Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

9
Konsep Note Partisipasi Komunitas dalam Mengawasi Implementasi Undang- undang Desa Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) Rasionalisasi Gagasan Undang-Undang Desa adalah seperangkat aturan mengenai penyelenggar a an pemerintah desa yang telah berkembang dalam berbagai bentuk dengan harapan dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Undang- Undang ini juga mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa, Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII. Dengan disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa atau yang lebih dikenal dengan UU Desa, serta diikuti dengan PP No 43 tahun 2014 tentang Penunjuk pelaksanaan UU Desa dan PP No 60 Tahun 2014 mengenai mekanisme pengelolaan dana desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka ada pergeseran paradigma dan tanggung jawab dalam hal mekanisme pengelolaan anggaran di desa. Dalam UU desa ditegaskan bahwa Desa sepenuhnya mempunyai “power” atau pengakuan otonomi dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan penggunaan dana desa. Dari perluasan wewenang tersebut diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat desa. Serta diharapkan menjadi alternatif pembangunan desa, kerjasama antar desa dan Lembaga kemasyarakatan Desa.

Transcript of Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

Page 1: Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

Konsep NotePartisipasi Komunitas dalam Mengawasi Implementasi Undang-undang Desa

Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF)

Rasionalisasi Gagasan

Undang-Undang Desa adalah seperangkat aturan mengenai penyelenggaraan pemerintah desa yang telah berkembang dalam berbagai bentuk dengan harapan dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Undang-Undang ini juga mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa, Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.

Dengan disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa atau yang lebih dikenal dengan UU Desa, serta diikuti dengan PP No 43 tahun 2014 tentang Penunjuk pelaksanaan UU Desa dan PP No 60 Tahun 2014 mengenai mekanisme pengelolaan dana desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka ada pergeseran paradigma dan tanggung jawab dalam hal mekanisme pengelolaan anggaran di desa. Dalam UU desa ditegaskan bahwa Desa sepenuhnya mempunyai “power” atau pengakuan otonomi dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan penggunaan dana desa. Dari perluasan wewenang tersebut diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat desa. Serta diharapkan menjadi alternatif pembangunan desa, kerjasama antar desa dan Lembaga kemasyarakatan Desa.

Pembangunan desa diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia dan penanggulangan kemisikinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan desa juga mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial.

Tantangan yang kemungkinan besar muncul dengan adanya UU No. 6 tahun 2014 tentang desa adalah proses politik perebutan jabatan kepala desa menjadi lebih panas, diperkirakan memancing aktor-aktor potensial desa untuk memperebutkan jabatan desa termasuk jabatan perangkat desa secara tidak sehat. Hal ini akan sangat memicu tingkat gravitasi yang kuat bagi warga untuk terlibat dalam kontestasi kepala desa di masa mendatang, akibatnya money politic akan menjadi ancaman serius yang mewarnai demokratisasi pemilihan kepala desa. Peluang negatif lainnya yang akan muncul yakni kecenderungan terjadinya pemekaran menjadi beberapa desa. Besarnya anggaran desa

Page 2: Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

nantinya akan melebihi anggaran kecamatan, dan berpeluang terjadinya penyelewengan mengingat belum jelasnya institusi kontrol di tingkat desa.

Khususnya Aceh, terdapat 6647 desa di 23 kabupaten/kota. Untuk tahun 2015 dialokasikan Rp 1.75 Triliun masuk ke rekening desa. Anggaran tersebut sangat besar, untuk mengelolanya maka pemerintah Aceh harus memastikan pemerintah desa memiliki kemampuan pengelolaan anggaran dengan prinsip good governances. Untuk itu, partisipasi masyarakat untuk terlibat, baik pada level perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan sangat penting. Untuk memperkuat proses ini, maka pemerintah Aceh dapat membangun sistem kemitraan dengan organisasi kemasyarakatan lainnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Mahasiswa dan Organisasi Kepemudaan. Pendekatan tersebut strategis dikembangkan karena peran daripada organisasi masyarakat tersebut selama ini juga sudah terbukti, bahwa mereka memiliki peran strategis dalam pendampingan dan pengorganisasi, penguatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat.

