Mudana, M.Si (Anggota Penguji)
5. ……………………………………………
Denpasar,13 Agustus 2011 Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S NIP 1943 0521 1983 03 2001 Catatan : Persetujuan secara berturut-turut supaya Diminta oleh mahasiswa kepada masing-masing Anggota Penguji, Pembimbing II dan terakhir Pembimbing I