Achehnese Civil Society task Force (ACSTF) sebagai bagian dari Organisasi Masyarakat Sipil memandang bahwa penting mendukung kebijakan pembangunan desa melalui UU tersebut, terutama menguatkan kapasitas pemerintahan desa dan mengawasi implementasi program pembangunan desa. Tetapi memegang teguh prinsip good governnace dan tidak menciptakan kondisi yang berdampak pada timbulnya konflik di tingkat komunitas. Maka, kegiatan ini harus mengedepankan partisipasi publik di tingkat komunitas dan memfasilitasi pihak-pihak independen seperti mahasiswa dapat terlibat dengan mengedepankan knowledge sharing dan monitoring the process.

ACSTF berencana terlibat di 70 komunitas, merupakan perwakilan dari tujuh kabupaten antara lain : Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Bener meriah, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Ketujuh puluh komunitas tersebut memiliki seorang community leader, dan masing-masing kabupaten memiliki dua community organizer. Seluruh komunitas tersebut merupakan jaringan komunitas dampingan ACSTF yang sebelumnya terlibat dalam pemantauan pemilu dan Pilpres 2014. Selanjutnya, ACSTF juga bekerjasama dengan universitas yang terdapat di kabupaten/kota tersebut, antara lain Unsyiah dan UIN untuk Aceh Besar, Unigha di Pidie, Uninal di Aceh Utara, Unsam di Aceh timur, UGP di bener meriah, UTU di Aceh Barat dan Politeknik Aceh Selatan. Kerjasama dengan Universitas (Mahasiswa) diharapkan program ini menjadi lebih strategis karena universitas memiliki sumber ilmu pengetahuan yang cukup luas, sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi dan pengetahuan yang cukup, dan semangat untuk keluar dari kemiskinan semakin terbuka.

Tujuan

Tujuan merumuskan kertas kerja ini adalah menyusun kerangka kerja pendampingan pembangunan desa berdasarkan UU Desa. Kerangka kerja ini diarahkan untuk memperkuat partisipasi komunitas dalam mengimplementasikan dan mengawasi pembangunan di tingkat gampong/desa guna mewujudkan Pembanguan Gampong yang Mensejahterakan Masyarakat.

Page 3: Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

OutputOutput yang ingin dicapai antara lain :

1. Adanya informasi baseline atas 70 komunitas yang hendak dilakukan pendampingan dan penguatan atas implementasi UU Desa.

2. Adanya pendampingan jaringan komunitas dan kelembagaan Gampong/desa dalam implementasi UU Desa dalam bentuk program pembangunan desa.

3. Partisipasi komunitas dalam memantau implementasi UU Desa dan program pembangunan menggunakan metode pemantauan aplikasi ELVA.

4. Adanya monitoring implementasi UU Desa dan program pembangunan desa yang dilakukan oleh tim diluar komunitas yaitu Mahasiswa (Universitas) supaya dapat memperoleh informasi yang lebih independen.

5. Adanya multistakeholder forum (komunitas, Organisasi masyarakat Sipil, legislatif dan eksekutif) atas pembelajaran dari program monitoring implementasi UU Desa.

Penerima manfaat dan kelompok sasaran

Penerima manfaat dan kelompok sasaran atas program ini adalah masyarakat di 70 komunitas yang berasal dari tujuh kabupaten/kota antara lain Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Bener Meriah, Aceh Besar, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Ke tujuh puluh komunitas tersebut merupakan jaringan komunitas yang selama ini sudah didampingi oleh ACSTF dan Saree School. Bahkan pada tahun 2014, ACSTF bekerjasama dengan The Asia Foundation melibatkan 70 komunitas berpartisipasi dalam memantau pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014. Secara langsung diharapkan ada 350 masyarakat yang aktif di 70 komunitas yang terlibat dalam mengawasi, 140 pemimpin gampong/desa mendapatkan pendampingan dan training, 14 orang community organizer dan 70 local leaders.

Khususnya di tingkat Gampong/Desa, ada empat komponen yang didampingi dan dikuatkan kapasitasnya, keempat komponen tersebut diharapkan menjadi pihak yang aktif dalam mengimplementasi dan mengawasi penerapan UU Desa dan pembangunan desa yaitu :

1. Pemimpin Gampong/Desa : pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola anggara desa dan melaksanakan program pembangunan desa.

2. Pemuka Masyarakat : merupakan masyarakat yang dihormati di gampong karena keilmuannya maupun pengalamannya.

3. Perempuan : merupakan pihak yang mengawasi implementasi UU desa, memastikan anggaran tersebut pro-kepentingan perempuan dan pembangunan secara menyeluruh atau tidak.

4. Pemuda/remaja : merupakan generasi baru dan calon pemimpin gampong/desa di masa depan.

Page 4: Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

Selain keempat komponen diatas, ACSTF juga merencanakan untuk melibatkan mahasiswa, untuk itu ACSTF bekerjasama dengan universitas-universtitas yang terdapat di Kabupaten/kota pelaksanaan program ini. Direncanakan ada 70 mahasiswa yang terlibat, dari Unsyiah, UIN Ar-Raniry, Univ Jabal Ghafur, Univ Malikul Saleh, Univ Gajah Puteh, Univ Samudera, Univ Teuku Umar dan Politektek Kluet Selatan Aceh Selatan.

Strategi pendekatan

Secara umum digambarkan bahwa strategi pendekatan yang digunakan dalam menjalankan program ini diarahkan untuk memperkuat kapasitas masyarakat supaya dapat menumbuhkan kesadaran komunitas untuk aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran desa dalam pelaksanaan program pembangunan.

Secara khusus, kapasitas dan kesadaran publik diarahkan untuk mengawasi dan mengadvokasi jika ada pelanggaran atas kecurangan dari penggunaan dana desa tersebut dengan menggunakan aplikasi ELVA. Komunitas dapat memberikan informasi melalui layanan SMS ke pusat pengaturan ELVA yang selanjutnya dianalisa dan kesimpulannya akan diadvokasikan ke pihak pemerintah supaya ada perbaikan-perbaikan di masa depan.

Upaya pelibatan komunitas, maka 350 komunitas diharapkan dapat berpartisipasi dalam memberikan informasi (mengirimkan SMS ke aplikasi ELVA), jadi setiap komunitas terdapat 5 masyarakat yang aktif mengirimkan SMS. Untuk memastikan 5 orang tersebut menjadi pro-aktif maka ditentukan 1 local leader yang terus memberikan informasi dan pengetahuan serta mengingatkannya. Selanjutnya, local leader tersebut didampingin secara penuh oleh 2 orang community organizer.

Untuk memastikan metode ini terlaksana, maka kita juga memfasilitasi simulasi antara masyarakat dan pelaksana program desa (pemerintahan gampong), simulasi ini diharapkan dapat menumbuhkan saling kepercayaan, bahwa pelaksana memastikan mengetahui bahwa mereka diawasi oleh masyarakat (benefecieris). Jadi, suasana yang hendak diciptakan adalah kesadaran bersama antara pelaksana dan pengawas (komunitas) serta juga melibatkan para tokoh lainnya seperti anggota legislatif yang berasal dari Daerah Pilihannya.

Untuk menguatkan informasi, maka mahasiswa sebagai pihak luar (outsider) dari komunitas tersebut diarahkan untuk mengklarifikasi atas informasi yang disampaikan oleh komunitas, termasuk memperkuat informasi dengan beberapa pertanyaan lainnya. Mahasiswa juga dilibatkan sebelum dijalankannya program, mereka dimintakan untuk memperoleh informasi awal (baseline) supaya pendekatan yang dilakukan selama pendampingan dan penguatan kapasitas komunitas dan kelembagaan gampong/desa tepat sasaran.

Page 5: Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

Program yang hendak direncanakan

1. Pengumpulan Informasi awal (Baseline)Mahasiswa dilibatkan untuk mengunjungi 70 komunitas, mereka ditugaskan untuk mengumpulkan informasi awal tentang pengetahuan pemimpin/pelaksana dana desa dan masyarakat tentang UU Desa, kapasitasnya dan jenis penguatan kapasitas yang mereka butuhkan serta gagasan-gagasan masyarakat dalam mempergunakan anggaran tersebut di masa depan. Mahasiswa dibekali dengan formulir pertanyaan (quesioner) yang diharapkan mereka mewawancarai kepala desa, tim pelaksana teknis anggaran desa, pemuka masyarakat, perempuan dan pemuda.

Selanjutnya, informasi yang dikumpulkan tersebut dianalisa oleh tim analisis di ACSTF, rekomendasinya menjadi informasi penting untuk ditindaklanjuti pada tahap pendampingan dan penguatan kapasitas komunitas tersebut.

2. Pendampingan dan penguatan kapasitasSasaran pendampingan adalah 350 perwakilan komunitas dari 70 komunitas, juga 70 local leaders. Pada tahap ini, peran 14 community organizer-CO sangat penting, para CO diarahkan untuk memfasilitasi pertemuan, diskusi komunitas dan bahkan pelatihan-pelatihan yang diadakan selama berlangsungnya program dan kegiatan.

CO juga memastikan tumbuhnya kesadaran komunitas untuk terus berpartisipasi, bahkan memperluas partisipasi mereka dari hanya 5 orang per komunitas menjadi 10-20 orang. Sehingga posisi tawar komunitas menjadi kuat di hadapan pelaksana program pembangunan desa atau pemerintahan desa.

CO juga memastikan pada local leader supaya komunitas berpartisipasi untuk mengirimkan laporannya ke aplikasi ELVA, salah satu indikator keberhasilannya adalah jumlah komunitas dalam mengirimkan SMS ke aplikasi ELVA.

3. Monitoring komunitasPemuka masyarakat, perempuan dan pemuda berpartisipasi untuk mengawasi para pemimpin gampong/desa atau pelaksana program pembangunan desa. Mereka bukan hanya penerima manfaat (beneficiery) tetapi mereka juga ikut aktif dalam memastikan kesuksesan pembangunan desa dijalankan. Mereka dapat memberikan masukan dan mengkritisinya ika terjadi pelanggaran dan kecurangan.

Proses pengawasan dan pelaporannya dilakukan menggunakan aplikasi ELVA, jadi perwakilan komunitas dan masyarakat secara umum diberikan pemahaman tentang proses pengiriman hasil pantauannya. Proses ini juga terlebih dahulu disampaikan ke pelaksana program pembangunan desa atau pemimpin gampong, tentunya ini kesadaran bersama antar para pihak dalam kerangka memperkuat dan menyukseskan program pembangunan desa tersebut. Kesadaran bersama ini

Page 6: Kertas Kerja Pengawasan Implementasi UU Desa-ACSTF.doc

menjadi kunci keberhasilannya supaya tidak terjadi saling menyalahkan di kemudian hari.

Laporan dikirimkan melalui SMS ke ELVA centre, selanjutnya tim pengumpul data akan memprosesnya dalam bentuk informasi analisis. Hasil analisis selanjutnya diperkuatkan oleh hasil pengawasan langsung yang dilakukan oleh mahasiswa. Hasil akhir selanjutnya disampaikan ke para pihak, terutama legislatif dan eksekutif yang berwenang menjalankan program pembangunan desa tersebut.

4. Monitoring tim outsider/independen (mahasiswa)Monitoring mahasiswa diarahkan untuk menjadi informasi pembanding dan informasi pelengkap yang akan menguatkan laporan analisis yang dihasilkan dari pengawasan yang dilakukan oleh komunitas.

Para mahasiswa melakukan kunjungan selama 3 bulan sekali, jadi ada 3 kali kunjungan selama program ini berlangsung. Mahasiswa dibekali questioner yang akan menjadi guideline atas informasi yang harus mereka kumpulkan.

5. Advokasi hasilHasil laporan analisis selanjutnya disampaikan ke para pihak melalui forum multistakeholder, hadir dalam forum tersebut perwakilan legislatif, eksekutif dan masyarakat sipil.

Selain itu, laporan juga dikemas dalam bentuk lainnya, seperti memperluas informasi dan lesson learns melalui media massa dan sosial media.

Penutup

Demikian Konsep Note ini kami buat sebagai Acuan awal bagi kita dalam merumuskan Program ini. Kami juga mengembangkan konsep note ini dalam bentuk logical framework yang kami sampaikan dalam lampiran.